STATUS FISIOLOGIS DAN PERFORMA PEDET PERANAKAN FRIESIAN HOLSTEIN LEPAS SAPIH PASCA INOKULASI BAKTERI PENCERNA SERAT DENGAN PAKAN YANG DIBERI KOBALT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "STATUS FISIOLOGIS DAN PERFORMA PEDET PERANAKAN FRIESIAN HOLSTEIN LEPAS SAPIH PASCA INOKULASI BAKTERI PENCERNA SERAT DENGAN PAKAN YANG DIBERI KOBALT"

Transkripsi

1 STATUS FISIOLOGIS DAN PERFORMA PEDET PERANAKAN FRIESIAN HOLSTEIN LEPAS SAPIH PASCA INOKULASI BAKTERI PENCERNA SERAT DENGAN PAKAN YANG DIBERI KOBALT SKRIPSI AYU PUSPITA SARI DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2 RINGKASAN AYU PUSPITA SARI. D Status Fisiologis dan Performa Pedet Peranakan Friesian Holstein Lepas Sapih Pasca Inokulasi Bakteri Pencerna Serat dengan Pakan yang Diberi Kobalt. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat, M.Agr.Sc Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Kartiarso, M.Sc Pedet merupakan ternak muda yang kurang mampu dalam menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungannya. Pada periode awal, pencernaan hanya terjadi di dalam alat pencernaan pasca rumen. Pencernaan fermentatif oleh mikroba masih sangat terbatas karena mikroba dalam rumen pedet belum berkembang sempurna sehingga pedet belum mampu memanfaatkan nutrien selain susu. Keterbatasan kemampuan pencernaan fermentatif dapat mempengaruhi konsumsi pakan, produktivitasnya dan kondisi fisiologis nya jika pakan non-susu mulai diberikan sebagai pengganti susu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh inokulasi bakteri selama periode menyusu terhadap status fisiologis, pertumbuhan, konsumsi dan kadar Co dalam darah pada pedet peranakan FH lepas sapih. Perlakuan pada periode pra sapih yaitu kontrol (P0) dan pemberian inokulasi isolat bakteri pencerna serat (P1). Selama periode pra sapih pedet diberi susu dan calf starter. Pada saat memasuki periode lepas sapih, inokulasi isolat bakteri pencerna serat dihentikan. Kedua kelompok pedet mendapatkan pakan pertumbuhan yang sama dan disuplementasi Co. Pedet dipelihara di dalam kandang individu beralaskan kayu dengan peralatan berupa wadah pakan, wadah minum, stopwatch, timbangan, dan termometer digital. Setiap pagi dan sore, pedet diberi makan dan minum ad libitum. Suhu dan kelembaban kandang diukur setiap hari pagi dan sore. Setiap minggu pada pagi dan sore hari, dilakukan pengukuran terhadap suhu rektal, laju respirasi, dan denyut jantung. Data hasil pengamatan dibandingkan secara statistik menggunakan t-test. Selama enam minggu masa pemeliharaan, suhu lingkungan kandang pada pagi hari berkisar antara 24,70-29,40 C dengan rataan sebesar 26,44 C. Sedangkan pada sore hari, suhu berkisar antara 24,9-32,00 C dengan rataan sebesar 27,88 C. Kelembaban pada pagi hari berkisar antara % dengan rataan sebesar 97,12 %. Sedangkan kelembaban pada sore hari berkisar antara % dengan rataan sebesar 83,6 %. Kondisi lingkungan kandang bukan termasuk kondisi yang ideal untuk memelihara pedet peranakan FH. Inokulasi isolat bakteri tidak mempengaruhi (P>0,05) suhu rektal. Namun, selisih suhu rektal antara 0,2 1,0 C antara perlakuan dapat mempengaruhi kondisi fisiologis. Perbedaan suhu menimbulkan pengaruh yang cukup besar terhadap metabolisme nutrien. Suhu rektal P1 lebih besar daripada P0, hal ini menjelaskan bahwa proses metabolisme yang terjadi pada kelompok P1 lebih meningkat dibandingkan P0. Inokulasi isolat bakteri juga tidak mempengaruhi (P>0,05) laju respirasi dan denyut jantungnya. Peningkatan frekuensi respirasi merupakan cara untuk mempertahankan keseimbangan panas tubuh saat suhu udara dalam kandang meningkat. Pernapasan merupakan respon tubuh ternak untuk membuang atau mengganti panas dengan udara di sekitarnya. Peningkatan denyut jantung merupakan 2

3 respon tubuh ternak untuk menyebarkan panas yang diterima ke dalam organ-organ yang lebih dingin. Pemberian inokulan bakteri tidak menyebabkan perubahan denyut jantung dan frekuensi pernapasan pedet sapi FH. Semakin lama masa pemeliharaan, konsumsi bahan kering ransum dan pertambahan bobot badan semakin meningkat baik pedet yang mendapatkan inokulasi isolat bakteri ataupun kelompok pedet kontrol. Konsumsi BK ransum pada P1 terlihat ada perbedaan dibandingkan dengan konsumsi BK P0 pada minggu ke-1, 5, dan 6. Namun bila dilihat dari pertambahan bobot badannya, yang nyata baruperbedaan pertumbuhan baru nyata terlihat pada minggu ke-6 masa pemeliharaan. Hal ini diduga bakteri yang diinokulasikan pada rumen pedet sudah mulai berkembang pada minggu ke-1 dan 5 sehingga mampu mencerna pakan berserat namun belum mampu untuk memanfaatkan nutrien untuk pertumbuhan lebih baik. Pada minggu ke-6 bakteri rumen baru berkembang secara sempurna sehingga lebih mampu untuk memanfaat nutrien untuk pertumbuhannya. Konsumsi Co dan kadar Co darah tidak berbeda nyata (P>0,05) antara perlakuan dan kontrol. Walaupun konsumsi Co cukup rendah, kelompok pedet yang mendapatkan inokulasi isolat bakteri mampu mengkonsumsi Co lebih banyak dibandingkan kelompok pedet kontrol. Pada periode lepas sapih mikroba dalam rumen diperkirakan sudah berkembang sempurna sehingga vitamin B 12 lebih mampu disintesis secara maksimal dan meningkatkan absorpsi Co. Peningkatan absorpsi Co sejalan dengan adanya pertumbuhan yang lebih baik, hal ini menggambarkan bahwa inokulasi isolat bakteri pencerna serat berpotensi meningkatkan metabolisme energi pada pedet. Kata kunci : Pedet, lepas sapih, status fisiologis, bakteri, kobalt 3

4 ABSTRACT Physiological Status and Performance of Post-Weaning Friesian Holstein Calves Offered Diet Supplemented with Cobalt and Inoculated Previously with Cellulolitic Bacterial Isolate Sari, A. P., T. Toharmat, and Kartiarso Calves in post-weaning period are succeptable to weather condition. Their digestive system and its rumen bacteria have not completely developed. The calves have a limited ability to digest the fibre component of feed and to maintain the optimum body temperature. This experiment was aimed to determine the effect of cellulolitic bacterial isolates inoculation during pre-weaning period on physiological status, weight gain, cobalt (Co) content in blood in the post weaned calves offered diet supplemented with Co. Nine of eight weeks old calves with an average initial body weight of 43.11±7.13 kg were reared for 7 weeks pre-weaning period and 6 weeks post weaning period in individual cages with wooden floor. The calves were offered fresh milk for 7 weeks and calf starter for 5 weeks. The four calves were inoculated with cellulolitic bacteria isolates for 5 weeks and another 5 calves were the control group. A single grower diet was offered to the all weaned calves for 6 weeks. Body weight, rectal temperature, respiration and heart beat were determined weekly. Blood Co content was determined in blood sample obtained in the last day of the experimental period. Means of the treatments were compared using t-test. Inoculation of cellulolitic bacteria isolates had no significant effect (P>0.05) on the rectal temperature, respiration rate, heart beat and blood Co content, but improved weight gain after 6 weeks post weaing. Physiological response of calves and Co utilization were not influenced by inoculation of bacteria. Inocullation of cellulolitic bacteria was potention way to improve the metabolism of dietary energy. Keywords: Calves, weaning, physiological status, bacteria, cobalt. 4

5 STATUS FISIOLOGIS DAN PERFORMA PEDET PERANAKAN FRIESIAN HOLSTEIN LEPAS SAPIH PASCA INOKULASI BAKTERI PENCERNA SERAT DENGAN PAKAN YANG DIBERI KOBALT AYU PUSPITA SARI D Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

6 Judul Nama NIM : Status Fisiologis dan Performa Pedet Peranakan Friesian Holstein Lepas Sapih Pasca Inokulasi Bakteri Pencerna Serat dengan Pakan yang Diberi Kobalt : Ayu Puspita Sari : D Menyetujui, Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota, (Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat, M.Agr.Sc.) (Dr. Ir. Kartiarso, M.Sc.) NIP: NIP: Mengetahui: Ketua departemen, Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan (Dr. Ir. Idat G. Permana, M.Sc.Agr) NIP: Tanggal Ujian : 3 September 2010 Tanggal Lulus: 6

7 RIWAYAT HIDUP Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara yang lahir dari pasangan Ayah Ardiansyah, SE, AAAIK dan Ibu Rusnawati di Kota Samarinda, Kalimantan Timur pada tanggal 24 Mei Penulis menamatkan pendidikan dasar di SDN Lowokwaru VIII Malang, pendidikan lanjutan tingkat menengah pertama diselesaikan pada tahun 2003 di SMPN 2 Mataram, dan pendidikan lanjutan tingkat atas diselesaikan pada tahun 2006 di SMAN 3 Tegal. Setelah lulus SMA tahun 2006, penulis diterima sebagai mahasiswa di program Tingkat Persiapan Bersama (TPB), Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Kemudian, pada tahun 2007 penulis terdaftar di Mayor Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Selama kuliah penulis pernah mengikuti organisasi KSR PMI (Korps Suka Rela Palang Merah Indonesia), BEM-D (Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Peternakan) masa 2008 / 2009, dan sampai sekarang aktif dalam Teater Kandang Fakultas Peternakan. Penulis pernah mengikuti program magang di laboratorium lapangan Ilmu Nutrisi Ternak Daging dan Kerja, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. 7

8 KATA PENGANTAR Bismillahirrohmanirrohim Alhamdulillahirabbilalamin, segala puji dan syukur hanyalah milik Allah SWT karena atas segala rahmat, hidayah serta karunia-nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Status Fisiologis dan Performa Pedet Peranakan Friesian Holstein Lepas Sapih Pasca Inokulasi Bakteri Pencerna Serat Dengan Pakan yang Diberi Kobalt yang ditulis berdasarkan hasil penelitian dari bulan November 2009 sampai dengan Januari 2010 di Laboratorium Lapang dan Laboratorium Nutrisi Ternak Perah, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh inokulasi bakteri pencerna serat dengan pakan yang disuplementasi kobalt terhadap status fisiologis, pertumbuhan, konsumsi BK, konsumsi Co, kadar Co dalam darah serta hematologi darah meliputi sel darah merah, hemoglobin, dan hematokrit pada pedet peranakan Friesian Holstein lepas sapih. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Penulis juga berharap semoga skripsi ini dapat memberikan informasi baru dalam dunia peternakan dan dapat bermanfaat bagi Penulis khususnya, dan bagi pembaca pada umumnya. Bogor, September 2010 Penulis 8

9 DAFTAR ISI RINGKASAN... ABSTRACT... LEMBAR PERNYATAAN... LEMBAR PENGESAHAN... RIWAYAT HIDUP... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI.... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... Halaman PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan... 2 TINJAUAN PUSTAKA... 3 Sapi Peranakan Friesian Holstein... 3 Anatomi dan Perkembangan Saluran Pencernaan Pedet... 3 Kondisi Fisiologis Pedet... 4 Probiotik... 5 Fungsi dan Kebutuhan Kobalt... 6 Darah... 7 Eritrosit (Butir Darah Merah)... 7 Hemoglobin... 8 Hematokrit... 8 MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Materi Ternak Percobaan Kandang dan Peralatan Isolat Bakteri Metode Susunan Ransum Penelitian Penerapan Perlakuan Pengambilan Sampel Darah Analisa Kandungan Kobalt dalam Darah dan Pakan Peubah yang Diamati ii iv v vi vii viii ix xi xii xiii 9

10 Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban Kandang Suhu Rektal Laju Respirasi Denyut Jantung Konsumsi BK Pertambahan Bobot Badan Profil Darah Sel Darah Merah Hemoglobin Hematokrit Konsumsi Co da Kadar Co dalam Darah KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran UCAPAN TERIMA KASIH DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

11 DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. Komposisi Bahan Pakan dalam Ransum Kandungan Nutrien Ransum Penelitian Rataan Suhu Rektal ( C) Pedet Pada Pagi dan Sore Selama Penelitian Laju Respirasi (kali/menit) Pedet Pada Pagi dan Sore Selama Penelitian Denyut Jantung (kali/menit) Pedet Pada Pagi dan Sore Selama Penelitian Rataan Konsumsi Bahan Kering Ransum Selama Pemeliharaan Pertambahan Bobot Badan (PBB) Selama Periode Penelitian Profil Darah Pedet yang Mendapat Ransum yang Disuplementasi Co Tanpa atau dengan Inokulasi Bakteri Konsumsi Co dan Kadar Co Darah Pedet yang Mendapat Ransum yang Disuplementasi Co tanpa atau dengan Inokulasi Isolat Bakteri

12 DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Pola Suhu Kandang Selama Penelitian Kelembaban Kandang Selama Penelitian

13 DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Suhu dan Kelembaban Lingkungan Kandang Selama Masa Penelitian Contoh Perhitungan Uji-t Pada Pertambahan Bobot Badan (g/ekor/hari) Contoh Perhitungan Uji-t Pada Konsumsi Contoh Perhitungan Uji-t Pada Suhu Rektal Pagi Hari ( C) Contoh Perhitungan Uji-t Pada Suhu Rektal Sore Hari ( C) Contoh Perhitungan Uji-t Pada Laju Respirasi Pagi Hari (kali/menit) Contoh Perhitungan Uji-t Pada Laju Respirasi Sore Hari (kali/menit) Contoh Perhitungan Uji-t Pada Denyut Jantung Pagi Hari (kali/menit) Contoh Perhitungan Uji-t Pada Denyut Jantung Sore Hari (kali/menit) Contoh Perhitungan Uji-t Pada BDM, Hematokrit, dan Hemoglobin 41 13

14 PENDAHULUAN Latar Belakang Pedet merupakan ternak muda yang kurang mampu dalam menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungannya. Bakteri pada rumen pedet belum berkembang secara sempurna sehingga pedet belum mampu untuk memanfaatkan energi yang terkandung dalam pakan non susu. Sehingga pada periode awal, pencernaan hanya terjadi di dalam alat pencernaan pasca rumen. Disamping itu kemampuan termoregulasi ternak terhadap suhu lingkungan masih terbatas. Bila kondisi lingkungan terlalu dingin pedet dapat mengalami hypothermia dan bila terlalu panas dapat mengalami cekaman panas (heat stress) sehingga dapat mempengaruhi konsumsi makanan, produktivitas, dan kondisi fisiologis nya. Suplementasi mineral juga dibutuhkan oleh pedet untuk memenuhi kebutuhan pedet dan mikroba rumen. Unsur Co merupakan salah satu mineral yang diperlukan. Ruminansia membutuhkan Co bagi mikroorganisme rumen untuk sintesis vitamin B 12 (cyanocobalamin), namun perkembangan mikroba rumen dalam rumen pedet masih terbatas sehingga bakteri di dalam rumen pedet belum mampu untuk mensintesis vitamin B 12. Vitamin B 12 sangat diperlukan tubuh ternak khusunya dalam sintesis sel darah merah (Frandson, 1992). Darah merah merupakan salah satu komponen tubuh yang berperan dalam proses termoregulasi (Frandson, 1992). Unsur Co dalam pakan digunakan oleh mikroorganisme dalam rumen untuk mensintesa vitamin B 12, sehingga apabila kekurangan Co maka akan terjadi defisiensi vitamin B 12 pada ternak. Kecukupan vitamin B 12 berhubungan dengan proses sintesa darah karena merupakan prasyarat untuk proses pematangan sel darah merah secara normal. Kekurangan Co atau vitamin B 12 dapat menyebabkan anemia (Stangl et al., 2000). Secara tidak langsung, kekurangan Co juga dapat mempengaruhi kondisi fisiologis pedet. Upaya manipulasi peningkatan ketersediaan vitamin B 12 perlu dilakukan terhadap rumen pedet agar bakteri rumen cepat berkembang. Salah satu cara agar rumen pedet dapat bekerja lebih awal adalah dengan cara inokulasi mikroba ke dalam rumen pedet. Upaya ini memungkinkan terjadinya perkembangan rumen menjadi lebih cepat dan fermentasi rumen menjadi lebih optimal. Oleh karena itu kajian perkembangan mikroba rumen ini sangat diperlukan terkait dengan inokulasi 14

15 bakteri rumen dan suplementasi Co pada periode menyusu dan pengaruhnya terhadap kondisi fisilologis lepas sapih yang merupakan periode kritis dalam pertumbuhan pedet. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh inokulasi bakteri pencerna serat selama pra sapih dan pengaruhnya pada kondisi fisiologis, pertumbuhan, konsumsi BK, konsumsi Co, kadar Co darah serta hematologi pedet Friesian Holstein pasca sapih dengan pakan yang disuplementasi Co. 15

16 TINJAUAN PUSTAKA Sapi Peranakan Friesian Holstein Sapi FH atau Friesian Holstein berasal dari Propinsi Belanda Utara dan Propinsi Friesland Barat. Sutardi (1981) menyatakan bahwa sapi FH tergolong ke dalam bangsa sapi yang paling rendah daya tahan terhadap panas, sehingga perlu dipertimbangkan iklim yang ada di daerah pemeliharaan. Blakely dan Bade (1991) menyatakan bahwa rata-rata bobot lahir anak sapi keturunan Friesian Holstein adalah 42 kg. Bobot lahir anak dipengaruhi antara lain oleh jenis kelamin, bangsa dan keturunan. Menurut Roy (1980), anak sapi yang baru lahir, seperti sapi dewasa, memiliki perut yang terbagi menjadi empat walaupun hanya abomasum yang berfungsi, abomasum memiliki kapasitas dua kali lebih besar daripada bagian perut yang lain. Sapi peranakan Friesian Holstein (PFH) merupakan bangsa sapi hasil persilangan antara sapi peranakan ongole atau sapi lokal dengan sapi Friesian Holstein. Menurut Syarief dan Sumoprastowo (1984), sapi FH dan PFH (Peranakan Friesian Holstein) mempunyai ciri-ciri yang sama yaitu tubuhnya berwarna hitam dengan belang putih ataupun berwarna putih dengan belang hitam dan ekor berwarna putih. Anatomi dan Perkembangan Saluran Pencernaan Pedet Pada periode pedet, abomasum mempunyai kapasitas dua kali lebih besar dibandingkan dengan kapasitas total tiga bagian lambung lainnya. Proporsi jumlah bahan kering (BK) ingesta dalam duodenum menurun sejalan dengan semakin bertambahnya umur yaitu dari 76% turun menjadi 58% dan 46%, masing-masing pada umur 6, 7, dan 13 minggu. Pada umur 6 minggu proporsi isi rumen-retikulum sekitar 60% dan pada umur 3 4 bulan hampir menyamai ternak dewasa yaitu lebih dari 80% (Parakkasi, 1999). Perkembangan rumen adalah penentu kesuksesan penyapihan dan pertumbuhan pasca-sapih. Ada lima hal yang menentukan perkembangan rumen yaitu: a) Keberadaan bakteri dalam rumen; b) Adanya cairan dalam rumen; c) Aliran material ke dalam rumen (aktifitas muskuler); d) Kemampuan absorbsi oleh jaringan; dan e) Adanya substrat (Quigley, 2001). Rumen berfungsi baik setelah anak sapi 16

17 berumur dua bulan atau jika anak sapi telah makan makanan padat atau kering (Williamson dan Payne, 1993). Roy (1980) menyatakan bahwa pada anak sapi, air susu maupun pakan dalam bentuk cair dapat langsung masuk ke dalam abomasum melalui saluran khusus yang disebut oesophageal groove. Saluran ini terbentuk secara refleks saat protein susu terlarut diberikan. Sebelum anak sapi berumur delapan minggu, refleks pembentukan oesophageal groove dapat dirangsang menggunakan air sebaik menggunakan air susu, akan tetapi setelah anak sapi berumur lebih dari delapan minggu maka efeknya akan berkurang. Umur saat terjadinya transisi dari periode pre ruminan menjadi ruminansia sejati bervariasi, tergantung pada jenis pakan yang dikonsumsi. Pedet yang diberi susu berlimpah, sebagai contoh pada produksi veal, sampai dengan umur 3 bulan kira-kira hanya mampu mengkonsumsi 3 kg hay. Dengan dikonsumsinya pakan sumber serat, bakteri rumen dan mikroba lainnya akan memulai aktivitasnya untuk mengubah serat atau karbohidrat menjadi VFA, sintesis vitamin B dan membentuk protein dari senyawa Non Protein Nitrogen (Parakkasi,1999). Kondisi Fisiologis Pedet Kondisi fisiologis sapi dalam keadaan tidak beraktivitas, sebagaimana disebutkan dalam Frandson (1992) adalah: suhu rektal ( C) pada umur kurang dari 1 tahun adalah 38,5 40,0 ; Frekuensi denyut nadi (kali/menit) pada umur kurang 2 bulan adalah dan pada umur 3-6 bulan adalah Frekuensi respirasi (kali/menit) pada umur 14 hari adalah 50 dan pada umur 5 minggu adalah 37. Frekuensi denyut nadi, frekuensi respirasi, dan suhu rektal pada ternak muda lebih tinggi dibandingkan dengan ternak yang lebih tua. Salah satu cara untuk mempertahankan keseimbangan panas tubuh pada saat suhu udara dalam kandang meningkat adalah dengan cara meningkatkan frekuensi respirasi (Frandson, 1992). Selanjutnya Prayitno (1999) menyatakan bahwa peningkatan suhu dan kelembaban udara di dalam kandang dapat menyebabkan kenaikan frekuensi respirasi guna menyesuaikan dirinya terhadap suhu dan kelembaban udara yang tinggi. Untuk mengimbangi pengaturan panas tubuh dilakukan melalui pengaturan frekuensi respirasi. Respirasi sangat dipengaruhi oleh sikap badan, kerja fisik, dan macam-macam rangsangan. Respirasi sangat 17

