PILIHAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL DANAU SENTARUM PROVINSI KALIMANTAN BARAT EMI ROSLINDA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PILIHAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL DANAU SENTARUM PROVINSI KALIMANTAN BARAT EMI ROSLINDA"

Transkripsi

1 PILIHAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL DANAU SENTARUM PROVINSI KALIMANTAN BARAT EMI ROSLINDA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

2

3 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Pilihan Kebijakan Pengelolaan Taman Nasioanal Danau Sentarum Provinsi Kalimantan Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Mei 2013 Emi Roslinda NIM E

4 RINGKASAN EMI ROSLINDA. Pilihan Kebijakan Pengelolaan Taman Nasional Danau Sentarum Provinsi Kalimantan Barat. Dibimbing oleh DUDUNG DARUSMAN, DIDIK SUHARJITO, DODIK RIDHO NURROCHMAT. Pengelolaan Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS) dilakukan oleh pemerintah melalui Balai TNDS. Sampai saat ini kegiatan pengelolaan belum mencapai tujuan yang diharapkan yaitu kelestarian kawasan dan kesejahteraan masyarakat. Kondisi ini menunjukkan pengelolaan tunggal oleh pemerintah tidak mampu untuk mencapai tujuan pengelolaan. Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan pilihan kebijakan pengelolaan TNDS melalui pendekatan ekonomi, sosial dan kebijakan, sehingga diperoleh pilihan kebijakan yang lebih baik secara ekonomi (pengetahuan nilai ekonomi juga manfaat yang dihasilkan), lebih baik secara sosial (mengurangi konflik, secara kultural cocok) dan lebih baik secara kebijakan (governance: efisien/efektif, less cost). Tujuan tersebut akan dicapai melalui beberapa kajian yaitu: 1) menduga manfaat dan potensi nilai ekonomi total TNDS; 2) menganalisis pemangku kepentingan dalam pengelolaan TNDS; 3) menguraikan modal sosial dan kapabilitas pemerintah dalam pengelolaan TNDS; dan 4) menganalisis kebijakan pengelolaan TNDS. Penelitian dilaksanakan di kawasan TNDS Provinsi Kalimantan Barat. Pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan pendekatan/teknik: 1) penelusuran dokumen, 2) wawancara, 3) observasi langsung. Jumlah contoh untuk masyarakat ditetapkan secara quota sebanyak 60 rumah tangga pada setiap lokasi penelitian (3 SPTN) yang ditentukan secara random sampling. Untuk melengkapi informasi yang diperoleh dari para responden, dilakukan wawancara dengan informan kunci pada setiap lokasi penelitian. Sementara untuk pemangku kepentingan yang lain dilakukan wawancara tersendiri yang dilakukan dengan cara snowball. Analisis data dilakukan secara kuantitatif (kategorisasi) dan kualitatif. TNDS menghasilkan berbagai manfaat dengan NET yang tinggi. NET TNDS sebesar Rp 139,1 milyar per tahun. Hasil ini bila dibandingkan dengan besarnya biaya pengelolaan TNDS sebesar Rp 6,7 milyar pada tahun 2010, berarti hanya 4,82 persen dari manfaat yang dihasilkan. Berarti TNDS sebagai kawasan konservasi yang selama ini dianggap sebagai pusat pengeluaran (cost center) adalah tidak benar. Potensi nilai ekonomi TNDS ini bisa menjadi nyata dengan menerapkan mekanisme insentif dalam pengelolaan TNDS, dimana untuk saat ini mekanisme insentif yang mungkin untuk dijalankan adalah dari jasa lingkungan air untuk rumah tangga. Berbagai manfaat yang dihasilkan dan tingginya nilai ekonomi yang terkandung di TNDS menarik berbagai pemangku kepentingan untuk memanfaatkan serta mengelolanya. Terdapat 18 pemangku kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan TNDS, yang terdiri dari pihak pemerintah, masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Lembaga Penelitian. Berdasarkan pengaruh dan kepentingannya, pemangku kepentingan tersebut berkedudukan sebagai subject, key players, contex setter, dan crowd, dan hubungan yang terjadi diantara mereka adalah konflik, kerjasama dan saling mengisi. Keberadaan berbagai pemangku

5 kepentingan ini membawa konsekuensi pengelolaan yang dilakukan di TNDS perlu mengalami perubahan dari pengelolaan tunggal oleh pemerintah menjadi pengelolaan yang melibatkan pemangku kepentingan. Adapun bentuk pelibatan pemangku kepentingan dapat dilihat dari modal sosial pada tingkat masyarakat dan kapabilitas pemerintah dalam mengelola TNDS. Modal sosial masyarakat di dalam kawasan TNDS yang dinilai dari kepercayaan (trust), norma dan jaringan sosial (social networks) menunjukkan kuat/tingginya modal sosial masyarakat. Kepercayaan masyarakat terhadap peran tokoh masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam sangat tinggi, ini menunjukkan bahwa masyarakat lebih mematuhi apa yang diperintahkan oleh pemimpin mereka. Norma-norma yang mengatur pengelolaan sumberdaya alam baik yang tertulis dan tidak tertulis sangat memperhatikan kelestarian, dan karena sudah dilakukan secara turun temurun maka sangat jarang terjadi pelanggaran. Sementara jaringan sosial yang terbentuk ditujukan untuk kesejahteraan bersama dan lebih pada kepentingan ekonomi. Apa yang sudah ada di masyarakat ini menunjukkan bahwa semua tatanan pengelolaan sudah berjalan secara fungsional di masyarakat dan terjamin keberlanjutannya. Sementara kapabilitas pemerintah yang diukur dari indikator karakteristik intrinsik dan indikator hubungan antar negara dan masyarakat menunjukkan rendahnya kapabilitas pemerintah dalam pengelolaan TNDS. Hal ini membuktikan bahwa sebenarnya pemerintah secara tunggal tidak mampu untuk mengelola TNDS. Berarti ada permasalahan dalam kebijakan yang diterapkan dalam pengelolaan TNDS saat ini. Ada 31 (tiga puluh satu) buah kebijakan (regulasi) yang digunakan oleh Balai TNDS sebagai dasar pengelolaan TNDS saat ini. Regulasi tersebut berupa Undang-undang (UU) yang terkait, Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Menteri, Keputusan Presiden (Keppres), Keputusan Menteri (Kepmen), Peraturan Daerah (Perda), Keputusan dan Peraturan Direktur Jenderal, Keputusan Bupati. Umumnya masih bersifat sentralistik, berbentuk perintah dan pengawasan (command and control) dan seragam untuk semua kawasan konservasi. Kondisi ini menjadi penyebab tidak efektifnya pengelolaan, oleh karena itu perlu perubahan kebijakan pengelolaan yang spesifik lokasi kawasan konservasi. Devolusi pengelolaan TNDS diperlukan karena akan lebih mengefektifkan pengelolaan sumberdaya alam dan memberikan keadilan kepada masyarakat sebagai pemangku kepentingan. Mensinkronkan kepentingan masyarakat dan pemerintah dalam kawasan TNDS merupakan solusi yang optimal dalam kegiatan pengelolaan. Kolaborasi pengelolaan TNDS akan meminimalkan beban biaya pengelolaan yang ditanggung pemerintah dan pada saat yang sama akan membangkitkan rasa tanggungjawab masyarakat dalam pengelolaan TNDS. Kata kunci: devolusi pengelolaan, modal sosial, kapabilitas pemerintah, kolaborasi, pemangku kepentingan

6 SUMMARY EMI ROSLINDA. Management Policy Options of Danau Sentarum National Park West Kalimantan Province. Supervised by DUDUNG DARUSMAN, DIDIK SUHARJITO, DODIK RIDHO NURROCHMAT. Management of Danau Sentarum National Park (DSNP) is conducted through DSNP Unit. Until now, the management has not achieved the expected objectives, namely the preservation of the area and welfare of the community. This condition indicates the single management by the government is not able to achieve the management objectives. This study aims to formulate the policy options of DSNP management through economic, social and policy approaches, in order to obtain better policy options economically (knowledge of economy as well as benefits generated), socially (reducing conflicts, culturally appropriate), and policy (governance; efficient/effective, less cost). These goals will be achieved through several studies, namely: 1) suspecting benefits and total economic potential of DSNP; 3) analyzing the stakeholders in the management of DSNP; 3) outlining the government s social capital and capabilities in the management of DSNP; and 4) analyzing policy of DSNP management. The research had been conducted in the area of DSNP in the West Kalimantan Province. The data was collected using the techniques of: 1) Document research, 2) interview, 3) direct observation. The number of community samples quota is 60 (sixty) households in each location (3 SPTN) which was determined by random sampling. To comply with information obtained from the respondents, interviews were conducted with key informants in each study site. As for other stakeholders, the interviews were carried out with a snowball method. The data were analyzed quantitatively (categorization) and qualitatively. There were many kind of benefits in DSNP with high economic value. The TEV of DSNP covers Rp 139 billion per year. This result when compared with the cost of managing DSNP that covered Rp 6.7 billion in 2010 shows that only 4.82 percent of the benefits generated. It means that DSNP as conservation area that have been considered as a cost center is not true. This potential economic value of DSNP could be real by implementing incentive mechanism in the management of DSNP, where for the current time the incentive mechanism that is likely to run is water for environmental service for households. Various benefits and the high economic value contained in DSNP attract various stakeholders to utilize and manage them. There are 18 (eighteen) stakeholders involved in the management of DSNP, consisting of government, community, Non-Governmental Organization (NGO) and research institution. Based on their influence and importance, the stakeholders serve as subjects, key players, context setter and crowd; and the relation among them is conflicts, complementary and cooperation. The existence of these various stakeholders brings along the consequence that the management conducted in DSNP needs to be changed from a single management by the government to management involving the stakeholders. The form of stakeholders

7 involvement can be seen from social capital at the community level and capability of the government in managing DSNP. Social capital in the community within the area of DSNP which is assessed from trust, norms and social networks shows the strong/high of social capital of the community. Public trust to the role of community leaders in managing natural resources is very high, which indicates that more people obey what is commanded by their leader. The norms governing the management of natural resources both written and unwritten are very concerned about sustainability, and since they have been done for generations that the infraction rarely happens; while social networks are formed to gain common welfare and more to the interest of economy. What already exists in the community shows that all orders are running a functional management and secure its sustainability. Meanwhile, the capability of the government measured from the intrinsic characteristic indicators and relation between state and community indicators shows the weak capability of the government in managing DSNP. It shows the fact that government is not able to manage DSNP, and it means there are problems in the policies implemented in the management of DSNP today. There are 31 (thirty-one) policies/regulations used by DNSP Unit as a foundation in DSNP management. The regulations are in the forms of relevant Statute, Government Regulation, Ministerial Regulation, Presidential Decree, Ministerial Decree, Regional Regulation, Decree and Regulation of Directorate General, and Decree of the Head of District. These regulations are mostly centralized, in the forms of command and control, and all the same for the whole conservation areas. The condition causes the ineffective of the management, therefore the management policies need to be changed specifically at location in the conservation areas. Devolution of the management of DSNP is necessary because it will further streamline the management of natural resources and will provide justice to the community as the stakeholder. Synchronizing the interests of community and government in the areas of DSNP is indeed an optimal solution in the activities of management. Collaboration in managing DSNP will minimize management cost borne by the government and in the same time will generate a sense of responsibility of the community in the management of DSNP. Key words: devolution of management, social capital, government capability, collaboration, stakeholders

8 Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

9 PILIHAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL DANAU SENTARUM PROVINSI KALIMANTAN BARAT EMI ROSLINDA Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

10 Penguji pada Ujian Tertutup: Dr. Ir. Iin Ichwandi, MSc F Trop. Prof. Dr.Ir.Sambas Basuni, MS Penguji pada Ujian Terbuka: Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS Dr. Ir. Tahrir Fathoni, MSc

11 Judul Disertasi : Pilihan Kebijakan Pengelolan Taman Nasional Danau Sentarum Provinsi Kalimantan Barat Nama : Emi Roslinda NIM : E Disetujui oleh Komisi Pembimbing Prof Dr Ir Dudung Darusman, MA Ketua Dr Ir Didik Suharjito, MS Anggota Dr Ir Dodik Ridho Nurrochmat, MSc Anggota Diketahui oleh Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan Dekan Sekolah Pascasarjana Prof Dr Ir Hariadi Kartodihardjo, MS Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr Tanggal Ujian: 21 Maret 2013 Tanggal Lulus:

12 PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2011 ini berjudul Pilihan Kebijakan Pengelolaan Taman Nasional Danau Sentarum Provinsi Kalimantan Barat. Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Dudung Darusman, MA, Dr Ir Didik Suharjito, MS. dan Dr Ir Dodik Ridho Nurrochmat, MSc, selaku pembimbing yang telah banyak memberikan saran dan masukan dalam penyusunan dan penyempurnaan karya ilmiah ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Prof Dr Ir Hariadi Kartodihardjo, MS selaku Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan berserta segenap jajarannya yang telah banyak membantu dan memfasilitasi penulis selama menempuh pendidikan di SPs-IPB. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi melalui beasiswa yang diberikan, SEAMEO-BIOTROP, Universitas Tanjungpura dan Pemda Provinsi Kalimantan Barat atas bantuan dana penelitian yang diberikan. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Pemda Kapuas Hulu, Kepala Balai TNDS beserta staf, WWF KalBar, temanteman LSM dan masyarakat TNDS yang menjadi responden dan sumber data bagi penulis, serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah banyak membantu dalam pengumpulan data dan informasi. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus secara khusus disampaikan kepada suami (Sarwo Sugeng, SH), anak (Tsaqif dan Mahira), orang tua dan adik-adik, serta seluruh keluarga atas doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak. Amin. Bogor, Mei 2013 Emi Roslinda

13 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 4 Tujuan Penelitian 5 Manfaat Penelitian 5 Novelty 5 2 TINJAUAN PUSTAKA 6 Pengelolaan Kawasan Konservasi 6 Konsep Nilai dan Penilaian Sumberdaya Alam 11 Konsep Pemangku Kepentingan 14 Konsep Modal Sosial dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam 16 Konsep Kapabilitas Pemerintah 19 Konsep Kebijakan dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam 20 3 METODE 22 Kerangka Pemikiran 22 Pendekatan Penelitian 23 Tempat dan Waktu Penelitan 25 Pengumpulan Data 25 Lingkup Kajian 27 4 KEADAAN UMUM TNDS 35 Letak dan Luas 35 Potensi TNDS 36 Kondisi Masyarakat 39 Pengelolaan TNDS Saat Ini 42 5 MANFAAT DAN NILAI EKONOMI TNDS 46 Manfaat TNDS 46 Nilai Ekonomi TNDS 49 Nilai Ekonomi Total TNDS 57 6 PEMANGKU KEPENTINGAN DALAM PENGELOLAAN TNDS 62 Identifikasi Pemangku Kepentingan 63 Pengelompokkan dan Pengkategorian Pemangku Kepentingan 66 Hubungan antara Pemangku Kepentingan 71 7 MODAL SOSIAL MASYARAKAT DAN KAPABILITAS PEMERINTAH DALAM PENGELOLAAN TNDS 75 Unsur-unsur Pembentuk Modal Sosial Masyarakat 75 Kapabilitas Pemerintah dalam Pengelolaan TNDS 90 iv iv v

14 8 KEBIJAKAN PENGELOLAAN TNDS 96 Peraturan Perundangan Pengelolaan TNDS 96 Kewenangan Pengelolaan TNDS 103 Perkembangan Kebijakan Pengelolaan TNDS 104 Kebijakan Pengelolaan TNDS PILIHAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN TNDS 109 Mekanisme Insentif Jasa Ekosistem 110 Pelibatan Pemangku Kepentingan 113 Devolusi PengelolaanTNDS 121 Pilihan Kebijakan Pengelolaan TNDS SIMPULAN DAN SARAN 130 Simpulan 130 Saran 131 DAFTAR PUSTAKA 132 LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP 165

15 DAFTAR TABEL 1 Pergeseran paradigma pengelolaan kawasan konservasi 8 2 Tujuan penelitian, variabel, teknik pengumpulan dan sumber data 26 3 Jenis dan sumber data penunjang yang digunakan dalam penelitian 26 4 Metode dan macam nilai ekonomi yang dihitung 28 5 Ukuran kuantitatif terhadap kepentingan dan pengaruh pemangku kepentingan 29 6 Variabel, indikator dan kategori modal sosial 31 7 Variabel,indikator dan kategori kapabilitas pemerintah 32 8 Definisi operasional unsur-unsur indikator kapabilitas pemerintah 32 9 Jenis ikan yang umum ditangkap dan diperdagangkan dari perairan TNDS Hasil penjualan madu dari hasil tikung di TNDS melalui APDS Kondisi pemanfaatan air di TNDS Ringkasan hasil perhitungan nilai ekonomi total TNDS Ringkasan hasil perhitungan nilai ekonomi total TNDS tanpa nilai simpanan karbon Pemangku kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan TNDS Tingkat kepentingan pemangku kepentingan pada pengelolaan TNDS Tingkat pengaruh pemangku kepentingan pada pengelolaan TNDS Tingkat kepercayaan responden di TNDS Tingkat norma sosial responden di TNDS Tingkat jaringan sosial responden di TNDS Tingkat modal sosial masyarakat di dalam kawasan TNDS Tingkat karakteristik intrinsik pemerintah dalam pengelolaan TNDS Rekapitulasi sebaran pegawai Balai TNDS tahun Tingkat hubungan pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaan TNDS Tingkat kapabilitas pemerintah dalam pengelolaan TNDS Peraturan perundang-undangan terkait pengelolaan TNDS Point kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan TNDS Penilaian tingkat kekuatan pemangku kepentingan Strategi pengelolaan berdasarkan kekuatan dan pengaruh Luas wilayah kerja periau per zona di TNDS Pilihan pola pengelolaan TNDS 127 DAFTAR GAMBAR 1 Kategori nilai ekonomi lingkungan hutan tropis 12 2 Hubungan antara modal sosial dan kapabilitas pemerintah 19 3 Skema alur pemikiran penelitian 24 4 Matriks pengaruh dan kepentingan analisis pemangku kepentingan 29 5 Proses metodologi penelitian 34 6 Peta wilayah seksi pengelolaan 35 7 Profil dan tipe hutan di kawasan TNDS 36 8 Distribusi responden berdasarkan pendidikan formal 41

16 9 Distribusi responden berdasarkan mata pencaharian Klasifikasi jenis barang dan jasa yang dihasilkan oleh TNDS berdasarkan kegunaan dan pasar yang tersedia Produksi madu dari hasil tikung anggota periau di TNDS Data perkembangan jumlah pengunjung TNDS Biaya dan nilai manfaat ekonomi pengelolaan TNDS Nilai ekonomi TNDS berdasarkan penggunaannya Matriks kepentingan dan pengaruh pemangku kepentingan Matriks hubungan antara pemangku kepentingan Peta kerja periau yang ada di TNDS Jaringan sosial antara tengkulak dan nelayan di TNDS Diagram sebaran pegawai Balai TNDS berdasarkan pendidikan Peta rencana zonasi TNDS Hirarki kebijakan pengelolaan TNDS provinsi Kalimantan Barat Matriks kekuatan dan pengaruh pemangku kepentingan Posisi pemangku kepentingan berdasarkan pengaruh, kepentingan dan kekuatan Tahapan pengembangan mekanisme insentif Tumpang tindih rencana zonasi TNDS dengan wilayah kerja periau APDS 125 DAFTAR LAMPIRAN 1 Perhitungan nilai ekonomi perikanan tangkap Perhitungan nilai ekonomi karet Perhitungan nilai ekonomi padi ladang Perhitungan nilai ekonomi kayu bakar Perhitungan nilai ekonomi air rumah tangga Perhitungan nilai ekonomi air transportasi Perhitungan nilai ekonomi air untuk perikanan budidaya Perhitungan nilai ekonomi simpanan karbon Perhitungan nilai ekonomi nilai pilihan Aturan nelayan Pulau Majang Aturan pengelolaan sumberdaya alam di kampung Kedungkang Aturan periau APDS 157

17 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pengelolaan taman nasional (TN) di Indonesia masih menghadapi berbagai permasalahan yang mengancam kelestariannya. Masalah pengelolaan TN di Indonesia terkait erat dengan berbagai aspek seperti masalah kelembagaan, masalah kawasan, konflik kawasan serta rendahnya komitmen para pihak dalam mendukung keberhasilan kegiatan konservasi (Kementerian Kehutanan, 2011). Masalah pengelolaan yang berakar pada masalah kelembagaan ditemui di beberapa TN di Indonesia seperti di TN Komodo, TN Siberut, TN Tanjung Putting, TN Leuser; dan TN Boganani Nani Wartabone (Iskandar 1992; Soekmadi 2002; Wiratno et al. 2004). Sementara terkait permasalahan kawasan/alokasi ruang ditemui di TN Gunung Halimun Salak, TN Kelimutu, TN Batang Gadis, TN Lore Lindu, TN Gunung Merapi, TN Kayan Mentarang dan TN Wasur (Harada et al. 2001; Muda 2005; Ikhsan et al.2005; Golar 2007; Kuswijayanti et al. 2007; Kosmaryadi 2012). Pengelolaan TN tidak terlepas dari kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Berkaitan dengan kebijakan yang sudah diterapkan dalam pengelolaan TN mengacu pada Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 yang menyatakan sistem pengelolaan TN dilaksanakan oleh pemerintah dan dikelola dengan sistem zonasi. Sistem zonasi lebih mengatur hal yang bersifat teknis, padahal permasalahan pengelolaan di TN tidak semata masalah teknis saja. Tetapi juga menyangkut interaksi antara masyarakat yang ada di dalam kawasan misalnya menyangkut hak penguasaan (property right) dan pengelolaan sumberdaya alam, antara pemerintah dan masyarakat lokal (Padge et al. 2006; Telfer & Garde 2006; Golar 2007). Untuk mengakomodir sifat non teknis dan menyadari banyaknya kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan kawasan konservasi, serta sesuai dengan perubahan paradigma pembangunan kehutanan dan fungsi kawasan yang dilindungi, maka di TN diperkenalkan dan diterapkan pengelolaan kolaborasi (comanagement). Hal ini didukung dengan dikeluarkannya kebijakan berupa Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor P.19/Menhut-II/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Namun demikian, pendekatan yang digunakan masih dengan cara pandang bahwa masyarakat adalah sebagai obyek pengelolaan atau berperan sebagai partisipan dalam pencapaian tujuan konservasi formal. Pengelolaan kolaborasi semacam ini sudah diterapkan di beberapa TN, seperti TN Bunaken, TN Komodo dan TN Lore Lindu. Namun sampai saat ini pengelolaan kolaborasi (co-management) belum memberikan hasil yang memuaskan. Kendala utama yang dihadapi pada umumnya adalah lemahnya dukungan kebijakan pemerintah, lemahnya koordinasi, kapasitas sumberdaya manusia (SDM), keterbatasan sarana prasarana dan dana, dan adanya tekanan pihak luar, sehingga masih terus diuji cobakan dan dikembangkan (Purwanti 2008; Kassa 2009). Belum tuntas pengembangan pola pengelolaan kolaborasi, pada tahun 2006 dimunculkan kebijakan pengelolaan TN model. Ada 20 TN yang ditetapkan untuk menjadi TN mandiri. Namun sampai saat ini belum ditindaklanjuti dengan

18 2 pedoman pelaksanaannya, sehingga belum ada TN yang bisa mandiri. Kemudian dimunculkan kebijakan pengelolaan TN berbasis resort, mencontoh sistem pengelolaan hutan yang dilakukan oleh Perum Perhutani dalam bentuk Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi. Apapun kebijakan pengelolaan yang diterapkan, ternyata sampai saat ini pengelolaan oleh pemerintah belum menunjukkan hasil yang diharapkan dalam pembentukan TN yaitu kelestarian kawasan. Bila dikaji ternyata kebijakan pengelolaan sumberdaya alam yang diambil oleh pemerintah adalah menerapkan pendekatan yang seragam dimana satu kebijakan diterapkan untuk semua kondisi dan keadaan. Ini dirasakan tidak tepat, karena beda situasi, kondisi dan tempat tentunya memerlukan perlakuan dan kebijakan pengelolaan yang berbeda pula. Kondisi ini sangat berbeda bila dibandingkan dengan pengelolaan sumberdaya alam yang dilakukan oleh masyarakat di beberapa TN pada daerah kelola masing-masing yang sudah menunjukkan keberhasilannya (best practise). Sebagai contoh: sistem pengelolaan hutan di Pulau Wangi-wangi TN Laut Wakatobi (Arafah 2009), tata ruang masyarakat Sinduru di TN Lore Lindu (Andriani 2007 diacu dalam Pokja Kebijakan Konservasi 2008), konsep hutan rarangan di TN Batang Gadis (Ikhsan et al.2005), konsep keseimbangan alam pada masyarakat Malind-anim dan masyarakat Dayak di TN Kayan Mentarang (Kosmaryandi 2012). Lebih spesifik dalam pengelolaan hutan, kehutanan lokal mampu mewujudkan keseimbangan sosial, daya tahan ekonomi dan keberlanjutan fungsi lingkungan dan konservasi hutan (Darusman 2001; Anshari et al. 2005; Golar 2007; Arafah 2009). Hal ini menunjukkan masyarakat memiliki kemampuan yang perlu dipertimbangkan dalam berperanserta mengelola hutan/sumberdaya alam. Pengelolaan TN oleh pemerintah belum berjalan secara efektif, belum dapat memberikan kontribusi yang berarti untuk meningkatkan kehidupan masyarakat lokal. UU No 5 tahun 1990 sebagai UU pokok dalam pengelolaan TN, masih sangat konservatif, lebih berat kepada perlindungan sistem penyangga kehidupan serta pengawetan plasma nutfah. Sementara pengaturan aspek pemanfaatan belum mendapat perhatian yang cukup. Pola pengelolaan yang dominan pemerintah, tidak membuka peluang kerjasama atau pengelolaan oleh berbagai pemangku kepentingan terhadap TN. Kondisi ini menyebabkan terbatasnya peluang pemanfaatan potensi ekonomi TN bagi kesejahteraan masyarakat, serta meningkatkan beban negara untuk membiayai pengelolaan TN. Sementara itu sumberdaya pemerintah sangat terbatas, baik sumberdaya manusia maupun sumberdaya finansial, sehingga TN dianggap sebagai cost centre. Situasi tersebut terjadi juga di TN Danau Sentarum (TNDS) di Kalimantan Barat, menyusul ditetapkannya kawasan tersebut sebagai kawasan konservasi 1. Masyarakat dalam kawasan yang umumnya adalah nelayan dan periau 2 yang memanfaatkan dan mengelola danau, sungai dan hutan sebagai sumber mata 1 Kawasan Danau Sentarum ditunjuk sebagai kawasan konservasi awalnya sebagai Cagar Alam dengan luas 80 ha berdasarkan SK Dirjen Kehutanan No 2240/DJ/I/1981 tgl 15 Juni 1981; pada 12 Oktober 1982 berdasarkan SK Menteri Pertanian No 757/Kpts-II/Um/10/1982, status kawasan tsb ditetapkan sebagai Suaka Margasatwa; dan berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 34/Kpts-II/1999 tgl 4 Pebruari 1999, kawasan Danau sentarum ditetapkan sebagai Taman Nasional dengan luas ha. 2 Periau adalah petani madu tradisional di TNDS

19 pencaharian dan urat nadi perekonomian menjadi terbatas ruang geraknya. Keberadaan masyarakat dan aktivitas kehidupannya menjadi sesuatu hal yang salah atau illegal dalam kawasan konservasi, padahal mereka telah lebih dahulu ada, sebelum kawasan tersebut ditetapkan menjadi kawasan konservasi. Akibatnya aktivitas ekonomi terhambat dan kesejahteraan masyarakat terabaikan. Padahal, masyarakat dengan kelembagaan yang mereka miliki telah memiliki aturan, sanksi, nilai-nilai serta kepercayaan yang kuat dan dipatuhi di antara mereka dalam mengelola sumberdaya alam dan terbukti mampu menjaga kelestarian sumberdaya alam yang ada (Basuni 2003; Flint dan Liloff 2005; Pagde et al. 2006). Penetapan kawasan konservasi yang pengelolaannya dipegang oleh pemerintah dengan sistem zonasi, ternyata tidak menjadikan kawasan menjadi lebih baik. Dari berbagai hasil penelitian dan kajian, terbukti selalu ada konflik antara masyarakat dan pemerintah di dalam kawasan konservasi, yang berakibat juga terhadap kelestarian dan keberlanjutan kawasan tersebut. Penerapan pola pengelolaan TN oleh pemerintah sebagai state property regimes terbukti tidak mampu untuk mengelola sumberdaya alam secara optimal dan memunculkan berbagai permasalahan pengelolaan. Sebagai contoh di TNDS mengalami berbagai permasalahan pengelolaan yang mendasar yang berkaitan dengan kondisi biofisik TNDS dan yang berkenaan dengan pengelolaan. Bertambahnya penduduk dalam kawasan, masih adanya kegiatan penebangan, terjadinya konversi hutan, perubahan kualitas air, penurunan populasi ikan, terjadinya introduksi spesies eksotik, seringnya terjadi kebakaran lahan dan hutan, kegiatan perburuan liar, perubahan iklim global dan adanya rencana pembangunan bendungan merupakan permasalahan yang berkaitan dengan kondisi biofisik TNDS (Yuliani et al. 2007; Heri et al. 2010; Balai TNDS 2011). Sementara permasalahan dalam pengelolaan, Balai TNDS 2011 menyatakan masih lemahnya Rencana Pengelolaan (RP) yang dibuat baik dalam bentuk RPJP dan RPJM, selain itu antara RKL dan RKT seringkali tidak sinkron dan ini diakui sebagai kelemahan pusat dan daerah, kurangnya SDM, konflik pemanfaatan kawasan karena beberapa sebab (belum ditetapkannya zonasi, batas kawasan masih belum mantap, batas digugat pihak lain, pal batas hilang/dipindahkan/dirusak, dan atau tidak diakui masyarakat), konflik kontradiksi kebijakan (antara kebijakan pusat dan kebijakan daerah), perlengkapan yang belum memadai, lemahnya penegakan hukum, keterisolasian kawasan dan penelitian yang masih terbatas dilakukan. Berdasarkan latar belakang tersebut maka fokus penelitian ini mengkaji kembali kebijakan pengelolaan yang diterapkan oleh pemerintah dalam mengelola TN, khususnya mengenai pola pengelolaan yang diterapkan berupa state property regimes. Untuk memperoleh hasil yang lebih komprehensif, penelitian ini juga memasukkan aspek ekonomi dan sosial. Aspek ekonomi dilakukan melalui valuasi ekonomi, hal ini dikarenakan pengelolaan kawasan tidak terlepas dari kepentingan ekonomi dan mencari jalan keluar agar TN dapat mandiri. Sementara itu dari aspek sosial dilihat keterlibatan pemangku kepentingan dalam pengelolaan TNDS serta modal sosial dan kapabilitas pemerintah dalam pengelolaan TNDS. Oleh karena itu penelitian ini juga menggunakan konsep nilai ekonomi total untuk membahas nilai ekonomi yang dikandung TNDS; konsep pemangku kepentingan untuk membahas keterlibatan berbagai pihak dalam pengelolaaan TNDS; konsep 3

20 4 modal sosial untuk membahas modal sosial masyarakat dan konsep kapabilitas pemerintah untuk melihat kemampuan pemerintah dalam mengelola TNDS. Perumusan Masalah Seiring dengan terjadinya perubahan paradigma pengelolaan sumberdaya hutan yang memperhatikan masalah ekologis, ekonomi dan sosial, serta berjalannya desentralisasi dalam pengelolaan negara maka muncul berbagai permasalahan antara pemangku kepentingan dalam pengelolaan TNDS. Permasalahan pada sisi ekonomi ekologi adalah adanya kontradiksi antara fungsi TNDS yang memiliki manfaat ekonomi dan juga manfaat ekologi. Danau sentarum dari sisi ekologi berfungsi sebagai bendungan alam, sementara dari sisi ekonomi menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat dan sumber untuk memacu pendapatan asli daerah (PAD) bagi pemerintah daerah (Pemda) Kabupaten Kapuas Hulu. Kepentingan yang sama terhadap sumberdaya TNDS menimbulkan berbagai konflik, sehingga perlu diketahui nilai ekonomi manfaat kawasan untuk menjawab masalah ekonomi ekologi ini. Pada aspek sosial penetapan pengelolaan TNDS secara tunggal oleh pemerintah menyebabkan keberadaan masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya terabaikan. Kenyataannya masyarakat nelayan di TNDS di setiap kampungnya memiliki rukun nelayan, yaitu institusi yang mengatur pemanfaatan sumberdaya perikanan. Sementara masyarakat peladang juga memiliki aturan-aturan dalam pengelolaan SDA berupa lahan dan hutan. Masyarakat mengelola sumberdaya di TNDS sebagai sumberdaya bersama (common pool resources), dengan tetap mengakui hak-hak individu. Hak-hak untuk memanfaatkan SDA diputuskan melalui musyawarah, dan bersifat dinamis dan adaptif terhadap perubahan. Aturan-aturan tersebut terbukti sudah mampu untuk mengelola SDA yang ada, yang sebenarnya merupakan modal untuk pengelolaan yang berkelanjutan. Namun ada kesulitan dalam menjatuhkan sanksi adat karena aturan-aturan adat tersebut belum diakui secara resmi oleh pemerintah. Tanpa pengakuan pemerintah, aturan-aturan adat secara perlahan mengalami degradasi, dan menyebabkan melemahnya kemampuan masyarakat adat sebagai institusi untuk mengantisipasi perubahanperubahan akibat kemajuan teknologi dan pola hidup yang konsumtif. Lemahnya institusi adat akan berdampak terhadap tingkat pengelolaan SDA, yang kemungkinan mempercepat proses-proses tanpa aturan atau open access. Dari sisi kebijakan, pengelolaan TNDS lebih banyak mengacu pada kebijakan dari pusat. Sementara kedudukan TNDS di daerah dengan keberadaan penduduk di dalam kawasan sangat tergantung pada aturan-aturan di daerah. Kebijakan dari pusat lebih banyak mengatur hal-hal yang bersifat biofisik saja dan sangat sedikit memperhatikan masalah-masalah sosial yang ada di dalam kawasan. Padahal kenyataannya timbulnya masalah-masalah dalam pengelolaan SDA termasuk TN dikarenakan masalah sosial yang menyangkut interaksi antara manusia di dalam suatu kawasan. Berbagai keterbatasan kebijakan pusat yang menjadi acuan kerja Balai TNDS diduga sebagai penyebab lemahnya pengelolaan yang saat ini berjalan.

21 5 Dengan berbagai potensi dan permasalahan yang telah diuraikan, maka permasalahan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah pilihan kebijakan pengelolaan yang bagaimana yang harus diterapkan dalam pengelolaan TNDS agar pengelolaan menjadi efektif dan optimal? Pilihan kebijakan pengelolaan dalam penelitian ini akan didekati dengan melakukan pendugaan manfaat dan NET TNDS sebagai dasar dalam menentukan kebijakan pengelolaan dari sisi kepentingan ekonomi ekologi, modal sosial masyarakat dan kapabilitas pemerintah dalam pengelolaan yang kemudian dilakukan analisis bersama dengan kebijakan yang berjalan selama ini dalam membentuk pilihan kebijakan pengelolaan TNDS. Berdasarkan uraian diatas maka pertanyaan penelitian ini adalah: a) Berapa potensi nilai ekonomi total dari kawasan ekosistem TNDS?; b)bagaimana keterlibatan dan kedudukan pemangku kepentingan dalam pengelolaan di TNDS?; c) Bagaimana kondisi modal sosial dan kapabilitas pemerintah dalam pengelolaan TNDS; dan d) Kebijakan apa yang saat ini diterapkan pada pengelolaan TNDS sehingga masih menyebabkan tujuan dari pembentukan TNDS tidak tercapai? Tujuan Penelitian Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk merumuskan pilihan kebijakan pengelolaan TNDS melalui pendekatan ekonomi, sosial dan kebijakan. Tujuan umum dicapai melalui beberapa kajian dengan tujuan khusus, yaitu: 1 Menduga potensi nilai ekonomi total TNDS. 2 Menjelaskan pemangku kepentingan dalam pengelolaan TNDS. 3 Menguraikan modal sosial dan kapabilitas pemerintah dalam pengelolaan TNDS. 4 Mengkaji kebijakan dalam pengelolaan TNDS. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat pada aspek ilmu pengetahuan berupa pengayaan dalam metodologi penilaian sumberdaya alam, analisis pemangku kepentingan, kajian modal sosial, kajian kapabilitas pemerintah dan pengelolaan TN. Pada aspek praktis pengelolaan TN diharapkan dapat menjadi masukan bagi pembuat kebijakan untuk mengakui/melegalkan pemangku kepentingan dalam pengelolaan TN, menerapkan pola pengelolaan berdasarkan kondisi yang ada dan dalam pengelolaan TN didukung dengan kebijakan yang berbasis insentif dan kebijakan daerah (Peraturan Daerah). Novelty Pengelolaan kawasan konservasi sering mengalami kegagalan karena masih dikelola secara tunggal oleh pemerintah, menitikberatkan pengelolaan yang bersifat biofisik berdasarkan peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat. Penelitian ini mencoba menghasilkan pilihan kebijakan pengelolaan kawasan konservasi menggunakan analisis yang holistik dan terpadu dalam pengelolaan

22 6 kawasan konservasi, dengan menggunakan pendekatan ekonomi, sosial dan kebijakan. Dilakukan melalui penggalian manfaat dan pendugaan nilai ekonomi kawasan, menganalisis pemangku kepentingan, menggali modal sosial masyarakat yang tinggal di dalam kawasan, mengukur kapabilitas pemerintah serta analisa kebijakan yang berjalan saat ini untuk menghasilkan pilihan kebijakan pengelolaan kawasan konservasi yang optimal. Pilihan kebijakan pengelolaan kolaborasi, pemerintah dan masyarakat merupakan ragam pengelolaan yang diambil berdasarkan keadaan spesifik lokal, mensikronkan kepentingan pemerintah dan masyarakat, meminimalkan resistensi dan memaksimalkan sinergitas pemangku kepentingan diharapkan dapat diimplementasikan dalam mendukung pengelolaan kawasan konservasi yang berkelanjutan. 2 TINJAUAN PUSTAKA Pengelolaan Kawasan Konservasi Ada tiga perbedaan utama pengelolaan SDA, yaitu preservationist, conservationist, dan exploiter. Menurut preservationist, SDA sebanyak mungkin harus dilindungi dan dilestarikan tanpa ada kegiatan pembangunan, alam sebaiknya dibiarkan untuk mengatur dirinya. Sebaliknya bagi para exploiter, SDA dimanfaatkan sebagai sumber energi dan sumber ekonomi. Sedangkan paham konservasi berada pada kedua paham tersebut di atas, dimana konservasi menghendaki pemanfaatan SDA yang arif sesuai dengan tuntutan kelestarian tatanan ekosistem dan lingkungannya. Hal ini berarti perlu pendekatan ekologi dan ekonomi yang berimbang dalam pemanfaatan sumberdaya alam, sehingga dapat dikatakan conservationist mengembangkan advokasi pengelolaan dengan prinsip-prinsip kelestarian (Alikodra 2000). Dalam UU no.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, sistem pengelolaan TN dilaksanakan oleh pemerintah dan dikelola dengan sistem zonasi. Ada tiga zonasi dalam pengelolaan TN, yaitu : 1 Zona inti yaitu bagian kawasan TN yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apa pun oleh aktivitas manusia. 2 Zona pemanfaatan yaitu bagian dari kawasan TN yang dijadikan pusat rekreasi dan kunjungan wisata; dan 3 Zona lain diluar kedua zona tersebut karena fungsi dan kondisinya ditetapkan sebagai zona tertentu seperti zona rimba, zona pemanfaatan traditional, zona rehabilitasi, dan sebagainya. Dalam Permenhut No.56 tahun 2006 tentang Pedoman Zonasi TN disebutkan bahwa zonasi TN adalah suatu proses pengaturan ruang dalam TN menjadi zona-zona, yang mencakup kegiatan tahap persiapan, pengumpulan dan analisis data, penyusunan draft rancangan, rancangan zonasi, konsultasi publik, perancangan, tata batas, dan penetapan, dengan mempertimbangkan kajian-kajian dari aspek-aspek ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Adapun tujuan dari zonasi adalah untuk membatasi tipe-tipe habitat penting untuk perlindungan keanekaragaman hayati dan konservasi sumberdaya ekonomi.

23 7 Adanya zonasi diharapkan pemanfaatan SDA dapat dikontrol secara efektif guna mencapai sasaran dan tujuan dari suatu kawasan konservasi (Salm et al. 2000). Sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai, prinsip-prinsip yang harus diadopsi dalam pengelolaan TN adalah: prinsip kemantapan kawasan, kelestarian fungsi ekologi, kelestarian fungsi ekonomi sumberdaya, dan kelestarian fungsi sosial budaya. Prinsip-prinsip tersebut dijabarkan menjadi dimensi hasil yang kemudian dinyatakan sebagai kriteria kinerja pencapaian pengelolaan TN lestari (WWF 2006). Desentralisasi telah membawa implikasi dalam pengelolaan sumberdaya alam dimana masyarakat setempat dapat berpartisipasi aktif dalam proses pengelolaan kawasan konservasi. Perubahan paradigma pengelolaan kawasan konservasi (Tabel 1) terjadi setelah implementasi UU No.22 tahun 1999 (kemudian diganti dengan UU No.32 tahun 2004) tentang Pemerintahan Daerah. Sebenarnya proses desentralisasi telah dimulai pada awal tahun 1990-an ketika Dirjen PHKA mengadopsi konsep Integrated Conservation and Development Program (ICDP). Program ICDP didanai oleh USAID, Bank Dunia dan beberapa LSM internasional yang mengkaitkan program konservasi dengan pengembangan alternatif kegiatan ekonomi masyarakat sekitar kawasan dengan merangkul seluruh pemangku kepentingan dan mengakomodasi seluruh dimensi pembangunan yang menjadi tujuan bersama (Well et al. 1999). Konsep ICDP merupakan pendekatan pengelolaan secara multidisiplin yang mengaitkan pelestarian keanekaragaman hayati di kawasan lindung dengan pembangunan sosial ekonomi masyarakat setempat (Wiratno et al. 2004). Sebelumnya, konservasi dan pembangunan dianggap sebagai dua hal yang terpisah bahkan saling bertentangan. Konsep ini diterima dengan baik karena menawarkan pendekatan alternatif bagi pengelolaan kawasan lindung yang layak secara politis, dan memberi kontribusi bagi pencapaian tiga sasaran utama agenda pembangunan berkelanjutan yaitu konservasi keanekaragaman hayati yang efektif, peningkatan partisipasi masyarakat lokal dalam konservasi dan pembangunan, serta pengembangan ekonomi masyarakat miskin di pedesaan (Well et al. 1999; Wiratno et al. 2004). Hal ini disikapi pemerintah dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19 tahun 2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan KSA dan KPA. Co-management atau pengelolaan kolaboratif menurut Borrini-Feyerabend (2000) diartikan sebagai kesepakatan dua atau lebih pemangku kepentingan untuk membagi informasi, peran, fungsi dan tanggung jawab dalam suatu hubungaan dan mekanisme kemitraan (partnership) yang disetujui secara bersama. Comanagement dalam mengelola kawasan konservasi di Indonesia memang diperlukan, karena menyangkut kompleksnya sub-sistem ekologi, budaya, ekonomi dan politik dengan berkaitan berbagai isu dan keterlibatan banyak kelompok kepentingan dalam masing-masing subsistemnya. Kerjasama dari seluruh pemangku kepentingan dalam pengelolaan kawasan konservasi akan meringankan beban biaya yang dibutuhkan karena para pemangku kepentingan yang terkait akan saling bahu membahu menyumbangkan sumberdaya yang dimilikinya berupa pengetahuan, tenaga, informasi maupun pembiayaan.

24 8 Tabel 1 Pergeseran paradigma pengelolaan kawasan konservasi Topik Paradigma lama Paradigma baru Tujuan - Hanya untuk tujuan konservasi semata - Dibangun utamanya untuk perlindungan hidupan liar yang istimewa - Dikelola khusus untuk pengunjung wisatawan - Nilai utamanya : wild life - About protection - Mencakup tujuan konservasi dan ekonomi - Dikembangkan juga untuk alasan ilmiah, ekonomi dan budaya - Dikelola bersama masyarakat setempat - Mencakup juga nilai budaya dan wild life yang dilindungi - Also about restoration, rehabilitation and socio-economic purposes Pengelolaan - Oleh pemerintah pusat - Melibatkan para pihak yang Masyarakat setempat Cakupan pengelolaan Persepsi Teknik pengelolaan Pendanaan Kemampuan manajemen - Perencanaan dan pengelolaan memusuhi masyarakat setempat - Pengelolaan tanpa memperdulikan opini pendapat masyarakat - Dikembangkan terpisah - Dikelola seperti pulau biologi - Dipandang utamanya sebagai asset nasional (milik pemerintah) - Dipandang hanya untuk kepentingan nasional - Pengelolaan kawasan konservasi sebagai respon jangka pendek - Orientasi pengelolaan hanya difokuskan pada orientasi teknis - Dibayarkan hanya dari pajak (taxpayer) pemerintah - Dikelola oleh ilmuwan dan para ahli sumberdaya - Pemimpin ahli Sumber : dimodifikasi dari IUCN dalam Purwanti 2008 berkepentingan - Dikelola bersama, untuk dan dikelola oleh masyarakat setempat - Dikelola dengan mengakomodasi kepentingan masyarakat setempat - Direncanakan dan dikembang-kan sebagai bagian dari system nasional, regional dan internasional - dikembangkan dalam bentuk jaringan (Protected Area Network) merupakan koridor jalur hijau - Dipandang sebagai asset publik (milik masyarakat) - Dipandang juga sebagai kepentingan internasional - Pengelolaan diadaptasi menurut perspektif jangka panjang - Orientasi pengelolaan juga mempertimbangkan aspek politik - Dibiayai dari berbagai sumber keuangan yang memungkinkan (pemerintah, swasta, masyarakat nasional internasional) - Dikelola oleh multi-skilled individual - Dikembangkan dari kearifan lokal (local knowledge) Transformasi pola pengelolaan sumberdaya alam oleh masyarakat, pemerintah, swasta, dan kemudian kolaborasi antara pemerintah dengan masyarakat lokal agaknya merupakan tuntutan universal, yang berlaku bukan cuma di Indonesia. Di India telah terjadi empat tahap evolusi pola pengelolaan sumberdaya alam, khususnya hutan, dari kolonialisme, komersialisme, konservasi, dan sekarang kolaborasi, sementara di Nepal terjadi tiga tahap evolusi yakni privatisasi, nasionalisasi, dan populisme (David et al. 2003). Bahkan pergeseran

25 juga terjadi di beberapa bagian Amerika Serikat tempat asal muasal pengelolaan eksklusif kawasan konservasi yang mulai bergeser menuju co-management. Peranserta masyarakat yang meluas dan tidak sekedar simbolik ternyata menunjukkan hasil yang baik dimana produktifitas tercapai tanpa menyampingkan kepentingan kelestarian lingkungan dan eksistensi masyarakat sekitar. Pemerintah di Negara India dan Nepal, berkeyakinan bahwa masyarakat berkemampuan, memiliki pengetahuan, dan kearifan yang handal untuk mengelola sumberdaya alam secara produktif dan lestari. Kolaborasi dengan masyarakat adalah merupakan kebutuhan dan keharusan, karena tujuan produksi dan pelestarian dapat dicapai secara lebih efektif dan pada saat yang sama tercipta suatu mekanisme resolusi konflik yang interaktif dan dialogis (Means et al. 2002). Beberapa contoh co-management yang telah berhasil dilaksanakan dalam pengelolaan TN (disarikan dari Merrill dan Effendi 2001 dan Putro et al. 2012) diantaranya adalah: Co-management di TN Bunaken, Sulawesi Utara yang wadahnya dikenal dengan Dewan Pengelolaan TN Bunaken (DPTNB). Salah satu hasil rumusannya adalah penentuan tiket masuk TN Bunaken dan pendistribusian hasil pungutan tiket masuk tersebut yang diperkirakan sekitar Rp 750 juta per tahun. Pendistribusian tersebut yakni: 5 persen untuk dana pembangunan propinsi, 5 persen untuk pembiayaan pembangunan daerah-kota, 5 persen untuk pusat yang diperuntukkan untuk pembangunan KSDA dan ekosistemnya melalui Dephut cq. Ditjen PKA), dan 85 persen untuk dana pendukung pengelolaan TN Bunaken. Co-management di TN Kutai, Kalimantan Timur yang dikenal dengan Mitra Kutai, berhasil memberikan kontribusi bantuan keuangan bagi pengelolaan TN Kutai melalui rencana kerja tahunan senilai US$ US$ per tahun. Co-management di TN Kayan Mentarang, Kalimantan Timur, yang hingga saat ini merupakan satu-satunya TN yang secara legal dinyatakan sebagai TN Kolaboratif, dan mempresentasikan hubungan formal antara pemerintah dengan pemerintah kabupaten, serta perwakilan masyarakat adat dalam proses pengambilan kebijakannya. Implementasi pengelolaan kolaboratif TNKM adalah diperolehnya peta tata guna lahan 10 wilayah adat dan menjadi konsep awal zonasi, dilakukan devolusi pengelolaan kepada Badan Pengelola Tanah Ulen (BPTU), kesepakatan menyatukan zonasi versi negara dan versi masyarkat adat dan membangun kesepakatan mengenai tema pengelolaan TNKM. Co-management di TN Gunung Halimun Salak, Jawa Barat dalam pengusahaan ekowisata berbasis masyarakat. Kolaborasi antara Balai TNGHS dan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Warga Salutu dan Yayasan Ekowisata Halimun. Kolaborasi ini telah meningkatkan jumlah kunjungan ke TNGHS ± 4000 orang per tahun sehingga secara bertahap perekonomian masyarakat mengalami peningkatan. Distribusi pendapatan dari ekowisata Halimun diatur sebagai berikut: 20 persen manajemen KSM, 20 persen perawatan infrastruktur, 20 persen dana sosial, 10 persen promosi, 10 persen konservasi, 10 persen pendidikan KSM, dan 10 persen keamanan wilayah/lingkungan 9

26 10 Co-management di TN Bukit Duabelas, Jambi dalam usaha pelestarian kehidupan Orang Rimba. Sejak tahun 2002, LSM WARSI, Balai TNBD, dan BKSDA Jambi memfasilitasi pembentukan lembaga kemandirian Orang Rimba. Capaian yang diperoleh adalah hak wilayah hidup Orang Rimba seluas ha telah diakui, hompongan (bentuk penataan ruang dan alternatif pemanfaatan lahan berupa pembuatan agroforestri berbasis tanaman karet) sangat efektif untuk menahan tekanan perambahan dan menjadi sumber ekonomi orang rimba, dukungan riil dari pemda berupa pemberian fasilitas kartu sehat, bantuan bibit dan alat pertanian serta pembangunan wanatani untuk desa. Co-management di Great Barrier Reef Marine Park, Australia yang dikelola oleh badan otorita khusus dengan mempekerjakan ratusan orang dan memperoleh lebih dari 1 (satu) juta Dollar Australia setiap tahunnya. Dalam pengelolaan TN ini Kepala TN selalu berkonsultasi dengan kelompokkelompok yang berkepentingan termasuk masyarakat di sekitar TN yang kehidupannya tergantung dari sumberdaya TN tersebut. Selain itu workshop diantara para kelompok yang berkepentingan sering pula dilaksanakan untuk menyetujui keputusan pengelolaan yang spesifik seperti pengaturan peruntukan (zoning). Keberhasilan co-management tersebut akhirnya diikuti oleh Kakadu National Park dan Coburg National Park. Berdasarkan contoh co-management yang telah berhasil dilakukan tersebut, dapat diketahui bahwa pengelolaan kolaborasi tidak dapat mencakup semua aspek kegiatan di dalam TN, namun hanya terbatas untuk kegiatan-kegiatan tertentu. Berarti perlu dukungan bentuk pengelolaan lain agar dapat mengelola TN dengan efektif, bisa berupa pengelolaan oleh masyarakat, pemerintah maupun swasta. Desentralisasi pengelolaan kawasan konservasi merupakan kebijakan pemerintah untuk mengefektifkan dan mendekatkan pengelolaan SDA ke pemerintah daerah dan masyarakat. Implementasi dari UU No.32 tahun 2004 tentang Pemda telah membuat adanya misinterpretasi atas kewenangan yang diberikan dalam pemanfaatan SDA. Desentralisasi kewenangan kepada daerah bukan merupakan kesempatan untuk meningkatkan pendapatan daerah, namun harus dipandang sebagai pemberian hak dan kewajiban untuk dilaksanakan secara bertanggungjawab dan demi kepentingan masyarakat. Namun, peralihan sistem pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi tidak selamanya berjalan lurus mulus. Ketegangan hubungan pusat dan daerah terjadi akibat keengganan penyelenggara pemerintahan di tingkat pusat menyerahkan kewenangan kepada daerah dan egoisme kedaerahan yang berlebihan ditandai dengan terbitnya berbagai Peraturan Daerah (Perda) yang bertentangan dengan peraturan di atasnya. Hal ini mengakibatkan ketidakpastian hukum yang berpotensi memicu konflik antara pusat dan daerah serta antara kelompok masyarakat menyangkut hak mereka untuk mendapatkan manfaat, akses dan tanggung jawab atas SDA termasuk hutan (Nurrochmat et al. 2006). Fisher 2000 mendefinisikan desentralisasi sebagai pelimpahan fungsi-fungsi administratif dari (pemerintah) pusat kepada unit kerja yang lebih rendah, yang tidak melibatkan perubahan pada pada pengambilan keputusan atau melimpahkan kekuasan. Sementara Ribot 2002 menyatakan desentralisasi adalah suatu tindakan dimana pemerintah pusat menyerahkan sebagian wewenangnya kepada aktor atau institusi pada level di bawahnya, baik secara hirarki administratif-sektoral maupun

27 11 hirarki teritorial. Berarti dalam desentralisasi terjadi pelimpahan fungsi administratif dari pemerintah pusat kepada pemerintah provinsi, kabupaten sampai desa. Selanjutnya Nurrochmat 2006 mengkategorisasikan desentralisasi menjadi dekonsentrasi, delegasi, devolusi dan privatisasi. Devolusi merupakan penyerahan sebagian wewenang/kekuasaan (power) dari pemerintah pusat kepada otoritas di daerah atau kepada masyarakat. Menurut Suharjito 2009, devolusi memberikan kekuasaan kepada unit kerja yang lebih rendah untuk merencanakan tujuan, mengambil keputusan secara independen, bahkan melakukan tindakan di luar apa yang sudah dirancang oleh pemerintah pusat, bukan hanya melaksanakan kegiatan untuk mencapai tujuan yang sudah dirancang oleh pusat. Desentralisasi dan devolusi merupakan konsep yang menjadi perhatian dalam pengelolaan SDA karena kegagalan pengelolaan yang dilakukan pemerintah dan diharapkan menjadi angin segar dalam pelaksanaan pengelolaan SDA yang berkelanjutan. Konsep Nilai dan Penilaian Sumberdaya Alam Nilai (value) merupakan persepsi seseorang; yaitu harga yang diberikan oleh seseorang terhadap sesuatu pada suatu tempat dan waktu tertentu. Kegunaan, kepuasan, dan kesenangan merupakan istilah lainnya yang dapat diterima dan berkonotasi nilai atau harga. Ukuran harga ditentukan oleh waktu, barang, atau uang yang akan dikorbankan seseorang untuk memiliki atau menggunakan barang atau jasa yang diinginkannya. Penilaian adalah kegiatan yang berkaitan dengan pembangunan konsep dan metodologi untuk menduga nilai barang dan jasa (Davis dan Johnson 1987). Fauzi (2004) konsep nilai ekonomi bukan hanya menyangkut nilai pemanfaatan langsung dan tidak langsung semata, namun lebih luas dari itu. Di dalam konsep ekonomi menilai diartikan sebagai melakukan valuasi yang berhubungan dengan perubahan kesejahteraan masyarakat. Anna (2007) menyatakan pengertian nilai atau value bisa saja berbeda jika dipandang dari berbagai disiplin ilmu. Perbedaan mengenai konsepsi nilai tersebut tentu saja akan menyulitkan dalam memahami pentingnya suatu ekosistem. Oleh karenanya diperlukan suatu persepsi yang sama untuk penilaian ekosistem tersebut. Salah satu tolok ukur yang relatif mudah dan bisa dijadikan persepsi bersama antara berbagai disiplin ilmu tersebut adalah dengan memberikan price tag (harga) terhadap barang dan jasa yang dihasilkan dari sumberdaya dan lingkungan. Penilaian peranan ekosistem, termasuk kawasan hutan merupakan pekerjaan yang sangat kompleks, mencakup berbagai faktor yang berkaitan dengan nilai sosial dan politik. Menurut Munasinghe dan McNeely 1994, nilai suatu kawasan konservasi sangat tergantung pada aturan-aturan manajemen yang berlaku. Secara konseptual, nilai total suatu kawasan terdiri atas nilai penggunaan (NP) dan nilai non-penggunaan (NNP). Pembagian lebih lanjut mengenai nilai suatu kawasan menurut Munasinghe dan McNeely (1994) disajikan pada Gambar 1.

28 12 Nilai Ekonomi Total Nilai Penggunaan Nilai Non Penggunaan Nilai Penggunaan Langsung Nilai Penggunaan Tidak Langsung Nilai Nilai Nilai Pilihan Keberadaan Lain-lain Hasil yang dapat dikonsumsi secara langsung Keuntungan yang Bersifat Fungsional Nilai masa depan langsung maupun tak langsung Nilai pengetahuan dan keadaan yang lestari Makanan Fungsi ekologis Biodiversity Habitat Biomassa Pengendali banjir Konservasi habitat Spesies langka Rekreasi Perlindungan badai Kesehatan Kedapatan untuk dihitung (intangibility) Gambar 1 Kategori nilai ekonomi lingkungan hutan tropis (Munasinghe 1994 yang diadaptasi dari Pearce 1992) NET didasarkan atas penilaian preferensi manusia. Klasifikasi nilai menurut konsep NET terbagi atas nilai guna dan nilai bukan guna (nilai guna pasif). NET merupakan penjumlahan seluruh macam nilai guna, nilai pilihan dan nilai bukan guna (Pearce dan Turner 1990; Turner et al. 1994). Pearce dan Moran (1994) menyatakan bahwa nilai total tersebut tidak benarbenar total karena: (1) tidak mencakup keseluruhan nilai, kecuali nilai ekonomi, (2) banyak ahli ekologi menyatakan bahwa nilai ekonomi total belum mencakup semua nilai ekonomi karena ada beberapa fungsi ekologis dasar yang bersifat sinergis sehingga nilainya lebih besar dan nilai fungsi secara tunggal. Hal ini sebelumnya juga telah diungkapkan oleh Manan (1985) dari sudut rimbawan, bahwa hutan mempunyai fungsi serbaguna, paling tidak sebagai penghasil kayu, pengatur tata air, tempat berlindung dan tumbuh kehidupan liar, penghasil pakan, dan tempat rekreasi. Namun sangat sulit menetapkan batas-batas fungsi tersebut secara tegas karena adanya interaksi antara fungsi-fungsi tersebut. Walaupun sebenarnya hal ini sudah dicoba diminimalisir dengan melakukan penilaian dengan pendekatan sistem (Bahruni 2008). Penilaian sumberdaya hutan merupakan studi tentang metodologi dan konsep penentuan nilai dari sumberdaya hutan. Seperti telah dijelaskan di muka, langkah pertama untuk untuk memperoleh nilai dari sumberdaya hutan adalah dengan melakukan identifikasi terhadap berbagai jenis manfaat yang dihasilkan dari sumberdaya hutan. Keberadaan setiap jenis manfaat ini merupakan indikator adanya nilai yang m enjadi sasaran penilaian. Setiap indikator nilai (komponen sumberdaya hutan) ini dapat berupa barang hasil hutan, jasa dari fungsi ekosistem hutan maupun atribut yang melekat pada hutan

29 13 tersebut dalam hubungannya dengan sosial budaya masyarakat. Identifikasi manfaat dapat dilakukan dengan analisis fungsi yaitu menterjemahkan karakteristik ekosisitem ke dalam daftar barang dan jasa (De Groot et al. 2002). Ini berguna untuk melihat dan menentukan ketersediaan saat ini dan potensi ekosistem dalam konteks ekologi dan biofisik. Langkah kedua dalam penilaian sumberdaya hutan ini adalah melakukan identifikasi kondisi biofisik hutan dan sosial budaya masyarakat karena proses pembentukan nilai sumberdaya hutan berdasarkan pada persepsi individu/ masyarakat dan kualitas serta kuantitas komponen sumberdaya hutan tersebut. Langkah selanjutnya adalah melakukan penilaian sumberdaya hutan melalui proses penilaian biofisik dan sosial budaya yaitu kuantifikasi setiap indikator nilai berupa barang hasil hutan, jasa fungsi ekosistem hutan serta atribut hutan dalam kaitannya dengan budaya setempat. Atas dasar kuantifikasi indikator nilai tersebut dilakukan penilaian ekonomi manfaat hutan, berdasarkan metode penilaian tertentu pada setiap klasifikasi nilai. Menurut Pearce dan Moran (1994) pada umumnya metode penentuan nilai ekonomi sumber daya dapat dilakukan melalui dua pendekatan yang mencakup beberapa teknik, yaitu: pendekatan langsung dan pendekatan tidak langsung. Pendekatan langsung mencakup teknik-teknik yang mengupayakan memperoleh penilaian secara langsung dengan menggunakan percobaan dan survey. Teknik survey (kuesioner) terdiri atas dua tipe yaitu rangking (contingent ranking method) dan perolehan nilai, berupa kesediaan membayar (willingnes to pay, WTP) dan kesediaan untuk menerima kompensasi (willingness to accept, WTA). Konsep dasar bagi semua teknik penilaian ekonomi adalah kesediaan membayar dari individu untuk sumber daya alam atau jasa lingkungan yang diperolehnya (Pearce dan Moran 1994; Munasinghe 1994; Hufschmidt et al. 1983) atau kesediaan untuk menerima kompensasi akibat adanya kerusakan lingkungan di sekitarnya (Pearce dan Moran 1994; Hufschmidt et a.l 1983). Kesediaan membayar atau menerima, merefleksikan preferensi individu terhadap perubahan suatu lingkungan dari keadaan awal (Q 0 ) menjadi kondisi lingkungan yang lebih baik (Q 1 ). Kesediaan membayar tersebut dapat dinyatakan dalam bentuk fungsi sebagai berikut (Pearce dan Moran 1994): WTP i = f (Q 1 Q 0 P own, P sub,i, S i, E i ) Dimana: WTP i = kesediaan membayar rumah tangga ke-i P own = harga dari penggunaan sumber daya lingkungan P sub = harga substitusi untuk penggunaan sumber daya lingkungan S i = karakteristik sosial ekonomi rumah tangga ke-i = galat acak E i Kesediaan seseorang untuk membayar sejumlah barang menggambarkan manfaat marginal pada tingkat konsumsi tersebut. Dengan melihat jumlah yang dikonsumsi dan kesediaan membayar maka dapat dibuat kurva fungsi manfaat marginal barang atau jasa tersebut. Metode valuasi ekonomi seperti penilaian kontingensi, biaya perjalanan dan harga hedonis telah digunakan secara luas di beberapa tahun terakhir untuk mengevaluasi manfaat publik dari proyek-proyek kehutanan, di seluruh negara maju (Willis dan Garrod 1992; Hanley dan Ruffell 1993; Adamowicz et al. 1996).

