II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka"

Transkripsi

1 II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Tinjauan Teoretis Keuangan Daerah Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 pasal 1 ayat 5, keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut. Keuangan daerah sebagai alat fiskal pemerintah daerah merupakan bagian integral dari keuangan negara dalam mengalokasikan sumbersumber ekonomi, meratakan hasil pembangunan dan menciptakan stabilitas ekonomi serta stabilitas sosial politik. Peranan keuangan daerah semakin penting bukan hanya karena keterbatasan dana yang dapat dialihkan ke daerah berupa Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK), tetapi juga karena makin kompleksnya persoalan yang dihadapi daerah dan pemecahannya membutuhkan partisipasi aktif masyarakat daerah. Selain itu, peranan keuangan daerah yang makin meningkat akan mendorong terwujudnya otonomi daerah yang nyata dan bertanggungjawab (Radianto, 1997). Pada pasal 1 ayat 6 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 dijelaskan bahwa pengelolaan keuangan daerah merupakan keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah. Keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan,

2 11 kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat. Pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan dalam suatu sistem terintegrasi yang diwujudkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang setiap tahun ditetapkan dengan peraturan daerah Definisi Anggaran Mardiasmo (2002) mendefinisikan anggaran sebagai sebuah proses yang dilakukan oleh organisasi sektor publik untuk mengalokasikan sumber daya yang dimilikinya pada kebutuhan-kebutuhan yang tidak terbatas. Pengertian tersebut mengungkapkan peran strategis anggaran dalam pengelolaan kekayaan sebuah organisasi sektor publik yang bertujuan untuk memberikan pelayanan maksimal kepada masyarakat. Anggaran dapat juga dikatakan sebagai pernyataan mengenai estimasi kinerja yang hendak dicapai selama periode waktu tertentu dalam ukuran finansial. Sedangkan menurut Suparmoko (2002), anggaran merupakan suatu alat perencanaan mengenai pengeluaran dan pendapatan pada masa yang akan datang, umumnya disusun untuk masa satu tahun. Anggaran juga berfungsi sebagai alat kontrol atau pengawasan, baik terhadap pendapatan maupun pengeluaran pada masa yang akan datang. Anggaran publik berisi rencana kegiatan yang direpresentasikan dalam bentuk rencana perolehan pendapatan dan belanja dalam satuan moneter. Anggaran sektor publik merupakan instrumen akuntabilitas atas pengelolaan dana publik dan pelaksanaan program-program yang dibiayai dengan uang publik. Anggaran sektor publik menggambarkan kegiatan pemerintah dalam upaya memenuhi kebutuhan masyarakat sebagai stakeholder. Oleh sebab itu setiap anggaran publik harus berpihak kepada kepentingan rakyat. Anggaran menjadi

3 12 sangat esensial dalam upaya menghapus kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Penyusunan anggaran harus sesuai dengan prinsipprinsip yang diterima secara umum (Mardiasmo, 2002). Di Indonesia, anggaran publik direpresentasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah menurut Mamesah dalam Purbadharmaja (2007) didefinisikan sebagai rencana operasional keuangan pemerintah daerah. APBD tersebut di satu pihak menggambarkan perkiraan pengeluaraan guna membiayai kegiatan-kegiatan dan proyek-proyek dalam satu tahun anggaran tertentu. Di pihak lain, APBD juga menggambarkan perkiraan pendapatan dan sumber-sumber pendapatan daerah guna menutupi pengeluaran-pengeluaran yang dimaksud. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah harus disiapkan oleh pemerintah daerah dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda) atas persetujuan DPRD selambat-lambatnya satu bulan setelah ditetapkannya APBN. Perubahan APBD dimungkinkan dan ditetapkan dengan Perda selambatlambatnya tiga bulan sebelum tahun anggaran berakhir. Selanjutnya perhitungan APBD ditetapkan dengan Perda selambat-lambatnya tiga bulan setelah berakhirnya tahun anggaran yang bersangkutan. Akhirnya, APBD yang telah ditetapkan dengan Perda disampaikan kepada gubernur bagi pemerintah kabupaten/kota dan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri bagi pemerintah provinsi untuk diketahui (Purbadharmaja, 2007). Tabel 2.1. berikut menunjukkan struktur APBD yang terdiri dari tiga bagian besar, yaitu pendapatan, belanja, dan pembiayaan. Berdasarkan Undang- Undang No. 33 Tahun 2004, Pendapatan Daerah merupakan hak pemerintah

4 13 daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun bersangkutan. Belanja daerah merupakan semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. Sedangkan pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya. Tabel 2.1. Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pendapatan Belanja Pendapatan Asli Daerah Belanja Tidak Langsung Pajak Daerah Belanja Pegawai Retribusi Daerah Belanja Bunga Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan Belanja Subsidi Belanja Hibah Lain-lain PAD yang sah Belanja Bantuan Sosial Dana Perimbangan Belanja Bagi Hasil kepada Dana bagi hasil pajak/bagi hasil bukan pajak Dana alokasi umum Dana alokasi khusus Lain-lain pendapatan daerah yang sah Hibah Prop/Kab/Kota dan Pemdes Belanja Tidak Terduga Belanja Langsung Belanja Pegawai Belanja Barang dan Jasa Belanja Modal Dana darurat Dana bagi hasil pajak dari propinsi dan Pemda lainnya Dana penyesuaian dan otonomi khusus Bantuan keuangan dari propinsi atau Pemda lainnya Lain-lain PAD yang sah Pembiayaan Penerimaan Pengeluaran Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) tahun anggaran sebelumnya Pencairan dana cadangan Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan Penerimaan pinjaman daerah dan obligasi daerah Pembentukan dana cadangan Penyertaan modal (investasi) daerah Pembayaran pokok utang Pemberian pinjaman daerah Pembayaran kegiatan lanjutan Pengeluaran perhitungan pihak ketiga Penerimaan kembali pemberian pinjaman

5 14 APBD merupakan instrumen kebijakan yang utama bagi pemerintah daerah. Sebagai instrumen kebijakan, APBD menduduki posisi sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektivitas pemerintah daerah. APBD digunakan sebagai alat untuk menentukan besarnya pengembangan pendapatan dan pengeluaran, membantu pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan, otorisasi pengeluaran di masa-masa yang akan datang, dan sumber pengembangan ukuran-ukuran standar untuk evaluasi kinerja (Samadara, 2007). Berdasarkan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004, APBD memiliki fungsi alokasi (efisiensi alokasi). Fungsi alokasi berkaitan dengan penggunaan sumber daya yang dimiliki oleh pemerintah daerah. Dengan alokasi penggunaan sumber daya yang diserahkan kepada daerah, maka pertumbuhan ekonomi akan dapat dipercepat. Secara sederhana efisiensi alokasi akan terwujud jika kebijakan publik dalam penganggaran sudah sesuai dengan aspirasi masyarakat Belanja Daerah Berdasarkan UU Nomor 33 Tahun 2004, belanja daerah adalah semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. Pemerintah Daerah harus mengalokasikan belanja daerah secara adil dan merata agar relatif dapat dinikmati oleh seluruh kelompok masyarakat tanpa diskriminasi, khususnya dalam pemberian pelayanan umum. Dana yang tersedia harus dimanfaatkan sebaik mungkin untuk dapat menghasilkan peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yang maksimal guna kepentingan masyarakat. Belanja daerah dipergunakan dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota yang terdiri

6 15 dari urusan wajib dan urusan pilihan yang ditetapkan dengan ketentuan perundang undangan. Belanja penyelenggaraan urusan wajib diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial, dan fasilitas umum yang layak serta mengembangkan sistem jaminan sosial (PP Nomor 58 Tahun 2005). Komponen belanja daerah menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 terdiri dari belanja tidak langsung dan belanja langsung. 1. Belanja Tidak Langsung Belanja tidak langsung adalah belanja yang tidak terikat langsung dengan program dan kegiatan yang dipergunakan untuk mendanai belanja pegawai, belanja barang, bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, bagi hasil kepada provinsi, kabupaten/kota dan pemerintah desa serta belanja tak terduga. 2. Belanja Langsung Belanja langsung adalah belanja yang terikat langsung dengan program dan kegiatan yang digunakan untuk membiayai belanja pegawai, belanja barang dan jasa dan belanja modal. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan, keseluruhan jenis belanja daerah tersebut dikonversi dalam penyajian laporan keuangan dan dikelompokkan menjadi belanja operasi, belanja modal, belanja tak terduga serta belanja transfer. 1. Belanja operasi terdiri dari belanja pegawai, belanja barang, belanja bunga, belanja subsidi, belanja hibah dan belanja bantuan.

7 16 2. Belanja modal terdiri dari belanja tanah, belanja peralatan dan mesin, belanja gedung dan bangunan, belanja jalan, irigasi dan jaringan, serta belanja modal fisik lainnya. 3. Belanja tak terduga adalah belanja yang dianggarkan untuk mendanai kegiatan yang sifatnya darurat dan belum dapat diperkirakan sebelumnya. 4. Belanja transfer/bagi hasil ke desa meliputi bagi hasil pajak, bagi hasil retribusi dan bagi hasil pendapatan lainnya Belanja Modal Dalam PMK Nomor 91/PMK.06/2007 tentang Bagan Akun Standar (BAS), definisi belanja modal merupakan pengeluaran anggaran yang digunakan dalam rangka memperoleh atau menambah aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi serta melebihi batasan minimal kapitalisasi aset tetap atau aset lainnya yang ditetapkan pemerintah. Aset tetap tersebut dipergunakan untuk operasional kegiatan sehari-hari suatu satuan kerja, bukan untuk dijual. Belanja modal juga dapat didefinisikan sebagai belanja pemerintah daerah yang manfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan daerah dan selanjutnya akan menambah belanja yang bersifat rutin seperti biaya pemeliharaan pada kelompok belanja administrasi umum (Halim, 2004). Klasifikasi belanja modal berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 2005 yang sekarang diatur dalam PP No. 71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan terdiri dari : 1. Belanja modal tanah, yaitu semua biaya yang diperlukan untuk pengadaan/pembelian/pembebasan/penyelesaian, balik nama dan sewa

8 17 tanah, pengosongan, perataan, pematangan tanah, pembuatan sertifikat tanah dan pengeluaran-pengeluaran lain yang bersifat administratif sehubungan dengan perolehan hak dan kewajiban atas tanah pada saat pembebasan/pembayaran ganti rugi tanah. 2. Belanja modal peralatan dan mesin, yaitu jumlah biaya untuk pengadaan alat-alat dan mesin yang dipergunakan dalam pelaksanaan kegiatan sampai siap untuk digunakan. Dalam jumlah belanja ini termasuk biaya untuk penambahan, penggantian, dan peningkatan kapasitas peralatan dan mesin yang diharapkan dapat meningkatkan nilai aktiva, serta seluruh biaya pendukung yang diperlukan. 3. Belanja modal gedung dan bangunan meliputi jumlah biaya yang digunakan untuk perencanaan, pengawasan dan pengelolaan kegiatan pembangunan gedung yang persentasenya mengikuti Keputusan Direktur Jenderal Cipta Karya untuk pembangunan gedung dan bangunan. 4. Belanja modal jalan, irigasi dan jaringan yaitu biaya untuk pengembalian, penggantian, peningkatan pembangunan, pembuatan prasarana dan sarana yang berfungsi atau merupakan bagian dari jaringan pengairan (termasuk jaringan air bersih), jaringan instalasi distribusi listrik dan jaringan telekomunikasi serta jaringan lain yang berfungsi sebagai prasarana dan sarana fisik distribusi instalasi. 5. Belanja modal fisik lainnya, yaitu jumlah biaya yang digunakan untuk pengadaan/pembangunan belanja fisik lainnya yang tidak dapat diklasifikasikan dalam perkiraan belanja modal tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jaringan (jalan, irigasi) dan belanja modal

9 18 non fisik. Yang termasuk dalam belanja modal non fisik antara lain: kontrak sewa beli, pengadaan/pembelian barang-barang kesenian, barang-barang purbakala dan barang-barang musium, hewan ternak, serta buku-buku dan jurnal ilmiah Pengertian Kinerja Keuangan Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 dan Permendagri No. 13 Tahun 2006, kinerja adalah keluaran/hasil dari kegiatan/program yang akan atau telah dicapai sehubungan dengan penggunaan anggaran dengan kuantitas dan kualitas yang terukur. Sedangkan dalam penjelasan pasal 39 ayat 2 PP No. 58 Tahun 2005 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan capaian kinerja adalah ukuran prestasi kerja yang akan dicapai dari keadaan semula dengan mempertimbangkan faktor kualitas, kuantitas, efisiensi, dan efektivitas pelaksanaan dari setiap program dan kegiatan. Kinerja (performance) juga dapat dinyatakan sebagai hasil kerja seorang pekerja, sebuah proses manajemen atau suatu organisasi secara keseluruhan, dimana hasil kerja tersebut harus dapat diukur dan dibandingkan dengan standar yang telah ditentukan (Sedarmayanti, 2003). Adapun kinerja keuangan pemerintah daerah merupakan tingkat pencapaian dari suatu hasil kerja di bidang keuangan daerah yang meliputi penerimaan dan belanja daerah dengan menggunakan indikator keuangan yang ditetapkan melalui suatu kebijakan atau ketentuan perundang-undangan selama satu periode anggaran. Menurut Ekawarna, Sam, Rahayu (2009), pengukuran kinerja anggaran keuangan daerah (APBD) sangat penting karena merupakan suatu metode yang digunakan untuk mencatat dan menilai pencapaian

10 19 pelaksanaan kegiatan berdasarkan tujuan, sasaran, dan strategi sehingga dapat diketahui kemajuan organisasi serta tingkat efektivitas dan efisiensi anggaran. Salah satu alat untuk menganalisis kinerja pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerahnya adalah dengan melakukan analisis rasio keuangan terhadap APBD yang telah ditetapkan dan dilaksanakannya. Analisis rasio keuangan daerah merupakan inti dari pengukuran kinerja sekaligus konsep pengelolaan organisasi pemerintah untuk menjamin dilakukannya pertanggungjawaban publik oleh lembaga-lembaga pemerintah kepada masyarakat luas (Halim, 2002). Kinerja keuangan pemerintah daerah juga dapat dilihat dari proporsi belanja modal. Belanja modal ditambah belanja barang dan jasa merupakan belanja pemerintah yang memiliki pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi suatu daerah selain dari sektor swasta, rumah tangga, dan luar negeri. Oleh karena itu, anggaran daerah yang didominasi belanja pegawai (dulu biasa disebut sebagai bagian dari anggaran rutin) dapat dianggap mempunyai daya ungkit atau dampak pengganda yang lebih kecil daripada yang dihasilkan oleh anggaran yang didominasi oleh belanja modal (misalnya untuk kepentingan pembangunan infrastruktur). Indikator proporsi belanja modal menunjukkan arah pengelolaan belanja pemerintah pada manfaat jangka panjang yang dapat memberikan multiplier yang lebih besar terhadap perekonomian. Semakin tinggi proporsi belanja modal, semakin baik pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, semakin rendah proporsinya, semakin buruk pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi (DPJK Kementerian Keuangan, 2011). Dengan pertimbangan ini maka proporsi

11 20 belanja modal dalam anggaran pemerintah daerah dapat menjadi indikator kinerja pengelolaan keuangan pemerintah kota/kabupaten. Indikator ini dirumuskan sebagai persentase dari belanja modal dalam total belanja pada anggaran daerah yang secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut (Bappenas dan UNDP, 2008): Proporsi Belanja Modal = x 100% (2.1) Dalam perekonomian suatu negara, belanja pemerintah memainkan peranan yang sangat penting dalam pencapaian tujuan nasional, terutama dalam meningkatkan dan memelihara kesejahteraan rakyat. Hal ini terutama karena besaran dan komposisi anggaran belanja pemerintah mempunyai dampak yang signifikan pada permintaan agregat dan output nasional, serta mempengaruhi alokasi sumberdaya dalam perekonomian. Sumbangan belanja pemerintah dalam produk domestik bruto (PDB) Indonesia dewasa ini tergolong cukup besar. Dengan demikian apabila anggaran belanja pemerintah gagal direalisasikan maka timbul dampak negatif bagi pertumbuhan ekonomi. Dana yang telah tersedia menjadi menganggur (iddle money), sehingga berbagai infrastruktur yang semestinya terbangun menjadi terhambat perwujudannya. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia, pada tahun 2008, penyerapan anggaran yang cepat, efisien dan efektif telah menjadi salah satu agenda reformasi manajemen keuangan pemerintah. Penyerapan anggaran merupakan salah satu indikator yang dapat menunjukkan berhasilnya program atau kebijakan yang dilakukan pemerintah. Rasio realisasi terhadap pagu anggaran mencerminkan terserapnya anggaran dalam melakukan berbagai program yang telah ditetapkan. Dengan pertimbangan ini maka

12 21 kemampuan menyerap anggaran oleh pemerintah daerah dapat menjadi indikator kinerja pengelolaan keuangan pemerintah kota/kabupaten. Penyerapan anggaran, khususnya belanja modal dapat diformulasikan sebagai berikut : Penyerapan Belanja Modal = x 100% (2.2) Infrastruktur Infrastruktur merupakan barang komplementer yang sangat penting bagi investasi swasta karena dapat menurunkan biaya angkut dan meningkatkan volume perdagangan serta merupakan faktor penentu pertumbuhan jangka panjang yang dominan (Jhingan, 2004). Infrastruktur tergolong sebagai social overhead capital. Berbeda dengan modal yang berpengaruh secara langsung terhadap kegiatan produksi, perluasan infrastruktur tidak hanya menambah stok dari modal tetapi juga meningkatkan produktivitas perekonomian dan taraf hidup masyarakat luas. Infrastruktur dibedakan menjadi dua jenis, yaitu infrastruktur ekonomi dan infrastruktur sosial. Infrastruktur ekonomi adalah infrastruktur fisik, baik yang digunakan dalam proses produksi maupun yang dimanfaatkan oleh masyarakat luas. Dalam pengertian ini infrastruktur ekonomi meliputi semua prasarana umum seperti tenaga listrik, telekomunikasi, perhubungan, irigasi, air bersih, sanitasi, serta pembuangan limbah. Sedangkan infrastruktur sosial antara lain meliputi prasarana kesehatan dan pendidikan (Ramelan, 1997). Ketersediaan infrastruktur seperti jalan, pelabuhan, bandara, sistem penyediaan tenaga listrik, irigasi, sistem penyediaan air bersih, sanitasi, dan sebagainya memiliki keterkaitan yang sangat kuat dengan tingkat perkembangan

13 22 wilayah, yang antara lain dicirikan oleh laju pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dari kenyataan bahwa daerah yang mempunyai kelengkapan sistem infrastruktur yang lebih baik mempunyai laju pertumbuhan ekonomi dan tingkat kesejahteraan yang lebih baik pula dibandingkan dengan daerah yang mempunyai kelengkapan infrastruktur yang terbatas. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penyediaan infrastruktur merupakan faktor kunci dalam mendukung pembangunan nasional (Bappenas, 2003). Dampak dari kekurangan infrastruktur serta kualitasnya yang rendah menyebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi dan tenaga kerja. Sehingga pada akhirnya banyak perusahaan akan keluar dari bisnis atau membatalkan ekspansinya. Oleh karena itu, infrastruktur sangat berperan dalam proses produksi dan merupakan prakondisi yang sangat diperlukan untuk menarik akumulasi modal sektor swasta Pentingnya Peran Pemerintah dalam Menyediakan Infrastruktur Dasar Dalam setiap sistem perekonomian, pemerintah senantiasa mempunyai peranan yang penting. Intervensi pemerintah ini menjadi sangat penting jika terjadi kegagalan pasar yang menyebabkan mekanisme pasar gagal dalam mengalokasikan sumber-sumber ekonomi secara efisien dalam menghasilkan barang dan jasa. Oleh karena itu, dibutuhkan campur tangan pemerintah untuk dapat memperbaiki alokasi sumber-sumber ekonomi sehingga kondisi Pareto optimum dapat tercapai kembali. Dalam kaitannya dengan penyediaan

14 23 infrastruktur dasar, kegagalan pasar disebabkan oleh beberapa hal, yaitu adanya barang publik, eksternalitas, serta monopoli alamiah (Mangkoesoebroto, 2000). 1. Barang Publik Barang publik merupakan jenis barang dan jasa yang yang tidak dapat disediakan oleh sistem pasar dalam perekonomian. Barang publik murni memiliki dua karakteristik utama, yaitu penggunaannya tidak bersaingan (nonrivalry) dan tidak dapat diterapkan prinsip pengecualian (nonexcludability). Oleh karena pihak swasta tidak mau menghasilkan barang publik murni, maka pemerintahlah yang harus menyediakan barang tersebut agar kesejahteraan seluruh masyarakat dapat ditingkatkan. Ada pula jenis barang publik yang tidak murni (impure public goods), yaitu barang yang hanya memiliki salah satu dari karakteristik utama barang publik murni (Mangkoesoebroto, 2000). Barang publik dapat dikecualikan secara ekonomis, akan tetapi biaya untuk mengecualikan segolongan masyarakat segolongan masyarakat dari manfaat suatu barang sangat besar dibandingkan dengan biaya untuk menyediakan barang tersebut. Selain itu pada barang publik juga timbul masalah reveal preference. Dalam hal ini, tidak ada seorangpun yang bersedia mengemukakan nilai kesukaannya terhadap suatu barang publik sehingga sistem pasar gagal menyediakan barang tersebut. Oleh karena itu, teori ini mampu menjelaskan mengapa jaringan jalan raya sebagai salah satu barang publik semestinya dibangun oleh pemerintah. 2. Eksternalitas Dalam suatu perekonomian modern, setiap aktivitas mempunyai keterkaitan dengan aktivitas lainnya. Semakin modern suatu perekonomian, maka

15 24 semakin besar dan semakin banyak kaitannya dengan kegiatan-kegiatan lainnya. Apabila semua keterkaitan antara suatu kegiatan dengan kegiatan lainnya dilaksanakan melalui mekanisme pasar atau melalui suatu sistem, maka keterkaitan antara berbagai aktivitas tersebut tidak menimbulkan masalah. Akan tetapi banyak pula keterkaitan antar kegiatan yang tidak melalui mekanisme pasar sehingga timbul berbagai masalah. Keterkaitan suatu kegiatan dengan kegiatan lain yang tidak melalui mekanisme pasar tersebut dikenal sebagai eksternalitas. Eksternalitas terjadi apabila tindakan seseorang mempunyai dampak terhadap orang lain (atau segolongan orang) tanpa adanya kompensasi apapun sehingga menimbulkan inefisiensi dalam alokasi faktor-faktor produksi. Ditinjau dari dampaknya, eksternalitas dapat dibagi dua, yakni eksternalitas positif dan eksternalitas negatif (Mangkoesoebroto, 2000). Eksternalitas positif merupakan dampak yang menguntungkan dari suatu tindakan yang dilakukan oleh suatu pihak terhadap pihak lain tanpa adanya kompensasi dari pihak yang diuntungkan. Barang/jasa yang menimbulkan eksternalitas positif diproduksi terlalu sedikit (under-supplied), sehingga perlu campur tangan pemerintah agar situasi optimum Pareto dapat tercapai kembali (McTaggart, Findlay, Parkin, 2007). Tergolong dalam kategori ini adalah produk/jasa kesehatan atau sanitasi, termasuk air bersih. Sehingga teori ini dapat menjelaskan mengapa air bersih harus disediakan oleh pemerintah. Pada kasus eksternalitas positif, MEB (Marginal External Benefits) = 0 sehingga tingkat produksi akan terlalu rendah jika dilihat dari efisiensi seluruh masyarakat. Hal tersebut dikarenakan tingkat produksi ditentukan pada saat PMC

16 25 = MPB, sedangkan bagi seluruh masyarakat tingkat produksi yang efisien terjadi pada saat MSB = MPB + MEB = MSC = PMC + MEC. Dengan asumsi MEC = 0, maka terlihat bahwa MSB > MPB sedangkan MSC = PMC. Selama MSB > MSC, produksi seharusnya ditingkatkan sampai MSB = MSC. Adanya eksternalitas positif menyebabkan kurva MSC di bawah kurva PMC (MSC < PMC). Perpotongan antara kurva MSC dab MSB terjadi di titik E dan jumlah produksi yang optimum adalah sebesar OQ 1 yang lebih besar dari OQ 0 yang merupakan jumlah yang optimal berdasarkan perhitungan secara mikro oleh produsen (Gambar 2.1). P PMC P 1 P 0 E MSC 0 Q 0 Gambar 2.1. Eksternalitas Positif (MPB = Marginal Private Benefits, MSB = Marginal Social Benefits, PMC = Private Marginal Cost, MSC = Marginal Social Cost) Adapun eksternalitas negatif terjadi apabila dampak yang diterima oleh orang lain yang tidak menerima kompensasi sifatnya merugikan. Barang/jasa yang menimbulkan eksternalitas negatif diproduksi terlalu banyak (misalnya polusi udara) sehingga diperlukan intervensi pemerintah untuk dapat mencapai kondisi optimum Pareto. Efisiensi ekonomi akan tercapai apabila MSC = MSB, padahal produsen tidak pernah memperhitungkan MEC dan MEB dalam menentukan Q 1 MPB Jumlah

17 26 harga dan jumlah barang yang dihasilkannya. Karena itu, produsen akan menentukan harga dan tingkat produksi pada suatu tingkat dimana PMC = MPB (MEC = 0; dan MEB = 0). P MSC = PMC+MEC PMC P 1 P 2 MEC MSB Jumlah 0 Q 1 Q 2 Gambar 2.2. Eksternalitas Negatif (MSB = Marginal Social Benefits, MEC = Marginal External Benefits, PMC = Private Marginal Cost, MSC = Marginal Social Cost) Apabila dalam melakukan kegiatan produksi timbul suatu eksternalitas negatif, maka MEC > 0 sedangkan MEB = 0. Ini berarti PMC < MSC, sehingga ada tingkat produksi akan berada pada tingkat yang lebih besar karena perhitungan biayanya menjadi terlalu murah dibandingkan dengan biaya yang harus ditanggung oleh seluruh masyarakat. Sehingga pada kasus eksternalitas negatif MSC = PMC + MEC > MSB dan tingkat produksi harus dikurangi agar efisiensi produksi yang ditinjau dari seluruh masyarakat mencapai optimum. Pada Gambar 2.2. berikut, kurva permintaan menunjukkan manfaat masyarakat (MSB) atas suatu produksi barang/jasa. Tingkat output yang optimum terjadi pada tingkat produksi sebesar OQ 1, sedangkan produsen akan cenderung menetapkan tingkat produksi sebesar OQ 2 dimana kurva permintaan (MSB) memotong kurva PMC,

18 27 sehingga tampak bahwa jumlah yang diproduksi terlalu banyak dibandingkan tingkat produksi yang optimum. 3. Monopoli Alamiah Beberapa jenis barang yang hanya dapat diproduksi oleh satu produsen. Meskipun pemerintah telah berusaha untuk menghapus monopoli pada produksi suatu industri, persaingan di antara produsen yang ada akan menyebabkan hanya satu produsen yang mampu bertahan. Jadi, secara alamiah monopoli tersebut terjadi di masyarakat. Hal tersebut dikarenakan pasar akan barang tersebut terlalu kecil atau investasi yang dibutuhkan sangat besar sehingga skala ekonomi yang efisien baru dapat terjadi pada tingkat produksi yang besar. contoh industri yang berada pada kondisi monopoli alamiah adalah industri listrik (Mangkoesoebroto, 2000). Industri listrik digolongkan sebagai industri dengan biaya produksi ratarata yang selalu menurun dengan semakin banyaknya produk yang dihasilkan dan ditransmisikan. Industri yang demikian mempunyai kurva biaya marginal yang selalu berada di bawah kurva biaya rata-rata sehingga produk yang dihasilkan harus dalam volume yang sangat besar agar tidak merugi. Akibatnya industri listrik tidak dapat dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan yang kecil karena tidak menguntungkan dan sebaiknya diusahakan oleh sebuah perusahaan raksasa dan bersifat monopoli. Di samping itu, industri pelistrikan termasuk dalam industri yang produknya ditujukan untuk kepentingan umum (public utilities) sehingga pemerintah memiliki tanggung jawab utama dalam mengelola dan menyediakan listrik (Suparmoko, 2002).

19 28 Pada Gambar 2.3. berikut, dapat dilihat bahwa permintaan akan barang X sangat kecil sehingga kurva permintaan memotong kurva biaya rata-rata (AR) pada bagian yang menurun. Apabila produsen berproduksi pada tingkat produksi yang oleh masyarakat dianggap efisien, yaitu pada MC = AR, maka produsen akan menghasilkan OX 1 unit barang dengan harga OP 0. Akan tetapi pada tingkat produksi tersebut produsen akan rugi sehingga tingkat produksi OX 1 tidak dapat berlangsung dalam jangka panjang. Apabila barang X merupakan barang yang penting bagi masyarakat sehingga barang tersebut harus diproduksi sebanyak OX 1 unit, maka tidak ada seorang produsen pun yang bersedia menghasilkannya. Oleh karena itu, pemerintah harus campur tangan yang dapat diwujudkan dalam beberapa bentuk, antara lain produksi barang tersebut dapat dilakukan oleh pemerintah. Harga P 2 P 3 P 1 AC P 0 MC 0 X 2 MR X 1 AR Jumlah Gambar 2.3. Industri pada Keadaan Monopoli Alamiah

20 Kemiskinan Definisi Kemiskinan Kemiskinan dapat diartikan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi berbagai kebutuhan seperti pangan, perumahan, pakaian, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Kemiskinan adalah suatu kondisi yang dialami seseorang atau kelompok orang yang tidak mampu menyelenggarakan hidupnya sampai suatu taraf yang dianggap manusiawi. Menurut Suparlan dalam Hudaya (2009), kemiskinan merupakan suatu standar tingkat hidup yang rendah yaitu adanya tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau golongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Terdapat lima klasifikasi kemiskinan menurut Sumodiningrat (1999), yaitu : 1. Kemiskinan Absolut Kemiskinan absolut selain dilihat dari pemenuhan kebutuhan dasar minimum yang memungkinkan seseorang dapat hidup layak, juga ditentukan oleh tingkat pendapatan untuk memenuhi kebutuhan. Dengan demikian, tingkat pendapatan minimum merupakan pembatas antara keadaan yang disebut miskin atau sering disebut dengan istilah garis kemiskinan. Seseorang termasuk golongan miskin absolut apabila hasil pendapatannya yang berada di bawah garis kemiskinan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum seperti pangan, sandang, kesehatan, papan, dan pendidikan.

21 30 2. Kemiskinan Relatif Sekelompok orang dalam masyarakat dikatakan mengalami kemiskinan relatif apabila pendapatannya lebih rendah dibandingkan kelompok lain tanpa memperhatikan apakah mereka masuk dalam kategori miskin absolut atau tidak. Penekanan dalam kemiskinan relatif adalah adanya ketimpangan pendapatan dalam masyarakat antara yang kaya dan yang miskin atau dikenal dengan istilah ketimpangan distribusi pendapatan. Kemiskinan relatif untuk menunjukkan ketimpangan pendapatan berguna untuk mengukur ketimpangan pada suatu wilayah. Kemiskinan relatif juga dapat digunakan untuk mengukur ketimpangan antar wilayah yang dilakukan pada suatu wilayah tertentu. Pengukuran kemiskinan relatif diukur berdasarkan tingkat pendapatan, ketimpangan sumberdaya manusia berupa kualitas pendidikan, kesehatan, dan perumahan. 3. Kemiskinan Struktural Kemiskinan struktural mengacu pada sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya yang tidak mau berusaha untuk memperbaiki tingkat kehidupan meskipun ada usaha dari pihak luar untuk membantunya. Alfian dalam Hudaya (2009) mendefinisikan kemiskinan struktural sebagai kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena struktur sosial masyarakat tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Kemiskinan struktural meliputi kekurangan fasilitas pemukiman yang sehat, kekurangan pendidikan, dan kekurangan komunikasi dengan dunia sekitarnya. Kemiskinan struktural juga dapat diukur dari kurangnya perlindungan dari hukum dan pemerintah sebagai birokrasi atau peraturan resmi yang mencegah seseorang memanfaatkan kesempatan yang ada.

22 31 4. Kemiskinan Kronis Kemiskinan kronis disebabkan oleh beberapa hal, yaitu : a. Kondisi sosial budaya yang mendorong sikap dan kebiasaan hidup masyarakat yang tidak produktif. b. Keterbatasan sumberdaya dan keterisolasian (daerah-daerah yang kritis akan sumberdaya alam dan daerah terpencil). c. Rendahnya derajat pendidikan dan perawatan kesehatan, terbatasnya lapangan kerja dan ketidakberdayaan masyarakat dalam mengikuti ekonomi pasar. 5. Kemiskinan Sementara Kemiskinan sementara terjadi akibat beberapa hal, yaitu perubahan siklus ekonomi dari kondisi normal menjadi krisis ekonomi, perubahan yang bersifat musiman, dan bencana alam atau dampak dari sesuatu yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat Perhitungan Garis Kemiskinan Teknik perhitungan garis kemiskinan yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) terbagi ke dalam dua kurun waktu, yaitu sebelum tahun 2008 dan setelah tahun Sebelum tahun 2008 Untuk menghitung penduduk miskin tingkat kabupaten/kota digunakan metode yang didasarkan pada hukum Engel. Dasar dari hukum Engel adalah semakin miskin seseorang maka semakin tinggi proporsi pengeluaran untuk makanan.

23 32 2. Setelah tahun 2008 Tahap pertama dalam perhitungan penduduk miskin yang dilakukan BPS setelah tahun 2008 adalah menentukan penduduk referensi yaitu 20 persen penduduk yang berada di atas Garis Kemiskinan Sementara (GKS). GKS adalah garis kemiskinan periode sebelumnya yang di-inflate dengan inflasi umum (IHK). Dari penduduk referensi tersebut kemudian dihitung Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM). Garis Kemiskinan (GK) dapat diperoleh dengan menjumlahkan GKM dan GKNM. Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah GK dikategorikan sebagai penduduk miskin. GKM merupakan jumlah nilai pengeluaran dari 52 komoditi dasar makanan yang riil dikonsumsi penduduk referensi yang kemudian disetarakan dengan 2100 kilokalori perkapita perhari. Penyetaraan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan dilakukan dengan menghitung harga rata-rata kalori dari ke-52 komoditi tersebut. Selanjutnya GKM disetarakan dengan 2100 kilokalori dengan cara mengalikan 2100 terhadap harga implisit rata-rata kalori menurut daerah dari penduduk referensi. Sedangkan GKNM merupakan penjumlahan nilai kebutuhan minimum dari komoditi-komoditi non-makanan terpilih yang meliputi perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Nilai kebutuhan minimum per komoditi/sub-kelompok non-makanan dihitung dengan menggunakan suatu rasio pengeluaran komoditi/sub-kelompok tersebut terhadap total pengeluaran komoditi/subkelompok yang tercatat dalam data Susenas modul konsumsi.

24 Tinjauan Empiris Untuk mendukung penelitian yang akan dilakukan, maka ada beberapa penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini. Penelitian terdahulu bertujuan untuk membandingkan dan memperkuat hasil analisis yang dilakukan yang merujuk dari beberapa studi, baik yang berkaitan langsung maupun tidak langsung. Studi mengenai kinerja keuangan pemerintah daerah pernah dilakukan oleh Ekawarna, Sam, Rahayu (2009) terhadap kinerja APBD Kabupaten Muaro Jambi. Dari studi tersebut diperoleh hasil bahwa rasio efektivitas tinggi, rasio efisiensi rendah, rasio pertumbuhan semakin meningkat, sedangkan rasio kemandirian dan rasio aktivitas masih rendah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kinerja APBD pemerintah daerah Kabupaten Muaro Jambi belum baik. Selain itu ada pula studi yang dilakukan oleh Ronald dan Sarmiyatiningsih (2010) terhadap kinerja keuangan dan pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Kulon Progo. Hasil studi tersebut menyatakan bahwa setelah diberlakukannya otonomi daerah, rasio efisiensi belanja cenderung menurun. Artinya belanja daerah cenderung efisien sehingga pertumbuhan ekonomi mengalami peningkatan meskipun dalam angka yang relatif kecil. Ada beberapa studi mengenai peran infrastruktur dalam perekonomian. Pertama, studi yang dilakukan oleh Bernt dan Hansson (1991) yang mengemukakan bahwa peningkatan pelayanan infrastruktur dapat mengurangi biaya produksi. selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh World Bank (1994) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi sebesar satu persen ternyata terkait erat

25 34 dengan pertumbuhan ketersediaan pelayanan infrastruktur sebesar satu persen pula. Penelitian-penelitian yang mengukur elastisitas ketersediaan infrastruktur terhadap perekonomian dilakukan Canning (1999), Calderon dan Serven (2002) serta Marianne Fay dan Tito Yepes (2003). Berbagai studi tersebut menunjukkan bahwa investasi infrastruktur berdampak signifikan dan positif terhadap perekonomian. Kemudian penelitian mengenai dampak infrastruktur terhadap perekonomian di Indonesia dilakukan oleh Purnomo (2009), khususnya di Kabupaten Bekasi. Dari penelitian yang menggunakan metode OLS tersebut diperoleh hasil bahwa infrastuktur berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bekasi. Adapun studi mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan di Indonesia dilakukan oleh Usman, Sinaga, Siregar (2006). Studi tersebut menunjukkan bahwa adanya penurunan kualitas infrastruktur jalan mengakibatkan kemiskinan semakin bertambah. Faktor komunitas infrastruktur yang juga penting adalah akses listrik. Hasil analisis membuktikan bahwa baik di tahun 1999 maupun 2002 rumah tangga yang tidak memiliki akses terhadap listrik akan menambah peluang menjadi miskin. Sehingga salah satu hal yang harus mendapat perhatian pemerintah pusat maupun daerah dalam penanggulangan kemiskinan adalah infrastruktur. Studi lainnya dilakukan oleh Tumiwa dan Imelda (2011) mengenai kemiskinan energi. Dari studi tersebut diperoleh hasil bahwa pembangunan secara sosial dan ekonomi hanya akan tercipta jika dan hanya jika akses kepada energi tersedia dengan kualitas yang baik, harga terjangkau, pasokan

26 35 terjamin, serta teknologi yang digunakan dapat diterima oleh masyarakat pengguna Kerangka Penelitian Konseptual Penyerapan Belanja Modal Proporsi Belanja Modal Faktor-Faktor lain yang memengaruhi ketersediaan infrastruktur Ketersediaan Infrastruktur (Listrik, Air, Jalan) Faktor-Faktor lain yang memengaruhi kemiskinan Tingkat Kemiskinan Penelitian ini akan berusaha untuk mengonfirmasi hubungan antara kinerja keuangan pemerintah daerah, ketersediaan infrastruktur, dan kemiskinan di 200 kabupaten/kota di Indonesia selama periode Untuk menganalisis hubungan antara kinerja keuangan daerah pemerintah daerah dengan ketersediaan infrastruktur, maka indikator kinerja keuangan pemerintah daerah yang digunakan adalah penyerapan belanja modal dan proporsi belanja modal. Namun karena ketersediaan infrastruktur tidak hanya dipengaruhi oleh kinerja keuangan daerah, maka ada pula faktor-faktor lain yang memengaruhi ketersediaan infrastruktur. Akan tetapi faktor-faktor lain tersebut tidak dibahas dalam penelitian ini. Ketersediaan infrastruktur yang akan diteliti adalah beberapa macam infrastruktur dasar yakni listrik, air bersih, dan jalan. Selanjutnya akan dianalisis

27 36 pengaruh dari ketersediaan infrastruktur listrik, air bersih, serta jalan terhadap tingkat kemiskinan di kabupaten/kota di Indonesia. Mengingat ada banyak faktorfaktor lain yang memengaruhi tingkat kemiskinan selain ketersediaan infrastruktur, maka dalam kerangka penelitian tersebut dimasukkan pula faktorfaktor lain yang memengaruhi tingkat kemiskinan namun tidak dibahas secara mendalam dalam penelitian ini Hipotesis Penelitian Berdasarkan beberapa landasan teori dan penelitian terdahulu serta kerangka konseptual yang telah dijelaskan sebelumnya, maka dapat dirumuskan beberapa hipotesis dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut : 1. Semakin baik kinerja keuangan pemerintah daerah, maka semakin baik pula ketersediaan infrastruktur daerah. 2. Semakin tinggi ketersediaan infrastruktur di daerah, maka tingkat kemiskinan akan semakin rendah.

KINERJA KEUANGAN DAERAH, INFRASTRUKTUR, DAN KEMISKINAN : ANALISIS KABUPATEN/KOTA DI INDONESIA Oleh : DIYAH NUGRAHENI H

KINERJA KEUANGAN DAERAH, INFRASTRUKTUR, DAN KEMISKINAN : ANALISIS KABUPATEN/KOTA DI INDONESIA Oleh : DIYAH NUGRAHENI H KINERJA KEUANGAN DAERAH, INFRASTRUKTUR, DAN KEMISKINAN : ANALISIS KABUPATEN/KOTA DI INDONESIA 2006-2009 Oleh : DIYAH NUGRAHENI H14080015 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan teori 2.1.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2.1.1.1 Pengertian APBD Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi dasar dalam pelaksanaan pelayanan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Reformasi tahun 1998 telah membuat perubahan politik dan administrasi, bentuk

BAB 1 PENDAHULUAN. Reformasi tahun 1998 telah membuat perubahan politik dan administrasi, bentuk BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Reformasi merupakan suatu langkah yang telah dilakukan oleh pemerintah, salah satunya pada bidang pemerintahan daerah dan pengelolaan keuangan. Reformasi tahun

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Kondisi perekonomian Kabupaten Lamandau Tahun 2012 berikut karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun 2013-2014 dapat digambarkan

Lebih terperinci

BAB III PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH DALAM PRAKTEK

BAB III PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH DALAM PRAKTEK 63 BAB III PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH DALAM PRAKTEK A. Konsep Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Menurut Freedman dalam anggaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola kehidupan sosial, politik dan ekonomi di Indonesia. Desentralisasi keuangan dan otonomi daerah

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Gambaran pengelolaan keuangan daerah mencakup gambaran kinerja dan pengelolaan keuangan daerah tahuntahun sebelumnya (20102015), serta kerangka pendanaan. Gambaran

Lebih terperinci

BAB III PENGELOLAAN KEUANGAN DAN KERANGKA PENDANAAN

BAB III PENGELOLAAN KEUANGAN DAN KERANGKA PENDANAAN BAB III PENGELOLAAN KEUANGAN DAN KERANGKA PENDANAAN 3.1. Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Perkembangan kinerja keuangan pemerintah daerah tidak terlepas dari batasan pengelolaan keuangan daerah sebagaimana

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2.1.1 Pengertian dan unsur-unsur APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada hakekatnya merupakan salah satu instrumen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan pada tahun Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan pada tahun Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pemerintah melakukan reformasi di bidang Pemerintah Daerah dan Pengelolaan Keuangan pada tahun 1999. Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan ditetapkannya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 1. Keuangan Daerah dan APBD Menurut Mamesah (1995 : 16), keuangan daerah dapat diartikan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keputusan politik pemberlakuan otonomi daerah yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 2001, telah membawa implikasi yang luas dan serius. Otonomi daerah merupakan fenomena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang ditetapkan dengan undang-undang telah membawa konsekuensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi yang mensyaratkan perlunya pemberian otonomi seluas-luasnya

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi yang mensyaratkan perlunya pemberian otonomi seluas-luasnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem pemerintahan Indonesia menerapkan sistem pemerintahan desentralisasi yang mensyaratkan perlunya pemberian otonomi seluas-luasnya kepada pemerintah daerah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada era otonomi daerah yang ditandai dengan adanya Undang- Undang Nomor 32 tahun 2004 mengatur mengenai kewenangan pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN A. PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Berkaitan dengan manajemen keuangan pemerintah daerah, sesuai dengan amanat UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Halim (2004 : 67) : Pendapatan Asli Daerah merupakan semua

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Halim (2004 : 67) : Pendapatan Asli Daerah merupakan semua BAB II LANDASAN TEORI A. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Menurut Halim (2004 : 67) : Pendapatan Asli Daerah merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Pendapatan Asli

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Berdasarkan strategi dan arah kebijakan pembangunan ekonomi Kabupaten Polewali Mandar dalam Rencana

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Otonomi Daerah Otonomi selalu dikaitkan atau disepadankan dengan pengertian kebebasan dan kemandirian. Sesuatu akan dianggap otonomi jika ia menentukan diri sendiri, membuat

Lebih terperinci

LANDASAN TEORI Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 21 tahun 2011 tentang

LANDASAN TEORI Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 21 tahun 2011 tentang 8 II. LANDASAN TEORI 2.1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 21 tahun 2011 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, struktur APBD merupakan satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pemerintah pusat sehingga dengan demikian pembangunan daerah diupayakan sejalan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. APBN/APBD. Menurut Erlina dan Rasdianto (2013) Belanja Modal adalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. APBN/APBD. Menurut Erlina dan Rasdianto (2013) Belanja Modal adalah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Belanja Modal Belanja Modal merupakan salah satu jenis Belanja Langsung dalam APBN/APBD. Menurut Erlina dan Rasdianto (2013) Belanja Modal adalah pengeluaran

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), pengertian belanja modal

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), pengertian belanja modal BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Belanja Modal Menurut Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), pengertian belanja modal adalah pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembentukan modal yang sifatnya menambah

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1 Kinerja Keuangan Tahun 2008-2013 3.1.1 Kinerja Pelaksanaan APBD Keuangan Daerah adalah hak dan kewajiban daerah dalam melaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui penyerahan pengelolaan wilayahnya sendiri. Undang-Undang Nomor

BAB I PENDAHULUAN. melalui penyerahan pengelolaan wilayahnya sendiri. Undang-Undang Nomor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu semangat reformasi keuangan daerah adalah dilakukannya pertanggungjawaban keuangan oleh pemerintah daerah dan penilaian kinerja keuangan daerah otonomi secara

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan di Indonesia saat ini semakin pesat seiring dengan adanya era reformasi. Negara Indonesia yang awalnya menggunakan sistem sentralisasi dalam pemerintahannya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teori 2.1.1 Fiscal Stress Ada beberapa definisi yang digunakan dalam beberapa literature. Fiscal stress terjadi ketika pendapatan pemerintah daerah mengalami penurunan

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN (RPJMD) Tahun 20162021 BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Keuangan Kabupaten Pandeglang dikelola berdasarkan ketentuan peraturan yang berlaku diantaranya UndangUndang

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Kondisi perekonomian Kota Ambon sepanjang Tahun 2012, turut dipengaruhi oleh kondisi perekenomian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Otonomi Daerah Suparmoko (2002: 18) Otonomi Daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keuangan Daerah dan APBD Menurut Mamesah (1995), keuangan daerah dapat diartikan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah diatur dalam UU RI Nomor 33 Tahun 2004. UU ini menegaskan bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007:23), keuangan daerah dapat diartikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007:23), keuangan daerah dapat diartikan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 1. Keuangan Daerah dan APBD a. Pengertian dan Ruang Lingkup Keuangan Daerah Menurut Mamesah dalam Halim (2007:23), keuangan daerah dapat diartikan sebagai semua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perubahan mendasar paradigma pengelolaan keuangan daerah terjadi sejak diterapkan otonomi daerah pada tahun 2001. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berakar pada teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Teori

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berakar pada teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Teori BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Keagenan Teori yang menjelaskan hubungan prinsipal dan agen ini salah satunya berakar pada teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi.

Lebih terperinci

BAB II SISTEM PEMERINTAH DAERAH & PENGUKURAN KINERJA. Daerah. Reformasi tersebut direalisasikan dengan ditetapkannya Undang

BAB II SISTEM PEMERINTAH DAERAH & PENGUKURAN KINERJA. Daerah. Reformasi tersebut direalisasikan dengan ditetapkannya Undang 10 BAB II SISTEM PEMERINTAH DAERAH & PENGUKURAN KINERJA Semenjak krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia, Pemerintah Indonesia melakukan reformasi di bidang Pemerintahan Daerah dan Pengelolaan Keuangan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pengelolaan Pemerintah Daerah di Indonesia sejak tahun 2001 memasuki era baru yaitu dengan dilaksanakannya otonomi daerah. Otonomi daerah ini ditandai dengan

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1. Kinerja Keuangan Masa Lalu Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pemerintah Provinsi Bali disusun dengan pendekatan kinerja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi daerah adalah salah satu indikator untuk mengevaluasi perkembangan/kemajuan pembangunan ekonomi di suatu daerah pada periode tertentu (Nuni

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keuangan Daerah Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Catatan Atas Laporan Keuangan (CALK) Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu Tahun 2015

BAB I PENDAHULUAN. Catatan Atas Laporan Keuangan (CALK) Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu Tahun 2015 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Maksud dan Tujuan Penyusunan Laporan Keuangan Laporan keuangan disusun untuk menyediakan informasi yang relevan mengenai posisi keuangan dan seluruh transaksi yang dilakukan oleh

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS 10 BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Tinjauan Teoretis 2.1.1 Otonomi Daerah Perkembangan akuntansi sektor publik di Indonesia tumbuh semakin pesat seiring dengan adanya otonomi daerah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Arsyad (1999) dalam Setiyawati (2007) menyatakan bahwa pertumbuhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Arsyad (1999) dalam Setiyawati (2007) menyatakan bahwa pertumbuhan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pertumbuhan Ekonomi Secara umum pertumbuhan ekonomi dapat diartikan sebagai perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang

Lebih terperinci

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN (REVISI) GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN (REVISI) GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB 3 GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan rencana pengelolaan keuangan tahunan pemerintah daerah yang disetujui oleh DPRD dalam Peraturan Daerah

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN Bab ini berisi uraian tentang gambaran umum pengelolaan keuangan daerah di Kabupaten Purworejo. Adapun yang menjadi fokus adalah kinerja

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perkembangan Akuntansi Sektor Publik, Khususnya di Negara Indonesia semakin pesat seiring dengan adanya era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi

Lebih terperinci

BAB VII KEBIJAKAN UMUM DAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH

BAB VII KEBIJAKAN UMUM DAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH BAB VII KEBIJAKAN UMUM DAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH 7.1 Kebijakan Umum Pengelolaan Pendapatan Daerah Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Keuangan Negara bahwa Keuangan Daerah

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang

BAB II LANDASAN TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang BAB II LANDASAN TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS 2.1. Landasan Teori 2.1. 1 Definisi dan Teori Otonomi Khusus UU No 32 Tahun 2004 Pasal 1 ayat 6 menyatakan bahwa daerah otonom yaitu kesatuan masyarakat hukum

Lebih terperinci

BAB 3 GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB 3 GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB 3 GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Pemerintah Kota Bengkulu 3.1. Kinerja Keuangan Masa Lalu Otonomi daerah yang merupakan bagian dari reformasi kehidupan bangsa oleh Pemerintah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2.1.1.1 Pengertian dan Unsur-Unsur APBD Menurut Garrison dan Noreen (2006:402), Anggaran adalah rencana rinci

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pada era reformasi seperti saat ini sangat penting diberlakukannya otonomi daerah untuk memberikan kesempatan kepada pemerintah agar dapat lebih meningkatkan

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Dalam upaya reformasi pengelolaan keuangan daerah, Pemerintah telah menerbitkan paket peraturan perundang undangan bidang pengelolaan

Lebih terperinci

HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH DASAR PEMIKIRAN HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PUSAT DAN DAERAH DAERAH HARUS MEMPUNYAI SUMBER-SUMBER KEUANGAN YANG MEMADAI DALAM MENJALANKAN DESENTRALISASI

Lebih terperinci

BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Berdasarkan Pasal 18 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, bahwa dalam rangka penyusunan Rancangan APBD diperlukan penyusunan Kebijakan

Lebih terperinci

BAB III PEMBAHASAN. 3.1 Tinjauan Teori

BAB III PEMBAHASAN. 3.1 Tinjauan Teori BAB III PEMBAHASAN 3.1 Tinjauan Teori 3.1.1 Kinerja Keuangan Kinerja (performance) menurut Amin widjaja Tunggal (2010:521) diartikan sebagai dari suatu entitas selama periode tertentu sebagai bagian dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dengan diberlakukannya UU Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah yang kemudian direvisi dengan UU Nomor 32 tahun 2004, memberikan wewenang seluasnya kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang

BAB I PENDAHULUAN. dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang kemudian direvisi dengan UU Nomor 32 Tahun 2004, daerah diberi kewenangan yang luas

Lebih terperinci

LAPORAN REALISASI ANGGARAN BERBASIS KAS

LAPORAN REALISASI ANGGARAN BERBASIS KAS LAMPIRAN I.0 PERATURAN PEMERINTAH NOMOR TAHUN 00 TANGGAL OKTOBER 00 STANDAR AKUNTANSI PEMERINTAHAN BERBASIS AKRUAL PERNYATAAN NO. 0 LAPORAN REALISASI ANGGARAN BERBASIS KAS Lampiran I.0 PSAP 0 (i) DAFTAR

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Belanja Langsung Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 Pasal 36 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja langsung merupakan

Lebih terperinci

STANDAR AKUNTANSI PEMERINTAHAN PERNYATAAN NO. 02 LAPORAN REALISASI ANGGARAN

STANDAR AKUNTANSI PEMERINTAHAN PERNYATAAN NO. 02 LAPORAN REALISASI ANGGARAN LAMPIRAN IV PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2005 TANGGAL 13 JUNI 2005 STANDAR AKUNTANSI PEMERINTAHAN PERNYATAAN NO. 02 LAPORAN REALISASI ANGGARAN Paragraf-paragraf yang ditulis dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. LANDASAN TEORITIS 2.1.1 Alokasi Anggaran Belanja Modal Belanja modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap berwujud yang memberi manfaaat lebih dari satu tahun

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Rancangan Kerangka Ekonomi Daerah menggambarkan kondisi dan analisis perekonomian daerah, sebagai

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKANKEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKANKEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKANKEUANGAN DAERAH 3.1 Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Kebijakan ekonomi daerah disusun dalam rangka memberikan solusi jangka pendek dan jangka panjang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. antarsusunan pemerintahan. Otonomi daerah pada hakekatnya adalah untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. antarsusunan pemerintahan. Otonomi daerah pada hakekatnya adalah untuk BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah yang menjadi landasan utama dalam mendukung penyelenggaraan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keuangan Daerah Faktor keuangan merupakan faktor yang paling dominan dalam mengukur tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan otonominya. Keadaan keuangan daerah yang menentukan

Lebih terperinci

BAB III KEBIJAKAN AKUNTANSI TRANSFER

BAB III KEBIJAKAN AKUNTANSI TRANSFER BAB III KEBIJAKAN AKUNTANSI TRANSFER A. UMUM 1. Definisi a. Transfer adalah penerimaan atau pengeluaran uang oleh suatu entitas pelaporan dari/kepada entitas pelaporan lain, termasuk dana perimbangan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi membawa banyak perubahan dalam kehidupan berbangsa dan

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi membawa banyak perubahan dalam kehidupan berbangsa dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Reformasi membawa banyak perubahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Republik Indonesia. Salah satu dari sekian banyak reformasi yang membawa kepada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS digilib.uns.ac.id BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Belanja Modal Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.06/2007 tentang Bagan Akun Standar mendefinisikan belanja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang akan mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang akan mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat ekonomi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan salah satu bagian dari pembangunan nasional yang akan mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat ekonomi berkelanjutan. Seluruh negara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tekad pemerintah pusat untuk meningkatkan peranan pemerintah daerah dalam mengelola daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

Lebih terperinci

GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB - III Kinerja Keuangan Masa Lalu

GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB - III Kinerja Keuangan Masa Lalu BAB - III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Kinerja Keuangan Masa Lalu Arah Kebijakan Pengelolaan Keuangan Kebijakan Umum Anggaran Bab ini berisi uraian tentang gambaran umum mengenai pengelolaan keuangan

Lebih terperinci

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Pengelolaan Keuangan Daerah menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Pengelolaan Keuangan Daerah menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri BAB III. GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Pengelolaan Keuangan Daerah menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan pemerintahan daerah dapat terselenggara dengan baik karena adanya beberapa faktor sumber daya yang mampu menggerakkan jalannya organisasi pemerintah daerah

Lebih terperinci

PROFIL KEUANGAN DAERAH

PROFIL KEUANGAN DAERAH 1 PROFIL KEUANGAN DAERAH Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah sesuai dengan amanat Undang-Undang adalah menyelenggarakan otonomi daerah dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab, serta

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mengelola keuangannya sendiri. Adanya otonomi daerah menjadi jalan bagi

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mengelola keuangannya sendiri. Adanya otonomi daerah menjadi jalan bagi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 Perimbangan Keuangan Pusat dan Pemerintah daerah menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Jawa Barat adalah salah satu Provinsi di Indonesia. Provinsi Jawa Barat memiliki luas wilayah daratan 3.710.061,32 hektar, dan Jawa Barat menduduki

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan untuk merubah keadaan kearah yang lebih baik, dengan sasaran akhir terciptanya kesejahreraan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang cukup berfluktuatif. Pada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dilakukan oleh Pemda untuk melaksanakan wewenang dan tanggung jawab

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dilakukan oleh Pemda untuk melaksanakan wewenang dan tanggung jawab BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 1. Belanja Daerah a. Pengertian Belanja Daerah Menurut Halim (2003 : 145), belanja daerah adalah pengeluaran yang dilakukan oleh Pemda untuk melaksanakan wewenang

Lebih terperinci

PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN PEMERINTAH DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA. Drs. Bambang Wisnu Handoyo DPPKA DIY

PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN PEMERINTAH DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA. Drs. Bambang Wisnu Handoyo DPPKA DIY PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN PEMERINTAH DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Drs. Bambang Wisnu Handoyo DPPKA DIY KEUANGAN DAERAH Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan aspek transparansi dan akuntabilitas. Kedua aspek tersebut menjadi

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan aspek transparansi dan akuntabilitas. Kedua aspek tersebut menjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan aspek

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Kinerja Keuangan Masa Lalu Sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2007 tentang Pokok-Pokok Pengelolaan Keuangan Daerah,

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1. KINERJA KEUANGAN MASA LALU 3.1.1. Kinerja Pelaksanaan APBD Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah terkait penyelenggaraan

Lebih terperinci

Hasil penelitian Alfirman dan Sutriono (2006) yang meneliti masalah hubungan. pengeluaran rutin dengan produk domestik bruto (PDB) menemukan bahwa

Hasil penelitian Alfirman dan Sutriono (2006) yang meneliti masalah hubungan. pengeluaran rutin dengan produk domestik bruto (PDB) menemukan bahwa BAB II KAJIAN PUSTAKA Hasil penelitian Alfirman dan Sutriono (2006) yang meneliti masalah hubungan pengeluaran rutin dengan produk domestik bruto (PDB) menemukan bahwa pengeluaran pemerintah tidak berpengaruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disebut Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), baik untuk

BAB I PENDAHULUAN. disebut Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), baik untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran daerah disebut Anggaran Pendapatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola kehidupan sosial, politik dan ekonomi di Indonesia. Reformasi yang bergulir tahun 1998 di

Lebih terperinci

KEBIJAKAN AKUNTANSI NOMOR 8 AKUNTANSI TRANSFER

KEBIJAKAN AKUNTANSI NOMOR 8 AKUNTANSI TRANSFER LAMPIRAN B.VIII: PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH NOMOR : 20 TAHUN 2014 TANGGAL : 30 MEI 2014 KEBIJAKAN AKUNTANSI NOMOR 8 AKUNTANSI TRANSFER A. UMUM 1. Tujuan a. Tujuan kebijakan akuntansi transfer

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu maka pelaksanaan otonomi daerah. pendapatan dan pembiayaan kebutuhan pembangunan di daerahnya.

I. PENDAHULUAN. dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu maka pelaksanaan otonomi daerah. pendapatan dan pembiayaan kebutuhan pembangunan di daerahnya. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan daerah sebagai bagian tak terpisahkan dari pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan upaya peningkatan kapasitas pemerintahan daerah agar tercipta suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam mewujudkan pemerataan pembangunan di setiap daerah, maka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam mewujudkan pemerataan pembangunan di setiap daerah, maka BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam mewujudkan pemerataan pembangunan di setiap daerah, maka daerah diberi wewenang untuk mengatur rumah tangganya sendiri hal ini telah diamanatkan dalam Undang Undang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka 1. Pengertian Pendapatan Asli Daerah Menurut Darise ( 2007 : 43 ), Pendapatan Asli Daerah ( PAD ) adalah pendapatan yang diperoleh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) a. Pengertian Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan Asli Daerah (PAD) menurut Halim (2001) adalah penerimaan yang diperoleh daerah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan yang dilakukan oleh setiap pemerintahan terutama ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan distribusi pendapatan, membuka kesempatan kerja,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Implementasi desentralisasi fiskal yang efektif dimulai sejak Januari

I. PENDAHULUAN. Implementasi desentralisasi fiskal yang efektif dimulai sejak Januari I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Implementasi desentralisasi fiskal yang efektif dimulai sejak Januari 2001 telah memberikan kewenangan yang luas kepada pemerintah daerah untuk merencanakan dan melaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi telah membuat beberapa perubahan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi telah membuat beberapa perubahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Tonggak perubahan yang bergerak sejak tahun 1998 dengan pergantian pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi telah membuat beberapa perubahan dalam aspek

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. transparansi publik. Kedua aspek tersebut menjadi hal yang sangat penting dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. transparansi publik. Kedua aspek tersebut menjadi hal yang sangat penting dalam BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di era reformasi ini tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia yang menyebabkan adanya aspek akuntabilitas dan transparansi

Lebih terperinci