KORELASI KADAR F 2 -ISOPROSTAN URIN DAN ESTIMASI LAJU FILTRASI GLOMERULUS PADA PASIEN TALASEMIA BETA MAYOR KARYA AKHIR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KORELASI KADAR F 2 -ISOPROSTAN URIN DAN ESTIMASI LAJU FILTRASI GLOMERULUS PADA PASIEN TALASEMIA BETA MAYOR KARYA AKHIR"

Transkripsi

1 KORELASI KADAR F 2 -ISOPROSTAN URIN DAN ESTIMASI LAJU FILTRASI GLOMERULUS PADA PASIEN TALASEMIA BETA MAYOR KARYA AKHIR Disusun untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Dokter Spesialis Program Studi Patologi Klinik Oleh Sri Hadiati S PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS PATOLOGI KLINIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2016 i

2 ii

3 iii

4 iv

5 PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas berkah dan rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya akhir yang berjudul Korelasi Kadar F 2 -Isoprostan Urin dan Estimasi Laju Filtrasi Glomerulus pada Pasien Talasemia Beta Mayor. Penelitian ini dibuat untuk memenuhi persyaratan mencapai derajat Dokter Spesialis Patologi Klinik pada Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada: 1. Prof. Dr. R. Kasidi, MS selaku Rektor UNS Surakarta 2. Prof. Dr. Hartono dr., M.Si selaku Dekan Fakultas Kedokteran UNS Surakarta 3. Dr. Endang Agustinar, M.Kes selaku Direktur Rumah Sakit Umum Dokter Moewardi (RSDM) di Surakarta, yang telah mendukung dan menyediakan sarana penelitian Program Pendidikan Dokter Spesialis Patologi Klinik Universitas Sebelas Maret 4. MI Diah P, dr., Sp.PK(K), MSc., selaku Kepala Kelompok Satuan Medik Patologi Klinik RSDM di Surakarta 5. B. Rina A. Sidharta, dr., Sp.PK(K), selaku Kepala Program Studi Patologi Klinik FK UNS dan Kepala Instalasi Patologi Klinik RSDM di Surakarta serta selaku pembimbing I. Terima kasih atas bimbingan, masukan saran, koreksi dan kesabaran dalam membimbing penulisan karya akhir ini 6. Dian Ariningrum, dr., Sp.PK, M.Kes selaku Kepala Bagian Patologi Klinik FK UNS Surakarta dan selaku pembimbing II. Terima kasih atas bimbingan, masukan saran, koreksi dan kesabaran dalam membimbing penulisan karya akhir ini 7. Bapak dan Ibu staf pengajar PPDS Patologi Klinik Fakultas Kedokteran UNS/RSDM di Surakarta, para guru kami: Tahono dr., Sp.PK(K), H. Yuwono, dr., Sp.PK, Tonang Dwi A, dr., Sp.PK, PhD yang telah membimbing dan menjadi guru kami selama pendidikan v

6 8. Laboratorium Klinik Prodia Surakarta, Instalasi Patologi Klinik RSDM di Surakarta, Poliklinik dan Bangsal hematologi anak RSDM, serta Persatuan Orang tua Penderita Talasemia Indonesia (POPTI) cabang Solo, yang telah mendukung dan menyediakan sarana penelitian ini 9. Seluruh subjek penelitian, yang telah berkenan dan ikhlas memberikan pengorbanan demi kemajuan ilmu pengetahuan 10. Seluruh teman-teman PPDS Patologi Klinik Fakultas Kedokteran UNS/RSDM di Surakarta atas segala bantuan dan dukungan yang telah diberikan selama penelitian ini berlangsung. 11. Kedua orang tuaku Bapak Banani (alm), Ibu Suratmi yang telah membesarkan, mendidik, dan menanamkan rasa tanggung jawab dan disiplin serta memberikan dorongan dan dukungan penuh, sehingga penulis dapat mencapai jenjang pendidikan spesialisasi ini 12. Suami tercinta Firnawan Hendrayanto, ST. MT, terima kasih atas doa, dukungan dan kesabaran selama penulis menjalani pendidikan ini 13. Ananda putri tersayang, Jilan Nabila Firdy dan Hilwa Farhata Imany, terima kasih atas doa, dukungan, kesabaran, pengertian dan jiwa besarnya selama penulis menjalani pendidikan ini. Tak lupa pula terima kasih untuk kakak dan adik tersayang atas doa dan dukungannya Penulis menyadari bahwa karya akhir ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu dengan penuh rendah hati penulis mengharapkan masukan, koreksi dan saran demi perbaikan sehingga bermanfaat bagi perkembangan keilmuan di bidang Patologi Klinik. Akhir kata, penulis berharap semoga karya akhir ini dapat memberikan manfaat yang bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang Patologi Klinik dan semua pihak yang membutuhkan. Surakarta, 19 Juli 2016 Sri Hadiati vi

7 DAFTAR ISI Halaman Judul... Lembar Pengesahan... Halaman Persetujuan... Pernyataan..... Prakata... Daftar Isi..... Daftar Gambar..... Daftar Tabel..... Daftar Lampiran... Daftar Singkatan... Intisari... Abstract... BAB I. PENDAHULUAN..... A. Latar Belakang.... B. Perumusan Masalah... C. Tujuan Penelitian... D. Manfaat Penelitian... E. Keaslian Penelitian... BAB II. TINJAUAN PUSTAKA..... A. Kajian Teori Talasemia Beta Mayor Stres Oksidatif F 2 -Isoprostan Mekanisme Gangguan Fungsi Ginjal pada TBM Pemeriksaan Laboratorium Fungsi Ginjal... a. Kreatinin... b. Laju Filtrasi Glomerulus... B. Kerangka Pikir.... C. Hipotesis BAB III. METODE DAN CARA PENELITIAN A. Rancangan Penelitian B. Tempat dan Waktu Penelitian C. Subjek Penelitian D. Bahan dan Alat E. Cara, Prosedur dan Skema Alur Penelitian Cara Penelitian Prosedur Penelitian... a.f 2 -Isoprostan..... b.kreatinin Serum dan Kreatinin Urin c.pengukuran Tinggi Badan Skema Alur Penelitian F. Identifikasi Variabel Penelitian G. Definisi operasional Variabel Penelitian H. Kontrol Kualitas Internal..... I. Analisis Statistik J. Pertimbangan Etik BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... A. Validitas Uji Analitik... i ii iii iv v vii ix x xi xii xiii xiv vii

8 1. Uji Presisi Uji Akurasi... B. Karakteristik Subyek Penelitian... C. Uji Komparasi... D. Uji Korelasi... BAB V. SIMPULAN DAN SARAN... Ringkasan... Daftar Pustaka Lampiran viii

9 DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Pembentukan Hidroksi Radikal pada Reaksi Haber-Weiss dan Reaksi Fenton Gambar 2. Hasil F 2 -IsoPs urin metode GCMS dan ELISA... Gambar 3. Pembentukan Radikal Bebas yang diinduksi Oksidasi AA... Gambar 4. Mekanisme Gangguan Fungsi Ginjal pada TBM..... Gambar 5. Perbandingan Formula Schwartz dan Inulin Clearance... Gambar 6. Bagan Kerangka Pikir Gambar 7. Skema Pemeriksaan 8-IsoPs secara EIA Gambar 8. Preparasi Larutan-larutan Standar Pemeriksaan 8-IsoPs Gambar 9. Format Plate Pemeriksaan 8-IsoPs..... Gambar 10. Skema Alur Penelitian Gambar 11. Grafik Korelasi F 2 -IsoPs urin dan elfg... Gambar 12. Hubungan antara nilai LFG dengan AER ix

10 DAFTAR TABEL Tabel 1. Tabel 2. Tabel 3. Tabel 4. Tabel 5. Tabel 6 Tabel 7. Tabel 8. Tabel 9. Tabel 10. Keaslian penelitian... Biomarker kerusakan stres oksidatif... Klasifikasi PGK berdasarkan kategori LFG... Nilai rujukan kreatinin serum menurut usia... Spesifitas 8-IsoPG EIA... Hasil uji presisi pemeriksaan kreatinin serum dan F 2 -IsoPs urin... Hasil uji akurasi untuk pemeriksaan kreatinin serum... Deskripsi karakteristik subjek penelitian... Hasil uji komparasi... Korelasi Spearman F 2 -IsoPs urin dengan beberapa variabel penelitian pada pasien TBM x

11 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Data subyek penelitian... Lampiran 2. Hasil Perhitungan statistik... Lampiran 3. Hasil pemeriksaan F 2 -IsoPs urin... Lampiran 4. Hasil QC kreatinin serum... Lampiran 5. Penjelasan penelitian... Lampiran 6. Surat pernyataan bersedia menjasi subjek penelitian... Lampiran 7. Data isian responden... Lampiran 8. Kelaikan etik... Lampiran 9. Dokumentasi proses pemeriksaan F 2 -IsoPs xi

12 DAFTAR SINGKATAN AA Asam arakidonat AChE Acetylcholinesterase AU Absorban Unit B 0 Maximum binding BHT Butylated hydroxytoluene Blk Blank BM Bone marrow BTM Beta talasemia mayor CCl4 Carbon tetrachloride CKD Chronic kidney disease COX Cyclooxygenase DM Diabetes mellitus DNA Deoxyribonucleic acid elfg Estimasi laju filtrasi glomerulus EIA Enzyme immunoassay F 2 -IsoPs F 2 -isoprostan Fe 2+ Ferrous iron Fe 3+ Ferric iron GC-MS Gas chromatography-mass spectrometry GPx Glutathione peroxidase H 2 O 2 hidrogen peroksida KV Koefisien variasi L carbon-centered lipid radical LOO peroxy lipid radical LOOH hidroperoksida lipid MDA Malondialdehyde mg miligram ml mililiter µl mikroliter NADH Nicotinamide adenine dinucleotide tereduksi NAD Nicotinamide adenine dinucleotide teroksidasi NSB Non-specific binding - O 2 superoxide OH Hydroxyl radical PFOA Perfluorooctanoic acid PG Prostaglandin ng Nanogram PRC Packed red blood cell PUFA Polyunsaturated fatty acid ROS Reactive oxygen species S Standard SB Simpang baku SOD Sarkosin oxidase TA Total activity TBARS Thiobarbituric acid-reacting substances TGF-β Transforming growth factor beta U/L Unit per liter xii

13 KORELASI KADAR F 2 -ISOPROSTAN URIN DAN ESTIMASI LAJU FILTRASI GLOMERULUS PADA PASIEN TALASEMIA BETA MAYOR INTISARI Sri Hadiati 1, B. Rina A. Sidharta 2, Dian Ariningrum 2 1 Program Pendidikan Dokter Spesialis Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret/Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi di Surakarta 2 Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret/ Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi di Surakarta Pemberian transfusi darah kronik pada pasien talasemia beta mayor (TBM) dapat menyebabkan kelebihan kadar besi dalam tubuh yang memicu timbulnya reactive oxygen species (ROS) yang diukur dalam bentuk F 2 -IsoPs urin dan gangguan ginjal yang diukur dengan estimasi laju filtrasi glomerulus (elfg). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi kadar F 2 -IsoPs urin dengan elfg pada pasien TBM. Penelitian secara potong lintang pada bulan Mei-Juni Subjek sebanyak 30 pasien TBM yang datang ke Instalasi rawat jalan Bagian Ilmu Kesehatan Anak (IKA) dan Bangsal Talasemia yang dilakukan pemeriksaan di Instalasi Patologi Klinik RSDM di Surakarta. Analisis statistik menggunakan uji korelasi Spearman, kemaknaan statistik ditujukkan dengan nilai p < 0,05 dan interval kepercayaan 95%. Hasil penelitian didapatkan rerata usia 12,2 ± 3,57 tahun, laki-laki 15 orang (50%) dan wanita 15 orang (50%). Rerata kadar F 2 -IsoPs urin adalah 2,36 ± 1,11 ng/mg kreatinin urin. Hasil elfg berada pada median 271,3 dengan nilai minimum 199,8 dan nilai maksimum 476,0 ml/menit/1,73m 2. Hasil korelasi F 2 -IsoPs urin dengan elfg r = 0,740; p = 0,001. Terdapat korelasi positif kuat dan bermakna antara F 2 -IsoPs urin dengan elfg menunjukkan bahwa terjadi peningkatan nilai elfg seiring dengan peningkatan F 2 -IsoPs urin. Penelitian ini didapatkan nilai elfg yang lebih tinggi dari normal/cenderung hiperfiltrasi yang merupakan tahap awal penyakit ginjal kronik. elfg dapat digunakan untuk meramalkan tingkat stres oksidatif pada pasien TBM. Perlu penelitian lanjutan dengan desain yang berbeda untuk mengevaluasi korelasi peningkatan F 2 -IsoPs urin dan elfg dengan menentukan marker yang dapat membedakan kerusakan oksidatif pada glomerulus/tubulus ginjal. Kata kunci: TBM, F 2 -Isoprostan urin, elfg xiii

14 THE CORRELATION OF URINARY F 2 -ISOPROSTAN AND ESTIMATED GLOMERULOFILTRATION RATE IN BETA THALASSEMIC MAYOR PATIENTS ABSTRACT Sri Hadiati 1, B. Rina A. Sidharta 2, Dian Ariningrum 2 1 Clinical Pathology Educational Programme, Faculty of Medicine Sebelas Maret University/dr. Moewardi Hospital in Surakarta 2 Departement of Clinical Pathology Faculty of Medicine, Sebelas Maret University/ dr. Moewardi hospital in Surakarta Beta thalassaemia mayor (BTM) characterised by progressive anaemia necessitating regular blood transfusions to sustain life. The advent of effective chelating agents can reduce iron burden and extend patients survival, renal disease has become more prevalent. Free iron catalyzes formation of highly reactive oxygen species (ROS), measured as Urinary F 2 -IsoPs and estimated glomerular filtration rate (egfr). The aim of this study was to determine the correlation between urinary F 2 -IsoPs and egfr in BTM patients. This cross sectional study was conducted during May-June Thirthty patients BTM admitted to departement of Pediatrics Hematology Dr. Moewardi hospital in Surakarta. Spearman s correlation was used to analyze the data, considered significant when p value < 0.05 with 95% confidence interval. The result showed a mean of age were 12.2 ± 3.57 years, consist of 15 men (50%) and 15 women (50%). The mean of urinary F 2 -IsoPs was 2.36 ± 1.11 ng /mg creatinine urine. Estimated GFR at median ml/min/1,73 m 2 with minimum value 199,8 ml/min/1,73 m 2 and maximum value ml/min/1,73 m 2. The correlation between urinary F 2 -IsoPs and egfr r = 0.740; p = There was a significant strong positive correlation between urinary F 2 -IsoPs and egfr indicated the increased of egfr followed by the increased of urinary F 2 -IsoPs. Glomerular hiperfiltration was considered as early stage of chronic kidney disease. We concluded that egfr can be used to predict oxidative stress in BTM patients. Further research is needed to evaluate the correlation between urinary F 2 -IsoPs and egfr to determine oxidative damage in glomerulus or tubulus renal. Keywords: beta thalassemia major, F 2 -Isoprostan, egfr xiv

15 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Talasemia merupakan kelainan genetik yang hingga saat ini menjadi masalah kesehatan dunia termasuk Indonesia. World Health Organization (WHO) pada tahun 1994 menyatakan bahwa ± 4,5% dari 250 juta penduduk dunia adalah talasemia karier (bentuk heterozigot), juta sebagai karier talasemia beta, sisanya adalah talasemia alfa dan jenis Hb varian seperti Hb E, Hb S, Hb O dan sebagainya (Atmakusumah et al., 2010). Penyebaran penyakit talasemia mulai dari Mediterrania, Timur Tengah, India, Burma, serta daerah sabuk talasemia (Cina bagian selatan, Thailand, Semenanjung Malaysia, Kepulauan pasifik dan Indonesia). Daerah daerah tersebut lazim disebut dengan daerah sabuk talasemia oleh karena prevalensi talasemia sebesar 2,5 15% (Langlois et al., 2008). Diagnosis penyakit ini sangat penting karena berkaitan dengan tata laksana, diantaranya adalah transfusi darah yang terus menerus dengan segala akibatnya. Talasemia beta mayor (TBM) membutuhkan transfusi darah secara rutin disertai pemberian khelasi besi yang optimal untuk mempertahankan kualitas hidupnya. Namun, pemberian transfusi berulang mempunyai dampak yang kurang baik bagi penderita yaitu dapat terjadi penimbunan besi (iron overload) pada berbagai organ tubuh, seperti hati, jantung, ginjal, pankreas, dan lain lain. Adanya besi bebas dalam bentuk ferrous (Fe 2+ ) akan memicu timbulnya reactive oxygene species (ROS) untuk menghasilkan radikal superoksida yang akan mengoksidasi lipid membran sel dan protein sehingga menyebabkan kerusakan sel dan kematian (Rund dan Rachmilewitz, 2005). Stres oksidatif merupakan salah satu faktor penting yang berperan pada progresivitas TBM. Kelebihan rantai alfa yang bersifat labil dan mudah teroksidasi pada pasien TBM merupakan dasar patogenesis dari penyakit ini yang menimbulkan manifestasi berupa gejala klinis anemia. Hipotesis stres oksidatif injury, menyatakan bahwa iron overload dapat menyebabkan stres 1

16 2 oksidatif yang akan menyebabkan peroksidasi lipid menghasilkan pembentukan radikal bebas yang berakibat pada kerusakan sel, membran sel, dan jaringan. Peningkatan lipid peroksidasi tersebut dapat diukur dengan berbagai metode pengukuran lipid peroksidasi dalam darah, urin, liquor cerebrospinalis, dan cairan biokimia lainnya salah satunya menggunakan marker F 2 -IsoPs. Beberapa produk hasil peroksidasi lipid lainnya adalah malondialdehyde (MDA), 4 hydroxynonenal (HNE), thiobarbituric acidreacting substances (TBARS) dan lain-lain (Vinita et al., 2015). Saat ini F 2 -IsoPs merupakan marker stres oksidatif atau lipid peroksidasi in vivo yang tergolong baru, paling baik, sangat stabil, dan secara signifikan lebih akurat daripada marker lainnya. F 2 -IsoProstan telah ditemukan hampir di seluruh cairan biologis, namun darah (plasma ataupun serum) dan urin merupakan sampel penelitian yang paling umum digunakan karena paling mudah didapatkan, paling tidak invasif, dan memberikan hasil yang sama akurat dan presisi dari indeks stres oksidatif. Isomer 8-isoprostan dari F 2 -IsoPs merupakan isomer F 2 -IsoPs yang paling banyak dihasilkan dan paling sering diteliti. Dan penelitian menunjukkan bahwa kadar total F 2 -IsoPs (bebas dan yang terikat dengan fosfolipid) dapat menggambarkan keadaan stres oksidatif yang sebenarnya (Dalle-Donne, 2006; Janicka et al., 2010). Manusia tidak memiliki mekanisme untuk mengekskresi kelebihan besi, sehingga diperlukan terapi khelasi besi. Terapi khelasi besi terbukti sangat efektif menurunkan kandungan besi pada pasien TBM yang mendapat transfusi (Rund dan Rachmilewitz, 2005). Khelasi besi adalah suatu agen yang dapat mengikat kelebihan besi dalam tubuh. Masalah yang timbul pada penggunaan terapi khelasi besi dalam jangka waktu yang lama adalah efek sampingnya berupa toksisitas pada ginjal ( Beutler et al., 2003). Penelitian jangka pendek yang melibatkan 11 pasien TBM yang diterapi deferasirox 30 mg/kg/hari hingga 24 minggu, menunjukkan penurunan nilai rerata estimasi laju filtrasi glomerulus (elfg) hingga 9,2 (9,5%) dan penurunan renal plasma flow (RPF) 105,7 ml/min (17,8%), sedangkan penelitian jangka panjang yang diikuti hingga minggu ke 104, hasilnya terjadi penurunan elfg hingga 19,1 (17,7%)

17 3 dan penurunan RPF hingga 155,6 ml/min (26,1%). Penurunan terjadi mulai pada minggu ke 52 (Piga et al., 2015). Keberhasilan terapi penyakit talasemia ternyata menimbulkan masalah baru yaitu munculnya berbagai komplikasi, diantaranya adalah abnormalitas fungsi ginjal. Saat ini dilaporkan sekitar 8% dari 6 juta pasien talasemia di UK (United Kingdom) terjadi komplikasi chronic kidney disease (CKD). Bakr et al., 2014 mengatakan adanya disfungsi tubulus ginjal dan penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) pada pasien TBM yang diterapi khelasi besi. Dari 330 jumlah pasien yang mendapatkan terapi deferoxamine sebagai khelasi besi, 224 (68%) dilaporkan mengalami komplikasi berupa gangguan fungsi ginjal berupa proteinuria dan penurunan LFG (Cunningham et al., 2004). Data di atas menunjukkan bahwa pada pasien talasemia dapat terjadi gangguan fungsi ginjal hingga jatuh ke arah PGK. Kidney Disease Improving Global Outcome (KDIGO) pada tahun 2013 membuat klasifikasi stadium PGK berdasarkan penurunan fungsi ginjal yang diukur dengan LFG. Tahap awal PGK (G1) adalah kerusakan ginjal dengan fungsi ginjal normal atau meningkat dengan nilai LFG 90 ml/menit/1,73 m²; tahap 2 (G2) kerusakan ginjal dengan penurunan fungsi ginjal ringan dengan LFG ml/menit/1,73 m²; tahap 3 (G3) Penurunan fungsi ginjal ringan-sedang dengan LFG ml/menit/1,73 m²; tahap IV merupakan penurunan fungsi ginjal berat dengan LFG ml/menit/1,73 m²; dan tahap akhir adalah gagal ginjal dengan LFG < 15 ml/menit/1,7 m². Penelitian mengenai korelasi antara F 2 -IsoPs urin sebagai penanda stres oksidatif hasil peroksidasi lipid pada ginjal dengan elfg belum pernah dilakukan, oleh karena itu penelitian ini akan menganalisis korelasi antara F 2 - IsoPs urin sebagai penanda stres oksidatif kerusakan ginjal dengan elfg yang dapat memberikan informasi untuk menilai fungsi ginjal pada pasien TBM. Pengukuran marker stress oksidatif dikorelasikan dengan disfungsi ginjal ini masih merupakan penelitian yang menarik karena berhubungan dengan prediksi, risiko, etiologi, dan intervensi dari tata laksana talasemia. Walaupun F 2 -IsoPs saat ini telah diakui sebagai marker peroksidasi lipid yang

18 4 paling baik (Janicka et al., 2010), namun peran F 2 -IsoPs pada TBM belum banyak diketahui. Penelitian pada TBM yang mengunakan F 2 -IsoPs urin sebagai marker peroksidasi lipid pun masih terbilang baru dan sedikit dibandingkan marker lainnya. Dengan kemampuan F 2 -IsoPs sebagai penanda kerusakan jaringan akibat stres oksidatif diduga dapat dipergunakan untuk memprediksi terjadinya penurunan fungsi ginjal lebih awal pada pasien TBM sehingga penanggulangan penyakit akan lebih baik. Pada penelitian ini akan menilai korelasi antara F 2 -IsoPs urin dengan elfg dalam mendeteksi kerusakan ginjal. Penelitian ini perlu dilakukan dengan harapan dapat menjawab hasil penelitian yang selama ini masih kontradiktif. B. Rumusan Masalah Apakah terdapat korelasi antara kadar F 2 -IsoPs urin dengan elfg pada pasien TBM? C. Tujuan Penelitian Mengetahui korelasi antara kadar F 2 -IsoPs urin dengan elfg pada pasien TBM. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan: Dapat diketahui mengenai korelasi kadar F 2 -IsoPs urin dengan elfg pada pasien TBM. Hasil penelitian ini juga dapat digunakan sebagai dasar untuk penelitian selanjutnya. 2. Manfaat praktis: penilaian fungsi ginjal dengan elfg dapat digunakan untuk menilai stres oksidatif pada pasien TBM. E. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian sebelumnya telah meneliti marker stres oksidatif dan marker fungsi ginjal pada pasien TBM. Namun belum ada yang meneliti kadar F 2 -IsoPs urin pada pasien TBM. Tabel 1 menyajikan beberapa penelitian terkait fungsi ginjal pada TBM yang telah dilakukan.

19 5 Tabel 1. Keaslian Penelitian No. Peneliti dan Judul Penelitian Jumlah Kasus Hasil Penelitian 1. Matayatsuk et al. 17 pasien TBM Kadar F 2 -IsoPs urin pada serta 9 kontrol sehat Elevated F 2 -isoprostanes in thalassemic patients Free Radic Biol Med : pasien talasemia lebih tinggi dibandingkan kontrol dengan rerata 3,38 ± 2,15 ng/mg kreatinin urin vs 0,86 ± 0,55 ng/mg kreatinin urin (p = 0,002). Kadar F 2 -IsoPs plasma total pada pasien TBM lebih tinggi dibandingkan kontrol dengan rerata 0,39 ± 0,15 ng/ml vs 0,18 ± 0,03 ng/ml (p = 0,0003). 2. Hamed E dan Nagla T Renal functions in pediatric patients with betathalassemia major: relation to chelation therapy: original prospective study Italian Journal of Pediatrics : pasien TBM dan 15 kontrol sehat Terdapat peningkatan serum kreatinin dan penurunan LFG pada pasien TBM yang mendapat deferoxamine (0,55 ± 0,08 vs 0,75 ± 0,18, p < 0,001 dan 119,08 ± 11,13 ml/menit/1,73 m 2 vs 92,67 ± 25,16 ml/menit/1,73 m 2 ; p < 0,001). 3. Majid et al. A Prospective study of tubular disfunction in pediatric patient with Beta thalassemia mayor receiving deserafirox Pediatric Haematology and Oncology : pasien TBM Terdapat peningkatan serum kreatinin (0,54 ± 0,08 vs 0,67 ± 0,16) dan penurunan LFG (104,36 ml/menit/1,73 m 2 ± 19,62 vs 86,00 ml/menit/1,73 m 2 ± 16,92) 6 bulan setelah mendapat terapi deserafirox (p<0,01). 4. Milo et al. Glomerulofiltration rate in pasien with thalassemia Beta mayor Acta Haematol : pasien TBM yang di terapi deferasirox. Laju filtrasi glomerulus pada pasien TBM 76,6 ml/menit/1,73 m 2.

20 6 Tabel 1. Keaslian Penelitian (lanjutan) 5. Wirawan et al. Renal impairment in β thalassemic major patient receiving repeated blood transfusion. Med J Indones : pasien TBM Terdapat microalbuminuria (4-360 mg/dl) dan peningkatan β 2 -microglobulin urin ( ng/dl).

21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Talasemia Beta Mayor Talasemia beta mayor merupakan kelainan genetik dengan kegagalan sintesis globin beta (β 0 ) atau penurunan sintesis globin beta (β + ) yang merupakan komponen penting penyusun hemoglobin. Penurunan sintesis hemoglobin ini menyebabkan produksi hemoglobin tidak efektif, dan kerusakan eritrosit atau prekursornya oleh karena ekses akumulasi rantai globin yang tidak mengalami gangguan sintesis. Distribusi talasemia terkonsentrasi pada thalassemia belt, yaitu daerah yang mencakup dari mediterania ke timur sampai Asia Tenggara dan ke selatan sampai Afrika Utara (Rodak et al., 2012). Pada TBM, ekses rantai alfa yang tidak berpasangan akan berpresipitasi pada eritrosit yang sedang berkembang dan merusak permukaan eritrosit tersebut. Eritrosit yang rusak ini kemudian akan dihancurkan oleh makrofag pada sumsum tulang atau pada sirkulasi. Kematian prematur dari eritrosit di sumsum tulang ini menyebabkan eritropoisis menjadi tidak efektif. Sebagian sel dapat melewati sumsum tulang, tetapi kemudian mengalami hemolisis ekstravaskuler di lien. Maka pada talasemia beta, anemia disebabkan oleh eritropoisis yang inefektif dan peningkatan destruksi eritrosit (Rahman et al., 2012; Rodak et al., 2012). Gejala klinis talasemia bervariasi. Umumnya individu dengan talasemia beta tidak mempunyai gejala hingga umur 4 atau 6 bulan karena hemoglobin F (α2 2) masih berperan sebagai hemoglobin sirkulasi dominan. Talasemia dibagi menjadi 4 bentuk sindrom klinis, yaitu talasemia minor (heterozigot) dengan anemia hemolitik hipokromik mikrositik ringan, talasemia mayor (homozigot) dengan anemia berat yang mengakibatkan ketergantungan terhadap transfusi darah, dan talasemia intermedia, dengan gejala diantara minor dan mayor. Sindrom keempat, disebut sebagai silent 7

22 8 carrier, terdapat pada individu dengan perubahan genetik pada satu atau dua gen tanpa abnormalitas hematologis (Rodak et al., 2012). Transfusi darah adalah pilihan terapi utama pada pasien TBM yang dimulai pada tahun pertama kehidupan untuk mempertahankan kadar hemoglobin diatas 9 g/dl. Transfusi berulang adalah pemberian whole blood (WB)/packed red cell (PRC) yang diberikan berulang kali dalam jangka waktu yang lama (bulan/tahun). Tujuan pemberian transfusi tersebut untuk koreksi anemia dan menekan peningkatan eritropoisis, sehingga tidak terjadi ekspansi pada sumsum tulang, dan deformitas pada tulang dapat dicegah. Anak yang mendapat terapi ini mengalami perbaikan pada tumbuh kembangnya. Pemberian transfusi berulang menyebabkan pasien TBM mempunyai harapan hidup lebih lama. Prognosis kelompok anak yang tidak mendapat transfusi yang adekuat sangat buruk. Tanpa transfusi anak akan meninggal pada usia kurang dari 2 tahun. Bila berhasil mencapai pubertas anak akan mengalami komplikasi akibat penimbunan zat besi sama halnya dengan anak yang cukup mendapat transfusi tetapi kurang mendapatkan terapi pengikat besi. Pemberian transfusi darah yang teratur dapat mengurangi komplikasi yang terjadi akibat anemia kronik, proses eritropoiesis yang tidak efektif, dapat membantu mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan anak, dan memperpanjang kelangsungan hidup anak. Namun transfusi berulang sering menimbulkan komplikasi terutama adalah adanya timbunan besi pada beberapa organ karena kemampuan tubuh untuk mengekskresikan besi terbatas/iron overload. Hal ini disebabkan oleh karena tidak ada jalur fisiologis efektif untuk ekskresi besi dari dalam tubuh, maka besi yang terkandung dalam eritrosit yang ditransfusikan akan terakumulasi di dalam tubuh seperti hati, jantung, ginjal dan kelenjar endokrin yang menyebabkan kerusakan organ tersebut. Setiap 500 ml darah yang ditransfusikan akan menyebabkan sekitar 200 mg besi tersimpan dalam jaringan dan akan terus terakumulasi (Matayatsuk et al., 2007; Rodak et al., 2012).

23 9 Komplikasi transfusi lain yang terjadi adalah gangguan pertumbuhan, gangguan endokrin dan infeksi virus Hepatitis B, C, dan infeksi human immunodeficiency syndrome (HIV). Iron overload akumulasi dapat terjadi sekunder karena terapi anemia kronik, dan yang disebabkan oleh transfusi disebut dengan transfusion-related hemosiderosis. Pada talasemia juga terjadi pelepasan besi dari hemolisis intravaskuler yang menambah iron overload (Rodak et al., 2012; Rubin dan Strayer, 2012). Iron overload berkorelasi dengan banyaknya transfusi PRC pada pasien talasemia beta, bahkan pada pasien dengan terapi khelasi besi (Chiou et al., 2006). Komplikasi paling serius dari iron overload adalah kardiotoksisitas, dan gangguan jantung karena iron overload adalah penyebab kematian utama pada pasien TBM (Hosen et al., 2015). Zat besi dikeluarkan dari tubuh dalam jumlah yang relatif sangat rendah, melalui urin (0,1 mg/hari); feses 0,3 0,5 mg/kg BB; keringat 0,5 1,0 mg/hari dan deskuamasi kulit (Rodak et al., 2012). Besi sangat penting untuk kehidupan, sebagai komponen penting dari enzim seperti sitokrom oksidase, dan kompleks seperti hemoglobin, myoglobin dan feritin. Namun, jika besi dilepaskan dari kompleks-kompleks ini sebagai bentuk bebas (Fe 2+/ Fe 3+ ), dapat bereaksi dengan ROS dan membentuk oxyradical melalui reaksi Fenton (Comporti et al., 2008). Iron overload yang terjadi sekunder karena terapi anemia kronik, yang disebabkan oleh transfusi disebut dengan transfusion-related hemosiderosis (Rodak et al., 2012; Rubin dan Strayer, 2012). Besi serum umumnya terikat dengan transferin (Fe 3+) yang akan membawa besi ke dalam sel. Feritin adalah protein penyimpan besi dan terdapat di sitoplasma dari semua sel, dan dalam jumlah sedikit juga terdapat di sirkulasi. Saat feritin tersaturasi, terbentuk produk degradasi feritin yang disebut hemosiderin. Tempat penyimpanan besi utama tubuh adalah di hepar dan sumsum tulang. Dari sumber pemasukan besi manapun, reaksi awal tubuh adalah dengan menyimpan kelebihan besi dalam bentuk feritin, dan akhirnya, hemosiderin di dalam sel. Pengatur besi plasma paling penting

24 10 adalah hepsidin, sebuah hormon yang diproduksi di hepar dan mengatur kadar besi dengan mengikat feroportin, yaitu protein transport transmembran pada enterosit duodenum, sel hepar dan makrofag. Feroportin memindahkan besi dari dalam sel ke cairan ekstraseluler, dan saat berikatan dengan hepsidin, feroportin dan besi akan tetap berada di dalam sel. Kadar hepsidin dapat ditingkatkan oleh besi dan keadaan inflamatorik, serta menurun pada defisiensi besi dan hipoksia (Goswami et al., 2005; Chiou et al., 2006; Rodak et al., 2012; Rubin dan Strayer, 2012). Saat kemampuan sel untuk menyimpan besi dalam bentuk hemosiderin sudah tidak mencukupi, dapat terjadi akumulasi besi dalam bentuk bebas (ferrous iron/fe 2+ ) intraseluler. Dengan adanya oksigen, Fe 2+ ini akan menginisiasi pembentukan superoksida dan radikal bebas lainnya, yang menyebabkan peroksidasi membran lipid yang akan merusak tidak hanya membran sel, tetapi juga membran mitokondria, nukleus dan lisosom. Respirasi sel menjadi terganggu dan enzim lisosom menjadi terlepas secara intraseluler, dan berakhir dengan kematian sel karena kerusakan membran ireversibel (Chiou et al., Rodak et al., 2012). Adapun intervensi medis yang diberikan terkait dengan dampak transfusi berulang pada pasien TBM adalah berupa tindakan pengontrolan besi pada pasien talasemia yang rutin mendapatkan transfusi darah yaitu pemberian terapi pengikat besi/khelasi besi. Penggunaan agen khelasi besi bersama antioksidan dapat membantu regulasi status antioksidan pada pasien tersebut (Rahman et al., 2012). Pemberian khelasi besi terbukti dapat memperbaiki survival pasien TBM. Sebuah penelitian di Italia tentang survival pasien talasemia setelah mendapatkan terapi transfusi dan khelasi besi, didapatkan 68% pasien hidup hingga umur 35 tahun, 67% kematian disebabkan oleh penyakit jantung. Infeksi adalah penyebab kematian kedua terbanyak (15%), diikuti oleh penyakit hepar (4% ) dan gangguan tromboembolik (4%) (Greer et al., 2014). Terapi khelasi besi ini, misalnya dengan deferoxamine dan deferasirox, dapat mengikat besi yang berlebihan sehingga dapat

25 11 diekskresikan lewat urin, mencegah akumulasi besi serta komplikasi dari iron overload, sehingga membantu memperpanjang harapan hidup pasien TBM hingga usia tiga puluhan (Rodak et al., 2012). Terapi khelasi besi biasanya dimulai pada saat kadar feritin serum mencapai 1000 mg/dl. Praktisnya, level feritin ini dicapai setelah transfusi ke kali (Piga et al., 2015). Pemberian khelasi besi perlu monitoring fungsi ginjal yang ketat karena efek nefrotoksiknya. Penelitian tentang adanya disfungsi tubulus ginjal dan penurunan LFG pada pasien TBM yang diterapi khelasi besi telah banyak dilaporkan. Dari 330 pasien yang mendapatkan terapi deferoxamine, 224 (68%) dilaporkan mengalami komplikasi berupa gangguan fungsi ginjal berupa proteinuria dan penurunan LFG (Bakr et al., 2014). 2. Stres Oksidatif Stres oksidatif terjadi saat pembentukan radikal bebas, seperti ROS dan intermediat aktifnya melebihi kemampuan tubuh untuk menetralisir dan mengeliminasi radikal bebas tersebut. Radikal bebas terbentuk secara fisiologis dalam jumlah tertentu dari metabolisme aerobik, dan untuk menanganinya, tubuh memiliki sistem antioksidan yang terdiri dari superokside dismutase (SOD), katalase, glutathione peroxidase (GPx), glutathione reductase, dan lain-lain. Namun, sistem antioksidan ini pada kondisi patologis dapat tidak mencukupi, sehingga sebagian dari ROS dapat menghindari destruksi dan membentuk radikal hidroksil yang lebih reaktif (Rahman et al., 2012). Peningkatan ROS dapat menyebabkan kerusakan oksidatif pada biomolekul seperti lipid dan protein, dan mengganggu fungsi normal sel (Montuschi et al., 2004; Rahman et al., 2012). Hydroxyl radical (OH ) dibentuk dengan proses (1) radiolisis air, (2) reaksi hydrogene peroxida (H 2 O 2 ) dengan ferrous iron (Fe 2+ ) yang merupakan reaksi Fenton, (3) reaksi antara anion superoxyde (O2 - ) dengan H 2 O 2, yang merupakan reaksi Haber-Weiss. Hydroxyl radical adalah molekul ROS paling reaktif dan dapat menyebabkan peroksidasi lipid (Rubin dan Strayer, 2012). Peningkatan ROS dapat menyebabkan kerusakan oksidatif pada biomolekul

26 12 seperti lipid dan protein, dan mengganggu fungsi normal sel (Montuschi et al., 2004; Rahman et al., 2012). Gambar 1. Pembentukan hidroksi radikal pada reaksi Haber-Weiss dan reaksi Fenton (Srichairatanakool dan Fucharoen, 2014). Kerusakan oksidatif, terutama karena iron overload dan deplesi antioksidan, berperan penting pada patogenesis TBM, adanya rantai alfa yang berlebihan adalah sebab utama kerusakan oksidatif seluler pada TBM. Iron overload juga meningkatkan pembentukan ROS dan stres oksidatif, karena besi yang berlebih mengkatalisasi produksi ROS seperti O2 - dan OH melalui reaksi Haber-Weiss dan reaksi Fenton. Stres oksidatif ini akan memicu peroksidasi lipid pada eritrosit dan akhirnya menyebabkan hemolisis (Simsek et al., 2005, Matayatsuk et al., 2007; Srichairatanakool dan Fucharoen, 2014.). Lipid dapat bereaksi dengan radikal bebas, sehingga lipid tersebut mengalami peroksidasi dan membentuk peroksida-peroksida lipid (Rahman et al., 2012). Peroksidasi yang dimediasi radikal bebas pada polyunsaturated fatty acid (PUFA) terjadi dengan lima reaksi: (1) transfer atom hidrogen dari PUFA ke rantai radikal, (2) reaksi lipid radikal dengan molekul oksigen sehingga membentuk lipid peroxyl radical, (3) fragmentasi lipid peroxyl radical sehingga membentuk oksigen dan radikal lipid (kebalikan reaksi sebelumnya), (4) rearrangement dari peroxyl radical, dan (5) cyclization dari peroxyl radical. Reaksi (5) hanya penting pada PUFA yang memiliki lebih dari tiga ikatan ganda, dan tidak terjadi pada oksidasi linoleat (Niki et al., 2005). Peroksidasi lipid membran sel telah dianggap sebagai mekanisme umum dari banyak kondisi patologis. Peroksidasi lipid membran dapat merusak karena menyebabkan perubahan sifat biofisika membran, seperti fluiditas, dan dapat menyebabkan inaktivasi reseptor dan enzim pada membran, sehingga mengganggu fungsi dan integritas sel

27 13 normal. Pengukuran produk peroksidasi lipid adalah cara yang umum untuk menilai stres oksidatif (Montuschi et al., 2004; Chiou et al.,, 2006; Comporti et al., 2008). Biomarker untuk menilai stres oksidatif di dalam tubuh dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2. Biomarker untuk kerusakan oksidatif (Niki dan Yoshida, 2005) Biomarker Sediaan Metode pemeriksaan Setiap biomarker memiliki keterbatasan, sehingga terkadang diperlukan lebih dari satu biomarker untuk memastikan kadar stres oksidatif (Niki dan Yoshida, 2005). 3. F 2 -isoprostan F 2 -isoprostan terbentuk dari mekanisme katalisiss radikal bebas noncyclooxigenase yang melibatkan peroksidasi PUFA dan asam arakidonat (AA) (Milatovic dan Aschener, 2009). F 2 -isoprostan digunakan sebagai biomarker peroksidasi lipid pada manusia (Cracowski dan Baguet, 2003). F 2 -isoprostan adalah prostaglandin like compound yang diproduksi dari esterifikasi asam AA di jaringan oleh reaksi katalis non enzimatik radikal bebas in vivo. Pertama kali, isoprostan ditemukan pada tahun 1967 oleh Nugteren, Vonkeman dan Vandrop, 20 tahun kemudian direalisasikan untuk kepentingan biologis (Milne et al., 2005). Pengukuran F 2 -IsoPs mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan marker stres oksidatif lainnya, yaitu (1) stabil secara kimia, (2) merupakan produk spesifik peroksidasi, (3) dibentuk in vivo, (4) dapat diukur pada semua jaringan dan cairan biologis normal, sehingga dapat ditetapkan nilai normalnya, (5) kadarnya meningkat signifikan padaa model hewan dengan kerusakan oksidatif, dan (6) tidak

28 14 terpengaruh kandungan lipid pada diet (Montuschi et al., 2004; Matayatsuk et al., 2007; Comporti et al., 2008). Sifat dari molekul F 2 -IsoPs lebih stabil, kuat, dan dapat dideteksi melalui berbagai cairan tubuh seperti urin, plasma, atau cairan serebrospinal (Milatovic dan Aschener, 2009). Akan tetapi banyak penelitian menggunakan sampel dari urin karena metode pengambilan sampel sederhana dan non invasif (Cracowski dan Baguet, 2003). Metabolit F 2 -IsoPs di urin merupakan indikator stres oksidatif yang banyak digunakan karena merupakan parameter non-invasif yang merefleksikan produksi F 2 -IsoPs dalam satu kurun waktu, dan merupakan penilaian yang tepat untuk menentukan produksi F 2 -IsoPs endogen total (Montuschi et al., 2004). Pada kelompok kontrol manusia sehat didapatkan mean kadar 8-IsoPs plasma adalah 33 ± 3,3 pg/ml, sedangkan kadar 8- IsoPs urin 1,6 ± 0,6 ng/mg kreatinin (Basu et al., 2001; Milne et al, 2005). Sumber lain mengatakan bahwa kadar 8-IsoPs pada orang normal pada rentang 504 ± 404 pg/mg kreatinin (Vigor et al, 2014). F 2 -Isoprostan dapat diperiksa menggunakan beberapa metode. Saat ini telah dikembangkan beberapa jenis metode untuk mengukur kadar F 2 - IsoPs seperti metode gas chromatographic/negative ion chemical ionization mass spectrometric (GC/NICI-MS), yang memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi (90% dan 50%) dan dipertimbangkan sebagai gold standard untuk pemeriksaan F 2 -IsoPs (Montine et al., 2001). Pengukuran F 2 -IsoPs menggunakan metode spektrofotometri massa telah digunakan secara luas sebagai biomarker peroksidasi lipid yang terbaik, namun membutuhkan waktu yang lama, tidak tersedia pada semua instalasi laboratorium, dan membutuhkan preparasi sampel dengan liquid nitrogen. Metode lain adalah liquid chromatographic, tetapi sensitivitas dan reliabilitasnya masih dibawah metode GC/NICI-MS. Metode alternatif yang saat ini dikembangkan menggunakan pendekatan immunologis [seperti radio immunoassay dan enzym immunoassay (EIA)]. Hasil pengukuran secara immunoassay pada plasma memiliki korelasi keakuratan yang sangat baik dengan spektrofotometri massa. Sehingga walaupun gold standard -

29 15 nya metode spektrofotometri massa, namun immunoassay lebih banyak digunakan dalam berbagai penelitian karena keakuratan hasil korelasinya yang sangat baik, sensitivitasnya 80%, relatif mudah digunakan dan biayanya yang lebih rendah. Menurut Carraro et al. (2010), sensitivitas pemeriksaan F 2 2-IsoPs menggunakan EIA didapatkan sebanding dengan GCpemeriksaan F 2 - MS dan didapatkan korelasi yang tinggi (r = 0,99) antara IsoPs dengan EIA dan GC-MS. Immunoassay untuk pengukuran IsoPs telah dikembangkan dan tersedia secara komersial dengan nama 8 IsoPGF 2α (Milne et al., 2005; Dalle-Donne et al., 2006). Gambar 2 menunjukkan perbandingan kesesuaian hasil pemeriksaan F 2 -IsoPs urin antara metode GCMS dengan ELISA (Tsikas et al., 2003). Gambar 2. Korelasi keakuratan hasil pemeriksaan F 2 -IsoPs urin metode GCMS dan ELISA (Tsikas et al., 2003). Pengukuran secara immunoassay lebih mudah, tetapi dapat memberikan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengann GC-MS, yang mungkin karena reaksi silang dari antibodi poliklonal dengan metabolitantibodi anti F 2 - metabolit isoprostan lain (Smith et al., 2011). Reaksi silang IsoPs didapatkan < 1% untuk semua isoprostan yang diuji, sehingga pemeriksaan F 2 2-IsoPs secara EIA menunjukkan reaksi silang yang rendah dengan isoprostan lain dan prostaglandin (Schwedhelm dan Boger, 2003). Pengukuran F 2 -IsoPs adalah cara paling reliabel untuk menggambarkan status stres oksidatif in vivo, dan sangat berguna dalam mempelajari peran stres oksidatif pada patogenesis penyakit-penyakit manusia. Dalam tubuh manusia, F 2 -IsoPs mempunyai half life ± 16 menit,

30 16 karena dikeluarkan secara cepat dari sirkulasi melalui ekskresi dalam urin (Matayatsuk et al., 2007; Kaviarasan et al., 2009). Efek biologis dari F 2 -IsoPs didapatkan pada 15-F 2t -IsoPs, yang dapat menyebabkan vasokonstriksi pada ginjal, arteri pulmonal dan koroner, pembuluh retina dan vena porta, serta diduga bekerja melalui aktivasi reseptor yang analog atau identik dengan reseptor thromboxane A F 2t - IsoPs juga didapatkan merangsang sintesis DNA dan proliferasi sel pada endotel dan sel otot vaskuler (Montuschi et al., 2004; Comporti et al., 2008). Penelitian pada dekade terakhir ini menyatakan bahwa senyawa F 2 - IsoPs akurat dalam mengukur peroksidasi lipid dan memiliki peran dalam mengukur kerusakan akibat oksidan pada penyakit seperti aterosklerosis, penyakit alzeimer dan paru paru ( Pilacik et al., 2002). Peningkatan kadar F 2 -IsoPs dalam plasma dan urin telah dilaporkan pada alcoholic liver disease, diabetes mellitus (DM), arthritis rheumatoid, aterosklerosis, obesitas, asma, alergi, alzheimer, perokok, dan berbagai kerusakan hepar yang diinduksi karbon tetraklorida (CCl 4 ) dan asetaminofen. Kadar F 2 -IsoPs yang tinggi juga didapatkan pada kondisi iron overload (Comporti et al., 2008; Matayatsuk et al., 2007). Namun kadarnya menurun pada pasien yang diberi suplemen antioksidan, pengobatan DM, penurunan berat badan, serta berhenti merokok, dan obat golongan inhibitor cyclooxygenase (Cadenas dan Packer, 2002). Pada pasien TBM, terdapat peningkatan TBARS yang signifikan, menunjukkan adanya peningkatan peroksidasi lipid. Meskipun pasien studi ini mendapatkan suplemen vitamin C, antioksidan tersebut gagal untuk mengkompensasi kelebihan radikal bebas. Maka komponen lipid jaringan tidak terlindungi pada iron overload yang berat (Chiou et al., 2006). Studi lain pada talasemia beta intermedia dan TBM didapatkan peningkatan produk peroksidasi lipid yaitu MDA. Temuan ini mendukung pendapat bahwa iron overload pada TBM mengakibatkan peningkatan pembentukan ROS dan stres oksidatif (Simsek et al., 2005). Pada kelompok pasien TBM didapatkan mean F 2 -IsoPs plasma meningkat signifikan dibandingkan pada

31 17 individu sehat (0,39 ± 0,15 pg/ml vs 0,18 ± 0,03 ng/ml). Sedangkan rerata kadar F 2 -IsoPs urin 3,38 ± 2215 ng/mg kreatinin urin vs 0,86 ± 0,55 ng/mg kreatinin urin (Matayatsuk et al., 2007). F 2 -isoprostan terdiri dari 64 zat yang mempunyai struktur isomer dengan prostaglandin F 2α (PGF 2α ) (Montuschi et al., 2004; Matayatsuk et al., 2007; Comporti et al., 2008). Setelah peroksidasi AAA terbentuk tiga radikal arakidonil yang akan mengalami endosiklisasi menjadi empat regioisomer PGH 2 -like bycyclic endoperoxidase intermediate (H 2 -IsoPs), kemudian masing-masing tereduksi menjadi regiosiomer cincin F, yang masing-masing terdiri dari 8 diastereoisomer racemic. H 2 2-Isoprostan juga dapat tereduksi menjadi E 2 dan D 2 -IsoPs. Kelanjutan metabolisme dari IsoPs kebanyakan tidak diketahui, kecuali 15-F 2t -IsoPs dan 8 F 2 -IsoPs/8- epipgf 2α,, yang metabolit urin utamanya adalah 2,3-Dinor-5,6-dihydro-15- F 2t -isoprostan (Montuschi et al., 2004; Comporti et al., 2008). Gambar 3. Pembentukan radikal bebas yang diinduksi oleh oksidasi AA (Yan et al., 2007). Pada penelitian ini yang akan diperiksa adalah isomer 8 F 2 -IsoPs atau 8-epiPGF 2 2α,, salah satu isomer dari F 2 -IsoPs yang diproduksi pada manusia dan diekskresi melalui urin. Isomer ini telah banyak diperiksa dan diteliti, dan di duga dapat mewakili isomer isoprostan lainnya (Larosea et al, 2014).

32 18 4. Mekanisme Gangguan Fungsi Ginjal Pada TBM Gangguan fungsi ginjal pada TBM disebabkan oleh multifaktorial, tetapi iron overload dan anemia kronik serta efek terapi khelasi besi merupakan faktor penyebab utama. Penelitian eksperimental pada tikus yang diberikan besi dalam jumlah tinggi (iron-loaded rats) memperlihatkan proteinuria dengan deposit besi secara jelas tampak pada glomerulus, tubulus proksimal dan interstisial dengan adanya gejala glomerulosklerosis, atrofi tubulus, dan fibrosis intertisial (Bakr et al., 2014). Ginjal merupakan organ tubuh dengan perfusi paling baik, namun tekanan oksigen jaringan pada parenkim ginjal jauh lebih rendah dibandingkan organ lain dan tekanan terendah ada pada vena ginjal. Medula ginjal merupakan salah satu bagian tubuh dengan tekanan oksigen terendah. Perbedaan ini dijelaskan oleh adanya asupan oksigen yang tinggi dan tekanan oksigen jaringan yang rendah serta arsitektur unik vaskuler ginjal. Pada korteks dan medula ginjal, cabang-cabang arteri dan vena ginjal berjalan secara pararel dan kontak erat antara satu dengan yang lain dalam jarak yang panjang. Hal ini memberikan kesempatan difusi oksigen dari sistem arteri menuju sistem vena sebelum masuk menuju kapiler. Mekanisme ini menjelaskan rendahnya tekanan oksigen di medula dan korteks ginjal (Eckardt et al., 2005). Kerusakan tubulointerstisial akibat hipoksia melalui mekanisme yang multifaktorial. Hipoksia dapat mengaktifasi fibroblas, perubahan metabolisme matriks ekstrasel pada sel-sel ginjal dan fibrogenesis. Aktifasi interstisial fibrosis akibat hipoksia dan peningkatan deposit matriks ekstrasel akan mengakibatkan gangguan aliran darah dan asupan oksigen. Sel tubulus ginjal yang mengalami hipoksia lebih mudah mengalami gangguan fungsi mitokondria dan defisit energi yang menetap. Hipoksia juga menginduksi apoptosis tubulus ginjal dan sel endotel melalui mekanisme mitokondria. Analisis histologis pada model tikus membuktikan apotosis sel tubulus ginjal akibat keadaan hipoksia. Penelitian ini

33 19 membuktikan peranan iskemia kronik akibat kapiler derangement sebagai mediator PGK (Nangaku, 2006). Hipoksia pada ginjal juga dapat menyebabkan peningkatan aktivasi protein kinase C (PKC) pada sel mesangial ginjal yang merupakan molekul penting untuk pertumbuhan dan diferensiasi sel. Hipoksia ginjal juga akan meningkatkan kadar kalsium (Ca) intraseluler sel mesangial. Sementara stres oksidatif pada ginjal dapat menyebabkan penurunan kadar nitrit oxide (NO), dan peningkatan endotelin (ET) yang menyebabkan vasokontriksi arteri ginjal, peningkatan transforming growth factor β 1 (TGF β 1 ) yang dapat memacu sintesis matriks ekstraseluler dan menekan degradasinya sehingga dapat menyebabkan fibrosis glomerulus dan apoptosis sel epitel tubulus ginjal (Tanaka et al., 2004). Kelebihan zat besi pada ginjal dapat dikurangi dengan terapi khelasi besi yang diberikan secara oral maupun lewat infus. Obat khelasi besi selain bermanfaat namun juga berbahaya karena mengandung bahan kimia. Sebagian besar zat besi diekskresikan melalui feses dan < 10 % lewat urin, dengan cara mengeliminasi atau mengurangi ikatan serum non transferin besi. Obat khelasi besi ini diabsorbsi dan bersirkulasi selama beberapa jam. Dalam jangka waktu yang lama maka beban ekskresi ginjal akan bertambah dan mengakibatkan kerusakan ginjal. Ginjal juga berfungsi sebagai pengatur produksi sel darah merah, dengan mensekresikan eritropoitin yang merangsang pembentukan sel darah merah. Hampir 90% dari seluruh eritropoetin dibentuk dalam ginjal. Pembentukan sel darah merah pada TBM lebih cepat sehingga ginjal akan lebih sering mensekresikan eritropoitin untuk pembentukan sel darah merah baru, yang dapat mengakibatkan kerusakan fungsi ginjal (Qodariah, 2006; Fathoni, 2008). Penelitian di Italia yang dilakukan lebih dari 10 tahun lalu dengan melibatkan jumlah sampel penderita talasemia sebanyak 7731 (thalassaemia carriers) dan di Canada yang melibatkan jumlah sampel 216 terdiri dari 188 pasien talasemia beta minor dan 27 pasien talasemia beta Hb H/E, menunjukkan 0,5% dari pasien mengalami disfungsi tubulus ginjal dan

34 20 3,1% (n= 240) dari pasien menjalani terapi dialisis. Studi cross sectional terbaru menunjukkan bahwa pada semua grup talasemia termasuk TBM terjadi gangguan fungsi ginjal 7,8% dan albuminuria hingga 59% dari kasus (Bhandari dan Galanello, 2012). Secara ringkas, mekanisme gangguan fungsi ginjal pada pasien TBM dapat dilihat pada gambar 4. Gambar 4. Mekanisme gangguan fungsi tubulus dan glomerulus ginjal pada pasien TBM (Bhandari dan Galanello, 2012). Hasil penelitian Michaelakakis et al. (1997) menunjukkan adanya korelasi antara kadar feritin serum dan penanda kerusakan tubulus ginjal pada penderita TBM. Hal tersebut juga membuktikan adanya kaitan antara kelebihan besi dan toksisitas pada tubulus ginjal. Besi yang berlebihan akan berdisosiasi (dari transferin) dalam suasana asam di tubulus proksimal, memproduksi ROS dengan akibat terjadinya kerusakan pada brush border membran tubulus ginjal. Apabila besi memasuki sel tubulus ginjal masih berikatan dengan transferin, pelepasan besi terjadi dalam lisosom dan memasuki sitoplasma dalam bentuk besi bebas yang reaktif, dapat memproduksi ROS dan jejas sel (Nangaku, 2006). Anemia kronik berkaitan dengan stres oksidatif yang mengakibatkan peroksidasi lipid dan abnormalitas fungsi sel tubulus. Penelitian yang dilakukan oleh Sumboonnanonda et al. (1998) menunjukkan adanya korelasi antara abnormalitas tubulus dengan derajat anemia pada pasien TBM yang diterapi deferasirox dan deferipron. Mekanisme penyebab

35 21 terjadinya gangguan fungsi ginjal yang berkaitan dengan pemberian deferasirox masih belum diketahui dengan pasti. Beberapa hipotesis mengemukakan hal tersebut berkaitan dengan reaksi alergi berlebihan (hyperergic reaction) dan adanya overkhelasi akibat deferasirox yang menurunkan besi dalam tubuh secara mendadak sehingga mempengaruhi LFG (Maxwell, 2003). Hipoksia pada sel ginjal mengakibatkan penekanan pada penyimpanan energi, perubahan gradien elektrolit, disrupsi dari actin cytoskeleton, aktivasi fosfolipase dan perubahan ekspresi gen. Hipoksia ginjal menginduksi hilangnya polaritas epitel tubulus proksimal dan induksi selektif fragmentasi dioxyribonucleic acid (DNA) pada gen growthresponse yang memicu apoptosis medula ginjal. Jejas iskemi pada vaskular ginjal mengakibatkan peningkatan aktifitas renovaskular dan menginduksi antigen histokompatibilitas pada sel tubulus ginjal dan intercellular adhesion molecules (ICAM) pada sel endotel menyebabkan agregasi trombosit dan netrofil (Kelly et al., 1994). Kerusakan ginjal yang sudah mencapai batas adaptasinya akan berlanjut secara konsisten dan tidak dapat diperbaiki kembali hingga berlanjut ke arah PGK dengan tahapan sebagai berikut: Tabel 3. Klasifikasi PGK berdasarkan kategori LFG (KDIGO, 2013) Kategori Keterangan LFG(mL/menit/1,73 m²) LFG G1 Kerusakan ginjal dengan fungsi ginjal 90 normal atau meningkat G2 Kerusakan ginjal dengan penurunan fungsi ginjal ringan G3a Penurunan fungsi ginjal ringan-sedang G3b Penurunan fungsi ginjal sedang-berat IV Penurunan fungsi ginjal berat V Gagal ginjal <15 Teori hiperfiltrasi oleh Brenner menyatakan bahwa progresifitas penyakit ginjal berawal dari perubahan hemodinamik glomerulus. Kerusakan tubulointerstisial mengakibatkan penurunan LFG melalui

36 22 berbagai cara sehingga terjadi gangguan aliran darah dan mengakibatkan jejas iskemi pada nefron (Nangaku, 2006). Penelitian tentang gangguan fungsi ginjal pada TBM khususnya yang membahas elfg telah banyak dilakukan meskipun hasilnya masih kontradiktif. Sebagian besar hasil penelitian terdahulu menyebutkan adanya hiperfiltrasi glomerulus (HG), namun sebagian menunjukkan adanya penurunan elfg atau normal. Hiperfiltrasi glomerulus diduga sangat berperan penting sebagai penanda awal kerusakan ginjal. Hingga saat ini penyebab HG masih belum diketahui secara jelas mekanismenya, namun adanya tubuloglomerular feedback dan aktivasi mediator vasoaktif seperti nitric oxide (NO), Cox-2 derived prostanoid, sistem renin angiotensin, protein kinase-c (PKC) dan endothelin (ET) terkait dengan HG melalui mekanisme peningkatan tekanan glomerulus, akan menyebabkan peningkatan LFG yang dikenal dengan HG ( Sasson dan Cherney, 2012). Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa ( surviving nephron) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth faktor. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis reninangiotensin aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth factor β (TGF-β). Terdapat variabilitas antar individual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstitial (Suwitra, 2010).

37 23 Hiperfiltrasi glomerulus telah dilaporkan dapat terjadi pada pasien DM, sickle cell disease, talasemia, hipertensi, hiperaldosteronisme, kehamilan, dan obesitas/sindrom metabolik. Meski HG berperan penting pada tahap awal PGK, ini hanya merupakan satu dari beberapa mekanisme yang menyebabkan insufisiensi ginjal (Raes et al., 2007). Teori yang paling dapat diterima adalah bahwa hiperfiltrasi pada nefron ginjal yang tersisa setelah terjadi kehilangan nefron akibat lesi. Peningkatan tekanan glomerular menyebabkan hiperfiltrasi ini. Hiperfiltrasi terjadi sebagai konsekuensi adaptif untuk mempertahankan LFG, namun kemudian akan menyebabkan cedera pada glomerulus. Permeabilitas glomerulus yang abnormal umum terjadi pada gangguan glomerular, dengan proteinuria sebagai tanda klinis (Conchol, 2005). Brenner et al. (1996) mengatakan bahwa insufisiensi ginjal pada manusia dapat berkembang ke arah PGK, sebagai kompensasi gangguan hemodinamik glomerulus. Adapun faktor yang berperan utama adalah gangguan hemodinamik pada glomerulus yang berakibat HG. Hiperfiltrasi glomerulus merupakan gangguan hemodinamik yang dapat di monitor sebagai penanda awal gangguan fungsi ginjal lebih lanjut. Prognosis dari hiperfiltrasi terkait dengan penyakit yang mendasarinya serta tata laksana serta kepatuhan pasien dalam menjalani terapi. Dalam kurun waktu 3 dekade, hiperfiltrasi dapat berkembang ke arah proteinuria dan glomerulosklerosis. Hiperfiltrasi yang berlangsung lama akan menyebabkan renal injury. Hiperfiltrasi dapat terjadi pada kondisi patologi meskipun saat massa renal intact seperti pada DM yang dapat mengakibatkan nefropati. Hipotesis Brenner tersebut dibuktikan oleh Ficociello et al. (2009) yang melakukan penelitian longitudinal tentang hubungan antara HG dengan kejadian mikroalbuminuria pada pasien DM dan menyimpulkan bahwa hiperfiltrasi tidak mempunyai dampak progresifitas ke arah mikroalbuminuria pada pasien DM tipe I yang di follow up selama 5, 10 atau 15 tahun.

38 24 Hiperfiltrasi glomerulus dianggap sebagai awal dari mekanisme patogenik dalam laju kerusakan ginjal. Hal ini terjadi pada saat jumlah nefron mengalami pengurangan progresif, glomerulus akan melakukan kompensasi dengan meningkatkan filtrasi nefron yang masih sehat dan pada akhirnya nefron yang sehat menjadi sklerosis. Peningkatan LFG pada TBM kemungkinan disebabkan oleh dilatasi arteriol aferen karena stres oksidatif, yang diperantarai hormon vasoaktif, insulin growth factor-1 (IGF-1), nitric oxide (NO), dan PG. Hiperfiltrasi akan menyebabkan terjadinya filtrasi protein, yang pada keadaan normal tidak terjadi. Bila terjadi reabsorbsi tubulus terhadap protein meningkat, maka akan terjadi akumulasi protein dalam sel epitel tubulus dan menyebabkan pelepasan sitokin inflamasi seperti ET-1, osteopontin, dan monocyte chemoatractant protein-1 (MCP-1). Faktor tersebut akan mengubah ekspresi sitokin pro inflamasi dan infiltrasi sel mononukleus, menyebabkan kerusakan tubulo-interstitial dan terjadi renal scaring/renal injury (Ziyadeh et al., 2012). 5. Pemeriksaan Laboratorium Fungsi Ginjal a. Kreatinin Serum Kreatinin serum hingga saat ini dikenal sebagai penanda awal gangguan fungsi ginjal. Kreatinin adalah produk katabolisme dari kreatin fosfat yang ada di dalam otot. Biosintesis kreatin sendiri juga berasal dari glisin, arginin, dan metionin Hasil katabolisme tersebut memiliki nilai yang konstan dalam tiap individu setiap harinya. Kreatinin sangat bergantung dari masa otot. Proses reaksi dehidratasi dalam otot, kreatin akan diubah menjadi kreatinin yang dapat diperfusi ke seluruh cairan tubuh dan diekskresikan melalui urin (Satriana, 2008). Kreatinin merupakan salah satu substansi yang dikeluarkan lewat urin. Kandungan kreatinin dalam darah dan urin pada dasarnya ditentukan oleh massa otot dan kemampuan ekskresi ginjal. Konsentrasi kreatinin merupakan indikasi penting untuk memantau fungsi ginjal (Scott, 2002).

39 25 Metode pemeriksaan kreatinin yang sering digunakan adalah metode Jaffe, namun metode ini memiliki banyak kelemahan terkait dengan efek kromogenik sehingga dikembangkan pemeriksaan enzimatik. Mazzachi et al. (2000) melaporkan bahwa teknik secara enzimatik memberikan hasil yang lebih akurat dan lebih spesifik dibandingkan metode Jaffe sehinggga teknik enzimatik sering digunakan untuk praktek klinis dalam rangka menghasilkan estimasi yang layak. Penggunaan serangkaian enzim meningkatkan selektifitas untuk mendeteksi kreatinin, walaupun membutuhkan biaya yang mahal. Metode enzimatik yang telah dimodifikasi adalah metode yang presisi dan akurat, menggunakan sedikit sampel, dan mampu memeriksa sampel pasien dengan cepat (± 20 menit). Mereka menyimpulkan bahwa metode enzimatik cocok sebagai diagnostik laboratorium rutin untuk memeriksa kreatinin plasma, partikel keton pasien diabetes, neonatus, dan pasien yang mendapat terapi sefalosporin (Cirillo, 2010). Tabel berikut adalah kadar normal kreatinin serum menurut usia (Pagana dan Pagana, 2014). Tabel 4. Nilai rujukan kreatinin serum (Pagana dan Pagana, 2014). Usia (tahun) Kadar kreatinin (mg/dl) < 2 0,1 0,4 2 < 6 0,2 0,5 6 < 10 0,3 0,6 10 < 18 0,4 1,0 18 < 41 (laki laki) 18 < 41 (perempuan) 0,5 1,0 0,6 1,2 Kadar kreatinin dalam serum telah digunakan untuk menilai fungsi ginjal selama kurang-lebih 75 tahun terakhir. Kadar kreatinin serum tergantung pada keseimbangan 2 proses yang berlawanan, yaitu pembentukan dan ekskresi kreatinin. Klirens kreatinin dianggap dapat mewakili LFG, namun karena pengukurannya memerlukan waktu lama dan biaya yang tinggi, pengukuran klirens kreatinin tidak memberikan solusi untuk kemudahan pengukuran fungsi ginjal. Hal tersebut yang mendasari dikembangkannya cara perhitungan untuk memprediksi

40 26 klirens kreatinin dengan variabel yang mudah didapatkan, yaitu kreatinin serum, jenis kelamin, umur dan berat badan (Cirillo, 2010). b. Laju Filtrasi Glomerulus Laju filtrasi glomerulus merupakan laju filtrasi dari semua nefron yang berfungsi. Glomerulus ginjal sebagai unit filtrasi ginjal menyaring kira kira 180 L/hari (125 ml/menit) dari plasma. Laju filtrasi glomerulus mengukur klirens urin/plasma terhadap marker filtrasi ideal, misalnya inulin, atau marker eksogen seperti iothalamate, diethylene triamine penta acetic acid & iohexol. Pengukuran LFG memerlukan proses yang invasif dan waktu yang lama, sehingga tidak dianjurkan untuk dilakukan dalam praktek klinik (Stevens et al., 2006). Cara terbaik dan teliti untuk mengukur LFG adalah dengan klirens inulin. Namun uji ini jarang dilakukan dalam klinik karena melibatkan proses intravena dengan kecepatan yang konstan, pengumpulan urin pada saat saat tertentu dengan kateter, dan invasif (Price dan Wilson, 2005). Laju filtrasi glomerulus telah diterima secara luas sebagai indeks terbaik untuk menilai fungsi ginjal. Pengukuran LFG merupakan hal yang penting dalam pengelolaan pasien dengan penyakit ginjal. Selain untuk menilai fungsi ginjal secara umum, pengukuran LFG juga untuk mengetahui dosis obat yang tepat yang dapat dibersihkan oleh ginjal, untuk mendeteksi secara dini adanya gangguan ginjal, mencegah gangguan ginjal lebih lanjut, mengelola pasien dengan transplantasi ginjal, dan dalam penggunaan kontras media radiografik yang berpotensi nefrotoksik. Karena itu diperlukan pemeriksaan LFG yang mempunyai nilai akurasi yang tinggi (Stevens dan Levey, 2009). Beberapa metode telah ditemukan untuk mengukur LFG. Bersihan inulin merupakan baku emas untuk mengukur LFG. Beberapa waktu kemudian bersihan dari beberapa bahan radioisotop seperti chromium 51-EDTA, iothalamate, dan iohexol (nonradioisotop) mempunyai akurasi yang mendekati sama dengan bersihan inulin. Tetapi berbagai pemeriksaan ini memerlukan waktu, tenaga dan biaya yang

41 27 besar serta tidak praktis, dan kurang ideal untuk aplikasi rutin atau penggunaan klinik dalam jumlah yang banyak. Saat ini penanda endogen yang paling sering digunakan adalah kreatinin serum, baik secara tunggal maupun dikombinasikan dengan urin tampung 24 jam untuk menentukan bersihan kreatinin. Beberapa faktor dapat berpengaruh terhadap ketepatan penggunaan kreatinin untuk uji fungsi ginjal, seperti ketelitian dalam mengukur jumlah urine 24 jam, pengaruh massa otot terhadap produksi kreatinin endogen, asupan daging, aktivitas fisik, adanya sekresi kreatinin di tubulus ginjal, pengaruh obat-obatan, dan masalah analitik metode pemeriksaan kreatinin (Lamb et al., 2006). Klirens kreatinin sering dipergunakan untuk menentukan besarnya LFG. Pemeriksaan klirens kreatinin dilakukan dengan mengumpulkan urin selama 24 jam, namun kelemahan pemeriksaan klirens kreatinin adalah senantiasa ada bias dalam penampungan urin 24 jam (Martakusumah, 2012). Metode rujukan untuk menentukan nilai LFG pada anak adalah inulin clearance, namun marker eksogen sangatlah mahal dan tidak mudah diterapkan dalam praktek klinik sehingga Pierrat et al. (2003) mencoba membandingkan beberapa metode pengukuran elfg pada anak menggunakan Cockcroft-Gault, Schwartz, dan Modification of Diet in Renal Disease (MDRD), yang akhirnya pada satu simpulan bahwa Cockcroft-Gault dapat digunakan pada anak usia 12 tahun dan dewasa, pada anak usia < 12 tahun, dan tidak ada formula yang memuaskan untuk menilai elfg. Sementara Delanghe (2009) merekomendasikan formula Schwartz dan Counahan Barrat untuk menilai elfg pada anak. Selistre et al. (2012) merekomendasikan formula Schwartz untuk menilai elfg pada anak-anak (usia < 18 tahun) berdasarkan penelitiannya yang menunjukkan adanya kesesuaian/korelasi yang baik antara formula Schwartz dengan inulin clearance sebagai metode baku emas pengukuran elfg (gambar 5). A dan C menunjukkan hubungan univariat menggunakan transformasi logaritma. B dan D menunjukkan Bland- Altman plot menggunakan rasio egfr/mgfr terhadap egfr+mgfr)/2.

42 28 Gambar 5. Perbandingan antara formula Schwartz dan inulin clearance (Selistre et al., 2012). Penelitian ini menggunakan formula Schwartz untuk menilai elfg sebagai salah satu parameter penanda fungsi ginjal pada pasien TBM. Rumus perhitungan elfg berdasarkan formula Schwartz adalah sebagai berikut (Filler et al., 2002): elfg = k x L/Scr keterangan : elfg : estimated LFG (ml/menit/1,73 m 2 ) L : tinggi badan (cm) Scr : serum kreatinin (mg/dl) K : konstanta (bayi aterm: 0,45; anak dan remaja putri 0,55; remaja putra: 0,7) Nilai rujukan laju filtrasi glomerulus untuk usia kurang dari 40 tahun jenis kelamin wanita berkisar antara ml/menit/1,73 m², sedangkan untuk laki laki berkisar antara ml/menit/1,73 m² (Pagana dan Pagana, 2014).

43 29 B. Kerangka Pikir Talasemia beta mayor (mutasi rantai globin β) Anemia kronik Iron overload Terapi khelasi besi Stres oksidatif Nefrotoksik Peroksidasi lipid membran sel glomerulus dan tubulus ginjal Gangguan fungsi ginjal Pembentukan F 2 IsoPs urin Glomerulus ginjal Tubulus ginjal F 2 IsoPs urin Ca sitosolik pada arteriol aferen endotelial injury mediator inflamasi (TNF α, IL 18) ROS, NO Iskemia tubulus sensitivitas terhadap vasokonstriksi NO, ET ICAM 1, P selectin endotel adhesi netrofil radikal bebas Apoptosis sel epitel tubulus Korelasi? elfg Gangguan fungsi tubulus kreatinin serum Keterangan: : Mempengaruhi proses selanjutnya : variabel penelitian : bukan variabel penelitian Gambar 6. Bagan kerangka pikir C. Hipotesis Penelitian Terdapat korelasi antara kadar F 2 -IsoPs urin dan elfg pada pasien TBM.

44 BAB III METODE DAN CARA PENELITIAN A. Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan pendekatan cross sectional untuk menilai korelasi kadar F 2 -IsoPs urin dengan elfg pada pasien TBM. B. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Instalasi Patologi Klinik Rumah Sakit Umum Daerah Dr Moewardi (RSDM) di Surakarta. Waktu penelitian mulai bulan Mei-Juni C. Subjek Penelitian 1. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi pada penelitian ini adalah pasien anak anak dengan diagnosis TBM yang datang ke Instalasi rawat jalan Bagian Ilmu Kesehatan Anak (IKA) dan Bangsal Talasemia yang dilakukan pemeriksaan laboratorium ke Instalasi Patologi Klinik RSDM. Pemilihan subjek penelitian dilakukan secara consecutive sampling (berurutan), subjek dipilih berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi. Besar sampel yang digunakan untuk penelitian ini berdasarkan rumus untuk besar sampel pada penelitian analitik korelatif (Dahlan, 2010). Perkiraan besar sampel memakai rumus besar sampel untuk penelitian analitik korelatif, yaitu (Dahlan, 2010): Keterangan : Zα : deviat baku alfa Z + Z 2 N = 0,5 ln [(1+r)/(1-r)] + 3 Zβ : deviat baku beta r : korelasi (kepustakaan) Kesalahan tipe I 5 %, Zα (deviat baku alfa) 1,64 dengan tingkat keyakinan 95%, dan Zβ (deviat baku beta) 1,28. Penelitian Ilyasofa et al. (2012) yang mengkaji korelasi F 2 IsoPs urin dengan tingkat keparahan pasien diabetes mellitus (DM) tipe 2 dengan jumlah subjek penelitian 138, 30

45 31 didapatkan korelasi dengan nilai r (koefisien korelasi) = 0,6, sehingga didapatkan jumlah sampel minimal untuk penelitian ini 24 sampel. Untuk mengantisipasi adanya kemungkinan ekslusi maka ditambahkan 10% dari hasil perhitungan sehingga pada penelitian ini didapatkan besar sampel Kriteria Inklusi dan Eksklusi Subjek penelitian adalah populasi terjangkau yang memenuhi kriteria penelitian. Kriteria inklusi dan ekslusi subjek penelitian adalah sebagai berikut: Kriteria inklusi: a. Umur 18 tahun (Kishore dan Tabor, 2010). b. Diagnosis TBM oleh klinisi berdasarkan hasil laboratorium (pemeriksaan Hb elektroforesis). c. Riwayat transfusi berulang kali (lebih dari 1 tahun), dinilai dari anamnesis dan rekam medis mengenai adanya terapi transfusi rutin. d. Riwayat terapi khelasi besi dari klinisi, data didapatkan dari anamnesis dan rekam medik. e. Pasien-pasien tanpa gejala dan tanda infeksi saluran kencing (ISK), diketahui dari anamnesis, pemeriksaan fisik, data hasil pemeriksaan laboratorium, rekam medik dan inspeksi urin secara visual dari warna dan kekeruhan urin. Kriteria eksklusi: a. Riwayat penyakit hepar dan ginjal (selain akibat dari terapi TBM), dinilai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, data hasil pemeriksaan laboratorium dan rekam medis. b. Pasien infeksi, dinilai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, data hasil pemeriksaan laboratorium dan rekam medis. c. Keadaan-keadaan yang meningkatkan stres oksidatif seperti DM, asma, alergi, arthritis rheumatoid, obesitas dan perokok, dinilai dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan rekam medis.

46 32 d. Pasien TBM yang mendapat terapi anti inflamasi non steroid (AINS) golongan inhibitor cyclooxygenase dinilai dari anamnesis dan rekam medis. D. Bahan dan Alat Penelitian 1. Bahan a. Kit reagen 8-IsoPs EIA, Cayman Chemical. Sudah termasuk sebuah plate 96 sumuran. b. Sampel darah untuk pemeriksaan kreatinin serum c. Sampel urin untuk pemeriksaan F 2 IsoPs d. Kit pemeriksaan dan reagen (Insert Kit ILab 650, 2010). 1) Konteiner/cup sampel 2) Larutan sistem 3) Kalibrator dan kontrol 4) Reagent container adapters Reagen yang digunakan terdiri dari reagen Creatinin E R1, yang mengandung Creatinase >12 IU/mL, TOOS > 0,07mg/mL, Sarcosine Oxidase (SOD)>4I U/mL dan reagen Creatinin E R2 yang mengandung Creatinase >135 IU/mL, 4-AA > 0,3mg/mL, Peroxidase (POD) >2 U/mL. Semua reagen sudah dalam sediaan siap pakai, namun harus di homogenisasi sebelum digunakan dan pastikan tidak ada gelembung udara. 2. Alat a. Plate reader dengan kemampuan membaca absorbance nm b. Bio-Rad 680 Microplate Reader c. ILab 650 d. Micropipette multichannel e. Pipet adjustable f. Ultra Pure water (air yang sudah dideionisasi dan bebas kontaminan organik) g. Pipette tip

47 33 h. Tabung kaca i. Orbital shaker j. Tissue k. Cuvette l. Spuit 5 cc m. Tabung sampel dengan clot activator n. Tabung urin/pot urin o. Tabung aliquot E. Cara, Prosedur dan Skema Alur Penelitian 1. Cara penelitian Penelitian dilakukan pada subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, pada pasien TBM yang datang ke Instalasi poliklinik rawat jalan bagian IKA dan Bangsal Talasemia yang dilakukan pemeriksaan laboratorium di Instalasi Patologi Klinik RSDM di Surakarta. Subjek dipilih secara konsekutif, pendataan identitas, anamnesis dan pemberian informed consent dilakukan di tempat. Pada subjek dilakukan pengambilan darah vena secara closed system, ke dalam dua tabung dengan clot activator. Kemudian sampel tersebut disentrifugasi selama menit dengan kecepatan 6000 rotations per minute untuk diambil serumnya. Serum tersebut kemudian dipindahkan pada tabung aliquote untuk disimpan pada suhu -20 o C hingga dianalisis untuk pemeriksaan kreatinin serum. Pada subjek juga dilakukan pengambilan sampel urin sewaktu untuk pemeriksaan kreatinin urin dan F 2 IsoPs urin sebanyak 6 ml. Pisahkan 1 ml urin ke dalam tabung yang telah diberi identitas untuk diperiksa kreatinin urin. Sampel urin untuk pemeriksaan F 2 IsoPs urin dipindahkan padah 2 tabung khusus polypropilene 5 ml yang telah diberi 20 μl butylated hydroxytoluene (BHT) dan 20 μl indometasin masingmasing tepat 2 ml per-tabung. Kemudian sampel dibagi menjadi 4 0,5 ml, segera disimpan pada suhu -80 o C hingga dianalisis. Stabilitas sampel hanya bertahan hingga 3 bulan (Sampson et al., 2002; Anonim,

48 ). Penyimpanan sampel untuk pemeriksaan F 2 -IsoPs urin dilakukan di laboratorium yang sudah terstandar internasional di Surakarta. Sampel yang akan dianalisis/diperiksa kadar F 2 -IsoPs urin dikirim ke laboratorium pusat terstandar internasional di Jakarta. Sampel dikemas dalam aliquote dimasukkan ke dalam wadah styrofoam yang telah diberi gel icepack untuk dikirim ke Jakarta. Setiba di laboratorium pusat sampel disimpan pada suhu -20 o C sampai saat akan analisis. 2. Prosedur Penelitian a. Metode Pemeriksaan F 2 -IsoPs urin Pemeriksaan F 2 -IsoPs urin dengan metode EIA menggunakan Kit reagen 8-IsoPs EIA (Cayman Chemical). Prinsip pemeriksaan ini adalah kompetisi antara F 2 -IsoPs sampel dengan konjugat F 2 -IsoPs acetylcholinesterase (AChE) (8 -IsoPs tracer) untuk menempati binding site spesifik 8-IsoPs dari antiserum kelinci. Jumlah 8-IsoPs tracer yang dapat mengikat antiserum kelinci akan berbanding terbalik dengan konsentrasi F 2 -IsoPs pada sampel. Kompleks antiserum kelinci dengan F 2 -IsoPs akan mengikat antibodi monoklonal anti kelinci dari tikus yang sudah ditempatkan di permukaan sumuran. Kemudian plate dicuci untuk membuang reagen yang tidak terikat, dan reagen Ellman (yang mengandung substrat yang dapat bereaksi dengan AChE) ditambahkan. Produk reaksi enzimatik ini memberikan warna kuning dan mempunyai absorbance kuat pada panjang gelombang 412 nm. Intensitas warna yang diukur secara spektrofotometris, adalah proporsional dengan jumlah 8-IsoPs tracer yang terikat dengan sumuran, dan berbanding terbalik dengan jumlah F 2 -IsoPs bebas yang ada di sumuran saat inkubasi (Anonim, 2014). Gambar 7 memperlihatkan skema pemeriksaan F 2 -IsoPs secara immunoassay.

49 35 Gambar 7. Skema pemeriksaan F 2 -IsoPs secara EIA (Anonim, 2014). Komponen reagent kit pemeriksaan 8-IsoPs yang tersedia terdiri dari (Anonim, 2014): 1) 8-IsoPs EIA antiserum 2) 8-IsoPs AChE tracer 3) 8-IsoPs EIA standard 4) EIA buffer concentrate (10x) 5) Wash buffer concentrate (400x) 6) Polysorbate 20 7) Mouse anti-rabbit imunoglobulin G (IgG) coated plate 8) 96-well cover sheet 9) Ellman s reagent 10) EIA tracer dye 11) EIA antiserum dye Terdapat beberapa tahapan pemeriksaan kadar F 2 -IsoPs. Langkah pertama adalah mempersiapkan larutan-larutan standar F 2 - IsoPs dan reagen untuk digunakan pada EIA. Langkah kedua adalah memasukkan reagen dan sampel, langkah ketiga adalah inkubasi plate, langkah keempat adalah plate development dengan reagen Ellman, dan langkah kelima adalah pembacaan plate. Langkah-langkah pemeriksaan secara detail adalah sebagai berikut (Anonim, 2014):

50 36 1. Mempersiapkan larutan standar F 2 -IsoPs dan reagen. a. Mempersiapkan larutan-larutan standar F 2 -IsoPs Gambar 8. Preparasi larutan-larutan standar F 2 -IsoPs (Anonim, 2014). b. Rekonstitusi 8-IsoPs AChE tracer dengan cara menambahkan 6 ml EIA buffer dengan satu vial tracer. c. Rekonstitusi 8-IsoPs EIA Antiserum dengan cara menambahkan 6 ml EIA buffer dengan satu vial antiserum. Blk TA NSB B 0 : Blank : Total Activity : Non Specific Binding : Maximum Binding S1-S8 : Standards : Samples Gambar 9. Format plate sampel (Anonim, 2014). 2. Memasukkan reagen dan sampel. a. Masukkan 100 L EIA buffer ke sumuran-sumuran NSB, dan 50 L EIA buffer ke sumuran-sumuran B 0. b. Masukkan 50 L dari tabung standar #8 ke sumuran-sumuran S8. Lalu masukkan 50 L dari tabung standar #7 ke sumuransumuran S7. Lakukan hal serupa pada semua tabung dan sumuran standar. c. Masukkan masing-masing 50 L sampel ke sumuran masingmasing sampel.

thiobarbituric acid (TBA) tidak spesifik untuk MDA (Montuschi et al., 2004; Singh, 2006; Rahman et al., 2012). Isoprostan (IsoPs) adalah

thiobarbituric acid (TBA) tidak spesifik untuk MDA (Montuschi et al., 2004; Singh, 2006; Rahman et al., 2012). Isoprostan (IsoPs) adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Talasemia adalah penyakit genetik kelainan darah akibat penurunan produksi rantai globin, sehingga menyebabkan anemia. Distribusi talasemia terkonsentrasi pada thalassemia

Lebih terperinci

RINGKASAN. commit to user

RINGKASAN. commit to user digilib.uns.ac.id 47 RINGKASAN Talasemia beta adalah penyakit genetik kelainan darah, dan talasemia beta mayor menyebabkan anemia yang berat. (Rejeki et al., 2012; Rodak et al., 2012). Transfusi yang dilakukan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. tetap terjadi perubahan dalam morfologi, biokimia, dan metabolik yang disebut

BAB 1 PENDAHULUAN. tetap terjadi perubahan dalam morfologi, biokimia, dan metabolik yang disebut BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Packed red cell (PRC) adalah produk darah paling penting yang dapat disimpan sekitar 35-42 hari di bank darah dan merupakan terapi terbanyak yang diberikan di dunia.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Parasetamol merupakan obat antipiretik dan analgetik yang telah lama

I. PENDAHULUAN. Parasetamol merupakan obat antipiretik dan analgetik yang telah lama I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Parasetamol merupakan obat antipiretik dan analgetik yang telah lama digunakan di dunia. Parasetamol merupakan obat yang efektif, sederhana dan dianggap paling aman sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asam urat telah diidentifikasi lebih dari dua abad yang lalu akan tetapi beberapa aspek patofisiologi dari hiperurisemia tetap belum dipahami dengan baik. Asam urat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. berlebihnya asupan nutrisi dibandingkan dengan kebutuhan tubuh sehingga

BAB 1 PENDAHULUAN. berlebihnya asupan nutrisi dibandingkan dengan kebutuhan tubuh sehingga BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obesitas adalah kondisi berlebihnya berat badan akibat banyaknya lemak pada tubuh, yang umumnya ditimbun dalam jaringan subkutan (bawah kulit), di sekitar organ tubuh,

Lebih terperinci

ABSTRAK. Gea Nathali Halim, 2017, Pembimbing 1: Penny Setyawati M, Dr, SpPK, MKes Pembimbing 2: Yenni Limyati, Dr, SSn,SpKFR,MKes

ABSTRAK. Gea Nathali Halim, 2017, Pembimbing 1: Penny Setyawati M, Dr, SpPK, MKes Pembimbing 2: Yenni Limyati, Dr, SSn,SpKFR,MKes ABSTRAK HUBUNGAN MIKROALBUMINURIA (MAU) DAN ESTIMATED GLOMERULAR FILTRATION RATE (egfr) SEBAGAI PREDIKTOR PENURUNAN FUNGSI GINJAL PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 Gea Nathali Halim, 2017, Pembimbing 1:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan, manusia amat tergantung kepada alam sekeliling. Yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan, manusia amat tergantung kepada alam sekeliling. Yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam kehidupan, manusia amat tergantung kepada alam sekeliling. Yang paling mendasar manusia memerlukan oksigen, air serta sumber bahan makanan yang disediakan alam.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Telah diketahui bahwa ketinggian menimbulkan stress pada berbagai sistem organ manusia. Tekanan atmosfer menurun pada ketinggian, sehingga terjadi penurunan tekanan

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Hipertensi merupakan salah satu kondisi kronis yang sering terjadi di

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Hipertensi merupakan salah satu kondisi kronis yang sering terjadi di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Hipertensi merupakan salah satu kondisi kronis yang sering terjadi di masyarakat. Seseorang dapat dikatakan hipertensi ketika tekanan darah sistolik menunjukkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah World health organization ( WHO ) telah mengumumkan bahwa prevalensi diabetes mellitus ( DM) akan meningkat di seluruh dunia pada millenium ketiga ini, termasuk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. peningkatan kasus sebanyak 300 juta penduduk dunia, dengan asumsi 2,3%

BAB 1 PENDAHULUAN. peningkatan kasus sebanyak 300 juta penduduk dunia, dengan asumsi 2,3% BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Diabetes melitus tipe 2 diperkirakan pada tahun 2025 akan mengalami peningkatan kasus sebanyak 300 juta penduduk dunia, dengan asumsi 2,3% peningkatan prevalensi pertahun.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Saat ini jumlah perokok di dunia mengalami peningkatan termasuk di

BAB 1 PENDAHULUAN. Saat ini jumlah perokok di dunia mengalami peningkatan termasuk di BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini jumlah perokok di dunia mengalami peningkatan termasuk di Indonesia. Jumlah perokok di seluruh dunia saat ini mencapai 1,2 milyar orang dan 800 juta diantaranya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengandung badan inklusi di darah tepi menyebabkan anemia pada

BAB I PENDAHULUAN. mengandung badan inklusi di darah tepi menyebabkan anemia pada BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Adanya eritropoiesis inefektif dan hemolisis eritrosit yang mengandung badan inklusi di darah tepi menyebabkan anemia pada talasemia mayor (TM), 1,2 sehingga diperlukan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. nefrologi dengan angka kejadian yang cukup tinggi, etiologi luas, dan sering diawali

BAB 1 PENDAHULUAN. nefrologi dengan angka kejadian yang cukup tinggi, etiologi luas, dan sering diawali BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan salah satu permasalahan dibidang nefrologi dengan angka kejadian yang cukup tinggi, etiologi luas, dan sering diawali tanpa keluhan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. masa kanak-kanak, yang mengakibatkan kelainan signifikan dan gangguan pada

BAB 1 PENDAHULUAN. masa kanak-kanak, yang mengakibatkan kelainan signifikan dan gangguan pada BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Autisme adalah gangguan perkembangan yang biasanya didiagnosis awal pada masa kanak-kanak, yang mengakibatkan kelainan signifikan dan gangguan pada interaksi sosial,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Transplantasi ginjal merupakan pilihan pengobatan untuk pasien yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Transplantasi ginjal merupakan pilihan pengobatan untuk pasien yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Transplantasi ginjal merupakan pilihan pengobatan untuk pasien yang memiliki penyakit ginjal stadium akhir, pasien dengan transplantasi ginjal mempunyai harapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terjadinya stres oksidatif pada tikus (Senturk et al., 2001) dan manusia

BAB I PENDAHULUAN. terjadinya stres oksidatif pada tikus (Senturk et al., 2001) dan manusia BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Latihan fisik merupakan pergerakan tubuh yang dilakukan oleh otot dengan terencana dan berulang yang menyebabkan peningkatan pemakaian energi dengan tujuan untuk memperbaiki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. autosomal resesif. Kelainan ini menyebabkan produksi hemoglobin (Hb)

BAB I PENDAHULUAN. autosomal resesif. Kelainan ini menyebabkan produksi hemoglobin (Hb) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Talasemia adalah kelainan genetik darah, yang diturunkan secara autosomal resesif. Kelainan ini menyebabkan produksi hemoglobin (Hb) yang normal tertekan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. produksi rantai globin mengalami perubahan kuantitatif. Hal ini dapat menimbulkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. produksi rantai globin mengalami perubahan kuantitatif. Hal ini dapat menimbulkan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Thalassemia Thalassemia merupakan kelainan genetik dimana terjadi mutasi di dalam atau di dekat gen globin yang ditandai dengan tidak ada atau berkurangnya sintesis rantai globin.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. orangtua kepada anaknya sejak masih dalam kandungan. Talasemia terjadi akibat

BAB I PENDAHULUAN. orangtua kepada anaknya sejak masih dalam kandungan. Talasemia terjadi akibat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Talasemia merupakan penyakit bawaan yang diturunkan dari salah satu orangtua kepada anaknya sejak masih dalam kandungan. Talasemia terjadi akibat perubahan atau kelainan

Lebih terperinci

1 Universitas Kristen Maranatha

1 Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Thalassemia adalah penyakit kelainan darah yang diturunkan secara herediter. Centre of Disease Control (CDC) melaporkan bahwa thalassemia sering dijumpai pada populasi

Lebih terperinci

ABSTRAK GAMBARAN KADAR ASAM URAT SERUM PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2

ABSTRAK GAMBARAN KADAR ASAM URAT SERUM PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 ABSTRAK GAMBARAN KADAR ASAM URAT SERUM PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 Renny Anggraeni, 2011 Pembimbing I : Adrian Suhendra, dr., Sp.PK., M.Kes Pembimbing II : Budi Widyarto,dr.,M.H. Asam urat telah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. komponen utama adalah hemoglobin A dengan struktur molekul α 2 β 2.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. komponen utama adalah hemoglobin A dengan struktur molekul α 2 β 2. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hemoglobin Darah orang dewasa normal memiliki tiga jenis hemoglobin, dengan komponen utama adalah hemoglobin A dengan struktur molekul α 2 β 2. Hemoglobin minor yang memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Radikal bebas merupakan salah satu penyebab timbulnya berbagai penyakit

BAB I PENDAHULUAN. Radikal bebas merupakan salah satu penyebab timbulnya berbagai penyakit 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Radikal bebas merupakan salah satu penyebab timbulnya berbagai penyakit degeneratif, seperti kardiovaskuler, tekanan darah tinggi, stroke, sirosis hati, katarak,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. kreatinin serum pada pasien diabetes melitus tipe 2 telah dilakukan di RS

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. kreatinin serum pada pasien diabetes melitus tipe 2 telah dilakukan di RS BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Gambaran Hasil Penelitian Pelaksanaan penelitian tentang korelasi antara kadar asam urat dan kreatinin serum pada pasien diabetes melitus tipe 2 telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ginjal mempunyai peran yang sangat penting dalam mengaja kesehatan tubuh secara menyeluruh karena ginjal adalah salah satu organ vital dalam tubuh. Ginjal berfungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. serta diwariskan melalui cara autosomal resesif (Cappillini, 2012).

BAB I PENDAHULUAN UKDW. serta diwariskan melalui cara autosomal resesif (Cappillini, 2012). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Thalassemia atau sindrom thalassemia merupakan sekelompok heterogen dari anemia hemolitik bawaan yang ditandai dengan kurang atau tidak adanya produksi salah

Lebih terperinci

KORELASI KADAR HEMOGLOBIN BEBAS DAN F 2α -ISOPROSTAN PLASMA PACKED RED CELL SELAMA PENYIMPANAN DI BANK DARAH

KORELASI KADAR HEMOGLOBIN BEBAS DAN F 2α -ISOPROSTAN PLASMA PACKED RED CELL SELAMA PENYIMPANAN DI BANK DARAH Tesis KORELASI KADAR HEMOGLOBIN BEBAS DAN Oleh WINDA KOMALA BP. 1150307207 PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS 1 PATOLOGI KLINIK FK UNAND/RSUP Dr. M DJAMIL PADANG 2017 ii KORELASI KADAR HEMOGLOBIN BEBAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronik merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. Di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronik merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. Di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit ginjal kronik merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. Di Amerika Serikat, didapatkan peningkatan insiden dan prevalensi dari gagal ginjal, dengan prognosis

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mengurangi kualitas dan angka harapan hidup. Menurut laporan status global

BAB 1 PENDAHULUAN. mengurangi kualitas dan angka harapan hidup. Menurut laporan status global BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Merokok berbahaya bagi kesehatan, menyebabkan banyak penyakit dan mengurangi kualitas dan angka harapan hidup. Menurut laporan status global World Health Organization

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pada pria dan 21,6% pada wanita (Zhu et al., 2011). Data tahun 2012 pada populasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pada pria dan 21,6% pada wanita (Zhu et al., 2011). Data tahun 2012 pada populasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Prevalensi hiperurisemia pada populasi manusia cukup tinggi. Studi di Amerika tahun 2011 menunjukkan bahwa prevalensi hiperurisemia sebesar 21,2% pada pria dan 21,6%

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) telah dikategorikan sebagai penyakit yang terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan jumlah pasien yang terus meningkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Jumlah penderita diabetes mellitus (DM) di Indonesia menurut World Health

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Jumlah penderita diabetes mellitus (DM) di Indonesia menurut World Health BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jumlah penderita diabetes mellitus (DM) di Indonesia menurut World Health Organizaton (WHO) pada tahun 2000 diperkirakan sekitar 4 juta orang, jumlah tersebut diperkirakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia telah mengenal kehidupan di tempat tinggi sejak ribuan tahun lalu. Secara alami telah terjadi proses adaptasi fisiologis sebagai mekanisme kompensasi terhadap

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk asalnya atau dalam bentuk metabolit hasil biotransformasi. Ekskresi di sini merupakan hasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan injuri otot (Evans, 2000) serta menimbulkan respon yang berbeda pada jaringan

BAB I PENDAHULUAN. dan injuri otot (Evans, 2000) serta menimbulkan respon yang berbeda pada jaringan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Latihan fisik yang dilakukan dengan teratur dapat mencegah penyakit kronis seperti kanker, hipertensi, obesitas, depresi, diabetes dan osteoporosis (Daniel et al, 2010).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. vulgaris disertai dengan suatu variasi pleomorfik dari lesi, yang terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. vulgaris disertai dengan suatu variasi pleomorfik dari lesi, yang terdiri dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Akne vulgaris merupakan suatu penyakit dari unit pilosebasea yang dapat sembuh sendiri, terutama dijumpai pada anak remaja. Kebanyakan kasus akne vulgaris disertai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. metabolisme tubuh yang sudah tidak digunakan dan obat-obatan. Laju Filtrasi

I. PENDAHULUAN. metabolisme tubuh yang sudah tidak digunakan dan obat-obatan. Laju Filtrasi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ginjal merupakan suatu organ yang sangat penting untuk mengeluarkan hasil metabolisme tubuh yang sudah tidak digunakan dan obat-obatan. Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) digunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. besar oleh karena insidensinya yang semakin meningkat di seluruh dunia

BAB I PENDAHULUAN. besar oleh karena insidensinya yang semakin meningkat di seluruh dunia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit ginjal kronik (PGK) tahap akhir merupakan masalah yang besar oleh karena insidensinya yang semakin meningkat di seluruh dunia juga di Indonesia. (1) Penderita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bidang obstetri, karena merupakan penyulit 2% sampai 20% dari semua

BAB I PENDAHULUAN. bidang obstetri, karena merupakan penyulit 2% sampai 20% dari semua 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ketuban Pecah Dini (KPD) masih merupakan masalah penting dalam bidang obstetri, karena merupakan penyulit 2% sampai 20% dari semua kelahiran dan mengakibatkan peningkatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Zat besi Besi (Fe) adalah salah satu mineral zat gizi mikro esensial dalam kehidupan manusia. Tubuh

Lebih terperinci

1 Universitas Kristen Maranatha

1 Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hepar merupakan organ terbesar dalam tubuh manusia, dengan berat 1.200-1.500 gram. Pada orang dewasa ± 1/50 dari berat badannya sedangkan pada bayi ± 1/18 dari berat

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KADAR FERITIN DENGAN KREATININ SERUM PADA PASIEN THALASSEMIA DI RSUD DR. MOEWARDI SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan

HUBUNGAN ANTARA KADAR FERITIN DENGAN KREATININ SERUM PADA PASIEN THALASSEMIA DI RSUD DR. MOEWARDI SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan HUBUNGAN ANTARA KADAR FERITIN DENGAN KREATININ SERUM PADA PASIEN THALASSEMIA DI RSUD DR. MOEWARDI SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran Eko Dewi Ratna Utami G.0010067 FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. serum terhadap kejadian acute coronary syndrome (ACS) telah dilakukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. serum terhadap kejadian acute coronary syndrome (ACS) telah dilakukan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Gambaran Hasil Penelitian Pelaksanaan penelitian tentang hubungan antara kadar asam urat serum terhadap kejadian acute coronary syndrome (ACS) telah dilakukan

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN Pengaruh pemberian ekstrak etanol daun salam terhadap kadar GDS. absolut (DM tipe 1) atau secara relatif (DM tipe 2).

BAB VI PEMBAHASAN Pengaruh pemberian ekstrak etanol daun salam terhadap kadar GDS. absolut (DM tipe 1) atau secara relatif (DM tipe 2). 53 BAB VI PEMBAHASAN 6.1. Pengaruh pemberian ekstrak etanol daun salam terhadap kadar GDS Diabetes melitus (DM) merupakan gangguan metabolik kronik, progresif dengan hiperglikemia sebagai tanda utama karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Merokok merupakan suatu masalah kesehatan pada masyarakat dan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Merokok merupakan suatu masalah kesehatan pada masyarakat dan merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Merokok merupakan suatu masalah kesehatan pada masyarakat dan merupakan ancaman besar bagi kesehatan di dunia (Emmons, 1999). Merokok memberikan implikasi terhadap

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. STZ merupakan bahan toksik yang dapat merusak sel ß pankreas secara langsung.

BAB V PEMBAHASAN. STZ merupakan bahan toksik yang dapat merusak sel ß pankreas secara langsung. BAB V PEMBAHASAN STZ merupakan bahan toksik yang dapat merusak sel ß pankreas secara langsung. Mekanisme diabetogenik STZ adalah alkilasi DNA oleh STZ melalui gugus nitroourea yang mengakibatkan kerusakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Brunner dan Suddarth, 2002)

I. PENDAHULUAN. urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Brunner dan Suddarth, 2002) 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gagal Ginjal Kronik / penyakit ginjal tahap akhir (ESRD / End Stage Renal Disease) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Olahraga sepatu roda (inline skating) merupakan olahraga yang. membutuhkan keseimbangan antara kelincahan, kekuatan, kecepatan,

BAB I PENDAHULUAN. Olahraga sepatu roda (inline skating) merupakan olahraga yang. membutuhkan keseimbangan antara kelincahan, kekuatan, kecepatan, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Olahraga sepatu roda (inline skating) merupakan olahraga yang membutuhkan keseimbangan antara kelincahan, kekuatan, kecepatan, ketahanan dan koordinasi (de

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang. Ginjal merupakan salah satu organ utama dalam tubuh manusia yang

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang. Ginjal merupakan salah satu organ utama dalam tubuh manusia yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Ginjal merupakan salah satu organ utama dalam tubuh manusia yang berfungsi dalam proses penyaringan dan pembersihan darah. Ginjal menjalankan fungsi vital sebagai pengatur

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. membunuh serangga (Heller, 2010). Sebanyak dua juta ton pestisida telah

BAB 1 PENDAHULUAN. membunuh serangga (Heller, 2010). Sebanyak dua juta ton pestisida telah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Insektisida adalah bahan-bahan kimia bersifat racun yang dipakai untuk membunuh serangga (Heller, 2010). Sebanyak dua juta ton pestisida telah digunakan per tahun dan

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Diabetes melitus (DM) merupakan suatu penyakit yang banyak dialami oleh

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Diabetes melitus (DM) merupakan suatu penyakit yang banyak dialami oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Diabetes melitus (DM) merupakan suatu penyakit yang banyak dialami oleh orang di seluruh dunia. DM didefinisikan sebagai kumpulan penyakit metabolik kronis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Organisasi kesehatan dunia, World Health Organization (WHO)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Organisasi kesehatan dunia, World Health Organization (WHO) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Organisasi kesehatan dunia, World Health Organization (WHO) memperkirakan lebih dari 180 juta orang di dunia mengalami diabetes melitus (DM) dan cenderung

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes melitus adalah penyakit tidak menular yang bersifat kronis dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes melitus adalah penyakit tidak menular yang bersifat kronis dan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus adalah penyakit tidak menular yang bersifat kronis dan jumlah penderitanya terus meningkat di seluruh dunia seiring dengan bertambahnya jumlah populasi,

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronis (Chronic Kidney Disease / CKD) merupakan

BAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronis (Chronic Kidney Disease / CKD) merupakan BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penyakit ginjal kronis (Chronic Kidney Disease / CKD) merupakan masalah kesehatan baik di negara maju maupun negara berkembang (Prodjosudjadi & Suhardjono, 2009).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (WHO, 2007) dan Burden of Disease, penyakit ginjal dan saluran kemih telah

BAB I PENDAHULUAN. (WHO, 2007) dan Burden of Disease, penyakit ginjal dan saluran kemih telah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit ginjal kini telah menjadi masalah kesehatan serius di dunia. Menurut (WHO, 2007) dan Burden of Disease, penyakit ginjal dan saluran kemih telah menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan penyakit multisistem yang disebabkan kerusakan jaringan akibat deposisi kompleks imun berupa ikatan antibodi dengan komplemen.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit yang dapat dicegah dan diobati berupa hambatan aliran udara yang progresif, ditandai dengan inflamasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. ginjal. Dari data American Heart Association tahun 2013 menyebutkan bahwa di

BAB I PENDAHULUAN UKDW. ginjal. Dari data American Heart Association tahun 2013 menyebutkan bahwa di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Hipertensi masih merupakan masalah kesehatan yang menjadi perhatian utama diberbagai negara karena angka kematian yang ditimbulkan masih sangat tinggi dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. kasus terbanyak yaitu 91% dari seluruh kasus DM di dunia, meliputi individu

BAB I PENDAHULUAN UKDW. kasus terbanyak yaitu 91% dari seluruh kasus DM di dunia, meliputi individu BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Diabetes Melitus (DM) merupakan kelainan metabolisme dari karbohidrat, protein dan lemak yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya

Lebih terperinci

BAB 5 PEMBAHASAN. Telah dilakukan penelitian terhadap 100 penderita stroke iskemik fase akut,

BAB 5 PEMBAHASAN. Telah dilakukan penelitian terhadap 100 penderita stroke iskemik fase akut, lxxiii BAB 5 PEMBAHASAN Telah dilakukan penelitian terhadap 100 penderita stroke iskemik fase akut, setelah dialokasikan secara acak 50 penderita masuk kedalam kelompok perlakuan dan 50 penderita lainnya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. banyak ditemukan di lingkungan (WHO, 2010). Logam plumbum disebut non

BAB 1 PENDAHULUAN. banyak ditemukan di lingkungan (WHO, 2010). Logam plumbum disebut non BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Plumbum adalah salah satu logam berat yang bersifat toksik dan paling banyak ditemukan di lingkungan (WHO, 2010). Logam plumbum disebut non essential trace element

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Umumnya anti nyamuk digunakan sebagai salah satu upaya untuk mengatasi

BAB I PENDAHULUAN. Umumnya anti nyamuk digunakan sebagai salah satu upaya untuk mengatasi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anti nyamuk merupakan benda yang sudah tak asing lagi bagi kita. Umumnya anti nyamuk digunakan sebagai salah satu upaya untuk mengatasi gigitan nyamuk. Jenis formula

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ginjal adalah system organ yang berpasangan yang terletak pada rongga

TINJAUAN PUSTAKA. Ginjal adalah system organ yang berpasangan yang terletak pada rongga BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ginjal Ginjal adalah system organ yang berpasangan yang terletak pada rongga retroperitonium. Secara anatomi ginjal terletak dibelakang abdomen atas dan di kedua sisi kolumna

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Thalassemia adalah penyakit kelainan darah herediter dimana tubuh

BAB I PENDAHULUAN. Thalassemia adalah penyakit kelainan darah herediter dimana tubuh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Thalassemia adalah penyakit kelainan darah herediter dimana tubuh mensintesis subunit α atau β-globin pada hemoglobin dalam jumlah yang abnormal (lebih sedikit). 1,2

Lebih terperinci

PEMBAHASAN. 6.1 Efek Pelatihan Fisik Berlebih Terhadap Spermatogenesis Mencit. Pada penelitian ini, data menunjukkan bahwa kelompok yang diberi

PEMBAHASAN. 6.1 Efek Pelatihan Fisik Berlebih Terhadap Spermatogenesis Mencit. Pada penelitian ini, data menunjukkan bahwa kelompok yang diberi 1 BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Efek Pelatihan Fisik Berlebih Terhadap Spermatogenesis Mencit Pada penelitian ini, data menunjukkan bahwa kelompok yang diberi pelatihan fisik berlebih selama 35 hari berupa latihan

Lebih terperinci

1 Universitas Kristen Maranatha

1 Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gangguan pada hepar dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor, antara lain virus, radikal bebas, maupun autoimun. Salah satu yang banyak dikenal masyarakat adalah

Lebih terperinci

ABSTRAK PERAN ERITROPOIETIN TERHADAP ANEMIA ( STUDI PUSTAKA)

ABSTRAK PERAN ERITROPOIETIN TERHADAP ANEMIA ( STUDI PUSTAKA) ABSTRAK PERAN ERITROPOIETIN TERHADAP ANEMIA ( STUDI PUSTAKA) Hana Setiawati Dhanisworo, 2006 Pembimbing I : Lisawati Sadeli, dr. Pembimbing II : Surjadi Kurniawan, dr., M. Kes Gejala anemia merupakan komplikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Preeklampsia merupakan komplikasi kehamilan yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah disertai proteinuria pada wanita hamil dengan umur kehamilan 20 minggu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Cedera ginjal akut (Acute Kidney Injury / AKI) memiliki insidensi yang terus meningkat setiap tahunnya

BAB I PENDAHULUAN. Cedera ginjal akut (Acute Kidney Injury / AKI) memiliki insidensi yang terus meningkat setiap tahunnya 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Cedera ginjal akut (Acute Kidney Injury / AKI) memiliki insidensi yang terus meningkat setiap tahunnya (Cerda et al., 2008). Berbagai macam strategi pencegahan telah

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit degeneratif yang merupakan salah

BAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit degeneratif yang merupakan salah 1 BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit degeneratif yang merupakan salah satu masalah kesehatan di dunia. DM merupakan penyakit kelainan sistem endokrin utama yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang berasal dari lemak tumbuhan maupun dari lemak hewan. Minyak goreng tersusun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang berasal dari lemak tumbuhan maupun dari lemak hewan. Minyak goreng tersusun BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Minyak Goreng Minyak goreng merupakan salah satu bahan yang termasuk dalam lemak, baik yang berasal dari lemak tumbuhan maupun dari lemak hewan. Minyak goreng tersusun dari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ginjal adalah sepasang organ berbentuk kacang yang masing-masing

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ginjal adalah sepasang organ berbentuk kacang yang masing-masing BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ginjal Ginjal adalah sepasang organ berbentuk kacang yang masing-masing berukuran satu kepalan tangan, dan terletak tepat di bawah tulang rusuk. Setiap hari kedua ginjal menyaring

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehamilan. Umumnya prevalensi abortus sekitar % dari semua. prevalensi masih bervariasi dari yang terendah 2-3% sampai yang

BAB I PENDAHULUAN. kehamilan. Umumnya prevalensi abortus sekitar % dari semua. prevalensi masih bervariasi dari yang terendah 2-3% sampai yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Abortus merupakan kejadian yang paling sering dijumpai pada kehamilan. Umumnya prevalensi abortus sekitar 10-15 % dari semua tanda klinis kehamilan yang dikenali,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes melitus merupakan suatu penyakit kronis yang ditandai oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes melitus merupakan suatu penyakit kronis yang ditandai oleh BAB 1 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN Diabetes melitus merupakan suatu penyakit kronis yang ditandai oleh adanya hiperglikemia akibat defisiensi sekresi hormon insulin, kurangnya respon tubuh terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. darah, efek terhadap paru, kekebalan tubuh hingga sistem reproduksi. 1 Meski

BAB I PENDAHULUAN. darah, efek terhadap paru, kekebalan tubuh hingga sistem reproduksi. 1 Meski 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Merokok telah diketahui menjadi salah satu faktor risiko dari beberapa macam penyakit. Efek yang paling banyak ditimbulkan seperti pada sistem kardiovaskuler yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sekarang ini hampir semua orang lebih memperhatikan penampilan atau bentuk tubuh, baik untuk menjaga kesehatan ataupun hanya untuk menjaga penampilan agar lebih menarik.

Lebih terperinci

B A B I PENDAHULUAN. pembangunan dalam segala bidang. Pertumbuhan ekonomi yang baik,

B A B I PENDAHULUAN. pembangunan dalam segala bidang. Pertumbuhan ekonomi yang baik, B A B I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu negara berkembang saat ini terus melakukan pembangunan dalam segala bidang. Pertumbuhan ekonomi yang baik, peningkatan taraf hidup setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam bentuk persenyawaan dengan molekul lain seperti PbCl 4 dan PbBr 2.

BAB I PENDAHULUAN. dalam bentuk persenyawaan dengan molekul lain seperti PbCl 4 dan PbBr 2. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Timbal merupakan logam yang secara alamiah dapat ditemukan dalam bentuk persenyawaan dengan molekul lain seperti PbCl 4 dan PbBr 2. Logam ini telah digunakan sejak

Lebih terperinci

DETEKSI DINI DAN PENCEGAHAN PENYAKIT GAGAL GINJAL KRONIK. Oleh: Yuyun Rindiastuti Mahasiswa Fakultas Kedokteran UNS BAB I PENDAHULUAN

DETEKSI DINI DAN PENCEGAHAN PENYAKIT GAGAL GINJAL KRONIK. Oleh: Yuyun Rindiastuti Mahasiswa Fakultas Kedokteran UNS BAB I PENDAHULUAN DETEKSI DINI DAN PENCEGAHAN PENYAKIT GAGAL GINJAL KRONIK Oleh: Yuyun Rindiastuti Mahasiswa Fakultas Kedokteran UNS BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di negara maju, penyakit kronik tidak menular (cronic

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hati adalah organ terbesar dalam tubuh. Penyakit pada hati merupakan salah satu masalah kesehatan yang serius. Hepatitis adalah suatu peradangan difus jaringan hati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hipertensi dalam kehamilan masih merupakan masalah besar. dalam bidang obstetri, dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi

BAB I PENDAHULUAN. Hipertensi dalam kehamilan masih merupakan masalah besar. dalam bidang obstetri, dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hipertensi dalam kehamilan masih merupakan masalah besar dalam bidang obstetri, dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi baik pada ibu maupun bayi. Hipertensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dunia sehingga diperlukan penanganan dan pencegahan yang tepat untuk

BAB I PENDAHULUAN. dunia sehingga diperlukan penanganan dan pencegahan yang tepat untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gagal ginjal kronik merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia sehingga diperlukan penanganan dan pencegahan yang tepat untuk mengatasinya. Gagal ginjal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Asam urat merupakan produk akhir dari degradasi purin. Pada monyet asam

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Asam urat merupakan produk akhir dari degradasi purin. Pada monyet asam BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Asam urat merupakan produk akhir dari degradasi purin. Pada monyet asam urat akan didegradasi menjadi alantoin oleh urikase. Kadar serum asam urat diatur melalui sintesis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (American Diabetes

BAB I PENDAHULUAN. sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (American Diabetes BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Diabetes Melitus (DM) adalah merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan suatu keadaan klinis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan suatu keadaan klinis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan suatu keadaan klinis kerusakan ginjal yang progresif dan irreversible dengan etiologi yang beragam. Setiap penyakit yang terjadi

Lebih terperinci

THALASEMIA A. DEFINISI. NUCLEUS PRECISE NEWS LETTER # Oktober 2010

THALASEMIA A. DEFINISI. NUCLEUS PRECISE NEWS LETTER # Oktober 2010 THALASEMIA A. DEFINISI Thalasemia adalah penyakit kelainan darah yang ditandai dengan kondisi sel darah merah mudah rusak atau umurnya lebih pendek dari sel darah normal (120 hari). Akibatnya penderita

Lebih terperinci

perkembangan penyakit DM perlu untuk diperhatikan agar komplikasi yang menyertai dapat dicegah dengan cara mengelola dan memantau perkembangan DM

perkembangan penyakit DM perlu untuk diperhatikan agar komplikasi yang menyertai dapat dicegah dengan cara mengelola dan memantau perkembangan DM BAB 1 PENDAHULUAN Penyakit Ginjal Kronik (PGK) merupakan suatu masalah kesehatan yang serius di dunia. Hal ini dikarena penyakit ginjal dapat menyebabkan kematian, kecacatan serta penurunan kualitas hidup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengonsumsi minuman beralkohol. Mengonsumsi etanol berlebihan akan

BAB I PENDAHULUAN. mengonsumsi minuman beralkohol. Mengonsumsi etanol berlebihan akan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gaya hidup remaja yang telah digemari oleh masyarakat yaitu mengonsumsi minuman beralkohol. Mengonsumsi etanol berlebihan akan mengakibatkan gangguan pada organ hati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. proses penuaan dan meningkatkan kualitas hidup. Proses menjadi tua memang

BAB I PENDAHULUAN. proses penuaan dan meningkatkan kualitas hidup. Proses menjadi tua memang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anti Aging Medicine (AAM) adalah ilmu yang berupaya memperlambat proses penuaan dan meningkatkan kualitas hidup. Proses menjadi tua memang akan terjadi pada

Lebih terperinci

BAB. I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. tahun 1925 di Italia pada anak-anak dengan kelainan klinis berupa anemia berat,

BAB. I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. tahun 1925 di Italia pada anak-anak dengan kelainan klinis berupa anemia berat, 1 BAB. I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Talasemia, pertama kali ditemukan oleh Thomas Cooley dan Pearl Lee pada tahun 1925 di Italia pada anak-anak dengan kelainan klinis berupa anemia berat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penurunan fungsi paru dan penurunan kualitas hidup manusia. 2 Penyakit paru

BAB I PENDAHULUAN. penurunan fungsi paru dan penurunan kualitas hidup manusia. 2 Penyakit paru BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Paru merupakan suatu organ respiratorik yang memiliki area permukaan alveolus seluas 40 m 2 untuk pertukaran udara antara O 2 dengan CO 2. 1 Kelainan yang terjadi pada

Lebih terperinci

4.10 Instrumen Penelitian Prosedur Penelitian Manajemen Data Analiasis Data BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.

4.10 Instrumen Penelitian Prosedur Penelitian Manajemen Data Analiasis Data BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5. DAFTAR ISI Halaman LEMBAR JUDUL... i LEMBAR PERSETUJUAN... ii PENETAPAN PENGUJI... iii PERNYATAAN KEASLIAN... iv ABSTRAK... v ABSTRACT... vi RINGKASAN... vii SUMMARY... vii KATA PENGANTAR... ix DAFTAR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Roundup adalah herbisida yang menggunakan bahan aktif glifosat yang banyak

I. PENDAHULUAN. Roundup adalah herbisida yang menggunakan bahan aktif glifosat yang banyak 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Roundup adalah herbisida yang menggunakan bahan aktif glifosat yang banyak digunakan di dunia. Glifosat (N-phosphonomethyl-glycine) digunakan untuk mengontrol gulma

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Kesehatan merupakan hal terpenting dalam kehidupan manusia dibandingkan dengan jabatan, kekuasaan ataupun kekayaan. Tanpa kesehatan yang optimal, semuanya akan menjadi

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. salam dapat menurunkan ekspresi kolagen mesangial tikus Sprague dawley DM.

BAB VI PEMBAHASAN. salam dapat menurunkan ekspresi kolagen mesangial tikus Sprague dawley DM. 73 BAB VI PEMBAHASAN 6.1. Uji pendahuluan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ekstrak etanol daun salam dapat menurunkan ekspresi kolagen mesangial tikus Sprague dawley DM. Agar diperoleh

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang Masalah. Fibrosis merupakan pembentukan jaringan parut yang berlebihan

BAB I. PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang Masalah. Fibrosis merupakan pembentukan jaringan parut yang berlebihan BAB I. PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang Masalah Fibrosis merupakan pembentukan jaringan parut yang berlebihan terutama pada organ paru, pembuluh darah, jantung dan ginjal (Sakai et al., 1996). Di Amerika

Lebih terperinci

yang tidak sehat, gangguan mental emosional (stres), serta perilaku yang berkaitan

yang tidak sehat, gangguan mental emosional (stres), serta perilaku yang berkaitan BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit tidak menular (PTM) menjadi penyebab utama kematian secara global, kematian akibat Penyakit Tidak Menular (PTM) diperkirakan akan terus meningkat di seluruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemi yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau

Lebih terperinci