BIOAKUMULASI LOGAM BERAT DAN MALFORMASI KERANG HIJAU (Perna viridis) DI PERAIRAN TELUK JAKARTA MUHAMMAD REZA CORDOVA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BIOAKUMULASI LOGAM BERAT DAN MALFORMASI KERANG HIJAU (Perna viridis) DI PERAIRAN TELUK JAKARTA MUHAMMAD REZA CORDOVA"

Transkripsi

1 BIOAKUMULASI LOGAM BERAT DAN MALFORMASI KERANG HIJAU (Perna viridis) DI PERAIRAN TELUK JAKARTA MUHAMMAD REZA CORDOVA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Bioakumulasi Logam Berat dan Malformasi Kerang Hijau (Perna viridis) di Perairan Teluk Jakarta adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini. Bogor, Juli 2011 Muhammad Reza Cordova NRP. C

3 ABSTRACT MUHAMMAD REZA CORDOVA. Bioaccumulation of Heavy Metals and Malformation of Green Mussels (Perna viridis) in Jakarta Bay. Under the direction of NEVIATY P. ZAMANI and FREDINAN YULIANDA Jakarta is Indonesia s economy and government center and the most populated city. Besides that, Jakarta is also a home for many industries. All of these activities produce large number of waste and waste water that are usually discharged without any further treatment into the river streams, and cause heavy pollution. Polluted water at Jakarta Bay, especially from heavy metal, affects the organism that live in this area, especially green mussel (Perna viridis). The objectives of the research were to examine the bioaccumulation of heavy metal (Hg, Cd, Pb) and to develop a model of pollution load to Jakarta Bay and heavy metal accumulation in green mussel. This research used field survey methodology with green mussel in Muara Angke, Jakarta as a sample. The observed parameters were water pollution indicator, heavy metal accumulation and percentage of green mussel malformation. The result of water pollution parameter such as Biological oxygen demand (BOD), chemical oxygen demand (COD), Nitrate (NO 3 ), Orthophosphate (PO 4 ), Mercury (Hg), Cadmium (Cd), Plumbum (Pb) were higher than the allowed limit. The results showed that total pollution load (in tons/month) were 1,56 for NO 3 ; PO 4 1,32; Hg 2,03; Cd 0,26 and 248 for Pb. The bioaccumulation of heavy metals that was occurred on green mussel will be accumulated along with the age increasing. The highest value was mercury that accumulates in hepatopancreas. Due to the bioaccumulation of heavy metals in organs of mussels, morphology change (deformation/malformation) i.e. thick size larger than the width of the green mussel occurred. From the result, it could be predicted that the pollution load coming to Jakarta Bay and heavy metals accumulation in sediment and mussel depends on amount of input pollutant. This situation could be avoided by the development and implementation of the Waste Water Treatment Plant to treat the waste water before being discharged to the river stream. Keywords: bioaccumulation, heavy metal, Perna viridis, malformation, Jakarta Bay

4 RINGKASAN MUHAMMAD REZA CORDOVA. Bioakumulasi Logam Berat dan Malformasi Kerang Hijau (Perna viridis) di Perairan Teluk Jakarta. Dibimbing oleh NEVIATY P. ZAMANI dan FREDINAN YULIANDA Teluk Jakarta merupakan tempat bermuaranya 13 sungai yang melewati Provinsi Jawa Barat, Provinsi DKI Jakarta dan Provinsi Banten. Sungai-sungai yang bermuara ke Teluk Jakarta tersebut membawa limbah, baik berupa sampah padat maupun limbah cair yang dihasilkan dari berbagai kegiatan. Kondisi tersebut mengakibatkan kualitas lingkungan perairan akan cenderung menurun dari waktu ke waktu. Limbah cair yang masuk ke Teluk Jakarta seringkali membawa zat yang berbahaya dan beracun seperti logam berat. Logam berat merupakan unsur yang tidak dapat di uraikan dan mudah terakumulasi dalam lingkungan perairan dan dalam organisme laut. Logam berat yang masuk ke dalam lingkungan perairan selanjutnya akan terakumulasi dalam biota, terutama biota laut yang bersifat sessile. Kondisi tersebut di atas, memperlihatkan bahwa logam berat yang masuk ke dalam Perairan Teluk Jakarta semakin tinggi, dan telah melebihi batas pulih dirinya sehingga menyebabkan logam berat terakumulasi dalam tubuh kerang hijau. Oleh karena itu kondisi eksisting pencemaran yang masuk ke Teluk Jakarta, akumulasi logam berat pada kerang hijau, model akumulasi logam berat pada kerang hijau serta malformasi kerang hijau saat ini perlu dilihat kembali, sehingga akan dapat menjadi bahan pertimbangan (dasar) pengelolaan perairan Teluk Jakarta di masa yang akan datang. Tujuan dari penelitian adalah (1) mengkaji nilai beban pencemaran yang masuk ke Teluk Jakarta, (2) mengkaji informasi kontaminasi bahan pencemar logam berat pada tubuh kerang hijau (Perna viridis), (3) mengkaji gambaran morfologi kerang hijau di Teluk Jakarta (melihat prosentase kejadian malformasi pada kerang hijau), (4) mengkaji model akumulasi logam berat pada kerang hijau di Teluk Jakarta yang menerima berbagai macam limbah dan kondisi kualitas airnya yang saat ini umumnya masuk pada kategori tercemar berat. Penelitian ini dilaksanakan dengan cara pengambilan sample di lapangan. Pengukuran parameter fisik dan kimia dilakukan dengan dua cara, yakni cara langsung (insitu) dan analisa laboratorium. Data dianalisis dengan metode deskriptif kuantitatif terhadap parameter-parameter fisika-kimia perairan, beban pencemaran dan analisis kandungan logam berat pada kerang hijau serta membangun model dinamik untuk melihat model akumulasi pencemaran logam berat di Teluk Jakarta. Model ini terdiri atas dua sub model, yakni (1) sub model beban pencemaran dan (2) sub model akumulasi logam berat. Hasil penelitian menujukan pada kondisi eksisting parameter pencemaran air seperti kebutuhan oksigen biokimiawi (biochemical oxygen demand/bod), kebutuhan oksigen kimiawi (chemical oxygen demand/cod), nurtien (nitrat/no 3, dan ortofosfat),

5 dan logam berat yakni merkuri (Hg) kadmium (Cd) dan timbal (Pb) telah melebihi baku mutu air. Total beban pencemaran yang dihasilkan dari kegiatan domestik dan industri untuk BOD adalah ton/bulan; COD ton/bulan; nitrat 1.56 ton/bulan; ortofosfat 1.32 ton/bulan; merkuri 2.03 ton/bulan; kadmium 0.26 ton/bulan dan 2.48 ton/bulan. Dengan beban yang masuk tersebut dari sungai ke perairan Teluk Jakarta, terjadi akumulasi pencemar, terutama logam berat, pada sedimen dan pada kerang hijau. Penelitian ini memperlihatkan bahwa konsentrasi logam berat merkuri, kadmium dan timbal pada sedimen Kali Angke dan daerah bagan tancap kerang hijau sudah melewati baku mutu (level limit) yang ditetapkan oleh IADC/CEDA (1997). Konsentrasi logam berat Hg, Cd dan Pb baik yang terdapat di dalam air maupun pada sedimen berada melebihi ambang batas yang ditentukan. Namun demikian kondisi ini tidak mengakibatkan kematian masal kerang hijau. Hal ini mengandung arti bahwa konsentrasi logam berat yang terdapat pada lingkungannya belum masuk pada konsentrasi akut, namun demikian sudah masuk pada konsentrasi kronis. Dalam kondisi ini, akumulasi logam berat akan melakukan transformasi, sehingga cepat atau lambat akan menyebabkan mutasi genetik pada sel, dan pada akhirnya mengakibatkan terjadinya malformasi kerang hijau. Dari seluruh kerang hijau yang dianalisis, terdapat 12,83% yang tebalnya lebih besar dibandingkan lebarnya. Ditinjau secara umur, ada kecenderungan semakin lama umur dari kerang hijau maka malformasi yang terjadi juga lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan akumulasi logam berat yang semakin besar seiring dengan bertambahnya umur kerang hijau. Hasil pemodelan dinamik menunjukkan bahwa model akumulasi logam berat yang dibangun memiliki kinerja yang baik dan mampu menggambarkan prilaku sistem nyata, dengan nilai validitas absolute mean error (AME) dan absolute variation error (AVE) < 10%. Berdasarkan analisis terdapat faktor kunci yang berpengaruh, yakni pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) pada pemukiman dan kawasan industri. Berdasarkan alternatif keadaan yang teridentifikasi pada faktor yang berpengaruh langsung dalam model, didapatkan tiga skenario yakni (1) Skenario pesimis, pertumbuhan IPAL 1% yang mengurangi limbah sebesar 1% serta meningkatkan kemampuan kapasitas asimilasi perairan Teluk Jakarta sebesar 1%; (2) Skenario moderat, pertumbuhan IPAL 4% yang mengurangi limbah sebesar 4% serta meningkatkan kemampuan kapasitas asimilasi perairan Teluk Jakarta sebesar 4%; (3) Skenario optimis (pertumbuhan IPAL 7% yang mengurangi limbah sebesar 7% serta meningkatkan kemampuan kapasitas asimilasi perairan Teluk Jakarta sebesar 7%. Berdasarkan simulasi pada kedua submodel yang membangun pemodelan akumulasi pencemar di Teluk Jakarta, terjadi perbedaan yang mencolok diantara ketiga skenario yang digunakan. Skenario ke-1 (skenario pesimis) memberikan tingkat pencemaran serta akumulasi yang sangat tinggi dibandingkan dengan kedua skenario lainnya yakni skenario moderat (ke-2) dan optimis (ke-3).

6 Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber: a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

7 BIOAKUMULASI LOGAM BERAT DAN MALFORMASI KERANG HIJAU (Perna viridis) DI PERAIRAN TELUK JAKARTA MUHAMMAD REZA CORDOVA Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program studi Ilmu Kelautan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

8 Ujian Tesis : Dilaksanakan pada tanggal 27 Juli 2011, waktu ujian: pukul 13:00 - selesai Penguji Luar Komisi: Dr. Ir. Tri Prartono, M.Sc.

9 LEMBAR PENGESAHAN Judul Tesis : Bioakumulasi Logam Berat dan Malformasi Kerang Hijau (Perna viridis) di Perairan Teluk Jakarta Nama : Muhammad Reza Cordova NRP : C Program Studi : Ilmu Kelautan Disetujui, Komisi Pembimbing Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc Ketua Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc Anggota Mengetahui, Ketua Program Studi Ilmu Kelautan Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr. Tanggal ujian : 27 Juli 2011 Tanggal Lulus :

10 PRAKATA Teluk Jakarta memiliki kontribusi menunjang kehidupan baik terhadap biota yang ada di dalamnya maupun terhadap masyarakat yang ada di sekitarnya bahkan pada masyarakat yang jauh lebih luas lagi. Namun demikian di sisi lain memiliki banyak permasalahan lingkungan, salah satunya adalah sangat menurunnya kualitas lingkungan perairan. Ekosistem memiliki daya pulih (kapasistas asimilasi/self purification) terhadap bahan pencemar yang masuk ke dalam ekosistem, tetapi kemampuan tersebut relatif terbatas. Banyaknya buangan hasil kegiatan dan aktivitas di sekitar Teluk Jakarta menyebabkan perairan menerima beban pencemaran dalam jumlah besar. Telah banyak penelitian yang mengindikasikan perairan Teluk Jakarta mengalami pencemaran yang setiap tahunnya cenderung mengalami peningkatan. Bahan pencemar akan terakumulasi pada sedimen dan pada biota laut terutama yang bersifat sesile seperti kerang hijau (Perna viridis) sehingga mengancam kesehatannya dan mengakibatkan terjadinya kecacatan (malformasi). Fokus utama dari penulisan tesis ini adalah mengkaji seberapa besar pencemar yang dihasilkan kegiatan antropogenik di Teluk Jakarta terutama pencemar logam berat, (model dinamis) akumulasinya pada sedimen dan kerang hijau serta pengaruh logam berat terhadap kesehatan kerang hijau ditinjau dari kecacatan yang terjadi Dari penulisan tesis ini diharapkan pembaca dapat lebih memahami berapa besar beban pencemaran yang masuk ke Teluk Jakarta dan pengaruhnya terhadap biota, terutama kerang hijau yang dibudidayakan di wilayah ini. Akhir kata penulis menyadari masih jauh dari sempurna dan mungkin tidak dapat memuaskan semua pihak. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Bogor, Juli 2011 Penulis

11 UCAPAN TERIMA KASIH Puji Syukur penulis panjatkan pada Allah SWT atas segala karunia-nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Pada kesempatan ini penulis juga menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Ibu Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc dan Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc sebagai dosen pembimbing yang dengan sabar berkenan membimbing, memberikan masukan dan memberikan dorongan moril pada penulis. 2. Bapak Dr. Ir. Tri Prartono sebagai penguji luar komisi yang telah memberikan kritis dan saran perbaikan serta masukan yang sangat berarti dalam penulisan ini. 3. Staf Lab Hidrobiologi Laut ITK, Bapak Prof. Dedi Soedharma, Bapak Prof. Dietriech G. Bengen, Ibu Dr. Ir. Mujizat Kawaroe, M.S., Bang Beginer Subhan S.Pi., M.Si., Mbak Meutia S.Si., M.Si., Mbak Adriani S.Pi., M.Si., yang telah memberikan masukan berharga, semangat, dan dukungan moril saat penulisan. 4. BPLHD DKI Jakarta yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk mengikuti penelitian ini. 5. Dinas Perikanan dan Kelautan, Jakarta yang telah memberikan izin untuk menganalisis sample 6. Bapak Dr. Ir. Suwari dan Bapak Subhan, M.Si yang dengan sabar mengajarkan pola berpikir sistem dan pemodelan sistem dinamik 7. Keluarga (Ibunda Etty Riani, Ayahanda Harsono Hadisoemardjo, Adik Rama, Adik Dzikri dan Adik Farah serta Adinda Yayu Alitalia) yang telah memberikan kasih sayang, semangat dan motivasi pada penulis. 8. Mbak Denty dan Mbak Niar, serta staf TU Dept. ITK, Kang Bayu dan staf Sekolah Pascasarjana IPB, rekan-rekan IKL 2009 (Mbak Anna, Mas Anto, Mbak Riri, Mbak Yuli, Wahyu, Mbak Emmy, Mbak Tyas, Mbak Citra, Kapten Toni, Yayan, Kahar, Ayi, Ma Ul, Bang Lumban dan Cak Roni) yang telah memberikan dorongan moril dan materil serta sumbangan pemikirannya. Ucapan terima kasih juga disampaikan pada semua pihak belum bisa disebutkan yang telah membantu dalam penyelesaian penulisan usulan penelitian.

12 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 3 November Penulis merupakan putera pertama dari empat bersaudara dari Bapak Harsono Hadisoemardjo dan Ibu Etty Riani. Riwayat pendidikan penulis dimulai dengan memasuki TK Permata Bogor tahun 1990 hingga 1992, pada tahun 1998 penulis lulus dari SD Negeri Bangka III Bogor, pada tahun 2001 lulus dari SLTP Negeri IV Bogor, pada tahun 2004 lulus dari SMU Negeri 3 Bogor. Pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih program studi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Pada tahun 2009 penulis berkesempatan melanjutkan pendidikan jenjang Magister di Sekolah Pascasarjana IPB. Penulis memilih mayor Ilmu Kelautan. Selama mengikuti perkuliahan Magister, penulis ikut serta dalam kegiatan yang diselenggarakan di lingkungan Institut Pertanian Bogor, turut aktif dalam organisasi kemahasiswaan Wahana Interaksi Mahasiswa Pascasarjana Ilmu dan Teknologi Kelautan (WATERMASS IKL) dan anggota Unit Kegiatan Mahasiswa Onigiri dibawah naungan Music of Agriculture. Pada tahun 2011, penulis berkesempatan untuk melaksanakan penelitian Global Approach on Modular Experiment (GAME) yang dilaksanakan di Kiel, Jerman dan di Pulau Pari, Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Untuk menyelesaikan studi, penulis melaksanakan penelitian dan tesis yang berjudul Bioakumulasi Logam Berat dan Malformasi Kerang Hijau (Perna viridis) di Perairan Teluk Jakarta.

13 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... Halaman i ii iv 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Kerangka Pemikiran Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Pencemaran Pencemaran Air dan Laut Pencemaran di Teluk Jakarta Logam Berat Pencemaran dan Toksisitas Logam Berat Karakteristik Logam Berat Merkuri (Hg) Kadmium (Cd) Timbal (Pb) Logam Berat pada Sedimen Laut Beban Pencemaran Kerang Hijau Malformasi Kerang Hijau Pemodelan Sistem Sistem Dinamik METODA PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Alat dan Bahan Metoda Pengumpulan Data Analisis Data Beban Pencemaran Analisis Malformasi Kerang Hijau Model Akumulasi Logam Berat HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kondisi Perairan Muara Angke Kualitas Air... 53

14 BOD COD Nutrien Logam Berat di Air Merkuri (Hg) Kadmium (Cd) Timbal (Pb) Beban Pencemaran Kualitas Sedimen Logam Berat di Sedimen Merkuri (Hg) Kadmium (Cd) Timbal (Pb) Kerang Hijau Morfologi Logam Berat di Kerang Hijau Malformasi Pemodelan Akumulasi Logam Berat Sub Model Beban Pencemaran Simulasi Sub Model Beban Pencemaran Sub Model Akumulasi Logam Berat pada Sedimen dan Kerang Hijau Simulasi Sub Model Akumulasi pada Sedimen dan Kerang Hijau Validasi Model Penyusunan Skenario Beban Pencemaran Perairan Teluk Jakarta dan Akumulasi Logam Berat KESIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

15 i DAFTAR TABEL Halaman 1. Beberapa jenis pencemar dan sumbernya Konsentrasi merkuri (ng/l) di beberapa tempat Konsentrasi merkuri (mg/l) pada jaringan beberapa organisme laut dari Teluk Terra Nova, Antartica Efisiensi merkuri inorganik dan methymerkuri dari makanan dan sedimen oleh organisme laut Konsentrasi kadmium terlarut (μg/l) di beberapa perairan Konsentrasi kadmium (μg/g) pada jaringan otot beberapa organisme Konsentrasi timah terlarut (μg/l) dibeberapa perairan Konsentrasi timah pada jaringan (μg/g) beberapa organisme Hasil analisis kisaran kadar logam berat (ppm) dalam air laut dan sedimen di perairan muara Sungai Cisadane Bulan Juli dan Nopember Kadar alamiah logam berat dalam sedimen Baku mutu logam berat dalam sedimen Parameter kualitas air yang diteliti serta metode analisa dan pengukurannya Beberapa parameter kualitas air di Kali Angke dan lokasi budidaya kerang hijau Beban pencemaran dari Kali Angke yang masuk ke perairan Teluk Jakarta Kualitas sedimen Kali Angke dan lokasi budidaya kerang hijau Ukuran cangkang (panjang, lebar dan tebal) kerang hijau di bagan tancap kerang hijau, Muara Angke Ukuran berat (total, daging dan cangkang) dan volume daging kerang hijau di bagan tancap kerang hijau, Muara Angke Kandungan logam berat pada kerang hijau di bagan tancap kerang hijau, Muara Angke Kandungan logam berat pada organ kerang hijau (daging, hepatopankreas dan insang) di bagan tancap kerang hijau, Muara Angke Presentasi malformasi ditinjau dari morfologi (tebal>lebar) kerang hijau Analisa kandungan logam berat per individu Data validasi model pencemaran perairan Teluk Jakarta ditinjau dari konsentrasi pencemar

16 ii DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kerangka pemikiran penelitian Skema pengelompokan bahan yang terkandung dalam air limbah (Sugiharto, 1987) Tabel periodik ( Hubungan antara ph, kadar Cl- dan pembentukan spesiasi Hg (Moore dan Ramamoorthy, 1984) Kerang hijau (Perna viridis L.) Perbedaan insang kerang hijau normal (kiri) dan kerang hijau dengan insang yang mengalami malformasi (kanan) (Jose dan Deepthi 2005) Lokasi penelitian Diagram lingkar sebab akibat sistem akumulasi logam berat pada kerang hijau Diagram input-output sistem akumulasi logam berat pada kerang hijau Tingkat kesuburan perairan Teluk Jakarta (DPPK DKI Jakarta 2006) Nilai beban pencemaran BOD dan COD yang masuk ke Teluk Jakarta Jumlah penduduk di DKI Jakarta dari tahun (Sumber BPS ) Jumlah industri di DKI Jakarta dari tahun (Sumber BPS ) Malformasi pada kerang hijau Diagram sebab akibat (causal loop) submodel beban pencemaran Diagram stock flow submodel beban pencemaran Beban masukan ke Teluk Jakarta ditinjau dari BOD, COD, NO3 dan PO Beban masukan ke Teluk Jakarta ditinjau dari logam berat (Hg, Cd, Pb) Diagram sebab akibat submodel akumulasi logam berat pada sedimen dan kerang hijau Diagram stock flow submodel akumulasi logam berat pada sedimen dan kerang hijau Akumulasi logam berat pada sedimen Akumulasi logam berat pada kerang hijau Prediksi beban pencemaran COD perairan Teluk Jakarta sampai tahun Prediksi beban pencemaran BOD perairan Teluk Jakarta sampai tahun Prediksi beban pencemaran NO3 perairan Teluk Jakarta sampai tahun Prediksi beban pencemaran PO4 perairan Teluk Jakarta sampai tahun Prediksi beban pencemaran Hg perairan Teluk Jakarta sampai tahun Prediksi beban pencemaran Cd perairan Teluk Jakarta sampai tahun Prediksi beban pencemaran Pb perairan Teluk Jakarta sampai tahun

17 Halaman 30. Prediksi akumulasi Hg di sedimen Teluk Jakarta sampai tahun Prediksi akumulasi Hg di kerang hijau sampai tahun Prediksi akumulasi Cd di sedimen Teluk Jakarta sampai tahun Prediksi akumulasi Hg di kerang hijau sampai tahun Prediksi akumulasi Pb di sedimen Teluk Jakarta sampai tahun Prediksi akumulasi Pb di kerang hijau sampai tahun iii

18 iv DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Stasiun pengambilan sample air Hasil analisa data mentah dan fluktuasi debit air Prinsip pengukuran kandungan logam berat Pengukuran kandungan logam berat Sample kerang hijau Ukuran fisik kerang hijau Simulasi dan skenario beban pencemaran serta akumulasi logam berat 137

19 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Teluk Jakarta merupakan salah satu wilayah pesisir di Indonesia yang di dalamnya banyak terdapat kegiatan, seperti pemukiman, perkotaan, transportasi, wisata, dan industri. Tingginya kegiatan di sekitar kawasan ini mengakibatkan tekanan terhadap lingkungan semakin tinggi. Disisi lain, Teluk Jakarta juga merupakan tempat bermuaranya 13 sungai yang melewati Provinsi Jawa Barat, Provinsi DKI Jakarta dan Provinsi Banten. Sungai-sungai yang bermuara ke Teluk Jakarta tersebut membawa limbah, baik berupa sampah padat maupun limbah cair yang dihasilkan dari berbagai kegiatan. Kondisi tersebut mengakibatkan kualitas lingkungan perairan akan cenderung menurun dari waktu ke waktu. Limbah cair yang masuk ke dalam ekosistem perairan akan mempengaruhi kualitas air ekosistem penerimanya, dalam jumlah yang tidak bisa ditolelir, limbah dapat mengakibatkan terjadinya perubahan komposisi kandungan zat yang ada di dalamnya, serta mengakibatkan terjadinya perubahan aspek fisik perairan, atau dengan kata lain akan menyebabkan terjadinya pencemaran pada ekosistem perairan penerimanya. Pencemaran juga dapat mengakibatkan fungsi air tidak sesuai dengan peruntukannya, sehingga air tidak dapat menjadi habitat biota akuatik yang aman dan tidak memenuhi syarat kesehatan bagi biota yang hidup di dalamnya. Limbah cair yang masuk ke Teluk Jakarta seringkali membawa zat yang berbahaya dan beracun seperti logam berat. Logam berat merupakan unsur yang tidak dapat diuraikan dan mudah terakumulasi dalam lingkungan perairan dan dalam organisme laut. Selain itu, dalam jumlah di atas ambang batas logam berat dapat menyebabkan terjadinya kematian langsung, menimbulkan efek karsinogenik, teratogenik dan mutagenik, serta memiliki pengaruh baik langsung maupun tidak langsung terhadap kesehatan manusia (Amdur et al. 1991). Logam berat yang masuk ke dalam lingkungan perairan selanjutnya akan terakumulasi dalam biota, terutama biota laut yang bersifat sessile. Salah satu jenis biota laut sessile yang terdapat melimpah di Teluk Jakarta adalah kerang hijau (Perna viridis). Kerang hijau memiliki distribusi yang luas dan telah menjadi komoditi budidaya, seperti yang dilakukan oleh masyarakat pesisir DKI

20 2 Jakarta. Dilain pihak kerang hijau juga dapat mengakumulasi bahan pencemar dalam jumlah yang tinggi (Riani 2009). Adapun salah satu jenis bahan pencemar yang diakumulasi dalam jumlah tinggi oleh kerang hijau adalah logam berat, bahkan Riani (2009) memberikan gelar kerang hijau sebagai vaccum cleaner pada perairan yang tercemar logam berat. Lebih lanjut Phillips (1980) menyatakan bahwa kerang (bivalvia) merupakan bioindikator yang paling tepat dan efisien. Penelitian pencemaran logam berat di perairan Teluk Jakarta sebenarnya sudah banyak di lakukan pada beberapa tahun yang lalu, yakni penelitian yang dilakukan oleh LON-LIPI (1979) yang mendapatkan adanya Hg (4,0-135 ppb) dan Cd (0,5 ppb) di Perairan Muara Angke. Penelitian Wahyono (1994) di Perairan Kamal mendapatkan Hg 1,10-4,70 ppb, Cd 48,3-95,4 ppb dan Pb 5,10-7,90 ppb. Penelitian Diniah (1995) di Perairan Kamal mendapatkan Hg <1,00-2,16 ppb, Cd ppb dan Pb 1,32-1,75 ppb. Penelitian Vitner et al. (2001) di Perairan Kamal mendapatkan Hg 0, ppb, Cd 3-20 ppb, dan Pb ppb. Riani dan Sutjahjo (2004) di Perairan Kamal Muara mendapatkan Hg 0,075-0,210 ppb, Cd 0,004-0,108 ppm, Pb 0,005-0,105 ppm, Cd 0,004-0,108 ppm, dan Sn ttd 0,001 ppm. Fitriati (2004) mendapatkan Hg 0,75-1,23 ppb, Cd 26,89-78,49 ppb dan Pb 3,0-9,31 ppb di Kamal Muara Barat dan Timur serta di Cilincing Hg 1,03-0,74 ppb, Cd 18,88-80,28 ppb dan Pb 5,92-12,24 ppb. Data tersebut memperlihatkan bahwa logam berat yang masuk ke dalam perairan relatif tidak pernah berkurang, bahkan dengan bertambahnya jumlah industri, logam berat yang masuk ke dalam Teluk Jakarta cenderung meningkat setiap tahunnya. Hasil penelitian tentang akumulasi logam berat pada kerang hijau juga memperlihatkan adanya kecenderungan meningkat dari waktu ke waktu, yakni penelitian Akbar (2002) di Kamal Muara mendapatkan Cd pada kerang hijau ukuran <3cm 0,7-1,46ug/g berat kering (bk), ukuran 3-5cm 0,49-0,87ug/g bk dan ukuran. Penelitian Suryanto (2003) di Kamal Muara mendapatkan Cd pada ukuran 5-6cm 0,34-0,49ug/g bk, 6-<7cm 0,31-0,43ug/g bk dan pada 7-9cm 0,33ug/g bk. Penelitian Apriadi (2005) mendapatkan Cr dan Hg pada kerang hijau <4cm berturut-turut 1,69-3,03ug/g bk dan 0,005-0,007ug/g bk. Pada kerang hijau 4-6cm berturut-turut 21,69-23,95 dan 0,013-0,020 ug/g bk, serta pada kerang hijau >6cm 19,70-21,00 dan 0,009-0,015ug/g bk. Selanjutnya dikatakan bahwa kerang hijau yang terdapat di Kamal Muara sudah ada yang mengalami malformasi (kelainan bentuk) pada cangkangnya.

21 3 Hasil penelitian kapasitas asimilasi, yakni kemampuan air menerima bahan pencemar tanpa menurunkan kualitasnya (Quano, 1993) memperlihatkan bahwa pada tahun 1998 hanya logam berat Zn yang telah melebihi kapasitas asimilasinya, sedangkan Cd, Pb, Cr dan Cu belum mencapai kapasitas asimilasinya (Anna, 1999). Namun pada tahun 2005 logam berat Pb, Hg, Cd, Cr dan Sn yang masuk ke perairan Teluk Jakarta telah melebihi kapasitas asimilasinya (Riani, 2005). Kondisi tersebut di atas memperlihatkan bahwa logam berat yang masuk ke dalam Perairan Teluk Jakarta semakin tinggi, dan telah melebihi batas pulih dirinya sehingga menyebabkan logam berat terakumulasi dalam tubuh kerang hijau. Oleh karena itu akumulasi logam berat ke dalam tubuh kerang hijau saat ini perlu dilihat kembali, begitu pula dengan model akumulasi logam berat tersebut pada kerang hijau. Selain itu mengingat logam berat bersifat teratogenik, maka penelitian yang juga perlu dilakukan adalah penelitian mengenai pengaruh logam berat tersebut terhadap kesehatan kerang hijau di Teluk Jakarta, yang ditinjau dari malformasinya. Kajian ini diharapkan dapat memperlihatkan kondisi eksisting akumulasi logam berat pada kerang hijau, model akumulasi logam berat pada kerang hijau serta malformasi kerang hijau saat ini, sehingga akan dapat menjadi bahan pertimbangan (dasar) pengelolaan perairan Teluk Jakarta di masa yang akan datang Kerangka Pemikiran Teluk Jakarta terletak di utara wilayah DKI Jakarta, Tangerang dan Karawang, dibatasi Tanjung Kait di sebelah barat dan Tanjung Karawang di sebelah timur. Teluk Jakarta memiliki kontribusi menunjang kehidupan, baik terhadap biota yang ada di dalamnya maupun terhadap masyarakat yang ada di sekitarnya, bahkan pada masyarakat yang jauh lebih luas lagi. Namun demikian di sisi lain memiliki banyak permasalahan lingkungan, salah satunya adalah sangat menurunnya kualitas lingkungan perairan. Pada dasarnya ekosistem memiliki daya pulih (kapasistas asimilasi/self purification) terhadap bahan pencemar yang masuk ke dalam ekosistem, tetapi kemampuan tersebut relatif terbatas. Banyaknya buangan hasil kegiatan dan aktivitas di sekitar Teluk Jakarta, menyebabkan perairan menerima beban pencemaran dalam jumlah besar. Hal tersebut akan menimbulkan pengaruh negatif bagi ekosistem perairan.

22 4 Pada dasarnya sudah banyak penelitian yang mengindikasikan perairan Teluk Jakarta mengalami pencemaran yang setiap tahunnya cenderung mengalami peningkatan. Mulyono (2000) yang menyatakan pencemaran perairan di Teluk Jakarta menyebabkan akumulasi logam berat yang melebihi ambang batas pada ikan tongkol, kakap, bawal dan baronang. Riani dan Sutjahjo (2004) dan Mulyawan (2005); menemukan bahwa akumulasi logam berat pada kerang hijau juga jauh melebihi ambang batas yang telah di tentukan. Riani (2005) mengatakan bahwa kapasitas asimilasi beberapa parameter kualitas air, termasuk logam berat Hg, Pb, Cd, Cr dan Sn telah jauh melebihi kapasitas asimilasinya. Raharjo (2005) mendapatkan hasil bahwa pencemaran yang berasal dari limbah aktivitas masyarakat meningkat hingga beberapa kali lipat dan mencapai radius 60 km, hingga mencapai kawasan Kelurahan Pulau Seribu Utara, hingga Pulau Panggang. Akibat pencemaran tersebut diindikasikan penurunan produksi ikan tangkap di Teluk Jakarta dalam jangka waktu dari sebelumnya 28,526 ton menjadi 17,829 ton. Tingginya bahan pencemar di perairan Teluk Jakarta membuat akumulasi logam berat pada sedimen, seperti timah yang mencapai 26,6 mg/kg 70 mg/kg (Suharsono 2005). Salah satu kawasan di Teluk Jakarta yang jelas mengalami timbunan bahan pencemar adalah Pelabuhan Tanjung Priok (Asuhadi 2006) dan kawasan Pantai Marina (Mezuan 2007). Korelasi tingginya bahan pencemar yang masuk ke perairan Teluk Jakarta hingga terakumulasi pada sedimen dan biota (plankton, ikan dan kerang) sehingga melebihi ambang batas yang ditentukan juga dilakukan oleh Johari (2009) dan Dahlia (2009). BPLHD DKI Jakarta (2006) menyebutkan perairan Teluk Jakarta yang tercemar berat mencapai 43% dan tercemar sedang 57%. Berdasarkan hasil penelitian tersebut di atas, terlihat bahwa tanpa ada perbaikan, bahan pencemar akan meningkat dan terakumulasi pada sedimen dan pada biota laut terutama yang bersifat sesile seperti kerang hijau akan terancam kesehatannya, bahkan akan mengakibatkan terjadinya kecacatan (malformasi) pada kerang hijau. Namun berapa akumulasi logam berat saat ini juga perlu dilihat. Selain itu mengingat belum ada penelitian mengenai model akumulasinya pada kerang hijau serta belum ada informasi keterkaitan pencemaran limbah anorganik atau limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun) dengan malformasi kerang hijau, maka penelitian pengaruh pencemaran logam berat di Perairan Teluk Jakarta terhadap malformasi kerang hijau dan model

23 5 akumulasi logam berat pada kerang hijau (Perna viridis) pada perairan yang tercemar logam berat, perlu untuk segera dilakukan. Untuk lebih jelasnya kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1. Teluk Jakarta KBP > BM Pencemaran kualitas air Pencemaran pada kerang hijau Beban pencemaran Akumulasi logam berat pada kerang hijau Malformasi pada kerang hijau Model pencemaran perairan dan akumulasi pada kerang hijau Bahan pertimbangan komprehensif Keterangan: KBP : Konsentrasi beban pencemar per liter air BM : Baku mutu Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian 1.3. Perumusan Masalah Gangguan lingkungan di perairan Teluk Jakarta semakin meningkat, namun pengendaliannya belum dilaksanakan dengan baik. Gangguan lingkungan tersebut terjadi karena adanya buangan dari berbagai kegiatan antropogenik, baik berupa limbah organik maupun anorganik yang berakibat pada menurunnya kualitas badan air penerimanya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Sitepu (2008) bahwa kegiatan rumah tangga yang membuang limbah langsung ke badan air tanpa pengolahan terlebih

24 6 dahulu akan meningkatkan limbah organik dan limbah anorganik dalam badan air. Ketidaktahuan masyarakat tentang bahaya limbah domestik yang langsung dibuang ke ekosistem perairan tanpa mengalami pengolahan terlebih dahulu dapat memperberat pencemaran pada ekosistem perairan yang menerima. Selain itu, banyaknya industri yang lokasinya berdekatan membuang langsung limbahnya ke dalam badan air akan menurunkan kemampuan air untuk mempurifikasi diri. Di lain pihak pada limbah industri di dalamnya mengandung berbagai bahan yang sulit untuk diuraikan seperti bahan sintetik dan limbah B3 termasuk di dalamnya limbah logam berat. Menurut Napitupilu (2009) dari industri yang ada di DKI Jakarta, hanya kurang lebih 5% yang mempunyai IPAL, sehingga 95% industri tersebut akan membuang limbahnya ke dalam badan air dengan tanpa pengolahan terlebih dahulu. Banyaknya limbah tersebut selain akan menurunkan kualitas air juga dapat mengancam kehidupan biota air yang hidup di dalamnya, salah satunya adalah kerang hijau (Perna viridis) yang bersifat sessil. Namun, besaran data kontaminasi limbah terutama logam berat yang bersifat akumulatif pada biota air seperti kerang hijau, saat ini belum diketahui. Begitu pula halnya dengan kondisi kerang hijau saat ini serta bagaimana model akumilasinya pada kerang hijau, belum ada informasinya. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka permasalahan yang perlu diteliti adalah sebagai berikut. 1. Berapa besar bahan pencemar (beban pencemaran) yang masuk ke Teluk Jakarta saat ini 2. Berapa besar kontaminasi logam berat pada organ tubuh kerang hijau saat ini 3. Bagaimana kondisi morfologi kerang hijau di Teluk Jakarta (apakah terjadi malformasi pada kerang hijau) 4. Bagaimana model akumulasi logam berat pada kerang hijau di Teluk Jakarta yang menerima berbagai macam limbah dan saat ini kondisi kualitas airnya umumnya masuk pada kategori tercemar berat 1.4. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk 1. Mengkaji nilai beban pencemaran yang masuk ke Teluk Jakarta

25 7 2. Mengkaji informasi kontaminasi bahan pencemar logam berat pada tubuh kerang hijau (Perna viridis) 3. Mengkaji gambaran morfologi kerang hijau di Teluk Jakarta (melihat prosentase kejadian malformasi pada kerang hijau) 4. Mengkaji model akumulasi logam berat pada kerang hijau di Teluk Jakarta yang menerima berbagai macam limbah dan kondisi kualitas airnya yang saat ini umumnya masuk pada kategori tercemar berat 1.5.Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat 1. Sebagai sumber informasi ilmiah mengenai kondisi dan kualitas perairan, beban dan tingkat pencemaran di Teluk Jakarta serta akumulasinya pada kerang hijau. 2. Sebagai sumber informasi ilmiah mengenai kontaminasi bahan pencemar dan pengaruhnya terhadap malformasi biota laut, khususnya kerang hijau (Perna viridis) yang ada di Teluk Jakarta 3. Sebagai sumber informasi dan alat bantu pengambilan keputusan, kebijakan dan strategi dalam upaya pengendalian pencemaran perairan Teluk Jakarta 4. Sebagai sumber informasi dan pengetahuan terutama untuk penggemar kuliner seafood yang bahan bakunya berasal dari Teluk Jakarta

26 8

27 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pencemaran Pencemaran adalah masuknya bahan dan senyawa dari kegiatan manusia ke lingkungan sehingga menyebabkan berkurangnya nilai guna, baik ditinjau secara fisik, kimia, biologi dan estetika. Pencemaran memerlukan penilaian yang subjektif. Sebagai contoh pencemaran bahan organik yang menyebabkan terjadinya peningkatan konsentrasi unsur hara yang sangat dibutuhkan oleh tanaman di dalam air. Satu sisi adalah sisi positif, yaitu berupa terjadinya peningkatan kesuburan perairan yang berarti pula peningkatan potensi guna perairan. Di sisi lain, dampak buruk dari peningkatan unsur hara akan menganggu keseimbangan ekosistem perairan dan memerlukan penanganan yang serius (Connel dan Miller 1995; Damar 2004). Sumber pencemaran dapat dibagi menjadi dua, bersumber pada lokasi tertentu (point source) dan yang sumbernya tersebar (non point/diffuse source). Point source memiliki dampak yang ditimbulkan dapat ditentukan berdasarkan karakteristik spasial kualitas air. Volume pencemar dari point source biasanya relatif tetap. Sumber nonpoint source dapat berupa point source dalam jumlah yang banyak. Misalnya: limpasan dari daerah pertanian yang mengandung pestisida dan pupuk, limpasan dari daerah pemukiman (domestik), dan limpasan dari daerah perkotaan (Effendi 2003). Davis dan Cornwell (1991) mengemukakan beberapa jenis pencemar dan sumbernya seperti yang tertera pada Tabel 1. Masalah pencemaran merupakan masalah besar dan pada umumnya merupakan salah satu dampak negatif dari kemajuan bidang industri dan domestik. Limbah industri jika tidak ditangani dengan baik akan berdampak negatif bagi lingkungan, dan berakibat buruk pada organisme-organisme yang hidup di dalam ekosistem tersebut dan pada akhirnya akan berdampak buruk pada manusia. Bahan cemaran logam berat berasal dari berbagai kegiatan, namun kegiatan industri umumnya menghasilkan logam berat dalam limbahnya dalam jumlah yang lebih banyak dibanding kegiatan lainnya. Logam berat ini dapat terakumulasi dalam tubuh ikan, udang dan hasil laut lainnya dan bersifat racun, sehingga dapat membahayakan kesehatan manusia yang mengkonsumsi hasilhasil laut tersebut (Davis dan Cornwell, 1991 serta Klassen et al. 1991).