30 14 Metode kontingensi adalah yang paling populer dimana responden disurvei dan diminta kesediaan mereka untuk membayar (WTP), untuk perbaikan lingkungan atau untuk mencegah beberapa bentuk degradasi lingkungan (Mitchell dan Carson, 1989), yang kemudian disisipkan ke dalam kebijakan lingkungan. Meskipun popularitas dan pengaruh penilaian kontingensi telah masuk dalam penentuan kebijakan kehutanan, perdebatan terus berlangsung sekitar teknis dan desain aspek metode. Keprihatinan mendasar lainnya yang berkaitan dengan bagaimana individu berpikir tentang lingkungan, dan kebutuhan untuk pendekatan yang berkelanjutan untuk pengambilan keputusan juga menyarankan bahwa penilaian kontingensi mungkin tidak dapat mengatasi beberapa kebutuhan evaluasi kehutanan modern. Sebagai upaya meminimalisir masalah tersebut dicari alternatif dan metode pelengkap untuk meningkatkan evaluasi kebijakan lingkungan. Sagoff (1998), menyatakan bahwa pendekatan konstruktif, deliberatif dan diskursif bisa menyelesaikan masalah teknis yang rumit seperti yang terdapat dalam metode penilaian kontingensi. Sagoff (1998) menyarankan pembentukan Citizen Jury atau Konsensus Warga yang menekankan metode diskusi informasi, menuju konsensus berdasarkan kepentingan umum mungkin sangat berguna sebagai alternatif atau pelengkap penilaian kontingensi. Tonn et al. (1993) menyoroti topik khusus sebagai sarana untuk meningkatkan kredibilitas yang ada pada teknik penilaian lingkungan. Berkenaan dengan urgensi penilaian, Nurrochmat (2006) mengemukakan bahwa penilaian SDH berguna sebagai dasar: (1) penyusunan Neraca SDH; (2) pembelian, penjualan, sewa, lelang lahan dan tegakan hutan; (3) peminjaman modal atau kredit, (4) ganti rugi kerusakan hutan (kebakaran, pencemaran lingkungan, dsb); (5) perencanaan dan studi kelayakan investasi publik dan privat dalam pengelolaan SDH; (6) penentuan pilihan tujuan pengelolaan ekosistem hutan pada setiap fungsi hutan; dan (7) perhitungan tariff (dana reboisasi, kompensasi, jaminan kerja, dsb). Hasil penilaian yang dilakukan memberikan gambaran manfaat yang dihasilkan kawasan, namun masih bersifat potensi. Untuk menjadikan nilai ini menjadi nyata dan dapat menjadikan kawasan mandiri dalam hal pembiayaan maka perlu mekanisme pembiayaan. Powell et al. (2002) dan Landell-Mills dan Porras (2002) menyajikan tiga tipologi mekanisme pembiayaan sesuai dengan tingkat intervensi dan keterlibatan pemerintah, yaitu: skema penawaran swasta (self-organized), skema perdagangan dan skema pembayaran publik. Sementara itu IUCN (2000) dan De Groot et al. (2007) mengusulkan klasifikasi mekanisme pembiayaan berdasarkan sumber-sumber keuangan, yaitu: internasional, nasional, dan lokal (site). Kemungkinan lain untuk mengklasifikasikan mekanisme pembiayaan sesuai dengan jenis layanan yang diberikan ekosistem (Verweij, 2002). Konsep Pemangku Kepentingan Pemangku kepentingan merupakan orang dengan suatu kepentingan atau perhatian pada permasalahan (Fletcher et al. 2003), yang diidentifikasi dengan pertimbangan tertentu, yaitu dari posisi penting dan pengaruh yang mereka miliki. Pemangku kepentingan mencakup semua aktor atau kelompok yang

31 mempengaruhi dan/atau dipengaruhi oleh kebijakan, keputusan dan tindakan dari sebuah proyek. Pemangku kepentingan juga mencakup kategori yang lebih samar dari generasi masa depan, ketertarikan nasional, dan masyarakat yang lebih luas. Pemangku kepentingan menyajikan suatu sistem dengan tujuan, sumber dan sensitivitas yang berasal dari mereka sendiri. Selanjutnya Fletcher et al mengelompokkan pemangku kepentingan ke dalam beberapa kelompok, yaitu pemangku kepentingan primer (utama), pemangku kepentingan sekunder (pendukung), dan pemangku kepentingan kunci. Sementara Reed et al mengelompokkan pemangku kepentingan berdasar pengaruh dan kepentingannya sebagai key players, context setter, subjects, dan crowd. Key player merupakan pemangku kepentingan yang aktif karena memiliki kepentingan dan pengaruh yang tinggi terhadap pengembangan suatu kegiatan. Context setter memiliki pengaruh yang tinggi tetapi sedikit kepentingan, oleh karenanya dapat menjadi resiko yang signifikan untuk harus dipantau. Subjects memiliki kepentingan yang tinggi tetapi pengaruhnya rendah walaupun mendukung kegiatan, kapasitasnya terhadap dampak mungkin tidak ada, namun dapat menjadi pengaruh jika membentuk aliansi dengan pemangku kepentingan lainnya. Crowd merupakan pemangku kepentingan yang memiliki sedikit kepentingan dan pengaruh terhadap hasil yang diinginkan dan hal ini menjadi pertimbangan mengikutsertakannya dalam pengambilan keputusan. Pengaruh (influence) merujuk pada kekuatan (power) yang dimiliki pemangku kepentingan untuk mengontrol proses dan hasil dari suatu keputusan. Kepentingan (importance) merujuk pada kebutuhan pemangku kepentingan dalam pencapaian output dan tujuan. Pengaruh dan kepentingan akan mengalami perubahan dari waktu ke waktu, sehingga perlu menjadi bahan pertimbangan. Dalam suatu kegiatan/proyek/pengelolaan selalu terdapat banyak pemangku kepentingan. Bagaimana model pelibatan pemangku kepentingan selanjutnya harus dilihat lagi dengan kemampuan dari para pemangku kepentingan untuk saling mempengaruhi. Hal ini dapat dilakukan berdasarkan konsep pengaruh dari Yukl (1994) yang menyatakan bahwa keberhasilan suatu kebijakan pengelolaan ditentukan oleh kemampuan saling mempengaruhi di antara pemangku kepentingan yang terkait. Dimana key players harus optimal, terutama dalam memanfaatkan pengaruh yang dimiliki oleh kelompok context setter. Besar kecilnya pengaruh pemangku kepentingan tergantung pada kekuatan yang dimilikinya. Yukl (1994) mengacu pada French & Raven (1959) membagi kekuatan dalam lima kategori berdasarkan sumber-sumbernya yaitu: reward power, coercive power, legitimate power, expert power dan referent power. Reward power di mana orang yang ditargetkan menjadi patuh agar dapat memperoleh imbalan (reward) yang diyakini dimiliki oleh agen. Coercive power di mana orang yang ditargetkan menjadi patuh agar dapat menghindari hukuman yang diyakini dimiliki oleh agen. Legitimate power di mana orang yang ditargetkan menjadi patuh karena percaya bahwa agen tersebut mempunyai hak untuk meminta dan orang yang ditargetkan mempunyai kewajiban untuk mematuhinya. Expert power di mana orang yang ditargetkan menjadi patuh karena percaya bahwa agen tersebut mempunyai pengetahuan mengenai cara terbaik untuk melakukan sesuatu. Referent power orang yang ditargetkan menjadi patuh karena ia mengagumi dan mengidentifikasi dirinya dengan agen tersebut dan ingin memperoleh penerimaan dari agen. 15

32 16 Konsep Modal Sosial dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Putnam et al merumuskan konsep modal sosial sebagai semua elemen organisasi sosial seperti kepercayaan, norma-norma, dan jaringan, yang meningkatkan efisiensi masyarakat dengan memperlancar tindakan terkoordinasi. Tetapi Putnam 1993 kemudian merincinya lebih jauh sebagai seperangkat nilai-nilai, norma-norma, kepercayaan yang mempermudah masyarakat bekerja sama secara efektif dan terkoordinasi untuk mencapai tujuantujuannya. Definisi modal sosial yang dikemukan Putnam (1993) ini adalah berdasarkan fungsinya seperti juga Coleman (1988) dan Uphoff (1999). Coleman (1998) mendefinisikan modal sosial berdasarkan fungsinya, bukanlah suatu entitas tunggal tetapi terdiri dari sejumlah entitas dengan dua elemen yang sama yaitu: semua terdiri dari aspek struktur-struktur sosial dan memfasilitasi tindakan-tindakan antara orang perorang dalam struktur. Sementara Uphoff (1999) merinci modal sosial menjadi dua kategori yaitu bentuk struktural dan kognitif. Penelitian ini akan menggunakan konsep modal sosial dari Putnam (1993) karena penelitian ini lebih menitik beratkan pada kegiatan ekonomi dan pengelolaan sumberdaya alam. Putnam (1993) mendefinisikan kepercayaan sebagai bentuk keinginan untuk mengambil resiko dalam hubungan-hubungan sosial yang didasari oleh perasaan yakin, bahwa yang lain akan melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam suatu pola tindakan saling mendukung. Tindakan saling mendukung disini diartikan paling tidak yang lain tidak akan bertindak merugikan diri dan kelompoknya (Putnam 1993). Kepercayaan sosial timbul dari kepercayaan yang timbul dan berkembang diantara individu-individu (Putnam et al. 1993). Kepercayaan sosial dapat mempengaruhi tahap awal kebijakan sumberdaya alam. Hal ini berkaitan dengan kecenderungan individu untuk bertindak secara kolektif (Putnam et al. 1993) dan tingkat untuk bekerjasama secara sukarela yang dikembangkan antara mereka (Gachter et al. 2004). Berkaitan dengan sumberdaya alam, kepercayaan sosial mempengaruhi perilaku individu karena mengarah pada tindakan terhadap barang milik bersama (common good). Warga masyarakat dipengaruhi oleh persepsi mereka tentang pandangan umum terhadap kegiatan lingkungan yang ada dalam komunitas mereka (Lubell, 2002) dan tingkat kerjasama antar individu untuk penyelesaian masalah kolektif (Bowles dan Gintis, 2002). Norma sosial mengacu pada aturan formal dan informal dalam pemanfaatan barang milik bersama dan akan memfasilitasi tindakan kolektif (Putnam et al. 1993; Narayan dan Cassidy 2001). Norma sosial dan nilai-nilai dapat dianggap sebagai regulator untuk apa yang dianggap sebagai benar dan salah dalam masyarakat (Coleman 1990) yang dapat mempengaruhi perilaku individu (Agrawal dan Gibson 1999). Dalam konteks kebijakan lingkungan, norma sosial dapat mempengaruhi sikap terhadap lingkungan sampai batas tertentu bahkan menyebabkan perilaku terhadap lingkungan (Miller & Buys 2008). Asumsi ini juga berhubungan dengan dampak negatif modal sosial terhadap anggota masyarakat atau kelompok masyarakat (Portes 1998; Putnam 2000). Selain itu, persepsi tertentu mungkin bertentangan dengan bukti ilmiah tentang masalah degradasi lingkungan (Pretty 2003) sehingga menghalangi pemahaman masalah lingkungan dari masyarakat dan konsekuensinya untuk diperkenalkan dalam agenda kebijakan.

33 Jaringan sosial dapat dibagi pada hubungan formal (misalnya, partisipasi dalam organisasi) dan informal (misalnya, jaringan hubungan dengan keluarga dan teman) dengan pendiri juga termasuk partisipasi masyarakat (Beugelsdijk & Schaik 2005; Grootaert & van Bastelaer 2002). Jaringan sosial terjadi berkat adanya keterkaitan antara individu dalam komunitas. Keterkaitan terwujud di dalam beragam tipe kelompok pada tingkat lokal maupun tingkat lebih tinggi. Jaringan hubungan sosial biasanya akan diwarnai oleh suatu tipologi khas sejalan dengan karakteristik dan orientasi kelompok. Pada kelompok sosial yang biasanya terbentuk secara tradisional atas dasar kesamaan garis keturunan (liniage), pengalaman-pengalaman sosial turun temurun (repeated social experiences), dan kesamaan kepercayaan pada dimensi Ketuhanan (religious belief) cenderung memiliki kohesifitas yang tinggi, tetapi rentang jaringan maupun trust yang terbangun sangat sempit. Sebaliknya, pada kelompok yang dibangun atas dasar kesamaan orientasi dan tujuan dengan ciri pengelolaan organisasi yang lebih modern akan memiliki tingkat partisipasi anggota yang lebih baik dan memiliki rentang jaringan yang lebih luas. Grootaert et al. (2003) menyatakan bahwa hubungan atau jaringan sosial sebagaimana yang dijelaskan dalam modal sosial dapat dibedakan menjadi tiga hal: Bonding social capital (atau keterkaitan horisontal); Bridging social capital (atau keterkaitan horisontal dengan pihak yang berbeda karakter); dan Linking social capital (atau keterkaitan vertikal). Modal sosial melekat dalam asosiasi-asosiasi horizontal yang memiliki efek pada produktifitas komunitas, terciri pada jaringan-jaringan kelompok warga dan norma-norma sosial. Asumsinya, jaringan-jaringan dan norma-norma terasosiasi secara empiris dan berkonsekuensi penting memperlancar koordinasi, dan kerjasama untuk memperoleh manfaat mutual di antara anggota-anggota asosiasi itu. Putnam 1995 mendefinisikan modal sosial sebagai the collective value of all social networks and the inclinations that arise from these networks to do things for each other. Putnam percaya modal sosial dapat diukur dari besarnya kepercayaan dan timbal balik dalam suatu masyarakat atau di antara individuindividu. Pengelolaan sumberdaya alam oleh masyarakat atau komunal muncul ketika terdapat kesepakatan pemanfaatan bersama di antara anggotanya. Kesepakatan ini bisa terjadi karena terdapat interaksi secara regular dan berkesinambungan antara anggota masyarakat dalam pemanfaatan sumber daya. Salah satu hal yang terpenting adalah bahwa aksi bersama hanya dimungkinkan jika sejumlah modal sosial tersedia di dalam suatu komunitas (Grootaert et al. 2003). Isham (2000) menganalisis potensi pengaruh modal sosial terhadap perikanan, yang dapat terjadi melalui dua mekanisme, yaitu: biaya transaksi (transaction cost) dan aksi bersama (collective action). Interaksi sosial sesungguhnya dapat mempengaruhi besarnya biaya transaksi dalam pertukaran, ketika pelaku ekonomi terus menerus dan secara regular berinteraksi dalam suatu kondisi sosial tertentu, mereka akan membentuk suatu pola perilaku dan membangun ikatan kepercayaan. Ditambah lagi jika terdapat kemungkinan pengenaan sanksi, maka interaksi ini bisa menurunkan kemungkinan perilaku oportunistik dari pelaku ekonomi yang berada dalam struktur sosial yang sama. Olson (1965) menyatakan bahwa tanpa adanya kendala tertentu yang mendorong ataupun memaksa pelaku ekonomi, maka pelaku ekonomi tidak akan memiliki insentif untuk berpartisipasi dalam aksi bersama untuk mencapai tujuan bersama. 17

34 18 Interaksi secara regular dalam suatu kondisi sosial dapat mengarah kepada pembentukan institusi yang dapat berfungsi sebagai kendala, sehingga dapat menurunkan insentif bagi pelaku ekonomi untuk menjadi penumpang bebas (free rider). Modal sosial atau khususnya jaringan, sesungguhnya menghasilkan eksternalitas. Dilihat dari eksternalitas yang dihasilkan, terdapat dua perspektif dalam memandang modal sosial (Birner & Wittmer 2000): 1 Perspektif aktor, yang diformulasikan oleh Bourdieu (1992), di mana modal sosial merupakan sumber daya yang dapat dimobilisasi oleh aktor individual karena keanggotaannya pada suatu jaringan eksklusif. Karena pembentukan jaringan menghasilkan eksternalitas terbatas, maka Dasgupta (2002) menyatakan bahwa modal sosial semacam ini merupakan aspek dari sumber daya manusia (human capital). 2 Perspektif masyarakat (society), seperti penelitian yang dilakukan oleh Putnam (1993), di mana modal sosial adalah barang publik (public good) yang dimiliki oleh organisasi dan jaringan horisontal dalam suatu masyarakat (Rosyadi et al. 2003). Dalam hal ini, modal sosial berkontribusi terhadap eksternalitas publik, dalam arti memberi dampak luas, maka modal sosial merupakan komponen total faktor produktivitas (total factor productivity) (Dasgupta 2002). Analisis modal sosial dapat digunakan dalam mengatasi permasalahan pemanfaatan SDA, modal sosial dapat berkontribusi pada pola pemanfaatan agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi penggunanya, seperti pencemaran dan/atau produksi yang berlebih. Hasil penelitian mengenai modal sosial dalam pengelolaan sumberdaya perikanan (Prasetiamartati et al. 2007) membuktikan bahwa modal sosial input yaitu rasa percaya dan modal sosial output berupa aksi bersama terbukti dapat mendukung pengelolaan perikanan yang berkelanjutan melalui aksi bersama pelarangan kegiatan penangkapan ikan yang merusak. Penelitian Suharjito dan Saputro (2006) menunjukkan bahwa modal sosial masyarakat Kasepuhan, Banten Kidul tergolong cukup kuat dalam pengelolaan sumberdaya pertanian-kehutanan yang diukur dari unsur-unsur modal sosial berupa kepercayaan (trust), aturan (rules) dan peranan (roles), dan jejaring sosial (social networks). Modal sosial ini dikombinasikan dengan modal manusia (human capital), modal sumberdaya alam (natural resources capital) dan teknologi dapat mewujudkan pengelolaan sumberdaya alam (termasuk hutan) yang produktif, adil, dan berkelanjutan. Hutan kemiri di Kabupaten Maros terbangun sebagai wujud dari keterkaitan modal sosial mikro dan modal sosial makro dalam bentuk saling percaya (mutual trust) dan jaringan (networking) secara bersama-sama melahirkan tindakan terkoordinasi membangun hutan kemiri. Dominasi modal sosial mikro (pengakuan masyarakat terhadap hak penguasaan lahan) dalam pengelolaan hutan kemiri sangat kuat menyebabkan masyarakat secara berkelompok membangun hutan kemiri (Suyuti 2007). Dalam kawasan konservasi di Indonesia juga ditemukan bahwa modal sosial masyarakat memberikan pengaruh yang positif dalam memanfaatkan dan mengelola sumber daya hutan secara lestari (Purnama 2005; Harada et al. 2001; Manembu 1991; Prabandani 2001; Mulyani 1997; Fazriyas 1998; Muda 2005; Aliadi dan Kaswinto 2003; Andriani 2007 dalam Pokja Kebijakan Konservasi 2008 ).

35 19 Berdasarkan pemahaman tersebut maka modal sosial dalam masyarakat dapat digunakan untuk menentukan pola pengelolaan sumberdaya ataupun dapat digunakan untuk menentukan aktor yang tepat dalam pengelolaan sumberdaya. Birner dan Wittmer 2000; Nurrochmat 2005, menggunakan modal sosial dan kapabilitas pemerintah dalam menentukan pola pengelolaan hutan. Dalam model tersebut dapat tentukan bahwa pengelola suatu kawasan dapat diberikan kepada pemerintah, swasta, masyarakat atau kolaborasi antara pemerintah dengan masyarakat. Adapun gambar pola pengelolaan hutan berdasarkan modal sosial dan kapabilitas pemerintah adalah sebagai berikut: Kapabilitas Pemerintah Lemah Kuat Lemah Private State Own Modal sosial Kuat CBFM Co- Management Gambar 2 Hubungan antara modal sosial dan kapabilitas pemerintah (Sumber: Birner & Wittmer 2000; Nurrochmat 2005). Konsep Kapabilitas Pemerintah Kapabilitas sering digunakan sebagai sinonim dari konsep power (kekuasaan). Tetapi kapabilitas dapat diartikan juga sebagai atribut-atribut negara/bangsa (atau aktor-aktor politik lainnya) yang nyata terlihat dan yang tidak nyata terlihat sehingga para aktor mampu melakukan berbagai tingkat kekuasaan. Definisi kapabilitas dalam diartikan sebagai bakat atau kemampuan yang memiliki potensi untuk digunakan atau dikembangkan. Sementara Winarno 2009 menyatakan bahwa kapabilitas adalah kemampuan untuk melakukan dan mempromosikan tindakan-tindakan kolektif secara efisien. Jadi kapabilitas adalah kemampuan untuk menyempurnakan tindakan. Dalam penelitian ini kapabilitas pemerintah dapat diartikan sebagai kapasitas negara untuk menggunakan sumberdaya yang diintegrasikan dengan tujuan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Kapabilitas memampukan negara untuk menciptakan dan mengeksploitasi peluang-peluang eksternal serta mengembangkan keunggulan yang berdaya tahan.

36 20 Konsep Kebijakan dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Kebijakan adalah prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk mengarahkan pengambilan keputusan (Suharto 2005). Menurut Ealau dan Prewitt 1973 dalam Suharto 2005, kebijakan adalah sebuah ketetapan yang berlaku yang dicirikan oleh perilaku yang konsisten dan berulang, baik dari yang membuatnya maupun yang mentaatinya (yang terkena kebijakan itu). Titmuss 1974 dalam Suharto 2005 mendefinisikan kebijakan sebagai prinsip-prinsip yang mengatur tindakan yang diarahkan kepada tujuan tertentu, karena itu kebijakan, senantiasa berorientasi kepada masalah (problem-oriented) dan berorientasi kepada tindakan (action-oriented). Berdasarkan definisi-definisi mengenai kebijakan di atas, maka kebijakan merupakan suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu. Kebijakan adalah sebuah instrumen pemerintahan, tidak saja dalam arti government (hanya menyangkut aparatur negara), melainkan pula governance yang menyentuh berbagai kelembagaan, baik swasta, dunia usaha maupun masyarakat madani (civil society) (Suharto 2007). Lebih lanjut dinyatakan kebijakan pada intinya merupakan keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan tindakan yang secara langsung mengatur pengelolaan dan pendistribusian SDA, finansial dan manusia demi kepentingan publik. Suatu kebijakan terhadap sumberdaya alam dan lingkungan yang bertanggung jawab terhadap generasi saat ini maupun generasi yang akan datang terdiri dari satu himpunan peraturan serta tindakan yang berhubungan dengan penggunaan sumberdaya alam dan lingkungan yang membuat perekonomian bekerja efisien serta bertahan dalam waktu yang tak terbatas (Suparmoko 2008). Kebijakan yang bertanggungjawab tidak menurunkan pola konsumsi agregat dan tidak membiarkan lingkungan fisik yang rusak, maupun tidak menimbulkan resiko yang besar bagi generasi yang akan datang, tetapi justru akan membuat generasi yang akan datang sejahtera. Faktor-faktor utama yang mempengaruhi tersedianya sumberdaya alam di masa datang dapat dikelompokkan menjadi tiga macam yaitu faktor teknologi, faktor permintaan dan gaya hidup serta faktor kelembagaan dan pemerataan (Suparmoko 2008). Menurut Dunn 1998, analisis kebijakan adalah sebuah disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan pelbagai metode penelitian dan argument untuk menghasilkan dan memindahkan informasi yang relevan dengan kebijakan sehingga dapat dimanfaatkan di tingkat politik dalam rangka memecahkan masalah-masalah kebijakan. Ruang lingkup dan metode-metode analisis sebagian bersifat deskriptif dan informasi yang nyata mengenai sebab dan akibat kebijakan. Lebih lanjut Dunn 1998 menyatakan bila dilihat dari sisi pendekatannya maka ada tiga pendekatan dalam analisis kebijakan yaitu: 1) pendekatan empiris; 2) pendekatan evaluatif dan 3) pendekatan normatif. Kebijakan adalah dasar bagi pelaksanaan kegiatan atau pengambilan keputusan. Proses pengambilan keputusan pada hakekatnya adalah memilih suatu alternatif. Salah satu faktor yang menyebabkan sulitnya mengambil keputusan (kebijakan) adalah sulitnya memperoleh informasi yang cukup serta bukti-bukti yang sulit disimpulkan. Menurut Dunn 1998, ada lima tipe informasi yang dapat dihasilkan dari analisis kebijakan yakni: masalah kebijakan, masa depan

37 kebijakan, aksi kebijakan, hasil kebijakan dan kinerja kebijakan. Kelima tipe informasi tersebut dihasilkan dari lima kegiatan analisis kebijakan yang meliputi: perumusan masalah kebijakan, peramalan masa depan kebijakan, perancangan kebijakan (rekomendasi), pemantauan hasil kebijakan dan penilaian kinerja kebijakan. Menurut Tietenberg 1992, ada tiga instrumen kebijakan yang dapat digunakan dalam menangani masalah lingkungan yakni: 1) pendekatan negoisasi langsung antara pihak-pihak yang terlibat; 2) pendekatan perintah dan pengendalian; dan 3) pendekatan mekanisme pasar. Selanjutnya dinyatakan bahwa tidak ada satu pendekatan yang dapat digunakan untuk segala macam situasi, karena masing-masing pendekatan tersebut sesuai untuk suatu masalah tapi tidak sesuai untuk masalah yang lain. Selanjutnya dinyatakan bahwa pendekatan negosiasi sesuai digunakan bila pihak-pihak yang terlibat relatif sedikit, sehingga negoisasi dapat berlangsung efisien. Pendekatan perintah dan pengendalian yaitu pemerintah mengeluarkan perintah atau aturan yang harus dilaksanakan untuk menghindari kemungkinan terjadinya degradasi/kerusakan SDA dan lingkungan, selanjutnya pemerintah melakukan pengendalian guna memastikan apakah ketentuan atau aturan yang telah diberlakukan dilaksanakan atau tidak oleh masyarakat, jika tidak maka akan dapat diberikan sangsi hukum kepada setiap pelanggar. Pendekatan mekanisme pasar saat ini mendapat perhatian yang serius baik oleh praktisi lingkungan maupun pengambil kebijakan. Pendekatan ini lebih murah biayanya dan hasilnya efektif. Pendekatan ini menggunakan instrument ekonomi, yaitu berupa: pajak, subsidi, denda, pembatasan penggunaan input, pembatasan terhadap output, dan ijin emisi yang dapat diperjual belikan. Field 1994 menyatakan intervensi kebijakan publik yang dapat digunakan antara lain dapat berupa himbauan moral (moral suasions), perangkat aturan yang dikontrol (command and control), dan pengaturan berbasis insentif ekonomi (economic incentive based). Himbauan moral yang dimaksud adalah ajakan ajakan untuk berbuat baik dalam rangka melindungi dan melestarikan sumberdaya alam dan lingkungan. Di sini dimaksudkan untuk membangkitkan sikap sikap altruistic yaitu sikap sikap yang peduli kepada sesama makhluk hidup. Mekanisme himbauan moral ini tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak bersanksi, walaupun demikian pada banyak kejadian cukup efektif. Perangkat aturan yang dikontrol diartikan sebagai kebijakan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan dengan menggunakan standar standar dan mengontrolnya dengan peraturan peraturan hukum yang disertai sanksi sanksi (Turner et al. 1994). Pendekatan yang digunakan adalah paksaan (coercive). Pengaturan berbasis insentif ekonomi yaitu suatu pendekatan pengelolaan lingkungan dengan penciptaan nilai atau harga bagi lingkungan yang lebih baik, sehingga lingkungan bukan merupakan barang gratis. 21

38 22 3 METODE Kerangka Pemikiran Terjadinya pergeseran paradigma pengelolaan SDA tidak terlepas dari kompleksitas pengelolaan SDA dari pengaruh faktor ekonomi, lingkungan dan sosial-politik. Hal ini dikarenakan pengelolaan SDA khususnya pengelolaan TN adalah suatu sistem yang kompleks dan bersifat dinamis. Oleh karena itu, kebijakan pengelolaan TN yang sepenuhnya dilaksanakan oleh Pemerintah, terpusat dan seragam dirasakan sudah tidak memadai karena seringkali mengalami kegagalan, sehingga diperlukan perbaikan dan pilihan kebijakan pengelolaan yang disesuaikan dengan kondisi lokal. Salah satu pendekatan untuk menentukan dan mendapatkan kebijakan pengelolaan SDA adalah dengan melakukan penilaian ekonomi sumberdaya dengan konsep NET (Munasinghe dan McNeely 1994). Pendekatan lain dalam menentukan pilihan kebijakan adalah pendekatan konsep modal sosial karena penting bagi masyarakat untuk memperoleh akses pada kekuasaan dan sumber-sumber yang instrumental dalam memperkuat pengambilan keputusan dan formulasi kebijakan (Seregeldin dan Grootaert 1996). Untuk memperoleh pilihan kebijakan, tentunya diperlukan pula analisis kebijakan untuk menghasilkan dan memindahkan informasi yang relevan dengan kebijakan sehingga dapat dimanfaatkan di tingkat politik dalam rangka memecahkan masalah-masalah kebijakan (Dunn 1998). Menurut Kartodihardjo (2006) terdapat tiga pendekatan yang mungkin dapat dilakukan untuk membentuk kebijakan pengelolaan SDA (hutan), yaitu: pendekatan psikologi sosial, pendekatan ekonomi dan pendekatan politik. Penelitian ini memfokuskan kajian pada NET sebagai salah satu dasar dalam penentuan pilihan kebijakan pengelolaan SDA. Selama ini nilai ekonomi suatu kawasan SDA misalnya hutan umumnya hanya dinilai dari hasil kayu saja, sementara nilai jasa lingkungan hutan (sebagai contoh : air) yang dihasilkan dinilai sangat rendah karena dianggap sebagai barang publik, non excludable, non rivalry sehingga menimbulkan eksternalitas. Menurut Hartwick dan Oliver 1998, eksternalitas publik terjadi ketika barang publik dikonsumsi tanpa pembayaran yang tepat. Untuk menekan eksternalitas tersebut perlu valuasi nilai hutan. Penentuan nilai dan harga yang tepat akan menarik perhatian kepada pengguna jasa lingkungan hutan mengenai nilai hutan, serta dapat menjadi alternatif pemanfaatan dan pengelolaan hutan yang lebih bijaksana. NET merupakan penjumlahan seluruh macam nilai guna, nilai pilihan dan nilai bukan guna (Pearce dan Turner 1990; Turner et al. 1994), dimana pada penelitian ini hanya dibatasi dengan menghitung nilai guna dan nilai pilihan. Pendekatan NET menjadi rujukan dalam menjelaskan bahwa manfaat dan nilai hasil hutan tidak hanya bersumber dari kayu saja tapi juga dari komponen hutan lainnya, yang selanjutnya akan digunakan sebagai pertimbangan dari sisi ekonomi dalam menentukan pilihan kebijakan pengelolaan hutan. Berkaitan dengan pendekatan modal sosial yang juga akan menjadi pertimbangan dalam menentukan pilihan kebijakan, dirasakan perlu untuk mengetahui siapa saja pemangku kepentingan yang terlibat dalam kegiatan pemanfaatan dan pengelolaan TNDS. Pemangku kepentingan umumnya terdiri atas dua kelompok utama yakni masyarakat dan pemerintah. Untuk mengetahui

39 23 keterlibatan pemangku kepentingan dalam pemanfaatan dan pengelolaan dilakukan analisis pemangku kepentingan dari aspek pengaruh dan kepentingannya (Reed et al. 2009). Konsep modal sosial Putnam (1993) menjadi rujukan untuk mengetahui kondisi modal sosial yang ada di TNDS, dimana modal sosial didefinisikan sebagai rasa percaya, norma dan jaringan sosial. Atribut ini yang memungkinkan pemangku kepentingan untuk bertindak bersama secara lebih efektif untuk mencapai tujuan bersama. Dalam pengertian modal sosial, kesepakatan dan pelaksanaan suatu norma merupakan perwujudan dari interaksi terus-menerus dalam suatu asosiasi dan jaringan (networks), baik formal maupun informal. Berdasarkan kerangka analisis modal sosial diduga dapat berperan dalam mengatasi permasalahan pemanfaatan sumber daya hutan, maka modal sosial dapat berkontribusi pada pola pemanfaatan agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi penggunanya. Birner dan Wittmer (2000) berpendapat bahwa penguatan modal sosial berpotensi untuk mengurangi beban biaya negara dalam pengelolaan sumberdaya alam. Konsep kapabilitas pemerintah dari proyek-proyek pada kelangkaan lingkungan, kapasitas negara dan kekerasan sipil (1997) menjadi rujukan untuk mengetahui kondisi kapabilitas pemerintah dalam mengelola kawasan TNDS. Kapabilitas pemerintah didefinisikan sebagai kemampuan pemerintah untuk menggunakan sumberdaya yang diintegrasikan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Selanjutnya dikemukan oleh Birner dan Wittmer (2000) bagaimana modal sosial dan kapabilitas pemerintah dapat digunakan untuk menentukan pilihan pola pengelolaan sumberdaya alam yang optimal. Ketika masyarakat dan pemerintah sama-sama lemah maka pengelolaan dapat dilakukan oleh pihak swasta; ketika masyarakat lemah dan pemerintah kuat pengelolaan oleh pemerintah; ketika masyarakat kuat dan pemerintah lemah pengelolaan oleh masyarakat; dan ketika masyarakat dan pemerintah sama-sama kuat maka pengelolaan dilakukan secara bersama (kolaborasi). Pendekatan kebijakan dilakukan dengan melakukan analisis substansi terhadap regulasi/peraturan yang sudah ada mengenai pengelolaan TNDS dan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Selanjutnya adalah menentukan pilihan kebijakan pengelolaan dengan melakukan analisis deskriptif dari hasilhasil kajian sebelumnya. Secara ringkas alur pikir penelitian disajikan pada Gambar 3. Pendekatan Penelitian Pendekatan penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode survei. Pendekatan kuantitatif dalam penelitian sosial lebih mengacu kepada keakuratan deskripsi setiap variabel dan keakuratan hubungan antara satu variabel dengan variabel lainnya serta memiliki daerah aplikasi yang luas (Irawan 2007). Penelitian dilakukan dengan metode survai. Ciri khas penelitian ini adalah data dikumpulkan dari responden dengan menggunakan kuesioner. Penelitian dimulai dengan munculnya minat peneliti terhadap suatu fenomena sosial tertentu, minat tersebut kemudian disusun menjadi masalah penelitian yang lebih jelas dan sistematis dengan menggunakan informasi ilmiah yang sudah tersedia dalam

40 24 literatur, yakni teori (Singarimbun 2008). Penelitian diadakan untuk memperoleh fakta-fakta dari gejala-gejala yang ada dan mencari keterangan-keterangan secara aktual, baik tentang institusi sosial, ekonomi, atau politik dari suatu kelompok ataupun suatu daerah (Nazir 2009). Pemerintah/BTNDS Masyarakat Kelestarian kawasan Pemangku Kepentingan Lain Kawasan TNDS Interest Permasalahan Pengelolaan Integrasi Pengelolaan Pendekatan Ekonomi Pendekatan Sosial Pendekatan Politik Konsep NET Konsep Pemangku Kepentingan Konsep Modal Sosial Konsep Kapabilitas Pemerintah Konsep Kebijakan Pengelolaan SDA Manfaat dan NET Kawasan Kepentingan dan Pengaruh PK Tingkat Modal Sosial Masy Tingkat Kapabilitas Pemerintah Kebijakan yang berlaku Mekanisme insentif jasa ekosistem Pelibatan pemangku kepentingan dalam pengelolaan Devolusi pengelolaan kawasan PILIHAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN TNDS Gambar 3 Skema alur pemikiran penelitian

41 25 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di TNDS Kabupaten Kapuas Hulu Provinsi Kalimantan Barat, di 3 Satuan Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) yaitu SPTN I Lanjak, SPTN II Semitau dan SPTN III Selimbau. Tempat penelitian dipilih secara sengaja dengan pertimbangan bahwa TNDS merupakan TN yang memiliki karakteristik yang unik (memiliki musim basah dan musim kering), memiliki nilai strategis karena termasuk kawasan strategis kabupaten dan termasuk dalam kegiatan Heart of Borneo (HOB) yaitu kerjasama konservasi 3 negara (Indonesia, Malaysia dan Brunei Darusalam). Pelaksanaan penelitian dilakukan pada tiga SPTN dengan pertimbangan: (1) sasaran pengelolaan dan pemanfaatan hasil sumberdaya alam dari TNDS secara langsung adalah masyarakat yang tinggal di tiga SPTN tersebut; dan (2) untuk penggalian modal sosial dan pengetahuan lokal masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam, tidak dibatasi oleh SPTN, tapi oleh wilayah administrasi dan aturan yang berlaku, yaitu perkampungan nelayan yang ada. Penelitian dilaksanakan pada bulan September - Desember Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dan digunakan berupa data primer dan sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari responden yang dikumpulkan melalui wawancara (terstruktur dan tidak terstruktur) dan pengukuran atau pengamatan langsung di lapangan. Data sekunder berupa datadata penunjang lainnya dikumpulkan melalui penelaahan pustaka, laporan; terutama dari instansi yang melakukan aktifitas di sekitar TNDS tersebut. Sumber data dari hasil observasi dan dari instansi terkait Balai TNDS, Bappeda Kabupaten Kapuas Hulu, Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Kapuas Hulu, Dinas Perikanan Kabupaten Kapuas Hulu, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kapuas Hulu, BPS Kabupaten Kapuas Hulu, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang aktif bekerja di Danau Sentarum yaitu WWF, Riak Bumi dan FFI, Rukun Nelayan, Asosiasi Periau Danau Sentarum (APDS), responden terpilih, informan kunci dan sumber lain yang sesuai dengan tujuan penelitian. Berdasarkan lingkup penelitian yang dilakukan, maka variabel yang akan diukur, pengumpulan data dan sumber data untuk mencapai tujuan disajikan pada Tabel 2. Data penunjang diperoleh dari dokumen yang dipublikasikan oleh pihakpihak terkait berupa buku, laporan hasil penelitian, dan laporan lainnya serta peraturan perundangan yang terkait dengan pengelolaan TNDS. Secara rinci jenis dan sumber data penunjang yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 3.

42 26 Tabel 2 Tujuan penelitian, variabel, teknik pengumpulan dan sumber data Tujuan Penelitian Variabel yang diukur Sumber Data Teknik Pengumpulan Data Teknik Analisis Data Output yang Diharapkan Menduga potensi nilai ekonomi total TNDS Menjelaskan pemangku kepentingan dalam pengelolaan TNDS Menguraikan modal sosial masyarakat dan kapabilitas pemerintah dalam pengelolaan TNDS Mengkaji kebijakan dalam pengelolaan TNDS Merumuskan pilihan kebijakan pengelolaan TNDS Nilai guna dan nilai pilhan dari TNDS Kepentingan dan pengaruh stakeholder Modal sosial masyarakat Kapabilitas pemerintah (BTNDS) Peraturan perundang2an dan norma-norma dalam pengelolaan TNDS 1 NET 2 Stakeholder 3 Modal sosial & kapabilitas pemerintah 4 Regulasi Masy, informan kunci, Pemda Kab, BalaiTNDS Masy, informan kunci Pemda Kab, BalaiTNDS, LSM Masy, informan kunci Pemda Kab, BalaiTNDS Pemda Kab, BalaiTNDS, tokoh masyarakat, LSM Output penelitian (kajian 1-4) Survey rumah tangga, Observasi, Observasi, Indepth interview Survey rumah tangga, Observasi, Indepth interview, Studi pustaka, observasi Hasil pengolahan data Analisis fungsi, Analisis NET Analisis stakeholder Kategorisasi Analisis substansi, Kategorisasi Analisis deskriptif Manfaat dan nilai ekonomi kawasan TNDS Kategori dan hubungan antara pemangku kepentingan di TNDS Kategori modal sosial dan kapabilitas pemerintah dalam pengelolaan TNDS Kategori kebijakan yang digunakan sebagai dasar pengelolaan TNDS Rumusan pilihan kebijakan pengelolaan TNDS Tabel 3 Jenis dan sumber data penunjang yang digunakan dalam penelitian No Jenis data Sumber data 1 Kondisi umum lokasi penelitian (Kondisi fisik, biologi dan kondisi sosial ekonomi dan budaya) dan potensi keanekaragaman hayati BTNDS, Bappeda Provinsi, Bappeda Kabupaten Teknik pengumpulan data Studi Pustaka 2 Peta potensi TNDS BTNDS, WWF Studi Pustaka 3 Data pengunjung/wistawan ke Studi Pustaka TNDS BTNDS, Dinas Pariwisata Kab Kapuas Hulu

43 27 Lingkup Kajian Untuk mencapai tujuan penelitian, penelitian dibagi lima bagian, yaitu: 1 Kajian nilai ekonomi TNDS melalui valuasi ekonomi 2 Kajian pemangku kepentingan dalam pemanfaatan dan pengelolaan TNDS 3 Kajian modal sosial dan kapasitas negara dalam pengelolaan TNDS 4 Kajian kebijakan pengelolaan TNDS 5 Penentuan pilihan kebijakan pengelolaan TNDS yang berkelanjutan Kajian Nilai Ekonomi TNDS Lingkup Wilayah Penelitian Penelitian akan dilaksanakan di 3 SPTN: Lanjak, Semitau dan Selimbau. Lingkup Nilai Ekonomi yang Dihitung Nilai ekonomi total kawasan dalam studi ini dibatasi pada nilai penggunaan dan nilai pilihan, untuk nilai penggunaan yaitu hasil yang dapat dikonsumsi secara langsung (yaitu nilai biomassa) dan nilai penggunaan tidak langsung, yaitu keuntungan yang bersifat fungsional (meliputi fungsi hidrologi, fungsi produksi, dan fungsi penyerap karbon), sementara nilai pilihan dibatasi pada nilai satwa liar yang diusahakan masyarakat di kawasan TNDS. Nilai Ekonomi Total ditentukan dengan rumus (1) : Dimana : NET = nilai ekonomi total NPL = nilai penggunaan langsung (direct use value) NPTL = nilai penggunaan tidak langsung (indirect use value) NO = nilai option (option value) NB = nilai biomasa (kayu bakar, madu, karet, hasil ladang(padi)) NH = nilai hidrologi (air untuk RT, transportasi, perikanan) NC = nilai penyimpanan karbon NW = nilai wisata Subjek Penelitian Subjek penelitian ini adalah masyarakat (rumah tangga) yang ada di sekitar kawasan TNDS. Pengambilan sampel masyarakat dilakukan secara random sampling, dan di setiap SPTN diambil masing-masing 60 responden. Pengolahan dan analisis data Metode yang digunakan untuk masing-masing nilai berbeda-beda sesuai dengan karakteristik barang dan jasa serta ketersediaan informasi untuk setiap jenis barang dan jasa yang dinilai. Metode yang digunakan untuk menilai nilai ekonomi secara ringkas ditampilkan pada Tabel 4 berikut:

44 28 Tabel 4 Metode dan macam nilai ekonomi yang dihitung Macam nilai Nilai yang dihitung Metode yang digunakan Nilai guna langsung Nilai guna tidak langsung Nilai ikan tangkap Nilai kayu bakar Nilai madu Nilai karet (kebun) Nilai padi (ladang) Nilai air untuk RT Nilai air untuk transportasi Nilai air untuk perikanan budidaya Nilai rekreasi dan pariwisata Nilai penyimpanan karbon Harga pasar Biaya pengadaan Harga pasar Harga pasar Harga pasar Harga air yang berlaku Harga bahan bakar saat penelitian Harga pasar Harga karcis masuk Harga pasar Nilai pilihan Nilai keberadaan satwa liar Harga pasar NET TNDS diperoleh dengan menjumlahkan semua nilai-nilai tersebut diatas. Setelah diperoleh nilai potensi ekonomi total TNDS, dilanjutkan dengan analisis potensi nilai jasa lingkungan yang dihasilkan apakah sudah terdapat mekanisme untuk menjadikan nilai tersebut menjadi riil baik melalui mekanisme pasar maupun regulasi pemerintah. Sementara untuk nilai biomasa akan dilanjutkan dengan melihat kontribusi yang diberikan kepada masyarakat atau daerah melalui nilai pajak. Dari hasil analisa tersebut akan menjadi masukan untuk penentuan pilihan kebijakan pengelolaan TNDS. Kajian pemangku kepentingan yang terlibat dalam pemanfaatan dan pengelolaan TNDS Kajian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Metode untuk analisis pemangku kepentingan telah dikembangkan dalam beberapa disiplin (misalnya Schmeer 1999, 2000; Varvasovzky dan Brugha 2000; Reed 2008). Dalam penelitian ini, menggunakan pedoman dari Reed et al. (2009). Analisis pemangku kepentingan diterapkan disini untuk mengungkapkan kepentingan dan pengaruh pemangku kepentingan, untuk memahami sinergi dan konflik antara pemangku kepentingan dan permintaan mereka untuk fungsi dan jasa ekosistem dari TNDS. Reed et al. (2009) menyatakan analisis pemangku kepentingan dilakukan dengan cara: 1) melakukan identifikasi pemangku kepentingan dan kepentingannya; 2) mengelompokkan dan mengkategorikan pemangku kepentingan; dan 3) menyelidiki hubungan antara pemangku kepentingan. Data dan informasi dikumpulkan dengan metode wawancara semi terstruktur dengan berpedoman kepada daftar topik yang telah disusun sebelumnya. Data dan informasi tersebut kemudian dianalisis. Identifikasi pemangku kepentingan dan kepentingannya akan dilakukan dengan metode snowball sampling dimana pemangku kepentingan merekomendasikan pemangku kepentingan lainnya sebagai responden. Analisis pemangku kepentingan dilakukan dengan penafsiran matriks kepentingan dan pengaruh pemangku kepentingan terhadap pengelolaan TNDS. Penyusunan matriks pengaruh dan kepentingan dilakukan atas dasar pada

45 29 deskripsi pertanyaan responden yang dinyatakan dalam ukuran kuantitatif (skor) dan selanjutnya dikelompokkan menurut kriteria pengaruh dan kepentingan. Penetapan skoring menggunakan pertanyaan untuk mengukur tingkat kepentingan dan pengaruh pemangku kepentingan adalah modifikasi model yang dikembangkan oleh Abbas (2005) yaitu pengukuran data berjenjang lima yang disajikan pada Tabel 5. Nilai skor dari lima pertanyaan dijumlahkan dan nilainya dipetakan ke dalam bentuk matriks kepentingan dan pengaruh (Gambar 4). Tabel 5 Ukuran kuantitatif terhadap kepentingan dan pengaruh pemangku kepentingan Skor Nilai Kriteria Keterangan Kepentingan pemangku kepentingan Sangat tinggi Tinggi Cukup tinggi Kurang tinggi Rendah Sangat mendukung pengelolaan TNDS Mendukung pengelolaan TNDS Cukup mendukung pengelolaan TNDS Kurang mendukung pengelolaan TNDS Tidak mendukung pengelolaan TNDS Pengaruh pemangku kepentingan Sangat tinggi Tinggi Cukup tinggi Kurang tinggi Rendah Sangat mempengaruhi pengelolaan TNDS Mempengaruhi pengelolaan TNDS Cukup mempengaruhi pengelolaan TNDS Kurang mempengaruhi pengelolaan TNDS Tidak mempengaruhi pengelolaan TNDS Tinggi K Subjects Key players E P Kuadran I Kuadran II E N T I N G Crowd Context setters A N Kuadran III Kuadran IV Rendah Rendah PENGARUH Gambar 4 Matriks pengaruh dan kepentingan (Reed et al. 2000) Tinggi Analisis pemangku kepentingan dilakukan dengan penafsiran matriks kepentingan dan pengaruh pemangku kepentingan terhadap pengelolaan TNDS dengan menggunakan pemangku kepentingan grid dengan bantuan Microsoft Excel. Untuk menentukan angka pada setiap indikatornya, kemudian disandingkan

46 30 sehingga membentuk koordinat. Posisi kuadran dapat menggambarkan ilustrasi posisi dan peranan yang dimainkan oleh masing-masing pemangku kepentingan terkait dengan pengelolaan TNDS, yang dikategorikan sebagai berikut (Reed et al. 2009): 1 Key Players merupakan pemangku kepentingan yang aktif karena mereka mempunyai kepentingan dan pengaruh yang tinggi terhadap pengembangan suatu proyek 2 Context setters memiliki pengaruh yang tinggi tetapi sedikit kepentingan, oleh karena itu, mereka dapat menjadi resiko yang signifikan untuk harus dipantau 3 Subjects merupakan pemangku kepentingan yang memiliki kepentingan yang tinggi tetapi pengaruhnya rendah dan walaupun mereka mendukung kegiatan, kapasitasnya terhadap dampak mungkin tidak ada. Namun dapat menjadi pengaruh jika membentuk aliansi dengan pemangku kepentingan lainnya. 4 Crowd merupakan pemangku kepentingan yang memiliki sedikit kepentingan dan pengaruh terhadap hasil yang diinginkan dan hal ini menjadi pertimbangan untuk mengikutsertakannya dalam pengambilan keputusan. Selanjutnya dilakukan penyelidikan hubungan antara pemangku kepentingan secara deskriptif digambarkan dalam matriks actor-linkage. Pemangku kepentingan yang teridentifikasi ditulis dalam baris dan kolom tabel yang menggambarkan hubungan antar pemangku kepentingan.kata kunci yang digunakan untuk menggambarkan hubungan ini yaitu berkonflik, saling mengisi, atau bekerjasama (Reed et al. 2009). Kajian modal sosial dan kapabilitas pemerintah dalam pengelolaan TNDS Pendekatan penelitian Penelitian ini akan mendekati modal sosial dan kapabilitas pemerintah dengan pendekatan kuantitatif juga dilakukan analisis kualitatif. Pendekatan kuantitatif dalam penelitian sosial lebih mengacu kepada keakuratan deskripsi setiap variabel dan keakuratan hubungan antara satu variabel dengan variabel lainnya serta memiliki daerah aplikasi yang luas (Irawan 2007). Penentuan responden Untuk mengetahui modal sosial responden adalah anggota masyarakat yang tinggal di dalam/sekitar TNDS yang diambil secara random sampling. Sementara untuk kapabiliitas pemerintah responden berasal dari pemangku kepentingan yang terlibat dalam pemanfaatan dan pengelolaan TNDS dari hasil analisis pemangku kepentingan. Wawancara mendalam dengan orang-orang yang dianggap lebih mengetahui (informan kunci) dilakukan sesuai fokus penelitian. Informasi yang diperoleh, diharapkan akan melengkapi informasi-informasi yang diperoleh dari responden dan hasil studi literatur dalam melakukan penilaian modal sosial. Informan kunci tersebut antara lain: pimpinan adat, tokoh masyarakat dan tokoh agama, pihak BTNDS, Aparat Pemda Kabupaten dan Propinsi, LSM dan lembaga donor.

47 31 Variabel pengamatan dan definisi operasional Variabel modal sosial yang diamati dalam penelitian ini terdiri dari unsurunsur: kepercayaan, norma, jaringan. Masing-masing variabel yang diamati akan dilakukan pengukuran dengan terlebih dahulu menentukan parameter pengukurannya. Selain itu juga ditetapkan definisi operasional yang diperlukan untuk mempersempit pemahaman terhadap konsep-konsep yang digunakan, yang secara ringkas dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Variabel, indikator dan kategori modal sosial Variabel /Definisi Operasional Ukuran/Indikator Kategori/skor 1. Kepercayaan Kepercayaan adalah keyakinan yang dimiliki seseorang terhadap orang lain atau suatu keadaan berdasarkan perasaan dan kondisi yang dialami Tingkat kepercayaan terhadap: 1 Orang sekitar dengan etnis yang sama 2 Orang sekitar dengan etnis yang berbeda 3 Aparat pemerintah 4 Tokoh masyarakat/agama 5 Pihak luar (LSM) 6 Manfaat SDA dan hutan 7 Kemampuan menjaga kelestarian SDA dan hutan 8 Bekerjasama Menggunakan tiga kategori : 1 rendah (< 15) 2 sedang (15-21) 3 tinggi (22-27) 2. Norma sosial Norma sosial adalah bentuk kontrol sosial informal yang dimengerti secara umum sebagai suatu aturan untuk dapat menentukan pola tingkah laku yang berkaitan dengan kelestarian SDA dan hutan 3. Jaringan sosial Hubungan yang saling berkaitan antar individu dan kelompok yang bersifat sukarela dan memakai asas persamaan 9 Menjaga keeratan hubungan Tingkatan anggota masyarakat terhadap: 1 Pemahaman aturan tidak tertulis (norma/adat istiadat) 2 Pemahaman aturan tertulis 3 Pemahaman kebiasaan di masyarakat (kejujuran, kesopanan, kerukunan dalam pergaulan sehari-hari) 4 Pelanggaran oleh pribadi responden 5 Pelanggaran anggota masyarakat lain dalam etnis yang sama 6 Pelanggaran anggota masyarakat lain oleh etnis yang berbeda Tingkat kepadatan dan karakteristik 1 Anggota RT yang terlibat 2 Organisasi yang diikuti 3 Keragaman anggota organisasi 4 Partisipasi dalam kelompok 5 Kerelaan membangun jaringan 6 Kerjasama kelompok dalam komunitas 7 Kerjasama kelompok dengan kelompk lain di luar komunitas 8 Kebersamaan dalam organisasi 9 Kebersamaan jika ada masalah Menggunakan tiga kategori : 1 rendah (<10) 2 sedang (10-14) 3 tinggi (15-18) Menggunakan tiga kategori: 1 rendah (< 15) 2 sedang (15-21) 3 tinggi (22-27) Dalam penelitian ini kapabilitas pemerintah dinilai melalui kapasitas negara yang diadaptasi dari proyek pada kelangkaan lingkungan, kapasitas negara dan kekerasan sipil (1997) yang diringkas dalam Tabel 7 berikut ini:

48 32 Tabel 7 Variabel, indikator dan kategori kapabilitas pemerintah Variabel Ukuran/indikator Kategori/skor Tingkat karakteristik intrinsik Menggunakan meliputi: tiga kategori: 1. Human capital 1 rendah (<6) 2. Rasionalitas instrumental 2 sedang (6-9) 3. Koherensi 3 tinggi (10-12) 4. Ketahanan 1. Indikator pemerintah (atau komponennya) karakteristik intrinsik Karakteristik intrinsik adalah segala hal yang berkaitan dengan keterampilan dan kemampuan pemerintah (SDM) dalam melaksanakan kegiatan pengelolaan SDA 2. Indikator hubungan pemerintah dengan masyarakat. Hubungan pemerintah dengan masyarakata adalah segala hal mengenai kemampuan pemerintah dalam bertindak, mengelola, mempengaruhi dan diakui keberadaannya dalam mengelola SDA Tingkat hubungan pemerintah dengan masyarakat meliputi: 1. Otonomi 2. Sumber daya fiskal 3. Jangkauan dan responsif 4. Legitimasi Menggunakan tiga kategori: 1 rendah (<6) 2 sedang (6-9) 3 tinggi(10-12) Secara lebih rinci definisi operasional dari setiap indikator terangkum dalam Tabel 8 berikut: Tabel 8 Definisi operasional unsur-unsur indikator kapabilitas pemerintah Indikator negara (atau komponennya) karakteristik intrinsik: Human capital Tingkat keterampilan teknis dan manajerial dari individu di dalam negara dan bagian-bagian komponennya Rasionalitas Tingkat kemampuan komponen negara untuk mengumpulkan dan instrumental mengevaluasi informasi yang relevan dengan kepentingan dan untuk membuat keputusan yang memaksimalkan utilitas mereka Koherensi Tingkat dimana komponen-komponen negara setuju dan bertindak atas dasar ideologis bersama, tujuan, dan metode, juga kemampuan komponen untuk berkomunikasi dan debat pendapat yang konstruktif, informasi dan kebijakan di antara mereka sendiri Ketahanan Tingkat kemampuan untuk menghadapi guncangan tiba-tiba, beradaptasi dalam jangka panjang menghadapi perubahan sosial ekonomi, dan menyelesaikan sengketa masyarakat Indikator hubungan antara negara (atau komponennya) dan masyarakat: Otonomi Tingkat di mana negara dapat bertindak secara independen dari kekuatan eksternal, baik domestik dan internasional, dan kooptasi yang akan mengubah atau membatasi tindakan-tindakannya Sumber daya fiscal Jangkauan dan responsif Legitimasi Tingkat kemampuan keuangan negara atau komponen yang dibelikan negara. Kapasitas ini adalah fungsi dari kedua aliran pendapatan saat ini dan cukup layak serta tuntutan pada pendapatan itu Tingkat sejauh mana negara berhasil dalam memperluas ideologi, struktur sosial politik, dan aparat administrasi seluruh masyarakat (baik secara geografis, dan masuk ke struktur sosio-ekonomi masyarakat sipil); respon dari struktur dan aparat untuk kebutuhan lokal masyarakat Tingkat kekuatan otoritas moral negara sejauh mana rakyat mematuhi perintah yang keluar dari rasa kesetiaan dan kewajiban, bukan sebagai akibat dari paksaan atau inisiatif ekonomi Pengumpulan data Pengumpulan data di tengah masyarakat secara garis besar dilakukan dengan teknik wawancara terstruktur dan observasi dalam beragam derajat keterlibatan baik kepada responden maupun kepada informan dengan menggunakan daftar

49 33 pertanyaan (kuesioner). Observasi dilakukan terhadap kegiatan, baik yang berlangsung di tempat khusus maupun yang berlangsung di tempat umum. Dilakukan juga wawancara tak terstruktur dengan banyak orang, baik untuk memperoleh data dan informasi baru, atau melakukan verifikasi, konfirmasi, dan triangulasi mengenai data dan informasi yang diperoleh sebelumnya. Selain itu juga digunakan teknik diskusi informal terutama menyangkut aspek-aspek kesejarahan kampung dengan narasumber utama tetua-tetua kampung yang mengetahui sejarah perkembangan kampung. Fokus perhatian utama diarahkan pada gejala-gejala modal sosial yang hidup di tengah masyarakat, seperti jaringanjaringan serta perilaku kerjasama yang berlangsung di dalamnya. Analisis Analisis terhadap data primer dan informasi yang diperoleh dari wawancara dan observasi dilakukan secara deskriptif kuantitatif. Untuk mendeskripsikan tingkat modal sosial dan tingkat kapabilitas pemerintah dalam pengelolaan TNDS dilakukan dengan persamaan selang nilai (Supranto 2000) yaitu: Adapun jumlah kelas disesuaikan dengan kategori tingkatan yang diinginkan yaitu 3 kelas (rendah, sedang dan tinggi). Kajian Kebijakan Pengelolaan TNDS Kajian kebijakan dilakukan terhadap dukungan peraturan atau kebijakan nasional, daerah dan lokal yang terkait pengelolaan TNDS. Analisis dilakukan secara deskriptif dengan menggunakan analisis substansi berdasarkan indikator yang telah ditetapkan, yaitu: mendukung desentralisasi; konservasi sumberdaya alam, mengatur koordinasi pengelolaan dan mengatur kerjasama. Selain itu juga dilakukan kategorisasi kebijakan yang digunakan berdasarkan: sumber kebijakan (pusat atau daerah) dan sifat dari kebijakan yang dikeluarkan (moral suasions atau command and control atau economic incentive based). Dengan demikian penelitian dapat mengeluarkan rekomendasi sebagai upaya pembenahan kebijakan/regulasi kedepan. Sintesis penentuan pilihan kebijakan TNDS Untuk mendapatkan rumusan pilihan kebijakan pengelolaan TNDS dilakukan analisis secara deskriptif, berdasarkan hasil kajian yang telah dilakukan. Pilihan dilakukan dengan menggabungkan kepentingan masyarakat dan pemerintah berdasarkan kondisi yang ada di lokasi penelitian, sehingga diperoleh pilihan kebijakan pengelolaan TNDS yang optimal. Berikut tahapan proses penelitian diilustrasikan dalam Gambar 5.

50

51 34 Tujuan Survey/Pengumpulan Data Analisis Output Implementasi Ekonomi Nilai/manfaat TNDS Nilai Ekonomi Total (NET) Identifikasi dan Pemetaan Analisis pemangku kepentingan Pengelolaan TNDS Sosial Modal sosial masyarakat Kapabilitas pemerintah Analisis modal sosial (ktegorisasi) Analisis kapabilitas pemerintah Analisis deskriptif Pilihan Kebijakan Pengelolaan TN Kegiatan Peningkatan Manfaat Ekonomi & Konservasi Kebijakan Kebijakan Analisis substansial Kecamatan/Desa Kabupaten Provinsi Gambar 5 Proses metodologi penelitian

52

53 35 4 KEADAAN UMUM TNDS Letak dan Luas TNDS terletak di hulu sungai kapuas (± 700 km dari muara sungai kapuas/ Pontianak) kabupaten Kapuas Hulu Propinsi Kalimantan Barat. Secara geografis kawasan TNDS terletak di antara 00 o o 02 LU dan 111 o o 26 BT atau berjarak sekitar 100 km di sebelah utara garis Equator. Kelompok danau ini disahkan menjadi TN berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan dan Perkebunan No 34/Kpts-II/1999 tanggal 4 Pebruari SK ini juga menetapkan luas TNDS menjadi hektar. Sejak tahun 1994, kawasan yang unik, kaya akan keanekaragaman hayati dan budaya ini ditetapkan sebagai lokasi Ramsar. Artinya, masyarakat internasional mengakui kepentingan TNDS sebagai ekosistem lahan basah yang penting di dunia. Secara administrasi kawasan ini masuk wilayah Kabupaten Dati II Kapuas Hulu dan termasuk dalam 7 (tujuh ) kecamatan, yaitu Kecamatan Batang Lupar, Kecamatan Badau, Kecamatan Embau, Kecamatan Bunut Hilir, Kecamatan Suhaid, Kecamatan Selimbau, dan Kecamatan Semitau. Sementara untuk kegiatan pengelolaan, TNDS dibagi atas 3 Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN), yaitu SPTN I Lanjak, SPTN II Semitau dan SPTN III Selimbau, yang dapat dilihat pada Gambar 6. Gambar 6 Peta wilayah seksi pengelolaan TNDS (Sumber: Balai TNDS 2011) Topografi TNDS umumnya merupakan dataran yang berbentuk flat atau lebak lebung yang merupakan daerah hamparan banjir. Topografi bervariasi mulai dari datar, bergelombang ringan, agak curam sampai pada curam (0-45 persen). Kawasan ini relatif rendah, dengan ketinggian antara m dengan rata-rata ketinggian ± 35 m di atas permukaan laut.

