VII. ANALISIS MODEL KELEMBAGAAN SEBAGAI SINTESA KERANGAKA RESOLUSI KONFLIK

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "VII. ANALISIS MODEL KELEMBAGAAN SEBAGAI SINTESA KERANGAKA RESOLUSI KONFLIK"

Transkripsi

1 VII. ANALISIS MODEL KELEMBAGAAN SEBAGAI SINTESA KERANGAKA RESOLUSI KONFLIK 7.1 Analisis Fakta dalam Pendekatan Institutional Governance Aspek institusional governance akan lebih dioptimalkan analisisnya dalam rangka mencapai penjelasan ilmiah terkait dengan variabel-variabel yang telah diajukan dalam angket. Aspek ini demikian pentingnya juga karena terkait dengan beberapa alasan yaitu: 1) isu negatif terhadap kegiatan usaha pertambangan terutama pada aspek kerusakan lingkungan, ketimpangan antara wilayah dan klaim penguasaan lahan (PETI) sejatinya dapat dihindari bila ada proses penyadaran institutional kepada masyarakat sehingga masalah tersebut dapat diselesaikan secara melembaga; 2) hal ini dapat dilakukan bila ada asumsi ilmiah yang dilakukan melalui model pengembangan dan pendalaman persepsi masyarakat dan rona awal sosial ekonomi masyarakat sekitar pemanfaatan sumberdaya tambang; 3) oleh karena prinsip tatakelola kelembagaan dalam penelitian ini akan diawali dengan membangun model data tentang aspek-aspek yang dibutuhkan untuk dijadikan rujukan awal. Adapun lokasi yang menjadi sampel dalam penelitian dapat ditunjukkan pada pada Lampiran 9 Tabel sebaran sampel lokasi pengambilan data. Model kelembagaan dalam penelitian ini diarahkan pada sembilan unsur yang terkandung dalam tatakelola atau yang dikenal dengan good governance seperti yang telah dijelaskan oleh United Nation Development programe (UNDP) mungkin menjadi bagian pedoman pada model kelembagaan yang baik dalam konteks pengelolaan pertambangan di Kabupaten Bone Bolango. Setelah dicermati dari sembilan unsur tersebut maka ada enam unsur tatakelola yang menjadi bagian pedoman. Enam unsur tersebut yaitu: Peran Hukum (Rule of Law) Pengertian peranan hukum dalam model kelembagaan sumberdaya tambang lebih dipandang bahwa hukum harus mencerminkan nilai keadilan dan kesamaan setiap orang didepan hukum melalui upaya penegakan hukum law inforcement dan hak asasi manusia. Mendalami hasil analisis pada unsur peran

2 162 hukum dalam penelitian ini digunakan keterkaitan antara penegakan hukum dengan aktivitas penambang tanpa izin (PETI) yang selama ini menjadi isu konflik dan menjadi bahan perdebatan bahkan telah masuk pada rana politik disetiap forum berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya tambang. Masalah ini dimulai dengan sejarah permulaan penambang tanpa izin. Berdasarkan hasil wawancara kegiatan PETI ini dimulai sejak 1985 yaitu seorang responden, tahun 1989 yaitu dua orang responden, tahun 1990 yaitu lima orang responden, tahun 1991 yaitu satu orang responden, kemudian pada tahun 1992 yaitu sepuluh responden. Mulai kembali lagi tahun 1997 yaitu 1 responden, tahun masing-masing 1 responden dan terakhir tahun 2011 yaitu 2 responden dengan total 27 responden yang menjawab pada bagian ini atau 32,5 persen dari total 83 responden. Terlihat terjadi lonjakan Penambang Tanpa izin pada tahun 1992 dimana terdapat 10 responden yang menjawab permulaannya menambang di wilayah berhimpitan langsung dengan konsesi kontrak karya PT Gorontalo Minerals. Permulaan dari penambangan ini yaitu di dusun Mohutango tepatnya berada di sudut utara sebelah kiri peta konsesi kontrak karya. Daerah ini di bawah administrasi Kecamatan Suwawa Timur yang merupakan pemekaran Kecamatan Suwawa. Kemudian semakin meluas ke wilayah bekas titik bor (penelitian eksplorasi) oleh pemegang konsesi sebelumnya diantaranya PT New Crase, PT BHP, PT Yutah Pasific. Perusahaan ini melepas kontrak karyanya ke perusahaan lain yaitu PT Gorontalo Minerals merupakan pemegang hak kontrak karya generasi ke tujuh. Adapun alasan pelepasan ini (take over) belum dapat dijumpai sampai saat ini namun informasi dari para penambang karena perusahaan itu telah menemukan cadangan yang lebih besar di wilayah lain. Adapun awal mulai kegiatan penambang tanpa izin dapat dilihat pada Lampiran 10. Tabel awal mulai penambang tanpa izi (PETI). Selanjutnya dalam analisis ini yaitu hubungan penambang tanpa izin dengan pengelolah Taman Nasional Bogani Nani Wartabone lebih diartikan dalam konteks kelembagaan hukum di saat wilayah ini masih bagian dari TN. Pada di lokasi penelitian terdapat Kantor Sub Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone yang berlokasi di Desa Bube Kecamatan Suwawa. Di kantor ini

3 163 terdapat beberapa pegawai staff administrasi dan Polisi Hutan. Hasil uji analisis tabel frekuensi menunjukkan bahwa hubungan PETI dengan pengelola TN yang menjawab tidak tahu 26 responden atau 31.3 persen, sedang jawabannya tidak baik 3 responden atau 4 persen, dan yang menjawab hubungan baik yaitu 6 responden atau 7.2 persen dengan total 35 reponden yang menjawab atau 42.2 persen. Tabel mengenai hubungan penambang tanpa izin dengan pengelola TN Bogani Nani Wartabone dapat dilihat pada Lampiran 11. Adapun kepemilikan atau posisi dalam penambang tanpa izin telah menjadi bagian dari penelusuran data melalui angket yang diedarkan. Pertanyaan ini relatif sulit untuk diperoleh namun dengan kiat-kiat yang telah dilakukan cukup berhasil mendapatkan jawaban dari para penambang. Hal ini wajar untuk disimak karena terkait dengan keamanan diri masing-masing penambang. Hasil penelusuran data diperoleh yaitu sebagai buruh 4 responden atau 5 persen, sebagai donatur 1 responden atau 1.2 persen, sebagai pemilik 29 responden atau 40 persen, dan sebagai pedagang pengumpul yaitu 1 responden atau 1.2 persen dengan total yang memberikan jawab yaitu 35 responden atau 42,2 persen dari total 83 responden yang dapat ditelusuri. Lebih jelasnya item ini dapat dilihat pada Lampiran 12 Tabel posisi penambang tanpa izin. Hubungan penambang tanpa izin dengan para pihak lebih diarahkan kepada bagaimana interaksi mereka dengan para pihak terutama dengan orangorang yang ingin mempertahankan status quo ini yang disinyalir turut menerima bagi hasil dari penghasilan penambang tanpa izin. Hal ini dapat dilihat pada Lampiran 13 tentang hubungan PETI dengan para pihak, dimana masyarakat penambang yang menjawab tidak tahu 22 responden atau 26.5 persen sedangkan yang menjwab baik yaitu responden atau 5 persen. Keengganan menjawab ini juga merupakan bentuk kecurigaan kepada peneliti karena lebih dihadapkan pada alasan sebelumnya yaitu bentuk penguasaan lahan. Asumsi sebelumnya semakin mengerucut pada penelusuran pertanyaan terkait dengan kenyamanan bekerja Para Penambang Tanpa Izin. Seperti yang telah dianalisis melaui tabel frekuensi nampak bahwa masyarakat penambang yang menjawab tidak tahu 1 responden atau 1.2 persen dan penambang yang merasa tidak nyaman bekerja yaitu 2 reponden atau 2.4 persen, akan tetapi cukup

4 164 berbeda dengan jawaban penambang tanpa izin yang merasa nyaman bekerja yaitu 32 responden atau 39 persen. Hal ini dapat ditunjukkan pada Lampiran 14 Tabel kenyamanan bekerja PETI. Asumsi bahwa penambang tanpa izin cukup percaya diri bekerja dan menjawab pertanyaan sebelumnya mulai terjawab pada pertanyaan dibawah ini, dimana penambang tanpa izin mendapat dukungan para pihak. Hal ini dapat ditunjukkan pada Lampiran 15 Tabel dukungan para pihak yaitu pihak keamanan 16 responden atau 19.3 persen dan yang didukung oleh pihak politisi yaitu 5 responden atau 6.0 persen. Selanjutnya yang mendapat dukungan dari pemerintah setempat yaitu 6 responden atau 7.2 persen. Total yang menjawab pada item ini yaitu 27 responden atau 32.5 persen. Isu yang tidak kalah penting dalam konflik pertambangan ini yaitu berkaitan dengan penggunaan Mercury dan Cianida di kalangan penambang tanpa izin di lokasi kontrak karya PT Gorontalo Minerals. Terbukti bahwa penggunaan itu ada seperti pada jawaban penambang yaitu yang menjawab tidak tahu 17 responden atau 20.5 persen, kemudian penambang yang menjawab tahu 21 responden atau 25.3 persen. Jumlah total yang menjawab 38 responden atau 46 persen. Penggunaan mercury dan cianida dapat dilihat pada Lampiran 16. Ekspansi ini telah menjadi isu politik praktis di kalangan masyarakat, karena adanya penegakan hukum yang tidak optimal dan terpadu, bahkan pada jawaban pertanyanan ternyata 16 responden yang menjawab pihak keamanan termasuk yang memberikan perlindungan terhadap penambang tanpa izin. Terkait dengan usaha penertiban yang dilakukan pihak keamanan akan menghadapi persoalan sendiri dengan pihak PETI. Hal ini dapat dilihat pada Lampiran 17 tentang Tabel penertiban penambang tanpa izin. Penambang tanpa izin yang menjawab tidak mengetahui tentang penertiban PETI 2 responden atau 2.4 persen, dan menjawab tidak pernah ada penertiban 4 responden atau 5 persen, selanjutnya yang memberikan jawaban pernah ada penertiban 31 responden atau 37.3 persen. Jumlah total menjawab paertanyaan ini yaitu 37 reponden 45 persen. Pertanyaan ini lebih lanjut diarahkan pada pengelolaan konsesi oleh PT Gorontalo Mineral secara profesional, apakah menimbulkan konflik dengan masyarakat. Jawaban responden pada pertanyaan ini yaitu pengelolaan secara