28 10 Tabel 1. Beberapa jenis pencemar dan sumbernya Jenis Pencemar 1. Limbah yang dapat menurunkan kadar oksigen 2. Nutrien 3. Patogen 4. Sedimen 5. Garam-garam 6. Logam yang toksik 7. Bahan organik yang toksik 8. Pencemaran panas Sumber Tertentu (Point source) Limbah Domestik X X X X Sumber : Davis dan Cornwell (1991) Limbah Industri X X X X X X X X Sumber Tak Tentu (Non Point source) Limpasan Limpasan Daerah Daerah Pertanian Perkotaan X X X X X X - X - X X X X X Pencemaran Laut Bagi sebagian besar organisme, air merupakan bahan terpenting kedua setelah oksigen. Ketersediaan air dengan kualitas yang sesuai peruntukanya harus cukup dan mudah didapatkan. Masuknya bahan, senyawa atau zat lain secara langsung maupun tidak langsung ke air akan mengakibatkan fungsi air sehingga tidak berjalan sebagaimana mestinya. Perubahan kualitas air dapat disebabkan oleh zat pencemar perairan maupun senyawa yang masuk ke aliran air atau tersimpan didasar, berakumulasi (khususnya pada endapan) dan suatu saat dapat terjadi pencucian atau pengenceran. Senyawa tersebut, terutama yang beracun, berakumulasi dan menjadi suatu konsenterasi tertentu yang berbahaya bagi mata rantai kehidupan. Haslam (1992) membagi zat pencemar menjadi: 1. Organisme patogen seperti bakteri, virus, dan protozoa 2. Zat hara tanaman (garam-garam nitrat dan fosfat yang larut dalam air), yang berasal dari penguraian limbah organik jika berlebihan dapat mengakibatkan eutrofikasi. 3. Limbah organik biodegradable (limbah cair domestik, limbah pertanian, limbah peternakan, limbah rumah potong hewan, limbah industri) yang dalam proses dekomposisi oleh mikroorganisme (biasanya bakteri dan jamur untuk kemudian menjadi zat-zat inorganik) memerlukan oksigen sehingga nilai BOD dari suatu badan air tinggi.

29 11 4. Bahan inorganik yang larut dalam air (asam, garam, logam berat, dan senyawasenyawanya, anion, seperti sulfida, sulfit dan sianida). 5. Bahan-bahan kimia yang larut dan tidak larut (minyak, plastik, pestisida, pelarut, PCB, fenol, formaldehida, dan lain-lain). Zat-zat tersebut merupakan penyebab yang sangat beracun bahkan pada konsentrasi yang rendah (<1 ppm). 6. Zat-zat/bahan-bahan radioaktif. 7. Pencemaran thermal ; biasanya dalam bentuk limbah air panas yang berasal dari kegiatan suatu pembangkit tenaga. Pencemaran ini dapat mengakibatkan naiknya temperatur air, meningkatkan rasio dekomposisi dari limbah organik yang biodegradable dan mengurangi kapasitas air untuk menahan oksigen. 8. Sedimen (suspended solid); merupakan partikel yang tidak larut atau terlalu besar untuk dapat segera larut. Kecenderungan sedimen untuk tinggal di dasar air tergantung pada ukurannya. Rasio aliran (flow rate) dan besarnya turbulensi yang ada pada suatu badan air. Partikel yang berukuran antara 1µm hingga 1nm, tetap dapat melayang dalam air, yang disebut colloidal solid. Air yang banyak mengandung colloidal solid terlihat seperti air susu. Jumlah sedimen mempengaruhi turbiditas air, dan kualitasnya mempengaruhi warna. Air dengan kotoran dari masyarakat dan rumah tangga dan juga berasal dari industri, air tanah, air permukaan serta dari buangan lainnya disebut air limbah (Sugiharto 1987). Metcalf dan Eddy (2002) menambahkan air buangan tersebut berasal dari air yang digunakan pada berbagai kegiatan manusia, sehingga terdapat perubahan karakteristik air. Rump (1999) menerangkan lebih lanjut bahwa perubahan karakteristik tersebut berupa perubahan komposisi air setelah digunakan oleh manusia. Kualitas air merupakan indikator kondisi perairan apakah masih dalam keadaan baik atau tercemar (Kupchella dan Hyland 1993). Perubahan komposisi tersebut terjadi karena masuknya substansi unsur yang langsung dapat terdegradasi, unsur yang tidak langsung dapat terdegradasi, nutrisi untuk organisme autotrof, logam berat, garam, air buangan panas dan organisme patogen. Substansi tersebut bila masuk ke badan air dapat memberikan pengaruh pada kehidupan organisme akuatik dan manusia, sehingga kehidupan organisme dan manusia terganggu. Menurut Health Departement of Western Australia, air limbah terdiri dari 99,7% air dan 0,3% bahan lain, sedangkan menurut Mara dan Cairncross (1994) dan Sugiharto (1987)

30 12 air limbah terdiri dari 99,9% air dan 0,1% bahan lain seperti bahan padat, koloid dan terlarut. Bahan lain tersebut terbagi atas bahan organik dan anorganik. Bahan organik dalam air limbah terbagi atas 65% protein, 25% karbohidrat dan 10% lemak, sedangkan bahan anorganiknya terbagi menjadi butiran, garam dan metal (Sugiharto 1987). Skema pengelompokan bahan yang terkandung dalam air limbah dapat dilihat pada Gambar 2. Air limbah Air (99%) Bahan padat (0.1%) Organik Anorganik Gambar 2. Skema pengelompokan bahan yang terkandung dalam air limbah (Sugiharto 1987) Dahuri (2003) menyatakan pengaruh yang membahayakan bagi kehidupan biota, sumberdaya, kenyamanan ekosistem laut, baik disebabkan secara langsung maupun tidak langsung oleh pembuangan bahan-bahan atau limbah ke dalam laut yang berasal dari kegiatan manusia, merupakan definisi pencemaran laut. GESAMP (Group of Expert on Scientific Aspect on Marine Pollution), dalam Sanusi (2006) mendefenisikan pencemaran laut sebagai masuknya zat-zat (substansi) atau energi ke dalam lingkungan laut dan estuari baik langsung maupun tidak langsung, akibat adanya kegiatan manusia yang menimbulkan kerusakan pada lingkungan laut, kehidupan di laut, kesehatan manusia, mengganggu aktivitas di laut (usaha penangkapan, budidaya, alur pelayaran) serta secara visual mereduksi keindahan (estetika). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999, pencemaran laut diartikan dengan masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya. Sanusi (2006) menjabarkan sifat toksik dan persistensi dari polutan yang masuk ke laut selain tergantung pada karakter fisik dan kimianya juga dari faktor lingkungan lautnya, yakni

31 13 1. Kemantapan ekosistem (constancy); terkait dengan besar kecilnya pengaruh perubahan; 2. Persistensi ekosistem (persistent); terkait dengan lamanya waktu untuk kelangsungan proses-proses normal ekosistem; 3. Kelembaman ekosistem (inertia); terkait dengan kemampuan bertahan terhadap gangguan eksternal; 4. Elastisitas ekosistem (elasticity); terkait dengan kekenyalan/kemampuan ekosistem untuk kembali ke keadaan semula setelah mengalami gangguan; 5. Amplitudo ekosistem (amplitude); terkait dengan besarnya skala gangguan namun daya pulih (recovery) masih memungkinkan Pencemaran di Teluk Jakarta Sutamihardja et al. (1982) menjelaskan bahwa faktor yang menyebabkan pencemaran di Teluk Jakarta merupakan faktor yang sama yang menyebabkan pencemaran di laut, yakni: 1. Penggundulan hutan pada wilayah hulu dan penambangan pasir di daerah aliran sungai akan mengakibatkan erosi dan sedimentasi 2. Penggunaan pupuk kimia dan berbagai macam pestisida untuk intensifikasi pertanian mengakibatkan residu bahan kimia dan pestisida masuk ke aliran sungai dan laut. 3. Pemanfaatan sungai sebagai tempat sampah yang menyebabkan berbagai limbah mengalir ke sungai dan akhirnya ke laut. Sampah padat sudah menimbulkan masalah di kota-kota besar. Limbah padat ini dapat ditemukan di mana-mana, ditimbun di tanah lapang tak terpakai, membusuk, terlarut dan masuk ke selokanselokan menuju ke sungai dan ke laut. Fungsi lain sungai yang kurang tepat, digunakan untuk MCK, misalnya di Sungai Ciliwung. 4. Minyak dapat mencemari lautan melalui dua cara, yakni, (a) sebagai hasil pemeliharaan bangunan di laut dan pecucian kapal dan (b) akibat kecelakaan kapal tangki. Pada tahun 2009 di wilayah Selat Malaka dan Singapura telah terjadi 25 kecelakaan kapal tangki, tubrukan atau terkandas.

32 14 5. Pengoperasian PLTU memerlukan air pendingin yang diambil air laut. Setelah digunakan air pendingin akan dibuang sebagai limbah panas. Di Teluk Jakarta terdapat dua lokasi PLTU, yakni di Muara Karang dan di Tanjung Priok. 6. Pencemaran dari kegiatan industri yang diakibatkan oleh faktor: a. Perencanaan kompleks industri yang tak teratur. b. Perluasan kota yang masuk ke kawasan industri menyebabkan berbaurnya pemukiman dengan kompleks industri. c. Tak tersedianya atau adanya pengolahan limbah yang tak sempurna. d. Karena kondisi yang miskin, air digunakan untuk industri dan untuk keperluan rumah tangga. e. Kesadaran akan bahaya limbah industri yang kurang atau tak ada. f. Kemampuan pulih-diri sungai-sungai yang menerima limbah yang berbeda. g. Musim kering yang mengakibatkan debit air sangat rendah. Pada wilayah DKI Jakarta, yang sebagian besar daerah pemukiman maupun industrinya membuang limbah ke sungai tanpa diolah terlebih dahulu, akan sangat mempengaruhi kualitas Teluk Jakarta. Japan Internasional Cooperation Agency (JICA), menyatakan tahun 2010 jumlah limbah cair industri dari DKI Jakarta akan mencapai 256,631 m 3 /hari dengan beban polusi organik 118,600 kg BOD/hari. Kondisi pencemaran tersebut menjadi antara enam (6) sampai dengan sembilan kali (19) lipat dibandingkan pada awal dekade Masalah lain yang berkaitan dengan kualitas air di Teluk Jakarta pada saat ini adalah terjadinya eutrofikasi, bahkan pada kawasan pesisir telah terjadi kondisi hypereutrofikasi (Damar 2004). Mulyono (2000) menyatakan eutrofikasi pada perairan Teluk Jakarta disebabkan dua hal yakni: (a) beban (load) bahan pencemar yang dibawa melalui sungai dan saluran-saluran pembuangan (out full) yang bermuara ke perairan Teluk Jakarta dan (b) proses fisik, kimia dan biologi yang terjadi di perairan Teluk Jakarta Logam Berat Manahan (1995) dan Vries et al. (2002) menyatakan bahwa logam berat adalah unsur yang termasuk ke dalam logam transisi dan umumnya bersifat trace elements. De

33 15 Groot, Salomons, Allersma (1976) mengemukakan bahwa yang juga termasuk pada logam berat adalah Cr, Mn, Fr, Co, Ni Cu dan Zn yang berada di baris pertama di logam transisi pada tabel periodik (Gambar 3). Selanjutnya Palar (2004) menambahkan logam berat merupakan istilah untuk mengelompokan ion-ion logam berat dalam tiga kelompok secara biokimia, yakni (1) Logam yang dengan mudah mengalami reaksi dengan unsur oksigen (oxygen seeking metals) (2) Logam yang dengan mudah megalami reaksi kimia bila bertemu dengan unsur nitrogen atau belerang atau sulfur (nitrogen sulfur-seeking metals) (3) Logam antara atau transisi yang memiliki sifat spesifik sebagai logam pengganti (ion pengganti) Palar (2004) menyatakan bahwa logam berat memiliki spesifikasi gravitasi lebih dari 4 dengan nomer atom dan serta unsur lantanida dan aktinida serta memiliki respon biokimia spesifik (khas) pada mahluk hidup. Mamboya (2007) dan Sanusi (2006) menambahkan, secara umum logam berat merupakan unsur kimia dengan berat jenis lebih besar dari 5 g/cm 3 dan densitas lebih dari 5 g/ml. Berdasarkan hal tersebut maka terdapat kurang lebih 53 dari 90 unsur alami yang termasuk pada kategori logam berat, sedangkan menurut Vouk (1986) terdapat 80 jenis dari 109 unsur kimia di muka bumi ini yang telah teridentifikasi sebagai jenis logam berat. Selanjutnya Manahan (1995) menyatakan bahwa sebagian besar logam berat memiliki afinitas (daya tarik atau bergabung) tinggi terhadap sulfur dan akan menonaktifkan enzim dengan cara memutus ikatan sulfur. Vouk (1986) menambahkan logam berat akan bekerja sebagai penghalang kerja enzim, sehingga proses metabolisme tubuh terputus. Manahan (1995) juga menyatakan bahwa logam berat juga dapat mengendapkan fosfat dan mengkatalis penguraian fosfat. Selain itu logam berat dapat melakukan ikatan kimia dengan gugus protein asam karboksilat (-CO 2 H) dan gugus amino (-NO 2 ).

34 16 Gambar 3. Tabel periodik ( Moore dan Ramamoorthy (1984) menjelaskan lebih lanjut sifat logam berat, yakni: 1) Sulit didegradasi, sehingga mudah terakumulasi dalam lingkungan perairan dan keberadaannya secara alami sulit terurai (dihilangkan); 2) Dapat terakumulasi dalam organisme termasuk kerang dan ikan; 3) Memiliki EC 10 dan LC jam yang rendah; 4) Memiliki waktu paruh yang tinggi dalam tubuh biota laut; 5) Memiliki nilai faktor konsentrasi (concentration factor atau enrichment factor) yang besar dalam tubuh biota laut. Faktor konsentrasi atau disebut pula koefisien bioakumulasi adalah rasio antara kadar polutan dalam tubuh biota akuatik dan kadar polutan yang bersangkutan dalam kolom air. Alloway (2001) menyatakan bahwa pada dasarnya logam berat dibagi lagi menjadi dua kelompok, yakni logam berat yang bersifat esensial dan logam berat yang bersifat non esensial. Logam berat esensial adalah logam berat yang dibutuhkan oleh tubuh organisme untuk melaksanakan proses-proses fisiologis dalam tubuhnya. Apabila dalam tubuh terjadi kekurangan logam berat esensial, maka akan mengakibatkan munculnya penyakit atau bahkan kematian pada mahluk hidup, baik pada tumbuhan maupun pada hewan. Adapun contoh dari elemen esensial antara lain adalah unsur Co

35 17 yang merupakan elemen esensial untuk bakteria dan hewan, unsur Cr untuk hewan, unsur Cu untuk tumbuhan dan hewan, unsur Mn untuk tumbuhan dan hewan, unsur Mo untuk tumbuhan, unsur Ni untuk tumbuhan, unsur Se untuk hewan dan unsur Zn untuk tumbuhan dan hewan. Contoh logam berat non esensial antara lain adalah unsur Ag, As, Ba, Cd, Hg, TI, Pb, Sb. Hingga saat ini manfaat unsur-unsur tersebut belum diketahui, sehingga peran unsur-unsur tersebut masih belum jelas apakah sama seperti logam berat esensial atau tidak. Namun demikian logam berat non esensial tersebut di atas sudah terbukti memiliki dampak racun jika terdapat dalam jumlah yang melebihi ambang batas yang sudah ditentukan. Selanjutnya Alloway (1995) menambahkan bahwa logam berat yang berpotensi bahaya (menjadi racun) adalah As, Cd, Cu, Cr, Hg, Pb dan Zn. Pada dasarnya jika suatu jenis logam berat terdapat dalam tanah, maka akan terjadi beberapa kemungkinan, dan salah satu kemungkinan yang akan terjadi adalah terjadinya reaksi kimia dari logam berat tersebut. Adapun reaksi yang mungkin terjadi terhadap logam berat dalam tanah jika dalam tanah tersebut terdapat senyawa organik atau senyawa inorganik antara lain adalah: - membentuk senyawa larut, komleks dari berbagai macam molekul - presipitasi atau kopresipitasi - terinkorporasi ke dalam struktur mineral - terakumulasi atau terfiksasi ke dalam bahan biologi - dikompleks dengan agen pengkhelat - diabsorb dalam mineral liat atau koloid organik Pada dasarnya sifat logam berat tidak hanya ditentukan oleh sifat fisika dan sifat kimia logam berat tersebut, namun juga dipengaruhi oleh unsur eksternal, yakni dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan berbagai faktor lingkungan tempat logam tersebut berada. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi sifat logam berat tersebut antara lain adalah kemasaman lingkungan (misalnya kemasaman tanah atau kemasaman air), bahan organik yang terdapat di lingkungan tempat logam berat tersebut berada, suhu, tekstur, mineral liat serta unsur logam berat lainnya. Sebagai contoh dalam hal kemasaman lingkungan, dapat disitir pendapat Stotzki (1978) dan Klein dan Trayer (1995) yakni, jika logam berat tersebut berada pada lingkungan dengan ph antara 7-7,5, misalnya unsur Cd akan dalam bentuk bebas Cd 2+ dan Cd(OH) +. Namun demikian jika

36 18 ph lingkungan berada pada nilai 9, maka bentuk Cd akan berubah menjadi Cd(OH) 2. Berdasarkan hal tersebut, maka secara umum penurunan ph akan meningkatkan ketersediaan logam berat kecuali Mo dan Sn. Hal ini disebabkan pada ph yang rendah, logam berat akan lepas atau larut dalam air, sehingga konsentrasinya dalam air mengalami peningkatan Pencemaran dan Toksisitas Logam Berat Logam berat merupakan bahan buangan hasil kegiatan yang menimbulkan pencemaran terutama perairan laut di negara berkembang. Sumber limbah yang banyak mengandung logam berat biasanya berasal dari aktivitas industri, pertambangan, pertanian dan pemukiman. Bryan dalam Rochayatun et al. (2005) menyatakan 18 jenis logam berat yang dipertimbangkan sebagai bahan pencemar, terutama dalam jumlah berlebih sangat beracun bagi kehidupan organisme. Pada batas dan kadar tertentu, semua logam berat dapat menimbulkan pengaruh yang negatif terhadap organisme perairan. Bryan (1984) dalam Darmono (2001) menambahkan dampak negatif tersebut dipengaruhi juga oleh jenis logam, interaksi antar logam dan jenis racun lainnya, spesies hewan, daya permeabilitas organisme, dan mekanisme detoksikasi serta pengaruh lingkungan seperti suhu, ph, dan oksigen. Faktor lain yang mempengaruhi toksisitas logam berat adalah suhu dan ph, salinitas dan kesadahan (Hutagalung, 1984). Toksisitas logam berat semakin tinggi saat terjadi penurunan ph dan/atau penurunan salinitas perairan dan/atau meningkatnya suhu. Toksisitas logam berat akan menurun seiring meningkatnya kesadahan. Sanusi (2006) menyatakan saat peningkatan kesadahan, logam berat akan membentuk senyawa komplek dan mengendap pada substrat sehingga toksisitasnya menurun. Moore dan Ramamoorthy (1984) mengelompokan logam berat berdasarkan sifat toksisitasnya, yaitu bersifat toksik tinggi, sedang, dan rendah. Logam berat yang bersifat toksik tinggi terdiri dari unsur-unsur Hg, Cd, Pb, Cu, dan Zn. Logam berat yang bersifat toksik sedang terdiri dari unsur-unsur Cr, Ni, dan Co, sedangkan bersifat tosik rendah terdiri atas unsur Mn dan Fe. Adanya logam berat di perairan, berbahaya baik secara langsung terhadap kehidupan organisme, maupun efeknya secara tidak langsung terhadap kesehatan manusia.

37 19 Darmono (1995) menyatakan pencemaran logam berat yang terjadi di wilayah estuaria, erat hubungannya dengan penggunaan logam tersebut oleh manusia. Pada air laut dilautan lepas kontaminasi logam berat biasanya terjadi secara langsung dari atmosfer atau karena tumpahan minyak dari kapal-kapal tanker yang melaluinya, sedangkan di daerah sekitar pantai kontaminasi logam kebanyakan berasal dari mulut sungai yang terkontaminasi oleh limbah buangan industri atau pertambangan. Pada daerah-daerah perindustrian, sungai dan laut sekitarnya umumnya berangsur-angsur menerima tekanan terus menerus. Muara sungai umumnya merupakan alur perjalanan bahan cemaran yang dibawa melalui sungai dari aktivitas didarat ke laut (Rochyatun et al. 2005) Karakteristik Logam Berat Merkuri (Hg) Merkuri (hydrargyrum atau Hg) memiliki nomor atom 80 dengan berat atom 200,59 g/mol (Cotton dan Wilkinson 1989). Sumber alami merkuri berasal dari pelapukan batuan dan erosi tanah yang mengandung HgS (cinnabar) (Effendi 2003). Lu (2006) menambahkan kegiatan antropogenik seperti penambangan, peleburan bahan logam, pembakaran bahan bakar fosil, dan proses produksi baja, semen dan fosfat merupakan sumber merkuri yang dapat menambah keberadaannya di alam. Merkuri dan turunannya banyak dipakai dalam pembuatan cat, baterai, komponen listrik, ekstraksi emas dan perak, gigi palsu, senyawa anti karat (anti fouling), serta fotografi dan elektronik. Pada industri kimia yang memproduksi gas klorin dan asam klorida juga menggunakan merkuri. Penggunaan merkuri dan komponen-komponennya juga sering dipakai sebagai pestisida (Baird 1995; Darmono 1995; Effendi 2003; Fardiaz 2005). Logam merkuri sering dipakai sebagai katalis dalam proses di industriindustri kimia, terutama pada industri vinil khlorida yang merupakan bahan dasar dari berbagai plastik. Pada alat-alat pencatat suhu seperti termometer, cairan yang dipakai pada umumnya adalah logam merkuri karena bentuknya yang cair pada kisaran suhu yang luas, uniform, pemuaian serta konduktivitasnya tinggi (Fardiaz 2005). Penggunaan merkuri terkait dengan sifat merkuri yang dijabarkan oleh Darmono (1995); Effendi (2003); Fardiaz (2005):

38 20 1. Berbentuk cair pada suhu kamar (25 o C) dan memiliki titik beku yang paling rendah dibanding logam lainnya (-39 o C). Dalam bentuk cair, merkuri memiliki kisaran suhu yang lebar (396 o C) 2. Volatilitas yang tinggi dibanding logam lainnya 3. Konduktor yang baik dengan ketahanan listrik yang rendah 4. Mudah dicampur dengan logam lain menjadi logam campuran yang disebut logam campuran (amalgam/alloy); 5. Toksik terhadap semua makhluk hidup Toksisitas mekuri yang sangat tinggi, mengakibatkan hanya bakteri anaerobik saja yang dapat melakukan mobilisasi terhadap logam ini. Manahan (2001) menyatakan merkuri ditemukan sebagi trace komponen pada banyak mineral, dengan kandungan di bebatuan kurang lebih 80 ppb atau kurang. Cinnabar atau merkuri sulfida merah merupakan salah satu jenis merkuri yang sangat mahal. Fosil batu bara dan lignite mengandung merkuri kurang lebih 100 ppm atau lebih dari itu. Logam merkuri dihasilkan secara alamiah dari pengolahan bijihnya, cinnabar, dengan menggunakan oksigen melalui reaksi (1) dibawah ini: HgS + O 2 Hg + SO 2.(1) Logam merkuri yang dihasilkan ini, digunakan dalam sintesa senyawa- senyawa anorganik dan organik yang mengandung merkuri. Dalam kehidupan sehari-hari, merkuri berada dalam tiga bentuk dasar, yaitu merkuri metalik, merkuri anorganik dan merkuri organik. Di lingkungan perairan, merkuri organik dan anorganik paling mendominasi (Fardiaz 2005; Lu 2006; Sanusi 2006), seperti dinyatakan sebagai berikut: a. Merkuri anorganik, ion logam merkuri (Hg 2+ ) dan garam-garamnya seperti merkuri klorida (HgCl 2 ) dan merkuri oksida (HgO 2 ); b. Komponen merkuri organik: Aril merkuri, mengandung hidrokarbon aromatik seperti fenil merkuri asetat Alkil merkuri, mengandung hidrokarbon alifatik dan merupakan merkuri yang paling beracun, misalnya metil merkuri dan etil merkuri Alkoksialkil merkuri (R-O-Hg).

39 21 Pada lingkungan perairan, merkuri dapat ditemui dalam 3 bentuk yaitu Hg 0, Hg + dan Hg 2+, bentuk-bentuk ini sangat ditentukan oleh rekasi oksidasi dan reduksi yang ada. Di perairan yang konsentrasi oksigennya rendah atau dalam kondisi tereduksi, maka kebanyakan dari merkuri ini akan terbentuk dalam Hg 0 dan Hg +, sedangkan merkuri akan berbentuk Hg 2+ dalam kondisi yang kaya akan oksigen atau kondisi oksidasi. Merkuri akan menjadi HgS jika terdapat sulfit dalam perairan (Sanusi dan Putranto, 2009). Di perairan yang tidak tercemar, kadar Hg 2+ terlarut sebanyak 0,02 0,1 mg/l (air tawar) dan <0,01 0,03 mg/l (air laut) (Sanusi 2006). Sifat Hg yang sangat reaktif membuat Hg sangat mudah membetuk ikatan- ikatan komplek dengan ligan organik dan inorganik. Ikatan dengan ligan organik seperti grup alkyl dan aryl yang ada dalam perairan seperti CH 3 -Hg +, (CH 3 ) 2 -Hg +, CH 3 (CH 2 )-Hg +, dsb. Ikatan merkuri dengan ligan inorganik akan menghasilkan sifat amphypilic seperti CH 3 -HgCl dan hydrophobic seperti CH 3 -Hg + dan (CH 3 ) 2 -Hg. Senyawa organik Hg yang bersifat toksik adalah CH 3 -Hg + yang terbentuk akibat proses metilasi dalam perairan. Proses metilasi ini sangat dipengaruhi oleh temperatur, kondisi redoks, kadar, ukuran partikel sedimen, aktivitas metabolisme bakteri dan jumlah ligan organik yang ada. Terdapat beberapa senyawa organik-hg, namun senyawa yang bersifat toksik adalah CH 3 -Hg + yang terbentuk oleh proses metilasi dalam perairan, seperti ditampilkan dalam reaksi (2) (Baird 1995):.(2) Moore dan Ramamoorthy (1984) menambahkan bahwa merkuri juga melakukan ikatan kordinasi dengan ligan-ligan yang ada dalam perairan seperti HgCl 2 dan Hg(OH) 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses ini adalah kandungan kadar Hg, ligan yang tersedia, ph perairan dan oksigen terlarut. Sebagai contoh, pada lingkungan laut yang memiliki kadar salinitas tinggi, ligan Cl - -nya akan tersedia dalam jumlah yang cukup, sehingga kebanyakan dari Hg akan membentuk spesiasi menjadi HgCl HgCl 2 dan komplek kloro-merkuri lainnya merupakan jenis merkuri yang dominan di

40 22 lautan. Pada perairan tawar dan estuaria yang memiliki ph rendah (4,0-6,0), ion Hg 2+ nya akan mengalami hidrolisis membentuk Hg(OH) 2 dan merupakan jenis yang dominan di lingkungan ini. Hubungan antara ph dan kadar Cl - dalam pembentukan jenis senyawa Hg diperlihatkan pada Gambar 4. Sanusi (2006) menyatakan proses metilasi Hg pada kolom perairan dan sedimen dipengaruhi oleh bahan organik, ketersediaan logam berat donor, ukuran partikel sedimen, temperatur, kondisi reduksi-oksidasi dan aktivitas metabolik bakteri (jenis Clostridium, Methanobacter, Neurospora, Pseudomonas). Pada perairan yang telah tercemar bahan organik, keberadaan Hg dapat mempengaruhi kesuburan dan trophic level-nya. Pada sedimen, proses pembentukan kompleks organik-hg dipengaruhi oleh ukuran partikel sedimen, kandungan bahan organik pada sedimen, dan ph (Sanusi 2006). Proses adsorpsi Hg efektif pada sedimen halus (luas permukaannya besar) dan efektif pada ketebalan sedimen 1 mm Gambar 4. Hubungan antara ph, kadar Cl - dan pembentukan spesiasi Hg (Moore dan Ramamoorthy 1984) Konsentrasi merkuri jauh lebih tinggi di lingkungan pantai bila dibandingkan dengan laut terbuka. Pantai dan estuari yang belum tercemar mengandung kurang lebih 20 ng/l mekuri. Kandungan merkuri yang lebih tinggi ditemukan di di Estuaria Derwent, Tasmania yang mengandung lebih dari 350 ng/l merkuri, sebagai perbandingan, Tabel 2 menunjukkan konsentrasi merkuri di beberapa tempat. Konsentrasi elemen merkuri organik akan semakin meningkat dengan bertambahnya

41 23 kedalaman. Konsentrasi merkuri yang berasosiasi dengan suspended material di sungai dan estuari kurang lebih 12 μg/l. Kurang lebih 0,4-2,7 μg/l merkuti ditemukan di Sungai Seine, Prancis. Sedimen lautan dan estuaria yang belum tercemar mengandung kurang lebih 0,2 μg/g merkuri atau bahkan kurang, sedangkan di Teluk Fransisco, Teluk Belingham dan Teluk Chesapeake yang sudah tercemar mengandung merkuri sebanyak 0,4-10,7 μg/g. Sedimen dari basin Lautan Arctic mengandung 0,034-0,116 μg/g merkuri (Neff 2002). Tabel 2. Konsentrasi merkuri (ng/l) di beberapa tempat Location Total Mercury Reactive Mercury Dogger Bank, North Sea North Sea, Offshore North Sea, Nearshore Offshore Great Britain < English Channel Straits of Dover British Estuaries Lapdev Sea, N. Russia Kara Sea, N. Russia North Atlantic Surface Water Equatorial Pacific Deep Water Halifax harbor, Canada Patuxent River Estuary, MD Scotian Shelf, Surface Water Scotian Shelf, Deep Water Eastern Atlantic Ocean, Surface water Eastern Atlantic Ocean, Deep water North Atlantic Ocean Mediterranean Sea, m South Florida Estuaries Sumber: Neff (2002) Menurut Neff (2002) pembentukan komplek logam dengan material organik dapat mengurangi pengambilan logam oleh organisme laut. Pengambilan merkuri oleh Uca pugnax dan kerang Modiolus demisscus menurun seiring dengan semakin banyaknya material organik yang masuk ke lingkungannya. Methylmerkuri lebih cepat diakumulasi oleh organisme bila dibandingkan dengan merkuri inorganik dan plankton dapat

