BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Saluran Nafas Saluran pernafasan manusia secara anatomis terbagi atas dua yakni saluran nafas bagian atas dan saluran nafas bagian bawah. Saluran nafas atas terdiri atas hidung, rongga hidung, faring, laring dan bagian atas trakea. Sedangkan saluran nafas bagian bawah terdiri atas bagian bawah trakea, bronkus berserta cabangcabang kecilnya dan alveolus (Junqueira, 2005) Saluran Nafas Atas Saluran nafas atas dimulai dari hidung yang tersusun atas tulang keras dan tulang lunak yang dilapisi oleh kulit. Lubang hidung sebagai saluran teratas keluar masuknya udara terdapat bulu hidung yang dapat menyaring udara dari partikelpartikel besar seperti debu.rongga hidung kanan dan kiri dibatasi oleh septum nasalis. Mukosa hidung dilapisi oleh epitel ber-silia dengan sel goblet penghasil mukus. Selain itu terdapat semacam lipatan mukosa yang disebut dengan concha nasalis terbagi atas concha atas, tengah dan bawah. Concha ini meningkatkan area kontak dengan udara yang masuk dengan mukosa hidung. Hal ini bertujuan untuk menjamin kehangatan dan kelembaban udara yang akan masuk ke saluran nafaas lebih bawah. Selain itu terdapat pula reseptor penciuman yang sangat peka terhadap odoran (Junqueira, 2005). Setelah itu hidung udara akan melalui faring yang terbagi atas tiga bagian nasofaring, orofaring, dan laringofaring.selanjutnya udara akan melalui laring. Selain meyalurkan udara dari atas menuju ke trakea pada laring juga terdapat pita suara untuk menghasilkan suara (Mintz, 2006).

2 6 Gambar 2.1. Anatomi Saluran Nafas Atas (Mintz, 2006) Saluran Nafas Bawah Saluran nafas bawah merupakan lanjutan dari saluran nafas atas.saluran nafas bawah dimulai dari bagian bawah trakea tepatnya setelah bagian pita suara.trakea mempunyai panjang sekitar cm yang selanjutnya bersambung ke bronkus utama.trakea dilapisi epitel bersilia dengan sel goblet. Selain itu trakea dibentuk oleh cincin cartilage yang berbentuk huruf C. Selanjutnya trakea bersambung ke bronkus utama. Bronkus utama terbagi atas bronkus kanan dan bronkus kiri yang akan masuk ke paru. Setiap bronkus utama akan bercabang menjadi bronkus sekunder yang akan masuk ke setiap lobus baik paru kanan dan paru kiri. Bronkus-bronkus sekunder akan bercabang lagi menjadi bronkialbronkial kecil yang akan berakhir pada alveolus-alveolus paru (Shier et al, 2001). Gambar 2.2 Saluran Nafas Bawah (Shier et al, 2001)

3 7 2.2 Rinitis Alergi Definisi Rinitis alergi adalah penyakit hipersensitifitas tipe 1 yang diperantarai oleh immunoglobulin (Ig) E pada mukosa hidung akibat terpaparnya suatu aero-alergen pada individu yang sensitif (WAO, 2012) Klasifikasi Klasifikasi rinitis alergi berdasarkan terdapatnya gejala (WHO, 2000): 1. Intermitten, bila gejala terdapat: o Kurang dari 4 hari per minggu o Atau bila kurang dari 4 minggu per tahun 2. Persisten, bila gejala terdapat: o Lebih dari 4 hari per minggu o Dan bila lebih dari 4 minggu per tahun Berdasarkan beratnya gejala: 1. Ringan, jika tidak terdapat salah satu dari gangguan sebagai berikut: 2. Sedang-berat, bila didapatkan salah satu atau lebih gejala-gejala tersebut diatas Patofisiologi dan Manisfestasi Klinis Partikel udara yang terhirup akan terdeposit pada lapisan mukosa hidung. Partikel udara yang terhirup berdifusi ke nasal mukosa. Rinitis alergi terjadi pada individu yang mempunyai faktor prediposisi genetik untuk memproduksi antibodi IgE terhada alergen. Alergen tersebut biasanya tersebar melalui udara sehingga sering disebut aero-alergen. Alergen yang sering menyebabkan reaksi rinitis alergi pada individu atopi adalah serbuk tanaman, spora jamur, tungau, bulu binatang dan debu-debu yang mengandung partikel-partikel sisa binatang kecil dan

4 8 berbagai macam aero-alergen lainnya. Ketika alergen tersebut mengenai individu yang tersensitisasi maka akan terjadi rinitis alergi. Reaksi alergi pada rintis alergi terbagi atas dua fase yakni fase cepat dan fase lambat. Alergen yang menempel pada mukosa hidung untuk pertama kali, terhirup bersama inhalasi udara nafas. Alergen yang terdeposit oleh makrofag atau sel dendrit yang berfungsi sebagai fagosit dan sel penyaji antigen (Antigen Presenting Cell atau APC) diproses menjadi peptida pendek yang terdiri atas 7-14 asam amino yang berikatan dengan molekul HLA (Human Leucocyte Antigen) kelas II membentuk kompleks MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II yang kemudian dipresentasikan pada sel Th0 (T helper 0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5 dan IL 13. IL 4 dan IL 13 diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit dan sel basofil (sel mediator) sehingga ke dua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi (Small, 2011). Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulisasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediator) terutama histamin. Selain histamin dilepaskan juga Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), leukotrien D4 (LTD4), leukotrien C4 (LTC4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. Adanya degranulasi sel mast dan terlepasnya berbagai mediator seperti histamine, leukotrien, prostaglandin, bradikinin pada reaksi fase cepat akan menyebabkan gejala bersin-bersin, gatalgatal, adanya sekret encer simetris kedua lubang hidung. ). Ciri alergi rhinitis adalah hubungan temporal antara gejala tersebut dan paparan ke alergen (Huriyati, 2012).

5 9 RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan neutrofil di jaringan target. Respon ini akan berlanjut, dan mencapai puncaknya 6-8 jam setelah pemaparan. RAFL ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, neutrofil, basofil dan mastosit serta peningkatan berbagai sitokin pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperesponsif hidung adalh akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosinophilic Derived Protein (EDP) dan lain-lain. Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi (Nguyen, 2009) Diagnosis Penegakan diagnosis diagnosis rinitis alergi terdiri atas tiga tahapan yakni anamnesis, pemeriksaan fisik dan bila peru dilakukan pemeriksaan penunjang. Anamnesis dimulai dengan menanyakan riwayat penyakit secara umum dan dilanjutkan dengan pertanyaan yang lebih spesifik meliputi gejala di hidung termasuk keterangan gejalanya berapa lama, durasi, kapan timbul keluhan dan mencari faktor yang mungkin mencetuskan terjadinya rinitis alergi. Selain itu keterangan mengenai tempat tinggal, tempat kerja, pekerjaan pasien serta riwayat pengobatan dan alergi orang tua (Krouse, 2006). Gejala-gejala rinitis alergi yang perlu ditanyakan adalah diantaranya adanya rinore (cairan hidung yang bening encer), bersin berulang dengan frekuensi lebih dari 5 kali setiap kali serangan, hidung tersumbat baik menetap atau hilang timbul, rasa gatal di hidung, telinga atau daerah langit-langit, mata gatal, berair atau kemerahan, hiposmia atau anosmia (penurunan atau hilangnya ketajaman penciuman) dan batuk kronik (Krouse, 2006). Pemeriksaan fisik dilakukan pada telinga, hidung, dan tenggorokan,tetai harus fokus dengan visualisasi yang baik dari rongga hidung. Pada pemeriksaan lokal hidung (rinoskopi anterior) diperhatikan adanya edema dari konka media atau inferior yang diliputi sekret encer bening, mukosa pucat dan edema. Pada

6 10 fase peradangan akut rinitis alergi, mukosa hidung mungkin tampak pucat dan biru, sedangkan pada fase kronis biasanya eritematosa.selain itu juga diperhatikan apakah ada deviasi septum, benda asing ataupun polip pada hidung yang mungkin terjadi, mengi, fase ekspirasi yang berkepanjangan, injeksi konjungtiva, dan mata berair. Selanjutnya dapat dilakukan pemeriksaan penunjang tentu saja hal ini harus dipertimbangkan sesuai dengan fasilitas yang ada. Adapun pemeriksaan penunjangnya adalah: 1. Uji tusukan kulit (Skin Prick Test). Tes ini dilakukan untuk mengetahui jenis alergen penyebab alergi. Pemeriksaan ini dapat ditoleransi oleh sebagian penderita termasuk anak-anak. Tes ini mempunyai sensitifitas dan spesifisitas tinggi terhadap hasil pemeriksaan IgE spesifik. Akan lebih ideal jika bisa dilakukan Intradermal Test atau Skin End Point Titration Test bila fasilitas tersedia.pengujian kulit membawa risiko reaksi sistemik oleh karena itu harus dihindari pada pasien dengan gejala yang berat atau gejala yang sedang berlangsung, adanya gejala asma yang tidak stabil, serta wanita yang sedang hamil.sekitar 20 alergen dapat diuji dalam tes tusukan kulit. Alergen dan larutan kontrol garam negatif dimasukkan ke dalam kulit melalui jarum suntik. Tempat yang paling umum digunakan untuk pengujian adalah lengan pasien. Kontrol saline digunakan untuk memastikan reaksi pasien bukan hanya hasil dari dermatographism. Setelah alergen disuntikkan, itu akan mengikat setiap sel mast yang memiliki reseptor IgE spesifik, menyebabkan sel mast akan ter-degranulasi dan melepaskan histamin, menyebabkan wheal terbentuk. Diameter wheal diukur setelah 15 sampai 20 menit dan tes dianggap positif jika wheal yang terbentuk oleh antigen adalah 3 mm lebih besar dari wheal terbentu oleh kontrol garam dan memiliki eritema sekitarnya. Ada lima alergen ekstrak telah dibakukan di Amerika Serikat, termasuk ragweed serbuk sari, bulu kucing, tungau debu rumah, hymenoptera racun, dan beberapa rumput. Semua ekstrak