5 165 professional oleh PT GM tidak akan menimbulkan konflik 29 responden atau 35 persen dan menjawab akan menimbulkan konflik 9 responden 11 persen. Nampak bahwa pengelolaan konsesi tersebut relatif dapat dipertimbangkan oleh para pihak. Lebih jelasnya aspek ini dapat dilihat pada Lampiran 18 tentang Tabel konsesi lahan perusahaan PT Gorontalo Minerals. Peluang pengelolaan secara professional kepada pemilik konsesi maka kelembagaan sosial kemasyarakatan dapat diarahkan untuk membangun kohesivitas masyarakat untuk mengantisipasi terjadinya konflik antara masyarakat di wilayah berhimpitan langsung dengan konsesi kontrak karya dengan PT Gorontalo Minerals. Hal ini dapat dilihat pada Lampiran 19 Tabel Kohesivitas antar masyarakat dengan PT Gorontalo Minerals. Adapun responden yang menjawab tidak memberikan peluang konflik yaitu 13 responden 15,7 persen dan menjawab kelembagaan sosial kemasyarakatan dapat menimbulkan konflik yaitu 10 responden atau 12.0 persen. Nampak bahwa organisasi sosial kemasyarakatan relatif tidak memberikan peluang terjadinya konflik bahkan dapat menjaga kohesivitas. Item ini lebih ditekankan pada peran kelembagaan organisasi sosial kemasyarakatan dalam memfasilitasi penyelesaian konflik antara masyarakat dengan PT Gorontalo Minerals. Terdapat 21 responden yang menjawab bahwa kelembagaan organisasi tersebut bisa berperan mengatasi konflik antara masyarakat (pemukim di lahan konsesi kontrak karya) dengan PT Gorontalo Minerals atau 25.3 persen. Sedangkan 15 responden yang menjawab bahwa kelembagaan organisasi sosial kemasyarakatan itu tidak bisa mengatasi konflik atau 18.1 persen. Hal ini dapat dilihat pada Lampiran 20 Tabel organisasi untuk fasilitasi konflik. Permasalahan utama konflik ini karena tidak ada kesamaan visi baik dari pihak perusahaan maupun dari pihak PETI demikian juga pemerintah. Akibatnya tidak pernah ada solusi yang dapat menjadi titik tengah dari semua pihak dengan mengedepankan aspek ketaatan hukum bagi semua pihak yang bias duduk bersama untuk menyelesaikan konflik. Selain itu pimpinan pemerintahan di daerah ini cenderung melihat konflik ini pada aspek politik. Artinya bila hukum ditegakkan dan para penambang tanpa izin (PETI) akan keluar dari wilayah ini

6 166 akan mempengaruhi nilai dukungan masyarakat kepada pemerintah pada pemilihan kepala daerah dan pemilihan anggota legislatif. Pada item ini lebih diarahkan pada pendalaman konflik antara perusahaan dengan pemerintah bila sumberdaya tambang akan dikelola secara professional. Terdapat 23 responden yang menjawab tidak akan menimbulkan konflik antara pemerintah dengan perusahaan (PT GM) atau 28 persen. Sebanyak 12 responden yang menjawab bahwa pengelolaan secara profesional oleh perusahaan akan menimbulkan konflik antar pemerintah dengan perusahaan atau 14,5 persen, dengan total 35 responden yang menjawab pada item ini atau 42.2 persen. Bila informasi ini dijadikan rujukan dalam menatakelola sumberdaya tambang haruslah pemerintah dan para pihak termasuk LSM dan PETI sudah dapat duduk bersama untuk menyusun resolusi konflik yang selama ini menjadi perdebatan. Konflik perusahaan dengan Pemerintah dapat dilihat pada Lampiran 21. Isu-isu konflik adanya pemanfaatan sumberdaya tambang secara profesional bukan saja muncul antara masyarakat di sekitar lahan konsesi dengan perusahaan (PT GM) namun potensi konflik dapat terjadi antara masyarakat dengan pemerintah akibat arah kebijakan pembangunan ekonomi dengan mengoptimalkan pemanfaata sumberdaya tambang secara profesional kepada perusahaan tambang. Sebanyak 9 responden menjawab tidak akan menimbulkan konflik antara pemerintah dengan masyarakat atau 11 persen dan yang menjawab akan menimbulkan konflik 10 responden atau 12.0 persen. Mengenai kohesivitas pemerintah dengan masyarakat ditampilkan pada Lampiran 22. Arah dari item ini bagaimana peran lembaga sosial kemasyarakatan yang ada dapat memfasilitasi kemungkinan konflik antara pemerintah dengan masyarakat terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya tambang di lahan konsesi PT Gorontalo Minerals secara profesional. Sebanyak 14 responden menjawab bahwa lembaga sosial kemasyarakatan ini tidak bisa menyelesaikan kemungkinan konflik antara pemerintah dengan masyarakat atau 17 persen, sedang yang menjawab bahwa kelembagaan sosial kemasyarakatan itu bias mengatasi konflik antara pemerintah dengan masyarakat atau 10 persen. Terkait dengan organisasi kemasyarakat untuk memfasilitasi konflik Pemerintah dengan masyarakat dapat dilihat pada Lampiran 23.

7 167 Lampiran 24 mendiskripsikan bentuk-bentuk konflik di wilayah timpang tindih tersebut. Dijumpai bentuk konflik beda pendapat 3 responden, belum ada konflik dan penertiban masing-masing 1 responden, konflik pengeboran 2 responden, perebutan kekuasaan dan salah paham 2 responden. Selanjutnya perebutan lahan-lahan pertambangan tanpa izin 3 responden, perebutan lahan pomukiman diwilayah konsesi kontrak karya 3 responden, perkelahian antar warga 3 responden dan konflik minuman keras 1 responden serta konflik rumah tangga 1 responden. Terdapat 20 responden yang menjawab pertanyaan item ini. Dijumpai persaingan antar kelompok penambang tanpa izin di lokasi penambangan cukup rawan dan relatif mudah terprovokasi karena karakter pekerjaan dan sulitnya medan yang ditempuh karena bergunung-gunung membuat perilaku penambang tanpa izin terkesan keras dan mudah tersinggung. Pengaruh lain yaitu adanya persaingan antara kelompok penambang dengan kelompok penambang lainnya cukup tinggi terutama bagaimana dapat mempertahankan lahan-lahan yang menurut mereka memiliki potensi tambang serta siapa yang menjadi beking masing-masing pemilik lahan dan tromol tersebut. Arah pertanyaan terakhir lebih mencari solusi alternatif penyelesaian konflik. Diharapkan alternatif ini dapat menjadi bagian penting dalam memberikan umpan kepada para pihak agar saat pengelolaan secara professional oleh perusahaan kemungkinan konflik dapat diperkecil dan bahkan dapat memberikan informasi dan pengalaman kepada pihak-pihak yang membutuhkan. Terkait dengan alternatif penyelesaian konflik dapat dilihat pada Lampiran 25 Tabel alternatif penyelesaian konflik. Responden yang menjawab yaitu konflik dapat diselesaikan melalui jalur hukum 1 responden, dengan model musyawarah mufakat yaitu 8 responden. Selanjutnya 4 responden memilih alternatif solusi penyelesaian konflik yaitu penertiban, kemudian menjawab dengan persetujuan masing-masing pihak 1 responden. Terakhir jawabannya yaitu PT Gorontalo Minerals menghentikan dulu operasinya sampai saat yang lebih menjamin keamanan dan kenyaman para pekerja yaitu 1 responden. Hirarki yang paling tinggi dalam budaya kita yaitu musyawarah, artinya meskipun konflik ini belum dapat teratasi namun keinginan masyarakat bermusyawarah masih cukup terbuka.

8 Partisipasi (Participation) Prinsip kekuasaan berada di tangan negara namun kedaulatan berada ditangan rakyat. Hal ini membutuhkan pelibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan baik secara langsung atau melalui model intermediasi atau lembaga yang mewakili kepentingan masing-masing secara konstruktif dan dibangun diatas kejujuran. Oleh karena itu pada penelitian ini telah dieksplorasi tentang partisipasi masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya tambang di Kabupaten Bone Bolango. Mengetahui peran keterlibatan masyarakat dalam advokasi atau penyuluhan terkait dengan pemanfaatan sumberdaya tambang. Dijumpai bahwa keinginan berpartisipasi masyarakat cukup tinggi dimana 83 responden yang menjawab turut berpartisipasi yaitu 34 atau 41.0 persen. Sementara yang tidak berpartisipasi yaitu 16 responden atau 19.3 persen. Akan tetapi yang tidak menjawab lebih banyak bila dibanding dengan yang tidak berpartisipasi yaitu 33 responden 39.8 persen. Keengganan masyarakat ini lebih dikarenakan oleh belum optimalnya model materi advokasi yang disampaikan terutama kepada masyarakat yang bermukim di wilayah berhimpitan langsung dengan konsesi kontrak karya PT Gorontalo Minerals. Hal ini dapat dilihat pada Lampiran 26. Meskipun pada model partisipasi advokasi masyarakat di wilayah konsesi relatif tidak optimal. Namun dijumpai keikutsertaan masyarakat didalam kegiatan penyuluhan cukup baik yaitu 52 responden yang mengikuti penyuluhan atau 63 persen dan yang tidak mengikuti sebanyak 28 responden 34 persen. Sedangkan yang tidak jelas hanya 3 responden atau 4 persen. Meskipun mengikuti itu kurang bermakna bila dibanding dengan makna partisipasi namun penting adanya suatu proses pencapaian hasil advokasi atau penyuluhan bukan dilihat dari aspek hasil. Kapasitas atau tingkat pendidikan masyarakat yang relatif kurang baik merupakan satu aspek yang perlu dipertimbangkan. Terkait dengan intesitas mengikuti penyuluhan dapat dilihat pada Lampiran 27. Kemampuan masyarakat tentang isi advokasi relatif cukup baik, hal ini dapat dilihat pada Lampiran 28, dimana responden menjawab tahu dan mengerti isi advokasi yaitu 54 responden atau 65.1 persen dan responden yang tidak tahu dan tidak mengerti sebanyak 26 atau 31.3persen. Sedangkan responden yang tidak

9 169 menjawab yaitu 3 orang atau 3,6 persen. Lampiran 28 mengenai kemampuan menyerap materi advokasi menunjukkan bahwa kemampuan masyarakat dalam menyerap informasi tentang penyuluhan atau arahan mengenai pertambangan profesional sudah cukup baik. Hal ini tidak terlepas dengan adanya kemajuan teknologi, kepekaan masyarakat terhadap kemajuan dan kebaruan informasi cukup cepat terutama mengenai informasi pertambangan yang sepertinya sudah tidak sulit lagi bagi mereka (PETI) untuk mendapatkannya. Aspek penting yang dijumpai di masyarakat pemukim pada wilayah berhimpitan langsung dengan konsesi kontrak karya yaitu sifat dukungan terhadap pemanfaatan sumberdaya tambang. Terlihat bahwa responden yang menjawab sangat mendukung yaitu 43 responden atau 52 persen dan yang cukup mendukung yaitu 28 responden atau 34 persen. Responden yang kurang mendukung sebanyak 8 responden atau 10 persen dari total 83 responden yang berhasil diwawancarai. Variabel sangat mendukung dan cukup mendukung yang dijawab responden merupakan informasi yang baik dan menjadi harapan para pihak untuk mendesain pemanfaatan sumberdaya tambang secara profesional tanpak mengabaikan aspek lingkungan terutama masyarakat yang bermukim diwilayah tumpang tindih. Bobot ini cukup berkaitan dengan kapasitas masyarakat dalam mengikuti penyuluhan atau pengarahan dari para pihak. Semakin baik kualitas pemahaman masyarakat maka semakin meningkat bobot pemahaman masyarakat terhadap pemanfaatan sumberdaya tambang. Akan tetapi responden yang kurang mendukung akan berkembang bila upaya advokasi tidak dilakukan secara baik terutama kepada penambang tanpa izin karena upaya untuk melegalkan PETI ini cukup berkembang. Misalnya seperti dijumpai dibeberapa aktivis mahasiswa dan tokoh masyarakat menginginkan agar sebagian wilayah konsesi kontrak karya tersebut diusulkan menjadi wilayah pertambangan rakyat Kesepakatan (Consensus Orientation) Orientasi membangun kesepakatan dalam mediasi antara kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan yang terbaik bagi kepentingan yang lebih luas dan jangka panjang dalam penelitian ini dicoba dilihat dari aspek dukungan masyarakat terhadap pemanfaatan sumberdaya tambang di wilayah kontrak karya

