BIOPOPULASI IKAN ENDEMIK BUTINI (Glossogobius matanensis) DI DANAU TOWUTI, SULAWESI SELATAN JEFRY JACK MAMANGKEY

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BIOPOPULASI IKAN ENDEMIK BUTINI (Glossogobius matanensis) DI DANAU TOWUTI, SULAWESI SELATAN JEFRY JACK MAMANGKEY"

Transkripsi

1 BIOPOPULASI IKAN ENDEMIK BUTINI (Glossogobius matanensis) DI DANAU TOWUTI, SULAWESI SELATAN JEFRY JACK MAMANGKEY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Biopopulasi Ikan Endemik Butini (Glossogobius matanensis) di Danau Towuti, Sulawesi Selatan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Januari 2010 Jefry Jack Mamangkey NIM C

3 ABSTRACT JEFRY JACK MAMANGKEY, Biopopulation of Endemic Fish Butini (Glossogobius matanensis) in Towuti Lake, South Sulawesi. Advisory committee : SULISTIONO, DEDI SOEDHARMA, DJADJA SUBARDJA SJAFEI, and SUTRISNO SUKIMIN. Butini (Glossogobius matanensis) is one of the endemic fish biodiversity in Towuti lake. This fish has been consumed and has an important economic value. Due to intensive exploitation the populations tend to decrease and therefore should be protected based on low genetic diversity, low growth rate and late gonadal maturation stage (GMS). This study was to analyze genetic diversity, several population parameters and aspects of reproduction. This research was conducted from may 2006 to April 2007 in Towuti lake using long line/salue based on depth of water (25, 50, 75, 100, 150 and 200 metre). The butini were distributed at various depth and most found at 100 metre deep. Statistical analysis between population showed no significant different within zonation and depth either morphometric or molecular data. Structure population based on length frequency data divided into 3 groups of length : 28.08, 34.12, and cm which are appeared both in male and female groups. Another parameters are L = cm and growth coefficient (K) = per year. The predicted maximum ages of male and female fish were 5 and 6 years old respectively. It was calculated the total exploitation rate (E) was 0.52 per year and recruitment in this fish occurred in November to January. Total butini caught was 2195 fish consisted of 1401 male and 794 female. From total male there were 1119 (50.98 %) immatured and 282 (12.80 %) matured. On the other hand from 794 female there were 494 (22.51 %) immatured and the rest 300 fish (13.67) matured. Observation of GMS resulted that GMS I and II were found in most of the samples, it is indicated that the fish caught during the research mostly young fish. Gonado Somato Index of samples was 0.55 %. To prevent the decreasing populations of endemic fish butini, some regulations such as limitation time of fish catch during spawning season in October. Key words : biopopulation, endemic butini fish, gonad and Towuti lake.

4 RINGKASAN JEFRY JACK MAMANGKEY. Biopopulasi Ikan Endemik Butini (Glossogobius matanensis) di Danau Towuti Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh SULISTIONO, DEDI SOEDHARMA, DJADJA SUBARDJA SJAFEI, DAN SUTRISNO SUKIMIN. Ikan butini (Glossogobius matanensis) yang termasuk ke dalam famili gobiidae merupakan salah satu ikan endemik dan eksistensinya sangat penting di Danau Towuti baik secara ekologis maupun ekonomis. Ikan ini termasuk ikan liar karena belum dibudidayakan dan merupakan bagian dari potensi perikanan Indonesia yang belum dikenal secara luas. Informasi mengenai ikan butini masih sangat terbatas, sementara populasi ikan ini semakin menurun diduga akibat tingkat keragaman, struktur populasi dan laju pertumbuhan yang lambat mencapai dewasa, serta tingkat kematangan gonad yang rendah, ekploitasi yang terus menurus dan rusaknya habitat akibat limbah pabrik yang ada di sekitar Danau maupun buangan limbah lalulintas kapal dapat menyebabkan pencemaran perairan. Untuk itu penelitian ini bertujuan 1). Menganalisis keragaman genetik berdasarkan morfometrik-meristik dan molekuler ikan butini, 2). Menganalisis beberapa parameter populasi ikan butini di Danau Towuti. 3). Aspek reproduksi ikan butini. 4). Menentukan konsep pengelolaan ikan butini di Danau Towuti. Hasil ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai populasi sebagai salah satu plasma nutfah ikan endemik butini di Danau Towuti. Pengamatan dilakukan setiap bulan secara time series selama 12 bulan yaitu dari bulan Mei 2006 hingga April 2007 di perairan danau Towuti, Sulawesi Selatan. Metode penelitian yang digunakan adalah Deskriptif. Desain penelitian ditetapkan dengan cara zonasi dan kedalaman dengan mempertimbangkan karakteristik perairan Danau Towuti berdasarkan tipologi habitat dan pengaruh/tekanan lingkungan sekitar danau, dan eksploitasi. Berdasarkan hal tersebut, ditetapkan tiga zona pengamatan dengan masing-masing kedalaman yaitu 25, 50, 75, 100 dan 150 serta 200 meter. Zona A berdasarkan aktivitas penduduk yang tinggi dan eksploitasi. Zona B adanya inlet dan zona C adanya outlet. Pengambilan ikan contoh dengan menggunakan alat tangkap salue/pancing (long line) dengan ukuran matakail nomor 8, 10, 12, 14 dan 16 di perairan Danau Towuti. Ikan butini yang tertangkap berjumlah 2195 ekor terdiri dari 1401 ekor ikan jantan dan 794 ekor ikan betina. Ikan butini hidup di Danau Towuti dan paling banyak ditemukan pada kedalaman 100 meter sebanyak 489 ekor. Pada setiap kedalaman ikan butini jantan cenderung lebih banyak tertangkap dibanding ikan betina. Ukuran terpanjang di temukan pada kedalaman 150 meter dengan panjang total 46,2 cm. Distribusi ukuran panjang total ikan jantan berkisar antara 14,5 46,2 cm dengan panjang rata-rata 30,4 cm dan betina berkisar antara 17,4-40 cm dengan panjang rata-rata 20,9 cm. Frekwensi panjang di setiap kedalaman berbeda, ukuran panjang ikan relatif bervariasi pada kedalaman 100 meter. Sedang frekwensi panjang total paling banyak tertangkap pada ukuran 28,8 cm. Secara molekuler nilai heterozigot ikan butini menurut zona/wilayah sangat rendah bila dibanding dengan kedalaman. Secara morfometrik pada ikan butini terdapat indikasi mengarah pada dua kelompok populasi ditentukan oleh

5 kedalaman. Kelompok 1 meliputi ikan-ikan yang hidup di kedalaman 25 hingga 75 meter dan kelompok dua ikan-ikan yang hidup di kedalaman 100 hingga 200 meter. Berdasarkan uji statistik tidak berbeda nyata antara populasi antar zona maupun kedalaman baik secara morfometrik dan meristik maupun molekuler. Berdasarkan kelompok panjang secara keseluruhan didapatkan tiga (3) kelompok ikan butini, yaitu kelompok ukuran I panjang total 28,08 cm, kelompok ukuran II panjang 34,12 cm dan kelompok ukuran III panjang 40,50 cm. Menurut jenis kelamin untuk jantan terdapat 3 kelompok ukuran masing-masing panjang 28,80 cm, 32,70 cm, dan 40,50 cm sedang betina terdapat 3 kelompok ukuran masing-masing panjang 28,80, 29,34 dan 37,90 cm. Berdasarkan parameter populasi ikan butini secara keseluruhan memiliki panjang infiniti (L ) sebesar 46,62 cm, dan koefisien pertumbuhan sebesar 1,200 per tahun. Menurut jenis kelamin untuk ikan jantan dan betina memiliki panjang infiniti (L ) yang sama sebesar 46,62 cm, ukuran ini mengidikasikan bahwa ikan jantan dan betina dapat mencapai ukuran panjang yang sama. Dari koefisien pertumbuhan (K) jantan dan betina masing-masing sebesar 0,950 dan 0,820 per tahun, nampak laju pertumbuhan ikan jantan lebih cepat dibanding ikan betina di semua kedalaman maupun zona. Pertumbuhan ikan butini dapat mencapai ukuran terpanjang pada umur lima (5) tahun untuk jantan dan betina enam (6) tahun. Mortalitas total (Z) secara keseluruhan sebesar 3,73 per tahun sedang menurut jenis kelamin untuk jantan adalah 2,86 dan betina 5,57 per tahun, mortalitas alami (M) secara keseluruhan sebesar 1,79 menurut jenis kelamin untuk jantan sebesar 1,54 dan betina 1,40 per tahun serta mortalitas akibat penangkapan (F) secara keseluruhan sebesar 1,94 per tahun dan untuk jantan dan betina masing-masing sebesar 1,32 dan 4,17 per tahun. Laju eksploitasi (E) secara keseluruhan sebesar 0,52 per tahun, menurut jenis kelamin untuk jantan sebesar 0,46 dan betina sebesar 0,75 per tahun. Untuk rekruitmen secara keseluruhan terjadi pada bulan November, Desember dan Januari. Menurut jenis kelamin untuk jantan terjadi pada bulan September, Oktober dan November sedangkan betina terjadi pada bulan Agustus, September dan Oktober. Pada ikan butini perbandingan jantan dan betina tidak seimbang yaitu 0,67 : 0,33, ikan jantan lebih banyak ditemukan dibanding ikan betina. Dari jumlah total ikan jantan terdapat 1119 ekor (50,98 %) ikan muda (belum matang gonad), dan yang dewasa (matang gonad) 282 ekor (12,80 %) sedang betina berjumlah 494 ekor (22,51 %) ikan muda (belum matang gonad) dan 305 ekor (13,67 %) ikan dewasa (matang gonad). Berdasarkan TKG yang paling banyak ditemukan adalah TKG I dan TKG II hal ini mengindikasikan bahwa ikan-ikan yang tertangkap selama 12 bulan pengamatan adalah ikan-ikan muda. Dari index kematangan gonad ikan butini di Danau Towuti rata-rata sebesar 0,55 %. Untuk pengelolaan perlu dilakukan penetapan zonasi sebagai daerah konservasi yaitu di zone B dan pembatasan waktu penangkapan di Danau Towuti yaitu pada bulan Oktober saat ikan memijah guna mencegah penurunan jumlah populasi serta ukuran mata kail nomor 12 tidak digunakan selama puncak musim pemijahan agar ikan dapat diberi kesempatan untuk tumbuh di habitatnya.

6 Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagain atau seluruh karya tulis dalam bentuk laporan apapun tanpa izin IPB

7 BIOPOPULASI IKAN ENDEMIK BUTINI (Glossogobius matanensis) DI DANAU TOWUTI, SULAWESI SELATAN JEFRY JACK MAMANGKEY Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Perairan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

8 Judul Disertasi Nama NIM : Biopopulasi Ikan Endemik Butini (Glossogobius matanensis) di Danau Towuti, Sulawesi Selatan. : Jefry Jack Mamangkey : C Disetujui, Komisi Pembimbing Dr. Ir. Sulistiono, MS Ketua Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA Anggota Dr. Ir. Djadja Subardja Sjafei Anggota Dr. Ir. Sutrino Sukimin, DEA Anggota Diketahui Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Enang Harris, MS Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS Tanggal Lulus : 21 Desember 2009 Tanggal Lulus :

9 PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Kuasa atas berkat dan anugrahnya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan dari bulan Mei 2006 hingga April 2007 ini adalah populasi ikan butini, dengan judul Biopopulasi ikan endemik butini (Glossogobius matanensis) di Danau Towuti, Sulawesi Selatan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc. Selaku ketua komisi pembimbing, Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA., Dr. Ir. Djadja Subardja Sjafei, dan Dr. Ir. Sutrisno Sukimin, DEA selaku anggota komisi pembimbing atas segala masukkan dan saran-saran yang diberikan. 2. Para penguji, yaitu penguji luar komisi pembimbing serta wakil dari Program Studi Ilmu Perairan dan Sekolah Pascasarjana IPB yang berkenan menyumbangkan buah pikiran untuk memperkaya penelitian ini. 3. Rektor Universitas Negeri Manado atas kesempatan yang di berikan untuk melanjutkan pendidikan Program Strata III (S3). 4. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Reproblik Indonesia melalui Badan Pengelola Pengembangan Sumberdaya (BPPS) atas bantuan beasiswa yang diberikan. 5. Pemerintah Propinsi Sulawesi Utara, melalui DEPDIKNAS Propinsi Sulawesi Utara atas bantuan dana yang telah diberikan dalam menyelesaikan studi. 6. Pemerintah Kabupaten Minahasa Selatan atas bantuan dana yang diberikan dalam menyelesaikan studi. 7. Rektor Institut Pertanian Bogor melalui Program Pascasarjana atas bantuan Hibah Pasca yang telah diberikan untuk kelancaran penyelesaian studi. 8. Yayasan Damandiri-P2SDM LPPM IPB yang telah memberikan bantuan penyelesaian studi. 9. Dr. Ir. Kardiyo Praptokardiyo dan Bapak Dr. Ir. Chairul Muluk atas sumbangan pemikiran yang diberikan. 10. Kedua orang tua, mami dan papi yang telah memberikan kasih sayang dan semangat serta doa. 11. Istri, Dra. Reifien Ollin Bate dan Anak Frily Mamangkey dan Triany Mamangkey atas pengertian, dukungan, pengorbanan, doa dan kasih sayang yang diberikan. 12. Dr. Ir. Syahroma Husni Nasution, M.Si dan Ir. Tonny Ongkers, M.Sc serta teman-teman S2 dan S3 Ilmu Perairan atas bantuan dan kerjasama yang baik selama studi di IPB. 13. Keluarga Bapak Cilik, Bapak Mas ud dan Bapak Dedi yang telah membantu penulis selama pengambilan sampel diperairan Danau Towuti. 14. Berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian studi S3 di Program Studi Ilmu Perairan Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Januari 2010 Jefry Jack Mamangkey

10 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kwandang pada tanggal 23 September 1962 sebagai anak kedua dari pasangan bapak Joutje Hendrik Mamangkey dan ibu Geysye Elizabet Monde. Penulis menikah dengan Dra. Reifien Ollin Bate, dan telah dikaruniai dua orang putri : Frily Mamangkey dan Triany Mamangkey. Pendidikan sarjana ditempuh di FPMIPA IKIP Negeri Manado pada Jurusan Pendidikan Biologi, lulus pada Tahun Pada Tahun 1995 penulis melanjutkan pendidikan Strata II (S2) di Program studi Ilmu Perairan dengan bidang minat Sumberdaya Biologi Perairan pada sekolah pascasarjana Universitas Sam Ratulangi Manado dan menamatkan pada Tahun Pada Tahun 2004 penulis memperoleh kesempatan untuk melanjutkan ke program Strata III (S3) Doktor di Program studi Ilmu Perairan dengan bidang minat Studi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan dan Lingkungan Perairan pada sekolah pascasarjana IPB. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Badan Pengelola Pengembangan Sumberdaya Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Reproblik Indonesia. Penulis bekerja sebagai tenaga edukatif sejak Tahun 1989 di Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Manado. Bidang matakuliah yang diajarkan adalah Mikrobiologi dan Zoologi Vertebrata. Karya ilmiah berjudul keragaman genetik ikan endemik butini (Glossogobius matanensis) berdasarkan penanda Random Amplified Polymorphism DNA (RAPD) di Danau Towuti Sulawesi selatan telah diterbitkan di Jurnal Riset Akuakultur Vol. 2 nomor 3 tahun Karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari Program S3 penulis.

11 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xiii DAFTAR GAMBAR.. xv DAFTAR LAMPIRAN... xvii PENDAHULUAN Latar belakang... 1 Perumusan masalah... 3 Tujuan dan manfaat... 5 Hipotesis... 5 TINJAUAN PUSTAKA Tipologi perairan Danau Towuti... 7 Klasifikasi dan morfologi... 9 Distribusi populasi ikan butini Keragaman genetik ikan butini Parameter populasi ikan butini Struktur populasi Pertumbuhan Mortalitas Rekrutmen Reproduksi ikan butini Konsep pengelolaan ikan butini METODE PENELITIAN Tempat dan waktu penelitian Metode penelitian Bahan dan metode pengukuran Desain pengambilan sampel Teknik pengambilan data Variabel yang diamati Analisis data Parameter fisika dan kimia perairan Penentuan keragaman populasi ikan butini Morfometrik dan meristik DNA Parameter populasi ikan butini Struktur populasi Pertumbuhan Mortalitas... 33

12 Rekrutmen Aspek reproduksi ikan butini Nisbah kelamin Tingkat kematangan gonad Indeks kematangan gonad Fekunditas HASIL DAN PEMBAHASAN SIMPULAN Kondisi lingkungan perairan Distribusi ikan butini Distribusi spasial Distribusi temporal Keragaman populasi ikan butini Morfometrik dan meristik Genetik Parameter populasi ikan butini Struktur populasi Hubungan panjang bobot tubuh Pertumbuhan Mortalitas Rekrutmen Reproduksi ikan butini Nisbah kelamin Tingkat kematangan gonad Panjang ikan pertama matang gonad Indeks kematangan gonad Fekunditas Diameter telur Aspek pengelolaan ikan butini Konsep pemanfaatan sumberdaya ikan butini Konsep pelestarian ikan butini Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN...120

13 DAFTAR TABEL Halaman 1. Tahapan kematangan gonad ikan Deskripsi parameter fisika-kimia perairan Jumlah ikan butini yang tertangkap Distribusi kelimpahan ikan butini perkedalaman Distribusi frekwensi panjang total ikan butini Hubungan kekerabatan ikan butini jantan Hubungan kekerabatan ikan butini betina Kisaran karakter meristik ikan butini berdasarkan jenis kelamin Keragaman genetik ikan butini Uji perbandingan berpasangan Jarak genetik ikan butini Kelompok umur dan ukuran panjang ikan butini Kelompok umur dan ukuran panjang ikan butini berdasarkan zona Kelompok umur dan ukuran panjang ikan butini tiap kedalaman Hubungan panjang total bobot tubuh ikan butini Parameter pertumbuhan berdasarkan zona Parameter pertumbuhan berdasarkan kedalaman Nilai dugaan koefisien mortalitas berdasarkan zona Nilai dugaan koefisien mortalitas menurut kedalaman Rekrutmen ikan butini secara keseluruhan Nilai rekrutmen menurut zona Perbandingan ikan butini jantan dan betina... 86

14 23. Nilai perbandingan kelamin ikan butini jantan dan betina Persentase total TKG jantan dan betina Frekwensi TKG jantan dan betina berdasarkan zona Perkembangan gonad jantan dan betina Nilai statistik berat gonad, bobot tubuh dan panjang total ikan Nilai IKG ikan butini berdasarkan zona Nilai IKG ikan butini berdasarkan kedalaman Rataan fekunditas, berat gonad dan panjang total ikan butini Fekunditas ikan butini berdasarkan kedalaman...100

15 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kerangka pendekatan dan pemecahan masalah Ikan butini Diagram alir kerangka penelitian Peta Danau Towuti dan Danau berterap daerah kompleks Malili Peta lokasi penelitian Danau Towuti Satu unit salue/rawai (long line) Karakter morfometrik dan meristik ikan butini Rataan suhu berdasarkan zona (a,b,c) dan kedalaman Rataan ph berdasarkan zona (a,b,c) dan kedalaman Kisaran DO berdasarkan zona (a,b,c) dan kedalaman Grafik rataan curah hujan dan tinggi muka air Hubungan kualitas air (suhu, ph dan DO) dengan kelimpahan berdasarkan kedalaman Hubungan kualitas air (suhu, ph dan DO) dengan kelimpahan berdasarkan waktu (bulan) pengamatan Sebaran ukuran panjang total ikan butini berdasarkan kedalaman Sebaran ukuran panjang total ikan butini jantan dan betina Kelimpahan ikan jantan dan betina berdasarkan waktu pengamtan Sebaran karakter morfometrik ikan butini Dendogram jarak morfometrik ikan butini Pola pita hasil amplifikasi dengan menggunakan primer OPA Dendogram jarak genetik ikan butini berdasarkan hasil analisis klaster Sebaran frekwensi panjang total ikan butini perkedalaman... 64

16 22. Struktur populasi ikan butini gabungan Struktur populasi ikan butini jantan Struktur populasi ikan butini betina Kelompok umur (kohor) dan jumlah ikan butini Hubungan panjang bobot tubuh ikan butini Pertumbuhan dan distribusi frekwensi panjang ikan butini Kurva pertumbuhan panjang total ikan butini Kurva hasil tangkapan konversi panjang ikan butini Kurva hasil tangkapan konversi panjang berdasarkan kedalaman Pola rekrutmen ikan butini secara keseluruhan Pola rekrutmen ikan butini jantan dan betina TKG ikan butini jantan dan betina keseluruhan TKG Ikan butini jantan dan betina berdasarkan bulan Ukuran pertama kali matang gonad Struktur histologi gonad jantan (testes) Struktur histologi gonad betina (ovarian) Nilai rataan indeks kematangan gonad ikan butini Hubungan fekunditas dengan panjang total ikan butini Hubungan fekunditas dengan bobot tubuh ikan butini Telur ikan butini di Danau Towuti Sebaran diameter telur ikan butini pada TKG III dan TKG IV

17 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Hasil statistik Anova kualitas lingkungan Hasil olahan PCA secara spasial Hasil olahan PCA secara temporal Karakter morfometrik ikan butini Hasil pengukuran karakter morfometrik jantan dan betina Korelasi karakter morfometrik ikan butini Karakter nisbah morfometrik Hasil analisis ragam morfometrik jantan dan betina Hasil Anova karakter nisbah morfometrik jantan Hasil Anova karakter nisbah morfometrik betina Nilai rekrutmen ikan butini berdasarkan kedalaman

18 Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup : 1. Dr. Ir. M.F. Rahardjo, DEA (Staf Pengajar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB) 2. Dr. Ir. Estu Nugroho, M.Sc (Mantan Kepala Balai Riset Budidaya Ikan Air Tawar Bogor) Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka : 1. Dr. Ir. Sudarto, M.Sc (Ahli Peneliti Loka Riset Budidaya Ikan Hias Air Tawar Depok) 2. Dr. Ir. Ridwan Affandi, DEA (Staf Pengajar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB)

19 PENDAHULUAN Latar Belakang Danau Towuti merupakan salah satu danau berterap (cascade lake) terbesar di kompleks Malili (Danau Matano, Mahalona dan Towuti), terletak di Propinsi Sulawesi Selatan. Danau ini memiliki luas area 560 km 2 dan kedalaman 203 m terletak pada ketinggian 293 m di atas permukaan laut (Haffner et al. 2001). Danau Towuti banyak menyimpan berbagai kekayaan sumberdaya alam berupa ikan endemik. Menurut Whitten et al. (1987), Sulawesi termasuk ke dalam kawasan Wallacea yang merupakan daerah peralihan antara mintakat Oriental dengan Australian memiliki tingkat keanekaragaman ikan yang cukup tinggi dan endemik. Sedang Caldecott et al. (1994), menyatakan bahwa kekayaan spesies dan endemisitas merupakan dua komponen yang sangat penting dalam biodiversitas. Whitten et al. (1987), juga melaporkan bahwa ikan-ikan endemik Sulawesi khususnya yang hidup di danau dari famili Gobiidae adalah Weberogobius amadii, Glossogobius matanensis, Stupidogobius flavipinnis, Tamanka latifrons dan Tamanka sarasinorum. Kottelat et al. (1993), menyatakan bahwa ikan air tawar di Sulawesi tercatat sebanyak 62 jenis dan 52 di antaranya merupakan jenis ikan endemik Menurut Wirjoatmodjo et al. (2003), ada sekitar 12 famili dan 28 spesies ikan ditemukan di Danau Towuti yang kebanyakan merupakan jenis ikan endemik. Salah satu ikan endemik yang ditemukan di Danau Towuti adalah ikan butini (Glossogobius matanensis). Sedangkan jenis Glossogobius lain juga dijumpai seperti : G. celebius (Kottelat et al. 1993) dan G. flavipinnis, G. intermedius (Wirjoatmodjo et al. 2003) Ikan butini termasuk ikan liar karena belum dibudidayakan dan merupakan bagian dari potensi perikanan Indonesia yang belum dikenal secara luas. Ikan ini hidup di bagian dasar perairan sehingga tergolong ikan demersal yang memiliki ukuran panjang total mencapai 42 cm (Kottelat et al. 1993).

20 2 Ikan butini tergolong kelompok karnivora sehingga dalam ekosistem dapat dikatakan tropik level yang tinggi sebagai pengendali kepadatan spesies lain. Selain berperan dalam pembentukan stabilitas/kemantapan ekosistem perairan, ikan ini merupakan plasma nutfah yang sangat berharga bagi kehidupan masyarakat di sekitar danau karena merupakan salah satu ikan konsumsi sebagai sumber protein hewani dan memiliki nilai ekonomis penting. Berbagai aktivitas manusia dapat merusak keadaan kondisi lingkungan sumberdaya ikan butini dan jenis ikan lain yang dapat menyebabkan menurunnya/hilangnya populasi dan keanekaragaman ikan. Kondisi wilayah perairan Danau Towuti ditetapkan sebagai taman wisata, pembangunan industri, darmaga, jalur transportasi, perluasan pemukiman dan pembabatan hutan serta perikanan yang tidak ramah lingkungan menyebabkan keberadaan ikan butini dirasakan nelayan setempat semakin menurun dari tahun ke tahun didasarkan pada hasil tangkapan yang jumlahnya semakin berkurang. Faktor penyebab menurunnya jumlah populasi ikan menurut Moyle dan Leidy (1992), dapat disebabkan : a). Degradasi habitat, b), pencemaran, c), introduksi ikan asing, d), eksploitasi komersial. Menurut Whitten et al. (1987) hal yang mempengaruhi menurunnya keanekaragaman jenis ikan di Sulawesi adalah introduksi ikan asing. Khusus di Danau Towuti pernah dilakukan introduksi jenis-jenis ikan komersial seperti Ikan Mas (Cyprinus carpio), ikan Mujair (Oreochromis mossambicus), ikan Nila (O. niloticus), dan ikan Gurami (Osphronemus gouramy). Degradasi habitat/lingkungan antara lain berdampak pada penurunan kualitas lingkungan perairan baik di badan air maupun di dasar perairan (Reid dan Miller, 1989). Menurut Wargasasmita, (2004) kepunahan ikan air tawar diperkirakan berkisar 78 % disebabkan oleh perubahan habitat, sehingga hilangnya fungsi sebagai tempat hidup, mencari makan, berkembang-biak dan berlindung menyebabkan ikan tidak mampu beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi di dalam lingkungan hidupnya. Untuk menjaga populasi ikan butini tetap lestari maka perlu upaya pengelolaan terhadap keberadaan ikan ini berkaitan dengan aspek lingkungan

21 3 perairan Danau. Sedangkan informasi biologis serta populasi yang handal mengenai ikan endemik butini di perairan Danau Towuti masih sangat terbatas. Penelitian biopopulasi ikan endemik butini penting dilakukan untuk memberikan gambaran tentang kemampuan ikan butini dalam melangsungkan kehidupan serta perkembangan sebagai ikan endemik dari waktu ke waktu. Juga sebagai data dasar bagi penentuan kebijakan pengelolaan dan pendaya-gunaan sumberdaya perairan agar kelestarian populasi ikan endemik butini dapat berkelanjutan. Perumusan Masalah Ikan butini adalah salah satu ikan endemik di Danau Towuti, dan distribusi ikan ini terbatas di perairan kompleks Malili Sulawesi Selatan (Kottelat et al. 1993). Ikan butini juga telah dimasukkan ke dalam Red data book sebagai ikan endemik dan tergolong rawan punah (vulnerable) (IUCN 1990). Keberadaan populasi ikan butini sebagaimana yang dirasakan nelayan setempat cenderung mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Hal ini didasarkan pada jumlah hasil tangkapan dengan menggunakan salue/pancing yang semakin berkurang. Hal lain yang menjadi dugaan menurunnya populasi ikan butini adalah adanya permintaan yang cukup tinggi sebagai ikan konsumsi dan memiliki nilai ekonomis menyebabkan masyarakat termotivasi meningkatkan upaya penangkapan. Apabila penangkapan dilakukan secara terus menerus baik terhadap ikan-ikan dewasa dan muda tanpa memperhatikan waktu maupun lokasi penangkapan maka lama kelamaan dapat terjadi kelebihan tangkap (overfishing). Tekanan penangkapan yang dilakukan setiap hari terhadap ikan-ikan dewasa yang matang gonad maupun yang tidak matang gonad sangat mempengaruhi populasi ikan butini, sehingga pada suatu saat tidak cukup induk-induk ikan yang tersedia guna menghasilkan ikan-ikan muda. Demikian juga terhadap ikan-ikan muda sudah tertangkap sebelum mereka dapat mencapai ukuran yang diperbolehkan untuk di tangkap menyebabkan lama kelamaan jumlah ikan makin berkurang.

