PENGARUH LAJU EKSPLOITASI TERHADAP KERAGAAN REPRODUKTIF IKAN TEMBANG (Sardinella gibbosa) FAMILI CLUPEIDAE

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENGARUH LAJU EKSPLOITASI TERHADAP KERAGAAN REPRODUKTIF IKAN TEMBANG (Sardinella gibbosa) FAMILI CLUPEIDAE"

Transkripsi

1 PENGARUH LAJU EKSPLOITASI TERHADAP KERAGAAN REPRODUKTIF IKAN TEMBANG (Sardinella gibbosa) FAMILI CLUPEIDAE DILMAGA HARI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

2 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul: Pengaruh Laju Eksploitasi Terhadap Keragaan Reproduktif Ikan Tembang (S. gibbosa) Famili Clupeidae adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Januari 2010 Dilmaga Hari C

3 RINGKASAN Dilmaga Hari. C Pengaruh Laju Eksploitasi Terhadap Keragaan Reproduktif Ikan Tembang (Sardinella gibbosa) Famili Clupeidae. Dibimbing Oleh Yunizar Ernawati dan M. Mukhlis Kamal. Potensi sumberdaya perikanan laut Indonesia 52% terdiri dari kelompok ikan pelagis kecil. Hasil penangkapan ikan pelagis kecil di Laut Jawa dengan tolak ukur purse seine menunjukkan bahwa perkiraan potensi lestarinya ton/tahun. Sedangkan total tangkapan pada tahun 1991 sudah mencapai 2,54 juta ton/tahun, yang terdiri dari 52% ikan pelagis kecil, dari besaran tersebut 6,16% adalah ikan tembang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat eksploitasi ikan tembang, mengetahui keragaan reproduktif serta melihat keterkaitan antara tingkat eksploitasi dengan keragaan reproduktif ikan tembang. Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan bulan Juli Lokasi pengambilan ikan contoh di tempat pendaratan ikan (TPI), satu di pantai utara Jawa yaitu TPI Mina Fajar Sidik (Subang), satu di perairan Selat Sunda yaitu TPI Labuan (Pandeglang) dan satu di pantai selatan Jawa yaitu TPI Palabuhan Ratu (Sukabumi). Ikan contoh diambil dari tempat pendaratan ikan (TPI) satu kali dalam sebulan dari masing-masing daerah selama tiga bulan. Data primer diperoleh dari analisa ikan di laboratorium dan pengukuran langsung di lapangan. Sedangkan data sekunder diperoleh dari hasil wawancara nelayan di tempat pendaratan ikan (TPI), studi literatur yang meliputi data-data statistik perikanan ikan tembang dan beberapa parameter lingkungan di tiga lokasi penelitian tersebut. Untuk pengukuran panjang dan berat langsung diukur di tempat pelelangan ikan dan ada juga di laboratorium. Data primer yang diperoleh meliputi panjang total, berat tubuh, aspek reproduksi (nisbah kelamin, tingkat kematangan gonad, histologis gonad, indeks kematangan gonad, fekunditas, diameter telur dan kandungan protein telur). Analisis data meliputi hubungan panjang-berat, laju eksploitasi, dan Fekunditas. Sebaran panjang ikan tembang (Sardinella gibbosa) di Palabuhan Ratu berkisar antara mm, di Blanakan berkisar antara mm dan di daerah Labuan berkisar antara mm. Rata-rata pada daerah Blanakan ikan tembang ditemukan pada ukuran yang lebih besar. Pola pertumbuhan ikan tembang jantan dan betina adalah isometrik (P<0,05). Nisbah kelamin ikan jantanbetina selama pengamatan tidak seimbang 1:1,7 (Palabuhan Ratu), 1:1,6 (Blanakan dan Labuan). Berdasarkan tingkat kematangan gonad dan indeks kematangan gonad, diduga ikan mulai memijah di Palabuhan Ratu pada selang panjang mm, di Blanakan mulai memijah pada selang panjang mm, dan Labuan pada selang panjang mm. Fekunditas ikan tembang di Palabuhan Ratu berkisar antara butir telur, di daerah Blanakan fekunditas berkisar antara butir telur, dan di daerah Labuan berkisar antara butir telur. Dari tren laju eksploitasi dapat dilihat laju eksploitasi dari tiga lokasi penelitian sudah melebihi 50% dengan laju lebih besar terlihat pada daerah Labuan yaitu 63,7% dan laju yang lebih rendah terlihat pada daerah Palabuhan Ratu yaitu 53,2%. Berdasarkan sebaran diameter telur, populasi ikan tembang

4 mempunyai tipe pemijahan partial spawner. Nilai kandungan protein telur secara keseluruhan berkisar antara 11,43%-32,68%. Dilihat dari trennya kandungan protein telur lebih besar ditemukan di Palabuhan Ratu yaitu 24,88% dan lebih rendah di Labuan yaitu 20,79%. Dari tren laju eksploitasi dapat dilihat eksploitasi di tiga lokasi penelitian sudah melebihi 50%, dengan laju lebih besar terlihat pada daerah Labuan yaitu 63,7% dan laju yang lebih rendah terlihat pada daerah Palabuhan Ratu yaitu 53,2%. Laju eksploitasi berpengaruh terhadap sebagian parameter reproduksi. Hal ini terlihat dari tren laju eksploitasi dengan ukuran diameter telur dan kandungan protein, walaupun perbedaannya tidak terlalu besar. Begitu juga dengan ukuran ikan pertama kali matang gonad lebih kecil pada daerah dengan laju eksploitasi yang juga lebih besar yaitu pada daerah Labuan. Laju eksploitasi juga berpengaruh terhadap komposisi ukuran ikan, hal ini terlihat pada ukuran ikan yang tertangkap di setiap lokasi penelitian dengan laju eksploitasi yang berbeda. Walaupun ada faktor lingkungan dan ketersediaan makanan yang juga mempengaruhi.

5 PENGARUH LAJU EKSPLOITASI TERHADAP KERAGAAN REPRODUKTIF IKAN TEMBANG (Sardinella gibbosa) FAMILI CLUPEIDAE DILMAGA HARI C Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

6 PENGESAHAN SKRIPSI Judul Skripsi Nama NIM Program Studi : Pengaruh Laju Eksploitasi Terhadap Keragaan Reproduktif Ikan Tembang (S. gibbosa) Famili Clupeidae : Dilmaga Hari : C : Manajemen Sumberdaya Perairan Menyetujui: Pembimbing I, Pembimbing II Dr. Ir. Yunizar Ernawati, MS Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc NIP NIP Mengetahui: Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Dr. Ir. Yusli Wardiatno. M.Sc NIP Tanggal Lulus : 11 Januari 2010

7 PRAKATA Syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini berjudul Pengaruh Laju Eksploitasi Terhadap Keragaan Reproduktif Ikan Tembang (S. gibbosa) Famili Clupeidae; disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan pada bulan Mei Juli 2009, dan merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Ir. Yunizar Ernawati, MS selaku dosen pembimbing pertama dan Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc selaku dosen pembimbing kedua yang telah banyak membantu dalam memberikan bimbingan, masukan, dan arahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna, dikarenakan keterbatasan pengetahuan penulis. Namun demikian penulis mengharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk berbagai pihak. Bogor, Januari 2010 Penulis

8 UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Dr. Ir. Yunizar Ernawati, MS selaku dosen pembimbing I yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan, dan saran baik dalam bentuk moriil, materi dan finansial selama pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi. 2. Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc selaku dosen pembimbing II sekaligus Pembimbing Akademik yang banyak memberikan bimbingan serta masukan dan arahan baik dalam bentuk moriil, materi dan finansial selama penulis menempuh pendidikan di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan hingga pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi. 3. Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc selaku dosen penguji tamu dan Dr. Ir. Achmad Fachrudin, M.Si selaku dosen penguji dari program studi yang telah memberikan masukan dan saran yang sangat berarti untuk penulis. 4. Keluarga tercinta; Papa, Mama, dan adik-adikku (Igit dan Geni) serta andutkoe Gita Lestari yang selalu aku sayangi, terima kasih atas doa, pengorbanan, keikhlasan serta dukungan semangatnya. 5. Seluruh civitas Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis. 6. Seluruh pegawai dari PPN Palabuhan Ratu, TPI Labuan dan KUD Mina Fajar Sidik Blanakan atas segala bantuan dan kerjasamanya. 7. Team telur, rekan-rekan seperjuangan dari MSP 41, MSP 42, MSP 43 dan MSP 44 atas doa, bantuan, dukungan, kesabaran, kerjasama dan semangatnya kepada penulis selama masa perkuliahan hingga pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi serta seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu.

9 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Payakumbuh, pada tanggal 11 Desember 1986 dari Pasangan Bapak Aridasni dan Ibu Idil Fitri. Penulis merupakan putra pertama dari tiga bersaudara. Pendidikan formal ditempuh di SDN 10 Balai Betung, Payakumbuh (1999), SLTP N 1 Payakumbuh (2002), dan SMAN 1 Harau (2005). Pada tahun 2005 penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama mengikuti perkuliahan penulis berkesempatan menjadi Asisten Mata Kuliah Ekologi Perairan (2008/2009), Sumberdaya Perikanan (2008/2009) dan Limnologi (2008/2009) serta aktif sebagai anggota Divisi Minat Bakat Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan (HIMASPER) pada tahun 2008/2009. Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melaksanakan penelitian yang berjudul Pengaruh Laju Eksploitasi Terhadap Keragaan Reproduktif Ikan Tembang (S. gibbosa) Famili Clupeidae.

10 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... xii xiii xv 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Manfaat TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi, Tata Nama dan Ciri-ciri Morfologi Habitat dan Eksploitasi Hubungan Panjang dan Berat Faktor Kondisi Reproduksi Nisbah kelamin Indeks kematangan gonad Tingkat kematangan gonad Diameter telur dan pemijahan Fekunditas Kualitas Telur Hubungan antara Eksploitasi dan Reproduksi METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Alat dan Bahan Metode Kerja Pengambilan data Pengambilan ikan contoh di lapangan Pengamatan ikan contoh di laboratorium Panjang dan berat total Jenis kelamin dan tingkat kematangan gonad (TKG) Indeks kematangan gonad (IKG) Fekunditas Diameter telur Analisis Data Analisis Maximum Sustainable Yield (MSY) dan Laju Eksploitasi Sebaran frekuensi panjang... 24

11 Hubungan panjang-berat Faktor kondisi Nisbah kelamin Pendugaan ikan pertama kali matang gonad Indeks kematangan gonad (IKG) Fekunditas Analisis proximat (Mellana 2005) HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Palabuhan Ratu Blanakan Labuan Laju Eksploitasi dan Potensi Lestari Ikan Tembang (S. gibbosa) Sebaran Frekuensi Panjang Ikan Tembang (S. gibbosa) Hubungan Panjang Berat dan Faktor Kondisi Ikan Tembang (S. gibbosa) Aspek Reproduksi Nisbah kelamin ikan tembang (S. gibbosa) Tingkat kematangan gonad ikan tembang (S. gibbosa) Indeks kematangan gonad ikan tembang (S. gibbosa) Fekunditas ikan tembang (S. gibbosa) Diameter telur ikan tembang (S. gibbosa) Kandungan Protein Telur Ikan Tembang (S. gibbosa) Aspek Pengelolaan KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 81

12 DAFTAR TABEL Halaman 1. Klasifikasi tingkat kematangan gonad ikan tembang (Clupea platygaster) (Ismail 2006) Parameter pertumbuhan, laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan tembang (S gibbosa) di tiga lokasi penelitian Potensi maksimum lestari (MSY) ikan tembang di tiga lokasi penelitian menurut Schaefer dan Fox Hubungan panjang berat ikan tembang jantan dan betina dari tiga lokasi penelitian Faktor kondisi ikan tembang jantan dan betina dari tiga lokasi penelitian Klasifikasi tingkat kematangan gonad ikan tembang (S. gibbosa) berdasarkan hasil pengamatan (Mei-Juli 2009)... 53

13 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Skema perumusan masalah Tahap perkembangan gonad ikan S. gracilis dari immature sampai mature (Weng et al. 2005) Hubungan upaya penangkapan dan hasil penangkapan (produksi) Ikan tembang (Sardinella gibbosa) Sebaran frekuensi panjang Ikan Tembang (S. gibbosa) Distribusi frekuensi jumlah ikan tembang setiap bulan pengamatan di perairan Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL), dan Labuan (LB) Perbandingan ukuran dari total tangkapan di setiap lokasi penelitian Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL), dan Labuan (LB) Hubungan panjang berat ikan tembang (S. gibbosa) jantan dan betina di perairan Palabuhan Ratu, Blanakan, dan Labuan Faktor kondisi ikan tembang(s. gibbosa) jantan (panel kiri) dan betina (panel kanan) berdasarkan ukuran selang kelas panjang di perairan Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL), dan Labuan (LB) Nisbah kelamin ikan tembang (S. gibbosa) berdasarkan ukuran selang kelas panjang di perairan Palabuhan Ratu, Blanakan, dan Labuan Perubahan nisbah kelamin berdasarkan bulan pengambilan contoh di Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL), dan Labuan (LB) Tingkat kematangan gonad ikan tembang (S. gibbosa) jantan dan betina setiap bulan pengamatan Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL), dan Labuan (LB) Tingkat kematangan gonad ikan tembang (S. gibbosa) jantan dan betina berdasarkan selang kelas panjang di Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL), dan Labuan (LB) Struktur histologis ikan tembang (S. gibbosa) pada TKG I, TKG II, dan TKG III Struktur histologis ikan tembang (S. gibbosa) pada TKG IV (anterior, median, dan posterior) Indeks kematangan gonad ikan tembang (S. gibbosa) jantan dan betina berdasarkan bulan pengambilan contoh di Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL), dan Labuan (LB) Indeks kematangan gonad ikan tembang (S. gibbosa) jantan (panel kiri) dan betina (panel kanan) berdasarkan selang kelas panjang di perairan Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL), dan

14 Labuan (LB) Hubungan antara fekunditas TKG III dan IV dengan panjang total ikan tembang (S. gibbosa) di perairan Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL), dan Labuan (LB) Hubungan antara fekunditas TKG III dan IV dengan berat total ikan tembang (S. gibbosa) di perairan Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL), dan Labuan (LB) Perbandingan fekunditas ikan tembang (S. gibbosa) antara tiga lokasi penelitian Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL), dan Labuan (LB) Sebaran diameter telur ikan tembang (S. gibbosa) TKG III dan IV setiap bulan pengamatan di perairan Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL), dan Labuan (LB) Perbandingan diameter telur ikan tembang (S. gibbosa) TKG III dan TKG IV di Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL), dan Labuan (LB) Kandungan protein telur ikan tembang (Sardinella gibbosa) pada setiap bulan pengamatan di daerah Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL), dan Labuan (LB) Kandungan protein telur ikan tembang (S gibbosa) dari tiga lokasi penelitian Kandungan protein telur ikan tembang (S. gibbosa) secara keseluruhan pada setiap selang kelas panjang di tiga lokasi pengambilan contoh... 72

15 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Peta lokasi penelitian (Google earth 2009) Alat tangkap ikan tembang (S. gibbosa) Proses perhitungan analisis proksimat (Mellana 2005) Proses pembuatan preparat histologi gonad ikan tembang (Bank in Hermawati 2006) Kelas ukuran dan frekuensi jumlah ikan tembang (S. gibbosa) di setiap daerah pengambilan sampel Analisis kovarian hubungan panjang-berat (Effendie 1979) Uji t hubungan panjang-berat ikan tembang (S. gibbosa) jantan dan betina Uji chi-square terhadap jenis kelamin ikan tembang (S. gibbosa) Faktor kondisi ikan tembang (S. gibbosa) pada setiap bulan pengambilan sampel Nisbah kelamin ikan tembang (S. gibbosa) setiap bulan pengambilan sampel Sebaran frekuensi tingkat kematangan gonad (TKG) ikan tembang (S. gibbosa) berdasarkan waktu pengambilan sampel Sebaran frekuensi tingkat kematangan gonad (TKG) ikan tembang (S. gibbosa) berdasarkan kelas ukuran panjang Indeks kematangan gonad (IKG) ikan tembang (S. gibbosa) Jantan Indeks kematangan gonad (IKG) ikan tembang (S. gibbosa) betina Indeks kematangan gonad (IKG) ikan tembang (S. gibbosa) setiap bulan pengamatan Fekunditas ikan tembang (S. gibbosa) di setiap daerah pengambilan sampel Kandungan protein telur ikan tembang (S. gibbosa) di setiap daerah pengambilan sampel Data hasil tangkapan dan upaya tangkap dari setiap lokasi penelitian Grafik hubungan upaya dan CPUE dengan pendekatan Schaefer dan Fox Diagram alir hasil analisis aspek eksploitasi dan keragaan pertumbuhan danreproduksi ikan petek di tiga lokasi

16 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki potensi sumberdaya laut yang cukup besar baik dari segi kuantitas maupun keragamannya. Berdasarkan penyebaran daerah penangkapan ikan, potensi perikanan tangkap di perairan laut indonesia dibagi berdasarkan 9 wilayah pengelolaan perikanan (WPP). Potensi lestari (maximum sustainable yield, MSY) sumberdaya ikan laut Indonesia yang dapat dimanfaatkan diperkirakan sebesar 6,4 juta ton (Dahuri 2004). Menurut Widodo (1988), eksploitasi sumberdaya ikan pelagis kecil di Laut Jawa, didominasi oleh ikan Layang, Sardin, Kembung, dan Selar. Untuk potensi sumberdaya perikanan laut Indonesia sendiri 52% terdiri dari kelompok ikan pelagis kecil. Hasil penangkapan ikan pelagis kecil di Laut Jawa dengan tolok ukur purse seine menunjukkan bahwa perkiraan potensi lestarinya ton/tahun (Dinas Perikanan Jawa Tengah in Raharjo 1995). Sedangkan total tangkapan pada tahun 1991 sudah mencapai 2,54 juta ton/tahun, yang terdiri dari 52% ikan pelagis kecil, dari besaran tersebut 6,16% adalah ikan tembang. Dampak tangkap lebih (over fishing) adalah penurunan hasil tangkapan dan penurunan stok ikan bahkan kepunahan. Menurut Royce (1972), tingginya tekanan penangkapan dapat mengakibatkan penurunan kelimpahan populasi dan penurunan rata-rata ukuran ikan Tekanan tangkap akan mempengaruhi keragaan reproduktif atau kualitas telur ikan yang meliputi kandungan nutrisi dan aspek biologi reproduksi yang mencakup nisbah kelamin, fekunditas, ukuran diameter telur, TKG dan IKG, serta ukuran ikan pertama kali matang gonad. Menurut Lagler (1972), faktor luar yang mempengaruhi ukuran ikan pertama kali matang gonad adalah makanan, suhu, arus dan tekanan penangkapan. Agar populasi ikan yang ada di perairan laut Indonesia tetap lestari maka perlu adanya pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. Studi tentang biologi reproduksi ikan tembang sudah ada sebelumnya, tapi informasi tentang kualitas telur masih terbatas. Populasi ikan yang dieksploitasi secara berlebihan akan didominasi oleh individu yang kecil dan muda sehingga, dengan kondisi seperti itu pada musim pemijahan akan dihasilkan telur-telur yang kualitasnya kurang

17 baik. Menurut Platten (2004) populasi ikan betina pada daerah penangkapan yang intensif, akan berukuran kecil dan menghasilkan telur ikan dengan ukuran yang kecil dalam jumlah yang sedikit Untuk itu perlu adanya studi lanjutan mengenai kualitas telur ikan tembang (S. gibbosa). 1.2 Perumusan Masalah Upaya penangkapan secara terus menerus terhadap sumberdaya ikan, khususnya ikan Tembang (Sardinella gibosa) dapat menyebabkan penurunan jumlah stok dan biomassa ikan tersebut. Meskipun secara nyata sudah ada gejala tangkap lebih misalnya penurunan hasil tengkapan namun tidak dapat dibuktikan secara kuantitatif, kita hanya bisa melihat dari gejala-gejala yang ada. Seperti yang terjadi di Laut Jawa, jumlah hasil tangkapan menurun dari tahun ke tahun. Dari segi ukuran, ikan yang tertangkap semakin kecil. Informasi tentang biologi reproduksi ikan tembang (S. gibbosa) masih terbatas karena penelitian tentang hal ini jarang dilakukan di Indonesia. Untuk lebih jelasnya gambaran mengenai perumusan masalah dapat dilihat pada Gambar 1. Sumberdaya ikan Eksploitasi tinggi Eksploitasi rendah Populasi turun turun Populasi normal Didominasi ikan kecil dan muda Reproductive perfomance (Tampilan reproduksi) Ukuran representatif Upaya pengelolaan berkelanjutan Gambar 1. Skema perumusan masalah

18 Salah satu penyebab eksploitasi yang berlebihan adalah kurangnya pemahaman masyarakat terhadap informasi biologi reproduksi ikan dan kurangnya penyuluhan pemerintah tentang hal tersebut. Dengan mempelajari biologi reproduksi maka akan diketahui pola dan musim pemijahan ikan serta ukuran yang sudah layak untuk ditangkap. Sehingga, dengan adanya informasi ini dapat digunakan untuk pemanfaatan ikan secara optimal dengan memperhatikan kelestarian. Salah satu metode sederhana untuk melihat pengaruh penangkapan adalah dengan melihat telur ikan. Telur dapat menggambarkan kondisi populasi akibat penangkapan serta dugaan terhadap kelangsungan hidup dan keberhasilan rekruitmen (Jennings et al. 1998). Penelitian ini melakukan perbandingan aspek reproduksi pada ikan yang sama dengan lokasi (fishing ground) yang berbeda. Hal ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang tingkat eksploitasi, keragaan reproduksi, dan kebijakan pengelolaan. 1.3 Tujuan Penelitian ini mempunyai tujuan untuk : Melihat tingkat Eksploitasi (E) dan Potensi Lestari Maksimum (MSY) ikan tembang (Sardinella gibbosa) di Pelabuhan Ratu, Blanakan, dan Labuan. Mengetahui aspek biologi reproduksi ikan S. gibbosa yang mencakup fekunditas, tingkat kematangan gonad, indeks kematangan gonad, rasio kelamin, dan ukuran ikan pertama kali matang gonad. Melihat keterkaitan antara laju Eksploitasi dengan aspek biologi reproduksi ikan S. gibbosa. 1.4 Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk pengelolaan sumberdaya ikan Tembang (Sardinella gibbosa) dengan memperhatikan kelestarian yang berkelanjutan untuk masa yang akan datang. Diharapkan pengertian yang baik terhadap pengaruh penangkapan yang berlebih dan pengetahuan yang baik

19 mengenai aspek biologi reproduksi dapat mendukung pola pemanfaatan sumberdaya perikanan secara optimum, namun dengan memperhatikan aspekaspek kelestarian sumberdaya tersebut agar tetap berkelanjutan.

20 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi, Tata Nama dan Ciri-ciri Morfologi Klasifikasi ikan tembang (Sardinella gibbosa) berdasarkan tingkat sistematikanya (FAO 1974) : Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Actinopterygii Subkelas : Neopterygii Infrakelas : Teleostei Superordo : Clupeomorpha Ordo : Clupeiformes Subordo : Clupeoidei Famili : Clupeidae Subfamili : Clupeinae Genus : Sardinella Spesies : Sardinella gibbosa Sinonim : Sardinella jussieu (Lacepede in FAO 1974), Sardinella tembang (Bleeker in FAO 1974) Nama umum : Goldstrip sardinella Nama lokal : Ikan Tembang, Tamban (PPN Palabuhan Ratu), Cekong (Blanakan), tembang gepeng (Labuan) Ikan tembang (S. gibbosa) dicirikan oleh bentuk badan yang memanjang dan pipih. Badan bersifat fusiform, sedikit pipih, panjang total 3.6 sampai 4.1 kali lebar; pada bagian perut meruncing dengan beberapa scute yang terbalik; postpelvic scutes berjumlah 15 sampai 16 (biasanya 14 atau 17 sampai 18). Sirip dorsal mulai dari bagian belakang kepala, dasar sirip anal lebih pendek dan terletak sejajar dengan dasar sirip dorsal bagian belakang, pelvic fin terletak di bawah sirip dorsal bagian depan. Jumlah daun insang berkisar antara 43 sampai 63 pasang. Pada bagian depan terdapat scales yang sedikit bergerigi.

21 Ikan ini mempunyai panjang maksimum 18.5 cm, namun yang biasa tertangkap berukuran 15 cm. Pada bagian punggung bewarna biru kehijauan dan bagian belakang bewarna keperakan. Bagian tengah badan terdapat garis kecil bewarna kuning secara horizontal; pada bagian depan punggung ada bintik hitam yang bercahaya. Striae vertikal pada sisik tidak bertemu di pusat, pada bagian pinggiran belakang sisik terdapat banyak lubang pori-pori yang halus(bleeker in FAO 1974). 2.2 Habitat dan Eksploitasi Ikan tembang menghuni perairan pantai termasuk spesies pelagis kecil, ada yang berasosiasi dengan karang pada kedalaman m. Hidup membentuk schooling (kelompok), makanan utama ikan tembang yaitu fitoplankton dan zooplankton (larva udang dan kerang). Tersebar dari perairan utara Australia sampai ke Asia tenggara dan juga terdapat di daerah Indo-pasifik dan Afrika timur (Allen 1997). Sedangkan untuk wilayah Indonesia, ikan tembang terutama terkumpul di daerah Kalimantan Selatan, Laut Jawa, Selat Malaka, Sulawesi Selatan, dan Arafuru (Direktorat Jendral Perikanan 1979). Ikan ini biasanya ditangkap dengan purse seine, lift net, dan set net. Pemanfaatannya untuk ikan segar konsumsi, kering, ikan asin dan juga untuk umpan. Eksploitasi sumberdaya ikan pelagis kecil di Laut Jawa didominasi oleh ikan Layang, Sardin, Kembung, dan Selar. Untuk potensi sumberdaya perikanan laut Indonesia sendiri 52% terdiri dari kelompok ikan pelagis kecil (Widodo 1988). Hasil penangkapan ikan pelagis kecil di Laut Jawa dengan tolok ukur purse seine menunjukkan bahwa perkiraan potensi lestarinya ton/tahun (Dinas Perikanan Jawa Tengah in Raharjo 1995). Sedangkan total tangkapan pada tahun 1991 sudah mencapai 2,54 juta ton/tahun, terdiri dari 52% ikan pelagis kecil, dan dari besaran tersebut 6,16%nya adalah ikan tembang. 2.3 Hubungan Panjang dan Berat Panjang dan berat merupakan parameter penting dalam melihat dan menentukan pola reproduksi dan pertumbuhan ikan. Dalam reproduksi terutama

22 untuk menduga ukuran ikan pertama kali matang gonad digunakan model logistik dengan meregresikan ukuran panjang dan berat (Weng et al. 2005). Selain itu, hubungan panjang-berat merupakan bagian dari sifat morfometrik yang berkaitan dengan sifat pertumbuhan. Menurut Effendie (2002), hasil studi hubungan panjang dengan berat ikan mempunyai nilai praktis yang memungkinkan merubah nilai panjang ke dalam nilai berat ikan atau sebaliknya. Berat ikan dapat dinyatakan sebagai fungsi panjangnya, dimana hubungan panjang-berat hampir mengikuti hukum kubik yaitu berat ikan sebagai pangkat tiga dari panjangnya. Hal tersebut disertai bentuk dan berat jenis ikan itu tetap selama hidupnya. Hasil analisis hubungan panjang-berat mempunyai nilai konstanta b. bila nilai b = 3 maka pertambahan berat dengan panjang seimbang (pertumbuhan isometrik), sedangkan bila nilai b lebih besar atau lebih kecil dari tiga dinamakan pertumbuhan allometrik. Apabila nilai b lebih besar dari tiga maka pertumbuhan berat lebih cepat dari pertumbuhan panjang (allometrik positif) sedangkan apabila nilai b lebih kecil dari tiga maka pertumbuhan panjang lebih cepat dari pertumbuhan berat (allometrik negatif). Panjang dan berat juga sering dihubungkan dengan fekunditas. Fekunditas sering dihubungkan dengan panjang dari pada dengan berat karena keuntungannya bahwa panjang tidak mudah berubah atau berkurang tidak seperti berat dapat berkurang dengan mudah. Kalau fekunditas dihubungkan dengan berat disebabkan karena berat lebih mendekati kondisi ikan itu dari pada panjang (Effendie, 2002). Menurut Ismail (2006), hubungan antara panjang total dengan berat tubuh ikan tembang di perairan Ujung Pangkah sangat erat dengan koefisien korelasi (r), untuk jantan 0,9553 dan betina 0,9481. Hubungan antara berat tubuh dan panjang total ikan Spratelloides gracilis di perairan Penghu, Taiwan adalah W= x 10-6 FL ( n= 2042, p<0.05) untuk betina dan W= x10-6 FL ( n= 2000, p<0.05) untuk jantan dengan pola pertumbuhan isometrik (Weng et al. 2005). 2.4 Faktor Kondisi Faktor kondisi merupakan salah satu faktor penting dari pertumbuhan. Faktor kondisi (K) menunjukkan keadaan ikan secara fisik untuk bertahan hidup dan bereproduksi. Faktor kondisi juga digunakan untuk mengetahui kemontokan

23 ikan dalam bentuk angka dan faktor kondisi dihitung berdasarkan panjang dan berat ikan (Effendie 2002). Faktor kondisi dipengaruhi oleh makanan, suhu perairan, umur, jenis kelamin dan tingkat kematangan gonad. Faktor kondisi biasa digunakan untuk menentukan kecocokan lingkungan dan membandingkan berbagai tempat hidup ikan (Lagler 1972). Pantulu in Effendie (2002) mengatakan ikan yang berukuran kecil mempunyai faktor kondisi yang lebih tinggi, kemudian menurun ketika ikan tersebut bertambah besar. Peningkatan faktor kondisi diakibatkan oleh perkembangan gonad yang akan mencapai puncaknya sebelum pemijahan. Menurut Ismail (2006), faktor kondisi ikan tembang (Clupea platygaster) yang tertangkap di Perairan Ujung Pangkah untuk jantan berkisar antara 1,0764 1,2559 dan untuk betina berkisar antara 1,1013 1,2818. Nilai faktor kondisi cendrung berkebalikan dengan nilai indeks kematangan gonad (IKG), saat nilai faktor kondisi tinggi nilai indeks kematangan gonad cendrung rendah serta berhubungan erat dengan prilaku pemijahan ikan (Weng et al. 2005). Faktor kondisi berhubungan erat dengan berat jenis suatu spesies ikan (Royce 1972). 2.5 Reproduksi Dalam siklus hidup makhluk hidup termasuk ikan, reproduksi merupakan salah satu bagian siklus hidup yang akan menjamin kelangsungan keturunan dari suatu organisme (Nikolsky 1963). Reproduksi juga berhubungan dengan stabilitas populasi ikan dalam suatu perairan. Beberapa aspek biologi reproduksi antara lain rasio kelamin, frekuensi pemijahan, lama pemijahan, ukuran ikan pertama kali memijah dan ukuran ikan pertama kali mencapai matang gonad (Nikolsky 1963). Dalam daur hidup ikan ada beberapa faktor yang menjadi pembatas dalam keberhasilan rekruitmen, diantaranya adalah makanan dan fisika-kimia air. Lokasi upweling merupakan salah satu daerah pemijahan dan tempat proses perekrutan ikan berlangsung. Peningkatan unsur hara di daerah upweling memacu peningkatan konsentrasi plankton sebagai makanan larva dan juvenil ikan. Secara alamiah proses ini memacu ikan-ikan dewasa untuk memijah atau bereproduksi, karena pakan yang tersedia untuk larva ikan dan juvenilnya akan terpenuhi (http//digilib.itb.ac.id).

24 Pada umumnya spesies ikan yang ukuran tubuhnya kecil dan masa hidupnya pendek akan mencapai dewasa kelamin pada umur yang lebih muda, jika dibandingkan dengan spesies ikan yang ukurannya lebih besar dan lebih panjang (Lagler et al in Syandri 1996). Spesies ikan menunjukkan siklus reproduksi tahunan (annual), atau tengah tahunan (biannual) dan siklus reproduksi akan tetap berlangsung selama fungsi reproduksi berjalan normal (Bye in Syandri 1996). Pemijahan lemuru (sejenis ikan tembang) terjadi di perairan pantai ketika salinitas rendah pada awal musim penghujan walaupun tempat yang pasti terjadinya pemijahan belum dapat diketahui (Ginanjar 2006). Tipe pemijahan ikan lemuru termasuk pada tipe pemijahan ikan yang tidak menjaga telurnya (non guard parental) dan eksternal spawning dimana proses pemijahan terjadi diluar tubuh induknya secara berkelompok. Pada tipe ikan yang melakukan eksternal spawning biasanya memiliki jumlah telur yang banyak yang berkaitan dengan strategi dalam menjaga kelangsungan hidup keturunannya. Siklus reproduksi ikan tembang (Sardinella fimbriata) terjadi pada bulan Desember, sedang mencapai puncak rekruitmennya pada bulan April - Mei dan November (Effani 1998). Hal ini mendukung teori bahwa kesuksesan dalam proses perekrutan ikan sangat berhubungan dengan faktor lingkungan, karena upwelling cenderung terjadi dengan frekuensi tinggi pada musim semi-panas atau sekitar bula April - Oktober. Dari penelitian Effani (1998), tingkat kematangan gonad ikan tembang pertama kali dicapai pada ukuran : panjang; Lm = 16,32 cm/betina, 15,7 cm secara keseluruhan 17,4 cm; untuk konstanta laju pertumbuhan, k = 1.60/tahun; panjang maksimum, L = 20,43-21,16 cm Nisbah kelamin Nisbah kelamin merupakan perbandingan ikan jantan dan ikan betina dalam suatu populasi, dengan kondisi nisbah kelamin yang ideal yaitu rasio 1:1 (Nababan 1994). Perbedaan nisbah kelamin juga dapat dilihat dari tingkah laku pemijahan, yang dapat berubah menjelang dan selama pemijahan. Pada ikan yang melakukan ruaya untuk memijah terjadi perubahan nisbah jantan dan betina secara

25 teratur, yaitu pada awalnya ikan jantan lebih banyak kemudian nisbah kelamin berubah menjadi 1:1 lalu diikuti ikan betina lebih banyak (Nikolsky 1963). Dari penelitian yang dilakukan Weng et al. (2005), untuk ikan blue sprat (S. gracilis) mempunyai perbandingan jenis kelamin dari semua spesimen sebesar 0,45. Nisbah kelamin juga mempunyai variasi bulanan Indeks kematangan gonad Perubahan yang terjadi dalam gonad secara kuantitatif dapat dinyatakan dengan indeks kematangan gonad (IKG) atau gonado somatic index (GSI) yaitu persentase perbandingan berat gonad dengan berat tubuh (Effendie 2002). Semakin meningkat tingkat kematangan gonad, garis tengah yang ada dalam ovarium semakin besar dan gonad akan bertambah berat sampai mencapai maksimum ketika ikan akan memijah. Perubahan nilai IKG erat hubungannya dengan tahap perkembangan telur. Dengan memantau perubahan IKG dari waktu ke waktu, maka dapat diketahui ukuran ikan waktu memijah (Effendie 2002). Nilai IKG untuk ikan S. gracilis di perairan Penghu (Taiwan) mengalami variasi bulanan, berkisar antara 0,048 sampai 0,087 untuk ikan betina dan mencapai nilai IKG maksimum 0,095. Suatu pola yang serupa juga ditemukan untuk jantan (Weng et al. 2005). Ismail (2006), memperoleh nilai IKG ikan tembang (Clupea platygaster) di Perairan Ujung Pangkah untuk jantan 0,0046 (± 0,0016) sampai 0,0194 (± 0,0056) sedangkan untuk betina 0,0049 (± 0,0016) sampai 0,0197 (± 0,0076) Tingkat kematangan gonad Bagian dari reproduksi ikan sebelum terjadi pemijahan ialah perkembangan gonad yang semakin masak. Tingkat kematangan gonad (TKG) adalah tahap perkembangan gonad dari awal sebelum memijah sampai sesudah ikan memijah. Selama proses reproduksi sebagian besar hasil metabolisme tertuju pada perkembangan gonad. Umumnya pertambahan berat gonad pada ikan betina 10 25% dari berat tubuh dan pada ikan jantan 5 10% (Royce 1972).

26 Perubahan atau tahap-tahap kematangan gonad akan memberi keterangan tentang waktu ikan memijah, baru memijah atau sudah memijah (Tang dan Affandi 1999). Menurut Lagler (1972) ada dua faktor yang mempengaruhi waktu ikan pertama kali matang gonad yaitu faktor dari dalam dan dari luar. Faktor dari dalam adalah perbedaan spesies, umur, ukuran serta sifat fisiologis dari ikan tersebut seperti kemampuan adaptasi terhadap lingkungannya. Sedangkan faktor luar yang mempengaruhinya adalah makanan, suhu, arus dan tekanan penangkapan. Tingkat kematangan gonad pada tiap waktu bervariasi, yang tertinggi umumnya didapatkan pada saat pemijahan akan tiba (Tang dan Affandi, 1999). Ukuran ikan pertama kali matang gonad tidak sama untuk tiap-tiap spesies. Demikian pula ikan yang sama spesiesnya, jika tersebar pada lintang yang berbeda lebih dari lima derajat, akan mengalami perbedaan ukuran dan umur pertama kali matang gonad. Faktor utama yang mempengaruhi kematangan gonad di daerah yang bermusim empat antara lain adalah suhu dan makanan, akan tetapi untuk ikan di daerah tropis suhu relatif perubahannya tidak besar dan umumnya gonad masak lebih cepat (Effendie 2002). Royce (1972) menyatakan bahwa proses perkembangan telur dan sperma serta proses pengeluarannya membutuhkan energi ekstra dan kondisis makanan yang baik. Menurut Weng et al. (2005), dari analisis makroskopik perkembangan ovarian ikan Spratelloides gracilis dapat dibagi kedalam 4 fase dan secara mikroskopik dapat dilihat pada Gambar 2. Fase sebelum matang gonad (immature) : indung telur kecil dan langsing, dan oocyte tidak terlihat dengan mata biasa. Diameter oocyte < 0,2 mm, dan model tunggal ditemukan dalam distribusi frekuensi diameter telur. Distribusi oocyte belum berkembang secara acak, dan oogonia jarang ditemukan. Fase menuju matang gonad (maturing) : indung telur menjadi lebih besar dan kekuning-kuningan. Rata-rata diameter oocyte < 0,4 mm. Model tunggal juga ditemukan dalam distribusi frekuensi diameter telur. Fase matang gonad (mature) : indung telur sangat gembung dan kekuningkuningan, dan telur tembus cahaya. Proses vascularisasi yang lebat di

27 punggung indung telur, dan diameter oocyte meningkat secara pesat. Umumnya diameter oocyte yang ditemukan 0,6 0,9 mm. Gambar 2. Tahap perkembangan gonad ikan S. gracilis dari immature sampai mature (Weng et al. 2005) Fase setelah matang gonad (spent) : indung telur kecil dan lembut. Beberapa oocyte yang besar tidak dikeluarkan, ditemukan dekat kloaka. Diameter oocyte > 0,6 mm. Oocyte ini secara normal akan diserap kembali, indeks kematangan gonad berkisar antara 0,022 0,0395.

28 2.5.4 Diameter telur dan pemijahan Diameter telur adalah garis tengah atau ukuran panjang sebuah telur yang diukur dengan mikrometer berskala yang sudah ditera dan dilihat dibawah mikroskop. Diameter telur semakin besar pada tingkat kematangan gonad yang lebih tinggi terutama saat mendekati waktu pemijahan (Johnson 1971 in Effendie 2002). Menurut Ismail (2006), diameter telur ikan tembang yang tertangkap di perairan Ujung Pangkah antara 0,23 0,74 mm. Ukuran telur berkorelasi dengan ukuran larva. Larva yang berukuran besar lebih tahan tanpa pakan dibandingkan dengan larva berukuran kecil yang dipijahkan dari telur kecil, selain itu larva yang lebih besar juga lebih tahan dalam menghindari pemangsa (Blaxter 1969 in Chambers dan Leggett 1996). Hubungan positif antara ukuran larva dan ukuran telur telah dilaporkan untuk Salmo salar, Onchorhynchus mykiss, Onchorhynchus keta, dan Clupea harengus (Kamler 1992 in Kontribusi induk terhadap variasi ukuran telur dan sifat awal daur hidup sering berkorelasi dengan ukuran telur. Ukuran individu dewasa (induk) yang besar akan menghasilkan telur yang besar juga, tapi tidak selalu demikian. Telur pada spesies ikan laut pada umumnya lebih kecil dibanding telur ikan air tawar atau budidaya, terutama untuk spesies-spesies ekonomis penting dan ikan-ikan yang berada di daerah penangkapan (Chambers dan Leggett 1996). Menurut Effendie (1979) ukuran telur biasanya dipakai untuk menentukan kualitas kandungan kuning telur, telur yang berukuran besar akan menghasilkan larva yang berukuran yang lebih besar daripada telur yang berukuran kecil. Lama pemijahan dapat diduga dari frekuensi ukuran diameter telur. Ovarium yang mengandung telur masak berukuran sama, menunjukkan waktu pemijahan yang pendek, sebaliknya waktu pemijahan yang panjang dan terus menerus ditandai banyaknya ukuran telur yang berbeda di dalam ovarium (Hoar in Lumbanbatu 1979). Diameter telur digunakan untuk melihat frekuensi pemijahan dari ikan-ikan dengan TKG III dan IV.

29 2.5.5 Fekunditas Fekunditas merupakan salah satu fase yang memegang peranan penting untuk menentukan kelangsungan populasi dengan dinamikanya. Menurut Royce (1972) fekunditas adalah semua telur-telur yang akan dikeluarkan pada waktu ikan memijah. Fekunditas terdiri atas dua istilah yaitu fekunditas individu dan fekunditas relatife. Fekunditas individu atau fekunditas mutlak (total) adalah jumlah telur masak sebelum dikeluarkan pada waktu ikan memijah. Sedangkan fekunditas relatife atau nisbi adalah jumlah telur per satuan berat atau panjang ikan. Fekunditas mutlak sering dihubungkan dengan berat karena biasanya berat lebih mendekati kondisi ikan daripada panjang, walaupun pada beberapa kasus, berat dapat cepat berubah pada waktu mendekati musim pemijahan karena banyaknya energi yang digunakan untuk melakukan ruaya pemijahan (Effendie 2002). Umumnya fekunditas relatife lebih tinggi dibandingkan dengan fekunditas individu dan kenaikannya diatas 100% bagi fekunditas individu. Fekunditas relatife akan terjadi maximum pada golongan ikan yang masih muda (Nikolsky 1963). Umur juga ada hubungannya dengan fekunditas, ikan yang untuk pertama kali memijah atau belum berpengalaman memijah (recruit spawners) fekunditasnya tidak sebesar fekunditas ikan yang telah beberapa kali melakukan pemijahan walaupun beratnya sama (Effendie 2002). Untuk spesies tertentu, pada umur yang berbeda memperlihatkan fekunditas yang bervariasi sehubungan dengan persediaan makanan tahunan dan pengaruh penangkapan. Pengaruh makanan ini terjadi untuk individu yang berukuran sama dan dapat pula untuk populasi secara keseluruhan. Fekunditas yang banyak maupun sedikit berhubungan dengan ukuran telur, dan memberikan pengaruh yang besar terhadap kelangsungan hidup larva dan ikan muda. Ikan-ikan di daerah tropis pada umumnya memiliki fekunditas yang besar tapi ukurannya relatif kecil dan biasanya dierami di dalam mulut, alat khusus dan jaring (Royce 1972). Satu karakteristik dari ikan yang mempunyai fekunditas banyak yaitu mereka mempunyai kelimpahan yang berubah-rubah dibanding ikan-ikan yang mempunyai fekunditas sedikit.

30 Menurut Chambers dan Leggett (1996) fekunditas spesies ikan air laut bisanya lebih besar dibanding fekunditas ikan air tawar. Hal ini berhubungan dengan upaya untuk menjaga kelangsungan hidup (survival rate) spesies ikan air laut. Fekunditas ikan tembang di perairan Ujung Pangkah berkisar antara butir telur (Ismail 2006). Dari penelitian yang dilakukan Weng et al. (2005) di perairan Penghu (Taiwan) fekunditas ikan S gracilis yang diambil dari 62 indung telur berkisar antara butir telur. 2.6 Kualitas Telur Definisi kualitas telur yang umum digunakan adalah kemampuan telur untuk menghasilkan benih yang baik. Potensi telur untuk menghasilkan benih yang baik ditentukan oleh beberapa faktor, yakni faktor fisik, genetik dan kimia selama terjadi proses perkembangan telur. Jika satu dari faktor esensial ini tidak ada maka telur tidak berkembang dalam beberapa stadia. Beberapa indikator kualitas telur adalah pembuahan, morfologi, ukuran dan kandungan kimia (Utiah 2006). Komposisi proksimat dari telur ikan pelagis berkaitan dengan berat jenis dari unsur organik utama telur ikan pelagis yaitu free amino acids ( FAA) dan amino acids polymerized ( PAA) dalam protein, kedua unsur tersebut mempunyai berat jenis lebih tinggi dibanding berat jenis air laut (Riis-Vestergaard 2002). Energi dalam telur ikan dihitung dari komposisi proksimat telur dan densitas energi dari beberapa unsur, terutama FAA, PAA, dan lipid serta minyak. Secara umum densitas energi yang digunakan yaitu 39 J mg -1 untuk lipid dan minyak (Finn et al. in Riis-Vestergaard 2002). Perbandingan komposisi kualitas telur dapat dibandingkan dengan kandungan lemak di jaringan tubuh. Seperti kualitas telur ikan common featherback (Notopterus notopterus Pallas) menurut Mukhopadhyay et al. (2004), Nilai tengah bobot basah telur matang adalah 16.3% dari total bobot tubuh; yang mana 11,5% (bobot kering) adalah lemak. Telur mengandung lemak 6,8 kali lebih tinggi dibandingkan dengan jaringan tubuh. Bagian utama lemak telur adalah senyawa triacylglycerol (TAG) sekitar 53.8% dan phospholipid (PL, 37.0%). Diantara PL, phosphatidylcholine (PC) adalah yang paling banyak (sekitar

31 57.1%), phosphatidylethanolamine (PE, 25.7%) dan phosphatidylinositol (PI, 17.4%). Lemak di jaringan tubuh, sebagian besar adalah phospholipid (72.5%) yang secara nyata lebih besar dari lemak telur (37.0%). PL yang banyak terdapat di jaringan tubuh adalah PC (51.6%), diikuti dengan PE (28.1%) dan PI (20.2%). Di jaringan tubuh, TAG sekitar 18.0% atau lebih rendah dibandingkan dengan TAG pada telur (53.8%). Kandungan Cholesterol (CHL) dalam telur dan jaringan tubuh masing-masing sekitar 4.4% dan 0.7%. Total asam lemak tak jenuh atau Polyunsaturated fatty acids (PUFAs) sebesar 37.9% dan 36.0%, masing-masing untuk PL telur dan jaringan tubuh. Asam arakidonat atau arachidonic acid (20:4 n- 6, AA) dan eicosapentaenoic acid (20:5 n-3, EPA) dalam PL tubuh sekitar 16.5% dan 10.6% dalam PL telur, AA dan EPA masing-masing sekitar 10.7% dan 10.6%. Nutrisi atau zat makanan merupakan bagian dari makanan termasuk didalamnya air, protein dan asam amino yang membentuknya, lemak dan asam lemak, karbohidrat, mineral dan vitamin (Utiah 2006). Kadar protein, lipid dan karbohidrat berkorelasi positif terhadap kelangsungan hidup larva. Protein merupakan komponen dominan kuning telur, sedangkan jumlah dan komposisinya menentukan besar kecilnya ukuran telur (Kamler in Utiah 2006). Selama oogenesis, kuning telur mengakumulasi sejumlah besar yolk granules dan lipid yang terisi pada bagian tengah. Diameter granula berkisar antara 6-24 µm. Jumlah dan distribusi dari lemak (butir lemak) sangat bervariasi dengan diameter µm (Linhart et al. in Utiah 2006). Distribusi dari butir-butir lemak ini juga menjadi parameter kualitas telur. Lebih dari separuh jenis telur ikan pelagis berisi oil globule, yang berguna untuk menyokong daya apung (Russell in Riis-Vestergaard 2002). Tidak ada perbedaan secara umum dalam kemampuan mengapung antara telur ikan pelagis yang memiliki oil globule maupun tanpa oil globule, karena telur dengan oil globule mengalami hidrolisis protein lebih sedikit selama matang gonad. Telur ikan pelagis teleostei tanpa oil globule mempunyai berat jenis lebih rendah untuk menjaga agar tetap mengapung di air laut dengan salinitas promil, oil globule satu-satunya unsur telur yang penting terlepas dari lipid yang mempunyai berat jenis lebih rendah dari air laut (Riis-Vestergaard 2002).

32 2.7 Hubungan antara Eksploitasi dan Reproduksi Populasi ikan yang tidak mengalami tekanan tangkap dan tidak mendapat wabah penyakit yang serius akan mempunyai kelimpahan dan komposisi umur yang stabil. Peningkatan biomassa populasi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu makanan, ruang (habitat), dan faktor lain, salah satunya adalah tekanan penangkapan (Royce 1972). Tingginya tekanan penangkapan dapat mengakibatkan penurunan kelimpahan populasi dan penurunan rata-rata ukuran ikan. Jika semua individu dewasa ditangkap dan gagal matang gonad maka tidak ada lagi pemijahan yang menyuplai anak ikan untuk rekruitmen (Royce 1972). Menurut Kamukuru dan Mgaya (2004), perbandingan jenis kelamin ikan Blackspot snapper di Pulau Mafia pada daerah yang belum mengalami overfishing 1,03:1 (betina:jantan), sedangkan untuk daerah yang telah mengalami overfishing 0,9:1 (betina:jantan). Nisbah kelamin pada daerah yang belum mengalami overfishing lebih seimbang dibandingkan dengan daerah yang telah mengalami overfishing. Perbedaan perbandingan jenis kelamin tersebut terkait dengan ukuran, dimana ikan jantan mendominasi dengan ukuran yang lebih kecil. Musim pemijahan ikan Blackspot snapper di daerah Mafia Island Marine Park (MIMP) dengan tekanan tangkap lebih kecil dari bulan September sampai Maret dan mencapai puncak pada bulan Desember. Sedangkan di daerah IFA (intensively fished areas) tidak satupun ikan ditemukan dalam keadaan memijah. Umur ikan pertama kali matang gonad berhubungan dengan intensitas penangkapan dan kompetisi interspesifik (Magnan et al. 2005). Umur ikan pertama kali matang gonad dan usaha reproduktif tidak dipengaruhi oleh pertumbuhan, jika tingkat kelangsungan hidup (survival rate) juga tidak dipengaruhi oleh pertumbuhan. Seperti halnya kasus dalam exploitasi dan populasi sympatric yang mengalami survival individu dewasa rendah tapi laju pertumbuhan tinggi. Populasi ikan betina pada daerah penangkapan yang intensif, akan berukuran kecil dan menghasilkan telur ikan dengan ukuran yang kecil dalam jumlah yang sedikit (Platten 2004).

33 III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan bulan Juli Lokasi pengambilan ikan contoh di tempat pendaratan ikan (TPI), satu di pantai utara Jawa yaitu di TPI Mina Fajar Sidik (Subang), satu di perairan Selat Sunda yaitu TPI Labuan (Pandeglang) dan satu di pantai selatan Jawa yaitu di TPI Pelabuhan Ratu (Sukabumi). Lokasi pengambilan contoh dari beberapa daerah bertujuan untuk membandingkan pengaruh tekanan tangkap terhadap karakteristik telur di masing-masing tempat pendaratan ikan. Analisis contoh dilakukan di Laboratorium Ekobiologi, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 3.2 Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah penggaris dengan ketelitian 1 mm, timbangan digital dengan ketelitian 0,01 g untuk menimbang berat ikan, timbangan digital dengan ketelitian 0,0001 g untuk menimbang berat gonad, alat bedah, botol sampel, mikroskop dengan perbesaran 10X10, mikrometer okuler, mikrometer objektif, gelas objek, gelas ukur kapasitas 10 ml, cawan petri dan pipet tetes. Preparat histologi menggunakan mikrotom, oven, gelas objek dan gelas penutup. Bahan yang digunakan adalah ikan tembang (Sardinella gibbosa), larutan formalin 10% untuk mengawetkan ikan contoh, formalin 4% untuk mengawetkan gonad dan Bouin untuk mengawetkan gonad ikan yang akan di histologi. 3.3 Metode Kerja Pengambilan data Pengambilan data berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari analisa di laboratorium dan pengukuran langsung di lapangan. Sedangkan data sekunder diperoleh dari hasil wawancara nelayan di tempat pendaratan ikan (TPI), studi literatur yang meliputi data-data statistik perikanan

34 ikan tembang dan beberapa parameter lingkungan di tiga lokasi penelitian tersebut Pengambilan ikan contoh di lapangan Ikan contoh diambil dari tempat pendaratan ikan (TPI) satu kali dalam sebulan dari masing-masing daerah selama tiga bulan. Waktu pengambilan contoh sama setiap bulannya yaitu setiap akhir bulan. Ikan yang didapat dari nelayan di tempat pendaratan ikan (TPI) diidentifikasi menggunakan buku identifikasi sesuai dengan ciri-ciri yang dapat dilihat kemudian diukur panjang dan beratnya. Di tempat pendaratan ikan, ikan diambil dari beberapa bakul secara acak yang jumlahnya tidak ditentukan, kemudian untuk pengukuran panjang dan berat diukur sebanyak mungkin. Untuk pengukuran panjang dan berat langsung diukur di tempat pendaratan ikan dan juga di laboratorium. Setelah itu, beberapa ikan diawet segar dengan menggunakan es dan dimasukkan kedalam cool box untuk dianalisis di laboratorium. Untuk ikan contoh yang dianalisis laboratorium diawetkan dengan formalin 10% dan diawet segar untuk analisis proximat. Selanjutnya ikan dibawa ke Laboratorium Biologi Makro, Bagian Ekobiologi dan Konservasi Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor untuk dianalisa Pengamatan ikan contoh di laboratorium Panjang dan berat total Panjang dan berat total ikan yang akan dibedah dan dianalisis biologi reproduksinya diukur di laboratorium. Panjang total ikan diukur mulai dari ujung kepala terdepan sampai ujung sirip ekor paling belakang menggunakan penggaris dengan ketelitian 0,1 mm. Berat total ikan adalah berat seluruh tubuh ikan yang ditimbang di atas timbangan digital dengan ketelitian 0,01 g Jenis kelamin dan tingkat kematangan gonad (TKG) Jenis kelamin diduga berdasarkan pengamatan gonad ikan contoh (Tabel 1). Tingkat kematangan gonad ditentukan menggunakan klasifikasi tingkat

35 kematangan gonad menurut penelitian yang dilakukan oleh Ismail (2006) (Tabel 1). Untuk proses pengambilan gonad dilakukan di laboratorium. Dari beberapa ikan contoh yang dibawa ke laboratorium setiap bulan, diambil 30 ekor dari setiap lokasi penelitian untuk dibedah dan dianalisis biologi reproduksinya. Sebelum dibedah, ikan terlebih dahulu diukur panjang dan beratnya kemudian dilakukan pembedahan dan gonad ikan disimpan didalam botol sampel 30 ml. Untuk gonad yang dihistologi diawetkan dengan larutan Bouin, gonad yang langsung dianalisis fekunditas dan diameter telurnya diawetkan dengan larutan formalin 4%, dan untuk gonad yang dianalisis proksimat diawet segar didalam freezer. Tabel 1. Klasifikasi tingkat kematangan gonad ikan tembang (Clupea platygaster) (Ismail 2006) TKG Jantan Betina I Testis seperti benang dengan warna putih Bentuk ovari seperti benang, butiran telur susu. belum dapat dibedakan. Panjang gonad bervariasi antara panjang rongga tubuh. II III IV V Ukuran testis lebih besar, bentuk lebih jelas dari TKG I. Ukuran testis semakin besar, bewarna putih kekuningan dan lebih jelas dibanding TKG III. Permukaan gonad tidak rata (berlekuk-lekuk), ujung posterior bergerigi. Ukuran testis besar, warna testes putih, pejal dan gerigi semakin besar. Permukaan testes berkerut, warna putih susu dan berbentuk kurang pejal dibanding dengan TKG IV. Terdapat jaringan bewarma putih susu, telur masih menyatu dan belum dapat dipisahkan. Panjang gonad bervariasi antara dari panjang rongga tubuh. Ukuran lebih besar, pada bagian anterior melebar dan bagian posterior meruncing, telur sudah dapat dipisahkan, bewarna lebih gelap. Panjang gonad bervariasi antara dari panjang rongga tubuh. Diameter telur semakin besar dan jelas terlihat dibawah mikroskop, semua telur bewarna kuning. Panjang gonad bervariasi antara dari panjang rongga tubuh. Ovarium berkerut, butiran telur sisa terkumpul di posterior, ovarium bewarna kemerah-merahan. Tingkat kematangan gonad ditentukan secara morfologi dan histologi. Secara morfologi berdasarkan bentuk, ukuran panjang gonad, berat gonad, warna

36 dan perkembangan isi gonad (Effendie, 2002). Secara histologi berdasarkan anatomi gonad secara mikroskopik (Banks in Hermawati, 2006). Untuk preparat histologi hanya diambil dari gonad ikan betina yaitu gonad dengan TKG I, TKG II, TKG III, dan TKG IV. Gonad yang dihistologi diambil dari setiap lokasi penelitian untuk melihat bentuk mikroskopis gonad dari setiap daerah. Khusus untuk preparat histologi dengan TKG IV dibagi menjadi tiga bagian yaitu anterior, median, dan posterior. Pembuatan preparat histologi dilakukan di Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perairan. Analisis proksimat digunakan untuk melihat kandungan protein dalam telur ikan. Telur yang dianalisis hanya telur dengan TKG III dan TKG IV. Dari setiap bulan pengambilan sampel diambil tiga telur dari setiap lokasi penelitian untuk dianalisis proksimat. Kemudian telur dianalisis kandungan proteinnya di Laboratorium Biokimia Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian Indeks kematangan gonad (IKG) Indeks kematangn gonad (IKG) dihitung dengan membandingkan berat tubuh total ditimbang dengan timbangan digital dengan ketelitian 1 g dan berat gonad ikan ditimbang dengan timbangan digital dengan ketelitian 0,01 g dalam bentuk persen (%) Fekunditas Fekunditas dihitung pada ovarium TKG III dan IV. Ovarium dikeluarkan dari tubuh ikan kemudian diawetkan dengan formalin 4% kemudian dimasukan dalam larutan fisiologis. Penghitungan telur dilakukan dengan menggunakan metode gabungan yaitu metode grafimetrik dan volumetrik. Metode gabungan antara grafimetrik dan volumetrik yaitu dengan cara mengeringkan ovarium yang kemudian ditimbang, lalu telur diambil dari bagian anterior, median dan posterior kemudian ditimbang sebagai berat telur contoh. Telur diencerkan dalam aquades 5 ml lalu telur diambil dengan pipet sebanyak 1 ml, tempatkan telur dalam cawan petri kemudian hitung jumlah telur sebagai jumlah telur contoh.

37 Diameter telur Diameter telur ditentukan dari ovarium TKG III dan TKG IV. Dari telur yang diamati dari fekunditas diambil 100 butir dari setiap ekor ikan contoh, yaitu dari bagian anterior, median dan posterior. Kemudian telur diamati menggunakan mikroskop dengan perbesaran 10X10 yang dilengkapi dengan mikrometer okuler yang telah ditera dengan mikrometer objektif, lalu dicatat diameter telurnya. 3.4 Analisis Data Analisis Maximum Sustainable Yield (MSY) dan laju eksploitasi Dalam mengestimasi nilai hasil tangkapan maksimum lestari digunakan model produksi surplus yaitu model Schaefer (1954) dan Fox (1970) in Sparre dan Venema (1999). Adapun model ini dapat diterapkan bila diketahui hasil tangkapan total (catch) berdasarkan spesies dan upaya penangkapan (effort) sehingga diperoleh nilai hasil tangkapan per unit upaya (catch per unit effort/cpue) dalam beberapa tahun serta upaya penangkapan harus mengalami perubahan selama waktu yang dicakup (Sparre dan Venema, 1999). Tingkat upaya penangkapan optimum (f msy ) dan hasil tangkapan maksimum lestari (MSY) dari unit penangkapan dengan model Schafer (1954) in King (1995) dapat diketahui melalui persamaan berikut : (1) Hubungan antara hasil tangkpan (Y) dengan upaya penangkapan (f) Y = af + bf ) (2) kemudian tentukan turunan pertama hasil tangkapan (Y) terhadap upaya penangkapan (f) dengan nol (dy/df) = 0 sehingga didapat upaya penangkapan optimum (f msy ). Maka f msy = -a/2b (3) kemudian nilai f msy = -a/2b disubstitusi ke dalam persamaan 1 sehingga diperoleh MSY = -a 2 /4b Untuk mendapatkan nilai a dan b maka digunakan analisis regresi dengan melinearkan model Schaefer seperti berikut : Y = af + bf 2 Y/f = a+bf Dimana : Y/f adalah hasil tangkapan per unit upaya (CPUE)

38 Model kedua yang digunakan dalam model surplus produksi adalah model Fox (1970) in Sparre dan Venema (1999). Pada model Fox tingkat upaya penangkapan optimum (f msy ) dan hasil tangkapan maksimum lestari (MSY) dapat diketahui melalui persamaan berikut : Yi fi exp a bf Yi f ( (exp a bf ) f msy dicapai pada saat turunan pertama sama dengan nol (dy/df) = 0, sehingga Y ' exp a bf fbexp a bf 0 (1+fb) (exp a+bf ) = 0 Jadi, f msy = -1/b Selanjutnya untuk mendapatkan nilai MSY maka nilai f msy dimasukkan kedalam persamaan awal yakni ( a bf ) Yi f (exp sehingga : MSY = (-1/b) (exp a-1 ) Selanjutnya untuk menentukan model mana yang lebih mewakili model sebenarnya digunakan perbandingan terhadap nilai koefisien determinasinya (r 2 ). Nilai koefisien determinasi yang lebih besar menunjukkan menunjukan hubungan yang lebih dekat dengan model sebenarnya. Walpole (1992) menyatakan bahwa koefisien determinasi adalah bilangan yang menyatakan proporsi keragaman total nilai peubah Y yang dapat dijelaskan oleh nilai-nilai peubah X melalui hubungan linear. Untuk menduga konstanta laju mortalitas total (Z) dan mortalitas alami (M) menggunakan program FISAT II dengan langkah-langkah sebagai berikut : Langkah 1 Langkah 2 : Mencari nilai L dan K (laju pertumbuhan per tahun) dengan memasukkan frekuensi per selang panjang dalam program FISAT ELEFAN 1 : Menghitung nilai mortalitas alami (M) dengan memasukkan nilai L, K dan suhu rata-rata perairan kedalam rumus empiris Pauly (1980) yang dijalankan program FISAT II

39 Log(M) = -0,0066-0,279 log(l ) + 0,6543 log(k) + 0,4634 log(t) Langkah 3 : Menghitung nilai mortalitas total (Z) dengan memasukkan nilai L, K, Lmean dan L kedalam rumus empiris Beverton & Holt (1957) yang dijalankan program FISAT II Z = K(L - Lmean) / (Lmean - L ) Keterangan : M : Mortalitas alami L : Panjang asimtotik/infinitif K : Koefisien pertumbuhan T : Rata-rata suhu permukaan air ( 0 C) Lmean : Rata-rata panjang (mm) L : Selang bawah kelas panjang frekuensi terbanyak (mm) Laju mortalitas penangkapan (F) ditentukan dengan : F = Z-M Laju eksploitasi (E) ditentukan dengan membandingkan laju mortalitas penangkapan (F) dengan laju mortalitas total (Z) (Pauly 1984) : E F F M F Z Sebaran frekuensi panjang Untuk mengetahui sebaran frekuensi panjang ikan (Walpole, 1995) diikuti tahapan-tahapan : a. Menentukan wilayah kelas, r = pb-pk (r = wilayah kelas, pb = panjang terbesar, pk = panjang terkecil). b. Menentukan jumlah kelas 1 + 3,32 log N (N = jumlah data). c. Menghitung lebar kelas, L = r / jumlah kelas (L = lebar kelas, r = wilayah kelas). d. Memilih ujung bawah kelas interval e. Menentukan frekuensi jumlah masing-masing selang kelas yaitu jumlah frekuensi dibagi jumlah total dikalikan 100%.

40 3.4.3 Hubungan panjang-berat Pola pertumbuhan ikan dapat diduga dengan melihat hubungan panjang dan berat (Effendie, 1979). Rumus yang digunakan : W = al b Keterangan : W = Berat ikan L = Panjang ikan a dan b = Konstanta Transformasi ke dalam logaritma menjadi persamaan : Log W = Log a + b Log L atau Y = a + bx Keterangan : N = Jumlah ikan W = Berat total (g) L = Panjang total (mm) a dan b = Konstanta Hubungan panjang dan berat dapat dilihat dari nilai b : 1. Bila b = 3, hubungan yang terbentuk adalah isometrik (pertumbuhan panjang sebanding dengan pertumbuhan berat). 2. Bila b 3, hubungan yang terbentuk adalah allometrik, yaitu : a. Bila b > 3, dinamakan allometrik positif yang artinya pertambahan berat lebih cepat dari pertambahan panjang. b. Bila b < 3, dinamakan allometrik negatif yang artinya pertambahan panjang lebih cepat daripada pertumbuhan berat. Untuk menguji dalam penentuan nilai b maka perlu dilakukan uji t, dimana terdapat usaha untuk melakukan penolakan atau penerimaan hipotesa yang dibuat. Hipotesa : Ho : b = 3

41 H1 : b 3 Sβ 1 adalah simpangan koefisien b yang dapat ditentukan dari model rumus sebagai berikut : sedangkan dan KTG dicari melalui analisis covarian. Untuk penarikan keputusan yang membandingkan T hit dengan T table pada selang kepercayaan 95%, jika T hit > T tabel maka keputusannya adalah menolak hipotesa nol (Ho), dan jika T hit < T tabel maka keputusannya adalah menerima hipotesa nol (Ho). Untuk mengetahui keeratan hubungan antara panjang dengan berat maka digunakan koefisien korelasi (r) dengan rumus : Bila r mendekati +1 atau -1 maka hubungan antara kedua peubah kuat dan terdapat korelasi yang tinggi diantara keduanya. Sedangkan untuk melihat seberapa besar variasi berat dapat menjelaskan pola pertumbuhan panjang digunakan koefisien determinasi (r 2 ) Faktor kondisi Faktor kondisi (K) berdasarkan pada panjang dan berat ikan contoh. Ikan memiliki pertumbuhan yang bersifat isometrik apabila nilai b = 3, maka faktor kondisi menggunakan rumus dengan persamaan (Effendie, 1979) : Keteragan : K (Ti) W L = faktor kondisi = berat rata-rata ikan dalam satu kelas ukuran berat(g) = panjang rata-rata ikan dalam satu kelas ukuran panjang (mm)

42 Pada ikan yang mempunyai pertumbuhan yang bersifat allometrik (b 3), maka persamaan yang digunakan adalah : Keterangan : K = faktor kondisi W = berat rata-rata ikan satu kelas (g) L = panjang total rata-rata ikan satu kelas (mm) a dan b = konstanta dari regresi Nisbah kelamin Rasio kelamin dihitung dengan cara membandingkan jumlah ikan jantan dan ikan betina. Keterangan : M F = jumlah ikan jantan (ekor) = jumlah ikan betina (ekor) Keseragaman sebaran nisbah kelamin dilakukan dengan uji Chi-Square (steel dan Torrie, 1980). Keterangan : Oi ei X 2 = frekuensi ikan jantan dan betina yang diamati ke-i = frekuensi harapan yaitu frekuensi ikan jantan + frekuensi ikan betina dibagi dua = nilai peubah acak X 2 yang sebaran penarikan contohnya menghampiri sebaran Chi-square Pendugaan ikan pertama kali matang gonad Metode yang digunakan untuk menduga ukuran rata-rata ikan tembang pertama kali matang gonad yaitu metode Spearman-Karber (Udupa in Hermawati, 2006) : Dengan rumus simpangan deviasi :

43 Keterangan : M xk x pi ri ni qi = logaritma panjang rata-rata ikan pertama kali matang gonad. = logaritma nilai tengah kelas panjang terakhir ukuran ikan setelah matang gonad 100%. = selisih logaritma nilai tengah. = proporsi ikan matang gonad pada kelas panjang ke-i (ri/ni). = jumlah ikan matang gonad pada kelas ke-i = jumlah ikan pada kelas ke-i = 1 pi Indeks kematangan gonad (IKG) Nilai indeks kematangan gonad (IKG) dapat diketahui dengan menggunakan rumus menurut Effendie (1979) : Keterangan : IKG Bg Bt = indeks kematangan gonad = berat gonad (g) = berat tubuh total (g) Fekunditas Fekunditas ikan ditentukan dengan menggunakan metode gabungan antara metode grafimetrik dan metode volumetrik dengan menggunakan rumus (Effendie, 1979) : Keterangan : F G V X Q = fekunditas (butir) = berat gonad total (g) = volum pengenceran (ml) = jumlah butir telur yang ada dalam 1 ml = berat telur contoh (g) Kemudian dilihat hubungan fekunditas dengan panjang total tubuh ikan dengan rumus :

44 Keterangan : F = fekunditas L = panjang total ikan (mm) a dan b = konstanta Persamaan tersebut ditransformasikan kedalam persamaan logaritma sehingga diperoleh bentuk linear atau persamaan garis lurus : Keterangan : F = fekunditas Log a = y Log b = x Log F = Log a + Log b Log a dan b sebagai intersep dan slop yang diperoleh dari persamaan : a = y bx Keeratan hubungan antara panjang total ikan dengan fekunditas diketahui dengan mencari koefisien korelasi (r). Hubungan fekunditas dengan berat total tubuh ikan dilihat dengan rumus : Keterangan : F = fekunditas W = berat total ikan (g) a dan b = konstanta Persamaan tersebut ditransformasikan kedalam persamaan logaritma sehingga diperoleh bentuk linear atau persamaan garis lurus : Keterangan : F = fekunditas Log a = y Log b = x Log F = Log a + Log b Log a dan b sebagai intersep dan slop yang diperoleh dari persamaan :

45 a = y bx Keeratan hubungan antara panjang total ikan dengan fekunditas diketahui dengan mencari koefisien korelasi (r) Analisis proksimat (Mellana 2005) a. Penentuan Kadar air Kadar air dihitung dengan rumus : Keterangan : C = cawan S = contoh (sampel) Bobot dihitung dalam satuan gram b. Penentuan Kadar Lemak Kadar lemak dihitung dengan rumus : Keterangan : BLL BLL akhir S = bobot labu lemak (g) = Bobot akhir labu lemak + lemak (g) = contoh c. Penentuan Kadar Protein Kadar protein dihitung dengan rumus : Keterangan : B = volum titran untuk titrasi blanko (ml) V = volum titran untuk titrasi contoh (ml) N HCL = normalitas HCL 0,014 = bobot setara nitrogen 6,25 = faktor konversi (dari 100/16) dianggap protein tumbuhan mengandung 16% nitrogen S = contoh (dihitung dalam satuan gram)

46 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Palabuhan Ratu Perairan Palabuhan Ratu merupakan teluk semi tertutup yang berada di pantai selatan Jawa Barat, termasuk kedalam wilayah Kabupaten Sukabumi Propinsi Jawa Barat. Pada bagian utara Palabuhan Ratu berbatasan dengan Cikidang dan dengan daerah Ciemas sebelah selatan, sebelah barat berbatasan dengan Cisolok dan Samudra Hindia sebelah barat daya. Secara geografis Palabuhan Ratu terletak antara 6 o 57-7 o 07 LS dan 105 o o 23 BT dengan panjang pantai ± 50 km. Daerah ini mempunyai curah hujan rata-rata tertinggi pada musim barat yaitu 553,9 mm dan curah hujan terendah pada musim timur 143,50 mm. Pada bulan Januari hujan turun 24 hari dalam satu bulan, sedangkan bulan Juli hanya 7 hari dalam satu bulan. Kecepatan angin tertinggi 5,32 km/jam terjadi pada bulan september, sedangkan pada bulan Mei hanya 2,29 km/jam yang merupakan kecepatan angin terendah. Pola sebaran suhu permukaan laut (SPL) di teluk Palabuhan Ratu pada musim barat berkisar antara 28,0-29,55 o C. Pada musim barat kondisi teluk Palabuhan Ratu relatif buruk, angin bertiup kencang disertai dengan hujan yang lebat. Sebaran salinitas di teluk Palabuhan Ratu berkisar antara 31 ppm sampai 34 ppm. Kelompok sebaran salinitas 33 ppm terdapat di tengah teluk, mengalami degradasi ke arah pantai, sebaran salinitas di daerah pantai dapat mencapai 31 ppm (Atmadipoera, et al. in Wiyono 2001). Sumberdaya ikan di Palabuhan Ratu terdiri dari empat jenis ikan utama yaitu tongkol, tembang, layur, dan pepetek. Secara umum produksi ikan yang didaratkan di PPN Palabuhan Ratu cendrung mengalami penurunan. Seiring dengan penurunan produksi hasil tangkapan per unit tangkapan (CPUE) jenis-jenis ikan yang tertangkap juga menurun (Wiyono 2001). Penduduk sekitar Palabuhanratu sebagian besar berprofesi sebagai nelayan tradisional yang menggunakan pancing dan payang sebagai alat tangkap utama serta menggunakan perahu motor tempel maupun kapal motor. Hasil tangkapan utamanya antara lain ikan layur (Trichiurus sp.), ikan tembang (Sardinella Sp.), dan ikan tongkol (Euthynnus sp.).

47 4.1.2 Blanakan Blanakan merupakan daerah konservasi mangrove yang terletak di Kecamatan Blanakan, Kabupaten Subang, Propinsi Jawa Barat. Secara geografis, Blanakan terletak diantara 107 o o BT dan 6 o o LS. Secara administratif Blanakan berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, kecamatan Ciasem di sebelah selatan, kabupaten Karawang di sebelah barat, dan kecamatan Pamanukan di sebelah timur. Luas hutan manggrove di daerah Blanakan adalah 356,6 Ha. Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt-Ferguson curah hujan di daerah Blanakan rata-rata 1260 mm (Badan Pusat Statistik Kabupaten Subang in Munjilah 2005). Rata-rata suhu bulanan di perairan Blanakan bervariasi antara 27,5 ºC sampai 28,7 o C (Windarti 2008). Puncak maksimum terjadi pada periode musim peralihan (bulan Mei dan November), sedangkan puncak minimum terjadi pada bulan Agustus dan Februari (puncak musim timur dan barat). Rata-rata salinitas bulanan di perairan Laut Jawa 31,5 33,7. Salinitas maksimum (33,7 ) terjadi dalam bulan september, sedangkan salinitas minimum terjadi pada bulan Mei (31,3 ). Perairan pantai Subang memiliki kedalaman yang relatif dangkal (kurang dari 20 m) dengan gradien kedalaman yang relatif landai. Perkembangan produksi dan nilai produksi di TPI Blanakan dari tahun cukup fluktuatif. Tahun 1999 volum produksi mengalami kenaikan yang cukup signifikan yakni sekitar kg dari tahun sebelumnya. Periode produksi mengalami penurunan (Anonimous in Rodiana 2006). Pada tahun volum produksi kembali mengalami penurunan, dan naik lagi pada tahun 2004 menjadi sebesar kg. Secara keseluruhan armada penangkapan ikan di Blanakan selama periode mengalami kenaikan, selama kurun waktu tersebut ukuran kapal didominasi oleh kapal dengan ukuran antara GT. Selama periode alat tangkap yang paling banyak digunakan adalah jaring nilon dengan jumlah 347 unit, dalam hal ini yang dimaksud dengan jaring nilon adalah gillnet yang terbuat dari nilon.

48 4.1.3 Labuan Daerah Labuan terdapat di Kabupaten Pandeglang, bagian barat daya Propinsi Banten. Secara geografis terletak antara 6 o 21-7 o 10 LS dan 104 o o 11 BT. Secara administratif sebelah utara berbatasan dengan kabupaten Serang, sebelah timur dengan kabupaten Lebak, sebelah selatan dengan Samudra Hindia dan sebelah barat dengan Selat Sunda. Perairan laut di daerah pesisir barat Banten memiliki pantai yang landai dan kedalaman sedang. Kondisi ini sangat memungkinkan untuk berbagai aktifitas perikanan, selain itu juga memungkinkan untuk wisata bahari karena gelombang tidak terlalu besar (Wahyudi 2008). Wilayah kabupaten Pandeglang meengalami dua musim, yaitu musim kemarau dari bulan April sampai Oktober dan musim hujan dari bulan November sampai Maret (Rakhmania 2008). Tahun 2005 curah hujan rata-rata 1554 mm pertahun, dengan suhu udara minimum dan maksimum berkisar antara 23,78 o C 31,98 o C (Anonymous in Rakhmania 2008). Ditinjau dari potensi sumberdaya alamnya, Kabupaten Pandeglang memiliki potensi perikanan yang cukup besar. Hal ini terlihat dari potensi sumberdaya ikan WPP Laut Jawa dan Selat Sunda adalah 726,24 ton pertahun dan tingkat pemanfaatannya 57,86% (Anonimous in Kartika 2007). Kapal atau perahu penangkap ikan di Kabupaten Pandeglang diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu perahu tanpa motor (PTM), perahu motor tempel (PMT), dan kapal motor (KM). Alat tangkap yang digunakan oleh nelayan terdiri dari jenis payang, dogol, arat, purse seine, gillnet, jaring rampus, jaring klitik, bagan tancap, bagan rakit dan pancing. 4.2 Laju Eksploitasi dan Potensi Lestari Ikan Tembang (S. gibbosa) Pada suatu stok yang telah dieksploitasi perlu untuk membedakan mortalitas akibat penangkapan dan mortalitas alami. Menurut King (1995) laju mortalitastotal (Z) adalah penjumlahan laju mortalitas penangkapan (F) dan laju mortalitas alami (M) sehingga ketiga jenis mortalitas tersebut perlu dianalisis. Hasil analisis parameter pertumbuhan, dugaan laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan tembang dapat dilihat pada Tabel 2.

49 Tabel 2. Parameter pertumbuhan, laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan tembang (S. gibbosa) di tiga lokasi penelitian Lokasi L (mm) k per tahun Mortalitas alami (M) per tahun Mortalitas total (Z) per tahun Mortalitas penangkapan (F) per tahun Laju Eskploitasi (E) Palabuhan Ratu Blanakan Labuan Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan, ikan tembang (S. fimbriata) di perairan Selat Madura memiliki nilai K sebesar 1,60 per tahun dan L = 20,43-21,16 cm (Effani 1998). Perbedaan nilai yang diperoleh dapat disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang dapat berpengaruh adalah keturunan (faktor genetik), parasit dan penyakit sedangkan faktor eksternal dapat berpengaruh adalah suhu dan ketersediaaan makanan (Effendie 1997). Oleh karena itu, perbedaan nilai K dan panjang infinitif dengan ikan tembang di perairan Selat Madura diduga disebabkan oleh perbedaan spesies, faktor genetik serta kondisi lingkungan yang berbeda dengan perairan Palabuhan Ratu, Blanakan, dan Labuan. Dilihat dari tiga lokasi penelitian nilai L terkecil ditemukan pada daerah Blanakan dengan koefisien pertumbuhan (K) paling besar. Ikan dengan nilai K besar memiliki umur yang relatif pendek. Hal ini berarti ikan tembang di Blanakan memiliki siklus hidup dan ukuran panjang infinitif yang lebih pendek dibandingkan ikan tembang yang terdapat di Palabuhan Ratu dan Labuan. Magnan et al (2005) menyatakan bahwa umur ikan pertama kali matang gonad dan usaha reproduktif tidak dipengaruhi oleh pertumbuhan, jika tingkat kelangsungan hidup (survival rate) juga tidak dipengaruhi oleh pertumbuhan. Seperti halnya kasus dalam exploitasi dan populasi sympatric yang mengalami survival individu dewasa rendah tapi laju pertumbuhan tinggi. Akan tetapi panjang total maksimum ikan yang tertangkap di Labuan paling kecil yaitu 169 mm, panjang ini jauh lebih kecil dari panjang infinitif ikan tembang yang didapat yaitu 203,18 mm. Hasil ini juga dapat mengindikasikan ikan tembang di Labuan telah mengalami tekanan penangkapan yang tinggi.

50 Dari Tabel 2 juga dapat dilihat tingkat mortalitas dan laju eksploitasi ikan tembang. Mortalitas total (Z) terbesar terdapat pada daerah Blanakan yaitu sebesar 4,986 karena mortalitas alami (M) dan Mortalitas penangkapan (F) juga besar. Mortalitas alami dipengaruhi oleh pemangsaan, penyakit, stres pemijahan, kelaparan dan usia tua (Sparre & Venema 1999). Berdasarkan hal tersebut dapat diduga tingginya laju mortalitas alami ikan tembang di Blanakan disebabkan oleh menurunnya jumlah pemangsa ikan tembang pada saat penelitian. Dari ketiga lokasi penelitian didapat mortalitas penangkapan lebih besar daripada mortalitas alami. Tingginya laju mortalitas penangkapan dan rendahnya laju mortalitas alami juga dapat menunjukkan dugaan terjadinya kondisi growth overfishing yaitu sedikitnya jumlah ikan tua (Sparre & Venema 1999) karena ikan muda tidak sempat tumbuh akibat tertangkap sehingga tekanan penangkapan terhadap stok tersebut seharusnya dikurangi hingga mencapai kondisi optimum yaitu laju mortalitas penangkapan sama dengan laju mortalitas alami. Berdasarkan hasil analisis juga diketahui laju eksploitasi ikan tembang di Labuan lebih besar dari Palabuhan ratu dan Blanakan yaitu sebesar 0,637 yang berarti 63,7 % kematian ikan tembang di perairan tersebut disebabkan oleh aktifitas penangkapan. Laju eksploitasi ikan tembang yang besar disebabkan oleh penangkapan ikan tembang yang berlangsung setiap harinya oleh nelayan di Labuan dan alat tangkap yang digunakan tidak selektif. Bila dibandingkan dengan laju eksploitasi optimum yang dikemukakan oleh Gulland (1971) in Pauly (1984) yaitu sebesar 0,5 maka laju eksploitasi ikan tembang di ketiga lokasi penelitian sudah melebihi nilai optimum tersebut. Nilai ini juga menguatkan indikasi adanya tekanan penangkapan yang tinggi terhadap stok ikan tembang di Teluk Palabuhan Ratu, Blanakan, dan Labuan. Pendugaan potensi sumberdaya ikan tembang (S. gibbosa) dilakukan dengan menggunakan data hasil tangkapan ikan tembang yang ditangkap di perairan Teluk Palabuhan Ratu dan Blanakan menggunakan upaya tangkap perahu motor tempel, sedangkan di Labuan upaya penangkapan menggunakan Purse seine. Hasil tangkapan (produksi) serta upaya penangkapan ikan tembang berdasarkan data Statistik Perikanan Palabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhan Ratu dari tahun , KUD mandiri Mina Fajar Sidiq Blanakan

51 dari tahun dan Buku Saku Perikanan Propinsi Banten dari tahun (Lampiran 18). Hasil analisis mengenai potensi maksimum lestari dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Potensi maksimum lestari (MSY) ikan tembang di tiga lokasi penelitian menurut Schaefer dan Fox Schaefer Fox Lokasi a b FMSY MSY TAC a b FMSY MSY TAC Palabuhan Ratu 0,5344-0, ,24 71,40-0,223-0, ,5 62 Blanakan 9-0, ,7 2-0, ,6 Labuan 31-0, , , , Ket : FMSY = unit; MSY dan TAC = ton Analisis potensi sumberdaya ikan tembang dilakukan dengan menggunakan model surplus produksi yang dikembangkan oleh Schaefer (1954) dan Fox (1970) in Sparre & Venema (1999). Perbedaan nilai MSY diduga disebabkan karena berbedanya lokasi penangkapan dan upaya tangkap yang digunakan di masing-masing daerah penelitian.. Dilihat dari nilai koefisien determinasi (r 2 ) untuk daerah Palabuhan Ratu dan Blanakan model Schaefer mempunyai nial r 2 lebih besar sehingga lebih baik menggunakan model Schaefer sedangkan di Labuan nilai r 2 lebih besar model Fox daripada Schafer sehingga lebih baik menggunakan model Fox (Lampiran 19). Tahun 2003, 2004, dan 2006 di Palabuhan Ratu total hasil tangkapan telah melebihi potensi maksimum lestarinya yang hanya 89,24 ton yaitu 92,70; 83,09; dan 96,95 (Gambar 3). Di daerah Blanakan MSYnya sebesar 5582 ton, sedangkan pada tahun 2002 total hasil tangkapan sudah mencapai 5559 ton. Untuk daerah Banten (Labuan) mempunyai MSY sebesar ton, sedangkan tahun 2001, 2002, dan 2007 total hasil tangkapan telah melebihi potensi maksimum lestarinya. Selain itu, jumlah upaya tangkap yang digunakan juga telah melebihi jumlah upaya tangkap optimum.

52 Produksi (ton) Produksi (ton) Produksi (ton) Pelabuhan Ratu Upaya (unit) Blanakan Upaya (unit) Labuan Upaya (unit) Gambar 3. Hubungan upaya penangkapan dan hasil penangkapan (produksi) Beberapa ciri yang dapat menjadi patokan suatu perikanan sedang menuju kondisi upaya tangkap lebih adalah waktu melaut menjadi lebih panjang dari biasanya, lokasi penangkapan menjadi lebih jauh dari biasanya, ukuran mata jaring menjadi lebih kecil dari biasanya, yang kemudian diikuti produktivitas (hasil tangkapan per satuan upaya (CPUE) yang menurun, ukuran ikan yang

53 semakin kecil, dan biaya penangkapan yang semakin meningkat (Widodo & Suadi 2006). 4.3 Sebaran Frekuensi Panjang Ikan Tembang (S. gibbosa) Sebaran frekuensi panjang digunakan untuk melihat pola pertumbuhan ikan. Jumlah ikan tembang (Sardinella gibbosa) yang diamati (Gambar 4) untuk melihat sebaran panjang selama penelitian berjumlah 625 ekor. Jumlah tersebut terdiri dari 207 ekor dari Palabuhan Ratu, 182 ekor dari Blanakan, dan 236 ekor dari Labuan dengan sebaran panjang secara keseluruhan berkisar antara 109 mm mm (Gambar 5). Sumber : Dokumentasi pribadi Gambar 4. Ikan tembang (Sardinella gibbosa) Untuk daerah Palabuhan Ratu ikan tembang yang tertangkap mempunyai panjang total berkisar antara 109 mm mm. Frekuensi terbesar terdapat pada selang kelas panjang mm yaitu sebesar 38,2 %. Pada daerah Blanakan panjang total berkisar antara mm dengan frekuensi terbesar terdapat pada selang kelas panjang mm (47,8 %). Untuk daerah Labuan panjang total ikan yang tertangkap berkisar antara mm dengan frekuensi terbesar terdapat pada selang kelas panjang mm (30,9%). Ikan-ikan yang berukuran besar diduga merupakan ikan-ikan dewasa yang telah siap memijah atau telah megalami beberapa kali pemijahan. Hal ini sesuai dengan tingkat

54 kematangan gonad ikan yang ditemukan, di daerah Palabuhan Ratu dan Blanakan rata-rata ikan yang mempunyai TKG III dan IV mulai terlihat pada selang kelas panjang mm (Gambar 12 dan 13), sedangkan di daerah Labuan ikan matang gonad pada ukuran yang lebih kecil. Ikan- ikan yang berukuran kecil merupakan ikan-ikan yang berhasil bertahan hidup dan berkembang pada musim pemijahan sebelumnya. Tertangkapnya ikan tembang yang berukuran lebih kecil di Labuan karena alat tangkap purse seine yang digunakan memiliki ukuran mata jaring yang sangat kecil (kurang dari 1 inchi), selain itu di daerah Labuan ikan tembang merupakan target utama penangkapan. Sehingga diduga di daerah ini telah terjadi tangkap lebih (over exploitation) yang menyebabkan ikan tembang pertama kali tertangkap berukuran kecil. Untuk itu ukuran mata jaring yang disarankan adalah 1,45 inchi agar ikan yang tertangkap sudah layak tangkap. Sedangkan ikan tembang yang berukuran lebih besar tertangkap di Palabuhan ratu dan Blanakan karena alat tangkap yang digunakan di daerah Palabuhan Ratu adalah Gilnet dan Purse seine dengan ukuran mata jaring yang lebih besar (lebih dari 2 inchi) dan di daerah Blanakan hanya menggunakan Gilnet dengan ukuran mata jaring juga lebih besar dari 2 inchi. Ikan tembang di daerah Blanakan tidak menjadi target utama penangkapan tetapi hanya sebagai hasil sampingan. Alat tangkap purse seine termasuk alat tangkap yang kurang selektif karena menggunakan mata jaring yang sangat kecil. Panjang total maksimum ikan tembang yang tertangkap selama penelitian di Palabuhan Ratu adalah 193 mm, Blanakan 191 mm, dan Labuan 169 mm. Menurut FAO (1974), panjang total ikan tembang dapat mencapai 185 mm. Perbedaan ukuran panjang total ini dapat disebabkan oleh beberapa kemungkinan seperti perbedaan lokasi pengambilan ikan contoh, keterwakilan ikan contoh yang diambil dan kemungkinan tekanan penangkapan yang tinggi terhadap ikan.

55 Frekuensi Frekuensi Frekuensi Pelabuhan Ratu N = Blanakan N = Labuan Selang panjang N = 236 Gambar 5. Sebaran frekuensi panjang Ikan Tembang (S. gibbosa) Jumlah ikan tembang (Sardinella gibbosa) yang ditemukan setiap bulan pengamatan di daerah Palabuhan Ratu terbanyak pada bulan Mei (151 ekor) dan paling sedikit pada bulan Juni (56 ekor) sedangkan pada bulan Juli tidak ada ikan tembang yang ditemukan tertangkap oleh nelayan. Di daerah Blanakan paling banyak tertangkap pada bulan Juli yaitu sebanyak 78 ekor dan paling sedikit pada bulan Mei (44 ekor). Begitu juga untuk daerah Labuan ikan tembang yang paling banyak tertangkap di daerah ini pada bulan Juli (81 ekor) dan yang paling sedikit di bulan Mei (78 ekor) (Gambar 6).

56 Frekuensi (%) Frekuensi (%) Frekuensi (%) PR Mei BL Mei LB Mei N = 151 N = 44 N = PR Juni Selang panjang (mm) BL Juli BL Juni LB Juni N = 56 N = 60 N = LB Juli Selang panjang (mm) N = 78 N = Selang panjang (mm) Gambar 6. Distribusi frekuensi jumlah ikan tembang setiap bulan pengamatan di perairan Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL), dan Labuan (LB) Tertangkapnya ikan tembang dalam jumlah yang banyak di Palabuhan Ratu pada bulan Mei karena nelayan beroperasi menangkap ikan secara intensif dan belum terjadi musim peralihan, badai dan angin yang bertiup kencang. Selai ikan tongkol, layur, dan pepetek ikan tembang merupakan salah satu jenis ikan utama yang ditangkap di Teluk Palabuhan Ratu. Sedangkan pada Bulan Juli tidak ada ikan tembang yang tertangkap, hal disebabkan karena nelayan yang beroperasi sangat sedikit dan adanya badai serta angin kencang di pantai selatan Jawa. Selain

57 itu pada bulan Juli TPI Palabuhan Ratu diperbaiki dan direhabilitasi sehingga nelayan mendaratkan hasil tangkapannya di daerah lain. Di daerah Blanakan dan Labuan ikan tembang banyak tertangkap pada bulan Juli. Selain disebabkan nelayan yang menangkap ikan secara intensif, pada bulan Juli juga belum terjadi musim peralihan, cuaca yang buruk dan angin yang bertiup kencang. Sedangkan pada bulan Mei, jumlah tangkapan menurun disebabkan karena nelayan yang beroperasi sedikit (hanya nelayan-nelayan tradisional) yang menangkap ikan di daerah pinggiran pantai dan terjadinya badai, cuaca buruk yang disertai angin kencang di pantai Utara Jawa. Perbedaan letak geografis antara Palabuhan Ratu yang terdapat di pantai selatan Jawa dengan Blanakan dan Labuan di pantai utara Jawa menyebabkan berbedanya jumlah hasil tangkapan setiap bulan di masing-masing daerah tersebut. Pergeseran modus kelas panjang pada bulan Juni di Palabuhan Ratu ke arah kanan menunjukkan adanya pertumbuhan, hal ini diduga karena banyaknya makanan yang tersedia pada bulan tersebut. Cuaca yang buruk dan angin kencang menyebabkan terjadinya mixing (pencampuran massa air) pada bulan Juni di Palabuhan Ratu, sehinggga perairan mengandung cukup nutrien sebagai sumber makanan ikan. Menurut Magnan et al (2005), dalam kasus eskploitasi dan populasi sympatric individu dewasa mengalami survival rendah tapi laju pertumbuhannya tinggi. Sedangkan di Blanakan dan Labuan modus kelas panjang bergeser kearah kiri pada bulan Juni dan Juli. Hal ini dapat diduga karena adanya rekruitmen ikan tembang pada bulan Juni dan Juli sehingga masuk individu baru dan membentuk kelas panjang yang baru. Dari tingkat kematangan gonad dan indeks kematangan gonad musim pemijahan diduga terjadi pada bulan Mei sehingga menyediakan stok ikan baru untuk bulan Juni dan Juli.

58 200 Jantan Betina 180 Panjang total (mm) PR BL LB Lokasi penelitian PR BL LB Lokasi penelitian Gambar 7. Perbandingan ukuran dari total tangkapan di setiap lokasi penelitian Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL), dan Labuan (LB) Berdasarkan komposisi ukuran dari total tangkapan, panjang rata-rata ikan tembang jantan dan betina terbesar terdapat di Blanakan yaitu 158 mm untuk ikan jantan dan 163 mm untuk ikan betina (Gambar 7). Hal ini didukung oleh koefisien pertumbuhan yang juga besar di Blanakan di banding Palabuhan ratu dan Labuan (Tabel 2). Sedangkan panjang rata-rata terkecil terdapat di Labuan yaitu 135 mm untuk ikan jantan dan 140 mm untuk ikan betina. Hal ini juga didukung oleh koefisien pertumbuhan yang kecil di Labuan. Untuk daerah Palabuhan Ratu komposisi ukuran panjang lebih bervariasi. Spesies ikan yang sama tapi hidup di lokasi perairan yang berbeda akan mengalami pertumbuhan yang berbeda pula karena adanya faktor dalam dan faktor luar yang mempengaruhi pertumbuhan ikan tersebut. Menurut Effendie (2002), faktor dalam adalah faktor yang umumnya sulit dikontrol seperti keturunan, sex, umur, parasit dan penyakit. Faktor luar yang utama mempengaruhi petumbuhan ikan yaitu suhu dan makanan (Effendie 2002).

59 4.4 Hubungan Panjang Berat dan Faktor Kondisi Ikan Tembang (S. gibbosa) Perhitungan panjang dan berat dapat digunakan untuk menduga pola pertumbuhan dan tingkat kemontokan ikan (Effendie, 2002). Analisis hubungan panjang-berat ikan tembang (Sardinella gibbosa) menghasilkan model pertumbuhan (Tabel 4) dengan koefisien determinasi mendekati 1. Untuk daerah Palabuhan Ratu nilai R 2 = 0,80 pada ikan jantan dan R 2 = 0,95 pada ikan betina, daerah Blanakan ikan jantan mempunyai nilai R 2 = 0,85 dan nilai R 2 = 0,89 pada ikan betina, untuk daerah Labuan nilai R 2 = 0,88 pada ikan jantan dan R 2 = 0,95 pada ikan betina. Hal ini menunjukkan bahwa di setiap lokasi penelitian, rata-rata diatas 80 % variasi berat dapat menjelaskan pola pertumbuhan panjang. Tabel 4. Hubungan panjang berat ikan tembang jantan dan betina dari tiga lokasi penelitian Lokasi JK N Persamaan a b R 2 thit ttab Palabuhan Ratu Pola pertumbuhan Jantan 22 W=1E-05L Isometrik Betina 39 W=2E-05L Isometrik Blanakan Labuan Jantan 35 W=5E-05L Isometrik Betina 57 W=3E-05L Isometrik Jantan 35 W=3E-05L Isometrik Betina 57 W=2E-05L Isometrik Nilai (b) yang didapat dari persamaan regresi panjang-berat semuanya di bawah 3. Karena t hitung yang diperoleh lebih kecil daripada t tabel maka nilai b sama dengan tiga. Dari hasil regresi tersebut dapat diduga bahwa pola pertumbuhan ikan jantan dan betina adalah isometrik (b = 3). Hal ini berarti pertambahan bobot ikan jantan dan ikan betina sebanding dengan pertambahan panjangnya (Effendie, 2002). Pertumbuhan dipengaruhi oleh keturunan, sex, umur, parasit, penyakit, makanan dan suhu perairan (Effendie, 2002).

60 berat tubuh (g) Berat tubuh (g Berat tubuh (g) Jantan y = 1E-05x r = Pelabuhan Ratu Betina y = 2E-05x r = Pelabuhan Ratu Jantan y = 5E-05x r = Blanakan Betina y = 3E-05x r = Blanakan Jantan Labuan Betina Labuan y = 3E-05x r = y = 2E-05x r = Panjang total (mm Panjang total (mm Gambar 8. Hubungan panjang berat ikan tembang (S. gibbosa) jantan dan betina di perairan Palabuhan Ratu, Blanakan, dan Labuan. Menurut Ismail (2006), hubungan antara panjang total dengan berat tubuh ikan tembang (Clupea platygaster) di perairan Ujung Pangkah sangat erat dengan koefisien korelasi (r) untuk jantan 0,9553 dan betina 0,9481. Syakila (2009) menyatakan bahwa persamaan hubungan panjang berat ikan tembang (S. fimbriata) di Palabuhan Ratu adalah W= 9x10-6 L 2,99 dengan kisaran nilai b sebesar 2,86 3,12 dan pola pertumbuhannya isometrik. Osman in Syakila (2009)

61 menjelaskan perbedaan nilai b dapat disebabkan oleh musim, jenis kelamin, area, temperatur, fishing time, fishing vessel dan tersedianya makanan. Analisis kovarian (Lampiran 6) menunjukkan hasil yang berbeda nyata pada hubungan panjang-berat ikan tembang jantan dan betina sehingga diduga bahwa pada ukuran panjang yang sama, ikan tembang betina memiliki tubuh yang lebih berat daripada ikan tembang jantan. Nilai koefisien korelasi (Gambar 8) yang didapat mendekati 1 yang menunjukkan bahwa hubungan antara panjang total dan berat tubuh sangat erat. Menurut Walpole (1995) jika nilai koefisien korelasi (r) mendekati 1 atau -1 maka terdapat hubungan yang linear antara kedua variabel. Faktor Kondisi Faktor kondisi (K) menunjukkan keadaan ikan secara fisik untuk bertahan hidup dan bereproduksi. Faktor kondisi ikan tembang jantan dan betina bervariasi pada setiap selang kelas panjang dan lokasi penelitian (Gambar 9 dan Tabel 5). Tabel 5. Faktor kondisi ikan tembang jantan dan betina dari tiga lokasi penelitian Lokasi N Kisaran Jantan Ratarata Betina Ratarata Sb N Kisaran Palabuhan Ratu Blanakan Labuan Sb Faktor kondisi ikan tembang jantan dan betina yang mendekati 1 menunjukkan bahwa kondisi ikan tembang relatif kurus dan berbentuk pipih. Nilai faktor kondisi yang tinggi pada selang kelas panjang tertentu mengindikasikan ikan sedang dalam pemijahan. Faktor kondisi berkaitan dengan masa pemijahan terutama pada ikan betina. Pantulu in Effendie (2002) mengatakan ikan yang berukuran kecil mempunyai faktor kondisi yang lebih tinggi, kemudian menurun ketika ikan tersebut bertambah besar. Peningkatan faktor kondisi diakibatkan oleh perkembangan gonad yang akan mencapai puncaknya sebelum pemijahan.

62 Nilai faktor kondisi ikan jantan di daerah Palabuhan Ratu meningkat di bulan Juni sedangkan ikan betina menurun (Lampiran 9), walaupun rata-rata nilai faktor kondisi ikan betina lebih tinggi dari ikan jantan. Hal ini disebabkan karena perbedaaan pola tingkah laku ikan jantan dan betina pada saat pemijahan, ikan jantan lebih banyak yang matang gonad pada bulan Juni dibanding ikan betina. Pada daerah Blanakan nilai faktor kondisi ikan jantan dan betina tertinggi pada bulan Mei dan cendrung menurun pada bulan Juli. Tingginya faktor kondisi pada bulan Mei karena ikan jantan dan betina banyak yang matang gonad dibandingkan dengan bulan Juli. Di daerah Labuan rata-rata nilai faktor kondisi meningkat di bulan Juni dan terendahnya di bulan Mei. Pada bulan Juni ikan tembang lebih banyak yang matang gonad dibanding bulan Mei dan Juli, sehingga faktor kondisinya juga lebih tinggi. Di Palabuhan Ratu rata-rata nilai faktor kondisi tertinggi terdapat pada selang kelas panjang mm untuk ikan jantan yaitu 0,8914 dan mm untuk ikan betina yaitu 0,8967 (Gambar 9). Untuk daerah Blanakan rata-rata tertinggi pada selang kelas panjang mm untuk ikan jantan dan betina (masing-masingnya 1,0113 dan 1,0509), dan di Labuan rata-rata tertinggi pada selang kelas panjang mm untuk ikan jantan dan betina (masingmasingnya 0,9457 dan 0,9724). Faktor kondisi ikan betina rata-rata lebih besar daripada ikan jantan, hal ini menunjukkan bahwa ikan betina memiliki kondisi yang lebih baik untuk bertahan hidup dan proses reproduksinya lebih baik dari ikan jatan. Faktor kondisi dipengaruhi oleh makanan, suhu perairan, umur, jenis kelamin dan tingkat kematangan gonad. Faktor kondisi biasa digunakan untuk menentukan kecocokan lingkungan dan membandingkan berbagai tempat hidup ikan (Lagler 1972). Kondisi perairan yang baik dan cukup mengandung bahan makanan akan meningkatkan pertumbuhan ikan dan mempengaruhi nilai faktor kondisi. Semakin banyak makanan yang tersedia maka tingkat kemontokan ikan juga akan semakin tinggi.

63 1.2 Jantan PR Betina PR Faktor kondisi Selang panjang (mm) Selang panjang (mm) 1.2 Jantan BL Betina BL Faktor kondisi Selang panjang (mm) Selang panjang (mm) 1.2 Jantan LB Betina LB Faktor kondisi Selang panjang (mm) Selang panjang (mm) Gambar 9. Faktor kondisi ikan tembang (S. gibbosa) jantan (panel kiri) dan betina (panel kanan) berdasarkan ukuran selang kelas panjang di perairan Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL), dan Labuan (LB) Dari garik diatas terlihat faktor kondisi rata-rata tertinggi ditemukan di daerah Blanakan baik untuk ikan jantan maupun ikan betina. Sedangkan di

64 Palabuhan Ratu dan Labuan faktor kondisi cenderung rendah. Hal ini diduga disebabkan karena di pantai Blanakan terdapat konservasi manggrove yang akan menyuplai makanan ke perairan, sehingga ikan mempunyai makanan yang cukup untuk pertumbuhannya. Selain itu jumlah ikan yang matang gonad lebih banyak ditemukan di daerah Blanakan daripada daerah Palabuhan Ratu dan Labuan. Fluktuasi nilai faktor kondisi ini dapat disebabkan oleh pengaruh perbedaan umur ikan dan perubahan pola makan saat tumbuh. Faktor lain yang diduga mempengaruhi adalah kondisi lingkungan dan ketersediaan makanan. Faktor kondisi yang tinggi pada ikan betina dan jantan menunjukkan ikan dalam tahap perkembangan gonad, sedangkan faktor kondisi yang rendah mengindikasikan ikan kurang mendapatkan asupan makanan. 4.5 Aspek Reproduksi Nisbah kelamin ikan tembang (S. gibbosa) Untuk daerah Palabuhan Ratu, ikan tembang (Sardinella gibbosa) yang diamati biologi reproduksinya berjumlah 61 ekor yang terdiri dari 22 ekor ikan jantan dan 39 ekor ikan betina. Nisbah kelamin antara ikan jantan dan ikan betina 1:1,7 (36,07% ikan jantan dan 63,93% ikan betina). Pada daerah Blanakan dan Labuan jumlah ikan tembang yang diamati biologi reproduksinya jumlahnya sama yaitu sama-sama 92 ekor, terdiri dari 35 ekor ikan jantan dan 57 ekor ikan betina. Nisbah kelamin antara ikan jantan dan ikan betina di daerah Blanakan dan Labuan 1:1,63 (38,04% ikan jantan dan 61,96% ikan betina). Berdasarkan uji chisquare pada taraf nyata 0,05 diperoleh nisbah kelamin jantan dan betina ikan tembang di Palabuhan Ratu, Blanakan dan Labuan tidak seimbang (Lampiran 8). Ketidakseimbangan rasio kelamin ikan jantan dan ikan betina ini diduga terjadi karena proses alamiah dari strategi reproduksi ikan tersebut, yaitu jumlah ikan betina yang lebih banyak dibutuhkan untuk memenuhi kuantitas telur dalam menunjang keberhasilan reproduksi, meskipun belum diketahui secara pasti perbandingan komposisi jantan dan betina dalam pemijahan.

65 Nisbah kelamin Nisbah kelamin Nisbah kelamin Pelabuhan ratu Blanakan Labuan Selang panjang (mm) Gambar 10. Nisbah kelamin ikan tembang (S. gibbosa) berdasarkan ukuran selang kelas panjang di perairan Palabuhan Ratu, Blanakan, dan Labuan Nisbah kelamin yang ditemukan di setiap lokasi penelitian berbeda-beda, hal ini diduga disebabkan oleh pengaruh tekanan penangkapan yang juga berbeda di setiap lokasi. Pengaruh over fishing akan meyebabkan terjadinya perubahan atau ketidakseimbangan komposisi kelamin, karena pada saat dilakukan penangkapan bisa saja hanya ikan jantan yang tertangkap lebih banyak ataupun sebaliknya hanya ikan betina yang tertangkap lebih banyak.

66 Nisbah Kelamin (J/B) Perbandingan nisbah kelamin ikan jantan dan betina berdasarkan selang kelas panjang bervariasi (Gambar 10). Nisbah kelamin tertinggi pada daerah Palabuhan Ratu terdapat pada selang kelas panjang mm. Pada daerah Blanakan nisbah kelamin tertinggi pada selang kelas panjang mm dan untuk daerah Labuan terdapat pada selang kelas panjang mm. Menurut Nikolsky (1963), apabila pada suatu perairan terdapat perbedaan ukuran dan jumlah dari salah satu jenis kelamin, mungkin disebabkan karena perbedaan pola pertumbuhan, berbedanya umur pada saat pertama kali matang gonad, berbedanya jangka hidup dan adanya penambahan jenis ikan baru pada suatu populasi ikan yang sudah ada. PR BL LB Mei Juni Juli Bulan Gambar 11. Perubahan Nisbah kelamin berdasarkan bulan pengambilan contoh di Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL), dan Labuan (LB) Nisbah kelamin dalam pemijahan tiap-tiap spesies berbeda-beda tetapi mendekati 1:1 (Effendie, 2002). Secara bulanan di Palabuhan Ratu nisbah kelamin tertinggi ditemui pada bulan Mei (ikan jantan 12 ekor dan ikan betina 18 ekor) (Gambar 11 dan Lampiran 10). Pada bulan Juni nisbah kelamin menurun (ikan jantan 10 ekor dan ikan betina 21 ekor). Pada daerah Blanakan nisbah kelamin tertinggi pada bulan Juni, pada bulan ini jumlah ikan jantan hampir seimbang dengan jumlah ikan betina (14 ekor ikan jantan dan 16 ekor ikan betina). Nisbah

67 kelamin terendah di Blanakan ditemui pada bulan Mei (9 ekor ikan jantan dan 23 ekor ikan betina). Nilai nisbah kelamin tertinggi di Labuan pada bulan Juli, karena jumlah ikan jantan dan betina seimbang (15 ekor ikan jantan dan 15 ekor ikan betina) dan terendah pada bulan Juni (8 ekor ikan jantan dan 22 ekor ikan betina). Perbedaan jumlah jantan dan betina dapat disebabkan oleh adanya perbedaan tingkah laku bergerombol diantara ikan jantan dan betina. Untuk mempertahankan kelangsungan hidup suatu populasi, perbandingan ikan jantan dan betina diharapkan dalam keadaan seimbang atau setidaknya ikan betina lebih banyak (Purwanto et al 1986) Tingkat kematangan gonad ikan tembang (S. gibbosa) Tingkat kematangan gonad ikan tembang (Sardinella gibbosa) secara morfologi dapat dilihat pada Tabel 6. Jenis kelamin ditentukan setelah dilakukan pembedahan terhadap ikan contoh kemudian tingkat kematangan gonad ditentukan dengan menggunakan klasfikasi tingkat kematangan gonad berdasarkan Ismail (2006), yang dimodifikasi dari klasifikasi tingkat kematangan gonad Cassie (1956) in Effendie (1979) (Tabel 1). Secara makroskopis tingkat kematangan gonad ikan tembang (Sardinella gibbosa) yang didapat dari tiga lokasi penelitian sedikit berbeda dengan tingkat kematangan gonad ikan tembang (Clupea platygaster) yang diteliti oleh Ismail (2006) di Perairan Ujung Pangkah, Jawa Timur. Rata-rata ukuran telur pada tiap tingkat kematangan gonad lebih kecil dibanding yang diteliti Ismail (Tabel 6). Dari penelitian Weng et al (2005), ikan tembang pada TKG I dan II termasuk dalam fase sebelum matang gonad (immature), ikan dengan TKG III masuk dalam fase menuju matang gonad (maturing), untuk ikan dengan TKG IV termasuk dalam fase matang gonad (mature), dan TKG V masuk dalam fase setelah matang gonad (spent).

68 Tabel 6. Klasifikasi tingkat kematangan gonad ikan tembang (S. berdasarkan hasil pengamatan (Mei-Juli 2009) gibbosa) TKG Jantan Betina I II III IV V Testis sangat kecil, warna jernih keputihan. Pendek terlihat di ujung rongga tubuh. Warna testis seperti putih susu, tampak lebih jelas dan licin. Warna testis putih kekuningan dan lebih jelas, ukuran lebih besar dari TKG II. Permukaan dan bagian pinggir gonad tidak rata dan bergerigi. Warna testis putih pekat, ukuran lebih besar, pejal dan lekukan (gerigi) semakin besar. TKG V ikan jantan tidak ditemukan selama penelitian. Warnah jernih, permukaannya licin. Ukuran ovari sangat kecil sperti benang. Butiran telur belum dapat dipisahkan. Panjang gonad antara 1/4-1/3 dari panjang rongga tubuh. Pewarnaan putih susu kemerahan. Butiran telur masih menyatu dan masih belum dapat dipisahkan. Panjang gonad antara 1/3-1/2 dari panjang rongga tubuh. Ukuran ovari lebih besar dan panjang, warna merah kekuningan. Butiran telur mulai terlihat, panjang gonad bervariasi antara 1/2-2/3 dari panjang rongga tubuh. Ovari makin besar, semua telur bewarna kuning. Mudah dipisahkan dan terlihat jelas di bawah mikroskop. Mengisi 2/3-3/4 rongga tubuh. Warna telur merah gelap, ovari mengkerut. Butiran telur makin sedikit dan terkumpul di posterior. Pemijahan ikan dilakukan pada saat kondisi lingkungan mendukung keberhasilan pemijahan dan kelangsungan hidup larva. Perbedaan musim pemijahan ikan dapat disebabkan oleh adanya fluktuasi musim hujan tahunan, letak geografis dan kondisi lingkungan. Menurut Lagler (1972) ada dua faktor yang mempengaruhi waktu ikan pertama kali matang gonad yaitu faktor dari dalam dan dari luar. Faktor dari dalam adalah perbedaan spesies, umur, ukuran serta sifat fisiologis dari ikan tersebut seperti kemampuan adaptasi terhadap lingkungannya. Sedangkan faktor luar yang mempengaruhinya adalah makanan, suhu, arus dan tekanan penangkapan.

69 TKG (%) TKG (%) TKG (%) Jantan PR Betina PR 100% 80% 60% 40% 20% 0% TKG IV TKG III TKG II TKG I TKG V TKG IV TKG III TKG II TKG I Jantan BL Betina BL 100% 80% 60% 40% 20% 0% TKG IV TKG III TKG II TKG I TKG V TKG IV TKG III TKG II TKG I Jantan LB Betina LB 100% 80% 60% 40% 20% 0% Mei Juni Juli TKG IV TKG III TKG II TKG I Mei Juni Juli TKG V TKG IV TKG III TKG II TKG I bulan bulan Gambar 12. Tingkat kematangan gonad ikan tembang (S. gibbosa) jantan dan betina setiap bulan pengamatan di Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL), dan Labuan (LB) Tingkat kematangan gonad (TKG) ikan tembang pada setiap bulan pengambilan contoh dapat dilihat pada gambar 12. Di Palabuhan Ratu persentase ikan tembang yang matang gonad banyak ditemukan pada bulan Mei (jantan; 41,67% TKG III dan 50% TKG IV, betina; 38,89% TKG III dan 33,33% TKG IV). Persentase ikan tembang yang matang gonad di daerah Blanakan juga banyak ditemukan pada bulan Mei (jantan; 22,22% TKG III dan 77,78% TKG IV, betina; 47,83% TKG III dan 30,43% TKG IV). Begitu juga untuk daerah Labuan ikan tembang yang matang gonad banyak ditemukan pada bulan Mei (jantan; 25%

70 TKG III dan 75% TKG IV, betina; 45% TKG III dan 10% TKG IV). Berdasarkan hal ini dapat diduga bahwa ikan tembang (Sardinella gibbosa) memijah pada bulan Mei karena banyak ditemukan ikan dengan TKG III dan IV. Siklus reproduksi ikan tembang (Sardinella fimbriata) terjadi pada bulan Desember, sedang mencapai puncak rekruitmennya pada bulan April - Mei dan November (Effani 1998). Tingkat kematangan gonad pada tiap waktu bervariasi, yang tertinggi umumnya didapatkan pada saat pemijahan akan tiba (Tang dan Affandi, 1999). Pada daerah Palabuhan Ratu persentase ikan tembang (Sardinella gibbosa) jantan dan ikan betina yang mulai matang gonad terlihat pada selang kelas mm (Gambar 13). Ikan jantan pada selang kelas panjang mm seluruhnya merupakan ikan dengan TKG II. Ikan betina pada selang mm seluruhnya merupakan ikan dengan TKG II dan pada selang kelas mm merupakan ikan dengan TKG IV. Ikan jantan dan betina yang mulai matang gonad di daerah Blanakan terlihat pada selang kelas mm. Ikan jantan pada selang kelas ukuran mm hanya terdapat ikan dengan TKG IV. Pada selang kelas mm ikan betina didominasi oleh TKG IV. Pada daerah Labuan ikan jantan dan ikan betina yang matang gonad mulai terlihat pada selang kelas mm. Untuk ikan jantan pada kelas ukuran mm seluruhnya merupakan ikan dengan TKG IV. Pada selang kelas panjang yang lebih kecil ikan betina didominasi oleh ikan dengan TKG II dan V. Berdasarkan selang ukuran panjang ikan yang telah matang gonad, diduga ikan tembang jantan di Palabuhan Ratu pertama kali matang gonad pada ukuran 135 mm dan ikan betina 140 mm. Di daerah Blanakan ikan jantan diduga pertama kali matang gonad pada ukuran 141 mm dan ikan betina 146 mm. Untuk daerah Labuan ikan jantan diduga pertama kali matang gonad pada ukuran 116 mm dan ikan betina 117 mm. Dari hasil pengamatan dapat diduga bahwa ikan jantan lebih cepat matang gonad pada ukuran yang lebih pendek daripada ikan betina. Pada umumnya spesies ikan yang ukuran tubuhnya kecil dan masa hidupnya pendek akan mencapai dewasa kelamin pada umur yang lebih muda, jika dibandingkan dengan spesies ikan yang ukurannya lebih besar dan lebih panjang (Lagler et al in Syandri 1996).

71 TKG (%) Jantan PR Betina PR 100% 80% 60% 40% 20% TKG IV TKG III TKG II TKG I TKG V TKG IV TKG III TKG II TKG I 0% Betina BL TKG V TKG IV TKG III TKG II TKG I Betina LB TKG V TKG IV TKG III TKG II TKG I Selang panjang Gambar 13. Tingkat kematangan gonad ikan tembang (S. gibbosa) jantan dan betina berdasarkan selang kelas panjang di Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL), dan Labuan (LB) Secara histologis ovarium ikan tembang dari Palabuhan Ratu (Gambar 14) pada TKG I gonad belum matang dan didominasi oogononia yang belum terlihat jelas atau belum dapat dipisahkan dan oosit belum ditemukan. TK II sel telur semakin besar dengan oosit sudah mulai terlihat, tapi belum ada nukleus. Sedangkan pada TKG III, terbentuk ootid, diameter telur semakin besar dan nukleus mulai terlihat. Telur dari Blanakan, pada TKG I juga didominasi oleh

72 oogonia yang sangat kecil sehingga sulit untuk dibedakan. TKG II sudah mulai terdapat oosit dengan selaput yang sudah terlihat dan sel telur semakin besar. Pada TKG III diameter telur semakin besar, nukleus mulai terlihat dengan jumlah ootid yang semakin banyak. Histologis telur dari Labuan, pada TKG I hanya terlihat garis-garis selaput pembatas oogonia. TKG II terlihat jelas perkembangan oosit, walaupun masih banyak terdapat oogonia. Sedangkan TKG III sudah terlihat nukleus dan sedikit butiran minyak, oosit berkembang jadi ootid. Pada TKG IV (anterior) di Palabuhan ratu ootid berkembang menjadi ovum, kuning telur dan butir minyak baru terbentuk (Gambar 15). Bagian Median diameter telur lebih besar dibanding anterior, butiran minyak dan butir kuning telur semakin banyak dan semakin besar. Sedangkan bagian posterior diameter telur lebih kecil dan terdapat ootid. Di Blanakan TKG IV (anterior), nukleus terlihat sangat jelas dengan beberapa butiran minyak, ootid berkembang menjadi ovum. Bagian Median nukleus dan butiran minyak tidak terlihat karena preparat histologisnya tidak bagus, yang ada hanya ovum dan butir kuning telur. Sedangkan pada bagian posterior ukuran diameter telur semakin besar dengan beberapa ovum yang siap dikeluarkan. Pada TKG IV (anterior) di Labuan ootid berkembang jadi ovum dengan beberapa butiran miyak dan butir kuning telur. Bagian median nukleus tidak terilihat, butiran minyak dan kuning telur semakin besar. Sedangkan pada bagian posterior ukuran diameter telur semakin besar dengan butiran minyak yang banyak dan ovum yang siap dikeluarkan. Dari setiap lokasi penelitian terlihat perbedaan perkembangan telur mulai dari TKG I sampai TKG IV dimana di daerah Palabuhan Ratu cendrung ukuran telur lebih besar. Menurut Lagler (1972) yang mempengaruhi perkembangan gonad adalah makanan, suhu, arus, tekanan penangkapan, umur, ukuran serta sifat fisiologis.

73 PR BL LB TKG I (10x10) TKG I (10x10) TKG I (10x10) PR BL LB Os Os Og Og TKG II (10x10) TKG II (10x10) TKG II (10x10) PR BL LB Bk Ot Ot N Ot N TKG III (10x10) TKG III (10x10) TKG III (10x10) Keterangan : Og = Oogonia; Os = Oosit; Ot = Ootid;; N = Nukleus Bk = Butir kuning telur; PR = Palabuhan Ratu; BL = Blanakan; LB = Labuan; ukuran potong = 5 μm Gambar 17. Struktur histologis ikan tembang (S. gibbosa) pada TKG I, TKG II, dan TKG III

74 PR BL LB Bm Bk Ov Bm Bk Bm N Ov Ov TKG IV (Anterior) TKG IV (Anterior) TKG IV (Anterior) PR BL LB Bm Ov Bm Ov Bk Bm Ov Bk Bk TKG IV (Median) TKG IV (Median) TKG IV (Median) PR BL LB Bm Bk Ov Bk Bk Ov Bm Ov TKG IV (Posterior) TKG IV (Posterior) TKG IV (Posterior) Keterangan : Og = Oogonia; Os = Oosit; Ot = Ootid; Ov = Ovum; N = Nukleus; Bm = Butir minyak; Bk = Butir kuning telur; PR = Palabuhan Ratu; BL = Blanakan; LB = Labuan; ukuran potong = 5 μm Gambar 17. Struktur histologis ikan tembang (S. gibbosa) pada TKG IV (anterior, median, dan posterior)

75 Dari tiga lokasi pengambilan contoh, ukuran ikan pertama kali matang gonad yang paling kecil ditemukan pada daerah Labuan. Adanya penangkapan yang berlebihan (over fishing) di Labuan diduga sebagai salah satu faktor yang menyebabkan ikan tembang di lokasi tersebut menerapkan strategi reproduksi alamiah yaitu dengan mempercepat kematangan gonadnya pada ukuran panjang yang lebih kecil demi menjaga kelangsungan hidupnya. Pada ketiga lokasi penelitian laju eksploitasi telah melebihi tangkapan optimum yaitu lebih dari 50%, tetapi dilihat dari trennya laju eksploitasi di Labuan lebih besar dari daerah Blanakan dan Palabuhan Ratu yaitu 63,7%. Menurut Effani (1998) tingkat kematangan gonad ikan tembang (Sardinella fimbriata) di Selat Madura pertama kali dicapai pada ukuran panjang 163 mm untuk ikan betina dan 157 mm untuk ikan jantan Indeks kematangan gonad ikan tembang (S. gibbosa) Indeks Kematangan Gonad (IKG) rata-rata setiap selang kelas panjang (Gambar 16) pada ikan tembang jantan dan betina bervariasi. Nilai IKG di Palabuhan Ratu pada ikan jantan berkisar antara 0,7059-3,0417% dengan nilai IKG rata-rata tertinggi terdapat pada selang kelas mm dan nilai IKG untuk ikan betina berkisar antara 0,7727-4,9318% dengan nilai IKG rata-rata tertinggi terdapat pada selang kelas mm. Pada daerah Blanakan nilai IKG ikan jantan berkisar antara 1,1818-5,9714% dengan nilai IKG rata-rata tertinggi terdapat pada selang kelas mm dan untuk ikan betina kisaran nilai IKG nya adalah 0,8529-5,2297% dengan nilai IKG tertinggi pada selang kelas mm. Untuk daerah Labuan nilai IKG ikan jantan antara 0,4000-5,4500% dengan rata-rata tertinggi terdapat pada selang kelas mm dan ikan betina mempunyai nilai IKG berkisar antara 0,5652-7,0689% dengan nilai IKG rata-rata tertinggi terdapat pada selang kelas mm. Nilai IKG rata-rata ikan betina cendrung lebih besar dari ikan jantan, hal ini disebabkan oleh pertumbuhan ikan betina cendrung tertuju pada pertumbuhan gonad sehingga bobot gonad ikan betina lebih besar dari ikan jantan. Dengan kata lain pengaruh perkembangan gonad ikan betina lebih signifikan dibanding ikan

76 IKG (%) IKG (%) jantan. Sejalan dengan perkembangan gonad, indeks kematangan gonad akan mencapai maksimum pada saat ikan memijah kemudian menurun dengan cepat selama pemijahan sedang berlangsung sampai selesai (Effendie, 2002). Jantan PR BL LB Betina PR BL LB Mei Juni Juli Mei Juni Juli Bulan Bulan Gambar 17. Indeks kematangan gonad ikan tembang (S. gibbosa) jantan dan betina berdasarkan bulan pengambilan contoh di Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL), dan Labuan (LB) Berdasarkan grafik indeks kematangan gonad ikan tembang diatas, ratarata tertinggi ditemukan pada bulan Mei untuk ikan jantan dan betina. Hal ini sesuai dengan jumlah ikan yang matang gonad juga banyak dijumpai pada bulan Mei (Gambar 17). Menurut Effendie (2002) IKG akan meningkat seiring dengan berkembang dan bertambahnya berat gonad kemudian menurun lagi setelah ikan memijah. Indeks kematangan gonad di daerah Blanakan lebih tinggi dibanding Palabuhan ratu dan Labuan. Hal ini disebabkan karena rata-rata berat gonad ikan tembang jantan dan betina di Blanakan lebih besar daripada Palabuhan Ratu dan Labuan, selain itu ikan yang matang gonad juga lebih banyak ditemukan di daerah Blanakan yaitu sekitar 41 ekor.

77 6 Jantan PR Betina PR 5 4 IKG Selang panjang (mm) Selang panjang (mm) 6 Jantan BL Betina BL 5 4 IKG Selang panjang (mm) Selang panjang (mm) 6 Jantan LB Betina LB 5 4 IKG Selang panjang (mm) Selang panjang (mm) Gambar 16. Indeks kematangan gonad ikan tembang (S. gibbosa) jantan (panel kiri) dan betina (panel kanan) berdasarkan selang kelas panjang di perairan Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL), dan Labuan (LB)

78 Ismail (2006), memperoleh nilai IKG ikan tembang di Perairan Ujung Pangkah untuk jantan 0,0046 (± 0,0016) sampai 0,0194 (± 0,0056) sedangkan untuk betina 0,0049 (± 0,0016) sampai 0,0197 (± 0,0076). Perbedaan kisaran nilai IKG untuk ikan jantan dan betina diduga karena pada ikan betina pertumbuhan lebih cendrung pada berat gonad. Effendie (2002) menyatakan bahwa pertambahan gonad pada ikan betina dapat mencapai 10-25% dari berat tubuhnya sedangkan pada ikan jantan hanya mencapai 5-10% dari berat tubuh Fekunditas ikan tembang (S. gibbosa) Fekunditas dihitung pada ikan-ikan yang telah matang gonad yaitu TKG III (56 buah gonad) dan TKG IV (33 buah gonad). Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh fekunditas ikan tembang (Sardinella gibbosa) secara keseluruhan berkisar antara butir telur (Gambar dan Lampiran 16). Menurut Ismail (2006) fekunditas ikan tembang di perairan Ujung Pangkah berkisar antara butir telur. Jika dibandingkan dengan fekunditas dari ketiga lokasi penelitian nilai ini jauh lebih besar. Dengan adanya tekanan penangkapan yang besar maka waktu atau periode pemijahan ikan dapat terganggu, sehingga ikan akan memijah lebih cepat dari waktu ideal pemijahannya yang akan berpengaruh terhadap terhentinya perkembangan fekunditas ikan tersebut. Untuk spesies tertentu, pada umur yang berbeda memperlihatkan fekunditas yang bervariasi sehubungan dengan persediaan makanan tahunan dan pengaruh penangkapan (Effendie 2002). Di daerah Palabuhan Ratu ikan tembang yang matang gonad ditemukan sebanyak 21 ekor (11 gonad TKG III dan 10 gonad TKG IV), dengan jumlah terbesar ditemukan pada bulan Mei (13 ekor). Pada daerah Blanakan ikan yang matang gonad berjumlah 41 ekor (26 gonad TKG III dan 15 gonad TKG IV), dengan jumlah terbesar juga ditemukan pada bulan Mei (18 ekor). Untuk daerah Labuan ikan tembang yang matang gonad sebanyak 27 ekor (19 gonad TKG III dan 8 gonad TKG IV), dengan jumlah ikan yang matang gonad pada bulan Mei dan bulan Juni sama-sama 11 ekor. Fekunditas ikan tembang di Palabuhan Ratu berkisar antara butir telur, di daerah Blanakan fekunditas berkisar

79 antara butir telur, dan di daerah Labuan berkisar antara butir telur. BL TKG III y = x R 2 = LB TKG III y = x R 2 = y = x R 2 = 0.22 TK G I V TK G I V y = x R 2 = P anjang to tal (mm) P anjang to tal (mm) Gambar 18. Hubungan antara fekunditas TKG III dan IV dengan panjang total ikan tembang (S. gibbosa) di perairan Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL), dan Labuan (LB) Hubungan antara fekunditas dengan panjang total ikan tembang di daerah Palabuhan Ratu pada ikan TKG III ditunjukkan melalui persamaan : F = 8E-25 L 13,084 (r = 0,6489), untuk fekunditas pada ikan TKG IV adalah : F = 4E-09 L 5,8394 (r = 0,6623). Di daerah Blanakan hubungan fekunditas dengan panjang total pada ikan TKG III ditunjukkan oleh persamaan : F = L 2,7845 (r = 0,5158), dan untuk TKG IV : F = L 3,1011 (r = 0,4690). Untuk daerah Labuan pada ikan TKG III ditunjukkan oleh persamaan : F = L 0,4905 (r = 0,1421), persamaan pada ikan TKG IV adalah : F = L 1,7937 (r = 0,4298). Berdasarkan persamaaan tersebut, diperoleh nilai koefisien regresi (r) cukup rendah, yang menunjukkan bahwa hubungan antara fekunditas dan panjang total ikan tembang

80 di perairan Palabuhan Ratu, Blanakan, dan Labuan tidak erat. Tidak adanya hubungan yang erat antara panjang total dengan fekunditas ikan tembang di tiga lokasi tersebut diduga disebabkan karena adanya variasi fekunditas pada ukuran panjang total yang sama. BL TKG III y = 1865x R 2 = TKG III LB y = 14290x R 2 = y = x R 2 = T KG IV T KG IV y = x R 2 = B erat to tal (g) B erat to tal (g) Gambar 19. Hubungan antara fekunditas TKG III dan IV dengan berat total ikan tembang (S. gibbosa) di perairan Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL), dan Labuan (LB) Berdasarkan hasil pengamatan terhadap hubungan antara fekunditas dengan berat total ikan tembang TKG III di Palabuhan Ratu ditunjukkan oleh persamaan : F = 0,0698 W 3,6989 (r = 0,5490), dan TKG IV dengan persamaan : F = 89,891 W 1,6268 (r = 0,5173). Pada daerah Blanakan hubungan fekunditas dengan berat total ikan tembang TKG III persamaannya adalah : F = 1865 W 0,8976 (r = 0,4463), dan untuk TKG IV persamaannya : F = 2278,7 W 0,8775 (r = 0,4029). Untuk daerah Labuan pada ikan TKG III ditunjukkan oleh persamaan : F = 14290

81 W 0,2447 (r = 0,2147), persamaan pada ikan TKG IV adalah : F = 8931,9 W (r = 0,3511). Dari hasil regresi diperoleh nilai koefisien korelasi yang sangat kecil, sehingga dapat dikatakan bahwa tidak ada hubungan yang erat antara fekunditas dengan berat total ikan pada gonad ikan TKG III dan IV. Dalam hubungan ini perlu diperhatikan bahwa berat gonad pada awal kematangan berbeda dengan berat akhir dari kematangan itu karena perkembangan telur yang dikandungnya (Effendie, 2002). 1.4e+5 1.2e+5 1.0e+5 Fekunditas 8.0e+4 6.0e+4 4.0e+4 2.0e PR BL LB Lokasi penelitian Gambar 20. Perbandingan fekunditas ikan tembang (S. gibbosa) antara tiga lokasi penelitian Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL), dan Labuan (LB) Selama penelitian fekunditas rata-rata tertinggi ditemukan di Blanakan yaitu sebesar butir pada panjang rata-rata 165 mm dan berat rata-rata 45 gram (Gambar 20). Sedangkan di Palabuhan Ratu dan Labuan fekunditas cendrung rendah, hal ini terlihat dari nilai median nya yang lebih rendah dari Blanakan, akan tetapi di Palabuhan Ratu variasi fekunditasnya lebih tinggi dibanding Labuan. Menurut Nikolsky (1963), untuk spesies tertentu pada umur yang berbeda-beda memperlihatkan fekunditas yang bervariasi sehubungan dengan persediaan makanan tahunan. Pengaruh ini juga berlaku pada individu yang berukuran sama dan dapat pula untuk populasi secara keseluruhan. Sjafei et al. (1993) menyatakan bahwa setiap ikan memiliki strategi reproduksi yang

82 berbeda dengan yang lainnya. Faktor lingkungan berperan dalam penyediaan lingkungan yang menguntungkan selama proses reproduksi berlangsung. Jika kondisi lingkungan tidak menguntungkan, umumnya setiap ikan betina yang siap memijah akan mengeluarkan telurnya dalam jumlah yang lebih sedikit pada waktu pemijahan berikutnya. Jumlah telur minimum ikan tembang yang ditemui pada ikan TKG III memiliki panjang total 146 mm sebanyak butir di Palabuhan Ratu pada bulan Mei. Sedangkan jumlah telur maksimum ditemukan pada ikan tembang TKG IV memiliki panjang total 175 mm sebanyak butir di Blanakan pada bulan Mei. Menurut Effendie (2002) fekunditas relatif akan menjadi maksimum pada jenis ikan yang muda dan fekunditas berhubungan erat dengan lingkungan dimana spesies ikan akan berubah fekunditasnya bila keadaan lingkungan berubah, termasuk didalamnya ketersediaan makanan Diameter telur ikan tembang (S. gibbosa) Frekuensi diameter telur dapat digunakan untuk menduga sebaran pemijahan dari ikan yang sudah matang gonad (TKG III dan TKG IV). Morfologi telur ikan tembang secara umum berbentuk bulat, terbagi ke dalam 13 kelas ukuran dengan lebar kelas 0,05 (Gambar 21). Sebaran diameter telur setiap bulan di tiga tempat pengambilan contoh bervariasi antara 0,08-0,72 mm. Pada TKG III bulan Mei, diameter telur mencapai puncaknya di Palabuhan ratu pada selang kelas 0,48-0,52 mm, di Blanakan dan Labuan tertinggi pada selang kelas 0,18-0,22 mm. Bulan Juni di Palabuhan Ratu mencapai puncaknya pada selang kelas 0,18-0,22 mm, di daerah Blanakan dan Labuan mencapai puncaknya pada selang kelas 0,33-0,37 mm. Untuk bulan Juli di Palabuhan Ratu tidak ada sampel ikan. Sedangkan di Blanakan dan Labuan diameter telur mencapai puncaknya pada selang kelas 0,18-0,22 mm.

83 Frekuensi (%) Frekuensi (%) Frekuensi (%) MEI TKG III MEI TKG IV PR BL LB PR BL LB JUNI PR BL LB JUNI PR BL LB JULI Selang diameter telur BL LB Gambar 21. Sebaran diameter telur ikan tembang (S. gibbosa) TKG III dan IV setiap bulan pengamatan di perairan Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL), dan Labuan (LB) JULI Selang diameter telur BL LB Pada TKG IV bulan Mei, diameter telur di Palabuhan Ratu mencapai puncaknya pada selang kelas 0,48-0,52 mm, di daerah Blanakan dan Labuan diameter telur mencapai puncaknya pada selang kelas 0,38-0,42 mm. Bulan Juni di Palabuhan Ratu dan Blanakan diameter telur mencapai puncaknya pada selang kelas 0,38-0,42 mm sedangkan di Labuan pada selang kelas 0,28-0,32 mm. Untuk Bulan Juli di daerah Blanakan mencapai puncaknya pada selang kelas 0,38-42

84 mm dan di daerah Labuan pada selang kelas 0,43-0,47 mm. Sedangkan di Palabuhan Ratu tidak ditemukan ikan contoh. Diameter telur semakin besar pada tingkat kematangan gonad yang lebih tinggi terutama saat mendekati waktu pemijahan (Johnson in Effendie 2002). 0.8 TKG III TKG IV 0.6 Diameter telur (mm) PR BL LB Lokasi penelitian PR BL LB Lokasi penelitian Gambar 22. Perbandingan diameter telur ikan tembang (S. gibbosa) TKG III dan IV di Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL), dan Labuan (LB) Dari trennya pada TKG III dan IV rata-rata ukuran diameter telur lebih besar terlihat di Palabuhan Ratu, masing-masingnya 0,35 mm dan 0,40 mm dengan nilai median yang juga lebih besar (Gambar 22). Sedangkan di Blanakan dan Labuan pada TKG III sama-sama 0,29 mm, TKG IV terendah terdapat di Labuan yaitu 0,35 mm dengan variasi yang lebih besar karena selang kepercayaannya juga lebih besar. Hal ini terlihat pada preparat histologis yang mana ukuran telur di Palabuhan Ratu terlihat jelas lebih besar dibanding telur dari Blanakan dan Labuan. Selain itu, diduga dipengaruhi oleh asupan makanan dan tekanan penangkapan yang cukup tinggi di Labuan yaitu sebesar 63,7% (Tabel 2). Menurut Ismail (2006), diameter telur ikan tembang yang tertangkap di perairan Ujung Pangkah antara 0,23 0,74 mm. Nilai ini lebih besar dibandingkan dengan ukuran diameter telur yang tertangkap di tiga lokasi penelitian. Perubahan atau penurunan diameter telur dan peningkatan fekunditas

85 diduga terjadi karena respon dari perubahan lingkungan, perubahan genetik serta dampak tekanan penangkapan yang besar. Telur pada spesies ikan laut pada umumnya lebih kecil dibanding telur ikan air tawar atau budidaya, terutama untuk spesies-spesies ekonomis penting dan ikan-ikan yang berada di daerah penangkapan (Chambers dan Leggett 1996). Dilihat dari penyebaran diameter telurnya, tipe pemijahan ikan tembang (Sardinella gibbosa) adalah partial spawner yang berarti ikan tembang mengeluarkan telur masak dalam ovariumnya yang telah siap dipijahkan pada beberapa kali musim pemijahan (memijah lebih satu kali dalam setahun). 4.7 Kandungan Protein Telur Ikan Tembang (S. gibbosa) Kualitas telur ikan tembang dilihat dari jumlah protein yang terkandung didalamnya, kandungan protein dilihat dari telur yang telah matang gonad (TKG III dan TKG IV). Pada bulan Mei persentase kandungan protein telur ikan tembang (Sardinella gibbosa) yang tertinggi ditemukan di daerah Palabuhan ratu yaitu sebesar 25,18% dari berat gonad (Gambar 23), sedangkan di daerah Blanakan dan Labuan protein telur masing-masingnya adalah 20,76% dan 20,92%. Bulan Juni, kandungan protein telur ikan tembang paling tinggi di daerah Blanakan sebesar 27,14%, sedangkan yang terendah ditemukan di daerah Labuan sebesar 14,44%. Pada bulan Juli yang diamati hanya telur ikan tembang yang dari Blanakan dan Labuan, karena di daerah Palabuhan Ratu tidak ada ikan yang tertangkap. Persentase kandungan protein di daerah Blanakan pada bulan Juli sebesar 19,73% dan di daerah labuan sebesar 27,03%.

86 Kandungan Protein (%) PR BL LB 5 0 Mei Juni Juli Bulan Gambar 23. Kandungan protein telur ikan tembang (S. gibbosa) pada setiap bulan pengamatan di daerah Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL), dan Labuan (LB) Kandungan protein (%) Gambar PR BL Lokasi penelitian Kandungan protein telur ikan tembang (S. gibbosa) dari tiga lokasi penelitian LB Rata-rata persentase kandungan potein telur ikan tembang secara keseluruhan di setiap lokasi penelitian dari trennya terlihat lebih besar di Palabuhan ratu yaitu sebesar 24,88%, kemudian di daerah Blanakan sebesar 22,54%, dan yang lebih rendah di daerah Labuan 20,79% walaupun perbedaannya tidak terlalu besar. Dari mediannya juga terlihat di Palabuhan Ratu lebih tinggi dan di Labuan lebih rendah, namun di Labuan kandungan protein telurnya lebih bervariasi dengan selang kepercayan yang lebih besar (Gambar 24 dan Lampiran

87 Kandungan protein (%) 24). Potensi kualitas telur untuk menghasilkan benih yang baik ditentukan oleh beberapa faktor, yakni faktor fisik, genetik dan kimia selama terjadi proses perkembangan telur. Beberapa indikator kualitas telur adalah morfologi, ukuran dan kandungan kimia telur (Utiah 2006). Dari nilai protein yang didapat dari tiga lokasi terlihat di daerah yang tekanan penangkapannya rendah kandungan proteinnya lebih besar yaitu di Palabuhan Ratu dan daerah dengan tekanan penangkapan yang lebih tinggi yaitu di Labuan kandungan proteinnya lebih rendah. Kadar protein, lipid dan karbohidrat berkorelasi positif terhadap kelangsungan hidup larva. Protein merupakan komponen dominan kuning telur, sedangkan jumlah dan komposisinya menentukan besar kecilnya ukuran telur (Kamler in Utiah 2006). Menurut Platten (2004), populasi ikan betina pada daerah penangkapan yang intensif, akan berukuran kecil dan menghasilkan telur ikan dengan ukuran yang kecil dalam jumlah yang sedikit Selang panjang (mm) Gambar 25. Kandungan protein telur ikan tembang (S. gibbosa) secara keseluruhan pada setiap selang kelas panjang di tiga lokasi pengambilan contoh Berdasarkan selang kelas panjang secara keseluruhan rata-rata kandungan protein telur ikan tembang bervariasi (Gambar 25). Nilai kandungan protein telur ikan tembang berkisar antara 11,43%-32,68%. Kandungan protein telur tertinggi terdapat pada selang kelas mm, sedangkan kandungan protein telur

88 terendah terdapat pada selang kelas mm. Ukuran individu dewasa (induk) yang besar akan menghasilkan telur yang besar juga, tapi tidak selalu demikian. Menurut Effendie (1979) ukuran telur biasanya dipakai untuk menentukan kualitas kandungan kuning telur, telur yang berukuran besar mempunyai kualitas yang lebih baik dan akan menghasilkan larva yang berukuran lebih besar daripada telur yang berukuran kecil. 4.8 Aspek Pengelolaan Untuk mencegah terjadinya pemanfaatan sumberdaya ikan tembang yang bersifat destruktif perlu dilakukan suatu pengelolaan sehingga menjamin produktivitas serta pemanfaatan terhadap sumberdaya ikan ini tetap lestari dan berkelanjutan. Aspek reproduksi ikan berkaitan dengan ada tidaknya stock ikan, kegagalan dan keberhasilan reproduksi akan berpengaruh pada populasi suatu spesies ikan. Keberhasilan reproduksi dari suatu individu ikan dipengaruhi oleh tingkat keberhasilan ikan mencapai umur reproduktif (survival) dan tingkat keberhasilan mendapatkan makanan atau energi untuk menghasilkan produk kelamin (Sjafei et al., 1993). Penelitian tentang hubungan tekanan tengkap dengan biologi reproduksi ikan merupakan salah satu mata rantai dalam rangkaian upaya pengelolaan sumberdaya hayati ikan. Ikan tembang (Sardinella gibbosa) merupakan hasil tangkapan utama di Palabuhan Ratu dan Labuan, sedangkan di Blanakan ikan tembang hanya sebagai hasil tangkapan sampingan. Sebagai hasil tangkapan utama ikan tembang berpeluang besar mengalami tangkap lebih (over exploitation). Ikan tembang termasuk ikan yang bernilai ekonomis rendah karena hanya dimanfaatkan sebagai ikan asin dan bahan pembuat tepung ikan. Walaupun bernilai ekonomis rendah namun mempunyai peran ekologis yang tidak bisa diabaikan. Jika kelimpahan ikan tembang terlalu tinggi maka organisme yang menjadi mangsa ikan ini akan mengalami penurunan kelimpahan begitu juga sebaliknya. Dari nilai tingkat kematangan gonad ikan dan sebaran diameter telur akan diketahui pola pemijahan ikan dan waktu ikan akan memijah, sehingga dapat diambil suatu kebijakan untuk mencegah ikan tertangkap dalam keadaan memijah. Fekunditas individu yang diperoleh dari ikan yang mempunyai TKG III dan IV

89 dapat digunakan sebagai penduga fekunditas populasi dan mengetahui jumlah rekkruitmen ikan tembang yang kemudian dapat diperoleh informasi jumlah stok yang tersedia. Pencegahan growth overfishing dapat dilakukan dengan pengaturan upaya penangkapan (waktu penangkapan, jumlah nelayan, jumlah armada penangkapan dan musim penangkapan), pengaturan ukuran mata jaring dan penutupan musim atau daerah penangkapan (Widodo & Suadi 2006). Berkaitan dengan kesinambungan stok ikan tembang (Sardinella gibbosa), hal utama yang harus diperhatikan adalah pengaturan upaya penangkapan seperti ukuran mata jaring, jumlah hasil tangkapan dan waktu penangkapan karena sangat berpengaruh terhadap kelestarian stok ikan di perairan. Alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan tembang adalah jaring insang (Gill net) dan alat tangkap purse seine. Berdasarkan perkembangan gonad secara bulanan di tiga lokasi penelitian diduga musim pemijahan ikan tembang pada bulan Mei sehingga hendaknya pada bulan tersebut, penangkapan di daerah pantai sedikit dikurangi. Untuk jumlah hasil tangkapan sebaiknya diberikan kuota-kuota penangkapan, agar tidak melebihi jumlah makismum lestari ikan tembang di perairan (MSY).

90 V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan 1. Dari tren laju eksploitasi dapat dilihat laju eksploitasi dari tiga lokasi penelitian sudah melebihi 50% dengan laju lebih besar terlihat pada daerah Labuan yaitu 63,7% dan laju yang lebih rendah terlihat pada daerah Palabuhan Ratu yaitu 53,2%. 2. Laju eksploitasi berpengaruh terhadap sebagian parameter reproduksi. Hal ini terlihat dari tren laju eksploitasi dengan ukuran diameter telur dan kandungan protein, walaupun perbedaannya tidak terlalu besar. Begitu juga dengan ukuran ikan pertama kali matang gonad lebih kecil pada daerah dengan laju eksploitasi yang juga lebih besar yaitu pada daerah Labuan. 3. Laju eksploitasi juga berpengaruh terhadap komposisi ukuran ikan, hal ini terlihat pada ukuran ikan yang tertangkap di setiap lokasi penelitian dengan laju eksploitasi yang berbeda. Walaupun ada faktor lingkungan dan ketersediaan makanan yang juga mempengaruhi. 4. Rata-rata panjang ikan tembang terbesar terdapat di Blanakan dengan koefisien pertumbuhan paling tinggi. Pola pertumbuhan panjang-berat ikan tembang (Sardinella gibbosa) jantan dan betina adalah isometrik 5. Nisbah kelamin ikan jantan dan betina selama penelitian tidak seimbang 1:1,7 (Palabuhan Ratu), 1:1,6 (Blanakan dan Labuan). 6. Berdasarkan tingkat kematangan gonad dan indeks kematangan gonad, diduga ikan tembang (Sardinella gibbosa) paling cepat memijah pada daerah Labuan karena memijah pada ukuran yang lebih kecil yaitu pada selang mm. 7. Fekunditas rata-rata terbesar terdapat di Blanakan yaitu butir dan terkecil di Labuan yaitu butir. Berdasarkan sebaran diameter telur, populasi ikan tembang (Sardinella gibbosa) mempunyai tipe pemijahan partial spawner. Dilihat dari trennya kandungan protein telur lebih besar ditemukan di Palabuhan Ratu yaitu 24,88% dan lebih rendah di Labuan yaitu 20,79%.

91 5.2 Saran Sebagai tindak lanjut dari penelitian ini disarankan : 1. Perlu adanya penelitian lebih lanjut dengan jangka waktu yang lebih lama, stasiun pengamatan yang berbeda dan jumlah sampel yang lebih banyak untuk mengetahui lebih pasti daur hidup ikan tembang (sardinella gibbosa) beserta aspek-aspek reproduksinya. 2. Perlu adanya data jumlah hasil tangkapan yang akurat untuk mengetahui seberapa besar tekanan tangkap yang terjadi di lokasi penelitian beserta pengaruhnya terhadap populasi ikan tembang. 3. Dilakukan penelitian terhadap kondisi habitat lokasi penelitian serta makanan dan kebiasaan makan ikan tembang sebagai data pendukung.

92 DAFTAR PUSTAKA Allen G Marine Fishes of Tropical Australia and South-East Asia. Kaleidoscope Print and Prepress; Perth, Western Australia. Cadrin S X Friedland K D dan Waldman J R Stock Identification Methods. Elsevier Academic press; USA. Chambers R C dan Leggett W C Maternal Influences on Variation in Egg Sizes in Temperate Marine Fishes. Journal of Fish Biology. 36: Dahuri R Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan. Orasi Ilmiah. Tidak dipublikasikan. Direktorat Jendral Perikanan Buku Pedoman Pengenalan Sumberdaya Perikanan laut. Bagian I (Jenis-jenis Ikan Ekonomis Penting). Departemen Pertanian. Jakarta. 170 hal. Effendie M I Metoda Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri; Bogor. 111h Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara; Bogor. 163h. Effani A Pendugaan Pertumbuhan dan Pola Penambahan Baru Ikan Tembang Sardinella fimbriata (Valentiennes, 1847) di Perairan Selat Madura. Central Library of Brawijaya University; Malang. FAO FAO Species Identification Sheets for Fishery Purposes Fishing Area East Indonesian Ocean and Western Central Pacific. UNDP/FAO Published; Rome. Ginanjar M Kajian Reproduksi Ikan Lemuru (Sardinella lemuru Blk.) Berdasarkan Perkembangan Gonad dan Ukuran Ikan dalam Penentuan Musim Pemijahan di Perairan Pantai Timur Pulau Siberut. [Tesis]. Institut Pertanian Bogor. Hermawati L Studi Biologi Reproduksi Ikan Terbang (Hirunducthys oxycephalus) di Perairan Binuongeun, Kecamatan Malingpingi, Kabupaten Lebak, Banten. [Skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. (Diakses 29 Maret 2009). http//digilib.itb.ac.id (Diakses 14 Juni 2009) (Diakses 29 Maret 2009).

93 Ismail M I Beberapa Aspek Biologi Reproduksi Ikan Tembang (Clupea platygaster) di Perairan Ujung Pangkah, Gresik, Jawa Timur. [Skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Jennings S, Reynolds J D, dan Mills S C Life history correlates of responses to fisheries exploitation. Journal of Oleo Science. 265, Kamukuru A T dan Mgaya Y D Effects of exploitation on reproductive capacity of blackspot snapper, Lutjanus fuviflamma (Pisces: Lutjanidae) in Mafia Island, Tanzania. African Journal of Ecology. Kartika R Peningkatan Fungsionalisasi Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Labuan Kabupaten Pandeglang. [Skripsi]. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perairan. Institut Pertanian Bogor. 81 hal. King M Fisheries biology, assessment, and management. Fishing News Books. London, USA. 341 p. Lagler K F Freshwater Fishery Biology. WM. C. Brown Company Publishers; Dubuque, Lowa. Uniter States. 421 P. Lumbanbatu D T F Aspek Biologi Reproduksi Jenis Ikan di Waduk Lahor, Jawa Timur. Karya Ilmiah. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor; Bogor. 169 h. Tidak dipublikasikan. Magnan P, Raphael P, dan Michel P Integrating the effects of fish exploitation and interspecific competition into current life history theories: an example with lacustrine brook trout (Salvelinus fontinalis) populations. Canadian Journal Fish Aquatic Scient. 62(4): Mellana M Pertumbuhan Miselia Ganoderma sp. Pada Berbagai Substrat Serta Uji Proksimat dan Organoleptiknya. [Skripsi]. Departemen Biologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor. Moyle P B dan Joseph J. cech JR FISHES An Introduction to Ichthyology. Englewood Cliffs; New Jersey. Mukhopadhyay T, Nandi S, dan Ghosh S Lipid profile and fatty acid composition in eggs of Indian featherback fish Pholui (Notopterus notopterus Pallas) in comparison with body-tissue lipid. Journal of Oleo Science: Vol. 53 (2004), No Munjilah S Kondisi Ekosistem Manggrove Berdasarkan Indikator Kualitas Lingkungan dan Pengukuran Morfometrik Daun di desa Blanakan, Kecamatan Blanakan, Kabupaten Subang. [Skripsi]. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 68 hal.

94 Nababan J M A Kajian Tingkat Kematangan Gonad Ikan Cakalang Katsuwonus pelamis (Linn) Hasil Tangkapan Nelayan di Perairan Cilacap. [Skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan. 67 hal. Nikolsky G V The Ecology of Fishes. Academic Press; London and New York. Pauly D Fish population dynamics in tropical waters : a manual for use with programmable calculators. ICLARM. Manila. Filipina. 325 p. Platten J R The Reproduction, Growth, Feeding and Impacts of Exploitation of the Venus Tuskfish (Choerodon venustus) With some implications for its management. PhD Thesis, Centre of Marine Science, University of Queensland. Purwanto G Bob W N dan Sj Bustamam Studi Pendahuluan Keadaan Reproduksi dan Perbandingan Kelamin Ikan Cakalang Katsuwonus pelamis di Perairan Sekitar Teluk Biru dan Elpaputih P. Seram. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. 34:69-78 hal. Raharjo R Analisis Hasil Tangkap dan Musim Penangkapan ikan tembang (S. fimbriata) di Pantai Utara Jawa Teangah yang didaratkan di PPI Juwana. [Skripsi]. Departemen Ilmu Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Rakhmania F Prospek Pendaratan Hasil Tangkapan di PPI Labuan, Kabupaten Pandeglang, Banten. [Skripsi]. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perairan. Institut Peratanian Bogor. Bogor. 120 hal. Riis-Vestergaard J Energy Density of Marine Pelagic Fish Eggs. Journal of Fish Biology. 60: Rodiana Y Analisis Teknologi Penangkapan Ikan Tepat Guna yang Berbasis di Blanakan Kabupaten Subang. [Skripsi]. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perairan. Institut Pertanian Bogor. 110 hal. Royce W F Introduction to the Fishery Sciences. Academic Press, INC; New York. Sjafei S D M F Rahardjo R Affandi M Brojo dan Sulistiono Fisiologi Ikan II. Reproduksi Ikan. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Sparre P & Venema SC Introduksi pengkajian stok ikan tropis buku-i manual (Edisi Terjemahan). Kerjasama Organisasi Pangan, Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. 438 hlm.

95 Steel R G D dan Torie J H Principle and Procedure of Statistic. Second Edition. MC Graw-Hill Book Company, INC. New York. 748 p Sumassetiyadi M A Beberapa Aspek Reproduksi Ikan Opudi Telmatherina antoniae di Danau Matano, Sulawesi Selatan. [Skripsi]. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 43 hal. Syakila S Studi Dinamika Stok Ikan Tembang (Sardinella fimbriata) di Perairan Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Propinsi jawa Barat. [Skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Institut Pertanian Bogor. 74 hal. Syandri H Aspek reproduksi Ikan Bilih Mystacoleucus padangensis Bleeker dan Kemungkinan Pembenihannya di Danau Singkarak. [Disertasi]. Institut Pertanian Bogor. Tang U M dan Affandi R Biologi Reproduksi Ikan. Kanisius; Bogor 108hal. Utiah A Penampilan Reproduksi Induk Ikan Baung (Hemibagrus nemurus Blkr) dengan Pemberian Pakan Buatan yang Ditambahkan Asam Lemak n- 6 dan n-3 dan dengan Implantasi Estradiol-17? dan Tiroksin. [Disertasi]. Institut Pertanian Bogor. Wahyudi D Karakteristik Spekral Air Laut dan Obyek Pantai dengan Menggunakan Spektrometer dan Citra FORMOSAT-2 di Labuan, Banten. [Skripsi]. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Walpole R E Pengantar Statistik. Edisi ke-3. Alih Bahasa oleh Sumantri, B. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 515 h. Weng J, Liu K, Lee S, dan Tsai W Reproductive Biology of the Blue Sprat Spratelloides gracilis in the Waters around Penghu, Central Taiwan Strait. Journal of Fish Biology. 44(4): Widodo J Dynamic pool Analysis of the Ikan Layang (Decapterus Sp.). Fishery in the Java sea. Marine Fisheries Resources Journal. No. 48. Balai Penelitian Perikanan Laut. Jakarta. Hal Widodo J & Suadi Pengelolaan sumberdaya perikanan laut. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. 252 hlm. Windarti T S Analisis Hasil Tangkapan Jaring Arad di Blanakan, Kabupaten Subang, Jawa Barat. [Skripsi]. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perairan. Institut Peratanian Bogor. Bogor. 82 hal. Wiyono E S Optimasi Manajemen Perikanan Skala Kecil di Teluk Pelabuhan Ratu, Jawa Barat. [Tesis]. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 102 hal.

96 LAMPIRAN

97 Lampiran 1. Peta lokasi penelitian (Google earth 2009) a. Pelabuhan Ratu b. Blanakan

98 Lampiran 1. (lanjutan) c. Labuan

99 Lampiran 2. Alat tangkap ikan tembang (S. gibbosa) (a) Purse seinne (Sumber :

100 Lampiran 2. (lanjutan) (b) gilnet (Sumber :

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi, Tata Nama dan Ciri-ciri Morfologi

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi, Tata Nama dan Ciri-ciri Morfologi II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi, Tata Nama dan Ciri-ciri Morfologi Klasifikasi ikan tembang (Sardinella gibbosa) berdasarkan tingkat sistematikanya (FAO 1974) : Kingdom : Animalia Filum : Chordata

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologis Klasifikasi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologis Klasifikasi 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Klasifikasi ikan tembang (Sardinella maderensis Lowe, 1838 in www.fishbase.com) adalah sebagai berikut : Filum : Chordata Subfilum

Lebih terperinci

Gambar 4. Peta lokasi pengambilan ikan contoh

Gambar 4. Peta lokasi pengambilan ikan contoh 14 Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juli 2009. Lokasi pengambilan ikan contoh adalah tempat pendaratan ikan (TPI) Palabuhanratu. Analisis contoh dilakukan di Laboratorium Ekobiologi,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Menurut klasifikasi Bleeker, sistematika ikan selanget (Gambar 1) adalah sebagai berikut (www.aseanbiodiversity.org) :

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Ikan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma) (Gambar 1) merupakan salah satu ikan pelagis kecil yang sangat potensial

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 16 3. METODE PENELITIAN 3.1. Rancangan Penelitian Pola reproduksi ikan swanggi (Priacanthus tayenus) pada penelitian ini adalah tinjauan mengenai sebagian aspek reproduksi yaitu pendugaan ukuran pertama

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Perairan Teluk Jakarta merupakan sebuah teluk di perairan Laut Jawa yang terletak di sebelah utara provinsi DKI Jakarta, Indonesia. Terletak

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4.1.1 Palabuhan Ratu Perairan Palabuhan Ratu merupakan teluk semi tertutup yang berada di pantai selatan Jawa Barat, termasuk kedalam wilayah

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 9 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Ikan contoh diambil dari TPI Kali Baru mulai dari bulan Agustus 2010 sampai dengan bulan November 2010 yang merupakan hasil tangkapan nelayan di

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Organ reproduksi Jenis kelamin ikan ditentukan berdasarkan pengamatan terhadap gonad ikan dan selanjutnya ditentukan tingkat kematangan gonad pada tiap-tiap

Lebih terperinci

STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI

STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di PPI Muara Angke, Jakarta Utara dari bulan Januaribulan Maret 2010. Analisis aspek reproduksi dilakukan di Fakultas Perikanan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta lokasi penangkapan ikan kembung perempuan (R. brachysoma)

METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta lokasi penangkapan ikan kembung perempuan (R. brachysoma) 11 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Ikan contoh diambil dari TPI Kalibaru mulai dari bulan Agustus sampai dengan bulan November 2010 yang merupakan hasil tangkapan nelayan Teluk Jakarta

Lebih terperinci

3.3. Pr 3.3. P os r ed e u d r u r Pe P n e e n l e iltiitan

3.3. Pr 3.3. P os r ed e u d r u r Pe P n e e n l e iltiitan 12 digital dengan sensifitas 0,0001 gram digunakan untuk menimbang bobot total dan berat gonad ikan, kantong plastik digunakan untuk membungkus ikan yang telah ditangkap dan dimasukan kedalam cool box,

Lebih terperinci

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

2.1 Klasifikasi, Tata Nama dan Ciri-ciri Morfologi

2.1 Klasifikasi, Tata Nama dan Ciri-ciri Morfologi 4 2.1 Klasifikasi, Tata Nama dan Ciri-ciri Morfologi Klasifikasi ikan bilis (Thryssa hamiltonii) berdasarkan tingkat sistematikanya menurut Gray (1835): Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Pesisir Teluk Jakarta terletak di Pantai Utara Jakarta dibatasi oleh garis bujur 106⁰33 00 BT hingga 107⁰03 00 BT dan garis lintang 5⁰48

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN. Gambar 3. Peta daerah penangkapan ikan kuniran di perairan Selat Sunda Sumber: Peta Hidro Oseanografi (2004)

3. METODE PENELITIAN. Gambar 3. Peta daerah penangkapan ikan kuniran di perairan Selat Sunda Sumber: Peta Hidro Oseanografi (2004) 12 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-September 2011 dengan waktu pengambilan contoh setiap satu bulan sekali. Lokasi pengambilan ikan contoh

Lebih terperinci

ANALISIS HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN EKOR KUNING (Caesio cuning) YANG DIDARATKAN DI PPI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN EKOR KUNING (Caesio cuning) YANG DIDARATKAN DI PPI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU i ANALISIS HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN EKOR KUNING (Caesio cuning) YANG DIDARATKAN DI PPI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU DESI HARMIYATI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Indeks Gonad Somatik (IGS) Hasil pengamatan nilai IGS secara keseluruhan berkisar antara,89-3,5% (Gambar 1). Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa bioflok

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu : 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari mata air, air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran air

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Octinopterygii. : Cypriniformes. Spesies : Osteochilus vittatus ( Valenciennes, 1842)

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Octinopterygii. : Cypriniformes. Spesies : Osteochilus vittatus ( Valenciennes, 1842) II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Palau Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Octinopterygii Ordo : Cypriniformes Famili : Cyprinidae Genus : Osteochilus Spesies : Osteochilus vittatus

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Gambar 4 Peta lokasi penelitian.

3 METODE PENELITIAN. Gambar 4 Peta lokasi penelitian. 14 3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di PPI Labuan, Provinsi Banten. Ikan contoh yang diperoleh dari PPI Labuan merupakan hasil tangkapan nelayan disekitar perairan Selat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Klasifikasi ikan Juaro (Pangasius polyuranodon) menurut Kottelat dan Whitten (1993) adalah sebagai berikut : Filum : Chordata Sub filum : Vertebrata Kelas

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Juni 2006, Agustus 2006 Januari 2007 dan Juli 2007 di Daerah Aliran Sungai (DAS) Musi dengan sumber air berasal dari

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek II. TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek Puntius Orphoides C.V adalah ikan yang termasuk anggota Familia Cyprinidae, disebut juga dengan ikan mata merah. Ikan brek mempunyai garis rusuk

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 26 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum PPP Labuan PPP (Pelabuhan Perikanan Pantai) Labuan, Banten merupakan pelabuhan perikanan pantai terbesar di Kabupaten Pandeglang yang didirikan

Lebih terperinci

KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI IKAN TEMBANG (Sardinella maderensis Lowe, 1838) DI PERAIRAN TELUK JAKARTA YANG DIDARATKAN DI PPI MUARA ANGKE, JAKARTA UTARA

KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI IKAN TEMBANG (Sardinella maderensis Lowe, 1838) DI PERAIRAN TELUK JAKARTA YANG DIDARATKAN DI PPI MUARA ANGKE, JAKARTA UTARA KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI IKAN TEMBANG (Sardinella maderensis Lowe, 1838) DI PERAIRAN TELUK JAKARTA YANG DIDARATKAN DI PPI MUARA ANGKE, JAKARTA UTARA ADISTI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakasanakan mulai awal bulan Maret sampai bulan Mei, dengan interval pengambilan data setiap dua minggu. Penelitian berupa pengumpulan

Lebih terperinci

oaj STUDI PERTUMBUHAN DAN BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI

oaj STUDI PERTUMBUHAN DAN BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI &[MfP $00 4 oaj STUDI PERTUMBUHAN DAN BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI RAJUNGAN (Portiinirspelngicus) DI PERAIRAN MAYANGAN, KABWATEN SUBANG, JAWA BARAT Oleh: DEDY TRI HERMANTO C02499072 SKRIPSI Sebagai Salah

Lebih terperinci

2.2. Morfologi Ikan Tambakan ( H. temminckii 2.3. Habitat dan Distribusi

2.2. Morfologi Ikan Tambakan ( H. temminckii 2.3. Habitat dan Distribusi 4 2.2. Morfologi Ikan Tambakan (H. temminckii) Ikan tambakan memiliki tubuh berbentuk pipih vertikal. Sirip punggung dan sirip analnya memiliki bentuk dan ukuran yang hampir serupa. Sirip ekornya sendiri

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus)

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus) 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rajungan (Portunus pelagicus) Menurut www.zipcodezoo.com klasifikasi dari rajungan adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Malacostrata Ordo : Decapoda

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 : Ikan tembang (S. fimbriata)

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 : Ikan tembang (S. fimbriata) 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang (Sardinella fimbriata) Klasifikasi ikan tembang menurut Saanin (1984) berdasarkan tingkat sistematikanya adalah sebagai berikut : Filum : Chordata Kelas : Actinopterygii

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 24 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Pengambilan sampel ikan tuna mata besar dilakukan pada bulan Maret hingga bulan Oktober 2008 di perairan Samudera Hindia sebelah selatan Jawa

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 14 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian berada di perairan berlumpur Kuala Tungkal, Tanjung Jabung Barat, Jambi. Pemilihan lokasi penelitian berdasarkan intensitas penangkapan

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan kuniran (Upeneus moluccensis).

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan kuniran (Upeneus moluccensis). 5 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Kuniran 2.1.1 Klasifikasi Ikan Kuniran Upeneus moluccensis, Bleeker 1855 Dalam kaitan dengan keperluan pengkajian stok sumberdaya ikan, kemampuan untuk mengidentifikasi spesies

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi Penelitian

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi Penelitian 3 METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan selama empat bulan dari Oktober 2011 hingga Januari 2012 di Waduk Ir. H. Djuanda, Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat (Gambar 3). Pengambilan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Ikan layur (Trichiurus lepturus) (Sumber :

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Ikan layur (Trichiurus lepturus) (Sumber : 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Layur (Tricihurus lepturus) Layur (Trichiurus spp.) merupakan ikan laut yang mudah dikenal dari bentuknya yang panjang dan ramping. Ikan ini tersebar di banyak perairan dunia.

Lebih terperinci

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah laut Indonesia terdiri dari perairan teritorial seluas 0,3 juta km 2, perairan laut Nusantara seluas 2,8 juta km 2 dan perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas

Lebih terperinci

Gambar 3 Peta Lokasi Penelitian

Gambar 3 Peta Lokasi Penelitian III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) tiga, yaitu Laut Jawa dari bulan Desember 2008 sampai dengan bulan Desember

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian

3 METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan selama enam bulan dari bulan Mei - Oktober 2011. Pengambilan ikan contoh dilakukan di perairan mangrove pantai Mayangan, Kabupaten

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Malaysia, ZEE Indonesia India, di sebalah barat berbatasan dengan Kab. Pidie-

PENDAHULUAN. Malaysia, ZEE Indonesia India, di sebalah barat berbatasan dengan Kab. Pidie- PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah Pengelolaan Perikanan 571 meliputi wilayah perairan Selat Malaka dan Laut Andaman. Secara administrasi WPP 571 di sebelah utara berbatasan dengan batas terluar ZEE Indonesia

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang Klasifikasi dan tata nama

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang Klasifikasi dan tata nama 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang 2.1.1. Klasifikasi dan tata nama Menurut www.fishbase.org (2009) taksonomi ikan tembang (Gambar 3) diklasifikasikan sebagai berikut : Filum : Chordata Subfilum :

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk ikan gurame (Osphronemus goramy, Lac) kelas induk pokok (Parent Stock)

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk ikan gurame (Osphronemus goramy, Lac) kelas induk pokok (Parent Stock) SNI : 01-6485.1-2000 Standar Nasional Indonesia Induk ikan gurame (Osphronemus goramy, Lac) kelas induk pokok (Parent Stock) Prakata Standar induk ikan gurami kelas induk pokok diterbitkan oleh Badan Standardisasi

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 25 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum perairan Teluk Banten Perairan Karangantu berada di sekitar Teluk Banten yang secara geografis terletak pada 5 0 49 45 LS sampai dengan 6 0 02

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan selama 4 bulan dimulai dari bulan Oktober 2013

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan selama 4 bulan dimulai dari bulan Oktober 2013 18 III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan selama 4 bulan dimulai dari bulan Oktober 2013 hingga Januari 2014 agar dapat mengetahui pola pemijahan. Pengambilan sampel dilakukan

Lebih terperinci

genus Barbodes, sedangkan ikan lalawak sungai dan kolam termasuk ke dalam species Barbodes ballaroides. Susunan kromosom ikan lalawak jengkol berbeda

genus Barbodes, sedangkan ikan lalawak sungai dan kolam termasuk ke dalam species Barbodes ballaroides. Susunan kromosom ikan lalawak jengkol berbeda 116 PEMBAHASAN UMUM Domestikasi adalah merupakan suatu upaya menjinakan hewan (ikan) yang biasa hidup liar menjadi jinak sehingga dapat bermanfaat bagi manusia. Domestikasi ikan perairan umum merupakan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sebaran Frekuensi Ikan Tetet (Johnius belangerii) Ikan contoh ditangkap setiap hari selama 6 bulan pada musim barat (Oktober-Maret) dengan jumlah total 681 ikan dan semua sampel

Lebih terperinci

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN BILIS, Thryssa hamiltonii (FAMILI ENGRAULIDAE) YANG TERTANGKAP DI TELUK PALABUHANRATU

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN BILIS, Thryssa hamiltonii (FAMILI ENGRAULIDAE) YANG TERTANGKAP DI TELUK PALABUHANRATU BIOLOGI REPRODUKSI IKAN BILIS, Thryssa hamiltonii (FAMILI ENGRAULIDAE) YANG TERTANGKAP DI TELUK PALABUHANRATU Alsade Santoso Sihotang SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH

PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH 1,2) Urip Rahmani 1, Imam Hanafi 2, Suwarso 3 Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA Ikan Terisi Menurut Richardson (1846) (2010) klasifikasi ikan terisi (Gambar 2) adalah sebagai berikut :

2. TINJAUAN PUSTAKA Ikan Terisi Menurut Richardson (1846)  (2010) klasifikasi ikan terisi (Gambar 2) adalah sebagai berikut : 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Terisi Menurut Richardson (1846) www.fishbase.org (2010) klasifikasi ikan terisi (Gambar 2) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Prosedur Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Prosedur Penelitian BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan dari bulan Maret hingga Oktober 2008. Pengambilan sampel dilakukan di sungai Klawing Kebupaten Purbalingga Jawa Tengah (Lampiran 1). Analisis

Lebih terperinci

Gambar 5 Peta daerah penangkapan ikan kurisi (Sumber: Dikutip dari Dinas Hidro Oseanografi 2004).

Gambar 5 Peta daerah penangkapan ikan kurisi (Sumber: Dikutip dari Dinas Hidro Oseanografi 2004). 24 3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2011 sampai dengan bulan Oktober 2011. Lokasi penelitian berada di Selat Sunda, sedangkan pengumpulan data dilakukan

Lebih terperinci

ASPEK REPRODUKSI IKAN LELAN (Osteochilus vittatus C.V) Di SUNGAI TALANG KECAMATAN LUBUK BASUNG KABUPATEN AGAM

ASPEK REPRODUKSI IKAN LELAN (Osteochilus vittatus C.V) Di SUNGAI TALANG KECAMATAN LUBUK BASUNG KABUPATEN AGAM ASPEK REPRODUKSI IKAN LELAN (Osteochilus vittatus C.V) Di SUNGAI TALANG KECAMATAN LUBUK BASUNG KABUPATEN AGAM Oleh : Rido Eka Putra 0910016111008 FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN JURUSAN BUDIDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Common property & open acces. Ekonomis & Ekologis Penting. Dieksploitasi tanpa batas

PENDAHULUAN. Common property & open acces. Ekonomis & Ekologis Penting. Dieksploitasi tanpa batas 30 mm 60 mm PENDAHULUAN Ekonomis & Ekologis Penting R. kanagurta (kembung lelaki) ~ Genus Rastrelliger spp. produksi tertinggi di Provinsi Banten, 4.856,7 ton pada tahun 2013, menurun 2.5% dari tahun 2010-2013

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologis

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologis 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologis Klasifikasi ikan belida (Chitala lopis) berdasarkan tingkat sistematikanya menurut Hamilton (1822) in www.fishbase.org (2009): Kingdom : Animalia

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisika dan Kimiawi Perairan Berdasarkan hasil penelitian di perairan Kepulauan Seribu yaitu Pulau Pramuka dan Pulau Semak Daun, diperoleh nilai-nilai parameter

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 13 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di perairan Cirebon yang merupakan wilayah penangkapan kerang darah. Lokasi pengambilan contoh dilakukan pada dua lokasi yang

Lebih terperinci

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974).

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974). 7 spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974). Ikan kembung lelaki terdiri atas ikan-ikan jantan dan betina, dengan

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk Kodok Lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas induk pokok (Parent Stock)

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk Kodok Lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas induk pokok (Parent Stock) SNI : 02-6730.2-2002 Standar Nasional Indonesia Induk Kodok Lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas induk pokok (Parent Stock) Prakata Standar induk kodok lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas induk pokok disusun

Lebih terperinci

Aspek biologi reproduksi ikan layur, Trichiurus lepturus Linnaeus 1758 di Palabuhanratu

Aspek biologi reproduksi ikan layur, Trichiurus lepturus Linnaeus 1758 di Palabuhanratu Prosiding Seminar Nasional Ikan ke 8 Aspek biologi reproduksi ikan layur, Trichiurus lepturus Linnaeus 1758 di Palabuhanratu Nur ainun Muchlis, Prihatiningsih Balai Penelitian Perikanan Laut, Unit Pelaksana

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Bawang, Provinsi Lampung selama 6 bulan dimulai dari bulan April 2013 hingga

III. METODOLOGI. Bawang, Provinsi Lampung selama 6 bulan dimulai dari bulan April 2013 hingga III. METODOLOGI A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan di perairan Way Tulang Bawang, Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung selama 6 bulan dimulai dari bulan April 2013 hingga September 2013.

Lebih terperinci

TINGKAT KEMATANGAN GONAD IKAN TEMBANG (Clupea platygaster) DI PERAIRAN UJUNG PANGKAH, GRESIK, JAWA TIMUR 1

TINGKAT KEMATANGAN GONAD IKAN TEMBANG (Clupea platygaster) DI PERAIRAN UJUNG PANGKAH, GRESIK, JAWA TIMUR 1 TINGKAT KEMATANGAN GONAD IKAN TEMBANG (Clupea platygaster) DI PERAIRAN UJUNG PANGKAH, GRESIK, JAWA TIMUR 1 ABSTRAK (Gonad Maturity of Herring (Clupea platygaster) in Ujung Pangkah Waters, Gresik, East

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan pada bulan April sampai dengan Desember 2013 di Sungai

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan pada bulan April sampai dengan Desember 2013 di Sungai III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan pada bulan April sampai dengan Desember 2013 di Sungai Tulang Bawang. Pengambilan sampel dilakukan satu kali dalam satu bulan, dan dilakukan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 0 I. PENDAHULUAN

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 15 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di TPI Cilincing, Jakarta Utara. Pengambilan data primer berupa pengukuran panjang dan bobot ikan contoh yang ditangkap

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 30 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi perairan Teluk Jakarta Teluk Jakarta terletak di utara kota Jakarta dengan luas teluk 285 km 2, dengan garis pantai sepanjang 33 km, dan rata-rata kedalaman

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum perairan selat sunda Selat Sunda merupakan selat yang membujur dari arah Timur Laut menuju Barat Daya di ujung Barat Pulau Jawa atau Ujung Selatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat I. PENDAHULUAN Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat dengan cara membendung aliran sungai sehingga aliran air sungai menjadi terhalang (Thohir, 1985). Wibowo (2004) menyatakan

Lebih terperinci

GAMBARAN HISTOLOGIS TESTIS MUDA DAN DEWASA PADA IKAN MAS Cyprinus carpio.l RAHMAT HIDAYAT SKRIPSI

GAMBARAN HISTOLOGIS TESTIS MUDA DAN DEWASA PADA IKAN MAS Cyprinus carpio.l RAHMAT HIDAYAT SKRIPSI GAMBARAN HISTOLOGIS TESTIS MUDA DAN DEWASA PADA IKAN MAS Cyprinus carpio.l RAHMAT HIDAYAT SKRIPSI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN AKUAKULTUR DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

KAJIAN POLA PERTUMBUHAN DAN CIRI MORFOMETRIK-MERISTIK BEBERAPA SPESIES IKAN LAYUR

KAJIAN POLA PERTUMBUHAN DAN CIRI MORFOMETRIK-MERISTIK BEBERAPA SPESIES IKAN LAYUR KAJIAN POLA PERTUMBUHAN DAN CIRI MORFOMETRIK-MERISTIK BEBERAPA SPESIES IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT Oleh : IRWAN NUR WIDIYANTO C24104077 SKRIPSI

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk ikan lele dumbo (Clarias gariepinus x C.fuscus) kelas induk pokok (Parent Stock)

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk ikan lele dumbo (Clarias gariepinus x C.fuscus) kelas induk pokok (Parent Stock) SNI : 01-6484.1-2000 Standar Nasional Indonesia Induk ikan lele dumbo (Clarias gariepinus x C.fuscus) kelas induk pokok (Parent Stock) Daftar Isi Halaman Prakata... 1 Pendahuluan... 1 1 Ruang lingkup...

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Clownfish Klasifikasi Clownfish menurut Burges (1990) adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Chordata : Perciformes

Lebih terperinci

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 9 dan MSY adalah: Keterangan : a : Perpotongan (intersept) b : Kemiringan (slope) e : Exponen Ct : Jumlah tangkapan Ft : Upaya tangkap (26) Model yang akan digunakan adalah model yang memiliki nilai korelasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013). 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai dingin dan

Lebih terperinci

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU INDAH HERAWANTY PURWITA DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. sangat kuat terjadi dan terbentuk riak-riakan pasir besar (sand ripples) yang

TINJAUAN PUSTAKA. sangat kuat terjadi dan terbentuk riak-riakan pasir besar (sand ripples) yang 17 TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Perairan Selat Malaka memiliki kedalaman sekitar 30 meter dengan lebarnya 35 kilometer, kemudian kedalaman meningkat secara gradual hingga 100 meter sebelum continental

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 2 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Perairan Teluk Jakarta merupakan salah satu teluk yang terdapat di utara pulau Jawa. Secara geografis, teluk ini mempunyai panjang pantai

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk ikan patin siam (Pangasius hyphthalmus) kelas induk pokok (Parent Stock)

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk ikan patin siam (Pangasius hyphthalmus) kelas induk pokok (Parent Stock) SNI : 01-6483.1-2000 Standar Nasional Indonesia Induk ikan patin siam (Pangasius hyphthalmus) kelas induk pokok (Parent Stock) DAFTAR ISI Halaman Pendahuluan 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan... 1 3 Deskripsi...

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian mengenai dinamika stok ikan peperek (Leiognathus spp.) dilaksanakan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi

Lebih terperinci

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti Sebuah lagu berjudul Nenek moyangku seorang pelaut membuat saya teringat akan kekayaan laut Indonesia. Tapi beberapa waktu lalu, beberapa nelayan Kepulauan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang Klasifikasi dan morfologi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang Klasifikasi dan morfologi 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang 2.1.1. Klasifikasi dan morfologi Menurut www.fishbase.org, klasifikasi ikan tembang (Gambar 1) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas

Lebih terperinci

Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian Sumber Dinas Hidro-Oseanografi (2004)

Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian Sumber Dinas Hidro-Oseanografi (2004) 12 3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini merupakan program penelitian terpadu bagian Manajemen Sumberdaya Perikanan yang dilaksanakan dari bulan Maret sampai dengan Oktober

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Fisiologi Hewan Air Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, pada bulan Maret 2013 sampai dengan April 2013.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tetet (Johnius belangerii) 2.1.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologi Klasifikasi ikan tetet menurut Bleeker (1853) in www.fishbase.org adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia

Lebih terperinci

ASPEK REPRODUKSI IKAN KAPASAN (Gerres kapas Blkr, 1851, Fam. Gerreidae) DI PERAIRAN PANTAI MAYANGAN, JAWA BARAT

ASPEK REPRODUKSI IKAN KAPASAN (Gerres kapas Blkr, 1851, Fam. Gerreidae) DI PERAIRAN PANTAI MAYANGAN, JAWA BARAT Jurnal Iktiologi Indonesia, 9(1):75-84, 29 ASPEK REPRODUKSI IKAN KAPASAN (Gerres kapas Blkr, 1851, Fam. Gerreidae) DI PERAIRAN PANTAI MAYANGAN, JAWA BARAT [Reproductive aspect of silver biddy (Gerres kapas

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 10 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Lokasi penelitian adalah di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Labuan, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Ikan yang didaratkan di PPP Labuan ini umumnya berasal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman hayati laut yang sangat tinggi dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan bahan industri. Salah satu sumberdaya tersebut adalah

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Metode Kerja Bahan dan peralatan pada pengamatan morfometri

3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Metode Kerja Bahan dan peralatan pada pengamatan morfometri 17 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian di 11 daerah yang meliputi 5 pulau besar di Indonesia, antara lain Bintan dan Jambi (Sumatera), Karawang, Subang dan Cirebon (Jawa),

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41/KEPMEN-KP/2014 TENTANG PELEPASAN IKAN MAS MERAH NAJAWA

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41/KEPMEN-KP/2014 TENTANG PELEPASAN IKAN MAS MERAH NAJAWA KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41/KEPMEN-KP/2014 TENTANG PELEPASAN IKAN MAS MERAH NAJAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

REPRODUKSI IKAN TEMBANG (Sardinella fimbriata Cuvier dan Valenciennes 1847) YANG DIDARATKAN DI PPP LABUAN, KABUPATEN PANDEGLANG, BANTEN

REPRODUKSI IKAN TEMBANG (Sardinella fimbriata Cuvier dan Valenciennes 1847) YANG DIDARATKAN DI PPP LABUAN, KABUPATEN PANDEGLANG, BANTEN REPRODUKSI IKAN TEMBANG (Sardinella fimbriata Cuvier dan Valenciennes 1847) YANG DIDARATKAN DI PPP LABUAN, KABUPATEN PANDEGLANG, BANTEN RINA SHELVINAWATI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Swanggi Priacanthus tayenus Klasifikasi dan tata nama

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Swanggi Priacanthus tayenus Klasifikasi dan tata nama 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Swanggi Priacanthus tayenus 2.1.1. Klasifikasi dan tata nama Menurut Richardson (1846) in Starnes (1988) taksonomi ikan swanggi Priacanthus tayenus (Gambar 1) dapat diklasifikasikan

Lebih terperinci

MENENTUKAN TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPlTlNG BAKAU KAITANNYA DENGAN PERKEMBANGAH GAMET

MENENTUKAN TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPlTlNG BAKAU KAITANNYA DENGAN PERKEMBANGAH GAMET MENENTUKAN TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPlTlNG BAKAU Scy[la serrata ( FORSKAL ) SEGARA MORFOLOGIS DAN KAITANNYA DENGAN PERKEMBANGAH GAMET Olela TITIK RETNOWATI C 23.1695 JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI 2 STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ikan Lumo (Labiobarbus ocellatus) menurut Froese R, Pauly D

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ikan Lumo (Labiobarbus ocellatus) menurut Froese R, Pauly D II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Ikan Labiobarbus ocellatus Klasifikasi ikan Lumo (Labiobarbus ocellatus) menurut Froese R, Pauly D. 2012. Labiobarbus ocellatus (Heckel, 1843) dalam http://www.fishbase.org/summary/

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Dan Morfologi Ikan Tembang (Sardinella fimbriata) Klasifikasi ikan tembang menurut (Saanin, 1979) berdasarkan tingkat

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Dan Morfologi Ikan Tembang (Sardinella fimbriata) Klasifikasi ikan tembang menurut (Saanin, 1979) berdasarkan tingkat 67 TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Dan Morfologi Ikan Tembang (Sardinella fimbriata) Klasifikasi ikan tembang menurut (Saanin, 1979) berdasarkan tingkat sistematikanya adalah sebagai berikut: Kingdom Filum

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 14 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 010 di daerah pantai berlumpur Kuala Tungkal, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi. Udang contoh yang

Lebih terperinci

KEBIASAAN MAKANAN IKAN BELOSO (Glossogobius giuris, Hamilton-Buchanan, 1822) DI PERAIRAN UJUNG PANGKAH, JAWA TIMUR TRI PRIHARTATIK

KEBIASAAN MAKANAN IKAN BELOSO (Glossogobius giuris, Hamilton-Buchanan, 1822) DI PERAIRAN UJUNG PANGKAH, JAWA TIMUR TRI PRIHARTATIK KEBIASAAN MAKANAN IKAN BELOSO (Glossogobius giuris, Hamilton-Buchanan, 1822) DI PERAIRAN UJUNG PANGKAH, JAWA TIMUR TRI PRIHARTATIK DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

3. METODOLOGI. Gambar 2. Peta lokasi penangkapan ikan tembang (Sardinella fimbriata) Sumber : Dinas Hidro-Oseanografi (2004)

3. METODOLOGI. Gambar 2. Peta lokasi penangkapan ikan tembang (Sardinella fimbriata) Sumber : Dinas Hidro-Oseanografi (2004) 3. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan selama delapan bulan dari bulan Maret 2011 hingga Oktober 2011 dengan mengikuti penelitian bagian Manajemen Sumberdaya Perikanan

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 12 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Jumlah dan Sebaran Panjang Ikan Kuro Jumlah ikan kuro yang tertangkap selama penelitian berjumlah 147 ekor. Kisaran panjang dan bobot ikan yang tertangkap adalah 142-254 mm

Lebih terperinci