Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download ""

Transkripsi

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11 1 BAB I PENDAHULUAN Saat ini setidaknya terdapat 5 daerah di Indonesia yang menyandang status otonomi khusus atau istimewa, antara lain: (i) Provinsi Aceh berdasarkan Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh; (ii) Daerah Khusus Ibukota Jakarta berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia; (iii) Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta; (iv) Provinsi Papua dan Papua Barat berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua menjadi Undang-Undang. Pengakuan dan penghormatan negara terhadap suatu daerah dengan otonomi khusus dan istimewa di beberapa daerah di Indonesia merupakan kesepakatan politik pembentuk konstitusi. Prinsip mengakui dan menghormati pemerintahan daerah yang bersifat khsusus dan istimewa merupakan hal pokok yang diatur dalam ketentuan Pasal 18B ayat (1) UUD Philipus M. Hadjon menyatakan bahwa prinsip yang terkandung dalam Pasal 18B merupakan pengakuan negara terhadap pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa { ayat (1) }, dan prinsip eksistensi dan hak-hak tradisional masyarakat adat sebagaimana terdapat pada desa atau nama lain. 1 Ketentuan Pasal 18B ayat (1) tersebut mendukung keberadaan berbagai satuan pemerintahan yang bersifat khsusus atau bersifat istimewa (baik di tingkat provinsi, kabupaten dan kota atau desa). Sebelum kemerdekaan, Yogyakarta merupakan sebuah negara bagian Hindia Belanda yang berbentuk kerajaan istimewa yang disebut Zelfbestuurende Landschappen dan oleh Jepang disebut dengan Kooti/Kochi. 2 Kemudian bergabung dengan Negara 1 Philipus M. Hadjon, Kedudukan Undang-Undang Pemerintahan Daerah Dalam Sistem Pemerintahan, Makalah dalam seminar Sistem Pemerintahan Indoensia Pasca Amandemen UUD 1945, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan HAM RI bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Airlangga dan Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan HAM Provinsi Jawa Timur, pada Tanggal 9-10 Juni Saafroedin Bahar et. al., ed. Risalah Sidang BPUPKI-PPKI 29 Mei Agustus Edisi kedua. (Jakarta: Sekretariat Negara RI, 1995), hlm. 58

12 2 Republik Indonesia melalui Amanat 5 September 1945 yang dikeluarkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII secara terpisah akan tetapi dengan format dan isi yang sama. Berdasarkan Amanat 5 September 1945 Kasultanan Ngajokjakarta Hadiningrat dan Kadipaten Paku Alaman yang bersifat kerajaan menyatakan pengintegrasian kedalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memilih status sebagai daerah istimewa. 3 Dalam Amanat 5 September 1945 tersebut, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII juga menyatakan bahwa mereka merupakan kepala daerah yang memegang kekuasaan pemerintahan di daerah Yogyakarta dan Paku Alaman 4 dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden. 5 Kemudian diakui oleh Presiden Republik Indonesia melalui Piagam Kedudukan Presiden Republik Indonesia tanggal 6 September 1945 menyatakan integrasi Yogyakarta ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memilih status keistimewaan. 6 Keadaan tersebut tetap berlaku sampai dengan wafatnya Sri Sultan Hamengku Buwono IX pada tahun 1988 setelah memimpin Yogyakarta selama 43 tahun dan kemudian digantikan oleh Sri Paduka Paku Alam VIII sampai tahun Barulah setelah Sri Paduka Paku Alam VIII meninggal pada tahun 1998 mulai muncul polemik tentang siapa dan bagaimana proses pengisian jabatan gubernur Yogyakarta berikutnya. 7 Akan tetapi pada saat itu Sri Sultan Hamengku Buwono X langsung ditetapkan sebagai Gubernur DIY periode Pada tahun 2003 masa Jabatan Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paduka Paku Alam IX akan berakhir yang kemudian diikuti oleh perseteruan di DPRD Provinsi DIY yang menginginkan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY, akan tetapi mayoritas rakyat menginginkan penetapan. 9 Sehingga pada akhirnya pada tahun Diktum 1 Amanat 5 September 1945 berbunyi : Bahwa Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia 4 Ketentuan mengenai pernyataan bahwa Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII sebagai kepala daerah dalam status keistimewaan yang dimilikinya tersebut terdapat dalam ketentuan diktum 2 Amanat 5 Sptember 1945 yang berbunyi : Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mulai saat ini berada ditangan kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnja kami pegang seluruhnya. 5 Ketentuan tersebut terdapat dalam diktum 3 Amanat 5 September 1945 yang berbunyi : Bahwa perhubungan antara Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia, bersifat langsung dan Kami bertanggung djawab atas Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia. 6 Saafroedin Bahar et. al., ed., Loc.Cit. 7 Diakses pada Tanggal 28 Februari Ibid 9 Ibid

13 3 Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paduka Paku Alam IX ditetapkan kembali sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Periode Akan tetapi pada tanggal 7 April 2007 Sultan Hamengku Buwono X menyatakan tidak bersedia lagi menjabat gubernur setelah masa jabatannya selesai pada Janji ini diulangi kembali pada Pisowanan Agung di depan 40 ribu rakyat Yogyakarta pada tanggal 18 April Pada Oktober 2008 jabatan Sultan Hamengku Buwono X berakhir. Kemudian Presiden memanggil Sultan untuk menjadi penanggung jawab sementara selama 3 tahun yaitu sampai tahun 2011 atau sampai RUU Keistimewaan Yogyakarta selesai dibahas. 10 Setelah 3 tahun berlalu sejak 2008, polemik mengenai status keistimewaan Yogyakarta tersebut kembali muncul ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan statemen dalam rapat terbatas kabinet untuk membahas Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta pada hari Jum at tanggal 26 November 2010 yang menyatakan bahwa tidak boleh ada suatu sistem monarki yang bisa bertabrakan dengan demokrasi. 11 Berikut ini pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 26 November 2010 mengenai keistimewaan Yogyakarta: Berkali-kali saya menyampaikan posisi dasar pemerintah berkaitan dengan Undang-undang tentang Keistimewaan Yogyakarta atau tentang pemda DIY. Pertama pilarnya adalah pilar nasional yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dalam Undang-undang Dasar telah diatur dengan gamblang. Kedua, harus dipahami keistimewaan DIY itu sendiri berkaitan dengan sejarah dari aspek-aspek lain yang harus diperlakukan secara khusus sebagaimana pula yang diatur dalam Undang-undang Dasar. Ketiga, harus diperhatikan aspek Indonesia adalah negara hukum dan negara demokrasi. Nilai-nilai demokrasi tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu, tidak boleh ada sistem monarki yang bertabrakan dengan konstitusi mau pun nilai-nilai demokrasi. 12 Setidaknya ada dua permasalahan utama yang melatarbelakangi statemen Presiden Susilo bambang Yudhoyhomo di atas, yaitu pertama masalah keistimewaan Yogyakarta yang dianggap bertentangan dengan prinsip negara kesatuan yang dianut oleh Indonesia yaitu bahwa hanya ada satu negara dalam negara atau tidak ada negara 10 Ibid 11 Diakses pada tanggal 28 Februari November 2010, Diakses Pada Tanggal 28 Februari 2011

14 4 di dalam negara 13 dan Pemerintah Pusat merupakan pemegang kekuasaan pemerintahan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun Kedua yaitu masalah pengisian jabatan Gubernur dan wakil Gubernur Provinsi DIY yang dianggap tidak demokratis atau tidak sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat. Ramlan Surbakti menyatakan bahwa pada dasarnya dalam negara kesatuan hanya ada satu negara dengan suatu pmerintah pusat yang memiliki seluruh tugas dan kewenangan negara. 14 Ramlan Surbakti menambahkan bahwa dalam negara kesatuan, pemerintah lokal harus tunduk dan bertanggungjawab kepada pemerintah pusat. 15 Berbeda halnya dengan negara federasi yang memiliki kewenangan asli dan menyerahkan sejumlah tugas dan kewenangan tertentu untuk diselenggarakan oleh suatu pemerintah federal, sedangkan urusan-urusan lain tetap menjadi kewenangan negara bagian. 16 Pendapat Ramlan Surbakti tersebut juga sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Soehino tentang konsep negara kesatuan, yaitu: Negara kesatuan itu adalah negara yang tidak tersusun dari beberapa negara, melainkan hanya terdiri atas satu negara, sehingga tidak ada negara di dalam negara. Dengan demikian dalam Negara Kesatuan hanya ada satu pemerintah, yaitu pemerintah pusat yang mempunyai kekuasaan serta wewenang tertinggi dalam bidang pemerintahan negara, menetapkan kebijaksanaan pemerintahan dan melaksanakan pemerintahan negara baik di pusat maupun di daerahdaerah. 17 Selanjutnya Eko Prasodjo seperti yang dikutip Hendratno menyatakan bahwa Pasal 18B ayat (1) dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menyebutkan negara mengakui keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan kesamaan dengan konsep diversity in unity (keragaman dalam kesatuan) dalam sistem federal. 18 Hal tersebut dianggap bertentangan dengan konsep negara kesatuan yang dianut di 13 Edie Toet Hendratno, Negara Kesatuan, Desentralisasi, dan Federalisme (Jakarta:Graha Ilmu dan Universitas Pancasila Press, 2009), hlm Surbakti, Ramlan, Memahami Ilmu Politik, Cet. 7 ( Jakarta: Grasindo, 2010), hlm Ibid 16 Ibid 17 Soehino, Ilmu Negara, Ed.3, Cet.3 (Yogyakarta: Liberty, 2000), hlm Ibid., hlm.238

15 5 Indonesia sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Nilai-nilai demokrasi yang dimaksud oleh Presiden tersebut yakni berkaitan dengan mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY yang selama ini dilakukan melalui mekanisme penetapan. Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menghendaki kepala pemerintah di daerah hendaknya dipilih secara demokratis Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Apa yang dikemukakan oleh Presiden tersebut mungkin juga memang ada benarnya, sebagai contoh bahwa dalam putusan Mahkamah Konstitusi perkara Nomor 15/PUU-V/2007 perihal Pengujian Undang-undang Pemerintahan Daerah, bagian pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi menyatakan: Ada dua substansi yang menjadi amanat Konstitusi yang terkandung dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 tersebut. Pertama, bahwa pengisian jabatan kepala daerah harus dilakukan melalui pemilihan. Dengan kata lain, pengisian jabatan kepala daerah tersebut tidak boleh dilakukan melalui cara lain diluar cara pemilihan, misalnya dengan cara pengangkatan atau penunjukan. Kedua, pemilihan tersebut harus dilakukan secara demokratis, artinya harus memenuhi kaidah-kaidah demokrasi. 20 Putusan Mahkamah Konstitusi di atas dengan jelas menggariskan bahwa pemilihan kepala daerah haruslah secara demokratis, bukan dengan jalan penunjukan ataupun pengangkatan. Pemilihan kepala pemerintah daerah secara demokratis diharapkan akan mampu meningkatkan hubungan dan interaksi antara pemerintah sebagai wakil pemerintah pusat di daerah dengan masyarakat di daerah. 21 Titik Triwulan Tutik menyatakan bahwa pengertian demokrasi secara harfiah identik dengan makna kedaulatan rakyat 22 seperti yang dianut oleh bangsa Indonesia sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun Moh.Kusnardi dan 19 Huda, Ni matul, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), hlm Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Perkara 15/PUU-V/2007. Lihat Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Pasal-Pasal UUD 1945 (Periode ), Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2008, hlm Marijan, Kacung, Sistem Politik di Indonesia Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, ( Jakarta: Prenada Media Group, 2010), hlm. 66

16 6 Harmaily Ibrahim menyatakan bahwa suatu negara yang menganut azas kedaulatan rakyat disebut juga sebagai negara demokrasi. 23 Soehino membedakan demokrasi menjadi Demokrasi langsung dan Demokrasi tidak langsung atau demokrasi perwakilan. 24 Sedangkan terkait dengan bentuk penyaluran kedaulatan rakyat secara langsung (demokrasi langsung), Jimly Asshiddiqie menjelaskan bahwa: Penyaluran kedaulatan rakyat secara langsung (direct democracy) dilakukan melalui pemilihan umum, pemilihan presiden, dan pelaksanaan referendum untuk menyatakan persetujuan atau penolakan terhadap rencana perubahan atas pasalpasal tertentu dalam Undang-Undang Dasar. 25 Dengan demikian, dari uraian di atas, paling tidak terdapat 2 permasalahan penting yang menjadi alasan mengapa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menginginkan agar Gubernur Provinsi DIY dipilih secara demokratis. Pertama, Presiden menganggap bahwa prinsip Negara Kesatuan harus ditegakkan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu bahwa sistem pemerintahan maupun sistem hukum adalah sama atau tidak boleh ada negara dalam negara sebagaimana halnya dengan negara federal. Kedua, bahwa sistem yang ada dan hidup di Yogyakarta selama ini, yaitu bahwa meknisme pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur DIY melalui proses penetapan yang kemudian akan digantikan oleh pewaris sah Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman yang bertahta dianggap bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat. Namun pada tanggal 3 September 2012, akhirnya Pemerintah Pusat mengundangkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewaan Yogyakarta. Setelah lebih dari 60 Tahun DIY bergabung dengan NKRI, baru pada tahun 2012 Pemerintah Pusat mengesahkan Undang-Undang tentang keistimewaan DIY. Penegsahan undang-undang keistimewaan DIY tersebut membuat seluruh elemen bangsa menjadi tenang dan menyambut keberadaan undang-undang tersebut. Akan tetapi, tetap saja model otonomi daerah yang diberikan kepada DIY tetap menarik untuk dikaji dan diteliti dalam perspektif hukum tata negara dan hukum administrasi. Dua bidang ilmu ini (HTN dan Hukum Administrasi) dewasa ini semakin banyak diminati untuk ditekuni oleh berbagai pihak. Tentunya hal ini tudak lepas dari 23 Moh.Kusnardi, Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Cet. 7 ( Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH-UI, 1988), hlm Ibid, hlm Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia ( Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 59

17 7 sangat dinamisnya perkembangan hukum tata negara dan hukum administrasi. Philipus M. Hadjon manyatakan bahwa kedua bidang ilmu hukum tersebut yaitu Ilmu Hukum Tata Negara dan Ilmu Hukum Administrasi secara prinsip tidak dapat dipisahkan. 26 Hal yang sama juga dikemukakan oleh Wirjono Prodjodikoro bahwa perbedaan antara Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi tidak begitu tampak dengan jelas. 27 Oleh karena itu, kajian dalam buku ini akan menyajikan dua sudut pandang ilmu hukum tersebut, baik dari perspektif hukum tata negara maupun hukum administrasi. 26 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Sebuah Studi Tentang Prinsip- Prinsipnya, Penanganannya Oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi, (Surabaya:Peradaban, 2007), hlm Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Cet.6, (Jakarta: Dian Rakyat, 1989), hlm.7

18 8 BAB II BEBERAPA TEORI DALAM ILMU NEGARA DAN ILMU HUKUM TATA NEGARA 1. Teori Bentuk Susunan Negara Sri Soemantri Martosoewignyo dalam Hendratno mengatakan bahwa bentuk negara meliputi negara serikat dan negara kesatuan. 28 Hendra Nustjahjo mengatakan susunan negara ada yang berbentuk serikat dan ada juga yang berbentuk kesatuan. Jimly Asshiddiqie membagi bentuk negara kedalam 3 jenis, yaitu bentuk negara kesatuan (unitary state, eenheidsstaat), bentuk negara serikat (federal, bonds-staat) dan bentuk konfederasi (confederation, staten-bond). 29 Ramlan Surbakti menyatakan bahwa bentuk susunan negara dibagi menjadi dua, yaitu kesatuan (unitaris) dan federasi (negara serikat). 30 Sama dengan Ramlan Surbakti, Edie Toet Hendratno membagi bentuk susunan negara kedalam 2 jenis yaitu bentuk susunan negara kesatuan dan bentuk sususan negara federasi. 31 Soehino menyatakan apabila ditinjau dari segi susunannya, maka akan ditemukan dua jenis bentuk susunan negara, yakni sebagai berikut: 32 a. Negara yang bersusun tunggal, yang disebut dengan Negara Kesatuan b. Negara yang bersusun jamak, yang disebut Negara Federasi. Dari beberapa pendapat megenai bentuk atau susunan negara di atas, ada dua hal yang menjadi titik perhatian, yaitu pertama; bahwa ada sarjana yang menggunakan istilah bentuk negara dan adapula yang menggunakan istilah bentuk susunan negara, sehingga dalam penelitian ini akan dipergunakan istilah bentuk susunan negara. Kedua, bahwa ada 2 pendapat mengenai jenis bentuk susunan negara yang dikemukakan oleh sarjana tersebut, sebagian sarjana membagi bentuk susunan negara kedalam 2 jenis saja yaitu bentuk susunan negara kesatuan dan bentuk susunan negara serikat. Sarjana yang lainnya menambahkan satu jenis bentuk susunan negara selain bentuk negara kesatuan dan bentuk negara 28 Edie Toet Hendratno, Op.Cit., hlm Jimly Asshiddiqie, Op.Cit., hlm Ramlan Surbakti, Loc.Cit 31 Edie Toet Hendratno, Loc.Cit 32 Soehino, Loc.Cit.

19 9 serikat yaitu bentuk negara konfederasi. Dalam penelitian ini hanya akan dikemukakan mengenai teori atau prinsip bentuk susunan negara kesatuan dan prinsip bentuk susunan negara serikat (federal) saja Prinsip Negara Kesatuan Soehino memberikan defenisi atau penjelasan mengenai negara kesatuan sebagai berikut: Negara kesatuan itu adalah negara yang tidak tersusun dari beberapa negara, melainkan hanya terdiri atas satu negara, sehingga tidak ada negara di dalam negara. Dengan demikian dalam Negara Kesatuan hanya ada satu pemerintah, yaitu pemerintah pusat yang mempunyai kekuasaan serta wewenang tertinggi dalam bidang pemerintahan negara, menetapkan kebijaksanaan pemerintahan dan melaksanakan pemerintahan negara baik di pusat maupun di daerahdaerah. 33 Kekuasaan para penguasa pada abad XVII maupun abad XVIII masih bersifat absolut dan masih dilaksanakannya azas sentralisi (urusan pemerintah milik pemerintah pusat) dan azas konsentrasi (segala kekuasaan serta urusan pemerintahan dilaksanakan sendiri oleh pemerintah pusat). Dalam perkembangannya yang dikarenakan perkembangan pesat yang terjadi dalam suatu negara, yaitu semakin luasnya wilayah, urusan pemerintahan semakin kompleks, serta warga negaranya semakin banyak dan heterogen, maka di berbagai negara telah dilaksanakan azas dekonsentrasi ( pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pejabat-pejabatnya di daerah) dalam rangka penyelenggaraan pemeintahan di daerah. 34 Dalam perkembangannya lebih lanjut juga dibeberapa negara telah dilaksanakan azas desentralisasi ( penyerahan urusan dari pemerintah pusat ke daerah otonom) untuk menjadi urusan rumah daerah otonom itu. Pelaksanaan asas desentralisasi inilah yang melahirkan daerah-daerah otonom. Daerah otonom dapat mengatur rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 35 Penjelasan lebih lanjut mengenai negara kesatuan yang 33 Ibid, hlm Ibid, hlm Ibid, hlm

20 10 didesentralisasikan tersebut dapat dilihat dari uraian yang dikemukakan oleh M. Solly Lubis berikut ini: Prinsip pada negara kesatuan ialah bahwa yang memegang tampuk kekuasaan tertinggi atas segenap urusan negara ialah pemerintah pusat tanpa adanya suatu delegasi atau pelimpahan kekuasaan pada pemerintah daerah (local government). Dalam negara kesatuan terdapat asas bahwa segenap urusan-urusan negara tidak dibagi antara pemerintah pusat (central government) dan pemerintah lokal (local government) sehingga urusan-urusan negara dalam negara kesatuan tetap merupakan suatu kebulatan (eenheid) dan pemegang tertinggi di negara itu ialah pemerintah pusat. 36 Berkaitan dengan penjelasan sebelumnya, Edie Toet Hendratno menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi dalam negara kesatuan dipegang sepenuhnya oleh Pemerintah Pusat. 37 Penjelasan Edie Toet Hendratno mengenai konsep negara kesatuan yang kedaulatan sepenuhnya dipegang pemerintah pusat adalah sebagai berikut: Negara kesatuan adalah negara yang mempunyai kemerdekaan dan kedaulatan atas seluruh wilayah atau daerah yang dipegang sepenuhnya oleh satu Pemerintah Pusat. Kedaulatan sepenuhnya dari pemerintah pusat disebabkan karena di dalam negara kesatuan itu tidak terdapat negara-negara yang berdaulat. Meskipun di dalam negara-negara kesatuan wilayah-wilayah negara dibagi dalam bagian-bagian negara tersebut tidak mempunyai kekuasaan asli seperti halnya dengan negara-negara bagian dalam bentuk negara federasi. 38 Pada saat sekarang ini suatu negara kesatuan dapat dibedakan dalam dua bentuk: Negara kesatuan dengan sistem sentralisasi. 2. Negara kesatuan dengan sistem desentralisasi 36 M. Solly Lubis, Pergeseran Garis Politik dan Perundang-undangan Mengenai Pemerintah Daerah (Bandung; Alumni, 1983), hlm Edie Toet Hendratno, Op.Cit., hlm Ibid. 39 Ibid., hlm. 46

21 11 Dalam negara kesatuan dengan sistem sentralisasi segala sesuatu dalam negara langsung diatur dan diurus oleh Pemerintah Pusat dan daerah-daerah hanya tinggal melaksanakan segala apa yang telah diinstruksikan oleh Pusat itu. 40 Sedangkan dalam negara kesatuan dengan sistem desentralisasi, kepada daerahdaerah diberikan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri yang kemudian melahirkan atau dibentuknya daerah-daerah otonom, yaitu suatu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. 41 Zulfikar Salahuddin, Al Chaidar dan Herdi Sahrasad dalam Ni matul Huda menjelaskan bahwa model negara kesatuan asumsi dasarnya berbeda secara diametrik dari negara federal. Formasi negara kesatuan dideklarasikan saat kemerdekaan oleh para pendiri negara dengan mengklaim seluruh wilayahnya sebagai bagian dari satu negara. 42 Tidak ada kesepakatan para penguasa apalagi negara-negara, karena diasumsikan bahwa semua wilayah yang termasuk di dalamnya bukanlah bagian-bagian wilayah yang bersifat independen. Dengan dasar itu, maka negara membentuk daerah-daerah atau wilayah-wilayah yang kemudian diberi kekuasaan atau kewenangan oleh pemerintah pusat untuk mengurus berbagai kepentingan masyarakatnya, ini diasumsikan bahwa negaralah yang menjadi sumber kekuasaannya. 43 Menurut C.F. Strong dalam Hendratno, bahwa esensi negara kesatuan adalah negara yang kedaulatnnya (the souvereignty) tidak terbagi-bagi, atau dengan kata lain, kekuasaan pusatnya tak terbatas (unrestricted) karena konstitusi negara kesatuan tidak mengakui adanya badan pembentuk undang-undang selain badan pembentuk undang-undang pusat. 44 Dengan demikian, berdasarkan penjelasan di atas maka dapat diketahui bahwa di dalam negara kesatuan, kekuasaan yang sebenarnya tetap berada dalam genggaman pemerintah pusat dan tidak dibagi-bagi. Dalam negara kesatuan, tanggungawab pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan pada dasarnya tetap berada di tangan pemerintah pusat walaupun dengan sistem desetralisasi. 40 Ibid, hlm Soehino, Op.Cit., hlm Huda, Ni matul, Op.Cit., hlm Ibid. 44 Edie Toet Hendratno, Op.Cit., hlm. 48

22 12 Adapun hubungan antara asas desentralisasi dengan sistem otonomi daerah sebagaimana dikemukakan oleh Benyamin Hossein yang kemudian diikuti oleh pendapat Philip Mowhod dan kemudian disimpulkan oleh Jayadi N.K dalam Siswanto Sunarno adalah sebagai berikut: Secara teoritis desentralisasi seperti yang dikemukakan oleh Benyamin Hossein adalah pembentukan daerah otonom dan/atau penyerahan wewenang tertentu kepadanya oleh pemerintah pusat. Philip Mawhod menyatakan desentraliasi adalah pembagian dari sebagian kekuasaan pemerintah oleh elompok yang berkuasa di pusat terhadap kelompok-kelompok lain yang masing-masing memiliki otoritas di dalam wilayah tertentu di suatu negara. Dari defenisi kedua pakar diatas, menurut Jayadi N.K. bahwa mengandung empat pengertian: pertama, desentralisasi merupakan pembentukan daerah otonom; kedua, daerah otonom yang dibentuk diserahi wewenang tertentu oleh pemerintah pusat; ketiga, desentralisasi uga merupakan pemencaran kekuasaan oleh pemerintah pusat; keempat, kekuasaan yang dipencarkan diberikan kepada kelompok-kelompok masyarakat dalam wilayah tertentu. 45 Berikut ini penjelasan lebih lanjut mengenai negara kesatuan dan otonomi daerah di Indonesia: Akan tetapi, sistem pemerintahan Indonesia yang salah satunya menganut asas negara kesatuan yang didesentralisasikan menyebabkan ada tugas-tugas tertentu yang diurus sendiri sehingga menimbulkan hubungan timbal balik yang melahirkan adanya hubungan kewenangan dan pengawasan. 46 Bahkan penjelasan tentang asas desentralisasi oleh Siswanto Sunarno diserupai dengan hak keperdataan atau disamakan dengan hukum keperdataan, yaitu adanya pemberi hak dan penerima hak. Beikut ini penjelsannya mengenai asas desentralisasi dan sistem otonomi daerah di Indonesia yang dikemukakan secara gamblang berikut ini: Asas desentralisasi ini dapat ditanggapi sebagai hubungan hukum keperdataan, yakni penyerahan sebagaian hak dari pemilik hak kepada penerima hak, dengan objek hak tertentu. Pemilik hak pemerintahan adalah 45 Sunarno, Siswanto, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Cet.3 (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm Huda, Ni matul, Op.cit, hlm.93

23 13 ditangan pemerintah, dan hak pemerintahan tersebut diberikan kepada pemerintah daerah,dengan objek hak berupa kewenangan pemerintah dalam bentuk untuk mengatur urusan pemerintahan, namun masih tetap dalam kerangka NKRI. Pemberian hak ini, senantiasa harus dipertanggungawabkan kepada si pemilik hak dalam halini Presiden melalui Menteri dalam Negeri dan DPRD sebagai kekuatan representatif rakyat di daerah. 47 Inti dari konsep pelaksanaan otonomi daerah adalah upaya memaksimalkan hasil yang akan dicapai sekaligus menghindari kerumitan dan hal-hal yang menghambat pelaksanaan otonomi daerah. Dengan demikian tuntutan masyarakat dapat diwujudkan secara nyata dengan penerapan otonomi daerah dan kelangsungan pelayanan umum yang tidak diabaikan Prinsip Negara Serikat Negara serikat (federasi) adalah negara yang bersusunan jamak, maksudnya negara ini terdiri dari beberapa negara yang semula telah berdiri sendiri sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, mempunyai undang-undang dasar sendiri serta pemerintahan sendiri. 49 Negara-negara bagian itu kemudian menyerahkan sejumlah tugas dan kewenangan untuk diselenggarakan oleh suatu pemerintah federal, sedangkan urusan-urusan lain tetap menjadi kewenangan negara bagian. 50 Ramlan Surbakti menambahkan bahwa dalam negara serikat pemerintah negara bagian bukanlah bawahan dan tidak bertanggungjawab kepada pemerintah federal. 51 C.F. Stronk dalam Hendratno menjelaskan tentang dua syarat dasar pembentukan negara serikat yang sebenarnya. Stronk menyatakan bahwa jika salah satu dari kedua syarat tersebut tidak terpenuhi, maka penyatuan dalam bentuk negara serikat tidak dapat terwujud. Berikut ini syarat pembentukan negara serikat menurut C.F.Stronk; 52 1) Syarat pertama, adalah adanya rasa kebangsaan diantara negara-negara yang membentuk federasi. Kenyataannya, negara-negara federal sebelum 47 Sunarno Siswanto, Op.Cit, hlm H.A.W. Widjaja, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2002), hlm Soehino, Op.Cit, hlm Ramlan Surbakti, Op.Cit., hlm Ibid. 52 Edie Toet Hendratno, Op.Cit., hlm.53

24 14 menjadi federasi umumnya sudah berhubungan secara terbatas dalam bentul sebuah konfederasi seperti Jerman atau terikat di bawah penguasa yang sama seperti Amerika Serikat, Swiss, Australia dan Kanada. 2) Syarat kedua, adalah bahwa meskipun menginginkan persatuan (union), unit-unit yang membentuk federasi tidak menghendaki adanya kesatuan (unity); karena jika menghendaki kesatuan, mereka tidak akan membentuk negara federal, melainkan negara kesatuan. Negara federal pada awalnya berasal dari negara yang berdiri sendiri dan memiliki kedaulatan sendiri. Akan tetapi karena adanya kepentingan tertentu seperti ekonomi, politik dan sebagainya mereka membentuk suatu ikatan kerjasama yang efektif. 53 Ikatan kerjasama tersebut yang kemudian disebut negara federasi yang kemudian memiliki Undang-Undang Dasar dan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Gabungan atau Pemerintah Federasi. 54 Dengan demikian maka di dalam negara federasi selalu terdapat dua susunan sistem atau selalu tersusun jamak, yaitu di tingkat federal dan di tingkat negara bagian, yaitu: 55 a. 2 (dua) macam negara, yaitu Negara Federasi atau Negara Gabungan dan Negara-negara Bagian. b. 2 (dua) macam pemerintah, yaitu Pemerintah Negara Federasi dan Pemerintah Negara-negara Bagian. c. 2 (dua) macam undang-undang dasar, yaitu undang-undang dasar Negara Federasi dan undang-undang dasar masing-masing Negara Bagian. d. Negara di dalam negara, yaitu Negara-negara Bagian itu beradanya di dalam Negara Federasi. e. 2 (dua) macam urusan pemerintahan, yaitu urusan pemerintahan pokokpokok dan yang berkaitan dengan kepentingan bersama negara-negarabagian. R. Kranenburg dalam Hendratno menjelaskan bahwa ciri negara federal itu terletak pada keberlakuan atau daya mengikat dari suatu peraturan yang dibuat oleh pemerintah federal, apakah langsung mengikat sebagaiamana biasanya pada 53 Soehino, Loc.Cit. 54 Ibid. 55 Ibid., hlm 227

25 15 negara kesatuan ataukah memerlukan tindakan terlebih dahulu dari pemerintah negara bagian. Berikut ini pendapat Kranenburg tentang ciri negara federal terkait dengan masalah keberlakuan hukum yang dibuat oleh pemrintah federal, yakni: jika peraturan-peraturan hukum yang dibuat atau dikeluarkan oleh pemerintah federal atau pemerintah gabungan itu akan diberlakukan terhadap para warga negara dari negara-negara bagian, maka pemerintah negara bagian yang bersangkutan terlebih dahulu harus mengadakan suatu tindakan, yaitu mengadakan atau membuat suatu peraturan, atau undang-undang atau pernyataan atau mungkin berupa tindakan lain, yang pada pokoknya menyatakan berlakunya peraturan-peraturan hukum dari negara federal atau negara gabungannya itu terhadap warga negaranya. 56 Pada esensinya, konsepsi negara federal diadasari pada prinsip partnership yang dibangun dan diatur dalam sebuah perjanjian, yaitu suatu hubungan internal diantara pihak-pihak yang bersepakat didasarkan pada hubungan timbale balik yang saling menguntungkan serta pengakuan ekesistensi soverenitas (kedaulatan) dan integritas pihak-pihak yang terlibat. Dalam derajat tertentu, pihak-pihak yang bersepakat harus menyerahkan sebagian dari kedaulatannya kepada struktur baru (federal) untuk mengatur dan mengurus kewenangan bersama. Kranenburg mengatakan bahwa dalam negara srikat, negara-negara bagian mempunyai kekuasaan untuk membentuk konstitusi sendiri (pouvoir constituant), negara-negara bagian dapat mengatur sendiri bentuk organisasi negaranya dalam batas-batas yang ditentukan konstitusi federalnya. 57 Aktivitas pemerintahan dalam negara federal itu dilandasi prinsip kekuasaan bersama (concurrent or shared powers) yang melibatkan langsung pemerintahan negara-negara bagian dan nasional. 58 C.F.Strong berpendapat bahwa sifat utama atau dasar negara federal adalah adanya pembagian kekuasaan antara pemerintah federal dengan unit-unit federasi. Pembagian kekuasaan dalam negara federal (the federal authority) dapat dilakkan dengan dua cara, tergantung dimana diletakkan sisa atau residu atau kekuasaan simpanan (reserve of powers). Pertama, konstitusi memperinci satu persatu kekuasaan pemerintah federal, sedangkan sisa kekuasaan (reserve of power) yang terinci diserahkan kepada negara-negara bagian. Contoh negara-negara federal 56 Edie Toet Hendratno, Ibid., hlm R. Kranenburg, Ilmu Negara Umum, ditejemahkan Tk.B.Sabaroedin, (Jakarta: Paradnya Paramita, 1989), hlm Suzie S. Sudarman dalam Edie Toet Hendratno, Op.Cit. hlm. 61

26 16 yang menerapkan sistem ini antara lain Amerika Serikat dan Australia. Kedua, konstitusi memperinci satu persatu kekuasaan pemerintah negara-negara bagian, sedangkan sisa kekuasaan (reserve of power) yang tidak terinci diserahkan kepada pemerintah federal. Kanada merupakan contoh negara federal yang menerapkan sistem ini Teori Pembagian Kekuasaan Dalam Negara Kesatuan Salah satu ciri negara hukum ialah adanya pembatasan kekuasaan dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. Konsep negara hukum Eropa Kontinental Rechtstaat dipelopori oleh Immanuel Kant dan Frederich Julius Stahl. Konsep rechtstaat ditandai oleh empat unsure pokok yaitu: (i) pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia; (ii) negara didasarkan pada teori trias politika; (iii) pemerintahan diselenggarakan berdasarkan undang-undang (wetmatig bestuur); dan (iv) ada peradilan negara yang bertugas menangani kasus perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah (onrechtmatige overheidsdaa). 60 Gagasan bahwa kekuasaan harus dibagi pada beberapa organ bukanlah hal baru dalam abad ke-18, tetapi sangat aktual. 61 Berikut ini penjelasan I.C. Van der Viles tentang pembagian kekuasaan negara: 62 Jauh sebelumnya, kemungkinan adanya suatu pemisahan kekuasaan telah diuraikan oleh Plato. Ia mengatakan bahwa berbagai bentuk pembagian kekuasaan muncul bergantian. Dari suatu monarki ke suatu aristokrasi yang merosot ke suatu anarki yang kemudian terkendali lagi jika seorang tiran merebut kekuasaan. Menurut dia, tirani itu bentuk negara yang paling harus ditolak. Tiran kemudian akan ditumbangkan lagi oleh seorang raja yang baik. Ini selanjutnya, akan diambil alih oleh sekelompok bangsawan: aristokrasi, dan seterusnya. Aristoteles pun seorang penganut pemisahan kekuasaan. Menurut dia, kontemplasi dan tradisi harus dijamin oleh suatu lembaga perwakilan rakyat; sifat dinamis tugas negara harus dipelihara oleh suatu pemerintah. Ia juga berpendapat bahwa orang harus melaksanakan yang satu dengan yang 59 Edi Toet Hendratno, Ibid, hlm Muhammad Thahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 66. Mengenai rechtstaat, lihat juga beberapa tulisan dalam Sri Soemantri, dkk, Ketatanegaraan Indonesia Dalam Kehidupan Politik Indonesia: 30 Tahun Kembali ke Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999). 61 I.C. van der Viles, Handboek Wetgeving,(Terjemahan: Buku Pegangan Perancang Perundang-Undangan), ( Jakarta: Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum dan HAM RI, 2005), hlm Ibid.

27 17 lainnya secara berganti-ganti agar pengertian bagi kedua fungsi itu tetap terpelihara. Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa pembatasan kekuasaan berkaitan erat dengan teori pemisahan kekuasaan (separation of power) dan teori pembagian kekuasaan (distribution of power). 63 Lebih lanjut Jimly Asshiddiqie menjelaskan istilah pemisahan kekuasaan sebagai berikut: Istilah pemisahan kekuasaan dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan perkataan separation of power berdasarkan teori trias politica atau tiga fungsi kekuasaan, yang dalam pandangan Montesquieu, harus dibedakan dan dipisahkan secara structural dalam organ-organ yang tidak salaing mencampuri urusan masing-masing. Moh. Kosnardi dan Harmaily Ibrahim menyatakan bahwa berdasarkan ajaran pemisahan kekuasaan tidak dibenarkan adanya campur tangan atau pengaruh memengaruhi, antara kekuasaan yang satu dengan yang lainnya, masing-masing terpisah dalam menjalankan tugas dan fungsinnya yang berbeda-beda itu. Oleh karena itu, ajaran Montesquieu disebut pemisahan kekuasaan, artinya ketiga kekuasaan itu masing-masing harus terpisah baik lembaganya maupun orang yang menanganinya. 64 Namun menurut Ismail Sunny bahwa dalam praktek penyelenggaraan negara, teori pemisahan kekuasaan tersebut tidak selalu sempurna, karena kadang-kadang satu sama lainnya saling pengaruhmemengaruhi. 65 Sebagai sandingan atas konsep pemisahan kekuasaan (separation of power), para ahli biasa menggunakan pula istilah pembagian kekuasaan sebagai terjemahan istilah division of power atau distribution of power. Arthur Mas sebagaimana dikutip Jimly Ashiddiqie 66 membedakan pengertian pembagian kekuasaan (division of power) tersebut ke dalam dua pengertian, yaitu: (i) capital division of power; dan (ii) territorial division of power. Pengertian yang pertama bersifat fugsional, sedangkan yang kedua bersifat kewilayahan atau kedaerahan. Lebih lanjut Jimly Asshiddiqie 63 Jimly Asshiddiqie (1), Op.Cit., hlm Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1988) hlm, Ismail Sunny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Cet. IV, (Jakarta: Aksara Baru, 1988), hlm Jimly Asshiddiqie (1), Op.Cit., hlm. 287

28 18 menyatakan bahwa di Amerika Serikat, istilah division of power itu digunakan dalam konteks pembagian kekuasaan antara federal dan negara bagian, atau terkait dengan pengertian territorial division of powers. Sedangkan istilah separation of powers digunakan dalam konteks pembagian kekuasaan tingkat pemerintahan federal, yaitu antara legislature, the executive dan judiciary. Lebih lanjut Jimly Asshiddiqie 67 menjelaskan sebagai berikut: Dengan demikian dapat dibedakan penggunaan istilah pembagian dan pemisahan kekuasaan itu dalam dua konteks yang berbeda, yaitu konteks hubungan kekuasaan yang horizontal dan vertikal. Dalam konteks vertikal, pemisahan kekuasaan atau pembagian kekuasaan itu dimaksudkan untuk membedakan antara kekuasaan pemerintahan atasan dan kekuasaan pemerintahan bawahan, yaitu dalam hubungan antara pemerintahan federal dan negara bagian dalam negara federal (federal state), atau antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi dalam negara kesatuan (unitary state). Philipus M. Hadjon 68 menyatakan bahwa pembagian kekuasaan negara pada dasarnya menganut dua pola, yaitu pembagian kekuasaan secara horizontal dan secara vertikal. Berikut ini pola pembagian kekuasaan di Indonesia berdasarkan UUD NRI Tahun 1945 menurut Philipus M. Hadjon: Pembagian kekuasaan secara horizontal adalah pembagian kekuasaan negara kepada organ negara dalam ketatanegaraan kita disebut Lemabaga Negara. Pembagian kekuasaan negara secara vertikal adalah pembagian kekuasaan negara antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Disamping kedua kekuasaan yang secara tegas disbutkan dalam Bab III dan Bab IX melalui interpretasi sistematis, dalam Pasal 1 ayat (2) secara tersendiri masih terdapat kekuasaan lain yaitu kedaulatan. Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih 69 menyatakan: Disebut negara kesatuan apabila kekuasaan Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah tidak sama dan tidak sederajat. Kekuasaan Pemerintahan Pusat merupakan kekuasaan yang menonjol dalam negara, dan tidak ada saingannya dari Badan Legislatif Pusat dalam membentuk undang- 67 Jimly Asshiddiqie (1), Ibid, hlm Philipus M. Hadjon, Sistem Pembagian Kekuasaan Negara (Analisis Hukum Tata Negara), Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, t.t., hlm Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1995), hlm. 195

29 19 undang. Kekuasaan pemerintahan yang di daerah bersifat derivative (tidak langsung) dan sering dalam bentuk otonomi yang luas. Sementara itu, C.F. Strong sebagaimana dikutip oleh Sri Soemantri Martosoewignjo 70 menyatakan bahwa wewenang daerah otonom pada negara kesatuan diperoleh dari Pemerintah Pusat. Berikut ini penjelasan C.F. Stronk: negara kesatuan adalah suatu negara yang berada di bawah satu Pemerintahan Pusat. Pemerintahan Pusat ini yang mempunyai wewenang sepenuhnya di dalam wilayah negara tersebut. meskipun wilayah negara dibagi dalam bagian-bagian negara, akan tetapi bagian-bagian negara tersebut tidak mempunyai kekuasaan asli. Artinya yang terdapat dalam bagian-bagian negara di atas bukanlah sesuatu yang asli. Wewenang yang ada pada bagian-bagian negara yang disebut daerah otonom itu diperoleh dari Pusat. Bagir Manan 71 menyatakan bahwa dari segi hukum tata negara, khususnya teori bentuk negara, bahwa otonomi daerah adalah subsistem dari negara kesatuan (unitary state, eenheidsstaat). Otonomi adalah fenomena negara kesatuan. Segala pengertian (begrip) dan isi (materie) otonomi adalah pengertian dan isi otonomi. Berdasarkan hal tersebut dikembangkanlah berbagai aturan (rules) yang mengatur mekanisme yang akan menjelmakan keseimbangan antara tuntutan keksatuan dan tuntutan otonomi. 3. Bentuk Pemerintahan Republik Montesqieu dalam Hendratno membagi bentuk pemerintahan kedalam tiga bentuk pokok, yaitu: (i) bentuk republik, (ii) bentuk monarki, dan (iii) bentuk despotisme. 72 Berbeda halnya dengan Montesqiue, George Jellinek menyebutkan bahwa bentuk negara terdiri dari dua macam, yaitu bentuk republik dan bentuk monarki. 73 Hal yang sama juga dikemukan oleh Jimly Asshiddiqie yang 1982), hlm Sri Soemantri Martosaewignjo, Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata Negara, (Jakarta: Rajawali, 71 Bagir Manan, Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945 (Perumusan dan Undang-Undang Pelaksanaannya), (Jakarta: Unsika, 1995), hlm Ibid, hlm Soehino, Op.Cit., hlm. 174

30 20 menyatakan bahwa bentuk negara itu ada dua pilihan, yaitu bentuk kerajaan (monarki) dan bentuk republik. 74 Penggunan istilah bentuk negara juga dapat dilihat dalam Pembukaan maupun dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV menyatakan..maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia.. Dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik. Penjelasan Jimly Asshiddiqie yang membagi bentuk negara republik dan bentuk negara kerajaan (monarki) tidak sesuai dengan penjelasannya dalam bukunya yang lain yang menyatakan bahwa bentuk negara harus dipisahkan dan dibedakan dengan istilah bentuk pemerintahan serta sistem pemerintahan. 75 Dalam penjelasan lainnya tersebut, Jimly Asshiddiqie membagi bentuk pemerintahan kedalam bentuk pemerintahan republik dan bentuk pemerintahan kerajaan (monarki). 76 Bagir Manan menyatakan bahwa bentuk pemerintahan berkaitan dengan bagian dalam, yaitu pemerintahan negara yang dibedakan antara pemerintahan republik dan pemerintahan kerajaan, sebagaimana penjelasannya berikut ini: Dalam Ilmu Negara (Algemene Staatsleer) dan Ilmu Hukum Tata Negara dibedakan antara bentuk negara dan bentuk pemerintahan. Bentuk negara menyangkut kerangka bagian luar organisasi negara yang dibedakan antara bentuk negara kesatuan dan bentuk negara federal. Sedangkan bentuk pemerintahan berkaitan dengan bagian dalam yaitu pemerintah negara yang dibedakan antara pemerintah republik dan pemerintah kerajaan. 77 Oleh karena itu, dalam penelitian ini, istilah yang digunakan adalah istilah bentuk pemerintahan. Tutik menyatakan bahwa istilah Republik berasal dari bahasa Latin yaitu dari istilah respublica yang artinya kepentingan umum adalah negara dengan 74 Jimly Asshiddiqie (2), Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Cet.2 ( Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2008), hlm Lihat Juga Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Op.Cit., hlm Jimly Asshiddiqie (1), Op.Cit., hlm Ibid. 77 Bagir Manan (1), Lembaga Kepresidenan. Cet. 3. Yogyakarta: FH UII Press

31 21 pemerintahan rakyat yang dikepalai oleh seorang Presiden sebagai kepala negara yang dipilih dari dan oleh rakyat untuk suatu masa jabatan tertentu. 78 Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa istilah republik mengandung pengertian hak atau kepentingan rakyat. Jimly Asshiddiqie kemudian menyatakan bahwa jika jabatan kepala negara itu bersifat turun temurun, maka negara itu disebut kerajaan. Jika kepala pemerintahannya tidak bersifat turun temurun, melainkan dipilih maka negara itu disebut republik. Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim dengan mengutip pendapat Leon Duguit juga menyatakan bahwa jika seorang Kepala Negara dipilih melalui suatu pemilihan umum untuk masa jabatan yang ditentukan, maka bentuk negaranya disebut republik dan Kepala Negaranya adalah seorang Presiden. 79 Ramlan Surbakti menyatakan bahwa jika penetapan kepala negara dilakukan dengan pemilihan umum baik secara langsung maupun secara tidak langsung oleh para wakil rakyat yang dipiliholeh rakyat yang berhak memilih, bentuk negara ini disebut republik. 80 Montesqieu sebagaimana dikutip Hendratno menyatakan bahwa bentuk republik, dimana kekuasaan tertinggi di dalam negara adalah di tangan rakyat ( atau dilakukan atas nama rakyat, jika lembaga rakyat memiliki kekuasaan tertinggi disebut demokrasi, sedangkan kekuasaan tertinggi berada pada sebagian rakyat dinamakan aritokrasi). 81 Jimly Asshiddiqie mengemukakan bahwa konsep republik dewasa ini dikaitkan dengan pengertian negara sebagai penjelmaan kekuaan dari rakyat. Berikut ini penjelasan Jimly Asshiddiqie mengenai konsep republik: Di zaman sekarang, konsep republik dikaitkan dengan pengertian negara sebagai penjelmaan kekuasaan dari rakyat, sedangkan monarki atau kerajaan kekuasaan yang dating secara turun temurun dari raja atau ratu kepada putera/puteri mahkotanya. Bangsa Indonesia mempunyai sejarah yang sangat panjang dengan silih bergantinya kerajaan-kerajaan yang memerintah wilayah nusantara Titik Triwulan Tutik, Op.Cit., hlm Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Op.Cit., hlm Ramlan Surbakti, Op.Cit., hlm Edie Toet Hendratno, Loc.Cit. 82 Jimly Asshiddiqie (2), Op.Cit. hlm. 280

32 22 Soehino dengan mengutip pendapat Jellinek membedakan konsep republik dan monarki dari siapa yang membentuk undang-undang. Soehino menyatakan bahwa jika undang-undang dalam suatu negara ditetapkan dan merupakan hasil karya suatu dewan maka negara itu disebut republik. Dan sebaliknya jika dalam suatu negara itu undang-undangnya merupakan hasil karya dari satu orang tunggal saja, maka negara itu disebut monarki. 83 Bagir Manan menyatakan bahwa secara asasi paham republik (republicanism) mengandung makna pemerintahan yang diselenggarakan oleh kepentingan umum (rakyat banyak). Karena itu, institusi kenegaraan (state institution) dalam republik harus senantiasa mencerminkan penyelenggaraan oleh dan untuk kepentingan umum. 84 Menurut Hamilton sebagaimana dikutip Abdul Goffar menyatakan bahwa yang paling esensial dalam republik yaitu pemerintah berasal dari rakyat banyak, bukan dari suatu jumlah (kecil) yang tidak berarti atau dari kelas tertentu Konsep Keistimewaan Sebagai akibat perkembangan kehidupan bernegara yang semakin kompleks, serta warga negaranya semakin menjadi semakin banyak dan heterogen maka dibeberapa negara (negara kesatuan) telah dilaksanakan asas dekonsentrasi dan desentralisasi dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan di daerah yang kemudian melahirkan daerah-daerah otonom. 86 Penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yaitu berdasarkan pada asas otonomi dan tugas pembantuan. Dari konsep itu maka lahirlah daerah otonom dan daerah otonom itu memiliki otonomi daerah. Menurut Soehino, bahwa otonomi daerah yaitu hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 87 Bagir Manan mendefinisikan otonomi sebagai suatu kebebasan dan kemandirian 83 Soehino, Op.Cit., hlm Bagir Manan (1), Op.Cit. hlm Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 dengan Delapan Negara Maju, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009 ), hlm Soehino, Op.Cit, hlm Ibid., hlm

33 23 (vrijheid dan zelfstandigheid) satuan pemerintahan lebih rendah untuk mengatur dan mengurus sebagian urusan pemerintahan. 88 Selain itu, Pasal 18 B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, juga memberikan suatu prevelege terhadap suatu daerah yang bersifat khusus atau dikenal dengan daerah otonomi khusus yang tentunya sifat otonominya berbeda dengan daerah lainnya. Pasal 18 B ayat (1) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 juga mengakui dan meghormati daerah yang bersifat istimewa dan tentunya juga memiliki keistimewaan dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya. Sebelum dilakukannya perubahan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ketentuan istimewa tercantum dalam batang tubuh Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan juga dijelaskan dalam penjelasan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945). Sebagaimana diketahui, bahwa Pasal 18 UUD 1945 sebelum perubahan tidak dijabarkan kedalam ayat-ayat sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 setelah perubahan. Berikut ini bunyi ketentuan Pasal 18 UUD 1945 sebelum perubahan: Pembagian daerah di Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem Pemerintahan Negara dan hak-hak asal-usul dalam daerah yang bersifat Istimewa. Bagir Manan menjelaskan mengenai penjelasan Pasal 18 UUD 1945 tersebut bahwa hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa sebagai daerah-daerah yang mempunyai susunan asli, yaitu zelfbesturende landschappen dan volksgemenschappen. 89 Supomo tidak secara tegas menyatakan Zelfbesturende landschappen sebagai daerah besar tetapi menurut Bagir Manan, secara contrario dapat dikatakan bahwa zelfbesturende landschappen itu adalah daerah besar karena tidak dimasukkan dalam arti daerah kecil. Dengan demikian, susunan pemerintahan daerah di Indonesia terdiri dari dua, yaitu zelfbesturendedan atau daerah kecil berupa desa atau satuan lain semacam desa. 88 Bagir Manan (2), Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945, Perumusan dan Undang-Undang Pelaksanaannya, (Jakarta: UNSIKA, 1993), hlm Ibid.

STATUS DAERAH OTONOMI KHUSUS DAN ISTIMEWA DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA

STATUS DAERAH OTONOMI KHUSUS DAN ISTIMEWA DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA STATUS DAERAH OTONOMI KHUSUS DAN ISTIMEWA DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA Oleh: Rusdianto S, S.H., M.H. 1 A. Latar Belakang Dalam UUD NRI Tahun 1945 Pasal 18B ayat (1) disebutkan bahwa Negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ide negara kesatuan muncul dari adanya pemikiran dan keinginan dari warga

BAB I PENDAHULUAN. Ide negara kesatuan muncul dari adanya pemikiran dan keinginan dari warga BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Ide negara kesatuan muncul dari adanya pemikiran dan keinginan dari warga masyarakat suatu negara untuk membentuk suatu negara yang dapat menjamin adanya persatuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945), Negara Indonesia secara tegas dinyatakan sebagai

Lebih terperinci

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM GARIS-GARIS BESAR POKOK PENGAJARAN (GBPP) HUKUM TATA NEGARA

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM GARIS-GARIS BESAR POKOK PENGAJARAN (GBPP) HUKUM TATA NEGARA Mata Kuliah Dosen Deskripsi Singkat Tujuan Instruksional Umum NO TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS 1 Mahasiswa dapat mengerti dan memahami tentang mata kuliah Hukum Tata Negara 2 Mahasiswa dapat dasar-dasar

Lebih terperinci

e. Senat diharuskan ada, sedangkan DPR akan terdiri dari gabungan DPR RIS dan Badan Pekerja KNIP;

e. Senat diharuskan ada, sedangkan DPR akan terdiri dari gabungan DPR RIS dan Badan Pekerja KNIP; UUDS 1950 A. Sejarah Lahirnya Undang-Undang Sementara 1950 (UUDS) Negara Republik Indonesia Serikat yang berdiri pada 27 Desember 1949 dengan adanya Konferensi Meja Bundar, tidak dapat bertahan lama di

Lebih terperinci

KEWEWENANGAN PRESIDEN DALAM BIDANG KEHAKIMAN SETELAH AMANDEMEN UUD 1945

KEWEWENANGAN PRESIDEN DALAM BIDANG KEHAKIMAN SETELAH AMANDEMEN UUD 1945 KEWEWENANGAN PRESIDEN DALAM BIDANG KEHAKIMAN SETELAH AMANDEMEN UUD 1945 Oleh : Masriyani ABSTRAK Sebelum amandemen UUD 1945 kewenangan Presiden selaku kepala Negara dan kepala pemerintahan Republik Indonesia

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA , 2001, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum (PSH) Fakultas Hukum UII, Yogyakarta

DAFTAR PUSTAKA , 2001, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum (PSH) Fakultas Hukum UII, Yogyakarta 111 DAFTAR PUSTAKA Abu Daud Busyro, 1990, Ilmu Negara, Cet I, Bumi Aksara, Astim Riyanto, 2006, Negara Kesatuan Konsep Asas dan Aktualisasinya, Penerbit Yapemdo, Bandung Bagir manan, 1993, Perjalanan Historis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tangganya sendiri yang dinamakan dengan daerah otonom. 1

BAB I PENDAHULUAN. tangganya sendiri yang dinamakan dengan daerah otonom. 1 A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 telah banyak membawa perubahan bagi bangsa Indonesia terhadap beberapa hal. Salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adanya pemerintah yang berdaulat dan terakhir yang juga merupakan unsur untuk

BAB I PENDAHULUAN. adanya pemerintah yang berdaulat dan terakhir yang juga merupakan unsur untuk BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Negara adalah suatu organisasi yang terdiri dari masyarakat yang mempunyai sifat-sifat khusus antara lain sifat memaksa, dan sifat monopoli untuk mencapai tujuannya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adanya amandemen besar menuju penyelenggaraan negara yang lebih demokratis, transparan,

BAB I PENDAHULUAN. adanya amandemen besar menuju penyelenggaraan negara yang lebih demokratis, transparan, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berhentinya Presiden Soeharto di tengah-tengah krisis ekonomi dan moneter menjadi awal dimulainya era reformasi di Indonesia. 1 Dengan adanya reformasi, masyarakat berharap

Lebih terperinci

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA FAKULTAS ILMU SOSIAL SILABI

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA FAKULTAS ILMU SOSIAL SILABI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA FAKULTAS ILMU SOSIAL SILABI Fakultas : Ilmu Sosial Jurusan/Program Studi : PKNH Mata Kuliah : PKH423 Hukum Tata Negara SKS : 4 Semester : 4 (A & B) Dosen : 1. Sri Hartini,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan terdiri dari beribu-ribu pulau besar dan kecil serta mempunyai berbagai bahasa,

BAB I PENDAHULUAN. dan terdiri dari beribu-ribu pulau besar dan kecil serta mempunyai berbagai bahasa, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia merupakan negara yang mempunyai wilayah yang sangat luas dan terdiri dari beribu-ribu pulau besar dan kecil serta mempunyai berbagai bahasa, etnis,

Lebih terperinci

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM SATUAN ACARA PERKULIAHAN (SAP) HUKUM TATA NEGARA

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM SATUAN ACARA PERKULIAHAN (SAP) HUKUM TATA NEGARA Mata Kuliah : Hukum Tata Negara Kode/Bobot : 3 sks Waktu Pertemuan : 3 x 50 Menit Pertemuan : 1 (satu) A. Tujuan Instruksional Khusus Setelah mengikuti pertemuan pertama ini, mahasiswa dapat memahami kompetensi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang

II. TINJAUAN PUSTAKA. kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang 12 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistem Ketatanegaraan Indonesia Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUDNRI 1945) pada Pasal 1 Ayat (2) mengamanatkan bahwa kedaulatan

Lebih terperinci

Bentuk Negara dan Sistem Pemerintahan. Pamungkas Satya Putra

Bentuk Negara dan Sistem Pemerintahan. Pamungkas Satya Putra 1 Bentuk Negara dan Sistem Pemerintahan 2 Bentuk negara staatsvormen. Dalam pendekatan historis dapat ditemui bahwa terdapat beberapa bentuk negara yaitu kerajaan (monarki), republik, kehalifahan (Osmani)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa negara Indonesia ialah negara Kesatuan yang berbentuk Republik. Negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disingkat UUD RI Tahun 1945, adalah hukum dasar tertulis (basic law)

BAB I PENDAHULUAN. disingkat UUD RI Tahun 1945, adalah hukum dasar tertulis (basic law) BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, atau disingkat UUD RI Tahun 1945, adalah hukum dasar tertulis (basic law) dan merupakan konstitusi bagi pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanahkan pembentukan sebuah lembaga negara dibidang yudikatif selain Mahkamah Agung yakninya

Lebih terperinci

SKRIPSI. Diajukan Guna Memenuhi Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh : Nama : Adri Suwirman.

SKRIPSI. Diajukan Guna Memenuhi Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh : Nama : Adri Suwirman. ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 006/PUU-IV TAHUN 2006 TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI SKRIPSI Diajukan Guna Memenuhi Sebagai

Lebih terperinci

Kewarganegaraan. Negara dan Sistem Pemerintahan. Yuvinus Elyus, Amd. IP., SH., MH. Modul ke: Fakultas EKONOMI DAN BISNIS. Program Studi Manajemen

Kewarganegaraan. Negara dan Sistem Pemerintahan. Yuvinus Elyus, Amd. IP., SH., MH. Modul ke: Fakultas EKONOMI DAN BISNIS. Program Studi Manajemen Modul ke: Kewarganegaraan Negara dan Sistem Pemerintahan Fakultas EKONOMI DAN BISNIS Yuvinus Elyus, Amd. IP., SH., MH. Program Studi Manajemen www.mercubuana.ac.id Pengertian Bentuk Negara (staats-vorm)

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Abdul Bari Azed, Sistem-Sistem Pemilihan Umum, Suatu Himpunan Pemikiran, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000.

DAFTAR PUSTAKA. Abdul Bari Azed, Sistem-Sistem Pemilihan Umum, Suatu Himpunan Pemikiran, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000. DAFTAR PUSTAKA Buku-Buku : Abdul Bari Azed, Sistem-Sistem Pemilihan Umum, Suatu Himpunan Pemikiran, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000. Agussalim Andi Gadjong, Pemerintahan Daerah, Kajian

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. - Arifin Hoesein, Zainal, Kekuasaaan Kehakiman Di Indonesia, Yogyakarta:

DAFTAR PUSTAKA. - Arifin Hoesein, Zainal, Kekuasaaan Kehakiman Di Indonesia, Yogyakarta: DAFTAR PUSTAKA 1. Buku-Buku - Arifin Hoesein, Zainal, Kekuasaaan Kehakiman Di Indonesia, Yogyakarta: Imperium, 2013. - Asshiddiqe, Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Cet. Ketiga, Jakarta: RajaGrafindo

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern sekarang ini, hampir semua negara mengklaim menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern sekarang ini, hampir semua negara mengklaim menjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di zaman modern sekarang ini, hampir semua negara mengklaim menjadi penganut paham demokrasi. Seperti dapat diketahui dari penelitian Amos J. Peaslee pada tahun 1950,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WEWENANG, ADMINISTRASI PERTANAHAN, OTONOMI DAERAH, TANAH DAN PERUMAHAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WEWENANG, ADMINISTRASI PERTANAHAN, OTONOMI DAERAH, TANAH DAN PERUMAHAN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WEWENANG, ADMINISTRASI PERTANAHAN, OTONOMI DAERAH, TANAH DAN PERUMAHAN A. Tinjauan Umum tentang Wewenang 1. Pengertian Wewenang Pelaksanaan tugas oleh setiap pejabat pemerintahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Bergulirnya reformasi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 membawa dampak banyak perubahan di negeri ini, tidak terkecuali terhadap sistem dan praktik ketatanegaraan

Lebih terperinci

Mengenal Mahkamah Agung Lebih Dalam

Mengenal Mahkamah Agung Lebih Dalam TUGAS AKHIR SEMESTER Mata Kuliah: Hukum tentang Lembaga Negara Dosen: Dr. Hernadi Affandi, S.H., LL.M Mengenal Mahkamah Agung Lebih Dalam Oleh: Nurul Hapsari Lubis 110110130307 Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas), artinya segala sesuatu yang

BAB I PENDAHULUAN. bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas), artinya segala sesuatu yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemerintahan Indonesia berdasarkan atas sistem konstitusi (peraturan dasar) tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas), artinya segala sesuatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tangganya sendiri. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. tangganya sendiri. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, pemerintah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan bukan Negara Serikat maupun Negara Federal. Suatu bentuk Negara berdaulat yang diselenggarakan sebagai satu kesatuan tunggal

Lebih terperinci

NEGARA HUKUM DAN DEMOKRASI

NEGARA HUKUM DAN DEMOKRASI NEGARA HUKUM DAN DEMOKRASI A. PENGANTAR Istilah Negara Hukum baru dikenal pada Abad XIX tetapi konsep Negara Hukum telah lama ada dan berkembang sesuai dengan tuntutan keadaan. Dimulai dari jaman Plato

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Konstitusi merupakan segala ketentuan dan aturan dasar mengenai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Konstitusi merupakan segala ketentuan dan aturan dasar mengenai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konstitusi merupakan segala ketentuan dan aturan dasar mengenai ketatanegaraan. 1 Berdirinya sebuah negara tidak lepas dari adanya konstitusi yang mendasarinya. Konstitusi

Lebih terperinci

MATERI KULIAH ILMU NEGARA MATCH DAY 10 BENTUK NEGARA DAN PEMERINTAHAN (Bagian 1)

MATERI KULIAH ILMU NEGARA MATCH DAY 10 BENTUK NEGARA DAN PEMERINTAHAN (Bagian 1) MATERI KULIAH ILMU NEGARA MATCH DAY 10 BENTUK NEGARA DAN PEMERINTAHAN (Bagian 1) Perlu dijelaskan terlebih dahulu bahwa situasi dalam pembahasan mengenai bentuk negara dan pemerintahan dalam Ilmu Negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyikapi RUU. tentang Keistimewaan Yogyakarta. Kurang lebih

BAB I PENDAHULUAN. pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyikapi RUU. tentang Keistimewaan Yogyakarta. Kurang lebih BAB I PENDAHULUAN Tidak mungkin ada monarki yang bertabrakan, baik dengan konstitusi maupun nilai demokrasi ( Suara Yogya, 26/11/2010). Itulah pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyikapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang). 1 Karena

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang). 1 Karena BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) diberitakan kemungkinan bakal menjadi calon tunggal dalam pemilihan presiden tahun 2009. Kemungkinan calon tunggal dalam pilpres

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Bagir Manan Lembaga Kepresidenan. FH UII Press: Yogyakarta. Bambang Sunggono Metodologi Penelitian Hukum Cetakan ke-12.

DAFTAR PUSTAKA. Bagir Manan Lembaga Kepresidenan. FH UII Press: Yogyakarta. Bambang Sunggono Metodologi Penelitian Hukum Cetakan ke-12. DAFTAR PUSTAKA A. Buku Agus Riwanto. 2016. Hukum Partai Politik dan Hukum Pemilu di Indonesia. Thafa Media: Yogyakarta. Bagir Manan. 2006. Lembaga Kepresidenan. FH UII Press: Yogyakarta. Bambang Sunggono.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TERHADAP SISTEM PEMERINTAHAN. dari beberapa bagian yang memiliki hubungan fungsional, baik antara bagian yang satu dengan

BAB II TINJAUAN TERHADAP SISTEM PEMERINTAHAN. dari beberapa bagian yang memiliki hubungan fungsional, baik antara bagian yang satu dengan BAB II TINJAUAN TERHADAP SISTEM PEMERINTAHAN Untuk memahami lebih jauh mengenai pengertian sistem, berikut ini akan ditemukan beberapa pendapat tentang defenisi dari sistem tersebut. Sistem adalah suatu

Lebih terperinci

Faridah T, S.Pd., M.Pd. NIP Widyaiswara LPMP Sulawesi Selatan

Faridah T, S.Pd., M.Pd. NIP Widyaiswara LPMP Sulawesi Selatan TRIAS POLITICA DI INDONESIA, ANTARA SEPARATION OF POWER DENGAN DISTRIBUTION OF POWER, MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945. Faridah T, S.Pd., M.Pd. NIP.19651216 198903

Lebih terperinci

keberadaan MK pd awalnya adalah untuk menjalankan judicial review itu sendiri dapat dipahami sebagai and balances antar cabang kekuasaan negara

keberadaan MK pd awalnya adalah untuk menjalankan judicial review itu sendiri dapat dipahami sebagai and balances antar cabang kekuasaan negara Gagasan Judicial Review Pembentukan MK tidak dapat dilepaskan dari perkembangan hukum & keratanegaraan tentang pengujian produk hukum oleh lembaga peradilan atau judicial review. keberadaan MK pd awalnya

Lebih terperinci

KONSTITUSIONALITAS PENGALIHAN KEWENANGAN PENGELOLAAN PENDIDIKAN MENENGAH DARI KABUPATEN/KOTA KE PROVINSI 1. Oleh: Muchamad Ali Safa at 2

KONSTITUSIONALITAS PENGALIHAN KEWENANGAN PENGELOLAAN PENDIDIKAN MENENGAH DARI KABUPATEN/KOTA KE PROVINSI 1. Oleh: Muchamad Ali Safa at 2 KONSTITUSIONALITAS PENGALIHAN KEWENANGAN PENGELOLAAN PENDIDIKAN MENENGAH DARI KABUPATEN/KOTA KE PROVINSI 1 Oleh: Muchamad Ali Safa at 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU

Lebih terperinci

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Oleh: Dr. (HC) AM. Fatwa Wakil Ketua MPR RI Kekuasaan Penyelenggaraan Negara Dalam rangka pembahasan tentang organisisasi

Lebih terperinci

Pembagian Kekuasaan. Horisontal: Vertikal: Negara kesatuan (Unitary) Negara federal (Federal) Negara konfederasi (Confederation)

Pembagian Kekuasaan. Horisontal: Vertikal: Negara kesatuan (Unitary) Negara federal (Federal) Negara konfederasi (Confederation) MATERI KULIAH 1. PEMBAGIAN KEKUASAAN (8 Feb), 2. KEKUASAAN EKSEKUTIF (15 Feb), 3. KEKUASAAN LEGISLATIF (22 Feb), 4. KEKUASAAN YUDIKATIF (1 Mar), 5. LEMBAGA NEGARA & ALAT NEGARA (8 Mar), 6. STATE AUXILIARY,LPND,

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. A. Kesimpulan

BAB IV PENUTUP. A. Kesimpulan BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pada pembahasan diatas, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai jawaban dari rumusan masalah adalah sebagai berikut: 1. Bahwa dengan dibentuknya koalisi partai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perubahan Undang-Undang Dasar tahun 1945 (UUD tahun 1945) tidak hanya

I. PENDAHULUAN. Perubahan Undang-Undang Dasar tahun 1945 (UUD tahun 1945) tidak hanya I. PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Perubahan Undang-Undang Dasar tahun 1945 (UUD tahun 1945) tidak hanya didasari oleh keinginan untuk hidup berbangsa dan bernegara secara demokratis. Terdapat alasan lain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. susunan organisasi negara yang terdiri dari organ-organ atau jabatan-jabatan

BAB I PENDAHULUAN. susunan organisasi negara yang terdiri dari organ-organ atau jabatan-jabatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap negara senantiasa memiliki seperangkat kaidah yang mengatur susunan organisasi negara yang terdiri dari organ-organ atau jabatan-jabatan kenegaraan untuk menjalankan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suku, bahasa, dan adat istiadat yang beragam. Mengingat akan keragaman tersebut,

BAB I PENDAHULUAN. suku, bahasa, dan adat istiadat yang beragam. Mengingat akan keragaman tersebut, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan sebuah negara plural dengan segenap masyarakat heterogen yang dilatar belakangi oleh banyaknya pulau, agama, suku, bahasa,

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Abdul Aziz Hakin, 2011, Negara Hukum dan Demokrasi di Indonesia, Yogyakarta, Cetakan Pertama, Pustaka Pelajar.

DAFTAR PUSTAKA. Abdul Aziz Hakin, 2011, Negara Hukum dan Demokrasi di Indonesia, Yogyakarta, Cetakan Pertama, Pustaka Pelajar. 233 DAFTAR PUSTAKA BUKU Achmad Ali, 2010, Menguak Teori Hukum (Legal Theory), Teori Peradilan (Judicialprudence), Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Jakarta, Prenada Medi Group. Abdul

Lebih terperinci

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Modul ke: BENTUK NEGARA & SISTEM PEMERINTAHAN Fakultas TEKNIK Martolis, MT Program Studi Teknik Mesin PENGERTIAN Bentuk Negara (staats-vorm) berbicara mengenai organ negara atau

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Dahlan Thaib, dkk, 2013, Teori dan Hukum Konstitusi, Cetakan ke-11, Rajawali Perss, Jakarta.

DAFTAR PUSTAKA. Dahlan Thaib, dkk, 2013, Teori dan Hukum Konstitusi, Cetakan ke-11, Rajawali Perss, Jakarta. DAFTAR PUSTAKA I. Buku Achmad Ali, 2012, Vol. 1 Pemahaman Awal: Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Kencana,

Lebih terperinci

KONSTITUSI DAN RULE OF LAW

KONSTITUSI DAN RULE OF LAW KONSTITUSI DAN RULE OF LAW Modul ke: 07 Fakultas EKONOMI DAN BISNIS Program Studi Akuntansi Manajemen A. Pengertian dan Definisi Konstitusi B. Hakikat dan fungsi Konstitusi (UUD) C. Dinamika Pelaksanaan

Lebih terperinci

PEMERINTAHAN DAERAH DESENTRALISASI, DEKONSENTRASI, TUGAS PEMBANTUAN

PEMERINTAHAN DAERAH DESENTRALISASI, DEKONSENTRASI, TUGAS PEMBANTUAN PEMERINTAHAN DAERAH DESENTRALISASI, DEKONSENTRASI, TUGAS PEMBANTUAN DALY ERNI http://dalyerni.multiply.com daly972001@yahoo.com daly97@ui.edu daly.erni@ui.edu Kontribusi Bahan dari: Dian Puji Simatupang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat diubah oleh MPR sekalipun, pada tanggal 19 Oktober 1999 untuk pertama

BAB I PENDAHULUAN. dapat diubah oleh MPR sekalipun, pada tanggal 19 Oktober 1999 untuk pertama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setelah pemerintah orde baru mengakhiri masa pemerintahannya pada tanggal 20 Mei 1998 melalui suatu gerakan reformasi, disusul dengan percepatan pemilu di tahun 1999,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011: 34 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Judicial Review Kewenangan Judicial review diberikan kepada lembaga yudikatif sebagai kontrol bagi kekuasaan legislatif dan eksekutif yang berfungsi membuat UU. Sehubungan

Lebih terperinci

TUGAS KEWARGANEGARAAN LATIHAN 4

TUGAS KEWARGANEGARAAN LATIHAN 4 1 TUGAS KEWARGANEGARAAN LATIHAN 4 DISUSUN OLEH: NAMA NIM PRODI : IIN SATYA NASTITI : E1M013017 : PENDIDIKAN KIMIA (III-A) S-1 PENDIDIKAN KIMIA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MATARAM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Yogyakarta merupakan Daerah Istimewaan yang berbeda dengan Provinsi yang lainnya,

BAB I PENDAHULUAN. Yogyakarta merupakan Daerah Istimewaan yang berbeda dengan Provinsi yang lainnya, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Yogyakarta merupakan Daerah Istimewaan yang berbeda dengan Provinsi yang lainnya, dimana Gurbenur dan Wakil Gurbenur tidak dipilih secara demokrasi tetapi merupakan

Lebih terperinci

PENUTUP. partai politik, sedangkan Dewan Perwakilan Daerah dipandang sebagai

PENUTUP. partai politik, sedangkan Dewan Perwakilan Daerah dipandang sebagai 105 BAB IV PENUTUP A. KESIMPULAN Lembaga perwakilan rakyat yang memiliki hak konstitusional untuk mengajukan Rancangan Undang-Undang adalah Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Dewan Perwakilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana telah diubah pada tahun 1999 sampai dengan 2002 merupakan satu kesatuan rangkaian perumusan

Lebih terperinci

MENGGAPAI KEDAULATAN RAKYAT YANG MENYEJAHTERAKAN RAKYAT 1

MENGGAPAI KEDAULATAN RAKYAT YANG MENYEJAHTERAKAN RAKYAT 1 MENGGAPAI KEDAULATAN RAKYAT YANG MENYEJAHTERAKAN RAKYAT 1 Oleh: Siti Awaliyah, S.Pd, S.H, M.Hum Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan, Universitas Negeri Malang A. Pengantar Kedaulatan merupakan salahsatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan sekaligus sebagai kepala negara. 3 Dalam tipe pemerintahan seperti

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan sekaligus sebagai kepala negara. 3 Dalam tipe pemerintahan seperti 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia menganut sistem presidensial. Sistem presidensial adalah sistem pemerintahan yang terpusat pada kekuasaan presiden sebagai kepala pemerintahan sekaligus

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Asshiddiqie, Jimly Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Sekertariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.

DAFTAR PUSTAKA. Asshiddiqie, Jimly Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Sekertariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. DAFTAR PUSTAKA Asshiddiqie, Jimly. 2006. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Sekertariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. Asshiddiqie, Jimly. 2007. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara hukum tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara hukum tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai negara hukum tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI Tahun 1945). Hal tersebut merupakan penegasan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penulis uraikan mengenai rangkaian teori yang akan digunakan dalam menelusuri

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penulis uraikan mengenai rangkaian teori yang akan digunakan dalam menelusuri 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pemberian landasan berpijak dalam penulisan penelitian ini, maka akan Penulis uraikan mengenai rangkaian teori yang akan digunakan dalam menelusuri pembahasan dalam penelitian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MAHKAMAH KONSTITUSI, MAHKAMAH AGUNG, PEMILIHAN KEPALA DAERAH

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MAHKAMAH KONSTITUSI, MAHKAMAH AGUNG, PEMILIHAN KEPALA DAERAH BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MAHKAMAH KONSTITUSI, MAHKAMAH AGUNG, PEMILIHAN KEPALA DAERAH 2.1. Tinjauan Umum Mengenai Mahkamah Konstitusi 2.1.1. Pengertian Mahkamah Konstitusi Mahkamah Konstitusi merupakan

Lebih terperinci

BAB V P E N U T U P. dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut: 1. Negara Kesatuan (Unitary State) sebagai salah satu asas pokok

BAB V P E N U T U P. dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut: 1. Negara Kesatuan (Unitary State) sebagai salah satu asas pokok 178 BAB V P E N U T U P A. Kesimpulan Berdasarkan uraian pembahasan tersebut dalam Bab IV di atas, sesuai dengan pokok permasalahan yang dikemukakan dalam penyusunan tesis ini dapat dikemukakan kesimpulan

Lebih terperinci

KLASIFIKASI SISTEM KETATANEGARAAN. Novia Kencana, MPA Universitas Indo Global Mandiri

KLASIFIKASI SISTEM KETATANEGARAAN. Novia Kencana, MPA Universitas Indo Global Mandiri KLASIFIKASI SISTEM KETATANEGARAAN Novia Kencana, MPA Universitas Indo Global Mandiri PEMBAGIAN SISTEM KETATANEGARAAN Bentuk Negara Bentuk Pemerintahan Sistem Pemerintahan Sistem Politik 1. Negara Kesatuan

Lebih terperinci

Jurnal Ilmiah. Peraturan Perundang-undangan

Jurnal Ilmiah. Peraturan Perundang-undangan DAFTAR PUSTAKA Buku Asshiddiqiie, Jimly, 2010. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika., 2009. Menuju Negara Hukum yang Demokratis, Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer., 2007. Pokok-pokok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat). 1 Di dalam sebuah Negara Hukum yang demokratis, kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat,

Lebih terperinci

Jurnal Daulat Hukum Vol. 1. No. 1 Maret 2018 ISSN: X. Pembagian Kekuasaan Dalam Penyelenggaraan... (Rika Marlina)

Jurnal Daulat Hukum Vol. 1. No. 1 Maret 2018 ISSN: X. Pembagian Kekuasaan Dalam Penyelenggaraan... (Rika Marlina) Jurnal Daulat Hukum Vol. 1. No. 1 Maret 2018 ISSN: 2614-560X Pembagian Kekuasaan Dalam Penyelenggaraan... (Rika Marlina) * Pembagian Kekuasaan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Di Indonesia Rika Marlina

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Pemilihan Presiden Secara Langsung. Jakarta: Sekertariat Jenderal MK RI. (2006). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid

DAFTAR PUSTAKA. Pemilihan Presiden Secara Langsung. Jakarta: Sekertariat Jenderal MK RI. (2006). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid DAFTAR PUSTAKA BUKU-BUKU: Asshiddiqe, Jimly, Bagir Manan (2006). Gagasan Amandemen UUD 1945 dan Pemilihan Presiden Secara Langsung. Jakarta: Sekertariat Jenderal MK RI (2006). Pengantar Ilmu Hukum Tata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendapat Fred Isjwara, yang dikutip oleh Ni matul Huda dalam buku yang

BAB I PENDAHULUAN. pendapat Fred Isjwara, yang dikutip oleh Ni matul Huda dalam buku yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah negara kesatuan dan tetap dipertahankan walaupun telah terjadi perubahan dalam Undang-Undang Dasar 1945, seperti yang tertuang dalam Pasal 1

Lebih terperinci

SENGKETA KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA. Oleh: Muchamad Ali Safa at 1

SENGKETA KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA. Oleh: Muchamad Ali Safa at 1 SENGKETA KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA Oleh: Muchamad Ali Safa at 1 Persidangan MPR yang mulai dilakukan setelah pelantikkan ternyata berjalan cukup alot. Salah satu masalah yang mengemuka adalah komposisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kekuasaan raja yang semakin absolut di Negara Perancis

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kekuasaan raja yang semakin absolut di Negara Perancis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan kekuasaan raja yang semakin absolut di Negara Perancis pada abad ke-18 (delapan belas), memunculkan gagasan dari para pakar hukum dan negarawan untuk melakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan.

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan. Menurut Sri Soemantri tidak ada satu negara pun yang tidak mempunyai konstitusi atau Undang-Undang

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Arbisanit. Partai, Pemilu dan Demokrasi. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997).

DAFTAR PUSTAKA. Arbisanit. Partai, Pemilu dan Demokrasi. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997). DAFTAR PUSTAKA A. Buku Arbisanit. Partai, Pemilu dan Demokrasi. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997). Asshidiqie, Jimly. Menuju Negara Hukum yang Demokratis. (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cita-cita, gagasan, konsep, bahkan ideologi. Cita-cita, gagasan, konsep bahkan

BAB I PENDAHULUAN. cita-cita, gagasan, konsep, bahkan ideologi. Cita-cita, gagasan, konsep bahkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Republik Indonesia merupakan negara yang merdeka dan berdaulat bukan sekedar antithesis terhadap kolonialisme, melainkan membawa berbagai cita-cita, gagasan,

Lebih terperinci

KAJIAN HUKUM TENTANG KEISTIMEWAAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

KAJIAN HUKUM TENTANG KEISTIMEWAAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA KAJIAN HUKUM TENTANG KEISTIMEWAAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA I. PENDAHULUAN Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan daerah otonom setingkat provinsi yang terletak di bagian selatan Pulau Jawa bagian

Lebih terperinci

Riki Yuniagara: Jenis dan Hirarki Peraturan...

Riki Yuniagara: Jenis dan Hirarki Peraturan... Buku Saku: Studi Perundang-Undangan, Edisi Ke-3 1 Buku Saku: Studi Perundang-undangan Edisi Ke-3 JENIS DAN HIRARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA DALAM LINTAS SEJARAH (TAP MPR dari Masa ke Masa)

Lebih terperinci

D. Semua jawaban salah 7. Kekuasaan Kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka artinya A. Terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah B. Tidak bertanggung

D. Semua jawaban salah 7. Kekuasaan Kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka artinya A. Terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah B. Tidak bertanggung TATA NEGARA 1. Negara Indonesia berdasar atas Hukum (Rechtsstaat), tidak berdasar atas A. Kekuasaan belaka B. Lembaga negara C. Kedaulatan rakyat D. Majelis Permusyawaratan Rakyat 2. Pemerintah berdasar

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN PRESIDEN DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA. Dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia, bentuk republik telah

BAB II KEDUDUKAN PRESIDEN DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA. Dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia, bentuk republik telah BAB II KEDUDUKAN PRESIDEN DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA A. Sistem Pemerintahan Indonesia Dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia, bentuk republik telah dipilih sebagai bentuk pemerintahan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN memandang pentingnya otonomi daerah terkait dengan tuntutan

BAB I PENDAHULUAN memandang pentingnya otonomi daerah terkait dengan tuntutan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemerintahan Daerah atau di negara-negara barat dikenal dengan Local Government dalam penyelenggaraan pemerintahannya memiliki otonomi yang didasarkan pada asas, sistem,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 adalah sumber

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 adalah sumber BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 adalah sumber hukum bagi pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Proklamasi itu telah mewujudkan Negara

Lebih terperinci

Ulangan Akhir Semester (UAS) Semester 1 Tahun Pelajaran

Ulangan Akhir Semester (UAS) Semester 1 Tahun Pelajaran Ulangan Akhir Semester (UAS) Semester 1 Tahun Pelajaran 2016 2017 Mata Pelajaran : Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) Kelas / Semester : VI (Enam) / 1 (Satu) Hari / Tanggal :... Waktu : 90 menit A. Pilihlah

Lebih terperinci

BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN

BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN A. Komisi Yudisial Komisi Yudisial merupakan lembaga tinggi negara yang bersifat independen. Lembaga ini banyak berkaitan dengan struktur yudikatif

Lebih terperinci

SEJARAH KETATANEGARAAN INDONESIA SHINTA HAPPY YUSTIARI, S.AP, MPA

SEJARAH KETATANEGARAAN INDONESIA SHINTA HAPPY YUSTIARI, S.AP, MPA SEJARAH KETATANEGARAAN INDONESIA SHINTA HAPPY YUSTIARI, S.AP, MPA SEJARAH KETATANEGARAAN INDONESIA SUMBER PENELITIAN SEJARAH DOKUMEN / ARSIP BENDA / PRASASTI PELAKU SEJARAH SISTEM PRA KEMERDEKAAN PENJAJAHAN

Lebih terperinci

KEWENANGAN GUBERNUR DALAM URUSAN AGAMA DI DAERAH SKRIPSI

KEWENANGAN GUBERNUR DALAM URUSAN AGAMA DI DAERAH SKRIPSI KEWENANGAN GUBERNUR DALAM URUSAN AGAMA DI DAERAH SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Reguler Mandiri Universitas Andalas Oleh : FERY WIJAYA

Lebih terperinci

BAB II MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI BAGIAN DARI KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA. A. Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Sebelum Perubahan UUD 1945

BAB II MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI BAGIAN DARI KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA. A. Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Sebelum Perubahan UUD 1945 33 BAB II MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI BAGIAN DARI KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA A. Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Sebelum Perubahan UUD 1945 Dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebelum perubahan, kekuasaan

Lebih terperinci

BAB IV KEABSAHAN PENGANGKATAN PEJABAT DAERAH OLEH PEJABAT KEPALA DAERAH. tindakan hukum publik yang diberikan oleh peraturan perundang-undang yang

BAB IV KEABSAHAN PENGANGKATAN PEJABAT DAERAH OLEH PEJABAT KEPALA DAERAH. tindakan hukum publik yang diberikan oleh peraturan perundang-undang yang BAB IV KEABSAHAN PENGANGKATAN PEJABAT DAERAH OLEH PEJABAT KEPALA DAERAH Kewenangan merupakan kekuasaan dan kemampuan melakukan suatu tindakan hukum publik yang diberikan oleh peraturan perundang-undang

Lebih terperinci

NEGARA DAN SISTEM PEMERINTAHAN

NEGARA DAN SISTEM PEMERINTAHAN Modul ke: NEGARA DAN SISTEM PEMERINTAHAN Mengetahui definisi negara serta unsur, elemen kekuatan negara dan bentuk-bentuk pemerintahan di Indonesia dari zaman perjuangan hingga saat ini Fakultas FAKULTAS

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA B U K U :

DAFTAR PUSTAKA B U K U : 183 DAFTAR PUSTAKA B U K U : Amiruddin dan Asikin, Zainal, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Grafindo Persada, Asshidiqqie, Jimly, 2005, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusio

Lebih terperinci

HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH (SUATU PENDEKATAN TEORITIS)

HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH (SUATU PENDEKATAN TEORITIS) HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH (SUATU PENDEKATAN TEORITIS) Oleh : I WAYAN PARSA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH (Suatu Pendekatan Teoritis) Oleh : I Wayan Parsa I.

Lebih terperinci

TINJAUAN ATAS PENGADILAN PAJAK SEBAGAI LEMBAGA PERADILAN DI INDONESIA

TINJAUAN ATAS PENGADILAN PAJAK SEBAGAI LEMBAGA PERADILAN DI INDONESIA TINJAUAN ATAS PENGADILAN PAJAK SEBAGAI LEMBAGA PERADILAN DI INDONESIA oleh Susi Zulvina email Susi_Sadeq @yahoo.com Widyaiswara STAN editor Ali Tafriji Biswan email al_tafz@stan.ac.id A b s t r a k Pemikiran/konsepsi

Lebih terperinci

POLITIK HUKUM DAN MODIFIKASI HUKUM DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL

POLITIK HUKUM DAN MODIFIKASI HUKUM DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL Â POLITIK HUKUM DAN MODIFIKASI HUKUM DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL ABSTRACT By Delfina Gusman SH,MH [1] Political law is the national policy made by an officer or agency or a

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia Tahun Dalam rangka penyelenggaraan

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia Tahun Dalam rangka penyelenggaraan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia menyelenggarakan pemerintahan negara dan pembangunan nasional untuk mencapai masyarakat adil, makmur dan merata berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam menentukan kebijakan publik dan penyelenggaraan negara. Namun, pasca

BAB I PENDAHULUAN. dalam menentukan kebijakan publik dan penyelenggaraan negara. Namun, pasca 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bergulirnya reformasi tahun 1998 lalu, telah banyak membawa perubahan yang cukup signifikan terhadap sistem ketetanegaraan Indonesia. Sistem ketatanegaraan

Lebih terperinci

ASAS HUKUM TATA NEGARA. Riana Susmayanti, SH.MH

ASAS HUKUM TATA NEGARA. Riana Susmayanti, SH.MH ASAS HUKUM TATA NEGARA Riana Susmayanti, SH.MH SUMBER HTN Sumber hukum materiil, yaitu Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia dan falsafah negara. Sumber hukum formil, (menurut Pasal7 UU No.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kita memiliki tiga macam dokumen Undang-undang Dasar (konstitusi) yaitu: 1

BAB I PENDAHULUAN. kita memiliki tiga macam dokumen Undang-undang Dasar (konstitusi) yaitu: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sebagai hukum dasar yang digunakan untuk penmbentukan dan penyelenggaraan Negara Indonesia adalah Undang-undang Dasar, yang pertama kali disahkan berlaku sebagai konstitusi

Lebih terperinci

MAKALAH. Kedudukan dan Fungsi DPD dalam Kerangka Kelembagaan Legislatif Indonesia. Oleh : Dinoroy Marganda Aritonang

MAKALAH. Kedudukan dan Fungsi DPD dalam Kerangka Kelembagaan Legislatif Indonesia. Oleh : Dinoroy Marganda Aritonang MAKALAH Kedudukan dan Fungsi DPD dalam Kerangka Kelembagaan Legislatif Indonesia Oleh : Dinoroy Marganda Aritonang Sebagai persyaratan pendaftaran Program Pascasarjana Fakultas Hukum UGM dengan Konsentrasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tinggi negara yang lain secara distributif (distribution of power atau

BAB I PENDAHULUAN. tinggi negara yang lain secara distributif (distribution of power atau 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Amandemen UUD 1945 membawa pengaruh yang sangat berarti bagi sistem ketatanegaraan Indonesia. Salah satunya adalah perubahan pelaksanaan kekuasaan negara.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM. Dalam literatur ilmu politik, ilmu pemerintahan, dan ilmu hukum sering ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM. Dalam literatur ilmu politik, ilmu pemerintahan, dan ilmu hukum sering ditemukan BAB II TINJAUAN UMUM 2.1. Pengertian kewenangan Dalam literatur ilmu politik, ilmu pemerintahan, dan ilmu hukum sering ditemukan istilah kekuasaan, kewenangan, dan wewenang. Kekuasaan sering disamakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA (Kuliah ke 13) suranto@uny.ac.id 1 A. UUD adalah Hukum Dasar Tertulis Hukum dasar dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (a) Hukum dasar tertulis yaitu UUD, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal - usul, dan/atau

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal - usul, dan/atau BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat

Lebih terperinci