18 dipengaruhi oleh kebutuhan tubuh dalam suasana tertentu sehingga kebutuhan nutrien, O 2, panas, dapat terpenuhi dan zat-zat yang tidak diperlukan akan dibuang. Fluktuasi denyut nadi ataupun denyut jantung rata-rata pada siang hari secara nyata lebih tinggi dibandingkan pada malam hari. Hal ini sebagai akibat tingginya suhu udara pada siang hari. Sejalan dengan pendapat Chestnut dan Houston (2002) bahwa naiknya suhu lingkungan menyebabkan berbagai macam perubahan reaksi fisiologis hewan yaitu meningkatnya suhu rektal, bertambahnya frekuensi pernafasan serta dipercepatnya denyut nadi. Suhu rektal sedikit bervariasi pada kondisi fisik dan pada suhu lingkungan yang ekstrem. Bila laju pembentukan panas dalam tubuh lebih besar daripada laju hilangnya panas, maka akan timbul panas dalam tubuh dan temperatur tubuh akan meningkat (Guyton and Hall, 1997). Frandson (1992) menyatakan bahwa suhu rektal pada ternak sapi sebesar 38,0-39º C. Hasil penelitian Wikantadi et al,. (1978) memperlihatkan bahwa dengan kisaran fluktuasi suhu udara dari 24,11-35,45 C tidak berpengaruh nyata terhadap suhu rektal, frekuensi denyut nadi, konsumsi pakan dan air, namun berpengaruh nyata terhadap frekuensi respirasi. Menurut Ma'sum (1986), perubahan unsur-unsur iklim diantaranya adalah suhu lingkungan tidak menyebabkan perbedaan suhu rektal. Menurut Lee dan Keala (2005), penambahan kecepatan angin akan membantu sapi FH menurunkan cekaman panas pada saat malam hari karena pada malam hari metabolisme sapi FH lebih diarahkan untuk mempertahankan suhu tubuh Probiotik Pengertian probiotik secara umum adalah suatu bahan pakan suplemen berupa jasad hidup mikrobial yang mempunyai pengaruh menguntungkan bagi induk semangnya dengan meningkatkan keseimbangan mikroba usus halus (Parakkasi,1999). Mikroorganisme yang sering digunakan adalah kultur ragi (yeast culture) dan bakteri. Penggunaan probiotik bertujuan untuk memanipulasi ekosistem rumen sehingga dapat mempertinggi efisiensi fermentasi rumen dengan cara memaksimalkan degradasi serat kasar dan sintesis protein mikrobial serta meminimalkan produksi metan, degradasi protein, dan fermentasi pati di dalam 18

19 rumen (Parakkasi, 1999). Melihat manfaat probiotik, penggunaan probiotik dapat membantu terjadinya penyapihan dini karena bisa memanipulasi bakteri rumen. Mikroorganisme yang dijadikan sebagai probiotik, perkembangannya harus memenuhi kriteria tertentu, yaitu (1) Mempunyai daya tahan yang tinggi terhadap kondisi asam sehingga koloni bakteri aktif akan tetap banyak pada saat sampai di duodenum maupun usus halus, (2) Bersifat non patogenik, (3) Bersifat gram positif karena gram positif lebih tahan terhadap pengrusakan kelenjar pencernaan, sehingga bertahan sampai ke usus halus, (4) Tidak terserap selama dalam saluran pencernaan serta tidak menimbulkan residu dan tidak menyebabkan mutasi, dan (5) Bersifat antagonis terhadap Escherichia coli karena bakteri probiotik sebagai penghasil asam (Shortt, 1999). Probiotik yang diberikan sebagai suplemen mempunyai dampak menguntungkan seperti perbaikan performan, produksi dan kesehatan ternak. Probiotik yang ada dalam saluran pencernaan berguna dalam menetralisir racun yang dihasilkan bakteri patogen, menghambat pertumbuhan bakteri patogen, meningkatkan kekebalan tubuh, meningkatkan laju pertumbuhan ternak, memperbaiki konversi pakan, dan memperbaiki serta meningkatkan kualitas susu. Penggunaan probiotik dapat dicampur dalam ransum, melalui air minum, dibuat kapsul, dan dicekok langsung ke ternak (Shortt, 1999). Fungsi dan Kebutuhan Kobalt Kobalt (Co) paling banyak didapatkan dalam ginjal, kelenjar adrenal, limpa, dan pankreas. Co didapatkan pula dalam jumlah cukup banyak dalam limfoglandula, sumsum tulang, dan empedu. Konsentrasi normal Co dalam hati ruminan yaitu sekitar 0,15 ppm. Hanya sedikit Co yang dapat ditemukan dalam darah dan air susu. Dalam isi rumen secara normal, Co didapatkan dalam jumlah sekitar 0,4-0,7 mcg/100gr (Parakkasi, 1999). Mikroba rumen menggunakan Co untuk pembentukan molekul sianokobalamin atau vitamin B 12. Pemberian Co dapat meningkatkan penampilan karena adanya proses recycle ke dalam rumen via saliva ataupun dinding rumen. Hewan muda membutuhkan lebih banyak Co dibanding hewan dewasa. Kebutuhan sapi lebih tinggi dibanding kebutuhan domba. Secara menyeluruh untuk ruminan di pastura kebutuhannya adalah 0,1 ppm. Kebutuhan ruminan akan Co 19

20 relatif cukup tinggi karena ketidakefisienan penggunaan Co dalam pembentukan B 12 dan penyerapan vitamin tersebut. Untuk anak sapi, B 12 merupakan kebutuhan namun untuk ruminan dewasa cukup disuplai Co yang cukup (Parakkasi, 1999). Gejala yang terlihat bila ternak kekurangan Co adalah nafsu makan menurun, pertumbuhan terganggu, nafsu makan berkurang, cepat kurus, adanya lakrimasi, anemia parah (sekunder) dan kemudian hewan dapat mati. Penurunan nafsu makan yang dimulai dari yang sederhana sampai yang lebih parah dengan segala akibatnya terhadap penampilan erat hubungannya dengan perubahan populasi mikroba rumen terutama yang membentuk B 12 dari Co. Darah Darah merupakan kumpulan sel yang terdapat di dalam cairan transparan berwarna kuning yang disebut plasma darah. Volume darah hewan dipengaruhi oleh umur, keadaan kesehatan dan gizi makanan, ukuran tubuh, waktu menyusui, derajat aktivitas, dan faktor lingkungan (Frandson, 1992). Menurut Ganong (1995) beberapa fungsi darah adalah: (1) pembawa nutrien yang telah disiapkan oleh saluran pencernaan menuju jaringan tubuh. (2) membawa oksigen dari paru-paru ke jaringan dan CO 2 dari jaringan ke paru-paru untuk dibuang. (3) membawa sisa metabolisme tubuh untuk dibuang melalui urine (ginjal). (4) membawa hormon ke organ lain dalam tubuh. (5) sebagai penyeimbang asambasa serta penyeimbang kandungan air tubuh. (6) sebagai pembeku darah sehingga mencegah terjadinya kehilangan darah yang berlebih pada waktu luka. Menurut Guyton dan Hall (1997), jika tubuh hewan mengalami gangguan fisiologis maka profil darah dapat mengalami perubahan. Perubahan gambaran darah dapat disebabkan faktor internal seperti pertambahan umur, status gizi, kesehatan, stress, siklus estrus, dan suhu tubuh. Eritrosit (Butir Darah Merah) Eritrosit adalah sel darah merah yang membawa hemoglobin ke dalam sirkulasi. Eritrosit dipengaruhi oleh konsentrasi hemoglobin dan hematokrit, selain itu juga dipengaruhi umur, jenis kelamin, aktivitas, nutrisi, volume darah, bangsa, panjang hari, suhu lingkungan, dan faktor iklim (Swenson, 1984). Dalam tubuh, eritrosit adalah sel darah terbanyak dan hampir mendekati jumlah seluruh volume sel 20

21 darah pada hewan. Menurut Swenson (1993), eritrosit pada sapi berjumlah sekitar µm 3. MCV (Mean Corpuscular Volume) merupakan volume eritrosit rata-rata di dalam darah. Peningkatan jumlah MCV di atas normal dapat mengindikasikan anemia makrositik, sedangkan nilai MCV yang kecil di bawah normal dapat mengindikasikan adanya anemia akibat defisiensi zat besi, thalasemia, dan anemia sekunder (Swenson, 1993) Fungsi utama dari eritrosit adalah mengangkut oksigen dan karbon dioksida yang berasal dari paru-paru ke jaringan (Guyton, 1996). Jumlah eritrosit dipengaruhi beberapa faktor diantaranya : umur, jenis kelamin, latihan, keadaan gizi, laktasi, kebuntingan, pelepasan epinefrin, siklus estrus, bangsa, volume darah (hemodilusi dan hemokonsentrasi), temperatur lingkungan, ketinggian dan faktor lainnya. Faktorfaktor ini tidak hanya mempengaruhi eritrosit tetapi juga mempengaruhi kadar hemoglobin, nilai hematokrit, dan konsentrasi kandungan darah lainnya (Swenson, 1993). Hemoglobin Hemoglobin adalah pigmen eritrosit berisi besi dan tersusun atas protein konjugasi dan protein sederhana. Rendahnya oksigen dalam darah menyebabkan peningkatan produksi hemoglobin dan jumlah eritsosit (Swenson, 1984). Menurut Ganong (1995), hemoglobin pada sapi berkisar antara 8-15 g/100 ml. Sedangkan menurut Swenson (1984), MCHC pada sapi berjumlah sekitar g/dl. MCHC (Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration) merupakan konsentrasi hemoglobin rata-rata tiap sel eritrosit. Sifat dasar rantai hemoglobin adalah kemampuannya untuk berikatan secara longgar dan reversibel dengan oksigen, tetapi jika ada gangguan akan merubah sifat-sifat fisik molekul hemoglobin (Guyton, 1996). Hematokrit Hematokrit atau Packed Cell Volume (PCV) merupakan suatu persentase sel darah merah dalam 100 ml darah. Nilai hematokrit dipengaruhi oleh temperatur lingkungan. Nilai hematokrit akan bertambah jika terjadi keadaan hipoksia atau polisitemia yaitu jumlah eritrosit lebih banyak di bandingkan dengan jumlah normal (Guyton, 1996). Nilai hematokrit ternak berkisar antara %. Rataan nilai hematokrit untuk sapi perah laktasi adalah 33,5 % (Swenson, 1984). 21

22 Besarnya nilai hematokrit ternak dipengaruhi oleh dehidrasi, penyakit yang merusakkan eritrosit serta adanya gangguan pada fungsi ginjal (Swenson, 1984). Pada masa awal kehidupan ternak, nilai hematokrit merupakan yang terbesar kemudian menurun pada minggu-minggu berikutnya dan mencapai titik terendah pada saat hewan mencapai usia dewasa dan selama masa produktif, selanjutnya meningkat kembali mendekati titik tertinggi dengan semakin tuanya usia ternak. 22

23 MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2009 sampai bulan Januari 2010 di Laboratorium lapang dan Laboratorium Nutrisi Ternak Perah, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Materi Ternak Percobaan Penelitian ini menggunakan pedet peranakan Friesian Holstein lepas sapih sebanyak sembilan ekor yaitu tiga jantan dan enam betina. Rataan bobot badan awal mencapai 43,11±7,13 kg dengan umur ± 2 bulan. Ternak percobaan kemudian dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan perlakuan. Rataan bobot badan kelompok P0 adalah 39±5,15 kg, dan kelompok P1 adalah 48,25±6,08 kg. Kandang dan Perlengkapan Kandang yang digunakan pada penelitian ini adalah kandang individu sebanyak sembilan buah, dengan ukuran 100 x 100 cm dan tinggi 150 cm. Setiap kandang dilengkapi dengan tempat pakan dan air minum. Peralatan yang digunakan berupa wadah pakan, wadah minum, stopwatch, timbangan, dan termometer digital untuk mengukur suhu dan kelembaban kandang. Isolat Bakteri Penelitian ini merupakan lanjutan dari penelitian isolasi mikroba rumen pencerna serat (Gayatri, 2010 dan Astuti, 2010). Penelitian tersebut meliputi isolasi dan pengujian 12 isolat yang diketahui mempunyai aktifitas selulolitik. Pemilihan isolat bakteri dilakukan dari 12 isolat bakteri menjadi 6 isolat bakteri berdasarkan produksi bahan kering (BK) sel isolat bakteri dan nilai CMC-ase. Tahap berikutnya dilakukan kajian pertumbuhan 6 isolat bakteri terpilih di dalam media susu dan calf starter yang disuplementasi mineral (Co, Cu, Zn, dan Mn) berkonsentrasi tinggi. Kajian aplikasi lapang isolat bakteri, isolat bakteri telah dikembangbiakkan di dalam media susu. Isolat bakteri yang digunakan diyakini mampu hidup dalam kadar Co konsentrasi tinggi dan diperkirakan mempunyai kemampuan mensintesis vitamin B 12 23

24 Metode Susunan Ransum Penelitian Bahan pakan yang digunakan dalam penyusunan ransum adalah jagung giling, bungkil kedelai, pollard, bungkil kelapa, molases, onggok, vitamin A, dan CoCl 2. 6.H 2 O. Bahan baku dan komposisi ransum percobaan disajikan pada Tabel 1. Kandungan nutrien dari ransum basal tersaji pada Tabel 2. Tabel 1. Komposisi Bahan Pakan dalam Ransum Bahan Pakan Komposisi dalam ransum Jagung giling (%) 9,5 Bungkil kedelai (%) 14,8 Onggok (%) 40,1 Pollard (%) 14,5 Bungkil kelapa (%) 13,8 Molases (%) 7,3 Vitamin A (IU/Kg) 2200 Co (ppm) 0,10 Total (%) 100 Tabel 2. Kandungan Nutrien Ransum Penelitian Nutrien Persentase dalam ransum Bahan kering, % 80,55 Protein kasar, %BK 19,30 Lemak kasar, %BK 0,86 Serat kasar, %BK Abu, %BK BETN, %BK 15,52 5,21 46,60 *) Hasil Analisis Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, IPB (2009) Penerapan Perlakuan Selama empat minggu periode prasapih, setiap pagi sebanyak empat ekor pedet diberi isolat bakteri (P1) koleksi Laboratorium Nutrisi Ternak Perah dengan cara dicekok langsung sebanyak 20 ml per pedet dengan konsentrasi bakteri 4,56 x 24

25 10 9 CFU/ml dan sebanyak lima ekor pedet berlaku sebagai kontrol (P0). Pemberian susu dan isolat bakteri dihentikan setelah pedet mendapat perlakuan selama lima minggu. Pada periode lepas sapih, penerapan perlakuan dihentikan. Ternak dipelihara dalam kandang individu selama enam minggu. Pakan pertumbuhan yang berserat dan disuplementasi Co mulai diberikan pada periode lepas sapih. Pemberian pakan dan air minum diberikan ad libitum pada pukul WIB dan pada pukul WIB. Setiap hari dilakukan pengukuran suhu dan kelembaban lingkungan dengan menggunakan termometer digital. Setiap akhir minggu dilakukan penimbangan bobot badan dan pengukuran status fisiologis ternak yang meliputi suhu rektal, denyut jantung, dan laju respirasi. Pada minggu terakhir masa pemeliharaan, diambil sampel darah untuk mengukur hematologi dan kadar Co dalam darah. Pengambilan Sampel Darah Pengambilan sampel darah dilakukan pada minggu terakhir masa pemeliharaan. Darah diambil di bagian vena jugolaris dengan menggunakan jarum suntik No. 19 G dan tabung vakum venoject 10 ml yang mengandung heparin. Volume darah yang diambil sebanyak ± 9 ml. Tabung vakum yang berisi sampel darah segera dimasukkan dalam wadah berisi es yang sebelumnya telah dipersiapkan. Setelah itu sampel dibawa ke Laboratorium Fisiologi Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi FKH IPB untuk dihitung jumlah butir darah merah, hematokrit, dan konsentrasi hemoglobin nya. Analisa Kandungan Kobalt dalam Darah, dan Pakan Proses analisa kandungan Co dalam darah, dan pakan dilakukan di Pusat Penelitian Tanah (PUSLITAN) dengan menggunakan metode Atomic Absorbtion Spectrophotometer (AAS). Sebelum di analisa, dilakukan preparasi wet ashing terlebih dahulu d Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Perah, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. a. Pengabuan Basah (Wet Ashing) Sebelum dilakukan pengukuran kadar mineral sampel terlebih dahulu dilakukan wet ashing (Restz et al 1960). Sampel ditimbang dalam Erlenmeyer 100 ml dan ditambahkan HNO 3 pekat 5 ml lalu dibiarkan selama 1 jam sampai sampel menjadi bening. Berikutnya sample dan campurannya dipanaskan selama 4 25

26 jam di atas hot plate, setelah itu didinginkan. Larutan yang telah dingin ditambahkan 0,4 ml H 2 SO 4 pekat dan panaskan kembali. Pada saat terjadi perubahan warna, diteteskan larutan campuran HClO 4 + HNO 3 (2:1). Segera setelah penambahan perekas tersebut terjadi perubahan warna coklat menjadi kuning lalu bening. Sampel dipanaskan kembali selama 15 menit. Setelah itu ditambahkan 2 ml aquadest bersamaan dengan ditambahkannya 0,6 ml HCl pekat pada sampel. Sampel dipanaskan kembali sampai larut dan didinginkan, lalu dilarutkan dengan aquadest menjadi 100 ml dalam labu takar dan disiapkan untuk dianalisis dengan Atomic Absorbtion Spectrophotometer (AAS). b. Pengukuran Mineral Sampel hasil wet ashing ditambahkan 0,05 ml larutan (LaCl 3.7H 2 O) 1000 ppm, lalu disentrifuse dengan kecepatan 2500 rpm selama 10 menit, kemudian diukur absorbansinya dengan AAS pada panjang gelombang sesuai dengan jenis mineral yang dibaca. Peubah yang Diamati 1. Suhu dan Kelembaban Pengamatan suhu dan kelembaban dilakukan setiap pagi hari sekitar pukul selama penelitian. Pencatatan suhu dan kelembaban dilihat dari layar termometer digital. 2. Bobot Badan Mingguan Penimbangan pedet dilakukan setiap akhir minggu pada pagi hari sekitar pukul sebelum pakan dan air minum diberikan. PBBH / minggu = PBB n PBB (n 1) 7 hari Keterangan: PBB n = Pertambahan Bobot Badan minggu ke-n PBB n 1 = Pertambahan Bobot Badan minggu ke-(n 1) 3. Konsumsi BK KBK = KR x % BK ransum Keterangan: KBK = Konsumsi Bahan Kering (g/ekor/hari) KR = Konsumsi Ransum (g/ekor/hari) 26

27 4. Suhu Rektal Pengukuran suhu rektal ( C) dilakukan dengan cara memasukkan termometer digital ke dalam anus pedet. Pengukuran dilakukan setiap akhir minggu pada pagi sekitar pukul dan sore hari sekitar pukul Laju Respirasi Pengukuran laju respirasi dilakukan dengan cara mengamati pergerakan perut pedet pada saat bernafas selama satu menit. Pengukuran dilakukan setiap akhir minggu pada pagi sekitar pukul dan sore hari sekitar pukul Denyut Jantung Pengukuran denyut jantung dilakukan dengan menghitung denyut jantung pada bagian dada pedet sebelah kiri di dekat jantung, selama satu menit. Pengukuran dilakukan setiap akhir minggu pada pagi sekitar pukul dan sore hari sekitar pukul Analisa Konsumsi Co dan Kadar Co dalam Darah Pembacaan kadar Co dalam sampel darah dan pakan hasil pengabuan basah dilakukan di Pusat Penelitian Tanah (Puslitan) dengan menggunakan metode Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS). 8. Analisa Hematologi Darah Proses analisa darah meliputi analisa butir darah merah (BDM), haemoglobin (Hb), dan hematokrit dilakukan di Laboratorium Fisiologi Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Pengukuran BDM menggunakan hemositometer Neubauer, pengukuran hemoglobin menggunakan spectrophotometer, dan pengukuran hematokrit menggunakan metode mikrohematokrit. Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan uji-t dengan rumus sebagai berikut: Hipotesis uji: H0: R1 = R2 H1: R1 R2 t hitung = ŷ 1 - ŷ 2 S 2 (1/n 1 + 1/n 2 ) 27

28 Keterangan: ŷ 1 = rataan perlakuan ke-1 ŷ 2 = rataan perlakuan ke-2 S = simpangan baku, dimana S = S 2 S 2 = (n 1-1) S (n 2-1) S 1 n 1 + n 2 2 t tabel = t (1-1/2a); (n1 + n2 2) Kriteria uji: Terima H0 jika - t tabel < t hitung < t tabel (Steel and Torrie, 1991). 28

29 HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban Kandang Suhu dan kelembaban merupakan faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi secara langsung terhadap tingkat konsumsi dan kondisi fisiologis suatu ternak. Jika suhu lingkungan terlalu rendah, pedet akan mengalami hypothermia dan bila terlalu panas dapat mengalami heat stress. Suhu lingkungan yang cocok bagi ternak harus berada dalam kisaran suhu thermoneutral zone pedet. Gambar 1 merupakan pola suhu lingkungan selama 6 minggu penelitian berlangsung. Gambar 1. Pola Suhu Kandang Selama Penelitian Selama enam minggu masa pemeliharaan, suhu lingkungan kandang cukup fluktuatif pada pagi hari berkisar antara 24,70-29,40 C dengan rataan sebesar 26,44 C. Sedangkan pada sore hari, suhu berkisar antara 24,90-32,00 C dengan rataan sebesar 27,88 C. Terlihat bahwa rataan temperatur lingkungan pada pagi ataupun sore hari selama enam minggu masa pemeliharaan cukup tinggi padahal menurut Sutardi (1981), diantara bangsa sapi perah, sapi FH tergolong kedalam bangsa sapi yang paling rendah daya tahan panasnya. Untuk sapi FH yang dipelihara di kawasan tropika, penampilan produksi sapi tidak akan berbeda jauh dengan sapi yang dipelihara di lingkungan sejuk apabila temperatur lingkungan berkisar antara 18,30-21,10 C (Sutardi, 1981). 29

30 Secara alamiah, kondisi tersebut kurang sesuai dengan suhu thermoneutral pedet, terutama pedet peranakan Friesian Holstein. Kondisi suhu yang tinggi pada pagi maupun sore hari dapat menyebabkan stress pada ternak. Menurut Sutardi (1981), cekaman panas dapat mempengaruhi suhu tubuh dan metabolisme karena dapat menimbulkan terjadinya penimbunan panas dalam tubuh ternak. Jika keadaan seperti ini terus berlangsung, maka akan terjadi peningkatan frekuensi pernapasan dan proses metabolisme yang tidak mendukung kondisi kesehatan dan pertumbuhan yang optimum. Pedet juga akan membutuhkan oksigen lebih banyak dan metabolisme energi meningkat. Akibatnya perlu diberikan pakan dengan nutrisi yang baik untuk mencegah terjadinya penurunan pertumbuhan dan kondisi tubuh. Gambar 2 merupakan kelembaban lingkungan sekitar kandang selama penelitian. Gambar 2. Kelembaban Kandang Selama Penelitian Kelembaban lingkungan selama 6 minggu masa pemeliharaan berlangsung dapat dilihat pada Gambar 2. Kelembaban lingkungan pada pagi hari berkisar antara % dengan rataan sebesar 97,12 %. Sedangkan kelembaban pada sore hari berkisar antara % dengan rataan sebesar 83,6 %. Seperti suhu lingkungan, kelembaban pada pagi dan sore hari selama masa penelitian sangat tinggi dan kurang cocok untuk kehidupan pedet FH yang optimum. Menurut Sutardi (1981), penampilan produksi sapi FH yang dipelihara di kawasan tropis tidak akan berbeda jauh dengan sapi yang dipelihara di lingkungan sejuk bila dipelihara dalam 30

31 lingkungan dengan kelembaban udara sekitar 55 %. Kelembaban tinggi di tempat penelitian dapat menyebabkan perkembangan mikroba yang kurang menguntungkan di sekitar kandang. Kemungkinan lain yang berkembang dalam suhu dan kelembaban yang tinggi adalah gangguan pernapasan. Status Fisiologis Pedet Pakan yang diberi Kobalt dan mendapat Inokulasi Bakteri Pencerna Serat Suhu Rektal Suhu rektal dapat menjadi indikator untuk menggambarkan suhu internal tubuh ternak. Secara normal, suhu rektal ternak pada pagi hari akan lebih rendah daripada suhu rektal pada siang atau sore hari karena suhu rektal ternak akan meningkat seiring dengan peningkatan suhu lingkungan. Rataan suhu rektal pada pagi dan sore hari selama masa penelitian dapat dilihat pada Tabel 5. Rataan suhu rektal pada pagi dan sore hari pada P0 dan P1 tidak menunjukkan adanya perbedaan. Tabel 5. Rataan Suhu Rektal ( C) Pedet Pada Pagi dan Sore Selama Penelitian Minggu Pagi Sore P0 P1 P0 P1 1 39,04 ± 0,57 38,75 ± 0,29 39,44 ± 0,68 39,18 ± 0, ,06 ± 0,53 39,70 ± 1,00 39,62 ± 0,55 39,73 ± 0, ,26 ± 0,54 38,45 ± 0,81 38,76 ± 0,60 39,28 ± 0, ,78 ± 0,36 39,03 ± 0,23 39,50 ± 0,22 39,43 ± 0, ,16 ± 0,40 39,23 ± 0,38 40,00 ± 0,19 40,27 ± 0, ,24 ± 0,21 39,47 ± 0,21 39,78 ± 0,52 40,30 ± 0,20 Rataan 38,92 ± 0,43 39,11 ± 0,48 39,52 ± 0,46 39,70 ± 0,23 Keterangan: P0 = kelompok pedet kontrol dan P1 = kelompok pedet yang mendapatkan inokulasi isolat bakteri pencerna serat Suhu rektal tidak dipengaruhi oleh inokulasi isolat bakteri selama periode penelitian. Bila laju pembentukan panas dalam tubuh lebih besar daripada laju hilangnya panas, maka akan timbul panas dalam tubuh dan temperatur tubuh akan meningkat. Secara keseluruhan, selama masa pemeliharaan dengan temperatur lingkungan yang cukup tinggi, suhu rektal ternak berada di kisaran normal baik pedet kontrol maupun pedet yang mendapat inokulasi isolat bakteri karena suhu rektal ternak berumur kurang dari satu tahun berkisar antara 38,50-40,00 C. Secara fisiologis terdapat perbedaan suhu rektal antara pedet kontrol dan pedet yang mendapat inokulasi isolat bakteri. Terlihat bahwa rata-rata pedet yang 31

32 mendapatkan isolat bakteri, suhu rektalnya lebih tinggi. Selisih suhu rektal antara pedet yang mendapat inokulasi isolat bakteri dengan kelompok pedet kontrol berkisar antara 0,2 1 C. Walaupun selisih tidak terlalu besar, perbedaan suhu tubuh tersebut dapat menimbulkan pengaruh yang cukup besar terhadap metabolisme nutrien. Proses metabolisme yang terjadi di dalam tubuh pedet yang diinokulasi isolat bakteri lebih meningkat dibandingkan dengan kelompok pedet kontrol. Perubahan unsur-unsur iklim seperti suhu lingkungan dapat menyebabkan perbedaan pada suhu rektal. Namun dalam kondisi ini suhu lingkungan sama pada semua kelompok pedet. Suhu tubuh yang lebih tinggi menunjukkan adanya metabolisme energi yang lebih tinggi pada kelompok pedet yang mendapat inokulasi isolat bakteri. Hewan homeotherm mampu untuk mempertahankan dan mengeluarkan panas tubuh dalam upaya untuk menjaga agar suhu tubuh tetap dalam kisaran normal (Berman, 2005). Laju Respirasi Respirasi adalah proses pertukaran udara dengan cara menghirup oksigen dan mengeluarkan karbon dioksida. Sistem respirasi mempunyai dua fungsi utama yaitu untuk menyediakan oksigen untuk darah dan mengambil karbon dioksida dari dalam darah. Rataan respirasi pedet selama masa penelitian dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Laju Respirasi (kali/menit) Pedet Pada Pagi dan Sore Selama Penelitian Minggu Pagi Sore P0 P1 P0 P1 1 49,60 ± 7,13 41,75 ± 1,71 59,00 ± 3,32 55,50 ± 4, ,40 ± 4,22 43,75 ± 8,81 45,60 ± 6,35 44,75 ± 5, ,00 ± 4,06 38,50 ± 3,42 44,60 ± 3,65 45,00 ± 1, ,20 ± 1,92 39,67 ± 3,21 55,20 ± 5,97 54,00 ±4, ,80 ± 4,55 45,67 ± 5,86 64,00 ± 10,75 66,00 ± 10, ,20 ± 3,90 44,67 ± 2,08 57,20 ± 2,59 55,33 ±4,16 Rataan 43,70 ± 4,30 42,33 ± 4,18 54,27 ± 5,44 53,43 ± 5,13 Keterangan: P0 = kelompok pedet kontrol dan P1 = kelompok pedet yang mendapatkan inokulasi isolat bakteri pencerna serat Rataan respirasi pada pagi dan sore hari pada pedet dengan perlakuan kontrol (P0) dan pedet yang mendapat inokulasi isolat bakteri pencerna serat (P1) tidak menunjukkan perbedaan. Laju respirasi semua kelompok pedet pada sore hari lebih tinggi daripada pagi hari. Hal ini dikarenakan suhu lingkungan pada sore hari lebih 32

33 tinggi daripada suhu pagi hari. Namun, laju respirasi pagi dan sore hari pada pedet P0 sama dengan pedet P1. Hal ini menunjukkan bahwa laju pelepasan panas tubuh pedet melalui pernafasan pada kedua perlakuan sama. Pelepasan panas tubuh bisa terjadi melalui saluran pernafasan pada saat respirasi. Pelepasan panas tubuh ternak akan semakin tinggi bila laju respirasi semakin meningkat. Menurut Esmay (1982), laju respirasi normal pada pedet sebanyak kali/menit. Peningkatan frekuensi respirasi merupakan salah satu cara untuk mempertahankan keseimbangan panas tubuh pada saat suhu udara dalam kandang meningkat. Suhu dan kelembaban udara yang tinggi dalam kandang akan menyebabkan kenaikan frekuensi respirasi guna menyesuaikan dirinya terhadap suhu dan kelembaban udara yang tinggi sehingga untuk mengimbangi pengaturan panas tubuh dilakukan melalui pengaturan frekuensi respirasi. Nilai laju respirasi kedua kelompok tersebut dapat dikatagorikan dalam kondisi normal. Denyut Jantung Fluktuasi denyut nadi ataupun denyut jantung rata-rata pada siang atau sore hari secara nyata lebih tinggi dibandingkan pada pagi hari. Hal ini sebagai akibat tingginya suhu udara pada siang hari. Denyut jantung pedet selama masa penelitian dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Denyut Jantung (kali/menit) Pedet Pada Pagi dan Sore Selama Penelitian Minggu Ke- Pagi Sore P0 P1 P0 P1 1 80,4 ± 4,56 77,0 ± 2,58 86,0 ± 7,07 79,5 ± 3, ,8 ± 5,76 77,0 ± 5,29 84,4 ± 9,10 77,0 ± 4, ,2 ± 4,60 73,3 ± 5,00 78,4 ± 2,61 76,5 ± 3, ,6 ± 1,67 79,3 ± 2,31 81,6 ± 1,67 80,0 ± 0, ,8 ± 3,35 79,3 ± 3,06 94,8 ± 7,43 97,3 ± 3, ,8 ± 2,28 79,3 ± 9,24 87,2 ± 4,82 87,3 ± 1,15 Rataan 78,6 ± 3,71 77,57 ± 4,58 85,4 ± 5,45 82,94 ± 2,50 Keterangan: P0 = kelompok pedet kontrol dan P1 = kelompok pedet yang mendapatkan inokulasi isolat bakteri pencerna serat Tidak terdapat perbedaan antara P0 dan P1 terhadap denyut jantung. Menurut Berman (2005) frekuensi denyut jantung pada umur kurang 2 bulan adalah kali/menit dan pada umur 3-6 bulan adalah kali/menit. Secara keseluruhan, inokulasi isolat bakteri tidak mempengaruhi denyut jantung. Inokulasi isolat bakteri pada pedet yang ransumnya disuplementasi Co tidak menyebabkan perbedaan dalam 33

34 distribusi nutrien oleh darah. Berman (2005) menyatakan bahwa peningkatan suhu lingkungan akan menyebabkan berbagai macam perubahan reaksi fisiologis hewan seperti meningkatnya suhu rektal, frekuensi pernafasan serta denyut nadi. Walaupun kondisi suhu lingkungan dan kelembaban cukup tinggi namun denyut jantung pedet pada kedua kelompok perlakuan berada dalam kondisi normal. Pengaruh Inokulasi Bakteri Pencerna Serat dan Pakan yang diberi Kobalt Terhadap Performa Pedet Konsumsi BK Konsumsi ransum merupakan dasar untuk mencukupi hidup pokok dan menentukan tingkat produksi. Tingkat konsumsi ternak dipengaruhi oleh berbagai faktor kompleks yang terdiri dari hewan, pakan yang diberikan, dan lingkungan tempat hewan tersebut dipelihara (Parakkasi, 1999). Tabel 4. Rataan Konsumsi Bahan Kering Ransum Selama Pemeliharaan Minggu Perlakuan P0 P (g/ekor/hari) ,62 ± 274,87 a 1163,02 ± 250,15 b 2 801,65 ± 495, ,1 ± 515, ,2 ± 501, ,8 ± 966, ,23± 647, ,56 ± 1404, ,48 ± 676,74 c 2962,45 ± 488,81 d ,75 ± 583,16 e 3111,43 ± 278,99 f Keterangan: Nilai dengan superskrip yang berbeda pada baris yang sama berarti berbeda nyata (P<0.05), P0 =kelompok pedet kontrol dan P1 = kelompok pedet yang mendapatkan inokulasi isolat bakteri pencerna serat Banyaknya serat yang dikonsumsi oleh pedet, dapat menjadi indikator perkembangan bakteri rumen. Pada Tabel 4 terlihat bahwa pada minggu ke-1, 5, dan 6 pedet yang telah diinokulasi isolat bakteri pencerna serat pada saat pra sapih mampu mengkonsumsi pakan berserat lebih banyak daripada pedet kontrol. Namun bila dilihat pertambahan bobot badan, PBB kelopok pedet pada perlakuan P0 dan P1 pada minggu ke-1 dan 5 tidak ada perbedaan. Walaupun isolat bakteri yang diinokulasikan telah berkembang cukup baik, namun kelompok pedet P1 belum 34

35 mampu untuk memanfaatkan nutrien untuk pertumbuhan meskipun sudah mampu untuk mencerna pakan berserat yang diberikan. Pada minggu ke-6, inokulasi isolat bakteri baru menunjukan pengaruh yang berbeda. Konsumsi pakan berserat pada kelompok pedet P1 meningkat melebihi kelompok pedet P0 dan bila dilihat dari perbedaan PBB dapat disimpulkan bahwa P1 sudah lebih mampu memanfaatkan nutrien untuk pertumbuhan. Pertambahan Bobot Badan Pertambahan bobot badan merupakan salah satu indikator pertumbuhan suatu ternak dan keberhasilan manajemen pemeliharaan. Pengaruh perlakuan terhadap bobot badan selama pemeliharaan dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Pertambahan Bobot Badan (PBB) Selama Periode Penelitian Minggu Perlakuan P0 P PBB (g/ekor/hari) ,14 ± 127,78 535,71 ± 472, ,57 ± 511,1 178,57 ± 243, ,57 ± 444,93 428,57 ± 521, ,71 ± 186,26 428,57 ± 742, ,14 ± 397,7 809,52 ± 436, ,57 ± 174,96 a 761,90 ± 82,48 b Keterangan : Nilai dengan superskrip yang berbeda pada baris yang sama berarti berbeda (P<0,05), P0 = kelompok pedet kontrol dan P1 = kelompok pedet yang mendapatkan inokulasi isolat bakteri pencerna serat Semakin lama masa pemeliharaan, pertambahan bobot badan terus meningkat. Selama enam minggu masa pemeliharaan, pada minggu ke-6 pertambahan bobot badan pedet yang mendapat inokulasi isolat bakteri baru terlihat nyata perbedaannya dengan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa setelah inokulasi bakteri dihentikan, bakteri pada rumen berkembang terus secara sempurna pada minggu terakhir sehingga lebih mampu untuk mencerna pakan berserat dan memanfaatkan nutrien untuk pertumbuhan. Inokulasi isolat bakteri diperkirakan memacu perkembangan rumen pedet khususnya bakteri rumen pencerna serat. Perkembangan rumen adalah penentu kesuksesan penyapihan dan pertumbuhan pasca-sapih. Hal yang menentukan perkembangan rumen yaitu: a) perkembangan bakteri dalam rumen; b) ketersediaan 35

MATERI DAN METODE. Gambar 1. Kandang Penelitian

MATERI DAN METODE. Gambar 1. Kandang Penelitian MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama 5 bulan yaitu pada bulan November 2009 sampai dengan Maret 2010, bertempat di kandang A, kandang sapi perah Fakultas Peternakan, Institut

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Pedet Sapi Friesian Holstein Perkembangan Saluran Pencernaan dan Penyapihan Pedet

TINJAUAN PUSTAKA Pedet Sapi Friesian Holstein Perkembangan Saluran Pencernaan dan Penyapihan Pedet TINJAUAN PUSTAKA Pedet Sapi Friesian Holstein Sapi Fries Hollands (FH) berasal dari propinsi Belanda Utara dan propinsi Friesland Barat. Sapi FH di Amerika Serikat disebut Holstein Friesian atau Holstein

Lebih terperinci

STATUS FISIOLOGIS DAN PERFORMA PEDET PERANAKAN FRIESIAN HOLSTEIN PRASAPIH YANG DIINOKULASI BAKTERI PENCERNA SERAT DENGAN PAKAN BERSUPLEMEN KOBALT

STATUS FISIOLOGIS DAN PERFORMA PEDET PERANAKAN FRIESIAN HOLSTEIN PRASAPIH YANG DIINOKULASI BAKTERI PENCERNA SERAT DENGAN PAKAN BERSUPLEMEN KOBALT STATUS FISIOLOGIS DAN PERFORMA PEDET PERANAKAN FRIESIAN HOLSTEIN PRASAPIH YANG DIINOKULASI BAKTERI PENCERNA SERAT DENGAN PAKAN BERSUPLEMEN KOBALT SKRIPSI AHMAD HADZIQ DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memiliki ciri-ciri fisik antara lain warna hitam berbelang putih, ekor dan kaki

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memiliki ciri-ciri fisik antara lain warna hitam berbelang putih, ekor dan kaki 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Perah Sapi perah yang dipelihara di Indonesia pada umumnya adalah Friesian Holstein (FH) dan Peranakan Friesian Holstein (PFH) (Siregar, 1993). Sapi FH memiliki ciri-ciri

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Data hasil perhitungan jumlah sel darah merah, kadar hemoglobin, nilai hematokrit, MCV, MCH, dan MCHC pada kerbau lumpur betina yang diperoleh dari rata-rata empat kerbau setiap

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. unggas air yang cocok untuk dikembangbiakkan di Indonesia. Sistem

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. unggas air yang cocok untuk dikembangbiakkan di Indonesia. Sistem 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Itik Peking Itik Peking merupakan itik tipe pedaging yang termasuk dalam kategori unggas air yang cocok untuk dikembangbiakkan di Indonesia. Sistem pemeliharaan itik Peking

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Nutrien Ransum Berdasarkan hasil analisa proksimat, kandungan zat makanan ransum perlakuan disajikan pada Tabel 10. Terdapat adanya keragaman kandungan nutrien protein, abu

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, diperoleh rata-rata jumlah

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, diperoleh rata-rata jumlah 23 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, diperoleh rata-rata jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, persentase hematokrit, MCV, MCH dan MCHC ayam broiler dengan perlakuan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ternak disamping manajemen pemeliharaan dan pemberian pakan adalah faktor manajemen lingkungan. Suhu dan kelembaban yang

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang dan Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Daging dan Kerja, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gathot Gathot merupakan hasil fermentasi secara alami pada ketela pohon. Ketela pohon tersebut memerlukan suasana lembab untuk ditumbuhi jamur secara alami. Secara umum,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ternak perah adalah ternak yang diusahakan untuk menghasikan susu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ternak perah adalah ternak yang diusahakan untuk menghasikan susu 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Perah Ternak perah adalah ternak yang diusahakan untuk menghasikan susu sebanyak-banyaknya, disamping hasil lainnya. Macam - macam sapi perah yang ada di dunia adalah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Penelitian Suhu dan Kelembaban HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Suhu dalam kandang saat penelitian berlangsung berkisar antara 26,9-30,2 o C. Pagi 26,9 o C, siang 30,2 o C, dan sore 29,5 o C. Kelembaban

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran darah berupa jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, dan nilai hematokrit sapi perah FH umur satu sampai dua belas bulan ditampilkan pada Tabel 3. Tabel 3 Gambaran Eritrosit

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Lokasi Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Faktor manajemen lingkungan juga berpengaruh terhadap pertumbuhan ternak. Suhu dan kelembaban yang sesuai dengan kondisi fisiologis ternak akan membuat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Performa Produksi Bobot Badan Akhir dan Pertambahan Bobot Badan Harian Bobot badan merupakan salah satu indikator untuk mengetahui performa produksi suatu ternak. Performa produksi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan pertambahan penduduk dari tahun ke tahun yang terus meningkat

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan pertambahan penduduk dari tahun ke tahun yang terus meningkat 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Seiring dengan pertambahan penduduk dari tahun ke tahun yang terus meningkat yakni pada tahun 2011 berjumlah 241.991 juta jiwa, 2012 berjumlah 245.425 juta

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. persilangan antara sapi Jawa dengan sapi Bali (Rokhana, 2008). Sapi Madura

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. persilangan antara sapi Jawa dengan sapi Bali (Rokhana, 2008). Sapi Madura 14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Madura Sapi Madura termasuk dalam sapi lokal Indonesia, yang berasal dari hasil persilangan antara sapi Jawa dengan sapi Bali (Rokhana, 2008). Sapi Madura memiliki

Lebih terperinci

PENGARUH BINDER MOLASES DALAM COMPLETE CALF STARTER BENTUK PELLET TERHADAP KONSENTRASI VOLATILE FATTY ACID DARAH DAN GLUKOSA DARAH PEDET PRASAPIH

PENGARUH BINDER MOLASES DALAM COMPLETE CALF STARTER BENTUK PELLET TERHADAP KONSENTRASI VOLATILE FATTY ACID DARAH DAN GLUKOSA DARAH PEDET PRASAPIH PENGARUH BINDER MOLASES DALAM COMPLETE CALF STARTER BENTUK PELLET TERHADAP KONSENTRASI VOLATILE FATTY ACID DARAH DAN GLUKOSA DARAH PEDET PRASAPIH SKRIPSI Oleh ZULFARY ARIF FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat meningkat pula. Namun, perlu dipikirkan efek samping yang

I. PENDAHULUAN. masyarakat meningkat pula. Namun, perlu dipikirkan efek samping yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah limbah tidak dapat lepas dari adanya aktifitas industri, termasuk industri ternak ayam pedaging. Semakin meningkat sektor industri maka taraf hidup masyarakat meningkat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Pemeliharaan sapi perah bertujuan utama untuk memperoleh produksi susu yang tinggi dan efisien pakan yang baik serta mendapatkan hasil samping berupa anak. Peningkatan produksi

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Gambar 2. Contoh Domba Penelitian

MATERI DAN METODE. Gambar 2. Contoh Domba Penelitian MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang dan Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Daging dan Kerja, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Permintaan masyarakat terhadap sumber protein hewani seperti daging, susu, dan

I. PENDAHULUAN. Permintaan masyarakat terhadap sumber protein hewani seperti daging, susu, dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Permintaan masyarakat terhadap sumber protein hewani seperti daging, susu, dan telur terus meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk. Untuk memenuhi

Lebih terperinci

Gambar 2. Domba didalam Kandang Individu

Gambar 2. Domba didalam Kandang Individu MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Lapang Nutrisi Ternak Daging dan Kerja (kandang B) pada bulan Mei sampai dengan bulan November 2010. Analisis sampel dilakukan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Ayam Pedaging dan Konversi Pakan ini merupakan penelitian penelitian. ransum yang digunakan yaitu 0%, 10%, 15% dan 20%.

BAB III METODE PENELITIAN. Ayam Pedaging dan Konversi Pakan ini merupakan penelitian penelitian. ransum yang digunakan yaitu 0%, 10%, 15% dan 20%. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian tentang Pengaruh Penggunaan Onggok Kering Terfermentasi Probiotik dalam Ransum Terhadap Konsumsi Pakan, Pertambahan Bobot Badan Ayam

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum di dalam Kandang Rataan temperatur dan kelembaban di dalam kandang selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Rataan Suhu dan Kelembaban Relatif Kandang Selama

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Secara umum penelitian ini sudah berjalan dengan cukup baik. Terdapat sedikit hambatan saat akan memulai penelitian untuk mencari ternak percobaan dengan umur

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Zat Makanan Berdasarkan analisis statistik, konsumsi bahan kering nyata dipengaruhi oleh jenis ransum, tetapi tidak dipengaruhi oleh jenis domba dan interaksi antara kedua

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Lemak (%)

TINJAUAN PUSTAKA. Lemak (%) TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein (FH) Bangsa sapi perah Fries Holland berasal dari North Holland dan West Friesland yaitu dua propinsi yang ada di Belanda. Kedua propinsi tersebut merupakan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE P1U4 P1U1 P1U2 P1U3 P2U1 P2U2 P2U3 P2U4. Gambar 1. Kambing Peranaka n Etawah yang Diguna ka n dalam Penelitian

MATERI DAN METODE P1U4 P1U1 P1U2 P1U3 P2U1 P2U2 P2U3 P2U4. Gambar 1. Kambing Peranaka n Etawah yang Diguna ka n dalam Penelitian MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama 4 bulan pada bulan Juni sampai September 2011 bertempat di Peternakan Kambing Darul Fallah - Ciampea Bogor; Laboratorium

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan di Kandang Peternakan Koperasi PT Gunung

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan di Kandang Peternakan Koperasi PT Gunung 22 III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan di Kandang Peternakan Koperasi PT Gunung Madu Plantation Kecamatan Terusan Nunyai Kabupaten Lampung Tengah pada

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 16 HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah Eritrosit (Sel Darah Merah) Profil parameter eritrosit yang meliputi jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, dan nilai hematokrit kucing kampung (Felis domestica) ditampilkan

Lebih terperinci

METODE. Materi 10,76 12,09 3,19 20,90 53,16

METODE. Materi 10,76 12,09 3,19 20,90 53,16 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Nutrisi Ternak Daging dan Kerja Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Pemeliharaan ternak percobaan dilakukan dari bulan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Zat Makanan Biomineral Dienkapsulasi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Zat Makanan Biomineral Dienkapsulasi HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Zat Makanan Biomineral Dienkapsulasi Kandungan nutrien biomineral tanpa proteksi dan yang diproteksi serta mineral mix dapat dilihat pada Tabel 7. Kandungan nutrien biomineral

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. peternakan pun meningkat. Produk peternakan yang dimanfaatkan

I. PENDAHULUAN. peternakan pun meningkat. Produk peternakan yang dimanfaatkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Sejalan dengan meningkatnya pengetahuan masyarakat akan pentingnya protein hewani untuk memenuhi kebutuhan gizi, permintaan masyarakat akan produkproduk peternakan

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. terjadinya penurunan kemampuan induk dalam mencukupi kebutuhan nutrient

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. terjadinya penurunan kemampuan induk dalam mencukupi kebutuhan nutrient BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pedet Pedet merupakan ternak replacement stock. Pemberian suplemen pada pedet prasapih pada awal laktasi diharapkan akan dapat mengendalikan penyebab terjadinya penurunan kemampuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. semua bagian dari tubuh rusa dapat dimanfaatkan, antara lain daging, ranggah dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. semua bagian dari tubuh rusa dapat dimanfaatkan, antara lain daging, ranggah dan 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rusa Timor (Rusa timorensis) Rusa Timor (Rusa timorensis) merupakan salah satu contoh rusa yang ada di Indonesia yang memiliki potensi cukup baik untuk dikembangkan. Hampir

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang

HASIL DAN PEMBAHASAN. (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum BBPTU-HPT Baturraden Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang ada

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian telah dilaksanakan selama 2 bulan dari tanggal 5 Agustus

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian telah dilaksanakan selama 2 bulan dari tanggal 5 Agustus 15 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian telah dilaksanakan selama 2 bulan dari tanggal 5 Agustus sampai dengan 30 September 2015. Kegiatan penelitian ini bertempat di P.T. Naksatra Kejora Peternakan Sapi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Pakan Penambahan daun Som Jawa pada ransum menurunkan kandungan serat kasar dan bahan kering ransum, namun meningkatkan protein kasar ransum. Peningkatan protein disebabkan

Lebih terperinci

PEMBAHASAN. Zat Makanan Ransum Kandungan zat makanan ransum yang diberikan selama penelitian ini secara lengkap tercantum pada Tabel 4.

PEMBAHASAN. Zat Makanan Ransum Kandungan zat makanan ransum yang diberikan selama penelitian ini secara lengkap tercantum pada Tabel 4. PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Rata-rata suhu lingkungan dan kelembaban kandang Laboratotium Ilmu Nutrisi Ternak Daging dan Kerja sekitar 26,99 0 C dan 80,46%. Suhu yang nyaman untuk domba di daerah

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Ternak Peralatan Prosedur

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Ternak Peralatan Prosedur MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Peternakan Domba Indocement Citeureup, Bogor selama 10 minggu. Penelitian dilakukan pada awal bulan Agustus sampai pertengahan bulan Oktober

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Merah (Hylocereus polyrhizus) terhadap Performa Burung Puyuh Betina Umur 16

BAB III MATERI DAN METODE. Merah (Hylocereus polyrhizus) terhadap Performa Burung Puyuh Betina Umur 16 16 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian dengan judul Pengaruh Penambahan Aditif Cair Buah Naga Merah (Hylocereus polyrhizus) terhadap Performa Burung Puyuh Betina Umur 16-50 Hari dilaksanakan pada bulan

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian telah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2016 sampai dengan 6

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian telah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2016 sampai dengan 6 12 BAB III MATERI DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian telah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2016 sampai dengan 6 Maret 2016 di Kelompok Tani Ternak Wahyu Agung, Desa Sumogawe, Kecamatan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. terhadap lingkungan tinggi, dan bersifat prolifik. Populasi domba di Indonesia pada

PENDAHULUAN. terhadap lingkungan tinggi, dan bersifat prolifik. Populasi domba di Indonesia pada 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Domba merupakan ternak ruminansia yang banyak dipelihara masyarakat dan dimanfaatkan produksinya sebagai ternak penghasil daging dan sebagai tabungan. Domba memiliki

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Gambar 3. Domba yang Digunakan Dalam Penelitian

MATERI DAN METODE. Gambar 3. Domba yang Digunakan Dalam Penelitian MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Nutrisi Ternak Daging dan Kerja untuk tahap pemeliharaaan serta analisis sampel di Laboratorium Ilmu dan Teknologi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN 482,91 55, ,01 67,22

HASIL DAN PEMBAHASAN 482,91 55, ,01 67,22 HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi dan Kecernaan Bahan Kering Konsumsi dan kecernaan bahan kering dapat dilihat di Tabel 8. Penambahan minyak jagung, minyak ikan lemuru dan minyak ikan lemuru terproteksi tidak

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Pakan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Pakan Konsumsi Bahan Kering (BK) HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Pakan Konsumsi pakan merupakan jumlah pakan yang dimakan oleh ternak yang akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok dan proses produksi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan Serat Kasar. Kecernaan serat suatu bahan pakan penyusun ransum akan mempengaruhi

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan Serat Kasar. Kecernaan serat suatu bahan pakan penyusun ransum akan mempengaruhi IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan Serat Kasar Kecernaan serat suatu bahan pakan penyusun ransum akan mempengaruhi keseluruhan kecernaan ransum. Nilai kecernaan yang paling

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Gambar 1. Ternak Domba yang Digunakan

MATERI DAN METODE. Gambar 1. Ternak Domba yang Digunakan MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang dan Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Daging dan Kerja, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk. Domba Lokal memiliki bobot badan antara kg pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk. Domba Lokal memiliki bobot badan antara kg pada BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Domba Lokal Domba pada umumnya dipelihara sebagai penghasil daging (Edey, 1983). Domba Lokal yang terdapat di Indonesia adalah Domba Ekor Tipis, Priangan dan Domba Ekor Gemuk.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi potong merupakan sapi yang dipelihara dengan tujuan utama sebagai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi potong merupakan sapi yang dipelihara dengan tujuan utama sebagai 9 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Potong Sapi potong merupakan sapi yang dipelihara dengan tujuan utama sebagai penghasil daging. Sapi potong biasa disebut sebagai sapi tipe pedaging. Sapi pedaging memiliki

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. yaitu ekor menjadi ekor (BPS, 2016). Peningkatan

PENDAHULUAN. yaitu ekor menjadi ekor (BPS, 2016). Peningkatan I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ternak Domba Garut merupakan ternak ruminansia kecil yang banyak dipelihara oleh masyarakat, karena pemeliharaannya yang tidak begitu sulit, dan sudah turun temurun dipelihara

Lebih terperinci

TEKNIK PENGOLAHAN UMB (Urea Molases Blok) UNTUK TERNAK RUMINANSIA Catur Prasetiyono LOKA PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN KEPRI

TEKNIK PENGOLAHAN UMB (Urea Molases Blok) UNTUK TERNAK RUMINANSIA Catur Prasetiyono LOKA PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN KEPRI TEKNIK PENGOLAHAN UMB (Urea Molases Blok) UNTUK TERNAK RUMINANSIA Catur Prasetiyono LOKA PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN KEPRI I. Pendahuluan Ternak ruminansia diklasifikasikan sebagai hewan herbivora karena

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi Nutrien Biskuit Rumput Lapang dan Daun Jagung Komposisi nutrien diperlukan untuk mengetahui kandungan zat makanan yang terkandung di dalam biskuit daun jagung dan rumput

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan sumber penghasil susu terbanyak dibandingkan

PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan sumber penghasil susu terbanyak dibandingkan 1 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sapi perah merupakan sumber penghasil susu terbanyak dibandingkan hewan ternak perah lainnya. Keunggulan yang dimiliki sapi perah tersebut membuat banyak pengusaha-pengusaha

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. atau ayam yang kemampuan produksi telurnya tinggi. Karakteristik ayam petelur

I. PENDAHULUAN. atau ayam yang kemampuan produksi telurnya tinggi. Karakteristik ayam petelur I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Ayam petelur adalah ayam yang mempunyai sifat unggul dalam produksi telur atau ayam yang kemampuan produksi telurnya tinggi. Karakteristik ayam petelur yaitu

Lebih terperinci

UPAYA UNTUK MENINGKATKAN PERTAMBAHAN BOBOT BADAN DAN EFISIENSI PENGGUNAAN PAKAN PADA KAMBING PERANAKAN ETAWAH MENGGUNAKAN SUPLEMEN KATALITIK

UPAYA UNTUK MENINGKATKAN PERTAMBAHAN BOBOT BADAN DAN EFISIENSI PENGGUNAAN PAKAN PADA KAMBING PERANAKAN ETAWAH MENGGUNAKAN SUPLEMEN KATALITIK UPAYA UNTUK MENINGKATKAN PERTAMBAHAN BOBOT BADAN DAN EFISIENSI PENGGUNAAN PAKAN PADA KAMBING PERANAKAN ETAWAH MENGGUNAKAN SUPLEMEN KATALITIK Dian Agustina (dianfapetunhalu@yahoo.co.id) Jurusan Peternakan,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Devendra dan Burns (1994) menyatakan bahwa kambing menyukai pakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Devendra dan Burns (1994) menyatakan bahwa kambing menyukai pakan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pakan Ternak Devendra dan Burns (1994) menyatakan bahwa kambing menyukai pakan beragam dan tidak bisa tumbuh dengan baik bila terus diberi pakan yang sama dalam jangka waktu yang

Lebih terperinci

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Ternak yang dijadikan objek percobaan adalah puyuh betina yang

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Ternak yang dijadikan objek percobaan adalah puyuh betina yang III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Bahan Penelitian 3.1.1 Ternak Penelitian Ternak yang dijadikan objek percobaan adalah puyuh betina yang berumur 2 minggu. Puyuh diberi 5 perlakuan dan 5 ulangan dengan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang Pengaruh Penggunaan Campuran Onggok dan Molase

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang Pengaruh Penggunaan Campuran Onggok dan Molase 38 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian tentang Pengaruh Penggunaan Campuran Onggok dan Molase Terfermentasi Terhadap Konsumsi Pakan, Konversi Pakan dan Pertambahan Bobot

Lebih terperinci

PERFORMA AYAM BROILER YANG DIBERI RANSUM BERBASIS JAGUNG DAN BUNGKIL KEDELAI DENGAN SUPLEMENTASI DL-METIONIN SKRIPSI HANI AH

PERFORMA AYAM BROILER YANG DIBERI RANSUM BERBASIS JAGUNG DAN BUNGKIL KEDELAI DENGAN SUPLEMENTASI DL-METIONIN SKRIPSI HANI AH PERFORMA AYAM BROILER YANG DIBERI RANSUM BERBASIS JAGUNG DAN BUNGKIL KEDELAI DENGAN SUPLEMENTASI DL-METIONIN SKRIPSI HANI AH PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Fries Holland (Holstein Friesian) Pemberian Pakan Sapi Perah

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Fries Holland (Holstein Friesian) Pemberian Pakan Sapi Perah TINJAUAN PUSTAKA Sapi Fries Holland (Holstein Friesian) Sapi Fries Holland (FH) berasal dari Propinsi Belanda Utara dan Propinsi Friesland Barat. Bulu sapi FH murni umumnya berwarna hitam dan putih, namun

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi Nutrien dan Asam Fitat Pakan Pakan yang diberikan kepada ternak tidak hanya mengandung komponen nutrien yang dibutuhkan ternak, tetapi juga mengandung senyawa antinutrisi.

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2011 sampai dengan bulan Januari 2012 di Desa Situ Udik, Kecamatan Cibungbulang untuk proses pembuatan silase daun singkong,

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan selama 45 hari mulai pada Desember 2014 hingga

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan selama 45 hari mulai pada Desember 2014 hingga 20 III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian telah dilaksanakan selama 45 hari mulai pada Desember 2014 hingga Januari 2015 di kandang peternakan Koperasi Gunung Madu Plantation,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kelinci New Zealand White berasal dari Amerika. Menurut Tambunan dkk.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kelinci New Zealand White berasal dari Amerika. Menurut Tambunan dkk. 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelinci New Zealand White Kelinci New Zealand White berasal dari Amerika. Menurut Tambunan dkk. (2015) kelinci dapat mengubah dan memanfaatkan bahan pakan kualitas rendah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. P2 * hari hari hari

HASIL DAN PEMBAHASAN. P2 * hari hari hari HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Pakan Pra Sapih Konsumsi pakan dihitung berdasarkan banyaknya pakan yang dikonsumsi setiap harinya. Pakan yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhan ternak tersebut. Pakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Unit Pendidikan, Penelitian dan Peternakan Jonggol (UP3J) merupakan areal peternakan domba milik Institut Pertanian Bogor (IPB) yang terletak di desa Singasari

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Prosedur Penyediaan Pakan Pemeliharaan Hewan Uji

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Prosedur Penyediaan Pakan Pemeliharaan Hewan Uji MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Peternakan Kambing Perah milik Yayasan Pesantren Darul Falah Ciampea dan Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Perah dan Laboratorium Ilmu dan

Lebih terperinci

HASIL DA PEMBAHASA. Konsumsi Bahan Kering Ransum

HASIL DA PEMBAHASA. Konsumsi Bahan Kering Ransum HASIL DA PEMBAHASA Konsumsi Bahan Kering Ransum 200 mg/kg bobot badan tidak mempengaruhi konsumsi bahan kering. Hasil yang tidak berbeda antar perlakuan (Tabel 2) mengindikasikan bahwa penambahan ekstrak

Lebih terperinci

disusun oleh: Willyan Djaja

disusun oleh: Willyan Djaja disusun oleh: Willyan Djaja 0 PENDAHULUAN Produksi sapi perah dipengaruhi oleh factor genetic, lingkungan, dan interaksi genetic dan lingkungan. Factor genetic berpengaruh sebesar 30 % dan lingkungan 70

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bahan Pakan Bahan pakan sapi perah terdiri atas hijauan dan konsentrat. Hijauan adalah bahan pakan yang sangat disukai oleh sapi. Hijauan merupakan pakan yang memiliki serat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Performa adalah pengukuran yang dilakukan untuk mengetahui pengaruh perlakuan selama penelitian. Performa ayam petelur selama penelitian disajikan dalam Tabel 6. Tabel 6. Rataan Performa

Lebih terperinci

RESPON FISIOLOGIS DOMBA YANG DIBERI MINYAK IKAN DALAM BENTUK SABUN KALSIUM

RESPON FISIOLOGIS DOMBA YANG DIBERI MINYAK IKAN DALAM BENTUK SABUN KALSIUM RESPON FISIOLOGIS DOMBA YANG DIBERI MINYAK IKAN DALAM BENTUK SABUN KALSIUM SKRIPSI R. LU LUUL AWABIEN PROGRAM STUDI NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 RINGKASAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. manusia. Ternak babi bila diklasifikasikan termasuk ke dalam kelas Mamalia, ordo

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. manusia. Ternak babi bila diklasifikasikan termasuk ke dalam kelas Mamalia, ordo BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Babi Babi adalah binatang yang dipelihara dari dahulu, dibudidayakan, dan diternakkan untuk tujuan tertentu utamanya untuk memenuhi kebutuhan akan daging atau

Lebih terperinci

RESPON PRODUKSI SUSU SAPI FRIESIAN HOLSTEIN TERHADAP PEMBERIAN SUPLEMEN BIOMINERAL DIENKAPSULASI SKRIPSI PIPIT

RESPON PRODUKSI SUSU SAPI FRIESIAN HOLSTEIN TERHADAP PEMBERIAN SUPLEMEN BIOMINERAL DIENKAPSULASI SKRIPSI PIPIT RESPON PRODUKSI SUSU SAPI FRIESIAN HOLSTEIN TERHADAP PEMBERIAN SUPLEMEN BIOMINERAL DIENKAPSULASI SKRIPSI PIPIT DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Kandang Hewan Percobaan, Laboratorium fisiologi dan biokimia, Fakultas

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Kandang Hewan Percobaan, Laboratorium fisiologi dan biokimia, Fakultas BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakasanakan di Laboratorium Produksi Ternak Potong dan Kandang Hewan Percobaan, Laboratorium fisiologi dan biokimia, Fakultas Peternakan Universitas

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Waktu dan Lokasi. Materi

MATERI DAN METODE. Waktu dan Lokasi. Materi MATERI DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilaksanakan di Kandang B, Laboratorium Biologi Hewan, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Laboratorium Terpadu Departemen Ilmu Nutrisi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN Analisis proksimat dilakukan di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak

BAB III METODE PENELITIAN Analisis proksimat dilakukan di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di kandang peternakan ayam broiler Desa Ploso Kecamatan Selopuro Kabupaten Blitar pada bulan Februari sampai Mei 2014.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tanduknya mengarah ke depan (Rahman, 2007). Sapi FH memiliki produksi susu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tanduknya mengarah ke depan (Rahman, 2007). Sapi FH memiliki produksi susu 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Perah Sapi perah FH merupakan sapi yang memiliki ciri warna putih belang hitam atau hitam belang putih dengan ekor berwarna putih, sapi betina FH memiliki ambing yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sama seperti sapi Bali betina. Kaki bagian bawah lutut berwarna putih atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sama seperti sapi Bali betina. Kaki bagian bawah lutut berwarna putih atau 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Madura Bangsa sapi Madura merupakan hasil persilangan antara sapi Zebu dan Banteng. Tubuh dan tanduknya relatif kecil, warna bulu pada jantan dan betina sama seperti

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Boer Jawa (Borja) Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan antara kambing Afrika lokal tipe kaki panjang dengan kambing yang berasal

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Gambar 4. Ternak Kerbau yang Digunakan Dalam Penelitian

MATERI DAN METODE. Gambar 4. Ternak Kerbau yang Digunakan Dalam Penelitian MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni hingga bulan September 2011 dan bertempat di Laboratorium Lapang Blok A, Laboratorium Ruminansia Besar, Fakultas Peternakan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan penduduk yang semakin pesat, permintaan produk

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan penduduk yang semakin pesat, permintaan produk 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Seiring dengan perkembangan penduduk yang semakin pesat, permintaan produk hasil peternakan yang berupa protein hewani juga semakin meningkat. Produk hasil

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mampu beradaptasi dengan pakan dan lingkungan yang kurang baik (Priyanto et

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mampu beradaptasi dengan pakan dan lingkungan yang kurang baik (Priyanto et 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Kacang Kambing Kacang merupakan kambing asli Malaysia dan Indonesia, mampu beradaptasi dengan pakan dan lingkungan yang kurang baik (Priyanto et al., 2002). Murtidjo

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat menyebabkan konsumsi protein hewani pun meningkat setiap

I. PENDAHULUAN. masyarakat menyebabkan konsumsi protein hewani pun meningkat setiap I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Peningkatan jumlah penduduk serta semakin meningkatnya pengetahuan masyarakat menyebabkan konsumsi protein hewani pun meningkat setiap tahunnya. Konsumsi protein

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Nutrien

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Nutrien HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Nutrien Konsumsi pakan merupakan faktor penting untuk menentukan kebutuhan hidup pokok dan produksi karena dengan mengetahui tingkat konsumsi pakan maka dapat ditentukan kadar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nutrien pakan dan juga produk mikroba rumen. Untuk memaksimalkan

I. PENDAHULUAN. nutrien pakan dan juga produk mikroba rumen. Untuk memaksimalkan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Produktivitas ternak ruminansia sangat tergantung oleh ketersediaan nutrien pakan dan juga produk mikroba rumen. Untuk memaksimalkan produktivitas ternak tersebut selama

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Bligon. Kambing Bligon (Jawa Randu) merupakan kambing hasil

TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Bligon. Kambing Bligon (Jawa Randu) merupakan kambing hasil TINJAUAN PUSTAKA Kambing Bligon Kambing Bligon (Jawa Randu) merupakan kambing hasil persilangan antara kambing kacang dengan kambing Peranakan Ettawa (PE). Kambing Bligon memiliki bentuk tubuh yang agak

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Nilai rataan konsumsi protein kasar (PK), kecernaan PK dan retensi nitrogen yang dihasilkan dari penelitian tercantum pada Tabel 5. Tabel 5. Rataan Konsumsi, Kecernaan PK, Retensi

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Juli 2012. Pemeliharaan burung merpati dilakukan di Sinar Sari, Dramaga, Bogor, Jawa Barat. Pengamatan profil darah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Kandang Penelitian Rataan suhu kandang pada pagi, siang, dan sore hari selama penelitian secara berturut-turut adalah 25,53; 30,41; dan 27,67 C. Suhu kandang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Bahan Kering Konsumsi adalah jumlah pakan yang dimakan oleh ternak yang akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok dan produksi. Rataan konsumsi rumput, konsentrat

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAHAN DAN METODE PENELITIAN BAHAN DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Juni 2010 sampai dengan bulan Desember 2010 di kandang percobaan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Potong Sapi potong pada umumnya digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu sapi lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi potong merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Purbowati, 2009). Domba lokal jantan mempunyai tanduk yang kecil, sedangkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Purbowati, 2009). Domba lokal jantan mempunyai tanduk yang kecil, sedangkan 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Domba Ekor Tipis Domba Ekor Tipis (DET) merupakan domba asli Indonesia dan dikenal sebagai domba lokal atau domba kampung karena ukuran tubuhnya yang kecil, warnanya bermacam-macam,

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Bahan Bahan yang digunakan untuk produksi biomineral yaitu cairan rumen dari sapi potong, HCl 1M, dan aquadest.

MATERI DAN METODE. Bahan Bahan yang digunakan untuk produksi biomineral yaitu cairan rumen dari sapi potong, HCl 1M, dan aquadest. MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret-Mei 2008. Pembuatan biomineral dilakukan di Laboratorium Biokimia, Fisiologi dan Mikrobiologi Nutrisi, sedangkan pemeliharaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Lampung merupakan daerah yang berpotensi dalam pengembangan usaha

I. PENDAHULUAN. Lampung merupakan daerah yang berpotensi dalam pengembangan usaha I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lampung merupakan daerah yang berpotensi dalam pengembangan usaha peternakan, salah satu jenis ternak yang cocok dikembangkan adalah kambing. Pada tahun 2010 dan 2011,

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Karakteristik Sapi perah Sapi perah (Bos sp.) merupakan ternak penghasil susu yang sangat dominan dibanding ternak perah lainnya dan sangat besar kontribusinya dalam memenuhi

Lebih terperinci