STATUS DAERAH OTONOMI KHUSUS DAN ISTIMEWA DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "STATUS DAERAH OTONOMI KHUSUS DAN ISTIMEWA DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA"

Transkripsi

1 STATUS DAERAH OTONOMI KHUSUS DAN ISTIMEWA DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA Oleh: Rusdianto S, S.H., M.H. 1 A. Latar Belakang Dalam UUD NRI Tahun 1945 Pasal 18B ayat (1) disebutkan bahwa Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Tidak sedikit pandangan yang menyatakan bahwa ketentuan Pasal 18B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tersebut bertentangan dengan konsep negara kesatuan yang dianut Indonesia. Eko Prasodjo seperti yang dikutip Edi Toet Hendratno menyatakan bahwa Pasal 18B ayat (1) dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menyebutkan negara mengakui keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan kesamaan dengan konsep diversity in unity (keragaman dalam kesatuan) dalam sistem federal. 2 Hal tersebut dianggap bertentangan dengan konsep negara kesatuan yang dianut di Indonesia sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Hendratno juga menyatakan bahwa pemberian status otonomi khusus maupun status keistimewaan terhadap daerah-daerah seperti Aceh dan Papua lebih mengarah pada model bentuk susunan negara federal. 4 Pandangan tersebut didasarkan pada berbagai alasan dan argumentasi yang ditemukan dalam undang-undang pemerintahan daerah maupun dalam undang-undang yang menjadi landasan yuridis bagi penyelenggaraan pemerintahan daerah 1 Penulis adalah dosen tetap Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi pada Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya 2 Edie Toet Hendratno, Negara Kesatuan, Desentralisasi, dan Federalisme (Jakarta:Graha Ilmu dan Universitas Pancasila Press, 2009), hlm Huda, Ni matul, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), hlm Edie Toet Hendratno, Negara Kesatuan...,Loc.Cit

2 di kedua daerah otonomi khusus tersebut. 5 Misalnya diberikannya hak bagi masyarakat Aceh untuk membentuk partai politik lokal, maupun disyaratkan bahwa hanya orang asli papua yang dapat mencalaonkan diri sebagai calon gubernur Papua dan sebagainya. Akan tetapi, tidak sedikit juga konsep atau teori hukum tata negara yang dapat dijadikan landasan argumentasi untuk menyatakan bahwa status otonomi khusus atau istimewa bagi daerah-daerah tertentu tetaplah merupakan bagian dari model bentuk susunan negara kesatuan yang dianut Indonesia. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah adanya pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Hampir seluruh kewenangan pemerintah pusat diserahkan pada daerah, kecuali bidang; politik luar negeri, pertahanan keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional dan agama. 6 Hal ini menimbulkan peningkatan tanggungjawab penyelenggaraan pemerintahan (penyediaan barang publik dan pembangunan ekonomi) di tingkat daerah yang sangat besar. 7 Termasuk bagi daerah dengan status otonomi khusus maupun status istimewa. Penyerahan atau membiarkan mengatur dan mengurus asas dan cara mnjalankan kewenangan pemerintahan di daerah merupakan suatu otonom. 8 B. Rumusan Masalah Beradasarkan uraian di atas, maka paper ini akan membahas mengenai: 1. Apa kewenangan daerah otonomi khusus dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia? 2. Apakah pemberian status daerah otonomi khusus tidak bertentangan dengan sistem negara kesatuan Republik Indonesia? 5 Undang-undang tersebut yaitu UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua dan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh 6 Pasal 10 UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Disamping kelima hal tersebut terdapat kewenangan lain yang masih dipegang pemerintah pusat, yakni; (1) kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, (2) dana perimbangan keuangan, (3) sistem administrasi negara, (4) lembaga perekonomian negara, (5) pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, (6) pendayagunaan SDA, (7) teknologi tinggi yang strategis, (8) konservasi dan (9) standarisasi nasional. 7 Pantja Astawa, I Gde, Problematika Hukum Otonomi Daerah di Indonesia (Bandung: Alumni, 2009), hlm Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Cet. 10. ( Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2008), hlm. 112

3 C. Tinjauan Pustaka 1. Konsep Negara Kesatuan dan Otonomi Daerah Konsep susunan negara yang berkaitan dengan bentuk-bentuk negara modern saat ini dapat ditijau dari segi susunannya. Negara, apabila ditinjau dari segi susunan atau bentuk negara, maka akan ditemukan dua jenis bentuk negara, sebagaimana yang dikemukakan oleh Soehino berikut ini: 9 a. Negara yang bersusun tunggal, yang disebut dengan Negara Kesatuan b. Negara yang bersusun jamak, yang disebut Negara Federasi. Selanjutnya, Soehino memberikan defenisi atau penjelasan mengenai negara kesatuan sebagai berikut: Negara kesatuan itu adalah negara yang tidak tersusun dari beberapa negara, melainkan hanya terdiri atas satu negara, sehingga tidak ada negara di dalam negara. Dengan demikian dalam Negara Kesatuan hanya ada satu pemerintah, yaitu pemerintah pusat yang mempunyai kekuasaan serta wewenang tertinggi dalam bidang pemerintahan negara, menetapkan kebijaksanaan pemerintahan dan melaksanakan pemerintahan negara baik di pusat maupun di daerah-daerah. 10 Kekuasaan para penguasa pada abad XVII maupun abad XVIII masih bersifat absolut dan masih dilaksanakannya azas sentralisi (urusan pemerintah milik pemerintah pusat) dan azas konsentrasi (segala kekuasaan serta urusan pemerintahan dilaksanakan sendiri oleh pemerintah pusat). Dalam perkembangannya yang dikarenakan perkembangan pesat yang terjadi dalam suatu negara, yaitu semakin luasnya wilayah, urusan pemerintahan semakin kompleks, serta warga negaranya semakin banyak dan heterogen, maka di berbagai negara telah dilaksanakan azas dekonsentrasi ( pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pejabat-pejabatnya di daerah) dalam rangka penyelenggaraan pemeintahan di daerah. 11 Dalam perkembangannya lebih lanjut juga dibeberapa negara telah dilaksanakan azas desentralisasi ( penyerahan urusan dari pemerintah pusat ke daerah otonom) untuk menjadi urusan rumah daerah otonom itu. Pelaksanaan asas desentralisasi inilah yang 9 Soehino, Ilmu Negara, Ed.3, Cet.3 (Yogyakarta: Liberty, 2000), hlm Ibid, hlm Ibid, hlm

4 melahirkan daerah-daerah otonom. Daerah otonom dapat mengatur rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 12 Penjelasan lebih lanjut mengenai negara kesatuan yang didesentralisasikan tersebut dapat dilihat dari uraian yang dikemukakan oleh Zulfikar Salahuddin, Al Chaidar dan Herdi Sahrasad dalam Ni matul Huda berikut ini: Prinsip pada negara kesatuan ialah bahwa yang memegang tampuk kekuasaan tertinggi atas segenapurusan negara ialah pemerintah pusat tanpa adanya suatu delegasi atau pelimpahan kekuasaan pada pemerintah daerah (local government). Dalam negara kesatuan terdapat asas bahwa segenap urusan-urusan negara tidak dibagi antara pemerintah pusat (central government) dan pemerintah lokal (lical government) sehingga urusan-urusan negara dalam negara kesatuan tetap merupakan suatu kebulatan (eenheid) dan pemegang tertinggi di negara itu ialah pemerintah pusat. 13 Dengan demikian, berdasarkan penjelasan di atas maka dapat diketahui bahwa kekuasaan yang sebenarnya tetap berada dalam genggaman pemerintah pusat dan tidak dibagi-bagi. Dalam negara kesatuan, tanggungawab pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan pada dasarnya tetap berada di tangan pemerintah pusat. Adapun hubungan antara asas desentralisasi dengan sistem otonomi daerah sebagaimana dikemukakan oleh Benyamin Hossein yang kemudian diikuti oleh pendapat Philip Mowhod dan kemudian disimpulkan oleh Jayadi N.K dalam Siswanto Sunarno adalah sebagai berikut: Secara teoritis desentralisasi seperti yang dikemukakan oleh Benyamin Hossein adalah pembentukan daerah otonom dan/atau penyerahan wewenang tertentu kepadanya oleh pemerintah pusat. Philip Mawhod menyatakan desentraliasi adalah pembagian dari sebagiankekuasaan pemerintah oleh elompok yang berkuasa di pusat terhadap kelompok-kelompok lain yang masing-masing memiliki otoritas di dalam wilayah tertentu di suatu negara. Dari defenisi kedua pakar diatas, menurut Jayadi N.K. bahwa mengandung empat pengertian: pertama, desentralisasi merupakan pembentukan daerah otonom; kedua, daerah otonom yang dibentuk diserahi wewenang tertentu oleh pemerintah pusat; ketiga, desentralisasi uga merupakan pemencaran kekuasaan oleh pemerintah pusat; 12 Ibid, hlm Huda, Ni matul, Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2005), hlm. 92