42 24 menyerap kedua jenis merkuri ini. Kebanyakan dari merkuri yang masuk ke dalam tubuh organisme ini akan di akumulasi dalam jaringan tubuh organisme. Cacing polychaeta Capitala capitata, kebanyakan mendapat merkuri dari alga atau detritus yang dimakannya. Pada lobster Nephrops norvegica akumulasi merkuri terjadi di bagian insang dan hepatopankreasnya. Setiap organisme memiliki pebedaan konsentrasi merkuri pada tiap jaringannya (Tabel 3). Organisme sendiri dapat mengasimilasi merkuri yang masung ke dalam tubuhnya (Tabel 4). Tabel 3. Konsentrasi merkuri (mg/l) pada jaringan beberapa organisme laut dari Telyk Terra Nova, Antartica Spesies Otot Hati Organ Lain Scallop (Adamussium colbecki) 0,2 0,35 0,86 (insang) Fish (Trenuttomus bernacchii) 0,83 0,46 0,94 (ginjal) Adelie Penguin (Pygoscells adeliae) 0,6 1,6 1,20 (ginjal) Weddell Seal (Leptonychotes weddellii) 1, ,0 (limfa) Sumber: Neff (2002) Tabel 4. Efisiensi merkuri inorganik dan methyl merkuri dari makanan dan sedimen oleh organisme laut Animal Food Efisiensi Asimilasi (%) Hg(II) CH 3 Hg Polychaetes Nereis succinia Oxic sediment Mussel Mytilus edulis Oxic sediment Copepod Acartia tonsa Diatoms Fish Cyprinodon variegatus Copepods Plaice Pleuronectes platessa Polychaetes 5 80 Sumber: Neff (2002) Hasil penelitian Mance (1990) memperlihatkan bahwa pada embrio ikan Fundulus heteroclitus yang terpapar dengan merkuri 0,067 mg/liter akan mengalami kematian populasi 50% (LC 50 ) setelah 4 hari percobaan, setelah 32 hari pemaparan didapatkan bahwa merkuri juga akan mengurangi tingkat kesuksesan penetasan dan proses setelah penetasan. Fase zoea pada krustasea juga memiliki respon yang sensitif terhadap merkuri seperti halnya pada ikan. Percobaan yang dilakukan pada kepiting Cancer magister menunjukkan LC 50 setelah terpapar selama 4 hari dengan merkuri sebanyak 0,008 mg/liter. Efek yang sama didapatkan pada Penaeus indicus dengan konsentrasi

43 25 merkuri yang lebih tinggi yaitu 0,015 mg/liter, namun spesies ini tidak menunjukkan efek yang berarti setelah terpapar dengan merkuri selama 28 hari pada konsetrasi 0,006 mg/liter. Pada larva bivalvia spesies Crassostrea gigas dan Mytilus edulis setelah terpapar dengan Hg dengan median efek konsentrasi (EC 50 ) masing-masing sebanyak 0,0067 dan 0,0058 mg/liter akan menunjukkan perkembangan larva yang tidak normal Kadmium (Cd) Kadmium disingkat dengan Cd (cadmium) memiliki nomor atom 49, dengan berat atom 112,41 g/mol, memiliki titik didih dan titik leleh masing-masing 765 o C dan 320,9 o C (Cotton dan Wilkinson 1989). Kadmium hampir selalu ditemukan dalam jumlah yang kecil dalam bijih-bijih seng, seperti sphalerite (ZnS). Greenokcite (CdS) merupakan mineral satu-satunya yang mengandung kadmium. Hampir semua kadmium diambil sebagai hasil produksi dalam persiapan bijih-bijih seng, tembaga dan timbal. Sumber utama polutan kadmium berasal dari aktivitas industri dan sisa-sisa penambangan. Produksi kadmium setiap tahunnya adalah ton, dan kadmium tersebut diproduksi dari hasil penambangan (Paasivirta 2000). Sebagian besar makanan mengandung sejumlah kecil kadmium. Padi-padian dan produk biji-bijian biasanya merupakan sumber utama kadmium. Asap rokok juga menyebabkan meningkatnya kadmium di lingkungan (Baird 1995; Lu 2006). Kadmium mempunyai sifat tahan panas, sehingga baik untuk campuran-campuran bahan-bahan keramik dan plastik, kadmium juga sangat tahan terhadap korosi sehingga cocok untuk melapisi plat besi dan baja (Darmono 1995). Kadmium juga digunakan sebagai pigmen pada keramik, pada penyepuhan listrik, serta dalam pembuatan aloy dan baterai alkali (Baird, 1995; Lu 2006). Baird (1995) mengemukakan bahwa kadmium juga sering di pakai sebagai elektroda pada beterai kalkulator yang dikenal sebagai Ni-Cd (nikel kadmium). Kadmium tergolong logam berat dan memiliki afinitas yang tinggi terhadap grup sulfhidril daripada enzim dan meningkat kelarutannya dalam lemak. Pada perairan alami yang bersifat basa, kadmium mengalami hidrolisis, teradsorpsi oleh padatan tersuspensi dan membentuk ikatan kompleks dengan bahan organik. Di perairan, kadmium akan melakukan ikatan koordinasi dengan ligan organik dan anorganik seperti CdSO 4, Cd-Organik, CdCl +, Cd(OH), dan Cd 2+. Kadmium akan menghasilkan produk hidrolisis ketika terlarut oleh air (H 2 O) melalui reaksi (3):

44 26 Cd 2+ + H 2 O Cd(OH) + + H +.(3) Ikatan kompleks tersebut memiliki tingkat kelarutan yang berbeda, yakni: Cd 2+ >CdSO 4 >CdCl + >CdCO 3 >Cd(OH) + (Sanusi 2006). Afinitas Cd terhadap anion klorida dibandingkan dengan logam berat lainnya sesuai urutan adalah Hg > Cd > Pb > Zn, dalam hal ini Cd menempati urutan kedua setelah Hg (Hahne dan Kroontje 1973 dalam Moore dan Ramamoorthy 1984). Bahan organik terlarut dalam perairan (gugus asam amino, sistein, polisakarida dan asam karbosiklik) memiliki kapasitas membentuk ikatan kompleks dengan Cd dan logam berat lainnya. Demikian pula keberadaan asam humus (humic substances) dalam perairan seperti asam fulvik dan asam humik akan membentuk ikatan kompleks (kelasi) dengan Cd. Pada umumnya stabilitas ikatan kompleks logam berat-asam humus mengikuti deret Irving Williams (Irving Williams Order) sebagai berikut: Mg<Ca<Cd~Mn<Co<Zn~Ni<Cu<Hg.(4) Di perairan tawar kemampuan pembentukan kompleks Cd oleh asam humus kurang lebih 2,7% daripada total Cd terlarut, sementara di perairan estuari lebih rendah dari 1% daripada total Cd terlarut. Berdasarkan hal tersebut maka, selain ditentukan oleh kadar asam humus dan Cd terlarut, parameter ph dan salinitas berperan dalam membentuk ikatan kompleks logam berat-asam humus. Logam berat Cd terlarut dalam air akan mengalami proses adsorpsi oleh partikel tersuspensi dan mengendap di sedimen. Proses adsorpsi akan diikuti oleh proses desorpsi yang mengembalikan Cd dalam bentuk terlarut dalam badan air (Sanusi 2006). Kadmium dalam air laut berbentuk senyawa klorida (CdCl 2 ), sedangkan pada perairan tawar kadmium berbentuk karbonat (CdCO 3 ). Pada perairan payau kedua senyawa tersebut berimbang (Darmono 1995). Kadar Cd di perairan alami berkisar antara 0,29 0,55 ppb dengan rata-rata 0,42 ppb. Konsentrasi kadmium di kolom permukaan air laut terbuka antara ng/l. Pada perairan pantai konsentrasinya kurang lebih 200 ng/l, namun konsentrasinya akan meningkat menjadi 5000 ng/l di daerah estuaria yang berada di dekat daerah pertambangan. Tabel 5 menunjukan konsentrasi kadmium terlarut di beberapa perairan. Konsentrasi kadmium di daerah sungai umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan daerah laut. Pada laut terbuka, konsentrasi kadmium terlarut akan semakin meningkat dengan meningkatnya kedalaman, namun sebaliknya konsentrasi partikulat kadmium

45 27 akan tinggi di permukaan dan menjadi semakin berkurang dengan bertambahnya kedalaman. Sebanyak 0,1-0,6 μg/g kadmium terkandung pada sedimen perairan yang belum mengalami pencemaran. Di daerah Perairan Atlantik dan Teluk Florida mengandung 0,01-0,3 μg/g kadmium dan konsentrasi kadmium ini berkorelasi positif dengan kandungan aluminium. Di daerah Pelabuhan New Bedfor yang sudah tercemar, konsentrasi kadmium dalam sedimen sekitar 52 μg/g dan 460 μg/g di Teluk Spencer Australia Selatan. Kadmium juga ditemukan pada air interstitial dengan konsentrasi 0, μg/l. Konsentrasi kadmium di Teluk Villefrance, Prancis menurun seiring dengan meningkatnya kedalaman dan meningkat lagi pada kedalaman lebih dari 27 cm (Neff, 2002). Tabel 5. Konsentrasi kadmium terlarut (μg/l) di beberapa perairan Lokasi Rentang Konsentrasi Cd Northwestern Gulf of Mexico San Andres Lagoon, Mexico 0.33 Savannah River Estuary, GA Medway Estuary, Nova Scotia British estuaries British coastal waters British coastal waters North Sea North Sea Dogger Bank, North Sea German Bight English Channel English Channel Irish Sea Eastern Atlantic Ocean South Atlantic Ocean Greenland Sea E. Mediterranean Sea S. China Sea < Philippine Sea < Pacific Ocean Indian Ocean Scotia/Weddell Sea, Antarctica Sumber: Neff (2002)

46 28 Tabel 6. Konsentrasi kadmium (μg/g) pada jaringan otot beberapa organisme Taksa Jumlah Analisis Rentang Konsentrasi Cd Total 710 0, Phytoplankton 9 0,04 4,6 Macroalgae 69 0,1 29,8 Seagrasses 2 1,0 4,9 Coelenterates 2 0,37 4,56 Ctenophores 4 0,10 13,1 Nemertines 9 0,04 9,6 Polychaetes 24 0,12 45,0 Zooplankton 11 0,10 7,0 Shrimp 50 0,001 13,3 Lobsters 9 0,05 13,4 Crabs 15 0,03 1,06 Crustaceans 23 0, Insects 2 16,8 61,6 Clams 44 0,05 26,1 Scallops 7 0,58 36,3 Mussels 108 0,02 65,5 Oysters 99 0, Snails 32 0, Squid 4 0,05 3,4 Chaetognaths 2 0,15 1,29 Echinoderms 5 0,14 4,65 Fish 128 0,001 5,80 Sea Turtles 8 0,30 2,85 Marine Birds 20 0,08 3,34 Marine Mammals 22 0,03 2,4 Sumber: Neff (2002) Kadmium termasuk logam berat yang sangat sulit didegradasi oleh organisme, sehingga kalau terabsopsi oleh tubuh organisme laut, maka konsentrasinya akan menjadi semakin meningkat seiring dengan waktu. Biokonsentrasi kadmium dalam tubuh fitoplankton sangat tergantung dari jumlah kadmium yang terlarut dalam kolom perairan. Kebanyakan dari kadmium ini akan terakumulasi pada bagian insang organisme dan beberapa organisme memiliki kemampuan untuk mentransfer kadmium ini ke dalam ephitelliumnya. Setelah masuk ke dalam tubuh, kadmium yang masuk ke dalam tubuh invertebrata, ikan, burung dan mamalia akan membentuk ikatan dengan protein sebagai metallothionin. Pada kima Crasostrea gigas, kadmium kebanyakan

47 29 diakumulasi pada bagian ginjal. Pada lobster, kadmium dengan jumlah yang paling banyak ditemukan pada organ hepatopankreas (Paasivirta, 2000). Tabel 6 menunjukkan konsentrasi kadmium pada jaringan otot beberapa organisme. Keracunan kadmium dapat bersifat akut dan kronis. Efek keracunan yang dapat ditimbulkannya berupa penyakit paru-paru, hati, tekanan darah tinggi, gangguan pada sistem ginjal dan kelenjer pencernaan serta mengakibatkan kerapuhan pada tulang (Effendi 2003; Lu 2006). Manahan (2001) menambahkan keracunan akut Cd ke manusia akan menimbulkan efek yang sangat fatal, diantaranya meningkatkan tekanan darah, kerusakan ginjal, perusakan jaringan testis dan merusak sel darah merah. Efek ini hampir mirip apabila manusia mengalami keracunan Cd. Secara spesifik, Cd akan menggantikan Zn yang ada dalam enzim. Toksisitas Cd lebih rendah bila dibandingkan dengan toksisitas Hg dan Cu. Namun demikian, Cd dapat mereduksi klorofil, ATP, dan mengurangi konsumsi O 2 fitoplankton dengan konsentarsi 0,01-0,1 mg/l ketika membentuk ikatan komplek CdCl 2. Efeknya akan menjadi lebih toksik lagi ketika konsentrasinya menjadi meningkat, misalnya dapat menyebabkan toksistas akut pada ikan estuari pada konsentrasi Cd terlarut sebesar 8 85 mg/l (Mance 1990) Timbal (Pb) Timbal bernama latin plumbum (Pb), nomor atomnya 82 dan berat atomnya 207,20 g/mol (Cotton dan Wilkinson 1989). Timbal secara alami berasal dari pelapukan batuan dan erosi tanah yang mengandung timbal sulfida (PbS) (Effendi 2003). Lu (2006) menambahkan kegiatan antropogenik seperti penambangan, peleburan bahan logam, pembakaran bahan bakar fosil, dan proses produksi baja, semen dan fosfat merupakan sumber timbal yang dapat menambah keberadaannya di alam. Dalam pertambangan, timbal berbentuk timbal sulfida (PbS) yang disebut galena. Penggunaan Pb yang paling besar adalah untuk baterai kendaraan bermotor. Elektroda dari aki biasanaya mengandung 93% Pb dan 7% Sb (antimoni). Pb sangat baik dalam merangsang arus listrik, yang dalam hal ini Pb berbentuk PbO 2 dan Pb logam. Pb juga dipergunakan dalam industri percetakan (tinta), sekering, alat listrik, amunis, kabel dan solder. Sifatnya yang dapat mencegah terjadinya karat, membuat Pb banyak dipergunakan untuk melapisi logam lain seperti untuk melapisi pipa-pipa air atau pipa yang dialiri bahan yang bersifat korosif. Lebih dari ton Pb

48 30 dipergunakan dalam industri kimia yang berbentuk tetra-etil-pb, yang biasanya dicampur dengan bahan bakar minyak (BBM) dengan tujuan meningkatkan daya tahan mesin. Sifat Pb yang tahan korosif dan sifat yang mudah menyatu dengan bahan lain, mengakibatkan Pb banyak digunakan sebagai campuran cat misalnya Pb putih (Pb(OH) 2 2PbCO 3 ), Pb merah, Pb merah cerah (Pb 3 O 4 ) dan PbCrO 4 untuk warna kuning. Penggunaan lainnya adalah untuk produk-produk logam seperti amunisi, pelapis kabel, pipa, solder, bahan kimia dan pewarna (Fardiaz 2005; Lu 2006; Darmono 1995). Penggunaan timah hitam/timbal tersebut karena timbal memiliki sifat unggul (Darmono 1995; Fardiaz 2005) yakni: 1. Mempunyai titik lebur yang rendah sehingga mudah digunakan dan murah biaya operasinya. 2. Mudah dibentuk karena sifat logamnya yang lunak 3. Mempunyai sifat kimia aktif sehingga dapat dipergunakan untuk melapisi logam untuk mencegah terjadinya perkaratan 4. Kepadatan melebihi logam lain 5. Timbal dapat membentuk alloy dengan logam lainnya, dan alloy yang terbentuk mempunyai sifat yang berbeda dengan timbal murni 6. Memiliki densitas yang tinggi dibanding logam lain; kecuali emas dan merkuri, yaitu 11,34 g/cm 3 7. Sifat kimia timbal menyebabkan logam ini dapat berfungsi sebagai pelindung jika kontak dengan udara lembab Seperti logam berat lainnya, Pb juga merupakan unsur yang bersifat reaktif. Di dalam badan perairan, Pb akan membentuk ikatan komplek dengan ligan organik dan inorganik yang ada. Kelarutan timbal dalam air cukup rendah sehingga kadarnya relatif sedikit. Pb akan membentuk ikatan komplek dengan logam organik apabila di ligan organik tersebut mengandung unsur S, N, dan O. Pb sendiri akan membentuk Pb 3 (PO 4 ) 2 dan PbS jika tersedia ligan inorganik berupa fosfat (PO 3-4 ) dan sulfida (S 2- ). Pb juga akan mengalami proses hidrolisis menjadi Pb(OH) + dan akan terlarut pada saat ph perairan lebih dari 6,0 dan menjadi Pb(OH) + solid pada saat ph perairan lebih dari 10,0. Berdasarkan hal tersebut, maka di lingkungan laut yang memiliki ph yang cenderung basa (7,5-8,5), kebanyakan dari Pb ini ditemukan dalam bentuk Pb(OH) + terlarut lebih banyak bila dibandingkan dengan PbCl 2 atau PbCO 3. Bahan bakar yang mengandung

49 31 timbal (lead gasoline) memberikan kontribusi yang berarti bagi keberadaan timbal di perairan. Kadar dan toksisitas timbal di perairan dipengaruhi oleh kesadahan, ph, alkalinitas, dan kadar oksigen (Effendi 2003; Neff 2002; Sanusi 2009). Konsetrasi timah hitam (timbal) pada perairan laut terbuka yang belum tercemar kurang lebih 0,002-0,3 μg/l, namun konsetrasinya akan menjadi lebih dari 1 μg/l pada perairan pantai atau perairan teluk. Konsentrasi timbal di Samudra Atlantik Utara pada kondisi terlarut dan tersuspensi masing-masing 0,002-0,029 dan 0,0001-0,0004 μg/l. Tabel 7 di bawah menunjukkan konsentrasi timbal di beberapa perairan. Konsentrasi timbal di sedimen estuari dan pantai yang belum tercemar adalah 5-30 μg/g. Namun konsentrasi timbal ini akan menjadi meningkat pada daerah pantai yang berdekatan dengan pusat-pusat industri, seperti di sedimen Teluk San Francisco mengandung kurang lebih 2900 μg/g timah (Neff, 2002). Tabel 7. Konsentrasi timah terlarut (μg/l) di beberapa perairan Lokasi Pb Terlarut N. Atlantic Surface Water 0,002 0,029 S. Atlantic Surface Water 0,003 Bermuda 0,016 S. North Sea Surface Water 0,008 0,20 S. North Sea Bottom Water 0,017 0,087 Offshore UK Surface Water 0,021 0,19 British Estuaries 0,023 1,1 Bristol Channel & Severn Estuary, UK 0,02 10,0 Greenland Sea 0,004 0,104 Ross Sea, Antarctica 0,005 0,027 East China Sea 0,041 0,517 Gulf of Mexico off LA 0,02 0,05 Galveston Bay, TX 0,009 0,02 S. California Bight Offshore 0,004 0,012 S. California Bight Nearshore 0,009 0,06 San Francisco Bay, CA 0,041 Sumber: Neff (2002) Konsentrasi akumulasi timbal dalam tubuh organisme akan membentuk kurva linier dengan jumlah timbal terlarut. Kebanyakan organisme air mengakumulasi logam ini pada bagian insang dan mantel. Pada bivalvia yang sudah terkontaminasi logam timbal ternyata memiliki kemampuan untuk melepaskan logam ini kembali ke dalam perairan setelah dilepas pada daerah yang tidak terkontaminasi. Akumulasi logam ini

50 32 dapat melalui rantai makanan seperti Capitela capitata yang mengakumulasi timbal dari detritus dan alga yang dimakannya dan konsentrasinya dalam tubuh akan semakin meningkat seiring dengan semakin banyaknya alga yang dimakan. Kerang Scrobicularia plana dan Polychaeta Nereis diversicolor memiliki kemampuan mengakumulasi timbal dari sedimen yang anoksik. beberapa organisme dapat dilihat pada Tabel 8. Konsentrasi timbal pada jaringan Tabel 8. Konsentrasi timah pada jaringan (μg/g) beberapa organisme Spesies Lokasi Konsentrasi Pb Phytoplankton Central Pacific 0,53 1,8 Green Alga Caulerpa taxifolia French Mediterranean 0,8 21,8 Brown Alga Fucus vesiculosus W. Greenland 0,47 0,70 Red Algae (several spp.) Greece 10,7 340 Sea Grass Posidonia oceanica NW Mediterranean 5,96 15,4 Sponges (several spp.) Portugal <5 187 Reef Corals (2 spp.) Australia 0,5 2,2 Benthic Nematodes French Atlantic 25,1 55,5 Nemerteans (2 spp.) N. Wales, UK 17,4 54,9 Polychaetes (several spp.) NY Bight 0,89 82,1 Trough Shell Spisula subtruncata Belgian Coast 0,5 8,0 Mussels Mytilus spp. French Coasts <0,10 21,4 Oysters Crassostrea gigas French Coasts <0,10 8,9 Oysters C. gigas Hawaii 0,10 1,76 Bivalves (3 spp.) NY Bight 5,07 10,6 Bivalves (4 spp.) Philippines 0,64 2,24 Scallops Antarctica 1,0 2,6 Shrimp (several spp.) Kuwait 0,03 7,23 Swimming Crabs Liocarcinus holsatus Belgian Coast 0,34 4,4 Benthic Crustaceans NY Bight 0,05 17,5 Barnacles (3 spp.) Hong Kong 1,7 39,2 Echinoid Paracentrotus lividus Naples, Italy 0,28 14 Sharks (several spp.) Great Britain <0,1 9,4 Sharks (4 spp.) E. Australia <0,04 0,15 Teleost Fish (12 spp.) E. Australia 0,03 0,30 Teleost Fish (26 spp.) W. Mediterranean 0,05 55,9 Deep-Sea Fish (6 spp.) N. Atlantic 0,015 12,0 Tuna Thunnus thynnus NW Atlantic <0,03 Sumber: Neff (2002) Menurut Neff (2002) pemaparan Pb dengan konsentrasi μg/l pada Mytilus edulis, Crasostrea gigas dan Cancer magister menyebabkan pertumbuhan larva menjadi abnormal, sedangkan konsentrasi akut dan kronik pada Mysidopsis bahia masing-masing adalah 3130 dan 25 μg/l. Konsentrasi timbal terlarut sebesar 23,3 μg/l dapat menyebabkan efek subletal pada makroalga Champia parvula. Hasil penelitian

51 33 Paasivirta (2000) memperlihatkan bahwa sebanyak 10-24% timbal (lead) yang ditemukan pada daging ikan dalam bentuk tetrametyl lead (TML). Efek toksik timbal pada burung dan mamalia disebabkan logam ini memiliki kemampuan untuk berikatan dengan sel dan biomolekul seperti enzim dan hormon. Soetrisno (2008) menyatakan timbal menjadi beracun dengan menggantikan kation-kation logam yang aktif biologis, seperti kalsium dan seng (zink), dari proteinproteinnya. Calmodulin misalnya, mengikat dan mengangkut empat kation kalsium. Jika kation-kation timbal menggantikan keempat kation kalsium tersebut, efisiensi enzim ini akan berkurang. Timbal menghambat total aktivitas enzim biosintetik heme, yakni asam delta-aminolevulinat dehidratase (delta-alad), ketika logam ini menggantikan kation seng tunggalnya, sehingga mengganggu pembentukan darah dan menghasilkan anemia parah. Darmono (1995) menambahkan timbal dapat menghambat aktifitas enzim yang terlibat dalam pembentukan hemoglobin yang dapat menyebabkan penyakit anemia. Gejala yang diakibatkan dari keracunan logam timbal adalah kurangnya nafsu makan, kejang, lesu dan lemah, muntah serta pusing-pusing. Timbal dapat juga menyerang susunan saraf, saluran pencernaan serta dapat mengakibatkan terjadinya depresi Logam berat pada sedimen laut Supangat dan Muawanah (NA) menyatakan semua senyawa yang masuk ke perairan akan menjadi sedimen. Proses fisik, kimia dan biologi yang terjadi di kolom air akan mempengaruhi komposisi dan kualitas sedimen. Proses fisik yang mempengaruhi yakni faktor arus (hidrodinamika) yang merupakan energi sortasi sedimen. Sanusi (2006) menyatakan perairan yang memiliki kondisi arus yang dinamis (high energy environment dynamic waters), memiliki tekstur sedimen yang kasar (kerikil, pasir). Sementara perairan yang kondisi arusnya tenang atau tidak dinamis (low energy environment sluggish waters) memiliki tekstur sedimen yang lebih halus (lumpur, liat). Perairan yang sering terjadi deposisi material tersuspensi (organik dan anorganik) umumnya memiliki tekstur sedimen yang halus. Saat masih di kolom air, terjadi reaksi kimia antara berbagai calon sedimen, reaksi tersebut tetap berlangsung setelah senyawa menjadi sedimen. Saat mencapai dasar, senyawa tersebut mengalami turbulensi akibat aktivitas biota (bio-turbulensi).

52 34 Berdasarkan penyebarannya sedimen laut dapat dibagi menjadi dua kelompok (Supangat dan Muawanah NA; Sanusi 2006). Kelompok pertama, sedimen yang tersebar sampai batas paparan benua (continental shelf margin) yang disebut sedimen laut dangkal (near shore sediment) dan sedimen laut dalam (deep sea sediment) yang tersebar di bawah paparan benua. Sedimen laut dangkal khususnya di perairan pesisir dan estuari diketahui merupakan storage system berbagai unsur dan senyawa kimia (Supangat dan Muawanah; Sanusi 2006). Logam berat yang masuk ke dalam lingkungan perairan akan mengalami pengendapan, pengenceran dan dispersi, kemudian diserap oleh organisme yang hidup di perairan tersebut. Pengendapan logam berat di suatu perairan terjadi karena adanya anion karbonat hidroksil dan klorida (Hutagalung 1984). Hutagalung (1991) menyatakan logam berat memiliki sifat mudah mengikat bahan organik dan setelah mengalami proses fisik-kimia akan mengendap di dasar perairan dan bersatu dengan sedimen, hal ini sejalan dengan penelitian Harahap (1991) dan Rochyatun, Kaisupy dan Rozak (2006) (Tabel 9) yang menyatakan kadar logam berat dalam sedimen lebih tinggi dibandingkan di air. Konsentrasi logam berat pada sedimen tergantung pada beberapa faktor yang berinteraksi. Faktor-faktor tersebut adalah : 1. Sumber dari mineral sedimen antara sumber alami atau hasil aktivitas manusia. Melalui partikel pada lapisan permukaan atau lapisan dasar sedimen. 2. Melalui partikel yang terbawa sampai ke lapisan dasar. 3. Melalui penyerapan dari logam berat terlarut dari air yang bersentuhan. Tabel 9. Hasil analisis kisaran kadar logam berat (ppm) dalam air laut dan sedimen di perairan muara Sungai Cisadane Bulan Juli dan Nopember 2005 No Parameter Air Laut Sedimen Juli Nopember Juli Nopember I Pb <0,001-0,005 <0,001-0,003 9,42-34,40 10,32-37,50 2 Cd <0,001-0,001 <0,001-0,001 0,02-0,03 0,04-0,150 3 Cu <0,001-0,001 <0,001-0,004 8,15-34,59 5,08-34,30 4 Zn <0,001 <0,001-0,003 33,96-115,40 43,88-172,78 5 Ni <0,001-0,003 0,001-0,003 4,44-8,46 3,80-8,60 Sumber: Rochyatun, Kaisupy dan Rozak (2006) Sanusi (2006) mengemukakan sifat fisik dan kimia material padatan tersuspensi yang memiliki kemampuan mengadsorpsi logam berat terlarut dalam kolom air.

53 35 Selanjutnya dikatakan bahwa deposisi padatan tersuspensi dalam perairan selain mengakibatkan mengendapnya material organik dalam sedimen juga akan menyebabkan akumulasi logam berat tersebut dalam sedimen. Semakin tinggi polutan organik dan anorganik dalam kolom air, makin tinggi pula akumulasi polutan tersebut dalam sedimen. Penjelasan tersebut, memperlihatkan bahwa kualitas fisik kimia sedimen suatu perairan dapat dijadikan indikator baik buruknya kualitas suatu perairan. Menurut Hutagalung (1984) pengendapan logam berat dalam suatu perairan terjadi karena adanya anion karbonat hidroksil dan klorida. Menurut Hutagalung (1991) besarnya konsentrasi logam berat pada sedimen tergantung pada beberapa faktor yang berinteraksi yakni: 1. Sumber dari mineral sedimen baik sumber alami maupun sumber yang berasal dari aktivitas manusia 2. Melalui partikel pada lapisan permukaan atau lapisan dasar sedimen 3. Melalui partikel yang terbawa sampai ke lapisan dasar 4. Melalui penyerapan dari logam berat terlarut dari air yang bersentuhan Tabel 10. Kadar alamiah logam berat dalam sedimen Parameter Kadar alamiah (ppm) RNO 1 EPA 2 Hg 0, ,2 Cd 0,1-2 1 Pb Sumber: 1 RNO 1981 dalam Razak 1986; 2 Environmental Protection Agency, 1990 dalam Novotny dan Olem Tabel 11. Baku mutu logam berat dalam sedimen Parameter Level target Level limit Level tes Level intervensi Level bahaya Hg 0,3 0,5 1, Cd 0,8 2 7, Pb Sumber: IADC (International Association of Drilling Contractors) / CEDA (Central Dredging Association) (1997) Keterangan : a. Level target. Jika konsentrasi kontaminan yang ada pada sedimen memiliki nilai yang lebih kecil dari nilai level target, maka substansi yang ada pada sedimen tidak terlalu berbahaya bagi lingkungan. b. Level limit. Jika konsentrasi kontaminan yang ada di sedimen memiliki nilai maksimum yang dapat ditolerir bagi kesehatan manusia maupun ekosistem.

54 36 c. Level tes. Jika konsentrasi kontaminan yang ada di sedimen berada pada kisaran nilai antara level limit dan level tes, maka dikategorikan sebagai tercemar ringan. d. Level intervensi. Jika konsentrasi kontaminan yang ada di sedimen berada pada kisaran nilai antara level tes dan level intervensi, maka dikategorikan sebagai tercemar sedang. e. Level bahaya. Jika konsentrasi kontaminan berada pada nilai yang lebih besar dari baku mutu level bahaya, maka harus dengan segera dilakukan pembersihan sedimen. Logam berat dalam substrat/sedimen secara alami menggambarkan hubungannya dengan partikel tersuspensi dan sedimen, karena sedimen lebih stabil atau kurang mobile dibandingkan dengan kolom air. Kadar alamiah logam berat dalam sedimen menurut RNO (1981) dalam Razak (1986) dan EPA (1990) dalam Novotny dan Olem (1994) dapat dilihat pada Tabel 10. Baku mutu logam berat di dalam lumpur atau sedimen di Indonesia belum ditetapkan, sehingga sebagai acuan dapat digunakan baku mutu yang dikeluarkan oleh IADC/CEDA (1997) mengenai kandungan logam yang dapat ditoleransi keberadaannya dalam sedimen berdasarkan standar kualitas Belanda, dapat dilihat pada Tabel Beban Pencemaran Beban pencemar didefinisikan sebagai jumlah total bahan pencemar yang masuk ke dalam lingkungan perairan, baik langsung maupun tidak langsung, dalam kurun waktu tertentu. Beban pencemar berasal dari berbagai aktivitas manusia misalnya industri dan rumah tangga. Besarnya beban masukan limbah sangat tergantung pada aktivitas manusia di sekitar perairan dan di bagian hulu sungai yang mengalir ke arah laut (Suharsono 2005). Selain dipengaruhi oleh aktivitas di sekitar sungai, nilai beban pencemar juga sangat tergantung pada keadaan pasang dan surut. Pada kondisi pasang, beban masukan limbah kecil karena aliran sungai akan tertahan oleh peningkatan massa air di pantai, sedangkan pada saat surut, beban masukan limbah ke kawasan pantai akan lebih besar, karena aliran sungai yang membawa bahan pencemar dapat masuk ke perairan estuaria atau pantai tanpa terhalang oleh massa air laut (Rafni 2004). Perhitungan beban pencemar dilakukan dengan mengalikan konsentrasi dengan aliran debit sungai dalam satuan waktu tertentu. Sebelumnya debit aliran sungai dapat diperoleh dengan mengalikan luas penampang aliran sungai dengan kecepatan aliran sungai (Mezuan 2007).

55 Kerang Hijau Kerang hijau (Gambar 5) merupakan organisme yang termasuk golongan biota yang bertubuh lunak (mollusca), bercangkang dua (bivalvia), insang berlapis (lamellibrachiata), berkaki lapak (pelecypoda) dan hidup di laut (Asikin 1982). Taksonomi kerang hijau menurut Asikin (1982) Filum : Mollusca Kelas : Pelecypoda (Lamellibranchia, Bivalvia) Ordo : Filibrachia Famili : Pernaidae Genus : Perna Spesies : Perna viridis L. Gambar 5. Kerang hijau (Perna viridis L.) ( Kerang hijau (Perna viridis L) merupakan biota yang hidup pada wilayah litoral (pasang surut) dan sub litoral yang dangkal. Kerang hijau dapat tumbuh pada perairan teluk, estuari, sekitar mangrove dan muara, dengan kondisi perairan yang memiliki subtrat pasir berlumpur, dengan cahaya dan pegerakan yang cukup, serta kadar garam yang tidak telalu tinggi (Setyobudiandi 2000). Perna memiliki empat baris insang yang bermanfaat sebagai organ respirasi dan organ filter feeder. Perna memakan fitplankton, zooplankton dan detritus (Korringa 1976; Sivalingam 1977; Yap et al dalam Vakily 1989). Sivalingam (1977) dalam Vakily (1989) menyatakan bahwa kerang hijau

56 38 merupakan selective filter feeder, hal ini ditandai dengan spesies plankton yang mendominasi (99%) pada perut kerang hijau, yaitu Coscinodiscus nodilufer. Menurut Bryan (1976) karena sifatnya yang sessile dan cara makan yang filterfeeder, kelas bivalvia telah digunakan sebagai bioindikator dari limbah berat, organochlorin dan minyak hidrokarbon. Perna viridis merupakan salah satu kerang yang terbaik untuk dijadikan biota tes dalam biopollution (Phillips 1980). Goldberg et al dalam Jose dan Deepthi (2005) menyatakan bahwa bivalva seperti kerang hijau memiliki keunggukan sebagai bioindikator untuk memonitor substansi organik yang terdapat di laut karena memiliki distribusi yang luas, hidup menetap, mudah disampling, memiliki toleransi terhadap salinitas yang luas, resisten terhadap stress dan berbagai bahan kimia yang terakumulasi dengan jumlah besar merupakan konsep mussel watch. Kerang hijau memiliki distribusi yang luas pada Wilayah Asia Pasifik dan memiliki nilai komersial sebagai seafood yang telah terkenal di belahan dunia (Vakily 1989). Jose dan Deepthi (2005) dan Boonyatumanond et al. (2002) menambahkan kerang hijau telah digunakan sebagai biological indocator untuk memonitor kandungan residu pestisida organochlorine pada beberapa Negara Asia seperti Thailand (Siriwong et al. 1991; Ruangwises et al. 1994), India (Ramesh et al. 1990) dan Hong Kong (Phillips 1985). Verlecar et al. 2006a lebih mendalam menyatakan bivalva moluska P.viridis digunakan sebagai bioindikator dan atau bio monitoring karena insangnya yang merupakan organ respirasi dan kelenjar digestif dipergunakan sebagai spesimen eksperimen pengukur respon perubahan oksidatif. Verlecar et al. (2006b) juga menyatakan bivalva termasuk kerang hijau memiliki kemampuan ketahanan terhadap perubahan suhu dan kandungan logam beracun yang terkandung dalam perairan, sehingga dapat disimpulkan, bivalva merupakan model yang representatif untuk studi pengaruh dalam mekanisme pertahanan menggunakan antioksidan. Penelitian Phillips (1985) menggunakan P.viridis menghasilkan kesimpulan, kerang hijau merupakan excellent bioindikator untuk studi tembaga (Cu) dan timah (Pb). P.viridis digunakan untuk mengamati kandungan kadmium, merkuri dan seng. Pada jaringan insang P.viridis, terjadi regulasi metabolisme parsial sehingga mengakumulasi seng. Hal yang sama terjadi pada akumulasi logam berat lain (Phillips 1985).