10 170 PT Gorontalo Minerals. Hal ini seperti digambarkan pada hasil wawancara dalam angket. Mengenai sifat dukungan pemanfaatan sumberdya tambang dapat dilihat pada Lampiran 29. Terkait dengan dukungan yang disampaikan oleh responden pada Lampiran 28, maka pada Lampiran 30 Tabel tentang bentuk dan dukungan pemanfaatan sumberdaya tambang sasarannya yaitu mengetahui bagaimana dukungan masyarakat terhadap pengelolaan sumberdaya tambang secara profesional. Total responden yang memberikan jawaban atau saran diterima yaitu 54 atau 65,1 persen. Responden yang menolak idea atau saran sebanyak16 responden atau 19.3 persen dan yang tidak menjawab yaitu 13 responden atau 15.7 persen. Selanjutnya penting untuk mengetahui apakah masyarakat di wilayah berhimpitan langsung dengan konsesi kontrak karya mengikuti dan menyalurkan aspirasinya lewat organisasi atau lembaga di tingkat lingkungan. Nampak bahwa masyarakat enggan atau kurang tertarik menyampaikan hal itu didalam organisasi dimana terdapat 46 responden yang menjawab tidak mengikuti organisasi atau 55.4 persen. Selanjutnya responden yang mengikuti organisasi yaitu 32 responden atau 39 persen, namun yang tidak menjawab yaitu 5 responden atau 6.0 persen. Umumnya masyarakat kurang tertarik masuk dalam organisasi karena lembaga organisasi relatif menyusun kegiatan program yang bersifat ritual sedangkan organisasi yang menyusun program terkait dengan isu-isu konflik pemanfaatan ruang relatif tidak ditemui. Indikator bahwa kelembagaan sosial ekonomi dan budaya memberikan peran terhadap interaksi dan kohesivitas masyarakat dalam rangka menjadi salah satu penentu apabila pemanfaatan sumberdaya tambang secara profesional akan diwujudkan. Meskipun bobot keterlibatan masyarakat masih harus didalami dalam kajian ilmiah selanjutnya agar nanti rekomondasi akan lebih berbobot pula. Lampiran 31 lebih memperjelas mengenai keterlibatan dalam organisasi. Keengganan masyarakat mengikuti organisasi menjadi tolok ukur penting bagi para pihak terutama pemerintah dan pemegang izin kontrak karya untuk membangun konsensus melalui penyadaran institutionl kepada para pihak agar kesepakatan tersebut dapat dipahami secara melembaga dan dapat dipertanggung

11 171 jawabkan kepada publik untuk dinaungi bersama serta mengedepankan kepentingan semua pihak diatas kepentingan sendiri maupun kelompok. Demikian pula masyarakat yang mengikuti organisasi dan memiliki kedudukan dalam organisasi relatif sedikit. Masyarakat yang ikut berorganisasi dan memiliki kedudukan yaitu 27 responden atau 32.5 persen dan yang tidak memiliki kedudukan dalam organisasi relatif lebih banyak yaitu 48 responden atau 58 persen. Sedangkan responden tidak menjawab sebanyak 8 responden atau 10 persen. Kedudukan dalam organisasi lebih disebabkan oleh kapasitas dan pengalaman berorganisasi yang relatif kurang. Aspek kehadiran dalam rapat organisasi relatif baik dimana jumlah responden yang sering hadir yaitu 30 responden atau 36.1 persen dan selalu hadir yaitu 10 responden. Sementara responden yang jarang hadir yaitu 16 reponden dan yang tidak ikut hadir yaitu 22 responden atau 26.5 persen.ada pula responden yang tidak mejawab yaitu 5 responden atau 6.0 persen. Bila ditotalkan antara jarang hadir, sering hadir dan selalu hadir yaitu 55 reponden atau 67.4 persen. Animo masyarakat menghadiri rapat organisasi cukup besar dan peluang untuk membangun komunikasi yang baik dalam rangka mencari resolusi konflik yang terbaik cukup terbuka. Hal ini dijumpai di lokasi penelitian bahwa frekuensi kehadiran merupakan bentuk partisipasi masyarakat di dalam membangun interaksi yang berbobot cukup besar bahkan keinginan ini sering disampaikan lewat media massa lokal. Hal ini dapat dilihat pada Lampiran 32. Frekuensi kehadiran dalam rapat organisasi cukup intensif karena obyek atau agenda yang sering muncul yaitu adanya informasi tentang potensi pertambangan memiliki nilai ekonomi cukup baik. Dijumpai bahwa beberapa tokoh masyarakat dan organisasi kepemudaan, termasuk mahasiswa terkesan menolak Konsesi kontrak karya karena alasan akan kehilangan pekerjaan di PETI namun sebagian juga mendukung karena mereka berharap akan menjadi bagian karyawan diperusahaan tambang. Keterlibatan masyarakat untuk memberikan saran disetiap pertemuan dalam organisasi diindikasikan melalui jawaban responden. Sebanyak 27 responden tidak memiliki saran atau 32.5 persen. Responden yang jarang memberikan saran yaitu 20 responden atau 24.1 persen dan responden yang sering

12 172 memberikan saran sebanyak 18 responden atau 22 persen. Ada pula responden yang selalu memberi saran yaitu 13 responden atau 16 persen, kemudian tidak menjawab yaitu 5 responden atau 6 persen. Umumnya masyarakat di wilayah yang berhimpitan langsung dengan Konsesi Kontrak karya menginformasikan bahwa penduduk asli itu sebagian mengetahui tentang wilayah kontrak karya. Pemahaman akan status kelembagaan hukum kontrak karya relatif sedikit. Misalnya masyarakat yang pernah menjadi tenaga kerja diperusahaan pemilik konsesi sebelumnya. Faktor kurangnya penyampaian informasi dan adanya desakan kebutuhan ekonomi yang diakibatkan oleh semakin bertambahnya penduduk disekitar kawasan konsesi tersebut menyebabkan resolusi konflik sampai hari ini masih dalam proses untuk mencari formulasi yang dapat diterima oleh semua pihak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Namun pemanfaatan lahan secara ekspansif baik untuk kebutuhan pemukiman, sarana dan prasarana pemerintah. Aspek keterlibatan memberikan saran dapat dilihat pada Lampiran 33 Kapasitas pemahaman masyarakat akan pemanfaatan sumberdaya tambang terutama yang bermukim disekitar kawasan konsesi di ilustrasikan melalui jawaban responden pada Lampiran 34. Terdapat responden yang menjawab tidak tahu dan tidak paham sebanyak 25 responden atau 30.1 persen, sedangkan responden tahu dan paham yaitu 53 responden atau 64 persen, namun yang tidak menjawab sebanyak 5 responden atau 6.0 persen. Dijumpai di lokasi penelitian masyarakat ada yang pernah melakukan dan yang sedang melakukan pertambangan tanpa izin memiliki pengalaman secara otodidak mereka mempelajari tentang jenis batuan yang mengandung logam mulia dan memprosesnya dengan mesin yang sudah modern serta memisahkan logam-logam tersebut dengan Mercuri/Cianida. Kemampuan masyarakat dalam menggunakan zat kimia ini sangat sulit terdeteksi. Pada bagian ini responden lebih banyak memilih bungkam karena takut ketahuan menggunakan. Sehingga hal tersebut menimbulkan pertanyaan apakah masyarakat sedemikian mudah dapat menggunakan zat ini secara bebas atau karena ada aparat yang melakukan upaya perlindungan.

13 Keterbukaan (Transparence) Status kawasan telah beberapa kali mengalami perubahan. Sejak ditetapkannya wilayah ini manjadi Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNWB) ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 1127/Kpts- II/1992 tanggal 12 Desember Kemudian ditinjau kembali statusnya menjadi Hutan Produksi Terbatas melalui kajian Tim Terpadu dalam Revisi Tata Ruang Wilayah Provinsi Gorontalo oleh Menteri Kehutanan Repulik Indonesia kepada Gubernur Gorontalo Nomor S.238/Menhut-VII/2010 tanggal 14 Mei Selanjutnya ditetapkan lagi dalam Rapat Paripurna DPRD Provinsi Gorontalo tanggal 29 Desember 2011 tentang Revisi Tata Ruang Wilayah Provinsi Gorontalo. Item di atas menjadi bagian pertanyaan yang diajukan kepada responden dengan jawaban yaitu 27 responden menjawab perubahan status kawasan tersebut tidak diketahui atau 32.5 persen. Responden yang menjawab tahu yaitu 7 responden atau 8.4 persen dengan total yang menjawab yaitu 34 responden atau 41.0 persen dari total 83 responden. Indikasi ketidaktahuan masyarakat terhadap perubahan status kawasan adalah suatu fakta bahwa sosialisasi tentang perubahan status kawasan kepada masyarakat masih sebatas sosialisasi di forum-forum seminar saja. Sedangkan bagaimana sosialisasi tersebut untuk membangun pemahaman amsyarakat secara konsisten dengan model komunikasi yang mudah dipahami adalah penting untuk menghindari eskalasi konflik yang sering terjadi diwilayah tumpang tindih tersebut. Hal ini dapat dilihat pada Lampiran 35 Tabel perubahan status kawasan. Selanjutnya mengenai informasi adanya potensi tambang di wilayah konsesi dapat dilihat pada Lampiran 36. Informasi ini sangat cepat sampai kepada masyarakat tentang status kontrak karya baik generesi pertama maupun generasi ke tujuh. Saat ini telah ditelusuri bahwasanya informasi tersebut telah sampai kepada masyarakat terutama pada pemukim disekitar kawasan konsesi. Pada analisis tabel frekuensi diketahui bahwa responden yang tidak tahu tentang status kontrak karya 21 responden atau 25.3 persen dan yang tahu hal itu 4 responden atau 5 persen. Disimak dari persentase pengetahuan masyarakat tentang status kontrak karya lebih didominasi oleh ketidaktahuan masyarakat, bukti konkrit

