PENGELOLAAN AIR ASAM TAMBANG MELALUI RAWA BUATAN BERBASIS BAHAN IN SITU DI PERTAMBANGAN BATU BARAA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENGELOLAAN AIR ASAM TAMBANG MELALUI RAWA BUATAN BERBASIS BAHAN IN SITU DI PERTAMBANGAN BATU BARAA"

Transkripsi

1 PENGELOLAAN AIR ASAM TAMBANG MELALUI RAWA BUATAN BERBASIS BAHAN IN SITU DI PERTAMBANGAN BATU BARAA (Studi Kasus di Site Pertambangan Sambarata, PT. Berau Coal, Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur) APONG SANDRAWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

2 Hak Cipta milik IPB, Tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian Bogor. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin dari IPB.

3 PENGELOLAAN AIR ASAM TAMBANG MELALUI RAWA BUATAN BERBASIS BAHAN IN SITU DI PERTAMBANGAN BATU BARA (Studi Kasus di Site Pertambangan Sambarata, PT. Berau Coal, Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur) APONG SANDRAWATI Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Agroteknologi Tanah SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

4 Penguji Luar Komisi Prof. Dr. Ir. Sudarsono, M.Sc

5 Judul Tesis : Pengelolaan Air Asam Tambang Melalui Rawa Buatan Berbasis Bahan In Situ di Pertambangan Batu Bara (Studi Kasus di Site Pertambangan Sambarata PT. Berau Coal, Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur) Nama : Apong Sandrawati NRP : A Disetujui, Komisi Pembimbing Dr. Ir. Darmawan, M.Sc Ketua Dr. Ir. Dyah Tjahyandari S, M.Appl.Sc Anggota Dr. Ir. Gunawan Djajakirana, M.Sc Anggota Diketahui, Ketua Program Studi/Mayor Agroteknologi Tanah Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Suwardi, M.Agr Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr Tanggal Ujian : 9 Pebruari 2012 Tanggal Lulus : 27 April 2012

6 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sumedang pada tanggal 6 April Penulis merupakan anak pertama dari Bapak Eman Sulaeman dan Ibu Sunarsih. Penulis memulai pendidikan formal di SDN 1 Situraja pada tahun 1987 dan SLTPN 1 Situraja pada tahun Penulis menyelesaikan pendidikan SMU di SMUN 1 Situraja pada tahun Di tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di Program Studi Ilmu Tanah, Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyelesaikan studi S1 dan lulus sebagai Sarjana Pertanian pada tahun Tahun 2006 penulis diterima sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil di Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, dan menjadi staf pengajar pada Program Studi Ilmu Tanah (sekarang Program Studi Agroteknologi Pertanian) hingga sekarang.

7 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan ke khadirat ALLAH SWT atas rahmat dan segala karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis dengan judul Pengelolaan Air Asam Tambang Melalui Rawa Buatan Berbasis Bahan In Situ di Pertambangan Batu Bara (Studi Kasus di Site Pertambangan Sambarata, PT. Berau Coal, Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur). Tesis ini disusun berdasarkan hasil penelitian penulis yang dilakukan selama kurang lebih satu tahun, yang terdiri dari penelitian lapangan dan analisis laboratorium. Penulis menyampaikan terimakasih dan penghargaan yang sebesarbesarnya kepada Dr Ir Darmawan, M.Sc, Dr Ir Gunawan Djajakirana, M.Sc, dan Dr Ir Dyah Tjahyandari Suryaningtyas, M.Appl.Sc, selaku dosen-dosen pembimbing yang telah memberikan arahan dan motivasi selama penelitian dan penulisan tesis. Semua pelajaran yang Bapak dan Ibu berikan akan menjadi bekal yang berharga buat penulis untuk berkarya yang lebih baik di masa depan. Terimakasih dan penghargaan yang besar-besarnya penulis sampaikan kepada Prof Dr Ir Sudarsono, M.Sc selaku penguji yang telah memberikan saran dan masukan sehingga menjadikan tesis ini lebih baik. Besar rasa terimakasih penulis juga sampaikan kepada Dr Ir Suwardi M.Agr atas apresiasi yang diberikan terhadap hasil penulisan tesis ini. Terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada segenap pimpinan dan staf PT. Berau Coal atas dukungan dan fasilitas yang diberikan selama penelitian. Terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Ir Agus Darmawan dan Ir Sujatmiko atas dukungan dan arahan selama pengajuan penelitian. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada Junianto S, Desi A, dan Mei Yu atas bantuannya selama proses editing penulisan tesis. Penulis menyadari semua usaha ini tidak akan berjalan dengan baik tanpa do a yang tidak putus-putus dari kedua orang tua penulis. Pada akhirnya penulis sampaikan terimakasih kepada kedua orang tua dan kepada berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Bogor, April 2012 Penulis

8 ABSTRACT APONG SANDRAWATI. Acid Mine Drainage Treatment by Artificial Wetland Based on In Situ Material in Coal Mining (Case Study in Sambarata Mining Site, PT. Berau Coal, Berau District, East Kalimantan Province). Under direction DARMAWAN, DYAH TJAHTANDARI SURYANINGTYAS, and GUNAWAN DJAJAKIRANA. Acid mine drainage (AMD) is the main problem in open pit mining due to extremely low ph and high solubility of metals. Metal solubility can be reduced biochemically in an anaerobic condition. Wetland is typical ecosystem having anaerobic conditions and characterized by low potential redox (Eh). Low Eh can be achieved if the wetland has enough quantities of organic matter. This research was aimed to design an artificial wetland that was constructed using locally available materials, and test it for AMD treatment, to identify AMD remediation process within artificial wetland, and to identify biomass production of artificial wetland plants. An artificial wetland of m 2 has been constructed. It s composed of two organic walls, two growing ponds, and one collecting pond. Each component separated by a dike. Each organic wall was placed next to growing pond that were planted by Typha sp. and Cyperus sp. Collecting pond was planted by Eichornia crassipes. Artificial wetland was incubated until redox potential (Eh) of inundated water was less than 100 mv. Operation of artificial wetland started after incubation was done. Result showed that during incubation Eh of inundated water has decreased to below 100 mv after 5 days. Reduction and precipitation has occured during AMD remediation process. Sulphate, iron and manganese were accumulated in the root of each plant. Typha sp. has better growth rate than other plants and potentially to produce a higher biomass. Key word: acid mine drainage, artificial wetland, reductive, organic wall.

9 RINGKASAN APONG SANDRAWATI. Pengelolaan Air Asam Tambang Melalui Rawa Buatan Berbasis Bahan In Situ di Pertambangan Batu Bara (Studi Kasus di Site Pertambangan Sambarata, PT. Berau Coal, Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur). Di bawah bimbingan DARMAWAN, DYAH TJAHYANDARI SURYANINGTYAS, dan GUNAWAN DJAJAKIRANA. Permasalahan utama akibat penambangan terbuka pada tambang batubara adalah timbulnya air asam tambang (AAT) yang mempunyai nilai ph sangat rendah dan konsentrasi logam terlarut yang tinggi. Air asam tambang ini jika tidak dikelola akan menjadi bahan pencemar yang dapat membahayakan organisme perairan. Salah satu teknik pengelolaan AAT adalah dengan passive treatment, antara lain dapat dilakukan pada rawa buatan. Aplikasi rawa buatan untuk pengelolaan AAT harus memperhatikan ketersediaan bahan-bahan yang akan digunakan pada konstruksi rawa buatan. Penelitian ini bertujuan untuk: merancang rawa buatan berbasis bahan-bahan in situ dalam memperbaiki kualitas air asam tambang, mengidentifikasi proses perbaikan kualitas air dalam sebuah sistem rawa buatan, dan melakukan identifikasi terhadap produksi biomassa yang dapat dihasilkan dari rawa buatan. Konstruksi rawa buatan dibuat seluas m 2, terdiri dari: dua organic wall, tiga kolam pertumbuhan, yang dibatasi oleh tanggul. Organic wall dibuat menyerupai parit yang diisi dengan bahan organik segar. Kolam pertumbuhan satu ditanami dengan Typha sp, kolam pertumbuhan dua dengan Cyperus sp, dan kolam pertumbuhan tiga ditumbuhkan Eceng Gondok (Echornia crassipes). Proses konstruksi terdiri dari: penimbunan area genangan, konstruksi komponen rawa, pengisian, dan perapihan komponen rawa. Setelah konstruksi selesai, rawa buatan diinkubasi sampai nilai potensial redoks air genangan <100 mv, dalam 10 hari. Setelah inkubasi selesai, rawa buatan dioperasikan secara kontinyu. Hasil pengamatan selama tahap pengoperasian secara kontinyu menunjukkan bahwa rawa buatan dengan komponen organic wall yang reduktif, efektif menaikan ph dan menurunkan konsentrasi besi, mangan, dan sulfat terlarut, sehingga berada di bawah ambang baku mutu. Hasil analisis terhadap substrat, menunjukkan bahwa sulfat, besi dan mangan diendapkan pada substrat dengan jumlah yang tergantung kepada ph. Analisis juga dilakukan terhadap konsentrasi sulfat, besi dan mangan pada tanaman. Hasil analisis menunjukkan bahwa tanaman mengakumulasi sulfat, besi dan mangan pada bagian akar dengan jumlah yang jauh lebih tinggi dibandingkan pada daun. Berdasarkan hasil pengukuran terhadap produktivitas tanaman, Typha sp direkomendasikan sebagai tanaman yang paling adaptif terhadap genangan AAT dan dapat menghasilkan biomassa yang lebih tinggi dari produksi optimumnya.

10 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xii DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR LAMPIRAN... xiv PENDAHULUAN Latar Belakang... 1 Tujuan Penelitian... 3 Hipotesis Penelitian... 4 TINJAUAN PUSTAKA Air Asam Tambang... 5 Pengelolaan Air Asam Tambang... 6 Rawa Buatan... 7 Tumbuhan Rawa... 9 Reduksi dan Potensial Redoks Reduksi Sulfat Stabilitas Besi dalam Larutan Stabilitas Mangan dalam Larutan Peran Bahan Organik dalam Remediasi Air Asam Tambang BAHAN DAN METODE Lokasi dan Waktu Bahan dan Alat Penelitian Metode Penelitian Survei Pendahuluan Rancangan Rawa Buatan Konstruksi Rawa Buatan Inkubasi Anaerob Penanaman Pengoperasian Sistem Rawa Secara Kontinyu Pengambilan Contoh dan Pengukuran Analisis dan Penyajian Data 25

11 xiii DESKRIPSI KEADAAN LOKASI PENELITIAN Lokasi Penelitian Karakteristik Air Asam Tambang Karakteristik Bahan In situ Lumpur Batu Gamping Bahan Organik HASIL DAN PEMBAHASAN Proses Konstruksi Rawa Buatan Penimbunan Area Genangan Konstruksi dan Pengisian Komponen Rawa Penanaman Hasil Inkubasi Anaerob Hasil Pengukuran Kualitas AAT pada Tahap Pengoperasian Kontinyu. 38 Reduksi Sulfat, Besi, dan Mangan Efisiensi Reduksi Reduksi Sulfat Reduksi Besi Reduksi Mangan Hasil Pengukuran terhadap ph, Konsentrasi Besi, Mangan dan Sulfat pada Substrat ph Substrat Konsentrasi Besi Konsentrasi Mangan Konsentrasi Sulfat Konsentrasi Sulfur, Besi dan Mangan pada Tanaman Produktivitas Tanaman KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 57

12 DAFTAR TABEL Nomor Teks Halaman 1. Metode pengukuran contoh Karakteristik OB dari disposal berdasarkan uji NAG Karakteristik air asam tambang di lokasi penelitian Karakteristik kimia lumpur Hasil uji NAG terhadap OB untuk bahan timbunan Distribusi bahan yang digunakan pada pengisian rawa buatan Rekapitulasi jumlah bibit tanaman yang digunakan Kriteria baku mutu air limbah kegiatan penambangan batubara Hasil pengukuran kualitas air pada tahap pengoperasian secara kontinyu Nilai efisiensi reduksi dari besi, mangan, dan sulfat selama pengoperasian rawa buatan secara kontinyu Konsentrasi total sulfur, besi dan mangan pada akar dan daun tanaman contoh Konsentrasi normal dari unsur hara esensial pada tanaman (berdasarkan Bohn et al., 1979) Produktivitas tanaman (hasil panen ubinan). 50