57 39 Faktor lingkungan yang mempengaruhi kelangsungan hidup kerang hijau adalah suhu, salinitas, tipe dasar perairan, kedalaman, kekeruhan, arus dan oksigen terlarut (Setyobudiandi 2000). Asikin (1982) menyatakan bahwa kerang hijau tumbuh baik pada perairan yang memiliki salinitas o / oo, temperatur antara 27-32ºC, arus yang tidak begitu keras dan hidup pada kedalaman 1-7 m serta mengambil protein nabati sebagai makanannya. Rainbow (1995) dalam Wong et al. (2000) menyatakan P.viridis menyebar luas di perairan laut dan toleran terhadap perairan yang terkontaminasi logam serta dapat bertahan terhadap fluktuasi salinitas dan suhu. Vakily (1989) menyatakan umumnya mussel hidup menempel di substratnya dengan menggunakan benang byssus. Byssus terdapat pada bagian kaki kerang yang diadaptasikan untuk menempel pada substratnya. Kumpulan benang byssus ini disekresikan oleh hewan tersebut dan memiliki kekuatan-tarik, sehingga berfungsi sebagai penambat kerang dengan substratnya. Beberapa jenis kerang yang tergolong dalam golongan mussel dan daerah distribusinya antara lain M. Edulis (Eropa, pantai barat-timur Amerika Utara, dan Jepang), M. Gallopravincialis (Mediterranian Species, Eropa), M. Aeoteanus (Perairan Selandia Baru), M. edulis planulatus (Perairan Australia), M. Californianus ( perairan Pantai Pasifik dan Amerika Utara), Perna viridis (Perairan Asia), dan P. Canaliculus (Selandia Baru). Kerang hijau, Perna viridis L. memiliki beberapa nama sinonim antara lain (Siddal, 1980 dalam Vakily, 1989) Mytilus viridis Linnaeus (1758), Mytilus smaragdinus Chemnitz (1785), Mytilus opalus Lamarck (1819), Mytilus viridis L. Hanley (1855), Mytilus (Chloromya) viridis L. Lamy (1936), Mytilus viridis L. Suvatti (1950), Chloromya viridis L. Dodge (1952), Mytilus viridis L. Cherian 1968), Perna viridis L. Dance (1974). Yap et al. (2002) lebih jauh menyatakan taksonomi Perna viridis membingungkan dan status dari Perna viridis masih dalam diskusi para ahli. Kerang hijau mempunyai wilayah distribusi yang luas, yakni dari Samudera Hindia sampai Fillipina dan Samudera Pasifik sebelah barat (Vakily 1989). Benson et al. (2001) menyatakan kerang hijau ataupun anggota bivalva lainnya, umumnya bersifat sedentary, dengan bagian kaki, visceral mass, rongga mantelnya mendominasi tubuh, dan bagian kepalanya tidak berkembang. Bivalva tidak memiliki radula, mayoritas ciliary feeder dengan bagian insang berkembang untuk mengumpulkan makanan

58 40 (ctenidid). Perluasan mantel ke seluruh bagian tubuh dalam bentuk dua katup simetris yang pada akhirnya mensekresikan hinge dan membentuk kedua belah cangkang. Pada semua bivalva Lamellibranch, insang atau ctenidium berbentuk huruf-w. Insang terdiri atas banyak filamen yang berhubungan untuk membentuk lembaran atau lamellae. Masing-masing insang memiliki empat lamellae dan diposisikan dalam rongga mantel sedemikian rupa, sehingga satu cabang dari bagian yang berbentuk huruf-w tadi berhubungan dengan mantel dan cabang lainnya berhubungan dengan bagian kaki atau visceral mass. Oleh karena itu maka insang secara efektif membagi rongga mantel ke dalam beberapa rongga. Rongga yang besar di bawah insang disebut rongga inhalent; sedangkan rongga di atas insang merupakan rongga exhalent. Setyobudiandi (2000) menyatakan bahwa kerang hjau digolongkan dalam kelompok filter feeder, karena kerang hijau memperoleh makanan dengan cara menyaring partikel-partikel atau organisme mikro yang berada dalam air dengan menggunakan_sistem_sirkulasi_( r). Hal ini sesuai dengan pernyataan Vakily (1989) dan Brusca dan Brusca (1990) yang menyatakan bahwa semua bivalva lamellibranch termasuk filter feeder. Cilia khusus terletak antara filamen insang yang berfungsi menghasilkan aliran air yang memindahkan air ke dalam bagian inhalent pada mantle cavity (rongga mantel) dan ke arah atas ke dalam rongga exhalent. Partikel makanan atau material tersuspensi lainnya yang berukuran lebih besar dari ukuran tertentu disaring dari air oleh cilia insang dan dihimpun pada bagian rongga inhalent berhadapan dengan lamellae insang. Material ini kemudian dipindahkan oleh cilia lainnya ke arah tepi bagian ventral insang atau di bagian dasar organ yang berbentuk huruf-w tempat letaknya alur makanan (food grooves). Setelah berada di food grooves, makanan bergerak ke arah depan hingga mencapai palps, yang berada di sisi mulut. Material berukuran halus dibawa oleh cilia ke dalam mulut. Material tersebut akan disaring sebelumnya pada hepatopankreas sebelum menuju saluran pencernaan. Partikel yang lebih kasar dihimpun di tepi palps dan secara periodik dikeluarkan oleh proses kontraksi otot ke dinding mantel Malformasi Kerang Hijau Malformasi merupakan perkembang struktur tubuh organisme secara tidak teratur dan abnormal. Penyebab kejadian malformasi adalah mutasi genetik, infeksi,

59 41 pengaruh obat-obatan, pengaruh lingkungan atau interaksi dari berbagai penyebab tersebut (Encyclopædia Britannica 2011). Rainbow (1995) dalam Wong et al. (2000) menyatakan P.viridis toleran terhadap perairan yang terkontaminasi logam serta dapat bertahan terhadap fluktuasi salinitas dan suhu, tetapi pertumbuhannya tidak optimal. Kerusakan DNA dapat terjadi pada sel gonad jantan Perna viridis akibat terkena sisa produk rokok, terutama ekstrak rokok tembakau yang telah digunakan (Nagarappa 2000). Kondisi kerang hijau yang berada di Teluk Jakarta telah mengalami perubahan, dari 300 kerang yang dijadikan sampel pada penelitian tim gabungan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta, 50 persennya ternyata telah mengalami kelainan bentuk fisik (malformasi). Sekitar 70 persen sampel kerang hijau itu pun mengidap berbagai kelainan. Kerusakan jaringan dan kelainan bentuk fisik biota akuatik (ikan dan kerang). Hal ini diduga berkaitan erat dengan tingginya kandungan logam berat seperti Sn pada tributiltin (TBT), merkuri (Hg), kadmium (Cd), timah hitam (Pb), dan arsen (As) di perairan (Riani, 2004). Logam berat tersebut terdapat di perairan dalam bentuk ion-ion, kemudian akan masuk ke dalam tubuh melalui insang dan saluran pencernaan. Dalam perairan, logam berat walaupun dalam konsentrasi yang kecil dapat terabsorpsi dan terakumulasi dalam hewan air, terutama benthos, dalam hal ini adalah kerang hijau, dan akan terlibat dalam proses rantai makanan (food chain) (Darmono 1995). Rainbow dan Furness (1990) dalam Wong et al. (2000) menyatakan logam berat akan terakumulasi dalam tubuh kerang dan dapat membahayakan kesehatan manusia. Hal tersebut didukung pernyataan Yaqin (2004) kerang hijau mempunyai kemampuan yang sangat menakjubkan dalam menumpuk (bioaccumulation) logam berat, seperti tributiltin, di dalam tubuhnya. Tumpukan tributiltin di dalam tubuh kerang mungkin tidak bisa dideteksi dengan alat kromatografi biasa sebab kandungannya sangat rendah dari sisi kuantitas. Akan tetapi, mengingat daya rusak tributiltin yang bersifat jangka panjang, maka bahaya tributiltin itu seperti bom waktu. Hal ini akan berdampak pada pertumbuhahan yang menyimpang (malgrowth) atau deformitas atau malformasi. (Gambar 6)

60 42 Gambar 6. Perbedaan insang kerang hijau normal (kiri) dan Kerang Hijau dengan insang yang mengalami malformasi (kanan) (Jose dan Deepthi 2005) Yaqin (2004) menambahkan Page, Dassayanake, Eisenbrand, dan Phelps pada tahun melakukan penelitian tentang hubungan antara deformitas dan pencemaran tributiltin di Portugis. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang sangat erat antara kandungan tributiltin pada daging kerang dan perairan dengan fenomena deformitas. Di Marina Norsmind Fjord, Denmark, yang tercemar dengan tributiltin, peneliti menemukan adanya korelasi yang erat antara deformitas dan kerusakan DNA kerang biru (Mytilus edulis). Penelitian Claudia alzieu dalam Yaqin (2004) menduga tributiltin mengganggu enzim yang membantu sistem pembentukan kapur (klasifikasi) sehingga kalsifikasinya tidak berjalan dengan normal. Kerang yang proses kalsifikasinya tidak normal cenderung menggelembungkan cangkangnya. Selanjutnya pada tingkatan yang serius, klasifikasi yang tidak normal itu akan menyebabkan terbentuknya alur-alur pertumbuhan acak pada cangkang sehingga permukaan cangkang kelihatan dipenuhi oleh alur-alur pertumbuhan yang tampak seperti pelapisan yang kasar. Claudia alzieu menambahkan kandungan tributiltin di perairan sebesar 1 ng/l sudah cukup untuk menyebabkan kecacatan atau deformitas pada cangkang kerang dan imposex (perubahan kelamin betina menjadi kelamin jantan karena munculnya penis palsu) pada keong. Sementara konsentrasi tributiltin di kolom air laut Teluk Jakarta 2-15 ng/l dan sedimennya mengandung ng/l. Hal ini diduga berdampak negatif pada perubahan morfologi kerang hijau.

61 Pemodelan Sistem Sistem merupakan interaksi antara unsur dari sebuah objek dalam lingkungan tertentu yang berkerja untuk mencapai tujuan (Muhammadi, Aminullah dan Soesilo 2001). Hatrisari (2007) menambahkan sistem adalah gugus atau kumpulan dari komponen yang saling terkait dan terorganisasi dalam rangka membentuk tujuan tertentu. Sistem dapat dikatakan sebagai situasi aktual atau realitas, sehingga sistem sangat kompleks; untuk mengkaji sistem tersebut maka diperlukan model. Model menurut Grant, Pederson dan Marin (1997) dan Ford (1999), merupakan suatu representasi atau substitusi atau abstaksi dari sebuah objek atau situasi aktual yang terjadi. Hatrisari (2007) menambahkan model adalah penyederhanaan sistem, sehingga model dikatakan lengkap jika dapat mewakili berbagai aspek situasi aktual. Hatrisari (2007) juga menyatakan penggunaan model memudahkan pengkajian sistem, karena hampir tidak mungkin bekerja dalam keadaan sebenarnya, selain itu model juga dapat menjelaskan perilaku sistem. Model dapat dikelompokan menjadi dua kategori model fisik dan model abstrak (Hatrisari 2007). Model fisik merupakan miniatur replika dari kondisi sebenarnya, sehingga variabel yang digunakan sama persis dengan sistem nyata, sedangkan model abstrak hanya menjelaskan kinerja dari sistem. Model fisik dan model abstrak terbagi menjadi dua, model statis dan model dinamik. Model statis merupakan model yang tidak memperhitungkan waktu yang selalu berubah, sedangkan model dinamik memberikan gambaran nilai peubah terhadap perubahan waktu. Proses pemodelan merupakan proses yang kreatif dan tidak linier, namun harus mematuhi disiplin ilmiah dan pemikiran yang logis. Hatrisari (2007) menyatakan prosedur dalam pemodelan adalah: 1. menyatakan permasalahan atau sistem yang dikaji sesuai dengan tujuan kajian, 2. menyusun hipotesis, 3. memformulasikan model, 4. menguji serta menganalisis model. Muhammadi, Aminullah dan Soesilo (2001) menambahkan pembuatan model dimulai dari 1. penjabaran konsep, 2. pembuatan diagram sebab akibat, 3. pembuatan diagram alir, 4. simulasi model untuk melihat perilaku yang diakhiri dengan 4. uji sensitivitas. Pembuatan sistem pemodelan berakar pada cara pandang dan berpikir secara sistem. Forrester (1968) menyatakan proses berpikir mengkaji dan memecahkan masalah membutuhkan pemahaman lebih lanjut antara elemen dalam masalah tersebut,

62 44 bahwa hubungan antara elemen lebih penting dari elemen itu sendiri. Forrester (1968) melanjutkan cara perpikir sistem mencoba mengidentifikasi masalah yang muncul dan melihat hubungan antara masalah, sehingga muncul pola sebab-akibat yang lebih jelas. Berbeda dengan pola berpikir mekanistik yang menganggap hubungan sebab-akibat linier, dan masalah hanya disebabkan oleh satu hingga dua penyebab. Hariani (2005) menambahkan berpikir sistem merupakan suatu pendekatan baru yang dianggap mampu menganalisis masalah kompleks Sistem Dinamik Luo et al. (2005) menyatakan sistem dinamik merupakan teori struktur dan alat untuk merepresentasikan sistem nyata yang kompleks dan menganalisis perilaku dinamikanya. Simonovic (2002) menyatakan sistem dinamik dapat menguraikan struktur asal dari suatu sistem dan mengkaji perbedaan antar sistem ketika diberikan kebijakan yang berbeda, sehingga sistem dinamik dikenal sebagai metoda yang dapat mengilustrasikan dinamika yang kompleks. Zhang et al. (2009) menambahkan metode sistem dinamik didasarkan atas model simulasi yang mencakup feedback (umpan balik) untuk membangun interaksi pada sistem yang dikaji. Umpan balik dari kontol menjadi dasar hubungan antara struktur dan perilaku sistem (Simonovic 2002), sehingga model sistem dinamik dapat memberikan informasi yang lebih mendetail untuk mengungkap mekanisme dan memperbaiki kinerja sistem secara keseluruhan. Simonovic (2002) menambahkan pengembangan metode sistem dinamik mencakup tahap 1. Pemahaman dan batasan dari sistem 2. Identifikasi variabel kunci 3. Representasi proses fisik menjadi variabel melalui hubungan matematik 4. Pemetaan struktur dan simulasi model untuk memahami sifat sistem 5. Interpretasi hasil simulasi

63 3. METODA PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di muara Sungai Angke dan perairan Muara Angke, Jakarta Utara (Gambar 7). Lokasi tersebut dipilih atas dasar pertimbangan, Sungai Angke merupakan salah satu sungai yang bermuara ke Teluk Jakarta, dan hingga saat ini masih dijadikan sebagai tempat pembuangan limbah (domestik dan industri) yang umumnya tanpa mengalami pengolahan terlebih dahulu. Pertimbangan lainnya, di Muara Angke perkembangan budidaya kerang hijau cukup pesat, bahkan jumlahnya relatif selalu bertambah dari tahun ke tahun. Waktu penelitian yaitu selama 4 bulan yaitu pada bulan November Februari Gambar 7. Lokasi penelitian 3.2. Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam pengambilan dan pengukuran contoh merupakan alat dan bahan pendukung dalam pengambilan, penanganan dan analisis sampel. Alat yang digunakan terdiri dari ekman grab, vandorn water sampler, botol

64 46 contoh volume 500 ml dan 300 ml; ph meter merk Hanna Instrument tipe phel 1; GPS merk Garmin GPSmap 60CSx; refraktometer merek atago S/Mill.E; coolbox; oven; AAS merek ZEE nit 700. Bahan yang digunakan terdiri dari pengawet sampel (H 2 SO 4, HCl, HNO 3, Na-EDTA), larutan ph 7, larutan standar logam (Hg, Cd, dan Pb) larutan buffer (NH 4 Cl dan NH 4 OH), serta reagen untuk analisa oksigen terlarut Metoda Pengumpulan Data Pengukuran parameter fisik dan kimia dilakukan dengan dua cara, yakni cara langsung (insitu) dan analisa laboratorium. Pengamatan dan pengukuran langsung insitu dilakukan terhadap parameter suhu, ph, salinitas dan oksigen terlarut. Analisa laboratorium untuk parameter BOD, COD, logam berat pada air, sedimen dan organ tubuh kerang hijau dilaksanakan di laboratorium Balai Pengujian Mutu dan Pengolahan Hasil Perikanan dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta. Data yang diambil pada penelitian ini antara lain : 1. Data primer berupa data fisik (suhu, salinitas), kimia (ph, dissolved oxygen/do, chemical oxygen demand/cod, biochemichal oxygen demand/bod, logam berat (timah hitam, merkuri dan kadmium) pada air serta sedimen dan kerang hijau, serta informasi malformasi kerang hijau yang ditinjau secara morfologinya. 2. Data sekunder time series, selama 6 tahun berupa data kualitas air, sedimen dan kandungan logam berat pada kerang hijau, data kependudukan, data aktivitas budidaya kerang hijau, data aktivitas dan jumlah industri yang berasal dari dinas/instansi/lembaga yang terkait dengan pengelolaan dan penelitian sungai dan Perairan Muara Angke. Pengambilan sampel air laut, sampel sedimen dan kerang hijau dilakukan di dua stasiun sebanyak empat kali dari Nopember 2010 hingga Februari Penentuan titik stasiun dilakukan dengan bantuan GPS. Pengambilan contoh air dilakukan pada waktu air surut secara komposit, yaitu pencampuran dari contoh air yang berasal dari lapisan permukaan, dan lapisan pada kedalaman 20 cm sebelum dasar air. Pengambilan sampel yang dilakukan waktu air surut dilakukan untuk mendapat data pengaruh aliran beban limbah dominan.

65 47 Contoh air diambil dengan menggunakan alat van dorn sampler bervolume 3 liter. Contoh air dimasukkan ke dalam botol contoh berukuran 500 ml. Selanjutnya sample air di saring menggunakan kertas saring milliophore 0,45 m. Proses pengawetan dengan menggunakan asam sulfat pekat 98% 0,3 ml untuk pengujian COD, untuk parameter logam berat diberi pengawet asam nitrat pekat 0,1 N sebanyak 0,3 ml, sedangkan parameter BOD tidak diberi pengawet. Kemudian contoh diberi label dan dimasukkan dalam coolbox menggunakan es batu untuk dibawa ke laboratorium guna keperluan pengujian. Pengambilan contoh sedimen dilakukan dengan eckman grab (bukaan 15 x 20 cm). Selanjutnya contoh sedimen dimasukkan ke dalam kantong plastik dan disimpan dalam coolbox. Nilai ph sedimen didapatkan dengan cara mencampurkan 10 g sedimen dengan 50 ml aquades yang bebas ion kemudian di aduk dengan stirer selama 30 menit, kemudian diukur dengan ph meter sesuai metode BPPT (2005). Kerang hijau diambil dengan sekop atau tangan, kemudian disimpan dalam kantong plastik dan disimpan dalam coolbox. Contoh kerang hijau yang diambil ditentukan berdasarkan usia kerang 1-2 bulan, 3-4 bulan, dan 5-6 bulan yang masing-masing berjumlah 240 individu. Usia hingga 6 bulan diambil dengan pertimbangan usia panen dari budidaya kerang hijau. Metode analisa parameter fisik, kimia dan biologi perairan laut yang digunakan disajikan pada Tabel 12. Penentuan konsentrasi logam berat dengan cara langsung untuk sampel air dan cara kering (pengabuan) untuk sampel padatan/sedimen dan organ kerang hijau. Pengukuran logam berat dengan menggunakan AAS (atomic absorption spectrofotometry); selanjutnya dihitung dengan formula: Logam Berat (ppm) Ac Ab a x100.(1) bxw ( gr) x1000 Keterangan : Ac = Absorban contoh Ab = Absorban blanko a = Intercept dari persamaan regresi standar b = Slope dari persamaan regresi standar W = Berat sampel (g) 3.4. Analisis Data Data dianalisis dengan metode deskriptif kuantitatif terhadap parameter-parameter fisika-kimia perairan, beban pencemaran dan analisis kandungan logam berat pada

66 48 kerang hijau. Selain itu juga membangun model dinamik untuk melihat model akumulasi pencemaran logam berat di Teluk Jakarta Beban Pencemaran Beban pencemaran dihitung berdasarkan Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor 3 Tahun 1991 tentang Perhitungan Debit Limbah Cair Maksimum dan Beban Pencemaran Maksimum. Beban limbah yang berasal dari darat melalui Sungai Angke yang menuju Perairan Muara Angke diukur melalui perkalian debit sungai (2) dengan konsentrasi limbah (3). Tabel 12. Parameter kualitas air yang diteliti serta metode analisa dan pengukurannya Parameter Satuan Metode Analisa/Alat Lokasi Fisika 1. Suhu o C Thermometer In situ 2. ph - ph meter In situ 3. Salinitas Refraktometer In situ Kimia 1. Oksigen terlarut mg O 2 /l Elektrokimiawi In situ 2. BOD mg O 2 /l Inkubasi dan titrimetri winkler Lab. 3. COD mg O 2 /l Titrimetri refluks Lab. 4. Cd mg/l AAS tipe Flame Lab. 5. Pb mg/l AAS tipe Flame Lab. 6. Hg mg/l AAS tipe cold vapour Lab. Biologi (kerang hijau) 1. Cd pada insang µg/l AAS tipe Flame Lab. 2. Cd pada daging 3. Cd pada hepatopankreas 4. Pb pada insang 5. Pb pada daging 6. Pb pada hepatopankreas 7. Hg pada insang 8. Hg pada daging 9. Hg pada hepatopankreas µg/l µg/l µg/l µg/l µg/l µg/l µg/l µg/l AAS tipe Flame AAS tipe Flame AAS tipe Flame AAS tipe Flame AAS tipe Flame AAS tipe cold vapour AAS tipe cold vapour AAS tipe cold vapour Lab. Lab. Lab. Lab. Lab. Lab. Lab. Lab.

67 49 Q = V x A.(2) Keterangan: Q = Debit Sungai V = Kecepatan aliran sungai (m/det) A = Luas penampang sungai (m 2 ) BPA = (CA) j x DA.(3) Keterangan : BPA = beban pencemaran sebenarnya (CA) j = kadar sebenarnya unsur j (mg/l) DA = hasil pengukuran debit limbah (m 3 /hari) Analisis Malformasi Kerang Hijau Analisis malformasi di lakukan berdasarkan morfologi eskternal dan internal. Morfologi eksternalnya dapat ditinjau dari ukuran terutama tinggi (tebal) cangkang (Riani 2004). Untuk keperluan ini setiap individu kerang hijau akan diukur tingginya. Selanjutnya ukuran tinggi kerang akan dibandingkan terhadap ukuran tinggi kerang normal. Jika mencapai 1,5 kali ukuran normal maka kerang dikategorikan mengalami malformasi. Analisis malformasi morfologi internal akan dilihat berdasarkan berat dan volume daging kerang hijau. Ukuran fisik dan daging kerang yang didapatkan akan dibandingkan dengan kerang hijau normal yang didapat dari studi literatur. Selanjutnya akan dihitung prosentase kerang yang mengalami malformasi yang ada dalam populasi kerang tersebut Model Akumulasi Logam Berat Model dibuat berdasarkan pendekatan dan kondisi aktual hasil studi serta teori yang ada. Pembuatan model akan dilakukan dengan bantuan software Stella versi 8. Model akumulasi dibangun berdasar beban limbah domestik dan industri hasil buangan kegiatan masyarakat Sungai Angke dan Muara Angke. Eriyatno (2003) menyatakan diperlukan tahap analisa yang dilakukan untuk membangun sebuah model adalah formulasi masalah, identifikasi sistem, pemodelan sistem serta verifikasi dan validasi. Formulasi masalah menurut Eriyatno (2003) sangat penting dalam perancangan model, dengan dasar penentuan informasi melalui identifikasi sistem yang dilakukan secara bertahap. Identifikasi sistem dilakukan dengan memberikan gambaran terhadap komponen yang terlibat, yakni parameter fisika dan kimia, logam berat dalam air,

68 50 sedimen dan biota serta malformasi kerang hijau. Komponen tersebut dimasukan dalam diagram lingkar sebab akibat dan diagram input-output. Diagram lingkar sebab akibat (Gambar 8) berupa hubungan sebab akibat yang di masukan ke dalam bahasa gambar tertentu yang dibuat garis saling terkait. Garis terkait digambarkan seperti panah, pangkal panah menggambarkan sebab sedangkan ujung panah menggambarkan akibat. Diagram input-output yang sering disebut diagram kotak gelap, menggambarkan hubungan input terhadap output yang dihasilkan berdasarkan formulasi masalah dan identifikasi sistem ditunjukan pada Gambar 9. Validasi model bertujuan untuk melihat kesesuaian hasil model dibandingkan dengan realitas sistem yang dikaji (Hatrisari 2007). Dengan kata lain validasi model menguji ketepatan stuktur dan keluaran model untuk menunjukan kesalahan yang minimum dengan cara membandingkan data aktual, termasuk menguji secara statistika. Verifikasi data empirik output model dilakukan dengan menggunakan uji statistik AME (absolute mean error), yakni uji penyimpangan rata-rata simulasi terhadap kondisi aktual. Formula AME sebagai berikut AME = [abs (Sr-Ar)]/Ar Sr = int (S)/[t(n)-t(0)] Ar = int (A)/[t(n)-t(0)].(3) Keterangan : A = nilai aktual S = nilai simulasi n = waktu abs = nilai absolut int = sigma fungsi waktu batas penyimpangan yang dapat diterima < 10%

69 51 Gambar 8. Diagram lingkar sebab akibat sistem akumulasi logam berat pada kerang hijau Input tak terkontol: - limbah - debit air - iklim - Jumlah penduduk Input terkontrol: -Peruntukan lahan -Teknologi -Pengolahan limbah -Kesadaran masyarakat -Persepsi masyarakat Input lingkungan: Kebijakan terkait pencemaran Akumulasi logam berat pada kerang hijau Parameter kinerja: Baku mutu Manajemen pengendalian Output dikehendaki: - beban pencemaran menurun - kualitas air memenuhi baku mutu - akumulasi minimal - tidak ada malformasi kerang Output tidak dikehendaki: - beban pencemaran meningkat - penurunan kualitas air - makin banyak malformasi kerang Gambar 9. Diagram input-output sistem akumulasi logam berat padaa kerang hijau

70 52

71 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Muara Angke mempunyai luas wilayah 67 Ha, terletak di Delta Muara Angke Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Kotamadya Jakarta Utara dan secara astronomis terletak pada ( LS, BT). Kawasan Muara Angke secara secara geografis berbatasan dengan: - Sebelah barat : Kali Angke - Sebelah selatan : Kali Angke - Sebelah timur : Jalan Pluit - Sebelah barat : Laut Jawa Muara angke secara umum terbagi menjadi empat kawasan, yaitu kawasan perumahan, kawasan pengolahan hasil perikanan tradisional, kasawan tambak ujicoba dan kasawan pelabuhan perikanan. Muara Angke memiliki tiga rukun warga (RW) yiatu RW 01, RW 11, dan RW 20 serta terdapat tiga perkampungan nelayan tradisional di Muara Angke yaitu, Kampung Nias, Kampung Baru, dan Empang. Secara geografi kontur permukaan tanah kawasan Muara Angke datar dengan ketinggian dari permukaan laut antara 0 1 meter. Pasang surut kawasan ini mempunyai sifat harian tunggal dan kisaran antara surut tertinggi dan terendah adalah 1,2 meter, gerakan periodik ini walaupun kecil tetap berpengaruh pada kondisi pantai kawasan ini. Arus laut pada kawasan ini berkecepatan 1,5 knot dengan ketinggian gelombang antara 0 1 meter, jika terjadi angin kuat gelombang dapat mencapai 1,5 sampai 2 meter. Di Muara Angke terdapat bagan tancap budidaya kerang hijau yang di kelola secara swadaya oleh Masyarakat Muara Angke, terutama oleh Masyarakat Blok Empang yang berada di utara kawasan ini. Jumlah bagan tancap selalu meningkat dari tahun ke tahun, dan saat ini jumlahnya kurang lebih 250 buah Kondisi Perairan Muara Angke Kualitas Air Pada penelitian ini kondisi kualitas Perairan Muara Angke, diwakili oleh kualitas perairan Kali Angke dan kualitas perairan di lokasi budidaya kerang hijau. Adapun kualitas air di lokasi penelitian tersebut, yakni suhu, ph, salinitas, oksigen terlarut (dissolved oxygen/do), kebutuhan oksigen biokimiawi (biochemical oxygen

72 54 demand/bod), kebutuhan oksigen kimiawi (chemical oxygen demand/cod), nurtien (nitrat/no 3, dan ortofosfat), dan logam berat yakni merkuri (Hg) kadmium (Cd) dan timbal (Pb) serta debit Kali Angke dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Beberapa parameter kualitas air di Kali Angke dan lokasi budidaya kerang hijau No Parameter Kali Angke BM Air Sungai Budidaya Kerang Hijau BM Air Laut Fisika 1 Suhu ( o C) 27,8 Alami 28,6 Alami 2 Salinitas ( ) 0 Alami 32 Alami 3 Debit (m 3 /detik) 9,094 Kimia 1 ph 6,45 6,0 8,5 7,58 7 8,5 2 Oksigen terlarut (mg/l) 3,7 3,0 5,6 > 5 3 BOD (mg/l) 40, , COD (mg/l) 74, , Nitrat (mg/l) 0, ,043 0,015 6 Ortofosfat (mg/l) 0,056 0,5 0,01 0,008 7 Merkuri (mg/l) 0,086 0,001 0,043 0,001 8 Kadmium (mg/l) 0,011 0,01 0,07 0,001 9 Timbal (mg/l) 0,105 0,1 0,005 0,008 Keterangan: BM Air sungai: Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 582 Tahun 1995 BM Air laut: Baku Mutu Air Laut Untuk Biota Laut, Kep Men LH No. 51 tahun 2004 Suhu, salinitas, ph, dan oksigen terlarut merupakan parameter kualitas air yang secara langsung berpengaruh terhadap perairan dan secara langsung mempengaruhi aspek biologi. Hasil pengamatan diperoleh data yang dipengaruhi oleh faktor musim, cuaca dan lokasi. Suhu permukaan air sungai 27,8 o C dan suhu permukaan air laut 28,6 o C. Variasi suhu permukaan dan variasi salinitas di perairan kawasan tropis seperti Indonesia, umumnya, relatif tidak terlalu jauh. Pengamatan dilakukan pada Nopember 2010-Februari 2011, yang mewakili musim barat dan musim hujan, membuat tingginya curah hujan yang cenderung tinggi sehingga run off sungai yang besar. Kondisi tersebut membuat suhu dan salinitas cenderung lebih rendah. Effendi (2003) menyatakan kisaran suhu yang tepat bagi organisme perairan di tropis dalam o C. Suhu perairan tersebut masuk pada kategori normal. Kisaran suhu di lokasi penelitian masuk pada kategori normal dan relatif mendukung kehidupan di dalamnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Abowei dan George (2009), suhu air di daerah tropis umumnya bervariasi

73 55 antara 25 o C dan 35 o C. Namun demikian apabila terjadi peningkatan suhu dan terjadi penurunan salinitas ada kecenderungan terjadinya peningkatan toksisitas logam berat (Ahalya et al. 2004). Derajat keasaman (ph) pada Kali Angke 6,45 yang berarti cenderung asam, padahal di lokasi pengambilan sampel pengaruh air laut (pasang) sangat besar. Kondisi ph yang relatif lebih asam diduga karena adanya penguraian bahan organik yang jumlahnya banyak. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Siradz et al. (2008) yang mengatakan bahwa ph perairan sungai dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain (i) bahan organik atau limbah organik,mengingat meningkatnya kemasaman dipengaruhi oleh bahan organik yang membebaskan CO 2 jika mengalami proses penguraian, (ii) bahan anorganik atau limbah anorganik, seperti pada air limbah industri yang bahan anorganiknya umumnya mengandung asam mineral dalam jumlah tinggi sehingga kemasamannya juga tinggi, (iii) basa dan garam basa dalam air, (iv) hujan asam akibat emisi gas. Dugaan tingginya bahan organik di Kali Angke didasarkan pada warna air yang hitam dan bau busuk yang menyengat. Adapun rendahnya derajat keasaman disebabkan pada penguraian bahan organik akan dihasilkan karbon dioksida, yang jika bereaksi dengan air akan menyebabkan kondisi menjadi asam atau dengan kata lain akan mengakibatkan ph lebih rendah. Sebenarnya dalam air terdapat mineral yang salah satunya berasal dari air laut (pasang), namun diduga jumlah mineral tersebut masih lebih sedikit dibanding bahan organik, sehingga air pasang tidak mengakibatkan tingginya ph air Kali Angke. Tingginya bahan organik dalam Kali Angke diduga selain bahan organik yang berasal dari hulu, juga berasal dari banyaknya masyarakat sekitar (warga, pelaku kegiatan pasar ikan dan TPI Muara Angke) yang membuang sampah hasil kegiatan langsung ke sungai tanpa pengolahan terlebih dahulu, sehingga dalam sungai tersebut akan terjadi proses penguraian bahan organik. Hal ini sejalan dengan pernyataan Fardiaz (1992), Abowei and George (2009), Adedokun et al. (2008) dan Adeyemo et al. (2008) yang menyatakan bahwa penguraian bahan organik yang mengandung karbon, nitrogen, sulfur dan phospat, baik yang berasal dari karbohidrat, lemak atau protein dalam proses aerobik dan anaerobik akan menghasilkan karbon dioksida yang sifatnya asam.