14 174 seperti yang telah dijumpai di lokasi penelitian terdapat 21 responden mengatakan bahwa kontrak karya ini mereka tidak tahu. Unsur ini lebih dilihat dari pandangan kemudahan mendapatkan informasi. Dimana proses pemanfaatan sumberdaya tambang dapat langsung diakses oleh para pihak yang membutuhkan secara bertanggung jawab. Proses pemanfaatan ini dapat dimonitor dan dipahami secara berkelanjutan dan konsisten untuk menyampaikan kepada publik agar nanti informasi ini menjadi bagian peningkatan pemahaman masyarakat tentang pertambangan. Mengenai pemahaman terhadap pemanfaatan sumberdaya tambang dapat dilihat pada Lampiran 37. Terkait dengan permulaan memperoleh informasi tentang wilayah yang memiliki cadangan emas dan tembaga yang telah diteliti atau dieksplorasi oleh perusahaan sebelumnya yaitu informasi dari Pemerintah, jawaban responden sebanyak 11 responden atau 13.3 persen. Sedangkan yang menjawab informasi itu dari bekas staf pegawai perusahaan yang melakukan eksplorasi 15 responden atau 18.1 persen dengan jumlah yang menjawab yaitu 26 responden atau 31.3 persen. Berikut informasi dari salah seorang bekas staf di perusahaan pertambangan pemegang kontrak karya sebelumnya PT Tropic Endeavour Indonesia pemegang kontrak karya generasi kedua tahun 1971: (Saya jadi pegawai diperusahaan PT Tropic dan saya tahu disini bekas eksplorasi perusahaan mulai dari titik bor 1 sampai titik kesekian itu saya tahu tempatnya, mulai dari motomboto, sungai mak, cabang kiri dan cabang kanan sudah diekplorasi oleh Tropic. Tapi sayang perusahaan tidak melanjutkan izin kontrak karyanya setelah berakhir tahun 1986 pedahal kami yang paling makmur di Gorntalo saat itu karena gaji kami lebih tinggi dari pegawai negeri: Pak Guru Ridha). Variabel ketidaktahuan ini cukup signifikan, oleh karena itu perlu ada upaya pemberian pemahaman kepada masyarakat tentang status kawasan konsesi kontrak karya. Lebih diasumsikan kepada keengganan masyarakat penambang untuk tidak menanggapi informasi. Pada lokasi penelitian beberapa penambang tanpa izin memiliki sifat antipati terhadap keberadaan perusahaan, karena akan mengusik keberadaan mereka (PETI). Namun ketidaktahuan masyarakat adalah

15 175 bentuk yang perlu dipertanyakan karena saat ini masing-masing melakukan aktivitas di lokasi yang berhimpitan dan tidak saling mengenal. Artinya terdapat perasaan yang tidak ingin tahu tentang lahan kontrak karya yang telah dimulai sejak tahun 1971 oleh beberapa perusahaan pertambangan ini meskipun isu yang masih menjadi perdebata. Lampiran 38 mengenai informasi status kontrak karya. Peran informal leader atau tokoh masyarakat untuk menjembatani resolusi konflik terkait konsesi kontrak karya yang berhimpitan langsung dengan pemukiman serta kegiatan sosial ekonomi masyarakat, dapat dilihat pada Lampiran 39. Responden yang menjawab tokoh masyarakat tidak berperan aktif sebanyak 36 responden atau 43.4 persen dan menjawab berperan aktif yaitu 39 responden atau 47.0 persen. Sedangkan yang tidak menjawab yaitu 8 responden atau 10 persen. Nampak bahwa peran tokoh masyarakat relatif seimbang antara berperan dan tidak mengambil peran aktif, meskipun demikian responden yang menjawab bahwa tokoh masyarakat tetap memberikan peranan aktif dalam penyelesaian konflik ini cukup baik. Aktualiasi peran tokoh masyarakat telah didalami sampai sejauh mana penerimaannya terhadap keluhan masyarakat terkait dengan konflik kawasan ini, nampak Lampiran 40. Responden yang menjawab tokoh masyarakat tidak menerima keluhan sebanyak 40 atau 48.2 persen dan selalu menerima keluhan sebanyak 27 responden atau 32.5 persen. Sedangkan yang tidak menjawab yaitu 16 responden atau 19.3 persen. Konotasi tokoh masyarakat lebih diarahkan pada tokoh politik, hal ini menjadi potret umum bahwa terkadang politisi itu akan lebih melihat pada masyarakat yang mendukungnya/konstituennya, sehingga masyarakat yang bersebrangan dengan kepentingannya kurang dilayani. Mengenai peran tokoh masyarakat menerima keluhan dan informasi dari masyarakat dapat dilihat pada Lampiran Kepekaan (Responsiveness) Unsur ini berpandangan bahwa setiap proses dan kelembagaan yang sedang dirancanakan dan diimplementasikan harus dapat memberikan pelayanan kepada para pihak. Artinya aspek sosial budaya dalam membangun resolusi konflik merupakan model yang dapat diterima oleh semua pihak karena

16 176 dipandang oleh semua pihak bahwa nilai-nilai budaya yang merupakan bagian dari cara masyarakat untuk mencari solusi di setiap konflik yang muncul adalah sebuah keniscayaan. Meskipun nilai-nilai sosial budaya ini semakin luntur karena adanya budaya luar yang masuk lewat media saat ini, namun ada saatnya nilai-nilai sosial budaya tersebut dibutuhkan untuk memecahkan masalah yang ada. Sebab kemampuan nilai-nilai kearifan lokal dapat berada di semua kepentingan para pihak. Seperti pada Lampiran 41 yang mendeskripsikan keaktifan masyarakat dalam kegiatan organisasi sosial budaya. Responden yang menjawab mengikuti organisasi sosial budaya yaitu 24 responden atau 29 persen dan tidak mengikuti organisasi sosial budaya yaitu 19 responden atau 23 persen sedangkan yang tidak menjawab sebanyak 40 responden atau 48.2persen. Potret data ini menjelaskan bahwa keengganan masyarakat terhadap organisasi sosial budaya semakin terkikis oleh aktivitas keseharian masyarkat meskipun mereka dibayang-bayangi oleh persoalan konflik kawasan. Terkait dengan organisasi sosial budaya dapat dilihat pada Lampiran 41. Selanjutnya penelitian ini ditingkatkan pada pertanyaan alasan perlu adanya organisasi sosial budaya. Terdapat beberapa alasan yang disampaikan yaitu item banyak hal yang dapat dikembangkan 1 responden atau 1.2 persen, keterkaitanya terhadap pengembangan lembaga desa terdapat 1 responden yang menjawab 1.2 persen. Jawaban adanya organisasi ekonomi yaitu 1 responden atau 1.2 persen, kemudian yang merasa ekonomi rumah tangga terbantu yaitu 4 responden atau 5 persen, terkait dengan keberadaanya dalam organisasi terdapat 1 responden atau 1.2 persen. Terdapat pula 2 responden nyang menjawab bahwa organisasi sosial budaya memberikan bantuan modal atau 2.4 persen. Responden yang menjawab bahwa organisasi ini dapat membantu perekonomian yaitu 1 responden atau 1.2 persen, selanjutnya bahwa organisasi ini memberi penunjang, memenuhi kebutuhan, organisasi memiliki pengaruh, organisasi mendukung kemajuan, organisasi sebagai sarana pengembangan masyarakat juga sebagai penghidupan ekonomi masing-masing 1 responden atau 1.2 persen. Mengenai alasan perlu adanya organisasi sosial budaya dapat dilihat pada Lampiran 42.

17 177 Aspek yang berkaitan dengan perlu tidaknya syarat organisasi sosial budaya dapat dilihat pada Lampiran 43. Dimana terdapat 61 responden yang melakukan jawaban dan diantara responden tersebut hanya dua variabel yang mendapatkan 2 jawaban dari responden yaitu mengikuti aturan dan variabel memberdayakakan masyarakat. Item ini penting untuk membangun model kelembagaan masyarakat kemasa yang akan datang karena sangat terkait variabel mana menurut masyarakat yang perlu diutamakan. Artinya masyarakat cukup menghargai aturan kelembagaan termasuk pola pemberdayaan masyarakat cenderung yang dipilih untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi. Pola preferensi ini masih didominasi oleh variabel lain yang begitu banyak, dengan angka masing-masing 1 responden namun dapat digarisbawahi bahwa keinginan masyarakat untuk membangun kelembagaan sosial budaya ini cukup responsif. Mengenai sayarat organisasi sosial budaya dapat dilihat pada Lampiran 43. Meskipun dari akumulasi persentasi hanya 48.5 persen atau sekitar 50 responden yang tidak menjawab item ini. Penting untuk mengetahui apakah organisasi sosial budaya memiliki manfaat atau tidak buat masyarakat. Terdapat 16 responden yang menjawab tidak ada manfaat atau 19.3 persen dan yang menjawab bahwa organisasi sosial budaya memiliki manfaat yaitu 17 responden atau 20.5 persen. Responden memiliki pilihan antara manfaat dan tidaknya suatu organisasi sosial budaya pada lokasi penelitian ini relatif seimbang. Terkait dengan manfaat organisasi sosial budaya dapat dilihat pada Lampiran 44. Pada aspek kelengkapan organisasi yang diikuti masyarakat dalam artian bahwa instrument dan struktur serta atribut organisasi telah dimiliki oleh organisasi dapatlah dilihat pada tabel dibawah ini terdapat 13 responden yang menjawab bahwa organisasi yang diikuti belum memilki kelengkapan atau 16 persen dan 11 responden yang menjawab bahwa organisasi tersebut telah memiliki kelengkapan atau 13.3 persen sedangkan yang tidak menjawab yaitu 59 responden atu 71.1 persen. Kelengkapan organisasi adalah intrumen untuk mencapai tujuan organisasi yang akan menjadi bagian dari proses transformasi manajemen, budaya kerja dan hubungan formal antara masyarakat yang membutuhkan tindak lanjut dan pada akhirnya kelengkapan ini akan menjadi input yang akan diproses menjadi bagian

18 178 dari transformasi itu sendiri dalam dinamika organisasi kemasyarakatan dalam suatu sistem kelembagaan. Oleh karena itu kelengkapan berada posisi penting terutama kelembagaan yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya tambang saat ini yaitu teknologi. Hal ini dapat dilihat pada Lampiran 45 Tabel kelengkapan organisasi yang diikuti. Keterkaitan organisasi yang diikuti dengan pelestarian lingkungan memiliki akumulasi persentasi yang relatif kecil yaitu 29 persen dari rata-rata total responden. Akan tetapi aspek ini memiliki hubungan yang penting dengan aspek pemanfaatan lahan diwilayah konsesi kontrak karya. Penambang tanpa izin dan pemanfaatan pertanian dan perkebunan sebanyak 8 responden yang menjawab kegiatan pelestarian lingkungan tidak diikuti atau 10 persen dan yang menjawab mengikuti program pelestarian lingkungan yaitu 20 responden atau 71.4 persen. Pada lokasi penelitian terdapat lahan-lahan yang kritis tidak dimanfaatkan lagi dan dibiyarkan begitu saja karena sesuai denga informasi masyarakat bahwa ada kebiasaan masyarakat untuk melakukan perladangan berpindah-pindah. Mengenai organisasi pelestarian lingkungan dapat dilihat pada Lampiran 46. Syarat organisasi dalam memelihara lingkungan memiliki akumulasi persentase yang baik yaitu validitasnya mecapai 83.1 persen atau rata-rat 69 responden yang menjawab terkait dengan pertanyaan. Item bekerja sama, gotong royong, kerja sama, menjaga kebersihan dan pemeliharaan lingkungan, semua aturan harus diikuti serta tidak membuang sampah sembarang masing-masing 1 responden atau 1.2 persen, sedangkan yang menjawab bahwa tenaga kerja harus siap yaitu 2 responden atau 2.4 persen. Keterlibatan organisasi dalam menjaga lingkungan relatif tidak aktif terutama bagaimana membangun organisasi yang memiliki persyaratan program terhadap pelestarian lingkungan. Sehingga nampak beberapa anak sungai telah mengalami kekeringan karena hulu dari sungai tersebut telah dimanfaatkan untuk lahan pertanian dan perkebunan dan sebagian sungai juga telah berubah warna air karena limbah pertambangan tanpa izin dialirkan lewat sungai-sungai tersebut. Beberapa penelitian menyampaika hasilnya bahwa air sungai tersebut telah menurun kualitasnya dan berbahaya untuk digunakan masyarakat. Oleh karena itu penting adanya organisasi yang bergerak dibidang lingkungan yang bertujuan memberikan informasi dan advokasi