54 36 Geologi kawasan TNDS relatif sederhana. Tipe tanah pada kawasan TNDS dapat dibagi atas 2 kelompok besar, yaitu sedimen dan organosol pada daratan serta pasir dan lempung pada daerah perbukitan (Giesen, 1987). Sedimen terdiri dari kaolin dan liat serta batuan yang terdapat pada daerah terisolasi disekitar perbukitan. Batu pasir arkosik muncul membentuk formasi umum pada dan sekitar TNDS. Tanah gambut terdapat dalam lembah-lembah Kapuas, antara sungai dan kaki bukit dengan kondisi air tergenang dan dekomposisi material organik tertahan. Substrat dasar dataran banjir didominasi oleh lempung, yang mengandung pasir dan klorit. Tanah perbukitan terdiri dari pasir dan lempung serta mineral-mineral lempung. Potensi TNDS Salah satu keistimewaan TNDS adalah kekayaannya akan flora dan fauna yang hidup di dalamnya. Sampai saat ini tercatat lebih dari 675 jenis tumbuhtumbuhan, 266 jenis ikan, 310 jenis burung, 515 jenis mamalia, 8 jenis kura-kura air tawar dan 5 jenis labi-labi serta 3 jenis buaya terdapat di kawasan ini (RPJM TNDS ). Danau juga merupakan penyangga aliran Kapuas, sehingga mengurangi banjir di sepanjang sungai terpanjang di Indonesia (Klepper 1994). Danau Sentarum merupakan habitat dari banyak spesies yang tidak atau jarang ditemukan di tempat lain karena hidrologi yang mendasarinya dan kondisi dari habitat yang relatif baik. Situs keanekaragaman hayati yang tinggi ini adalah rumah bagi sekitar orang (Indriatmoko, 2010) yang bergantung pada sumber daya alam untuk mata pencaharian mereka. Ekosistem TNDS Penunjukkan kawasan danau sentarum sebagai TN karena kekhasan dan keunikan ekosistem yang ada. Beberapa tipe ekosistem dan vegetasi yang terdapat di TNDS adalah ekosistem dan vegetasi hutan hujan tropis. Profil dari tipe hutan yang ada di kawasan TNDS dapat dilihat pada Gambar 7. Gambar 7 Profil dan tipe hutan di kawasan TNDS (Sumber : Balai TNDS 2011)

55 37 Keragaman Jenis Flora Menurut Balai TNDS 2011, jenis tumbuhan yang terdapat di danau sentarum ini sangat spesifik dimana hampir sebagian besar jenis tumbuhannya mempunyai penampakan yang berbeda dengan tumbuhan yang berada di luar danau sentarum. Misalnya saja jenis Dichilanthe borneensis salah satu tumbuhan khas (endemik) dan langka, jenis ini merupakan missing link antara Rubiaceaee dan familyfamilinya. Selain itu di temukan juga satu jenis dari marga Vatica yaitu Vatica menungau (menungau) yang merupakan spesies baru yang endemik danau sentarum (Balai TNDS 2011). Kekhasan tumbuhan yang terdapat di kawasan danau sentarum ini diperkirakan akan menjadi penambah perbendaharaan marga tumbuhan endemik Kalimantan yang jumlah sebelumnya ada 59 marga, karena menurut Giesen (1987), dari hasil pengumpulan specimen tumbuhan yang dilakukan, banyak jenis yang tidak dapat diidentifikasi dengan menggunakan referensi taxonomi terbaru dan kemungkinan merupakan ilmu baru. Selain kekhasan dalam bentuk dan jenis, di kawasan ini juga ditemukan ransa (Eugeissona ambigua) yang merupakan tumbuhan langka dan diperkirakan menjelang kepunahan serta beberapa jenis lainnya yang merupakan jenis dilindungi seperti ramin (Gonystylus bancanus) dan jelutung (Dyera costulata). Terdapat juga jenis tumbuhan yang sama dengan tumbuhan endemic yang ada di Amazon, oleh masyarakat setempat dikenal dengan pohon pungguk (Crateva relegiosa) (Balai TNDS 2011). Keragaman Jenis Fauna Menurut Balai TNDS 2011, perbedaan yang kontras pada musim yang berbeda (pasang dan kering) adalah merupakan kondisi yang turut mempengaruhi kekayaan tumbuh-tumbuhan dan satwa di TNDS. Khususnya keragaman jenis ikan air tawar yang tinggal, berkembang biak dan mencari makan di kawasan ini, mulai dari ukuran yang paling kecil sekitar 1 cm yaitu ikan linut (Sundasalax cf. Microps) sampai yang paling besar seperti ikan tapah (Wallago leeri) dapat mencapai ukuran lebih dari 200 cm; dari yang tidak bernilai ekonomi sampai pada ikan hias yang mempunyai nilai jutaan rupiah seperti ikan siluk merah (Scleropages formosus). Hingga saat ini jumlah jenis ikan yang berhasil didata sebanyak 266 jenis. Jumlah tersebut lebih banyak dari semua jenis ikan air tawar diseluruh benua Eropa dan bahkan kekayaan jenis ikan ini termasuk nomor 3 terbanyak di dunia. Selain kaya akan jumlah, beberapa diantaranya merupakan jenis endemik dan langka, misalnya saja terdapat 13 jenis ikan yang tergolong dalam species baru yang artinya di seluruh belahan bumi ini jenis tersebut baru diketemukan disini. Namun bagi masyarakat setempat jenis tersebut tidak asing bagi mereka. Dua dari spesies ikan yang ada tersebut masuk dalam spesies yang terancam di status IUCN, yaitu Balantiocheilos melanopterus (Ketutung) and Scleropages formosus (Asian Arowana) dan 1 species tercatat dalam CITES Appendix 1 yaitu Scleropages formosus (Asian Arowana) (Kottelat & Widjanarti (2005), Jeanes & Meijaard (2000)). Menurut Balai TNDS 2011, di TNDS ditemukan 147 jenis mamalia. Kekayaan jenis mamalia ini mencakup hampir dua pertiga atau 67 persen dari 222 jenis mamalia yang terdapat di Kalimantan. Selain kaya akan jenis, sebagian besar

56 38 jenis mamalia yang ada disini juga merupakan jenis endemik, langka atau menjelang kepunahan. Seperti misalnya bekantan (Nasalis larvatus), kepuh (Presbytis melalophos cruniger), orang utan (Pongo pygmaeus), ungko tangan hitam (Hylobates agilis), kelempiaau Kalimantan (Hylobates muelleri), macan dahan (Neofelis nebulosa) dan sebagainya (sekitar 26 jenis lainnya). Di kawasan ini juga terdapat 311 jenis burung dan termasuk jenis burung bangau hutan rawa (Ciconia stormi) yang tergolong langka serta beluk ketupa (Ketupa ketupu), bangau tuntong (Leptoptilus javanicus) dan 8 jenis rangkong (Bucerotidae) yang telah mendapat perlindungan secara internasional. Jumlah jenis burung yang terdapat di kawasan ini juga dikatagorikan kaya arena dari 1519 jenis burung yang ada di Indonesia, 20 persen diantaranya ditemukan di TNDS. Sebelumnya dalam Jeanes & Meijaard (2000) dinyatakan terdapat 282 jenis burung (31 secara global terancam, 36 species dalam daftar CITES, 72 species burung yang dilindungi secara nasional, 5 merupakan endemik Kalimantan). Ular dan reptil lain, kura-kura maupun labi-labi jumlah jenisnya belum banyak terdata, sampai saat ini jumlah jenis yang ditemukan baru mencapai 65 jenis. Meskipun saat ini hanya sedikit yang tersisa, dahulu banyak buaya yang hidup dalam kawasan ini, diantaranya adalah jenis buaya muara (Crocodylus porosus) dan buaya senyulong (Tomistoma schlegelii), dan bahkan buaya katak/rabin (Crocodylus raninus) yang di Asia telah dinyatakan punah sejak 150 tahun yang lalu diperkirakan masih ada disini. Kemungkinan jenis tersebut masih dapat bertambah karena reptilia, amfibia dan mammalia kecil belum banyak diteliti, bahkan untuk jenis-jenis satwa yang termasuk dalam golongan avertebrata sementara ini hanya diketahui bahwa mereka mempunyai arti dan peranan yang besar dalam kelangsungan proses ekosistem alami. Hasil penelitian Jeanes & Meijaard 2000 mengungkapkan terdapat 26 reptil (11 species terancam secara global, 6 tercatat dalam CITES Appendix II, 7 species dilindungi secara nasional, 1 species endemik Kalimantan) Potensi Wisata Keunikan dan keistimewaan yang dimiliki kawasan TNDS dapat merupakan daya tarik tersendiri bagi wisatawan domestik maupun manca negara. TNDS memiliki 3 pintu masuk utama yaitu Pintu masuk Semitau (Sungai Tawang), Pintu masuk Lanjak (Sungai Lanjak, dan Pintu masuk Jongkong (Sungai Batang Putus). Dari ketiga pintu masuk ini obyek wisata alam baik berupa bentangan alam, flora dan fauna, ekosistem, budaya dan artevak dapat diakses dengan lancer (Balai TNDS 2011). Untuk menyaksikan dan menikmati bentangan alam berupa hamparan danau luas yang diselingi oleh kelompok-kelompok vegetasi dan pemandangan perbukitan yang mengelilingi danau dapat dilakukan dengan berperahu ketengah danau atau dari atas bukit Tekenang dan Semujan. Potensi wisata yang berupa atraksi satwa diantaranya dapat dengan melakukan pengamatan burung (bird watching), dan menyaksikan kehidupan sosial Bekantan yang setiap pagi dan sore hari bermain disekitar pinggiran danau atau di hutan pinggiran sungai beserta burung air dan mamalia lainnya. Potensi yang berupa keunikan flora dapat disaksikan dengan bersampan diantara celah-celah batang dan pohon yang tumbuh di hutan rawa tergenang atau menyaksikan keindahan flora di hutan kerangas yang berada di puncak bukit Semujan. Potensi sosial budaya masyarakat

57 39 dapat disaksikan berupa tata cara dan adat istiadat masyarakat melayu setempat dalam menangkap ikan dan mengolah ikan, tata cara bertenak lebah dan memanen madu secara tradisionil, selain itu dapat menyaksikan tata cara atau adat-istiadat masyarakat Iban, Kantuk dan Embaloh dalam melakukan upacara adat ritual mereka serta melihat bagaimana masyarakat setempat membuat barang-barang anyaman dan tenun ikat. Sementara artevak berupa rumah betang (rumah panjang) dapat dilihat di Sungai Sedik, Empaik Sungai Pelaik dan Ukit-ukit, serta di pulau Melayu yang mana daerah ini dipercayai oleh masyarakat Melayu setempat sebagai tempat bernazar dan membayar hajat. (Balai TNDS 2011). Kondisi sosial budaya Kondisi Masyarakat Masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan Danau Sentarum terdiri atas dua suku besar. Dua kelompok etnis utama, Melayu dan Iban, tinggal di dan sekitar taman dan bergantung pada sumber daya untuk mata pencaharian mereka (Aglionby 1996; Harwell 1997). Masyarakat Melayu tinggal dalam kawasan adalah masyarakat perairan yang tinggal di rumah terapung (lanting), rumah perahu (motor bandung) serta rumah panggung (rumah yang memiliki tiang tongkat sangat tinggi). Masyarakat melayu adalah nelayan yang tinggal di hilir di sekitar danau dan di sepanjang sungai (Wickham et al. 1997) dan secara eksklusif bergantung pada perikanan untuk mata pencaharian mereka. Selain sebagai nelayan masyarakat melayu dalam kawasan juga dikenal sebagai periau, dalam memenuhi kebutuhan ekonomi dengan menjdi petani madu tradisional. Masyarakat yang tinggal di sekitar batas kawasan atau pada daerah perbukitan yang mengelilingi kawasan TNDS, umumnya adalah masyarakat Dayak. Masyarakat Dayak ini secara mayoritas berasal dari suku Iban, dan sebagian kecil lainnya berasal dari suku Kantuk dan Embaloh. Masyarakat Dayak Iban, yang sebagian besar tinggal di rumah panjang tradisional, menempati area paling atas lembah sungai dan hidup di darat sebagai peladang berpindah, menanam padi dan tanaman lain (Wadley 1997). Meskipun mereka juga menangkap ikan di sepanjang sungai dan di sekitar danau, mencari ikan bukan mata pencaharian utama mereka, melainkan berladang berpindah. Peraturan-peraturan berupa hukum adat yang mengatur tata cara kehidupan dan pemanfaatan SDA mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat di dalam kawasan TNDS, baik bagi suku Melayu maupun Dayak. Aturan-aturan tersebut sudah dilaksanakan secara turun temurun dan berlaku untuk semua lapisan masyarakat, baik masyarakat setempat maupun pendatang. Secara adat, sumberdaya perairan dan hutan diatur menurut mekanisme pengelolaan publik. Walaupun suatu kawasan perairan atau hutan dimiliki oleh komunitas tertentu, anggota-anggota komunitas adat lain dapat mengakses dan melakukan pemungutan hasil-hasil alam setelah mendapatkan izin dari komunitas adat yang memiliki kawasan tersebut. Setiap komunitas nelayan di kawasan TNDS memiliki institusi tradisional yang disebut rukun nelayan yang dipimpin oleh ketua nelayan. Fungsi dari rukun nelayan ini adalah sebagai pemimpin seluruh warga komunitas nelayan dan

58 40 bertanggung jawab atas berlangsungnya seluruh aktivitas penangkapan ikan yang dilakukan oleh komunitas tersebut. Setiap kampung nelayan mempunyai wilayah kerja masing-masing yang telah disepakati bersama. Kegiatan menangkap ikan diatur oleh masing-masing ketua nelayan yang dipilih secara langsung oleh anggota masyarakat di kampungnya melalui aturan-aturan lokal yang telah disepakati bersama. Aturan-aturan tersebut dapat berbeda dari satu kampung ke kampung lainnya. Sementara untuk periau juga memiliki aturan-aturan lokal dalam mengusahakan madu tradisional. Begitu juga masyarakat dayak dalam melaksanakan kegiatan perladangan berpindah dan pemanfaatan hutan telah memiliki aturan-aturan lokal yang dipatuhi oleh seluruh anggota masyarakat. Kelembagaan adat yang ada sampai saat ini merupakan karya kelembagaan yang sudah berhasil dibangun dengan kokoh dan kuat oleh masyarakat, serta dipatuhi aturan-aturannya. Seharusnya kita tinggal melanjutkan dan menguatkan kelembagaan yang sudah ada ini. Namun, lembaga adat secara hukum belum mendapat pengakuan dari pemerintah, sehingga belum dapat berfungsi secara maksimal. Pada sisi lain, lembaga adat dibebani tanggungjawab moral yang besar, yaitu memelihara dan menciptakan perilaku masyarakat untuk bertindak sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai agar tercapai ketertiban dan kesejahteraan. Demografi Dalam kawasan TNDS saat ini terdapat lebih dari 45 dusun permanen dan 10 dusun musiman yang letaknya tersebar ke seluruh bagian kawasan akibat sistem danau (Balai TNDS 2011). Saat ini yang menetap sekitar 1835 KK atau lebih kurang 9000 jiwa dan saat puncak musim menangkap ikan, jumlah tersebut akan bertambah dengan drastis hingga jiwa (Balai TNDS 2011). Populasi manusia meningkat 58 persen selama dekade , dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan penduduk nasional saat ini sebesar 1,3 persen tahunan (Indriatmoko 2010). Sebagian besar atau lebih dari 90 persen masyarakat yang tinggal dalam kawasan berasal dari suku Melayu. Jumlah penduduk yang tinggal di dalam kawasan berfluktuasi sepanjang tahun, karena ada sebagian nelayan yang datang ke kawasan hanya selama puncak musim menangkap ikan (Balai TNDS 2011). Menurut Balai TNDS 2011, Kondisi pendidikan penduduk di TNDS relatif rendah, hampir 50 persen penduduk di TNDS hanya berpendidikan Sekolah Dasar. Masyarakat mengungkapkan bahwa fasilitas pendidikan seperti guru dan sekolah sangat minim. Sebagai gambaran rendahnya tingkat pendidikan disajikan dari hasil pengukuran tingkat pendidikan formal responden. Sebagian besar responden (67,22 persen) pernah bersekolah dan tamat SD dan 31,28 persen pernah memperoleh pendidikan formal lebih tinggi (Gambar 8).

59 41 persentase Pendidikan formal Pernah sekolah-tamat SD Tidak tamattamat SMP/SMA tidak tamattamat Dipl/S1 Pendidikan formal Gambar 8 Distribusi responden berdasarkan pendidikan formal Tingkat pendidikan formal di lokasi penelitian menunjukkan bahwa masyarakat masih memiliki pendidikan tingkat dasar saja. Sebenarnya masyarakat sudah memiliki kemauan untuk bersekolah, terbukti banyak anak-anak mereka yang di sekolahkan di ibukota kecamatan terdekat, seperti di Semitau, Selimbau, Jongkong, Suhaid dan Lanjak. Namun terbatasnya sarana pendidikan yang ada menyebabkan tingkat pendidikan yang dimiliki masih sebatas pendidikan dasar saja. Di Resort Kedungkang misalnya, SD di tempat mereka hanya sampai di kelas 3, untuk menamatkan mereka harus pergi ke Lanjak ibukota kecamatan. Ini menyebabkan biaya yang tinggi untuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi. Biaya yang tinggi dan kemampuan ekonomi yang rendah merupakan penyebab menurunnya minat masyarakat untuk bersekolah. Masalah kesehatan di kawasan TNDS berhubungan dengan pola nutrisi. Masyarakat cenderung mengkonsumsi nasi dengan sedikit sayuran dan buahan. Umumnya masalah kesehatan yang terjadi adalah kekurangan yodium, rabun senja (defisiensi vitamin A), tingkat kematian bayi tinggi, bibir pecah (defisiensi vitamin C) dan kekurangan kalsium pada orang tua (Balai TNDS 2011). Disamping itu fasilitas kesehatan yang terbatas, yaitu 6 pos kesehatan dengan 6 orang perawat untuk penduduk juga mempengaruhi kasus-kasus yang terjadi. Sumber mata pencaharian masyarakat dalam dan sekitar TNDS sebagian besar adalah nelayan. Selain menangkap ikan, masyarakat nelayan juga memelihara ikan dalam keramba-keramba terapung di sekitar perkampungan mereka, dengan jenis ikan toman (Channa micropeltes), jelawat (Leptobarbus hoevenii), betutu (Oxyeleotris marmorata), dan patin (Pangasius nasutus). Ikan yang dihasilkan berupa ikan segar, ikan asin, ikan salai serta ikan hias. Hasil panen ikan yang berasal dari TNDS diperkirakan berkisar antara 5-6 milyar rupiah pertahun. (BPS Kab Kapuas Hulu 2010). Mata pencaharian lain masyarakat adalah pemanenan madu lebah liar. Kegiatan ini dilakukan pada bulan September-Pebruari setiap tahunnya. Pada bulan tersebut lebah liar (Apis dorsata) datang ke TNDS bersamaan dengan berbunganya tanaman hutan. Kegiatan pertanian di dalam kawasan TNDS hanya dilakukan oleh segelintir orang saja dan hanya dilakukan saat awal musim kemarau. Umumnya dilakukan oleh suku Dayak yang tinggal di sekitar kawasan (sekitar zona penyangga). Pertanian dilakukan secara tradisional yaitu perladangan di daerah perbukitan sekitar hutan.

60 42 Tanaman utama berupa padi, sementara jagung, ubi kayu dan sayur-sayuran juga turut ditanam. Selain bercocok tanam, masyarakat suku Dayak juga melakukan perburuan terhadap babi hutan, labi-labi dan kura-kura serta berbagai jenis hewan lainnya. Profesi sebagai nelayan adalah menjadi andalan pendapatan keluarga masyarakat TNDS. Sebenarnya bisa dikatakan bahwa 100 persen masyarakat di TNDS adalah nelayan, namun responden dari masyarakat Dayak lebih senang menyebut dirinya sebagai petani, karena memang masyarakat ini masih memiliki ladang sebagai identitas budaya mereka. Dari 180 responden ada 28 responden (15,56 persen) sebagai petani, 0,17persen sebagai guru dan selebihnya adalah nelayan, yang dapat dilihat distribusinya pada Gambar Mata Pencaharian Mata Pencaharian Nelayan Petani 0.17 Guru Gambar 9 Distribusi responden berdasarkan mata pencaharian Pengelolaan TNDS Saat Ini TNDS memiliki potensi yang besar, TNDS merupakan asset penting dalam mendukung pembangunan Kabupaten Kapuas Hulu. Potensi sekumpulan danau yang terdapat di dalamnya menjadikan TNDS sebagai bendungan alam yang berfungsi sebagai persediaan air tawar pada musim kemarau dan pencegah banjir di musim hujan; penyeimbang keadaan iklim setempat; menjaga kestabilan ekosistem di sekitarnya; pengatur mutu dan banyaknya air bagi Daerah Aliran Sungai (DAS) Kapuas; dan habitat berbagai jenis ikan air tawar. Selain itu potensi keanekaragaman fauna dan flora yang tinggi telah mendapat pengakuan sebagai ekosistem lahan basah yang penting bagi dunia yang tercatat dalam situs Ramsar sejak tahun Dan yang lebih utama adalah menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitartnds, disamping merupakan surga bagi para peneliti dan merupakan daerah tujuan wisata yang potensial bagi wisatawan karena kawasan ekowisatatnds telah ditetapkan menjadi kawasan strategis kabupaten dari sudut kepentingan lingkungan dan ekonomi (RTRW Kab Kapuas Hulu 2010). Era desentralisasi menyebabkan pemerintah daerah cenderung masih melihat manfaat TNDS dari jumlah finansial yang dapat disumbangkan untuk pendapatan asli daerah (PAD) saja. Jika dinilai dari aspek PAD, sumbangan yang diberikan oleh TNDS relative sangat kecil yakni sebesar dan hanya berasal dari

61 43 kegiatan pariwisata saja (TNDS 2010). Padahal sesungguhnya manfaat yang diberikan jauh lebih besar baik manfaat secara langsung (seperti ikan air tawar yang diperkirakan persen pasokan di Kalimantan Barat berasal dari kawasan TNDS, madu dari lebah liar, dan hasil hutan non kayu lainnya) maupun secara tidak langsung (misalnya konservasi hidrologi). Manfaat ini tidak terdaftar sebagai kontribusi TNDS dalam menghasilkan PAD. Selain itu kawasan sekitar TNDS pun tidak lepas dari konsesi pembangunan kebun kelapa sawit sebagai usaha peningkatan PAD, yang tentunya sangat berbahaya dari segi ekosistem. Pengelolaan saat ini dilaksanakan oleh Unit Pelaksana Teknis Balai TNDS sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.03/Menhut-II/2007. Dalam pelaksanaan pengelolaannya terdapat beberapa permasalahan penting dalam pengelolaan TNDS saat ini. permasalahan tersebut dibedakan dalam dua bagian, yaitu permasalahan berkenaan dengan kondisi biofisik dan permasalahan pengelolaan (TNDS 2011). Permasalahan pokok berkenaan dengan kondisi biofisik TNDS Beberapa permasalahan pokok yang dihadapi dalam pengelolaan TNDS saat ini menurut Balai TNDS 2011 dan Heri et al. 2010, adalah sebagai berikut: a Pertambahan penduduk dalam kawasan Peningkatan jumlah penduduk yang terjadi di kawasan TNDS merupakan salah satu penyebab munculnya tekanan terhadap kelestarian SDA danau sentarum itu sendiri. Akibat dari peningkatan jumlah penduduk tersebut diperkirakan terjadinya peningkatan intensitas eksploitasi sumberdaya ikan di kawasan TNDS, namun anggapan ini belum dapat dibuktikan secara ilmiah karena belum ada penelitian mengenai apakah kegiatan penangkapan ikan akibat pertambahan penduduk sudah melewati ambang batas dari populasi ikan yang ada. b Penebangan Permasalahan lingkungan lain yang mengancam kelestarian kawasan TNDS adalah adanya aktivitas penebangan hutan untuk diambil kayunya. Meskipun penebangan liar hanya terjadi di batas luar TNDS, namun hal ini dianggap membahayakan ekosistem danau. c Konversi hutan Kegiatan konversi hutan dilakukan, baik dalam skala kecil (1-2 Ha) maupun besar (> Ha). Tujuan konversi hutan umumnya untuk perkebunan karet rakyat, dan perkebunan kelapa sawit serta rencana pertambangan. Bagi penduduk konversi hutan dilakukan dalam upaya mengamankan sumber mata pencaharian. Bagi Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu, konversi hutan menjadi peruntukkan lain merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan PAD. d Perubahan kualitas air, penurunan populasi ikan dan kesehatan Sejalan dengan meningkatnya tekanan manusia terhadap ekosistem-ekosistem lahan basah dan kering di sekitar TNDS, maka terjadi perubahan kualitas air dan berakibat terhadap penurunan populasi ikan. Perubahan kualitas air ditunjukkan dengan peningkatan zat-zat tersuspensi, penyuburan perairan, dan pencemaran. Pengukuran kekeruhan air di musim hujan menunjukkan nilai 7-16 NTU, jauh di atas ambang batas untuk kesehatan manusia yaitu 5 NTU. Tanpa pelumpuran, tingkat kekeruhan di kawasan ini 0,1-0,8 NTU (Yuliani, 2007). e Introduksi spesies eksotik

62 44 Beberapa spesies asing yang bersifat komersil, telah diintroduksi ke dalam TNDS. Contohnya adalah penanaman jenis kayu jati, ikan bawal air tawar, lele dumbo, dan nila. f Kebakaran lahan dan hutan Pada setiap musim kemarau, sebagian lahan dan hutan di dalam TNDS terbakar. Kebakaran umumnya disebabkan oleh kelalaian manusia. Sumber api diperkirakan berasal dari pembuangan puntung rokok, api sisa-sisa masak pada waktu penangkapan ikan, dan akibat dari kegiatan pembukaan lahan dengan cara bakar. g Perburuan liar Perburuan liar masih terjadi dalam skala yang relatif kecil, pengambilan beberapa jenis burung untuk dijual merupakan tindakan yang dapat menurunkan populasi burung yang terdapat dalam kawasan TNDS. Selain itu terdapat kebiasaan kelompok masyarakat tertentu yang mengkonsumsi satwa primata seperti Bekantan dan Labi-labi harus mendapat perhatian serius dalam pelestarian dan perlindungan satwa TNDS. h Perubahan iklim global Pembukaan hutan secara besar-besaran yang terjadi pada akhirnya akan menimbulkan permasalahan baru yang lebih parah. Isu pemanasan global yang dilontarkan oleh ahli-ahli lingkungan hidup merupakan salah satu akibat yang muncul dari kegiatan pembukaan hutan. Apabila aktivitas pembukaan hutan tidak terkontrol maka selain meningkatkan suhu bumi juga menyebabkan munculnya bencana bajir dan kebakaran. i Rencana pembangunan bendungan Pejabat pemerintah sering mengajukan rencana untuk membuat bendungan Danau Sentarum. Pendukung usulan ini tidak menyadari bahwa Danau Sentarum sebagai lahan basah, tentu mengering selama musim kemarau dan semua sumberdaya di dalamnya yaitu tanaman lokal, hewan dan manusia akan menyesuaikan dengan fenomena tersebut. Pada musim kemarau panjang, danau bisa kering sepenuhnya. Pembendungan Danau Sentarum bisa memiliki efek merugikan drastis pada kualitas air, fungsi hidrologi, populasi ikan dan pendapatan penduduk lokal dan kesehatan (Yuliani et al. 2007). Permasalahan pokok berkenaan dengan pengelolaan Berkenaan dengan pengelolaan TNDS, Balai TNDS 2011 menyatakan hingga saat ini masih ditemukan beberapa permasalahan dan kelemahan yang mengakibatkan kurang optimalnya pengelolaan yang dilakukan. Permasalahan yang dimaksud adalah: 1 Rencana Pengelolaan (RP). Pengelolaan TNDS yang dibuat dalam bentuk RPJP dan RPJM. Dalam prosesnya TNDS dalam menyusun ini telah melewati proses konsultasi publik, namun masih banyak pihak belum memahami apa yang akan dikerjakan oleh Balai. RKL yang lebih bersifat strategis jangka lima tahun didasarkan pada data dan informasi yang masih lemah. Isu-isu strategis yang harus dikerjakan belum dapat diidentifikasi. Kawasan belum ditetapkan zonasinya, batas kawasan masih belum mantap (batas belum temu gelang, batas digugat pihak lain, pal batas hilang/dipindahkan/dirusak, dan atau tidak diakui masyarakat). RKL tidak dijadikan dasar RKT dan sebagai dasar dalam pengusulan anggaran. Kelemahan terdapat di daerah dan di pusat,

63 karena pusat (Bagian Program Anggaran) tidak (sempat) menganalisis usulan kegiatan UPT berdasarkan pada dokumen RP, RKL, dan RKT yang sudah ada. 2 Belum optimalnya koordinasi pengelolaan TNDS dengan dinas/instansi terkait. Dalam hal koordinasi penyusunan rencana program dan kegiatan, seringkali tidak sinkron akibat terjadinya benturan kepentingan. 3 Kurangnya sumber daya manusia yang tersedia dalam kegiatan pengelolaan yang dilakukan oleh Balai TNDS. Sampai 2010 Balai TNDS baru memiliki 37 pegawai, dan 42 tenaga kontrak untuk mengelola ha kawasan. 4 Dalam menjalankan tugas di lapangan, para petugas sering menghadapi dilema. Aparat sering harus bertentangan antara pekerjaan (penegakan hukum/aturan) dan hati nurani. Di satu sisi, aparat harus menegakkan aturan, tapi di sisi lain masyarakat yang menangkap ikan adalah sumber mata pencaharian mereka. 5 Konflik kontradiksi kebijakan, seperti: Konflik pengelolaan sekitar batas TNDS yang diberikan ijin perkebunan; melibatkan pihak pemda Kabupaten, NGO, dan Balai TNDS; Konflik pengelolaan kawasan untuk pariwisata yang berada di kawasan TNDS berupa pembangunan sarana dan prasarana wisata; melibatkan pihak pemda kabupaten khususnya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dan Balai TNDS; Kebijakan reboisasi dan penghijauan di dalam kawasan TNDS, melibatkan pihak pemda kabupaten khususnya Dinas Perkebunan dan Kehutanan, NGO dan Balai TNDS; Kebijakan desentralisasi pemerintah berupa pemekaran daerah yaitu ketika perkampungan memancing/dusun non permanen diberikan status desa permanen secara administratif, memperkuat status masyarakat untuk tinggal di dalam TNDS. 6 Konflik pemanfaatan kawasan yang terus diperdebatkan antara masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan. 7 Perlengkapan yang belum memadai 8 Lemahnya penegakan hukum 9 Keterisolasian kawasan 10 Penelitian yang masih terbatas dilakukan Berdasarkan permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan saat ini tentunya memerlukan input berupa sebuah perencanaan pengelolaan yang lebih baik dan terintegrasi yang ditujukan pada kelestarian TNDS dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Selain itu perlu diperhatikan juga bahwa seharusnya manfaat TNDS tidak hanya diukur dari sumbangan terhadap PAD atau PNBP bagi negara tetapi melihat dalam kerangka manfaat yang lebih luas dan holistik. Hal ini memerlukan dukungan dari kebijakan pengelolaan kawasan itu sendiri. Sehingga pengelolaan dapat dijalankan lebih optimal. 45

64 46 5 MANFAAT DAN NILAI EKONOMI TNDS Manfaat TNDS Identifikasi manfaat TNDS dilakukan dengan analisis fungsi yaitu menterjemahkan karakteristik ekosisitem ke dalam daftar barang dan jasa (De Groot et al. 2002). Ini berguna untuk melihat dan menentukan ketersediaan saat ini dan potensi ekosistem dalam konteks ekologi dan biofisik. Dari hasil identifikasi yang telah dilakukan maka manfaat dari TNDS adalah: 1 Pemeliharaan keanekaragaman hayati TNDS merupakan habitat penting bagi flora dan fauna. Untuk mengukur pentingnya jasa pemeliharaan keanekaragaman hayati ini, nilai (ekologi) ditentukan berdasarkan keragaman, keunikan dan integritas. (a) Keragaman: TNDS memiliki keragaman ekosistem yang tinggi, yang merupakan area kunci bagi konservasi di pulau Kalimantan. Hutan rawa gambut dan danau merupakan rumah bagi 675 jenis tumbuh-tumbuhan, 266 jenis ikan, 310 jenis burung, 515 jenis mamalia, 8 jenis kura-kura air tawar dan 5 jenis labi-labi serta 3 jenis buaya terdapat di kawasan ini (RPJM TNDS ). Sementara itu juga merupakan rumah bagi tumbuhan yang berjumlah 794 jenis (species) yang tergolong dalam 99 familia (Giesen 2000), termasuk didalamnya 136 spesies anggrek. (b) Keunikan: ada beberapa spesies endemik di TNDS, untuk jenis hewan yaitu: 1 jenis reptil, 5 spesies burung, 26 spesies mamalia, 78 persen spesies ikan air tawar yang ada merupakan endemic air tawar Kalimantan. Sementara itu jumlah tumbuhan endemik ada 59 marga (Giesen 1987), dan terdapat pula spesies rumput air yang tidak biasa dan terdapat spesies endemik (Giesen & Agloinby 2000). Tumbuhan khas dan asli yaitu tembesu/ tengkawang (Shorea beccariana). Selain itu juga terdapat tumbuhan hutan dataran rendah seperti jelutung (Dyera costulata), ramin (Gonystylus bancanus), meranti (Shorea sp.), keruing (Dipterocarpus sp.), dan kayu ulin (Eusideroxylon zwageri). (c) Integritas: Taman ini meliputi ha dan terdiri dari zona inti, yang merupakan serangkaian danau musiman yang saling berhubungan (sekitar ha), dengan daerah sekitarnya adalah lahan kering. 2 Pengatur pasokan air Di TNDS terdapat dua buah sungai utama yaitu sungai Tawang dan sungai Leboyan. Sungai Tawang merupakan sungai yang menghubungkan antara sungai Kapuas dengan danau di komplek TNDS, sedangkan sungai Leboyan berhulu ke sungai Embaloh. Curah hujan tahunan di TNDS berfluktuasi sekitar mm per tahun, sementara bukit-bukit sekitarnya dan daerah tangkapan air pegunungan menerima mm per tahun (Aglionby 2000). Pada bagian atas cekungan Kapuas sangat datar, dan air dari Sungai Kapuas berkumpul pada bagian hulu secara alami dekat Semitau, yaitu bagian hilir dari TNDS. Karena tingkat curah hujan tinggi, sebagian besar daerah dataran rendah di cekungan dibanjiri pada bulan-bulan basah. Tiga perempat dari danau atau sekitar km 2 bagian atas Kapuas adalah termasuk dalam TN. Danau-danau bertindak sebagai buffer untuk sistem

65 Sungai Kapuas, pencegah banjir dan ketinggian air penyangga di musim kemarau. Menurut model yang dikembangkan oleh Klepper (1994), seperempat dari puncak banjir Sungai Kapuas hulu tersedot ke TNDS dan hutan rawa, sehingga secara signifikan mengurangi banjir di bagian hilir. Selama musim kemarau, hingga 50 persen air di Sungai Kapuas bagian atas terdiri dari air yang mengalir dari danau dan hutan rawa, sehingga mempertahankan tingkat air dan menjaga pasokan air di hilir. Selain itu aliran sungai Tawang dan Kapuas merupakan potensi untuk pembangkit listrik tenaga air (PLTA), dan sebagai air baku yang potensial untuk kebutuhan penduduk di sekitar aliran sungai Kapuas dan kecamatan-kecamatan terdekat. Potensi ini sudah mulai dirintis dengan dikerjakannya proyek pembangkit listrik mikro hidro di beberapa tempat di TNDS (Indriatmoko 2010). 3 Rekreasi dan pariwisata Pemanfaatan potensi pariwisata masih sangat kecil bila dilihat dari jumlah kunjungan yang datang ke TNDS, dimana pada tahun 2010 tercatat oleh Balai TNDS hanya 121 orang yang datang berkunjung. Jumlah pengunjung masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan taman nasional lain yang ada di Indonesia. Hal ini diduga karena beberapa hal yang berkaitan dengan manajemen pariwisata yang ada saat ini. Jika kapasitas manajemen meningkat dalam hal infrastruktur yang lebih baik, peralatan dan personil, perluasan dan promosi taman bisa menerima lebih banyak pengunjung. Usaha pemerintah daerah kabupaten Kapuas Hulu dalam mempromosikan TNDS ini adalah dengan menggelar festival TNDS- TNBK pada tanggal 28 November 2011 yang lalu. Menurut Drs. Alexander Rombonang,MMA (Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwsata Kapuas Hulu) mengatakan bahwa Festival Danau Sentarum yang baru pertama kali dilaksanakan tersebut bertujuan untuk memperomosikan objek wisata Danau Sentarum yang sudah ditetapkan sebagai destinasi objek wisata nasional di Indonesia. 4 Penyimpan karbon TNDS merupakan situs aktif gambut pembentuk habitat. Menurut Anshari 2010 gambut di taman ini mulai terbentuk pada kuarter akhir dan telah memainkan peran penting dalam siklus karbon global masa lalu dan saat ini. Sebuah studi awal 2007 untuk mengkuantifikasi penyimpanan karbon organik total dalam hutan rawa gambut TNDS telah mengungkapkan kedalaman gambut sangat bervariasi, mulai 2,0-9,6 meter. Nilai ph, abu, dan total nitrogen sangat rendah. Bulk density berkisar 0,08-0,1 g [cm.sup.-3]. Dan konsentrasi rata-rata karbon organik total 53 persen. Penyimpanan karbon rata-rata dalam sampel adalah ([+ atau -] 1.200) t C / ha, sekitar 10 kali karbon atas tanah penyimpanan di hutan hujan primer. Variasi di antara sampel adalah tinggi (1,000-4,000 t / ha), terutama karena variasi kedalaman gambut. Penyimpanan karbon total dalam hutan rawa gambut TNDS diperkirakan mencapai 33,5 juta ton, setara dengan sekitar 122,6 juta ton C [O.sub.2]. 5 Gudang berbagai hasil sumberdaya alam Berbagai hasil alam yang dihasilkan di TNDS yaitu: perikanan, kehutanan, pertanian, hasil hutan non kayu. Sektor perikanan memang menjadi urat nadi bagi masyarakat di TNDS, hasil ikan dari TNDS merupakan pasokan utama (40-60 persen) ikan air tawar di Kalimantan Barat (TNDS 2011). Hasil kayu dari hutan TNDS merupakan andalan bagi masyarakat untuk membuat bangunan rumah dan keperluan lainnya, bahkan sempat menjadi incaran kegiatan penebangan liar. 47

66 48 Kegiatan pertanian di TNDS adalah berupa kegiatan berladang berpindah dengan tanaman utama padi diselingi jenis-jenis palawija seperti jagung, timun, dan lainlain yang umumnya untuk dikonsumsi sendiri. Hasil hutan non kayu yang dihasilkan di TNDS sangat beragam. Namun yang menjadi andalan utama adalh madu hutan.madu hutan ini dihasilkan oleh lebah liar (Apis dorsata). Lebah liar tersebut datang ke kawasan secara musiman pada saat pohon-pohon mulai berbunga yang berlangsung antara bulan November-Maret setiap tahunnya. Hasil hutan non kayu, seperti rotan, bemban, pandan, tumbuhan obat, tumbuhan pewarna telah dimanfaatkan sejak dulu oleh masyarakat. Hasil hutan non kayu tersebut sebagai bahan baku untuk kerajinan, alat-alat penangkap ikan, alat-alat kebutuhan rumah tangga, maupun bahan pembuat samak, obat-obatan, bahan konsumsi serta kebutuhan lainnya. 6 Ruang bagi mahluk hidup TNDS dengan luasan ha merupakan ruang bagi berbagai kegiatan mahluk hidup yang tinggal di dalamnya. TNDS berisi pemukiman manusia, yang sudah ada sebelum TNDS dibentuk. Ada 45 kampung permanen dan 10 kampung non permanen di dalam TNDS, yang merupakan tempat hidup bagi manusia dengan segala aktivitasnya. Keberadaan manusia dalam TNDS mengindikasikan adanya kegiatan budidaya, produksi energy dan interaksi antara mahluk hidup yang ada. Sebagai ruang hidup, tidak hanya manusia tetapi juga mahluk hidup lainnya seperti habitat untuk berbagai jenis flora dan fauna yang beraneka ragam. Keberadaan mahluk hidup yang bersimbiosis dengan alam lingkungan yang ada menjadi ruang tempat penelitian, rekreasi dan lain sebagainya. Sehingga TNDS memberikan dan menyediakan berbagai informasi ilmiah, estetika dan juga spiritual. Dari identifikasi tersebut maka jenis barang dan jasa yang dihasilkan oleh TNDS bisa diklasifikasikan berdasarkan kegunaan yaitu telah digunakan (usefull) dan belum digunakan (not usefull yet), serta barang dan jasa yang memiliki pasar (marketable) dan belum memiliki pasar (not marketable). Hasil klasifikasi tersebut dapat dilihat pada matriks berikut: U s e f u l l Useful Not marketable Not use Not marketable Useful Marketable Not use Marketable Marketable Gambar 10 Klasifikasi jenis barang dan jasa yang dihasilkan oleh TNDS berdasarkan kegunaan dan pasar yang tersedia

67 49 Karena tidak semua barang dan jasa tersebut digunakan saat ini, dan yang digunakan saat ini belum semuanya memiliki pasar, sehingga seringkali kawasan konservasi atau kawasan sumberdaya alam lainnya dianggap tidak bernilai. Akibatnya pengelolaan terhadap kawasan tersebut tidak dilakukan sebagaimana mestinya dan dianggap sebagai beban karena harus dibiayai. Ini mengindikasikan bahwa pemanfaatan terhadap hasil TNDS masih lemah, karena secara ekonomi lemah. Hal ini disebabkan adanya manfaat yang hilang dan tidak digunakan sebagaimana mestinya. Terjadinya deforestrasi hutan dan degradasi lingkungan di TNDS menunjukkan bahwa pengelolaan belum berjalan dengan baik. Tidak stabilnya sistem hidrologi, rusaknya sistim iklim dan musim yang tak menentu, seringnya terjadi kebakaran hutan dapat menyebabkan stabilitas ekonomi terganggu. Biodiversity yang semakin menurun merupakan hambatan dalam pemenuhan ekonomi masyarakat di masa depan, hal ini berarti potensi barang dan jasa yang dihasilkan akan hilang yang menyebabkan manfaat yang dihasilkan juga akan hilang. Untuk mengubah penggunaan/pemanfaatan yang masih rendah menjadi tinggi memang harus dilakukan secara hati-hati, dirancang dengan memperhatikan lingkungan dan biodiversity yang ada. Salah satu cara masuk adalah dengan mengetahui nilai potensi yang ada di TNDS dengan melakukan penilaian terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh TNDS. Nilai Guna Langsung Nilai Ekonomi TNDS Nilai guna langsung yang dinilai dalam penelitian ini dibatasi pada hasilhasil yang diperoleh oleh masyarakat di dalam kawasan, yang terdiri dari nilai dari perikanan tangkap, madu, karet, padi ladang dan kayu bakar. Nilai Ekonomi Perikanan Tangkap Nilai ekonomi perikanan tangkap dihitung dengan menggunakan pendekatan langsung (harga pasar) terbatas jenis ikan tertentu yang diusahakan untuk dijual. Masyarakat di TNDS hampir semuanya bermata pencaharian sebagai nelayan. Pada umumnya masyarakat menangkap ikan dengan menggunakan sarana transportasi berupa sampan, long boat, dan peralatan menangkap ikan menggunakan pancing, jala, rabai, tempilar, jermal, pukat, bubu warin dan bubu bidang. Masyarakat melakukan aktifitas menangkap ikan setiap harinya, dengan trip dalam sehari rata-rata 1-2 kali. Dari hasil wawancara disebutkan jenis ikan yang paling sering mereka tangkap dan sering didapat adalah ikan toman (Channa micropeltes), biawan (Helostoma temminckii), lais jungan (Kriptopterus apogon), dan ikan belida (Notopterus sp). Sementara dari Balai TNDS dinyatakan ada 25 jenis ikan yang dominan ditangkap dan diperdagangkan dari perairan Danau Sentarum, seperti pada Tabel 9. Dari hasil perhitungan diperoleh nilai ekonomi perikanan tangkap di TNDS secara keseluruhan adalah sebesar Rp /tahun atau sebesar Rp ,56/ha/tahun.Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1.

68 50 Tabel 9 Jenis ikan yang umumnya ditangkap dan diperdagangkan dari perairan TNDS No. Jenis ikan Dijual dalam bentuk 1 Toman (Channa micropeltes) Ikan segar, ikan asin dan kerupuk 2 Runtuk (Channa bankanensis) Ikan segar, ikan asin dan kerupuk 3 Kerandang (Channa pleuropthalmus) Ikan segar, ikan asin dan kerupuk 4 Delak (Channa striata) Ikan segar, ikan asin dan kerupuk 5 Biawan (Helostoma temminckii) Ikan segar dan ikan asin 6 Kaloi (Osphronemus gouramy) Ikan segar dan ikan asin 7 Piam (Leptobarbus hoevenii) Ikan segar, ikan asin dan kerupuk 8 Belida (Notopterus sp) Ikan segar dan kerupuk 9 Kelabau (Osteochilus triporos) Ikan segar 10 Menyadin (Osteochilus triporos) Ikan segar 11 Tengadak (Barbodes schanenfedii) Ikan segar 12 Tengalan (Puntioplites bulu) Ikan segar 13 Tebirin (Belodontichthys dinema) Ikan segar 14 Lais jungang (Kriptopterus apogon) Ikan salai 15 Lais butu (Ompok hypopthalmus) Ikan salai 16 Bauk ketub (Thynnichthys polylepis) Ikan segar 17 Baung (Mystus nemurus) Ikan segar dan ikan asin 18 Tapah (Wallago laeri) Ikan segar 19 Betutu (Oxyeleotris marmorata) Ikan segar 20 Juara (Pangasius polyuranodon) Ikansegar dan ikan asin 21 Ulang-uli (Botia macracanthus) Ikan hias 22 Siluk (Scleropages formosus) Ikan hias 23 Ringau (Datnoides microlepis) Ikan hias 24 Engkadik (Botia hymenophysa) Ikan hias 25 Seluang merah (Epalzeorhynchus Ikan hias kalopterus Sumber: Data Statistik Balai TNDS 2011 Hasil valuasi ekonomi untuk ikan ini jauh lebih tinggi dari valuasi ekonomi ikan tahun 2007 sebesar Rp ,27/tahun (Handayani 2008), hal ini diduga karena perbedaan pendekatan yang dilakukan dan harga ikan yang sudah berubah menjadi lebih tinggi dibanding 5 tahun yang lalu. Handayani menggunakan metode Effect on Production (EOP), sementara penelitian ini langsung menggunakan harga pasar. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa ikan sudah memiliki pasar yang jelas. Nilai Ekonomi Madu Untuk menghitung nilai ekonomi madu yang dihasilkan di TNDS digunakan pendekatan dengan menggunakan harga pasar dari nilai hasil penjualan madu yang diorganisir oleh APDS. Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa semenjak berdirinya APDS pada tahun 2006, sebagian besar madu yang dihasilkan oleh masyarakat di jual ke APDS. Tercatat bahwa hasil produksi madu tertinggi diperoleh pada tahun , dimana saat itu produksi madu yang dihasilkan

69 51 sebanyak kg. Harga madu yang berlaku pada tahun tersebut Rp /kg. Berikut data hasil penjualan madu semenjak APDS berdiri (Tabel 10): Tabel 10 Hasil penjualan madu dari hasil tikung di TNDS melalui APDS Uraian Tahun Jumlah periau Jumlah anggota Luas (ha) Jumlah tikung Produksi (Kg) Terjual (Kg) Harga (Rp/kg) Omzet penjualan (Rp) Sumber: Data penjualan APDS Dari data tersebut di atas tampak bahwa hasil madu yang dihasilkan tidak stabil, hal ini disebabkan oleh faktor alam yang terjadi di daerah periau tersebut. Faktor alam sangat menentukan hasil madu yang dihasilkan. Walaupun jumlah periau, jumlah anggota dan jumlah tikung serta luasan bertambah tapi tidak secara signifikan memperbesar produksi madu yang dihasilkan, dapat diilustrasikan pada Gambar Produksi Madu di TNDS Jlh anggota Luas (ha) Jlh tikung Produksi (kg) Gambar 11 Produksi madu dari hasil tikung anggota periau di TNDS Nilai ekonomi ini diperoleh dari hasil produksi madu tertinggi yang pernah dihasilkan oleh para periau dikalikan dengan harga pasar yang berlaku saat ini. Dari perhitungan nilai ekonomi produksi madu diperoleh hasil sebesar Rp /tahun atau sama dengan Rp ,23/ha/tahun. Nilai ini merupakan nilai pendapatan yang diperoleh dari hasil penjualan madu yang dibeli oleh APDS dari anggota periaunya. Nilai ekonomi dari madu tersebut di atas belum menggambarkan nilai madu yang sesungguhnya yang dapat dihasilkan di TNDS, karena nilai tersebut hanya menghitung hasil produksi madu yang berasal dari tikung. Padahal di TNDS madu selain dihasilkan dari tikung, juga dihasilkan dari

70 52 lalau dan repak. Selain itu hanya madu yang dihasilkan anggota periau yang dihitung, kenyataannya masih ada masyarakat yang belum menjadi anggota periau yang juga mengusahakan tikung dan menjual langsung hasil madunya. Nilai Ekonomi Karet Nilai ekonomi karet dimasukkan dalam perhitungan valuasi ekonomi karena keberadaan dari kebun karet milik masyarakat, terutama masyarakat Dayak yang ada di TN. Masyarakat melayu saat penelitian juga sudah mulai melakukan penanaman karet pada 2-3 tahun terakhir, tapi belum ada yang menghasilkan. Sehingga dalam valuasi untuk nilai karet hanya menghitung dari masyarakat Dayak yang ada. Nilai getah karet diduga dari potensi getah karet yang ada di dalam kawasan TNDS dan dikalikan dengan harga getah karet yang berlaku di pasar. Berdasarkan data dan perhitungan yang telah dilakukan maka nilai ekonomi karet untuk TNDS adalah sebesar Rp /tahun atau sama dengan Rp ,06/ha/tahun. Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 2. Nilai Ekonomi Ladang (Padi) Nilai ekonomi ladang juga dimasukkan dalam perhitungan valuasi, karena ladang masyarakat umumnya berada di dekat sungai dan merupakan satu kesatuan ekosistem TNDS. Seperti karet, ladang diusahakan tiap tahunnya oleh masyarakat Dayak yang tinggal di dalam kawasan. Nilai ladang diduga dari potensi ladang yang ada di dalam kawasan TNDS dan harga beras yang berlaku di pasar. Berdasarkan hasil perhitungan maka nilai ekonomi hasil ladang di TNDS sebesar Rp /tahun atau sama dengan Rp ,01/ha/tahun. Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 3. Hasil ladang biasanya tidak cukup untuk makan selama satu tahun. Hasil ladang ini semuanya untuk dimakan. Selain faktor keberuntungan karena tidak terkena hama dan faktor alam lainnya, keahlian dalam mengelola ladang dan banyaknya ladang yang dimiliki atau diolah oleh satu keluarga menjadi penentu untuk keberhasilan hasil ladang yang didapat nantinya. Seperti tahun 2011 saat penelitian dilakukan, ladang penduduk tidak menghasilkan karena habis dimakan hama belalang. Nilai Ekonomi Kayu Bakar Masyarakat di dalam TNDS sebagian besar masih menggunakan kayu bakar dalam kegiatan memasak sehari-hari yang diperoleh dari lingkungan sekitar tempat tinggal mereka. Selain itu juga kayu bakar digunakan untuk bahan bakar membuat ikan salai dan kerupuk kering/basah. Ini menunjukkan ketergantungan terhadap kayu bakar tersebut masih cukup tinggi, dan bila dinilai secara ekonomi akan memberikan nilai yang cukup tinggi pula. Kayu bakar merupakan nilai guna langsung dari hutan dengan potensi yang melimpah di sekitar kawasan tempat tinggal masyarakat, karena kayu bakar belum ada nilainya, masyarakat tinggal mengumpulkan dan mengambilnya secara gratis dari alam. Untuk menghitung nilai ekonomi kayu bakar digunakan pendekatan dengan menggunakan biaya pengadaan. Pendekatan dengan biaya pengadaan sangat ditentukan oleh karakteristik sosial ekonomi masyarakat pengguna suatu komoditi. Berdasarkan data dan hasil perhitungan menggunakan regresi linier berganda maka diperoleh model kurva permintaannya adalah :

71 53 Y = X X X X X X6 Nilai ekonomi kayu bakar diduga dengan model tersebut di atas dengan menganggap variabel lain tetap (dalam hal ini digunakan nilai rata-rata), sehingga konsumsi kayu bakar hanya ditentukan oleh biaya pengadaan (harga). Berdasarkan perhitungan diperoleh nilai kesediaan berkorban, nilai yang dikorbankan, dan surplus konsumen kayu bakar berturut-turut adalah Rp ,50/orang/tahun; Rp ,50/orang/tahun; dan Rp ,50/ orang/tahun. Lampiran 4 menyajikan perhitungan nilai ekonomi kayu bakar. Selanjutnya untuk penghitungan nilai ekonomi total akan digunakan nilai surplus konsumen yang diperoleh. Maka nilai ekonomi kayu bakar untuk TNDS adalah Rp 25,22/ha/tahun. Nilai rekreasi dan pariwisata Nilai rekreasi dan pariwisata merupakan nilai manfaat langsung atau dapat dikonsumsi secara langsung oleh pengunjung. Nilai rekreasi dihitung berdasarkan tiket biaya masuk ke kawasan TNDS. Potensi-potensi pariwisata yang dimiliki oleh TNDS telah menarik minat para wisatawan, baik wisatawan nusantara maupun mancanegara Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 59 Tahun Rayon II, biaya masuk untuk wisatawan mancanegara adalah Rp dan untuk wisatawan nusantara adalah Rp Sejak tahun 2007 telah terjadi peningkatan kunjungan ke TNDS (Gambar 12) dimana wisatawan nusantara selalu lebih tinggi daripada wisatawan mancanegara, kecuali pada tahun 2007 jumlah kunjungan wisatawan mancanegara lebih tinggi dari wisatawan nusantara. Perkembangan Jumlah Pengunjung Jumlah (orang) Nusantara Mancanegara Tahun Gambar 12 Data perkembangan jumlah pengunjung TNDS Sumber : Data Statistik Balai TNDS 2011 Berdasarkan data terakhir, untuk tahun 2011 biaya masuk yang diterima TNDS sebesar Rp (TNDS 2011). Nilai tersebut merupakan nilai moneter yang diterima oleh TNDS dari kegiatan rekreasi dan pariwisata. Untuk melihat nilai potensi bisa dengan menggunakan pendekatan metode biaya perjalanan. Metode ini menentukan nilai rekreasi dari kawasan konservasi dengan melihat kesediaan membayar (willingness-to-pay) para pengunjung. Metode ini menunjukkan bahwa nilai kawasan konservasi bukan hanya dari tiket masuk saja,

72 54 tetapi juga mempertimbangkan biaya yang dikeluarkan pengunjung menuju lokasi kawasan konservasi dan hilangnya pendapatan potensial mereka karena waktu yang digunakannya untuk kunjungannya tersebut. Metode biaya perjalanan ini menunjukkan bahwa para pengunjung lebih bersedia membayar lebih seperti halnya tiket masuk aktual ke taman nasional. Namun nilai potensi ini belum berhasil dihitung langsung pada penelitian ini, karena masih rendahnya tingkat kunjungan ke TNDS dan saat penelitian berlangsung tidak adanya kunjungan wisatawan. Nilai Guna Tidak Langsung Nilai Air untuk Rumah Tangga Untuk menduga nilai ekonomi air pada jasa air untuk rumah tangga ini dilakukan dengan melakukan kalkulasi terhadap air yang digunakan oleh rumah tangga. Pemakaian air untuk rumah tangga terdiri dari kebutuhan untuk memasak, mandi dan mencuci, serta kakus. Masyarakat mengambil sumber air yang digunakan semuanya berasal air sungai. Keberadaan akan sumber air mempengaruhi perilaku masyarakat dalam memenuhi kebutuhan mereka terhadap air. Selain faktor budaya dan kebiasaan, perilaku tersebut juga dipengaruhi oleh faktor sosial ekonomi. Untuk keperluan minum dan masak biasanya air sungai diendapkan terlebih dahulu pada wadah yang ada di rumah seperti tempayan dan sebagainya, karena air sungai terkadang keruh apalagi pada saat hujan di hulu. Selain itu juga masyarakat memiliki penampungan air hujan untuk konsumsi sehari-hari. Saat ini masyarakat Tekenang dan Pengembung juga telah dapat memanfaatkan air yang sudah dipipanisasi oleh Balai TNDS dari bukit Tekenang terutama di musim kemarau. Kondisi sumber air masyarakat dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Kondisi pemanfaatan air di TNDS Kampung/ Desa/ Dusun Sumber Air Alternatif Sumber Air Jarak ke Air (m) Keterangan SPTN Lanjak Pulau Majang Sungai Air hujan 5-20 Kedungkang Sungai Air hujan SPTN Semitau Sungai - Kenelang Sungai Air hujan 2-5 Pengembung Sungai Air hujan dan Bukit Tekenang 2-5 Pipanisasi BTNDS Tekenang Sungai Air hujan dan Bukit Tekenang 1-2 Pipanisasi BTNDS Madang Permai Sungai Air hujan 1-2 SPTN Selimbau Batu Rawan Sungai Air hujan 2 Gudang Hulu Sungai Air hujan 2-5 Gudang Hilir Sungai Air hujan 1-5 Meresak Sungai Air hujan 2 Penawan Sungai Air hujan 2 Berdasarkan hasil kalkulasi untuk mengestimasi nilai air berdasarkan konsumsi rumah tangga dapat diketahui nilai ekonomi air untuk rumah tangga di TNDS adalah sebesar Rp /tahun atau setara dengan Rp

73 ,64/ha/tahun (Perhitungan nilai air untuk rumah tangga dapat dilihat pada Lampiran 5). Nilai ini lebih tinggi dari hasil penelitian yang dilakukan Handayani (2008) untuk nilai air rumah tangga sebesar Rp /tahun. Hal ini dikarenakan perbedaan data yang digunakan untuk rata-rata konsumsi air/orang/hari dan harga air yang sudah lebih tinggi di saat penelitian ini dilakukan. Hal ini menunjukkan bahwa air merupakan satu kebutuhan vital masyarakat yang semakin hari nilainya semakin tinggi, dan ini disediakan secara cuma-cuma oleh alam di TNDS. Nilai air rumah tangga di TNDS ini juga lebih tinggi dari nilai air untuk masyarakat pada lahan basah Muthurajawela di Sri Lanka sebesar US$ 39,191 per tahun (Schyut and Brander 2004), karena cakupan luas TNDS jauh lebih besar dibanding Muthurajawela seluas 3068 ha, dan jumlah penduduk lokal yang memanfaatkan air tersebut. Nilai Air untuk Transportasi Transportasi air merupakan urat nadi kehidupan masyarakat di dalam kawasan TNDS. Untuk menghitung nilai ekonomi air digunakan dengan menggunakan pendekatan langsung (harga pasar). Akses menuju ke dalam kawasan TNDS hanya dapat ditempuh melalui jalur sungai. Seluruh masyarakat di TNDS masih sangat tergantung pada transportasi sungai, namun begitu belum ada jasa transportasi sungai yang disediakan oleh masyarakat. Alat transportasi yang tersedia hanya penyewaan speedboat yang dilakukan oleh penduduk di ibukota kecamatan, dan hanya melayani untuk pulang pergi dalam sehari, jika orang luar datang dan akan menginap biasanya driver dari speedboat akan menjemput lagi keesokan harinya. Oleh karena itu tidak heran bahwa di setiap rumah memiliki speedboat, minimal 1 buah dengan ukuran minimal 3,3 PK untuk transportasi dan pemenuhan kebutuhan hidup lainnya seperti kegiatan menangkap ikan sehari-hari. Umumnya speedboat yang dimiliki masyarakat dibeli di negara tetangga yaitu Malaysia, dengan alasan harga yang lebih murah dan jarak yang lebih dekat. Seperti yang dikemukakan oleh banyak reponden bahwa harga speed 3,3 PK di Lubuk Antu (Malaysia) hanya 7,7 juta yang buka bungkus (baru), tetapi di Indonesia di ibukota kabupaten seperti Putussibau bisa berkisar juta rupiah. Harga bahan bakar bensin campur oli sebagai bahan bakar speed mencapai Rp 9000 Rp saat penelitian ini berlangsung, jadi dua kali lipat harga normal. Nilai ekonomi air untuk jasa transportasi ini akan dihitung dari biaya bahan bakar yang diperlukan untuk kegiatan setiap hari dan kegiatan masyarakat keluar kampung/dusun/desa ke ibukota kecamatan terdekat yang rata-rata dilakukan setiap bulan satu kali. Di TNDS, masyarakat biasanya menggunakan alat transportasi sehari-hari untuk menangkap ikan dan pergi keluar kampung masing-masing untuk urusan keluarga, urusan sekolah anak, pergi berobat dan urusan lainnya rata-rata sekali dalam sebulan. Pergi keluar kampung biasa hanya dilakukan ke ibukota kecamatan terdekat, maka biaya transportasi TNDS secara keseluruhan adalah sebesar Rp ,-/tahun atau sebesar Rp ,73/ha/tahun. (Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 6) Nilai air untuk transportasi ini jauh lebih tinggi dibanding nilai air untuk transportasi di Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK) yaitu sebesar Rp

74 /tahun (Roslinda dan Yuliantini 2011). Hal ini dikarenakan perbedaan kondisi dan metode yang dipergunakan. Nilai Air untuk Perikanan Budidaya Budidaya ikan dilakukan oleh masyarakat di TNDS sebagai salah satu tabungan ketika ikan tangkapan tidak memberikan hasil yang mencukupi untuk kebutuhan mereka. Budidaya dilakukan di dalam keramba apung. Bisa dikatakan seluruh masyarakat di kawasan TNDS memiliki keramba, meskipun jumlah kepemilikannya berbeda di tiap nelayan. Jenis ikan yang dibudidayakan adalah ikan toman (Channa micropeltes). Toman adalah sejenis ikan karnivora atau pemakan daging yang hidup bebas di perairan Danau Sentarum. Ikan tersebut ditangkap sewaktu masih kecil untuk dijadikan bibit dan dipindahkan kedalam keramba untuk kemudian dibudidayakan.harga ikan budidaya dihitung dengan menggunakan pendekatan langsung (harga pasar) terbatas jenis ikan tertentu yang diusahakan untuk dijual. Berdasarkan perhitungan maka nilai ekonomi perikanan budidaya di TNDS saat penelitian adalah sebesar Rp ,-/tahun atau sama dengan Rp ,79/ha/tahun. Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran7). Ada dugaan budidaya ikan toman secara intensif merupakan ancaman yang perlu diperhatikan karena akibat dari budidaya ikan dalam keramba semacam ini tidak hanya berbahaya bagi keanekaragaman hayati ikan di danau (karena semua anak-anak ikan dari berbagai jenis yang tertangkap dimanfaatkan sebagi pakan), tapi juga terhadap rusaknya kualitas air danau karena adanya pembusukan sisasisa pakan di dasar perairan. Nilai Ekonomi Simpanan Karbon Pendekatan yang digunakan untuk menghitung nilai ekonomi karbon adalah dengan harga pasar. Penentuan nilai karbon dalam penelitian ini difokuskan pada simpanan karbon dalam tanah gambut yang terdapat pada hutan rawa gambut. Dari hasil perhitungan, maka nilai simpanan karbon di TNDS per tahun sebesar Rp atau setara dengan Rp /ha/tahun. (Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 8). Nilai ini merupakan nilai manfaat yang diberikan kepada masyarakat lokal maupun global atas kualitas ekosistem kawasan TNDS sebagai suatu ekosistem yang mampu berfungsi sebagai penyimpan CO 2 atau berfungsi dalam pengatur iklim. Nilai ini jauh lebih tinggi dibanding yang diberikan oleh lahan basah Pantanal di Brazil dimana jasa ekosistem sebagai pengatur iklim sebesar US$ (Schyut and Brander 2004). Nilai Pilihan Pendekatan yang digunakan untuk menghitung nilai pilihan adalah dengan harga pasar. Nilai pilihan merupakan nilai harapan masa yang akan datang terhadap komoditas yang saat ini digunakan (konsumsi) maupun yang belum dimanfaatkan. Nilai pilihan ini meliputi jenis flora dan fauna. Jenis flora antara lain jenis anggrek (Bulbophyllum, Coelogyne, Dendrobium, Dimorphorchis, Grammatophylum, Phalaenopsis, Taenia, Spathoglottis and Vanda), sedangkan jenis fauna adalah jenis ikan (ulang uli dan ringau) dan jenis reptilia (labi-labi). Dari hasil perhitungan nilai ekonomi maka diperoleh hasil sebesar Rp

75 /tahun atau sama dengan Rp ,18/ha/tahun (perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 9). Dengan demikian nilai pilihan berupa flora dan fauna yang masih tersimpan dalam kawasan TNDS adalah Rp ,18/ha/thn. Nilai pilihan tersebut cukup besar jika dibandingkan nilai pilihan TNGH (Widada 2004) adalah Rp /ha/thn, hal ini dikarenakan masih banyak flora dan fauna yang belum dimanfaatkan dan akan berguna pada masa depan. Selain itu juga perbedaan metode yang digunakan untuk menghitung nilai pilihan. Namun nilai ini belum mengcover semua nilai pilihan dari TNDS karena masih banyak potensi flora dan fauna yang belum dinilai dan potensi yang dinilai juga hanya berdasarkan jumlah pengambilan/tangkapan yang mampu dilakukan oleh masyarakat. Hal ini dilakukan karena tidak adanya data yang akurat mengenai potensi flora dan fauna di lokasi penelitian. Selain itu beberapa jenis lain tidak dimasukkan dalam hitungan karena sudah termasuk fauna yang dilindungi seperti ikan Arwana /siluk (Scleropages formosus) sudah masuk dalam threatened species IUCN dan CITES Appendix 1, dan Orang utan (Pongo pygmaeus) masuk dalam endangered species IUCN dan CITES Appendix 1. Walaupun demikian untuk kelestarian jenis flora dan fauna tersebut sebaiknya dalam pengambilannya perlu dilakukan dengan arif dan bijaksana. Dalam PP No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, ada beberapa jenis flora dan fauna yang ada dilokasi penelitian merupakan jenis yang dilindungi seperti anggrek (Bulbophyllum beccarii), sedangkan untuk jenis fauna adalah labi-labi (Amyda cartilaginea). Oleh karena itu pengambilan jenis flora dan fauna tersebut harus melalui mekanisme seperti yang tertuang dalam Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 104/Kpts-II/2000 tentang Tata Cara Pengambilan Tumbuhan Liar dan Menangkap Satwa Liar. Selain jenis flora dan fauna juga perlu diperhatikan jumlah pengambilannya. Seperti yang tertulis dalam Peraturan Pemerintah No 8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar, pasal 19, pasal 44 (1), pasal 49. Nilai Ekonomi Total TNDS Kayu merupakan nilai guna langsung dari hutan, di kawasan TNDS terdapat banyak sekali jenis-jenis kayu komersil, seperti tembesu, bengkirai, meranti dan lain-lain. Kayu-kayu tersebut apabila ditebang dan dijual akan menghasilkan nilai ekonomi yang sangat tinggi. Akan tetapi, karena kayu-kayu tersebut berada di kawasan TN sehingga keberadaannya tidak bisa diproduksi/tidak ditebang. Pemanfaatan kayu merupakan biaya kesempatan bagi manfaat TNDS lainnya, dimana apabila kayu hutan dieksploitasi, maka manfaat hutan yang lain akan hilang karenanya. Pendugaan NET dilakukan dengan menjumlahkan nilai ekonomi dari produk atau jasa lingkungan yang diberikan oleh TNDS, maka diperoleh nilai ekonomi total TNDS seperti Tabel 12. Data pada Tabel 12 menunjukkan bahwa nilai ekonomi simpanan karbon sangat tinggi (sekitar 75,19 persen) dibanding nilai ekonomi lainnya yang dihitung. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi ekosistem TNDS relatif masih baik, memiliki kawasan gambut yang masih cukup terjaga. Namun di lain pihak,

76 58 menunjukkan bahwa persepsi masyarakat, terutama masyarakat di sekitar TNDS masih rendah terhadap sumberdaya alam. Simpanan karbon merupakan nilai yang didasaarkan pada persepsi masyarakat dunia dan merupakan fungsi regulasi dari ekosistem secara luas. Secara riel sampai saat ini nilai simpanan karbon tersebut belum dapat dirasakan oleh masyarakat, walaupun memiliki potensi besar untuk dapat masuk dalam pasar jasa lingkungan (environmental service market). Oleh karenanya dalam penelitian ini NET yang akan dipakai adalah NET tanpa simpanan karbon karena manfaat simpanan karbon belum dapat memenuhi persyaratan untuk menghasilkan suatu nilai. Tabel 12 Ringkasan hasil perhitungan NET TNDS No Jenis Nilai Macam Nilai Valuasi ekonomi (Rp/tahun) 1. Nilai Guna Langsung 2. Nilai Guna Tidak Langsung 1. Ikan Tangkap 2. Madu 3. Karet 4. Padi 5. Kayu bakar 6. Pariwisata 1. Air RT 2. Air transportasi 3. Air perikanan 4. Simpanan Valuasi ekonomi per ha (Rp/tahun) % , , ,06 615,15 25,22 109, , , ,79 2,79 0,07 0,15 0,03 0,00 0,00 0,08 5,72 0,98 karbon ,73 75,19 3. Nilai Pilihan 1. Pilihan ,18 14,99 Total ,51 100,00 Bila nilai simpanan karbon tidak diperhatikan (Tabel 13), nampak bahwa nilai pilihan memiliki proporsi yang jauh lebih tinggi dibandingkan nilai lainnya, yaitu sebesar 62,00 persen dari total nilai ekonomi TNDS. Nilai pilihan tersebut menggambarkan dan menginformasikan bahwa terdapat banyak potensi alam yang bermanfaat di TNDS. Nilai ini juga menginformasikan jika kondisi TNDS saat ini masih dalam kondisi yang cukup baik, dan ini berarti akan dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat baik di dalam/sekitar kawasan dan juga masyarakat secara luas. Nilai ini hampir sama dengan manfaat ekonomi mengenai informasi untuk pendidikan dan pengetahuan di The Dutch Wadden Sea (Belanda) sebesar US$ 6,048,000 tahun 2003 (Schyut dan Brander 2004). Setelah nilai pilihan, nampak bahwa nilai guna tidak langsung yang terdiri dari nilai jasa air memiliki proporsi yang tinggi dibandingkan nilai guna langsung yang dapat dirasakan oleh masyarakat. Nilai air di TNDS ini dilihat dari nilai air untuk rumah tangga, nilai air untuk transportasi dan nilai air untuk perikanan. Nilai air memberikan kontribusi sebesar 24,66 persen dari total nilai ekonomi yang dinilai dan ini langsung dirasakan oleh masyarakat di TNDS. Air danau dan sungai yang ada merupakan urat nadi kehidupan masyarakat. Ekosistem TNDS yang unik dan kompleks menyediakan air bagi masyarakat baik kondisi basah maupun kering. Nilai ekonomi air bagi masyarakat TNDS adalah sebesar Rp ,16/ha/tahun. Nilai ekonomi air ini akan lebih besar lagi bila menghitung penyediaan air bersih bagi masyarakat di luar kawasan TNDS seperti yang

77 59 dilakukan oleh Handayani (2008). Handayani menghitung penyediaan air bersih bagi masyarakat di hilir TNDS, yaitu kota Sintang, Sanggau dan Pontianak dengan metode CVM dan diperoleh nilai untuk masing-masing kota berturutturut: Rp ,97; Rp ,90 ; dan Rp ,64. Nilai air TNDS ini berpeluang juga untuk dihargai dalam pasar jasa lingkungan (Nurrochmat et al. 2010). Pasar jasa lingkungan dapat diartikan sebagai kesempatan untuk masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan konservasi untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat tidak hanya dari sisi ekonomi (economic rewards) tapi juga dari sisi lain yaitu dengan adanya peningkatan modal sosial dan pengakuan atas hak masyarakat dalam mengelola dan mengakses sumberdaya alam. Tabel 13 Ringkasan hasil perhitungan NET TNDS tanpa nilai simpanan karbon No Jenis Nilai Macam Nilai 1. Nilai Guna Langsung 2. Nilai Guna Tidak Langsung 1. Ikan Tangkap 2. Madu 3. Karet 4. Padi 5. Kayu bakar 6. Pariwisata 1. Air RT 2. Air transportasi 3. Air perikanan Valuasi ekonomi (Rp/tahun) Valuasi ekonomi per ha (Rp/tahun) % , , ,06 615,15 25,22 109, ,64 217,697, ,79 11,15 0, ,06 0,00 0,01 0,69 20,67 3, Nilai Pilihan 1. Pilihan ,18 62,00 Total ,78 100,00 Nilai ekonomi perikanan tangkap menduduki proporsi ketiga yaitu 11,15 persen yaitu sebesar Rp ,22/ha/tahun. Nilai ekonomi perikanan tangkap yang dihitung dengan menggunakan harga pasar ini, secara nyata langsung dirasakan oleh masyarakat di dalam kawasan TNDS. Sektor perikanan ini merupakan kegiatan ekonomi utama dalam kehidupan masyarakat di TNDS, selain itu juga hasil tangkapan ini berkontribusi besar terhadap hasil perikanan daerah. Data dari Dinas Perikanan Kabupaten Kapuas Hulu mencatat bahwa produksi ikan air tawar tangkap tahun 2011 adalah sebesar ton dan dari danau sentarum menyumbang sekitar 31 persen dari produksi tersebut (± 6,4 ribu ton). Ini berarti memberikan kontribusi pula pada pendapatan daerah. Namun sayangnya kontribusi ini dihitung dari sektor perikanan, bukan dari sektor kehutanan yang merupakan tempat/habitat dimana ikan tersebut hidup dan diambil. Kondisi ini seringkali terjadi yang berakibat pada tidak berimbangnya penghitungan terhadap kontribusi sektor kehutanan pada PAD. Nilai-nilai lainnya walaupun proporsinya tidak terlalu besar, tetapi dirasakan langsung oleh masyarakat di sekitar dan di dalam TNDS, seperti nilai madu,karet dan padi ladang, dan nilai rekreasi yang dirasakan oleh pengunjung. Nilai karet dan ladang hanya dirasakan oleh masyarakat di SPTN Lanjak dan Selimbau, karena hanya di dua tempat ini saat penelitian mengusahakan karet dan ladang. Di SPTN Semitau sebenarnya juga telah ada masyarakat mengusahakan karet namun belum menghasilkan. Nilai madu cukup memberikan sumbangan yang cukup

78 60 besar bagi masyarakat, tapi hasilnya sangat tergantung pada kondisi alam. Jika bunga-bunga tanaman yang ada di TNDS tidak ada maka lebah tidak akan datang, sehingga tidak akan ada madu yang akan dipanen masyarakat. Oleh karena itu kelestarian ekosistem TNDS menjadi hal penting bagi masyarakat. Nilai rekreasi dan pariwisata dalam penghitungan ini dirasakan sangat kecil karena merupakan nilai moneter yang real diterima pihak Balai TNDS. Sebenarnya potensi nilai ekonomi TNDS sangat tinggi melihat potensi alam dan potensi wisata yang ada. Hal ini dapat dibuktikan bahwa TNDS merupakan tempat tujuan dan pilihan syuting beberapa studio TV untuk acara-acara wisata alam seperti Jejak Petualang dan Mancing Mania, yang bila dihitung untuk satu kali syuting biayanya tidak kurang dari Rp 250 juta. Atau bila di analogikan dengan nilai rekreasi kawasan Pantanal adalah US$ pada tahun 1994 atau sama dengan Rp atau sama dengan Rp , 64/ha/tahun. Ini menunjukkan potensi wisata yang ada perlu untuk dikembangkan, sehingga dapat memberikan manfaat yang lebih besar baik masyarakat lokal juga masyarakat secara luas. NET TNDS sebesar Rp /tahun atau Rp ,78/ha/ tahun menunjukkan bahwa TNDS sebagai kawasan konservasi yang selama ini dianggap sebagai pusat pengeluaran (cost center) adalah tidak benar. Ini dapat dibuktikan dengan besarnya biaya pengelolaan TNDS tahun 2010 adalah sebesar Rp jika dibandingkan dengan nilai ekonomi total TNDS, biaya tersebut hanya sebesar 4,87 persen dibandingkan nilai manfaatnya (Gambar 13). Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan kawasan konservasi merupakan kegiatan yang sangat efisien dan tidak berseberangan dengan kegiatan ekonomi tetapi mendukung pembangunan ekonomi. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian Widada (2004) di TNGH Jawa Barat. Biaya dan Manfaat Pengelolaan TNDS Biaya pengelolaan 5% Manfaat ekonomi 95% Gambar 13 Biaya dan nilai manfaat ekonomi pengelolaan TNDS Berdasarkan penggunaanya, NET TNDS dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) macam, yaitu nilai penggunaan langsung (nilai perikanan tangkap, nilai madu, nilai karet, nilai padi ladang dan nilai rekreasi dan pariwisata), nilai penggunaan tidak langsung (nilai air) dan nilai pilihan (Gambar 14).

79 61 Nilai ekonomi TNDS berdasarkan penggunaannya 62% 13% 25% Guna Langsung Guna Tidak Langsung Pilihan Gambar 14 Nilai ekonomi TNDS berdasarkan penggunaannya. Berdasarkan Gambar 14 diketahui bahwa nilai guna langsung yang dirasakan masyarakat sekitar TNDS lebih kecil prosentasenya dibanding nilai guna tidak langsung dan nilai pilihan. Untuk itu perlu diusahakan untuk menggeser komposisi nilai-nilai tersebut, sehingga nilai guna langsung dapat meningkat prosentasenya, yang berarti dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan konservasi. Usaha yang mungkin dilakukan dalam waktu dekat adalah dengan meningkatkan nilai tambah dari hasil-hasil sumberdaya alam yang dihasilkan, seperti yang sudah dilakukan terhadap hasil madu hutan. Dalam jangka panjang usaha yang dilakukan adalah dengan memanfaatkan jasa-jasa lingkungan yang ada agar dapat dirasakan manfaatnya juga oleh masyarakat, seperti pengoptimalan kegiatan ekowisata di TNDS. Kesemuanya ini harus didukung dengan kelembagaan yang kokoh dari manajemen TNDS, berarti pembenahan kelembagaan pengelolaan sangat dibutuhkan agar tujuan ini dapat dicapai. Besarnya NET berdasarkan hasil penelitian belum menggambarkan NET TNDS secara keseluruhan karena ada beberapa nilai ekonomi yang belum masuk dan tidak diperhitungkan dalam penelitian ini, seperti nilai manfaat fungsional (nilai pencegahan banjir dan erosi, stabilitas iklim mikro, proses ekologi (pendauran hara, penyerbukan oleh satwa), nilai sumber plasma nutfah, nilai masing-masing satwa langka (untuk kasus TNDS seperti ikan arwana, orang utan, beberapa jenis burung) (Dixon dan Sherman 1990; Pearce 1992 dalam Munasinghe 1993). Sebelum dikembangkannya konsep ekonomi ekologi, pandangan terhadap nilai kawasan konservasi hanya berdasarkan berapa besar yang dapat kawasan berikan kepada negara yang dilihat berdasarkan pungutan atau karcis masuk ke kawasan. Sebagai gambaran biaya karcis masuk TNDS yang besarnya Rp 1500 per orang dan pada tahun 2011 hanya menyumbang sebesar Rp Padahal nilai ekonomi TNDS tidak hanya dari hasil pariwisata, tetapi apa yang dinikmati masyarakat di sekitar dan dalam kawasan berupa hasil ikan, madu, karet, berladang, kayu bakar, air dan kemudahan transportasi dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk penetapan pilihan kebijakan khususnya dalam pengelolaan TNDS dan pengelolaan kawasan konservasi umumnya di Indonesia.

80 62 Berdasarkan konsep ekonomi ekologi, maka penting dalam kebijakan pengelolaan TNDS untuk memperhatikan NET. Hal ini berkaitan dengan karakteristik dari sumberdaya alam TNDS yang menghasilkan barang dan jasa lingkungan yang umumnya merupakan barang publik atau dikenal sebagai common-pool resources (Ostrom 2008). Dari hasil penilaian ekonomi yang telah dilakukan maka telah diketahui pula fungsi, manfaat dan nilai dari kawasan TNDS. Berdasarkan hasil tersebut maka pengelola dan penjaga kawasan konservasi mempunyai hak untuk memperoleh imbalan jasa yang wajar. Dalam penentuan besar imbal jasa, diperlukan paling tidak dua prinsip yaitu Poluter Pay Principle (PPP) dan User Pay Principle (UPP). PPP adalah siapa yang membuat polusi harus membayar, dan UPP adalah siapa yang menggunakan jasa lingkungan harus membayar. PPP membuat seluruh pelaku ekonomi sadar mengenai seluruh biaya termasuk biaya lingkungan, sehingga mereka sadar dan dapat menghindarkan, mengurangi atau mengembalikan fungsi hutan kearah kondisi awalnya. Sedangkan untuk pengguna hutan, UPP berupaya untuk mengenakan ongkos yang dapat merefleksikan nilai dari sumberdaya alam yang mereka gunakan sehingga dapat menjamin tidak terjadinya penggunaan yang berlebihan atau kerusakan sumberdaya alam. Tidak diterapkannya kedua prinsip ini dapat menimbulkan insentif ekonomi untuk memanfaatkan kawasan penghasil jasa lingkungan secara berlebihan, dan menimbulkan eksternalitas ekonomi. Instrumen yang sudah berjalan seperti DR dan PSDH umumnya berlaku untuk setiap m 3 barang tangible seperti kayu dan non kayu, dan bukan untuk jasa lingkungan yang dihasilkan. Karena itu, pajak terhadap jasa lingkungan kawasan konservasi sudah waktunya untuk diberlakukan baik secara langsung maupun tidak langsung, baik dalam bentuk finansial maupun non finansial seperti fasilitas pendidikan dan pelatihan masyarakat hulu, kesehatan masyarakat hulu, dan infrastruktur lain yang dibutuhkan. Payment Environmental Services (PES) juga dapat menjadi pilihan dalam upaya penerapan imbal jasa lingkungan yang dihasilkan. Dalam penerapannya diperlukan kelembagaan yang mantap sehingga PES yang diterapkan dapat mencapai sasaran yg diharapkan. 6 PEMANGKU KEPENTINGAN DALAM PENGELOLAAN TNDS Banyaknya manfaat serta tingginya nilai ekonomi tentunya menarik perhatian berbagai pihak dalam kegiatan pengelolaan TNDS. Banyaknya pihak yang berkepentingan tentunya dapat menimbulkan konflik bila terdapat perbedaan tujuan dan kesamaan kepentingan terhadap kawasan. Oleh karena itu kajian pemangku kepentingan dilakukan untuk melihat siapa saja, bagaimana kedudukan dan bagaimana hubungan yang terjadi diantara pemangku kepentingan yang ada di TNDS.

81 63 Identifikasi Pemangku Kepentingan Terdapat 18 pemangku kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan TNDS yang disajikan pada Tabel 14. Tabel 14 Pemangku kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan TNDS Pemangku kepentingan Balai Taman Nasional Danau Sentarum BAPPEDA Kab Kapuas Hulu Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kab Kapuas Hulu Dinas Perikanan Kab Kapuas Hulu Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kab Kapuas Hulu Nelayan/Melayu Dayak Iban Dayak Kantuk Dayak Embaloh Asosiasi Periau Danau Sentarum (APDS) Riak Bumi WWF & HOB Indonesia Flora Fauna Indonesia Yayasan Titian PRCF Indonesia CANOPY Indonesia Universitas Tanjungpura (UNTAN) Centre for International Forestry Research (CIFOR) Sumber: Hasil Analisis Data, Keterangan Pemerintah Pemerintah Pemerintah Pemerintah Pemerintah Masyarakat Masyarakat Masyarakat Masyarakat Masyarakat LSM LSM LSM LSM LSM LSM Lembaga Penelitian Lembaga Penelitian BTNDS merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang bertanggung jawab dalam pengelolaan TNDS. Ditinjau dari struktur organisasi Kementerian Kehutanan, keberadaan BTNDS (dari sisi geografis/lokasi) tidak berada di bawah Dinas Kehutanan Provinsi, tetapi merupakan perpanjangan tangan dari Direktur Jenderal PHKA, Kementerian Kehutanan. Balai adalah institusi yang bertanggung jawab penuh untuk mengelola TNDS sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia. Namun dalam pelaksanaannya, BTNDS tidak sendirian. BTNDS telah membangun kemitraan dengan lembaga-lembaga lain yang mempunyai misi kelestarian TNDS. Kerjasama kemitraan dalam pengelolaan kawasan Danau Sentarum telah dilakukan sejak kawasan ini berstatus Suaka Margasatwa. Pemangku kepentingan lainnya yaitu pihak pemerintah daerah dalam hal ini SKPD yang berkaitan dengan kegiatan pengelolaan di TNDS seperti BAPPEDA, Dinas Perkebunan dan Kehutanan, Dinas Perikanan, dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Semua pemangku kepentingan tersebut merupakan perpanjangan tangan Bupati Kabupaten Kapuas Hulu untuk melaksanakan misi daerah dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Kapuas Hulu Tahun : Menjadikan Kabupaten Kapuas Hulu sebagai Kabupaten Konservasi di Beranda Depan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan melalui pengembangan ekowisata yang harmonis dengan agropolitan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengentaskan daerah tertinggal.

82 64 Ada 4 kelompok masyarakat yang bermukim di sekitar TNDS yaitu masyarakat Melayu, masyarakat Iban, masyarakat Kantuk, dan masyarakat Embaloh. Dan satu Asosiasi yaitu APDS beranggotakan masyarakat yang mengusahakan madu hutan di TNDS yang biasa disebut dengan periau. Periau adalah penduduk danau sejak turun temurun mengelola madu hutan dalam organisasi tradisional yang mempunyai aturan-aturan dan wilayah pengelolaan Beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) telah lama berperan serta dalam kegiatan pengelolaan di TNDS, seperti Riak Bumi dan WWF Kalbar. Riak Bumi merupakan LSM lokal (Kalimantan Barat) yang berbasis pada pengelolaan sumber daya alam komunitas, dan bekerja bersama masyarakat di dalam dan sekitar TNDS. Riak Bumi berfokus pada kegiatan peningkatan dan pengembangan kapasitas masyarakat di TNDS. Sementara WWF merupakan salah satu lembaga internasional non profit yang ikut serta dalam kegiatan pengelolaan di TNDS. Fokus utama WWF di TNDS adalah kegiatan pengelolaan koridor TNDS dengan TNBK (Taman Nasional Betung Kerihun) serta program HOB (Heart of Borneo). Lembaga lainnya yang juga teridentifikasi adalah FFI dan Yayasan Titian dimana bekerjasama dalam pengawasan illegal trade fauna dan flora lintas negara. PRCF Indonesia pada kegiatan konservasi Buaya Senyulong dan fasilitator kegiatan peningkatan perekonomian masyarakat. CANOPY Indonesia yang mendukung pengolahan bahan promosi TNDS. Kesemuanya merupakan pemangku kepentingan yang mempunyai kepentingan dan pengaruh yang rendah. Lembaga penelitian yang aktif terlibat dalam penelitian di TNDS adalah Universitas Tanjungpura (UNTAN) dan CIFOR. (UNTAN) merupakan Perguruan Tinggi Negeri di Provinsi Kalimantan Barat yang berkedudukan di Pontianak. UNTAN melakukan berbagai penelitian mengenai sumberdaya alam di kawasan TNDS, juga menjadi tempat bagi mahasiswa untuk melakukan kegiatan praktek lapang dan penelitian atau ekspedisi ilmiah. Sementara itu CIFOR berfokus pada penelitian pengembangan sumber perekonomian masyarakat dan lainnya. Berkenaan dengan tujuan pengelolaan, pada prinsipnya masing-masing pemangku kepentingan memiliki motif tertentu yang menjadi konsentrasi utama kegiatannya dan pada umumnya berkaitan dengan beberapa hal yaitu pelaksanaan program kerja (BTNDS, Dinas terkait dan LSM), motif ekonomi (masyarakat dan APDS), motif sosial dan penelitian (CIFOR dan UNTAN). Dalam pelaksanaan kegiatan, seriap pemangku kepentingan juga menunjukkan motif sesuai dengan tujuan yang dikonsentrasikan. Untuk melihat besarnya tingkat kepentingan dan pengaruh masing-masing pemangku kepentingan, maka digali informasi dan penilaian terhadap beberapa aspek berkenaan dengan kegiatan pengelolaan selama ini. Hasil penilaian tingkat kepentingan pemangku kepentingan disajikan pada Tabel 15. Berdasarkan tabel tingkat kepentingan diketahui bahwa BTNDS mempunyai kepentingan sangat tinggi terkait pengelolaan TNDS dibanding pemangku kepentingan lainnya. Ini terjadi karena BTNDS merupakan institusi/lembaga yang diberi wewenang penuh dan legal dalam mengelola TNDS, baik untuk kepentingan pelestarian, pengawetan dan pemanfaatan. Kepentingan yang tinggi dimiliki oleh pihak masyarakat, ini berkaitan dengan manfaat ekonomi bagi masyarakat dan tingkat ketergantungan terhadap sumberdaya alam yang dihasilkan oleh ekosistem TNDS. Sementara pemangku kepentingan lainnya berada dalam kepentingan yang rendah, karena pengelolaan TNDS terbatas untuk

83 65 memenuhi program-program kerja masing-masing pihak kepentingan dan pihakpihak tersebut tidak memiliki kewenangan penuh atas pengelolaan TNDS. Tabel 15 Tingkat kepentingan pemangku kepentingan terhadap pengelolaan TNDS No Pemangku Kepentingan Nilai kepentingan K1 K2 K3 K4 K5 1 BTNDS BAPPEDA Dinas Bun Hut Dinas Perikanan Dinas Buda Par Masy Melayu Masy Dayak Iban Masy Dayak Kantuk MasyDayak Embaloh APDS Riak Bumi WWF FFI Yayasan Titian PRCF Indonesia CANOPY UNTAN CIFOR Keterangan: 5: Sangat tinggi; 4: tinggi; 3: cukup tinggi; 2: kurang tinggi; 1:rendah K1: Keterlibatan pemangku kepentingan terhadap pengelolaan TNDS K2: Kewenangan pemangku kepentingan terkait pengelolaan TNDS K3: Program pemangku kepentingan terkait pengelolaan TNDS K4: Manfaat TNDS bagi pemangku kepentingan K5:Tingkat ketergantungan pemangku kepentingan terkait pengelolaan TNDS Hasil penilaian tingkat pengaruh pemangku kepentingan dapat dilihat pada Tabel 16. Berdasarkan nilai pengaruh pemangku kepentingan diperoleh bahwa BTNDS sangat mempengaruhi kegiatan pengelolaan TNDS. Hal ini terjadi karena kewenangan dan tanggungjawab BTNDS sesuai dengan Permenhut No. 03/menhut-II/2007 untuk melakukan pengelolaan kawasan. BTNDS selaku UPT Kementerian Kehutanan cq. Ditjen PHKA berpengaruh dalam penentuan kebijakan berkaitan dengan pengelolaan kawasan. Selain itu BTNDS mempunyai kewajiban untuk melindungi, melestarikan dan memanfaatkan secara lestari sumberdaya alam di kawasan TNDS. Selanjutnya pemangku kepentingan yang turut mempengaruhi kegiatan pengelolaan TNDS adalah dinas terkait di Kabupaten dan dua LSM yang sudah lama memiliki program kegiatan di TNDS yaitu Riak Bumi dan WWF. Pemangku kepentingan yang cukup mempengaruhi adalah masyarakat yang tinggal bermukim dalam kawasan TNDS, karena pengalaman hidup bertahun-tahun di

84 66 dalam kawasan sehingga sudah mengetahui dan memiliki pengetahuan dalam mengelola sumberdaya alam yang ada. Pengaruh pemangku kepentingan berkaitan dengan kekuasaan (power) terhadap kegiatan, termasuk pengawasan terhadap keputusan yang telah dibuat dan memfasilitasi pelaksanaan kegiatan sekaligus menangani dampak negatif yang ditimbulkannya. Pengaruh pemangku kepentingan dapat dinilai dengan mengukur besar kecilnya kemampuan pemangku kepentingan tersebut mempengaruhi atau memaksa pihak lain untuk mengikuti kemauannya. Sumber pengaruh dapat berupa peraturan, uang, opini, informasi, massa, kepemimpinan dan sebagainya (Asikin 2001). Tabel 16 Tingkat pengaruh pemangku kepentingan terhadap pengelolaan TNDS No Pemangku Pengaruh Nilai kepentingan P1 P2 P3 P4 P5 1 BTNDS BAPPEDA Dinas Bun Hut Dinas Perikanan Dinas Buda Par Masy Melayu Masy Dayak Iban Masy Dayak Kantuk MasyDayak Embaloh APDS Riak Bumi WWF FFI Yayasan Titian PRCF Indonesia CANOPY UNTAN CIFOR Keterangan: 5: Sangat tinggi; 4: tinggi; 3: cukup tinggi; 2: kurang tinggi;1:rendah P1: Kemampuan pemangku kepentingan memperjuangkan aspirasinya terkait pengelolaan P2: Kontribusi fasilitas yang diberikan oleh pemangku kepentingan terkait pengelolaan P3: Kapasitas kelembagaan/sdm yang ditugaskan oleh pemangku kepentingan terkait pengelolaan P4: Dukungan anggaran pemangku kepentingan yang digunakan untuk pengelolaan P5: Kemampuan pemangku kepentingan melaksanakan pengelolaan di TNDS Pengelompokkan dan Pengkategorian Pemangku Kepentingan Reed et al mengelompokkan pemangku kepentingan berdasar pengaruh dan kepentingannya sebagai 1) Subjects (kepentingan tinggi tetapi pengaruh rendah); 2) Key Players (kepentingan dan pengaruh tinggi); 3) Crowd (kepentingan dan pengaruh rendah); 4) Context setters (kepentingan rendah tetapi pengaruh tinggi). Subject memiliki kepentingan yang tinggi tetapi pengaruhnya rendah dan walaupun mereka mendukung kegiatan, kapasitasnya terhadap

85 67 dampak mungkin tidak ada, namun mereka dapat menjadi pengaruh jika membentuk aliansi dengan pemangku kepentingan lainnya. Key players merupakan pemangku kepentingan yang aktif karena mereka mempunyai kepentingan dan pengaruh yang tinggi terhadap pengembangan suatu proyek. Crowd merupakan pemangku kepentingan yang memiliki sedikit kepentingan dan pengaruh terhadap hasil yang diiinginkan dan hal ini menjadi pertimbangan untuk mengikutsertakannya dalam pengambilan keputusan. Context setter memiliki pengaruh yang tinggi tapi sedikit kepentingan, oleh karenanya mereka dapat menjadi resiko yang signifikan untuk harus dipantau. Pada Gambar 15 disajikan matriks kepentingan dan pengaruh masing-masing pemangku kepentingan. kepentingan/interest Kuadran I Subject 6 Masy Melayu 7 Masy Iban 8 Masy Kantuk 9 Masy Emabaloh 10 APDS 13 FFI 14 Titiian 15 CIFOR 16 PRCF 17 CANOPY 18 UNTAN Kuadran IV Crowd Kuadran II Key Player BTNDS pengaruh/influence Kuadran III Context setter 2 BAPPEDA 3 DisBunHut 4 Dis Perikanan 5 DisBudPar 11 Riak Bumi 12 WWF Gambar 15 Matriks kepentingan dan pengaruh pemangku kepentingan pengelolaan TNDS Berdasarkan analisis pemangku kepentingan diperoleh hasil sebagai berikut: a. Kuadran I; merupakan pemangku kepentingan yang sangat berkepentingan dengan pengelolaan kawasan tapi memiliki tingkat pengaruh yang rendah. Pihak ini terdiri dari masyarakat dan APDS. Tampaknya pengaruh yang kurang ini disebabkan karena kekurang mampuan atau tidak dilibatkannya masyarakat dalam fungsi intermediasi dan penyebaran informasi dimana masyarakat setempat seringkali diposisikan sebagai obyek dan bukan subyek. Hal ini senada dengan hasil penelitian Herawati et al pada kegiatan di Hutan Tanaman Rakyat (HTR); penelitian Kusumedi et al pada pembangunan Kesatuan Pemangkuan Hutan di Maros dan penelitian Rastogi et al pada pengelolaan Corbett National Park di India. Kepentingan yang tinggi dari masyarakat terhadap sumberdaya alam terutama berkenaan dengan kepentingan ekonomi dan sosial budaya mereka. Mereka harus terus diberi

86 68 informasi yang cukup mengenai kebijakan pengelolaan karena seringkali mereka sangat berguna bagi proses pengelolaan secara detail dan terperinci. Masyarakat bergantung pada sumberdaya alam di kawasan tersebut untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Masyarakat memanfaatkan air sungai yang melintasi Danau Sentarum sebagai sumber air minum, keperluan mandi, cuci, kakus, sumber pendapatan dari perikanan, untuk pertanian, sarana transportasi, serta pemanfaatan sumber daya hutan berupa kayu, kayu bakar, madu, dan hasil hutan non kayu lainnya. Kepentingan masyarakat dalam pengelolaan TNDS yang lestari lebih dipengaruhi oleh kebutuhan masyarakat untuk menopang kelangsungan hidup mereka. Keempat pemangku kepentingan ini merupakan pemangku kepentingan yang penting namun memerlukan pengakuan kapasitas mereka dalam pengelolaan TNDS. Masyarakat Melayu, Iban, Kantuk dan Embaloh masing-masing memiliki aturan-aturan dalam mengelola sumber daya alam yang mereka miliki dalam rangka menjaga keberlanjutan hasil alam yang mereka jadikan sumber penghidupan. Bila kapasitas mereka lebih ditingkatkan melalui kegiatan pemberdayaan masyarakat dan masyarakat menjadi subyek kegiatan, maka masyarakat bisa berperan secara maksimal dalam pengelolaan yang lestari, minimal di daerah kelola masing-masing. Isu yang mengikat terbentuknya APDS adalah kearifan lokal tentang periau yang mengelola tikung dan lingkungannya. Masyarakat danau sejak turun temurun telah mengelola madu hutan dalam organisasi tradisional yang disebut periau yang mempunyai aturan-aturan dan wilayah pengelolaan. Maka APDS juga dapat berperan serta dalam mengelola TNDS agar lestari. Karena madu hutan di TNDS merupakan sumberdaya potensial untuk meningkatkan pendapatan masyarakat terutama di musim penghujan, saat pendapatan dari ikan rendah. Selain itu madu hutan juga merupakan insentif yang baik untuk pemeliharaan hutan, karena lebah madu hutan hanya dapat menghasilkan madu hutan bila habitat lebah hutan terpelihara. Kepentingan yang tinggi terhadap TNDS sangat nyata bagi masyarakat dalam pengelolaan TNDS, sementara pengaruh yang rendah dikarenakan tidak diakuinya kelembagaan lokal oleh pemerintah. Padahal masyarakat mengaku lebih mengakui peran tokoh masyarakat dalam mengatur pengelolaan sumberdaya alam yang ada, seperti kasus berikut 3....kegiatan jala zakat ini merupakan aturan yang tidak tertulis di kampung kami (Leboyan), tapi karena sudah dilakukan sejak kakek nenek kami yang tinggal dan mencari ikan di danau, maka kami ikuti dan jalan kan terus. Kegiatan ini dilakukan melalui musyawarah bersama yang keputusannya ditetapkan oleh ketua nelayan, kami patuh pada semua keputusan yang ditetapkan ketua nelayan, karena itulah aturan yang kami anggap benar. Kami percaya dengan pembagian wilayah yang ditetapkan, walaupun menurut pemerintah (Balai TNDS) itu merupakan kawasan TN yang tidak boleh untuk menangkap ikan. Biarkan saja pemerintah melarang, tapi kami patuh dengan ketua nelayan kami... 3 Wawancara dilakukan saat acara jala zakat kampung Leboyan Kecamatan Selimbau tanggal 8/10/2011

87 69 Kasus tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya pengaruh pemimpin masyarakat cukup kuat, namun karena tidak diakuinya lembaga adat yang ada sehingga pengaruh ini tidak diakui pula dalam kegiatan pengelolaan yang dilakukan saat ini. b. Kuadran II; merupakan pemangku kepentingan yang paling kritis karena memiliki kepentingan dan pengaruh yang sama-sama tinggi. Hanya BTNDS yang menempati posisi Key players ini. BTNDS memiliki kepentingan dan pengaruh yang tinggi berkenaan dengan otoritas dan tanggung jawab terbesar pengelolaan yang mencakup perencanaan, perlindungan, pengawetan, pemanfaatan dan evaluasi, diemban oleh BTNDS terhadap realisasi program kerja di kawasan TNDS. Hal ini ditemui di setiap kegiatan pengelolaan sumberdaya alam, dimana pengelola yang mendapat kekuasaan secara legal selalu menempati posisi sebagai pemangku kepentingan utama (Li et al. 2012; Maguire et al. 2012; Sembiring et al. 2010). c. Posisi Kuadran III; merupakan pemangku kepentingan yang memiliki pengaruh yang tinggi, karena suaranya diperhitungkan dalam kegiatan pengelolaan, tetapi mereka memiliki kepentingan yang relatif rendah terhadap kegiatan pengelolaan kawasan. Para pemangku kepentingan pada kuadran ini adalah SKPD Kabupaten Kapuas Hulu dan LSM. SKPD yang terlibat yaitu BAPPEDA, Dinas Perkebunan dan Kehutanan, Dinas Perikanan, dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, sementara dari LSM adalah Riak Bumi dan WWF. Pemangku kepentingan ini dapat mempengaruhi pengelolaan TNDS, karena memiliki pengaruh yang tinggi. SKPD merupakan wakil pemerintah daerah yang memiliki otoritas pengembangan wilayah. Era otonomi daerah memberikan wewenang lebih besar agar setiap daerah memanfaatkan potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia untuk kepentingan daerahnya masing-masing. Ketika penelitian berlangsung, informasi yang diperoleh di seputar taman nasional dalam perspektif pemerintah daerah tidak mencerminkan sebuah klaim sepihak untuk dikeluarkan sebuah kebijakan untuk mengambil alih atau meminta keikutsertaan Pemda dalam mengelola TNDS. Ini dikarenakan minimnya sumber dana, sumber manusia, dan juga informasi dan data tentang TNDS sangat terbatas. Selain itu, terjadi sedikit ketidakharmonisan hubungan koordinasi antara Pemda dan BTNDS dikarenakan kedudukan BTNDS. BTNDS berkedudukan di Kabupaten Sintang, sementara kawasan TNDS berada di kabupaten Kapuas Hulu. Akibatnya antara pihak BTNDS dan Pemda seringkali berselisih paham dalam kegiatan pengelolaan, seperti kasus berikut Pemda sebenarnya tidak memiliki kepentingan dengan pengelolaan TNDS, biarkan saja TNDS dikelola oleh pemerintah pusat, tapi karena wilayah TNDS ada di kabupaten kami (Kapuas Hulu), ada penduduk yang menjadi tanggung jawab kami, maka kami turut memperhatikan kawasan tersebut. Tapi sampai saat ini tampaknya pihak Balai TNDS masih senang berada di Sintang, dan lebih memperhatikan TNDS hanya untuk kepentingan konservasi semata. Sementara penduduk dilarang untuk melakukan kegiatan ekonomi mereka yang sudah dilakukan turun temurun. Masalah penduduk ini yang menjadi perhatian kami... 4 Wawancara dilakukan dengan pihak BAPPEDA Kapuas Hulu pada tanggal 8 November 2011

88 70 Kasus ini menunjukkan bahwa Pemda tidak merasa berkepentingan dengan kegiatan konservasi yang menjadi konsen pihak Balai TNDS. Pemda lebih memberikan perhatian kepada masyarakat dan kegiatan ekonomi lainnya. Garis batas wewenang pemerintah pusat dan pemerintah daerah terindikasi dengan pemberian konsesi perkebunan yang berdekatan dengan kawasan TNDS. Meskipun wilayah atau lokasi perkebunan berada di luar kawasan yaitu di Areal Penggunaan Lain (APL), akan tetapi resistensi dan pemboikotan terhadap bentuk eksploitasi lingkungan yang juga akan mengancam kondisi TNDS tidak dimunculkan. Posisi dan perilaku politik daerah serupa ini merefleksikan benturan antara dua konsepsi besar terhadap sumberdaya alam (TNDS). Pertama, bersentuhan dengan ekspektasi finansial kas daerah melalui sektor perkebunan (sisi ekonomi). Sedangkan yang kedua, lebih menekankan kepada lingkungan hidup yang lestari dan berkelanjutan (sisi ekologi). Riak Bumi serta WWF memiliki pengaruh tinggi karena mereka mampu memainkan posisi intermediasi dan penyebaran informasi antar pemangku kepentingan dengan baik. Khusus untuk Riak Bumi, mereka sudah bekerja di kawasan semenjak tahun Kerjasama yang dijalin adalah dalam hal peningkatan kesadaran dan kemampuan masyarakat lokal dalam mengelola sumberdaya alam yang ada pada wilayah kelolanya (wilayah adat) serta peningkatan sumber pendapatan masyarakat dari hasil anyaman (rotan), madu, damar dan kerajinan lainnya. Sementara WWF sebagai lembaga internasional sudah biasa terlibat dalam kegiatan advokasi dan mediasi yang dilakukan secara berkelanjutan, sehingga cukup mempunyai pengaruh terhadap kegiatan pengelolaan. Kondisi serupa ditemui juga Mecuburi Forest Reserve di Mozambique, dimana LSM yang selalu mendampingi masyarakat memiliki pengaruh yang tinggi dalam proyek tersebut (Mushove et al. 2005). Sebagai contoh adalah kasus pengelolaan pariwisata di TNDS 5...pemerintah selama ini menyatakan kawasan TNDS dapat menjadi kawasan wisata yang tujuannya untuk dapat meningkatkan ekonomi masyarakat. Tapi pemerintah baik pihak Balai TNDS maupun pihak Kabupaten Kapuas Hulu tidak pernah mengadakan pelatihan bagi kami masyarakat agar dapat berperan serta dalam kegiatan pariwisata. Kami (sebagian warga Meliau khususnya masyarakat Desa Melemba) mendapat pelatihan untuk menjadi guide pariwisata dilatih dan difasilitasi oleh WWF. Masyarakat Desa Melemba telah memiliki Kelompok Pengelola Ekowisata (KPP) Kaban Mayas, yang didirikan pada tanggal 10 April d. Kuadran IV; merupakan pemangku kepentingan yang memiliki kepentingan dan pengaruh yang rendah dalam pengelolaan TNDS. Ada 6 pemangku kepentingan yang berada pada kuadran ini, yaitu FFI, Yayasan Titian, CIFOR, PRCF Indonesia, CANOPY dan UNTAN. Keenam pemangku kepentingan ini memberikan perhatian juga dalam pengelolaan TNDS, namun karena kegiatan yang dilakukan hanya bersifat proyek dan waktu-waktu tertentu sehingga belum memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kegiatan pengelolaan. Lembaga-lembaga ini umumnya lebih menekankan pada satu kegiatan tertentu. 5 Wawancara dan diskusi dengan beberapa tokoh masyarakat Meliau pada tanggal 24/11/2011

89 71 FFI dan Yayasan Titian menekankan kegiatannya pada pengawasan perdagangan illegal fauna dan flora lintas negara, sehingga masalah pengelolaan TNDS lebih terbatasi hanya apabila terjadi kegiatan perdagangan illegal terjadi, selain itu kedua lembaga ini baru bekerja di kawasan TNDS dalam waktu 5 tahun terakhir. CIFOR dan UNTAN berfokus pada kegiatankegiatan penelitian, sehingga keterlibatan dalam kegiatan pengelolaan belum begitu terasa kepentingan dan pengaruhnya. Hasil-hasil penelitian berupa rekomendasi terhadap pengelolaan TNDS seringkali tidak terpakai karena setelah seminar hasil penelitian dilakukan, seringkali rekomendasi tersebut terlupakan dan menjadi tumpukan laporan. Begitu juga dengan PRCF Indonesia yang bergerak pada kegiatan konservasi buaya Senyulong dan fasilitator kegiatan peningkatan perekonomian masyarakat, sementara CANOPY Indonesia yang baru bergabung dengan TNDS 2 tahun terakhir yang mendukung pengolahan bahan promosi TNDS. Matriks kepentingan dan pengaruh pemangku kepentingan dapat berubah tipenya sepanjang waktu dan dampak perubahan tersebut perlu dipertimbangkan (Reed et al. 2009). Hasil pemetaan pemangku kepentingan tersebut, dapat digunakan oleh para pengambil kebijakan pengelolaan kawasan konservasi dalam rangka penyusunan kebijakan di masa yang akan datang. Sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan yang ada, tampaknya pengelolaan suatu kawasan konservasi tidak lagi mutlak ditangani oleh satu pihak yaitu BTNDS. Perlu pengembangan kemitraan dalam menjaga suatu kawasan konservasi dengan melibatkan pemangku kepentingan yang terlibat dalam kegiatan pengelolaan kawasan. Llosa dalam de Soto 1992 menyatakan bahwa keterlibatan para pihak dipandang perlu agar mereka yang memperoleh manfaat atau yang dirugikan dapat mempengaruhi bentuk akhir suatu kebijakan. Dengan demikian kebelanjutan sumberdaya TNDS dan keberlanjutan manfaat yang dapat diberikan kepada seluruh pemangku kepentingan terutama masyarakat lokal dapat terlaksana dengan baik. Hubungan antara Pemangku Kepentingan Hubungan yang terjadi antara pemangku kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan TNDS teridentifikasi tiga hubungan yaitu, potensi konflik, saling mengisi dan bekerjasama. Potensi konflik kepentingan terjadi antara BTNDS dengan pihak pemerintah daerah dalam hal pengelolaan TNDS. TN mempunyai peran yang penting dan strategis bagi perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan. TNDS mempunyai fungsi strategis sebagai areal tangkapan air, daerah aliran sungai (DAS), hidrologi (sumber air), mengatur iklim mikro, penghasil karbon sink, tempat pendidikan, dan sebagai tempat wisata alam. Ada tiga tujuan pengelolaan taman nasional secara garis besarnya: (1) perlindungan proses ekologis untuk menjamin fungsi dan perannnya sebagai sistem penyangga kehidupan; (2) pengawetan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya; (3) pemanfaatan secara lestari untuk meningkatkan kesejahteraan kehidupan yang berkelanjutan, khususnya bagi masyarakat sekitar TN. Ketiga tujuan ini sesuai dengan UU No.5 tahun 1990 mengenai Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Sehingga dalam pengelolaan TNDS selalu memperhatikan

90 72 dimensi ekologis, ekonomis, dan sosial. Sementara dari pihak kabupaten Kapuas Hulu kawasan TNDS merupakan salah satu kawasan strategis kabupaten dari sudut kepentingan lingkungan dan ekonomi. Potensi konflik terjadi karena walaupun kedua belah pihak sama-sama memperhatikan aspek lingkungan dan ekonomi, namun pengelolaan oleh pihak BTNDS lebih berat ke arah lingkungan, sementara pihak pemda lebih ke arah ekonomi. Pemda bergerak berdasarkan UU No.32 tahun 2004 mengenai Pemerintah daerah tentang pengelolaan sumberdaya alam. Sehingga timbul paradigma terhadap TN yang berada di daerah yaitu TN merupakan sumberdaya yang potensial, dapat dieksploitasi sehingga dapat memberikan pemasukan terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). Kewenangan tersebut dianggap sebagai bagian dari kebebasan daerah otonom untuk memperoleh dana yang sebenarnya dilakukan tanpa mempertimbangkan dampak negatif yang ditimbulkannya. Fakta bahwa pemberian ijin untuk membuka perkebunan di sekitar kawasan TNDS tetap dilakukan menunjukkan ketidakperdulian terhadap lingkungan tapi lebih mementingkan aspek ekonomi. Pihak pemda mengemukakan bahwa ijin perkebunan yang diberikan bukan di kawasan TNDS tetapi di APL, padahal sebagai suatu ekosistem tentulah kawasan sekitar tersebut juga akan mempengaruhi ekosistem yang ada di TNDS. Terdapat pula konflik antara BTNDS dengan masyarakat, yang disebabkan oleh perbedaan kepentingan lingkungan dan kepentingan ekonomi dalam memanfaatkan kawasan TNDS. Selama ini dianggap dua kepentingan tersebut sebagai sesuatu yang tidak dapat berjalan selaras, padahal seharusnya antara konservasi lingkungan dan kepentingan ekonomi dapat berjalan selaras untuk dapat melestarikan sumberdaya alam. Darusman dan Widada (2004) menyebutkan bahwa terdapat lima prinsip yang menegaskan sinergisitas antara kegiatan konservasi dengan pembangunan ekonomi. Pada prinsip kedua dinyatakan, ekonomi merupakan landasan pembangunan konservasi yang berkelanjutan, tanpa adanya manfaat ekonomi bagi masyarakat secara berkelanjutan, dapat dipastikan program konservasi akan terhenti karena masyarakat tidak peduli. Hal ini dapat dilihat dalam kehidupan sosial masyarakat TNDS yang telah memiliki aturanaturan dalam pengelolaan sumberdaya alam yang semuanya mengarah pada pelestarian sumberdaya alam. Sebagai contoh: pada masyarakat nelayan telah memiliki aturan tertulis mengenai menangkap ikan di kawasan danau. Contoh lain yaitu diantara periau, memiliki aturan-aturan dalam cara pemanenan madu. Pengetahuan-pengetahuan lokal masyarakat sebenarnya merupakan suatu modal yang bila dapat diadopsi dan diberdayakan merupakan suatu peluang untuk melakukan pengelolaan bersama dengan pihak yang berbeda kepentingan dalam menjaga kelestarian kawasan. Antara masyarakat juga terdapat potensi konflik. Antara masyarakat nelayan/melayu yang tinggal di dalam kawasan dengan masyarakat dayak/ peladang yang tinggal di sekitar kawasan. Hal ini disebabkan oleh budaya masyarakat dayak yang menangkap ikan di pinggir sungai menggunakan tuba/racun. Menurut masyarakat melayu hal ini menyebabkan kematian ikan karena racun dapat merusak habitat ikan di dalam kawasan. Sementara masyarakat dayak mengklaim bahwa tuba yang digunakan adalah berasal dari bahan alam sehingga tidak akan merusak habitat ikan, dan cara ini sudah dlakukan sejak dahulu. Memang kondisi yang terjadi saat penelitian, terungkap juga bahwa

91 bahan alami untuk membuat racun sudah semakin habis dan sulit ditemukan, sehingga kemungkinan penggunaan racun kimia memang terjadi. Selain itu pula racun kimia semakin mudah diperoleh di pasaran dengan harga relatif terjangkau. Di sisi lain masyarakat dayak juga menyatakan bahwa masyarakat melayu sudah mulai menangkap ikan di wilayah kerja mereka, khususnya suku melayu yang tinggal di dekat aliran sungai perkampungan masyarakat dayak. Ini menyebabkan masyarakat dayak merasa masyarakat melayu tidak menghormati wilayah mereka, karena menangkap ikan tanpa izin terlebih dahulu dengan pemimpin adat, dan ini dianggap dapat mengancam persediaan ikan bagi masyarakat dayak. Hal ini menegaskan hasil penelitian Yasmi dan Colfer (2010) bahwa konflik antara kehutanan dan perikanan sudah terjadi sejak lama di TNDS. Konflik ini tampaknya sudah dicarikan jalan keluarnya melalui pertemuan tahunan masyarakat TNDS, namun belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Diduga hal ini terjadi, karena semakin melemahnya institusi adat yang ada dan tuntutan ekonomi yang semakin tinggi. Konflik kepentingan antar BTNDS dengan LSM dan lembaga penelitian bisa dikatakan hampir tidak ada. Karena umumnya kegiatan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tersebut mendukung pengelolaan yang dilakukan oleh BTNDS sehingga hubungan yang terjadi adalah saling mengisi dan bekerja sama. Hal ini juga disebabkan LSM dan BTNDS memiliki cara pandang yang sama dalam pengelolaan TNDS yaitu memprioritaskan kepentingan kelestarian lingkungan. Hubungan saling mengisi dapat dilihat antara LSM/Yayasan/Lembaga yang telah menjadi mitra TNDS, yaitu: LSM Riak Bumi (khusus peningkatan dan pengembangan kapasitas masyarakat di TNDS), WWF & HOB Indonesia ( dalam pengelolaan koridor TNDS dengan TNBK serta program HOB), FFI dan Yayasan Titian (kerjasama dalam pengawasan illegal trade fauna dan flora lintas negara), CIFOR (penelitian pengembangan sumber perekonomian masyarakat), PRCF Indonesia (konservasi Buaya Senyulong dan fasilitator kegiatan peningkatan perekonomian masyarakat), dan CANOPY Indonesia (mendukung pengolahan bahan promosi TNDS). Sebenarnya kerja sama dengan sebagian masyarakat, Tokoh Masyarakat, LSM Lokal dan LSM yang ada di Pontianak serta Pemda Kapuas Hulu juga sudah dilakukan oleh BTNDS, yaitu berupa: 1. Melakukan diskusi dan seminar guna mendapatkan solusi pemecahan masalah dan usaha yang dapat dilaksanakan atau ditindak lanjuti untuk hal tersebut. 2. Membentuk forum-forum kajian dan membangun sebuah deklarasi bersama untuk pelestarian kawasan TNDS 3. Melakukan pendampingan dalam Capacity Building masyarakat. Tapi sampai saat ini hasilnya belum menampakkan hasil yang memuaskan karena pengelolaan masih dipegang penuh oleh BTNDS. Bila digambarkan dalam matrik, hubungan antara pemangku kepentingan dapat diringkas dalam matriks pada Gambar

92 74 Pemerintah pusat Pemerintah daerah Masyarakat LSM Lembaga Penelitian Pemerintah pusat 3 1,2,3 1,2,3 1,2,3 2,3 Pemerintah daerah 1,2,3 3 1,2,3 1,2,3 2,3 Masyarakat LSM 1,2,3 1,2,3 1,2,3 2,3 2 1,2,3 1,2,3 2,3 2,3 2,3 Lembaga Penelitian 2,3 2,3 2 2,3 3 Gambar 16 Matriks hubungan antara pemangku kepentingan Keterangan: 1 = potensi konflik, 2 = potensi untuk saling mengisi, 3 = potensi untuk bekerjasama Semua pemangku kepentingan yang terlibat dengan pengelolaan TNDS umumnya merupakan pihak yang berkepentingan dengan kelestarian kawasan, karena semua pihak tersebut mempunyai kepentingan terhadap keberadaan kawasan. Berdasarkan hal tersebut, berarti terdapat potensi untuk bekerjasama di antara pemangku kepentingan tersebut. Manajamen kolaboratif sendiri sudah menjadi salah satu kebijakan yaitu Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19/Menhut-II/2004, tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA) yang menjadi salah satu acuan pengelolaan di TNDS. Sampai saat penelitian berlangsung, dalam TNDS pengelolaan kolaboratif terus digagas, namun belum dapat berjalan seperti yang diharapkan. Pengelolaan kolaboratif mencakup kepentingan banyak pihak, baik dalam tataran pemerintah, Pemda, dunia usaha dan masyarakat. Bisa dikatakan, manajemen kolaboratif bukanlah pendekatan yang mudah diterapkan dan efektif untuk semua kondisi dan keadaan. Perlu keseriusan dari semua pemangku kepentingan yang terlibat untuk dapat mencapai pengelolaan kolaboratif untuk mencapai pengelolaan kawasan TNDS yang lebih baik, dan dapat mencapai tujuan pengelolaan yaitu perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan. Pengelolaan TNDS perlu mendapatkan perhatian dari berbagai pemangku kepentingan yang mempunyai kepentingan dan pengaruh dengan kawasan TNDS. Sebagai sumberdaya alam publik, keberadaan TNDS memang menyangkut kepentingan banyak pihak. Pengelolaan tunggal dan masih sentralistik yang dilakukan pihak BTNDS terbukti tidak dapat mencapai tujuan pembentukan TNDS. Untuk itu sudah saatnya dilakukan pengelolaan secara bersama dengan pemangku kepentingan yang terlibat untuk membangun suatu kolaborasi pengelolaan. Dimana dalam membangun kolaborasi tersebut perlu untuk memperhatikan hubungan-hubungan antara pemangku kepentingan yang meliputi: (1) hubungan yang saling menguntungkan dan dibuat untuk mencapai tujuan bersama; (2) hubungan ini meliputi: komitmen, tanggung jawab, memiliki otoritas dan akuntabilitas, dan berbagi sumber daya dan manfaat; dan (3) hubungan berupa komitmen organisasi dan para pemimpin masing-masing pemangku kepentingan.