74 56 Derajat keasaman pada lokasi budidaya kerang hijau adalah 7,58, hal ini memperlihatkan bahwa perairan sekitar lokasi budidaya cenderung bersifat basa, namun nilai tersebut mendekati nilai normal. Kondisi tersebut menunjukan adanya ketidakseimbangan CO 2 di atmosfer dengan laut. Air laut yang dalam keadaan seimbang dengan CO 2 atmosfer sedikit bersifat basa dengan ph antara 8,1-8,3 (Supangat dan Muawanah). Kordi (1996) dalam Rahman (2006) dan Effendi (2003) menyatakan ph dengan kondisi tersebut menunjukan air bersifat alkalis yang berarti mendukung laju dekomposisi pada perairan sehingga akan menurunkan nilai oksigen terlarut dalam air. Selain itu kisaran ph tersebut masih mendukung kehidupan yang ada di dalamnya karena menurut Adeyemo et al. (2008), pertumbuhan organisme perairan dapat berlangsung dengan baik pada kisaran ph 6,5 8,2. Nilai kelarutan oksigen (dissolved oxygen) di perairan Kali Angke adalah 3,7 mg/l, sedangkan pada bagan tancap budidaya kerang hijau mencapai 5,6 mg/l. Menurut Effendi (2003) dan Adedokun et al. (2008) pada dasarnya kandungan oksigen terlarut dalam perairan memiliki pola fluktuasi harian dan musiman, tergantung faktor percampuran (mixing), pergerakan (turbulensi) massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi dan limbah (effluent) yang masuk ke suatu perairan. Tingginya masukan limbah organik dari sungai ke dalam perairan Teluk Jakarta mengakibatkan turunnya konsentrasi oksigen dalam air, karena oksigen terlarut tersebut dimanfaatkan untuk penguraian bahan organik yang jumlahnya melimpah di Teluk Jakarta. Selain hal itu adanya curah hujan yang tinggi pada musim hujan serta adanya angin musim barat berperan meningkatkan difusi oksigen dari atmosfer baik perairan Kali Angke maupun di sekitar lokasi budidaya kerang hijau. Kondisi ini akan mempengaruhi toksisitas logam berat yang ada di dalamnya, karena semakin rendah kadar oksigen dalam air umumnya akan meningkatkan daya racun logam berat (Bryan 1984; Nordberg et al. 1986; Begum et al serta Danazumi dan Bichi 2010) BOD Biologycal oxygen demand (BOD) merupakan gambaran bahan organik yang dapat diuraikan oleh mikroorganisme di perairan. Nilai BOD dapat menjadi acuan sebagai gambaran kadar bahan organik yang dapat terdekomposisi (Davis dan Cornwell 1991; McKinneya 2004; Manahan 2005; Mukhtasor 2007) sekaligus dapat

75 57 dimanfaatkan untuk menilai tingkat pencemaran suatu perairan (Lee et al. 1978). Hasil pengamatan terhadap BOD, baik di perairan Kali Angke (40.06 mg/l) maupun di sekitar bagan tancap kerang hijau (35,85 mg/l) nilainya melebihi bakumutu (10 mg/l). Menurut Jeffries dan Mills (1996) dalam Effendi (2003) nilai BOD perairan alami berkisar antara 0,5 7,0 mg/l, sedangkan perairan dengan nilai BOD lebih dari 10 mg/l merupakan perairan yang tercemar. Nilai BOD air Kali Angke yang lebih tinggi dibanding di laut (bagan tancap) menunjukan tingginya buangan domestik, kegiatan perkotaan dan kegiatan industri di sepanjang Kali Angke menuju Muara Angke sehingga meningkatkan aktivitas penguraian bahan organik oleh mikroorganisme, tetapi cenderung menurun pada lokasi bagan tancap. Perbedaan nilai BOD tersebut disebabkan laut bersifat lebih dinamis, sehingga bahan organik yang ada di Muara Angke tersebar ke lokasi lain, yang pada akhirnya mengakibatkan nilai BOD-nya menurun, atau dengan kata lain menurunnya BOD tersebut disebabkan oleh adanya daya pulih air laut. Hal ini juga ditunjukkan pada oksigen terlarut yang lebih tinggi pada lokasi budidaya dibanding di Sungai Angke. Hal ini sesuai dengan pendapat Siradz et al. (2008) yang mengatakan bahwa nilai BOD yang tinggi secara langsung mencerminkan tingginya kegiatan mikroorganisme di dalam air dan secara tidak langsung memberikan petunjuk tentang kandungan bahan-bahan organik yang terlarut COD Chemical oxygen demand (COD) mengambarkan total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik yang relatif lebih sulit terurai oleh mikroorganisme. Oleh karena itu maka pada COD, oksidasi terjadi pada bahan yang bersifat biodegradable (mengalami penguraian oleh mikroorganisme) dan yang bersifat nonbiodegradable (tidak mengalami penguraian oleh mikroorganisme) (Novonty dan Olem 1994; Manahan 2005). Nilai COD mengambarkan tingginya pencemaran suatu perairan. Nilai COD di Kali Angke hampir empat kali lebih besar dari nilai baku mutu COD, bahkan nilai COD di perairan sekitar budidaya kerang hijau. lebih tinggi lagi, yakni hampir sembilan kali lipat dari baku mutu yang ditentukan (20 mg/l). Kondisi ini memperlihatkan bahwa secara umum, pencemaran yang terjadi di Teluk Jakarta sudah sangat tinggi. Pada dasarnya perairan dengan nilai COD tinggi tidak diinginkan bagi

76 58 kepentingan perikanan terutama untuk kegiatan budidaya, sehingga kondisi tersebut akan menganggu kehidupan biota perairan yang hidup di dalamnya. Tabel 13 juga memperlihatkan bahwa nilai COD di Kali Angke dua kali lipat nilai BOD-nya, sedangkan di sekitar bagan budidaya kerang hijau nilai COD-nya lima kali nilai BOD-nya. Hal ini memperlihatkan bahwa kandungan bahan organik yang dapat didegradasi oleh mikroorganisme lebih tinggi dibanding bahan organik non biodegradable. Hal ini sesuai dengan pendapat Alaerts dan Santika (1984) bahwa di samping terdapat bahan-bahan pencemar organik yang dapat dibiodegradasi oleh mikroorganisme terdapat juga bahan-bahan yang tidak dapat dibiodegradasi. Selain itu juga diperkuat oleh pendapat Raja et al. (2008), yang menyatakan bahwa nilai COD yang lebih tinggi dari nilai BOD mengindikasikan tingginya keberadaan bahan-bahan organik yang dapat teroksidasi secara kimia terutama adalah bahan-bahan nonbiodegradable Nutrien Pada penelitian ini pengukuran nutrien dilakukan dengan tujuan mendapatkan informasi besaran nutrisi yang masuk dan diterima pada lokasi penelitian. Pada penelitian ini nutrien yang diambil adalah nitrat dan ortofosfat. Fosfat menjadi faktor pembatas bagi produsen di air tawar sedangkan nitrogen (nitrat) menjadi faktor pembatas pada air laut (Odum 1996 dan Effendi 2003). Hasil pengamatan nitrat di Kali Angke nilainya lebih rendah dari baku mutu pada air tawar, sedangkan di bagan tancap tempat budidaya kerang hijau lebih tinggi. Rendahnya nitrat di Kali Angke menunjukan terjadinya dominansi proses denitrifikasi yang disebabkan oleh rendahnya ketersediaan oksigen terlarut dalam air. Berbeda dengan Kali Angke, pada lokasi budidaya kerang hijau yang konsentrasi oksigennya lebih tinggi, maka akan terjadi proses nitirifikasi dari ammonia menjadi nitrit dan kemudian nitrit akan dioksidasi lagi menjadi nitrat, sehingga konsentrasi nitrat menjadi lebih tinggi. Adanya proses nitrifikasi di wilayah lebih ke arah laut tersebut sejalan dengan penelitian Damar (2004) sehingga di wilayah yang lebih dekat ke arah darat nilai amoniaknya lebih tinggi dari nitrat. Namun di lain pihak, tidak selamanya nitrat yang tinggi baik untuk ekosistem, karena hasil penelitian Burkholder et al. (1992)

77 59 memperlihatkan bahwa jika terjadi peningkatan nitrat di perairan, air akan menjadi lebih toksik bagi tanaman lamun. Fosfat merupakan nutrien yang harus ada dalam suatu ekosistem, mengingat fosfat dan nitrat merupakan bahan esensial yang diperlukan oleh produsen di perairan (Romimohtarto 2008). Namun demikian apabila konsentrasinya berlebih maka fosfat juga akan menjadi faktor pembatas yang akhirnya membahayakan ekosistem perairan tersebut. Pada kedua lokasi penelitian, ortofosfat ditemukan lebih tinggi dari baku mutu yang ditentukan. Nilai fosfat yang tinggi diduga selain berasal dari hasil penguraian bahan organik, diduga juga sebagai akibat masukan deterjen yang umumnya mengandung 60 % 65 % bahan pembentuk senyawa polifosfat (Fardiaz 1992; Laws 1993; Sawyer et al. 1994; Manahan 1994). Hal ini sesuai dengan pendapat Adedokun et al. (2008) yang menyatakan bahwa keberadaan ion posfat dalam air sungai berasal dari pelepasan limbah pertanian ke dalam sungai dan atau penggunaan aditif posfat dalam formulasi deterjen (Na 5 P 3 O 10 ) yang masuk ke dalam badan air melalui produksi limbah cair industri, domestik/perkotaan dan atau dari industri pakaian dan pencelupan warna. Tingginya fosfat dalam perairan dapat menyebabkan penyuburan perairan (eutrofikasi) secara umum di Teluk Jakarta. Tingginya kandungan fosfat di Teluk Jakarta ini sejalan dengan pengamatan DPPK DKI Jakarta (2006) yang memperlihatkan bahwa Teluk Jakarta mengalami eutrofikasi, bahkan di lokasi yang berdekatan dengan darat dikategorikan hyper-eutrophic (Gambar 10). Hal ini sesuai dengan pendapat Adeyemo et al. (2003), yang mengatakan bahwa kandungan fosfat dan nitrat yang tinggi dalam perairan dapat menyebabkan eutrofokasi yakni meningkatkan pertumbuhan alga dan menurunkan kandungan oksigen terlarut dalam air. Gambar 10. Tingkat kesuburan perairan Teluk Jakarta (DPPK DKI Jakarta 2006).

78 Logam Berat di Air Konsentrasi logam berat dalam suatu kawasan ekosistem perairan berkaitan dengan limbah logam berat yang masuk pada kawasan tersebut, sehingga semakin tinggi masukan limbah logam, cenderung semakin meningkatkan akumulasinya dalam ekosistem perairan. Logam berat yang masuk pada suatu ekosistem perairan akan mengalami berbagai proses yakni pengendapan, pengenceran, dispersi dan absorpsi oleh organisme yang tinggal pada habitat kawasan ekosistem perairan tersebut (US EPA 1973; Hutagalung 1984; Dahuri 1996). Merkuri (Hg), kadmium (Cd), dan timbal (Pb) merupakan tiga jenis logam berat yang bermanfaat dan digunakan pada kegiatan industri tetapi memiliki sifat yang berbahaya dan beracun tidak hanya bagi organisme perairan tetapi juga pada manusia (Baird, 1995; Volesky 1990; Darmono 2001; Fardiaz 2005; Lu 2006), oleh karenanya maka ketiga jenis logam berat tersebut diamati pada penelitian ini. Hasil analisis logam berat kadmium (Cd), merkuri (Hg) dan timbal (Pb) di Kali Angke dan daerah budidaya kerang hijau dapat dilihat pada Tabel Merkuri (Hg) Hasil pengamatan logam Hg di Kali Angke (0,086 mg/l) dan bagan tancap kerang hijau (0,043 mg/l) menunjukan hasil yang cukup tinggi dan melebihi baku mutu yang ditentukan pemerintah, yakni sebesar 0,001 mg/l. Kandungan Hg di sungai lebih tinggi dibandingkan di kawasan bagan tancap. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Neff (2002) bahwa Hg cenderung lebih tinggi di daerah sungai dan estuaria dibandingkan dengan laut terbuka. Selanjutnya dikatakan bahwa merkuri juga akan berasosiasi dengan suspended material oleh karenanya maka di lokasi bagan tancap yang dinamika airnya relatif tenang, akan memungkinkan berasosiasinya merkuri dengan bahan-bahan tersuspensi yang pada akhirnya mengakibatkan rendahnya kandungan merkuri dalam perairan di sekitar bagan tancap. Selain itu lebih rendahnya merkuri di sekitar lokasi budidaya kerang hijau, diduga karena Hg yang terlarut dalam perairan diabsorpsi oleh kerang hijau yang dibudidaya di lokasi tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Volesky (1990) yang mengatakan bahwa merkuri yang terlarut dalam air akan diabsorpsi oleh biota air yang ada di dalamnya. Lebih rendahnya kandungan merkuri di perairan sekitar bagan tancap ini tidak berarti bahwa perairan tersebut tidak

79 61 tercemar merkuri, karena dari data kandungan merkuri tetap memperlihatkan bahwa Perairan Muara Angke secara umum tercemar logam berat merkuri. Terdapatnya merkuri di lokasi penelitian diduga karena secara alami, merkuri di perairan bersumber dari pelapukan batuan dan tanah yang kemudian dibawa oleh aliran air namun jumlahnya sangat sedikit (Volesky 1990). Selain itu merkuri diduga berasal dari kegiatan industri yang berada di sekitar Teluk Jakarta, terutama yang berada di kawasan industri Muara Angke. Hal ini sesuai dengan pendapat Volesky (1990); Darmono (2001) dan Alfian (2006) yang menyatakan bahwa tingginya peran Hg sebagai bahan campuran dan utama, dalam segala bidang, terutama industri, akan meningkatkan masukan merkuri dalam perairan. Selain hal tersebut merkuri yang berada di lokasi penelitian juga diduga berasal dari kegiatan pertanian (pestisida) yang terdapat di daerah hulunya. Hal ini sesuai pernyataan Baird (1995); Darmono (1995); Effendi (2003); Volesky (1990) dan Fardiaz (2005) yang mengatakan bahwa merkuri dan komponen-komponennya juga sering dipakai sebagai bahan produksi pestisida. Sumber merkuri lainnya diduga dari sampah plastik yang melimpah di Kali Angke, di sekitar bagan tancap kerang hijau, dan di perairan Teluk Jakarta. Hal ini disebabkan logam merkuri sering dipakai sebagai katalis dalam proses di industri-industri kimia, terutama pada industri vinil khlorida yang merupakan bahan dasar dari berbagai plastik (Fardiaz 2005). Adanya merkuri pada lokasi penelitian ini dapat memberikan dampak negatif pada biota yang hidup di dalamnya. Namun demikian dampak dari terpaparnya suatu biota perairan oleh merkuri berbeda-beda, tergantung dari organismenya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Neff (2002) setelah terpapar Hg selama beberapa waktu tertentu, ikan Fundulus heteroclitus akan mengalami gangguan pada penetasan dan terganggunya perkembangan larva Crassostrea gigas dan Mytilus edulis, namun pada Penaeus indicus tidak menunjukan efek yang berarti setelah dipapar logam Hg. Penelitian Athena et al. (2004) juga memperlihatkan bahwa dampak merkuri pada manusia tergantung seberapa besar konsentrasi yang masuk ke dalam tubuh, sehingga ada yang masuk pada efek akut, namun dapat pula masuk pada efek kronis. Dampak akut dari masuknya merkuri antara lain adalah adanya gangguan permanen pada otak, seperti daya ingat, penglihatan, pendengaran, gangguan respirasi dan pencernaan serta terjadi peningkatan tekanan

80 62 darah. hingga kematian. Dampak kronisnya adalah nefrotoksik yang dikenal gangguan fungsi ginjal Kadmium (Cd) Berdasarkan hasil analisis logam kadmium di Kali Angke (0,011 mg/l) dan di bagan tancap kerang hijau (0,07 mg/l). Hal ini menunjukan bahwa konsentrasi kadmium di lokasi penelitian cukup tinggi dan melebihi baku mutu yakni sebesar 0,01 mg/l untuk air sungai dan 0,008 mg/l untuk air laut, yang ditentukan pemerintah. Berbeda dengan Hg, konsentrasi Cd di Kali Angke lebih rendah dibandingkan di kawasan bagan tancap. Hal ini berlawanan dengan hasil penelitian Neff (2002) bahwa konsentrasi kadmium di daerah sungai umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan daerah laut. Kadar Cd di perairan alami berkisar antara 0,29 0,55 ppb dengan rata-rata 0,42 ppb (Neff 2002) walaupun demikian berdasarkan hasil analisis perairan Muara Angke dan secara umum perairan Teluk Jakarta telah tercemar logam berat kadmium. Tingginya konsentrasi kadmium disebabkan tingginya aktivitas industri (Nordberg et al. 1986; Volesky 1990 dan Paasivirta 2000) pada wilayah Jakarta dan sekitarnya. Tingginya buangan sampah keramik, plastik, baterai, benda elektronik dan penggunaan plat besi dan baja pada kapal pada wilayah Muara Angke dan Kali Angke serta asap rokok juga menyebabkan meningkatnya kadmium di lingkungan diduga menjadi sumber pencemar kadmium, hal ini sesuai pernyataan Baird, (1995); Darmono (1995); Volesky (1990) dan Lu (2006). Mance (1990) menyatakan masuknya Cd sebesar 0,01-0,1 mg/l pada fitoplankton akan mereduksi klorofil, ATP, dan mengurangi konsumsi O 2 ketika membentuk ikatan komplek CdCl 2. Efeknya akan menjadi lebih toksik lagi ketika konsentrasinya menjadi meningkat (Nordberg et al. 1986), bahkan apabila konsentrasi Cd terlarut 8 85 mg/l dapat menyebabkan terjadinya toksisitas akut pada ikan estuari. Menurut Manahan (2001) efek toksik Cd pada manusia terjadi karena tergantinya Zn pada enzim oleh Cd sehingga timbul efek yang sangat fatal, diantaranya meningkatkan tekanan darah, kerusakan ginjal, perusakan jaringan testis dan merusak sel darah merah. Menurut Volesky (1990) efek kronis Cd akan menyebabkan proteinuria dan terbentuknya batu ginjal dan osteomalacia. Effendi (2003) dan Lu (2006) menambahkan efek keracunan yang dapat ditimbulkan Cd dapat berupa penyakit paru-

81 63 paru, hati, tekanan darah tinggi, gangguan pada sistem ginjal dan kelenjer pencernaan serta mengakibatkan kerapuhan pada tulang. Berdasarkan hal tersebut, maka keberadaan Cd ini di perairan sekitar bagan tancap budidaya kerang hijau pada umumnya dan di perairan Teluk Jakarta pada khususnya perlu mendapat perhatian yang sangat serius mengingat konsentrasi Cd walaupun tidak mematikan (akut), namun akan menimbulkan berbagai masalah terutama terjadinya kerusakan pada berbagai organ tubuh kerang hijau yang dipelihara di dalamnya, sehingga akan mengganggu kehidupan kerang hijau dan biota lain yang ada di dalam perairan tersebut Timbal (Pb) Konsentrasi Pb (plumbum) pada perairan yang belum tercemar umumnya sangat kecil, yakni 0,002-0,3 μg/l, namun konsetrasinya menjadi lebih dari 1 μg/l pada perairan pantai atau perairan teluk (Neff 2002). Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa konsentrasi logam Pb di Kali Angke 0,105 mg/l dan di sekitar bagan tancap kerang hijau konsentrasinya 0,05 mg/l. Nilai tersebut memperlihatkan bahwa konsentrasi Pb di lokasi penelitian cukup tinggi dan melebihi baku mutu yang ditetapkan pemerintah, yakni sebesar 0,1 mg/l untuk air sungai serta baku mutu untuk air laut yang ditentukan pemerintah sebesar 0,008 mg/l. Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa Perairan Muara Angke telah tercemar oleh logam berat timbal, sehingga keberadaan logam berat tersebut sangat perlu diwaspadai, karena akan mengganggu kehidupan biota yang hidup di dalamnya. Terdapatnya timbal dalam perairan Kali Angke dan di sekitar bagan tancap diduga berasal dari kegiatan antropogenik, terutama dari kegiatan industri. Hal ini sesuai dengan pendapat Volesky (1990) yang mengatakan bahwa sejak terjadinya revolusi industri tahun 1750 terjadi peningkatan jumlah Pb yang signifikan dan pencemaran Pb yang sangat progresif (mengikuti logaritmik) terjadi sejak tahun an. Namun kegiatan yang juga banyak memberikan sumbangan Pb diduga berasal dari penggunaan bahan bakar kapal (solar) nelayan untuk kegiatan mencari ikan, untuk pulang pergi ke lokasi bagan budidaya serta dari kegiatan transportasi di Muara Angke. Hal ini sesuai dengan pendapat Volesky (1990) yang mengatakan bahwa pencemaran Pb yang tinggi berasal dari pembakaran BBM dari kendaraan bermotor, karena pada solar terdapat timah hitam (Pb) sehingga dapat memberikan sumbangan yang signifikan

82 64 pada perairan. Bahkan Pb bukan hanya berasal dari transportasi di laut, namun juga berasal dari lalulintas di jalan raya, sehingga pencemaran Pb di permukaan laut dapat terjadi dari udara sekitarnya, bahkan berasal dari lalulintas yang jaraknya lebih dari 25 km (Volesky 1990). Selain sumber tersebut, dari wawancara penulis dengan masyarakat nelayan Muara Angke terungkap bahwa masyarakat umumnya akan membuang aki (baterai kendaraan bermotor) yang sudah tidak terpakai lagi ke dalam sungai atau laut. Di lain pihak, elektroda dari aki yang dibuang oleh penduduk sekitar tersebut dapat menjadi sumber pencemar Pb. Sumber Pb lainnya diduga berasal dari cat pelapis kayu, mengingat timah hitam merupakan bahan campuran cat yang digunakan untuk melapisi kapal (Volesky 1990; Fardiaz 2005; Lu 2006). Organisme perairan yang terpapar timbal akan mengalami pengaruh negatif, seperti pada larva Mytilus edulis, Crasostrea gigas dan Cancer magister mengakibatkan terjadinya pertumbuhan abnormal, namun pada makro alga memberikan efek subletal (Neff 2002). Hal ini terjadi karena logam Pb merupakan racun metabolisme umum dan inhibitor pada enzim, dalam hal ini Pb memiliki kemampuan untuk berikatan dengan sel dan dengan biomolekul seperti enzim dan hormon (Paasivirta 2000). Sutrisno (2008) menambahkan timbal menjadi beracun karena dapat menggantikan kation-kation logam yang aktif biologis, seperti kalsium dan zink, dari protein-proteinnya. Darmono (1995) menambahkan timbal dapat menghambat aktifitas enzim yang terlibat dalam pembentukan hemoglobin yang dapat menyebabkan penyakit anemia. Gejala yang diakibatkan dari keracunan logam timbal adalah kurangnya nafsu makan, kejang, lesu dan lemah, muntah serta pusing-pusing. Timbal juga dapat menyerang susunan saraf, saluran pencernaan serta mengakibatkan terjadinya depresi Beban Pencemaran Pada penelitian ini analisis beban pencemaran dilakukan untuk mengetahui sumber, jenis dan besarnya bahan pecemaran yang masuk ke Perairan Muara Angke pada khususnya dan ke Teluk Jakarta pada umumnya, mengingat masukan limbah yang di buang melalui sungai akan membebani ekosistem penerimanya. Besarnya beban pencemaran setiap hari dari Kali Angke untuk beberapa parameter perairan Teluk Jakarta dapat dilihat pada Tabel 14.

83 65 Pada paparan sebelumnya dinyatakan bahwa pencemaran air di lokasi penelitian berasal dari limbah domestik dan industri (Danazumi dan Bichi 2010). Adanya pencemaran limbah domestik terbukti dari tingginya beban limbah BOD, nitrat dan fosfat, sedangkan pencemaran dari limbah industri berasal terlihat dari tingginya COD dan logam berat. Bahan pencemar dari domestik ini akan masuk ke Kali Angke serta menyebar ke perairan Teluk Jakarta, terutama daerah bagan tancap tempat budidaya kerang hijau yang dimiliki warga Muara Angke. Konsentrasi bahan pencemar dari sungai yang masuk ke lokasi penelitian (Teluk Jakarta) ada beberapa parameter yang konsentrasinya lebih tinggi dari konsentrasi di sungai. Hal ini sesuai dengan penelitian Abowei dan George (2009) yang mengatakan bahwa kegiatan antropogenik di sepanjang sungai dapat meningkatkan kandungan bahan-bahan pencemar terutama di bagian muara sungai. Namun demikian parameter-parameter tersebut pada umumnya mempunyai konsentrasi yang lebih rendah dari konsentrasi di sungai. Kondisi ini terjadi karena nasib bahan pencemar yang masuk ke dalam perairan akan mengalami nasib yang berbeda, namun pada umumnya menjadi rendah karena diencerkan dan disebarkan sebagai akibat dinamika laut, diabsorpsi oleh biota air yang ada di dalamnya, berikatan dengan bahan organik dan anorganik sehingga mengendap ke dasar perairan. Hal ini sesuai dengan pendapat US EPA (1973) bahwa bahan pencemar yang masuk ke dalam laut akan mengalami pengenceran dan penyebaran akibat adukan atau turbulensi sungai dan/atau arus laut, akan mengalami pemekatan karena proses biologi, serta akan dibawa oleh arus sungai/laut dan oleh organisme atau biota laut. Tabel 14. Beban pencemaran dari Kali Angke yang masuk ke perairan Teluk Jakarta No Parameter Konsentrasi (ppm) Beban (ton/hari) Beban (ton/bulan) 1 BOD (mg/l) 40,06 31, , COD (mg/l) 74,03 58, , Nitrat (mg/l) 0,066 0, , Ortofosfat (mg/l) 0,056 0, , Merkuri (mg/l) 0,086 0, , Kadmium (mg/l) 0,011 0, , Timbal (mg/l) 0,105 0, ,4751 Beban pencemar organik pada saat dilakukan penelitian ini sangat tinggi, yakni untuk bahan organik yang terurai oleh mikroorganisme (BOD) jumlahnya mencapai 944,3159 ton/bulan dan bahan organik yang terurai secara kimia (COD) jumlahnya

84 66 mencapai 1745,075 ton/bulan. Selain itu berdasarkan data sekunder, juga terlihat bahwa beban pencemaran organik (yang dilihat dari nilai COD dan BOD) yang masuk ke Teluk Jakarta cenderung naik setiap tahunnya. Dalam hal ini terjadi kenaikan bahan pencemar organik dari tahun 2006 hingga awal tahun 2011, seperti yang tertera pada Gambar 11. Beban Pencemaran (ton/bulan) , ,78 944, ,76 624,13 267, COD BOD Tahun Gambar 11. Nilai beban pencemaran BOD dan COD yang masuk ke Teluk Jakarta ,000,000 10,000,000 8,000,000 6,000,000 4,000,000 Jumlah penduduk 2,000, Gambar 12. Jumlah penduduk di DKI Jakarta dari tahun (Sumber BPS )

85 67 industri Tahun Gambar 13. Jumlah industri di DKI Jakarta dari tahun (Sumber BPS ) Terjadinya peningkatan bahan pencemar organik yang masuk ke dalam perairan diduga ada kaitannya dengan meningkatnya jumlah penduduk, yang pada akhirnya mengakibatkan meningkatnya kegiatan antropogenik, seperti peningkatan aktivitas penduduk dan aktivitas industri baik yang terjadi di sekitar Kali Angke maupun di bagian hulunya. Hal ini didukung oleh data jumlah penduduk dan jumlah industri dari tahun 2006 hingga tahun 2010 yang setiap tahunnya meningkat seperti yang terlihat pada Gambar 12. Selain bahan organik, bahan anorganik terutama logam berat di lokasi penelitian juga sangat tinggi. Logam berat ini pada umumnya dimanfaatkan sebagai bahan suplemen yang harus ada dalam industri terutama industri elektronik. Tingginya logam berat tersebut di perairan diduga ada kaitannya dengan tingginya pertumbuhan industri di DKI Jakarta. Dalam hal ini dari tahun ke tahun terjadi peningkatan industri seperti yang terlihat pada Gambar Kualitas Sedimen Pada penelitian ini dilihat kualitas sedimen di Kali Angke dan di lokasi budidaya kerang hijau, adapun parameter kualitas sedimen yang diamati di sini adalah ph dan logam berat merkuri (Hg) kadmium (Cd) dan timbal (Pb). kualitas sedimen tersebut dapat dilihat pada Tabel 15 Hasil analisis terhadap

86 68 Tabel 15. Kualitas sedimen Kali Angke dan lokasi budidaya kerang hijau No Parameter Kali Angke Budidaya Kerang Hijau Baku Mutu (level target) 1 ph 5,44 6,18-2 Merkuri (ppm) 2,363 1,935 0,03 3 Kadmium (ppm) 1,169 0,962 0,8 4 Timbal (ppm) 1,171 2, Keterangan: Baku mutu (BM) logam berat di dalam lumpur atau sedimen di Indonesia belum ditetapkan, sehingga BM logam berat pada sedimen IADC (International Association of Drilling Contractors) / CEDA (Central Dredging Association) (1997) level target yang berarti jika konsentrasi kontaminan yang ada pada sedimen memiliki nilai yang lebih kecil dari nilai level target, maka substansi yang ada pada sedimen tidak terlalu berbahaya bagi lingkungan Pada penelitian ini diukur nilai ph sedimen, karena nilai ph sedimen mempunyai hubungan yang cukup erat dengan adsorpsi logam berat pada sedimen. ph air dapat mempengaruhi jenis dan susunan zat dalam lingkungan perairan serta dapat mempengaruhi jenis dan toksisitas dari unsur-unsur renik seperti logam (Saeni 1989; Voleky 1990). Senada dengan hal tersebut Nordberg et al. (1986); Novotny dan Olem (1994) dan Volesky (1990) menyatakan bahwa toksisitas logam mengalami peningkatan pada ph rendah. ph sedimen di lokasi penelitian berada pada kisaran yang asam, yakni 5,44 untuk sedimen Kali Angke dan 6,18 pada sedimen di daerah budidaya kerang hijau. Rendahnya ph pada lokasi penelitian menunjukkan tingginya bahan organik dalam sedimen, sehingga proses dekomposisi pada sedimen juga tinggi. Pada proses penguraian bahan organik dalam sedimen ini, akan dihasilkan karbon dioksida, dan apabila karbon dioksida ini bereaksi dengan air sedimen (pore water), sementara di dalam sedimen tersebut tidak ada mineral, akan menyebabkan kondisi menjadi asam atau dengan kata lain akan mengakibatkan ph lebih rendah. Hal ini sejalan dengan pernyataan Fardiaz (1992) bahwa pemecahan komponen molekul organik yang mengandung karbon, nitrogen, sulfur dan phospat yang berasal dari karbohidrat, lemak atau protein, baik secara aerobik maupun anaerobik akan menghasilkan karbon dioksida yang sifatnya asam serta hasil penelitian Adeyemo et al. (2008) bahwa pada perairan yang menerima bahan organic dalam jumlah banyak derajat keasaman sedimennya relative rendah. Nilai ph sedimen Kali Angke lebih rendah dibanding nilai ph di sekitar bagan tancap. Kali Angke pada dasarnya merupakan kali yang sangat dipengaruhi oleh air laut,

87 69 melalui proses pasang surut, namun pengaruh air laut ini tidak mengakibatkan tingginya ph sedimen. Hal ini diduga karena bahan organik yang terdapat pada perairan sungai jauh lebih besar yang berakibat rendahnya nilai ph seperti yang dinyatakan oleh Adeyemo et al. (2008), oleh karena itu maka air laut yang masuk ke dalam sungai tidak mampu menetralkan suasana asam akibat proses penguraian bahan organik dalam sedimen. ph sedimen di sekitar bagan tancap mendekali netral. Berbeda dengan sedimen sungai, sedimen yang berada di lokasi bagan tancap yang lokasinya di laut diduga karena laut yang mempunyai banyak mineral mempunyai kemampuan menetralkan (buffering system) yang tinggi. Selain itu pada air laut juga terdapat mineral yang jumlahnya tinggi, sehingga relatif mampu menyangga terjadinya penurunan ph pada sedimen Logam Berat di Sedimen Supangat dan Muawanah (NA) menyatakan semua senyawa yang masuk ke perairan akan menjadi sedimen. Nordberg et al. (1986); Hutagalung (1991); Novotny dan Olem (1994), Volesky (1990) dan Asonye et al. (2007) menyatakan bahwa logam berat memiliki sifat mudah mengikat bahan organik dan setelah mengalami proses fisikkimia akan mengendap di dasar perairan dan bersatu dengan sedimen. Semakin tinggi polutan organik dan anorganik dalam kolom air, makin tinggi pula akumulasi polutan tersebut dalam sedimen (Sanusi 2006 dan Adeyemo et al. 2008). Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa kualitas fisik dan kimia sedimen suatu perairan dapat dijadikan indikator baik buruknya kualitas suatu perairan Merkuri (Hg) Penelitian ini memperlihatkan bahwa konsentrasi logam berat Hg pada sedimen Kali Angke dan daerah bagan tancap kerang hijau sudah melewati baku mutu (level limit) yang ditetapkan oleh IADC/CEDA (1997). Oleh karena itu maka konsentrasi Hg yang ada di lokasi penelitian berpotensi untuk membahayakan lingkungan dan organisme perairan yang hidup pada ekosistem tersebut. Pada penelitian ini terlihat bahwa konsentrasi merkuri di sedimen lebih tinggi dibandingkan pada air Kali Angke dan di perairan daerah budidaya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Harahap (1991) dan Rochyatun, Kaisupy dan Rozak (2006) yang juga dilakukan di tempat yang relatif

88 70 sama. Tingginya Hg pada sedimen diduga karena Hg yang terdapat pada kolom air bereaksi dengan partikel organik dan anorganik yang terdapat dalam perairan, dan selanjutnya akan mengendap ke dasar perairan dan bersatu dengan sedimen. Selain itu rendahnya ph perairan juga diduga memicu tingginya merkuri dalam sedimen baik di Kali Angke maupun di sekitar bagan tancap. Hal ini sesuai pernyataan Sanusi (2006) dan Asonye et al. (2007), Begum et al. (2009) serta Danazumi dan Bichi (2010) bahwa ph merupakan faktor yang mempengaruhi kapasitas adsorpsi sedimen terhadap Hg 2+. Rendahnya ph pada sedimen juga akan memicu peningkatan toksisitas Hg bagi organisme yang habitatnya di lokasi penelitian Kadmium (Cd) Pada penelitian ini terlihat bahwa konsentrasi logam kadmium pada sedimen Kali Angke dan daerah bagan tancap kerang hijau sudah melewati baku mutu (level limit) yang ditetapkan oleh IADC/CEDA (1997). Tingginya nilai Cd pada sedimen diduga karena beberapa faktor, yakni konsentrasi kadmium yang tinggi pada kedua lokasi penelitian, tingginya partikel organik dan anorganik yang terlihat dari keruhnya perairan (berwarna kecoklatan), serta rendahnya nilai ph akan memicu kemungkinan proses adsorpsi logam berat lebih tinggi seperti yang dinyatakan oleh Asonye et al. (2007), Begum et al. (2009) serta Danazumi dan Bichi (2010) bahwa rendahnya nilai ph dapat meningkatkan adsorpsi logam berat. Pada konsentrasi tersebut, Cd memiliki potensi bahaya bagi biota yang hidup di Kali Angke dan kerang hijau yang dibudidaya di bagan tancap. Sama seperti merkuri, hasil analisis logam berat Cd juga menunjukan konsentrasi yang lebih tinggi pada sedimen dibandingkan pada kolom air di kedua lokasi penelitian Timbal (Pb) Hasil analisis logam timah hitam pada sedimen Kali Angke dan sedimen di daerah bagan tancap kerang hijau sudah melewati baku mutu (level limit) yang ditetapkan oleh IADC/CEDA (1997). Adapun penyebabnya, diduga faktor yang sama mempengaruhi tingginya Hg dan Cd pada sedimen, yakni tingginya konsentrasi Pb kedua perairan, banyaknya partikel organik dan anorganik di perairan serta rendahnya nilai ph yang memicu kemungkinan proses adsorpsi logam berat lebih tinggi (Asonye et

89 71 al. 2007; Begum et al. 2009, Danazumi dan Bichi 2010 serta Olubunmi dan Olorunsola 2010). ph perairan membuat timbal mengalami proses hidrolisi menjadi Pb(OH) + terlarut (Effendi 2003; Neff 2002; Sanusi 2009; Akan et al. 2010). Sama seperti merkuri dan kadmium, hasil analisis logam berat timah hitam juga menunjukan hasil lebih tinggi pada sedimen dibandingkan pada kolom air di kedua lokasi Kerang Hijau Morfologi Jumlah contoh kerang hijau yang diambil serta hasil analisis morfologi berupa ukuran cangkang, berat tubuh serta volume daging kerang hijau hasil budidaya di Muara Angke dapat dilihat pada Tabel 16 dan 17. Sample kerang hijau dengan usia lebih dari 6 bulan dapat dikatakan sulit untuk didapatkan karena petani umumnya memanen kerang hijau pada usia 4-6 bulan. Tabel 16. Ukuran cangkang (panjang, lebar dan tebal) kerang hijau di bagan tancap kerang hijau, Muara Angke Umur N Ukuran cangkang (cm) Panjang Lebar Tebal 1-2 bulan 240 2,03 ± 0,63 1,14 ± 0,22 0,66 ± 0, bulan 240 4,91 ± 1,26 2,01 ± 0,57 1,81 ± 0, bulan 240 8,51 ± 1,16 5,17 ± 1,60 3,46 ± 1,25 Tabel 17. Ukuran berat (total, daging dan cangkang) dan volume daging kerang hijau di bagan tancap kerang hijau, Muara Angke Umur N Berat tubuh (g) Volume daging Total Daging Cangkang (ml) 1-2 bulan 240 0,96 ± 0,56 0,36 ± 0,23 0,60 ± 0,35 0,37 ± 0, bulan 240 8,61 ± 1,65 3,38 ± 0,90 5,22 ± 1,16 3,33 ± 0, bulan ,08 ± 0,68 7,49 ± 1,23 9,60 ± 1,41 7,51 ± 1,27 Berdasarkan hasil pengamatan tersebut diketahui bahwa panjang, lebar, dan tebal kerang hijau serta berat tubuh dan volume daging yang didapat pada penelitian ini (Tabel 16 dan Tabel 17) pada umumnya lebih rendah dibanding kerang hijau pada kondisi normal, yakni dalam kondisi panjang (mm) normal, pada umur 1-2 bulan adalah 2,13 ± 1,16; pada usia 3-4 bulan adalah 7,175 ± 0,59; pada usia 5-6 bulan adalah 8,79 ± 0,52 (Seed 1976, Sivalingam 1977, Cheong dan Chen 1980, Beales dan Lindley 1982,

90 72 Valiky 1989, Mohamed et al. 2003). Hal ini sesuai dengan hasil pernyataan Riani (2009) yang mengatakan bahwa pertumbuhan kerang hijau dalam beberapa tahun terakhir relatif sangat lambat, sehingga usia panen sebelum tahun 1990 adalah tiga bulan, namun saat ini diperlukan waktu tujuh bulan dari sejak dipasang tali nilon hingga panen. Hal ini diduga terjadi karena ada pengaruh dari logam berat dalam lingkungan hidupnya (Tabel 14 dan Tabel 15) yang mengakibatkan rendahnya pertumbuhan kerang hijau. Rosell (1985) menyatakan akibat kontaminasi merkuri sebesar 100 ppb, Perna viridis akan mengalami perlambatan kinerja fungsi tubuh. Beales dan Lindley (1982) menambahkan laju pertumbuhan P. viridis di tempat yang tidak tercemar 9 mm/bulan, sedangkan yang hidup di lokasi tercemar adalah 5,2 mm/bulan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Garcia (2001) saat melakukan penelitian pengaruh konsentrasi logam berat Cu dan Pb di lingkungan tempat hidupnya terhadap kerang hijau Perna viridis, yang memperlihatkan bahwa logam berat Cu dan Pb dapat menghambat aktifitas enzim glycogen synthetase dan glycogen phosphorylase yang dapat mengakibatkan dampak negatif terhadap produksi daging kerang. Adanya hambatan terhadap kedua jenis enzim tersebut mengakibatkan menurunnya pertumbuhan kerang hijau. Hal ini sesuai dengan pendapat Gosling (1992) yang menyatakan bahwa kerang hijau yang tubuhnya terkontaminasi oleh logam berat akan menyebabkan terganggunya sel-sel tubuh kerang hijau tersebut, karena sel-sel tersebut pada umumnya mengalami degenerasi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa penyebab terjadinya degenerasi sel tersebut disebabkan oleh terjadinya bioakumulasi logam berat pada vacuola dari organel lisosom. Hal ini sesuai dengan pendapat Moore (1989) dan Viarengo (1989) dalam Gosling (1992) yang mengatakan bahwa pencemaran logam Cu dan Cd mengakibatkan tidak stabilnya membran organel lisosomal dalam sel yang pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya degenerasi sel. Selanjutnya dikatakan bahwa logam Cu dan Cd tersebut juga akan mengganggu proses oksidasi, kerja enzim dan keseimbang ion Ca dalam sel-sel. Oleh karena itu maka proses fisiologis di dalam sel menjadi terganggu, dan pada akhirnya akan mempercepat terjadinya degenerasi sel dan mengakibatkan terganggunya pertumbuhan kerang hijau.

