BAB III BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENUMPANG MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR I TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB III BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENUMPANG MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR I TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN"

Transkripsi

1 BAB III BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENUMPANG MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR I TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN A. Pengertian Penumpang Penumpang adalah seseorang yang hanya menumpang, baik itu pesawat, kereta api, bus, maupun jenis transportasi lainnya, tetapi tidak termasuk awak mengoperasikan dan melayani wahana tersebut. 31 Selain itu penumpang dapat diartikan sebagai orang yang mengikatkan diri untuk membayar biaya angkutan atas dirinya yang diangkut. Keistimewaan penumpang adalah sebagai subjek hukum pengangkutan karena dia merupakan salah satu pihak yang ikut berjanji. Serta sebagai objek hukum pengangkutan karena dia merupakan muatan yang diangkut. 32 Penumpang bisa dikelompokkan dalam dua kelompok yaitu Penumpang yang naik suatu mobil tanpa membayar, apakah dikemudikan oleh pengemudi atau anggota keluarga dan Penumpang umum yaitu penumpang yang ikut dalam perjalanan dalam suatu wahana dengan membayar, wahana bisa berupa taxi, bus, kereta api, kapal ataupun pesawat terbang. 33 Ciri-ciri penumpang antara lain adalah : 31 diakses pada tanggal 10 November Aflah Lubis, Catatan Kuliah, Semester VI tanggal 1 Januari http ://id.wikipedia.org diakses pada tanggal 10 November 2009

2 1.Cakap bertindak dalam hukum 2.Orang yang harus membayar biaya angkutan 3.Memegang dokumen pengangkutan (tiket atau karcis) Penumpang harus memenuhi syarat perjanjian dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hak penumpang adalah sebagai berikut : Mendapatkan pelayanan yang baik dalam membeli tiket atau karcis pesawat. 2. Mendapatkan pelayanan yang baik selama perjalanan dalam penerbangan. 3. Mendapatkan santunan dari pihak pengangkut apabila terjadi kecelakaan. 4. Menuntut ganti kerugian apabila pihak pengangkut merugikan penumpang. Kewajiban penumpang adalah sebagai berikut : 1. Membeli tiket atau karcis pesawat 2. Mematuhi peraturan yang diperintahkan pihak pengangkut demi kelancaran selama penerbangan atau perjalanan. B. Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Penumpang dalam Moda Transportasi Udara Pesawat terbang sebagai alat pengangkutan yang tercepat mempunyai pengaruh yang tidak sedikit dalam dunia perdagangan oleh karena kecepatannya, bermacam barang yang dahulu tidak dapat diangkut mengingat jarak yang jauh dan oleh karena sifatnya dari barang yang diangkut mudah rusak ataupun busuk, sekarang dapat diangkut dengan cepat dan aman sehingga dapat dipergunakan 34 Aflah Lubis, Loc.Cit.

3 ataupun dijual dengan harga yang lebih baik di tempat-tempat yang membutuhkannya. Oleh karena itu setelah pesawat udara sebagai salah satu alat angkutan telah membuktikan kesanggupannya untuk melayani pengangkutan umum yang aman dan cepat maka semakin banyak para pengguna jasa yang lebih mengutamakan kecepatan dan keamanan mulai mempergunakan pesawat udara ini sebagai sarana pengangkutan barang melalui udara. Peraturan-peraturan hukum adalah sangat penting dalam setiap kegiatan usaha termasuk pengangkutan. Adapun pengaturan mengenai peraturan dari Pengangkutan Udara diatur dalam sistem hukum yang berlaku di Indonesia adalah sebagai berikut : Stb Ordonansi Pengangkutan Udara memuat ketentuan tentang pengangkutan udara 2. Luchtver keers verordening Stb. nomor 425/1936 tentang lalu lintas udara dan rambu- rambu serta syarat yang harus digunkan pada perjanjian pengangkutan udara. 3. Verordening toezicht lucht vaart Stb /1936 tentang pengawasan penerbangan dan personil penerbangan 4. Lucht verordening ordonantie Stb nomor.491/1939 tentang penyakit menular. 5. Lucht verordening ordonantie Stb nomor 100/1939 tentang dokmen angkutan dan tanggung jawab pengangkut 35 Ibid.

4 6. Undang-Undang Nomor 83 tahun 1958 (LN ) tentang penerbangan lebih banyak bersifat publik administrasi penerbangan 7. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan 8. Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 Tentang penerbangan. Setiap penyelenggaraan pengangkutan udara adalah menggunakan suatu alat pengangkut. Yang dimaksud sebagai angkutan udara dan disebut dengan pesawat udara yang berfungsi sebagai sarana bagi penumpang dan atau barang serta pos. Untuk dapat pindah dari satu tempat ke tempat yang lain untuk menuju 2 tempat yang berbeda, bahkan dapat menuju lebih dari dua tempat yang berbeda dalam suatu perjalanan atau lebih. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan menerangkan pengertian Angkutan Udara adalah setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat udara untuk mengangkut penumpang, kargo, dan/atau pos untuk satu perjalanan atau lebih dari satu bandar udara ke bandar udara yang lain atau beberapa bandar udara. Bagi pengangkutan udara yang dipergunakan sebagai alat pengangkutan adalah pesawat udara sipil sebagai angkutan udara niaga. Menurut Pasal 1 butir 14 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan angkutan udara niaga adalah angkutan udara untuk umum dengan memungut bayaran. Dengan demikian dapat dirumuskan bahwa pengangkutan udara mempergunakan pesawat udara dengan memungut bayaran atau biaya.

5 Setiap pengangkut yang melakukan kesalahan dalam penyelenggaraan pengangkutan harus bertanggung jawab membayar segala kerugian yang timbul akibat kesalahannya itu. 36 Pesawat terbang sebagai alat pengangkutan yang tercepat mempunyai pengaruh yang tidak sedikit dalam dunia perdagangan. Oleh karena kecepatnnya bermacam barang yang dahulu tidak dapat diangkut mengingat jarak yang jauh dan oleh karena sifatnya dari udara diangkut mudah rusak, dan busuk, sekarang dapat diangkut dengan cepat dan aman sehingga dapat dipergunakan ataupun dijual dengan harga yang lebih baik di tempat-tempat yang dibutuhkannya. Oleh karena itu, setelah pesawat udara sebagai salah satu alat pengangkut telah membuktikan kesanggupannya untuk melayani pengangkutan umum yang aman dan cepat maka semakin banyak para pengguna jasa yang lebih mengutamakan kecepatan dan keamanan mulai mempergunakan pesawat udara ini sebagai sarana pengangkutan barang melalui udara. Dalam arti yang sangat sempit perjanjian angkutan udara (suatu Luctvervoer overrenskomst ) adalah suatu perjanjian antara seorang pengangkut udara dengan pihak penumpang atau pihak pengirim barang untuk mengangkut penumpang atau barang dengan pesawat udara dengan imbalan bayaran atau suatu prestasi lain Agnes M. Toar, Tanggung Jawab Produk dan Sejarah Perkembangan di Beberapa Negara, ( Jakarta : Bina Cipta, 1992), hal.7 37 E. Suherman, Perjanjian Agnkutan Udara Dan Beberapa Masalah lain Dalam Bidang Hukum Udara Perdata, (Jakarta :Bina Cipta, 1977), hal. 193

6 Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas suatu perjanjian angkutan udara dapat merupakan sebagaian dari perjanjian pemberian jasa dengan pesawat udara. 38 Bentuk dari perjanjian pengangkutan udara dapat dibagi 2 bagian : 1. Perjanjian pengangkutan tidak tertulis Jenis perjanjian ini dapat dijumpai pada perjanjian pengangkutan penerbangan terartur/terjadwal. 2. Perjanjian pengangkutan tertulis Jenis perjanjian ini dapat dijumpai pada perjanjian pengangkutan dengan charter. C. Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Penumpang Menurut Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan Menurut Pasal 1 Angka 33 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang penerbangan, bandar udara adalah kawasan di daratan dan/atau perairan dengan batas-batas tertentu yang digunakan sebagai tempat pesawat udara mendarat dan lepas landas, naik turun penumpang, bongkar muat barang, dan tempat perpindahan intra dan antarmoda transportasi, yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan keamanan penerbangan, serta fasilitas pokok dan fasilitas penunjang lainnya. Sesuai dengan Pasal 192 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Bandar Udara terdiri atas Bandar Udara Umum yang selanjutnya 38 Ibid, hal. 195

7 disebut dengan Bandar Udara serta Bandar Udara Khusus. Berdasarkan pasal 193 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan diatur juga mengenai tatanan kebandar udaraan nasional yang diwujudkan dalam rangka penyelenggaraan yang andal, terpadu, efisien serta mempunyai daya saing global untuk menunjang pembangunan nasional daerah yang berwawasan nusantara. Tatanan kebandarudaraan nasional merupakan sistem perencanaan kebandarudaraan nasional yang menggambarkan interdependensi, interrelasi, dan sinergi antar-unsur yang meliputi sumber daya alam, sumber daya manusia, geografis, potensi ekonomi, dan pertahanan keamanan dalam rangka mencapai tujuan nasional. Tatanan kebandarudaraan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat peran, fungsi, penggunaan, hierarki, dan klasifikasi bandar udara; serta rencana induk nasional bandar udara Berdasarkan pasal tersebut diatas untuk menjamin keselamatan penerbangan di bandar udara harus dilengkapi dengan standar kelaikan udara, seperti yang tercantum pada Pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Dimana Setiap pesawat udara yang dioperasikan wajib memenuhi standar kelaikudaraan yang diberi sertifikat kelaikudaraan setelah lulus pemeriksaan dan pengujian kelaikudaraan. Kawasan-kawasan di bandar udara dan sekitarnya ditetapkan oleh pemerintah. Kawasan-kawasan tersebut antara lain kawasan Pendekatan dan tinggal landas, kawasan kemungkinan bahaya kecelakaan, kawasan diatas permukaan Horizontal dalam, kawasan kerucut dan permukaan transisi dan lainlain. Tanah-tanah dibawah kawasan tersebut pada prinsipnya diperbolehkan untuk

8 dipergunakan tetapi harus memenuhi persyaratan tersebut berbeda-beda antara bandar udara yang satu dengan bandar udara yang lainnya. Bangunan atau suatu benda yang ada secara alami berada di kawasan oeprasi keselamtan penerbangan dan ketinggiannya masih dalam batas ketinggian yang diperkenankan tetapi diduga dapat membahayakan keselamatan operasi penerbangan, harus diberi tanda atau dipasangi lampu. Pemberian tanda dan atau lampu terhadap bangunan atau benda tersebut atas beban biaya pemiliknya. Pemberian tanda maupun pemberian lampu tersebut diatas dasar pedoman yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Udara. Pada prinsipnya apapun yang berada di dalam bandar udara merupakan penghalang baik yang secara fisik dapat dilihat maupun tidak dapat dilihat dengan mata telanjang. Benda-benda bersifat sementara seperti gundukan tanah, tumpukan barang-barang bekas, bangunan, gedung yang menonjol diatas permukaan yang ditetapkan serta perbaikan landasan merupakan penghalang. Demikian pula penggunan frekuensi radio di bandar udara juga merupakan penghalang. Isntrument Landing System (ILS) sebagaimana disebutkan diatas sebenarnya juga meruapkan penghalang karena dipasang diujung landasan, tetapi hal itu diperbolehkan apabila telah memenuhi persyaratan. Bahan-bahan yang dpergunakan untuk membuat ILS sedemikian rupa sehingga apabila ILS tersentuh pesawat udara tidak akan membahayakan pesawat udara. Demikian pula gedung terminal, DME, menara pengawas (tower) dan lampu-lampu ladnasan lainnya semuanya merupakan penghalang.

9 Menyadari kerawanan di bandar udara siapapun dilarang berada di bandar udara tanpa memperoleh ijin dari pejabat yang berwenang. Kerawanan tersebut telah terbukti banyaknya tindak kejahatan yang dilakukan di bandar udara karena bandar udara merupakan simpul antara moda darat maupun udara, sehingga bandar udara juga merupakan tempat untuk melarikan diri keluar negeri dan sebaliknya orang asing juga masuk melalui bandar udara yang ditetapkan oleh pemerintah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Diatas dikatakan bahwa pada prinsipnya siapapun yang berada di bandar udara harus memperoleh ijin baik tertulis maupun lisan dari pejabat yang berwenang, mengingat kerawanan di dalam bandar udara. Oleh karena itu untuk pemberian ijin tersebut setiap daerah di bandar udara dibedakan daerah untuk umum (public area), dareah terbatas (resticed area) dan daerah larangan (prohibited area). Daerah untuk umum terbuka untuk siapun juga, sedangkan daerah terbatas hanya terbuka untuk para penumpang atau pengirim barang atau petugas-petugas tertentu misalnya tempat lapor diri (check in counter) atau daerah pergudangan untuk mengirim barang. Daerah larangan (prohibited area) atau daerah pergudangan untuk mengirim barang. Daerah larangan (prohibited area) hanya diijinkan para pegawai yang memang tugasnya di daerah tersebut. Dengan demikian tidak setiap orang dapat bebas berada di dalam bandar udara. Untuk menjamin keamanan penerbangan di bandar udara diadakan pemeriksaan para penumpang maupun barang-barang yang dibawa oleh para penumpang. Para penumpang maupun barang-barang yang dibawa oleh para

10 penumpang. Para penumpang wajib lapor diri (check in) dalam waktu satu jam sebelum keberangkatan pesawat udara. Dalam hal-hal tertentu mereka diwajibkan melapor dua jam sebelum keberangkatan pesawat udara untuk memberi kesempatan melakukan pemeriksaan yang lebih teliti. Demikian juga setiap perusahaan penerbangan yang melakukan kegiatan di bandar udara juga wajib membantu pengamanan secara terpadu dengan penyelenggara bandar udara. Untuk itu perusahaan penerbangan harus mempunyai buku pedoman keamanan (aviation security manual) sebagai petunjuk langkah-langkah untuk mengambil tindakan yang diperlukan. Didalam Aviation Security Manual tersebut diatur antara lain organisasi pengamanan yang diperlukan, langkah-langkah untuk melindungi penumpang pada saat lapor diri (check in) pada saat pemeriksaan badan penumpang, pemeriksaan x-ray, penggunaan metal detector, di ruang tunggu, jalur penumpang menuju ke pesawat udara (boarding), pemeriksaan staf perusahaan penerbangan atau siapun yang dianggap perlu diperiksa. Didalam Aviation Security Manual tersebut juga diatur tindakan-tindakan yang perlu diambil dalam hal terjadi keadan darurat, terdapat bom di dalam pesawat udara, ada ancaman pembajak dan lain-lain. Disamping mewajibkan perusahaan penerbangan membantu pengamanan secara terpadu dengan penyelenggara bandar udara. Penyelenggara bandar udara juga wajib melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk pencegahan maupun pemberantasan tindak kejahatan di bandar udara. Para petugas keamanan bandar udara berwenang mengadakan pemeriksaan badan terhadap calon penumpang, bagasi tercatat maupun bagasi cabin secara

11 fisik maupun dengan mempergunakan alat bantu. Pemeriksaan lebih mendalam dilakukan terhadap calon penumpang atau bagasi tercatat atau bagasi cabin yang dicurigai. Setelah pemeriksaan selesai dan lulus dari pemeriksaan maka diberi tanda berupa lebel. Barang yang tidak diberi lebel tanda lulus pemeriksaan harus ditolak oleh perusahaan penerbangan. Demikian pula lebel yang rusak juga harus ditolak untuk diberangkatkan. Semua penumpang baik penumpang transfer, transit maupun penumpang yang terpaksa mendarat karena sesuatu hal disebabkan kerusakan teknis maupun oeprasional tetap harus melalui pemeriksaan. Pemeriksaan penumpang transfer dilakukan sebelum memasuki ruang tunggu sedangkan penumpang transit dilakukan pemeriksaan terhadap penumpang yang keluar dan masuk kembali ek ruang tunggu.l perusahaan penerbangan harus menempatkan petugas diruang tunggu untuk memeriksa pas naik (boarding pass) penumpang yang akan naik pesawat udara sesuai dengan tujuan perjalanan masing-masing. Pemeriksaan oleh petugas tidak hanya dilakukan terhadap penumpang pesawat udara tetapi juga berlaku terhadap awak pesawat udara. Semua awak pesawat udara harus melalui pemeriksaan seperti halnya penumpang biasa, tetapi untuk keperluan menyiapkan keberangkatan pesawat udara, para awak pesawat udara memperoleh prioritas pemeriksaan. Di dalam keputusan Menteri Perhubungan tersebut jgua didadakan penerbitan senjata api atau senjata tajam lainnya. Setiap calon penumpang yang terpaksa harus membawa senjata api atau senjata tajam atau bennda-benda lain yang dapat dipergunakan untuk mengancam atau memaksakan kehendak harus

12 menyerahkan kepada petugas perusahan penerbangan. Petugas perusahaan penerbangan akan menerima senjata api atau senjata tajam tersebut disertai dengan tanda terima senjata api atau senjata tajam atau benda-benda lain yang dapat dipergunakan untuk mengancam atau memaksakan kehendak tersebut disimpan pada ruang kargo dalam pesawat udara yang akan diserahkan kembali kepada pemiliknya disertai tanda bukti penerimaan. Penyerahan tersebut berlangsung pada sisi darat bandar udara tujuan. Apabila petugas keamanan bandar udara menemukan senjata api atau senjata tajam atau benda-benda lain yang terdapat dipergunakan untuk mengancam atau memaksakan kehendak yang tidak diserahkan kepada petugas perusahaan penerbangan maka petugas keamanan bandar udara tersebut wajib melaporkan dan mengantarkan kepada petugas perusahaan penerbangan. Penertiban bagasi dilakukan juga oleh petugas perusahaan perbangan wajib mencatat memberi tanda bukti bagasi tercatat jumlah koli yang dibawa oleh calon penumpang pada saat lapor diri (check in). calon penumpang yang batal berangkat atau pada saat berangkat tidak melanjutkan penerbangannya atau tidak melanjutkan perjalanan tanpa pemberitahuan, bagasi miliknya tidak boleh diangkut kecuali bagasi tersebut telah diperiksa kembali dan disertai tanda bukti jati diri calon penumpang yang membatalkan diri keberangkatannya. Bagasi yang dibawa oleh calon penumpang pesawat udara tidak boleh lebih dari 2 koli. Ukuran dan berat bagasi kabin ditentukan sendiri oleh perusahaan penerbangan disesuaikan dengan kebutuhan penumpang selama penerbangan berlangsung serta kemampuan pesawat udara. Perusahan penerbangan wajib

13 melakukan pengawasan terhadap bagasi kabin yang dibawa. Bagasi kabin yang melampaui ukuran, berat yang telah ditetapkan harus dipindahkan menjadi bagasi tercatat. Menurut Surat Keputusan Menteri Perhubungan tidak semua calon penumpang yang sanggup membayar harga tiket pesawat udara harus diangkut. Calon penumpang yang mabuk, buron atau berdasarkan informasi pejabat yang berwenang sedang dicurigai dapat ditolak keberangkatannya oleh perusahaan penerbangan. Demikian pula calon penumpang dibawah umur yang tidak disertai pengantar, wanita hamil tua tanpa disertai surat keterangan dari dokter, orang sakit yang tidak dapat berjalan sendiri tetapi tidak disertai keterangan dari dokter dan tidak disertai pengantar, jenazah yang tidak disertai surat keterangan dari isntansi kesehatan, orang gila yang tidak dikawal, tahanan tanpa dikawal pejabat yang berwenang semuanya dapat ditolak oleh perusahaan penerbangan untuk keberangkatan mereka. Daerah lapor diri (check in) merupakan daerah terbatas yang harus diadakan pengawasan terus-menerus. Para petugas keamanan bandar udara wajib mengawasi daerah tersebut. Setiap jalur yang menghubungkan antara daerah lapor diri (check in) dengan sisi udara atau ruang tunggu harus dijaga dan dilengkapi dengan pintu dan pintu tersebut selalu dikunci pada saat tidak dipergunakan. Setiap pintu yang dipergunakan untuk lalu lintas petugas perusahaan penerbangan wajib dijaga juga oleh petugas keamanan bandar udara. Pengawasan daerah tersebut tidak hanya dilakukan oleh petugas keamanan bandar udara, tetapi

14 juga dilakukan oleh petugas perusahaan penerbangan atau petugas lain yang terkait yang dikoordinir oleh petugas keamanan bandar udara. Demikian pula pintu ruang tunggu menuju ke sisi udara dan ke pesawat udara harus selalu dalam keadaan terkunci rapat, kecuali pintu pesawat tersebut sedang dipergunakan oleh penumpang pesawat udara menuju ke pesawat udara, pintu tersebut harus dijaga petugas keamanan bandar udara. Semua orang yang melewati pintu menuju ke pesawat udara juga harus melaui pemeriksaan. Apabila karena sesuatu hal calon akan meninggalkan ruang tunggu dapat diijinkan tetapi pada saat mau kembali ke ruang tunggu tetapi harus melalui pemeriksaan oleh petugas keamanan bandar udara. Semua barang yang dibawa oleh calon penumpang di dalam ruang tunggu harus tetap dijaga. Pengawasan untuk menjamin keamanan penerbangan dan petugas keamanan bandar udara saja, tetapi juga dibebankan kepada pemilik kantor konsesioner di bandar udara. Para pemilik kantor konsesioner wajib melaksanakan pengawasan terhadap segala jenis barang atau bungkusan yang tertinggal di tempat kerja mereka. Apabila mereka menemukan barang tersebut tanpa mengetahui pemiliknya, mereka wajib melaporkan kepada petugas keamanan bandar udara tanpa menyentuh atau memindahkan barang atau bungkusan tersebut. Disamping pengawasan tempat lapor diri (check in), ruang tunggu, jalur menuju ke pesawat udara juga tidak terlepas dari pengawasan petugas keamanan bandar udara dan petugas perusahaan penerbangan, petugas perusahaan penerbangan wajib mengawasi setiap petugas jasa boga (catering), petugas

15 pelayanan kebersihan (cleaning service), para teknisi yang keluar masuk pesawat udara serta mengawasi peralatan yang dimjasukkan ke dalam pesawat udara, sedangkan terhadap pengusaha jasa boga juga diwajibkan dan bertanggung jawab terhadap proses pengolahan, pengemasan dan penyegelan kemasan makanan serta pengangkutan sampai penempatan makanan di dalam pesawat udara. Bagi penumpang yang akan berangkat menuju ke pesawat udara harus melalui jalur-jalur yang telah ditentukan. Selama perjalanan menuju ke pesawat udara penumpang selalu dikawal oleh petugas perusahaan penerbangan. Pengawasan oleh petugas perusahaan penerbangan tersebut berlaku juga terhadap penumpang yang datang, transit maupun transfer termasuk bagasi kabin mereka dari pesawat udara sampai di ruang tunggu atau ruang kedatangan, sedangkan pengawasan ruang khusus VIP dan jalur dari ke pesawat udara dilasanakan oleh instansi yang berwenang untuk itu. Petugas perusahaan penerbangan harus memastikan jumlah penumpang dan bagasi kabin yang masuk ke dalam pesawat udara sesuai dengan jumlah penumpang yang tercantum di dalam manifest. Menurut data yang dapat diketemukan, tingkat kecelakaaan pesawat udara berada di bandar udara dan sekitarnya terutama pada saat tinggal landas dan atau pada saat mendarat. Menurut data tingkat kecelakaan pada saat tinggal landas mencapai 13-19% dari total kecelakaan pesawat udara sedangkan pada saat mendarat sejak approach mencapai 81-87% dari total kecelakaan pesawat udara. Memang pada saat terbang jelajah (cruising level) dapat juga terjadi kecelakaan pesawat udara, tetapi jumlahnya kecil sekali sehingga persentasenya dapat diabaikan.

16 Berdasarkan data tersebut diatas, bandar udara maupun sekitarnya harus bebas dari segala bentuk penghalang untuk menjamin keselamatan penerbangan, karena itu siapapun juga dilarang berada di luar bandar udara, mendirikan bangunan, memiliki bangunan atau melakukan kegiatan-kegiatan lain dalam maupun sekitar bandar udara yang membahayakan keselamatan penerbangan. Untuk itu telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 50 tahun 1986, didalam PP tersebut diatas telah diatur penyediaan tanah dan ruang udara untuk menjamin keselamatan operasi penerbangan serta penempatan fasilitas navigasi penerbangan, penetapan batas-batas keselamatan penerbangan, pengolahan tanah di dalam bandar udara dan pembagian beberapa kawasan yang membatasi penggunaan lahan di bawahnya.

17 BAB IV TATA CARA PEMBERIAN GANTI RUGI OLEH PT.GARUDA INDONESIA (PERSERO) TERHADAP RESIKO YANG MENGAKIBATKAN KERUGIAN BAGI PENUMPANG A. Batasan-batasan Tanggung Jawab PT.Garuda Indonesia (Persero) Terhadap Penumpang Perusahaan pengangkutan udara wajib mengutamakan pengangkutan calon penumpang atau barang yang pemiliknya telah melaksanakan kewajiban sesuai dengan perjanjian pengangkutan udara yang disepakati. Dengan demikian kewajiban utama pengangkut adalah mengangkut penumpang atau barang serta menerbitkan dokumen pengangkutan sebagai imbalan haknya memperoleh pembayaran biaya pengangkutan. Ketentuan ini dimaksudkan agar calon penumpang atau pemilik barang yang telah lebih dahulu melaksanakan kewajibannya sesuai dengan perjanjian pengangkutan yang disepakati, mendapatkan prioritas utama untuk diangkut. 39 Dalam hal terjadi keterlambatan atau penundaan dalam pengangkutan karena kesalahan pengangkut, perusahaan pengangkutan udara wajib memberikan pelayanan yang layak kepada penumpang atau memberikan ganti kerugian yang secara nyata dialami oleh penumpang ataupun pemilik barang. Pelayanan yang layak dalam ketentuan ini adalah pelayanan dalam batas kelayakan sesuai dengan kemampuan pengangkut kepada penumpang selama menunggu keberangkatan, antara lain berupa penyediaan tempat dan konsumsi secara layak atau 39 Abdul Kadir Muhammad, Op.Cit., Hal.188

18 mengupayakan mengalihkan pengangkutan ke perusahaan pengangkutan udara lainnya sesuai dengan perjanjian pengangkutan yang telah disepakati. Demi tercapainya keselamatan dan keamanan pengangkutan melalui udara maka diwajibkan dilakukan pendaftaran kebangsaan bagi setiap pesawat udara seperti yang tercantum dalam pasal 24 sampai 33 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Dimana Setiap pesawat udara yang dioperasikan di Indonesia wajib mempunyai tanda pendaftaran. Pesawat udara sipil yang dapat didaftarkan di Indonesia harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: 1. tidak terdaftar di negara lain; dan 2. dimiliki oleh warga negara Indonesia atau dimiliki oleh badan hukum Indonesia; 3. dimiliki oleh warga negara asing atau badan hukum asing dan dioperasikan oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia untuk jangka waktu pemakaiannya minimal 2 (dua) tahun secara terus-menerus berdasarkan suatu perjanjian; 4. dimiliki oleh instansi pemerintah atau pemerintah daerah, dan pesawat udara tersebut tidak dipergunakan untuk misi penegakan hukum; atau 5. dimiliki oleh warga negara asing atau badan hukum asing yang pesawat udaranya dikuasai oleh badan hukum Indonesia berdasarkan suatu perjanjian yang tunduk pada hukum yang disepakati para pihak untuk kegiatan penyimpanan, penyewaan, dan/atau perdagangan pesawat udara.

19 Pesawat terbang, helikopter, balon udara berpenumpang, dan kapal udara (airship) yang telah mempunyai sertifikat pendaftaran Indonesia diberikan tanda kebangsaan Indonesia. Pesawat terbang, helikopter, balon udara berpenumpang, dan kapal udara yang telah mempunyai tanda pendaftaran Indonesia dan tanda kebangsaan Indonesia wajib dilengkapi dengan bendera Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara itu yang menjadi tanggung jawab terhadap barang-barang yang dibawa penumpang adalah pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang dialami oleh penumpang sesuai dengan syarat-syarat yang ditetapkan dalam Pasal 141 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dimana Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka yang diakibatkan kejadian angkutan udara di dalam pesawat dan/atau naik turun pesawat udara. Selain itu dalam kegiatan pengangkutan melalui udara tidak menuntut kemungkinan akan terjadinya kecelakaan pesawat yang mengakibatkan penumpang maupun pengangkut meninggal dunia atau dinyatakan hilang, yang diatur dalam Pasal 178 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Penumpang yang berada dalam pesawat udara yang hilang, dianggap telah meninggal dunia, apabila dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah tanggal pesawat udara seharusnya mendarat di tempat tujuan akhir tidak diperoleh kabar mengenai hal ihwal penumpang tersebut, tanpa diperlukan putusan pengadilan.

20 Semua tuntutan kerugian harus dapat dibutikan dengan sebenarnya syarat pengangkutan itu tidak dapat diubah ataupun dibatalkan oleh agen atau pegawai pengangkutan baik untuk sebagian atau seluruhnya. Sementara itu pengangkut juga bertanggung jawab terhadap penyandang cacat, lanjut usia, anak-anak dan/atau orang sakit yang terdapat dalam Pasal 134 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan yaitu Penyandang cacat, orang lanjut usia, anak-anak di bawah usia 12 (dua belas) tahun, dan/atau orang sakit berhak memperoleh pelayanan berupa perlakuan dan fasilitas khusus dari badan usaha angkutan udara niaga. Pelayanan berupa perlakuan dan fasilitas khusus paling sedikit meliputi: 1. pemberian prioritas tambahan tempat duduk; 2. penyediaan fasilitas kemudahan untuk naik ke dan turun dari pesawat udara; 3. penyediaan fasilitas untuk penyandang cacat selama berada di pesawat udara; 4. sarana bantu bagi orang sakit; 5. penyediaan fasilitas untuk anak-anak selama berada di pesawat udara; 6. tersedianya personel yang dapat berkomunikasi dengan penyandang cacat, lanjut usia, anak-anak, dan/atau orang sakit; dan 7. tersedianya buku petunjuk tentang keselamatan dan keamanan penerbangan bagi penumpang pesawat udara dan sarana lain yang dapat dimengerti oleh penyandang cacat, lanjut usia, dan orang sakit. 8. Pemberian perlakuan dan fasilitas khusus tidak dipungut biaya tambahan. Dari ketentuan hal diatas maka pengangkut wajib mengansuransikan tanggung jawabnya terhadap penumpang dan kargo yang diangkut sesuai dengan

21 Pasal 141, 143, 144, 145, 146 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Besarnya pertanggungan asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan sekurangkurangnya harus sama dengan jumlah ganti kerugian yang ditentukan dalam Pasal 165, 168 dan 170 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Maka dalam hal itu mengenai gugatan yang diajukan oleh pihak penumpang karena terjadinya kerugian diatur juga didalam Pasal 176 dan 177 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan yaitu Hak untuk menggugat kerugian yang diderita penumpang atau pengirim kepada pengangkut dinyatakan kedaluwarsa dalam jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung mulai tanggal seharusnya kargo dan bagasi tersebut tiba di tempat tujuan. B. Santunan Korban Kecelakaan Pesawat PT. Garuda Indonesia (Persero) Terhadap Penumpang Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 diatur tentang tanggung jawab perusahaan penerbangan sebagai pengangkut apabila terjadi kecelakaan pesawat udara baik tanggung jawab terhadap penumpang, pengirim barang dan atau pos maupun terhadap pihak ketiga yang menderita kerugian akibat dampak negatif penggunaan pesawat udara. Diharapkan dapat menjamin atau setidaktidaknya dapat sebagai dasar hukum mengurangi kesenjangan antara perkembangan angkutan udara di satu pihak dengan jumlah santunan korban kecelakaan pesawat udara di pihak lain. Menurut Pasal 240 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan Badan usaha bandar udara bertanggung jawab terhadap kerugian

22 yang diderita oleh pengguna jasa bandar udara dan/atau pihak ketiga yang diakibatkan oleh pengoperasian bandar udara.meliputi kematian atau luka fisik orang; musnah, hilang, atau rusak peralatan yang dioperasikan; dan/atau dampak lingkungan di sekitar bandar udara akibat pengoperasian bandar udara, sistem tanggung jawab yang berlaku adalah presumption of liability, based on fault dan absolute liability sebagaimana diuraikan di bawah ini. Menurut sistem tanggung jawab praduga bersalah (presumption of liability) perusahaan penerbangan sebagai pengangkut otomatis harus membayar santunan apabila terjadi kematian, luka penumpang yang diangkut dan santunan terhadap pengirim apabila barang musnah, hilang atau rusak. Menurut sistem tanggung jawab presumption of liability penumpang atau pengirim barang tidak mempunyai kewajiban untuk membuktikan kesalahan pengangkut karena pria facie pengangkut bertanggung jawab terhadap penumpang atau pengirim barang tidak mempunyai kewajiban untuk membuktikan adanya kerugian yang terjadi pada saat kecelakaan pesawat udara, sehingga beban pembuktian adalah pengangkut. Pembalikan beban pembuktian demikian wajar sebab apabila penumpang atau pengirim barang yang harus membuktikan kesalahan pengangkut, hampir tidak mungkin dilakukan karena pada umumnya penumpang atau pengirim barang tidak mempunyai kemampuan untuk membuktikan, apalagi dalam hal kecelakaan pesawat udara biasanya semua hancur dan penumpangnya meninggal, sehingga sulit untuk mencari bukti atau saksi.

23 Sebagai konsekuensi sistem presumption of liability pengangkut berhak menikmati maksimum santunan yang ahrus dibayarkan keapda penumpang atau pengirim barang betapun kerugian yang diderita oleh penumpang atau pengirim barang, kewajiban membayar santnan tetap dibatasi maksimumnya, tetapi pengangkut tidak berhak menikmati maksimum jumlah santunan tersebut apabila penumpang dapat membuktikan kecelakaan pesawat udara ada unsur kesengajaan dari pengangkut atau pegawainya. Tanggung jawab berdasarkan presumption ol liability memberi hak kepada pengangkut untuk membebaskan diri dari tanggung jawab dalam arti apaibla pengangkut membuktikan bahwa kematian, luka penumpang, musnah, hilang atau rusaknya barang disebabkan oleh kelalaian penumpang atau pengirim barang maka pengangkut tidak bertanggung jawab dalam arti tidak perlu membayar santunan. Sistem tanggung jawab presumption of liabiltiy memang menguntungkan kepada kedua belah pihak. Keuntungan penumpang atau pengirim barang, mereka tidak perlu membuktikan kesalahan pengangkut, pengangkut ototmatis bertanggung jawab dan mambayar santunan, sebab sebagaimana disebutkan diatas apabila penumpang harus membuktikan kesalahan pengangkut, hampir tidak mungkin dapat dilakukan, sebaliknya keuntungan bagi pengangkut adalah tanggung jawab pengangkut hanya terbatas maksimum yang ditentukan oleh undang-undang, pengangkut tidak perlu membayar lebih tinggi dari jumlah yang telah ditetapkan walaupun kerugian yang diderita oleh penumpang atau pengirim barang sangat banyak.

24 Di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009, sistem tanggung jawab presuption of liability hanya diperlakukan pada penumpang dalam hal kematian, luka akibat kecelakaan pesawat udara sebagaimana diatur dalam Pasal 240 dan barang dinyatakan pengangkut (dalam hal ini perusahaan pnerbangan) bertanggung jawab atas kematian atau lukanya penumpang yang diangkut, musnah, hilang atau rusaknya barang yang dikirim. Berdasarkan presumption of liability tersebut pengangkut otomatis harus membayar santunan kepada ahli waris penumpang yang meninggal dunia, merawat yang luka dan mengganti barang yang musnah, hilang dan rsuak kecuali pengangkut membuktikan kematian, luka, barang musnah, hilang atau rusak tersebut disebabkan oleah kesalahan atau pengirim barang. Selain itu hal yang berkaitan dengan santunan juga diatur dalam Pasal 165 sampai 172 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dimana ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab atas kerugian serta tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri Menurut Pasal 43 PP Nomor 40 Tahun 1995 Santunan untuk penumpang yang meninggal dunia karena kecelakaan pesawat udara ditetapkan sebesar Rp ,00 (empat puluh juta rupiah). Santunan untuk penumpang yang menderita luka karena kecelakaan pesawat udara atau sesuatu peristiwa di dalam pesawat udara atau selama waktu antara embarkasi dan debarkasi berlangsung, ditetapkan sampai dengan setinggi-tingginya Rp ,00 (empat puluh juta rupiah). Santunan ganti rugi bagi penumpang yang menderita cacat tetap karena

25 kecelakaan pesawat udara ditetapkan berdasarkan tingkat cacat tetap yang dialami sampai dengan setinggi-tingginya Rp ,00 (lima puluh juta rupiah). Pihak-pihak yang berhak menerima ganti kerugian sesuai dengan Pasal 173 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan adalah dalam hal seorang penumpang meninggal dunia, yang berhak menerima ganti kerugian adalah ahli waris penumpang tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal tidak ada ahli waris yang berhak menerima ganti kerugian, badan usaha angkutan udara niaga menyerahkan ganti kerugian kepada negara setelah dikurangi biaya pengurusan jenazah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. C. Tata Cara Pemberian Ganti Kerugian Yang diberikan PT Garuda Indonesia (Persero) Terhadap Penumpang PT. Garuda Indonesia (Persero) Dalam hal memberikan ganti kerugian tunduk pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Menurut Pasal 173 seorang penumpang yang meninggal dunia yang berhak menerima ganti kerugian adalah ahli waris penumpang tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal tidak ada ahli waris yang berhak menerima ganti kerugian sebagaimana dimaksud, badan usaha angkutan udara niaga menyerahkan ganti kerugian kepada negara setelah dikurangi biaya pengurusan jenazah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Masalah tata cara klaim bagasi diatur pada pasal 174 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 dimana Klaim atas kerusakan bagasi tercatat harus diajukan

26 pada saat bagasi tercatat diambil oleh penumpang. Klaim atas keterlambatan atau tidak diterimanya bagasi tercatat harus diajukan pada saat bagasi tercatat seharusnya diambil oleh penumpang. Bagasi tercatat dinyatakan hilang setelah 14 (empat belas) hari kalender terhitung sejak tiba di tempat tujuan. Klaim atas kehilangan bagasi tercatat diajukan setelah jangka waktu 14 (empat belas) hari kalender terlampaui. Dalam Pasal 175 diatur mengenai klaim atas kerusakan yang harus diajukan pada saat kargo diambil oleh penerima kargo. Klaim atas keterlambatan atau tidak diterimanya kargo harus diajukan pada saat kargo seharusnya diambil oleh penerima kargo. Kargo dinyatakan hilang setelah 14 (empat belas) hari kalender terhitung sejak tiba di tempat tujuan. Klaim atas kehilangan kargo diajukan setelah jangka waktu 14 (empat belas) hari kalender terlampaui. Penumpang, pemilik bagasi kabin, pemilik bagasi tercatat, pengirim kargo, dan/atau ahli waris penumpang, yang menderita kerugian dapat mengajukan gugatan terhadap pengangkut di pengadilan negeri di wilayah Indonesia dengan menggunakan hukum Indonesia. Hak untuk menggugat kerugian yang diderita penumpang atau pengirim kepada pengangkut dinyatakan kedaluwarsa dalam jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung mulai tanggal seharusnya kargo dan bagasi tersebut tiba di tempat tujuan.

27 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Dari uraian-uraian di atas dapatlah ditarik beberpa kesimpulan yakni sebagai berikut : 1. Tanggung jawab pengangkutan udara diatur dalam Pasal 140, 141 dan 240 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa Badan usaha bandar udara bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita oleh pengguna jasa bandar udara dan/atau pihak ketiga yang diakibatkan oleh pengoperasian bandar udara terhadap kerugian yang meliputi kematian atau luka fisik orang; musnah, hilang, atau rusak peralatan yang dioperasikan; dan/atau dampak lingkungan di sekitar bandar udara akibat pengoperasian bandar udara. 2. Bentuk perlindungan yang dilakukan oleh pihak pengangkut jika terjadi hal yang dapat merugikan bagi pengguna jasa angkutan atas barang-barangnya yakni setiap terjadi kecelakaan pesawat udara para awak pesawat udara, penumpang atau pihak ketiga yang menderita kerugian akibat kecelakaan pesawat udara dijamin oleh Undang-undang memperoleh ganti rugi yang biasa disebut santunan namun demikian santunan tersebut secara yuridis sepenuhnya memuaskan semua semua pihak sehingga ditinjau dari segi tanggung jawab pengangkutan terjadi kesenjangan antara perkembangan angkutan udara dengan pengaturan jumlah santunan yang seharusnya diterima

28 oleh para korban kecelakaan pesawat udara khsusunya penumpang dan/atau pengirim barang. 3. PT. Garuda Indonesia (Persero) Dalam hal memberikan ganti kerugian tunduk pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Menurut Pasal 173 seorang penumpang yang meninggal dunia yang berhak menerima ganti kerugian adalah ahli waris penumpang tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal tidak ada ahli waris yang berhak menerima ganti kerugian sebagaimana dimaksud, badan usaha angkutan udara niaga menyerahkan ganti kerugian kepada negara setelah dikurangi biaya pengurusan jenazah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Masalah tata cara klaim bagasi diatur pada pasal 174 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 dimana Klaim atas kerusakan bagasi tercatat harus diajukan pada saat bagasi tercatat diambil oleh penumpang. Klaim atas keterlambatan atau tidak diterimanya bagasi tercatat harus diajukan pada saat bagasi tercatat seharusnya diambil oleh penumpang. Bagasi tercatat dinyatakan hilang setelah 14 (empat belas) hari kalender terhitung sejak tiba di tempat tujuan. Klaim atas kehilangan bagasi tercatat diajukan setelah jangka waktu 14 (empat belas) hari kalender terlampaui. Menurut Pasal 43 PP Nomor 40 Tahun 1995 Santunan untuk penumpang yang meninggal dunia karena kecelakaan pesawat udara ditetapkan sebesar Rp ,00 (empat puluh juta rupiah). Santunan untuk penumpang yang menderita luka karena kecelakaan pesawat udara atau sesuatu peristiwa di dalam pesawat udara atau selama waktu antara embarkasi dan debarkasi berlangsung, ditetapkan sampai dengan setinggi-

29 tingginya Rp ,00 (empat puluh juta rupiah). Santunan ganti rugi bagi penumpang yang menderita cacat tetap karena kecelakaan pesawat udara ditetapkan berdasarkan tingkat cacat tetap yang dialami sampai dengan setinggi-tingginya Rp ,00 (lima puluh juta rupiah). B. Saran Sejalan dengan kesimpulan yang telah kemukakan diatas maka dalam bagian akhir dari srkipsi ini penulis merasa perlu untuk menyarankan beberapa hal sebagai berikut : 1. Kepada pihak pengangkut hendaknya memberikan santunan kepada ahli waris penumpang harus sesuai dengan kedudukan, kekayaan dan keadaan penumpang. 2. Harus ada kepastian hukum yang jelas atas tanggung jawab dalam hal terjadi kelambatan terhadap barang-barang penumpang serta cara perhitugnan santunan yang diberikan kepada ahli waris penumpang.

Tanggung Jawab Pengangkut di Beberapa Moda Transportasi

Tanggung Jawab Pengangkut di Beberapa Moda Transportasi Perkeretaapian UU No.23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian Pasal 157 (1) Penyelenggara Sarana Perkeretaapian bertanggung jawab terhadap pengguna jasa yang mengalami kerugian, lukaluka, atau meninggal dunia

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 68, 1995 ( Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3610) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA Nomor 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa transportasi mempunyai peranan penting dan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN [LN 2009/1, TLN 4956] Pasal 402

UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN [LN 2009/1, TLN 4956] Pasal 402 UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN [LN 2009/1, TLN 4956] BAB XXII KETENTUAN PIDANA Pasal 401 Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara Indonesia atau pesawat udara asing yang memasuki

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1995 TENTANG ANGKUTAN UDARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1995 TENTANG ANGKUTAN UDARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1995 TENTANG ANGKUTAN UDARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan telah mengatur

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 5.1 Peranan Asuransi Dalam Pengembangan Pengangkutan Udara Nasional

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 5.1 Peranan Asuransi Dalam Pengembangan Pengangkutan Udara Nasional BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1 Peranan Asuransi Dalam Pengembangan Pengangkutan Udara Nasional Dengan kemajuan teknik pada masa kini, kecelakaan-kecelakaan pesawat udara relatif jarang terjadi.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN [LN 1992/53, TLN 3481]

UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN [LN 1992/53, TLN 3481] UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN [LN 1992/53, TLN 3481] BAB XIII KETENTUAN PIDANA Pasal 54 Barangsiapa mengoperasikan pesawat udara melalui kawasan udara terlarang sebagaimana dimaksud

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENETAPAN TARIF ANGKUTAN PENUMPANG. Adapun dasar hukum penetapan tarif angkutan penumpang yaitu:

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENETAPAN TARIF ANGKUTAN PENUMPANG. Adapun dasar hukum penetapan tarif angkutan penumpang yaitu: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENETAPAN TARIF ANGKUTAN PENUMPANG A. Dasar Hukum Penetapan Tarif Angkutan Penumpang Undang-undang pengangkutan Indonesia menggunakan istilah orang untuk pengangkutan penumpang.

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1995 TENTANG ANGKUTAN UDARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1995 TENTANG ANGKUTAN UDARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1995 TENTANG ANGKUTAN UDARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan telah mengatur

Lebih terperinci

BAB II. Regulasi penerbangan yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun. itu harus mendasarkan pada ketentuan Pasal 102 ayat (1) KUHAP yang

BAB II. Regulasi penerbangan yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun. itu harus mendasarkan pada ketentuan Pasal 102 ayat (1) KUHAP yang BAB II PERBUATAN-PERBUATAN YANG TERMASUK LINGKUP TINDAK PIDANA DI BIDANG PENERBANGAN DALAM PERSPEKTIF UNDANG UNDANG RI NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN C. Perbandingan Undang-Undang Nomor 15 Tahun

Lebih terperinci

KEAMANAN DAN KESELAMATAN PENERBANGAN Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 200 Tanggal 15 Februari 2001 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEAMANAN DAN KESELAMATAN PENERBANGAN Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 200 Tanggal 15 Februari 2001 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEAMANAN DAN KESELAMATAN PENERBANGAN Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 200 Tanggal 15 Februari 2001 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2001 TENTANG KEAMANAN DAN KESELAMATAN PENERBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2001 TENTANG KEAMANAN DAN KESELAMATAN PENERBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2001 TENTANG KEAMANAN DAN KESELAMATAN PENERBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang

Lebih terperinci

2 2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik In

2 2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik In BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 292, 2015 KEMENHUB. Penumpang. Angkutan Udara. Dalam Negeri. Standar Pelayanan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 38 TAHUN 2015

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG KEBANDARUDARAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG KEBANDARUDARAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG KEBANDARUDARAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, Pemerintah Daerah diberikan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG KEBANDARUDARAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, Pemerintah Daerah diberikan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2001 TENTANG KEAMANAN DAN KESELAMATAN PENERBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2001 TENTANG KEAMANAN DAN KESELAMATAN PENERBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2001 TENTANG KEAMANAN DAN KESELAMATAN PENERBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG KEBANDARUDARAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG KEBANDARUDARAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG KEBANDARUDARAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, Pemerintah Daerah diberikan

Lebih terperinci

UU NOMOR 14 TAHUN 1992 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1

UU NOMOR 14 TAHUN 1992 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan: UU NOMOR 14 TAHUN 1992 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 1. Lalu lintas adalah gerak kendaraan, orang, dan hewan di jalan;

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN ANGKUTAN UDARA TERHADAP PENGIRIMAN KARGO MELALUI UDARA

TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN ANGKUTAN UDARA TERHADAP PENGIRIMAN KARGO MELALUI UDARA TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN ANGKUTAN UDARA TERHADAP PENGIRIMAN KARGO MELALUI UDARA Suprapti 1) 1) Program Studi Manajemen Transportasi Udara, STTKD Yogyakarta SUPRAPTI071962@yahoo.co.id Abstrak Pada era

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa transportasi mempunyai peranan penting dan strategis untuk memantapkan perwujudan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Transportasi merupakan sarana yang sangat penting untuk memenuhi kebutuhan

I. PENDAHULUAN. Transportasi merupakan sarana yang sangat penting untuk memenuhi kebutuhan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Transportasi merupakan sarana yang sangat penting untuk memenuhi kebutuhan manusia, alat transportasi terdiri dari berbagai macam yaitu alat transportasi darat,

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace dicabut: UU 22-2009 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 49, 1992 (ADMINISTRASI. PERHUBUNGAN. Kendaraan. Prasarana. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran

Lebih terperinci

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG - 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN BANDAR UDARA ABDULRACHMAN SALEH MALANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, Copyright 2002 BPHN UU 15/1992, PENERBANGAN *8176 Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 15 TAHUN 1992 (15/1992) Tanggal: 25 MEI 1992 (JAKARTA) Sumber: LN 1992/53; TLN NO.

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PEKALONGAN

PEMERINTAH KABUPATEN PEKALONGAN PEMERINTAH KABUPATEN PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG T E R M I N A L DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PEKALONGAN, Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan

Lebih terperinci

Tentang TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT ANGKUTAN UDARA. Oktober 2011

Tentang TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT ANGKUTAN UDARA. Oktober 2011 Tentang TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT ANGKUTAN UDARA Oktober 2011 1 LATAR BELAKANG Memberikan pemahaman kepada penyedia dan pengguna jasa angkutan udara tentang arti sebuah tiket, surat muatan udara dan claim

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.716, 2015 KEMENHUB. Angkutan Udara Niaga. Keterlambatan Penerbangan. Penanganan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 89 TAHUN 2015 TENTANG

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG KARANTINA IKAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG KARANTINA IKAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG KARANTINA IKAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan perundang-undangan yang menyangkut perkarantinaan ikan, sudah

Lebih terperinci

BAB II TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT UDARA ATAS KORBAN KECELAKAAN PESAWAT AIR ASIA QZ8501

BAB II TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT UDARA ATAS KORBAN KECELAKAAN PESAWAT AIR ASIA QZ8501 BAB II TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT UDARA ATAS KORBAN KECELAKAAN PESAWAT AIR ASIA QZ8501 2.1. Dasar Hukum Pengangkutan Udara Pengangkutan berasal dari kata angkut, seperti yang dijelaskan oleh Abdulkadir

Lebih terperinci

2015, No Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2015 tentang Kementerian Perhubungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 75); 5

2015, No Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2015 tentang Kementerian Perhubungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 75); 5 No.1771, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUB. Pengguna Jasa. Bandar Udara. Pelayanan. Standar. Pencabutan PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 178 Tahun 2015 TENTANG STANDAR

Lebih terperinci

Sri Sutarwati 1), Hardiyana 2), Novita Karolina 3) Program Studi D1 Ground Handling Sekolah Tinggi Teknologi Kedirgantaraan 3)

Sri Sutarwati 1), Hardiyana 2), Novita Karolina 3) Program Studi D1 Ground Handling Sekolah Tinggi Teknologi Kedirgantaraan 3) TANGGUNG JAWAB PENGUSAHA ANGKUTAN UDARA TERHADAP PENUMPANG MASKAPAI GARUDA INDONESIA YANG MENGALAMI KETERLAMBATAN PENERBANGAN DI BANDARA UDARA INTERNASIONAL ADI SOEMARMO SOLO Sri Sutarwati 1), Hardiyana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa transportasi mempunyai peranan penting dan strategis

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR: PM 77 TAHUN 2011 TENTANG TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT ANGKUTAN UDARA

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR: PM 77 TAHUN 2011 TENTANG TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT ANGKUTAN UDARA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR: PM 77 TAHUN 2011 TENTANG TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT ANGKUTAN UDARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG KARANTINA IKAN

NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG KARANTINA IKAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG KARANTINA IKAN Menimbang: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa peraturan perundang-undangan yang menyangkut perkarantinaan ikan, sudah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 70/PMK.04/2007 TENTANG KAWASAN PABEAN DAN TEMPAT PENIMBUNAN SEMENTARA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 70/PMK.04/2007 TENTANG KAWASAN PABEAN DAN TEMPAT PENIMBUNAN SEMENTARA PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 70/PMK.04/2007 TENTANG KAWASAN PABEAN DAN TEMPAT PENIMBUNAN SEMENTARA MENTERI KEUANGAN, Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 5 ayat (4), Pasal 10A

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG KEBANDARUDARAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG KEBANDARUDARAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG KEBANDARUDARAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanakan otonomi daerah, Pemerintah Daerah diberikan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi alat penghubung pengangkutan antar daerah, untuk pengangkutan orang

BAB I PENDAHULUAN. menjadi alat penghubung pengangkutan antar daerah, untuk pengangkutan orang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sarana transportasi massal saat ini menjadi sangat penting karena letak Indonesia yang begitu luas serta dikelilingi lautan. Transportasi tersebut akan menjadi

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA 1 of 23 08/07/2009 22:34 Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum Dan HAM Teks tidak dalam format asli. Kembali mencabut: PP 71-1996 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 128,

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN M E M U T U S K A N : NOMOR : KM 81 TAHUN 2004

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN M E M U T U S K A N : NOMOR : KM 81 TAHUN 2004 KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 81 TAHUN 2004 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN UDARA MENTERI PERHUBUNGAN, Menimbang : a. bahwa dengan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 11 Tahun 2001 telah

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1046, 2013 KEMENTERIAN PERHUBUNGAN. Kebandarudaraan. Nasional. Tatanan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR PM 69 TAHUN 2013 TENTANG TATANAN KEBANDARUDARAAN NASIONAL

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MAGELANG,

PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MAGELANG, 1 WALIKOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MAGELANG, Menimbang : a. bahwa angkutan jalan sebagai salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Transportasi merupakan sarana yang sangat penting dan strategis dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Transportasi merupakan sarana yang sangat penting dan strategis dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Transportasi merupakan sarana yang sangat penting dan strategis dalam memperlancar roda perekonomian, memperkukuh persatuan dan kesatuan dan kesatuan serta mempengaruhi

Lebih terperinci

PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH UKRAINA PASAL I PENGERTIAN-PENGERTIAN

PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH UKRAINA PASAL I PENGERTIAN-PENGERTIAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH DAN PEMERINTAH UKRAINA Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Ukraina di dalam Persetujuan ini disebut sebagai Para Pihak pada Persetujuan; Sebagai peserta

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1297, 2013 KEMENTERIAN PERHUBUNGAN. Jaringan. Rute. Penerbangan. Angkutan Udara. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 88 TAHUN 2013 TENTANG JARINGAN

Lebih terperinci

LANGGAR ATURAN SANKSI MENUNGGU TAHAP II

LANGGAR ATURAN SANKSI MENUNGGU TAHAP II LANGGAR ATURAN SANKSI MENUNGGU TAHAP II Ada banyak hal yang termasuk kategori pelanggaran lalu lintas yang diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009. Dan sudah seharusnya masyarakat mengetahui jenis

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1306, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUB. Pesawat Udara. Rusak. Bandar Udara. Pemindahan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM.128 TAHUN 2015 TENTANG PEMINDAHAN PESAWAT

Lebih terperinci

DALAM DAERAH KABUPATEN BERAU.

DALAM DAERAH KABUPATEN BERAU. LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BERAU TAHUN : 2005 NOMOR : 7 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BERAU NOMOR 7 TAHUN 2005 TENTANG PENYELENGGARAAN TERMINAL TRANSPORTASI JALAN DALAM DAERAH KABUPATEN BERAU. DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1996 TENTANG PENINDAKAN DI BIDANG KEPABEANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1996 TENTANG PENINDAKAN DI BIDANG KEPABEANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1996 TENTANG PENINDAKAN DI BIDANG KEPABEANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

Standar dan Regulasi terkait Perencanaan, Perancangan, Pembangunan, dan Pengoperasian Bandar Udara Juli 28, 2011

Standar dan Regulasi terkait Perencanaan, Perancangan, Pembangunan, dan Pengoperasian Bandar Udara Juli 28, 2011 Standar dan Regulasi terkait Perencanaan, Perancangan, Pembangunan, dan Pengoperasian Bandar Udara Juli 28, 2011 Posted by jjwidiasta in Airport Planning and Engineering. Standar dan regulasi terkait dengan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 72 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN KERETA API DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 72 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN KERETA API DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 72 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN KERETA API DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2007 TENTANG PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2007 TENTANG PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2007 TENTANG PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa transportasi mempunyai peranan penting dalam

Lebih terperinci

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Pasal 273 (1) Setiap penyelenggara Jalan yang tidak dengan segera dan patut memperbaiki Jalan yang rusak yang mengakibatkan Kecelakaan

Lebih terperinci

a. bahwa dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 1992 tentang Perkeretaapian telah diatur ketentuan-ketentuan mengenai lalu lintas dan angkutan kereta api;

a. bahwa dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 1992 tentang Perkeretaapian telah diatur ketentuan-ketentuan mengenai lalu lintas dan angkutan kereta api; PP 81/1998, LALU LINTAS DAN ANGKUTAN KERETA API Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 81 TAHUN 1998 (81/1998) Tanggal: 30 NOPEMBER 1998 (JAKARTA) Tentang: LALU LINTAS DAN ANGKUTAN KERETA API PRESIDEN

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG GANTI KERUGIAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG GANTI KERUGIAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG GANTI KERUGIAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 14 TAHUN 1989 TENTANG PENERTIBAN PENUMPANG, BARANG DAN KARGO YANG DIANGKUT PESAWAT UDARA SIPIL

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 14 TAHUN 1989 TENTANG PENERTIBAN PENUMPANG, BARANG DAN KARGO YANG DIANGKUT PESAWAT UDARA SIPIL KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 14 TAHUN 1989 TENTANG PENERTIBAN PENUMPANG, BARANG DAN KARGO YANG DIANGKUT PESAWAT UDARA SIPIL MENTERI PERHUBUNGAN, Menimbang: a. bahwa untuk lebih menjamin keamanan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BERAU

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BERAU LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BERAU TAHUN : 2005 NOMOR : 7 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BERAU NOMOR 7 TAHUN 2005 TENTANG PENYELENGGARAAN TERMINAL TRANSPORTASI JALAN DALAM DAERAH KABUPATEN BERAU. DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 1996 Tentang : Kebandarudaraan

Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 1996 Tentang : Kebandarudaraan Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 1996 Tentang : Kebandarudaraan Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 71 TAHUN 1996 (71/1996) Tanggal : 4 DESEMBER 1996 (JAKARTA) Sumber : LN 1996/108; TLN NO.3662

Lebih terperinci

KEPPRES 111/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UKRAINA

KEPPRES 111/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UKRAINA Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 111/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UKRAINA *47919 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES)

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.408, 2015 KEMENHUB. Pengusahaan. Bandar Udara. Kegiatan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 56 TAHUN 2015 TENTANG KEGIATAN PENGUSAHAAN DI BANDAR

Lebih terperinci

2015, No Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4956); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2012 tentang Pembangunan dan Pelestar

2015, No Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4956); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2012 tentang Pembangunan dan Pelestar BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1289, 2015 KEMENHUB. Perjanjian Tingkat Layanan. Jasa Bandar Udara. Penyusunan Pedoman. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 129 TAHUN 2015 TENTANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2007 TENTANG PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2007 TENTANG PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2007 TENTANG PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa transportasi mempunyai peranan

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR :KP 12 TAHUN 2015 TENTANG PEMBAYARAN PASSENGER SERVICE CHARGE (PSC) DISATUKAN DENGAN

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR :KP 12 TAHUN 2015 TENTANG PEMBAYARAN PASSENGER SERVICE CHARGE (PSC) DISATUKAN DENGAN KEMENTERIAN PERHUBUNGAN DIREKTORAT JENDERA1. PKRHUBUNGAN UDARA PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR :KP 12 TAHUN 2015 TENTANG PEMBAYARAN PASSENGER SERVICE CHARGE (PSC) DISATUKAN DENGAN TIKET

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA. Nomor : SKEP / 195 / IX / 2008 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERSETUJUAN TERBANG (FLIGHT APPROVAL)

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA. Nomor : SKEP / 195 / IX / 2008 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERSETUJUAN TERBANG (FLIGHT APPROVAL) DEPARTEMEN PERHUBUNGAN DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA Nomor : SKEP / 195 / IX / 2008 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERSETUJUAN TERBANG (FLIGHT APPROVAL)

Lebih terperinci

PENGERTIAN KAPAL SEBAGAI BARANG DALAM PENEGAKAN HUKUM OLEH PEJABAT DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI

PENGERTIAN KAPAL SEBAGAI BARANG DALAM PENEGAKAN HUKUM OLEH PEJABAT DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PENGERTIAN KAPAL SEBAGAI BARANG DALAM PENEGAKAN HUKUM OLEH PEJABAT DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI Oleh : Bambang Semedi (Widyaiswara Pusdiklat Bea dan Cukai) Pendahuluan Dengan semakin majunya dunia

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1976 TENTANG PERUBAHAN DAN PENAMBAHAN BEBERAPA PASAL DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA BERTALIAN DENGAN PERLUASAN BERLAKUNYA KETENTUAN PERUNDANG-UNDANGAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Bandar Udara Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2012 Tentang Pembangunan dan Pelestarian Lingkungan Hidup Bandar Udara, 1. Kebandarudaraan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1986), Bandar Udara adalah. operator pelayanan penerbangan maupun bagi penggunanya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1986), Bandar Udara adalah. operator pelayanan penerbangan maupun bagi penggunanya. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Bandar Udara Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1986), Bandar Udara adalah Sebuah fasilitas tempat pesawat terbang dapat lepas landas dan mendarat. Bandar Udara

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

2 Ke Dan Dari Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republi

2 Ke Dan Dari Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republi BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.496, 2015 KEMENHUB. Angkutan Udara. Tidak Berjadwal. Pesawat Udara. Sipil Asing. NKRI. Kegiatan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 66 TAHUN 2015

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.68, 2013 HUKUM. Keimigrasian. Administrasi. Pelaksanaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5409) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAHAN PAPARAN. Disampaikan pada : BIMBINGAN TEKNIS AUDIT

BAHAN PAPARAN. Disampaikan pada : BIMBINGAN TEKNIS AUDIT BAHAN PAPARAN Disampaikan pada : BIMBINGAN TEKNIS AUDIT PENGERTIAN ISTILAH 1. Bandar Udara adalah lapangan terbang yang dipergunakan untuk mendarat dan lepas landas pesawat udara, naik turun penumpang

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.118, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERHUBUNGAN. Penyelenggaraan. Pengusahaan. Angkutan Multimoda. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM. 8 TAHUN 2012 TENTANG

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pengirim. Dimana ekspeditur mengikatkan diri untuk mencarikan pengangkut

II. TINJAUAN PUSTAKA. pengirim. Dimana ekspeditur mengikatkan diri untuk mencarikan pengangkut 1 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian Ekspedisi Perjanjian ekspedisi adalah perjanjian timbal balik antara ekspeditur dengan pengirim. Dimana ekspeditur mengikatkan diri untuk mencarikan pengangkut yang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Asuransi Kerugian Dalam perkembangan dunia usaha tidak seorang pun yang dapat meramalkan apa yang akan terjadi di masa yang akan datang secara tepat, setiap ramalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hanya satu, yaitu PT. Pos Indonesia (Persero). Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang

BAB I PENDAHULUAN. hanya satu, yaitu PT. Pos Indonesia (Persero). Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jasa pengiriman paket dewasa ini sudah menjadi salah satu kebutuhan hidup. Jasa pengiriman paket dibutuhkan oleh perusahaan, distributor, toko, para wiraswastawan,

Lebih terperinci

NOMOR 11 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN TERMINAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG,

NOMOR 11 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN TERMINAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG, S A L I N A N NO.13/C,2001 PERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 11 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN TERMINAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG, Menimbang : a. bahwa terminal merupakan fasilitas

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MAGELANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN TERMINAL PENUMPANG DI KABUPATEN MAGELANG

PEMERINTAH KABUPATEN MAGELANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN TERMINAL PENUMPANG DI KABUPATEN MAGELANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG Nomor : 8 Tahun 2008 PEMERINTAH KABUPATEN MAGELANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN TERMINAL PENUMPANG DI KABUPATEN MAGELANG

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1331,2014 KEMENHUB. Organisasi. Kantor Unit Penyelenggara. Bandar Udara. Kriteria. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 39 TAHUN 2014 TENTANG KRITERIA

Lebih terperinci

2015, No Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 193, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5468); 4. Peraturan Presiden Nomor 47

2015, No Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 193, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5468); 4. Peraturan Presiden Nomor 47 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.306, 2015 KEMENHUB. Terminal. Penumpang Angkutan jalan. Pelayanan. Standar. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2015 TENTANG STANDAR PELAYANAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 276, 2015 KEMENHUB. Penumpang. Angkatan Laut. Pelayanan. Standar. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 37 TAHUN 2015 TENTANG STANDAR PELAYANAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN. Menurut R. Djatmiko Pengangkutan berasal dari kata angkut yang berarti

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN. Menurut R. Djatmiko Pengangkutan berasal dari kata angkut yang berarti 17 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN 2.1 Pengertian Perjanjian Pengangkutan Istilah pengangkutan belum didefinisikan dalam peraturan perundangundangan, namun banyak sarjana yang mengemukakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa transportasi mempunyai peranan penting dan strategis

Lebih terperinci

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN EVITA KARINA PUTRI JATUHNYA PESAWAT AIR ASIA DENGAN NOMOR PENERBANGAN QZ8501

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN EVITA KARINA PUTRI JATUHNYA PESAWAT AIR ASIA DENGAN NOMOR PENERBANGAN QZ8501 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terletak di Asia Tenggara. Melintang di khatulistiwa antara benua Asia dan Australia serta antara Samudera

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Bandar Udara Menurut Peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 tahun 2012 Tentang Pembangunan dan pelestarian lingkungan hidup bandar udara, 1. kebandarudaraan

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : KP-447 TAHUN 2014 TENTANG PEMBAYARAN PASSENGER SERVICE CHARGE (PSC) DISATUKAN DENGAN

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : KP-447 TAHUN 2014 TENTANG PEMBAYARAN PASSENGER SERVICE CHARGE (PSC) DISATUKAN DENGAN KEMENTERIAN PERHUBUNGAN DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : KP-447 TAHUN 2014 TENTANG PEMBAYARAN PASSENGER SERVICE CHARGE (PSC) DISATUKAN DENGAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG PENYELENGGARAAN TERMINAL BONGKAR MUAT BARANG DI KABUPATEN JEMBRANA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG PENYELENGGARAAN TERMINAL BONGKAR MUAT BARANG DI KABUPATEN JEMBRANA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG PENYELENGGARAAN TERMINAL BONGKAR MUAT BARANG DI KABUPATEN JEMBRANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEMBRANA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

Menimbang : a. bahwa dalam Pasal 330 Undang-Undang

Menimbang : a. bahwa dalam Pasal 330 Undang-Undang MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : PM 31 TAHUN 2013 TENTANG PROGRAM KEAMANAN PENERBANGAN NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN, Menimbang

Lebih terperinci

NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG KARANTINA TUMBUHAN

NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG KARANTINA TUMBUHAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG KARANTINA TUMBUHAN Menimbang: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa dalam rangka memberikan landasan hukum yang kuat bagi penyelenggaraan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1992 TENTANG PELAYARAN [LN 1992/98, TLN 3493]

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1992 TENTANG PELAYARAN [LN 1992/98, TLN 3493] UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1992 TENTANG PELAYARAN [LN 1992/98, TLN 3493] BAB XIII KETENTUAN PIDANA Pasal 100 (1) Barangsiapa dengan sengaja merusak atau melakukan tindakan apapun yang mengakibatkan tidak

Lebih terperinci

NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN

NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa transportasi mempunyai peranan penting dan strategis

Lebih terperinci

Jakarta, 01 November Kepada Yth. Bapak/Ibu. Di tempat. Dengan hormat,

Jakarta, 01 November Kepada Yth. Bapak/Ibu. Di tempat. Dengan hormat, Jakarta, 01 November 2017 Kepada Yth. Bapak/Ibu Di tempat Dengan hormat, Saya Monica Rianasari, mahasiswi Universitas Esa Unggul jurusan Hubungan Masyarakat. Saat ini sedang menyusun skripsi, dengan judul

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

TENTANG PROGRAM KEAMANAN PENERBANGAN NASIONAL

TENTANG PROGRAM KEAMANAN PENERBANGAN NASIONAL 2013, No.631 4 LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR PM 31 TAHUN 2013 TENTANG PROGRAM KEAMANAN PENERBANGAN NASIONAL BAB I TUJUAN PROGRAM. 1.1 Tujuan Program Keamanan Penerbangan Nasional adalah

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN A. Pengertian dan Fungsi Pengangkutan Istilah pengangkutan berasal dari kata angkut yang berarti mengangkut dan membawa, sedangkan istilah pengangkutan dapat diartikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memperlancar perekonomian sebagai pendorong, penggerak kemajuan suatu wilayah.

BAB I PENDAHULUAN. memperlancar perekonomian sebagai pendorong, penggerak kemajuan suatu wilayah. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Transportasi sangat diperlukan bagi kehidupan manusia untuk memenuhi kebutuhannya, transportasi juga merupakan sarana yang sangat penting dalam memperlancar

Lebih terperinci