93 75 Konflik yang terjadi perlu dikelola, sehingga tidak mengarah ke konflik yang lebih tajam tetapi dapat dikurangi dengan melakukan mediasi dan koordinasi diantara pihak-pihak yang berkonflik. Ego antara kepentingan pelestarian lingkungan dan ekonomi dapat diselaraskan jika pihak-pihak yang berkonflik mau berkoordinasi dan berkomunikasi, sehingga kepentingan konservasi dan ekonomi dapat saling mendukung bukan untuk dipertentangkan. Sementara hubungan saling mengisi dan kerjasama yang sudah dilakukan harus terus dipelihara dan ditingkatkan sehingga pengelolaan kawasan yang lestari dan memberikan manfaat bagi masyarakat dapat dicapai. Untuk mencapai hal ini diperlukan waktu, dedikasi dan upaya serius dalam keterlibatan sosial, dan juga niat baik dan tulus dari semua pihak untuk dapat berkolaborasi dalam mengelola kawasan TNDS dan sekitarnya. 7 MODAL SOSIAL MASYARAKAT DAN KAPABILITAS PEMERINTAH DALAM PENGELOLAAN TNDS Pengelolaan TNDS secara tunggal oleh pemerintah yang mementingkan kepentingan konservasi lebih banyak menimbulkan konflik diantara pemangku kepentingan, walaupun Balai TNDS sebagai key players ternyata tidak mampu memainkan perannya dengan baik. Hal ini diduga kedudukan key players yang dimiliki oleh Balai TNDS bersifat semu belaka, yang disebabkan oleh legalitas yang dimiliki, tetapi tidak memiliki kekuatan untuk memaksa masyarakat mematuhinya. Berarti ada kekuatan lain di dalam masyarakat yang lebih berperan dalam mengelola sumberdaya alam yang ada. Untuk itu perlu dilakukan kajian mengenai modal sosial dan kapabilitas pemerintah dalam pengelolaan TNDS. Unsur-unsur Pembentuk Modal Sosial Masyarakat Unsur-unsur pembentuk modal sosial yang diidentifikasi pada masyarakat di dalam kawasan TNDS berdasarkan konsep Putnam 1993, meliputi: kepercayaan, norma sosial, dan jaringan sosial. Penilaian terhadap unsur-unsur pembentuk modal sosial masyarakat menggunakan 3 kategori yaitu rendah, sedang dan tinggi. Kepercayaan Penilaian terhadap tingkat kepercayaan masyarakat TNDS meliputi tingkat kepercayaan terhadap orang di sekitar komunitas dengan etnis yang sama, orang di sekitar komunitas dengan etnis yang berbeda, aparat pemerintah (BTNDS, Pemda Kabupaten, Pihak Kecamatan), tokoh masyarakat/agama, pihak luar (LSM), tingkat kepercayaan terhadap manfaat SDA, tingkat kepercayaaan masyarakat dalam menjaga kelestarian SDA, tingkat kepercayaan untuk bekerjasama serta tingkat kepercayaan untuk menjaga keeratan hubungan. Tingkat kepercayaan responden di TNDS dapat dilihat pada Tabel 17. Selang nilai tingkat kepercayaan dengan Xmax = 27, Xmin = 9 dan N = 3 adalah 6, sehingga tingkat kepercayaan dapat dibagi menjadi:

94 76 a. Tingkat kepercayaan rendah jika skor < 15 b. Tingkat kepercayaan sedang jika skor c. Tingkat kepercayaan tinggi jika skor Berdasarkan Tabel 17 terlihat bahwa rata-rata masyarakat memiliki tingkat kepercayaan dalam kategori tinggi (skor 22). Masyarakat (94,44 persen) menilai orang-orang di sekitarnya dari etnis yang sama dapat dipercaya, ini berarti masyarakat memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap anggota komunitas yang sama etnisnya. Tingkat kepercayaan dalam kehidupan sehari-hari masih menunjukkan tingkat yang positif diantara sesama etnis, namun sebaliknya jika berkaitan dengan etnis yang berbeda, masyarakat sangat berhati-hati dalam berinteraksi sehingga tingkat kepercayaan masyarakat untuk orang-orang di sekitarnya dari etnis yang berbeda masuk dalam kategori rendah (87,22 persen). Ini selaras dengan pernyataan Putnam et al. 1993), bahwa kepercayaan dibentuk atas dasar ikatan genealogis dan identitas yang sama dan kepercayaan sosial timbul dari kepercayaan yang timbul dan berkembang diantara individu-individu. Tabel 17 Tingkat kepercayaan responden di TNDS No Sub unsur kepercayaan 1 Kepercayaan terhadap orang di sekitar dengan etnis yang sama Tingkat Jumlah (orang) Persentase (%) 0 5,56 94,44 Skor Rata-rata Jumlah , , Kepercayaan terhadap orang di sekitar dengan etnis yang berbeda ,22 12, Jumlah , , Kepercayaan terhadap aparat pemerintah (Balai TNDS, Pemda Kabupaten, Pihak Kecamatan) ,22 46,11 16,67 Jumlah , , Kepercayaan terhadap tokoh masyarakat/agama ,00 Jumlah , Kepercayaan terhadap pihak luar (LSM) ,44 46,67 28,89 Jumlah , , Kepercayaan terhadap manfaat SDA ,22 Jumlah , Kepercayaan dalam hal menjaga ,44 kelestarian SDA ,22 73,34 Jumlah , , Kepercayaan untuk bekerjasama ,89 10,00 86,11 Jumlah , Kepercayaan untuk menjaga keeratan hubungan Jumlah skor: 4006 dan rata-rata skor 22, ,11 6,67 92, Keterangan: Jumlah responden 180 orang dengan nilai 1 (rendah), 2 (sedang), dan 3 (tinggi) dengan Xmaksimum: 27, Xminimum: 9 dan jumlah kelas:3 Kondisi tersebut dibuktikan dari tingkat kepercayaan masyarakat secara umum (73,33 persen) akan kepatuhan dan kemampuan warga dalam menjaga

95 77 kelestarian SDA dan hutan. Hanya 9,44 persen yang tidak percaya akan kepatuhan dan kemampuan menjaga kelestarian SDA dan hutan, lebih dikarenakan perbedaan etnis dan budaya di dalam pemanfaatan SDA. Hal ini tampak jelas ditemui di SPTN Lanjak karena terdapat 2 suku yang hidup di SPTN ini, yaitu etnis Melayu dan etnis Dayak. Dimana terdapat kecurigaan antara dua suku ini dan berpotensi konflik, terutama yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya perikanan yang ada. Hal ini mendukung hasil penelitian Yasmi et al yang mengemukakan bahwa terdapat konflik dalam pengelolaan sumber perikanan di TNDS. Kemampuan bekerjasama dan menjaga keeratan hubungan masih menunjukkan tingkat yang positif di setiap SPTN. Hal ini dikarenakan anggota masyarakat yang tinggal dalam satu kampung adalah orang-orang yang telah dikenal lama baik karena hubungan kekerabatan ataupun karena kesamaan asalusul. Kenyataan tersebut ditunjukkan dengan tingkat kepercayaan yang tinggi untuk orang-orang dalam satu kampung yang memiliki latar belakang/etnis yang sama, tetapi bila berkaitan dengan orang luar yang berbeda etnis tingkat kepercayaan cenderung menjadi rendah. Berdasarkan Tabel 17 diketahui responden lebih percaya kepada tokoh masyarakat/adat dan tokoh agama daripada kepada aparat pemerintah. Aparat pemerintah baik kecamatan maupun kabupaten apalagi propinsi dinyatakan tidak pernah sampai ke kampung mereka, aparat hanya datang ketika akan dilaksanakan pemilahan umum untuk menggalang suara. Begitu pula dengan pihak Dinas terkait, seperti Dinas Perikanan, Dinas Perkebunan dan Kehutanan serta Dinas Kebudayaan dan Pariwisata hanya berkunjung saat mereka memiliki kegiatan di wilayah TNDS, jadi tidak bisa dipercaya sepenuhnya oleh masyarakat. Sementara dengan pihak Balai TNDS masyarakat juga tidak begitu percaya, masyarakat hanya percaya kepada orang-orang tertentu dari pihak Balai, tapi tidak dengan Balai TNDS nya. Hal ini diungkapkan oleh responden bahwa pihak Balai sebagai aparat pemerintah seringkali membatasi gerak mereka dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang ada di TNDS. Selain itu terungkap pula bahwa yang datang ke kampung mereka hanya staf biasa, tapi tidak kepala kantornya. Menurut masyarakat, mereka tidak dianggap penting oleh pihak pemerintah. Berdasarkan kondisi ini, maka sebenarnya usaha pemerintah yang menempatkan perwakilannya untuk mengelola suatu kawasan akan sia-sia, karena terbukti tidak dipercaya oleh masyarakat. Hal ini juga menunjukkan bahwa pengelolaan yang government oriented tidak akan berjalan efektif. Penelitian ini memperkuat pernyataan Kusdamayanti (2008) yang menyatakan selama masih ada dominasi negara dalam pengelolaan kawasan mengakibatkan tidak seimbangnya peran dan kekuatan yang ada antara negara dan masyarakat. Pemberian kesempatan kepada tokoh masyarakat dengan memperkuat kapasitasnya dan kapabilitasnya akan mampu untuk bekerja mengelola kawasan sesuai dengan yang diharapkan, sehingga baik negara dan masyarakat dapat memperoleh manfaat dari yang dikelolanya. Sementara itu kepercayaan masyarakat terhadap pihak luar terutama LSM yang bekerja di TNDS pada kategori sedang (46,67 persen) karena berbeda selangnya di setiap SPTN. 50 persen responden di Lanjak memiliki tingkat kepercayaan yang rendah dengan LSM dikarenakan LSM dianggap hanya mengobral janji dan menjadikan masyarakat sebagai alat kepentingan program

96 78 kerja mereka. Sementara di Semitau 75 persen responden tingkat kepercayaaannya pada kategori sedang karena LSM belum begitu tampak perannya bagi kemajuan masyarakat. Berbeda dengan di SPTN Selimbau, 63 persen responden memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi akan keberadaan LSM karena masyarakat Selimbau telah merasakan manfaat pendampingan yang dilakukan oleh LSM mengenai pengelolaan madu yang telah berhasil meningkatkan pendapatan masyarakat. Kepercayaan masyarakat akan timbul, jika hasil nyata sudah diperoleh, tidak hanya sekedar janji belaka, disini masyarakat perlu bukti tidak hanya janji-janji semata. Kepercayaan yang terjalin dalam hubungan bermasyarakat membuat masyarakat dapat menjalin keharmonisan hubungan dan integrasi sosial di antara mereka. Pada konteks pengelolaan dan kelestarian sumberdaya alam dan hutan, kepercayaan yang dimiliki masyarakat dapat membantu mengurangi terjadinya kompetisi yang serius dalam memanfaatkan sumberdaya alam dan hutan yang ada. Pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam khususnya sektor perikanan dan hutan masih berada dalam koridor aturan-aturan pengelolaan sumberdaya perikanan dan hutan yang mereka percayai dan dijalankan sejak jaman leluhur mereka. Kondisi perairaan yang dimanfaatkan dan yang dikelola di lokasi penelitian relatif dalam keadaan yang lestari. Hal ini dibuktikan dengan hasil tangkapan ikan yang masih tetap melimpah yang diperoleh masayarakat. Berkurangnya hasil tangkapan yang terjadi saat ini, sebenarnya tidak hanya disebabkan oleh degradasi lingkungan tapi juga karena adanya tekanan jumlah penduduk, dimana semakin banyaknya manusia/orang yang ikut mencari ikan di TNDS. Ini dapat dilihat dari pertambahan jumlah kampung nelayan dan jumlah penduduk yang semakin bertambah di TNDS. Begitu juga kondisi hutan yang dikelola oleh masyarakat Iban di Kedungkang relatif masih dalam keadaan baik. Hutan adat, hutan simpanan dan hutan keramat masih dijaga dengan baik, menunjukkan kelestarian hutan tetap dijaga. Memang telah ada hutan produksi mereka yang telah ditebangi dan terbuka, akan tetapi hutan tersebut ditebang karena adanya kegiatan penebangan liar yang dilakukan oleh pihak luar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat tingkat kepercayaan yang tinggi (nilai skor 22) di dalam masyarakat. Pada masyarakat yang memiliki kapabilitas kepercayaan yang tinggi (high trust), atau memiliki spectrum of trust yang lebar (panjang), maka akan memiliki potensi modal sosial yang kuat. Sebaliknya pada masyarakat yang memiliki kapabilitas kepercayaaan yang rendah (low trust), atau memiliki spectrum of trust yang sempit (pendek), maka akan memiliki potensi modal sosial yang lemah. Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa kepercayaan dapat dipandang sebagai syarat keharusan (necessary condition) dari terbentuk dan terbangunnya modal sosial yang kuat (atau lemah) dari suatu masyarakat. Ini dapat dilihat dari kasus yang terjadi di TNDS, karena tingkat kepercayaan yang tinggi diantara masyarakat nelayan dan masyarakat peladang di TNDS, maka mereka dapat memfasilitasi kegiatan-kegiatan pengelolaan sumberdaya alam (perikanan dan perladangan) secara bersama. Dan bila dicermati semua aktifitas tersebut mengarah pada kegiatan perekonomian. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Putnam (1993), bahwa kepercayaan memiliki kekuatan mempengaruhi prinsip-prinsip yang melandasi kemakmuran sosial dan kemajuan ekonomi yang dicapai oleh suatu komunitas

97 79 atau bangsa. Oleh karena itu, kepercayaan sebagai sesuatu yang amat besar dan sangat bermanfaat bagi penciptaan tatanan ekonomi diantara masyarakat. Norma Sosial Norma sosial adalah aturan yang mengatur masyarakat baik formal maupun non formal. Norma formal bersumber dari lembaga masyarakat yang resmi dan tertulis, sedangkan norma informal umumnya tidak tertulis yang berisikan aturanaturan dalam bermasyarakat. Tingkat norma sosial dapat dilihat pada Tabel 18. Selang nilai tingkat norma sosial dengan Xmax = 18, Xmin = 6 dan N = 3 adalah 4, sehingga tingkat norma sosial dapat dibagi menjadi: a. Tingkat norma sosial rendah jika skor < 10 b. Tingkat norma sosial sedang jika skor c. Tingkat norma sosial tinggi jika skor Tabel 18 Tingkat norma sosial responden di TNDS No Sub unsur norma sosial Tingkat Jumlah (orang) Persentase (%) Skor Rata-rata 1 Pemahaman terhadap aturan tidak tertulis (norma/adat istiadat) ,00 61,67 28,33 Jumlah , , Pemahaman terhadap aturan tertulis ,89 49,44 36,67 Jumlah , , Pemahaman terhadap kebiasaan di masyarakat (kejujuran, kesopanan, kerukunan dalam pergaulan seharihari) ,00 58,89 41,11 Jumlah , , Pelanggaran oleh pribadi responden ,00 15,00 85,00 Jumlah , , Pelanggaran oleh anggota masyarakat lain dalam suku yang sama ,00 10, ,00 Jumlah , , Pelanggaran oleh anggota masyarakat lain oleh suku yang berbeda ,78 23,89 53,33 Jumlah , ,31 2 Jumlah skor: 2678 dan rata-rata skor: 14,87 15 Keterangan: Jumlah responden 180 orang dengan nilai 1 (rendah), 2 (sedang), dan 3 (tinggi) dengan Xmaksimum: 18, Xminimum: 6 dan jumlah kelas:3 Berdasarkan pada Tabel 18 di atas terlihat bahwa tingkat norma sosial pada masyarakat di dalam kawasan TNDS pada tingkat yang tinggi (skor 15). Terhadap aturan tertulis tidak semua warga masyarakat memahami aturan-aturan yang berlaku. Hanya 36,677 persen responden memahami sepenuhnya aturan-aturan pengelolaan sumberdaya alam, sedangkan 49,44 persen responden kurang memahami, sementara 13,89 persen responden tidak memahami aturan-aturan yang berlaku. Terhadap aturan yang berlaku dalam pengelolaan sumberdaya alam baik perikanan maupun hutan, seluruh responden mengaku tidak melanggarnya karena sudah disepakati bersama. Sebagian besar (85 persen) responden menganggap anggota masyarakat lain masih benar-benar taat terhadap aturan, tidak pernah terjadi pelanggaran, sedangkan 15 persen lainnya mengatakan bahwa pernah terjadi pelanggaran aturan oleh anggota masyarakat tetapi jarang di dalam

98 80 masyarakat mereka masing-masing. Dinyatakan oleh masyarakat (53,33 persen) bahwa pelanggaran terjadi dikarenakan oleh suku lain, masyarakat melayu menyatakan yang melanggar adalah masyarakat Iban, dan masyarakat iban menyatakan bahwa mereka tidak melanggar aturan yang ada. Disinilah tampak ada potensi konflik diantara masyarakat berbeda suku. Hal ini kemungkinan besar dipicu belum adanya komunikasi yang jelas diantara suku, jadi peraturan yang ada di masing-masing wilayah hanya dihormati oleh kalangan sendiri jadi masih kuat dalam aturan internal saja tapi belum untuk eksternal. Norma sejatinya tidak dapat dipisahkan dengan kepercayaan, karena norma adalah alat yang digunakan untuk menjaga konsinstensi antara status dan peran yang dalam fungsi secara keseluruhan memelihara struktur sosial dalam masyarakat (Putnam, 1993). Pada masyarakat nelayan di 3 SPTN terdapat nilai-nilai, norma-norma, dan tata kelakuan lainnya yang menjadi pedoman bertindak warga masyarakatnya. Tata kelakuan yang diuraikan di sini terbatas pada aturan-aturan pengelolaan sumberdaya alam. Sementara bagi masyarakat peladang terdapat nilai-nilai, norma-norma dan aturan pengelolaan sumberdaya hutan. Masing-masing kampung nelayan memiliki aturan yang merupakan hasil kesepakatan bersama yang mengatur tentang penggunaan alat tangkap, tentang jenis-jenis ikan tertentu, tentang hal yang berkaitan dengan manusia dan lain-lain. Sebagai contoh adalah aturan yang ada di masyarakat nelayan Pulau Majang berdasarkan hasil keputusan rapat nelayan pada 1 Januari 2007 dan wawancara dengan bapak Hassanuddin Ketua Nelayan Desa Pulau Majang (26/12/2011) selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 10. Selain aturan tertulis, masih ada tradisi-tradisi lainnya mengenai pengelolaan danau dan sungai yang tidak tertulis yang biasa dilakukan oleh seluruh masayarakat nelayan di TNDS, yaitu berupa: Aturan jala (labuh) zakat Kegiatan jala zakat adalah kegiatan menangkap ikan yang dilakukan bersama-sama oleh anggota kelompok nelayan. Penentuan sungai untuk dilakukan jala zakat ditentukan oleh masing-masing ketua nelayan. Setelah keluar dari sungai. Waktu pemasangan empang ditentukan dalam rapat nelayan. Jala zakat dilakukan pada musim kemarau, berapa kali jala zakat dilakukan dalam satu musim kemarau tergantung dari keperluan dan banyaknya ikan yang ada. Dalam melakukan jala zakat, setiap keluarga hanya boleh membawa 1 buah sampan (luan). Sebelum jala zakat dilakukan, ada ritual nelayan berupa mantera-mantera yang dibacakan oleh ketua nelayan, setelah itu baru kegiatan jala zakat dilakukan bersama-sama oleh peserta dengan menebar jala secara bersama-sama di sungai yang telah ditetapkan. Kegiatan jala zakat ini dilakukan selama 4-5 jam tergantung dari hasil yang diperoleh. Hasil yang diperoleh dari jala zakat ini untuk masing-masing keluarga. Setelah setiap keluarga mendapatkan hasil yang cukup, baru memberikan iuran kepada kelompok nelayan, yang besarnya beragam untuk setiap kelompok nelayan, namun rata-rata adalah sebesar Rp untuk satu sungai. Aturan kerinan Kerinan merupakan tanah lokasi baik berupa genangan air menyerupai kolam alam tempat berkumpulnya ikan di saat musim kemarau, hal ini dikarenakan debit air yang cukup stabil disaat musim kemarau. Kegiatan kerinan juga merupakan kegiatan menangkap ikan secara bersama-sama oleh masyarakat

99 dalam satu rukun nelayan. Berbeda dengan jala zakat hasil dari kerinan ini ditujukan untuk dinikmati bersama-sama dan sebagian dijual untuk mengisi kas kampung (senampun). Kas kampung ini digunakan untuk dana keagamaan, olahraga, kegiatan pemuda dan kepentingan kampung lainnya. Tempat melakukan kerinan adalah sungai/lubuk yang sudah ditutup sebelumnya, jadi menangkap ikannya tidak langsung di atas sampan tetapi di darat. Sungai yang ditutup tersebut lalu dipasangi banyak kerinan (bambu untuk merangkap ikan) sesuai dengan jumlah warga yang ikut ngerinan. Masyarakat secara bersama-sama menangkap ikan dengan menyebar jala pada kerinan yang sudah dipasangi kerinan. Biasanya dalam satu kerinan dikerjakan oleh 3 KK.Penangkapan ikan harus dimulai secara bersama-sama, siapa yang mendahului akan dikenakan sanksi berupa denda uang karena dianggap sama dengan pencurian. Lama kegiatan kerinan ini 4-5 jam, tergantung pada hasil yang ingin diperoleh. Sekali kerinan bisa mencapai 800 kilogram ikan, atau kalau dalam rupiah bisa sampai 3 juta rupiah. Setelah ditangkap ikan yang ada lalu dibersihkan untuk selanjutnya ada yang dibuat ikan asin, kerupuk basah, dan lain-lain. Ikan yang sudah dibersihkan lalu ditimbang hasilnya, dan semua hasilnya ditujukan untuk kas kampung masing-masing. Ikan dalam kerinan tidak boleh diambil/dikuras semuanya, harus ada bagian yang disisakan agar ikan tidak habis (wawancara dengan ketua nelayan Semangit : Abang Astiar tanggal 8/10/2011). Dinyatakan bahwa kegiatan kerinan merupakan tradisi sejak lama sejak zaman kerajaan Selimbau. Di masa lalu, kerinan biasanya didahului dengan ritual bebantar, yaitu memberi makan atau sesaji kepada danau. Sajian berupa buah-buahan, gandum, dan tiruan bentuk ikan. Namun tradisi itu sudah tidak dilakukan lagi oleh masyarakat Danau Sentarum yang sebagian besar adalah masyarakat melayu yang memeluk agama Islam, yang tidak memperbolehkan ritual sesajian seperti itu. Peraturan mengenai sungai ini bila dikaji merupakan kejelasan property right tesntang penguasaan areal kerja, sehingga tidak terjadi konflik antara masyarakat dalam wilayah kerja masing-masing. Aturan seperti ini dalam konteks kebijakan lingkungan, dapat mempengaruhi sikap terhadap lingkungan sampai batas tertentu bahkan menyebabkan perilaku terhadap lingkungan (Miller & Buys 2008). Sementara kegiatan seperti jala zakat dan ngerinan merupakan gambaran kegiatan bersama masyarakat dalam menjalin kekompakan bersama dan juga merupakan ajang silaturahmi. Masyarakat peladang juga memiliki aturan dan norma dalam mengelola SDA dan hutan yang mereka miliki. Sebagai contoh adalaah pada masyarakat dayak Iban yang tinggal di Kedungkang. Untuk aturan pengelolan sumberdaya alam dan hutan yang berlaku pada masyarakat Dayak Iban di Kedungkang berdasarkan hasil wawancara dengan pak Lom Kadus Kedungkang (25/11/2011) dan buku Tusun Tunggu Adat Iban Perbatasan Kalimantan Barat (22 /1/2007) berisikan hal-hal yang mengatur pengelolaan ladang dan pengaturan penangkapan ikan, yang selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 11. Selain aturan mengenai kerja nelayan dan aturan pengelolaan SDA dan hutan, di TNDS juga diperoleh informasi mengenai aturan pengelolaan sumberdaya madu hutan dari periau. Karena sudah memiliki asosiasi yang resmi dan tercatat maka sudah ada kesepakatan standar internal APDS (Lampiran 12). Sebelumnya aturan pengelolaan sumberdaya madu hutan masyarakat periau 81

100 82 secara tradisional yaitu menyangkut aturan-aturan dan wilayah pengelolaan sebagai berikut : Wilayah kelola periau tertentu (bisa dilihat dalam Gambar 17) Jenis kayu yang digunakan untuk tikung ( tikung tidak boleh terbuat dari kayu Medang (Litsea sp) Aturan pemasangan dan design tikung (Jarak antar tikung tidak boleh terlalu dekat; Tidak boleh memasang tikung di jalur tikung dan di luar periau; Pemasangan tikung di antara dua dahan pohon yang cukup kokoh dengan kemiringan tikung derajat) Kewajiban anggota periau menjaga lingkungan (habitat hutan rawa sebagai sumber pakan lebah) Rekrutmen/pendaftaran anggota dan kode anggota pada tikung masing-masing Jumlah minimal tikung yang harus dimiliki oleh satu orang anggota (Warga kampung dapat menjadi anggota periau dengan syarat mampu memasang lebih dari 25 tikung) Panen harus dilakukan bersama-sama dengan waktu yang ditentukan oleh ketua periau dan tidak boleh mengambil madu di tikung orang lain. Gambar 17 Peta kerja periau yang ada di TNDS (WWF, 2010). Selain dalam bentuk tikung, masyarakat di TNDS juga dapat memanen madu dari hasil repak dan lalau. Ada aturan yang berlaku pula untuk memanen hasil madunya. Sampai saat ini orang yang panen madu dari kayu lalau, diharuskan untuk melantunkan timang yang dikenal dengan Timang Badul. Walaupun saat ini tidak lagi orang mensyairkan selengkap timang badul seperti aslinya. Umumnya mulai melantunkan timang mulai dari tiba di pohon lalau dan proses-proses mulai memanjat hingga kembali membawa hasil madu.ada beberapa timang yang umum dinyanyikan yaitu Tuntung jatak, Minta tutup cahaya di langit, Nepas, Minta madu selusur dahan, Minta angin, Minta tidak disengat, Minta madu, Ngulur madu, dan Pulang.

101 83 Berikut salah satu contoh syair timang Minta madu selusur dahan: Minta belacan barang sedikit Pakai nyulit taruk mawang Oh..oh..ini dawang aku minta madu Madu mempai selusur dahan O o o Timang adalah lagu tradisional yang syairnya berisikan pujaan dan permohonan akan sesuatu dimana terkandung nilai magis di dalamnya. Hikayat cerita dari ritual menyanyikan timang ini adalah pada suatu waktu lalu di kala musim lebah menghasilkan banyak madu, ada seseorang yang bernama Badul yang istrinya sedang hamil dan mengidam ingin makan anak lebah, tetapi si Badul tidak pandai memanjat pohon lalau yang relatif tinggi. Namun si Badul tetap berusaha dan berfikir bagaimana caranya agar ia dapat mengambil anak lebah untuk istrinya. Akhirnya dia mulai melantunkan timang. Syair-syairnya sangat rinci dan beraturan mulai dari awal tumbuhnya sebatang kayu lalau, yaitu dari bunga, buah, kecambah, daun, batang, dahan, seterusnya hingga pertumbuhannya tinggi dan sudah layak untuk dihinggapi lebah serta cukup kuat untuk membuat sarang lebah. Kemudian tahap berikutnya ia mulai melantunkan permohonan agar lebah di pohon lalau tersebut bersedia memberikan madu dan sarangnya kepada Badul. Sembari ia melantunkan timang lalau, pohon tersebut makin lama semakin merunduk (melengkung kebawah) hingga sampai di teras depan pondoknya. Dengan demikian ia dapat dengan mudah memanen madu dan mengambil anak lebah tersebut tanpa harus memanjatnya. Karena untuk memenuhi hasrat isterinya yang sedang mengidam, ia hanya mengambil satu sarang saja. Setelah memanen madu dan mengambil anak lebah tersebut, ia melantunkan kembali timang tersebut sehingga pohon itu berdiri atau tegak kembali. Syair timang ini disebut dengan Timang Badul (disarikan dari Suara Bekakak edisi ). Dari fakta ini, disimpulkan bahwa setiap kelompok/suku memiliki hubungan yang erat dan ikatan (bonding) yang kuat sehingga masing-masing kelompok bisa mengatasi masalah dalam lingkungannya. Kondisi ini semakin memperkuat pernyataan bahwa masyarakat adat/ tradisional memiliki modal sosial yang erat diantara sesama mereka seperti hasil penelitian Rinawati 2012; Suharjito dan Saputro 2006; Pranadji Tapi mereka belum bisa menyelesaikan masalah karena belum adanya hubungan yang baik yang dibangun dengan kelompok di luar lingkungan. Hubungan inilah yang dinamakan bridging (hubungan yang menjembatani). Dari beberapa literatur diperlukan pihak luar yang bisa berperan untuk menjembatani hubungan seperti ini, yaitu peran fasilitator seperti LSM. Di TNDS sendiri terdapat beberapa LSM yang aktif berperan dalam pemberdayaan masyarakat dan berusaha untuk menjadi fasilitator seperti Riak Bumi, WWF, dan lain-lain. Norma sosial dengan berbagai aturan yang ada didalamnya telah secara nyata mengikat warga di setiap rukun nelayan dan warga untuk tetap memelihara dan menjaga kelestarian sumberdaya perairan dan hutannya. Aturan nelayan berupa pembagian wilayah kerja, pengaturan alat tangkap, pengaturan orang luar untuk bekerja, pengaturan jenis umpan, dan seterusnya secara langsung telah memberikan kontribusi dalam pelestarian sumberdaya perairan. Aturan periau berupa wilayah kelola periau, jenis kayu yang digunakan untuk tikung, aturan pemasangan, jumlah dan design tikung, kewajiban anggota periau untuk menjaga

102 84 lingkungan, rekrutmen/pendaftaran anggota dan kode anggota pada tikung masing-masing, serta aturan panen juga telah memberikan kontribusi dalam pelestarian sumberdaya madu hutan. Aturan di masyarakat Iban dalam pembagian zonasi hutan, pelarangan penebangan, aturan adanya hutan adat, hutan simpanan, aturan-aturan dalam pengelolaan ladang secara langsung telah memberikan kontribusi dalam pelestarian hutan. Hasil penelitian yang menunjukkan tingkat kepatuhan masyarakat terhadap aturan tersebut cukup tinggi, terutama pada aturan-aturan tidak tertulis sehingga berimplikasi positif terhadap semua sumberdaya alam yang ada di wilayah pemanfaatan dan kelola masyarakat. Dan ini merupakan kekuatan untuk membantu dalam pelestarian SDA mereka sampai saat ini. Jaringan sosial Jaringan sosial yang ada di masyarakat di TNDS secara umum dapat dilihat pada Tabel 19. Jaringan sosial yang terbangun dalam masyarakat di TNDS berupa kepadatan organisasi, keanekaragaman keanggotaan, partisipasi, kerelaaan, kerjasama kelompok baik di dalam maupun di luar komunitas serta kebersamaan. Kepadatan organisasi terdiri dari jumlah anggota keluarga yang terlibat dalam suatu organisasi dan jumlah organisasi yang diikuti. Sebanyak 98,33 persen responden menyatakan hanya kepala keluarga (1 orang) saja yang terlibat dalam organisasi, hanya 2 keluarga (1,11 persen) yang tidak ikut organisasi yang ada dan 1 keluarga menyatakan ada 2 anggota keluarga yang terlibat yaitu KK dan anak yang sudah dewasa tetapi belum menikah. Kepadatan organisasi berdasarkan jumlah organisasi yang diikuti responden berkisar antara 0 5 buah organisasi dalam satu keluarga. Rata-rata responden dalam mengikuti organisasi termasuk kategori sedang (52,22 persen) yaitu 2 organisasi yang diikuti dalam satu keluarga. Tipe organisasi yang diikuti antara lain berupa kelompok nelayan, asosiasi periau, kepemudaan, pamswakarsa, dan pasukan peduli api. Selain itu ada juga Kelompok Kerja Masyarakat TNDS dan Pertemuan tahunan masyarakat TNDS Organisasi yang dianggap paling penting adalah kelompok/rukun nelayan dan asosiasi periau danau sentarum, karena merupakan kelompok usaha bagi masyarakat yang dapat menopang perekonomian masyarakat. Sementara yang lainnya merupakan organisasi yang dibentuk bukan oleh inisiatif masyarakat sendiri tapi dari pihak luar, oleh karenanya tidak akan bergerak jika tidak difasilitasi dalam hal ini pemerintah/balai TNDS ataupun LSM yang ada. Selang nilai tingkat jaringan sosial dengan Xmax = 27, Xmin = 9 dan N = 3 adalah 6, sehingga tingkat jaringan sosial dapat dibagi menjadi: a. Tingkat jaringan sosial rendah jika skor < 15 b. Tingkat jaringan sosial sedang jika skor c. Tingkat jaringan sosial tinggi jika skor Berdasarkan persamaan selang nilai untuk tingkat jaringan sosial pada masyarakat di dalam kawasan TNDS berada pada taraf sedang (skor 16), hal ini disumbang oleh berbagai sub unsur jaringan sosial terutama oleh tingkat kerjasama kelompok, tingkat partisipasi dan kebersamaan dalam organisasi dalam menghadapi masalah secara bersama-sama.

103 85 Tabel 19 Tingkat jaringan sosial responden di TNDS No Sub unsur jaringan sosial Tingkat 1 Kepadatan organisasi (jumlah anggota keluarga yg terlibat) Jumlah (orang) Persentase (%) Skor Rata-rata Jumlah , , Kepadatan organisasi (jumlah organisasi yang diikuti) Jumlah , , Keragaman anggota organisasi ,11 98,33 0,56 45,55 52,22 2,22 0,00 100,00 Jumlah , , Partisipasi dalam kelompok Jumlah , , Kerelaan membangun jaringan Jumlah , , Kerjasama kelompok dengan kelompok lain di dalam komunitas Jumlah , , Kerjasama kelompok dengan kelompok lain di luar komunitas Jumlah , , Kebersamaan dalam organisasi (inisiatif anggota menjadi ketua sementara) Jumlah , , Kebersamaan dalam organisasi (kerjasama anggota masyarakat jika ada masalah bersama) Jumlah , ,68 2 Jumlah skor: 2933 dan rata-rata skor: 16,29 16 Keterangan: 0,00 30,56 43,33 26,11 26,67 53,33 20,00 15,56 63,89 20,56 43,33 49,44 7,22 58,33 36,11 5,56 43,33 45,00 11,67 Jumlah responden 180 orang dengan nilai 1 (rendah), 2 (sedang), dan 3 (tinggi) dengan Xmaksimum: 27, Xminimum: 9 dan jumlah kelas: 3 Karakteristik organisasi yang dianggap penting adalah sebagai berikut: a Kelompok/Rukun Nelayan Kelompok/rukun nelayan yang ada di TNDS terdiri dari rukun nelayan di setiap kampung nelayan permanen yang ada di TNDS. Awalnya terbentuk secara inisiatif warga masyarakat. Kedudukan sebagian besar responden dalam organisasi adalah anggota, hanya sedikit responden yang menjadi pengurus organisasi. Latar belakang seluruh responden ikut dalam rukun nelayan adalah sukarela tanpa adanya unsur paksaan. Sumber dana utama organisasi adalah iuran dari kegiatan penentuan sungai undi/sungai pinta dan

104 86 dari kegiatan ngerinan yang dikerjakan bersama-sama. Kelompok nelayan ini dirasakan sangat bermanfaat dalam usaha ekonomi mereka sebagai nelayan, sehingga tidak terjadi perselisihan antara warga dalam menentukan wilayah kerja, berarti memberikan ketenangan dalam bekerja dan dapat mempererat kerukunan dalam komunitas yang sama. b Asosiasi Periau Danau Sentarum (APDS) APDS berdiri pada tanggal 21 Juli Isu yang mengikat terbentuknya APDS adalah kearifan lokal tentang periau (pembudidaya lebah madu hutan) yang mengelola tikung dan lingkungannya. Organisasi periau ini berperan dalam mengelola kawasan dan mengatur hubungan internal antar anggota periau. Sebelum terbentuknya APDS, posisi periau seringkali lemah bila berhadapan dengan pihak lain, pihak periau belum mengatur kesepakatan tentang pasca panen yaitu tentang harga dan hubungan eksternal. Dengan membentuk asosiasi ini diharapkan kearifan lokal akan tetap terpelihara bahkan bisa dikembangkan untuk mendapatkan hasil madu yang lebih baik dan berkelanjutan dan harga yang relatif stabil. Dengan bantuan dan fasilitasi dari berbagai pihak (Aliansi Organis Indonesia (AOI), Riak Bumi (RB), Yayasan Dian Tama (YDT), People Resources And Conservation Foundation (PRCF) dan World Wild Fund (WWF) KalBar) maka APDS dapat terbentuk, dan sudah dirasakan manfaat positifnya bagi masyarakat yang tergabung di dalamnya, terutama manfaat ekonomi. Asosiasi yang dibentuk ini menetapkan standar produksi madu dan pemrosesan serta harga, sedangkan aturan-aturan Periau tidak diubah hanya dilengkapi dengan ketentuan untuk berhadapan dengan pihak luar. Pada tahap awal pendirian APDS terdiri dari 5 periau (Suda, Danau Luar, Meresak, Semangit dan Semalah) dan beranggotakan 89 orang dengan wilayah periau yang dikelola meliputi daerah lahan basah seluas 7300 ha dan tikung berjumlah sekitar 7600 buah. Saat penelitian, hasil wawancara dengan Presiden APDS AM Irwanto (8 Oktober 20122) ada 11 (sebelas) Periau yang bergabung dengan jumlah anggota 210 orang yang mengelola area periau seluas ,9 ha dan buah tikung. Dari 11 periau tersebut, periau yang aktif adalah periau Tempurau, Semalah, Telatap, semangit, Majang, dan Sumpak. Sementara periau lainnya adalah Meresak, Suda, Danau Luar, Pengembung dan Lupak Mawang. Keragaman keanggotaan dalam organisasi dari 180 responden yang diwawancarai berada dalam kategori sedang. Kelompok/rukun nelayan, APDS, kelompok kepemudaan umumnya memiliki keragaman keanggotaan untuk ikatan kekerabatan, usia, pekerjaaan, pendidikan, pendapatan, politik dan satatus sosial. Sedangkan kesamaan yang dimiliki anggota dalam organisasi adalah tinggal dalam lingkungan, pekerjaan, etnisitas/suku/ras, bahasa dan agama yang sama. Partisipasi masyarakat dalam kelompok yang ada berada dalam kategori sedang (43,33 persen). Partisipasi ditunjukkan dari mengikuti kegiatan rapat-rapat yang dilakukan oleh organisasi yang ada. Sebanyak 53,33 persen responden rela dalam membangun jaringan sosial yang ada di TNDS. Ini terjadi karena latar belakang masyarakat ikut serta menjadi anggota organisasi adalah sukarela tanpa adanya paksaan atau sanksi. Kerjasama kelompok untuk mencapai tujuan terdiri dari kerjasama dengan kelompok lain dalam satu komunitas dan kerjasama dengan kelompok lain di luar komunitas. Untuk kedua kerjasama ini responden umumnya berada dalam

105 kategori sedang, yaitu 63,89 persen untuk dalam komunitas dan persen di luar komunitas. Kebersamaan dalam organisasi dicerminkan dari keinginan anggota mengganti sementara jika ketua berhalangan dalam waktu yang cukup lama dan kebersamaan anggota terutama dalam menghadapi masalah bersama. Keinginan anggota menjadi ketua sementara berada pada kategori rendah (58,33 persen). Masyarakat lebih senang menjadi anggota saja dan sangat sulit mencari sosok pemimpin yang mau menggantikan ketua jika berhalangan tidak ada di kampung mereka, dan memimpin organisasi. Tingkat kebersamaan dalam menghadapi masalah bersama berada pada kategori sedang (45,00 persen). Masyarakat paham betul akan pentingnya kebersamaan, tapi dalam praktek kehidupan sehari-hari lebih sering melakukan secara sendiri-sendiri. Dari hasil penilaian terhadap jaringan sosial yang ada di masyarakat TNDS umumnya berada pada kategori sedang. Pengelolaan TNDS memerlukan jaringan sosial yang kuat di antara anggota masyarakat, karena jaringan yang kuat akan berfungsi sebagai pengikat dan jembatan dalam membentuk struktur sosial masyarakat. Selain itu diperlukan juga jaringan yang dapat menjadi link diantaranya. Interaksi sosial baik di dalam maupun di luar komunitas sangat memegang peranan penting untuk dapat menopang kegiatan pengelolaan TNDS yang berkelanjutan. Interaksi sosial di dalam masyarakat dilihat dari adanya tindakan kolektif untuk mencapai tujuan bersama yang dibatasi oleh institusi tertentu yang memiliki nilai, norma dan hubungan yang jelas (Lawang 2005). Usaha perikanan merupakan mata pencaharian utama penduduk di TNDS. Salah satu karakteristik dari usaha tersebut adalah terciptanya hubunganhubungan sosial yang bertujuan untuk melancarkan usaha perikanan yang dijalankan. Hubungan sosial ini menjadi penting karena secara geografis dan aksesibilitas kampung-kampung nelayan di TNDS berjarak cukup jauh dari pasar dan usaha perikanan yang mereka jalankan memiliki resiko yang tinggi. Pekerjaan sebagai nelayan dapat dikategorikan menjadi dua kategori yaitu: nelayan tangkap dan nelayan budidaya. Nelayan tangkap melakukan aktivitasnya dengan cara mencari ikan secara langsung di sungai/danau, baik dengan menggunakan jarring, pancing, bubu, dan lain-lain. Sedangkan usaha perikanan budidaya merupakan usaha perikanan yang dilakukan nelayan dengan cara pembiakan ikan jenis tertentu di dalam keramba. Menurunnya hasil tangkapan ikan di sungai/danau, tingginya resiko perikanan tangkap, dan faktor alam yang unik di kawasan TNDS (musim basah dan kering yang ada) membuat sebagian besar nelayan menjadikan perikanan budidaya sebagai alternatif bagi upaya pemenuhan ekonomi mereka. Dalam usaha perikanan yang dijalankan oleh masyarakat di TNDS, terbentuk jaringan sosial yang secara umum dapat ditemui di kampung nelayan. Jaringan sosial tersebut tercipta dari hubungan antara pedagang antara (tengkulak) dengan nelayan. Terbentuknya hubungan ini merupakan upaya pemenuhan kebutuhan ekonomi dan sosial masyarakat setempat (Gambar 18). Hubungan pedagang antara (tengkulak) dengan nelayan yang terbentuk didasari oleh hubungan saling menguntungkan. Dalam hubungan tersebut, tengkulak memanfaatkan kemampuan nelayan dalam menyediakan hasil perikanan yang dibutuhkan oleh pasar. Sedangkan nelayan membutuhkan tengkulak untuk memasarkan hasil perikanan yang mereka dapatkan. Dalam hal 87

106 88 ini, tengkulak memiliki informasi yang lebih banyak mengenai kondisi pasar ikan dibandingkan nelayan. PASAR Hasil Perikanan TENGKULAK Hasil Penjualan Ikan NELAYAN Gambar 18 Jaringan sosial antara tengkulak dan nelayan di TNDS Berdasarkan jaringan sosial, modal sosial terbagi atas modal sosial yang mengikat, menjembatani dan menghubungkan (Iosifides et al. 2007; Putnam Woolcock 1998; Woolcock & Narayan, 2000). Di TNDS, jaringan sosial yang mengikat (bonding) bisa dikatakan sudah cukup kuat, seperti rukun nelayan yang ada di setiap kampung nelayan dan lembaga adat di kampong Iban. Modal sosial yang mengikat mengacu ke internal dalam komunitas contoh yang paling menjadi indikasi adalah jaringan dengan keluarga atau jaringan lingkungan dalam komunitasnya. Jaringan sosial yang menjembatani di TNDS masih dalam kategori rendah ke sedang. Seperti kegiatan pertemuan tahunan masyarakat TNDS yang sudah mulai dilaksanakan sejak tahun Modal sosial yang menjembatani (bridging) mengeksplorasi hubungan antara kelompok sosial yang berbeda dan masyarakat. Sementara itu jaringan sosial yang menghubungkan masih sangat lemah. Modal sosial yang menghubungkan (linking) mengacu pada jaringan antara entitas yang berbeda dengan berwenang. Jenis terakhir adalah sangat penting dalam isu lingkungan seperti mengeksplorasi koneksi antara masyarakat dan negara. Melalui fungsi mereka sebagai obligasi dan jembatan di komunitas, jaringan mungkin mengirimkan informasi mengenai masalah lingkungan dan menjinakkannya antara warga negara sehingga secara signifikan mempengaruhi tingkat partisipasi. Selain itu, permintaan masyarakat (yang berpartisipasi dalam jaringan formal dan informal) bagi penyelesaian suatu masalah lingkungan yang ditularkan melalui menghubungkan jaringan sosial. Konsekuensinya, jaringan ini membawa informasi, melalui proses dari bawah (bottom-up), dengan aktor yang bertanggung jawab untuk memperkenalkan isu publik dalam agenda kebijakan. Selain kepadatan mereka, jenis jaringan sosial adalah sama pentingnya. Adanya hubungan vertikal dan klientelistik mungkin memiliki pengaruh negatif terhadap kegiatan lingkungan dari suatu komunitas. Bahkan dalam penelitian awal, tentang masalah agenda kebijakan (Cobb & Elder, 1976; Kingdon, 1976), peran jaringan ini perlu digarisbawahi karena mereka mempromosikan kepentingan kelompok sosial tertentu dalam agenda kebijakan sekaligus menciptakan ikatan ketergantungan antara warga negara. Jaringan sosial yang terbentuk dan terbangun baik antar masyarakat yang terbentuk dari hubungan antar personal maupun jejaring yang dilakukan dengan pihak luar. Jaringan sosial yang terbentuk kuat di TNDS lebih pada tipe jaringan

107 89 sosial terikat (bonding) dibandingkan tipe modal sosial menjembatani (bridging). Tipe bonding cenderung menjadi perekat sosial (social glue), berorientasi ke dalam, lebih banyak bekerja secara internal, solidaritas lebih bersifat mikro dan komunal serta hubungan yang terjadi lebih eksklusif berdasarkan nilai, kultur, persepsi, tradisi dan adat istiadat (Ramli 2007). Kelemahannya adalah perbedaan yang kuat antara orang dalam dengan orang luar, sulit menerima arus perubahan, kurang akomodatif terhadap pihak luar, mengutamakan kepentingan dan solidaritas kelompok yang dinyatakan Hasbullah 2006, terbukti terjadi di TNDS, dimana masyarakat kuat di lokasi mereka sendiri, tapi tidak solid ketika keluar. Biarpun demikian kondisi ini telah memberikan kontribusi positif dalam menjaga kelestarian sumberdaya alam yang ada di lokasi mereka sendiri. Anggota masyarakat dengan saling mengetahui kondisi rumah tangga anggota masyarakat yang lain secara tidak langsung merupakan bentuk pengawasan diantara mereka. Hubungan yang terjalin memungkinkan antara mereka untuk dapat saling mengingatkan. Tingkat Modal Sosial Masyarakat dalam Pengelolaan TNDS Berdasarkan unsur-unsur pembentuk modal sosial yang dinilai maka diperoleh tingkat modal sosial masyarakat seperti yang terangkum pada Tabel 20. Tabel 20 Tingkat modal sosial masyarakat dalam kawasan TNDS No. Unsur modal sosial Skor Rata-rata Nilai Maksimum- Minimum 1 Kepercayaan Norma sosial Jaringan sosial Jumlah Keterangan : Jumlah responden 180 orang dengan nilai 1 (rendah), 2 (sedang), 3 (tinggi) dengan Xmaksimum: 72, Xminimum: 38 dan jumlah kelas 3 Berdasarkan persamaan selang nilai modal sosial dengan Xmax = 72, Xmin = 24 dan N = 3 adalah 11,3, sehingga tingkat modal sosial masyarakat dalam kawasan TNDS dapat dikategorikan sebagai berikut: a. Modal sosial masyarakat termasuk kategori rendah bila jumlah skor < 35, dalam hal pengelolaan kawasan TNDS maka akan sulit untuk dilibatkan jika dilihat dari modal sosial yang dimiliki. b. Modal sosial masyarakat termasuk kategori sedang bila jumlah skor antara 35 46, dalam hal pengelolaan kawasan TNDS maka dapat untuk dilibatkan dengan catatan perlu untuk dilakukan pendampingan untuk penguatan moda sosial yang sudah dimiliki. c. Modal sosial masyarakat termasuk kategori tinggi bila jumlah skor > 47, dalam hal pengelolaan kawasan maka akan sangat membantu bila dilibatkan dalam kegiatan pengelolaan kawasan TNDS jika dilihat dari modal sosial yang dimiliki. Berdasarkan Tabel 20, masyarakat dalam kawasan TNDS memiliki tingkat modal sosial yang tinggi (dengan rata-rata skor 53). Dilihat dari bentuk-bentuk interelasi yang terjadi, masyarakat dalam kawasan TNDS memiliki kecenderungan tipe modal sosial yang terikat (bonding). Ini dapat dilihat dari hubungan yang dimiliki lebih berorientasi ke dalam, yaitu bekerja lebih banyak

108 90 secara internal (sesama etnis), kepercayaan lebih diberikan dalam komunitas yang sama, dan model hubungan yang terjadi dilakukan berdasarkan nilai, kultur, persepsi dan adat istiadat masing-masing. Hal ini tampak jelas dari hubungan yang terjadi antara masyarakat Melayu dan masyarakat Iban yang ada di dalam kawasan. Modal sosial yang terikat ini akan kuat di dalam komunitasnya, namun akan lemah bila berhadapan dengan masyarakat di luar komunitasnya. Selain itu tipe modal sosial ini sulit menerima perubahan, namun demikian tingginya modal sosial yang dimiliki masyarakat TNDS merupakan salah satu modal yang harus digunakan untuk menjaga kelestarian SDA di kawasan TNDS. Untuk pemanfaatan secara optimal, maka diperlukan juga penguatan SDM yang ada pada masyarakat TNDS, sehingga lebih memperkuat kemampuan modal sosial yang ada untuk terlibat dalam pengelolaan TNDS yang berkelanjutan. Kapabilitas Pemerintah dalam Pengelolaan TNDS Kapabilitas pemerintah dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk mengelola negara baik yang sudah dimiliki maupun perubahannya. Kapabilitas merupakan kemampuan untuk melaksanakan kapasitas. Dalam pengelolaan TNDS kapabilitas negara dinilai dari indikator yang ada di Balai TNDS yang mendapat mandat dan wewenang untuk mengelola TNDS. Hasil penilaian kapabilitas negara yang dilakukan oleh para pemangku kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan TNDS (18 pemangku kepentingan) berdasarkan indikator negara dan indikator hubungan antara negara dan masyarakat dapat dilihat pada Tabel 21 berikut: Tabel 21 Tingkat karakteristik intrinsik pemerintah dalam pengelolaan TNDS No Sub unsur indikator negara (karakteristik intrinsik) Tingkat Jumlah (pemangku kepentingan) Persentase (%) Skor Rata-rata 1 Human capital ,22 27,78 0, Jumlah , , Rasionalitas instrumental ,67 33,33 0, Jumlah , , Koherensi ,77 16,67 5, Jumlah , , Ketahanan ,44 5,56 0, , ,06 1 Jumlah skor dan rata-rata 89 4,95 5 Keterangan: Jumlah responden 18 orang dengan nilai 1 (rendah), 2 (sedang), 3 (tinggi) dengan Xmaksimum: 12, Xminimum: 4 dan jumlah kelas: 3 Selang nilai tingkat karakteristik intrinsik dengan Xmaksimum = 12, Xminimum = 4 dan N = 3 adalah 2,67, sehingga tingkat karakteristik intrinsik pemerintah dalam pengelolaan TNDS dapat dikategorikan menjadi: a tingkat karakteristik intrinsik pemerintah rendah jika skor < 6 b tingkat karakteristik intrinsik pemerintah sedang jika skor 6 9 c tingkat karakteristik intrinsik pemerintah tinggi jika skor

109 91 Berdasarkan Tabel 21 ternyata karakteristik intrinsik pemerintah berada pada tingkatan rendah (skor 5), hal ini ditunjukkan dengan rendahnya human capital yang melaksanakan pengelolaan TNDS, begitu juga dengan tingkat rasionalitas instrumental, koherensi dan ketahanan yang dimiliki oleh Balai TNDS sebagai wakil pemerintah. Dalam karakteristik intrinsik, yaitu internal Balai TNDS seperti modal manusia, rasionalitas instrumental, koherensi dan ketahanan, semua cenderung menilai Balai TNDS pada kategori rendah. Modal manusia misalnya, tidak hanya penilaian dari luar yang menyatakan bahwa Balai TNDS masih lemah/rendah, tapi pihak Balai sendiri mengakui hal ini (hasil wawancara dengan beberapa pegawai Balai TNDS dan statistik Balai TNDS 2011). Sumberdaya manusia dirasakan masih kurang baik kuantitas maupun kualitasnya. Jika dibandingkan antara luas kawasan Taman Nasional Danau Sentarum dengan jumlah sumber daya manusia yang tersedia memang dirasakan masih sangat kurang. Pada saat ini Balai TNDS baru memiliki pegawai sebanyak 36 orang yang terdiri dari 1 orang eselon III, 3 Orang Eselon IV, 17 orang Polhut, 5 orang Pengendali Ekosistem Hutan (PEH), 4 orang Penyuluh Kehutanan dan 6 orang Nonstruktural dan petugas lapangan, dan ada 42 pegawai kontrak. Berikut rekapitulasi jumlah pegawai Balai TNDS berdasarkan beberapa klasifikasi. Tabel 22 Rekapitulasi sebaran pegawai Balai TNDS tahun 2010 Unit Pelaksana Status Pegawai PNS Kontrak Jumlah Kantor Balai SPTN I Lanjak SPTN Semitau SPTN Selimbau DAOPS Putussibau BRIGDALKAR TNDS Jumlah Sumber: Data Statistik Balai TNDS 2011 Sementara itu berdasarkan tingkatan pendidikan dari sumberdaya manusia yang ada saat ini adalah sebagai berikut:

110 92 Tingkat Pendidikan Pegawai Balai TNDS tahun 2010 Jumlah Balai TNDS SPTN I Lanjak SPTN II Semitau S SPTN II Selimbau D SLTA/SKMA Gambar 19 Diagram sebaran pegawai Balai TNDS berdasar pendidikan Sumber: Data Statistik Balai TNDS 2011 Dari indikator rasionalitas instrumental, yaitu kemampuan komponen negara untuk mengumpulkan dan mengevaluasi informasi yang relevan dengan kepentingan dan untuk membuat keputusan yang memaksimalkan utilitas mereka, 66,67 persen responden menyatakan Balai TNDS tidak mampu, sementara selebihnya 33,33 persen menyatakan cukup mampu. Hal ini dikonfirmasikan dengan pihak Balai, mereka menyatakan hal tersebut memang merupakan kenyataan, dan hal ini berkaitan dengan jumlah pegawai dalam mengumpulkan informasi tersebut sangat terbatas. Koherensi merupakan tingkat dimana komponen-komponen negara setuju dan bertindak atas dasar ideologis bersama, tujuan, dan metode, juga kemampuan komponen untuk berkomunikasi dan debat pendapat yang konstruktif, informasi dan kebijakan di antara mereka sendiri. Pihak Balai menganggap untuk koherensi mereka berada dalam tingkat yang tinggi, ini kemungkinan besar dikarenakan mereka semua bertindak atas pandangan yang sama dalam mengelola TNDS yaitu ke arah konservasi. Walaupun mungkin ada orang-orang tertentu yang tidak sama pandangannya, tapi karena berada dalam satu struktur kerja, jadi tidak begitu timbul ke permukaan. Sementara responden lain mengganggap koherensi di dalam Balai TNDS 16,67 persen dalam tingkat sedang dan 77,77 persen dalam tingkat rendah. Indikator karakteristik intrinsik terakhir yang dinilai adalah mengenai ketahanan, yaitu kemampuan untuk menghadapi guncangan tiba-tiba, beradaptasi dalam jangka panjang menghadapi perubahan sosial ekonomi, dan menyelesaikan sengketa masyarakat. Seluruh responden diluar pihak Balai TNDS, menyatakan pihak Balai tidak mampu. Beberapa contoh yang dapat disajikan responden antara lain adalah, ketika terjadi kebakaran hutan, pihak Balai tidak akan mampu untuk memadamkan kebakaran, sangat diperlukan bantuan dari pihak lain untuk dapat meredam kebakaran. Untuk kasus kebakaran ini telah dibentuk Masyarakat Peduli Api yaitu kumpulan masyarakat yang secara sukarela bersedia membantu upaya

111 93 pengendalian kebakaran hutan dan lahan (mulai dari pencegahan, pemadaman dan penanggulangan dampak). Contoh lain lagi, yaitu ketika terjadi sengketa antara nelayan mengenai wilayah kerja, pihak Balai tidak mempunyai hak untuk berbicara, karena masyarakat lebih mendengar pimpinan adat mereka masingmasing. Dan beberapa kasus lain yang menunjukkan ketahanan dalam Balai TNDS masih rendah. Selain karakteristik intrinsik dalam pemerintah, indikator lain yang digunakan untuk mengukur kapabilitas negara dalam pengelolaan TNDS adalah dengan melihat hubungan antara pemerintah dan masyarakat. Adapun hasil penilaian tingkat hubungan antara pemerintah dan masyarakat dapat dilihat pada Tabel 23. Selang nilai tingkat hubungan antara pemerintah dan masyarakat dengan Xmaksimum = 12, Xminimum = 4 dan N = 3 adalah 2,67, sehingga tingkat karakteristik intrinsik pemerintah dalam pengelolaan TNDS dapat dikategorikan menjadi: a tingkat hubungan antara pemerintah dan masyarakat rendah jika skor < 6 b tingkat hubungan antara pemerintah dan masyarakat sedang jika skor 6 9 c tingkat hubungan antara pemerintah dan masyarakat tinggi jika skor Tabel 23 Tingkat hubungan pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaan TNDS No Sub unsur indikator hubungan antara pemerintah dan masyarakat Tingkat Jumlah (pemangku kepentingan) Persentase (%) Skor Rata-rata 1 Otonomi ,44 5,56 0, Jumlah , , Sumberdaya fiskal ,00 0,00 0, Jumlah , , Jangkauan dan responsif ,44 5,56 0, Jumlah , , Legitimasi ,89 11,11 0, , ,11 1 Jumlah skor dan rata-rata 76 4,22 4 Keterangan: Jumlah responden 18 orang dengan nilai 1 (rendah), 2 (sedang), 3 (tinggi) dengan Xmaksimum: 12, Xminimum: 4 dan jumlah kelas: 3 Berdasarkan Tabel 23 ternyata hubungan antara pemerintah dan masyarakat berada pada tingkatan rendah (skor 4), hal ini ditunjukkan dengan rendahnya otonomi yang dimiliki, sumberdya fiskal yang dikelola, jangkauan dan responsif serta legitimasi Balai TNDS. Otonomi negara yang dimaksud disini adah sejauh mana negara dapat bertindak secara independen dari kekuatan eksternal, baik domestik dan internasional, dan kooptasi yang akan mengubah atau membatasi tindakan-tindakannya. Sebanyak 94,44 persen responden menyatakan bahwa negara dalam hal ini Balai TNDS masih rendah secaara otonomi dalam bertindak secara independen. Hal ini sangat dimungkinkan karena balai TNDS merupakan UPT yang ditunjuk dan diberikan oleh Dirjen PHKA dalam mengelola TNDS. Jadi setiap tindakan yang diambil selalu mengacu pada aturan yang dikeluarkan oleh Dirjen PHKA. Sayangnya acuan yang dikeluarkan biasanya hanya satu

112 94 macam dan seragam untuk semua kawasan. Sehingga dapat menjadi titik lemah jika tidak bisa diterapkan di kawasan yang mempunyai karakteristik yang unik. Sementara dilihat dari kekuatan eksternal internasional, adalah kuatnya pengaruh International Union for Conservation of Nature (IUCN) dalam kegiatan pengelolaan TN di Indonesia termasuk TNDS. Kategori apapun yang ada di kawasan konservasi mengacu pada kategori yang dikeluarkan oleh IUCN. Padahal tidak semua yang dikeluarkan oleh IUCN ini dapat diadaptasi di Indonesia. Lagilagi hal ini menyebabkan negara tidak dapat bertindak secara independen. Indikator sumberdaya fiskal adalah menilai kemampuan keuangan negara atau komponen yang dibelikan negara. Kapasitas ini adalah fungsi dari kedua aliran pendapatan saat ini dan cukup layak serta tuntutan pada pendapatan itu. 100 persen responden menyatakan bahwa negara tidak mampu dalam sumberdaya fiskal ini, termasuk dari pihak Balai TNDS menyatakan hal ini. Dalam rangka pelaksanaan tugas pokok dan fungsi tahun 2010 (tahun keempat pelaksanaan rencana strategik periode tahun ), Balai TNDS memiliki anggaran belanja yang berasal dari sumber dana DIPA dengan total anggaran sebesar Rp Jadi semua sumberdaya fiskal semuanya berasal dari pusat, tidak ada pendapatan yang digunakan untuk membiayai kegiatan Balai. Sementara pendapatan yang diperoleh dari tiket masuk ke TNDS bagi peneliti dan pariwisata untuk tahun 2011 sebesar Rp langsung masuk ke pusat karena termasuk dalam PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak). Padahal sebagai suatu organisasi untuk dapat capable salah satunya harus memiliki sumberdaya keuangan(fiskal) yang mantap disamping sumberdaya fisik, sumberdaya manusia, sumberdaya teknologi dan reputasi organisasi karena a capability is the capacity for a set of resources (Hitt et al. 2005). Sejauh mana negara berhasil dalam memperluas ideology, struktur sosial politik, dan aparat administrasi seluruh masyarakat (baik secara geografis, dan masuk ke struktur sosio-ekonomi masyarakat sipil); respon dari struktur dan aparat untuk kebutuhan lokal masyarakat juga dinilai rendah oleh responden dari berbagai pemangku kepentingan yang ada di TNDS. Ideology konservasi yang dimiliki oleh negara dalam mengelola TNDS belum berhasil disebarluaskan. Hal ini tampak dari respon masyarakat yang memandang TNDS adalah sumber pendapatan bagi mereka sehingga mereka seharusnya dapat dengan bebas untuk memanfaatkan dan menggunakan TNDS sebagai asset ekonomi. Begitu juga dengan pemerintah daerah, yang lebih berat kepada pertimbangan ekonomi dibanding konservasi dalam memandang areal di sekitar TNDS, walaupun pemda Kapuas Hulu sudah mencadangkan diri sebagai kabupaten konservasi. Sementara dari sisi LSM, ada beberapa yang condong pada pandangan kesejahteraan masyarakat dibanding konservasi, walaupun mereka melabel diri mereka sebagai LSM yang pro konservasi, tapi bila dihadapkan dengan kepentingan manusia, mereka lebih cenderung ke masyarakat untuk disejahterakan. Apa yang terjadi di TNDS seperti juga yang terjadi pada pengelolaan TN di berbagai tempat, yaitu adanya perbedaan diskursus dalam mengelola TN (Wittmer and Birner 2005). Sementara itu, indikator legitimasi yang merupakan indikator kekuatan otoritas moral negara yaitu sejauh mana rakyat mematuhi perintah yang keluar dari rasa kesetiaan dan kewajiban, bukan sebagai akibat dari paksaan atau inisiatif ekonomi. 88,89 persen menyatakan tidak kuatnya legitimasi negara, hal ini dikarenakan masih banyaknya tekanan-tekanan dan ancaman-ancaman yang

113 95 dihadapi oleh pihak Balai TNDS dalam mengelola TNDS. Balai TNDS adalah suatu organisasi kekuasaan yang bersifat formal. Formalnya sebuah kekuasaan membuat kekuasaan memiliki wewenang dan hak untuk mengeluarkan perintah dan membuat peraturan serta memiliki otoritas untuk memberikan sanksi bila aturan atau perintah tersebut dilanggar dan tidak dilaksanakan. Namun, walau telah ada kekuasaan dan telah dilembagakan atau sah, masih ada faktor lain untuk dapat dengan efektif dan mengurangi pemaksaan dan kekerasan dalam pelaksanaannya. Sebuah kekuasaan tentunya harus memiliki pengakuan atau keabsahan. Keabsahan adalah keyakinan anggota-anggota masyarakat bahwa wewenang yang ada pada seseorang, kelompok, atau penguasa adalah wajar dan patut dihormati (Budiarjo 2008). Adanya pelanggaran yang terus terjadi menunjukkan tidak kuatnya legitimasi pemerintah dalam pengelolaan TNDS. Berdasarkan indikator-indikator yang digunakan untuk menilai kapabilitas pemerintah maka diperoleh tingkat kapabilitas pemerintah dalam pengelolaan TNDS (Tabel 24). Tabel 24 Tingkat kapabilitas pemerintah dalam pengelolaan TNDS No. Indikator kapabilitas pemerintah Skor Rata-rata Nilai Maksimum- Minimum 1 Karakter intrinsik Hubungan antara pemerintah dan masyarakat Jumlah Keterangan : Jumlah responden 18 orang dengan nilai 1 (rendah), 2 (sedang), 3 (tinggi) dengan Xmaksimum: 24, Xminimum: 8, dan jumlah kelas 3 Berdasarkan persamaan selang nilai dimana Xmaksimum = 24, Xminimum = 8, dan jumlah kelas 3 adalah 5,33. Skala penilaian yang diperoleh untuk tingkatan kapabilitas pemerintah pada pengelolaan TNDS adalah sebagai berikut: a. Tingkat kapabilitas pemerintah rendah apabila jumlah skor < 13, dalam hal pengelolaan TNDS maka sulit untuk dapat berperan secara optimal jika dilihat dari kapabilitas yang dimiliki. b. Tingkat kapabilitas pemerintah sedang apabila jumlah skor antara 13 18, dalam hal pengelolaan TNDS maka dapat berperan secara optimal jika dilihat dari kapabilitas yang dimiliki. c. Tingkat kapabilitas pemerintah tinggi apabila jumlah skor antara 19 24, dalam hal pengelolaan TNDS maka dapat sangat berperan secara optimal jika dilihat dari kapabilitas yang dimiliki. Berdasarkan hasil penilaian yang sudah dilakukan, maka dapat diketahui bahwa kapabilitas pemerintah ternyata masih rendah (skor 9) dalam pengelolaan TNDS, kondisi serupa juga terjadi di berbagai TN di dalam maupun luar negeri (Holmes-Watts dan Watts 2008). Untuk dapat mengelola TNDS maka kapabilitas dari Balai TNDS harus dikembangkan, karena kapabilitas bersifat dinamis, jadi dapat berubah dan diharapkan menjadi lebih baik. Peningkatan kapabilitas ini tentunya memerlukan pengorbanan berupa keinginan untuk menjadi lebih baik dalam mengelola melalui berbagai pembelajaran untuk mendapatkan pengetahuan. Walaupun kondisi ini telah terjadi sejak lama tetapi proses pembelajaran sangat lambat terjadi.

