BAB II PENGATURAN TENTANG LARANGAN EKSPLOITASI SEKSUAL PADA PERNIKAHAN ANAK USIA DINI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II PENGATURAN TENTANG LARANGAN EKSPLOITASI SEKSUAL PADA PERNIKAHAN ANAK USIA DINI"

Transkripsi

1 BAB II PENGATURAN TENTANG LARANGAN EKSPLOITASI SEKSUAL PADA PERNIKAHAN ANAK USIA DINI Ekspolitasi seksual dalam pernikahan dini bagaikan fenomena gunung es yang sulit untuk ditangani, karena terus meningkat setiap tahunnya. Pelaku eksploitasi seksual anak menggunakan berbagai cara atau modus operandi untuk dapat membujuk korban, mulai dari pemberian iming-iming serta janji manis, sampai melakukan pemaksaan dengan kekerasan. Terdapat banyak faktor yang melatarbelakangi alasan meningkatnya kejahatan eksploitasi seksual yang satu ini, namun faktor yang paling menentukan adalah perangkat hukum yang tidak tegas, sehingga dijadikan celah oleh orang yang tidak bertanggung jawab untuk menikahi anak-anak di bawah umur. Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan telah mengatur batas minimum seorang perempuan untuk diperbolehkan menikah, yaitu pada usia 16 (enam belas) tahun. Apabila karena alasan tertentu yang mengharuskan tetap dilaksanakannya perkawinan di bawah ketentuan usia tersebut, maka perkawinan dilaksanakan dengan izin orang tua. Pengecualian tersebut membuat pengaturan tentang batasan usia menikah bersifat fleksibel. Undang-Undang Perkawinan tidak mengatur tentang ancaman pidana bagi orang yang menikahi perempuan berusia di bawah 16 tahun. Terhadap hal tersebut tentu bertentangan dengan tuntutan jaman, sebab dalam pengaturan Konvensi Hak

2 Anak Internasional seseorang yang menikah dengan anak usia di bawah 18 (delapan belas) tahun, dengan maksud dan tujuan yang tidak baik termasuk eksploitasi seksual terhadap anak. Seperti yang telah dikemukakan pada BAB PENDAHULUAN tepatnya pada halaman ke-4 alinea ke-2 bahwa terdapat 5 (lima) bentuk utama dan saling terkait dari eksploitasi seksual anak, yakni: pelacuran anak, pornografi anak, pariwisata seks anak, dan perkawinan anak. Terhadap masalah perdagangan anak, pelacuran anak, pornografi anak, larangannya telah ada termuat dalam KUHPidana, yakni pada pasal pasal 297 (perdagangan anak), pasal 296 dan 506 (pelacuran anak), dan pasal 283 (pornografi anak). Larangan terhadap ketiga bentuk eksploitasi seksual anak tersebut menjadi pembahasan tingkat Internasional, dan secara khusus dibuat dalam Protokol Opsional Konvensi Hak Anak, dan Indonesia sudah meratifikasi Protokol Opsional Konvensi tersebut dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2012 Tentang Pengesahan Protokol Opsional Konvensi Hak-Hak Anak Mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, Dan Pornografi Anak. Berdasarkan hal tersebut berarti mengenai larang terhadap bentul perdagangan anak, prostitusi anak, dan pornografi anak, Indonesia memiliki 2 (dua) aturan hukum, yakni KUHPidana, dan Undang-Undang Tentang Konvensi Hak-Hak Anak Mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, Dan Pornografi Anak.

3 Terhadap bentuk eksploitasi seksual anak berupa pariwisata seks anak dapat dikategorikan sebagai bentuk perdagangan anak, sebab melalui sarana-sarana penunjang pariwisata, seperti hotel, bar, kafe yang ada di lokasi pariwisata,bisa saja terjadi transaksi jual beli anak 41. Anak-anak tersbut bisa saja hanya diperuntukkan sebagai pemuas nafsu pada saat mereka melakukan perjalanan wisatawan, atau bisa juga dibeli untuk dimiliki dan dibawa ke negara asalnya, sehingga terhadap eksploitasi seksual dalm bentuk pariwisata seks pengaturan mengenai larangannya dikategorikan ke dalam perdagangan anak. Terhadap eksploitasi seksual anak dalam bentuk perkawinan anak, selain memang tidak termuat dalam Protokol Opsional Konvensi Hak Anak, Indonesia juga tidak memiliki aturan hukum spesifik untuk menanganinya, namun demikian bukan berarti perbuatannya diperbolehkan. Menyadari akan banyaknya kerugian baik fisik maupun mental, dengan hancurnya masa depan yang akan dialami oleh seorang anak apabila menjadi korban eksploitasi seksual dalam pernikahan dini, maka meskipun tidak diatur secara spesifik, namun beberapa perundang-undangan melarang melakukan persetubuhan dengan anak yang masih di bawah umur, dengan atau tanpa paksaan, atau perbuatan lain yang melanggar kesusilaan, serta dapat merampas hak anak. Perundang-undangan tersebut antara lain yakni : KUHPidana, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Keppres 41 Memerangi Pariwisata seks anak, dalam hlm , diakses 7 Oktober 2013

4 Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Konvensi Hak Anak, dan Keppres Nomor 87 Tahun 2002 Tentang Rencana Aksi Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak. A. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak mengenal istilah eksploitasi seksual dalam pernikahan dini, namun di dalamnya terdapat beberapa pasal yang melarang perbuatan bersetubuh dan cabul terhadap orang yang belum dewasa, sehingga bunyi pasal tersebut dapat diinterpretasikan sebagai perbuatan eksploitasi seksual terhadap anak. a. Pencabulan dan Perkosaan Pasal 285 KUHP: Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun. Berdasarkan pasal 285 KUHPidana tersebut, maka batasan eksploitasi seksual adalah : 1. Menyetubuhi seorang wanita; 2. Di luar perkawinan; 3. Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Pasal 287 KUHP: Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahui sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum 15 (lima belas) tahun

5 diancam dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun. Pasal ini disebut sebagai statutory rape 42. Batasan eksploitasi seksual terhadap anak menurut pasal 287 KUHPidana adalah : 1. Menyetubuhi seorang wanita; 2. Di luar perkawinan; 3. Menyadari bahwa wanita tersebut belum berusia 15 (lima belas) tahun. Pasal 288 KUHP : 1) Barang siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan perempuan yang dinikahinya, padahal diketahuinya atau patut dapat disangkanya bahwa perempuan itu belum pantas dikawini, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya empat tahun, apabila perbuatan itu berakibat badan perempuan itu mendapat luka. 2) Jika perbuatan itu berakibat perempuan tersebut mendapat luka berat dijatuhkan pidana penjara selama-lamanya delapan tahun. 3) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya perempuan itu, dijatuhkan pidana selama-lamanya dua belas tahun. Batasan eksploitasi seksual terhadap anak menurut pasal 288 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3): 1. Bersetubuh dengan perempuan; 2. Perempuan tersebut merupakan isterinya; 3. Ia menyadari bahwa perempuan tersebut belum cukup umur untuk dinikahinya; 42 Statutory rape adalah hubungan sex yang dilakukan oleh seorang pria dewasa dengan seorang anak perempuan di bawah umur baik yang dilakukan dengan paksaan ataupun sukarela, di dalam maupun di luar hubungan perkawinan.