13 DAFTAR GAMBAR Nomor Teks Halaman 1. Strategi pengelolaan AAT secara abiotik dan biotik (Johnson dan Hallberg, 2005) Skema penampang melintang rawa buatan aerobik dan anaerobik (aliran permukaan) (modifikasi dari Skousen et al., 1998) Stabilitas besi dalam bentuk terlarut dan padatan yang merupakan fungsi dari ph dan Eh pada tekanan udara 1 atm dan suhu 25 o C (Elder, 1985 dalam Brooke, 2011) Diagram Eh-pH untuk pasangan redoks Mn(IV) dan Mn(II) Proses mikrobiologi yang mengakibatkan reduksi sulfat dalam sebuah substrat karbon organik (Logan et al., 2005) Layout konstruksi rawa buatan di lokasi penelitian Penampang melintang konstruksi tanggul, parit dan kolam Komposisi bahan pengisi pada komponen rawa buatan Lokasi pengambilan contoh air, substrat, dan tanaman Peta situasi lokasi penelitian Hasil pengukuran potensi redoks (Eh) pada setiap komponen rawa selama inkubasi anaerob Hasil pengukuran konsentrasi sulfat dan Eh pada contoh air di setiap komponen rawa (a) organic wall satu; (b) kolam pertumbuhan satu; (c) organic wall dua; (d) kolam pertumbuhan dua Hasil pengukuran ph pada setiap komponen rawa selama inkubasi anaerob Hubungan antara konsentrasi sulfat terlarut dan ph pada contoh air selama pengoperasian rawa buatan secara kontinyu Hubungan konsentrasi Fe 2+ dan ph contoh air selama pengoperasian rawa buatan secara kontinyu Hubungan konsentrasi Mn 2+ dan ph contoh air selama pengoperasian rawa buatan secara kontinyu Hasil pengukuran ph(h 2 O) contoh substrat sebelum dan sesudah treatment AAT Hasil pengukuran konsentrasi Fe 2+ pada contoh substrat sebelum dan sesudah treatment AAT Hasil pengukuran konsentrasi Mn 2+ contoh substrat sebelum dan sesudah treatment AAT Hasil pengukuran konsentrasi sulfat dalam contoh substrat sebelum dan sesudah treatment AAT... 47

14 DAFTAR LAMPIRAN Nomor Teks Halaman 1. Prosedur uji asam basa dan Net Acid Generation (Badan Standardisasi Nasional, 2001) Hasil analisis uji asam basa dan NAG terhadap material overburden Prosedur daya netralisasi dan penetapan secara CaCO 3 (Balai Penelitian Tanah, 2005) Hasil analisis daya netralisasi batu gamping asal Suaran Foto-foto lokasi penelitian Hasil pengukuran ph selama inkubasi anaerob Hasil pengukuran potensial redoks (Eh) selama inkubasi anaerob Hasil pengukuran konsentrasi sulfat terlarut selama inkubasi Hasil pengukuran ph pada rawa buatan selama pengoperasian secara kontinyu Hasil pengukuran konsentrasi sulfat terlarut pada rawa buatan selama pengoperasian secara kontinyu Hasil pengukuran konsentrasi besi terlarut pada rawa buatan selama pengoperasian secara kontinyu Hasil pengukuran konsentrasi mangan terlarut pada rawa buatan selama pengoperasian secara kontinyu Hasil pengukuran ph, konsentrasi sulfat, besi, dan mangan pada substrat Hasil pengukuran konsentrasi sulfur, besi, dan mangan pada tanaman... 74

15 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Air asam tambang (AAT) atau acid mine drainage (AMD) merupakan salah satu permasalahan penting di lokasi penambangan batu bara yang dilakukan secara terbuka (open pit mining). Proses penambangan batu bara secara terbuka dilakukan dengan mengupas lapisan tanah dan batuan penutup (overburden) hingga ditemukan singkapan batu bara. Salah satu sumber AAT adalah air yang berasal dari unit pengelolaan overburden yang mengandung mineral sulfida, seperti Pirit (FeS 2 ) yang tersingkap dan bereaksi dengan oksigen di udara maupun dalam air (Holmstrom, 2000 dalam Nyquist dan Greger, 2009). Karakteristik AAT tidak dapat dipisahkan dari nilai ph yang sangat rendah, di beberapa tempat ditemukan ph air mencapai 2,9. Nilai ph yang sangat rendah (2,0 4,0) dapat memacu pelarutan logam-logam (termasuk logam berat jika ada). Oleh karena itu, air yang terkontaminasi dengan AAT biasanya mengandung logam dalam konsentrasi tinggi yang dapat meracuni organisme perairan (Kimmel, 1983 dalam Jenning et al., 2008). Secara garis besar, pengelolaan AAT dapat dilakukan dengan teknik perlakuan aktif (active treatment) dan perlakuan pasif (passive treatment). Perlakuan aktif dilakukan dengan menambahkan bahan-bahan alkalin, seperti kapur (CaCO 3 ) untuk meningkatkan ph dan menurunkan kelarutan logam berat. Sedangkan perlakuan pasif, pada prinsipnya membiarkan reaksi kimia dan biologi berlangsung secara alami (Ziemkiewicz et al., 1994), teknik ini dapat dilakukan pada rawa buatan. Sejauh ini, metode active treatment lebih banyak digunakan dalam pengelolaan AAT, antara lain dengan kapur. Karena itu, metode ini dinilai sangat efektif untuk pengelolaan AAT dengan kandungan logam berat tinggi (Coulton et al., 2003). Namun, pengelolaan secara aktif ini selain memerlukan biaya yang tinggi juga menghasilkan endapan atau sludge sebagai hasil sampingannya. Sludge dari kolam pengendapan harus dibuang secara berkala agar proses pengelolaan AAT tidak terganggu.

16 2 Teknik passive treatment dapat memberikan keuntungan dengan adanya proses kimia dan biologi yang dilakukan secara alami. Idealnya, pada passive treatment tidak membutuhkan input yang konstan terhadap bahan kimia dan hanya memerlukan sedikit pemeliharaan (Younger, 2000). Rawa buatan merupakan salah satu teknik passive treatment yang telah banyak diaplikasikan dalam upaya memperbaiki kualitas air. Namun, konsep ideal mengenai rawa buatan yang efektif dalam pengelolaan air asam tambang belum tersedia. Pada prinsipnya meningkatkan ph dan menurunkan kelarutan logam ataupun bahan pencemar lainnya dapat dilakukan secara biokimia pada lingkungan anaerob. Kondisi anaerob merupakan kondisi di mana kadar oksigen terlarut sangat rendah, yang ditandai dengan nilai potensial redoks (Eh) yang rendah (reduksi). Pada kondisi ini Mn 4+, Fe 3+, SO 2-4 akan tereduksi menurut urutan termodinamis. Intensitas proses reduksi tergantung dari jumlah bahan organik yang mudah terurai, semakin tinggi kandungan bahan organik, semakin besar intensitas reduksinya (Sanchez, 1976). Rawa buatan untuk pengelolaan AAT awalnya merupakan sistem lahan basah berukuran kecil (kurang dari 1 hektar) yang ditanami dengan Typha sp. Dasar pemikiran penelitian ini adalah tanaman Typha sp. merupakan tanaman yang mampu menyerap logam-logam yang menjadi bahan pencemar utama pada AAT. Namun, berdasarkan hasil-hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Typha sp. hanya mampu mengakumulasi logam (bahan pencemar) dalam jumlah kecil (Stark et al., 1990, Sencindiver dan Bhumbla, 1998 dalam Watzlaf et al., 2004). Upaya meningkatkan efektivitas rawa buatan dalam pengelolaan AAT juga dilakukan oleh Hedin et al. (1994) dengan menambahkan batu gamping ke dalam sistem rawa buatan yang dikenal dengan anoxic limestone drains (ALD). Pada sitem ini, AAT dialirkan pada saluran yang dilapisi oleh batu gamping sebelum dialirkan ke sistem rawa buatan, namun sistem ini hanya efektif untuk pengelolaan AAT dengan ph kurang dari 4,5. Penelitian lain adalah dengan memanfaatkan berbagai jenis bahan organik sebagai komponen dalam rawa buatan. Percobaan ini dilakukan oleh Munawar (2007) dengan menguji coba berbagai bahan organik sebagai substrat padat pada dasar rawa berukuran 4 meter x 4 meter, hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum pemberian berbagai

17 3 jenis bahan organik dapat memperbaiki kualitas AAT. Namun, penelitian ini perlu dikaji lebih lanjut pada skala lapang, terutama mengenai ketersediaan bahanbahan yang akan digunakan dalam konstruksi rawa buatan. Faktor lain yang perlu diperhatikan dalam konstruksi rawa buatan adalah substrat padat. Selain sebagai media tumbuh, substrat padat juga merupakan media tempat kontak antara mikroorganisme pendegradasi dengan bahan pencemar. Jenis substrat padat mempengaruhi daya lalu air limbah (porositas), proses filtrasi padatan tersuspensi, dan proses adsorpsi bahan pencemar (Sim, 2003). Kapasitas sedimen dalam menjerap dan mengikat bahan kontaminan tergantung kepada: kandungan bahan organik, kandungan besi dan mangan, kandungan karbonat sebagai buffer ph seperti halnya mineral liat (Calmano et al., 1990, Förstner, 1995, Salomons dan Brils, 2004, dalam Nguyen, 2008). Pemilihan jenis substrat juga harus disesuaikan dengan ketersediaan di lokasi. Hasil-hasil penelitian di atas menjadi dasar pertimbangan dalam membuat rancangan rawa buatan pada skala lapangan. Optimalisasi bahan konstruksi rawa buatan dapat dilakukan dengan memanfaatkan bahan-bahan in situ seperti sisa tanaman dan lumpur endapan AAT yang tersedia di lokasi pertambangan. Bahanbahan tersebut belum banyak diperhatikan padahal bahan-bahan ini sangat potensial sebagai komponen dalam rawa buatan untuk pengelolaan AAT. Tanaman merupakan salah satu komponen rawa buatan yang harus diperhitungkan sebagai penghasil biomassa yang dapat digunakan untuk kepentingan lain. Informasi mengenai kualitas dan produktivitas tanaman sangat penting sebagai pertimbangan kelayakan penggunaan biomassa tanaman tersebut untuk kepentingan tertentu. Tujuan Penelitian 1. Menguji konstruksi rawa buatan berbasis bahan-bahan in situ dalam pengelolaan air asam tambang 2. Mengidentifikasi proses perbaikan kualitas air dalam sebuah sistem rawa buatan 3. Melakukan identifikasi terhadap produksi biomassa yang dapat dihasilkan dari rawa buatan.

18 4 Hipotesis Penelitian 1. Rancangan rawa buatan yang dibuat menyerupai rawa alami dengan penggunaan bahan organik sebagai komponen utama dapat menjadi alternatif pengelolaan air asam tambang. 2. Penambahan bahan organik dapat mempercepat kondisi reduksi pada rawa buatan, pada kondisi ini terjadi: peningkatan ph air asam tambang, reduksi sulfat, penurunan konsentrasi sulfat, dan logam-logam berat yang terlarut dalam air. 3. Pengaturan tata letak tanaman rawa sesuai dengan habitat alaminya dapat meningkatkan produktivitas tanaman. Tanaman ini dapat dipanen dan digunakan sebagai tambahan sumber bahan organik pada rawa buatan.

