BAB IV HASIL PENELITIAN. A. Deskripsi Lokasi Penelitian 1. Lokasi Keraton Kasunanan Surakarta

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB IV HASIL PENELITIAN. A. Deskripsi Lokasi Penelitian 1. Lokasi Keraton Kasunanan Surakarta"

Transkripsi

1 BAB IV HASIL PENELITIAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian 1. Lokasi Keraton Kasunanan Surakarta Gambar 4.1 Denah kawasan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat Kerajaan tradisional Surakarta (Kraton Surakarta) dengan ibukotanya Sala merupakan penerus kerajaan Mataram yang didirikan Oleh Susuhunan Paku Buwana II (selanjutnya disingkat Sunan PB II) pada tahun Berdirinya Keraton Surakarta ini dapat disebut sebagai pengganti Keraton Kartasura yang telah hancur sebagai akibat dari adanya gerakan bersenjata orang-orang Cina yang berhasil memberontak dan merebut Kerajaan Mataram itu. Kota ini berada di tanah dataran rendah di tepi sebelah barat Sungai Bengawan Sala. Menurut astronomi, kota Sala terletak pada 7 4'0" Lintang Utara '0 Lintang Selatan dan '0" Bujur Barat commit -- lll 20'0" to user Bujur Timur. Suhu udaranya berkisar 58

2 59 antara 22 C sampai 32 C, dan tinggi tanahnya ± (lebih kurang) 92 meter di atas permukaan laut. Adapun luas wilayah kerajaan Surakarta (sekarang eks Keresidenan Surakarta) seluruhnya adalah kilometer persegi. Separuh dari daerah itu adalah milik Kasunanan, sedang separuh lainnya masuk daerah Mangkunegaran. Pada tahun 1838 penduduk Surakarta berjumlah orang, dan pada tahun 1920 naik menjadi orang. Penduduk Surakarta dapat dikatakan homogen, artinya masing-masing etnik terkumpul dan menempati daerah-daerah tertentu secara terpisah dengan etnik lainnya. Beberapa etnik yang mendiami di seputar wilayah ibukota kerajaan, yaitu Jawa yang jumlahnya paling besar, kemudian Cina, Arab, dan Eropa. Di pusat ibukota terdapat bangunan inti kerajaan berupa Keraton yang terdiri dari kompleks bangunan yang dikelilingi tembok, tempat kediaman Raja dan isteri-isterinya. Daerah inti ini dikelilingi oleh sepasang bangunan tembok yang tinggi, tempat masuk hanya bisa lewat gerbang dengan pintu yang tebal dan kuat. Di luar daerah inti terdapat kompleks yang lebih besar, 700 x 500 meter, yang juga dikelilingi tembok. Di tempat ini terdapat pemukiman atau tempat kediaman para pegawai, pejabat, anggota istana, dan berbagai tukang dan pekerja, yang semuanya mempunyai kaitan langsung dengan kegiatan dalam istana. Kawasan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat memanjang dari arah Utara ke Selatan. Dalam hal ini konsep konsentris (empat lingkaran) Kerajaan Jawa dipakai sebagai dasar pembagian Keraton. Lingkaran pertama, kedhaton dan sekitarnya yang dikelilingi oleh benteng pertama. Lingkaran kedua, wilayah di antara dua benteng yang disebut baluwarti, Ketiga, yaitu paseban yang terletak di halaman luar pintu masuk (kori) Brajanala. Dan keempat, alun-alun di depan paseban. Gladag merupakan kawasan paling Utara dari Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat sekaligus sebagai pintu masuk, kompleks selanjutnya adalah alun-alun yang berupa hamparan tanah lapang yang luas dengan sepasang pohon beringin kurung (ringin kurung kembar) bernama Kyai Dewandaru dan Kyai Jayandaru commit di tengah to user alun-alun, Selatan alun-alun adalah

3 60 pagelaran atau sasana sumewa. Pagelaran atau sasana sumewa merupakan bangunan yang besar dan luas. Pada zaman dulu, sasana sumewa atau pagelaran merupakan salah satu tempat berkumpulnya para pejabat untuk menghadap Raja dan memberi laporan kepada raja mengenai daerahnya. Kompleks di belakang sasana sumewa adalah sitihinggil (tanah tinggi), kompleks tanah ini lebih tinggi dibanding tempat yang lain. Sitihinggil merupakan tempat Raja bertahta/bersinggasana. Kompleks selanjutnya setelah melewati sitihingggil dan melalui pintu gerbang besar bernama kori brajala, adalah kori kamandungan atau teras depan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Kori kamandungan merupakan merupakan pintu masuk utama menuju dalem ageng atau kediaman raja. Pada kompleks pertama ketika memasuki lingkungan Keraton (kedhaton) akan terlihat bagunan sri manganti dan panggung sanggabuwana yang menjulang tinggi. Setelah melewati pintu kori sri manganti, maka akan terlihat hamparan pasir hitam dan pohon-pohon sawo kecik yang memiliki makna sarwo becik atau serba indah. Tempat ini merupakan halaman dalam Keraton didepan bangunan sasana sewaka yang berupa pendhapa. Sasana sewaka adalah tempat Raja bertahta ketika diadakan upacara-upacara kebesaran kerajaan seperti tingalan jumenengan maupun grebeg. Kompleks pada bagian Selatan halaman pasir hitam adalah magangan. Kompleks setelah magangan adalah sri manganti kidul dan kori kamandungan kidul. Tiga kompleks terakhir pada kawasan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat adalah sitihinggil kidul, alun-alun kidul dan gapura gading. Yang disebut bangunan Keraton utama adalah bangunan ndalem ageng dan pendapa sasana sewaka serta Keraton kulon. Bangunan utama pada Keraton baik Keraton Surakarta maupun Yogyakarta selalu terdiri dari pendapa dan ndalem ageng, seperti juga bangunan rumah tradisional Jawa pada umumnya. Namun bangunan Keraton memiliki kekhususan yaitu bentuknya dan ukurannya yang lebih besar dibanding dengan rumah tradisional. Tari Bedhaya Ketawang sangat erat kaitannya dengan Keraton Kasunanan Surakarta, karena commit tarian to ini user lahir dan berkembang di Keraton

4 61 Kasunanan Surakarta, tari Bedhaya Ketawang merupakan tarian yang sakral, sakral disini mencangkup semuanya, mulai dari busana, penari, pengiring serta tempat. Tempat dipergelarkan Bedhaya Ketawang yaitu pada pendapa sasana sewaka. Pendapa sasana sewaka merupakan bangunan utama Keraton Surakarta yang didirikan pada masa Paku Buwono ke II pada tahun 1698 (tahun Jawa) dengan arsitektur yaitu Sultan Hamengku Buwono I. Bangunan tersebut didirikan di desa Surakarta. Konon menurut KRA Budayaningrat Yusdianto (14 Oktober 2013) Asal mula pembangunan Keraton yaitu terlebih dahulu adalah pembangunan sasana sewaka, pemilihan lokasi sasana sewaka yaitu dengan berhentinya sekar delimo. Sekar delimo berbentuk gong besar. Jadi dimana sekar delimo itu berhenti maka disitu dibangun sasana sewaka. Bangunan sasana sewaka tersebut diperkirakan merupakan bangunan yang berasal dari pendapa pindahan di Keraton Kartasura. Padahal menurut kepercayaan pada jaman Mataram, Panembahan Senapati dari Mataram, mendapat wahyu, bahwa kalau membuat Keraton harus dari dari kayu yang berasal dari hutan Donoloyo secara turun temurun, sehingga kalau terjadi perpindahan Keraton, maka soko guru pada pendapa tersebut selalu dibawa pindah dimana Keraton didirikan kembali. Oleh karena itu maka Paku Buwono II waktu itu tetap melestarikan hal-hal tertentu saja yang tetap digunakan pada pendapa sasana sewaka tersebut seperti : sesajian, kain timpal pada soko guru, juga kayunya diambil dari hutan Donoloyo tersebut. Pendapa sasana sewaka dalam kondisi sekarang mengalami pemugaran akibat kebakaran pada tanggal 5 Januari 1995, bahkan penggunaan kayu soko guru lainnya tidak dari hutan Donoloyo. Hal ini dikarenakan sulitnya mendapatkan jumlah kayu maupun kwalitas yang diinginkan, sebab semakin kurang jumlah kayu tersebut yang ada di hutan Donoloyo. Demikian juga bahanbahan lainnya. Kebanyakan digunakan bahan-bahan produk baru dan dalam negeri yang tidak sesuai dengan aslinya lagi. Hal ini dikarenakan sulitnya mendapatkan bahan-bahan yang sesuai dengan aslinya, juga karena terbatasnya biaya pemugaran Keraton tersebut, commit dengan to user demikian dapat dikatakan bahwa

5 62 pendapa sasana sewaka yang kini selesai dipugar, disebut sebagai monumen, bukan lagi seperti Keraton aslinya. Namun demikian fungsi pendapa sasana sewaka sampai sekarang masih tetap dilestarikan sesuai dengan aturan-aturan (pakem) menurut kebudayaan Keraton baik yang bersifat tradisi maupun keagamaan yang dibawa secara turun temurun sejak berdirinya Keraton Kasunanan tersebut. a. Ruang-ruang pada Pendopo Sasana Sewaka: 1) Ruang Maligi Maligi maupun malige merupakan nama ruang yang berada pada bagunan pendapa ageng sasana sewaka. Nama tersebut tidak mempunyai arti khusus. Ruang tersebut berfungsi sebagai tempat untuk khitanan bagi para putra dalem yaitu, putra Raja dan para putra Pangeran Keraton. Juga pernah diikutsertakan para putra abdi dalem dikhitankan bersama-sama disekitar tempat tersebut yang dilakukan secara masal. Dahulu ruang maligi ini hanya berupa halaman tanah pasir saja yang berada di bagian depan bangunan pendapa ageng sasana sewaka tepatnya bagian timur yang berfungsi sejak berdirinya pendapa tersebut pada tahun wawu Bentuk maligi mengalami perubahan yaitu sejak dibangun menjadi bangunan yang mempunyai ruang dan atap setara lantai yang permanen dengan bentuk yang disebut topengan yang menempel di bagian timur pendapa sasana sewaka tersebut. Topengan ini dibangun oleh Paku Buwono IX sejak beliau bertahta yaitu pada hari jumat tanggal 19 Rabingulakhir, tahun alip 1811 (10 Maret 1882 Masehi). Ruang Maligi tersebut mempunyai luas lantai 8.50 m x m dengan bentuk atap limasan jubungan dan saka (tiang) 8 buah dengan lantai marmer alam bersih dan mengkilat yang membuat kesan mewah. Ruang ini sering digunakan untuk keluar masuk para abdi dalem yang berkunjung menghadap Raja maupun dalam upacara tradisi. Dengan demikian ruang

6 63 ini bisa disebut sebagai pintu masuk utama, sebab merupakan ruang yang paling depan. 2) Ruang Pendapa Sasana Sewaka Ruang pendapa sasana sewaka, pada dasarnya adalah ruang sasana sewaka yang merupakan bagian utama yang terpenting dari bangunan pendapa sasana sewaka. Arti dari nama sasana sewaka tersebut adalah : sasana berarti tempat dan sewaka berarti menghadap ke suatu arah ialah Tuhan Yang Maha Esa. Ruang tersebut tidak sembarang orang diperbolehkan masuk, dikarenakan hubungannya dengan kepercayaan dan berfungsi untuk siniwoko. Sesuai dengan arti nama sasana sewaka tersebut, maka fungsi utama dari ruang tersebut adalah digunakan Raja / Sri Susuhunan untuk duduk lenggah siniwoko. Yang dimaksud dengan lenggah siniwoko adalah Raja duduk diatas sebuah kursi untuk semedi ( mengheningkan cipta) memohon kesejahteraan Keraton seisinya. Didalam melakukan semedi tersebut, Raja dalam posisi duduk siniwoko yang berarti dilayani (dihadap), yaitu Raja duduk di dampar kencono (bangku tempat duduk Raja tanpa sandaran tangan dan belakang) yang ditepatkan disebelah barat soko guru dan menghadap ke timur. Hal tersebut senada dengan pendapat KRA Budayaningrat Yusdianto (wawancara 14 Oktober 2013) perlu dibedakan antara dampar dengan kursi, bila dampar tidak mempunyai sandaran, karena posisi Raja pada saat duduk di dampar yaitu Raja gung binathara, yaitu Raja yang tidak mempunyai istri dan anak, karena beliau sudah mengemban sebagai wali ulah ( wakil tuhan) sehingga segala sesuatu yang diucapkan adalah sabda, dan tindakan sebagai panutan. Dan bila Raja sudah duduk di dhampar maka Raja jarang berbicara, berbicara hanya mengucapkan undang, karena ucapan yang diucapkan adalah titah yang harus dilaksanakan. Karena Raja tidak boleh bersuara maka dalam memanggil abdi dalem, Raja menggunakan kacu yang berwarna merah. Kacu tersebut merupakan isyarat. Bila Raja ingin memanggil salah satu abdi dalem maka kacu yang