19 179 kepada masyarakat terkait dengan pelestarian lingkungan. Terdapat pula organisasi yang disyaratkan untuk menjaga lingkungan, dapat dilhat pada Lampiran 47. Aspek kearifan lokal merupakan tata nilai yang tidak tertulis dalam hubungan kekerabatan antar masyarakat merupakan hal yang diperlukan, seperti pada tabel dibawah ini terdapat 12 responden yang menjawab bahwa dalam organisasi sosial perlu mengedepankan kearifan lokal disetiap penyelesaian konflik atau 14.5 persen dan menjawab tidak ada kearifan lokal dalam setiap organisasi sosial yaitu 12 responden atau 14.5persen. sedangkan tidak menjawab yaitu 59 responden atau 71.1 persen sehingga nampak pada akumulasi persentase yaitu 50.0 persen atau dapat diinterpretasi bahwa aspek kearifan lokal diwilayah berhimpitan langsung dengan konsesi relatif kecil bahkan mengalami degradasi. Mengenai kearifan lokal dalam pembahasan dapat dilihat pada Lampiran 48. Demikian pula pada aspek syarat organisasi tetap memelihara kearifan lokal bila dilihat dari partisipasi responden untuk menjawab pertanyaan ini yaitu belum adanya upaya pemeliharaan kearifan lokal sebagai syarat dalam organisasi sosial 18 responden atau 22 persen. Responden yang menjawab sudah ada yaitu 5 responden atau 6.0 persen, sedangkan yang tidak menjawab yaitu 60 responden atau 72.3 persen. Kegiatan organisasi sosial dengan tetap mempertahankan kearifan lokal yang bersifat keagamaan seperti Zikir (Dikili), Mi raz (meerazi) surunani, buruda dan kegiatan olahraga tradisional seperti langga semakin menurun peminatnya terutama dikalangan pemuda. Aspek syarat kearifan lokal pada oraginasi sosial dapat dilihat tabelnya pada Lampiran 49. Selanjutnya bila disimak bagaimana peran organisasi sosial dalam menyelesaikan konflik nampak pada akumulasi persentasi model tabel frekuensi yaitu 56.5 persen, bila dibandingkan dengan responden yang tidak menjawab yaitu 60 atau 72.3 persen maka nilai harapan untuk menggunakan atau member peran terhadap organisasi sosial relatif kecil. Hal ini dapat dilihat dari responden yang menjawab bahwa organisasi sosial tidak berperan dalam penyelesaian konflik yaitu 13 atau 16 persen dan menjawab bahwa organisasi memainkan peran dalam penyelesaian konflik yaitu 10 responden atau 12.0 persen. Organisasi yang sering tampil dalam penyelesaian konflik bukanlah organisasi sosial, tetapi

20 180 organisasi non formal yang mengatasnamakan kelompok seperti Asosiasi Pertambangan Rakyat yang memperjuangkan keinginan mereka untuk memperoleh sebagian wilayah pertambangan dikawasan konsesi kontrak karya PT Gorontalo Minerals. Terkait dengan peran organisasi dalam meyelesaikan konflik yang dibahas, dapat dilhat tabelnya pada Lampiran 50. Komponen penting dalam menyiapkan persyaratan perangkat organisasi terkait dengan integritas orang-orang dalam organisasi dibutuhkan agar hasil yang diinginkan bukan untuk kepentingan kelompok ataupun pribadi. Responden yang menjawab belum ada perangkat organisasi yang baik sebanyak 15 responden atau 18.1 persen dan yang menjawab sudah ada perangkat atau persyaratan organisasi sosia dalam menyelesaikan konflik yaitu 8 responden atau 10 persen. Sedangkan yang tidak menjawab sebanyak 60 responden atau 72.3 persen. Dijumpai pada spesifikasi persoalan ini kurang dapat dipahami oleh masyarakat terutama bagaimana membentuk organisasi yang memiliki kapasitas kelembagaan hukum. Adapun syarat yang di miliki organisasi dalam penyelesaian konflik yang dibahas pada item ini dapat dilihat tabelnya pada Lampiran Keadilan (Equity) Setiap warga masyarakat yang berada di sekitar pemanfaatan sumberdaya tambang memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk menjadi bagian naik langsung maupun tidak langsung dalam proses meningkatkan kapasitas ekonomi dalam mencapai kesejahteraan yang lebih baik dengan adanya pemanfaatan sumberdaya tambang ini. Hal ini menjadi jawaban juga atas isu-isu negatif terhadap kegiatan pertambangan disuatu wilayah yang tidak memperbaiki ketimpangan pembangunan wilayah. Penelitian ini akan lebih memaknai aspek keadilan ini secara mendalam dengan melihat bagaimana kelembagaan ekonomi yang ada disekitar kawasan pemanfaatan sumberdaya tambang. Sejak Tahun 1983 kegiatan perekonomian telah ada, wilayah ini masih merupakan bagian dari Kabupaten Gorontalo (Kabupaten Induk) dan juga saat itu masih bagian wilayah administrasi Provinsi Sulawesi Utara. Meskipun relatif usaha perekonomian ini tidak begitu berkembang namun indikasi ini menunjukkan bahwa di wilayah ini telah ada aktivitas perekonomian masyarakat

21 181 bahkan dijumpai terdapat beberapa pasar mingguan dan 1 buah Pelabuhan Pelelangan Ikan di Kecamatan Bulawa yang semua wilayah administrasinya berada didalam kawasan konsesi kontrak Karya, Potensi perikasnan laut di pesisir Toluk Tomini cukup potensial namun belum ada investasi yang berskala besar. Terkait dengan waktu terbentuk lembaga ekonomi yang dibahas pada aspek ini, dapat dilihat tabelnya pada Lampiran 52. Aspek ini membahas tentang perkembangan lembaga ekonomi dari tahunketahun. Terdapat peningkatan jumlah kelembagaan pada Tahun 1990 yaitu 8 responden atau 10 persen dalam artian bahwa terdapat 8 responden yang memiliki usaha ekonomi dan pada Tahun 1992 dan 1998 terjadi peningkatan 3 unit usaha ekonomi hingga pada tahun Terdapat 5 unit usaha ekonomi dan sampai akhir 2009 terdapat 2 unit usaha ekonomi sehingga dijumlahkan menjadi 34 unit usaha ekonomi yang dimiliki oleh responden. Pada aspek ini dibahas tentang kepemilikan usaha ekonomi yang telah dijelaskan pada tabel di Lampiran 53. Sebanyak 60 persen yang menjawab pada item pertanyaan ini yang lebih ditujukan kepada kepemilikan atau posisi pada usaha, terdapat 1 responden sebagai bendahara, 1 responden sebagai buruh, 1 responden sebagai nelayan. Hal yang menarik terdapat 1 responden sebagai pedagang sekaligus pemilik tromol atau masing-masing 1.2 persen. Terdapat pula 4 responden sebagai pedagang atau 5persen, kemudian sebagai pemilik usaha 18 responden atau 22 persen, serta 1 responden menjawab usahanya adalah milik keluarga. Usaha ekonomi yang menarik dan unik yaitu 7 responden yang menjawab sebagai pemilik Tromol atau 9 persen dimana usaha tersebut merupakan bukti bahwa pertambangan tanpa izin telah menjadi bagian dari usaha perekonomian masyarakat di wilayah konsesi kontrak karya. Mengenai kepemilikan dalam lembaga ekonomi dapat dilihat pada Lampiran 53. Selain usaha lembaga ekonomi, terdapat juga kegiatan ekonomi masyarakat yang bersifat massal, yaitu sebagai anggota PKK, arisan uang, pemanfaatan lahan kosong, jualan makan tradisional, sumbangan duka dan sumbangan acara perkawinan masing-masing 1 responden atau 1.2persen dan kegiatan arisan barang seperti alat-alat rumah tangga dan perabot yaitu 24 responden atau 29persen.

22 182 Kegiatan ekonomi seperti ini cukup maju terutama di kalangan ibu-ibu rumah tangga untuk memanfaatkan waktu. Hal ini dapat dilihat pada Lampiran 53 Tabel kegiatan ekonomi masyarakat. Selain itu usaha ekonomi ini memilki administrasi yang sederhana dan lebih mengedepankan kepercayaan dimasingmasing anggota arisan karena model ini hampir sama dengan orang menabung di Bank meskipun tidak ada bunganya namun masyarakat lebih memilih hal ini karena memelihara hubungan sosial dan kekerabatan antar masyarakat dan keluarga yang ikut serta dalam arisan. Di sisi lain rumah tangga keluarga merasa terbantu karena uang yang disimpan lewat arisan dapat diperoleh kembali sehingga berbeda dengan uang tersebut hanya disimpan di rumah. Terdapat 22 jenis organisasi sosial ekonomi dan kemasyarakatan di wilayah berhimpitan langsung dengan konsesi kontrak karya. Terlihat bahwa Ketua RT, ekonomi produktif, PNPM, Gotong Royong, Arisan, Huyula, huyulah PNPM, Jama Tablig, Karang Taruna, KNPI HIPMI, Majelis Ta lim Yatim Piatu, majelis ta lim PAB PNPM, PNPM pembangunan MCK, rukun duka, tadarus ibuibu PKK, ta mirul Masjid BPD, Taman pengajian Alquran masing-masing 1 responden dan organisasi nelayan 3 responden atau 4persen, juga arisan tadarus Alquran sebanyak 8 responden atau 10 persen. Demikian pula taman pengajian 2 responden atau 2,4 persen. Dijumpai terdapat sarana olahraga seperti lapangan sepak bola dan lapangan bola voli namun bila dilihat dari berbagai macam organisasi pada tabelberikut bahwa organisasi olahraga nyaris tidak ada, demikian juga organisasi kelembagaan petani relatif tidak ditemui meskipun pemanfaatan lahan pada wilayah konsesi kontrak karya terus meluas. Aspek ini cukup menjawab pertanyaan-pertanyaan kepada responden pada item sebelumnya, karena keikutsertaan masyarakat pada lembaga sosial ekonomi dan kemasyarakatan merupakan indikasi bahwa kesadaran masyarakat untuk menyampaika saran dan pemikiran secara melembaga semakin berkembang dan juga keinginan untuk mengetahui informasi atau saran dari anggota atau msayarakat lain dapat diperoleh melalui keaktifan mereka mengikuti organisasi tersebut. Terkait dengan organisasi sosial ekonomi yang dibahas pada aspek ini dapat dilihat Lampiran 54.