7 11 alergen lainnya diuji tidak tentu direproduksi. Hasil tes tusukan kulit dapat dipengaruhi oleh obat-obatan tertentu, seperti antihistamin atau obat dengan sifat antihistamin,seperti antidepresan trisiklik. Untuk hasil terbaik, obat tersebut harus dihentikan setidaknya 4 hari sebelum pengujian untuk antihistamin generasi pertama dan setidaknya 10 hari sebelum pengujian antihistamin generasi kedua. Tes kulit intradermal lebih spesifik, tetapi kurang sensitif dibandingkan tes tusukan kulit. Hal ini biasanya dilakukan ketika hasil tes tusukan kulit yang negatif, namun masih ada kecurigaan klinis yang tinggi alergi. Paling sering, hal itu dilakukan untuk racun dan pengujian alergi penisilin. Dalam hal ini, 0,01-0,02 ml alergen disuntikkan intrakutan dengan jarum kecil, selanjutnya wheal yang diukur dalam waktu sekitar 15 sampai 20 menit (Forndley, 2002). 2. IgE serum total. Kadar meningkat hanya didapati pada 60% penderita rinitis alergi dan 75% penderita asma. Kadar IgE normal tidak menyingkirkan rinitis alergi. Kadar dapat meningkat pada infeksi parasit, penyakit kulit dan menurun pada imunodefisiensi. Pemeriksaan ini masih dipakai sebagai pemeriksaan penyaring tetapi tidak untuk diagnostik (Cummings, 2005) 3. IgE serum spesifik. Pemeriksaan ini dilakukan apabila pemeriksaan penunjang diagnosis rinitis alergi seperti tes kulit cukit selalu menghasilkan hasil negatif tapi dengan gejala klinis yang positif. Sejak ditemukan teknik RAST (Radioallergosorbent test) pada tahun 1967, teknik pemeriksaan IgE serum spesifik disempurnakan dan komputerisasi sehingga pemeriksaan menjadi lebih efektif dan sensitif tanpa kehilangan spesifisitasnya, seperti Phadebas RAST, Modified RAST, Pharmacia CAP system dan lain-lain. Waktu pemeriksaan lebih singkat dari 2-3 hari menjadi kurang dari 3 jam saja (Cummings, 2005).

8 12 4. Tes provokasi hidung (Nasal Challenge Test). Dilakukan bila ada keraguan dan kesulitan dalam mendiagnosis rinitis alergi, dimana riwayat rinitis alergi positif, tetapi hasil tes alergi selalu negatif (Krouse, 2006). 5. Foto polos sinus paranasal/ct Scan/MRI. Sebenarnya penggunaan terbatas dalam mendiagnosis rinitis alergi. Pada tomogaphy scan dapat berguna ketika diagnosis diragukan, tetapi hanya harus dilakukan setelah rujukan spesialis.selain itu pemeriksaan radiologis dilakukan bila ada indikasi keterlibatan sinus paranasal, seperti adakah komplikasi rinosinusitis, menilai respon terhadap terapi dan jika direncanakan tindakan operasi (Krouse, 2006) Penatalaksanaan Tujuan pengobatan untuk rinitis alergi adalah untuk menghilangkan gejala. Pilihan terapi yang tersedia untuk mencapai tujuan ini mencakup langkah-langkah menghindari paparan alergen, antihistamin ora,l intranasal kortikosteroid, antagonis reseptor leukotrien, dan imunoterapi alergen selain itu terapi yang mungkin berguna pada pasien tertentu termasuk dekongestan dan kortikosteroid oral. Jika gejala pasien terus berlangsung meskipun dengan pengobatan yang tepat rujukan untuk ahli alergi harus dipertimbangkan (Barr, 2014) Asma Bronkial Definsi Asma adalah penyakit inflamasi kronis pada bronkus disertai dengan hiper-responsif dan hipersensitivitas dari bronkus (WAO, 2012) Klasifikasi Menurut GINA (Global Initiative for Asthma) tahun 2007, klasifikasi beratnya asma bronkial dapat dibagi menjadi 4 golongan, yaitu: Derajat 1: Asma berjeda (Intermitten). Ditemukan gejala asma kurang dari 1 kali seminggu, asimtomatik dan terdapat arus puncak ekspirasi (APE) diantara

9 13 serangan normal. Frekuensi serangan malam kurang dari 2 kali sebulan. APE lebih besar atau sama dengan 80% prediksi, dengan variasi kurang dari 20%. Derajat 2: Asma menetap ringan (Mild Persistent). Gejala asma 1 kali atau lebih dalam seminggu, tapi kurang dari 1 kali sehari. Frekuensi serangan lebih dari 2 kali sebulan. APE lebih besar atau sama dengan 80% prediksi, variasi 20-30%. Derajat 3: Asma menetap sedang (Moderate Persistent). Gejala asma tiap hari, menggunakan B2-agonist tiap hari, aktivitas terganggu hanya saat serangan. Frekuensi serangan malam lebih dari 1 kali seminggu, APE lebih dari 60% dan kurang dari 80% prediksi, variasi lebih dari 30%. Derajat 4: Asma menetap berat (Severe Persistent). Gejala asma terus menerus, aktivitas fisik terbatas, frekuensi serangan sering, APE kurang atau sama dari 60% prediksi, variasi lebih dari 30% Patofisiologi dan Manisfestasi Klinis Faktor utama yang mendasari asma pada anak-anak dan pada populasi dewasa adalah sebuah mekanisme yang sama yakni adanya peradangan saluran napas dan edema, hiperresponsif saluran nafas, dan adanya pembentukan lendir yang berlebihan.unsur-unsur ini menyebabkan keterbatasan aliran udara yang reversibel.namun, seiring berjalannya waktu saluran napas akan mengalami remodelling, menyebabkan obstruksi aliran udara menjadi semakin berat (Mintz, 2006). Peradangan saluran napas merupakan fase pertama dalam mekanisme patofisiologi yang mengarah ke asma. Dalam kasus asma, riwayat atopi sering terlibat. Saluran udara dari individu atopik telah peka terhadap berbagai antigen di lingkungan. Untuk alasan yang tidak diketahui, saluran udara ini memiliki peningkatan jumlah sel inflamasi, seperti sel mast, eosinofil, dan diaktifkan sel T helper.setelah terjadi kembali paparan alergen, IgE antibodi pada sel mast mengikat alergen dan tercetuskan proses inflammasi. Sel-sel mast yang terletak di saluran udara yang berikatan dengan molekul IgE menyebabkan pelepasan

10 14 mediator inflamasi yang membuka tautan antara sel-sel epitel yang garis jalan napas. Sel mast melepaskan interleukin-4 dan pro-inflamasi sitokin lainnya, yang merangsang proliferasi sel-t. Pro-inflamasi ini juga akan merangsang aktifasi interleukin-5, yang mengarah untuk perekrutan lebih banyak eosinofil, sel yang memainkan peran utama dalam patogenesis asma. Kemokin dirilis oleh sel mast merangsang perekrutan neutrofil, yang membantu dalam peradangan dan kerusakan pada saluran udara. Terakhir, sel mast juga melepaskan histamin dan leukotrien,yang mengarah pada bronkospasme yang terjadi selama episode asma. Itu terjadi ketika alergen mampu masuk ke dalam mukosa di mana ia dapat mengaktifkan sel-sel mast dan eosinofil yang banyak. Aktivasi lanjut menyebabkan peningkatan pelepasan vasoaktif dan mediator inflamasi. Selain merangsang pelepasan mediator, antigen mampu langsung merangsang reseptor pada saraf vagus, yang menyebabkan bronkokonstriksi yang berlebihan. Proses yang dijelaskan dalam alinea ini merupakan fase akut dari serangan asma dan biasanya berlangsung 15 sampai 30 menit. Hasil akhir yang terjadi terhadap respon peradangan ini sangat merugikan termasuk edema jalan napas, bronkokonstriksi, produksi lendir, dan meningkat permeabilitas vaskuler (Mintz, 2006). Tahap akhir dari reaksi asma dimulai beberapa jam setelah awitan awal dan dapat bertahan selama satu hari atau lebih. Kemokin dan sitokin dilepaskan selama fase akut masuknya leukosit, yaitu neutrofil, basofil, dan eosinofil, yang melepaskan mediator mereka sendiri. Mediator ini mengakibatkan bronkokonstriksi dan edema saluran napas lebih lanjut, sehingga memperpanjang proses asma (Mintz, 2006). Seiring berjalannya waktu, asma dapat menyebabkan remodeling saluran napas permanen, terutama ketika asma tidak terkontrol dengan baik. Salah satu aspek dari respon remodeling adalah penebalan dinding saluran napas. Konsekuensi klinis ini tidak sepenuhnya dipahami, namun beberapa penelitian telah menghubungkan peningkatan ketebalan saluran napas dengan peningkatan keparahan penyakit. Ini juga telah menunjukkan bahwa peningkatan Ketebalan dinding meningkatkan penyempitan saluran udara yang sudah terjadi pada asma,