91 Logam Berat di Kerang Hijau Hasil analisis akumulasi logam berat merkuri, kadmium dan timbal dapat dilihat pada Tabel 18 dan 19. Tabel 18 dan 19 tersebut memperlihatkan bahwa telah terjadi bioakumulasi logam berat yang berasal dari lingkungannya. Terjadinya bioakumulasi logam berat dalam tubuh kerang hijau ini sangat dimungkinkan mengingat logam berat dapat dengan mudah dan cepat masuk ke dalam tubuh mahluk hidup (Baldwin et al. 1999). Selanjutnya dikatakan bahwa logam berat tersebut masuk ke dalam sel tubuh mahluk hidup melalui lapisan lipida dari dinding sel melalui proses endositosis, melalui sistem pemompaan dan sistem kelat organik. Oleh karenanya maka konsentrasi logam berat yang terdapat pada kerang hijau baik yang berumur 1-2 bulan, 3-4 bulan, dan 5-6 bulan tinggi (Tabel 18 dan 19). Tabel 18 menunjukan logam berat pada seluruh tubuh kerang hijau, selain hepatopankreas, insang dan tissue daging, juga termasuk di dalamnya gonad, kelenjar dan saluran pencernaan, otot dan organ lainnya. Logam berat yang telah terakumulasi pada organ hepatopankreas, insang dan tissue daging (Tabel 19) termasuk logam berat yang tidak bisa dilepaskan kembali, karena telah berikatan dengan gugus sulfidril (Manahan 1995, Vouk 1986, Mance 1990, Paasivirta 2000). Pada organ lain terdapat kemampuan untuk mereduksi logam berat. Logam berat yang masuk ke saluran pencernaan akan dibuang bersamaan dengan feses. Pada darah logam berat akan di fagositasi oleh sel darah putih. Sebenarnya dalam hepatopankreas juga terdapat cytochrome P450 yang memiliki kemampuan untuk mengeluarkan logam berat dari tubuh, tetapi karena jumlahnya terbatas, logam berat yang telah masuk dalam tubuh akan disimpan dahulu, dengan cara di fagositasi oleh sel pada hepatopankreas, dan nantinya akan dibuang (De-Faverney et al. 2001, Garza et al. 2006). Disisi lain, karena afinitasnya yang tinggi, logam berat yang disimpan tersebut akan berikatan dengan gugus sulfidril sehingga sukar untuk lepas, karena ikatannya bersifat irreversible (Bryan 1976). Pada penelitian ini terlihat bahwa konsentrasi logam berat Hg, Cd dan Pb baik yang terdapat di dalam air maupun pada sedimen berada di luar ambang batas yang ditentukan. Logam berat mengalami peningkatan hingga bulan ke 5-6, namun demikian konsentrasi logam berat yang relatif tinggi di Perairan Muara Angke tersebut tidak mengakibatkan kematian masal kerang hijau. Hal ini mengandung arti bahwa

92 74 Tabel 18. Kandungan logam berat pada seluruh tubuh kerang hijau di bagan tancap kerang hijau, Muara Angke Konsentrasi 1-2 bulan 3-4 bulan 5-6 bulan Hg (μg/g bk) ± ± ± Cd (μg/g bk) 0.07 ± ± ± 0.03 Pb (μg/g bk) ± ± ± 1.92 Tabel 19. Kandungan logam berat pada organ kerang hijau (daging, hepatopankreas dan insang) di bagan tancap kerang hijau, Muara Angke Umur Kandungan Hg (μg/g bk) Kandungan Cd (μg/g bk) Kandungan Pb (μg/g bk) TD H I TD H I TD H I 1-2 bulan 1,76 12,232 6, , ,318 5,146 1, bulan 2,347 71,657 11,04 0 0, ,767 8,33 2, bulan 4,35 88,886 23,133 0,01 0,06 0,01 1,09 15,691 2,786 Keterangan TD: Tissue Daging; H: Hepatopankreas; I: Insang/Ctenedium Konsentrasi logam berat yang terdapat pada lingkungannya belum masuk pada konsentrasi akut, namun demikian sudah masuk pada konsentrasi kronis. Hal ini sesuai dengan pendapat Volesky (1990) dan Ahalya et al. (2004) yang mengatakan bahwa pada konsentrasi dengan toksisitas akut akan mengakibatkan kematian, yang umumnya ditandai dengan terjadinya kematian masal. Selanjutnya dikatakan bahwa pada konsentrasi dengan toksisitas kronis tidak mengakibatkan kematian namun pada umumnya akan berdampak negatif terhadap berbagai organ tubuh dan dapat mengakibatkan kecacatan bawaan pada larva kerang hijau. Pada Tabel 18 terlihat bahwa terjadi kenaikan konsentrasi logam berat Hg, Cd dan Pb pada tubuh kerang hijau dari usia satu hingga enam bulan. Terjadinya kenaikan akumulasi Hg, Cd dan Pb pada kerang hijau yang semakin tua, diduga karena ketiga logam berat yang sudah terakumulasi dalam tubuh kerang hijau bersifat irreversible (Bryan, 1976), sehingga logam berat yang sudah terakumulasi tidak akan lepas kembali dan dengan adanya akumulasi baru, maka logam berat tersebut akan semakin meningkat. Oleh karenanya maka semakin tua kerang hijau, baik Hg, Cd maupun Pb yang terakumulasi pada tubuh kerang hijau juga semakin meningkat. Hal ini juga terlihat pada Tabel 19 yang memperlihatkan bahwa semakin tinggi usia kerang hijau, semakin meningkat kandungan logam berat pada organ tubuh daging, hepatopankreas dan insang kerang hijau.

93 75 Kondisi perairan Teluk Jakarta yang juga telah tercemar logam berat tidak membuat mati kerang hijau yang di budidaya ini sesuai dengan hasil penelitian Riani (2004), yang mengatakan bahwa konsentrasi logam berat masih belum mematikan, namun logam berat tersebut terakumulasi pada organ tertentu seperti insang dan hepatopankreas dan telah menyebabkan kerusakan pada ke dua organ tersebut. Hal ini terbukti dari hasil analisa pada Tabel 18. Tabel 18 memperlihatkan bahwa seluruh logam berat yang dianalisis pada penelitian ini terakumulasi pada kerang hijau. Organ yang paling banyak mengakumulasi adalah hepatopankreas. Logam berat yang paling tinggi terakumulasi adalah merkuri. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Riani (2004) yang menyatakan kerang hijau mampu menyerap logam merkuri dan menyimpannya dalam tubuhnya dengan efektif, sehingga kerang hijau direkomedasikan sebagai biofilter logam berat terutama Hg (Riani 2006) dan bersifat sebagai vacum cleaner bagi perairan tercemar logam berat (Riani 2009). Volesky (1990), Neff (2002) dan Ahalya et al. (2004) menyatakan setiap organisme dapat mengakumulasi logam berat berbeda pada tiap jaringan atau organnya. Hal ini tampak pada krustasea Nephrops norvegica mengakumulasi merkuri di bagian insang dan hepatopankreasnya. Paasivirta (2000) menambahkan akumulasi paling tinggi Cd pada kima (Crasostrea gigas) pada bagian ginjal, sedangkan pada lobster dengan konsentrasi yang paling banyak ditemukan pada organ hepatopankreas. Neff (2002) menambahkan kebanyakan organisme air mengakumulasi logam timbal pada bagian insang dan mantel (Neff 2002). Di dalam sel, timbal akan terkonsentrasi pada mitokondria, sehingga menyebabkan terjadinya kerusakan dan menurunkan fungsinya. Hasil tersebut juga menggambarkan semakin besar ukuran kerang hijau dan semakin lama umur dari kerang hijau akan semakin memperbesar kemungkinan akumulasi logam berat pada kerang hijau yang di budidaya tersebut. Hal ini sesuai dengan penelitian Riani (2004) yang menyatakan semakin besar ukuran kerang hijau dan lamanya menetap kerang hijau akan meningkatkan konsentrasi logam berat pada kerang hijau. Kandungan logam berat pada kerang hijau ini cukup membahayakan bagi yang mengkonsumsinya, karena semua parameter logam berat yang diukur pada penelitian ini telah melebihi baku mutu yang telah ditentukan oleh berbagai organisasi. Untuk logam berat merkuri, Badan Pengawasan Obat dan Makanan, RI (BPOM-RI) menyatakan konsentrasi maksimum merkuri yang diizinkan adalah 0,5 mg/kg, sedangkan FAO-

94 76 WHO PBB menyatakan maksimum konsentrasi adalah 0,03 ppm. Vettorazzi dalam Darmono (2001) merekomendasikan Provisional Tolerable Weekly Intake (PTWI) total Hg dalam makanan 5 ppb sedangkan untuk metil-merkuri sebesar 3,3 ppb. Konsentrasi maksikum merkuri dalam makanan menurut standar Uni Eropa EC No. 466/2001 adalah 0,5 mg/kg. BPOM-RI menambahkan untuk logam berat kadmium dalam makanan maksimum 2 mg/kg. The Codex Committee on Food Additive and Contaminants (2006) menyatakan nilai maksimum kadmium pada makanan 0,4 mg/kg. Menurut standar Uni Eropa EC No. 466/2001 konsentrasi maksimum kadmium adalah 1 mg/kg. Kandungan logam berat jenis timah hitam maksimum pada makanan berdasarkan persyaratan BPOM-RI adalah 2 mg/kg sedangkan standar Uni Eropa EC No. 466/2001 yaitu 1 mg/kg. Dalam kondisi yang melebihi baku mutu tersebut, Volesky (1990), Ahalya et al. (2004) serta Ochiai (1977) dalam Palar (2004) menyatakan logam berat, terutama Hg, Pb dan Sn memiliki kemampuan larut dalam lemak, sehingga mampu melakukan penetrasi pada dinding membran sel. Kondisi tersebut membuat logam berat mampu terakumulasi pada sel, jaringan dan organ dari suatu organisme. Lebih lanjut (Ochiai 1987; Volesky 1990; Olsson 1998 dan Ahalya et al. 2004) menambahkan toksisitas logam berat timbul karena mekanisme, proses penyerangan ikatan sulfida pada gugusan biomolekul yang penting untuk proses biologi seperti struktur protein dan enzim sehingga menimbulkan kerusakan pada stuktur yang diserang. Ikatan sulfida berubah karena ion logam berat menggantikan ion logam yang esensial. Logam berat yang menempel pada gugusan molekul tersebut akan memodifikasi sehingga protein dan enzim tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya, seperti terganggunya aktifitas enzim. Dalam kondisi ini menyebabkan terganggunya metabolisme pada tingkat sel, sehingga sel tersebut menjadi lisis dan akhirnya lemah serta rusak. Viarengo (1980); Volesky (1990); Olsson 1998 dan Ahalya et al. (2004) menambahkan bahwa logam berat akan mengakibatkan terjadinya ketidakstabilan pada sel, terutama pada organel lisosomnya. Logam berat tersebut memodifikasi proses enzim yang ada dan mengganggu serta menggantikan ion Ca sehingga mempengaruhi oksidasi. Hal ini sesuai dengan penelitian Gosling (1992) yang mengatakan bahwa gamet kerang genus Mytilus yang berasal dari kawasan perairan tercemar logam berat akan mengalami

95 77 degenerasi atau mengalami pembengkakan sel. Kondisi ini timbul jika sel tidak dapat mengatur keseimbangan ion dan cairan yang menyebabkan hidrasi sel Malformasi Perkembangan struktur tubuh organisme secara abnormal yang disebabkan mutasi genetik, infeksi, obat-obatan, pengaruh lingkungan dan atau interaksi dari hal tersebut disebut deformasi atau malformasi (Encyclopædia Britannica 2011). Pada perairan yang tercemar bahan beracun terutama logam berat akan memperbesar kemungkinan terjadikan kejadian deformitas tersebut. Darmono (1995) menyebutkan, logam berat dalam perairan ada dalam bentuk ion kemudian di absorpsi dan akhirnya terakumulasi dalam hewan air, terutama bentos. Walaupun demikian, pengaruh logam berat tersebut sifatnya jangka panjang. Contoh kejadian malformasi adalah logam berat tributiltin yang menganggu enzim pada proses kalsifikasi cangkang (Alzieu) berupa kecenderungan menggelembungkan cangkangnya dan terbentuknya alur pertumbuhan seperti pelapisan yang kasar. Tabel 20. Presentasi malformasi ditinjau dari morfologi (tebal>lebar) kerang hijau Umur Kerang Jumlah Malformasi Persentase Malformasi Total ,33% Bulan ,67% Bulan ,33% Bulan ,00% Tabel 21. Analisa kandungan logam berat per individu Umur Kandungan logam berat per-individu Hg (μg/ind) Pb (μg/ind) Cd (μg/ind) 1-2 bulan 1,288 0,622 0, bulan 69,597 11,335 0, bulan 163,511 32,684 0,119 Pada penelitian ini malformasi dilihat dari ukuran tebal lebih besar dibandingkan lebar kerang hijau. Hasil analisis malformasi dapat dilihat pada Tabel 20. Dari seluruh kerang hijau yang dianalisis, terdapat 12,83% yang tebalnya lebih besar dibandingkan lebarnya. Hal ini terjadi karena menurut Ochiai (1987) ion-ion logam berat seperti Hg, Pb dan Sn dapat larut dalam lemak dan mampu melakukan penetrasi

96 78 pada dinding membran sel, sehingga akhinya ion-ion logam tersebut akan terakumulasi di dalam sel dan organ lain. Terakumulasinya ion-ion logam tersebut akan menyebabkan terganggunya aktifitas enzim dan metabolisme dalam sel, sehingga perkembangan sel terhambat, sel-sel menjadi lisis dan mati. Lebih jauh Viarengo (1989); Volesky (1990) dan Ahalya et al. (2004) mengatakan bahwa sel yang telah mengalami akumulasi logam berat akan melakukan transformasi, sehingga cepat atau lambat akan menyebabkan mutasi genetik pada sel, dan pada akhirnya mengakibatkan terjadinya malformasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Gosling (1992) yang mengatakan bahwa tindak lanjut dari proses bioakumulasi logam berat yang toksik dalam tubuh kerang hijau M. edulis akan mengalami biotransformasi dalam sel-sel, sehingga menyebabkan terjadinya mutasi gen-gen. Selain Gosling (1992), Viarengo et al. (1981) juga mengatakan bahwa contoh biota yang melakukan proses transformasi tersebut sehingga mengalami malformasi adalah kerang genus Mytilus. Berdasarkan hal tersebut, maka sangat wajar jika kerang hijau yang diteliti oleh penulis, yakni yang hidup di Perairan Muara Angke dengan lingkungan hidupnya yang tercemar logam berat dan tubuhnya terkontaminasi logam berat, mengalami malformasi. Terjadinya malformasi pada kerang hijau yang diteliti di sini diduga terjadi karena logam berat yang terdapat pada embrio kerang hijau tersebut akan mengganggu pembelahan sel. Hal ini terjadi karena setelah terjadi pembuahan sel telur oleh sperma selanjutnya akan terjadi pembelahan sel, padahal pembelahan sel merupakan satu fase yang sangat sensitif terhadap terjadinya perubahan, mengingat terjadinya perubahan pada saat terjadinya pembelahan sel-sel pada stadium metaphase dapat mengakibatkan terjadinya perubahan susunan kromosom. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian De- Faverney et al. (2001) bahwa logam berat seperti merkuri akan mengakibatkan terjadinya kerusakan pada DNA, serta akan mempengaruhi transkripsi DNA (Liu 2010). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Dixon (1982) pada kerang biru (M. edulis) yang mendapatkan bahwa akibat pencemaran logam yang berkepanjangan dapat menyebabkan perubahan susunan gen-gen pada kromosom dan bahkan akan menyebabkan abrasi kromosom, sehingga mengakibatkan terjadinya malformasi pada kerang biru tersebut. Hal yang serupa juga dinyatakan oleh Ercal et al. (2001) yang mengatakan bahwa logam berat toksik seperti Pb, Cd dan Hg dapat mengakibatkan teroksidasinya asam nukleat pada DNA yang akan mengakibatkan gangguan pada

97 79 perbaikan DNA, dan pada akhirnya menyebabkan terjadinya mutasi gen, terjadinya kanker dan teratogenik. Menurut Fichet et al. (1998) pada organisme tingkat tinggi serta pada larva moluska, adanya sel-sel yang mengalami mutagen tersebut diekspresikan pada fenotif dalam bentuk tubuh yang tidak sempurna (malformasi). Adapun terjadinya kerusakan permanen dan mutasi pada DNA tersebut, salah satunya dapat diakibatkan karena Pb mengikat nucleus, dan menghambat kegiatan nucleus tersebut (Garza et al. 2006). Oleh karenanya maka pencemaran logam berat terutama Pb dan Cd dapat mengakibatkan terjadinya malformasi pada kerang hijau. Ditinjau dari umurnya, terdapat kecenderungan semakin lama umur kerang hijau, maka malformasi yang terjadi juga lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan akumulasi logam berat yang semakin besar, seiring dengan bertambahnya umur kerang hijau. Pada Tabel 20 terlihat bahwa semakin tua kerang hijau semakin banyak yang mengalami malformasi, dan terkesan malformasinya semakin terlihat dengan jelas (Gambar 14). Hal ini diduga ada kaitannya dengan konsentrasi logam berat yang terakumulasi pada kerang hijau, yakni semakin tinggi akumulasi logam berat pada kerang hijau, semakin tinggi prosentase malformasi pada kerang hijau (Tabel 18, 19 dan 21). Adapun hubungan antara konsentrasi logam berat yang terakumulasi dalam tubuh dan terjadinya malformasi ini diduga lebih disebabkan oleh logam berat Pb dan Cd, mengingat Pb dan Cd merupakan logam yang mempunyai sifat mirip Ca, dan dapat mensubtitusi Ca (Heath 1987 dan Volesky 1990). Pada kerang hijau, Ca paling banyak terdapat pada cangkang, padahal cangkang merupakan pelindung tubuh yang berhubungan langsung dengan lingkungan. Di lain pihak lingkungan yang ditempati kerang hijau adalah lingkungan yang tercemar logam berat, oleh karenanya diduga semakin bertambah umur kerang hijau akan semakin tinggi akumulasi Pb dan Cd pada cangkangnya, sehingga akan semakin memperbesar kemungkinan terjadinya perubahan bentuk cangkang, sehingga pada umur yang lebih tua malformasi semakin terlihat dengan jelas dan presentase kerang yang lebih tua yang mengalami malformasi semakin tinggi.

98 80 (a) (b) (c) (d) Keterangan (a) kerang normal (valiky 1989); (b) sample kerang umur 1-2 bulan; (c) sample kerang umur 3-4 bulan; (d) sample kerang umur 5-6 bulan Gambar 14. Malformasi pada kerang hijau Pemodelan Akumulasi Logam Berat Pemodelan yang disusun pada penelitian ini, dibangun oleh sub model beban pencemaran dan sub-model akumulasi logam berat pada kerang hijau. Kedua sub- kerang hijau model tersebut diintegrasikan menjadi model akumulasi logam berat pada di Teluk Jakarta. Pemodelan sistem secara dinamis ini dibuat berdasarkan penyederhanaan dari kondisi tercemarnya perairan Teluk Jakarta oleh logam berat dan pengaruhnya pada biota yang hidup di perairan ini. Penyederhanaan tersebut berupa perumusan informasi dan hubungan peubah penting secara tepat dalam suatu sistem (lingkungan). Peubah penting diturunkan berdasarkan formulasi masalah dan identifikasi sistem ditunjukan oleh diagram input-output (Gambar 9). Dalam suatu sistem terdapat masukan (input) yang memiliki luaran (output). Input terbagi menjadi tiga, input lingkungan, input terkontrol dan input tidak terkontrol. Input lingkungan berupa kebijakan terkait pencemaran pada lokasi penelitian (DKI Jakarta). Input terkontrol merupakan masukan yang dapat dikendalikan, yakni peruntukan lahan, teknologi pengolahan limbah, kesadaran masyarakat, dan persepsi

99 81 masyarakat. Masukan terakhir pada sistem adalah input tak terkontol yang merupakan masukan yang sulit untuk dikendalikan yakni limbah, debit air, iklim dan jumlah penduduk. Ketiga input tersebut akan menghasikan luaran (output) yang diharapkan dan dapat pula tidak diharapkan. Adanya manajemen pengendalian, diharapkan output tersebut dapat dikonversi menjadi luaran yang dapat dikendalikan. Luaran yang diharapkan dari pemodelan ini adalah beban pencemaran menurun, kualitas air memenuhi baku mutu, bioakumulasi minimal dan tidak ada malformasi kerang, sehingga atas dasar komponen yang dirunut menjadi variabel tersebut, pemodelan sistem dinamik akumulasi logam berat pada kerang hijau di Teluk Jakarta dibuat. Pada pembuatan model ini dibuat beberapa asumsi seperti kondisi perairan homogen, yang paling berpengaruh pada pertumbuhan dan malformasi adalah logam berat yang mempunyai toksisitas tinggi yakni Hg, Cd dan Pb. Asumsi lain yang digunakan di sini adalah pengaruh bahan pencemar lain selain logam berat adalah kecil Sub Model Beban Pencemaran Sub model ini merupakan bagian dari pemodelan akumulasi logam berat untuk mengetahui variabel jumlah total limbah yang masuk dari muara sungai menuju Teluk Jakarta. Pengaruh variabel tersebut digambarkan dalam diagram sebab akibat pada Gambar 15, selanjutnya diagram stock flow submodel beban pencemaran dapat dilihat pada Gambar 16. limbah domestik limbah industri + konsentrasi bahan pencemar + debit air muara sungai + total beban pencemaran + + rasio beban pencemaran dan kapasitas asimilasi - kapasitas asimilasi Gambar 15. Diagram sebab akibat (causal loop) submodel beban pencemaran

100 82 Berdasarkan diagram sebab akibat (causal loop) di atas diketahui bahwa sub model beban pencemaran yang menjadi sumber pencemar adalah kegiatan industri dan kegiatan domestik, dampaknya adalah peningkatan limbah cair sehingga menurunkan kualitas ekosistem badan air penerimanya, dalam hal ini adalah penurunan kapasitas asimilasi. Pencemaran lingkungan perairan Teluk Jakarta dipengaruhi oleh pencemaran akibat dibuangnya sampah dan pencemaran limbah tanpa pengolahan terlebih dahulu ke sungai yang berimplikasi pada kualitas lingkungan, yakni terjadinya pencemaran pada badan air penerimanya yaitu ekosistem perairan Teluk Jakarta. Disamping hal tersebut dapat dikatakan bahwa terjadinya pencemaran bersumber dari ketidakmampuan pihakpihak yang menghasilkan limbah cair untuk membersihkan air limbahnya, yang diduga karena mahalnya biaya pembuatan instalasi pengolah limbah (IPAL) dan mahalnya serta sulitnya dalam hal pengoperasian. KACOD bebancod bebancodriil KABOD KonsCODperTh KonsBODperTh bebanbodriil debit bebanbod KonsNO3perTh KANO3 KonsPO4perTh bebanpo4 bebanno3riil bebanno3 KAPO4 bebanpo4riil KonsHgPerTh bebanhg KonsCdPerTh bebancd bebanpb KonsPbPerTh KAHg bebanhgriil KACd bebancdriil KAPb bebanpbriil Gambar 16. Diagram stock flow submodel beban pencemaran Simulasi model dilakukan melalui kajian data yang disusun, diketahui terdapat tujuh variabel yang paling berpengaruh terhadap sub model pencemaran beban

101 83 pencemaran perairan yang masuk ke Teluk Jakarta, antara lain : 1) COD, 2) BOD, 3)NO 3, 4) PO 4, 5) logam berat merkuri (Hg), 6) logam berat kadmium (Cd) dan 7) logam berat timah hitam (Pb). Adapun simulasi untuk memperkirakan kemungkinan yang dapat terjadi pada setiap variabel yang diteliti, tersaji pada Gambar Simulasi Sub Model Beban Pencemaran Simulasi model dilakukan melalui kajian data yang disusun, diketahui bahwa terdapat lima faktor yang paling berpengaruh terhadap model kebijakan pengelolaan permukiman berkelanjutann yang berbasis instalasi pengelolaan air limbah mandiri antara lain : 1) beban masukan bahan organik ke Teluk Jakarta, 2) beban masukan logam berat ke Teluk Jakarta, 3) akumulasi logam berat pada sedimen dan 4) akumulasi logam berat pada kerang hijau serta 5) kapasitas asimilasi. Kondisi (state) faktor-faktor tersebut di masa yang akan datang, dapat disusun pada simulasi yang mungkin terjadi. Sub model beban pencemaran di masa datang disajikan pada Gambar 17. Gambar 17. Beban masukan ke Teluk Jakarta ditinjau dari BOD, COD, NO 3 dan PO 4 Gambar simulasi di atas memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan tajam pada beban pencemaran limbah organic yang terlihat dari beban BOD, beban COD, beban NO 3 - dan beban PO 3-4. Beban BOD dari tahun 2011 sebesar 3715,53 ton/tahun

102 84 menjadi 11784,8 ton/tahunn pada tahun 2015, kemudian cenderung terus meningkat menjadi 30546,01 ton/tahun pada tahun Demikian halnya yang terjadi pada beban COD, yang juga terus meningkat dari tahun ke tahun, dalam hal ini pada tahun 2011 sebesar 33511,61 ton/tahun, menjadi 36351,36 ton/tahun pada tahun 2015, dan menjadi 39893,14 ton/tahun pada tahun Kondisi yang sama juga terjadi pada NO 3 yakni sebesar 21,67 ton/tahun pada tahun 2011, menjadi 20,7 ton/tahun pada tahun 2015 dan menjadi 20,22 ton/tahun pada tahun Seperti halnya BOD, COD dan NO 3, ternyata PO 4 pun mengalami kondisi yang sama yakni pada tahun 2011 sebesar 8,33 ton/tahun menjadi 10,,5 ton/tahun pada tahun 2015 serta menjadi 13,22 ton/tahun pada tahun Kondisii tersebut sangat membahayakan, terutama beban nitrat dan posfat, mengingat menurut Odum (1996) imbangan antara nitrogen dan posfor jika perbandingannya di luar dari 16:1 akan menjadi faktor pembatas. Dalam hal ini tingginya fosfor dapat mengakibatkan terjadinya blooming plankton yang dapat memfiksasi nitrogen dari udara bebas. Gambar 18. Beban masukan ke Teluk Jakarta ditinjau dari logam berat (Hg, Cd, Pb) Pada simulasi Beban masukan logam berat Hg, Cd, Pb ke Teluk Jakarta memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan tajam pada beban pencemaran limbah organic yang terlihat dari beban logam berat Hg, Cd dan Pb. Beban Hg pada tahun 2011 sebesar 1,46 ton/tahun menjadi 1,66 ton/tahun pada tahun 2015, kemudian

103 85 cenderung terus meningkat menjadi 1,91 ton/tahun pada tahun Demikian halnya yang terjadi pada beban logam berat Cd, yang juga terus meningkat dari tahun ke tahun, dalam hal ini pada tahun 2011 sebesar 0,15 ton/tahun, menjadi 0,58 ton/tahun pada tahun 2015, dan sangat meningkat tajam menjadi 2,68 ton/tahun pada tahun Kondisi yang sama juga terjadi pada logam berat Pb yakni sebesar 1,9 ton/tahun pada tahun 2011, menjadi 2,01 ton/tahun pada tahun 2015 dan menjadi 2,22 ton/tahun pada tahun 2020 (Gambar 18) Sub Model Akumulasi Logam Berat pada Sedimen dan Kerang Hijau Sub model yang kedua bertujuan untuk mengetahui variabel akumulasi limbah logam berat yang terakumulasi pada sedimen dan pada kerang hijau di perairan Teluk Jakarta. Pengaruh variabel tersebut digambarkan dalam diagram sebab akibat pada Gambar 19. Berdasarkan diagram sebab akibat (causal loop) di atas diketahui bahwa sumber utama sub model akumulasi logam berat pada sedimen dan kerang hijau adalah konsentrasi logam berat yang ada di perairan laut Teluk Jakarta yang berasal dari kegiatan industri dan kegiatan domestik, karena sifat kesetimbangan dampaknya terakumulasinya logam berat pada sedimen dan kemampuan penyerapan kerang hijau terhadap pencemar yang sangat baik mengakibatkan akumulasi logam berat pada organ tubuhnya. konsentrasi pencemar logam berat Akumulasi logam berat di kolom air + + Akumulasi logam berat di sedimen + Akumulasi logam berat di kerang hijau Gambar 19. Diagram sebab akibat submodel akumulasi logam berat pada sedimen dan kerang hijau Simulasi model dilakukan melalui kajian data yang disusun, diketahui terdapat variabel yang paling berpengaruh terhadap akumulasi logam berat pada sedimen dan pada kerang hijau, antara lain : 1) logam berat merkuri (Hg) 2) logam berat cadmium

104 86 (Cd) 3) logam berat timbal (Pb) yang ada di air, sedimen dan pada kerang hijau. Adapun simulasi untuk memperkirakan kemungkinan yang dapat terjadi pada setiap variabel yang diteliti, selengkapnya tersaji pada Gambar 20. debit KonsHgPerTh bebanhg KonsCdPerTh bebancd bebanpb KonsPbPerTh KAHg bebanhgriil KACd bebancdriil KAPb bebanpbriil AkumHgSed AkumCdSed AkumPbSed AkumHgKH AkumCdKH AkumPbKH Gambar 20. Diagram stock flow submodel akumulasi logam berat pada sedimen dan kerang hijau Simulasi Sub Model Akumulasi pada Sedimen dan Kerang Hijau Pada simulasi akumulasi logam berat Hg, Cd, Pb pada sedimen di Teluk Jakarta memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan tajam pada akumulasi logam berat Hg, Cd, Pb. Akumulasi logam berat Hg pada sedimen, yakni pada tahun 2011 sebesar 1,45 ppm menjadi 2,57 ppm pada tahun 2015, kemudian cenderung terus meningkat menjadi 4,3 ppm pada tahun Demikian halnya yang terjadi pada akumulasi logam berat Cd, yang juga terus meningkat dari tahun ke tahun, dalam hal ini pada tahun 2011 sebesar 1,41 ppm, meningkat sangat tajam menjadi 5,23 ppm pada tahun 2015, dan sangat meningkat tajam lagi menjadi 19,66 ppm pada tahun Kondisi yang sama juga terjadi pada akumulasi logam berat Pb pada sedimen yakni sebesar 0,57 ppm pada tahun 2011, menjadi 0,98 ppm pada tahun 2015 dan meningkat tajam menjadi 1,71 ppm pada tahun 2020 (Gambar 21). Pada simulasi akumulasi logam berat Hg, Cd, Pb pada kerang hijau di Teluk Jakarta memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan tajam pada akumulasi logam berat Hg, Cd, Pb pada kerang hijau. Akumulasi logam berat Hg pada kerang hijau, yakni pada tahun 2011 sebesar 138,24 μg/g bk menjadi 206,03 μg/g bk pada tahun 2015,

105 87 kemudian cenderung terus meningkat menjadi μg/g bk pada tahun Demikian halnya yang terjadi pada akumulasi logam berat Cd, yang juga terus meningkat dari tahun ke tahun, dalam hal ini pada tahun 2011 sebesarsar 9.68 μg/g bk, meningkat sangat tajam menjadi μg/g bk pada tahun 2015, dan sangat meningkat tajam lagi menjadi μg/g bk pada tahun Gambar 21. Akumulasi logam berat pada sedimen Gambar 22. Akumulasi logam berat pada kerang hijau

106 88 Kondisi yang sama juga terjadi pada akumulasi logam berat Pb pada kerang hijau yakni walau tidak besar tapi terjadi peningkatan dari tahun ke tahun yakni sebesar 1.37 μg/g bk pada tahun 2011, menjadi 1.71 μg/g bk pada tahun 2015 dan meningkat tajam menjadi 2.53 μg/g bk pada tahun 2020 (Gambar 22). Terjadinya peningkatan akumulasi yang relative rendah dari logam berat Pb pada kerang hijau diduga karena kelarutan Pb dalam air yang sangat rendah (Volesky, 1990) Validasi Model Model merupakan salah satu cara untuk menggambarkan perilaku sistem nyata dengan cara menyederhanakan fakta sehingga perilaku sistem dapat dipahami lebih mudah, walaupun demikian model tidak akan sama dengan sistem nyata sehingga dibutuhkan validasi yang bertujuan menggambarkan hasil model dengan hasil data yang mewakili sistem nyata. Eriyatno (2003) menyatakan validasi model bertujuan mengetahui apakah model yang dibuat sesuai dan dapat mewakili realitas sistem nyata. Dalam sistem dinamik, proses validasi model dibagi menjadi dua kriteria validasi, yakni validasi struktur dan validasi perilaku model (output model). Validasi struktur model merupakan proses validasi utama dalam berpikir sistem. Untuk melakukan perancangan dan justifikasi seorang pembuat model dituntut untuk mengumpulkan informasi sebanyak mungkin atas sistem yang menjadi obyek penelitian. Informasi ini dapat berupa pengalaman dan pengetahuan dari orang yang memahami mekanisme kerja pada sistem atau berasal dari studi literatur. Pada proses ini bertujuan untuk melihat sejauh mana keserupaan struktur model mendekati struktur nyata, karena pada uji kesesuaian struktur dilakukan untuk menguji apakah struktur model tidak berlawanan dengan pengetahuan yang ada tentang struktur dari sistem nyata dan apakah struktur utama dari sistem nyata telah dimodelkan (Sushil, 1993). Hal ini akan meningkatkan tingkat kepercayaan atas ketepatan dari struktur model. Validasi perilaku model dilakukan dengan membandingkan antara besar dan sifat kesalahan dapat digunakan: 1) Absolute mean error (AME) adalah penyimpangan (selisih) antara nilai rata-rata (mean) hasil simulasi terhadap nilai aktual dan 2) Absolute variation error (AVE) adalah penyimpangan nilai variasi (variance) simulasi terhadap aktual. Berdasarkan validasi yang telah dilakukan, nilai AME dan AVE dari seluruh konsentrasi pencemar hasil riil dan model kurang dari 10%. Menurut Barlas (1996) dan

