GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR KEPUTUSAN NOMOR 20 TAHUN 1982

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR KEPUTUSAN NOMOR 20 TAHUN 1982"

Transkripsi

1 GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR NOMOR 20 TAHUN 1982 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PROGRAM PENINGKATAN PRODUKSI PADI, PALAWIJA DAN SAYURAN DI JAWA TIMUR TAHUN 1982/1983 GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR MENIMBANG : Bahwa guna melancarkan pelaksanaan program peningkatan produksi padi, palawija dan hortikultura musim kemarau tahun 1982 dan musim penghujan tahun 1982/1983 dan sebagai pelaksanaan Keputusan Menteri Pertanian tanggal 11 Desember 1981 Nomor 010/SK/Mentan/Bimas/XII/1981 tentang rencana intensifikasi padi, palawija dan sayuran, perlu menetapkan pedoman pelaksanaan program peningkatan produksi (intensifikasi) padi, palawija dan hortikultura di Jawa Timur dengan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I. MENGINGAT : 1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 ; 2. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1976; 3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1979 ; 4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1980 ; 5. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1976 ; 6. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1978; 7. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1981 ; 8. Keputusan Menteri Pertanian/Ketua Badan Pengendali Bimas tanggal 11 Desember 1981 Nomor 010/SK/Mentan/ Bimas/XII/1981 ; 9. Keputusan Menteri Perdagangan tanggal 15 Pebruari 1979 Nomor 56/KP/II/1979 ; 10.Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 104/KP/III/1980 ; 11.Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Timur tanggal 9 Mei 1980 Nomor 111 Tahun MEMPERHATIKAN : Hasil Rapat Satuan Pembina Bimas Daerah Tingkat I Jawa Timur tanggal 29 Januari Informasi Hukum-JDIH Biro Hukum Setda Prop Jatim /2008 1

2 M E M U T U S K A N MENETAPKAN : KEPUTUSAN GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PROGRAM PENINGKATAN PRODUKSI PADI, PALAWIJA DAN SAYURAN DI JAWA TIMUR TAHUN 1982/1983. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Keputusan ini, yang dimaksud dengan istilah : a. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, ialah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Timur; b. Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II, ialah Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II di Jawa Timur selaku Ketua Satuan Pelaksana Bimbingan Massal Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II setempat; c. Daerah Tingkat II, ialah Daerah Tingkat II di Jawa Timur tempat dilaksanakan program intensifikasi padi, palawija dan sayurah tahun anggaran 1982/1983 ; d. Bimas, ialah Bimbingan Massal ; e. M T, ialah Musim Tanam ; f. Inmas, ialah Intensifikasi Massal ; g. Insus, ialah Intensifikasi Khusus ; h. KUD, ialah Koperasi Unit Desa ; i. BUUD, ialah Badan Usaha Unit Desa ; j. VUB, ialah Varietas Unggul Baru ; k. VUTW, ialah Varietas Unggul Tahan Wereng ; l. Pestisida, ialah obat-obatan untuk pemberantas hama/penyakit tanaman ; m. LJKK, ialah Lembaga Jaminan Kredit Koperasi ; n. LAKU, ialah Latihan dan Kunjungan ; o. INPRES, ialah Instruksi Presiden Republik Indonesia ; p. SPPB, ialah Surat Permintaan Pemindah Bukuan ; q. HIPPA, ialah Himpunan Petani Pemakai Air ; r. WKPP, ialah Wilayah Kerja Penyuluhan Pertanian ; s. SATPEM Bimas Tingkat I, ialah Satuan Pembina Bimbingan Massal Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur; t. SATPEL Bimas Tingkat II, ialah Satuan Pelaksana Bimbingan Massal Kabupaten/ Kotamadya' Daerah Tingkat II di Jawa Timur. BAB II INTENSIFIKASI Bagian Pertama Kebijaksanaan Umum Pasal 2 (1) Usaha peningkatan produksi/intensifikasi padi, palawija dan sayuran dilaksanakan di semua lahan usaha tani; Informasi Hukum-JDIH Biro Hukum Setda Prop Jatim /2008 2

3 (2) Lahan Usaha tani dimaksud pada ayat (1) pasal ini meliputi lahan lama maupun lahan hasil perluasan areal atau pencetakan sawah, yang dapat diberi rekomendasi panca usaha sepenuhnya atau bagian-bagian panca usaha. Pasal 3 Intensifikasi padi dan palawija dalam tahun 1982/1983 dilaksanakan guna mencapai sasaran produksi tahun 1982, yaitu Produksi : a. padi, sebesar ton gabah kering giling ; b. jagung, sebesar ton pipilan kering ; c. ubi kayu, sebesar ton ubi basah ; d. ubi jalar, sebesar ton ubi basah ; e. kacang tanah, sebesar ton kacang basah ; f. kedele, sebesar ton wose kering ; g. kacang hijau, sebesar ton wose kering; h. sorghum, sebesar ton wose kering ; Bagian Kedua Intensifikasi Khusus/INSUS Pasal 4 (1) Insus diselenggarakan untuk memperoleh hasil padi yang sesuai dengan potensi produksifitas setiap lahan ; (2) Insus diselenggarakan pads lahan usaha tani yang : a. mempunyai pengairan teratur ; b. terletak di daerah yang memiliki cukup jaminan prasarana fisik; c. kelembagaan yang mendukung pelaksanaan peningkatan mutu intensifikasi secara massal ; (3) Petani dilarang melaksanakan usaha tani pada lahan yang tidak memenuhi persyaratan tersebut pada ayat (2) pasal ini; (4) Apabila terdapat kelompok tani hamparan yang sudah mampu mengelola kegiatan bersama diwajibkan untuk membina petani yang tidak memiliki lahan yang memenuhi persyaratan tersebut pada ayat (1) pasal ini dengan pola Insus pada lahan yang dimiliki ; (5) Pemerintah memberikan premi kepada kelompok tani peserta Insus. dengan pengaturan sesuai ketentuan dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun Informasi Hukum-JDIH Biro Hukum Setda Prop Jatim /2008 3

4 Pasal 5 (1) Untuk pelaksanaan ketentuan dimaksud dalam pasal 1 Keputusan ini dalam Tahun 1982/1983, diselenggarakan proyek percontohan/percobaan (pilot proyek) Insus jagung dan Insus kedele pada beberapa Daerah Tingkat II di Jawa Timur; (2) Sasaran usaha peningkatan produksi palawija yaitu : a. memenuhi kebutuhan pangan dengan penganekaragaman dalam rangka swasembada ; b. meningkatkan pendapatan petani, penyediaan bahan makanan temak dan ekspor; (3) Intensifikasi sayuran, diarahkan kepada : a. peningkatan produktifitas usaha tani; b. peningkatan efisiensi usaha tani; c. menunjang usaha perbaikan gizi, pengendalian fluktuasi musiman dari harga yang terlalu tajam, serta mengurangi impor sayuran. Bagian Ketiga Areal Intensifikasi Pasal 6 Areal intensiflkasi di Jawa Timur dalam Tahun Anggaran 1982/1983 meliputi : a. areal intensifikasi padi ; b. areal intensifikasi palawija ; c. areal intensifikasi sayuran. Pasal 7 (1) Areal intensifikasi padi dimaksud dalam pasal 6 Keputusan ini seluas hektar, meliputi hektar, dan hektar, yang diperinci sebagai berikut : a. padi sawah, seluas hektar, terdiri dari MT 1982 seluas hektar dan MT 1982/1983 seluas hektar ; b. padi gogo, seluas hektar untuk MT 1982/1983 ; (2) Areal intensifikasi tanaman padi dimaksud pada ayat (1) pasal ini berupa Insus dan Intensifikasi Umum, yaitu : a. areal Insus seluas hektar, meliputi MT 1982 seluas hektar dan MT 2982/1983 seluas hektar; b. areal intensifikasi umum seluas hektar, meliputi MT 1982 seluas hektar dan MT 1982/1983 seluas hektar. Informasi Hukum-JDIH Biro Hukum Setda Prop Jatim /2008 4

5 Pasal 8 (1) Areal intensifikasi palawija dimaksud dalam pasal 6 Keputusan ini seluas hektar meliputi hektar (untuk MT 1982) dan hektar (untuk MT 1982/1983), yang diperinci sebagai berikut : a. jagung, seluas hektar, terdiri MT hektar dan MT 1982/ hektar; b. sorghum, seluas hektar, terdiri MT hektar dan MT 1982/ hektar; c. ubi kayu, seluas hektar, terdiri MT hektar dan MT 1982/ hektar ; d. ubi jalar, seluas hektar, terdiri MT t)00 hektar dan MT 1982/ hektar ; e. kacang kedele, seluas hektar, terdiri MT hektar dan MT 1982/ hektar ; f. kacang tanah, seluas hektar, terdiri MT hektar dan MT 1982/ hektar; g. kacang hijau, seluas hektar, terdiri MT hektar dan MT 1982/ hektar ; (2) Areal intensifikasi palawija dimaksud pada ayat (1) pasal ini berupa Insus dan Intensifikasi Umum, yaitu : a. areal Insus seluas hektar, yang terdiri dari MT 1982 seluas hektar, (meliputi Insus jagung hektar, kedele hektar) dan MT 1982/1983 seluas hektar, (meliputi Insus jagung hektar, kedele hektar) ; b. areal intensifikasi umum seluas hektar, meliputi MT 1982 seluas hektar dan MT 1982/1983 seluas hektar. Pasal 9 (1) Areal intensifikasi sayuran seluas hektar meliputi MT hektar dan MT 1982/ hektar ; (2) Areal intensifikasi sayuran dimaksud pada ayat (1) pasal ini berupa Bimas dan Inmas, yaitu : a. areal Bimas seluas hektar, yang terdiri dari MT 1982 seluas hektar (meliputi Bimas bawang merah 370 hektar, dan lombok hektar), dan MT 1982/1983 seluas hektar (meliputi Bimas Bawang merah 400 hektar dan lombok hektar) ; b. areal Inmas seluas hektar, meliputi MT 1982 seluas hektar dan MT 1982/1983 seluas hektar ; Informasi Hukum-JDIH Biro Hukum Setda Prop Jatim /2008 5

6 (3) Dalam MT 1982/1983 dari rencana Bimas dan Inmas dimaksud pada ayat (2) pasal ini, direncanakan Insus bawang merah seluas 100 hektar (terdiri dari Bimas 50 hektar dan Inmas 50 hektar) dan Insus lombok seluas 150 hektar (terdiri dari Bimas 100 hektar dan Inmas 50 hektar). Pasal 10 Perincian lebih lanjut areal intensifikasi dimaksud dalam pasal-pasal 7, 8, dan 9 Keputusan ini untuk masing-masing Daerah Tingkat II akan ditetapkan oleh SATPEM Bimas Tingkat I, dengan memperhatikan : a. Kebijaksanaan umum intensifikasi ; b. Kondisi Daerah Tingkat II masing-masing ; c. Keperluan pembinaan intensifikasi tanaman padi, palawija dan sayuran pada lahan perkebunan yang memerlukan tanaman tumpang sari (tanaman sela) ; d. Resiko terjadi kegagalan ; e. Tunggakan kredit Bimas ; f. Pemasaran hasil bagi palawija dan sayuran. Bagian Keempat Pengairan Pasal 11 (1) Seluruh areal sawah dengan pengairan yang baik, terutama areal sawah irigasi harus diinanfaatkan secara maksimal untuk usaha intensifikasi tanaman pangan ; (2) Panitia irigasi harus menetapkan tata tanam dan pola tanam serta jadwal giliran pembagian air untuk setiap areal golongan apabila keadaan air bawah dan batas minimum. Pasal 12 Penyuluhan dan pembinaan yang dilakukan terhadap perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) atau HIPPA meliputi : a. urgensi peningkatan tata tanam dan pola tanam ; b. Cara-cara meningkatkan produksi tanaman pangan serta kegiatan pelaksanaan. Bagian Kelima Benih Pasal 13 Peningkatan mutu intensifikasi padi dilakukan antara lain dengan menerapkan ketentuan : a. wajib menanam VUTW bagi daerah-daerah serangan hama wereng batang coklat serta daerah-daerah bahaya/terancam di dataran rencah maupun dataran tinggi ; Informasi Hukum-JDIH Biro Hukum Setda Prop Jatim /2008 6

7 b. penanaman VUB dengan menggunakan benih bermutu (bersertifikat) ditingkatkan dan diperluas meliputi semua areal yang cocok bagi pertumbuhan dan peningkatan produktifitasnya; c. penggunaan VUB diperluas untuk lahan di dataran tinggi sampai dengan 800 meter di atas permukaan laut yang sesuai dan tahan terhadap hama penyakit demikian pula untuk daerah padi gogo dengan varietas unggul yang cocok untuk pertanaman padi gogo; d. waktu tanam pada lahan wilayah kelompok hamparan pelaksanaan Insus diseragamkan, dan semua petani pelaksana Insus wajib menanam VUB sesuai petunjuk SATPEL Bimas setempat; e. pelaksanaan padi paling banyak 2 (dua) kali setahun dengan diselingi tanaman palawija. Pasal 14 (1) Intensifikasi palawija dan sayuran dilakukan dengan meningkatkan penggunaan benih bermutu varietas yang dianjurkan sesuai dengan keadaan daerah tempat penanaman dan permintaan pasar atau pembeli ; (2) Dinas Pertanian Tanaman Pangan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur bertanggung jawab mengenai produksi, pengaturan dan penyaluran benih yang dibantu para penangkar benih dan perusahaan bidang pengolahan dan penyaluran benih yaitu PT Pertani dan Perum Sang Hyang Sri; (3) Pembinaan dan pengawasan terhadap sumber-sumber pengadaan dan penyaluran benih bermutu sampai di WKPP dilakukan untuk menunjahg penggunaan benih/bibit padi, palawija dan sayuran yang bermutu. Bagian Keenam Pupuk dan Pesusida Pasal 15 (1) Jenis-jenis pupuk Urea, TSP, ZA dan KCL untuk intensifikasi (Bimas dan Inmas) padi, palawija dan sayuran diadakan dengan ketentuan harga sebagai berikut : a. pupuk Urea, TSP, KCL, masing-masing sebesar Rp. 70,00 (tujuh puluh rupiah) setiap kilogram ; b. pupuk untuk DAP sebesar Rp. 90,00 (sembilan puluh rupiah) setiap kilogram (Kg.) ; c. pupuk ZA sebesar Rp. 65,00 (enam puluh lima rupiah) setiap kilogram ; (2) Perincian ketentuan tersebut pada ayat (1) pasal ini ditentukan lebih lanjut oleh SATPEM Bimas Tingkat I; Informasi Hukum-JDIH Biro Hukum Setda Prop Jatim /2008 7

8 (3) Semua petani pelaksana Insus wajib menerapkan setiap petunjuk pemupukan. Pasal 16 (1) Jenis-jenis insektisida, fungisida dan rocfentisida, disediakan untuk intensifikasi padi, palawija dan sayuran ; (2) kebutuhan pupuk dan pestisida pada tahun tanam 1982/1983 untuk intensifikasi padi, palawija dan sayuran dari masing-masing Daerah Tingkat II berikut jumlah dan jadwal penggunaannya harus disusun perincian secara pasti ; (3) Perincian ketentuan tersebut pada ayat (1) dan (2) pasal ini ditentukan lebih lanjut oleh SATPEM Bimas Tingkat I. Pasal 17 (1) Penyediaan pupuk untuk keperluan Bimas/Inmas dan Non Bimas dilakukan oleh PT PUSRI ; (2) Penyediaan pestisida bersubsidi untuk keperluan Bimas/Inmas padi, palawija dan sayuran dilaksanakan oleh PT Pertani ; (3) Apabila penyediaan pupuk dan pestisida melebihi ketentuan dalam Keputusan ini hams ditetapkan lebih lanjut oleh SATPEM Bimas Tingkat I atas dasar permintaan SATPEL Bimas Tingkat II. Pasal 18 Pelaksanaan pengadaan dan penyaluran pupuk/pestisida dilakukan sesuai kebijaksanaan dan ketentuan dalam Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 56/KP/II-1979 dan Nomor 104/KP/HI/1980 serta ketentuan lain yang ditetapkan kemudian oleh Menteri Perdagangan dan Koperasi. Pasal 19 (1) PT PUSRI bertanggung jawab untuk menyampaikan pupuk Urea, TSP, dan ZA sarnpai lini IV melalui kerja sama dengan para penyalur atau melaksanakan sendiri di lini IV dalam hal diperlukan ; (2) PT Pertani bertanggung jawab atas pengadaan dan penyaluran pupuk KCL serta menyalurkan pestisida sampai di lini IV melalui kerja sama dengan para penyalur atau melaksanakan sendiri sampai di lini IV dalam hal diperlukan ; (3) Penyediaan dan penyaluran pupuk oleh PT PUSRI dan pestisida oleh PT Pertani sampai di lini III dilaksanakan berpedoman pada Keputusan ini. Informasi Hukum-JDIH Biro Hukum Setda Prop Jatim /2008 8

9 Pasal 20 (1) SATPEM Bimas Tingkat I dan SATPEL Bimas Tingkat II harus dapat mengendalikan persediaan pupuk dan pestisida di lini IV untuk menjamin penyediaan kebutuhan yang diperlukan sesuai dengan ketentuan dalam Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 104/KP/III/1980 ; (2) Untuk keperluan tersebut pada ayat (1) pasal ini, produsen, importir/distributor wajib memperbanyak jumlah dan memperluas aparat penyalur sesuai dengan kebutuhan masing-masing Daerah Tingkat II di seluruh Daerah intensifikasi. Bagian Ketujuh Perlindungan Tanaman Pasal 21 (1) Untuk menanggulangi dan mencegah eksplosi hama dan penyakit terutama hama wereng dan tikus serta penyakit tungro, dilakukan penerapan prinsip pengendalian terpadu ; (2) Prinsip pengendalian terpadu dimaksud pada ayat (1) pasal ini dilakukan antara lain : a. mengatur tata tanam dan pegiliran tanaman ; b. penggunaan varietas yang resisten terhadap hama penyakit ; c. penggunaan pestisida serta waktu aplikasi yang dianjurkan. Pasal 22 (1) Keputusan untuk melaksanakan pengendalian hama yang menjadi kewajiban petani harus diambil oleh petani yang bersangkutan ; (2) Guna mengambil Keputusan dimaksud pada ayat (1) pasal ini petani dibantu oleh pengamat hama dengan memberikan informasi peringatan awal kepada petani yang bersangkutan. Pasal 23 Pengamat hama bertanggung jawab untuk memberikan informasi peringatan awal kepada petani serta saran tindakan pengendalian yang menyangkut ketepatan waktu dilakukan aplikasi pestisida oleh petani. Pasal 24 Apabila timbul eksplosi hama yang tidak mampu diatas oleh petani dengan kemampuan sendiri, Pemerintah memberikan bantuan yang diperlukan kepada petani yang bersangkutan. Informasi Hukum-JDIH Biro Hukum Setda Prop Jatim /2008 9

10 Pasal 25 Ketentuan dalam pedoman tatalaksana intensifikasi yang sudah ada mengenai perlindungan tanaman merupakan kelengkapan ketentuan pada kegiatan operasional perlindungan tanaman pangan menurut dasar pengendalian terpadu. Bagian Kedelapan Pasca Panen Pasal 26 (1) Panen harus dilakukan pada waktu yang tepat dengan cara dan peralatan yang baik ; (2) Pengangkutan harus dilakukan dengan mempergunakan perlengkapan yang dapat menghindarkan kececerannya hasil selama pengangkutan tersebut. Pasal 27 (1) Hasil panen harus disimpan dalam keadaan kering dan bersih dengan melakukan pengeringan dan pengolahan hasil panen yang mempergunakan perlengkapan dan peralatan yang memenuhi syarat seperti alat perontok, alat pembersih, lantai jemur atau alat-alat lain untuk pengeringan ; (2) Pengadaan, penggunaan dan pengelolaan alat pembersih berdasarkan paket kredit dilaksanakan secara berkelompok bagi petani yang memerlukan alat tersebut ; (3) Kelengkapan sarana lepas panen diadakan sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 11 Tahun 1981, guna menjamin pengadaan dan kemantapan harga dasar padi dan palawija. Pasal 28 Apabila cuaca kurang baik pada waktu panen dan hasil panen tidak bisa segera dikeringkan secara alami, harus diambil langkahlangkah berupa hasil panen dikeringkan dengan alat-alat pengering mekanis dan cara-cara lain yang dapat menghindarkan kerusakan hasil dengan memperhatikan petunjuk Direktorat Jenderal Pertanian Tanaman Pangan dan SATPEM Bimas. Pasal 29 (1) Harga dasar disesuaikan secara wajar untuk meningkatkan kesejahteraan petani, produsen, mendorong usaha meningkatkan produksi dan untuk menjaga keseimbangan antara pendapatan petani dengan kebutuhan pengeluaran ; Informasi Hukum-JDIH Biro Hukum Setda Prop Jatim /

11 (2) Ketentuan dalam pedoman tatalaksana intensifikasi mengenai pemasaran hasil merupakan bagian dari pedoman kerja dalam melaksanakan kegiatan pemasaran hasil. Bagian Kesembilan Perkreditan Pasal 30 (1) Pedoman Paket Kredit Bimas untuk MT 1982 (April September 1982) dan MT 1982/1983 (Oktober Maret 1983) untuk Bimas Padi, Palawija ditetapkan sebagaimana tercantum pada Lampiran Keputusan ini; (2) Bank Rakyat Indonesia melayani paket kredit tambahan sesuai dengan danatj yang tersedia apabila petani ingin menambah jumlah pupuk dan insektisida sesuai dengan kebutuhan yang ditetapkan oleh SATPEM Bimas ; (3) Ketentuan-ketentuan mengenai kredit Bimas padi dan palawija MT 1982 dan ; MT 1982/1983 diatur oleh Bank Rakyat Indonesia. Pasal 31 (1) Paket kredit Bimas padi, terdiri dan Paket A, Paket B dan Paket C dengan ketentuan : a. Paket A diberikan kepada peserta Bimas Baru ; b. Paket B diberikan untuk Bimas biasa yang disediakan hanya untuk daerah yang tidak mungkin ditanami dengan varietas unggul baru ; c. Paket C diberikan bagi daerah yang menurut rekomendasi SATPEM/SATPElf Bimas, memerlukan pemupukan dengan dosis tinggi ; (2) Paket Kredit Bimas Palawija disediakan untuk petani peserta Bimas Palawija] pada lahan sawah, tegalan sesuai dengan jenis tanaman yang diusahakan ; (3) Paket Kredit Bimas Sayuran disediakan bagi petani sayuran tertentu dari lokasij areal yang tercantum pada lampiran Keputusan ini. Pasal 32 (1) Penggantian antar komoditi palawija dapat dilaksanakan oleh SATPEL Bimas Tingkat II, sepanjang masih dalam batas penyediaan kredit dan sarana produksi; (2) Apabila dalam penggantian komoditi tersebut mengakibatkan penambahan target areal dan penyediaan kredit serta sarana produksi, untuk tambahan target areal tersebut diperlukan persetujuan lebih dahulu dari SATPEM Bimas Tingkat I. Informasi Hukum-JDIH Biro Hukum Setda Prop Jatim /

12 Pasal 33 (1) Paket Kredit Bimas padi dan palawija disediakan pula bagi petani peserta Bima yang melaksanakan tanaman selam tariaman pangan pada lahan perkebunan atau pada lahan kawasan hutan; (2) Komponen dan jumlah paket kredit terse but pada ayat (1) pasal ini akan ditetapkan secara terperinci oleh SATPEM Bimas Tingkat I. Pasal 34 Pedoman paket kredit Insus jagung Tahun 1982/1983 yang ditanam secara monokultur dan tumpangsari pada lahan kering dan sawah tadah hujan akan diperinci lebih lanjut. Pasal 35 SATPEL Bimas Tingkat II secara terkoordinasikan dan terpadu wajib mengadakan : a. Kegiatan penagihan kepada penunggak kredit Bimas ; b. Pencegahan terhadap penyalahgunaan pemakaian kredit ; c. Pengamatan atas perkembangan penyaluran dan pengembalian kredit Bimas di daerahnya serta melaporkan kepada SATPEM Bimas Tingkat I. Pasal 36 Penyaluran kredit Bimas dari Bank Rakyat Indonesia (BRI) disalurkan melalui pola : a. lewat KUD, yang selanjutnya disampaikan kepada Kelompok Tani sepanjang KUD sudah mampu dan telah mendapatkan rekomendasi dari Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Koperasi Propinsi Jawa Timur; b. langsung kepada Kelompok Tani, yang selanjutnya oleh Kelompok diserahkan kepada petani anggotanya yang memerlukan kredit. Pasal 37 Kelompok Tani harus aktip berperan dalam membantu penyaluran, penggunaan maupun pengembalian kredit Bimas. Informasi Hukum-JDIH Biro Hukum Setda Prop Jatim /

13 Bagian Kesepuluh Peserta Bimas Pasal 38 Petani peserta Bimas yang menggunakan fasilitas kredit harus memiliki dan menggunakan Buku Keterangan Peserta Bimas sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Pertanian/Ketua Badan Pengendali Bimas Nomor 044/SK.I/MENTAN/PBP/ 1978 dengan ketentuan : a. Buku Keterangan Peserta Bimas (Buku Bimas) hanya diberikan kepada pemilik tanah atau orang yang diberi kuasa oleh pemilik tanah; penggarap hanya dicantumkan namanya dalam Buku Bimas pada masing-masing pemilik tanah yang bersangkutan ; b. Dalam masa peralihan bagi pemohon kredit Bimas yang oleh karena sesuatu hal di luar kekuasaannya, belum dapat memiliki Buku Bimas berlaku ketentuan prosedur pelayanan kredit Bimas sebelumnya ; c. Buku Keterangan Peserta Bimas dapat berlaku meskipun belum ada pasfoto pemilik/pemegang hak, dengan pengertian secara berangsur-angsur persyaratan pasfoto pada Buku Bimas dapat dipenuhi atau Kartu Tanda Penduduk (KTP) dari yang bersangkutan dapat dijadikan sebagai bukti diri. Pasal 39 Petani yang dapat memperoleh kredit Bimas pada MT 1982 (April September 1982) adalah : a. Petani yang telah melunasi kredit Bimas 1981 dan sebelumnya sedang sisa kredit Bimas MT 1981/1982 dapat diteruskan 2 (dua) musim dinilai dari pengeluaran kredit ; b. Petani yang mengalami puso pada tanaman padinya (rusak 85% - 100% dari produksi normal) berdasarkan INPRES Nomor 2 Tahun 1976 dan setelah tunggakan kredit Bimas yang bersangkutan diambil alih oleh Pemerintah atau diperpanjang jangka waktu pelunasannya ; c. Petani yang mengalami kerusakan pada tanaman padinya (50% - 85% dari hasil produksi normal) setelah tunggakan kredit Bimas yang bersangkutan diperpanjang jangka waktu pelunasannya ; d. Petani yang memiliki tunggakan sejak MT 1975/1976 sampai dengan MT 1981 seluruhnya berjumlah tidak lebih 20% (dua puluh persen) dari jumlah kredit Bimas yang pernah diterimanya, setelah seluruh tunggakan kredit Bimas yang bersangkutan diperpanjang jangka waktu pelunasannya ; Informasi Hukum-JDIH Biro Hukum Setda Prop Jatim /

14 e. Petani yang berdasarkan penelitian SATPEL Bimas Kecamatan telah melunasi kredit Bimasnya, tetapi masih tercatat belum melunasi dan atau mutasinya belum dimasukkan dalam pembukuan Bank Rakyat Indonesia Unit Desa sebagai akibat tindakan pihak lain ; f. Petani penggarap dengan ketentuan tanah garapan yang sama belum dimintakan kredit oleh pemiliknya atau petani penggarap lainnya. Pasal 40 Petani yang dapat memperoleh kredit Bimas pada musim tanam Oktober Maret 1983 adalah : a. Petani yang sudah melunasi kredit Bimas MT 1981/1982 dan sebelumnya, sedang sisa kredit Bimas MT 1982 dapat diteruskan hingga 2 musim, dimulai dari tanggal pengeluaran kredit; b. Petani yang mengalami puso pada tanaman padinya berdasarkan INPRES Nomor 2 Tahun 1976 dan setelah tunggakan kredit Bimas yang bersangkutan diambil alih oleh Pemerintah atau diperpanjang jangka waktu pelunasannya ; c. Petani yang mengalami kerusakan pada tanaman padinya (50% - 85% dari hasil produksi normal) setelah tunggakan kredit Bimas yang bersangkutan diperpanjang jangka waktu pelunasannya; d. Petani yang memiliki tunggakan sejak MT 1975/1976 sampai dengan MT 1981/1982 seluruhnya berjumlah tidak lebih dari 20% (dua puluh persen) dari jumlah kredit Bimas yang pernah diterimanya setelah seluruhnya tunggakan kredit Bimas yang bersangkutan diperpanjang jangka waktu pelunasannya ; e. Petani-petani yang berdasarkan penelitian SATPEL Bimas Kecamatan telah melunasi kredit Bimasnya, tetapi masih tercatat belum melunasi dan atau mutasinya belum dimasukkan dalam pembukuan Bank Rakyat Indonesia Unit Desa sebagai akibat tindakan pihak-pihak lain ; f. Petani penggarap dengan ketentuan bahwa tanah garapan yang sama belum dimintakan kredit oleh pemiliknya atau petani penggarap lainnya. Pasal 41 Petani yang dapat memperoleh kredit Bimas palawija adalah : a. Petani yang tidak mempunyai tunggakan kredit Bimas palawija maupun kredit pertanian lainnya; Informasi Hukum-JDIH Biro Hukum Setda Prop Jatim /

15 b. Petani yang tidak terkena larangan mengambil kredit Bimas padi akibat tunggakan kreditnya; c. Petani penggarap tanah garapan yang belum dimintakan kredit oleh pemiliknya atau petani penggarap lainnya ; d. Petani yang mengalami puso pada tanaman palawija (rusak 85% - 100%) dari produksi normal berdasarkan INPRES Nomor 2 Tahun 1976 dan Surat Menteri Pertanian Nomor 490/MENTAN/VI/1981, setelah tunggakan kredit Bimas palawija yang bersangkutan diambil alih oleh Pemerintah atau diperpanjang jangka waktu pelunasannya. Pasal 42 SETPAM dan SATPEL Bimas sampai dengan Tingkat Desa harus berusaha untuk meningkatkan jumlah petani dalam memanfaatkan fasilitas kredit Bimas serta mendorong dan meningkatkan kesadaran petani untuk membayar kembali kreditnya sampai lunas. Pasal 43 (1) Usul pennyelesaian pengembalian kredit Bimas yang areal pertanggungannya puso berdasarkan INPRES Nomor 2 Tahun 1976 disampaikan oleh Bupati/WaKkotamadya Kepala Daerah Tingkat II diterima Gubernur Kepala Daerah Tingkat I paling lambat 2 (dua) MT berikutnya untuk diteruskan kepada Menteri Pertanian ; (2) Usul tersebut pada ayat (1) pasal ini diperlakukan bag! areal pertanaman Bimas padi yang puso disebabkan oleh eksplosi hama wereng, bencana alam banjir, kekeringan dan atau bencana alam lainnya. BAB III PENYULUHAN PERTANIAN DAN PENERANGAN BIMAS Pasal 44 (1) Kegiatan penyuluhan pertanian yang dilakukan melalui pendekatan kelompok hamparan dengan memantapkan sistim kerja LAKU, diarahkan kepada terwujudnya kegiatan massal untuk mencapai sasaran usaha intensifikasi ; (2) Pelaksanaan anjuran Panca Usaha oleh kelompok tani diwujudkan dalam bentuk kerja sama kelompok seperti dem farm, dem area dan Insus. Pasal 45 (1) Perlombaan Insus diselenggarakan antar kelompok tani pada tingkat Kabupaten dan perlombaan tingkat karya aparatur pelaksana antar Kabupaten untuk meningkatkan kegairahan petani dalam menerapkan panca usaha ; Informasi Hukum-JDIH Biro Hukum Setda Prop Jatim /

16 (2) Pembinaan kegiatan kerja sama petani dalam kesatuan kelompok tani dilakukan dengan adanya pengakuan, pengasahan dan pengukuhan kelompok tani, dan kontak tani oleh Pemerintah. Pasal 46 Kelompok tani digiatkan untuk melaksanakan Insus para pemimpin formal maupun informal di desa dengan memberikan dukungan dan dorongan secara maksimal. Pasal 47 (1) Kegiatan penerangan diarahkan untuk merangsangk motivasi serta menumbuhkan sikap mental masyarakat tani untuk meningkatkan partisipasinya dalam melaksanakan usaha meningkatkan Produksi padi, palawija dan sayuran ; (2) Untuk merangsang motivasi tersebut pada ayat (1) pasal ini penyebarluasan informal oleh Juru Peherang dilakukan secara tatap muka melalui media massa umum, media tradisional (kesenian-kesenian daerah) dan media lainnya secara terpadu. Pasal 48 (1) Semangat gotong royong dan kerja sama kelompk tani harus dibina dan diarahkan pada pembentukan Koperasi Unit Desa yang dirasakan sebagai milik petani yang membantu memberikan pelayanan dalam mencukupi kebutuhan petani ; (2) Disiplin masyarakat tani khususnya dan masyarakat pedesaan pada umumnya harus dikembangkan dalam pengembalian kredit Bimas maupun dalam memanfaatkan bantuan Pemerintah seperti premi Insus bagi kehidupan petani, pembangunan pertanian dan pedesaan ; (3) Kampanye mengenai penganekaragaman pangan dan gizi sehat harus ditingkat-kan sebagai usaha pengendalian konsumsi beras. Pasal 49 (1) Pembinaan pendapat umum yang akan menghasilkan sikap dan gairah yang positip terhadap usaha peningkatan produksi pangan harus dilaksanakan dengan kampanye yang intensif meliputi materi yang berhubungan dengan usaha peningkatan produksi, penganekaragaman pangan serta pengendalian konsumsi beras; (2) Jadwal kegiatan dan materi penerangan Bimas dilaksanakan sesuai dengan kegiatan lapangan seperti tercantum dalam pedoman pelaksanaan penerangan Bimas terdahulu. Informasi Hukum-JDIH Biro Hukum Setda Prop Jatim /

17 BAB IV PEMBIAYAAN Pasal 50 (1) Kegiatan operasional pembinaan intensifikasi padi, palawija dan sayuran ini, dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ; (2) Bantuan dan peranan dari sumber-sumber anggaran lainnya seperti yang berasal dari dana INPRES, sumbangan pembangunan desa, kredit investasi dan lain-lain diarahkan untuk membantu usaha pencapaian sasaran peningkatan produksi. BAB V KETENTUAN LAIN-LAIN DAN PENUTUP Pasal 51 Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II di Jawa Timur, selaku Ketua SATPEL Bimas Daerah Tingkat II masing-masing mempunyai tugas untuk melaksanakan intensiflkasi Produksi padi, palawija dan sayuran sesuai dengan pedoman dimaksud pada pasal 1 Keputusan ini dalam rangka peningkatan realisasi dan mutu intensiflkasi dengan memperhatikan keadaan masing-masing daerahnya. Pasal 52 Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur selaku Ketua Harian Pelaksana SATPEM Bimas Tingkat I Jawa Timur mempunyai tugas untuk menyusun petunjuk pelaksanaan dan rencana operasional sebagai yang menyangkut pelaksanaan Keputusan ini. Pasal 53 Ketentuan-ketentuan yang sudah ada sebelumnya tentang Program Intensifikasi Produksi padi, Palawija dan Sayuran sepanjang belum diatur kembah dalam Keputusan ini, tetap berlaku dan dijadikan pedoman kerja dalam melaksanakan program intensiflkasi Tahun Anggaran 1982/1983. Pasal 54 (1) Kebijaksanaan sebagaimana tersebut dalam Keputusan ini menjadi pedoman bagi Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II/Ketua SATPEL Bimas Tingkat II untuk dilaksanakan sesuai dengan kondisi daerahnya masing-masing ; Informasi Hukum-JDIH Biro Hukum Setda Prop Jatim /

18 (2) Ketentuan yang dituangkan dalam Keputusan Menteri Pertanian/Ketua Badan Pengendali Bimas Nomor 002/SK/MENTAN/BIMAS/II/1979 tentang Pedoman Tatalaksana Intensiflkasi Padi, Palawija dan Sayuran dalam REPELITA III adalah prosedur baku tatalaksana penyelenggaraan usaha intensiflkasi yang hams diterapkan, baik dalam mengerahkan, membina maupun melayani petani peserta intensiflkasi. Pasal 55 Hal-hal lain yang belum diatur dalam Keputusan ini akan diatur lebih lanjut sepanjang mengenai pelaksanaannya. Pasal 56 (1) Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dan selama Tahun Anggaran 1982/1983 ; (2) Keputusan ini diumumkan dalam Lembaran Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Tirnur. Ditetapkan di : Surabaya Tanggal : 20 Pebruari 1982 GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR DIUMUMKAN DALAM LEMBARAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR TGL No. 28/D3 ttd. SOENANDAR PRHOSOEDARMO Informasi Hukum-JDIH Biro Hukum Setda Prop Jatim /

GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR KEPUTUSAN NOMOR 94 TAHUN 1980

GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR KEPUTUSAN NOMOR 94 TAHUN 1980 GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR NOMOR 94 TAHUN 1980 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PROGRAM PENINGKATAN PRODUKSI PADI, PALAWIJA DAN HORTIKULTURA

Lebih terperinci

GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR KEPUTUSAN NOMOR 42 TAHUN 1992 TENTANG

GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR KEPUTUSAN NOMOR 42 TAHUN 1992 TENTANG GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR NOMOR 42 TAHUN 1992 TENTANG PEDOMAN PEMBINAAN PROGRAM BIMAS INTENSIFIKASI PADI, PALAWIJA, HORTIKULTURA,

Lebih terperinci

GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR

GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I JAWA TlMUR NOMOR : 38 TAHUN 1983 TENTANG PEDOMAN POKOK PROGRAM INTENSIFIKASI CENGKEH DI JAWA TIMUR GUBERNUR KEPALA

Lebih terperinci

GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR KEPUTUSAN NOMOR 112 TAHUN 1980 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN INTENSIFIKASI TEMBAKAU RAKYAT TAHUN 1980

GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR KEPUTUSAN NOMOR 112 TAHUN 1980 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN INTENSIFIKASI TEMBAKAU RAKYAT TAHUN 1980 GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR NOMOR 112 TAHUN 1980 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN INTENSIFIKASI TEMBAKAU RAKYAT TAHUN 1980 GUBERNUR KEPALA

Lebih terperinci

GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR KEPUTUSAN NOMOR 154 TAHUN 1980 TENTANG

GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR KEPUTUSAN NOMOR 154 TAHUN 1980 TENTANG GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR NOMOR 154 TAHUN 1980 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PROGRAM INTENSIFIKASI SERAT KARUNG RAKYAT DAN INTENSIFIKASI

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH PROPINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2001 KEPUTUSAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR: 7 TAHUN 2001 TENTANG

LEMBARAN DAERAH PROPINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2001 KEPUTUSAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR: 7 TAHUN 2001 TENTANG LEMBARAN DAERAH PROPINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2001 No. Urut: 9 Seri: D KEPUTUSAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR: 7 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PROGRAM BIMAS INTENSIFIKASI PADI, JAGUNG, KEDELAI, HORTIKULTURA,

Lebih terperinci

POTENSI LAHAN PERTANIAN BAGI PENGEMBANGAN PALAWIJA DI LAMPUNG

POTENSI LAHAN PERTANIAN BAGI PENGEMBANGAN PALAWIJA DI LAMPUNG POTENSI LAHAN PERTANIAN BAGI PENGEMBANGAN PALAWIJA DI LAMPUNG Oleh: Muchjidin Rachmat*) Abstrak Tulisan ini melihat potensi lahan, pengusahaan dan kendala pengembangan palawija di propinsi Lampung. Potensi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan Perberasan Indonesia Kebijakan mengenai perberasan di Indonesia telah dilakukan sejak tahun 1969/1970. Kebijakan tersebut (tahun 1969/1970 s/d 1998) mencakup kebijakan

Lebih terperinci

PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA Nomor : 3C Tahun 2008 Lampiran : 1 (satu) berkas TENTANG

PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA Nomor : 3C Tahun 2008 Lampiran : 1 (satu) berkas TENTANG WALIKOTA TASIKMALAYA PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA Nomor : 3C Tahun 2008 Lampiran : 1 (satu) berkas TENTANG INTENSIFIKASI PERTANIAN TANAMAN PANGAN DAN PERKEBUNAN TAHUN 2008 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1980 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1980 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1980 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa partisipasi petani dalam Intensifikasi Khusus (INSUS) perlu ditingkatkan. b. bahwa peningkatan

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 91 TAHUN 2008

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 91 TAHUN 2008 GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 91 TAHUN 2008 TENTANG URAIAN TUGAS SEKRETARIAT, BIDANG, SUB BAGIAN DAN SEKSI DINAS PERTANIAN PROVINSI JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR MENIMBANG :

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kemampuan daerah tersebut dalam swasembada pangan atau paling tidak

I. PENDAHULUAN. kemampuan daerah tersebut dalam swasembada pangan atau paling tidak I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberhasilan pembangunan di sektor pertanian suatu daerah harus tercermin oleh kemampuan daerah tersebut dalam swasembada pangan atau paling tidak ketahanan pangan. Selain

Lebih terperinci

GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG IURAN PELAYANAN IRIGASI

GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG IURAN PELAYANAN IRIGASI GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG IURAN PELAYANAN IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KEPALA DAERAH

Lebih terperinci

POTENSI PENGEMBANGAN KEDELAI DI KAWASAN HUTAN

POTENSI PENGEMBANGAN KEDELAI DI KAWASAN HUTAN POTENSI PENGEMBANGAN KEDELAI DI KAWASAN HUTAN Suwarno Asisten Direktur Perum Perhutani Unit 2 PENDAHULUAN Perusahaan Umum (Perum) Perhutani Unit 2 berdasar Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 2010 mendapat

Lebih terperinci

PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA (Angka Tetap 2013 dan Angka Ramalan I 2014)

PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA (Angka Tetap 2013 dan Angka Ramalan I 2014) BPS PROVINSI JAWA TIMUR PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA (Angka Tetap 2013 dan Angka Ramalan I 2014) No. 45/07/35/Th XII,1 Juli 2014 A. PADI Angka Tetap (ATAP) 2013 produksi Padi Provinsi Jawa Timur sebesar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap manusia untuk dapat melakukan aktivitas sehari-hari guna mempertahankan hidup. Pangan juga merupakan

Lebih terperinci

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1980 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1960 TENTANG PERJANJIAN BAGI HASIL

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1980 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1960 TENTANG PERJANJIAN BAGI HASIL INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1980 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1960 TENTANG PERJANJIAN BAGI HASIL Menimbang : a. bahwa dalam rangka usaha meningkatkan

Lebih terperinci

BUPATI PASURUAN PERATURAN BUPATI PASURUAN NOMOR 9 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PROGRAM INTENSIFIKASI PERTANIAN KABUPATEN PASURUAN TAHUN 2015

BUPATI PASURUAN PERATURAN BUPATI PASURUAN NOMOR 9 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PROGRAM INTENSIFIKASI PERTANIAN KABUPATEN PASURUAN TAHUN 2015 BUPATI PASURUAN PERATURAN BUPATI PASURUAN NOMOR 9 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PROGRAM INTENSIFIKASI PERTANIAN KABUPATEN PASURUAN TAHUN 2015 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN,

Lebih terperinci

POLICY BRIEF MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (GP-PTT) MELALUI TINJAUAN KRITIS SL-PTT

POLICY BRIEF MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (GP-PTT) MELALUI TINJAUAN KRITIS SL-PTT POLICY BRIEF MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (GP-PTT) MELALUI TINJAUAN KRITIS SL-PTT Ir. Mewa Ariani, MS Pendahuluan 1. Upaya pencapaian swasembada pangan sudah menjadi salah satu

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 52 TAHUN 2002 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 52 TAHUN 2002 TENTANG GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 52 TAHUN 2002 TENTANG PEDOMAN PROGRAM INTENSIFIKASI PEMBUDIDAYAAN IKAN (INBUDKAN) DI JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang Mengingat : bahwa

Lebih terperinci

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN PERBERASAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN PERBERASAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN PERBERASAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka stabilitas ekonomi nasional, meningkatkan pendapatan

Lebih terperinci

1 LAYANAN KONSULTASI PADI IRIGASI Kelompok tani sehamparan

1 LAYANAN KONSULTASI PADI IRIGASI Kelompok tani sehamparan 1 LAYANAN KONSULTASI PADI IRIGASI Pilih kondisi lahan sawah Anda: O Irigasi O Tadah hujan O Rawa pasang surut Apakah rekomendasi pemupukan yang diperlukan akan digunakan untuk: O lahan sawah individu petani

Lebih terperinci

BUPATI SEMARANG SAMBUTAN BUPATI SEMARANG PADA ACARA PANEN PADI HIBRIDA TAHUN 2015

BUPATI SEMARANG SAMBUTAN BUPATI SEMARANG PADA ACARA PANEN PADI HIBRIDA TAHUN 2015 1 BUPATI SEMARANG SAMBUTAN BUPATI SEMARANG PADA ACARA PANEN PADI HIBRIDA TAHUN 2015 TANGGAL 5 PEBRUARI 2015 HUMAS DAN PROTOKOL SETDA KABUPATEN SEMARANG 2 Assalamu alaikum Wr. Wb. Salam sejahtera untuk

Lebih terperinci

ANALISIS USAHATANI PADI DAN PALAWIJA PADA LAHAN KERING DI KALIMANTAN SELATAN

ANALISIS USAHATANI PADI DAN PALAWIJA PADA LAHAN KERING DI KALIMANTAN SELATAN ANALISIS USAHATANI PADI DAN PALAWIJA PADA LAHAN KERING DI KALIMANTAN SELATAN (Studi Kasus di Desa Budi Mulia, Kabupaten Tapin) Oleh : Adreng Purwoto*) Abstrak Di masa mendatang dalam upaya mencukupi kebutuhan

Lebih terperinci

PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2016

PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2016 PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2016 Dalam rangka mewujudkan manajemen pemerintahan yang efektif, transparan, dan akuntabel serta berorientasi pada hasil, kami yang bertandatangan di bawah ini : Nama : Ir. Bambang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Jumlah penduduk Indonesia yang terus tumbuh berimplikasi pada meningkatnya jumlah kebutuhan bahan pangan. Semakin berkurangnya luas lahan pertanian dan produksi petani

Lebih terperinci

PROSEDUR PELAKSANAAN PEMBERIAN INSENTIF Rp,3.- (TIGA RUPIAH) PER-KILOGRAM GABAH KERING GILING KEPADA PETANI INSUS

PROSEDUR PELAKSANAAN PEMBERIAN INSENTIF Rp,3.- (TIGA RUPIAH) PER-KILOGRAM GABAH KERING GILING KEPADA PETANI INSUS - 3 - LAMPIRAN KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 36 TAHUN 1980 TANGGAL 19 Juni 1980 PROSEDUR PELAKSANAAN PEMBERIAN INSENTIF Rp,3.- (TIGA RUPIAH) PER-KILOGRAM GABAH KERING GILING KEPADA PETANI INSUS I. PENDAHULUAN.

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan analisis mengenai Potensi Pengembangan Produksi Ubi Jalar (Ipomea batatas L.)di Kecamatan Cilimus Kabupaten. Maka sebagai bab akhir pada tulisan

Lebih terperinci

PAPER TUTORIAL PENGANTAR EKONOMI PERTANIAN. Kebijakan Produksi (Intesifikasi melalui BIMAS)

PAPER TUTORIAL PENGANTAR EKONOMI PERTANIAN. Kebijakan Produksi (Intesifikasi melalui BIMAS) PAPER TUTORIAL PENGANTAR EKONOMI PERTANIAN Kebijakan Produksi (Intesifikasi melalui BIMAS) Disusun Oleh Kelompok 1: Nurul Setyaningsih 115040200111086 Nimas Ayu Kinasih 115040201111157 Nurhadi 115040201111172

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROPINSI JAWA TIMUR

PEMERINTAH PROPINSI JAWA TIMUR PEMERINTAH PROPINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 16 TAHUN 2002 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DINAS PERTANIAN PROPINSI

Lebih terperinci

AGRITECH : Vol. XVII No. 2 Desember 2015 : ISSN :

AGRITECH : Vol. XVII No. 2 Desember 2015 : ISSN : AGRITECH : Vol. XVII No. 2 Desember 2015 : 137 143 ISSN : 1411-1063 ANALISIS RENTABILITAS EKONOMI USAHATANI JAGUNG (Zea mays) DI DESA KALIORI KECAMATAN KALIBAGOR KABUPATEN BANYUMAS Winarsih Badan Pelaksana

Lebih terperinci

Teknologi Budidaya Tumpangsari Ubi Kayu - Kacang Tanah dengan Sistem Double Row

Teknologi Budidaya Tumpangsari Ubi Kayu - Kacang Tanah dengan Sistem Double Row Teknologi Budidaya Tumpangsari Ubi Kayu - Kacang Tanah dengan Sistem Double Row PENDAHULUAN Ubi kayu dapat ditanam sebagai tanaman tunggal (monokultur), sebagai tanaman pagar, maupun bersama tanaman lain

Lebih terperinci

9.b PENGUKURAN PENCAPAIAN PERJANJIAN KINERJA KABUPATEN SIAK TAHUN 2016 (CAPAIAN KINERJA SKPD BERDASARKAN TARGET RPJMD)

9.b PENGUKURAN PENCAPAIAN PERJANJIAN KINERJA KABUPATEN SIAK TAHUN 2016 (CAPAIAN KINERJA SKPD BERDASARKAN TARGET RPJMD) 9.b PENGUKURAN PENCAPAIAN PERJANJIAN KINERJA KABUPATEN SIAK TAHUN 2016 (CAPAIAN KINERJA SKPD BERDASARKAN TARGET RPJMD) DINAS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA KABUPATEN SIAK PENGUKURAN PENCAPAIAN PERJANJIAN

Lebih terperinci

PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (ANGKA RAMALAN III 2008)

PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (ANGKA RAMALAN III 2008) BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 40/11/34/Th. X, 03 November 2008 PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (ANGKA RAMALAN III 2008) Berdasarkan ATAP 2007 dan Angka Ramalan III (ARAM

Lebih terperinci

1 LAYANAN KONSULTASI PADI TADAH HUJAN Kelompok tani sehamparan

1 LAYANAN KONSULTASI PADI TADAH HUJAN Kelompok tani sehamparan 1 LAYANAN KONSULTASI PADI TADAH HUJAN Pilih kondisi lahan sawah Anda: O Irigasi O Tadah hujan O Rawa pasang surut Apakah rekomendasi pemupukan yang diperlukan akan digunakan untuk: O lahan sawah individu

Lebih terperinci

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG KEBIJAKAN PERBERASAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG KEBIJAKAN PERBERASAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG KEBIJAKAN PERBERASAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan pendapatan petani, peningkatan ketahanan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BADUNG NOMOR 11 TAHUN 1990 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BADUNG NOMOR 11 TAHUN 1990 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BADUNG NOMOR 11 TAHUN 1990 TENTANG PEMBENTUKAN, SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA DINAS PERTANIAN TANAMAN PANGAN KABUPATEN DAERAH TINGKAT II DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR NOMOR 26 TAHUN 1981 TENTANG PERUBAHAN PERTAMA

GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR NOMOR 26 TAHUN 1981 TENTANG PERUBAHAN PERTAMA GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR NOMOR 26 TAHUN 1981 TENTANG PERUBAHAN PERTAMA PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR NOMOR

Lebih terperinci

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1976 TENTANG PENYELESAIAN PENGEMBALIAN KREDIT BIMAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1976 TENTANG PENYELESAIAN PENGEMBALIAN KREDIT BIMAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1976 TENTANG PENYELESAIAN PENGEMBALIAN KREDIT BIMAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. Bahwa pada beberapa musim tanam ternyata ada petani-petani

Lebih terperinci

BUPATI SEMARANG PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI SEMARANG PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI SEMARANG PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN SEMARANG TAHUN ANGGARAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Padi merupakan bahan makanan yang menghasilkan beras. Bahan makanan

I. PENDAHULUAN. Padi merupakan bahan makanan yang menghasilkan beras. Bahan makanan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Padi merupakan bahan makanan yang menghasilkan beras. Bahan makanan ini merupakan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Padi adalah salah satu bahan makanan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1997 TENTANG BADAN PENGENDALI BIMBINGAN MASSAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1997 TENTANG BADAN PENGENDALI BIMBINGAN MASSAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1997 TENTANG BADAN PENGENDALI BIMBINGAN MASSAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : bahwa seiring dengan perubahan pendekatan dan kebijaksanaan pembangunan

Lebih terperinci

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN PERBERASAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN PERBERASAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, INSTRUKSI PRESIDEN NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN PERBERASAN PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka stabilitas ekonomi nasional, meningkatkan pendapatan petani, peningkatan ketahanan pangan,

Lebih terperinci

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG KEBIJAKAN PERBERASAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG KEBIJAKAN PERBERASAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, INSTRUKSI PRESIDEN NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG KEBIJAKAN PERBERASAN PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan pendapatan petani, peningkatan ketahanan pangan, pengembangan ekonomi pedesaan,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. pembangunan pertanian dan sebagai makanan utama sebagian besar masyarakat

PENDAHULUAN. Latar Belakang. pembangunan pertanian dan sebagai makanan utama sebagian besar masyarakat PENDAHULUAN Latar Belakang Komoditas padi memiliki arti strategis yang mendapat prioritas dalam pembangunan pertanian dan sebagai makanan utama sebagian besar masyarakat Indonesia, baik di pedesaan maupun

Lebih terperinci

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti:

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti: PROPOSAL PENELITIAN TA. 2015 POTENSI, KENDALA DAN PELUANG PENINGKATAN PRODUKSI PADI PADA LAHAN BUKAN SAWAH Tim Peneliti: Bambang Irawan PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN

Lebih terperinci

1 LAYANAN KONSULTASI PADI - TADAH HUJAN Individu petani

1 LAYANAN KONSULTASI PADI - TADAH HUJAN Individu petani 1 LAYANAN KONSULTASI PADI - TADAH HUJAN Pilih kondisi lahan sawah Anda: O Irigasi O Tadah hujan O Rawa pasang surut Apakah rekomendasi pemupukan yang diperlukan akan digunakan untuk: O lahan sawah individu

Lebih terperinci

GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR KEPUTUSAN NOMOR 194 TAHUN 1982 TENTANG

GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR KEPUTUSAN NOMOR 194 TAHUN 1982 TENTANG GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR NOMOR 194 TAHUN 1982 TENTANG PENGATURAN ALOKASI BANTUAN PEMBANGUNAN DESA DI JAWA TIMUR TAHUN 1982/1983

Lebih terperinci

BUPATI KARANGANYAR PERATURAN BUPATI KARANGANYAR NOMOR 13 TAHUN 2012

BUPATI KARANGANYAR PERATURAN BUPATI KARANGANYAR NOMOR 13 TAHUN 2012 BUPATI KARANGANYAR PERATURAN BUPATI KARANGANYAR NOMOR 13 TAHUN 2012 T E N T A N G ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. setengah dari penduduk Indonesia bekerja di sektor ini. Sebagai salah satu

I. PENDAHULUAN. setengah dari penduduk Indonesia bekerja di sektor ini. Sebagai salah satu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Sektor pertanian di Indonesia memegang peranan strategis karena merupakan sebagai tumpuan hidup sebagian besar penduduk Indonesia, dimana hampir setengah dari

Lebih terperinci

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG ALOKASI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS TAHUN ANGGARAN 2010

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG ALOKASI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS TAHUN ANGGARAN 2010 BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG ALOKASI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS TAHUN ANGGARAN 2010 BUPATI KUDUS, Menimbang : a. bahwa dalam rangka melaksanakan

Lebih terperinci

PERSEDIAAN KARBOHIDRAT DI KABUPATEN BULELENG TAHUN 2015

PERSEDIAAN KARBOHIDRAT DI KABUPATEN BULELENG TAHUN 2015 PERSEDIAAN KARBOHIDRAT DI KABUPATEN BULELENG TAHUN 215 Ir. Ni Putu Suastini, MSi (Penyuluh Pertanian Madya) Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Buleleng 215 PERSEDIAAN KARBOHIDRAT DI KABUPATEN BULELENG

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 39/Permentan/OT.140/6/2010 TENTANG PEDOMAN PERIZINAN USAHA BUDIDAYA TANAMAN PANGAN

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 39/Permentan/OT.140/6/2010 TENTANG PEDOMAN PERIZINAN USAHA BUDIDAYA TANAMAN PANGAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 39/Permentan/OT.140/6/2010 TENTANG PEDOMAN PERIZINAN USAHA BUDIDAYA TANAMAN PANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

BAB III KEBIJAKAN PEMBANGUNAN TAHUN Target. Realisasi Persentase URAIAN (Rp)

BAB III KEBIJAKAN PEMBANGUNAN TAHUN Target. Realisasi Persentase URAIAN (Rp) BAB III KEBIJAKAN PEMBANGUNAN TAHUN 2009 3.1. Program dan Kegiatan Dinas Pertanian Tahun 2008 Program yang akan dilaksanakan Dinas Pertanian Tahun 2008 berdasarkan Prioritas Pembangunan Kabupaten Majalengka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penduduk Indonesia. Bagi perekonomian Indonesia kacang kedelai memiliki

BAB I PENDAHULUAN. penduduk Indonesia. Bagi perekonomian Indonesia kacang kedelai memiliki BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kedelai merupakan sumber protein nabati utama bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Bagi perekonomian Indonesia kacang kedelai memiliki peranan yang besar

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM 5.1. Wilayah dan Topografi 5.2. Jumlah Kepala Keluarga (KK) Tani dan Status Penguasaan Lahan di Kelurahan Situmekar

V. GAMBARAN UMUM 5.1. Wilayah dan Topografi 5.2. Jumlah Kepala Keluarga (KK) Tani dan Status Penguasaan Lahan di Kelurahan Situmekar V. GAMBARAN UMUM 5.1. Wilayah dan Topografi Kota Sukabumi terletak pada bagian selatan tengah Jawa Barat pada koordinat 106 0 45 50 Bujur Timur dan 106 0 45 10 Bujur Timur, 6 0 49 29 Lintang Selatan dan

Lebih terperinci

1 LAYANAN KONSULTASI PADI - IRIGASI Individu petani

1 LAYANAN KONSULTASI PADI - IRIGASI Individu petani 1 LAYANAN KONSULTASI PADI - IRIGASI Pilih kondisi lahan sawah Anda: O Irigasi O Tadah hujan O Rawa pasang surut Apakah rekomendasi pemupukan yang diperlukan akan digunakan untuk: O lahan sawah individu

Lebih terperinci

Perkembangan Produksi dan Kebijakan dalam Peningkatan Produksi Jagung

Perkembangan Produksi dan Kebijakan dalam Peningkatan Produksi Jagung Perkembangan Produksi dan Kebijakan dalam Peningkatan Produksi Jagung Siwi Purwanto Direktorat Budi Daya Serealia, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan PENDAHULUAN Jagung (Zea mays) merupakan salah satu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi sumberdaya manusia suatu bangsa. Untuk mencapai ketahanan pangan diperlukan ketersediaan pangan dalam jumlah dan kualitas

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA. Oleh : RIKA PURNAMASARI A

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA. Oleh : RIKA PURNAMASARI A ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA Oleh : RIKA PURNAMASARI A14302053 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG

BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN BADUNG TAHUN ANGGARAN 2010 DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA PROVINSI D.I.YOGYAKARTA (ANGKA RAMALAN II 2008)

PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA PROVINSI D.I.YOGYAKARTA (ANGKA RAMALAN II 2008) BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 24/07/34/Th. X, 01 Juli 2008 PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA PROVINSI D.I.YOGYAKARTA (ANGKA RAMALAN II 2008) Berdasarkan ATAP 2007 dan Angka Ramalan II (ARAM II) tahun 2008,

Lebih terperinci

PRODUKSI PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI (Angka Ramalan II Tahun 2014)

PRODUKSI PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI (Angka Ramalan II Tahun 2014) BPS PROVINSI JAWA TIMUR PRODUKSI PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI (Angka Ramalan II Tahun 2014) No. 75/11/35/Th.XII, 3 November 2014 A. PADI Produksi Padi Provinsi Jawa Timur berdasarkan Angka Ramalan II (ARAM

Lebih terperinci

5. PEMBAHASAN 5.1. Penerimaan Kotor Varietas Ciherang, IR-64, Barito Dan Hibrida

5. PEMBAHASAN 5.1. Penerimaan Kotor Varietas Ciherang, IR-64, Barito Dan Hibrida 5. PEMBAHASAN 5.1. Penerimaan Kotor Varietas Ciherang, IR-64, Barito Dan Hibrida Berdasarkan hasil perhitungan terhadap rata-rata penerimaan kotor antar varietas padi terdapat perbedaan, kecuali antara

Lebih terperinci

1 LAYANAN KONSULTASI PADI - RAWA PASANG SURUT Individu petani

1 LAYANAN KONSULTASI PADI - RAWA PASANG SURUT Individu petani 1 LAYANAN KONSULTASI PADI - RAWA PASANG SURUT Pilih kondisi lahan sawah Anda: O Irigasi O Tadah hujan O Rawa pasang surut Apakah rekomendasi pemupukan yang diperlukan akan digunakan untuk: O lahan sawah

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BENGKULU,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BENGKULU, WALIKOTA BENGKULU PROVINSI BENGKULU Jl. Let. Jend. S. Pa[ PERATURAN WALIKOTA BENGKULU NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KOTA BENGKULU

Lebih terperinci

Gambar 2. Tingkat Produktivitas Tanaman Unggulan Kab. Garut Tahun

Gambar 2. Tingkat Produktivitas Tanaman Unggulan Kab. Garut Tahun V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1. Gambaran Umum Agroekonomi Kabupaten Garut Kabupaten Garut memiliki 42 kecamatan dengan luas wilayah administratif sebesar 306.519 ha. Sektor pertanian Kabupaten

Lebih terperinci

TINGKAT PENERAPAN DIVERSIFIKASI USAHATANI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PENDAPATAN DAN PENYERAPAN TENAGA KERJA

TINGKAT PENERAPAN DIVERSIFIKASI USAHATANI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PENDAPATAN DAN PENYERAPAN TENAGA KERJA TINGKAT PENERAPAN DIVERSIFIKASI USAHATANI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PENDAPATAN DAN PENYERAPAN TENAGA KERJA Oleh: Muchjidin Rachmat dan Budiman Hutabarat') Abstrak Tulisan ini ingin melihat tingkat diversifikasi

Lebih terperinci

DINAS PERTANIAN TANAMAN PANGAN, PERKEBUNAN DAN KEHUTANAN KABUPATEN KUPANG. Bagian Pertama. Dinas. Pasal 1

DINAS PERTANIAN TANAMAN PANGAN, PERKEBUNAN DAN KEHUTANAN KABUPATEN KUPANG. Bagian Pertama. Dinas. Pasal 1 DINAS PERTANIAN TANAMAN PANGAN, PERKEBUNAN DAN KEHUTANAN KABUPATEN KUPANG Bagian Pertama Dinas Pasal 1 Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Perkebunan Dan Kehutanan mempunyai tugas pokok membantu Bupati dalam

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2010 NOMOR 3 SERI E PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG

BERITA DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2010 NOMOR 3 SERI E PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG BERITA DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2010 NOMOR 3 SERI E PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KOTA BOGOR TAHUN

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 562 KMK. 02/2004 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 562 KMK. 02/2004 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 562 KMK. 02/2004 TENTANG SUBSIDI BENIH PADI, KEDELAI, JAGUNG HIBRIDA DAN JAGUNG KOMPOSIT BERSERTIFIKAT HASIL

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI ACEH

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI ACEH BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI ACEH No. 045/11/11/Th.V. 01 November 2011 PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA PROVINSI ACEH (ANGKA RAMALAN III TAHUN 2011) Sampai dengan Subrorund II (Januari-Agustus) tahun 2011,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Kedudukan, Tugas, Fungsi dan Kewenangan

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Kedudukan, Tugas, Fungsi dan Kewenangan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Komoditi aneka kacang (kacang tanah dan kacang hijau) memiliki peran yang cukup besar terutama untuk memenuhi kebutuhan pangan dan pakan. Peluang pengembangan aneka kacang

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERTANIAN. Budidaya. Izin Usaha.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERTANIAN. Budidaya. Izin Usaha. No.288, 2010 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERTANIAN. Budidaya. Izin Usaha. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39/Permentan/OT.140/6/2010 TENTANG PEDOMAN PERIZINAN USAHA

Lebih terperinci

Produksi Padi Tahun 2005 Mencapai Swasembada

Produksi Padi Tahun 2005 Mencapai Swasembada 47 Produksi Padi Tahun 2005 Mencapai Swasembada Abstrak Berdasarkan data resmi BPS, produksi beras tahun 2005 sebesar 31.669.630 ton dan permintaan sebesar 31.653.336 ton, sehingga tahun 2005 terdapat

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM PROVINSI LAMPUNG dan SUBSIDI PUPUK ORGANIK

GAMBARAN UMUM PROVINSI LAMPUNG dan SUBSIDI PUPUK ORGANIK 34 IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI LAMPUNG dan SUBSIDI PUPUK ORGANIK 4.1 Gambaran Umum Provinsi Lampung Lintang Selatan. Disebelah utara berbatasan dengann Provinsi Sumatera Selatan dan Bengkulu, sebelah Selatan

Lebih terperinci

POHON KINERJA DINAS PERTANIAN

POHON KINERJA DINAS PERTANIAN POHON KINERJA DINAS PERTANIAN II 1. Meningkatnya peningkatan produksi tanaman pangan, palawija dan 2. Mengembangkan Kegiatan Agribisnis menuju usaha tani modern 3. Meningkatnya pemanfaatan jaringan irigasi

Lebih terperinci

KERAGAAN PROGRAM SUPRA INSUS PADI KASUS DI KABUPATEN NGANJUK, JAWA TIMUR

KERAGAAN PROGRAM SUPRA INSUS PADI KASUS DI KABUPATEN NGANJUK, JAWA TIMUR KERAGAAN PROGRAM SUPRA INSUS PADI KASUS DI KABUPATEN NGANJUK, JAWA TIMUR Oleh: Muchjidin Rachmat, Rudy Rivai dan Andriatin Abstrak Tulisan ini menggambarkan pelaksanaan program Supra Insus padi pada awal

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 6 TAHUN 2015 SERI E.4 PERATURAN BUPATI CIREBON NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG

BERITA DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 6 TAHUN 2015 SERI E.4 PERATURAN BUPATI CIREBON NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG BERITA DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 6 TAHUN 2015 SERI E.4 PERATURAN BUPATI CIREBON NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG KEBUTUHAN, PENYALURAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SUB SEKTOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai pada kegiatan industri yang rumit sekalipun. Di bidang pertanian air atau yang

BAB I PENDAHULUAN. sampai pada kegiatan industri yang rumit sekalipun. Di bidang pertanian air atau yang 1 BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Air sangat penting bagi kehidupan manusia, hampir semua kegiatan makhluk hidup dimuka bumi memerlukan air, mulai dari kegiatan rumah tangga sehari-hari sampai

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I BALI NOMOR : 260 TAHUN : 1992 SERI: D NO. 255

LEMBARAN DAERAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I BALI NOMOR : 260 TAHUN : 1992 SERI: D NO. 255 LEMBARAN DAERAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I BALI NOMOR : 260 TAHUN : 1992 SERI: D NO. 255 PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I BALI NOMOR 9 TAHUN 1991 TENTANG PENJUALAN DAN PENYALURAN BENIH/BIBIT PADI,

Lebih terperinci

GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR KEPUTUSAN NOMOR 71 TAHUN 1996

GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR KEPUTUSAN NOMOR 71 TAHUN 1996 GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR NOMOR 71 TAHUN 1996 TENTANG TIM PEMBINA KREDIT USAHA TANI KONSERVASI DAERAH ALIRAN SUNGAI PROPINSI DAERAH

Lebih terperinci

PENGARUH SISTIM TANAM MENUJU IP PADI 400 TERHADAP PERKEMBANGAN HAMA PENYAKIT

PENGARUH SISTIM TANAM MENUJU IP PADI 400 TERHADAP PERKEMBANGAN HAMA PENYAKIT PENGARUH SISTIM TANAM MENUJU IP PADI 400 TERHADAP PERKEMBANGAN HAMA PENYAKIT Handoko Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur ABSTRAK Lahan sawah intensif produktif terus mengalami alih fungsi,

Lebih terperinci

BAB 4 EVALUASI KEEFEKTIFAN PROGRAM DALAM MENINGKATKAN PRODUKSI PADI SAWAH

BAB 4 EVALUASI KEEFEKTIFAN PROGRAM DALAM MENINGKATKAN PRODUKSI PADI SAWAH 67 BAB 4 EVALUASI KEEFEKTIFAN PROGRAM DALAM MENINGKATKAN PRODUKSI PADI SAWAH Bab ini akan membahas keefektifan Program Aksi Masyarakat Agribisnis Tanaman Pangan (Proksi Mantap) dalam mencapai sasaran-sasaran

Lebih terperinci

PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA ( ANGKA TETAP 2014 DAN ANGKA RAMALAN I 2015)

PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA ( ANGKA TETAP 2014 DAN ANGKA RAMALAN I 2015) PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA ( ANGKA TETAP 2014 DAN ANGKA RAMALAN I 2015) No. 48/07/33/Th.IX, 1 Juli 2015 Angka tetap produksi padi tahun 2014 di Jawa Tengah mencapai 9,65 juta ton Gabah Kering Giling (GKG)

Lebih terperinci

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 25 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 25 TAHUN 2011 TENTANG BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 25 TAHUN 2011 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS TAHUN ANGGARAN 2011 BUPATI KUDUS, Menimbang

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1997 TENTANG BADAN PENGENDALI BIMBINGAN MASSAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1997 TENTANG BADAN PENGENDALI BIMBINGAN MASSAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1997 TENTANG BADAN PENGENDALI BIMBINGAN MASSAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa seiring dengan perubahan pendekatan dan kebijaksanaan pembangunan

Lebih terperinci

BUPATI KUANTAN SINGINGI PROVINSI RIAU PERATURAN BUPATI KUANTAN SINGINGI NOMOR 5 TAHUN 2014

BUPATI KUANTAN SINGINGI PROVINSI RIAU PERATURAN BUPATI KUANTAN SINGINGI NOMOR 5 TAHUN 2014 BUPATI KUANTAN SINGINGI PROVINSI RIAU PERATURAN BUPATI KUANTAN SINGINGI NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG ALOKASI KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN KUANTAN

Lebih terperinci

PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA PROVINSI ACEH (ANGKA SEMENTARA TAHUN 2015)

PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA PROVINSI ACEH (ANGKA SEMENTARA TAHUN 2015) BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI ACEH No. 14/03/Th.XIX. 01 Maret 2016 PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA PROVINSI ACEH (ANGKA SEMENTARA TAHUN 2015) ANGKA SEMENTARA PRODUKSI PADI TAHUN 2015 SEBESAR 2.331.046 TON

Lebih terperinci

PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA PROVINSI ACEH (ANGKA SEMENTARA TAHUN 2015)

PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA PROVINSI ACEH (ANGKA SEMENTARA TAHUN 2015) BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI ACEH No. 14/03/Th.XIX. 01 Maret 2016 PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA PROVINSI ACEH (ANGKA SEMENTARA TAHUN 2015) ANGKA SEMENTARA PRODUKSI PADI TAHUN 2015 SEBESAR 2.331.046 TON

Lebih terperinci

V. PERKEMBANGAN PRODUKSI, USAHATANI DAN INFRASTRUKTUR PENDUKUNG PENGEMBANGAN JAGUNG

V. PERKEMBANGAN PRODUKSI, USAHATANI DAN INFRASTRUKTUR PENDUKUNG PENGEMBANGAN JAGUNG V. PERKEMBANGAN PRODUKSI, USAHATANI DAN INFRASTRUKTUR PENDUKUNG PENGEMBANGAN JAGUNG 5.1. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Jagung di Jawa Timur dan Jawa Barat 5.1.1. Jawa Timur Provinsi Jawa Timur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian memegang peranan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian memegang peranan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian memegang peranan penting pada perekonomian nasional. Untuk mengimbangi semakin pesatnya laju pertumbuhan

Lebih terperinci

PRODUKSI TANAMAN PANGAN PROVINSI PAPUA TAHUN 2015 (BERDASARKAN ANGKA SEMENTARA 2015)

PRODUKSI TANAMAN PANGAN PROVINSI PAPUA TAHUN 2015 (BERDASARKAN ANGKA SEMENTARA 2015) PRODUKSI TANAMAN PANGAN PROVINSI PAPUA TAHUN (BERDASARKAN ANGKA SEMENTARA ) No. 15 /03/94 /Th. VIII, 1 Maret 2016 A. PADI Produksi Padi Provinsi Papua tahun diperkirakan mencapai 181.682 ton gabah kering

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 109 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Berdasarkan pengolahan dan hasil analisis data yang telah penulis lakukan dalam penelitian tentang Pengaruh Agribisnis Hortikultura Terhadap Kesejahteraan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu roda penggerak pembangunan

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu roda penggerak pembangunan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu roda penggerak pembangunan nasional. Dilihat dari kontribusinya dalam pembentukan PDB pada tahun 2002, sektor ini menyumbang sekitar

Lebih terperinci

WALIKOTA SOLOK PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN WALIKOTA SOLOK NOMOR 2 TAHUN 2016

WALIKOTA SOLOK PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN WALIKOTA SOLOK NOMOR 2 TAHUN 2016 WALIKOTA SOLOK PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN WALIKOTA SOLOK NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK KOMODITI TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA KOTA SOLOK

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Bentuk: Oleh: KEPUTUSAN PRESIDEN (KEPPRES) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 5 TAHUN 1990 (5/1990) Tanggal: 12 PEBRUARI 1990 (JAKARTA) Sumber: LN 1990/8 Tentang: PERUSAHAAN UMUM (PERUM) JASA TIRTA PRESIDEN

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN DEMAK

BERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN DEMAK BERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN DEMAK PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA ( ANGKA TETAP 2014 DAN ANGKA RAMALAN I 2015) No.02 /07/3321/Th.I,1 Juli 2015 Angka tetap produksi padi Kabupaten Demak tahun 2014 mencapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmu usahatani diartikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana mengalokasikan sumberdaya yang dimiliki secara efektif dan efisien dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan

Lebih terperinci

WALIKOTA TASIKMALAYA

WALIKOTA TASIKMALAYA WALIKOTA TASIKMALAYA PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA NOMOR 26 TAHUN 2009 TENTANG PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DAN PERIKANAN DI KOTA TASIKMALAYA WALIKOTA TASIKMALAYA Menimbang Mengingat

Lebih terperinci