11 15 sehingga menyebabkan peningkatan bronkospasme. Fibrosis subepitel adalah aspek lain diamati pada remodeling saluran napas yang telah menunjukkan korelasi dengan tingkat keparahan penyakit. Fibrosis juga telah dikaitkan dalam laporan penurunan nilai ekspirasi paksa dalam 1 detik (FEV1) serta peningkatan frekuensi dan durasi gejala asma. Hipersekresi mukus dan lendir serta metaplasia kelenjar adalah cara ketiga yang menunjukan bahwa remodeling saluran napas terjadi. Akibatnya, dari waktu ke waktu, saluran udara lebih terhambat dan lebih rentan terhadap lendir plugging, sehingga membuatnya lebih sulit untuk pulih dari setiap eksaserbasi (Jeffery, 2004) Diagnosis Diagnosis asma dibuat secara klinis, biasanya berdasarkan riwayat gejala khas, bukti objektif obstruksi aliran udara. Diagnosis asma biasanya dibuat secara akurat, meskipun tingkat akurasi diagnostik mungkin tergantung usia pasien. Misalnya, diagnosis asma pada orang dewasa muda biasanya tidak sulit. Dengan meningkatnya usia, diagnosis asma bronkial akan semakin sulit karena ada beberapa kondisi lain yang meniru asma atau mengacaukan presentasi klinis. Penyakit kardiovaskular dan bentuk lain dari penyakit paru-paru kronis yang lebih umum, dan diagnosis diferensial gejala dada episodik lebih luas. Temuan komponen ireversibel obstruksi jalan napas pada penderita asma menambah tantangan membedakan antara asma dan penyakit paru obstruktif kronik yang terkait dengan tembakau (PPOK). Manifestasi klinis dan laboratorium berikut penting dalam pertimbangan diagnosis asma (Pascual, 2008). Riwayat perjalanan penyakit mesti digali sampai klinisi mendapat pola kejadian asma, presipitasi atau faktor yang memberatkan, dan profil dari eksaserbasi khas. Hal ini merupakan elemen penting dari evaluasi klinis. Selama episode akut, keluhan biasa termasuk mengi dan sensasi sesak dada. Sesak napas mungkin juga terjadi, meskipun gejala ini sering diartikan sebagai sensasi memiliki kesulitan inspirasi.batuk kronis juga merupakan gejala yang sering pada pasien asma. Gejala dapat terjadi tiba-tiba atau berkembang perlahan-lahan selama beberapa hari atau minggu. Frekuensi dan tingkat keparahan dengan yang

12 16 gejala terjadi bervariasi dalam populasi asma. Meskipun tidak ada gejala tunggal spesifik untuk asma, mengi adalah tanda yang berguna, karena sebagian besar penderita asma mengeluh episode mengi, dan nonasthmatics jarang melaporkan gejala mengi. Gejala Dada yang bervariasi oleh musim dan disertai dengan gejala iritasi selaput lendir lainnya, seperti konjungtivitis dan rhinitis, khas bersamaan terjadi dengan asma alergi. Sedangkan serbuk sari dan beberapa spora jamur yang cenderung memprovokasi gejala musiman, alergen dalam ruangan, seperti tungau debu rumah, kecoa, dan protein bulu binatang cenderung menghasilkan gejala terus menerus. Gejala yang dapat terjadi setiap saat.infeksi virus pernapasan adalah penyebab umum dari eksaserbasi asma pada orang dewasa. Virus yang paling umum terlibat adalah rhinovirus, respiratory syncytial virus, virus influenza, dan virus parainfluenza. Mycoplasma dan Chlamydia juga terkait dengan eksaserbasi asma dan infeksi bakteri lainnya.perlu dicatat bahwa virus infeksi pernafasan dapat membangkitkan peningkatan respon saluran napas pada orang sehat, menyebabkan diri terbatas karena episode sesak dada, batuk, dan mengi yang mungkin terjadi selama 8 sampai 12 minggu. Meskipun episode ini sering didiagnosis asma, hilangnya gejala setelah 8 sampai 12 minggu menunjukkan bahwa penyakit itu disebabkan oleh sementara, peningkatan postviral di respon saluran napas (Rajendran, 2009). Pada pemeriksaan fisik, Mengi merupakan temuan fisik yang paling khas pada asma disebabkan oleh aliran udara turbulen melalui penyempitan saluran udara. Pada asma, mengi biasanya hadir selama ekspirasi, meskipun mungkin hadir selama inspirasi juga. Kualitas mengi tidak harus dianggap prediksi dari derajat obstruksi pada pasien asma. Pasien yang tidak menunjukkan gejala, atau yang mengeluh hanya batuk, mungkin menunjukkan expiratory wheezing akhir, meskipun hal tersebut tidak spesifik. Tanda-tanda klinis dari rhinitis, sinusitis, dan polip hidung adalah terlihat lebih umum pada pasien dengan asma dibandingkan pada merekac dengan gangguan kronis lainnya atau kongestif gagal jantung. Penyakit sinus kronis mungkin sulit untuk mendiagnosa atas dasar klinis; pencitraan mungkin diperlukan.penurunan berat badan ditandai atau wasting yang parah tidak terlihat di asma tetapi umumnya terjadi pada emfisema berat. Tanda

13 17 hiperinflasi dan napas berkurang dan suara biasanya diamati selama eksaserbasi akut. Penggunaan otot aksesori pernapasan dan adanya pulsus paradoksus adalah tanda-tanda obstruksi jalan napas berat dan biasanya diamati selama episode akut. Karena upaya ventilasi dapat berkurang seiring dengan kelelahan otot pernafasan, tidak adanya pulsus paradoksus tidak menghilangkan sangkaan adanya obstruksi jalan napas yang berat. Stridor, suara inspirasi bernada tinggi,terdengar jelas dengan auskultasi di atas saluran napas atas, dan harus mendorong pencarian lebih lanjut untuk penyebab obstruksi jalan napas bagian atas, termasuk disfungsi pita suara, trakea atau bronkus stenosis, kelumpuhan pita suara, tumor atas-napas, dan penyempitan saluran napas karena pembesaran tiroid (Pascual, 2008). Penggunaan studi laboratorium dalam diagnosis asma sebagian besar terbatas pada spirometri. Pengujian kulit dan tes serologi juga dapat berguna dalam mendefinisikan pemicu alergi dari asma pada beberapa pasien, meskipun riwayat klinis sering memberikan informasi lebih lanjut klinis yang relevan mengenai hubungan antara gejala dan eksposur. Radiografi studi, tes darah, dan studi fungsi paru-paru lebih luas digunakan untuk mengecualikan kondisi lain yang dapat meniru asma atau mempersulit presentasi klinis (Pascual, 2008). Tes fungsi paru penting untuk mengkonfirmasi diagnosis asma, tingkat keparahan penyakit, dan memantau respon terhadap terapi. Diagnosis asma biasanya dikonfirmasi oleh demonstrasi obstruksi aliran udara dengan spirometri. Selain itu, harus ada menjadi bukti perbaikan yang signifikan dalam 1 detik. Volume (FEV1) akut setelah pemberian bronkodilator, atau dengan pengukuran berulang dari waktu ke waktu. Sayangnya, tidak ada kriteria standar untuk menilai tingkat reversibilitas setelah pemberian bronkodilator untuk tujuan diagnostik. Meskipun peningkatan post-bronchodilator di FEV1 lebih besar dari 12 persen sering dianggap bukti obstruksi jalan napas reversibel, tingkat ini adalah tidak memiliki sensitivitas atau spesifisitas untuk mendeteksi asma.pengalaman klinisi telah menunjukkan bahwa ada tumpang tindih substansial dalam tingkat bronkodilator reversibility ketika membandingkan pasien asma untuk dengan pasien COPD. Jadi, sementara uji spirometri post-bronkodilator

14 18 menegaskan reversibilitas obstruksi jalan napas dan meng-indikasikan asma, temuan ini tidak mengesampingkan PPOK (GINA, 2007) Penatalaksanaan Keberhasilan pengelolaan pasien asma membutuhkan dua prinsip dasar. Pertama, heterogenitas asma yang cukup variatif sehubungan dengan etiologi, presentasi klinis, keparahan, dan respon terhadap terapi. Karena heterogenitas ini, tidak mungkin bahwa satu pendekatan manajemen akan bekerja untuk semua pasien. Dengan demikian, terapi harus disesuaikan dengan masing-masing pasien. Kedua, prinsip mengakui bahwa dalam setiap pasien, tingkat keparahan gejala dapat bervariasi dari waktu ke waktu. Sebagai contoh, beberapa pasien mungkin mengalami remisi gejala selama masa remaja, bisa terjadi keparahan yang lebih besar di kemudian hari ketika pasien dewasa. Dengan demikian, pasien harus dimonitor secara teratur, dan pengobatan harus dimodifikasi secara berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan pasien. (Pawankar, 2004). Penelitian terbaru menunjukkan bahwa edukasi pasien dan program pengendalian lingkungan efektif dalam mengurangi morbiditas asma, meskipun penelitian tambahan diperlukan untuk lebih menentukan metode mana yang paling efektif dan yang pasien yang paling menguntungkan (Mintz, 2006). Pedoman saat ini menganjurkan mengklasifikasikan asma menurut keparahan klinis menggunakan gejala, fungsi paru-paru, dan penggunaan obatobatan sebagai variabel. Obat yang tersedia saat ini untuk mengobati asma yang diklasifikasikan sebagai obat kontrol jangka panjang atau "pengendali" dan obat short-acting atau "penghilang" atas dasar efek utama farmakodinamik dan klinis mereka. Dengan demikian, bronkodilator short-acting seperti agonis beta dihirup atau antikolinergik dianggap obat bantuan cepat. Kortikosteroid, long-acting agonis beta, leukotrien inhibitor jalur, natrium kromolin, nedokromil natrium, berkelanjutan-release teofilin, dan omalizumab dianggap obat kontrol jangka panjang, karena mereka digunakan untuk mencapai dan mempertahankan kontrol gejala dan biasanya digunakan setiap hari dalam jangka panjang (Mintz, 2006).