5 di Indonesia: keempat, kekuasaan yang dipencarkan diberikan kepada kelompok-kelompok masyarakat dalam wilayah tertentu. 14 Berikut ini penjelasan lebih lanjut mengenai negara kesatuan dan otonomi daerah Akan tetapi, sistem pemerintahan Indonesia yang salah satunya menganut asas negara kesatuan yang didesentralisasikan menyebabkan ada tugas-tugas tertentu yang diurus sendiri sehingga menimbulkan hubungan timbal balik yang melahirkan adanya hubungan kewenangan dan pengawasan. 15 Bahkan penjelasan tentang asas desentralisasi oleh Siswanto Sunarno diserupai dengan hak keperdataan atau disamakan dengan hukum keperdataan, yaitu adanya pemberi hak dan penerima hak. Beikut ini penjelsannya mengenai asas desentralisasi dan sistem otonomi daerah di Indonesia yang dikemukakan secara gamblang berikut ini: Asas desentralisasi ini dapat ditanggapi sebagai hubungan hukum keperdataan, yakni penyerahan sebagaian hak dari pemilik hak kepada penerima hak, dengan objek hak tertentu. Pemilik hak pemerintahan adalah ditangan pemerintah, dan hak pemerintahan tersebut diberikan kepada pemerintah daerah,dengan objek hak berupa kewenangan pemerintah dalam bentuk untuk mengatur urusan pemerintahan, namun masih tetap dalam kerangka NKRI. Pemberian hak ini, senantiasa harus dipertanggungawabkan kepada si pemilik hak dalam halini Presiden melalui Menteri dalam Negeri dan DPRD sebagai kekuatan representatif rakyat di daerah. 16 Inti dari konsep pelaksanaan otonomi daerah adalah upaya memaksimalkan hasil yang akan dicapai sekaligus menghindari kerumitan dan hal-hal yang menghambat pelaksanaan otonomi daerah. Dengan demikian tuntutan masyarakat dapat diwujudkan secara nyata dengan penerapan otonomi daerah dan kelangsungan pelayanan umum yang tidak diabaikan Prinsip Negara Serikat hlm Sunarno, Siswanto, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Cet.3 (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), 15 Huda, Ni matul, Op.cit, hlm Sunarno Siswanto, Op.Cit, hlm H.A.W. Widjaja, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2002), hlm.

6 Negara serikat (federasi) adalah negara yang bersusunan jamak, maksudnya negara ini terdiri dari beberapa negara yang semula telah berdiri sendiri sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, mempunyai undang-undang dasar sendiri serta pemerintahan sendiri. 18 Negara-negara bagian itu kemudian menyerahkan sejumlah tugas dan kewenangan untuk diselenggarakan oleh suatu pemerintah federal, sedangkan urusanurusan lain tetap menjadi kewenangan negara bagian. 19 Ramlan Surbakti menambahkan bahwa dalam negara serikat pemerintah negara bagian bukanlah bawahan dan tidak bertanggungjawab kepada pemerintah federal. 20 C.F. Stronk dalam Hendratno menjelaskan tentang dua syarat dasar pembentukan negara serikat yang sebenarnya. Stronk menyatakan bahwa jika salah satu dari kedua syarat tersebut tidak terpenuhi, maka penyatuan dalam bentuk negara serikat tidak dapat terwujud. Berikut ini syarat pembentukan negara serikat menurut C.F.Stronk; 21 1) Syarat pertama, adalah adanya rasa kebangsaan diantara negara-negara yang membentuk federasi. Kenyataannya, negara-negara federal sebelum menjadi federasi umumnya sudah berhubungan secara terbatas dalam bentul sebuah konfederasi seperti Jerman atau terikat di bawah penguasa yang sama seperti Amerika Serikat, Swiss, Australia dan Kanada. 2) Syarat kedua, adalah bahwa meskipun menginginkan persatuan (union), unitunit yang membentuk federasi tidak menghendaki adanya kesatuan (unity); karena jika menghendaki kesatuan, mereka tidak akan membentuk negara federal, melainkan negara kesatuan. Negara federal pada awalnya berasal dari negara yang berdiri sendiri dan memiliki kedaulatan sendiri. Akan tetapi karena adanya kepentingan tertentu seperti ekonomi, politik dan sebagainya mereka membentuk suatu ikatan kerjasama yang efektif. 22 Ikatan kerjasama tersebut yang kemudian disebut negara federasi yang kemudian memiliki Undang-Undang Dasar dan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Gabungan atau Pemerintah Federasi Soehino, Op.Cit, hlm Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik ( Jakarta: Grassindo, 2010), hlm Ibid. 21 Edie Toet Hendratno, Op.Cit., hlm Soehino, Loc.Cit. 23 Ibid.

7 Dengan demikian maka di dalam negara federasi selalu terdapat dua susunan sistem atau selalu tersusun jamak, yaitu di tingkat federal dan di tingkat negara bagian, yaitu: 24 a. 2 (dua) macam negara, yaitu Negara Federasi atau Negara Gabungan dan Negara-negara Bagian. b. 2 (dua) macam pemerintah, yaitu Pemerintah Negara Federasi dan Pemerintah Negara-negara Bagian. c. 2 (dua) macam undang-undang dasar, yaitu undang-undang dasar Negara Federasi dan undang-undang dasar masing-masing Negara Bagian. d. Negara di dalam negara, yaitu Negara-negara Bagian itu beradanya di dalam Negara Federasi. e. 2 (dua) macam urusan pemerintahan, yaitu urusan pemerintahan pokok-pokok dan yang berkaitan dengan kepentingan bersama negara-negara-bagian. R. Kranenburg dalam Hendratno menjelaskan bahwa ciri negara federal itu terletak pada keberlakuan atau daya mengikat dari suatu peraturan yang dibuat oleh pemerintah federal, apakah langsung mengikat sebagaiamana biasanya pada negara kesatuan ataukah memerlukan tindakan terlebih dahulu dari pemerintah negara bagian. Berikut ini pendapat Kranenburg tentang ciri negara federal terkait dengan masalah keberlakuan hukum yang dibuat oleh pemrintah federal, yakni: jika peraturan-peraturan hukum yang dibuat atau dikeluarkan oleh pemerintah federal atau pemerintah gabungan itu akan diberlakukan terhadap para warga negara dari negara-negara bagian, maka pemerintah negara bagian yang bersangkutan terlebih dahulu harus mengadakan suatu tindakan, yaitu mengadakan atau membuat suatu peraturan, atau undang-undang atau pernyataan atau mungkin berupa tindakan lain, yang pada pokoknya menyatakan berlakunya peraturanperaturan hukum dari negara federal atau negara gabungannya itu terhadap warga negaranya. 25 Pada esensinya, konsepsi negara federal diadasari pada prinsip partnership yang dibangun dan diatur dalam sebuah perjanjian, yaitu suatu hubungan internal diantara pihak-pihak yang bersepakat didasarkan pada hubungan timbale balik yang saling menguntungkan serta pengakuan ekesistensi soverenitas (kedaulatan) dan integritas pihak-pihak yang terlibat. Dalam derajat tertentu, pihak-pihak yang bersepakat harus menyerahkan sebagian dari kedaulatannya kepada struktur baru (federal) untuk mengatur dan mengurus kewenangan bersama. Kranenburg mengatakan bahwa dalam negara srikat, negara-negara bagian mempunyai kekuasaan untuk membentuk konstitusi sendiri 24 Ibid., hlm Edie Toet Hendratno, Ibid., hlm. 52

8 (pouvoir constituant), negara-negara bagian dapat mengatur sendiri bentuk organisasi negaranya dalam batas-batas yang ditentukan konstitusi federalnya. 26 Aktivitas pemerintahan dalam negara federal itu dilandasi prinsip kekuasaan bersama (concurrent or shared powers) yang melibatkan langsung pemerintahan negara-negara bagian dan nasional. 27 C.F.Strong berpendapat bahwa sifat utama atau dasar negara federal adalah adanya pembagian kekuasaan antara pemerintah federal dengan unit-unit federasi. Pembagian kekuasaan dalam negara federal (the federal authority) dapat dilakkan dengan dua cara, tergantung dimana diletakkan sisa atau residu atau kekuasaan simpanan (reserve of powers). Pertama, konstitusi memperinci satu persatu kekuasaan pemerintah federal, sedangkan sisa kekuasaan (reserve of power) yang terinci diserahkan kepada negaranegara bagian. Contoh negara-negara federal yang menerapkan sistem ini antara lain Amerika Serikat dan Australia. Kedua, konstitusi memperinci satu persatu kekuasaan pemerintah negara-negara bagian, sedangkan sisa kekuasaan (reserve of power) yang tidak terinci diserahkan kepada pemerintah federal. Kanada merupakan contoh negara federal yang menerapkan sistem ini. 28 D. Pembahasan 1. Kewenangan Daerah Otonomi Khusus Salah satu hasil perubahan UUD NRI Tahun 1945 yaitu dengan dijabarkannya secara lebih rinci mengenai sistem pemerintahan daerah yang terdapat dalam ketentuan Pasal 18 UUD Bagir Manan menyatakan bahwa perubahan Pasal 18 UUD 1945, baik secara struktur maupun substansi perubahan tersebut sangatlah mendasar. Secara struktur, Pasal 18 (lama) sama sekali diganti baru. 29 Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa terdapat 4 prinsip yang mendasari ketentuan Pasal 18 UUD 1945, yaitu: R. Kranenburg, Ilmu Negara Umum, ditejemahkan Tk.B.Sabaroedin, (Jakarta: Paradnya Paramita, 1989), hlm Suzie S. Sudarman dalam Edie Toet Hendratno, Op.Cit. hlm Edi Toet Hendratno, Ibid, hlm Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Cet.4 (Yogyakarta: Pusat Studi Hukum FH-UII, 2005), hlm Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang Pemerintahan Daerah Dalam Sistem Pemerintahan, Makalah dalam seminar Sistem Pemerintahan Indoensia Pasca Amandemen UUD 1945, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan HAM RI bekerjasama dengan Fakultas Hukum

