KAJIAN FINANSIAL USAHATANI TAMBAK TUMPANGSARI SISTEM EMPANG PARIT DI HUTAN MANGROVE: Studi Kasus di Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang, Jawa Barat

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KAJIAN FINANSIAL USAHATANI TAMBAK TUMPANGSARI SISTEM EMPANG PARIT DI HUTAN MANGROVE: Studi Kasus di Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang, Jawa Barat"

Transkripsi

1 KAJIAN FINANSIAL USAHATANI TAMBAK TUMPANGSARI SISTEM EMPANG PARIT DI HUTAN MANGROVE: Studi Kasus di Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang, Jawa Barat SADI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006

2 ABSTRAK SADI. KAJIAN FINANSIAL USAHA TANI TAMBAK TUMPANGSARI SISTEM EMPANG PARIT DI HUTAN MANGROVE: Studi Kasus di Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang, Jawa Barat. dibimbing oleh Cecep Kusmana. dan Bahruni. Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan penting di wilayah pesisir dan kelautan. Hutan mangrove memiliki fungsi biologis, ekologis dan ekonomi yang sangat tinggi. Sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat pemijahan (spawning grounds) dan asuhan (nursery ground) berbagai macam biota, penahan abrasi pantai, amukan angin topan dan tsunami, penyerap limbah, pencegah interusi air laut, dan lain-lain., hutan mangrove juga mempunyai fungsi ekonomis yang tinggi seperti sebagai penyedia kayu bakar, obat-obatan, alat penangkapan ikan. Lebih jauh, hutan mangrove juga merupakan habitat bagi berbagai jenis burung, reptilia, mamalia dan jenis-jenis kehidupan lainnya, sehingga hutan mengrove menyediakan keanekaragaman hayati (biodiversity) dan plasma nutfah (genetic pool) yang tinggi serta berfungsi sebagai sistem penyangga kehidupan. Mangrove juga dapat memelihara kualitas air, menyerap CO 2, dan penghasil O 2 yang relatif tinggi dibanding tipe hutan lain. Pengelolaan hutan mangrove melalui pendekatan sosial dengan sistem tumpangsari pola empang parit merupakan alternatif pelestarian ekosistem mangrove untuk tetap mempertahankan fungsi biologis dan fungsi ekologisnya tetapi tetap memiliki nilai ekonomi yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir. Kecamatan Legonkulon merupakan salah satu kecamatan dari 22 kecamatan yang ada di Kabupaten Subang dan merupakan satu kecamatan dari 4 kecamatan yang berada di wilayah pesisir. Kecamatan ini memiliki 8 desa dan 5 desa diantaranya merupakan desa yang berada di wilayah pantai dengan hutan mangrove terbaik di Kabupaten Subang. Dengan letak wilayah seperti itu maka Kecamatan Legonkulon merupakan salah satu Kecamatan yang mampu memasok kebutuhan ikan bagi masyarakat Subang maupun daerah sekitarnya. Pengelolaan hutan mangrove di Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang, Jawa Barat sangat dipengaruhi oleh kebijakan Pemerintah pada awal tahun 1990-an tentang Tambak Inti Rakyak (TIR). Konversi hutan mangrove menjadi tambak terjadi secara besar-besaran akibat dari kebijakan tersebut sangat dirasakan oleh masyarakat pada saat ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji sisi finansial pengelolaan hutan mangrove sebagai tambak tumpangsari sistem empang parit di Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Berdasarkan hasil analisis usahatani berbagai pola tambak tumpangsari sistem empang parit di Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang diperoleh bahwa pola 80:20, memberikan nilai finansial tertinggi berdasarkan analisis usahatani dengan menggunakan parameter penghitungan nilai Return Cost Ratio (R /C), Kecepatan Pengembalian Modal, Laju Keuntungan Bersih dan Break Event Point (BEP) Keyword : hutan mangrove, tambak empang parit, analisis finansial, usahatani.

3 ABSTRACT Mangrove forest as unique ecosystem supports an important life in coastal area,and has ecological functions as nutrient supplier for its biota, place for spawning and nursery ground, coastal abrasion buffer, protect from hurricane and tsunami, waste absorber, salt water intrusion defender and others. Besides, mangrove forest has high economic values like as wood and herbal produc tions, fisheries catchments etc. Farther, mangrove forest as habitats for various bird, reptile, mammals other and wildlife, it provides a rich biodiversity and genetic pool this supporting life system. Mangrove protects water quality, absorb CO 2 and produce O 2 higher than other type of forest. Mangrove has high ecological function and economic value that give benefit for local community requirement. To increase and preserve biological and ecological function of mangrove forest need rational approach. Empang parit system provide application alternative of sylvofishery estimaties of economic value needed for managing mangrove forest to give sustainable benefits for its community. Base on calculation and analysis of its which pattern 80% forest and 20% fishpond in Kecamatan Logonkulon, Kabupaten Subang give highest economic result. Its parameter use Return Cost Ratio analysis (R/C), Return of investment, profit and Break Even Point (BEP) Keyword : Mangrove forest, empang parit, analysis of finansial, usahatani,

4 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Blora pada tanggal 1 Juli 1961, dari ayah Soero Wardi dan ibu Sampi. Penulis merupakan putra ke lima dari tujuh bersaudara. Tahun 1981 penulis lulus SMA III BOPKRI Yogyakarta, tahun yang sama penulis masuk IKIP Yogyakarta Program D2. Tahun 1985 penulis melanjutkan pendidikan di STIPER Yogyakarta jurusan Teknologi Hasil Pertanian dan lulus sarjana tahun Pada bulan September 2004 penulis di terima sebagai mahasiswa S2 Profesi, Program Studi Konservasi Biodiversitas, Departemen Konservasi Sunberdaya Hutan, IPB. Penulis bekerja sebagai guru SMP Negeri Gunung Tabur, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur tahun , tahun 1991 menjadi pegawai di Dinas Perkebunan Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Tahun menjadi guru di SMK Negeri 2 Subang, Jawa Barat dan pada tahun 2005 sampai sekarang menjadi kepala SMK Negeri 1 Cipunagara, Kabupaten Subang.

5 Judul Nama : Kajian Finansial Usahatani Tambak Tumpangsari Sistem Empang Parit di Hutan Mangrove:Studi Kasus di Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang, Jawa Barat. : SADI NRP : E Program Studi : Ilmu Pengetahuan Kehutanan Sub Program Studi: Konservasi Biodiversitas Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS. Ketua Ir. Bahruni, MS. Anggota Diketahui, Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Dede Hermawan, MScF. Prof. Dr. Ir. Safrida Manuwoto, MSc. Tanggal Ujian : 27 Maret 2006 Tanggal Lulus :

6 KAJIAN FINANSIAL USAHATANI TAMBAK TUMPANGSARI SISTEM EMPANG PARIT DI HUTAN MANGROVE: Studi Kasus di Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang, Jawa Barat SADI Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006

7 KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadirat Alloh SWT yang telah memberikan kekuatan, perlindungan dan petunjuk kepada kami sehingga kami dapat melakukan penelitian yang berjudul Kajian Finansial Usahatani Tambak Tumpangsari Sistem Empang Parit di Hutan Mangrove, yang merupakan studi kasus di Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang, Jawa Barat dan selanjutnya dapat menyajikan hasil penelitian dalam bentuk tesis. Pengangkatan judul ini dimaksudkan oleh penulis untuk mengetahui sejauh mana manfaat yang langsung dirasakan oleh petani tambak dalam pengelolaan tambak di hutan mangrove dengan berbagai pola (ukuran parit). Dengan hasil penelitian ini penulis mengharapkan dapat memberikan gambaran yang rasional kepada pengelola hutan (Perum Perhutani dan petani tambak) agar dapat memanfaatkan hutan sebagai tambak dengan tetap berwawasan pada kelestarian lingkungan. Penelitian ini hanya mengukur beberapa parameter yang dirasakan oleh masyarakat pengelola hutan (petani tambak tumpangsari), yaitu berupa manfaat ekonomi dari pengelolaan hutan mangrove sebagai tambak tumpangsari. Manfaat lain dari hutan mangrove yaitu manfaat ekologi tidak menjadi parameter pengukuran karena keterbatasan kemampuan, waktu dan biaya. Diharapkan ada penelitian lanjutan dalam pengelolaan hutan mangrove sebagai tambak empang parit dalam tinjauan manfaat ekologinya oleh peneliti yang akan datang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola empang parit yang memberi manfaat terbesar yang dirasakan oleh petani tambak dalam memanfaatkan hutan mangrove sebagai tambak tumpangsari dengan sistem empang parit. Dengan mengetahui dan merasakan manfaat tersebut diharapkan petani tambak yang memanfaatkan hutan mangrove dapat ikut serta dalam menjaga dan melestarikan sampai batas yang menguntungkan. Dalam melakukan penelitian ini, banyak pihak yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk itu penulis menyampaikan terima kasih yang tulus kepada:

8 1. Bapak Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS. sebagai Ketua Komisi Pembimbing yang telah banyak memberi arahan dan bimbingan dalam membuat perencanaan penelitian sampai penulisan tesis ini. 2. Bapak Ir. Bahruni, MS. sebagai Dosen Pembimbing yang telah banyak membantu, mengarahkan dan membimbing penulis secara intensif mulai pembuatan proposal penelitian sampai penyelesaian penulisan tesis ini. 3. Bapak Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, MScF. Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan, IPB, yang telah memberikan bantuan berupa fasilitas teknis maupun pelayanan non teknis dari pelaksanaan perkuliahan sampai tugas akhir penulisan tesis ini. 4. Bapah Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA. sebagai ketua Program S2 Profesi, beserta staf. 5. Bapak Ir. H. Asep Supriyatna, Ketua KUD Karya Laksana yang telah membantu penulis mengumpulkan data di lokasi penelitian. 6. Bapak Drs. Eep Hidayat, Bupati Subang beserta stafnya yang telah banyak memberikan bantuan penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini. 7. Kepala Perum Perhutani Wilayah III Purwakarta, BKPH Ciasem dan Pamanukan, beserta staf yang telah memberikan ijin lokasi dan fasilitas lain di lapangan. 8. Semua pihak yang telah membantu kelancaran penelitian sampai pelaporan hasilnya. Tesis ini masih banyak kekurangan, baik dalam hal kelengkapan maupun penyajiannya karena keterbatasan kemampuan, waktu dan biaya, tapi penulis berharap tesis ini dapat menjadi acuan dalam pengelolaan hutan mangrove khususnya di Kabupaten Subang. Bogor, Februari 2006 Sadi

9 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang... Perumusan Masalah... Tujuan Penelitian... Manfaat Penelitian... TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Hutan Mangrove... Manfaat Hutan Mangrove... Kondisi Hutan Mangrove... Upaya Konservasi Hutan Mangrove... Tambak Tumpangsari... Analisis Usahatani Tambak Tumpang Sari Sistem Empang Parit... METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian... Bahan dan Alat... Metode Penelitian... Jenis dan Sumber Data... Analisis Data... DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian... Luas Wilayah dan Keadaan Penduduk... Karakteristik Fisik Perairan Pantai... Kondisi dan Penyebaran Hutan Mangrove di Kecamatan Legonkulon... Pemanfaatan Hutan Mangrove Sebagai Tambak (Mangrove Aquaculture)... xiii xiv xv

10 Ancaman Kerusakan Ekosistem Mangrove... HASIL DAN PENBAHASAN Biaya... Pendapatan... Analisis Usahatani... Pengaruh Keberadaan Hutan Mangrove Terhadap Pengelolaan Tambak... SIMPULAN DAN SARAN Simpulan... Saran... DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

11 DAFTAR TABEL Halaman 1 Kondisi hutan mangrove di Kecamatan Legonkulon Penyebaran hutan mangrove di Kecamatan Legonkulon Alo kasi tambak di Kecamatan Legonkulon Biaya pencetakan tambank tumpangsari sistem empang parit Biaya tetap yang digunakan untuk usaha tambak empang parit Biaya tidak tetap dalam pengelolaan tambak berbagai pola Biaya produksi pengelolaan tambak tumpangsari sistem empang parit berbagai pola Analisis regresi hubungan keberadaan hutan mangrove terhadap biaya produksi pengelolaan tambak sistem empang parit Hasil tangkapan harian dari tambak tumpangsari sistem empang aprit berbagai pola Hasil analisis uji LSD hasil tangkapan harian berbagai pola tambak tumpangsari sistem empang partit Hasil analisis uji LSD hasil budidaya bandeng berbagai pola tambak tumpangsari sistem empang partit Has il analisis uji LSD hasil udang windu berbagai pola tambak tumpangsari sistem empang partit Hasil analisis uji LSD ikan mujaer dan udang putih berbagai pola tambak tumpangsari sistem empang partit Total pendapatan petani tambak tumpangsari sistem empang parit berbagai pola dalam hutan mangrove Hasil analisis usaha tani pengelolaan tambak tumpangsari sistem empang parit berbagai pola di Kecamatan Legonkulon Pengaruh keberadaan hutan mangrove terhadap biaya dan hasil pengelolaan tambak tumpangsari sistem empang parit Analisis regresi pengaruh keberadaan mangrove terhadap hasil total pengelolaan tambak tumpangsari... 66

12 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kerangka Pemikiran Formasi hutan mangrove secara alami Sistem perakaran mangrove yang memungkinkan untuk rumah yang baik bagi biota laut Peta keberadaan hutan mangrove di wilayah pesisir Kabupaten Subang Peta Bathimetri di perairan Kabupaten Subang Arah aliran gelombang dari Timur Laut di Perairan Subang Bentuk pemukiman penduduk di dalam hutan mangrove Berbagai pola tambak sitem empang parit yang dikembangkan Perum Perhutani Berbagai bentuk aktivitas yang menurunkan kualitas ekosistem mangrove Berbagai aktivitas masyarakan yang menurunkan kuantitas ekosistem mangrove Berbagai upaya konservasi hutan mangrove di Kecamatan Legonkulon Grafik hubungan antara pola tambak dengan biaya produksi pengelolaan tambak Bubu, alat untuk mendapatkan hasil harian dari tambak Beberapa jenis hasil tangkapan harian Aktivitas petani pada saat panen Grafik hasil budidaya tambak Keadaan saluran utama tambak yang berbatasan dengan pemukiman dan sawah Diagram pegaruh proporsi hutan mangrove terhadap berbagai hasil tambak Grafik Pengaruh Proporsi hutan terhadap pendapatan total petani tambak... 66

13 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Lampiran 1a: Hasil harian tambak pola 80: Lampiran 1b: Hasil harian tambak pola 70: Lampiran 1c: Hasil harian tambak pola 60: Lampiran 1d: Hasil harian tambak pola 50: Lampiran 1e: Hasil harian tambak pola tanpa hutan Lampiran 2a: Hasil budidaya bandeng pola 80: Lampiran 2b: Hasil budidaya bandeng pola 70: Lampiran 2c: Hasil budidaya bandeng pola 60: Lampiran 2d: Hasil budidaya bandeng pola 50: Lampiran 2e: Hasil budidaya bandeng pola tanpa hutan Lampiran 3a: Hasil budidaya udang windu 80: Lampiran 3b: Hasil budidaya udang windu pola 70: Lampiran 3c: Hasil budidaya udang windu pola 60: Lampiran 3d: Hasil budidaya udang windu pola 50: Lampiran 3e: Hasil budidaya udang windu pola tanpa hutan Lampiran 4a: Hasil samping budidaya pola 80: Lampiran 4b: Hasil samping udang pola 70: Lampiran 4c: Hasil samping budidaya pola 60: Lampiran 4d: Hasil samping budidaya pola 50: Lampiran 4e: Hasil samping budidaya pola tanpa hutan Lampiran 5a: Hasil samping bibit bakau pola 80: Lampiran 5b: Hasil samping bibit bakau pola 70: Lampiran 5c: Hasil samping bibit bakau pola 60: Lampiran 5d:Hasil samping bibit bakau pola 50: Lampiran 5e: Hasil samping bibit bakau pola tanpa hutan Lampiran 6a: Hasil analisis usahatani pola 80: Lampiran 6b: Hasil analisis usahatani pola 70: Lampiran 6c: Hasil analisis usahatani pola 60: Lampiran 6d:Hasil analisis usahatani pola 50:

14 30 Lampiran 6e: Hasil analisis usaha tani pola tanpa hutan Lampiran 7: Analisis uji beda antar pola terhadap hasil tangkapan harian Lampiran 8: Analisis uji beda antar pola terhadap hasil budidaya bandeng Lampiran 9: Analisis uji beda antar pola terhadap hasil budidaya udang windu Lampiran 10: Analisis uji beda antar pola terhadap hasil samping budidaya Lampiran 11: Analisis regresi Lampiran 12: Karakteristik responden

15 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai dengan tanah berlumpur. Umumnya hutan mangrove tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir, daerahnya tergenang air laut secara berkala, menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat, air bersalinitas payau (kadar garam 2 22 permil) sampai air asin (kadar garam 38 permil), Bengen (2000). Menurut FAO (1994) hutan mangrove merupakan formasi tumbuhan pantai yang khas di sepanjang pantai tropis dan sub tropis yang terlindung. Formasi mangrove merupakan perpaduan antara daratan dan lautan. Pertumbuhan mangrove tergantung pada air laut yang diperoleh saat pasang dan air tawar yang banyak mengandung bahan organik dan kaya mineral sebagai sumber makanannya serta endapan debu (silt) dari erosi daerah hulu sebagai bahan pendukung substratnya, maka bentuk hutan mangrove dan keberadaannya sangat tergantung oleh pengaruh darat dan laut. Ekosistem mangrove merupakan suatu sistem yang terdiri atas lingkungan biotik dan abiotik yang saling berinteraksi di dalam suatu habitat mangrove, Kusmana (1996). Tumbuhan mangrove juga memiliki bentuk perakaran yang khas. Bentuk perakaran ini memungkinkan tumbuhan mangrove memiliki adaptasi yang bervariasi terutama adaptasi terhadap kadar garam dan kadar oksigen. Dari bentuk dan sistem perakaran ini, tumbuhan mengrove membentuk formasi yang unik dari daerah dengan kadar garam tinggi dan kadar oksigen rendah sampai pada daerah kadar garam rendah dengan kadar oksigen tinggi. Ekosistem hutan mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang tertinggi di dunia, seluruhnya tercatat 202 jenis yang terdiri dari jenis pohon, jenis palem, jenis liana, epifit dan hanya satu jenis sikas. Beberapa jenis pohon yang banyak dijumpai di wilayah pesisir Indonesia adalah bakau (Rhizophora spp), api-api (Avicennia spp), pedada (Sonneratia spp), tanjang

16 2 (Bruguiera spp), nyirih (Xylocarpus spp), tenger (Ceriops spp) dan, buta-buta (Exoecaria spp). Luas ekosistem mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara, atau sekitar 27% dari luas mangrove di dunia. Luasan mangrove terus mengalami penurunan dari 4,25 juta hektar pada tahun 1982 menjadi sekitar 3,24 juta hektar pada tahun 1987, dan tersisa seluas 2,50 juta hektar pada tahun Kecenderungan penurunan tersebut mengindikasikan bahwa terjadi degradasi hutan mangrove yang cukup nyata, yaitu sekitar 200 ribu hektar/tahun. Hal tersebut disebabkan oleh kegiatan konversi menjadi lahan tambak, penebangan liar dan sebagainya. Hutan mangrove memiliki berbagai macam manfaat baik manfaat ekonomis maupun manfaat ekologis. Secara ekonomis mangrove berperan menyediakan berbagai macam kebutuhan manusia seperti penyedia kayu bakar, bahan bangunan, penghasil tanin (penyamak kulit) alat penangkap ikan, peralatan rumah tangga serta manfaat non fisik seperti olah raga dan rekreasi dan lainnya. Hutan mangrove memiliki manfaat ekologis sebagai perlindungan bagi lingkungan ekosistem daratan dan lautan. Secara ekologis, hutan mangrove berfungsi sebagai daerah pemijahan (spawning grounds) dan daerah pembesaran (nursery grounds) berbagai jenis ikan udang, kerang-kerangan dan spesies lainnya. Selain itu, serasah mangrove (berupa daun, ranting dan biomassa lainnya) yang jatuh di perairan menjadi sumber pakan biota perairan dan unsur hara yang sangat menentukan produktivitas perikanan perairan laut. Selain itu, hutan mangrove juga merupakan habitat bagi berbagai jenis burung, reptilia, mamalia dan jenis -jenis kehidupan lainnya, sehingga hutan mengrove menyediakan keanekaragaman (biodiversity) dan plasma nutfah (genetic pool) yang tinggi serta berfungsi sebagai sistem penunjang kehidupan. Ekosistem mangrove menyediakan plasma nutfah yang cukup tinggi hingga 157 jenis tumbuhan tingkat tinggi dan rendah, 118 jenis fauna laut, dan berbagai jenis fauna darat (Bengen,2000).

17 3 Mangrove mempunyai nilai Produksi Primer Bersih (PPB) yang cukup tinggi, yakni biomassa (62,9 398,8 ton/ha/th), guguran serasah (5,8 25,8 ton/ha/th), dan riap volume 9 m3/ha/th pada hutan tanaman bakau umur 20 tahun. Besarnya nilai produksi primer bersih tersebut cukup berarti bagi penggerak rantai makanan berbagai jenis organisme akuatik di pesisir dan kehidupan masyarakat pesisir. Dengan sistem perakaran dan canopy yang rapat serta kokoh, hutan mangrove juga berfungsi sebagai pelindung daratan dari gempuran gelombang, tsunami, angin topan, perembesan air laut dan gaya-gaya dari laut. Hasil penelitian yang dilakukan di Teluk Grajagan, Banyuwangi, Jawa Timur, menunjukkan, dengan adanya ekosistem mangrove telah terjadi reduksi tinggi gelombang sebesar 0,7340 meter, dan perubahan energi gelombang (E) sebesar ,26 joule, Pratikto (2002). Selain itu mangrove dapat mengontrol penyakit malaria, karena mangrove dapat memelihara kualitas air, menyerap CO 2, dan penghasil O 2 yang relatif tinggi dibanding tipe hutan lain, Kusmana (2002). Secara tidak langsung, manfaat ekologi mangrove sangat berpengaruh terhadap nilai ekonomi. Sumberdaya laut berupa berbagai jenis ikan udang, kerang-kerangan dan spesies lainnya yang kehidupannya sangat tergantung pada hutan mangrove tersebut memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan sangat berpengaruh dalam menentukan kehidupan manusia terutama yang bermukim di daerah pesisir. Tingginya nilai ekonomi berbagai komoditas laut tersebut menggerakkan manusia untuk melakukan budidaya secara intensif. Udang dan bandeng misalnya, pernah menjadi komoditas andalan Indonesia pada dekade 1980-an sampai awal dekade 1990 an. Pada masa itu terjadilah alih fungsi atau konversi besar-besaran daerah pesisir menjadi tambak yang sebagian besar dikelola oleh pengusaha besar. Pola konversi yang memberikan hasil sangat besar tersebut ternyata memberikan dampak pada pola pikir masyarakat pesisir dalam memanfaatkan lingkungannya terutama hutan mangrove. Maka pada waktu yang relatif singkat, terjadi perubahan lingkungan pesisir dari wilayah hutan menjadi areal tambak dan akibat yang ditimbulkan dari perubahan tersebut

18 4 masih dirasakan oleh masyarakat itu sendiri hingga saat ini, antara lain meningkatnya suhu udara, terjadinya perubahan kadar garam pada air tanah di daerah pemukiman, timbulnya penyakit yang disebabkan oleh serangga misalnya penyakit malaria. Akibat pola pemanfaatan yang berlebihan, saat ini luas penyebaran mangrove terus mengalami penurunan dari 4,25 juta hektar pada tahun 1982 menjadi sekitar 3,24 juta hektar pada tahun 1987, dan tersisa seluas 2,50 juta hektar pada tahun Kecenderungan penurunan tersebut mengindikasikan bahwa terjadi degradasi hutan mangrove yang cukup nyata, yaitu sekitar 200 ribu hektar/tahun. Untuk menekan kerusakan yang terjadi, Departemen Kelautan dan Perikanan serta Departemen Kehutanan secara bersama-sama terus memfasilitasi tersusunnya tata ruang wilayah pesisir pada setiap kabupaten sebagai dasar perencanaan pengelolaan pesisir serta sebagai sarana implementasi pengelolaan ekosistem mangrove secara lestari, Dahuri (2002). Pengelolaan hutan mangrove sebenarnya sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, disebutkan dalam kaitan kondisi mangrove yang rusak, kepada setiap orang yang memiliki, pengelola dan atau memanfaatkan hutan kritis atau produksi, wajib melaksanakan rehabilitasi hutan untuk tujuan perlindungan konservasi. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Propinsi dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintah Pusat terbatas pada pola umum dan penyusunan rencana makro rehabilitasi hutan dan lahan. Sedangkan penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan dilakukan oleh pemerintah daerah, terutama Pemerintah Kabupaten/Kota, kecuali di kawasan hutan konservasi masih menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Untuk meningkatkan dan melestarikan fungsi biologis dan ekologis ekosistem hutan mangrove perlu suatu pendekatan yang rasional di dalam pemanfaatannya dengan melibatkan masyarakat di sekitar kawasan dan masyarakat yang memanfaatkan kawasan hutan mangrove secara langsung.

19 5 Penerapan sistem tumpangsari/mina hutan di ekosistem hutan mangrove merupakan salah satu pendekatan yang tepat dalam pemanfaatan ekosistem hutan mangrove secara lestari. Penerapan mina hutan di kawasan ekosistem hutan mangrove diharapkan dapat tetap memberikan lapangan kerja bagi petani di sekitar kawasan tanpa merusak hutan itu sendiri dan adanya pemerataan luas lahan bagi masyarakat. Sistem empang parit dan sistem empang inti merupakan alternatif aplikasi dari sistem tumpangsari/mina hutan (sylvofishery). Sistem empang parit adalah sistem tumpangsari/mina hutan, dengan hutan bakau berada di tengah dan kolam berada di tepi mengelilingi hutan. Sebaliknya sistem empang inti adalah sistem tumpangsari/mina hutan dengan kolam di tengah dan hutan mengelilingi kolam. Keberhasilan dari pelaksanaan sistem empang parit perlu dilakukan pengkajian dan perlu valuasi agar dapat dilakukan perbaikan dan penyempurnaan dimasa yang akan datang. Dengan demikian masyarakat akan mendapatkan informasi yang benar tentang fungsi mangrove bagi kehidupanya baik sekarang maupun yang akan datang, Departemen Kehutanan dan Perkebunan (1999). Perumusan Masalah Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan penting di wilayah pesisir dan kelautan. Selain mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat berpijah dan asuhan (nursery ground) berbagai macam biota, penahan abrasi pantai, amukan angin topan dan tsunami, penyerap limbah, pencegah interusi air laut, dan lain-lain., hutan mangrove juga mempunyai fungsi ekonomis yang tinggi seperti sebagai penyedia kayu, tanin, obat-obatan, alat dan teknik penangkapan ikan. Selain itu, hutan mangrove juga merupakan habitat bagi berbagai jenis burung, reptilia, mamalia dan jenis-jenis kehidupan lainnya, sehingga hutan mengrove menyediakan keanekaragaman (biodiversity) dan plasma nutfah (genetic pool) yang tinggi serta berfungsi sebagai sistem penunjang kehidupan. Dengan sistem perakaran dan canopy yang rapat serta kokoh, hutan mangrove juga berfungsi sebagai pelindung

20 6 daratan dari gempuran gelombang, tsunami, angin topan, perembesan air laut dan gaya-gaya dari laut lainnya, Bengen (2000). Manfaat langsung yang bisa dirasakan oleh penduduk di sekitarnya adalah kayunya dapat digunakan untuk bahan bangunan, kayu bakar, membuat arang, pulp dan lain-lain. Selain itu hutan mangrove juga merupakan penghasil bahan organik yang berguna untuk menunjang kelestarian biota perairan. Hasil tambak secara langsung sangat dipemgaruhi oleh kelestarian biota perairan, sedangkan biota akuatik kehidupannya sangat tergantung pada keberadaan hutan mangrove. Seberapa besar pengaruh keberadaan hutan mangrove bagi kehidupan biota perairan dapat dilihat dari pengaruh hutan mangrove terhadap hasil perikanan yang langsung dinikmati oleh masyarakat pesisir setiap hari. Dalam mengejar target ekonomi terkadang sisi lingkungan terabaikan. Pada saat usaha tambak memiliki nilai keuntungan secara ekonomi yang sangat besar, maka konversi hutan mangrove menjadi tambak tidak terkendali, masyarakat tidak pernah berp ikir bahwa tingginya produktivitas tambak tersebut disebabkan karena pasokan pakan dari alam untuk udang dan bandeng masih sangat besar. Petani tidak perlu mengeluarkan biaya besar untuk membeli pakan udang dan bandeng, penyakit yang timbul juga sangat jarang karena lingkungan masih bersih dan belum tercemar. Pada tataran masyarakat maupun birokrat yang berhubungan dengan bidang kesehatan khususnya, masih berkembang pandangan yang keliru tentang mangrove. Mangrove dianggap sebagai tempat yang kotor untuk tempat bersarang dan berkembangbiaknya nyamuk malaria, lalat, dan berbagai jenis serangga lainnya. Hal tersebut telah mendorong terjadinya pembabatan mangrove yang berlebihan untuk mencegah timbulnya wabah penyakit yang ditimbulkan. Akan tetapi sebaliknya, apabila kondisi ekosistem mangrove masih terjaga dengan baik maka akan mampu menjaga keseimbangan habitat malaria dalam kondisi seimbang yang tidak memungkinkan malaria berubah menjadi wabah penyakit bagi manusia.

21 7 Persepsi lain, bahwa mangrove tidak dipandang sebagai sumberdaya yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi bila dibandingkan dengan usaha budidaya perikanan. Hal tersebut diperburuk dengan hasil-hasil penelitian yang menyimpulkan bahwa mangrove secara alami tidak menguntungkan apabila dibandingkan dengan mengkonversi untuk tujuan pengembangan budidaya perikanan. Fakta menunjukkan bahwa pada wilayah-wilayah yang hutan mangrovenya dikonversi secara total untuk budidaya tambak, kebanyakan tingkat kesejahteraan petani masih pada tingkat pra-sejahtera. Hal tersebut antara lain diakibatkan oleh besarnya biaya yang harus ditanggung petani untuk pengendalian hama dan penyakit sebagai akibat menurunnya kualitas lingkungan, Ditjen RLPS (2002). Sebagai kawasan hutan prinsip pengelolaan hutan mangrove tidak berbeda dengan pengelolaan hutan secara umum. Hutan sebagai modal pembangunan nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi, secara harmonis dan seimbang. Oleh karena itu hutan harus dikelola dan diurus, dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia baik generasi sekarang maupun yang akan datang. Dalam kedudukannya sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan, hutan telah memberikan manfaat yang besar bagi umat manusia, olehkarena itu harus dijaga kelestariannya. Tumpangsari/Mina hutan merupakan pola pendekatan teknis yang cukup baik, yang terdiri atas rangkaian kegiatan terpadu antara kegiatan budidaya ikan dengan kegiatan penanaman, pemeliharaan, pengelolaan dan upaya pelestarian hutan mangrove. Sistem ini memiliki teknologi sederhana, dapat dilakukan tanpa merusak tanaman bakau yang ada dan dapat dilakukan sebagai kegiatan sela sambil berusaha menghutankan kembali kawasan jalur hijau di daerah pantai yang kritis, Perhutani (1993). Dengan pola ini, diharapkan ada kerjasama yang saling menguntungkan antara masyarakat yang tinggal di sepanjang pantai sebagai

22 8 petambak penggarap dan pihak kehutanan. Sistem empang parit dan sistem empang inti merupakan alternatif aplikasi dari sistem mina hutan. Dalam sistem empang parit ini, tambak yang digunakan untuk budidaya dibuat dalam bentuk parit yang mengelilingi hutan mangrove. Dengan lebar parit yang bervariasi antara 3 meter sampai lebih dari 5 meter bahkan lebih. Besarnya nilai ekonomi yang langsung dapat dirasakan oleh masyarakat sekitar hutan dipengaruhi langsung oleh kondisi dan komposisi tambak dalam pengelolaan hutan. Di Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang, Jawa Barat, terdapat lima desa yang terlibat dalam kegiatan tambak sistem empang parit yaitu Desa Mayangan, Pangarengan, Anggasari, Legon Wetan dan desa Tegalurung. Kecamatan Legonkulon merupakan salah satu dari empat kecamatan di wilayah pesisir Kabupaten Subang yang memiliki hutan mangrove dalam kondisi yang masih baik. Usaha konservasi merupakan langkah penyelamatan hutan mangrove yang memiliki arti sangat besar khususnya bagi masyarakat pesisir dan lingkungan pada umumnya. Pemanfaatan hutan mangrove dengan memperhatikan faktor keseimbangan antara manfaat ekologi dan manfaat ekonomi sangat penting dilakukan.

23 9 Hutan Mangrove Konservasi Total Eksplorasi Total Jumlah dan luas tambak sedikit Ekosistem pesisir terjaga lestari Produksi tangkapan ikan tinggi Jumlah dan luas tambak naik Ekosistem pesisir terancam rusak Produksi tangkapan ikan rendah Konservasi Moderat Pemanfaatan Terkendali Mina Hutan (Sylvofisheries) Usaha Tambak Sistem Empang Parit Berbagai Pola ANALISIS USAHATANI Gambar 1 Kerangka Pemikiran Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan : 1. Untuk mendapatkan nilai manfaat ekonomi terbaik dari usaha tani pengelolaan hutan mangrove sebagai tambak tumpangsari dengan sistem empang parit berbagai pola di Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang. 2. Untuk mencari hubungan keberadaan hutan mangrove terhadap pendapatan petani tambak dari pemanfaatan hutan mangrove sebagai tambak tumpang sari dengan sitem empang parit di Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang.

24 10 Manfaat penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pengelo la dan pembina program tambak tumpangsari khususnya pengembangan sistem empang parit yaitu Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang yang membina petani tambak di areal tanah milik petani, Dinas Perkebunan dan Kehutanan serta Perum Perhutani yang membina tambak di areal tanah Perum Perhutani. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat mengumpulkan permasalahan petani sekitar pengelolaan tambak yang akhir-akhir ini mengalami kesulitan produksi serta dapat memberikan gambaran kepada petani tambak tentang pengelolaan usaha tambak yang berwawasan lingkungan. Dengan hasil yang diperoleh akan dapat mempengaruhi pola pikir petani pada umumnya bahwa tambak yang luas akan mendapatkan nilai ekonomi yang tinggi bagi mereka.

25 TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Hutan Mangrove Hutan mangrove merupakan formasi tumbuhan pantai yang khas di sepanjang pantai tropis dan sub tropis yang terlindung. Formasi mangrove merupakan perpaduan antara daratan dan lautan. Mangrove tergantung pada air laut (pasang) dan air tawar sebagai sumber makanannya serta endapan debu (silt) dari erosi daerah hulu sebagai bahan pendukung substratnya. Air pasang memberi makanan bagi hutan dan air sungai yang kaya mineral memperkaya sedimen dan rawa tempat mangrove tumbuh. Dengan demikian bentuk hutan mangrove dan keberadaannya dirawat oleh pengaruh darat dan laut (FAO 1994). Bengen (2000) menyatakan bahwa karakteristik hutan mangrove dapat dilihat dari berbagai aspek seperti floristik, iklim, temperatur, salinitas, curah hujan, geomorphologi, hidrologi dan drainase. Secara umum, karakteristik habitat hutan mangrove digambarkan sebagai berikut: Umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir. Daerahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun yang hanya tergenang pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove. Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat. Terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat. Air bersalinitas payau (2-22 permil) hingga asin (38 permil). Hutan mangrove secara alami membentuk zonasi yang merupakan tipe khas dari daerah tempat hutan tersebut berada. Zonasi hutan mangrove ini sangat ditentukan oleh bentuk perakaran yang khas. Pada tiap zonasi ini didominasi oleh jenis tumbuhan mangrove tertentu Bengen, (2000). Selain pembentukan zonasi, sistem perakaran pada tumbuhan mangrove merupakan alat untuk melakukan adaptasi dengan lingkungan. Dengan sitem perakaranya mangrove dapat menyesuaikan terhadap kadar garam dan kadar oksigen tempat tumbuhnya. Dengan demikian secara alami formasi hutan mangrove memiliki ciri yang khas, pada zona tertentu dalam formasi tersebut akan didominasi oleh jenis tumbuhan tertentu seperti yang di gambarkan oleh Bengen (2000) sebagai berikut:

26 12 Gambar 2 Formasi hutan mangrove secara alami (Bengen, 2000). Ekosistem hutan mangrove merupakan tipe sistem fragile yang sangat peka terhadap perubahan lingkungan, padahal ekosistem tersebut bersifat open akses sehingga meningkatnya eksploitasi sumberdaya mangrove oleh manusia akan menurunkan kualitas dan kuantitasnya. Sementara itu, ekosistem hutan mangrove merupakan habitat bagi berbagai macam satwa liar antara lain reptil dan ikan -ikan yang penting secara ekonomis dan bialogis seperti kakap, bandeng, belanak dan udang. Lebih dari itu, ekosistem hutan mangrove sangat mendukung perikanan artisanal. Meskipun merupakan usaha perikanan skala kecil dan tradisional ternyata memiliki makna ekonomi yang cukup penting. Ekosistem hutan mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang tertinggi di dunia, tercatat ada 200 jenis yang terdiri dari 89 jenis pohon, 5 jenis palem, 19 jenis liana, 44 jenis epifit dan 1 jenis sikas. (Bengen 2000). Beberapa jenis pohon yang banyak dijumpai di wilayah pesisir Indonesia adalah Bakau (Rhizophora. spp.), Api-api (Avicennia spp.), Pedada (Sonneratia spp.), Tanjang (Bruguiera spp.), Nyirih (Xylocarpus spp.), Tenger (Ceriops spp) dan, Buta-buta (Exoecaria spp.) (Nontji 1987). Manfaat Hutan Mangrove Hutan mangrove adalah vegetasi hutan yang hanya dapat tumbuh dan berkembang baik di daerah tropis, seperti Indonesia. Mangrove sangat penting artinya dalam pengelolaan sumberdaya di sebagian besar wilayah Indonesia. Fungsi mangrove yang terpenting bagi daerah pantai adalah menjadi penyambung

27 13 darat dan laut. Tumbuhan, hewan, benda-benda lainnya dan nutrisi tumbuhan ditransfer ke arah darat atau ke arah laut melalui mangrove. Hutan mangrove memiliki fungsi ekologis dan ekonomi yang sangat bermanfaat bagi umat manusia. Secara ekologis, hutan mangrove berfungsi sebagai daerah berpijah (spawning grounds) dan daerah pembesaran (nursery grounds) berbagai jenis ikan dan udang, berbagai jenis kerang dan spesies lainnya. Selain itu, serasah mangrove (berupa daun, ranting dan biomassa lainnya) yang jatuh di perairan menjadi sumber pakan biota perairan dan unsur hara yang sangat menentukan produktivitas perikanan perairan laut di depannya. Lebih jauh, hutan mangrove juga merupakan habitat bagi berbagai jenis burung, reptilia, mamalia dan jenis - jenis kehidupan lainnya, sehingga hutan mengrove menyediakan keanekaragaman hayati (biodiversity) dan plasma nutfah (genetic pool) yang tinggi serta berfungsi sebagai sistem penunjang kehidupan. Dengan sistem perakaran dan kanopi yang rapat serta kokoh, hutan mangrove juga berfungsi sebagai pelindung daratan dari gempuran gelombang, tsunami, angin topan, perembesan air laut dan gaya-gaya dari laut lainnya (Dahuri 2002). Mangrove dapat menyediakan makanan dan tempat berkembang biak berbagai jenis ikan dan udang. Ekosistem mangrove menyediakan plasma nutfah yang cukup tinggi hingga 157 jenis tumbuhan tingkat tinggi dan rendah, 118 jenis fauna laut, dan berbagai jenis fauna darat. Selain itu mangrove dapat mengontrol penyakit malaria, karena mangrove dapat memelihara kualitas air, menyerap CO 2, dan penghasil O 2 yang relatif tinggi dibanding tipe hutan lain (Kusmana 2002) Komunitas fauna hutan mangrove membentuk percampuran antara dua kelompok: (1) Kelompok fauna daratan/terestrial yang umumnya menempati bagian atas pohon mangrove, terdiri atas insekta, ular, primata dan burung. Kelompok ini tidak mempunyai sifat adaptasi khusus untuk hidup di dalam hutan mangrove, karena mereka melewatkan sebagian besar hidupnya di luar jangkauan air laut pada bagian pohon yang tinggi, meskipun mereka dapat mengumpulkan makanannya berupa hewan lautan pada saat air surut. (2) Kelompok fauna

28 14 perairan/aquatik, yang terdiri atas dua tipe, yaitu: yang hidup di kolam air, terutama berbagai jenis ikan dan udang ; yang menempati substrat baik keras (akar dan batang pohon mangrove) maupun lunak (lumpur), terutama kepiting, kerang dan berbagai jenis invertebrata lainnya. Ekosistem mangrove juga dapat menjadi pelindung secara alami dari bahaya tsunami. Hasil penelitian yang dilakukan di Teluk Grajagan, Banyuwangi, Jawa Timur, menunjukkan, dengan adanya ekosistem mangrove telah terjadi reduksi tinggi gelombang sebesar 0,7340, dan perubahan energi gelombang sebesar (E) = ,26 joule. Dari segi ekonomi, di sekitar lokasi hutan mangrove bisa digunakan untuk tambak udang dan budidaya air payau. Di Indonesia diperkirakan terdapat hektare lahan yang bisa dijadikan sebagai lahan tambak. Industri perikanan tambak udang merupakan salah satu industri yang menggiurkan sebelum terjadi krisis moneter. Tetapi, kemudian setelah terjadi krisis ekonomi, pembukaan hutan mangrove semakin tidak terkendali guna mempertahankan pendapatan mereka (Pratikto 2002) Fakta menunjukkan bahwa pada beberapa wilayah yang hutan mangrovenya dikonversi secara total untuk budidaya tambak, kebanyakan tingkat kesejahteraan petani masih pada tingkat pra-sejahtera. Hal tersebut antara lain diakibatkan oleh besarnya biaya yang harus ditanggung petani untuk pengendalian hama dan penyakit sebagai akibat menurunnya kualitas lingkungan (Ditjen RLPS 2002). Berbagai jenis manfaat dari hutan mangrove tersebut akan bermuara pada nilai ekonomi yang berpengaruh langsung pada kehidupan masyarakat pesisir. Kondisi Hutan Mangrove Hutan mangrove adalah ekosistem yang kompleks dan labil, karena merupakan pertemuan antara ekosistem lautan dan ekosistem daratan. Habitat mangrove berperan penting sebagai tempat berpijahnya berbagai jenis ikan, udang dan biota laut lain, serta merupakan habitat berbagai jenis burung, mamalia, dan reptil. Dengan sistem perakarannya memungkinkan berbagai jenis ikan dan biota laut hidup dan tinggal di dalamnya.

29 15 Gambar 3 Sistem perakaran mangrove yang memungkinkan untuk rumah yang baik bagi biota laut (a) bentuk akar tongkat, (b) bentuk akar cakar ayam (Bengen 2000). Di Indonesia, nilai pemanfaatan hutan mangrove masih bernilai rendah karena masih sebatas eksploitatif. Selain itu, minimnya perhatian terhadap pelestarian kawasan hutan mangrove dari berbagai pihak menjadikan pembukaan lahan hutan semakin menjadi-jadi dalam skala besar dan waktu yang cepat. Sebagai contoh kerusakan kawasan hutan mangrove di sekitar delta Mahakam, Kalimantan Timur. Kawasan hutan yang didominasi pohon nipah itu terjadi pembukaan lahan tambak udang sekitar hektar pada tahun Namun, dalam tujuh tahun terakhir, hutan mangrove yang dibuka sudah sekitar hingga hektar, dan sisanya pun rusak cukup parah (Santoso 2002). Di wilayah Cilacap, Jawa Tengah, terjadi penyusutan hutan mangrove sejak tahun Sejumlah warga di beberapa desa yang berada di sekitar Teluk Segara Anakan mengalami penurunan perolehan ikan. Mereka akhirnya berubah profesi menjadi perajin gula kelapa. Dalam proses pembuatan gula kelapa itu dibutuhkan kayu-kayu untuk memasak nira kelapa. Kayu bakar yang digunakan untuk mengolah gula kelapa tersebut dimbil dari hutan mangrove terdekat, sehingga terjadi penyusutan 0,872-1,079 meter kubik per hari (Pratikto 2002). Pertambahan penduduk yang demikian cepat terutama di daerah pantai, mengakibatkan adanya perubahan tata guna lahan dan pemanfaatan sumberdaya alam secara berlebihan, hutan mangrove dengan cepat menjadi semakin menipis dan rusak di seluruh daerah tropis. Permasalahan utama tentang pengaruh atau tekanan terhadap habitat mangrove bersumber dari keinginan manusia untuk

30 16 mengkonversi areal hutan mangrove menjadi areal pengembangan perumahan, kegiatan-kegiatan komersial, industri dan pertanian. Selain itu juga, meningkatnya permintaan terhadap produksi kayu menyebabkan eksploitasi berlebihan terhadap hutan mangrove. Kegiatan lain adalah pembukaan tambak - tambak untuk budidaya perairan, yang memberikan kontribusi terbesar bagi pengrusakan mangrove. Dalam situasi seperti ini, habitat dasar dan fungsinya menjadi hilang dan kehilangan ini jauh lebih besar dari nilai penggantinya. Luas ekosistem mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara, atau sekitar 27% dari luas mangrove di dunia. Kekhasan ekosistem mangrove Indonesia adalah memiliki keragaman jenis yang tertinggi di dunia. Sebaran mangrove di Indonesia terutama di wilayah pesisir Sumatera, Kalimantan dan Papua. Luas penyebaran mangrove terus mengalami penurunan dari 4,25 juta hektar pada tahun 1982 menjadi sekitar 3,24 juta hektar pada tahun 1987, dan tersisa seluas 2,50 juta hektar pada tahun Kecenderungan penurunan tersebut mengindikasikan bahwa terjadi degradasi hutan mangrove yang cukup nyata, yaitu sekitar 200 ribu hektar/tahun. Hal tersebut disebabkan oleh kegiatan konversi menjadi lahan tambak, penebangan liar dan sebagainya (Dahuri 2002). Upaya Konservasi Hutan Mangrove Mangrove menggambarkan suatu sumber kekayaan dan keanekaragaman kehidupan. Pada suatu negara dimana tekanan penduduk dan ekonomi terhadap zona pantai cukup tinggi, seperti halnya Indonesia, hutan mangrove dikenal sebagai pelindung utama lingkungan pantai dan sumber ekonomi nasional yang sangat berharga. Untuk itulah langkah dan upaya konservasi harus segera dilakukan untuk upaya pelestarian hutan mangrove yang merupaka kekayaan kita. Upaya pencegahan, penanaman kembali dan perbaikan tempat tumbuh mangrove menjadi tanggungjawab semua pihak. Mangrove merupakan sumber daya alam yang dapat dipulihkan (renewable resources atau flow resources) yang mempunyai manfaat ganda (manfaat sosial, ekonomis dan ekologis). Manfaat ekonomis diantaranya terdiri

31 17 atas hasil berupa kayu (kayu bakar, arang, kayu konstruksi, pulp dan lain-lain) serta hasil bukan kayu (hasil hutan ikutan dan pariwisata). Manfaat ekologis, yang terdiri atas berbagai fungsi lindungan baik bagi lingkungan ekosistem daratan dan lautan maupun habitat berbagai jenis fauna, diantaranya : sebagai proteksi dari abrasi/erosi, gelombang atau angin kencang, pengendali intrusi air laut, habitat berbagai jenis fauna, sebagai tempat mencari makan, memijah dan berkembang biak berbagai jenis ikan dan udang, pembangun lahan melalui proses sedimentasi, pengontrol penyakit malaria, memelihara kualitas air (meredukasi polutan, pencemar air), penyerap CO 2 dan penghasil O 2 yang relatif tinggi disbanding tipe hutan lain. Mangrove mempunyai nilai Produksi Primer Bersih (PPB) yang cukup tinggi, yakni: biomassa (62,9 398,8 ton/ha), guguran serasah (5,8 25,8 ton/ha/th), dan riap volume (20 cal/ha/th atau 9 m 3 /ha/th ) pada hutan tanaman bakau umur 20 tahun. Besarnya nilai produksi primer tersebut cukup berarti bagi penggerak rantai pangan kehidupan berbagai jenis organisme akuatik di pesisir dan kehidupan masyarakat pesisir. Ekosistem mangrove merupakan sumber plasma nutfah yang cukup tinggi (misal, mangrove di Indonesia terdiri atas 157 jenis tumbuhan tingkat tinggi dan rendah, 118 jenis fauna laut dan berb agai jenis fauna darat (Kusmana 2002). Indonesia dengan panjang garis pantai km merupakan modal dasar sebagai basis untuk usaha budidaya air payau. Sampai dengan tahun 1997, luas tambak yang ada sekitar ha atau tingkat pemanfaatan potensial lahannya baru sekitar 39,78%. Berdasarkan perkiraan Ditjen Perikanan (1998) potensi hutan mangrove yang akan dibangun tambak sekitar ha. Kenaikan ratarata pertambahan luas tambak di Indonesia sekitar 3,67% per tahun. Saat ini potensi lahan pertambakan diperkirakan mencapai ha. Bahkan dengan kemajuan teknologi, potensi yang tersedia diperkirakan melebihi angka tersebut, karena lahan intertidal dan marjinal yang berpasir sekalipun telah terbukti dapat dimanfaatkan untuk usaha pertambakan dengan hasil yang cukup baik. Perkiraan ini didasarkan pada data Ditjen Perikanan (1998), luas tambak sekitar ha atau perkiraan luas tambak tahun 2000 sebesar ha. Namun demikian luas hutan mangrove yang telah dikonversi menjadi tambak

32 18 diperkirakan lebih dari itu. Hal tersebut dapat dilihat pada beberapa daerah dengan kasus konversi hutan mangrove yang sangat menonjol, seperti di kawasan Delta Mahakam, Kalimantan Timur, dimana perkembangan luas konversi hutan mangrove untuk dijadikan tambak tahun 1992 sebesar ha, tahun 1998 sebesar ha dan tahun 1999 sebesar ha (Santoso 2002). Pada umumnya ada keterbatasan pemahaman tentang nilai dan fungsi mangrove diantara penentu kebijakan dan masyarakat umumnya, dan akibatnya hutan mangrove seringkali dipandang sebagai areal-areal kritis/rusak serta tidak berharga, yang perlu dipakai untuk kegunaan pemanfatan lain yang produktif. Meskipun demikian, nilai hakiki ekosistem mangrove sangat besar dan hanya akan disadari ketika investasi besar diperlukan untuk melindungi pan tai dan bangunan-bangunan treatment air, sehingga dilakukan upaya untuk merehabilitasi kembali fungsi alami hutan mangrove (Ditjen RLPS 2002). Tambak Tumpangsari Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan penting di wilayah pesisir dan kelautan. Selain mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan (nursery ground) berbagai macam biota, penahan abrasi pantai, amukan angin taufan dan tsunami, penyerap limbah, pencegah interusi air laut, dll., hutan mangrove juga mempunyai fungsi ekonomis yang tinggi seperti sebagai penyedia kayu, tanin, obat-obatan, alat dan teknik penangkapan ikan. Pengelolaan hutan mangrove melalui pendekatan perhutanan sosial merupakan suatu konsep untuk membantu masyarakat disepanjang jalur pantai dengan meningkatkan pendapatan ekonominya sehingga diharapkan dapat membantu perhutani dalam menjaga kualitas hutan mangrove sebagai sistem multi guna baik untuk perikanan maupun kehutanan (Soewardi, 1994). Saat ini sedang dikembangkan pemanfaatan hutan mangrove untuk budidaya tambak dan peternakan. Sudah dicobakan di Desa Tegalurung Kecamatan Legonkulon Kabupaten Subang, Jawa Barat yaitu menyiapkan bakau di pematang tambak dan dikombinasikan dengan ternak kambing. Hasil tambaknya semakin tinggi karena

33 19 adanya pemasokan bahan organik dari kotoran kambing dan pertumbuhan bakau cukup cepat. Pada dasarnya terdapat tiga pilihan untuk pengelolaan dan pengembangan mangrove: (1) Perlindungan ekosistem dalam bentuk aslinya; (2) Pemanfaatan ekosistem untuk menghasilkan berbagai produk dan jasa yang didasarkan pada prinsip kelestarian; (3) Pengubahan (atau perusakan) ekosistem alami, biasanya untuk suatu pemanfaatan tertentu. Dalam kenyataannya, pertimbangan ekonomi dan ekologis tidak dapat dipisahkan dalam mengevaluasi berbagai alternatif pengelolaan mangrove (Dahuri 1996). Mina hutan merupakan pola pendekatan teknis yang cukup baik, yang terdiri atas rangkaian kegiatan terpadu antara kegiatan budidaya ikan dengan kegiatan penanaman, pemeliharaan, pengelolaan dan upaya pelestarian hutan mangrove. Sistem ini memiliki teknologi sederhana, dapat dilakukan tanpa merusak tanaman bakau yang ada dan dapat dilakukan sebagai kegiatan sela sambil berusaha menghutankan kembali kawasan jalur hijau di daerah pantai yang kritis (Perhutani 1993). Dengan pola ini, diharapkan ada kerjasama yang saling menguntungkan antara masyarakat yang tinggal di sepanjang pantai sebagai petambak penggarap dan pihak kehutanan. Sistem empang parit dan sistem empang inti merupakan alternatif aplikasi dari sistem mina hutan. Dalam sistem empang parit ini, tambak yang digunakan untuk budidaya dibuat dalam bentuk parit yang mengelilingi hutan mangrove. Dengan luas parit 20% :mangrove 80% atau parit 40% : mangrove 60% dari luas anak petak, makin besar proporsi hutan mangrove akan memberikan nilai ekologi yang semakin besar bagi lingkungan, tetapi sebaliknya akan mengurangi nilai ekonomi dari hasil tambak. Luas anak petak berkisar antara 0,3 3 ha. Sistem ini secara konvensional sudah dilakukan sejak tahun 1968, tetapi baru dikembangkan secara semi konvensional sejak tahun 1986 (Departemen Kehutanan dan Perkebunan 1999).

34 20 Ketahanan tambak tumpangsari tergantung dari jenis tanaman mangrove dan periode pertumbuhannya. Jenis utama dalam budidaya perikanan yang diusahakan di tambak tumpangsari adalah bandeng, mujair, blanak dan hasil tambahan lain seperti udang dan kepiting yang dapat dipanen setiap hari (Sukardjo 1989). Jenis mangrove yang ditanam adalah Bakau (Rhizoppora mucronata) dan Api-api (Avecennia marina) dengan jarak tanam yang dianjurkan adalah 3x3 meter, tetapi dalam praktiknya Perum Perhutani masih memberikan kelonggaran untuk jarak tanam 5x5 meter. Manfaat dari pengelolaan hutan mangrove melalui pendekatan sosial dengan sistem tumpangsari dengan pola empang parit adalah (1) meningkatkan persentase keberhasilan tanaman mangrove di atas 80% dengan jenis ikan yang diusahakan adalah bandeng, udang dan kepiting; (2) terbinanya petani penggarap empang dalam wadah Kelompok Tani Hutan (KTH) yang melibatkan Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan serta Perum Perhutani; (3) meningkatkan taraf hidup masyarakat terutama yang tergabung dalam KTH; (4) gangguan terhadap keamanan dan kelestarian mangrove menurun; (5) adanya pengakuan dari dunia internasional terhadap keberhasilan program perhutanan sosial payau (Perum Perhutani 1993). Analisis Usahatani Tambak Tumpang Sari Sistem Empang Parit Analisis usahatani tambak tumpangsari sistem empang parit dimaksudkan untuk mengetahui tingkat efektivitas dan efisiensi penggunaan hutan mangrove sebagai tambak tumpangsari dengan sistem empang parit. Menurut Soekartawi (1995), suatu usahatani dikatakan efektif jika petani dapat mengalokasikan sumberdaya yang dimiliki sebaik-baiknya, sedang yang dimaksud efisien adalah jika pemanfaatan sumberdaya tersebut dapat memperoleh hasil yang lebih besar. Efisiensi usahatani dapat diukur dengan cara menghitung efisiensi teknis, harga dan efisiensi ekonomis. Kelayakan pemanfaatan hutan mangrove sebagai tambak tumpangsari dengan sistem empang parit dapat diukur dari nilai : Return Cost Ratio,

35 21 Kecepatan Pengembalian Modal, Laju Keuntungan Bersih dan Break Event Point ( Sutadi dan Dedi Heryadi 1992). 1. Return Cost Ratio (RC) merupakan perbandingan nisbah antara pendapatan dengan biaya yang dikeluarkan. Biaya yang diperlukan dalam usaha pengelolaan tambak terdiri dari biaya tetap, yaitu biaya yang dikeluarkan dalam usahatani dan nilainya tidak dipengaruhi oleh besarnya penerimaan, misalnya sewa lahan dan penyusutan investasi dan biaya tidak tetap, yaitu biaya yang dikeluarkan dalam usahatani yang nilainya tergantung pada penerimaan, misalnya; sarana produksi, tenaga kerja (Soekartawi 1995). Secara teoritis jika nilai R/C = 1 maka usaha tersebut dikatakan tidak untung dan tidak rugi. Tetapi karena dalam usaha tani sering terjadi kesulitan dalam menghitung tenaga kerja yang dilakukan oleh keluarga sendiri, maka dalam menentukan tingkat kelayakan peneliti dapat menggunakan nilai R/C minimal 1,5 atau 2, untuk menyatakan bahwa usaha tani tersebut layak dilakukan. 2. Kecepatan Pengembalian Modal merupakan nilai yang menunjukkan tingkat kemampuan seorang pengusaha untuk mengembalikan modal investasi yang ditanamnya. Kecepatan Pengembalian Modal ini merupakan perbandingan antara: Nilai bersih hasil usaha + penyusutan investasi Total Investasi Nilai bersih hasil usaha merupakan nilai usaha yang sudah dikurangi dengan pajak, sedangkan penyusutan investasi dilakukan secara tetap tiap tahun selama umur ekonomi barang investasi. 3. Laju Keuntungan Bersih menggambarkan besarnya keuntungan bersih dalam satu periode waktu usaha berdasarkan modal operasional yang dikeluarkan. Laju Keuntungan Bersih merupakan perbandingan antara nilai bersih dari suatu usaha di bandingkan dengan biaya yang dikeluarkan dalam usaha tersebut (biaya tetap dan biaya tidak tetap). 4. Break Event Point (BEP) merupakan suatu nilai dimana hasil penjualan produksi (penerimaan) sama dengan biaya produksi, sehingga pada saat itu pengusaha mengalami titik impas. Dalam usaha tani tambak ini nilai BEP

36 22 menunjukan pendapatan minimum pertahun yang harus diperoleh oleh petani sehingga petani dapat mengembalikan modal produksinya. 5. Untuk mencari pengaruh keberadaan hutan mangrove dengan pendapatan petani tambak akan dianalisis dengan analisis regresi sederhana, sehingga nampak ada dan tidaknya pengaruh luasan hutan mangrove dalam tambak sistem empang parit terhadap hasil tambak yang diperoleh petani. Hal ini sangat penting untuk diketahui oleh masyarakat yang selama ini mencari nafkah dan masa depannya dari tambak sistem empang parit. Untuk mengetahui pola mana yang memberikan hasil beda secara statistik, digunakan uji beda dan dilanjutkan dengan uji LSD (Leas Significant Difference) dengan α 5%. (Sudjana 2002).

37 METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di kawasan hutan mangrove Kecamatan Lagonkulon, Kabupaten Subang, Propinsi Jawa Barat. Dipilihnya Kecamatan Legonkulon karena Kecamatan Legonkulon merupakan satu-satunya kecamatan di Kabupaten Subang, Jawa Barat yang memiliki areal hutan mangrove terluas dan terbaik. Hutan mangrove yang berada di Kecamatan Legonkulon ini merupakan wilayah Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Ciasem dan Pamanukan, Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Purwakarta, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat, yang terdiri dari lima desa yaitu : Desa Mayangan, Pangarengan, Anggasari, Legon Wetan dan Desa Tegalurung. Penelitian ini dilakukan selama 6 bulan dimulai pada bulan Agustus 2005 sampai bulan Januari 2006 yang terbagi dalam beberapa tahap kegiatan yaitu: observasi wilayah, pengambilan data primer, pengambilan data sekunder, pengolahan data dan pelaporan. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner dan peta wilayah dari BKPH serta data pendukung dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang. Sedang alat yang digunakan adalah alat tulis, kamera, meteran dan tali. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan studi kasus, yaitu meneliti tentang suatu obyek yang berkenaan dengan fase spesifik atau khas dari keseluruhan personalitas. Satuan kasusnya adalah hutan mangrove serta individu yang berada di dalamnya di Kecamatan Legonkulon yang terdiri dari lima desa. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh tambak tumpangsari di Kecamatan Legonkulan. Sedangkan sampel dalam penelitian ini adalah tambak sistem empang parit yang berada di

38 24 Kecamatan Legonkulo n sebanyak tiga desa dan obyeknya adalah tambak tumpangsari sistem empang parit dengan pola 80:20, 70:40, 60:40, 50:50 dan tambak tanpa hutan mangrove. Metode pengambilan sampel dilakukan secara purposive, dengan tahapan: 1. Pengamatan seluruh hutan mangrove yang ada di Kecamatan Legonkulon, yang terdiri dari lima desa yaitu: desa Mayangan, Pangarengan, Anggasari, Legon Wetan dan desa Tegalurung. Dari pengamatan dan pendataan di Perum Perhutani Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Ciasem dan Pamanukan diperoleh data kondisi hutan mangrove seperti pada Tabel 1. Tabel 1 Kondisi Hutan Mangrove di Kecamatan Legonkulon (DKP, Subang, 2003). No Nama Desa Luas Hutan (ha) Kondisi 1 Pangerengan 1.158,54 Kurang baik 2 Mayangan 285,80 Kurang baik 3 Tegalurung 407,65 Baik 4 Anggasari 633,45 Sedang 5 Legon Wetan 304,45 Sedang Jumlah Pemilihan lokasi penelitian yaitu diambil tiga desa dengan kondisi hutan kurang, sedang dan baik yang masing-masing diwakili oleh: Desa Pangarengan (kondisi hutanya kurang baik), Desa Anggasari (dengan kondisi hutan sedang) dan Desa Tegalurung dengan kondisi hutan yang baik. 3. Dari tiga desa yang terpilih tersebut, diambil sampel dari berbagai pola yang akan diteliti yang selanjutnya diberi tanda dan kode, dari kegiatan ini dipilih berdasarkan kemudahan dalam mengambil data (informasi dari ketua KUD), maka diperoleh sampel sebagai berikut:

39 25 tambak yang memiliki lebar parit 3 m dengan kondisi hutan yang baik sesuai standart Perum Perhutani yaitu jarak antar tanaman pokok maksimal 5x5 meter, selanjutnya dianggap sebagai pola 80:20, 15 tambak yang memiliki lebar parit 4 m dengan kondisi hutan yang baik, selanjutnya dianggap sebagai pola 70:30, 15 tambak yang memiliki lebar parit 5 m dengan kondisi hutan yang baik, selanjutnya dianggap sebagai pola 60:40, 15 tambak yang memiliki lebar parit lebih dari 5 m dengan kondisi hutan yang tidak baik/tidak teratur, selanjutnya dianggap sebagai pola 50:50, 15 tambak yang tidak memiliki hutan mangrove, yang merupakan milik petani (tanah milik), selanjutnya disebut tambak dengan pola tanpa hutan. 4. Setelah didapat pengelompokan tersebut, maka didata nama-nama pemilik tambak dan selanjutnya dijadikan sebagai responden dalam penelitian ini. 5. Dengan menggunakan kuisioner, sumber dari KUD maupun dari Tempat Pelelangan Ikan, maka diperoleh data yang diharapkan, yaitu hasil yang diperoleh dari pengusahaan tambak sistem empang parit dan biaya yang dikeluarkan dalam pengusahaan tambak tersebut. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang akan dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan langsung, kunjungan dan wawancara terhadap responden menggunakan daftar pertanyaan (kuisioner) yang telah dirancang dan dipersiapkan. Sedangkan data sekunder dipero leh dari instansi atau lembaga yang terkait. a. Data primer berupa : 1. Hasil tangkapan harian yaitu hasil yang diperoleh setiap hari oleh petani tambak dari berbagai pola. Hasil tangkapan harian ini pada umumnya berupa udang api atau udang windu yang ukurannya sudah menguntungkan menurut perkiraan petani. Hasil tangkapan harian ini diperoleh petani dengan cara memasang bubu pada pintu air dari saluran ke areal tambak. Pemasangan dilakukan pada jam 4 sore dan diambil setiap jam 5 pagi, dilakukan setiap

40 26 hari. Jika dalam bubu terdapat udang atau ikan yang belum dikehendaki, maka dikembalikan lagi ke tambak. Ikan yang masuk kedalam bubu adalah ikan yang berasal dari tambak pada saat air laut surut. Data ini diperoleh dari petani langsung maupun dari Tempat Pelelangan Ikan setempat. Hasil tangkapan harian ini dinyatakan dalam bentuk nilai uang (rupiah). Petambak menerima uang dalam jumlah tertentu dan ditulis dalam bentuk kitir. Kitir ini sebagai bukti pendapatan petani dan dibukukan oleh petugas pelelangan. 2. Hasil pokok budidaya yang dilakukan dalam tambak yaitu udang windu dan bandeng. Hasil budidaya ini diperoleh petani setelah waktu panen (5-6 bulan). Cara panen hasil budidaya ini dengan menguras air pada empang dengan menggunakan mesin pompa. Hasilnya dinyatakan dalam volume dan nilai rupiah berdasar hasil pengisian dalam kuisioner. 3. Hasil sampingan budidaya berupa udang putih dan ikan mujaer. Hasil sampingan ini diperoleh bersama-sama pada saat panen bandeng dan udang yang dibudidayakan. Dikatakan hasil sampingan karena petani tambak tidak pernah menebar benih ikan mujaer maupun udang putih. Kedua jenis komoditas ini masuk pada saat air pasang, selanjutnya tumbuh dan berkembang di dalam tambak. Hasil samping ini dipanen bersamaan dengan panen udang dan bandeng. Hasil sampingan ini juga dapat dinyatakan dalam bentuk volume dan nilai uang (rupiah). 4. Biaya yang dikeluarkan oleh petani tambak, yang terdiri dari biaya investasi (pembuatan tambak) dan peralatan lain, biaya tetap dan biaya tidak tetap atau biaya variabel. Data tentang besarnya biaya yang dikeluarkan dalam pengelolaan tambak ini dipeorleh dari petani langsung melalui wawancara, wawancara dengan ketua KUD dan sebagian diambil dari data Perum Perhutani BKPH Ciasem dan Pamanukan. b. Data sekunder berupa : 1. Keadaan wilayah secara umum (dari Perum Perhutani, Pemerintah Kecamatan Legonkulon dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang).

41 27 2. Karakteristik petani tambak secara umum dari Pemerintah Desa, dari Perum Perhutani. 3. Potensi wilayah perairan tempat penelitian serta keadaan khusus wilayah perairan diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang. 4. Peta lokasi/daerah penelitian diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang. Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis dengan Analisis Usahatani dengan menghitung: Return Cost Ratio, Kecepatan Pengembalian Modal, Laju Keuntungan Bersih dan Break Event Point ( Sutadi dan Dedi Heryadi 1992). 1. Return Cost Ratio (RC) merupakan perbandingan nisbah antara pendapatan dengan biaya yang dikeluarkan. Secara matematis nilai R/C dapat dihitung dengan rumus: R (Return) = penerimaan C (Cost) = biaya, yang terdiri dari : FC (fixed cost) = biaya tetap dan VC (variable cost) = biaya tidak tetap Biaya tetap merupakan biaya yang dikeluarkan dalam usahatani yang nilainya tidak dipengaruhi oleh besarnya penerimaan, misalnya sewa lahan dan penyusutan investasi. Sedangkan biaya tidak tetap merupakan biaya yang dikeluarkan dalam usahatani yang nilainya tergantung pada penerimaan, misalnya; sarana produksi, tenaga kerja (Soekartawi, 1995). Secara teoritis jika nilai R/C = 1 maka usaha tersebut dikatakan tidak untung dan tidak rugi. Tetapi karena dalam usaha tani sering terjadi kesulitan dalam menghitung tenaga kerja yang dilakukan oleh keluarga sendiri, maka dalam menentukan tingkat kelayakan peneliti dapat menggunakan nilai R/C minimal 1,5 atau 2, untuk menyatakan bahwa usaha tani tersebut layak dilakukan. 2. Kecepatan Pengembalian Modal merupakan nilai yang menunjukkan tingkat kemampuan seorang pengusaha untuk mengembalikan modal investasi yang ditanamnya.

42 28 Kecepatan Pengembalian Modal ini secara matematis dapat dihitung dengan rumus: Nilai bersih hasil usaha + penyusutan investasi Total Investasi Nilai bersih hasil usaha merupakan nilai usaha yang sudah dikurangi dengan pajak, sedangkan penyusutan investasi dilakukan secara tetap tiap tahun selama umur ekonomi barang investasi. 3. Laju Keuntungan = NI FC + VC = Nilai bersih biaya tetap+ biaya tidak tetap yang menggambarkan besarnya keuntungan bersih setiap waktu berdasarkan modal operasional yang dikeluarkan. NI = Nilai bersih hasil usaha, merupakan nilai usaha yang sudah dikurangi dengan pajak merupakan nilai. FC (fixed cost) = biaya tetap dan VC (variable cost) = biaya tidak tetap 4. Break Event Point (BEP) merupakan suatu nilai dimana hasil penjualan produksi (penerimaan) sama dengan biaya produksi, sehingga pad a saat itu pengusaha mengalami titik impas. Dalam usaha tani tambak ini nilai BEP menunjukan pendapatan minimum pertahun yang harus diperoleh oleh petani sehingga petani dapat mengembalikan modal produksinya. Secara matematis nilai BEP dapat dihitung dengan rumus: BEP = FC, dimana ; VC 1 - GI FC = fixed cost = biaya tetap, VC = variable cost dan GI = Gross Income adalah pendapatan kotor sebelum dipotong pajak. 5. Uji Beda Uji beda yang digunakan dalam analisis data adalah analisis varians yaitu untuk menguji variasi atau ragam data yang diperoleh dari berbagai pola tambak. Dari analisis varians ini akan dapat disimpulkan bahwa antar pola ada yang berbeda nyata jika nilai F hitung > F tabel, dan sebaliknya semua pola tidak berbeda nyata atau tidak memberikan keragaman artinya semua pola sama jika F hitung < F tabel. Jika minimal ada satu pola yang berbeda

43 29 nyata, maka untuk mengetahui pola mana yang berbeda nyata diuji dengan uji LSD (Leas Significant Difference) dengan α 5%, Sudjana (2002). 6. Analisis Regresi Analisis regresi dalam penelitian ini dimaksudkan untuk mencari hubungan fungsional antara berbagai pola tambak (X) dengan biaya (Y) yang dikeluarkan untuk usaha, serta untuk mengetahui hubungan fungsional antara berbagai pola tambak (X) dengan pendapatan yang diperoleh petani tambak (Y). Menurut Sudjana (2002), hubungan fungsional tersebut dinyatakan dalam bentuk persamaan matematis: Y = a + bx, untuk hubungan fungsional yang linier dan Y = a + bx + cx 2, untuk menyatakan hubungan fungsional nonlinier. Y adalah variabel tidak bebas dan X adalah variabel bebas, sedangkan a, b, c adalah koefisien persamaan regresi yang dihitung dengan rumus:?y i = na + b? X i + c? X 2 i?xiyi = a? Xi + b?x 2 i + c? X 3 i?x 2 iy i = a? X 2 i + b? X 3 i + c? X 4 i Hasil perhitungan dari analisis regresi ini disajikan dalam bentuk grafik yang menyatakan hubungan fungsional antara pola tambak dengan biaya maupun hubungan fungsional antara pola tambak dengan pendapatan petani.

44 DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kecamatan Legonkulon berada di sebelah utara kota Subang dengan jarak ± 50 km, secara geografis terletak pada 107 o 44 BT sampai 107 o 51 BT dan 6 o 13 LS sampai 6 o 27 LS. Topografi wilayah, landai/dataran rendah dengan ketinggian antara 0-4 m diatas permukaan air laut, secara administratif dibatasi oleh : - Sebelah Selatan : Wilayah Kecamatan Pamanukan - Sebelah Barat : Wilayah Kecamatan Blanakan - Sebelah Timur : Wilayah Kecamatan Pusakanagara dan - Sebelah Utara : Laut Jawa Kecamatan Legonkulon merupakan salah satu kecamatan dari dua puluh dua kecamatan yang ada di Kabupaten Subang dan merupakan satu kecamatan dari empat kecamatan yang berada di wilayah pesisir. Kecamatan ini memiliki delapan desa dan lima desa diantaranya merupakan desa yang berada di wilayah pantai dengan hutan mangrove terbaik di Kabupaten Subang. Dengan letak wilayah seperti itu maka Kecamatan Legonkulon merupakan salah satu Kecamatan yang mampu memasok kebutuahn ikan bagi masyarakat Subang maupun daerah lain sekitarnya. Gambar 4 Peta keberadaan hutan mangrove di wilayah pesisir Kabupaten Subang (warna hijau) (DKP Kab Subang, 2003).

45 31 Luas Wilayah dan Keadaan Penduduk Kecamatan Legonkulon memiliki luas wilayah ha yang terbagi menjadi delapan desa yaitu : Desa Legon Wetan ha, Desa Bobos ha, Desa Mayangan ha, Anggasari ha, Karang Mulya 367 ha, Pangarengan ha, Tegalurung ha dan Legonkulon ha. (Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Subang 2003). Jumlah penduduk Kecamatan Legonkulon tahun 2003 mencapai jiwa yang terdiri dari laki-laki dan perempuan dengan jumlah Kepala Keluarga sebanyak KK. Tingkat pendidikan masyarakat masih rata-rata di bawah SD dengan mata pencaharian Kepala Keluarga: 54,31% petani dan buruh tani, 32,11% pengelola dan penggarap tambak, 5,13% pedagang dan wirausaha serta, 1,56% bekerja di luar negeri dan 6,89% pegawai negeri. Karakteristik Fisik Perairan Pantai 1. Suhu dan Salinitas Perairan Suhu dan salinitas di wilayah perairan pantai berfluktuasi secara musiman yang dipengaruhi oleh dinamika perairan Laut Jawa. Secara umum fluktuasi suhu bulanan di Laut Jawa menunjukan adanya dua puncak maksimum sekitar 28,7 o C dan minimum pada suhu 27,5 o C. Puncak maksimum terjadi dalam periode musim peralihan ( bulan Mei dan Nopember), sedangkan puncak minimum terjadi bulan Agustus dan Februari (puncak musim Timur dan Barat). Rata-rata suhu bulanan 27,8 o C. Rerata salinitas bulanan di perairan Laut Jawa berkisar antara 31,5% sampai 33,7%, salinitas maksimum pertama (33,7%) dan kedua (33,3%) terjadi pada bulan September dan Nopember, sedangkan salinitas minimum pertama (31,8%) dan salinitas minimum kedua (31,3%) terjadi pada Pebruari dan Mei. Hasil pengukuran distribusi salinitas dibeberapa muara sungai di wilayah pantai Subang, berkisar antara 0,5 sampai 3,5 km, tergantung pada pengaruh kekuatan pasang surut dan kecepatan aliran arus sungai. Pengaruh salinitas terkecil terjadi di muara sungai Cipunagara dan terjauh pada aliran muara sungai Batang Kecil.

46 32 2. Bathimetri Perairan Perairan pantai Subang memiliki kedalaman yang relatif dangkal (kurang dari 20 m), dengan gradien kedalaman yang relatif landai. Untuk kedalaman kurang dari 5 m di sekitar Blanakan gradiennya sekitar 0,0027 demikian juga di sekitar Pusakanagara. Di perairan dengan kedalaman antara 5 10 m gradiennya antara 0,0006 (di Blanakan) sampai 0,0027 (di Pusakanagara). Ini menunjukkan bahwa pantai bagian barat lebih landai dari pada pantai dibagian timur. Wilayah pantai Blanakan yang berbentuk seperti teluk, memungkinkan terjadinya proses pengendapan sedimen dari sungai dar dari sedimen angkutan pantai menjadi lebih besar. Dari hasil observasi diperoleh bahwa tanah timbul akibat pengendapan ini mencapai 400 ha, yang berada disekitar muara sungai Blanakan. Sedangkan di wilayah timur pantai Subang, cenderung terjadi penggerusan garis pantai atau abrasi yang terjadi di wilayah pantai Pusakanagara dan beberapa wilayah di Mayangan (Legonkulon) yang berbentuk delta. Gambar 5 Peta Bathimetri di Perairan Subang(DKP Kab Subang, 2003)

47 33 3. Gelombang Perairan Gelombang memegang peranan yang penting dalam proses fisik di pantai dan umumnya gelombang yang terjadi di pantai dibangkitkan oleh angin. Hasil pengamatan gilombang yang dilakukan di pantai Mayangan Kecamatan Legonkulon dan pantai Ciasem, pada musim peralihan (bulan Mei) gelombang berkisar antara 4 m sampai 42 m dengan periode gelombang antara 2,0 sampai 6,5 detik. Arah rambatan gelombang yang dominan dari arah Utara dan Timur Laut. Gelombang tertinggi diperkirakan pada musim Barat yang mencapai 1 m. Arah arus gelombang dapat dilihat pada Gambar 6. Gambar 6 Arah aliran gelombang dari Timur Laut di Perairan Subang (DKP Kab Subang, 2003). 4. Arus Perairan Pantai Pola arus perairan di pantai Subang secara umum mengikuti pola arus Laut Jawa, arus musiman sangat dominan di wilayah perairan ini. Antara bulan Mei dan September yang merupakan periode musim Timur, arus musim bergerak ke arah Barat dengan kecepatan maksimum sekitar 25 cm/det. Dari bulan Nopember sampai Maret arus musim mengalir kearah Timur dengan kecepatam maksimum sekitar 30 cm/det. Dalam bulan April dan Oktober arah arus musim berubah-ubah.

48 34 Pengukuran arus perairan di wilayah pantai Subang menunjukkan bahwa di perairan pantai Mayangan arus pasang berkisar antara 1,4 31,5 cm/det mengalir dominan kearah Barat, dan arus surut berkisar antara 0,7 28,1 cm/det yang mengalir dominan ke arah Barat. Di lokasi pantai Ciasem arus pasang berkisar antara 1,5 30,7 cm/det yang dominan ke arah Barat, sedang arus surut berkisar anatar 1,9 33,5 cm/det dominan ke arah Barat. Kondisi dan Penyebaran Hutan Mangrove di Kecamatan Legonkulon Kecamatan Legonkulon merupakan satu-satunya kecamatan dengan hutan mangrove terbaik di Kabupaten Subang. Hutan mangrove di Kecamatan Legonkulon tersebar di 5 desa dengan kondisi yang beragam dan luasan yang bervariatif. Secara kualitatif kondisi hutan mangrove terbaik ada di Desa Tegalurung, kondisi sedang ada di Desa Anggasari dan Desa Legon Wetan, sedangkan kondisi rusak ada di Desa Mayangan dan Desa Pangarengan. Penilaian kondisi ini didasarkan pada kebijakan Perum Perhutani yang menetapkan bahwa jarak antar tanaman pokok dihutan mangrove adalah 5m x 5m, jarak tanam ini sudah mengalami perubahan dari aturan sebelumnya yaitu 3m x 3m. Tabel 2 Penyebaran hutan mangrove di Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang (DKP Subang, 2003) No Desa Luas Hutan (ha) Keterangan 1 Pangerengan 1.158,54 Kurang baik 2 Mayangan 285,80 Kurang baik 3 Tegalurung 407,65 Baik 4 Anggasari 633,45 Sedang 5 Legon Wetan 304,45 Sedang Jumla h 2.789,89 Kondisi hutan ini pengaruhnya sangat dirasakan oleh masyarakat terutama yang tinggal di daerah sekitarnya. Sebagai contoh kondisi hutan mangrove yang

49 35 rusak di Desa Pangarengan, mengakibatkan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan sulit mendapatkan air tawar, mengalami gangguan nyamuk yang begitu banyak sepanjang tahun. Sebaliknya wilayah yang kondisi hutan mangronvenya baik, masyarakat tidak mengalami kesulitan tersebut seperti masyarakat yang tinggal di Kampung Muara, Desa Tegalurung, walaupun mereka bertempat tinggal hanya beberapa meter dari batas pantai. a b c d Gambar 7 (a). Pemukiman baru di RT 11, Desa Pangarengan dengan hutan yang rusak masyarakat tidak dapat menikmati air tawar. (b, c dan d) Pemukiman di Kampung Muara, Desa Tegalurung, walaupun jaraknya dekat dengan laut tetapi masyarakat masih bisa mendapatkan air tawar.

50 36 Pemanfaatan Hutan Mangrove Sebagai Tambak (Mangrove Aquaculture) Pemanfaatan areal pertambakan di Kabupaten Subang hingga saat ini telah mencapai 83% atau 8.254,28 ha dari potensi yang ada. Berdasarkan kepemilikan, areal ini terbagi menjadi tanah Milik, tanah Timbul dan tanah Perhutani. Tabel 3 Alokasi Tambak di Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang (DKP Subang, 2003). No Nama Desa Milik(ha) Status Tanah Timbul(ha) Perhutani(ha) Jumlah(ha) 1 Pangarengan 42,5 250,0 703,3 995,8 2 Legon Wetan 205,0 200,0 217,0 622,0 3 Mayangan 120,0 376,1 496,1 4 Tegalurung 369,7 200,0 185,2 781,9 5 Anggasari 52,3 100,0 827,4 979,7 Luas Total 789,5 750,0 2309,0 3875,5 Selain sistem tambak, masyarakat pesisir Kabupaten Subang melakukan budidaya ikan di areal milik Perhutani dengan sistem Sylvofisheries. Dalam sistem ini tambak yang digunakan untuk budidaya dibuat dengan pola empang parit yaitu tambak yang dibuat berupa parit yang mengelilingi hutan bakau, dengan luas parit 20% dari luas anak petak. Luas anak petak berkisar anatar 0,3 sampai 3 ha, dengan luas garapan yang berbeda untuk masing-masing petambak. Pada umumnya luas garapan 2 ha bagi setiap penggarap. Untuk memperoleh lahan, setiap petambak diikat dengan suatu perjanjian kerjasama dengan Perum Perhutani Unit III yang berisikan hak dan kewajiban penggarap. Hak bagi petambak adalah pengelolaan tambak beserta hasilnya, sedangkan kewajiban petambak adalah membayar sewa lahan sebesar Rp Hak pengelolaan ini dapat dialihkan pada pihak lain, dan kebanyakan hak pengelolaan ini diturunkan kepada anaknya. Pemanfaatan Mangrove dengan sistem tumpang sari ini sebagian kecil sudah dimulai sejak tahun 1968 dan dilakukan pada seluruh areal hutan mangrove pada tahun 1986.

51 37 Pemanfaatan hutan mangrove sebagai tambak tumpangsari di Kecamatan Legonkulon merupakan salah satu alternatif untuk tetap menjaga kelestarian hutan mangrove di wilayah tersebut, pelaksanaanya mengacu pada aturan Perum Perhutani yaitu jarak antar tanaman 3x3 meter, dan lebar parit 3 meter. Tetapi kenyataan di lokasi terdapat berbagai pola tambak tumpang sari sistem empang parit dilihat dari jarak antar tanaman maupun lebar parit. Berdasarkan lebar parit, terdapat pola dengan lebar parit 3 meter, 4 meter, 5 meter bahkan lebih. a b c d e f Gambar 8 Tambak sitem empang parit berbagai pola yang ada di Kecamatan Legonkulon : (a) tambak pola 80:20, (b)tambak pola 70:30, (c) tambak pola 60:40, (d) tambak pola 50:50 dan (e, f) tambak dengan pola tanpa hutan. (Oktober 2005, pada saat air surut).

52 38 Ancaman Kerusakan Ekosistem Mangrove Kerusakan ekosistem mangrove di Kec amatan Legonkulon, Kabupaten Subang, Jawa Barat disebabkan karena menurunnya kualitas maupun kuantitas hutan mangrove di daerah tersebut. Penurunan kualitas hutan mangrove di wilayah ini dimungkinkan karena banyaknya buangan limbah rumah tangga dan residu pestisida dari areal persawahan yang saluran utamanya menyatu dengan saluran utama tambak dalam hutan mangrove. Hal ini terlihat dengan adanya kotoran dari limbah rumah tangga berupa plastik, kayu, pelepah pisang, bonggol pisang dan lainya yang menyangkut disaluran serta pohon mangrove. Air berwarna hitam yang mengalir disepanjang saluran juga merupakan ancaman penurunan kualitas hutan mangrove di wilayah ini. Karena air limbah tersebut banyak mengandung bahan beracun bagi tumbuhan serta dapat merusak kualitas air yang mengalir menuju hutan mangrove. a b c d Gambar 9 (a). Saluran air dari pemukiman penduduk, ( b). Saluran air dari sawah menuju muara, (c). Hutan mangrove terdekat dengan saluran air dari rumah tangga, (d). Hutan mangrove terdekat dengan saluran sawah.

53 39 Sedangkan penurunan kuantitas hutan mangrove di wilayah ini dimungkinkan karena adanya pemenuhan kebutuhan kayu bakar dan pemukiman terutama nelayan pendatang dari daerah lain. Hal ini terlihat dari aktivitas masyarakat yang banyak mengambil kayu bakar di areal hutan mangrove. Penurunan kuatitas ini akan dipercepat dengan tingginya harga minyak tanah di daerah pesisir. Di Desa Pangarengan harga minyak tanah mencapai Rp 3.500/lt dan ini sangat berat dirasakan oleh masyarakat. Akibatnya hutan mangrove terdekat dengan pemukiman mengalami kerusakan yang serius. a b c d Gambar 10 (a dan b) aktivitas manusia yang berpengaruh terhadap penurunan kuantitas hutan mangrove. (c dan d) hutan mangrove yang mengalami kerusakan akibat aktivitas masyarakat. Untuk menekan Kerusakan ekosistem mangrove yang disebabkan adanya penurunan kuantitas hutan mangrove. Pemerintah Kabupaten Subang melalui Dinas Perkebunan dan Kehutanan serta Dinas Kelautan dan Perikanan sedang

54 40 melakukan pembinaan petani tambak di Daerah Pesisir Kabupaten Subang, dengan kegiatan pembibitan dan penanaman tanaman bakau (Rhizophora. Spp.) pada areal tambak milik masyarakat. a b c Gambar 11 Upaya konservasi hutan mangrove yang sedang dilaksanakan di Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang ( Oktober, 2005 ) (a). Buah bakau yang telah dikumpulkan petani, (b). Areal pembibitan bakau di Desa Pangarengan, (c). Penanaman bakau di areal tambak petani.

55 HASIL DAN PEMBAHASAN Data dari hasil penelitian ini berupa data pokok yaitu data utama yang digunakan untuk melakukan analisis usahatani pengelolan hutan mangrove sebagai tambak tumpangsari dengan sistem empang parit di Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang, dan data pendukung yaitu data yang digunakan oleh peneliti untuk memperkuat argumen dalam menunjang analisis data. Data utama dalam penelitian ini adalah biaya dan pendapatan. Data pendukung dalam penelitian ini berupa karakteristik wilayah, karakteristik responden dan sitem pengelolaan hutan mangrove yang dilakukan oleh Perum Perhutani Wilayah III Jawa Barat dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang, untuk petani tambak milik rakyat. Data diperoleh dari petani tambak tumpangsari di hutan mangrove Kecamatan Legonkulon yang menjadi sampel (responden), yang terdiri dari 12 petani tambak untuk pola 80:20, dan masing-masing 15 orang untuk petani tambak pola 70:30, 60:40, 50:50 dan petani tambak dengan pola tambak tanpa hutan yang berlokasi di tanah milik petani sendiri. Hasil penelitian yang dimaksud dapat diuraikan sebagi berikut: Biaya Biaya yang dimaksud dalam penelitian ini adalah biaya produksi yang meliputi semua sumberdaya yang dikeluarkan oleh petani tambak sistem empang parit dalam melakukan produksi. Adapun komponen biaya ini meliputi: 1. Biaya Investasi Biaya investasi merupakan biaya yang dikeluarkan oleh petani tambak sistem empang parit untuk mencetak tambak. Dasar perhitungan biaya investasi ini adalah upah tenaga kerja harian yang berlaku di lokasi penelitian yaitu Rp ,- /orang/hari dengan hasil pencetakan tambak ± 2 m 3, dengan asumsi semua tambak berbagai pola memiliki ukuran kedalaman yang sama yaitu 1,5 meter, maka untuk mencetak 1 ha tambak diperlukan biaya: Rp ,- (seratus

56 42 delapan puluh tujuh juta lima ratus ribu rupiah). Biaya investasi untuk mencetak tambak tumpangsari sistem empang parit berbagai pola seperti pada Tabel 4. Tabel 4 Biaya pencetakan tambak tumpangsari sistem empang parit berbagai pola. No Pola Tambak Biaya Pencetakan Tambak (Rp) 1 80: ,- 2 70: ,- 3 60: ,- 4 50: , % Tambak ,- Modal yang dikeluarkan tersebut merupakan modal investasi yang memiliki umur ekonomi 30 tahun sesuai dengan umur kontrak penggunaan lahan hutan. Modal investasi ini akan dihitung penyusutannya secara tetap selama jangka waktu kontrak dan akan menjadi biaya tetap dalam tiap musim produksi. Dengan demikian biaya tetap yang dikeluarkan oleh petani tambak tumpangsari sistem empang parit akan berbanding lurus terhadap luas tambak, atau berbanding terbalik terhadap luas hutan mangrovenya. Hal ini akan berpengaruh terhadap hasil bersih yang mereka dapatkan. 2. Biaya Tetap (Fixed Cost) Biaya tetap (fixed cost) dalam pengelolaan tambak tumpangsari sistem empang parit di hutan mangrove wilayah Kecamatan Legonkulon ini terdiri dari: 1. Biaya penyusutan investasi yang dihitung berdasar besarnya investasi dari tiap-tiap pola tambak dibagi lamanya umur ekonomi tambak yaitu 30 tahun (lamanya waktu penggunaan hak guna usaha). 2. Biaya sewa lahan: merupakan biaya yang harus dikeluarkan oleh petani setiap tahun sebagai pengganti pajak. Biaya sewa lahan ini diserahkan kepada BKPH Rp ,- dan sisanya dikelola oleh kelompok tani untuk pembangunan sarana umum pada tambak. 3. Pembelian bubu, besarnya biaya pembelian bubu ini ditentukan berdasar hasil rata-rata penggunaan bubu oleh petani setiap tahun. 4. Upah kerja harian, upah kerja harian yang dimaksudkan adalah upah untuk melakukan panen harian. Upah kerja harian dihitung berdasarkan uapah

57 43 yang berlaku umum di masyarakat yaitu Rp ,- sekali panen yang dimulai dari memasang bubu sampai pengambilan hasil panen. Dalam waktu satu tahun upah kerja harian ini dihitung dengan asumsi 360 hari kerja/th. sehingga dalam waktu 1 tahun biaya yang dikeluarkan oleh petani tambak untuk melakukan panen harian sebesar Rp ,- 5. Biaya perbaikan tambak yang dilakukan setelah panen setiap musim. Nilai dari biaya perbaikan tambak ini bervariasi untuk tiap -tiap pola tambak tumpangsari sistem empang parit, makin besar proporsi tambak, maka biaya yang dikeluarkan untuk perbaikan tambak juga semakin besar. Biaya perbaikan tambak diperoleh yang tercantum dalam Tabel 5 bervariasi tergantung pada luasan tambak, untuk tambak pola 80:20, rata-rata pekerjaan perbaikan tambak dilakukan dengan tenaga kerja 15 hari kerja dengan upah rata-rata Rp ,-/hari. Demikian juga untuk pola tambak yang lain. Dari hasil pengolahan data diperoleh, biaya tetap yang dikeluarkan oleh petani tambak tumpangsari sistem empang parit berbagai pola seperti pada Tabel 5. Tabel 5 Biaya tetap yang dibutuhkan untuk usaha tambak tumpangsari sistem empang parit di Legonkulon, Kabupaten Subang Biaya tetap berbagai pola tambak (x Rp 1.000,-) No Jenis Biaya 80:20 70:30 60:40 50:50 100% tambak 1 Penyusutan , Investasi 2 Sewa Lahan Pembelian Bubu 4 Upah kerja Perbaikan Tambak Jumlah , Semakin besar ukuran tambak, biaya tetap yang harus ditanggung oleh petani tambak semakin besar yaitu adanya pertambahan pada biaya penyusutan investasi dan biaya operasional untuk perbaikan tambak setelah panen atau sebelum mengawali musim produksi.

58 44 3. Biaya Tidak Tetap (Variable Cost) Biaya tidak tetap (variable cost) dalam pengelolaan tambak tumpangsari sistem empang parit ini terdiri dari: biaya pembelian pupuk urea, pupuk TSP, benur (benih udang windu) dan nener (benih bandeng). Nilai dari biaya tidak tetap ini bervariasi untuk tiap-tiap pola tambak. Dari hasil pengolahan data diperoleh; biaya tidak tetap yang dikeluarkan oleh petani tambak tumpangsari sistem empang parit berbagai pola seperti pada Tabel 6. Tabel 6 Biaya tidak tetap dalam pengelolaan tambak tumpangsari sistem empang parit berbagai pola No Biaya tidak tetap berbagai pola tambak (Rp) Jenis Biaya 80:20 70:30 60:40 50:50 100% tambak 1 Pupuk Urea Pupuk TSP Benur Nener Jumlah Biaya variabel untuk masing-masing pola tambak ini tidak memiliki alur kenaikan dan penurunan yang teratur, hal ini disebabkan karena petani banyak yang melakukan pengusahaan tambak dengan cara coba-coba. Benih bandeng dan udang windu yang diusahakan juga bervariasi walapun petani menggunakan pola tambak yang sama. Biaya yang dikeluarkan untuk pembelian benur dan nener menggunakan harga yang berlaku di lokasi penelitian pada saat penelitian berlangsung yaitu Rp 20,-/ekor untuk benur dan Rp 40,-/ekor untuk nener. Dengan demikian diperoleh nilai untuk biaya pembelian benur dan nener juga bervariasi untuk tiap pola tambak. Sudah beberapa periode produksi sebagian besar petani tambak di Kecamatan Legonkulon tidak pernah mendapatkan hasil yang baik dalam budidaya udang windu dan bandeng, bahkan banyak petani yang tidak pernah panen udang windu yang ditebarkan pada tambaknya. terutama untuk petani tambak tanpa hutan mangrove, maka petani banyak yang mengalami trauma untuk menebar benih udang maupun bandeng pada tambaknya. Banyak petani yang

59 45 memiliki tambak luas terutama tambak tanpa hutan mangrove beberapa tahun terakhir ini tidak pernah mengalami panen udang maupun bandeng. Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan di lapangan diperoleh bahwa bandeng maupun udang windu pada tambak tanpa hutan sudah 3 tahun terakhir ini tidak dapat dibudidayakan oleh petani tambak. Hal ini yang membuat penghasilan petani tambak pada pola tertentu hanya diperoleh dari hasil tangkapan udang harian. Penyebab ketidakberhasilan petani membudidayakan udang windu dan bandeng pada pola tertentu, masih belum diketahui dengan pasti, tetapi ada beberapa pengusaha dari luar daerah (Jakarta) mampu membudidayakan bandeng pada tambak tanpa hutan dengan cara intensif. Hal ini tentu tidak akan dapat dilakukan oleh petani tradisional karena keterbatasan dana untuk melakukan pengelolaan tambak secara intensif tersebut, lebih-lebih saat ini harga pakan untuk bandeng sudah mencapai Rp ,-/karung, sedangkan untuk 1 ha tambak dengan jumlah benih tebar ekor, bisa menghabiskan pakan 100 karung lebih tiap musim produksi. Sehingga untuk melakukan budidaya bandeng dan udang secara intensif seorang petani harus mengeluarkan biaya lebih dari Rp ,-/tahun. Hal inilah yang sekarang terjadi pada areal tambak petani di Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang, Jawa Barat. mengandalkan dari hasil tangkapan harian. Sebagian besar petani tambak hanya Dari uraian tersebut dapat dijelaskan bahwa biaya produksi pengusahaan tambak tumpangsari sistem empang parit dalam hutan mangrove di Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang, Jawa Barat bervariasi tergantung pada pola perbandingan antara hutan dan tambak. Biaya produksi pengusahaan tambak tersebut disajikan dalam Tabel 7. Tabel 7 Biaya produksi pengelolaan tambak tumpangsari sistem empang parit berbagai pola. No Jenis Biaya Biaya produksi berbagai pola tambak (Rp) 80:20 70:30 60:40 50:50 100% tambak 1 Biaya Tetap Biaya Tidak Tetap Jumlah

60 46 Hubungan antara berbagai pola tambak dengan biaya produksi yang dikeluarkan oleh petani tambak tumpangsari sistem empang parit di Kecamatan Legonkulon dapat dilihat pada Gambar 15. Gambar 12 Grafik hubungan antara pola tambak tumpangsari sis tem empang parit dengan biaya produksi/tahun di Kecamatan Legonkulon Dari grafik tersebut nampak bahwa antara luas hutan dengan biaya yang dikeluarkan dalam pengelolaan tambak tumpangsari sistem empang parit berbanding lurus artinya makin kecil komposis i hutan mangrove, makin kecil pula biaya yang dikeluarkan oleh petani tambak tumpangsari sistem empang parit. Besarnya hubungan antara pola tambak tumpangsari sistem empang parit dengan biaya produksi juga dapat dihintung dengan menggunakan persamaan regresi sebagai berikut:

61 47 Tabel 8 Analisis regresi hubungan keberadaan hutan mangrove terhadap biaya produksi pengelolaan tambak sistem empang parit Dengan menggunakan rumus: maka didapatkan nilai a = ,2 b = ,6 c = ,1 Y = , ,6X ,1X 2 dengan : Y = biaya produksi dan X = proporsi hutan pada pola tambak Uraian tentang biaya pengelolaan tambak tumpangsari sistem empang parit lebih jelas diuraikan pada Lampiran 6a-6e. Pendapatan Pendapatan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah semua hasil yang diperoleh petani tambak tumpangsari sistem empang parit di hutan mangrove yang menjadi sampel atau responden dalam penelitian ini. Pendapatan petani tambak yang dievaluasi adalah pendapatan yang riil diterima oleh petani dari masingmasing pola tambak empang parit. Pendapatan petani tambak empang parit dalam penelitian ini dibagi menjadi empat kelompok hasil langsung dari tambak sistem empang parit dan satu jenis penghasilan yang diperoleh petani dari hutan mangrove. Hasil pengelolaan tambak yang dimaksud meliputi:

62 48 1. Penghasilan Tangkapan Harian Penghasilan tangkapan harian petani tambak sistem empang parit ini pada umumnya berupa udang api-api, ada sedikit jenis ikan dan udang lain yang tidak tentu, sehingga dalam perhitungan secara umum menggunakan dasar perhitungan dari KUD Mina Karya Laksana dan Tempat Pelelangan Ikan. Hasil tangkapan harian ini diperoleh petani dengan cara memasang bubu pada pintu air dari saluran ke areal tambak. Pemasangan dilakukan pada jam 4 sore dan diambil setiap jam 5 pagi, dilakukan setiap hari. Jika dalam bubu terdapat udang atau ikan yang belum dikehendaki, maka dikembalikan lagi ke tambak. Ikan yang masuk kedalam bubu adalah ikan yang berasal dari tambak pada saat air laut surut. Data ini diperoleh dari petani langsung maupun dari Tempat Pelelangan Ikan setempat. Hasil tangkapan harian ini dinyatakan dalam bentuk nilai uang (rupiah). Petambak menerima uang dalam jumlah tertentu dan ditulis dalam bentuk kitir. Kitir ini sebagai bukti pendapatan petani dan dibukukan oleh petugas pelelangan. Gambar 13. Bubu, alat penangkap udang api.

63 49 Gambar 14 Jenis hasil tangkapan harian di pelelangan Dari hasil pengumpulan data yang disajikan dalam Lampiran 1a-1e, dipero leh bahwa hasil tangkapan harian untuk tiap-tiap pola tambak berbedabeda, seperti pada Tabel 9. Tabel 9 Hasil tangkapan harian dari tambak tumpangsari sistem empang parit berbagai pola No PolaTambak Hasil Tangkapan Harian (Rp/th) Luas tambak sesuai pola Penyetaraan tambak dalam 1 ha 1 80: : : : % Tambak Hasil tangkapan harian ini diperoleh dengan cara memasang bubu pada pintu air yang menghubungkan antara saluran air utama dengan tambak. Pada saat air pasang, air membawa benur udang api-api, udang putih, ikan mujaer serta jenis ikan lain masuk ke dalam tambak. Benih -benih ikan dan udang tersebut berkembang di dalam tambak. Tambak yang memiliki hutan mangrove dalam kondisi baik memungkinkan berbagai benih ikan dan udang tersebut berkembang

64 50 secara baik. Pada saat air laut surut udang atau jenis ikan yang ada di dalam tambak berusaha keluar dan terperangkap dalam bubu. Pada saat pengambilan ikan atau udang, petani melakukan seleksi. Ikan atau udang yang tidak layak atau belum layak untuk dipanen dikembalikan dalam tambak. Menurut Dahuri (2002), secara ekologis, hutan mangrove berfungsi sebagai daerah pemijahan (spawning grounds) dan daerah pembesaran (nursery grounds) berbagai jenis ikan dan udang, berbagai jenis kerang dan spesies lainnya. Selain itu, serasah mangrove (berupa daun, ranting dan biomassa lainnya) yang jatuh di perairan menjadi sumber pakan biota perairan dan unsur hara yang sangat menentukan produktivitas perikanan perairan laut di depannya. Sekitar 90% lebih jenis ikan yang berada di laut lepas pernah mengalami minimal satu siklus hidupnya di hutan mangrove (Bengen 2000). Dengan demikian dimungkinkan benur udang api-api, udang putih, mujaer serta jenis ikan lain yang masuk pada saat air pasang mengalami pertumbuhan dan perkembangan di hutan mangrove. Pertumbuhan di hutan mangrove ini tanpa penambahan pakan karena mangrove berperan sebagai penyedia bahan makanan bagi berbagai jenis udang, kepiting dan ikan (Kusmana 2002). Selain itu mangrove juga memiliki manfaat ekologis, yang terdiri atas berbagai fungsi lindungan baik bagi lingkungan ekosistem daratan dan lautan maupun habitat berbagai jenis fauna, diantaranya sebagai proteksi dari abrasi/erosi, gelombang atau angin kencang, pengendali intrusi air laut, habitat berbagai jenis fauna, sebagai tempat mencari makan, memijah dan berkembang biak berbagai jenis ikan dan udang, pembangun lahan(munculnya tanah timbul) melalui proses sedimentasi, pengontrol penyakit malaria, memelihara kualitas air (meredukasi polutan, pencemar air), penyerap CO 2 dan penghasil O 2 yang relatif tinggi dibanding tipe hutan lain. Manfaat tersebut sangat nyata dirasakan oleh petani tambak tumpangsari sistem empang parit yang melakukan usaha tambak secara konvenbsional. Hal ini terlihat pada Tabel 9, yang menyatakan perbedaan hasil tangkapan harian petani tambak tumpangsari sis tem empang parit yang sangat menyolok antara pendapatan tangkapan harian pada pola berbagai pola tambak.

65 51 Dengan uji statistik diperoleh hasil bahwa antar pola tambak tumpangsari sistem empang parit berbeda sangat nyata terhadap hasil tangkapan harian yang diperoleh petani. Hal ini terlihat dari nilai F hitung sebesar 7.849,65 (Lampiran 8), sedangkan nialai F tabel pada uji statistik F(0.05)(4,65) = 2,51 untuk menentukan pola mana yang berbeda sangat nyata dilanjutkan dengan uji LSD sebagai berikut: t hit = t 0,025 (67) vktg*0,27 = 1,67 x v89,786,64 x 0,27 = 260,019 Tabel 10 Hasil analisis uji LSD hasil tangkapan harian berbagai pola tambak tumpangsari sitem empang parit. Pola 80: ,40 Pola 70: ,40 Pola 60: ,34 Pola 50: ,24 Pola 100% 6.983,20 Pola 80: ,40 0 Pola 70: , ,00** 0 Pola 60: , ,06** 5.321,06** 0 Pola 50: , ,16** 8.124,16** 2.803,10** 0 Pola 100% 6.983, ,20** ,20** 8.054,14** 5.251,04** 0 Keterangan : ** pola yang berbeda sangat nyata terhadap hasil tangkapan harian Dari hasil analisis diperoleh bahwa antar pola semuanya memberikan hasil uji beda sangat nyata. Ini menunjukkan bahwa proporsi hutan mangrove sangat berperan dalam meningkatkan pendapatan tangkapan harian petani tambak tumpangsari sistem empang parit di Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang. 2. Hasil Budidaya Hasil budidaya tambak tumpangsari sistem empang parit dalam hutan mangrove terdiri dari bandeng dan udang windu. Data hasil penelitian tentang hasil budidaya bandeng disajikan dalam Lampiran 2a-2e, sedangkan hasil budidaya berupa udang windu disajikan dalam Lampiran 3a-3e. Budidaya bandeng dan udang windu dilakukan 2 kali dalam satu tahun. Budidaya ini dilakukan

66 52 dengan menebar nener (benih bandeng), setelah 2 bulan baru dimasukkan benur (benih udang) keduanya dipanen bersama-sama pada bulan ke 6 atau ke 7. Hasil dari budidaya ini untuk masing-masing pola tambak berbeda-beda, hal ini disebabkan karena sistem budidaya yang dilakukan petani tambak tumpangsari sistem empang parit di Kecamatan Legonkulon Kabupaten subang masih bersifat konvensional. Hampir semua komponen budidaya masih tergantung pada keadaan alam, tidak ada penambahan pakan, tidak ada perlakuan pengendalian hama penyakit dan faktor budidaya menunjang lainnya. Petani pada umumnya hanya tahapan budidaya yang sederhana antara lain; perbaikan tambak, pemupukan dan penebaran benih bandeng dan dilanjutkan dengan penebaran benih udang windu. Setelah proses tersebut petani setiap hari ke tambak untuk memasang bubu dan memanen hasil harian. Dengan demikian bandeng dan udang windu yang dibudidayakan oleh petani tambak tumpangsari sistem empang parit di Kecamatan Legonkulon Kabupaten Subang, sepenuhnya tergantung pada kondisi tambak dan hutan mangrove yang ada. Cara panen hasil budidaya ini dengan menguras air pada empang dengan menggunakan mesin pompa. Hasilnya dinyatakan dalam volume dan nilai rupiah berdasar hasil pengisian dalam kuisioner. Gambar 15. Situasi kegiatan petani tambak pada saat panen (September 2005). Hasil pengumpulan data diperoleh bahwa makin luas proporsi hutan mangrove hasil budidaya bandeng dan udang windu yang diperoleh petani

67 53 semakin besar. Hal ini dapat dilihat dari ukuran bandeng maupun udang windu yang dihasilkan serta volume hasil budidaya dari masing-masing pola tambak tumpangsari sistem empang parit, ini dimungkinkan karena mangrove mempunyai nilai Produksi Primer Bersih (PPB) yang cukup tinggi, yakni: biomassa (62,9 398,8 ton/ha), guguran serasah (5,8 25,8 ton/ha/th), dan riap volume (20 tcal/ha/th setara dengan 9 m3/ha/th ) pada hutan tanaman bakau umur 20 tahun. Besarnya nilai produksi primer tersebut cukup berarti bagi penggerak rantai makanan kehidupan berbagai jenis organisme akuatik di pesisir dan kehidupan masyarakat pesisir. Ekosistem mangrove merupakan sumber plasma nutfah yang cukup tinggi (misal, mangrove di Indonesia terdiri atas 157 jenis tumbuhan tingkat tinggi dan rendah, 118 jenis fauna laut dan berbagai jenis fauna darat (Kusmana 2002). Dengan adanya keanekaragaman yang tinggi di dalam ekosistem mangrove, memungkinkan terjadinya pertukaran energi serta interaksi antar organisme yang saling sinergik, sehingga kecukupan kebutuhan hidup bagi berbagai macam organisme di hutan mangrove lebih terjamin dibandingkan dengan kecukupan kebutuhan hidup bagi organisme yang tinggal di tambak tanpa mangrove. Secara statistik hubungan antara keberadaan hutan mangrove dengan hasil budidaya bandeng dan udang windu pada tambak tumpangsari sistem empang parit di Kecamatan Legonkulon dapat dilihat pada Gambar 16.

68 54 Gambar 16 Grafik perbandingan has il budidaya bandeng dan udang windu berbagai pola tambak tumpangsari sistem empang parit. Dari gambar tersebut nampak bahwa ada perbedaan yang menyolok antara hasil budidaya bandeng maupun udang windu yang diperoleh petani tambak dari berbagai pola tambak tumpangsari sistem empang parit. Dengan uji statistik diperoleh hasil bahwa antar pola tambak tumpangsari sistem empang parit berbeda sangat nyata terhadap hasil budidaya bandeng yang diperoleh petani. Hal ini terlihat dari nilai F hitung sebesar 266,69 (Lampiran 9), sedangkan nialai F tabel pada uji statistik F(0.05)(4,65) = 2,51 untuk menentukan pola mana yang berbeda sangat nyata dilanjutkan dengan uji LSD sebagai berikut: t hit = t 0,025 (67) vktg*0,27 = 1,67 x v18.738,53 x 0,27 = 118,79.

69 55 Tabel 11 Hasil analisis uji LSD hasil budidaya bandeng berbagai pola tambak tumpangsari sitem empang parit. Pola 80: ,00 Pola 70: ,33 Pola 60:40 861,67 Pola 50:50 545,33 Pola 80: ,00 0 Pola 70: ,33 281,67 ** 0 Pola 60:40 861,67 813,33 ** 531,66 ** 0 Pola 50:50 545, ,67 ** 848,00 ** 316,33 ** 0 Pola 100% 545, ,00 ** 1.187,33 ** 655,67 ** 339,33 ** Pola 100% 545,33 Keterangan : ** pola yang berbeda sangat nyata terhadap hasil budidaya bandeng 0 Dari hasil analisis diperoleh bahwa antar pola semuanya memberikan hasil uji sangat beda nyata. Ini menunjukkan bahwa hutan mangrove sangat berperan dalam budidaya bandeng yang dilakukan oleh petani tambak tumpangsari sistem empang parit di Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang. Hasil budidaya bandenga paling tinggi diperoleh pada pola 80:20. Sedangkan hasil yang diperoleh dari budidaya udang windu (disajikan secara lengkap pada Lampiran 3a-3e) menunjukkan bahwa pola 80:20 memberikan hasil budidaya udang windu yang paling besar dengan rata-rata 136,67 kg/th atau dengan nilai Rp ,33, hasil budidaya pada pola tambak 50:50 hasil yang diperoleh sangat kecil yaitu 43,33 kg/th dengan nilai Rp ,67, sedangkan pola tanpa hutan sudah lebih dari tiga tahun terakhir tidak pernah mendapatkan hasil udang windu. Dari keterangan patani didapat bahwa udang windu pada pola tambak tanpa hutan tidak dapat hidup lagi. Hasil pengamatan dilapangan diperoleh bahwa makin mendekati pemukiman, saluran semakin dangkal, penuh dengan sampah serta kotoran dari rumah tangga. Sedangkan saluran utama tambak yang berbatasan dengan sawah juga mengalami kerusakan, yang terlihat dari warna air yang tidak normal lagi.

70 56 a b Gambar 17 (a) Kondisi saluran utama tambak dekat pemukiman, (b) kondisi saluran tambak yang berbatasan denga sawah. Hasil uji statistik diperoleh hasil bahwa antar pola tambak tumpangsari sistem empang parit berbeda sangat nyata terhadap hasil budidaya banding yang diperoleh petani. Hal ini terlihat dari nilai F hitung sebesar 405,36 (lampiran 10, halaman 107), sedangkan nialai tabel pada uji statistik F tabel (0.05)(4,65) = 2,51 untuk menentukan pola mana yang berbeda sangat nyata dilanjutkan dengan uji LSD sebagai berikut: t hit = t 0,025 (67) vktg*0,27 = 1,67 x v2,680,27 x 0,27 = 44,92 Tabel 12 Hasil analisis uji LSD budidaya udang windu berbagai pola tambak tumpangsari sistem empang parit. Pola 80:20 683,33 Pola 70:30 372,43 Pola 60:40 115,00 Pola 50:50 32,00 Pola 80:20 683,33 0 Pola 70:30 372,43 281,67 ** 0 Pola 60:40 115,00 813,33 ** 531,66 ** 0 Pola 50:50 32, ,67 ** 848,00 ** 316,33 ** 0 Pola 100% 32, ,00 ** 1.187,33 ** 655,67 ** 339,33 ** Keterangan : ** antar pola yang berbeda sangat nyata Pola 100% 545,33 0 Dari hasil analisis diperoleh bahwa pola 80:20, 70:30, 60:40, 50:50 semuanya memberikan hasil uji sangat beda nyata. Sedangkan untuk pola 50:50

KAJIAN FINANSIAL USAHATANI TAMBAK TUMPANGSARI SISTEM EMPANG PARIT DI HUTAN MANGROVE: Studi Kasus di Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang, Jawa Barat

KAJIAN FINANSIAL USAHATANI TAMBAK TUMPANGSARI SISTEM EMPANG PARIT DI HUTAN MANGROVE: Studi Kasus di Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang, Jawa Barat KAJIAN FINANSIAL USAHATANI TAMBAK TUMPANGSARI SISTEM EMPANG PARIT DI HUTAN MANGROVE: Studi Kasus di Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang, Jawa Barat SADI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. Ekosistem mangrove

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. pada iklim tropis dan sub tropis saja. Menurut Bengen (2002) hutan mangrove

TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. pada iklim tropis dan sub tropis saja. Menurut Bengen (2002) hutan mangrove II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Mangrove 1. Pengertian Hutan Mangrove Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan sub tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove mampu tumbuh

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang ± 81.000 km dan luas sekitar 3,1 juta km 2.

Lebih terperinci

SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR

SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR EDI RUDI FMIPA UNIVERSITAS SYIAH KUALA Ekosistem Hutan Mangrove komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu untuk tumbuh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kawasan pesisir yang cukup luas, dan sebagian besar kawasan tersebut ditumbuhi mangrove yang lebarnya dari beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kecamatan Legonkulon berada di sebelah utara kota Subang dengan jarak ± 50 km, secara geografis terletak pada 107 o 44 BT sampai 107 o 51 BT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial.

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial. 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia sebagai suatu negara kepulauan dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial. Salah satu ekosistem

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis PENDAHULUAN Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang memiliki peranan penting dalam pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis kondisi dan keberadaannya. Beberapa

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR : 17 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DI KAWASAN SEGARA ANAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA BUPATI CILACAP,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai wilayah di Nusantara. Kerusakan hutan mangrove ini disebabkan oleh konversi lahan menjadi areal

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang... DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... x xiii xv xvi I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah... 5 1.3.Tujuan dan Kegunaan Penelitian...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam suatu wilayah pesisir terdapat beragam sistem lingkungan (ekosistem). Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, terumbu karang,

Lebih terperinci

BAB I. penting dari kondisi geografis Indonesia sebagai wilayah kepulauan adalah

BAB I. penting dari kondisi geografis Indonesia sebagai wilayah kepulauan adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sekitar 75% dari luas wilayah nasional berupa lautan. Salah satu bagian penting dari kondisi geografis Indonesia sebagai wilayah kepulauan adalah wilayah pantai, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang sangat kaya raya akan keberagaman alam hayatinya. Keberagaman fauna dan flora dari dataran tinggi hingga tepi pantai pun tidak jarang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon bakau yang mampu

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi

PENDAHULUAN. lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi PENDAHULUAN Latar Belakang Meningkatnya harga udang windu di pasaran mendorong pembukaan lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi untuk pertambakan adalah hutan mangrove.

Lebih terperinci

Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan

Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan 1 2 Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove. Menurut Mastaller (1997) kata mangrove berasal dari bahasa Melayu kuno mangi-mangi untuk menerangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada daerah yang berair payau dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove memiliki ekosistem khas karena

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang . 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di wilayah pesisir yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis berbentuk kepulauan dengan 17.500 pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km, yang merupakan kawasan tempat tumbuh hutan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove Mangrove atau biasa disebut mangal atau bakau merupakan vegetasi khas daerah tropis, tanamannya mampu beradaptasi dengan air yang bersalinitas cukup tinggi, menurut Nybakken

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut TINJAUAN PUSTAKA Hutan Manggrove Hutan mangrove oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut Kusmana dkk (2003) Hutan mangrove

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Ekosistem Mangrove

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Ekosistem Mangrove 6 TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Ekosistem Mangrove Mangrove adalah tumbuhan yang hidup pada daerah pasang surut yang didominasi oleh beberapa jenis pohon yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah yang

Lebih terperinci

SYLVOFISHERY (MINA HUTAN) : PENDEKATAN PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE SECARA LESTARI ABSTRAK

SYLVOFISHERY (MINA HUTAN) : PENDEKATAN PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE SECARA LESTARI ABSTRAK SYLVOFISHERY (MINA HUTAN) : PENDEKATAN PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE SECARA LESTARI Benny Hartanto Staf Pengajar Akademi Maritim Yogyakarta (AMY) ABSTRAK Penerapan sistem mina hutan (sylvofishery) di ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove adalah suatu lingkungan yang memiliki ciri khusus yaitu lantai hutannya selalu digenangi air, dimana air tersebut sangat dipengaruhi oleh pasang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi pertukaran materi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia dan hidup serta tumbuh berkembang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari PENDAHULUAN Latar Belakang ndonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17 508 pulau dan panjang garis pantainya kira-kira 81 000 kin serta wilayah laut pedalaman dan teritorialnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis,

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem yang sangat vital, baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis, ekosistem mangrove memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Potensi wilayah pesisir dan laut Indonesia dipandang dari segi. pembangunan adalah sebagai berikut ; pertama, sumberdaya yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. Potensi wilayah pesisir dan laut Indonesia dipandang dari segi. pembangunan adalah sebagai berikut ; pertama, sumberdaya yang dapat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi wilayah pesisir dan laut Indonesia dipandang dari segi pembangunan adalah sebagai berikut ; pertama, sumberdaya yang dapat diperbaharui seperti perikanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk rawan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dipengaruhi pasang surut air laut. Tumbuhan mangrove memiliki kemampuan

TINJAUAN PUSTAKA. dipengaruhi pasang surut air laut. Tumbuhan mangrove memiliki kemampuan TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Mangrove Mangrove didefinisikan sebagai formasi tumbuhan daerah litoral yang khas di pantai daerah tropis dan sub tropis yang terlindung, hutan yang tumbuh terutama pada tanah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Tjardhana dan Purwanto,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropika yang terdiri dari 17.504 buah pulau (28 pulau besar dan 17.476 pulau kecil) dengan panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al,

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Ekosistem mangrove di dunia saat ini diperkirakan tersisa 17 juta ha. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al, 1998), yaitu

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN, PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DI KAWASAN MUARA SUNGAI DAN PANTAI DALAM WILAYAH KABUPATEN BULUNGAN Menimbang : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal TINJUAN PUSTAKA Ekosistem Mangrove Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen, dan hutan payau (bahasa Indonesia), selain itu, hutan mangrove oleh masyarakat

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan 29 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan ekosistem laut. Mangrove diketahui mempunyai fungsi ganda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terluas di dunia sekitar ha (Ditjen INTAG, 1993). Luas hutan mangrove

BAB I PENDAHULUAN. terluas di dunia sekitar ha (Ditjen INTAG, 1993). Luas hutan mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia sekitar 3.735.250 ha (Ditjen INTAG, 1993). Luas hutan mangrove Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara kepulauan yang memiliki sekitar 17.508 pulau dan panjang garis pantai lebih dari 81.000

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai II. TINJAUAN PUSTAKA A. Mangrove Mangrove adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup di antara laut dan daratan yang dipengaruhi oleh pasang surut. Habitat mangrove seringkali ditemukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap makhluk hidup yang berada di suatu lingkungan akan saling berinteraksi, interaksi terjadi antara makhluk hidup dengan makhluk hidup itu sendiri maupun makhluk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai yang terpanjang di dunia, lebih dari 81.000 KM garis pantai dan 17.508 pulau yang membentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, dikawasan mangrove terjadi interaksi kompleks

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak

TINJAUAN PUSTAKA. terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Hutan Mangrove Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove bagi kelestarian sumberdaya perikanan dan lingkungan hidup memiliki fungsi yang sangat besar, yang meliputi fungsi fisik dan biologi. Secara fisik ekosistem

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Mangrove merupakan vegetasi yang kemampuan tumbuh terhadap salinitas air

II. TINJAUAN PUSTAKA. Mangrove merupakan vegetasi yang kemampuan tumbuh terhadap salinitas air II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Mangrove Mangrove merupakan vegetasi yang kemampuan tumbuh terhadap salinitas air laut baik. Mangrove juga memiliki keunikan tersendiri dibandingkan lain, keunikannya diantaranya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN BAB I Latar Belakang

PENDAHULUAN BAB I Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut yang tergenang oleh air laut, komunitasnya dapat bertoleransi terhadap air garam, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. kesempatan untuk tumbuhan mangrove beradaptasi (Noor dkk, 2006). Hutan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. kesempatan untuk tumbuhan mangrove beradaptasi (Noor dkk, 2006). Hutan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kondisi lingkungan yang ekstrim seperti tanah yang tergenang akibat pasang surut laut, kadar garam yang tinggi, dan tanah yang kurang stabil memberikan kesempatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hutan mangrove merupakan ekosistem yang penting bagi kehidupan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hutan mangrove merupakan ekosistem yang penting bagi kehidupan di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hutan mangrove merupakan ekosistem yang penting bagi kehidupan di wilayah pesisir. Hutan mangrove menyebar luas dibagian yang cukup panas di dunia, terutama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap garam (Kusman a et al, 2003). Hutan

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap garam (Kusman a et al, 2003). Hutan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, terutama di pantai yang terlindung, laguna dan muara sungai yang tergenang pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Model Genesi dalam Jurnal : Berkala Ilmiah Teknik Keairan Vol. 13. No 3 Juli 2007, ISSN 0854-4549.

BAB I PENDAHULUAN. Model Genesi dalam Jurnal : Berkala Ilmiah Teknik Keairan Vol. 13. No 3 Juli 2007, ISSN 0854-4549. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan pertemuan antara wilayah laut dan wilayah darat, dimana daerah ini merupakan daerah interaksi antara ekosistem darat dan ekosistem laut yang

Lebih terperinci

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN 8.1. Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove Pendekatan AHP adalah suatu proses yang dititikberatkan pada pertimbangan terhadap faktor-faktor

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di kawasan hutan mangrove Kecamatan Lagonkulon, Kabupaten Subang, Propinsi Jawa Barat. Dipilihnya Kecamatan Legonkulon karena Kecamatan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan mangrove di DKI Jakarta tersebar di kawasan hutan mangrove Tegal Alur-Angke Kapuk di Pantai Utara DKI Jakarta dan di sekitar Kepulauan Seribu. Berdasarkan SK Menteri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang BAB I PENDAHULUAN 1.1.LatarBelakang Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang 95.181 km terdiri dari sumber daya alam laut dan pantai yang beragam. Dengan kondisi iklim dan substrat

Lebih terperinci

PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAROS NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN, PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE

PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAROS NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN, PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE SALINAN PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAROS NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN, PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAROS, Menimbang

Lebih terperinci

Manfaat dari penelitian ini adalah : silvofishery di Kecamatan Percut Sei Tuan yang terbaik sehingga dapat

Manfaat dari penelitian ini adalah : silvofishery di Kecamatan Percut Sei Tuan yang terbaik sehingga dapat Manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Diperoleh model dalam pengelolaan lahan mangrove dengan tambak dalam silvofishery di Kecamatan Percut Sei Tuan yang terbaik sehingga dapat bermanfaat bagi pengguna

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem mangrove tergolong ekosistem yang unik. Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem dengan keanekaragaman hayati tertinggi di daerah tropis. Selain itu, mangrove

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan yang disebut sumberdaya pesisir. Salah satu sumberdaya pesisir

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan yang disebut sumberdaya pesisir. Salah satu sumberdaya pesisir BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir dan laut di Indonesia memegang peranan penting, karena kawasan ini memiliki nilai strategis berupa potensi sumberdaya alam dan jasajasa lingkungan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang-surut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari atas 17.508 pulau, dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Luas laut Indonesia sekitar 3,1

Lebih terperinci

Oleh. Firmansyah Gusasi

Oleh. Firmansyah Gusasi ANALISIS FUNGSI EKOLOGI HUTAN MANGROVE DI KECAMATAN KWANDANG KABUPATEN GORONTALO UTARA JURNAL Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Menempuh Ujian Sarjana Pendidikan Biologi Pada Fakultas Matematika

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 3,2 juta ha (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang secara geografis terletak di antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai keanekaragaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertentu dan luasan yang terbatas, 2) Peranan ekologis dari ekosistem hutan

BAB I PENDAHULUAN. tertentu dan luasan yang terbatas, 2) Peranan ekologis dari ekosistem hutan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove memiliki sifat khusus yang berbeda dengan ekosistem hutan lain bila dinilai dari keberadaan dan peranannya dalam ekosistem sumberdaya alam, yaitu

Lebih terperinci

Avicenia sp. ( Api-Api ) Rhizophora sp( Bakau ) Nypa sp. ( Nipah ) Bruguiera sp. ( Lacang ) Sonneratia sp. ( Pedada )

Avicenia sp. ( Api-Api ) Rhizophora sp( Bakau ) Nypa sp. ( Nipah ) Bruguiera sp. ( Lacang ) Sonneratia sp. ( Pedada ) Mangal komunitas suatu tumbuhan Hutan Mangrove adalah hutan yang tumbuh di daerah pantai, biasanya terletak didaerah teluk dan muara sungai dengan ciri : tidak dipengaruhi iklim, ada pengaruh pasang surut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi

BAB I PENDAHULUAN. Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam penggunaan sumberdaya alam. Salah satu sumberdaya alam yang tidak terlepas

BAB I PENDAHULUAN. dalam penggunaan sumberdaya alam. Salah satu sumberdaya alam yang tidak terlepas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara berkembang yang terus menerus melakukan pembangunan nasional. Dalam mengahadapi era pembangunan global, pelaksanaan pembangunan ekonomi harus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap salinitas (Kusmana, 2003). Hutan mangrove

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap salinitas (Kusmana, 2003). Hutan mangrove 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, terutama di pantai berlindung, laguna, dan muara sungai yang tergenang pada saat pasang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir PENDAHULUAN Latar belakang Wilayah pesisir merupakan peralihan ekosistem perairan tawar dan bahari yang memiliki potensi sumberdaya alam yang cukup kaya. Indonesia mempunyai garis pantai sepanjang 81.000

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir bukan merupakan pemisah antara perairan lautan dengan daratan, melainkan tempat bertemunya daratan dan perairan lautan, dimana didarat masih dipengaruhi oleh

Lebih terperinci

KERAPATAN HUTAN MANGROVE SEBAGAI DASAR REHABILITASI DAN RESTOCKING KEPITING BAKAU DI KABUPATEN MAMUJU PROVINSI SULAWESI BARAT

KERAPATAN HUTAN MANGROVE SEBAGAI DASAR REHABILITASI DAN RESTOCKING KEPITING BAKAU DI KABUPATEN MAMUJU PROVINSI SULAWESI BARAT 1123 Kerapatan hutan mangrove sebagai dasar rehabilitasi... (Mudian Paena) KERAPATAN HUTAN MANGROVE SEBAGAI DASAR REHABILITASI DAN RESTOCKING KEPITING BAKAU DI KABUPATEN MAMUJU PROVINSI SULAWESI BARAT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Menurut Tomlinson(1986), mangrove merupakan sebutan umum yang digunakan

I. PENDAHULUAN. Menurut Tomlinson(1986), mangrove merupakan sebutan umum yang digunakan I. PENDAHULUAN Mangrove adalah tumbuhan yang khas berada di air payau pada tanah lumpur di daerah pantai dan muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut. Menurut Tomlinson(1986), mangrove merupakan

Lebih terperinci

FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI MEDAN 2010

FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI MEDAN 2010 PENGARUH AKTIVITAS EKONOMI PENDUDUK TERHADAP KERUSAKAN EKOSISTEM HUTAN MANGROVE DI KELURAHAN BAGAN DELI KECAMATAN MEDAN BELAWAN SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyarataan Memperoleh Gelar Sarjana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan garis pantai lebih dari 8.100 km serta memiliki luas laut sekitar 5,8 juta km2 dan memiliki lebih dari 17.508 pulau, sehingga

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. daerah pasang surut pantai berlumpur. Hutan mangrove biasa ditemukan di

TINJAUAN PUSTAKA. daerah pasang surut pantai berlumpur. Hutan mangrove biasa ditemukan di TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Hutan Mangrove Ekosistem mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir.

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove banyak dijumpai di wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULAUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai yang didominasi

BAB I PENDAHULAUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai yang didominasi BAB I PENDAHULAUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang-surut pantai

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu nama

TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu nama TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Mangrove Kata mangrove berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu nama yang diberikan kepada mangrove merah (Rhizopora spp.). Nama mangrove diberikan kepada jenis tumbuh-tumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau dan panjang pantai kurang lebih 81.000 km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat besar,

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE JAKARTA, MEI 2005 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Konsep pembangunan yang mengintegrasikan aspek ekologi, ekonomi dan sosial disebut sebagai pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Konsep pembangunan ini

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. beradaptasi dengan salinitas dan pasang-surut air laut. Ekosistem ini memiliki. Ekosistem mangrove menjadi penting karena fungsinya untuk

PENDAHULUAN. beradaptasi dengan salinitas dan pasang-surut air laut. Ekosistem ini memiliki. Ekosistem mangrove menjadi penting karena fungsinya untuk PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan masyarakat tumbuhan atau hutan yang beradaptasi dengan salinitas dan pasang-surut air laut. Ekosistem ini memiliki peranan penting dan manfaat yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Hutan Mangrove Ekosistem hutan mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan dengan panjang garis pantai mencapai 95.181 km (Rompas 2009, dalam Mukhtar 2009). Dengan angka tersebut menjadikan Indonesia sebagai

Lebih terperinci

BAB VI DAMPAK KONVERSI MANGROVE DAN UPAYA REHABILITASINYA

BAB VI DAMPAK KONVERSI MANGROVE DAN UPAYA REHABILITASINYA 48 BAB VI DAMPAK KONVERSI MANGROVE DAN UPAYA REHABILITASINYA 6.1. Dampak Konversi Mangrove Kegiatan konversi mangrove skala besar di Desa Karangsong dikarenakan jumlah permintaan terhadap tambak begitu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN. kawasan hutan mangrove dikenal dengan istilah vloedbosschen (hutan

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN. kawasan hutan mangrove dikenal dengan istilah vloedbosschen (hutan II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka Menurut Mac Nae (1968), pada mulanya hutan mangrove hanya dikenal secara terbatas oleh kawasan ahli

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan suatu negara kepulauan yang terdiri dari 13.667 pulau dan mempunyai wilayah pantai sepanjang 54.716 kilometer. Wilayah pantai (pesisir) ini banyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan taraf hidup manusia. Dalam pelaksanaan proses pembangunan, manusia tidak terlepas dari aktivitas pemanfaatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa ini memberikan tanggung jawab yang besar bagi warga Indonesia untuk

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa ini memberikan tanggung jawab yang besar bagi warga Indonesia untuk BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia dan juga memiliki keragaman hayati yang terbesar serta strukturnya yang paling bervariasi. Mangrove dapat tumbuh

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara, seperti

BAB I PENDAHULUAN. mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara, seperti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu bagian terpenting dari kondisi geografis Indonesia sebagai wilayah kepulauan adalah wilayah pantai dan pesisir dengan garis pantai sepanjang 81.000

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 13.466 pulau dengan garis pantai sepanjang 99.023 km 2 (Kardono, P., 2013). Berdasarkan UNCLOS

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem mangrove adalah ekosistem yang unik karena terjadi perpaduan

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem mangrove adalah ekosistem yang unik karena terjadi perpaduan TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Mangrove Ekosistem mangrove adalah ekosistem yang unik karena terjadi perpaduan antara habitat-habitat yang bertentangan. Untuk menghadapi lingkungan yang unik ini maka makhluk

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Desa Dabong merupakan salah satu desa di Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat yang memiliki hamparan hutan mangrove yang cukup luas. Berdasarkan Surat

Lebih terperinci