6 4. Persetubuhan tersebut mengakibatkan luka berat pada perempuan tersebut; 5. Persetubuhan tersebut mengakibatkan matinya perempuan tersebut; ayat (3) Pasal 290 KUHP : Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun: 1) Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang, padahal diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya; 2) Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umumya belum lima belas tahun atau kalau umumya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin: 3) Barang siapa membujuk seseorang yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umumya tidak jelas yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, atau bersetubuh di luar perkawinan dengan orang lain. Batasan eksploitasi seksual terhadap anak menurut pasal 290 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) KUHPidana tersebut adalah : 1. Berbuat cabul dengan wanita yang pingsan atau tidak berdaya; ayat (1) 2. Patut diduganya bahwa usia wanita tersebut di bawah 15 (lima belas) tahun, atau belum pantas untuk dikawini; ayat (2) 3. Perbuatan cabul atau persetubuhan dilakukan dengan bujukan, dan di luar perkawinan.

7 Pasal 292 KUHP : Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. Pelaku perbuatan pasal 292 adalah penyuka sesama jenis. Adapun batasan ekploitasi seksual terhadap anak yang dimaksud dalam pasal ini adalah : 1. Seorang dewasa, baik laki-laki ataupun perempuan; 2. Mencabuli anak yang belum dewasa; 3. Anak tersebut berjenis kelamin yang sama dengannya. Pasal 293 KUHP : 1) Barang siapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang, menyalahgunakan pembawa yang timbul dari hubungan keadaan, atau dengan penyesatan sengaja menggerakkan seorang belum dewasa dan baik tingkah lakunya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul dengan dia, padahal tentang belum kedewasaannya, diketahui atau selayaknya harus diduganya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. 2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan orang yang terhadap dirinya dilakukan kejahatan itu. 3) Tenggang waktu tersebut dalam pasal 74 bagi pengaduan ini adalah masingmasing sembilan bulan dan dua belas bulan. Batasan eksploitasi seksual terhadap anak berdasarkan pasal 293 KUHPidana adalah sebagai berikut :

8 1. Dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang; 2. Dengan menyalahgunakan hubungan keadaan antara pelaku dan korban; 3. Dengan penyesatan; 4. Menggerakkan seorang anak; 5. Untuk melakukan perbuatan cabul ataupun membiarkan perbuatan cabul itu dilakukan terhadapnya; Pasal 294 KUHP : 1) Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengm anaknya, tirinya, anak angkatnya, anak di bawah pengawannya yang belum dewasa, atau dengan orang yang belum dewasa yang pemeliharaanya, pendidikan atau penjagaannya dipercayakan kepadanya, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. 2) Diancam dengan pidana yang sama: (1) Pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang karena jabatan adalah bawahannya, atau dengan orang yang penjagaannya dipercayakan atau diserahkan kepadanya, (2) Pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas atas, pesuruh dalam penjara, tempat pekerjaan negara, tempat pendidikan, rumah piatu, rumah sakit, rumah sakit jiwa atau lembaga sosial, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dimasukkan ke dalamnya. Batasan eksploitasi seksual terhadap anak yang dimaksud dalam pasal 294 ayat (1) adalah pencabulan terhadap anak kandung, atau anak tiri, atau anak angkat, atau anak

9 yang di bawah pengawasannya, dimana pendidikan, pemeliharaan, serta penjagaan terhadap anak tersebut, dipercayakan kepadanya. Ayat (2) pasal ini memberikan batasan eksploitasi seksual berupa perbuatan cabul yang dilakukan oleh seorang atasan kepada bawahannya. Batasan eksploitasi seksual yang terdapat pada ayat (3) pasal ini adalah perbuatan cabul yang dilakukan oleh seorang pengurus atau pemberi jasa di suatu lembaga atau instansi pelayanan masyarakat, terhadap orang yang sedang dimasukkan ke dalam lembaga atau instansi tersebut. b. Prostitusi Anak Pasal 296 KUHP: Barang siapa dengan sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah. Batasan eksploitasi seksual dalam pasal 296 adalah jika seseorang menghubungkan seseorang dengan orang lain, untuk memudahkan mereka berbuatan cabul, dimana kegiatan ini dijadikan sebagai mata pencahariannya sehari-hari. Tindakan sebagai menghubungkan atau memudahkan tesebut misalnya dengan menyediakan kamar sewaan, tempat-tempat karaoke, kafe remang-remang, dan sebagainya. Pasal 506 KUHP: Barang siapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai pencarian, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu

10 tahun. Batasan eksploitasi seksual yang terdapat dalam pasal ini adalah apabila dengan perbuatan cabul seorang wanita, maka dia mendapatkan bayaran uang, dimana kegiatan tersebut dijadikan sebagai mata pencahariannya sehari-hari. Profesi seperti ini bisa disebut dengan istilah germo, mami, atapun mucikari, yang melalui jasanya seorang penikmat seks bisa mendapatkan wanita pemuas nafsu. c. Penjualan dan Perdagangan Anak (Untuk Tujuan Seksual) Pasal 297 KUHP: Perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun. Batasan eksploitasi seksual anak menurut pasal 297 KUHPidana adalah memperdagangkan wanita dan anak laki-laki yang belum dewasa untuk tujuan seks. Anak yang dimaksudkan dalam pasal ini adalah seorang anak laki-laki yang belum dewasa, sedangkan penyebutan wanita oleh karena tidak disebutkan batas usianya, maka wanita yang diperdagangkan adalah wanita dewasa. d. Pornografi Anak Pasal 283 KUHP: 1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah, barang siapa menawarkan, memberikan untuk terus maupun untuk sementara waktu, menyerahkan atau memperlihatkan tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan, maupun alat untuk

11 mencegah atau menggugurkan kehamilan kepada seorang yang belum dewasa dan yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum tujuh belas tahun, jika isi tulisan, gambaran, benda atau alat itu telah diketahuinya. 2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa membacakan isi tulisan yang melanggar kesusilaan di muka orang yang belum dewasa sebagaimana dimaksud dalam ayat yang lalu, jika isi tadi telah diketahuinya. 3) Diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan atau pidana kurungan paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah, barang siapa menawarkan, memberikan untuk terus maupun untuk sementara waktu, menyerahkan atau memperlihatkan, tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan, maupun alat untuk mencegah atau menggugurkan kehamilan kepada seorang yang belum dewasa sebagaimana dimaksud dalam ayat pertama, jika ada alasan kuat baginya untuk menduga, bahwa tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan atau alat itu adalah alat untuk mencegah atau menggugurkan kehamilan. Batasan eksploitasi seksual terhadap anak menurut pasal ini adalah : 1. Menawarkan atau memberikan untuk terus maupun untuk sementara waktu, menyerahkan atau memperlihatkan tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan; 2. Menawarkan atau memberikan alat untuk mencegah atau menggugurkan kehamilan kepada seorang yang belum dewasa;

12 3. Membacakan isi tulisan yang melanggar kesusilaan kepada anak yang belum dewasa, dimana tulisan tersebut diketahuinya adalah tidak baik jika diperdengarkan kepada anak-anak; Secara keseluruhan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam KUHPidana, mengenai batasan eksploitasi seksual terhadap anak ditemukan faktafakta sebagai berikut : Tidak ada definisi khusus dalam KUHPidana, untuk dikatakan belum dewasa atau dikatakan anak-anak. KUHPidana menggunakan batas usia spesifik, namun terkadang menggunakan term yang belum dewasa atau bahkan menggunakan keduanya secara bersama-sama. (perhatikan pasal pasal 45) 2. Batas umur statutory rape, yang dinyatakan dalam KUHPidana terlalu rendah, yakni 12 (dua belas) tahun (pasal 287 KUHPidana ayat 2). Apabila diasumsikan bahwa batas umur kematangan seksual untuk anak perempuan adalah 16 (enam belas) tahun 44, maka ketentuan dalam KUHPidana secara efektif meninggalkan anak-anak yang berumur 12 sampai 16 tahun dari perlindungan terhadap statutory rape. 3. Berarti seorang anak perempuan yang berumur 12 (dua belas) tahun di Indonesia dianggap sudah cukup matang untuk berhubungan seks atas dasar suka sama suka namun dia belum boleh menikah secara legal. 43 Emmy. L. Smith, Perlindungan Anak dalam rancangan KUHP, dalam diakses 8 Oktober Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan

13 4. Apabila dikaitkan dengan konteks perlindungan anak, ketentuan KUHPidana membiarkan anak-anak perempuan yang sudah berumur 12 (dua belas) tahun tapi belum mencapai 16 tahun tidak terlindungi dari eksploitasi seksual. 5. Sanksi pidana terhadap mereka yang melakukan statutory rape ditetapkan terlalu rendah, yakni paling lama 9 tahun penjara (pasal 287), bahkan lebih rendah dari sanksi pidana untuk rape, yakni paling lama 12 (dua belas) tahun penjara (pasal 285) 6. Konsep statutory rape dalam KUHPidana tidak dinyatakan secara tegas. Hal ini bersamaan dengan ketiadaan pemahaman di kalangan aparat penegak hukum tentang asumsi-asumsi dasar menyangkut statutory rape, membuat anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual bahkan jika umur mereka kurang dari 12 (dua belas) tahun sering mengalami kekerasan seksual dalam bentuk lain selama proses Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dan selama proses persidangan karena jenis-jenis pertanyaan yang diajukan oleh polisi (BAP dan oleh hakim (persidangan) pada umumnya berangkat dari asumsi anak-anak itu sudah matang secara seksual. 7. KUHPidana yang berlaku memidanakan para germo dan memberikan sanksi pemenjaraan paling lama 1 tahun 4 bulan (pasal 296) atau denda paling banyak Rp 15,000 (lima belas ribu) rupiah. Ketentuan relevan lainnya, yakni pada pasal 506 hanya memberikan sanksi kurungan paling lama satu tahun bagi praktek penggermoan. 8. Pendekatan regulasi yang digunakan oleh KUHPidana telah membuat isu prostitusi diatur oleh peraturan daerah yang melegalisir prostitusi dalam

14 lokalisasi resmi dan sekaligus memidanakan pelacuran jalanan dan sebagai konseksuensinya anak-anak yang terlibat dalam prostitusi jalanan juga dikriminalisasikan. 9. KUHPidana tidak secara langsung menarget pornografi anak sehingga tidak ada definisi legal dari pornografi anak. 10. Tindakan memperdagangkan wanita dan anak laki-laki belum dewasa, tanpa menyebutkan wanita yang belum dewasa; 11. Tindakan menawarkan, menyerahkan, memperlihatkan, mendengarkan isi surat, naskah, gambar atau bahan yang bertentangan dengan norma kesopanan umum kepada seorang anak (dibawah 17 tahun). B. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Lahirnya Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang diprakarsai oleh lahirnya deklarasi Hak Asasi Manusia tahun 1948 yang merupakan upaya untuk menangani masalah perdagangan manusia, utamanya bagi pemenuhan hak-hak asasi korban dan perlindungan hukumnya. Upaya tersebut kemudian dirangkum dalam Protokol untuk mencegah, menindak dan menghukum perdagangan orang, khususnya perempuan dan anak. Protokol ini lahir di kota Polermo, Italy pada 12 Desember 2000, yang kemudian dikenal sebagai Protokol Polermo. Protokol Polermo tidak hanya mewajibkan negara untuk mempidanakan

15 pelaku tindak perdagangan orang, tetapi juga mengharuskan negara untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi korban perdagangan. 45 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang juga tidak ada menyebutkan secara jelas dan tegas mengenai eksploitasi seksual terhadap anak dalam pernikahan dini. Pengertian eksploitasi seksual yang tercantum di dalam pasal 1 angka 8 hanya memberikan pengertian eksploitasi seksual secara umum tanpa mengerucut kepada eksploitasi seksual yang dilakukan terhadap anak. Eksploitasi Seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan percabulan. Pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa: Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp ,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp ,00 (enam ratus juta rupiah). Pasal 2 ayat 45 Protokol Polermo, dalam diakses pada 30 September 2013

16 (2) berbunyi: Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang tereksploitasi, maka pelaku dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Berdasarkan bunyi pasal 2, pernikahan dini dapat dimasukkan ke dalam kategori trafiking, yakni pernikahan dini untuk kawin kontrak, apabila dilakukan melalui perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain untuk dieksploitasi secara seksual, sehingga mendatangkan keuntungan. C. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Keberadaan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak merupakan perwujudan komitmen pemerintah dalam meratifikasi Konvensi Hak Anak. Secara filosofis, lahirnya Undang-Undang Perlindungan Anak bertujuan untuk melindungi hak-hak anak. Perlindungan anak adalah: Segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, dan berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. 46 Demi melindungi kepentingan anak, maka undang-undang melarang setiap orang 46 Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

17 menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi terhadap anak, baik secara ekonomi maupun seksual. Ketentuan pidana yang terdapat di dalam Undang-Undang Perlindungan Anak lebih tegas bila dibandingkan dengan KUHPidana karena sudah memuat tentang batas minimum hukuman. Ketentuan pidana terkait tindakan eksploitasi seksual terhadap anak tercantum dalam pasal 81, 82, dan 83 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal 81: 1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp ,00 (enam puluh juta rupiah). 2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Batasan eksploitasi seksual terhadap anak sesuai pasal 81 ini adalah persetubuhan yang dilakukan oleh orang dewasa kepada seorang anak melalui kekerasan, ancaman kekerasan, ataupun dengan bujukan dan tipu muslihat.

18 Pasal 82: Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp ,00 (enam puluh juta rupiah). Batasan eksploitasi seksual terhadap anak menurut pasal 82 adalah pencabulan yang dilakukan oleh orang dewasa kepada seorang anak melalui kekerasan, ancaman kekerasan, ataupun dengan bujukan dan tipu muslihat. Pasal 83: Setiap orang yang memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp ,00 (enam puluh juta rupiah). Batasan eksploitasi seksual terhadap anak menurut pasal ini adalah perdagangan anak ataupun penculikan anak untuk diri sendiri atau untuk dijual, Sebagai aturan khusus yang memberikan perlindungan kepada anak, di dalam Undang-Undang Perlindungan Anak tidak satu pasal pun yang menyebutkan perihal

19 larangan menikahi anak di usia dini, meskipun berdasarkan analisis diketahui bahwa menikahi anak di usia dini merupakan satu bentuk eksploitasi seksual anak sekaligus pelanggaran hak asasi anak, karena akan berdampak buruk terhadap anak, akan tetapi dalam prakteknya apabila kejahatan tersebut terjadi, maka Undang-Undang Perlindungan Anak dijadikan sebagai perangkat hukum untuk melindungi anak. D. Keppres Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Konvensi Hak Anak Konvensi Hak Anak bermula dari sebuah gagasan mengenai hak anak pada masa berakhirnya perang dunia pertama. Sebuah kondisi, dimana akibat dari perang tersebut, begitu sangat merugikan masyarakat dunia, khususnya kaum perempuan dan anak-anak. Seruan agar adanya sebuah perhatian dari publik dan tentunya perhatian yang lebih pula dari negara, atas nasib anak-anak yang menjadi korban perang dunia, seringkali diteriakan oleh para aktifis perempuan. Eglantyne Jebb, salah seorang aktifis perempuan yang kemudian mengembangkan sepuluh butir pernyataan tentang hak anak. Selanjutnya pada tahun 1924, untuk pertama kalinya deklarasi hak anak diadopsi oleh Liga Bangsa-Bangsa. Tahun 1959 Majelis Umum PBB kembali mengeluarkan pernyataan mengenai hak anak. Tahun 1979, yang merupakan tahun anak Internasional, pemerintah Polandia mengajukan usulan bagi perumusan suatu dokumen standart internasional bagi pengakuan terhadap hak-hak anak dan mengikat secara yuridis. Sepuluh tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1989, rancangan konvensi hak anak berhasil