15 Mekanisme yang Mendasari Hubungan antara Rinitis Alergi dan Asma Bronkial Hubungan Anatomis dan Patofisiologis Hidung merupakan protektor bagi saluran nafas bawah. Hilangnya fungsi hidung akan menyebabkan udara yang kita hirup akan langsung masuk melalui mulut. Hal ini membuat fungsi pemanasan dan pelembaban udara oleh hidung, dan fungsi penyaring akan hilang. Pajanan saluran nafas bawah terhadap bahanbahan iritan yang kita hirup tanpa melewati hidung menjadi salah satu mekanisme terjadinya asma (Slavin, 2008). Rinitis alergi dan asma bronkial, keduanya merupakan manifestasi dari adanya proses inflamasi di si stem saluran nafas yang berkelanjutan (Continous Airway System.Banyak kelainan yang bisa terjadi pada saluran nafas yang dapat menganggu proses pertukaran udara, salah satunya adalah obstruksi.sumbatan atau obstruksi saluran napas dapat terjadi karena vasodilatasi berlebihan,edema jaringan, sumbat mucus dan kontraksi otot polos. Pada rhinitis peranan vasodilatasi sangat menonjol, ketika terpapar suatu alergen maka mukosa hidung mengalami hiperaktifitas, sel goblet menghasilkan sekret lebih banyak serta adanya vasodilatasi pembuluh darah. Hal ini terbukti bila diberi obat golongan alfa adrenergik, obstruksi hidung akan segera berkurang atau hilang dan hal ini tidak terjadi pada asma. Sebaliknya pada asma, yang bronkusnya mengandung otot polos berespons sangat baik terhadap agonis beta 2. Ketika terjadi serangan otot polos pada bronkus mengalami konstriksi sehingga resistensi jalan nafas meningkat dan menganggu pertukaran keluar masuk udara.berbeda dengan rhinitis yang tidak mengancam jiwa pada serangan asma dengan obstruksi total bronkus dapat mengancam jiwa penderita (Slavin, 2008). Penelitian terbaru pada manusia menunjukkan bahwa alergen yang ditemukan pada hidung pasien alergi rinitis, dapat dengan cepat menimbulkan inflamasi yang berarti di paru-paru. Hal ini bisa terjadi meski tidak ada riwayat sakit asma atau hiperakivitas saluran nafas bronkial. Kaitan ini amat penting

16 20 diketahui oleh para klinisi sehingga semua pasien dengan rinitis diberikan pengujian penyakit saluran nafas bawah dan untuk semua pasien dengan asma diberikan pengujian penyakit saluran nafas atas (Pawankar, 2004). Secara fisiologis, asma dan rinitis dihubungkan tidak hanya oleh refleks nasobronkial, tetapi juga oleh efek yang kurang baik yang dihasilkan saluran nafas atas. Saat hidung mampat maka pernapasan dilakukan melalui mulut sehingga kemampuan hidung dalam mengkondisikan udara dalam fungsi menghangatkan, melembabkan, dan menyaring udara yang masuk menjadi hilang (Thomas, 2006). Hal ini membuktikan bahwa penebalan mukosa hidung pada rinitis yang kronis ternyata gejalanya mirip dengan gejala saluran nafas pada asma yang telah mengalami aero modeling. Telah diketahui bahwa saluran nafas atas mempunyai fungsi sebagai filter, sebagai penghangat dan juga humidifier udara yang kita hirup. Mekanisme ini ternyata juga ada hubungannya dengan fungsi homeostatik di saluran nafas bawah (Casale, 2001). Paparan alergen pada hidung akan menginduksi teraktifasinya sel-sel inflamasi di saluran nafas atas ataupun lebih rendah dan sebaliknya. Mengobati hidung dapat mempengaruhi peradangan di saluran napas bagian bawah. Fase awal khas dan fase akhir yang umum dan sesuai untuk kedua penyakit saluran nafas rhinitis dan asma. Studi pada pasien dengan rhinitis alergi menunjukan adanya hiperresponsif bronkial dan peningkatan sel-sel peradangan. Paparan alergen pada hidung selanjutnya akan meningkatkan pengeluaran eosinofil. Eosinofil telah terbukti banyak dalam mukosa hidung pasien dengan asma, bahkan dalam ketiadaan gejala rinitis (Casale, 2001). Hipereaktivitas saluran napas erat kaitannya dengan asma bronkial, dan merupakan salah satu kriteria diagnosis. Manifestasi klinis hipereaktivitas adalah bronkokontriksi setelah terpajan udara dingin, bau menyengat, debu, asap, atau uap di udara. Di laboratorium hipereaktivitas dapat diukur melalui uji provokasi bronkus dengan metakolin, histamin atau kegiatan jasmani. Umumnya terdapat hubungan antara derajat hipereaktivitas dengan derajat beratnya asma.

17 Hubungan Imunopatologis Mukosa saluran nafas kaya akan sel mast yang sangat penting sebagai efektor dan sistem imun saluran nafas. Sel mast menyimpan berbagai mediator inflammasi diantaranya histamine,heparin dan berbagai jenis leukotrine. Histamin berfungsi meningkatkan permeabilitas vaskular,sebagai protease dan sebagai eosinofil chemotactic factor.sel mast berasal dari sel progenitor sumsum tulang. Sel progenitor tersebut bersirkulasi melalui darah dan masuk ke jaringan-jaringan dan nantinya ber-proliferasi dan berkembang (Junquiera, 2005). Pada permukaan sel mast terdapat reseptor spesifik immunoglobulin E (IgE).Ketika IgE berikatan pada reseptornya pada sel mast akan menyebabkan keluarnya granul-granul mediator inflammasi pada sel mast.adanya sel mast pada saluran nafas ini secara signifikan menyebabkan hubungan immunopatologis naso-bronki sangat erat melalui respon pelepasan cytokine pada proses alergi dan inflammasi.selain itu pada saluran nafas terdapat pula jaringan lymphoid yakni mucosal associated lymphoid tissue (MALT) yang tersebar banyak mulai dari hidung dan bronkus (Junquiera, 2005). Paparan alergen dosis rendah yang terus menerus pada seseorang penderita yang mempunyai bakat alergi (atopik) dan presentasi alergen oleh sel APC kepada sel B disertai adanya pengaruh sitokin interleukin 4 (IL-4) memacu sel B untuk memproduksi IgE yang terus bertambah jumlahnya. IgE yang diproduksi berada bebas dalam sirkulasi dan sebagian diantaranya berikatan dengan reseptornya dengan afinitas tinggi di permukaan sel basofil dan sel mastosit. Sel mastosit kemudian masuk ke venula di mukosa yang kemudian keluar dari sirkulasi dan berada dalam jaringan termasuk di mukosa dan submukosa hidung. Dalam keadaan ini maka seseorang dapat belum mempunyai gejala rinitis alergi atau penyakit atopi lainnya, tetapi jika dilakukan tes kulit dapat memberikan hasil yang positif (Bergeronet, 2005). Pada asma bronkial ada beberapa mediator yang berperan penting. Kemokin seperti thymus and activation-regulated chemokines (TARC) dan macrophage-derived chemokines (MDC), cysteinyl leukotriens, sitokin, histamin

18 22 dan prostaglandin D2 berperan dalam proses penyempitan dan hiperesponsive saluran nafas pada patofisiologi terjadinya asma (Cummings, 2005). Hubungan antara rinitis dengan saluran nafas atas dan bawah, dengan adanya gejala inflamasi pada hidung, pengeluaran mediator-mediator yang menyebabkan alergen ini menyebabkan gangguan fungsi pada saluran nafas atas yang akan mempengaruhi saluran nafas bawah. Beberapa inflamasi yang terjadi pada saluran nafas bawah terjadi juga pada saluran nafas atas karena struktur fisiologisnya mirip. Ini terjadi pada keadaan normal yaitu bronkusnya normal berkontak dengan alergen di saluran nafas atas, juga akan mempengaruhi saluran nafas bawah bila tersensitisasi. Terjadilah suatu fase awal asma yang berlanjut. Dari mediator-mediator fase awal atau fase lambat akan terbentuk fase intermediet. Bila lebih dari 8 jam akan menjadi fase lambat dengan gejala lebih hebat dibandingkan fase pertama (Cummings, 2005). Mediator inflammasi dari saluran nafas atas dapat mencapai saluran nafas bawah melalui aliran nafas itu sendiri.selain itu mediator inflammasi juga dapat mencapai saluran nafas bawah melalui darah. Mediator inflammasi seperti histamine,leukotrien, dan beberapa sitokin mempunyai kemamuan untuk beredar melalui sirkulasi darah.meskipun demikian kebanyakan dari sitokin tersebut memiliki waktu paruh yang singkat.peneliti menemukan bahwa mediator inflammasi seperti IL-5 dan GM-CSF pada paru dapat sampai ke sumsum tulang dimana akan merangsang pelepasan sel-sel progenitor ke sirkulasi dan ke target organ.ini terbukti setelah pemaparan antigen atau allergen menunjukan peningkatan produksi sel T pada sumsum tulang dan peningkatan affinitas dari reseptor IL-5 yang erat kaitannya dengan peningkatan jumlah sel progenitor eosinofil (Mehta, 2014) Refleks-Refleks Neural Setiap inflamasi pada hidung, ada efek yang terjadi bersamaan pada daerah bronkus. Dari penelitian yang dilakukan oleh Fontanari dkk, yang memberikan stimulus pada hidung dengan air sangat dingin (es). Didapatkan meningkatnya