19 TINJAUAN PUSTAKA Air Asam Tambang Air asam tambang atau acid mine drainage (AMD) merupakan cairan (air limpasan) yang terbentuk akibat oksidasi mineral-mineral sulfida yang menghasilkan asam sulfat. Mineral sulfida tersebut di antaranya pirit dan markasit (FeS 2 ), kalkopirit (CuFeS 2 ), dan arsenopirit (FeAsS) (Skousen et al., 1998). Di lokasi pertambangan batu bara mineral sulfida yang umum dijumpai adalah pirit dan markasit (FeS 2 ). Mineral ini ketersediaannya cukup signifikan di dalam lapisan batu bara, overburden, dan interburden. Sehingga, pirit merupakan penghasil air asam tambang utama di lokasi pertambangan batu bara (Salomons, 1995, ICARD, 1997, dalam Nguyen, 2008). Watzlaf et al. (2004) menyatakan bahwa oksidasi pirit (FeS 2 ) akan membentuk ion ferro (Fe 2+ ), sulfat, dan beberapa proton pembentuk keasaman, sehingga kondisi lingkungan menjadi asam. Stumm dan Morgan (1981) menguraikan reaksi oksidasi pirit (FeS 2 ) dalam reaksi berikut: FeS 2(s) + 3,5 O 2 + H 2 O Fe SO H + (1) Fe ,25 O 2 + H + Fe ,5 H 2 O (2) FeS 2(s) +14 Fe H 2 O 15 Fe SO H + (3) Fe H 2 O 2 Fe(OH) 3(s) + 3 H + (4) Pada reaksi (1) pirit (FeS 2 ) dioksidasi membentuk besi ferro (Fe 2+ ), sulfat (SO 2-4 ) dan beberapa proton penyebab kemasaman (H + ), sehingga lingkungan menjadi lebih masam. Menurut Higgins dan Hard (2003) pada ph air yang cukup masam bakteri-bakteri acidophilic yang merupakan pengoksidasi besi dan sulfat yang dapat mempercepat proses oksidasi pirit akan tumbuh pesat (reaksi 1). Thiobacillus ferrooxidans merupakan salah satu contoh dari bakteri tersebut. Bakteri pengoksidasi besi seperti Thiobacillus ferrooxidan mempercepat proses oksidasi pirit melalui dua mekanisme, yaitu: oksidasi langsung melalui persamaan reaksi (1), dan secara tidak langsung, di mana terlebih dahulu Fe 2+ dioksidasi menjadi Fe 3+ (reaksi 2) yang akan mengoksidasi pirit secara abiotik (reaksi 3). Selanjutnya, reaksi (4) akan berlangsung jika ph air mencapai > 2,8.

20 6 Dalam reaksi ini, Fe 3+ akan dihidrolisis dan membentuk endapan besi hidroksida (Fe(OH) 3 ) yang disebut yellow boy (Watzlaf et al., 2004). Selain besi (Fe) Watzlaf et al. (2004) menyebutkan bahwa mineral lain yang dapat menyumbangkan kemasaman pada AAT adalah mineral-mineral yang mengandung alumunium (Al). Alumunium ini dapat terhidrolisis dan menghasilkan H + melalui reaksi berikut: Al H 2 O Al(OH) 3 + 3H + (5) Air yang terkontaminasi dengan AAT biasanya mengandung logam dalam konsentrasi yang tinggi yang dapat meracuni organisme perairan. Nilai ph air yang rendah (2,0 4,5) merupakan tingkatan beracun bagi beberapa kehidupan perairan (Kimmel, 1983, Hill, 1974, dalam Jenning et al., 2008). Pengelolaan Air Asam Tambang Air asam tambang dari kegiatan penambangan batu bara dan mineral merupakan masalah yang pelik dan memakan banyak biaya dalam penanganannya (US-EPA, 1994). Penambangan batu bara menyebabkan terjadinya oksidasi pirit dan mineral sulfida lainnya menghasilkan air asam tambang dengan kandungan besi, mangan, dan alumunium dalam konsentrasi tinggi (Watzlaf et al., 2004). Pengelolaan air asam tambang pada intinya bertujuan untuk meningkatkan ph dan menghilangkan logam terlarut (Skousen et al., 1998). Pengelolaan AAT dapat dilakukan secara abiotik dan biotik (Gambar 1) pada sistem aktif dan pasif. Dasar pertimbangan penggunaan metode ini adalah jenis AAT yang akan dikelola (Johnson dan Hallberg, 2005). Metode yang paling banyak digunakan dalam pengelolaan AAT adalah dengan abiotik sistem aktif atau banyak dikenal dengan active treatment yang dilakukan dengan penambahan bahan kimia penetral. Metode ini sangat efektif untuk pengelolaan AAT dengan kandungan logam berat tinggi (Coulton et al., 2003). Namun, kelemahan pengelolaan secara aktif ini adalah memerlukan biaya yang tinggi dan menghasilkan sludge sebagai hasil sampingannya. Sludge ini akan mengandung polutan-polutan termasuk logam berat sesuai dengan komposisi yang ada pada AAT yang dikelola (Johnson dan Hallberg, 2005).

21 7 Abiotic Sistem aktif ; aerasi dan penambahan kapur Sistem pasif ; seperti anoxic REMEDIASI AAT Biotic Sistem aktif Bioreaktor off-line sulfidogenic Rawa Buatan Aerobik Sistem pasif Reaktor/ Rawa buatan Permeable reactive barriers Biorektor packet bed ironoxidation Gambar 1 Strategi pengelolaan AAT secara abiotik dan biotik (Johnson dan Hallberg, 2005) Sejak 30 tahun yang lalu, konsep pengelolaan AAT dengan metode passive treatment telah dikembangkan dari mulai skala percobaan sampai kepada aplikasinya di lapang pada ratusan tempat di seluruh dunia (Younger, 2000). Hasil akhir dari passive treatment adalah meningkatkan proses ameliorasi secara alami, sehingga teknik ini harus dilakukan dalam suatu sistem dan bukan secara langsung pada badan air (seperti sungai dan danau). Rawa Buatan Rawa adalah suatu daerah yang terendam oleh air permukaan atau air tanah dalam suatu periode tertentu yang memungkinkan terjadinya kondisi jenuh air pada tanah tersebut. Karakteristik dan fungsi rawa dapat dibedakan dari posisi dalam suatu bentang lahan, iklim, hidrologi, vegetasi, dan tanahnya (Reddy dan DeLaune, 2008). Rawa buatan adalah suatu sistem yang dibangun dan dirancang menyerupai rawa alami untuk keperluan pengolahan air tercemar. Proses pengolahan air tercemar pada rawa buatan merupakan suatu proses alamiah yang melibatkan tumbuhan air, sedimen, dan mikroorganisme, dengan matahari sebagai sumber energi (Vymazal, 2008).

22 8 Pembangunan rawa buatan di sekitar tambang bertujuan untuk menampung limpahan air hujan yang menghanyutkan tanah-tanah galian beserta senyawa logam-belerang (seperti pirit) yang dapat berpotensi menjadi asam tambang. Bila tanah dan batuan di sekitarnya tidak dapat menetralisir asam, maka asam-asam beserta dengan toksistas logam (bila ada) dapat dinetralisir di rawa buatan tersebut (Khiatuddin, 2003). Novotny dan Olem (1994) menguraikan proses-proses yang terjadi di dalam rawa buatan secara lengkap yang meliputi proses fisik, fisika-kimia, dan biokimia. Proses-proses fisik terdiri dari sedimentasi, filtrasi padatan tersuspensi oleh sedimen dan tumbuhan air, serta pemanasan dan volatilisasi. Proses fisikakimia terdiri dari proses adsorpsi bahan pencemar oleh tumbuhan air, sedimen, dan substrat organik. Proses biokimia terdiri dari proses penguraian zat tercemar oleh bakteri yang menempel pada permukaan substrat/sedimen, perakaran tumbuhan, dan serasah (bahan organik). Keberhasilan rawa buatan dalam menghasilkan kualitas air yang bagus tergantung dari sifat kimia air yang dikelola, kapasitas mengalirkan air, dan desain dari rawa buatan (Hedin et al., 1994). Sistem pengelolaan limbah dipengaruhi oleh konstruksi rawa buatan. Secara umum, konstruksi rawa buatan untuk pengelolaan AAT dapat dikelompokkan menjadi rawa buatan aerobik dan anaerobik (Gambar 2). Rawa Buatan Aerobik Rawa Buatan Anaerobik (Aliran Permukaan) Air limbah Air Air ±15 cm ±15 cm Air Air Substrat (tanah) cm { cm { Bahan Organik Batu Gamping Keterangan : : Perpindahan polutan secara difusi Air limbah } { Gambar 2 Skema penampang melintang rawa buatan aerobik dan anaerobik (aliran permukaan) (modifikasi dari Skousen et al., 1998)

23 9 Rawa buatan aerobik merupakan rawa yang ditanami dengan Typha sp. atau jenis tanaman lain pada kedalaman kurang 30 cm, sedangkan pada rawa buatan anaerobik, tanaman-tanaman tersebut ditanam pada kedalaman lebih dari 30 cm. Selain itu, pada rawa buatan aerobik sedimen (substrat) terdiri dari tanah dan liat, sementara pada rawa buatan anaerobik, substrat terdiri dari campuran tanah dan berbagai macam bahan organik seperti gambut, kompos, serbuk gergaji, kotoran ternak, jerami dan sebagainya yang dicampur dengan batu gamping (Skousen et al., 1998). Sistem lahan basah anaerobik menggunakan komposisi reaktif material berupa kompos, serasah daun, dan serbuk gergaji, yang ditambahkan lumpur aktif yang akan menstimulasi pertumbuhan bakteri pereduksi sulfat untuk meningkatkan alkalinitas dan menyisihkan logam dalam bentuk endapan sulfida (Benner et al., 1997 dalam Henny, 2009). Tumbuhan Rawa Tumbuhan air pada lahan basah mempunyai beberapa fungsi atau manfaat penting, seperti (1) konsolidasi substrat: akar tanaman memegang substrat bersama-sama dan meningkatkan waktu tinggal air dalam wetland; (2) stimulasi proses jasad renik: tanaman menyediakan tapak untuk menempelnya mikroba, mengeluarkan oksigen dari akarnya, dan menyediakan sumber bahan organik untuk mikroba heterotrof; (3) habitat satwa liar: tanaman memasok pakan dan perlindungan bagi hewan; (4) estetika: wetland dengan pertanamannya lebih enak dipandang mata; (5) akumulasi logam (Skousen et al., 1998). Keberadaan tumbuhan dengan sistem perakarannya mampu menyokong pertumbuhan mikroba dalam sistem yang juga akan mendegradasi senyawasenyawa logam berat (Kadlec dan Knight, 1996 dalam Henny, 2009). Dalam sistem rawa buatan untuk pengelolaan AAT secara aerobik tanaman Typha sp. dan Phragmites sp. lebih banyak digunakan, namun peran langsung dari kedua tanaman ini dalam memperbaiki kualitas air masih dipertanyakan (Johnson dan Hallberg, 2005). Tumbuhan rawa mempunyai kemampuan untuk menyerap > 0,5 % berat kering dari kadar unsur alami tersebut dalam jaringan (Zayed et al., 1998 dalam Yang dan Ye, 2009).

24 10 Reduksi dan Potensial Redoks Reduksi adalah perolehan elektron, sedangkan oksidasi adalah kehilangan elektron. Reaksi oksidasi biasanya berkaitan erat dengan kondisi tanah berdrainase baik. Di lain pihak, reduksi berhubungan dengan kondisi drainase buruk atau apabila terdapat air berlebih. Proses reduksi yang umumnya berlaku pada kondisi anaerob menghasilkan reduksi beberapa unsur hara. Akibat reduksi ini, besi direduksi menjadi Fe 2+ dan mangan menjadi Mn 2+ (Tan, 1992). Reduksi dapat terjadi jika ada bahan organik, tidak ada pasokan oksigen, dan adanya mikroorganisme anaerob dalam lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhannya (Wang dan Hagan, 1981). Intensitas reduksi tergantung kepada jumlah bahan organik yang mudah terurai dan suhu tanah. Semakin tinggi kandungan bahan organik, semakin tinggi intensitas reduksinya. Potensial redoks merupakan parameter yang berguna untuk mengukur intensitas reduksi pada tanah dan mengidentifikasi reaksi utama yang terjadi (Sanchez, 1976). Potensial redoks mempengaruhi: 1) konsentrasi oksigen, 2) ph, 3) ketersediaan P dan Si, 4) konsentrasi Fe 2+, Mn 2+, Cu +, dan SO 2-4 secara langsung, 5) pembentukan asamasam organik, sulfida organik, dan hidrogen sulfida (De Datta, 1981). Potensial redoks secara kuantitatif mengukur kecenderungan untuk mengoksidasi atau mereduksi bahan-bahan yang rentan (Faulkner dan Patrick, 1992). Potensial redoks (Eh) diukur sebagai perbedaan potensial antara elektrode platina dan standar elektrode hidrogen yang dinyatakan dalam satuan milivolt (mv). Redoks potensial juga dapat dinyatakan dalam pe (-log aktivitas elektron) yang nilainya setara dengan mol/l. Namun, dalam literatur ilmu tanah, Eh lebih banyak digunakan dalam menyatakan hubungan redoks (Lindsay, 1979). Reduksi Sulfat Pada sistem rawa alami, belerang atau sulfur (S) sangat berperan dalam proses biogeokimia yang meliputi reduksi sulfat, pembentukkan pirit, siklus logam, dan emisi gas (Reddy dan DeLaune, 2008). Reduksi sulfat adalah proses mikrobiologi di mana sulfat direduksi menjadi sulfida. Oleh karena itu, reduksi sulfat tidak lepas dari peranan bakteri pereduksi sulfat (Widdel, 1988 dalam Drury, 2006).

25 11 Bakteri pereduksi sulfat dicirikan oleh respirasi anaerobik dengan menggunakan sulfat sebagai pusat penerima elektron. Greben et al. (2005) menggambarkan bahwa reduksi sulfat dapat terjadi melalui proses berikut : 2C 2 H 5 OH + SO 2-4 2CH 3 COOH + S H 2 O (6) Reduksi sulfat merupakan penyebab utama dalam netralisasi ph dan pengurangan sulfat dan logam beracun (Machemer dan Wilderman, 1992, McIntire et al., 1990, dalam Drury, 2006). Bakteri pereduksi sulfat menghasilkan kira-kira 2 mol alkalinitas per satu mol sulfat yang direduksi, jumlah mol yang dihasilkan akan sangat beragam tergantung kepada struktur donor elektron. Produksi alkalinitas dapat dilihat pada contoh reaksi (7) di mana asetat sebagai donor elektron. 2CH 3 COO SO 4 + H H 2 S + 2HCO 3 (7) Satu mol sulfida akan dihasilkan dari satu mol sulfat pada proses reduksi sulfat, sulfida ini akan mengendapkan logam berat dengan membentuk logam sulfida dengan kelarutan rendah. M 2+ + H 2 S MS + 2H + (8) Pada konsentrasi sulfat mg/l, reduksi sulfat dapat berjalan sangat cepat. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh: (i) sulfida yang dihasilkan dari reduksi sulfat lebih toksik terhadap bakteri metanogenik yang merupakan kompetitor utama bagi bakteri pereduksi sulfat dalam menggunakan donor elektron, (ii) peningkatan konsentrasi sulfida menyebabkan terjadinya peningkatan thermodynamic driving force reduksi sulfat yang diakibatkan oleh menurunnya potensial redoks (Greben et al., 2005). Stabilitas Besi dalam Larutan Stabilitas besi dalam larutan merupakan fungsi dari ph dan potensial redoks (Eh) hal ini dapat dilihat pada Gambar 3. Potensial redoks dan ph digunakan untuk menetapkan hubungan stabilitas antara mineral-mineral oksida besi dan hidroksida besi. Ferri (Fe 3+ ) dalam kondisi tereduksi akan menghasilkan ferro (Fe 2+ ), hal ini terjadi pada potensial redoks kurang dari 770 mv (Lindsay, 1979).

26 12 Gambar 3 Stabilitas besi dalam bentuk terlarut dan padatan yang merupakan fungsi dari ph dan Eh pada tekanan udara 1 atm dan suhu 25 o C (Elder, 1985 dalam Brooke, 2011). Besi ferri (Fe 3+ ) berada dalam kondisi teroksidasi dan membentuk Fe(OH) 3, sedangkan besi ferro (Fe 2+ ) berada dalam kondisi tereduksi dan membentuk FeCO 3 dan Fe(OH) 2. Besi mengendap pada kisaran ph 4,0-12,0 dalam bentuk Fe(OH) 3, FeCO 3, dan Fe(OH) 2 (Evangelou, 1998). Menurut Brinkman (1978), Fe 2+ tidak semua tinggal dalam larutan, melainkan menggantikan kation-kation yang dapat dipertukarkan, yang sebagian tercuci yakni ion monovalen dan divalen. Pada sistem rawa dengan kandungan bahan organik tinggi, memungkinkan terjadi pembentukan kompleks antara logam terlarut dengan bahan organik terlarut (dissolved organic matter) yang banyak ditemukan pada kondisi redoks yang rendah. Kompleks yang terbentuk antara Fe 2+ dengan bahan organik terlarut dapat membawa Fe 2+ tetap terlarut selama beberapa hari walaupun pada kondisi aerobik (Reddy dan DeLaune, 2008).

27 13 Stabilitas Mangan dalam Larutan Seperti halnya besi, stabilitas mangan pada larutan juga merupakan fungsi dari ph dan potensial redoks (Eh), hal ini dijelaskan pada Gambar 4. Pada kondisi anaerob, mangan bervalensi tinggi (Mn 4+ dan Mn 3+ ) tereduksi menjadi Mn 2+. Reduksi Mn 4+ mendahului Fe 3+, karena Mn 4+ lebih mudah larut daripada Fe 3+ (Ponnamperuma, 1965) Potensial Redoks (mv) Mn 2+ H 2 O H 2 O 2 H 2 O MnO 2 Mn 2 O 3 Mn 3 O 4 MnCO 3 Mn(OH) ph Gambar 4 Diagram Eh ph untuk pasangan redoks Mn(IV) dan Mn(II) Pada kondisi tereduksi Mn 2+ akan membentuk MnCO 3 dan Mn(OH) 2, MnCO 3 sangat stabil pada kisaran ph 7,5-11,2. Selain itu, pengendapan mangan dipengaruhi oleh konsentrasi Fe. Hal ini dikarenakan besi ferro (Fe 2+ ) dapat bereaksi dengan mangan oksida (MnO 2 ) yang tidak larut, mengikuti reaksi di bawah ini: MnO 2 + 4H + + 2Fe 2+ Mn Fe 3+ +2H 2 O (9) Fe H 2 O Fe(OH) 3 + 3H + (10) Reaksi di atas menunjukkan Fe 2+ terlarut dapat mereduksi mangan oksida ke dalam bentuk Mn 2+ yang larut (Stumm dan Morgan, 1981).

28 14 Konsentrasi mangan terlarut dalam air berada pada kisaran µg/l. Konsentrasi mangan pada badan-badan air jarang yang melebihi µg/l, dan biasanya kurang dari 200 µg/l. Pada tanah mangan berada pada konsentrasi kurang dari 1 mg/kg sampai 4000 mg/kg (per berat kering tanah), dengan konsentrasi rata-rata mg/kg (Howe et al., 2005). Peran Bahan Organik dalam Remediasi Air Asam Tambang Kapasitas sedimen dalam menjerap dan mengikat bahan kontaminan tergantung kepada: kandungan bahan organik, kandungan besi dan mangan, kandungan karbonat sebagai buffer ph seperti halnya mineral liat. Pada sistem rawa, mobilisasi logam dipengaruhi oleh mekanisme faktor percepatan dan hambatan. Faktor percepatan meliputi pengaruh dari ph yang rendah dan perubahan kondisi redoks, kompleks organik dan anorganik, dan transformasi yang dimediasi oleh mikroorganisme. Degradasi bahan organik dalam sedimen dapat juga menjadi kekuatan pendorong untuk mempercepat interaksi antara sedimen dan logam (Calmano et al., 1990, Förstner, 1995, Salomons dan Brils, 2004, dalam Nguyen, 2008). Pada kondisi tergenang, kenaikan nilai ph dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: (i) adanya pelepasan ion-ion hidroksil yang akan mengikat ion H +, dengan demikian ion kemasamam akan berkurang; dan (ii) pemberian bahan organik, yang mempunyai peran sebagai kapasitas penyangga (buffering capacity) sehingga dapat meningkatkan atau menurunkan ph lingkungannya (Stevenson, 1982). Faktor pembatas biologis dalam pengelolaan air asam tambang adalah tingkat dekomposisi bahan organik, yang digunakan sebagai sumber karbon (Waybrant et al., 1998 dalam Johnson dan Halberg, 2005). Kandungan protein, karbohidrat, dan lemak pada bahan organik memiliki korelasi positif terhadap kapasitas bahan tersebut sebagai donor elektron dalam proses reduksi sulfat, sedangkan kandungan lignin berkorelasi negatif (Coetser et al., 2006).

29 15 Bakteri pereduksi sulfat biasanya mengandalkan senyawa karbon sederhana sebagai asam organik atau alkohol untuk menyediakan donor elektron pada reduksi sulfat, walaupun sebagian dapat menggunakan hidrogen (Gambar 5) (Logan et al., 2005). Selulosa Cellulolysis Collobiose Cellobiohydrolysis Glukosa Fermentasi Laktat H 2 CO 2 CO 2 Asetat metanogenesis CH 4 Reduksi Sulfat CO 2 SO 4 2- H 2 S M 2- MS (s) Gambar 5 Proses mikrobiologi yang mengakibatkan reduksi sulfat dalam sebuah substrat karbon organik (Logan et al., 2005).

30 16 Metode Penelitian Survei Pendahuluan Kegiatan survei dilakukan untuk mendapatkan gambaran umum lokasi penelitian. Informasi yang dikumpulkan pada tahap ini adalah karakteristik air asam tambang, ketersediaan lahan untuk konstruksi rawa buatan, bahan-bahan in situ yang dapat digunakan dalam pembuatan rawa buatan, dan jenis tanaman yang tersedia di sekitar lokasi penelitian. Rancangan rawa buatan Rancangan rawa buatan dibuat berdasarkan hasil survei pendahuluan. Rawa buatan dirancang menyerupai kolam-kolam yang saling menyambung yang terdiri dari dua organic wall dan tiga kolam pertumbuhan yang batasi dengan tanggul (Gambar 6). a. Organic wall Organic wall merupakan tumpukan bahan organik segar yang ditempatkan pada parit dengan kedalaman ± 0,6 meter dan lebar 1 meter, dengan panjang disesuaikan dengan lokasi. Organic wall berfungsi sebagai area yang dapat mempercepat kondisi reduktif pada rawa buatan. b. Kolam Pertumbuhan Kolam pertumbuhan (KP) merupakan area yang ditanami dengan tanaman rawa. Kolam pertumbuhan dibuat dalam ukuran yang berbeda. Perbedaan ukuran merupakan penyesuaian terhadap bentuk lokasi yang ada dan fungsi kolam. Kolam pertama ditanami dengan Ekor Kucing (Typha sp.), kolam kedua ditanami dengan Darendeng (Cyperus sp.), dan pada kolam terakhir ditumbuhkan Eceng Gondok (Eichornia crassipes). c. Tanggul Setiap komponen rawa buatan dibatasi oleh tanggul berupa tumbukan material overburden yang disusun dengan lebar permukaan 1 meter. Untuk memperkecil kemiringan tanggul dan bahaya longsoran material, tanggul dibuat bertingkat dengan lebar teras (bench) 0,5 meter (Gambar 7).

31 17 Sediment pond Area Genangan AAT 28 m Inlet Keterangan : Tanggul Pipa Organic Wall Hutan Sekat kolam Pintu Air (overflow) 7 m 8 m 22 m KP 1 KP 2 KP 3 8 m 2 m Area Genangan AAT 23 m 7m 4m Outlet Settling pond Gambar 6 Layout konstruksi rawa buatan di lokasi penelitian Organic wall dan kolam dihubungkan dengan pipa paralon PVC berdiameter 4 inchi (±10 sentimeter) yang dipasang di bawah tanggul (Gambar 7). Pipa juga dipasang pada pintu air di inlet, sedangkan di outlet saluran berupa parit tidak dipasangi pipa. 1 m 1 m 3 m 0,5 m 0.5 m 1 m 1 m 1 m 3 m 0,2 m 1 m 1 m Tanggul Parit Kolam Gambar 7 Penampang melintang konstruksi tanggul, parit dan kolam

32 18 Konstruksi Rawa Buatan Proses pembangunan rawa buatan terdiri atas beberapa tahap kegiatan yang dilakukan secara berurutan, yaitu: a. Penimbunan Area Genangan Penimbunan dilakukan terhadap area genangan untuk memperoleh lahan yang kering, sebagai dasar bagi konstruksi rawa buatan. Kegiatan penimbunan sepenuhnya dilakukan dengan menggunakan excavator PC 200. Bahan timbunan berupa material overburden (OB) yang tidak berpotensi menghasilkan kemasaman atau Non Acid Formation (NAF). Penimbunan dilakukan dengan mengeruk lumpur dari area genangan sampai diperoleh dasar keras. Lumpur ditranslokasi ke tempat penampungan sementara yang lokasinya tidak jauh dari lokasi konstruksi. Material OB dimasukkan ke dalam rawa sambil dimampatkan. Hal ini dilakukan setahap demi setahap sampai diperoleh luasan area timbunan yang diinginkan. b. Perhitungan Elevasi Perhitungan elevasi dilakukan untuk menentukan titik inlet dan outlet. Titik outlet rawa buatan yang harus dibuat lebih tinggi atau minimal sejajar dengan daerah sekitarnya. Berdasarkan perhitungan diperoleh beda tinggi antara inlet dan outlet yang digunakan untuk menetapkan letak dan ketinggian masingmasing pintu air di setiap komponen rawa buatan. c. Konstruksi Komponen Rawa Konstruksi bangunan rawa diawali dengan pembuatan tanggul pembatas antara area yang sudah ditimbun dengan area genangan AAT untuk mencegah adanya aliran air ke dalam area yang sudah ditimbun. Konstruksi komponen rawa buatan diawali dengan pembuatan parit satu untuk penempatan organic wall satu, komponen ini merupakan yang paling dekat dengan titik inlet. Pembuatan parit untuk penempatan organic wall dilakukan dengan menggali permukaan timbunan sampai kedalaman 0,6 meter. Material hasil penggalian digunakan untuk pembuatan tanggul pembatas. Konstruksi kolam pertumbuhan juga dibuat dengan menggali sampai kedalaman 0,5 meter (untuk kolam pertumbuhan satu), 0,2 meter untuk kolam pertumbuhan dua, dan 0,5 meter untuk kolam pertumbuhan tiga.

33 19 d. Pengisian Komponen Rawa Pada tahap ini dilakukan pengisian rawa dengan material pengisi, yang terdiri dari: batu gamping, lumpur AAT, bahan organik segar dan bahan organik yang sudah dikeringkan. Pengisian komponen rawa dilakukan setelah konstruksi masing-masing komponen selesai. Komposisi bahan pengisi untuk masing-masing komponen rawa buatan dapat dilihat pada Gambar 8. Organic Wall satu Kolam Pertumbuhan satu Organic Wall dua Kolam Pertumbuhan dua Kolam Pertumbuhan tiga 50 cm 20cm 50cm 20cm 10cm 60cm 30cm 30cm 30cm 20cm 10cm 10cm 40cm Keterangan : Pipa Permukaan air Bahan organik segar Lumpur endapan AAT Batu kapur (CaCO 3 ) Bahan organik kering Lumpur endapan settling pond Gambar 8 Komposisi bahan pengisi pada komponen rawa buatan e. Perapihan Konstruksi Rawa Pada tahap ini dilakukan perapihan terhadap tanggul, meliputi pemeriksaan kondisi tanggul dan perbaikan terhadap tanggul yang berpotensi rusak. Upaya pencegahan kerusakan tanggul terutama pada tanggul terluar dilakukan dengan pemasangan siring atau pelapisan tanggul terluar dengan menggunakan kayu ulin (Eusideroxylon zwageri). Pada tahap ini juga dilakukan pemasangan pipa PVC berdiameter 4 inchi sebagai penghubung antar komponen termasuk pada pintu masuk dari titik inlet ke rawa buatan. Pipa dilengkapi dengan pintu air sederhana sehingga sewaktu-waktu dapat ditutup dan dibuka.

34 20 Inkubasi Anaerob Inkubasi dilakukan dengan menggenangi seluruh area rawa buatan dalam sistem tertutup. Inkubasi dilakukan dua kali yaitu dengan air hujan dan AAT. Penggenangan dengan air hujan dilakukan untuk meratakan permukaan substrat padat sebelum penanaman. Sedangkan inkubasi berikutnya dilakukan setelah rawa buatan lengkap, di mana kolam pertumbuhan telah selesai ditanami. Inkubasi ini dilakukan sampai diperoleh kondisi rawa buatan yang reduktif di bawah cekaman AAT. Selama proses inkubasi dilakukan pemantauan terhadap nilai potensial redoks (Eh), ph dan konsentrasi sulfat yang terlarut dalam air. Potensial redoks merupakan parameter utama untuk mengukur intensitas reduksi, dan mengidentifikasi reaksi utama yang terjadi (Sanchez 1976). Inkubasi anaerob dilakukan sampai rawa buatan dinyatakan dalam keadaan tereduksi. Mengacu kepada Patrick dan Mahapatra (1968), nilai Eh untuk keadaan tereduksi adalah kurang dari +100 mv. Pada kondisi tereduksi, ph air genangan akan stabil pada nilai 6 sampai 7. Penanaman Penanaman dilakukan setelah rawa buatan diinkubasi dengan air hujan selama beberapa hari. Kolam pertumbuhan pertama ditanami dengan tumbuhan ekor kucing (Typha sp.) dengan jarak tanam 75 sentimeter x 75 sentimeter, kolam pertumbuhan dua ditanami dengan Darendeng (Cyperus sp.) dengan jarak tanam 30 sentimeter x 30 sentimeter, dan pada kolam pertumbuhan tiga ditumbuhkan Eceng Gondok (Eichhornia crassipes) yang disebar langsung di atas kolam. Pengoperasian Sistem Rawa Secara Kontinyu Pengoperasian secara kontinyu dilakukan setelah tahap inkubasi anaerob dengan AAT selesai. Sebelum pengoperasian, air genangan dari dalam rawa buatan dialirkan melalui titik outlet. Pengoperasian dilakukan dengan mengalirkan AAT masuk ke sistem rawa melalui titik inlet dan keluar dari titik outlet. Debit AAT dikontrol melalui pintu air di inlet. Monitoring kualitas air dilakukan dua hari sekali pada titik-titik pengamatan yang telah ditentukan (Gambar 9).

35 21 Pengambilan contoh dan Pengukuran Contoh yang diambil dan dilakukan pengukuran meliputi contoh: material overburden, air, substrat padat, dan tanaman. Masing-masing contoh yang telah diambil kemudian dianalisis di laboratorium, metode pengukuran contoh dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Metode pengukuran contoh Jenis Contoh Parameter Analisis Metode Pengukuran Overburden Potensi kemasaman NAG-test Air ph dan Eh Elektroda Sulfat terlarut Turbidimetri Fe dan Mn terlarut AAS Substrat padat ph Elektroda Sulfat Turbidimetri Fe dan Mn terlarut AAS Tanaman Produktivitas Berat biomassa ubinan Total Sulfur Turbidimetri Fe dan Mn Total AAS a. Contoh Material Overburden Pengambilan contoh dilakukan terhadap material overburden (OB) pada disposal yang menjadi penyebab timbulnya AAT di lokasi penelitian dan material OB yang digunakan untuk penimbunan area genangan. Contoh OB dari disposal diambil secara komposit dengan dua kali ulangan pada disposal yang paling dekat dengan lokasi penelitian, sementara contoh OB untuk penimbunan diambil secara komposit pada tumpukan material yang telah ditranslokasi dari pit tambang aktif ke lokasi penelitian. Analisis dilakukan terhadap potensi OB dalam memproduksi asam secara kuantitatif yang ditetapkan dengan uji net acid generation (NAG-test). Prosedur analisis dapat dilihat pada Lampiran 1.

36 22 b. Contoh Air Pengambilan contoh air dilakukan pada saat rawa buatan diinkubasi dengan AAT dan pada tahap pengoperasian sistem rawa secara kontinyu. Pengamatan karakteristik air pada tahap inkubasi dilakukan setiap hari selama 10 hari. Awal inkubasi dihitung pada 2 minggu setelah penanaman. Pengamatan pada tahap pengoperasian rawa secara kontinyu dilakukan dua hari sekali selama 3 minggu yang dihitung dari satu hari setelah inkubasi selesai. Gambar 9 menggambarkan posisi titik pengambilan contoh air pada setiap komponen rawa buatan. Contoh air diambil pada kedalaman ± 10 centimeter yang dilakukan secara komposit dari tepi dan tengah. Contoh air dikemas pada botol sample ± 600 ml, kemudian disimpan dalam lemari pendingin dengan suhu ± 4 o C sampai contoh dianalisis. Penetapan ph dan Eh air dilakukan langsung di lapang (on site) dengan menggunakan ph dan Eh meter. Analisa kadar sulfat terlarut dilakukan dengan metode turbidimetri, yang diukur dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 435 nm. Penetapan kadar besi dan mangan dilakukan dengan menggunakan AAS. c. Contoh Substrat Padat Contoh substrat padat diambil sebelum inkubasi dan sesudah pengoperasian rawa buatan secara kontinyu. Contoh sedimen diambil sebelum inkubasi dan sesudah pengoperasian secara kontinyu. Pengambilan contoh sedimen pada parit dilakukan dengan komposit. Contoh sedimen di kolam, diambil dari daerah perakaran tanaman yang dijadikan contoh (Gambar 9). Contoh diambil sebanyak ± 1 kilogram dan dikemas tertutup pada plastik sample. Sifat substrat padat yang dianalisis yaitu: ph, total sulfur (sebagai sulfat), dan konsentrasi besi dan mangan terlarut. Penetapan ph substrat dilakukan terhadap ph aktual (ph H 2 O) yang diukur dengan ph meter. Penetapan total sulfur dilakukan terhadap ekstraktan contoh menggunakan KH 2 PO 4 (500 ppm P), pengukuran total sulfur dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 420 nm. Penetapan konsentrasi besi dan mangan dilakukan terhadap ekstraktan contoh dengan pelarut HCl 0,05 N yang diukur dengan AAS.

TINJAUAN PUSTAKA Air Asam Tambang

TINJAUAN PUSTAKA Air Asam Tambang TINJAUAN PUSTAKA Air Asam Tambang Air asam tambang atau acid mine drainage (AMD) merupakan cairan (air limpasan) yang terbentuk akibat oksidasi mineral-mineral sulfida yang menghasilkan asam sulfat. Mineral

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Australia (BP.2014). Sebagian besar pertambangan batubara di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Australia (BP.2014). Sebagian besar pertambangan batubara di Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia dalam dunia pertambangan batubara berada pada peringkat keempat sebagai penghasil batubara di dunia setelah Cina, Amerika Serikat dan Australia (BP.2014).

Lebih terperinci

, NO 3-, SO 4, CO 2 dan H +, yang digunakan oleh

, NO 3-, SO 4, CO 2 dan H +, yang digunakan oleh TINJAUAN PUSTAKA Penggenangan Tanah Penggenangan lahan kering dalam rangka pengembangan tanah sawah akan menyebabkan serangkaian perubahan kimia dan elektrokimia yang mempengaruhi kapasitas tanah dalam

Lebih terperinci

Catatan : Jika ph H 2 O 2 yang digunakan < 4,5, maka ph tersebut harus dinaikkan menjadi 4,5 dengan penambahan NaOH 0,5 N.

Catatan : Jika ph H 2 O 2 yang digunakan < 4,5, maka ph tersebut harus dinaikkan menjadi 4,5 dengan penambahan NaOH 0,5 N. Lampiran 1 Prosedur uji asam basa dan Net Acid Generation (Badan Standardisasi Nasional, 2001) A. Prinsip kerja : Analisis perhitungan asam-basa meliputi penentuan potensi kemasaman maksimum (MPA) yakni

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada umumnya, setiap kegiatan industri menghasilkan suatu permasalahan lingkungan jika tidak dikelola dengan baik. Salah satu permasalahan lingkungan yang dihadapi oleh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tanahnya memiliki sifat dakhil (internal) yang tidak menguntungkan dengan

I. PENDAHULUAN. tanahnya memiliki sifat dakhil (internal) yang tidak menguntungkan dengan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan sulfat masam merupakan salah satu jenis lahan yang terdapat di kawasan lingkungan rawa dan tergolong ke dalam lahan bermasalah karena tanahnya memiliki sifat dakhil

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. (CH 2 O)n + n O 2 n CO 2 + n H 2 O + e - (1) mikrob (CH 2 O)n + nh 2 O nco 2 + 4n e - + 4n H + (2)

HASIL DAN PEMBAHASAN. (CH 2 O)n + n O 2 n CO 2 + n H 2 O + e - (1) mikrob (CH 2 O)n + nh 2 O nco 2 + 4n e - + 4n H + (2) HASIL DAN PEMBAHASAN Dinamika Eh dan ph Ketika tanah digenangi, air akan menggantikan udara dalam pori tanah. Pada kondisi seperti ini, mikrob aerob tanah menggunakan semua oksigen yang tersisa dalam tanah.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Tanah Tanah adalah kumpulan benda alam di permukaan bumi yang tersusun dalam horison-horison, terdiri dari campuran bahan mineral, bahan organik, air dan udara,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara penghasil batubara yang cukup banyak. Sumber daya alam yang melimpah dapat dijadikan alternatif sebagai pemanfaatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Batubara merupakan bahan tambang yang berasal dari sedimen organik dari berbagai macam tumbuhan yang telah mengalami proses penguraian dan pembusukan dalam jangka waktu

Lebih terperinci

TRANSFORMASI BESI DAN MANGAN

TRANSFORMASI BESI DAN MANGAN TRANSFORMASI BESI DAN MANGAN Besi dan mangan merupakan unsur mikro esensial untuk tumbuhan tetapi toksik pada konsentrasi tinggi. Besi dan mangan merupakan logam-logam transisi pertama dan ketiga terbanyak

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 5 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Biogas Biogas adalah gas yang terbentuk melalui proses fermentasi bahan-bahan limbah organik, seperti kotoran ternak dan sampah organik oleh bakteri anaerob ( bakteri

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pemanfaatan Limbah Cair Industri Tahu sebagai Energi Terbarukan. Limbah Cair Industri Tahu COD. Digester Anaerobik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pemanfaatan Limbah Cair Industri Tahu sebagai Energi Terbarukan. Limbah Cair Industri Tahu COD. Digester Anaerobik 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Kerangka Teori Pemanfaatan Limbah Cair Industri Tahu sebagai Energi Terbarukan Limbah Cair Industri Tahu Bahan Organik C/N COD BOD Digester Anaerobik

Lebih terperinci

PERAN BAHAN ORGANIK DAN TATA AIR MIKRO TERHADAP KELARUTAN BESI, EMISI CH 4, EMISI CO 2 DAN PRODUKTIVITAS PADI DI LAHAN SULFAT MASAM RINGKASAN

PERAN BAHAN ORGANIK DAN TATA AIR MIKRO TERHADAP KELARUTAN BESI, EMISI CH 4, EMISI CO 2 DAN PRODUKTIVITAS PADI DI LAHAN SULFAT MASAM RINGKASAN PERAN BAHAN ORGANIK DAN TATA AIR MIKRO TERHADAP KELARUTAN BESI, EMISI CH 4, EMISI CO 2 DAN PRODUKTIVITAS PADI DI LAHAN SULFAT MASAM RINGKASAN Tanah sulfat masam merupakan tanah dengan kemasaman yang tinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup. Lingkungan dapat dikatakan baik jika unsur yang menyusun

BAB I PENDAHULUAN. hidup. Lingkungan dapat dikatakan baik jika unsur yang menyusun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Air adalah salah satu unsur yang sangat penting bagi lingkungan hidup. Lingkungan dapat dikatakan baik jika unsur yang menyusun lingkungan tetap terpelihara.

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 13 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian 5.1.1 Sifat Kimia Tanah Data sekunder hasil analisis kimia tanah yang diamati yaitu ph tanah, C-Org, N Total, P Bray, kation basa (Ca, Mg, K, Na), kapasitas

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bahan Organik Tanah Bahan organik tanah merupakan bagian dari fraksi organik yang telah mengalami degradasi dan dekomposisi, baik sebagian atau keseluruhan menjadi satu dengan

Lebih terperinci

Pemantauan Kerusakan Lahan untuk Produksi Biomassa

Pemantauan Kerusakan Lahan untuk Produksi Biomassa Pemantauan Kerusakan Lahan untuk Produksi Biomassa Rajiman A. Latar Belakang Pemanfaatan lahan memiliki tujuan utama untuk produksi biomassa. Pemanfaatan lahan yang tidak bijaksana sering menimbulkan kerusakan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis tanah lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 1. Berbagai sifat kimia tanah yang dijumpai di lokasi

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis tanah lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 1. Berbagai sifat kimia tanah yang dijumpai di lokasi IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis tanah lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 1. Berbagai sifat kimia tanah yang dijumpai di lokasi penelitian terlihat beragam, berikut diuraikan sifat kimia

Lebih terperinci

PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK

PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK 1. Siklus Nitrogen Nitrogen merupakan limiting factor yang harus diperhatikan dalam suatu ekosistem perairan. Nitrgen di perairan terdapat

Lebih terperinci

ADSORPSI ION Cr 3+ OLEH SERBUK GERGAJI KAYU ALBIZIA (Albizzia falcata): Studi Pengembangan Bahan Alternatif Penjerap Limbah Logam Berat

ADSORPSI ION Cr 3+ OLEH SERBUK GERGAJI KAYU ALBIZIA (Albizzia falcata): Studi Pengembangan Bahan Alternatif Penjerap Limbah Logam Berat ADSORPSI ION Cr 3+ OLEH SERBUK GERGAJI KAYU ALBIZIA (Albizzia falcata): Studi Pengembangan Bahan Alternatif Penjerap Limbah Logam Berat I NYOMAN SUKARTA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertambangan merupakan suatu bidang usaha yang sifatnya selalu. menimbulkan perubahan pada alam lingkungan sekitar.

BAB I PENDAHULUAN. Pertambangan merupakan suatu bidang usaha yang sifatnya selalu. menimbulkan perubahan pada alam lingkungan sekitar. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pertambangan merupakan suatu bidang usaha yang sifatnya selalu menimbulkan perubahan pada alam lingkungan sekitar. United Nations Environment Programme (UNEP,

Lebih terperinci

BAB PENGOLAHAN AIR LIMBAH INDUSTRI TEPUNG BERAS

BAB PENGOLAHAN AIR LIMBAH INDUSTRI TEPUNG BERAS BAB PENGOLAHAN AIR LIMBAH INDUSTRI TEPUNG BERAS 13.1. Pendahuluan Tepung beras merupakan bahan baku makanan yang sangat luas sekali penggunaannya. Tepung beras dipakai sebagai bahan pembuat roti, mie dan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pertambangan timah di Indonesia dimulai pada abad ke-18. Sejak tahun 1815 penambangan timah di pulau Bangka dilaksanakan oleh pemerintah Hindia Belanda dan berlanjut sampai PT.

Lebih terperinci

Kombinasi pengolahan fisika, kimia dan biologi

Kombinasi pengolahan fisika, kimia dan biologi Metode Analisis Untuk Air Limbah Pengambilan sample air limbah meliputi beberapa aspek: 1. Lokasi sampling 2. waktu dan frekuensi sampling 3. Cara Pengambilan sample 4. Peralatan yang diperlukan 5. Penyimpanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. limbah organik dengan proses anaerobic digestion. Proses anaerobic digestion

BAB I PENDAHULUAN. limbah organik dengan proses anaerobic digestion. Proses anaerobic digestion BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan energi Indonesia yang terus meningkat dan keterbatasan persediaan energi yang tak terbarukan menyebabkan pemanfaatan energi yang tak terbarukan harus diimbangi

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini, data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Penyajian grafik dilakukan berdasarkan variabel konsentrasi terhadap kedalaman dan disajikan untuk

Lebih terperinci

BAB III PROSES PENGOLAHAN IPAL

BAB III PROSES PENGOLAHAN IPAL BAB III PROSES PENGOLAHAN IPAL 34 3.1. Uraian Proses Pengolahan Air limbah dari masing-masing unit produksi mula-mula dialirkan ke dalam bak kontrol yang dilengkapi saringan kasar (bar screen) untuk menyaring

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Syarat Tumbuh Tanaman Kelapa Sawit Kelapa sawit adalah tumbuhan hutan yang dibudidayakan. Tanaman ini memiliki respon yang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Syarat Tumbuh Tanaman Kelapa Sawit Kelapa sawit adalah tumbuhan hutan yang dibudidayakan. Tanaman ini memiliki respon yang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Syarat Tumbuh Tanaman Kelapa Sawit Kelapa sawit adalah tumbuhan hutan yang dibudidayakan. Tanaman ini memiliki respon yang baik sekali terhadap kondisi lingkungan hidup dan perlakuan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara di wilayah tropika basah yang sebagian besar

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara di wilayah tropika basah yang sebagian besar 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan negara di wilayah tropika basah yang sebagian besar wilayahnya didominasi oleh tanah yang miskin akan unsur hara, salah satunya adalah

Lebih terperinci

Bab V Hasil dan Pembahasan

Bab V Hasil dan Pembahasan terukur yang melebihi 0,1 mg/l tersebut dikarenakan sifat ortofosfat yang cenderung mengendap dan membentuk sedimen, sehingga pada saat pengambilan sampel air di bagian dasar ada kemungkinan sebagian material

Lebih terperinci

KUALITAS TANAH DAN KRITERIA UNTUK MENDUKUNG HIDUP DAN KEHIDUPAN KULTIVAN BUDIDAYA DAN MAKANANNYA

KUALITAS TANAH DAN KRITERIA UNTUK MENDUKUNG HIDUP DAN KEHIDUPAN KULTIVAN BUDIDAYA DAN MAKANANNYA KUALITAS TANAH DAN KRITERIA UNTUK MENDUKUNG HIDUP DAN KEHIDUPAN KULTIVAN BUDIDAYA DAN MAKANANNYA Usaha pelestarian dan pembudidayaan Kultivan (ikan,udang,rajungan) dapat dilakukan untuk meningkatkan kelulushidupan

Lebih terperinci

Pengelolaan Air di Areal Pasang Surut. Disampaikan Pada Materi Kelas PAM

Pengelolaan Air di Areal Pasang Surut. Disampaikan Pada Materi Kelas PAM Pengelolaan Air di Areal Pasang Surut Disampaikan Pada Materi Kelas PAM Pundu Learning Centre - 2012 DEFINISI Disampaikan Pada Materi Kelas PAM Pundu Learning Centre - 2012 DEFINISI Areal Pasang Surut

Lebih terperinci

RANCANGAN PENGOLAHAN LIMBAH CAIR. Oleh DEDY BAHAR 5960

RANCANGAN PENGOLAHAN LIMBAH CAIR. Oleh DEDY BAHAR 5960 RANCANGAN PENGOLAHAN LIMBAH CAIR Oleh DEDY BAHAR 5960 PEMERINTAH KABUPATEN TEMANGGUNG DINAS PENDIDIKAN SMK NEGERI 1 (STM PEMBANGUNAN) TEMANGGUNG PROGRAM STUDY KEAHLIAN TEKNIK KIMIA KOPETENSI KEAHLIAN KIMIA

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Air Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat di daratan, perairan lepas pantai (off shore water) dan perairan laut. Ekosistem air yang terdapat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sistematika Pembahasan Sistematika pembahasan pada penelitian ini secara garis besar terbagi atas 6 bagian, yaitu : 1. Analisa karakteristik air limbah yang diolah. 2.

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Hal tersebut menjadi masalah yang perlu diupayakan melalui. terurai menjadi bahan anorganik yang siap diserap oleh tanaman.

I PENDAHULUAN. Hal tersebut menjadi masalah yang perlu diupayakan melalui. terurai menjadi bahan anorganik yang siap diserap oleh tanaman. 1 I PENDAHULUAN 1.1 LatarBelakang Salah satu limbah peternakan ayam broiler yaitu litter bekas pakai pada masa pemeliharaan yang berupa bahan alas kandang yang sudah tercampur feses dan urine (litter broiler).

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 13 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Kimia Abu Terbang PLTU Suralaya Abu terbang segar yang baru diambil dari ESP (Electrostatic Precipitator) memiliki karakteristik berbeda dibandingkan dengan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK LIMBAH CAIR Limbah cair tepung agar-agar yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah cair pada pabrik pengolahan rumput laut menjadi tepung agaragar di PT.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.1 PENELITIAN PENDAHULUAN Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan titik kritis pengenceran limbah dan kondisi mulai mampu beradaptasi hidup pada limbah cair tahu. Limbah

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 13 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil 5.1.1. Sifat Kimia Tanah Variabel kimia tanah yang diamati adalah ph, C-organik, N Total, P Bray, Kalium, Kalsium, Magnesium, dan KTK. Hasil analisis sifat kimia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Limbah cair Menurut PP No 82 tahun 2001 limbah cair adalah sisa dari suatu hasil usaha dan atau kegiatan yang berwujud cair. Limbah cair berasal dari dua jenis sumber yaitu

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Pemberian dan Terhadap Sifat sifat Kimia Tanah Penelitian ini mengevaluasi pengaruh pemberian amelioran bahan humat dan abu terbang terhadap kandungan hara tanah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Survei dan Pemetaan Tanah. memetakan tanah dengan mengelompokan tanah-tanah yang sama kedalam satu

TINJAUAN PUSTAKA. Survei dan Pemetaan Tanah. memetakan tanah dengan mengelompokan tanah-tanah yang sama kedalam satu TINJAUAN PUSTAKA Survei dan Pemetaan Tanah Tujuan survey dan pemetaan tanah adalah mengklasifikasikan dan memetakan tanah dengan mengelompokan tanah-tanah yang sama kedalam satu satuan peta tanah yang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. masyarakat terhadap pentingnya protein hewani, maka permintaan masyarakat

PENDAHULUAN. masyarakat terhadap pentingnya protein hewani, maka permintaan masyarakat 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai potensi yang baik di bidang peternakan, seperti halnya peternakan sapi potong. Seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya

Lebih terperinci

PERANGKAT UJI PUPUK ORGANIK (PUPO) (ORGANICFERTILIZER TEST KIT )

PERANGKAT UJI PUPUK ORGANIK (PUPO) (ORGANICFERTILIZER TEST KIT ) PERANGKAT UJI PUPUK ORGANIK (PUPO) (ORGANICFERTILIZER TEST KIT ) Pendahuluan Pupuk Organik adalah pupuk yang berasal dari tumbuhan mati, kotoran hewan dan/atau bagian hewan dan/atau limbah organik lainnya

Lebih terperinci

Kompos Cacing Tanah (CASTING)

Kompos Cacing Tanah (CASTING) Kompos Cacing Tanah (CASTING) Oleh : Warsana, SP.M.Si Ada kecenderungan, selama ini petani hanya bergantung pada pupuk anorganik atau pupuk kimia untuk mendukung usahataninya. Ketergantungan ini disebabkan

Lebih terperinci

BAB 6 PEMBAHASAN 6.1 Diskusi Hasil Penelitian

BAB 6 PEMBAHASAN 6.1 Diskusi Hasil Penelitian BAB 6 PEMBAHASAN 6.1 Diskusi Hasil Penelitian Penelitian biofiltrasi ini targetnya adalah dapat meningkatkan kualitas air baku IPA Taman Kota Sehingga masuk baku mutu Pergub 582 tahun 1995 golongan B yakni

Lebih terperinci

BIOGAS. Sejarah Biogas. Apa itu Biogas? Bagaimana Biogas Dihasilkan? 5/22/2013

BIOGAS. Sejarah Biogas. Apa itu Biogas? Bagaimana Biogas Dihasilkan? 5/22/2013 Sejarah Biogas BIOGAS (1770) Ilmuwan di eropa menemukan gas di rawa-rawa. (1875) Avogadro biogas merupakan produk proses anaerobik atau proses fermentasi. (1884) Pasteur penelitian biogas menggunakan kotoran

Lebih terperinci

Mn 2+ + O 2 + H 2 O ====> MnO2 + 2 H + tak larut

Mn 2+ + O 2 + H 2 O ====> MnO2 + 2 H + tak larut Pengolahan Aerasi Aerasi adalah salah satu pengolahan air dengan cara penambahan oksigen kedalam air. Penambahan oksigen dilakukan sebagai salah satu usaha pengambilan zat pencemar yang tergantung di dalam

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Penelitian pembuatan pupuk organik cair ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Limbah Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Secara

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan berkelanjutan hakekatnya merupakan usaha yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia dari generasi ke generasi. Sudah sejak lama, komitmen pertambangan

Lebih terperinci

I.1.1 Latar Belakang Pencemaran lingkungan merupakan salah satu faktor rusaknya lingkungan yang akan berdampak pada makhluk hidup di sekitarnya.

I.1.1 Latar Belakang Pencemaran lingkungan merupakan salah satu faktor rusaknya lingkungan yang akan berdampak pada makhluk hidup di sekitarnya. BAB I PENDAHULUAN I.1.1 Latar Belakang Pencemaran lingkungan merupakan salah satu faktor rusaknya lingkungan yang akan berdampak pada makhluk hidup di sekitarnya. Sumber pencemaran lingkungan diantaranya

Lebih terperinci

PENGOLAHAN AIR ASAM TAMBANG MENGGUNAKAN BIOFILM BAKTERI PEREDUKSI SULFAT MUCHAMAD YUSRON

PENGOLAHAN AIR ASAM TAMBANG MENGGUNAKAN BIOFILM BAKTERI PEREDUKSI SULFAT MUCHAMAD YUSRON PENGOLAHAN AIR ASAM TAMBANG MENGGUNAKAN BIOFILM BAKTERI PEREDUKSI SULFAT MUCHAMAD YUSRON SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI Dengan ini saya menyatakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. legend of soil yang disusun oleh FAO, ultisol mencakup sebagian tanah Laterik

TINJAUAN PUSTAKA. legend of soil yang disusun oleh FAO, ultisol mencakup sebagian tanah Laterik TINJAUAN PUSTAKA Ultisol Ultisol adalah tanah mineral yang berada pada daerah temprate sampai tropika, mempunyai horison argilik atau kandik dengan lapisan liat tebal. Dalam legend of soil yang disusun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menyebabkan terjadinya penurunan kualitas air. Salah satu faktor terpenting

I. PENDAHULUAN. menyebabkan terjadinya penurunan kualitas air. Salah satu faktor terpenting I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut Wardhana (2007), pencemaran air dapat disebabkan oleh pembuangan limbah sisa hasil produksi suatu industri yang dibuang langsung ke sungai bukan pada tempat penampungan

Lebih terperinci

Mengapa Air Sangat Penting?

Mengapa Air Sangat Penting? Mengapa Air Sangat Penting? Kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya sangat bergantung pada air. Kita banyak menggunakan air untuk keperluan sehari-hari seperti untuk minum, memasak, mencuci, 1 mandi

Lebih terperinci

Bakteri Untuk Biogas ( Bag.2 ) Proses Biogas

Bakteri Untuk Biogas ( Bag.2 ) Proses Biogas Biogas adalah gas mudah terbakar yang dihasilkan dari proses fermentasi bahan-bahan organik oleh bakteri-bakteri anaerob (bakteri yang hidup dalam kondisi kedap udara). Pada umumnya semua jenis bahan organik

Lebih terperinci

JURUSAN KETEKNIKAN PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

JURUSAN KETEKNIKAN PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG PERANCANGAN PABRIK PENGOLAHAN LIMBAH Oleh: KELOMPOK 2 M. Husain Kamaluddin 105100200111013 Rezal Dwi Permana Putra 105100201111015 Tri Priyo Utomo 105100201111005 Defanty Nurillamadhan 105100200111010

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pesatnya pertumbuhan dan aktivitas masyarakat Bali di berbagai sektor

BAB I PENDAHULUAN. Pesatnya pertumbuhan dan aktivitas masyarakat Bali di berbagai sektor BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya pertumbuhan dan aktivitas masyarakat Bali di berbagai sektor seperti pariwisata, industri, kegiatan rumah tangga (domestik) dan sebagainya akan meningkatkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. padat (feses) dan limbah cair (urine). Feses sebagian besar terdiri atas bahan organik

PENDAHULUAN. padat (feses) dan limbah cair (urine). Feses sebagian besar terdiri atas bahan organik I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peternakan sapi perah selain menghasilkan air susu juga menghasilkan limbah. Limbah tersebut sebagian besar terdiri atas limbah ternak berupa limbah padat (feses) dan limbah

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. Pada penelitian ini dilakukan pengolahan limbah laboratorium dengan

BAB V PEMBAHASAN. Pada penelitian ini dilakukan pengolahan limbah laboratorium dengan BAB V PEMBAHASAN Pada penelitian ini dilakukan pengolahan limbah laboratorium dengan menggunakan gabungan metode elektrokoagulasi dan EAPR. Parameter yang digunakan yaitu logam berat Pb, Cu, COD dan ph.

Lebih terperinci

PENENTUAN KUALITAS AIR

PENENTUAN KUALITAS AIR PENENTUAN KUALITAS AIR Analisis air Mengetahui sifat fisik dan Kimia air Air minum Rumah tangga pertanian industri Jenis zat yang dianalisis berlainan (pemilihan parameter yang tepat) Kendala analisis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mencuci pakaian, untuk tempat pembuangan kotoran (tinja), sehingga badan air

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mencuci pakaian, untuk tempat pembuangan kotoran (tinja), sehingga badan air 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pencemaran air minum oleh virus, bakteri patogen, dan parasit lainnya, atau oleh zat kimia, dapat terjadi pada sumber air bakunya, ataupun terjadi pada saat pengaliran air olahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tunggang dengan akar samping yang menjalar ketanah sama seperti tanaman dikotil lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. tunggang dengan akar samping yang menjalar ketanah sama seperti tanaman dikotil lainnya. BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Tomat (Lycopersicum esculentum Mill) merupakan tanaman perdu dan berakar tunggang dengan akar samping yang menjalar ketanah sama seperti tanaman dikotil lainnya. Tomat

Lebih terperinci

PEMBAHASAN UMUM. Pembukaan tanah sulfat masam untuk persawahan umumnya dilengkapi

PEMBAHASAN UMUM. Pembukaan tanah sulfat masam untuk persawahan umumnya dilengkapi 102 PEMBAHASAN UMUM Pembukaan tanah sulfat masam untuk persawahan umumnya dilengkapi dengan pembuatan saluran irigasi dan drainase agar air dapat diatur. Bila lahan tersebut dimanfaatkan untuk bertanam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. biasanya disertai dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat.

BAB I PENDAHULUAN. biasanya disertai dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Secara umum perkembangan jumlah penduduk yang semakin besar biasanya disertai dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat. Perkembangan tersebut membawa

Lebih terperinci

1 Asimilasi nitrogen dan sulfur

1 Asimilasi nitrogen dan sulfur BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tumbuhan tingkat tinggi merupakan organisme autotrof dapat mensintesa komponen molekular organik yang dibutuhkannya, selain juga membutuhkan hara dalam bentuk anorganik

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Tanah Sawah. tanaman padi sawah, dimana padanya dilakukan penggenangan selama atau

TINJAUAN PUSTAKA. Tanah Sawah. tanaman padi sawah, dimana padanya dilakukan penggenangan selama atau TINJAUAN PUSTAKA Tanah Sawah Lahan sawah adalah lahan yang dikelola sedemikian rupa untuk budidaya tanaman padi sawah, dimana padanya dilakukan penggenangan selama atau sebagian dari masa pertumbuhan padi.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanah marginal merupakan tanah yang potensial untuk pertanian. Secara alami

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanah marginal merupakan tanah yang potensial untuk pertanian. Secara alami 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanah Ultisol dan Permasalahan Kesuburannya Tanah marginal merupakan tanah yang potensial untuk pertanian. Secara alami kesuburan tanah marginal tergolong rendah. Hal ini ditunjukan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. ph 5,12 Total Volatile Solids (TVS) 0,425%

HASIL DAN PEMBAHASAN. ph 5,12 Total Volatile Solids (TVS) 0,425% HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Awal Bahan Baku Pembuatan Biogas Sebelum dilakukan pencampuran lebih lanjut dengan aktivator dari feses sapi potong, Palm Oil Mill Effluent (POME) terlebih dahulu dianalisis

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Survei dan Pemetaan Tanah. Pemetaan adalah proses pengukuran, perhitungan dan penggambaran

TINJAUAN PUSTAKA. Survei dan Pemetaan Tanah. Pemetaan adalah proses pengukuran, perhitungan dan penggambaran TINJAUAN PUSTAKA Survei dan Pemetaan Tanah Survei tanah adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk dapat membedakan tanah satu dengan yang lain yang kemudian disajikan dalam suatu peta (Tamtomo,

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kondisi Umum Saat Ini Faktor Fisik Lingkungan Tanah, Air, dan Vegetasi di Kabupaten Kutai Kartanegara Kondisi umum saat ini pada kawasan pasca tambang batubara adalah terjadi

Lebih terperinci

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis IV. HASIL DA PEMBAHASA A. Penelitian Pendahuluan 1. Analisis Karakteristik Bahan Baku Kompos Nilai C/N bahan organik merupakan faktor yang penting dalam pengomposan. Aktivitas mikroorganisme dipertinggi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tidak dimiliki oleh sektor lain seperti pertanian. Tidaklah mengherankan jika kemudian

TINJAUAN PUSTAKA. tidak dimiliki oleh sektor lain seperti pertanian. Tidaklah mengherankan jika kemudian TINJAUAN PUSTAKA Ikan Patin Sektor perikanan memang unik beberapa karakter yang melekat di dalamnya tidak dimiliki oleh sektor lain seperti pertanian. Tidaklah mengherankan jika kemudian penanganan masalah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Kopi Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi merupakan tanaman dengan perakaran tunggang yang mulai berproduksi sekitar berumur 2 tahun

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sifat Umum Tanah Masam

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sifat Umum Tanah Masam II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sifat Umum Tanah Masam Tanah tanah masam di Indonesia sebagian besar termasuk ke dalam ordo ksisol dan Ultisol. Tanah tanah masam biasa dijumpai di daerah iklim basah. Dalam keadaan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Dari hasil pengukuran terhadap beberapa parameter kualitas pada

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Dari hasil pengukuran terhadap beberapa parameter kualitas pada IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Kualitas Air Dari hasil pengukuran terhadap beberapa parameter kualitas pada masingmasing perlakuan selama penelitian adalah seperti terlihat pada Tabel 1 Tabel 1 Kualitas Air

Lebih terperinci

BAB 3 KIMIA TANAH. Kompetensi Dasar: Menjelaskan komponen penyusun, sifat fisika dan sifat kimia di tanah

BAB 3 KIMIA TANAH. Kompetensi Dasar: Menjelaskan komponen penyusun, sifat fisika dan sifat kimia di tanah Kimia Tanah 23 BAB 3 KIMIA TANAH Kompetensi Dasar: Menjelaskan komponen penyusun, sifat fisika dan sifat kimia di tanah A. Sifat Fisik Tanah Tanah adalah suatu benda alami heterogen yang terdiri atas komponenkomponen

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK LIMBAH TERNAK

KARAKTERISTIK LIMBAH TERNAK KARAKTERISTIK LIMBAH TERNAK KARAKTERISTIK LIMBAH TERNAK Karakteristik limbah ternak dipengaruhi : a. unit produksi: padat, semipadat, cair b. Kandang : Lantai keras : terakumulasi diatas lantai kelembaban

Lebih terperinci

JURUSAN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

JURUSAN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA JURUSAN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA PENCEMARAN Polusi atau pencemaran lingkungan adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat energi, dan atau

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK LIMBAH TERNAK

KARAKTERISTIK LIMBAH TERNAK KARAKTERISTIK LIMBAH KARAKTERISTIK LIMBAH Karakteristik limbah ternak dipengaruhi : a. unit produksi: padat, semipadat, cair b. Kandang : Lantai keras : terakumulasi diatas lantai kelembaban dan konsistensinya

Lebih terperinci

TINJAUN PUSTAKA. Sifat sifat Kimia Tanah. tekstur tanah, kepadatan tanah,dan lain-lain. Sifat kimia tanah mengacu pada sifat

TINJAUN PUSTAKA. Sifat sifat Kimia Tanah. tekstur tanah, kepadatan tanah,dan lain-lain. Sifat kimia tanah mengacu pada sifat TINJAUN PUSTAKA Sifat sifat Kimia Tanah Tanah memiliki sifat fisik, sifat kimia dan sifat biologi. Sifat fisik dan biologi tanah dapat dilihat secara kasat mata dan diteliti dengan warna tanah, tekstur

Lebih terperinci

SEBARAN MENEGAK KONSENTRASI Pb, Cu, Zn, Cd, DAN Ni DI SEDIMEN PULAU PARI BAGIAN UTARA KEPULAUAN SERIBU. Oleh : ACHMAD AULIA RACHMAN C

SEBARAN MENEGAK KONSENTRASI Pb, Cu, Zn, Cd, DAN Ni DI SEDIMEN PULAU PARI BAGIAN UTARA KEPULAUAN SERIBU. Oleh : ACHMAD AULIA RACHMAN C SEBARAN MENEGAK KONSENTRASI Pb, Cu, Zn, Cd, DAN Ni DI SEDIMEN PULAU PARI BAGIAN UTARA KEPULAUAN SERIBU Oleh : ACHMAD AULIA RACHMAN C64102057 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

MANUAL PROSEDUR PENANGANAN LIMBAH LABORATORIUM

MANUAL PROSEDUR PENANGANAN LIMBAH LABORATORIUM MANUAL PROSEDUR PENANGANAN LIMBAH LABORATORIUM JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2016 MANUAL PROSEDUR PENANGANAN LIMBAH LABORATORIUM JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Mineralisasi N dari Bahan Organik yang Dikomposkan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Mineralisasi N dari Bahan Organik yang Dikomposkan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Mineralisasi N dari Bahan Organik yang Dikomposkan Bahan organik adalah bagian dari tanah yang merupakan suatu sistem kompleks dan dinamis, yang bersumber dari bahan-bahan yang

Lebih terperinci

BAB 4 SIKLUS BIOGEOKIMIA

BAB 4 SIKLUS BIOGEOKIMIA Siklus Biogeokimia 33 BAB 4 SIKLUS BIOGEOKIMIA Kompetensi Dasar: Menjelaskan siklus karbon, nitrogen, oksigen, belerang dan fosfor A. Definisi Siklus Biogeokimia Siklus biogeokimia atau yang biasa disebut

Lebih terperinci

BAB III PENCEMARAN SUNGAI YANG DIAKIBATKAN OLEH LIMBAH INDUSTRI RUMAH TANGGA. A. Penyebab dan Akibat Terjadinya Pencemaran Sungai yang diakibatkan

BAB III PENCEMARAN SUNGAI YANG DIAKIBATKAN OLEH LIMBAH INDUSTRI RUMAH TANGGA. A. Penyebab dan Akibat Terjadinya Pencemaran Sungai yang diakibatkan BAB III PENCEMARAN SUNGAI YANG DIAKIBATKAN OLEH LIMBAH INDUSTRI RUMAH TANGGA A. Penyebab dan Akibat Terjadinya Pencemaran Sungai yang diakibatkan Industri Tahu 1. Faktor Penyebab Terjadinya Pencemaran

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Ultisol

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Ultisol 18 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Ultisol Ultisol merupakan tanah-tanah yang mempunyai horizon argilik atau kandik dengan nilai kejenuhan basa rendah. Kejenuhan basa (jumlah kation basa) pada

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Surabaya, 24 Februari Penulis. Asiditas dan Alkalinitas Page 1

KATA PENGANTAR. Surabaya, 24 Februari Penulis. Asiditas dan Alkalinitas Page 1 KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur senantiasa kita panjatkan kehadiran allah SWT, atas limpahan rahmat dan hidayahnya kepada kita, sehingga kelompok kami dapat menyelesaikan makalah Asiditas dan Alkalinitas.

Lebih terperinci

PROSIDING SEMINAR NASIONAL DIES NATALIS KE-52 FAKULTAS PERTANIAN UNLAM

PROSIDING SEMINAR NASIONAL DIES NATALIS KE-52 FAKULTAS PERTANIAN UNLAM PROSIDING SEMINAR NASIONAL DIES NATALIS KE-52 FAKULTAS PERTANIAN UNLAM Banjarbaru, 28 September 2013 Pengelolaan Sumberdaya Lahan Sub Optimal untuk Produksi Biomassa Berkelanjutan FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A.

BAB I. PENDAHULUAN A. BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan salah satu primadona tanaman perkebunan yang memiliki prospek pengembangan cukup cerah, Indonesia memiliki luas areal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sebagai negara yang sedang berkembang, sektor perekonomian di Indonesia tumbuh dengan pesat. Pola perekonomian yang ada di Indonesia juga berubah, dari yang

Lebih terperinci

Sulfur dan Asam Sulfat

Sulfur dan Asam Sulfat Pengumpulan 1 Rabu, 17 September 2014 Sulfur dan Asam Sulfat Disusun untuk memenuhi Tugas Proses Industri Kimia Dosen Pembimbing : Prof. Dr. Ir. Chandrawati Cahyani, M.S. Ayu Diarahmawati (135061101111016)

Lebih terperinci

Pengertian Siklus Sulfur

Pengertian Siklus Sulfur PENGERTIAN SIKLUS SULFUR DAN PROSES TERJADINYA SIKLUS SULFUR Pengertian Siklus Sulfur Sulfur merupakan perubahan sulfur dari hidrogen sulfida menjadi sulfur diokasida lalu menjadi sulfat dan kembali menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Industri yang menghasilkan limbah logam berat banyak dijumpai saat ini.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Industri yang menghasilkan limbah logam berat banyak dijumpai saat ini. Industri yang menghasilkan limbah logam berat banyak dijumpai saat ini. Berbagai macam industri yang dimaksud seperti pelapisan logam, peralatan listrik, cat, pestisida dan lainnya. Kegiatan tersebut dapat

Lebih terperinci

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 19 BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Sifat Fisik Tanah 5.1.1. Bobot Isi dan Porositas Total Penambahan bahan organik rumput signal pada lahan Kathryn belum menunjukkan pengaruh baik terhadap bobot isi (Tabel

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. jagung juga digunakan sebagai bahan baku industri, pakan ternak dan industri

I. PENDAHULUAN. jagung juga digunakan sebagai bahan baku industri, pakan ternak dan industri 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Di Indonesia jagung merupakan bahan pangan kedua setelah padi. Selain itu, jagung juga digunakan sebagai bahan baku industri, pakan ternak dan industri lainnya.

Lebih terperinci

Metode Penelitian Kerangka penelitian penelitian secara bagan disajikan dalam Gambar 4. Penelitian ini dipilah menjadi tiga tahapan kerja, yaitu:

Metode Penelitian Kerangka penelitian penelitian secara bagan disajikan dalam Gambar 4. Penelitian ini dipilah menjadi tiga tahapan kerja, yaitu: 15 METODOLOGI Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di lapang pada bulan Februari hingga Desember 2006 di Desa Senyawan, Kecamatan Tebas, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat (Gambar 3). Analisis

Lebih terperinci

PEMBAHASAN UMUM. Gambar 52. Hubungan antara nisbah C/N dengan fluks CO 2. Fluks CO2. (mg CO2 kg tanah -1 harī 1 )

PEMBAHASAN UMUM. Gambar 52. Hubungan antara nisbah C/N dengan fluks CO 2. Fluks CO2. (mg CO2 kg tanah -1 harī 1 ) PEMBAHASAN UMUM Dari kajian pengaruh pupuk N terhadap fluks CO 2 hasil respirasi bahan gambut menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara dosis urea dengan tingkat kematangan gambut. Penambahan dosis urea

Lebih terperinci