7 64 ada ditangan kanan Raja di gerakan. Menurut kepercayaan Raja duduk siniwoko menghadap ke timur, menyongsong terbitnya matahari, dimana matahari merupakan sumber kehidupan. Semasa Keraton sebagai pusat pemerintahan, upacara semedi siniwoko tersebut dilakukan setiap hari senin dan kamis. Pada masa Paku Buwono X upacara tersebut dilakukan hanya dilakukan sebulan sekali pada hari senin atau kamis karena beliau sibuk mengurusi perjuangan masa perang kemerdekaan Republik Indonesia. Dan setelah R.I berdiri hanya dilakukan secara tetap yaitu setiap peringatan hari Penobatan jumenengan Raja tanggal 2 ruwah setahun sekali. Hal tersebut dibenarkan oleh KRA Budayaningrat Yusdianto (wawancara 14 Oktober 2013) memang dahulu waktu Keraton Kasunanan sebagai pusat pemerintahan menghadap Raja dilakukan dua kali seminggu, yang disebut paseban tapi setelah Keraton menjadi pelestarian, menghadap Raja hanya dilakukan sekali yaitu saat tinggalan jumenengan dalem. Di dalam jalannya hari ulang tahun penobatan Raja tersebut, terdapat suatu acara yang khusus yaitu pagelaran tari Bedhaya Ketawang yang diiringi dengan musik gamelan khusus pula. Dengan demikian ruang pendapa sasana sewaka, juga berfungsi sebagai tempat pergelaran tari Bedhaya Ketawang. Ditambahkan KRA Budayaningrat Yusdianto (wawancara 17 Oktober 2013) Bedhaya Ketawang keluar dari ruang parasdya dengan mengkanankan Raja, mengkananan disini mempunyai arti untuk menghormati Raja, tari Bedhaya Ketawang dilaksanakan di tengah pendapa sasana sewaka, karena di dalam pendapa sasana sewaka terdapat empat saka guru, soko yaitu adeg-adeg atau penyangga sedangkan guru yaitu ilmu, jadi segala sesuatu nya harus berdasarkan aturan hidup. Menari di empat saka guru karena merupakan esensi kehidupan manusia, yaitu pajupat lima pancer, dimulai dari parwa, daksina, pracina dan utara. Bila dilihat dengan seksama penari Bedhaya Ketawang yang berjumlah 9 memang alurnya tidak pernah commit keluar to user dari empat saka guru. Saka guru

8 65 dalam pendapa sasana sewaka juga harus ditutupi dengan kain, karena benda-benda tersebut merupakan benda pusaka yang dilindungi, ditambah lagi kyai remeng, sebutan untuk lampu ditengah pendapa sasana sewaka, dan saka guru hanya dibuka saat ada perintah dari Raja, misalnya tingalan jumenengan, satu suro. Fungsi lainnya dari ruang sasana sewaka tersebut adalah untuk upacara keagamaan seperti : sekaten, maleman satu suro, mahesa lawung dan juga mantu (pernikahan putra-putri Raja). Upacara-upacara tersebut dilaksanakan setahun sekali dan merupakan tradisi turun temurun sampai sekarang masih diselenggarakan. Hal tersebut dikarenakan menurut kepercayaan piwulang Sunan Kalijaga, bahwa Keraton merupakan titik temu antara Islam dan jawa, sehingga tradisi Jawa di Keraton dilakukan berdasarkan agama islam. Adapun pengelompokan secara hierarkis tersebut, pada dasarnya dibagi menjadi 3 sesuai dengan pengelompokan ruang yang ada pada pendapa ageng sasana sewaka tersebut. Ruang ruang tersebut adalah : a) Daerah yang utama, yaitu ruang bagian tengah (ruang Sasana Sewaka) yang memiliki empat soko guru, 12 buah soko pananggap dan 20 buah soko rowo dengan luas lantai 21,35 m x 23,35 m serta bentuk atap joglo pengrawit ruang ini memiliki lantai yang paling tinggi sekitar 75 cm dari tanah. Yang berhak duduk di ruang ini yaitu disamping Raja itu sendiri, juga untuk para abdi dalem yang memiliki pangkat tertinggi sesuai dengan lantainya yang paling tinggi tersebut. Disini duduk berurutan seperti para Adipati dan Kanjeng, Pangeran serta Pepatih. b) Daerah yang kedua yaitu ruang daerah tepi (Paningrat Timur, Selatan, Barat dan Utara) yang mengelilingi sasana sewaka. Ruang ini memiliki 40 buah tiang besi dengan atap emperan yang menempel pada sasana sewaka, dengan lantai yang lebih rendah dari sasana sewaka. Yang berhak duduk di ruang ini yaitu untuk para abdi dalem yang memliki kepangkatan commit yang to user lebih rendah dari kepangkatan yang

9 66 berada di sasana sewaka, seperti para riyo inggil/ tinggi, sentana dan Bupati. c) Daerah yang ketiga, yaitu daerah halaman luar dibagian depan dan kanan kiri pendapa sasana sewaka, merupakan urutan tingakatan terendah, karena halaman yang terbuka ini rendah dan luas. Yang berhak duduk di halaman dengan tanah pasir yang bersih dari Gunung Merapi dan pasir dari Pantai Selatan itu, yaitu golongan pangkat yang paling rendah, seperti para riyo ngandap / rendah Pada dasarnya Ruang pendapa sasana sewaka ini menghadap ketimur sesuai dengan arti dari lenggah siniwoko. Ruang ini juga mempunyai hubungan yang dekat dan erat sekali dengan fungsi ruang yang berada di paningrat dan maligi. Karena fungsi kegiatannya hanya untuk Raja dan para abdi dalem tingkatan tertinggi dan sebagai pusat upacara, adat dan keagamaan. Menurut kepercayaan ruang pendapa sasana sewaka memiliki kekuatan magis. Hal ini dapat dilihat dari fungsi utama ruang tersebut, yaitu sebagai pusat upacara-upacara tradisi Keraton. Pada akhir Paku Buwana XI bertahta, tradisi duduk silo dilantai mulai berubah menjadi duduk di kursi. Perubahan tradisi duduk di kursi tersebut diteruskan oleh Paku Buwana XII, tetapi setelah pendapa sasana sewaka mangalami kebakaran dan tidak bisa berfungsi, sementara upacara adat dan keagamaan di lakukan di Keraton kulon yang terletak disebelah barat. Di Keraton kulon selama 1985 sampai 1987, upacara adat dan keagamaan tersebut kembali lagi dilakukan seperti adat tradisi semula, yaitu dengan tradisi duduk silo dilantai. 3) Ruang Paningrat Nama paningrat dalam hal ini tidak memiliki makna khusus, sebab paningrat merupakan bagian ruang penunjang saja untuk melengkapi bangunan tradisional pada umumnya. Ruang paningrat ini dahulu dibuat tidak permanen, commit yaitu to user hanya dengan emperan lantai biasa

10 67 dan tratak tarub yang sangat sederhana. Paningrat ini dibangun pada masa Paku Buwono X dan berangsur-angsur dibangun menjadi paningrat yang permanen hingga sekarang. Lantai paningrat ini berlantai marmer, dengan bentuk atap Trajumas yang memanjang mengelilingi dan menyatu dengan pendapa sasana sewaka. Lantai paningrat ini lebih rendah dari lantai di ruang pendapa sasana sewaka. Fungsi utama dari ruang Paningrat ini adalah untuk menerima para abdi dalem tingakatan menengah. Di ruang paningrat terdiri dari paningrat Timur, Utara, Barat dan Selatan. Paningrat selatan digunakan untuk menabuh gamelan pengiring latian maupun pergelaran tari Bedhaya Ketawang. 4) Ruang Parasdya Ruang parasdya merupakan bagian dari dalem ageng prabasuyasa. Ruang parasdya ini sebagai perantara antara pendapa ageng sasana sewaka dengan dalem ageng sasana sewaka, sehingga letaknya dibagian barat pendapa ageng sasana sewaka. Fungsi utama ruang parasdya tersebut sebagai tempat duduk harian Raja di kursi singgasana yang dilengkapi dengan dua buah meja kecil di kanan kiri kursi tersebut. Biasanya Raja duduk ditempat tersebut, menghadap ke timur sambil menyaksikan latian tari Bedhaya Ketawang yang berada di paningrat Barat dibarengi dengan iringan gendhingnya latian dilakukan setiap sebulan sekali setiap hari Selasa Kliwon. Ruang parasdya ini menghadap ke timur sesuai dengan arah hadap kursi singgasana Raja tersebut dan dibagian belakang terdapat tiga buah pintu gerbang tengah dan kanan-kiri atau kori gebyok parasdya yang menghubungkan dengan dalem ageng prabasuyasa. Ruang ini memiliki empat buah soko guru ditengah delapan buah tiang besi ditepi dengan peninggian lantai yang sama dengan pendapa sasana sewaka, Peninggian lantai ini mempunyai luas sekitar 1400m x 850m dengan bentuk atap joglo kapuhan.

11 68 Utara Gambar 4.2 Denah Sasana Sewaka (Gambar merah adalah Raja dan putih adalah Penari Bedhaya Ketawang) B. Latar Belakang Tari Bedhaya Ketawang 1. Sejarah dan Nilai Filosofis Tari Bedhaya Ketawang KRA Budayaningrat Yusdianto (wawancara 27 Agustus 2013) dalam suatu kerajaan, mitos sangat diperlukan karena alasan politik. Adanya mitos diharapkan dapat memperkuat kedudukan Raja. Biasanya mitos menceritakan perihal kejadian bumi, langit dan nenek moyang manusia, dewa dan upacaraupacara yang berhubungan dengan keagamaan dan kepercayaan. Keraton

12 69 Surakarta, Keraton Yogyakarta dan masyarakat pada umumnya mempunyai kepercayaan terhadap Kanjeng Ratu Kidul. Kanjeng Ratu Kidul merupakan ratu dari segala makhluk halus. Mitos ratu kidul merupakan mitos yang dipercaya oleh masyarakat jawa terutama masyarakat di Jawa bagian Selatan karena daerah tersebut merupakan daerah kekuasaan Kerajaan Mataram. Menurut serat babad, Kanjeng Ratu Kidul itu pada masa kecilnya bernama Dewi Rekno Suwedo. Seorang putri dari kerajaan Pajajaran bernama Prabu Mudingsari dengan Permaisuri Dewi Sarwedi. Cucu dari Sang Hyang Suronadi, cicit dari Raja siluman di kerajaan Segaluh. Konon ceritanya Putri Rekno Suwedo keluar dari Keraton untuk bertapa, jadi terlanjur tidak kawin. Dia berjalan menyusuri pantai selatan, kemudian tiba di pantai Parangtritis. Disitu sudah ada Raja Putri yang menguasai samudra itu. Dialah mbok Roro Kidul. Roro itu wanita belum kawin. Dia sangat marah melihat perempuan jelita di wilayahnya, lalu menantang perang dengan si pendatang. Kedua wanita berkelahi sampai dimenangkan oleh Rekno Suwedo. Dia duduk di dampar kencana hingga sekarang menjadi Raja Putri makhluk alus. (G.R.Ay. Brotodiningrat,1991 : 3). Menurut KGPH Puger (wawancara 20 Agustus 2013) mitos ratu kidul ini terdapat dalam Babad tanah jawi yang menggambarakan pasrah dan takluknya Kanjeng Ratu Kidul dan bala tentaranya yang tidak kasat mata kepada Panembahan Senapati. Konon Panembahan Senapati sebagai Raja Mataram yang pertama dikenal sebagai orang yang sakti mandraguna, kuat dan berwibawa serta mempunyai keahlian dalam hal-hal yang bersifat magis dan gaib. Ketika Sutawijawa melakukan semedi di laut Selatan kesaktian yang dipancarkannya mengakibatkan malapetaka dan bencana di wilayah Kerajaan Laut Selatan, suatu Kerajaan siluman, Kerajaannya ada di dasar laut Selatan. Mengetahui bahwa kekacauan ini disebabkan oleh Sutawijaya maka kanjeng Ratu Kidul melawan menghadapi Sutawijaya. Namun Kanjeng Ratu Kidul kalah dan mengetahui keunggulan dan kesaktian Senapati hingga menyerah dan memohon agar Senapati menghentikan meditasinya dan mengembalikan ketentraman Kerajaan Laut Selatan. Sebagai imbalannya commit Kanjeng to user Ratu Kidul berjanji akan membantu

