PERBURUAN DAN PERDAGANGAN BEBERAPA JENIS KELELAWAR DI DALAM DAN SEKITAR KAWASAN HUTAN BATANG TORU, SUMATERA UTARA RONALD ANDREAS PAJA SIAGIAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERBURUAN DAN PERDAGANGAN BEBERAPA JENIS KELELAWAR DI DALAM DAN SEKITAR KAWASAN HUTAN BATANG TORU, SUMATERA UTARA RONALD ANDREAS PAJA SIAGIAN"

Transkripsi

1 PERBURUAN DAN PERDAGANGAN BEBERAPA JENIS KELELAWAR DI DALAM DAN SEKITAR KAWASAN HUTAN BATANG TORU, SUMATERA UTARA RONALD ANDREAS PAJA SIAGIAN DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

2 PERBURUAN DAN PERDAGANGAN BEBERAPA JENIS KELELAWAR DI DALAM DAN SEKITAR KAWASAN HUTAN BATANG TORU, SUMATERA UTARA RONALD ANDREAS PAJA SIAGIAN Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

3 RINGKASAN RONALD ANDREAS PAJA SIAGIAN. E Perburuan dan Perdagangan Beberapa Jenis Kelelawar di Dalam dan Sekitar Kawasan Hutan Batang Toru, Sumatera Utara. Dibimbing oleh HARYANTO R. PUTRO dan ANI MARDIASTUTI. Sebahagian besar masyarakat di dalam dan sekitar Kawasan Hutan Batang Toru (KHBT) memiliki matapencaharian yang bertumpu pada sektor pertanian. Durian dan petai banyak dibudidayakan karena memiliki nilai ekonomis tinggi dan sangat digemari. Satwa utama yang membantu penyerbukan durian dan petai adalah kelelawar (Chiroptera: Megachiroptera). Tidak hanya itu, kelelawar juga berperan penting dalam menjaga ekosistem di KHBT, karena membantu penyerbukan dan penyebaran biji beberapa jenis tumbuhan di sana. Masyarakat di dalam dan sekitar KHBT didominasi oleh suku Batak, dan sangat gemar mengkonsumsi daging kelelawar (Pteropodidae). Perburuan yang tidak lestari dikhawatirkan akan menekan populasi kelelawar. Untuk itu perlu dilakukan survei perburuan dan perdagangan kelelawar. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai perburuan dan perdagangan beberapa jenis kelelawar yang terjadi di dalam dan sekitar KHBT, dalam upaya konservasi kelelawar. Lokasi penelitian berada di Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Tapanuli Tengah, dan Kabupaten Tapanuli Selatan Provinsi Sumatra Utara. Penelitian dilaksanakan bulan November 2009-Juni Alat yang digunakan adalah peta kawasan, buku panduan lapang Kelelawar di Indonesia (Suyanto 2001), GPS, kamera digital, camera trap, binokuler, senter, alkohol 90%, dan panduan wawancara. Objek yang di teliti adalah jenis kelelawar yang diburu, pemburu, pengumpul dan pedagang, pembeli, pemilik rumah makan dan warung tuak, pengkonsumsi, serta petani durian. Pengumpulan data dilakukan dengan studi literatur, wawancara, observasi lapangan dan pemasangan camera trap. Data dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jenis kelelawar yang diburu adalah kalong kapauk, lalai kembang dan kusing dayak. Jenis kalong kapauk lebih banyak diburu daripada lalai kembang dan kusing dayak. Perburuan dengan tujuan komersial ini dilakukan dengan menggunakan jaring, namun ada juga sebahagian kecil yang menggunakan senapan angin dan rawe. Perburuan kalong kapauk berlangsung musiman (musim bunga durian), sedangkan perburuan lalai kembang dan kusing dayak tidak. Perdagangan kelelawar terjadi secara lokal. Harga seekor kalong kapauk dari pedagang kepada pembeli sekitar Rp , sedangkan lalai kembang dan kusing dayak dijual seharga Rp per ekor. Bentuk pemanfaatan kelelawar adalah sebagai sumber protein, menu makanan ekstrem, dijadikan serbuk obat asma, dan sebagai tambul. Diperlukan suatu upaya konservasi untuk menyelamatkan populasi kelelawar yang diperkirakan terus menurun ini, yaitu dengan mengadakan penyuluhan mengenai fungsi penting kelelawar, pendidikan konservasi dibangku sekolah, peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui penyuluhan pertanian, dan perbaikan habitat kelelawar. Kata kunci: perburuan, perdagangan, Pteropodidae, Hutan Batang Toru

4 SUMMARY RONALD ANDREAS PAJA SIAGIAN. E The Hunt and Trade of Some Species of Bats inside and surround Forest Area of Batang Toru, North Sumatra. Under supervision of HARYANTO R. PUTRO and ANI MARDIASTUTI Most of local people surround Batang Toru Forest Area work at agriculture sectors. Durian and petai are mostly cultivated due to those commodities have high economic value. The main wild animals that help pollination of durian and petai is bat (Chiroptera: Megachiroptera). Not only help durian and petai pollination, but bats also help other plants pollination and spread some seeds. Therefore bats also have function as forest ecosystem keeper. The local people inside and surrounding Batang Toru forest is dominated by Batak ethnic. They are found of consuming bats meat (Pteropodidae). Unsustainable bat hunting is worrying since it can decrease bats population. The aims of study is to get information concerning the hunt and trade of some species of bats inside and surrounding Batang Toru Forest Area from conservation perspective. The locations of study were at Batang Toru Forest Area, surrounding Batang Toru Forest Area. The study was conducted during November June The tools that were used consisted of map of area, guidance book Kelelawar di Indonesia, GPS, digital camera, 2 unit of trap camera, binocular, flash light, watch, alcohol 90% and guidance questioner. The objects of this study were kalong kapauk, lalai kembang and kusing dayak, bats hunters, bats collectors, bats sellers, bats buyers, food shop owners, toddy shop owners, bats consumers and durian farmers. The data was collected through literature study, interview, field observation and video from trap camera. The data then was analyzed descriptively. The bats trades happen locally. The price of one kalong kapauk can reach Rp ,00 Rp ,00, while one lalai kembang or kusing dayak is only paid Rp 1.000,00. The utilizations of bats are usually for protein source, extreme menu, medicine and Snacks. Concerning the important aim of bats in the ecosystem, it needs conservation effort to conserve bat population that is getting decrease. The conservation effort can be giving socialization to local people regarding important aim of bats to the ecosystem, delivering conservation education to pupils in the schools, increasing local people welfare by giving agricultural illumination and repairing the habitat of bats. Key words: hunt, trade, Pteropodidae, Batang Toru Forest

5 PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perburuan dan Perdagangan Beberapa Jenis Kelelawar di Dalam dan Sekitar Kawasan Hutan Batang Toru, Sumatera Utara adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Maret 2011 Ronald Andreas Paja Siagian NRP E

6 Judul Skripsi : Perburuan dan Perdagangan Beberapa Jenis Kelelawar di Dalam dan Sekitar Kawasan Hutan Batang Toru, Sumatera Utara Nama : Ronald Andreas Paja Siagian NIM : E Menyetujui: Komisi Pembimbing Pembimbing I, Pembimbing II, Ir. Haryanto R. Putro, MS NIP Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc NIP Mengetahui: Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB, Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, M.S NIP Tanggal:

7 KATA PENGANTAR Penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan kasih sayang-nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian yang dilaksanakan pada bulan November 2009-Juni 2010 adalah Perburuan dan Perdagangan Beberapa Jenis Kelelawar di Dalam dan Sekitar Kawasan Hutan Batang Toru, Sumatera Utara. Penelitian ini dilakukan di bawah bimbingan Bapak Ir. Haryanto R. Putro, MS dan Ibu Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc. Maraknya perburuan kelelawar yang terjadi di dalam dan di sekitar Kawasan Hutan Batang Toru (KHBT) menimbulkan kekhawatiran bagi sebahagian pihak yang peduli terhadap masalah lingkungan. Penulis melakukan penelitian ini untuk melihat kondisi perburuan dan perdagangan kelelawar yang terjadi sejauh ini. Sumber dana dalam pelaksanaan penelitian ini diperoleh dari Lembaga Swadaya Masyarakat Yayasan Ekosistem Lestari (LSM YEL). Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan karya ilmiah ini. Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan saran dan kritik yang membangun selama proses penyelesaian karya ilmiah ini. Akhir kata, semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Maret 2011 Penulis

8 UCAPAN TERIMAKASIH Penulis menyadari bahwa penelitian ini terlaksana berkat dukungan berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Keluarga besar penulis khususnya Bapa dan Mama atas kasih sayang, nasehat, kesabaran, dan dukungan doa. 2. Ir. Haryanto R. Putro, MS dan Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc atas semua masukan berharga serta motivasi dan nasihat-nasihatnya kepada penulis. 3. Dr. Ir. Leti Sundawati, M.Sc sebagai dosen penguji dari Departemen Manajemen Hutan. 4. Ir. Jajang Suryana, M.Sc sebagai dosen penguji dari Departemen Hasil Hutan. 5. Ir. Oemijati Rachmatisjah, MS sebagai dosen penguji dari Departemen Silvikultur. 6. Yayasan Ekosistem Lestari, Gabriella Fredriksson, Graham User, dan Helga Peters atas kesempatan, masukan-masukan, bantuan selama di lapangan, dan bantuan dana penelitian yang telah diberikan. 7. Seluruh staf YEL Batang Toru (Pinda Sianturi, S.Hut, M Faesal Rakhman Khakim, S.Hut, Sri Mahaini, Jumiatik, Subroto, Waldi Sipahutar, Rijal Simangunsong, Pak Buyung, Con, dan Kalam) atas bantuannya di lapangan. 8. Lina Kristina Dewi, S.Hut dan Insan Kurnia, S.Hut atas masukan dan bantuannya. 9. Keluarga besar KSHE 42 atas semua perjuangan dan kebersamaannya. 10. Keluarga besar Himakova khususnya Kelompok Pemerhati Gua (G-12) atas semua perjuangan dan kebersamaannya. 11. Keluarga besar KSHE atas bantuannya kepada penulis selama menimba ilmu di IPB. 12. Keluarga besar UKM PMK IPB khususnya Komisi Pelayanan Siswa atas pengalaman dan persahabatan yang dirasakan penulis. 13. Penghuni kost Sakura (David Siagian, A.Md, Dian Firdaus, S.Hut, Dion, Christian, dan Boyce).

9 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pabatu, Sumatera Utara pada tanggal 12 Juli 1987 sebagai anak keempat dari empat bersaudara pasangan Arnold Siagian dan Tianur Saragih. Pendidikan formal penulis dimulai di SDN IV Ajamu ( ), kemudian melanjutkan pendidikan di SMP Yapendak Ajamu ( ). Pada tahun 2005 penulis lulus dari SMU RK Bintang Timur Rantauprapat dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru IPB. Penulis memilih Program Studi Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan. Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di sejumlah organisasi kemahasiswaan yakni sebagai anggota Himakova Kelompok Pemerhati Gua (G- 12) tahun , koordinator bidang pelayanan Komisi Pelayanan Siswa Unit Kegiatan Mahasiswa Persekutuan Mahasiswa Kristen IPB tahun , dan wakil koordinator II bidang eksternal Unit Kegiatan Mahasiswa Persekutuan Mahasiswa Kristen IPB tahun Kegiatan lapang yang pernah diikuti adalah Eksplorasi Fauna dan Flora Indonesia (RAFFLESIA) di Cagar Alam Gunung Simpang Bandung (2008). Kegiatan akademik lapang yang pernah diikuti antara lain Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Cilacap dan BKPH Gunung Slamet Barat Baturaden Jawa Tengah (2007), Praktek Pengelolaan Konservasi Eksitu di Kebun Tanaman Obat Karya Sari Leuwiliang Bogor dan Taman Margasatwa Ragunan Jakarta Selatan. Selain itu penulis juga melakukan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Baluran, Jawa Timur (2009). Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Perburuan dan Perdagangan Beberapa Jenis Kelelawar di Dalam dan Sekitar Kawasan Hutan Batang Toru, Sumatera Utara dibimbing oleh Ir. Haryanto R. Putro, MS dan Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc.

10 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... i DAFTAR GAMBAR... ii DAFTAR LAMPIRAN... iv I. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Kerangka Pemikiran Maksud dan Tujuan Manfaat... 4 II. TINJAUAN PUSTAKA Bio-Ekologi Kelelawar Kalong Kapauk (Pteropus vampyrus Linnaeus, 1758) Lalai Kembang (Eonycteris spelaea Dobson, 1871) Kusing Dayak (Dyacopterus spadiceus Thomas, 1890) Fungsi di Alam Alat dan Cara Perburuan Perdagangan Upaya Konservasi III. METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Jenis Data yang Dikumpulkan Metode Pengumpulan Data Pengamatan (Observasi) Wawancara (Interviu) Camera Trap Jenis Kelelawar yang Diburu dan Diperdagangkan Perburuan Kelelawar Perdagangan Kelelawar Karakteristik Responden Kondisi Habitat Kebun Durian Analisis Data IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Letak dan Luas Kabupaten Tapanuli Utara Kabupaten Tapanuli Tengah Kabupaten Tapanuli Selatan Topografi dan Geologi Iklim Potensi Fauna dan Flora Kondisi Masyarakat V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengenalan Kalong Kapauk, Lalai Kembang dan Kusing Dayak... 31

11 5.2 Perburuan Kalong Kapauk Alat dan Cara Perburuan Jaring (Jala) Senapan Angin Rawe (Mata Kail Pancing) Daerah dan Lokasi Perburuan Waktu Perburuan Frekuensi Perburuan Estimasi Jumlah Tangkapan Perdagangan Kalong Kapauk Rantai Perdagangan Lokasi Penjualan Karakteristik Responden Pemanfaat Kalong Kapauk Pemburu Pengumpul dan Pedagang Pembeli Pemilik Rumah Makan dan Warung Tuak yang Menjual Kalong Kapauk Siap Saji Pengkonsumsi Kalong Kapauk Siap Saji Perburuan Lalai Kembang dan Kusing Dayak Alat dan Cara Perburuan Daerah dan Lokasi Perburuan Waktu Perburuan Frekuensi Perburuan Sex ratio Hasil Buruan Estimasi Jumlah Tangkapan Perdagangan Lalai Kembang dan Kusing Dayak Karakteristik Pemanfaat Lalai Kembang dan Kusing Dayak Pemburu Pembeli Kondisi Habitat Kebun Durian Pembahasan Umum Kalong Kapauk Lalai Kembang dan Kusing Dayak Implikasi Terhadap Pengelolaan Kelestarian Kalong Kapauk, Lalai Kembang, dan Kusing Dayak Sifat Migrasi Kalong Kapauk Kondisi Habitat Upaya Pemerintah VI. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 81

12 DAFTAR TABEL No. Halaman 1. Lokasi pasar tradisional yang menjual kalong kapauk, di dalam dan sekitar KHBT Karakteristik umum responden pemanfaat kalong kapauk di dalam dan sekitar KHBT Asal responden yang menjadi pembeli kalong kapauk di Kabupaten Tapanuli Tengah Lokasi dan jumlah rumah makan/warung tuak yang menjual kalong kapauk siap saji di dalam dan sekitar KHBT, berdasarkan hasil survei Lamanya waktu perburuan lalai kembang dan kusing dayak di Gua Liang dalam 12 bulan, berdasarkan camera trap Karakteristik umum responden pemanfaat lalai kembang dan kusing dayak di Kecamatan Tukka Kelas umur pemburu lalai kembang dan kusing dayak di Gua Liang dalam 12 bulan, berdasarkan hasil camera trap Jumlah pemburu lalai kembang dan kusing dayak per kelompok dalam 12 bulan, berdasarkan hasil camera trap Luas tanaman, produksi, dan rata-rata produksi durian di Kabupaten Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Selatan, tahun

13 DAFTAR GAMBAR No. Halaman 1. Kerangka pemikiran penelitian perburuan dan perdagangan kelelawar di dalam dan sekitar KHBT Penyebaran geografi kalong kapauk (Sumber: Kunz & Jones 2000) Jaring kabut (a) dan jaring serangga (b) (Sumber: Suyanto 2001) Rantai perdagangan sumberdaya alam (Sumber: MWBP 2006) Camera trap tipe Sony P Kawasan Hutan Batang Toru, Sumatera Utara (Sumber: YEL) Kalong kapauk (a), lalai kembang (b), dan kusing dayak (c) Alat perburuan kalong kapauk dengan menggunakan jaring Alat perburuan kalong kapauk dengan menggunakan rawe Persentase kepemilikan lahan yang dijadikan lokasi penjaringan kalong kapauk Beberapa lokasi penjaringan kalong kapauk di punggung bukit (a) dan salah satu lokasi penjaringan kalong kapauk (b) Persentase musim berbunga durian berdasarkan hasil wawancara pemburu (n = 69) Pemburu di Panti menjual hasil tangkapan kepada pengumpul di Panti (a), keranjang pengiriman (b), serta kalong kapauk yang sudah diikat mulut dan sayapnya lalu dikelompokan sesuai ukuran (c) Rantai perdagangan kalong kapauk di dalam dan di sekitar KHBT Kalong kapauk setelah dibakar (a), masakan daging kalong kapauk (b), dan salah satu rumah makan kalong kapauk siap saji di Desa Tukka (c) Penjualan kalong kapauk dengan cara berkeliling menggunakan sepeda motor Persentase responden pemanfaat kalong kapauk berdasarkan masingmasing kategori Persentase persepsi pemburu mengenai upaya perlindungan kalong kapauk (n = 69) Alat perburuan lalai kembang dan kusing dayak... 53

14 iii 20. Tempat perburuan lalai kembang dan kusing dayak (patca) dengan memanfaatkan pohon hidup (a) dan menggunakan tiang kayu (b) Gua Liang (a) dan Gua Anak Liang (b) di dalam KHBT blok Barat, Kabupaten Tapanuli Utara Jumlah perburuan yang dilakukan setiap pemburu dari masingmasing desa/dusun dalam 12 bulan, berdasarkan camera trap Frekuensi perburuan lalai kembang dan kusing dayak di Gua Liang dalam 12 bulan, berdasarkan camera trap Sex ratio lalai kembang dan kusing dayak hasil buruan (n = 1) Penanganan lalai kembang dan kusing dayak sebelum dipasarkan: membuang sayap (a), ditusuk dengan kayu (b), dibakar (c), hasil setelah dibakar (d), perebusan (e), dan pengasapan (f) Sampah yang ditinggalkan pemburu (a), tempat masak (b), dan batu gilingan (c) Persentase musim berbunga durian berdasarkan hasil wawancara petani durian (n = 59) Penyebab berkurangnya produksi durian berdasarkan wawancara petani durian (n=59)... 65

15 DAFTAR LAMPIRAN No. Halaman 1. Panduan wawancara kepada pemburu kalong kapauk di dalam dan sekitar KHBT Panduan wawancara kepada pemburu lalai kembang dan kusing dayak di dalam dan sekitar KHBT Panduan wawancara dengan pengumpul sekaligus pedagang kalong kapauk, di dalam dan sekitar KHBT Panduan wawancara kepada pembeli kalong kapauk (untuk konsumsi sendiri), di dalam dan sekitar KHBT Panduan wawancara kepada pemilik rumah makan dan warung tuak yang menyediakan kalong kapauk siap saji, di dalam dan sekitar KHBT Panduan wawancara kepada pengkonsumsi di rumah makan dan warung tuak yang menyediakan kalong kapauk siap saji, di dalam dan sekitar KHBT Panduan wawancara kepada petani durian yang ada di dalam dan sekitar KHBT Persebaran jenis-jenis anggota marga Pteropus (Sumber : Suyanto (2001)) Perburuan kalong kapauk di dalam dan sekitar KHBT dan di Panti Perburuan lalai kembang dan kusing dayak berdasarkan camera trap... 94

16 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Kawasan Hutan Batang Toru (KHBT) terletak di Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Tapanuli Tengah dan Kabupaten Tapanuli Selatan Provinsi Sumatra Utara. Kawasan HBT berstatus hutan produksi seluas ha (68,7%), hutan lindung (register) atau suaka alam seluas ha (18,6%) dan area peruntukan lain seluas ha (12,7%) (Indra & Fredriksson 2007). Sebahagian besar masyarakatnya memiliki matapencaharian yang bertumpu pada sektor pertanian. Durian dan petai merupakan jenis tanaman yang banyak dibudidayakan karena memiliki nilai ekonomis tinggi dan sangat digemari oleh masyarakat. Satwa utama yang membantu penyerbukan durian dan petai adalah kelelawar. Selain durian dan petai, di dalam dan sekitar KHBT terdapat sekitar 184 jenis tanaman lain yang penyerbukannya juga dibantu oleh kelelawar, seperti: nangka, mangga, pisang, jambu serta beragam jenis tanaman penting lainnya yang menghasilkan kayu dan non kayu (Indra & Fredriksson 2007). Kelelawar juga berperan sebagai pemencar biji-bijian yang efektif, karena dapat menyebarkan biji dengan jarak lebih luas. Kelelawar jenis kalong kapauk (Pteropus vampyrus Linnaeus, 1758) di Malaysia memiliki daya tempuh 60 km dalam semalam (Burns 2009), sedangkan kelelawar jenis lalai kembang (Eonycteris spelaea Dobson, 1871) memiliki daerah jelajah mencapai radius 40 km dalam semalam (Suyanto 2001). Ancaman terbesar bagi kelelawar adalah kehilangan habitat dan perburuan secara berlebihan (Suyanto 1979; Maharadatunkamsi et al. 2003; Mulyana 2009). Perburuan kalong kapauk sering terjadi karena satwa tersebut dianggap merugikan (memakan buah-buahan di kebun) dan kurangnya informasi bagi masyarakat (Kencana 2002). Menurut Soehartono dan Mardiastuti (2003), perburuan satwaliar pada awalnya hanya ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat akan protein. Pemanenan kemudian berubah menjadi aktivitas jual beli untuk mendapatkan uang tunai dari pihak lain (Soehartono & Mardiastuti 2003). Masyarakat di dalam dan disekitar KHBT didominasi oleh suku Batak yang gemar mengkonsumsi daging kelelawar (Pteropodidae). Jenis kelelawar

17 2 yang diburu dan diperdagangkan adalah kalong kapauk, lalai kembang dan kusing dayak (Dyacopterus spadiceus Thomas, 1890). Ketiga jenis kelelawar ini berasal dari genus yang berbeda-beda dan termasuk dalam kelas Mamalia, subordo Megachiroptera, dan famili Pteropodidae. Kalong kapauk termasuk dalam genus Pteropus (Andersen 1912; Yalden & Morris 1975; Koopman 1993, diacu dalam Kunz & Jones 2000; Suyanto 2001), lalai kembang termasuk dalam subfamili Macroglossinae dan genus Eonycteris (Suyanto 2001), sedangkan kusing dayak termasuk dalam genus Dyacopterus (Suyanto 2001). Masyarakat di dalam dan sekitar KHBT sudah lama mengenal ketiga jenis kelelawar ini. Kalong kapauk lebih dikenal dengan sebutan haluang, sedangkan lalai kembang dan kusing dayak dikenal dengan sebutan lopong. Lopong merupakan sebutan lokal untuk semua jenis kelelawar yang tinggal di dalam gua. Jenis lopong yang diburu adalah lalai kembang dan kusing dayak, karena memiliki ukuran tubuh yang lebih besar. Penulis tidak melakukan identifikasi terhadap jenis kelelawar lain yang tidak diburu oleh masyarakat. Perburuan dan pedagangan kalong kapauk, lalai kembang dan kusing dayak yang berlangsung secara terus menerus dikhawatirkan dapat menyebabkan penurunan populasi dari ketiga jenis kelelawar tersebut. Penurunan populasi kelelawar ini dapat mengakibatkan produktivitas buah durian, petai dan jenis tanaman budidaya lainnya menurun, serta terganggunya ekosistem di KHBT. Penelitian mengenai perburuan dan perdagangan kalong kapauk, lalai kembang dan kusing dayak di dalam dan sekitar KHBT perlu untuk dilakukan. 1.2 Perumusan masalah Penelitian ini diarahkan untuk merumuskan jawaban atas pertanyaanpertanyaan sebagai berikut: (1) jenis kelelawar yang diburu; (2) alat dan cara perburuan; (3) daerah-daerah (desa/dusun) dan lokasi perburuan; (4) waktu perburuan; (5) frekuensi peburuan; (6) sex ratio hasil buruan; (7) estimasi jumlah hasil tangkapan; (8) rantai perdagangan kelelawar; (9) bentuk pemanfaatannya; (10) letak lokasi penjualan; (11) karakteristik pemanfaat kelelawar; (12) kondisi habitat kelelawar; dan (13) hasil panen durian dari tahun ke tahun. Data dan informasi yang menjawab permasalahan di atas diperlukan dalam upaya

18 3 konservasi terhadap jenis kalong kapauk, lalai kembang, dan kusing dayak khususnya di dalam dan sekitar KHBT. 1.3 Kerangka pemikiran Kelelawar memiliki peranan penting dalam membantu proses penyerbukan dan pemencaran biji tumbuhan. Perburuan secara tidak lestari dikhawatirkan dapat menekan populasinya di alam, karena perkembangbiakannya yang berlangsung lambat. Perburuan dan perdagangan kalong kapauk, lalai kembang dan kusing dayak di dalam dan sekitar KHBT perlu segera disurvei untuk melihat kondisi yang sebenarnya, sehingga dapat dilakukan upaya yang tepat untuk mendukung pelestarian dari ketiga jenis kelelawar ini. Kerangka penelitian perburuan dan perdagangan kalong kapauk, lalai kembang dan kusing dayak dapat dilihat pada Gambar 1. Kalong kapauk, lalai kembang, dan kusing dayak di dalam dan sekitar KHBT Survei lokasi perburuan Diburu secara tradisional Populasi berkurang Diperdagangkan secara komersial Survei pasar tradisional Konsumsi sendiri 1. Produktivitas kebun buah berkurang 2. Ekosistem di KHBT terganggu Persepsi para pihak Upaya-upaya konservasi Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian perburuan dan perdagangan kelelawar di dalam dan sekitar KHBT. 1.4 Maksud dan tujuan Maksud dan tujuan dilaksanakan penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi mengenai perburuan dan perdagangan beberapa jenis kelelawar yang terjadi di dalam dan sekitar KHBT, dalam upaya konservasi kelelawar.

19 4 1.5 Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dalam: 1. Menyediakan informasi mengenai sistem perburuan beberapa jenis kelelawar di dalam dan sekitar KHBT. 2. Menyediakan informasi mengenai kajian perdagangan dan pemanfaatan beberapa jenis kelelawar di dalam dan sekitar KHBT. 3. Memberikan usulan-usulan tentang upaya yang perlu dilakukan agar kelelawar yang diburu dan diperdagangkan di dalam dan sekitar KHBT tetap lestari.

20 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-ekologi kelelawar Kelelawar termasuk Ordo (bangsa) Chiroptera dan memiliki 2 subordo (anak bangsa), yaitu Megachiroptera dan Microchiroptera. Megachiroptera umumnya berukuran besar, telinga tidak memiliki tragus/antitragus, jari sayap kedua umumnya bercakar dan terdiri dari dua tulang jari, serta pemakan buah dan nektar (Standbury 1970; Yalden & Morris 1975; Feldhamer 1999; Kunz & Jones 2000; Suyanto 2001). Microchiroptera pada umumnya berukuran kecil, telinga memiliki tragus/antitragus, jari sayap kedua tidak bercakar, tidak memiliki tulang jari, dan pemakan serangga (Standbury 1970; Feldhamer 1999; Kunz & Jones 2000; Suyanto 2001), serta pemakan ikan dan darah (Feldhamer 1999). Perbedaan lainnya adalah dari cara melihat, ukuran dan bentuk sayap, orientasi mencari pakan (Feldhamer 1999) dan tingkat ketajaman indra penciumannya (Standbury 1970). Megachiroptera memiliki mata yang lebih besar, penciuman yang baik, dan memiliki lidah yang panjang (Standbury 1970). Di dunia ada 18 suku, sekitar 192 marga, dan 977 jenis kelelawar (Nowak 1999, diacu dalam Suyanto 2001). Meskipun memiliki jumlah jenis yang banyak (terbesar kedua setelah Rodentia dalam kelas Mamalia), namun umumnya anggota individu masing-masing jenis tidak banyak (Suyanto 2001). Di Indonesia ada 205 atau 21% jenis kelelawar di dunia yang sudah diketahui, sembilan suku dari jenisjenis ini termasuk dalam 52 marga (Suyanto 2001). Kesembilan suku tersebut terdiri dari Subordo Megachiroptera (Pteropodidae) dan Subordo Microchiroptera (Megadermatidae, Nycteridae, Vespertilionidae, Rhinolophidae, Hipposideridae, Emballonuridae, Rhinopomatidae dan Molossidae) (Suyanto 2001). Selain memiliki tingkat adaptasi yang baik kelelawar juga memiliki daerah penyebaran yang bersifat kosmopolit, karena ditemukan hampir diseluruh wilayah di muka bumi kecuali di daerah kutub dan pulau-pulau terisolasi (Stadbury 1970; Vaughan 1986). Menurut Suyanto (2001), kelelawar dapat tinggal di kolong atapatap rumah, terowongan-terowongan, di bawah jembatan, rerimbunan dedaunan, gulungan daun pisang/palem, celah bambu, lubang-lubang batang pohon dan pohon-pohon besar. Musuh alami kelelawar adalah ular sanca, ular hijau, elang kelelawar, kucing dan burung hantu (Suyanto 2001).

21 Kalong kapauk (Pteropus vampyrus Linnaeus, 1758) Kalong kapauk termasuk dalam Subordo Megachiroptera, famili Pteropodidae dan Genus Pteropus, serta memiliki 58 jenis (Andersen 1912; Yalden & Morris 1975; Koopman 1993, diacu dalam Kunz & Jones 2000; Suyanto 2001). Menurut Andersen (1912), kalong kapauk mempunyai beberapa sub spesies yaitu P. v. malaccensis di Sumatera, Malaysia, Burma, Muangthai dan Vietnam; P. v. vampyrus di Jawa; P. v. pluton di Bali dan Lombok; P. v. edulis di Timor dan Pulau Sawu; P. v. natunae di Pulau Natuna (Bunguran, Pulo Panjang) dan Kalimantan; P. v. lanensis di Filipina. Nama pteropus berasal dari bahasa Yunani pteron yang berarti sayap, sedangkan vampyrus berasal dari bahasa Perancis dan Jerman vampir yang berarti penghisap darah, sebutan untuk kelelawar penghisap darah (Suyanto 1979). Sebutan vampir bertentangan dengan sifat binatang yang bersangkutan, karena makanannya berupa buah-buahan dan sama sekali tidak menghisap darah (Suyanto 1979). Kalong kapauk memiliki nama lain: keluang, paniki, kabog, giant flying fox, island flying fox, Malayan flying fox, Malayan large flying fox, Malaysian flying fox, common flying fox, Sunda Island flying fox, large fruit bat, Malacca fruit bat, dan red-necked fruit bat (Kunz & Jones 2000). Ciri-ciri umum yang dimiliki kalong kapauk menurut Suyanto (1979) adalah panjang badan dan kepala dapat mencapai 40 cm, kepala mirip anjing, berwarna kuning kemerah-merahan sampai coklat kehitam-hitaman (warna ini hanya sampai kebahu, sedangkan sisanya kehitam-hitaman), betis dan sayap tidak berambut, panjang telinga 4-5 cm dengan ujung meruncing, membran antar paha tidak tumbuh di tengah, rigi platum (tonjolan kulit pada langit-langit) atau 5+51/2 atau 6+3, betis bagian atas tidak berbulu, basal ledge belakang pada graham tidak tumbuh, dan lengan bawah panjangnya mencapai cm. Kalong kapauk tidak memiliki ekor (Taylor 1934, diacu dalam Kunz & Jones 2000). Kalong kapauk juga dapat dibedakan dengan jenis lainnya melalui warna bulu (Ingle & Heaney 1992, diacu dalam Kunz & Jones 2000). Warna dan bentuk bulu kalong kapauk bervariasi berdasarkan umur dan jenis kelamin (Goodwin 1979, diacu dalam Kunz & Jones 2000). Kalong kapauk remaja biasanya berwarna abu-abu sampai cokelat/ pirang (Payne et al. 1985, diacu dalam Kunz &

22 7 Jones 2000). Bulu jantan terlihat sedikit lebih kaku dan lebih tebal dibandingkan betina (Taylor 1934, diacu dalam Kunz & Jones 2000). Jantan juga mempunyai kelenjar neck-tufts yang kaku di leher (Andersen 1912). Menurut Ingle dan Heaney (1992) diacu dalam Kunz dan Jones (2000), kalong kapauk memiliki berat badan kira-kira mencapai 645 1,092 gram. Menurut Suyanto (1979), berat kalong kapauk dewasa sekitar gram. Menurut Yalden dan Morris (1975), berat kalong kapauk dapat mencapai gram, yang sama dengan berat seekor kelinci. Panjang rentang sayap 1,320 1,500 m (Yalden & Morris 1975; Ingle & Heaney 1992, diacu dalam Kunz & Jones 2000; Suyanto 2001). Menurut Andersen (1912), kalong kapauk terdapat hampir diseluruh wilayah Wallace Indo-Malayan (Gambar 2). Kalong kapauk terdapat mulai dari selatan Burma dan Thailand bagian timur sampai ke Filipina dan ke Selatan Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Timor (Andersen 1912). Di Semenanjung Malaysia dan Kalimantan, kalong kapauk umumnya berada di wilayah pantai, tetapi juga terdapat pada ketinggian sampai 1,370 m dpl (Medway 1969, diacu dalam Kunz & Jones 2000). Menurut Liat (1966), di Malaysia kalong kapauk dapat ditemukan di hutan-hutan dataran rendah yang hinggap bergantungan di pohon-pohon besar dengan ketinggian antara kaki dari permukaan tanah. Gambar 2 Penyebaran geografi kalong kapauk (Sumber: Kunz & Jones 2000).

23 8 Menurut Lekagul dan McNeely (1975), penyebaran kalong kapauk hampir meliputi seluruh kawasan Asia Tenggara, yaitu dapat dijumpai di dataran rendah sampai dataran tinggi dengan ketinggian kurang lebih m dpl. Sarang kalong kapauk juga dapat ditemukan di hutan-hutan mangrove, dimana jenis ini berkelompok dalam jumlah yang lebih kecil dengan jumlah antara ekor setiap kelompoknya (Liat 1966). Kalong kapauk dalam koloni yang besar, mungkin dapat berkisar ratusan sampai ribuan individu (Liat 1966). Menurut Dharmawan (1987), kalong kapauk yang ada di Pulau Rambut Kepulauan Seribu hanya menggunakan dua tipe hutan, yaitu: hutan payau (mangrove) dan tipe hutan sekunder dataran rendah. Pada hutan payau, jenis pohon tempat istirahat adalah bakau merah (Rhizopora mucronata), sedangkan pada hutan sekunder dataran rendah, jenis pohon yang digunakan adalah pohon kepuh (Sterculia foetida), kedoya (Amoora aphanamixis), dan kesambi (Schleichera oleosa) (Dharmawan 1987). Pohon-pohon yang disenangi adalah pohon tertinggi, mudah dijangkau, bercabang banyak, dan kuat, serta cabangnya menyebar luas (Dharmawan 1987). Menurut Pieters (1953) diacu dalam Suyanto (1979), kalong kapauk di alam memakan buah semacam beringin (Ficus) dan kersen (Muntingia calabura). Kalong kapauk juga makan bunga dan daun muda untuk mendapatkan serbuk sari dan air, terutama pada musim kering. Bunga randu (Ceiba pentandra), durian (Durio zibethinus) dan kelapa (Cocos nucifera) sangat disukai kalong kapauk. Menurut Yalden dan Morris (1975), makanan kalong kapauk adalah buah, nektar, dan serbuk sari. Selain kalong kapauk, Chiroptera pemakan buah, nektar, dan serbuk sari lainnya adalah Phyllostomidae yang berasal dari Subordo Microchiroptera (Yalden & Morris 1975). Tipe pohon-pohon yang disenangi kalong kapauk untuk tempat bersarang mempengaruhi penyebarannya. Pteropus spp. lebih menyenangi pohon-pohon yang tinggi dengan cabang-cabangnya yang menyebar luas (Liat 1966). Kalong kapauk sering bersarang pada satu pohon tertentu atau satu kelompok pohon, dan dari tahun ketahun kalong kapauk tersebut enggan (malas) meninggalkan tempat yang telah disenanginya itu (Liat 1966). Perilaku umum dari kalong kapauk ini menunjukkan bahwa penyebaran lokalnya sangat berkaitan dengan penyebaran

24 9 tanaman atau ketersediaan makanannya (Payne et al. 1985, diacu dalam Kunz & Jones 2000; Liat 1966). Kalong kapauk melimpah pada bulan April-Juni dan Desember-Januari setiap tahunnya, karena pada waktu-waktu tersebut adalah musim buah-buahan (Liat 1966). Di Semenanjung Malaysia, puncak kebuntingan kalong kapauk terjadi pada bulan November sampai Januari (Medway 1969, diacu dalam Kunz & Jones 2000), tetapi dapat juga pada waktu yang berbeda (Heideman & Heaney 1992, diacu dalam Kunz & Jones 2000). Di Thailand, induk kalong kapauk melahirkan anak secara bersamaan pada bulan Maret atau April (Heideman & Heaney 1992, diacu dalam Kunz & Jones 2000; Lekagul & McNeely 1977). Kalong kapauk berkembangbiak dengan melahirkan anak dengan masa buntingnya sekitar 6 bulan dan jumlah anak seekor pada setiap kelahiran (Lecagul & McNeely 1977; Suyanto 1979). Umumnya masa kelahiran bayi kalong kapauk dipengauhi oleh musim buah, yaitu bersamaan dengan musim buah-buahan, tetapi dapat juga berbedabeda berdasarkan letak wilayahnya (Lecagul & McNeely 1977). Menurut Yalden dan Morris (1975), faktor lingkungan yang mempengaruhi musim kawin (breeding) pada hewan mamalia pada umumnya adalah perubahan cahaya (bertambah atau berkurangnya sepanjang hari), curah hujan dan temperatur (suhu). Setiap kalong kapauk yang berada di daerah beriklim sedang adalah jenis monoestrous, yaitu hanya memiliki satu masa bereproduksi dalam setahun dan menghasilkan seekor anak setiap kelahirannya. Di daerah tropis, cahaya dan temperatur relatif stabil dan beberapa jenis kalong kapauk di daerah ini seharusnya akan berbiak setiap bulannya, tetapi ternyata kalong kapauk hanya menghasilkan anak seekor setiap tahunnya (Yalden & Morris 1975). Beberapa jenis kelelawar di daerah tropis memiliki musim kawin yang dibatasi oleh siklus tahunan melalui pergantian hujan, sehingga anak kalong kapauk akan dilahirkan dengan mengikuti musim berbunga atau musim buah (Yalden & Morris 1975). Menurut Yalden dan Morris (1975), sebelum melahirkan induk-induk kalong kapauk mengalami pemisahan sex terlebih dahulu. Induk-induk yang bunting tersebut kadang-kadang ditemani oleh beberapa ekor betina yang masih muda dan membentuk suatu kelompok asuh (nursing colonies). Diduga

25 10 pemisahan induk-induk bunting dengan pejantan untuk mengurangi adanya kekacauan dan persaingan makanan (Yalden & Morris 1975). Janin kalong kapauk sangat besar, terkadang mencapai sepertiga berat induknya (Yalden & Morris 1975). Bayi yang baru lahir menempel pada induknya dan untuk beberapa hari pertama turut dibawa terbang dalam pencarian makanan. Setelah itu ditinggalkan di pohon tempat istirahat setiap kali induknya mencari makan (Yalden & Morris 1975). Kalong kapauk umumnya sudah dapat terbang sendiri pada usia sekitar 2-3 bulan (Yalden & Morris 1975). Karena jumlah bayi yang berasal dari satu induk sangat kecil, populasi kalong kapauk memiliki tingkat pertumbuhan yang lambat. Mungkin ini diimbangi dengan masa hidupnya yang lama (Yalden & Morris 1975). Perilaku satwa merupakan suatu reaksi (ekspresi) satwa terhadap faktorfaktor yang mempengaruhi baik itu faktor internal yang berasal dari dalam tubuh satwa dan dipengaruhi oleh sifat genetik, maupun faktor eksternal yaitu rangsangan dari lingkungan (Suratmo 1979). Perilaku merupakan gerak-gerik satwaliar untuk memenuhi rangsangan dalam tubuhnya dengan memanfaatkan rangsangan dari lingkungannya. Fungsi perilaku adalah untuk menyesuaikan diri terhadap beberapa perubahan keadaan, baik dari luar maupun dari dalam (Alikodra 2002). Kalong kapauk merupakan satwa yang aktif pada malam hari yang selalu berkoloni dalam kelompok kecil sampai besar dan beristirahat pada siang hari dengan cara menggantung ke bawah dan kuku kaki mencengkram cabang (ranting pohon), sehingga pohon-pohon yang dihuninya terlihat seperti dipenuhi oleh daun-daun kering yang berwarna coklat (Suyanto 2001). Sebagian kecil tinggal di gua, umumnya tinggal di tajuk pepohonan di antara dedaunan yang rimbun (Suyanto 2001). Koloni kalong kapauk diatur berdasarkan kelompok belum dewasa dan dewasa belum berkembang biak. Pada sekeliling kelompok kalong kapauk, jantan bertindak sebagai penjaga, yang akan memberikan alarm yang keras jika terdapat gangguan (Yalden & Morris 1975). Disebutkan juga oleh Yalden dan Morris (1975) bahwa suatu koordinasi dan prilaku kelompok yang lebih tinggi terjadi pada kalong kapauk yang hidup pada kelompok yang sangat besar, dan mencari makan pada tempat yang relatif

26 11 terlokalisasi dimana terdapat buah-buahan. Hal ini tidak mungkin dilakukan oleh kelelawar pemakan serangga untuk mencari makan secara bersama-sama dan berdekatan, karena makanannya sangat mobil dan tersebar (Yalden & Morris 1975) Lalai kembang (Eonycteris spelaea Dobson, 1871) Lalai kembang termasuk dalam Subordo Megachiroptera, famili Pteropodidae, Subfamili Macroglossinae, dan Genus Eonycteris (Corbet & Hill 1992, diacu dalam Maharadatunkamsi & Kitchener 1997; Suyanto 2001). Menurut Andersen (1912), Genus Eonycteris terdiri dari 3 jenis, yaitu E. spelaea (Dobson, 1871), E. major (Andersen, 1910), dan E. rosenbergii (Jentink, 1889). Di Indonesia genus Eonycteris hanya terdapat 2 jenis saja, yaitu: E. major (Andersen, 1910), yang penyebarannya di Kalimantan dan E. spelaea (Dobson, 1871) yang memiliki daerah penyebaran di Sumatera, Kalimantan, Jawa, Nusa Tenggara, dan Sulawesi (Suyanto 2001). Lalai kembang memiliki nama Inggris Dawn bat, Common dawn bat, Common nectar bat, Lesser dawn bat (IUCN 2008). Lalai kembang memiliki penyebaran di India, Myanmar, Thailand, Indocina, Malaysia, Filipina, dan Indonesia (Sumatera, Kalimantan, Jawa, Nusa Tenggara, dan Sulawesi) (Corbet & Hill 1992, diacu dalam Maharadatunkamsi et al. 2003; Suyanto 2001). Selain itu, di Indonesia lalai kembang juga dapat ditemukan di Bali, Lombok, Sumba, Muna, Sanana, Halmahera, Batjan dan Tidore (IUCN 2008). Habitat lalai kembang adalah di berbagai tipe hutan, mulai dari hutan primer sampai lahan pertanian campuran (IUCN 2008). Sedangkan, menurut Suyanto (2001) Eonycteris tinggal di gua-gua atau ceruk-ceruk batuan pada mintakat peralihan atau gelap total. Ciri-ciri yang dimiliki lalai kembang adalah: jari kedua tanpa cakar, moncong panjang, lidah panjang, bulu pendek halus seperti beludru, ada sepasang kelenjar dekat anus yang berbentuk seperti ginjal, lengan bawah sayap mm, betis mm, kaki belakang dengan cakar mm, dan ukuran telinga mm (Maharadatunkamsi & Kitchener 1997; Suyanto 2001). Menurut Suyanto (2001), yang membedakan E. spelaea dengan E. major adalah ukuran lengan bawah sayap dan warna tubuh, dimana E. spelaea memiliki ukuran lengan bawah

27 12 sayap mm dan berwarna lebih terang, sedangkan E. major memiliki ukuran lengan bawah sayap mm dan berwarna lebih gelap. Lalai kembang merupakan kelelawar berukuran sedang (kira-kira g) yang bertengger di dalam gua dalam koloni besar dan berpergian dengan jarak yang jauh untuk mencari makanan berupa nektar dan serbuk sari (Corbet & Hill 1992 diacu dalam Maharadatunkamsi & Kitchener 1997; Hill & Smith 1984 diacu dalam Maharadatunkamsi & Kitchener 1997; Kitchener et al diacu dalam Maharadatunkamsi et al. 2003). Banyak jenis tanaman yang bergantung pada kelelawar ini untuk penyerbukan dan penyebaran biji, tetapi jumlah populasinya mengalami penurunan karena pengrusakan habitat, gangguan pada gua, dan perburuan (Maharadatunkamsi et al. 2003). Tercatat lebih dari individu lalai kembang ditemukan di gua-gua Batu di Malaysia (Bates dan Harrison 1997 diacu dalam IUCN 2008). Di Pulau Palawan ditemukan dua populasi, satu melebihi individu dan lain yang mungkin melebihi individu (Esselstyn et al diacu dalam IUCN 2008). Sepanjang tahun, seekor lalai kembang betina hanya melahirkan satu anak (Bates dan Harrison 1997 diacu dalam IUCN 2008). Sedangkan menurut Suyanto (2001), secara umum suku Pteropodidae memiliki masa bunting 3-6 bulan, dengan melahirkan seekor anak dalam setiap kelahiran. Menurut Heideman & Utzurrum (2003), di Filipina lalai kembang memiliki pola musim kawin yang sama dengan Rousetus amplexicaudatus dan Macroglossus minimus, dengan 2 musim kelahiran setiap tahun, yaitu pada pertengahan bulan Maret atau April dan Agustus atau September Kusing dayak (Dyacopterus spadiceus Thomas, 1890) Kusing dayak termasuk dalam subordo Megachiroptera, famili Pteropodidae, dan genus Dyacopterus (Suyanto 2001). Kusing dayak memiliki nama Inggris Dayak fruit bat dan Dyak fruit bat (IUCN 2008). Menurut Suyanto (2001), genus Dyacopterus hanya memiliki satu jenis anggota, yaitu kusing dayak D. spadiceus (Thomas, 1890). Kusing dayak dapat ditemukan di Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Thailand (IUCN 2008). Menurut Suyanto (2001) persebaran kusing dayak adalah di Sumatera, Kalimantan, dan Malaysia.

28 13 Menurut Suyanto (2001), ciri-ciri kusing dayak adalah: bentuk geraham atas (P 3, P 4 ) dan geraham bawah (P 3, P 4, dan M 1 ) menyerupai segiempat berukuran besar, P 3 berukuran 2,87-3,01 x 2,36-2,60 mm, P 4 berukuran 2,52-2,90 x 2,32-2,61 mm, P 3 berukuran 3,38-3,60 x 2,21-2,31 mm, dan P 4 berukuran 3,06-3,17 x 2,35-2,67 mm. Rumus gigi I 1 I 2 CP 3 P 4 M 1 /I 1 I 2 CP 1 P 3 P 4 M 1 M 2 dengan M 1 jauh lebih kecil daripada P 4, (dibandingkan dengan Cynopterus yang hampir sama besarnya), crista sagittalis tumbuh baik, ada celah antara gigi seri nomor 2 dengan taring atas (Suyanto 2001). Selanjutnya, Suyanto (2001) menyatakan lengan bawah sayap berukuran mm, betis 27 mm, telinga mm, warna wajah kehitaman, bahu kekuningan, coklat pada daerah punggung dan sisi samping badan, serta keputih-putihan pada dada dan perut. 2.2 Fungsi di alam Fungsi kalong kapauk, lalai kembang, dan kusing dayak di alam sangat besar. Dilihat dari segi ekologi, kalong kapauk dapat memencarkan biji pohonpohon yang menghasilkan buah ke tempat-tempat yang lebih luas dibandingkan dengan yang dapat dilakukan oleh binatang-binatang lainnya (Suyanto 1979). Peran ini akan sangat penting dalam hal pemulihan hutan di lokasi-lokasi yang rusak akibat aktivitas penebangan hutan ataupun akibat bencana alam (Suyanto 1979). Kalong kapauk, lalai kembang, dan kusing dayak juga berperan dalam penyerbukan pohon-pohon di hutan, termasuk pohon-pohon dengan nilai komersial tinggi seperti durian, randu, dan jenis-jenis lainnya di hutan mangrove (Suyanto 1979). Fungsi kalelawar secara umum, selain fungsi yang telah disebutkan diatas adalah sebagai pengendali hama serangga, penghasil pupuk guano (lalai kembang E. spelaea Dobson, 1871) dan tambang fosfat di gua-gua, sebagai obyek wisata, bahan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan yang tidak kalah pentingnya daging dan hati kalong kapauk ternyata merupakan penawar asma yang baik, walaupun belum bisa dibuktikan secara ilmiah (Suyanto 1979). Menurut Suyanto (1979) dibeberapa tempat di Indonesia daging kalong kapauk dianggap lezat, tetapi kebanyakan orang enggan memakannya karena baunya yang tidak sedap. Disamping dagingnya, tulang lengan bawah kalong kapauk dibeberapa tempat digunakan sebagai pipa rokok. Menurut Walker et al.

29 14 (1968) diacu dalam Suyanto (1979) oleh penduduk tertentu lemaknya digunakan untuk menyuburkan rambut kepala dan menyembuhkan penyakit encok. Ada pula yang mengatakan hati kalong kapauk dicampur hati codot (Macroglossus minimus) dan cleret gombel (Draco volans), setelah dimasak dapat menyembuhkan penyakit asma yang berat (Suyanto 1979). 2.3 Alat dan cara perburuan Peraturan yang mengatur perburuan satwaliar terdapat pada bab 4 pasal 17 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 8 tahun 1999, tentang pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwaliar. Perburuan jenis satwaliar dalam peraturan tersebut dilakukan untuk keperluan olah raga buru (sport hunting), perolehan trofi (hunting trophy), dan perburuan tradisional oleh masyarakat setempat. Penangkapan kelelawar dapat dilakukan untuk tujuan penelitian, khususnya bagi jenis-jenis yang belum diketahui identitasnya (Suyanto 2001). Alat penangkapan kalelawar meliputi jaring kabut (mistnet), jaring harpa dan jaring serangga (jaring bertangkai) (Suyanto 2001). Di Indonesia alat yang biasa dipakai untuk menangkap kalelawar adalah jaring kabut (Gambar 3a) dan jaring serangga (Gambar 3b) (Suyanto 2001). Jaring kabut yang dipakai untuk menangkap kalelawar adalah jaring yang memiliki mesh (lebar mata jaring) mm, dan ketebalan benang jaring 80 Denier (1 Denier = berat 9000 m benang nilon dalam gram), serta benang nilon yang terdiri dari untaian rangkap (Suyanto 2001). Di dalam gua yang berlangit-langit rendah jaring bertangkai biasanya sangat efektif untuk menangkap kelelawar. Sedangkan, untuk gua yang berlangitlangit tinggi dapat menggunakan jaring kabut dengan mengikatkannya pada kedua tiang, lalu menggerakkan kedua tiang kearah kelelawar (Suyanto 2001). Suyanto (2001) melanjutkan bahwa tempat paling baik untuk memasang jaring adalah di tempat kelelawar tidur atau sedang mencari makan, seperti di sekitar pohon yang sedang berbuah (jambu, beringin dan lain-lain), pohon randu atau pisang yang sedang berbunga dan di sekitar tempat koloni laron atau semut terbang. Jaring dapat dipasang menyusuri tepi hutan, atau punggung bukit, menyilang lorong-lorong atau jalan setapak yang dilalui kelelawar (Suyanto 2001). Jaring harus dipasang di tempat yang agak terbuka karena ditempat yang

30 15 tumbuhannya lebat biasanya tidak dilalui kelelawar karena kelelawar tidak bisa menggunakan sayapnya dengan bebas untuk terbang (Suyanto 2001). Gambar 3 Jaring kabut (a) dan jaring serangga (b) (Sumber: Suyanto 2001). Selain alat-alat yang telah disebutkan diatas, cara lain yang biasa digunakan pemburu kalong kapauk adalah dengan menggunakan senapan angin, jala ikan (jaring), dan layangan. Penangkapan dengan senapan angin dan jala ikan pernah dilakukan di Kebun Raya Bogor, ketika populasi kalong kapauk dinyatakan mengalami peningkatan yang begitu cepat dan dinyatakan dapat mengakibatkan kematian pohon koleksi (Susetyo 2007). Penangkapan dengan jala ikan yang dimaksudkan adalah menangkap dengan menggunakan jaring semacam net untuk permainan bola voli. Jaring dipasang dengan tali kemudian dinaikkan hingga membentang di lintasan udara yang biasa dilalui kalong kapauk. Dalam sehari, sejak matahari terbenam hingga subuh, rata-rata tertangkap ekor (Susetyo 2007). Cara penangkapan dengan jaring ini juga yang dilakukan penangkap kalong kapauk di kawasan Bukit Tangkiling di Palangkaraya dan di hutan Timpah, arah ke Buntok Kabupaten Barito Selatan (Zainuddin 2009). Penangkapan kalong kapauk dengan layangan pernah dilakukan oleh warga Sirenjang Jambi, yang mana di daerah ini kalong kapauk dianggap sebagai hama pertanian (Pakde 2009). Pada tali layangan dipasang mata kail (pancing) yang cukup banyak dengan tujuan kalong kapauk akan tersangkut di mata kail tersebut ketika layangan diterbangkan (Pakde 2009). Biasanya layangan diterbangkan sampai ketinggian 100 m dan dilakukan dari pukul WIB, yaitu ketika kalong kapauk baru mulai keluar dari sarang untuk mencari makan sampai hari mulai gelap. Dalam sehari mereka dapat menangkap 8 ekor kalong kapauk (Pakde 2009).

31 Perdagangan Peraturan Pemerintah no 8 tahun 1999 tentang pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwaliar, pada bab 5 pasal 18 menjelaskan bahwa: (1) Tumbuhan dan satwaliar yang dapat diperdagangkan adalah jenis satwaliar yang tidak dilindungi. (2) Tumbuhan dan satwa liar untuk keperluan perdagangan diperoleh dari: hasil penangkaran, pengambilan atau penangkapan dari alam. Pada awalnya pemanenan hidupan liar hanya ditujukan untuk kebutuhan masyarakat sehari-hari, misalnya untuk memenuhi kebutuhan protein (Soehartono & Mardiastuti 2003). Selanjutnya kegiatan pemanenan ini kemudian berubah menjadi aktivitas jual beli untuk mendapatkan uang tunai dengan pihak lain (Soehartono & Mardiastuti 2003). Pada skala nasional, perdagangan hidupan liar dapat menyumbangkan devisa bagi negara, meskipun jika dibandingkan dengan sumberdaya lainnya, seperti minyak, gas dan kayu, nilai hidupan liar memang tergolong sangat kecil (Soehartono & Mardiastuti 2003). Kalong kapauk terdaftar dalam Convention on International Trade in Endangered Species of Fauna and Flora (CITES), yaitu pada Appendix II. Jenis ini akan menjadi terancam punah jika perdagangannya tidak diatur (Brautigan 1992 diacu dalam Kunz & Jones 2000; Soehartono & Mardiastuti 2003). Kelelawar jenis lalai kembang dan kusing dayak belum masuk kedalam daftar CITES. Pelaku perdagangan sumberdaya alam (Gambar 4) pada umumnya mencakup pengumpul dan penjual sumberdaya alam atau collector, pembeli sekaligus penjual atau trader, pembeli sekaligus penjual sekala besar atau largescale trader, serta pembeli dan pengguna atau consumer (MWBP 2006). Di Kalimantan Tengah, penangkap kalong kapauk dari hutan membawa hasil buruannya ke kota-kota besar seperti ke Palangkaraya, dan menjualnya dengan harga partai (Zainuddin 2009). Kemudian kalong kapauk tersebut dibeli pedagang pengecer kemudian dijual di beberapa tempat, bukan hanya di pinggir jalan tetapi juga di beberapa lokasi pasar yang ramai pengunjungnya (Zainuddin 2009).

32 17 Desa Collector Trader Consumer Lokasi Penangkapan Collector Trader Pasar kota lokal Trader Large-scale Trader Consumer Pasar luar Large-scale Trader Consumer Gambar 4 Rantai perdagangan sumberdaya alam (Sumber: MWBP 2006). Menurut Suyanto (2001), di Indonesia semua jenis kalelawar belum dilindungi oleh undang-undang. Berbeda dengan di negara-negara maju dimana kelelawar hanya boleh ditangkap oleh peneliti saja. Isu yang beredar di masyarakat daging dan hati kalong kapauk dipercaya menjadi penyembuh penyakit asma yang baik, walaupun belum bisa dibuktikan secara ilmiah (Suyanto 1979). Selain untuk tujuan penyembuhan penyakit, kalong kapauk juga diperjual belikan di pasar untuk dikonsumsi dagingnya (Suyanto 1979). Seperti halnya yang terjadi di Palangkaraya, daging kalong kapauk disukai bukan hanya karena enak rasanya, tetapi ternyata daging ini juga berkhasiat obat, seperti obat asma, obat pedarahan, atau sangat baik bagi ibu yang baru melahirkan (Zainuddin 2009). Masakan kalong kapauk dapat disop, dibuat makanan kare, dibuat gorengan, atau dibakar begitu saja (Zainuddin 2009). Harga kalong kapauk berbeda-beda berdasarkan tempat dan waktunya. Pada waktu musim buah populasi kalong kapauk akan meningkat dan harga kalong kapauk akan menurun (Khairulid 2005). Di Medan, kalong kapauk dihargai mulai dari 40 ribu hingga 70 ribu rupiah per ekornya, bergantung hasil tawar-menawar (Khairulid 2005). Di Sirenjang Jambi, kalong kapauk dijual kepada orang Cina seharga 15 ribu rupiah (Pakde 2009). Sedangkan di Palangkaraya, Misdan yang biasa menjual 115 ekor per harinya biasa menjual seekor kalong kapauk dengan harga 30 ribu rupiah (Zainuddin 2009).

33 Upaya konservasi Berdasarkan Red List IUCN (2008) versi 3.1, kalong kapauk terdaftar sebagai hampir terancam (Near Threatened; NT), karena jenis ini menurun secara signifikan akibat pemanenan secara berlebihan untuk dimakan, dan karena terusmenerus mengalami degradasi habitat di hutan primer (IUCN 2008). Berbeda dengan lalai kembang yang berstatus risiko rendah (Least Concern; LC), karena lalai kembang memiliki disribusi yang luas, diduga populasinya besar di sejumlah kawasan lindung, dapat mentoleransi sedikit banyak perubahan habitat, dan karena tidak mungkin mengalami penurunan populasi yang begitu cepat (IUCN 2008). Sedangkan, kusing dayak terdaftar sebagai hampir terancam (Near Threatened; NT) karena hilangnya habitat secara luas, sehingga membuat spesies dekat dengan kualifikasi untuk Rentan di bawah kriteria A (IUCN 2008). Ancaman terbesar bagi kelelawar adalah kehilangan atau rusaknya habitat, dan perburuan secara berlebihan (Suyanto 1979; Maharadatunkamsi et al. 2003; Mulyana 2009). Banyak jenis kelelawar yang mencari makan di hutan hujan tropis dan menyesuaikan hidupnya dengan kondisi sekitarnya. Ketika hutan tersebut dikonversi maka akan ada banyak kelelawar yang tidak mampu bertahan hidup bahkan akan mati (Suyanto 2001). Di Semenanjung Malaysia, Sumatera, Thailand, Vietnam dan pulau sekitarnya, populasi kalong kapauk terancam punah akibat penurunan jumlah hutan mangrove, perdagangan, dan pembukaan lahan hutan menjadi perkebunan karet (Heideman & Heaney 1992, diacu dalam Kunz & Jones 2000). Metode perlindungan yang baik adalah dengan melindungi kelompok-kelompok kalong kapauk di pulau-pulau kecil. Menurut Kepala Balai Zoologi LIPI, Ahmad Johan Arif diacu dalam Mulyana (2009), populasi jumlah kalong kapauk di KRB mulai berkurang akibat pengaruh pembangunan Kota Bogor. Penangkapan kelelawar untuk dimakan secara berlebihan juga dapat mengancam populasinya, karena perkembangbiakannya yang berlangsung sangat lambat (Suyanto 2001). Selain itu, kebakaran hutan juga dapat mengancam kehidupan satwaliar di dalamnya.

34 III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan tempat Penelitian dilaksanakan pada tanggal 15 November Juni Lokasi penelitian berada di dalam dan di sekitar Kawasan Hutan Batang Toru (KHBT), yaitu: di Kabupaten Tapanuli Utara, Kota Sibolga, Kabupaten Tapanuli Tengah, Kota Padang Sidempuan, dan Kabupaten Tapanuli Selatan Provinsi Sumatera Utara. Lokasi penelitian perburuan lalai kembang dan kusing dayak berada di Gua Liang, yaitu di salah satu gua yang ada di dalam KHBT blok Barat. 3.2 Alat dan bahan Alat yang digunakan adalah: peta kawasan, Global positioning System (GPS), kamera digital, 2 unit camera trap tipe Sony P41 (Gambar 5), binokuler, alat penerangan (senter), pengukur waktu, alkohol 90%, dan panduan wawancara. Bahan yang digunakan sebagai objek penelitian ini adalah: kalong kapauk, lalai kembang, kusing dayak, dan sebahagian kecil dari masyarakat di dalam dan di sekitar KHBT yang terlibat dalam kegiatan perburuan dan perdagangan ketiga jenis kelelawar tersebut, serta petani durian. Gambar 5 Camera trap tipe Sony P Jenis data yang dikumpulkan Pengumpulan data dilakukan untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam rangka mencapai tujuan penelitian (Gulo 2002). Jenis-jenis data yang akan dikumpulkan adalah sebagai berikut: 1. Jenis kelelawar yang diburu dan diperdagangkan. 2. Data perburuan, yaitu: alat dan cara perburuan, daerah dan lokasi perburuan, waktu perburuan, frekuensi perburuan, sex ratio hasil buruan, dan estimasi jumlah tangkapan.

35 20 3. Data perdagangan, yaitu: rantai perdagangan kelelawar dan lokasi penjualan. 4. Karakteristik responden pemanfaat kelelawar (pemburu, pengumpul dan pedagang, pembeli, pemilik rumah makan dan warung tuak yang menyediakan kalong kapauk siap saji, dan pengkonsumsi kalong kapauk siap saji). 5. Data kondisi habitat, yaitu: pembukaan KHBT beberapa tahun terakhir, perubahan luas area kebun durian, posisi koordinat mulut gua, tinggi dan lebar mulut gua, jarak dengan pemukiman penduduk, bukti-bukti aktivitas perburuan, dan dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas perburuan tersebut. 6. Data kebun durian, yaitu: karakteristik petani durian, waktu musim berbunga durian, hasil panen buah durian beberapa tahun terakhir, penyebab penurunan panen buah (bila panen menurun), dan pengaruh keberadaan kelelawar bagi kebun durian. Selain data diatas, data penunjang penelitian yang diperlukan adalah kondisi umum lokasi penelitian (letak dan luas, topografi dan geologi, iklim, dan potensi flora maupun fauna), kondisi masyarakat di lokasi penelitian, dan peta lokasi penelitian. 3.4 Metode pengumpulan data Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan metode Triangulasi, yaitu menggunakan beberapa metode pengumpulan data dan analisis data sekaligus dalam sebuah penelitian, termasuk menggunakan informan sebagai alat uji keabsahan dan analisis hasil penelitian (Bungin 2003). Beberapa tahap yang dilakukan yaitu: (1) melakukan studi literatur dan konsultasi dengan ahli, (2) melakukan pengumpulan data di lapangan dengan pengamatan (observasi), wawancara dan pemasangan camera trap, (3) melakukan pengolahan dan analisis data untuk mendapatkan hasil mengenai gambaran perburuan dan perdagangan kelelawar. Pendokumentasian dilakukan dalam setiap kegiatan pengumpulan data di lapangan Pengamatan (observasi) Pengamatan adalah metode pengumpulan data dimana peneliti mencatat informasi sebagaimana yang ia saksikan selama penelitian (Gulo 2002). Dalam penelitian ini pengamatan lapang dilakukan dengan partisipasi penuh, yaitu peneliti menyamakan diri dengan orang yang diteliti. Artinya, peneliti ikut serta

36 21 dalam aktivitas orang yang diteliti tanpa membatasi diri hanya sebagai pengamat saja (Gulo 2002). Pengamatan dilakukan di lokasi perburuan kalong kapauk yang termasuk dalam lokasi penelitian, dan di Gua Liang (habitat kelelawar) yang mejadi lokasi perburuan lalai kembang dan kusing dayak Wawancara (interviu) Wawancara adalah bentuk komunikasi langsung antara peneliti dan responden (Gulo 2002). Komunikasi berlangsung dalam bentuk tanya-jawab dalam hubungan tatap muka, sehingga gerak dan mimik responden merupakan pola media yang melengkapi kata-kata secara verbal (Gulo 2002). Dalam wawancara telah disiapkan daftar pertanyaan (instrumen) dalam bentuk panduan wawancara. Secara prosedur wawancara ini termasuk kedalam bentuk wawancara terpimpin, yang menggunakan panduan pokok-pokok masalah yang diteliti (Gulo 2002). Wawancara dilakukan dengan menggunakan bahasa lokal (Batak Toba), dan diusahakan tidak membuat responden tersinggung atau takut. Pemilihan responden dilakukan dengan teknik purposive sampling, yaitu pemilihan sampel secara sengaja yang melibatkan informan kunci (Bungin 2003). Penggunaan teknik purposive sampling disesuaikan dengan tujuan penelitian, kemampuan biaya dan waktu yang dimiliki oleh peneliti, dengan asumsi yang telah dipilih untuk dijadikan sampel dianggap dapat mewakili dari sampel yang diharapkan. Total responden berjumlah 247 orang, yang terdiri dari: 69 responden pemburu kalong kapauk; 6 responden pemburu lalai kembang dan kusing dayak; 4 responden pengumpul kalong kapauk; 2 responden pedagang kalong kapauk; 20 responden pembeli kalong kapauk; 25 responden pembeli lalai kembang dan kusing dayak; 25 responden pemilik rumah makan dan warung tuak yang menyediakan kalong kapauk siap saji; 37 responden pengkonsumsi kalong kapauk siap saji; dan 59 responden petani durian Camera trap Pemasangan camera trap dilakukan selama 12 bulan dan hanya ditujukan untuk pemburu lalai kembang dan kusing dayak. Camera trap dipasang dalam 2 periode. Pemasangan pertama dilakukan oleh LSM YEL selama 7 bulan, yaitu bulan Desember Juni Pemasangan camera trap yang kedua dilakukan pada saat penelitian sedang berlangsung, selama kurang dari 5 bulan

37 22 (24 Desember Mei 2010). Foto hasil camera trap diambil setiap 1-2 bulan sekali. Lokasi pemasangan camera trap berada di 2 jalur yang biasa dilalui pemburu lalai kembang dan kusing dayak (berasal dari 4 dusun). Kedua jalur ini memiliki jarak yang tidak terlalu jauh dari lokasi perburuan dan masih merupakan daerah penelitian LSM YEL, sehingga pemasangan camera trap relatif aman dari gangguan manusia. Pemasangan camera trap di sekitar gua (lokasi perburuan) tidak dilakukan karena menghindari rasa curiga dari pemburu dan pertimbangan keamanan. Jumlah pemburu dalam satu kelompok diketahui dengan menghitung jumlah orang (datang pada waktu yang bersamaan) pada foto hasil camera trap. Jumlah seluruh kunjungan pemburu ke Gua Liang dan jumlah seluruh kelompok diperoleh dengan menjumlahkan seluruh pemburu dan seluruh kelompok yang ada. Untuk mengetahui jumlah orang yang melakukan perburuan dan asal dari pemburu tersebut maka dilakukan identifikasi wajah (pemburu) pada foto hasil camera trap. Identifikasi wajah dibantu oleh salah seorang masyarakat lokal. Setelah mengidentifikasi wajah pemburu, kelas umur pemburu dan banyaknya perburuan yang dilakukan oleh masing-masing pemburu juga dapat diketahui. Lamanya waktu perburuan (berapa malam) diketahui dengan melihat jam kedangan dan kepulangan pemburu pada foto hasil camera trap Jenis kelelawar yang diburu dan diperdagangkan Pengambilan sampel kelelawar yang diburu dan diperdagangkan dilakukan setelah beberapa kali melakukan pengamatan lapang. Sampel kalong kapauk diperoleh dengan membeli seekor kalong kapauk yang sedang diperjual-belikan, sedangkan sampel lalai kembang dan kusing dayak diperoleh dengan membeli hasil buruan langsung di lokasi perburuan. Sampel diambil sebanyak 5 ekor, yaitu: 1 ekor kalong kapauk; 2 ekor lalai kembang (jantan dan betina); dan 2 ekor kusing dayak (jantan dan betina). Sampel diawetkan dengan cara direndam dalam larutan alkohol 90%. Sampel kemudian diidentifikasi dengan menggunakan buku kunci identifikasi Kelelawar di Indonesia seri panduan lapang (Suyanto 2001).

38 Perburuan kelelawar Pada perburuan kalong kapauk, data mengenai alat dan cara perburuan, daerah dan lokasi perburuan, waktu perburuan, frekuensi perburuan, serta estimasi jumlah tangkapan dikumpulkan melalui wawancara dengan pemburu kalong kapauk (Lampiran 1). Di beberapa desa/dusun, pengumpulan data ini juga dilakukan dengan pengamatan lapang. Pengamatan lapang dilakukan dengan menyewa seorang masyarakat lokal (pemburu) untuk menunjukkan lokasi-lokasi perburuan kalong kapauk. Pada perburuan lalai kembang dan kusing dayak, data mengenai alat dan cara perburuan, lokasi perburuan, waktu perburuan, frekuensi perburuan, estimasi jumlah tangkapan, serta data sex ratio lalai kembang dan kusing dayak hasil buruan dikumpulkan melalui pengamatan lapang dan melalui wawancara dengan pemburu lalai kembang dan kusing dayak (Lampiran 2). Selain itu juga dilakukan pemasangan camera trap di 2 jalur menuju lokasi perburuan Perdagangan kelelawar Data rantai perdagangan kalong kapauk dan lokasi penjualan penjualan diperoleh dengan mewawancarai pengumpul dan pedagang kalong kapauk (Lampiran 3), sedangkan pada perdagangan lalai kembang dan kusing dayak dilakukan wawancara pada pemburu. Pada perdagangan kalong kapauk, survei pasar juga dilakukan di pasar-pasar tradisional yang biasanya melakukan jual-beli kalong kapauk. Penulis mencatat setiap lokasi penjualan kalong kapauk, sumber kalong kapauk, harga yang ditawarkan, serta melakukan investigasi lebih lanjut untuk mengetahui jaringan perdagangan kalong kapauk di dalam dan di sekitar KHBT. Untuk mengetahui apakah kalong kapauk selalu habis terjual ada kalanya penulis mengikuti pedagang/pengecer saat berangkat dari rumah pengumpul Karakteristik responden Karakteristik pengumpul sekaligus pedagang kalong kapauk, serta jumlah dan lokasi perdagangan kalong kapauk, diperoleh dari hasil wawancara kepada pengumpul sekaligus pedagang kalong kapauk (Lampiran 3). Data pembeli kalong kapauk, pemilik rumah makan dan warung tuak yang menyediakan kalong kapauk siap saji, dan pengkonsumsinya masing-masing diperoleh dengan mewawancarai pembeli kalong kapauk (Lampiran 4), pemilik rumah makan dan warung tuak

39 24 yang menyediakan kalong kapauk siap saji (Lampiran 5), dan pengkonsumsinya (Lampiran 6). Data pembeli lalai kembang dan kusing dayak diperoleh melalui wawancara kepada pembeli lalai kembang dan kusing dayak (Lampiran 7) Kondisi habitat Data kondisi habitat kelelawar diperoleh berdasarkan hasil pengamatan lapang. Wawancara kepada pemburu juga dilakukan untuk menggali lebih banyak lagi informasi mengenai kondisi habitat Kebun durian Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, perburuan dan perdagangan kelelawar dapat mengakibatkan penurunan produktivitas kebun durian milik masyarakat. Untuk membuktikan dampak penurunan tersebut, maka dilakukan wawancara kepada petani durian yang ada di dalam dan di sekitar KHBT (Lampiran 8). 3.5 Analisis data Seluruh data yang diperoleh dari hasil pengamatan lapang, wawancara, dan pemasangan camera trap dianalisis secara deskriptif.

40 IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak dan luas Kawasan HBT (Gambar 6) yang terdiri dari blok barat dan blok timur (Sarulla), secara geografis terletak antara 98 o o 26 Bujur Timur dan 02 o o 27 Lintang Utara (Indra & Fredriksson 2007). Hutan alami (primer) di HBT yang tersisa saat ini diperhitungkan seluas ha dan berada di Blok Barat seluas ha dan di Blok Timur seluas ha (Indra & Fredriksson 2007). Kawasan HBT secara administratif berada di 3 kabupaten yaitu Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Selatan Provinsi Sumatera Utara. Gambar 6 Kawasan Hutan Batang Toru, Sumatera Utara (Sumber: YEL) Kabupaten Tapanuli Utara Kabupaten Tapanuli Utara memiliki luas wilayah sekitar 3.800,31 km 2, yang terdiri dari luas daratan 3.793,71 km 2 dan luas perairan Danau Toba 6,60 km 2 (BPS 2009). Kabupaten Tapanuli Utara terdiri dari 15 kecamatan, yaitu: Parmonangan (14 desa/kelurahan), Adian Koting (14 desa/kelurahan), Sipoholon (14 desa/kelurahan), Tarutung (31 desa/kelurahan), Siatas Barita (12 desa/kelurahan), Pahae Julu (19 desa/kelurahan), Pahae Jae (13 desa/kelurahan), Purbatua (11 desa/kelurahan), Simangumban (8 desa/kelurahan), Pangaribuan (22 desa/kelurahan), Garoga (12 desa/kelurahan), Sipahutar (23 desa/kelurahan), Siborong-borong (21 desa/kelurahan), Pagaran (14 desa/kelurahan), dan Muara (15 desa/kelurahan) (BPS 2009). Kabupaten yang berada pada ketinggian antara m dpl ini, secara astronomis berada pada posisi 1 o 20 2 o 41 Lintang Utara dan 98 o o 16

41 26 Bujur Timur (BPS 2009). Secara geografis, sebelah Utara Kabupaten Tapanuli Utara berbatasan langsung dengan kabupaten Toba Samosir, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Labuhan Batu, sebelah Selatan berbatasan dengan Tapanuli Selatan, dan sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Humbang Hasudutan dan Tapanuli Tengah (BPS 2009). Curah hujan di tahun 2008 tercatat mm dan lama hari hujan 209 hari, atau curah hujan bulanan sebanyak 243,50 mm dan lama hari hujan 17,42 hari (BPS 2009). Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Juli, yaitu 619 mm dengan 15 hari hujan. Curah hujan terendah terjadi pada bulan Februari, yaitu 175 mm dan lama hari hujan 12 hari (BPS 2009). Kawasan HBT yang termasuk kedalam daerah Tapanuli Utara adalah seluas ha atau 65,5 % dari luas hutan. Air dari HBT di Tapanuli Utara mengairi persawahan luas di lembah Sarulla dan hulunya dari DAS Sipansihaporas dan Aek Raisan berada di Tapanuli Utara. Pegunungan yang paling tinggi di Batang Toru berada di Tapanuli Utara, yaitu di Dolok Saut dengan ketinggian m dpl (Indra & Fredriksson 2007) Kabupaten Tapanuli Tengah Kabupaten Tapanuli Tengah memiliki luas wilayah sekitar 2.194,98 km 2, sebahagian besar berada di daratan Pulau Sumatera dan sebahagian kecil berada di pulau-pulau kecil di sekitar wilayah kabupaten ini (BPS 2009). Kabupaten Tapanuli Tengah terdiri dari 20 kecamatan, yaitu: Pinangsori (7 desa/kelurahan), Badiri (9 desa/kelurahan), Sibabangun (7 desa/kelurahan), Lumut (6 desa/kelurahan), Sukabangun (6 desa/kelurahan), Pandan (9 desa/kelurahan), Sarudik (5 desa/kelurahan), Tukka (8 desa/kelurahan), Tapian Nauli (9 desa/kelurahan), Sitahuis (6 desa/kelurahan), Kolang (12 desa/kelurahan), Sorkam (14 desa/kelurahan), Sorkam Barat (11 desa/kelurahan), Pasaribu Tobing (8 desa/kelurahan), Barus (13 desa/kelurahan), Sosor Gadong (9 desa/kelurahan), Andam Dewi (14 desa/kelurahan), Barus Utara (6 desa/kelurahan), Manduamas (9 desa/kelurahan), dan Sirandorung (8 desa/kelurahan) (BPS 2009). Kabupaten yang berada pada ketinggian antara m dpl ini, secara astronomis berada pada posisi 1 o o Lintang Utara dan 98 o o 12 Bujur Timur (BPS 2009). Secara geografis, sebelah Utara Kabupaten

42 27 Tapanuli Tengah berbatasan langsung dengan Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Utara, sebelah Selatan berbatasan dengan Tapanuli Selatan, dan sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Indonesia (BPS 2009). Suhu udara rata-rata tahun 2008 di Kabupaten Tapanuli Tengah 25,98 o C, dengan suhu maksimum mencapai 31,50 o C dan suhu minimum mencapai 21,51 o C. Musim kemarau terjadi pada bulan Juni-September, dan musim penghujan terjadi pada bulan November-Maret (BPS 2009). Kawasan HBT yang termasuk kedalam daerah Tapanuli Tengah adalah seluas ha atau 11,4% dari luas hutan (Indra & Fredriksson 2007). Kawasan HBT di Tapanuli Tengah merupakan daerah tangkapan air bagi PLTA Sipansihaporas yang sudah beroperasi sejak tahun 2002 dengan kapasitas 50 MW (Indra & Fredriksson 2007). Areal sekitar Sipansihaporas merupakan hutan di tebing kapur yang sangat indah dengan banyak air terjun (Indra & Fredriksson 2007). Kawasan Bukit Anugerah sedang dibangun di tepi HBT yang akan dijadikan sebagai kawasan ekowisata Tapanuli Tengah (Indra & Fredriksson 2007) Kabupaten Tapanuli Selatan Kabupaten Tapanuli Selatan memiliki luas wilayah 4.367,05 km 2 (BPS 2009). Kabupaten Tapanuli Selatan terdiri dari 12 kecamatan, yaitu: Batang Angkola (58 desa/kelurahan), Sayurmatinggi (55 desa/kelurahan), Angkola Timur (39 desa/kelurahan), Angkola Selatan (18 desa/kelurahan), Angkola Barat (24 desa/kelurahan), Batang Toru (29 desa/kelurahan), Marancar (32 desa/kelurahan), Sipirok (100 desa/kelurahan), Arse (31 desa/kelurahan), Saipar Dolok Hole (68 desa/kelurahan), Aek Bilah (42 desa/kelurahan), dan Muara Batang Toru (7 desa/kelurahan) (BPS 2009). Kabupaten yang berada pada ketinggian antara ,3 m dpl ini, secara astronomis berada pada garis 0 o o Lintang Utara dan 98 o o 16 Bujur Timur (BPS 2009). Secara geografis, sebelah utara Kabupaten Tapanuli Utara berbatasan langsung dengan Kabupaten Tapanuli Tengah dan Kabupaten Tapanuli Utara, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Padang Lawas dan Kabupaten Padang Lawas Utara, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Mandailing Natal, dan sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten

43 28 Mandailing Natal dan juga Samudera Indonesia (BPS 2009). Curah hujan rata-rata di tahun 2008 tercatat 295,83 mm, dengan lama hari hujan rata-rata 16 hari. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Maret, yaitu 650 mm dengan 23 hari hujan. Curah hujan terendah terjadi pada bulan Mei, yaitu 106 mm dan lama hari hujan 9 hari (BPS 2009). Kawasan HBT yang termasuk kedalam Kabupaten Tapanuli Selatan adalah seluas ha atau 23,1% dari luas hutan (Indra & Fredriksson 2007). Air dari sungai Batang Toru menjadi penting buat perkebunan luas yang berada di daerah hilir (Indra & Fredriksson 2007). Di Kabupaten Tapanuli Selatan sedang dilakukan eksplorasi oleh tambang emas di Kecamatan Batang Toru (Indra & Fredriksson 2007). 4.2 Topografi dan geologi Keadaan topografi di KHBT bergelombang dan sangat curam (Indra & Fredriksson 2007). Berdasarkan peta kontur sebagian besar kelerengan berkisar lebih dari 40 %, lebih curam lagi di Blok Timur Sarulla (Indra & Fredriksson 2007). Jenis tanah di KHBT adalah tanah ultisolik, alluviocolluvial dan inseptisolik (Indra & Fredriksson 2007). Kawasan HBT menjadi areal yang penting untuk mencegah terjadinya banjir, erosi dan longsor di daerah Tapanuli yang rentan terhadap datangnya bencana alam, termasuk gempa (Indra & Fredriksson 2007). Kawasan HBT merupakan hutan pegunungan dataran rendah, hutan gambut pada ketinggian m dpl, hutan batu kapur, hutan berlumut, hutan rawa diketinggian 800 m dpl dan dataran tinggi dengan ketinggian sekitar m dpl (Indra & Fredriksson 2007). Titik terendahnya berada di Sungai Sipansihaporas (dekat Kota Sibolga) dan titik tertingginya berada pada Dolok Lubuk Raya di bagian selatan kawasan (Indra & Fredriksson 2007). Indra dan Fredriksson (2007) melanjutkan bahwa KHBT memiliki daerah tangkapan air untuk 10 sub-das (daerah aliran sungai). Kawasan DAS ini masih memiliki tutupan hutan yang utuh dibagian hulunya dan mempunyai fungsi penting sebagai penyangga kehidupan dan pengatur tata air maupun sebagai pencegah bencana. Sepuluh sub-das ini adalah Sipansihaporas, Aek Raisan, Batang Toru Ulu, Sarulla Timur, Aek Situmandi, Batang Toru Ilir (Barat dan Selatan), Aek Garoga, Aek Tapus, Sungai Pandan dan Aek Namapar/Aek Puli

44 29 (Batang Toru Timur). PLTA Sipansihaporas adalah salah satu pembangkit listrik yang memanfaatkan DAS Sipansihaporas (Indra & Fredriksson 2007). 4.3 Iklim Curah hujan di KHBT cukup tinggi yaitu antara sampai mm per tahun. Suhu pada malam hari dapat turun sampai 14ºC. Sedangkan curah hujan rata-rata tahunan dari tahun menurut PT. Agincourt Oxiana adalah sebesar 4.190,65 mm per tahun. Sementara curah hujan rata-rata bulanannya adalah sebesar 349,22 mm per bulan (Indra & Fredriksson 2007). Berdasarkan pengukuran pada bulan November-Desember 2009, temperatur ratarata pada pagi hari 21,96ºC dan temperatur rata-rata pada sore hari 20,29ºC. 4.4 Potensi fauna dan flora Kawasan HBT memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Selain ditemukan berbagai jenis kelelawar, saat ini KHBT adalah habitat terakhir untuk populasi orangutan Pongo abelii yang jauh terpisah dari orangutan lain di Sumatera Utara dan Aceh (Indra & Fredriksson 2007). Populasi orangutan diperkirakan sekitar 600 ekor di blok Batang Toru Barat dan sekitar ekor di blok Batang Toru Timur, berkisar 10-15% dari seluruh populasi orangutan Sumatera yang saat ini diperkirakan hanya tinggal ekor yang tersisa di dunia ini (Indra & Fredriksson 2007). Selain orangutan ada beragam satwa langka lainnya seperti tapir (Tapirus indicus), kijang (Muntiacus muntjak), Babi Hutan (Sus scrofa) harimau Sumatera (Panthera tigris Sumaterae), kucing batu (Pardofelis marmorata), beruang madu (Helarctos malayanus) dan kambing hutan (Naemorhedus sumatrensis). Ditemukan 265 jenis burung yang 59 jenis diantaranya termasuk langka atau khas Sumatera (Indra & Fredriksson 2007). Kawasan HBT banyak ditumbuhi oleh jenis-jenis tumbuhan, seperti pohon cemara gunung(casuarina sp.), sampinur tali (Dacrydium spp.), mayang (Palaquium spp.). Jenis-jenis pohon dominan yang dijumpai berasal dari famili Theaceae, Sapotaceae dan Lauraceae. Banyak juga ditemukan jenis-jenis epifit, lumut dan jenis tanaman yang punya simbiosis (seperti kantong semar, Nephentes spp.). Jenis bunga yang ditemukan adalah bermacam-macam agrek dan bunga bangkai (Rafflesia gadutensis) (Indra & Fredriksson 2007).

45 Kondisi masyarakat Masyarakat di dalam dan di sekitar KHBT sebagian besar berasal dari suku Batak. Masyarakat tersebut pada umumnya sudah lama bermukim (Indra & Fredriksson 2007). Di sisi Barat-Selatan banyak ditemui hutan yang baru dibuka dalam beberapa tahun terakhir, oleh warga Nias yang datang dari Pulau Nias (Indra & Fredriksson 2007). Sistem mata pencaharian masyarakat di dalam dan disekitar KHBT adalah bertani. Jenis tanaman yang banyak ditanam adalah padi sawah, karet, coklat, durian, petai, aren, dan kemenyan (Indra & Fredriksson 2007). Jenis tanaman buah-buahan seperti durian, biasanya ditanam bersamaan dengan tanaman karet.

46 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengenalan kalong kapauk, lalai kembang, dan kusing dayak Bagi masyarakat Indonesia, kalong kapauk (Pteropus vampyrus Linnaeus, 1758) umumnya lebih sering dikenal dengan sebutan kalong saja. Padahal menurut Suyanto (2001), di Indonesia ada 20 jenis anggota marga Pteropus yang dalam bahasa lokal juga memiliki nama depan kalong (Lampiran 8). Seluruh jenis anggota Pteropus ini dibedakan berdasarkan ada/tidak adanya tonjolan belakang (basal ledge posterior) pada graham depan, ada/tidaknya bulu pada betis, ukuran lengan bawah sayap, ukuran panjang telinga dan warna tubuh (Suyanto 2001). Di dalam dan sekitar KHBT kalong kapauk atau yang lebih dikenal dengan sebutan haluang ini dapat dilihat pada sore hari (ketika sedang terbang dari tempat tinggal menuju sumber pakan), dan malam hari saat mencari makan di sekitar tumbuhan yang sedang berbunga atau berbuah (seperti: durian, petai, langsat, mangga, rambutan dan pisang). Pada kondisi yang sama ada kalanya kita tidak dapat melihat kalong kapauk, karena sedang bermigrasi ke daerah lain. Kalong kapauk merupakan salah satu jenis kelelawar berukuran besar (berat berkisar g). Bila kedua sayap direntangkan, rentangan sayap kalong kapauk dapat mencapai 1-1,5 m. Dada, perut, dan punggung kalong kapauk berwarna hitam, bahu berwarna coklat kekuningan, kepala mirip anjing, ujung telinga meruncing, bagian di atas betis tidak berbulu dan tidak berekor (Gambar 7a). Kalong kapauk yang sedang terbang secara sepintas terlihat seperti burung, namun akan berbeda bila dilihat dengan lebih teliti. Sayap kalong kapauk terbentuk dari kulit tipis yang membentang di antara jari-jari yang memanjang, sedangkan sayap pada burung memiliki bulu-bulu. Kelelawar lainnya yang diburu dan diperdagangkan di dalam dan sekitar KHBT adalah lalai kembang (Eonycteris spelaea Dobson, 1871) dan kusing dayak (Dyacopterus spadiceus Thomas, 1890). Lalai kembang merupakan jenis kelelawar berukuran sedang (sekitar 50 g), memiliki warna sedikit lebih terang, tidak ada cakar pada jari kedua sayap, moncong dan lidah panjang, bulu pendek dan halus, serta ada sepasang kelenjar dekat anus yang berbentuk seperti ginjal (Gambar 7b). Kelelawar jenis kusing dayak ditandai dengan wajah berwarna kehitaman, bahu kekuningan, punggung coklat, dada dan perut keputih-putihan,

47 32 dan memiliki bentuk hidung yang khas (Gambar 7c). Pada saat pengamatan dilapangan, ukuran tubuh (berat) kusing dayak hampir sama dengan lalai kembang. (a) (b) (c) Gambar 7 Kalong kapauk (a), lalai kembang (b), dan kusing dayak (c). Saat terbang lalai kembang dan kusing dayak tidak mudah dikenali, atau hampir sama dengan jenis kelelawar lainnya. Pengenalan jenis dapat dilakukan setelah melakukan penangkapan. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, lalai kembang dan kusing dayak keluar dalam waktu yang bersamaan (pukul WIB), sedangkan kelelawar lain yang berukuran lebih kecil keluar lebih awal (pukul WIB). Penulis tidak melakukan identifikasi terhadap kelelawar yang berukuran lebih kecil tersebut karena jenis ini tidak diburu. 5.2 Perburuan kalong kapauk Alat dan cara perburuan Alat yang digunakan untuk berburu kalong kapauk di dalam dan sekitar KHBT adalah: jaring (jala), senapan angin, dan rawe (mata kail pancing). Berdasarkan hasil wawancara dengan 69 responden pemburu kalong kapauk, 61 responden (88,41%) menggunakan jaring, 7 responden (10,14%) menggunakan senapan angin, dan 1 responden (1,45%) menggunakan rawe. Hasil tangkapan paling banyak adalah dengan menggunakan jaring. Penelitian ini lebih banyak mengamati perburuan dengan menggunakan jaring, karena jaring merupakan alat perburuan yang paling banyak digunakan, hasil tangkapan dalam jumlah besar, dan lokasi perburuannya dapat diamati.

48 Jaring (jala) Perburuan kalong kapauk dengan menggunakan jaring sudah lama diketahui dan terjadi secara turun-temurun. Salah satu responden sudah menggunakan alat ini sejak tahun Pada waktu itu jaring dibuat dengan menggunakan tali/benang pancing, berbeda dengan sekarang yang menggunakan benang nilon. Jaring yang digunakan saat ini merupakan hasil perbaikan dari jaring-jaring yang sebelumnya. Cara perburuan kalong kapauk menggunakan jaring adalah dengan membentangkan jaring di tempat yang sudah disiapkan, kemudian menunggu sampai kalong kapauk menabrak jaring. Bila kalong kapauk sudah menyentuh jaring, maka jaring segera diturunkan agar kalong kapauk tidak dapat meloloskan diri. Di beberapa lokasi, perburuan kalong kapauk dilakukan dengan menggunakan suara pancingan (kalong kapauk yang disiksa agar mengeluarkan suara), untuk menarik perhatian kalong kapauk lain. Pemasangan jaring yang baik adalah apabila posisi jaring tegak lurus dengan arah datangnya kalong kapauk (jaring tidak mudah terlihat). Bagian-bagian alat perburuan kalong kapauk dengan menggunakan jaring (Gambar 8), beserta kegunaannya: a. Pohon tiang: pohon tinggi (20-40 m) dan kokoh yang digunakan sebagai tiang/penahan. Pohon tiang dipilih setelah menemukan lokasi perburuan kalong kapauk yang baik. Bagian-bagian pohon yang mengarah ke jaring dipangkas, karena dapat mengganggu proses naik turunnya jaring. b. Paduk: dua buah batang bambu yang masing-masing pangkalnya diikatkan pada pohon tiang. Pengadaan dan ukuran paduk dibuat berdasarkan kondisi kedua pohon tiang. Ada kalanya paduk tidak diperlukan, karena kedua pohon tiang sudah cukup tinggi atau memiliki tinggi yang sama. Kegunaannya adalah: agar sisi kiri dan kanan jaring memiliki ketinggian yang sama; memberikan jarak antara jaring dengan dedaunan/ranting pohon, sehingga jaring tidak tersangkut; serta lebih kokoh (awet) bila dibandingkan dengan mengikatkan tali samping langsung ke batang/ranting pohon. c. Hili-hilian: katrol dari bambu yang diikatkan di ujung paduk. Katrol berfungsi untuk menjaga tali samping agar berjalan/berputar dengan baik.

49 34 d. Tali samping: tali nilon berukuran kecil (tidak mudah terlihat oleh kalong kapauk), kuat, dan kedua ujungnya diikat/disatukan. Tali samping berputar pada katrol dan berfungsi sebagai tempat diikatkannya jaring, sehingga jaring dapat dinaikkan dan diturunkan. Jaring biasanya dilepas dan dibawa pulang oleh pemburu bila sudah selesai berburu kalong kapauk. e. Jaring (rambang): benang nilon nomor 2 atau 3 yang dirangkai sedemikian rupa menyerupai net pada permainan bola voli. Mata jaring berukuran cm 2 sampai cm 2. Jaring dapat dibuat sendiri, tetapi juga dapat diperoleh dengan memesan kepada orang yang ahli membuat jaring. Jaring dapat dibeli dengan harga Rp Tingginya harga jaring dipengaruhi oleh harga bahan baku dan lamanya waktu pembuatan yang dibutuhkan (8 bulan). Lamanya waktu pembuatan jaring disebabkan oleh pembuatan jaring hanya dilakukan pada waktu-waktu santai saja, sedangkan apabila dikerjakan dengan rutin dapat diselesaikan dalam 2 bulan. Ukuran panjang dan lebar jaring berbeda-beda berdasarkan kondisi di lokasi penjaringan dan selera pemburu. Jaring pada umumnya dibuat memanjang ke bawah, dengan lebar 10 m dan panjang 15 m. Bila disimpan dengan baik, jaring dapat dipergunakan lebih dari 10 tahun. Apabila ada bagian jaring yang rusak, maka bagian tersebut langsung diperbaiki dengan cara menyambung bagian yang terputus atau rusak. f. Sasa nihe: tali nilon yang dirangkai (berbentuk kotak-kotak) secara horizontal dan berada 1-2 meter diatas tanah. Fungsinya adalah untuk menahan jaring agar tidak menyentuh tanah, atau tersangkut pada rerumputan maupun tanaman lainnya yang ada di lantai lokasi penjaringan. Sasa nihe berperan dalam menjaga keawetan jaring dan memudahkan pemburu selama perburuan berlangsung. g. Basa-basa: kayu dengan panjang cm dan berdiameter 3-4 cm, yang berfungsi sebagai pememukul kepala kalong kapauk sampai kalong kapauk mati. Basa-basa hanya dipakai di Desa Sipange, karena di desa ini kalong kapauk yang di dapat langsung dibunuh. Dalam bahasa lokal, basa-basa sama artinya dengan berkat.

50 35 h. Peralatan lain-lain. Peralatan pendukung lainnya yang dibutuhkan pada saat melakukan perburuan kalong kapauk adalah: pondok tempat istirahat, senter, anti nyamuk bakar, dan keranjang bambu (tempat penyimpanan kalong kapauk yang ditangkap dalam keadaan hidup). c b a e d f Gambar 8 Alat perburuan kalong kapauk dengan menggunakan jaring. Keterangan : a = pohon tiang; b = paduk; c = hili-hilian; d = tali samping; e = jaring; f = sasa nihe Senapan angin Senapan angin biasa digunakan oleh pemburu yang tidak memiliki jaring, atau pemburu yang ingin menangkap kalong kapauk dalam jumlah kecil untuk dikonsumsi sendiri. Perburuan dengan senapan angin dilakukan di sekitar pohon durian yang sedang berbunga. Kelemahan alat ini adalah hasil tangkapan sedikit, karena tidak jarang kalong kapauk yang sudah tertembak namun tidak mati. Selain itu gerombolan kalong kapauk juga akan segera pergi jika mendengar suara letusan senapan angin. Jumlah seluruh pemburu kalong kapauk yang menggunakan senapan angin sulit diketahui, karena kelompok pemburu ini tidak rutin melakukan perburuan dan tidak ada tanda-tandanya di lapangan Rawe (mata kail pancing) Perburuan kalong kapauk dengan menggunakan rawe hanya ditemukan di Desa Aek Horsik Kabupaten Tapanuli Tengah. Rawe merupakan alternatif lain bagi pemburu yang tidak memiliki biaya yang cukup untuk membeli jaring. Selain lebih murah harganya, perburuan dengan menggunakan rawe tergolong mudah

51 36 dilakukan. Pemburu hanya perlu memasang rawe pada sore hari, kemudian sesekali diperiksa pada malam atau pagi hari. Rawe biasanya dipasang di sekitar pohon durian yang sedang berbunga (sumber pakan), dengan tujuan kalong kapauk yang sedang terbang dapat tersangkut sayapnya pada mata kail pancing. Bahan yang diperlukan adalah mata kail pancing berukuran besar dan benang/tali pancing. Mata kail pancing diikatkan di masing-masing benang pancing (vertikal) dengan jarak yang tidak terlalu rapat. Seluruh benang pancing tersebut kemudian diikatkan ke benang pancing yang panjang (horizontal) yang kedua sisi kanan dan kirinya akan dililitkan ke batang pohon (tiang), sehingga mata kail pancing dalam kondisi menggantung (Gambar 9). Sama halnya dengan perburuan menggunakan senapan angin, alat perburuan ini juga tidak mudah teramati di lapangan. Gambar 9 Alat perburuan kalong kapauk dengan menggunakan rawe Daerah dan lokasi perburuan Perburuan kalong kapauk di dalam dan sekitar KHBT terjadi di 42 desa/dusun (Lampiran 9). Dalam satu malam, sebanyak 367 kelompok pemburu kalong kapauk berburu dengan menggunakan jaring, 7 pemburu menggunakan senapan, dan 1 pemburu menggunakan rawe. Perburuan paling banyak terjadi di Kabupaten Tapanuli Tengah, yaitu di 24 desa/dusun (265 kelompok pemburu menggunakan jaring dan seorang pemburu menggunakan rawe). Jumlah kedua terbesar berada di Kabupaten Tapanuli Selatan, yaitu di 10 desa/dusun (51 kelompok pemburu menggunakan jaring dan 7 pemburu menggunakan senapan). Perburuan kalong kapauk di Kabupaten Tapanuli Utara terjadi di 8 desa/dusun (51 kelompok pemburu menggunakan jaring).

52 37 Perburuan kalong kapauk dengan menggunakan jaring dilakukan di atas sebidang tanah yang secara sengaja dipersiapkan untuk perburuan kalong kapauk. Berdasarkan kepemilikannya, lahan yang dijadikan lokasi penjaringan dibedakan atas perkebunan milik sendiri/keluarga, perkebunan milik orang lain, kawasan hutan, dan lahan orang lain yang sengaja disewa untuk perburuan kalong kapauk (Gambar 10). Pembuatan lokasi penjaringan di area perkebunan orang lain memerlukan persetujuan dan kesepakatan mengenai sistem pembagian hasil, sedangkan lahan yang disewa untuk dijadikan lokasi penjaringan kalong kapauk adalah sebidang tanah yang sengaja disewa (berkisar Rp dalam satu musim) karena dipandang sangat strategis untuk berburu kalong kapauk. Gambar 10 Persentase kepemilikan lahan yang dijadikan lokasi penjaringan kalong kapauk. Jarak dari rumah masing-masing pemburu ke lokasi perburuan kalong kapauk berbeda-beda. Perburuan dengan menggunakan senapan dan rawe dilakukan di lokasi yang lebih dekat dengan rumah pemburu, sedangkan perburuan dengan menggunakan jaring dilakukan di tempat yang jaraknya lebih jauh. Jarak rumah responden ke lokasi penjaringan kurang dari 500 m sebanyak 7 responden (10,14%), m sebanyak 21 responden (30,43%), m sebanyak 24 responden (34,78%), m sebanyak 11 responden (15,94%), dan lebih dari 5000 m sebanyak 6 responden (8,70%). Lokasi penjaringan kalong kapauk ditentukan berdasaran pengalaman pemburu yang sering melihat keberadaan kalong kapauk di sekitar lokasi tersebut. Menurut hasil wawancara, 41 responden (59,42%) memiliki lokasi penjaringan di punggung bukit (Gambar 11), 20 responden (28,99%) memiliki lokasi penjaringan di sekitar tumbuhan pakan, dan 8 responden (11,59%) memiliki lokasi penjaringan di kedua tempat tersebut. Lokasi penjaringan yang berada di

53 38 punggung bukit umumnya lebih tinggi (± m) daripada lokasi penjaringan di sekitar tumbuhan pakan (± m). Sumber pakan kalong kapauk berdasarkan hasil wawancara pemburu adalah bunga durian, buah-buahan seperti langsat, mangga, rambutan, dan buah beringin (Ficus). (a) (b) Gambar 11 Beberapa lokasi penjaringan kalong kapauk di punggung bukit (a) dan salah satu lokasi penjaringan (b). Jumlah lokasi penjaringan yang dimiliki masing-masing responden pemburu kalong kapauk berkisar 1-4 lokasi. Sebanyak 45 responden (65,22%) memiliki 1 lokasi, 18 responden (26,09%) memiliki 2 lokasi, 4 responden (5,80%) memiliki 3 lokasi, dan 2 responden (2,90%) memiliki 4 lokasi penjaringan. Lokasi penjaringan yang dimiliki masing-masing pemburu dijaga oleh anggota keluarga atau dikerjakan oleh pemburu lain dengan sistem bagi hasil Waktu perburuan Perburuan kalong kapauk dilakukan pada malam sampai pagi hari, yaitu pada saat kalong kapauk mencari makan sampai kembali lagi ke pohon sarang. Perburuan kalong kapauk dengan menggunakan senapan angin berlangsung lebih singkat (pukul WIB), sedangkan perburuan dengan menggunakan jaring dan rawe berlangsung sejak pukul WIB. Jika lokasi penjaringan cukup jauh, maka pemburu sudah mulai berangkat dari rumah masing-masing pukul WIB. Perburuan kalong kapauk di dalam dan sekitar KHBT dilakukan secara musiman. Perburuan kalong kapauk diluar musim kalong kapauk hanya terjadi di Desa Sipange, Kecamatan Tukka Kabupaten Tapanuli Tengah. Musim kalong

54 39 kapauk bersamaan dengan musim berbunga durian dan musim panen buahbuahan. Puncak musim kalong kapauk terjadi saat musim berbunga durian (secara serentak dan banyak), yang umumnya berlangsung selama 3 minggu. Perburuan kalong kapauk pada musim panen buah-buahan dapat berlangsung 3-4 bulan, namun jumlah tangkapan sedikit. Berdasarkan hasil wawancara, 24,64% responden berpendapat bahwa puncak musim berbunga durian terjadi dari bulan Juli-Agustus (Gambar 12). Gambar 12 Persentase musim berbunga durian berdasarkan hasil wawancara pemburu (n = 69) Frekuensi perburuan Perburuan diluar musim kalong kapauk berlangsung pada waktu-waktu tertentu saja (2-3 kali dalam seminggu), sedangkan perburuan selama musim kalong kapauk berlangsung setiap malam. Bila musim kalong kapauk tiba, pemburu lebih memilih berburu kalong kapauk daripada mengerjakan pekerjaan sehari-hari. Pada perburuan diluar musim kalong kapauk, beberapa hal yang menjadi pertimbangan bagi pemburu kalong kapauk untuk pergi berburu adalah: sedang tidak hujan, tidak terang bulan, dan angin tidak terlalu kencang. Frekuensi perburuan kalong kapauk juga meningkat pada hari-hari libur sekolah, karena tidak jarang orang tua akan mengikut sertakan anaknya yang masih duduk di bangku sekolah untuk berburu Estimasi jumlah tangkapan Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah hasil tangkapan baik pada saat musim maupun tidak musim kalong kapauk adalah: posisi lokasi penjaringan, tidak terang bulan, tidak hujan, angin tidak terlalu kencang, dan kemampuan yang dimiliki pemburu. Hasil tangkapan yang diperoleh pemburu di masing-masing

55 40 daerah dan lokasi perburuan berbeda-beda. Ketika musim kalong kapauk, pada kondisi yang kurang baik dalam satu malam jumlah tangkapan berkisar 2-10 ekor, sedangkan pada kondisi yang baik dapat mencapai 100 ekor per lokasi penjaringan. Kisaran jumlah seluruh tangkapan kalong kapauk di dalam dan di sekitar KHBT (375 lokasi penjaringan musiman) dalam satu malam adalah ekor. Jika musim kalong kapauk berlangsung 3 minggu (21 malam) dalam setahun, maka kisaran jumlah tangkapan kalong kapauk di dalam dan sekitar KHBT dalam setahun adalah ekor. 5.3 Perdagangan kalong kapauk Rantai perdagangan Perburuan kalong kapauk yang dilakukan oleh pemburu bertujuan untuk dijual dalam keadaan hidup (per ekor) dan sebahagian kecil untuk dikonsumsi sendiri (sebagai sumber protein dan dipercaya berkhasiat obat). Berdasarkan hasil wawancara: 48 responden (69,57%) mengkonsumsi sebahagian kecil hasil tangkapan dan menjual yang lainnya kepada pengumpul; 13 responden (18,84%) menjual seluruh hasil tangkapan kepada pengumpul; 5 responden (7,25%) menjual kalong kapauk ke rumah makan dan warung tuak; dan 3 responden (4,35%) mengkonsumsi sendiri hasil tangkapannya. Kalong kapauk yang mati akibat perburuan lebih sering dikonsumsi sendiri atau dijual ke rumah makan dan warung tuak dengan harga rendah. Kalong kapauk yang diperdagangkan di dalam dan sekitar KHBT merupakan hasil tangkapan pemburu yang berasal dari sekitar KHBT itu sendiri (lokal) dan dari Panti, Provinsi Sumatera Barat (luar daerah). Pada saat penelitian berlangsung, kalong kapauk yang diperdagangkan berasal dari Panti. Pemburu kalong kapauk di Panti menjual hasil tangkapannya kepada pengumpul di Panti (Gambar 13 a). Pengumpul tersebut kemudian mengirimkan kalong kapauk dengan menggunakan keranjang (Gambar 13 b) dan dibawa oleh truk pengangkut ikan atau bus angkutan umum. Pengiriman dilakukan pada malam hari sekitar pukul WIB, agar kalong kapauk tidak kepanasan/mati. Penanganan kalong kapauk setelah sampai di tangan pengumpul yang ada di dalam dan sekitar KHBT adalah dengan mengikat mulut dan sayap kalong kapauk, kemudian dikelompokkan berdasarkan ukurannya (Gambar 13 c).

56 41 (a) (b) (c) Gambar 13 Pemburu di Panti menjual hasil tangkapan kepada pengumpul di Panti (a), keranjang pengiriman (b), serta kalong kapauk yang sudah diikat mulut dan sayapnya lalu dikelompokan sesuai ukuran (c). Harga seekor kalong kapauk dari pemburu kepada pengumpul sama, sedangkan harga dari pengumpul dan pedagang kepada pemilik rumah makan/warung tuak dan pembeli disesuaikan dengan ukuran kalong kapauk. Seekor kalong kapauk berukuran besar (0,8-1 kg) diberi harga Rp , sedangkan kalong kapauk berukuran kecil (0,5-0,7 kg) memiliki harga Rp Harga kalong kapauk juga dipengaruhi oleh ketersediaan kalong kapauk pada saat itu. Semakin sedikit jumlah kalong kapauk (langka), maka akan semakin tinggi pula harganya. Rantai perdagangan kalong kapauk di dalam dan sekitar KHBT dapat dilihat pada Gambar 14. Kalong Kapauk Di Alam Pemburu di Panti Rp Pengumpul & Pedagang di Panti Rp Pemburu di KHBT Rp Pengumpul & Pedagang di KHBT Rp Rumah Makan & Warung Tuak Rp Rp Pengkonsumsi Siap Saji Rp Pembeli Rumah Tangga Rp Gambar 14 Rantai perdagangan kalong kapauk di dalam dan sekitar KHBT. Bentuk pemanfaatan kalong kapauk antara lain sebagai lauk makan seharihari, menu makanan ekstrem di rumah makan kalong kapauk siap saji (Gambar 15), serbuk obat (penyakit asma), dan teman minum tuak (tambul). Masyarakat

57 42 dari suku Tionghoa dan suku Batak sangat menyukai daging kalong kapauk, karena rasa daging yang keras, manis, tidak membosankan, dan bagian dalam kalong kapauk (hati, empedu, dan usus) dipercaya dapat menyembuhkan penyakit asma. (a) (b) (c) Gambar 15 Kalong kapauk setelah dibakar (a), masakan daging kalong kapauk (b), dan salah satu rumah makan kalong kapauk siap saji di Desa Tukka (c) Lokasi penjualan Perdagangan kalong kapauk dilakukan dengan 2 cara, yaitu dengan berjualan keliling dan berjualan menetap di suatu lokasi. Perdagangan kalong kapauk dengan cara berjualan keliling dilakukan dengan mendatangi pembeli (menggunakan sepeda motor) di daerah-daerah yang masyarakatnya memiliki minat yang tinggi untuk mengkonsumsi kalong kapauk (Gambar 16). Pedagang keliling ini juga mengantarkan kalong kapauk ke rumah makan dan warung tuak yang menjual kalong kapauk siap saji. Lokasi rumah makan dan warung tuak akan dijelaskan pada sub-bab karakteristik responden pemilik rumah makan dan warung tuak yang menjual kalong kapauk siap saji. Gambar 16 Penjualan kalong kapauk dengan cara berkeliling menggunakan sepeda motor. Perdagangan kalong kapauk dengan berjualan menetap di suatu lokasi dilakukan oleh pemburu kalong kapauk dan oleh pengumpul sekaligus pedagang kalong kapauk. Pemburu yang juga berperan sebagai pedagang kalong kapauk

58 43 (hasil tangkapan sendiri) dan pengumpul ini berjualan di pasar-pasar tradisional, yang berlangsung satu kali dalam seminggu. Berdasarkan hasil wawancara, terdapat 5 pasar tradisional yang biasanya menjadi lokasi perdagangan kalong kapauk (Tabel 1). Tabel 1 Lokasi pasar tradisional yang menjual kalong kapauk, di dalam dan sekitar KHBT No Kabupaten Kecamatan Desa Lokasi 1 Tapanuli Utara Pahae Jae Sarulla Pasar Sarulla 2 Tapanuli Utara Pahae Julu Onan Hasang Pasar Onan Hasang 3 Tapanuli Tengah Sibabangun Simanosor Onan Huta Padang 4 Tapanuli Selatan Batang Toru Batang Toru Pasar Batang Toru 5 Tapanuli Selatan Batang Toru Huta Raja Pasar Huta Raja 5.4 Karakteristik responden pemanfaat kalong kapauk Responden terdiri dari pemburu kalong kapauk, pengumpul dan pedagang, pembeli, pemilik rumah makan dan warung tuak yang menjual kalong kapauk siap saji, dan pengkonsumsi kalong kapauk siap saji. Persentase responden berdasarkan masing-masing kategori dapat dilihat pada Gambar 17, sedangkan karakteristik umum seluruh responden pemanfaat kalong kapauk dapat dilihat pada Tabel 2. Gambar 17 Persentase responden pemanfaat kalong kapauk berdasarkan masingmasing kategori.

59 Tabel 2 Karakteristik umum responden pemanfaat kalong kapauk di dalam dan sekitar KHBT Uraian Pemburu Pengumpul & pedagang* Pembeli Pemilik RM Pengkonsumsi siap saji Total Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % Usia (tahun) ,35 0 0,00 0 0,00 0 0,00 1 2,70 4 2, ,80 0 0,00 0 0,00 0 0,00 0 0,00 4 2, , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,45 0 0, ,00 1 4, , ,64 Jenis Kelamin Pria , , , , , ,71 Wanita 0 0,00 0 0, , , , ,29 Asal Suku Batak Toba 52 75, , , , , ,34 Angkola 6 8,70 0 0, ,00 2 8, , ,92 Nias 11 15,94 0 0,00 0 0,00 1 4,35 2 5, ,92 Tionghoa 0 0,00 0 0,00 0 0,00 0 0, , ,19 Karo 0 0,00 0 0,00 0 0,00 0 0,00 1 2,70 1 0,64 Agama Islam 1 1,45 0 0,00 0 0,00 0 0, ,22 7 4,46 Kristen 68 98, , , , , ,62 Budha 0 0,00 0 0,00 0 0,00 0 0, , ,92 Pendidikan SD 32 46,38 0 0, , , , ,39 SMP 23 33,33 0 0, , , , ,85 SMA 14 20, , , , , ,76

60 Tabel 2 Lanjutan... Uraian Pemburu Pengumpul & pedagang Pembeli Pemilik RM Pengkonsumsi siap saji Total Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % Matapencaharian Utama Buruh upahan 16 23,19 0 0, ,00 0 0,00 0 0, ,10 Kebun keluarga 35 50, , ,00 0 0, , ,22 Pedagang kios/keliling 2 2, , ,00 0 0,00 0 0,00 8 5,10 Pemilik toko 0 0,00 0 0,00 0 0,00 0 0, , ,64 Pegawai swasta 0 0,00 0 0,00 0 0,00 0 0, ,22 6 3,82 PNS 0 0,00 0 0,00 1 5,00 0 0, ,62 9 5,73 Pemburu 8 11,59 0 0,00 0 0,00 0 0,00 0 0,00 8 5,10 Warung makan/minum 0 0,00 0 0,00 0 0, ,00 0 0,00 7 4,46 Warung tuak 5 7,25 0 0,00 0 0, ,00 0 0, ,65 Pelajar 3 4,35 0 0,00 0 0,00 0 0,00 2 5,41 5 3,18 Keterangan : * = 2 orang pengumpul berasal dari Panti; RM = Rumah makan dan warung tuak yang menyediakan kalong kapauk siap saji.

61 Pemburu Usia pemburu sangat dipengaruhi oleh waktu perburuan. Pada hari libur sekolah dapat dijumpai pemburu berusia belasan tahun, sedangkan pada hari-hari biasa pemburu adalah orang dewasa yang terdiri dari umur tahun. Bila dilihat dari latar belakang pendidikannya sebahagian besar pemburu (46,38%) hanya pernah duduk di bangku SD. Pemburu yang berlatar belakang pendidikan setingkat SMA adalah pemburu-pemburu dengan usia lebih muda. Rendahnya pendidikan pemburu juga menjadi penyebab terjadinya perburuan kalong kapauk. Pemburu kalong kapauk yang berhasil diwawancarai sebahagian besar berasal dari Suku Batak Toba (75,36%) dan Suku Nias (15,94%). Hal ini terjadi karena pemburu dari Suku Batak lebih terbuka dan besedia dalam memberi informasi. Bila ditelusuri lebih dalam lagi ternyata jumlah pemburu yang berasal dari kedua suku ini hampir sama besar. Pemburu kalong kapauk yang berada di pinggiran hutan atau kebun umumnya berasal dari Suku Batak, sedangkan pemburu yang berada di dalam hutan atau kebun umumnya dari Suku Nias. Seluruh pemburu adalah pria dan umumnya beragama Kristen. Aktivitas perburuan kalong kapauk di dalam dan sekitar KHBT sudah berlangsung lebih dari 10 tahun. Sebanyak 22 responden (31,88%) berburu kalong kapauk lebih dari 10 tahun, 34 responden (49,28%) berburu 5 9 tahun, 11 responden (15,94%) berburu 1 4 tahun, dan 2 responden (2,90%) berburu kalong kapauk kurang dari 1 tahun. Perburuan kalong kapauk dijadikan pekerjaan tambahan, karena umumnya pemburu memiliki pekerjaan tetap (Tabel 2) Responden mengetahui cara perburuan dari orang tua (66,67%) dan dari teman atau lingkungannya (33,33%). Awalnya pengetahuan tentang cara perburuan kalong kapauk ini menyebar dari satu daerah ke daerah lain, karena pemburu juga melakukan perburuan ke daerah-daerah baru yang belum melakukan perburuan. Berdasarkan hasil wawancara, alasan responden berburu kalong kapauk adalah sebagai matapencaharian tambahan (62,32%), sebagai hiburan (17,39%), menganggap kalong kapauk sebagai hama (13,04%), dan karena adanya pesanan (7,25%). Umumnya pemburu menganggap profesi ini sebagai pekerjaan tambahan, karena meskipun mendapatkan uang yang lebih besar, perburuan hanya dapat dilakukan pada waktu-waktu tertentu saja (musiman). Perburuan kalong

62 47 kapauk karena adanya pesanan terjadi di Desa Sipange, karena di tempat ini perburuan dilakukan tanpa musim. Jumlah efektif pemburu dalam 1 lokasi penjaringan sebanyak 2-3 orang. Berdasakan hasil wawancara, 48 responden (69,57%) menjawab 2-3 orang dalam setiap lokasi; 15 responden (21,74%) menjawab 3 5 orang; dan 6 responden (8,70%) menjawab lebih dari 5 pemburu dalam 1 lokasi penjaringan. Sistem pembagian hasil perburuan dilakukan dengan membagi rata uang hasil penjualan kalong kapauk. Bentuk pembagian hasil antara pemilik jaring: pemburu (1): pemburu (2) adalah 1:1:1. Apabila jaring yang dipergunakan adalah milik pemburu 1, maka perbandingannya menjadi 2:1. Anggota dalam setiap kelompok pemburu adalah teman atau anggota keluarga yang dianggap cocok untuk dijadikan teman dalam berburu kalong kapauk. Sebanyak 21 responden (30,43%) menjawab anggota tim masih merupakan keluarga dekat dan 48 responden lainnya (60,57%) menyatakan anggota tim merupakan teman dekat. Responden yang menjawab orang-orang dalam satu lokasi penjaringan biasanya tetap sebanyak 46 orang (66,67%), sedangkan yang menjawab tidak tetap sebanyak 23 orang (33,33%). Perburuan kalong kapauk yang terjadi belum memperhatikan kelestarian dari kalong kapauk tersebut. Tidak ditemukan adanya upaya-upaya perlindungan kalong kapauk. Hal tersebut juga didukung oleh hasil wawancara dengan pemburu kalong kapauk yang 100% mengatakan bahwa jumlah hasil tangkapan pemburu semakin berkurang. Menurut responden pemburu, berkurangnya hasil tangkapan disebabkan oleh semakin meningkatnya jumlah pemburu di dalam dan sekitar KHBT. Persepsi responden mengenai upaya perlindungan kalong kapauk dapat dilihat pada Gambar 18. Gambar 18 Persentase persepsi pemburu mengenai upaya perlindungan kalong kapauk (n = 69).

63 Pengumpul dan pedagang Pada saat penelitian berlangsung, jumlah pengumpul yang diketahui dan diwawancarai sebanyak 4 orang, sedangkan jumlah pedagang hanya 2 orang. Dari jumlah tersebut 2 orang pengumpul berada di Panti (sebagai pemasok), 2 pengumpul lainnya berada di Desa Gunung Marijo Kecamatan Pinangsori Kabupaten Tapanuli Tengah, sedangkan 2 orang pedagang kalong kapauk adalah orang yang bekerja pada pengumpul tersebut. Pengiriman kalong kapauk lintas provinsi ini dimulai pada tahun Jumlah pengumpul dan pedagang kalong kapauk di dalam dan sekitar KHBT akan bertambah bila musim perburuan kalong kapauk tiba. Seseorang dapat menjadi pengumpul kalong kapauk jika memiliki modal (uang) yang cukup. Besarnya modal awal yang dikeluarkan akan terbayar oleh besarnya keuntungan yang akan diperoleh. Sebelum menjadi pengumpul dan pedagang, 5 responden (83,33%) pernah menjadi pemburu kalong kapauk. Sebanyak 2 responden (33,33%) menjalani profesi ini selama 1 tahun, 2 responden (33,33%) selama 2-4 tahun, dan 2 responden (33,33%) lain selama 5-10 tahun. Pengumpul dan pedagang menganggap profesi ini sebagai pekerjaan tambahan, karena hanya dapat dilakukan pada musim kalong kapauk saja dan masing-masing responden memiliki matapencaharian utama yaitu berkebun (66,67%) dan pedagang kios (33,33%). Pedagang kalong kapauk keliling akan berjualan kalong kapauk jika jumlahnya mencukupi (lebih dari 60 ekor). Apabila jumlah kalong kapauk sedikit, kalong kapauk akan disimpan untuk dijual keesokan harinya. Jumlah kalong kapauk yang diperdagangkan setiap hari berbeda-beda, dengan rata-rata ekor per hari. Pedagang memiliki pelanggan tetap, baik itu pembeli rumah tangga maupun pemilik rumah makan/warung tuak. Menurut pengumpul dan pedagang, jumlah pembeli setiap tahun selalu tinggi karena peminat daging kalong kapauk banyak. Kalong kapauk yang dibawa oleh pedagang selalu habis terjual Pembeli Responden membeli kalong kapauk untuk keperluan konsumsi keluarga. Responden yang berasal dari Kabupaten Tapanuli Tengah (Tabel 3) ini diwawancarai ketika sedang membeli kalong kapauk dari pedagang keliling.

64 49 Berdasarkan hasil wawancara, 1 responden (5%) sudah menjadi pembeli kalong kapauk selama 1-4 tahun, 4 responden (20%) menjadi pembeli 5-10 tahun, 8 responden (40%) menjadi pembeli tahun, 5 responden (25%) menjadi pembeli tahun, dan 2 responden (10%) menjadi pembeli selama tahun. Tabel 3 Asal responden yang menjadi pembeli kalong kapauk di Kabupaten Tapanuli Tengah Asal pembeli (Desa/Dusun) Kecamatan Persen (%) Jumlah (Orang) Pinangsori Pinangsori 5,00 1 Tukka Tukka 10,00 2 Sipange Tukka 20,00 4 Huta Nabolon Tukka 10,00 2 Sigiring-giring Tukka 10,00 2 S Kalangan II /Haramonting Tukka 25,00 5 Bonan dolok Sitahuis 20,00 4 Total 100,00 20 Sebanyak 10 responden (50%) membeli kalong kapauk sebagai teman makan nasi (lauk), 7 responden (35%) membeli kalong kapauk untuk dimakan begitu saja, serta 3 responden (15%) lainnya membeli kalong kapauk karena khasiatnya. Menurut responden, daging kalong kapauk memiliki beberapa keunggulan yang membuatnya berbeda dengan daging hewan lainnya, yaitu: sebagai obat asma dan penambah stamina tubuh (5 responden, 25%); sebagai obat asma dan rasanya tidak membosankan (3 responden, 15%); sebagai obat asma dan tidak menaikkan tensi darah (4 responden, 20%); serta memiliki rasa daging yang enak, keras, dan tidak membosankan (8 responden, 40%). Masing-masing responden membeli kalong kapauk 1-6 kali dalam satu bulan, dengan 1-2 ekor kalong kapauk dalam setiap pembelian. Sebanyak 3 respoden (15%) membeli 1 kali dalam sebulan, 5 responden (25%) 1-2 kali dalam sebulan, 8 responden (40%) 2-4 kali dalam sebulan, dan 4 responden (20%) 5-6 kali dalam sebulan. Responden umumnya membeli kalong kapauk berdasarkan kondisi keuangan masing-masing. Seluruh responden mengaku tidak mampu membeli kalong kapauk siap saji di rumah makan, karena harganya mahal. Menurut 14 responden (70%) harga kalong kapauk yang ditawarkan pedagang

65 50 tidak tergolong mahal, sedangkan 6 responden (30%) lainnya mengatakan harga kalong kapauk tergolong mahal Pemilik rumah makan dan warung tuak yang menjual kalong kapauk siap saji Pada saat penelitian sedang berlangsung, ditemukan 7 rumah makan dan 4 warung tuak yang menjual kalong kapauk siap saji. Menurut hasil survei, jumlah rumah makan dan warung tuak di dalam dan sekitar KHBT yang biasanya menyediakan kalong kapauk siap saji adalah 124 tempat (Tabel 4). Jumlah ini dapat bertambah jika musim perburuan kalong kapauk tiba, karena banyak rumah makan dan warung tuak lain yang juga menyediakan kalong kapauk siap saji pada waktu-waktu tersebut. Pemilik warung tuak sering menggunakan daging kalong kapauk sebagai menu pemancing agar pembeli minum tuak di warungnya. Rumah makan kalong kapauk siap saji paling populer berada di Desa Tukka dan Huta Nabolon. Di lokasi tersebut, ada 3 rumah makan kalong kapauk siap saji yang keberadaannya sudah terkenal sampai ke luar daerah. Tabel 4 Lokasi dan jumlah rumah makan/warung tuak yang menjual kalong kapauk siap saji di dalam dan sekitar KHBT, berdasarkan hasil survei Kabupaten/Kota Kecamatan/kota Desa Persen (%) Jumlah Tapanuli Utara Adian Koting Banuaji II 0,81 1 Pahae Jae Pasar Sarulla 0,81 1 Tapanuli Tengah Pinangsori Gunung Marijo 3,23 4 Badiri Huta Balang 1,61 2 Pandan Kalangan 0,81 1 Aek Horsik 0,81 1 Sarudik Sibuluan Nalambok 3,23 4 Tukka Sipange 0,81 1 Huta Nabolon 2,42 3 Bona Lumban 0,81 1 Tukka 2,42 3 Tapanuli Selatan Batang Toru Batang Toru (pasar) 0,81 1 Tano Tombangan Aek Hahombu 72,58 90 a) Padang Sidempuan PSP Manegen 0,81 1 (PSP) PSP Selatan Aek Horsik 7,26 9 a) Sidakkal/Gg Gosen 0,81 1 Total 100, Keterangan : a) = Berdasarkan hasil wawancara Dari seluruh rumah makan dan warung tuak yang ada, pemilik rumah makan dan warung tuak yang diwawancarai sebanyak 25 orang. Berdasarkan hasil wawancara, 1 responden (4%) sudah berjualan sekitar 40 tahun, 3 responden

66 51 (12%) berjualan tahun, 5 responden (20%) berjualan tahun, 7 responden (28%) berjualan 5-9 tahun, 5 responden (20%) berjualan 1-4 tahun, dan 4 responden (16%) baru memulai usaha kurang dari 1 tahun. Jika pasokan kalong kapauk lancar, sebanyak 3 responden (12%) berjualan 2 hari dalam seminggu, 9 responden (36%) berjualan 3-5 hari dalam seminggu, dan 13 responden (52%) berjualan 6-7 hari dalam seminggu. Waktu penjualan ini sewaktu-waktu dapat berubah, tergantung minat pengkonsumsi di rumah makan atau warung tuak tersebut. Masing-masing rumah makan dan warung tuak dapat menghabiskan 2-10 ekor kalong kapauk dalam sehari. Jumlah kalong kapauk untuk diolah di warung tuak lebih sedikit dibandingkan dengan di rumah makan. Sebanyak 13 responden (52%) memerlukan 2-4 ekor kalong kapauk per hari, 9 responden (36%) memerlukan 5-7 ekor per hari, dan 3 responden (12%) memerlukan 8-10 ekor per hari. Jumlah kalong kapauk yang diolah pada hari Sabtu dan Minggu lebih banyak dari hari lainnya, karena pada waktu seperti ini pembeli lebih ramai. Kalong kapauk diperoleh dari pemburu dan pedagang kalong kapauk. Sebanyak 5 responden (20%) membeli kalong kapauk langsung kepada pemburu, 8 responden (32%) membeli dari pedagang, 1 responden (4%) memperoleh kalong kapauk dari hasil tangkapan sendiri, dan 11 responden (44%) membeli kalong kapauk dari pemburu atau pedagang (dengan pertimbangan harga beli yang termurah). Masing-masing pemilik warung tuak dan rumah makan sudah memiliki pemasok kalong kapauk yang tetap, baik itu langsung kepada pemburu kalong kapauk maupun dengan berlangganan kepada pedagang kalong kapauk. Kalong kapauk siap saji disajikan dalam bentuk potongan daging dan cincang (per piring). Sebanyak 17 responden (68%) menyajikan dalam bentuk potongan daging, sedangkan 8 responden (32%) lainnya menyajikan dalam bentuk cincang. Seekor kalong kapauk berukuran besar (0,8-1 kg) dibagi menjadi 6-8 potong atau 4-5 piring daging cincang, sedangkan yang berukuran lebih kecil (kurang dari 0,8 kg) hanya dapat menghasilkan 4-6 potong atau 3 piring cincang saja. Harga daging kalong kapauk siap saji di masing-masing daerah bervariasi, yaitu mulai dari Rp per potong atau Rp per piring (cincang). Harga ini dipengaruhi oleh perekonomian pengkonsumsi di daerah

67 52 tersebut. Harga kalong kapauk siap saji di Kecamatan Tukka lebih tinggi (Rp per potong), karena pengkonsumsinya berasal dari perekonomian menengah ke atas (dari Kota Sibolga) Pengkonsumsi kalong kapauk siap saji Responden adalah pengkonsumsi kalong kapauk siap saji di 6 rumah makan dan 2 warung tuak. Responden berjumlah 37 orang dan masing-masing diwawancarai ketika sedang mengkonsumsi kalong kapauk siap saji. Sebanyak 2 responden (5,41%) mengkonsumsi kalong kapauk kurang dari 1 tahun, 10 responden (27,03%) mengkonsumsi 1-4 tahun, 13 responden (35,24%) mengkonsumsi 5-9 tahun, 8 responden (21,62%) mengkonsumsi tahun, 3 responden (8,11%) mengkonsumsi tahun, dan 1 responden (2,7%) sudah mengkonsumsi kalong kapauk lebih dari 40 tahun. Responden yang mengkonsumsi kalong kapauk siap saji untuk obat dari penyakit yang dideritanya sebanyak 11 responden (29,73%), sedangkan 26 responden (70,27%) lainnya mengkonsumsi kalong kapauk karena merasa senang atau sudah ketagihan. Persepsi masing-masing responden terhadap keunggulan dari daging kalong kapauk adalah: sebagai obat asma, dapat menyembuhkan badan yang pegal-pegal, dan penambah stamina tubuh (15 responden, 40,54%); obat asma dan tidak menimbulkan rasa bosan (5 responden, 13,51%); sebagai obat asma dan tidak menaikkan tensi darah (7 responden, 18,92%); rasa yang enak, daging keras, dan tidak membosankan (10 responden, 27,03%). Sebanyak 16 responden (43,24%) mengkonsumsi kalong kapauk siap saji 1 kali dalam seminggu, 10 responden (27,03%) mengkonsumsi sebanyak 1-2 kali dalam seminggu, 5 responden (13,51%) mengkonsumsi dalam waktu 2 minggu sekali, 4 responden (10,81%) mengkonsumsi 2-3 kali dalam seminggu, dan 2 responden (5,41%) mengkonsumsi kalong kapauk 1 kali sebulan. Masing-masing responden biasanya datang seorang diri (5,41%), bersama keluarga (13,51%), bersama teman satu pekerjaan (37,84%), atau bersama teman sepermainan (43,24%). Responden sebahagian besar berasal dari kota dan memiliki perekonomian yang cukup baik. Sebanyak 25 responden (67,57%) mengatakan harga kalong kapauk siap saji tidak tergolong mahal (karena termasuk langka dan tidak selalu dapat

68 53 dikonsumsi jika sewaktu-waktu menginginkannya), sedangkan menurut 12 responden (32,43%) lainnya harga tersebut tergolong mahal. Jumlah biaya yang dikeluarkan masing-masing responden setiap kali mengkonsumsi daging kalong kapauk tergolong tinggi. Sebanyak 11 responden (29,73%) mengeluarkan biaya sebesar Rp , 8 responden (21,62%) mengeluarkan biaya paling sedikit Rp , 7 responden (18,92%) mengeluarkan biaya Rp , 6 responden (16,22%) mengeluarkan biaya Rp , dan 5 responden (13,51%) mengeluarkan biaya Rp Perburuan lalai kembang dan kusing dayak Alat dan cara perburuan Alat yang digunakan pemburu lalai kembang dan kusing dayak adalah jaring dan dua batang bambu (5-6 m). Selain buat sendiri, jaring juga dapat dibeli dengan harga Rp Jaring diikatkan pada dua buah batang bambu yang pangkalnya disatukan/diikat, sehingga bila kedua batang bambu ditegakkan akan berbentuk huruf V (Gambar 19). Jaring dan bambu tidak diikat secara permanen, sehingga jaring dapat dilepas bila telah selesai berburu. Cara perburuannya adalah dengan mengayunkan batang bambu kearah datangnya lalai kembang dan kusing dayak. Kedua batang bambu kemudian disatukan, sehingga lalai kembang dan kusing dayak tidak dapat melepaskan diri. Lalai kembang dan kusing dayak diambil dengan menekan bagian kepalanya sampai mati. Gambar 19 Alat perburuan lalai kembang dan kusing dayak. Karena mulut gua tinggi dan lebar, maka perburuan dilakukan di atas patca (Gambar 20). Patca membuat posisi pemburu menjadi lebih tinggi dan lebih mudah untuk menjangkau lalai kembang dan kusing dayak. Patca dibuat dengan memanfaatkan pepohonan di sekitar mulut gua, tetapi juga dapat dibuat dengan menggunakan tiang-tiang kayu yang disusun sedemikian rupa. Bila menggunakan

69 54 pepohonan, pohon yang dijadikan patca adalah yang kokoh, tinggi, dan berada di sekitar jalur keluar masuknya lalai kembang dan kusing dayak. Perburuan dapat dilakukan dengan posisi duduk atau berdiri di patca. (a) (b) Gambar 20 Tempat perburuan lalai kembang dan kusing dayak (patca) dengan memanfaatkan pohon hidup (a) dan menggunakan tiang kayu (b) Daerah dan lokasi perburuan Perburuan lalai kembang dan kusing dayak terjadi di salah satu gua yang ada di dalam KHBT blok barat. Posisi koordinat gua berada di 1 o o Lintang Utara dan 99 o o 26 Bujur Timur. Secara administratif gua tersebut termasuk dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Utara. Oleh masyarakat setempat gua ini dikenal dengan nama Gua Liang (Gambar 21 a). Di sekitar Gua Liang terdapat sebuah gua lainnya yang disebut-sebut sebagai Gua Anak Liang (Gambar 21 b). Dalam bahasa lokal (Batak Toba), liang sama artinya dengan gua. (a) (b) Gambar 21 Gua Liang (a) dan Gua Anak Liang (b) di dalam KHBT blok Barat, Kabupaten Tapanuli Utara. Perburuan dilakukan di beberapa lokasi di sekitar mulut gua. Ada 14 lokasi yang sering dijadikan tempat beburu lalai kembang dan kusing dayak, yaitu 8 lokasi berada di depan mulut gua dan 6 lokasi berada di atas mulut gua. Perburuan awalnya terjadi di Gua Anak Liang, karena lalai kembang dan kusing dayak

70 55 paling banyak ditemukan di gua tersebut. Seiring berjalannya waktu, lalai kembang dan kusing dayak di Gua Anak Liang mulai habis dan perburuan berpindah ke Gua Liang. Menurut pemburu, lalai kembang dan kusing dayak di Gua Anak Liang habis karena diburu dan sebahagian berpindah ke Gua Liang. Gua Liang berada jauh dari tempat tinggal pemburu dan hanya dapat ditempuh dengan berjalan kaki. Jarak Gua Liang dari Dusun Haramonting sejauh 12,39 km dan memerlukan waktu sekitar 6 jam, dari Dusun Badiri Pardomuan sekitar 5 jam, dari Tapian Nauli sekitar 7 jam, dan dari Lubuk Pariasan sekitar 8 jam bila berjalan kaki dengan cepat. Kondisi ini mengakibatkan pemburu harus menyediakan waktu paling sedikit 2 hari 1 malam, agar dapat berburu lalai kembang dan kusing dayak di Gua Liang Waktu perburuan Perburuan lalai kembang dan kusing dayak dilakukan tanpa mengenal musim. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, perburuan berlangsung 2 kali dalam 1 malam. Perburuan pertama berlangsung pada saat lalai kembang dan kusing dayak keluar dari mulut gua untuk mencari makan, yaitu dari pukul WIB. Perburuan pada waktu seperti ini dilakukan di depan mulut gua, baik di sisi kiri maupun sisi kanan gua. Perburuan kedua berlangsung ketika lalai kembang dan kusing dayak kembali ke dalam gua (pukul WIB) dan perburuan dilakukan di atas mulut gua. Berdasarkan hasil wawancara kepada 6 responden pemburu lalai kembang dan kusing dayak, 3 responden (50%) melakukan perburuan hanya dalam 1 malam, 2 responden (33,33%) 1-2 malam, dan 1 responden (16,67%) melakukan perburuan dalam 2 malam. Menurut responden, lamanya waktu perburuan dipengaruhi oleh jumlah hasil tangkapan dan ketersediaan waktu yang dimiliki pemburu tersebut. Berdasarkan hasil pemasangan camera trap selama 12 bulan, lamanya waktu perburuan lalai kembang dan kusing dayak di Gua Liang dapat dilihat pada Tabel 5.

71 56 Tabel 5 Lamanya waktu perburuan lalai kembang dan kusing dayak di Gua Liang dalam 12 bulan, berdasarkan camera trap Lama Perburuan (malam) Haramonting & H. Raja (kelompok) Tapian Nauli (kelompok) Lubuk Pariasan (kelompok) Badiri Pardomuan (kelompok) Jumlah (kelompok) Persen (%) , , , Frekuensi perburuan Menurut hasil wawancara, perburuan lalai kembang dan kusing dayak sering dilakukan saat terang bulan. Meskipun demikian perburuan tidak berlangsung setiap terang bulan, karena lokasi perburuan jauh dari permukiman pemburu. Faktor lain yang mempengaruhi terjadinya perburuan lalai kembang dan kusing dayak adalah: (1) terlalu sering hujan, sehingga tidak bisa menyadap getah karet; (2) harga jual getah karet rendah; dan (3) hari libur. Berdasarkan hasil camera trap yang terpasang selama 12 bulan, setiap pemburu dari masing-masing desa/dusun melakukan perburuan sebanyak 1-21 kali (Gambar 22). Pemburu yang berburu hanya 1 kali diduga ikut-ikutan atau hanya ingin berpetualang saja. Gambar 22 Jumlah perburuan yang dilakukan setiap pemburu dari masingmasing desa/dusun dalam 12 bulan, berdasarkan camera trap. Berdasarkan hasil camera trap, 50 orang pemburu melakukan perburuan lalai kembang dan kusing dayak sebanyak 110 kali dalam 53 malam, baik itu berkelompok maupun individu (Gambar 23). Data frekuensi perburuan pada bulan Desember Juni 2009 diperoleh dari data yang dikumpulkan oleh YEL, sedangkan data pada bulan Desember 2009 sampai awal Mei 2010 diambil selama penelitian berlangsung.

72 Gambar 23 Frekuensi perburuan lalai kembang dan kusing dayak di Gua Liang dalam 12 bulan, berdasarkan camera trap. Keterangan : Pada bulan Januari 2009 tidak terjadi perburuan. Pada bulan Juli - November 2009 tidak tersedia data karena tidak dilakukan pemasangangan camera trap. Pemasangan camera trap pada bulan Desember 2009 dimulai dari tanggal 24. Pemasangan camera trap pada bulan Mei 2010 sampai tanggal 4.

73 Sex ratio hasil buruan Penghitungan jantan dan betina pada lalai kembang dan kusing dayak hasil buruan hanya dilakukan pada satu kali kejadian saja (Gambar 24). Hal ini terjadi karena jadwal perburuan yang sulit diketahui dan pemburu juga merasa kurang nyaman (tidak suka) jika aktivitas perburuan mereka terlalu diperhatikan. Gambar 24 Sex ratio lalai kembang dan kusing dayak hasil buruan (n = 1) Estimasi jumlah tangkapan Hasil tangkapan pemburu akan lebih banyak jika pemburu memiliki kemampuan/pengalaman yang cukup, perburuan dilakukan saat terang bulan, dan sedang tidak hujan. Menurut responden (pemburu), jumlah hasil tangkapan pemburu yang sering berburu lalai kembang dan kusing dayak lebih banyak dibanding dengan pemburu yang hanya sesekali berburu lalai kembang dan kusing dayak. Oleh karena itu, pemburu yang melakukan 1 kali perburuan diperkirakan mendapat 60 ekor, pemburu yang melakukan 2-3 kali perburuan diperkirakan mendapat 120 ekor, pemburu yang melakukan 4-5 kali perburuan diperkirakan mendapat 200 ekor, dan pemburu yang melakukan perburuan lebih dari 5 kali diperkirakan mendapat 250 ekor dalam 1 malam. Jumlah tangkapan pemburu lalai kembang dan kusing dayak selama dilakukan pemasangan camera trap (12 bulan) diperkirakan sekitar ekor (Lampiran 10). 5.6 Perdagangan lalai kembang dan kusing dayak Perburuan lalai kembang dan kusing dayak di Gua Liang betujuan untuk dijual dan sebahagian kecil dikonsumsi sendiri. Perdagangannya bersifat lokal, karena hasil buruan hanya dijual kepada penduduk desa/dusun yang berada di sekitar tempat tinggal pemburu tersebut. Sebelum dipasarkan lalai kembang dan

74 59 kusing dayak terlebih dahulu dibuang sayapnya, ditusuk dengan kayu, dibakar sampai bagian bulu hilang, dan direbus (Gambar 25). Apabila perburuan berlangsung lebih dari 1 malam, maka lalai kembang dan kusing dayak diawetkan dengan cara pengasapan. (a) (b) (c) (d) (e) (f) Gambar 25 Penanganan lalai kembang dan kusing dayak sebelum dipasarkan: membuang sayap (a), ditusuk dengan kayu (b), dibakar (c), hasil setelah dibakar (d), perebusan (e), dan pengasapan (f). Harga seekor lalai kembang dan kusing dayak dari pemburu kepada pembeli sebesar Rp Pemburu dapat membeli dengan harga lebih murah bila membeli dalam jumlah yang banyak, seperti dengan membayar Rp pembeli mendapat 25 ekor lalai kembang dan kusing dayak. Pembeli dapat membeli lalai kembang dan kusing dayak langsung ke rumah pemburu, atau dengan memesan kepada pemburu kemudian pemburu yang akan menghantarkan. 5.7 Karakteristik pemanfaat lalai kembang dan kusing dayak Responden terdiri dari pemburu (6 orang) dan pembeli (25 orang) lalai kembang dan kusing dayak. Pemburu dan pembeli yang berhasil diwawancarai dikelompokkan menjadi 4 kelompok dusun, yaitu: Haramonting dan Huta Raja, Tapian Nauli, Lubuk Pariasan, dan Badiri Pardomuan. Dusun Haramonting, Huta Raja, dan Badiri pardomuan termasuk dalam Desa S Kalangan II Kecamatan Tukka, sedangkan Dusun Tapian Nauli dan Lubuk Pariasan termasuk dalam Desa Tapian Saur Manggita Kecamatan Tukka. Masyarakat dari Dusun Haramonting, Huta Raja, dan Tapian Nauli didominasi oleh suku Batak, sedangkan masyarakat dari desa Lubuk Pariasan dan Badiri Pardomuan didominasi oleh suku Nias.

75 60 Karakteristik umum responden pemanfaat lalai kembang dan kusing dayak dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Karakteristik umum responden pemanfaat lalai kembang dan kusing dayak di Kecamatan Tukka Uraian Haramonting & Huta Raja Tapian Nauli Lubuk Pariasan Badri Pardomuan Pemburu Pembeli Pembeli Pembeli Pembeli (orang) (orang) (orang) (orang) (orang) Umur (tahun) Pendidikan SD SMP SMA Asal suku Batak Toba Batak Angkola Nias Agama Islam Kristen Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Matapencaharian Petani karet Pemilik warung kopi Pegawai swasta Jumlah responden % 19,35 48,39 16,13 9,68 6, Pemburu Kelompok masyarakat yang pertama melakukan perburuan lalai kembang dan kusing dayak adalah masyarakat dari dusun Haramonting dan Huta Raja. Menurut salah satu responden, pada tahun 1922 mereka sudah melakukan perburuan lalai kembang dan kusing dayak di Gua Liang. Seiring berjalannya waktu masyarakat dari Dusun Tapian Nauli, Lubuk Pariasan, dan Badiri Pardomuan juga melakukan perburuan lalai kembang dan kusing dayak. Berdasarkan identifikasi wajah pada foto hasil camera trap, pemburu lalai kembang dan kusing dayak berusia sekitar tahun. Kelas umur pemburu bervariasi dan didominasi oleh kelas umur tahun (13 orang; 26%),

76 61 sedangkan menurut data responden, pemburu berusia tahun. Kelas umur pemburu lalai kembang dan kusing dayak berdasarkan hasil camera trap, disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Kelas umur pemburu lalai kembang dan kusing dayak di Gua Liang dalam 12 bulan, berdasarkan hasil camera trap Usia (tahun) Haramonting & Ht Raja (orang) Tapian Nauli (orang) Lubuk Pariasan (orang) Badiri Pardomuan (orang) Jumlah (orang) Persen (%) , , , , , ,00 Total ,00 Jumlah kelompok pemburu yang berburu di Gua Liang berdasarkan hasil camera trap selama 12 bulan adalah 45 kelompok. Kelompok pemburu berkisar 1-6 orang, tetapi yang paling sering dijumpai adalah 2 orang pemburu dalam satu kelompok, yaitu sebanyak 13 kali (Tabel 8). Bentuk pembagian hasil perburuan adalah dengan membagi rata uang hasil penjualan lalai kembang dan kusing dayak. Tabel 8 Jumlah pemburu lalai kembang dan kusing dayak per kelompok dalam 12 bulan, berdasarkan hasil camera trap Pemburu (orang per Haramonting & Ht Raja Tapian Nauli Lubuk Pariasan Badiri Pardomuan Jumlah (kali) Persen (%) kelompok) (kali) (kali) (kali) (kali) , , , , , ,22 Berdasarkan hasil wawancara, 1 responden (16,67%) berburu lalai kembang dan kusing dayak untuk matapencaharian sampingan, 2 responden (33,33%) untuk hiburan/petualangan, dan 3 responden lainnya (50%) berburu lalai kembang dan kusing dayak untuk matapencaharian sampingan sekaligus sebagai hiburan. Bagi masyarakat Haramonting dan Huta Raja khususnya kaum muda, pergi ke Gua Liang untuk berburu lalai kembang dan kusing dayak merupakan suatu hal yang sangat menarik dan membanggakan.

77 62 Kegiatan lain yang biasa dilakukan pemburu di sekitar lokasi perburuan adalah memasak makanan, makan, beristirahat, dan memancing ikan. Apabila perburuan lalai kembang dan kusing dayak berlangsung lebih dari 1 malam, aktivitas pemburu pada siang sampai sore harinya adalah memancing ikan. Dalam perjalanan pergi maupun pulang, pemburu juga sering kali melakukan aktivitas memancing ikan di sungai-sungai kecil yang ada di hutan. Ikan hasil pancingan juga dapat dijual, sebagai tambahan pendapatan dari berburu lalai kembang dan kusing dayak Pembeli Pembeli berasal dari daerah yang sama dengan pemburu. Lalai kembang dan kusing dayak diminati oleh segala usia, tetapi kurang diminati oleh yang beragama Islam. Pembeli sudah biasa mengkonsumsi lalai kembang dan kusing dayak untuk dimakan dagingnya (tradisi). Menurut responden, daging lalai kembang dan kusing dayak cukup diminati, karena memiliki beberapa keunggulan yang membuatnya berbeda dengan daging jenis hewan lainnya, yaitu: sebagai obat sesak napas (5 responden, 20%); sebagai obat sesak napas dan rasanya tidak membosankan (6 responden, 24%); dan memiliki rasa yang enak dan harganya murah (14 responden, 56%). 5.8 Kondisi habitat Kondisi habitat sangat mempengaruhi kelangsungan hidup satwaliar. Menurut Indra & Fredriksson (2007), kerusakan KHBT dalam kurun waktu 6 tahun ( ) adalah sekitar ha. Kerusakan hutan terjadi di blok Barat, terutama di Kabupaten Tapanuli Tengah dan Tapanuli Selatan (Indra & Fredriksson 2007). Pada saat pengambilan data di lapangan, penulis tidak menemukan tempat tinggal, tempat persinggahan, maupun bekas tempat tinggal kalong kapauk. Menurut informasi yang diperoleh dari pemburu, bila musim kalong kapauk tiba, kalong kapauk berasal dari dalam KHBT yang letaknya jauh dari permukiman penduduk. Perburuan kalong kapauk di dalam dan sekitar KHBT tidak pernah dilakukan di sekitar tempat tinggal kalong kapauk. Dalam pengambilan data di lapangan, penulis tidak mensurvei seluruh gua yang ada di dalam KHBT. Penulis hanya mengunjungi Gua Liang, yang menjadi

78 63 habitat sekaligus sebagai lokasi perburuan lalai kembang dan kusing dayak. Di sekitar mulut Gua Liang banyak ditemukan sampah-sampah bungkus makanan, botol bekas air mineral, botol minuman beralkohol, bungkus rokok, pakaian pemburu, garam dapur, peralatan makan, dan sisa-sisa pembakaran. Selain itu juga dapat dilihat sebuah batu gilingan dan tanaman asam dengan tinggi sekitar 6 meter (Gambar 26). Mulut Gua Liang yang memiliki lebar 26,42 meter dan tinggi sekitar 16 meter ini menghadap ke arah Barat. (a) (b) (c) Gambar 26 Sampah yang ditinggalkan pemburu (a), tempat masak (b), dan batu gilingan (c). 5.9 Kebun durian Jumlah pohon durian yang dimiliki masing-masing responden adalah: 1-5 batang (26 responden; 44,07%), 5-10 batang (23 responden; 38,98%), dan batang (10 responden; 16,95%). Sebanyak 18 responden (30,51%) sudah mengalami masa panen durian selama 1-5 tahun, 21 responden (35,59%) mengalami masa panen 5-10 tahun, 12 responden (20,34%) mengalami masa panen tahun, dan 8 responden (13,56%) mengalami masa panen tahun. Berdasarkan hasil wawancara dengan petani durian, musim berbunga durian di dalam dan di sekitar KHBT dapat dilihat pada Gambar 27. Gambar 27 Persentase musim berbunga durian berdasarkan hasil wawancara petani durian (n = 59) %

79 64 Durian merupakan salah satu jenis tanaman buah musiman yang memiliki nilai komesial tinggi, dan banyak dibudidayakan oleh masyarakat di dalam dan sekitar KHBT. Durian ditanam di antara tanaman karet, di area perkebunan karet milik masyarakat. Luas panen, produksi, dan rata-rata produksi durian di 3 kabupaten yang berada di dalam dan sekitar KHBT pada tahun , berdasarkan data BPS (2009) dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Luas tanaman, produksi, dan rata-rata produksi durian di Kabupaten Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Selatan, tahun Kabupaten Tahun Luas Tanaman (Ha) Produksi (Ton) Rata-rata Produksi (Kw/Ha) Tapanuli Utara , ,72 94, , ,84 94, , ,37 94,45 Tapanuli Tengah , Tapanuli Selatan , , Keterangan: - = tidak tersedia data. Berdasarkan Tabel 9, luas tanaman dan produksi durian di Kabupaten Tapanuli Utara terus meningkat, sedangkan di Kabupaten Tapanuli Selatan mengalami penurunan. Berdasarkan hasil wawancara kepada petani durian di 3 kabupaten tersebut, 31 responden (52,54%), mengatakan produksi durian selalu sama setiap tahunnya dan 28 responden (47,46%) mengatakan produksi durian semakin berkurang. Bila dibandingkan dengan produksi durian pada 10 tahun yang lalu, maka 44 responden (74,58%) mengatakan produksi durian jauh sekali berkurang jumlahnya, 14 responden (23,73%) mengatakan tetap, dan hanya 1 responden (1,69%) yang mengatakan produksi durian bertambah. Berdasarkan hasil wawancara, berkurangnya produksi durian disebabkan oleh beberapa faktor (Gambar 28). Menurut pengetahuan sebahagian besar responden (38,98%), penurunan produksi durian disebabkan oleh bencana alam (gempa bumi) yang akhir-akhir ini sering terjadi, sehingga mengakibatkan bunga durian terjatuh. Selain itu, menurut responden penurunan produksi durian juga

80 65 disebabkan oleh semakin langkanya kalong kapauk yang membantu proses penyerbukan durian. Gambar 28 Penyebab berkurangnya produksi durian berdasarkan wawancara petani durian (n=59) Pembahasan umum Kalong kapauk Meskipun memerlukan biaya awal yang besar (Rp ) untuk membeli jaring (jala), pemburu lebih memilih menggunakan alat ini karena hasil tangkapan lebih banyak dan kalong kapauk didapat dalam keadaan hidup. Selain itu jaring juga dapat bertahan dalam waktu yang lama (lebih dari 10 tahun), sehingga dapat dipergunakan secara turun temurun. Perburuan kalong kapauk dengan menggunakan jaring sudah umum terjadi dan juga dapat dijumpai di Sulawesi, Malaysia (Serawak), Thailand, dan Vietnam (Mickleburgh et al. 2009). Hasil penelitian Mickleburgh et al. (2009) menyatakan, selain menggunakan jaring, perburuan kalong kapauk juga dilakukan dengan menggunakan layangan yang diberi mata kail pancing pada tali/benangnya, ketapel, panah, tongkat pemukul, tiang bambu yang diikatkan pengait pada bagian ujung, dan perekat yang ditempelkan di cabang pohon. Perburuan kalong kapauk dengan menggunakan jaring dilakukan di sekitar tumbuhan pakan dan di punggung bukit, yaitu dengan memasang jaring di loronglorong yang sengaja dibuat (dengan menumbang sejumlah pohon) untuk dilalui kalong kapauk. Perburuan di sekitar tumbuhan pakan dilakukan karena di tempat tersebut banyak dijumpai kalong kapauk yang posisi terbangnya lebih rendah, sedangkan perburuan di punggung bukit dilakukan dengan tujuan menjerat kalong kapauk yang melintas di bukit tersebut. Menurut pengalaman peburu, untuk

I. PENDAHULUAN. adanya berbagai nama. Di Indonesia bagian timur kelelawar disebut dengan

I. PENDAHULUAN. adanya berbagai nama. Di Indonesia bagian timur kelelawar disebut dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kelelawar sudah dikenal masyarakat Indonesia secara luas, terbukti dari adanya berbagai nama. Di Indonesia bagian timur kelelawar disebut dengan paniki, niki, atau

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman hutan raya merupakan kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kawasan hutan hujan tropis dengan tingkat keanekaragaman yang tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan kawasan pelestarian alam

Lebih terperinci

Gambar 29. Cynopterus brachyotis sunda Lineage

Gambar 29. Cynopterus brachyotis sunda Lineage 69 Nama Spesies : Cynopterus brachyotis sunda lineage Nama Lokal : Codot Nama Inggris : Lesser Short-nosed Fruit Bat Deskripsi : Panjang lengan = 55-65 mm, Panjang ekor =8-10 mm, panjang telinga= 14-16

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Catecholamine mesolimbic pathway (CMP) merupakan jalur dopamin

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Catecholamine mesolimbic pathway (CMP) merupakan jalur dopamin I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Catecholamine mesolimbic pathway (CMP) merupakan jalur dopamin pada otak yang berasal dari badan sel di daerah mesensefalon (ventral tegmental area) dengan akson menuju

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di

I. PENDAHULUAN. berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang sangat tinggi dalam berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di seluruh wilayah yang

Lebih terperinci

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun II.TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun demikian burung adalah satwa yang dapat ditemui dimana saja sehingga keberadaanya sangat sulit dipisahkan

Lebih terperinci

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka Burung Jalak Bali Burung Jalak Bali Curik Bali atau yang lebih dikenal dengan nama Jalak Bali, merupakan salah satu spesies burung cantik endemis Indonesia. Burung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang

I. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang dilindungi melalui Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati

Lebih terperinci

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3 SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3 1. Tempat perlindungan Orang utan yang dilindungi oleh pemerintah banyak terdapat didaerah Tanjung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara Yugoslavia dengan Italia Utara, dekat kota Trieste. Karst merupakan. saluran bawah permukaan (Setiawan et al., 2008).

BAB I PENDAHULUAN. antara Yugoslavia dengan Italia Utara, dekat kota Trieste. Karst merupakan. saluran bawah permukaan (Setiawan et al., 2008). 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Istilah karst sebenarnya diadopsi dari bahasa Yugoslavia. Istilah aslinya adalah krst / krast yang merupakan nama suatu kawasan di perbatasan antara Yugoslavia dengan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Tekukur Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang terbentang dari India dan Sri Lanka di Asia Selatan Tropika hingga ke China Selatan dan Asia

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Orangutan Orangutan termasuk kera besar dari ordo Primata dan famili Pongidae (Groves, 2001). Ada dua jenis orangutan yang masih hidup, yaitu jenis dari Sumatera

Lebih terperinci

2015 LUWAK. Direktorat Pengembangan Usaha dan Investasi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian

2015 LUWAK. Direktorat Pengembangan Usaha dan Investasi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian 2015 LUWAK Direktorat Pengembangan Usaha dan Investasi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian LUWAK A. Biologi Luwak Luwak merupakan nama lokal dari jenis musang

Lebih terperinci

Burung Kakaktua. Kakatua

Burung Kakaktua. Kakatua Burung Kakaktua Kakatua Kakak tua putih Klasifikasi ilmiah Kerajaan: Animalia Filum: Chordata Kelas: Aves Ordo: Psittaciformes Famili: Cacatuidae G.R. Gray, 1840 Subfamily Microglossinae Calyptorhynchinae

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Burung Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem maupun bagi kepentingan kehidupan manusia dan membantu penyebaran Tumbuhan yang ada disuatu kawasan

Lebih terperinci

51 INDIVIDU BADAK JAWA DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON

51 INDIVIDU BADAK JAWA DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON 51 INDIVIDU BADAK JAWA DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON Badak jawa (Rhinoceros sondaicus Desmarest, 1822) merupakan spesies paling langka diantara lima spesies badak yang ada di dunia sehingga dikategorikan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Burung jalak bali oleh masyarakat Bali disebut dinamakan dengan curik putih atau curik bali, sedangkan dalam istilah asing disebut dengan white starling, white mynah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Burung merupakan salah satu jenis hewan yang banyak disukai oleh manusia, hal ini di karenakan burung memiliki beberapa nilai penting, seperti nilai estetika, ekologi

Lebih terperinci

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU EDY HENDRAS WAHYONO Penerbitan ini didukung oleh : 2 BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU Ceritera oleh Edy Hendras Wahyono Illustrasi Indra Foto-foto Dokumen

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Orangutan Orangutan merupakan hewan vertebrata dari kelompok kera besar yang termasuk ke dalam Kelas Mamalia, Ordo Primata, Famili Homonidae dan Genus Pongo, dengan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. dengan burung layang-layang. Selain itu, ciri yang paling khas dari jenis burung

I PENDAHULUAN. dengan burung layang-layang. Selain itu, ciri yang paling khas dari jenis burung 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Burung Walet memiliki beberapa ciri khas yang tidak dimiliki oleh burung lain. Ciri khas tersebut diantaranya melakukan hampir segala aktivitasnya di udara seperti makan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Satwa liar mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia, baik untuk kepentingan keseimbangan ekosistem, ekonomi, maupun sosial budaya (Alikodra, 2002).

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Syzygium merupakan marga dari suku Myrtaceae (jambu-jambuan) yang memiliki jumlah spesies yang sangat banyak. Tercatat kurang lebih 1200 spesies Syzygium yang tumbuh

Lebih terperinci

PELESTARIAN BAB. Tujuan Pembelajaran:

PELESTARIAN BAB. Tujuan Pembelajaran: BAB 4 PELESTARIAN MAKHLUK HIDUP Tujuan Pembelajaran: Setelah mempelajari bab ini, kalian diharapkan dapat: 1. Mengetahui berbagai jenis hewan dan tumbuhan yang mendekati kepunahan. 2. Menjelaskan pentingnya

Lebih terperinci

Karena hal-hal diatas tersebut, kita harus mencari cara agar hewan dan tumbuhan tetap lestari. Caranya antara lain sebagai berikut.

Karena hal-hal diatas tersebut, kita harus mencari cara agar hewan dan tumbuhan tetap lestari. Caranya antara lain sebagai berikut. JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN SD VI (ENAM) ILMU PENGETAHUAN ALAM (IPA) PELESTARIAN MAKHLUK HIDUP Kehadiran hewan dan tumbuhan itu sesungguhnya dapat menjaga keseimbangan alam. Satu makhluk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Burung dalam ilmu biologi adalah anggota kelompok hewan bertulang belakang (vertebrata) yang memiliki bulu dan sayap. Jenis-jenis burung begitu bervariasi, mulai dari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. termasuk ekosistem terkaya di dunia sehubungan dengan keanekaan hidupan

PENDAHULUAN. termasuk ekosistem terkaya di dunia sehubungan dengan keanekaan hidupan PENDAHULUAN Latar Belakang Sebagian besar hutan yang ada di Indonesia adalah hutan hujan tropis, yang tidak saja mengandung kekayaan hayati flora yang beranekaragam, tetapi juga termasuk ekosistem terkaya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan erat dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan devisa negara, yang pada masa lalu didominasi

Lebih terperinci

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998).

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998). II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suksesi dan Restorasi Hutan Hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang di dominasi oleh pepohonan. Masyarakat hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang hidup dan tumbuh

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Beruang madu (H. malayanus) merupakan jenis beruang terkecil yang tersebar di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Beruang madu (H. malayanus) merupakan jenis beruang terkecil yang tersebar di 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Beruang Madu (Helarctos malayanus) Beruang madu (H. malayanus) merupakan jenis beruang terkecil yang tersebar di beberapa negara bagian Asia Tenggara dan Asia Selatan, yaitu Thailand,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. dilakukan pada bulan Desember Maret Penelitian dilaksanakan di

III. METODE PENELITIAN. dilakukan pada bulan Desember Maret Penelitian dilaksanakan di III. METODE PENELITIAN A. Waktu Dan Tempat Penelitian Penelitian tentang tanda keberadaan tidak langsung kelelawar pemakan buah telah dilakukan pada bulan Desember 2014 - Maret 2015. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki Indeks Keanekaragaman Hayati(Biodiversity Index) tertinggi dengan 17% spesies burung dari total burung di dunia (Paine 1997). Sekitar 1598 spesies burung ada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan sumber keanekaragaman hayati dan memilki banyak kawasan konservasi. Cagar Alam (CA) termasuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kupu-kupu raja helena (Troides helena L.) merupakan kupu-kupu yang berukuran

I. PENDAHULUAN. Kupu-kupu raja helena (Troides helena L.) merupakan kupu-kupu yang berukuran I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kupu-kupu raja helena (Troides helena L.) merupakan kupu-kupu yang berukuran besar dan memiliki warna sayap yang menarik sehingga sering diambil dari alam untuk dijadikan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di Malaysia (Semenanjung Malaya) H. syndactylus continensis (Gittin dan Raemaerkers, 1980; Muhammad,

Lebih terperinci

PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk

PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk ALFARED FERNANDO SIAHAAN DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni hutan tropis sumatera yang semakin terancam keberadaannya. Tekanan terhadap siamang terutama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara tropis memiliki keanekaragaman jenis satwa,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara tropis memiliki keanekaragaman jenis satwa, BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara tropis memiliki keanekaragaman jenis satwa, sebagian diantaranya dikategorikan langka, tetapi masih mempunyai potensi untuk ditangkarkan, baik

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Timor memiliki avifauna yang unik (Noske & Saleh 1996), dan tingkat endemisme burung tertinggi dibandingkan dengan beberapa pulau besar lain di Nusa Tenggara (Pulau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan di Indonesia dan 24 spesies diantaranya endemik di Indonesia (Unggar,

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan di Indonesia dan 24 spesies diantaranya endemik di Indonesia (Unggar, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki keragaman primata yang tinggi, primata tersebut merupakan sumber daya alam yang sangat bermanfaat bagi kehidupan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Burung Burung merupakan salah satu satwa yang mudah dijumpai di setiap tempat dan mempunyai posisi yang penting sebagai salah satu kekayaan alam di Indonesia. Jenisnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (Sujatnika, Joseph, Soehartono, Crosby, dan Mardiastuti, 1995). Kekayaan jenis

I. PENDAHULUAN. (Sujatnika, Joseph, Soehartono, Crosby, dan Mardiastuti, 1995). Kekayaan jenis I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki 1539 spesies burung atau 17 persen dari jumlah seluruh spesies burung dunia, 381 spesies diantaranya merupakan spesies endemik (Sujatnika, Joseph, Soehartono,

Lebih terperinci

PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN

PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN 1 PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PERENCANAAN PROGRAM INTERPRETASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI PROVINSI JAWA BARAT ADAM FEBRYANSYAH GUCI

PERENCANAAN PROGRAM INTERPRETASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI PROVINSI JAWA BARAT ADAM FEBRYANSYAH GUCI PERENCANAAN PROGRAM INTERPRETASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI PROVINSI JAWA BARAT ADAM FEBRYANSYAH GUCI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

ULANGAN AKHIR SEMESTER (UAS) SEMESTER 1 TAHUN PELAJARAN

ULANGAN AKHIR SEMESTER (UAS) SEMESTER 1 TAHUN PELAJARAN ULANGAN AKHIR SEMESTER (UAS) SEMESTER 1 TAHUN PELAJARAN 2015 2016 Mata Pelajaran : ILMU PENGETAHUAN ALAM (IPA) Kelas / Semester : VI (Enam) / 1 (Satu) Hari / Tanggal :... Waktu : 120 menit A. Pilih jawaban

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioekologi Kupu-kupu Troides helena (Linn.) Database CITES (Convention on International Trade of Endangered Spesies of Wild Flora and Fauna) 2008 menyebutkan bahwa jenis ini termasuk

Lebih terperinci

NILAI EKONOMI PERDAGANGAN SATWA LIAR

NILAI EKONOMI PERDAGANGAN SATWA LIAR NILAI EKONOMI PERDAGANGAN SATWA LIAR (Studi Kasus: Kelurahan Sidiangkat, Kecamatan Sidikalang, Kabupaten Dairi dan Desa Sembahe, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang) SKRIPSI Oleh: ERWIN EFENDI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Menurut Napier dan Napier (1985) monyet ekor panjang dapat. Superfamili : Cercopithecoidea

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Menurut Napier dan Napier (1985) monyet ekor panjang dapat. Superfamili : Cercopithecoidea BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Menurut Napier dan Napier (1985) monyet ekor panjang dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kelas : Mamalia Ordo : Primates Subordo : Anthropoidea Infraordo :

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Gajah Sumatera (Elephas maxius sumateranus) Menurut Lekagung dan McNeely (1977) klasifikasi gajah sumatera

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Gajah Sumatera (Elephas maxius sumateranus) Menurut Lekagung dan McNeely (1977) klasifikasi gajah sumatera II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Gajah Sumatera (Elephas maxius sumateranus) Menurut Lekagung dan McNeely (1977) klasifikasi gajah sumatera sebagai berikut: Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Class

Lebih terperinci

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. Walet Sarang Lumut, Burung Walet Sapi, Burung Walet Gunung dan Burung

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. Walet Sarang Lumut, Burung Walet Sapi, Burung Walet Gunung dan Burung 7 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Taksonomi dan Deskripsi Burung Walet Terdapat beberapa jenis Burung Walet yang ditemukan di Indonesia diantaranya Burung Walet Sarang Putih, Burung Walet Sarang Hitam, Burung

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Populasi adalah kelompok kolektif spesies yang sama yang menduduki ruang tertentu dan pada saat tertentu. Populasi mempunyai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam (Supriatna dan Wahyono, 2000), dan Sumatera merupakan daerah penyebaran primata tertinggi, yaitu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat Provinsi Lampung, merupakan suatu kawasan ekosistem

Lebih terperinci

PERFORMA KUDA DELMAN SEBAGAI ALAT TRANSPORTASI DI KOTA BOGOR SKRIPSI ANGGA

PERFORMA KUDA DELMAN SEBAGAI ALAT TRANSPORTASI DI KOTA BOGOR SKRIPSI ANGGA PERFORMA KUDA DELMAN SEBAGAI ALAT TRANSPORTASI DI KOTA BOGOR SKRIPSI ANGGA DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 RINGKASAN ANGGA. D14050172.

Lebih terperinci

KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI

KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI Individual Density of Boenean Gibbon (Hylobates muelleri)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-ekologi Ungko (Hylobates agilis) dan Siamang (Symphalangus syndactylus) 2.1.1 Klasifikasi Ungko (Hylobates agilis) dan siamang (Symphalangus syndactylus) merupakan jenis

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 14 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara hutan hujan tropis yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan dikenal sebagai salah satu Megabiodiversity Country. Pulau Sumatera salah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah

I. PENDAHULUAN. Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah cecah (Presbytis melalophos). Penyebaran cecah ini hampir di seluruh bagian pulau kecuali

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan pada bulan Januari 2010 Februari 2010 di Harapan Rainforest, Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Tapir asia dapat ditemukan dalam habitat alaminya di bagian selatan Burma, Peninsula Melayu, Asia Tenggara dan Sumatra. Berdasarkan Tapir International Studbook, saat ini keberadaan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ilmiah siamang berdasarkan bentuk morfologinya yaitu: (Napier and

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ilmiah siamang berdasarkan bentuk morfologinya yaitu: (Napier and II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bio-ekologi 1. Taksonomi Klasifikasi ilmiah siamang berdasarkan bentuk morfologinya yaitu: (Napier and Napier, 1986). Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Animalia :

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioekologi Merak hijau 2.1.1 Taksonomi Grzimek (1972) menyatakan bahwa klasifikasi merak hijau jawa (Pavo muticus muticus) sebagai berikut : Kingdom Phyllum : Animalia : Chordata

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 2007:454). Keanekaragaman berupa kekayaan sumber daya alam hayati dan

I. PENDAHULUAN. 2007:454). Keanekaragaman berupa kekayaan sumber daya alam hayati dan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia tergolong dalam 10 negara megadiversitas dunia yang memiliki keanekaragaman paling tinggi di dunia (Mackinnon dkk dalam Primack dkk, 2007:454). Keanekaragaman

Lebih terperinci

Pengertian. Kemampuan makhluk hidup untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan

Pengertian. Kemampuan makhluk hidup untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan Adaptasi Pengertian Kemampuan makhluk hidup untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan Adaptasi dibedakan menjadi 3 jenis 1. Adaptasi Morfologi Proses adaptasi yang dilakukan dengan menyesuaikan bentuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan salah satu kekayaan

I. PENDAHULUAN. Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan salah satu kekayaan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan salah satu kekayaan fauna Indonesia yang termasuk satwa langka dan dikhawatirkan akan punah. Satwa ini telah dilindungi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung adalah salah satu pengguna ruang yang cukup baik, dilihat dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung adalah salah satu pengguna ruang yang cukup baik, dilihat dari II. TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Burung adalah salah satu pengguna ruang yang cukup baik, dilihat dari keberadaan dan penyebarannya dapat secara horizontal dan vertikal. Secara horizontal dapat diamati dari

Lebih terperinci

JENIS_JENIS TIKUS HAMA

JENIS_JENIS TIKUS HAMA JENIS_JENIS TIKUS HAMA Beberapa ciri morfologi kualitatif, kuantitatif, dan habitat dari jenis tikus yang menjadi hama disajikan pada catatan di bawah ini: 1. Bandicota indica (wirok besar) Tekstur rambut

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total

TINJAUAN PUSTAKA. Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total 15 TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Lokasi Penelitian Pulau Sembilan merupakan salah satu pulau yang terdapat di Kabupaten Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total luas

Lebih terperinci

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.1

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.1 SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.1 1. Akar tumbuhan selalu tumbuh ke bawah. Hal ini dipengaruhi oleh... Cahaya matahari Tekanan udara

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Trisik adalah kawasan yang masih menyimpan sisa keanekaragaman

II. TINJAUAN PUSTAKA. Trisik adalah kawasan yang masih menyimpan sisa keanekaragaman II. TINJAUAN PUSTAKA A. Keanekaragaman Burung di Pantai Trisik Trisik adalah kawasan yang masih menyimpan sisa keanekaragaman hayati di Yogyakarta khususnya pada jenis burung. Areal persawahan, laguna

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. secara lokal yang menyebabkan terbentuknya ruangan-ruangan dan lorong-lorong

I. PENDAHULUAN. secara lokal yang menyebabkan terbentuknya ruangan-ruangan dan lorong-lorong 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di Sumatera Barat banyak ditemukan kawasan berkapur (karst) dengan sejumlah goa. Goa-goa yang telah teridentifikasi di Sumatera Barat terdapat 114 buah goa (UKSDA, 1999

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang menyandang predikat mega biodiversity didukung oleh kondisi fisik wilayah yang beragam mulai dari pegunungan hingga dataran rendah serta

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Gambar 1 Bange (Macaca tonkeana) (Sumber: Rowe 1996)

PENDAHULUAN. Gambar 1 Bange (Macaca tonkeana) (Sumber: Rowe 1996) PENDAHULUAN Latar Belakang Secara biologis, pulau Sulawesi adalah yang paling unik di antara pulaupulau di Indonesia, karena terletak di antara kawasan Wallacea, yaitu kawasan Asia dan Australia, dan memiliki

Lebih terperinci

CIRI KHUSUS MAKHLUK HIDUP DAN LINGKUNGAN HIDUPNYA

CIRI KHUSUS MAKHLUK HIDUP DAN LINGKUNGAN HIDUPNYA BAB 1 CIRI KHUSUS MAKHLUK HIDUP DAN LINGKUNGAN HIDUPNYA Tujuan Pembelajaran: 1) mendeskripsikan hubungan antara ciri-ciri khusus hewan dengan lingkungannya; 2) mendeskripsikan hubungan antara ciri-ciri

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung adalah provinsi yang memiliki luas wilayah ,50 km 2

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung adalah provinsi yang memiliki luas wilayah ,50 km 2 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Provinsi Lampung adalah provinsi yang memiliki luas wilayah 35.376,50 km 2 yang terdiri dari areal pemukiman, areal pertanian, perkebunan dan areal hutan yang

Lebih terperinci

PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI

PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI Dalam Rangka Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Alam Kabupaten Pandegalang dan Serang Propinsi

Lebih terperinci

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi I. Keanekaragaman hayati UU No. 5, 1990 Pasal 21 PP No. 68, 1998 UU No. 41, 1999 Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pengawetan keanekaragaman hayati serta ekosistemnya melalui Cagar Alam

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Buah Naga

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Buah Naga II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanaman Buah Naga Buah naga ( Dragon Fruit) merupakan salah satu tanaman hortikultura yang baru dibudidayakan di Indonesia dengan warna buah merah yang menyala dan bersisik hijau

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang

BAB I PENDAHULUAN. Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang (tersebar di Pulau Sumatera), Nycticebus javanicus (tersebar di Pulau Jawa), dan Nycticebus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara, seperti

BAB I PENDAHULUAN. mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara, seperti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu bagian terpenting dari kondisi geografis Indonesia sebagai wilayah kepulauan adalah wilayah pantai dan pesisir dengan garis pantai sepanjang 81.000

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman mahkota dewa memiliki nama ilmiah Phaleria macrocarpa Boerl.,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman mahkota dewa memiliki nama ilmiah Phaleria macrocarpa Boerl., II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Mahkota Dewa 1. Klasifikasi dan Ciri Morfologi Tanaman mahkota dewa memiliki nama ilmiah Phaleria macrocarpa Boerl., dengan nama sinonim Phaleria papuana. Nama umum dalam

Lebih terperinci

Jenis Satwa Liar dan Pemanfaatnya Di Pasar Beriman, Kota Tomohon, Sulawesi Utara

Jenis Satwa Liar dan Pemanfaatnya Di Pasar Beriman, Kota Tomohon, Sulawesi Utara Jenis Satwa Liar dan Pemanfaatnya Di Pasar Beriman, Kota Tomohon, Sulawesi Utara R. Sahiu 1), E. Pangemanan ), W. Nurmawan ), dan M. T. Lasut ) 1) Mahasiswa Program Studi Ilmu Kehutanan UNSRAT ) Dosen

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Sarang Burung Seriti (Collocalia esculenta). a. Peletakkan dan Jumlah Sarang Seriti. Dari hasil perhitungan jumlah sarang seriti yang ada di bawah jembatan dan di dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Rusa merupakan salah satu sumber daya genetik yang ada di Negara Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Rusa merupakan salah satu sumber daya genetik yang ada di Negara Indonesia. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rusa merupakan salah satu sumber daya genetik yang ada di Negara Indonesia. Rusa di Indonesia terdiri dari empat spesies rusa endemik yaitu: rusa sambar (Cervus unicolor),

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO 1 INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO (Johannes teijsmania altifrons) DI DUSUN METAH, RESORT LAHAI, TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH PROVINSI RIAU- JAMBI Yusi Indriani, Cory Wulan, Panji

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari Bryophyta (Giulietti et al., 2005). Sedangkan di Indonesia sekitar

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari Bryophyta (Giulietti et al., 2005). Sedangkan di Indonesia sekitar 14 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, setelah Brazil (Anonimus, 2009). Brazil merupakan salah satu negara dengan flora

Lebih terperinci

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU INDAH HERAWANTY PURWITA DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelelawar adalah mamalia dari ordo Chiroptera dengan dua sub ordo yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelelawar adalah mamalia dari ordo Chiroptera dengan dua sub ordo yang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Biologi Kelelawar Kelelawar adalah mamalia dari ordo Chiroptera dengan dua sub ordo yang dibedakan atas jenis pakannya. Ordo Chiroptera memiliki 18 famili, 188 genus, dan 970 spesies

Lebih terperinci

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayai dan Ekosistemnya;

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayai dan Ekosistemnya; KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 100/Kpts-II/2003 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN SARANG BURUNG WALET (Collocalia spp) MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa Burung Walet (Collocalia spp) merupakan salah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Tikus

TINJAUAN PUSTAKA Tikus 5 TINJAUAN PUSTAKA Tikus Tikus merupakan salah satu satwa liar yang menjadi hama penting bagi kehidupan manusia baik dalam bidang pertanian, perkebunan, maupun permukiman. Lebih dari 150 spesies tikus

Lebih terperinci

HAMA Cricula trifenestrata PADA JAMBU METE DAN TEKNIK PENGENDALIANNYA

HAMA Cricula trifenestrata PADA JAMBU METE DAN TEKNIK PENGENDALIANNYA HAMA Cricula trifenestrata PADA JAMBU METE DAN TEKNIK PENGENDALIANNYA Jambu mete merupakan tanaman buah berupa pohon yang berasal dari Brasil Tenggara. Tanaman ini dibawa oleh pelaut portugal ke India

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Tikus Rumah, Tikus Pohon, dan Tikus Sawah Klasifikasi dan Morfologi Bioekologi

TINJAUAN PUSTAKA Tikus Rumah, Tikus Pohon, dan Tikus Sawah Klasifikasi dan Morfologi Bioekologi 3 TINJAUAN PUSTAKA Tikus Rumah, Tikus Pohon, dan Tikus Sawah Klasifikasi dan Morfologi Berdasarkan karakter dan ciri morfologi yang dimiliki, tikus rumah (Rattus rattus diardii) digolongkan ke dalam kelas

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya keanekaragaman hayati. Salah satu bentuk keanekaragaman hayati Indonesia adalah ekosistem karst. Ekosistem karst adalah kesatuan komunitas

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai disetiap tempat dan mempunyai posisi penting sebagai salah satu

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai disetiap tempat dan mempunyai posisi penting sebagai salah satu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Burung merupakan salah satu kekayaan hayati yang dimiliki oleh Indonesia. Keberadaan pakan, tempat bersarang merupakan faktor yang mempengaruhi kekayaan spesies burung

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang Pteropus vampyrus merupakan kelelawar pemakan buah-buahan, yang

PENDAHULUAN. Latar Belakang Pteropus vampyrus merupakan kelelawar pemakan buah-buahan, yang PENDAHULUAN Latar Belakang Pteropus vampyrus merupakan kelelawar pemakan buah-buahan, yang termasuk ordo Chiroptera, subordo Megachiroptera. Kelelawar ini sangat berperan dalam ekosistem yaitu menyebarkan

Lebih terperinci