9 1. Prinsip pembagian daerah yang bersifat hirarkis pada Ayat (1); 2. Prinsip otonomi dan tugas pembantuan pada Ayat (2); 3. Prinsip demokrasi pada Ayat (3) dan Ayat (4); dan 4. Prinsip otonomi seluas-luasnaya pada Ayat (5). Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam terbitan resminya mengenai Panduan dalam memasyarakatkan UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa ada 7 prinsip yang menjadi paradigma dan arah politik yang mendasari Pasal 18, 18A dan Pasal 18B UUD 1945, yaitu: Prinsip daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan { Pasal 18 ayat (2) } 2. Prinsip menjalankan otonomi seluas-luasnya { Pasal 18 ayat (5) } 3. Prinsip kekhususan dan keragaman daerah { Pasal 18A ayat (1) } 4. Prinsip mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hakhak tradisionalnya { Pasal 18B ayat (2) } 5. Prinsip mengakui dan menghormati Pemerintahan Daerah yang bersifat khsusus dan istimewa { Pasal 18 B ayat (1) } 6. Prinsip badan perwakilan dipilih langsung dalam suatu pemilihan umum { Pasal 18 ayat (3) } 7. Prinsip hubungan pusat dan daerah dilaksanakan secara selaras dan adil { Pasal 18A ayat (2) }. Penyelenggaraan pemerintahan daerah tidaklah terlepas dari konsep negara hukum dan demokrasi yang dianut oleh bangsa Indonesia. 32 Titik Triwulan Tutik menyatakan bahwa pengertian demokrasi secara harfiah identik dengan makna kedaulatan rakyat 33 seperti yang dianut oleh bangsa Indonesia sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) Undang- Undang Dasar Tahun Moh.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim menyatakan bahwa Universitas Airlangga dan Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan HAM Provinsi Jawa Timur, pada Tanggal 9-10 Juni Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan dalam Memasyarakatkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2003), hlm Konsep negara hukum dan demokrasi merupakan 2 pilar atau landasan utama yang melandasi hukum tata negara dan hukum administrasi. Lihat Suparto Wijoyo, Karakteristik Hukum Acara Peradilan Administrasi (Peradilan Tata Usaha Negara), Edisi kedua, (Surabaya: Airlangga University Press, 2005), hlm Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, ( Jakarta: Prenada Media Group, 2010), hlm. 66

10 suatu negara yang menganut azas kedaulatan rakyat disebut juga sebagai negara demokrasi. 34 Soehino membedakan demokrasi menjadi Demokrasi langsung dan Demokrasi tidak langsung atau demokrasi perwakilan. 35 Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa pelaksanaan kedaulatan rakyat zaman sekarang dilaksanakan melalui sistem perwakilan (representative government). 36 Dalam sistem pemerintahan, demokrasi dimaknai sebagai keterlibatan rakyat untuk ikut serta dalam penyelenggaraan pemerintahan dan ikut serta dalam merencanakan, memutuskan maupun menetapkan kebijakan-kebijakan politik yang dilakukan melalui wakilnya yang dipilih secara langsung baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Oleh karena itu, keberadaan lembaga perwakilan rakyat baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah merupakan wujud dari pelaksanaan prinsip demokrasi Kewenangan Daerah Otonomi Khusus Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam UU No. 11 Tahun 2006 merupakan undang-undang yang menjadi dasar hukum bagi penyelenggaraan otonomi khusus di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Tidak bisa dipungkiri bahwa undang-undang tersebut dibuat sebagai tindak lanjut dari nota kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah RI dengan GAM pada 15 Agustus Satu tahun kemudian, yaitu pada tanggal 1 Agustus 2006, akhirnya UU No. 11 Tahun 2006 tersebut diundangkan. Penggunaan istilah Pemerintahan Aceh sebagai nama dari UU No. 11 Tahun 2006 tersebut merupakan suatu yang tidak lazim dalam sistem perundang-undangan Nasional. Berbeda dengan daerah lainnya yang menggunakan istilah Pemerintahan Daerah Provinsi, Daerah Otonomi Khusus Aceh tidak menjumbuhkan istilah tersebut di dalam penyebutan nama daerahnya. Penggunaan istilah tersebut sangat tidak sesuai dengan UUD 1945 maupun UU No. 32 Tahun Tidak terdapatnya istilah daerah provinsi di depan istilah pemerintah dalam Pemerintah Aceh sangat mirip dengan istilah Pemerintah Republik Indonesia yang menunjuk pada makna pemerintahan sebuah negara, bukan sebuah daerah. 34 Moh.Kusnardi, Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Cet. 7 ( Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH-UI, 1988), hlm Soehino, Ilmu Negara, Edisi 3. Cet. 3 (Yogyakarta, Liberty, 2000), hlm Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia ( Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm Baik UUD NRI Tahun 1945 maupun UU No. 32 Tahun 2004 menggunakan istilah Pemerintahan daerah provinsi. Lihat Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945 dan juga UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 3 dan seterusnya.

11 Sama seperti Provinsi Papua yang menggunakan istilah DPRP untuk menyebut dewan perwakilan rakyat tingkat provinsinya, NAD juga menggunakan istilah Dewan Perwakilan Rakyat Aceh DPRA. 38 Sedangkan untuk menyebut DPRD tingkat kabupaten/kotanya, digunakan istilah DPRK atau Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota, tanpa menggunakan kata daerah. 39 Istilah berbeda lainnya yang terdapat dalam UU No. 11 Tahun 2006 dengan undangundang lainnya misalnya penyebutan Komisi Independen Pemilihan (KIP) yang memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan pemilihan umum Presiden/Wakil Presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, anggota DPRA/DPRK, pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota di NAD. Daerah-daerah lainnya di Indonesia sebagaimana yang terdapat dalam UU No. 32 Tahun 2004 menggunakan Istilah Komisi Pemilihan Umum Daerah KPUD. 40 Aceh juga berhak untuk memiliki bendera, lambang dan hymne daerah sebagaimana yang dimakud dalam ketentuan Pasal 246 UU No. 11 Tahun Ketentuan tersebut sama dengan yang terdapat di Papua seperti penjelasan sebelumnya. Ada beberapa kekhususan lainnya yang menurut penulis sangat berbeda dengan daerah lainnya yang dimiliki oleh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan UU No. 11 Tahun 2006 antara lain sebagai berikut: 1. Pembagian daerah di Aceh yang dibagi kedalam kabupaten/kota, kecamatan, mukim, kelurahan dan gampong. 41 Mukim merupakan kesatuan masyarakat hukum di bawah kecamatan yang terdiri atas gabungan beberapa gampong. Sedangkan kelurahan dan gampong adalah kesatuan masyarakat hukum yang berada di bawah mukim Lihat: Pasal 1 angka 10 UU No. 11 Tahun Lihat: Pasal 1 angka 11 UU No. 11 Tahun 2006 kemudian bandingkan dengan istilah DPRD Kabupaten/Kota dalam UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 27 Tahun Lihat: Pasal 1 angka 12 UU No. 11 Tahun 2006 kemudian bandingkan dengan istilah yang digunakan dalam Pasal 22E ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 maupun Pasal 1 angka 21 UU No. 32 Tahun Lihat: Pasal 2 UU No. 11 Tahun Lihat: Pasal 1 angka 19 dan angka 20 j.o Pasal 114, Pasal 115 UU No. 11 Tahun Bandingkan dengan UU No. 32 Tahun 2004 yang membagi suatu daerah dalam wilayah propinsi, kabupaten/kota, kecamatan dan desa/kelurahan. Desa/kelurahan merupakan kesatuan masyarakat hukum yang terkecil dalam pembagian wilayah suatu daerah lain yang memiliki kesamaan dengan gampong/kelurahan di NAD. Kesamaan tersebut misalnya terletak pada masa jabatan pemimpinnya (kepala desa/kepala gampong) sama-sama 6 tahun. Kepala desa atau kepala gampong sama-sama dipilih secara langsung. Serta sama-sama memiliki sekretaris desa atau sekretais gampong yang berasal dari PNS. Lihat Pasal 115, Pasal 116 dan Pasal 117 UU No. 11 tahun 2006 dan bandingkan dengan Pasal 202, Pasal 203 dan Pasal 204 UU No. 32 Tahun 2004

12 2. Rencana persetujuan internasional yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh yang dibuat oleh Pemerintah dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan DPRA. 43 Pemerintah Aceh dapat mengadakan kerja sama dengan lembaga atau badan di luar negeri kecuali yang menjadi kewenangan Pemerintah. Dalam naskah kerja sama tersebut dicantumkan frasa Pemerintah Aceh sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Serta Pemerintah Aceh dapat berpartisipasi secara langsung dalam kegiatan seni, budaya, dan olah raga internasional Rencana pembentukan undang-undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan DPRA Kebijakan administratif yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh yang akan dibuat oleh Pemerintah dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan Gubernur Penduduk Aceh dapat membentuk partai politik lokal yang memiliki hak antara lain; mengikuti Pemilu untuk memilih anggota DPRA dan DPRK; mengusulkan pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur, calon bupati dan wakil bupati, serta calon walikota dan wakil walikota di Aceh Di Aceh terdapat pengadilan Syari at Islam yang dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Syar iyah, yang terdiri dari Mahkamah Syar iyah Aceh sebagai pengadilan tingkat banding dan Mahkamah Syar iyah Kabupaten/Kota sebagai pengadilan tingkat pertama. Mahkamah Syar iyah berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum pidana) yang didasarkan atas syari at Islam dengan hukum acara yang ditetapkan berdasarkan Qanun Produk hukum sejenis peraturan daerah (perda) di Aceh disebut dengan istilah Qanun. Terdapat dua macam Qanun, yaitu Qanun Aceh yang disahkan oleh Gubernur setelah mendapatkan persetujuan bersama dengan DPRA, dan Qanun Kabupaten/Kota ditetapkan oleh Bupati/Walikota setelah mendapatkan persetujuan bersama DPRK. 43 Lihat: Pasal 8 ayat (1) UU No. 11 Tahun Lihat: Pasal 9 UU No. 11 Tahun Lihat: Pasal 8 ayat (2) UU No. 11 Tahun Lihat: Pasal 8 ayat (3) UU No. 11 Tahun Lihat: Pasal 75 sampai dengan Pasal 88 UU No. 11 Tahun Lihat: Pasal 128 sampai dengan Pasal 137 UU No. 11Tahun 2006