19 23 tahanan dari tracheobronchial tree dan paru, sehingga tidak respon terhadap anestesi topikal dan bronkodilator inhalasi. Diperkirakan bahwa ada keterlibatan sistem saraf dalam hubungan antara rinitis alergi dan asma. Refleks-refleks yang berperan dalam keterlibatan itu adalah refleks nasobronkial dan bronkial. Kedua refleks tersebut terjadi akibat stimulasi saraf sensoris nasal. Bronkokonstriksi yang kemudian timbul melalui jalur saraf parasimpatis disebut refleks nasobronchial, sedangkan peningkatan respon bronkus melalui sistem saraf pusat disebut refleks bronkial (O Hollaren, 2005) Pengaruh Rinitis Alergi Terhadap Penatalaksanaan Asma Hubungan yang sangat erat antara rinitis alergi dan asma dapat dijadikan sebagai pertimbangan demi tercapainya hasil pengobatan yang lebih baik. Beta 2 agonis telah diketahui sangat efektif pada pasien asma tetapi tidak mempunyai efek sama sekali pada rinitis alergi. Begitupun, anti-histamin efektif pada rinitis alergi tetapi tidak salah satu obat yang digunakan untuk asma. Meskipun demikian telah didokumentasikan bahwa dengan mengobati rinitis alergi sangat mempengaruhi dengan tingkat keparahan dari gejala asma. Intranasal beclomethasone 326 mg per hari and fluticasone propionate 200 mg per hari telah terbukti dapat mengurangi secara signifikan hiperresponsif bronkus pada pasien asma. Selain itu intranasal beclomethasone 200 mg dua kali sehari terbukti mengurangi hiperresponsif bronkus pada induksi metakolin. Meskipun antihistamin bukan merupakan bagian dari pengobatan asma tetapi mempunyai efek tidak langsung pada asma. Sebuah penelitian placebo-controlled trial menyatakan bahwa sebanyak 186 pasien dengan rinitis musiman dan asma, pemberian Cetirizine 10 mg terbukti telah dapat mengurangi secara signifikan gejala asma selama musim serbuk sari (Pawankar, 2003). Beberapa penelitian juga membuktikan bahwa penanganan terhadap rinitis alergi komorbid memberi pengaruh positif terhadap asma. Inflamasi merupakan mekanisme kunci dalam pathogenesis rhinitis alergika dan asma, karena itu penggunaan anti-inflamasi dan obat-obat sistemik lain dalam penatalaksanaan

20 24 rinitis alergi dan asma mulai ramai diperbincangkan dan diteliti. Selain antiinflamasi, imunoterapi pun mulai banyak diteliti dalam penatalaksanaan rhinitis dan asma. Beberapa obat yang mulai banyak diteliti adalah kortikosteroid intranasal, LTRA (Leukotriene Receptor Antagonist), PDE-4 (Phosphodiesteras e- 4) inhibitor, dan anti Ig-E. Obat-obat tersebut dikatakan memiliki efek sistemik yang berperan dalam menurunkan bronchial hyperresponsiveness dan gejala asma. Beberapa obat yang digunakan untuk menanggulangi rinitis alergi seperti anti histamin dan cromoglycates agaknya tidak terlalu berpengaruh terhadap saluran pernafasan bagian bawah. Kortikosteroid intranasal dapat menurunkan gejala asma dan rhinitis, respon terhadap allergen seperti metakolin dan memperbaiki toleransi terhadap latihan. Kortikosteroid intranasal dapat menurunkan kadar sitokin seperti IL-4 dan IL-5, juga memiliki efek sistemik dan telah dinyatakan aman. Namun, kortikosteroid inhalasi atau intrabronkial dapat memicu efek samping. Antileukotrin dapat menurunkan kadar eosinofil pada darah dan sputum, menurunkan perekrutan eosinofil dari sumsum tulang, dan meningkatkan produksi nitric oxide pada daerah-daerah yang mengalami inflamasi. Montelukast merupakan salah satu contoh antileukotrin yang terbukti bermanfaat dalam penanganan rinitis alergi dan asma. Obat ini dapat meningkatkan fungsi paru-paru pada penderita rinitis, juga menurunkan gejala rinitis harian pada penderita rinitis alergi dan asma (Pawankar, 2003) Penatalaksanaan Asma dengan Rinitis Alergi di Indonesia Menurut (ARIA, 2001) disebutkan bahwa dalam membuat diagnosa asma atau rinitis alergi, baik saluran pernafasan bagian atas maupun bawah harus dievaluasi. Terapi kombinasi diperlukan apabila terdapat kondisi komorbid. Terapi tersebut berupa penghindaran allergen, penanganan farmakologis, imunoterapi spesifik, edukasi terhadap pasien dan terapi pembedahan untuk pasien tertentu. Beberapa farmakoterapi seperti glukokortikoid dan antileukotrin (terutama yang diadministrasikan per oral) efektif untuk menangani rinitis maupun asma. Farmakoterapi seperti antihistamin H1 lebih efektif untuk rinitis dibandingkan dengan asma. Ada pula farmakoterapi yang hanya bermanfaat untuk

21 25 mengatasi gejala asma saja atau rinitis saja, namun yang dicantumkan dalam ARIA hanya untuk rinitis alergi. Metode imunoterapi spesifik, disarankan agar diberikan pada pasien dengan usia di atas 5 tahun. Imunoterapi atau vaksinasi ini diberikan apabila farmakoterapi tidak memberikan respon terapi yang baik atau apabila pasien menolak minum obat. Vaksinasi dapat dilakukan melalui rute subkutan oleh tenaga medis berpengalaman, maupun oral apabila pasien menolak atau mengalami efek samping yang buruk dengan rute subkutan. Dosis allergen mayor pada vaksinasi subkutan berkisar antara Âμg, sedangkan preparat oral memiliki dosis kali lebih besar daripada preparat subkutan. Dari studi literatur yang dilakukan penulis, diketahui bahwa dalam pedoman penatalaksanaan asma yang berlaku di Indonesia belum mempertimbangkan pengaruh rhinitis alergi terhadap asma. Asma dan rinitis alergi di Indonesia masih diperlakukan secara berbeda. Padahal banyak hal yang telah diketahui mengenai hubungan rhinitis dan asma, dan akan sangat menguntungkan apabila pengetahuan tersebut dapat dimasukkan dalam penatalaksanaan asma di Indonesia. Sebagaimana telah disebutkan dalam latar belakang, standar penatalaksanaan asma di Indonesia berpatokan pada GINA. Untuk penatalaksanaan asma jangka panjang, yang terpenting adalah edukasi kepada pasien, termasuk kapan harus mencari pertolongan, bagaimana mengenali gejala serangan asma secara dini, obat-obat pelega dan pengontrol serta cara dan waktu penggunaannya, mengenali dan menghindari faktor pencetus, serta follow up yang teratur dan tak lupa menjaga kebugaran. Obat pelega digunakan pada saat terjadi serangan, sedangkan, obat pengontrol digunakan secara rutin dalam jangka panjang untuk pencegahan serangan asma (Small, 2011). Standar penatalaksanaan asma menurut KEPMENKES RI Nomor 1023/MENKES/SK/XI/2008 ARIA (Allergic Rhinitis Impact on Asthma). Menekankan pada pengendalian penyakit asma, dan penjelasan lengkap mengenai asma. Menekankan pada rhinitis alergika dengan komorbiditasnya dan tatalaksana kombinasi untuk keadaan komorbid. Dalam tatalaksana farmakoterapi hanya dicantumkan farmakoterapi untuk asma. Dalam tatalaksana farmakoterapi hanya

22 26 dicantumkan farmakoterapi untuk rinitis alergi, sedangkan farmakoterapi asma disesuaikan dengan GINA. Bersifat lokal, hanya sebagai panduan bagi tenaga medis dan pusat-pusat kesehatan di Indonesia. Bersifat global, dilengkapi dengan panduan adaptif untuk negara berkembang dengan biaya minimum. Sangat spesifik, lengkap dengan algoritma penatalaksanaan dan pokok-pokok kegiatan penanggulangan asma di pusat-pusat pelayanan kesehatan hingga di rumah. Lebih umum, hanya mengenai rinitis alergi serta komorbiditas dan tata laksana yang dikombinasikan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. MEKANISME YANG MENDASARI HUBUNGAN ANTARA ASMA DAN RHINITIS ALERGI 2.1.1. Hubungan Anatomis dan Patofisiologis Saluran napas manusia secara fungsional terbagi menjadi dua bagian,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Asma Dari waktu ke waktu, definisi asma mengalami perubahan beberapa kali karena perkembangan dari ilmu pengetahuan beserta pemahaman mengenai patologi, patofisiologi,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Definisi Rinitis Alergi (RA) menurut ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) merupakan reaksi inflamasi pada mukosa hidung akibat reaksi hipersensitivitas

Lebih terperinci

Prevalens Nasional : 5,0% 5 Kabupaten/Kota dengan prevalens tertinggi: 1.Aceh Barat 13,6% 2.Buol 13,5% 3.Pahwanto 13,0% 4.Sumba Barat 11,5% 5.

Prevalens Nasional : 5,0% 5 Kabupaten/Kota dengan prevalens tertinggi: 1.Aceh Barat 13,6% 2.Buol 13,5% 3.Pahwanto 13,0% 4.Sumba Barat 11,5% 5. L/O/G/O Buku pedoman ASMA DEFINISI : Prevalens Nasional : 5,0% 5 Kabupaten/Kota dengan prevalens tertinggi: 1.Aceh Barat 13,6% 2.Buol 13,5% 3.Pahwanto 13,0% 4.Sumba Barat 11,5% 5.Boalemo 11,0% Riskesdas

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rinitis alergi 2.1.1. Definisi Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang diinduksi oleh inflamasi yang diperantarai IgE (Ig-E

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka kejadian penyakit asma akhir-akhir ini mengalami peningkatan dan relatif sangat tinggi dengan banyaknya morbiditas dan mortalitas. WHO memperkirakan 100-150 juta

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1. Atopi, atopic march dan imunoglobulin E pada penyakit alergi

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1. Atopi, atopic march dan imunoglobulin E pada penyakit alergi BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Atopi, atopic march dan imunoglobulin E pada penyakit alergi Istilah atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos yang berarti out of place atau di luar dari tempatnya, dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011).

BAB 1 PENDAHULUAN. negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asma merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011). Asma merupakan penyakit inflamasi

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Rinitis Alergi adalah peradangan mukosa saluran hidung yang disebabkan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Rinitis Alergi adalah peradangan mukosa saluran hidung yang disebabkan BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rinitis Alergi Rinitis Alergi adalah peradangan mukosa saluran hidung yang disebabkan alergi terhadap partikel, antara lain: tungau debu rumah, asap, serbuk / tepung sari yang

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Immunitas Niken Andalasari Sistem Imunitas Sistem imun atau sistem kekebalan tubuh

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang diperantarai IgE yang terjadi setelah mukosa hidung terpapar alergen. 1,2,3 Penyakit

Lebih terperinci

BAB 1. PENDAHULUAN. hidung akibat reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai IgE yang ditandai

BAB 1. PENDAHULUAN. hidung akibat reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai IgE yang ditandai 1 BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Rinitis alergi (RA) adalah manifestasi penyakit alergi pada membran mukosa hidung akibat reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai IgE yang ditandai dengan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Asma 2.1.1. Definisi Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan berbagai sel inflamasi sehingga menimbulkan gejala yang berhubungan dengan luas inflamasi,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Asma merupakan penyakit kronis saluran pernapasan yang sering dijumpai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Asma merupakan penyakit kronis saluran pernapasan yang sering dijumpai BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Asma Asma merupakan penyakit kronis saluran pernapasan yang sering dijumpai pada masa kanak-kanak. Merupakan salah satu reaksi hipersentivitas saluran napas, baik saluran

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Asma 2.1.1. Pengertian Asma Asma merupakan sebuah penyakit kronik saluran napas yang terdapat di seluruh dunia dengan kekerapan bervariasi yang berhubungan dengan dengan peningkatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Asma adalah suatu inflamasi kronik dari saluran nafas yang menyebabkan. aktivitas respirasi terbatas dan serangan tiba- tiba

BAB 1 PENDAHULUAN. Asma adalah suatu inflamasi kronik dari saluran nafas yang menyebabkan. aktivitas respirasi terbatas dan serangan tiba- tiba BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Asma adalah suatu inflamasi kronik dari saluran nafas yang menyebabkan aktivitas respirasi terbatas dan serangan tiba- tiba memerlukan tatalaksana segera dan kemungkinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit alergi sebagai reaksi hipersensitivitas tipe I klasik dapat terjadi pada

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit alergi sebagai reaksi hipersensitivitas tipe I klasik dapat terjadi pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit alergi sebagai reaksi hipersensitivitas tipe I klasik dapat terjadi pada individu dengan kecenderungan alergi setelah adanya paparan ulang antigen atau alergen

Lebih terperinci

BAB 6 PEMBAHASAN. Penelitian ini mengikutsertakan 61 penderita rinitis alergi persisten derajat

BAB 6 PEMBAHASAN. Penelitian ini mengikutsertakan 61 penderita rinitis alergi persisten derajat BAB 6 PEMBAHASAN 6.1. Karakteristik subyek penelitian Penelitian ini mengikutsertakan 61 penderita rinitis alergi persisten derajat ringan, sedang-berat dengan rerata usia subyek 26,6 ± 9,2 tahun, umur

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. udara ekspirasi yang bervariasi (GINA, 2016). Proses inflamasi kronis yang

BAB 1 PENDAHULUAN. udara ekspirasi yang bervariasi (GINA, 2016). Proses inflamasi kronis yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Asma merupakan penyakit heterogen dengan karakteristik adanya inflamasi saluran napas kronis. Penyakit ini ditandai dengan riwayat gejala saluran napas berupa wheezing,

Lebih terperinci

Asma sering diartikan sebagai alergi, idiopatik, nonalergi atau gabungan.

Asma sering diartikan sebagai alergi, idiopatik, nonalergi atau gabungan. A S M A DEFINISI Asma adalah penyakit jalan napas obstruktif intermitten, reversibel dimana trakea dan bronki berespons dalam secara hiperaktif terhadap stimulun tertentu. Asma dimanifestasikan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asma merupakan keadaan sakit sesak nafas karena terjadinya aktivitas berlebih terhadap rangsangan tertentu sehingga menyebabkan peradangan dan penyempitan pada saluran

Lebih terperinci

ASMA DAN PENDIDIKAN JASMANI OLAHRAGA DAN KESEHATAN (PENJASORKES) DI SEKOLAH. I Made Kusuma Wijaya

ASMA DAN PENDIDIKAN JASMANI OLAHRAGA DAN KESEHATAN (PENJASORKES) DI SEKOLAH. I Made Kusuma Wijaya ASMA DAN PENDIDIKAN JASMANI OLAHRAGA DAN KESEHATAN (PENJASORKES) DI SEKOLAH I Made Kusuma Wijaya Jurusan Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi Fakultas Olahraga dan Kesehatan, Universitas Pendidikan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rinitis alergi (RA) merupakan rinitis kronik non infeksius yang paling

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rinitis alergi (RA) merupakan rinitis kronik non infeksius yang paling 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rinitis Alergi 2.1.1 Definisi dan klasifikasi Rinitis alergi (RA) merupakan rinitis kronik non infeksius yang paling umum dijumpai. RA didefinisikan sebagai suatu penyakit

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos, yang memiliki arti tidak pada

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos, yang memiliki arti tidak pada 4 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Atopi dan uji tusuk kulit Atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos, yang memiliki arti tidak pada tempatnya dan sering digunakan untuk menggambarkan penyakit yang diperantarai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahwa prevalensi alergi terus meningkat mencapai 30-40% populasi

BAB I PENDAHULUAN. bahwa prevalensi alergi terus meningkat mencapai 30-40% populasi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang World Allergy Organization (WAO) tahun 2011 mengemukakan bahwa prevalensi alergi terus meningkat mencapai 30-40% populasi dunia. 1 World Health Organization (WHO) memperkirakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka A.1. Definisi asma Asma adalah inflamasi kronik saluran napas yang berhubungan dengan hipereaktivitas saluran napas sehingga mengakibatkan terjadinya episode

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 8,7% di tahun 2001, dan menjadi 9,6% di tahun

BAB I PENDAHULUAN. 8,7% di tahun 2001, dan menjadi 9,6% di tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Asma merupakan penyakit kronik yang sering ditemukan dan merupakan salah satu penyebab angka kesakitan pada anak di seluruh dunia. Di negara maju dan negara berkembang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia secara geografis merupakan negara tropis yang kaya akan berbagai jenis tumbuh-tumbuhan. Seiring perkembangan dunia kesehatan, tumbuhan merupakan alternatif

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Asma 2.1.1. Definisi Asma Asma merupakan suatu penyakit saluran pernapasan yang kronik dan heterogenous. Penyakit ini dikatakan mempunyai kekerapan bervariasi yang berhubungan

Lebih terperinci

M.D. : Faculty of Medicine, University of Indonesia, Pulmonologist: Faculty of Medicine, Univ. of Indonesia, 2007.

M.D. : Faculty of Medicine, University of Indonesia, Pulmonologist: Faculty of Medicine, Univ. of Indonesia, 2007. Triya Damayanti M.D. : Faculty of Medicine, University of Indonesia, 2000. Pulmonologist: Faculty of Medicine, Univ. of Indonesia, 2007. Ph.D. :Tohoku University, Japan, 2011. Current Position: - Academic

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ini. Asma bronkial terjadi pada segala usia tetapi terutama dijumpai pada usia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ini. Asma bronkial terjadi pada segala usia tetapi terutama dijumpai pada usia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit asma merupakan kelainan yang sangat sering ditemukan dan diperkirakan 4-5% populasi penduduk di Amerika Serikat terjangkit oleh penyakit ini. Asma bronkial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memburuk menyebabkan terjadinya perubahan iklim yang sering berubahubah. yang merugikan kesehatan, kususnya pada penderita asma.

BAB I PENDAHULUAN. memburuk menyebabkan terjadinya perubahan iklim yang sering berubahubah. yang merugikan kesehatan, kususnya pada penderita asma. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saat ini zaman semakin berkembang seiring waktu dan semakin memburuk menyebabkan terjadinya perubahan iklim yang sering berubahubah. Saat ini tingkat ozon naik hingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dermatitis alergika merupakan suatu penyakit yang sering kita jumpai di masyarakat yang dikenal juga sebagai dermatitis atopik (DA), yang mempunyai prevalensi 0,69%,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Rinitis alergi merupakan penyakit imunologi yang sering ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Rinitis alergi merupakan penyakit imunologi yang sering ditemukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rinitis alergi merupakan penyakit imunologi yang sering ditemukan (Madiadipora, 1996). Berdasarkan studi epidemiologi, prevalensi rinitis alergi diperkirakan berkisar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rhinitis berasal dari dua kata bahasa Greek rhin rhino yang berarti hidung dan itis yang berarti radang. Demikian rhinitis berarti radang hidung atau tepatnya radang

Lebih terperinci

Bronkitis pada Anak Pengertian Review Anatomi Fisiologi Sistem Pernapasan

Bronkitis pada Anak Pengertian Review Anatomi Fisiologi Sistem Pernapasan Bronkitis pada Anak 1. Pengertian Secara harfiah bronkitis adalah suatu penyakit yang ditanda oleh inflamasi bronkus. Secara klinis pada ahli mengartikan bronkitis sebagai suatu penyakit atau gangguan

Lebih terperinci

Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan. Sistem Imunitas

Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan. Sistem Imunitas Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Immunitas Niken Andalasari Sistem Imunitas Sistem imun atau sistem kekebalan tubuh adalah suatu sistem dalam tubuh yang terdiri dari sel-sel serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Reaksi hipersensitivitas tipe I atau reaksi alergi adalah reaksi imunologis (reaksi peradangan) yang diakibatkan oleh alergen yang masuk ke dalam tubuh menimbulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh reaksi alergi pada penderita yang sebelumnya sudah tersensitisasi

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh reaksi alergi pada penderita yang sebelumnya sudah tersensitisasi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rinitis Alergi (RA) merupakan salah satu penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada penderita yang sebelumnya sudah tersensitisasi alergen yang sama

Lebih terperinci

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS KD 3.8. Menjelaskan mekanisme pertahanan tubuh terhadap benda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan kisaran usia 5-14 tahun (Gerald dkk, 2004). Prevalens asma di Indonesia belum

BAB I PENDAHULUAN. dengan kisaran usia 5-14 tahun (Gerald dkk, 2004). Prevalens asma di Indonesia belum 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Asma merupakan penyakit kronik yang paling umum di dunia, terdapat sekitar 300 juta penduduk dunia yang menderita penyakit ini. Asma dapat terjadi pada anak-anak

Lebih terperinci

Organ yang Berperan dalam Sistem Pernapasan Manusia. Hidung. Faring. Laring. Trakea. Bronkus. Bronkiolus. Alveolus. Paru-paru

Organ yang Berperan dalam Sistem Pernapasan Manusia. Hidung. Faring. Laring. Trakea. Bronkus. Bronkiolus. Alveolus. Paru-paru Exit Hidung Faring Organ yang Berperan dalam Sistem Pernapasan Manusia Laring Trakea Bronkus Bronkiolus Alveolus Paru-paru Hidung Hidung berfungsi sebagai alat pernapasan dan indra pembau. Pada hidung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bronkitis menurut American Academic of Pediatric (2005) merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Bronkitis menurut American Academic of Pediatric (2005) merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bronkitis menurut American Academic of Pediatric (2005) merupakan penyakit umum pada masyarakat yang di tandai dengan adanya peradangan pada saluran bronchial.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kelompok gangguan saluran pernapasan kronik ini. Dalam beberapa

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kelompok gangguan saluran pernapasan kronik ini. Dalam beberapa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit asma masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia tidak terkecuali di Indonesia. Walaupun penyakit asma mempunyai tingkat fitalitas yang rendah namun

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. PATOGENESIS REAKSI INFLAMASI ALERGI. Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi mukosa hidung yang didasari

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. PATOGENESIS REAKSI INFLAMASI ALERGI. Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi mukosa hidung yang didasari 6 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. PATOGENESIS REAKSI INFLAMASI ALERGI Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi mukosa hidung yang didasari oleh reaksi hipersensitifitas yang diperantarai IgE, 1,2,3 yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Susu formula yang diberikan kepada bayi sebagai pengganti ASI, kerap kali memberikan efek samping yang mengganggu kesehatan bayi seperti alergi. Susu formula secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Istilah asma berasal dari bahasa Yunani yang artinya terengahengah dan berarti serangan napas pendek. Meskipun dahulu istilah ini digunakan untuk menyatakan

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN 21 BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian intervensi atau uji klinis dengan randomized controlled trial pre- & posttest design. Studi ini mempelajari

Lebih terperinci

DEFINISI BRONKITIS. suatu proses inflamasi pada pipa. bronkus

DEFINISI BRONKITIS. suatu proses inflamasi pada pipa. bronkus PENDAHULUAN Survei Kesehatan Rumah Tangga Dep.Kes RI (SKRT 1986,1992 dan 1995) secara konsisten memperlihatkan kelompok penyakit pernapasan yaitu pneumonia, tuberkulosis dan bronkitis, asma dan emfisema

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Asma merupakan masalah kesehatan dunia yang tidak hanya terjangkit di negara maju tetapi juga di negara berkembang. Penyakit asma menjadi masalah yang sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Istilah atopik pertama kali diperkenalkan oleh Coca (1923), yaitu istilah yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai riwayat alergi/hipersensitivitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan. penelitian, manfaat penelitian sebagai berikut.

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan. penelitian, manfaat penelitian sebagai berikut. 1 BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini akan dibahas tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian sebagai berikut. A. Latar Belakang Aktivitas kehidupan manusia sangat dipengaruhi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Asma adalah penyakit saluran nafas kronis yang penting

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Asma adalah penyakit saluran nafas kronis yang penting BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.1. Latar Belakang Asma adalah penyakit saluran nafas kronis yang penting dan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara diseluruh dunia. Meskipun penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahan yang sama untuk kedua kalinya atau lebih. 1. manifestasi klinis tergantung pada organ target. Manifestasi klinis umum dari

BAB I PENDAHULUAN. bahan yang sama untuk kedua kalinya atau lebih. 1. manifestasi klinis tergantung pada organ target. Manifestasi klinis umum dari BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Istilah alergi digunakan pertama kali digunakan oleh Clemens von Pirquet bahan yang sama untuk kedua kalinya atau lebih. 1 Reaksi alergi dapat mempengaruhi hampir

Lebih terperinci

ABSTRAK PREVALENSI INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT SEBAGAI PENYEBAB ASMA EKSASERBASI AKUT DI POLI PARU RSUP SANGLAH, DENPASAR, BALI TAHUN 2013

ABSTRAK PREVALENSI INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT SEBAGAI PENYEBAB ASMA EKSASERBASI AKUT DI POLI PARU RSUP SANGLAH, DENPASAR, BALI TAHUN 2013 ABSTRAK PREVALENSI INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT SEBAGAI PENYEBAB ASMA EKSASERBASI AKUT DI POLI PARU RSUP SANGLAH, DENPASAR, BALI TAHUN 2013 Data WHO 2013 dan Riskesdas 2007 menunjukkan jumlah penderita

Lebih terperinci

PENATALAKSANAAN ASMA EKSASERBASI AKUT

PENATALAKSANAAN ASMA EKSASERBASI AKUT PENATALAKSANAAN ASMA EKSASERBASI AKUT Faisal Yunus Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI - RS Persahabatan Jakarta PENDAHULUAN Asma penyakit kronik saluran napas Penyempitan saluran napas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Asma adalah suatu kondisi paru-paru kronis yang ditandai dengan sulit bernafas terjadi saat saluran pernafasan memberikan respon yang berlebihan dengan cara menyempit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya adalah bersin, hidung beringus (rhinorrhea), dan hidung tersumbat. 1 Dapat juga disertai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dermatitis alergika adalah suatu peradangan pada kulit yang didasari oleh reaksi alergi/reaksi hipersensitivitas tipe I. Penyakit yang berkaitan dengan reaksi hipersensitivitas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Asma Bronkhiale 1. Definisi Asma bronkiale adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan

Lebih terperinci

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian. Semarang pada bulan Maret sampai Mei 2013.

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian. Semarang pada bulan Maret sampai Mei 2013. 28 BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini mencakup bidang Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian pulmonologi Ilmu

Lebih terperinci

Famili : Picornaviridae Genus : Rhinovirus Spesies: Human Rhinovirus A Human Rhinovirus B

Famili : Picornaviridae Genus : Rhinovirus Spesies: Human Rhinovirus A Human Rhinovirus B RHINOVIRUS: Bila Anda sedang pilek, boleh jadi Rhinovirus penyebabnya. Rhinovirus (RV) menjadi penyebab utama dari terjadinya kasus-kasus flu (common cold) dengan presentase 30-40%. Rhinovirus merupakan

Lebih terperinci

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSAAN ASMA

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSAAN ASMA DIAGNOSIS DAN PENATALAKSAAN ASMA Budhi Antariksa Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI RS Persahabatan Jakarta DEFINISI ASMA Inflamasi kronik saluran napas Hipereaktiviti bronkus terhadap

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. ke waktu karena perkembangan dari ilmu pengetahuan beserta. pemahaman mengenai patologi, patofisiologi, imunologi, dan genetik

BAB II LANDASAN TEORI. ke waktu karena perkembangan dari ilmu pengetahuan beserta. pemahaman mengenai patologi, patofisiologi, imunologi, dan genetik BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Asma a. Definisi Asma Definisi asma mengalami perubahan beberapa kali dari waktu ke waktu karena perkembangan dari ilmu pengetahuan beserta pemahaman mengenai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. umumnya. Seseorang bisa kehilangan nyawanya hanya karena serangan

BAB I PENDAHULUAN. umumnya. Seseorang bisa kehilangan nyawanya hanya karena serangan 1 A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Saat ini asma semakin berkembang menjadi penyakit pembunuh bagi masyarakat di dunia, selain penyakit jantung. Serangan yang terjadi akibat asma menjadi momok

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rinitis Alergi 2.1.1. Definisi Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang diinduksi oleh inflamasi yang diperantarai imunoglobulin

Lebih terperinci

LAPORAN PENDAHULUAN ASTHMA ATTACK

LAPORAN PENDAHULUAN ASTHMA ATTACK LAPORAN PENDAHULUAN ASTHMA ATTACK A. PENGERTIAN Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran napas yang disebabkan oleh reaksi hiperresponsif sel imun tubuh seperti sel mast, eosinofil, dan limfosit-t

Lebih terperinci

Kaviti hidung membuka di anterior melalui lubang hidung. Posterior, kaviti ini berhubung dengan farinks melalui pembukaan hidung internal.

Kaviti hidung membuka di anterior melalui lubang hidung. Posterior, kaviti ini berhubung dengan farinks melalui pembukaan hidung internal. HIDUNG Hidung adalah indera yang kita gunakan untuk mengenali lingkungan sekitar atau sesuatu dari aroma yang dihasilkan. Kita mampu dengan mudah mengenali makanan yang sudah busuk dengan yang masih segar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. reversible di mana trakea dan bronkus berespon secara hiperaktif terhadap stimuli

BAB I PENDAHULUAN. reversible di mana trakea dan bronkus berespon secara hiperaktif terhadap stimuli BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asma merupakan penyakit jalan napas obstruktif intermiten yang bersifat reversible di mana trakea dan bronkus berespon secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Definisi klinis rinitis alergi adalah penyakit. simptomatik pada hidung yang dicetuskan oleh reaksi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Definisi klinis rinitis alergi adalah penyakit. simptomatik pada hidung yang dicetuskan oleh reaksi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Definisi klinis rinitis alergi adalah penyakit simptomatik pada hidung yang dicetuskan oleh reaksi inflamasi yang dimediasi oleh immunoglobulin E (IgE)

Lebih terperinci

Pertukaran gas antara sel dengan lingkungannya

Pertukaran gas antara sel dengan lingkungannya Rahmy Sari S.Pd PERNAPASAN/RESPIRASI Proses pengambilan oksigen, pengeluaran karbondioksida (CO 2 ), dan menghasilkan energi yang dibutuhkan tubuh) Pertukaran gas antara sel dengan lingkungannya Pernapasan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengetahuan 2.1.1 Definisi atau Pengertian Pengetahuan (knowledge) adalah merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.pengetahuan

Lebih terperinci

ASTHMA Wiwien Heru Wiyono

ASTHMA Wiwien Heru Wiyono ASTHMA Wiwien Heru Wiyono Dept. of Pulmonology and Respiratory Medicine, Faculty of Medicine - University of Indonesia Persahabatan Hospital - Jakarta INTRODUCTION Asthma is the most common and serious

Lebih terperinci

Dr. Masrul Basyar Sp.P (K)

Dr. Masrul Basyar Sp.P (K) Dr. Masrul Basyar Sp.P (K) Program Penatalaksanaan Asma 1. Edukasi 2. Monitor penyakit berkala (spirometri) 3. Identifikasi dan pengendalian pencetus 4. Merencanakan Terapi 5. Menetapkan pengobatan pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung selama minimal 12 minggu berturut-turut. Rinosinusitis kronis

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. dan ketangkasan dalam berusaha atau kegairahan (Alwi, 2003).

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. dan ketangkasan dalam berusaha atau kegairahan (Alwi, 2003). BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Aktivitas Aktivitas adalah keaktifan atau kegiatan berupa usaha, pekerjaan, kekuatan dan ketangkasan dalam berusaha atau kegairahan (Alwi, 2003). Aktivitas yang dimaksudkan di

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Patofisiologi Kelainan Paru akibat Paparan Uap/Gas BBM Secara fisiologis sebelum masuk ke paru udara inspirasi sudah dibersihkan dari partikel debu dan asap yang memiliki diameter

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik saluran

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik saluran BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi asma Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik saluran nafas yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang ditandai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dunia, diantaranya adalah COPD (Chonic Obstructive Pulmonary Disease)

BAB I PENDAHULUAN. dunia, diantaranya adalah COPD (Chonic Obstructive Pulmonary Disease) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit sistem pernapasan merupakan penyebab 17,2% kematian di dunia, diantaranya adalah COPD (Chonic Obstructive Pulmonary Disease) 5,1%, infeksi pernapasan bawah

Lebih terperinci

FARMAKOTERAPI ASMA. H M. Bakhriansyah Bagian Farmakologi FK UNLAM

FARMAKOTERAPI ASMA. H M. Bakhriansyah Bagian Farmakologi FK UNLAM FARMAKOTERAPI ASMA H M. Bakhriansyah Bagian Farmakologi FK UNLAM Pendahuluan Etiologi: asma ekstrinsik diinduksi alergi asma intrinsik Patofisiologi: Bronkokontriksi akut Hipersekresi mukus yang tebal

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN SENAM ASMA TERHADAP FREKWENSI KEKAMBUHAN ASMA BRONKIAL

PENGARUH PEMBERIAN SENAM ASMA TERHADAP FREKWENSI KEKAMBUHAN ASMA BRONKIAL PENGARUH PEMBERIAN SENAM ASMA TERHADAP FREKWENSI KEKAMBUHAN ASMA BRONKIAL SKRIPSI DISUSUN UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN PERSYARATAN DALAM MENDAPATKAN GELAR SARJANA SAINS TERAPAN Oleh: DARU KUMORO CIPTO JATI

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Hipotesis higiene merupakan penjelasan terhadap peningkatan kejadian atopi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Hipotesis higiene merupakan penjelasan terhadap peningkatan kejadian atopi 1 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hipotesis Higiene Hipotesis higiene merupakan penjelasan terhadap peningkatan kejadian atopi yang terjadi pada tiga puluh sampai empat puluh tahun terakhir, terutama di negara-negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bronkus. 3 Global Initiative for Asthma (GINA) membagi asma menjadi asma

BAB I PENDAHULUAN. bronkus. 3 Global Initiative for Asthma (GINA) membagi asma menjadi asma bronkus. 3 Global Initiative for Asthma (GINA) membagi asma menjadi asma BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Asma merupakan penyakit saluran pernafasan kronik yang menjadi masalah kesehatan di masyarakat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dermatitis alergika disebut juga dermatitis atopik yang terjadi pada orang dengan riwayat atopik. Atopik ditandai oleh adanya reaksi yang berlebih terhadap rangsangan

Lebih terperinci

2006 Global Initiative for Asthma (GINA) tuntunan baru dalam penatalaksanaan asma yaitu kontrol asma

2006 Global Initiative for Asthma (GINA) tuntunan baru dalam penatalaksanaan asma yaitu kontrol asma 2006 Global Initiative for Asthma (GINA) tuntunan baru dalam penatalaksanaan asma yaitu kontrol asma penatalaksanaan asma terbaru menilai secara cepat apakah asma tersebut terkontrol, terkontrol sebagian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Asma Asma merupakan penyakit inflamasi kronis yang terjadi di saluran pernafasan yang menyebabkan penyempitan pada saluran pernafasan tersebut (Nelson, 2007). Sedangkan menurut

Lebih terperinci

Diagnosis dan Penatalaksanaan Rinitis Alergi yang Disertai Asma Bronkial

Diagnosis dan Penatalaksanaan Rinitis Alergi yang Disertai Asma Bronkial Diagnosis dan Penatalaksanaan Rinitis Alergi yang Disertai Asma Bronkial Effy Huriyati, Al Hafiz Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher - RSUP Dr. M. Djamil Padang ABSTRAK Rinitis alergi merupakan

Lebih terperinci

ASMA BRONKIALE: KENALI LEBIH DEKAT DAN KENDALIKAN KEKAMBUHANNYA

ASMA BRONKIALE: KENALI LEBIH DEKAT DAN KENDALIKAN KEKAMBUHANNYA ASMA BRONKIALE: KENALI LEBIH DEKAT DAN KENDALIKAN KEKAMBUHANNYA Oleh : dr. Safriani Yovita Asma adalah penyakit saluran napas kronik yang menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mengganggu aktivitas sosial (Bousquet, et.al, 2008). Sebagian besar penderita

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mengganggu aktivitas sosial (Bousquet, et.al, 2008). Sebagian besar penderita BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rinitis alergi merupakan masalah kesehatan global dengan prevalensi yang terus meningkat serta dapat berdampak pada penurunan kualitas hidup penderitanya, berkurangnya

Lebih terperinci

FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN RINOSINUSITIS PADA PENDERITA RINITIS ALERGI LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN RINOSINUSITIS PADA PENDERITA RINITIS ALERGI LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN RINOSINUSITIS PADA PENDERITA RINITIS ALERGI LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH Diajukan sebagai syarat untuk mengikuti ujian hasil Karya Tulis Ilmiah mahasiswa program

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Rhinitis alergi merupakan peradangan mukosa hidung yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Rhinitis alergi merupakan peradangan mukosa hidung yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Rhinitis alergi merupakan peradangan mukosa hidung yang disebabkan mediasi oleh reaksi hipersensitifitas atau alergi tipe 1. Rhinitis alergi dapat terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit paru-paru merupakan suatu masalah kesehatan di Indonesia, salah

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit paru-paru merupakan suatu masalah kesehatan di Indonesia, salah BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Penyakit paru-paru merupakan suatu masalah kesehatan di Indonesia, salah satunya adalah asma. Asma merupakan penyakit yang sering di jumpai di masyarakat, asma

Lebih terperinci

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH)

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) FUNGSI SISTEM IMUN: Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit; menghancurkan & menghilangkan mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit, jamur, dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pada saluran napas yang melibatkan banyak komponen sel dan elemennya, yang sangat mengganggu, dapat menurunkan kulitas hidup, dan

BAB 1 PENDAHULUAN. pada saluran napas yang melibatkan banyak komponen sel dan elemennya, yang sangat mengganggu, dapat menurunkan kulitas hidup, dan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asma dan rinosinusitis adalah penyakit yang amat lazim kita jumpai di masyarakat dengan angka prevalensi yang cenderung terus meningkat selama 20-30 tahun terakhir.

Lebih terperinci

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI rina_susilowati@ugm.ac.id Apakah imunologi itu? Imunologi adalah ilmu yang mempelajari sistem imun. Sistem imun dipunyai oleh berbagai organisme, namun pada tulisan ini sistem

Lebih terperinci

Bab I. Pendahuluan. yang ditandai oleh progresivitas obstruksi jalan nafas yang tidak sepenuhnya

Bab I. Pendahuluan. yang ditandai oleh progresivitas obstruksi jalan nafas yang tidak sepenuhnya Bab I Pendahuluan Latar Belakang Penelitian Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) didefinisikan sebagai penyakit yang ditandai oleh progresivitas obstruksi jalan nafas yang tidak sepenuhnya reversibel,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pungkiri. Banyak penyakit telah terbukti menjadi akibat buruk dari merokok,

BAB I PENDAHULUAN. pungkiri. Banyak penyakit telah terbukti menjadi akibat buruk dari merokok, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Merokok mengganggu kesehatan, kenyataan ini tidak dapat kita pungkiri. Banyak penyakit telah terbukti menjadi akibat buruk dari merokok, baik secara langsung maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berbatas pada bagian superfisial kulit berupa bintul (wheal) yang

BAB I PENDAHULUAN. yang berbatas pada bagian superfisial kulit berupa bintul (wheal) yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Urtikaria merupakan salah satu manifestasi keluhan alergi pada kulit yang paling sering dikeluhkan oleh pasien. Urtikaria adalah suatu kelainan yang berbatas pada bagian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. imunologis, yaitu akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen tertentu,

BAB 1 PENDAHULUAN. imunologis, yaitu akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen tertentu, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Alergi adalah suatu reaksi hipersensitivitas yang diawali oleh mekanisme imunologis, yaitu akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen tertentu, yang berikatan

Lebih terperinci