22 4 Jika keadaan ini tidak terkontrol maka dikwatirkan sumberdaya yang sangat berharga ini akan mengalami tekanan penangkapan sehingga kemampuan untuk tumbuh menjadi terhambat atau mengancam kelestarian sumber daya ikan endemik butini bahkan akan menuju kepada kepunahan. Penurunan jumlah populasi ikan butini dapat juga dipengaruhi oleh perubahan kualitas lingkungan perairan dengan masuknya bahan organik maupun anorganik seperti buangan limbah lalulintas kapal ke dalam perairan Danau, baik langsung maupun tidak langsung dapat menyebabkan keseimbangan ekologis terganggu baik di perairan dangkal maupun di perairan dalam yang merupakan tempat hidup ikan sehingga kemampuan pertumbuhan dan reproduksi ikan butini menjadi terhambat. Tingkat keragaman genetik ikan butini dalam suatu populasi juga turut menentukan terhadap kemampuan menyesuaikan diri (adaptasi) pada perubahan lingkungan seperti degradasi kualitas lingkungan sebagai media tumbuh bagi pertumbuhan ikan. Sampai saat ini ikan butini belum banyak mendapat perhatian baik oleh peneliti maupun pemerintah daerah, sehingga belum ada usaha untuk melindungi atau menyelamatkan populasi alami ikan ini baik berupa perundangan maupun pengelolaan yang dilakukan secara optimal. Atas dasar pemikiran di atas perlu adanya studi populasi sebagai upaya untuk melestarikan ikan butini dan sebagai dasar penyusunan kebijakan serta strategi pengelolaan sumberdaya ikan agar supaya populasi ikan endemik butini tetap tinggi dan lestari.

23 5 Tujuan dan Manfaat Tujuan Dengan memperhatikan pendekatan permasalahan di atas maka penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menganalisis keragaman genetik ikan butini berdasarkan morfometrik dan meristik serta molekuler di Danau Towuti Sulawesi Selatan. 2. Menganalisis struktur populasi dan pertumbuhan, mortalitas serta rekrutmen ikan butini di Danau Towuti Sulawesi Selatan 3. Menganalisis aspek reproduksi ikan butini di Danau Towuti. 4. Menentukan aspek pengelolaan ikan endemik butini di perairan Danau Towuti Sulawesi Selatan. Manfaat Penelitian ini bermanfaat memberikan informasi sebagai data dasar mengenai populasi ikan butini serta dalam rangka pengelolaan ikan ini yang merupakan salah satu plasma-nutfah ikan endemik di Danau Towuti. Informasi lain untuk menentukan kawasan konservasi berdasarkan waktu pemijahan. Konsep ini dapat menjadi suatu model pengelolaan Danau. Hipotesis Berdasarkan pada masalah populasi ikan endemik butini maka disusunlah hipotesis sebagai berikut : 1. Populasi ikan butini pada setiap kedalaman berasal dari sumber induk yang memiliki perbedaan karakter genetik sehingga terdapat keragaman populasi ikan butini di Danau Towuti. 2. Apabila struktur ragam populasi dan laju pertumbuhan serta kemampuan reproduksi tinggi maka potensi populasi ikan butini akan berkelanjutan di Danau Towuti.

24 6 Hidromorfologi Kualitas air Biota - Keragaman ikan butini - Struktur populasi (komposisi ukuran panjang) Distribusi : Zona/kedalaman & Temporal + Pertumbuhan Mortalitas Rekrutmen? Populasi Konsep -Pengelolaan -Konservasi Populasi mantap Sumberdaya berkelanjutan Eksploitasi Ikan butini Matang Gonad/Tidak matang gonad Reproduksi Ukuran pertama matang gonad Gambar 1. Kerangka pendekatan dan pemecahan masalah

25 7 TINJAUAN PUSTAKA Tipologi Perairan Danau Towuti Danau Towuti adalah salah satu danau Kaskade yang terdapat di kompleks Malili, yang terdiri dari D. Matano dan D. Mahalona. Danau Matano terletak di bagian hulu, dan bagian tengah D. Mahalona, serta pada bagian hilir D. Towuti. Letaknya di bagian timur laut dari Propinsi Sulawesi Selatan (Gambar 4). Danau ini terbentuk akibat gerakan tektonik karena proses-proses pelipatan dan patahan kerak bumi yang terjadi di sekitar daerah litosfir yang membutuhkan waktu lama untuk terisi oleh air (Haryani, 1996). Danau Towuti cenderung memiliki jenis-jenis biota ikan endemik dan juga sangat populer sebagai lokasi wisata alam yang indah. Danau Towuti berdasarkan Surat Keputusan Mentan No. 274/Kpts/Um/4/1979, termasuk kawasan konservasi (Terrestrial conservation area) dan taman wisata (Recreastion parks). Danau ini berdasarkan laporan identifikasi potensi Kabupaten Luwu Timur (BAPPEDA Kabupaten Luwu Timur, 2004) ada seluas 58604,45 hektar (Samuel et al. 2005). Danau ini dikelilingi oleh kawasan hutan dengan bukit kapur yang berstatus hutan lindung. Menurut Priyono, (1993) suatu perairan yang ideal bagi kehidupan ikan dapat didefinisikan sebagai suatu perairan yang dapat mendukung kehidupan ikan dalam menyesuaikan seluruh daur hidupnya. Perbedaan luas dan kedalaman danau mempengaruhi pada struktur dan penyebaran biota perairan. Kelayakan suatu perairan sebagai lingkungan hidup organisme perairan dipengaruhi oleh sifat fisik-kimia (faktor abiotik) perairan itu sendiri. Faktorfaktor lingkungan yang mempengaruhi kehidupan ikan antara lain suhu, oksigen terlarut, ph (Weatherley 1972). Menurut Whitten et al. (1987), air danau terutama dipengaruhi oleh radiasi energi matahari karena penetrasi sinar matahari makin ke dalam perairan makin berkurang, maka proses penyerapan radiasi juga berkurang, sehingga suhunya makin menurun. Akan tetapi profil penurunan suhu di danau tidak semata-mata merupakan fungsi dari penyerapan radiasi energi matahari.

26 8 Selanjutnya faktor pengadukan air permukaan oleh angin serta arus air masuk dan keluar danau menyebabkan terjadinya arus konveksi dari permukaan ke arah dalam yang mengakibatkan terjadinya distribusi suhu hangat ke bagian yang lebih dalam. Penurunan suhu yang tajam terjadi pada kedalaman air dimana resistensi terhadap pengadukan tersebut terjadi. Hal yang sama dikemukakan oleh Wetzel (1983) bahwa cahaya matahari yang masuk ke perairan mengalami penyerapan dan berubah menjadi panas. Proses penyerapan cahaya ini berlangsung lebih intensif pada lapisan bagian atas sehingga lapisan ini panas menjadi lebih tinggi. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya stratifikasi suhu pada kolom air. Lapisan paling atas disebut epilimnion yang temperaturnya panas dan sirkulasi air sangat baik. Lapisan metalimnion merupakan lapisan yang tipis, dimana melewati lapisan ini suhu biasanya turun dengan cepat, dan gradien ini disebut termoklin. Lapisan dasar yang dingin dan tidak beredar disebut hipolimnion, dimana suplai oksigen sangat rendah sampai tidak ada. Parameter fisika-kimia perairan Danau Towuti menurut Wirjoatmodjo, (2003) suhu perairan berkisar antara O C, ph berkisar dan DO berkisar antara mg/l serta kecerahan air mencapai 22 meter. Nampak bahwa kecerahan yang cukup tinggi ini mengindikasikan bahwa Danau Towuti miskin akan bahan organik dan unsur hara/nutrien terlarut sehingga digolongkan ke dalam perairan dengan tingkat kesuburan rendah atau bersifat oligotrof.

27 9 Klasifikasi dan Morfologi Ikan Butini Klasifikasi ikan butini yang hidup di Danau Towuti berdasarkan Banks et al. (2003) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Sub phylum : Vertebrata Superclass : Osteichthyes Class : Actinopterygii Sub Class : Neopterygii Infraclass : Teleostei Super Order : Acanthopterygii Order : Perciformes Sub Order : Gobioidei Family : Gobiidae Genus : Glossogobius Species : G. matanensis (Weber, 1913). Nama lokal : Butini (Sulawesi Selatan) Nama umum : Gobi Gambar 2. Ikan butini (Glossogobius matanensis) di Danau Towuti. Ciri-ciri ikan butini (Gambar 2), yang ditemukan di Danau Towuti mempunyai bentuk tubuh memanjang dan membulat. Ikan ini memiliki sirip lengkap yaitu sirip dorsal I dan dorsal II, sirip dada (pektoral), sirip perut (ventral), sirip dubur (anal) dan sirip ekor (caudal) membulat. Pada bagian depan

28 10 berbentuk silindris, bagian belakang pipih, dan tubuh berwarna gelap. Menurut Kottelat et al (1993) badan berwarna gelap hampir hitam permukaan badan ditutupi oleh sisik. Kepala ikan butini berbentuk picak, pipih tidak bersisik dan tidak memiliki geligir serta gelambir yang jelas. Mulut lebar, letaknya superior sedikit terminal dan mempunyai bibir yang berdaging. Gigi-gigi pada rahang bawah terletak dalam beberapa baris. Lidahnya bersegi sampai bercabang dua. Celah insang memanjang sampai bagian bawah dekat pinggiran preoperculum atau lebih jauh ke depan. Ciri-ciri lain ikan butini mempunyai pori-pori dan papilla peraba pada kepala. Pori-pori ini merupakan lubang mikroskopis pada kanal kepala yang mengawali sistem gurat sisi. Kanal ini berawal dari bagian depan atau belakang lubang hidung di antara ke dua mata, di belakang mata dan kemudian sepanjang batas atas dari preoperculum dan operculum. Papila peraba adalah tonjolantonjolan di bagian samping kepala dan teratur dalam beberapa baris (Kottelat et al 1993). Selanjutnya bentuk sirip-siripnya melebar. Ikan ini memiliki sirip yang lengkap, terdiri dari dua pasang sirip punggung, satu pasang sirip dada, satu pasang sirip anal dan sirip ekor. Sirip perut tipis, bersatu membentuk piringan penghisap. Sirip ekor lebih pendek dari pada kepala dan ekornya membulat. Secara meristik, sirip punggung pertama memiliki enam duri dan sirip punggung kedua memiliki satu duri, diikuti oleh delapan sampai sembilan jari-jari lemah (D VI : 8-9). Sirip anal memiliki satu duri diikuti oleh delapan sampai sembilan jarijari lemah (A I : 8-9)(Kottelat et al. 1993).

29 11 Distribusi Populasi Ikan Butini Distribusi adalah suatu peristiwa penyebaran suatu organisme pada suatu tempat dan pada waktu tertentu (Odum 1972). Ikan-ikan yang tergolong dalam gobiidae dengan nama umum gobi merupakan ikan yang dapat ditemukan di seluruh dunia, baik di air tawar maupun air asin (Moyle and cech, 1988). Penyebaran spesies gobi menurut Weber and de Beaufort (1953) meliputi daerah pasifik dan menurut Allen (1991) wilayah Madagaskar sampai ke Australian Utara dan pulau-pulau Melanosia. Wargasasmita (2001), menyatakan bahwa danau-danau/situ di bagian barat Indonesia tidak ditemukan jenis-jenis ikan air tawar sekunder yang termasuk suku Gobiidae sedang di danau-danau Sulawesi terdapat 23 jenis ikan endemik yang termasuk suku Atherinidae, Adrianichthyidae, Gobiidae dan Hemiramphidae. Berdasarkan habitat spesies gobi menurut Allen (1991) dituliskan bahwa spesies gobi hidup diberbagai tipe perairan yaitu perairan payau, sungai besar, danau bahkan di laut. Menurut Banarescu (1964) dalam Simonovic (2001) menyatakan bahwa distribusi dari spesies gobi adalah di perairan tawar dan laut serta Smirnov (1986) menjelaskan bahwa spesies gobi hidupnya di bagian dasar perairan. Ikan butini hidup di perairan danau berterap yang menurut Kottelat et al. (1993) penyebarannya hanya meliputi kompleks Malili yaitu Danau Matano, Mahalona dan Towuti. Danau-danau ini terhubung melalui sungai Petea menghubungkan Danau Matano dengan Danau Mahalona dan sungai Tominanga yang menghubungkan Danau Mahalona dan Towuti, menyebabkan ikan ini terdapat di ketiga danau tersebut. Menurut Krebs (1985) distribusi suatu jenis ikan di perairan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain sifat fisik dan kimiawi air, tingkah laku organisme dalam memilih habitat serta hubungan organisme tersebut dengan organisme yang lain. Sedang Hanzon (1973) menyatakan faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi diantaranya kompetisi dalam dan antar spesies, heterogenitas lingkungan fisik, reproduksi dan arus air.

30 12 Keragaman Genetik Ikan Butini Untuk mendapatkan informasi keragaan keragaman genetik didekati melalui pendekatan keragaman fenotip dan genotip. Fenotip berdasarkan ciri morfologi berupa morfometrik-meristik dan keragaman genotip berdasarkan analisis biokimia enzimatis khususnya DNA. Morfometrik adalah ciri-ciri yang berkaitan dengan ukuran tubuh atau bagian tubuh ikan, dan meristik adalah ciri-ciri yang berkaitan dengan jumlah bagian tertentu pada tubuh ikan. Informasi mengenai keragaman sifat-sifat morfometrik dan meristik perlu mencari karakter-karakter yang cukup besar pengaruhnya terhadap keragaman maka bagian-bagian tubuh ikan diukur dan dibandingkan antar bagian maupun anggota tubuh sehingga diperoleh ukuran relatif. Untuk komponen-komponen uji morfometrik-meristik mengacu pada Cailet et al Keragaman genetik suatu populasi memiliki arti penting, karena faktor genetik yang mempengaruhi respons populasi terhadap seleksi, baik seleksi alami maupun buatan. Hilangnya atau berkurangnya keragaman genetik akan berdampak dalam perkembangan, pertumbuhan, fertilitas serta daya tahan tubuh terhadap penyakit yang merupakan proses penting dalam kehidupan. Menurut Garner et al 1991, perubahan genetik populasi karena mutasi, seleksi, persilangan acak (random mated) dan penghanyutan gen (genetic driff) akan merubah penampilan populasi genetik serta migrasi yang menyebabkan terjadinya evolusi. Keragaman genetik tidak berkembang jika perpindahan (migrasi) materi antar dua populasi atau lebih terputus. Genetik sering digunakan sebagai indikator kunci dalam kegiatan konservasi agar tetap menjamin kemurnian jenis dan mutu variasi genetik serta sejauh mungkin tidak menimbulkan polusi genetik (Masyud 1992). Chakraborty & Leimar (1988), menyatakan bahwa jika mutasi membentuk alel baru pada lokus berjalan lambat, maka dampaknya dalam satu generasi sangat kecil namun dalam jangka panjang pengaruhnya sangat berarti. Selanjutnya dinyatakan bahwa mutasi bukan merupakan faktor utama keragaman intraspesifik,

31 13 melainkan pengaruh isolasi dapat menyebabkan terjadinya alel berbeda pada beberapa locus. Primack et al. (1998) menyatakan bahwa keberadaan alel tertentu mungkin akan bervariasi, mulai dari yang melimpah sampai jarang. Isolasi dalam bentuk habitat dapat juga menyebabkan keragaman genetik sebagaimana dituliskan oleh Nei (1987) bahwa habitat yang kurang baik dapat menyebabkan perkembangan populasi tertekan dan kemampuan reproduksi menurun. Hal ini akan mengurangi peluang satu atau lebih genotip yang akan diwariskan pada generasi berikutnya. Karena keragaman genetik antar populasi merupakan hasil interpretasi dari isolasi secara fisik maupun terhalang secara ekologis, terpisah jauh secara geografis atau pengaruh tingkah laku seperti migrasi dan waktu memijah. Untuk menduga genotip suatu organisme menggunakan penanda genetik tertentu seperti penanda sitologi dan molekuler yang dapat diturunkan dan berasosiasi dengan genotip tertentu (Asiedu et al. 1989). Penanda yang dapat memberikan analisis keragaman yang lebih baik adalah penanda DNA karena mampu menyediakan polimorfisme pola pita DNA dalam jumlah yang lebih banyak, konsisten dan tidak dipengaruhi oleh lingkungan (Pandin 2000). RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) adalah salah satu penanda DNA yang telah banyak digunakan untuk mempelajari keragaman genetik dan hubungan kekerabatan dari suatu organisme (Skroch et al. 1992). Kelebihan RAPD dalam menganalisis keragaman genetik dan hubungan kekerabatan dibandingkan dengan penanda DNA lainnya seperti RFLP (Restriction Fragmen Length Polymorphism), SSR (Simple Sequences Repeats) dan AFLP (Amplified Fragmen Length Polymorphism) adalah prosedur RAPD lebih mudah, cepat, contoh DNA yang diperlukan sedikit ( g), dan tidak memerlukan radioisotop (Powell et al. 1996).

32 14 Parameter Populasi Ikan Butini Struktur populasi ikan Struktur populasi ikan didefinisikan sebagai suatu susunan kelompok ukuran dalam suatu populasi. Hal ini berkaitan dengan perkembangan suatu individu seperti larva, juvenil dan ikan dewasa. Kebanyakan yang digunakan para peneliti perikanan mengenai struktur populasi adalah berkaitan dengan ukuran panjang atau bobot, untuk menggambarkan struktur ikan dalam populasi yang dapat memprediksi umur. Kelompok ukuran dianalisis dengan menggunakan metode Bhattacharya (1967) dalam Spare dan Venema (1999), metode ini pada dasarnya terdiri atas pemisahan sejumlah modus, masing-masing mewakili suatu kohort ikan dari distribusi keseluruhan. Struktur populasi ikan juga dapat digunakan untuk memprediksi populasi, daur hidup dan pola migrasi. Pertumbuhan ikan butini Pertumbuhan merupakan proses biologis yang kompleks sangat dipengaruhi oleh faktor luar dan dalam. Faktor luar seperti jumlah pakan yang tersedia, jumlah ikan-ikan lain yang memanfaatkan sumber-sumber pakan yang sama, suhu, oksigen terlarut, dan faktor dalam seperti umur, ukuran dan jenis ikan itu sendiri. Faktor yang umumnya sukar dikontrol adalah keturunan, seks, umur, parasit dan penyakit. Secara fisik pertumbuhan diekspresikan dengan perubahan jumlah atau ukuran sel penyusun jaringan tubuh dalam rentang waktu tertentu. Menurut Odum (1972), pertumbuhan adalah perubahan panjang dan berat yang terjadi pada suatu individu atau populasi persatuan waktu. Dalam Rounsefell and Everhart (1993), pertumbuhan merupakan suatu proses perubahan bobot, ukuran dan volume tubuh ikan. Effendie (1997) membedakan pertumbuhan menjadi pertumbuhan mutlak dan pertumbuhan nisbi. Pertumbuhan mutlak adalah perbedaan panjang atau bobot dalam dua saat (dg = L t L o atau dg = W t W o ). Pertumbuhan nisbi adalah panjang atau bobot yang dicapai dalam satu periode tertentu dihubungkan dengan panjang atau bobot awal periode {RG = (L t L o )/L o }

33 15 atau {RG = (W t W o )/ W o }. Sedang menurut Ricker, (1975) terdapat dua macam pola pertumbuhan ikan yaitu pola pertumbuhan isometrik dan pertumbuhan allometrik, isometrik apabila pertumbuhan bobot seimbang dengan pertambahan panjang ikan dan pola pertumbuhan allometrik apabila pertumbuhan bobot tidak seimbang dengan pertambahan panjang ikan. Laju pertumbuhan organisme perairan bervariasi tergantung pada kondisi lingkungan dimana organisme tersebut berada serta ketersediaan makanan yang dapat dimanfaatkan untuk menunjang kelangsungan hidup dan pertumbuhannya (Odum, 1972). Studi tentang pertumbuhan pada dasarnya ditujukan untuk menentukan ukuran badan ikan sebagai fungsi dari waktu. Untuk menghitung pertumbuhan ikan dapat dilakukan dengan menggunakan ukuran panjang tubuh atau bobot tubuh. Aspek pertumbuhan ikan telah dipelajari oleh para ahli biologi perikanan di daerah tropis paling banyak mempergunakan pendekatan frekwensi panjang. Model analitik dikenal sebagai model per penambahan baru (yield/rekrut) atau Dynamic pool model (Thompson and Bell, 1934, Beverton and Holt, 1957, Ricker 1958). Model ini adalah suatu model yang mempertimbangkan lebih mendalam beberapa bagian parameter dari populasi. Model analitik sering pula disebut model Beverton and Holt atau model Ricker. Menurut Beverton and Holt (1957) konsep keseimbangan (steady state) ada hubungannya dengan pendekatan hasil per penambahan baru (yield/rekrut). Keseimbangan artinya dengan memberikan laju penangkapan yang tetap, maka populasi akan mencapai tingkat rata-rata (jumlah) dalam waktu yang panjang sehingga memberikan rata-rata hasil dalam jumlah tertentu. Pendekatan pertumbuhan menggunakan ukuran panjang dikenal dengan nama model pertumbuhan von Bertalanffy yang rumusnya sebagai berikut : keterangan : L (t) = L [1 exp (- K (t to) )] L t = panjang ikan pada waktu berumur t L = panjang ikan infiniti atau asimtotik, K = koefisien pertumbuhan, t o = umur teoritis pada waktu panjang ikan sama dengan nol.

34 16 Mortalitas ikan Mortalitas total (Z) adalah merupakan jumlah semua kekuatan mortalitas dalam populasi yaitu terdiri dari mortalitas alami (M) dan akibat penangkapan (F). Laju mortalitas total ikan dapat ditentukan melalui pendekatan hasil data frekwensi panjang ikan contoh yang diperoleh secara kontinu selama beberapa tahun. Mortalitas merupakan penurunan stok yang disebabkan oleh kematian alami dan akibat penangkapan. Kematian alami disebabkan oleh predator, parasit karena tua dan lingkungan yang sebagian besar dipengaruhi keadaan lingkungan yang berubah-ubah sepanjang hidupnya. Menurut Pauly (1980) terdapat hubungan yang erat antara mortalitas alami ikan dengan suhu perairannya yaitu, semakin hangat suhu lingkungan perairan semakin tinggi mortalitas alami. Mortalitas penangkapan cenderung bervariasi dari tahun ke tahun, tergantung pada upaya penangkapan. Semakin besar upaya penangkapan maka semakin besar pula mortalitas penangkapan. Hasil tangkapan (yield) yang merupakan fungsi dari pengaruh mortalitas penangkapan dapat diduga dengan menggunakan model matematis. Model matematis yang sering digunakan untuk meramalkan pengaruh mortalitas penangkapan terhadap masing-masing kelompok umur adalah model yield per rekruit dari Beverton dan Holt (1957) yang dikembangkan oleh Ricker (1975). Utomo et al. (1990) kematian total (Z) dari ikan mujair di D. Ranau Sumatra Selatan sekitar 2,16 per tahun dan kematian alami (M) adalah 1,05 per tahun. Sedang Yuliastuti (1988), hasil pendugaan di waduk Selorejo kematian alami ikan mujair sebesar 1,48 per tahun, kematian karena penangkapan 3,05 per tahun dan total kematian yaitu sebesar 4,53 per tahun. Nilai kematian akibat penangkapan yang diperoleh dari nilai laju eksploitasinya (E) mencapai 0,67 menunjukkan bahwa tekanan penangkapan di Waduk Selorejo tersebut sudah sangat tinggi sehingga akan dapat mempengaruhi keberadaan stok ikan mujair.

35 17 Rekrutmen Rekrutmen merupakan dasar kesinambungan suatu populasi dan dasar hasil di masa yang akan datang. Rekrutmen didefinisikan sebagai penambahan anggota-anggota baru pada suatu populasi. Rekrutmen dapat dibedakan atas tiga macam yaitu rekrutmen ke suatu stok, rekrutmen ke suatu stok yang dapat ditangkap dan rekrutmen ke suatu stok matang yang menghasilkan telur. Penambahan individu baru adalah stok yang tersedia pada waktu tertentu sehingga dapat tertangkap dengan alat. Jumlah penambahan individu baru merupakan kelompok ikan yang sama umurnya dalam periode ke dalam daerah yang sedang dieksploitasi. Jadi rekrutmen itu berasal dari produksi sejumlah stok dewasa, sehingga ada hubungan antara stok dewasa dengan rekrutmen (Effendi, 1978). Model yield per rekruit dari Beverton dan Holt (1975) menganggap stok ikan yang diteliti berada dalam keadaan seimbang, dimana banyak penambahan ikan baru tidak tergantung pada ukuran stok semula. Model yield per rekruit yang dipakai merupakan fungsi dari hasil umur ikan pertama kali masuk ke daerah penangkapan (tr) atau umur ikan pertama kali tertangkap (tc) yang ditentukan oleh ukuran mata jaring yang dipakai, dan pengaruh berbagai kombinasi laju mortalitas penangkapan yang mungkin dilakukan pada sektor perikanan. Dari anggapan model yield per rekruit adalah jumlah individu baru yang masuk ke daerah penangkapan untuk pertama kalinya dari tahun ke tahun bersifat konstan dan stok ikan yang bersangkutan mempunyai pola pertumbuhan umum yang dapat dijelaskan dengan model pertumbuhan dari von Bertalanffy (Von Bertalanffy Growth Formula). Reproduksi Ikan Butini Keberhasilan reproduksi ikan merupakan faktor penting yang dapat menentukan kelangsungan populasinya di alam. Ada dua tahapan perkembangan gonad yaitu tahap perkembangan gonad ikan menjadi dewasa kelamin (sexually mature) dan tahapan pematangan gamet (gamet maturation).

36 18 Tingkat kematangan gonad (TKG) merupakan salah satu pengetahuan dasar dari biologi reproduksi pada ikan. Ikan butini tergolong ikan Teleostei. Menurut Nagahama (1983), Teleostei biasanya mempunyai sepasang ovarium yang merupakan organ yang memanjang dan kompak terdapat di dalam rongga perut. Nielsen et al. (1983) menyatakan bahwa kematangan gonad merupakan salah satu bagian dari reproduksi sebelum pemijahan. Kematangan gonad dapat digunakan sebagai penduga status reproduksi ikan, ukuran dan umur pada saat pertama kali matang gonad, proporsi atau jumlah stok yang secara reproduktif matang dan pemahaman tentang siklus reproduksi bagi suatu populasi atau spesies. Pada hewan vertebrata termasuk ikan, saat terjadinya kematangan gonad adalah merupakan periode dimana ikan yang muda memilki kemampuan untuk melakukan reproduksi (Amer et al. 2001). Menurut Scott, (1979) perkembangan gonad sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti suhu dan makanan, selain musim. Ikan matang gonad akan mencari habitat yang sesuai untuk peletakan telur pada saat akan memijah dan keamanan anak ikan. Daur reproduksi ikan secara umum terbagi atas tiga periode yaitu periode awal pemijahan dan periode memijah serta periode setelah memijah. Periode awal pemijahan merupakan periode terpanjang dalam daur reproduksi karena berhubungan dengan penyiapan gonad (tingkat kematangan gonad) hal ini dipengaruhi oleh umur, ukuran ikan, dan suhu. Periode pemijahan adalah periode paling pendek berhubungan dengan pengeluaran gamet dalam gonad. Periode setelah pemijahan berhubungan dengan pembuahan/fertilisasi sel telur, penetasan telur dan perkembangan telur (Effendie, 1979). Selanjutnya dalam proses reproduksi, sebelum terjadi pemijahan gonad semakin bertambah besar dan gonad akan mencapai maksimum sesuai ikan memijah, kemudian menurun dengan cepat selama pemijahan sampai selesai (Effendie, 1979). Menurut Soeroto (1988), pada umumnya ikan baik ikan jantan maupun ikan betina papilla berwarna agak kekuningan dengan ujung sedikit kemerahan pada saat mendekati pemijahan, dan umumnya ikan-ikan di daerah tropis pemijahan terjadi bersamaan dengan datangnya musim hujan. Sedang menurut Scott (1979) ikan memijah pada musim hujan karena terjadi stimulus faktor lingkungan di

37 19 antaranya suhu, perubahan kimia air dan aliran air/floating, faktor ini benar-benar atau langsung mempengaruhi atau merangsang ikan untuk berpijah. Tingkat kematangan gonad dapat ditentukan dengan menggunakan metode Cassie (Effendie dan Sjafei, 1976), dalam metode ini gonad ikan mengalami lima tingkat kematangan dengan ciri-ciri jantan dan betina yang berlainan seperti pada Tabel 1. Tabel 1. Tahapan kematangan gonad ikan (Effendie dan Sjafei, 1976). TKG Betina Jantan I. Belum berkembang II. Perkembangan awal III. Sedang berkembang IV. Matang V. Pasca pemijahan Ovari seperti benang, panjang sampai ke depan rongga tubuh. Warna jernih, permukaan licin. Ukuran ovari besar, pewarnaan lebih gelap ke kuning-kuningan.telur belum terlihat dengan mata. Ovari berwarna kuning. Secara morfologi telur mulai kelihatan butirannya dengan mata. Ovari makin besar, telur berwarna, mudah dipisahkan. Butiran minyak tidak tampak, mengisi 1/2-2/3 rongga perut usus terdesak. Ovari berkerut, butir telur sisa terdapat dibagian anterior dan posterior. Banyak telur seperti pada TKG II. Testes seperti benang, pendek (terbatas) dan terlihat ujungnya di rongga tubuh, warna jernih. Ukuran testes lebih besar, warna jernih, bentuk lebih jelas dari pada TKG I Permukaan testes tampak bergerigi. Testes makin besar, saluran-saluran pembuluh dara tampak nyata. Seperti pada TKG III, tampak lebih jelas, tetes makin pejal dan saluransaluran pembuluh darah lebih terlihat jelas. Testes bagian belakang kempis dan di bagian pelepasan masih berisi.

38 20 Konsep Pengelolaan Ikan Butini Pengelolaan sumberdaya hayati perikanan bertujuan untuk memaksimumkan hasil secara biologis (biomassa) maupun secara ekonomis (keuntungan) dengan tetap mempertahankan keberadaan dari sumberdaya hayati perikanan (King, 1997). Ikan butini merupakan salah satu sumberdaya perikanan yang termasuk sektor utama karena di konsumsi oleh masyarakat setempat dan memiliki nilai ekonomis. Ikan butini tergolong ikan yang rawan punah (vulnarable) dan endemik (IUCN 1990) dikhawatirkan kegiatan eksploitasi yang dilakukan dapat menurunkan populasi ikan ini. Untuk itu perlu di konservasi dan dilakukan pengelolaan yang tepat agar dapat dimanfaatkan secara lestari bagi kesejahteraan masyarakat. Sedang danau Towuti termasuk perairan yang multi guna, sehingga pola pengelolaan yang harus dikembangkan berupa pengelolaan yang harmonis dan terpadu karena merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pengelolaan perairan secara keseluruhan. Dalam rangka menciptakan pola pemanfaatan danau secara optimal, harmonis diantara pemanfaatan lain dan lestari maka diperlukan penetapan tata ruang perairan. Tata ruang perairan yang dimaksud meliputi : daerah pemijahan, daerah dan waktu penangkapan. Selain itu usaha konservasi alam biasanya dikenal sebagai kegiatan yang mempunyai kaitan dengan pembangunan dan pengelolaan terhadap suaka alam dan taman pelestarian alam. Hal ini penting untuk melindungi kehidupan satwa di daerah sebaran alaminya, dan yang diutamakan adalah menyediakan kawasan khusus untuk kehidupan jenis yang langka dan terancam punah serta untuk memelihara tata lingkungan yang khas (Suwelo, 2001). Konservasi merupakan upaya pelestarian suatu sumberdaya alam (Petocz, 1987). Untuk mempertahankan potensi sumberdaya perikanan dan ekosistem danau, diperlukan keterpaduan dalam menentukan langkah-langkah pengelolaannya, adapun cara mengatasi kepunahan ikan endemik adalah mencegah penangkapan ikan pada tahap-tahap tertentu dari siklus hidup suatu spesies terutama vulnerable, atau yang kritis. Karena spesies yang berkumpul

39 21 pada area tertentu untuk memijah, jika penangkapan terus dilakukan pada area pemijahan, bukan hanya mengganggu aktivitas reproduktif, tetapi juga sangat menghabiskan individu-individu pada usia reproduktif, yang tertinggal terlalu sedikit untuk kontribusi pada periode berikutnya (Hall, 2002). Menurut Hall (2002), jika ada karakteristik tertentu dari habitat pemijahan yang rusak oleh penangkapan, maka diperlukan penutupan area secara permanen atau cukup dengan penutupan area selama musim pemijahan. Hal ini diperlukan untuk melindungi area terutama tempat juvenil melimpah, jika suatu area tertentu mengandung proporsi juvenil ikan yang tinggi bersama-sama dengan yang dewasanya, maka eksploitasi terhadap yang dewasanya dilakukan secara selektif supaya tidak terjadi tingkat mortalitas juvenil yang tinggi. Pengelolaan kawasan dalam pengertian konservasi alam merupakan aspek yang paling penting, pada masa sekarang pengertian konservasi alam mencakup bidang yang lebih luas. Tidak hanya pada pengelolaan suatu kawasan yang harus di konservasi, akan tetapi juga aspek pendayagunaan sumber daya alam hayati untuk keperluan pemanfaatan, baik langsung maupun tidak langsung. Sumber daya hayati merupakan tulang punggung ekonomi dan merupakan sumber kesejahteraan manusia karena sifatnya yang dapat terbaharukan dan pemanfaatannya dapat dikembangkan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Suwelo, 2001). Peraturan dan perundang-undangan perlindungan diperlukan untuk memberikan landasan bagi upaya pengelolaan pengawetan satwa baik secara in situ, dihabitat alaminya, maupun ex situ diluar habitat alaminya. Dalam Undang-undang No. 5 tahun 1990 usaha melindungi satwa dari ancaman bahaya kepunahan, dilakukan upaya dengan menetapkan jenis-jenis tertentu sebagai jenis yang dilindungi undang-undang, baik yang langka, kritis, yang tererosi maupun yang masih banyak namun cenderung terus menurun populasinya di alam, baik karena pengambilan maupun degradasi habitatnya.

40 22 PERUMUSAN MASALAH PENDEKATAN MASALAH Aspek habitat/ lingkungan Aspek Biologi 1. Suhu 2. ph 3. Oksigen terlarut 4. Kedalaman 1. Morfometrik 2. Meristik 3. DNA Sebaran ukuran : - Panjang total - Bobot tubuh Reproduksi : 1. TKG 2. Bobot gonad 3. Jenis kelamin 4. Fekunditas Deskripsi habitat Keragaman 1. Fenotip 2. Genotip 1. Jumlah dan 2. Kelompok ukuran 1. Nisbah kelamin 2. Kedalaman dan waktu pemijahan 3. Pola reproduksi Distribusi spasial dan temporal Ikan butini Pengelompokkan Ikan butini Parameter populasi 1. Struktur populasi 2. Pertumbuhan 3 Mortalitas 4. Rekrutmen. Karakteristik Reproduksi butini POPULASI IKAN BUTINI (Glossogobius matanensis) Populasi KONSEP PENGELOLAAN IKAN BUTINI (Glossogobius matanensis) Gambar 3. Diagram alir kerangka penelitian

41 23 METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Danau Towuti, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Pengambilan sampel ini dilaksanakan setiap bulan selama 12 bulan dari bulan Mei 2006 sampai dengan April Analisis sampel dilakukan di Laboratorium (Ekobiologi, Avertebrata, Kesehatan Ikan) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor dan Balai Penelitian Ikan Air Tawar. Gambaran Danau berterap dan D, Towuti sebagai tempat penelitian dapat dilihat pada Gambar 4. U Gambar 4. Peta Danau Towuti dan danau berterap daerah kompleks Malili (Wirjoatmodjo et al. 2003).

42 24 Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan metode deskriptif (sampling). Berdasarkan pada bentuk, topografi dan hidrologi dari danau Towuti, maka penetapan zona penelitian berdasarkan adanya inlet, outlet, dekat pemukiman, buangan sawmil, dan kedalaman, ditetapkan daerah penelitian menjadi 3 zone yaitu zone A membentang dari bagian tepi danau (Timampu), diharapkan dapat mewakili daerah yang aktivitas masyarakatnya tinggi, yaitu saw mil (penggergajian kayu), perikanan, irigasi dan pertanian ke Pulau Loeha (pulau yang berada di tengah danau). Zone B membentang dekat inlet (Sungai Tominanga dari danau Mahalona) ke pulau Loeha. Zone C membentang dari Pulau Loeha ke dekat outlet (sungai Hola-hola), gambaran peta lokasi dan penentuan zona penelitian pengambilan sampel dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 5. Peta lokasi penelitian Danau Towuti Keterangan : Zone A: (membentang dari pemukiman, buangan sawmill ke pulau tengah Danau) Zone B: (membentang dari daerah inlet ke pulau tengah Danau) Zone C: (membentang dari pulau tengah Danau ke outlet)

43 25 Bahan dan Metode Pengukuran Bahan/Alat Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari sampel ikan butini dan sampel air diperoleh dari hasil sampling di lapangan selama penelitian. Alat yang dipakai dalam penelitian ini adalah salue, panjangnya berdasarkan setiap kedalaman dengan mata kail bernomor 8, 10, 12, 14 dan 16 berjumlah 200/salue dan untuk pengambilan sampel air menggunakan water sampler volume tiga liter. Bahan tambahan berupa bahan pengawet (formalin, alkohol dan larutan bouin). Metode Pengukuran 1. Kedalaman diukur dengan menggunakan tali yang diberi skala, dengan ketelitian 1 meter 2. Suhu air diukur menggunakan reversing protected thermometer ( o C) 3. Oksigen dan ph diukur dengan menggunakan water quality checkker merek Horiba tipe U Data panjang total (PT) ikan diukur menggunakan mistar dengan ketelitian 1 mm, dari ujung terdepan tubuh sampai ujung ekor. 5. Bobot ikan hasil tangkapan di ukur dengan menggunakan timbangan analitik merek CHQ. DJ1002B 1000 g dengan ketelitian 0,01 g. 6. Bobot gonad diukur menggunakan timbangan analitik merek AND EK-400 H dengan ketelitian 0,01 g. 7. Karakteristik morfometrik dan meristik dengan menggunakan metode baku mengacu pada Cailliet et al. (1980) 8. DNA dianalisis dengan metode RAPD dan menggunakan elektroforesis. 9. Jenis kelamin diidentifikasi secara makroskopis dan mikroskopis 10. Tingkat kematangan gonad diidentifikasi secara morfologis dan ditentukan berdasarkan ciri TKG modifikasi dari metode Cassie (Effendie dan Sjafei, 1976). 11. Ukuran yang tertangkap berdasarkan mata kail dihitung jumlahnya.

44 26 Desain Pengambilan Sampel Pengambilan sampel ikan dilakukan jam hingga setiap bulan pada tiap zone dengan jumlah titik pengamatan masing-masing berdasarkan pada beberapa kedalaman yaitu 25, 50, 75, 100, dan 150 meter serta 200 meter pada zone B yang merupakan bagian terdalam. Sampel ikan diperoleh dari hasil tangkapan dengan menggunakan salue/rawai (long line) sebanyak 5 (lima) unit dengan mata kail berukuran nomor 8, 10, 12, 14 dan 16 masing-masing nomor 40 mata kail, jarak antara satu mata kail dengan mata kail yang lain adalah 5 meter, total 200 mata kail pada satu salue (Gambar 6). Tali Utama No.8 No.10 No.12 No.14 No.16 Pemberat 40( matakail) Gambar 6. Satu unit salue/rawai (long line). Pengambilan sampel ikan sebanyak hasil tangkapan pada setiap titik kedalaman diawetkan ke dalam larutan formalin 10 %, dicatat jumlah tangkapan berdasarkan mata kail. Seluruh ikan contoh yang diperoleh dari masing-masing zona dan kedalaman dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin dan berat ikan ditimbang menggunakan timbangan digital ketelitian 0,01 g kapasitas 2000 g. Serta pengukuran panjang ikan menggunakan mistar dengan ketelitian 0,1 mm kapasitas 50 cm.

45 27 Parameter kualitas air yang merupakan habitat ikan dengan menggunakan Water Sampler volume 3 liter dan dilakukan pada hari yang sama dengan pengambilan sampel ikan. Teknik Pengambilan Data Pengambilan data diperoleh dari hasil tangkapan pada masing-masing kedalaman ditabulasi berdasarkan panjang dan bobot ikan serta tingkat kematangan gonad (TKG) dan berat gonad ikan. Lebih lanjut penentuan jenis kelamin dengan membuat preparat histologi. Untuk keperluan pengujian kesamaan populasi pengukuran karakter morfometrik dan meristik dan diambil sirip ikan untuk dilakukan analisis DNA dengan metode RAPD dilanjutkan dengan menggunakan elektroforesis. Pengambilan data kualitas air dilakukan pada setiap titik/lokasi meliputi suhu dengan alat termometer bolak balik (Reversing protected thermometer), ph dan Oksigen terlarut dibaca pada water quality checker (WQC) secara langsung. Variabel yang di amati A. Biologi : - Morfometrik dan meristik - DNA - Struktur populasi - Pertumbuhan - Reproduksi :- Jenis kelamin - Tingkat kematangan gonad - Indeks kematangan gonad - Fekunditas - Diameter telur B. Lingkungan : - Suhu - Kedalaman - ph - Oksigen terlarut (DO) -Curah hujan dan tinggi muka air berdasarkan data sekunder.

46 28 ANALISIS DATA Analisis Habitat/lingkungan Ikan Butini Parameter fisika dan kimia perairan Untuk mendapatkan data habitat yang merupakan lingkungan hidup ikan dapat berupa parameter fisika dan kimia perairan yaitu : Aspek yang mewakili fisika perairan adalah suhu dan kedalaman, suhu diukur secara langsung melalui pengambilan air pada setiap titik pengamatan dengan contoh air (water sampler van dorn) kemudian pembacaan suhu (temperatur) dengan menggunakan termometer bolak balik (Reversing Protected Thermometer) satuan Celcius ( o C). Kedalaman dengan menggunakan tali benang polimetilen (PM) yang diberi skala (satuan meter). Aspek yang mewakili kimia perairan berupa ph dan Oksigen. Untuk ph dan Oksigen terlarut (DO) dapat di amati langsung di lapangan melalui pengambilan air pada setiap titik pengamatan dengan menggunakan Water Quality Checkker Horiba tipe U-10. Selanjutnya di analisis dengan menggunakan Program Statistik 6 sub program analisis komponen utama (Prinsiple Componen Analisys, PCA). Penentuan Keragaman Populasi Ikan Morfometrik dan meristik. Untuk menentukan pengelompokan populasi ikan butini berdasarkan karakter morfometrik dan meristik (Gambar 7). Analisis morfometrik untuk memperoleh informasi mengenai keragaman sifat-sifat morfometrik dan karakterkarakter yang cukup besar pengaruhnya terhadap keragaman tersebut. Analisis data meliputi informasi ukuran bagian tubuh dan anggota tubuh yang sesungguhnya serta ukuran bagian-bagian tubuh tersebut dibanding-bandingkan antar bagian maupun anggota tubuh sehingga diperoleh data baru yang merupakan

47 29 ukuran relatif. Untuk penulisan tiap karakter diistilahkan sebagai data morfometrik dan data kedua diisitilahkan sebagai nisbah morfometrik. Setiap data karakter morfometrik yang diukur disandikan dengan singkatan yang meliputi : No. Karakter Morfometrik disingkat Sandi 1 Panjang total (cm) PT J1 2 Panjang baku (cm) PB J2 3 Tinggi badan (cm) TB J3 4 Tinggi batang ekor (cm) TBE J4 5 Panjang batang ekor (cm) PBE J5 6 Panjang bagian di depan sirip dorsal (cm) PBDSD J6 7 Panjang dasar sirip dorsal 1 (cm) PDSD I J7 8 Panjang dasar sirip dorsal 2 (cm) PDSD II J8 9 Panjang dasar sirip anal (cm) PDSA J9 10 Tinggi sirip dorsal 1 (cm) TSD I J10 11 Tinggi sirip dorsal 2 (cm) TSD II J11 12 Tinggi sirip anal (cm) TSA J12 13 Panjang sirip dada (cm) PSD J13 14 Panjang sirip perut (cm) PSP J14 15 Panjang jari-jari sirip dorsal yang terpanjang (cm) PJSDT J15 16 Panjang kepala (cm) PK J16 17 Lebar kepala (cm) LK J17 18 Panjang di depan mata (cm) PDM J18 19 Tinggi di bawah mata (cm) TBM J19 20 Pjg antar mata dgn sudut tutup insang dpn (cm) PAM J20 21 Lebar mata (cm) LM J21 22 Panjang rahang atas (cm) PRA J22 23 Lebar kepala bagian bawah (cm) LKbB J23 PK TbM LM PBDSD PSD PSP TSD PDSD1 TB TDS2 PDSD2 TSA PDSA TBE PBE PB PT Gambar 7. Karakter morfometrik dan meristik ikan butini.

48 30 Sedangkan hasil perbandingan bagian-bagian tubuh maupun anggota tubuh untuk data nisbah morfometrik di sandikan dengan karakter M yang terdiri dari : No. Karakter Morfometrik (disingkat) Sandi 1 PB/PT M1 2 TB/PT M2 3 TBE/PT M3 4 PBE/PT M4 5 PBDSD/PT M5 6 PDSD I/PT M6 7 PDSD II/PT M7 8 PDSA/PT M8 9 TSD I/PT M9 10 TSD II/PT M10 11 TSA M11 12 PSD/PT M12 13 PSP/PT M13 14 PJSDT/PT M14 15 PK/PT M15 16 LK/PT M16 17 PDM/PT M17 18 TBM/PT M18 19 PAM/PT M19 20 LM/PT M20 21 PRA/PT M21 22 LKbB/PT M22 Data nisbah morfometrik dimaksud untuk memperoleh informasi mengenai proporsi karakter tertentu terhadap karakter lain. Nisbah-nisbah tersebut diatas akan dapat menjelaskan sifat morfometrik ikan butini yang diteliti sehingga dapat digunakan untuk identifikasi populasi. Keeratan hubungan antar karakter dari bagian tubuh yang diukur, menurut Steel dan Storrie (1993) dinyatakan dengan rumus : n XY ( X ) ( Y) r =...(1) { n X 2 ( X) 2 } { n ( Y) 2 ( Y) 2 } Keterangan : r = Koefisien korelasi n = Jumlah ikan contoh X= nilai parameter ke-i Y= nilai parameter ke-j

49 31 Selanjutnya dilakukan perhitungan dengan menggunakan komputer berdasarkan statistik analisis ragam melalui program SPSS versi 11.5 DNA Setiap pita hasil amplifikasi pada posisi yang sama dengan laju elektroforesis yang sama untuk setiap individu, dianggap sebagai satu lokus homolog. Lokus tersebut diubah ke dalam bentuk data biner dengan memberi nilai satu (1) jika terdapat pita dan nol (0) bila pita tidak ada. Untuk menentukan kemiripan pasangan genotipe yang terdapat pada individu yang berbeda digunakan rumus Nei dan Li (1979) sebagai berikut : 2 n ab F ab =...(2) (n a + n b ) Keterangan : F ab = koefisien kemiripan individu a dan b n ab = jumlah pita yang sama posisinya pada individu a dan b n a dan n b = jumlah pita pada masing-m,asing individu a dan b Untuk mengevaluasi variasi DNA antar kedalaman populasi ikan butini digunakan Analysis Moleculer of Varians (AMOVA) dan uji perbandingan berpasangan menggunakan program TFPGA (Tools for population Genetic Analysis). Kekerabatan antar populasi dengan menggunakan jarak genetik berdasarkan Takezaki dan Nei (1996). Parameter Populasi Ikan Butini Struktur populasi Untuk menentukan struktur populasi ikan butini seluruh data pengukuran panjang yang diperoleh dikelompokkan ke dalam ukuran panjang, selanjutnya data frekwensi panjang dianalisis dengan menggunakan metode Bhatacharya melalui subprogram Model Progression Analisys (MPA) dalam program FiSAT

50 32 untuk memisahkan kelompok ukuran ikan butini. Sehingga dapat diketahui puncak atau mudus kelompok kelas ukuran dari suatu populasi. Pertumbuhan ikan butini Penentuan pertumbuhan ikan butini dari seluruh data pengukuran panjang yang telah dikelompokkan ke dalam ukuran panjang, berdasarkan jumlah data yang terkumpul dideskripsi dengan menggunakan statistik untuk mendapatkan jumlah selang kelas (Walpole, 1990). Pada setiap selang kelas panjang ikan ditentukan jumlah frekwensi dan presentase frekwensi relatifnya. Hubungan panjang - bobot ikan dianggap suatu fungsi dari panjangnya dan hubungan panjang bobot hampir mengikuti hukum kubik yang dinyatakan dengan persamaan menurut Hile (1936) dalam Effendie (1979) sebagai berikut : Keterangan : W = a.l b...(3) W = bobot L = panjang total ikan a dan b = konstanta Untuk menggambarkan persamaan (3) tersebut dalam bentuk linier dengan logaritma adalah : Log W = log a + b log L...(4) Dalam menentukan hubungan panjang bobot ikan selama periode penelitian digunakan analisis ragam dengan bantuan program Microsoff Exel Serta pengujian terhadap nilai b dengan kriteria pengambilan keputusan menurut Ricker (1975) dalam Effendie (1979), sebagai berikut : d 2 Y.X = Y 2 - (XY) 2 X 2 S 2 Y.X = d 2 Y.X / N 2 S2b = S 2 Y.X/ X 2 Sb t hitung = S 2 b...(5) = 3 b/sb...(6)

51 33 Menentukan apakah nilai b = 3 atau nilai b 3 digunakan uji t (Walpole, 1990). Kriteria pengambilan keputusan : Jika t hit < t tabel (0.05), b = 3, Pola pertumbuhan Isometrik Jika t hit > t tabel (0.05), b 3, Pola pertumbuhan Allometrik Allometrik positif apabila b > 3 (Pertambahan berat > pertambahan panjang) Allometrik negatif apabila b < 3 (Pertambahan berat< pertambahan panjang) Pendugaan pertumbuhan dianalisa dengan menggunakan model pertumbuhan dari Von Bertalanffy dengan persamaan matematis (Beverton and Holt, 1957; Ricker,1975; dan King (1995) sebagai berikut: L (t) = L ( 1 e - K (t to) )... (7) Keterangan : L (t) = ukuran panjang ikan pada umur t tahun (cm) L = panjang maksimum ikan yang dapat dicapai t o = umur ikan teoritis pada saat panjangnya 0 cm K = koefisien pertumbuhan Von Bertalanffy. Untuk menentukan nilai K dan L dengan menggunakan metode Ford Walford, dalam (Gulland & Holt, 1980) : L t+1 =L (1-e - K ) + e K L t...(8) Maka di peroleh koefisien pertumbuhan (K) dan panjang infiniti (L ) sebagai berikut : K = - (1/ t) x ln b (9) L = a / 1-b...(10) Untuk menduga umur teoritis pada saat panjang ikan sama dengan nol (t o ), digunakan persamaan empiris Pauly (1983), yaitu : Log(-t o )= log L log K...(11) Mortalitas Untuk menduga mortalitas total (Z) ikan butini di Danau Towuti, diduga dengan metoda kurva hasil tangkapan konversi panjang (Length Converted Catch Curve) yang dikemukakan oleh Pauly (1984): ln (N i )/ t = a + b.t (L t )...(12)

52 34 N i adalah jumlah ikan pada setiap kelas ukuran panjang ke-i, a dan b adalah koefisien regresi. Sedang t adalah waktu yang diperlukan untuk tumbuh sepanjang suatu kelas panjang yang diduga dengan persamaan : t = t (L i+1 ) t (L i ) = (1/K). Ln {(L - L i )/(L L i+t )}...(13) L i dan L i+1 adalah panjang pada kelas ke i dan panjang kelas ke-(i+1), dan t(l i ) adalah umur relatif ikan pada kelas panjang ke-i yang diduga dengan: t(l i ) = t o (1/K). Ln[1-((L i +L i+1 )/2 L )]... (14) Pendugaan terhadap laju mortalitas alami (M) dengan menggunakan rumus empiris Pauly (1984) yaitu hubungan antara kematian alami (M) dengan parameter pertumbuhan VBGF dan suhu lingkungan rata-rata (T) dimana populasi ikan tersebut berada adalah sebagai berikut : Log (M) = log L log K log T...(15) Dengan mengetahui nilai dugaan mortalitas total (Z) dan mortalitas alami (M), maka laju mortalitas penangkapan (F) dapat diduga dengan mengurangkan M terhadap Z, adalah : F = Z M...(16) Untuk menduga laju eksploitasi dari perikanan ikan butini di D. Towuti digunakan rumus sebagai berikut (Jones, 1984) : E = F / Z...(17) Keterangan : L = Panjang ikan maksimum secara teoritis K = Koefisien pertumbuhan. T = Rataan suhu perairan di kedalaman ikan tertangkap. E = Nisbah eksploitasi F = Kematian akibat penangkapan Z = Kematian total M = Kematian alami

53 35 Rekrutmen Untuk menghitung hasil per penambahan baru mengikuti model persamaan yang ditulis Sparre dan Venema, (1999) yaitu data frekwensi panjang disesuaikan dengan persamaan Von Bertalanffy (L, K, t o ) untuk mendeterminasi jumlah puncak rekrutmen per tahun. Selanjutnya penambahan anggota baru ke dalam populasi ikan butini dari data frekwensi panjang dibantu dengan suatu metode pendekatan yang difasilitasi melalui bantuan program FiSAT subprogram Recruitment Pattern. Melalui program ini akan terlihat persentase bulanan penambahan baru. Nisbah kelamin Aspek Reproduksi Ikan Untuk menentukan nisbah kelamin dihitung dengan cara membandingkan jumlah ikan jantan dengan jumlah ikan betina. M Nisbah Kelamin =...(18) F Keterangan: M = Jumlah ikan jantan (ekor) F = Jumlah ikan betina (ekor) Selanjutnya menguji keseimbangan nisbah kelamin dengan menggunakan rumus (Walpole, 1990) sebagai berikut : (O i -e i ) 2 X 2 =...(19) e i Keterangan : X 2 = Chi-square O i = Frekuensi ikan butini jantan atau betina yang diamati. e i = Frekuensi harapan (Frekuensi jantan + frekuensi betina) dibagi 2). Tingkat kematangan gonad (TKG) Sampel ikan jantan maupun betina di determinasi tingkat kematangan gonad secara makroskopik (visual) dan mikroskopis. Untuk menduga panjang rata-rata ikan butini pada waktu mencapai kematangan gonad pertama, persentase frekwensi kumulatif ikan-ikan yang matang gonad diplotkan terhadap ukurannya,

54 36 kemudian mempergunakan metode Least Square Regression (Metode Marquardt) yang dilakukan oleh Yoneda, et al. (2002) sebagai berikut : N = 100/(1+e (a+b X PT) )... (20) Keterangan : N = Peluang ikan matang gonad (%) e = Eksponensial bilangan natural a = Intersep (garis potong) b = Slope (kemiringan) PT = Panjang total (cm) Indeks kematangan gonad (IKG) Untuk indeks kematangan gonad yang diperoleh pada setiap kedalaman dianalisis menggunakan rumus yang dilakukan oleh Effendi (1979) yaitu : Berat gonad (gram) Indek kematangan gonad = X (21) Berat tubuh (gram) Fekunditas Penghitungan jumlah telur (fekunditas) ikan dilakukan dengan menggunakan metode gabungan yaitu gravimetrik dan volumetrik (Effendie,1979) dengan rumus : G x V x X F =...(22) Q Keterangan: F = Fekunditas (butir) G = Berat gonad (gram) Q = Berat telur contoh (gram) V = Volume pengenceran (mm) X = Jumlah telur yang ada dalam 1 cc: Selanjutnya hasil kajian di atas akan disusun suatu konsep pengelolaan ikan endemik butini (G.matanensis) yang berprinsip pada potensi populasi sehingga kelestarian sumberdaya ikan dapat terjaga dan usaha penangkapannya dapat dikendalikan dan ketersediaan populasi terus berkesinambungan.

55 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi lingkungan perairan Danau Towuti Kondisi lingkungan perairan/habitat sangat menentukan terhadap kehadiran suatu organisme pada suatu wilayah tertentu. Distribusi suatu populasi dapat terjadi akibat kondisi lingkungan dan keadaan populasi itu sendiri (Kendeigh 1980). Untuk mengetahui distribusi dan kondisi lingkungan perairan/habitat ikan butini, maka dilakukan pengamatan terhadap beberapa parameter fisik dan kimia perairan seperti suhu, ph, oksigen terlarut (DO) dan keberadaan ikan serta curah hujan dan tinggi muka air. Hasil pengamatan kondisi lingkungan selama penelitian diperoleh berdasarkan zona dan kedalaman disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Deskripsi parameter fisika-kimia berdasarkan zona dan kedalaman di Danau Towuti selama Mei 2006 hingga April Zona A B C Parameter fisika - kimia Kedalaman Suhu 0 C ph DO (mg/l) (m) Min-Max(Mean±SD) Min-Max(Mean±SD) Min-Max(Mean±SD) 25 27,2-29,8(28,5±0,22) 7,4-8,5 (7,9±0,11) 4,56-6,6(5,5±0,19) 50 27,5-29,7(28,3±0,17) 7,4-8,4 (7,9±0,09) 3,87-6,58(5,2±0,27) 75 27,3-28,9(28,1±0,12) 7,2-8,5 (7,9±0,11) 1,83-6,62(5,0±0,36) ,3-29,0(28,0±0,12) 7,2-8,5 (7,9±0,09) 1,35-6,44(4,0±0,39) ,3-29,2(28,3±0,16) 7,3-8,2 (7,8±0,07) 1,46-6,43(3,5±0,41) 25 27,0-30,5(28,9±0,29) 7,8-8,7 (8,1±0,08) 4,28-6,65(5,7±0,18) 50 27,8-30,0(28,8±0,20) 7,8-8,6 (8,0±0,09) 3,87-6,06(5,1±0,20) 75 27,8-29,8(28,5±0,14) 7,6-8,7 (8,0±0,09) 3,67-6,45(5,1±0,26) ,7-29,6(28,5±0,14) 7,6-8,5 (7,9±0,08) 0,71-5,54(3,9±0,35) ,5-29,2(28,3±0,15) 7,5-8,3 (7,9±0,07) 0,47-5,56(3,5±0,48) ,5-29,4(28,4±0,14) 7,6-8,4 (7,9±0,09) 0,15-4,95(3,1±0,52) 25 25,9-30,0(28,6±0,35) 7,8-8,5 (8,1±0,06) 4,52-6,54(5,8±0,17) 50 27,8-30,0(28,6±0,20) 7,7-8,5 (8,0±0,07) 4,13-6,40(5,1±0,23) 75 27,7-29,8(28,6±0,19) 7,8-8,4 (8,0±0,06) 3,48-6,23(4,8±0,24) ,0-29,8(28,5±0,23) 7,7-8,3 (8,0±0,06) 0,39-5,75(3,9±0,45) ,5-29,7(28,4±0,21) 7,7-8,2 (7,9±0,06) 0,78-5,40(3,6±0,36) Berdasarkan Tabel 2, dari ketiga zona yang paling tinggi fluktuasinya terlihat pada zona B, yaitu suhu berkisar antara 27,0 o C hingga 30,5 o C dan ph berkisar 7,78 8,65 serta DO berkisar antara 4,28 hingga 6,65 mg/l. Hal ini dapat

56 38 terjadi karena di zona B terdapat aliran sungai yang masuk ke danau (inlet) sehingga kualitas air menjadi berfluktuasi. Sedang berdasarkan kedalaman tertinggi fluktuasinya terjadi di kedalaman 25 meter baik suhu, ph dan DO. Sedang kedalaman 25 meter berkaitan dengan keberadaan kedalaman 25 meter berdekatan dengan daratan sehingga aktivitas daratan akan mempengaruhi kualitas air yang ada di kedalaman ini. Variasi suhu pada kedalaman 25 meter cukup lebar dibandingkan dengan kedalaman lainnya yaitu terendah 25,9 o C dan tertinggi 30,5 o C. Hal ini diduga dipengaruhi oleh adanya aktivitas daratan diantaranya air permukaan (run off) yang mengalir masuk ke dalam danau sehingga suhu dapat berfluktuasi. Whitten et al. (1987) menyatakan bahwa kisaran suhu Danau Towuti adalah o C dan menurut Hartoto et al. (1996) pada saat kemarau suhu danau ini mencapai rata-rata 26,74 o C dan pada musim hujan mencapai rata-rata 28,93 o C. Sedang Haffner et al. (2001) menjelaskan bahwa Danau Towuti termasuk Isothermal. Suhu biasanya berkurang dengan bertambahnya kedalaman air, tetapi ada perkecualian seperti Danau Moat, Towuti dan Matano yang suhunya kurang lebih tetap di semua kedalaman danau. Hal ini dapat terjadi karena danau itu terdapat di daerah tektonik yang relatif aktif, dan penyimpangan itu mungkin karena adanya sumber-sumber air panas (Anon, 1980 dalam Whitten, et al. 1987). Suhu air sangat menentukan seluruh kegiatan dan proses kehidupan ikan, seperti pernafasan, reproduksi dan pertumbuhan serta mempengaruhi terhadap kejenuhan oksigen di dalam air. Setiap spesies memiliki batasan optimal untuk melakukan pertumbuhan, kisaran suhu yang berfluktuasi terlalu tinggi dapat menyebabkan terjadinya gangguan fisiologi pada ikan yang dapat menyebabkan kerentanan terhadap penyakit bahkan kematian. Menurut Boyd dan Kopler (1979) suhu optimum untuk pertumbuhan ikan di daerah tropis adalah 25 o C hingga 30 o C. Gambar 8, menunjukkan pola suhu per kedalaman selama pengamatan. Suhu perairan mengatur proses metabolisme dari organisme yang hidup di dalam air, hal ini terkait dengan ikan yang merupakan hewan berdarah dingin dimana proses metabolisme dipengaruhi oleh suhu perairan. Pada ikan yang hidup di perairan dingin maka proses metabolisme berjalan lebih lambat dibandingkan

57 39 dengan ikan yang hidup di perairan yang lebih panas. Akibatnya proses pertumbuhan dan perkembangan ikan yang hidup di perairan yang dingin berjalan lebih lambat. Kedalam an (m) Suhu ( o C) di zona A Kedalaman (m) Suhu ( o C) di zona B Kedalam an (m ) Suhu ( o C) di zona C Gambar 8. Rataan suhu ( o C) berdasarkan zona dan kedalaman selama Mei 2006 hingga April 2007 di Danau Towuti. Suhu mempengaruhi tingkat kelarutan gas dalam air, pada suhu yang lebih dingin, kelarutan gas dalam air akan lebih tinggi. Panas yang berasal dari cahaya matahari dan suhu udara yang ada di sekitar danau sangat mempengaruhi suhu perairan. Saat keadaan cuaca normal suhunya lebih tinggi di permukaan air dibandingkan dengan suhu di dasar perairan. Adanya stratifikasi suhu memungkinkan terjadinya proses penggabungan antara dua lapisan perairan. Peristiwa terjadinya penggabungan/mixing antara lapisan atas dan lapisan bawah dari suatu perairan disebut dengan peristiwa turn over (pada danau) dan up welling (di laut). Peristiwa turn over dan upwelling terjadi karena adanya perubahan suhu yang cepat di permukaan air yang diakibatkan oleh angin atau hujan sehingga permukaan air menjadi lebih dingin dibandingkan dengan dasar perairan. Suhu juga dapat menjadi faktor pemicu terjadinya pemijahan pada ikan akibat teraktivasinya hormon dalam tubuh ikan. Mironova (1977) menyatakan beberapa ikan mengalami proses gametogenesis dipengaruhi oleh suhu, seperti pada Tilapia mosambicus dimana tingkat pemijahan meningkat dengan meningkatnya suhu C. Pada ikan

58 40 bandeng yang berumur 2-4 tahun yang dipelihara di karamba dan mempunyai suhu rataan tahunan C mengalami matang gonad dan memijah spontan setelah dipelihara selama 18 bulan (Lacanilo dan Marter, 1980). Nilai ph air selama penelitian perkedalaman menunjukkan bahwa kisaran ph antara 6,0 8,7 dan ph air sangat berfluktuasi pada kedalaman 25 meter antara 6,0 hingga 8,7, hal ini dapat terjadi karena kedalaman 25 dianggap masih berdekatan dengan daratan sehingga mempengaruhi ph air di kedalaman ini. Pada kedalaman 200 meter fluktuasinya kecil karena kurang dipengaruhi oleh aktivitas daratan kecuali aktivitas organisme yang ada di kedalaman ini (Gambar 9). Kedalaman (m) ph di zona A Kedalaman (m) ph di zona B Kedalaman (m) ph di zona C Gambar 9. Rataan ph berdasarkan zona dan kedalaman selama Mei 2006 hingga April 2007 di Danau Towuti. Variasi nilai ph air dapat dijadikan sebagai salah satu indikator kualitas perairan. Berdasarkan waktu/bulan pengamatan ph tertinggi yaitu 8,7 di kedalaman 75 meter zona B, pada bulan Mei dan Juni, hal ini berkaitan pada bulan tersebut curah hujan cukup tinggi, saat musim hujan di pinggiran danau terlihat sangat keruh yang disebabkan adanya partikel tanah akibat erosi dari pinggiran danau ke tengah. Sehingga diduga dengan naiknya air permukaan menyebabkan ph di kedalaman ini bertambah. Sedang ph terendah terjadi pada bulan September pada saat itu air permukaan terlihat surut akibat musim kemarau sehingga ph turun.

59 41 Hasil penelitian Hartoto et al. (1996) ph perairan Danau Towuti pada musim kemarau mencapai rata-rata 7,85 dan pada musim hujan mencapai rata-rata 8,40. Menurut swingle (1968), umumnya ph di perairan alami berkisar antara 4,0 9,0, sedangkan batas toleransi ikan umumnya berkisar antara 4,0 11,0. Pescod (1973) memberikan batasan terhadap ph air yang ideal bagi budidaya berkisar antara 6,5 8,5. Tingkat ph dalam air berfluktuasi dipengaruhi oleh perolehan dan pengeluaran karbon dioksida (CO 2 ) selama proses fotosintesis dan respirasi. Tingkat keasaman (ph) perairan akan sangat rendah saat sore hari dan akan tinggi saat tengah hari. Kondisi ph yang baik untuk perkembangan ikan antara 6,5 hingga 9. Kedalaman (m) DO (mg/l) zona A Kedalaman (m) (DO mg/l) zona B Kedalaman (m) DO (mg/l) zona C Gambar 10. Rataan DO (mg/l) berdasarkan zona dan kedalaman selama Mei 2006 hingga April 2007 di Danau Towuti. Dari data pengamatan oksigen selama penelitian menunjukkan adanya variasi kandungan oksigen di tiap kedalaman maupun antar kedalaman (Gambar 10). Kandungan oksigen yang ada berkisar antara 0m15 mg/l hingga 6,60 mg/l, dalam penelitian ini oksigen terlarut (DO) yang didapatkan mempunyai kisaran yang cukup lebar dan oksigen tertinggi antar kedalaman terdapat pada kedalaman 25 meter sebesar 6,65 mg/l, sedang terendah pada kedalaman 200 sebesar 0,15 mg/l (Tabel 2). Terlihat di lapisan permukaan konsentrasi oksigen terlarut lebih besar karena dekat dengan atmosfir, bertambah kedalaman maka konsentrasi

60 42 oksigennya makin kecil. Berdasarkan variasi kadar oksigen terlarut yang diperoleh menunjukkan bahwa perairan danau belum terganggu dengan aktifitas di sekitarnya. Kandungan oksigen terlarut di perairan Danau Towuti masih dalam batas toleransi kehidupan ikan butini. Konsentrasi oksigen terlarut dalam air sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain : arus, kandungan senyawa kimia, zat organik, pengadukan masa air, suhu, dan kedalaman. Menurut Hartoto et al. (1996) kandungan oksigen di danau Towuti pada musim kemarau berkisar 6,99 mg/l dan musim hujan berkisar 7,21 mg/l. Penelitian lainnya oleh Haffner et al. (2001) di Danau Matano bahwa pada kedalaman 590 meter dari permukaan perairan memiliki kandungan oksigen berkisaran 1,9 7,0 mg/l. Sedangkan Awalina (1995) mencatat bahwa D.O di danau Matano berkisar antara 3 8,2 mg/l. Sedangkan menurut Swan (1997), bahwa konsentrasi oksigen di perairan berada pada kondisi yang baik bila kandungannya berada pada kisaran 6-8 mg/l. Welch, (1980) menyatakan bahwa kadar oksigen terlarut di perairan yang ideal bagi pertumbuhan ikan adalah lebih besar dari pada 5 mg/l. Apabila kondisi oksigen pada kisaran 4-5 mg/l ikan masih dapat bertahan tetapi pertumbuhannya terhambat. Namun pada kondisi yang kurang dari 3 mg/l dapat menyebabkan kematian pada ikan (Swan, 1997). Kadar oksigen terlarut yang rendah atau terlalu tinggi dapat menyebabkan terjadinya gangguan fisiologi pada ikan yang pada akhirnya dapat menyebabkan kematian. Jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh ikan tergantung pada ukuran ikan, konsumsi oksigen, aktifitas ikan dan suhu perairan. Djadjadiredja dan Djangkaru (1980) menyatakan kehidupan ikan air tawar dalam budidaya intensif akan lebih baik jika kandungan oksigen terlarut lebih dari 5 mg/l. Perubahan konsentrasi DO dapat disebabkan oleh proses eutrofikasi yang disatu sisi memberikan suplai nutrisi bagi plankton yang dibutuhkan sebagai pakan ikan, tetapi disisi lain menyebabkan perubahan kondisi lingkungan perairan berupa penurunan DO. Oksigen terlarut merupakan aspek kimia air yang paling penting bagi ikan. Odum (1971), oksigen terlarut dalam air merupakan faktor utama untuk proses metabolisme pada hewan akuatik, karena berpengaruh langsung terhadap

61 43 pertumbuhan ikan dan organisme akuatik lainnya. Oksigen relatif sukar terlarut dalam air dan dalam lingkungan sering bervariasi, sehingga dapat bersifat sebagai faktor pembatas bagi biota perairan. Toleransi ikan terhadap berbagai kandungan oksigen terlarut dalam air bervariasi menurut jenis ikannya. Pada umumnya jenis-jenis ikan yang mempunyai alat pernafasan tambahan sangat tahan terhadap kekurangan oksigen seperti ikan lele, gurame, tambakan dan lain-lain (Welch, 1980). Ikan yang hidup di dasar mempunyai kedap udara kantung renang atau kantung gas yang berisi gas dari aliran darahnya. Kantung ini mengatur banyaknya gas yang diperlukan ikan untuk tetap berada di kedalaman tertentu agar ikan tidak tenggelam atau terapung ke permukaan. Hasil uji statistik melalui analisis ragam menunjukkan bahwa suhu, ph dan oksigen terlarut (DO) pada masing-masing zona tidak terdapat perbedaan pada taraf kepercayaan 95 % ( = 0,05). Sedang berdasarkan kedalaman baik suhu, ph dan DO menunjukkan adanya perbedaan antar kedalaman pada taraf nyata =0,05. Berdasarkan data curah hujan sekitar lokasi di Danau Towuti disajikan pada Gambar 11a. Adapun beberapa hal penting yang dapat ditemukan pada data curah hujan bulanan yaitu angka curah hujan tertinggi jatuh pada bulan April mm. Terlihat pola datangnya hujan yang cukup jelas yaitu sejak bulan Desember hingga Maret dan puncak pada bulan April sedangkan bulan bulan berikut semakin berkurang. Fluktuasi curah hujan di bulan Oktober agak meningkat dibanding pada bulan September dan November. Angka curah hujan terendah adalah bulan September rata-rata 1.2 mm sedangkan pada bulan-bulan berikut meningkat hingga bulan April Walaupun wilayah penelitian ini merupakan daerah yang curah hujannya dianggap paling rendah, tetapi merupakan wilayah akumulasi limpasan hujan yang curah hujannya cukup tinggi. Untuk data tinggi muka air dapat dilihat pada Gambar 11b. Dari data grafik tinggi muka air di Danau Towuti sejak bulan Mei 2006 sampai April 2007 menunjukkan adanya penurunan tinggi muka air dari bulan Juli hingga Desember 2006 dan berfluktuasi hingga meningkat pada bulan April Hal ini cenderung berkaitan dengan curah hujan di daerah tersebut dimana pada bulan

62 44 Mei hingga Desember curah hujannya agak kurang sehingga air danau menjadi menurun dan kembali meningkat saat curah hujan meningkat. Pada saat musim hujan terjadi polusi aliran permukaan (run off pollution) yang berasal dari aliran permukaan di sekitar danau selalu berkorelasi dengan pemanfaatan ruang daratan sekitar danau. Rangsangan hujan dan kombinasi dengan meningkatnya ketinggian air dan turunnya konduktivitas merangsang penyempurnaan proses gametogenesis dan menyebabkan proses pemijahan pada ikan yang berada di Amerika Selatan gymnotoid, Eigenmannia virescens (Kirschbaum, 1979) a Tinggi Air (mm) b Wakt u ( Bulan) 5/1/2006 6/1/2006 7/1/2006 8/1/2006 9/1/ /1/ /1/ /1/2006 1/1/2007 Waktu (bulan) 2/1/2007 3/1/2007 4/1/2007 Gambar 11. Grafik rataan curah hujan (a) dan tinggi muka air (b) tiap bulan di Danau Towuti dari bulan Mei 2006 hingga April 2007.(PT.Inco) Schwassman (1980) menyatakan bahwa faktor curah hujan dan genangan air/banjir lebih berhubungan dengan pematangan akhir dari pada proses pembentukan gonad. Sedang menurut Liebarman (1995), pada kondisi alamiah perkembangan gonad ikan sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, dimana sinyal lingkungan seperti, curah hujan, perubahan suhu. Hasil statistika dengan menggunakan analisis komponen utama (PCA) yang dilakukan pada matriks korelasi antar karakter fisika-kimia dan kelimpahan ikan jantan dan betina di Danau Towuti, dapat terlihat pada dua sumbu utama yaitu F1, F2, masing-masing sumbu memiliki akar ciri terbesar yaitu 70,14 dan 28,36 yang memberikan kontribusi sebesar 98,50 %. Korelasi antar variabel pada sumbu 1 dan sumbu 2 menunjukkan bahwa variabel DO dan suhu sangat berperan dalam pembentukan sumbu F1 positif dengan koefisien variabel sebesar 0,76 dan 0,97,

63 45 sedangkan jantan dan betina memiliki peranan negatif dalam pembentukan F1. Untuk pembentukan sumbu F2 positif seperti suhu berperan sangat kecil hanya sebesar 0,01 %, sedangkan ph, DO, jantan dan betina negatif (Gambar 12). Biplot (axes F1 and F2: %) 4 3 Jantan F2 (28.36 %) Betina 75 Suhu DO 50 ph F1 (70.14 %) Gambar 12. Hubungan kualitas air (suhu, ph dan DO), dengan kelimpahan ikan butini (G.matanensis) jantan dan betina berdasarkan kedalaman di Danau Towuti Selama Mei 2006 hingga April Hal ini menunjukkan bahwa kedalaman 25, 50 dan 75 meter lebih dicirikan oleh suhu, DO dan ph air, sedangkan kedalaman 100 meter dicirikan oleh keberadaan ikan jantan dan betina sehingga memberikan indikasi kelimpahan ikan jantan dan betina, diduga merupakan habitat ikan butini. Kondisi lingkungan di perairan kedalaman 100 meter dianggap lebih stabil dalam mendukung pertumbuhan ikan butini. Hasil statistika ini menunjukkan bahwa kelimpahan ikan jantan dan betina berdasarkan kedalaman tidak ditentukan oleh parameter fisika kimia air yang di teliti. Henderson (1985) menyatakan bahwa berbagai ikan lebih cenderung untuk mencari habitat alami yang sesuai dengan habitatnya. Apabila lingkungan habitat berubah, maka ikan akan berusaha untuk mencari habitat yang mirip dengan habitat aslinya dan bila tidak ditemukan ikan akan berusaha untuk beradaptasi. Bila lingkungan atau kualitas air terus menerus memberikan tekanan terhadap populasinya maka kelimpahan dan penyebaran ikan akan mengalami perubahan.

64 46 Secara temporal matriks korelasi antar karakter fisika dan kimia perairan terlihat menyebar pada dua sumbu utama yaitu F1 dan F2 masing-masing memiliki akar ciri terbesar yaitu 58,29 % dan 40,21 % yang memberikan kontribusi sebesar 98,50 %. Korelasi antar variabel pada sumbu 1 dan sumbu 2 menunjukkan bahwa variabel ph dianggap berperan dalam pembentukan sumbu F1 positif dengan nilai sebesar 21 % pada bulan Mei dan Juni. Sedangkan DO, Suhu dan kelimpahan ikan jantan dan betina memiliki peran negatif (Gambar 13). Gambar 13. Hubungan kualitas air (suhu, ph dan DO), dengan kelimpahan ikan butini (G.matanensis) jantan dan betina berdasarkan waktu (bulan) di Danau Towuti Selama Mei 2006 hingga April Untuk pembentukan sumbu F2 dinyatakan oleh variabel suhu pada bulan Januari dan Februari masing-masing berperan sebesar 83 dan 84 %, dan terhadap kelimpahan ikan jantan dan betina masing-masing sebesar 50 %. Hasil ini memberikan gambaran bahwa pada bulan Januari dan Februari merupakan kelimpahan ikan jantan dan betina yang dipengaruhi oleh suhu perairan sebesar 50 %. Hal ini menunjukkan bahwa kelimpahan ikan masih dipengaruhi oleh faktor lingkungan lain yang mempunyai peranan penting terhadap kelimpahan ikan butini selain parameter fisik dan kimia yang diukur.

65 47 Distribusi spasial ikan butini di Danau Towuti Ikan butini yang tertangkap selama penelitian pada tiga (3) zona dengan masing-masing kedalaman 25, 50, 75, 100, 150 meter dan 200 meter. Diperoleh ikan berjumlah 2195 ekor, di zona A dengan jumlah 498 ekor terdiri dari ikan jantan berjumlah 340 ekor dan betina 158 ekor, zona B berjumlah 963 ekor terdiri dari ikan jantan berjumlah 639 ekor dan betina 324 ekor serta zona C berjumlah 734 ekor terdiri dari ikan jantan berjumlah 470 ekor dan betina 264 ekor. Jumlah ikan yang tertangkap pada setiap kedalaman bervariasi. Jumlah paling banyak diperoleh pada kedalaman 100 meter berjumlah 498 ekor atau % dari total ikan yang tertangkap selama penelitian. Jumlah ini terdiri atas jantan 309 ekor dan betina 189 ekor. Sedang jumlah paling sedikit diperoleh pada kedalaman 200 berjumlah 232 ekor atau % dari total ikan yang tertangkap, jumlah ini terdiri 120 jantan dan betina 112 ekor. Jumlah ikan secara keseluruhan berdasarkan kedalaman dapat dilihat pada Tabel 3. Dari jumlah ikan yang paling banyak tertangkap di kedalaman 100 meter menunjukkan kelimpahan tertinggi ikan jantan maupun betina, maka diduga pada kedalaman 100 meter merupakan tempat hidup atau habitat ikan butini. Pada kedalaman ini kemungkinan memiliki daya dukung yang sesuai dengan kehidupan ikan butini seperti ketersediaan makanan dan lingkungan yang mendukung. Tabel 3. Jumlah ikan butini yang tertangkap berdasarkan kedalaman selama penelitian Mei April 2007 di Danau Towuti. Kedalaman (meter) Jumlah total ikan (ekor) ekor Persentase total (%) 11,48 16,26 19,77 22,69 19,23 10,57 Jantan Jenis kelamin Persentase total(%) Betina 7, , , , , , % Persentase total(%) 4,42 4,88 6,01 8,61 7,15 5,10 Tingkat kompetisi yang rendah memungkinkan ikan ini mendominasi lingkungan perairan Danau. Selain ketersediaan bahan makanan berupa cacing,

66 48 ikan dan kepiting (Wirjoatmodjo, 2003) bagi ikan butini dalam lingkungan perairan. Ikan butini dikelompokkan sebagai kelompok ikan karnivora (pemakan daging), Sebagaimana juga dijelaskan Kottelat et al. (1993) bahwa pada umumnya famili Gobiidae merupakan ikan predator. Menurut Kreb (1985) distribusi ikan di pengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya tingkah laku ikan dalam memilih habitat dan hubungan antara ikan dengan organisme lain. Tiap-tiap ikan beradaptasi untuk memakan satu jenis makanan tertentu dalam perairan. Sedang jumlah jenis kelamin perkedalaman persentase didominasi oleh jenis kelamin jantan. Panjang ikan (cm) Kedalaman (m) a tertinggi terendah Panjang ikan (cm) Kedalaman (m) b tertinggi terendah Gambar 14. Sebaran ukuran panjang total ikan butini (G. matanensis) jantan (a) dan betina (b) berdasarkan kedalaman selama Mei April 2007 di Danau Towuti. Gambar 14, menunjukkan bahwa sebaran ukuran panjang ikan pada setiap kedalaman berbeda, nampak ukuran panjang ikan jantan relatif lebih menyebar pada kedalaman 50, 100 dan 150 meter sedang ikan betina pada kedalaman 25, 50 dan 100 meter. Ukuran ikan butini paling kecil selama pengamatan yaitu 14,5 cm dan ukuran terpanjang adalah 46,2 cm. Dari variasi ukuran panjang ikan dapat

67 49 disimpulkan bahwa ukuran panjang ikan relatif lebih lebar pada kedalaman 100 meter baik jantan maupun betina. Diduga bahwa pada kedalaman ini adalah tempat/lokasi berkumpulnya ikan butini sehingga pada kedalaman ini lebih menyebar ukuran panjang ikan karena terdapat ikan-ikan muda dan dewasa. Berdasarkan analisis statistik secara deskriptif kelimpahan ikan butini (G.matanensis) dari hasil tangkapan selama penelitian di Danau Towuti kaitannya dengan panjang total yang dikelompokkan berdasarkan hasil perhitungan ke dalam 12 selang kelas serta lebar kelas 2,6 diperoleh kisaran nilai tengah 15,80 sampai dengan 44,40 dapat dilihat pada Tabel 4. Dari ukuran panjang total secara keseluruhan ikan butini memiliki ukuran terkecil 14,5 cm dan ukuran terbesar 46,2 cm. Pada jantan ukuran panjang berkisar panjang antara 14,5 46,2 cm dengan panjang rata-rata 30,4 cm, betina berkisar antara 17,4 40 cm dengan panjang rata-rata 20,9 cm. Terlihat ikan jantan lebih panjang dari pada ikan betina. Ukuran jantan tertinggi pada nilai tengah panjang total 26,2 cm dan betina tertinggi pada ukuran 28,8 cm (Gambar 15) Jumlah ikan (ekor) Jantan Betina Nilai tengah panjang total (cm) Gambar 15. Sebaran ukuran panjang total ikan butini (G. matanensis) jantan dan betina selama Mei April 2007 di Danau Towuti. Berdasarkan kisaran ukuran panjang total yang cukup bervariasi pada nilai tengah 15, cm, ikan paling kecil (nilai tengah cm) dapat dijumpai pada kedalaman 25 m hingga 100 meter. Ukuran ikan paling panjang (nilai tengah 44,40 cm) dapat di temukan pada kedalaman 50, 100 dan150 meter (Tabel 4).

68 50 Tabel 4. Distribusi kelimpahan ikan butini (G. matanensis) perkedalaman berdasarkan frekwensi panjang total (nilai tengah) selama Mei April 2007 di Danau Towuti. Nilai tengah 15,8 18,4 21,0 23,6 26,2 28,8 31,4 34,0 36,6 39,2 41,8 44,4 Kedalaman (m) Persentase Total (%) 0,37 1,96 5,70 15,58 18,31 24,42 17,18 7,29 4,60 1,64 0,47 0,23 Dalam penelitian ini tidak diperoleh ikan yang berukuran kecil (juvenil dan larva) akan tetapi ukuran panjang yang diperoleh lebih panjang yaitu 46,2 cm daripada ukuran menurut Kottelat et al, (1993) bahwa spesies ikan butini mencapai ukuran 42 cm. Hal ini kemungkinan disebabkan keberadaannya diperairan yang cukup mendukung seperti ketersediaan makanan dan kualitas air yang relatif masih baik serta jarang terjangkau oleh nelayan. Sedang ukuran paling banyak atau dominan ditemukan pada panjang total (nilai tengah) 28,80 cm yaitu sebesar 24,42 %. Perhitungan secara distribusi normal kisaran ukuran 28,80 cm tergolong ukuran ikan yang relatif masih muda, sehingga dapat dikatakan bahwa populasi ikan butini yang banyak tertangkap selama penelitian masih dianggap ukuran-ukuran muda yang sementara tumbuh. Hal ini menunjukkan bahwa ikan jantan lebih besar dari pada ikan betina. Hasil ini sama seperti pada ikan Glossogobius aureus di Danau Sidenreng dan Danau Tempe menurut Tamsil (2000) bahwa ikan jantan lebih besar dari pada ikan betina. Sulistiono (2007) juga menjelaskan bahwa ukuran panjang total ikan butini betina lebih kecil dibanding ikan jantan pada kisaran mm. Berdasarkan ukuran panjang ini dapat dikatakan bahwa populasi ikan butini yang ada di Danau Towuti dari setiap kedalaman memiliki ukuran tubuh yang

69 51 bervariasi, dan termasuk ukuran yang sementara mengalami pertumbuhan (muda) Gambar 19. Pemanfaatan sarana penangkapan seperti penggunaan perahu biasa tanpa mesin serta faktor cuaca sering diperhitungkan nelayan untuk menangkap di kedalaman yang lebih dalam. Aktivitas nelayan yang jarang menjangkau di kedalaman yang dalam juga turut menentukan sehingga ikan butini dapat dijumpai lebih banyak dibanding dengan kedalaman lainnya. Distribusi temporal ikan butini di Danau Towuti Dari hasil pengamatan secara temporal terlihat bahwa ikan jantan tertinggi pada bulan Januari berjumlah 237 ekor dan terendah pada bulan Juli berjumlah 52 ekor, sedang betina pada bulan Maret sebanyak 112 ekor dan terendah pada bulan Juli 24 ekor. Secara keseluruhan berdasarkan jenis kelamin selama penelitian ikan butini jantan dan betina yang paling banyak tertangkap terdapat pada bulan Januari berjumlah 323 ekor (Gambar 16). Jumlah ikan (ekor) Jantan Betina M J J A S O N D J F M A 2006 Waktu (bulan) 2007 Gambar 16. Kelimpahan ikan jantan dan betina berdasarkan waktu pengamatan selama Mei 2006 April 2007 di Danau Towuti. Dari sebaran kelimpahan ikan butini secara keseluruhan selama pengamatan juga terjadi pada bulan September dan Oktober. Hal ini menunjukkan bahwa selama setahun pengamatan terjadi fluktuasi kelimpahan ikan diperairan Danau Towuti, yang mengindikasikan dalam setahun terjadi beberapa puncak kelimpahan ikan butini.