107 89 Muhammadi et al. (2001) batas penyimpangan yang diizinkan untuk pemodelan sistem dinamik <10%, hal tersebut menunjukan bahwa model akumulasi pemodelan di perairan Teluk Jakarta mampu mensimulasikan perubahan yang terjadi. Tabel 22. Data validasi model pencemaran perairan Teluk Jakarta ditinjau dari konsentrasi pencemar Tahun BOD COD NO3 PO4 riil model riil model riil model riil model Rata-rata AME varian AVE Tahun Hg Cd Pb riil model riil model riil model Rata-rata AME varian E E-34 AVE E Penyusunan Skenario Beban Pencemaran Perairan Teluk Jakarta dan Akumulasi Logam Berat Berdasarkan alternatif keadaan yang teridentifikasi pada faktor yang berpengaruh langsung dalam model, didapatkan tiga skenario yaitu (1) skenario pesimis, (2) skenario moderat, dan (3) skenario optimis. Skenario optimis dan moderat dibangun berdasarkan keadaan (state) faktor kunci, pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) sudah berjalan dengan skala cukup baik untuk skenario moderat dan skala baik

108 90 untuk skenario optimis dalam pengendalian beban pencemaran di Teluk Jakarta dan akumulasi logam berat. Skenario optimis dan skenario moderat merupakan keadaan masa depan yang mungkin terjadi yang diperhitungkan dengan penuh pertimbangan sesuai dengan keadaan dan kemampuan sumberdaya yang dimiliki. Skenario pesimis dibangun atas dasar kondisi saat ini (existing condition), dengan pengertian bahwa walaupun sudah memiliki usaha pengelolaan namun belum mengutamakan faktor-faktor penting yang seharusnya terlebih dahulu dilakukan sehingga tidak memiliki prospek pengendalian pencemaran Teluk Jakarta yang berpandangan jauh ke depan. Asumsi yang di gunakan adalah tingkat efektivitas baik di pemukiman dan industri IPAL akan mengurangi 70-90% limbah yang keluar dari kegiatan tersebut. Terdapat 1866 perusahaan sedang dan besar dengan tingkat pertumbuhan 4.02% setiap tahun (BPS DKI Jakarta 2011) di Jakarta yang di duga menghasilkan logam berat belum ada yang memiliki IPAL, begitu juga dengan di pemukiman. Rata-rata, limbah yang dihasilkan hanya di endapkan dan langsung di buang menuju badan perairan. Asumsi adanya pertumbuhan IPAL 1 % pertahun akan mengurangi limbah yang di buang ke Teluk Jakarta sebesar 1%. Skenario yang di gunakan terdiri dari 1. Skenario pesimis (pertumbuhan IPAL 1% yang mengurangi limbah sebesar 1% serta meningkatkan kemampuan kapasitas asimilasi perairan Teluk Jakarta sebesar 1%), 2. Skenario moderat (pertumbuhan IPAL 4% yang mengurangi limbah sebesar 4% serta meningkatkan kemampuan kapasitas asimilasi perairan Teluk Jakarta sebesar 4%) 3. Skenario optimis (pertumbuhan IPAL 7% yang mengurangi limbah sebesar 7% serta meningkatkan kemampuan kapasitas asimilasi perairan Teluk Jakarta sebesar 7%) Berdasarkan simulasi pada kedua submodel yang membangun pemodelan akumulasi pencemar di Teluk Jakarta, terjadi perbedaan yang mencolok diantara ketiga skenario yang digunakan. Skenario ke-3 (skenario pesimis) memberikan tingkat pencemaran serta akumulasi yang sangat tinggi dibandingkan dengan kedua skenario

109 91 lainnya yakni skenario moderat (ke-2) dan optimis (ke-3). Hasil skenario dapat dilihat pada Gambar Gambar 23. Prediksi beban pencemaran COD perairan Teluk Jakarta sampai tahun 2020 Gambar 24. Prediksi beban pencemaran BOD perairan Teluk Jakarta sampai tahun 2020 Keterangan 1. Kondisi non skrenario Skenario 2. Skenario pesimis 3. Skenario moderat 4. Skenario optimis

110 92 Gambar 25. Prediksi beban pencemaran NO 3 perairan Teluk Jakarta sampai tahun 2020 Gambar 26. Prediksi beban pencemaran PO 4 perairan Teluk Jakarta sampai tahun 2020 Gambar 27. Prediksi beban pencemaran Hg perairan Teluk Jakarta sampai tahun 2020

111 93 Gambar 28. Prediksi beban pencemaran Cd perairan Teluk Jakarta sampai tahun 2020 Gambar 29. Prediksi beban pencemaran Pb perairan Teluk Jakarta sampai tahun 2020 Keterangan 1. Kondisi non skrenario Skenario 2. Skenario pesimis 3. Skenario moderat 4. Skenario optimis

112 94 Gambar 30. Prediksi akumulasi Hg di sedimen Teluk Jakarta sampai tahun 2020 Gambar 31. Prediksi akumulasi Hg di kerang hijau sampai tahun 2020 Keterangan 1. Kondisi non skrenario Skenario 2. Skenario pesimis 3. Skenario moderat 4. Skenario optimis

113 95 Gambar 32. Prediksi akumulasi Cd di sedimen Teluk Jakarta sampaiai tahun 2020 Gambar 33. Prediksi akumulasi Cd di kerang hijau sampai tahun 2020 Keterangan 1. Kondisi non skrenario Skenario 2. Skenario pesimis 3. Skenario moderat 4. Skenario optimis

114 96 Gambar 34. Prediksi akumulasi Pb di sedimen Teluk Jakarta sampai tahun 2020 Gambar 35. Prediksi akumulasi Pb di kerang hijau sampai tahun 2020 Keterangan 1. Kondisi non skrenario Skenario 2. Skenario pesimiss 3. Skenario moderat 4. Skenario optimis

115 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Kondisi eksisting perairan Teluk Jakarta telah melampaui baku mutu air yang telah ditetapkan pemerintah RI serta melebihi kapasitas asimilasi yang dimiliki oleh Perairan Teluk Jakarta. Pada lokasi penelitian juga diketahui adanya bioakumulasi logam berat, paling tinggi adalah merkuri yang terakumulasi pada organ hepatopankreas. Semakin besar ukuran kerang hijau kandungan logam beratnya semakin meningkat. Akibat adanya bioakumulasi logam berat di organ kerang hijau, terjadi perubahan morfologi (deformasi/malformasi) yakni ukuran tebal lebih besar dibandingkan lebar kerang hijau. Hasil prediksi dan simulasi beban pencemaran yang masuk ke Teluk Jakarta serta akumulasi logam berat pada sedimen dan kerang hijau, hingga tahun 2020, akan bergantung pembangunan serta pelaksanaan instalasi pengolahan air limbah (IPAL) dengan baik dan benar Saran Karena adanya kecenderungan peningkatan akumulasi logam berat di tubuh kerang usia 5-6 bulan, diperlukan pengambilan sampel kerang usia lebih dari 6 bulan Telah terbukti adanya malformasi kerang hijau, hendaknya dilakukan penelitian tentang kandungan logam berat pada cangkang kerang hijau

116 98

117 DAFTAR PUSTAKA Abowei JFN, George ADI Some Physical and Chemical Characteristics in Okpoka Creek, Niger Delta, Nigeria. Res J Envi Earth Sci 1(2): Adedokun OA, Adeyemo OK, Adeleye E, Yusuf RK Seasonal Limnological Variation and Nutrient Load of the River System in Ibadan Metropolis, Nigeria. European J Sci Res23(1): Adeyemo OK, Adedokun OA, Yusuf RK, Adeleye EA Seasonal Change in Physico-Chemical Parameters and Nutrient Load of River Sediments in Ibadan City, Nigeria. Global Nest J 10(3): Ahalya N, Ramachandra TV, Kanamadi RD Biosorption of Heavy Metals. Bangalore: Indian Institute of Science. Akan JC, Abdulrahman FI, Yusuf E Physical and Chemical Parameters in Abattoir Wastewater Sample, Maiduguri Metropolis, Nigeria. Pacific J Sci Techn 11(1): Alloway BJ Soil Pollution and Land Contamination. Dalam Buku Pollution: Causes, Effects and Control. Edisi Keempat. Roy M. Harrison (Editor). The Royal Society of Chemistry. Cambridge. Inggris Alloway BJ (editor) Heavy Metals in Soils. Edisi Kedua. Blackie Academic and Professional. Chapman and Hall. London. Inggris Amdur MO, Doull J, Klassen CD Casarett and Doull's Toxicology - The Basic Science of Poisons. Edisi ke-4. Pergamon Press. New York. Amerika Serikat Amin I Pengaruh Kontak antara Limbah Cair Pabrik Nikel dengan Zeolit, Karbon Aktif dan Tumbuhan Pistia sp terhadap Logam Khrom dan Nikel. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Makassar Asikin Kerang Hijau. Penebar Swadaya. Jakarta. Asonye CC, Okolie NP, Okenwa EE, Iwuanyanwu UG Some Physicochemical Characteristics and Heavy Metal Profiles of Nigerian Rivers, Streams and Waterways. Afr J Biotechnol 6(5): Asuhadi S Analisis Beban Pencemaran dan Kapasitas Asimilasi Kawasan Perairan Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Baldwin DR, Marshall WJ Heavy Metal Poisioning and its Laboratory Investigation (Review Article). Ann Clin Biochem 36: Begum A, Ramaiah M, Harikrishna, Khan I, Veena K Heavy Metal Pollution and Chemical Profile of Cauvery River Water. J Chem 6(1):47-52.

118 100 Beales RW, Lindley RH Studies On The Growth and Aquaculture Potential of Green Mussel Perna viridis in Brunei Waters, p In R.W. Beales, D.J. Cur-ne and R.I. Lindley (editor) Investigations into Fisheries Resources in Brunei. Monogr. Brunei Museum No. 5. Cheong L, Chen FY Preliminary Studies on Ran Method of Culturing Green Mussels, Perna viridis (L.), in Singapore. Singapore J. Prim. Ind. 8(2): Danazumi S, Bichi MH Industrial Pollution and Heavy Metals Profile of Challawa River in Kano, Nigeria. J Appl Sci Envi Sanitation 5(1): Baird C Environmental Chemistry. W.H. Freeman and Company. New York. Amerika Serikat Benson AJ, Marelli DC, Frischer ME, Danforth JM, Williams JD Establishment of The Green Mussel, Perna viridis (Linnaeus 1758) (Mollusca: Mytilidae) on The West Coast of Florida. J Shellfish Res Vol. 20 halaman Boonyatumanond R, Jaksakul A, Puncharoen P, Tabucanon MS Monitoring of Organochlorine Pesticides Residues in Green Mussels (Perna viridis) from The Coastal Area of Thailand. Environ Pollut Vol. 119 halaman BPLHD DKI Jakarta., Pemantauan Kualitas Perairan dan Muara Teluk Jakarta. BPLHD Provinsi DKI Jakarta. Jakarta Brusca RC, Brusca GJ Invertebrates. Sinauer Associates, Inc. Massachusetts. Amerika Serikat Bryan GW Heavy Metals Contamination in The Sea. Dalam buku Marine Pollution. Johnston (Editor). New York, Amerika Serikat Burkholder JHF, Mason KM, Glasgow HBJR Water Column Nitrate Enrichment Promotes Decline of Eelgrass Zostera marina, Shoalgrass Halodule wrightii, and Widgeongrass Ruppia moritima. Mar Ecol Prog Ser 105: Connell DW, Miller GJ Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran. Penerjemah Yanti Koestoer; Pendamping Sahati. UI Press. Jakarta Cotton FA, Wilkinson G Kimia Anorganik Dasar. Penerjemah Sahati Suharto, Yarti A. Koestoer. UI Press. Jakarta Dahlia H Studi Keterkaitan Beban Limbah terhadap Kualitas Perairan (Studi Kasus Kamal Muara). Tesis. Sekolah Pasca Sarjana. IPB. Bogor Dahuri R Keanekaragaman Hayati Laut; Aset Pembangunan Berkelanjutan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

119 101 Damar A Musim Hujan dan Eutrofikasi Perairan Pesisir. [akses 26 Januari 2010 pukul 01.05] Darmono Logam Dalam Sistem Biologi Mahluk Hidup. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Darmono Lingkungan Hidup dan Pencemaran: Hubungan dengan Toksikologi Senyawa Logam. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. Davis ML, Cornwell DA Introduction to Environmental Engineering. McGraw-Hill. New York. Amerika Serikat De Groot AJ, Salomons W, Allersma E Process Affecting Heavy Metals in Estuarine Sediments. Dalam Buku Estuatine Chemistry. J.D. Burton dan P.S. Liss (Editor). Academic Press. London. Inggris De-Faverney C, Devaux A, Lafaurie M, Girrard JP, Bailly B, Rahmani R Mercury Induces Apoptosis and Genotoxicity In Rainbow Trout Hepatocytes through Generation of Reactive Oxygen Species. Aquat Toxicol 53 (1): Dixon DR Aneuploidy in Mussel Embryos (Mytilus edulis L) Orininating from a Polluted Dock. Mar Biol Lett 3: Effendi H Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Encyclopædia Britannica "Malformation." Encyclopædia Britannica. Encyclopædia Britannica Online. Web. 20 Jan < Ercal N, Gurer-Orhan A, Aykin-Burns N Toxic Metals and Oxidative Stress. Part I: Mechanism Iinvolved in Metals Induced Oxidative Damage. Current Topics Medical Chemistry Fardiaz S Polusi air dan Udara. Kanisius. Yogyakarta Fichet D, Radenac G, Miramand P Experimental Studies of Impact of Harbor Sediment Resuspension to Marine Invertebrate Lava: Bioavailability of Cd, Cu, Pb and Zn and Toxicity. Mar Pollut Bull 36: Ford A Modeling the Environment: An Introduction to System Dynamics Model of Environmental System. Island Press. California. Amerika Setikat Forrester JW Principle of System. MIT Press. Cambridge. Amerika Serikat Garza A, Vega R, Soto E Med Sci Monit 12: Celullar Mechanisms of Lead Neurotoxicity.

120 102 Grant WE, Pederson EK, Marin SL Ecology and Natural Resources Management: System Analysis and Simulation. John Wiley & Son. New York. Amerika Serikat Gosling E The Muscle Mytilus: Ecology, Physiology Geneties and Cultures. Development in Aquaculture Fisheries Science, Vol 25. New York and Tokyo. Elsevier London Harahap S Tingkat Pencemaran Air Di Kali Cakung Ditinjau Dari Sifat Fisika Dan Kimia Khususnya Logam Berat Dan Keaneka Ragaman Jenis Hewan Benthos. Tesis. Tidak Dipublikasikan. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor Hariani CE Mengembangkan Pendidikan Lingkungan yang Berperspektif Kemiskinan dan Gender dengan Memanfaatkan Cara Berpikir Sistem. Buletin Triwulan Access 2 (1):9-14 Haslam SM River Pollution; An Ecological Perspective, Belhaven Press, London, UK. Hatrisari Sistem Dinamik: Konsep Sistem dan Pemodelan untuk Industri dan Lingkungan. SEAMEO BIOTROP. Bogor Hutagalung HP Logam Berat dalam Lingkungan Laut. Pewarta Oceana IX (1): Hutagalung HP Kandungan Logam Berat Dalam Sedimen Di Kola, Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta. Makalah Penunjang Seminar Pemantauan Pencemaran Laut. Pusat Penelitian Dan Pengembangan Oseanologi. LIPI. Jakarta IADC/CEDA Convention, Codes, and Conditions: Marine Disposal. Environmental Aspects of Dredging 2a. 71 hal. Johari HS Analisis Pencemaran Logam Berat Cu, Cd dan Pb di Perairan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Provinsi DKI Jakarta (Studi Kasus Pulau Panggang dan Pulau Pramuka). Tesis. Sekolah Pasca Sarjana. IPB. Bogor Jose B, Deepthi TR Green Mussel (Perna viridis), a New Host For The Pea Crab (Pinnotheres placunae) Along the Malabar Coast, Kerala. Curr Sci India 89(7): Korringa P Economic Aspects of Mussel Farming. Proc. FAO Tech. Conf. on Aquaculture Held in Kyoto, Japan, 26 May - 2 June Kupchella CE, Hyland MC Environmental Science, Living Within The System of Nature. Prentice Hall. New Jersey. Amerika Serikat Lidsky TI, Schneider JS, Lead Neurotoxicity in Children: Basic Mechanism and Clinical Correlates. Brain. 126:5-19

121 103 Lu FC Toksikologi Dasar: Asas, Organ Sasaran dan Penilaian Resiko. Penerjemah Edi Nugroho; Pendamping Zunilda S. Bustani dan Iwan Darmansyah. UI Press. Jakarta Luo YF, Khan S, Cui YL, Feng YH, Li YL Modeling the Water Balance for Aerobic Rice: A System Dynamic Approach. Agr Water Manage 74: Mamboya FA Heavy Metals Contamination and Toxicity: Studies of Mucroalgae From Tanzanian Coast. Stockholm University. Stockholm, Swedia Manahan SE Environmental Chemistry. Edisi ke-6. CRC Press. Florida Amerika Serikat Manahan SE Fundamental Of Environmental Chemistry. Second Edition. Lewis Publishers : United State of America. Mance G Pollution Threat of Heavy Metal In Aquatic Environmental. Elsevier Science Publishers LTD : England. Mara D, Cairncross S Pemanfaatan Air Limbah dan Ekskreta. Diterjemahkan oleh Benni Matram. Penerbit ITB. Bandung. Metcalf, Eddy Wastewater Engineering, Treatment and Reuse. Volume 1. 4th Edition. Revised by George Tchobanoglous, Franklin L. Burton and H. David Stensel. Mc Graw Hill Higher Education. Mezuan, Kajian Kapasitas Asimilasi Perairan Marina Teluk Jakarta. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana. IPB. Bogor Mohamed KS, Kripa V, Velayudhan TS, Appukuttan KK Enhancing Profitability Through Improved Seeding Techniques in Green Mussel (Pema viridis) Farming. J Mar Biol Ass India, 45 (2): Moore JW, Ramamoorthy S Heavy Metals in Neutral Water. Springer Verlag. New York. Muhammadi, Aminullah E, Soesilo B Analisis Sistem Dinamis: Lingkungan Hidup, Sosial, Ekonomi, Manajemen. UMJ Press. Jakarta Mulayawan I Korelasi Kandungan Logam Berat Hg, Pb, Cd dan Cr pada Air Laut, Sedimen dan Kerang Hijau (Perna viridis) di Perairan Kamal Muara, Jakarta Utara. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana. IPB. Bogor Mulyono D Teluk Jakarta dan Kualitas Hasil Perikanan. Jurnal Lingkungan dan Pembangunan 20 (2): Nagarajappa, Ganguly A, Goswami U DNA Damage in Male Gonad Cells of Green Mussel (Perna viridis) Upon Exposure to Tobacco Products. Gene Lab, National Institute of Oceanography, Dona Paula, Goa, India,

122 104 Napitupulu A Pengembangan model kebijakan pengelolaan lingkungan berkelanjutan pada PT (Persero) Kawasan Berikat Nusantara. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. IPB. Bogor Neff JM Bioacumullation in Marine Organisme. Effect of Contaminants from Oil Well Produced Water. Elsevier Ltd.: Amesterdam. Nordberg JF, Parizek J, Pershagen G, Gerhardsson L Factor Influencing Effect and Dose-Respons Relationships of Metals. Handbook on the Toxicology of Metals. New York: Elsevier. Novotny V Diffuse Source of Pollution by Toxic Metals and Impact on Receiving Water. Dalam Buku Heavy Metals. R. Allan, U. Forstner dan W. Salmons (Editor). Springer Nwankwoala HO, Pabon D, Amadi PA Seasonal Distribution of Nitrate and Nitrite Levels in Eleme Abattoir Environment, Rivers State, Nigeria. J Appl Sci Envi Manage 13(4): Ochiai EI General Principles of Biochemistry of Elements. New York. Plenum Press. Odum E Dasar-dasar Ekologi. Ed ke-4. T. Samingan dan B. Soegandito, Penerjemah; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Fundamentals of Ecology Olsson EP Disorders Associated with Heavy Metal Pollution. Departement of Celullar and Developmentaliology. Umea University. S Umea Sweden Olubunmi FE, Olorunsola OE Evaluation of the Status of Heavy Metal Pollution of Sediment of Agbabu Bitumen Deposit Area, Nigeria. European J Sci Res 41(3): Paasivirta, J Chemical Ecotoxicology. Lewis Publishers : Florida. Palar H Toksikologi dan Pencemaran Logam Berat. Rineka Cipta. Jakarta Phillips DJH Proposal for Monitoring on the Concern in Metals Pollution. Di dalam: VB Vernberg, editor. Pollution and Physiology of Marine Organism. London: Acad Press. Phillips DJH Proposal for Monitoring Studies on The Contamination of The East Asian Seas by Trace Metals and Organichlorines, Dalam South Chine Fisheries Development and Coordinating Programme. FAO. Manila Phillips DJH Organochlorines and Trace Metals in Green-Lipped Mussels Perna viridis from Hong Kong Waters: a Test of Indicator Ability. Mar Ecol-Prog Ser 21:

123 105 Qin XS, Huang GH, Zeng GM, Chakma A An Interval-Parameter Fuzzy Nonlinear Optimization Model for Stream Water Quality Management Under Uncertainty, European J Oper Res 180: Quano Training Manual on Assesment of the Quantity and Type of Land Based Pollutant Discharge into the Marine and Coastal Environment. Bangkok :UNEP Rafni R Kapasitas Asimilasi Beban Pencemar di Perairan Teluk Jobukuto Kaupaten Jepara Jawa Tengah. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana. IPB. Bogor. Rahardjo Hasil Penelitian, Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Lingkungan (P3TL), Ramesh A, Tanabe S, Subramanian AN, Mohan D, Venugopalan VK, Tatsukawa R Persistent Organochlorine Residues in Green Muscles from Coastal Waters of South India. Mar Pollut Bull 21 (12): Razak H Kandungan Logam Berat di Perairan Ujung Watu dan Jepara. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi, LIPI. Jakarta. ISSN Riani E, Surjono HS Penanganan Limbah B3 dengan Sistem Biofilter Kerang Hijau di Teluk Jakarta. PEMDA DKI-IPB. Jakarta Rochyatun E, Lestari, Rozak A Kualitas Lingkungan Perairan Banten dan Sekitarnya Ditinjau dari Kondisi Logam Berat. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia (38): Rochyatun E, Kaisupy MT, Rozaq A Distribusi Logam Berat Dalam Air dan Sedimen Di Perairan Muara Sungai Cisadane. Jurnal Makara Seri Sains, 10(1):35-40 Rosell NC Uptake and Depuration of Mercury In The Green Mussel, Perna viridis Linnaeus (Bivalvia: Mylitidae). Philippine J Sci 144(1-2):1-30 Ruangwises S, Ruangwises N, Tabucanon MS Persistent Organchlorine Pesticide Residues in Green Mussels (Perna viridis) from the Gulf of Thailand. Mar Polut Bull 28: Rump HH Laboratory Manual fot the Examinaton of Water, Waste Water and Soil. 3rd Completely Revised Edition. English Translation by Elisabeth J. Grayson. Wiley-VHC. Weinheim. Germany. Salmin Oksigen Terlarut (DO) dan Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD) Sebagai Salah Satu Indikator untuk Menentukan Kualitas Perairan. Oseana. 30(3): Sanusi HS, Putranto S Kimia Laut dan Pencemaran. Proses Fisika Kimia dan Interaksinya dengan Lingkungan. IPB : Bogor.

124 106 Sanusi HS Kimia Laut, Proses Fisik Kimia dan Interaksinya dalam Lingkungan. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor Saysel AK, Barlas Y, Yenigun O Environmental Sustainability in an Agricultural Development Project: a System Dynamics Approach. J Enviro Manage 64:1-14. Seed, R Ecology, p In B.L.Bayne (ed.) Marine Mussels: Their Ecology and Physiology. Cambridge University Press, Cambridge. Setyobudiandi I Sumberdaya Hayati Moluska Kerang Mytilidae. Laboratorium Manajemen Sumberdaya Perikanan. Departemen manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Simonovic SP World Water Dynamics: Global Modeling of Water Resources. J Enviro Manage 66: Simonovic SP, Fahmy H, Elshorbagy A The Use of Object-oriented Modeling for Water Resource Planning in Egypt, Water Resour Manage 11(4): Siriwong C, Hironaka H, Onodera S. Tabucanon MS Organochlorine Pesticide Residues in Green Mussel (Perna viridis) from the Gulf of Thailand. Mar Pollut Bull 22: Sivalinggam PM Aquaculture of Green Mussel, Mytilus viridis Linnaeus, in Malaysia [Electronic version]. Aquaculture 11: Simonovic SP World Water Dynamics: Global Modeling of Water Resources, J Enviro Manage 66: Simonovic SP, Rajasekaram V Integrated Analysis of Canada s Water Resources: A System Dynamics Approach, Canadian Water Resour J 29(4): Singh MD, Kant R Knowledge Management: An Interpretive Structural Modeling Approach. Int J Manage Sci Eng Manage 3(2): Siradz SA, Harsono ES, Purba I Kualitas Air Sungai Code, Winongo dan Gajahwong, Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan 8(2): Sitepu HT Desain Kebijakan Pengelolaan Permukiman Berkelanjutan yang Berbasis Instalasi Pengolahan Air Limbah Mandiri. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. IPB. Bogor Soetrisno Mengapa Timbal Beracun? Teori Kuantum Menjawabnya. (6 Mei 2010)

125 107 Sugiharto Dasar-dasar Pengolahan Air Limbah. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. Suharsono Status Pencemaran di Teluk Jakarta dan Saran Pengelolaannya; dalam Anonim Interaksi Daratan dan Lautan. LIPI Press. Jakarta Supangat A, Munawar U. No Annual. Pengantar Kimia dan Sedimen Dasar Laut. Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Non-Hayati. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan Sutamihardja RTM, Adnan K, Sanusi HS Perairan Teluk Jakarta Ditinjau dari Tingkat Pencemarannya. Fakultas Pascasarjana, Jurusan PSL. IPB The Codex Committee on Food Additive and Contaminants Report of the Working Group on the General Principles of the General Standard for Food Additives (GSFA). European Community Vakily JM The Biology and Culture of Mussel of The Genus Perna. International Center for Living Aquatic Resources Management. Verlecar XN, Jena KB, Chainy GBN. 2006a. Biochemical markers of oxidative stress in Perna viridis exposed tomercury and temperature. National Institute of Oceanography, Dona Paula, Goa, India Department of Zoology and Biotechnology, Utkal University, Bhubaneswar. India. Verlecar XN, Pereira N, Desai SR, Jena KB, Singdha. 2006b. Marine Pollution Detection Through Biomarkers in Marine Bivalves. Curr Sci India Volesky B Biosorption of Heavy Metals. Volesky (editor). CRC Press. Inc. Boca Raton, Florida Viarengo A, Pertica M, Mancinelli G, Zanicchi G, Orunesu M Syntesis of Cu-Binding Proteins in Different Tissues of Mussels Exposed to The Metal. Mar Pollut Bull 12: Viarengo A Heavy Metals in Marine Invertebrates: Mechanisms of Regulation and Toxicity at The Cellular Level. Rev Aquat Sci 1: Vouk V General Chemistry of Metals. Dalam Buku Handbook on The Toxicology of Metals. Freiberg L., Nordberg G.F., and Vouk V.B (Editor). Elsevier. New York, Amerika Serikat Vries W de, Romkens FAM, van Leeuwen T, Bronswijk JJB Agricultural, Hydrology and Water Quality. The Netherlands National Institute of Public Health and Environment. Nethernlands Wong CKC, Cheung RYH, Wong MH Heavy Metal Concentrations in Green-Lipped Mussels Collected from Tolo Harbour and Markets in Hong Kong and Shenzhen. Enviro Pollut 109:

126 108 Yap CK, Tan SG, Ismail A, Omar H Genetic Variation of the Green-lipped Mussel Perna viridis (L.) (Mytilidae: Mytiloida: Mytilicae) from the West Coast of Peninsular Malaysia. Zool Stud 41: Yaqin K Ada Kerang Abnormal di Teluk Jakarta. [akses 28 Januari 2010 pukul 06.23]. Zhang H, Zhang X, Zhang B System Dynamic Approach to Urban Water Demand Forecasting. Transaction of Tianjin University 15(1): China

127 LAMPIRAN

128 110

129 111 Lampiran 1. Stasiun pengambilan sample air Stasiun Lintang Selatan Lintang Utara Sungai/Kali Muara Angke 6 06º º Lokasi Budidaya Kerang Hijau 8 06º º Gambar stasiun pengambilan sample air dan sedimen di Kali Muara Angke

130 112 Gambar stasiun pengambilan sample air, sedimen dan kerang hijau di lokasi budidaya

131 113 Lampiran 2. Hasil analisa data mentah dan fluktuasi debit air 10 debit (m3/det) 9.5 debit (m3/det) :00 10:00:00 12:00:00 14:00:00 16:00:00 Waktu Gambar fluktuasi debit air Kali Muara Angke waktu debit (m3/det) debit (liter/det) 8: :00: :00: :00: :00:

132 114 Lampiran 3. Prinsip pengukuran kandungan logam berat Prinsip pengukuran Analisa logam berat dilakukan dengan menggunakan spektrofotometrik serapan atom (AAS) yaitu dengan menggunakan prinsip berdasarkan Hukum Lambert-Beert yaitu banyaknya sinar yang diserap berbanding lurus dengan kadar zat. Persamaan garis antara konsentrasi logam berat dengan absorbansi adalah persamaan linier dengan koefisien arah positif: Y = a + bx. Dengan memasukkan nilai absorbansi larutan contoh ke persamaan garis larutan standar maka kadar logam berat contoh dapat diketahui. Larutan contoh yang mengandung ion logam dilewatkan melalui nyala udara-asetilen bersuhu C sehingga terjadi penguapan dan sebagian tereduksi menjadi atom. Lampu katoda yang sangat kuat mengeluarkan energi pada panjang gelombang tertentu dan akan diserap oleh atom-atom logam berat yang sedang di analisis. Jumlah energi cahaya yang diserap atom logam berat pada panjang gelombang tertentu ini sebanding dengan jumlah zat yang diuapkan pada saat dilewatkan melalui nyala api udara-asetilen. Setiap unsur logam berat membutuhkan lampu katoda yang berbeda. Keseluruhan prosedur ini sangat sensitif dan selektif karena setiap unsur membutuhkan panjang gelombang yang sangat pasti (Tinsley, 1979 in Darmono, 1995). Untuk lebih jelasnya prinsip kerja spektrofemetrik dapat dilihat pada Gambar dibawah ini. Gambar prinsip kerja spektrofotometrik Pengukuran kandungan logam berat dalam air 1. Contoh air laut 500 ml disaring dengan kertas saring 0,45 m. 2. ph diatur kisarannya 3,5-4 dengan menambahkan dengan HNO3 pekat. 3. Ditambahkan 1 ml larutan HNO3 pekat. 4. Ditambahkan 5 ml campuran penahan buffer asetat. 5. Ditambahkan 5 ml amonium pirolidin ditiokarbonat (apdc), dikocok sekitar 5 menit. 6. Ditambahkan 10 ml pelarut organik metil iso butil keton (mibk), dikocok sekitar 3 menit dan biarkan ke dua fasa terpisah.

133 Ditampung fasa airnya. Fasa air ini digunakan untuk pembuatan larutan blanko laboratorium dan standar. 8. Ditambahkan 10 ml air suling ganda-bebas ion (dddw), dan dikocok sekitar 5 detik dan biarkan kedua fasa terpisah. Buang fasa airnya. 9. Ditambahkan 1 ml HNO3 pekat, dan dikocok sebentar dan dibiarkan sekitar 15 menit. 10. Ditambahkan 9 ml air suling ganda bebas ion dan dikocok sekitar 2 menit serta ke dua fasa dibiarkan terpisah. 11. Ditampung fasa airnya dan siap diukur dengan AAS menggunakan nyala udara-asetilen. Pengukuran kandungan logam berat dalam sedimen 1. Dimasukkan masing-masing contoh sedimen ke dalam beaker Teflon secara merata agar mengalami proses pengeringan sempurna. 2. Kemudian dikeringkan contoh sedimen dalam oven pada suhu 1050 C selama 24 jam. 3. Contoh sedimen yang telah kering kemudian ditumbuk sampai halus. 4. Setiap contoh sedimen ditimbang sebanyak kurang lebih 4 gram dengan alat timbang digital. 5. Contoh sedimen yang telah ditimbang dimasukkan kedalam beaker Teflon yang tertutup. 6. Selanjutnya ditambahkan 5 ml larutan aqua regia dan dipanaskan pada suhu 1300 C. 7. Setelah semua sedimen larut, pemanasan diteruskan hingga larutan hampir kering dan selanjutnya didinginkan pada suhu ruang dan dipindahkan ke sentrifus polietilen. 8. Kedalamnya ditambahkan aquades hingga volumenya mencapai 100 ml dan dibiarkan mengendap, kemudian tampung fasa airnya. Selanjutnya siap diukur dengan AAS, menggunakan nyala udara-asetilen.

134 116 Lampiran 4. Pengukuran kandungan logam berat Kandungan Hg pada kerang hijau 1-2 bulan 3-4 bulan 5-6 bulan 7 bulan Pengamatan Pengamatan Pengamatan Pengamatan Pengamatan rata-rata Kandungan Hg pada kerang hijau per-individu N bb daging rata (g) bk daging rata (g) Hg (μg/g bk) kandungan Hg perindividu (μg) 1-2 bulan bulan bulan bulan Kandungan Cd pada kerang hijau 1-2 bulan 3-4 bulan 5-6 bulan 7 bulan Pengamatan Pengamatan Pengamatan Pengamatan Pengamatan rata-rata Kandungan Cd pada kerang hijau per-individu N bb daging rata (g) bk daging rata (g) Cd (μg/g bk) kandungan Cd perindividu (μg) 1-2 bulan bulan bulan bulan

135 117 Kandungan Pb pada kerang hijau 1-2 bulan 3-4 bulan 5-6 bulan 7 bulan Pengamatan Pengamatan Pengamatan Pengamatan Pengamatan rata-rata Kandungan Pb pada kerang hijau per-individu N bb daging rata (g) bk daging rata (g) Pb (μg/g bk) kandungan Pb perindividu (μg) 1-2 bulan bulan bulan bulan bulan 3-4 bulan 5-6 bulan 7 bulan kandungan Hg perindividu (μg) kandungan Pb perindividu (μg) bulan 3-4 bulan 5-6 bulan 7 bulan kandungan Cd perindividu (μg)

136 118 Lampiran 5. Sample kerang hijau Gambar Pengukuran morfologi kerang hijau (Perna (Perna viridis viridis) Gambar kerang hijau (Perna Perna viridis) viridis) yang mengalami malformasi (atas) dan normal (bawah)

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Teluk Jakarta merupakan salah satu wilayah pesisir di Indonesia yang di dalamnya banyak terdapat kegiatan, seperti pemukiman, perkotaan, transportasi, wisata, dan industri.

Lebih terperinci

KAJIAN AIR LIMBAH DOMESTIK DI PERUMNAS BANTAR KEMANG, KOTA BOGOR DAN PENGARUHNYA PADA SUNGAI CILIWUNG. Oleh : Muhammad Reza Cordova C

KAJIAN AIR LIMBAH DOMESTIK DI PERUMNAS BANTAR KEMANG, KOTA BOGOR DAN PENGARUHNYA PADA SUNGAI CILIWUNG. Oleh : Muhammad Reza Cordova C KAJIAN AIR LIMBAH DOMESTIK DI PERUMNAS BANTAR KEMANG, KOTA BOGOR DAN PENGARUHNYA PADA SUNGAI CILIWUNG Oleh : Muhammad Reza Cordova C24104056 DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KARTIKA NUGRAH PRAKITRI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pencemaran Air

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pencemaran Air 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pencemaran Air Air merupakan materi yang paling berlimpah, sekitar 71 % komposisi bumi terdiri dari air, selain itu 50 % hingga 97 % dari seluruh berat tanaman dan hewan terdiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Panggang adalah salah satu pulau di gugusan Kepulauan Seribu yang memiliki berbagai ekosistem pesisir seperti ekosistem mangrove, padang lamun, dan terumbu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki tingkat keanekaragaman flora dan fauna yang tinggi sehingga disebut

BAB I PENDAHULUAN. memiliki tingkat keanekaragaman flora dan fauna yang tinggi sehingga disebut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sumber kekayaan yang sangat melimpah yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sumber pencemar bagi lingkungan (air, udara dan tanah). Bahan

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sumber pencemar bagi lingkungan (air, udara dan tanah). Bahan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Aktivitas manusia berupa kegiatan industri, rumah tangga, pertanian dan pertambangan menghasilkan buangan limbah yang tidak digunakan kembali yang menjadi sumber

Lebih terperinci

BAB I. Logam berat adalah unsur kimia yang termasuk dalam kelompok logam yang

BAB I. Logam berat adalah unsur kimia yang termasuk dalam kelompok logam yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Logam berat adalah unsur kimia yang termasuk dalam kelompok logam yang beratnya lebih dari 5g, untuk setiap cm 3 -nya. Delapan puluh jenis dari 109 unsur kimia yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Laut Indonesia sudah sejak lama didayagunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia terutama pemanfaatan sumberdaya hayati seperti ikan maupun sumberdaya non hayati

Lebih terperinci

KANDUNGAN LOGAM BERAT Hg, Pb DAN Cr PADA AIR, SEDIMEN DAN KERANG HIJAU (Perna viridis L.) DI PERAIRAN KAMAL MUARA, TELUK JAKARTA DANDY APRIADI

KANDUNGAN LOGAM BERAT Hg, Pb DAN Cr PADA AIR, SEDIMEN DAN KERANG HIJAU (Perna viridis L.) DI PERAIRAN KAMAL MUARA, TELUK JAKARTA DANDY APRIADI KANDUNGAN LOGAM BERAT Hg, Pb DAN Cr PADA AIR, SEDIMEN DAN KERANG HIJAU (Perna viridis L.) DI PERAIRAN KAMAL MUARA, TELUK JAKARTA DANDY APRIADI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

Konsentrasi (mg/l) Titik Sampling 1 (4 April 2007) Sampling 2 (3 Mei 2007) Sampling

Konsentrasi (mg/l) Titik Sampling 1 (4 April 2007) Sampling 2 (3 Mei 2007) Sampling Tabel V.9 Konsentrasi Seng Pada Setiap Titik Sampling dan Kedalaman Konsentrasi (mg/l) Titik Sampling 1 (4 April 2007) Sampling 2 (3 Mei 2007) Sampling A B C A B C 1 0,062 0,062 0,051 0,076 0,030 0,048

Lebih terperinci

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN 186 BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan 1. Secara umum suhu air perairan Teluk Youtefa berkisar antara 28.5 30.0, dengan rata-rata keseluruhan 26,18 0 C. Nilai total padatan tersuspensi air di

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Waduk adalah genangan air besar yang sengaja dibuat dengan membendung aliran sungai, sehingga dasar sungai tersebut yang menjadi bagian terdalam dari sebuah waduk. Waduk

Lebih terperinci

Gambar 7. Lokasi penelitian

Gambar 7. Lokasi penelitian 3. METODA PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di muara Sungai Angke dan perairan Muara Angke, Jakarta Utara (Gambar 7). Lokasi tersebut dipilih atas dasar pertimbangan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. serta lapisan kerak bumi (Darmono, 1995). Timbal banyak digunakan dalam

BAB I PENDAHULUAN. serta lapisan kerak bumi (Darmono, 1995). Timbal banyak digunakan dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Logam timbal atau Pb adalah jenis logam lunak berwarna coklat kehitaman dan mudah dimurnikan. Logam Pb lebih tersebar luas dibanding kebanyakan logam toksik lainnya

Lebih terperinci

Polusi. Suatu zat dapat disebut polutan apabila: 1. jumlahnya melebihi jumlah normal 2. berada pada waktu yang tidak tepat

Polusi. Suatu zat dapat disebut polutan apabila: 1. jumlahnya melebihi jumlah normal 2. berada pada waktu yang tidak tepat Polusi Polusi atau pencemaran lingkungan adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan, atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ternyata telah menimbulkan bermacam-macam efek yang buruk bagi kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. ternyata telah menimbulkan bermacam-macam efek yang buruk bagi kehidupan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Aktivitas kehidupan yang sangat tinggi yang dilakukan oleh manusia ternyata telah menimbulkan bermacam-macam efek yang buruk bagi kehidupan manusia dan tatanan lingkungan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Perairan Teluk Jakarta secara geografis terletak pada 5º56 15 LS-6º55 30

2. TINJAUAN PUSTAKA. Perairan Teluk Jakarta secara geografis terletak pada 5º56 15 LS-6º55 30 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Geografis Teluk Jakarta Perairan Teluk Jakarta secara geografis terletak pada 5º56 15 LS-6º55 30 LS dan 106º43 00 BT-106º59 30 BT dan terletak di sebelah utara ibukota

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pencemaran merupakan dampak negatif dari kegiatan pembangunan yang dilakukan selama ini. Pembangunan dilakukan dengan memanfaatkan potensi sumberdaya alam yang

Lebih terperinci

BAB. II TINJAUAN PUSTAKA

BAB. II TINJAUAN PUSTAKA BAB. II TINJAUAN PUSTAKA A. Keadaan Teluk Youtefa Teluk Youtefa adalah salah satu teluk di Kota Jayapura yang merupakan perairan tertutup. Tanjung Engros dan Tanjung Hamadi serta terdapat pulau Metu Debi

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Danau Maninjau merupakan danau yang terdapat di Sumatera Barat, Kabupaten Agam. Secara geografis wilayah ini terletak pada ketinggian 461,5 m di atas permukaan laut

Lebih terperinci

SEBARAN MENEGAK KONSENTRASI Pb, Cu, Zn, Cd, DAN Ni DI SEDIMEN PULAU PARI BAGIAN UTARA KEPULAUAN SERIBU. Oleh : ACHMAD AULIA RACHMAN C

SEBARAN MENEGAK KONSENTRASI Pb, Cu, Zn, Cd, DAN Ni DI SEDIMEN PULAU PARI BAGIAN UTARA KEPULAUAN SERIBU. Oleh : ACHMAD AULIA RACHMAN C SEBARAN MENEGAK KONSENTRASI Pb, Cu, Zn, Cd, DAN Ni DI SEDIMEN PULAU PARI BAGIAN UTARA KEPULAUAN SERIBU Oleh : ACHMAD AULIA RACHMAN C64102057 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Perairan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Perairan 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Perairan Menurut Odum (1971), pencemaran adalah perubahan sifat fisik, kimia dan biologi yang tidak dikehendaki pada udara, tanah dan air. Sedangkan menurut Saeni

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 51' 30 BT perairan tersebut penting di Sumatera Utara. Selain terletak di bibir Selat

BAB I PENDAHULUAN. 51' 30 BT perairan tersebut penting di Sumatera Utara. Selain terletak di bibir Selat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan Bagan Asahan yang terletak pada koordinat 03 01' 00 LU dan 99 51' 30 BT perairan tersebut penting di Sumatera Utara. Selain terletak di bibir Selat Malaka,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai air minum. Hal ini terutama untuk mencukupi kebutuhan air di dalam

BAB I PENDAHULUAN. sebagai air minum. Hal ini terutama untuk mencukupi kebutuhan air di dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan senyawa kimia yang sangat penting bagi kehidupan makhluk hidup di bumi ini. Fungsi air bagi kehidupan tidak dapat digantikan oleh senyawa lain. Penggunaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masalah yang sangat krusial bagi negara maju dan sedang berkembang. Terjadinya

I. PENDAHULUAN. masalah yang sangat krusial bagi negara maju dan sedang berkembang. Terjadinya I. PENDAHULUAN A.Latar Belakang Seiring dengan semakin meningkatnya aktivitas di berbagai sektor pembangunan, terutama pada sektor industri, maka masalah pencemaran lingkungan menjadi masalah yang sangat

Lebih terperinci

Standart Kompetensi Kompetensi Dasar

Standart Kompetensi Kompetensi Dasar POLUSI Standart Kompetensi : Memahami polusi dan dampaknya pada manusia dan lingkungan Kompetensi Dasar : Mengidentifikasi jenis polusi pada lingkungan kerja 2. Polusi Air Polusi Air Terjadinya polusi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan pesisir dikenal sebagai ekosistem perairan yang memiliki potensi sumberdaya yang sangat besar. Wilayah tersebut telah banyak dimanfaatkan dan memberikan sumbangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pencemaran logam berat merupakan salah satu masalah penting yang sering terjadi di perairan Indonesia, khususnya di perairan yang berada dekat dengan kawasan industri,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah merupakan salah satu unsur alam yang sama pentingnya dengan air dan udara. Tanah adalah suatu benda alami, bagian dari permukaan bumi yang dapat ditumbuhi oleh

Lebih terperinci

Tingkat Toksisitas dari Limbah Lindi TPA Piyungan Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta Terhadap Ikan Nila (Oreochromis niloticus.

Tingkat Toksisitas dari Limbah Lindi TPA Piyungan Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta Terhadap Ikan Nila (Oreochromis niloticus. Tingkat Toksisitas dari Limbah Lindi TPA Piyungan Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta Terhadap Ikan Nila (Oreochromis niloticus., L) Oleh: Annisa Rakhmawati, Agung Budiantoro Program Studi Biologi Fakultas

Lebih terperinci

Bab V Hasil dan Pembahasan

Bab V Hasil dan Pembahasan biodegradable) menjadi CO 2 dan H 2 O. Pada prosedur penentuan COD, oksigen yang dikonsumsi setara dengan jumlah dikromat yang digunakan untuk mengoksidasi air sampel (Boyd, 1988 dalam Effendi, 2003).

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu

Lebih terperinci

dari tumpahan minyak-minyak kapal.akibatnya, populasi ikan yang merupakan salah satu primadona mata pencaharian masyarakat akan semakin langka (Medan

dari tumpahan minyak-minyak kapal.akibatnya, populasi ikan yang merupakan salah satu primadona mata pencaharian masyarakat akan semakin langka (Medan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah Republik Indonesia berupa perairan laut yang letaknya sangat strategis. Perairan laut Indonesia dimanfaatkan sebagai sarana perhubungan lokal maupun Internasional.

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan pembangunan di beberapa negara seperti di Indonesia telah

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan pembangunan di beberapa negara seperti di Indonesia telah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan pembangunan di beberapa negara seperti di Indonesia telah memicu berbagai pertumbuhan di berbagai sektor seperti bidang ekonomi, sosial dan budaya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Aktivitas pencemaran lingkungan yang dihasilkan dari suatu kegiatan industri merupakan suatu masalah yang sangat umum dan sulit untuk dipecahkan pada saat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. sumber protein hewani. Kandungan protein kerang yaitu 8 gr/100 gr. Selain itu,

PENDAHULUAN. sumber protein hewani. Kandungan protein kerang yaitu 8 gr/100 gr. Selain itu, 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kerang merupakan satu diantara penghuni perairan dan juga menjadi sumber protein hewani. Kandungan protein kerang yaitu 8 gr/100 gr. Selain itu, kerang juga memiliki kandungan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. buang tanpa adanya pengolahan limbah yang efesien dan terbuang mengikuti arus

BAB 1 PENDAHULUAN. buang tanpa adanya pengolahan limbah yang efesien dan terbuang mengikuti arus BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indramayu merupakan salah satu daerah yang penduduknya terpadat di Indonesia, selain itu juga Indramayu memiliki kawasan industri yang lumayan luas seluruh aktivitas

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Desa Tulabolo adalah bagian dari wilayah Kecamatan Suwawa Timur,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Desa Tulabolo adalah bagian dari wilayah Kecamatan Suwawa Timur, BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian 1) Desa Tulabolo Desa Tulabolo adalah bagian dari wilayah Kecamatan Suwawa Timur, Kabupaten Bone Boalngo, Provinsi

Lebih terperinci

PEMANTAUAN KUALITAS AIR SUNGAI CIBANTEN TAHUN 2017

PEMANTAUAN KUALITAS AIR SUNGAI CIBANTEN TAHUN 2017 PEMANTAUAN KUALITAS AIR SUNGAI CIBANTEN TAHUN 2017 1. Latar belakang Air merupakan suatu kebutuhan pokok bagi manusia. Air diperlukan untuk minum, mandi, mencuci pakaian, pengairan dalam bidang pertanian

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN OKSIGEN UNTUK DEKOMPOSISI BAHAN ORGANIK DI LAPISAN DASAR PERAIRAN ESTUARI SUNGAI CISADANE, TANGERANG

ANALISIS KEBUTUHAN OKSIGEN UNTUK DEKOMPOSISI BAHAN ORGANIK DI LAPISAN DASAR PERAIRAN ESTUARI SUNGAI CISADANE, TANGERANG ANALISIS KEBUTUHAN OKSIGEN UNTUK DEKOMPOSISI BAHAN ORGANIK DI LAPISAN DASAR PERAIRAN ESTUARI SUNGAI CISADANE, TANGERANG RIYAN HADINAFTA SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Air Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat di daratan, perairan lepas pantai (off shore water) dan perairan laut. Ekosistem air yang terdapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pertumbuhan penduduk dan populasi penduduk yang tinggi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pertumbuhan penduduk dan populasi penduduk yang tinggi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pertumbuhan penduduk dan populasi penduduk yang tinggi menimbulkan permasalahan bagi kelestarian lingkungan hidup. Aktivitas manusia dengan berbagai fasilitas

Lebih terperinci

STUDI KETERKAITAN BEBAN LIMBAH TERHADAP KUALITAS PERAIRAN (STUDI KASUS KAMAL MUARA) HELMA DAHLIA

STUDI KETERKAITAN BEBAN LIMBAH TERHADAP KUALITAS PERAIRAN (STUDI KASUS KAMAL MUARA) HELMA DAHLIA STUDI KETERKAITAN BEBAN LIMBAH TERHADAP KUALITAS PERAIRAN (STUDI KASUS KAMAL MUARA) HELMA DAHLIA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. pesisir laut. Batas-batas wilayah tersebut yakni Laut Jawa di sebelah timur, selat

TINJAUAN PUSTAKA. pesisir laut. Batas-batas wilayah tersebut yakni Laut Jawa di sebelah timur, selat II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teluk Lampung Propinsi Lampung memiliki wilayah yang hampir seluruhnya berbatasan dengan pesisir laut. Batas-batas wilayah tersebut yakni Laut Jawa di sebelah timur, selat sunda

Lebih terperinci

Bab V Hasil dan Pembahasan

Bab V Hasil dan Pembahasan terukur yang melebihi 0,1 mg/l tersebut dikarenakan sifat ortofosfat yang cenderung mengendap dan membentuk sedimen, sehingga pada saat pengambilan sampel air di bagian dasar ada kemungkinan sebagian material

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Limbah berbahaya adalah limbah yang mempunyai sifat-sifat antara lain

I. PENDAHULUAN. Limbah berbahaya adalah limbah yang mempunyai sifat-sifat antara lain I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aktivitas manusia yang semakin beragam di berbagai sektor sekarang ini sehingga menimbulkan dampak positif dan dampak negatif, salah satu dampak negatif dari aktivitas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai

TINJAUAN PUSTAKA. manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai TINJAUAN PUSTAKA Pencemaran Pencemaran lingkungan adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain kedalam lingkungan oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam, sehingga

Lebih terperinci

I.1.1 Latar Belakang Pencemaran lingkungan merupakan salah satu faktor rusaknya lingkungan yang akan berdampak pada makhluk hidup di sekitarnya.

I.1.1 Latar Belakang Pencemaran lingkungan merupakan salah satu faktor rusaknya lingkungan yang akan berdampak pada makhluk hidup di sekitarnya. BAB I PENDAHULUAN I.1.1 Latar Belakang Pencemaran lingkungan merupakan salah satu faktor rusaknya lingkungan yang akan berdampak pada makhluk hidup di sekitarnya. Sumber pencemaran lingkungan diantaranya

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS INSTALASI PENGOLAHAN AIR LIMBAH (IPAL) DOMESTIK SISTEM ROTATING BIOLOGICAL CONTACTOR (RBC) KELURAHAN SEBENGKOK KOTA TARAKAN

EFEKTIVITAS INSTALASI PENGOLAHAN AIR LIMBAH (IPAL) DOMESTIK SISTEM ROTATING BIOLOGICAL CONTACTOR (RBC) KELURAHAN SEBENGKOK KOTA TARAKAN EFEKTIVITAS INSTALASI PENGOLAHAN AIR LIMBAH (IPAL) DOMESTIK SISTEM ROTATING BIOLOGICAL CONTACTOR (RBC) KELURAHAN SEBENGKOK KOTA TARAKAN Rizal 1), Encik Weliyadi 2) 1) Mahasiswa Jurusan Manajemen Sumberdaya

Lebih terperinci

STUDI KETERKAITAN BEBAN LIMBAH TERHADAP KUALITAS PERAIRAN (STUDI KASUS KAMAL MUARA) HELMA DAHLIA

STUDI KETERKAITAN BEBAN LIMBAH TERHADAP KUALITAS PERAIRAN (STUDI KASUS KAMAL MUARA) HELMA DAHLIA STUDI KETERKAITAN BEBAN LIMBAH TERHADAP KUALITAS PERAIRAN (STUDI KASUS KAMAL MUARA) HELMA DAHLIA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. telah terjadi perubahan-perubahan dalam tatanan lingkungan sehingga tidak sama lagi

BAB I PENDAHULUAN. telah terjadi perubahan-perubahan dalam tatanan lingkungan sehingga tidak sama lagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Pencemaran atau polusi adalah suatu kondisi yang telah berubah dari bentuk asal pada keadaan yang lebih buruk. Suatu lingkungan dikatakan tercemar apabila telah terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. limbah yang keberadaannya kerap menjadi masalah dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. limbah yang keberadaannya kerap menjadi masalah dalam kehidupan masyarakat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Limbah cair atau yang biasa disebut air limbah merupakan salah satu jenis limbah yang keberadaannya kerap menjadi masalah dalam kehidupan masyarakat. Sifatnya yang

Lebih terperinci

KINETIKA AKTIVITAS REDUKSI NITRAT BAKTERI NITRAT AMONIFIKASI DISIMILATIF DARI MUARA SUNGAI PADA KONSENTRASI OKSIGEN (O 2 ) YANG BERBEDA TETI MARDIATI

KINETIKA AKTIVITAS REDUKSI NITRAT BAKTERI NITRAT AMONIFIKASI DISIMILATIF DARI MUARA SUNGAI PADA KONSENTRASI OKSIGEN (O 2 ) YANG BERBEDA TETI MARDIATI KINETIKA AKTIVITAS REDUKSI NITRAT BAKTERI NITRAT AMONIFIKASI DISIMILATIF DARI MUARA SUNGAI PADA KONSENTRASI OKSIGEN (O 2 ) YANG BERBEDA TETI MARDIATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

GEOKIMIA Pb, Cr, Cu DALAM SEDIMEN DAN KETERSEDIAANNYA PADA BIOTA BENTIK DI PERAIRAN DELTA BERAU, KALIMANTAN TIMUR

GEOKIMIA Pb, Cr, Cu DALAM SEDIMEN DAN KETERSEDIAANNYA PADA BIOTA BENTIK DI PERAIRAN DELTA BERAU, KALIMANTAN TIMUR GEOKIMIA Pb, Cr, Cu DALAM SEDIMEN DAN KETERSEDIAANNYA PADA BIOTA BENTIK DI PERAIRAN DELTA BERAU, KALIMANTAN TIMUR Oleh: Sabam Parsaoran Situmorang C64103011 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Proses adsorpsi antar partikel tersuspensi dalam kolom air terjadi karena adanya muatan listrik pada permukaan partikel tersebut. Butir lanau, lempung dan koloid asam

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Karbon organik merupakan unsur yang penting selain hidrogen, oksigen serta nitrogen dan dalam bentuk senyawa merupakan dasar bagi semua kehidupan. Sumber bahan organik pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kerang hijau Perna viridis memiliki kandungan gizi yang cukup baik untuk konsumsi masyarakat, karena mengandung nilai gizi yang tinggi yaitu protein 20,1%, karbohidrat

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Universitas Sumatera Utara

LAMPIRAN. Universitas Sumatera Utara LAMPIRAN Lampiran 1. Alat dan Bahan Penelitian DO Meter ph Meter Termometer Refraktometer Kertas Label Botol Sampel Lampiran 1. Lanjutan Pisau Cutter Plastik Sampel Pipa Paralon Lampiran 2. Pengukuran

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. banyak efek buruk bagi kehidupan dan lingkungan hidup manusia. Kegiatan

PENDAHULUAN. banyak efek buruk bagi kehidupan dan lingkungan hidup manusia. Kegiatan PENDAHULUAN Latar Belakang Aktivitas kehidupan manusia yang sangat tinggi telah menimbulkan banyak efek buruk bagi kehidupan dan lingkungan hidup manusia. Kegiatan pembangunan, terutama di sektor industri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Keberadaan industri dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat namun juga tidak jarang merugikan masyarakat, yaitu berupa timbulnya pencemaran lingkungan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mandi, mencuci, dan sebagainya. Di sisi lain, air mudah sekali terkontaminasi oleh

I. PENDAHULUAN. mandi, mencuci, dan sebagainya. Di sisi lain, air mudah sekali terkontaminasi oleh I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air merupakan kebutuhan yang sangat pokok bagi kehidupan, karena selain dikonsumsi, juga digunakan dalam berbagai aktivitas kehidupan seperti memasak, mandi, mencuci, dan

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN KUALITAS PERAIRAN PELABUHAN PERIKANAN CILINCING JAKARTA UTARA IRWAN A

STRATEGI PENGELOLAAN KUALITAS PERAIRAN PELABUHAN PERIKANAN CILINCING JAKARTA UTARA IRWAN A STRATEGI PENGELOLAAN KUALITAS PERAIRAN PELABUHAN PERIKANAN CILINCING JAKARTA UTARA IRWAN A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 STRATEGI PENGELOLAAN KUALITAS PERAIRAN PELABUHAN PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini, data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Penyajian grafik dilakukan berdasarkan variabel konsentrasi terhadap kedalaman dan disajikan untuk

Lebih terperinci

KANDUNGAN LOGAM BERAT TIMBAL (Pb) PADA AIR, SEDIMEN, DAN KERANG DARAH (Anadara granosa) DI PANTAI BELAWAN, PROVINSI SUMATERA UTARA SKRIPSI

KANDUNGAN LOGAM BERAT TIMBAL (Pb) PADA AIR, SEDIMEN, DAN KERANG DARAH (Anadara granosa) DI PANTAI BELAWAN, PROVINSI SUMATERA UTARA SKRIPSI KANDUNGAN LOGAM BERAT TIMBAL (Pb) PADA AIR, SEDIMEN, DAN KERANG DARAH (Anadara granosa) DI PANTAI BELAWAN, PROVINSI SUMATERA UTARA SKRIPSI ARYALAN GINTING 090302081 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Air dipergunakan untuk berbagai keperluan seperti untuk mandi, mencuci,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Air dipergunakan untuk berbagai keperluan seperti untuk mandi, mencuci, BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Air Limbah Air dipergunakan untuk berbagai keperluan seperti untuk mandi, mencuci, membersihkan berbagai macam alat, dan lain sebagainya. Air tersebut akan mengalami pencemaran.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya perkembangan zaman, membuat masyarakat terpacu memberikan kontribusi untuk membangun. Pembangunan yang terjadi tidak hanya dari satu sektor, tetapi banyak

Lebih terperinci

Pengertian Pencemaran Laut dan Penyebab Terjadinya Pencemaran Laut

Pengertian Pencemaran Laut dan Penyebab Terjadinya Pencemaran Laut Pencemaran Laut Pengertian Pencemaran Laut dan Penyebab Terjadinya Pencemaran Laut Pencemaran laut adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pencemaran Organik di Muara S. Acai, S. Thomas, S. Anyaan dan Daerah Laut yang Merupakan Perairan Pesisir Pantai dan Laut, Teluk Youtefa. Bahan organik yang masuk ke perairan

Lebih terperinci

PENCEMARAN LINGKUNGAN

PENCEMARAN LINGKUNGAN KONSEP PENCEMARAN PENCEMARAN LINGKUNGAN Pencemaran : - Masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan, atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia dengan kurang lebih 17.508 buah pulau dan mempunyai panjang garis pantai 81.791 km (Supriharyono, 2002).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri penyamakan kulit merupakan industri yang dapat mengubah kulit mentah menjadi kulit yang memiliki nilai ekonomi tinggi melalui proses penyamakan, akan tetapi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kondisi lingkungan perairan Kota Bandar Lampung yang merupakan ibukota

I. PENDAHULUAN. Kondisi lingkungan perairan Kota Bandar Lampung yang merupakan ibukota 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kondisi lingkungan perairan Kota Bandar Lampung yang merupakan ibukota Propinsi Lampung terletak di bagian ujung selatan Pulau Sumatera. Secara geografis, Propinsi Lampung

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Limbah adalah sampah cair dari suatu lingkungan masyarakat dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Limbah adalah sampah cair dari suatu lingkungan masyarakat dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Limbah Limbah adalah sampah cair dari suatu lingkungan masyarakat dan terutama terdiri dari air yang telah dipergunakan dengan hampir-hampir 0,1% dari padanya berupa benda-benda

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. limbah dari pertanian dan industri, serta deforestasi ilegal logging (Nordhaus et al.,

I. PENDAHULUAN. limbah dari pertanian dan industri, serta deforestasi ilegal logging (Nordhaus et al., I. PENDAHULUAN Segara Anakan merupakan perairan estuaria yang terletak di pantai selatan Pulau Jawa, termasuk dalam wilayah Kabupaten Cilacap, dan memiliki mangroveestuaria terbesar di Pulau Jawa (7 o

Lebih terperinci

PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API

PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API (Avicennia marina Forssk. Vierh) DI DESA LONTAR, KECAMATAN KEMIRI, KABUPATEN TANGERANG, PROVINSI BANTEN Oleh: Yulian Indriani C64103034 PROGRAM

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN BAB IV METODOLOGI PENELITIAN Maksud dari penelitian ini adalah untuk meneliti pengaruh berkembangnya aktivitas kolam jaring apung di Waduk Cirata terhadap kualitas air Waduk Cirata. IV.1 KERANGKA PENELITIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. buangan/limbah yang selanjutnya akan menyebabkan pencemaran air, tanah, dan. h:1). Aktivitas dari manusia dengan adanya kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. buangan/limbah yang selanjutnya akan menyebabkan pencemaran air, tanah, dan. h:1). Aktivitas dari manusia dengan adanya kegiatan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pesatnya laju pembangunan, terutama di bidang industri, transportasi dan ditambah dangan kegiatan manusia di bidang intensifikasi pertanian maupun perikanan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pada saat ini masyarakat modem tengah menghadapi banyak masalah. lingkungan dan pendekatan secara biologi mulai banyak dilakukan untuk

I. PENDAHULUAN. Pada saat ini masyarakat modem tengah menghadapi banyak masalah. lingkungan dan pendekatan secara biologi mulai banyak dilakukan untuk I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada saat ini masyarakat modem tengah menghadapi banyak masalah lingkungan dan pendekatan secara biologi mulai banyak dilakukan untuk mengatasi masalah lingkungan tersebut.

Lebih terperinci

PENENTUAN KANDUNGAN LOGAM Pb DAN Cr PADA AIR DAN SEDIMEN DI SUNGAI AO DESA SAM SAM KABUPATEN TABANAN

PENENTUAN KANDUNGAN LOGAM Pb DAN Cr PADA AIR DAN SEDIMEN DI SUNGAI AO DESA SAM SAM KABUPATEN TABANAN PENENTUAN KANDUNGAN LOGAM Pb DAN Cr PADA AIR DAN SEDIMEN DI SUNGAI AO DESA SAM SAM KABUPATEN TABANAN NI PUTU DIANTARIANI DAN K.G. DHARMA PUTRA Jurusan Kimia FMIPA Universitas Udayana. ABSTRAK Telah diteliti

Lebih terperinci

FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH

FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH Oleh : Helmy Hakim C64102077 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Tipe Estuari dan Debit Sungai. Tipe estuari biasanya dipengaruhi oleh kondisi pasang surut. Pada saat pasang, salinitas perairan akan didominasi oleh salinitas air laut karena

Lebih terperinci

BIOAKUMULASI LOGAM BERAT DALAM MANGROVE Rhizophora mucronata dan Avicennia marina DI MUARA ANGKE JAKARTA

BIOAKUMULASI LOGAM BERAT DALAM MANGROVE Rhizophora mucronata dan Avicennia marina DI MUARA ANGKE JAKARTA J.Tek.Ling Vol. 7 No. 3 Hal. 266-270 Jakarta, Sept. 2006 ISSN 1441 318X BIOAKUMULASI LOGAM BERAT DALAM MANGROVE Rhizophora mucronata dan Avicennia marina DI MUARA ANGKE JAKARTA Titin Handayani Peneliti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah, salah satunya adalah tercemarnya air pada sumber-sumber air

BAB I PENDAHULUAN. masalah, salah satunya adalah tercemarnya air pada sumber-sumber air BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Meningkatnya kegiatan manusia akan menimbulkan berbagai masalah, salah satunya adalah tercemarnya air pada sumber-sumber air karena menerima beban pencemaran yang melampaui

Lebih terperinci

BAB ІІ TINJAUAN PUSTAKA. Pencemaran atau polusi adalah suatu kondisi yang telah berubah dari

BAB ІІ TINJAUAN PUSTAKA. Pencemaran atau polusi adalah suatu kondisi yang telah berubah dari BAB ІІ TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Pencemaran 2.1.1. Pencemaran lingkungan Pencemaran atau polusi adalah suatu kondisi yang telah berubah dari bentuk asal pada keadaan yang lebih buruk. Pergeseran bentuk tatanan

Lebih terperinci

PERAIRAN KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA

PERAIRAN KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS PENCEMARAN LOGAM BERAT Cu, Cd dan Pb DI PERAIRAN KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA (Studi kasus P.Panggang dan P. Pramuka) HARRY SUDRADJAT JOHARI SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

PT.Indofood dengan konsentrasi Biological Oxygen Demand (BOD) sebesar 27,

PT.Indofood dengan konsentrasi Biological Oxygen Demand (BOD) sebesar 27, A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Sungai Serayu merupakan salah satu sungai terbesar di Pulau Jawa terletak di bagian tengah pulau.sungai Serayu melintasi beberapa kabupaten di Provinsi Jawa Tengah,

Lebih terperinci

Lampiran 1. Dokumentasi Penelitian. Pengambilan Sampel Rhizophora apiculata. Dekstruksi Basah

Lampiran 1. Dokumentasi Penelitian. Pengambilan Sampel Rhizophora apiculata. Dekstruksi Basah Lampiran 1. Dokumentasi Penelitian Pengambilan Sampel Rhizophora apiculata Dekstruksi Basah Lampiran 1. Lanjutan Penyaringan Sampel Air Sampel Setelah Diarangkan (Dekstruksi Kering) Lampiran 1. Lanjutan

Lebih terperinci

Karakteristik Air Limbah

Karakteristik Air Limbah Karakteristik Air Limbah Prof. Tjandra Setiadi, Ph.D. Program Studi Teknik Kimia FTI Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH) Institut Teknologi Bandung Email: tjandra@che.itb.ac.id Fisik Karakteristik Air

Lebih terperinci

Kombinasi pengolahan fisika, kimia dan biologi

Kombinasi pengolahan fisika, kimia dan biologi Metode Analisis Untuk Air Limbah Pengambilan sample air limbah meliputi beberapa aspek: 1. Lokasi sampling 2. waktu dan frekuensi sampling 3. Cara Pengambilan sample 4. Peralatan yang diperlukan 5. Penyimpanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya aktifitas berbagai macam industri menyebabkan semakin

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya aktifitas berbagai macam industri menyebabkan semakin 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Meningkatnya aktifitas berbagai macam industri menyebabkan semakin besarnya limbah yang di hasilkan dari waktu ke waktu. Konsekuensinya adalah beban badan air selama

Lebih terperinci

Pencemaran Teluk Jakarta

Pencemaran Teluk Jakarta Pencemaran Teluk Jakarta Republika Sabtu, 29 Mei 2004 Pencemaran Teluk Jakarta Oleh : Tridoyo Kusumastanto# Pasca kematian massal ikan di Teluk Jakarta, publik telah disuguhi berbagai macam analisis kemungkinan

Lebih terperinci

KANDUNGAN LOGAM BERAT AIR LAUT, SEDIMEN DAN DAGING KERANG DARAH (Anadara granosa) DI PERAIRAN MENTOK DAN TANJUNG JABUNG TIMUR

KANDUNGAN LOGAM BERAT AIR LAUT, SEDIMEN DAN DAGING KERANG DARAH (Anadara granosa) DI PERAIRAN MENTOK DAN TANJUNG JABUNG TIMUR KANDUNGAN LOGAM BERAT AIR LAUT, SEDIMEN DAN DAGING KERANG DARAH (Anadara granosa) DI PERAIRAN MENTOK DAN TANJUNG JABUNG TIMUR (Heavy Metals Content in Seawater Sediment and Anadara granosa, in Mentok and

Lebih terperinci

STUDI KUALITAS AIR DI SUNGAI DONAN SEKITAR AREA PEMBUANGAN LIMBAH INDUSTRI PERTAMINA RU IV CILACAP

STUDI KUALITAS AIR DI SUNGAI DONAN SEKITAR AREA PEMBUANGAN LIMBAH INDUSTRI PERTAMINA RU IV CILACAP STUDI KUALITAS AIR DI SUNGAI DONAN SEKITAR AREA PEMBUANGAN LIMBAH INDUSTRI PERTAMINA RU IV CILACAP Lutfi Noorghany Permadi luthfinoorghany@gmail.com M. Widyastuti m.widyastuti@geo.ugm.ac.id Abstract The

Lebih terperinci

BAB. I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB. I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB. I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pencemaran logam berat sangat berbahaya bagi lingkungan. Banyak laporan yang memberikan fakta betapa berbahayanya pencemaran lingkungan terutama oleh logam berat

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. A. Tinjauan Pustaka. Air merupakan komponen lingkungan hidup yang kondisinya

BAB II LANDASAN TEORI. A. Tinjauan Pustaka. Air merupakan komponen lingkungan hidup yang kondisinya BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Air dan Sungai 1.1 Air Air merupakan komponen lingkungan hidup yang kondisinya mempengaruhi dan dipengaruhi oleh komponen lainnya. Penurunan kualitas air akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Air sungai merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat vital bagi

BAB I PENDAHULUAN. Air sungai merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat vital bagi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air sungai merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat vital bagi pemenuhan kebutuhan hidup manusia sehingga kualitas airnya harus tetap terjaga. Menurut Widianto

Lebih terperinci

Analisis Logam Berat Timbal pada Sedimen Dasar Perairan Muara Sungai Sayung, Kabupaten Demak

Analisis Logam Berat Timbal pada Sedimen Dasar Perairan Muara Sungai Sayung, Kabupaten Demak JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 3, Nomor 2, Tahun 2014, Halaman 167-172 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jose Analisis Logam Berat Timbal pada Sedimen Dasar Perairan Muara Sungai Sayung,

Lebih terperinci

KANDUNGAN LOGAM KADMIUM (Cd), TIMBAL (Pb) DAN MERKURI (Hg) PADA AIR DAN KOMUNITAS IKAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI PERCUT TESIS.

KANDUNGAN LOGAM KADMIUM (Cd), TIMBAL (Pb) DAN MERKURI (Hg) PADA AIR DAN KOMUNITAS IKAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI PERCUT TESIS. KANDUNGAN LOGAM KADMIUM (Cd), TIMBAL (Pb) DAN MERKURI (Hg) PADA AIR DAN KOMUNITAS IKAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI PERCUT TESIS Oleh : RIRI SAFITRI 127030017/BIO PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS MATEMATIKA DAN

Lebih terperinci