23 183 Organisasi yang paling banyak diikuti masyarakat disekitar kawasan pemukiman yang berhimpitan langsung dengan konsesi kontrak karya yaitu arisan PKK dan pengajian 2 responden atau 2.4 persen. Kegiatan arisan tadarus Alquran 2 responden atau 2,4 persen, bakti sosial 1 reponden atau 1,2 persen. Selanjutnya pemilihan ketua DPC 1 responden atau 1.2 persen, gotong royong 1 reponden atau 1.2 persen, karang taruna 7 responden atau 8.4 persen, karang taruna dan arisan 2 responden 2.4 persen, karang taruna, gotong royong 14 responden atau 17 persen, karang taruna KNPI dan HIPMI, 1 responden atau 1.2persen, organisasi keagamaan 1 responden, pengajian 2 responden atau 2.4 persen, PNPM 3 responden atau 3.6 persen, PNPM dan air bersih 1 responden atau 1.2persen dan terakhir yaitu Taman Pengajian Alquran 1 responden atau 1.2 persen. Total responden yang menjawab pada item ini sebanyak 44 atau 53.0 persen dari total 83 responden. Lebih dari 50 persen responden yang menjawab pertanyaan ini. Sementara itu jumlah organisasi sosial ekonomi dan kemasyarakatan yang paling banyak diikuti sebanyak 15 organisasi, hal ini merupakan bentuk keinginan masyarakat untuk mengikuti perkembangan informasi dan juga merupakan bentuk perkumpulan yang menjadi pilihan utama karena kemungkinan pilihan organisasi selain itu sulit dijumpai dan meskipun ada pusat kegiatannya lebih banyak di ibu kota kabupaten atau kota di setiap daerah. Pilihan organisasi kemasyarakatan gotong royong dan karang taruna lebih banyak diminati masyarakat sebagai indikasi disekitar kawasan konsesi kontrak karya masih terpelihara tradisi gotong royong dalam bahasa Gorontalo yaitu (Mohuyula), dan juga pada jaman yang semakin maju pun tradisi seperti itu masih dapat dijumpai dalam masyarakat terutama pemukim yang berada dikawasan yang berhimpitan langsung dengan konsesi kontrak karya PT Gorontalo Minerals. Aspek sosial ekonomi yang dibahas pada item dapat dilihat Lampiran 55. Pola jawaban yang disampaikan reponden pada item pertanyaan berikut ini memiliki keterkaitan langsung dengan pertanyaan yang telah dideskripsikan diatas. Nampak pada jawaban responden yaitu arisan dan tadarus Alquran 2 responden atau 2.4 persen, BPD 1 responden atau 1.2 persen, gotong royong 1 responden atau 1.2 persen, Karang taruna ditingkat Desa 3 responden atau 3.6persen, karang taruna ditingkat Kecamatan 2 responden atau 2.4persen, karang

Lampiran 1. Inventarisasi Luasan Lahan Berhimpitan Langsung Dengan Konsesi Kontrak Karya PT Gorontalo Mineral Tingkat Desa

Lampiran 1. Inventarisasi Luasan Lahan Berhimpitan Langsung Dengan Konsesi Kontrak Karya PT Gorontalo Mineral Tingkat Desa LAMPIRAN 219 217 Lampiran 1. Inventarisasi Luasan Lahan Berhimpitan Langsung Dengan Konsesi Kontrak Karya PT Gorontalo Mineral Tingkat Desa Kecamatan/ Desa Luas (ha) Areal Pertanian Hutan Semak Belukar

Lebih terperinci

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH BUMBU NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH BUMBU NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH BUMBU NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN RUKUN TETANGGA, RUKUN WARGA, LEMBAGA KEMASYARAKATAN LAINNYA DAN DUSUN

Lebih terperinci

6.1. Strategi dan Arah Kebijakan Pembangunan

6.1. Strategi dan Arah Kebijakan Pembangunan BAB - VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN 6.1. Strategi dan Arah Kebijakan Pembangunan Strategi adalah langkah-langkah berisikan program indikatif untuk mewujudkan visi dan misi, yang dirumuskan dengan kriterianya

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI HULU SUNGAI SELATAN, Menimbang : a. b. c. Mengingat : 1.

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO, Menimbang :

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI HULU SUNGAI UTARA, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA PEMECAHAN MASALAH. A. Terjadinya Konflik Jalan Lingkungan Di Kelurahan Sukapada

BAB II KERANGKA PEMECAHAN MASALAH. A. Terjadinya Konflik Jalan Lingkungan Di Kelurahan Sukapada BAB II KERANGKA PEMECAHAN MASALAH A. Terjadinya Konflik Jalan Lingkungan Di Kelurahan Sukapada Proses peralihan kepemilikan lahan kosong terjadi sejak akhir 2004 dan selesai pada tahun 2005, dan sejak

Lebih terperinci

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR 35 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR 35 TAHUN 2011 TENTANG BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR 35 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN, TUGAS POKOK, FUNGSI DAN ORGANISASI LEMBAGA KEMASYARAKATAN KELURAHAN BUPATI PURWOREJO, Menimbang : a. bahwa dengan ditetapkannya

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUANTAN SINGINGI NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUANTAN SINGINGI NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUANTAN SINGINGI NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUANTAN SINGINGI, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

PERATURAN DESA BOJONGGENTENG KECAMATAN JAMPANGKULON KABUPATEN SUKABUMI NOMOR 8 TAHUN 2017

PERATURAN DESA BOJONGGENTENG KECAMATAN JAMPANGKULON KABUPATEN SUKABUMI NOMOR 8 TAHUN 2017 PERATURAN DESA BOJONGGENTENG KECAMATAN JAMPANGKULON KABUPATEN SUKABUMI NOMOR 8 TAHUN 2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DESA BOJONGGENTENG NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN

Lebih terperinci

RPJMD KABUPATEN LINGGA BAB 5 VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

RPJMD KABUPATEN LINGGA BAB 5 VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN I BAB 5 I VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN 5.1. Visi Pengertian visi secara umum adalah gambaran masa depan atau proyeksi terhadap seluruh hasil yang anda nanti akan lakukan selama waktu yang ditentukan.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengesahan Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara pada tanggal 12 Juni 2009 oleh Presiden Republik Indonesia berikut Peraturan Pemerintah

Lebih terperinci

DAFTAR KEWENANGAN GAMPONG BERDASARKAN HAK ASAL USUL

DAFTAR KEWENANGAN GAMPONG BERDASARKAN HAK ASAL USUL LAMPIRAN I PERATURAN BUPATI BIREUEN NOMOR 16 TAHUN 2016 TENTANG DAFTAR KEWENANGAN GAMPONG BERDASARKAN HAK ASAL USUL DAN KEWENANGAN LOKAL BERSKALA GAMPONG DALAM KABUPATEN BIREUEN DAFTAR KEWENANGAN GAMPONG

Lebih terperinci

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 14 TAHUN 2007 TENTANG

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 14 TAHUN 2007 TENTANG BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 14 TAHUN 2007 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 15 TAHUN 2006 TENTANG PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA BUPATI KUDUS, Menimbang :

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS KOMUNIKASI KONFLIK KELOMPOK DI MASYARAKAT MALANG NENGAH

BAB IV ANALISIS KOMUNIKASI KONFLIK KELOMPOK DI MASYARAKAT MALANG NENGAH BAB IV ANALISIS KOMUNIKASI KONFLIK KELOMPOK DI MASYARAKAT MALANG NENGAH A. Bentuk Konflik Antar Kelompok Bentuk konflik antar kelompok yang terjadi di Kampung Malang Nengah diantaranya terdiri dari beberapa

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Bab ini merupakan kesimpulan yang menjabarkan pernyataan singkat hasil temuan penelitian yang menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian. Kesimpulan penelitian akan dimulai

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 1.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil observasi dilapangan serta analisis yang dilaksanakan pada bab terdahulu, penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk merumuskan konsep

Lebih terperinci

BAB 14 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI

BAB 14 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI BAB 14 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH Draft 12 Desember 2004 A. PERMASALAHAN Belum optimalnya proses desentralisasi dan otonomi daerah yang disebabkan oleh perbedaan persepsi para

Lebih terperinci

LAPORAN. KEGIATAN BULAN BHAKTI GOTONG ROYONG MASYARAKAT (BBGRM) Ke XIV TEMA

LAPORAN. KEGIATAN BULAN BHAKTI GOTONG ROYONG MASYARAKAT (BBGRM) Ke XIV TEMA LAPORAN KEGIATAN BULAN BHAKTI GOTONG ROYONG MASYARAKAT (BBGRM) Ke XIV TEMA DENGAN BULAN BHAKTI GOTONG ROYONG MASYARAKAT, KITA TINGKATKAN PERAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN MENUJU MASYARAKAT MANDIRI DAN SEJAHTERA

Lebih terperinci

Seminar Nasional dan Konferensi BKPSL XIX, 7 Agustus 2008 Universitas Sam Ratulangi - Manado

Seminar Nasional dan Konferensi BKPSL XIX, 7 Agustus 2008 Universitas Sam Ratulangi - Manado Seminar Nasional dan Konferensi BKPSL XIX, 7 Agustus 2008 Universitas Sam Ratulangi - Manado PERSEPSI MASYARAKAT TENTANG POTENSI MINERAL DAN UPAYA KONSERVASI DI KAWASAN TAMAN NASIONAL BOGANI NANI WARTABONE

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS A. Permasalahan Pembangunan Dari kondisi umum daerah sebagaimana diuraikan pada Bab II, dapat diidentifikasi permasalahan daerah sebagai berikut : 1. Masih tingginya angka

Lebih terperinci

DAFTAR BIDANG KELOMPOK KEGIATAN APBD DESA

DAFTAR BIDANG KELOMPOK KEGIATAN APBD DESA DAFTAR BIDANG KELOMPOK KEGIATAN APBD DESA Kode Uraian 1 BIDANG PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DESA 1 1 Operasional Pemerinthan Desa 1 1 1 Penghasilan Tetap dan Tunjangan 1 1 2 Operasional Perkantoran 1 1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terlalu dominan. Sesuai konsep government, negara merupakan institusi publik

BAB I PENDAHULUAN. terlalu dominan. Sesuai konsep government, negara merupakan institusi publik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konsep governance dikembangkan sebagai bentuk kekecewaan terhadap konsep government yang terlalu meletakkan negara (pemerintah) dalam posisi yang terlalu dominan. Sesuai

Lebih terperinci

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR 5.1. Visi dan Misi Pengelolaan Kawasan Konservasi Mengacu pada kecenderungan perubahan global dan kebijakan pembangunan daerah

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Responden dalam penelitian ini adalah masyarakat Kabupaten Way Kanan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Responden dalam penelitian ini adalah masyarakat Kabupaten Way Kanan 56 V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Identitas Responden Responden dalam penelitian ini adalah masyarakat Kabupaten Way Kanan yang berjumlah 100 responden. Identitas responden selanjutnya didistribusikan

Lebih terperinci

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 14 TAHUN 2007 TENTANG

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 14 TAHUN 2007 TENTANG BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 14 TAHUN 2007 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 15 TAHUN 2006 TENTANG PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA BUPATI KUDUS, Menimbang a.

Lebih terperinci

Bab 2. Kerangka Pendekatan dan Teori

Bab 2. Kerangka Pendekatan dan Teori Bab 2 Kerangka Pendekatan dan Teori 15 II.1. Pengantar Kurikulum 2013 dikembangkan bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui praktik pendidikan nasional agar peserta didik mampu menjadi warga

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CIAMIS, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PELAKSANAAN TRANSMIGRASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SALINAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PELAKSANAAN TRANSMIGRASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PELAKSANAAN TRANSMIGRASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN TIMUR, Menimbang : a. bahwa ketimpangan persebaran

Lebih terperinci

BUPATI ENREKANG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ENREKANG NOMOR 1 TAHUN 2016

BUPATI ENREKANG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ENREKANG NOMOR 1 TAHUN 2016 P BUPATI ENREKANG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ENREKANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN TERHADAP MASYARAKAT HUKUM ADAT DI KABUPATEN ENREKANG DENGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang mempunyai banyak kekayaan alam baik yang dapat diperbaharui maupun yang tidak dapat diperbaharui. Jenis kekayaan

Lebih terperinci

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN 6.1. STRATEGI Untuk mencapai tujuan daerah yang merupakan hasil akhir dari tolok ukur pembangunan lima tahun yang akan datang dalam menjalankan misi guna mendukung terwujudnya

Lebih terperinci

TABEL 6.1 STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

TABEL 6.1 STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN TABEL 6.1 STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN Visi : Terwujudnya pemerintahan yang baik dan bersih menuju maju dan sejahtera Misi I : Mewujudkan tata kelola pemerintahan yang profesional, transparan, akuntabel

Lebih terperinci

BAB III STRATEGI PERCEPATAN PEMBANGUNAN SANITASI

BAB III STRATEGI PERCEPATAN PEMBANGUNAN SANITASI BAB III STRATEGI PERCEPATAN PEMBANGUNAN SANITASI Berdasarkan Visi dan Misi yang telah dirumuskan, dan mengacu kepada arahan tehnis operasional dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) Kota Banjarbaru

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL (Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul) Nomor : 3 Tahun : 2017

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL (Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul) Nomor : 3 Tahun : 2017 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL (Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul) Nomor : 3 Tahun : 2017 PERATURAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA

Lebih terperinci

KERANGKA PENDEKATAN TEORI. manusia yang beragam jenisnya maupun proses alam yang belum memiliki nilai

KERANGKA PENDEKATAN TEORI. manusia yang beragam jenisnya maupun proses alam yang belum memiliki nilai II. KERANGKA PENDEKATAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Sampah Sampah merupakan barang sisa yang sudah tidak berguna lagi dan harus dibuang. Berdasarkan istilah lingkungan untuk manajemen, Basriyanta

Lebih terperinci

PERSEPSI MASYARAKAT TENTANG POTENSI MINERAL DAN UPAYA KONSERVASI DI KAWASAN TAMAN NASIONAL BOGANI NANI WARTABONE DI KABUPATEN BONE BOLANGO, GORONTALO

PERSEPSI MASYARAKAT TENTANG POTENSI MINERAL DAN UPAYA KONSERVASI DI KAWASAN TAMAN NASIONAL BOGANI NANI WARTABONE DI KABUPATEN BONE BOLANGO, GORONTALO PERSEPSI MASYARAKAT TENTANG POTENSI MINERAL DAN UPAYA KONSERVASI DI KAWASAN TAMAN NASIONAL BOGANI NANI WARTABONE DI KABUPATEN BONE BOLANGO, GORONTALO 1 Oleh: Ramli Utina 2 1. Latar Belakang Taman Nasional

Lebih terperinci

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN BUPATI SUKOHARJO NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN BUPATI SUKOHARJO NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG BUPATI SUKOHARJO PERATURAN BUPATI SUKOHARJO NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN BUPATI SUKOHARJO NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN BUPATI SUKOHARJO NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BUPATI SUKOHARJO PERATURAN BUPATI SUKOHARJO NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SUKOHARJO

PEMERINTAH KABUPATEN SUKOHARJO PEMERINTAH KABUPATEN SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

Rencana Pembangunan Jangka Menengah strategi juga dapat digunakan sebagai sarana untuk melakukan tranformasi,

Rencana Pembangunan Jangka Menengah strategi juga dapat digunakan sebagai sarana untuk melakukan tranformasi, BAB VI. STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN Strategi dan arah kebijakan merupakan rumusan perencanaan komperhensif tentang bagaimana Pemerintah Daerah mencapai tujuan dan sasaran RPJMD dengan efektif dan efisien.

Lebih terperinci

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 8 TAHUN 2007

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 8 TAHUN 2007 BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 8 TAHUN 2007 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 14 TAHUN 2006 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN BUPATI KUDUS, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUMAS NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUMAS NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUMAS NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, PENGGABUNGAN DESA, DAN PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUMAS,

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2007 NOMOR 3 LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2007 NOMOR 3 LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2007 NOMOR 3 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KERINCI NOMOR 3 TAHUN 2007 Menimbang : TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KERINCI,

Lebih terperinci

2.1. Peraturan Pemerintah Terkait Pengembangan Produk Unggulan

2.1. Peraturan Pemerintah Terkait Pengembangan Produk Unggulan 2.1. Peraturan Pemerintah Terkait Pengembangan Produk Unggulan 2.1.1 Permendagri No. 9 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengembangan Produk Unggulan Kegiatan pengembangan produk unggulan adalah upaya yang dilakukan

Lebih terperinci

Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) PENYAJIAN VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN

Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) PENYAJIAN VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN BAB V. PENYAJIAN VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN Visi pembangunan daerah dalam RPJMD adalah visi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terpilih yang disampaikan pada waktu pemilihan kepala daerah (Pemilukada)

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA SUKABUMI

BERITA DAERAH KOTA SUKABUMI BERITA DAERAH KOTA SUKABUMI TAHUN 2009 NOMOR 27 PERATURAN WALIKOTA SUKABUMI Tanggal : 29 Desember 2009 Nomor : 27 Tahun 2009 Tentang : PETUNJUK PELAKSANAAN PEMBENTUKAN DAN BUKU ADMINISTRASI RUKUN WARGA

Lebih terperinci

Disampaikan pada: SOSIALISASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NO.6 TAHUN 2014 TENTANG DESA dan TRANSISI PNPM MANDIRI Jakarta, 30 April 2015

Disampaikan pada: SOSIALISASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NO.6 TAHUN 2014 TENTANG DESA dan TRANSISI PNPM MANDIRI Jakarta, 30 April 2015 KEMENTERIAN DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA PERMENDES NO.1: Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa PERMENDES NO.5: Penetapan

Lebih terperinci

BUPATI BARRU PROVINSI SULAWESI SELATAN

BUPATI BARRU PROVINSI SULAWESI SELATAN BUPATI BARRU PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARRU NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BARRU, Menimbang:

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU UTARA

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU UTARA PEMERINTAH KABUPATEN LUWU UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU UTARA NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN STATUS DESA MAROBO, SALASSA, SUKAMAJU DAN BONE-BONE MENJADI KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB II PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG MENGATUR PERALIHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN. A. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa

BAB II PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG MENGATUR PERALIHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN. A. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa BAB II PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG MENGATUR PERALIHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN A. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 disebutkan pengertian desa

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ALOR TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI ALOR,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ALOR TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI ALOR, LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ALOR NO. : 12, 2006 PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI ALOR, Menimbang : a. bahwa untuk

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENATAAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENATAAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENATAAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 66 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 66 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 66 TAHUN 2016 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DESA DAN RENCANA KERJA PEMERINTAH DESA SERTA PELAKSANAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Cipta. hlm Salim HS Hukum Penyelesaian Sengketa Pertambangan di Indonesia. Bandung: Pustaka Reka

BAB I PENDAHULUAN. Cipta. hlm Salim HS Hukum Penyelesaian Sengketa Pertambangan di Indonesia. Bandung: Pustaka Reka BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam, baik sumber daya alam yang dapat di perbaharui maupun yang tidak dapat di perbaharui. Potensi yang sangat

Lebih terperinci

BAB III STRATEGI PERCEPATAN PEMBANGUNAN SANITASI

BAB III STRATEGI PERCEPATAN PEMBANGUNAN SANITASI BAB III STRATEGI PERCEPATAN PEMBANGUNAN SANITASI Berdasarkan Visi dan Misi yang telah dirumuskan, dan mengacu kepada arahan tehnis operasional dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) Kota Banjarbaru

Lebih terperinci

WALIKOTA PRABUMULIH PERATURAN WALIKOTA PRABUMULIH NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG

WALIKOTA PRABUMULIH PERATURAN WALIKOTA PRABUMULIH NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG SALINAN WALIKOTA PRABUMULIH PERATURAN WALIKOTA PRABUMULIH NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG DAFTAR KEWENANGAN DESA BERDASARKAN HAK ASAL USUL DAN KEWENANGAN LOKAL BERSKALA DESA DI KOTA PRABUMULIH DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

VISI MISI DAN PROGRAM KERJA AZAS (AZAN PIOLA & SYAMSU BOTUTIHE)

VISI MISI DAN PROGRAM KERJA AZAS (AZAN PIOLA & SYAMSU BOTUTIHE) VISI MISI DAN AZAS (AZAN PIOLA & SYAMSU BOTUTIHE) VISI MISI Menuju Bone Bolango yang MAJU, SEJAHTERA, dan BERBUDAYA Bone Bolango MAJU Membangun birokrasi yang bersih, profesional, dan responsif melayani

Lebih terperinci

PERATURAN DESA NANGGUNG PEDOMAN PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA NANGGUNG

PERATURAN DESA NANGGUNG PEDOMAN PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA NANGGUNG PERATURAN DESA NANGGUNG KECAMATAN NANGGUNG KABUPATEN BOGOR NOMOR 10 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA NANGGUNG Lembaran Desa Nanggung Nomor 10 Tahun 2001 PERATURAN DESA

Lebih terperinci

BAB 13 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI

BAB 13 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI BAB 13 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah sesuai dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

BAB IV KARAKTERISTIK PENDUDUK

BAB IV KARAKTERISTIK PENDUDUK BAB IV KARAKTERISTIK PENDUDUK 4.1 Lama Tinggal Pada umumnya, penduduk bertempat tinggal di suatu daerah mulai dari lahir sampai dewasa. Akan tetapi ada juga penduduk yang tinggal dari lahir sampai setelah

Lebih terperinci

BAB II KONDISI WILAYAH DESA SOKARAJA TENGAH. RT dengan batas sebelah utara berbatasan dengan Desa Sokaraja Kulon, batas

BAB II KONDISI WILAYAH DESA SOKARAJA TENGAH. RT dengan batas sebelah utara berbatasan dengan Desa Sokaraja Kulon, batas BAB II KONDISI WILAYAH DESA SOKARAJA TENGAH A. Keadaan Geografis Desa Sokaraja Tengah terletak di wilayah kerja Kecamatan Sokaraja, Kabupaten Banyumas. Desa Sokaraja Tengah terdiri dari 2 Dusun, 7 RW,