114 96 8 KEBIJAKAN PENGELOLAAN TNDS Peraturan Perundangan Pengelolaan TNDS Pengelolaan TNDS dilakukan berdasarkan pada Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan peraturan pelaksanaannya, serta Peraturan Perundangan dan Peraturan Daerah yang berlaku di Indonesia. Identifikasi dan penilaian dilakukan terhadap beberapa kebijakan formal yang berkaitan dengan pengelolaan TNDS. Hasil identifikasi ditemukan 31 (tiga puluh satu) buah peraturan (kebijakan) yang digunakan oleh Balai TNDS sebagai dasar pengelolaan TNDS saat ini. Kebijakan tersebut berupa Undang-undang (UU) yang terkait, Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Menteri, Keputusan Presiden (Keppres), Keputusan Menteri (Kepmen), Peraturan Daerah (Perda), Keputusan dan Peraturan Direktur Jenderal, Keputusan Bupati. Identifikasi peraturan perundang-undangan terkait pengelolaan TNDS disajikan pada Tabel 25 berikut: Tabel 25 Peraturan perundang-undangan terkait pengelolan TNDS No Peraturan Keterangan 1 Undang-undang No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya 2 Undang-undang No.41 Tahun 1999, tentang Kehutanan 3 Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah Bab I Ketentuan Umum. Pasal 1 memberikan definisi Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Bab VII Kawasan Pelestarian Alam. Pasal 34 (1) Pengelolaan taman nasional dilaksanakan oleh Pemerintah Bab IX Peran Serta Rakyat. Pasal 37 (2) Dalam mengembangkan peran serta rakyat... melalui pendidikan dan penyuluhan Bab X Penyerahan Urusan dan Tugas Pembantuan. Pasal 38 Dalam..., pemerintah dapat menyerahkan sebagian urusan di bidang tersebut kepada Pemda sebagaimana dimaksud... Bab V Pengelolaan Hutan. Pasal 21 Pengelolaan hutan..., meliputi kegiatan : tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi dan reklamasi hutan, dan perlindungan hutan dan konservasi alam. Pasal 25 Pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada semua kawasan hutan kecuali pada hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada taman nasional Bab III Pembagian Urusan Pemerintahan Pasal 14 (1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam skala kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota, meliputi...j. pengendalian lingkungan hidup

115 97 Tabel 25 Peraturan perundang-undangan...(lanjutan) 4 Undang-Undang No.32 Tahun 2009, tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 5 Undang-Undang No.10 Tahun 2009, tentang Kepariwisataan 6 Undang Undang No.52 Tahun 2009, tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera. 7 Undang Undang No.26 Tahun 2007, tentang Penataan Ruang 8 Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 1985, tentang Perlindungan Hutan. Bab II Asas, Tujuan, dan Ruang Lingkup. Pada pasal 2, 3 dan 4 mengatur tentang asas, tujuan dan sasaran pengelolaan lingkungan hidup Pasal 57 menyebutkan pemeliharaan lingkungan hidup dilakukan melalui upaya konservasi sumberdaya alam yang meliputi perlindungan sumberdaya alam, pengawetan sumberdaya alam dan pemanfaatan sumberdaya alam secara lestari Bab IX Tugas dan Wewenang Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Pada pasal 63, mengatur tentang tugas dan wewenang Pemerintah Pemda Provinsi dan Pemda Kabupaten/Kota dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Bab XI Peran masyarakat. Pada pasal 70 dinyatakan masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup Bab VIII Kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Pada Pasal 28, 29, 30, 31, dan 32 mengatur tentang kewenangan Pemerintah dan Pemda dalam mengatur kegiatan pariwisata Bab III Hak dan Kewajiban Penduduk. Pada Pasal 5 point (p) dinyatakan setiap penduduk berhak memperoleh dan mempertahankan ruang hidupnya Bab IV Kewenangan dan Tanggungjawab Pemerintah. Pada Pasal 12, 13, dan 14 dinyatakan tentang tanggung jawab Pemerintah, Pemda provinsi dan Pemda Kabupaten/Kota dalam perkembangan kependudukan dan pembangunan kependudukan. Bab II Asas dan Tujuan. Pasal 3 dinyatakan bahwa tujuan penataan ruang adalah mewujudkan keharmonisan lingkungan, keterpaduan dalam penggunaan sumberdaya alam/buatan dan perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang Bab IV Tugas dan Wewenang. Pada Pasal 8, 10, dan 11 meyatakan wewenang Pemerintah, Pemda Provinsi dan Pemda Kabupaten/Kota dalam Penataan Ruang Bab VI Pelaksanaan Penataan ruang. Pada Pasal 19 point (h) menjelaskan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional harus memperhatikan rencana tata ruang wilayah provinsi dan rencana tata ruang wilayah kabupaten Bab II Perlindungan Kawasan Hutan, Hutan Cadangan dan Hutan Lainnya. Pada Pasal 4 dinyatakan penataan batas dilakukan terhadap setiap areal hutan yang telah ditunjuk sbg kawasan hutan sesuai dengan peraturan per UU yang berlaku Bab IV Perlindungan terhadap Kerusakan Hutan. Pada Pasal 9, 10, 11 mengatur tentang larangan melakukan penebangan pohon dalam hutan tanpa izin, membakar hutan kecuali dengan kewenangan yang sah dan pengembalaan ternak dalam hutan, pengambilan rumput dan makanan ternak dari dalam hutan Bab VII Ketentuan Pidana. Pada Pasal 18 mengatur hukuman pidana bagi yang melanggar aturan dari pasal-pasal sebelumnya pada PP ini.

116 98 Tabel 25 Peraturan perundang-undangan...(lanjutan) 9 Peraturan Pemerintah No.27 Tahun 1999, tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) 10 Peraturan Pemerintah No.13 Tahun 1994, ttg Perburuan Satwa Buru. 11 Peraturan Pemerintah No.36 Tahun 2010, tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam 12 Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 2011 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam 13 Peraturan Pemerintah No.34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan 14 Peraturan Pemerintah No.26 Tahun 2008 tentang RTRWN 15 Keppres No.43 Tahun 1978, tentang Ratifikasi CITES (Convention on International Trades of Endangered Species of Wild Flora and Fauna). 16 Keppres No.32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Bab I Ketentuan Umum. Pada Pasal 1 (1) dinyatakan Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu dalam pemanfaatan, penataan, pemeliharaan, pengawasan, pengendalian, pemulihan dan pengembangan lingkungan hidup Bab II Satwa Buru, Tempat dan Musim Berburu. Pada Pasal 6 (1) dinyatakan bahwa tempat berburu terdiri dari : Taman Buru; Areal Buru dan Kebun Buru Pasal 2 menjelaskan Pengusahaan pariwisata alam dilaksanakan sesuai dengan asas konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Pengusahaan pariwisata alam bertujuan untuk meningkatkan pemanfaatan keunikan, kekhasan, keindahan alam dan/atau keindahan jenis atau keanekaragaman jenis satwa liar dan/atau jenis tumbuhan yang terdapat di TN Bab III Kawasan Pelestarian Alam. Pasal 30 menyatakan TN dikelola berdasar sistem zonasi (zona inti, pemanfaatan, rimba dan zona lainnya ) Pasal 31 menyatakan kriteria TN, zona inti, zona pemanfaatan dan zona rimba Pasal 35 menyatakan pengelolaan TN dilakukan Pemerintah Pasal 37, 38, 39, 40, 41 dan 44 mengatur tentang pengelolaan dengan melakukan upaya pengawetan di TN beserta zonanya Pasal 48, 49.50, 51 dan 54 mengatur tentang pengelolaan dengan melakukan upaya pemanfaatan di TN beserta zonanya Bab II Tata hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan. Pada pasal 8 ayat (2) dinyatakan Tata hutan pada kawasan TN dilaksanakan pada setiap unit pengelolaan, yang memuat kegiatan: a. penentuan batas-batas kawasan yang ditata; b. inventarisasi, identifikasi, dan perisalahan kondisi kawasan; c. pengumpulan data sosial, ekonomi dan budaya di kawasan dan sekitarnya; d. pembagian kawasan ke dalam zona-zona; e. pemancangan tanda batas zona; dan f. pengukuran dan pemataan Pasal 50 ayat (1) menyatakan Rencana pola ruang wilayah nasional terdiri atas: a). kawasan lindung nasional; dan b). kawasan budi daya yang memiliki nilai strategis nasional. Pasal 51 menjelaskan Kawasan Pelestarian alam atau TN adalah salah satu Kawasan Lindung Nasional. CITES mengatur perdagangan spesies langka dengan mengelompokkan spesies langka yang dimuat dalam Appendiks I, II, dan III Dalam CITES terlalu banyak peraturan yang rumit, tidak adanya mekanisme sanksi, serta pengaturan nasional yang belum optimal pada beberapa negara peserta Bab II Tujuan dan Sasaran. Pada Pasal 2 dan 3 dinyatakan tentang pengelolaan dan sasaran kawasan lindung, yaitu bertujuan untuk mencegah timbulnya kerusakan lingkungan hidup dengan sasaran meningkatkan fungsi lindung dan mempertahankan keanekaragaman hayati Bab III Ruang Lingkup. Pada Pasal 6 dinyatakan bahwa Taman Nasional termasuk kawasan suaka alam dan cagar budaya bersama Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam

117 99 Tabel 25 Peraturan perundang-undangan...(lanjutan) 17 Keppres No.48 Tahun 1991, tentang Ratifikasi Ramsar (Convention On Wetland of International Importance Especially as Waterfowl Habitat) 18 Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19/ Menhut-II/2004, tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam 19 Peraturan Menteri Kehutanan No. P.29/ Menhut-II/2006, tentang Perubahan Pertama atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 6186/Kpts-II/2002 tentang organisasi dan tata kerja Balai Taman Nasional 20 Peraturan Menteri Kehutanan No. P.56/Menhut-II/2006, tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional. 21 Peraturan Menteri Kehutanan No. P.03/Menhut-II/2007, tentang pembentukan Unit Pelaksana Teknis Balai Taman Nasional Sejak tahun 1994 TNDS ditetapkan sebagai situs Ramsar Pengelolaan TNDS harus sesuai dengan konvensi Ramsar yang meluas pada kesadaran keutuhan lingkungan dan konservasi, termasuk keanekaragaman hayatinya, bahkan kesadaran tersebut saat ini lebih bermulti fokus menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia. Bab III Pelaksanaan Kolaborasi Pengelolaan. Pada Pasal 4 ayat (1) menjelaskan Kolaborasi dalam rangka pengelolaan KPA adalah proses kerjasama yang dilakukan oleh para pihak yang bersepakat atas dasar prinsip-prinsip saling menghormati, saling menghargai, saling percaya dan saling memberikan kemanfaatan Perubahan tipe Balai TNDS BTNDS termasuk Tipe A yang terdiri dari a. Sub Bagian Tata Usaha; b. Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I; c. Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah II; d. Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah III; e. Kelompok Jabatan Fungsional. Bab I Ketentuan Umum. Pada Pasal 1 ayat (1) dinyatakan TN adalah KPA baik daratan maupun perairan yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yaitu dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisaata.dan rekreasi. Bab I Kedudukan, Tugas, Fungsi dan klasifikasi Pasal 1 ayat (1) Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional adalah organisasi pelaksana teknis pengelolaan taman nasional yang berada dibawah dan bertanggung jawab secara langsung kepada Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Pasal 3 Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud Pasal 2, Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional menyelenggarakan fungsi: a. penataan zonasi, penyusunan rencana kegiatan, pemantauan dan evaluasi pengelolaan kawasan taman nasional; b. pengelolaan kawasan taman nasional; c. penyidikan, perlindungan, dan pengamanan kawasan taman nasional; d. pengendalian kebakaran hutan; e. promosi, informasi konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya; f. pengembangan bina cinta alam serta penyuluhan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya; g. kerja sama pengembangan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya serta pengembangan kemitraan; h. pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan taman nasional; i. pengembangan dan pemanfaatan jasa lingkungan dan pariwisata alam; j. pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga.

118 100 Tabel 25 Peraturan perundang-undangan...(lanjutan) 22 Peraturan Menteri Kehutanan No. P.11/Menhut-II/2007 tentang Pembagian Rayon Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam 23 Peraturan Menteri Kehutanan No. P.48/Menhut-II/2010 tentang pengusahaan pariwisata alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam 24 Keputusan Menteri Kehutanan No. 689/ Kpts-II/1989 tentang Peraturan-peraturan untuk Perijinan Usaha di zona Pemanfaatan 25 Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 34/ Kpts- II/199 tentang perubahan status kawasan menjadi TNDS 26 Keputusan Menteri Kehutanan No. 878/ Kpts-II/1992, tentang Tarif Tanda Masuk ke Taman Nasional, Taman Hutan Wisata dan Taman Laut 27 Keputusan Menteri Kehutanan No. 446/ Kpts-II/1996, tentang Tata Cara Permohonan, Pemberian dan Pencabutan Izin Pengusaha Pariwisata Alam. 28 Keputusan Dirjen PHKA No. 59/Kpts/DJ-VI/1993, tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Taman Nasional. Permenhut ini membagi kawasan konservasi di Indonesia kedalam 3 (tiga) Rayon yaitu Rayon I sebanyak 25 unit TN, Rayon II sebanyak 12 unit TN dan Rayon III sebanyak 13 unit TN Lampiran Permenhut ini menjelaskan TNDS masuk dalam Rayon II dengan lokasi Kalbar Bab II Ruang Lingkup. Pada Pasal 4 dinyatakan areal usaha pariwisata alam dilaksanakan pada kawasan : B. Taman nasional kecuali zona inti. Pada Pasal 9 ayat (1) dinyatakan pengusahaan pariwisata alam diberikan dalam bentuk IUPJWA dan/atau IUPSWA Pada Pasal 10 ayat (2) Permohonan IUPJWA di TN dan TWA, dapat diajukan oleh; a. Perorangan; b. BUMN; c. BUMD; d. BUMS; atau e. Koperasi. Keputusan ini mengatur tentang perijinan usaha di zona pemanfaatan Keputusan ini berisi perubahan status Danau Sentarum dari suaka margasatwa menjadi taman naional Keputusan ini mengatur tentang tarif tanda masuk ke kawasan TN Keputusan ini mengatur tentang tatacara permohonan, pemberian dan pencabutan izin pengusaha pariwisata alam Mengatur tentang pedoman penyusunan rencana pengelolaan TN. Rencana Pengelolaan TN dibuat dalam Rencana Pengelolaan Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pengelolaan Jangka Menengah (RPJM) dan Rencana Pengelolaan Tahunan

119 101 Tabel 25 Peraturan perundang-undangan...(lanjutan) 29 Keputusan Dirjen PHKA No. 129/Kpts/ DJ- VI/1996, tentang Pola Pengelolaan Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam, Taman Buru, Dan Hutan Lindung. 30 Peraturan Daerah No.5 tahun 2005, tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi. 31 Keputusan Bupati Kapuas Hulu No. 144 Tahun 2003, tentang Deklarasi Kabupaten Kapuas Hulu sebagai Kabupaten Konservasi. Mengatur tentang pola pengelolaan Kawasan Pelestarian Alam yaitu TN berdasarkan zonasi Mengatur tentang RTRW Provinsi Kalimantan Barat Pasal 4 menyatakan tujuan RTRWP adalah mewujudkan pemanfaatan ruang yang berkualitas sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daya dukung lingkungan serta sesuai dengan kebijaksanaan pembangunan nasional dan daerah yang berdasarkan wawasan nusantara dan ketahanan nasional. Pasal 8 ayat (1) Untuk menjamin kelestarian lingkungan dan keseimbangan pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan, sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan, maka strategi pengelolaan kawasan lindung sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 ayat (2) huruf b meliputi: a. Pemeliharaan kelestarian lingkungan; b Penanganan kegiatan budidaya yang telah ada di dalam kawasan lindung; c. Pengaturan prasarana dasar di kawasan lindung. Pasal 32 ayat (2) point e menyatakan TNDS di Kab Kapuas Hulu merupakan Kawasan Taman Nasional Pasal 37 Kawasan yang diarahkan sebagai Kawasan tertentu adalah: (e) TNDS Bab II Kawasan Konservasi di Kabupaten Kapuas Hulu pada point B menyebutkan TNDS Bab III Kabupaten Kapuas Hulu sebagai Kabupaten Konservasi pada point C mengenai Faktor-faktor penunjang pembentukan kabupaten konservasi, antara lain adalah pada point 4 Kekayaan keanekaragaman hayati (Biodiversity) yang dimiliki Taman Nasdional Betung Kerihun dan Taman Nasional Danau Sentarum merupakan asset yang sangat berharga bagi penelitian dan pengembangan (research and development) Dari kebijakan yang teridentifikasi di atas, sebagian besar kebijakan menyatakan bahwa pengelolaan TN dilakukan oleh Pemerintah dengan sistem zonasi. Walaupun ada peluang untuk berkolaborasi antara berbagai pihak yang berkepentingan seperti yang dinyatakan dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19/Menhut-II/2004, tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA) namun masih dalam kendali Pemerintah Pusat. Selain itu keterlibatan atau peran serta masyarakat masih sangat dibatasi dalam kegiatan pengelolaan seperti terungkap dalam Undang Undang No.32 Tahun 2009, tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang pada Pasal 70 ayat (1) menyatakan memberi peluang kepada masyarakat berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, namun

120 102 peran tersebut hanya terbatas seperti tertera di ayat (2) yaitu dalam kegiatan pengawasan sosial; pemberian saran, pendapat, usul keberatan, pengaduan; dan/atau penyampaian informasi dan/atau laporan. Beberapa hal penting lain yang menjadi benang merah adalah bahwa kebijakan tersebut mengedepankan: konservasi keanekaragaman hayati dalam kawasan; pemanfaatan ruang yang terpadu dan selaras; serta mengedepankan kesejahteraan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya dengan memperhatikan aspek keberlanjutan sumberdaya. Ilustrasi tentang hubungan regulasi yang telah teridentifikasi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 25 dengan kriteria yang diacu oleh penelitian ditunjukkan pada Tabel 26. Tabel 26 Point kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan TNDS No Aspek Formal Nonformal 1 Desentralisasi 2 Konservasi SDA 3 Koordinasi dan kerjasama Kelemahan kebijakan formal adalah belum memuat semangat desentralisasi secara utuh. Hal ini ditunjukkan oleh hampir seluruh kebijakan yang teridentifikasi di atas yang menyatakan peranserta masyarakat diatur, digerakkan dan diarahkan oleh pemerintah pusat. Hal ini menunjukkan belum ada niat penuh untuk melaksanakan pengelolaan TN bersama masyarakat dan juga pemerintah daerah, atau dengan kata lain pemerintah masih setengah-setengah untuk memberikan sebagian pengelolaan dengan pemangku kepentingan lain. Padahal dinyatakan bahwa pada tahun 1980-an Indonesia mulai memperhatikan masyarakat sebagai pihak yang ikut terlibat dalam kegiatan perencanaan dan pengelolaan TN yakni sejak diselenggarakan Kongres Dunia TN di Bali tahun Hal tersebut diperkuat lagi dengan Konferensi Anggota Konvensi Keragaman Hayati ke-2 yang diadakan di Jakarta pada tahun Konferensi tersebut mengamantakan pentingnya keterlibatan masyarakat dalam setiap rencana kegiatan TN. Seperti juga di TNDS dalam menyusun Rencana Pengelolaan Taman Nasional Danau Sentarum (RPTNDS) dan Rencana Pengelolaan Jangka Menengah (RPJM) nya BTNDS telah melakukan musyawarah dengan berbagai pihak yang terlibat, namun dalam pelaksanaannya pengelolaan masih dipegang penuh oleh pihak Balai. Kebijakan-kebijakan lain juga telah membuka peluang masyarakat dan pihak lain untuk berperanserta, bahkan lebih spesifik pada Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19/Menhut-II/2004, tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA), tetapi otoritas pengelolaan TN tetap pada Menteri Kehutanan. Kenyataan yang ada di semua TN terjadi kerusakan dan penurunan kualitas lingkungan, ini menunjukkan pemerintah pusat belum mampu dan berhasil membentuk mekanisme pengelolaan TN yang efektif. Hasil penelitian Anshari 2006 menyatakan bahwa pengelolaan kolaboratif diharapkan dapat menciptakan tata kelola mandiri (self governance) yang akan menciptakan keuntungan bagi seluruh pemangku kepentingan. Hal penting sebagai implikasi dari kebijakan yang telah ada adalah (terutama ) undang-undang yang belum secara detail mengatur tentang tata cara atau mekanisme pengelolaan kolaborasi. Dengan demikian maka pada konteks

121 103 lokal (daerah) aspek kolaborasi pengelolaan yang telah dituangkan dalam undangundang dan permenhut yang sudah ada perlu dijabarkan kembali kedalam bentuk yang lebih spesifik misalnya dengan Peraturan Daerah. Selanjutnya untuk ke depan aspek kolaborasi yang telah diatur pada kebijakan di atas perlu digeser paradigmanya menjadi pengelolaan TN secara terdesentralisasi dan partisipatif. Ini dikarenakan manfaat dan tanggungjawab yang lebih besar diberikan pada pihak kabupaten/kota dan dibawahnya. Manfaat, peran dan tanggungjawab yang lebih besar tentunya menyebabkan masyarakat lokal dan juga Pemda kabupaten/kota akan lebih menjaga kelestarian TN. Ini tentunya dapat memberikan harapan keberlanjutan kelestarian TN akan lebih besar untuk diraih. Pada kebijakan nonformal, yaitu aturan-aturan yang berlaku di masyarakat telah memuat aspek desentralisasi dan ditunjukkan dengan pembagian wewenang atau tugas pada masing-masing pihak di lingkungan masing-masing berkaitan dengan praktek pengelolaan sumberdaya alam yang ada. Contoh konkrit adalah saat akan melakukan aktifitas ngerinan, jala zakat dan pembagian wilayah tangkap ditentukan oleh ketua rukun nelayan. Namun yang perlu dibenahi adalah sebaiknya kebijakan tersebut perlu didokumentasikan dan disebarluaskan ke seluruh kampung nelayan, sehingga kekuatan adatnya lebih permanen dan diketahui. Secara substansi isinya tidak berubah dan dapat diwariskan pada generasi selanjutnya. Sebenarnya di TNDS sendiri sudah dilakukan pertemuan rukun nelayan se danau sentarum, namun karena yang pergi hanya perwakilan seringkali pengetahuan yang dimiliki perwakilan kurang tersampaikan ke masyarakat. Untuk hal seperti ini perlu fasilitasi dari pihak Balai agar dapat mensosialisasikannya sehingga dapat dijalankan dengan lebih baik. Jika dicermati lebih lanjut isi dari kebijakan yang terkait kegiatan pengelolaan tersebut di atas umumnya merupakan perangkat aturan yang dikontrol (command and control) karena memuat sanksi-sanksi dalam pasalpasalnya. Perangkat aturan yang dikontrol diartikan sebagai kebijakan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan dengan menggunakan standar standar dan mengontrolnya dengan peraturan peraturan hukum yang disertai sanksi sanksi (Turner, Pearce dan Bateman, 1994). Pendekatan yang digunakan adalah paksaan (coercive). Penerapan standar standar tersebut kelihatannya sederhana dan berdampak langsung, tetapi pada kenyataannya hal demikian hanya diperoleh pada awalnya saja, selanjutnya menjadi tidak efektif. Ketidakefektifan tersebut disebabkan oleh (1) penetapan standar yang cenderung zero risk dan seragam, sementara daya dukung dan daya lenting lingkungan tidak seragam, (2) perhitungan denda dilakukan pada ex ante dan tidak selamanya sesuai dengan kondisi aktual, (3) membutuhkan biaya penegakan (enforcement costs) yang tinggi, dan (4) pada banyak kejadian tingginya biaya penegakan tidak sebanding dengan manfaat yang diperoleh (Nugroho et al. 2009). Kewenangan Pengelolaan TNDS Berdasarkan Undang-undang No. 5 Tahun 1990 bahwa TN adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

122 104 menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2011 menjelaskan bahwa penyelenggaraan pengelolaan TN dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis yang dibentuk oleh Menteri Kehutanan. Pasal 1 Peraturan Menteri Kehutanan No. P.03/Menhut-II/2007 menyebutkan Unit Pelaksana Teknis TNDS adalah Balai TNDS yang melakukan pengelolaan dan bertanggungjawab secara langsung kepada Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan. Pasal 3 Peraturan Menteri Kehutanan No. P.03/Menhut-II/2007 menjelaskan bahwa fungsi Balai TNDS sebagai berikut: a. penataan zonasi, penyusunan rencana kegiatan, pemantauan dan evaluasi pengelolaan kawasan taman nasional; b. pengelolaan kawasan taman nasional; c. penyidikan, perlindungan, dan pengamanan kawasan taman nasional; d. pengendalian kebakaran hutan; e. promosi, informasi konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya; f. pengembangan bina cinta alam serta penyuluhan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya; g. kerja sama pengembangan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya serta pengembangan kemitraan; h. pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan taman nasional; i. pengembangan dan pemanfaatan jasa lingkungan dan pariwisata alam; j. pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga. Dalam menjalankan mandat peraturan perundang-undangan di atas pihak BTNDS melaksanakan pengelolaan kawasan TNDS berdasarkan rencana pengelolaan yang dibuat dalam bentuk RPTNDS, RPJM dan Rencana Pengelolaan Jangka Pendek. Rencana pengelolaan merupakan pedoman, kerangka, dan acuan pengelolaan TNDS dalam merencanakan, melaksanakan, dan monitoring evaluasi kegiatan, termasuk waktu bertindak, besarnya dana dan jumlah tenaga yang dibutuhkan. Beberapa proses telah dilalui dalam penyusunan rencana pengelolaan ini dengan berdasarkan berbagai pertimbangan sosial, ekonomi dan lingkungan. Serta mengadopsi beberapa masukan dari para pihak termasuk di dalamnya masyarakat melalui pertemuan-pertemuan kelompok (discussion group), melalui Workshop penyusunan RPTNDS maupun Konsultasi Publik RPTNDS yang melibatkan para pihak, masyarakat dan Unsur Pemerintah Daerah Kabupaten Kapuas Hulu. Perkembangan Kebijakan Pengelolaan TNDS Dalam perjalanannya ada beberapa aspek dalam pengelolaan TNDS yang mendapat perhatian pengembangan yang cukup signifikan, sebagai contoh adalah pengelolaan kolaboratif dan pengembangan ekowisata. Kebijakan pengelolaan kolaboratif dituangkan dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 19/Menhut- II/2004 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Pengelolaan kolaboratif mencakup kepentingan banyak pihak, baik dalam tataran pemerintah, pemerintah daerah, dunia usaha dan masyarakat, yang selain bersifat partisipatif juga mengandung maksud adanya pembagian peran, manfaat dan tanggung jawab. Seperti yang sudah dikemukakan di atas kebijakan formal ini masih setengah-setengah memberikan peluang pada pihak lain selain Pemerintah Pusat untuk dapat berpartisipasi dalam mengelola TN. Ini terlihat dari jenis kegiatan yang menjadi sasaran kegiatan pengelolaan kolaboratif adalah: penataan

123 105 kawasan; pemanfaatan kawasan; penelitian dan pengembangan; perlindungan dan pengamanan potensi kawasan; pengembangan sumberdaya manusia dalam mendukung pengelolaan KPA; pembangunan sarana dan prasarana dalam menunjang pelaksanaan kolaborasi dan pembinaan partisipasi masyarakat. Padahal dalam pengelolaan sebaiknya dilibatkan juga dari kegiatan perencanaan, karena dari perencanaan semua pengelolaan itu dimulai dan mengarahkan pengelolaan yang akan dilakukan. Pengelolaan kolaboratif juga sangat sulit untuk terbentuk. Peraturan Menteri Kehutanan No.P19 menentukan kolaborasi pengelolaan KSA dan KPA dilakukan melalui kesepakatan dan kesepahaman yang tertulis (Pasal 5 ayat 1). Secara praktis hal ini mungkin sulit dicapai karena terlalu banyak perbedaan antara pemangku kepentingan (Lihat hasil Bab 6) dan membutuhkan tenaga, waktu, biaya serta inisiatif. Dalam praktek, masih perlu adanya koordinator karena proses-proses kolaboratif belum mencapai titik kesempurnaan dan masih diperlukan tenaga penggerak dan pendobrak serta niat tulus dari semua pemangku kepentingan untuk melakukan pengelolaan bersama dengan tujuan keberlanjutan ekosistem TNDS yang lebih baik. Berdasarkan hasil observasi lapangan dan wawancara dengan para pemangku kepentingan, secara ringkas dapat dikatakan bahwa sebenarnya pola pengelolaan yang saat ini sedang berjalan tidak hanya dilakukan oleh BTNDS saja. Ada pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat, LSM dan Pemda yang bersifat spesifik seperti kegiatan gotong royong, pelaksanaan kearifan lokal, kerjasama pengelolaan dan pelaksanaan program pemerintah. Bila dikaji lebih mendetail sebenarnya ini merupakan informasi dasar dalam menentukan pola partisipasi sesuai dengan jenisnya, seperti yang terjadi di TN Gunung Rinjani yakni pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat (PSBM), pengelolaan sumberdaya oleh pemerintah (POP) dan co-management (Nikijuluw 2002; NRTEE 1998). Kebijakan pengembangan ekowisata di TNDS mengacu pada pasal 1 ayat (4) UU no. 5 Tahun 1990 yaitu TN dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi. Pasal 1 ayat 6 Permenhut Nomor:P.56/Menhut-II/2004 menjelaskan zona pemanfaatan adalah bagian taman nasional yang letak, kondisi serta potensi alamnya dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata alam dan kondisi/jasa lingkungan lainnya. Peraturan Menteri ini juga menyebutkan bahwa zona pemanfaatan meliputi ciri-ciri antara lain: a). Mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau berupa formasi ekosistem tertentu serta formasi geologinya yang indah dan unik; b). Mempunyai luasan yang cukup untuk menjamin kelestarian potensial dan daya tarik untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam; c). Kondisi lingkungan yang mendukung pemanfaatan jasa lingkungan, pengembangan pariwisata alam, penelitian dan pendidikan; d). Merupakan wilayah yang memungkinkan dibangunnya sarana prasarana bagi kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan, pariwisata alam, rekreasi, penelitian dan pendidikan; e). Tidak berbatasan langsung dengan zona inti. Zonasi di kawasan TNDS sampai penelitian berlangsung belum selesai dilakukan. Namun sudah ada hasil berupa peta zonasi yang dibuat bekerjasama dengan Tropenbos tahun Berdasarkan aspek fisik TNDS, zonasi di TNDS meliputi zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan dan zona penyangga, dapat

124 106 dilihat pada Gambar 20. Belum tuntasnya zonasi kawasan sebagai dasar pengelolaan TN merupakan salah satu permasalahan dalam pengelolaan yang dilakukan saat ini, namun demikian kegiatan ekowisata tetap dilaksanakan. Gambar 20 Peta rencana zonasi TNDS Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2007 menjelaskan bahwa pengembangan ekowisata di Taman Nasional dapat memberikan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Penerimaan Negara Bukan Pajak di Departemen Kehutanan berasal dari pungutan masuk dari taman nasional. Besarnya tarif PNBP yang berlaku di Departemen Kehutanan di atur dalam Peraturan Pemerintah Nomo 59 Tahun 1998 yaitu berdasarkan Rayon. Permenhut Nomor: P.11/Menhut- II/2007 menjelaskan bahwa TNDS masuk dalam Rayon II dengan lokasi Kalbar. Tata cara pengenaan, pemungutan, penyetoran pungutan dan iuran bidang hutan dan konservasi alam diatur dalam pasal 1 ayat (5) Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 656/KMK.06/2001. Permenhut ini menjelaskan bahwa PNBP adalah pungutan yang dikenakan kepada setiap pengunjung dan atau peneliti dan atau pelaku kegiatan dan setiap kendaraan yang memasuki kawasan pelestarian alam. RTRW Kabupaten Kapuas Hulu menjelaskan bahwa pengembangan pariwisata di Kabupaten Kapuas Hulu meliputi wisata alam, wisata alam hutan dan panorama alam. Salah satu daerah tujuannya yaitu TNDS. Pasal 14 Permendagri Nomor 33 Tahun 2009 menjelaskan bahwa Pemda dalam mengembangkan ekowisata dilakukan melalui perencanaan, pemanfaatan dan dilakukan secara terpadu. Pasal 15 Permendagri ini menjelaskan bahwa untloluk mengembangkan ekowisata daerah perlu dibentuk kepengurusan Tim Koordinasi tingkat Kabupaten dan Tingkat Provinsi. Susunan kepengurusan terdiri dari Ketua (Kepala Bappeda kabupaten/kota/provinsi); Sekretaris (Kepala Dinas/lembaga yang membidangi 87 pariwisata); Anggota (Kepala SKPD terkait, assosiasi pengusaha pariwisata, tenaga ahli, akedemisi dan masyarakat). Secara administratif kawasan TNDS berada di Kabupaten Kapuas Hulu Provinsi Kalbar.

125 107 Kebijakan pengelolaan TNDS Kebijakan pengelolaan TNDS secara umum berpedoman kepada peraturan perundang-undangan dari pusat dan daerah. Kebijakan pusat meliputi UU No.5 tahun 1990 tentang KSDHE, UU No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No.32 tahun 2004 (UU No.12 tahun 2008) tentang Otonomi Daerah, UU No.52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga dan UU No.26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Kebijakan daerah berupa RTRW Provinsi Kalimantan Barat dan Deklarasi Kabupaten Kapuas Hulu sebagai Kabupaten Konservasi. Dalam RTRW Provinsi dinyatakan bahwa TNDS merupakan kawasan TN dan kawasan tertentu. Sementara untuk RTRW Kabupaten yang juga sebagai panduan dalam kegiatan pengelolaan TNDS belum di perdakan sampai saat penelitian berlangsung. Dalam RTRW Kabupaten dinyatakan bahwa TNDS merupakan kawasan strategis kabupaten, meliputi: Kawasan Ekowisata TNDS yang merupakan kawasan strategis kabupaten dari sudut kepentingan lingkungan dan ekonomi, dan Kawasan Koridor TNDS dengan TNBK yang merupakan kawasan strategis kabupaten dari sudut kepentingan lingkungan. Keputusan Bupati Kapuas Hulu No. 144 Tahun 2003, tentang Deklarasi Kabupaten Kapuas Hulu sebagai Kabupaten Konservasi, mengungkapkan keberadaan TNDS merupakan faktor penunjang penting dalam penetapan Kapuas Hulu sebagai kabupaten Konservasi. Kebijakan BTNDS terkait dengan pengelolaan yang dilakukan mengacu pada RPTNDS tahun dan RPJM TNDS Misi dari BTNDS adalah: 1 Memantapkan pengelolaan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistem TNDS; 2 Memantapkan perlindungan hutan dan penegakkan hukum kawasan TNDS; 3 Mengembangkan secara optimal sumberdaya alam hayati dan ekosistem TNDS berdasarkan prinsip kelestarian; 4 Mengembangkan kelembagaan dan kemitraan dalam rangka pengelolaan perlindungan dan pemanfaatan SDA hayati dan ekosistem TNDS; dan 5. Meningkatkan peranserta masyarakat dalam pengelolaan kawasan. Di dalam RPJM TNDS dinyatakan secara program, rencana pengelolaan meliputi: 1Perlindungan kawasan TNDS; 2 Pelestarian ekosistem-ekosistem yang terdapat dalam TNDS; 3 Penegakan hukum, baik hukum positif maupun adat; 4 Penyusunan zonasi kawasan yang dilakukan secara partisipatif, sesuai dengan kaidah-kaidah perlindungan dan pelestarian alam kebutuhan masyarakat lokal yang pada saat ini tinggal di dalam kawasan TNDS; 5 Bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu dan para pihak lainnya untuk memberdayakan perekonomian masyarakat lokal yang selaras dengan kaidah-kaidah perlindungan dan pelestarian sumberdaya alam yang terdapat dalam TNDS; 6 Bekerjasama dengan masyarakat lokal dan para pihak lainnya untuk secara bersama-sama mengelola dan melestarikan TNDS; 7 Bekerjasama dengan pemerintah provinsi Kalbar dan kabupaten Kapuas Hulu untuk membangun sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan-tujuan pengelolaan TNDS; 8 Bekerjasama dengan universitas dan lembaga penelitian untuk melakukan kegiatan penelitian yang akan membantu masyarakat lokal untuk memelihara kelestarian ekosistem TNDS, dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Balai KSDA Kalbar 2006). Secara ringkas hirarki kebijakan pengelolaan TNDS disajikan pada Gambar 21.

126 UU No.5/1990 UU No.41/1999 PP No. 28/2011 PP No.34/2002 RPJP DEPHUT UU No. 32/2009 UU No. 10/2009 PP No. 27/1999 (PP No. 27/2012) PP No.36/2010 RIPPNAS UU No.32/2004 (UU No.12/2008) PP No. 7/2008 Tentang Dekonsentrasi dan Tugas Perbantuan UU No.52/2009 PP No. 57/2009 Tentang Pengelolaan Perkembangan Penduduk UU No.26/2007 PP No 26/2008 Tentang RTRWN 108 Kebijakan Ditjen PHKA Renstra dan Renja BLHD KalBar Renstra dan Renja Provinsi Kalbar Renstra dan Renja BPPAMKB Kalbar RTRW Provinsi Kalbar RPTNDS Renstra dan Renja BLH Kab. Kapuas Hulu Renstra dan Renja Kabupaten Kapuas Hulu Renstra dan Renja BPDPKB Kab Kapuas Hulu RTRW Kabupaten Kapuas Hulu PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL DANAU SENTARUM PROVINSI KALIMANTAN BARAT Gambar 21 Hirarki kebijakan pengelolaan TNDS Provinsi Kalimantan Barat

127 109 9 PILIHAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN TNDS Tujuan pengelolaan TN umumnya adalah melestarikan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya agar dapat memenuhi fungsinya (perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan). TNDS sebagai salah satu kawasan konservasi yang didalamnya memiliki berbagai macam flora dan fauna dan ekosistem memiliki beragam manfaat baik manfaat bersifat tangible (dalam pemanfaatan skala terbatas) maupun manfaat yang bersifat intangible, berupa jasa lingkungan. Kedua manfaat tersebut berada pada suatu ruang dan waktu yang sama, sehingga diperlukan kebijakan yang mampu mengatur pengalokasian sumberdaya alam dalam kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat dengan tetap memperhatikan daya dukung lingkungan dan aspek sosial ekonomi masyarakat sekitarnya. Oleh karena itu dalam penelitian ini memfokuskan pada pilihan kebijakan pengelolaan TNDS dalam rangka mencapai tujuan pengelolaan yang diinginkan. Pengelolaan TNDS saat ini belum bisa dikatakan dalam performa yang baik karena masih menghadapi berbagai permasalahan pengelolaan yang berkaitan dengan kondisi biofisik dan kondisi pengelolaan itu sendiri. Kondisi biofisik yang dimaksud adalah terjadinya pertambahan penduduk dalam kawasan, terjadinya kegiatan penebangan, kegiatan konversi hutan, terjadi perubahan kualitas air, penurunan populasi ikan dan introduksi spesies eksotik, terjadinya kebakaran lahan dan hutan, terjadinya perburuan liar, terjadi perubahan iklim global serta rencana pembangunan bendungan di dalam kawasan. Untuk kondisi pengelolaan berkaitan dengan masih kurangnya sumberdaya manusia, sarana dan prasarana dalam pengelolaan, keterisolasian kawasan serta kegiatan penelitian yang masih terbatas, masih lemahnya mekanisme perencanaan pengelolaan dan implementasinya, koordinasi pengelolaan belum optimal sehingga menimbulkan konflik kontradiksi kebijakan pengelolaan berkaitan dengan kawasan baik dengan pemda, masyarakat setempat dan LSM. Untuk mencapai pengelolaan yang baik, maka diperlukan kebijakan pengelolaan yang tepat. Selama ini kebijakan yang diterapkan dalam pengelolaan TN masih bersifat sentralistik, sama untuk semua TN di seluruh Indonesia. Kondisi ini menyebabkan kerusakan yang terus menerus terjadi dan semakin meningkat di berbagai kawasan TN. Selain itu ternyata kebijakan yang digunakan masih berupa kebijakan yang bersifat command and control sehingga tidak heran selalu diungkapkan bahwa kelemahan pengelolaan TN adalah kurangnya sumberdaya manusia, sarana dan prasarana pengelolaan. Padahal ada kebijakan yang berbasis insentif yang bisa diterapkan untuk menanggulangi kegagalan kebijakan yang coercive tersebut. Untuk mengatasi permasalahan-permasalahan di atas, penelitian ini mencoba menetapkan pilihan kebijakan pengelolaan TNDS dari pendekatan valuasi ekonomi, keterlibatan berbagai pemangku kepentingan, modal sosial dan kapabilitas pemerintah serta kebijakan yang ada saat ini. Dari pendekatan tersebut maka diharapkan dapat menghasilkan pilihan kebijakan pengelolaan TNDS yang dapat diimplementasikan dan dapat mencapai tujuan pembentukan Danau Sentarum sebagai TN.

128 110 Mekanisme Insentif Jasa Ekosistem Hasil penilaian ekosistem TNDS menunjukkan bahwa TNDS memiliki potensi nilai manfaat ekonomi yang tinggi bagi masyarakat lokal, regional, nasional maupun internasional. Pengetahuan tentang nilai tersebut lebih banyak belum diketahui dan dipahami oleh berbagai pihak, terutama masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar TNDS yang secara langsung memperoleh manfaat tersebut. Kenyataannya besaran nilai ekonomi TNDS sangat ditentukan oleh jumlah dan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang langsung memanfaatkan ekosistem TNDS. Untuk itu perlunya secara intensif dilakukan sosialisasi mengenai fungsi sosial dan ekonomi kawasan konservasi TNDS melalui berbagai media sehingga dapat menjadi acuan masyarakat sekitar dalam melakukan kegiatan di kawasan konservasi. TNDS telah ditetapkan sebagai situs Ramsar pada tahun 1994, yang menggambarkan pengakuan masyarakat internasional tentang nilai-nilai penting yang dimiliki oleh TNDS. Seperti pada Kajian 1 nilai-nilai yang dihitung berdasarkan penggunaannya yaitu terdiri atas nilai penggunaan langsung (nilai biomassa, nilai air, nilai rekreasi dan pariwisata), nilai penggunaan tidak langsung (nilai simpanan karbon) dan nilai pilihan. Sementara itu Anshari et al. (2005) menyebutkan nilai yang terkandung dalam ekosistem TNDS berupa nilai konservasi, ekonomi, kebudayaan, ekologi dan ilmu pengetahuan. Hasil identifikasi dan valuasi ekonomi manfaat yang dihasilkan oleh TNDS dapat dirasakan oleh masyarakat di dalam dan di luar kawasan adalah sebagai berikut: 1. Dalam Kawasan TNDS a. Sebagai tempat produksi ikan (tangkap dan budidaya) Tahun 2011, nilai ekonomi perikanan di dalam kawasam TNDS adalah sebesar Rp b. Sebagai tempat penghasil madu Tahun 2011, nilai ekonomi madu hutan di dalam kawasan TNDS adalah sebesar Rp c. Sebagai tempat penghasil karet Tahun 2011, nilai ekonomi karet di dalam kawasan TNDS adalah sebesar Rp d. Sebagai tempat penghasil padi Tahun 2011, nilai ekonomi ladang (padi) di dalam kawasan TNDS sebesar Rp e. Sebagai tempat penghasil kayu bakar Tahun 2011, nilai ekonomi kayu bakar di dalam kawasan TNDS sebesar Rp f. Penyediaan air bersih Tahun 2011 nilai ekonomi penyediaan air konsumsi untuk rumah tangga dalam kawasan TNDS adalah sebesar Rp g. Penyediaan transportasi Fungsi TNDS sebagai penyedia jalur transportasi untuk masyarakat di dalam kawasan TNDS pada tahun 2011 adalah sebesar Rp

129 Dalam dan Luar Kawasan TNDS a. Simpanan karbon Simpanan karbon dalam gambut yang ada di kawasan TNDS merupakan manfaat bagi masyarakat di dalam dan di luar kawasan, yang nilai ekonominya pada tahun 2011 adalah sebesar Rp b. Rekreasi dan pariwisata Untuk nilai rekreasi dan pariwisata di TNDS pada tahun 2011 adalah sebesar , yang mana manfaat ini merupakan manfaat bagi masyarakat dalam dan luar kawasan. c. Pilihan Nilai ekonomi pilihan TNDS pada tahun 2011 adalah sebesar Rp , merupakan manfaat bagi masyarakat dalam dan luar kawasan secara luas. 3. Luar Kawasan TNDS (diacu dari hasil penelitian Handayani 2008) a. Penangkaran ikan arwana Nilai ekonomi yang dihasilkan oleh penangkar ikan arwana adalah sebesar Rp b. Produktivitas ikan Nilai ekonomi produktivitas ikan diluar kawasan TNDS adalah sebesar Rp c. Penyediaan air bersih Nilai ekonomi untuk tiga kota besar yang merupakan perwakilan dari masyarakat hilir, yaitu masyarakat Sintang sebesar Rp ,97; masyarakat Sanggau sebesar Rp ,90; dan masyarakat Pontianak sebesar Rp ,64. Nilai tersebut diperoleh dari nilai penyediaan air bersih berdasarkan kemauan untuk membayar (willingness to pay, WTP) dari masyarakat Sintang Rp ,08; masyarakat Sanggau Rp ,64 dan masyarakat Pontianak Rp ,90. d. Pengendali banjir Nilai pengendali banjir diperoleh dari dampak kerusakan jalan raya dan jembatan akibat banjir adalah sebesar Rp Manfaat-manfaat tersebut menggambarkan bahwa keberadaan dan keberlanjutan ekosistem TNDS sangat penting. Untuk itu, perlu adanya mekanisme insentif berdasarkan manfaat yang diberikan oleh TNDS. Mekanisme insentif merupakan sarana untuk membangun hubungan antara hulu dan hilir melalui hubungan yang saling menguntungkan dari ketergantungan hilir terhadap kestabilan ekosistem hulu. Dalam penelitian ini mekanisme insentif menggunakan tipologi yang dikembangkan oleh IUCN (2000) dan Powell et al. (2002). Hal penting yang diperhatikan ketika akan menerapkan mekanisme insentif adalah aspek ekuitas: yaitu mekanisme yang dipilih tidak hanya menguntungkan TN saja, tetapi juga masyarakat di sekitarnya. 1. Kemungkinan mekanisme insentif untuk menjaga pasokan air bersih TNDS sangat berperan mempertahankan kualitas dan kuantitas air, terutama bagi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kalimantan Barat karena semuanya menggunakan pasokan air sungai Kapuas. Mengacu hasil penelitian Handayani (2008) maka jasa pasokan air bersih ini bisa dibiayai

130 112 melalui transfer payment. Transfer payment yang berasal dari hilir ke hulu diberikan berupa dana konservasi yang dimasukkan dalam tarif PDAM untuk masyarakat hilir. Besarnya transfer payment didapat dari WTP dibagi dengan rata-rata jumlah pemakaian air masyarakat hilir perbulan. Besarnya WTP untuk masyarakat Sintang Rp ,08; masyarakat Sanggau Rp ,64 dan masyarakat Pontianak Rp , Kemungkinan mekanisme insentif untuk menjaga rekreasi dan pelayanan pariwisata Mengacu dari hasil penelitian Bernard et al. (2009) maka mungkin untuk dikembangkan mekanisme insentif yang melibatkan usaha pariwisata dan wisatawan yang berkunjung ke TNDS. Bahwa pihak hotel bersedia untuk memberikan sumbangan langsung atau membuat wisatawan membayar lebih Rp per malam, dan menyumbangkannya untuk kelestarian TN. Begitu juga dengan wistawan yang berkunjung ke TN, bersedia untuk membayar jasa dan/atau untuk memberikan sumbangan ke TN sehingga kelestarian dan keunikan TN tetap terjaga. 3. Kemungkinan mekanisme insentif yang melibatkan perusahaan perkebunan kelapa sawit Sekitar kawasan TNDS terdapat 18 perusahaan perkebunan kelapa sawit (WWF Kalbar 2007). Untuk dapat menjaga kelestarian TNDS seharusnya memasukkan pembayaran jasa lingkungan dengan membuat kesepakatan antara Pemda Kapuas Hulu, Balai TNDS dengan pihak perusahaan perkebunan. Pembayaran ini merupakan kompensasi dari perkebunan sebagai tanggungjawab melestarikan TNDS. Salim Grup misalnya, membayar sekitar Rp /tahun melalui Forum Pengelola TNDS dan 18 perusahaan lainnya juga akan mendukung pembiayaan TN. Mengikuti contoh dari Salim, pembayaran potensial yang akan dilakukan oleh perusahaan lain sekitar Rp /tahun untuk setiap perusahaan = Rp 1,8 milyar secara total. Keuntungan dari instrument sumbangan perusahaan adalah jika para pemangku kepentingan yang berbeda berhasil mencapai kesepakatan, dan mekanisme dapat segera dilaksanakan. Namun, biasanya membutuhkan waktu dan proses yang cukup panjang untuk mengatur pertemuan dengan perusahaan dan mekanisme yang terjadi tergantung pada kemauan sukarela dari perusahaan yang terlibat, sehingga cukup bisa diandalkan. Sebenarnya jika ada itikad baik dari Pemda sebagai pemilik otoritas pemberi izin, kemungkinan besar mekanisme ini bisa berjalan. Pengelolaan TNDS bergantung pada anggaran dari pemerintah pusat, dan selama ini selalu tidak mencukupi kebutuhan operasional pengelolaan. Untuk itu perlu diversivikasi sumber daya keuangan dengan melihat sumberdaya keuangan swasta untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan TNDS dan untuk mengurangi masalah ketergantungan hanya pada anggaran nasional dari pemerintah pusat. Namun demikian, sebagian besar mekanisme insentif baru yang disarankan (kecuali pajak air) didasarkan pada partisipasi sukarela dari berbagai pemangku kepentingan. Karena tidak ada kewajiban bagi berbagai pihak tersebut untuk terlibat dalam mekanisme yang disarankan, karena di Indonesia saat ini pembiayaan di kawasan konservasi merupakan tanggungjawab pemerintah. Berdasarkan kondisi tersebut, maka layak untuk mengembangkan kombinasi pembiayaan antara pemerintah dan swasta dan mempertimbangkan kerangka kerja

131 113 baru untuk pembiayaan kawasan konservasi menjadi tanggung jawab bersama termasuk pemerintah dan pihak swasta. Di Indonesia beberapa mekanisme insentif telah dijalankan seperti di Cidanau, di Lombok Barat, di Menang Mataram dan beberapa yang lainnya. Dari beberapa mekanisme yang telah berjalan tersebut, dalam konteks TNDS maka untuk mengembangkan mekanisme insentif diperlukan beberapa hal untuk menjadi perhatian selanjutnya, yaitu: 1 Perlu adanya institusi (kelembagaan) yang dapat mengelola jalannya mekanisme insentif yang akan dijalankan. 2 Mengembangkan dan melaksanakan mekanisme insentif dapat menyebabkan biaya transaksi yang tinggi yang harus diidentifikasi sebelumnya dan harus dilakukan pembatasan sehingga dapat dipastikan efektifitas dari mekanisme yang dipilih. 3 Keberhasilan pelaksanaan dan efektivitas mekanisme insentif perlu pemantauan dan evaluasi terus menerus, sehingga mekanisme pembayaran memberikan kontribusi baik jangka panjang pengelolaan kawasan konservasi dan peningkatan penghidupan masyarakat lokal. 4 Peningkatan sumberdaya pembiayaan TNDS tidak memastikan kegiatan konservasi dan pengelolaan menjadi efektif kecuali melibatkan masyarakat lokal Penerapkan mekanisme insentif dalam kegiatan pengelolaan TNDS ditujukan untuk pembiayaan pengelolaan agar dapat ditanggung juga oleh pihak pengelola bahkan bisa mandiri, tidak hanya semata mengharapkan dana dari Pemerintah. Mekanisme insentif ini juga akan mengubah pandangan bahwa daerah konservasi bukan beban bagi pemerintah. Selain itu mekanisme insentif juga akan memberikan tanggungjawab bagi daerah hilir untuk turut serta memelihara daerah hulu sebagai penghasil jasa lingkungan yang selama ini mereka nikmati. Mekanisme insentif juga merupakan penghargaan bagi daerah hulu untuk menjaga sumberdaya alam penghasil jasa lingkungan yang juga diperlukan oleh mereka.untuk mewujudkan mekanisme insentif ini, perlu kerjasama dari semua pemangku kepentingan yang terlibat di TNDS. Peran dan dukungan pemerintah daerah dalam hal ini sangat diharapkan, melalui pembuatan perda yang dapat memperlancar proses yang diharapkan. Pelibatan Pemangku Kepentingan Pengelolaan TNDS pada kenyataanya tidak bisa dilakukan sendiri oleh pihak Balai TNDS. Banyak pihak dan lembaga lain mempunyai kepentingan dan pengaruh terhadap TNDS. Dari hasil kajian 2, teridentifikasi 18 pemangku kepentingan terlibat dalam pengelolaan TNDS dengan masing-masing tingkat kepentingan dan pengaruhnya. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa dalam menjalankan tugas dan fungsinya, berdasarkan kepentingan dan pengaruh yang dimiliki, masing-masing lembaga cendrung bersifat sektoral dan individualis, sehingga seringkali terjadi konflik kepentingan antar pemangku kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan TNDS. Selain konflik, terdapat juga kemungkinan untuk bekerjasama dalam pengelolaan TNDS.

132 114 Hasil analisis pemangku kepentingan berdasarkan Reed et al terungkap bahwa Balai TNDS merupakan key player dalam pengelolaan di TNDS, yaitu penanggung jawab keberhasilan pengelolaan TNDS. Pihak Pemerintah Daerah (BAPPEDA, Disbunhut, Dis Perikanan, Disbudpar) dan dua LSM yaitu Riak Bumi dan WWF termasuk dalam kelompok context setter. Kelompok context setter ini berpotensi menghambat dan atau memperlancar kebijakan pengelolaan TNDS. Beberapa LSM lain seperti FFI, Yayasan Titian, PRCF, CANOPY, dan 2 lembaga penelitian yaitu CIFOR dan UNTAN termasuk dalam kelompok crowd. Kelompok ini bisa saja dilibatkan dalam kegiatan pengelolaan jika memang diperlukan. Sementara itu Masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan termasuk dalam kelompok subject, yaitu kelompok yang memiliki nilai kepentingan yang tinggi terhadap pengelolaan TNDS, namun memiliki pengaruh yang rendah. Rendahnya pengaruh yang dimiliki masyarakat menyebabkan masyarakat tidak secara leluasa untuk mengelola TNDS. Padahal, nyatanya pengelola sesungguhnya dari kawasan ini adalah masyarakat (Colfer et al. 1999; Dennis et al. 2001; Indriatmoko 2008; Wadley et al. 2010). Kondisi ini bisa diperkuat dengan kelompok key players dapat membangun kerjasama dengan kelompok context setter untuk mencari model yang tepat dalam memberdayakan kelompok subject. Maka pengelolaan TNDS sudah saatnya tidak hanya dipegang oleh satu pengelola, tetapi dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Bagaimana model pelibatan pemangku kepentingan selanjutnya harus dilihat lagi dengan kemampuan dari para pemangku kepentingan untuk saling mempengaruhi. Hal ini berdasarkan konsep pengaruh dari Yukl (1994) yang menyatakan bahwa keberhasilan suatu kebijakan pengelolaan ditentukan oleh kemampuan saling mempengaruhi di antara pemangku kepentingan yang terkait. Balai TNDS sebagai key players harus optimal, terutama dalam memanfaatkan pengaruh yang dimiliki oleh kelompok context setter. Besar kecilnya pengaruh pemangku kepentingan tergantung pada kekuatan yang dimilikinya. Penilaian kekuatan pemangku kepentingan dalam kebijakan pengelolaan TNDS dapat dilihat pada Tabel 27. Tabel 27 menunjukkan bahwa kekuatan terbesar dalam pelaksanaan kebijakan pengelolaan TNDS dipegang oleh Balai TNDS, sedangkan kekuatan terkecil ada pada beberapa LSM seperti FFI, Yayasan Titian, PRCF Indonesia dan CANOPY. Reward power yang dimiliki oleh Balai TNDS bersumber dari tupoksi yang dimiliki oleh Balai TNDS sebagai pemegang penuh pengelolaan TNDS dari pemerintah. Coercive power dan legitimate power dimiliki oleh lembaga yang berkedudukan di daerah dan di lokasi pengelolaan, terkait dengan hubungan dan kewenangan yang dimiliki. Sementara itu expert power dimiliki oleh pemangku kepentingan yang diyakini memiliki pengetahuan yang lebih dalam mengelola sumberdaya alam dalam hal ini adalah UNTAN dan CIFOR. Untuk referent power bersumber dari kekuatan personal untuk mempengaruhi pemangku kepentingan lain dalam kebijakan pengelolaan TNDS. Besarnya kekuatan dan pengaruh yang dimiliki oleh masing-masing pemangku kepentingan akan memberikan dampak terhadap keterlibatan mereka dalam kegiatan pengelolaan TNDS. Mengkombinasikan data kekuatan dan pengaruh yang dimiliki oleh pemangku kepentingan (Silverstein 2009), maka diperoleh matriks seperti Gambar 22.

133 115 Tabel 27 Penilaian tingkat kekuatan pemangku kepentingan No Pemangku kepentingan Kekuatan Nilai P1 P2 P3 P4 P5 1 BTNDS BAPPEDA Dinas Bun Hut Dinas Perikanan Dinas Bud Par Masy Melayu Masy Dayak Iban Masy Dayak Kantuk Masy Dayak Embaloh APDS Riak Bumi WWF FFI Yayasan Titian PRCF Indonesia CANOPY Universitas Tanjungpura CIFOR Keterangan : 5: Sangat tinggi; 4: tinggi; 3: cukup tinggi; 2: kurang tinggi; 1:rendah P1 = reward power; P2 = coercive power; P3 = legitimate power; P4 = expert power; P5 = referent power 25 D A 1 kekuatan C B pengaruh Gambar 22 Matriks kekuatan dan pengaruh pemangku kepentingan

134 116 Berdasarkan analisis pemangku kepentingan berdasarkan kekuatan dan pengaruh diperoleh hasil sebagai berikut: a. Kuadran A; Merupakan pemangku kepentingan yang sangat kuat dalam pengelolaan dan juga sangat berpengaruh bagi keberhasilan pengelolaan. Pemangku kepentingan yang termasuk dalam kategori ini adalah Balai TNDS. Pemangku kepentingan ini adalah lembaga yang bertanggung jawab dan berperan penting terhadap jalannya pengelolaan TNDS. Oleh karenanya harus dapat berperan secara penuh dan memaksimalkan kekuatan dan pengaruh pemangku kepentingan lainnya dalam proses pengelolaan kawasan. b. Kuadran B; Merupakan pemangku kepentingan yang sangat berpengaruh bagi pengelolaan tapi memiliki tingkat kekuatan yang rendah. Pemangku kepentingan yang termasuk dalam kategori ini adalah dari Pihak Pemda Kabupaten Kapuas Hulu yang terdiri dari BAPPEDA, Dinas Perkebunan dan Kehutanan, Dinas Perikanan, dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Dan pihak LSM yaitu Riak Bumi dan WWF. Mereka perlu dilibatkan dalam rangkaian kegiatan pengelolaan, karena suara mereka diperhitungkan dalam kegiatan pengelolaan. Pemerintah pusat harus berusaha agar kelompok ini tetap merasa puas dengan hasil kebijakan yang ditetapkan dalam pengelolaan kawasan. c. Kuadran C; Merupakan pemangku kepentingan yang memiliki pengaruh dan kekuatan yang rendah. Pemangku kepentingan ini adalah pihak masyarakat, lembaga penelitian dan beberapa LSM. Para pemangku kepentingan ini dirasakan belum memiliki pengaruh dan kekuatan pada skala pengelolaan versi pemerintah, sehingga mereka berada dalam prioritas rendah untuk diperhatikan. Padahal kenyataannya pemangku kepentingan terutama masyarakat memiliki kekuatan berupa modal sosial yang dapat dimanfaatkan keberadaannya dalam kegiatan pengelolaan kawasan. d. Kuadran D; Merupakan pemangku kepentingan yang sangat memiliki kekuatan tetapi memiliki pengaruh yang rendah. Dalam penelitian ini tidak ada pemangku kepentingan yang termasuk dalam kategori tersebut. Hasil pemetaan kekuatan dan pengaruh pemangku kepentingan seperti pada Gambar 22 tersebut, dapat menentukan strategi pengelolaan TNDS selanjutnya. Meyers (2001) mengemukakan pilihan yang dapat digunakan oleh pemangku kepentingan berdasarkan tingkat kekuatan dan pengaruh yang dimilikinya sebagai berikut: Tabel 28 Strategi pengelolaan berdasarkan kekuatan dan pengaruh Kekuatan tinggi Kekuatan rendah Sumber: Meyers 2001 Pengaruh rendah Pengurangan impact, Bertahan melawan Memonitor atau tidak memperdulikan Pengaruh tinggi Berkolaborasi dengan Keterlibatan, membangun kapasistas, mengamankan kepentingan Berdasarkan Gambar 22 bahwa Balai TNDS yang saat ini merupakan pengelola TNDS memiliki kekuatan dan pengaruh yang tinggi (kuadran A), maka pilihan yang harus dilakukan menurut Meyers 2001 adalah dengan cara berkolaborasi dengan. Ini semakin menguatkan bahwa sudah saatnya

135 117 pengelolaan di TNDS tidak hanya dilakukan secara tunggal tetapi melibatkan pihak yang berkepentingan lainnya dengan berkolaborasi dalam pengelolaan TNDS. Guna melihat posisi pemangku kepentingan berdasarkan tingkat kepentingan, pengaruh dan kekuatan yang dimiliki, maka dilakukan penggabungan dua analisis kategori yang telah dilakukan, yaitu: (1) analisis kategori berdasarkan tingkat kepentingan dan pengaruh (Reed et al. 2009) dan (2) analisis kategori berdasarkan tingkat kekuatan dan pengaruh (Silverstein 2009) menjadi matrik sebagaiman diilustrasikan pada Gambar 23. KEPENTINGAN RENDAH KEKUATAN RENDAH KEPENTINGAN TINGGI KEKUATAN TINGGI PENGARUH RENDAH PENGARUH TINGGI LSM dan Lembaga Penelitian Pemda Kab dan LSM (Riak Bumi dan WWF) Masyarakat dan APDS Balai TNDS Gambar 23. Posisi pemangku kepentingan berdasarkan pengaruh, kepentingan dan kekuatan Gambar 23 menunjukkan dalam kegiatan pengelolaan TNDS terdapat empat kelompok pemangku kepentingan, yaitu: 1. Kelompok biru, yaitu kelompok yang memiliki tingkat kepentingan, pengaruh dan kekuatan yang tinggi. Kelompok ini merupakan kelompok penentu keberhasilan pengelolaan. Namun, kelompok ini tidak akan dapat berjalan optimal bila tidak dapat mengakomodasi kepentingan kelompok lainnya. Oleh karenanya Balai TNDS harus mampu bekerjasama dengan kelompok lainnya, terutama kelompok kuning yang memiliki kepentingan yang tinggi yaitu masyarakat, dan kelompok hijau yang memiliki pengaruh yang tinggi yaitu pihak Pemda kabupaten dan 2 LSM yang berpengaruh, yaitu Riak Bumi dan WWF. 2. Kelompok kuning, yaitu kelompok yang memiliki tingkat kepentingan yang tinggi namun memiliki tingkat pengaruh dan kekuatan yang rendah. Kelompok kuning ini merupakan kelompok yang harus diperhitungkan kelompok biru dalam kegiatan pengelolaan. Kelompok kuning ini terdiri dari masyarakat dan APDS harus diberdayakan dan ditingkatkan kapasitasnya, agar dapat berperan serta dalam kegiatan pengelolaan. 3. Kelompok hijau, yaitu kelompok yang memiliki tingkat kepentingan dan kekuatan yang rendah, tapi memiliki pengaruh yang tinggi. Kelompok ini harus dapat menjadi mitra dalam kegiatan pengelolaan, pengaruh yang dimiliki kelompok Pemda kabupaten dan LSM (Riak Bumi dan WWF) harus dapat dimanfaatkan oleh kelompok biru dalam melaksanakan pengelolaan.

136 Kelompok merah, yaitu kelompok yang memiliki tingkat kepentingan pengaruh dan kekuatan yang rendah. Kelompok ini tidak perlu terlalu dipertimbangkan dalam kegiatan pengelolaan. Gambar 23 menunjukkan bahwa Balai TNDS merupakan pemangku kepentingan yang menjadi penentu pengelolaan, yang merupakan perpanjangan tangan pemerintah pusat dalam mengelola kawasan konservasi. Namun karena berbagai keterbatasan yang dimiliki oleh Balai TNDS, pengelolaan tidak dapat dilakukan secara tunggal, tapi harus melibatkan kelompok lain yang juga memiliki kepentingan maupun pengaruh yang tinggi terhadap keberadaan TNDS. Oleh karenanya pengelolaan kolaborasi dapat menjadi jawaban permasalahan ini. Secara konseptual, sebenarnya proses pembentukan pengelolaan kolaborasi di TNDS sudah mulai dirintis sejak tahun 2003 melalui suatu lokakarya di Bogor. Namun sampai saat ini pengelolaan tersebut belum terwujud karena berbagai kendala. Tetapi usaha ini harus terus dilanjutkan, walaupun berjalan sangat lamban, karena memang diperlukan untuk mencapai suatu pengelolaan yang lebih baik. Kolaborasi yang sudah dirintis seharusnya diperkuat kelembagaannya (seperti APDS, pamswakarsa, masyarakat peduli api, SPI [Sistem Pengamanan Intensif], pemberdayaan masyarakat, dan pengembangan pariwisata berbasis masyarakat), dan kolaborasi yang berpotensi besar harus segera mulai dibangun kerjasamanya (penerapan mekanisme insentif jasa lingkungan TNDS). Terbentuknya APDS pada 21 Juli 2006 merupakan bentuk kerjasama masyarakat periau dengan fasilitasi dari tiga LSM yaitu Riak Bumi, Yayasan Dian Tama dan People Resources an Conservation Foundation (PRCF). APDS dalam mengusahakan madu hutan dilakukan secara lestari karena periau secara turuntemurun telah menetapkan aturan pengelolaan kawasan yang ramah lingkungan yang sesuai dengan habitat lebah hutan. Bila aturan periau diperkuat dan masyarakat memperoleh insentif dari harga madu hutan yang pantas, kawasan yang dikelola periau akan terjamin dari gangguan yang merusak lingkungan TNDS. Berdasarkan hal tersebut pemberdayaan anggota APDS masih tetap diperlukan dan diperkuat, karena kelemahan dari pendampingan pihak LSM adalah jika kegiatan mereka sudah habis maka masyarakat akan ditinggalkan, oleh karenanya kolaborasi dari pihak Balai TNDS dan Pemda setempat masih sangat diperlukan. Pemerintah dapat memfasilitasi kebutuhan dari APDS melalui kegiatan pemberdayaan masyarakat secara berkesinambungan sampai APDS benar-benar mampu mengelola usaha mereka secara berkelanjutan. Pamswakarsa adalah kelompok masyarakat yang dilatih dan dibentuk secara sukarela diberikan pengetahuan tentang perlindungan dan pengamanan hutan. Kelompok ini dibentuk oleh pihak Balai TNDS. Ada 2 kelompok pamswakarsa yang sudah dilatih di TNDS. Namun fungsi pamswakarsa ini belum berjalan secara optimal. Pembentukan dan pelatihan hanya dilakukan karena saat tertentu ada dana dan anggaran untuk melakukan hal tersebut. Padahal bila masyarakat benar-benar didayagunakan setelah mengikuti pelatihan ini, tentunya sangat bermanfaat dalam turut serta melindungi dan mengamankan kawasan TNDS. Karena masyarakat hidup dan tinggal di dalam kawasan, sehingga lebih fleksibel untuk segera mengetahui akan adanya gangguan di dalam kawasan. Oleh karena itu kelompok ini perlu diperkuat fungsinya sehingga dapat bermanfaat bagi perlindungan dan pengamanan kawasan.

137 119 Masyarakat Peduli Api adalah kumpulan masyarakat yang secara sukarela bersedia membantu upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan (mulai dari pencegahan, pemadaman, dan penanggulangan dampak). Kelompok masyarakat ini dibentuk dan dilatih oleh Kementerian Kehutanan. Pembentukan Masyarakat Peduli Api ini dirasakan oleh pihak Balai sangat efektif dalam sosialisasi pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan, hal ini terlihat dari tidak adanya kebakaran hutan dari tahun 1995 hingga tahun 2008 (Balai TNDS 2011). Pada tahun 2009 terjadi lagi kebakaran hutan dan lahan di kawasan TNDS, yang disebabkan oleh kemarau yang panjang, sedangkan tahun 2010 tidak terjadi kebakaran. Hal ini disebabkan peran serta Masyarakat Peduli api, dan bantuan anggota Satuan Pengamanan intensif serta keberadaan manggala Agni Daops Semitau di TNDS dalam kegiatan sosialisasi pencegahan kebakaran hutan kepada masyarakat cukup berhasil. Kegiatan kolaboratif ini perlu terus ditingkatkan dan diperkuat, karena akibat kebakaran hutan akan menimbulkan berbagai ancaman dan dampak yang merugikan bagi ekosistem danau maupun perekonomian masyarakat. Sistem Pengaman Intensif (SPI) adalah gabungan masyarakat dan polisi hutan yang selalu bergerak setiap hari di dalam kawasan untuk mencegah, mencatat gangguan keamanan hutan. SPI pada awalnya difasilitasi oleh LSM FFI (Flora Fauna Indonesia), namun saat ini sudah diserahkan kegiatan ini kepada Yayasan Titian (hasil diskusi dengan Eko Darmawan, koordinator FFI Putussibau tanggal 22/11/2011). Pelibatan masyarakat dikarenakan masyarkat tahu persis mengenai wilayah mereka sendiri, dan juga dikarenakan pihak Balai tidak bisa masuk berinteraksi ke dalam masyarakat secara luwes, Namun SPI sampai saat ini belum berjalan secara maksimal, karena berbagai kendala. Antara lain karena kurangnya koordinasi dan komunikasi antara pihak LSM dan Balai TN. Jika kolaborasi yang sudah dibentuk ini, diperkuat dan dikomunikasikan, maka akan menjadi salah satu pilar yang kokoh untuk kegiatan perlindungan dan pengawasan kawasan TNDS. Kegiatan pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar TNDS telah dilakukan sejak lama, namun umumnya masih bersifat keproyekan. Dimulai pada 1992 oleh Wetland International Indonesia Program, dilanjutkan oleh Yayasan Dian Tama pada 1997, dan oleh LSM Riak Bumi sampai saat ini. Kerjasama yang dijalin dengan Riak Bumi ini adalah dalam hal peningkatan kesadaran dan kemampuan masyarakat lokal dalam mengelola sumberdaya alam yang ada pada wilayah kelolanya (wilayah adat) serta peningkatan sumber pendapatan masyarakat dari hasil anyaman (rotan), madu, damar dan kerajinan lainnya. Namun, kerjasama ini belum menyentuh semua lapisan masyarakat di TNDS. Karena bersifat keproyekan, apa yang dilakukan hanya sebatas tujuan proyek dan sasaran tertentu. Maka kerjasama ini harusnya lebih diperkuat lagi menjadi program kerja Balai TNDS, dan mencari dukungan juga dari pihak Pemda Kapuas Hulu. Karena TNDS masuk wilayah administratif Kapuas Hulu, harusnya pemberdayaan masyarakat juga mendapat dukungan Pemda. Namun karena jauhnya lokasi TNDS, seringkali terlupakan oleh Pemda. Jika dijalin kerjasama yang baik, maka kegiatan pemberdayaan dari Pemda, Balai TNDS dan LSM dapat lebih mencapai semua masyarakat dan berkesinambungan. Hal ini merupakan kolaborasi yang harus diperkuat kondisinya, karena sudah berjalan selama ini.

138 120 Kolaborasi dalam pengembangan pariwisata sudah dilakukan di TNDS. Kolaborasi dengan masyarakat di daerah penyangga, khususnya masyarakat Desa Melemba dengan fasilitasi dari WWF. Masyarakat Desa Melemba telah memiliki Kelompok Pengelola Ekowisata (KPP) Kaban Mayas, yang didirikan pada tanggal 10 April Tujuan pembentukan KPP ini adalah untuk mendorong pengelolaan pariwisata (budaya, alam dan satwa liar) berbasis masyarakat dan membangun pemahaman masyarakat tentang arti penting perlindungan budaya, alam dan satwa liar. Hasil wawancara dengan Sodik Asmoro (ketua KPP Kaban Mayas) menyatakan bahwa 30 persen lebih masyarakat Desa melemba sudah terlibat dalam pengelolaan ekowisata, dan ini diharapkan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat Desa. Namun, sepertinya kolaborasi ini belum begitu kuat karena belum mendapat sambutan hangat dari pihak Balai TNDS. Masyarakat Desa lebih cenderung berkonsultasi dengan WWF, karena lebih antusias untuk menanggapi pertanyaan masyarakat. Diduga hal ini terjadi karena masalah komunikasi yang tidak harmonis antara pihak Balai dengan masyarakat dan aturan birokrasi yang ada. Bila kondisi ini diperkuat dengan kolaborasi antara pihak Balai TNDS, masyarakat, WWF, dan juga dukungan Pemda Kabupaten, maka cikal bakal kolaborasi ini akan dapat berjalan lebih sempurna. Hanya memang dibutuhkan waktu untuk menggalang kerjasama antara pihak-pihak tersebut sehingga terjalin kolaborasi seperti yang diharapkan. Selain itu bila kolaborasi sudah terbentuk maka perlu dilegalkan oleh pemerintah sehingga ada pengakuan secara tertulis mengenai pengelolaan kolaborasi tersebut. Penerapan mekanisme insentif jasa lingkungan merupakan kolaborasi yang harus segera dibangun di TNDS, agar TNDS memiliki modal sendiri untuk kegiatan pengelolaannya dan juga mensejahterakan masyarakat yang ada di kawasan. Untuk mengembangkan mekanisme insentif sampai implementasinya di lapangan dalam bentuk realisasi pembayaran jasa lingkungan harus melalui beberapa tahapan yang panjang. Tahapan tersebut dapat dilihat pada Gambar Identifikasi Karakteristik Jasling, penyedia dan pengguna 2. Perhitungan Alternatif Nilai Ekonomi Jasling yang Rasional 3. Konsep Pengembangan mekanisme insentif Jasling 7. PENERAPAN MEKANISME INSENTIF SECARA LUAS 6. Penyusunan dan pengesahan peraturan/ perundangan mekanisme insentif 5. Legal drafting proses, termasuk proses-proses politik 4. Membangun kesepakatan besaran, mekanisme, penerapan, dll Gambar 24 Tahapan pengembangan mekanisme insentif (modifikasi dari CIFOR 2007).

139 121 Untuk dapat mengembangkan mekanisme insentif ini diperlukan kerjasama/kolaborasi dari berbagai pemangku kepentingan terhadap jasa yang dihasilkan oleh TNDS. Tahap 1, 2, dan 3 sudah dilakukan pada kajian 1 dalam penelitian ini. Selanjutnya adalah membangun kesepakatan, besaran, mekanisme, penerapan, dan lain-lain yang merupakan proses kolaborasi yang harus dibangun. Sementara tahap 5, 6 dan 7 akan dapat dijalankan bila tahap 4 sudah terlewati. Tahap 4 tersebut merupakan kolaborasi yang harus segara dirintis dan dibangun di TNDS, karena merupakan nilai potensi besar dari TNDS, yang selama ini masih belum dikenal dan masih di awang-awang. Nilai ini nantinya dapat merupakan pintu masuk bagi kelestarian dan kesejahteraan masyarakat TNDS. Pola pengelolaan bersama sejak tahun 2008 sebenarnya telah menjadi kesepakatan internasional ketika dilakukan pertemuan IUCN di Barcelona WCC Pemangku kepentingan menyepakati pola pengelolaan kawasan konservasi termasuk TN tidak hanya dikelola oleh Pemerintah atau lembaga tertentu, tetapi dapat dilaksanakan melaui pola/tata kelola: (1) Governance by government (kawasan konservasi sepenuhnya dikelola oleh Pemerintah), (2) Shared governance (kawasan konservasi yang dikelola secara bersama-sama oleh Pemerintah dan kelompok non Pemerintah, (3) Private governance (kawasan konservasi yang dikelola individu, perusahaan, NGO), (4) Governance by indigenous peoples and local communities (pengelolaan oleh masyarakat lokal/masyarakat asli setempat), termasuk dalam kelompok ini adalah Community Conseced Areas (CCAs). Devolusi Pengelolaan TNDS Prasyarat dari terbentuknya pengelolaan kolaborasi adalah adanya equal position antara pemerintah dan masyarakat. Masyarakat memiliki modal sosial dan kepentingan tinggi, tetapi memiliki pengaruh dan kekuatan (power) yang rendah. Untuk intu perlu penguatan masyarakat melalui devolusi pengelolaan TNDS, sehingga power yang dimiliki masyarakat dapat meningkat. Sementara dari sisi pemerintah memiliki kapabilitas rendah, tetapi memiliki kepentingan, pengaruh dan power yang tinggi. Melalui devolusi pengelolaan maka rendahnya kapabilitas pemerintah dapat diminimalisir. Devolusi adalah penyerahan sebagian wewenang dari pemerintah pusat kepada otoritas di daerah atau kepada masyarakat, sehingga dapat menutupi keterbatasan/kelemahan pemerintah pusat dalam pengelolaan TNDS. Dengan devolusi pengelolaan diharapkan posisi antara pemerintah dan masyarakat sama-sama kuat sehingga dapat membentuk kolaborasi pengelolaan sesuai kebutuhan di TNDS. Devolusi pengelolaan TNDS kepada masyarakat lokal dirasakan sangat perlu dilakukan. Hal ini berdasarkan pada hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pengelolaan TNDS oleh pemerintah tidak bekerja dengan baik, yang ditunjukkan oleh banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh Balai TNDS dalam pengelolaannya. Permasalahan ini timbul dikarenakan masih rendahnya kapabilitas pemerintah dalam kegiatan pengelolaan. Devolusi pengelolaan sumberdaya alam termasuk kawasan konservasi seperti TN, masih banyak mengalami kendala dan pertentangan dalam pelaksanaannya. Menurut Fisher 2000, kendala utama untuk diterapkannya

140 122 devolusi pengelolaan sumberdaya alam (hutan) kepada masyarakat adalah ketidakpahaman tentang forestland tenure. Devolusi dianggap menyerahkan pengendalian atas sumberdaya hutan secara keseluruhan kepada masyarakat, sehingga pihak pemerintah dalam hal ini Kementerian Kehutanan akan kehilangan perannya dalam mengendalikan kawasan. Padahal peran pemerintah tidak akan tergantikan terutama mengenai kewenangannya untuk menjaga pemenuhan fungsi-fungsi publik dari sumberdaya alam di kawasan menurut undang-undang yang berlaku. Sebagai contoh di India, Nepal, China, Jepang, dan Amerika Serikat. Selanjutnya dengan devolusi, akan memperingan pekerjaan dari pihak pemerintah. Pada kawasan-kawasan yang sudah dikelola dengan baik oleh masyarakat maka pemerintah hanya berfungsi sebagai pengawas dari kegiatan pengelolaan yang dilakukan. Berarti devolusi dapat membantu pemerintah untuk bekerja lebih efisien dan efektif sesuai dengan keterbatasan yang mereka miliki. Di Indonesia devolusi pengelolaan sumberdaya hutan negara terwujud pada hutan kemasyarakatan (HKm), hutan tanaman rakyat (HTR), dan hutan desa (HD) (Suharjito 2009). Masing-masing bentuk devolusi tersebut didukung dengan kebijakan devolusi pengelolaan sumberdaya hutan di Indonesia. Pelaksanaan HKm disebutkan dalam PP No. 6/2007 dan Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut No. P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan (HKm), dimana disebutkan kawasan hutan yang dialokasikan untuk HKm adalah hutan alam produksi, lindung, dan konservasi; Pelaksanaan HTR didukung dengan kebijakan P.23/Menhut-II/2007 jo P.5/Menhut-II/2008 tentang HTR, dimana lokasi untuk HTR adalah kawasan hutan alam produksi yang dikonversi menjadi hutan tanaman. Sementara pelaksanaan HD didukung dengan kebijakan P.49/Menhut-II/2008 tentang HD, dan kawasan yang dialokasikan untuk HD adalah hutan produksi dan hutan lindung. Pengelolaan HKm dan HTR diberikan kepada keluarga-keluarga dan dapat pula dikelola bersama (kelompok/koperasi), sementara HD pengelolaannya oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa. Berarti HKm, HTR dan HD memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memiliki akses pada pengelolaan atas sumberdaya hutan yang dikuasai oleh negara. Berdasarkan kebijakan devolusi yang sudah ada di Indonesia, maka bentuk devolusi yang mungkin di lakukan di kawasan TN adalah HKm. Dalam konteks TNDS, walaupun sebagian daerah merupakan danau dan sungai, namun keberadaan hutan sangat berarti bagi masyarakat setempat yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan, juga sebagai periau yang mengusahakan madu dari hutan yang ada. Selain itu masyarakat minoritas yaitu peladang juga sangat bergantung kehidupannya pada hutan. Sehingga bila HKm ini dapat dilakukan di TNDS akan memberikan kewenangan (kekuasaan/power) pada masyarakat dan juga memberikan hak kepada masyarakat dalam mengelola kawasan hutan mereka. Adapun hak yang diperoleh masyarakat mengacu pada Ostrom dan Schlager 1996 adalah hak management dan hak exclusion. Hak yang diperoleh masyarakat tersebut tetap dibatasi oleh kewajiban dan tanggung jawab yang dibebankan oleh pemerintah kepada masyarakat. Berarti masyarakat dapat memperkuat posisi pengaruh dan kekuatan yang mereka miliki, sehingga dapat berperan serta dan diakui kemampuannya dalam mengelola kawasan. Selain itu masyarakat dapat meningkatkan kapasitasnya seperti yang diamanatkan dalam

141 123 Permenhut No. P.37/Menhut-II/2007, sebagai prasyarat dari pengelolaan kolaborasi yang akan dibangun dapat berlangsung secara adil. Walaupun tidak semua praktek devolusi pengelolaan sumberdaya alam berhasil dilaksanakan mencapai tujuan yang diharapkan, seperti yang dialami Vietnam ketika mengimplementasikan devolusi pengelolaan sumberdaya hutan pada tahun 1999 dikarenakan permasalahan distribusi lahan oleh pemerintah. Namun banyak pula praktek devolusi pengelolaan sumberdaya alam berhasil di laksanakan mencapai tujuan yang diharapkan. Sebagai contoh adalah devolusi pengelolaan TN Pudacuo di China (Zhou dan Grumbine 2011; Dressler et al. 2006) yang menjanjikan bahwa dengan devolusi pengelolaan TN dapat menjaga kelestarian sumberdaya kawasan. Karena dengan devolusi diharapkan memberikan pengelolaan sumberdaya alam yang lebih efektif, lebih memberikan keadilan kepada masyarakat sebagai pemangku kepentingan yang seringkali termarginalkan. Usaha konservasi alam akan berlanjut, ketika para pemangku kepentingan yang terkait mengakui manfaat yang diperoleh lebih besar daripada kerugian yang akan didapatkan dengan adanya kegiatan konservasi alami. Sesuai dengan peraturan yang berlaku dalam pengelolaan TN berdasar pada zonasi, maka penetapan zona tradisional juga merupakan bentuk devolusi pengelolaan sumberdaya alam. Oleh karenanya, zona tradisional perlu ditetapkan dalam pengelolaan TNDS ke depan. Karena zonasi di TNDS belum ditetapkan sampai saat ini, maka agar lebih sempurna zonasi pengelolaan yang akan ditetapkan, perlu pelibatan masyarakat dalam kegiatan perencanaan zonasi yang akan ditetapkan. Pilihan Kebijakan Pengelolaan TNDS Modal sosial merupakan hal penting dalam pengelolaan ekosistem dan pengadaan jasa lingkungan TNDS. Banyak kasus telah membuktikan bahwa ketika area yang terlibat melewati batas suatu lahan, pihak-pihak yang ada dalam kawasan tersebut perlu berkoordinasi untuk menjamin pengelolaan yang tepat. Modal sosial merupakan jembatan untuk membangun unit pengelolaan yang lebih besar sehingga memungkinkan pengelolaan ekosistem yang heterogen terintegrasi dengan berbagai pihak. Berarti tindakan bersama menjadi hal yang penting. Tujuannya sebagai koordinasi kegiatan-kegiatan individual atau kelompok dalam mencapai suatu kepentingan yang sama. Diyakini bahwa tindakan bersama merupakan permasalahan penting dalam mengelola ekosistem yang beragam. Masyarakat yang tinggal di kawasan, dan pihak lain yang berkepentingan dengan pengelolaan ekosistem TNDS perlu melakukan koordinasi untuk menjamin pengelolaan yang baik. Bagi masyarakat, organisasi internal yang kuat diperlukan dalam menetapkan dan mematuhi norma-norma untuk dapat menyelesaikan perselisihan. Selain itu, diperlukan juga penambahan kapasitas masyarakat untuk membangun hubungan eksternal yang menjamin dukungan, akses ke lokasi pasar, dan kesepakatan yang saling menguntungkan dengan pihak-pihak lain. Pengelolaan kawasan konservasi merupakan salah satu persoalan yang juga disebabkan oleh adanya perubahan-perubahan dalam modal sosial, dikarenakan pengelolaan kawasan konservasi tidak semata berhubungan dengan kondisi biofisik kawasan tetapi juga kondisi sosial yang ada didalamnya. Oleh

142 124 karenanya pengelolaan kawasan konservasi seharusnya memperhatikan kondisi sosial dalam masyarakat. Hasil kajian modal sosial menunjukkan bahwa modal sosial masyarakat yang diukur dari tingkat kepercayaan, norma sosial dan jaringan sosial yang ada mengenai pengelolaan sumberdaya alam tergolong dalam kategori sedang sampai tinggi. Berdasarkan hal tersebut maka sepantasnya masyarakat dilibatkan dalam pengelolaan di TNDS. Meskipun secara legalitas belum ada pengakuan dari pemerintah atau secara tertulis bahwa masyarakat sebagai pengelola TNDS, namun kenyataan membuktikan bahwa masyarakat yang berada di dalam dan sekitar kawasan adalah pengelola sejati sumberdaya alam yang ada. Hasil kajian kapabilitas pemerintah dalam pengelolaan TNDS menunjukkan bahwa pemerintah masih lemah kapabilitasnya. Kekuatan diperoleh hanya dari kebijakan pemerintah, berarti hanya memiliki legalitas tetapi belum memiliki legitimasi. Untuk itu perlu kiranya untuk mulai berpikir dan membuka wawasan baru bahwa pengelola kawasan konservasi tidak hanya dikelola oleh pemerintah, tetapi dilakukan dengan melihat kondisi yang ada sehingga adanya pilihan pengelolaan dalam kawasan merupakan suatu hal yang mutlak. TN dalam pengelolaannya sudah ditentukan dengan sistem zonasi (UU No 5/1990, PP No 28/2011, Permenhut No P.03/Menhut-II/2007) maka dalam kajian ini pilihan pengelolaan ditentukan berdasarkan zonasi sehingga tetap selaras dengan peraturan yang berlaku. Zonasi versi negara diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.56/Menhut-II/2006 tentang pedoman zonasi taman nasional. Faktor-faktor yang diperhatikan mencakup parameter sumberdaya alam hayati dan parameter sumberdaya alam nir-hayati. Masyarakat sendiri mempunyai zona-zona dalam mengelola sumberdaya alam, yaitu wilayah lindung dan wilayah kerja. Di TNDS masyarakat memiliki kebijakan danau tutupan yang merupakan kearifan tradisional masyarakat setempat untuk melindungai sumber-sumber mata pencaharian dengan melarang penangkapan ikan pada danau-danau tertentu. Sungai dan danau yang tertutup dalam jangka waktu tertentu seperti yang terdapat di rukun nelayan Pemerak, Nanga Leboyan dan Sekulat, bertujuan untuk memberikan kesempatan ikan-ikan dari Sungai Kapuas masuk ke sungai dan danau tersebut setelah melewati musim kemarau. Pada suku Iban, misalnya di Meliau, ada danau-danau yang tidak pernah kering permanen dan secara adat ditutup untuk eksploitasi secara komersial. Pada masyarakat peladang juga memiliki hutan lindung, hutan tutupan yang merupakan kawasan lindung masyarakat dalam rangka konservasi SDA. Pengetahuan tradisional ini merupakan praktek terbaik yang dapat dijadikan acuan dan menjadi pertimbangan dalam pembagian zonasi. Sehingga zonasi yang ditetapkan dapat diimplementasikan pada masyarakat dan tidak mengganggu kegiatan mereka dalam memenuhi kebutuhan ekonomi. Rencana zonasi yang ditetapkan oleh pemerintah ternyata banyak tumpang tindihnya dengan wilayah kerja dan juga kawasan lindung masyarakat, sehingga menimbulkan konflik pemanfaatan. Sebagai ilustrasi adalah antara rencana zonasi pemerintah dan wilayah kerja periau APDS (Gambar 25). Saat peta rencana zonasi dioverlaykan dengan peta wilayah kerja periau APDS, banyak lokasi yang merupakan wilayah kerja periau termasuk dalam rencana zona inti, zona rimba dan zona pemanfaatan, yang bila menurut aturan zonasi pemerintah tidak boleh untuk dimanfaatkan atau pemanfaatan yang terbatas.

143 Gambar 25 Tumpang tindih rencana zonasi TNDS dengan wilayah kerja periau (APDS) 125

144 126 Berdasarkan perhitungan, maka wilayah periau yang masuk dalam masingmasing zonasi versi pemerintah adalah sebagai berikut: Tabel 29 Luas wilayah kerja periau per zona di TNDS Zonasi Luas (ha) Badan air 3.631,53 Zona Inti Zona Rimba 4.087, ,36 Zona Pemanfaatan 8.787,11 Kawasan Penyangga 157,21 Total ,32 Dari Tabel 29 diketahui bahwa sekitar ha wilayah kerja periau masuk dalam zona-zona pengelolaan kawasan TNDS, yaitu ha masuk dalam zona inti, ha dalam zona rimba dan ha dalam zona pemanfaatan. Kondisi ini tentunya menimbulkan konflik antara masyarakat dan pihak TN. Konflik alokasi ruang dalam perencanaan zonasi terjadi karena dalam aturan formal zonasi yang digunakan adalah kriteria-kriteria ekologis dan target spesies yang perlu dilestarikan. Sementara tata guna lahan/wilayah kerja tradisional yang sangat penting bagi kelangsungan kehidupan masyarakat lokal tidak dipertimbangkan. Berarti terjadi konflik alokasi ruang di TNDS, hal ini memperkuat hasil-hasil penelitian sebelumnya mengenai penyebab konflik di TN salah satunya adalah mengenai alokasi ruang (Harada et al. 2001, Muda 2005, Ikhsan et al.2005, Golar 2007, Kuswijayanti et al. 2007, Kosmaryadi 2012). Kriteria zonasi formal sangat memungkinkan dapat diterapkan pada kawasan TN yang tidak berpenghuni atau tidak berada dalam wilayah adat. Tetapi untuk TN yang sudah berpenghuni dan memiliki tata guna lahan/wilayah kerja tradisional yang dibuat masyarakat adat secara turun temurun dan berdasarkan keterikatannya secara fisik dan spiritual terhadap lingkungan ataupun sumberdaya alam yang ada, kadangkala sulit untuk dimengerti secara keilmuan. Berdasarkan hasil kajian yang telah dilakukan dan disesuaikan dengan perundang-undangan yang ada mengenai pengelolaan TN berdasarkan zonasi, maka pilihan kebijakan pengelolaan dapat ditetapkan berdasarkan pada rencana zonasi pemerintah dan zonasi masyarakat. Secara ringkas dapat dilihat pada Tabel 30. Pilihan kebijakan didasarkan pada: 1. Zona inti Berdasarkan UU No 5/1990 zona inti adalah bagian dari kawasan TN yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia. Sementara masyarakat juga memilki wilayah lindung yang merupakan kawasan yang dijaga kelestariannya. Maka apabila wilayah lindung masyarakat berada pada zona inti maka pengelolaannya diberikan pada masyarakat. Hal ini berdasarkan asumsi bahwa masyarakat pasti akan menjaga wilayah lindung mereka dan ini berarti akan mengurangi biaya pengelolaan di wilayah ini jika tetap dilakukan oleh pemerintah. Sementara jika wilayah kerja masyarakat masuk ke dalam zona inti, maka pengelolaannya tetap dipegang oleh pemerintah. Pemerintah dalam hal ini adalah Balai TNDS merupakan pemegang otoritas dan tanggung jawab penuh dalam menjaga kawasan ini. Karena apabila tidak dikelola dengan tepat akan

145 127 mengancam kelestarian kawasan (killer assumption). Adapun pemanfaatan dari zona inti hanya terbatas pada kegiatan penelitian dan pengembangan yang menunjang pemanfaatan, ilmu pengetahuan, pendidikan dan kegiatan penunjang budidaya. Tabel 30 Pilihan pola pengelolaan TNDS No. TNDS Zonasi/Daerah Masyarakat Modal sosial Kapabilitas pemerintah Pola pengelolaan Asumsi 1. Inti Lindung Tinggi Rendah Masyarakat Masyarakat pasti melindungi wilayah lindung mereka Kerja Tinggi Rendah Pemerintah Pemerintah mempunyai legalitas dan kewajiban penuh melindungi zona inti 2. Rimba Lindung Tinggi Rendah Masyarakat Masyarakat pasti melindungi wilayah lindung mereka Kerja Tinggi Rendah Kolaborasi Perlu sinergitas dan dukungan pemangku kepentingan lainnya agar pengelolaan dapat optimal 3. Pemanfaatan Lindung Tinggi Rendah Masyarakat Masyarakat pasti melindungi wilayah lindung mereka Kerja Tinggi Rendah Kolaborasi Perlu sinergitas dan dukungan pemangku kepentingan lainnya agar pengelolaan dapat optimal 4. Penyangga Lindung Tinggi Rendah Masyarakat Masyarakat pasti melindungi wilayah lindung mereka Kerja Tinggi Rendah Kolaborasi Perlu sinergitas dan dukungan pemangku kepentingan lainnya agar pengelolaan dapat optimal

146 Zona Rimba Dalam UU No 5/1990 zona rimba merupakan zona diluar zona inti dan zona pemanfaatan karena memiliki fungsi dan kondisi tertentu. Zona rimba berfungsi sebagai penyangga dari zona inti, dan pemanfaatan yang diperbolehkan hanya kegiatan penelitian, pengembangan terbatas, kegiatan penunjang budidaya dan kegiatan wisata alam yang terbatas. Berdasarkan hal tersebut maka dalam pengelolaannya, untuk zona rimba yang merupakan wilayah lindung masyarakat, maka pengelolaannya tetap diberikan kepada masyarakat. Karena diyakini akan dijaga dengan baik dan apabila melanggar pasti mendapat sanksi di antara masyarakat sendiri. Sementara untuk zona rimba yang merupakan wilayah kerja masyarakat bisa dilakukan bersama oleh pemerintah dan masyarakat dalam bentuk co-management (kolaborasi). Ini dilakukan berdasarkan asumsi bahwa pemerintah berkewajiban untuk mengayomi seluruh kegiatan di TN, sementara modal sosial masyarakat tetap harus dijaga kekuatannya agar tidak luntur oleh berbagai pengaruh yang ada saat ini. untuk itu dukungan dari pemangku kepentingan lainnya akan memperkuat pengelolaan agar dapat berjalan secara optimal. 3. Zona Pemanfaatan Berdasarkan UU No 5/1990 zona pemanfaatan yaitu bagian dari kawasan TN yang dijadikan pusat rekreasi dan kunjungan wisata, penelitian dan pengembangan yang menunjang pemanfaatan, pendidikan dan atau kegiatan penunjang budidaya. Seperti halnya di zona inti dan zona rimba maka pada zona pemanfaatan yang merupakan wilayah lindung masyarakat, pengelolaan diserahkan kepada masyarakat. Selebihnya, zona pemanfaatan dikelola dengan pola kolaborasi. Sebagai contoh untuk kegiatan rekreasi dan pariwisata dan pemberdayaan masyarakat. Balai TNDS sendiri tidak akan mampu untuk mengelola potensi pariwisata yang ada. Pengelolaan secara bersama dengan masyarakat, dinas kebudayaan dan pariwisata, pihak pengusaha (travel perjalanan dan hotel) serta beberapa LSM yang concern tentunya akan dapat mempromosikan kekayaan alam TNDS yang penuh pesona dan unik. Sementara itu kegiatan pemberdayaan masyarakat juga perlu dilakukan secara kolaborasi, karena pihak Balai TNDS sendiri tidak akan mampu melakukan hal tersebut, baik karena terbatasan sumberdaya manusia, finansial maupun sarana dan prasarana. Dengan berkolaborasi, diharapkan zona pemanfaatan ini bisa dimanfaatkan secara maksimal dengan tetap memperhatikan prinsip kelestarian, perlindungan serta pengawetan kawasan konservasi tersebut. 4. Daerah Penyangga Daerah penyangga berfungsi sebagai zona yang melindungi kawasan konservasi terhadap gangguan dari luarnya, dan melindungi kawasan pemukiman terhadap gangguan dari kawasan konservasi. Karena fungsinya, maka akan tepat pengelolaan di daerah ini dilakukan oleh masyarakat, jika dalam daerah penyangga ini terdapat wilayah lindung masyarakat. Sementara pengelolaan secara kolaborasi di luar dari wilayah lindung masyarakat. Hal ini dikarenakan masyarakat dan pemerintah perlu bersinergi untuk melakukan pengelolaan yang optimal. Masyarakat memiliki pengetahuan, aturan, dan jaringan yang dapat memperkuat pengelolaan. Begitu juga pemerintah, terutama baik pemerintah pusat dan pemerintah daerah memiliki otoritas, kewenangan dan tanggung jawab yang besar untuk mengelola kawasan ini.

147 129 Dengan bekerja sama tentunya diharapkan pengelolaan dapat berjalan dengan baik, aspirasi masyarakat dapat diakomodir. Walaupun dari hasil penelitian menunjukkan secara rata-rata kapabilitas pemerintah masih lemah, tapi untuk dapat menginisiasi suatu bentuk pengelolaan dalam skala yang lebih besar peran pemerintah masih diperlukan. Pemda juga sangat berperan dalam pembentukan kolaborasi ini, karena seiring dengan desentralisasi, ruangruang yang ada di dalam TNDS merupakan hak kelola Pemda. Bila Pemda dapat berperan secara optimal maka pengelolaan TNDS dapat berhasil baik seperti kajian Zhou dan Grumbine (2011) pada TN di China. Dan bila sudah terbentuk kolaborasi secara mantap maka pemerintah bisa menjadi pengawas dari kegiatan yang dilakukan. Pilihan pola pengelolaan dilakukan berdasarkan pada pemikiran bahwa: 1 Sinkronisasi kepentingan pemerintah dan masyarakat sehingga didapat solusi yang optimal dalam kegiatan pemanfaatan. 2 Keberpihakan kepada masyarakat sebagai pelaku utama dalam kegiatan pengelolaan berdasarkan pada kenyataan apa yang bisa dikembangkan saat ini adalah yang berfungsi di masyarakat dalam kegiatan pemanfaatan dan pengelolaan kawasan. 3 Salah satu prinsip governance adalah melakukan pilihan pengelolaan dengan biaya yang minimum bagi pemerintah, dengan melibatkan masyarakat dalam kegiatan pengelolaan hal ini akan dapat direalisasikan. 4 Resistensi minimal dan sinergitas maksimal antara pemangku kepentingan. Konsekuensi dari pilihan pengelolaan yang dilakukan, adalah dengan melakukan devolusi dalam pengelolaan TNDS. Hal ini ditujukan agar dapat terus mempertahankan dan meningkatkan modal sosial pada level masyarakat dengan melakukan peningkatan kapasitas masyarakat dalam pengelolaan SDA. Di sisi lain pihak pemerintah juga harus dapat meningkatkan kapabilitas yang ada. Sehingga pilihan kebijakan ini bisa saja berubah, karena dinamisnya modal sosial masyarakat dan kapabilitas pemerintah. Karena beragamnya kondisi dan situasi di dalam kawasan konservasi maka pola pengelolaan di seluruh kawasan konservasi harus dilakukan spesifik lokasi. Pengelolaan oleh pemerintah yang seragam terbukti tidak mampu bekerja dengan baik, karena masih lemahnya kapabilitas pemerintah dalam mengelola kawasan konservasi. Pengelolaan secara zonasi versi pemerintah mungkin tidak selalu harus diterapkan. Konsep ilmiah yang diterapkan dalam pengelolaan zonasi seringkali bertabrakan dengan kondisi fungsional yang ada di masyarakat. Sementara, masyarakat memiliki modal sosial yang kuat dalam mengelola sumberdaya alam mereka, baik berupa norma-norma, jaringan serta kepercayaan di antara mereka sendiri, yang terbukti dapat menjamin keberlanjutan/sustainability. Maka pengelolaan yang beragam bisa berupa pengelolaan oleh pemerintah, masyarakat, dan secara kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat diharapkan mampu untuk mengelola kawasan konservasi.

148 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. TNDS menghasilkan berbagai manfaat dan memiliki nilai ekonomi yang tinggi bagi masyarakat secara luas. Manfaat yang dihasilkan TNDS berupa pemeliharaan keanekaragaman hayati, pengatur pasokan air, rekreasi dan pariwisata, penyimpan karbon, gudang berbagai hasil SDA, dan ruang bagi mahluk hidup. Potensi nilai ekonomi total TNDS adalah sebesar Rp 139,06 milyar per tahun atau Rp 1,05 juta per ha per tahun. Dari potensi NET TNDS, hanya 4,87 persen merupakan biaya pengelolaan, selebihnya merupakan manfaat yang dapat diperoleh masyarakat secara luas. Beragam manfaat dan NET yang tinggi menarik perhatian berbagai pemangku kepentingan untuk dapat memanfaatkan dan mengelolanya. 2. Terdapat 18 pemangku kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan TNDS, yang berkedudukan sebagai subject, key players, contex setter, dan crowd berdasarkan pengaruh dan kepentingannya. Hubungan yang terjadi diantara pemangku kepentingan berupa konflik, bekerjasama dan saling mengisi. Adanya konflik menunjukkan bahwa Balai TNDS sebagai pengelola tunggal belum mampu mengelola TNDS dengan baik, dikarenakan adanya kekuatan lain yang lebih dipercaya masyarakat (legitimate) dalam pengelolaan SDA. 3. Tingginya modal sosial masyarakat dan rendahnya kapabilitas pemerintah dalam pengelolaan TNDS menunjukkan pentingnya pengelolaan yang tidak bersifat tunggal. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan kinerja pengelolaan TNDS. 4. Kebijakan pengelolaan TNDS saat ini masih berasal dari pemerintah pusat (sentralistik), lebih mengatur biofisik, berbentuk perintah dan pengawasan (command and control) dan diterapkan secara seragam. Hal ini memerlukan dukungan kebijakan pengelolaan yang memperhatikan masalah sosial yang dapat diisi dengan kebijakan pemerintah daerah, menerapkan kebijakan yang bersifat insentif dan penerapan pengelolaan yang memperhatikan kondisi spesifik lokal. 5. Dalam kondisi modal sosial masyarakat yang tinggi, devolusi pengelolaan TNDS diperlukan karena akan lebih mengefektifkan pengelolaan SDA dan memberikan keadilan kepada masyarakat sebagai pemangku kepentingan. Usaha konservasi alam akan berlanjut, ketika para pemangku kepentingan merasakan manfaat yang lebih besar dari kegiatan konservasi TNDS. 6. Mensinkronkan kepentingan masyarakat dan pemerintah dalam kawasan TNDS merupakan solusi yang optimal dalam kegiatan pengelolaan. Kolaborasi pengelolaan TNDS akan meminimalkan beban biaya pengelolaan yang ditanggung pemerintah dan pada saat yang bersamaan akan membangkitkan rasa tanggung jawab masyarakat dalam pengelolaan TNDS. 7. Pilihan kebijakan pengelolaan TNDS yang dilakukan secara terintegrasi antara pendekatan ekonomi, sosial dan kebijakan menghasilkan solusi optimal dalam kegiatan pengelolaan. Dalam penelitian ini, konsep nilai ekonomi total, konsep pemangku kepentingan, konsep modal sosial dan konsep kebijakan SDA mampu untuk menghasilkan pilihan kebijakan pengelolaan dengan

149 131 resistensi minimal dan sinergitas maksimal bagi pemangku kepentingan, yaitu melalui mekanisme insentif jasa lingkungan, pelibatan pemangku kepentingan dan membuka ruang devolusi pengelolaan taman nasional jika modal sosial masyarakat kuat, sementara kapabilitas pemerintah lemah. 8. Pilihan kebijakan pengelolaan berdasarkan zonasi TN, zonasi masyarakat, modal sosial dan kapabilitas pemerintah yaitu: pengelolaan oleh Pemerintah jika modal sosial masyarakat rendah kapabilitas pemerintah tinggi; pengelolaan oleh Masyarakat jika modal sosial masyarakat tinggi dan kapabilitas pemerintah rendah; pengelolaan Kolaborasi jika modal sosial masyarakat dan kapabilitas pemerintah sama-sama tinggi (Birner dan Wittmer 2000). 9. Konsep kelembagaan pengelolaan SDA Birner dan Wittmer (2000) cenderung bersifat statis, kenyataannya dalam pengelolaan SDA selalu bersifat dinamis. Pada situasi tidak diakuinya legitimasi pemerintah dalam pengelolaan SDA maka pilihan kebijakan pengelolaan dapat diberikan kepada masyarakat. Oleh karena itu jika legitimasi sberada di tangan masyarakat yang kondisi modal sosialnya rendah, maka diperlukan penguatan kapasitas masyarakat melalui kegiatan pemberdayaan masyarakat sehingga mampu mengelola SDA secara berkelanjutan. Saran 1. Untuk pola pengelolaan kolaborasi selanjutnya harus dilakukan secara berimbang antara pemangku kepentingan, dimana pelibatan pihak yang berkolaborasi dimulai dari perencanaan sampai evaluasi, agar kolaborasi yang terbentuk dapat menjembatani kepentingan semua pihak dalam mencapai tujuan bersama. Hal ini dapat dilakukan dengan pengembangan SDM, penguatan organisasi dan reformasi kelembagaan. 2. Devolusi pengelolaan perlu segera dilakukan dengan cara: menetapkan zona tradisional dalam kegiatan pengelolaan dan melaksanakan HKm bagi masyarakat periau di TNDS. Dengan devolusi berarti Pemerintah pusat dan daerah telah mendukung pengelolaan yang dilakukan masyarakat dan secara tidak langsung telah melakukan peningkatan kapasitas masyarakat yang dapat diperkuat dengan melakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat secara berkelanjutan. 3. Untuk merealisasikan nilai potensi ekonomi jasa lingkungan TNDS dapat dilakukan dengan menerapkan mekanisme insentif, misalnya melalui Perda yang mengatur insentif jasa air.

150 132 DAFTAR PUSTAKA Abbas R Mekanisme perencanaan partisipasi stakeholder Taman Nasional Gunung Rinjani. [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Abel N, Cumming DHM, Anderiess JM Collapse and reorganization in sosial-ecological systems: questions, some ideas, and policy implications. Ecology and Society 11(1):17. [internet]. [diacu 2012 Mei 5]. Tersedia dari: /vol11/iss1/art17/. Abidin R, Ontarjo J, Wasis B Kehutanan: Masa Lalu, Kini dan Mendatang. Bogor: Alqaprint Jatinangor. Acheson JM Manajemen of common property resources. In: S. Paltter, editor. Economic Anthropology. Stanford, California (US): Stanford Univ. Press. Adamowicz WL, Boxhall P, Luckert M, Phillips WE, White WA Forestry, Economics and the Environment. Oxon (UK): CAB International. Aglionby J Economic issues in Danau Sentarum National Park. Final report of the associate professional officer (Environmental Economist) Volume I. UK-Indonesia Tropical Forest Management Programme: Conservation. Agrawal A, Gibson CC Enchantment and disenchantment: The role of community in natural resources conservation. World Development 27(4): Agunggunanto EY Analisis kemiskinan dan pendapatan keluarga nelayan. Kasus di Kecamatan Wedung Kabupaten Demak, Jawa Tengah, Indonesia. Jurnal Dinamika Ekonomi Pembangunan 1(1): Alikodra HS Konservasi atau Merusak Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Makalah Kuliah Umum Program S3 PSL Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. 6 Mei Anna S Nilai Ekonomi Sumber Daya. Modul Pelatihan Valuasi Ekonomi Sumber Daya Alam. Bogor (ID): Departemen Ekonomi Sumber Daya, Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB. Anshari GZ, Zulkifli, Handayani NW Aturan-aturan Tradisional : Basis Pengelolaan Taman Nasional Danau Sentarum. Tangerang(ID): Wana Aksara. Anshari GZ, Armiyarsih Carbon decline from peatlands and its implication on livelihood security of local communities. In: Mudiyarso D, Herawati H, (editor). Carbon Forestry: Who Will Benefit? Proceeding of Workshop on Carbon Sequestration and Sustainable Livelihoods. Bogor (ID): CIFOR. Anshari GZ Dapatkah Pengelolaan Kolaboratif Menyelamatkan Danau Sentarum? Bogor (ID): CIFOR. Arafah N Kaindea: Adaptasi masyarakat dalam pengelolaan hutan di Pulau Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Asikin M Stakeholders. Participation in SME Policy Design and Implementation. Jakarta (ID): ADB technical assistance SME development. Azwar S Sikap Manusia. Teori dan Pengukurannya. Edisi ke-2. Yogyakarta (ID): Pustaka Pelajar.

151 133 Azis ASR Memahami Fenomena Sosial Melalui Studi Kasus. Di dalam Bungin B, editor. Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta (ID): PT. Raja Grafindo Persada. Bahruni, Suhendang E, Darusman D, Alikodra HS Pendekatan sistem dalam pendugaan nilai ekonomi total ekosistem hutan: Nilai guna hasil hutan kayu dan non kayu. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan 4 (3): Balai Taman Nasional Danau Sentarum Data Statistik Tahun Sintang. Barbier EB, Acreman MC, Knowler D Economic valuation of wetlands: A guide for policy makers and planners. Gland, Switzerland: Ramsar Convention Bureau. Basuni S Inovasi institusi untuk meningkatkan kinerja daerah penyangga kawasan konservasi (Studi kasus di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat) [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Beugelsdijk S, Schaik TV Differences in social capital between 54 Western European regions. Regional Studies 39(8): Birner R, Wittmer H On the Efficient Boundary of the State. A transaction cost economic approach to the analysis of decentralization and devolution in natural resources management. Berlin: The XXIV. International Conference of Agricultural Economist. Bishop JT Valuing Forests : A Review of Methods and Applications in Developing Countries. London (UK): International Institute for Environment and Development. Bishop RC Endangered species and uncertainty: The economics of a safe minimum standard. American Journal of Agricultural Economics 60(1): Borrini-Feyerabend G Co-management of Natural Resources: Organising, Negotiating and Learning by Doing. Yaounde Cameroon: IUCN. Bowles S, Gintis H Social capital and community governance. The Economic Journal 112(2): Budiaman Strategi adaptasi masyarakat nelayan dalam menghadapi masa lanjut usia: Studi kasus di Kelurahan Paoman Indramayu Jawa Barat. [tesis]. Depok (ID): Universitas Indonesia. Budiarjo M Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama. Bungin B Analisis Data Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta (ID): Raja Grafindo Persada. Bungin J. Weber HF Perencanaan Ekowisata. Yogyakarta (ID) : Penerbit Andi. Chapman D Management of national parks in developing countries: a proposal for an international park service. Ecological Economics 46:1-7. Coleman JS Social capital in creation of human capital. The American Journal of Sociology 94(3): Coleman JS Foundations of social theory. Cambridge MA: Belknap Press of Harvard University Press.

152 134 Colfer CJP, Wadley RL, Venkateswarlu P Understanding local people's use of time: a precondition for good co-management. Environmental Conservation 26(1): Darusman D Komparasi Antar Usaha Kehutanan. Dalam: Darusman D, editor. Resiliensi Kehutanan Masyarakat Indonesia. Yogyakarta (ID): Debut Press. Darusman D Pembenahan Kehutanan Indonesia. Bogor (ID): Laboratorium Politik Ekonomi dan Sosial Kehutanan, Fakultas Kehutanan IPB. Darusman D, Widada Konservasi Dalam Perspektif Ekonomi Pembangunan. Jakarta (ID): JICA - Ditjen PHKA Departemen Kehutanan. Dasgupta P Social Capital and Economic Performance: Analytics. Cambridge (UK): University of Cambridge. Davis LS, Johnson KN Forest Management 3 rd Edition. New York (US): Mc Graw-Hill Book Company. David E, Wollenberg E, Dachang L Introduction. Di dalam: Local Forest Management, The Impacts of Devolution Policies. London (UK): Earthscan. De Groot RS, Wilson M, Boumans R A typology for the description, classification and valuation of ecosystem services, goods and services. In: The dynamics and value of ecosystem services: Integrating economic and ecological perspectives. Special issue of Ecological Economics 41(3): De Groot RS, de Wit M, Gaddis EJB, Kousky C, McGhee W,Young MD Making restoration work: financial incentives. In: Aronson, James, Milton, Suzanne J, Blignaut, James N, editors. Restoring Natural Capital: Science, Business and Practice. Washington (US): Island Press pp Dennis R, Colfer CJP, Puntodewo A Forest cover change analysis as a proxy: sustainability assessment using remote sensing and GIS in West Kalimantan, Indonesia. In: Colfer CJP, Byron Y, editor. People managing forests: the links between human wellbeing and sustainability. Washington DC (US): Resources for the Future/Center for International Forestry Research pp Dompka V. editors Human Population, Biodiversity and Protected Areas: Science and Policy Issues. Washington DC (US): American Association for the Advancement of Science. De Soto H The Other Path (Masih ada jalan lain). Revolusi Tersembunyi di Negara Ketiga terjemahan oleh Masri Maris. Edisi ke-2. Jakarta (ID): Yayasan Obor Indonesia. Dudley RG The Fishery of Danau Sentarum Willife Reserve. West Kalimantan. Indonesia. Bogor (ID): World Bank. Dunggio I, Gunawan H Telaah sejarah kebijakan pengelolaan taman nasional di Indonesia. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan 6(1): Dunn WN Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Edisi Kedua. Yogyakarta (ID): Gadjahmada University Press. Dressler WH, Kull CA, Meredith TC The politics of decentralizing national parks management in the Philippines. Political Geography 25(3):

153 135 Fauzi A Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka Utama. Fedel G, Feeny D Land tenure and property rights: Theory and implications for development policy. The World Bank Economic Review (Vol. 5). Field BC Environmental Economics: An Introduction. US: Mc-Graw Hill, Inc. Fisher S Mengelola Konflik : Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak. Jakarta (ID): SMK Grafika Desa Putra. Fisher RJ Decentralization and devolution in forest management: A conceptual overview. Di dalam Enters T, Victor M, Durst P. editor. Decentralization and Devolution of Forest Management in Asia and the pacific. Bangkok (TH): RECOFTC Report No. 18. Fletcher A, Guthrie J, Steane P, Roos G, Pike S Mapping stakeholder perception for a third sector organization. Journal of Intellectuak Capital 4(4): Flint CG, Luloff AE Natural resource-based communities, risk, and disaster: An intersection of theories. Society and Natural Resources, 18: Fraser A Making Forest Policy Work. Netherlands: Kluwer Academic Publisher. Fukuyama F State-Building: Governance and World Order in the 21 st Century. Cornell University Press. Gachter S, Herrmann B, Thoni C Trust, voluntary cooperation, and socioeconomic background: Survey and experimental evidence. Journal of Economic Behavior and Organization 44 (1): Giesen W, Aglionby J Introduction to Danau Sentarum National Park, West Kalimantan. Borneo Research Bulletin 31:5-28. Golar Strategi adaptasi masyarakat Adat Toro. Kajian kelembagaan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan di taman nasional Lore Lindu Provinsi Sulawesi Tengah [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Gordon CJ From vision to policy: A role for forester. Journal of Forestry 92(7): Grootaert C, Narayan D, Jones Vn, Woolcock M Integrated Questionnaire for the Measurement of Social capital (SC-IQ). Washington DC (US): World Bank. Grootaert C, van Bastelaer T Social capital: From definition to measurement. In: C Grootaert van Bastelaer T, editor. Understanding and measuring social capital: A multidisciplinary tool for practitioners. Washington DC (US): The World Bank. Groot RD, Robert C, Ralph A The Value of the World Ecosystem Services and Natural Capital. Economic Values and the Natural World. London (UK): Earthscan. Handayani NW Valuasi ekonomi dan mekanisme insentif Taman Nasional Danau Sentarum. [tesis]. Depok (ID): Universitas Indonesia. Hanley N, Ruffell RJ The contingent valuation of forest characteristics: two experiments. Journal of Agricultural Economics 44:

154 136 Harada K, Muzakkir A, Rahayu M, Widada Traditional people and biodiversity conservation in Gunung Halimun National Park. Report of Research and Conservation of Biodiversity in Indonesia Vol. VII. Bogor: Biodiversity Conservation Project, Pusat Konservasi Alam Departemen Kehutanan, JICA and LIPI. Hartwick JM, Olliver ND The Economics of Natural Resources Use. Massachussetts: Addison Wesley Educational Publisher Inc. Harwell EE, Lynch OJ Whose Resources? Whose Common Good? Towards a New Paradigm of Environmental Justice and the National Interest in Indonesia. Washington DC (US): Center for International Environmental Law (CIEL). Harwell EE Law and Culture in Resource Management: An Analysis of Local Systems for Resource Management in the Danau Sentarum Wildlife Reserve, West Kalimantan, Indonesia. Indonesia-UK Tropical Forest Management Programme and Wetlands International Indonesia Programme. Hendarto KA Pendekatan penilaian ekonomi sumberdaya kawasan konservasi. Buletin Penelitian dan Pengembangan Kehutanan 2(2): Heri V, Yuliani EL, Indriatmoko Y Interacting threats and challenges in protecting Danau Sentarum. Borneo Research Bulletin. [internet]. [diacu 2012 Mei 30]. Tersedia dari: +threats+and+challenges+in+protecting+danau+sentarum.-a Hidayati RD, Tambunan CCH, Nugraha A, Amunudin I Pemberantasan Illegal Logging dan Penyelundupan Kayu. Tangerang-Banten (ID): Wana Aksara. Hitt MA, Ireland RD, Hoskisson RE Strategic management: Competitiveness and Globalization. 6 th ed. Lodon (UK): Thomson. Holmes-Watts T, Watts S Legal frameworks for and the practice of participatory natural resources management in South Africa. Forest Policy and Economics 10: Ikhsan E, Zulkifli L, Arif, Marasamin R, Syafaruddin S, Melvani Y, Yusriwiyati Dari Hutan Rarangan ke Taman Nasional. Potret Komunitas Lokal di Sekitar Taman nasional Batang Gadis. Medan (UK): Universitas Sumatera Utara Press. Indriatmoko, Y. dan Abas M 2007 Report of Social Economic Survey in Danau Sentarum National Park. Unpublished documentation. Indriatmoko, Y Mengubah air menjadi api: upaya masyarakat rumah panjang Sungai Pelaik membuat pembangkit listrik tenaga mikro-hidro. In: Mendorong konservasi yang bermanfaat bagi masyarakat lokal. CIFOR- Riak Bumi Newsletter 3. [internet] [diacu 2013 Mei 30]. Tersedia dari: TNDNews3.pdf. Indriatmoko Y Rapid human population growth and its impacts on Danau Sentarum. Borneo Research Bulletin. [internet]. [diacu 2012 Mei 30]. Tersedia dari: population +growth+and+its+impacts+on+danau+sentarum.-a Iosifides T, Lavrentiadou M, Petracou E, Kontis A Forms of social capital and the incorporation of Albanian immigrants in Greece. Journal of Ethic and Migration Studies 33(8):

155 137 Isham J Can investments in social capital improve well-being in fishing communities? A theoretical perspective for assessing the policy options. Paper presented at IIFET Conference. Corvallis (US): July Iskandar J Ekologi Perladangan di Indonesia, Studi kasus dari daerah Baduy, Banten Selatan Jawa Barat. Jakarta (ID): Djambatan. Irawan S Metode Penelitian Sosial. Bandung (ID): Rineka Cipta. IUCN Guidelines for protected Areas Management Categories, IUCN Commissions on National Parks and Protected Areas (CNPPA)-World Conservation Monitoring Centre (WCMC). UK: Gland - Switzerland and Cambridge. IUCN. World Commision on Protected Areas Financing protected areas. In: Philips A, editor. Guidelines for protected area managers. Best Practice Protected area Guidelines vol 5. UK: Gland, Switzerland. James RF Wetland Valuation : Guidelines and Techniques. Bogor: Asian Wetland Bureau-Indonesia. Jeanes K, Meijaard E Danau Sentarum wildlife part 1: biodiversity value and global importance. Borneo Research Bulletin 31: Juanda B Metode Penelitian Ekonomi. Bogor (ID) : IPB Press. Kartodihardjo H Kebijakan Pengelolaan Hutan: Perumusan kebijakan dan implementasinya. Bahan Pelatihan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah. Topik: Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Hutan. Jakarta (ID): Kementerian Lingkungan Hidup. Kassa S Konsep pengembangan co-management untuk melestarikan Taman Nasional Lore Lindu. [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Kementerian Kehutanan Road Map Pembangunan Kehutanan berbasis Taman Nasional. Jakarta. Klepper O A Hydrological model of the upper Kapuas River and the Kapuas Lakes. Bogor (ID): Consultancy Report for the Asian Wetland Bureau/PHPA for the UK-Indonesia Tropical Forestry Management Programme. Kosmaryandi N Pengembangan Zonasi Taman Nasional: Sintesis Kepentingan Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Kehidupan Masyarakat Adat [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Kottelat M, Widjanarti E The fishes of Danau Sentarum National Park and the Kapuas lakes area, Kalimantan Barat, Indonesia. The Raffles Bulletin of Zoology 13: Kusdamayanti Peran masyarakat dalam penyusunan kebijakan pola kemitraan pengelolaan hutan di kabupaten Malang. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan 5(2): Kuswijayanti ER, Darmawan AH, Kartodihardjo H Krisis-krisis sociopolitico-ecology di kawasan konservasi: Studi ekologi politik di Taman Nasional Gunung Merapi. Soladity 1(1): Landell-Mills N, Porras IT Silver Bullet or Fool's Gold? A Global Review of Markets for Environmental Services and their Impact on the Poor. London (GB): IIED. Lubell M Environmental activism as collective action. Environment and Behavior 34 (4):

156 138 Manan S Pengaruh Hutan dan Manajemen Daerah Aliran Sungai. Bogor (ID): IPB Fakultas Kehutanan Departemen Manajemen Hutan. Means KC, Josayma E, Nielsen, Vitoonviriyasakultorn Kolaborasi dan konflik. Dalam: Supahardjo, editor Manajemen Kolaborasi: Memahami Pluralisme Membangun Konsesnsus. Bogor (ID): Pustaka Latin. Merrill, Effendi. editor Memperkuat Pendekatan Partisipatif dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi di Era Transisi dan Otonomi Daerah. Beberapa Pelajaran Menarik dari Program NRM/EPIQ. Jakarta (ID): Natural Resources Management Program. Meyers J Analisis kekuatan stakeholders. Dalam: Supahardjo, editor Manajemen Kolaborasi: Memahami Pluralisme Membangun Konsesnsus. Bogor (ID): Pustaka Latin. Mitchell RC, Carson RT Using Surveys to Value Public Goods: The Contingent Valuation Method. Resources for the Future. Washington DC (US). Miller E, Buys L The impact of social capital on residential water-affecting behaviors in drought-prone Australian community. Society and Natural Resources 21(3): Muda YTD Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keputusan petani dalam memilih pola agroforest Napu : Kasus di daerah penyangga Taman Nasional Kelimutu, Kabupaten Ende-Provinsi NTT. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Munasinghe M, McNeely J, editor Protected Area Economics and Policy. Geneva and Washington DC (US): World Conservation Union (IUCN) and World Bank Munasinghe M. editor Environmental Economics and Natural Resource Management. Washington DC (US): World Bank and CIDIE. Nazir M Metode Penelitian. Jakarta (ID): PT Ghalia Indonesia. Nikijuluw VPH Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Jakarta(ID): P3R. NRTEE Sustainable strategies for oceans: a co-management guide. Ontario (Canada): National Round Table on the Environment and the Economy. Niskanen A Value of external environmental impacts of reforestation in Thailand. Ecological Economics 26: Nugroho R Public Policy. Jakarta (ID): Elex Media Komputindo Nugroho B, Kartodihardjo H Kelembagaan PES: Permasalahan, Konsep dan Implementasi. Makalah pada Lokakarya Payment on Environmental Services(PES): Pengarusutamaan Imbal Jasa Lingkungan di Indonesia: Tren dan Dinamikanya. Bogor (ID): 3-4 Agustus Nurrochmat DR The Impact of Regional Autonomy on Political Dynamics, Socio-Economics and Forest Management: Case of Jambi-Indonesia. Göttingen: Institute of Forest Policy and Natural Conservation. Germany: Georg-August University of Goetiingen,. xvi+226p. ISBN Nurrochmat DR Dasar-dasar Valuasi Ekonomi. Bahan Pelatihan Penyusunan PDRB Hijau Departemen Kehutanan. Bogor (ID): Laboratorium Politik Ekonomi dan Sosial Kehutanan IPB.

157 139 Nurrochmat DR, Krott M, Birner R Decentralization policy and the struggle for authority over forest resources in Tebo Regency, Jambi. Jurnal Manajemen Hutan Tropika 12(2): Ostrom E Governing the Commons: The Evolution of Institutions for Collective Action. Cambridge: Cambridge University Press. Ostrom E, Schlager E The formulation of property rights. Di dalam Hanna SS, Folke C, Maler KG. editor. Rights to Nature. Wahington DC (US): Island Press. Padge A, Kim Y, Daugherty PJ What makes community forest management successful: A meta-study from community forests throughout the world. Society and Natural Resources 19: Pearce DW Economic Valuation and the Natural World. New York: The World Bank. Pearce DW, Turner RK Economics of Natural Resources and the Environment. Hemel Hempstead: Harvester Wheatsheaf. Pirard R Pulpwood plantation as carbon sinks in Indonesia: Methodological challenge and impact on livelihood. In: Mudiyarso D, Herawati H, editor. Carbon Forestry: Who Will Benefit? Proceeding of Workshop on carbon Sequestration and Sustainable Livelihoods. Bogor (ID): Center for International Forestry Research. Pokja Kebijakan Konservasi Konservasi Indonesia Sebuah Potret Pengelolaan dan Kebijakan. Santosa A, editor. Jakarta (ID): Pokja Konservasi. Portes A Social capital: Its origins and applications in modern sociology. Annual Review of Sociology 24:1-24. Powell L, White A, Landell-Mills N Developing Markets for the Ecosystem Services of Forests. Washington DC (US): Forest Trends. Pranadji T Penguatan modal sosial untuk masyarakat pedesaan dalam agroekosistem lahan kering. Jurnal Agro Ekonomi 24: Prasetianartati B, Fauzi A, Dahuri R, Fahrudin A, Lange H [internet]. [diacu 2010 April 21]. Tersedia dari: Pretty J Social capital and the collective management of resources. Science 302: Purwanti F Konsep co-management taman nasional Karimunjawa. [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Putnam RD, Leonardi R, Nonetti RY Making democracy work : Civic tradition in modern Italy. New Jersey (US): Princenton University Press. Putnam RD The prosperous community social capital and public life. The American Prospect 4:1-11. Putnam RD Bowling alone: America s declining social capital. Journal of Democracy 6(1): Putnam RD Bowling alone: The collapse and revival of American community. New York (US): Simon & Schuster Paperbacks. Putro HR, Supriatin, Sunkar A, Rossanda D, Prihatini ER Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia. Kementerian Kehutanan RI JICA. Bogor : Percetakan IPB.

158 140 Reed SM, Graves A, Dandy N, Posthumus H, Huback K, Morris J, Prell CH, Quin CH, Stringer LC Who s in and why? A typology of stakeholder analysis methods for natural resources management. Journal of Environmental Management 30:1-17. Riak Bumi Timang Badul. Dalam: Suara Bekakak edisi 4. Berita Triwulan Taman Nasional Danau Sentarum. Pontianak (ID): Riak Bumi. Ribot JC Democratic Decentralization of Natural Resources: Institutionalizing Popular Participation. World Resources Institute. Rinawati R Modal sosial masyarakt dalam pembangunan hutan rakyat di Sub DAS Cisadane Hulu. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Rositah E Kemiskinan masyarakat desa sekitar hutan dan penanggulangannya: Studi kasus di Kabupaten Malinau. Governance Brief. Agustus No 14. Bogor (ID): Center for International Forestry Research. Roslinda E, Yuliantini The economic value of hydrological services in Mendalam Sub watershed, Kapuas Hulu, West Kalimantan, Indonesia. Paper presented in International Conference of Indonesian Forestry Researchers. Collaboration FORDA, FORDEF and GAForN, Bogor tanggal 5-7 Desember Rosyadi S, Birner R, Zeller M Creating political capital to promote devolution in the forestry sector A case study of the forest communities in Banyumas District, Central Java, Indonesia. Forest Policy and Economics 7(2): Sagoff M Aggregation and deliberation in valuing environmental public goods: a look beyond contingent pricing. Ecological Economics 24: Salm RV, Clark JR, Siirila E Marine and Coastal Protected Areas: a Guide for Planner and Managers. Third Edition. Gland, Switzerland: International Union for Conservation of Nature and Natural Resources. Satria A, Matsuda Y, Sano M Questioning community based coral reef management systems: Case study of Awig-Awig in Gili Indah, Indonesia. Environment, Development and Sustainability 8: Seregeldin I, Gootaert C Defining social capital: an integrating view. In: Dasgupta P, Serageldin I, editor. Social Capital a Multifaceted Perspective. Washington DC (US): The World Bank. The International Bank for Reconstruction and Development. Silverstein D, Samuel P, de Carlo N The Innovator s Toolkit Techniques for Predictable and Sustainable Organic Growth. New Jersey (US): John Wiley and Sons Inc. Singarimbun N, Effendi S. editor Metode Penelitian Survey. Jakarta (ID): LP3ES. Soule' ME, Sanjayan MA Conservation targets: Do they help? Science 279: Soekmadi R National park management in Indonesia, focused on the issues of decentralization and local participation. [dissertation]. Goettingen (Germany): Faculty of Forestry Science and Forest Ecology, Georg-August University of Goettingen.

159 141 Suharjito D, Khan A, Djatmiko WA, Sirait MT, Evelyna S Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat. Kerjasama FKMM-Ford Foundation. Yogyakarta (ID): Adityamedia. Suharjito D, Saputro GE Modal sosial dalam pengelolaan sumberdaya hutan pada masyarakat Kasepuhan, Banten Kidul. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan 5 (4): Suharjito D Devolusi pengelolaan hutan di Indonesia: Perbandingan Indonesia dan Philipina. Jurnal Manajemen Hutan Tropika 15(3): Suharto E Analisis Kebijakan Publik: Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial. Bandung (ID): Alfabeta. Suharto E Modal sodial dan kebijakan publik. [internet]. [diacu 2013 Februari 15]. Tersedia dari: modal_sosial_dan_kebijakan_sosial.pdf. Suhendang E Kemelut dalam Pengurusan Hutan. Sejarah Panjang Kesenjangan antara Konsepsi Pemikiran dan Kenyataan. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Suparmoko M Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan: Suatu Pendekatan Teoritis. Edisi keempat. Yogyakarta (ID): BPFE. Supranto J Statistik, Teori dan Aplikasi. Tulus S, Ali S, editor. Edisi 6 Cetakan Pertama. Jakarta (ID): Erlangga. Suyanto S, Leimona B, Permana RP, Chandler FJC Review of the development environmental services market in Indonesia. Bogor (ID): World Agroforestry Centre (ICRAF). Suyuti M Modal sosial dalam pengelolaan hutan kemiri rakyat di Kabupaten Maros Sulawesi Selatan. [disertasi]. Makassar (ID): Universitas Hasanuddin. Tadjudin Manajemen Kolaborasi. Bogor (ID): Pustaka Latin. Taylor J The ethical foundation of the matket. In: Ostrom V, Feeny D, Picht H, editor. Rethingking Institutional Analysis and development; Issue, Alternative, and Choices. San Francisco, California (US): Institute for Contemporary Studies Press. Telfer WR, Garde MJ Indigenous Knowledge of Rock Kangaroo ecology in Western Arnhem Land, Australia. Human Ecology 34(3): The Project on Environmental Scarcities, State Capacity, and Civil Violence [internet]. [diacu 2011 Juli 23]. Tersedia dari: Tietenberg T Innovation in Environmental Policy : Economic and Legal Aspects of Recent Development in Environmental Enforcement and Liability. Vermont (US): Edwar Elgar. Tonn BE, Peterson GL, Brown T Using Citizen Juries for Natural Resource Management. Mimeo. Turner RK, Pearce D, Bateman I Environmental Economics. London: Harvester Wheatsheaf. Uphoff N Understanding social capital : Learning from the analisis and experience of participation. In: Dasgupta P, Serageldin I, editor. Social Capital a Multifaceted Perspective. Washington DC (US): The World Bank. The International Bank for Reconstruction and Development.

160 142 Verweij P Innovative financing mechanisms for conservation and sustainable management of tropical forests. Issues and perspectives. Understanding and capturing the multiples values of tropical forest. Proceedings of the International Seminar on Valuation and Innovative Financing Mechanisms in Support of Conservation and Sustainable Management of Tropical Forest. Paper Commissioned by Tropenbos International, Wageningen. Wadley RL Circular labor migration and subsistence agriculture: A case of the Iban in West Kalimantan, Indonesia. [dissertation]. Tempe (US): Arizona State University. Wadley RL, Colfer CJP, Dennis R, Aglionby J The social life of conservation: lesson from Danau Sentarum. Ecology and Society 15(4):39. [internet]. [diacu 2012 Juni 5]. Tersedia dari: vol15/iss4/art39/ Well M, Gutggenheim S, Khan A, Wardojo W, Jepsen P Investigating in Biodiversity: a Review of Indonesia s Integrated Conservation and Development Projects. Washinton DC (US): The World Bank East Asia Region. Whitmore TC Tropical Rain Forest. Oxford (UK): Clarendon Press. Widada Nilai manfaat ekonomi dan pemanfaatan Taman Nasional Gunung Halimun bagi masyarakat. [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Wickham T Two years of community-based participation in wetland conservation. A review of the activities and challenges of the Danau Sentarum National Park Conservation Project, West Kalimantan, Indonesia. Indonesia-UK Tropical Forest Management Programme, Project 5 Forest Conservation. Wetlands International Indonesia Programme/Danau Sentarum Wildlife Conservation Project. Willis K, Garrod G Amenity value of forests in Great Britain and its impact on the internal rate of return. Journal of Forestry 65: Winarno B Pertarungan Negara vs Pasar. Yogyakarta (ID): Media Pressindo. Wiratno DI, Syarifudin A, Kartikasari A Berkaca di Cermin Retak. Refleksi Konservasi dan Implikasi Bagi Pengelolaan Taman Nasional. Jakarta (ID): The Gibbon Fundation-Indonesia, PILI-NGO Movement. Wittmer H, Regina B Between conservationism, eco-populism and developmentalism: Discourses in biodiversity policy in Thailand and Indonesia. International Food Policy Research Institute Woolcock M, Narayan D Social capital: Implications for development theory, research, and policy. World Bank Research Observer 15(2): WWF-Indonesia Kemitraan Dalam Pengelolaan Taman Nasional. Pelajaran untuk Transformasi Kebijakan. Jakarta (ID): WWF-Indonesia. WWF-Indonesia Profit Heart of Borneo. Jakarta (ID): WWF-Indonesia. [23 Juli 2011]. Yasmi Y, Colfer CJP, Yuliani EL, Indriatmoko Y, Heri V Conflict management approaches under unclear boundaries of the commons: Experiences from Danau Sentarum National Park, Indonesia. International Forestry Review 9 (2):

161 143 Yasmi Y, Colfer CJP Forestry and fishery conflict in Danau Sentarum: application of an impairment approach. Borneo Research Bulletin. [internet]. [diacu 2012 Mei 30]. Tersedia dari: com/8.+forestry+and+fishery+conflict+in+danau+sentarum%3a+applicatio sn+of+an...-a Yukl GA Kepemimpinan dalam Organisasi. Udaya J, penerjemah. New Jersey: Prentice-Hall Inc. Terjemahan dari: Leadership in Organizations. Yuliani EL, Indriatmoko Y, Heri V Apa yang terjadi jika Danau Sentarum dibendung? CIFOR-Riak Bumi Newsletter 1(2): Yuliani EL Hutan dan Kesehatan Manusia. CIFOR Infobrief No. 11(b). Zhou DQ, Grumbine RE National parks in China: Experiments with protecting nature and human livelihoods in Yunnan province, Peoples Republic of China (PRC). Biological Conservation 144:

162 144 Lampiran 1 Perhitungan nilai ekonomi perikanan tangkap Pendekatan Harga ikan dihitung dengan menggunakan pendekatan langsung (harga pasar) terbatas jenis ikan tertentu yang diusahakan untuk dijual, yaitu dengan rumus sebagai berikut: HI = VI x hj Dimana: HI = harga ikan (Rp,-) VI = volume ikan yang dihasilkan (kg) hj = harga ikan yang di pasarkan (Rp) Nilai pengganda yang digunakan adalah potensi ikan yang ada di lokasi penelitian. Secara umum nilai ekonomi untuk perikanan tangkap di TNDS secara keseluruhan adalah sebagai berikut: Tabel Informasi dan data yang digunakan untuk nilai ekonomi perikanan tangkap TNDS No. Uraian Nilai Satuan Keterangan 1 Jumlah kepala keluarga di TNDS KK Informasi 2 Volume ikan yang didapat 5 Kg/hari Asumsi 3 Harga ikan Rp,-/kg Informasi 4 Biaya Produksi Rp,-/KK/tahun Asumsi 5 Efektif kegiatan dalam setahun 300 hari Asumsi Jika diasumsikan setiap KK dapat memperoleh ikan 5 kg per hari maka nilai ekonomi perikanan di TNDS adalah sebesar Rp ,-/tahun atau sebesar Rp ,56/ha/tahun. Tabel Hasil perhitungan nilai ekonomi ikan tangkap di TNDS No Uraian Perhitungan Hasil 1 Nilai Ekonomi Ikan Tangkap per Tahun (jumlah KK x pendapatan ikan per hari x hari dalam setahun x harga ikan di pasar) (biaya produksi) (1.835 x 5 x Rp x 300) (Rp x 1835) Rp ,-

163 145 Lampiran 2 Perhitungan nilai ekonomi karet Nilai getah karet diduga dari potensi getah karet yang ada di dalam kawasan TNDS dan dikalikan dengan harga getah karet yang berlaku di pasar, yaitu dengan rumus sebagai berikut: HG = VG x hg Dimana: HG = harga getah karet (Rp,-/kg) VG = potensi getah karet (kg) hg = harga getah karet di pasar (Rp,-/kg) Tabel Informasi dan data yang digunakan No. Uraian Nilai Satuan Keterangan 1 Jumlah kepala keluarga 116 KK Informasi masyarakat Dayak di TNDS 2 Volume getah karet yg 15 kg/hari Informasi didapat 3 Harga karet di pasar Rp,-/kg Informasi 4 Biaya Produksi Rp,-/KK/tahun Asumsi 5 Biaya Transportasi Rp/trip Asumsi 6 Efektif kegiatan dalam 180 Hari Asumsi setahun Tabel Hasil perhitungan nilai ekonomi getah karet di TNDS No Uraian Perhitungan Hasil 1 Nilai ekonomi getah karet per tahun (jumlah KK x pendapatan getah karet per hari x efektif kegiatan dalam setahun x harga getah karet di pasar) (jumlah KK x biaya produksi) (jumlah KK x biaya transportasi x jumlah penjualan ke Lanjak) (116 x 15 x 180 x Rp ,-) (116 x Rp ,-) (116 x Rp x 26) Rp , - Berdasarkan data dan perhitungan yang telah dilakukan maka nilai ekonomi karet untuk TNDS secara keseluruhan adalah sebesar Rp /tahun atau sama dengan Rp ,06/ha/tahun.

164 146 Lampiran 3 Perhitungan nilai ekonomi padi ladang Nilai padi ladang diduga dari potensi ladang yang ada di dalam kawasan TNDS dan harga beras yang berlaku di pasar, yaitu dengan rumus sebagai berikut: HL = VL x hl Dimana: HL = harga beras (Rp,-/kg) VL = potensi hasil ladang (kg) hl = harga beras di pasar (Rp,-/kg) Tabel Informasi dan data yang digunakan No. Uraian Nilai Satuan Keterangan 1 Jumlah kepala keluarga yang 116 KK Informasi memiliki ladang 2 Jumlah hasil panen per tahun 300 gantang Asumsi 3 Harga beras ladang di pasaran Rp,- /gantang Informasi (1 gantang = 2,5 kg) 4 Biaya Produksi Rp,-/ha/ Asumsi KK/thn 5 Luas pertanian lahan kering di TNDS 2.266,51 ha Informasi Tabel Hasil perhitungan nilai ekonomi ladang di TNDS No Uraian Perhitungan Hasil 1 Nilai Ladang per Tahun (jumlah KK x jumlah hasil panen per tahun x harga beras di pasar) (jumlah KK x biaya produksi) (116 x 300 x Rp ,-) (116 x Rp ,-) Rp ,- Berdasarkan hasil perhitungan maka nilai ekonomi hasil ladang di TNDS sebesar Rp /tahun atau sama dengan Rp ,01/ha/tahun.

165 147 Lampiran 4 Perhitungan nilai ekonomi kayu bakar Untuk menghitung nilai ekonomi kayu bakar digunakan pendekatan dengan menggunakan biaya pengadaan. Karakteristik masyarakat Pendekatan dengan biaya pengadaan sangat ditentukan oleh karakteristik sosial ekonomi masyarakat pengguna suatu komoditi. Adapun karakteristik sosial ekonomi pencari dan pengguna kayu bakar dari masyarakat di TNDS disajikan pada tabel berikut: Tabel Karakteristik sosial ekonomi pencari dan pengguna kayu bakar Uraian Satuan Rata-rata Minimum Maksimum Konsumsi kayu bakar Biaya pengadaan Pendapatan Umur KK Pendidikan KK Jumlah agt keluarga Frekuensi memasak (m 3 /kk/tahun) (Rp/m 3 /tahun) (Rp/bulan) (Tahun) (Tahun) Orang (kali/hari) 8, ,033 6,539 4,189 2,056 5, ,000 1,000 1,000 1,000 12, ,000 16,000 11,000 3,000 Nilai Ekonomi Berdasarkan data dan hasil perhitungan menggunakan regresi linier berganda maka diperoleh model kurva permintaannya adalah : Y = X X X X X X6 Penghitungan total kesediaan berkorban, nilai yang dikorbankan dan surplus konsumen pengguna kayu bakar dilakukan dengan menggandakan nilai tersebut dengan jumlah penduduk di TNDS dan diasumsikan kebutuhan kayu bakarnya dipenuhi oleh TNDS. Adapun ringkasan hasil perhitungan adalah sebagai berikut: Tabel Perhitungan nilai ekonomi kayu bakar di TNDS Nilai Ekonomi Rata-rata (Rp/kk/tahun) Populasi Nilai Total (Rp/kk/tahun) Kesediaan berkorban 266, ,50 Nilai yang dikorbankan -16, ,50 Surplus konsumen 283, ,75 Untuk penghitungan nilai ekonomi total akan digunakan nilai surplus konsumen yang diperoleh. Maka nilai ekonomi kayu bakar untuk TNDS adalah Rp 25,22/ha/tahun.

166 148 Lampiran 5 Perhitungan nilai ekonomi air rumah tangga Untuk menduga nilai ekonomi air pada jasa air untuk rumah tangga ini dilakukan dengan melakukan kalkulasi terhadap air yang digunakan oleh rumah tangga. Pemakaian air untuk rumah tangga terdiri dari kebutuhan untuk memasak, mandi dan mencuci, serta kakus. Tabel Perhitungan estimasi konsumsi air rumah tangga di TNDS Variabel Data Satuan Keterangan 144 liter/orang/ hari Rata-rata konsumsi air/orang/hari Rata-rata konsumsi air / rumahtangga/hari 576 liter/hari/ rumahtangga Total konsumsi air/ tahun liter/tahun/ rumah tangga Harga air 2495 IDR/m IDR/liter Hasil survey Direktorat Pengembangan Air Minum Ditjen Cipta Karya x 4 (rata-rata jumlah anggota rumah tangga di TNDS) 1835 x 576 x 365 Berdasarkan data PDAM (2010): distribusi air bersih di kabupaten Kapuas Hulu adalah m 3 /tahun dengan nilai air Rp Nilai air Rp/tahun x 2,5 Tabel di atas menyajikan nilai air saat penelitian untuk konsumsi rumah tangga di TNDS adalah sebesar Rp /tahun atau setara dengan Rp 7.306,64/ha/tahun.

167 149 Lampiran 6 Perhitungan nilai ekonomi air transportasi Harga atau upah jasa yang dilakukan dihitung dengan menggunakan pendekatan langsung (harga pasar) yaitu dengan rumus sebagai berikut: NAT = JB x hb Dimana: NAT = nilai jasa transportasi (Rp,-/orang) JB = jumlah bensin yang digunakan (liter) hb = harga bensin (Rp,-/liter) Jika dihitung secara keseluruhan TNDS maka nilai air untuk transportasi saat penelitian adalah sebagai berikut: Tabel Informasi dan data yang digunakan No. Uraian Nilai Satuan Keterangan 1 Rata-rata bahan bakar untuk kegiatan 5 liter/hari Informasi memancing dan lainnya sehari-hari 2 Rata-rata bahan bakar untuk ke ibukota 20 liter/bulan Informasi kecamatan terdekat dari masing-masing SPTN untuk urusan keluarga dll 3 Harga bahan bakar 9000 Rp Informasi 4 Jumlah kepala keluarga di TNDS 1835 KK Informasi 5 Efektif hari kerja dalam setahun 350 Hari Asumsi 6 Jumlah bulan dalam setahun 12 bulan Informasi Jika diasumsikan setiap KK bekerja selama 350 hari maka nilai ekonomi air untuk transportasi di TNDS saat penelitian adalah sebesar Rp ,-/tahun atau sebesar Rp ,14/ha/tahun. Tabel Hasil perhitungan nilai ekonomi air transportasi di TNDS No Uraian Perhitungan Hasil 1 Nilai Ekonomi Air Transportasi (jumlah KK x bahan bakar untuk kegiatan sehari-hari x hari dalam setahun x harga bahan bakar) + (jumlah KK x bahan bakar untuk kegiatan sehari-hari x hari dalam setahun x harga bahan bakar) (1835 x 5 x Rp x 350) + (1835 x 20 x Rp x 12) Rp ,-

168 150 Lampiran 7 Perhitungan nilai ekonomi air untuk perikanan budidaya Harga ikan budidaya dihitung dengan menggunakan pendekatan langsung (harga pasar) terbatas jenis ikan tertentu yang diusahakan untuk dijual, yaitu dengan rumus sebagai berikut: HI (1,2,3,..n) = VI x hj Dimana: HI = harga ikan (Rp,-/jenis) VI = volume ikan yang dihasilkan (kg/jenis) hj = harga ikan yang di pasarkan (Rp,-/jenis ) Nilai pengganda yang digunakan adalah jumlah keramba yang ada di lokasi penelitian. Tabel Informasi dan data yang digunakan No. Uraian Nilai Satuan Keterangan 1 Jumlah kepala keluarga di TNDS KK Informasi 2 Jumlah kepemilikan keramba 3 Buah Informasi 3 Harga ikan di dalam keramba Rp,-/kg Informasi 4 Biaya modal Rp,-/KK/tahun Informasi Berdasarkan data tersebut maka nilai ekonomi perikanan budidaya di TNDS saat penelitian adalah sebesar Rp ,-/tahun atau sama dengan Rp ,79/ha/tahun. Tabel Hasil perhitungan nilai ekonomi ikan budidaya di TNDS No Uraian Perhitungan Hasil 1 Nilai Ekonomi Ikan budidaya per Tahun (jumlah KK x jumlah keramba x hari dalam setahun x harga ikan di keramba) (biaya modal) (1.835 x 3 x Rp , (Rp ,- x x 3) Rp ,-

169 151 Lampiran 8 Perhitungan nilai ekonomi simpanan karbon Pendekatan yang digunakan untuk menghitung nilai ekonomi karbon adalah dengan harga pasar. Penentuan nilai karbon dalam penelitian ini difokuskan pada simpanan karbon dalam tanah gambut yang terdapat pada hutan rawa gambut. Penentuan ini mengacu pada skema pembayaran nilai serapan karbon berdasarkan pada UNFCC dimana taman nasional dan hutan lindung tidak masuk dalam skema pembayaran nilai serapan karbon, sehingga nilai karbon dinilai hanya berdasar pada simpanan karbon yang ada di hutan rawa gambut. Untuk nilai atau harga karbon digunakan pendekatan harga karbon hipotetis. Penentuan nilai karbon dilakukan dengan rumus sebagai berikut: NSc = ({Lg x Kcg} x Hc Dimana: NPc = nilai simpanan karbon (Rp,-) Lg = luas gambut (ha) Kcg = kemampuan menyimpan karbon di gambut (ton/ha) Hc = harga karbon (Rp,-/ton) Tabel Informasi dan data yang digunakan No. Uraian Nilai Satuan Keterangan 1 Luas Total Kawasan Ha Informasi 2 Luas Hutan Rawa Gambut Ha Informasi 3 Simpanan karbon hutan rawa gambut di Ton/Ha Informasi TNDS (Anshari dan Armiyarsih 2005) 4 Harga Karbon/ton (Pirard 2005) 12 $ USD Informasi 5 $ 1 USD Rp,- Informasi Tabel Hasil perhitungan nilai ekonomi simpanan karbon No Uraian Perhitungan Hasil (Rp) 1 Nilai Karbon per Tahun (Luas Hutan Rawa Gambut x Simpanan karbon di TNDS x Harga karbon/ton x kurs rupiah) ( x 65 x 12 x )

170 152 Lampiran 9 Perhitungan nilai ekonomi nilai pilihan Untuk nilai pilihan di TNDS akan didekati dengan metode harga pasar yang ada dengan rumus : a. Jenis Flora (NF1) NFl = VFl x hfl Dimana : NF1 = Nilai Flora (Rp/ha/thn) hfl = Harga Jenis Flora yang dapat diambil (Rp/unit) VFl = Banyak/jumlah fauna yang dapat diambil (unit/ha/thn) b. Jenis Fauna (NFa) NFa = Vfa x hfa Dimana : NFa = Nilai fauna (Rp/ha/thn) hfa = Harga fauna yang dapat diambil (Rp/unit) VFa = Banyak/jumlah fauna yang dapat diambil (unit/ha/thn) Adapun data dan informasi yang digunakan untuk menghitung nilai pilihan ini seperti yang tercantum dalam tabel berikut: Tabel Informasi dan data yang digunakan No. Uraian Nilai Satuan Keterangan 1 Potensi Bulbophyllum 50 Rumpun Asumsi 2 Potensi Ulang uli 100 Ekor Asumsi 3 Potensi Ringau 50 Ekor Asumsi 4 Potensi Labi-labi 100 Kg Asumsi 5 Harga Bulbophylum Rp/Rumpun Informasi 6 Harga Ulang-uli Rp/Ekor Informasi 7 Harga Ringau Rp/Ekor Informasi 8 Harga Labi-labi Rp/Kg Informasi 9 Biaya pengambilan Bulbophylum Rp/kali Informasi 10 Biaya pengambilan Ulang-uli Rp/kali Informasi 11 Biaya pengambilan Ringau Rp/kali Informasi 12 Biaya pengambilan labi-labi Rp/kali Informasi 13 Pemungut Bulbophylum 20 KK Informasi 14 Pencari Ulang-uli KK Informasi 15 Pencari Ringau KK Informasi 16 Pemburu Labi-labi 116 KK Informasi 17 Pengambilan Bulbophyllum 20 Kali Asumsi 18 Pengambilan Ulang-uli 60 Kali Asumsi 19 Pengambilan Ringau 60 Kali Asumsi 20 Pengambilan Labi-labi 30 Kali Asumsi Tabel Hasil perhitungan nilai pilihan No Uraian Perhitungan Hasil (Rp) 1 Nilai Ekonomi Nilai Pilihan (50x20x20x ) (20.000x20x20)+ (100x1835x60x3.000) (30.000x1835x60) +(50x1835x60x5.000) (30.000x1835x60) +(100x116x30x35.000) (25.000x116x30)

171 153 Lampiran 10 Aturan nelayan Pulau Majang a. Aturan mengenai penggunaan alat tangkap ikan : Larangan menggunakan bubu warin Masyarakat nelayan Pulau Majang melarang warganya untuk menggunakan bubu warin sebagai alat menangkap ikan. Karena dengan memasang bubu warin ini ikan-ikan yang berukuran kecil juga akan tertangkap, dan akan berdampak pada keberlanjutan hasil tangkapan ikan masyarakat karena populasi ikan-ikan kecil akan mengalami penurunan. Hal ini sejalan dengan Perda Kabupaten Kapuas Hulu No 8 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Pengawasan Konservasi Sumberdaya Ikan di Perairan Umum Kabupaten Kapuas Hulu. Jika melanggar aturan ini, maka bubu warin akan disita. Larangan menggunakan tuba kerinan/tengkeruk Penggunaan tuba dilarang keras dikarenakan sangat berbahaya bagi kelestarian ikan dan juga sumberdaya air itu sendiri. Air sungai merupakan sumberdaya vital bagi masyarakat Pulau Majang, karena selain sebagai tempat mencari nafkah, juga sebagai sumber air untuk keperluan domestik dan sarana transportasi. Jika melanggar aturan ini maka akan dihukum sesuai peraturan pemerintah (hukuman pidana). Larangan menggunakan jala bidang (O-O) dan jala jarang. Penggunaan jala bidang dan jala jarang ini berkaitan dengan kelestarian hasil tangkapan di musim selanjutnya. Jika melanggar aturan ini, maka didenda Rp Larangan menggunakan Penjarak atau Temilar di areal kerja orang lain, tapi diperbolehkan pada daerah kerja sendiri. Larangan menggunakan Tabin, jika dilanggar akan didenda sesuai dengan harga tabin. Larangan menggunakan alat setrum, jika dilanggar akan didenda sebesar Rp Semua aturan ini ditujukan untuk melindungi keberlanjutan tangkapan ikan pada musim-musim selanjutnya, karena semua alat yang dilarang berpotensi untuk mengurangi jumlah tangkapan ikan selanjutnya b. Aturan mengenai jenis ikan tertentu Larangan mengambil anak Toman (Channa micropeltes) waktu sungai ditutup Peraturan yang ditetapkan adalah 1 tahun dibuka dan 1 tahun ditutup. Jika dilanggar akan didenda sebesar dan ikan dalam keramba akan dilepas. Larangan menjual atau membagi anak Toman (Channa micropeltes) ke dareah luar Pulau Majang atau memelihara anak ikan Toman diberikan kepada orang lain atau keluarga di luar desa Pulau Majang. Jika dilanggar akan didenda sebesar dan ikan dalam keramba akan dilepas. Larangan mengenai ikan biawan (Helostoma temminckii) dan ikan kerandang (Channa pleuropthalmus) yang diambil untuk menjadi umpan ikan. Jika dilanggar akan didenda sebesar Rp

172 154 c. Aturan yang berkaitan dengan manusia Orang luar yang bekerja di dalam kawasan/daerah Pulau Majang wajib melaporkan diri, bila tidak akan ditangkap atau dihukum sesuai dengan aturan yang berlaku. Pembeli ikan dikenakan biaya/pajak. Pembeli ikan di dalam keramba akan dikenakan pajak sebesar Rp (untuk orang dalam desa Pulau Majang) dan untuk orang luar desa Pulau Majang dikenakan pajak sebesar Rp 25/kg. Pekerja semusim dikenakan pajak. Pekerja pada musim kemarau sebesar Rp 3000 sebuah luan dan pekerja pada musim air pasang Rp 5000 sebuah luan. Pembeli ikan ulang-uli (Botia macracanthus), masing-masing dikenakan pajak sebesar Rp d. Aturan mengenai sungai Sungai Undi Sungai undi adalah sungai yang diundi untuk menjadi wilayah kerja masyarakat, supaya tidak terjadi perebutan wilayah kerja. Biasanya satu sungai undi terdiri dari beberapa keluarga, tergantung pada kemampuan dari masing-masing keluarga untuk mengerjakannya. Berdasarkan pengalaman sungai yang ditentukan sebagai sungai undi adalah sungai yang banyak ikannya. Ada 7 (tujuh) sungai undi di daerah Pulau Majang, yaitu: sungai Mengarang, sungai Sekajar, sungai Sempidan Lintang, sungai Suak Panjang, sungai Empaik Damun, sungai Jugul, sungai Terum Halus Hulu dan sungai Terum Halus Hilir. Biaya pendaftaran ditentukan oleh Ketua Nelayan dan masyarakat sesuai dengan persetujuan. Masing-masing sungai undi dikenakan premi Rp bagi yang memenangkannya. Sungai Pinta Sungai Pinta adalah sungai yang dipinta untuk menjadi wilayah kerja oleh masyarakat. Di Pulau Majang ada 7 (tujuh) buah sungai pinta, yaitu: sungai Sundui, sungai Suak Dendang, sungai Suak Tanduk, sungai Suak Liman, sungai Gamang, sungai Tanjung Undit dan sungai Sekejap. Masing-masing sungai pinta dikenakan premi Rp bagi yang mendapatkannya.

173 155 Lampiran 11 Aturan pengelolaan sumberdaya alam di kampung Kedungkang a. Aturan pengelolaan ladang Sebagai masyarakat Iban dalam membuat ladang ada beberapa aturan yang harus dipatuhi dan dilakukan yaitu: Buang-buang (Pedara ): merupakan upacara untuk menyampaikan permohonan (besampi) kepada Petara agar kegiatan berladang dapat menghasilkan padi yang berkelimpahan. Dalam kegiatan ini masyarakat menyediakan sesajen dengan memotong babi, ayam, membuat pulut (beras ketan dalam bambu, tumpek (gorengan yang berisi sayuran dan tepung terigu), batu asah dan tanah yang diletakkan di tanah yang akan diladangi. Acara ini dipimpin oleh ketua adat atau sesepuh kampung dengan memimpin doa dan mantera. Setelah itu lahan baru dapat dilakukan penebasan atau disemprot dengan pestisida/racun rumput. Penentuan lokasi ladang harus memperhatikan beberapa rambu seperti : Dilakukan di bawas muda yang ditandai dengan adanya pohon-pohon yang tipis, itu berarti bisa untuk ditanami padi Letak ladang harus didekat sungai, ini agar ladang mudah untuk diairi. Setelah lahan ditebas, dibiarkan selama 2-3 hari, kemudian baru ditebang. Setelah kayu kering selanjutnya dilakukan dengan pembakaran. Ngelade : merupakan satu kearifan lokal Dayak Iban menjaga hutan agar selamat dari lumatan api proses pembakaran ladang. Prosesnya sederhana, yakni membuat dan membersihkan jalur dengan lebar 2-4 meter mengelilingi ladang, sehingga api tidak menjalar ke hutan atau lokasi lain semisal kebun karet miliki tetangganya. Ini dilakukan secara bersama-sama dengan membentuk kelompok kerja (Bedurok) 7-10 kepala keluarga yang secara bergiliran membuat jalur mengelilingi ladangladang tersebut. Praktek ini telah berlangsung turun temurun dan hasilnya kawasan hutan di wilayah ini masih terjaga. Setelah dibakar, lahan lalu ditanami jagung, timun dan kacang, sambil dilakukan kegiatan penugalan. Sementara itu juga dilakukan pembenihan padi. Setelah kegiatan menugal selesai baru dibuat pondok di ladang masing-masing. Dan benih padi siap untuk ditanam di ladang. Setelah padi siap untuk dipanen juga dibuat acara Pedara lagi. Yaitu dengan menyiapkan sesajen yang diletakkan diatas piring yang disimpan di atas bambu yang sudah dijalin/anyam yang diletakkan di pondok yang ada di ladang selama semalam sebelum melakukan panen padi. Setelah panen padi selesai baru dilaksanakan acara Gawai padi yang merupakan bentuk syukur kepada Tuhan (Petara) akan hasil panen yang diperoleh. Hasil padi tidak boleh dijual, tetapi dimakan oleh keluarga sendiri, atau kalau ada hasil panen yang berlebih dapat disimpan atau diberikan kepada keluarga yang kekurangan. b. Aturan nelayan/ penangkapan ikan Aturan nelayan yang berlaku di daerah Kedungkang ini hampir sama dengan yang ada di masyarakat nelayan Pulau Majang meliputi aturan tentang alat tangkap yang digunakan, kegiatan ngerinan, dan kegiatan jala zakat. Namun di masyarakat Kedungkang ini hasil kegiatan ngerinan dan jala zakat tidak untuk kas desa tetapi untuk masing-masing keluarga. Dan tidak ada aturan mengenai sungai undi dan

174 156 sungai pinta, jadi setiap orang boleh menangkap ikan di mana saja di wilayah tangkap nelayan Kedungkang. c. Aturan pengelolaan sumberdaya alam lainnya Aturan pengelolaan hutan : Bicara tentang hutan, bagi Dayak Iban adalah bicara soal nafas dan kehidupan. Tak heran jika kita menemukan pelbagai istilah dalam kehidupan mereka yang merujuk kepada bagaimana relasi orang Iban dan hutan, semisal Hutan darah ngau seput kitae atau hutan adalah darah dan nafas kita. Mereka percaya bahwa merusak hutan sama halnya dengan merusak kehidupan orang Iban sendiri. Oleh sebab itu, peribahasa yang mengurai relasi mereka terhadap hutan di atas adalah penggambaran yang lugas menyoal relasi keduanya. Dengan kata lain, selagi hutan ada, selama itu pula kehidupan bagi orang Iban tetap ada. Berlandaskan kesadaran akan pentingnya menjaga relasi dengan hutan, orang Iban berusaha sebaik mungkin mengelola hutan yang tersedia. Menjaga bukan berarti sama sekali tak memanfaatkannya, dalam kondisi tertentu orang Iban menebang beberapa pohon untuk dijadikan material rumah dan kepentingan kampung lainnya. Kesadaran tersebut berdampak baik,karena hingga saat ini belum ada aktifitas membabat hutan bermotif ekonomi skala besar karena adat melarang praktek tersebut. Tradisi berladang adalah contoh penting dari praktek menjaga hutan pada orang Iban di Kedungkang. Dalam siklus satu tahunan, orang Iban menghabiskan hampir 80 persen hidupnya di ladang, mulai dari mencari lokasi ladang sampai pasca panen. Mereka hanya memiliki 2-3 bulan untuk aktifitas lain diluar perladangan. Namun demikian kegiatan ini bukanlah tanpa aturan, orang Iban dikenal kental dengan ragam kearifan ketika berladang. Hal penting yang mesti hindari ketika membuka sebuah kawasan perladangan adalah, menjauhi area yang menurut kepercayaan mereka adalah hutan keramat, karena mereka yakin jika hutan itu dirusak akan ada kemarahan si penghuni hutan tersebut. Selain itu masyarakat memiliki hutan simpan, yaitu hutan yang tidak boleh ditebang dan tidak boleh dibuat ladang, dan umumnya terletak di gununggunung. Hasilnya hutan-hutan yang ada di perhuluan kampung Kedungkang saat ini tetap rimbun, menjadi habitat orang utan dan terus menjadi sumber mata air nan jernih bagi kebutuhan hidup mereka. Sejalan dengan kesadaran bahwa hutan di Kapuas Hulu semakin sempit, orang Iban sudah jarang membuka kawasan hutan primer, dan tetap fokus pada lokasi-lokasi yang telah mereka ladangi sebelumnya (gilir balik). Agar tak terjadi kerusakan hutan yang kian memburuk dan pemanfaatan hutan yang serampangan, di kampung ini sudah ada pengaturan khusus yang membagi berbagai kawasan sesuai peruntukannya. Pengaturan tersebut menjadi panduan bagi masyarakat ketika melakukan aktifitas bersentuhan dengan hutan. Orang Iban membagi hutan mereka menjadi tiga peruntukan yakni; Kampong Taroh (hutan lindung), kampong Galao (hutan cadangan), kampong ndor kerja (hutan Produksi) dan Damun (keperluan lain;ladang dsb) (PPSDAK 1998). Berbasiskan peruntukan hutan tersebut, masyarakat Kedungkang menjaga dan memanfaatkan hutannya secara terencana dan berkelanjutan. Berkait dengan penebangan kayu, dibuat aturan tersendiri jika ada anggota komunitas hendak menebang kayu untuk diolah ataupun dijual, maksimal per KK hanya boleh menebang 1-2 pohon diameter besar per tahun. Jika terjadi pelanggaran, pelaku dikenakan sanksi adat.

175 157 Lampiran 12 Aturan Periau ASOSIASI PERIAU DANAU SENTARUM DUSUN SEMANGIT DESA NANGA LEBOYAN TAMAN NASIONAL DANAU SENTARUM KECAMATAN SELIMBAU KABUPATEN KAPUAS HULU KALIMANTAN BARAT Kesepakatan Standar Internal Asosiasi Periau Danau Sentarum Perbaikan Terakhir Tanggal 8 Januari 2011 s

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pengelolaan taman nasional (TN) di Indonesia masih menghadapi berbagai permasalahan yang mengancam kelestariannya. Masalah pengelolaan TN di Indonesia terkait erat dengan berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada 2001, pembahasan mengenai penetapan Gunung Merapi sebagai kawasan taman nasional mulai digulirkan. Sejak saat itu pula perbincangan mengenai hal tersebut menuai

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN, Menimbang

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

SAMBUTAN MENTERI KEHUTANAN PADA ACARA FINALISASI DAN REALISASI MASTERPLAN PUSAT KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI (PPKH) Pongkor, Selasa, 23 April 2013

SAMBUTAN MENTERI KEHUTANAN PADA ACARA FINALISASI DAN REALISASI MASTERPLAN PUSAT KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI (PPKH) Pongkor, Selasa, 23 April 2013 SAMBUTAN MENTERI KEHUTANAN PADA ACARA FINALISASI DAN REALISASI MASTERPLAN PUSAT KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI (PPKH) Pongkor, Selasa, 23 April 2013 Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan konservasi merupakan kawasan yang dilindungi dengan fungsi pokok konservasi biodiversitas dalam lingkungan alaminya, atau sebagai konservasi in situ, yaitu konservasi

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.150, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. PNPM Mandiri. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.16/MENHUT-II/2011 TENTANG PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL

Lebih terperinci

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.16/Menhut-II/2011 Tanggal : 14 Maret 2011 PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pedoman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sangat kaya akan berbagai sumberdaya alam, termasuk keanekaragaman hayati yang terkandung di dalamnya. Kekayaan sumberdaya alam tersebut harus dikelola

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA

Lebih terperinci

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA ANI MARDIASTUTI JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR Kawasan Konservasi Indonesia UURI No 5 Tahun 1990 Konservasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan lingkungan telah mendorong kesadaran publik terhadap isu-isu mengenai pentingnya transformasi paradigma

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan hutan konservasi (KHK) berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 tahun1999 terdiri dari kawasan suaka alam (KSA), kawasan pelestarian alam (KPA) dan Taman Buru. KHK

Lebih terperinci

PENGALAMAN DALAM PENGAMANAN KAWASAN HUTAN TAMAN NASIONAL BERBASIS MASYARAKAT. Oleh: Waldemar Hasiholan

PENGALAMAN DALAM PENGAMANAN KAWASAN HUTAN TAMAN NASIONAL BERBASIS MASYARAKAT. Oleh: Waldemar Hasiholan PENGALAMAN DALAM PENGAMANAN KAWASAN HUTAN TAMAN NASIONAL BERBASIS MASYARAKAT Oleh: Waldemar Hasiholan ABSTRACT THE EXPERIENCES IN PROTECTED OF NATIONAL PARK AREA BASE ON COMMUNITY. Forest protection and

Lebih terperinci

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cagar Biosfer Cagar biosfer adalah suatu kawasan meliputi berbagai tipe ekosistem yang ditetapkan oleh program MAB-UNESCO untuk mempromosikan konservasi keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dari penunjukan kawasan konservasi CA dan SM Pulau Bawean adalah untuk

I. PENDAHULUAN. dari penunjukan kawasan konservasi CA dan SM Pulau Bawean adalah untuk I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Suaka Alam Pulau Bawean ditunjuk dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 76/Kpts/Um/12/1979 tanggal 5 Desember 1979 meliputi Cagar Alam (CA) seluas 725 ha dan Suaka

Lebih terperinci

PENGUATAN KELEMBAGAAN TANI IKAN MINA SARI. (Studi Kasus di Desa Tegal Arum Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo Propinsi Jambi)

PENGUATAN KELEMBAGAAN TANI IKAN MINA SARI. (Studi Kasus di Desa Tegal Arum Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo Propinsi Jambi) PENGUATAN KELEMBAGAAN TANI IKAN MINA SARI (Studi Kasus di Desa Tegal Arum Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo Propinsi Jambi) RONALD FRANSISCO MARBUN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH (Kasus Program Community Development Perusahaan Star Energy di Kabupaten Natuna dan Kabupaten Anambas) AKMARUZZAMAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah

BAB I PENDAHULUAN. hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kaedah dasar yang melandasi pembangunan dan perlindungan lingkungan hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah dasar ini selanjutnya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Taman Nasional

TINJAUAN PUSTAKA Taman Nasional TINJAUAN PUSTAKA Taman Nasional Sesuai dengan Undang-undang No. 5 tahun 1990, taman nasional merupakan kawasan pelestarian alam yang mempunyai fungsi sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Nilai Ekonomi Taman Nasional Alam seisinya memiliki nilai ekonomi yang dapat mendatangkan manfaat bagi kesejahteraan manusia. Nilai ekonomi ini dapat diperoleh jika alam dilestarikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekowisata bagi negara-negara berkembang dipandang sebagai cara untuk mengembangkan perekonomian dengan memanfaatkan kawasan-kawasan alami secara tidak konsumtif. Untuk

Lebih terperinci

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Pada

Lebih terperinci

MEMBANGUN MODEL DESA KONSERVASI SEBAGAI SALAH SATU UPAYA PENYELAMATAN KAWASAN KONSERVASI. Oleh : Kusumoantono Widyaiswara Madya BDK Bogor ABSTRACT

MEMBANGUN MODEL DESA KONSERVASI SEBAGAI SALAH SATU UPAYA PENYELAMATAN KAWASAN KONSERVASI. Oleh : Kusumoantono Widyaiswara Madya BDK Bogor ABSTRACT MEMBANGUN MODEL DESA KONSERVASI SEBAGAI SALAH SATU UPAYA PENYELAMATAN KAWASAN KONSERVASI Oleh : Kusumoantono Widyaiswara Madya BDK Bogor ABSTRACT The conservation village is a conservation initiative that

Lebih terperinci

Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera

Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera 1 2 3 Pendahuluan (Sistem Perencanaan Tata Ruang - Kebijakan Nasional Penyelamatan Ekosistem Pulau Sumatera) Penyelamatan Ekosistem Sumatera dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. individual tourism/small group tourism, dari tren sebelumnya tahun 1980-an yang

I. PENDAHULUAN. individual tourism/small group tourism, dari tren sebelumnya tahun 1980-an yang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pergeseran tren kepariwisataan di dunia saat ini lebih mengarah pada individual tourism/small group tourism, dari tren sebelumnya tahun 1980-an yang didominasi oleh mass

Lebih terperinci

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN KOLABORATIF TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA. Frida Purwanti Universitas Diponegoro

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN KOLABORATIF TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA. Frida Purwanti Universitas Diponegoro PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN KOLABORATIF TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA Frida Purwanti Universitas Diponegoro Permasalahan TNKJ Tekanan terhadap kawasan makin meningkat karena pola pemanfaatan

Lebih terperinci

Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun. (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro 2000).

Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun. (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro 2000). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun budaya. Namun sejalan dengan pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi, tekanan terhadap sumberdaya

Lebih terperinci

8 KESIMPULAN DAN SARAN

8 KESIMPULAN DAN SARAN 8 KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan Dalam konteks kelembagaan pengelolaan hutan, sistem pengelolaan hutan bukan hanya merupakan representasi keberadaan lembaga regulasi negara, melainkan masyarakat

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang No. 05 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya (KSDHE), Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai

Lebih terperinci

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR 5.1. Visi dan Misi Pengelolaan Kawasan Konservasi Mengacu pada kecenderungan perubahan global dan kebijakan pembangunan daerah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki potensi sumberdaya hutan yang tidak hanya memiliki keanekaragaman hayati tinggi namun juga memiliki peranan penting dalam perlindungan dan jasa lingkungan,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan yang wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terjadi setiap tahun dan cenderung meningkat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Peningkatan kebakaran hutan dan lahan terjadi

Lebih terperinci

PARTISIPASI PETANI DALAM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT (Kasus di Kecamatan Kertanegara Kabupaten Purbalingga Provinsi Jawa Tengah) AMIN FAUZI

PARTISIPASI PETANI DALAM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT (Kasus di Kecamatan Kertanegara Kabupaten Purbalingga Provinsi Jawa Tengah) AMIN FAUZI PARTISIPASI PETANI DALAM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT (Kasus di Kecamatan Kertanegara Kabupaten Purbalingga Provinsi Jawa Tengah) AMIN FAUZI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN

Lebih terperinci

Peta Jalan Penyelamatan Ekosistem Sumatera 2020 Dalam RTR Pulau Sumatera

Peta Jalan Penyelamatan Ekosistem Sumatera 2020 Dalam RTR Pulau Sumatera Peta Jalan Penyelamatan Ekosistem Sumatera 2020 Dalam RTR Pulau Sumatera Jakarta, 29 Juli 2011 1 2 3 Progress Legalisasi RTR Pulau Sumatera Konsepsi Tujuan, Kebijakan, Dan Strategi Rtr Pulau Sumatera Muatan

Lebih terperinci

LAMPIRAN KERTAS POSISI WWF INDONESIA TENTANG PEMANFAATAN TRADISIONAL SUMBER DAYA ALAM UNTUK KEHIDUPAN MASYARAKAT DAN KONSERVASI

LAMPIRAN KERTAS POSISI WWF INDONESIA TENTANG PEMANFAATAN TRADISIONAL SUMBER DAYA ALAM UNTUK KEHIDUPAN MASYARAKAT DAN KONSERVASI g LAMPIRAN KERTAS POSISI WWF INDONESIA TENTANG PEMANFAATAN TRADISIONAL SUMBER DAYA ALAM UNTUK KEHIDUPAN MASYARAKAT DAN KONSERVASI A. Pendahuluan Sebagai lembaga konservasi,wwf Indonesia memiliki visi melestarikan

Lebih terperinci

BAB. I. PENDAHULUAN A.

BAB. I. PENDAHULUAN A. BAB. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang terletak di antara dua benua dan dua samudera, Indonesia memiliki hutan tropis terluas ketiga setelah Brazil dan Zaire.

Lebih terperinci

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Indikator Perkuliahan Menjelaskan kawasan yang dilindungi Menjelaskan klasifikasi kawasan yang dilindungi Menjelaskan pendekatan spesies Menjelaskan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. dalam lingkup daerah, nasional maupun internasional. Hutan Indonesia

BAB I. PENDAHULUAN. dalam lingkup daerah, nasional maupun internasional. Hutan Indonesia BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mempunyai arti strategis bagi pembangunan semua sektor, baik dalam lingkup daerah, nasional maupun internasional. Hutan Indonesia merupakan salah satu paru-paru

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang 4 TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang Ruang (space) dalam ilmu geografi didefinisikan sebagai seluruh permukaan bumi yang merupakan lapisan biosfer, tempat hidup tumbuhan, hewan dan manusia (Jayadinata

Lebih terperinci

BAB VI IMPLIKASI PENERAPAN STANDAR PENGELOLAAN DI LAPANGAN

BAB VI IMPLIKASI PENERAPAN STANDAR PENGELOLAAN DI LAPANGAN 89 BAB VI IMPLIKASI PENERAPAN STANDAR PENGELOLAAN DI LAPANGAN Rumusan standar minimal pengelolaan pada prinsip kelestarian fungsi sosial budaya disusun sebagai acuan bagi terjaminnya keberlangsungan manfaat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki lebih dari 17.000 pulau dengan panjang garis pantai mencapai 81.000 km, dan membentang antara garis

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini 57 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Hutan Indonesia Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini mencapai angka 120,35 juta ha atau sekitar 61 % dari luas wilayah daratan Indonesia.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberadaan burung pemangsa (raptor) memiliki peranan yang sangat penting dalam suatu ekosistem. Posisinya sebagai pemangsa tingkat puncak (top predator) dalam ekosistem

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-Undang Konservasi No. 5 Tahun 1990, sumberdaya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumberdaya alam nabati (tumbuhan) dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumatera Barat memiliki kawasan hutan yang luas. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.35/Menhut-II/2013 tanggal 15 Januari 2013 tentang perubahan atas

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR

PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR Oleh : TEMMY FATIMASARI L2D 306 024 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kawasan Konservasi Kawasan konservasi dalam arti yang luas, yaitu kawasan konservasi sumber daya alam hayati dilakukan. Di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia yang

Lebih terperinci

ALAM. Kawasan Suaka Alam: Kawasan Pelestarian Alam : 1. Cagar Alam. 2. Suaka Margasatwa

ALAM. Kawasan Suaka Alam: Kawasan Pelestarian Alam : 1. Cagar Alam. 2. Suaka Margasatwa UPAYA DEPARTEMEN KEHUTANAN DALAM ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM DEPARTEMEN KEHUTANAN FENOMENA PEMANASAN GLOBAL Planet in Peril ~ CNN Report + Kenaikan

Lebih terperinci

8 KEBIJAKAN PENGELOLAAN TNDS

8 KEBIJAKAN PENGELOLAAN TNDS 96 8 KEBIJAKAN PENGELOLAAN TNDS Peraturan Perundangan Pengelolaan TNDS Pengelolaan TNDS dilakukan berdasarkan pada Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN DAN SARAN 369 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Selama tahun 1990-2009 terjadi pengurangan luas hutan SWP DAS Arau sebesar 1.320 ha, mengakibatkan kecenderungan peningkatan debit maksimum, penurunan debit minimum

Lebih terperinci

Lampiran 1. Daftar taman nasional yang memiliki perencanaan zonasi

Lampiran 1. Daftar taman nasional yang memiliki perencanaan zonasi LAMPIRAN 168 Lampiran 1. Daftar taman nasional yang memiliki perencanaan zonasi No Nama dan SK Kawasan 1 Bukit Barisan Selatan SK Mentan No. 736/Mentan/X/ 1982, 14 Oktober 1982 2 Bali Barat* SK Menhut

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada

TINJAUAN PUSTAKA. Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada TINJAUAN PUSTAKA Ekowisata Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada juga yang menterjemahkan sebagai ekowisata atau wisata-ekologi. Menurut Pendit (1999) ekowisata terdiri

Lebih terperinci

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan April sampai dengan Juni 2012. Tempat yang menjadi lokasi penelitian, yaitu Sekretariat Direktorat Jenderal

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. yang berada di wilayah pesisir seperti Desa Dabong. Harahab (2010: )

BAB I. PENDAHULUAN. yang berada di wilayah pesisir seperti Desa Dabong. Harahab (2010: ) BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan hutan lindung seperti ekosistem mangrove memiliki peran cukup penting bagi masyarakat yang tinggal berdampingan dengan ekosistem tersebut karena umumnya masyarakat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan tropis terbesar di dunia. Luas kawasan hutan di Indonesia saat ini mencapai 120,35 juta ha. Tujuh belas persen

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. mengemuka seiring dengan populernya paradigma governance dalam tata

BAB I. PENDAHULUAN. mengemuka seiring dengan populernya paradigma governance dalam tata BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam perspektif administrasi publik, kemitraan merupakan isu yang mengemuka seiring dengan populernya paradigma governance dalam tata kepemerintahan. Tata kepemerintahan

Lebih terperinci

FORMULASI STRATEGI KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI, KABUPATEN KUNINGAN, PROVINSI JAWA BARAT

FORMULASI STRATEGI KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI, KABUPATEN KUNINGAN, PROVINSI JAWA BARAT FORMULASI STRATEGI KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI, KABUPATEN KUNINGAN, PROVINSI JAWA BARAT FARMA YUNIANDRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan berkelanjutan telah menjadi komitmen masyarakat dunia. Pada saat ini, beberapa negara maju maupun negara berkembang termasuk Indonesia, telah menerima konsep

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

FORMULASI STRATEGI KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI, KABUPATEN KUNINGAN, PROVINSI JAWA BARAT

FORMULASI STRATEGI KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI, KABUPATEN KUNINGAN, PROVINSI JAWA BARAT FORMULASI STRATEGI KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI, KABUPATEN KUNINGAN, PROVINSI JAWA BARAT FARMA YUNIANDRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kondisi alam Indonesia sebagai negara kepulauan yang terletak di daerah tropis merupakan tempat hidup berbagai jenis tumbuhan dan hewan sehingga Indonesia dikenal sebagai

Lebih terperinci

Ekologi Hidupan Liar HUTAN. Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? PENGERTIAN 3/25/2014. Hidupan liar?

Ekologi Hidupan Liar HUTAN. Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? PENGERTIAN 3/25/2014. Hidupan liar? Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? Ekologi Hidupan Liar http://staff.unila.ac.id/janter/ 1 2 Hidupan liar? Mencakup satwa dan tumbuhan Pengelolaan hidupan liar PENGERTIAN perlindungan populasi satwa untuk

Lebih terperinci

REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004

REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004 I. PENDAHULUAN REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004 Pembangunan kehutanan pada era 2000 2004 merupakan kegiatan pembangunan yang sangat berbeda dengan kegiatan pada era-era sebelumnya. Kondisi dan situasi

Lebih terperinci

PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN

PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN 1 PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Menteri Kehutanan No. 134/Menhut-II/2004 tentang Perubahan fungsi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Menteri Kehutanan No. 134/Menhut-II/2004 tentang Perubahan fungsi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Taman Nasional (TN) Gunung Merapi ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 134/Menhut-II/2004 tentang Perubahan fungsi Kawasan Hutan Lindung, Cagar

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 33 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN EKOWISATA DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 33 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN EKOWISATA DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 33 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN EKOWISATA DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI, Menimbang : a. bahwa ekowisata merupakan potensi

Lebih terperinci

BUPATI SIGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DANAU LINDU

BUPATI SIGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DANAU LINDU BUPATI SIGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DANAU LINDU PEMERINTAH KABUPATEN SIGI TAHUN 2013 0 BUPATI SIGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG

Lebih terperinci

VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA

VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA Pencapaian tujuan kelestarian jenis elang Jawa, kelestarian habitatnya serta interaksi keduanya sangat ditentukan oleh adanya peraturan perundangan

Lebih terperinci

Daftar Tanya Jawab Permintaan Pengajuan Konsep Proyek TFCA Kalimantan Siklus I 2013

Daftar Tanya Jawab Permintaan Pengajuan Konsep Proyek TFCA Kalimantan Siklus I 2013 Daftar Tanya Jawab Permintaan Pengajuan Konsep Proyek TFCA Kalimantan Siklus I 2013 1. Apakah TFCA Kalimantan? Tropical Forest Conservation Act (TFCA) merupakan program kerjasama antara Pemerintah Republik

Lebih terperinci

PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK INDRA GUMAY FEBRYANO

PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK INDRA GUMAY FEBRYANO PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK Studi Kasus di Desa Sungai Langka Kecamatan Gedong Tataan Kabupaten Pesawaran Propinsi Lampung INDRA GUMAY

Lebih terperinci

VII PRIORITAS STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA TN KARIMUNJAWA

VII PRIORITAS STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA TN KARIMUNJAWA VII PRIORITAS STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA TN KARIMUNJAWA 7.1 Kerangka Umum Analytical Network Process (ANP) Prioritas strategi pengembangan TN Karimunjawa ditetapkan berdasarkan pilihan atas variabel-variabel

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan iklim (Dudley, 2008). International Union for Conservation of Nature

BAB I PENDAHULUAN. perubahan iklim (Dudley, 2008). International Union for Conservation of Nature BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan konservasi mempunyai peran yang sangat besar terhadap perlindungan keanekaragaman hayati. Kawasan konservasi juga merupakan pilar dari hampir semua strategi

Lebih terperinci

X. ANALISIS KEBIJAKAN

X. ANALISIS KEBIJAKAN X. ANALISIS KEBIJAKAN 10.1 Alternatif Kebijakan Tahapan analisis kebijakan pada sub bab ini merupakan metode pengkajian untuk menghasilkan dan mentransformasikan flow of thinking dari serangkaian analisis

Lebih terperinci

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU 1 GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR MALUKU, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 03/Menhut-II/2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS TAMAN NASIONAL MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 03/Menhut-II/2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS TAMAN NASIONAL MENTERI KEHUTANAN, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 03/Menhut-II/2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS TAMAN NASIONAL MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa Keputusan Menteri Kehutanan Nomor

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia yang dikenal dengan negara kepulauan memiliki lebih dari 18.000 pulau, memiliki luasan hutan lebih dari 100 juta hektar dan memiliki lebih dari 500 etnik

Lebih terperinci

HUBUNGAN MOTIVASI BERPRESTASI DAN IKLIM ORGANISASI DENGAN KINERJA PENYULUH KEHUTANAN TERAMPIL

HUBUNGAN MOTIVASI BERPRESTASI DAN IKLIM ORGANISASI DENGAN KINERJA PENYULUH KEHUTANAN TERAMPIL HUBUNGAN MOTIVASI BERPRESTASI DAN IKLIM ORGANISASI DENGAN KINERJA PENYULUH KEHUTANAN TERAMPIL (Kasus di Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat) HENDRO ASMORO SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Contributor : Doni Prihatna Tanggal : April 2012 Posting : Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Pada 19 Januari 2012 lalu, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan

Lebih terperinci

Kebijakan pengelolaan zona khusus Dapatkah meretas kebuntuan dalam menata ruang Taman Nasional di Indonesia?

Kebijakan pengelolaan zona khusus Dapatkah meretas kebuntuan dalam menata ruang Taman Nasional di Indonesia? Brief CIFOR memberi informasi mengenai topik terkini di bidang penelitian kehutanan secara ringkas, akurat dan ilmiah. CIFOR No. 01, April 2010 www.cifor.cgiar.org Kebijakan pengelolaan zona khusus Dapatkah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Taman Nasional Teluk Cenderawasih (TNTC) merupakan salah satu kawasan pelestarian alam memiliki potensi untuk pengembangan ekowisata. Pengembangan ekowisata di TNTC tidak

Lebih terperinci

KEMITRAAN MENUJU KOLABORASI PENGELOLAAN TN KOMODO

KEMITRAAN MENUJU KOLABORASI PENGELOLAAN TN KOMODO KEMITRAAN MENUJU KOLABORASI PENGELOLAAN TN KOMODO Fajarudin PT Putri Naga Komodo Predikat yang disandang oleh TN Komodo (A Man and Bisophere Reserve dan World Heritage Site) merupakan kebanggaan tersendiri,

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir Daerah peralihan (interface area) antara ekosistem daratan dan laut. Batas ke arah darat: Ekologis: kawasan yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut seperti pasang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN

Lebih terperinci

RENCANA STRATEGIS

RENCANA STRATEGIS TROPICAL FOREST CONSERVATION ACTION FOR SUMATERA RENCANA STRATEGIS 2010-2015 A. LATAR BELAKANG Pulau Sumatera merupakan salah kawasan prioritas konservasi keanekaragaman hayati Paparan Sunda dan salah

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove bagi kelestarian sumberdaya perikanan dan lingkungan hidup memiliki fungsi yang sangat besar, yang meliputi fungsi fisik dan biologi. Secara fisik ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, salah satu pengelompokan hutan berdasarkan fungsinya adalah hutan konservasi. Hutan konservasi merupakan

Lebih terperinci

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE Berdasarkan tinjauan pustaka yang bersumber dari CIFOR dan LEI, maka yang termasuk dalam indikator-indikator ekosistem hutan mangrove berkelanjutan dilihat

Lebih terperinci

REVITALISASI KEHUTANAN

REVITALISASI KEHUTANAN REVITALISASI KEHUTANAN I. PENDAHULUAN 1. Berdasarkan Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional Tahun 2004-2009 ditegaskan bahwa RPJM merupakan

Lebih terperinci