13 70 Raja Mataram beserta keturunannya yang menjadi Raja, apabila Raja menghadapi bahaya dari musuh-musuhnya. Di Keraton Surakarta nama Kanjeng Ratu Kencanasari itu dianggap akrab sekali. Karena semenjak adanya kesanggupan dari Sri Sultan Agung yang telah menjanjikan mau memperistrikan Kanjeng Ratu sampai seturun-turunnya yang menaiki tahta Kerajaan. Mempunyai kewajiban menjaga keselamatan Sang Raja sekeluarga. Menjaga ketentraman keluarga dan isinya. Setiap hari mengirimkan penjaga yang disebar di empat penjuru Keraton. Orang Belanda menamakan Kanjeng Ratu Kidul Zee Godin. Untuk mereaktualisasikan percintaan/ pernikahan Kanjeng Ratu Kidul dengan Panembahan Senopati (Raja pertama Dinasti Mataram) maka diciptakanlah Tari Bedhaya Ketawang. Diyakini oleh kerabat Keraton Kasunanan Surakarta bahwa tari Bedhaya Ketawang diciptakan oleh Kanjeng Ratu Kidul bersama Panembahan Senopati. Sultan Agung mereaktualisasikan dalam bentuk sebuah tari putri yang halus dan dianggap sakral, serta Kanjeng Ratu Kidul diminta datang di dataran untuk mengajarkan tarian Bedhaya Ketawang kepada penari kesayangan Raja. KRA Budayaningrat Yusdianto (wawancara 27 Agustus 2013) juga menambahkan bahwa Kanjeng Ratu Kidul sering mengunjungi Keraton Surakarta. Dia singgah di Panggung Songgo Buwana dalam lonteng di tingkat atas sendiri. Yang dinamakan Tutupsaji. Diberi persediaan pakaian dan sesaji yang beraneka ragam. Setiap hari Jumah dan Hanggarakasih (Slasa Kliwon) dibikin bersih dan diberi sajen dan dupa. Ruang dikunci dan hanya setiap tahun dipersembahkan pakaian yang dia sukai. Sampai sekarang sesaji tidak dihentikan. Kenapa tarian yang disakralkan oleh Keraton Kasunanan Surakarta disebut Bedhaya Ketawang, menurut KRA Budayaningrat Yusdianto (wawancara 25 Agustus 2013) Bedhaya adalah penari wanita di istana, sedangkan ketawang diambilkan dari nama gendingnya yang hanya diiringi gamelan seperti, kemanak, kethuk, kenong, kendhang dan gong dan iringan gendhing ketawang, maka tarian commit tersebut to user dinamakan tarian Bedhaya Ketawang.

14 71 Hal ini jelas terlihat dalam bentuk gendingnya yang hanya diiringi oleh gendhing ketawang ageng. KRA Budayaningrat Yusdianto (wawancara 14 Oktober 2013) Tari Bedhaya Ketawang ini sudah ada pada saat pemerintahan Sultan Agung, konon tarian ini di ciptakan oleh Panembahan Senapati bersama dengan Kanjeng Ratu Kecana Sari, menurut Kanjeng Brotodiningrat dan KGPH Hadiwidjoyo, memang tari Bedhaya Ketawang ada saat pemerintahan Sultan Agung, bukan Panembahan Senapati, Panembahan Senapati adalah Raja Mataram pertama, yang memerintah tahun M di Kutho Gedhe, sedangkan Sultan Agung adalah keturunan ke dua dari Panembahan Senapati, Sultan Agung memerintah tahun M, Sultan Agung merupakan Raja Mataram, saat pemerintahan Sultan Agung mataram yang dulunya masih Mataram Hindu, pada pemerintahan Sultan Agung sudah berubah menjadi Mataram Islam. Sultan Agung memerintah di Kutho Gedhe setelah itu Kerajaan pindah di Plered, diceritakan asal mula tari Bedhaya Ketawang, awalnya Sultan Agung bertapa di tepi pantai selatan, saat bertapa, Sultan Agung mendengar suara ombak serta denyut nadinya yang seolah-olah menjadi satu irama, serta Sultan Agung juga mendapatkan gambaran bahwa dahulu Panembahan Senapati dengan Ratu Pantai Selatan, terjadi suatu ikatan, dari situlah Sultan Agung ingin mereaktualisaikan percintaan Panembahan Senapati dengan Kanjeng Ratu Kencanasari, sehingga terciptalah tari Bedhaya Ketawang. Tari Bedhaya Ketawang mengalami keemasan pada saat Paku Buwono X sampai PB XII, yaitu tahun Hal itu sejalan dengan masa jaya Keraton Kasunanan Surakarta yaitu pada Paku Buwono X. Kenapa tari Bedhaya Ketawang mengalami masa jaya pada masa Paku Buwono X, karena PB X merupakan Raja yang paling kaya, karena pada saat itu Keraton merupakan pusat pemerintahan jadi semua kekayaan milik Keraton. Masa jaya tari Bedhaya Ketawang berakhir bersamaan dengan berdirinya NKRI, karena dengan berdirinya NKRI maka Keraton sudah tidak menjadi pusat pemerintahan sehingga juga mempengaruhi terhadap perkembangan tari Bedhaya Ketawang, tidak bisa dipungkiri bahwa tari commit Bedhaya to user Ketawang juga sangat dipengaruhi

15 72 oleh keuangan, setelah NKRI berdiri, Keraton tidak lagi menjadi pusat pemerintahan, keuangan Keraton tersendat, sehingga banyak abdi dalem yang bertugas di Bedhaya Ketawang yang keluar dari Keraton, mencari nafkah sendiri-sendiri. Selain itu dampak berdirinya NKRI bagi keraton Kasunanan Surakarta, yaitu berkurangnya abdi dalem, kurangnya penghasilan Keraton Kasunanan, misalnya bila dahulu sesaji dibuat 12 pasang, sekarang hanya sepasang, hal tersebut juga dapat berimbas pada nilai filosofi dalam sesaji. 2. Tari Bedhaya Ketawang Merupakan Tari Ritual di Keraton Kasunanan Surakarta Tari Bedhaya Ketawang merupakan tarian Keraton Kasunanan Surakarta. Tari ini bukan hanya sekedar pertunjukan tarian semata, namun bisa disebut sebagai tarian ritual karena didalamnya terdapat beberapa hal yang sangat khas yaitu, menurut KGPH Puger (wawancara 20 Agustus 2013) ciri-ciri khas yang diungkap, yaitu tempat pertunjukkan yang khusus, pergelaran tari Bedhaya Ketawang dilaksanakan di pendhapa sasana sewaka, dan Susuhunan duduk sendiri ditengah bagian barat pendhapa sasana sewaka menghadap ke timur. pendhapa sasana sewaka merupakan bangsal tanpa dinding selain tempatnya, pemilihan waktu pargelaran juga tidak sembarangan, selalu mengikuti kalender Jawa. Ulang tahun penobatan Sri Susuhunan Paku Buwana XII jatuh setiap tanggal 2 ruwah. Sedangkan Ulangtahun penobatan Sri Susuhunan Paku Buwana XIII jatuh setiap tanggal 25 rejeb. Pementasan tari Bedhaya Ketawang dilaksanakan pada saat upacara peringatan kenaikan tahta Raja. Raja sekarang adalah Paku Buwana XIII, nama kecilnya adalah GRM Surya Parnoto, naik tahta pada usia 56 tahun jatuh pada tanggal 25 rejeb 1937 wawu atau 25 rejeb 1425 Hijriah, bertepatan tanggal 10 september Dia menggantikan ayahandanya Paku Buwana XII yang wafat pada hari jumat wage tanggal 22 bakda mulud wawu 1937 windu adi, atau tanggal 11 Juni 2004, dan dimakamkan di Astana Imogiri pada tanggal 14 Juni commit 2004 atau to user 25 rabiulakhir Oleh karena itu

16 73 secara tradisi setiap tanggal 25 rejeb (bulan jawa) diadakan peringatan kenaikan tahta Raja. Pada tanggal 4Juni 2013 adalah peringatan kenaikan tahta Raja Paku Buwana XIII yang kesembilan. Lama pementasan tari Bedhaya Ketawang sekitar 1,5 jam. Dimulai sekitar WIB dan berakhir pada pukul Latian hanya diselenggarakan setiap hari anggara kasih atau slasa kliwon, dengan demikian dalam 35 hari hanya diselenggarakan latihan sekali menurut hitungan jawa. Latian rutin tari bedhaya ketawang dilaksanakan setiap hari selasa kliwon (anggara kasih). Menurut kepercayaan Jawa, selasa kliwon adalah hari kelahiran Kanjeng Ratu Kidul dan dianggap hari yang paling sakral. Satu minggu sebelum menjelang acara tinggalan jumenengan, latian dilaksanakan setiap hari, dan tiga hari sebelum acara puncak penari disuruh puasa dan dirias. Hari Selasa Kliwon (anggara kasih) titik beratnya pada kliwon yang berarti kasih. Hal tersebut merupakan perhitungan asli jawa, termasuk pon, wage, legi dan pahing maka belum terpengaruh oleh kebudayaan asing, selain itu tari Bedhaya Ketawang dianggap sakral karena tidak sembarangan dalam memilih penari, harus memenuhi beberapa syarat, penari terpilih dan putri semua masih perawan atau masih gadis (belum menikah) dan dalam keadaan suci tidak sedang menstruasi, namun dikarenakan jumlah penari terbatas, sehingga bagi penari yang sedang haid diperkenankan menari tetapi harus meminta ijin dahulu kepada Kanjeng Ratu Kidul, dalam hal ini yang meminta ijin bukan penarinya tetapi abdi dalem yang bertugas dengan cara caos dhahar, serta bukan putri Sinuwun, khususnya jaman dahulu. Aspek-aspek ritual lainnya dari Tari Bedhaya Ketawang adalah jumlah penari dan sesajen. Pementasan tari Bedhaya Ketawang ditarikan oleh 9 penari yang dapat dihubungkan dalam kosmologi hindu. Dalam kosmologi hindu, angka 9 dianggap sebagai angka yang sakral karena angka ini melambangkan sembilan arah mata angin. Pada agama Hindu Dharma, kesembilan dewa mata angin itu disebut Nawa Sanga, yaitu Utara, Timur laut, Timur, Tenggara, Selatan, Barat daya, Barat, Barat laut, Tengah. Dari jumlah penari yang banyaknya sembilan orang juga commit dapat to menjadi user sarana meditasi. Menurut faham

17 74 kejawen jumlah sembilan melambangkan jumlah lubang yang terdapat pada tubuh manusia. Kesembilan lubang tersebut adalah satu lubang mulut, dua lubang mata, dua lubang hidung, dua lubang telingga, satu lubang dubur, dan satu lubang kelamin. Kesembilan lubang tersebut merupakan lubang sembilan hawa nafsu yang ada pada manusia yang disebut dengan hawa sanga. Dalam tari Bedhaya Ketawang, jumlah sembilan penari masing- masing mempunyai peranan yang sangat penting seperti hal nya yang dikatakan KRA Budayaningrat Yusdianto (wawancara 27 Agustus 2013) kesembilan penari tersebut adalah : Batak, Endhel Ajeg, Endhel Weton, Apit ngarep, Apit Buri, Apit Meneng, Gulu, Gulu, Dhada, Buncit. Endhel Ajeng pinangka wewujudan manungsa sempurna, Batak lan Gulu nglambangaken sirah utawi mustaka, apit ngarep lan apit mburi nglambangaken tangan kiwa lan tangan tengen, dhada lan buncit nlgambangaken badan, endhel weton lan apit meneng nglambangaken sikil kiwa lan sikil tengen. Solahing gulu, dhada, lan buncit punika ngetukakenn solahing batak pinangka sirah ingkang hanggadahi pancadriya. Perang antawisipun batak kaliyan endhel ajeg punika nggambaraken perang antawisipun manungsa kaliyan piranti anasir sekawan warni. Ingkang punika : mutmainah, sofiah, aluamah, amarah ingkang wonten seranduning badan manungsa. (Endhel Ajeg merupakan perwujudan manusia sempurna, batak dan gulu melambangkan kepala, apit ngarep dan apit mburi melambangkan tangan kiri dan tangan kanan, dhada dan buncit melambangkan badan, endhel weton dan apit meneng melambangkan kaki kiri dan kaki kanan. Bergeraknya gulu, dhada dan buncit itu mempunyai pancaindera.perang antara batak dengan endhel ajeg itu menggambarkan perang antar manusia dengan empat warna. Yaitu : mutmainah, sofiah, aluamah, amarah, yang ada di tubuh manusia. Berikut ini adalah nama penari Bedhaya Ketawang saat Tinggalan Jumenengan Dalem 4 Juni 2013, : PENARI BEDHAYA KETAWANG PADA JUMENENGAN PAKU BUWONO XIII Tanggal 4 Juni 2013 Rr. Ika Prasetyaningsih sebagai Batak Rr. Dwi Sari Septiani sebagai Endhel Ajeg