20 diselesaikan, dan naskah akhirnya disahkan oleh Majelis Umum PBB sebagai Konvensi Hak Anak (KHA). 47 Perserikatan Bangsa-Bangsa mengesahkan Konvensi Hak Anak (Child Right Convention) pada tanggal 20 November Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut melalui Kepres Nomor 36 Tahun Berdasarkan hukum internasional, ratifikasi dimungkinkan dalam 2 (dua) bentuk, yaitu: Dalam bentuk undang-undang, artinya dalam proses ratifikasi tersebut dimintakan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selaku wakil rakyat. Ratifikasi dalam bentuk ini bersifat adopsi, artinya memilah-milah isi dari peraturan internasional yang akan diratifikasi tersebut, sehingga menyesuaikannya dengan kondisi bangsa. 2. Dalam bentuk Keputusan Presiden, artinya ratifikasi terhadap perjanjian internasional dilakukan langsung oleh Presiden melalui Keputusan Presiden tanpa meminta persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ratifikasi dalam bentuk bersifat memberlakukan perjanjian internasional secara keseluruhan, tanpa menyesuaikannya dengan kondisi bangsa. Melalui Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 jelas terlihat bahwa Indonesia memberlakukan perjanjian internasional Konvensi Hak Anak secara keselurahan, tanpa adanya tindakan penyesuaian terhadap kondisi jiwa bangsa Indonesia yang tentu tidak akan sama dengan negara lain, sehingga keputusan terhadap ratifikasi tersebut menimbulkan pro-kontra di kalangan ahli hukum. Alasan yang pro adalah masalah tuntutan yang mendesak. Mengingat perkembangan zaman yang menuntut serba cepat, termasuk dalam pengambilan keputusan menyangkut masalah-masalah internasional. Terdapat hal-hal tertentu 47 Menengok Ulang Implementasi Konvensi Hak Anak di Indonesia, dalam diakses 3 Agustus Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003, hlm. 124

21 dalam hubungan internasional yang menuntut keputusan segera dan jika keputusan tersebut harus dimintakan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan prosedur yang berbelit-belit seperti saat ini, tentu Indonesia akan terus tertinggal. Oleh karena itu, kelompok yang pro setuju jika dalam kondisi tertentu yang tidak memungkinkan pemerintah untuk meminta persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), memungkinkan ratifikasi terhadap hukum internasional yang tidak menimbulkan dampak penting bagi masyarakat Indonesia, sehingga tidak mempengaruhi politik luar negeri Indonesia, tidak menimbulkan ikatan yang dapat mempengaruhi haluan politik luar negeri Indonesia dan tidak diwajibkan oleh undang-undang bahwa ratifikasi hukum internasional tersebut harus dibuat dalam bentuk undang-undang, sehingga Konvensi Hak Anak tersebut diratifikasi dalam bentuk Keputusan Presiden. 49 Bagi kelompok yang kontra berpendapat bahwa ratifikasi hukum internasional harus dalam bentuk undang-undang, dengan alasan bahwa hukum internasional tentunya memiliki nilai-nilai budaya tersendiri yang belum atentu cocok untuk diterapkan di dalam budaya Indonesia, sementara ratifikasi terhadap hukum internasional tersebut mengikat secara hukum untuk dilaksanakan dan dipatuhi oleh masyarakat Indonesia. Kondisi yang demikian sangat memungkinkan hukum internasional yang diadopsi menjadi hukum nasional membawa perubahan budaya masyarakat Indonesia, oleh karenanya untuk meratifikasi hukum internasional tersebut wajib dimintakan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sehingga 49 Ibid, hlm. 125

22 bentuk ratifiksai yang tepat terhadap Konvensi Hak Anak adalah dalam bentuk undang-undang. 50 Ratifikasi terhadap konvensi atau hukum Internasional tersebut secara otomatis menimbulkan kewajiban bagi negara Indonesia untuk menjamin perlindungan terhadap hak-hak anak. Perihal perlindungan terhadap hak-hak anak, bahwa setiap anak berhak atas perlindungan baik dari orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara, 51 maka Konvensi Hak Anak internasional mewajibkan negara untuk melindungi anak dari: 1. Kehilangan keluarga; 2. Pekerjaan yang mengancam kesehatan, pendidikan dan perkembangan anak; 3. Penyalahgunaan obat bius dan narkotika; 4. Eksploitasi dan penganiayaan seksual; 5. Prostitusi dan keterlibatan dalam pornografi; 6. Segala bentuk diskriminasi. 7. Keadaan krisis dan darurat, seperti: pengungsian, korban peperangan/konflik bersenjata, dan konflik dengan hukum. Berdasarkan susunannya, Konvensi Hak-hak Anak terdiri dari 54 pasal yang terbagi dalam 4 bagian, yaitu: Mukadimah, yang berisi konteks Konvensi Hak-hak Anak. 2. Bagian Satu (Pasal 1-41), yang mengatur hak-hak anak. 3. Bagian Dua (Pasal 42-45), yang mengatur masalah pemantauan dan pelaksanaan Konvensi Hak-hak Anak. 4. Bagian Tiga (Pasal 46-54), yang mengatur masalah pemberlakuan konvensi. Konvensi Hak-hak Anak mempunyai 2 (dua) protokol opsional, yaitu : 1. Protokol Opsional Konvensi Hak-hak Anak mengenai Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata (telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2012). 2. Protokol Opsional Konvensi Hak-hak Anak mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak dan Pornografi Anak (Indonesia telah meratifikasi protokol opsional ini dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2012). 50 Ibid 51 Pasal 52 Konvensi Hak Anak Internasional 52 Konvensi Hak-Hak Anak, dalam diakses 5 Agustus 2013

23 Konvensi Hak-hak Anak berisi 8 kluster, yaitu: 1. Kluster I : Langkah-langkah Implementasi 2. Kluster II : Definisi Anak 3. Kluster III : Prinsip-prinsip Hukum KHA 4. Kluster IV : Hak Sipil dan Kebebasan 5. Kluster V : Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Alternatif 6. Kluster VI : Kesehatan dan Kesejahteraan Dasar 7. Kluster VII : Pendidikan, Waktu Luang dan Kegiatan Budaya 8. Kluster VIII : Langkah-langkah Perlindungan Khusus Hak-hak anak menurut Konvensi Hak Anak dikelompokkan dalam 4 kategori, yaitu : 1. Hak Kelangsungan Hidup, hak untuk melestarikan dan mempertahankan hidup dan hak memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan yang sebaikbaiknya. 2. Hak Perlindungan, perlindungan dari diskriminasi, eksploitasi, kekerasan dan keterlantaran. 3. Hak Tumbuh Kembang, hak memperoleh pendidikan dan hak mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial. 4. Hak Berpartisipasi, hak untuk menyatakan pendapat dalam segala hal yang mempengaruhi anak. Perihal larangan eksploitasi seksual terhadap anak dalam Konvensi Hak Anak, terdapat pasal-pasal yang merujuk kepada perlindungan atas eksploitasi anak, yakni: Pasal 10 tentang hak anak untuk berkumpul kembali bersama orangtuanya dalam kesatuan keluarga, apakah dengan meninggalkan atau memasuki negara tertentu untuk maksud tersebut; 2. Pasal 11 tentang kewajiban negara untuk mencegah dan mengatasi penculikan atau penguasaan anak diluar negeri; 3. Pasal 16 tentang hak anak untuk memperoleh perlindungan dari gangguan terhadap kehidupan pribadi; 53 Muhammad Joni, Hak-Hak Anak dalam undang-undang Perlindungan Anak dan Konvensi PBB Tentang Hak Anak : Beberapa Isu Hukum Keluarga, hlm. 7

24 4. Pasal 19 tentang kewajiban negara untuk melindungi anak dari segala bentuk salah perlakuan yang dilakukan oleh orangtua atau orang lain yang bertanggung jawab atas pengasuhan mereka; 5. Pasal 20 tentang kewajiban negara untuk memberikan perlindungan khusus bagi anak-anak yang kehilangan lingkungan keluarga mereka; 6. Pasal 21 tentang adopsi dimana pada negara yang mengakui adopsi hanya dilakukan untuk kepentingan terbaik bagi anak; 7. Pasal 25 tentang peninjauan secara periodik terhadap anak-anak yang ditempatkan dalam pengasuhan oleh negara karena alasan perawatan, perlindungan atau penyembuhan; 8. Pasal 32 tentang kewajiban negara untuk melindungi anak-anak dari keterlibatan dalam pekerjaan yang mengancam kesehatan, pendidikan atau perkembangan mereka; 9. Pasal 33 tentang hak anak atas perlindungan dari penyalahgunaan obat bius dan narkotika serta keterlibatan dalam produksi dan distribusi; 10. Pasal 34 tentang hak anak atas perlindungan dari eksploitasi dan penganiayaan seksual termasuk prostitusi dan keterlibatan dalam pornografi. Negara peserta berusaha untuk melindungi anak dari semua bentuk eksploitasi seksual dan penyalahgunaan seksual, sehingga untuk tujuan ini; Negara Peserta khususnya akan mengambil langkah-langkah yang layak, baik secara bilateral maupun multilateral untuk mencegah :

25 a. Bujukan atau paksaan agar anak terlibat dalam setiap kegiatan seksual yang tidak sah; b. Penggunaan anak secara eksploitatif dalam pelacuran atau praktik-praktik seksual lain yang tidak sah; c. Penggunaan anak secara eksploitatif dalam pertunjukan perbuatan yang bersifat pornografis. 11. Pasal 35 tentang kewajiban negara untuk menjajagi segala upaya guna mencegah penjualan, penyelundupan dan penculikan anak; 12. Pasal 36 tentang hak atas perlindungan dari semua bentuk eksploitasi yang belum tercakup dalam pasal 32, pasal 33, pasal 34 dan pasal 35; 13. Pasal 37 tentang larangan terhadap penyiksaan, perlakuan atau hukuman yang kejam, hukuman mati, penjara seumur hidup, dan penahanan semena-mena atau perampasan kebebasan terhadap anak; 14. Pasal 39 tentang kewajiban negara untuk menjamin agar anak menjadi korban konflik bersenjata, penganiayaan, penelantaran, salah perlakuan atau eksploitasi, memperoleh perawatan yang layak demi penyembuhan dan re-integrasi sosial mereka; 15. Pasal 40 tentang hak bagi anak-anak yang didakwa ataupun yang diputuskan telah melakukan pelanggaran untuk tetap dihargai hak azasinya dan, khususnya, untuk menerima manfaat dari segenap proses hukum atau bantuan hukum lainnya dalam penyiapan dan pengajuan pembelaan mereka. Prinsip demi hukum dan penempatan institusional sedapat mungkin dihindari;

26 16. Pasal 58 menyebutkan bahwa setiap anak berhak mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua atau walinya, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas anak tersebut. Apabila orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk penganiayaan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual termasuk pemerkosaan atau pembunuhan terhadap anak yang seharusnya dilindungi, maka harus dikenakan pemberatan hukuman; Kertas kerja yang berjudul A Guide for Non-Governmental Organzations Reporting to the Committee on the Rights of the Child, dirinci beberapa pasal perlindungan khusus (special protection measures), yaitu : Anak-anak dalam situasi darurat (children in situation of emergency), yakni : anak-anak dalam pengungsian (vide pasal 22), anak-anak dalam (korban) peperangan atau konflik bersenjata (vide pasal 38); 2. Anak-anak yang berkonflik dengan hukum (children in conflict with the law), yakni : masalah prosedural peradilan anak (vide pasal 40), anak-anak yang berada dalam penekanan terhadap kebebasan (vide pasal 37), re-integrasi sosial anak-anak dan penyembuhan fisik dan psikologis anak (vide pasal 39); 3. Anak-anak dalam situasi eksploitasi (children in situation of exploitation), yakni; eksploitasi ekonomi seperti pekerja anak (vide pasal 32), penyalahgunaan obat bius dan narkotika (vide pasal 33), eksploitasi seksual dan penyalahgunaan 54 Ibid, hlm. 8

27 seksual (vide pasal 34), bentuk-bentuk eksploitasi lainnya (vide pasal 36), perdagangan anak, penculikan dan penyelundupan anak (vide pasal 35); 4. Anak-anak dari kelompok minoritas atau anak-anak penduduk suku terasing (children belonging to a minority or an indegenous group) (vide pasal 30). E. Keppres No. 87 Tahun 2002 Tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak Pemerintah melalui Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 2002 telah menetapkan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (RAN-PESKA) dan Gugus Tugas untuk memerangi dan menghapus eksploitasi seksual anak yakni kejahatan yang melanggar hak asasi anak, merendahkan harkat dan martabat kemanusian serta merupakan salah satu bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Sama halnya dengan peraturan yang telah dikemukakan di atas, dalam Keputusan Presiden ini juga tidak menyebutkan tentang larang eksploitasi seksual dalam pernikahan dini, namun larangan terhadap kegiatan eksploitasi seksual anak secara tegas dapat dilihat pada konsiderans huruf d Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 2002 telah menetapkan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak bahwa: Kegiatan eksploitasi seksual komersial anak di Indonesia sudah sedemikian parah yang sungguh merisaukan dan mencemaskan sehingga harus segera ditangani dengan sungguh-sungguh dan melibatkan semua pihak.

28 Lima bidang yang akan digarap dalam memerangi dan menghapus eksploitasi seksual komersial anak yaitu koordinasi dan kerjasama, pencegahan, perlindungan, pemulihan dan reintegrasi serta partisipasi anak. Kondisi yang ingin dicapai yakni memberikan perlindungan kepada setiap anak dari eksploitasi seksual komersial, mengurangi jumlah anak yang rawan terhadap eksploitasi seksual komersial serta mengembangkan lingkungan, sikap dan praktek yang tanggap terhadap permasalahan eksploitasi seksual komersial anak. Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial bertujuan untuk: Anak menjamin peningkatan dan pemajuan atas upaya-upaya perlindungan terhadap korban eksploitasi seksual komersial; 2. Mewujudkan kegiatan-kegiatan baik yang bersifat preventif maupun represif dalam upaya melakukan tindakan pencegahan dan penanggulangan atas praktekpraktek eksploitasi seksual komersial anak; 3. Mendorong untuk adanya pembentukan dan/atau penyempurnaan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tindakan eksploitasi seksual komersial anak; Berdasarkan hasil evaluasi terhadap pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Indonesia tentang penghapusan eksploitasi seksual komersial anak, tidak ada Rencana Aksi Khusus Nasional yang digunakan sebagai panduan oleh para pemangku kepentingan seperti instansi-instansi pemerintah di tingkat nasional, provinsi, dan 55 Pasal 2 Keppres No. 87 Tahun 2002 Tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak

29 lembaga swadaya masyarakat yang disebabkan karena kurangnya fokus strategi dan prioritas, kurangnya standar minimum dan tolok ukur serta kurangnya indokator. Pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Eksploitasi Seksual Komersial Anak tampak dibatasi karena tidak dianggap sebagai sebuah prioritas oleh instansi pemerintah nasional dan pemerintah daerah, hal ini disebabkan oleh karena para petugasnya juga tidak paham dengan permasalahan ini, sehingga apabila data yang akurat tentang dampak dari Rencana Aksi Khusus Nasional ini juga tidak terlihat loc.cit

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang 5 Perbedaan dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Apa perbedaan dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan

Lebih terperinci

Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan

Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan Pasal 281 Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah: 1. barang siapa dengan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK [LN 2002/109 TLN 4235]

UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK [LN 2002/109 TLN 4235] UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK [LN 2002/109 TLN 4235] BAB XII KETENTUAN PIDANA Pasal 77 Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan : a. diskriminasi terhadap anak

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENCABULAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK. 1. Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENCABULAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK. 1. Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 32 BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENCABULAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK A. Pengaturan Hukum Tindak Pidana Pencabulan Terhadap Anak 1. Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tindak pidana

Lebih terperinci

Perlindungan Anak dalam Rancangan KUHP

Perlindungan Anak dalam Rancangan KUHP Perlindungan Anak dalam Rancangan KUHP Emmy. L. Smith Koordinator Presidium Nasional Indo - ACT Pendiri Yayasan KAKAK, Surakarta Gambaran Umum Tidak ada definisi khusus dalam KUHP, untuk belum dewasa atau

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI KORBAN KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR. A. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI KORBAN KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR. A. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI KORBAN KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR A. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pencarian kenikmatan seksual orang dewasa yang berakibat merusak fisik dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Dewasa ini dalam pembaharuan hukum, indonesia telah melahirkan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Dewasa ini dalam pembaharuan hukum, indonesia telah melahirkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini dalam pembaharuan hukum, indonesia telah melahirkan beberapa peraturan, khususnya tentang hukum hak asasi manusia dan meratifikasi beberapa konvensi internasional

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO, BUPATI SUKOHARJO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 16 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Perlindungan Anak

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Perlindungan Anak 7 Perbedaan dengan Undang Undang Perlindungan Anak Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam Undang Undang Perlindungan Anak? Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo. Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] BAB II TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG Pasal 2 (1) Setiap orang yang melakukan perekrutan,

Lebih terperinci

KONVENSI HAK ANAK (HAK-HAK ANAK)

KONVENSI HAK ANAK (HAK-HAK ANAK) KONVENSI HAK ANAK (HAK-HAK ANAK) Konvensi Hak Anak (KHA) Perjanjian yang mengikat secara yuridis dan politis antara berbagai negara yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan Hak Anak Istilah yang perlu

Lebih terperinci

HAK ANAK DALAM KETENAGAKERJAAN

HAK ANAK DALAM KETENAGAKERJAAN 1 HAK ANAK DALAM KETENAGAKERJAAN Saya akan mengawali bab pertama buku ini dengan mengetengahkan hak pekerja yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap anak-anak dalam dunia ketenagakerjaan. Sebagaimana

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. mengatur tetntang pengertian anak berdasarkan umur. Batasan umur seseorang

II. TINJAUAN PUSTAKA. mengatur tetntang pengertian anak berdasarkan umur. Batasan umur seseorang 21 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak Terdapat beberapa perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saat ini yang mengatur tetntang pengertian anak berdasarkan umur. Batasan umur seseorang masih

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU

PEMERINTAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU PEMERINTAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU NOMOR 12 TAHUN 2007 TENTANG PENGHAPUSAN PERDAGANGAN PEREMPUAN DAN ANAK (TRAFIKING) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

BAB III DESKRIPSI ASPEK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

BAB III DESKRIPSI ASPEK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG BAB III DESKRIPSI ASPEK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG A. Deskripsi UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang 1. Sejarah Singkat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA ANAK TURUT SERTA DENGAN SENGAJA MEMBUJUK ANAK MELAKUKAN PERSETUBUHAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA ANAK TURUT SERTA DENGAN SENGAJA MEMBUJUK ANAK MELAKUKAN PERSETUBUHAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA ANAK TURUT SERTA DENGAN SENGAJA MEMBUJUK ANAK MELAKUKAN PERSETUBUHAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK C. Tindak Pidana Persetubuhan dalam KUHPidana Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Lebih terperinci

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL PENELITIAN 1. Defenisi Human Trafficking Protokol Palermo Tahun 2000 : Perdagangan orang haruslah berarti perekrutan, pengiriman, pemindahan, menyembunyikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia. Perbudakan adalah kondisi seseorang di bawah kepemilikan orang lain. Praktek serupa perbudakan

Lebih terperinci

BUPATI BULUNGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK TERHADAP TINDAK KEKERASAN

BUPATI BULUNGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK TERHADAP TINDAK KEKERASAN SALINAN BUPATI BULUNGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK TERHADAP TINDAK KEKERASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN, Menimbang

Lebih terperinci

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan bangsa dan negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG. A. Pengaturan Tindak Pidana Perdagangan Orang Menurut KUHP

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG. A. Pengaturan Tindak Pidana Perdagangan Orang Menurut KUHP BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG A. Pengaturan Tindak Pidana Perdagangan Orang Menurut KUHP Di dalam kitab undang-undang pidana (KUHP) sebelum lahirnya undangundang no.21

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG EKPLOISTASI PEKERJA ANAK. A. Pengaturan Eksploitasi Pekerja Anak dalam Peraturan Perundangundangan

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG EKPLOISTASI PEKERJA ANAK. A. Pengaturan Eksploitasi Pekerja Anak dalam Peraturan Perundangundangan BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG EKPLOISTASI PEKERJA ANAK A. Pengaturan Eksploitasi Pekerja Anak dalam Peraturan Perundangundangan di Indonesia 1. Undang-Undang 2.1 Undang-Undang nomor 20 tahun 1999 Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Teks tidak dalam format asli. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 95, 2004 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4419)

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA 16 BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA A. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Lebih terperinci

situasi bencana memberikan pendampingan hukum dan pelayanan (UUPA Pasal 3; Perda Kab. Sleman No.18 Tahun 2013, Pasal 3)

situasi bencana memberikan pendampingan hukum dan pelayanan (UUPA Pasal 3; Perda Kab. Sleman No.18 Tahun 2013, Pasal 3) Perlindungan Anak merupakan segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dari penelantaran, diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi dan/atau seksual, kekejaman, kekerasan, penganiayaan, perlakuan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak dibawah Umur Pengertian anak menurut Kamus Bahasa Indonesia yang dapat disimpulkan ialah keturunan yang kedua yang berarti dari seorang pria dan seorang wanita yang

Lebih terperinci

PENGANTAR KONVENSI HAK ANAK

PENGANTAR KONVENSI HAK ANAK Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 PENGANTAR KONVENSI HAK ANAK Supriyadi W. Eddyono, S.H. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Jl Siaga II No 31 Pejaten Barat, Jakarta 12510 Telp

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat : a. bahwa setiap

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ANAK DAN PEREMPUAN

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ANAK DAN PEREMPUAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ANAK DAN PEREMPUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA SELATAN, Menimbang

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS PENERAPAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN TERHADAP ANAK KANDUNG

TINJAUAN YURIDIS PENERAPAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN TERHADAP ANAK KANDUNG TINJAUAN YURIDIS PENERAPAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN TERHADAP ANAK KANDUNG Oleh : Muhammad Idran ABSTRAK Akibat dari Tindak Pidana Phedofilia yang dilakukan oleh kerabat dari korban

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

Wawancara bersama penyidik Unit Pelayanan Perempuan Dan Anak

Wawancara bersama penyidik Unit Pelayanan Perempuan Dan Anak LAMPIRAN-LAMPIRAN 1. IPDA Yospin Ngii 2. AIPDA Yan Aswati 3. BRIPTU Eva Ratna Sari 4. BRIPDA Luci Armala Wardani 5. BRIPDA Ida Ayu Sri Dian Lestari 6. BRIPDA Widya Windiarti 7. BRIPDA Oktaviana Siburian

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi 6 Perbedaan dengan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi? Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang

Lebih terperinci

BUPATI BULUNGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

BUPATI BULUNGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK SALINAN Menimbang : BUPATI BULUNGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN, a. bahwa anak adalah anugerah dan

Lebih terperinci

BUPATI PATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI,

BUPATI PATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, SALINAN BUPATI PATI PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENGATURAN-PENGATURAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA. Oleh: Nurul Hidayati, SH. 1.

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENGATURAN-PENGATURAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA. Oleh: Nurul Hidayati, SH. 1. TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENGATURAN-PENGATURAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA Oleh: Nurul Hidayati, SH. 1 Abstraksi Perdagangan manusia di Indonesia merupakan suatu fenomena yang luar biasa

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS FIQH JINAYAH TERHADAP PIDANA CABUL KEPADA ANAK DI BAWAH UMUR

BAB IV ANALISIS FIQH JINAYAH TERHADAP PIDANA CABUL KEPADA ANAK DI BAWAH UMUR BAB IV ANALISIS FIQH JINAYAH TERHADAP PIDANA CABUL KEPADA ANAK DI BAWAH UMUR A. Analisis Terhadap Pidana Cabul Kepada Anak Di Bawah Umur Menurut Pasal 294 Dan Pasal 13 UU No.23 Tahun 2002 Untuk melindungi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS STUDI KOMPARATIF ANTARA HUKUM POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEDOFILIA

BAB IV ANALISIS STUDI KOMPARATIF ANTARA HUKUM POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEDOFILIA BAB IV ANALISIS STUDI KOMPARATIF ANTARA HUKUM POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEDOFILIA A. Pengaturan Sanksi Hukum Positif dan Hukum Pidana Islam terhadap Pedofilia 1. pengaturan Sanksi Menurut

Lebih terperinci

JAKARTA 14 FEBRUARI 2018

JAKARTA 14 FEBRUARI 2018 KAJIAN KRITIS DAN REKOMENDASI KOALISI PEREMPUAN INDONESIA TERHADAP RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (R-KUHP) YANG MASIH DISKRIMINATIF TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK SERTA MENGABAIKAN KERENTANAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.984, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK. Pencegahan. Penanganan. Perdagangan Orang. Panduan. PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukuman yang maksimal, bahkan perlu adanya hukuman tambahan bagi

BAB I PENDAHULUAN. hukuman yang maksimal, bahkan perlu adanya hukuman tambahan bagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penerapan sanksi pidana terhadap pelaku kejahatan merupakan cara terbaik dalam menegakan keadilan. Kejahatan yang menimbulkan penderitaan terhadap korban, yang berakibat

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2000 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NOMOR 182 CONCERNING THE PROHIBITION AND IMMEDIATE ACTION FOR ELIMINATION OF THE WORST FORMS OF CHILD LABOUR (KONVENSI

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 1 TAHUN 2000 (1/2000) TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NOMOR 182 CONCERNING THE PROHIBITION AND IMMEDIATE ACTION FOR ELIMINATION OF THE WORST FORMS OF CHILD

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO, BUPATI SUKOHARJO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 19 TAHUN 2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Perdagangan perempuan dan anak (trafficking) telah lama terjadi di muka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Perdagangan perempuan dan anak (trafficking) telah lama terjadi di muka BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perdagangan perempuan dan anak (trafficking) telah lama terjadi di muka bumi ini dan merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia, dan telah

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS MENGENAI PERLINDUNGAN HUKUM BAGI ANAK JALANAN ATAS EKSPLOITASI DAN TINDAK KEKERASAN

BAB IV ANALISIS MENGENAI PERLINDUNGAN HUKUM BAGI ANAK JALANAN ATAS EKSPLOITASI DAN TINDAK KEKERASAN BAB IV ANALISIS MENGENAI PERLINDUNGAN HUKUM BAGI ANAK JALANAN ATAS EKSPLOITASI DAN TINDAK KEKERASAN A. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Jalanan atas Eksploitasi dan Tindak Kekerasan Berdasarkan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan amanat dari Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan amanat dari Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan amanat dari Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Di tangan mereka peranperan strategis

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN OPTIONAL PROTOCOL TO THE CONVENTION ON THE RIGHTS OF THE CHILD ON THE SALE OF CHILDREN, CHILD PROSTITUTION AND CHILD PORNOGRAPHY

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga 4 Perbedaan dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga? Undang Undang Nomor

Lebih terperinci

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI PENJUALAN ANAK, PROSTITUSI ANAK, DAN PORNOGRAFI ANAK

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI PENJUALAN ANAK, PROSTITUSI ANAK, DAN PORNOGRAFI ANAK PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI PENJUALAN ANAK, PROSTITUSI ANAK, DAN PORNOGRAFI ANAK Negara-Negara Pihak pada Protokol ini, Mempertimbangkan bahwa, untuk lebih lanjut mencapai tujuan Konvensi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hukum Pidana Sebagaimana yang telah diuraikan oleh banyak pakar hukum mengenai hukum pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi terhadap

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

PERATURAN WALIKOTA SURAKARTA

PERATURAN WALIKOTA SURAKARTA BERITA DAERAH KOTA SURAKARTA NOMOR 18 TAHUN 2006 PEMERINTAH KOTA SURAKARTA PERATURAN WALIKOTA SURAKARTA NOMOR 14 TAHUN 2006 TENTANG PENYELENGGARAAN REHABILITASI EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIAL WALIKOTA SURAKARTA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perdagangan Manusia untuk tenaga kerja (Trafficking in persons for labor) merupakan masalah yang sangat besar. Data Perdagangan Manusia di Indonesia sejak 1993-2003

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.297, 2014 SOSIAL. Perlindungan Anak. Kewajiban. Tanggung Jawab. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5606) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

Perdagangan dan Eksploitasi Manusia di Indonesia

Perdagangan dan Eksploitasi Manusia di Indonesia 0 P a g e 1 Perdagangan dan Eksploitasi Manusia di Indonesia Perdagangan manusia (atau yang biasa disebut dalam udang-undang sebagai perdagangan orang) telah terjadi dalam periode yang lama dan bertumbuh

Lebih terperinci

2008, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Porno

2008, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Porno LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.181, 2008 PORNOGRAFI. Kesusilaan Anak. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4928) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN OPTIONAL PROTOCOL TO THE CONVENTION ON THE RIGHTS OF THE CHILD ON THE SALE OF CHILDREN, CHILD PROSTITUTION AND CHILD PORNOGRAPHY

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PENCABULAN ANAK (SODOMI) DIBAWAH UMUR

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PENCABULAN ANAK (SODOMI) DIBAWAH UMUR BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PENCABULAN ANAK (SODOMI) DIBAWAH UMUR D. Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pasal 289, 290, 292, 293, 294, 295 dan 296 Pasal 289 KUHP menentukan: 14 Barang siapa

Lebih terperinci

BAB II PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN PORNOGRAFI DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA SEBELUM LAHIRNYA UU NO. 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI

BAB II PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN PORNOGRAFI DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA SEBELUM LAHIRNYA UU NO. 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI 41 BAB II PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN PORNOGRAFI DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA SEBELUM LAHIRNYA UU NO. 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI A. Menurut Peraturan Sebelum Lahirnya UU No. 44 Tahun 2008

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Kepolisian Negara Republik Indonesia. Negara Republik Indonesia disebutkan bahwa Kepolisian bertujuan untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Kepolisian Negara Republik Indonesia. Negara Republik Indonesia disebutkan bahwa Kepolisian bertujuan untuk II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kepolisian Republik Indonesia 1. Pengertian Kepolisian Negara Republik Indonesia Menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia disebutkan

Lebih terperinci

Pengertian Anak dan Pentingnya Mendefinisikan Anak Secara Konsisten dalam Sistem Hukum 1 Oleh: Adzkar Ahsinin

Pengertian Anak dan Pentingnya Mendefinisikan Anak Secara Konsisten dalam Sistem Hukum 1 Oleh: Adzkar Ahsinin Bahan Bacaan: Modu 2 Pengertian Anak Pengertian Anak dan Pentingnya Mendefinisikan Anak Secara Konsisten dalam Sistem Hukum 1 Oleh: Adzkar Ahsinin A. Situasi-Situasi yang Mengancam Kehidupan Anak Sedikitnya

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PROSTITUSI MELALUI MEDIA ONLINE

BAB II PENGATURAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PROSTITUSI MELALUI MEDIA ONLINE BAB II PENGATURAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PROSTITUSI MELALUI MEDIA ONLINE A. Pengaturan Hukum Pidana Tindak Pidana Prostitusi Melalui Media Online Dalam Peraturan Perundang-Undangan Indonesia

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. No.1048, 2012 KEMENTERIAN NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK. Perdagangan Orang. Pencegahan. Penanganan. Panduan.

BERITA NEGARA. No.1048, 2012 KEMENTERIAN NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK. Perdagangan Orang. Pencegahan. Penanganan. Panduan. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1048, 2012 KEMENTERIAN NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK. Perdagangan Orang. Pencegahan. Penanganan. Panduan. PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG PELAYANAN TERHADAP HAK-HAK ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG,

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG PELAYANAN TERHADAP HAK-HAK ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG, PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG PELAYANAN TERHADAP HAK-HAK ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG, Menimbang : a. bahwa anak yang merupakan tunas dan generasi

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

Oleh : Didit Susilo Guntono NIM. S BAB I PENDAHULUAN

Oleh : Didit Susilo Guntono NIM. S BAB I PENDAHULUAN Penegakan hukum tindak pidana pencabulan terhadap anak berdasarkan undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak (studi di Pengadilan Negeri Sukoharjo) Oleh : Didit Susilo Guntono NIM. S310907004

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR NOMOR 23 TAHUN 2006 T E N T A N G PEMBERANTASAN MAKSIAT

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR NOMOR 23 TAHUN 2006 T E N T A N G PEMBERANTASAN MAKSIAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR NOMOR 23 TAHUN 2006 T E N T A N G PEMBERANTASAN MAKSIAT DI KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI OGAN KOMERING ULU

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT INTERNAL TIMUS KOMISI III DPR-RI DALAM RANGKA PEMBAHASAN RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA --------------------------------------------------- (BIDANG HUKUM, HAM

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI BANYUASIN NOMOR 13 TAHUN 2005 TENTANG LARANGAN MAKSIAT DALAM KABUPATEN MUSI BANYUASIN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI BANYUASIN NOMOR 13 TAHUN 2005 TENTANG LARANGAN MAKSIAT DALAM KABUPATEN MUSI BANYUASIN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI BANYUASIN NOMOR 13 TAHUN 2005 TENTANG LARANGAN MAKSIAT DALAM KABUPATEN MUSI BANYUASIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MUSI BANYUASIN, Menimbang Mengingat : : a.

Lebih terperinci

Diadaptasi oleh Dewan Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 18 Januari 2002

Diadaptasi oleh Dewan Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 18 Januari 2002 Protokol Konvensi Hak Anak Tentang Perdagangan Anak, Prostitusi Anak dan Pronografi Anak Diadaptasi oleh Dewan Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 18 Januari 2002 Negara-negara peserta tentang

Lebih terperinci

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA A. Batasan Pengaturan Tindak Pidana Kekekerasan Fisik

Lebih terperinci

4. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on The Elimination of all Forms of

4. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on The Elimination of all Forms of BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENANGGULANGAN PELACURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN, Menimbang : a. bahwa praktik

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA SURAKARTA TAHUN 2006 NOMOR 3 SERI E NOMOR 1 PERATURAN DAERAH KOTA SURAKARTA NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KOTA SURAKARTA TAHUN 2006 NOMOR 3 SERI E NOMOR 1 PERATURAN DAERAH KOTA SURAKARTA NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG LEMBARAN DAERAH KOTA SURAKARTA TAHUN 2006 NOMOR 3 SERI E NOMOR 1 PERATURAN DAERAH KOTA SURAKARTA NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PENANGGULANGAN EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA SEHUBUNGAN DENGAN PERDAGANGAN MANUSIA (ANAK)

PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA SEHUBUNGAN DENGAN PERDAGANGAN MANUSIA (ANAK) NAMA : HARLO PONGMERRANTE BIANTONG NRS : 094 PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA SEHUBUNGAN DENGAN PERDAGANGAN MANUSIA (ANAK) Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin

Lebih terperinci

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN ANAK DENGAN

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tercatat 673 kasus terjadi, naik dari tahun 2011, yakni 480 kasus. 1

BAB I PENDAHULUAN. Tercatat 673 kasus terjadi, naik dari tahun 2011, yakni 480 kasus. 1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini perdagangan terhadap orang di Indonesia dari tahun ke tahun jumlahnya semakin meningkat dan sudah mencapai taraf memprihatinkan. Bertambah maraknya

Lebih terperinci

Bentuk Kekerasan Seksual

Bentuk Kekerasan Seksual Bentuk Kekerasan Seksual Sebuah Pengenalan 1 Desain oleh Thoeng Sabrina Universitas Bina Nusantara untuk Komnas Perempuan 2 Komnas Perempuan mencatat, selama 12 tahun (2001-2012), sedikitnya ada 35 perempuan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2014

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2014 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2014 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG Bagian Hukum Setda Kabupaten Bandung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berkembangnya arus modernisasi serta cepatnya perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berkembangnya arus modernisasi serta cepatnya perkembangan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berkembangnya arus modernisasi serta cepatnya perkembangan teknologi, membawa perubahan yang signifikan dalam pergaulan dan moral manusia, sehingga banyak

Lebih terperinci