Lebih terperinci

PENERAPAN GOOD GOVERNANCE

PENERAPAN GOOD GOVERNANCE PENERAPAN GOOD GOVERNANCE DALAM TATA KELOLA PENYELENGGARAAAN DAN PENGELOLAAN PERGURUAN TINGGI SWASTA YANG BERBASIS PELAYANAN Oleh Dr. I Nyoman Gede Remaja, S.H., M.H. 3 Abstrak: Dalam era globalisasi yang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARANGANYAR,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARANGANYAR, PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARANGANYAR, Menimbang Mengingat : a. bahwa Desa memiliki hak asal

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL

PEMERINTAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL PEMERINTAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL PERATURAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL NOMOR 21 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GUNUNGKIDUL,

Lebih terperinci

VISI DAN MISI PEMBANGUNAN KOTA SORONG PERIODE

VISI DAN MISI PEMBANGUNAN KOTA SORONG PERIODE VISI DAN MISI PEMBANGUNAN KOTA SORONG PERIODE 2017-2022 Pasangan Calon Walikota dan Wakil Walikota Sorong Drs. Ec. Lamberthus Jitmau, MM & dr. Hj. Pahima Iskandar A. LATAR BELAKANG Kebijakan pemerintah

Lebih terperinci

BUPATI BANDUNG BARAT PROVINSI JAWA BARAT

BUPATI BANDUNG BARAT PROVINSI JAWA BARAT BUPATI BANDUNG BARAT PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI BANDUNG BARAT NOMOR 14 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PENGALOKASIAN BAGIAN DARI HASIL PAJAK DAN RETRIBUSI DAERAH KEPADA DESA Menimbang : a. DENGAN

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG Nomor : 827 Tahun : 2012 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERANG, Menimbang

Lebih terperinci

Bab II. Tujuan, Kebijakan, dan Strategi 2.1 TUJUAN PENATAAN RUANG Tinjauan Penataan Ruang Nasional

Bab II. Tujuan, Kebijakan, dan Strategi 2.1 TUJUAN PENATAAN RUANG Tinjauan Penataan Ruang Nasional Bab II Tujuan, Kebijakan, dan Strategi 2.1 TUJUAN PENATAAN RUANG 2.1.1 Tinjauan Penataan Ruang Nasional Tujuan Umum Penataan Ruang; sesuai dengan amanah UU Penataan Ruang No. 26 Tahun 2007 tujuan penataan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya sebagaimana. diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945).

BAB I PENDAHULUAN. negara untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya sebagaimana. diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rumah merupakan kebutuhan dasar manusia dan mempunyai peran yang sangat strategis dalam membentuk watak serta kepribadian bangsa. Dalam rangka pemenuhan kebutuhan

Lebih terperinci

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN SALINAN BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 ANALISIS SITUASI Revolusi Mental adalah Gerakan untuk rnengubah cara pikir, cara kerja, cara hidup dan sikap serta perilaku

BAB I PENDAHULUAN 1.1 ANALISIS SITUASI Revolusi Mental adalah Gerakan untuk rnengubah cara pikir, cara kerja, cara hidup dan sikap serta perilaku BAB I PENDAHULUAN 1.1 ANALISIS SITUASI Revolusi Mental adalah Gerakan untuk rnengubah cara pikir, cara kerja, cara hidup dan sikap serta perilaku bangsa Indonesia yang mengacu nilai-nilai integritas, etos

Lebih terperinci

VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN 5 VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN 5.1. Visi Pembangunan di Kabupaten Murung Raya pada tahap ketiga RPJP Daerah atau RPJM Daerah tahun 2013-2018 menuntut perhatian lebih, tidak hanya untuk menghadapi permasalahan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 1. TinjauanPustaka PNPM Mandiri PNPM Mandiri adalah program nasional penanggulangan kemiskinan terutama yang berbasis pemberdayaan

Lebih terperinci

BAB VI KEBIJAKAN UMUM

BAB VI KEBIJAKAN UMUM BAB VI KEBIJAKAN UMUM Visi sekaligus tujuan pembangunan jangka menengah Kota Semarang tahun 2005-2010 adalah SEMARANG KOTA METROPOLITAN YANG RELIGIUS BERBASIS PERDAGANGAN DAN JASA sebagai landasan bagi

Lebih terperinci

BAB VIII RANCANGAN PROGRAM STRATEGIS

BAB VIII RANCANGAN PROGRAM STRATEGIS BAB VIII RANCANGAN PROGRAM STRATEGIS 8.1. Rancangan Program Peningkatan Peran LSM dalam Program PHBM Peran LSM dalam pelaksanaan program PHBM belum sepenuhnya diikuti dengan terciptanya suatu sistem penilaian

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN TUBAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TUBAN NOMOR 16 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI KELURAHAN

PEMERINTAH KABUPATEN TUBAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TUBAN NOMOR 16 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI KELURAHAN 1 PEMERINTAH KABUPATEN TUBAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TUBAN NOMOR 16 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TUBAN, Menimbang : a.

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

Terwujudnya Tolikara Yang Maju, Unggul Dan Mandiri

Terwujudnya Tolikara Yang Maju, Unggul Dan Mandiri I. VISI KABUPATEN TOLIKARARA 2017-2022 Terwujudnya Tolikara Yang Maju, Unggul Dan Mandiri 1 II. MISI PEMBANGUNAN KABUPATEN TOLIKARA 2017-2022 1. Meningkatkan Infrastruktur Daerah. 2. Mengembangkan Kualitas

Lebih terperinci

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG PEMBANGUNAN DESA DAN PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TRENGGALEK,

Lebih terperinci

RPJMD Kota Pekanbaru Tahun

RPJMD Kota Pekanbaru Tahun RPJMD Kota Pekanbaru Tahun 2012-2017 BAB V VISI, MISI, DAN V - 1 Revisi RPJMD Kota Pekanbaru Tahun 2012-2017 5.1. VISI Dalam rangka mewujudkan pembangunan jangka panjang sebagaimana tercantum di dalam

Lebih terperinci

BUPATI GORONTALO PROVINSI GORONTALO

BUPATI GORONTALO PROVINSI GORONTALO BUPATI GORONTALO PROVINSI GORONTALO PERATURAN DAERAH KABUPATEN GORONTALO NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PERENCANAAN, PELAKSANAAN PEMBANGUNAN, PEMANFAATAN, DAN PENDAYAGUNAAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MAJENE

PEMERINTAH KABUPATEN MAJENE PEMERINTAH KABUPATEN MAJENE PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAJENE NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAJENE, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Partisipasi merupakan proses pemberdayaan masyarakat, sehingga mampu menyelesaikan sendiri masalah yang mereka hadapi, melalui kemitraan, transparasi, kesetaraan

Lebih terperinci

ANGGARAN RUMAH TANGGA BADAN PERFILMAN INDONESIA BAB I UMUM. Pasal 1

ANGGARAN RUMAH TANGGA BADAN PERFILMAN INDONESIA BAB I UMUM. Pasal 1 ANGGARAN RUMAH TANGGA BADAN PERFILMAN INDONESIA BAB I UMUM Pasal 1 Anggaran Rumah Tangga ini disusun berdasarkan Pasal 28 Anggaran Dasar Badan Perfilman Indonesia, merupakan rincian atas hal-hal yang telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang yang masih sangat membutuhkan pembangunan. Tanpa adanya pembangunan suatu bangsa tidak akan pernah

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN WONOSOBO PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOSOBO NOMOR 5 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA

PEMERINTAH KABUPATEN WONOSOBO PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOSOBO NOMOR 5 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA SALINAN PEMERINTAH KABUPATEN WONOSOBO PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOSOBO NOMOR 5 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI WONOSOBO, Menimbang

Lebih terperinci

LAMPIRAN I PERATURAN BUPATI LOMBOK UTARA NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN DAN SUSUNAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA

LAMPIRAN I PERATURAN BUPATI LOMBOK UTARA NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN DAN SUSUNAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA LAMPIRAN I PERATURAN STRUKTUR ORGANISASI DAERAH STAF AHLI 1. STAF AHLI HUKUM, POLITIK DAN PEMERINTAHAN 2. STAF AHLI EKONOMI, DAN PEMBANGUNAN 3. STAF AHLI KEMASYARAKATAN DAN SUMBER DAYA MANUSIA SEKRETARIS

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BOGOR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOGOR

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BOGOR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOGOR LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BOGOR NOM0R : 9 TAHUN : 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOGOR NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

BUPATI SEMARANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 63 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN KEGIATAN PEMBANGUNAN DESA

BUPATI SEMARANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 63 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN KEGIATAN PEMBANGUNAN DESA BUPATI SEMARANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 63 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN KEGIATAN PEMBANGUNAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SEMARANG, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WAKATOBI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WAKATOBI LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WAKATOBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WAKATOBI NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN DESA BAGIAN HUKUM DAN PERUNDANG-UNDANGAN SETDA KABUPATEN WAKATOBI

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA SERANG NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SERANG,

PERATURAN DAERAH KOTA SERANG NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SERANG, PERATURAN DAERAH KOTA SERANG NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SERANG, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan dalam Pasal 22 ayat (1)

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA MATARAM NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KOTA MATARAM NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KOTA MATARAM NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MATARAM, Menimbang : a. bahwa keberadaan dan peranan

Lebih terperinci

BUPATI BONDOWOSO PROVINSI JAWA TIMUR

BUPATI BONDOWOSO PROVINSI JAWA TIMUR BUPATI BONDOWOSO PROVINSI JAWA TIMUR Rancangan : PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PEMBANGUNAN DESA DAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BONDOWOSO,

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN ASAHAN SEKRETARIAT DAERAH Jalan Jenderal Sudirman No.5 Telepon K I S A R A N

PEMERINTAH KABUPATEN ASAHAN SEKRETARIAT DAERAH Jalan Jenderal Sudirman No.5 Telepon K I S A R A N PEMERINTAH KABUPATEN ASAHAN SEKRETARIAT DAERAH Jalan Jenderal Sudirman No.5 Telepon 41928 K I S A R A N 2 1 2 1 6 NOMOR 6 TAHUN 2013 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ASAHAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ASAHAN NOMOR

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Daerah. Hal ini tertuang dalam pasal 6 ayat (1) dan (2) yang. berbunyi:.daerah dapat dihapus dan digabung dengan daerah lain, dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Daerah. Hal ini tertuang dalam pasal 6 ayat (1) dan (2) yang. berbunyi:.daerah dapat dihapus dan digabung dengan daerah lain, dan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak kebijakan otonomi daerah di Indonesia dicanangkan banyak daerahdaerah yang cenderung untuk melaksanakan pemekaran wilayah. Peluang secara normatif untuk melakukan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN WONOSOBO

PEMERINTAH KABUPATEN WONOSOBO PEMERINTAH KABUPATEN WONOSOBO PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOSOBO NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI WONOSOBO, Menimbang

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BUNGO

PEMERINTAH KABUPATEN BUNGO PEMERINTAH KABUPATEN BUNGO PERATURAN DAERAH KABUPATEN BUNGO NOMOR 25 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BUPATI BUNGO, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT

PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT - 221 - PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 23 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci