BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH World Trade Organization (WTO) merupakan organisasi perdagangan dunia yang menangani dan berfokus pada permasalahan perdagangan internasional. Organisasi ini mengatur segala regulasi mengenai arus perdagangan internasional dan memiliki tujuan untuk mereduksi peran pemerintah dalam restriksi kebijakan perdagangan internasional. 1 Sistem perdagangan multilateral WTO diatur melalui suatu persetujuan yang berisi aturan-aturan dasar perdagangan internasional sebagai hasil perundingan yang telah ditandatangani oleh negara-negara anggota. Persetujuan tersebut merupakan kontrak antar Negara anggota yang mengikat pemerintah untuk mematuhinya dalam pelaksanaan kebijakan perdagangannya. Dalam penyelesaian sengketa dagang, WTO pun sudah mempunyai aturan main dalam penyelesaiannya. Setiap Negara yang bersengketa dan membawa sengketa dagangnya harus melalui empat tahap aturan, yaitu konsultasi, proses panel, banding serta implementasi. Pada tahap implementasi inilah dikenal adanya retaliasi. Di dalam ketentuan WTO, retaliasi merupakan tindakan suatu negara dalam menangguhkan konsesi atau kemudahan yang telah diberikan kepada negara lain dan telah dinikmatinya, sebagai balasan akibat adanya tindakan atau kebijakan perdagangan dari negara lain tersebut merugikan kepentingan perdagangannya. Retaliasi dilakukan sebagai upaya terakhir ketika dalam suatu penyelesaian sengketa, upaya pemenuhan konsesi tidak dapat tercapai dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Dalam teorinya, volume perdagangan yang terkena retaliasi nilainya harus diperkirakan sama dengan nilai proteksi impor yang diberlakukan oleh Negara yang mana retaliasi ingin diterapkan. Menurut Pasal 22 DSU Agreement WTO dikemukakan bahwa ganti kerugian dan penangguhan konsesi atau kewajiban lainnya merupakan tindakan sementara yang 1 Kementrian Luar Negeri, World Trade Organization (WTO) (daring), 2015, < ultilateral&l=id>, diakses pada 21 Oktober

2 diberikan apabila rekomendasi dan keputusan tidak dilaksanakan dalam jangka waktu yang wajar. 2 Bila permintaan ganti rugi ini tidak dapat dilaksanakan oleh pihak yang tergugat maka pihak penggugat dapat melakukan tindakan retaliasi. 3 Tidak semua kasus yang diselesaikan dalam proses penyelesaian sengketa WTO diselesaikan melalui proses retaliasi. Negara yang memenangkan sengketa belum tentu memiliki keberanian untuk mengajukan tindakan retaliasi meskipun negara yang kalah tidak mau melaksanakan keputusan DSB hingga batas waktu yang telah ditentukan. 4 Sejalan dengan hal tersebut, negara yang dijatuhi tindakan retaliasi pun belum tentu dapat melaksanakan retaliasi karena kondisi perekonomian negara tersebut yang tidak memungkinkan untuk melaksanakan retaliasi. Retaliasi pada sampai saat ini, telah dilakukan oleh beberapa negara maju anggota WTO, yaitu Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Australia dalam kasus European Communities-Regime for the Importation, Sale and Distribution of Bananas, European Communities-Measures Concerning Meat and Meat Products (Hormones), Australia-Measures Affecting the Importation of Salmon. 5 Dari beberapa kasus tersebut retaliasi terpaksa dilakukan karena pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan dan rekomendasi DSB sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan. Akan tetapi, sampai saat ini belum ada Negara berkembang yang berani dan berhasil melakukan retaliasi ditambah lagi jika pihak yang diajukan untuk dilakukan retaliasi adalah Negara maju. Sebagai contohnya, Ekuador melawan Uni Eropa pada sengketa banana serta Indonesia-Amerika Serikat dalam 2 D. Palmeter dan Petros C. Mavroidis, 2004, Dispute Settlement in The World Trade Organization, Cambridge University Press, New York, pp F.J Palawi, Retaliasi dalam Kerangka Penyelesaian WTO (daring), 2007, < diakses pada 21 Oktober William J Davey, 2005, The WTO Dispute Settlement System: How Have Developing Countries Fared?, Illinois Public Law and Legal Theory Research Paper Series, Research Paper No.05-17, p Peter Van den Bossche, 2005, The Law and Policy of the World Trade Organization: Text, Cases and Materials, Cambridge University Press, USA, p

3 sengketa rokok kretek. Jangankan melaksanakan, mengajukan permintaan penjatuhan retaliasi pun seakan tidak berani meskipun negara berkembang dan negara kurang maju tersebut memenangkan sengketa pada proses penyelesaian sengketa WTO. Hal ini terjadi pada Indonesia sebagai contoh Negara berkembang yang tidak melakukan tahapan retaliasi dalam sengketa perdagangan internasional dengan Amerika Serikat dalam sengketa rokok kretek. Berdasarkan rekomendasi Panel Sengketa WTO, Panel memutuskan memenangkan gugatan Indonesia, Section 907 dari Family Smoking Prevention and Tobacco Control Act dengan menyebutkan bahwa Amerika Serikat terbukti melanggar aturan WTO dengan melarang penjualan dan peredaran rokok kretek namun membebaskan rokok menthol, 6 sampai pada tahap akhirnya Indonesia diberikan hak untuk melakukan retaliasi dan tetap Indonesia tidak mengimplementasikannya. Kasus Indonesia bisa menjadi contoh pembuktian dimana prosedur pelaksanaan retaliasi memang sulit untuk dilakukan oleh Negara anggota, terlebih lagi bagi Negara berkembang. Oleh sebab itu, penulis ingin meneliti mengenai mengapa mekanisme retaliasi dalam kerangka penyelesaian sengketa dagang di WTO sulit untuk diimplementasikan meskipun sudah ada aturan jelas mengenai tahapan pelaksanaan retaliasi yang seharusnya bisa dilakukan oleh setiap Negara anggota yang bersengketa. II. RUMUSAN MASALAH Dalam penelitian yang berjudul Retaliasi dalam Kerangka Penyelesaian Sengketa Dispute Settlement Mechanism (DSM) World Trade Organization (WTO) dan berdasarkan penjelasan di atas, maka penulis menarik sebuah rumusan masalah, yaitu: 6 A. Kamaludin, Kata Data (Business Insight), Sengketa Diakhiri AS tetap Tolak Rokok Kretek Indonesia (daring), 2014, < diakses pada 22 Desember

4 Mengapa mekanisme retaliasi dalam kerangka penyelesaian sengketa DSM WTO seringkali sulit untuk diimplementasikan terutama bagi Negara berkembang? Dan untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis mencoba mengkaji mekanisme retaliasi dalam kerangka penyelesaian sengketa DSM WTO melalui satu kasus antara Negara berkembang dengan Negara maju yaitu kasus antara Indonesia dengan Amerika Serikat mengenai sengketa rokok kretek yang terjadi pada tahun lalu. III. TUJUAN PENELITIAN Penelitian dan penulisan tesis ini secara umum dimaksudkan untuk mengkaji dan memberi gambaran objektif mengenai implementasi retaliasi dalam kerangka penyelesaian sengketa Dispute Settlement Mechanism (DSM) WTO dalam contoh kasus sengketa dagang rokok kretek antara Indonesia dan Amerika. Penulisan tesis ini juga bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai tahaptahap retaliasi dalam aturan WTO yang bisa dilakukan suatu Negara dalam menghadapi sengketa dalam dunia internasional. Tesis ini mampu mengkaji dan memberikan gambaran objektif mengenai mekanisme retaliasi dalam kerangka penyelesaian sengketa DSM WTO yang nyatanya sulit untuk diimplementasikan. IV. TINJAUAN LITERATUR Prosedur penyelesaian sengketa dagang dalam WTO diatur dalam artikel XXII dan XXIII GATT 1994 dan Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes (DSU). (Article XXII dan XXIII GATT 1994 dan Artikel 4 DSU). Salah satu jalan keluar dan merupakan upaya terakhir dalam penyelesaian sengketa, apabila pihak pelanggar tidak dapat melaksanakan rekomendasi DSB dikenal sebagai tahap retaliasi 7 atau penangguhan konsesi. 7 Retaliation: Action taken by a country whose exports are adversely affected by the raising of tariffs or other trade restricting measures by another country. The GATT permits an adversely affected contracting party (CP) to impose limited restraints on imports from another CP that has raised its trade barriers (after consultations withcountries whose trade might be affected). In theory, the volume of trade affected by such retaliatory measures should approximate the value 4

5 Sebelum WTO terbentuk pada tahun 1995, di dalam kerangka GATT telah dikenal pula instrumen retaliasi. Di dalam kerangka GATT, retaliasi berarti adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh suatu Negara dimana ekspor dari negara tersebut terkena imbas kenaikan tarif masuk dan hambatan perdagangan lainnya yang dilakukan oleh pemerintah negara lain. GATT mengijinkan negara yang merasa dirugikan untuk melakukan tindakan pembalasan secara terbatas kepada negara lain yang menjadi penyebab kerugian perdagangan, namun hal ini dilakukan setelah konsultasi dengan negara-negara anggota lainnya atau negaranegara yang mengalami nasib yang sama akibat tindakan dari suatu negara tersebut. Dalam teorinya volume perdagangan yang terkena tindakan retaliasi nilainya harus diperkirakan sama dengan nilai proteksi impor yang diberlakukan oleh negara yang mana retaliasi ingin diterapkan. 8 Namun, dalam praktek di WTO, instrumen retaliasi sungguh jarang dilakukan oleh Negara anggota. Hal ini dikarenakan banyak hal yang melatarbelakangi tidak dilakukannya retaliasi di antara anggota WTO. Oleh karena itu, tinjauan literatur penelitian ini meliputi tiga isu penting yakni: a) Keefektifan mekanisme retaliasi sebagai bagian dari kerangka penyelesaian sengketa WTO. Prasukma Kristioadi (2012) dalam penelitiannya mengenai analisa yuridis terhadap tindakan retaliasi dalam sistem penyelesaian sengketa WTO (World Trade Organization) menjelaskan tentang tinjauan umum mekanisme retaliasi yang diatur dalam GATT dan WTO. Dari mekanisme tersebut, dijelaskan pula mengenai alasan retaliasi kembali diatur dalam Pasal 22 DSU serta penerapannya setelah WTO terbentuk, implikasi dari tindakan retaliasi bagi negara berkembang khususya Indonesia dalam kaitannya dengan kepentingan perdagangan internasional. Dalam penelitiannya, Prasukma (2012) ini juga membahas tentang of trade affected by the precipitating change in import protection. Dikutip dari Freddy Josep Pelawi, Retaliasi dalam Kerangka Penyelesaian Sengketa WTO, Bulletin KPI Edisi 46/KPI/ Freddy Josep Pelawi, Retaliasi dalam Kerangka Penyelesaian Sengketa WTO, Bulletin KPI Edisi 46/KPI/2007, p. 2. 5

6 tinjauan umum WTO dan pengaturan WTO dalam bidang perdagangan internasional khususnya di bidang penyelesaian sengketa, termasuk di dalamnya dibahas mengenai pembentukan WTO yang bertujuan untuk menyempurnakan sistem perdagangan internasional yang diatur dalam GATT. Terkait dengan penyelesaian sengketa, penelitian ini membahas mengenai faktor penyebab timbulnya sengketa perdagangan internasional serta bagaimana WTO menyelesaikan sengketa tersebut terhadap negara secara umum dan ketentuan khusus bagi negara berkembang, yaitu mulai dari konsultasi dan cara damai, panel, banding, serta pengawasan terhadap pelaksanaan putusan. Terkait dengan pembahasan retaliasi, penelitian ini hanya membahas tentang mekanisme retaliasi dalam sistem GATT dan WTO, serta perbedaan retaliasi dalam WTO dan GATT dan terkait dengan penerapan retaliasi. Senada dengan penelitian Prasukma (2012), Dewi Krisna (2013) dalam penelitiannya mengenai retaliasi dalam World Trade Organization (WTO) sebagai bentuk perlindungan hukum dalam ranah perdagangan, Dewi menjelaskan bagaimana proses pelaksanaan retaliasi yang pernah dilakukan oleh negara-negara anggota WTO. Pada penelitian ini juga diuraikan hambatan-hambatan yang dihadapi oleh negara Indonesia sebagai bagian dari anggota WTO beserta pengaruh dan manfaat dari sistem retaliasi bagi negara Indonesia. Menurut Dewi Krisna (2013), aturan yang dibuat didalam DSU mengenai retaliasi menyatakan bahwa tujuan mekanisme penyelesaian sengketa adalah untuk memperoleh cara penyelesaian perselisihan yang positif. Cara penyelesaian yang diterima timbal balik oleh para pihak dalam perselisihan dan sesuai dengan persetujuan tersebut jelas lebih disukai. Bila tidak terdapat cara penyelesaian perselisihan yang disepakati bersama, tujuan pertama dari mekanisme penyelesaian perselisihan biasanya adalah untuk memastikan penarikan tindakan yang diketahui tidak sesuai dengan ketentuan dalam setiap persetujuan WTO. Akan tetapi pada kenyataannya sanksi retaliasi ini amat jarang digunakan oleh negara berkembang karena implementasinya terkadang justru memberatkan negara berkembang meskipun mekanisme retaliasi ini sebagai bentuk dari perlindungan hukum bagi Negara yang sedang bersengketa. 6

7 Menyempurnakan dan menambahkan pendapat dari penelitian sebelumnya mengenai mekanisme pelaksanaan retaliasi, Freddy J.P (2012) dalam penelitiannya mengenai perdebatan retaliasi dalam sengketa penyelesaian sengketa WTO, mengatakan bahwa retaliasi dalam praktek pelaksanaannya sangat rumit dan baru beberapa Negara maju seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa saja yang sudah berhasil melaksanakannya. Indonesia sebagai Negara berkembang dan ingin memajukan perekonomiannya, khususnya dalam hal ini di bidang perdagangan harus memiliki sikap tegas dalam pergaulan internasional. Meskipun unsur politis sangat kuat mewarnai tiap kebijakan dari Negara berkembang, dalam hal ini termasuk Indonesia, namun di sisi lain keberhasilan Indonesia dalam proses ini akan memberikan stigma positif terhadap posisi Indonesia dalam dunia internasional, khususnya dalam lingkup WTO. b) Manfaat retaliasi sebagai bagian dari kerangka penyelesaian sengketa perdagangan internasional. Meskipun dari beberapa penelitian sebelumnya menjelaskan bahwa mekanisme retaliasi nyatanya sulit untuk diimplementasikan, mekanisme retaliasi ini tentunya juga mempunyai manfaat bagi setiap Negara yang ingin dan berhasil melakukannya. Dalam penelitiannya mengenai tinjauan yuridis manfaat retaliasi sebagai bagian dari resolusi konflik perdagangan dalam sistem WTO, Benny (2011) memiliki fokus penelitian yang berbeda. Retaliasi pun dapat memberikan manfaat bagi Negara penggugat (retaliating country). Dimana Negara penggugat dapat memaksakan Negara tergugat untuk bisa segera comply dengan aturan WTO. Retaliasi juga dapat menjadi bagian tahapan untuk membuktikan bahwa Negara penggugat berani untuk bisa melawan Negara tergugat. Menurut Patricia Sarah (2015) pun, ia menyampaikan pendapatnya hampir sama dengan Benny (2011) dimana Patricia dalam penelitiannya mengenai analisis penggunaan hak retaliasi, Patricia menjelasan bahwa di dalam mekanisme retaliasi yang sulit terdapat dua tujuan retaliasi dapat dilihat melalui 2 (dua) sudut pandang, yaitu dari sudut pandang negara pelaksana retaliasi (Retaliating Country) dan negara yang dikenakan retaliasi (Non Compliance Country). Pertama dilihat dari sudut pandang non compliance country dengan meningkatkan 7

8 kepatuhan (inducing complance), dimana retaliasi dalam bentuk pengenaan sanksi selain bertujuan untuk mendorong kepatuhan, dapat juga digunakan untuk pencegahan dalam hal kemungkinan pelanggaran di masa yang akan datang. Pasal 22 ayat (2) dan (8) dari DSU menyatakan sifat sementara dari retaliasi. Sifat sementara dari retaliasi menunjukan bahwa pada dasarnya retaliasi digunakan untuk memaksa agar negara anggota melaksanakan putusan Panel DSB dan menyesuaikan kebijakan perdagangan internasional sesuai dengan ketentuan WTO. Singkatnya, sifat sementara retaliasi menunjukkan bahwa DSU memiliki preferensi yang kuat untuk peningkatan kepatuhan dan retaliasi adalah ukuran alternatif dapat diterapkan sampai kepatuhan terjadi. Kedua adalah sudut pandang retaliating country dengan mengembalikan kerugian yang hilang akibat tindakan non compliance country (rebalancing), dimana ketentuan dalam Pasal 22 ayat (4) dan (7) menunjukkan bahwa retaliasi memiliki lebih menunjukan sifatnya yang memberikan kompensasi dan bukan memberikan hukuman. Dengan adanya sifat kompensatoris tersebut, DSU mengakui tujuan lain dari retaliasi adalah untuk mengembalikan keseimbangan konsesi yang timbul dari ketidakpatuhan atau singkatnya adalah tujuan penyeimbangan. c) Retaliasi dalam praktek pelaksanaannya. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa sudah ada mekanisme dan aturan tentang sistem penyelesaian sengketa perdagangan internasional serta sudah dijelaskan beberapa tujuan dan manfaat dari aturan tersebut terutama tentang retaliasi. Akan tetapi, ada banyak pula yang berpendapat bahwa mekanisme tersebut sulit untuk dilakukan, karena sampai saat ini mekanisme retaliasi amat jarang dilakukan oleh Negara anggota apalagi negara berkembang melawan Negara maju. Meskipun dalam sengketa dagang tersebut Negara sudah diberikan hak untuk melakukannya, namun kebanyakan dari negara tersebut memilih untuk mengurungkan niatnya. Sebagai contoh adalah negara Ekuador dalam kasus Banana dengan Uni Eropa. Seperti yang dijelaskan I.G.K Catur Bimantara (2013) dalam penelitiannya Catur menjelaskan tentang keputusan Ekuador akhirnya untuk tidak melakukan retaliasi silangnya. Dimana Ekuador merupakan satu-satunya negara Amerika Latin yang mendapatkan otorisasi 8

9 retaliasi silang dari WTO sejumlah US$ 201,6 juta per tahunnya. Walapun Ekuador tidak mengimplementasikan hak retaliasi silangnya, UE mengubah rezim impor pisangnya dengan menghilangkan kuota pada negara ACP secara gradual. Sepanjang tahun merupakan transisi perubahan rezim dan hingga tahun 2012 penetapan kouta bagi negara ACP telah dihilangkan. Perubahan dalam rezim pisang Uni Eropa tentunya menguntungkan bagi sejumlah negara eksportif pisang, termasuk Amerika Serikat dan Ekuador. Dalam hal ini kemudian dapat dianalisis beberapa hal yang menjadi faktor pendorong UE mengubah rezim pisangnya. Adanya Amerika Serikat yang juga mendapatkan otorisasi retaliasi silang akan memberikan tekanan bagi Uni Eropa. Amerika Serikat berupaya untuk melindungi perusahaan asal AS yang menjadi eksportir pisang ke Uni Eropa. Terkait beberapa faktor tersebut terlihat bahwa walaupun tidak menggunakan hak retaliasinya Ekuador dapat menikmati hasil perubahan rezim pisang Uni Eropa karena adanya faktor pendorong lain. Dari kasus ini dapat kita lihat bahwa pada kenyataannya, walaupun telah ada mekanisme retaliasi silang akan tetapi masih sulit diterapkan jika sengketa tersebut melibatkan negara maju dan negara berkembang. Salah satu langkah kemudian yang dapat ditempuh adalah dengan membentuk koalisi antara beberapa negara dengan membawa kasus yang sama, sehingga efek menekan negara pelanggar dapat lebih besar. Banyak kalangan yang juga kemudian pesimis dengan keefektifan mekanisme retaliasi ini sehingga selayaknya harus dirumuskan mekanisme yang dapat lebih menguntungkan negara berkembang dalam sistem perdagangan internasional. Berdasarkan penjelasan di atas, terbukti bahwa mekanisme retaliasi memang sulit untuk dilakukan oleh Negara berkembang dan baru Negara Ekuador dan Indonesia saja yang tidak ingin melakukan retaliasi meskipun sudah diberikan hak oleh Arbitrase untuk melakukannya sebagai bagian dalam kerangka penyelesaian sengketa WTO. Berbeda dengan penelitian di atas, penelitian ini akan lebih berfokus pada alasan Negara-negara anggota WTO terutama Negara berkembang belum berhasil melaksanakan tahapan retaliasi dalam kerangka penyelesaian sengketa dalam DSM WTO meskipun sudah diberikan hak untuk melakukannya dengan melihat 9

10 contoh kasus sengketa dagang rokok kretek antara Indonesia dengan Amerika Serikat pada kurun waktu 2009 sampai pada tahun V. KERANGKA KONSEPTUAL Retaliasi atau tindakan pembalasan di bidang perdagangan antar Negara dalam kerangka WTO dilakukan oleh suatu Negara sebagai akibat dari tidak tercapainya suatu kesepakatan dalam proses penyelesaian sengketa. Pengertian yang terdapat dalam ketentuan WTO 9, retaliasi dilakukan sebagai upaya terakhir ketika dalam suatu penyelesaian sengketa, upaya pemenuhan konsesi tidak dapat tercapai dalam jangka waktu yang telah ditentukan. 10 Dalam praktek di WTO, instrumen retaliasi sungguh jarang dilakukan oleh Negara anggota. Hal ini dikarenakan banyak hal yang melatarbelakangi tidak dilakukannya retaliasi di antara anggota WTO. Salah satu alasan yang mungkin dapat diterima adalah tingginya suatu Negara anggota kepada Negara anggota lainnya. Oleh sebab itu, untuk mendukung penjelasan terkait mekanisme retaliasi dalam kerangka penyelesaian sengketa DSM WTO yang sulit untuk diimplementasikan oleh Negara anggota khususnya Negara berkembang, penulis mencoba merangkai penjelasan hal tersebut dari sebuah contoh kasus yaitu sengketa kasus rokok kretek antara Indonesia dengan Amerika Serikat di atas dengan kerangka konseptual yang terkait dan bisa menjelaskan lebih dalam antara hubungan keduanya secara teoritis. 1. Konsep Rezim Internasional Menurut Stephen D. Krasner (1982), pengertian rezim internasional adalah suatu tatanan yang berisi kumpulan prinsip, norma, aturan, proses pembuatan keputusan yang bersifat eksplisit maupun implicit dan saling 9 Action taken by a country whose exports are adversely affected by the raising of tarrifs on trade restricting measures by another country. The GATT permits an adversely affected contracting party (CP) to impose limited restraints on imports from another CP that has raised its trade barriers (after consultations with countries whose trade might be affected). In theory, the volume of trade affected by such retaliatory measures should approximate the value of trade affected by the precipitating chage in import protection. 10 Artikel 22 ayat 1, DSU Agreement. 10

11 berkaitan dengan ekspektasi atau pengharapan aktor-aktor dan memuat kepentingan aktor tersebut dalam hubungan internasional. Sedangkan Donald Puchala dan Raymond Hopkins berpendapat bahwa rezim ada di setiap substantif isu-area dalam hubungan internasional di mana pun ada keteraturan dalam perilaku, beberapa jenis prinsip, norma atau harus ada aturan untuk menjelaskannya. Dalam perkembangannya, Stephen Haggard dan Beth A. Simmons (1987) mengatakan bahwa selama sepuluh tahun terakhir, rezim internasional muncul sebagai fokus terpenting dan utama dari hasil penelitian secara empiris dan debat teoritis di dalam hubungan internasional. 11 Akan tetapi, menurut Young ada beberapa komponen dasar yang terdapat dalam sebuah rezim, yaitu konsep subtantif, prosedural dan implementasi. Pertama, komponen subtantif menetapkan hak-hak dan aturan-aturan rezim. Kedua, komponen prosedural merupakan pengaturan yang telah diakui bersama, menyangkut cara-cara mengambil pilihan kolektif dalam keadaan yang membutuhkan penyelesaian bersama. Sedangkan ketiga, yaitu implementasi, mengacu pada mekanisme-mekanisme dalam rezim yang dapat membuat para anggotanya patuh pada kepentingan yang telah dicapai bersama. 12 Rezim ini dibentuk oleh kedua negara untuk mengatur kerjasama agar menjadi lebih efektif mengingat tingkat interdependensi antar kedua negara yang semakin rumit dan kompleks. Oleh karena itu, dibentuknya rezim internasional merupakan sebuah upaya untuk menciptakan kerangka kerjasama internasional dan untuk memfasilitasi proses pembuatan kebijakan yang dapat dilakukan bersama. Berdasarkan Donald J. Puchala dan Raymond F. Hopkins yang juga mendukung 11 T. Haggard & Beth A. Simmons, 1987, Theories of International Regimes, International Organization, Vol. 41, No. 3 (Summer, 1987), pp Oran R. Young, 1982, Regime Dynamics: The Rise And Fall Of International Regimes, dalam International Organization, Vol. 36, No. 2, International Regimes,published by The MIT Press,. pp

12 pernyataan Oran, menyatakan bahwa rezim internasional mempunyai 5 ciri utama, yaitu: 13 a) Rezim mempunyai kemampuan untuk membentuk perilaku kepatuhan terhadap prinsip-prinsip, norma dan aturan. Rezim bersifat subjektif, dia hanya bisa eksis berdasarkan pemahaman, ekspektasi dan keyakinan para partisipannya mengenai legitimasi, kelayakan atau perilaku yang bermoral; b) Rezim internasional dapat menciptakan mekanisme atau prosedur bagi pembuatan kebijakan. Karakteristik ini menunjukkan bahwa rezim internasional bukan hanya sekedar berisikan norma substantif. Tapi lebih dari itu, rezim internasional adalah tentang bagaimana prinsip-prinsip tersebut dibuat yang melibatkan unsur-unsur seperti siapa partisipannya, kepentingan apa yang mendominasi atau yang menjadi prioritas dan aturan apa yang dapat melindungi dari dominasi dalam proses pembuatan kebijakan; c) Sebuah rezim selalu mempunyai prinsip-prinsip yang dapat menguatkannya, sebagaimana halnya sebuah norma dapat menetapkan kebenaran dan melarang perilaku yang menyimpang; d) Dalam setiap rezim selalu terdapat aktor yang berperan di dalamnya. Partisipan (aktor utama) dalam kebanyakan rezim internasional adalah pemerintahan negara-bangsa, akan tetapi tidak menutup kemungkinan juga ada dari aktor-aktor non-negara. Peran mereka sebagai partisipan sangat krusial, yakni menciptakan, menjalankan dan mematuhi aturan yang telah dibuat; e) Eksistensi rezim internasional adalah untuk mencocok nilai-nilai, tujuantujuan, dan prosedur pembuatan kebijakan yang dapat mengakomodir kepentingan dan kebutuhan semua partisipan. Dalam hubungan internasional, bentuk-bentuk kerjasama internasional bermacam-macam, ada yang dibuat dalam spektrum yang paling rendah (tidak 13 Donald J. Puchala & Raymond F. Hopkins, 1982, Internationalregimes: lessons from inductive analysis, dalam International Organization,Vol. 36, No. 2, International Regimes, published by The MIT Press,. pp

13 mengikat) sampai yang paling kuat (mengikat). Untuk mengetahui apakah perjanjian itu mengikat atau tidak, salah satu caranya bisa dilakukan dengan menganalisis teks perjanjanjian yang dihasilkan didalam kesepakatan yang ada dengan tujuan untuk mengetahui derajat kerjasama suatu perjanjian internasional yang disebut sebagai tingkat legalisasi. Menurut Judith Goldstein dkk menyatakan bahwa bentuk legalisasi sebuah perjanjian merupakan salah satu bagian yang sangat vital untuk mengukur efektifan produk hukum yang dihasilkan oleh suatu organisasi internasional. 14 Jika semakin tinggi tingkat legalisasi (hard law) suatu perjanjian kerjasama, maka perjanjian dalam kerjasama tersebut semakin mengikat, namun sebaliknya jika tingkat legalisasinya rendah (soft law) maka dapat dikatakan perjanjian itu kurang mengikat yang secara teoritis implementasinya akan cenderung kurang efektif. 15 Dalam konsep legalisasi menurut Abbot dkk ada tiga ukuran untuk menilai apakah perjanjian itu berbentuk hard law atau soft law, yaitu: Kewajiban (obligation), ketepatan (precision) dan delegasi (delegation). 16 Kewajiban (obligation) dapat diartikan sebagai keterikatan suatu negara untuk memenuhi kewajiban atau komitmen yang tertera dalam sebuah perjanjian. Dengan demikian perilaku negara dibatasi oleh seperangkat aturan atau komitmen yang telah disusun dan disepakatinya. 17 Derajat kepatuhan (obligasi) sebuah perjanjian internasional dapat diukur dari adanya indikator yang menunjukkan derajat dari yang tinggi (high) sampai rendah (low) dalam legalisasi dari suatu perjanjian kerjasama sangat penting, karena semakin tinggi tingkat legalisasi suatu perjanjian maka akan mendorong negara untuk patuh terhadap perjanjian tersebut dan 14 Judith, Goldstein.Dkk, 2000, Introduction: Legalization and World Politics dalam International Organization Journal: Legalization and World Politics. Vol. 54 No.3. Summer 2000., p Fuat Albayumi, 2012, Soft Law Sebagai Sebuah Strategi: Studi Kasus Piagam Asean (ASEAN Charter), Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional Vol. 12, No. 2, pp Abbot, dkk, 2000, The Concept of Legalization dalam International Organization Journal: Legalization and World Politics. Vol. 54 No.3. Summer 2000., p Fuat Albayumi, 2012, Soft Law Sebagai Sebuah Strategi: Studi Kasus Piagam Asean (ASEAN Charter), Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional Vol. 12, No. 2, p

14 sebaliknya jika tingkat legalisasinya rendah maka negara berhak untuk tidak mematuhi perjanjian yang disepakati. Hal ini merupakan konseksuensi yang muncul dari dibuatnya sebuah perjanjian internasional yaitu tentang perilaku para partisipan yang menyepakatinya untuk konsisten dalam memenuhi semua kesepakatan yang dibuat dalam perjanjian internasional tersebut. Perjanjian kerjasama yang disepakati kedua negara harus memiliki bentuk yang dapat dipahami kedua negara. Dalam situasi seperti ini, tentunya dibutuhkan upayaupaya kooperatif dari masing-masing negara anggota yang membuat perjanjian internasional. Bentuk dari upaya kooperatif yang dimaksud adalah kepatuhan (compliance) terhadap kesepakatan. Dengan terlibatnya suatu negara dalam sebuah perjanjian internasional, negara tersebut cenderung akan mengubah sikapnya menyesuaikan atuan-aturan yang berlaku, juga hubungan dan pengharapannya terhadap satu sama lain dari waktu ke waktu sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat. Menurut Abram Chayes dan Antonia Handler Chayes (1995) telah menegaskan ada 3 (tiga) alasan utama yang mendorong sebuah negara mengambil tindakan untuk mematuhi perjanjian internasional, yaitu: efisiensi, kepentingan dan norma. Pertama faktor efisiensi. Efisiensi merupakan biaya yang harus dikeluarkan oleh negara dalam upayanya untuk mematuhi sebuah perjanjian. Negara menghitung biaya dan keuntungan sebuah perjanjian melalui proses penghitungan dan analisis. Sehingga didapatlah sebuah hasil yang akan menjadi pertimbangan. Karena pada dasarnya pembuatan suatu perjanjian akan mengeluarkan transactional cost yang tidak sedikit. Kedua faktor yang mempengaruhi kepatuhan negara adalah kepentingan. Negara akan diri ikut serta dalam sebuah perjanjian yang dinilai sesuai dengan kepentingan nasionalnya. Apabila tidak sesuai dengan kepentingan nasionalnya, negara tidak perlu mengikatkan diri pada sebuah perjanjian. Karena pada dasarnya, sebuah perjanjian dinilai sebagai alat pemenuh national interest dari negara. Didukung dengan pendapat kaum realis yang menganggap jika kepentingan nasional adalah hal penting yang menyebabkan negara mengikatkan 14

15 diri dan mematuhi sebuah perjanjian. Asumsi tersebut berasal dari fakta bahwa setiap negara mempunyai kepentingan nasionalnya masing-masing. 18 Sedangkan faktor yang ketiga adalah norma. Dalam hukum, terdapat istilah pacta sunt servanda yang memiliki arti perjanjian ada untuk dipatuhi. Maksud dari istilah tersebut adalah sebuah perjanjian memiliki kekuatan legal untuk dipatuhi oleh negara-negara yang telah meratifikasi perjanjian tersebut. Secara normatif perjanjian internasional sering kali diakui sebagai sesuatu yang mengikat (legally binding) bagi negara yang telah meratifikasinya. Sehingga dengan begitu perjanjian internasional adalah norma hukum yang harus dipatuhi. Sebagaimana halnya prinsip dasar dari hukum internasional yakni pacta sunt servanda hukum harus dipatuhi. Faktor-faktor inilah yang menjadi asumsi dasar kecenderungan untuk mematuhi sebuah kesepakatan. Begitu pula dengan World Trade Organization (WTO) sebagai rezim internasional yang akan dibahas dalam mekanisme retaliasi dalam kerangka penyelesaian sengketa DSM WTO dalam perdagangan internasional terkait contoh kasus sengketa rokok kretek antara Indonesia dan Amerika Serikat. WTO (World Trade Organization) adalah organisasi yang berbasiskan aturan-aturan main atau rules yang merupakan hasil perundingan. Aturan tersebut disebut juga perjanjian atau kesepakatan (agreements). Di atas kertas, perjanjian tersebut haruslah dihasilkan dari serangkaian perundingan yang dilakukan oleh semua Negara anggotadan mencerminkan kebutuhan anggota (member driven). Prosedur WTO menekankan pentingnya kepatuhan terhadap hukum WTO dan membuat sistem perdagangan jadi lebih aman dan dapat diprediksi. Sistem WTO didasarkan pada suatu peraturan yang jelas dan jadwal waktu tertentu untuk menyelesaikan suatu kasus. Kesepakatan WTO mengenai penyelesaian sengketa (Understanding on Rules dan Procedures Governing the Settlement of Disputes/DSU) menandai dimulainya proses yang lebih terstruktur dan tahaptahap prosedur yang lebih jelas. 18 Abram Chayes dan Antonia Handler Chayes, 1995, The New Sovereignty: Compliance with International Regulatory Agreements, Cambridge; Harvard University Press,. pp

16 Negara-negara anggota WTO telah sepakat bahwa jika ada negara anggota yang melanggar peraturan perdagangan WTO, negara-negara anggota tersebut akan menggunakan sistem penyelesaian multilateral dari pada melakukan aksi sepihak. Ini berarti negara-negara tersebut harus mematuhi prosedur yang telah disepakati dan menghormati putusan yang diambil. Negara yang telah melanggar aturan WTO karena menetapkan aturan perdagangan yang tidak konsisten dengan WTO harus segera mengkoreksi kesalahannya dengan menyelaraskan aturannya dengan aturan WTO. Jika negara tersebut masih saja melanggar aturan WTO, maka negara penggugat berhak mengajukan permintaan kepada Dispute Settlement Body (DSB) untuk melakukan negosiasi dengan negara tergugat dalam menyepakati kompensasi. Jika tidak tercapai kesepakatan dalam penentuan kompensasi, negara penggugat dapat meminta otorisasi dari DSB untuk melaksanakan retaliasi. Retaliasi dimaksudkan sebagai upaya terakhir (last resort) dengan tujuan agar negara pelanggar memperbaiki tindakannya agar sesuai dengan kewajibannya sebagai anggota WTO. Penerapan retaliasi biasanya dalam bentuk peningkatan drastis pengenaan bea masuk (tarif) pada produk-produk tertentu kepentingan ekspor dari negara pelanggar. 19 Meskipun telah sampai pada tahap retaliasi, kadang kala masih saja suatu Negara (tergugat) tidak mematuhi aturan atau comply dengan aturan WTO sebagai rezim perdagangan internasional. Di bawah ini merupakan bagan dari proses penyelesaian sengketa di WTO sebelum sampai akhirnya Negara yang bersengketa mencapai tahap retaliasi, yaitu: 19 Nandang Sutrisno, Pemajuan kepentingan Negara-negara Berkembang Dalam Sistem WTO, IMR Press, Cianjur 2012, p

17 Bagan 1.1 Proses Penyelesaian Sengketa dalam WTO: A. Alavi, Legalization of Development in The WTO; Between Law and Politics, (The Netherlands: Kluwer Law International, 2009), p

18 Konsep Retaliasi Retaliasi merupakan suatu tindakan suatu Negara dalam menangguhkan konsesi atau kemudahan yang telah diberikan kepada negara lain dan telah dinikmatinya, sebagai balasan akibat adanya tindakan atau kebijakan perdagangan dari Negara lain tersebut merugikan kepentingan perdaganganya. Retaliasi dilakukan sebagai upaya terakhir ketika dalam suatu penyelesaian sengketa, upaya pemenuhan konsesi tidak dapat tercapai dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Hal ini diatur dalam Pasal 22 Dispute Settlement Understanding. 21 Retaliasi termasuk dalam fase keempat dalam penyelesaian sengketa WTO, yaitu fase implementasi, dimana ini merupakan tahap terakhir yang tentunya sudah harus melewati tahap panjang sebelumnya. 22 Dalam kasus negara berkembang melawan negara maju di WTO, negara berkembang kerap mengalami kesulitan untuk menekan negara maju kembali menaati konsesi yang dilanggarnya. 23 Negara berkembang dianggap lebih merugikan diri sendiri jika mereka melakukan retaliasi pada negara maju secara ekonomi. 24 Implementasi retaliasi dalam taraf tertentu merugikan negara penuntut, namun seringkali ancaman implementasi retaliasi sendiri dapat menekan negara pelanggar kembali mematuhi prinsip perdagangan bebas. Hal inilah yang terjadi kepada Indonesia melawan Amerika Serikat dalam sengketa rokok kretek. 21 D.K Hardjanti, Retaliasi World Trade Organization (WTO) sebagai Bentuk Perlindungan Hukum dalam Ranah Perdagangan Internasional (daring), 2013, < w&typ=html&buku_id=63615>, diakses pada 11 Desember Pauwelyn, J. 2010, The Calculation and Design of Trade Retaliation in Context: What is the Goal of Suspending WTO Obligations?, dalam Bown, CP & Pauwelyn, J 2010 (eds), The Law, Economics and Politics of Retaliation in WTO Disputes Settlement, Cambridge University Press, New York, p Bown, CP. 2009, Self Enforcing Trde Developing Countries and WTO Dispute Settlement, Brooking Instituion Press, Washington D.C. pp Zimmermann, TA, 2006, Negotiating The Review of the WTO Dispute Settlement Understanding, Cameron May, London, p

19 Retaliasi dalam praktek pelaksanaannya sangat rumit dan baru beberapa negara maju seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa saja sudah berhasil melaksanakannya, dikarenakan persoalan implementasi itu tidak mudah dan ada hubungannya dengan persoalan politis. Dalam kerangka WTO, retaliasi sebagai instrument resolusi konflik harus mengakomodasi kepentingan dari seluruh negara anggota WTO. Namun faktanya, proses retaliasi amat jarang dilakukan oleh negara anggota. Hal ini disebabkan oleh adanya latar belakang yang bersifat politis dan juga adanya kepentingan ekonomi. Oleh karenanya, Indonesia sebagai negara berkembang mengurungkan niat dalam melakukan penengakkan hukum yang menyangkut proses retaliasi. 25 Tahap yang panjang dan memerlukan waktu yang lama sebelum dan sampai pada tahap implementasi retaliasi menjadikan hal ini salah satu fakor penyebab proses penyelesaian sengketa ini dikatakan tahap yang rumit, karena pada dasarnya terdapat empat fase dalam proses penyelesaian sengketa dalam Dispute Settlement Mechanism (DSM) di WTO, yaitu: Tabel 1.1 Tahapan Penyelesaian Sengketa WTO No Tahapan (Proses) Waktu yang dibutuhkan (Hari) 1 Konsultasi 60 2 Proses Panel dan Hasil Putusan Panel 45 dan Proses Banding Pengawasan Implementasi 30 Total Sumber: World Trade Organization (WTO) 405 Hari Secara keseluruhan jika dapat dihitung, waktu yang dihabiskan oleh suatu negara (Indonesia) untuk melakukan retaliasi yaitu satu tahun lebih, itu belum termasuk waktu yang dihabiskan untuk menunggu realiasasi dari Negara tergugat 25 Freddy Joseph Pelawi, Retaliasi Dalam Kerangka WTO, KPI, Buletin 46, 2007, p

20 untuk mengajukan banding atau mengharmonisasikan aturan domestiknya sesuai aturan WTO. Setelah Panel memustuskan bahwa Indonesia memenangkan sengketa rokok kretek tersebut, Amerika Serikat merasa tidak puas dengan keputusan Panel sehingga Amerika mengajukan banding kepada Appellate Body untuk memeriksa kembali apakah putusan Panel tersebut sudah cukup benar. Nyatanya pun, hasilnya tetap sama. Appellate Body tetap memutuskan dan memastikan bahwa keputusannya untuk memenangkan Indonesia dalam sengketa rokok tersebut memang benar dan Indonesia diberikan hak untuk melakukan retaliasi. Ketika suatu sengketa telah diputuskan oleh Panel dan Appelate Body WTO, maka negara pelanggar diperintahkan untuk memperbaiki atau mengubah pelanggarannya terhadap prinsip WTO. Negara penuntut berhak untuk meminta dibentuknya compliance panel untuk menilai apakah negara pelanggar telah memenuhi keputusan Panel dan Appelate Body. Jika Compliance Panel memutuskan bahwa negara pelanggar belum mengubah praktek dagangnya sesuai keputusan, maka negara penuntut berhak untuk meminta hak retaliasi pada Panel Arbitrasi. Berdasarkan Pasal 22.3 dari DSU yang mendeskripsikan retaliasi, secara sederhana retaliasi dapat dibagi menjadi 3 jenis 26, yaitu: 1. Parallel Retaliation: negara penuntut harus melakukan retaliasi pada negara pelanggar dalam sektor perdagangan yang sama di mana pelanggaran terjadi. Retaliasi jenis ini tidak terbatas menaikkan tarif bagi komoditas sejenis, tetapi juga bisa dalam bentuk meminta ganti rugi dengan sejumlah uang yang setara dengan jumlah kerugian. 2. Cross sector Retaliation: Negara penuntut dapat melakukan retaliasi pada negara pelanggar dalam sektor berbeda di bawah perjanjian yang sama, jika retaliasi dalam sektor yang sama terbukti tidak efektif. 26 Bown, CP. 2009, Self Enforcing Trde Developing Countries and WTO Dispute Settlement, Brooking Instituion Press, Washington D.C. pp

21 3. Cross Agreement Retaliation: Jika situasi dianggap cukup serius dan retaliasi beda sektor dianggap tidak efektif, maka negara penuntut dapat melakukan retaliasi pada negara pelanggar dalam perjanjian perdagangan yang berbeda. Akan tetapi pada kenyataannya sanksi atau retaliasi ini juga kemudian jarang digunakan oleh negara berkembang karena implementasinya terkadang justru memberatkan negara berkembang. Kemudian masalah muncul dari proses penyelesaian sengketa rokok kretek ini, karena hak retaliasi yang diberikan Appellate Body kepada Indonesia nyatanya tidak dilakukan oleh Indonesia. Indonesia lebih memilih menutup kasus ini dengan Amerika Serikat. Kerumitan implementasi retaliasi inilah salah satu yang menyebabkan Indonesia tidak melakukan retaliasi atas sengketa rokok kretek tersebut. Dalam proses menuju tahap retaliasi yang ingin dilakukan, Indonesia sebagai Negara penggugat harus melakukan beberapa tahap yang harus dilalui, yaitu: Tabel 1.2 Ketentuan Pelaksanaan Retaliasi WTO Tahapan Ketentuan dan Kewajiban Pertama Setelah dinyatakan menang dalam keputusan Panel dan Arbitrase WTO setelah melewati fase banding, Retaliating Country yang ingin melakukan retaliasi harus meminta kajian kepada ahli (experts) untuk bisa memberikan perhitungan keuntungan dan kerugian yang dialami jika melakukan retaliasi Kedua Sebagai salah satu tindakan formal, beban pembuktian seperti yang sudah tertera dalam Pasal 22 ayat (6) untuk proses Arbitrase sama halnya dari beban pembuktian dalam proses Panel di WTO. 21

22 Baik Negara anggota yang dianggap bertindak sesuai dengan kewajibannya dalam WTO maupun yang dianggap sebaliknya, memiliki beban pembuktian yang sama. Terkait dengan permintaan otorisasi pelaksanaan retaliasi, Arbiter biasanya akan meminta Retaliating Country untuk memberikan laporan perhitungan metodologis mengenai apa saja yang akan dikenakan tindakan retaliasi. Hal ini menjadi penting untuk diperhatikan mengingat bahaya yang akan ditimbulkan apabila retaliasi dilaksanakan hanya sebagai pemuas bagi Retaliating Country dan digunakan sebagai alat penekan bagi Non Compliance Country. Ketiga Setelah memberikan laporan, sebelum dilakukannya tindakan retaliasi, terlebih dulu para pihak harus menegosiasikan mengenai kemungkinan pengenaan kompensasi 27 selambatlambatnya sebelum berakhirnya jangka waktu yang wajar 28 pelaksanaan putusan atau rekomendasi DSB. Dari sudut pandang ekonomi, pelaksanaan kompensasi lebih tepat digunakan daripada penangguhan konsesi. Namun, kompensasi juga 27 DSU, Pasal 22 ayat (2). 28 Mengenai reasonable period of time dalam Pasal 22 ayat (1) DSU, terdapat 3 (tiga) hal yang dapat dijadikan acuan untuk menetapkan jangka waktu yang wajar, yaitu: a. Periode yang diusulkan oleh anggota yang bersangkutan, asalkan disetujui oleh DSB; b. Dalam hal tidak adanya persetujuan DSB, maka jangka waktu yang wajar ditetapkan berdasarkan waktu disepakati bersama oleh para pihak yang bersengketa dalam waktu 45 hari dari penerapan laporan; c. Dalam hal tidak ada perjanjian tersebut, periode ditentukan melalui arbitrase dalam waktu 90 hari sejak mengadopsi laporan (David Palmeter dan Petros C.Mavroidids, 2004, Dispute Settlement in the World Trade Organization, Practice and Procedure, Cambridge: Cambridge University Press, p. 236). 22

23 memiliki kelemahan bagi Complainant Party terutama dari sudut pandang industri Complainant Party 29 yang terkait dengan sengketa, kelemahan tersebut adalah kompensasi berupa pengurangan hambatan tidak secara efektif menghilangkan ketidakpatuhan Defendant Party. Jika tidak ada kesepakatan mengenai kompensasi dalam waktu 20 (dua puluh) hari setelah tanggal berakhirnya jangka waktu yang wajar, pihak penggugat dapat meminta otorisasi dari DSB untuk melakukan retaliasi yang termasuk dalam Covered Agreements. 30 Keempat Apabila Complainant Party telah mengajukan permohonan otorisasi untuk melaksanakan retaliasi, maka Negara tersebut masih memerlukan jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah habisnya jangka waktu yang wajar untuk penerapan putusan atau rekomendasi DSB dan tidak adanya kesepakatan mengenai kompensasi, Indonesia baru akan menerima otorisasi pelaksanaan retaliasi dari DSB, apabila retaliasi dilaksanakan masih dalam lingkup Covered Agreements dan tidak ada penolakan secara konsensus. 31 Padahal, dalam pelaksanaan retaliasi, tidak jarang timbul sengketa mengenai seberapa jauh retaliasi boleh dilaksanakan (level of suspension), prinsip, serta prosedur retaliasi. Dalam hal terjadinya sengketa, maka dapat diselesaikan melakui Arbitrase. 32 Keputusan hasil Arbitrase ini bersifat final 29 Rumusan Pasal 22 ayat (2) DSU menggunakan istilah any party having invoked the dispute settlement procedures namun dalam tulisan ini yang dimaksud adalah pihak tergugat yang dinyatakan kalah oleh putusan DSB. 30 DSU, Pasal 22 ayat (2). 31 DSU, Pasal 22 ayat (6). 32 DSU, Pasal 22 ayat (6). 23

24 dan oleh karena itu, keputusan tersebut harus segera diberitahukan kepada DSB untuk diadopsi. 33 Setelah keputusan tersebut diadopsi dan tidak ada konsensus yang menolak pemberian otorisasi tersebut, DSB harus memberikan otorisasi kepada Complainant Party untuk melaksanakan retaliasi sesuai dengan keputusan arbitrase. Prosedur retaliasi di atas menjelaskan bagaimana kemudian kondisi suatu Negara tersebut bisa melakukan retaliasi. Kondisi tersebut didukung pula oleh bukti bahwa kebijakan dari Negara tergugat telah meyebabkan kerugian domestik yang diterima Negara penggugat serta Negara penggugat harus sudah melalui beberapa proses kerangka penyelesaian sengketa sebelumnya. Akan tetapi, kemudian ada pula beberapa kondisi yang akhirnya menyebabkan Negara penggugat (Negara berkembang) tak bisa untuk melakukan retaliasi karena sampai saat ini, belum ada Negara berkembang yang berhasil melakukannya serta retaliasi ini menjadi tahapan yang sulit dilakukan. Menurut Bown (2010), beberapa kondisi tersebut antara lain: 34 a) Sanksi yang ditimbulkan dari retaliasi oleh Negara berkembang tidak mampu mendesak Negara tergugat untuk patuh pada aturan WTO. DSM diciptakan untuk mengatasi kerugian yang ditimbulkan dari kebijakan yang tidak sesuai dengan aturan WTO, akan tetapi dalam prakteknya mekanisme retaliasi tidak mampu dilaksanakan oleh Negara berkembang yang tidak memiliki kekuatan secara hukum, politik serta ekonomi untuk bisa memaksakan Negara tergugat (Negara maju) untuk bisa mematuhi aturan yang sudah disepakati sebelumnya. 33 DSU, Pasal 22 ayat (7). 34 Chad P. Bown & Joost Pauwelyn, 2010, The Law, Economic and Politics of Retaliation in WTO Dispute Settlement, Cambridge International Trade and Economics Law, Washington D.C, pp

25 b) Negara berkembang akan membahayakan dirinya sendiri jika melakukan retaliasi dengan memberikan sanksi terhadap Negara tergugat (Negara maju). Artinya, Negara berkembang akan mendapatkan kerugian ke depannya jika melawan Negara maju, karena nuansa politis di dalamnya yang masih sangat kental. c) Peraturan retaliasi justru dapat melawan kepentingan Negara berkembang. Tujuan dari dilaksanakan retaliasi adalah untuk mendapatkan ganti rugi atas pelanggaran yang dilakukan oleh Negara lawan, akan tetapi hal ini justru akan menimbulkan masalah bagi Negara berkembang jika dilihat dari kalkulasi ekonomi yang dikeluarkan selama proses berlangsung karena biaya yang dikeluarkan suatu Negara untuk melakukan retaliasi tak sedikit. Dalam prakteknya, retaliasi nantinya hanya akan memberikan keuntungan bagi Negara berkembang yang dikategorisasikan memiliki tingkat perekonomian yang baik. Dalam kerangka penyelesaian sengketa di WTO termasuk proses retaliasi, tahapan ini nyatanya Negara penggugat memerlukan waktu dan proses yang panjang sampai akhirnya retaliasi bisa dilakukan. Setelah Negara tersebut melalui tahap retaliasi (dalam kasus ini Indonesia) dengan cara meminta sejumlah uang kepada Amerika Serikat, kepastian akan kepatuhan Amerika terhadap keputusan atas keputusan Panel masih diragukan. Hal ini pun terbukti dengan adanya keputusan Amerika Serikat tetap sama yaitu tidak ingin melakukan pembayaran ganti rugi atau comply dengan aturan WTO tersebut. Kerugian, kerumitan dan proses panjang yang harus dilewati sampai akhirnya ingin melakukan retaliasi pun tidak terlaksana. Setelah proses panjang, ukuran biaya pun menjadi pertimbangan bagi suatu Negara untuk melakukan retaliasi. Berdasarkan Peraturan Presiden (Pepres) No 54 Tahun 2010 Pasal 17, tentang pengadaan barang dan jasa, dijelaskan bahwa anggaran pemerintah dalam proses konsultasi dalam sengketa perdagangan maksimal senilai 100 Milyar Rupiah, akan tetapi dalam proses konsultasi dan kajian yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam sengketa rokok kretek menghabiskan biaya sekitar 10 25

26 Milyar Rupiah. Ini sudah menjadi bukti bahwa kebutuhan biaya akan penyelesaian suatu sengketa memang tak sedikit. Ditambah lagi, ketidakpatuhan Negara tergugat terhadap aturan yang sudah ada bahkan saat Negara penggugat sudah berusaha melanjutkan sengketa ke tahap berikutnya ditambah lagi Negara penggugat (Indonesia sebagai Negara berkembang) tidak mempunyai power untuk menekan Amerika Serikat agar patuh terhadap aturan WTO. Tak hanya itu, jika dilihat dalam kasus ini, Indonesia juga beranggapan jika retaliasi ini diteruskan dan berhasil untuk dilaksanakan, nantinya akan menyebabkan kerugian di masa depan bagi Indonesia sendiri dikarenakan kekhawatiran Indonesia terhadap perang dagang di masa depan, hubungan diplomatis yang sudah dijalin selama ini akan memburuk serta adanya tindakan pembalasan lain yang dilakukan oleh Amerika Serikat dalam sektor perdagangan atau sektor lainnya. Oleh sebab itu, banyak Negara memilih untuk tidak melakukan retaliasi dikarenakan pertimbangan-pertimbangan tersebut, karena dianggap penghentian sengketa dagang akan lebih menguntungkan dibandingkan melakukan retaliasi yang tahapannya sangat rumit dan membutuhkan biaya besar, ditambah lagi tekanan yang di dapat dari pihak ketiga serta ada kemungkinan tuntutan lain dari Negara tergugat akibat berlarut-larutnya penyelesaian sengketa pada tahap retaliasi ini. Hal itulah yang kemudian membuat Indonesia sebagai contoh Negara berkembang yang mengurungkan niatnya untuk tidak melakukan retaliasi terhadap Amerika Serikat. Dalam hal ini terbukti bahwa Indonesia cenderung memaksimalkan keuntungan yang didapat dari kesepakatan menutup sengketa ini dengan Amerika Serikat salah satunya dengan memperbolehkan peredaran produk cigars dan cigarillos (sejenis cerutu) buatan Indonesia tetap masuk ke Negara Paman Sam tersebut. VI. ARGUMEN UTAMA Implementasi retaliasi sebagai kerangka penyelesaian sengketa DSM WTO sulit untuk dilakukan, disebabkan karena dua hal antara lain: Pertama, kerumitan mekanisme retaliasi dan pertimbangan kalkulasi karena suatu negara harus melalui beberapa tahap prosedural. Tahap panjang dan 26

Artikel 22 ayat 1, DSU Agreement.

Artikel 22 ayat 1, DSU Agreement. BAB IV KESIMPULAN World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia merupakan satu-satunya badan internasional yang secara khusus mengatur masalah perdagangan antar negara. Sistem perdagangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. World Trade Organization (WTO) secara resmi berdiri pada. tanggal 1 Januari 1995 dengan disepakatinya Agreement the World

BAB I PENDAHULUAN. World Trade Organization (WTO) secara resmi berdiri pada. tanggal 1 Januari 1995 dengan disepakatinya Agreement the World BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah World Trade Organization (WTO) secara resmi berdiri pada tanggal 1 Januari 1995 dengan disepakatinya Agreement the World Trade Organization ditandatangani para

Lebih terperinci

UPAYA PENERAPAN RETALIASI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL MELALUI WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO)

UPAYA PENERAPAN RETALIASI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL MELALUI WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) UPAYA PENERAPAN RETALIASI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL MELALUI WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) Lona Puspita, Fakultas Hukum Universitas Tamansiswa Padang lovelylona0408@gmail.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. World Trade Organization (WTO) saat ini merupakan satu satunya organisasi

BAB I PENDAHULUAN. World Trade Organization (WTO) saat ini merupakan satu satunya organisasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah World Trade Organization (WTO) saat ini merupakan satu satunya organisasi internasional yang secara khusus mengurus masalah perdagangan antarnegara di dunia.

Lebih terperinci

87 gugatan terhadap Pasal 2.1 TBT Agreement. Hanya saja, DSB bersikeras menolak untuk memenangkan gugatan kedua Indonesia yakni Pasal 2.2 TBT Agreemen

87 gugatan terhadap Pasal 2.1 TBT Agreement. Hanya saja, DSB bersikeras menolak untuk memenangkan gugatan kedua Indonesia yakni Pasal 2.2 TBT Agreemen BAB V KESIMPULAN 5.1 Kesimpulan Pada tanggal 9 Juni 2009, Indonesia mengajukan permohonan pembentukan panel kepada DSB. Indonesia menggugat bahwa dalam memberlakukan Tobacco Control Act Pasal 907, Amerika

Lebih terperinci

MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL MELALUI DISPUTE SETTLEMENT BODY (DSB) WORLD TRADE ORGANIZATION

MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL MELALUI DISPUTE SETTLEMENT BODY (DSB) WORLD TRADE ORGANIZATION MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL MELALUI DISPUTE SETTLEMENT BODY (DSB) WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) (TINJAUAN TERHADAP GUGATAN INDONESIA KEPADA KOREA SELATAN DALAM PENGENAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Establishing The World Trade Organization tersebut melalui Undang-undang

BAB I PENDAHULUAN. Establishing The World Trade Organization tersebut melalui Undang-undang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia telah terlibat dalam GATT sejak tanggal 24 Februari 1950. Sebagai Negara berkembang, Indonesia telah menunjukan sikap yang positif terhadap pengaturan perdagangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai salah satu negara yang telah menjadi anggota World Trade

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai salah satu negara yang telah menjadi anggota World Trade 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sebagai salah satu negara yang telah menjadi anggota World Trade Organization (WTO), Indonesia terikat untuk mematuhi ketentuan-ketentuan perdagangan internasional

Lebih terperinci

Latar Belakang dan Sejarah Terbentuknya. WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) Bagian Pertama. Fungsi WTO. Tujuan WTO 4/22/2015

Latar Belakang dan Sejarah Terbentuknya. WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) Bagian Pertama. Fungsi WTO. Tujuan WTO 4/22/2015 WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) Bagian Pertama Hanif Nur Widhiyanti, S.H.,M.Hum. Latar Belakang dan Sejarah Terbentuknya TidakterlepasdarisejarahlahirnyaInternational Trade Organization (ITO) dangeneral

Lebih terperinci

2 b. bahwa Persetujuan dimaksudkan untuk menetapkan prosedur penyelesaian sengketa dan mekanisme formal untuk Persetujuan Kerangka Kerja dan Perjanjia

2 b. bahwa Persetujuan dimaksudkan untuk menetapkan prosedur penyelesaian sengketa dan mekanisme formal untuk Persetujuan Kerangka Kerja dan Perjanjia LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.93, 2015 PENGESAHAN. Agreement. Asosiasi Bangsa- Bangsa Asia Tenggara. Republik India. Penyelesaian Sengketa. Kerja Sama Ekonomi. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakefektifan penyelesaian sengketa

BAB III PENUTUP. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakefektifan penyelesaian sengketa 64 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian penulis, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakefektifan penyelesaian sengketa DSB WTO dalam

Lebih terperinci

NASKAH PENJELASAN PROTOCOL TO THE ASEAN CHARTER ON DISPUTE SETTLEMENT MECHANISM (PROTOKOL PIAGAM ASEAN MENGENAI MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA)

NASKAH PENJELASAN PROTOCOL TO THE ASEAN CHARTER ON DISPUTE SETTLEMENT MECHANISM (PROTOKOL PIAGAM ASEAN MENGENAI MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA) NASKAH PENJELASAN PROTOCOL TO THE ASEAN CHARTER ON DISPUTE SETTLEMENT MECHANISM (PROTOKOL PIAGAM ASEAN MENGENAI MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA) 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Protokol Piagam ASEAN

Lebih terperinci

2 negara lain. Dari situlah kemudian beberapa negara termasuk Indonesia berinisiatif untuk membentuk organisasi yang berguna untuk mengatur seluruh pe

2 negara lain. Dari situlah kemudian beberapa negara termasuk Indonesia berinisiatif untuk membentuk organisasi yang berguna untuk mengatur seluruh pe BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam era globalisasi ini, keterbukaan, keterkaitan, ketergantungan, serta persaingan antar negara khususnya dalam bidang ekonomi semakin tidak dapat dihindari.adanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara, baik berupa daratan maupun lautan. Salah satunya berbatasan dengan

BAB I PENDAHULUAN. negara, baik berupa daratan maupun lautan. Salah satunya berbatasan dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang berbatasan dengan sejumlah negara, baik berupa daratan maupun lautan. Salah satunya berbatasan dengan Malaysia dengan garis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kasus sengketa dagang rokok kretek antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS) dimulai ketika Presiden Amerika Serikat, Barrack Obama memberlakukan Rancangan

Lebih terperinci

BAB IV SIKAP PEMERINTAH PASCA PUTUSAN DSB DALAM SENGKETA DAGANG ANTARA INDONESIA DENGAN KOREA SELATAN

BAB IV SIKAP PEMERINTAH PASCA PUTUSAN DSB DALAM SENGKETA DAGANG ANTARA INDONESIA DENGAN KOREA SELATAN 92 BAB IV SIKAP PEMERINTAH PASCA PUTUSAN DSB DALAM SENGKETA DAGANG ANTARA INDONESIA DENGAN KOREA SELATAN A. Pelaksanaan Rekomendasi dan Keputusan Penyelesaian yang dicari oleh sistem WTO adalah jalan keluar

Lebih terperinci

2 b. bahwa Persetujuan dimaksudkan untuk menetapkan prosedur penyelesaian sengketa dan mekanisme formal untuk Persetujuan Kerangka Kerja dan Perjanjia

2 b. bahwa Persetujuan dimaksudkan untuk menetapkan prosedur penyelesaian sengketa dan mekanisme formal untuk Persetujuan Kerangka Kerja dan Perjanjia No.92, 2015 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PENGESAHAN. Agreement. Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara. Republik Rakyat Tiongkok. Penyelesaian Sengketa. Kerja Sama Ekonomi. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

POSISI, TANTANGAN, DAN PROSPEK BAGI INDONESIA DALAM SISTEM PENYELESAIAN SENGKETA WTO

POSISI, TANTANGAN, DAN PROSPEK BAGI INDONESIA DALAM SISTEM PENYELESAIAN SENGKETA WTO POSISI, TANTANGAN, DAN PROSPEK BAGI INDONESIA DALAM SISTEM PENYELESAIAN SENGKETA WTO Dyan F. D. Sitanggang e-mail: dyanfranciska@unpar.ac.id Abstract The World Trade Organization (WTO) as the sole universal

Lebih terperinci

Oleh : Komang Meilia In Diana Putri Pratiwi Edward Thomas Lamury Hadjon Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana

Oleh : Komang Meilia In Diana Putri Pratiwi Edward Thomas Lamury Hadjon Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana PERAN WTO (WORLD TRADE ORGANIZATION ) DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL TERHADAP KASUS TINDAKAN FITOSANITASI IMPORT APEL SELANDIA BARU OLEH AUSTRALIA Oleh : Komang Meilia In Diana Putri

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN INDUSTRI DALAM NEGERI MELALUI TINDAKAN SAFEGUARD WORLD TRADE ORGANIZATION

PERLINDUNGAN INDUSTRI DALAM NEGERI MELALUI TINDAKAN SAFEGUARD WORLD TRADE ORGANIZATION PERLINDUNGAN INDUSTRI DALAM NEGERI MELALUI TINDAKAN SAFEGUARD WORLD TRADE ORGANIZATION Oleh : A.A. Istri Indraswari I Ketut Sudiarta Bagian Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Protection

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Pasal 1 Definisi. Untuk maksud-maksud Persetujuan ini, kecuali konteksnya mensyaratkan sebaliknya;

LAMPIRAN. Pasal 1 Definisi. Untuk maksud-maksud Persetujuan ini, kecuali konteksnya mensyaratkan sebaliknya; LAMPIRAN PERSETUJUAN MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA DALAM PERSETUJUAN KERANGKA KERJA MENGENAI KERJA SAMA EKONOMI MENYELURUH ANTAR PEMERINTAH NEGARA-NEGARA ANGGOTA PERHIMPUNAN BANGSA-BANGSA ASIA TENGGARA

Lebih terperinci

SKRIPSI. Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH:

SKRIPSI. Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH: EKSISTENSI SERTA PENGARUH DISPUTE SETTLEMENT BODY TERHADAP STATUS PEREKONOMIAN NEGARA ANGGOTA DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL (Studi Tentang Sengketa Rokok Kretek Antara Indonesia Melawan Amerika

Lebih terperinci

Kata Kunci: National Treatment, Pajak Impor Dalam Industri Telepon Genggam, Kebijakan Tingkat Kandungan Dalam Negeri

Kata Kunci: National Treatment, Pajak Impor Dalam Industri Telepon Genggam, Kebijakan Tingkat Kandungan Dalam Negeri TINJAUAN YURIDIS KEBIJAKAN TINGKAT KANDUNGAN DALAM NEGERI DAN PAJAK IMPOR DALAM INDUSTRI TELEPON GENGGAM DIKAITKAN DENGAN PRINSIP NATIONAL TREATMENT FIKY MARTINO 1287032 ABSTRAK Prinsip National Treatment

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Sengketa dagang antara Indonesia dan Korea Selatan bermula. pada saat KTC mengajukan petisi anti dumping dan melakukan

BAB V PENUTUP. 1. Sengketa dagang antara Indonesia dan Korea Selatan bermula. pada saat KTC mengajukan petisi anti dumping dan melakukan 114 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Sengketa dagang antara Indonesia dan Korea Selatan bermula pada saat KTC mengajukan petisi anti dumping dan melakukan penyelidikan dumping terhadap perusahaan-perusahaan

Lebih terperinci

Pengantar Hukum WTO. Peter Van den Bossche, Daniar Natakusumah dan Joseph Wira Koesnaidi 1

Pengantar Hukum WTO. Peter Van den Bossche, Daniar Natakusumah dan Joseph Wira Koesnaidi 1 Pengantar Hukum WTO Peter Van den Bossche, Daniar Natakusumah dan Joseph Wira Koesnaidi 1 PRAKATA Penulis mengucapkan terimakasih kepada Pak Adolf Warauw S.H., LL.M. dan Prof. Hikmahanto Juwana S.H., LL.M.,

Lebih terperinci

Key Words: Indications, Practice of Dumping, Laws

Key Words: Indications, Practice of Dumping, Laws INDIKASI PRAKTIK DUMPING MENURUT KETENTUAN PERUNDANGAN INDONESIA oleh Putu Edgar Tanaya Ida Ayu Sukihana Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Indications Dumping Practices Legislation

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA USU MEDAN 2009

SEKOLAH PASCASARJANA USU MEDAN 2009 BAHAN KULIAH WORLD TRADE ORGANIZATION Prof. Sanwani Nasution, SH Dr. Mahmul Siregar, SH.,M.Hum PROGRAM STUDI ILMU HUKUM SEKOLAH PASCASARJANA USU MEDAN 2009 SEJARAH TERBENTUKNYA GATT (1) Kondisi perekonomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sekutu, maka dimulailah upaya membentuk lembaga-lembaga ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. sekutu, maka dimulailah upaya membentuk lembaga-lembaga ekonomi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada pasca perang dunia kedua yang ditandai dengan kemenangan pihak sekutu, maka dimulailah upaya membentuk lembaga-lembaga ekonomi internasional. Pembentukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN tahun sebelum Masehi dengan menggunakan transportasi air. 1 Sedangkan

BAB I PENDAHULUAN tahun sebelum Masehi dengan menggunakan transportasi air. 1 Sedangkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perdagangan telah berkembang pesat seiring dengan perkembangan teknologi dan pertumbuhan manusia. Perdagangan dipercaya sudah terjadi sepanjang sejarah umat manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh United Nations Security Council yang menyebabkan berkembangnya

BAB I PENDAHULUAN. oleh United Nations Security Council yang menyebabkan berkembangnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan organisasi internasional sebagai subjek hukum internasional, tidak terlepas dari munculnya berbagai organisasi internasional pasca Perang Dunia ke II. Terjadinya

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci : WTO (World Trade Organization), Kebijakan Pertanian Indonesia, Kemudahan akses pasar, Liberalisasi, Rezim internasional.

ABSTRAK. Kata kunci : WTO (World Trade Organization), Kebijakan Pertanian Indonesia, Kemudahan akses pasar, Liberalisasi, Rezim internasional. ABSTRAK Indonesia telah menjalankan kesepakan WTO lewat implementasi kebijakan pertanian dalam negeri. Implementasi kebijakan tersebut tertuang dalam deregulasi (penyesuaian kebijakan) yang diterbitkan

Lebih terperinci

BAHAN KULIAH HUKUM PERNIAGAAN/PERDAGANGAN INTERNASIONAL MATCH DAY 7 WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO)

BAHAN KULIAH HUKUM PERNIAGAAN/PERDAGANGAN INTERNASIONAL MATCH DAY 7 WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) BAHAN KULIAH HUKUM PERNIAGAAN/PERDAGANGAN INTERNASIONAL MATCH DAY 7 WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) A. Sejarah WTO World Trade Organization (WTO) adalah suatu organisasi perdagangan antarbangsabangsa dengan

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA TINJAUAN YURIDIS ATAS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP INDUSTRI DALAM NEGERI MELALUI PERATURAN NASIONAL DIKAITKAN DENGAN UPAYA SAFEGUARDS DALAM WORLD TRADE ORGANIZATION T E S I S SYLVIANA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membuat perubahan dalam segala hal, khususnya dalam hal perdagangan. Era

BAB I PENDAHULUAN. membuat perubahan dalam segala hal, khususnya dalam hal perdagangan. Era 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sudah menjadi hal yang wajar apabila perkembangan peradaban manusia membuat perubahan dalam segala hal, khususnya dalam hal perdagangan. Era perdagangan global yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Era globalisasi menuntut adanya keterbukaan ekonomi yang semakin luas dari setiap negara di dunia, baik keterbukaan dalam perdagangan luar negeri (trade openness) maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Cina mulai mengajukan diri untuk menjadi anggota WTO sejak Juli 1986

BAB I PENDAHULUAN. Cina mulai mengajukan diri untuk menjadi anggota WTO sejak Juli 1986 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cina mulai mengajukan diri untuk menjadi anggota WTO sejak Juli 1986 dimana saat itu WTO masih berbentuk GATT ( General Agreement On Tariffs and Trade ). Dengan tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. setiap negara bertujuan agar posisi ekonomi negara tersebut di pasar internasional

BAB I PENDAHULUAN. setiap negara bertujuan agar posisi ekonomi negara tersebut di pasar internasional BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Penelitian Negara-negara di seluruh dunia saat ini menyadari bahwa integrasi ekonomi memiliki peran penting dalam perdagangan. Integrasi dilakukan oleh setiap negara

Lebih terperinci

Isu Prioritas - Standar (SNI)

Isu Prioritas - Standar (SNI) 1 Isu Prioritas - Standar (SNI) Melindungi hak konsumen dan memaksimalkan kepuasan pelanggan adalah bagian dari tujuan utama perusahaanperusahaan di seluruh dunia. Untuk mencapai tujuan tersebut, Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Bersamaan dengan adanya globalisasi dunia, batas antar negara semakin memudar. Karena secara tidak langsung dengan adanya globalisasi, perlahan-lahan dunia terpaksa

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN. Kebijakan nuklir..., Tide Aji Pratama, FISIP UI., 2008.

BAB 5 KESIMPULAN. Kebijakan nuklir..., Tide Aji Pratama, FISIP UI., 2008. BAB 5 KESIMPULAN Kecurigaan utama negara-negara Barat terutama Amerika Serikat adalah bahwa program nuklir sipil merupakan kedok untuk menutupi pengembangan senjata nuklir. Persepsi negara-negara Barat

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. II/No. 8/Sep-Nov/2014

Lex et Societatis, Vol. II/No. 8/Sep-Nov/2014 EFEKTIFITAS PERAN DAN FUNGSI WTO (World Trade Organization) DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL Oleh : Thor B. Sinaga PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pesatnya pertumbuhan perekonomiaan

Lebih terperinci

KEKUATAN MENGIKAT RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL

KEKUATAN MENGIKAT RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL KEKUATAN MENGIKAT RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL Oleh I Komang Oka Dananjaya Progam Kekhususan Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT The

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan perdagangan antar negara yang dikenal dengan perdagangan internasional mengalami perkembangan yang pesat dari waktu ke waktu. Perdagangan internasional merupakan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG INTERNASIONAL DALAM WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO)

BAB II PENGATURAN PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG INTERNASIONAL DALAM WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) BAB II PENGATURAN PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG INTERNASIONAL DALAM WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) A. Gambaran Umum Mengenai Sistem Penyelesaian Sengketa Dalam WTO Sistem penyelesaian sengketa dalam WTO

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan orientasi yaitu dari orientasi peningkatan produksi ke orientasi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan.

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN. Pembangunan di daerah perbatasan telah menjadi perhatian serius bagi

BAB IV KESIMPULAN. Pembangunan di daerah perbatasan telah menjadi perhatian serius bagi BAB IV KESIMPULAN Pembangunan di daerah perbatasan telah menjadi perhatian serius bagi pemerintah Indonesia. Pembangunan daerah perbatasan berkaitan dengan misi pembangunan nasional, terutama untuk menjamin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi atau kegiatan bisnis yang akhir-akhir ini mengalami perkembangan yang

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi atau kegiatan bisnis yang akhir-akhir ini mengalami perkembangan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perdagangan internasional merupakan salah satu bagian dari kegiatan ekonomi atau kegiatan bisnis yang akhir-akhir ini mengalami perkembangan yang sangat pesat. Perhatian

Lebih terperinci

ANALISIS PEMBENTUKAN ASEAN CROSS BORDER INSOLVENCY REGULATION SEBAGAI SOLUSI PERMASALAHAN KEPAILITAN LINTAS BATAS DI ASEAN

ANALISIS PEMBENTUKAN ASEAN CROSS BORDER INSOLVENCY REGULATION SEBAGAI SOLUSI PERMASALAHAN KEPAILITAN LINTAS BATAS DI ASEAN ANALISIS PEMBENTUKAN ASEAN CROSS BORDER INSOLVENCY REGULATION SEBAGAI SOLUSI PERMASALAHAN KEPAILITAN LINTAS BATAS DI ASEAN Respati Damardjati E-mail: respatidamarjati@gmail.com Mahasiswa Fakultas Hukum

Lebih terperinci

: Institute Of Southeast Asian Studies

: Institute Of Southeast Asian Studies BOOK REVIEW Judul : ASEAN: Life After the Charter Editor : S. Tiwari Penerbit : Institute Of Southeast Asian Studies Bahasa : Inggris Jumlah halaman : 186 halaman Tahun penerbitan : 2010 Pembuat resensi

Lebih terperinci

PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG INTERNASIONAL DALAM KERANGKA WTO (WORLD TRADE ORGANIZATION)

PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG INTERNASIONAL DALAM KERANGKA WTO (WORLD TRADE ORGANIZATION) PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG INTERNASIONAL DALAM KERANGKA WTO (WORLD TRADE ORGANIZATION) Oleh: Hasan Basri, S.H. WTO dewasa ini telah menjadi organisasi internasional yang sangat dominan dalam membentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Tinbergen (1954), integrasi ekonomi merupakan penciptaan struktur

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Tinbergen (1954), integrasi ekonomi merupakan penciptaan struktur BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Tinbergen (1954), integrasi ekonomi merupakan penciptaan struktur perekonomian internasional yang lebih bebas dengan jalan menghapuskan semua hambatanhambatan

Lebih terperinci

BAHAN KULIAH HUKUM PERNIAGAAN/PERDAGANGAN INTERNASIONAL MATCH DAY 10

BAHAN KULIAH HUKUM PERNIAGAAN/PERDAGANGAN INTERNASIONAL MATCH DAY 10 BAHAN KULIAH HUKUM PERNIAGAAN/PERDAGANGAN INTERNASIONAL MATCH DAY 10 PENANAMAN MODAL TERKAIT PERDAGANGAN INTERNASIONAL DALAM KERANGKA WTO (THE TRADE RELATED INVESTMENT MEASURES-TRIMs) A. Agreement on Trade

Lebih terperinci

Pada pokoknya Hukum Internasional menghendaki agar sengketa-sengketa antar negara dapat diselesaikan secara damai he Hague Peace

Pada pokoknya Hukum Internasional menghendaki agar sengketa-sengketa antar negara dapat diselesaikan secara damai he Hague Peace Pasal 2 (3) dari Piagam PBB - Semua anggota wajib menyelesaikan perselisihan internasional mereka melalui cara-cara damai sedemikian rupa sehingga perdamaian, keamanan dan keadilan internasional tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembang sangat cepat mengakibatkan semakin kuatnya tingkat

BAB I PENDAHULUAN. berkembang sangat cepat mengakibatkan semakin kuatnya tingkat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam era globalisasi ini, dimana teknologi informasi dan transportasi berkembang sangat cepat mengakibatkan semakin kuatnya tingkat interdependensi dan ketergantungan

Lebih terperinci

BAB I. A. Latar Belakang

BAB I. A. Latar Belakang BAB I A. Latar Belakang Keamanan pangan merupakan kebutuhan paling mendasar bagi setiap negara. World Trade Organization (WTO) adalah organisasi internasional yang sejak tahun 1995 memiliki peran sentral

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara signifikan meningkat dengan pesat, khususnya ketika ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. secara signifikan meningkat dengan pesat, khususnya ketika ekonomi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Beberapa tahun terakhir kondisi ekonomi seperti globalisasi ekonomi, perdagangan barang selain produk seperti perdagangan jasa secara signifikan meningkat dengan pesat,

Lebih terperinci

PP 34/1996, BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PP 34/1996, BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN PP 34/1996, BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN *34762 Bentuk: PERATURAN PEMERINTAH (PP) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 34 TAHUN 1996 (34/1996) Tanggal: 4 JUNI

Lebih terperinci

Sambutan oleh: Ibu Shinta Widjaja Kamdani Ketua Komite Tetap Kerjasama Perdagangan Internasional Kadin Indonesia

Sambutan oleh: Ibu Shinta Widjaja Kamdani Ketua Komite Tetap Kerjasama Perdagangan Internasional Kadin Indonesia Sambutan oleh: Ibu Shinta Widjaja Kamdani Ketua Komite Tetap Kerjasama Perdagangan Internasional Kadin Indonesia Disampaikan Pada Forum Seminar WTO Tanggal 12 Agustus 2008 di Hotel Aryaduta, Jakarta Kepada

Lebih terperinci

ANALISIS TENTANG SISTEM PENYELESAIAN SENGKETA WTO : SUATU TINJAUAN YURIDIS FORMAL

ANALISIS TENTANG SISTEM PENYELESAIAN SENGKETA WTO : SUATU TINJAUAN YURIDIS FORMAL ANALISIS TENTANG SISTEM PENYELESAIAN SENGKETA WTO : SUATU TINJAUAN YURIDIS FORMAL Maslihati Nur Hidayati Fakultas Hukum Al Azhar, Jakarta Jl. Sisingamangaraja, Kebayoran Baru, Jakarta 12110 imas_jeruk@yahoo.com

Lebih terperinci

ANALISIS TERHADAP KEPUTUSAN DISPUTE SETTLEMENT BODY WORLD TRADE ORGANIZATION

ANALISIS TERHADAP KEPUTUSAN DISPUTE SETTLEMENT BODY WORLD TRADE ORGANIZATION ANALISIS TERHADAP KEPUTUSAN DISPUTE SETTLEMENT BODY WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) PADA KASUS US-CLOVE CIGARETTES (TOBACCO CONTROL ACT) 2012 DIPANDANG DARI PENERAPAN PRINSIP NATIONAL TREATMENT (PERLAKUAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (FSPTCA) yang diundang-undangkan pada bulan Juni 2009 dan berlaku

BAB I PENDAHULUAN. (FSPTCA) yang diundang-undangkan pada bulan Juni 2009 dan berlaku BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sengketa rokok kretek antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS) di World Trade Organizationi (WTO) 1 bermula dari terbitnya undang-undang di AS untuk mencegah atau

Lebih terperinci

Serikat (telah menandatangani, namun belum bersedia meratifikasi), menguatkan keraguan akan perjanjian ini.

Serikat (telah menandatangani, namun belum bersedia meratifikasi), menguatkan keraguan akan perjanjian ini. BAB V KESIMPULAN Melalui perjalanan panjang bertahun-tahun, Majelis Umum PBB berhasil mengadopsi Perjanjian Perdagangan Senjata (Arms Trade Treaty/ATT), perjanjian internasional pertama yang menetapkan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2002 TENTANG TINDAKAN PENGAMANAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI AKIBAT LONJAKAN IMPOR

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2002 TENTANG TINDAKAN PENGAMANAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI AKIBAT LONJAKAN IMPOR KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2002 TENTANG TINDAKAN PENGAMANAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI AKIBAT LONJAKAN IMPOR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pelaksanaan komitmen

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 133, 2002 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2002 TENTANG TINDAKAN PENGAMANAN INDUSTRI DALAM

Lebih terperinci

Pada periode keempat ini Joint Parliamentary Commission berubah menjadi Mercosur Parliament yang secara resmi meminta delegasi dari tiap parlemen di n

Pada periode keempat ini Joint Parliamentary Commission berubah menjadi Mercosur Parliament yang secara resmi meminta delegasi dari tiap parlemen di n BAB IV KESIMPULAN Regionalisme Mercosur merupakan regionalisme yang telah mengalami proses yang panjang dan dinamis. Berbagai peristiwa dan upaya negara anggotanya terhadap organisasi ini telah menjadikannya

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH NEGARA QATAR MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN

Lebih terperinci

BAB 1. Kampanye Regulasi Anti Rokok Internasional, Jakarta: Indonesia Berdikari, 2011, hlm Ibid, hlm

BAB 1. Kampanye Regulasi Anti Rokok Internasional, Jakarta: Indonesia Berdikari, 2011, hlm Ibid, hlm BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah satu di antara sepuluh Negara penghasil tembakau terbesar di dunia dengan kemampuan produksi mencapai 2,2% dari total produksi tembakau global. 1 Namun

Lebih terperinci

SISTEM PENETAPAN NILAI PABEAN (CUSTOMS VALUATION) YANG BERLAKU DI INDONESIA

SISTEM PENETAPAN NILAI PABEAN (CUSTOMS VALUATION) YANG BERLAKU DI INDONESIA SISTEM PENETAPAN NILAI PABEAN (CUSTOMS VALUATION) YANG BERLAKU DI INDONESIA Oleh : Sunarno *) Pendahuluan Nilai pabean adalah nilai yang digunakan sebagai dasar untuk menghitung Bea Masuk. Pasal 12 UU

Lebih terperinci

KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004

KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004 KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004 1. Ketentuan UUD 1945: a. Pra Amandemen: Pasal 11: Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat

Lebih terperinci

Upaya Penyelesaian Sengketa Di Bidang HEI RANAH PUBLIK PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL PADA UMUMNYA 20/05/2017

Upaya Penyelesaian Sengketa Di Bidang HEI RANAH PUBLIK PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL PADA UMUMNYA 20/05/2017 PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL PADA UMUMNYA Upaya Penyelesaian Sengketa Di Bidang HEI -Ranah Publik -Ranah Privat Lebih didahulukan upaya penyelesaian secara DAMAI Baca Charter of the United Nations,

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN TRIPS YANG DIKELUARKAN OLEH WTO DAN RATIFIKASI INDONESIA

BAB II PERJANJIAN TRIPS YANG DIKELUARKAN OLEH WTO DAN RATIFIKASI INDONESIA BAB II PERJANJIAN TRIPS YANG DIKELUARKAN OLEH WTO DAN RATIFIKASI INDONESIA Bab ini akan menjelaskan mengenai awal mula lahirnya suatu perjanjian TRIPs yang dikeluarkan oleh WTO. Dimana di bab ini lebih

Lebih terperinci

DUMPING DAN ANTI-DUMPING SEBAGAI BENTUK UNFAIR TRADE PRACTICE DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL

DUMPING DAN ANTI-DUMPING SEBAGAI BENTUK UNFAIR TRADE PRACTICE DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL DUMPING DAN ANTI-DUMPING SEBAGAI BENTUK UNFAIR TRADE PRACTICE DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL Oleh: Ni Wayan Ella Apryani Ayu Putu Laksmi Danyathi Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sistem Jaminan Legalitas Kayu/Startegy Timber Legality and Assurance System

BAB I PENDAHULUAN. Sistem Jaminan Legalitas Kayu/Startegy Timber Legality and Assurance System BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sistem Jaminan Legalitas Kayu/Startegy Timber Legality and Assurance System (TLAS) atau di dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. penting untuk menunjang pembangunan negara. Bergabung dalam organisasi

BAB 1 PENDAHULUAN. penting untuk menunjang pembangunan negara. Bergabung dalam organisasi BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Vietnam saat ini dikenal sebagai kekuatan ekonomi baru di Asia Tenggara. Pertumbuhan produk domestik bruto (GDP) Vietnam pada 2013 mencapai 5,3% dan terus meningkat.

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Peraturan Arbitrase Proses Acara Cepat KLRCA PERATURAN ARBITRASE SKEMA IMBALAN DAN BIAYA ADMINISTRASI PEDOMAN UNTUK PERATURAN ARBITRASE

DAFTAR ISI. Peraturan Arbitrase Proses Acara Cepat KLRCA PERATURAN ARBITRASE SKEMA IMBALAN DAN BIAYA ADMINISTRASI PEDOMAN UNTUK PERATURAN ARBITRASE DAFTAR ISI Peraturan Arbitrase Proses Acara Cepat KLRCA Bagian I PERATURAN ARBITRASE PROSES Acara Cepat KLRCA Bagian II SKEMA IMBALAN DAN BIAYA ADMINISTRASI Bagian III PEDOMAN UNTUK PERATURAN ARBITRASE

Lebih terperinci

PUBLIC POLICY SEBAGAI ALASAN PEMBATALAN PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI INDONESIA

PUBLIC POLICY SEBAGAI ALASAN PEMBATALAN PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI INDONESIA PUBLIC POLICY SEBAGAI ALASAN PEMBATALAN PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI INDONESIA Oleh: Anastasia Maria Prima Nahak I Ketut Keneng Bagian Peradilan Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT

Lebih terperinci

BAB I Latar Belakang Masalah

BAB I Latar Belakang Masalah BAB I 1.1. Latar Belakang Masalah Perdagangan merupakan sektor jasa yang menunjang kegiatan ekonomi antar anggota masyarakat dan antar bangsa. Melihat hal itu, sangat diperlukan menjalin hubungan perdagangan

Lebih terperinci

HUKUM PERDAGANGAN BEBAS MULTILATERAL Perdagangan Internasional Dan Lingkungan Hidup

HUKUM PERDAGANGAN BEBAS MULTILATERAL Perdagangan Internasional Dan Lingkungan Hidup BAHAN KULIAH HUKUM PERDAGANGAN BEBAS MULTILATERAL Perdagangan Internasional Dan Lingkungan Hidup Prof. Sanwani Nasution, SH Dr. Mahmul Siregar, SH.,M.Hum PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

BAB 4 PENUTUP 4.1 Kesimpulan

BAB 4 PENUTUP 4.1 Kesimpulan BAB 4 PENUTUP 4.1 Kesimpulan Akuntansi merupakan satu-satunya bahasa bisnis utama di pasar modal. Tanpa standar akuntansi yang baik, pasar modal tidak akan pernah berjalan dengan baik pula karena laporan

Lebih terperinci

BAB IV KETENTUAN YANG SEHARUSNYA DIMILIKI OLEH SISTEM PENYELESAIAN SENGKETA WTO DAN MANFAATNYA BAGI KEPENTINGAN NASIONAL INDONESIA

BAB IV KETENTUAN YANG SEHARUSNYA DIMILIKI OLEH SISTEM PENYELESAIAN SENGKETA WTO DAN MANFAATNYA BAGI KEPENTINGAN NASIONAL INDONESIA BAB IV KETENTUAN YANG SEHARUSNYA DIMILIKI OLEH SISTEM PENYELESAIAN SENGKETA WTO DAN MANFAATNYA BAGI KEPENTINGAN NASIONAL INDONESIA A. Pentingnya Penyelesaian Sengketa Yang Adil Bagi Negara Berkembang (Khususnya

Lebih terperinci

H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI

H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI Pasal 2 (3) dari Piagam PBB Semua anggota wajib menyelesaikan perselisihan internasional mereka melalui cara-cara damai sedemikian rupa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1996 TENTANG BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1996 TENTANG BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 34 TAHUN 1996 TENTANG BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN, Menimbang : bahwa berdasarkan Pasal 20 dan Pasal 23 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan,

Lebih terperinci

UNIT PENYEDIA INFORMASI: Direktorat Perundingan Multilateral, Direktorat Perundingan Perdagangan Internasional, Kementerian Perdagangan RI

UNIT PENYEDIA INFORMASI: Direktorat Perundingan Multilateral, Direktorat Perundingan Perdagangan Internasional, Kementerian Perdagangan RI Rencana Menjadi Pihak Ketiga didalam Kasus Sengketa DS508: China Export Duties on Certain Raw Materials Dalam Kerangka Mekanisme Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Mechanism) Organisasi Perdagangan

Lebih terperinci

KESIAPAN TENAGA KERJA INDONESIA DALAM MENGHADAPI PERSAINGAN DENGAN TENAGA KERJA ASING

KESIAPAN TENAGA KERJA INDONESIA DALAM MENGHADAPI PERSAINGAN DENGAN TENAGA KERJA ASING Volume 5, No. 1, Januari, ISSN 1907-162030 KESIAPAN TENAGA KERJA INDONESIA DALAM MENGHADAPI PERSAINGAN DENGAN TENAGA KERJA ASING Oleh : Frankiano B. Randang, SH, MH PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

Lebih terperinci

Menangkap realita hubungan empiris Pertumbuhan Ekonomi Keterbukaan Perdagangan

Menangkap realita hubungan empiris Pertumbuhan Ekonomi Keterbukaan Perdagangan Menangkap realita hubungan empiris Pertumbuhan Ekonomi Keterbukaan Perdagangan Masalah bagaimana kebijakan pemerintah mengenai liberalisasi dan keterbukaan perdagangan luar negeri terhadap pertumbuhan

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Buku. Adolf, Huala. Hukum Ekonomi Internasional: Suatu Pengantar, Rajawali Press, Jakarta, ctk ke 4, 2005

DAFTAR PUSTAKA. Buku. Adolf, Huala. Hukum Ekonomi Internasional: Suatu Pengantar, Rajawali Press, Jakarta, ctk ke 4, 2005 DAFTAR PUSTAKA Buku Adolf, Huala. Hukum Ekonomi Internasional: Suatu Pengantar, Rajawali Press, Jakarta, ctk ke 4, 2005 Adolf, Huala. Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional. Sinar Grafika. Bandung,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1996 TENTANG BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1996 TENTANG BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1996 TENTANG BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa berdasarkan Pasal 20 dan Pasal 23 Undang-undang

Lebih terperinci

PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH NEGARA QATAR MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL

PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH NEGARA QATAR MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH NEGARA QATAR MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seluruh negara sebagian anggota masyarakat internasional masuk dalam blokblok

BAB I PENDAHULUAN. seluruh negara sebagian anggota masyarakat internasional masuk dalam blokblok BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Liberalisasi perdagangan kini telah menjadi fenomena dunia. Hampir di seluruh negara sebagian anggota masyarakat internasional masuk dalam blokblok perdagangan bebas

Lebih terperinci

TUGAS MATA KULIAH HUKUM EKONOMI INTERNASIONAL

TUGAS MATA KULIAH HUKUM EKONOMI INTERNASIONAL TUGAS MATA KULIAH HUKUM EKONOMI INTERNASIONAL WTO dan Pengaruhnya Bagi Indonesia O l e h : APRILIA GAYATRI N P M : A10. 05. 0201 Kelas : A Dosen : Huala Adolf, S.H., LL.M, PhD FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS

Lebih terperinci

K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975

K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975 K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975 1 K-143 Konvensi Pekerja Migran (Ketentuan Tambahan), 1975 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan 1. Latar Belakang

Bab I Pendahuluan 1. Latar Belakang Bab I Pendahuluan 1. Latar Belakang Perjanjian Bidang Pertanian/ Agreement on Agriculture merupakan salah satu jenis perjanjian multilateral yang disepakati di dalam WTO. Secara umum, hal ini dilakukan

Lebih terperinci

Oleh : Ayu Diah Listyawati Khesary Ida Bagus Putu Sutama. Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana

Oleh : Ayu Diah Listyawati Khesary Ida Bagus Putu Sutama. Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana PENYELESAIAN PERSELISIHAN ANTARA PEKERJA DENGAN PENGUSAHA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL Oleh : Ayu Diah Listyawati Khesary Ida Bagus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 1

BAB I PENDAHULUAN. oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia mengamanatkan pengelolaan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya kepada negara untuk digunakan sebesar-besarnya demi kemakmuran

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL III - 1 III - 2 Daftar Isi BAB I KETENTUAN UMUM III-9 BAB II TATACARA PENYELESAIAN PERSELISIHAN

Lebih terperinci

PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL SECARA DAMAI. Dewi Triwahyuni

PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL SECARA DAMAI. Dewi Triwahyuni PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL SECARA DAMAI Dewi Triwahyuni DASAR HUKUM Pencegahan penggunaan kekerasan atau terjadinya peperangan antar negara mutlak dilakukan untuk terhindar dari pelanggaran hukum

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 2008 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN KERANGKA KERJA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK ISLAM PAKISTAN TENTANG KEMITRAAN EKONOMI

Lebih terperinci

BAB 4 PENUTUP. 4.1 Kesimpulan

BAB 4 PENUTUP. 4.1 Kesimpulan BAB 4 PENUTUP 4.1 Kesimpulan Perdagangan internasional diatur dalam sebuah rejim yang bernama WTO. Di dalam institusi ini terdapat berbagai unsur dari suatu rejim, yaitu prinsip, norma, peraturan, maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. implikasi positif dan negatif bagi perkembangan ekonomi negara-negara

BAB I PENDAHULUAN. implikasi positif dan negatif bagi perkembangan ekonomi negara-negara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum dan perjanjian internasional yang berkenaan dengan masalah ekonomi yang mengarah pada perdagangan bebas dapat mengakibatkan implikasi positif dan negatif bagi

Lebih terperinci