13 Qanun dibentuk dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Aceh, pemerintahan kabupaten/kota, dan penyelenggaraan tugas pembantuan. 49 Qanun dapat memuat ancaman pidana atau denda lebih dari 6 (enam) bulan kurungan dan/atau denda paling banyak Rp (lima puluh juta rupiah). Bahkan Qanun mengenai jinayah (hukum pidana) dapat menentukan jenis dan bentuk ancaman pidana tersendiri Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota dapat membentuk lembaga, badan dan/atau komisi dengan persetujuan DPRA/DPRK. 51 Di Aceh terdapat institusi atau lembaga yang tidak terdapat di daerah-daerah lainnya, seperti Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) yang merupakan mitra kerja Pemerintah Aceh, Kabupaten/Kota dan DPRA/DPRK, 52 Lembaga Wali Nanggroe dan Lembaga Adat, 53 Pengadilan Hak Asasi Manusia, 54 Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, 55 dan unit Polisi Wilayatul Hisbah sebagai bagian dari Satuan Polisi Pamong Praja, sebagai penegak Syari at Islam Kewenangan Daerah Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat Status Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua saat ini didasarkan pada UU No. 21 Tahun Undang-undang tersebut ditetapkan pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri. Undang-undang tersebut mulai berlaku pada tanggal 21 November Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa pemberian status otonomi khusus pada Provinsi Papua setidaknya didasarkan pada dua hal yaitu karena adanya kesenjangan pembangunan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Salah satu kekhususan yang dimiliki oleh Provinsi Papua dan Papua Barat adalah pada bentuk dan susunan pemerintahannya. Pemerintahan Provinsi Papua terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) sebagai badan legislatif dan Pemerintahan Provinsi sebagai badan eksekutif. Pasal 5 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2001 berbunyi sebagai berikut: Pemerintahan Daerah Provinsi Papua terdiri atas DPRP sebagai badan legislatif, dan Pemerintah Provinsi sebagai badan eksekutif. 49 Lihat: Pasal 232 sampai dengan Pasal 245 UU No. 11 Tahun Lihat: Pasal 241 UU No. 11 Tahun 2006 bandingkan dengan ketentuan Pasal 143 UU No. 32 Tahun Lihat: Pasal 10 UU No. 11 Tahun Lihat: Pasal 138 sampai dengan Pasal 140 UU No. 11 Tahun Lihat: Pasal 96 sampai dengan Pasal 99 UU No. 11 Tahun Lihat: Pasal 228 UU No.11 Tahun Lihat: Pasal 229 UU No. 11 Tahun Lihat: Pasal 244 ayat (2) UU No.11 Tahun 2006

14 Menurut penulis, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dari penggunaan istilah legislatif dan eksekutif dalam rumusan Pasal 5 ayat (1) di atas. Pertama, dilihat dari makna istilah legislatif atau eksekutif itu merujuk pada pembagian kekuasaan negara atau bagian dari alat kekuasaan negara. Sukardi menyatakan bahwa lembaga legislatif adalah lembaga pembentuk undang-undang dan produk hukum dari badan legislatif adalah undangundang (act of parliament; law). Sedangkan lembaga eksekutif adalah lembaga pelaksana undang-undang. 57 Pembagian kekuasaan negara kedalam badan eksekutif dan legislatif tersebut juga seperti yang diajarkan oleh Jhon Locke dan Montesquieu. 58 C.F. Strong menyatakan dalam konsep negara kesatuan, kedaulatan negara tidak terbagi-bagi. Konstitusi negara kesatuan tidak mengakui adanya badan pembentuk undangundang selain badan pembentuk undang-undang pusat. 59 Sukardi dengan mengutip pendapat Salmond menyatakan bahwa ada dua jenis legislasi, yaitu legislasi utama (supreme legislation) dan legislasi delegasian (subordinate legislasi) atau delegated legislation. Legislasi utama ditetapkan oleh lembaga pemegang kedaulatan dalam negara. Sedangkan legislasi delegasian merupakan produk hukum dari lembaga lain di luar lembaga pemegang kedaulatan. 60 Di Indonesia, Peraturan Daerah merupakan salah produk hukum dari delegated legislation. 61 Dari paparan di atas, yang ingin penulis tekankan adalah penggunaan istilah badan legislasi dan badan eksekutif, jenis badan legislasi tersebut. Penggunaan istilah badan legislasi dan badan eksekutif adalah tidak lazim dalam sistem perundang-undangan nasional. Walaupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) lainnya juga memiliki fungsi legislasi. 62 Akan tetapi tidak disebutkan sebagai badan legislatif. 57 Sukardi, Pembatalan Peraturan,Op.Cit. hlm Jhon Locke merupakan peletak dasar ajaran pemisahan/pembagian kekuasaan negara. Jhon Locke membagi kekusaan negara kedalam 3 macam kekusaan: (i) keusaan legisltif sebagai kekuasaan pembentuk undangundang, (ii) kekuasaan eksekutif sebagai kekuasaan yang melaksanakan undang-undang, (iii) kekuasaan federative sebagai kekuasaan yang melakukan hubungan dengan negara lain. Sedangkan Montesquieu membagi kekuasaan negara kedalam 3 macam kekuasaan: (i) kekuasaan legislatif sebagai kekuaaan perundang-undangan, (ii) kekuasaan eksekutif sebagai kekuasaan melaksanakan undang-undang, dan (iii) Kekuasaan judikatif sebagai kekuasaan kehakiman. Lihat: Soehino, Ilmu Negara,Op.Cit. hlm Edie Toet Hendratno, Negara Kesatuan,Op.Cit.hlm Sukardi, Pembatalan Peraturan,Op.Cit. hlm Ibid, hlm Dalam UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 41 menyebutkan bahwa DPRD memiliki fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Lihat juga Pasal 292 ayat (1) UU No. 27 Tahun 2009.

15 Menurut penulis, penyebutan badan legislatif dan badan eksekutif merupakan bentuk pembagian kekusaan dalam pemerintahan Propinsi Papua yang berbeda dengan daerah lainnya. Daerah lainnya berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tidak menggunakan istilah badan legislatif dan badan eksekutif. Dalam sistem otonomi daerah, 63 kekuasaan yang dipencarkan hanyalah kekuasaan pemerintahan (eksekutif) saja. 64 Sehingga tidak terdapat pembagian atau pemisahan kekuasaan di daerah. Pemerintahan daerah yang terdiri dari pemerintah daerah dan DPRD merupakan satu-kesatuan pemerintahan (mitra) dan bukanlah bentuk pembagian atau pemisahan kekuasaan. Dengan penggunaan istilah badan legislatif dan badan eksekutif maka memiliki kesamaan dengan bentuk pembagian kekuasaan dalam sebuah negara bagian dari bentuk negara federal. Dalam negara federal, terdapat dua macam pemerintah, yaitu pemerintah negara federasi dan pemerintah negara bagian. 65 Oleh karena adanya dua macam pemerintah tersebut maka pembagian kekuasaan negara juga berbeda antara negara federal dengan negara bagian. Sehingga badan pembentuk undang-undangnya pun ada dua, yaitu badan pembentuk undang-undang di negara federal dan badan pembentuk undang-undang di negara bagian. Produk hukum badan legislatif federal disebut undang-undang federal sedangkan produk hukum badan legislatif negara bagian disebut undang-undang negara bagian. Selain itu, penggunaan istilah DPRP juga tidak lazim dalam sistem perundangundangan nasional lainnya. Baik UUD Pasal 18 ayat (3) maupun UU No. 32 Tahun 2004 serta UU No. 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau biasa disebut dengan UU MD3, dengan jelas menggunakan istilah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Penulis berpendapat bahwa penggunaan istilah DPRP tanpa ditambahi kata daerah provinsi menunjukkan kesamaan dengan penggunaan istilah DPR RI. Istilah RI dalam DPR RI menunjuk pada nama negara Indonesia atau tingkatan badan perwakilan tingkat pusat. Penggunaan istilah daerah provinsi di akhir istilah DPR itu menunjukkan bahwa 63 Berbicara mengenai sistem otonomi daerah maka tidak akan lepas dari bentuk negara kesatuan 64 Sri Winarsi, Hand Out.,Loc.Cit 65 Soehino, Ilmu Negara..,Op.Cit. hlm 227

16 badan perwakilan tersebut berada di tingkat daerah provinsi. Dengan tidak digunaknannya istilah daerah provinsi dalam istilah DPRP maka secara a contrario itu berarti bahwa DPRP bukanlah DPRD Provinsi sebagaimana DPRD Provinsi-Provinsi lainnya. Dengan kata lain bahwa itu lebih merujuk badan perwakilan pada sebuah negara bagian, bukan pada daerah dalam negara kesatuan. Selain itu, Provinsi Papua juga dapat membentuk Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) yang dibuat dan ditetapkan oleh DPRP bersama-sama Gubernur dengan pertimbangan dan persetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 29 ayat (1) UU No. 21 Tahun Selain Perdasus, terdapat juga Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) yang dibuat dan ditetapkan oleh DPRP bersama-sama Gubernur sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 29 ayat (2) UU No. 21 Tahun Jika mengacu pada ketentuan Pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004 maupun dalam ketentuan Pasal 136 ayat UU No. 32 Tahun 2004, maka Perdasi merupakan produk hukum yang tingkatannya sama dengan Peraturan Daerah (Perda) yang dimaksud oleh kedua undangundang tersebut. Hal tersebut dikarenakan pejabat yang berwenangan membuat Perdasi adalah DPRP bersama dengan Gubernur. 66 Dengan demikian, maka ada dua tingkatan produk hukum yang berlaku di Provinsi Papua maupun Papua Barat, yaitu Perdasus pada tingkat yang lebih tinggi dan Perdasi pada tingkat yang lebih rendah. Jika dibandingkan dengan sistem negara federal, maka Perdasus dapat dikategorikan sebagai undang-undang federal dan Perdasi sebagai peraturan pelaksananya. Kekhususan lainnya yang dimiliki oleh Provinsi Papua yang mengarah kepada bentuk negara federal diantaranya; dalam ketentuan Pasal 2 UU No. 21 Tahun 2001 disebutkan bahwa Papua dapat memiliki bendera daerah dan lagu daerah sebagaimana Sang Merah Putih sebagai Bendera Negara Indonesia dan Lagu Indonesia Raya sebagai Lagu Kebangsaan Indonesia, walaupun dinyatakan bukan sebagai symbol kedaulatan. Akan tetapi hal ini sudah mengarah pada bentuk negara federal. 66 Pasal 7 ayat (2) huruf a UU No.10 Tahun 2004 berbunyi: Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi bersama dengan Gubernur. Hal ini juga senada dengan ketentuan Pasal 136 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 yang berbunyi: Perda ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapatkan persetujuan bersama DPRD. Lalu bandingkan dengan Pasal 29 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2001 yang menyatakan : Perdasi dibuat dan ditetapkan DPRP bersama-sama dengan Gubernur.

17 2. Kewenangan Otonomi Khusus dan Konsep Negara Kesatuan Masih ada beberapa kekhususan yang dimiliki oleh Provinsi NAD yang tidak ditulis oleh penulis. Akan tetapi, beberapa kekhususan tersebut di atas sudah cukup untuk memberikan argumentasi bahwa penyelenggaraan pemerintahan di Aceh memang berbeda dengan daerah lainnya. Point nomor 2, 3 dan 4 sangat mirip dengan apa yang dikatakan oleh Ross. K. Baker bahwa dalam aktivitas pemerintahan di negara federal itu dilandasi prinsip kekuasaan bersama (concurrent or shared powers) yang melibatkan langsung pemerintahan negara-negara bagian dan nasional. 67 Misalnya terkait dengan Kebijakan administratif yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh yang akan dibuat oleh Pemerintah. Pemerintah Pusat diharusakan untuk melakukan konsultasi dan mendapat pertimbangan Gubernur. Penulis berpendapat bahwa ketentuan ini sudah tidak sesuai dengan prinsip negara kesatuan, dimana pemerintah pusat memiliki kewenangan tertinggi dalam pemerintahan baik di tingkat pusat maupun di daerah. Lalu bagaimana jika kebijakan administratif tersebut ditolak oleh Pemerintah Aceh? Maka tentunya secara yuridis kebijakan tersebut tidak boleh diteruskan oleh Pemerintah. Jika kebijakan tersebut tetap diteruskan, maka secara yuridis kebijakan tersebut cacat prosedur. Akan tetapi, secara teoritik pemerintah pusat berwenang untuk menentukan kebijakan apa saja yang akan diterapkan di daerah tanpa memerlukan persetujuan daerah tersebut, tentunya sesuai dengan peraturan perundang-undangan serta tanpa adanya kewajiban bagi pemerintah untuk berkonsultasi dengan pemerintah daerah. Sedangkan berkaitan dengan kewenangan Pemerintah Aceh yang lainnya seperti disebutkan di atas, penulis mengutip pendapat R. Kranenburg yang menyatakan bahwa dalam negara serikat, negara-negara bagiannya mempunyai kekuasaan untuk dapat mengatur sendiri organisasi negaranya dalam batasan-batasan yang ditentukan konstitusi federalnya. 68 Bandingkan dengan ketentuan yang memberikan kewenangan kepada Pemerintah Aceh untuk membentuk lembaga, badan dan/atau institusi yang berbeda dengan 67 Ross K. Baker dalam Edie Toet Hendratno, Op.Cit., hlm R. Kranenburg, Ilmu Negara,Loc.Cit.

18 ketentuan yang diterapkan pada daerah lainnya, misalnya berdasarkan PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah yang membatasi jumlah badan atau institusi di daerah. Begitu juga dengan diberikannya kewenangan untuk membentuk Partai Politik Lokal di Aceh. Sesuatu yang sangat bertentangan dengan konsep negara kesatuan. Dengan demikian, maka penyelenggaraan pemerintahan di Daerah Otonomi Khusus NAD menyerupai konsep negara federal. Kebijakan pemerintah pusat yang tertuang dalam Pasal 226 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 telah dilaksanakan di Provinsi DIY, bahkan undang-undang pemerintahan daerah sebelumnya juga menyatakan hal yang sama. Tidak ada protes maupun tindakantindakan yang menolak ketentuan undang-undang tersebut. Pemerintah Provinsi DIY tidak pernah melakukan suatu tindakan atau perbuatan hukum untuk memprotes kebijakan pemerintah pusat yang dituangkan dalam undang-undang pemerintahan daerah tersebut, misalnya dengan menyatakan bahwa ketentuan tersebut tidak berlaku mengikat bagi Provinsi DIY. Karena memang dalam sistem negara kesatuan, tindakan tersebut tidak dapat dilakukan. Bandingkan dengan sistem yang berlaku di Aceh, jika Pemerintah hendak melakukan suatu kebijakan administratif yang berkaitan dengan Aceh, maka Pemerintah diharuskan melakukan konsultasi dan mendapat pertimbangan Gubernur Aceh. Dalam sistem negara kesatuan, hanya terdapat satu hukum nasional yang berlaku secara nasional pula. Keberlakuan hukum nasional pada suatu negara kesatuan tidak memerlukan persetujuan negara bagian terlebih dahulu. Berbeda dengan bentuk susunan negara serikat, keberlakuan suatu aturan federal harus mendapatkan pengakuan atau pengesahan dari negara bagian, apakah suatu peraturan hukum dari negara federal atau negara gabungannya itu berlaku terhadap warga negaranya atau tidak, sebagaimana yang dikemukakan oleh Kranenburg berikut ini: jika peraturan-peraturan hukum yang dibuat atau dikeluarkan oleh pemerintah federal atau pemerintah gabungan itu akan diberlakukan terhadap para warga negara dari negara-negara bagian, maka pemerintah negara bagian yang bersangkutan terlebih dahulu harus mengadakan suatu tindakan, yaitu mengadakan atau membuat suatu peraturan, atau undang-undang atau pernyataan atau mungkin berupa tindakan lain, yang pada pokoknya menyatakan berlakunya peraturanperaturan hukum dari negara federal atau negara gabungannya itu terhadap warga negaranya Edie Toet Hendratno, Op.Cit., hlm. 52

19 Segala peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah pusat berlaku mengikat secara langsung bagi Provinsi DIY tanpa perlu disetujui oleh Sultan Yogyakarta dan Adipati Kadipaten Paku Alaman. Ketentuan ini dapat dibandingkan dengan sistem yang berlaku di Aceh, dalam ketentuan Pasal 8 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2006 menyatakan bahwa DPR RI harus berkonsultasi dan mendapat pertimbangan dari DPRA jika hendak membuat undang-undang yang akan berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh. Padahal jika merujuk pada teori terbentuknya negara kesatuan, sebenarnya terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia juga memenuhi kriteria terbentuknya negara serikat. Dengan kata lain bahwa terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak murni memenuhi konsep terbentuknya negara kesatuan. Zulfikar Salahuddin, Al Chaidar dan Herdi Sahrasad dalam Ni matul Huda menjelaskan bahwa model negara kesatuan asumsi dasarnya berbeda secara diametrik dari negara federal. Formasi negara kesatuan dideklarasikan saat kemerdekaan oleh para pendiri negara dengan mengklaim seluruh wilayahnya sebagai bagian dari satu negara. 70 Tidak ada kesepakatan para penguasa apalagi negara-negara, karena diasumsikan bahwa semua wilayah yang termasuk di dalamnya bukanlah bagian-bagian wilayah yang bersifat independen. Dengan dasar itu, maka negara membentuk daerah-daerah atau wilayahwilayah yang kemudian diberi kekuasaan atau kewenangan oleh pemerintah pusat untuk mengurus berbagai kepentingan masyarakatnya, ini diasumsikan bahwa negaralah yang menjadi sumber kekuasaannya. 71 Sedangkan negara serikat (federasi) merupakan negara yang bersusunan jamak, maksudnya negara ini terdiri dari beberapa negara yang semula telah berdiri sendiri sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, mempunyai undang-undang dasar sendiri serta pemerintahan sendiri. 72 Negara-negara bagian itu kemudian menyerahkan sejumlah tugas dan kewenangan untuk diselenggarakan oleh suatu pemerintah federal, sedangkan urusanurusan lain tetap menjadi kewenangan negara bagian. 73 Ramlan Surbakti menambahkan 70 Huda, Ni matul, Hukum Tata Negara,Op.Cit., hlm Ibid. 72 Soehino, Op.Cit, hlm Ramlan Surbakti, Op.Cit., hlm. 216

20 bahwa dalam negara serikat pemerintah negara bagian bukanlah bawahan dan tidak bertanggungjawab kepada pemerintah federal. 74 Dengan demikian, bahwa dalam konsep terbentuknya negara kesatuan, wilayah negara atau pembagian wilayah negara kedalam beberapa daerah baru dilakukan setelah terbentuknya negara. Negara (pemerintah pusat) terbentuk terlebih dahulu, barulah kemudian setelah itu dibentuk daerah-daerah. Berbeda dengan proses terbentuknya negara federal, negara-negara bagian (daerah) telah ada dan berdiri sendiri sebagai negara yang merdeka dan berdaulat sebelum bergabung untuk membentuk pemerintah dan/atau negara gabungan (pemerintah/negara federal). E. Penutup 1. Kesimpulan a. Bahwa kewenagan yang dimiliki oleh daerah otonomi khusus tersebut sangatlah luas dan bahkan bertentangan dengan kewenangan pemerintahan daerah sebagaimana yang dimaksud dalam UU No. 32 Tahun 2004 dan PP No. 38 Tahun 2007 b. Bahwa walaupun kewenangan daerah otonomi khusus tersebut bertentangan dengan kewenangan pemerintah daerah daerah sebagaimana dimaksud dalam UU No. 32 Tahun 2004, tetapi tetaplah status otonomi khusus tersebut berada dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia. 2. Saran a. Sebaiknya beberapa kewenangan yang diberikan kepada daerah otonomi khusus tersebut seperti kewenangan untuk mengadakan hubungan luar negeri ditinjau kembali karena hal itu bertentangan dengan UU No. 32 Tahun b. Agar derah otonomi khusus tersebut tetap berada dalam bingkai NKRI, maka Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 sebagai landasan konstitusional dibentuknya daerah otonomi khusus tersebut disempurnakan. DAFTAR BACAAN Undang-Undang Dasar Negara Republi Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 21 Tahun Ibid.

21 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Pantja Astawa, I Gde, Problematika Hukum Otonomi Daerah di Indonesia. Bandung: Alumni, 2009 Soehino. Ilmu Negara, Ed.3, Cet.3. Yogyakarta: Liberty Huda, Ni matul. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada Sunarno, Siswanto. Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Cet.3. Jakarta: Sinar Grafika H.A.W. Widjaja, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada Ramlan Surbakti. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Grassindo R. Kranenburg. Ilmu Negara Umum, ditejemahkan Tk.B.Sabaroedin. Jakarta: Paradnya Paramita Bagir Manan. Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Cet.4. Yogyakarta: Pusat Studi Hukum FH-UII Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang Pemerintahan Daerah Dalam Sistem Pemerintahan, Makalah dalam seminar Sistem Pemerintahan Indoensia Pasca Amandemen UUD 1945, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan HAM RI bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Airlangga dan Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan HAM Provinsi Jawa Timur, pada Tanggal 9-10 Juni Philipus M. Hadjon. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Cet. 10. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan dalam Memasyarakatkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI Suparto Wijoyo, Karakteristik Hukum Acara Peradilan Administrasi (Peradilan Tata Usaha Negara), Edisi kedua. Surabaya: Airlangga University Press Titik Triwulan Tutik. Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD Jakarta: Prenada Media Group. 2010

22 Moh.Kusnardi, Harmaily Ibrahim. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Cet. 7. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH-UI Jimly Asshiddiqie. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. 2010

BAB I PENDAHULUAN. Ide negara kesatuan muncul dari adanya pemikiran dan keinginan dari warga

BAB I PENDAHULUAN. Ide negara kesatuan muncul dari adanya pemikiran dan keinginan dari warga BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Ide negara kesatuan muncul dari adanya pemikiran dan keinginan dari warga masyarakat suatu negara untuk membentuk suatu negara yang dapat menjamin adanya persatuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN KEBERADAAN LEMBAGA PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA

BAB II TINJAUAN KEBERADAAN LEMBAGA PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA BAB II TINJAUAN KEBERADAAN LEMBAGA PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA A. Pengertian Sistem Ketatanegaraan Istilah sistem ketatanegaraan terdiri dari kata sistem dan ketatanegaraan.

Lebih terperinci

BAB IV KRITERIA DALAM PEMBERIAN OTONOMI KHUSUS DI INDONESIA. Papua sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008

BAB IV KRITERIA DALAM PEMBERIAN OTONOMI KHUSUS DI INDONESIA. Papua sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 71 BAB IV KRITERIA DALAM PEMBERIAN OTONOMI KHUSUS DI INDONESIA Saat ini setidaknya terdapat dua (2) daerah di Indonesia yang menyandang status otonomi khusus yakni, (i) Provinsi Papua dan Papua Barat berdasarkan

Lebih terperinci

1 BAB I PENDAHULUAN Saat ini setidaknya terdapat 5 daerah di Indonesia yang menyandang status otonomi khusus atau istimewa, antara lain: (i) Provinsi Aceh berdasarkan Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2006

Lebih terperinci

QANUN ACEH NOMOR 8 TAHUN 2007 TENTANG BANTUAN KEUANGAN KEPADA PARTAI POLITIK DAN PARTAI POLITIK LOKAL

QANUN ACEH NOMOR 8 TAHUN 2007 TENTANG BANTUAN KEUANGAN KEPADA PARTAI POLITIK DAN PARTAI POLITIK LOKAL QANUN ACEH NOMOR 8 TAHUN 2007 TENTANG BANTUAN KEUANGAN KEPADA PARTAI POLITIK DAN PARTAI POLITIK LOKAL BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR NANGGROE ACEH DARUSSALAM, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keempat daerah khusus tersebut terdapat masing-masing. kekhususan/keistimewaannya berdasarkan payung hukum sebagai landasan

BAB I PENDAHULUAN. Keempat daerah khusus tersebut terdapat masing-masing. kekhususan/keistimewaannya berdasarkan payung hukum sebagai landasan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di Indonesia terdapat empat provinsi yang diberikan dan diakui statusnya sebagai daerah otonomi khusus atau keistimewaan yang berbeda dengan Provinsi lainnya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat diubah oleh MPR sekalipun, pada tanggal 19 Oktober 1999 untuk pertama

BAB I PENDAHULUAN. dapat diubah oleh MPR sekalipun, pada tanggal 19 Oktober 1999 untuk pertama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setelah pemerintah orde baru mengakhiri masa pemerintahannya pada tanggal 20 Mei 1998 melalui suatu gerakan reformasi, disusul dengan percepatan pemilu di tahun 1999,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2001 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2001 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2001 TENTANG OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH SEBAGAI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011: 34 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Judicial Review Kewenangan Judicial review diberikan kepada lembaga yudikatif sebagai kontrol bagi kekuasaan legislatif dan eksekutif yang berfungsi membuat UU. Sehubungan

Lebih terperinci

Refleksi Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki Dalam Kaitan Makna Otonomi Khusus Di Aceh

Refleksi Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki Dalam Kaitan Makna Otonomi Khusus Di Aceh Refleksi Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki Dalam Kaitan Makna Otonomi Khusus Di Aceh ZAKI ULYA Dosen Hukum Tata Negara, pada Fakultas Hukum, Universitas Jabal Ghafur, Sigli, Aceh. Jl. Glee Gapui,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia Tahun Dalam rangka penyelenggaraan

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia Tahun Dalam rangka penyelenggaraan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia menyelenggarakan pemerintahan negara dan pembangunan nasional untuk mencapai masyarakat adil, makmur dan merata berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Aceh dengan fungsi merumuskan kebijakan (legislasi) Aceh, mengalokasikan

BAB I PENDAHULUAN. Aceh dengan fungsi merumuskan kebijakan (legislasi) Aceh, mengalokasikan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) merupakan salah satu unsur penyelenggara Pemerintahan Aceh yang bertindak sebagai lembaga legislatif di Aceh dengan fungsi merumuskan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA (Kuliah ke 13) suranto@uny.ac.id 1 A. UUD adalah Hukum Dasar Tertulis Hukum dasar dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (a) Hukum dasar tertulis yaitu UUD, dan

Lebih terperinci

Page 1 of 10 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembentukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembentukan peraturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil

BAB I PENDAHULUAN. Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengertian pemilihan kepala daerah (pilkada) berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang a. bahwa pembentukan peraturan

Lebih terperinci

Argumentasi/ Rasionalisasi

Argumentasi/ Rasionalisasi No Draft DPRD NAD RUU PA (PEMERINTAH) RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2006 Argumentasi/ Rasionalisasi TENTANG PEMERINTAHAN ACEH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang ditetapkan oleh lembaga legislatif.

BAB I PENDAHULUAN. yang ditetapkan oleh lembaga legislatif. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Semenjak demokrasi menjadi atribut utama Negara modern, maka lembaga perwakilan merupakan mekanisme utama untuk merealisasi gagasan normatif bahwa pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945), Negara Indonesia secara tegas dinyatakan sebagai

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG UNDANG-UNDANG NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG PEMERINTAHAN PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA SEBAGAI IBUKOTA NEGARA KESATUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa Provinsi Daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang). 1 Karena

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang). 1 Karena BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) diberitakan kemungkinan bakal menjadi calon tunggal dalam pemilihan presiden tahun 2009. Kemungkinan calon tunggal dalam pilpres

Lebih terperinci

QANUN ACEH NOMOR 7 TAHUN 2007 TENTANG PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM DI ACEH BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM GUBERNUR NANGGROE ACEH DARUSSALAM,

QANUN ACEH NOMOR 7 TAHUN 2007 TENTANG PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM DI ACEH BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM GUBERNUR NANGGROE ACEH DARUSSALAM, QANUN ACEH NOMOR 7 TAHUN 2007 TENTANG PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM DI ACEH BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM GUBERNUR NANGGROE ACEH DARUSSALAM, Menimbang : a. bahwa pemilihan umum secara langsung, umum, bebas,

Lebih terperinci

MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 1. Menimbang: Menimbang: a. bahwa pembentukan peraturan perundang undangan merupakan salah satu syarat dalam rangka pembangunan hukum nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota 1 periode 2014-

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota 1 periode 2014- BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemilihan umum (pemilu) untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan

Lebih terperinci

DINAMIKA PEMBENTUKAN REGULASI TURUNAN UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN ACEH DYNAMICS OF FORMATION OF DERIVATIVES REGULATION THE LAW ON GOVERNMENT OF ACEH

DINAMIKA PEMBENTUKAN REGULASI TURUNAN UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN ACEH DYNAMICS OF FORMATION OF DERIVATIVES REGULATION THE LAW ON GOVERNMENT OF ACEH Vol. 18, No. 3, (Desember, 2016), pp. 459-458. DINAMIKA PEMBENTUKAN REGULASI TURUNAN UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN ACEH DYNAMICS OF FORMATION OF DERIVATIVES REGULATION THE LAW ON GOVERNMENT OF ACEH Fakultas

Lebih terperinci

QANUN ACEH NOMOR 18 TAHUN 2013 TENTANG

QANUN ACEH NOMOR 18 TAHUN 2013 TENTANG QANUN ACEH NOMOR 18 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 1 TAHUN 2005 TENTANG KEDUDUKAN PROTOKOLER DAN KEUANGAN PIMPINAN DAN ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

Lebih terperinci

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 2 TAHUN 2003 TENTANG

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 2 TAHUN 2003 TENTANG QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 2 TAHUN 2003 TENTANG SUSUNAN, KEDUDUKAN DAN KEWENANGAN KABUPATEN ATAU KOTA DALAM PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH

Lebih terperinci

BAB II OTONOMI KHUSUS DALAM SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA MENURUT UUD A. Pemerintah Daerah di Indonesia Berdasarkan UUD 1945

BAB II OTONOMI KHUSUS DALAM SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA MENURUT UUD A. Pemerintah Daerah di Indonesia Berdasarkan UUD 1945 BAB II OTONOMI KHUSUS DALAM SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA MENURUT UUD 1945 A. Pemerintah Daerah di Indonesia Berdasarkan UUD 1945 Dalam UUD 1945, pengaturan tentang pemerintah daerah diatur dalam Bab VI pasal

Lebih terperinci

Muchamad Ali Safa at

Muchamad Ali Safa at Muchamad Ali Safa at DASAR HUKUM Pasal 18 ayat (6) UUD 1945, Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturanperaturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Pemerintahan

Lebih terperinci

KOMISI INDEPENDEN PEMILIHAN ACEH

KOMISI INDEPENDEN PEMILIHAN ACEH KOMISI INDEPENDEN PEMILIHAN ACEH OMISI INDEPENDEN PEMILIHAN ACEH KEPUTUSAN KOMISI INDEPENDEN PEMILIHAN ACEH NOMOR 16/Kpts/KIP Aceh/TAHUN 2017 TENTANG PENDAFTARAN, VERIFIKASI, DAN PENETAPAN PARTAI POLITIK

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAH YANG BERSIFAT NASIONAL DI ACEH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAH YANG BERSIFAT NASIONAL DI ACEH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAH YANG BERSIFAT NASIONAL DI ACEH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

UU 22/2003, SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

UU 22/2003, SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH Copyright (C) 2000 BPHN UU 22/2003, SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH *14124 UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA , 2001, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum (PSH) Fakultas Hukum UII, Yogyakarta

DAFTAR PUSTAKA , 2001, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum (PSH) Fakultas Hukum UII, Yogyakarta 111 DAFTAR PUSTAKA Abu Daud Busyro, 1990, Ilmu Negara, Cet I, Bumi Aksara, Astim Riyanto, 2006, Negara Kesatuan Konsep Asas dan Aktualisasinya, Penerbit Yapemdo, Bandung Bagir manan, 1993, Perjalanan Historis

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAH YANG BERSIFAT NASIONAL DI ACEH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAH YANG BERSIFAT NASIONAL DI ACEH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAH YANG BERSIFAT NASIONAL DI ACEH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG PEMERINTAHAN PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA SEBAGAI IBUKOTA NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa dalam rangka penyelenggaraan

Lebih terperinci

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Konstitusi dan Rule of Law

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Konstitusi dan Rule of Law Modul ke: 07 PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Konstitusi dan Rule of Law Fakultas PSIKOLOGI Program Studi PSIKOLOGI Rizky Dwi Pradana, M.Si Sub Bahasan 1. Pengertian dan Definisi Konstitusi 2. Hakikat dan Fungsi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penyelenggaraan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penyelenggaraan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penyelenggaraan

Lebih terperinci

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di KETERANGAN PENGUSUL ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1999 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2002 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2002 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2002 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang

II. TINJAUAN PUSTAKA. kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang 12 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistem Ketatanegaraan Indonesia Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUDNRI 1945) pada Pasal 1 Ayat (2) mengamanatkan bahwa kedaulatan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2003 TENTANG SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DENGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Cita-cita dan tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Cita-cita dan tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Cita-cita dan tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah membangun masyarakat Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2018 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH,

Lebih terperinci

TUGAS KEWARGANEGARAAN LATIHAN 4

TUGAS KEWARGANEGARAAN LATIHAN 4 1 TUGAS KEWARGANEGARAAN LATIHAN 4 DISUSUN OLEH: NAMA NIM PRODI : IIN SATYA NASTITI : E1M013017 : PENDIDIKAN KIMIA (III-A) S-1 PENDIDIKAN KIMIA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MATARAM

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2003 TENTANG SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DENGAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2003 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2003 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2003 TENTANG SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DENGAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa Presiden Republik Indonesia, Menimbang: a. bahwa pembentukan peraturan

Lebih terperinci

Title? Author Riendra Primadina. Details [emo:10] apa ya yang di maksud dengan nilai instrumental? [emo:4] Modified Tue, 09 Nov :10:06 GMT

Title? Author Riendra Primadina. Details [emo:10] apa ya yang di maksud dengan nilai instrumental? [emo:4] Modified Tue, 09 Nov :10:06 GMT Title? Author Riendra Primadina Details [emo:10] apa ya yang di maksud dengan nilai instrumental? [emo:4] Modified Tue, 09 Nov 2010 14:10:06 GMT Author Comment Hafizhan Lutfan Ali Comments Jawaban nya...

Lebih terperinci

KEBIJAKAN DAN IMPLEMENTASI OTONOMI KHUSUS DI PAPUA DAN ACEH

KEBIJAKAN DAN IMPLEMENTASI OTONOMI KHUSUS DI PAPUA DAN ACEH KEBIJAKAN DAN IMPLEMENTASI OTONOMI KHUSUS DI PAPUA DAN ACEH Penyunting: Lili Romli Diterbitkan oleh: P3DI Setjen DPR Republik Indonesia dan Azza Grafika Judul: Kebijakan dan Implementasi Otonomi Khusus

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG PEMERINTAHAN PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA SEBAGAI IBUKOTA NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tangganya sendiri. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. tangganya sendiri. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, pemerintah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan bukan Negara Serikat maupun Negara Federal. Suatu bentuk Negara berdaulat yang diselenggarakan sebagai satu kesatuan tunggal

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG TAHUN 2010 NOMOR 16

LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG TAHUN 2010 NOMOR 16 LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG TAHUN 2010 NOMOR 16 PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2001 TENTANG PENYELENGGARAAN DEKONSENTRASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2001 TENTANG PENYELENGGARAAN DEKONSENTRASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2001 TENTANG PENYELENGGARAAN DEKONSENTRASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa salah satu cara dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan

Lebih terperinci

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Formatted: Left: 3,25 cm, Top: 1,59 cm, Bottom: 1,43 cm, Width: 35,56 cm, Height:

Lebih terperinci

NOMOR 31 TAHUN 2002 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

NOMOR 31 TAHUN 2002 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2002 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUDNRI Tahun 1945), Negara Indonesia ialah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemilihan umum adalah salah satu hak asasi warga negara yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. Pemilihan umum adalah salah satu hak asasi warga negara yang sangat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemilihan umum adalah salah satu hak asasi warga negara yang sangat prinsipil. Karenanya dalam rangka pelaksanaan hak-hak asasi adalah suatu keharusan bagi pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suku, bahasa, dan adat istiadat yang beragam. Mengingat akan keragaman tersebut,

BAB I PENDAHULUAN. suku, bahasa, dan adat istiadat yang beragam. Mengingat akan keragaman tersebut, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan sebuah negara plural dengan segenap masyarakat heterogen yang dilatar belakangi oleh banyaknya pulau, agama, suku, bahasa,

Lebih terperinci

BAB II PERTANGGUNGJAWABAN KEPALA DAERAH DALAM PELAKSANAAN APBD DIATUR DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

BAB II PERTANGGUNGJAWABAN KEPALA DAERAH DALAM PELAKSANAAN APBD DIATUR DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BAB II PERTANGGUNGJAWABAN KEPALA DAERAH DALAM PELAKSANAAN APBD DIATUR DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Semenjak lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1945, prinsip penyelenggaraan otonomi

Lebih terperinci

R U J U K A N UNDANG UNDANG DASAR 1945 DALAM PUTUSAN-PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

R U J U K A N UNDANG UNDANG DASAR 1945 DALAM PUTUSAN-PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI R U J U K A N UNDANG UNDANG DASAR 1945 DALAM PUTUSAN-PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Singkatan dalam Rujukan: PUTMK: Putusan Mahkamah Konstitusi HPMKRI 1A: Himpunan Putusan Mahkamah Konstitusi RI Jilid 1A

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 7 2006 SERI E R PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 4 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN MENGHARAP BERKAT DAN RAHMAT ALLAH SUBHANAHU

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. Alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI Tahun 1945) menyebutkan bahwa tujuan dari dibentuknya negara Indonesia adalah:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan besar pada sistem ketatanegaraan Indonesia. Salah satu perubahan itu

BAB I PENDAHULUAN. perubahan besar pada sistem ketatanegaraan Indonesia. Salah satu perubahan itu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Hasil amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 telah membawa perubahan besar pada sistem ketatanegaraan Indonesia. Salah satu perubahan itu terkait dengan pengisian

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MATERI AUDIENSI DAN DIALOG DENGAN FINALIS CERDAS CERMAT PANCASILA, UUD NEGARA RI TAHUN 1945, NKRI, BHINNEKA TUNGGAL IKA, DAN KETETAPAN MPR Dr. H. Marzuki Alie

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2001 TENTANG PENYELENGGARAAN DEKONSENTRASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2001 TENTANG PENYELENGGARAAN DEKONSENTRASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2001 TENTANG PENYELENGGARAAN DEKONSENTRASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu cara dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan

Lebih terperinci

Volume 11 Nomor 1 Maret 2014

Volume 11 Nomor 1 Maret 2014 Volume 11 Nomor 1 Maret 2014 ISSN 0216-8537 9 7 7 0 2 1 6 8 5 3 7 2 1 11 1 Hal. 1-102 Tabanan Maret 2014 Kampus : Jl. Wagimin No.8 Kediri - Tabanan - Bali 82171 Telp./Fax. : (0361) 9311605 PENYERAHAN WEWENANG

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

AMANDEMEN II UUD 1945 (Perubahan tahap Kedua/pada Tahun 2000)

AMANDEMEN II UUD 1945 (Perubahan tahap Kedua/pada Tahun 2000) AMANDEMEN II UUD 1945 (Perubahan tahap Kedua/pada Tahun 2000) Perubahan kedua terhadap pasal-pasal UUD 1945 ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 2000. Perubahan tahap kedua ini ini dilakukan terhadap beberapa

Lebih terperinci

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PANITIA PENGAWAS PEMILIHAN ACEH, PANITIA PENGAWAS PEMILIHAN

Lebih terperinci

BEBERAPA KETENTUAN DALAM UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 DENGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 1

BEBERAPA KETENTUAN DALAM UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 DENGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 1 BEBERAPA KETENTUAN DALAM UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 DENGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 1 Yudi Widagdo Harimurti 2 Email : yudi.harimurti@trunojoyo.ac.id Abstrak Dasar hukum

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN TUGAS DAN WEWENANG DEWAN PERWAKILAN DAERAH DI INDONESIA. A. Kewenangan Memberi Pertimbangan dan Fungsi Pengawasan Dewan

BAB II PENGATURAN TUGAS DAN WEWENANG DEWAN PERWAKILAN DAERAH DI INDONESIA. A. Kewenangan Memberi Pertimbangan dan Fungsi Pengawasan Dewan BAB II PENGATURAN TUGAS DAN WEWENANG DEWAN PERWAKILAN DAERAH DI INDONESIA A. Kewenangan Memberi Pertimbangan dan Fungsi Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah DPD sebagai Lembaga Negara mengemban fungsi dalam

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, Menimbang : a. bahwa dalam rangka untuk

Lebih terperinci

2018, No Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang P

2018, No Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang P No.29, 2018 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEGISLATIF. MPR. DPR. DPD. DPRD. Kedudukan. Perubahan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6187) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembentukan peraturan

Lebih terperinci

QANUN ACEH NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM DAN PEMILIHAN DI ACEH

QANUN ACEH NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM DAN PEMILIHAN DI ACEH QANUN ACEH NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM DAN PEMILIHAN DI ACEH BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG ATAS RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2010 SERI D.1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2010 SERI D.1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2010 SERI D.1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

BAB III KEDUDUKAN SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 34/PUU- XII/2014

BAB III KEDUDUKAN SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 34/PUU- XII/2014 BAB III KEDUDUKAN SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 34/PUU- XII/2014 A. Latar Belakang Keluarnya SEMA No. 7 Tahun 2014 Pada awalnya SEMA dibentuk berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa negara Indonesia ialah negara Kesatuan yang berbentuk Republik. Negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

PERUBAHAN KEDUA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN

PERUBAHAN KEDUA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERUBAHAN KEDUA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945-59 - - 60 - MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERUBAHAN KEDUA

Lebih terperinci

-1- QANUN ACEH NOMOR 13 TAHUN 2017 TATA CARA PEMBERIAN PERTIMBANGAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA

-1- QANUN ACEH NOMOR 13 TAHUN 2017 TATA CARA PEMBERIAN PERTIMBANGAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA -1- QANUN ACEH NOMOR 13 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN PERTIMBANGAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG ATAS RAHMAT ALLAH

Lebih terperinci

2008, No.2 2 d. bahwa Partai Politik merupakan sarana partisipasi politik masyarakat dalam mengembangkan kehidupan demokrasi untuk menjunjung tinggi k

2008, No.2 2 d. bahwa Partai Politik merupakan sarana partisipasi politik masyarakat dalam mengembangkan kehidupan demokrasi untuk menjunjung tinggi k LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.2, 2008 LEMBAGA NEGARA. POLITIK. Pemilu. DPR / DPRD. Warga Negara. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4801) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

Dua unsur utama, yaitu: 1. Pembukaan (Preamble) ; pada dasarnya memuat latar belakang pembentukan negara merdeka, tujuan negara, dan dasar negara..

Dua unsur utama, yaitu: 1. Pembukaan (Preamble) ; pada dasarnya memuat latar belakang pembentukan negara merdeka, tujuan negara, dan dasar negara.. & Apakah KONSTITUSI? 1. Akte Kelahiran suatu Negara-Bangsa (the birth certificate of a nation state); 2. Hukum Dasar atau hukum yang bersifat fundamental sehingga menjadi sumber segala peraturan perundang-undangan

Lebih terperinci

e. Senat diharuskan ada, sedangkan DPR akan terdiri dari gabungan DPR RIS dan Badan Pekerja KNIP;

e. Senat diharuskan ada, sedangkan DPR akan terdiri dari gabungan DPR RIS dan Badan Pekerja KNIP; UUDS 1950 A. Sejarah Lahirnya Undang-Undang Sementara 1950 (UUDS) Negara Republik Indonesia Serikat yang berdiri pada 27 Desember 1949 dengan adanya Konferensi Meja Bundar, tidak dapat bertahan lama di

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Bergulirnya reformasi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 membawa dampak banyak perubahan di negeri ini, tidak terkecuali terhadap sistem dan praktik ketatanegaraan

Lebih terperinci

PENUTUP. partai politik, sedangkan Dewan Perwakilan Daerah dipandang sebagai

PENUTUP. partai politik, sedangkan Dewan Perwakilan Daerah dipandang sebagai 105 BAB IV PENUTUP A. KESIMPULAN Lembaga perwakilan rakyat yang memiliki hak konstitusional untuk mengajukan Rancangan Undang-Undang adalah Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Dewan Perwakilan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

- 2 - pada Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Papua, dan Papua Barat;

- 2 - pada Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Papua, dan Papua Barat; - 2 - pada Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Papua, dan Papua Barat; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pencabutan undang-undang No.22 tahun 1999, oleh undang-undang No 32

BAB I PENDAHULUAN. Pencabutan undang-undang No.22 tahun 1999, oleh undang-undang No 32 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota. Konsep yang dianut adalah konsep negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG, LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG,

Lebih terperinci

MEMAHAMI UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. OLEH : SRI HARININGSIH, SH.,MH

MEMAHAMI UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. OLEH : SRI HARININGSIH, SH.,MH MEMAHAMI UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. OLEH : SRI HARININGSIH, SH.,MH 1 MEMAHAMI UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN.

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2001 TENTANG PENYELENGGARAAN DEKONSENTRASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2001 TENTANG PENYELENGGARAAN DEKONSENTRASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 39 TAHUN 2001 TENTANG PENYELENGGARAAN DEKONSENTRASI PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa salah satu cara dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci