BAB II TINJAUAN PUSTAKA. data mengenai apendisitis masih belum tercatat (Petroianu, 2012).

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. data mengenai apendisitis masih belum tercatat (Petroianu, 2012)."

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Apendisitis akut adalah peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis, dan sampai saat ini masih merupakan penyebab akut abdomen yang paling sering memerlukan tindakan pembedahan. Apendisitis akut jarang ditemukan pada zaman dahulu. Sejak Hippocrates sampai Moses Maimonides, data mengenai apendisitis masih belum tercatat (Petroianu, 2012). Jean Fernel dari Prancis memberikan deskripsi acute typhlitis (berasal dari bahasa Yunani typhlon yang berarti sekum) sewaktu mengotopsi anak perempuan berusia 7 tahun yang meninggal karena apendiks perforasi di tahun Dia menemukan obstruksi lumen sekum dan apendiks dengan nekrosis, perforasi dan spillage dari isi usus ke dalam kavitas abdomen. Tahun 1711, Lorenzo Heister untuk pertama kalinya mengemukakan apendiks sebagai suatu infeksi primer dan tempat terbentuknya abses pada kasus acute typhlitis. Tahun 1735, Claudius Amyand untuk pertama kalinya melakukan operasi apendisektomi (Williams, 1983; Prystowsky, 2005; Petroianu, 2012). Tanda dan gejala klasik apendisitis akut pertama kali dilaporkan oleh Reginald Heber Fitz pada tahun Dia mengemukakan hubungan antara apendisitis dengan penyakit inflamasi yang berasal dari perut kanan bawah serta penanganan apendisektomi sedini mungkin. Charles McBurney di tahun 1889 mendeskripsikan pengalamannya mengoperasi penderita apendisitis akut. Dia memperkenalkan titik McBurney dan mengembangkan insisi muscle-splitting atau 6

2 7 Gridiron yang sampai sekarang masih dipakai. Pada tahun 1902, kasus apendisitis akut mulai dikenal oleh mayarakat umum pada saat Raja Edward VII terkena penyakit tersebut dan membaik setelah Lord Joseph Lister dan Sir Frederic Treves melakukan operasi (Prystowsky, 2005; Petroianu, 2012). 2.1 Struktur Apendiks Apendiks merupakan saluran yang buntu seperti cacing dengan panjang bervariasi, dari agenesis komplit sampai lebih dari 30 cm, akan tetapi biasanya berukuran 5-10 cm dan lebar sekitar 0,5-1 cm. Jarak apendiks sekitar 2,5 cm di bawah katup ileosekal dari pangkalnya di sekum (Prystowsky, 2005). Posisi apendiks sangat bervariasi, mulai dari parakolika (35%), retrosekal (65,3%), pelvik (31%), preileal (1%), postileal (1,5%), promontorik (1%) dan subsekal (2,3%) (Gambar 2.1) (Wakeley, 1933; Rybkin dan Thoeni, 2007). Pangkal apendiks vermiformis letaknya tetap, dan proyeksinya di titik McBurney (batas sepertiga bagian lateralis dan sepertiga bagian tengah dari garis Monro-Richter, yaitu garis antara spina iliaka anterior superior dan umbilikus) (Shelton, dkk., 2003). Gambar 2.1. Variasi letak apendiks vermiformis (Wakeley, 1933)

3 8 Sekum mendapat darah dari arteri sekalis dan apendiks vermiformis dari arteri apendikularis, keduanya cabang dari arteri ileokolika. Darah vena dialirkan ke vena ileokolika, terus ke vena mesenterika superior. Limfe sekum dialirkan nodus limfatik presekalis dan dari apendiks vermiformis ke nodus limfatikus pada mesoapendiks dan dari keduanya dialirkan ke nodi limfatik ileokolika, terus ke nodi limfatik mesenterika superior. Persarafan sekum dan apendiks vermiformis diurus oleh saraf-saraf simpatis dan parasimpatis dari pleksus mesenterikus superior. Persarafan parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti arteri mesenterika superior dan arteri apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari nervus thorakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada apendisitis bermula di sekitar umbilikus (Prystowsky, 2005). Apendiks menghasilkan lendir 2-3 ml per hari. Lendir itu secara normal dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya dialirkan ke sekum. Adanya hambatan dalam pengaliran tersebut, tampaknya merupakan salah satu penyebab timbulnya apendisitis. Di dalam apendiks juga terdapat immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid tissue) yang merupakan zat pelindung efektif terhadap infeksi (berperan dalam sistem imun). Dan immunoglobulin yang banyak terdapat di dalam apendiks adalah IgA. Namun demikian, adanya pengangkatan terhadap apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh. Ini dikarenakan jumlah jaringan limfe yang terdapat pada apendiks kecil sekali bila dibandingkan dengan yang ada pada saluran cerna lain dan di seluruh tubuh (Deshmukh, dkk., 2014).

4 9 2.2 Epidemiologi Apendisitis Akut Apendisitis akut merupakan kegawatdaruratan abdomen yang paling sering ditemukan. Di Inggris terdapat pasien dengan apendisitis akut yang dirawat setiap tahunnya (Humes dan Simpson, 2006) sedangkan di Amerika didapatkan angka insidensi yang meningkat setiap tahunnya, yaitu dari 7,62 menjadi 9,38 per orang antara tahun (Buckius, dkk., 2012). Resiko seseorang terkena apendisitis akut sepanjang hidupnya sebesar 9% dimana pada laki-laki didapatkan angka sebesar 9% dan pada perempuan sebesar 6% (Anderson, dkk., 2012; Petroianu, 2012). Apendisitis akut dapat terjadi pada semua kelompok usia, akan tetapi hal ini sangat jarang pada orang dengan usia sangat lanjut. Frekuensi apendisitis akut tertinggi ditemukan pada kelompok usia tahun. Perbandingan rasio laki-laki dengan perempuan yang menderita apendisitis akut adalah 1,4:1. Rasio apendisitis sederhana dengan apendisitis kompleks adalah 3:1 (Buckius, dkk., 2012). Apendisitis akut banyak didapatkan pada ras kulit putih yaitu sebesar 74% dan paling jarang pada kulit hitam yaitu sebesar 5% (Petroianu, 2012). Buckius, dkk. (2012) mendapatkan angka kenaikan yang signifikan pada ras hispanik, asia dan orang asli amerika sedangkan pada ras kulit putih dan kulit hitam terjadi penurunan (Tabel 2.1). Beberapa penelitian di Eropa menunjukkan kecenderungan penurunan angka kejadian apendisitis akut pada dewasa muda yaitu usia tahun (Humes dan Simpson, 2006; Buckius, dkk., 2012). Sebuah studi di Denmark menunjukkan penurunan insiden apendisitis akut antara tahun 1996 dan Penurunan apendisitis akut pada laki-laki kelompok usia tahun adalah

5 10 Tabel 2.1. Frekuensi pasien dengan apendisitis sederhana maupun komplikata (Buckius, dkk., 2012) sebesar 27,8% dan pada kelompok usia tahun adalah 12,8%. Tren ini juga sama pada populasi perempuan dengan penurunan insiden sebesar 35,9% pada kelompok usia tahun dan menurun menjadi 22,5% pada kelompok usia tahun. Sebuah studi retrospektif di Spanyol yang dilakukan antara tahun juga mendapatkan penurunan angka insiden apendisitis (Buckius, dkk., 2012). Rasio terjadinya perforasi lebih tinggi pada anak kecil dan orang lanjut usia. Angka terjadinya perforasi pada anak kecil berumur kurang dari 5 tahun sebesar 82% dan mendekati 100% pada anak usia 1 tahun. Secara keseluruhan, angka perforasi bervariasi antara 20-76% (Morrow dan Newman, 2007). Apendisitis akut yang terjadi pada orang lanjut usia atau lebih dari 50 tahun

6 11 sangatlah jarang. Keadaan ini lebih disebabkan oleh penyakit lain, seperti tumor (Carr, 2000). 2.3 Patofiologi Apendisitis Akut Hingga saat ini etiologi dari apendisitis akut masih belum jelas diketahui dengan pasti. Selama ini dipercaya bahwa obstruksi lumen apendiks merupakan penyebab tersering, diikuti oleh infeksi bakteri sekunder pada dinding apendiks. Fekalit, hiperplasi limfoid, benda asing, parasit dan tumor merupakan penyebab obstruksi pada apendisitis akut (Prystowsky, 2005; Birnbaum dan Wilson, 2000). Pada penelitian eksperimental yang dilakukan oleh Wangensteen dan Dennis (1939) ditemukan obstruksi lumen yang pada akhirnya menjadi apendisitis akut. Dasar teori ini adalah obstruksi menyebabkan inflamasi, meningkatkan tekanan intralumen dan pada akhirnya terjadi iskemia. Apendiks mempunyai lumen yang relatif lebih kecil apabila dihubungkan dengan panjangnya. Konfigurasi ini merupakan predisposisi terbentuknya obstruksi closed-loop dan berlanjut menjadi inflamasi. Obstruksi lumen yang terjadi pada bagian proksimal membuat tekanan intralumen di distal dari obstruksi meningkat. Kapasitas lumen apendiks hanya 1 ml, dimana peningkatan volume intralumen sebesar 0,5 ml dapat meningkatkan tekanan intralumen sebesar mmhg. Sekali tekanan intralumen melebihi 85 mmhg, terjadilah trombosis pada vena yang menyebabkan kongesti pembuluh darah, drainase limfatik terganggu dan apendiks membengkak. Pada saat pembuluh darah kongesti, mukosa apendiks menjadi hipoksik dan terjadi ulserasi. Hal ini menimbulkan kerusakan pada barrier

7 12 mukosa menyebabkan invasi bakteri intralumen ke dinding apendiks. Kebanyakan bakteri yang teridentifikasi merupakan bakteri gram negatif, yaitu Escherichia coli (70%), Bacteroides fragilis (70%), Enterococcus (30%) dan Pseudomonas (20%). Secara umum, lebih dari 10 jenis bakteri dapat ditemukan. Perbandingan bakteri anaerobik dan aerobik adalah 3:1. Pada tahap awal apendisitis akut, kerusakan mukosa yang terjadi oleh karena infeksi dan inflamasi merupakan karakteristik yang ditemukan pada pemeriksaan patologi. Proses inflamasi dapat berlanjut pada serosa apendiks, melibatkan peritoneum parietalis sehingga menyebabkan nyeri yang spesifik pada perut kanan bawah. Jika proses ini terlampaui, tekanan intralumen meningkat merangsang terjadinya infark vena, nekrosis full-thickness dan akhirnya perforasi. Perforasi dapat berlanjut menjadi peritonitis atau berkembang membentuk abses. Waktu untuk terjadinya gangren dan perforasi bervariasi. Waktu terjadinya nyeri abdomen pada apendiks gangrenosa adalah 46,2 jam dan pada perforasi adalah 70,9 jam (Prystowsky, 2005; Petroianu, 2012). Fekalit yang diduga sebagai penyebab obstruksi pada apendisitis akut seringkali tidak ditemukan pada saat operasi (Carr, 2000). Pada penelitian dalam skala kecil yang dilakukan oleh Horton (1977), dilaporkan fekalit hanya ditemukan sebanyak 9% sedangkan 25% lumen berisi kosong. Sisa kasus lainnya lumen berisi feses yang lembek dan material purulen. Penelitian tersebut diperkuat oleh Arnbjörnsson dan Bengmark (1984) yang mengukur tekanan intralumen pada 33 pasien yang menjalani apendisektomi. Mereka melaporkan tekanan intralumen yang tidak meningkat pada sebagian besar kasus, terutama pada apendisitis

8 13 phlegmonosa. Obstruksi apendiks dengan peningkatan tekanan intralumen timbul oleh karena proses inflamasi dan berhubungan dengan apendisitis gangrenosa. Sisson, dkk. (1971) melaporkan ulserasi yang terbentuk pada mukosa superfisial terjadi lebih awal daripada dilatasi apendiks. Infeksi virus disinyalir memiliki peran penting terbentuknya ulserasi tersebut. Hal ini diikuti oleh invasi bakteri sekunder yang pada akhirnya menyebabkan timbulnya apendisitis akut. Apendisitis akut lebih sering dijumpai di negara maju dibanding negara berkembang. Kebiasaan dalam mengkonsumsi makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi berperan dalam timbulnya penyakit apendisitis. Feses yang keras dapat menyebabkan terjadinya konstipasi. Kemudian konstipasi akan menyebabkan meningkatnya tekanan intrasekal yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Sayuran hijau dan tomat memegang peran sebagai pelindung mukosa apendiks dari invasi bakteri (Prystowsky, 2005). 2.4 Klasifikasi Apendisitis Akut Perubahan yang terjadi akibat proses inflamasi pada apendiks dapat melibatkan seluruh struktur apendiks ataupun hanya sebagian dari panjang apendiks tersebut, akan tetapi, biasanya hanya melibatkan bagian distal dari apendiks. Pada penglihatan secara kasat mata, akan terlihat pembuluh darah apendiks yang melebar dan serosa yang mengkilap. Seiring dengan perkembangan penyakit, abses intramural terbentuk, dilatasi lumen dan edema pada dinding

9 14 apendiks. Pada tahap ini, mesoapendiks biasanya ikut terlibat dalam proses inflamasi (Carr, 2000). Secara histologis, inflamasi akut pada apendiks dapat dibedakan menjadi beberapa kelompok. Hal ini terangkum dalam Tabel 2.2. Tabel 2.2. Klasifikasi apendisitis akut dan hubungan antara gambaran makro dan mikroskopik (Carr, 2000) Secara mikroskopik, inflamasi akut pada apendisitis terbagi menjadi apendisitis akut kataral, supuratif/flegmonosa dan gangrenosa. Pada permulaan apendisitis akut, inflamasi hanya terbatas pada mukosa apendiks sehingga disebut apendisitis mukosal atau kataralis. Hal ini ditandai dengan ditemukannya netrofil di dalam mukosa ditambah dengan ulserasi mukosa. Apabila mukosa apendiks terlihat normal dan netrofil ditemukan di dalam lumen, terminologi apendisitis intraluminal akut digunakan. Hal ini biasa ditemukan secara kebetulan ketika

10 15 dilakukan apendisektomi dan kejadian ini dianggap bukan merupakan inflamasi apendiks yang sebenarnya. Pada pemeriksaan histopatologis, akan didapatkan eksudat fibropurulen atau netrofil purulen di dalam lumen apendiks. Secara klinis, apendisitis intraluminal akut sering tidak menunjukkan gejala apendisitis (Carr, 2000). Apendisitis supuratif atau flegmonosa dikarakteristikkan dengan adanya infiltrat netrofil yang melibatkan lapisan muskularis propria. Mukosa apendiks biasanya mengalami inflamasi disertai dengan ulserasi. Pada tahap ini biasanya gejala nyeri pada perut kanan bawah sudah mulai muncul. Perubahan lain yang terjadi antara lain edema, serositis fibrinopurulen, mikro abses yang terjadi pada dinding apendiks dan thrombus pada pembuluh darah (Gambar 2.2.) (Carr, 2000). Gambar 2.2. Mikroskopis apendisitis akut supuratif. Tampak infiltrat inflamasi akut transmural disertai dengan ulserasi mukosa, pus intraluminal dan serositis fibrionpurulen (Carr, 2000) Pada apendisitis gangrenosa, apendiks mengalami nekrosis pada dinding apendiks dan hal ini merupakan tanda yang signifikan ditemukan pada

11 16 pemeriksaan secara makroskopis maupun histopatologis (Gambar 2.3.). Pada kasus yang tidak tertangani dengan baik, perforasi akan terjadi. Bila tekanan lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai terganggu sehingga terjadi infark dan gangren. Dinding apendiks berwarna ungu, hijau keabuan ataupun merah kehitaman (Carr, 2000). Gambar 2.3. Makroskopis apendisitis akut gangrenosa. Panjang apendiks 75 mm dan membengkak oleh karena edema. Tampak gambaran kehitaman pada apendiks disertai dengan eksudat fibrinopurulen pada permukaan serosa (Carr, 2000) 2.5 Diagnosis Apendisitis Akut Anamnesis Diagnosis apendisitis akut tergantung dari riwayat penyakit yang detail dan pemeriksaan fisik yang menyeluruh. Kompleksitas diagnosis terletak pada bervariasinya gejala yang muncul (Ahmad, dkk., 2011; Chong, dkk., 2010). Kesulitan ini akan muncul terutama pada anak kecil, sedangkan pada usia lanjut dapat berupa nyeri abdomen yang samar dan bahkan tanpa rasa nyeri. Seringkali

12 17 keterlambatan dalam mendiagnosis mencapai 72 jam apabila dihubungkan dengan penderita usia lanjut (Shafi, dkk., 2011). Nyeri abdomen merupakan keluhan utama pada apendisitis akut. Nyeri progresif ini bermula sebagai nyeri kolik yang dirasakan pada bagian periumbilikus disertai rasa mual dan muntah, dan kemudian bermigrasi serta menetap di fossa iliaka kanan dalam 24 jam pertama. Nyeri ditemukan pada lebih dari 95% pasien dengan apendisitis akut. Seringkali nyeri ini tidak dirasakan di fossa iliaka kanan, akan tetapi dapat terjadi pada lokasi yang berbeda, contoh apendiks retrosekal, kehamilan, pelvik dan lain-lain. Nyeri abdomen tersebut akan bertambah bila pasien bergerak, batuk atau bersin. Anoreksia sering merupakan fitur yang predominan, diikuti dengan rasa mual dan bahkan muntah (Petroianu, 2012; Froggatt dan Harmston, 2011; Hung, dkk., 2012; Lewis, dkk., 1975; Prystowsky, 2005). Pasien dengan apendisitis akut biasanya mengalami gejala demam. Demam ini dikarateristikkan sebagai demam yang tidak terlalu tinggi (38ºC). Kejadian perforasi patut diwaspadai apabila demam melampaui 38,3ºC (Prystowsky, 2005; Petroianu, 2012). Gejala klasik apendisitis akut ini terdapat pada setengah sampai dua pertiga penderita. Kegagalan dalam mengenali gejala dan tanda apendisitis akut akan membuat penatalaksanaan tertunda dan meningkatkan angka morbiditas (Prystowsky, 2005).

13 Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan abdomen akan ditemukan nyeri tekan pada fossa iliaka kanan. Hal ini terdapat pada 95% pasien dengan apendisitis akut. Penekanan maksimal dilakukan pada titik McBurney, yaitu titik sepertiga lateral dari garis khayal yang menghubungkan Spina iliaka anterior superior kanan dengan umbilikus. Nyeri tekan lepas (rebound tenderness) tidak dianjurkan dilakukan apabila gejala nyeri sudah jelas karena akan membuat pasien tidak nyaman (Petroianu, 2012). Adanya rigiditas otot juga merupakan tanda yang bermakna untuk apendisitis akut. Hal ini dikarenakan rangsangan peritoneal akibat apendisitis yang berlanjut sampai ke peritoneum parietalis dan merupakan hal yang sangat penting sebagai indikasi operasi. Nyeri ketok, rigiditas otot dan nyeri tekan lepas merupakan tanda klinis yang paling dapat diandalkan terutama dalam mendiagnosis apendisitis akut (Shelton, dkk., 2003; Humes dan Simpson, 2006). Selain pemeriksaan tersebut, dapat juga dilakukan pemeriksaan lain seperti tanda Blumberg, Rovsing, Psoasstretch dan Obturator. Pemeriksaan ini terdapat pada kurang dari 10% pasien dengan apendisitis akut (Humes dan Simpson, 2006). Nyeri pada pemeriksaan rektal dan vagina dapat ditemukan, bahkan tidak jarang normal. Kegunaan pemeriksaan ini masih dipertanyakan. Pemeriksaan yang berulang terutama pada anak-anak sangatlah menyiksa dan menyediakan sedikit informasi sebagai diagnostik. Pemeriksaan ini hanya dilakukan apabila kecurigaan apendisitis yang terletak di retrosekal atau pelvik (Petroianu, 2012).

14 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Laboratorium Sampai saat ini belum ada satupun pemeriksaan laboratorium yang berdiri sendiri yang dapat mendiagnosis apendisitis akut. Data laboratorium awal biasanya disertai peningkatan sel darah putih (lekositosis) dan jumlah netrofil. Lekositosis (> /mm 3 ) ditemukan pada 70-90% apendisitis akut. Netrofilia ditemukan pada lebih 75% sebagian besar kasus. Akan tetapi, peningkatan ini juga ditemukan pada pasien usia lanjut dan kehamilan yang menderita apendisitis akut. Pada pasien gangguan sistem imun seperti penderita Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), lekositosis ditemukan pada 12-14% kasus (Petroianu, 2012). Pada penelitian prospektif yang dilakukan Cardall, dkk. (2004) untuk menilai penggunaan klinis lekositosis dan demam dalam mendiagnosis apendisitis, mereka mendapatkan angka sensitivitas 76%, spesifisitas 52%, nilai prediksi positif 42%, nilai prediksi negatif 82% untuk lekosit dan sensitivitas 47%, spesifisitas 64%, nilai prediksi positif 37%, nilai prediksi negatif 72% untuk demam lebih dari 99,0ºF. Mereka menyimpulkan bahwa lekositosis dan demam merupakan alat diagnostik yang tidak dapat diandalkan dalam mendiagnosis apendisitis. Dalam dua dekade terakhir, terdapat peningkatan penggunaan panel diagnostik tambahan dalam memprediksi kejadian apendisitis. Di samping diterapkannya pemeriksaan laboratorium rutin seperti jumlah lekosit dan hitung netrofil, beberapa tes laboratorium lain dapat dipakai secara luas dan bersifat praktis. Pengukuran CRP, suatu reaktan fase akut, telah mulai ditingkatkan.

15 20 Angka normal CRP adalah < 10 mg/l sedangkan pada penderita dengan apendisitis akut meningkat >25 mg/l. Pada apendiks gangrenosa, angka CRP melampaui 55 mg/l dan pada apendiks perforasi > 66 mg/l. Peningkatan CRP pada apendisitis akut memiliki angka sensitivitas sebesar 47-75% dan spesifisitas sebesar 56-82%. CRP ini meningkat dalam 12 jam sejak munculnya gejala. Kombinasi dari lekositosis, netrofilia lebih dari 75% dan peningkatan CRP meningkatkan sensitivitas sebesar % dalam mendiagnosis apendisitis akut (Petroianu, 2012; Shogilev, dkk., 2014). Tsioplis, dkk. (2013) melaporkan bahwa disamping riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik, lekosit, CRP dan ultrasonografi masih merupakan faktor yang penting dalam menegakkan diagnosis apendisitis. Level CRP pada penderita apendisitis akut sering dihubungkan dengan beratnya derajat infeksi dan bahkan kadar CRP dipakai untuk membedakan apendisitis flegmonosa dengan perforasi apendisitis (Kaya, dkk., 2012). Nilai cutoff CRP yang diberikan oleh Moon, dkk. (2011) sebesar 7,05 mg/dl mengindikasikan bahwa penanganan apendisitis harus segera dilakukan oleh karena kemungkinan terjadinya perforasi sangat tinggi, terutama pada anak kecil dan orang tua. Yokoyama, dkk. (2009) melaporkan bahwa hanya CRP yang konsisten dengan derajat keparahan apendisitis dan merupakan tanda yang mengindikasikan dilakukannya pembedahan apendisektomi dengan nilai cut-off 4,95 mg/dl. Asfar, dkk. (2000) mencatat angka sensitivitas CRP dalam mendiagnosis apendisitis akut sebesar 93,6%, spesifisitas sebesar 86,6%, nilai prediksi positif 96,7%, nilai prediksi negatif 76,5% dan kejadian apendisektomi

16 21 negatif sebesar 19,2% (15 dari 78 pasien yang dioperasi; dimana dari 15 pasien tersebut didapatkan kadar CRP normal pada 13 pasien). Mereka menilai bahwa kadar CRP pre-operatif yang normal pada pasien dengan kecurigaan apendisitis akut berhubungan dengan apendiks yang normal. Hal yang serupa dilaporkan oleh Gurleyik, dkk. (1995) dalam penelitiannya yang membandingkan CRP dengan penilaian klinis ahli bedah mengenai apendisitis akut. Mereka mendapatkan sensitivitas 93,5%, spesifisitas 80%, akurasi 91%, negatif palsu 3%, positif palsu 11% kadar CRP dalam mendiagnosis apendisitis akut dan merekomendasikan pemeriksaan CRP sebagai laboratorium rutin pada pasien dengan kecurigaan apendisitis akut. Apabila parameter laboratorium lekositosis dan CRP digabungkan, maka didapat angkasensitivitas 85%, spesifisitas 100%, nilai prediksi positif 100% dan nilai prediksi negatif 81% (Kumar, dkk., 2011). Hal serupa juga dikemukakan oleh Mohammed, dkk. (2004), mereka melaporkan evaluasi klinis ditambah dengan pemeriksaan lekosit, netrofil dan CRP dapat meningkatkan akurasi diagnosis apendisitis dan mengurangi insiden terjadinya perforasi dan apendisektomi negatif. Kwan dan Nager (2010) melaporkan penggunaan CRP yang dikombinasi dengan lekositosis merupakan alat bantu yang berguna dalam mendiagnosis apendisitis akut pada anak-anak. Studi yang dilakukan oleh mereka tersebut juga mirip oleh penelitian yang dilakukan Mekhail, dkk. (2011). Bahkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Gavela, dkk. (2012) tentang evaluasi procalcitonin (PCT) dan CRP sebagai prediktor derajat keparahan apendisitis pada anak kecil, mereka mendapatkan bahwa CRP dan PCT dapat digunakan sebagai alat untuk memprediksi hasil akhir apendisitis akut pada

17 22 anak kecil. Kadar CRP > 3 mg/dl dan/atau PCT > 0,18 mg/ml memiliki resiko untuk terjadinya komplikasi yang pada akhirnya menentukan tindakan intervensi. Mereka juga mendapatkan angka sensitivitas 95%, spesifisitas 74%, nilai prediksi positif 68%, nilai prediksi negatif 96,2% untuk CRP dan sensitivitas 97%, spesifisitas 80%, nilai prediksi positif 72%, nilai prediksi negatif 89,3% untuk PCT. Hal serupa juga dilaporkan oleh Wu, dkk. (2005), mereka mendapatkan nilai cut-off CRP selama 3 hari berturut-turut memberikan nilai prediksi yang berguna terutama untuk mendiagnosis apendisitis akut pada tahap awal. Untuk kasus apendisitis akut pada anak kecil yang menderita obesitas, kadar CRP bukan merupakan marker inflamasi yang bisa dipercaya. Hal ini disebabkan lemak viseral merupakan organ endokrin penting yang terlibat secara kompleks dalam hubungannya dengan inflamasi sistemik yang dapat mengganggu kadar CRP pada pasien dengan apendisitis akut (Kutasy, dkk., 2010). Akan tetapi pada penelitian meta-analisis yang dilakukan oleh Hallan dan Asberg (1997), mereka melaporkan CRP merupakan alat bantu diagnostik untuk apendisitis akut dengan tingkat akurasi yang medium dan sedikit lebih inferior dibanding pemeriksaan lekosit. Dari 22 artikel yang diteliti, mereka mendapatkan angka sensitivitas 40%-99%, spesifisitas 27%-90%, nilai cut-off untuk apendisitis yang positif bervariasi antara 5 sampai 25 mg/l serta hanya 2 artikel yang melaporkan penambahan pemeriksaan CRP memberikan informasi yang bermakna dalam mendiagnosis apendisitis akut. Penggunaan serum biomarker tunggal dan diambil dalam waktu yang berbeda untuk menegakkan apendisitis akut pada anak kecil apabila dibandingkan

18 23 dengan skor Alvarado dan pemeriksaan radiologis mempunyai beberapa keuntungan, antara lain biaya yang relatif lebih murah, obyektif dan lebih mudah dilakukan oleh karena tanpa resiko terpapar radiasi atau kebutuhan sedasi untuk anak kecil (Wu, dkk., 2012) Sistem Skoring Sejumlah sistem skoring telah dikembangkan dalam mendiagnosis apendisitis akut dan mempengaruhi penatalaksanaan kasus tersebut. Sistem tersebut merupakan penunjang diagnosis berharga dalam membedakan suatu apendisitis akut dengan nyeri abdomen yang tidak spesifik. Ada beberapa sistem skoring diagnosis yang dikenal, antara lain skor Alvarado, skor RIPASA, versi modifikasi skor Alvarado, skor apendisitis pediatri, serta yang jarang dipakai seperti skor Kharbanda dan Lintula (Wray, dkk., 2013; Chong, dkk., 2010; Memon, dkk., 2013). Skor Alvarado sendiri merupakan sistem skoring yang sederhana, mudah diterapkan dan paling banyak diadopsi oleh klinisi. Pada tahun 1986, Alfredo Alvarado mengembangkan sebuah sistem skoring untuk membantu mendiagnosis apendisitis akut serta penatalaksanaannya. Sistem ini disebut juga MANTRELS oleh karena terdiri dari kombinasi 8 gejala klinis dan tanda yang ditemukan pada pemeriksaan klinis maupun penunjang. Jumlah skor yang diperoleh akan menentukan apakah pasien yang dicurigai tersebut akan dipulangkan, diobservasi atau dioperasi. Rentang skor dari 0-10, dimana skor < 5 merupakan indikasi bagi pasien untuk dipulangkan, skor 5-6 dilakukan observasi dan pemeriksaan penunjang seperti ultrasonografi serta skor 7 merupakan

19 24 indikasi tindakan pembedahan (Wray, dkk., 2013; Ohle, dkk., 2011). Berdasarkan skor Alvarado, kemungkinan pasien menderita apendisitis akut dengan skor < 5 adalah 30%, skor 5-6 adalah 66% dan skor 7 adalah 93% (Tabel 2.3.) (Ohle, dkk., 2011). Penilaian obyektif adalah nyeri pada fossa iliaka kanan. Ali, dkk (2013) melaporkan validasi skor Alvarado dalam mendiagnosis apendisitis akut. Pada penelitian tersebut didapatkan sensitivitas sebesar 88,13%, spesifisitas sebesar 70,96%, angka prediksi positif 85,24%, angka prediksi negatif 75,86% dan 16,9% untuk apendisektomi negatif. Nizamuddin dkk. (2009) melaporkan sensitivitas sebesar 86% pada grup dengan skor 7 dan 90,6% pada grup dengan skor 5-6. Nilai prediksi positif sebesar 85,4% (laki-laki 88,3% dan perempuan 81,4%) dan tingkat akurasi sebesar 85,4%. Penelitian ini serupa dengan studi yang dilakukan Memon, dkk. (2013) dimana mereka mendapatkan sensitivitas sebesar 93,5%, nilai prediksi positif sebesar 92,3% dan akurasi sebesar 89,9%. Penelitian lain yang dilakukan oleh Ohle, dkk. (2011) mendapatkan angka sensitivitas sebesar 94-99% untuk skor < 5, 82% untuk skor 7 dan spesifisitas sebesar 81%. Data yang terkumpul mengindikasikan bahwa skor Alvarado dapat digunakan sebagai alat diagnostik yang efektif dan cepat dalam mendiagnosis apendisitis akut Pemeriksaan Radiologis Pemeriksaan radiologis hanya dilakukan apabila terdapat kesulitan mendiagnosis berdasarkan data anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pengaruh tehnik pencitraan dengan angka kejadian apendisektomi negatif masih belum sepenuhnya

20 25 Tabel 2.3. Probabilitas apendisitis berdasarkan skor Alvarado dan strategi penatalaksanaan (Ohle, dkk., 2011) jelas. Beberapa penelitian melaporkan angka kejadian apendisektomi negatif yang tidak berubah walaupun banyak muncul tehnik pencitraan. Di sisi lain, penggunaan ultrasonografi dan CT-scan menurunkan jumlah rawat inap dan apendisektomi yang tidak diperlukan (Birnbaum dan Wilson, 2000; Humes dan Simpson, 2006). Pada tahun 1986, Puylaert mengusulkan penggunaan ultrasonografi dalam mendiagnosis apendisitis akut. Pada ultrasonografi, kompresi secara gradual pada abdomen kanan bawah meningkatkan ketepatan dalam mendiagnosis apendisitis akut. Tehnik kompresi ini memiliki peran yang penting dalam mengurangi jumlah apendisektomi yang negatif. Ultrasonografi merupakan alat

21 26 bantu yang cepat, non-invasif, murah dan tidak memerlukan persiapan ataupun kontras. Kegunaan ultrasonografi sangatlah membantu klinisi dalam mendiagnosis apendisitis akut terutama pada pasien yang hamil dan anak kecil. Anielski, dkk. (2010) mencatat bahwa meskipun ultrasonografi merupakan alat yang membantu dalam diagnosis preoperatif untuk kasus-kasus akut abdomen, kegunaannya untuk apendisitis akut terbatas. Penggunaan ultrasonografi sangat bergantung dari operator yang memerlukan keahlian khusus serta harus diperhatikan untuk menghindari penafsiran yang berlebihan. Akan tetapi hal ini tertutup oleh pentingnya ultrasonografi dalam memeriksa pasien dengan nyeri perut kanan bawah. Kurva pembelajaran dibutuhkan operator dalam memeriksa dan menganalisa pasien dengan keluhan nyeri perut kanan bawah. Kekurangan lain dari ultrasonografi antara lain letak atau posisi apendiks yang menyulitkan, biaya yang relatif mahal, interpretasi yang membutuhkan waktu, keberadaan gas di dalam usus sehingga menyulitkan operator untuk melihat kondisi apendiks atau berat badan pasien yang berlebihan (indeks massa tubuh > 25 merupakan faktor yang dapat menurunkan sensitivitas sampai 37%) (Anielski, dkk., 2010; Lee, J. H., 2003). Di tangan yang ahli, sensitivitas ultrasonografi dilaporkan sebesar 75-90%, spesifisitas %, akurasi 87-96%, nilai prediksi positif sebesar 91-94% dan nilai prediksi negatif sebesar 89-97% dalam mendiagnosis apendisitis akut (Birnbaum dan Wilson, 2000). Akurasi yang diberikan oleh ultrasonografi dapat menekan angka apendisektomi negatif sebesar 10-20% (Morrow dan Newman, 2007; Wray, dkk., 2013; Kurane, dkk., 2008). Pada penelitian meta-analisis yang

22 27 dilakukan oleh Doria, dkk. (2006) mengenai penggunaan ultrasonografi atau CT- Scan dalam mendiagnosis apendisitis akut pada pasien anak kecil, mereka mendapatkan angka sensitivitas dan spesifisitas CT-scan yang lebih tinggi dibanding ultrasonografi (94% dan 95% vs 88% dan 94%). Ultrasonografi harus dilakukan dengan memeriksa abdomen dan organ pelvis. Hal ini penting terutama untuk membedakan apakah apendiks terletak di rongga pelvis atau terdapat kelainan di bidang ginekologi. Bendeck, dkk. (2002) melaporkan keuntungan pemeriksaan radiologis berupa ultrasonografi atau CT-scan pada penderita perempuan dewasa dengan kecurigaan apendisitis akut. Mereka mendapatkan angka kejadian apendisektomi negatif yang lebih rendah dibandingkan yang tidak dilakukan pemeriksaan radiologis pre-operatif. Akan tetapi pada kelompok lain, tidak didapatkan perbedaan secara bermakna angka kejadian apendisektomi negatif pada kelompok yang dilakukan pemeriksaan radiologis pre-operatif maupun yang tidak. Secara spesifik, ultrasonografi dilakukan dengan penekanan pada perut kanan bawah. Menempatkan pasien dengan posisi dekubitus lateral kiri sangat membantu memvisualisasi apendiks retrosekal. Pada pemeriksaan ultrasonografi, apendiks yang mengalami inflamasi akan memiliki diameter 6 mm atau lebih. Ditemukan juga adanya perubahan inflamasi pada jaringan sekitar khususnya pada jaringan lemak yang mengelilinginya (Gambar 2.4.). Pada apendiks perforasi gambaran ultrasonografi menunjukkan bentuk apendiks yang irregular dan adanya penumpukan cairan di sekitar sekum (Birnbaum dan Wilson, 2000; Kaiser, dkk.,

23 ; Morrow dan Newman, 2007; Rybkin dan Thoeni, 2007; Kurane, dkk., 2008; Doria, 2009; Poortman, dkk., 2009). A B Gambar 2.4. Gambaran ultrasonografi apendisitis akut. (a) Axis memanjang dan (b) Potongan melintang (Birnbaum dan Wilson, 2000) CT-scan merupakan alternatif diagnostik pada apendisitis akut. Alat ini direkomendasikan apabila ultrasonografi belum dapat menyimpulkan apendisitis. CT-scan merupakan alat diagnostik yang lebih superior dibanding ultrasonografi dalam hal spesifisitas (96% vs 76%), akurasi (94% vs 83%) dan nilai prediksi negatif (95% vs 76%). Dalam hal sensitivitas dan nilai prediksi positif, CT-scan menyerupai ultrasonografi (91% vs 89% dan 95% vs 96%) (Shelton, dkk., 2003; Hlibczuk, dkk., 2010; Birnbaum dan Wilson, 2000; Doria, 2009; Poortman, dkk., 2009; Krajewski, dkk., 2011). CT-scan lebih superior dalam mendiagnosis inflamasi periapendiks, kelainan abdomen akut selain apendisitis akut dan lebih sensitif menganalisa apendiks normal dibanding ultrasonografi. Pada pemeriksaan CT-scan, apendiks yang mengalami inflamasi memiliki diameter lebih besar dari 9 mm dan cenderung mengalami perubahan inflamasi pada jaringan sekitarnya. Diameter apendiks normal yang ditemukan pada orang dewasa bervariasi mulai dari 3 mm sampai 10 mm. Kadang kala dijumpai juga apendikolit yang terdapat pada lumen apendiks yang menyebabkan inflamasi perisekal. Pemeriksaan ini

24 29 juga dapat membedakan penyebab apendisitis seperti obstruksi lumen akibat keganasan. Kekurangan dari pemeriksaan CT-scan adalah waktu yang dibutuhkan dalam memvisualisasi dan menginterpretasi hasil yang pencitraan serta biaya untuk melakukan pemeriksaan ini (Shelton, dkk., 2003; Birnbaum dan Wilson, 2000). Laparoskopi, CT-Scan dan MRI merupakan pemeriksaan yang relatif mahal dan tidak mudah dilakukan di semua rumah sakit, terutama di Unit Gawat Darurat. Pemeriksaan tersebut hanya akan menunda penegakkan diagnosis yang pada akhirnya akan meningkatkan jumlah komplikasi, beban biaya dan masa rawat inap serta waktu untuk beraktivitas kembali. Angka mortalitas akibat penundaan diagnostik dan penatalaksanaan dilaporkan sebesar 0,2-0,8% dapat meningkat sampai diatas 20% pada pasien dengan usia diatas 70 tahun (Ali, dkk., 2013). Lee, dkk. (2001) bahkan melaporkan bahwa CT-scan dan ultrasonografi tidak meningkatkan akurasi diagnostik apendisitis maupun menurunkan angka kejadian apendisektomi negatif. Pemeriksaan tersebut hanya akan menghambat diagnosis dan penanganan pasien dengan apendisitis. 2.6 Penatalaksanaan Apendisektomi darurat merupakan suatu prosedur operasi yang efektif dan diterima secara universal serta dilakukan lebih dari kali per tahun di Amerika Serikat. Prosedur apendisektomi merupakan tindakan operasi yang paling sering dilakukan (Shelton, dkk., 2003). Beberapa studi melaporkan bahwa

25 30 prosedur ini mencakup 10% dari semua tindakan operasi kegawatdaruratan di abdomen (Chong, dkk., 2010; Kareem, dkk., 2009). Tindakan resusitasi yang diikuti dengan operasi apendisektomi merupakan pilihan pertama pada pasien dengan apendisitis akut. Pemberian analgesia tidak dianjurkan karena hal tersebut akan mengaburkan gejala yang muncul. Tindakan operasi adalah pilihan standar dalam menangani kasus apendisitis (Humes dan Simpson, 2006). Akan tetapi, apendisektomi untuk apendisitis akut bukanlah tanpa resiko. Resiko jangka panjang terjadinya obstruksi akibat adhesi setelah apendisektomi sebesar 1,3% selama 30 tahun setelah prosedur operasi. Angka apendisektomi negatif dilaporkan sebesar 10-20% walaupun CT-scan digunakan secara luas (Wray, dkk., 2013). Semua pasien harus mendapatkan antibiotika spektrum luas preoperatif (1 sampai 3 dosis) untuk menurunkan angka kejadian infeksi paska operasi dan pembentukan abses intraabdomen (Humes dan Simpson, 2006). Apendisektomi merupakan prosedur yang relatif aman dengan angka mortalitas 0,8 per untuk kasus apendisitis yang belum perforasi dan meningkat menjadi 5,1 per kasus apendiks perforasi. Secara keseluruhan, perforasi terjadi antara 16-30% dan meningkat secara bermakna pada penderita usia lanjut dan anak kecil (Humes dan Simpson, 2006; Oliak, dkk., 2000). Infeksi luka operasi tergantung dari derajat kontaminasi intraoperatif, berkisar antara < 5% untuk apendisitis sederhana dan mencapai 20% untuk apendiks gangrenosa dan perforasi (Markides, dkk., 2010).

26 31 Penelitian yang dilakukan oleh Abou-Nukta, dkk. (2006) menunjukkan tidak adanya perbedaan bermakna komplikasi antara pembedahan yang dilakukan < 12 jam dengan jam. Apabila lebih dari 36 jam sejak gejala pertama muncul, angka terjadinya komplikasi perforasi meningkat antara 16-36% dan bahkan meningkat 5% pada setiap 12 jam penundaan operasi. Abou-Nukta, dkk.(2006) menganjurkan prosedur apendisektomi harus dilakukan setelah diagnosis apendisitis ditegakkan. 2.7 C-Reactive Protein C-reactive protein (CRP) merupakan protein yang ditemukan dalam darah dan meningkat sebagai respon terhadap inflamasi sebagai suatu protein fase akut. Lebih lanjut CRP merupakan turunan pentraksin dan disintesis oleh hati. CRP juga diproduksi oleh dinding pembuluh darah seperti sel endotel, sel otot polos dan jaringan adiposa (Pepys dan Hirschfield, 2003). CRP ditemukan untuk pertama kalinya oleh Tillet dan Francis pada tahun CRP adalah protein residual 224 dengan berat molekul kda. Gen CRP terletak pada kromosom 1. Awalnya penamaan CRP berasal dari kemampuannya mempresipitasi somatik C-polisakarida dari bakteri Streptococcus pneumonia dan merupakan protein yang muncul pertama kali pada fase akut sebagai petanda sistemik yang sensitif terhadap rangsangan inflamasi dan kerusakan jaringan (Clyne dan Olshaker, 1999; Aziz dkk., 2003). Respon pada fase akut meliputi respon fisiologik dan biokimia dari mahkluk endotermik terhadap kerusakan jaringan, infeksi, inflamasi dan proses keganasan. Secara

27 32 khusus, sintesis jumlah protein diatur di hati melalui kontrol sitokin yang dihasilkan oleh jaringan yang sakit. Ini sama sekali tidak ada hubungan dengan protein C ataupun peptida C. Protein fase akut yang lain termasuk inhibitor proteinase dan sistem koagulasi, sistem komplemen, protein transport dan serum protein amiloid A. CRP mengaktivasi sistem komplemen dan terikat dengan reseptornya. Peningkatan CRP yang bermakna mengindikasikan inflamasi yang terjadi (Pepys dan Hirschfield, 2003). Konsentrasi median CRP di tubuh orang dewasa sehat adalah 0,8 mg/l, 90 persentil mencapai 3,0 mg/l dan 99 persentil mencapai 10 mg/l. CRP sebagai petanda inflamasi akut mengalami kenaikan kali setelah terjadinya infeksi ataupun trauma. Bahkan pada reaksi fase akut CRP dapat meningkat kali lipat (< 50 µg/l - > 500 mg/l). Plasma CRP diproduksi oleh hepatosit melalui kontrol sitokin IL-6. CRP dapat meningkat melebihi 5 mg/l dan timbul 4-6 jam setelah terjadinya rangsangan, berduplikasi setiap 8 jam dan mencapai puncaknya dalam 48 jam. Waktu paruh di dalam plasma adalah 19 jam dan membutuhkan waktu beberapa hari untuk kembali normal. Apabila rangsangan sebagai pencetus inflamasi dihilangkan maka CRP akan kembali ke angka normal secara cepat. Kadar CRP > 10 mg/l mengindikasikan reaksi inflamasi yang bermakna. Kadar serum CRP yang meningkat terlihat pada kondisi trauma, nekrosis jaringan, infeksi, pembedahan, infark miokardium dan berhubungan dengan meningkatnya resiko penyakit kardiovaskuler. Beberapa keadaan noninflamasi juga dapat meningkatkan kadar CRP, seperti obesitas, depresi, bertambahnya usia, inaktivitas fisik, radioterapi serta merokok. Hubungan antara

28 33 produksi CRP dan polimorfisme genetik IL-1 dan IL-6 juga telah dikemukakan. Pada penyakit atherosklerosis, CRP merupakan faktor resiko yang independen. Kadar CRP yang tinggi sering dihubungkan dengan meningkatnya angka mortalitas dan morbiditas (Aziz, dkk., 2003; Pepys dan Hirschfield, 2003; Marnell, dkk., 2005; Volanakis, 2001). Pada kebanyakan kasus, representasi CRP bervariasi menandakan inflamasi yang terjadi seperti dapat dilihat pada Tabel 2.4. Tabel 2.4. Respon CRP berbagai penyakit (Pepys dan Hirschfield, 2003) CRP termasuk dalam turunan pentraksin protein calcium dependent ligand-binding plasma. Molekul CRP pada manusia tersusun atas lima subunit polipeptida nonglikosilasi yang identik, masing-masing terdiri dari 206 sisa asam amino. Protomer CRP dihubungkan secara nonkovalen dalam konfigurasi annular yang berbentuk penta siklik. Masing-masing protomer mempunyai karakteristik

29 34 lectin fold yang terdiri atas lembaran 2 lapis β dengan topologi jellyroll yang datar. Situs yang mengikat ligan tersusun atas lengkungan dengan 2 ion kasium yang terikat 4 Å terpisah oleh ikatan protein dan terletak pada bagian konkaf, sedangkan bagian lain membawa heliks α tunggal (Gambar 2.5.) (Pepys dan Hirschfield, 2003; Thompson, dkk., 1999). Gambar 2.5. Struktur molekul dan morfologi CRP. (a). Dengan mikrograf elektron menunjukkan struktur pentamerik, (b). Struktur kristal dengan diagram berwarna yang menunjukkan lectin fold dan dua atom kalsium yang terikat pada masing-masing protomer, dan (c) Molekul CRP dengan molekul fosfokolin tunggal yang terletak pada masing-masing protomer (Pepys dan Hirschfield, 2003) 2.8 Hubungan C-Reactive Protein Dengan Apendisitis Akut Inflamasi didefinifikan sebagai reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator dibanding respon imun didapat. Inflamasi merupakan respon fisiologis terhadap berbagai rangsangan seperti infeksi dan cedera jaringan. Inflamasi dapat bersifat lokal, sistemik, akut dan kronis yang menimbulkan kelainan patologis. Petanda respon inflamasi lokal pertama digambarkan oleh orang Romawi sekitar 2000 tahun yang lalu berupa kemerahan, bengkak, panas dan nyeri. Pada abad ke-2, Galen menambahkan

30 35 petanda inflamasi ke-5 berupa gangguan fungsi alat yang terkena. Dalam beberapa menit setelah terjadi cedera jaringan, ditemukan vasodilatasi yang menghasilkan peningkatan volume darah di tempat. Volume darah yang meningkat di jaringan dapat menimbulkan perdarahan. Permeabilitas vaskular yang meningkat menimbulkan kebocoran cairan pembuluh darah yang menimbulkan edema (Gambar 2.6.) (Baratawidjaja dan Rengganis, 2014). Gambar 2.6. Respon vaskuler terhadap inflamasi (Baratawidjaja dan Rengganis, 2014) Dalam beberapa jam lekosit menempel ke sel endotel di daerah inflamasi dan bermigrasi melewati dinding kapiler masuk ke rongga jaringan yang disebut

31 36 ekstravasasi. Pada pemeriksaan histologik ditemukan cairan edema dan infiltrasi sel lekosit. Berbagai faktor plasma seperti immunoglobulin, komplemen, sistem aktivasi kontak koagulasi-fibrinolitik dan sel-sel inflamasi seperti neutrofil, mastosit, eosinofil, monosit-fagosit, sel endotel dan molekul adhesi, trombosit, limfosit dan sitokin berinteraksi satu dengan yang lain. Patogen yang menembus sawar luar imunitas nonspesifik seperti kulit, membran mukosa, infeksi atau cedera jaringan dapat memacu kaskade reaksi inflamasi yang kompleks (Baratawidjaja dan Rengganis, 2014). Neutrofil merupakan sel utama pada inflamasi dini, bermigrasi ke jaringan dan puncaknya terjadi pada 6 jam pertama. Untuk memenuhi hal tersebut diperlukan peningkatan produksi neutrofil dalam sumsum tulang. Orang dewasa normal memproduksi lebih dari neutrofil per hari tetapi pada inflamasi dapat meningkat sampai 10 kali lipat. Pada inflamasi akut, neutrofil dalam sirkulasi dapat meningkat dengan segera dari 5000/µl sampai /µl. Peningkatan tersebut disebabkan oleh migrasi neutrofil ke sirkulasi yang berasal dari sumsum tulang dan persediaan marginal intravaskular. Persediaan marginal ini merupakan sel-sel yang untuk sementara menempel pada dinding vaskular yang keluar dari sirkulasi. Proses inflamasi diperlukan sebagai pertahanan pertama terhadap mikroorganisme yang masuk membutuhkan komponen seluler untuk membersihkan debris lokal dan meningkatkan perbaikan jaringan (Baratawidjaya dan Rengganis, 2014). Inflamasi adalah respon dari suatu organisme terhadap patogen dan alterasi mekanis dalam jaringan, berupa rangkaian reaksi yang terjadi pada tempat yang

32 37 mengalami cedera, seperti karena terbakar, atau terinfeksi. Inflamasi distimulasi oleh faktor kimia (histamin, bradikini, serotonin, leukotrien, dan prostaglandin) yang dilepaskan oleh sel yang berperan sebagai mediator radang di dalam sistem kekebalan untuk melindungi jaringan sekitar dari penyebaran infeksi ( Baratawidjaja dan Rengganis, 2014). Pada inflamasi akut, pelepasan berbagai mediator sel mast (histamin dan bradikinin) disertai aktivasi komplemen, sistem koagulasi, sel inflamasi dan sel endotel yang masing-masing melepaskan mediator yang menimbulkan efek sistemik seperti panas, neutrofil dan protein fase akut seperti CRP. Inflamasi akan pulih bila mediator tersebut menjadi tidak aktif. Bila penyebab tidak dapat disingkirkan atau timbul pajanan ulang maka akan terjadi inflamasi kronik (Baratawidjaya dan Rengganis, 2014). Inflamasi lokal yang terjadi memberikan proteksi dini terhadap infeksi atau cedera jaringan. Inflamasi akut melibatkan baik respon lokal dan sistemik. Reaksi lokal terdiri atas tumor, rubor, kalor, dolor dan gangguan fungsi. Bila darah keluar dari sirkulasi darah, kinin, sistem pembekuan dan fibrinolitik diaktifkan. Banyak perubahan vaskular yang terjadi dini disebabkan oleh efek langsung mediator enzim plasma seperti bradikinin dan fibrinopeptida yang menginduksi vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskular. Beberapa efek vaskular disebabkan efek anafilatoksin (C3a dan C5a) yang menginduksi degranulasi sel mast yang melepas histamin. Histamin menimbulkan vasodilatasi dan kontraksi otot polos. Prostaglandin juga berperan dalam vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskular (Baratawidjaja dan Rengganis, 2014).

33 38 Dalam beberapa jam setelah awitan perubahan vaskular, neutrofil menempel pada sel endotel dan bermigrasi keluar pembuluh darah ke rongga jaringan, memakan patogen dan melepas mediator yang berperan dalam respon inflamasi. Makrofag jaringan yang diaktifkan melepas sitokin (IL-1, IL-6 dan TNF-α) yang menginduksi perubahan lokal dan sistemik. Ketiga sitokin tersebut menginduksi koagulasi dan IL-1 menginduksi ekspresi molekul adhesi pada sel endotel seperti TNF-α yang meningkatkan ekspresi selektin-e, IL-1 menginduksi peningkatan ekspresi ICAM-1 dan VICAM-1. Neutrofil, monosit dan limfosit mengenal molekul adhesi tersebut dan bergerak ke dinding pembuluh darah dan selanjutnya ke jaringan. IL-1 dan TNF-α juga memacu makrofag dan sel endotel untuk memproduksi kemokin yang berperan pada influx neutrofil melalui peningkatan ekspresi molekul adhesi. IFN-γ dan TNF-α juga mengaktifkan makrofag dan neutrofil, meningkatkan fagositosis dan penglepasan enzim ke rongga jaringan. Lama dan intensitas inflamasi lokal akut perlu dikontrol agar tidak terjadi kerusakan jaringan. TGF-β membatasi respon inflamasi dan memacu akumulasi dan proliferasi fibroblast dan endapan matriks ekstraselular yang diperlukan untuk perbaikan jaringan (Gambar 2.7.) (Baratawidjaja dan Rengganis, 2014).

34 39 Gambar 2.7. Tahapan migrasi lekosit dari sirkulasi ke jaringan tempat terjadinya infeksi (Baratawidjaja dan Rengganis, 2014) Pada umumnya respon inflamasi akut menunjukkan awitan yang cepat dan berlangsung sebentar. Inflamasi akut biasanya disertai reaksi sistemik yang disebut respon fase akut yang ditandai oleh perubahan cepat dalam kadar beberapa protein plasma. Reaksi dapat menimbulkan reaksi berantai dan rumit yang berdampak terjadinya vasodilatasi, kebocoran vaskulator mikro dengan eksudasi cairan dan protein serta infiltrasi lokal sel-sel inflamasi. Inflamasi akut merupakan respon khas imunitas nonspesifik. Hal ini adalah respon cepat terhadap kerusakan sel dan berlangsung (beberapa jam hari) serta dipacu oleh sejumlah sebab seperti kerusakan kimiawi dan termal serta infeksi. Infeksi dihadapi oleh makrofag yang melepas sejumlah kemokin dan sitokin yang menarik neutrofil ke tempat infeksi. Inflamasi juga dapat dipicu oleh sel mast residen yang cenderung menarik eosinofil. Segera setelah inflamasi dipacu berbagai perubahan terjadi

35 40 dalam endotel vaskular yang memungkinkan ekstravasasi limfosit terutama neutrofil, tetapi juga monosit dan limfosit (Baratawidjaja dan Rengganis, 2014). Inflamasi akut berhubungan dengan produksi sitokin proinflamasi seperti IL-1, IL-6 dan IL-8. Sitokin merangsang hati untuk membentuk sejumlah protein yang disebut protein fase akut yang terdiri atas a1-antitripsin, komplemen (C3 dan C4), CRP, fibrinogen dan haptoglobin. Molekul-molekul tersebut memiliki sejumlah fungsi antara lain mencegah enzim (a1-antitripsin), opsonisasi, CRP mengikat C-polisakarida dari S. pneumonia, scavenging (haptoglobin) dan sebagainya (Gambar 2.8.). Produksi sitokin TNF-α dan IL-6 menyebabkan unsur spontan pada fase akut yang dihasilkan oleh hepar seperti CRP tampak meningkat (Baratawidjaja dan Rengganis, 2014). Dalam klinik, pengukuran protein fase akut diperlukan untuk menilai derajat inflamasi dan respon terhadap terapi. Gambar 2.8. Stimulasi dan sintesis acute phase reactan selama proses inflamasi (Hengst, 2003)

36 41 Perubahan metabolik dan endokrinologi yang terjadi pada hampir semua penderita dengan apendisitis akut dan perubahan tersebut tergantung pada berat ringannya infeksi. Mekanisme itu mencakup pertahanan organ tersebut terhadap infeksi misalnya perlindungan sendiri dan mempertahankan sistem homeostasis. Salah satu reaksi yang terjadi setelah infeksi adalah pelepasan zat dari hepar berupa acute phase reactans (APR) kedalam darah. Salah satu APR yang paling terkenal adalah C-reactive protein (CRP). APR teraktivasi hasil respon sistemik terhadap infeksi termasuk pada apendisitis akut. CRP yang merupakan salah satu protein fase akut, termasuk golongan protein yang kadarnya dalam darah meningkat pada infeksi akut sebagai respon imunitas nonspesifik. Sebagai opsonin, CRP mengikat berbagai mikroorganisme, protein C pneumokok yang membentuk kompleks dan mengaktifkan komplemen jalur klasik. Pengukuran CRP digunakan untuk menilai aktivitas penyakit inflamasi. CRP dapat meningkat 100 kali atau lebih dan berperan pada imunitas nonspesifik yang dengan bantuan Ca ++ dapat mengikat berbagai molekul antara lain fosforilkolin yang ditemukan pada permukaan bakteri/jamur. Sintesis CRP yang meningkat meninggikan viskositas plasma dan LED. Adanya CRP yang tetap tinggi menunjukkan infeksi yang persisten. CRP lebih sensitif dibandingkan LED karena dapat dijadikan indikator respon fase akut dalam 24 jam pertama proses inflamasi sedangkan LED terjadi setelahnya. Tidak seperti LED, CRP merupakan protein serum stabil yang pengukurannya tidak dipengaruhi waktu dan komponen serum lain. Besar inflamasi berhubungan langsung dengan kadar CRP (Clyne dan Olshaker, 1999).

37 42 Gambar 2.9. Fungsi utama C-reactive protein (CRP) pada sistim imun nonspesifik (Hengst, 2003) Fungsi fisiologi CRP adalah kemampuannya untuk mengikat berbagai macam bahan eksogen dan endogen atau mengikat molekul toksik yang dilepaskan oleh jaringan yang rusak untuk selanjutnya disingkirkan dari sirkulasi darah (Volanakis, 2001). Secara umum, inflamasi yang ringan dan infeksi virus dapat meningkatkan kadar CRP berkisar antara mg/l, sedangkan pada infeksi bakteri dan inflamasi berat dapat meningkatkan CRP antara mg/l. Beberapa penelitian menunjukkan kadar serum CRP 100 mg/l memiliki sensitivitas 80-85% untuk infeksi bakteri. Pada kebanyakan kasus, CRP lebih mencerminkan inflamasi dan atau kerusakan jaringan yang sedang terjadi dibanding parameter laboratorium respon fase akut yang lain seperti viskositas plasma dan laju endap darah. Lebih lanjut, CRP pada fase akut tidak dipengaruhi oleh variasi diurnal dan proses makan. Kerusakan hati mempengaruhi produksi CRP dan hanya sedikit

BAB I PENDAHULUAN. satu kegawatdaruratan paling umum di bidang bedah. Di Indonesia, penyakit. kesembilan pada tahun 2009 (Marisa, dkk., 2012).

BAB I PENDAHULUAN. satu kegawatdaruratan paling umum di bidang bedah. Di Indonesia, penyakit. kesembilan pada tahun 2009 (Marisa, dkk., 2012). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanda dan gejala klasik apendisitis akut pertama kali dilaporkan oleh Fitz pada tahun 1886 (Williams, 1983). Sejak saat itu apendisitis akut merupakan salah satu kegawatdaruratan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. bedah pada anak yang paling sering ditemukan. Kurang lebih

BAB 1 PENDAHULUAN. bedah pada anak yang paling sering ditemukan. Kurang lebih BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Sekitar 5%-10% dari seluruh kunjungan di Instalasi Rawat Darurat bagian pediatri merupakan kasus nyeri akut abdomen, sepertiga kasus yang dicurigai apendisitis didiagnosis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan dokter, hal ini menyebabkan kesulitan mendiagnosis apendisitis anak sehingga 30

BAB I PENDAHULUAN. dengan dokter, hal ini menyebabkan kesulitan mendiagnosis apendisitis anak sehingga 30 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Insiden kematian apendisitis pada anak semakin meningkat, hal ini disebabkan kesulitan mendiagnosis appendik secara dini. Ini disebabkan komunikasi yang sulit antara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Apendisitis akut merupakan radang akut pada apendiks vermiformis, yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Apendisitis akut merupakan radang akut pada apendiks vermiformis, yang 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Apendisitis akut 2.1.1 Definisi Apendisitis akut merupakan radang akut pada apendiks vermiformis, yang disebabkan oleh bakteri yang terjadi karena penyebaran mikroorganisme

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Apendisitis akut adalah peradangan/inflamasi dari apendiks vermiformis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Apendisitis akut adalah peradangan/inflamasi dari apendiks vermiformis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Apendisitis akut adalah peradangan/inflamasi dari apendiks vermiformis (umbai cacing). 1,2 Penyakit ini diduga inflamasi dari caecum (usus buntu) sehingga disebut typhlitis

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang penelitian. Apendisitis akut adalah penyebab paling sering dari nyeri abdomen akut yang

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang penelitian. Apendisitis akut adalah penyebab paling sering dari nyeri abdomen akut yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang penelitian Apendisitis akut adalah penyebab paling sering dari nyeri abdomen akut yang memerlukan tindakan pembedahan. Diagnosis apendisitis akut merupakan hal yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Luka adalah terjadinya diskontinuitas kulit akibat trauma baik trauma

BAB 1 PENDAHULUAN. Luka adalah terjadinya diskontinuitas kulit akibat trauma baik trauma 3 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luka adalah terjadinya diskontinuitas kulit akibat trauma baik trauma tajam, tumpul, panas ataupun dingin. Luka merupakan suatu keadaan patologis yang dapat menganggu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Apendiks diartikan sebagai bagian tambahan, aksesori atau bagian tersendiri yang melekat ke struktur utama dan sering kali digunakan untuk merujuk pada apendiks vermiformis.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi bakteri yang berkembang menjadi sepsis yang merupakan suatu respon tubuh dengan adanya invasi mikroorganisme, bakteremia atau pelepasan sitokin akibat pelepasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Apendisitis akut adalah peradangan dari apendiks vermiformis, merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. Apendisitis akut adalah peradangan dari apendiks vermiformis, merupakan salah satu BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Apendisitis akut adalah peradangan dari apendiks vermiformis, merupakan salah satu penyebab paling umum pada kasus akut abdomen yang memerlukan tindakan pembedahan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu tempat terjadinya inflamasi primer akut. 3. yang akhirnya dapat menyebabkan apendisitis. 1

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu tempat terjadinya inflamasi primer akut. 3. yang akhirnya dapat menyebabkan apendisitis. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Salah satu penyakit bedah mayor yang sering terjadi adalah. 1 merupakan nyeri abdomen yang sering terjadi saat ini terutama di negara maju. Berdasarkan penelitian epidemiologi

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL. Grafik 4.1. Frekuensi Pasien Berdasarkan Diagnosis. 20 Universitas Indonesia. Karakteristik pasien...,eylin, FK UI.

BAB 4 HASIL. Grafik 4.1. Frekuensi Pasien Berdasarkan Diagnosis. 20 Universitas Indonesia. Karakteristik pasien...,eylin, FK UI. BAB 4 HASIL Dalam penelitian ini digunakan 782 kasus yang diperiksa secara histopatologi dan didiagnosis sebagai apendisitis, baik akut, akut perforasi, dan kronis pada Departemen Patologi Anatomi FKUI

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. priyanto,2008). Apendisitis merupakan peradangan akibat infeksi pada usus

BAB 1 PENDAHULUAN. priyanto,2008). Apendisitis merupakan peradangan akibat infeksi pada usus BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Apendisitis merupakan peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis, dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering (Agus priyanto,2008). Apendisitis merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lokal di perut bagian kanan bawah (Anderson, 2002). Apendisitis

BAB I PENDAHULUAN. lokal di perut bagian kanan bawah (Anderson, 2002). Apendisitis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Apendisitis akut merupakan peradangan apendiks vermiformis yang memerlukan pembedahan dan biasanya ditandai dengan nyeri tekan lokal di perut bagian kanan bawah (Anderson,

Lebih terperinci

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS KD 3.8. Menjelaskan mekanisme pertahanan tubuh terhadap benda

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator dibanding respons imun yang didapat. Inflamasi dapat diartikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan utama penyebab kesakitan

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan utama penyebab kesakitan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan utama penyebab kesakitan dan kematian pada anak. 1,2 Watson dan kawan-kawan (dkk) (2003) di Amerika Serikat mendapatkan

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL. 23 Universitas Indonesia. Gambar 4.1 Sel-sel radang akut di lapisan mukosa

BAB 4 HASIL. 23 Universitas Indonesia. Gambar 4.1 Sel-sel radang akut di lapisan mukosa BAB 4 HASIL Hasil pengamatan sediaan patologi anatomi apendisitis akut dengan menggunakan mikroskop untuk melihat sel-sel polimorfonuklear dapat dilihat pada gambar 6,7 dan tabel yang terlampir Gambar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons,

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons, mencangkup beberapa komponen inflamasi, berpengaruh terhadap penyembuhan dan nyeri pascabedah.sesuai

Lebih terperinci

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI rina_susilowati@ugm.ac.id Apakah imunologi itu? Imunologi adalah ilmu yang mempelajari sistem imun. Sistem imun dipunyai oleh berbagai organisme, namun pada tulisan ini sistem

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Sdr. A DENGAN POST APPENDIKTOMI HARI KE II DI RUANG CEMPAKA RSUD PANDANARAN BOYOLALI

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Sdr. A DENGAN POST APPENDIKTOMI HARI KE II DI RUANG CEMPAKA RSUD PANDANARAN BOYOLALI ASUHAN KEPERAWATAN PADA Sdr. A DENGAN POST APPENDIKTOMI HARI KE II DI RUANG CEMPAKA RSUD PANDANARAN BOYOLALI KARYA TULIS ILMIAH Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Mendapatkan Gelar Ahli Madya Keperawatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Angka kematian ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Angka kematian ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka kematian ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk mengukur status kesehatan ibu disuatu negara. Dari hasil Survei Demografi dan Kesehatan Dasar Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bagian kanan bawah (Anderson, 2002).Komplikasi utama pada apendisitis adalah

BAB I PENDAHULUAN. bagian kanan bawah (Anderson, 2002).Komplikasi utama pada apendisitis adalah BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Apendisitis akut merupakan peradangan apendiks vermiformis yang memerlukan pembedahan dan biasanya ditandai dengan nyeri tekan lokal di perut bagian kanan bawah (Anderson,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health Organization (WHO) ditingkat dunia AKB berkisar sekitar 37 per 1000

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health Organization (WHO) ditingkat dunia AKB berkisar sekitar 37 per 1000 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka angka kematian bayi (AKB) pada saat ini masih menjadi persoalan di Indonesia. Menurut World Health Organization (WHO) ditingkat dunia AKB berkisar sekitar 37

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Penurunan jumlah ookista dalam feses merupakan salah satu indikator bahwa zat yang diberikan dapat berfungsi sebagai koksidiostat. Rataan jumlah ookista pada feses ayam berdasarkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Apendisitis adalah suatu peradangan pada apendiks, suatu organ

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Apendisitis adalah suatu peradangan pada apendiks, suatu organ BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Apendisitis adalah suatu peradangan pada apendiks, suatu organ tambahan seperti kantung yang terletak pada bagian inferior dari sekum atau biasanya disebut usus buntu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. walaupun pemeriksaan untuk apendisitis semakin canggih namun masih sering terjadi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. walaupun pemeriksaan untuk apendisitis semakin canggih namun masih sering terjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Apendisitis merupakan kasus paling sering dilakukan pembedahaan pada anak, walaupun pemeriksaan untuk apendisitis semakin canggih namun masih sering terjadi keterlambatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Apendisitis akut merupakan penyebab akut abdomen yang paling sering memerlukan

BAB 1 PENDAHULUAN. Apendisitis akut merupakan penyebab akut abdomen yang paling sering memerlukan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Apendisitis akut merupakan penyebab akut abdomen yang paling sering memerlukan tindakan pembedahan. Keterlambatan dalam penanganan kasus apendisitis akut sering menyebabkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Apendisitis akut merupakan penyebab akut abdomen yang paling sering memerlukan

BAB 1 PENDAHULUAN. Apendisitis akut merupakan penyebab akut abdomen yang paling sering memerlukan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Apendisitis akut merupakan penyebab akut abdomen yang paling sering memerlukan tindakan pembedahan. Keterlambatan dalam penanganan kasus apendisitis akut sering

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. permeabilitas mikrovaskular yang terjadi pada jaringan yang jauh dari sumber infeksi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. permeabilitas mikrovaskular yang terjadi pada jaringan yang jauh dari sumber infeksi BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang penelitian Sepsis merupakan suatu sindrom klinis infeksi yang berat dan ditandai dengan tanda kardinal inflamasi seperti vasodilatasi, akumulasi leukosit, dan peningkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dibidang kesehatan, penggunaan antibiotik profilaksis untuk infeksi luka operasi (ILO) pada pembedahan harus dipertimbangkan

Lebih terperinci

dirasakan adanya nyeri di daerah epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan ini dianggap

dirasakan adanya nyeri di daerah epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan ini dianggap APENDISITIS PENGERTIAN Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis, dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering 1. Apendiks disebut juga umbai cacing. Istilah usus buntu

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. toksin ke dalam aliran darah dan menimbulkan berbagai respon sistemik seperti

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. toksin ke dalam aliran darah dan menimbulkan berbagai respon sistemik seperti 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sepsis adalah penyakit sistemik disebabkan penyebaran mikroba atau toksin ke dalam aliran darah dan menimbulkan berbagai respon sistemik seperti disfungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sampai saat ini apendisitis merupakan penyebab terbanyak dilakukannya operasi pada anak-anak. Selain itu apendisitis yang ditandai dengan keluhan nyeri perut kanan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara

I. PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara berkembang, salah satunya di Indonesia. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji tantang virus AI H5N1 pada dosis 10 4.0 EID 50 /0,1 ml per ekor secara intranasal menunjukkan bahwa virus ini menyebabkan mortalitas pada ayam sebagai hewan coba

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan serius yang terjadi di

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan serius yang terjadi di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan serius yang terjadi di masyarakat. Sepsis menjadi salah satu dari sepuluh penyebab kematian terbesar di dunia. Diagnosis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm

BAB I PENDAHULUAN. Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm 13 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm (kisaran 3-15 cm), dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. iritan, dan mengatur perbaikan jaringan, sehingga menghasilkan eksudat yang

BAB I PENDAHULUAN. iritan, dan mengatur perbaikan jaringan, sehingga menghasilkan eksudat yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan suatu respon protektif normal terhadap luka jaringan yang disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak atau zat-zat mikrobiologi. Inflamasi

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Immunitas Niken Andalasari Sistem Imunitas Sistem imun atau sistem kekebalan tubuh

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Di zaman modern sekarang ini banyak hal yang memang dibuat untuk memudahkan manusia dalam melakukan aktivitasnya, termasuk makanan instan yang siap saji. Kemudahan

Lebih terperinci

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB 5 HASIL PENELITIAN 25 BAB 5 HASIL PENELITIAN Preparat jaringan yang telah dibuat, diamati dibawah mikroskop multinokuler dengan perbesaran 4x dan 10x. Semua preparat dapat dibaca berdasarkan tolok ukur skor tingkat peradangan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. jenis teripang yang berasal dari Pantai Timur Surabaya (Paracaudina australis,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. jenis teripang yang berasal dari Pantai Timur Surabaya (Paracaudina australis, BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak tiga jenis teripang yang berasal dari Pantai Timur Surabaya (Paracaudina australis,

Lebih terperinci

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Mekanisme Pertahanan Tubuh Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagian besar wilayah di Indonesia adalah wilayah dengan dataran rendah yaitu berupa sungai dan rawa yang di dalamnya banyak sekali spesies ikan yang berpotensi tinggi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. APPENDISITIS A.1. Definisi Appendisitis akut adalah peradangan dari appendiks yaitu organ seperti kantung yang tak berfungsi pada bagian inferior dari sekum dan merupakan penyebab

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 2006). Infeksi bakteri sebagai salah satu pencetus apendisitis dan berbagai hal

BAB I PENDAHULUAN. 2006). Infeksi bakteri sebagai salah satu pencetus apendisitis dan berbagai hal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Apendiks merupakan salah satu organ yang fungsinya belum diketahui secara pasti. Apendiks sering menimbulkan masalah kesehatan, salah satunya adalah apendisitis (Sjamsuhidayat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Konsumsi rokok sudah menjadi gaya hidup baru bagi masyarakat di seluruh dunia. Menurut laporan WHO yang ditulis dalam Tobacco Atlas tahun 2012, konsumsi rokok terus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) dan sepsis merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di Intensive Care Unit (ICU). Tingginya biaya perawatan,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Apendisitis akut merupakan penyebab terbanyak dari suatu akut abdomen.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Apendisitis akut merupakan penyebab terbanyak dari suatu akut abdomen. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Apendisitis akut merupakan penyebab terbanyak dari suatu akut abdomen. Penyakit ini dapat mengenai semua umur tetapi paling banyak ditemukan pada usia 20-30 tahun,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam tifoid merupakan infeksi bakteri sistemik yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi yang dijumpai di berbagai negara berkembang terutama di daerah tropis

Lebih terperinci

sex ratio antara laki-laki dan wanita penderita sirosis hati yaitu 1,9:1 (Ditjen, 2005). Sirosis hati merupakan masalah kesehatan yang masih sulit

sex ratio antara laki-laki dan wanita penderita sirosis hati yaitu 1,9:1 (Ditjen, 2005). Sirosis hati merupakan masalah kesehatan yang masih sulit BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP) tidak hanya disebabkan oleh asites pada sirosis hati melainkan juga disebabkan oleh gastroenteritis dan pendarahan pada saluran

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi yang biasa disebut juga dengan peradangan, merupakan salah satu bagian dari sistem imunitas tubuh manusia. Peradangan merupakan respon tubuh terhadap adanya

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA GOLONGAN DARAH SISTEM ABO DENGAN KEJADIAN APENDISITIS AKUT DI RS PKU MUHAMMADIYAH SURAKARTA PERIODE 1 JANUARI DESEMBER 2009

HUBUNGAN ANTARA GOLONGAN DARAH SISTEM ABO DENGAN KEJADIAN APENDISITIS AKUT DI RS PKU MUHAMMADIYAH SURAKARTA PERIODE 1 JANUARI DESEMBER 2009 HUBUNGAN ANTARA GOLONGAN DARAH SISTEM ABO DENGAN KEJADIAN APENDISITIS AKUT DI RS PKU MUHAMMADIYAH SURAKARTA PERIODE 1 JANUARI 2009-31 DESEMBER 2009 SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Apendisitis adalah salah satu penyebab akut abdomen paling banyak pada

BAB I PENDAHULUAN. Apendisitis adalah salah satu penyebab akut abdomen paling banyak pada BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Apendisitis adalah salah satu penyebab akut abdomen paling banyak pada anak dan paling sering jadiindikasi bedah abdomen emergensi pada anak.insiden apendisitis secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gastritis adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan peradangan pada lapisan lambung. Berbeda dengan dispepsia,yang bukan merupakan suatu diagnosis melainkan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dewasa ini paling banyak mendapat perhatian para ahli. Di. negara-negara maju maupun berkembang, telah banyak penelitian

BAB I PENDAHULUAN. yang dewasa ini paling banyak mendapat perhatian para ahli. Di. negara-negara maju maupun berkembang, telah banyak penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Endometriosis merupakan salah satu penyakit jinak ginekologi yang dewasa ini paling banyak mendapat perhatian para ahli. Di negara-negara maju maupun berkembang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling. mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling. mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200.000 wanita didiagnosa dengan kanker ovarium di seluruh dunia dan 125.000

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Intususepsi merupakan salah satu penyebab tersering dari obstruksi usus dan

BAB I PENDAHULUAN. Intususepsi merupakan salah satu penyebab tersering dari obstruksi usus dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Intususepsi merupakan salah satu penyebab tersering dari obstruksi usus dan kegawatdaruratan bedah abdominal pada bayi dan anak. 1-7 Angka kejadiannya di dunia satu

Lebih terperinci

Migrasi Lekosit dan Inflamasi

Migrasi Lekosit dan Inflamasi Migrasi Lekosit dan Inflamasi Sistem kekebalan bergantung pada sirkulasi terusmenerus leukosit melalui tubuh Untuk Respon kekebalan bawaan - berbagai limfosit, granulosit, dan monosit dapat merespon Untuk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Inflamasi adalah respons protektif jaringan terhadap jejas yang tujuannya

BAB 1 PENDAHULUAN. Inflamasi adalah respons protektif jaringan terhadap jejas yang tujuannya BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Inflamasi adalah respons protektif jaringan terhadap jejas yang tujuannya adalah untuk melokalisir dan merusak agen perusak serta memulihkan jaringan menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan penyebab kematian kesembilan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan penyebab kematian kesembilan di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian 1. Perumusan masalah Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan penyebab kematian kesembilan di Amerika Serikat dan bertanggung jawab terhadap 1,2% seluruh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Asma Dari waktu ke waktu, definisi asma mengalami perubahan beberapa kali karena perkembangan dari ilmu pengetahuan beserta pemahaman mengenai patologi, patofisiologi,

Lebih terperinci

TEORI SISTEM IMUN - SMA KELAS XI SISTEM IMUN PENDAHULUAN

TEORI SISTEM IMUN - SMA KELAS XI SISTEM IMUN PENDAHULUAN TEORI SISTEM IMUN - SMA KELAS XI SISTEM IMUN PENDAHULUAN Sistem Imun merupakan semua mekanisme pertahanan yang dapat dimobilisasi oleh tubuh untuk memerangi berbagai ancaman invasi asing. Kulit merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Laju Endap Darah (LED) adalah pengukuran kecepatan pengendapan eritrosit dalam plasma (Burns, 2004). Pemeriksaan LED merupakan pemeriksaan sederhana yang telah dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. virus DEN 1, 2, 3, dan 4 dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegepty dan Aedesal

BAB I PENDAHULUAN. virus DEN 1, 2, 3, dan 4 dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegepty dan Aedesal 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Infeksi dengue masih merupakan masalah kesehatan masyarakat dan menimbulkan dampak sosial maupun ekonomi. Infeksi dengue disebabkan oleh virus DEN 1,

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. H DENGAN GANGGUAN SISTEM PENCERNAAN: POST APPENDIKTOMY DI RUANG MELATI I RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. H DENGAN GANGGUAN SISTEM PENCERNAAN: POST APPENDIKTOMY DI RUANG MELATI I RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. H DENGAN GANGGUAN SISTEM PENCERNAAN: POST APPENDIKTOMY DI RUANG MELATI I RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA Diajukan Dalam Rangka Menyelesaikan Pendidikan Diploma III Keperawatan Disusun

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. J POST APPENDIKTOMY DI BANGSAL MAWAR RSUD Dr SOEDIRAN MANGUN SUMARSO WONOGIRI

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. J POST APPENDIKTOMY DI BANGSAL MAWAR RSUD Dr SOEDIRAN MANGUN SUMARSO WONOGIRI ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. J POST APPENDIKTOMY DI BANGSAL MAWAR RSUD Dr SOEDIRAN MANGUN SUMARSO WONOGIRI KARYA TULIS ILMIAH Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Mendapatkan Gelar Ahli Madya Keperawatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditutupi sisik tebal berwarna putih. Psoriasis sangat mengganggu kualitas hidup

BAB I PENDAHULUAN. ditutupi sisik tebal berwarna putih. Psoriasis sangat mengganggu kualitas hidup 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Psoriasis merupakan penyakit inflamasi kronis pada kulit dengan penyebab yang belum diketahui sampai saat ini, ditandai oleh adanya plak eritema batas tegas ditutupi

Lebih terperinci

BAB 5 PEMBAHASAN. penelitian terdiri atas pria sebanyak 21 (51,2%) dan wanita sebanyak 20

BAB 5 PEMBAHASAN. penelitian terdiri atas pria sebanyak 21 (51,2%) dan wanita sebanyak 20 70 BAB 5 PEMBAHASAN Telah dilakukan penelitian pada 41 penderita stroke iskemik. Subyek penelitian terdiri atas pria sebanyak 21 (51,2%) dan wanita sebanyak 20 (48,8%). Rerata (SD) umur penderita stroke

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dermatitis alergika adalah suatu peradangan pada kulit yang didasari oleh reaksi alergi/reaksi hipersensitivitas tipe I. Penyakit yang berkaitan dengan reaksi hipersensitivitas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dunia sekarang mengalami penderitaan akibat dampak epidemik dari berbagai penyakit penyakit akut dan kronik yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Penyakit penyakit

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. Selama penelitian bulan Januari Juni 2011 terdapat 20 subjek yang memenuhi

BAB VI PEMBAHASAN. Selama penelitian bulan Januari Juni 2011 terdapat 20 subjek yang memenuhi BAB VI PEMBAHASAN Selama penelitian bulan Januari Juni 2011 terdapat 20 subjek yang memenuhi kriteria penelitian, 65% di antaranya laki-laki, dengan rentang umur 6-156 bulan, dengan 75% gizi baik, 25%

Lebih terperinci

BAB 6 PEMBAHASAN. tahun, usia termuda 18 tahun dan tertua 68 tahun. Hasil ini sesuai dengan

BAB 6 PEMBAHASAN. tahun, usia termuda 18 tahun dan tertua 68 tahun. Hasil ini sesuai dengan BAB 6 PEMBAHASAN 6.1. Karakteristik subyek penelitian Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata usia sampel penelitian 47,2 tahun, usia termuda 18 tahun dan tertua 68 tahun. Hasil ini sesuai dengan penelitian

Lebih terperinci

Di seluruh dunia dan Amerika, dihasilkan per kapita peningkatan konsumsi fruktosa bersamaan dengan kenaikan dramatis dalam prevalensi obesitas.

Di seluruh dunia dan Amerika, dihasilkan per kapita peningkatan konsumsi fruktosa bersamaan dengan kenaikan dramatis dalam prevalensi obesitas. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Saat ini studi tentang hubungan antara makanan dan kesehatan memerlukan metode yang mampu memperkirakan asupan makanan biasa. Pada penelitian terdahulu, berbagai upaya

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Prevalensi Prevalensi adalah jumlah orang dalam populasi yang menderita suatu penyakit atau kondisi pada waktu tertentu; pembilang dari angka ini adalah jumlah kasus yang ada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Makanan adalah sumber kehidupan. Di era modern ini, sangat banyak berkembang berbagai macam bentuk makanan untuk menunjang kelangsungan hidup setiap individu. Kebanyakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Infeksi bakteri yang berkembang menjadi sepsis, merupakan suatu respons

BAB 1 PENDAHULUAN. Infeksi bakteri yang berkembang menjadi sepsis, merupakan suatu respons BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi bakteri yang berkembang menjadi sepsis, merupakan suatu respons tubuh terhadap invasi mikroorganisme, bakteremia atau pelepasan sitokin akibat pelepasan endotoksin

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. membuat kadar kolesterol darah sangat sulit dikendalikan dan dapat menimbulkan

BAB 1 PENDAHULUAN. membuat kadar kolesterol darah sangat sulit dikendalikan dan dapat menimbulkan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pola makan modern yang banyak mengandung kolesterol, disertai intensitas makan yang tinggi, stres yang menekan sepanjang hari, obesitas dan merokok serta aktivitas

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. cedera abrasi menyerupai dengan cedera peritoneum saat operasi abdomen..

BAB VI PEMBAHASAN. cedera abrasi menyerupai dengan cedera peritoneum saat operasi abdomen.. BAB VI PEMBAHASAN Pembentukan adhesi intraperitoneum secara eksperimental dapat dilakukan melalui berbagai cara, yaitu model iskemia, model perlukaan peritoneum, model cedera termal, dengan benda asing,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 8,7% di tahun 2001, dan menjadi 9,6% di tahun

BAB I PENDAHULUAN. 8,7% di tahun 2001, dan menjadi 9,6% di tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Asma merupakan penyakit kronik yang sering ditemukan dan merupakan salah satu penyebab angka kesakitan pada anak di seluruh dunia. Di negara maju dan negara berkembang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) telah dikategorikan sebagai penyakit yang terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan jumlah pasien yang terus meningkat

Lebih terperinci

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH)

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) FUNGSI SISTEM IMUN: Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit; menghancurkan & menghilangkan mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit, jamur, dan

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional yang menggunakan desain prospektif. Analisis statistik bivariat menggunakan uji Pearson chi square bila

Lebih terperinci

APPENDISITIS. Appendisitis tersumbat atau terlipat oleh: a. Fekalis/ massa keras dari feses b. Tumor, hiperplasia folikel limfoid c.

APPENDISITIS. Appendisitis tersumbat atau terlipat oleh: a. Fekalis/ massa keras dari feses b. Tumor, hiperplasia folikel limfoid c. APPENDISITIS I. PENGERTIAN Appendisitis adalah inflamasi akut pada appendisits verniformis dan merupakan penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat (Brunner & Suddart, 1997) II. ETIOLOGI Appendisitis

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. mencit terinfeksi E. coli setelah pemberian tiga jenis teripang ditunjukkan pada

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. mencit terinfeksi E. coli setelah pemberian tiga jenis teripang ditunjukkan pada BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Data hasil penelitian jumlah netrofil yang menginvasi cairan intraperitoneal mencit terinfeksi E. coli setelah pemberian tiga jenis teripang ditunjukkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Glomerulonefritis akut masih menjadi penyebab. morbiditas ginjal pada anak terutama di negara-negara

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Glomerulonefritis akut masih menjadi penyebab. morbiditas ginjal pada anak terutama di negara-negara BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Glomerulonefritis akut masih menjadi penyebab morbiditas ginjal pada anak terutama di negara-negara berkembang meskipun frekuensinya lebih rendah di negara-negara maju

Lebih terperinci

NONSTEROIDAL ANTI-INFLAMMATORY DRUGS (NSAID S)

NONSTEROIDAL ANTI-INFLAMMATORY DRUGS (NSAID S) NONSTEROIDAL ANTI-INFLAMMATORY DRUGS (NSAID S) RESPON INFLAMASI (RADANG) Radang pada umumnya dibagi menjadi 3 bagian Peradangan akut, merupakan respon awal suatu proses kerusakan jaringan. Respon imun,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diikuti oleh kompensasi anti-inflamasi atau fenotip imunosupresif yang

BAB I PENDAHULUAN. diikuti oleh kompensasi anti-inflamasi atau fenotip imunosupresif yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang masalah Trauma pembedahan menyebabkan perubahan hemodinamik, metabolisme, dan respon imun pada periode pasca operasi. Seperti respon fisiologis pada umumnya, respon

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mukosa rongga mulut merupakan lapisan epitel yang meliputi dan melindungi

BAB I PENDAHULUAN. Mukosa rongga mulut merupakan lapisan epitel yang meliputi dan melindungi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mukosa rongga mulut merupakan lapisan epitel yang meliputi dan melindungi rongga mulut. Lapisan ini terdiri dari epitel gepeng berlapis baik yang berkeratin maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masih menjadi masalah kesehatan global bagi masyarakat dunia. Angka kejadian

BAB I PENDAHULUAN. masih menjadi masalah kesehatan global bagi masyarakat dunia. Angka kejadian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut pada saluran pencernaan yang masih menjadi masalah kesehatan global bagi masyarakat dunia. Angka kejadian demam tifoid di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Apendisitis merupakan peradangan pada apendiks vermiformis, yaitu divertikulum pada caecum yang menyerupai cacing, panjangnya bervariasi dari 7 sampai 15 cm, dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kejadiannya secara internasional diperkirakan lebih dari 3000 orang dalam 1 juta

BAB 1 PENDAHULUAN. kejadiannya secara internasional diperkirakan lebih dari 3000 orang dalam 1 juta BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Efusi pleura merupakan suatu keadaan yang cukup sering dijumpai. Angka kejadiannya secara internasional diperkirakan lebih dari 3000 orang dalam 1 juta populasi

Lebih terperinci

serta terlibat dalam metabolisme energi dan sintesis protein (Wester, 1987; Saris et al., 2000). Dalam studi epidemiologi besar, menunjukkan bahwa

serta terlibat dalam metabolisme energi dan sintesis protein (Wester, 1987; Saris et al., 2000). Dalam studi epidemiologi besar, menunjukkan bahwa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam tubuh manusia, sistem imun sangat memegang peranan penting dalam pertahanan tubuh terhadap berbagai antigen (benda asing) dengan memberantas benda asing tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mulut, yang dapat disebabkan oleh trauma maupun tindakan bedah. Proses

BAB I PENDAHULUAN. mulut, yang dapat disebabkan oleh trauma maupun tindakan bedah. Proses BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Luka merupakan kerusakan fisik yang ditandai dengan terganggunya kontinuitas struktur jaringan yang normal. 1 Luka sering terjadi dalam rongga mulut, yang

Lebih terperinci

APPENDICITIS (ICD X : K35.0)

APPENDICITIS (ICD X : K35.0) RUMAH SAKIT RISA SENTRA MEDIKA MATARAM PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) SMF ILMU BEDAH TAHUN 2017 APPENDICITIS (ICD X : K35.0) 1. Pengertian (Definisi) 2. Anamnesis 3. Pemeriksaan Fisik 4. Kriteria Diagnosis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. DM yaitu DM tipe-1 dan DM tipe-2. Diabetes tipe-1 terutama disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. DM yaitu DM tipe-1 dan DM tipe-2. Diabetes tipe-1 terutama disebabkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ulkus diabetikum (UD) adalah luka terbuka pada permukaan kulit yang disebabkan oleh adanya komplikasi kronik berupa mikroangiopati dan makroangiopati akibat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sindroma Koroner Akut (SKA) merupakan manifestasi klinis akut penyakit

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sindroma Koroner Akut (SKA) merupakan manifestasi klinis akut penyakit BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sindroma Koroner Akut (SKA) merupakan manifestasi klinis akut penyakit jantung koroner (PJK) yangmemiliki risiko komplikasi serius bahkan kematian penderita. Penyakit

Lebih terperinci

Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan. Sistem Imunitas

Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan. Sistem Imunitas Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Immunitas Niken Andalasari Sistem Imunitas Sistem imun atau sistem kekebalan tubuh adalah suatu sistem dalam tubuh yang terdiri dari sel-sel serta

Lebih terperinci