70 52 Sedang pada bulan Oktober dan Maret jumlah antara jantan dan betina hampir mendekati seimbang. Hal ini diduga berkaitan dengan faktor lingkungan misalnya suhu yang meningkat seperti yang ditunjukkan oleh hasil analisa parameter lingkungan pada bulan-bulan tersebut kelimpahan ikan dipengaruhi oleh suhu sebesar 50 %. Pada bulan-bulan tersebut memasuki musim penghujan, sehingga kemungkinan ikan dalam masa memijah. Berdasarkan distribusi kisaran ukuran panjang total (nilai tengah) populasi ikan butini selama pengamatan terkecil pada ukuran 15,8 cm dapat dijumpai pada bulan Juli, Oktober, Desember hingga Februari. Sedang ikan butini terpanjang pada ukuran 44,4 (nilai tengah) dapat dijumpai pada bulan Juli dan Agustus serta Maret dan April. Rata-rata ikan yang tertangkap berada pada ukuran 28,8 cm yang merupakan persentase terbesar menurut ukuran panjang pada setiap bulan yaitu 24,42 % (Tabel 5). Tabel 5. Distribusi frekwensi panjang total (nilai tengah) ikan butini (G.matanensis) berdasarkan waktu/bulan pengamatan selama Mei April 2007 di Danau Towuti. Nilai Waktu (bulan) tengah M J J A S O N D J F M A 15, , , , , , , , , , , , Persentase total (%) 0,36 1,96 5,70 15,58 18,31 24,42 17,18 9,48 4,60 1,64 0,50 0,23

71 53 Keragaman populasi ikan butini berdasarkan Morfometrik dan Meristik Ikan butini (G.matanensis) yang ditemukan di Danau Towuti memiliki bentuk tubuh membulat dan agak memanjang, bagian belakang pipih serta warna tubuh gelap. Ikan ini hidup di D. Towuti yang dalamnya mencapai 203 meter. Untuk membedakan ikan ini di setiap kedalaman yaitu 25, 50, 75, 100, dan 150 serta 200 dapat diamati melalui karakter morfometrik dan meristik. Setiap kedalaman dapat dianggap menjadi penghalang (barier) sehingga menimbulkan dugaan adanya kemungkinan pengelompokkan populasi ikan butini. Jumlah sampel yang digunakan sebanyak 2195 ekor terdiri dari 1401 ekor jantan dan 794 ekor betina yang diperoleh selama penelitian diberbagai kedalaman. Untuk mengetahui pengelompokkan ikan butini maka dilakukan pengukuran terhadap bagian-bagian karakter morfometrik dan meristik (Gambar 7). Morfometrik adalah ciri-ciri yang berkaitan dengan ukuran tubuh atau bagian tubuh ikan, dan meristik adalah ciri-ciri yang berkaitan dengan jumlah bagian tertentu pada tubuh ikan. Untuk komponen-komponen uji morfometrik mengacu pada Cailet et.al, Pengukuran morfometrik contoh ikan melalui 23 karakter (Lampiran 4) maka diperoleh variasi ukuran morfometrik (Lampiran 5), hasil analisis statistik nilai rata-rata panjang total ikan jantan sebesar 26,7±0,32 dan betina 27,6±0,29 serta panjang baku rata-rata sebesar 22,1±0,25 dan betina 22,5±0,23. Beberapa nilai kisaran ukuran perbandingan ciri morfometrik ikan butini di D. Towuti dari berbagai kedalaman relatif tidak berbeda nyata. Ukuran ikan cenderung semakin dalam semakin panjang. Dari hasil analisis statistik melalui program SPSS 11.5 diperoleh nilai hubungan korelasi terhadap karakter morfometrik di setiap kedalaman tertinggi terdapat pada karakter panjang baku (PB) dengan panjang total (PT) yaitu sebesar 0,97. Hal ini menunjukkan hubungan yang sangat erat antara keduanya, artinya pertambahan ukuran panjang baku sangat menentukan terhadap pertambahan ukuran panjang total ikan butini karena nilai korelasi antara keduanya hampir mendekati satu. Jika salah satu karakter memiliki pertambahan ukuran panjang maka karakter yang berkorelasi positif dengan karakter tersebut juga akan bertambah ukuran panjangnya.

72 54 Karakter lain dianggap tinggi yaitu pada karakter panjang kepala (PK) dengan panjang total (PT) serta panjang antara mata dengan sudut tutup insang (PMDSTI) sebesar 0,91. Sedangkan nilai korelasi terendah sebesar 0,51 % diperoleh antara panjang rahang atas (PRA) dengan tinggi sirip anal (TSA) (Lampiran 6). Berdasarkan hasil statistik uji F pada karakter nisbah morfometrik secara gabungan jantan dan betina pada taraf nyata 0,05 diperoleh 15 karakter menunjukkan kesamaan pada setiap karakter (tidak terdapat korelasi) artinya menerima H 1 karena F hitung lebih lebih besar dari F tabel antar karakter yaitu M1, M3, M4, M5. M6, M7, M8, M9, M11, M12, M13, M14, M15, M17 dan M20). Sedangkan 7 karakter yang sama menerima H o atau tidak terdapat korelasi antar karakter yaitu M2, M10, M16, M18, M19, M21 dan M22) (Lampiran 8). Menurut jenis kelamin diperoleh 5 karakter nisbah morfometrik yang menunjukkan kesamaan atau korelasi antar karakter yaitu M1, M11, M12, M13 dan M14, dan yang menunjukkan perbedaan untuk jantan menolak H o (tidak terdapat korelasi) ada 6 karakter yaitu M4, M9, M10, M15 dan M18 serta M19 dan untuk betina ada 4 karakter yaitu M5, M8, M21 dan M22 (Lampiran 9). Gambar 17. Sebaran karakter morfometrik ikan butini (G.matanensis) berdasarkan hasil analisis diskriminan perkedalaman di Danau Towuti. Berdasarkan nilai kemiripan tubuh dalam populasi rendah dan antar populasi tinggi semua populasi mempunyai kekerabatan yang dekat. Sehingga diasumsikan bahwa ikan butini antar kedalaman merupakan satu kelompok populasi. Secara keseluruhan variasi nilai koefisien keragaman terjadi pada

73 55 seluruh kedalaman dan karakter morfometrik ikan betina lebih beragam bila dibandingkan dengan jantan. Hal ini diduga karena ikan betina ada yang dalam keadaan matang gonad sehingga memiliki ukuran tubuh yang beragam dan bervariasi satu sama lainnya (Gambar 17). Kedalaman 100 meter nampaknya lebih beragam dibandingkan dengan kedalaman 25, 50, 75, 150 dan 200 meter. Sedang pada kedalaman 200 meter keragaman karakter morfometrik yang diukur mendekati seragam. Diduga pengaruh kedalaman terlalu dalam dan relatif stabil menyebabkan variasi semakin kecil. Hal ini menunjukkan bahwa kedalaman perairan berpengaruh secara nyata terhadap perubahan koefisien berdasarkan nilai karakter morfometrik. Nilai koefisien keragaman rata-rata terbesar pada seluruh kedalaman ditunjukkan oleh karakter tinggi sirip dorsal 1 (TSD 1) yaitu berkisar 27,61 45,81 %. Hal ini nampak pada ikan betina dan jantan pada kedalaman 100 meter, tinggi sirip dorsal II (TSD II) juga nampak tinggi. Tingginya koefisien keragaman pada karakter-karakter ini diduga dipengaruhi oleh faktor lingkungan berupa arus dan tekanan air yang menyebabkan ukuran tinggi sirip dorsal sebagai alat gerak ikan juga menyesuaikan dengan kondisi tersebut. Sirip digunakan sebagai alat berenang dan menyeimbangkan tubuh disaat kondisi arus meningkat. Saat terjadi perubahan kondisi arus maka fungsi sirip maksimal sehingga ikan akan berusaha mengembangkan kemampuan organ ini dalam upaya mempertahankan keberadaan di tiap-tiap kedalaman. Oleh sebab itu variasi koefisien keragaman pada sirip lebih besar dibanding karakter yang lain. Berdasarkan jarak genetik ikan butini jantan terbesar terdapat antara kedalaman 25 m dan 200 m yaitu 0,98. Hal ini menunjukkan bahwa jarak antara kedalaman 25 m dengan 200 m adalah paling jauh sehingga dimungkinkan memiliki hubungan kekerabatan yang paling jauh (Tabel 6). Sedangkan jarak genetik antar populasi sangat dekat yaitu kedalaman 25 dengan 50 sebesar 0,01 atau 99,9 % tingkat kemiripan. Perbedaan lingkungan kedalaman sangat mempengaruhi adanya jarak genetik antara individu di dalamnya. Faktor yang di duga mempengaruhi jarak genetik berupa ketersediaan cahaya, ketersediaan

74 56 makanan, tekanan massa air, kekeruhan dan arus air bahkan oksigen terlarut. Selain itu suhu dan ph juga mempengaruhi terhadap metabolisme tubuh ikan. Tabel 6. Hubungan kekerabatan ikan butini (G.matanensis) jantan antar kedalaman di Danau Towuti. Kedalaman , ,01 0, ,21 0,02 0, ,60 0,35 0,08 0, ,88 0,64 0,38 0,06 0, ,98 0,77 0,47 0,08 0,04 0,00 Untuk ikan butini betina nilai jarak genetik terbesar terdapat pada kedalaman 25 m dan kedalaman 200 m sebesar 0,98 (Tabel 7). Kejadian ini sama dengan jarak genetik pada ikan butini jantan. Hal ini menandakan bahwa kedua populasi tersebut memiliki hubungan kekerabatan yang lebih jauh dibanding populasi lainnya. Tingkat kemiripan genetik dari suatu populasi dapat digambarkan oleh karakter morfometrik dari individu-individu yang ada dalam populasi. Semakin besar jarak genetik individu dalam suatu populasi, maka populasi tersebut memiliki anggota yang semakin beragam (Pandin, 2000). Tabel 7. Hubungan kekerabatan ikan butini (G.matanensis) betina antar kedalaman di Danau Towuti. Kedalaman , ,17 0, ,45 0,19 0, ,60 0,38 0,12 0, ,55 0,29 0,00 0,11 0, ,98 0,78 0,52 0,32 0,47 0,00 Berdasarkan jarak genetik antar populasi sangat dekat yaitu kedalaman 25 dan 50 meter dengan 75 meter serta 150 dan 200 meter dengan 100 meter. Hal ini menunjukkan bahwa ikan-ikan di kedalaman tersebut memiliki karakter morfometrik yang sama. Menurut Nei (1987) jarak genetik merupakan ukuran perbedaan genetik antar populasi yang dihitung berdasarkan frekwensi alel. Penyimpangan frekwensi alel akan mengakibatkan pergeseran keseimbangan

75 57 genetik akibat dari berkurangnya kepadatan dalam populasi yang saling memisahkan diri sehingga bergabung membentuk daerah geografis yang baru. Gambar 18. Dendogram jarak morfometrik ikan butini (G.matanensis) berdasarkan hasil analisis hierarki kluster di Danau Towuti. Dendrogram (Gambar 18) menunjukkan hasil karakter morfometrik antar kedalaman yang membentuk kekerabatan yaitu kedalaman 25 dan 50 meter serta 75 meter memiliki karakter yang hampir sama. Hal yang sama berlaku juga pada kedalaman meter membentuk karakter yang semua mendekati seragam dengan kedalaman 100 meter. Hal ini menandakan bahwa populasi di kedalaman 25 dan 50 hingga 75 meter mempunyai karakter-karakter morfometrik yang mirip atau sama demikian juga antar populasi pada kedalaman 150 dan 200 serta 100 meter. Berdasarkan hasil analisis statistik antar kedalaman dengan nilai signifikan 0,05 menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antar karakter morfometrik menurut kedalaman. Hasil pengamatan terhadap nilai kisaran karakter meristik ikan butini di berbagai kedalaman periran Danau Towuti memperlihatkan jumlah yang hampir sama pada tiap karakter. Karakter meristik yang dihitung pada 10 karakter pada ikan butini menunjukkan variasi terhadap perubahan ukuran tubuh dan 5 karakter lainnya tidak berbeda antara kelompok ukuran yaitu jumlah sirip dorsal 1, jumlah sirip pektoral. jumlah sisik diatas linea lateralis. jumlah sisik depan sirip dorsal. dan jumlah sisik yang memutari batang ekor. Secara keseluruhan kisaran meristik ikan butini jantan dan betina dapat dilihat pada Tabel 5.

76 58 Tabel 8. Kisaran karakter meristik ikan butini berdasarkan jenis kelamin No. Karakter meristik Jantan Jenis kelamin Betina sirip punggung pertama(d 1 ) sirip punggung kedua (D 2 ) sirip perut (A) sirip dada (P) sisik gurat sisi (LL) sisik diatas gurat sisi (LL) sisik dibawah gurat sisi (LL) sisik depan sirip punggung sisik memutari batang ekor tulang tapis insang pada lengkung I D.I. V-VI D2. I A I D.I. V-VI D2. I.8-10 A I Keterangan : = Jumlah D = Dorsal (punggung) A = Anal (perut) P = Pectoral (dada), LL= Linea lateralis (gurat sisi) Tabel 8 menunjukkan dari 10 kelompok karakter meristik, terdapat kisaran jumlah yang berbeda dari sebagian karakter ikan butini namun secara statistik tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antar tiap karakter maupun antar karakter dalam populasi. Bertambahnya ukuran ikan menyebabkan terjadinya perubahan karakter meristik seperti bertambahnya jumlah sisik pada beberapa bagian tubuh ikan. Menurut Affandi et al. (1992), perbedaan ukuran perbandingan ini dapat di sebabkan oleh umur, jenis kelamin dan lingkungan hidupnya seperti makanan, suhu, ph dan salinitas. Perbedaan kondisi lingkungan perairan dapat berdampak terhadap pola adaptasi. Diantaranya adaptasi dalam bentuk tubuh dan ukuran atau jumlah beberapa bagian tubuh. Perbedaan karakter meristik juga dapat menunjukkan kemantapan sifat suatu spesies tertentu, yang mungkin dapat berubah karena seleksi habitat atau tekanan-tekanan pengelolaan terhadap sumberdaya perairan itu.

77 59 Populasi ikan butini berdasarkan Keragaman Genetik. Dari dua jenis primer yaitu jenis A dan jenis C yang digunakan hanya primer jenis A (OPA) yang mempunyai hasil amplifikasi. Tiga primer jenis A tersebut adalah OPA 1, OPA 3 dan OPA 15. Primer OPA 3 mempunyai tipe amplifikasi yang paling variatif (polymorph) dengan jumlah loci 26 buah sedangkan dua primer lainnya adalah monomorph. Salah satu contoh hasil RAPD tertera pada Gambar 19. Gambar 19. Pola pita hasil amplifikasi dengan menggunakan primer OPA 3 M: marker ladder 100 bp. Tanda panah menunjukkan panjang 500 bp. Secara umum keragaman genetik ikan butini adalah relatif rendah berdasarkan nilai heterozygositas yang berkisar dari 0,0491 hingga 0,1861 dengan jumlah allele berkisar allele pada 26 loci yang diuji (Tabel 9). Keragaman genetik tersebut bervariasi sesuai dengan asal ikan. Ikan-ikan yang berasal dari zona B mempunyai nilai heterozygositas rata-rata yang tertinggi yaitu 0,1442 (antara 0,0879-0,1861) dengan jumlah rata-rata allele 36 (antara allele) diikuti ikan-ikan dari zona C dan A berturut-turut dengan nilai heterozygositas 0,0885 ( ) dengan 32 allele (30-34 allele) dan 0,0875 ( 0,0576-0,1255) dengan 32 allele (31-35 allele). Nilai keragaman ikan butini lebih rendah dibandingkan dengan jenis ikan laut lainnya seperti. kingfish. yellow tail dan red sea bream (Nugroho. 2001). Rendahnya nilai keragaman genetik ini kemungkinan ada kaitannya dengan sifat migrasi pada ikan tersebut. Ikan-ikan air tawar. khususnya ikan butini yang juga tergolong ikan demersal. Aktifitasnya yang rendah diduga memiliki daerah migrasi yang tidak terlalu luas. Selain itu keberadaan ikan butini di danau Towuti,

78 60 Sulawesi Selatan yang agak terisolir dari perairan umum lainnya memungkinkan terjadinya inbreeding dibandingkan dengan perkawinan dengan kerabat jauh. Tabel 9. Keragaman genetik ikan butini yang dikoleksi pada berbagai kedalaman di tiga lokasi Danau Towuti Sulawesi Selatan. KEDALAMAN (M) RATA- RATA POPULASI ZONA I ZONA II ZONA III RATA-RATA N-S = 3 N-A = 35 He = 0,1255 N-S = 3 N-A = 31 He = 0,0576 N-S = 3 N-A = 31 He = 0,0794 N-S = 3 N-A = 39 He = 0,1861 N-S = 3 N-A = 33 He = 0,0879 N-S = 3 N-A = 36 He = 0, N-S = 3 N-S = 3 N-A = 32 He = N-A = 38 He = 0,1818 N-S = 3* N-A = 36* He = 0,1442* N-S = 3 N-A = 33 He = 0,1024 N-S = 3 N-A = 30 He = 0,0491 N-S = 3 N-A = 34 He = 0,1139 N-S = 3 N-A = 35 He = 0,1378 N-S = 3 N-A = 31 He = N-S = 3 N-A = 34 He = 0, N-S = 3 N-S = 3 N-A = 32 He = 0,0885 N-A = 38 He = Keterangan : N-S = Jumlah sampel; N-A = Jumlah allele per 26 loci; He : heterozygositas; *) rata-rata dihitung per 3 kedalaman (25m,75m dan 150 m). Berdasarkan nilai heterozigositas menunjukkan bahwa pengaruh zona/wilayah sangat kecil bila dibandingkan dengan pengaruh kedalaman yaitu kedalaman 25 sebesar 0,1378 dan 75 sebesar 0,0649 serta 150 sebesar 0,1173 juga kedalaman 200 sebesar 0,1818 dimana lebih besar terhadap nilai heterozigositas zona yaitu masing-masing sebesar 0, ,1442 dan 0,0885. Hal ini menunjukan pengaruh genetik lebih dipengaruhi oleh kedalaman dibanding dengan zona.

79 61 Selanjutnya jika ditinjau dari tingkat kedalaman, ikan-ikan yang ditangkap pada kedalaman 25 m mempunyai keragaman genetik yang tertinggi dengan nilai heterozygositas rata-rata adalah (antara 0,1024-0,1861) dengan jumlah allele rata-rata 36 (antara allele) dan diikuti oleh ikan-ikan yang tertangkap pada kedalaman 150 m dan 75 m dengan masing-masing nilai heterozygositas 0,1173 (0,0794-0,1587) dengan jumlah allele rata-rata 34 (31-36 allele) dan 0,0649 (0,0491-0,0879) dengan 31 allele (30-33 allele). Fenomena lebih tingginya keragaman ikan butini pada kedalaman 25 m dan 150 m dibandingkan kedalaman tengah 75 m ini dimungkinkan karena selain ikan butini sebagai ikan demersal sehingga pada kedalaman yang relatif di dasar mempunyai keragaman yang lebih tinggi. Kemungkinan ikan butini sedang mencari makan di perairan permukaan yang banyak dipengaruhi oleh adanya limbah dari pemukiman. Secara statistik dengan menggunakan AMOVA (Analysis Molecular Variance) menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan genetik secara nyata antara populasi ikan butini yang diuji (P>0,05) berdasarkan polymorfisme RAPD. Uji berpasangan Fst menunjukkan bahwa semua perbandingan tidak berbeda nyata (Tabel 10). Tabel 10. Uji perbandingan berpasangan(pairwise Komparasi Test) Fst. 25A 75A 150A 25B 75B 150B 200B 25C 75C 150C 1 ***** 2 0,8980 ***** 3 0,9977 1,0000 ***** 4 0,9995 1,0000 1,0000 ***** 5 0,8375 1,0000 1,0000 1,0000 ***** 6 0,9332 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 ***** 7 0,9869 1,0000 0,9998 1,0000 1,0000 1,0000 ***** 8 0,9743 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 ***** 9 0,9433 1,0000 0,9999 1,0000 1,0000 1,0000 0,9998 1,0000 ***** 10 0,8712 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 0,9998 0,9969 ***** Keterangan : 1= 25 m zona A; 2= 75 m zona A; 3=150 m zona A; 4=25 m zona B; 5= 75 m zona B; 6=150 m zona B; 7= 200 m zona B. 8= 25 m zona C; 9= 75 m zona C; 10=150 m zona C. Keadaan ini mengindikasikan bahwa semua ikan butini yang berada di Danau Towuti berasal dari populasi yang sama. Tidak terdapat perbedaan

80 62 populasi berdasarkan zonasi dan kedalaman. Salah satunya sebagai akibat adanya inbreeding dalam populasi tersebut. Jarak genetik (D) yang dihitung menurut Takezaki dan Nei (1996) berdasarkan fragmen RAPD antara koleksi ikan butini tertera pada Tabel 11. Jarak genetik rata-rata antara populasi ikan butini adalah sekitar 0,272. Dendrogram yang dibentuk berdasarkan jarak genetik tersebut menunjukkan bahwa koleksi butini di danau Towuti dapat dikelompokkan menjadi dua grup besar yaitu pertama terdiri dari ikan-ikan butini yang berasal dari kedalaman 25 dan 75 m, sedangkan grup kedua terdiri dari ikan-ikan dari kedalaman > 150 m (Gambar 20). Tabel 11. Jarak genetik (D) Ikan butini yang dikoleksi di berbagai kedalaman di tiga lokasi Danau Towuti Sulawesi Selatan. Populasi 25A 75 A 150 A 25 B 75 B 150 B 200 B 25 C 75 C 150 C 25 A ***** 75 A 0,6216 ***** 150 A 0,4929 0,3814 ***** 25 B 0,4909 0,3745 0,3498 ***** 75 B 0,6272 0,2657 0,4435 0,2875 ***** 150 B 0,5649 0,2669 0,3581 0,3776 0,3742 ***** 200 B 0,5386 0,4761 0,4427 0,3469 0,4100 0,3941 ***** 25 C 0,5864 0,2114 0,3994 0,3511 0,2441 0,3644 0,4450 ***** 75 C 0,5786 0,3665 0,4532 0,3548 0,3780 0,3782 0,4838 0,4157 ***** 150 C 0,6071 0,3559 0,4043 0,4418 0,4483 0,2963 0,4493 0,4494 0,5010 ***** Nilai jarak genetik (D) pada ikan butini ini relatif lebih kecil dibandingkan jarak genetik antara ikan dari populasi yang terdiri dari sub-spesies yang sama. seperti pada ikan nila (Nugroho et al. 2002), king fish (Nugroho et al. 2001) dan greater amberjack (Nugroho et al. 2000). Keadaan ini mengindikasikan bahwa adanya kemungkinan ikan butini dari Danau Towuti masih berasal dari satu populasi. Hasil nilai jarak genetik ini ada kemiripan dengan jarak morfometrik yang diperoleh. Terpisahnya ikan butini dari zona A kedalaman 25 m dengan populasi ikan lainnya dimungkinkan adanya pengaruh dari lingkungan. Dimana zona A terletak pada daerah pemukiman yang memberikan tekanan pada populasi ikan di wilayah ini. Hal ini diduga ikan-ikan telah beradaptasi dengan lingkungan

81 63 yang ada di area ini. Sehingga memberi perubahan komposisi gen pada ikan-ikan di kedalaman tersebut. Gambar 20. Dendogram jarak genetik ikan butini (G.matanensis) jantan dan betina berdasarkan hasil analisis hierarki kluster perkedalaman di Danau Towuti.

82 64 Struktur populasi ikan butini Ikan butini yang tertangkap selama penelitian berjumlah 2195 ekor terdiri dari 1401 ekor ikan jantan dan 794 ekor ikan betina dengan sebaran ukuran panjang total dari 14,5 hingga 42,6 cm. Sebaran ukuran panjang ini merupakan ukuran ikan-ikan yang biasa tertangkap oleh nelayan di Danau Towuti. Hasil perhitungan dengan menggunakan deskripsi statistik mengenai selang kelas maka diperoleh distribusi selang kelas panjang selama penelitian yaitu 12 selang kelas dengan lebar kelas 2,6 dari sebaran ukuran panjang total ikan ini diperoleh nilai tengah antara 15,8 hingga 44,4 cm. Sebaran frekwensi panjang total ikan butini berdasarkan kedalaman dapat dilihat pada Gambar 21. Struktur ukuran populasi ikan di tiap kedalaman menunjukkan bahwa ikanikan berukuran kecil berdasarkan nilai tengah panjang total (15,8 cm) dapat ditemukan pada kedalaman 25 hingga 100 meter. Sedang ukuran yang besar (terpanjang) berdasarkan nilai tengah yaitu 44,40 cm dapat ditemukan pada kedalaman 50 m, 100 m dan 150 meter. Dari sebaran ukuran ini nampak penyebaran ikan butini lebih dominan didapatkan pada kedalaman 100 meter dengan kelimpahan sebanyak 498 ekor. Jumlah Ikan (ekor) Gambar 21. Sebaran frekwensi panjang total ikan butini perkedalaman di Danau Towuti selama Mei 2006 hingga April Hal ini kemungkinan berkaitan dengan lingkungan yang sangat mendukung terutama menyangkut suhu dan oksigen diperairan. Sedang sebaran frekwensi

83 65 panjang total berdasarkan waktu (bulan) pengamatan antara jantan dan betina di perairan Danau Towuti dapat dilihat pada Gambar 22. Mei November Juni Desember Juli Januari Agustus Februari September Maret Oktober April Gambar 22. Struktur populasi ikan butini gabungan jantan dan betina selama Mei 2006 hingga April 2007 di Danau Towuti Sulawesi Selatan.

84 66 Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Januari Februari Maret April Gambar 23. Struktur populasi ikan butini jantan selama Mei 2006 hingga April 2007 di Danau Towuti Sulawesi Selatan.

85 67 Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Januari Februari Maret April Gambar 24. Struktur populasi ikan butini betina selama Mei 2006 hingga April 2007 di Danau Towuti Sulawesi Selatan. Dari sebaran ukuran panjang nampak adanya pergeseran modus antar waktu/bulan yang memberikan indikasi adanya pertumbuhan ikan butini. Hal ini berkaitan dengan ketersediaan makanan dan lingkungan yang sesuai untuk

86 68 pertumbuhannya di perairan. Serta adanya kesempatan tumbuh dari ikan-ikan tersebut karena kurangnya nelayan yang beroperasi juga kurangnya kompetisi inter dan antar spesies, serta tidak adanya pencemaran domestik. Ukuran terkecil untuk ikan jantan dapat dijumpai pada bulan Juli, Desember dan Februari sedangkan betina pada bulan Oktober. Keberadaan ikan yang berukuran kecil dalam suatu kelompok menunjukkan adanya penambahan individu baru menurut waktu/bulan tersebut sedang ukuran terpanjang untuk jantan pada bulan Juli, Agustus, Maret dan April serta betina dapat ditemukan pada bulan Januari dan Maret. Ukuran terpanjang disuatu perairan mengindikasikan bahwa ikan ini mampu bertahan hidup dalam kondisi lingkungan perairan yang stabil. Penyebaran ukuran diduga berkaitan dengan penambahan baru di perairan dan laju kematian akibat penangkapan yang rendah. Tabel 12. Kelompok umur dan ukuran panjang ikan butini jantan dan betina di perairan Danau Towuti dari Mei 2006 hingga April Jenis Kelamin Total Jantan Betina Kelompok umur Ukuran panjang ratarata (cm) Standar deviasi Jumlah populasi Saturation index (SI) I 28,08 3, n.a II 34,12 0, ,58 III 40,50 4,09 6 3,50 I 28,80 3,52 84 n.a II 32,70 1, ,63 III 40,50 2,98 5 3,45 I 28,80 3,10 72 n.a II 29,34 3, ,41 III 37,90 2, ,96 Secara keseluruhan data dianalisis menggunakan metode Bhattacharya untuk menentukan kelompok umur ikan butini. Hasil analisa berdasarkan waktu/bulan pengamatan menunjukkan secara total terdapat tiga (3) pengelompokkan ukuran ikan butini di Danau Towuti. Hal ini juga terlihat pada ikan jantan maupun betina (Tabel 12). Populasi dengan ukuran yang sama di dalamnya disebut dengan kelompok umur atau kelompok ukuran (kohort), sehingga dengan pemisahan ini dapat dilihat beberapa generasi yang terdapat dalam suatu habitat.

87 69 Secara keseluruhan ukuran panjang rata-rata 28,08 cm merupakan kelompok ukuran pertama (I) yang ada di Danau Towuti dengan jumlah populasi 130 ekor, sedangkan pada ukuran rata-rata 34,12 cm adalah kelompok ukuran II berjumlah 36 ekor dan ukuran panjang rata-rata 40,50 cm adalah kelompok ukuran III berjumlah 6 ekor ikan (Tabel 11). Hasil ukuran panjang rata-rata 28,08 cm dengan jumlah populasi 130 ekor merupakan kelompok ukuran yang paling banyak tertangkap. a b c Gambar 25. Kelompok ukuran (kohort) dan jumlah ikan butini total (a) jantan (b) dan betina (c) di Danau Towuti dari Mei 2006 hingga April 2007.

88 70 Berdasarkan antar zona diperoleh pada zona A, B dan C terdapat tiga (3) kelompok ukuran atau kelompok umur baik secara gabungan maupun menurut jenis kelamin jantan dan betina, masing-masing memiliki tiga (3) kelompok ukuran atau kelompok umur (Tabel 13). Dari hasil kelompok umur pada ketiga zona menunjukkan bahwa penangkapan terbanyak terhadap populasi ikan butini di zona A secara gabungan jantan dan betina selama penelitian berada pada kelompok umur II dengan ukuran panjang rata-rata 29,74 dengan jumlah populasi 45 ekor. Sedang zona B untuk jantan dan betina pada kelompok umur I dengan ukuran panjang masing-masing 28,80 cm dan 30,55 cm dengan jumlah populasi masing-masing 46 ekor dan 30 ekor. Zona C bervariasi untuk jantan pada kelompok umur I yaitu 29,17 cm dengan jumlah populasi 62 ekor dan betina pada kelompok umur II yaitu pada ukuran panjang rata-rata 31,58 cm jumlah populasi sebanyak 21 ekor (Tabel 12). Tabel 13. Kelompok umur dan ukuran panjang ikan butini jantan dan betina berdasarkan zona di perairan Danau Towuti dari Mei 2006 hingga April Zona A B C Jenis Kelamin Gabungan ) Jantan ( ) Betina ( ) Jantan ( ) Betina ( ) Kelompok umur Ukuran panjang rata-rata (cm) Standar deviasi Jumlah populasi Saturation index I 21,47 1,49 12,00 n.a II 29,74 3,38 45,00 3,40 III 36,49 1,80 12,00 2,61 I 28,80 3,35 46,00 n.a II 32,70 1,37 16,00 1,65 III 40,50 6,25 2,00 2,05 I 30,55 2,84 30,00 n.a II 32,70 2,39 10,00 0,82 III 37,90 1,02 4,00 5,10 I 29,17 5,60 62,00 n.a II 38,42 1,44 14,00 2,63 III 43,10 2,23 5,00 3,51 I 23,60 2,21 4,00 n.a II 31,58 0,99 21,00 4,99 III 37,90 6,48 4,00 3,47

89 71 Dari ketiga (3) kelompok ukuran di atas menggambarkan kelompok generasi ikan butini yang hidup di Danau Towuti. Kelompok ukuran ini menunjukkan bahwa ukuran-ukuran panjang yang selalu mendominasi tiap zona. Hal yang sama terlihat pada tiap kedalaman secara gabungan antara jantan dan betina terdapat 3 kelompok ukuran panjang yang selalu mendominasi kedalaman tersebut. Kelompok ukuran ini dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Kelompok umur dan ukuran panjang ikan butini di tiap kedalaman perairan Danau Towuti dari Mei 2006 hingga April Kedalaman (m) Kelompok Umur Panjang ratarata (cm) Standar deviasi Jumlah populasi Saturation index I 29,09 4,42 12,00 n.a II 29,51 1,53 48,00 7,19 III 37,90 7,00 4,00 1,97 I 28,80 2,21 4,00 n.a II 40,50 1,77 4,00 4,04 III 43,10 0,84 4,00 5,00 I 27,66 3,07 30,00 n.a II 32,79 1,96 16,00 3,24 III 34,59 1,63 4,00 4,45 I 28,80 1,56 18,00 n.a II 36,35 1,51 11,00 3,89 III 37,90 1,45 21,00 1,64 I 29,46 3,50 37,00 n.a II 32,70 2,27 16,00 1,26 III 37,70 1,50 16,00 3,08 Dari hasil tersebut di atas dapat diduga bahwa kelompok ukuran ikan yang optimal tertangkap berada pada kelompok umur 1 dan II. Sedang yang paling sedikit pada kelompok ukuran III. Ikan butini selama penelitian di Danau Towuti kelompok umur I merupakan ukuran ikan yang paling banyak tertangkap. Diduga bahwa pada kelompok ukuran ini merupakan kelompok ukuran yang selalu tertangkap oleh nelayan berada pada ukuran dalam masa pertumbuhan (muda) serta masa reproduktif. Sehingga dikhawatirkan dengan tingginya eksploitasi pada ukuran dan jumlah populasi tersebut, ikan butini akan menurun pada beberapa periode waktu selanjutnya.

90 72 Apabila penangkapan/pemanfaatan sumberdaya ikan butini ini dilakukan secara berlebihan, maka akan berakibat pada umur dan struktur populasi ikan yang tersisa mempunyai kemampuan memulihkan diri sangat rendah atau lambat, dan dapat menyebabkan sumberdaya ikan butini tersebut mengarah pada kondisi kepunahan. Hubungan panjang bobot tubuh ikan butini Hubungan panjang bobot tubuh ikan butini dipisahkan berdasarkan jenis kelamin yang diduga dari total ikan contoh yang diperoleh selama penelitian berlangsung Mei 2006 hingga April 2007 dan dianalisis terpisah. Model hubungan yang diperoleh sebagai berikut : Jantan : W = -2,05 L 2,98 Betina : W = -1,07 L 2,30 Pendekatan statistik yang dilakukan untuk menguji perbedaan diantara kedua koefisien regresi (r) tersebut menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P < 0,05). Melalui uji-t nilai b yang diperoleh berbeda nyata dengan 3 (P < 0,05), sehingga dapat dikatakan bahwa pola pertumbuhan ikan butini di perairan Danau Towuti bersifat Allometrik yaitu pertambahan panjang lebih cepat dari pertambahan bobot tubuh. Adapun bentuk grafik dari model tersebut disajikan pada Gambar 26. B obot tubuh (g) Jantan N = 1401 R = Panjang total (cm) Bobot tubuh (g) Betina N = 794 R = Panjang total (cm) Gambar 26. Hubungan panjang bobot tubuh ikan butini jantan dan betina di perairan Danau Towuti selama Mei 2006 hingga April 2007.

91 73 Berdasarkan pada tiap kedalaman diperoleh hubungan panjang bobot dan pola pertumbuhan ikan butini seperti terlihat pada Tabel 15. Tabel 15. Hubungan panjang bobot tubuh dan pola pertumbuhan ikan butini (G.matanensis) berdasarkan jenis kelamin pada setiap kedalaman. Kedalaman (m) Jenis kelamin Jumlah Sampel (n) Model Hubungan Koefisien korelasi (r) Pola Pertumbuhan 25 Jantan Betina W = -2,21 L 3,09 W = -2,14 L 3,02 0,95 0,86 Isometrik Isometrik 50 Jantan Betina W = -2,01 L 2,94 W = -2,17 L 3,05 0,91 0,93 Allometrik Isometrik 75 Jantan Betina W = -1,97 L 2,94 W = -1,82 L 2,83 0,94 0,89 Allometrik Allometrik 100 Jantan Betina W = -2,16 L 3,06 W = -1,95 L 2,91 0,93 0,86 Isometrik Allometrik 150 Jantan Betina W = -1,98 L 2,93 W = -1,99 L 2,94 0,93 0,87 Allometrik Allometrik 200 Jantan Betina W = -1,66 L 2,70 W = -0,80 L 2,50 0,90 0,79 Allometrik Allometrik Pertumbuhan ikan butini Jumlah ikan yang dianalisa untuk mencari nilai pertumbuhan adalah keseluruhan ikan yang diperoleh berjumlah 2195 ekor, dengan kisaran panjang total antara 14,5 cm hingga 46,2 cm. Berdasarkan hasil statistik keseluruhan data terbagi dalam 12 selang kelas panjang dan lebar kelas 2,6. Melalui program FISAT sub program ELEFAN I dari data frekwensi panjang total (cm) bulanan secara keseluruhan untuk ikan butini dapat diestimasi

92 74 panjang infiniti (L ) sebesar 46,62 cm dan koefisien pertumbuhan (K) diperoleh sebesar 1,2 per tahun. Sedang berdasarkan jenis kelamin diperoleh panjang infiniti (L ) ikan jantan sebesar 46,62 cm dan koefisien pertumbuhan sebesar 0,950 per tahun serta panjang infiniti (L ) untuk ikan betina yaitu 46,62 cm dan koefisien pertumbuhan (K) sebesar 0,82 per tahun. Berdasarkan hasil perhitungan menggunakan rumus pertumbuhan Von Bertalanffy melalui sub program ELEFAN I diperoleh pertumbuhan ikan butini terjadi bulan November dan Desember baik secara total maupun secara terpisah jantan dan betina (Gambar 27). a b c Gambar 27. Pertumbuhan dan distribusi frekwensi panjang ikan butini jantan (a), betina (b) dan total (c) berdasarkan pengamatan dari bulan Mei 2006 hingga April 2007.

93 75 Sedangkan umur ikan berdasarkan rumus empiris dari Pauly (1980), diperoleh t 0 untuk ikan butini keseluruhan = 0,17 sedang untuk ikan butini jantan t 0 = 0,14 dan betina yaitu 0,11. Berdasarkan nilai parameter pertumbuhan di atas, maka diaplikasikan ke dalam persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy menurut panjang ikan butini secara gabungan jantan dan betina yaitu L (t) = 46,62 cm (1 - e - 1,200 (t 0,17) ) sedangkan ikan jantan adalah L t = 46,62 cm (1- e -0,950(t-0,14) ) untuk betina L t = 46,62 cm (1- e -0,820(t-0,11) ), seperti terlihat pada Gambar 28b. 50-1,200 (t 0,17) L (t) = 46,62 cm 1 - e Panjang total Ikan (cm) a Waktu (tahun) Ukuran panjang ikan (cm) Jantan Betina b -10 Waktu (tahun) Gambar 28. Kurva pertumbuhan panjang total ikan butini (a), jantan dan betina (b) selama Mei 2006 hingga April 2007 di Danau Towuti. Hasil perhitungan teoritis ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ikan butini dapat mencapai ukuran panjang infiniti (L ) 46,62 cm baik secara gabungan maupun secara terpisah jantan dan betina. Artinya bahwa ikan butini jantan dan

94 76 betina mencapai batas maksimal pertumbuhan panjang yang relatif sama. Ukuran panjang ini hampir sama dengan data hasil tangkapan yang ditemukan selama penelitian yaitu 46,2 cm. Sedangkan koefisien pertumbuhan (K) menurut Sparre dan Venema (1999) sebagai parameter yang menyatakan laju pertumbuhan dalam mencapai panjang infiniti (L ), nilai koefisien ini relatif berbeda antara jantan dan betina. Hal ini menunjukkan bahwa ikan jantan lebih cepat pertumbuhannya di banding dengan ikan betina. Semakin besar nilai koefisien pertumbuhan ikan maka semakin cepat mencapai panjang maksimal, seperti terlihat pada Gambar 28. Menurut Beverton dan Holt (1956) serta Pauly (1979) bahwa ikan yang memiliki nilai koefisien pertumbuhan (K) yang besar umumnya memiliki umur atau masa hidup yang relatif pendek. Nilai K untuk ikan butini nampaknya relatif kecil dibanding dengan ikan lain secara umum sehingga dapat dikatakan bahwa ikan butini relatif lambat sekali mencapai nilai infiniti (L ) dan memiliki umur yang cukup panjang. Adanya kondisi eksploitasi yang tinggi, mata kail yang tidak selektif akan mempengaruhi nilai K. Dari panjang maksimum (L maks) = 46,62 cm dimasukan ke dalam persamaan t = log e (l-l t /L )/K + t o, maka didapat umur ikan terpanjang adalah berumur lima (5) tahun untuk ikan butini keseluruhan dan untuk ikan butini jantan berumur lima (5) tahun dan enam (6) tahun untuk ikan betina (Gambar 28). Sehingga dapat dikatakan bahwa ikan butini tergolong ikan demersal yang berumur panjang, yang mana lambat mencapai dewasa, demikian juga lambat untuk mencapai umur/panjang matang gonad. Menurut masing-masing zona/wilayah didapatkan pertumbuhan panjang infinity (L ) yang sama nilainya yaitu 46,62 cm, sedang nilai koefisien pertumbuhan baik jantan maupun betina berbeda. Kondisi awal pertumbuhan juga menunjukkan pada setiap zona jantan dan betina berbeda. Terlihat ikan-ikan yang ada di zona B koefisien pertumbuhan agak lebih besar dibanding dengan zona lainnya (Tabel 16). Sedangkan pertumbuhan ikan berdasarkan kedalaman menunjukkan kesamaan panjang infiniti (L ) yaitu sebesar 46,62, dan koefisien pertumbuhan

95 77 (K) yang nampak berbeda pada masing-masing kedalaman maupun antara jantan dan betina (Tabel 17). Tabel 16. Parameter pertumbuhan ikan butini menurut jenis kelamin per zona selama pengamatan di Danau Towuti selama Mei 2006 hingga April Koefisien Kondisi awal Panjang infiniti (L ) Zona pertumbuhan (K) (t o ) Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina A 46,62 0,630 0,08 B 46,62 46,62 1,200 0,830 0,17 0,12 C 46,62 46,62 0,640 0,570 0,09 0,08 Pada kedalaman 100 meter terlihat koefisien pertumbuhan yang agak tinggi dibanding dengan kedalaman yang lain yaitu sebesar 1,2 per tahun. Pertumbuhan dan sebaran frekwensi panjang ikan masing-masing kedalaman dapat dilihat pada Gambar 25 (lampiran). Tingginya nilai koefisien pertumbuhan menggambarkan bahwa di kedalaman ini pertumbuhan ikan agak lebih cepat dibanding dengan kedalaman lainnya. Kemungkinan kedalaman ini merupakan habitat dari ikan butini seperti terlihat pada sebaran ikan butini terbanyak berada di kedalaman 100 meter. Tabel 17. Parameter pertumbuhan ikan butini berdasarkan kedalaman selama pengamatan di Danau Towuti selama Mei 2006 hingga April Kedalaman (m) Panjang infiniti (L ) Koefisien pertumbuhan (K) 25 46,62 0,870 0, ,62 0,520 0, ,62 1,000 0, ,62 1,200 0, ,62 0,580 0,08 Kondisi awal (t o ) Mortalitas Kelimpahan ikan dalam suatu kelompok umur pada satu kurun waktu tertentu dapat disebabkan oleh beberapa faktor baik alami maupun penangkapan sehingga dapat digambarkan melalui koefisien mortalitas.

96 78 Dari data yang digunakan sebagai penduga mortalitas total (Z) ikan butini (Glossogobius matanensis) dengan menggunakan hasil tangkapan yang dikonversi ke panjang dalam program Fisat melalui metoda "Length Converted Catch Curve" untuk ikan butini secara keseluruhan didapatkan koefisien mortalitas total (Z) sebesar 3,73 (selang kepercayaan dari Z antara 2,39 sampai 5,07) dan berdasarkan jenis kelamin untuk ikan jantan diperoleh Z = 2,86 (selang kepercayaan 2,12 3,60) dan betina yaitu Z= 5,57 (selang kepercayaan dari z antara 4,27 6,88). dengan persamaan secara keseluruhan ikan butini yang diperoleh adalah Y = 10,77 3,73 X dan koefisien korelasi (r 2 =0,96), sedang berdasarkan jenis kelamin untuk ikan jantan total diperoleh Y= 10,17 2,86 X dan koefisien (r 2 =0,98). Untuk ikan betina total adalah Y= 14,29 5,58 X dengan nilai koefisien (r 2 =0,98), grafik yang diturunkan dari persamaan ini dapat dilihat pada Gambar 29. a b c Gambar 29. Kurva hasil tangkapan konversi panjang ikan butini (G. matanensis) secara total (a) jantan (b) dan betina (c) selama Mei 2006 hingga April 2007 di Danau Towuti.

97 79 Dari hasil regresi linear di atas diperoleh besarnya nilai koefisien mortalitas total (Z), hal ini tergantung dari besarnya perubahan nilai koefisien mortalitas alami (M) dan nilai koefisien mortalitas akibat penangkapan (F). a b a b a b a b a b a b Gambar 30. Kurva hasil tangkapan konversi panjang ikan butini (G. matanensis) berdasarkan kedalaman berurutan 25 m,50 m,75 m,100 m, dan 150 m serta 200 m masing-masing terdiri dari jantan (a) dan betina (b) selama Mei 2006 hingga April 2007 di Danau Towuti.

98 80 Berdasarkan zona pengamatan diperoleh nilai dugaan mortalitas total (Z) tertinggi terdapat di zona B sebesar 5,49 per tahun pada jenis kelamin betina dan terendah di zona A sebesar 1,69 per tahun pada jenis kelamin jantan (Tabel 27). Sedang mortalitas alami (M) tertinggi di zona B pada jenis kelamin jantan dan terendah di zona C sebesar 1,10 per tahun pada jenis kelamin betina. Untuk mortalitas akibat penangkapan (F) tertinggi terjadi di zona B pada jenis kelamin betina sebesar 4,08 per tahun sedang terendah di zona A sebesar 0,54 per tahun pada jenis kelamin jantan. Sedangkan laju eksploitasi (E) paling tinggi terjadi di zona A pada jenis kelamin betina sebesar 0,76 dan terendah di zona A pada ikan jantan sebesar 0,32 per tahun (Tabel 18). Dilihat dari hasil laju eksploitasi yang mencapai 0,76 menunjukkan bahwa penangkapan ikan butini di Danau Towuti berada di atas nilai optimum yaitu 0,5. Hal ini mengindikasikan bahwa telah terjadi lebih tangkap terhadap ikan butini di zona A, karena di zona ini dekat dengan pemukiman penduduk sehingga jumlah nelayan yang beroperasi lebih banyak dan zona ini masih dianggap aman untuk dijangkau walaupun menggunakan fasilitas perahu tanpa mesin. Indikasi menunjukkan struktur populasi di zona A relatif rendah dibanding zona lainnya. Tabel 18. Nilai dugaan koefisien mortalitas (Total (Z), alami (M) dan akibat penangkapan (F)) serta laju eksploitasi berdasarkan zona pengamatan ikan butini (G.matanensis) selama Mei 2006 hingga April 2007 di Danau Towuti. Zona/wilayah A B C Mortalitas Total Alami Penangkapan (Z) (M) (F) 1,69 1,15 0,54 0,32 4,58 1,11 3,47 0,76 4,31 1,80 2,51 0,58 5,49 1,41 4,08 0,74 1,84 1,19 0,65 0,35 2,99 1,10 1,89 0,63 Jenis Kelamin Laju eksploitasi (E) Untuk hasil mortalitas pada masing-masing kedalaman diperoleh nilai dugaan laju mortalitas total (Z) tertinggi terdapat pada kedalaman 75 meter yaitu sebesar 6,29 per tahun dan terendah pada kedalaman 50 meter sebesar 1,83 per tahun, sedang berdasarkan jenis kelamin tertinggi pada ikan betina di kedalaman

99 81 75 meter dan terendah pada ikan betina sebesar 1,83 per tahun pada kedalaman 50 meter (Tabel 19). Dengan menggunakan panjang infiniti (L ) dan nilai koefisien pertumbuhan (K) dari masing-masing kedalaman dan temperatur per kedalaman, maka diperoleh nilai mortalitas alami (M) tertinggi terdapat di kedalaman 75 meter sebesar 1,53 pada jenis kelamin jantan dan terendah di kedalaman 200 meter sebesar 0,89 per tahun pada jenis kelamin betina (Tabel 19). Sedang mortalitas akibat penangkapan (F) tertinggi terdapat di kedalaman 25 sebesar 2,74 per tahun pada ikan betina dan terendah di kedalaman 50 meter sebesar 0,62 per tahun pada jenis kelamin betina (Tabel 19). Tabel 19. Nilai dugaan koefisien mortalitas (Total (Z), alami (M) dan akibat penangkapan (F)) serta laju eksploitasi berdasarkan kedalaman ikan butini (G.matanensis) selama Mei 2006 hingga April 2007 di Danau Towuti. Kedalaman (m) Mortalitas Total Alami Penangkapan (Z) (M) (F) 2,81 1,40 1,41 0,50 3,81 1,07 2,74 0,72 2,33 1,23 1,10 0,47 1,83 1,22 0,62 0,34 3,61 1,53 2,08 0,58 6,29 1,35 4,94 0,79 3,09 1,36 1,73 0,56 2,51 1,02 1,49 0,59 2,47 1,23 1,24 0,50 3,09 0,91 2,18 0,70 3,10 1,14 1,96 0,63 2,70 0,89 1,81 0,67 Jenis Kelamin Laju eksploitasi (E) Koefisien mortalitas menggambarkan berkurangnya kelimpahan ikan-ikan dalam suatu kelompok umur pada satu kurun waktu tertentu akibat faktor alami maupun penangkapan. Sedang mortalitas alami disebabkan oleh predator, penyakit, parasit, karena tua dan lingkungan yang sebagian besar dipengaruhi oleh keadaan yang berubah-ubah sepanjang hidupnya. Temperatur rataan bulanan diperoleh 28,4 C, maka dengan persamaan empiris Pauly (1980) didapatkan nilai mortalitas alami (M) adalah 1,79 per tahun

100 82 untuk ikan butini secara keseluruhan dan untuk ikan jantan sebesar 1,54 per tahun sedang untuk ikan betina sebesar 1,40 per tahun. Nilai mortlitas alami (M) tidak selalu sejalan atau berlawanan dengan nilai Z, ini disebabkan pengaruh yang kuat dari temperatur bulanan perairan. Menurut Pauly (1980), terdapat hubungan yang erat antara mortalitas alami ikan dengan suhu perairan yaitu semakin hangat suhu lingkungan perairan makin tinggi mortalitas alami. Sedang mortalitas penangkapan cenderung bervariasi dari tahun ke tahun, tergantung pada upaya penangkapan. Koefisien mortalitas akibat penangkapan (F) diperoleh selama penelitian adalah 0,52 per tahun untuk ikan secara keseluruhan dan ikan jantan sebesar 0,46 per tahun. Sedang untuk ikan betina sebesar 0,75 per tahun. Semakin besar upaya penangkapan dan jumlah alat tangkap maka semakin besar pula koefisien mortalitas penangkapan. Pola Rekrutment Dengan memasukan beberapa nilai parameter pertumbuhan seperti L dan K ke dalam sub program rekrutmen dari program FiSAT, maka terlihat pola rekrutmen selama setahun seperti pada Gambar 31. Hasil analisa pola rekrutmen secara keseluruhan ikan di Danau Towuti, maupun berdasarkan jenis kelamin dan kedalaman serta zona selama periode satu tahun penangkapan menunjukkan dua puncak rekrutmen. = 46.62, K=1.200, C=0.000, WP=0.000 Gambar 31. Pola rekrutmen ikan butini (G.matanensis) secara total selama Mei 2006 hingga April 2007 di Danau Towuti.

101 83 (a) (b) = 46,62, K=0,950, C=0,000, WP=0.000 L =46,62, K=0,820, C=0,000, WP=0,000 Gambar 32. Pola rekrutmen ikan butini (G.matanensis) jantan (a) dan betina(b) selama Mei 2006 hingga April 2007 di Danau Towuti. Rekrutmen ikan butini (G.matanensis) secara keseluruhan yaitu L = 46,62 cm, K = 1,20 dan t o = 0,17 diperoleh puncak rekrutmen pertama ikan butini pada bulan Juli Agustus sedangkan puncak kedua terjadi pada bulan November Januari (Gambar 31). Sedangkan menurut jenis kelamin untuk ikan jantan L adalah 46,62 dan K= 0,950 dan t o = 0,14 serta ikan betina L = 46,62 K= 0,820 dan t o = 0,11 diperoleh pola rekrutmen selama setahun seperti pada Gambar 32. Tabel 20. Rekrutmen ikan butini Selama Mei 2006 hingga April 2007 di Danau Towuti, Sulawesi Selatan. Waktu (bulan) Rekrutmen (%) Total Jantan Betina Mei ,07 3,58 4,54 Juni ,90 14,82 4,04 Juli ,33 9,63 9,49 Agustus ,13 8,60 10,96 September ,86 11,31 15,56 Oktober ,29 12,19 18,50 November ,75 19,65 4,68 Desember ,70 9,61 9,57 Januari ,89 4,27 17,16 Februari ,02 3,89 1,81 Maret ,07 2,45 3,70 April ,00 0,00 0,00 Dari Gambar 31 dan 32, terlihat presentase pola rekrutmen untuk ikan secara keseluruhan mencapai puncak pada bulan November hingga Januari sedang untuk jantan selama setahun mencapai puncak pada bulan November sebesar

102 84 19,65 % dan terendah pada bulan Maret sebesar 2,45 % sedang betina mencapai puncak pada bulan Oktober sebesar 18,50 % dan terendah pada bulan Februari sebesar 1,81 % (Tabel 19). Menurut pengamatan pada masing-masing zona diperoleh puncak untuk zona A terjadi pada bulan Juli (19,11 %) dan bulan Desember (13,24 %) untuk jantan sedang untuk betina terjadi pada bulan Juli (11,75 %), Oktober (13,37 %) dan Desember 13,30 % untuk betina. Di zona B puncaknya terjadi pada bulan November, Desember dan Januari untuk jantan masing-masing sebesar 12,54, 16,48 dan 20,60 %. Sedang untuk betina pada bulan Juni dan Juli serta Oktober masing-masing sebesar 12,10 dan 17,93 serta 15,58 %. Untuk zona C puncaknya terjadi pada bulan Juli (14,86 %), bulan September (14,85 %) pada jantan dan untuk betina pada bulan November (15,77 %) dan Januari (14,58 %) (Tabel 21). Tabel 21. Nilai Rekrutmen ikan butini menurut zona pengamatan selama Mei 2006 hingga April 2007 di Danau Towuti. Waktu (Bulan) Mei 2006 Juni 2006 Juli 2006 Agustus 2006 September 2006 Oktober 2006 November 2006 Desember 2006 Januari 2007 Februari 2007 Maret 2007 April 2007 Rekrutmen (%) Zona A Zona B Zona C Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina 6,45 7,24 3,31 5,76 6,67 2,97 7,50 7,87 4,71 12,10 14,86 8,94 19,11 11,75 2,22 17,93 12,57 5,87 17,84 9,82 8,28 9,33 13,02 7,27 6,41 12,07 8,02 9,74 14,85 6,22 4,07 13,37 9,07 15,58 5,44 11,58 8,41 11,69 12,54 7,37 12,64 15,77 13,24 13,30 16,48 4,27 7,07 13,82 9,50 6,45 20,60 5,44 5,19 14,58 4,24 2,01 11,41 7,00 5,01 9,79 3,24 4,45 3,36 5,48 2,69 3,19 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 Sedangkan pengamatan berdasarkan kedalaman seperti terlihat pada Lampiran 7, untuk kedalaman 25 pada jantan terjadi puncak pada bulan Agustus (23,3 %) dan terendah pada bulan Mei (0,54 %), sedang betina pada puncaknya bulan Januari (18,7 %) dan terendah pada bulan Juni (1,19 %), kedalaman 50 pada jantan terjadi puncak pada bulan Agustus (19,7 %) dan terendah pada bulan Februari (0,56 %), sedang untuk betina pada bulan Desember (14,2 %) dan

103 85 terendah pada bulan Juni (0,30 %), kedalaman 75 pada jantan terjadi puncak pada bulan Oktober (17,0 %) dan terendah pada bulan Januari (2,52 %), sedang pada betina terjadi puncak pada bulan Juli (19,0 %) dan terendah pada bulan Mei (1,38 %), kedalaman 100 pada jantan terjadi puncak pada bulan Oktober (25,2 %) dan terendah pada bulan Juli (1,67 %), sedang pada betina terjadi pada bulan September (20,4 %), dan terendah pada bulan Januari (0,37 %), kedalaman 150 pada jantan terjadi puncak pada bulan Agustus (16,7 %) dan terendah pada bulan Mei (2,85 %), sedang pada betina terjadi pada bulan Oktober (16,0 %), dan terendah pada bulan Mei (1,35 %), kedalaman 200 pada jantan terjadi puncak pada bulan Januari (17,0 %) dan terendah pada bulan Maret (1,43 %), sedang pada betina terjadi pada bulan Desember (18,1 %) dan terendah pada bulan Mei (1,70 %). Puncak-puncak tersebut di duga terjadi karena adanya penambahan ikan muda hasil pemijahan pada bulan Agustus/September untuk perairan dangkal dan perairan dalam pada bulan Januari dari setiap populasi atau kedalaman. Dari nilai persentase dalam penambahan individu baru secara keseluruhan nampak relatif tidak terlalu besar namun hal ini sangat berarti bagi kesinambungan populasi di alam. Rekrutmen merupakan dasar keseimbangan suatu populasi dan dasar penentuan hasil yang akan datang. Rekrutmen kaitannya dengan besarnya populasi dan kondisi lingkungan merupakan suatu hal yang sulit, tetapi penting bagi pengelola perikanan. Menurut (Pauly, 1980), hubungan rekrutmen dengan eksploitasi (rekruitment overfishing) yaitu apabila penangkapan dilakukan secara besar-besaran terhadap ikan-ikan dewasa baik yang matang gonad maupun yang tidak, sehingga makin lama jumlahnya semakin berkurang. Pada suatu saat nanti tidak akan cukup induk-induk ikan yang tersedia untuk menghasilkan ikan-ikan muda.

104 86 Nisbah Kelamin Nisbah kelamin diperlukan untuk mengetahui perbandingan jenis kelamin sehingga dapat diduga keseimbangan populasi ikan butini. Keseimbangan komposisi ikan jantan dan betina merupakan suatu faktor yang penting dalam mempertahankan kelangsungan hidup ikan secara alami. Nisbah kelamin ikan butini yang diperoleh di Danau Towuti selama penelitian disajikan pada Tabel 21. Nisbah kelamin ikan contoh total N = 2195 yang terdiri atas 1401 ekor ikan jantan dan 794 ekor ikan betina diperoleh perbandingan 64 % jantan : 36 % betina. Perbandingan jenis kelamin jantan dan betina secara keseluruhan di perairan Danau Towuti selama penelitian berfluktuasi dari total ikan yang tertangkap (Tabel 22). Tabel 22. Perbandingan ikan butini jantan dan betina berdasarkan kedalaman selama penelitian Mei April 2007 di Danau Towuti. Kedalaman Jumlah ikan Jenis kelamin (meter) (ekor) Jantan Betina Jumlah total 2195 ekor Perbandingan 0,62 : 0,38 0,70 : 0,30 0,70 : 0,30 0,62 : 0,38 0,63 : 0,37 0,52 : 0,48 Tabel 22 menunjukkan perbandingan jenis kelamin antar kedalaman jumlah jenis kelamin jantan lebih banyak dibanding persentase betina. Untuk kelamin jantan terbesar berada pada kedalaman 50 dan 75 meter sebesar 70 % dan terendah di kedalaman 200 meter sebesar 51,72 %. Sedangkan persentase perbandingan perkedalaman terbesar untuk betina berada di kedalaman 200 meter sebesar 48,28 % dan terendah berada di kedalaman 50 meter sebesar 29,97 %. Pada kedalaman 200 meter nampak persentase antara jantan dan betina mendekati seimbang. Dari hasil analisis nisbah kelamin berdasarkan kedalaman terlihat bahwa nisbah kelamin berfluktuasi jenis kelamin jantan lebih mendominasi di setiap kedalaman dibanding ikan betina. Berdasarkan waktu pengamatan di tiap

105 87 kedalaman juga menunjukkan bahwa perbandingan antara ikan jantan dan betina tidak seimbang, ikan jantan lebih banyak dibanding ikan betina. Sedangkan hasil pengamatan jenis kelamin ikan butini pada tiap zona didapatkan nisbah kelamin jantan lebih besar daripada ikan betina, dan secara temporal juga ikan jantan lebih dominan pada tiap-tiap zona. Perbandingan jumlah kelamin jantan dan betina berdasarkan bulan pengamatan juga berfluktuasi (Gambar 8). Hal ini kemungkinan berkaitan dengan faktor alat tangkap dengan menggunakan salue/pancing ikan jantan lebih aktif memakan umpan dibanding ikan betina, atau berkaitan dengan pergerakkan ikan butini di perairan sehingga distribusi ikan jantan lebih luas menyebar dibanding dengan jenis kelamin betina. Menurut Turkmen et al. (2002) penyimpangan nisbah kelamin dari pola 1 : 1 dapat terjadi dari faktor yang meliputi perbedaan distribusi, aktifitas dan gerakan ikan. Secara keseluruhan nisbah kelamin jantan dan betina di Danau Towuti diperoleh perbandingan rata-rata 0,67 : 0,33. Dengan menggunakan uji x 2 (Chi- Square) pada taraf nyata =0,05 untuk jantan diperoleh kisaran antara 39, ,558 dan betina berkisar antara 39, ,446 sehingga diperoleh nisbah kelamin jantan dan betina setiap bulan tidak seimbang dari pola 1 : 1 (50 % jantan : 50 % betina) (Tabel 23). Tabel 23. Nilai perbandingan kelamin ikan butini jantan dan betina yang tertangkap di perairan Danau Towuti sejak Mei 2006 April Zona Jenis kelamin N Nisbah kelamin (%) X 2 Calc 0.05 Zona A Jantan Betina ,00 % 43,00 % ,915 < p < 33,038 7,149 < p < 33,980 Zona B Jantan Betina ,20 % 35,80 % ,140 < p < 75,082 18,889 < p < 75,926 Zona C Jantan Betina ,50 % 37,50 % ,594 < p < 63,608 10,461 < p < 64,401 Total Jantan Betina ,83 % 36,17 % ,226 < p < 162,558 39,787 < p < 163,446

106 88 Nisbah kelamin ini menunjukkan perbandingan antara ikan butini jantan dan betina adalah berbeda nyata, hal ini diduga karena ikan betina kurang aktif mencari makan dibandingkan dengan ikan jantan pada tingkat kematangan gonad yang sama, sehingga peluang tertangkapnya dengan salue/pancing lebih besar. Rao (2007) mendapatkan ratio perbandingan jantan dan betina pada ikan Glossogobius giuris yang diteliti selama satu tahun adalah 1 : 0,59. Perbandingan ini menunjukkan antara jantan dan betina tidak seimbang. Dengan demikian terdapat persamaan perbandingan jenis kelamin jantan dan betina antara G.matanensis dengan G.guiris. Persamaan kedua jenis ini kemungkinan dapat terjadi karena kedua ikan ini berada pada genus yang sama. Tingkat kematangan gonad (TKG) Berdasarkan lima tahap kematangan gonad pada ikan butini diperoleh hasil analisis yang ditampilkan pada Gambar 33. Jumlah ikan yang diperoleh pada setiap tingkat kematangan gonad (TKG) bervariasi, TKG I dan II ikan jantan lebih banyak ditemukan dari pada ikan betina sedang TKG III antara jantan dan betina nampak seimbang, sedangkan pada TKG IV ikan betina lebih banyak dari pada ikan jantan, dan TKG V ikan jantan agak lebih banyak dibanding betina. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah ikan jantan lebih banyak ditemukan dari pada ikan betina. Jumlah ikan (ekor) Jantan Betina TKG Gambar 33. TKG ikan butini (G.matanensis) jantan dan betina secara keseluruhan selama Mei 2006 hingga April 2007 di Danau Towuti.

107 89 Berdasarkan persentase jumlah ikan pada setiap tingkat kematangan gonad (TKG) jantan dan betina disetiap kedalaman bervariasi dapat dilihat pada (Tabel 24). Terlihat bahwa TKG I (ikan muda) dikategorikan secara umum gonad ikan belum matang untuk jantan terdapat disemua kedalaman dan lebih besar persentasenya (47-61 %), hal yang sama terlihat pada betina persentase berkisar antara % dibanding dengan TGK lainnya pada semua kedalaman. Tabel 24. Persentase (%) TKG jantan dan betina berdasarkan kedalaman di Danau Towuti selama Mei 2006 hingga April Kedalaman Persentase (%) TKG Jantan Persentase (%) TKG Betina (m) I II III IV V I II III IV V 25 61,29 19,35 7,74 6,45 3,23 35,05 30,93 19,59 10,31 4, ,20 24,40 9,60 6,00 2,80 36,45 27,10 18,69 12,15 4, ,64 24,50 9,93 7,28 5,63 21,97 34,85 18,94 18,18 5, ,57 28,16 12,62 6,80 6,15 28,57 33,86 15,34 18,52 4, ,60 25,66 7,17 4,91 4,15 22,29 36,31 18,47 22,29 0, ,33 28,33 11,67 4,17 2,50 39,29 28,57 18,75 11,61 1,79 TKG II, III dan IV bervariasi disemua kedalaman baik jantan maupun betina. TKG IV untuk jantan jumlahnya sedikit dibanding betina. TKG V, untuk jantan terdapat di semua kedalaman dan terbanyak pada kedalaman 100 meter sebesar 6,15 % sedang untuk betina ditemukan disetiap kedalaman dan terbanyak terdapat di kedalaman 75 meter sebesar 5,80 %. Terjadi perbedaan antara jantan dan betina pada TKG IV secara keseluruhan diduga disebabkan ikan jantan yang tertangkap kebanyakan masih berumur muda saat dilakukan sampling, atau saat salue/pancing diturunkan tepat berada pada kelompok ikan betina berada sehingga ikan betina berpeluang tertangkap lebih banyak. Hal lain yang menjadi dugaan ikan betina lebih banyak dari jantan pada TKG III dan IV berkaitan dengan laju tingkat pematangan gonad. Kemungkinan ikan betina lebih cepat mencapai matang gonad dibanding dengan ikan jantan pada kelompok umur yang sama. Berdasarkan persentase jumlah ikan ber TKG V pada tiap kedalaman terlihat bahwa di kedalaman 75 dan 100 m terdapat persentase yang lebih besar di antara kedalaman yang ada di perairan Danau Towuti. Hal ini diduga merupakan daerah pemijahan dan pembesaran bagi ikan butini, kemungkinan berkaitan

108 90 dengan kondisi perairan yang lebih ideal bagi ikan butini sehingga merangsang ikan butini untuk memijah. Berdasarkan waktu/bulan pengamatan persentase TKG ikan butini yang ber- TKG III (maturing) dan IV (mature) secara total hampir ditemukan pada setiap bulannya. Jumlah tingkat kematangan gonad ini menunjukkan bahwa pada bulan Oktober dan Maret ikan butini sedang mengalami proses pematangan gonad dan aktivitas pemijahan. a Persentase TKG (%) 100% 80% 60% 40% 20% 0% M J J A S O N D J F M A Waktu (bulan) TKG V TKG IV TKG III TKG II TKG I Persentase TKG (%) b 100% 80% 60% 40% 20% 0% M J J A S O N D J F M A Waktu (bulan) TKG V TKG IV TKG III TKG II TKG I Gambar 34. TKG ikan butini (G.matanensis) jantan (a) dan betina (b) berdasarkan bulan pengamatan dari Mei 2006 hingga April 2007 di Danau Towuti. Diduga bahwa ikan butini memijah sepanjang tahun dan puncak pemijahannya pada bulan Oktober dan Maret. Menurut Sulistiono, (2006) bahwa presentase tingkat kematangan gonad ikan butini baik jantan maupun betina dapat ditemukan setiap bulan. Berdasarkan analisis menurut zona/wilayah di perairan Danau Towuti di peroleh frekwensi TKG I dan TKG II adalah frekwensi paling banyak baik jantan

109 91 dan betina, hal ini menunjukkan bahwa ikan butini di setiap zona lebih didominasi oleh ikan-ikan yang belum matang gonad atau ikan-ikan muda (Tabel 25). Tabel 25. Frekwensi TKG jantan dan betina berdasarkan zona pengamatan selama Mei 2006 hingga April 2007 di Danau Towuti. Zona TKG Jantan TKG Betina I II III IV V I II III IV V A B C Tinggi rendahnya kemampuan berkembang biak ini akan mempengaruhi populasi sumberdaya ikan. Menurut Hail dan Abdullah (1982) ikan yang hidup di daerah tropis cenderung mempunyai periode pemijahan yang panjang atau bahkan memijah sepajang tahun, yang biasanya berkesesuaian dengan curah hujan. Panjang ikan pertama kali matang gonad Diketahui bahwa kisaran ukuran secara keseluruhan data hasil pengamatan, ukuran panjang total ikan jantan lebih panjang yakni 46,2 cm dibanding dengan ikan betina yaitu 40,5 cm. Sedangkan terpendek untuk ikan jantan sebesar 14,5 cm, dan betina sebesar 15,5 cm. Data hasil tabulasi ukuran panjang berdasarkan deskripsi statistik ukuran rata-rata terpanjang untuk ikan jantan sebesar 30,95 cm. Untuk betina rata-rata terpanjang sebesar 20,95 cm. Untuk menduga panjang ikan butini pada waktu pertama kali matang gonad dengan peluang 50 % berdasarkan metode Least square Regression diperoleh ikan jantan dan betina diperairan Danau Towuti masing-masing 36,22 cm dan 31,43 cm (Gambar 35). Berdasarkan hasil statistik pada selang kepercayaan 95% menunjukkan bahwa ikan betina cenderung lebih cepat matang gonad dibandingkan dengan ikan jantan, yakni masing-masing 31,43 cm dan 36,22 cm. Perbedaan ukuran tersebut kemungkinan disebabkan oleh parameter pertumbuhan yang berbeda.

110 92 Tingkat kematangan gonad (TKG) merupakan salah satu pengetahuan dasar dari biologi reproduksi pada suatu organisme seperti ikan butini. Ikan ini tergolong ikan yang bertulang sejati (Teleostei). Menurut Nagahama (1983), ikan Teleostei biasanya mempunyai sepasang ovarium yang merupakan organ yang memanjang dan kompak terdapat di dalam rongga perut. Menurut Nielsen et al, (1983) tingkat kematangan gonad merupakan salah satu bagian dari reproduksi sebelum pemijahan. Kematangan gonad dapat digunakan sebagai penduga status reproduksi ikan, penentu ukuran dan umur pada saat pertama kali matang gonad, proporsi atau jumlah populasi yang secara reproduktif matang dan pemahaman tentang siklus reproduksi bagi suatu populasi atau spesies.. Jumlah ikan matang gonad (%) A Jantan N=283 r= Panjang ikan Butini (cm) Jumlah ikan matang gonad (%) B Betina N=305 r= Panjang ikan butini (cm) Gambar 35. Ukuran pertama kali matang gonad 50% jantan (A) dan betina (B) selama bulan Mei 2006 hingga April 2007 di Danau Towuti.

111 93 Pengamatan perkembangan kematangan gonad ikan butini antara jantan dan betina berdasarkan pengamatan makroskopis (pengamatan gonad tanpa menggunakan mikroskop (Tabel 26). Tabel 26. Perkembangan gonad ikan butini jantan dan betina secara makroskopis. TKG Ganad jantan Gonad betina I. Belum berkembang II. Sedang berkembang III. Awal pematangan IV.Pemijahan V. Selesai memijah Testes seperti sepasang benang, pendek, halus, letaknya memanjang di bagian dorsal rongga perut ke depan, warna putih. Ukuran testes agak lebih besar dari TKG I, warna putih. Testes makin besar, pejal, warna putih susu. Permukaan tetes tampak licin dan bagian pinggir berlekuk. Testes lebih besar dari pada TKG III, tampak lebih jelas, tetes makin pejal dan memenuhi sebagian rongga perut, warna putih susu. Testes bagian belakang kempis dan di bagian pelepasan masih berisi. Ovari seperti sepasang benang, letaknya memanjang di bagian dorsal rongga perut ke depan, warna agak bening, permukaan licin. Ukuran ovari bertambah besar, bulat dan nampak memadat, Warna nampak menguning, telur belum terlihat dengan mata. Ovari membesar berwarna kuning, bulat padat Secara morfologi mulai kelihatan terdapat selaput tipis membungkus butiran telur. mengisi sebagian rongga perut. Ovari makin besar, berwarna kuning, memenuhi 2/3 rongga perut, usus terdesak. bulat padat, ukuran gonad nampak lebih besar. Ovari mengempes/berkerut, terlihat butir telur sisa di bagian anterior dan posterior Berdasarkan pengamatan mikroskopis melalui pembuatan preparat histologi seperti pada Gambar 27. Hasil pengamatan pada gonad jantan (testis) untuk TKG I di tandai dengan adanya spermatogonia primer yang berasal dari sel benih yang

112 94 terdapat pada dinding tubule, kemudian membelah secara mitosis menjadi spermatogonia sekunder. Pada stadia ini jaringan ikat gonad masih sangat kuat. Sg St Spt Si Gambar 36. Struktur histologi gonad ikan butini (G.matanensis) Jantan (testes) pada berbagai tingkat kematangan gonad di Danau Towuti. Masingmasing pembesaran100x. Sg=spermatogonia, St= spermatosit, Spt=spermatid, Si=spermatozoa. Untuk TKG II, ditunjukkan dengan adanya jaringan ikat gonad sudah mulai berkurang, kantung-kantung tubulus seminifer pada gonad berisi spermatosit primer. Spermatosit primer ini melalui pembelahan meiosis, yang kemudian berkembang menjadi spermatosit sekunder pada TKG III. Untuk TKG IV (dewasa) terdapat spermatosit yang sudah berkembang menjadi spermatid dan sudah menyebar sedangkan jaringan ikat gonad sedikit. Pada TKG V spermatogonia sudah muncul kembali bersama dengan spermatosit dan spermatid yang berkembang menjadi spermatozoa (Gambar 36). Untuk gonad betina (ovarium), TKG I didominasi oleh oogonia yang sangat kecil. Pada TKG II oogonia berkembang menjadi oosit, inti sel mulai membesar dan membran sel yang tebal. Pada TKG III terbentuk ootid, dimana kuning telur dan nukleolus banyak dijumpai di sekeliling inti. Kemudian ootid berkembang

113 95 terus membentuk ovum yang terdapat pada TKG IV. Pada TKG V gonad didominasi oleh oosit, ootid dan oogonia yang muncul kembali, banyak ruangan yang kosong dalam gonad yang merupakan tempat ovum yang telah dikeluarkan (Gambar 37). Og Os O Yk Ov Nu Gambar 37. Struktur histologi gonad ikan butini(g.matanensis) betina (Ovarium) di Danau Towuti. Masing-masing pembesaran 100x. Og=oogonium, Os=oosit, Ov= ovum, Nu=nukleus, Ot=ootid (oosit stadia 3), Yk= butir kuning telur(yolk), Ao= oosit atresi, Sp=oosit yang telah dikeluarkan, dan O=butir-butir minyak. Index kematangan gonad (IKG) Dari pengamatan terhadap 2195 ekor ikan secara keseluruhan diperoleh index kematangan gonad berkisar antara 0,002 hingga 30,21 % dengan rataan 0,55 dan standart deviasi 1,28. Berdasarkan jenis kelamin untuk jantan diperoleh nilai index kematanagan gonad berkisar antara 0,002 % hingga 6,94 % dengan standart

114 96 deviasi 1,05, sedang ikan betina berkisar antara 0,16 % hingga 7,93 % dengan standart deviasi 5,59 % (Tabel 27). Hasil ini diperoleh dari perbandingan antara bobot gonad dan berat tubuh dikalikan 100 %. Pada saat indeks kematangan gonad mencapai nilai maksimum maka diduga akan terjadi pemijahan. Dari hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa index kematangan gonad ikan jantan lebih kecil dari pada ikan betina. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan bobot gonad ikan betina lebih besar dari ikan jantan. Menurut Effendie (1979) pertambahan bobot gonad ikan betina pada (stadiun) matang gonad akan mencapai persen dari bobot tubuh, dan pada jantan 5 10 persen. Lebih lanjut Effendie (1992) menyatakan nilai index kematangan gonad pada ikan jantan lebih kecil dari pada betina dan Sulistiono (2007) menjelaskan bahwa nilai IKG ikan butini betina lebih besar dibandingkan dengan ikan jantan. Tabel 27. Nilai statistik berat gonad, bobot tubuh dan IKG ikan endemik butini (Glossogobius matanensis) di Danau Towuti selama Mei 2006 hingga April Jenis kelamin Jantan Betina Statistik Rataan Stdev Minimum Maximum Rataan Stdev Minimum Maximum Berat gonad (g) 0,25 0,29 0,01 2,32 2,37 3,19 0,01 12,94 Bobot tubuh (g) IKG (%) 177,80 108,04 22,05 783,77 183,27 67,40 24,63 472,91 0,15 0,16 0,002 6,94 1,27 1,92 0,006 30,21 Secara temporal indeks kematangan gonad pada ikan butini mengalami fluktuasi setiap bulannya. Untuk ikan jantan dan betina diperoleh nilai IKG ratarata terbesar pada bulan Oktober sebesar 0,79 % dan Maret sebesar 0,81 % (Gambar 38a). Sedang menurut jenis kelamin untuk jantan diperoleh nilai IKG berkisar antara 0,002 6,94 %, dan terbesar pada bulan Juni rata-rata (0,17 %), bulan Oktober (0,18 %) dan bulan Maret (0,17 %) (Gambar 38b). Pada ikan betina berkisar antara 0,006 30,21 %, dan nilai IKG rata-rata terbesar dapat ditemukan pada bulan Oktober (1,61 %) dan Maret (1,65 %) (Gambar 38c).

115 97 Perbedaan IKG yang besar antara ikan jantan dan betina diduga dipengaruhi oleh jumlah sampel jantan yang matang gonad lebih sedikit dari betina. Sealin itu juga tingkat kematangan gonad setiap bulannya dan ukuran serta berat gonad yang cukup bervariasi terhadap berat tubuhnya yang pada akhirnya akan mempengaruhi nilai IKG. Rataan IKG (%) a M(2006) J(2006) J(2006) A(2006) S(2006) O(2006) N(2006) Waktu (bulan) D(2006) J(2007) F(2007) M(2007) A(2007) Rataan IKG (%) b M(2006) J(2006) J(2006) A(2006) S(2006) O(2006) N(2006) D(2006) J(2007) Waktu (bulan) F(2007) M(2007) A(2007) Rataan IKG (%) c M(2006) J(2006) J(2006) A(2006) S(2006) O(2006) Waktu (bulan) N(2006) D(2006) J(2007) F(2007) M(2007) A(2007) Gambar 38. Nilai rataan indeks kematangan gonad ikan butini gabungan jantan dan betina (a) dan jantan (b) serta betina (c) selama Mei 2006 hingga April 2007 di Danau Towuti.

116 98 Berdasarkan Gambar 38 dapat dilihat bahwa pada ikan betina terdapat hubungan yang sejalan antara nilai IKG dengan panjang total ikan. Nilai IKG akan cenderung meningkat pada ukuran panjang yang lebih besar meskipun pada ukuran tertentu seperti pada selang panjang 28,8 cm nilai IKG menurun. Hal ini berhubungan dengan fekunditas dimana dengan semakin bertambahnya panjang tubuh ikan maka jumlah fekunditasnya akan semakin besar. Pertambahan jumlah fekunditas ini menyebabkan ukuran gonad juga akan bertambah besar yang secara langsung mempengaruhi nilai IKG. Menurut Effendie (1997), gonad akan mencapai maksimum saat ikan memijah sejalan dengan pertumbuhan gonad dan akan menurun dengan cepat selama pemijahan berlangsung sampai selesai. Tabel 28. Nilai IKG ikan butini (G.matanensis) jantan dan betina berdasarkan zona pengamatan selama Mei 2006 hingga April 2007 di Danau Towuti. IKG jantan (%) IKG betina (%) Zona/ wilayah N Min Max Rataratrata Rata- Stdev N Min Max Stdev A 325 0,004 1,91 0,15 0, ,011 7,283 1,25 1,58 B 616 0,001 6,94 0,18 0, ,006 30,21 1,53 2,42 C 460 0,002 1,15 0,12 0, ,015 7,288 0,95 1,29 Berdasarkan pada pengamatan menurut zona (Tabel 28), menunjukkan bahwa nilai IKG jantan dan betina di zona B lebih besar dibanding zona lainnya, hal ini kemungkinan berkaitan degan jumlah sampel di zona B lebih banyak karena di zona ini terdapat kedalaman 200 meter yang memiliki ikan-ikan berukuran besar dan berpotensi untuk memijah. Sedangkan berdasarkan kedalaman menunjukkan bahwa nilai IKG terbesar berada di kedalaman 200 meter karena di kedalaman ini baik jantan dan betina memiliki nilai IKG rata-rata lebih besar dari pada kedalaman lainnya. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan ukuran ikan yang lebih besar sehingga berpotensi untuk matang gonad lebih besar.

117 99 Tabel 29. Nilai IKG ikan butini (G.matanensis) jantan dan betina berdasarkan kedalaman selama Mei 2006 hingga April 2007 di Danau Towuti. IKG Jantan (%) IKG Betina (%) Kedalaman Rataratrata Rata- N Min Max Stdev N Min Max Stdev ,004 0,72 0,14 0, ,014 30,21 1,32 3, ,003 6,94 0,17 0, ,011 5,004 0,91 1, ,001 1,15 0,12 0, ,013 7,29 1,29 1, ,002 1,43 0,15 0, ,015 11,79 1,07 1, ,009 1,91 0,18 0, ,016 7,032 1,44 1, ,007 0,66 0,19 0, ,006 8,042 1,63 1,88 Fekunditas Pengamatan fekunditas ikan butini di Danau Towuti, dilakukan pada ikanikan yang matang gonad/siap memijah atau berada pada TKG III dan VI, karena jumlah telur dianggap akan mencapai maksimum pada tingkat tersebut. Dalam penelitian ini fekunditas berdasarkan definisi sebagai jumlah telur dalam ovari yang akan matang selama suatu musim pemijahan tertentu. Fekunditas ini menurut Effendie 1992, adalah fekunditas individu atau fekunditas mutlak. Tabel 30. Rataan fekunditas, berat gonad dan panjang total ikan butini selama Mei 2006 hingga April 2007 di Danau Towuti. Waktu (bulan) Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Januari Februari Maret April Panjang Total (cm) 29,37 28,54 31,08 29,08 28,98 29,69 28,83 28,78 28,75 28,91 28,38 28,57 Berat gonad (g) 3,57 5,19 5,92 4,32 4,95 7,61 5,80 4,92 5,90 5,28 7,27 3,34 Fekunditas (butir) 49599, , , , , , , , , , , ,56 Berdasarkan hasil pengamatan gonad pada ikan contoh betina secara total TKG III (N = 142 ekor) diperoleh dugaan fekunditas ikan butini berkisar antara

118 ,305 butir telur dan TKG IV (N = 129 ekor) diperoleh dugaan fekunditas ikan butini berkisar antara 14,922 81,522 butir telur. Secara total fekunditas rata-rata dari ikan butini berkisar antara 11,184 81,522 butir telur dengan kisaran panjang total antara 14,5 cm 40,5 cm. Tamsil (2000) melaporkan bahwa ikan Glossogobius aureus di Danau Tempe dan Danau Sidenreng, Sulawesi Selatan, fekunditasnya berkisar antara butir telur. Hal ini menunjukkan bahwa ikan gobi memiliki jumlah telur yang cukup banyak dibanding ikan lainnya. Dari Tabel 30 di atas menunjukkan bahwa rataan fekunditas ikan butini selama penelitian tertinggi terdapat pada bulan Oktober sebanyak butir, dengan panjang total ikan rata-rata 29,69 cm dan berat gonad ikan 7,61 gram. Sedangkan rataan fekunditas terendah terdapat pada bulan Juli sebesar 25446,52 butir, dengan panjang total 31,08 cm dan berat gonad 5,92 gram. Setiap bulan terlihat fekunditas berfluktuasi, hal ini di duga disebabkan ikan-ikan yang tertangkap memiliki ukuran yang tidak sama, sehingga ikan-ikan yang berukuran lebih besar memiliki fekunditas yang relatif lebih besar. Selain itu ikan yang diperoleh belum tentu mempunyai umur yang sama. Sehingga ikanikan yang umurnya relatif lebih muda (yang baru pertama kali memijah) fekunditasnya relatif sedikit dibandingkan dengan ikan yang telah berumur relatif lebih tua yang telah melakukan beberapa kali pemijahan. Tabel 31. Fekunditas ikan butini berdasarkan kedalaman selama Mei 2006 hingga April 2007 di Danau Towuti. Kedalaman (m) Frekwensi Minimum Maximum Rata-rata Standart deviasi , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,25 Pengamatan fekunditas ikan butini berdasarkan kedalaman pada TKG III dan IV total berjumlah 192 ekor, diperoleh untuk kedalaman 25 meter sebanyak

119 ekor matang gonad dengan fekunditas berkisar antara 18757, ,51 butir. Kedalaman 50 meter sebanyak 26 ekor dengan fekunditas berkisar ,87 butir, di kedalaman 75 meter terdapat 37 ekor dengan fekunditas berkisar antara 11184, ,22 butir dan 100 meter sebanyak 45 ekor dengan fekunditas berkisar antara 15557, ,14 butir serta 150 meter sebanyak 33 ekor dengan fekunditas berkisar antara 17125, ,09 butir dan 200 meter berjumlah 34 ekor dengan fekunditas berkisar antara ,97 butir dapat dilihat pada Tabel 31. Hal ini menunjukkan bahwa di kedalaman 100 meter jumlah ikan yang matang gonad lebih banyak, sehingga dikedalaman ini terdapat jumlah telur lebih banyak yaitu berkisar antara 15557, ,14 butir. Dari hasil analisis regresi antara log panjang total (cm) dengan fekunditas ikan (TKG IV) selama penelitian di Danau Towuti adalah : F = ,2 L 32027,87 Persamaan tersebut ditransformasikan ke dalam bentuk logaritma sehingga diperoleh bentuk persamaan garis lurus : Log F = Log , ,87 Log L Persamaan tersebut menggambarkan bahwa fekunditas individu ikan butini mempunyai hubungan cukup erat dengan panjang ikan. Dari koefisien regresi (r) diperoleh sebesar 0,79, hal ini menunjukkan bahwa panjang ikan dapat dijadikan sebagai penduga fekunditas. Semakin panjang ikan bertambah, maka fekunditas ikan butini cenderung semakin bertambah. Menurut Effendie (1979) kemampuan ikan untuk bereproduksi ditentukan antara lain oleh makanan dan faktor lingkungan. Hubungan fekunditas dengan panjang total dapat dilihat pada Gambar 39. Jumlah fekunditas (butir) Panjang total (cm) Gambar 39. Hubungan fekunditas dengan panjang total ikan butini di danau Towuti, sejak Mei 2006 hingga April 2007.

120 102 Sedang hasil analisis regresi antara log bobot tubuh dengan fekunditas ikan butini (TKG IV) selama penelitian di Danau Towuti diperoleh : F = -1,4426 W 1,2817 persamaan tersebut menggambarkan bahwa fekunditas individu ikan butini mempunyai hubungan cukup erat dengan bobot tubuh ikan, hal ini dapat dilihat juga pada Gambar 40. Dari koefisien regresi (r) diperoleh sebesar 0,89, hal ini menunjukkan bahwa bobot tubuh ikan butini dapat dijadikan sebagai penduga fekunditas. Jumlah fekunditas (butir) Bobot tubuh (g) Gambar 40. Hubungan fekunditas dengan bobot tubuh ikan butini di Danau Towuti selama Mei 2006 hingga Diameter Telur Hasil pengamatan diameter telur ikan butini menunjukkan bahwa telur berbentuk lonjong/memanjang (Gambar 41). Bentuk telur yang sama juga terlihat pada telur ikan bungo (Glossogobius aureus) di Danau Sidendreng (Tansil 2000). Ukuran telur dapat berubah sejalan dengan meningkatnya kematangan gonad ikan. Gambar 41. Telur ikan butini (G.matanensis) di Danau Towuti.

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN PELANGI MERAH (Glossolepis incisus Weber, 1907) DI DANAU SENTANI LISA SOFIA SIBY

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN PELANGI MERAH (Glossolepis incisus Weber, 1907) DI DANAU SENTANI LISA SOFIA SIBY BIOLOGI REPRODUKSI IKAN PELANGI MERAH (Glossolepis incisus Weber, 1907) DI DANAU SENTANI LISA SOFIA SIBY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek II. TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek Puntius Orphoides C.V adalah ikan yang termasuk anggota Familia Cyprinidae, disebut juga dengan ikan mata merah. Ikan brek mempunyai garis rusuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat I. PENDAHULUAN Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat dengan cara membendung aliran sungai sehingga aliran air sungai menjadi terhalang (Thohir, 1985). Wibowo (2004) menyatakan

Lebih terperinci

PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH

PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH 1,2) Urip Rahmani 1, Imam Hanafi 2, Suwarso 3 Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas

Lebih terperinci

IKAN DUI DUI (Dermogenys megarrhamphus) IKAN ENDEMIK DI DANAU TOWUTI SULAWESI SELATAN

IKAN DUI DUI (Dermogenys megarrhamphus) IKAN ENDEMIK DI DANAU TOWUTI SULAWESI SELATAN Ikan Dui Dui... di Danau Towuti Sulawesi Selatan (Makmur, S., et al.) IKAN DUI DUI (Dermogenys megarrhamphus) IKAN ENDEMIK DI DANAU TOWUTI SULAWESI SELATAN Safran Makmur 1), Husnah 1), dan Samuel 1) 1)

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Menurut klasifikasi Bleeker, sistematika ikan selanget (Gambar 1) adalah sebagai berikut (www.aseanbiodiversity.org) :

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013). 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai dingin dan

Lebih terperinci

2.2. Morfologi Ikan Tambakan ( H. temminckii 2.3. Habitat dan Distribusi

2.2. Morfologi Ikan Tambakan ( H. temminckii 2.3. Habitat dan Distribusi 4 2.2. Morfologi Ikan Tambakan (H. temminckii) Ikan tambakan memiliki tubuh berbentuk pipih vertikal. Sirip punggung dan sirip analnya memiliki bentuk dan ukuran yang hampir serupa. Sirip ekornya sendiri

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Pesisir Teluk Jakarta terletak di Pantai Utara Jakarta dibatasi oleh garis bujur 106⁰33 00 BT hingga 107⁰03 00 BT dan garis lintang 5⁰48

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu : 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari mata air, air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran air

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FENOTIPE MORFOMERISTIK DAN KERAGAMAN GENOTIPE RAPD (RANDOMLY AMPLIFIED POLYMORPHISM DNA) IKAN NILEM (Osteochilus hasselti) DI JAWA BARAT

KARAKTERISTIK FENOTIPE MORFOMERISTIK DAN KERAGAMAN GENOTIPE RAPD (RANDOMLY AMPLIFIED POLYMORPHISM DNA) IKAN NILEM (Osteochilus hasselti) DI JAWA BARAT KARAKTERISTIK FENOTIPE MORFOMERISTIK DAN KERAGAMAN GENOTIPE RAPD (RANDOMLY AMPLIFIED POLYMORPHISM DNA) IKAN NILEM (Osteochilus hasselti) DI JAWA BARAT MULYASARI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus)

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus) 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rajungan (Portunus pelagicus) Menurut www.zipcodezoo.com klasifikasi dari rajungan adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Malacostrata Ordo : Decapoda

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Perairan Teluk Jakarta merupakan sebuah teluk di perairan Laut Jawa yang terletak di sebelah utara provinsi DKI Jakarta, Indonesia. Terletak

Lebih terperinci

KEPADATAN POPULASI IKAN JURUNG (Tor sp.) DI SUNGAI BAHOROK KABUPATEN LANGKAT

KEPADATAN POPULASI IKAN JURUNG (Tor sp.) DI SUNGAI BAHOROK KABUPATEN LANGKAT KEPADATAN POPULASI IKAN JURUNG (Tor sp.) DI SUNGAI BAHOROK KABUPATEN LANGKAT Hesti Wahyuningsih Abstract A study on the population density of fish of Jurung (Tor sp.) at Bahorok River in Langkat, North

Lebih terperinci

3 SEBARAN SPASIAL-TEMPORAL IKAN T. sarasinorum DI DANAU MATANO

3 SEBARAN SPASIAL-TEMPORAL IKAN T. sarasinorum DI DANAU MATANO 35 3 SEBARAN SPASIAL-TEMPORAL IKAN T. sarasinorum DI DANAU MATANO Pendahuluan Sebaran ikan T. sarasinorum di Danau Matano pertama kali dilaporkan oleh Kottelat (1991). Hingga saat ini diketahui terdapat

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 12 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Jumlah dan Sebaran Panjang Ikan Kuro Jumlah ikan kuro yang tertangkap selama penelitian berjumlah 147 ekor. Kisaran panjang dan bobot ikan yang tertangkap adalah 142-254 mm

Lebih terperinci

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

STUDI PERTUMBUHAN DAN LAJU EKSPLOITASI IKAN SELAR KUNING

STUDI PERTUMBUHAN DAN LAJU EKSPLOITASI IKAN SELAR KUNING STUDI PERTUMBUHAN DAN LAJU EKSPLOITASI IKAN SELAR KUNING (Selaroides leptolepis Cuvier, 1833) DI PERAIRAN SELAT MALAKA KECAMATAN MEDAN BELAWAN PROVINSI SUMATERA UTARA JESSICA TAMBUN 130302053 PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

IKAN HARUAN DI PERAIRAN RAWA KALIMANTAN SELATAN. Untung Bijaksana C / AIR

IKAN HARUAN DI PERAIRAN RAWA KALIMANTAN SELATAN. Untung Bijaksana C / AIR @ 2004 Untung Bijaksana Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS 702) Sekolah Pasca Sarjana / S3 Institut Pertanian Bogor September 2004 Dosen : Prof. Dr. Ir. Rudy C Tarumingkeng IKAN HARUAN DI PERAIRAN KALIMANTAN

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Fenotipe morfometrik Karakteristik morfometrik ikan nilem meliputi 21 fenotipe yang diukur pada populasi ikan nilem hijau (tetua) dan keturunannya dari hasil perkawinan

Lebih terperinci

STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI

STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Sungai Sungai umumnya lebih dangkal dibandingkan dengan danau atau telaga. Biasanya arus air sungai searah, bagian dasar sungai tidak stabil, terdapat erosi atau

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai merupakan suatu perairan yang airnya berasal dari air tanah dan air hujan, yang mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran tersebut dapat

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN M

III. HASIL DAN PEMBAHASAN M III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil 3.1.1. Profil RAPD Keragaman profil penanda DNA meliputi jumlah dan ukuran fragmen DNA. Hasil amplifikasi dengan menggunakan primer OPA-02, OPC-02, OPC-05 selengkapnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kekayaan hasil perikanan yang beranekaragam, sehingga mendatangkan devisa negara yang cukup besar terutama dari

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisika dan Kimiawi Perairan Berdasarkan hasil penelitian di perairan Kepulauan Seribu yaitu Pulau Pramuka dan Pulau Semak Daun, diperoleh nilai-nilai parameter

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Organ reproduksi Jenis kelamin ikan ditentukan berdasarkan pengamatan terhadap gonad ikan dan selanjutnya ditentukan tingkat kematangan gonad pada tiap-tiap

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi Cumi-Cumi Sirip Besar 4.1.1. Distribusi spasial Distribusi spasial cumi-cumi sirip besar di perairan Karang Congkak, Karang Lebar, dan Semak Daun yang tertangkap

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 0 I. PENDAHULUAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Ikan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma) (Gambar 1) merupakan salah satu ikan pelagis kecil yang sangat potensial

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA Ikan Terisi Menurut Richardson (1846) (2010) klasifikasi ikan terisi (Gambar 2) adalah sebagai berikut :

2. TINJAUAN PUSTAKA Ikan Terisi Menurut Richardson (1846)  (2010) klasifikasi ikan terisi (Gambar 2) adalah sebagai berikut : 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Terisi Menurut Richardson (1846) www.fishbase.org (2010) klasifikasi ikan terisi (Gambar 2) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Gambar 4 Peta lokasi penelitian.

3 METODE PENELITIAN. Gambar 4 Peta lokasi penelitian. 14 3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di PPI Labuan, Provinsi Banten. Ikan contoh yang diperoleh dari PPI Labuan merupakan hasil tangkapan nelayan disekitar perairan Selat

Lebih terperinci

ANALISIS HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN EKOR KUNING (Caesio cuning) YANG DIDARATKAN DI PPI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN EKOR KUNING (Caesio cuning) YANG DIDARATKAN DI PPI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU i ANALISIS HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN EKOR KUNING (Caesio cuning) YANG DIDARATKAN DI PPI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU DESI HARMIYATI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologis Klasifikasi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologis Klasifikasi 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Klasifikasi ikan tembang (Sardinella maderensis Lowe, 1838 in www.fishbase.com) adalah sebagai berikut : Filum : Chordata Subfilum

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Keragaman genetik ikan endemik butini... (Jefry Jack Mamangkey)

PENDAHULUAN. Keragaman genetik ikan endemik butini... (Jefry Jack Mamangkey) KERAGAMAN GENETIK IKAN ENDEMIK BUTINI (Glossogobius matanensis) BERDASARKAN PENANDA RANDOM AMPLIFIED POLYMORPHISM DNA (RAPD) DI DANAU TOWUTI SULAWESI SELATAN Jefry Jack Mamangkey *), Sulistiono **), Djadja

Lebih terperinci

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 9 dan MSY adalah: Keterangan : a : Perpotongan (intersept) b : Kemiringan (slope) e : Exponen Ct : Jumlah tangkapan Ft : Upaya tangkap (26) Model yang akan digunakan adalah model yang memiliki nilai korelasi

Lebih terperinci

ABSTRACT CHARLES P. H. SIMANJUNTAK

ABSTRACT CHARLES P. H. SIMANJUNTAK ABSTRACT CHARLES P. H. SIMANJUNTAK. The reproduction of Ompok hypophthalmus (Bleeker) related to aquatic hydromorphology change in floodplain of Kampar Kiri River. Under the direction of SUTRISNO SUKIMIN

Lebih terperinci

SWAMP EELS (Synbranchus sp.) JENIS YANG BARU TERCATAT (NEW RECORD SPECIES) DI DANAU MATANO SULAWESI SELATAN *)

SWAMP EELS (Synbranchus sp.) JENIS YANG BARU TERCATAT (NEW RECORD SPECIES) DI DANAU MATANO SULAWESI SELATAN *) Swamp Eels (Synbranchus sp.) Jenis... di Danau Matano Sulawesi Selatan (Makmur, S., et al.) SWAMP EELS (Synbranchus sp.) JENIS YANG BARU TERCATAT (NEW RECORD SPECIES) DI DANAU MATANO SULAWESI SELATAN *)

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Profil RAPD Keanekaragaman profil RAPD meliputi jumlah fragmen dan ukuran fragmen DNA. Hasil amplifikasi dengan menggunakan tiga primer (OPA-2, OPC- 2, dan OPC-5)

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Cuvier (1829), Ikan tembakang atau lebih dikenal kissing gouramy,

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Cuvier (1829), Ikan tembakang atau lebih dikenal kissing gouramy, II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tembakang Menurut Cuvier (1829), Ikan tembakang atau lebih dikenal kissing gouramy, hidup pada habitat danau atau sungai dan lebih menyukai air yang bergerak lambat dengan vegetasi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah Berdasarkan aspek pewilayahan Kalimantan Tengah mempunyai potensi besar untuk pengembangan peternakan dilihat dari luas lahan 153.564 km 2 yang terdiri atas

Lebih terperinci

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti Sebuah lagu berjudul Nenek moyangku seorang pelaut membuat saya teringat akan kekayaan laut Indonesia. Tapi beberapa waktu lalu, beberapa nelayan Kepulauan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25/KEPMEN-KP/2016 TENTANG PELEPASAN IKAN MAS (CYPRINUS CARPIO) JAYASAKTI

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25/KEPMEN-KP/2016 TENTANG PELEPASAN IKAN MAS (CYPRINUS CARPIO) JAYASAKTI KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25/KEPMEN-KP/2016 TENTANG PELEPASAN IKAN MAS (CYPRINUS CARPIO) JAYASAKTI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan Cyprinid salah satu yang populer diantaranya adalah ikan mas atau common carp (Cyprinus carpio) merupakan ikan air tawar yang bernilai ekonomis penting dan cukup

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Oleh

TINJAUAN PUSTAKA. Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Oleh TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Sungai Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Oleh karena itu, sumber air sangat dibutuhkan untuk dapat menyediakan air yang baik dari segi kuantitas

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.66/MEN/2011 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.66/MEN/2011 TENTANG Menimbang KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.66/MEN/2011 TENTANG PELEPASAN IKAN TORSORO MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa guna lebih memperkaya

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 16 3. METODE PENELITIAN 3.1. Rancangan Penelitian Pola reproduksi ikan swanggi (Priacanthus tayenus) pada penelitian ini adalah tinjauan mengenai sebagian aspek reproduksi yaitu pendugaan ukuran pertama

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Ikan layur (Trichiurus lepturus) (Sumber :

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Ikan layur (Trichiurus lepturus) (Sumber : 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Layur (Tricihurus lepturus) Layur (Trichiurus spp.) merupakan ikan laut yang mudah dikenal dari bentuknya yang panjang dan ramping. Ikan ini tersebar di banyak perairan dunia.

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27/KEPMEN-KP/2016 TENTANG PELEPASAN IKAN MAS (CYPRINUS CARPIO) MARWANA

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27/KEPMEN-KP/2016 TENTANG PELEPASAN IKAN MAS (CYPRINUS CARPIO) MARWANA KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27/KEPMEN-KP/2016 TENTANG PELEPASAN IKAN MAS (CYPRINUS CARPIO) MARWANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi Penelitian

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi Penelitian 3 METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan selama empat bulan dari Oktober 2011 hingga Januari 2012 di Waduk Ir. H. Djuanda, Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat (Gambar 3). Pengambilan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR ISI vi KATA PENGANTAR ii DAFTAR ISI vi DAFTAR TABEL vii DAFTAR GAMBAR ix I. PENDAHULUAN 1 II. SISTIMATIKA DAN DISTRIBUSI 8 A. Sistimatika 8 B. Distribusi 13 III. BIOLOGI REPRODUKSI 20 A. Nisbah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan 5 TINJAUAN PUSTAKA Estuari Estuari merupakan suatu komponen ekosistem pesisir yang dikenal sangat produktif dan paling mudah terganggu oleh tekanan lingkungan yang diakibatkan kegiatan manusia maupun oleh

Lebih terperinci

genus Barbodes, sedangkan ikan lalawak sungai dan kolam termasuk ke dalam species Barbodes ballaroides. Susunan kromosom ikan lalawak jengkol berbeda

genus Barbodes, sedangkan ikan lalawak sungai dan kolam termasuk ke dalam species Barbodes ballaroides. Susunan kromosom ikan lalawak jengkol berbeda 116 PEMBAHASAN UMUM Domestikasi adalah merupakan suatu upaya menjinakan hewan (ikan) yang biasa hidup liar menjadi jinak sehingga dapat bermanfaat bagi manusia. Domestikasi ikan perairan umum merupakan

Lebih terperinci

HUBUNGAN PANJANG BOBOT DAN REPRODUKSI IKAN KEMBUNG LELAKI

HUBUNGAN PANJANG BOBOT DAN REPRODUKSI IKAN KEMBUNG LELAKI 1 HUBUNGAN PANJANG BOBOT DAN REPRODUKSI IKAN KEMBUNG LELAKI (Rastrelliger kanagurta) DI PERAIRAN SELAT MALAKA TANJUNG BERINGIN SERDANG BEDAGAI SUMATERA UTARA SKRIPSI OLEH : JULIA SYAHRIANI HASIBUAN 110302065

Lebih terperinci

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974).

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974). 7 spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974). Ikan kembung lelaki terdiri atas ikan-ikan jantan dan betina, dengan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Lele Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Filum: Chordata Kelas : Pisces Ordo : Ostariophysi Famili : Clariidae Genus : Clarias Spesies :

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 30 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi perairan Teluk Jakarta Teluk Jakarta terletak di utara kota Jakarta dengan luas teluk 285 km 2, dengan garis pantai sepanjang 33 km, dan rata-rata kedalaman

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Semak Daun merupakan salah satu pulau yang berada di Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara. Pulau ini memiliki daratan seluas 0,5 ha yang dikelilingi

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi perairan Teluk Jakarta Teluk Jakarta, terletak di sebelah utara kota Jakarta, dengan luas teluk 285 km 2, dengan garis pantai sepanjang 33 km, dan rata-rata

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Octinopterygii. : Cypriniformes. Spesies : Osteochilus vittatus ( Valenciennes, 1842)

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Octinopterygii. : Cypriniformes. Spesies : Osteochilus vittatus ( Valenciennes, 1842) II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Palau Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Octinopterygii Ordo : Cypriniformes Famili : Cyprinidae Genus : Osteochilus Spesies : Osteochilus vittatus

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pendugaan stok ikan. Meskipun demikian pembatas utama dari karakter morfologi

I. PENDAHULUAN. pendugaan stok ikan. Meskipun demikian pembatas utama dari karakter morfologi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karakter morfologi telah lama digunakan dalam biologi perikanan untuk mengukur jarak dan hubungan kekerabatan dalam pengkategorian variasi dalam taksonomi. Hal ini juga

Lebih terperinci

oaj STUDI PERTUMBUHAN DAN BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI

oaj STUDI PERTUMBUHAN DAN BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI &[MfP $00 4 oaj STUDI PERTUMBUHAN DAN BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI RAJUNGAN (Portiinirspelngicus) DI PERAIRAN MAYANGAN, KABWATEN SUBANG, JAWA BARAT Oleh: DEDY TRI HERMANTO C02499072 SKRIPSI Sebagai Salah

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.48/MEN/2012 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.48/MEN/2012 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.48/MEN/2012 TENTANG PELEPASAN INDUK IKAN NILA JANTAN PANDU DAN INDUK IKAN NILA BETINA KUNTI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49/KEPMEN-KP/2018 TENTANG PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN CAPUNGAN BANGGAI (Pterapogon kauderni) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Danau Toba adalah sebuah danau vulkanik dengan ukuran luas 100 km x 30 km di Sumatera Utara, Indonesia. Di tengah danau ini terdapat sebuah pulau vulkanik bernama

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum perairan selat sunda Selat Sunda merupakan selat yang membujur dari arah Timur Laut menuju Barat Daya di ujung Barat Pulau Jawa atau Ujung Selatan

Lebih terperinci

2014, No Republik Indonesia Nomor 4433), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia T

2014, No Republik Indonesia Nomor 4433), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia T No.714, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN KP. Larangan. Pengeluaran. Ikan. Ke Luar. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21/PERMEN-KP/2014 TENTANG LARANGAN

Lebih terperinci

STUDI MORFOMETRIK DAN MERISTIK IKAN LEMEDUK (Barbodes schwanenfeldii) DI SUNGAI BELUMAI KABUPATEN DELI SERDANG ANITA RAHMAN

STUDI MORFOMETRIK DAN MERISTIK IKAN LEMEDUK (Barbodes schwanenfeldii) DI SUNGAI BELUMAI KABUPATEN DELI SERDANG ANITA RAHMAN STUDI MORFOMETRIK DAN MERISTIK IKAN LEMEDUK (Barbodes schwanenfeldii) DI SUNGAI BELUMAI KABUPATEN DELI SERDANG ANITA RAHMAN 100302040 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki Indeks Keanekaragaman Hayati(Biodiversity Index) tertinggi dengan 17% spesies burung dari total burung di dunia (Paine 1997). Sekitar 1598 spesies burung ada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan lentik. Jadi daerah aliran sungai adalah semakin ke hulu daerahnya pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan lentik. Jadi daerah aliran sungai adalah semakin ke hulu daerahnya pada BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sungai Sungai sebagai perairan umum yang berlokasi di darat dan merupakan suatu ekosistem terbuka yang berhubungan erat dengan sistem - sistem terestorial dan lentik. Jadi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Tawes 2.1.1 Taksonomi Tawes Menurut Kottelat (1993), klasifikasi ikan tawes adalah sebagai berikut: Phylum : Chordata Classis Ordo Familia Genus Species : Pisces : Ostariophysi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Zooplankton adalah hewan berukuran mikro yang dapat bergerak lebih bebas di

I. PENDAHULUAN. Zooplankton adalah hewan berukuran mikro yang dapat bergerak lebih bebas di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Plankton adalah organisme mikroskopis yang hidup melayang bebas di perairan. Plankton dibagi menjadi fitoplankton dan zooplankton. Fitoplankton adalah organisme berklorofil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sungai Tabir merupakan sungai yang berada di Kecamatan Tabir Kabupaten

BAB I PENDAHULUAN. Sungai Tabir merupakan sungai yang berada di Kecamatan Tabir Kabupaten BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sungai Tabir merupakan sungai yang berada di Kecamatan Tabir Kabupaten Merangin Provinsi Jambi. Sungai yang berhulu di Danau Kerinci dan bermuara di Sungai Batanghari

Lebih terperinci

Ikan kakap putih (Lates calcarifer, Bloch 1790) Bagian 1: Induk

Ikan kakap putih (Lates calcarifer, Bloch 1790) Bagian 1: Induk Standar Nasional Indonesia ICS 65.150 Ikan kakap putih (Lates calcarifer, Bloch 1790) Bagian 1: Induk Badan Standardisasi Nasional BSN 2014 Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang mengumumkan dan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.09/MEN/2012 TENTANG PELEPASAN IKAN NILA SRIKANDI

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.09/MEN/2012 TENTANG PELEPASAN IKAN NILA SRIKANDI KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.09/MEN/2012 TENTANG PELEPASAN IKAN NILA SRIKANDI MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa guna lebih

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Lele Masamo (Clarias gariepinus) Subclass: Telostei. Ordo : Ostariophysi

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Lele Masamo (Clarias gariepinus) Subclass: Telostei. Ordo : Ostariophysi BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Lele Masamo (Clarias gariepinus) Klasifikasi lele masamo SNI (2000), adalah : Kingdom : Animalia Phylum: Chordata Subphylum: Vertebrata Class : Pisces

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakasanakan mulai awal bulan Maret sampai bulan Mei, dengan interval pengambilan data setiap dua minggu. Penelitian berupa pengumpulan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Klasifikasi ikan Juaro (Pangasius polyuranodon) menurut Kottelat dan Whitten (1993) adalah sebagai berikut : Filum : Chordata Sub filum : Vertebrata Kelas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan sungai Sungai merupakan salah satu dari habitat perairan tawar. Berdasarkan kondisi lingkungannya atau daerah (zona) pada sungai dapat dibedakan menjadi tiga jenis,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuna mata besar (Thunnus obesus) atau lebih dikenal dengan bigeye tuna adalah salah satu anggota Famili Scombridae dan merupakan salah satu komoditi ekspor perikanan tuna

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk ikan gurame (Osphronemus goramy, Lac) kelas induk pokok (Parent Stock)

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk ikan gurame (Osphronemus goramy, Lac) kelas induk pokok (Parent Stock) SNI : 01-6485.1-2000 Standar Nasional Indonesia Induk ikan gurame (Osphronemus goramy, Lac) kelas induk pokok (Parent Stock) Prakata Standar induk ikan gurami kelas induk pokok diterbitkan oleh Badan Standardisasi

Lebih terperinci

JOURNAL OF MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES. Volume 2, Nomor 2, Tahun 2013, Halaman Online di :

JOURNAL OF MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES. Volume 2, Nomor 2, Tahun 2013, Halaman Online di : JOURNAL OF MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES. Volume 2, Nomor 2, Tahun 2013, Halaman 73-80 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/maquares ASPEK REPRODUKSI IKAN NILA (Oreochromis niloticus)

Lebih terperinci

GAMBARAN HISTOLOGIS TESTIS MUDA DAN DEWASA PADA IKAN MAS Cyprinus carpio.l RAHMAT HIDAYAT SKRIPSI

GAMBARAN HISTOLOGIS TESTIS MUDA DAN DEWASA PADA IKAN MAS Cyprinus carpio.l RAHMAT HIDAYAT SKRIPSI GAMBARAN HISTOLOGIS TESTIS MUDA DAN DEWASA PADA IKAN MAS Cyprinus carpio.l RAHMAT HIDAYAT SKRIPSI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN AKUAKULTUR DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41/KEPMEN-KP/2014 TENTANG PELEPASAN IKAN MAS MERAH NAJAWA

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41/KEPMEN-KP/2014 TENTANG PELEPASAN IKAN MAS MERAH NAJAWA KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41/KEPMEN-KP/2014 TENTANG PELEPASAN IKAN MAS MERAH NAJAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.47/MEN/2012 TENTANG PELEPASAN IKAN NILA MERAH NILASA

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.47/MEN/2012 TENTANG PELEPASAN IKAN NILA MERAH NILASA KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.47/MEN/2012 TENTANG PELEPASAN IKAN NILA MERAH NILASA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Clownfish Klasifikasi Clownfish menurut Burges (1990) adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Chordata : Perciformes

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Danau Limboto merupakan danau yang berada di Kabupaten Gorontalo,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Danau Limboto merupakan danau yang berada di Kabupaten Gorontalo, A. Keadaan Umum Lokasi Penelitian BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Danau Limboto merupakan danau yang berada di Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo dengan luas wilayah perairannya mencapai 3000 ha, pada

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.23/MEN/2012 TENTANG PELEPASAN IKAN NILA NIRWANA II

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.23/MEN/2012 TENTANG PELEPASAN IKAN NILA NIRWANA II KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.23/MEN/2012 TENTANG PELEPASAN IKAN NILA NIRWANA II MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa guna lebih

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman hayati laut yang sangat tinggi dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan bahan industri. Salah satu sumberdaya tersebut adalah

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28/KEPMEN-KP/2016 TENTANG PELEPASAN IKAN NILA (OREOCHROMIS NILOTICUS) NIRWANA III

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28/KEPMEN-KP/2016 TENTANG PELEPASAN IKAN NILA (OREOCHROMIS NILOTICUS) NIRWANA III KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28/KEPMEN-KP/2016 TENTANG PELEPASAN IKAN NILA (OREOCHROMIS NILOTICUS) NIRWANA III DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP. 52/MEN/2004 T E N T A N G PELEPASAN VARIETAS IKAN NILA JICA SEBAGAI VARIETAS BARU

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP. 52/MEN/2004 T E N T A N G PELEPASAN VARIETAS IKAN NILA JICA SEBAGAI VARIETAS BARU KEPUTUSAN NOMOR : KEP. 52/MEN/2004 T E N T A N G PELEPASAN VARIETAS IKAN NILA JICA SEBAGAI VARIETAS BARU, Menimbang : a. bahwa dalam rangka memperkaya jenis dan varietas serta menambah sumber plasma nutfah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kemampuan suatu perairan dalam menerima suatu beban bahan tertentu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kemampuan suatu perairan dalam menerima suatu beban bahan tertentu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Kemampuan suatu perairan dalam menerima suatu beban bahan tertentu dari luar sistem perairannya sehingga dapat dinetralkan atau distabilkan kembali dalam jangka waktu

Lebih terperinci

PENGARUH TEPUNG IKAN LOKAL DALAM PAKAN INDUK TERHADAP PEMATANGAN GONAD DAN KUALITAS TELUR IKAN BAUNG (Hemibagrus nemurus Blkr.

PENGARUH TEPUNG IKAN LOKAL DALAM PAKAN INDUK TERHADAP PEMATANGAN GONAD DAN KUALITAS TELUR IKAN BAUNG (Hemibagrus nemurus Blkr. PENGARUH TEPUNG IKAN LOKAL DALAM PAKAN INDUK TERHADAP PEMATANGAN GONAD DAN KUALITAS TELUR IKAN BAUNG (Hemibagrus nemurus Blkr.) Ediwarman SEKOLAH PASACASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN

Lebih terperinci

STUDI ISI LAMBUNG IKAN OPUDI (Telmatherina celebensis) DI DANAU TOWUTI, SULAWESI SELATAN

STUDI ISI LAMBUNG IKAN OPUDI (Telmatherina celebensis) DI DANAU TOWUTI, SULAWESI SELATAN Jurnal Akuakultur Indonesia, 5(2): 149-156 (2006) Available : http://journal.ipb.ac.id/index.php/jai http://jurnalakuakulturindonesia.ipb.ac.id 149 STUDI ISI LAMBUNG IKAN OPUDI (Telmatherina celebensis)

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /KEPMEN-KP/2017 TENTANG PELEPASAN IKAN TAWES (PUNTIUS JAVANICUS) JOIS

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /KEPMEN-KP/2017 TENTANG PELEPASAN IKAN TAWES (PUNTIUS JAVANICUS) JOIS KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /KEPMEN-KP/2017 TENTANG PELEPASAN IKAN TAWES (PUNTIUS JAVANICUS) JOIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 9 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Ikan contoh diambil dari TPI Kali Baru mulai dari bulan Agustus 2010 sampai dengan bulan November 2010 yang merupakan hasil tangkapan nelayan di

Lebih terperinci

STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH

STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci