NILAI MITRAL ANNULAR PLANE SYSTOLIC EXCURSION

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "NILAI MITRAL ANNULAR PLANE SYSTOLIC EXCURSION"

Transkripsi

1 TESIS NILAI MITRAL ANNULAR PLANE SYSTOLIC EXCURSION (MAPSE) DAN TRICUSPID ANNULAR PLANE SYSTOLIC EXCURSION (TAPSE) YANG RENDAH SEBAGAI PREDIKTOR KEJADIAN KARDIOVASKULAR MAYOR PADA PASIEN INFARK MIOKARD AKUT (IMA) AA AYU DWI ADELIA YASMIN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015

2 TESIS NILAI MITRAL ANNULAR PLANE SYSTOLIC EXCURSION (MAPSE) DAN TRICUSPID ANNULAR PLANE SYSTOLIC EXCURSION (TAPSE) YANG RENDAH SEBAGAI PREDIKTOR KEJADIAN KARDIOVASKULAR MAYOR PADA PASIEN INFARK MIOKARD AKUT (IMA) AA AYU DWI ADELIA YASMIN PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015

3 NILAI MITRAL ANNULAR PLANE SYSTOLIC EXCURSION (MAPSE) DAN TRICUSPID ANNULAR PLANE SYSTOLIC EXCURSION (TAPSE) YANG RENDAH SEBAGAI PREDIKTOR KEJADIAN KARDIOVASKULAR MAYOR PADA PASIEN INFARK MIOKARD AKUT (IMA) Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik Program Pasca Sarjana Universitas Udayana AA AYU DWI ADELIA YASMIN PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015

4 Lembar Pengesahan TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 9 FEBRUARI 2015 Pembimbing I, Pembimbing II, Dr. dr. Ketut Rina Sp.PD, SP.JP (K) Prof. Dr. dr. I Gede Raka Widiana, Sp.PD-KGH NIP NIP Mengetahui, Ketua Program Studi Ilmu Biomedik-Combine Degree Program Pascasarjana Universitas Udayana, Direktur Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, Sp.And, FAACS NIP Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, SpS(K) NIP

5 Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal 9 Februari 2015 Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, No: 316/ UN14.4/ HK/ 2015, Tanggal 29 Januari 2015 Ketua : DR. dr. I Ketut Rina Sp.PD, Sp.JP (K) Anggota : 1. Prof. DR. dr. I Gede Raka Widiana Sp.PD-KGH 2. Prof. DR. dr. I Wayan Wita, Sp.JP (K) 3. DR. dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK, M.Kes 4. dr. Ketut Badjra Nadha, Sp.JP (K)

6 UCAPAN TERIMA KASIH Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas rahmat dan karunia-nya sehingga penyusunan tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Terwujudnya tesis yang berjudul Nilai Mitral Annular Plane Systolic Excursion (MAPSE) dan Tricuspid Annular Plane Systolic Excursion (TAPSE) yang Rendah sebagai Prediktor Kejadian Kardiovaskular Mayor pada Pasien Infark Miokard Akut (IMA) tentunya tidak lepas dari peran berbagai pihak, sehingga penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesarbesarnya dan setulus-tulusnya kepada: 1. Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr Ketut Suastika, SpPD-KEMD dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof. Dr. dr Putu Astawa, Sp.OT (K), M.Kes yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas pada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis I di Universitas Udayana. 2. Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr Raka Sudewi, Sp.S(K), atas kesempatan yang telah diberikan pada penulis untuk menjadi mahasiswa program pasca sarjana, program studi kekhususan kedokteran klinik (combined degree). 3. Ketua Program Pascasarjana Kekhususan Kedokteran Klinik (combined degree), Prof. Dr. dr. Wimpie I Pangkahila, Sp.And.,FAACS, yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Pasca Sarjana Kekhususan Kedokteran Klinik (combined degree). 4. Direktur RSUP Sanglah Denpasar, dr. A.A.A Saraswati, M.Kes atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk melanjutkan pendidikan di Bagian/SMF Kardiologi dan Kedokteran Vaskular dan melakukan penelitian di RSUP Sanglah Denpasar. 5. Kepala Bagian/SMF Kardiologi dan Kedokteran VaskularFakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah, Dr. IGN Putra Gunadhi, SpJP(K) yang telah memberikan kesempatan penulis untuk mengikuti program pendidikan dokter spesialis I di bagian/smf Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FK UNUD/RSUP Sanglah dan telah memberikan dukungan, semangat serta masukan selama pembuatan tesis. 6. Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis I (KPS PPDS-I) Bagian/SMF Kardiologi dan Kedokteran Vaskular Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah, Prof. Dr. dr. Wayan Wita, SpJP(K) yang telah memberikan kesempatan, bimbingan dan dukungan sejak awal sampai akhir pendidikan penulis. Terima kasih karena telah menjadi orang tua yang senantiasa mengarahkan, membimbing dan memberikan dukungan selama penulis menjalani pendidikan PPDS I Kardiologi dan Kedokteran Vaskular.

7 7. DR. dr. I Ketut Rina, Sp.PD, Sp.JP (K) selaku pembimbing pertama yang dengan tulus ikhlas meluangkan waktu, tenaga, serta perhatian yang tinggi untuk memberikan dorongan, bimbingan, dan arahan mulai dari penyusunan proposal hingga penyelesaian tesis ini. 8. Prof. DR. dr. I Gede Raka Widiana, Sp.PD-KGH selaku pembimbing kedua yang dengan kesediaan penuh meluangkan waktu, tenaga, dan perhatian yang tinggi untuk membimbing penulis dengan sabar, terutama dalam masalah statistik, sehingga penulis dapat mengerti dengan baik dan menyelesaikan tesis ini. 9. dr. Ketut Badjra Nadha, Sp.JP (K) selaku Ketua Divisi Non Invasif yang telah banyak memberikan bimbingan dan masukan yang sangat berharga berhubungan dengan penelitian ini serta menjadi salah satu observer dalam pengukuran nilai MAPSE dan nilai TAPSE yang merupakan variabel sentral dalam penelitian ini sehingga tesis ini dapat tersusun dengan baik. 10. Seluruh staf pengajar Bagian Kardiologi dan Kedokteran Vaskular Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang telah mendidik, memberikan kesempatan, ijin, serta fasilitas kepada penulis untuk dapat mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Kardiologi dan Kedokteran Vaskular serta menyelesaikan tesis ini. 11. Ketua Tim dan anggota Tim Penguji tesis ini yang telah memberikan pemecahan serta masukan yang bermanfaat guna perbaikan tesis ini. 12. Yang teristimewa untuk kedua orang tua saya tercinta, Ir. IGA Ngurah Oka dan AA Ayu Indrawaty SS, yang telah memberikan, doa, kasih sayang tanpa batas, semangat, dan dukungan moril materil kepada penulis selama mengikuti pendidikan ini sehingga dapat dijalani dengan lancar. 13. dr. IB Rangga Wibhuti, Sp.JP, sebagai senior dan rekan seperjuangan yang telah banyak memberikan semangat untuk berjuang menyelesaikan tesis ini, serta mau meluangkan waktu dan tenaga untuk menjadi salah satu observer dalam pengukuran nilai MAPSE dan nilai TAPSE sehingga tesis ini dapat tersusun dengan baik. 14. dr. Vianney Tedjamulia, sebagai rekan PPDS yang telah banyak membantu dalam penelitian ini, dari memasukkan variabel MAPSE dan TAPSE ke alat ekokardiografi sehingga memudahkan dalam pengukuran, memberikan program-program praktis yang memudahkan penulis dalam penyusunan tesis, serta mau meluangkan waktu dan tenaga untuk menjadi salah satu observer dalam pengukuran nilai MAPSE dan nilai TAPSE sehingga tesis ini dapat tersusun dengan baik. 15. Rekan-rekan residen kardiologi yang saya cintai, terutama satu-satunya teman seangkatan saya, dr. Putu Agus Wismantara, yang telah berjuang bersama-sama dari awal masa pendidikan yang sangat berat ini, baik dalam suka maupun duka. Kepada teman-teman PPDS yang telah banyak membantu dalam penelitian ini, antara lain dr. Kiki, dr. Wulan, dr. Mirah, dr. Widya, dr. Hendy, dr. Rani, dr. Cindy, dr. Suma, dan dr. Sudiarta. Kepada rekan-rekan karaoke dan jalan-jalan Karna (dr. Tumas, dr. Widya, dr. Mirah, dr. Laurentia, dr. Sany Sp.JP, dr. Eko, Sp.JP, dan lain-lain) yang

8 telah memberikan senyuman dan keceriaan sehingga menguatkan saya dalam menjalani proses pendidikan ini. 16. Teman-teman sekretariat tercinta, Mbak Candra, Mbak Dian, Mbak Andi, dan Pak Ketut yang selalu mendukung, membantu, dan bekerja sama dalam segala hal selama pendidikan spesialis ini. 17. Teman-teman perawat di UGD, ICCU, dan Poliklinik PJT yang bersamasama bahu-membahu dalam bekerja sehingga membuat masa pendidikan ini menyenangkan bila bekerja bersama kalian. Akhir kata, dengan iringan doa semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa memberikan pahala yang berlipat ganda atas segala amal baik yang diberikan kepada penulis, dan semoga tesis ini dapat bermanfaat. Denpasar, 9 Februari 2015 Penulis, dr. AA Ayu Dwi Adelia Yasmin

9 ABSTRAK NILAI MITRAL ANNULAR PLANE SYSTOLIC EXCURSION (MAPSE) DAN TRICUSPID ANNULAR PLANE SYSTOLIC EXCURSION (TAPSE) YANG RENDAH SEBAGAI PREDIKTOR KEJADIAN KARDIOVASKULAR MAYOR PADA PASIEN INFARK MIOKARD AKUT (IMA) Infark Miokard Akut (IMA) merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas yang utama di negara maju serta menjadi masalah kesehatan yang sangat penting di negara berkembang. Penurunan fungsi sistolik ventrikel kiri dan fungsi sistolik ventrikel kanan pada pasien IMA diketahui berhubungan dengan prognosis yang buruk. Nilai Mitral Annular Plane Systolic Excursion (MAPSE) dan Tricuspid Annular Plane Systolic Excursion (TAPSE) merupakan parameter ekokardiografi sederhana yang menunjukkan fungsi sistolik ventrikel kiri dan kanan, serta dapat diperoleh dengan mudah pada pasien-pasien dalam kondisi kritis atau gawat darurat. Belum terdapat studi yang meneliti nilai MAPSE dan TAPSE yang rendah sebagai prediktor kejadian kardiovaskular mayor pada populasi pasien IMA sebagai satu entitas klinis. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui nilai MAPSE dan nilai TAPSE yang rendah sebagai prediktor kejadian kardiovaskular mayor pada pasien IMA. Penelitian ini merupakan studi observasional kohort prospektif yang mengikutsertakan 72 pasien IMA sebagai subjek penelitian berdasarkan consecutive sampling. Pengambilan gambar MAPSE dan TAPSE dilakukan dalam 24 jam pertama setelah pasien masuk rumah sakit menggunakan ekokardiografi transthorakal dengan alat GE Vivid E Portable Ultrasound Machine dan GE 3S Ultrasound Probe. Selanjutnya, dilakukan observasi terhadap adanya kejadian kardiovaskular mayor yang terdiri dari kematian kardiovaskular dan/atau gagal jantung dan/atau syok kardiogenik dan/atau aritmia maligna dan/atau angina pasca infark selama perawatan di rumah sakit. Pada penelitian ini didapatkan bahwa nilai MAPSE yang rendah merupakan prediktor kejadian kardiovaskular mayor sebesar hampir 7 kali lipat (HR = 6,68, 95% CI = 2,37-18,83, nilai p = <0,0001), nilai TAPSE yang rendah merupakan prediktor kejadian kardiovaskular mayor sebesar 3 kali lipat (HR = 3,29, 95% CI = 1,10-9,84, nilai p = 0,033), dan gabungan keduanya merupakan prediktor kejadian kardiovaskular mayor sebesar 4 kali lipat (HR = 4,26, 95% CI = 1,52-11,93, nilai p = 0,006) pada pasien IMA yang dirawat di RSUP Sanglah. Penelitian ini menyimpulkan bahwa nilai MAPSE yang rendah, nilai TAPSE yang rendah, dan gabungan keduanya merupakan prediktor independen kejadian kardiovaskular mayor saat perawatan di rumah sakit pada pasien IMA. Kata Kunci: Infark Miokard Akut, Mitral Annular Plane Systolic Excursion dan Tricuspid Annular Plane Systolic Excursion

10 ABSTRACT DECREASED MITRAL ANNULAR PLANE SYSTOLIC EXCURSION (MAPSE) AND TRICUSPID ANNULAR PLANE SYSTOLIC EXCURSION (TAPSE) AS PREDICTORS OF MAJOR CARDIOVASCULAR EVENTS IN ACUTE MYOCARDIAL INFARCTION (AMI) Acute Myocardial Infarction (AMI) is a leading cause of morbidity and mortality in developed countries, as well as emerged as a very important health problem in developing countries. Decreased left ventricular systolic function and right ventricular systolic function were known to be associated with poor prognosis in IMA. Mitral Annular Plane Systolic Excursion (MAPSE) and Tricuspid Annular Plane Systolic Excursion (TAPSE) were the simple echocardiograpic parameters that indicates left and right ventricular systolic function, and can be easily obtained in patients in critical care or emergency settings. There has been no study that examines the decreased MAPSE and TAPSE as predictors of major cardiovascular events in AMI population as one clinical entity. The purpose of this study was to determine decreased MAPSE and TAPSE as a predictor of major cardiovascular events in AMI patients. This study was a prospective cohort observational study that enrolled 72 patients with AMI as the subject of research by consecutive sampling. MAPSE and TAPSE were obtained within the first 24 hours after admission using transthoracal echocardiography with a GE Vivid E Portable Ultrasound Machine and 3S GE Ultrasound Probe. Then, we did the observation of the presence of major cardiovascular events, which consist of cardiovascular death and / or heart failure and / or cardiogenic shock and / or malignant arrhythmias and / or postinfarction angina during hospitalization. In this study, it was found that decreased MAPSE is a predictor of major cardiovascular events by almost 7-fold (HR = 6.68, 95% CI = , p = <0.0001), decreased TAPSE is a predictor of major cardiovascular events by 3- fold (HR = 3.29, 95% CI = , p = 0.033), and combination of both is a predictor of major cardiovascular events by 4-fold (HR = 4.26, 95% CI = , p = 0.006) in patients with AMI that were treated at Sanglah General Hospital. This study concludes that the decreased MAPSE, decreased TAPSE, and a combination of both were independent predictors of in-hospital major cardiovascular events in patients with AMI. Keywords: Acute Myocardial Infarction, Mitral Annular Plane Systolic Excursion and Tricuspid Annular Plane Systolic Excursion

11 DAFTAR ISI Halaman SAMPUL DALAM... i PRASYARAT GELAR.... ii LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING... iii PENETAPAN PANITIA PENGUJI... iv UCAPAN TERIMA KASIH...v ABSTRAK...viii ABSTRACT... ix DAFTAR ISI... x DAFTAR TABEL... xv DAFTAR GAMBAR... xvi DAFTAR ARTI LAMBANG, SINGKATAN, DAN ISTILAH... xviii DAFTAR LAMPIRAN... xx BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA Definisi Infark Miokard Akut... 9

12 2.2 Patofisiologi Infark Miokard Akut Klasifikasi Klinis pada Infark Miokard Akut Diagnosis Infark Miokard Akut Stratifikasi Risiko pada Infark Miokard Akut Komplikasi pada Infark Miokard Akut Fungsi Sistolik Ventrikel yang Normal Fungsi Sistolik Ventrikel Kiri setelah Infark Miokard Akut Fungsi Sistolik Ventrikel Kanan setelah Infark Miokard Akut Parameter Ekokardiografi untuk Stratifikasi Risiko pada Infark Miokard Akur Mitral Annular Plane Systolic Excursion (MAPSE) Tricuspid Annular Plane Systolic Excursion (TAPSE) BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Berpikir Kerangka Konsep Hipotesis Penelitian BAB IV METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian Tempat dan Waktu Penelitian Penentuan Sumber Data Populasi Penelitian... 40

13 Populasi Target Populasi Terjangkau Sampel Penelitian Penentuan Sampel Kriteria Inklusi Kriteria Eksklusi Jumlah Sampel Variabel Penelitian Variabel Bebas Variabel Tergantung Variabel Kendali Hubungan Antar Variabel Definisi Operasional Variabel Penelitian Bahan Penelitian Instrumen Penelitian Prosedur Penelitian Tata Cara Penelitian Alur Penelitian Analisis Data BAB V HASIL PENELITIAN Analisis Reliabilitas Analisis Kurva ROC... 63

14 5.3 Karakteristik Subjek Penelitian Nilai MAPSE yang Rendah sebagai Prediktor Kejadian Kardiovaskular Mayor saat Perawatan di Rumah Sakit pada Pasien IMA Pengaruh nilai MAPSE yang Rendah terhadap Kejadian Kardiovaskular Mayor saat Perawatan di Rumah Sakit setelah Dikontrol dengan Variabel Lain Nilai TAPSE yang Rendah sebagai Prediktor Kejadian Kardiovaskular Mayor saat Perawatan di Rumah Sakit pada Pasien IMA Pengaruh nilai TAPSE yang Rendah terhadap Kejadian Kardiovaskular Mayor saat Perawatan di Rumah Sakit setelah Dikontrol dengan Variabel Lain Nilai MAPSE dan Nilai TAPSE yang Rendah sebagai Prediktor Kejadian Kardiovaskular Mayor saat Perawatan di Rumah Sakit pada Pasien IMA Pengaruh nilai MAPSE dan nilai TAPSE yang Rendah terhadap Kejadian Kardiovaskular Mayor saat Perawatan di Rumah Sakit setelah Dikontrol dengan Variabel Lain BAB VI PEMBAHASAN Analisis Reliabilitas Analisis Kurva ROC Karakteristik Subjek Penelitian... 83

15 6.4 Nilai MAPSE yang Rendah sebagai Prediktor Kejadian Kardiovaskular Mayor saat Perawatan di Rumah Sakit pada Pasien IMA Nilai TAPSE yang Rendah sebagai Prediktor Kejadian Kardiovaskular Mayor saat Perawatan di Rumah Sakit pada Pasien IMA Nilai MAPSE dan Nilai TAPSE yang Rendah sebagai Prediktor Kejadian Kardiovaskular Mayor saat Perawatan di Rumah Sakit pada Pasien IMA Keterbatasan Penelitian BAB VII SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

16 DAFTAR TABEL Halaman 2.1 Definisi Universal IMA Karakteristik Subyek Penelitian (Berdasarkan Kategori Nilai MAPSE) Karakteristik Subyek Penelitian (Berdasarkan Kategori Nilai TAPSE) Hasil Analisis Cox Regression Nilai MAPSE yang Rendah sebagai Prediktor Kejadian Kardiovaskular Mayor pada Pasien IMA Hasil Analisis Cox Regression Nilai TAPSE yang Rendah sebagai Prediktor Kejadian Kardiovaskular Mayor pada Pasien IMA Hasil Analisis Cox Regression Nilai MAPSE dan Nilai TAPSE yang Rendah sebagai Prediktor Kejadian Kardiovaskular Mayor pada Pasien IMA... 78

17 DAFTAR GAMBAR Halaman 2.1 Patofisiologi IMA Waktu Pelepasan Biomarker Setelah Onset IMA Cara Pengukuran MAPSE melalui Apical-four Chamber View Cara Pengukuran TAPSE Kerangka Konsep Penelitian Rancangan Penelitian Hubungan antar Variabel Alur Penelitian Grafik Scatter Plot yang Menggambarkan Korelasi Nilai MAPSE yang Diukur oleh Observer 1 dan Observer 2 (Kiri Atas), Observer 1 dan Observer 3 (Kanan Atas), serta Observer 2 dan Observer 3 (Bawah) Kurva Bland-Altman yang Menggambarkan Limit of Agreement antara Nilai MAPSE yang Diukur oleh Observer 1 dan Observer 2 (Kiri Atas), Observer 1 dan Observer 3 (Kanan Atas), serta Observer 2 dan Observer 3 (Bawah)... 61

18 5.3 Grafik Scatter Plot yang Menggambarkan Korelasi Nilai TAPSE yang Diukur oleh Observer 1 dan Observer 2 (Kiri Atas), Observer 1 dan Observer 3 (Kanan Atas), serta Observer 2 dan Observer 3 (Bawah) Kurva Bland-Altman yang Menggambarkan Limit of Agreement antara Nilai TAPSE yang Diukur oleh Observer 1 dan Observer 2 (Kiri Atas), Observer 1 dan Observer 3 (Kanan Atas), serta Observer 2 dan Observer 3 (Bawah) Kurva ROC dalam Menentukan Cut-off Point Nilai MAPSE yang rendah (kiri) dan Nilai TAPSE yang rendah (kanan) Kurva Estimasi Survival Kaplan Meier Terjadinya Kejadian Kardiovaskular Mayor Pada IMA Berdasarkan Nilai MAPSE yang Rendah Kurva Estimasi Survival Kaplan Meier Terjadinya Kejadian Kardiovaskular Mayor Pada IMA Berdasarkan Nilai TAPSE yang Rendah Kurva Estimasi Survival Kaplan Meier Terjadinya Kejadian Kardiovaskular Mayor Pada IMA Berdasarkan Nilai MAPSE yang Rendah dan Nilai TAPSE yang Rendah... 74

19 DAFTAR SINGKATAN ACC/AHA : The American College of Cardiology/American Heart Association ADA APVD CABG CK DM DWI EF EKG ESC GISSI-3 : American Diabetes Association : Atrioventricular Plane Displacement : Coronary Artery Bypass Grafting : Creatine Kinase : Diabetes Melitus : D Wave Integral : Ejection Fraction : Elektrokardiografi : The European Society of Cardiology : Gruppo Italiano per lo Studio della Soprawivenza nell Infarto Miacardico GRACE HT IMA IMT LAD MAPSE MPI MRI : The Global Registry in Acute Coronary Events : Hipertensi : Infark Miokard Akut : Indeks Massa Tubuh : Left Anterior Descending : Mitral Annular Plane Systolic Excursion : Myocardial Performance Index : Magnetic Resonance Imaging

20 NSTEMI OPERA : Non ST-Elevation Myocardial Infarction : Observatoire sur la Prise en charge hospitaliere, l Evolution a un an et les caracteristiques de patients pre sentant un infarctus du myocarde avec ou sans onde Q PCI RCA ROC SKA SPVDW STEMI TAM TAPSE TIMI TTGO UAP WMSI : Percutaneous Coronary Intervention : Right Coronary Artery : Receiving Operating Characteristic : Sindroma Koroner Akut : Standardized Peak Velocity of the D Wave : ST-Elevation Myocardial Infarction : Tricuspid Annular Motion : Tricuspid Annular Plane Systolic Excursion : The Thrombolysis in Myocardial Infarction : Tes Toleransi Glukosa Oral : Unstable Angina Pectoris : Wall Motion Score Index

21 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Informasi Pasien dan Formulir Persetujuan Lembar Pengumpulan Data Hasil Pemeriksaan Ekokardiografi Bedside Cara Pemeriksaan Laboratorium untuk Penunjang Tesis Data Penelitian

22 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sindroma Koroner Akut (SKA) merupakan kumpulan manifestasi klinis yang disebabkan oleh kejadian iskemia miokard yang akut. SKA dapat diklasifikasikan menjadi Unstable Angina Pectoris (UAP), Non ST-Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI), dan ST-Elevation Myocardial Infarction (STEMI). Hingga saat ini sudah terdapat banyak kemajuan dalam pemahaman patofisiologi penyakit arteri koroner serta perbaikan dalam penatalaksanaan dan pencegahannya. Namun, SKA masih merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas yang utama di negara maju serta menjadi masalah kesehatan yang sangat penting di negara berkembang. Infark Miokard Akut (IMA) merupakan suatu kondisi nekrosis miokardial yang disebabkan oleh iskemia. Berdasarkan hasil pemeriksaan EKG, secara umum IMA dapat diklasifikasikan menjadi STEMI dan NSTEMI. Berdasarkan data yang diperoleh dari Registry GRACE (The Global Registry in Acute Coronary Events), diketahui bahwa frekuensi diagnosis STEMI adalah 30%, sedangkan frekuensi diagnosis NSTEMI adalah 25% dari keseluruhan SKA. Kedua kondisi klinis tersebut diketahui memiliki patogenesis yang sama. Terapi yang diberikan juga serupa, yaitu untuk mengatasi dan mencegah terjadinya ruptur plak atherosklerosis, walaupun adanya ST elevasi pada gambaran EKG menyebabkan keputusan untuk melakukan terapi reperfusi diambil dengan lebih segera dibandingkan dengan pasien NSTEMI (Dziewierz dkk., 2009).

23 Data yang diperoleh dari Registry OPERA (Observatoire sur la Prise en charge hospitaliere, l Evolution a un an et les caracteristiques de patients pre sentant un infarctus du myocarde avec ou sans onde Q) menemukan bahwa luaran di rumah sakit dan luaran klinis jangka panjang pada pasien NSTEMI dan STEMI adalah sama. Oleh karena itu, definisi universal IMA yang dikemukakan oleh ESC (European Society of Cardiology) dan ACC (American College of Cardiology), yang menggabungkan STEMI dan NSTEMI menjadi satu entitas klinis dianggap sudah tepat (Montalescot dkk., 2007). Morbiditas dan mortalitas yang terjadi pada penderita IMA sangat dipengaruhi oleh berbagai komplikasi yang dapat disebabkan oleh IMA. Komplikasi yang dapat disebabkan oleh IMA secara umum dapat diklasifikasikan menjadi komplikasi mekanik, aritmia, iskemik, inflamasi, dan embolik. Kejadian kardiovaskular mayor merupakan komplikasi IMA yang berhubungan secara langsung dengan tingkat survival pasien. Disfungsi ventrikel kiri yang menyebabkan kegagalan pompa jantung merupakan prediktor mortalitas terpenting pada pasien IMA. Syok kardiogenik merupakan prediktor utama kematian di rumah sakit, dan didapatkan prevalensi syok kardiogenik yang serupa pada kelompok pasien NSTEMI dan STEMI. Komplikasi IMA yang juga berhubungan dengan tingkat survival adalah berbagai aritmia maligna yang dapat menyebabkan gangguan hemodinamik pada pasien, contohnya takiaritmia supraventrikular dan takiaritmia ventrikular yang menetap, serta blok atrioventrikular derajat tinggi. Komplikasi iskemik yang termasuk dalam kejadian kardiovaskular mayor adalah angina pasca infark, yang mengambarkan adanya

24 suatu perluasan infark, infark berulang pada teritori arteri koroner yang lain, atau reoklusi pada arteri koroner yang berhubungan dengan infark. Angina pasca infark harus dibedakan dengan nyeri dada yang tidak disebabkan oleh kausa iskemia, seperti perikarditis atau emboli paru (Abu-Assi dkk., 2010, Nonogi, 2002, Mullasari dkk., 2011). Stratifikasi risiko yang efektif merupakan suatu bagian yang integral terhadap penatalaksanaan IMA. Sistem stratifikasi sebaiknya dikerjakan pada seluruh pasien yang datang dengan presentasi IMA dengan menggunakan alat yang sederhana dan dapat dilakukan bedside sehingga dapat ditentukan manajemen yang sesuai, keputusan untuk terapi intervensi, dan penentuan prognosis pasien. Sistem skoring yang banyak digunakan untuk stratifikasi risiko antara lain skor The Thrombolysis in Myocardial Infarction (TIMI) dan skor GRACE yang menggabungkan kriteria klinis, komorbidiras, parameter hemodinamik, perubahan segmen ST, dan nilai troponin untuk memprediksi risiko morbiditas dan mortalitas pada pasien-pasien IMA (Masood dkk., 2009). Ekokardiografi merupakan pemeriksaan yang mudah untuk dilakukan dan diinterpretasikan dalam situasi klinis dan efektif untuk stratifikasi risiko pasienpasien IMA. Parameter-parameter ekokardiografi dapat digunakan untuk memperkirakan risiko mortalitas atau infark miokard berulang pada saat perawatan di rumah sakit dan 6 bulan pasca dipulangkan dari rumah sakit. Kekuatan stratifikasi prognostik parameter ekokardiografi lebih bermakna bila dibandingkan dengan skor klinis yang telah banyak direkomendasikan, contohnya skor TIMI dan GRACE. Pada kondisi IMA, direkomendasikan untuk melakukan

25 pemeriksaan ekokardiografi transthorakal dalam jam pertama.(bedetti dkk., 2010, Flachskampf dkk., 2011). Berdasarkan berbagai penelitian, sudah terbukti bahwa prognosis setelah kejadian IMA sangat berhubungan dengan derajat disfungsi ventrikel kiri yang terjadi. Fungsi ventrikel kiri biasanya digambarkan dengan fraksi ejeksi (ejection fraction/ef). Pengukuran EF menggunakan metode M-mode secara linear kurang reliabel bila dilakukan pada kondisi kontraksi ventrikel kiri yang asimetris akibat abnormalitas gerakan dinding jantung regional yang sering terjadi setelah IMA. Pengukuran EF menggunakan metode biplane dua dimensi dapat digunakan pada kasus kontraktilitas ventrikel kiri yang asimetris, namun metode tersebut membutuhkan kualitas gambar yang baik untuk dapat mengidentifikasi tepian endokardial secara adekuat (Nammas & El-Okda, 2012). Pemendekan longitudinal ventrikel kiri merupakan suatu komponen yang penting dalam fungsi pompa jantung. Pada fase sistolik, annulus katup mitral bergerak menuju apeks jantung yang relatif tidak bergerak (Manouras dkk., 2009). Komponen tersebut dapat dievaluasi dengan pengukuran pada long-axis, M-mode derived, Mitral Annular Plane Systolic Excursion (MAPSE) (Hu dkk., 2013a). MAPSE dapat menggambarkan fungsi longitudinal ventrikel kiri secara global, walaupun terdapat kontraksi ventrikel kiri yang asimetris pada IMA. Hal tersebut disebabkan karena MAPSE diukur pada empat area yang berbeda pada ventrikel kiri, yaitu regio septal, lateral, anterior, dan inferior. Pemeriksaan MAPSE juga tidak memerlukan kualitas gambar yang baik, karena sifat bidang atrioventrikular yang sangat echogenik, sehingga pemeriksaan dapat dilakukan dengan cepat pada

26 kondisi gawat darurat. Penelitian yang dilakukan oleh Nammas & El-Okda menunjukkan bahwa nilai MAPSE < 10 mm yang diukur dalam waktu 24 jam setelah masuk rumah sakit akibat STEMI dapat digunakan untuk memprediksi kejadian kardiovaskular mayor pada saat perawatan di rumah sakit dengan sensitivitas 72,7%, spesifisitas 91,5%, nilai prediktif negatif 91,5%, dan nilai prediktif positif 72,7% (Nammas & El-Okda, 2012). Penilaian fungsional pada ventrikel kanan lebih sulit dilakukan dibandingkan pada ventrikel kiri, karena ventrikel kanan memiliki bentuk yang lebih kompleks. Walaupun sudah terdapat teknik terbaru untuk menilai fungsi ventrikel kanan seperti ekokardiografi tiga dimensi dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) kardiak, dibutuhkan keahlian dan biaya yang tinggi untuk memanfaatkan modalitas tersebut, sehingga tidak praktis untuk dilakukan pada kondisi gawat darurat. Pergerakan annulus katup trikuspid yang dinilai menggunakan M-mode, yang disebut juga dengan Tricuspid Annular Plane Systolic Excursion (TAPSE) merupakan metode yang sederhana dan digunakan secara luas untuk menilai fungsi ventrikel kanan menggunakan pemeriksaan ekokardiografi transthorakal. Penelitian yang dilakukan oleh Lossnitzer dkk. juga menunjukkan adanya korelasi yang baik antara nilai TAPSE dan EF ventrikel kanan yang diukur menggunakan MRI (r= 0,52; p <0,001) (Bruhl dkk., 2011, Lossnitzer dkk., 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Lamia dkk. memperoleh hasil bahwa penurunan TAPSE juga berhubungan dengan prognosis buruk pada pasien-pasien dengan penyakit jantung iskemik, hipertensi pulmonal, dan gagal jantung (Lamia dkk., 2007).

27 Sebuah penelitian eksperimental menunjukkan bahwa fungsi ventrikel kanan dipengaruhi oleh fungsi kontraktilitas septum ventrikel kiri yang ditransmisikan melalui interaksi sistolik ventrikel. Berdasarkan studi tersebut, diketahui bahwa septum intraventrikuler, yang telah lama dianggap sebagai bagian fungsional dari ventrikel kiri, sebenarnya berkontribusi terhadap fungsi sistolik kedua ventrikel. Terdapat istilah ventricle interdependence yang mendeskripsikan suatu konsep bahwa bentuk, ukuran, dan komplians dari salah satu ventrikel dapat mempengaruhi bentuk, ukuran, dan hubungan tekanan-volume pada ventrikel yang lain melalui interaksi mekanik secara langsung (Haddad dkk., 2008, Lamia dkk., 2007). Penelitian GISSI-3 echo substudy yang dilakukan oleh Popescu dkk. juga menunjukkan bahwa nilai TAPSE lebih rendah secara signifikan pada pasien dengan EF ventrikel kiri <45% dibandingkan pasien dengan EF ventrikel kiri 45% yang diukur dalam jam pertama pasca kejadian IMA (Popescu dkk., 2005). Penelitian yang dilakukan oleh Hayrapetyan dkk. menunjukkan bahwa penilaian fungsi sistolik ventrikel kanan yang ditunjukkan dengan nilai TAPSE bila dikombinasikan dengan penilaian fungsi sistolik ventrikel kiri yang ditunjukkan dengan nilai Myocardial Performance Index (MPI) dapat menambah nilai prognostik untuk memprediksi luaran pada pasien STEMI dibandingkan dengan hanya memeriksa hanya salah satu parameter saja (Hayrapetyan dkk., 2014). Berdasarkan latar belakang yang sudah dipaparkan diatas, akan dilakukan penelitian mengenai peranan nilai MAPSE dan TAPSE yang rendah sebagai prediktor kejadian kardiovaskular mayor pada pasien IMA selama perawatan di

28 rumah sakit. Penelitian ini dilakukan karena belum terdapat studi yang meneliti penurunan fungsi ventrikel kiri dan kanan yang ditunjukkan oleh nilai MAPSE dan TAPSE yang rendah sebagai prediktor kejadian kardiovaskular mayor pada populasi pasien IMA sebagai satu entitas klinis. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan rangkuman konsep diatas, maka dapat disusun rumusan masalah sebagai berikut: Apakah nilai MAPSE yang rendah merupakan prediktor kejadian kardiovaskular mayor saat perawatan di rumah sakit pada pasien IMA? Apakah nilai TAPSE yang rendah merupakan prediktor kejadian kardiovaskular mayor saat perawatan di rumah sakit pada pasien IMA? Apakah gabungan nilai MAPSE yang rendah dan nilai TAPSE yang rendah merupakan prediktor kejadian kardiovaskular mayor saat perawatan di rumah sakit pada pasien IMA? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan Umum Untuk mengetahui nilai MAPSE dan nilai TAPSE yang rendah, serta gabungan nilai MAPSE yang rendah dan nilai TAPSE yang rendah sebagai prediktor kejadian kardiovaskular mayor saat perawatan di rumah sakit pada pasien IMA Tujuan Khusus Mengetahui nilai MAPSE yang rendah sebagai prediktor kejadian kardiovaskular mayor saat perawatan di rumah sakit pada pasien IMA.

29 Mengetahui nilai TAPSE yang rendah sebagai prediktor kejadian kardiovaskular mayor saat perawatan di rumah sakit pada pasien IMA Mengetahui gabungan nilai MAPSE yang rendah dan nilai TAPSE yang rendah sebagai prediktor kejadian kardiovaskular mayor saat perawatan di rumah sakit pada pasien IMA. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat Akademik/Ilmiah Jika pada penelitian ini terbukti bahwa nilai MAPSE dan nilai TAPSE yang rendah, serta gabungan keduanya merupakan prediktor kejadian kardiovaskular mayor saat perawatan di rumah sakit pada pasien IMA, maka penelitian ini dapat memberikan kontribusi ilmiah berkaitan: Sebagai data dasar dan sebagai pedoman stratifikasi risiko pasien IMA Sebagai dasar untuk memperkaya bukti ilmiah mengenai penggunaan nilai MAPSE dan nilai TAPSE yang rendah untuk memprediksi prognosis pasien IMA Manfaat Praktis Memberikan kontribusi berkaitan dengan penggunaan nilai MAPSE dan nilai TAPSE sebagai parameter ekokardiografi yang sederhana untuk stratifikasi risiko kejadian kardiovaskular mayor pada pasien IMA.

30 2.1 Definisi Infark Miokard Akut BAB II KAJIAN PUSTAKA Definisi infark miokard adalah kematian sel miokard yang disebabkan oleh kondisi iskemia yang berkepanjangan. Dengan menggunakan mikroskop, infark miokard dapat dikategorikan sebagai suatu proses nekrosis koagulasi. Pada eksperimen hewan, kematian sel dapat terjadi dalam waktu 20 menit setelah oklusi pada arteri koroner, namun penyelesaian proses infark dapat membutuhkan waktu hingga 2-4 jam. Adanya sirkulasi kolateral atau kondisi oklusi intermiten pada arteri koroner dengan lesi culprit dapat menyebabkan pemanjangan proses infark miokard (Senter & Francis, 2009). Konsensus internasional saat ini menyatakan bahwa istilah IMA dapat digunakan bila terdapat bukti adanya nekrosis miokard pada kondisi klinis yang konsisten dengan iskemia miokard. Definisi universal IMA dapat dilihat pada tabel 2.1 (Steg dkk., 2012). Tabel 2.1 Definisi Universal IMA (Steg dkk., 2012) 1. Deteksi adanya kenaikan dan/atau penurunan nilai biomarker kardiak (terutama troponin) dengan minimal satu nilai diatas persentil 99 dari batas atas nilai referensi ditambah minimal salah satu dari kriteria dibawah ini: - Gejala-gejala iskemia. - Perubahan segmen ST-T yang baru/diperkirakan baru atau LBBB baru. - Perubahan gelombang Q patologis pada Elektrokardiografi (EKG). - Bukti pada pemeriksaan pencitraan bahwa terdapat hilangnya area miokard viabel yang baru, atau abnormalitas regional pada dinding miokard yang baru. - Identifikasi thrombus intrakoroner menggunakan pemeriksaan angiografi atau otopsi. 2. Kematian kardiak dengan gejala yang mengarah kepada iskemia miokard dan terdapat perubahan EKG yang diduga baru atau LBBB baru, namun

31 kematian terjadi sebelum terdapat nilai biomarker jantung dalam darah atau sebelum nilai biomarker jantung mengalami peningkatan. 3. Thrombosis pada stent yang berhubungan dengan infark miokard yang terdeteksi menggunakan angiografi koroner atau otopsi pada kondisi iskemia miokard disertai peningkatan dan/atau penurunan nilai biomarker jantung dengan minimal satu nilai diatas persentil 99 dari batas atas nilai referensi. 2.2 Patofisiologi Infark Miokard Akut Definisi infark merupakan kematian jaringan yang disebabkan oleh kondisi iskemia. IMA terjadi bila area iskemia miokard yang terlokalisir menyebabkan terbentuknya area nekrosis. Hampir seluruh kasus IMA disebabkan oleh proses atherosklerosis yang berhubungan dengan thrombosis pada arteri koroner. Pada kondisi ruptur plak atherosklerosis, terjadi proses aktivasi dan agregasi platelet, pengeluaran thrombin, dan pada akhirnya menyebabkan pembentukan thrombus. Adanya thrombus akan menyebabkan terganggunya aliran darah koroner sehingga terjadi ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen. Kondisi ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen yang berat dan persisten akan menyebabkan terjadinya nekrosis miokardial. Bila terbentuk thrombus yang bersifat oklusif akan terjadi STEMI, sedangkan bila thrombus yang terbentuk tidak bersifat oklusif akan terjadi NSTEMI atau UAP (Antman & Braunwald, 2007, Aaronson dkk., 2012, Topol & Werf, 2007).

32 Gambar 2.1 Patofisiologi IMA (Aaronson dkk., 2012) Iskemia yang berat dan berkepanjangan menyebabkan terbentuknya area nekrosis yang mencakup seluruh ketebalan dinding miokard, yang disebut juga dengan infark transmural. Iskemia yang tidak terlalu berat namun berkepanjangan dapat terjadi pada kondisi-kondisi tertentu, antara lain: 1) Oklusi arteri koroner yang diikuti oleh reperfusi spontan; 2) Infarct-related artery yang tidak teroklusi secara komplet; 3) Oklusi arteri koroner terjadi secara komplet, namun terdapat suplai aliran darah dari kolateral sehingga mencegah terjadinya iskemia yang komplet; 4) Kebutuhan oksigen pada area miokardium yang terkena tidak terlalu besar. (Aaronson dkk., 2012).

33 Pada area miokard, baik yang terjadi infark maupun tidak akan mengalami perubahan-perubahan yang progresif dalam waktu beberapa jam, hari, dan minggu setelah terjadinya thrombosis pada arteri koroner. Perubahan makroskopis pada miokardium sulit untuk diidentifikasi hingga 6-12 jam setelah onset nekrosis. Pada awalnya, miokardium di area yang mengalami infark akan tampak pucat dan sedikit membengkak. Dalam waktu 18 hingga 36 jam pasca infark, miokardium akan berwarna cokelat atau merah keunguan dengan eksudat serofibrin yang terdapat di miokardium pada kondisi infark transmural. Perubahan tersebut akan bertahan dalam waktu 48 jam, setelah itu area infark akan menjadi berwarna abuabu dengan garis-garis halus kekuningan akibat infiltrasi neutrofil pada bagian perifernya (Antman & Braunwald, 2007, Aaronson dkk., 2012). 2.3 Klasifikasi Klinis pada Infark Miokard Akut Untuk menentukan strategi penatalaksanaan segera pada kondisi IMA, contohnya terapi reperfusi, biasanya dilakukan klasifikasi IMA dengan menggunakan kriteria EKG. STEMI didefinisikan sebagai pasien dengan nyeri dada atau gejala iskemik yang lain serta terdapat elevasi segmen ST pada dua sadapan yang berhubungan, dengan kriteria elevasi segmen ST 0,2 mv pada sadapan V2-V3 (pada pria); 0,15 mv pada sadapan V2-V3 (pada wanita); dan 0,1 mv pada sadapan yang lain. Di lain pihak, pasien dengan gejala iskemik dan peningkatan biomarker namun tanpa adanya elevasi segmen ST digolongkan sebagai penderita NSTEMI. Klasifikasi tersebut berguna secara klinis, karena pasien dengan STEMI biasanya akan langsung dirujuk ke laboratorium kateterisasi atau diberikan terapi fibrinolitik untuk tujuan revaskularisasi segera,

34 sedangkan perujukan pasien dengan NSTEMI ke laboratorium kateterisasi biasanya tidak terlalu mendesak dan tergantung dari skor stratifikasi risiko yang berhubungan (Thygesen dkk., 2012, Senter & Francis, 2009). 2.4 Diagnosis Infark Miokard Akut IMA merupakan suatu sindrom klinis yang membutuhkan penilaian parameter subjektif dan objektif untuk dapat menegakkan diagnosis. Diagnosis IMA harus dibuat dengan cepat dan akurat, agar dapat dilakukan penatalaksanaan yang optimal. Evaluasi awal yang dilakukan pada pasien yang diduga menderita IMA sebaiknya meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik yang terarah, pemeriksaan EKG, dan pemeriksaan biomarker kardiak (Panjrath dkk., 2008). Gejala klasik IMA adalah nyeri dada retrosternal dengan kualitas tumpul dan intensitas yang berat, dapat menjalar ke rahang, leher, bahu, punggung, atau kedua tangan. Keluhan pada saluran pencernaan seperti mual dan muntah dapat terjadi pada IMA inferior. Pasien juga dapat mengeluhkan keringat dingin yang menyertai keluhan nyeri dada. Adanya faktor risiko, seperti merokok, peningkatan kadar kolesterol, Diabetes Melitus (DM), hipertensi, dan riwayat keluarga merupakan faktor suportif yang dapat meningkatkan kecurigaan akan kondisi IMA (Topol & Werf, 2007, Antman & Braunwald, 2007). Pemeriksaan EKG 12 sadapan harus dilakukan secepat mungkin pada pasien yang diduga menderita IMA untuk menegakan diagnosis. Adanya perubahan gelombang T yang tinggi dan hiperakut merupakan manifestasi pertama dari oklusi arteri koroner yang akut. Adanya elevasi segmen ST pada gambaran EKG menunjukkan suatu STEMI, sedangkan adanya depresi segmen ST atau inversi

35 gelombang T dapat menunjukkan suatu NSTEMI atau UAP. Pasien dengan EKG yang normal namun dengan gejala yang sugestif terhadap IMA sebaiknya menjalani observasi dengan durasi yang lebih lama untuk memperoleh EKG serial atau pemeriksaan lebih lanjut (Topol & Werf, 2007). Biomarker jantung merupakan salah satu komponen yang penting pada evaluasi awal pasien-pasien yang diduga menderita IMA. Biomarker jantung merupakan makromolekul intraseluler yang dikeluarkan menuju sirkulasi akibat jejas pada miokardial, sehingga dapat terdeteksi di darah tepi. Marker tersebut akan dikeluarkan dengan cepat menuju darah setelah episode IMA, sehingga konsentrasi biomarker pada plasma biasanya berhubungan dengan luasnya area infark. Biomarker jantung yang sering digunakan untuk evaluasi pasien-pasien dengan kecurigaan IMA adalah CK-MB dan Troponin (I dan T). CK-MB merupakan salah satu dari tiga isoenzim Creatine Kinase (CK). CK terdiri dari dua subunit, yaitu B yang paling banyak terdapat pada jaringan otak dan M yang paling banyak terdapat di jaringan otot. Kombinasi dari kedua subunit tersebut akan menghasilkan tiga isoenzim CK, yaitu CK-BB, CK-MB, dan CK-MM. CK- MB akan terdeteksi di sirkulasi dalam waktu 4-6 jam setelah onset IMA, mencapai puncak dalam waktu jam, dan kembali ke kadar baseline dalam 2-3 hari. Pada kondisi IMA, kadar CK-MB biasanya meningkat kali lipat dari nilai normal. Troponin T dan troponin I merupakan marker yang sangat spesifik untuk suatu jejas pada miokardial. Kadar troponin biasanya terdeteksi dalam waktu 4-6 jam setelah onset IMA. Pada kasus IMA, troponin biasanya meningkat kali nilai normal. Peningkatan troponin juga dapat terjadi pada

36 kondisi klinis yang lain. Oleh karena itu, peningkatan kadar troponin harus selalu diinterpretasikan berdasarkan konteks situasi klinis. Bila hasil biomarker jantung tidak mengalami peningkatan pada sampel darah yang pertama, dapat dilakukan pemeriksaan serial dalam waktu 6-9 jam dan setelah jam (Panjrath dkk., 2008, Katritsis dkk., 2013, Daga dkk., 2011). Gambar 2.2 Waktu Peningkatan Biomarker setelah Onset IMA (Antman & Braunwald, 2007) 2.5 Stratifikasi Risiko pada Infark Miokard Akut Panduan yang dikeluarkan oleh ACC/AHA dan ESC mengenai SKA telah merekomendasikan stratifikasi risiko secara dini dengan menggunakan berbagai skor risiko klinis untuk mengidentifikasi kelompok-kelompok pasien dengan risiko tinggi. Semua skor risiko yang telah tersedia, seperti skor TIMI dan GRACE memiliki nilai prediktif yang relatif tinggi terhadap mortalitas saat perawatan di rumah sakit serta dalam waktu 1 dan 12 bulan. Stratifikasi risiko

37 yang akurat sangat penting untuk evaluasi pasien dengan SKA untuk pengambilan keputusan yang sesuai mengenai pemilihan tempat dan tingkat perawatan, kebutuhan akan intervensi terapeutik, serta lama rawat. Secara umum, pasien yang memiliki faktor risiko multipel untuk menderita IMA, usia tua, angina pada saat istirahat, terdapat riwayat tindakan revaskularisasi sebelumnya, terdapat perubahan segmen ST-T yang dinamis, serta peningkatan biomarker jantung yang mengindikasikan adanya nekrosis miokardial termasuk dalam kelompok pasien berisiko tinggi (Bedetti dkk., 2010, Daga dkk., 2011). 2.6 Komplikasi pada Infark Miokard Akut Sebagian besar mortalitas yang disebabkan oleh IMA merupakan akibat dari perubahan-perubahan patofisiologi yang terjadi pada kondisi IMA. Tingginya angka komplikasi akibat IMA menyebabkan dibutuhkannya penegakkan diagnosis segera dan penatalaksanaan yang agresif untuk mengurangi angka morbiditas dan mortalitas. Komplikasi yang dapat disebabkan oleh IMA secara umum dapat diklasifikasikan menjadi komplikasi mekanik, aritmia, iskemik, inflamasi, dan embolik. Disfungsi ventrikel kiri yang menyebabkan kegagalan pompa jantung merupakan prediktor mortalitas terpenting pada pasien IMA. Definisi dari kegagalan pompa jantung merupakan kondisi dimana curah jantung tidak mencukupi untuk perfusi berbagai organ tubuh karena adanya disfungsi kontraktilitas ventrikel kiri yang akut akibat IMA. Syok kardiogenik didefinisikan sebagai penurunan tekanan darah arteri disertai hipoperfusi jaringan (Nonogi, 2002). Angka mortalitas dalam 30 hari pada pasien IMA dengan syok kardiogenik pada penelitian GUSTO I adalah 58%. Komplikasi iskemik yang sering terjadi

38 pada pasien IMA adalah angina pasca infark. Mekanisme patofisiologi yang mendasari terjadinya angina pasca infark adalah adanya ruptur pada plak atherosklerosis. Pasien IMA dengan komplikasi angina pasca infark memiliki prognosis yang lebih buruk untuk terjadinya kematian mendadak dan reinfark. Komplikasi lain yang juga dapat terjadi pada pasien IMA adalah aritmia. Mekanisme utama yang mendasari terjadinya aritmia pada pasien IMA adalah reentry yang disebabkan oleh inhomogenitas elektrik pada miokardium yang mengalami iskemik. Aritmia juga dapat disebabkan oleh reperfusi akibat proses washout dari berbagai substansi seperti laktat, kalium, dan substansi metabolik toksik yang sebelumnya berakumulasi pada zona iskemik. (Mullasari dkk., 2011). 2.7 Fungsi Sistolik Ventrikel yang Normal Ventrikel kanan dan kiri memiliki korelasi yang erat karena dihubungkan dengan septum interventrikular yang terutama berfungsi sebagai bagian ventrikel kiri pada jantung yang normal. Selain itu, ventrikel kanan dan kiri juga diselubungi oleh satu perikardium (Bluzaitė dkk., 2012). Terdapat istilah ventricle interdependence yang mendeskripsikan suatu konsep bahwa bentuk, ukuran, dan komplians dari salah satu ventrikel dapat mempengaruhi bentuk, ukuran, dan hubungan tekanan-volume pada ventrikel yang lain melalui interaksi mekanik secara langsung (Haddad dkk., 2008). Perbedaan antara ventrikel kanan dan kiri tidak hanya meliputi perbedaan bentuk dan ketebalan, namun juga termasuk adanya perbedaan konsentrasi dan orientasi miofibril jantung. Hal tersebut menyebabkan terjadinya perbedaan yang kompleks dalam cara masing-masing ventrikel mengejeksikan darah (Bruhl dkk., 2011).

39 Kemampuan memompa pada ventrikel kiri dipengaruhi oleh performa diastolik (kemampuan ventrikel kiri untuk terisi darah) dan performa sistolik (kemampuan ventrikel kiri untuk mengejeksikan darah). Kontraktilitas miokard merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi performa sistolik ventrikel kiri secara signifikan. Faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi performa sistolik ventrikel kiri adalah beban jantung dan konfigurasi ventrikel (Fukuta & Little, 2008). Proses kontraksi ventrikel kanan berjalan secara sekuensial, dimulai dari kontraksi bagian inlet dan miokardium yang bertrabekulasi, dan diakhiri dengan kontraksi infundibulum. Kontraksi ventrikel kanan dapat terjadi akibat 3 mekanisme yang terpisah, antara lain: (1) Pergerakan dinding bebas ventrikel kanan ke arah dalam yang menghasilkan bellows effect, (2) Kontraksi serat-serat longitudinal yang menyebabkan pemendekan aksis panjang jantung dan menarik annulus katup trikuspid menuju apeks, dan (3) Traksi dinding bebas ventrikel kanan akibat kontraksi ventrikel kiri. Pemendekan ventrikel kanan lebih signifikan secara longitudinal dibandingkan dengan radial. Berbeda dengan ventrikel kiri, pergerakan rotasional tidak berkontribusi secara signifikan terhadap kontraksi ventrikel kanan (Haddad dkk., 2008). 2.8 Fungsi Sistolik Ventrikel Kiri setelah Infark Miokard Akut Perubahan patofisiologi utama yang mendasari terjadinya disfungsi ventrikel kiri pada kondisi IMA adalah terjadinya kehilangan segmen-segmen fungsional pada miokardium. Derajat penurunan fungsi jantung pada infark miokard berhubungan secara langsung dengan luas kerusakan pada ventrikel kiri (Alam,

40 1991). Pada fase akut dari infark miokard, terjadi perubahan yang cepat pada fungsi ventrikel kiri yang dipengaruhi oleh luas dan reversibilitas kondisi iskemia, penggunaan terapi reperfusi, adanya edema, luasnya peregangan miokardial pasif, beban pada miokardial, dan faktor-faktor lain. Area yang mengalami infark akan meluas dalam waktu beberapa detik sejak onset iskemia. Selama beberapa jam sampai beberapa hari berikutnya, terjadi perluasan area infark di subendokardial, proses tersebut disebut dengan ekspansi infark. Sebagai respon terhadap hilangnya jaringan kontraktil secara bermakna, akan terjadi area hiperkinesia dan dilatasi pada ventrikel kiri dalam hitungan hari hingga minggu. Proses tersebut, yang diikuti dengan adanya regurgitasi katup mitral akibat proses dilatasi ventrikel dan diikuti oleh perubahan-perubahan biokimia dan neuroendokrin yang kompleks, merupakan inti dari suatu siklus yang disebut dengan remodelling infark. Tujuan pemeriksaan pencitraan pada IMA adalah menilai fungsi sistolik ventrikel kiri secara segmental dan global, adanya pembentukan thrombus intrakavitas, dan komplikasi mekanik lain akibat IMA Oleh karena itu, pada kondisi IMA, direkomendasikan untuk melakukan pemeriksaan ekokardiografi dalam waktu jam pertama (Flachskampf dkk., 2011). 2.9 Fungsi Sistolik Ventrikel Kanan setelah Infark Miokard Akut Pada kondisi IMA sering ditemukan adanya keterlibatan ventrikel kanan, dan paling sering berhubungan dengan infark miokard inferior. Disfungsi ventrikel kanan dapat ditemukan pada sepertiga pasien yang menderita infark miokard inferior (Bluzaitė dkk., 2012). Pada infark miokard akut di ventrikel kanan, pola disfungsi segmental yang terjadi tergantung pada arteri culprit. Pada keterlibatan

41 arteri koroner kanan (right coronary artery/rca) proksimal terhadap cabang marginal (pada sistem arteri koroner yang dominan kanan), dapat terlihat hipokinesis segmenal pada dinding lateral dan inferior. Pada keterlibatan arteri posterior desenden, dapat terlihat hipokinesis pada segmen inferior. Pada infark miokard anterior yang melibatkan arteri koroner left anterior descending (LAD), biasanya terdapat hipokinesis ventrikel kanan yang terbatas pada dinding anterior (Haddad dkk., 2008). Penurunan fungsi ventrikel kanan tidak hanya ditemukan pada kondisi infark miokard inferior, namun juga pada kondisi infark miokard akut di area yang lain. Hal tersebut disebabkan karena ventrikel kanan dan kiri tidak hanya terhubung secara anatomis, namun tergantung secara fungsional satu sama lain. Selama irama sinus normal, tegangan yang dihasilkan oleh kontraksi ventrikel kiri dan peningkatan gradien tekanan transseptal dari kiri kekanan pada saat fase sistolik berkontribusi terhadap fungsi sistolik ventrikel kanan. Hal tersebut dapat menjelaskan kausa terjadinya penurunan fungsi sistolik ventrikel kanan pada pasien-pasien dengan IMA anterior pada penelitian yang dilakukan oleh Karakurt & Akdemir (Karakurt & Akdemir, 2009). Pada penelitian yang dilakukan oleh Moller dkk., didapatkan bahwa pada kondisi IMA, fungsi ventrikel kanan berhubungan secara signifikan dengan fungsi ventrikel kiri. Pada penelitian tersebut juga diperoleh korelasi yang lemah antara Myocardial Performance Index (MPI) pada ventrikel kanan dengan Wall Motion Score Index (WMSI) global pada ventrikel kiri. (Moller dkk., 2001).

42 Terdapat beberapa bukti bahwa disfungsi ventrikel kanan berhubungan dengan prognosis yang buruk pada pasien-pasien pasca IMA yang disertai dengan disfungsi ventrikel kiri yang sedang hingga berat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Antoni dkk., diperoleh bahwa selain berdasarkan karakteristik klinis dan pengukuran fungsi ventrikel kiri menggunakan pemeriksaan ekokardiografi, fungsi ventrikel kanan dapat digunakan untuk memprediksi luaran yang buruk pada pasien pasca IMA secara signifikan. Selain itu, didapatkan nilai TAPSE yang lebih rendah secara bermakna pada pasien-pasien IMA yang mengalami disfungsi ventrikel kiri dibandingkan dengan tanpa disfungsi ventrikel kiri (Antoni dkk., 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Bedetti dkk. juga menunjukkan bahwa pergerakan katup trikuspid pada fase sistolik dapat memberikan informasi prognostik yang signifikan bila dilakukan bersamaan dengan evaluasi fungsi ventrikel kiri dan memiliki nilai prediktif yang kuat pada pasien-pasien dengan SKA (Bedetti dkk., 2010) Parameter Ekokardiografi untuk Stratifikasi Risiko pada Infark Miokard Akut Pada fase akut dari infark miokard, pemeriksaan ekokardiografi harus dilakukan secepat mungkin untuk menilai fungsi regional dan global ventrikel kiri dan kanan serta untuk menyingkirkan kemungkinan adanya suatu komplikasi mekanik. Pemeriksaan ekokardiografi segera juga diindikasikan pada pasien yang mengalami perburukan kondisi secara mendadak, hipotensi atau syok, gagal jantung akut, serta murmur yang baru. Pemeriksaan ekokardiografi juga dapat digunakan untuk stratifikasi risiko dan menentukan penatalaksanaan pada pasien

43 dengan IMA (Flachskampf dkk., 2011). Ekokardiografi merupakan pemeriksaan yang paling sederhana, murah, tidak membutuhkan banyak waktu pengerjaan, dan tersedia secara luas (Brand dkk., 2002). Berdasarkan berbagai penelitian, ekokardiografi merupakan pemeriksaan yang mudah untuk dilakukan dan diinterpretasikan dalam situasi klinis dan efektif untuk stratifikasi risiko pasienpasien IMA. Parameter-parameter ekokardiografi dapat digunakan untuk memperkirakan risiko mortalitas atau infark miokard berulang pada saat perawatan di rumah sakit dan 6 bulan pasca dipulangkan dari rumah sakit. Kekuatan stratifikasi prognostik parameter ekokardiografi lebih bermakna bila dibandingkan dengan skor klinis yang telah banyak direkomendasikan, contohnya skor TIMI dan GRACE (Bedetti dkk., 2010). Panduan mengenai SKA telah merekomendasikan agar pemeriksaan ekokardiografi dikerjakan secara rutin di unit gawat darurat untuk memperoleh diagnostik banding pada pasien-pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada dan untuk stratifikasi risiko pasien-pasien dengan SKA. Banyak parameter ekokardiografi yang diketahui berhubungan dengan prognosis pasien IMA, salah satunya adalah fungsi sistolik ventrikel kiri. Prognosis pasien setelah IMA sangat berhubungan dengan fungsi sistolik ventrikel kiri. Fungsi sistolik ventrikel kiri paling sering dinyatakan dengan EF dan dapat diukur menggunakan pemeriksaan radionuclide ventriculography, contrast cineangiography, dan ekokardiografi. Adanya nilai EF ventrikel kiri yang 40% diketahui berhubungan dengan prognosis yang buruk. Adanya regurgitasi katup mitral yang teridentifikasi dari

44 pemeriksaan ekokardiografi pada fase awal IMA berhubungan dengan prognosis yang buruk (Bedetti dkk., 2010). Pemeriksaan ekokardiografi transthorakal merupakan salah satu pemeriksaan pencitraan yang paling sering digunakan untuk menilai fungsi sistolik ventrikel kiri. Beberapa teknik ekokardiografi dapat digunakan untuk mengevaluasi fungsi global ventrikel kiri. Semua metode untuk menilai EF memerlukan operator yang berpengalaman, merupakan pemeriksaan yang subjektif dan mudah untuk terjadi variabilitas interobserver (Matos dkk., 2012). Pengukuran fractional shortening (FS) dan teknik Teichholtz memberikan hasil yang tidak reliabel bila terdapat kontraksi ventrikel kiri yang asimetris. Pengukuran EF dengan menggunakan ekokardiografi dua dimensi dapat mentoleransi kontraktilitas yang asimetris, namun membutuhkan gambaran tepi endokardial yang adekuat dan kualitas gambar yang baik, yang tidak dapat diperoleh pada semua pasien serta memerlukan operator yang berpengalaman untuk pengerjaannya (Brand dkk., 2002). Parameter ekokardiografi lain yang juga memiliki nilai prognostik yang independen terhadap mortalitas dan perawatan di rumah sakit lanjutan akibat kondisi gagal jantung adalah WMSI. WMSI merupakan rerata dari skor pergerakan dinding jantung yang dihitung pada seluruh segmen dinding ventrikel kiri. Skor 1 melambangkan nomokinesia, skor 2 untuk hipokinesia, skor 3 untuk akinesia, dan skor 4 untuk diskinesia. Oleh karena itu, ventrikel kiri yang normal memiliki nilai WMSI 1, dan nilai yang lebih tinggi menunjukkan bahwa telah terjadi abnormalitas. Fungsi diastolik juga diketahui berpengaruh terhadap terapi

45 dan diagnosis setelah IMA. Adanya komplikasi mekanik yang ditimbulkan oleh kondisi IMA seperti regurgitasi katup mitral akibat iskemik dan ruptur pada dinding jantung juga berhubungan dengan prognosis yang buruk (Flachskampf dkk., 2011) Mitral Annular Plane Systolic Excursion (MAPSE) Annulus katup mitral merupakan suatu komponen yang penting, dinamis, dan komponen yang menghubungkan kompleks katup mitral, atrium kiri, dan ventrikel kiri. Annulus katup mitral berfungsi untuk membantu penutupan katup serta pengisian ventrikel kiri secara efektif dan efisien. Annulus katup mitral memiliki bentuk dan pergerakan yang kompleks, dan pergerakannya diketahui berhubungan dengan fungsi ventrikel kiri. Terdapat beberapa pemeriksaan pencitraan yang dapat digunakan untuk mengevaluasi area dan dinamika annulus katup mitral, contohnya MRI dan ekokardiografi dua dimensi (Elnoamany & Abdelhameed, 2006). MAPSE, atau yang sering disebut juga dengan Mitral Annulus Excursion (MAE), left Atrioventricular Plane Displacement (APVD), atau mitral ring displacement merupakan suatu parameter ekokardiografi yang berguna untuk menilai fungsi longitudinal ventrikel kiri secara klinis dan memiliki korelasi yang baik dengan fungsi sistolik global pada ventrikel kiri (Bergenzaun dkk., 2013). MAPSE pertama kali diukur pada tahun 1967 oleh Zaky dkk. yang mendeskripsikan suatu curve contour pada pemeriksaan ekokardiografi M-mode melalui annulus katup mitral. Mereka menemukan adanya deviasi dari nilai

46 normal pada pergerakan annulus katup mitral pasien dengan kelainan jantung (Zaky dkk., 1967). MAPSE dapat diukur pada sebagian besar pasien tanpa membutuhkan kualitas gambar yang baik, karena annulus katup atrioventrikular memiliki ekogenitas yang tinggi (Hu dkk., 2013b). Oleh karena itu, pengukuran MAPSE dapat membantu untuk mengevaluasi fungsi sistolik ventrikel kiri pada kasus dengan sonographic window yang buruk. Studi klinis sebelumnya menunjukkan bahwa MAPSE yang menggambarkan pergeseran annulus katup mitral saat fase sistolik merupakan suatu parameter yang sensitif untuk menentukan abnormalitas ringan pada pasien-pasien dengan penyakit kardiovaskular stadium awal (Hu dkk., 2013a). Hal tersebut disebabkan karena pada kondisi patologis, contohnya iskemia atau hipertrofi miokardial, fungsi longitudinal ventrikel kiri dipengaruhi lebih awal dibandingkan komponen yang lain, yang bahkan dapat mengalami peningkatan akibat proses kompensasi (Elnoamany & Abdelhameed, 2006) Gambar 2.3 Cara Pengukuran MAPSE melalui Apical-four Chamber View (Hu dkk., 2013a)

47 Pengukuran MAPSE dilakukan dengan menggunakan ekokardiografi M- mode pada apical view. MAPSE dapat diukur dari empat area pada bidang atrioventrikular yang berhubungan dengan dinding septal, lateral, anterior, dan posterior menggunakan apical four-chamber dan two-chamber view dengan ekokardiografi M-mode. Kursor M-mode harus selalu diletakkan paralel terhadap dinding ventrikel kiri. MAPSE harus diukur dari titik terendah pada akhir diastolik hingga penutupan katup aorta (dapat diperoleh pada akhir gelombang T pada elektrokardiogram). Pada umumnya, pengukuran MAPSE harus dilakukan dari annulus katup septal dan lateral (Hu dkk., 2013a) MAPSE menunjukkan nilai pergeseran bidang annulus katup mitral menuju apeks, sehingga dapat menilai perubahan global dalam ukuran kavitas ventrikel kiri (searah long axis). Oleh karena itu, MAPSE dapat diinterpretasikan sebagai perubahan volume pada saat ejeksi serta ditunjukkan memiliki hubungan yang signifikan terhadap long-axis shortening dan ejection fraction (EF) pada berbagai kelompok pasien dengan fungsi ventrikel kiri yang normal atau menurun. Rerata nilai normal MAPSE yang diperoleh dari penelitian-penelitian sebelumnya untuk empat regio annulus (septal, anterior, lateral, dan posterior) berkisar antara 12 dan 15 mm, dan nilai MAPSE <8 mm berhubungan dengan LVEF yang menurun (<50%) dengan spesifisitas 82% dan sensitivitas 98%. Rerata nilai MAPSE 10 mm berhubungan dengan EF yang normal ( 55% dengan sensitivitas 90-92% dan spesifisitas 87%. Selain itu, rerata nilai MAPSE <7 mm dapat digunakan untuk mendeteksi nilai EF <30% dengan sensitivitas 92% dan spesifisitas 67% pada pasien kardiomiopati dilatasi dengan gagal jantung kongestif berat (Hu dkk.,

48 2013b). Penelitian yang dilakukan oleh Matos dkk. menunjukkan bahwa pengukuran MAPSE yang dilakukan oleh pengamat yang tidak terlatih merupakan prediktor yang sangat akurat terhadap EF yang ditentukan oleh operator ekokardiografi yang berpengalaman. Oleh karena itu, pengukuran MAPSE dapat menjadi suatu cara alternatif untuk menilai fungsi ventrikel kiri bila pemeriksaan ekokardiografi dilakukan tenaga yang kurang berpengalaman dan tidak terdapat ahli ekokardiografi yang tersedia dengan segera untuk memberikan konsultasi (Matos dkk., 2012). Hal yang serupa juga ditemukan pada studi yang dilakukan oleh Mjolstad dkk., yang menemukan bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara nilai MAPSE yang diukur oleh dokter umum dengan kardiolog (Mjølstad dkk., 2012). Pada studi yang dilakukan oleh Bergenzaun dkk., MAPSE merupakan parameter yang sederhana untuk mengevaluasi fungsi ventrikel kiri dan dapat diperoleh dengan mudah di ruang intensif dengan variabilitas interobserver sebesar 4,4% dan variabilitas intraobserver sebesar 5,3% (Bergenzaun dkk., 2013). Penelitian yang dilakukan oleh Sharif dkk. Menunjukkan bahwa MAPSE dapat digunakan untuk menggambarkan abnormalitas fungsi longitudinal sistolik ventrikel kiri dan pergerakan dinding jantung pada saat istirahat secara reliabel (Sharif dkk., 2011). MAPSE juga dapat digunakan sebagai indeks ekokardiografi yang sederhana dan sensitif untuk menilai abnormalitas miokardial yang melibatkan perubahan-perubahan longitudinal, terutama pada penyakit stadium awal. Selain itu, Willenheimer dkk. menemukan bahwa pasien dengan abnormalitas diastolik pada ventrikel kiri memiliki nilai MAPSE yang lebih

49 rendah dibandingkan pasien dengan fungsi diastolik yang sama, walaupun kedua kelompok tersebut memiliki nilai fractional shortening (FS) yang sama. Oleh karena itu, MAPSE juga diduga dapat menggambarkan fungsi diastolik pada ventrikel kiri (Hu dkk., 2013a). Penelitian yang dilakukan oleh Nammas dan El-Okda menunjukkan bahwa nilai MAPSE < 10 mm yang diukur dalam waktu 24 jam setelah masuk rumah sakit akibat STEMI dapat digunakan untuk memprediksi kejadian kardiovaskular mayor pada saat perawatan di rumah sakit dengan sensitivitas 72,7%, spesifisitas 91,5%, nilai prediktif negatif 91,5%, dan nilai prediktif positif 72,7%. Pengukuran MAPSE juga dapat merefleksikan fungsi longitudinal sistolik global pada ventrikel kiri walaupun terdapat kondisi kontraksi ventrikel kiri yang asimetris pada IMA karena dilakukan di empat regio ventrikel kiri yang berbeda, yaitu septal, lateral, anterior, dan inferior. Berdasarkan penelitian tersebut juga didapatkan nilai CKMB yang lebih tinggi secara signifikan pada kelompok pasien dengan nilai MAPSE < 10 mm. Hal tersebut menunjukkan bahwa adanya area nekrosis miokardial yang lebih luas yang berhubungan dengan fungsi sistolik ventrikel kiri yang lebih buruk (Nammas & El-Okda, 2012). Pada studi lain juga ditunjukkan bahwa pada pasien IMA, terdapat penurunan nilai MAPSE yang lebih bermakna pada area annulus yang berhubungan dengan dinding jantung yang mengalami infark (Elnoamany & Abdelhameed, 2006). Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Brand dkk., penurunan nilai MAPSE merupakan variabel prognostik yang signifikan dan independen pada pasien pasca IMA. Pengukuran MAPSE dapat dilakukan pada semua pasien dan dapat memfasilitasi proses

50 identifikasi kelompok pasien berisiko tinggi pada praktek klinis (Brand dkk., 2002). Penelitian yang dilakukan oleh Willenheimer dkk. menunjukkan bahwa penurunan nilai MAPSE < 10 mm merupakan suatu penanda disfungsi miokard, walaupun pasien tersebut memiliki gerakan dinding jantung regional yang normal. Hal tersebut disebabkan karena MAPSE terutama berhubungan dengan fungsi serabut miokardial longitudinal yang terdapat di area subendokardial, sedangkan abnormalitas gerakan dinding jantung regional yang dinilai secara visual terutama berhubungan dengan fungsi serabut miokardial sirkuler yang terdapat di regio subepikardial (Willenheimer dkk., 2002) Tricuspid Annular Plane Systolic Excursion (TAPSE) Ventrikel kanan memiliki struktur yang kompleks dan bentuk yang asimetris, sehingga sulit dilakukan pengukuran EF untuk mengetahui fungsi sistoliknya. Berbeda dengan ventrikel kiri, kavitas ventrikel kanan tidak memiliki bentuk geometris tiga dimensi yang jelas dan solid sehingga sulit untuk dilakukan pengukuran. Pengukuran EF menggunakan pemeriksaan radionuclide angiography merupakan salah satu metode baku emas untuk menentukan fungsi sistolik ventrikel kanan. Kaul dkk. menyatakan bahwa pergerakan bidang katup trikuspid dalam arah longitudinal dapat digunakan untuk menggambarkan fungsi sistolik ventrikel kanan. Pergerakan bidang annulus katup trikuspid pada fase sistolik tidak dipengaruhi oleh struktur yang kompleks dan bentuk asimetris dari ventrikel kanan. Penelitian yang dilakukan oleh Ueti dkk. menunjukkan bahwa parameter yang menunjukkan pergerakan annulus trikuspid berhubungan secara signifikan dengan EF ventrikel kanan yang dihitung menggunakan radionuclide.

51 Parameter tersebut, diantaranya TAPSE, D Wave Integral (DWI), dan Standardized Peak Velocity of the D Wave (SPVDW) dapat digunakan untuk membedakan fungsi ventrikel kanan yang normal dan abnormal dengan sensitivitas dan spesifisitas yang baik (Ueti dkk., 2002). Pemeriksaan MRI kardiak juga merupakan salah satu baku emas untuk menilai EF venrikel kanan. MRI dapat digunakan untuk menentukan volume, fungsi, dan massa ventrikel kanan dengan tepat dan memiliki reprodusibilitas yang baik. Di lain pihak, penggunaan MRI kardiak secara rutin untuk menentukan volume dan fungsi ventrikel kanan membutuhkan banyak waktu untuk pengerjaan dan tidak tersedia secara luas. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Speiser dkk., diperoleh bahwa pengukuran TAPSE menggunakan ekokardiografi memiliki korelasi yang baik dengan pengukuran TAPSE menggunakan MRI dengan variabilitas interobserver dan intraobserver yang baik. Pada penelitian tersebut juga diperoleh bahwa EF ventrikel kanan dapat dihitung secara semikuantitatif menggunakan nilai TAPSE dikalikan dengan 2,5 (Speiser dkk., 2012a). TAPSE atau yang sering disebut juga dengan Tricuspid Annular Motion (TAM) merupakan suatu metode pada pemeriksaan ekokardiografi yang sederhana dan banyak digunakan untuk penilaian fungsi sistolik ventrikel kanan. Selain itu, TAPSE juga sudah tervalidasi sebagai pemeriksaan yang baik untuk menilai fungsi sistolik ventrikel kanan berdasarkan berbagai penelitian yang menggunakan pemeriksaan MRI dan ekokardiografi (Bruhl dkk., 2011). TAPSE merupakan suatu metode untuk mengukur jarak pergerakan segmen annulus katup trikuspid pada fase sistolik di sepanjang bidang longitudinal. TAPSE dapat diukur

52 dari 4-chamber view dengan cara menempatkan kursor M-mode melalui lateral annulus katup trikuspid dan mengukur pergerakan longitudinal annulus pada puncak fase sistolik. Kontraksi ventrikel kanan terutama terjadi dalam arah longitudinal. Oleh karena itu, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa semakin besar pergerakan longitudinal bidang katup trikuspid pada saat fase sistolik, maka lebih baik juga fungsi ventrikel kanan. TAPSE merupakan parameter ekokardiografi yang sederhana, tidak membutuhkan kualitas gambar yang optimal, peralatan yang canggih, dan analisis yang lama. American Society of Echocardiography merekomendasikan bahwa pengukuran TAPSE dapat digunakan secara rutin sebagai metode yang sederhana untuk memperkirakan fungsi ventrikel kanan, dengan nilai referensi untuk gangguan fungsi sistolik ventrikel kanan adalah dibawah 16 mm (Rudski dkk., 2010b). Gambar 2.4 Cara Pengukuran TAPSE (Rudski dkk., 2010b)

53 Berdasarkan beberapa penelitian, TAPSE dapat dipengaruhi oleh pergerakan longitudinal septal ventrikel kiri pada pasien-pasien dengan kondisi gagal jantung yang simtomatik. Penurunan EF juga berpengaruh terhadap nilai TAPSE. Pergerakan longitudinal septal dan segmen-segmen yang berdekatan berhubungan lebih erat dengan TAPSE dibandingkan pergerakan secara radialis yang dinilai oleh pergerakan dinding jantung dan segmen-segmen lateral. Adanya konsep ventricular interdependence yang ditemukan pada model eksperimental juga dapat menjelaskan adanya hubungan antara TAPSE dan EF ventrikel kiri. (Kjaergaard dkk., 2009). Penelitian GISSI-3 echo substudy yang dilakukan oleh Popescu dkk. juga menunjukkan bahwa nilai TAPSE lebih rendah secara signifikan pada pasien dengan EF ventrikel kiri <45% dibandingkan pasien dengan EF ventrikel kiri 45% yang diukur dalam jam pertama pasca kejadian IMA (Popescu dkk., 2005). TAPSE merupakan suatu parameter yang tidak tergantung dengan usia dan jenis kelamin, baik pada individu yang sehat maupun pada penderita gagal jantung. TAPSE juga tidak memiliki hubungan dengan ukuran tubuh, sehingga pengukuran TAPSE dapat dilakukan secara rutin tanpa memerlukan koreksi terhadap luas permukaan tubuh (Kjaergaard dkk., 2009). Pengukuran TAPSE dapat dilakukan dengan mudah pada semua pasien tanpa memandang kecepatan denyut jantung dan irama jantung, sehingga pemeriksaan TAPSE dapat dilakukan pada pasien dengan kondisi takikardi atau fibrilasi atrium. TAPSE juga diketahui memiliki kekuatan prognostik yang lebih superior dibandingkan dengan parameter fungsi sistolik ventrikel kanan pada pemeriksaan ekokardiografi yang lain. Hal ini

54 dapat dijelaskan oleh adanya hipotesis bahwa penurunan nilai TAPSE dapat menggambarkan gangguan fungsi ventrikel kanan dengan lebih baik (Ghio dkk., 2000). Berbagai penelitian juga telah menunjukkan bahwa TAPSE berhubungan secara linear dengan fraksi ejeksi dan/atau perubahan area fraksional pada ventrikel kanan pada berbagai jenis penyakit jantung dan kondisi klinis termasuk iskemia miokard, gagal jantung kongestif, kardiomiopati, dan hipertensi pulmonal. Selain itu, penurunan TAPSE juga berhubungan dengan prognosis buruk pada pasien-pasien dengan penyakit jantung iskemik, hipertensi pulmonal, dan gagal jantung (Lamia dkk., 2007).

55 BAB III KERANGKA BERPIKIR, KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Berpikir Pada IMA, akan terjadi penurunan fungsi global ventrikel akibat disfungsi regional segmen-segmen miokardial yang mengalami infark. Setelah terjadi oklusi pembuluh darah koroner yang akut, fungsi sistolik dan diastolik ventrikel akan mengalami perubahan dalam waktu beberapa menit, beberapa jam, hingga beberapa minggu. Penurunan fungsi ventrikel disebabkan karena terjadi perubahan-perubahan pada: 1) tingkat seluler, karena adenosine triphosphate merupakan suatu substansi yang diperlukan untuk proses kontraksi dan relaksasi miokard, 2) tingkat miokardial, karena adanya asinkroni pergerakan regional dinding jantung yang akan mempengaruhi fungsi ventrikel kiri secara global, 3) tingkat hemodinamik, karena fungsi sistolik secara tidak langsung akan mempengaruhi tekanan pengisian ventrikel. Morbiditas dan mortalitas yang terjadi pada penderita IMA sangat dipengaruhi oleh berbagai komplikasi yang dapat disebabkan oleh IMA. Kejadian kardiovaskular mayor yang terdiri dari kematian kardiovaskular, gagal jantung, syok kardiogenik, aritmia maligna, dan angina pasca infark merupakan komplikasi IMA yang berhubungan secara langsung dengan tingkat survival pasien. Pada kondisi IMA, direkomendasikan untuk melakukan pemeriksaan ekokardiografi transthorakal dalam jam pertama. Parameter-parameter pada ekokardiografi transthorakal dapat digunakan untuk

56 memperkirakan fungsi jantung pada pasien-pasien dengan IMA. Prognosis pada pasien IMA dipengaruhi oleh disfungsi sistolik ventrikel kanan dan kiri yang terjadi, yang dapat dinilai dengan pengukuran MAPSE dan TAPSE. MAPSE dan TAPSE merupakan parameter pada pemeriksaan ekokardiografi transthorakal yang menggambarkan fungsi sistolik longitudinal ventrikel kiri dan kanan. Nilai MAPSE yang rendah juga dapat terjadi pada kondisi gagal jantung kiri yang disebabkan oleh berbagai kelainan struktural pada jantung. Nilai TAPSE yang rendah juga dapat terjadi pada kondisi gagal jantung kanan yang dapat disebabkan oleh gagal jantung kiri yang berat, hipertensi pulmonal primer atau sekunder, dan penyakit jantung kongenital. Beberapa faktor lain diketahui berpengaruh terhadap morbiditas dan mortalitas pasien dengan IMA. Faktor-faktor tersebut antara lain umur, jenis kelamin, kebiasaan merokok, dislipidemia, obesitas, hipertensi, dan pemberian terapi reperfusi.

57 3.2 Kerangka Konsep berikut : Berdasarkan uraian di atas dapat dibuat kerangka konsep penelitian sebagai IMA Penurunan fungsi sistolik ventrikel kiri & ventrikel kanan 1. Riwayat Gagal Jantung Kiri 2. Riwayat Gagal Jantung Kanan Penurunan nilai MAPSE dan nilai TAPSE Kejadian Kardiovaskular Mayor 1. Kematian Kardiovaskular 2. Gagal Jantung 3. Syok Kardiogenik 4. Aritmia Maligna 5. Angina Pascainfark 1. Umur 2. Jenis Kelamin 3. Merokok 4. Terapi Reperfusi 5. Dislipidemia 6. Obesitas 7. Hipertensi 8. Diabetes Melitus Keterangan : Variabel yang diteliti Variabel yang tidak diteliti Variabel kendali Gambar 3.2 Kerangka Konsep Penelitian

58 3.3 Hipotesis Penelitian Nilai MAPSE yang rendah merupakan prediktor kejadian kardiovaskular mayor saat perawatan di rumah sakit pada pasien IMA. Nilai TAPSE yang rendah merupakan prediktor kejadian kardiovaskular mayor saat perawatan di rumah sakit pada pasien IMA. Gabungan nilai MAPSE yang rendah dan nilai TAPSE yang rendah merupakan prediktor kejadian kardiovaskular mayor saat perawatan di rumah sakit pada pasien IMA.

59 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan kohort prospektif untuk membuktikan/re-evaluasi peranan nilai MAPSE dan nilai TAPSE yang rendah, serta gabungan keduanya sebagai prediktor kejadian kardiovaskular mayor yang lebih tinggi pada penderita IMA. Penderita IMA dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu kelompok penderita IMA dengan faktor prognostik yang positif (nilai MAPSE yang rendah, nilai TAPSE yang rendah, serta gabungan nilai MAPSE dan nilai TAPSE yang rendah) dan kelompok penderita IMA tanpa faktor prognostik (nilai MAPSE dan TAPSE yang normal), kemudian dilakukan pengamatan selama perawatan pasien di rumah sakit. Luaran (outcome) yang dimonitor adalah kejadian kardiovaskular mayor. Penelitian ini menghasilkan Hazard Ratio (HR) dan kurve survival dari faktor prognostik tersebut terhadap kejadian kardiovaskular mayor. Semua penderita dikelola dengan memberikan terapi standar sesuai dengan panduan ESC.

60 Skema rancangan penelitian sebagai berikut (Sastroasmoro dan Ismail, 2008): Kejadian KV (+) Faktor Prognostik (+) - Nilai MAPSE yang rendah (abnormal) MRS Kejadian KV (-) Penderita IMA Kejadian KV (+) Faktor Prognostik (-) - Nilai MAPSE yang normal MRS Kejadian KV (-) Kejadian KV (+) Faktor Prognostik (+) - Nilai TAPSE yang rendah (abnormal) MRS Kejadian KV (-) Penderita IMA Kejadian KV (+) Faktor Prognostik (-) - Nilai TAPSE yang normal MRS Kejadian KV (-)

61 Faktor Prognostik (+) - Gabungan nilai MAPSE yang rendah (abnormal) dan nilai TAPSE yang rendah (abnormal) MRS Kejadian KV (+) Kejadian KV (-) Penderita IMA Gambar 4.1 Rancangan Penelitian 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Tempat Penelitian Faktor Prognostik (-) - Gabungan nilai MAPSE dan nilai TAPSE yang tidak termasuk dalam kelompok abnormal MRS Kejadian KV (+) Kejadian KV (-) Penelitian dilakukan di Unit Gawat Darurat (UGD) dan Unit Perawatan Intensif Jantung (UPIJ) RSUP Sanglah Denpasar Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan sejak bulan November 2014 Januari Penentuan Sumber Data Populasi Penelitian Populasi Target Semua penderita IMA Populasi Terjangkau Semua penderita IMA yang dirawat di UGD dan UPIJ RSUP Sanglah Denpasar.

62 Sampel Penelitian Sampel yang dipilih dari populasi terjangkau, setelah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Subyek yang benar-benar diteliti (actual study subjects) adalah sampel yang benar-benar bersedia ikut serta dalam penelitian Penentuan Sampel Sampel ditentukan secara consecutive, dengan memakai semua penderita IMA yang memenuhi kriteria sebagai sampel hingga mencapai jumlah yang direncanakan Kriteria Inklusi Semua penderita IMA yang dirawat di UGD dan UPIJ RSUP Sanglah Denpasar. Penderita bersedia ikut dalam penelitian dengan menandatangani informed consent Kriteria Eksklusi Penderita dengan kriteria sebagai berikut: 1. Riwayat gagal jantung kiri. 2. Riwayat gagal jantung kanan Jumlah Sampel Perkiraan jumlah sampel dihitung berdasarkan rumus berikut : (Sastroasmoro, 2008) n1 = n2 = (zα 2PQ + Zβ P 1 Q 1 + P 2 Q 2 ) 2 (P 1 P 2 ) 2

63 Bila RR: 1,75 dianggap bermakna, proporsi pada hipotesis no 3: 20 %; α: 0,05; dan power: 80 %; zα = 1,96; z β = 0,842 n1 = n2 = 29,9 = % = 36 Jumlah sampel (n) = n1 + n2 = Variabel Penelitian Variabel penelitian adalah merupakan karakteristik sampel penelitian yang diukur baik secara numerik atau kategorikal (Sastroasmoro dan Ismail, 2008). Variabel tersebut ditentukan sesuai rancangan penelitian yang direncanakan. Variabel tersebut sebagai berikut : Variabel Bebas: Nilai MAPSE yang rendah. Nilai TAPSE yang rendah. Gabungan nilai MAPSE yang rendah dan nilai TAPSE yang rendah Variabel Tergantung Kejadian kardiovaskular mayor (kematian akibat kausa kardiovaskular dan/atau gagal jantung dan/atau syok kardiogenik dan/atau aritmia maligna dan/atau angina pascainfark) Variabel Kendali Umur, jenis kelamin, kebiasaan merokok, dislipidemia, obesitas, hipertensi, dan pemberian terapi reperfusi.

64 4.4.4 Hubungan Antar Variabel berikut: Hubungan variabel penelitian ini dapat digambarkan dalam bentuk diagram Variabel Bebas - Nilai MAPSE yang rendah - Nilai TAPSE yang rendah - Gabungan nilai MAPSE yang rendah & nilai TAPSE yang rendah Variabel Kendali - Umur - Jenis Kelamin - Merokok - Terapi Reperfusi - Dislipidemia - Obesitas - Hipertensi - DM Variabel Tergantung Kejadian Kardiovaskular Mayor - Kematian Kardiovaskular - Gagal Jantung - Syok Kardiogenik - Aritmia Maligna - Angina Pasca Infark Gambar 4.2 Hubungan Antar Variabel Definisi Operasional Variabel Penelitian 1. Infark Miokard Akut: terdapat minimal dua dari kriteria adanya: 1) Bukti nekrosis miokard (ditandai dengan adanya peningkatan biomarker jantung), pada pasien yang menunjukkan gambaran klinis iskemia miokard akut yaitu 2) Adanya nyeri dada tipikal angina dan/atau 3) Perubahan EKG yang diagnostik

65 untuk IMA (adanya ST elevasi). IMA terdiri dari 2 subgrup yaitu STEMI dan NSTEMI (Cannon dkk., 2013, Senter & Francis, 2009). i. STEMI: Pasien dengan klinis iskemia miokard dengan peningkatan kadar biomarker jantung disertai perubahan EKG berupa ST elevasi yang baru di dua sadapan yang berhubungan dengan kriteria sebagai berikut: ST elevasi 0,2 mv pada sadapan V2-V3 (pada pria) atau ST elevasi 0,15 mv pada sadapan V2-V3 (pada wanita) dan/atau, ST elevasi 0,1 mv pada sadapan yang lain. ii. NSTEMI: Pasien dengan klinis iskemia miokard dengan peningkatan biomarker jantung dan gambaran EKG tidak menunjukkan ST elevasi. Gambaran EKG yang diagnostik adalah adanya ST depresi/perubahan gelombang T yang baru di dua sadapan yang berhubungan dengan kriteria sebagai berikut: ST depresi yang horizontal/down-slopping 0,05 mv dan/atau, T inversi 0,1 mv dengan gelombang R yang prominen, atau rasio R/S >1. 2. Kejadian Kardiovaskular Mayor: luaran selama pemantauan saat perawatan di rumah sakit yang terdiri dari kematian dengan kausa kardiovaskular dan/atau gagal jantung dan/atau syok kardiogenik dan/atau aritmia maligna dan/atau angina pasca infark.

66 i. Kematian dengan kausa kardiovaskular: kematian yang terjadi akibat mekanisme kardiovaskular (aritmia, kematian mendadak, gagal jantung, syok kardiogenik, stroke, emboli paru, penyakit arteri perifer) yang terjadi setelah IMA (Hicks dkk., 2014, Cannon dkk., 2013). ii. Gagal Jantung: kondisi kegagalan pompa jantung akut yang timbul sebagai komplikasi IMA, paling sering bermanifestasi sebagai kondisi kongesti paru yang ditegakkan berdasarkan anamnesis adanya keluhan sesak nafas, dari pemeriksaan fisik ditemukan tanda seperti takikardia dan/atau S3 gallop pada auskultasi jantung dan/atau rhonki di kedua lapangan paru, dan dibuktikan dengan adanya kongesti pulmonal dengan edema interstisial pada pemeriksaan foto thoraks (Steg dkk., 2012). iii. Syok Kardiogenik: syok yang ditemukan pada kondisi IMA, dimana terdapat episode hipotensi sistemik dengan tekanan darah sistolik <90 mmhg yang menetap (<30 menit), disertai bukti adanya hipoperfusi organ seperti ekstremitas yang dingin dan oliguria, tanpa disertai kondisi hipovolemik dan sepsis. Syok kardiogenik juga dianggap ada bila dibutuhkan inotropik atau pemasangan Intra Aortic Ballon Pump (IABP) untuk mempertahankan tekanan darah sistolik >90 mmhg (Katritsis dkk., 2013, Cannon dkk., 2013).

67 iv. Aritmia Maligna: Gangguan irama jantung yang dapat memberikan gangguan hemodinamik pada pasien IMA, berupa aritmia supraventrikular (takikardi supraventrikular, atrial flutter, fibrilasi atrium), aritmia ventrikular (takikardi ventrikel, fibrilasi ventrikel) dan blok atrioventrikular (derajat dua dan total) onset baru yang dinilai berdasarkan hasil rekam jantung yang terdokumentasi (Kondur dkk., 2013). v. Angina Pasca Infark: nyeri dada tipikal angina yang terjadi selama perawatan di rumah sakit pada saat istirahat/aktivitas ringan setelah hilangnya nyeri dada yang terjadi pada saat episode IMA (Kondur dkk., 2013). 3. Waktu: durasi sejak pasien terdiagnosis IMA sampai mengalami luaran, dinilai dalam jam. 4. MAPSE: merupakan suatu parameter ekokardiografi yang berguna untuk menilai fungsi longitudinal global pada ventrikel kiri. Metode ini menggunakan pemeriksaan ekokardiografi transthorakal untuk mengukur jarak pergerakan segmen annulus katup mitral pada fase sistolik di sepanjang bidang longitudinal. MAPSE dapat diukur dari 4-chamber & 2 chamber view dengan cara menempatkan kursor M-mode melalui 4 regio (septal, lateral, anterior, dan inferior) annulus katup mitral dan mengukur jarak antara titik terendah pada awal sistolik (awal kompleks QRS) hingga titik tertinggi pada akhir sistolik (akhir gelombang T). Setelah didapatkan keempat nilai MAPSE dari seluruh regio, diambil rerata nilai MAPSE yang mencerminkan fungsi

68 longitudinal global pada ventrikel kiri (Hu dkk., 2013a). Batas nilai untuk menentukan nilai MAPSE yang rendah menggunakan data yang dikumpulkan dari penelitian ini dengan cara membuat kurva Receiving Operating Characteristic (ROC) dan dinilai cut-off point terbaik dari nilai MAPSE untuk memprediksi kejadian kardiovaskular mayor. Nilai MAPSE yang merupakan skala numerik dirubah menjadi skala nominal dengan dua kategori yaitu nilai MAPSE yang rendah (abnormal) dan nilai MAPSE yang normal. 5. TAPSE: merupakan suatu parameter ekokardiografi yang berguna untuk menilai fungsi longitudinal global pada ventrikel kanan. Metode ini menggunakan pemeriksaan ekokardiografi transthorakal untuk mengukur jarak pergerakan segmen annulus katup tricuspid pada fase sistolik di sepanjang bidang longitudinal. TAPSE dapat diukur dari 4-chamber view dengan cara menempatkan kursor M-mode melalui regio lateral annulus katup trikuspid dan mengukur jarak antara titik terendah pada awal sistolik (awal kompleks QRS) hingga titik tertinggi pada akhir sistolik (akhir gelombang T). (Rudski dkk., 2010b). Batas nilai untuk menentukan nilai TAPSE yang rendah menggunakan data yang dikumpulkan dari penelitian ini dengan cara membuat kurva Receiving Operating Characteristic (ROC) dan dinilai cut-off point terbaik dari nilai TAPSE untuk memprediksi kejadian kardiovaskular mayor. Nilai TAPSE yang merupakan skala numerik dirubah menjadi skala nominal dengan dua kategori yaitu nilai TAPSE yang rendah (abnormal) dan nilai TAPSE yang normal.

69 6. Gagal Jantung Kiri: kegagalan fungsi pompa jantung kiri yang disebabkan oleh abnormalitas struktural/fungsi jantung. Gagal jantung kiri secara klinis ditentukan berdasarkan adanya riwayat gejala (sesak nafas saat aktivitas, paroxysmal nocturnal dyspnea, orthopnea) dan tanda (rhonki pada kedua lapang paru) serta terdapat bukti adanya abnormalitas struktural/fungsi jantung yang mendasari (McMurray dkk., 2012). 7. Gagal Jantung Kanan: sindroma klinis yang ditandai dengan adanya kongesti jaringan, antara lain distensi vena jugularis, edema perifer, ascites, dan kongesti pada organ abdominal yang disebabkan oleh gangguan fungsi sistolik ventrikel kanan. Kondisi gagal jantung kanan dapat disebabkan oleh gagal jantung kiri yang berat, hipertensi pulmonal sekunder akibat penyakit paru yang berat dan kronis, hipertensi pulmonal primer, atau penyakit jantung kongenital (Fuster dkk., 2011). 8. Terapi Reperfusi: terapi yang bertujuan untuk mengembalikan patensi arteri koroner dan aliran darah pada kondisi IMA. Terapi reperfusi dapat dicapai dengan menggunakan fibrinolitik atau Percutaneous Coronary Intervention (PCI) atau Coronary Artery Bypass Grafting (CABG) (Bassand dkk., 2005). 9. Dislipidemia: kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan peningkatan maupun penurunan lipid dalam plasma. Kelainan fraksi lipid antara lain: kadar kolesterol LDL > 100 mg/dl, dan/atau kadar kolesterol total > 200 mg/dl, dan/atau kadar trigliserida >150 mg/dl dan/atau kadar kolesterol HDL <40 mg/dl sesuai kriteria ATP III. (NCEP, 2002). Data kadar fraksi lipid dapat

70 diperoleh dari hasil pemeriksaan laboratorium patologi klinik di RSUP Sanglah atau dari rekam medis pasien. 10. Hipertensi (HT): adalah penderita dengan tekanan darah sistolik 140 mmhg, dan/atau tekanan darah diastolik 90 mmhg yang diperiksa pada saat masuk rumah sakit menggunakan alat sphygmomanometer air raksa, berdasarkan klasifikasi JNC VII (Seventh Joint National Committee Clasification), atau penderita dengan riwayat HT dan sedang mengkonsumsi obat antihipertensi (Chobanian dkk., 2003). Riwayat HT dan konsumsi obat antihipertensi dapat diketahui berdasarkan anamnesis dan rekam medis pasien. 11. Diabetes Melitus (DM): didiagnosis berdasarkan kriteria American Diabetes Association (ADA) 2010, yaitu bila terdapat riwayat polidipsia, poliuria, dan polifagia ditambah salah satu dari kriteria kadar gula darah puasa > 126 mg/dl, dan/atau atau gula darah sewaktu > 200 mg/dl, atau gula darah 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram pada tes toleransi glukosa oral (TTGO) > 200 mg/dl. (ADA, 2010). Data kadar gula darah dapat diperoleh dari hasil pemeriksaan laboratorium patologi klinik di RSUP Sanglah atau dari rekam medis pasien. Pasien juga terdiagnosis DM bila terdapat riwayat menderita DM dan/atau mengkonsumsi obat-obatan DM berdasarkan anamnesis atau rekam medis pasien. 12. Merokok: ditentukan berdasarkan anamnesis. Status perokok ditentukan bila merokok paling sedikit satu batang perhari selama lebih dari 1 bulan terakhir atau berhenti merokok kurang dari 3 bulan. Kriteria merokok sebagi berikut (Wita, 1992)

71 a. Perokok ringan : merokok 1-9 batang per hari. b. Perokok sedang : merokok batang per hari. c. Perokok berat : merokok 20 batang per hari atau lebih. d. Bekas perokok : berhenti merokok lebih dari 3 bulan. 13. Obesitas: adalah Indeks Massa Tubuh (IMT) > 30 kg/m 2, yang dapat diukur berdasarkan rumus dibawah ini (Chan & Woo, 2010): IMT = BB (Kg) TB 2 (m) Keterangan : IMT = Indeks Massa Tubuh BB = Berat Badan TB = Tinggi Badan 14. Umur: umur ditentukan berdasarkan tanggal lahir berdasarkan KTP sampai dengan saat masuk RS, dengan satuan tahun (dibulatkan pada tahun terdekat). 4.5 Bahan Penelitian Darah untuk pemeriksaan laboratorium seperti :Troponin-1, CKMB, LDH, gula darah, Kolesterol total, LDL, HDL, Trigliserida, SGOT, SGPT, Ureum, kreatinin sesuai lampiran Instrumen Penelitian 1. Pengukuran tekanan darah dengan Sphygmomanometer air raksa. 2. Penghitungan IMT dengan menimbang berat badan menggunakan timbangan digital dan pengukuran tinggi badan dengan menggunakan skala tinggi, dan rumus penghitungan IMT.

72 3. Pengukuran nilai MAPSE dan TAPSE menggunakan ekokardiografi transthorakal dengan alat GE Vivid E Portable Ultrasound Machine dan GE 3S ultrasound probe (1,5-3,6 MHz). 4. Kuisioner dan rekam medik. 4.7 Prosedur Penelitian Tata Cara Penelitian Bila terdapat pasien IMA yang memenuhi kriteria inklusi, kepada pasien dan pihak keluarga yang bertanggung jawab diberikan informasi mengenai penelitian ini. Setelah pasien/keluarga setuju untuk berpartisipasi, pasien diminta untuk menandatangani formulir persetujuan yang telah disediakan. Selanjutnya, semua sampel penelitian dikelola sesuai dengan prosedur. Penanganan pasien IMA dilakukan sesuai Pedoman Terapi Bagian/SMF Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FK UNUD/ RSUP Sanglah Denpasar. Data yang diperoleh dari catatan medis penderita antara lain, nama, nomor rekam medis, jenis kelamin, umur, diagnosis, hasil laboratorium, serta kejadian kardiovaskular mayor pada pasien IMA selama perawatan di RSUP Sanglah Denpasar. Pengambilan gambar MAPSE dan TAPSE dilakukan menggunakan ekokardiografi transthorakal oleh peneliti dengan alat GE Vivid E Portable Ultrasound Machine dan GE 3S ultrasound probe (1,5-3,6 MHz) dalam waktu 24 jam setelah pasien masuk rumah sakit. Hasil pemeriksaan ekokardiografi disimpan dalam alat dan diverifikasi oleh Kardiolog Konsultan, untuk selanjutnya dilakukan pengukuran nilai TAPSE dan MAPSE oleh tiga observer, antara lain Observer 1/PPDS Senior (dr. Vianney Tedjamulia), Observer 2/Kardiolog (dr. IB

73 Rangga Wibhuti, Sp.JP), dan Observer 3/Kardiolog Konsultan yang memiliki ekspertise di bidang ekokardiografi (dr. K. Badjra Nadha, SpJP (K)). Pasien diikuti selama perawatan di rumah sakit untuk melihat adanya kejadian kardiovaskular mayor yaitu kematian akibat kausa kardiovaskular dan/atau gagal jantung dan/atau syok kardiogenik dan/atau aritmia maligna dan/atau angina pascainfark. Pasien yang meninggal saat perawatan akibat mekanisme kardiovaskular (aritmia, kematian mendadak, gagal jantung, stroke, emboli paru, penyakit arteri perifer) maka pasien didiagnosis sebagai kematian akibat kausa kardiovaskular dan dimasukkan sebagai luaran. Pada pasien yang mengeluh sesak nafas, dilakukan evaluasi klinis yaitu anamnesis dan pemeriksaan fisik, serta dilakukan pemeriksaan penunjang rontgen thoraks. Bila ditemukan tanda gagal jantung dari pemeriksaan klinis dan/atau dari penunjang rontgen thoraks, maka pasien didiagnosis sebagai gagal jantung akibat infark miokard dan dimasukkan sebagai luaran. Pasien yang selama perawatan didapatkan tekanan darah sistolik turun <90 mmhg disertai tanda hipoperfusi jaringan, tanpa adanya bukti hipovolemik ataupun sepsis dimasukkan sebagai luaran. Pasien yang mengeluh berdebar dan didapatkan aritmia dari monitor berupa aritmia supraventrikular (takikardi supraventrikular, atrial flutter, fibrilasi atrium), aritmia ventrikular (takikardi ventrikel, fibrilasi ventrikel) dan blok atrioventrikular (derajat dua dan total) onset baru dilakukan perekaman jantung satu atau 12 sadapan untuk dokumentasi terjadinya aritmia. Pasien dengan jenis aritmia yang telah disebutkan diatas dan telah terdokumentasi dimasukkan sebagai luaran. Pasien yang mengeluh nyeri dada tipikal selama perawatan di rumah sakit pada saat

74 istirahat/aktivitas ringan setelah hilangnya nyeri dada yang terjadi pada saat episode IMA dmasukkan sebagai luaran. Setiap luaran yang didapatkan dicatat jam keberapa munculnya, terhitung sejak hari pasien dirawat. Pasien yang tidak mengalami luaran akan diikuti hingga pulang dari rumah sakit. Hasil pemeriksaan dikumpulkan oleh peneliti untuk selanjutnya dilakukan analisis Alur Penelitian Pasien yang terdiagnosis IMA berdasarkan manifestasi klinis dan data dari pemeriksaan penunjang di UGD dan UPIJ RSUP Sanglah merupakan populasi terjangkau dari penelitian ini. Dari populasi ini, pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi diambil sebagai sampel secara consecutive sampai memenuhi jumlah sampel yang dibutuhkan. Pada pasien tersebut dilakukan pengisian lembar pengumpulan data, pemeriksaan laboratorium dan pengambilan gambar MAPSE dan TAPSE menggunakan ekokardiografi transthorakal oleh peneliti dengan alat GE Vivid E Portable Ultrasound Machine dan GE 3S ultrasound probe (1,5-3,6 MHz) dalam waktu 24 jam setelah pasien masuk rumah sakit. Hasil pemeriksaan disimpan dan diverifikasi oleh Kardiolog Konsultan, untuk selanjutnya dilakukan pengukuran oleh PPDS Senior, Kardiolog, dan Kardiolog Konsultan yang memiliki ekspertise di bidang ekokardiografi. Data kemudian dikumpulkan oleh peneliti dan selanjutnya dilakukan analisis. Alur penelitian dapat ditunjukkan pada gambar 4.3 dibawah ini.

75 Populasi Target Pasien IMA Populasi Terjangkau Semua penderita IMA yang dirawat di RSUP Sanglah Denpasar Kriteria Inklusi Kriteria Eksklusi Informed Consent Eligible study subject Lembar Pengumpulan Data Pengambilan gambar MAPSE & TAPSE dalam waktu 24 jam setelah masuk Rumah Sakit oleh Peneliti Identitas Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Penunjang Diagnosis Terapi Pengukuran nilai MAPSE dan TAPSE oleh PPDS Senior, Kardiolog dan Kardiolog Konsultan Kejadian Kardiovaskular Mayor: Kematian Kardiovaskular Gagal Jantung Syok Kardiogenik Aritmia Maligna Angina Pascainfark Analisis Data Gambar 4.3 Alur Penelitian

76 4.8 Analisis Data Analisis data dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu: 1. Analisis reliabilitas, bertujuan untuk mengetahui konsistensi antara hasil pengukuran nilai MAPSE dan TAPSE yang dilakukan oleh Observer 1/PPDS Senior, Observer 2/Kardiolog, dan Observer 3/Kardiolog Konsultan. Teknik yang digunakan antara lain analisis korelasi untuk memberikan informasi mengenai kekuatan hubungan/asosiasi antara nilai MAPSE dan TAPSE yang diukur oleh ketiga observer dan dinyatakan dalam bentuk grafik scatter plot dan penghitungan koefisien korelasi Pearson (r). Selanjutnya akn dilakukan analisis Bland-Altman untuk mengetahui limit of agreement (tingkat kesesuaian) nilai MAPSE dan TAPSE yang diukur oleh ketiga observer dan dinyatakan dalam bentuk kurva Bland-Altman dan rerata beda ± 1,96 Standar Deviasi. Nilai MAPSE dan TAPSE yang akan digunakan pada analisis selanjutnya adalah rerata nilai MAPSE dan TAPSE yang diukur oleh ketiga observer. 2. Analisis kurva ROC. Analisis ini bertujuan untuk mendapatkan cut-off point terbaik untuk menyatakan penurunan nilai MAPSE dan TAPSE. Pada analisis ini nilai MAPSE dan nilai TAPSE akan menjadi variabel kategorikal, dan kejadian kardiovaskular mayor sebagai variabel referensi. Kemudian akan terbentuk kurva ROC yang terdiri dari sumbu X dan Y. Sumbu X adalah 1-spesifisitas, dan sumbu Y adalah sensitivitas. Cut-off point terbaik adalah nilai MAPSE dan nilai TAPSE tertentu yang

77 menghasilkan nilai akurasi tertinggi sebagai prediktor kejadian kardiovaskular mayor. 3. Analisis univariat, bertujuan untuk menggambarkan karakteristik subjek penelitian dalam bentuk tabel, dan akan membagi subjek penelitian menjadi dua kelompok berdasarkan kategori nilai MAPSE dan kategori nilai TAPSE yang cut-off pointnya telah ditentukan sebelumnya. Data yang bersifat numerik akan disajikan dalam bentuk mean ± Standar Deviasi. Data yang bersifat kategorikal akan disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi [f (%)]. 4. Analisis bivariat, bertujuan untuk mengetahui pengaruh satu variabel bebas terhadap variabel tergantung. Variabel bebas pada penelitian ini adalah nilai MAPSE yang rendah, nilai TAPSE yang rendah, serta gabungan nilai MAPSE yang rendah dan nilai TAPSE yang rendah. Variabel tergantung adalah kejadian kardiovaskular mayor. Pada analisis ini akan diperoleh nilai Hazard Ratio (HR) dari nilai MAPSE yang rendah, nilai TAPSE yang rendah, serta gabungan nilai MAPSE yang rendah dan nilai TAPSE yang rendah terhadap kejadian kardiovaskular mayor. Hasil analisis bivariat juga akan ditampilkan menggunakan grafik estimasi survival Kaplan-Meier kemudian dinilai perbedaan median time dan probabilitas survival berdasarkan variabel bebas. Uji statistik yang digunakan pada analisis bivariat adalah Logrank test. 5. Analisis multivariat, bertujuan untuk menganalisis apakah nilai MAPSE yang rendah, nilai TAPSE yang rendah, atau gabungan nilai MAPSE yang

78 rendah dan nilai TAPSE yang rendah merupakan prediktor independen terjadinya kejadian kardiovaskular mayor dengan mengontrol variabel lain yang diduga sebagai confounder. Uji statistik yang digunakan pada analisis multivariat dalam penelitian ini adalah uji Cox regression, sehingga dapat diketahui Hazard Ratio (HR) independen dari nilai MAPSE yang rendah, nilai TAPSE yang rendah, serta gabungan nilai MAPSE yang rendah dan nilai TAPSE yang rendah terhadap kejadian kardiovaskular mayor pada pasien IMA

79 BAB V HASIL PENELITIAN Selama periode bulan November 2014 sampai dengan Januari 2015, telah dilakukan studi observasional dengan rancangan kohort prospektif, yang bertempat di RSUP Sanglah, Denpasar. Penelitian ini dimulai setelah mendapat persetujuan dari unit penelitian dan pengembangan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar dengan surat Kelaikan Etik (Ethical Clearance) dan surat ijin penelitian dari Direktur Sumber Daya manusia (SDM) dan Pendidikan RSUP Sanglah Denpasar. Sampel dalam penelitian ini adalah penderita IMA baik STEMI maupun NSTEMI yang memenuhi kriteria inklusi dan diambil secara consecutive sampling dari populasi penelitian. Terhadap 72 pasien IMA yang dirawat di RSUP Sanglah serta memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, dilakukan pengambilan gambar MAPSE dan TAPSE dilakukan menggunakan ekokardiografi transthorakal oleh peneliti dengan alat GE Vivid E Portable Ultrasound Machine dan GE 3S ultrasound probe (1,5-3,6 MHz). Pemeriksaan dilakukan dalam waktu 24 jam setelah pasien masuk rumah sakit. Hasil pemeriksaan ekokardiografi disimpan dalam alat, dan telah dilakukan pengukuran nilai MAPSE dan TAPSE oleh tiga observer independen, yaitu Observer 1/PPDS Senior (dr. Vianney Tedjamulia), Observer 2/Kardiolog (dr. IB Rangga Wibhuti, Sp.JP), dan Observer 3/Kardiolog Konsultan yang memiliki ekspertise di bidang ekokardiografi (dr. K. Badjra Nadha, SpJP (K)). Pasien diikuti selama perawatan di rumah sakit untuk melihat

80 adanya kejadian kardiovaskular mayor yaitu kematian akibat kausa kardiovaskular dan/atau gagal jantung dan/atau syok kardiogenik dan/atau aritmia maligna dan/atau angina pasca infark. Variabel yang dianalisis dalam penelitian ini adalah: nilai MAPSE yang rendah, nilai TAPSE yang rendah, serta gabungan nilai MAPSE dan nilai TAPSE yang rendah sebagai variabel bebas, dan kejadian kardiovaskular mayor (komposit) sebagai variabel tergantung. Penderita IMA yang dilibatkan dalam penelitian ini terdiri dari 42 orang (58,3%) pasien STEMI dan 30 orang (41,7%) pasien NSTEMI. 5.1 Analisis Reliabilitas Analisis reliabilitas pada penelitian ini dilakukan untuk mengetahui konsistensi serta variabilitas interobserver antara nilai MAPSE dan TAPSE yang diukur oleh tiga observer secara independen, yaitu Observer 1 (dr. Vianney Tedjamulia/PPDS Senior), Observer 2 (dr. Rangga Wibhuti, Sp. JP/Kardiolog), dan Observer 3 (dr. K. Badjra Nadha, Sp.JP (K)/Kardiolog Konsultan). Analisis reliabilitas dalam penelitian ini menggunakan dua metode, antara lain dengan analisis korelasi Pearson untuk mengetahui korelasi antara nilai MAPSE dan TAPSE yang diukur oleh ketiga observer serta analisis Bland-Altman untuk mengetahui rerata perbedaan nilai MAPSE dan TAPSE yang diukur oleh ketiga observer. Grafik scatter plot dan kurva Bland-Altman yang menggambarkan uji reliabilitas untuk nilai MAPSE dapat dilihat pada gambar 5.1 dan 5.2, sedangkan grafik scatter plot dan kurva Bland-Altman yang menggambarkan uji reliabilitas untuk nilai TAPSE dapat dilihat pada gambar 5.3 dan 5.4

81 Berdasarkan gambar 5.1, terlihat bahwa terdapat korelasi positif yang kuat antara nilai MAPSE yang diukur oleh Observer 1, Observer 2, dan Observer 3. Hal tersebut juga ditunjukkan dari nilai koefisien korelasi Pearson (r) yang tinggi, yaitu berturut-turut sebesar 0,958 (nilai p <0,001) untuk Observer 1 & Observer 2, 0,974 (nilai p <0,001) untuk Observer 1 & Observer 3, dan 0,971 (nilai p <0,001) untuk Observer 2 & Observer 3. Gambar 5.1 Grafik Scatter Plot yang Menggambarkan Korelasi Nilai MAPSE yang Diukur oleh Observer 1 dan Observer 2 (Kiri Atas), Observer 1 dan Observer 3 (Kanan Atas), serta Observer 2 dan Observer 3 (Bawah) Limit of agreement antara pengukuran nilai MAPSE yang dilakukan oleh ketiga observer dapat dilihat lebih lanjut pada kurva Bland-Altman yang ditunjukkan pada gambar 5.4. Berdasarkan kurva tersebut terlihat bahwa nilai

82 MAPSE yang diukur oleh ketiga observer memiliki rerata beda yang sangat kecil dan tidak bermakna secara statistik, yaitu berturut-turut sebesar 0,02 ± (-1,05) 1,01 mm antara Observer 1 & Observer 2 (nilai p = 0,755), sebesar 0,08 ± (-0,73) 0,90 mm antara Observer 1 & Observer 3 (nilai p = 0,095), dan sebesar 0,1 ± (- 0,76) 0,97 mm antara Observer 2 & Observer 3 (nilai p = 0,052). MAPSE1 - MAPSE SD 1.01 Mean SD Mean of MAPSE1 and MAPSE2 MAPSE1 - MAPSE SD 0.90 Mean SD Mean of MAPSE1 and MAPSE3 1.5 MAPSE2 - MAPSE SD 0.97 Mean SD Mean of MAPSE2 and MAPSE3 Gambar 5.2 Kurva Bland-Altman yang Menggambarkan Limit of Agreement antara Nilai MAPSE yang Diukur oleh Observer 1 dan Observer 2 (Kiri Atas), Observer 1 dan Observer 3 (Kanan Atas), serta Observer 2 dan Observer 3 (Bawah)

83 Gambar 5.3 Grafik Scatter Plot yang Menggambarkan Korelasi Nilai TAPSE yang Diukur oleh Observer 1 dan Observer 2 (Kiri Atas), Observer 1 dan Observer 3 (Kanan Atas), serta Observer 2 dan Observer 3 (Bawah) Berdasarkan Gambar 5.3, terlihat bahwa terdapat korelasi positif yang kuat antara nilai TAPSE yang diukur oleh Observer 1, Observer 2, dan Observer 3. Hal tersebut juga ditunjukkan dari nilai koefisien korelasi Pearson (r) yang tinggi, yaitu berturut-turut sebesar 0,956 (nilai p <0,001) untuk Observer 1 & Observer 2, 0,960 (nilai p <0,001) untuk Observer 1 & Observer 3, dan 0,961 (nilai p <0,001) untuk Observer 2 & Observer 3. Interobserver agreement antara pengukuran nilai TAPSE yang dilakukan oleh ketiga observer dapat dilihat lebih lanjut pada kurva Bland-Altman yang ditunjukkan pada Gambar 5.4. Berdasarkan kurva tersebut terlihat bahwa nilai

84 TAPSE yang diukur oleh ketiga observer memiliki rerata beda yang sangat kecil dan tidak bermakna secara statistik, yaitu berturut-turut sebesar 0,1 ± (-2,1) 2,3 mm antara Observer 1 & Observer 2 (nilai p = 0,270), sebesar 0,1 ± (-2,0) 2,1 mm antara Observer 1 & Observer 3 (nilai p = 0,581), dan sebesar 0,1 ± (-2,1) 1,9 mm antara Observer 2 & Observer 3 (nilai p = 0,523). TAPSE1 - TAPSE SD 2.3 Mean SD -2.1 TAPSE1 - TAPSE SD 2.2 Mean SD Mean of TAPSE1 and TAPSE Mean of TAPSE1 and TAPSE3 4 3 TAPSE2 - TAPSE SD Mean SD Mean of TAPSE2 and TAPSE3 Gambar 5.4 Kurva Bland-Altman yang Menggambarkan Limit of Agreement antara Nilai TAPSE yang Diukur oleh Observer 1 dan Observer 2 (Kiri Atas), Observer 1 dan Observer 3 (Kanan Atas), serta Observer 2 dan Observer 3 (Bawah) 5.2 Analisis Kurva ROC Batas nilai untuk menentukan kategori nilai MAPSE yang rendah (abnormal), nilai MAPSE yang normal, nilai TAPSE yang rendah (abnormal), dan nilai TAPSE yang normal menggunakan data yang dikumpulkan dari penelitian ini

85 dengan cara membuat kurva ROC. Kurva ROC dibuat menggunakan rerata nilai MAPSE dan Nilai TAPSE yang telah diukur oleh ketiga observer diatas. Gambar 5.5 Kurva ROC dalam Menentukan Cut-off Point Nilai MAPSE yang rendah (kiri) dan Nilai TAPSE yang rendah (kanan) Berdasarkan analisis kurva ROC, diperoleh nilai cut-off point terbaik dalam menyatakan nilai MAPSE yang rendah untuk memprediksi luaran dengan mendapatkan hubungan optimal antara sensitivitas dan spesifisitas yaitu 8,75 mm. Area Under Curve (AUC) yaitu 0,871, Standard Error 0,047, (95% CI = ,964), dan P-value <0,001. Dengan menggunakan nilai cut-off point 8,75 mm, maka didapatkan sebanyak 23 pasien dengan nilai MAPSE yang rendah (abnormal), dan 49 pasien dengan nilai MAPSE yang normal. Nilai MAPSE yang merupakan skala numerik dirubah menjadi skala nominal dengan dua kategori yaitu nilai MAPSE yang rendah (abnormal) dan nilai MAPSE yang normal.

86 Dengan menggunakan metode yang sama, yaitu analisis kurva ROC, diperoleh nilai cut-off point terbaik dalam menyatakan nilai TAPSE yang rendah untuk memprediksi luaran dengan mendapatkan hubungan optimal antara sensitivitas dan spesifisitas yaitu 16,15 mm. Area Under Curve (AUC) yaitu 0,701, Standard Error 0,069, (95% CI = 0,565-0,837), dan P-value 0,005. Dengan menggunakan nilai cut-off point 16,15 mm, maka didapatkan sebanyak 24 pasien dengan nilai TAPSE yang rendah (abnormal), dan 48 pasien dengan nilai TAPSE yang normal. Nilai TAPSE yang merupakan skala numerik dirubah menjadi skala nominal dengan dua kategori yaitu nilai TAPSE yang rendah (abnormal) dan nilai TAPSE yang normal. 5.3 Karakteristik Subyek Penelitian Hasil analisis deskriptif populasi penelitian ditunjukkan pada tabel 5.1 dan tabel 5.2. Pasien dikelompokkan menjadi dua kelompok berdasarkan ada tidaknya nilai MAPSE yang rendah dan nilai TAPSE yang rendah. Cut-off point dalam menyatakan nilai MAPSE dan nilai TAPSE yang rendah diperoleh dengan membuat kurva ROC seperti yang telah disebutkan diatas. Tabel 5.1 Karakteristik Subyek Penelitian (Berdasarkan Kategori Nilai MAPSE) Variabel Nilai MAPSE Nilai MAPSE yang Rendah Nilai MAPSE yang Normal P n= 23 n= 49 Umur (tahun) 64,87 ± 12,89 58,63 ± 11,48 0,055 Jenis Kelamin 0,329 Laki-laki (%) 29,3% (n=17) 70,7% (n=41) Perempuan (%) 42,9% (n=6) 57,1% (n=8) Merokok (%) 31,9% (n=15) 68,1% (n=32) 0,994 Dislipidemia 26,1% (n=12) 73,9% (n=34) 0,156 TC (mg/dl) 193,80 ± 58,04 198,10 ± 46,67 0,758

87 LDL (mg/dl) 133,88 ± 72,00 131,84 ± 41,59 0,872 TG (mg/dl) 158,00 ± 66, ± 80,87 0,981 HDL (mg/dl) 36,77 ± 11,44 36,96 ± 11,43 0,951 DM 59,3% (n=16) 40,7% (n=11) <0,001 GDS (mg/dl) 241,02 ± 72,00 176,79 ± 101,56 0,003 Hipertensi 34,9% (n=15) 65,1% (n=28) 0,515 TDS (mmhg) 138,70 ± 29,60 135,33 ± 23,42 0,634 TDD (mmhg) 83,48 ± 16,13 84,69 ± 15,46 0,764 Obesitas (%) 33,3% (n=2) 66,7% (n=4) 0,939 IMT (kg/m 2 ) 25,67 ± 3,70 25,12 ± 3,50 0,548 Diagnosis Kerja 0,215 STEMI (%) 26,2% (n=11) 73,8% (n=31) NSTEMI (%) 40,0% (n=12) 60,0% (n=18) CKMB 26,21 ± 15,07 23,11 ± 15,03 0,421 Troponin T 1.182,48 ± 641, ± ,001 Terapi Reperfusi 12,5% (n=3) 87,5% (n=21) 0,012 Onset (Jam) 23,93 ± 22,60 10,02 ± 14,06 0,011 EF (%) 36,32 ± 5,54 54,79 ± 7,98 <0,001 Berdasarkan tabel diatas, terlihat bahwa karakteristik dasar antara pasien dengan nilai MAPSE yang rendah (abnormal) menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna dibandingkan pasien dengan nilai MAPSE yang normal, kecuali variabel Diabetes Melitus. Tabel diatas juga menunjukkan bahwa pasien dengan nilai MAPSE yang rendah memiliki kadar Troponin T yang lebih tinggi secara bermakna, dan lebih sedikit menerima terapi reperfusi bila dibandingkan dengan pasien dengan nilai MAPSE yang normal. Kelompok pasien dengan nilai MAPSE yang rendah memiliki nilai EF yang lebih rendah secara bermakna dibandingkan pasien dengan nilai MAPSE yang normal.

88 Tabel 5.2 Karakteristik Subyek Penelitian (Berdasarkan Kategori Nilai TAPSE) Variabel Nilai TAPSE Nilai TAPSE yang Rendah Nilai TAPSE yang Normal P n= 24 n= 48 Umur (tahun) 64,25 ± 14,53 58,81 ± 10,59 0,112 Jenis Kelamin 0,006 Laki-laki (%) 25,9% (n=15) 74,1% (n=43) Perempuan (%) 64,3% (n=9) 35,7% (n=5) Merokok (%) 29,8% (n=14) 70,2% (n=33) 0,381 Dislipidemia 30,4% (n=14) 69,6% (n=32) 0,488 TC (mg/dl) 194,19 ± 47,62 197,81 ± 52,97 0,930 LDL (mg/dl) 137,47 ± 42,51 130,01 ± 46,63 0,500 TG (mg/dl) 162,46 ± 71, ± 78,99 0,737 HDL (mg/dl) 36,50 ± 10,70 37,10 ±11,78 0,828 DM 66,7% (n=18) 33,3% (n=9) <0,001 GDS (mg/dl) 269,27 ± 105,72 161,33 ± 69,99 <0,001 Hipertensi 34,9% (n=15) 65,1% (n=28) 0,734 TDS (mmhg) 132,67 ± 26,21 138,27 ± 25,04 0,390 TDD (mmhg) 83,25 ± 14,46 84,83 ± 16,23 0,676 Obesitas (%) 33,3% (n=2) 66,7% (n=4) 1,000 IMT (kg/m 2 ) 25,18 ± 3,41 25,34 ± 3,65 0,848 Diagnosis Kerja 0,612 STEMI (%) 31,0% (n=13) 69,0% (n=29) NSTEMI (%) 36,7% (n=11) 63,3% (n=19) CKMB 23,70 ± 14,53 24,30 ± 15,38 0,873 Troponin T 1.069,79 ± 743,86 661,31 ± 631,05 0,026 Terapi Reperfusi 12,5% (n=3) 87,5% (n=21) 0,008 Onset (Jam) 15,42 ± 5,90 13,99 ± 9,51 0,741 EF (%) 42,40 ± 5,87 53,17 ± 11,50 <0,001 Berdasarkan tabel diatas, terlihat bahwa karakteristik dasar antara pasien dengan nilai TAPSE yang rendah (abnormal) menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna dibandingkan pasien dengan nilai TAPSE yang normal, kecuali variabel jenis kelamin dan DM. Tabel diatas juga menunjukkan bahwa pasien dengan nilai TAPSE yang rendah memiliki kadar Troponin T yang lebih tinggi secara bermakna, dan lebih sedikit menerima terapi reperfusi bila dibandingkan dengan

89 pasien dengan nilai TAPSE yang normal. Kelompok pasien dengan nilai TAPSE yang rendah memiliki nilai EF yang lebih rendah secara bermakna dibandingkan pasien dengan nilai TAPSE yang normal. 5.4 Nilai MAPSE yang Rendah sebagai Prediktor Kejadian Kardiovaskular Mayor saat Perawatan di Rumah Sakit pada Pasien IMA Dari 72 kasus IMA yang diamati selama penelitian, diketahui sebesar 25 pasien mengalami kejadian kardiovaskular mayor Sebanyak 18 pasien diantaranya memiliki nilai MAPSE yang rendah (abnormal), sedangkan sebanyak 7 pasien memiliki nilai MAPSE yang normal. Gambaran estimasi survival Kaplan Meier terjadinya kejadian kardiovaskular mayor berdasarkan kategori nilai MAPSE ditunjukkan pada gambar 5.6 dibawah ini. Gambar 5.6 Kurva Estimasi Survival Kaplan Meier Terjadinya Kejadian Kardiovaskular Mayor Pada IMA Berdasarkan Nilai MAPSE yang Rendah Survival rate pasien dengan nilai MAPSE yang rendah (abnormal) didapatkan 46,50 (95% CI = 26,75-66,25) jam, sedangkan survival rate pasien

90 dengan nilai MAPSE yang normal adalah 104,52 (95% CI = 93,78-115,27) jam Setelah dilakukan Uji Log Rank, ditemukan bahwa survival rate antara pasien dengan nilai MAPSE yang rendah (abnormal) dan dengan nilai TAPSE yang normal berbeda secara bermakna dengan nilai p sebesar <0,001. Pada pasien dengan nilai MAPSE yang rendah (abnormal), probabilitas survival dalam 24 jam pertama adalah sebesar 0,52, sedangkan pada pasien dengan nilai MAPSE yang normal sebesar 0,88. Hal ini berarti bahwa dalam 24 jam pertama, sebanyak 52% pasien dengan nilai MAPSE yang rendah (abnormal) tidak mengalami kejadian kardiovaskular mayor, sedangkan pada pasien dengan nilai MAPSE yang normal, sebanyak 88% pasien tidak mengalami kejadian kardiovaskular mayor. Dalam 48 jam pertama, diperoleh bahwa probabilitas survival pasien dengan nilai MAPSE yang rendah (abnormal) sebesar 0,30, sedangkan pada pasien dengan nilai MAPSE yang normal sebesar 0,86. Pengaruh nilai MAPSE yang rendah terhadap kejadian kardiovaskular mayor dapat diketahui dengan menggunakan Hazard Ratio (HR) yaitu sebesar 8,19 (95% CI 3,38-19,82). Hal tersebut berarti bahwa risiko kejadian kardiovaskular mayor pada pasien IMA didapatkan 8,19 kali lipat pada pasien dengan nilai MAPSE yang rendah (abnormal) dibandingkan pasien dengan nilai MAPSE yang normal. Perbedaan risiko tersebut bermakna secara statistik dengan p < 0,0001. Nilai HR ini masih bersifat kasar dan belum mengontrol variabel lain yang dianggap sebagai perancu.

91 5.5 Pengaruh Nilai MAPSE yang rendah terhadap Kejadian Kardiovaskular Mayor saat Perawatan di Rumah Sakit Setelah Dikontrol dengan Variabel Lain Analisis multivariat yang digunakan untuk mengetahui pengaruh nilai MAPSE yang rendah terhadap kejadian kardiovaskular mayor secara independen adalah adalah Cox Regression. Berdasarkan tabel 5.3, ditemukan bahwa nilai MAPSE yang rendah terbukti sebagai prediktor independen terjadinya kejadian kardiovaskular mayor pada pasien IMA. Hal ini berarti bahwa risiko kejadian kardiovaskular mayor pada pasien IMA dengan nilai MAPSE yang rendah setelah mengontrol faktor perancu adalah 6,68 kali lipat dibandingkan pasien dengan nilai MAPSE yang normal. Tabel 5.3 Hasil Analisis Cox Regression Nilai MAPSE yang Rendah sebagai Prediktor Kejadian Kardiovaskular Mayor pada Pasien IMA Variabel Exp (B) 95% CI P-value Nilai MAPSE yang rendah 6,68 2,37-18,83 <0,0001 Umur 1,01 0,98-1,05 0,474 Jenis Kelamin 0,89 0,17-4,54 0,885 Merokok 0,80 0,20-3,15 0,749 Terapi Reperfusi 1,02 0,31-3,36 0,969 Dislipidemia 0,65 0,25-1,71 0,383 Obesitas 0,55 0,83-3,66 0,536 Hipertensi 0,51 0,18-1,45 0,207 Diabetes Melitus 1,52 0,58-3,95 0, Nilai TAPSE yang Rendah sebagai Prediktor Kejadian Kardiovaskular Mayor saat Perawatan di Rumah Sakit pada Pasien IMA Untuk mengetahui pengaruh nilai TAPSE yang rendah terhadap kejadian kardiovaskular mayor pada penelitian ini, dilakukan analisis bivariat. Metode

92 analisis yang digunakan adalah metode estimasi survival dari Kaplan-Meier yang disajikan dalam bentuk grafik estimasi Kaplan-Meier. Gambar 5.7 Kurva Estimasi Survival Kaplan Meier Terjadinya Kejadian Kardiovaskular Mayor Pada IMA Berdasarkan Nilai TAPSE yang Rendah Pada Gambar 5.7 grafik estimasi survival dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok dengan nilai TAPSE yang rendah (abnormal) dan dengan nilai TAPSE yang normal. Dari 72 kasus IMA yang diamati selama penelitian, diketahui sebesar 25 pasien mengalami kejadian kardiovaskular mayor Sebanyak 14 pasien diantaranya memiliki nilai TAPSE yang rendah (abnormal), sedangkan sebanyak 11 pasien memiliki nilai TAPSE yang normal. Dapat terlihat dari gambar 5.6 bahwa kelompok pasien dengan nilai TAPSE yang rendah (abnormal) lebih banyak yang mengalami event dibandingkan dengan kelompok pasien dengan nilai TAPSE yang normal.

93 Survival rate pasien dengan nilai TAPSE yang rendah (abnormal) adalah 57,51 (95% CI = 35,95-79,08) jam, sedangkan survival rate pasien dengan nilai TAPSE yang normal adalah 100,22 (95% CI = 88,36-112,08) jam Setelah dilakukan Uji Log Rank, ditemukan bahwa survival rate antara pasien dengan nilai TAPSE yang rendah (abnormal) dan dengan nilai TAPSE yang normal berbeda secara bermakna dengan nilai p sebesar 0,001. Pada pasien dengan nilai TAPSE yang rendah (abnormal), probabilitas survival dalam 24 jam pertama adalah sebesar 0,54, sedangkan pada pasien dengan nilai TAPSE yang normal sebesar 0,88. Hal ini berarti bahwa dalam 24 jam pertama, sebanyak 54% pasien dengan nilai TAPSE yang rendah (abnormal) tidak mengalami kejadian kardiovaskular mayor, sedangkan pada pasien dengan nilai TAPSE yang normal, sebanyak 88% pasien tidak mengalami kejadian kardiovaskular mayor. Dalam 48 jam pertama, diperoleh bahwa probabilitas survival pasien dengan nilai TAPSE yang rendah (abnormal) sebesar 0,42, sedangkan pada pasien dengan nilai TAPSE yang normal didapatkan probabilitas survival sebesar 0,81. Pengaruh nilai TAPSE yang rendah terhadap kejadian kardiovaskular mayor dapat diketahui dengan menggunakan Hazard Ratio (HR) yaitu sebesar 3,63 (95% CI 1,64-8,03). Hal tersebut berarti bahwa risiko kejadian kardiovaskular mayor pada pasien IMA didapatkan 3,63 kali lipat pada pasien dengan nilai TAPSE yang rendah (abnormal) dibandingkan pasien dengan nilai TAPSE yang normal. Perbedaan risiko tersebut bermakna secara statistik dengan p = 0,001. Nilai HR ini

94 masih bersifat kasar dan belum mengontrol variabel lain yang dianggap sebagai perancu. 5.7 Pengaruh Nilai TAPSE yang rendah terhadap Kejadian Kardiovaskular Mayor saat Perawatan di Rumab Sakit Setelah Dikontrol dengan Variabel Lain Analisis multivariat yang digunakan untuk mengetahui pengaruh nilai TAPSE yang rendah terhadap kejadian kardiovaskular mayor secara independen adalah adalah Cox Regression. Berdasarkan tabel 5.4, ditemukan bahwa nilai TAPSE yang rendah terbukti sebagai prediktor independen terjadinya kejadian kardiovaskular mayor pada pasien IMA. Hal ini berarti bahwa risiko kejadian kardiovaskular mayor pada pasien IMA dengan nilai TAPSE yang rendah setelah mengontrol faktor perancu adalah 3,29 kali lipat dibandingkan pasien dengan nilai TAPSE yang normal. Tabel 5.4 Hasil Analisis Cox Regression Nilai TAPSE yang Rendah sebagai Prediktor Kejadian Kardiovaskular Mayor pada Pasien IMA Variabel Exp (B) 95% CI P-value Nilai TAPSE yang rendah 3,29 1,10-9,84 0,033 Umur 1,02 0,98-1,06 0,328 Jenis Kelamin 2,26 0,45-11,46 0,325 Merokok 0,58 0,15-2,21 0,421 Terapi Reperfusi 0,76 0,23-2,50 0,654 Dislipidemia 0,59 0,22-1,56 0,289 Obesitas 0,97 0,19-4,91 0,968 Hipertensi 0,52 0,20-1,37 0,187 Diabetes Melitus 1,73 0,67-4,49 0,257

95 5.8 Nilai MAPSE dan nilai TAPSE yang Rendah sebagai Prediktor Kejadian Kardiovaskular Mayor saat Perawatan di Rumah Sakit pada Pasien IMA Dari 72 kasus IMA yang diamati selama penelitian, diketahui sebesar 25 pasien mengalami kejadian kardiovaskular mayor Sebanyak 10 pasien diantaranya memiliki nilai MAPSE yang rendah dan nilai TAPSE yang rendah (abnormal), sedangkan sebanyak 15 pasien tidak termasuk dalam kelompok tersebut. Gambaran estimasi survival Kaplan Meier terjadinya kejadian kardiovaskular mayor berdasarkan kategori nilai MAPSE dan nilai TAPSE yang rendah (abnormal) ditunjukkan pada gambar 5.8 dibawah ini. Gambar 5.8 Kurva Estimasi Survival Kaplan Meier Terjadinya Kejadian Kardiovaskular Mayor Pada IMA Berdasarkan Nilai MAPSE yang Rendah dan Nilai TAPSE yang Rendah Survival rate pasien dengan nilai MAPSE dan nilai TAPSE yang rendah (abnormal) adalah 39,92 (95% CI = 14,99-64,86) jam, sedangkan survival rate pasien selain kelompok tersebut adalah 96,14 (95% CI = 84,48-107,78) jam Setelah dilakukan Uji Log Rank, didapatkan bahwa survival rate antara pasien

96 dengan nilai MAPSE dan nilai TAPSE yang rendah (abnormal) dan pasien selain kelompok tersebut berbeda secara bermakna dengan nilai p sebesar <0,001. Pada pasien dengan nilai MAPSE dan TAPSE yang rendah (abnormal), probabilitas survival dalam 24 jam pertama adalah sebesar 0,46, sedangkan pada pasien yang tidak termasuk dalam kelompok tersebut sebesar 0,83. Dalam 48 jam pertama, diperoleh bahwa probabilitas survival pasien dengan nilai MAPSE dan nilai TAPSE yang rendah (abnormal) sebesar 0,23, sedangkan pada pasien yang tidak termasuk dalam kelompok tersebut sebesar 0,78. Pengaruh nilai MAPSE dan nilai TAPSE yang rendah terhadap kejadian kardiovaskular mayor dapat diketahui dengan menggunakan Hazard Ratio (HR) yaitu sebesar 4,80 (95% CI 2,13-10,80). Hal tersebut berarti bahwa risiko kejadian kardiovaskular mayor pada pasien IMA adalah sebesar 4,80 kali lipat pada pasien dengan nilai MAPSE dan nilai TAPSE yang rendah (abnormal) dibandingkan pasien selain kelompok tersebut. Perbedaan risiko tersebut bermakna secara statistik dengan p < 0,0001. Nilai HR ini masih bersifat kasar dan belum mengontrol variabel lain yang dianggap sebagai perancu. 5.9 Pengaruh Nilai MAPSE dan Nilai TAPSE yang rendah terhadap Kejadian Kardiovaskular Mayor saat Perawatan di Rumah Sakit Setelah Dikontrol dengan Variabel Lain Analisis multivariat yang digunakan untuk mengetahui pengaruh nilai MAPSE dan nilai TAPSE yang rendah terhadap kejadian kardiovaskular mayor secara independen adalah adalah Cox Regression. Berdasarkan tabel 5.5 dapat dilihat bahwa nilai MAPSE dan nilai TAPSE yang rendah terbukti sebagai prediktor

97 independen terjadinya kejadian kardiovaskular mayor pada pasien IMA. Hal ini berarti bahwa risiko kejadian kardiovaskular mayor pada pasien IMA dengan nilai MAPSE dan TAPSE yang rendah setelah mengontrol faktor perancu adalah 4,26 kali lipat dibandingkan yang tidak termasuk dalam kelompok tersebut. Tabel 5.5 Hasil Analisis Cox Regression Nilai MAPSE dan Nilai TAPSE yang Rendah sebagai Prediktor Kejadian Kardiovaskular Mayor pada Pasien IMA Variabel Exp (B) 95% CI P-value Nilai TAPSE dan nilai MAPSE 4,26 1,52-11,93 0,006 yang rendah Umur 1,02 0,98-1,06 0,189 Jenis Kelamin 0,20 0,27-5,28 0,809 Merokok 0,61 0,16-2,74 0,464 Terapi Reperfusi 0,84 0,26-2,74 0,778 Dislipidemia 0,59 0,23-1,48 0,257 Obesitas 0,77 0,14-4,18 0,765 Hipertensi 0,47 0,18-1,29 0,146 Diabetes Melitus 1,72 0,65-4,55 0,272

98 BAB VI PEMBAHASAN Selama periode bulan November 2014 hingga Januari 2015, dilakukan penelitian observasional dengan rancangan kohort prospektif, yang bertempat di RSUP Sanglah Denpasar. Temuan yang penting dari penelitian ini adalah nilai MAPSE sebagai parameter fungsi ventrikel kiri yang rendah dan nilai TAPSE sebagai parameter fungsi ventrikel kanan yang rendah serta gabungan keduanya sebagai prediktor kejadian kardiovaskular mayor saat perawatan di rumah sakit pada IMA. Penelitian ini bertujuan untuk dapat meningkatkan stratifikasi risiko selama perawatan di rumah sakit pada penderita IMA. Penyakit jantung koroner adalah penyebab hampir 1 juta kematian di Amerika Serikat setiap tahunnya. Keseluruhan angka mortalitas pada pasien IMA adalah kurang lebh sebanyak 30%. Sebagian kematian terjadi dalam waktu 2 jam pertama, dan sebanyak 14% pasien meninggal sebelum menerima pertolongan medis (Pesaro dkk., 2008). Penatalaksanaan pasien IMA memerlukan suatu stratifikasi risiko secara dini untuk memperkirakan risiko terjadinya komplikasi (kematian, reinfark, stroke, revaskularisasi dini, dan perawatan rumah sakit ulang akibat SKA). Proses ini merupakan suatu proses yang penting untuk menentukan strategi terapi yang terbaik. Beberapa sistem skoring telah dikembangkan untuk tujuan stratifikasi risiko, antara lain skor GRACE, TIMI, PURSUIT, dan klasifikasi berdasarkan ACC/AHA (Pesaro dkk., 2008). Sistem skoring yang ideal adalah sistem skoring

99 yang sudah tervalidasi, praktis, dan mudah digunakan pada pasien secara bedside dalam praktek klinis (Lakhani dkk., 2010). Sistem skoring tersebut dibuat dan direkomendasikan oleh guideline untuk mengidentifikasi pasien dengan kemungkinan terjadinya komplikasi yang lebih tinggi, sehingga dapat diberikan rekomendasi untuk terapi yang lebih intensif dan tindakan invasif yang lebih dini untuk populasi pasien tersebut (Santos dkk., 2013). Pemeriksaan ekokardiografi juga dapat digunakan untuk stratifikasi risiko dan menentukan penatalaksanaan pada pasien dengan IMA (Flachskampf dkk., 2011). Ekokardiografi merupakan pemeriksaan yang paling sederhana, murah, tidak membutuhkan banyak waktu pengerjaan, dan tersedia secara luas (Brand dkk., 2002). Berdasarkan berbagai penelitian, ekokardiografi merupakan pemeriksaan yang mudah untuk dilakukan dan diinterpretasikan dalam situasi klinis dan efektif untuk stratifikasi risiko pasien-pasien IMA. Parameter-parameter ekokardiografi dapat digunakan untuk memperkirakan risiko mortalitas atau infark miokard berulang pada saat perawatan di rumah sakit dan 6 bulan pasca dipulangkan dari rumah sakit. Kekuatan stratifikasi prognostik parameter ekokardiografi lebih bermakna bila dibandingkan dengan skor klinis yang telah banyak direkomendasikan, contohnya skor TIMI dan GRACE (Bedetti dkk., 2010). Salah satu parameter ekokardiografi yang sederhana, tidak memerlukan operator yang berpengalaman, dan dapat diperoleh dengan mudah pada pasienpasien yang dalam kondisi gawat darurat atau dirawat di ruang intensif adalah MAPSE yang menggambarkan fungsi sistolik ventrikel kiri dan TAPSE yang menggambarkan fungsi sistolik ventrikel kanan.

100 6.1 Analisis Reliabilitas Definisi reliabilitas adalah tingkat konsistensi hasil pengukuran dari suatu alat ukur, bila pengukuran dilakukan oleh orang yang berbeda, pada saat yang berbeda, atau dalam kondisi yang berbeda. Reliabilitas itu sendiri merupakan suatu fungsi dari stabilitas alat ukur dalam berbagai kondisi. Teknik yang paling sering digunakan untuk memperkirakan reliabilitas suatu alat ukur adalah dengan pengukuran koefisien korelasi. Koefisien korelasi tersebut menunjukkan korelasi antara dua atau lebih variabel (dalam konteks ini adalah alat ukur atau orang yang mengukur) yang mengukur sesuatu yang sama (Drost, 1998). Koefisien korelasi yang sering digunakan pada data numerik dengan distribusi yang normal adalah koefisien korelasi dari Pearson, yang biasanya ditulis sebagai r. Koefisien korelasi dapat memberikan informasi mengenai asosiasi antara dua variabel, baik positif maupun negatif, namun tidak memberikan informasi mengenai tingkat kedekatan nilai antar variabel (tingkat agreement), sehingga koefisien korelasi tidak dapat digunakan sebagai metode tunggal untuk mengetahui reliabilitas (Bruton dkk., 2000). Berdasarkan penelitian ini, dapat terlihat bahwa dapat terlihat bahwa terdapat korelasi positif yang kuat antara nilai MAPSE yang diukur oleh Observer 1, Observer 2, dan Observer 3. Hal tersebut juga dapat ditunjukkan dari nilai koefisien korelasi Pearson yang tinggi, yaitu berturut-turut sebesar 0,958 (nilai p <0,001) untuk Observer 1 & Observer 2, 0,974 (nilai p <0,001) untuk Observer 1 & Observer 3, dan 0,971 (nilai p <0,001) untuk Observer 2 & Observer 3. Hal yang sama juga terjadi pada pengukuran nilai TAPSE dalam penelitian ini. Terdapat pula korelasi positif yang kuat antara nilai TAPSE yang

101 diukur oleh Observer 1, Observer 2, dan Observer 3. Hal tersebut juga dapat ditunjukkan dari nilai koefisien korelasi Pearson yang tinggi, yaitu berturut-turut sebesar 0,956 (nilai p <0,001) untuk Observer 1 & Observer 2, 0,960 (nilai p <0,001) untuk Observer 1 & Observer 3, dan 0,961 (nilai p <0,001) untuk Observer 2 & Observer 3. Salah satu metode statistik yang sering digunakan untuk menentukan reprodusibilitas suatu alat ukur dan interobserver agreement adalah prosedur yang dikemukakan oleh Bland dan Altman. Kurva Bland-Altman, atau yang sering disebut juga dengan difference plot, merupakan suatu metode grafis untuk membandingkan hasil pengukuran yang diperoleh dari dua pemeriksaan. Garis horizontal yang pada grafik menunjukkan rerata perbedaan antara dua hasil pengukuran serta limit of agreement, yang dinyatakan sebagai rerata perbedaan ± 1,96 standar deviasi dari nilai beda (Hamilton & Stamey, 2007). Pada penelitian ini, dapat terlihat bahwa nilai MAPSE yang diukur oleh ketiga observer memiliki rerata beda yang sangat kecil dan tidak bermakna secara statistik, yaitu berturut-turut sebesar 0,02 ± (-1,05) 1,01 mm antara Observer 1 & Observer 2 (nilai p = 0,755), sebesar 0,08 ± (-0,73) 0,90 mm antara Observer 1 & Observer 3 (nilai p = 0,095), dan sebesar 0,1 ± (-0,76) 0,97 mm antara Observer 2 & Observer 3 (nilai p = 0,052). Hal yang sama juga terjadi pada pengukuran nilai TAPSE. Berdasarkan kurva Bland-Altman, dapat terlihat bahwa nilai TAPSE yang diukur oleh ketiga observer memiliki rerata beda yang sangat kecil dan tidak bermakna secara statistik, yaitu berturut-turut sebesar 0,1 ± (-2,1) 2,3 mm antara Observer 1 & Observer 2

102 (nilai p = 0,270), sebesar 0,1 ± (-2,0) 2,1 mm antara Observer 1 & Observer 3 (nilai p = 0,581), dan sebesar 0,1 ± (-2,1) 1,9 mm antara Observer 2 & Observer 3 (nilai p = 0,523). MAPSE merupakan parameter ekokardiografi yang berkorelasi sangat baik dengan fungsi sistolik ventrikel kiri. MAPSE juga merupakan parameter yang sangat mudah diperoleh, bahkan oleh operator yang tidak berpengalaman atau pada pasien dengan accoustic window yang buruk. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Bergenzaun dkk., diperoleh bahwa nilai MAPSE berkorelasi secara signifikan dengan EF ventrikel kiri pada pasien di ruang intensif, dan memiliki variabilitas intraobserver sebesar 4,4% dan variabilitas interobserver sebesar 5,3% (Bergenzaun dkk., 2013). Penelitian yang dilakukan oleh Taşolar dkk. juga memperoleh hasil yang serupa, yaitu nilai MAPSE memiliki variabilitas intraobserver dan interobserver yang rendah, dengan nilai berturut-turut 3,7% dan 4,2% (Taşolar dkk., 2014). Ventrikel kanan memiliki bentuk tiga dimensi yang kompleks, dengan kavitas seperti bulan sabit bila dilihat dalam area potong lintang. Evaluasi fungsi sistolik ventrikel kanan dengan menggunakan ekokardiografi merupakan suatu tantangan tersendiri, karena adanya keunikan anatomi dari ventrikel kanan. Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengetahui fungsi sistolik ventrikel kanan. Pergerakan ventrikel kanan dalam long-axis yang digambarkan dengan nilai TAPSE merupakan metode yang sederhana dan berkorelasi sangat baik dengan EF ventrikel kanan yang diukur menggunakan metode radionuclide. Pemeriksaan TAPSE juga tidak dipengaruhi oleh asumsi geometris yang

103 kompleks dari ventrikel kanan (Karaye dkk., 2010). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pinedo dkk., parameter ekokardiografi yang paling reliabel dan reprodusibel untuk mengetahu fungsi sistolik ventrikel kanan adalah TAPSE dan tricuspid anular peak systolic velocity (Pinedo dkk., 2010). Pemeriksaan TAPSE juga telah direkomendasikan oleh American Society of Echocardiography (ASE) sebagai pemeriksaan yang sebaiknya dilakukan secara rutin sebagai metode yang sederhana untuk memperkirakan fungsi sistolik ventrikel kanan (Rudski dkk., 2010a). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Speiser dkk., didapatkan bahwa nilai TAPSE memiliki variabilitas intraobserver dan interobserver yang rendah, yaitu berturut-turut sebesar 3,1% dan 1,8% (Speiser dkk., 2012b). 6.2 Analisis Kurva ROC Sensitivitas dan spesifisitas merupakan tolak ukur utama akurasi dari suatu pemeriksaan. Pada tahun 1971, Lusted telah menunjukkan bahwa kurva Receiver Operating Characteristic (ROC) dapat digunakan untuk menilai akurasi dari sebuah pemeriksaan. Kurva ROC menggambarkan nilai sensitivitas (sumbu y) dan 1 spesifisitas (sumbu x). Penetapan nilai cut-off yang rendah untuk suatu pemeriksaan akan meningkatkan sensitivitas namun menurunkan spesifisitas, dan sebaliknya. Hal tersebut disebabkan karena terdapat hubungan timbal balik antara sensitivitas dan spesifisitas. Dengan menggunakan kurva ROC, dapat ditentukan nilai cut-off dengan sensitivitas dan spesifisitas yang terbaik dari suatu pemeriksaan (Obuchowski, 2003, van Erkel & Pattynama, 1998). Pada studi ini, nilai cut-off point untuk menyatakan nilai MAPSE dan nilai TAPSE yang rendah didapatkan dari kurva ROC. Berdasarkan kurva ROC, didapatkan cut-off point

104 terbaik untuk menyatakan nilai MAPSE yang rendah adalah 8,75 mm, sedangkan cut-off point terbaik untuk menyatakan nilai TAPSE yang rendah adalah 16,15 mm. Salah satu parameter akurasi alat diagnostik yang paling sering digunakan adalah Area Under ROC Curve (AUC). Suatu kurva ROC dengan nilai AUC 1,0 menggambarkan pemeriksaan yang sangat akurat, dengan sensitivitas dan spesifisitas 100%, sedangkan suatu kurva ROC dengan nilai AUC 0,0 menggambarkan pemeriksaan yang sama sekali tidak akurat. Oleh karena itu, nilai AUC yang semakin dekat dengan angka 1,0 menggambarkan suatu pemeriksaan diagnostik yang lebih akurat (Obuchowski, 2003). Nilai AUC yang didapatkan pada penelitian ini yaitu 0,871 (95% CI 0,778-0,964) untuk nilai MAPSE dan 0,701 (95% CI 0,565-0,837%) untuk nilai TAPSE. Nilai cut-off yang diperoleh dari penelitian ini tidak jauh berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Penelitian yang dilakukan oleh Nammas dan El- Okda menggunakan cut-off point <10 mm untuk menyatakan nilai MAPSE yang rendah pada pasien STEMI. Studi yang dilakukan oleh Antoni dkk. menggunakan cut-off point <16 mm, sedangkan studi yang dilakukan oleh Hayrapetyan dkk. menggunakan cut-off point <14 mm untuk menyatakan nilai TAPSE yang rendah pada pasien STEMI (Antoni dkk., 2010, Nammas & El-Okda, 2012, Hayrapetyan dkk., 2014). 6.3 Karakteristik Subyek Penelitian Selama penelitian, sebanyak 72 penderita IMA yang memenuhi kriteria inklusi diambil dengan cara consecutive sampling dari populasi penelitian. Pada

105 penelitian ini, diperoleh bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna dalam karakteristik dasar pasien bila dikelompokkan berdasarkan nilai MAPSE, kecuali dalam hal prevalensi DM, onset IMA, nilai troponin T, terapi reperfusi, dan EF ventrikel kiri. Hal yang sama juga ditemukan bila pasien dikelompokkan berdasarkan nilai TAPSE. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna dalam karakteristik dasar pasien kecuali dalam hal jenis kelamin, prevalensi DM, nilai troponin T, terapi reperfusi, dan EF ventrikel kiri. Pada penelitian ini didapatkan bahwa, pada pasien IMA lebih banyak wanita yang memiliki nilai TAPSE yang rendah dibandingkan pria. Sedangkan, pada kategori nilai MAPSE tidak didapatkan perbedaan yang bermakna berdasarkan jenis kelamin. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Woodfield dkk., didapatkan bahwa wanita memiliki angka mortalitas yang lebih tinggi setelah mengalami episode IMA dibandingkan dengan pria. Hal tersebut disebabkan karena wanita yang mengalami IMA biasanya berusia lebih tua dan memiliki lebih banyak faktor risiko (hipertensi, diabetes, hiperkolesterolemia) dibandingkan pria. Dari penelitian tersebut juga diperoleh bahwa tidak terdapat perbedaan fungsi sistolik ventrikel kiri yang signifikan pada pria dan wanita yang mengalami IMA, karena wanita memiliki respon hiperkinetik yang lebih tinggi dibandingkan pria pada area yang tidak mengalami infark (Woodfield dkk., 1997). Pada penelitian ini ditunjukkan bahwa terdapat lebih banyak pasien IMA yang juga menderita DM pada kategori nilai MAPSE dan nilai TAPSE yang rendah. Pada pasien DM terjadi peningkatan morbiditas dan mortalitas akibat penyakit jantung iskemik, seperti yang telah diungkapkan dalam berbagai studi

106 epidemiologis, termasuk studi Framingham. DM juga diketahui berhubungan dengan insiden IMA yang lebih tinggi. Selain itu, pasien dengan DM memiliki angka morbiditas dan mortalitas yang jauh lebih tinggi setelah episode IMA, dibandingkan pasien yang tidak menderita DM. Kondisi tersebut diketahui berhubungan dengan penurunan fungsi ventrikel yang sering terjadi pada pasien DM, sehingga memudahkan terjadinya gagal jantung. Hal tersebut disebabkan karena pada pasien DM biasanya terjadi proses atherosklerosis yang lebih berat dan adanya proses awal dari kardiomiopati diabetikum akibat peningkatan fibrosis pada miokardium (Gustafsson dkk., 2000). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hsu dkk., didapatkan bahwa pasien STEMI yang juga menderita DM memiliki luaran yang lebih buruk selama perawatan di rumah sakit, dibandingkan dengan pasien yang tidak menderita DM. Hal tersebut disebabkan karena adanya peningkatan insiden gagal jantung, reinfark, perluasan area infark, dan iskemia yang rekuren (Hsu dkk., 2011). Pada penelitian ini didapatkan bahwa pasien dengan nilai MAPSE dan nilai TAPSE yang rendah lebih sedikit yang menjalani terapi reperfusi dibandingkan dengan pasien dengan nilai MAPSE dan nilai TAPSE yang normal. SKA merupakan sindroma yang meliputi suatu spektrum presentasi klinis. Pada pasien dengan oklusi pembuluh darah yang total akan terjadi STEMI, yang memerlukan terapi reperfusi segera. Obstruksi pembuluh darah koroner secara parsial akan menyebabkan terjadinya NSTEMI atau UAP yang biasanya memerlukan stabilisasi menggunakan medikamentosa pada awal presentasi dan diikuti dengan stratifikasi risiko untuk menentukan strategi terapi (invasif atau konservatif).

107 Terapi reperfusi merupakan dasar dari terapi STEMI, dan dapat meliputi terapi fibrinolitik dan intervensi koroner perkutan. Terapi reperfusi harus dilakukan secepat mungkin untuk meminimalkan kerusakan pada miokard (Pesaro dkk., 2008). Berdasarkan studi oleh Harrison dkk., didapatkan bahwa perbaikan sistolik ventrikel secara global dan regional dapat terjadi pada pasien yang memperoleh terapi reperfusi, terutama pada kelompok pasien dengan fungsi ventrikel yang menurun secara akut dan diikuti dengan rekanalisasi arteri koroner yang berhasil dengan cepat juga (Harrison dkk., 1993). Terapi reperfusi juga dapat mengurangi perluasan infark, sehingga mempertahankan fungsi sistolik ventrikel dan mengurangi kemungkinan terjadinya komplikasi akibat IMA (Mateus dkk., 2005). Temuan lain dari penelitian ini adalah, pasien dengan nilai MAPSE dan nilai TAPSE yang rendah memiliki kadar Troponin T yang lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan nilai MAPSE dan nilai TAPSE yang normal. Biomarker jantung merupakan suatu makromolekul yang dikeluarkan ke sirkulasi perifer sebagai respon terhadap iskemia miokard. Diagnosis IMA secara enzimatik terutama berdasarkan pengukuran CKMB dan Troponin (I dan T) (Babcock dkk., 2009). Troponin diketahui memiliki spesifisitas dan sensitivisitas analitik yang lebih tinggi dibandingkan CKMB untuk mendeteksi suatu jejas pada miokard dan stratifikasi risiko. Kedua marker tersebut dapat digunakan baik sebagai penanda diagnostik dan prognostik. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Joarder dkk., didapatkan bahwa Troponin serum merupakan biomarker yang lebih baik dibandingkan CKMB untuk memprediksi risiko dan evaluasi prognosis pada pasien-pasien IMA (Joarder dkk., 2011). Berdasarkan

108 penelitian yang dilakukan oleh Bergenzaun dkk. juga diperoleh bahwa nilai hs- Troponin T memiliki korelasi negatif yang signifikan dengan nilai MAPSE (r = - 0,478; nilai p = 0,033) (Bergenzaun dkk., 2013). Hal tersebut menunjukkan bahwa adanya area nekrosis miokardial yang lebih luas yang berhubungan dengan fungsi sistolik ventrikel kiri yang lebih buruk pada pasien dengan nilai MAPSE yang rendah. (Nammas & El-Okda, 2012). Pada penelitian ini juga diperoleh data bahwa pasien dengan nilai MAPSE dan nilai TAPSE yang rendah juga memiliki EF yang lebih rendah secara signifikan bila dibandingkan dengan nilai MAPSE dan nilai TAPSE yang normal. MAPSE itu sendiri merupakan penanda fungsi sistolik ventrikel kiri dan memiliki korelasi yang sangat baik dengan EF ventrikel kiri. Penelitian yang dilakukan oleh Matos dkk. menunjukkan bahwa pengukuran MAPSE yang dilakukan oleh pengamat yang tidak terlatih merupakan prediktor yang sangat akurat terhadap EF yang ditentukan oleh operator ekokardiografi yang berpengalaman. Oleh karena itu, pengukuran MAPSE dapat menjadi suatu cara alternatif untuk menilai fungsi ventrikel kiri bila pemeriksaan ekokardiografi dilakukan tenaga yang kurang berpengalaman dan tidak terdapat ahli ekokardiografi yang tersedia dengan segera untuk memberikan konsultasi (Matos dkk., 2012). Fungsi sistolik ventrikel kanan yang dinyatakan dengan TAPSE juga diketahui berkorelasi dengan fungsi sistolik ventrikel kiri. Studi yang dilakukan oleh Izzo dkk., memperoleh hasil bahwa derajat penurunan fungsi sistolik ventrikel kanan yang dinyatakan dengan nilai TAPSE setelah kejadian IMA dipengaruhi oleh tingkat disfungsi ventrikel kiri. Pasien dengan nilai TAPSE yang rendah cenderung juga memiliki EF ventrikel

109 kiri yang rendah dan wall motion score index (WMSI) yang tinggi. Hal tersebut disebabkan karena terdapat konsep ventricular interdependence, sehingga bila terjadi gangguan pada ventrikel kiri, akan terjadi perubahan beban hemodinamik juga pada ventrikel kanan (Izzo dkk., 1998). 6.4 Nilai MAPSE yang Rendah sebagai Prediktor Kejadian Kardiovaskular Mayor saat Perawatan di Rumah Sakit pada Pasien IMA Penelitian ini menunjukkan bahwa nilai MAPSE yang rendah terbukti sebagai prediktor terjadinya kejadian kardiovaskular mayor saat perawatan di rumah sakit pada penderita IMA dengan hazard ratio sebesar 6,68 (HR = 6,68, 95% CI = 2,37-18,83, nilai p = <0,0001). Artinya, penderita IMA dengan nilai MAPSE yang rendah memiliki risiko untuk mengalami kejadian kardiovaskular mayor sebanyak hampir 7 kali lipat lebih besar dibandingkan kelompok pasien dengan nilai MAPSE yang normal. Kejadian kardiovaskular mayor merupakan komplikasi IMA yang berhubungan secara langsung dengan tingkat survival pasien. Derajat penurunan fungsi jantung pada infark miokard berhubungan secara langsung dengan luas kerusakan pada ventrikel kiri, sehingga pada pasien IMA dengan area infark yang luas, terjadi pula penurunan fungsi ventrikel secara akut. Disfungsi ventrikel kiri yang menyebabkan kegagalan pompa jantung merupakan prediktor mortalitas terpenting pada pasien IMA. Salah satu parameter ekokardiografi yang dapat digunakan untuk mengevaluasi fungsi ventrikel kiri pada pasien dengan IMA adalah MAPSE (Topol & Werf, 2007).

110 MAPSE merupakan parameter yang dapat diperiksa dengan mudah pada setting perawatan intensif, mengingat pada kondisi tersebut biasanya sulit diperoleh accoustic window yang optimal. Penurunan nilai MAPSE diketahui berhubungan dengan kondisi-kondisi yang mempengaruhi fungsi ventrikel kiri, contohnya infark miokard akut (Bergenzaun dkk., 2013). Hasil yang didapatkan pada penelitian ini konsisten dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Nammas dan El-Okda, yang menunjukkan bahwa nilai MAPSE < 10 mm yang diukur dalam waktu 24 jam setelah masuk rumah sakit akibat STEMI dapat digunakan untuk memprediksi kejadian kardiovaskular mayor pada saat perawatan di rumah sakit dengan sensitivitas 72,7%, spesifisitas 91,5%, nilai prediktif negatif 91,5%, dan nilai prediktif positif 72,7%. Berdasarkan penelitian tersebut diperoleh bahwa pasien STEMI dengan nilai MAPSE yang rendah memiliki risiko terjadinya kejadian kardiovaskular mayor sebesar 8,6 kali lipat dibandingkan pasien dengan nilai MAPSE yang normal. Pengukuran MAPSE juga dapat merefleksikan fungsi longitudinal sistolik global pada ventrikel kiri walaupun terdapat kondisi kontraksi ventrikel kiri yang asimetris pada IMA karena dilakukan di empat regio ventrikel kiri yang berbeda, yaitu septal, lateral, anterior, dan inferior. (Nammas & El-Okda, 2012). Pada penelitian ini juga diperoleh korelasi yang sangat baik antara nilai MAPSE dengan EF ventrikel kiri yang diukur menggunakan metode Biplane, dengan koefisien korelasi (r) sebesar 0,943 (nilai p < 0,001). Pada studi lain juga ditunjukkan bahwa pada pasien IMA, terdapat penurunan nilai MAPSE yang lebih bermakna pada area annulus yang berhubungan dengan dinding jantung yang mengalami

111 infark. Penurunan nilai MAPSE berhubungan dengan luas infark yang lebih ekstensif dan lesi atherosklerosis yang lebih bermakna, sehingga dapat memperburuk prognosis pada pasien dengan IMA (Elnoamany & Abdelhameed, 2006). 6.4 Nilai TAPSE yang Rendah sebagai Prediktor Kejadian Kardiovaskular Mayor saat Perawatan di Rumah Sakit pada Pasien IMA Penelitian ini menunjukkan bahwa nilai TAPSE yang rendah terbukti sebagai prediktor terjadinya kejadian kardiovaskular mayor saat perawatan di rumah sakit pada penderita IMA dengan hazard ratio sebesar 3 kali (HR = 3,29, 95% CI = 1,10-9,84, nilai p = 0,033). Artinya, penderita IMA dengan nilai TAPSE yang rendah memiliki risiko untuk mengalami kejadian kardiovaskular mayor sebanyak 3 kali lipat lebih besar dibandingkan kelompok pasien dengan nilai TAPSE yang normal. TAPSE merupakan suatu parameter yang tidak tergantung dengan usia dan jenis kelamin, baik pada individu yang sehat maupun pada penderita gagal jantung. TAPSE juga tidak memiliki hubungan dengan ukuran tubuh, sehingga pengukuran TAPSE dapat dilakukan secara rutin tanpa memerlukan koreksi terhadap luas permukaan tubuh (Kjaergaard dkk., 2009). Pengukuran TAPSE dapat dilakukan dengan mudah pada semua pasien tanpa memandang kecepatan denyut jantung dan irama jantung, sehingga pemeriksaan TAPSE dapat dilakukan pada pasien dengan kondisi takikardi atau fibrilasi atrium. TAPSE juga diketahui memiliki kekuatan prognostik yang lebih superior dibandingkan dengan parameter fungsi sistolik ventrikel kanan pada pemeriksaan ekokardiografi yang lain. Hal ini

112 dapat dijelaskan oleh adanya hipotesis bahwa penurunan nilai TAPSE dapat menggambarkan gangguan fungsi ventrikel kanan dengan lebih baik (Ghio dkk., 2000). Berbagai penelitian juga telah menunjukkan bahwa TAPSE berhubungan secara linear dengan fraksi ejeksi dan/atau perubahan area fraksional pada ventrikel kanan pada berbagai jenis penyakit jantung dan kondisi klinis termasuk iskemia miokard, gagal jantung kongestif, kardiomiopati, dan hipertensi pulmonal. Selain itu, penurunan TAPSE juga berhubungan dengan prognosis buruk pada pasien-pasien dengan penyakit jantung iskemik, hipertensi pulmonal, dan gagal jantung (Lamia dkk., 2007). Disfungsi ventrikel kanan yang digambarkan dengan penurunan nilai TAPSE pada pasien IMA dapat disebabkan oleh gangguan langsung terhadap fungsi ventrikel kanan akibat iskemia pada teritori inferior yang disebabkan oleh oklusi right coronary artery, atau bisa juga merupakan akibat sekunder karena peningkatan afterload akibat peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri pada infark yang melibatkan ventrikel kiri (Russ dkk., 2009). Terdapat beberapa bukti bahwa disfungsi ventrikel kanan berhubungan dengan prognosis yang buruk pada pasien-pasien pasca IMA yang disertai dengan disfungsi ventrikel kiri yang sedang hingga berat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Antoni dkk., diperoleh bahwa selain berdasarkan karakteristik klinis dan pengukuran fungsi ventrikel kiri menggunakan pemeriksaan ekokardiografi, fungsi ventrikel kanan dapat digunakan untuk memprediksi luaran yang buruk pada pasien pasca IMA secara signifikan. Selain itu, didapatkan nilai TAPSE yang lebih rendah secara bermakna pada pasien-pasien IMA yang mengalami disfungsi ventrikel kiri

113 dibandingkan dengan tanpa disfungsi ventrikel kiri (Antoni dkk., 2010). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Bedetti dkk., didapatkan bahwa nilai TAPSE yang rendah merupakan prediktor independen kejadian kardiovaskular mayor pada pasien IMA dengan HR sebesar 1,66 (95% CI 1,13-2,45; nilai p = 0,010) (Bedetti dkk., 2010). Studi lain yang dilakukan oleh Hayrapetyan dkk. memperoleh bahwa nilai TAPSE 14 mm dapat digunakan untuk memprediksi mortalitas di rumah sakit pada pasien STEMi dengan OR 2,89 dan nilai p < 0,05 (Hayrapetyan dkk., 2014). 6.6 Nilai TAPSE dan Nilai MAPSE yang Rendah sebagai Prediktor Kejadian Kardiovaskular Mayor saat Perawatan di Rumah Sakit pada Pasien IMA Penelitian ini menunjukkan bahwa nilai TAPSE dan nilai MAPSE yang rendah terbukti sebagai prediktor terjadinya kejadian kardiovaskular mayor saat perawatan di rumah sakit pada penderita IMA dengan hazard ratio sebesar 4 kali (RR = 4,26, 95% CI = 1,52-11,93, nilai p = 0,006). Artinya, penderita IMA dengan nilai TAPSE dan nilai MAPSE yang rendah memiliki risiko untuk mengalami kejadian kardiovaskular mayor sebanyak 4 kali lipat lebih besar dibandingkan pasien yang tidak termasuk dalam kelompok tersebut. Ventrikel kanan dan kiri diketahui memiliki korelasi yang erat karena dihubungkan dengan septum interventrikular yang terutama berfungsi sebagai bagian ventrikel kiri pada jantung yang normal. Selain itu, ventrikel kanan dan kiri juga diselubungi oleh satu perikardium (Bluzaitė dkk., 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Karaye dkk., memperoleh hasil bahwa nilai TAPSE memiliki korelasi yang signifikan dengan nilai MAPSE di area septal (r = 0,541; p <0,001)

114 dan lateral (r = 0,534; p <0,001) (Karaye dkk., 2010). Penurunan fungsi ventrikel kanan yang dinyatakan dengan nilai TAPSE dapat terjadi akibat gangguan pada ventrikel kiri. Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh proses ventricular interdependence, yang didefinisikan sebagai suatu konsep bahwa bentuk, ukuran, dan komplians dari salah satu ventrikel dapat mempengaruhi bentuk, ukuran, dan hubungan tekanan-volume pada ventrikel yang lain melalui interaksi mekanik secara langsung, independen terhadap pengaruh neural, humoral, atau sirkulasi (Lamia dkk., 2007). Penurunan EF juga diketahui berpengaruh terhadap nilai TAPSE. Pergerakan longitudinal septal dan segmen-segmen yang berdekatan berhubungan lebih erat dengan TAPSE dibandingkan pergerakan secara radialis yang dinilai oleh pergerakan dinding jantung dan segmen-segmen lateral. Adanya konsep ventricular interdependence yang ditemukan pada model eksperimental juga dapat menjelaskan adanya hubungan antara TAPSE dan EF ventrikel kiri. (Kjaergaard dkk., 2009). Penelitian GISSI-3 echo substudy yang dilakukan oleh Popescu dkk. juga menunjukkan bahwa nilai TAPSE lebih rendah secara signifikan pada pasien dengan EF ventrikel kiri <45% dibandingkan pasien dengan EF ventrikel kiri 45% yang diukur dalam jam pertama pasca kejadian IMA (Popescu dkk., 2005). Penelitian yang dilakukan oleh Bedetti dkk. menunjukkan bahwa pengukuran nilai TAPSE dapat memberikan informasi prognostik yang signifikan bila dilakukan bersamaan dengan evaluasi fungsi ventrikel kiri dan memiliki nilai prediktif yang kuat pada pasien-pasien dengan SKA (Bedetti dkk., 2010).

115 Penelitian yang dilakukan oleh Hayrapetyan dkk. juga menunjukkan bahwa penilaian fungsi sistolik ventrikel kanan yang ditunjukkan dengan nilai TAPSE bila dikombinasikan dengan penilaian fungsi sistolik ventrikel kiri yang ditunjukkan dengan nilai Myocardial Performance Index (MPI) dapat menambah nilai prognostik untuk memprediksi luaran pada pasien STEMI dibandingkan dengan hanya memeriksa salah satu parameter saja (Hayrapetyan dkk., 2014). 6.7 Keterbatasan Penelitian Penelitian ini merupakan kohort prospektif terhadap 72 orang penderita IMA pada satu pusat pelayanan kesehatan, yaitu RSUP Sanglah. Penelitian dilaksanakan antara bulan November 2014 hingga Januari Temuan pada penelitian ini berdasarkan studi yang dilakukan pada satu center saja dengan jumlah sampel yang relatif kecil, sehingga sulit untuk melakukan generalisasi hasil penelitian ini pada semua pasien IMA. Oleh karena itu, diperlukan penelitian multicenter menggunakan protokol yang sama dengan jumlah sampel yang lebih besar. Penelitian ini juga menggunakan parameter ekokardiografi sebagai variabel bebas, dengan sifat operator-dependent yang dimilikinya, sehingga penelitian lanjutan yang membandingkan antara nilai MAPSE dan TAPSE dengan baku emas untuk menilai fungsi sistolik ventrikel kiri dan kanan pada populasi IMA akan meningkatkan validitas hasil yang diperoleh pada penelitian ini. Penelitian ini juga hanya memberikan informasi mengenai kejadian kardiovaskular mayor yang dialami selama perawatan di rumah sakit, yang mungkin tidak menggambarkan prognosis pasien IMA secara keseluruhan. Oleh karena itu, dapat dilakukan pengembangan penelitian dengan masa follow-up yang lebih panjang

116 sehingga dapat dinilai juga prognosis jangka menengah dan jangka panjang pada pasien IMA dengan berdasarkan pada kategori nilai MAPSE dan nilai TAPSE.

117 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan Sebuah studi kohort prospektif telah dilakukan untuk membuktikan nilai TAPSE yang rendah, nilai MAPSE yang rendah, serta gabungan nilai TAPSE dan nilai MAPSE yang rendah sebagai prediktor kejadian kardiovaskular mayor pada pasien IMA di RSUP Sanglah. Berdasarkan hasil penelitian, dapat diperoleh simpulan sebagai berikut: 1. Nilai MAPSE yang rendah terbukti sebagai prediktor kejadian kardiovaskular mayor saat perawatan di rumah sakit pada pasien IMA. 2. Nilai TAPSE yang rendah terbukti sebagai prediktor kejadian kardiovaskular mayor saat perawatan di rumah sakit pada pasien IMA. 3. Gabungan nilai MAPSE yang rendah dan nilai TAPSE yang rendah terbukti sebagai prediktor kejadian kardiovaskular mayor saat perawatan di rumah sakit pada pasien IMA. 7.2 Saran Adapun saran-saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian ini antara lain sebagai berikut: 1. Sebaiknya dilakukan pengukuran MAPSE dan TAPSE secara rutin, sebagai parameter ekokardiografi yang sederhana dan reliabel, pada pasien yang dirawat dengan IMA untuk stratifikasi risiko dan mengetahui prognosis pasien.

118 2. Dapat dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui validitas pengukuran nilai TAPSE dan MAPSE terhadap penilaian fungsi sistolik ventrikel kanan dan kiri pada populasi IMA dengan cara membandingkan dengan parameter baku emas yang secara objektif dapat menilai fungsi sistolik ventrikel kanan dan ventrikel kiri. 3. Dapat dilakukan penelitian yang serupa dengan masa follow-up yang lebih panjang, sehingga dapat dinilai juga prognosis jangka menengah dan jangka panjang pada pasien IMA dengan berdasarkan pada kategori nilai MAPSE dan nilai TAPSE. 4. Dapat dilakukan suatu studi intervensional untuk menentukan apakah pemberian terapi medikamentosa yang lebih agresif atau tindakan intervensi dini dapat memperbaiki luaran pada pasien dengan nilai MAPSE dan TAPSE yang rendah. Nilai MAPSE dan TAPSE yang rendah menunjukkan terjadinya disfungsi ventrikel kiri dan kanan, yang pada populasi IMA berhubungan dengan adanya penurunan perfusi miokard akibat insufisiensi koroner, sehingga semua terapi yang dapat meningkatkan perfusi miokard dapat memiliki pengaruh yang positif terhadap fungsi kedua ventrikel, sehingga dapat memperbaiki prognosis pasien.

119 DAFTAR PUSTAKA Aaronson, P. I., Ward, J. P. T. & Connolly, M. J Pathophysiology of acute myocardial infarction. The Cardiovascular System at a Glance. Wiley- Blackwell. Abu-Assi, E., Ferreira-Gonza lez, I., Ribera, A., Marsal, J. R., Cascant, P., Heras, M., dkk Do GRACE (Global Registry of Acute Coronary events) risk scores still maintain their performance for predicting mortality in the era of contemporary management of acute coronary syndromes?. (Am Heart J, 160. ADA Executive summary: Standards of medical care in diabetes Diabetes Care, 33 Suppl 1, S4-10. Alam, M The Atrioventricular Plane Displacement as a Means of Evaluating Left Ventricular Systolic Function in Acute Myocardial Infarction. Clin Cardiol, 14, Antman, E. M. & Braunwald, E ST-Elevation Myocardial Infarction: Pathology, Pathophysiology, and Clinical Features. In: LIBBY, P., BONOW, R. O., MANN, D. L. & ZIPES, D. P. (eds.) Braunwald's Heart Disease: A Textbook of Cardiovascular Medicine. 8th ed. Philadelphia: Elsevier Inc. Antoni, M. L., Scherptong, R. W., Atary, J. Z., Boersma, E., Holman, E. R., van der Wall, E. E., dkk Prognostic value of right ventricular function in patients after acute myocardial infarction treated with primary percutaneous coronary intervention. Circ Cardiovasc Imaging, 3, Babcock, M. J., Drafts, B. & Sane, D. C Unstable Angina and Non-ST- Segment Elevation Myocardial Infarction. Hospital Physician, Bassand, J. P., Danchin, N., Filippatos, G., Gitt, A., Hamm, C., Silber, S., dkk Implementation of reperfusion therapy in acute myocardial infarction. A policy statement from the European Society of Cardiology. Eur Heart J, 26, Bedetti, G., Gargani, L., Sicari, R., Gianfaldoni, M. L., Molinaro, S. & Picano, E Comparison of Prognostic Value of Echocardiacgraphic Risk Score With the Thrombolysis In Myocardial Infarction (TIMI) and Global Registry In Acute Coronary Events (GRACE) Risk Scores in Acute Coronary Syndrome. Am J Cardiol, 106, Bergenzaun, L., Ohlin, H., Gudmundsson, P., Willenheimer, R. & Chew, M. S Mitral annular plane systolic excursion (MAPSE) in shock: a valuable echocardiographic parameter in intensive care patients. Cardiovasc Ultrasound, 11, 16.

120 Bluzaitė, I., Vaskelytė, J., Marcinkevicienė, J., Rickli, H. & Haager, P. K Practical aspects and challenges in the echocardiographic assessment of right ventricle and its function. Cardiovascular Medicine, 15, Brand, B., Rydberg, E., Ericsson, G., Gudmundsson, P. & Willenheimer, R Prognostication and risk stratification by assessment of left atrioventricular plane displacement in patients with myocardial infarction. Int J Cardiol, 83, Bruhl, S. R., Chahal, M. & Khouri, S. J A novel approach to standard techniques in the assessment and quantification of the interventricular systolic relationship. Cardiovasc Ultrasound, 9, 42. Bruton, A., Conway, J. H. & Holgate, S. T Reliability: What is it, and how is it measured? Physiotheraphy, 86, Cannon, C. P., Brindis, R. G., Chaitman, B. R., Cohen, D. J., Cross, J. T., Jr., Drozda, J. P., Jr., dkk ACCF/AHA key data elements and definitions for measuring the clinical management and outcomes of patients with acute coronary syndromes and coronary artery disease: a report of the American College of Cardiology Foundation/American Heart Association Task Force on Clinical Data Standards (Writing Committee to Develop Acute Coronary Syndromes and Coronary Artery Disease Clinical Data Standards). Crit Pathw Cardiol, 12, Chan, R. S. & Woo, J Prevention of overweight and obesity: how effective is the current public health approach. Int J Environ Res Public Health, 7, Chobanian, A. V., Bakris, G. L., Black, H. R., Cushman, W. C., Green, L. A., Izzo, J. L., Jr., dkk The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure: the JNC 7 report. JAMA, 289, Daga, L. C., Kaul, U. & Mansoor, A Approach to STEMI and NSTEMI. J Assoc Physicians India, 59 Suppl, Drost, E. A Validity and Reliability in Social Science Research. Education Research and Perspectives. Dziewierz, A., Siudak, Z., Dykla, D., Rakowski, T., Mielecki, W., Dubiel, J. S., dkk Management and mortality in patients with non-st-segment elevation vs. ST-segment elevation myocardial infarction. Data from the Malopolska Registry of Acute Coronary Syndromes. Kardiol Pol, 67, ; discussion Elnoamany, M. F. & Abdelhameed, A. K Mitral annular motion as a surrogate for left ventricular function: Correlation with brain natriuretic peptide levels. Eur J Echocardiography, 7,

121 Flachskampf, F. A., Schmid, M., Rost, C., Achenbach, S., DeMaria, A. N. & Daniel, W. G Cardiac imaging after myocardial infarction. Eur Heart J, 32, Fukuta, H. & Little, W. C The Cardiac Cycle and the Physiological Basis of Left Ventricular Contraction, Ejection, Relaxation, and Filling. Heart Fail Clin, 4, Fuster, V., Walsh, R. A. & Harring, R. A Pathophysiology of Heart Failure. In: FUSTER, V., WALSH, R. A. & HARRING, R. A. (eds.) Hurst's The Heart United States: The McGraw-Hill Companies. Ghio, S., Recusani, F., Klersy, C., Sebastiani, R., Laudisa, M. L., Campana, C., dkk Prognostic Usefulness of the Tricuspid Annular Plane Systolic Excursion in Patients With Congestive Heart Failure Secondary to Idiopathic or Ischemic Dilated Cardiomyopathy. Am J Cardiol, 85. Gustafsson, I., Hildebrandt, P., Seibaek, M., Melchior, T., Torp-Pedersen, C., Kober, L., dkk Long-term prognosis of diabetic patients with myocardial infarction: relation to antidiabetic treatment regimen. The TRACE Study Group. Eur Heart J, 21, Haddad, F., Hunt, S. A., Rosenthal, D. N. & Murphy, D. J Right ventricular function in cardiovascular disease, part I: Anatomy, physiology, aging, and functional assessment of the right ventricle. Circulation, 117, Hamilton, C. & Stamey, J Using Bland-Altman to assess agreement between two medical devices--don't forget the confidence intervals! J Clin Monit Comput, 21, Harrison, J. K., Califf, R. M., Woodlief, L. H., Kereiakes, D., George, B. S., Stack, R. S., dkk Systolic left ventricular function after reperfusion therapy for acute myocardial infarction. Analysis of determinants of improvement. The TAMI Study Group. Circulation, 87, Hayrapetyan, H. G., Adamyan, K. G. & Arakelyan, I. A Is combined myocardial performance index and tricuspid annular plane systolic excursion a better predictive estimator than each of them alone in patients with inferior ST-elevation myocardial infarction? Arch Turk Soc Cardiol, 42, Hicks, K. A., Tcheng, J. E., Bozkurt, B., Chaitman, B. R., Cutlip, D. E., Farb, A., dkk ACC/AHA Key Data Elements and Definitions for Cardiovascular and Stroke End Point Events for Clinical Trials. Circulation, Hsu, H.-P., Jou, Y.-L., Lin, S.-J., Charng, M.-J., Chen, Y.-H., Lee, W.-S., dkk Comparison of In-Hospital Outcome of Acute ST Elevation Myocardial Infarction in Patients with versus without Diabetes Mellitus. Acta Cardiol Sin, 27,

122 Hu, K., Liu, D., Herrmann, S., Niemann, M., Gaudron, P. D., Voelker, W., dkk. 2013a. Clinical implication of mitral annular plane systolic excursion for patients with cardiovascular disease. Eur Heart J Cardiovasc Imaging, 14, Hu, K., Liu, D., Niemann, M., Herrmann, S., Gaudron, P. D., Ertl, G., dkk. 2013b. Methods for assessment of left ventricular systolic function in technically difficult patients with poor imaging quality. J Am Soc Echocardiogr, 26, Izzo, A., Galderisi, M. & Divitiis, O. d The influence of left systolic ventricular function on right ventricular function after an acute myocardial infarct. Cardiologia, 43, Joarder, S., Hoque, M., Towhiduzzaman, M., Salehuddin, A., Islam, N., Akter, M., dkk Cardiac Troponin-I And CK-MB for Risk Stratification in Acute Myocardial Infarction (First Attack): A Comparative Study. Bangladesh J Med Biochem, 4, Karakurt, O. & Akdemir, R Right ventricular function in ST elevation myocardial infarction: effect of reperfusion. Clin Invest Med, 32, E Karaye, K., Habib, A., Mohammed, S., Rabiu, M. & Shehu, M Assessment of right ventricular systolic function using tricuspid annular-plane systolic excursion in Nigerians with systemic hypertension. Cardiovascular Journal of Africa, 21, Katritsis, D. G., Gersh, B. J. & Camm, A. J Acute myocardial infarction. In: KATRITSIS, D. G., GERSH, B. J. & CAMM, A. J. (eds.) Clinical Cardiology: Current Practice Guidelines. United Kingdom: Oxford University Press. Kjaergaard, J., Iversen, K. K., Akkan, D., Møller, J. E., Køber, L. V., Torp- Pedersen, C., dkk Predictors of right ventricular function as measured by tricuspid annular plane systolic excursion in heart failure. Cardiovasc Ultrasound, 7, 1-7. Kondur, A. K., Hari, P. & Afonso, L. C Complications of Myocardial Infarction [Online]. Medscape. Available: [Accessed 24th August 2014]. Lakhani, M. S., Qadir, F., Hanif, B., Farooq, S. & Khan, M Correlation of thrombolysis in myocardial infarction (TIMI) risk score with extent of coronary artery disease in patients with acute coronary syndrome. J Pak Med Assoc, 60, Lamia, B., Teboul, J.-L., Monnet, X., Richard, C. & Chemla, D Relationship between the tricuspid annular plane systolic excursion and right and left ventricular function in critically ill patients. Intensive Care Med, 33,

123 Lossnitzer, D., Steen, H., Lehrke, S., Korosoglou, G., Merten, C., Giannitsis, E., dkk MAPSE and TAPSE measured by MRI correlate with left and right ventricular ejection fraction and NTproBNP in patients with dilated cardiomyopathy. Journal of Cardiovascular Magnetic Resonance, 10, A238. Manouras, A., Shahgaldi, K., Winter, R., Brodin, L. A. & Nowak, J Measurements of left ventricular myocardial longitudinal systolic displacement using spectral and colour tissue Doppler: time for a reassessment? Cardiovasc Ultrasound, 7, 12. Masood, A., Naqvi, M. A., Jafar, S. S., Mufti, A. A. & Akram, Z Inhospital outcome of acute myocardial infarction in correlation with 'thrombolysis in myocardial infarction' risk score. J Ayub Med Coll Abbottabad, 21, Mateus, P. S., Dias, C. C., Betrencourt, N., Adao, L., Santos, L., Sampaio, F., dkk Left ventricular dysfunction after acute myocardial infarction--the impact of cardiovascular risk factors. Rev Port Cardiol, 24, Matos, J., Kronzon, I., Panagopoulos, G. & Perk, G Mitral Annular Plane Systolic Excursion as a Surrogate for Left Ventricular Ejection Fraction. J Am Soc Echocardiogr, 25, McMurray, J. J., Adamopoulos, S., Anker, S. D., Auricchio, A., Bohm, M., Dickstein, K., dkk ESC guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure 2012: The Task Force for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart Failure 2012 of the European Society of Cardiology. Developed in collaboration with the Heart Failure Association (HFA) of the ESC. Eur J Heart Fail, 14, Mjølstad, O. C., Snare, S. R., Folkvord, L., Helland, F., Grimsmo, A., Torp, H., dkk Assessment of left ventricular function by GPs using pocketsized ultrasound. Family Practice, 29, Moller, J., Sondergaard, E. & Poulsen, S Serial Doppler echocardiographic assessment of left and right ventricular performance after a first myocardial infarction. J Am Soc Echocardiogr, 14, Montalescot, G., Dallongeville, J., Van Belle, E., Rouanet, S., Baulac, C., Degrandsart, A., dkk STEMI and NSTEMI: are they so different? 1 year outcomes in acute myocardial infarction as defined by the ESC/ACC definition (the OPERA registry). Eur Heart J, 28, Mullasari, A. S., Balaji, P. & Khando, T Managing complications in acute myocardial infarction. J Assoc Physicians India, 59 Suppl, Nammas, W. & El-Okda, E Atrioventricular plane displacement: does it predict in-hospital outcome after acute myocardial infarction? European Review for Medical and Pharmacological Sciences, 16,

124 NCEP Third Report of the National Cholesterol Education Program (NCEP) Expert Panel on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Cholesterol in Adults (Adult Treatment Panel III) final report. Circulation, 106, Nonogi, H Complications of Acute Myocardial Infarction: Diagnosis and Treatment. JMAJ, 45, Obuchowski, N. A Receiver Operating Characteristic Curves and Their Use in Radiology. Radiology, 3-8. Panjrath, G., Josephson, E. B. & Herzog, E Evaluation in the Emergency Department and Cardiac Biomarkers. In: HONG, M. K. & HERZOG, E. (eds.) Acute Coronary Syndrome: Multidisciplinary and Pathway-Based Approach. London: Springer-Verlag. Pesaro, A. E., Campos, P. C., Katz, M., Correa, T. D. & Knobel, E Acute coronary syndromes: treatment and risk stratification. Rev Bras Ter Intensiva, 20, Pinedo, M., Villacorta, E., Tapia, C., Arnold, R., Lopez, J., Revilla, A., dkk Inter- and intra-observer variability in the echocardiographic evaluation of right ventricular function. Rev Esp Cardiol, 63, Popescu, B. A., Antonini-Canterin, F., Temporelli, P. L., Giannuzzi, P., Bosimini, E., Gentile, F., dkk Right ventricular functional recovery after acute myocardial infarction: relation with left ventricular function and interventricular septum motion. GISSI-3 echo substudy. Heart, 91, Rudski, L. G., Lai, W. W., Afilalo, J., Hua, L., Handschumacher, M. D., Chandrasekaran, K., dkk. 2010a. Guidelines for the echocardiographic assessment of the right heart in adults: a report from the American Society of Echocardiography endorsed by the European Association of Echocardiography, a registered branch of the European Society of Cardiology, and the Canadian Society of Echocardiography. J Am Soc Echocardiogr, 23, ; quiz Russ, M. A., Prondzinsky, R., Carter, J. M., Schlitt, A., Ebelt, H., Schmidt, H., dkk Right ventricular function in myocardial infarction complicated by cardiogenic shock: Improvement with levosimendan. Crit Care Med, 37, Santos, E. S., Aguiar Filho Lde, F., Fonseca, D. M., Londero, H. J., Xavier, R. M., Pereira, M. P., dkk Correlation of risk scores with coronary anatomy in non-st-elevation acute coronary syndrome. Arq Bras Cardiol, 100, Senter, S. & Francis, G. S A new, precise definition of acute myocardial infarction. Cleve Clin J Med, 76,

125 Sharif, D., Sharif-Rasslan, A., Shahla, C. & Rosenschein, U Application of Mitral Annular Systolic Displacements and Velocities for the Evaluation of Left Ventricular Systolic Function and Reserve. Cardiol Res, 2, Speiser, U., Hirschberger, M., Pilz, G., Heer, T., Sievers, B., Strasser, R. H., dkk Tricuspid annular plane systolic excursion assessed using MRI for semi-quantification of right ventricular ejection fraction. The British Journal of Radiology, 85, Steg, P. G., James, S. K., Atar, D., Badano, L. P., Blomstrom-Lundqvist, C., Borger, M. A., dkk ESC Guidelines for the management of acute myocardial infarction in patients presenting with ST-segment elevation. Eur Heart J, 33, Taşolar, H., Mete, T., Çetin, M., Altun, B., Ballı, M., Bayramoğlu, A., dkk Mitral annular plane systolic excursion in the assesment of the left ventricular diastolic dysunction in obese adults. Anadolu Kardiyol Derg, 14, Thygesen, K., Alpert, J. S., Jaffe, A. S., Simoons, M. L., Chaitman, B. R., White, H. D., dkk Third universal definition of myocardial infarction. Circulation, 126, Topol, E. J. & Werf, F. J. V. D Acute Myocardial Infarction: Early Diagnosis and Management. In: TOPOL, E. J. (ed.) Textbook of Cardiovascular Medicine. 3rd ed.: Lippincott Williams & Wilkins. Ueti, O. M., Camargo, E. E., Ueti Ade, A., de Lima-Filho, E. C. & Nogueira, E. A Assessment of right ventricular function with Doppler echocardiographic indices derived from tricuspid annular motion: comparison with radionuclide angiography. Heart, 88, van Erkel, A. R. & Pattynama, P. M Receiver operating characteristic (ROC) analysis: basic principles and applications in radiology. Eur J Radiol, 27, Willenheimer, R., Rydberg, E., Stagmo, M., Gudmundsson, P., Ericsson, G. & Erhardt, L Echocardiographic assessment of left atrioventricular plane displacement as a complement to left ventricular regional wall motion evaluation in the detection of myocardial dysfunction. Int J Cardiovasc Imaging, 18, Woodfield, S. L., Lundergan, C. F., Reiner, J. S., Thompson, M. A., Rohrbeck, S. C., Deychak, Y., dkk Gender and acute myocardial infarction: is there a different response to thrombolysis? J Am Coll Cardiol, 29, Zaky, A., Grabhorn, L. & Feigenbaum, H Movement of the mitral ring: a study in ultrasoundcardiography. Cardiovasc Res, 1,

126 Lampiran 1 INFORMASI PASIEN DAN FORMULIR PERSETUJUAN Kami mengharapkan kesediaan anda untuk ikut serta dalam penelitian yang akan dilaksanakan oleh dr. AA Ayu Dwi Adelia Yasmin Penelitian ini akan mengikut sertakan 72 orang termasuk anda. Mohon dibaca informasi ini dengan seksama sebelum anda memutuskan apakah anda bersedia ikut serta dalam penelitian ini. Apabila ada hal-hal yang belum jelas mengenai informasi ini, dapat ditanyakan kembali kepada kami sehingga informasi yang dimaksudkan benar-benar dapat diketahui secara memadai. Pada saat ini anda sedang dirawat di Unit Gawat Darurat (UGD) atau Unit Perawatan Intensif Jantung (UPIJ) RSUP Sanglah Denpasar oleh karena anda sedang mengalami gangguan/serangan jantung. Serangan yang ditandai oleh nyeri dada hebat, seperti: ditekan, terbakar, ditindih, ditusuk, diperas, yang dapat dirasakan sampai 20 menit atau lebih. Nyeri dada juga dapat dirasakan sampai di leher, lengan kiri, dagu, gigi, punggung, terkadang ke lengan kanan dan sering disertai rasa mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin serta lemas. Keluhan nyeri dada timbul akibat ketidakseimbangan antara pasokan dengan kebutuhan oksigen dari otot jantung oleh karena adanya penyempitan dan bahkan dapat terjadi penyumbatan dari pembuluh darah otot jantung (pembuluh darah koroner). Berbagai faktor risiko yang berpengaruh seperti; tingginya kadar kolesterol/lemak darah, kencing manis, darah tinggi, merokok, kegemukan, umur. Kolesterol akan menumpuk/berakumulasi pada dinding pembuluh darah koroner serta pada permukaannya dilapisi oleh lapisan otot dan jaringan ikat, menyebabkan dinding menonjol ke dalam saluran pembuluh darah (plak ateromatus). Fungsi pompa jantung pasca terjadinya serangan sangat mempengaruhi luaran yang terjadi pada pasien-pasien yang menderita serangan jantung. Terdapat berbagai pemeriksaan yang dapat digunakan untuk mengetahui fungsi pompa jantung, salah satunya dengan menggunakan alat ekokardiografi (USG jantung). MAPSE dan TAPSE merupakan parameter ekokardiografi yang sederhana, tidak

127 membutuhkan waktu lama untuk pengerjaannya, dan dapat digunakan untuk mengetahui fungsi pompa jantung pasca terjadinya serangan. Berkaitan dengan uraian diatas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai MAPSE dan nilai TAPSE yang rendah merupakan prediktor timbulnya kejadian kardiovaskular. Kejadian kardiovaskular dapat berupa: kematian, gagal jantung, syok kardiogenik, gangguan irama jantung, dan nyeri dada berulang pada penderita yang pernah menderita serangan jantung. Bila nanti diketahui/terbukti seperti yang telah diuraikan diatas, maka dengan melakukan pemeriksaan MAPSE dan TAPSE secara rutin pada penderita serangan jantung dapat dilakukan stratifikasi risiko, sehingga dapat menentukan tatalaksana yang optimal bagi penderita yang telah mengalami serangan jantung untuk mencegah terjadinya kejadian kardiovaskular. Penelitian ini tidak merubah prosedur dan penatalaksanaan yang ditetapkan oleh dokter anda. Prosedur yang berkenaan dengan penelitian ini antara lain: 1. Pemeriksaan ekokardiografi transthorakal untuk melakukan pengukuran nilai MAPSE dan TAPSE. Untuk pemeriksaan yang berkaitan dengan penelitian ini, anda tidak akan dikenakan biaya. 2. Pemeriksaan darah sesuai standar. 3. Pemeriksaan fisik terdiri dari pemeriksaan berat badan, tinggi badan, lingkar perut. 4. Pemeriksaan penunjang lainnya adalah Foto Rontgen Thoraks dan perekamam Elektrokardiogram. Petugas di UGD dan UPIJ serta petugas laboratorium akan melaksanakan segala prosedur di atas dengan menjaga kerahasiaan data kesehatan anda sedemikian rupa agar penelitian ini dapat berjalan baik. Segala prosedur ini hanya dapat dilakukan bila telah mendapat ijin dari anda dan dengan menandatangani pernyataan kesediaan (terlampir) setelah anda mengerti maksud, tujuan, manfaat dan prosedur penelitian ini. Data dari hasil pemeriksaan dan wawancara ini akan dikumpulkan ke dalam komputer dengan kode nama untuk menjaga kerahasiaan identitas anda. Hanya dokter peneliti yang mengetahui data kesehatan anda yang berkaitan dengan

128 penelitian ini. Namun bila anda ingin mengetahuinya, dapat memperolehnya dari kami. Data ini mungkin akan dipublikasi tanpa mencantumkan identitas sumber data. Apabila selama keikutsertaan anda dalam penelitian ini terdapat hal-hal yang dirasakan mengganggu dan merugikan anda dapat mengundurkan diri atau membatalkan keikutsertaan anda, tanpa prasyarat apapun. Untuk dapat berlangsungnya penelitian ini sesuai yang diharapkan, diperlukan kerjasama yang baik antara anda/keluarga, tim medis dan peneliti. Berkaitan dengan hal ini atau sewaktu-waktu anda memerlukan informasi lebih lanjut anda dapat menghubungi dr. AA Ayu Dwi Adelia Yasmin.

129 129 Surat Persetujuan Ikut Serta Dalam Penelitian Yang bertandatangan dibawah ini : Nama :... Umur :... Jenis Kelamin :... Etnis :... Pekerjaan :... Alamat :... No. KTP :... No. Telp/HP :... Nama Pendamping :... No. Telp/HP pendamping :... Setelah mendapatkan keterangan secukupnya dan memahami serta menyadari manfaat maupun risiko penelitian tentang: NILAI MITRAL ANNULAR PLANE SYSTOLIC EXCURSION (MAPSE) DAN TRICUSPID ANNULAR PLANE SYSTOLIC EXCURSION (TAPSE) YANG RENDAH SEBAGAI PREDIKTOR KEJADIAN KARDIOVASKULAR MAYOR PADA PASIEN INFARK MIOKARD AKUT (IMA) Dengan sukarela menyetujui diikutsertakan dalam penelitian tersebut serta mematuhi segala ketentuan penelitian yang sudah dipahami, dengan catatan apabila suatu saat merasa dirugikan dalam bentuk apapun, berhak membatalkan persetujuan ini. Mengetahui Penanggung jawab penelitian Denpasar, 2014 Yang menyetujui Peserta penelitian (dr. AA Ayu Dwi Adelia Yasmin) (...)

130 130 Lampiran 2 Lembar Pengumpulan Data Nama Umur Jenis Kelamin No Rekam Medis Suku Pekerjaan Tanggal MRS Berat badan Tinggi badan IMT Riwayat penyakit sebelumnya : Kebiasaan merokok Diagnosis Onset Skor TIMI/GRACE Tekanan Darah EKG Revaskularisasi Troponin T CKMB Gula darah sewaktu Gula darah puasa Gula darah 2 jam pp Leukosit Hb Ht Trombosit Ureum Kreatinin Asam urat SGOT SGPT Natrium Kalium LDL HDL Trigliserida Kolesterol total Hipertensi ( Ya/ Tidak ) Diabetes Melitus (Ya/Tidak) Dislipidemia (Ya/Tidak) Gagal Jantung (Ya/Tidak) ( Ya/ Tidak ),,,,,,, batang/hari, durasi: ST elevasi (Ya/Tidak) ST depresi (Ya/Tidak) T inversi (ya/tidak) Fibrinolitik (Ya/Tidak) PCI (Ya/Tidak) CABG (Ya/Tidak)

131 131 Pengamatan Penderita Kejadian Kardiovaskular Mayor Waktu Kejadian 1. Kematian Kardiovaskular 2. Gagal Jantung 3. Syok Kardiogenik 4. Aritmia 5. Angina Pascainfark Denpasar, 2014 Pemeriksa Pengamatan dilakukan saat penderita MRS dengan cara : Kunjungan tiap hari Berkomunikasi dengan penderita Berkoordinasi dengan tim medis (..)

132 132 Lampiran 3: HASIL PEMERIKSAAN EKOKARDIOGRAFI BEDSIDE NILAI MITRAL ANNULAR PLANE SYSTOLIC EXCURSION (MAPSE) DAN TRICUSPID ANNULAR PLANE SYSTOLIC EXCURSION (TAPSE) YANG RENDAH SEBAGAI PREDIKTOR KEJADIAN KARDIOVASKULAR MAYOR PADA PASIEN INFARK MIOKARD AKUT (IMA) I. Identitas Pasien a. Nama : b. Umur : c. No RM : d. Alamat : e. Diagnosis : II. Hasil Pemeriksaan Ekokardiografi No Pemeriksaan Nilai (mm) 1. MAPSE - Septal - Lateral - Anterior - Inferior Rerata MAPSE 2. TAPSE Nama Pemeriksa, ( )

133 133 Lampiran 4: Cara Pemeriksaan Laboratorium Untuk Penunjang Tesis a. Troponin T: pemeriksaan dilakukan pada plasma darah dengan metode immunochromotography. b. CKMB: pemeriksaan dilakukan pada plasma darah dengan metode immunochromotography. c. Gula Darah: pemeriksaan dilakukan pada serum darah dengan metode Heksokinase. d. Kolesterol Total: pemeriksaan dilakukan pada serum darah dengan metode CHOD PAP. e. Kolesterol LDL: pemeriksaan dilakukan pada serum darah dengan metode Enzymatik (homogenous). f. Kolesterol HDL: pemeriksaan dilakukan pada serum darah dengan metode Enzymatik (homogenous). g. Trigliserida: pemeriksaan dilakukan pada serum darah dengan metode enzimatik. h. SGOT: pemeriksaan dilakukan pada serum darah dengan metode IFCC (International Federation of Clinical Chemistry). i. SGPT: pemeriksaan dilakukan pada serum darah dengan metode IFCC (International Federation of Clinical Chemistry). j. Ureum: pemeriksaan dilakukan pada serum darah dengan metode kinetik GLDH. k. Kreatinin: pemeriksaan dilakukan pada serum darah dengan metode enzimatik colorimetric.

134 134 Lampiran 5. Data Penelitian Correlations TAPSE (DR VIANNEY) TAPSE (DR RANGGA) TAPSE (DR VIANNEY) Pearson Correlation ** Sig. (2-tailed).000 N TAPSE (DR RANGGA) Pearson Correlation.956 ** 1 Sig. (2-tailed).000 N Correlations TAPSE (DR VIANNEY) TAPSE (DR BADJRA) TAPSE (DR VIANNEY) Pearson Correlation ** Sig. (2-tailed).000 N TAPSE (DR BADJRA) Pearson Correlation.960 ** 1 Sig. (2-tailed).000 N **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

135 135 Correlations TAPSE (DR RANGGA) TAPSE (DR BADJRA) TAPSE (DR RANGGA) Pearson Correlation ** Sig. (2-tailed).000 N TAPSE (DR BADJRA) Pearson Correlation.961 ** 1 Sig. (2-tailed).000 N **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

136 136 Correlations MAPSE (DR VIANNEY) MAPSE (DR. BADJRA) MAPSE (DR VIANNEY) Pearson Correlation ** Sig. (2-tailed).000 N MAPSE (DR. BADJRA) Pearson Correlation.974 ** 1 Sig. (2-tailed).000 N **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

137 137 Correlations MAPSE (DR RANGGA) MAPSE (DR. BADJRA) MAPSE (DR RANGGA) Pearson Correlation ** Sig. (2-tailed).000 N MAPSE (DR. BADJRA) Pearson Correlation.971 ** 1 Sig. (2-tailed).000 N **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). 1.5 MAPSE1 - MAPSE SD 1.01 Mean SD Mean of MAPSE1 and MAPSE2 Bland-Altman plot Method A MAPSE1 Method B MAPSE2 Differences Sample size 72

138 138 Arithmetic mean % CI to P (H 0 : Mean=0) Standard deviation Lower limit % CI to Upper limit % CI to MAPSE1 - MAPSE SD 0.90 Mean SD Mean of MAPSE1 and MAPSE3 Bland-Altman plot Method A MAPSE1 Method B MAPSE3 Differences Sample size 72 Arithmetic mean % CI to P (H 0 : Mean=0) Standard deviation Lower limit % CI to Upper limit % CI to

139 139 MAPSE2 - MAPSE SD 0.97 Mean SD Mean of MAPSE2 and MAPSE3 Bland-Altman plot Method A MAPSE2 Method B MAPSE3 Differences Sample size 72 Arithmetic mean % CI to P (H 0 : Mean=0) Standard deviation Lower limit % CI to Upper limit % CI to TAPSE1 - TAPSE SD 2.3 Mean SD Mean of TAPSE1 and TAPSE2 Bland-Altman plot Method A TAPSE1 Method B TAPSE2 Differences Sample size 72 Arithmetic mean

140 140 95% CI to P (H 0 : Mean=0) Standard deviation Lower limit % CI to Upper limit % CI to TAPSE1 - TAPSE SD 2.2 Mean SD Mean of TAPSE1 and TAPSE3 Bland-Altman plot Method A TAPSE1 Method B TAPSE3 Differences Sample size 72 Arithmetic mean % CI to P (H 0 : Mean=0) Standard deviation Lower limit % CI to Upper limit % CI to

141 141 4 TAPSE2 - TAPSE SD 1.9 Mean SD Mean of TAPSE2 and TAPSE3 Bland-Altman plot Method A TAPSE2 Method B TAPSE3 Differences Sample size 72 Arithmetic mean % CI to P (H 0 : Mean=0) Standard deviation Lower limit % CI to Upper limit % CI to Area Under the Curve Test Result Variable(s):MEAN TAPSE Asymptotic 95% Confidence Interval Area Std. Error a Asymptotic Sig. b Lower Bound Upper Bound

142 142 The test result variable(s): MEAN TAPSE has at least one tie between the positive actual state group and the negative actual state group. Statistics may be biased. a. Under the nonparametric assumption b. Null hypothesis: true area = 0.5 Coordinates of the Curve Test Result Variable(s):MEAN TAPSE Positive if Greater Than or Equal To a Sensitivity 1 - Specificity

143 Area Under the Curve Test Result Variable(s):MEAN MAPSE Asymptotic 95% Confidence Interval Area Std. Error a Asymptotic Sig. b Lower Bound Upper Bound The test result variable(s): MEAN MAPSE has at least one tie between the positive actual state group and the negative actual state group. Statistics may be biased. a. Under the nonparametric assumption b. Null hypothesis: true area = 0.5 Coordinates of the Curve Test Result Variable(s):MEAN MAPSE Positive if Greater Than or Equal To a Sensitivity 1 - Specificity

144

145 The test result variable(s): MEAN MAPSE has at least one tie between the positive actual state group and the negative actual state group. JENIS KELAMIN * MAPSE_CAT Crosstab NILAI MAPSE YANG RENDAH (ABNORMAL) MAPSE_CAT NILAI MAPSE YANG NORMAL JENIS KELAMIN LAKI-LAKI Count % within JENIS KELAMIN 29.3% 70.7% % within MAPSE_CAT 73.9% 83.7% PEREMPUAN Count 6 8 % within JENIS KELAMIN 42.9% 57.1% % within MAPSE_CAT 26.1% 16.3% Total Count % within JENIS KELAMIN 31.9% 68.1% % within MAPSE_CAT 100.0% 100.0% Chi-Square Tests Value Df Asymp. Sig. (2-sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square.952 a Continuity Correction b Likelihood Ratio Fisher's Exact Test N of Valid Cases b 72 a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is b. Computed only for a 2x2 table RIWAYAT MEROKOK * MAPSE_CAT Crosstab NILAI MAPSE YANG RENDAH (ABNORMAL) MAPSE_CAT NILAI MAPSE YANG NORMAL RIWAYAT MEROKOK YA Count % within RIWAYAT MEROKOK 31.9% 68.1% % within MAPSE_CAT 65.2% 65.3% TIDAK Count 8 17 % within RIWAYAT MEROKOK 32.0% 68.0% % within MAPSE_CAT 34.8% 34.7% Total Count % within RIWAYAT MEROKOK 31.9% 68.1% % within MAPSE_CAT 100.0% 100.0%

146 146 Chi-Square Tests Value df Asymp. Sig. (2-sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square.000 a Continuity Correction b Likelihood Ratio Fisher's Exact Test N of Valid Cases b 72 a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is b. Computed only for a 2x2 table DISLIPIDEMIA * MAPSE_CAT Crosstab NILAI MAPSE YANG RENDAH (ABNORMAL) MAPSE_CAT NILAI MAPSE YANG NORMAL DISLIPIDEMIA YA Count Total % within DISLIPIDEMIA 26.1% 73.9% 100.0% % within MAPSE_CAT 52.2% 69.4% 63.9% TIDAK Count % within DISLIPIDEMIA 42.3% 57.7% 100.0% % within MAPSE_CAT 47.8% 30.6% 36.1% Total Count % within DISLIPIDEMIA 31.9% 68.1% 100.0% % within MAPSE_CAT 100.0% 100.0% 100.0% Chi-Square Tests Value df Asymp. Sig. (2-sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square a Continuity Correction b Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases b 72 a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is b. Computed only for a 2x2 table OBESITAS * MAPSE_CAT Crosstab NILAI MAPSE YANG RENDAH (ABNORMAL) MAPSE_CAT NILAI MAPSE YANG NORMAL OBESITAS 1 Count Total % within OBESITAS 33.3% 66.7% 100.0% % within MAPSE_CAT 8.7% 8.2% 8.3% 2 Count % within OBESITAS 31.8% 68.2% 100.0% % within MAPSE_CAT 91.3% 91.8% 91.7%

147 147 Total Count % within OBESITAS 31.9% 68.1% 100.0% % within MAPSE_CAT 100.0% 100.0% 100.0% Chi-Square Tests Value df Asymp. Sig. (2-sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square.006 a Continuity Correction b Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases b 72 a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is b. Computed only for a 2x2 table HIPERTENSI * MAPSE_CAT Crosstab NILAI MAPSE YANG RENDAH (ABNORMAL) MAPSE_CAT NILAI MAPSE YANG NORMAL HIPERTENSI 1 Count Total % within HIPERTENSI 34.9% 65.1% 100.0% % within MAPSE_CAT 65.2% 57.1% 59.7% 2 Count % within HIPERTENSI 27.6% 72.4% 100.0% % within MAPSE_CAT 34.8% 42.9% 40.3% Total Count % within HIPERTENSI 31.9% 68.1% 100.0% % within MAPSE_CAT 100.0% 100.0% 100.0% Chi-Square Tests Value df Asymp. Sig. (2-sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square.424 a Continuity Correction b Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases b 72 a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is b. Computed only for a 2x2 table DIABETESMELITUS * MAPSE_CAT Crosstab NILAI MAPSE YANG RENDAH (ABNORMAL) MAPSE_CAT NILAI MAPSE YANG NORMAL DIABETESMELITUS 1 Count % within DIABETESMELITUS 59.3% 40.7% % within MAPSE_CAT 69.6% 22.4%

148 148 2 Count 7 38 % within DIABETESMELITUS 15.6% 84.4% % within MAPSE_CAT 30.4% 77.6% Total Count % within DIABETESMELITUS 31.9% 68.1% % within MAPSE_CAT 100.0% 100.0% Chi-Square Tests Value df Asymp. Sig. (2-sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square a Continuity Correction b Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases b 72 a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is b. Computed only for a 2x2 table DIAGNOSIS KERJA * MAPSE_CAT Crosstab NILAI MAPSE YANG RENDAH (ABNORMAL) MAPSE_CAT NILAI MAPSE YANG NORMAL DIAGNOSIS KERJA STEMI Count % within DIAGNOSIS KERJA 26.2% 73.8% % within MAPSE_CAT 47.8% 63.3% NSTEMI Count % within DIAGNOSIS KERJA 40.0% 60.0% % within MAPSE_CAT 52.2% 36.7% Total Count % within DIAGNOSIS KERJA 31.9% 68.1% % within MAPSE_CAT 100.0% 100.0% Chi-Square Tests Value Df Asymp. Sig. (2-sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square a Continuity Correction b Likelihood Ratio Fisher's Exact Test N of Valid Cases b 72 a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is b. Computed only for a 2x2 table TERAPI REPERFUSI * MAPSE_CAT Crosstab NILAI MAPSE YANG RENDAH (ABNORMAL) MAPSE_CAT TERAPI REPERFUSI DENGAN REVASKULARISASI Count 3 NILAI

149 149 % within TERAPI REPERFUSI 12.5% % within MAPSE_CAT 13.0% TANPA REVASKULARISASI Count 20 % within TERAPI REPERFUSI 41.7% % within MAPSE_CAT 87.0% Total Count 23 % within TERAPI REPERFUSI 31.9% % within MAPSE_CAT 100.0% Chi-Square Tests Value Df Asymp. Sig. (2-sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square a Continuity Correction b Likelihood Ratio Fisher's Exact Test N of Valid Cases b 72 a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is b. Computed only for a 2x2 table JENIS KELAMIN * TAPSE_CAT Crosstab NILAI TAPSE YANG RENDAH (ABNORMAL) TAPSE_CAT NILAI TAPSE YANG NORMAL JENIS KELAMIN LAKI-LAKI Count % within JENIS KELAMIN 25.9% 74.1% % within TAPSE_CAT 62.5% 89.6% PEREMPUAN Count 9 5 % within JENIS KELAMIN 64.3% 35.7% % within TAPSE_CAT 37.5% 10.4% Total Count % within JENIS KELAMIN 33.3% 66.7% % within TAPSE_CAT 100.0% 100.0% Chi-Square Tests Value df Asymp. Sig. (2-sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square a Continuity Correction b Likelihood Ratio Fisher's Exact Test N of Valid Cases b 72 a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is b. Computed only for a 2x2 table RIWAYAT MEROKOK * TAPSE_CAT Crosstab TAPSE_CAT

150 150 NILAI TAPSE YANG RENDAH (ABNORMAL) NILAI TAPSE YANG NORMAL RIWAYAT MEROKOK YA Count % within RIWAYAT MEROKOK 29.8% 70.2% % within TAPSE_CAT 58.3% 68.8% TIDAK Count % within RIWAYAT MEROKOK 40.0% 60.0% % within TAPSE_CAT 41.7% 31.2% Total Count % within RIWAYAT MEROKOK 33.3% 66.7% % within TAPSE_CAT 100.0% 100.0% Chi-Square Tests Value df Asymp. Sig. (2-sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square.766 a Continuity Correction b Likelihood Ratio Fisher's Exact Test N of Valid Cases b 72 a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is b. Computed only for a 2x2 table DISLIPIDEMIA * TAPSE_CAT Crosstab NILAI TAPSE YANG RENDAH (ABNORMAL) TAPSE_CAT NILAI TAPSE YANG NORMAL DISLIPIDEMIA YA Count Total % within DISLIPIDEMIA 30.4% 69.6% 100.0% % within TAPSE_CAT 58.3% 66.7% 63.9% TIDAK Count % within DISLIPIDEMIA 38.5% 61.5% 100.0% % within TAPSE_CAT 41.7% 33.3% 36.1% Total Count % within DISLIPIDEMIA 33.3% 66.7% 100.0% % within TAPSE_CAT 100.0% 100.0% 100.0% Chi-Square Tests Value df Asymp. Sig. (2-sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square.482 a Continuity Correction b Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases b 72 a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is b. Computed only for a 2x2 table

151 151 OBESITAS * TAPSE_CAT Crosstab NILAI TAPSE YANG RENDAH (ABNORMAL) TAPSE_CAT NILAI TAPSE YANG NORMAL OBESITAS 1 Count Total % within OBESITAS 33.3% 66.7% 100.0% % within TAPSE_CAT 8.3% 8.3% 8.3% 2 Count % within OBESITAS 33.3% 66.7% 100.0% % within TAPSE_CAT 91.7% 91.7% 91.7% Total Count % within OBESITAS 33.3% 66.7% 100.0% % within TAPSE_CAT 100.0% 100.0% 100.0% Chi-Square Tests Value df Asymp. Sig. (2-sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square.000 a Continuity Correction b Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases b 72 a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is b. Computed only for a 2x2 table HIPERTENSI * TAPSE_CAT Crosstab NILAI TAPSE YANG RENDAH (ABNORMAL) TAPSE_CAT NILAI TAPSE YANG NORMAL HIPERTENSI 1 Count Total % within HIPERTENSI 34.9% 65.1% 100.0% % within TAPSE_CAT 62.5% 58.3% 59.7% 2 Count % within HIPERTENSI 31.0% 69.0% 100.0% % within TAPSE_CAT 37.5% 41.7% 40.3% Total Count % within HIPERTENSI 33.3% 66.7% 100.0% % within TAPSE_CAT 100.0% 100.0% 100.0% Chi-Square Tests Value df Asymp. Sig. (2-sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square.115 a Continuity Correction b Likelihood Ratio Fisher's Exact Test

152 152 Linear-by-Linear Association N of Valid Cases b 72 a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is b. Computed only for a 2x2 table DIABETESMELITUS * TAPSE_CAT Crosstab NILAI TAPSE YANG RENDAH (ABNORMAL) TAPSE_CAT NILAI TAPSE YANG NORMAL DIABETESMELITUS 1 Count 18 9 % within DIABETESMELITUS 66.7% 33.3% % within TAPSE_CAT 75.0% 18.8% 2 Count 6 39 % within DIABETESMELITUS 13.3% 86.7% % within TAPSE_CAT 25.0% 81.2% Total Count % within DIABETESMELITUS 33.3% 66.7% % within TAPSE_CAT 100.0% 100.0% Chi-Square Tests Value df Asymp. Sig. (2-sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square a Continuity Correction b Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases b 72 a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is b. Computed only for a 2x2 table DIAGNOSIS KERJA * TAPSE_CAT Crosstab NILAI TAPSE YANG RENDAH (ABNORMAL) TAPSE_CAT NILAI TAPSE YANG NORMAL DIAGNOSIS KERJA STEMI Count % within DIAGNOSIS KERJA 31.0% 69.0% % within TAPSE_CAT 54.2% 60.4% NSTEMI Count % within DIAGNOSIS KERJA 36.7% 63.3% % within TAPSE_CAT 45.8% 39.6% Total Count % within DIAGNOSIS KERJA 33.3% 66.7% % within TAPSE_CAT 100.0% 100.0% Chi-Square Tests Value df Asymp. Sig. (2-sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square.257 a Continuity Correction b

153 153 Likelihood Ratio Fisher's Exact Test N of Valid Cases b 72 a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is b. Computed only for a 2x2 table TERAPI REPERFUSI * TAPSE_CAT Crosstab NILAI TAPSE YANG RENDAH (ABNORMAL) TERAPI REPERFUSI DENGAN REVASKULARISASI Count 3 % within TERAPI REPERFUSI 12.5% % within TAPSE_CAT 12.5% TANPA REVASKULARISASI Count 21 % within TERAPI REPERFUSI 43.8% TAPSE_CAT % within TAPSE_CAT 87.5% Total Count 24 % within TERAPI REPERFUSI 33.3% % within TAPSE_CAT 100.0% NILAI Chi-Square Tests Value df Asymp. Sig. (2-sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square a Continuity Correction b Likelihood Ratio Fisher's Exact Test N of Valid Cases b 72 a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is b. Computed only for a 2x2 table Group Statistics UMUR SUBJEK LDL HDL TRIGLISERIDA KOLESTEROL TOTAL GULA DARAH SEWAKTU MAPSE_CAT N Mean Std. Deviation Std NILAI MAPSE YANG RENDAH (ABNORMAL) NILAI MAPSE YANG NORMAL NILAI MAPSE YANG RENDAH (ABNORMAL) E NILAI MAPSE YANG NORMAL E NILAI MAPSE YANG RENDAH (ABNORMAL) NILAI MAPSE YANG NORMAL NILAI MAPSE YANG RENDAH (ABNORMAL) E NILAI MAPSE YANG NORMAL E NILAI MAPSE YANG RENDAH (ABNORMAL) E NILAI MAPSE YANG NORMAL E NILAI MAPSE YANG RENDAH (ABNORMAL) E NILAI MAPSE YANG NORMAL E

154 154 TEKANAN DARAH SISTOLIK TEKANAN DARAH DIASTOLIK INDEKS MASSA TUBUH ONSET DALAM JAM CKMB TROPONIN T EJECTION FRACTION NILAI MAPSE YANG RENDAH (ABNORMAL) NILAI MAPSE YANG NORMAL NILAI MAPSE YANG RENDAH (ABNORMAL) NILAI MAPSE YANG NORMAL NILAI MAPSE YANG RENDAH (ABNORMAL) NILAI MAPSE YANG NORMAL NILAI MAPSE YANG RENDAH (ABNORMAL) NILAI MAPSE YANG NORMAL NILAI MAPSE YANG RENDAH (ABNORMAL) NILAI MAPSE YANG NORMAL NILAI MAPSE YANG RENDAH (ABNORMAL) NILAI MAPSE YANG NORMAL NILAI MAPSE YANG RENDAH (ABNORMAL) E NILAI MAPSE YANG NORMAL E % Confidence Interval of the Differe Independent Samples Test t-test for Equality of Means Sig. (2-tailed) Lower Upper UMUR SUBJEK Equal variances assumed Equal variances not assumed LDL Equal variances assumed Equal variances not assumed HDL Equal variances assumed Equal variances not assumed TRIGLISERIDA Equal variances assumed Equal variances not assumed KOLESTEROL TOTAL Equal variances assumed Equal variances not assumed GULA DARAH SEWAKTU Equal variances assumed Equal variances not assumed TEKANAN DARAH SISTOLIK Equal variances assumed Equal variances not assumed TEKANAN DARAH DIASTOLIK Equal variances assumed Equal variances not assumed INDEKS MASSA TUBUH Equal variances assumed Equal variances not assumed ONSET DALAM JAM Equal variances assumed Equal variances not assumed CKMB Equal variances assumed Equal variances not assumed TROPONIN T Equal variances assumed Equal variances not assumed

155 155 EJECTION FRACTION Equal variances assumed Equal variances not assumed UMUR SUBJEK LDL HDL TRIGLISERIDA KOLESTEROL TOTAL GULA DARAH SEWAKTU TEKANAN DARAH SISTOLIK TEKANAN DARAH DIASTOLIK INDEKS MASSA TUBUH ONSET DALAM JAM CKMB TROPONIN T EJECTION FRACTION Group Statistics TAPSE_CAT N Mean Std. Deviation Std NILAI TAPSE YANG RENDAH (ABNORMAL) NILAI TAPSE YANG NORMAL NILAI TAPSE YANG RENDAH (ABNORMAL) E NILAI TAPSE YANG NORMAL E NILAI TAPSE YANG RENDAH (ABNORMAL) NILAI TAPSE YANG NORMAL NILAI TAPSE YANG RENDAH (ABNORMAL) E NILAI TAPSE YANG NORMAL E NILAI TAPSE YANG RENDAH (ABNORMAL) E NILAI TAPSE YANG NORMAL E NILAI TAPSE YANG RENDAH (ABNORMAL) E NILAI TAPSE YANG NORMAL E NILAI TAPSE YANG RENDAH (ABNORMAL) NILAI TAPSE YANG NORMAL NILAI TAPSE YANG RENDAH (ABNORMAL) NILAI TAPSE YANG NORMAL NILAI TAPSE YANG RENDAH (ABNORMAL) NILAI TAPSE YANG NORMAL NILAI TAPSE YANG RENDAH (ABNORMAL) NILAI TAPSE YANG NORMAL NILAI TAPSE YANG RENDAH (ABNORMAL) NILAI TAPSE YANG NORMAL NILAI TAPSE YANG RENDAH (ABNORMAL) NILAI TAPSE YANG NORMAL NILAI TAPSE YANG RENDAH (ABNORMAL) E NILAI TAPSE YANG NORMAL E % Confidence Interval of the Differe Independent Samples Test t-test for Equality of Means Sig. (2-tailed) Lower Upper UMUR SUBJEK Equal variances assumed

156 156 Equal variances not assumed LDL Equal variances assumed Equal variances not assumed HDL Equal variances assumed Equal variances not assumed TRIGLISERIDA Equal variances assumed Equal variances not assumed KOLESTEROL TOTAL Equal variances assumed Equal variances not assumed GULA DARAH SEWAKTU Equal variances assumed Equal variances not assumed TEKANAN DARAH SISTOLIK Equal variances assumed Equal variances not assumed TEKANAN DARAH DIASTOLIK Equal variances assumed Equal variances not assumed INDEKS MASSA TUBUH Equal variances assumed Equal variances not assumed ONSET DALAM JAM Equal variances assumed Equal variances not assumed CKMB Equal variances assumed Equal variances not assumed TROPONIN T Equal variances assumed Equal variances not assumed EJECTION FRACTION Equal variances assumed Equal variances not assumed Survival Table MAPSE_CAT Time Status NILAI MAPSE YANG RENDAH (ABNORMAL) Cumulative Proportion Surviving at the Time Estimate Std. Error YA YA YA YA YA YA YA YA YA YA YA YA YA YA YA YA

157 YA YA TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK.. NILAI MAPSE YANG NORMAL YA YA YA YA YA YA YA TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK..

158 TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK.. MAPSE_CAT Means and Medians for Survival Time Mean a Estimate Std. Error 95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound NILAI MAPSE YANG RENDAH (ABNORMAL) NILAI MAPSE YANG NORMAL Overall a. Estimation is limited to the largest survival time if it is censored. Overall Comparisons Chi-Square df Sig. Log Rank (Mantel-Cox) Test of equality of survival distributions for the different levels of MAPSE_CAT. Omnibus Tests of Model Coefficients a,b Overall (score) -2 Log Likelihood Chi-square df Sig b. Beginning Block Number 1. Method = Enter

159 159 Variables in the Equation 95.0% CI for Exp(B) Sig. Exp(B) Lower Upper MAPSE_CAT Survival Table TAPSE_CAT Time Status NILAI TAPSE YANG RENDAH (ABNORMAL) Cumulative Proportion Surviving at the Time Estimate Std. Error YA YA YA YA YA YA YA YA YA YA YA YA YA YA TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK.. NILAI TAPSE YANG NORMAL YA YA YA YA YA YA YA YA YA YA YA

160 TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK.. TAPSE_CAT Means and Medians for Survival Time Mean a Estimate Std. Error 95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound NILAI TAPSE YANG RENDAH (ABNORMAL) NILAI TAPSE YANG NORMAL Overall a. Estimation is limited to the largest survival time if it is censored.

161 161 Overall Comparisons Chi-Square df Sig. Log Rank (Mantel-Cox) Test of equality of survival distributions for the different levels of TAPSE_CAT. Omnibus Tests of Model Coefficients a,b Overall (score) -2 Log Likelihood Chi-square df Sig b. Beginning Block Number 1. Method = Enter Variables in the Equation 95.0% CI for Exp(B) Sig. Exp(B) Lower Upper TAPSE_CAT Survival Table GABUNGAN_TAPS E_MAPSE Time Status Cumulative Proportion Surviving at the Time Estimate Std. Error YA YA YA YA YA YA YA YA

162 YA YA TIDAK TIDAK TIDAK YA YA YA YA YA YA YA YA YA YA YA YA YA YA YA TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK..

163 TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK.. GABUNGA N_TAPSE_ MAPSE Estimate Means and Medians for Survival Time Mean a Std. Error 95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound Overall a. Estimation is limited to the largest survival time if it is censored. Overall Comparisons Chi-Square df Sig. Log Rank (Mantel-Cox) Test of equality of survival distributions for the different levels of GABUNGAN_TAPSE_MAPSE.

164 164 Omnibus Tests of Model Coefficients a,b Overall (score) -2 Log Likelihood Chi-square df Sig b. Beginning Block Number 1. Method = Enter Variables in the Equation 95.0% CI for Exp(B) Sig. Exp(B) Lower Upper GABUNGAN_TAPSE_MAPSE Omnibus Tests of Model Coefficients a,b Overall (score) -2 Log Likelihood Chi-square df Sig b. Beginning Block Number 1. Method = Enter Variables in the Equation 95.0% CI for Exp(B) Sig. Exp(B) Lower Upper MAPSE_CAT UMUR JK MEROKOK REPERFUSI DISLIPIDEMIA OBESITAS HIPERTENSI

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan usia harapan hidup penduduk dunia membawa dampak

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan usia harapan hidup penduduk dunia membawa dampak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan usia harapan hidup penduduk dunia membawa dampak terhadap pergeseran epidemiologi penyakit. Kecenderungan penyakit bergeser dari penyakit dominasi penyakit

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman PERSETUJUAN PEMBIMBING... iii. UCAPAN TERIMA KASIH... v. ABSTRAK... viii. DAFTAR ISI... x. DAFTAR TABEL... xiv

DAFTAR ISI. Halaman PERSETUJUAN PEMBIMBING... iii. UCAPAN TERIMA KASIH... v. ABSTRAK... viii. DAFTAR ISI... x. DAFTAR TABEL... xiv DAFTAR ISI Halaman PERSETUJUAN PEMBIMBING... iii UCAPAN TERIMA KASIH... v ABSTRAK... viii DAFTAR ISI... x DAFTAR TABEL... xiv DAFTAR GAMBAR... xv DAFTAR LAMPIRAN... xvii DAFTAR SINGKATAN... xviii BAB I

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) adalah

BAB I PENDAHULUAN. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) adalah BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) adalah sindroma klinis yang ditandai dengan gejala khas iskemia miokard disertai elevasi segmen ST yang persisten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) merupakan suatu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) merupakan suatu sindroma klinis berupa sekumpulan gejala khas iskemik miokardia yang berhubungan dengan adanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit kardiovaskular menempati urutan pertama penyebab kematian di seluruh dunia. Sebanyak 17.3 juta orang diperkirakan meninggal oleh karena penyakit kardiovaskular

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. tersering kematian di negara industri (Kumar et al., 2007; Alwi, 2009). Infark

BAB 1 PENDAHULUAN. tersering kematian di negara industri (Kumar et al., 2007; Alwi, 2009). Infark BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infark miokard akut (IMA) yang dikenal sebagai serangan jantung, merupakan salah satu diagnosis rawat inap tersering di negara maju dan penyebab tersering kematian

Lebih terperinci

Informed Consent Penelitian

Informed Consent Penelitian 62 Lampiran 1. Lembar Kerja Penelitian Informed Consent Penelitian Yth. Bapak/Ibu.. Perkenalkan saya dr. Ahmad Handayani, akan melakukan penelitian yang berjudul Peran Indeks Syok Sebagai Prediktor Kejadian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) adalah penyakit

BAB I PENDAHULUAN. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) adalah penyakit BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) adalah penyakit sindroma koroner akut yang paling sering dijumpai pada usia dewasa. Penyakit ini terutama disebabkan

Lebih terperinci

B A B I PENDAHULUAN. Diabetes mellitus (DM) dengan penyakit kardiovaskular sangat erat

B A B I PENDAHULUAN. Diabetes mellitus (DM) dengan penyakit kardiovaskular sangat erat B A B I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Diabetes mellitus (DM) dengan penyakit kardiovaskular sangat erat kaitannya. Pasien dengan diabetes mellitus risiko menderita penyakit kardiovaskular meningkat menjadi

Lebih terperinci

DIAGNOSTIK C-REACTIVE PROTEIN (CRP) PADA PASIEN DENGAN APENDISITIS AKUT SKOR ALVARADO 5-6

DIAGNOSTIK C-REACTIVE PROTEIN (CRP) PADA PASIEN DENGAN APENDISITIS AKUT SKOR ALVARADO 5-6 TESIS VALIDITAS DIAGNOSTIK C-REACTIVE PROTEIN (CRP) PADA PASIEN DENGAN APENDISITIS AKUT SKOR ALVARADO 5-6 JIMMY NIM 0914028203 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menggambarkan pasien yang datang dengan Unstable Angina Pectoris. (UAP) atau dengan Acute Myocard Infark (AMI) baik dengan elevasi

BAB I PENDAHULUAN. menggambarkan pasien yang datang dengan Unstable Angina Pectoris. (UAP) atau dengan Acute Myocard Infark (AMI) baik dengan elevasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Istilah Acute Coronary Syndrome (ACS) digunakan untuk menggambarkan pasien yang datang dengan Unstable Angina Pectoris (UAP) atau dengan Acute Myocard Infark

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan problem kesehatan utama yang

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan problem kesehatan utama yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan problem kesehatan utama yang sangat serius, baik di Negara maju maupun di Negara berkembang. Data dari WHO tahun 2004 menyatakan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. infark miokard akut (IMA) merupakan penyebab utama kematian di dunia.

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. infark miokard akut (IMA) merupakan penyebab utama kematian di dunia. 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Data World Health Organization (WHO) tahun 2004 melaporkan bahwa infark miokard akut (IMA) merupakan penyebab utama kematian di dunia. Terhitung sebanyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. segmen ST yang persisten dan peningkatan biomarker nekrosis miokardium.

BAB I PENDAHULUAN. segmen ST yang persisten dan peningkatan biomarker nekrosis miokardium. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMAEST) adalah sindrom klinis yang ditandai dengan gejala khas iskemia miokardium disertai elevasi segmen ST yang persisten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama pada sebagian besar negara-negara maju maupun berkembang di seluruh

BAB I PENDAHULUAN. utama pada sebagian besar negara-negara maju maupun berkembang di seluruh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit kardiovaskular dewasa ini telah menjadi masalah kesehatan utama pada sebagian besar negara-negara maju maupun berkembang di seluruh dunia. Hal ini sebagian

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab nomor satu kematian di

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab nomor satu kematian di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab nomor satu kematian di dunia. Diperkirakan 17,5 juta orang meninggal dunia karena penyakit ini. Dan 7,4 juta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sindroma Koroner Akut (SKA) merupakan manifestasi klinis akut penyakit

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sindroma Koroner Akut (SKA) merupakan manifestasi klinis akut penyakit BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sindroma Koroner Akut (SKA) merupakan manifestasi klinis akut penyakit jantung koroner (PJK) yangmemiliki risiko komplikasi serius bahkan kematian penderita. Penyakit

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) didefinisikan

BAB I. PENDAHULUAN. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) didefinisikan BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) didefinisikan sebagai kondisi dimana muncul gejala-gejala khas iskemik miokard dan kenaikan segmen ST pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Stenosis mitral merupakan salah satu penyakit katup jantung. Pada kondisi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Stenosis mitral merupakan salah satu penyakit katup jantung. Pada kondisi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Stenosis mitral merupakan salah satu penyakit katup jantung. Pada kondisi ini terjadi perubahan struktur katup mitral yang menyebabkan gangguan pembukaan, sehingga aliran

Lebih terperinci

MEAN PLATELET VOLUME YANG TINGGI SEBAGAI PREDIKTOR KEJADIAN KARDIOVASKULAR MAYOR PADA PASIEN INFARK MIOKARD AKUT SAAT PERAWATAN DI RUMAH SAKIT

MEAN PLATELET VOLUME YANG TINGGI SEBAGAI PREDIKTOR KEJADIAN KARDIOVASKULAR MAYOR PADA PASIEN INFARK MIOKARD AKUT SAAT PERAWATAN DI RUMAH SAKIT TESIS MEAN PLATELET VOLUME YANG TINGGI SEBAGAI PREDIKTOR KEJADIAN KARDIOVASKULAR MAYOR PADA PASIEN INFARK MIOKARD AKUT SAAT PERAWATAN DI RUMAH SAKIT I GUSTI AGUNG BAGUS KRISNA JAYANTIKA PROGRAM PASCASARJANA

Lebih terperinci

HUBUNGAN TEKANAN DARAH SISTOLIK PADA PENDERITA INFARK MIOKARD AKUT SEGMEN ST ELEVASI ONSET < 12 JAM SAAT MASUK DENGAN MORTALITAS DI RSUP H.

HUBUNGAN TEKANAN DARAH SISTOLIK PADA PENDERITA INFARK MIOKARD AKUT SEGMEN ST ELEVASI ONSET < 12 JAM SAAT MASUK DENGAN MORTALITAS DI RSUP H. HUBUNGAN TEKANAN DARAH SISTOLIK PADA PENDERITA INFARK MIOKARD AKUT SEGMEN ST ELEVASI ONSET < 12 JAM SAAT MASUK DENGAN MORTALITAS DI RSUP H. ADAM MALIK TESIS MAGISTER Oleh ARY AGUNG PERMANA NIM : 117115004

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Penelitian. Penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab. kematian terbesar diseluruh dunia terutama yang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Penelitian. Penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab. kematian terbesar diseluruh dunia terutama yang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Penelitian Penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab kematian terbesar diseluruh dunia terutama yang berasosiasi dengan infark miokard. Menurut WHO, pada 2008 terdapat

Lebih terperinci

KADAR N-TERMINAL PRO B-TYPE NATRIURETIC PEPTIDE PLASMA YANG TINGGI SEBAGAI PREDIKTOR KEJADIAN KARDIOVASKULAR PADA PENDERITA SINDROMA KORONER AKUT

KADAR N-TERMINAL PRO B-TYPE NATRIURETIC PEPTIDE PLASMA YANG TINGGI SEBAGAI PREDIKTOR KEJADIAN KARDIOVASKULAR PADA PENDERITA SINDROMA KORONER AKUT TESIS KADAR N-TERMINAL PRO B-TYPE NATRIURETIC PEPTIDE PLASMA YANG TINGGI SEBAGAI PREDIKTOR KEJADIAN KARDIOVASKULAR PADA PENDERITA SINDROMA KORONER AKUT I PUTU AGUS WISMANTARA NIM 1014138101 PROGRAM MAGISTER

Lebih terperinci

ABSTRAK Latar belakang: Metode: Hasil: Simpulan: Kata Kunci:

ABSTRAK Latar belakang: Metode: Hasil: Simpulan: Kata Kunci: ABSTRAK Latar belakang: Sindrom koroner akut (SKA) merupakan suatu masalah kardiovaskular yang utama baik di negara maju maupun di negara berkembang. Meskipun telah banyak kemajuan yang dicapai dalam hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyebab terjadinya IMANEST dapat disebabkan oleh rupturnya plak. (Liwang dan Wijaya, 2014; PERKI, 2015).

BAB I PENDAHULUAN. Penyebab terjadinya IMANEST dapat disebabkan oleh rupturnya plak. (Liwang dan Wijaya, 2014; PERKI, 2015). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sindroma koroner akut merupakan terminologi yang digunakan untuk menggambarkan terjadinya infark/iskemik miokard yang terjadi secara akut. Keadaan ini biasanya disebabkan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit Acute Myocardial Infarction (AMI) merupakan penyebab

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit Acute Myocardial Infarction (AMI) merupakan penyebab BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Penyakit Acute Myocardial Infarction (AMI) merupakan penyebab kematian utama di dunia dan merupakan penyebab kematian pertama di Indonesia pada tahun 2002

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infark Miokardium Non Elevasi Segmen ST SKA adalah suatu definisi operasional yang menggambarkan spektrum kondisi terjadinya iskemia dan atau infark miokardium yang disebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Tingkat morbiditas dan mortalitas penyakit jantung. iskemik masih menduduki peringkat pertama di dunia

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Tingkat morbiditas dan mortalitas penyakit jantung. iskemik masih menduduki peringkat pertama di dunia BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Tingkat morbiditas dan mortalitas penyakit jantung iskemik masih menduduki peringkat pertama di dunia dalam dekade terakhir (2000-2011). Penyakit ini menjadi penyebab

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun fungsional dari pengisian atau pompa ventrikel (Yancy et al., 2013).

BAB I PENDAHULUAN. maupun fungsional dari pengisian atau pompa ventrikel (Yancy et al., 2013). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gagal jantung merupakan suatu sindrom klinis akibat kelainan struktural maupun fungsional dari pengisian atau pompa ventrikel (Yancy et al., 2013). Prevalensi gagal

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit negara-negara industri (Antman

BAB 1 PENDAHULUAN. terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit negara-negara industri (Antman BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa pada tahun 2012 penyakit kardiovaskuler lebih banyak menyebabkan kematian daripada penyakit lainnya. Infark miokard

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. gangguan kesehatan yang semakin meningkat di dunia (Renjith dan Jayakumari, perkembangan ekonomi (Renjith dan Jayakumari, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. gangguan kesehatan yang semakin meningkat di dunia (Renjith dan Jayakumari, perkembangan ekonomi (Renjith dan Jayakumari, 2011). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit jantung koroner (PJK) adalah penyebab utama kematian dan gangguan kesehatan yang semakin meningkat di dunia (Renjith dan Jayakumari, 2011). Dalam 3 dekade terakhir,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan pembunuh nomor satu di seluruh dunia. Lebih dari 80% kematian

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan pembunuh nomor satu di seluruh dunia. Lebih dari 80% kematian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit kardiovaskular yang terdiri dari penyakit jantung dan stroke merupakan pembunuh nomor satu di seluruh dunia. Lebih dari 80% kematian terjadi di negara berkembang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab utama kematian di negara maju dan diperkirakan akan terjadi di negara berkembang pada tahun 2020 (Tunstall. 1994). Diantaranya,

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan. I.1 Latar Belakang. Angina adalah tipe nyeri dada yang disebabkan oleh. berkurangnya aliran darah ke otot jantung.

BAB I. Pendahuluan. I.1 Latar Belakang. Angina adalah tipe nyeri dada yang disebabkan oleh. berkurangnya aliran darah ke otot jantung. BAB I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Angina adalah tipe nyeri dada yang disebabkan oleh berkurangnya aliran darah ke otot jantung. Angina seringkali digambarkan sebagai remasan, tekanan, rasa berat, rasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adanya peningkatan tekanan pengisian (backward failure), atau kombinasi

BAB I PENDAHULUAN. adanya peningkatan tekanan pengisian (backward failure), atau kombinasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gagal jantung terjadi ketika jantung tidak dapat memompa darah ke seluruh tubuh dengan jumlah yang cukup sesuai dengan kebutuhan metabolik tubuh (forward failure), atau

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Jantung Koroner 2.1.1 Definisi Penyakit jantung koroner adalah penyakit pada pembuluh darah arteri koroner yang terdapat di jantung, yaitu terjadinya penyempitan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kardiovaskuler secara cepat di negara maju dan negara berkembang.

BAB I PENDAHULUAN. kardiovaskuler secara cepat di negara maju dan negara berkembang. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini perubahan pola hidup yang terjadi meningkatkan prevalensi penyakit jantung dan berperan besar pada mortalitas serta morbiditas. Penyakit jantung diperkirakan

Lebih terperinci

MADE SATRIA YUDHA DEWANGGA NIM

MADE SATRIA YUDHA DEWANGGA NIM TESIS HUBUNGAN ANTARA HBA1C YANG TINGGI DENGAN KAPASITAS LATIHAN YANG RENDAH DAN HEMODINAMIK ABNORMAL PADA UJI LATIH TREADMILL PASIEN PASKA INFARK MIOKARD AKUT DENGAN DIABETES MELLITUS TIPE 2 MADE SATRIA

Lebih terperinci

PREVALENSI FAKTOR RESIKO MAYOR PADA PASIEN SINDROMA KORONER AKUT PERIODE JANUARI HINGGA DESEMBER 2013 YANG RAWAT INAP DI RSUP.

PREVALENSI FAKTOR RESIKO MAYOR PADA PASIEN SINDROMA KORONER AKUT PERIODE JANUARI HINGGA DESEMBER 2013 YANG RAWAT INAP DI RSUP. PREVALENSI FAKTOR RESIKO MAYOR PADA PASIEN SINDROMA KORONER AKUT PERIODE JANUARI HINGGA DESEMBER 2013 YANG RAWAT INAP DI RSUP. HAJI ADAM MALIK KARYA TULIS ILMIAH Oleh: SASHITHARRAN S/O NALLATHAMBI 110100511

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah salah satu manifestasi klinis

BAB I PENDAHULUAN. Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah salah satu manifestasi klinis BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah salah satu manifestasi klinis Penyakit Jantung Koroner (PJK) yang utama dan paling sering mengakibatkan kematian. Kasus ini menyebabkan

Lebih terperinci

PEMBAHASAN SINDROM KORONER AKUT

PEMBAHASAN SINDROM KORONER AKUT PEMBAHASAN SINDROM KORONER AKUT A. DEFINISI Sindrom koroner akut adalah keadaan gangguan aliran darah koroner parsial hingga total ke miokard secara akut. Berbeda dengan angina pektoris stabil, gangguan

Lebih terperinci

ANGKA KEJADIAN SINDROMA KORONER AKUT DAN HUBUNGANNYA DENGAN HIPERTENSI DI RSUP H. ADAM MALIK, MEDAN PADA TAHUN 2011 KARYA TULIS ILMIAH

ANGKA KEJADIAN SINDROMA KORONER AKUT DAN HUBUNGANNYA DENGAN HIPERTENSI DI RSUP H. ADAM MALIK, MEDAN PADA TAHUN 2011 KARYA TULIS ILMIAH ANGKA KEJADIAN SINDROMA KORONER AKUT DAN HUBUNGANNYA DENGAN HIPERTENSI DI RSUP H. ADAM MALIK, MEDAN PADA TAHUN 2011 KARYA TULIS ILMIAH Oleh : YASMEEN BINTI MOHAMMED AKRAM 100100270 FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. negara-negara maju maupun di negara berkembang. Acute coronary syndrome

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. negara-negara maju maupun di negara berkembang. Acute coronary syndrome 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit kardiovaskular hingga saat ini masih menjadi masalah kesehatan dunia dan masih merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas tertinggi di negara-negara maju

Lebih terperinci

B A B I PENDAHULUAN. negara-negara maju maupun berkembang. Diantara penyakit-penyakit tersebut,

B A B I PENDAHULUAN. negara-negara maju maupun berkembang. Diantara penyakit-penyakit tersebut, B A B I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Penyakit kardiovaskular saat ini merupakan penyebab kematian tertinggi di negara-negara maju maupun berkembang. Diantara penyakit-penyakit tersebut, penyakit

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. angka morbiditas penderitanya. Deteksi dini masih merupakan masalah yang susah

BAB 1 PENDAHULUAN. angka morbiditas penderitanya. Deteksi dini masih merupakan masalah yang susah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan penyakit yang menjadi masalah besar disetiap negara didunia ini, baik karena meningkatnya angka mortalitas maupun angka morbiditas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. banyak dengan manifestasi klinis yang paling sering, dan merupakan penyebab

BAB I PENDAHULUAN. banyak dengan manifestasi klinis yang paling sering, dan merupakan penyebab BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan jenis penyakit jantung yang paling banyak dengan manifestasi klinis yang paling sering, dan merupakan penyebab kematian tertinggi

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. PERSYARATAN GELAR... ii. PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii. PENETAPAN PANITIA PENGUJI... iv. SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT...

DAFTAR ISI. PERSYARATAN GELAR... ii. PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii. PENETAPAN PANITIA PENGUJI... iv. SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT... DAFTAR ISI Halaman SAMPUL DALAM... i PERSYARATAN GELAR... ii PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii PENETAPAN PANITIA PENGUJI... iv SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT... v UCAPAN TERIMA KASIH... vi ABSTRAK... ix DAFTAR

Lebih terperinci

Ns. Furaida Khasanah, M.Kep Medical surgical department

Ns. Furaida Khasanah, M.Kep Medical surgical department Ns. Furaida Khasanah, M.Kep Medical surgical department Survey WHO, 2009 : angka kematian akibat penyakit kardiovaskular terus meningkat, thn 2015 diperkirakan 20 juta kematian DKI Jakarta berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sindrom Koroner Akut (SKA)/Acute coronary syndrome (ACS) adalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sindrom Koroner Akut (SKA)/Acute coronary syndrome (ACS) adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sindrom Koroner Akut (SKA)/Acute coronary syndrome (ACS) adalah salah satu manifestasi klinis Penyakit Jantung Koroner (PJK) yang utama dan paling sering mengakibatkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit jantung koroner (PJK) atau iskemia miokard, adalah penyakit yang ditandai dengan iskemia (suplai darah berkurang) dari otot jantung, biasanya karena penyakit

Lebih terperinci

Manajemen Kardiak Pre-Operatif pada Pasien Pembedahan Non-Kardiak : Pendekatan Berbasis Individu dan Bukti Ringkasan

Manajemen Kardiak Pre-Operatif pada Pasien Pembedahan Non-Kardiak : Pendekatan Berbasis Individu dan Bukti Ringkasan Manajemen Kardiak Pre-Operatif pada Pasien Pembedahan Non-Kardiak : Pendekatan Berbasis Individu dan Bukti Ringkasan Manajemen kardiovaskular pre-operatif adalah bagian yang penting dari keseluruhan penanganan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit kardiovaskuler memiliki banyak macam, salah satunya adalah

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit kardiovaskuler memiliki banyak macam, salah satunya adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit kardiovaskuler memiliki banyak macam, salah satunya adalah sindrom koroner akut (Lilly, 2011). Sindom koroner akut (SKA) adalah istilah yang dipakai untuk menyatakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gagal jantung adalah sindroma klinis yang kompleks yang timbul akibat kelainan struktur dan atau fungsi jantung yang mengganggu kemampuan ventrikel kiri dalam mengisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. paling sering adalah berupa angina pektoris stabil (Tardif, 2010; Montalescot et al.,

BAB I PENDAHULUAN. paling sering adalah berupa angina pektoris stabil (Tardif, 2010; Montalescot et al., BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada penyakit jantung koroner (PJK) terdapat kondisi dimana terjadi ketidakseimbangan antara suplai oksigen dengan kebutuhan yang menyebabkan kondisi hipoksia pada miokardium

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. arrhythmias, hypertension, stroke, hyperlipidemia, acute myocardial infarction.

BAB 1 PENDAHULUAN. arrhythmias, hypertension, stroke, hyperlipidemia, acute myocardial infarction. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab utama kematian pada negara maju antara lain heart failure, ischemic heart disease, acute coronary syndromes, arrhythmias,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gagal jantung disebabkan oleh beberapa keadaan yang menyebabkan kerusakan otot jantung, termasuk Coronary Artery Disease (CAD), heart attack, kardiomiopati dan keadaan

Lebih terperinci

dari inti yang banyak mengandung lemak dan adanya infiltrasi sel makrofag. Biasanya ruptur terjadi pada tepi plak yang berdekatan dengan intima yang

dari inti yang banyak mengandung lemak dan adanya infiltrasi sel makrofag. Biasanya ruptur terjadi pada tepi plak yang berdekatan dengan intima yang Definisi Sindroma koroner akut adalah spektrum manifestasi akut dan berat yang merupakan keadaan kegawatdaruratan dari koroner akibat ketidakseimbangan antara kebutuhan oksigen miokardium dan aliran darah

Lebih terperinci

sebesar 0,8% diikuti Aceh, DKI Jakarta, dan Sulawesi Utara masing-masing sebesar 0,7 %. Sementara itu, hasil prevalensi jantung koroner menurut

sebesar 0,8% diikuti Aceh, DKI Jakarta, dan Sulawesi Utara masing-masing sebesar 0,7 %. Sementara itu, hasil prevalensi jantung koroner menurut BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit jantung koroner merupakan salah satu penyakit kardiovaskular yang menyumbang angka kematian terbesar di dunia. Disability-Adjusted Life Years (DALYs) mengatakan

Lebih terperinci

Lampiran 1 LEMBAR PENJELASAN

Lampiran 1 LEMBAR PENJELASAN Lampiran 1 LEMBAR PENJELASAN Faktor prognostik yang mempengaruhi mortalitas dan morbiditas pada pasien Sindroma Koroner Akut selama periode Januari sampai dengan Desember 2011 di RSUP. H. Adam Malik Medan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit jantung, stroke, dan penyakit periferal arterial merupakan penyakit yang mematikan. Di seluruh dunia, jumlah penderita penyakit ini terus bertambah. Pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. penyakit jantung dan pembuluh darah telah menduduki peringkat pertama sebagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. penyakit jantung dan pembuluh darah telah menduduki peringkat pertama sebagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit Jantung Koroner (PJK) atau penyakit kardiovaskuler saat ini merupakan salah satu penyebab utama kematian di negara maju dan berkembang. Hasil penelitian Tim

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menggambarkan proses ruptur plak aterosklerosis dan trombosis pada arteri koroner

BAB I PENDAHULUAN. menggambarkan proses ruptur plak aterosklerosis dan trombosis pada arteri koroner BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sindrom koroner akut (SKA) merupakan spektrum klinis yang menggambarkan proses ruptur plak aterosklerosis dan trombosis pada arteri koroner hingga terjadi iskemia dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menimpa populasi usia di bawah 60 tahun, usia produktif. Kondisi ini berdampak

BAB I PENDAHULUAN. menimpa populasi usia di bawah 60 tahun, usia produktif. Kondisi ini berdampak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit jantung dan stroke yang tergolong dalam penyakit kardiovaskular adalah pembunuh nomor satu di seluruh dunia. Lebih dari 80% kematian akibat penyakit kardiovaskular

Lebih terperinci

ECHO-GUIDED HEMODYNAMIC INTERVENTION. April Retno Susilo RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta

ECHO-GUIDED HEMODYNAMIC INTERVENTION. April Retno Susilo RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta ECHO-GUIDED HEMODYNAMIC INTERVENTION April Retno Susilo RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta Ekokardiografi di ICU Penggunaan echokardiografi di ICU meningkat, non-invasif Instabilitas HD

Lebih terperinci

Hubungan antara Kadar Troponin T dengan Fungsi Diastolik Ventrikel Kiri pada Pasien Sindrom Koroner Akut di RS Al Islam Bandung Tahun 2014

Hubungan antara Kadar Troponin T dengan Fungsi Diastolik Ventrikel Kiri pada Pasien Sindrom Koroner Akut di RS Al Islam Bandung Tahun 2014 Prosiding Pendidikan Dokter ISSN: 2460-657X Hubungan antara Kadar Troponin T dengan Fungsi Diastolik Ventrikel Kiri pada Pasien Sindrom Koroner Akut di RS Al Islam Bandung Tahun 2014 1 M.Fajar Sidiq, 2

Lebih terperinci

Penatalaksanaan Astigmatism No. Dokumen : No. Revisi : Tgl. Terbit : Halaman :

Penatalaksanaan Astigmatism No. Dokumen : No. Revisi : Tgl. Terbit : Halaman : 1. Pengertian Angina pektoris ialah suatu sindrom klinis berupa serangan nyeri dada yang khas, yaitu seperti rasa ditekan atau terasa berat di dada yang sering menjalar ke lengan kiri. Nyeri dada tersebut

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. darah termasuk penyakit jantung koroner, gagal jantung kongestif, infark

BAB 1 PENDAHULUAN. darah termasuk penyakit jantung koroner, gagal jantung kongestif, infark BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar belakang Penyakit kardiovaskular merupakan gangguan pada jantung dan pembuluh darah termasuk penyakit jantung koroner, gagal jantung kongestif, infark miokardium, penyakit vaskular

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. plak yang tersusun oleh kolesterol, substansi lemak, kalsium, fibrin, serta debris

BAB I PENDAHULUAN. plak yang tersusun oleh kolesterol, substansi lemak, kalsium, fibrin, serta debris BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Aterosklerosis merupakan suatu proses inflamasi kronik yang terjadi pada arteri akibat adanya disfungsi endotel. Proses ini ditandai oleh adanya timbunan plak yang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Subyek Penelitian Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan penurunan kadar HsCRP dan tekanan darah antara pemberian

Lebih terperinci

HIPERTENSI ARTERI PULMONAL IDIOPATIK

HIPERTENSI ARTERI PULMONAL IDIOPATIK 1 HIPERTENSI ARTERI PULMONAL IDIOPATIK Augustine Purnomowati Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular Fakultas Kedokteran UNPAD Bandung 2 Hipertensi Arteri Pulmonal Idiopatik Penerbit Departemen Kardiologi

Lebih terperinci

PENILAIAN TRICUSPID ANNULAR PLAIN SYSTOLIC EXCURSION (TAPSE) PADA PASIEN PRA DAN PASCA BEDAH PINTAS KORONER

PENILAIAN TRICUSPID ANNULAR PLAIN SYSTOLIC EXCURSION (TAPSE) PADA PASIEN PRA DAN PASCA BEDAH PINTAS KORONER PENILAIAN TRICUSPID ANNULAR PLAIN SYSTOLIC EXCURSION (TAPSE) PADA PASIEN PRA DAN PASCA BEDAH PINTAS KORONER Santi Wijayanti 1 dan Erna Wati 2 santi_wijayanti@yahoo.co.id 1 Karyawan PT RekanMilenium 2 Instruktur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. secara global, termasuk Indonesia. Pada tahun 2001, World Health Organization

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. secara global, termasuk Indonesia. Pada tahun 2001, World Health Organization BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit jantung dan pembuluh darah merupakan penyebab utama kematian secara global, termasuk Indonesia. Pada tahun 2001, World Health Organization (WHO) melaporkan

Lebih terperinci

Tatalaksana Sindroma Koroner Akut pada Fase Pre-Hospital

Tatalaksana Sindroma Koroner Akut pada Fase Pre-Hospital Tatalaksana Sindroma Koroner Akut pada Fase Pre-Hospital dr Jetty RH Sedyawan SpJP K FIHA FAsCC Sindroma koroner akut (SKA) atau acute coronary syndrome (ACS) merupakan suatu spektrum penyakit jantung

Lebih terperinci

DEFINISI OPERASIONAL Formulir Data Indonesia STEMI

DEFINISI OPERASIONAL Formulir Data Indonesia STEMI DEFINISI OPERASIONAL Formulir Data Indonesia STEMI No. Variabel Definisi Operasional dan Kode Cara Ukur 1 Rumah Sakit Nama fasilitas kesehatan yang mengisi formulir data sindrom koroner akut istemi 2 RM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Infark miokard akut merupakan salah satu penyakit. yang tergolong dalam non-communicable disease atau

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Infark miokard akut merupakan salah satu penyakit. yang tergolong dalam non-communicable disease atau BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Infark miokard akut merupakan salah satu penyakit yang tergolong dalam non-communicable disease atau penyakit tidak menular (PTM) yang kini angka kejadiannya makin

Lebih terperinci

HUBUNGAN MITRAL VALVE AREA (MVA) DENGAN HIPERTENSI PULMONAL PADA STENOSIS MITRAL LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

HUBUNGAN MITRAL VALVE AREA (MVA) DENGAN HIPERTENSI PULMONAL PADA STENOSIS MITRAL LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH HUBUNGAN MITRAL VALVE AREA (MVA) DENGAN HIPERTENSI PULMONAL PADA STENOSIS MITRAL LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai gelar sarjana strata 1 kedokteran

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. penelitian kohort selama 13 tahun di 3 wilayah di propinsi Jakarta ibukota

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. penelitian kohort selama 13 tahun di 3 wilayah di propinsi Jakarta ibukota BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Angka kematian penyakit kardiovaskular di Indonesia meningkat setiap tahunnya, tahun 2004 mencapai 30% dibandingkan tahun 1975 yang hanya 5%. Data Survei

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang. Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan masalah kesehatan dunia yang

BAB I PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang. Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan masalah kesehatan dunia yang 1 BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan masalah kesehatan dunia yang dapat menyebabkan gangguan kualitas hidup dan memperpendek harapan hidup (Wong, 2014). Pasien

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. menggunakan uji Chi Square atau Fisher Exact jika jumlah sel tidak. memenuhi (Sastroasmoro dan Ismael, 2011).

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. menggunakan uji Chi Square atau Fisher Exact jika jumlah sel tidak. memenuhi (Sastroasmoro dan Ismael, 2011). BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Hasil penelitian terdiri atas analisis deskriptif dan analisis data secara statistik, yaitu karakteristik dasar dan hasil analisis antar variabel

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan penyakit yang masih menjadi masalah baik di negara maju maupun negara berkembang (Rima Melati, 2008). Menurut WHO, 7.254.000 kematian

Lebih terperinci

Lembar Pengesahan TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 13 DESEMBER 2016

Lembar Pengesahan TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 13 DESEMBER 2016 Lembar Pengesahan TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 13 DESEMBER 2016 PEMBIMBING I, PEMBIMBING II, Prof. Dr. dr. I Gde Raka Widiana, Sp.PD-KGH DR. dr. I Wayan Sudhana, Sp.PD-KGH NIP. 195607071982111001

Lebih terperinci

PERBANDINGAN SINO-NASAL OUTCOME TEST 22 (SNOT-22) PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIK SEBELUM DAN SESUDAH PEMBEDAHAN DI RSUP SANGLAH TAHUN 2017

PERBANDINGAN SINO-NASAL OUTCOME TEST 22 (SNOT-22) PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIK SEBELUM DAN SESUDAH PEMBEDAHAN DI RSUP SANGLAH TAHUN 2017 TESIS PERBANDINGAN SINO-NASAL OUTCOME TEST 22 (SNOT-22) PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIK SEBELUM DAN SESUDAH PEMBEDAHAN DI RSUP SANGLAH TAHUN 2017 PUTU DIAN ARIYANTI PUTRI NIM 1314078103 PROGRAM PASCA SARJANA

Lebih terperinci

NILAI ATOPI KELUARGA MENENTUKAN KEJADIAN DERMATITIS ATOPIK PADA BAYI USIA 0-4 BULAN

NILAI ATOPI KELUARGA MENENTUKAN KEJADIAN DERMATITIS ATOPIK PADA BAYI USIA 0-4 BULAN TESIS NILAI ATOPI KELUARGA MENENTUKAN KEJADIAN DERMATITIS ATOPIK PADA BAYI USIA 0-4 BULAN MELISA ANGGRAENI NIM 0914018101 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA

Lebih terperinci

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2016 UJIAN TESIS

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2016 UJIAN TESIS TESIS ADEKUASI HEMODIALISIS MERUPAKAN FAKTOR PENENTU TIPE MALNUTRISI PADA PASIEN PENYAKIT GINJAL TAHAP AKHIR YANG MENJALANI HEMODIALISIS REGULER DI RSUP SANGLAH TAHUN 2016 I GEDE GUPITA DHARMA PROGRAM

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Jantung 2.1.1. Anatomi Jantung Gambar 2.1 Anatomi Jantung Dikutip dari Zafari, 2013 Jantung terdiri atas empat ruang yaitu atrium kanan, atrium kiri, ventrikel kanan, dan ventrikel

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kondisi hiperglikemia pada saat masuk ke rumah. sakit sering dijumpai pada pasien dengan infark miokard

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kondisi hiperglikemia pada saat masuk ke rumah. sakit sering dijumpai pada pasien dengan infark miokard BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kondisi hiperglikemia pada saat masuk ke rumah sakit sering dijumpai pada pasien dengan infark miokard akut (IMA) dan merupakan salah satu faktor risiko kematian dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi, Klasifikasi dan Komplikasi Sindroma Koroner Akut SKA adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan simptom yang disebabkan oleh iskemik miokard akut. SKA yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menempati peringkat ke-3 penyebab kematian setelah stroke dan hipertensi.

BAB I PENDAHULUAN. menempati peringkat ke-3 penyebab kematian setelah stroke dan hipertensi. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan penyebab kematian pertama pada negara-negara berkembang. Di Indonesia, menurut hasil Riset Kesehatan Dasar(RISKESDAS)

Lebih terperinci

KARDIOMIOPATI TAKOTSUBO

KARDIOMIOPATI TAKOTSUBO 1 KARDIOMIOPATI TAKOTSUBO Augustine Purnomowati Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular Fakultas Kedokteran UNPAD Bandung 2 Kardiomiopati Takotsubo Penerbit Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. jantung koroner yang utama dan paling sering mengakibatkan kematian (Departemen

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. jantung koroner yang utama dan paling sering mengakibatkan kematian (Departemen BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Acute coronary syndrome (ACS) adalah salah satu manifestasi klinis penyakit jantung koroner yang utama dan paling sering mengakibatkan kematian (Departemen Kesehatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Jantung merupakan suatu organ yang berfungsi memompa darah ke

BAB 1 PENDAHULUAN. Jantung merupakan suatu organ yang berfungsi memompa darah ke BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Jantung merupakan suatu organ yang berfungsi memompa darah ke seluruh jaringan tubuh serta menarik darah kembali ke jantung. Ketidakmampuan jantung melakukan fungsinya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Gagal jantung (heart failure) adalah sindrom klinis yang ditandai oleh sesak

BAB 1 PENDAHULUAN. Gagal jantung (heart failure) adalah sindrom klinis yang ditandai oleh sesak 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gagal jantung (heart failure) adalah sindrom klinis yang ditandai oleh sesak napas dan fatigue (saat istirahat atau saat aktivitas), edema dan tanda objektif adanya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Gagal jantung adalah keadaan di mana jantung tidak mampu memompa darah untuk mencukupi kebutuhan jaringan melakukan metabolisme dengan kata lain, diperlukan peningkatan

Lebih terperinci

NILAI HOMEOSTATIC MODEL ASSESSMENT INSULIN RESISTANCE BERKORELASI POSITIF DENGAN JUMLAH SKIN TAG

NILAI HOMEOSTATIC MODEL ASSESSMENT INSULIN RESISTANCE BERKORELASI POSITIF DENGAN JUMLAH SKIN TAG TESIS NILAI HOMEOSTATIC MODEL ASSESSMENT INSULIN RESISTANCE BERKORELASI POSITIF DENGAN JUMLAH SKIN TAG TJOKORDA ISTRI OKA DWIPRASETIA HANDAYANI NIM 1114088102 PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I BAGIAN/SMF

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Angina pektoris stabil adalah salah satu manifestasi. klinis dari penyakit jantung iskemik.

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Angina pektoris stabil adalah salah satu manifestasi. klinis dari penyakit jantung iskemik. 1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Angina pektoris stabil adalah salah satu manifestasi klinis dari penyakit jantung iskemik. Penyakit jantung iskemik adalah sebuah kondisi dimana aliran darah dan oksigen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jantung yang utama adalah sesak napas dan rasa lelah yang membatasi

BAB I PENDAHULUAN. jantung yang utama adalah sesak napas dan rasa lelah yang membatasi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gagal jantung adalah sindroma klinis yang kompleks (sekumpulan tanda dan gejala) akibat kelainan struktural dan fungsional jantung. Manifestasi gagal jantung yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan oksigen miokard. Biasanya disebabkan ruptur plak dengan formasi. trombus pada pembuluh koroner (Zafari, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan oksigen miokard. Biasanya disebabkan ruptur plak dengan formasi. trombus pada pembuluh koroner (Zafari, 2011). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infark miokard merupakan perkembangan yang cepat dari nekrosis miokard yang berkepanjangan dikarenakan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen miokard.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit kardiovaskuler adalah penyebab utama kematian di negara maju. Di negara yang sedang berkembang diprediksikan penyakit kardiovaskuler menjadi penyebab kematian

Lebih terperinci

ANALISIS JUMLAH, BIAYA DAN FAKTOR PENENTU TERJADINYA SISA MAKANAN PASIEN RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR

ANALISIS JUMLAH, BIAYA DAN FAKTOR PENENTU TERJADINYA SISA MAKANAN PASIEN RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR TESIS ANALISIS JUMLAH, BIAYA DAN FAKTOR PENENTU TERJADINYA SISA MAKANAN PASIEN RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR NI LUH PARTIWI WIRASAMADI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Prevalensi depresi pada populasi umum sekitar 4 % sampai 7 %.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Prevalensi depresi pada populasi umum sekitar 4 % sampai 7 %. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Prevalensi depresi pada populasi umum sekitar 4 % sampai 7 %. Prevalensi depresi pada pasien coronary artery disease (CAD) meningkat menjadi 14 % sampai 47 % dengan

Lebih terperinci