18 75 Rr. Anggun sebagai Endhel Weton Rr. Listyahingsih sebagai Apit Meneng Rr. Devi Putri sebagai Apit Mlaku Ngarep Rr. Anggita sebagai Gulu Rr. Resita sebagai Dhadha Rr. Ema Pamiluntasari sebagai Mbuntut Rr. Kezia Putri Herawati sebagai Apit Mlaku Mburi Tabel 4.1 Nama penari Bedhaya Ketawang Selain jumlah penari, aspek ritual lainnya adalah sesajen. Dalam tari Bedhaya Ketawang pasti tidak lupa dengan apa yang dinamakan sesaji. Sesaji atau orang jawa biasa menyebut dengan sesajen adalah sajian khusus untuk makhluk halus. Dalam tari Bedhaya Ketawang sesaji tujuannnya juga sebagai sarana untuk memohon doa restu kepada Tuhan, dalam sesaji juga disertai kutuk atau orang yang membakar dupa. Sesaji dalam tari Bedhaya Ketawang tersebut menurut KGPH Puger (14 Oktober 2013) sebenarnya sesaji itu banyak macamnya, tetapi kebanyakan dibagi menjadi 2 meliputi : (1) sesaji papak alit, menyimbolkan dalam lingkup kecil, berisi satu nampan jajan pasar, pisang raja atau pisang susu satu lirang, singkomg, ketela, tales, gembili bubur merah yang dibumbuhi bubur putih diatasnya, bubur kathul, ketan empat warna yakni merah, putih, hijau, kuning yang diberi enten-enten, serabi besar dan kecil, jingkong, hawug-hawug, irisan gula merah, nasi tumpeng, nasi olong, ayam goreng bagian dada atau paha, pecel, sayur menir, sayur kecambah, sambal jenggot, daun kemanggi, ikan asin goreng tepung, tempe goreng, tepung, dan kedelai hitam, (2) sesaji pepak ageng, ditambah rangkaian yang lebih banyak, terdiri dari berbagai macam dan jenis makanan khas seperti : ketan biru dibumbuhi enten-enten (parutan kelapa dimasak dengan gula merah), nasi putih dengan ingkung ayam berbumbu santan kental, irisan mentimun, kedelai hitam digoreng, cabai hijau, bawang merah, garam, nasi tumpeng megono commit dengan to 3 user buah telur, tempe goreng kripik paru,

19 76 dendeng sapi, sambel goreng ati, sayur asem-asem, bihun goreng, krupuk udang atau krupuk merah. Masing-masing lauk di tempatkan dalam tarir sudi (seperti mangkok kecil terbuat dari daun pisang. Sesaji pepak alit biasanya digunakan pada saat latian Bedhaya Keatwang, tetapi sesaji pepak ageng disajikan pada saat jumenengan. Tetapi yang paling konkrit untuk sesaji tari Bedhaya Ketawang ketan biru dengan nasi gurih (nasi kuning) dengan diberi kelapa parut dan dikasih gula jawa, ketan biru menyimbulkan perdamaian, keterbatasan, bisa juga menyimbulkan laut/ air, air bisa menjadi sumber kehidupan, kesuburan. Sajian ketan biru itu diberikan kepada penari. Penari Bedhaya sebelum menarikan tarian ini diwajibkan harus memakan dulu sesaji ketan biru yang diatasnya diberi kelapa parut dan dkasih gula jawa, dan itu merupakan salah satu syarat utama sebelum melakukan atau menarikan tarian Bedhaya Ketawang. Pada saat latian terakhir penari Bedhaya Ketawang, Keraton menyiapkan sesaji pepak alit yang berjumlah 9 diletakkan di siaga, sesaji tersebut mempunyai makna untuk menyelamatkan para penari dalam melaksanakan tugas. Gambar 4.3 Sesaji pepak alit yang berjumlah 9 Dalam suatu pergelaran tari, tidak komplit rasanya bisa tarian tersebut tidak diiringi, sama halnya dengan sesaji, gendhing dalam tari Bedhaya Ketawang merupakan salah satu unsur yang utama, karena disini adalah menceritakan Panembahan Senapati dengan Kanjeng Ratu Kidul.

20 77 Menurut hasil wawancara dengan KGPH Puger (29 Agustus 2013) Gendhing yang digunakan dalam tarian Bedhaya Ketawang adalah gendhing ketawang gedhe, gendhing ini tidak dapat dijadikan sebagai gendhing klenengan karena, memang bukan gendhing, melainkan termasuk tembang gerong yang diiringi oleh lokananta seperti kethuk, kenong, kendang, gong, kemanak, ditambah dengan rebab, gender, gambang dan suling untuk menambah keselarasan. Dalam gendhing ketawang gedhe tersebut terdiri dari 3 macam babak. Babak yang pertama yaitu gendhing durma, babak yang kedua yaitu gendhing semang-semang, dan babak yang ketiga yaitu gendhing raka paken. Dari ketiga babak tersebut mempunyai makna sendiri-sendiri yaitu babak pertama melukiskan Kanjeng Ratu Kidul gandrung kepada Panembahan Senapati, babak kedua perkawinannya, dan babak ketiga persetubuhannya. Ditambahkan KGPH Puger (19 Oktober 2013) Bedhaya Ketawang dalam pergelaran tidak bisa lepas dari gamelan, gamelan yang mengiringi tari Bedhaya Ketawang disebut kyai kaduk manis, dan manis rengga. Kaduk manis untuk pelognya sedangkan manis rengga untuk slendronya. Selain gamelan, yang sangat disakralkan adalah kendang, kendang ini adalah perangkat yang memang disakralkan, ceritanya dahulu kendang ini adalah karya Raja dan konon kendang ini ada jin yang menunggu didalamnya, kendang ini diberi nama kyai iskandar, sehingga dalam perawatan juga harus hati-hati disimpan ditempat yang khusus. Selain gendhing dan gamelan, tari Bedhaya Ketawang tidak akan bisa disebut sebagai tari ritual kalau tidak ada syair. Syair tari Bedhaya Ketawang dibuat oleh Sultan Agung, tetapi syair ini tidak sepenuhnya dibuat oleh Sultan Agung, di ceritakan bahwa syair dan gendhing, merupakan karya Sultan Agung yang juga dibantu oleh abdi dalem yang mahir dibidangnya. Tetapi untuk kejelasan antara busana, gendhing dan syair mana yang dibuat duluan, tidak tau pastinya. Syair dalam tari Bedhaya Ketawang menceritakan bagaimana prosesi pertemuan dan dihaluskan dalam falsafah. Syair ini biasa disebut dengan cakepan sindhenan Bedhaya Ketawang

21 78 Pergelaran tari Bedhaya Ketawang tahun ini dipergelarkan tanggal 4 Juni 2013, merupakan perayaan Ulang Tahun Paku Buwono XIII ke 9. Sebelum pergelaran tari Bedhaya Ketawang dimulai Sinuwun miyos (keluar) dari dalem ageng prabasuyasa ke pendapa sasana sewaka diiringi gendhing sri katon sampai lenggah (duduk) di dhampar kencana menghadap ketimur diteruskan abdi dalem nyai mas tumenggung (dia adalah abdi dalem wanita yang membawa masuk penari Bedhaya Ketawang),tetapi pada saat tinggalan jumenengan tanggal 4 Juni 2013, Sinuwun tidak miyos, jadi tidak ada yang duduk di dhampar, tetapi tari Bedhaya Ketawang tetap di tarikan. Abdi dalem Nyai Mas Tumenggung memberikan laporan kepada Raja bahwa tari Bedhaya sudah siap dikeluarkan dan untuk melaporkan bahwa semua sudah siap untuk menjalankan upacara dengan diiringi gendhing puspa warna. Abdi dalem Nyai Mas Tumenggung ini berjalan dengan jengket paling depan diantara sembilan orang penari Bedhaya Ketawang tersebut. Abdi dalem sepuh, bupati anom dan seluruhnya yang terlibat dalam prosesi acara tinggalan jumenengan memasuki pendapa sasana sewaka duduk depokan dilantai. Jika rebab sudah mulai digesek sebagai tanda kluarnya penari Bedhaya Ketawang dari dalem ageng prabasuyasa menuju ke pendapa sasana sewaka, suasananya menjadi sunyi senyap. Lurah pasendhen bowo membuka tembang. Suaranya jernih merayu rayu beserta gumpalan asap-asap dupa menyebabkan perasaan takut dan mendirikan bulu roma. Kemudian penari kluar dari dalem ageng prabasuyasa memasuki pendapa sasana sewaka berjalan satu persatu urut, dengan alur penarinya adalah : endhel ajeg, batak, endhel weton, apit ngarep, apit mburi, apit meneng, gulu, dhadha,buncit. Sampai ditengahtengah pendapa sasana sewaka, melewati sebelah kiri dan selalu mengkanankan Raja atau Sinuwun. Arti simbolisnya yaitu menghormati Raja yang selalu diagungkan posisi penari Bedhaya, membentuk seperti kapal terbang atau tata letak seperti bintang scorpio simbolnya kalajengking. Dalam hal ini dapat dianalisis bahwa, penari Bedhaya Ketawang yang berjumlah 9 dengan nama dan perannya sendiri-sendiri diperumpamakan anggota tubuh. Setelah kesembilan

22 79 penari itu sudah sampai didepan Sinuwun dan posisi penari seperti kapal terbang maka dimulailah pertunjukkan tarian sakral itu. KRA Budayaningrat Yusdianto (wawancara 20 Agustus 2013) Keraton Surakarta dalam perjalanannya melestarikan tari Bedhaya Ketawang, perkembangannya tari Bedhaya itu tetap dilestarikan, kalau dulu tari Bedhaya Ketawang itu normatif. Normatifnya tari Bedhaya Ketawang harus dilaksanakan sesuai pakem /aturan, terjadi pergeseran pada tari Bedhaya Ketawang yang bisa dilihat, misalnya dahulu Keraton Surakarta sebagai pusat negara/ pemerintahan sehingga pelaksanaan juga berbeda dengan sekarang, dulu waktu pelaksanaan jaman Kerajaan sebagai negara suasana pada saat jumenengan sangat hening, tidak ada suara kamera sekarang suasananya tidak hening banyak suara kamera, orang berbicara, dahulu Raja sangat dihormati, saat masuk pelataran harus jongkok serta sembah pun ada aturan yang berlaku, pelaksanaan upacara kenaikan tahta merupakan upacara kenegaraan, hal ini terjadi sebelum NKRI berdiri. Sekarang terjadi perubahan dalam pelaksanaan tari Bedhaya Ketawang, dahulu keraton disebut sebagai pusat pemerintahan tetapi sekarang keraton disebut sebagai penyangga budaya. Dalam pemilihan penari Bedhaya Ketawang juga mengalami pergeseran. Putri Sentana Dalem utawi putra dalem ingkang sampun pikantuk lilah Sampeyan Dalem ingkang Sinuwun, taksih lamban sarta boten ngepasi nampi alangan, nindhakakenpaugeran, miturut paugeran Bedhaya : Klarah Munggwing Jaladri Darma Lumaku Sapakon sedaya dhawuh ingkang magepokaken kaliyan Abdi dalem Bedhaya kedhah purun hanindhakaken, tuladhanipun : siyam, caos dahar, lan sapanunggalipun. Penari Bedhaya Ketawang tidak boleh keluar harus di dalam Keraton, memang panari Bedhaya Ketawang sebagai pekerja, dalam Bedhaya Ketawang terdapat lurah Bedhaya yang bertanggung jawab terhadap segala sesuatu yang menyangkut Bedhaya Ketawang, dulu semua wanita yang dijadikan penari Bedhaya Ketawang memang masih perawan, ditempatkan pada suatu tempat khusus, dia merupakan abdi dalem Bedhaya dan penari Bedhaya Ketawang kalau tidak diperistri oleh Raja dia dicarikan commit jodohnya to user oleh Raja, karena memang abdi

23 80 dalem Bedhaya Ketawang itu khusus, selektif parafnya, tariannya, sindenannya, serta semua perintah dari Raja, seorang penari Bedhaya Ketawang harus menuruti, misalnya puasa. Bedhaya sekarang banyak yang mengambil dari luar Keraton, tempat tinggalnya juga tidak didalam Keraton tetapi diluar Keraton, disini Bedhaya Ketawang sebagai pelestarian. Perbedaannya antara lain, cara penyajiannya, tamu, abdi dalem. Dahulu tari Bedhaya Ketawang dilaksanakan selama 2,5 jam, tetapi sejak jaman Sinuhun Paku Buwana X terjadi pengurangan, hingga akhirnya menjadi 1,5 jam. Menurut KRA Budayaningrat Yusdianto (wawancara 20 Agustus 2013) terjadi pengurangan waktu pementasan tari Bedhaya Ketawang, hal ini disebabkan karena dirasa waktu 2,5 jam termasuk lama untuk menari tanpa berhenti. Tetapi walaupun terjadi pengurangan waktu, gerakan dalam tarian tidak ada yang dikurangi. Yang dihilangkan adalah iringan yang tidak ada sindenannya, lirik lagu dalam mengiringi juga masih sama, tidak terjadi pengurangan. Pergeseran tari Bedhaya Ketawang selain pada pemilihan penari juga terjadi pada busana yang dipakai oleh penari Bedhaya Ketawang, Menurut hasil wawancara dengan KGPH Puger (20 Agustus 2013) busana yang dipakai oleh penari Bedhaya Ketawang terutama dodot alas-alasan, pembuatannya menggunakan teknik batik tulis dengan prodo, dahulu prodo yang digunakan adalah emas asli. Terjadi perubahan dalam pembuatan busana sekarang ini, sekarang prodo yang digunakan merupakan prodo biasa yang digunakan untuk membatik, karena bila menggunakan emas, tidak terhitung berapa rupiah yang dikeluarkan. Secara Keseluruhan pertunjukan tari Bedhaya Ketawang merupakan suatu tarian ritual, hal tersebut bisa diketahui dari beberapa hal yang ditentukan sesuai aturannya, selain itu disebut tari ritual bisa dilihat dari upacara yang religius, mulai dari persiapan-persiapan latihan, gladi resik sampai pergelarannya. Upacara-upacara kecil dan sesajen yang mengiringi tarian ini sangat kental dengan tradisi jawa yang mendapat pengaruh Hindu-Budha. Pengaruh Hindu yang masih sangat kuat commit ini dikarenakan to user meskipun kerajaan Surakarta

24 81 merupakan kerajaan Islam namun budhaya di istana Surakarta masih mempertahankan unsur tradisi Jawa. Hal ini dapat diketahui dari ritual yang harus dilakukan penari, ketika akan melaksanakan Tari Bedhaya Ketawang yaitu harus meminta ijin dulu kepada Kanjeng Ratu Kidul, yang disebut dengan istilah caos dhahar. Menurut hasil wawancara dengan KGPH Puger (29 Agustus 2013) Caos Dhahar ini juga dilakukan oleh abdi dalem yang terlibat dalam upacara penobatan Raja maupun ulang tahun penobatan Raja, misalnya : perias, ampilampil, niyaga, pesinden, dan lain-lain. Caos dhahar merupakan suatu manifestasi dari kebaktian dan usaha untuk berkomunikasi dengan makhluk halus dan dunia gaib. Caos dhahar dilaksanakan sebanyak empat kali menghadap penjuru mata angin dengan Keraton sebagai pusatnya. Penjuru mata angin tersebut ditujukan kepada makhluk halus yang dianggap dipercaya melindungi Keraton dan seisinya sehingga pada pelaksanaan upacara dapat selamat, berjalan dengan lancar, terhindar dari kekacauan dan malapetaka. Caos dhahar yang pertama dilakukan menghadap selatan kepada Kanjeng Ratu Kidul, kedua ke arah utara kepada Bathari Durga, ketiga ke arah barat kepada Kanjeng Ratu Sekar Kedhaton, keempat ke arah timur kepada Kanjeng Sunan Lawu. Banyak sekali mitos yang terkandung di dalam tari Bedhaya Ketawang salah satunya adalah mitos tentang bertambahnya penari Bedhaya Ketawang, hal tersebut dibenarkan oleh KRA Budayaningrat Yusdianto (wawancara 17 Oktober 2013) hal tersebut bukan hanya mitos, tetapi memang kebenaran, tergantung siapa yang melihatnya, saat Paku Buwana XII memang Kanjeng Ratu Kidul sering ikut menari, malah hampir setiap jumenengan Ratu Pantai Selatan datang dan ikut menari. 3. Busana Tari Bedhaya Ketawang Selain sesaji dan gendhing yang menjadikan tari Bedhaya Ketawang sebagai ritual, busana tari Bedhaya Ketawang juga menjadi pandangan utama. Banyak orang yang tidak tau dari mana asal usul pakaian temantin. Orang satu pun belum ada yang tanya tentang commit hal to itu. user Hanya melihat dengan kosong bila

25 82 melihat busana penari Bedhaya Ketawang. Konon Busana tari Bedhaya Ketawang merupakan ciptaan Kanjeng Ratu Kidul. Menurut hasil wawancara dengan KGPH Puger (19 Agustus 2013) Semua merupakan suatu cerita yang mungkin juga suatu yang tidak disadari cerita yang disangatkan akibatnya menjadi keterangan yang mendasar dilihat dari sudut agama memang ada kebenaran, jin kalau sudah menjadi manusia sudah bisa melakukan apapun, serta busana tari Bedhaya Ketawang karya Kanjeng Ratu Kidul tentu sebuah instrupsi atau sebuah tuntunan memberikan pembelajaran, kebenarannya sendiri sampai sekarang masih tanda tanya besar, ini dibuktikan secara real sangat sulit, tetapi sementara ini kita hanya mendengar cerita-cerita bahwa busana basahan yaitu dodot alas-alasan merupakan karya dari Kanjeng Ratu Kencana Sari. Kebenaran nya masih dipertanyakan sampai sekarang. Busana yang dipakai oleh penari Bedhaya Ketawang mempunyai ciri khas yang tidak bisa disamakan dengan yang lain, baik cara pemakaian atau ragam hias pada busana serta perhiasan yang dipakai. Oleh karena itu busana tari Bedhaya Ketawang juga tidak bisa sembarangan orang bisa memegang, ada abdi dalem khusus yang merawat busana tari Bedhaya Ketawang, serta perawatan nya juga khusus, misalnya setiap kamis harus dibersihkan, serta membersihkan harus memakai ritual. Pemakaian tata busana dan tata rias Bedhaya Ketawang pada waktu gladi resik dan pergelaran dalam upacara penobatan Raja ada tiga bagian, yaitu : tata busana, tata rias wajah, perhiasan yang dipakainya. Busana yang digunakan pada saat kirab dan jumenengan dalem berbeda. Untuk lebih jelasnya tentang busana tari Bedhaya Ketawang pada saat kirab dan pada saat jumenengan dalem akan diuraikan sebagai berikut : a. Kirab / Gladi Resik 1) Gladi Resik Busana yang digunakan oleh penari Bedhaya Ketawang sangatlah banyak, mulai dari busana commit yang to dilakukan user saat latihan rutin bulanan yaitu

26 83 pada hari slasa kliwon (anggara kasih), sedangkan saat mendekati jumenengan maka latihan dilaksanakan pada satu bulan terakhir, dan latihan juga dilaksanakan pada saat H-1 atau sering disebut midodareni. Gladi resik ing Beksan Bedhaya Ketawang kadintakakaen setunggal dinten sakderengipun kagelaraken ing Tinggalan Jumenengan Dalem Ingkang Sinuhun kanthi kakirababen rumiyin. (Budayaningrat, 2012 :19). Jadi menurut Budayaningrat, gladi resik pada tari Bedhaya Ketawang dilakukan pada saat satu hari sebelum jumenengan. Jumenengan yaitu hari kenaikan tahta Raja, sekaligus sebagai perlambang pernikahan Kanjeng Ratu Kidul dengan Raja Mataram, jadi saat Jumenengan terdapat juga perlengkapan saat menikah, misalnya midodareni, kembar mayang. Dodot yang dikenakan penari Bedhaya Ketawang pada waktu gladi resik bermotif parang rusak. Gambar 4.4 Kembar Mayang Pada Saat Tinggalan Jumenengan PB XIII Pada saat midodareni maupun jumenengan dalem para penari menempati tampat khusus untuk berdandan dan persiapan yaitu siaga, siaga ini adalah tempat ganti baju untuk penari Bedhaya Ketawang pada saat latian dan jumenengan. KRA Budayaningrat Yusdianto (wawancara 17 Oktober 2013) siaga menurut bahasa jawa, yaitu siap-siap. Ruang siaga ini terdapat di Keputren, ruang siaga ini merupakan ruang yang tertutup untuk umum.

27 84 Dalam ruang siaga diwajibkan memakai busana dodot harian, baik itu untuk perias, lurah, serta nyentir. Di siaga juga terdapat satu lemari besar yang digunakan untuk wadah jarik dan dodot yang dipakai penari serta ruang siaga terhubung dengan ruang prabasuyasa, yaitu merupakan tempat menyimpan benda-benda pusaka kerajaan dan tahta raja sebagai simbol kerajaan dalam. Ada beberapa aturan yang harus dilaksanakan oleh penari Bedhaya Ketawang, salah satunya pada saat memasuki siaga, penari harus memakai rok, rambut tidak boleh terurai, caos dhahar dan tidak boleh memakai perhiasan. Gladi resik termasuk latihan terakhir, ada ketentuan misalnya, pada saat gladi resik, penari Bedhaya Ketawang dipinggit, penari Bedhaya Ketawang harus bermalam di Keraton, pada saat gladi resik penari Bedhaya Ketawang melakukan caos dhahar ke 4 penjuru yaitu utara, barat, timur dan selatan, pada saat bermalam di Keraton, penari Bedhaya Ketawang memakai dodot layaknya abdi dalem keraton juga dipaesi menggunakan lontha dan di sanggul, tetapi penari tidak diperbolehkan memakai dodot parang pada saat bermalam, karena merupakan motif larangan. 2) Busana Gladi Resik Tari Bedhaya Ketawang merupakan tarian yang sakral. Sehingga dalam pergelaran, busana yang dipakai oleh parapenari sudah diatur, tidak hanya pada saat pergelaran, pada saat latian terakhir dan latian bulanan juga sudah ditetapkan busana yang dipakai. Busana yang dipakai pada saat gladi resik yaitu dodot parang rusak, dodot ini hampir sama dengan dodot yang dikenakan oleh Raja, karena memang dodot parang merupakan batik larangan. Dalam gladi resik, lebih simple dari pada saat tinggalan jumenengan dalem, saat gladi resik penari didandani samar-samar serta hanya menggunakan perhiasan brumbungan, tetapi busana yang digunakan sama dengan saat tinggalan jumenengan dalem yaitu dengan basahan, untuk lebih jelasnya akan diuraikan, commit to sebagai user berikut :

28 85 Gambar 4.5 Penari Bedhaya Ketawang Pada Saat Gladi Resik a) Gelung Gedhe Lungsen Montholan Gambar 4.6 Gelung Gedhe Rambut penari Bedhaya Ketawang saat kirab disanggul, yang disebut gelung gedhe. commit Menurut to user Th. Sri Mulyani (wawancara 9

29 86 September 2013) dalam gelung gedhe Keraton Kasunanan Surakarta terdapat ciri khas, yaitu montholan dan lungsen. Montholan difungsikan untuk mempercantik gelung gedhe. Selain itu, terdapat juga lungsen, lungsen merupakan poni rambut yang ditarik kebelakang sampai mengkait gelung gedhe. Dari pendapat tersebut diatas bisa diasumsikan bahwa kita sebagai wanita harus bisa menjaga kecantikan diri, kecantikan diri dilambangkan dengan montholan, selain kecantikan diri, kita sebagai wanita harus bisa kuat, agar tidak bisa terpengaruh ke hal-hal yang buruk. b) Brumbungan Brumbungan Gambar 4.7 Brumbungan Menurut Th. Sri Mulyani (wawancara 9 September 2013). Brumbungan ini berbentuk seperti bunga matahari yang mekar, brumbungan difungsikan untuk mempercantik telingga penari. Dari pendapat tersebut diatas bisa diasumsikan bahwa kita sebagai wanita harus bisa menjada diri, wanita yng sudah menjadi milik orang (sudah dikunci) sudah tidak bisa leluasa, geraknya hanya terbatas, harus bisa menjaga diri.

30 87 c) Dodot Parang Dodot Parang Rusak Parang Klitik Gambar 4.8 Dodot Parang rusak dan Parang klitik Menurut Th. Sri Mulyani (wawancara 9 September 2013) Dodot yang dipakai pada saat midodareni adalah dodot parang rusak dengan jarik parang klitik, melambangan kekuasaan dan kekuatan. Hanya boleh dikenakan oleh penguasa dan ksatria. Kesalahan dalam proses pembatikan dipercaya akan menghilangkan kekuatan gaib batik tersebut., batik parang mempunyai nilai filosofi yang tinggi. Bila disaksikan dengan seksama perbedaan antara batak dan endhel ajeg dengan penari lain selain ditampilkan pada saat jumenengan, pada saat gladi resik perbedaan busana juga sudah ditampilkan, tetapi banyak yang tidak menghiraukan. Hal ini terlihat pada parang klitik, busana yang dipakai oleh batak dan endhel ajeg berbeda dengan tujuh penari lainnya, terlihat pada parang klitik atau kain samparan. Kain samparan yang digunakan batak dan endhel ajeg warna soganya tebih gelap dibandingkan dengan yang dipakai oleh penari lainnya.

31 88 d) Penthol dan Sampur Penthol Gambar 4.9 Penthol dan Sampur Menurut Th. Sri Mulyani (wawancara 9 September 2013) Penthol dilambangkan sebagai pengikat serta mengencangkan. Pada saat kirab para penari Bedhaya Ketawang juga memakai sampur, yang berwarna putih yang kedua ujungnya berhiaskan gombyok atau rumbai-rumbai berwarna hijau, sampur yang berwarna putih melambangkan kesucian. Para penari bedhaya harus mensucikan diri. Tidak boleh pulang, tidak boleh tidur dirumah, jadi harus tidur di siaga. Para penari Bedhaya Ketawang harus membersihkan jiwa dan raga. Sampur

32 89 e) Songkok dan Blenggen Songkok Bokongan Blenggen Gambar 4.10 Songkok, Blenggen dan Bokongan Menurut Th. Sri Mulyani (wawancara 9 September 2013) Pada saat kirab/ latian terakhir para penari berbusana basahan, dengan menggunakan dodot parang rusak. Dalam busana basahan terdapat songkok dan bokongan, songkok tepatnya di samping, songkok diartikan untuk menyimpan, sedangkan bokongan diartikan sebagai seorang wanita kita juga harus bisa membagi rejeki kepada orang tua tetapi lewat belakang. Blenggen juga merupakan simbol perjalanan hidup manusia yang tidak lurus, pasti ada kendala-kendala yang dihadapi. Dari pendapat tersebut diasumsikan bahwa manusia di dunia ini tidak ada yang mulus perjalanan hidupnya, pasti ada kendalakendala yang menghadang.

33 90 f) Kain Samparan Samparan Gambar 4.11 Kain Samparan Menurut Th. Sri Mulyani (wawancara 9 September 2013) Kain samparan merupakan kain panjang, dinamakan juga kain tapih, nyamping atau sinjang. Kain yang dipakai pada saat latian terakhir merupakan batik parang klitik, kain samparan ini digunakan untuk membersihkan. Dalam dunia ini terdapat beberapa kendala / kerikil yang bisa menjadikan hidup ini tidak lancar, jadi kain samparan ini digunakan untuk membersihkan kerikil kerikil /kendala hidup. b. Tingalan Jumenengan Dalem 1) Tingalan Jumenengan Dalem Tepat pada hari penobatan raja yang dilangsungkan pada tanggal 4 Juni 2013 yaitu pada saat tingalan jumenengan Sri Susuhunan Paku Buwana XIII, disajikan tari Bedhaya Ketawang. Pada saat itu tarian yang sudah berusia sangat tua itu pada setiap ulang tahun penobatan raja selalu dipergelarkan. Para penari Bedhaya Ketawang bermalam di siaga, ditemani oleh beberapa abdi dalem Keraton. Pada awalnya penari Bedhaya yang sudah bermalam di Keraton tersebut, membersihkan diri dulu. Tanggal 4 Juni 2013 sekitar pukul 5 penari melakukan caos dhahar kepada Kanjeng Ratu Kidul, memohon ijin

34 91 untuk menarikan tarian Bedhaya Ketawang. Setelah itu penari bersiap-siap untuk dirias, awalnya paes yang sudah di gambar pada hari sebelumnya di hapus dahulu, jaman dahulu, paes yang digambar pada hari sebelumnya tidak di hapus, tetapi hanya dirapikan. Setelah paes dihapus, digambari lagi paes yang baru, para penari didandani oleh lurah Bedhaya Ketawang serta beberapa mantan penari Bedhaya Ketawang. Setelah selesai memberi paes pada setiap penari Bedhaya Ketawang yang berjumlah 9, rambut penari disanggul, sebelum dilanjutkan, penari dipersilahkan makan yang sudah disiapkan oleh keraton, dan tidak lupa ketan biru yang dibumbui gula jawa. Agar terlihat cantik di hadapan Susuhunan, para penari di dandani selayaknya pengantin, selain dandanan yang menjadi pandangan utama yaitu busana, penari Bedhaya Ketawang menggunakan dodot alasalasan dengan cara basahan. Upacara peringatan penobatan (tingalan jumenengan) ini pada mulanya bersifat tertutup. Tempat pelaksanaannya di pendhapa sasana sewaka. Menurut hasil wawancara dengan KGPH Puger (18 September 2013) berhubung sifatnya yang sangat pribadi ini, maka sesudah upacara resmi berakhir residen dan tamu undangan segera meninggalkan tempat perjamuan, sehingga tari Bedhaya Ketawang ini hanya disaksikan oleh Sunan beserta keluarga, kerabat, dan para abdi dalem saja. Keadaan seperti ini berubah ketika pada tahun 1920 Sunan mengizinkan permohonan para tamu undangan untuk menyaksikan tari Bedhaya Ketawang 2) Busana Tinggalan Jumenengan Dalem Selama pada Masa Sultan Agung sampai masa Paku Buwono ke X, yaitu saat Tari Bedhaya Ketawang mulai dicipta sampai tari Bedhaya Ketawang mengalami puncaknya, visualisasi busana tari Bedhaya Ketawang pastilah mengalami perubahan. Apabila dibandingkan busana tari Bedhaya Ketawang yang dipakai pada masa Sultan Agung dengan masa Paku Buwono XIII, jelaslah ada perubahan tidak semua bagian dari busana tersebut sama persis, commit hanya to user dodot alas-alasan yang sama, sama

35 92 disini adalah ragam hias yang ada di dalamnya. Pada masa Sultan Agung tari Bedhaya Ketawang sudah mencapai bentuk bakunya. Konon Busana tari Bedhaya Ketawang merupakan ciptaan dari Kanjeng Ratu Kencanasari, tetapi menurut KGPH Puger, memang busana tersebut ciptaan dari Kanjeng Ratu tetapi, tidak bisa dipungkiri bahwa Sultan Agung juga ikut campur tangan dengan pembuatan busana tari Bedhaya Ketawang, karena diketahui bahwa Sultan Agung adalah seniman yang tinggi pada masanya. Untuk mempermudah pembagian busana tari Bedhaya Ketawang maka akan dibagi menjadi tiga bagian yaitu : tata rias wajah, tata busana serta perhiasan. Dalam tari Bedhaya Ketawang, tidak hanya pemilihan hari, gendhing yang memiliki makna simbolik, tetapi dalam busana tari Bedhaya baik dari tata rias wajah, tata rambut serta tata busana juga memiliki petuah yang sangat tinggi nilainya, petuah-petuah tersebut diselipkan oleh nenek moyang pada busana tari Bedhaya Ketawang, untuk mengingatkan sesuatu yang boleh di lakukan serta yang tidak boleh dilakukan. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan, sebagai berikut: Gambar 4.12 Penari Bedhaya Ketawang commit Pada to user Saat Tinggalan Jumenengan PB XIII

36 93 a) Tata Rias Wajah Paes Laler mencok Alis menjangan ranggah Gambar 4.13 Tata Rias Wajah Pada tata rias wajah yang penari menggunakan paes, paes tersebut terdiri dari empat bagian yaitu : gajahan, pangapit, panitis, dan godheg. Gajah mempunyai makna seseorang yang menikah mendapatkan rejeki yang besar., pengapit ini dilambangkan sebagai wanita, panitis dilambangkan sebagai laki-laki, sedangkan godheg merupakan anak yang menjadi cita-cita dari pernikahan. Menurut Th. Sri Mulyani (wawancara 18 September 2013) Dalam tata rias tari Bedhaya Ketawang terdapat hiasan laler mencok. Laler mencok juga dikatakan sebagai tanda bahwa seseorang harus tertuju pada satu titik yaitu tuhan. Selain laler mencok, terdapat alis menjangan ranggah. Menjanggan ranggah diartikan dapat mengatasi segala serangan buruk dari beberapa arah, harus selalu waspada dan bijaksana atau tanggap ing sasmita. Uraian diatas menunjukkan bahwa paes ageng dhandhang gendhis merupakan lambang kesuburan yang disimbolkan oleh Lingga Yoni. Dalam paes ageng terdapat simbol dari wanita, laki-laki serta anak,

37 94 jadi bila seseorang menjalin hubungan suami istri yang mereka inginkan pasti anak. b) Tata Rias Rambut Garuda Mungkur Gelung Bokor Mengkurep Gambar 4.14 Tata Rias Rambut Menurut Th. Sri Mulyani (wawancara 18 September 2013) Rambut penari Bedhaya Ketawang disanggul dalam bentuk bokor mengkurep, ditutupi dengan bunga melati yang dirajut sehingga berbentuk kawungan. Disini gelung bokor mengkurep dapat diartikan seorang wanita yang belum menikah diharuskan menjaga kesuciannya, sedangkan bunga melati yang dirangkai, memiliki makna kesuburan. Gelung bokor mengkurep bila diperhatikan seperti batik yang bermotif kawung. Garudha mungkur merupakan simbol dari burung garuda melambangkan keperkasaan / kekuatan yang besar, serta keindahan. Dengan demikian gelung bokor mengkurep mempunyai makna bahwa asal mula dan tujuan hidup manusia.

38 95 c) Centhung dan Sisir Seram Sejajar Sisir Jeram Sejajar Centhung Gambar 4.15 Centhung dan Sisir Seram Sejajar Menurut Th. Sri Mulyani (wawancara 18 September 2013) Centhung merupakan perhiasan yang digunakan di kepala tepatnya diatas pangapit. Centhung ini merupakan simbol kesempurnaan bisa disebut juga perlengkapan untuk menyatu kepada Allah. Sisir seram sejajar melambangkan bahwa kita hidup di dunia ini hanya pasrah sepenuhya. Jadi centhung dan sisir jeram sejajar melambangkan bahwa sebagai seorang wanita harus berserah diri kepada Pencipta. d) Cundhuk Menthul Gambar 4.16 Cundhuk Menthul

39 96 Menurut Th. Sri Mulyani (wawancara 18 September 2013) Cundhuk menthul merupakan perhiasaan yang dipakai dikepala, yang dipakai oleh penari Bedhaya Ketawang berjumlah sembilan buah yaang ditancapkan pada gelung bokor mengkurep. Cundhuk mentul merupakan lambang kesuburan karena terdiri dari tumbuhan (bunga) dan hewan (kupu-kupu). Yaitu cundhuk menthul Kupu besar/ kecil, seruni dan pananggalan. Pendapat diatas diasumsikan bahwa ragam cundhuk menthul yang terdiri dari kupu, bunga dan pananggalan bermakna wanita harus bisa memperindah, menyinari dan menolak kejahatan. e) Subang Ronyok Brumbungan Gambar Subang Ronyok Brumbungan Suweng atau subang ronyok brumbungan merupakan perhiasan yang digunakan di telingga yang berfungsi untuk mempercantik, suweng bertahtakan berlian batu permata. Subang ronyok brumbungan bermakna alam kehidupan sehari-hari manusia harus memiliki pedoman untuk mencapai keberhasilan. Th. Sri Mulyani (wawancara 18 September 2013).

40 97 f) Bunga Tiba Dhadha Bunga Tiba Dhadha Gambar Bunga Tiba Dhadha Menurut Th. Sri Mulyani (wawancara 18 September 2013) Bunga tiba dhadha merupakan uraian bunga melati yang disusun yang ditempelkan pada gelung dan diletakkan menjulur ke bawah sampai pinggul, yang terletak di sebelah kanan. Bunga tiba Dhadha disimbolkan bahwa laki-laki mempunyai wewenang untuk memilih wanita, sedangkan wanita mempunyai wewenang untuk menentukan. g) Kalung Wulan Tinanggal Gambar 4.19 Kalung Wulan Tinanggal (Sumber: Dokumentasi Kartika M, 2013)

41 98 Menurut Th. Sri Mulyani (wawancara 18 September 2013) kalung ini berbentuk seperti bulan dengan motif tumbuhan. Hal ini bermakna orang yang berwatak bulan akan mampu memberikan sinar bahagia, tentram dan damai kepada masyarakat sekitarnya, jadi kalung wulan tinanggal merupakan lambang ketentraman, damai sejahtera, bahagia dan selaras. h) Kelat Bahu Gambar 4.20 Kelat Bahu Menurut Th. Sri Mulyani (wawancara 18 September 2013) Kelat Bahu terletak dikanan kiri bahu, kelat bahu dengan bentuk seperti tersebut di atas dapat di asumsikan sebagai gunungan, Gunungan merupakan lambang dari kesuburan. Seperti halnya cincin, Kelat bahu merupakan simbol bahwa manusia itu terikat baik ikatan suami-istri ataupun ikatan dengan tuhan.

42 99 i) Pending Pendhing Gambar 4.21 Pending Pendhing merupakan perhiasan yang dipakai di pinggang depan, pendhing digunakan untuk mengikat sampur yang digunakan, yang berbentuk seperti belah ketupat yang berkelok-kelok, pendhing merupakan perlambang bahwa manusia harus dapat mengendalikan nafsu birahi wanita. Pendhing juga disimbolkan sebagai kesucian, bila pendhing hilang maka hilanglah kesucian seorang wanita Th. Sri Mulyani (wawancara 18 September 2013). j) Gelang dan Cincin Gambar 4.22 commit Gelang to user dan Cincin

43 100 Menurut Th. Sri Mulyani (wawancara 18 September 2013) Gelang atau binggel merupakan perhiasan yang dipakai di pergelangan tangan kanan maupun kiri. Cincin ini juga bertahtakan batu berlian. Cincin melambangkan pengikat (peningset). Seorang wanita yang sudah mempunyai pasangan harus bisa menjaga dirinya dari laki-laki lain. Karena sudah diberi pengikat yaitu cincin. k) Songkok dan Bokongan Songkok bokongan Gambar 4.23 Songkok dan Bokongan Menurut Th. Sri Mulyani (wawancara 18 September 2013) Dalam tari bedhaya ketawang dodot yang dipakai adalah dodot alasalasan dengan basahan, dalam penggunaan busana dengan basahan, terdapat songkok dan bokongan, songkok terdapat disamping kanan, sedangkan bokongan terletak di belakang, karena penggunaan pada saat kirab dan tinggalan jumenengan dengan menggunakan basahan, maka songkok dan bokongan sama, bokongan juga digunakan untuk mempercantik penampilan. Nilai filosofi songkok dan bokongan sama dengan yang sudah dijelaskan diatas, yaitu sebagai seorang wanita harus bisa menyimpan, commit misalnya to user rahasia, uang, kesucian.

44 101 l) Kain Samparan Gambar 4.24 Kain Samparan Menurut Th. Sri Mulyani (wawancara 18 September 2013) Kain samparan yang digunakan pada saat jumenengan menggunakan jarik cindhe sekar, pada saat kirab jarik yang digunakan adalah jarik parang klitik. Kain samparan merupakan simbol dari kehidupan kita sehari-hari yang tidak mulus, ada hambatan-hambatan yang harus dilalui. Kita harus bisa menyingkirkan hambatan-hambatan agar jalan yang kita lalui kedepan menjadi mulus. C. Visualisasi dan Jenis Kain Dodot Busana Tari Bedhaya Ketawang 1. Visualisasi Kain Dodot Objek utama pada penelitian ini adalah bentuk dan jenis dodot yang dipakai oleh penari Bedhaya Ketawang di Keraton Kasunanan Surakarta, Tari Bedhaya Ketawang merupakan tarian sudah umum di dengar masyarakat terutama Surakarta, karena tarian ini sangat erat kaitannya dengan tingalan jumenengan dalem, yaitu ulang tahun kenaikan tahta Raja. Selain tariannya yang sudah populer di masyarakat, atribut seperti busana yang digunakan menjadi populer di kalangan masyarakat, karena busana yang dipakai oleh penari Bedhaya Ketawang merupakan busana temantin bahasan. Dalam busana yang tidak kalah populer di kalangan masyarakat adalah dodot/kampuh yang dipakai commit yaitu to user dodot alas-alasan. Istilah kampuh

45 102 diperuntukkan bagi Raja, keluarganya dan abdi dalem tingkat tinggi, sedang untuk abdi dalem panewu ke bawah dipakai istilah dodot. Dodot merupakan busana yang tidak sembarangan orang boleh menyentuhnya sehingga dodot yang dipakai saat gladi resik dan jumemengan harus ditempatkan di tempat khusus serta pengurus yang khusus pula, abdi dalem yang bertugas untuk menjaga dodot disebut mandrabudaya serta tempat khusus yang digunakan untuk menyimpan dodot disebut langentaya. Langentaya merupakan suatu ruangan yang berfungsi untuk menyimpan busana-busana yang disakralkan terutama adalah busana tari, salah satunya parang rusak dan dodot alas-alasan. Menurut Th. Sri Mulyani (wawancara 9 September 2013) Kain yang dililitkan ke tubuh mulai dari dada hingga ke kaki. Kain yang memiliki panjang dan lebar yang tidak layaknya kain, dalam penggunaannya harus dililitkan dari kanan ke kiri yang memiliki tujuan bahwa manusia harus selalu hidup benar (kanan) dan tidak serong (kiri). Panjang kain kampuh adalah dua kali panjang dan lebar kain batik, yaitu kurang lebih 2,5 m dan panjang kurang lebih 4,5 m. Selain itu jenis kain untuk membuat dodot yang dipakai adalah kain batik primisima, kain primisima dipakai karena kain primisima merupakan kain terbaik dibandingkan dengan kain-kain yang lain, misalnya, prima dan primis. Dalam Keraton, dodot dibagi menjadi tiga, yaitu dodot ageng, dodot alit dan dodot basahan. Masing-masing dari dodot tersebut mempunyai ciri khas. Salah satu ciri khas dari dodot adalah adanya gombyokan. Menurut KRA Budayaningrat Yusdianto (wawancara 11 September 2013) Gombyokan atau rumbai ini disebut bregi. Kampuh blenggen/ gombyokan ada dua macam, yaitu kampuh blenggen blumbangan dan kampuh blenggen lugas. Yang dimaksud kampuh blenggen blumbangan adalah kampuh blenggen dengan tengahan polos berbentuk belah ketupat. Kampuh blenggen blumbangan ini hanya untuk ageman dalem raja dan para putra kerabat, sedangkan yang dimaksud kampuh blenggen lugas adalah kampuh blenggen yang tidak memakai blumbangan. Kampuh lugas adalah kampuh pada ujung kain berupa plipitan biasa tanpa blenggen dan biasanya bermotif semen latar hitam.

46 103 Perlu diketahui bahwa dodot yang dipakai oleh penari bukan hanya dodot alas-alasan, tetapi ada dodot babon angkrem, cuwiri, sri katon dan parang rusak. Disini dodot babon angkrem, cuwiri, sri katon dipakai pada saat latihan bulanan yaitu hari slasa kliwon (anggara kasih) dodot babon angkrem, cuwiri, sri katon dodot yang tidak memiliki blenggen, sedangkan dodot parang rusak dipakai pada saat gladi resik termasuk dodot yang memiliki blenggen tetapi tidak menggunakan blumbangan ditengah kain dan dodot yaang pakain saat jumenengan adalah dodot alas-alasan, dodot alas-alasan mempunyai blenggen dan blumbangan ditengah kain. Setiap dodot yang dipakai oleh penari Bedhaya Ketawang mempunyai nilai-nilai filosofis, serta pemakaian antara dodot saat jumenengan dan gladi resik dengan latihan harian berbeda. Pada saat jumenengan dan gladi resik pemakaian dodot dengan basahan sedangkan pada saat latihan pemakaian dodot harian. Disini yang lebih diutamakan adalah dodot yang dipakai pada saat midodareni dan pada saat jumenengan. Pemakaian dodot basahan saat jumenengan dan gladi resik adalah pertama-tama yaitu kain diwiru sampai pinggiran seperti wiron kakung. Setelah kain diwiru dipakai rapi, dikenakan stagen dan kain dimasukkan kurang lebih 4 jari kedalam stagen di sebelah kiri pemakai. Sisa kain ditarik ke atas dengan sedikit dilipat dan dijepit dengan peniti depan payudara sebelah kiri. Sisa kain dilingkarkan sekali lagi ke badan, kemudian ditarik ke dpan badan, dan berhenti di bawah payudara sebelah kanan, sebelum dijepit dengan peniti, Udhet dipasang membentuk penthol berwarnawarni untuk bedhaya, Kain tersisa yang ada dibawah dinaikkan ke atas sampai ke udhet yang disisakan 1,5 jari. Usahakan agar pinggiran kain batik tampak dibawah/ diatas pinggul kurang lebih 40 cm di atas kain batik, Untuk bedhaya, udhet/ sondher/ sampur jatuh ke bawah. Th. Sri Mulyani (wawancara 9 September 2013). Dan pemakaian dodot basahan yang benar bisa dilihat pada saat penari menghadap ke belakang. Banyak yang tidak mengetahui tentang ini, tetapi yang benar bahwa kain dodot akan membentuk 9 lipatan, bila lipatan kurang atau lebih dari 9 maka,

47 104 penggunaan dodot basahan salah, hal tersebut mempunyai makna bahwa 9 lipatan tersebut manutupi 9 lubang manusia. 2. Jenis Kain Dodot Dalam Busana Tari Bedhaya Ketawang a. Dodot Parang Rusak Dodot parang Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat merupakan batik pakem dengan ciri baku yang tidak berubah sejak pertama kali diciptakan. Dodot parang ini merupakan ciptaan dari Panembahan Senapati. Dodot parang rusak ini merupakan dodot larangan. Ciri-ciri Batik Parang menurut KGPH Puger (wawancara 21 Juli 2012) bentuknya Lereng diagonal 45 0, memakai mlinjon, memakai sujen, ada mata gareng, sedangkan parang rusak sendiri dibagi menjadi 3 yaitu : Parang Rusak Barong, adalah motif parang yang mempunyai mlinjon yang berujud wajikan besar sering dipakai oeh raja atau pangeran, parang rusak gendreh, adalah motif parang yang mempunyai mlinjon berujud wajikan, dipakai untuk bebet kain panjang para putri dalem sedangkan parang rusak klitik, adalah motif parang yang mempunyai mlinjon paling kecil sering dipakai putri dalem yang berbadan kecil. Karena dodot parang rusak ini merupakan ciptaan Panembahan Senapati maka tidak bisa terlepas dari sejarah penciptaan batik parang. 1) Sejarah Terciptanya Batik Parang Rusak Menurut KRA Budayaningrat Yusdianto (wawancara 11 September 2013) Parang rusak merupakan jenis parang yang paling terkenal di antara jenis-jenis parang lainnya. Mungkin karena begitu banyaknya pendapat mengenai parang rusak ini, yang kadang-kadang saling bertentangan. Misalnya ada pendapat bahwa bentuk yang ditampilkan pada parang rusak menyerupai parang atau keris, ada pula yang melihatnya sebagai batu karang yang terkikis oleh air laut selatan, dan pendapat lain bahwa bentuk motifnya menggambarkan kuncup daun terurai. Parang ada yang berpendapat senjata tajam yang berupa parang atau sejenisnya. Kata

48 105 parang adalah perubahan dari kata pereng atau pinggiran suatu tebing yang berbentuk lereng (diagonal). Parang adalah karang yang tajam. Ditambahkan oleh Menurut KRA Budayaningrat Yusdianto (wawancara 17 Oktober 2013) parang diambil dari kata pereng, memang dalam bahasa indonesia parang itu dimaksudkan adalah benda tajam tetapi dalam khasanah batik, yang dimaksud parang, adalah nama, misalnya parang kusumo, parangtritis, nama tersebut diberikan dari dinasti-dinasti mataram terdahulu, parang diambil dari kata pereng. Pereng diambil dari kata lereng, lereng merupakan gambaran dengan motif miring. Ada istilah, kalau parang itu pasti lereng, tetapi kalau lereng belum tentu parang, karena di dalam parang terdapat mlinjon, mata gareng dan sujen. Motif parang rusak merupakan ide Panembahan Senapati Kerajaan Mataram. Menurut Kalinggo (2002:48-50) Mengambil gambaran pesisir pantai Jawa; Paranggupito, Parangkusumo, dan Parangtritis dll. Tempat tersebut menjadi tempat penting karena erat kaitannya dengan keberadaan Ingkang Sinuhun Panembahan Senopati Kerajaan Mataram, setelah pindahnya pusat pemerintahan Jawa dari Demak ke Mataram. Tempat tersebut merupakan tempat teteki atau bertapa raja Mataram pertama yang mengilhami batik lereng atau parang sebagai ciri ageman Mataram yang berbeda dengan bathik sebelumnya. Juga laku teteki atau bertapanya Panempahan Senopati dari Parangkusumo melewati pesisir pantai selatan menuju Dlepih Paranggupito, menelusuri tebing gunung Sewu (pegunungan seribu) yang nampak berbaris, berjajar tebing-tebing, yang sampai sekarang masih dikeramatkan oleh orang-orang Jawa.

49 % Gambar 4.25 Parang Rusak (Sumber : diakses 9 September 2013 Motif parang terdiri dari 1 atau lebih motif yang tersusun membentuk garis-garis sejajar dengan sudut miring 45 derajat. Menurut KGPH Puger (wawancara 18 September) Kata parang merupakan perubahan dari kata pereng atau tebing. Banyak yang mengatakan bahwa parang merupakan stilasi dari kata parang yaitu senjata tajam. Keduanya merupakan simbol ketajaman olah pikir yang dimilik seorang pemimpin agar dapat mengendalikan lingkungannya. Karena penciptanya adalah Raja pendiri kerajaan mataram, maka pola parang hanya diperkenakan dipakai oleh raja keturunannya dan tidak diperbolehkan untuk orang kebanyakan, sehingga disebut dengan batik larangan. Parang juga terbentuk dari susunan motif letter S jalin-menjalin tidak terputus melambangkan kesinambungan. Bentuk dasar letter S diambil dari ombak samudra yang menggambarkan semangat tidak pernah padam. Motif ini merupakan salah satu motif dasar yang paling tua. Di masa lalu, motif ini sangat dikeramatkan, dipakai oleh orangorang tertentu dan dalam acara-acara tertentu. Batik parang digunakan untuk memberi kabar gembira commit kepada to user raja.

50 107 Huruf S Gambar 4.26 Huruf S pada Parang Rusak Sesuai dengan pengelompokan parang yang dibagi menjadi 3 yaitu parang barong, parang kagok dan parang klitik, maka pembuatannya pun terutama ukurannya menggunakan cara tradisional, menurut KRA Budayaningrat Yusdianto (wawancara 11 September 2013) Dahulu untuk membuat batik parang rusak menggunakan teknik geblakan, geblakan menggunakan penggaris yang terbuat dari kayu, jadi bila satu geblakan itu untuk membuat parang rusak klitik, bila dua geblakan untuk membuat parang rusak kagok / gendreh, tetapi bila tiga sampai empat geblakan, untuk membuat parang barong. Serta menggambar pola sudah menggunakan teknik yang tidak ketinggalan jaman. Dodot parang yang diteliti adalah dodot parang rusak gendreh. KGPH Puger (wawancara 19 Oktober 2013) kenapa pada saat kirab menggunakan dodot parang, hal itu dikarenakan untuk menunjukkan kebesaran Raja. Kirab merupakan perjalanan yang penuh dengan banyak kendala, doa, kesabaran yang nantinya akan mencapai kesejahteraan dengan disimbolkan alas-alasan. Dodot parang rusak ini pakai oleh penari Bedhaya Ketawang pada saat gladi resik. Dodot parang rusak ini dibuat sekitar abad 15, commit sehingga to user bila dihitung sampai sekarang dodot

51 108 parang rusak ini berumur 500 tahun batikan parang rusak ini bukan merupakan kain batikan pertama, karena tari Bedhaya Ketawang sudah ada sejak Panembahan Senapati. Apalagi dahulu tahun 1975 Keraton Kasunanan Surakarta terjadi kebakaran yang besar sehingga mustahil bila kain dodot masih utuh. Ada beberapa kain yang rusak sehingga harus membuat lagi. Menurut keterangan KGPH Puger (wawancara 18 September 2013) mengenai dodot parang rusak yang diteliti, siapa dodot parang rusak pembuat ini dari dulu tidak diketahui secara pasti, dan dodot sekarang merupakan batikan ke berapa juga tidak diketahui secara pasti 2) Ragam Hias Motif Parang Mlinjon Sujen Bagongan Ucheng Alis-alisan Mata Gareng Sirep Gambar 4.27 Uraian ragam hias parang rusak kagok Ragam hias atau ornamen secara umum dibentuk oleh dua elemen dasar, yakni pola dan motif. Pengulangan suatu elemen dasar dalam suatu bidang itu selanjutnya menghasilkan pola. Sedangkan motif adalah satuan

52 109 terkecil dari suatu ornamen (ragam hias) atau dapat diartikan satuan pembentuk pola sebagai elemen dasar ornamen (ragam hias). Berdasarkan keterangan diatas, dapat diketahui bahwa ragam hias dapat merupakan unsur yang luas. Berikut ini akan diuraikan mengenai pola dan motif hias yang terdapat dalam ragam hias parang rusak. a) Penyusunan pola pada dodot parang rusak Suatu ciri dari golongan pola batik dengan pola geometris adalah susunan motif yang dibagi mejadi bagian-bagian yang disebut dengan raport yang didasarkan pada pembagian ilmu ukur. Berdasarkan raportnya, golongan pola geometris dapat dibedakan menjadi dua macam, sedangkan dodot parang rusak meggunakan pola raport OPQR, hal tersebut dikarenkan motif disusun searah garis diagonal. P Q O R Gambar 4.28 Pola Dalam Dodot Parang Rusak b) Motif yang terdapat dalam ragam hias parang rusak Disini pola batik dapat diuraikan menjadi tiga macam unsur pokok moif, yaitu motif utama, isen-isen dan motif pelengkap. motif utama berbentuk kerangka utama penyusun pola batik, isen-isen merupakan isi dari motif utama, dan motif pelengkap merupakan hiasan pengisi pada latar pola atau di luar motif utama. Dalam dodot parang rusak kagok yang disebut motif utama/ klowongan yaitu mlinjon, mata gareng dan sujen, sedangkan motif isen-isen yaitu ucheng. Perbedaan batik parang rusak dengan commit batik to yang user lain, adalah dalam penamaan motif.

53 110 Dalam batik parang rusak, motif isen-isen juga memiliki nama sendiri. Tiga motif tersebut kemudian disusun menjadi pola dengan sistem perulangan salinan berselang. Pola dikomposisikan sedemikian rupa dalam interval naik turun sehingga membentuk motif lain yang disebut alis-alisan, bagongan, dan sirep kendela. Hal ini dibenarkan oleh budayaningrat bahwa motif yang harus ada/ motif pokok dalam pembuatan parang adalah motif mlinjon, mata gareng dan sujen. Untuk lebih jelasnya tentang motif dalam batik parang rusak di jelaskan sebagai berikut : (1) Motif Utama (a) Motif Mlinjon KGPH Puger (wawancara 18 September 2013) Ciri ragam hias parang yang paling menonjol adalah motif mlinjon. Keberadaan motif mlinjon juga merupakan ciri khas dari batik parang yang membedakan dengan batik lereng. Sehingga batik parang tanpa motif mlinjon tidak dapat dikatakan batik pola parang tetapi masuk ke dalam pola batik lereng. Motif mlinjon ini disusun dari garis-garis yang yang saling berkaitan dan membentuk empat sudut, garis tersebut berbentuk jajaran genjang, bila diperhatikan garis mempunyai titik pusat tepat ditengah-tengah, motif mlinjon ini bentuknya kecil dan berwarna hitam dan coklat. Secara visual motif mlinjon ini tampak menyerupai buah melinjo, melinjo yang sudah dikupas kulitnya, disitu akan terlihat serat-serat melinjo, yang berwarna coklat kehitaman. Buah mlinjo diambil menjadi salah satu motif dalam dodot parang rusak kagok dikarenakan untuk mempermudah masyarakat dalam pemahaman tentang motif mlinjon. 1 2

54 Keterangan : Gambar 4.29 Motif Mlinjon 1. Mlinjon diperoleh dari buah mlinjo yang sangat akrab di telingga masyarakat pada umumnya. 2. Mlinjon merupakan isi dari buah mlinjo yang berwarna coklat yang terdapat goresan-goresan. 3. Goresan-goresan tersebut digambarkan seperti jajar genjang/ belah ketupat yang membentuk sebuah siku dan menuju pada satu titik 4. Penggambaran kulit buah mlinjo yang dijadikan motif mlinjon pada dodot parang rusak kagok. (b) Motif Mata Gareng KGPH Puger (wawancara 18 September 2013) Motif mata gareng selalu dipengaruhi bentuk dasar motif mlinjon

55 112 karena bila motif mlinjonnya kecil, maka motif mata gareng juga mengikuti motif mlinjon. Motif mata gareng terdapat di sela-sela stilasi parang yang menghampit bagongan. Motif mlinjon terletak diantara motif sujen dan motif mata gareng. Motif mata gareng ini diperoleh dari pertemuan dari dua mlinjon dan satu ucheng. Sesuai dengan namanya motif mata gareng ini diperoleh dari sosok pewayangan gareng. Gareng adalah salah satu panakawan. Gareng merupakan wayang hasil gubahan asli Indonesia. Ciri utama gareng adalah mempunyai mata kero (juling), hidungnya bulat, tangan ceko (bengkok berkelok) dan berkaki pincang (kaki depan lebih pendek dari kaki belakang sehingga harus berjinjit ketika sendang berjalan). Dari ciri tokoh pewayangan gareng tersebut diambil mata gareng yang mempunyai ciri juling. Disini motif mata gareng di kembangkan dari kekurangan gareng yaitu mata yang juling. Motif mata gareng terbentuk dari garis lengkung yang disatukan menjadi bidang, tetapi garis tersebut berbeda antara garis atas dan bawah, bidang yang dibentuk tidak sepenuhnya oval.

56 Gambar 4.30 Motif Mata Gareng Keterangan : 1. Motif mata gareng yang diambil dari pewayangan, Gareng ini menunjukkan beberapa kekurangan dalam fisik, misalnya mempunyai mata kero (juling), hidungnya bulat, tangan ceko (bengkok berkelok) dan berkaki pincang (kaki depan lebih pendek dari kaki belakang sehingga harus berjinjit ketika sendang berjalan) 2. Sesuai dengan namanya motif ini difokuskan pada mata gareng yang juling. 3. Karena matanya yang juling maka ada bagian yang tidak bulat telur 4. Bagian tersebut lalu di gambarkan dengan motif mata gareng yang tidak bulat telur.

57 114 (c) Motif Sujen Menurut KGPH Puger (wawancara 18 September 2013) motif sujen berarti tusukan. Motif sujen merupakan motif baku yang harus ada dalam pembuatan batik parang. Motif sujen diambil dari sunduk sate yang sudah dikembangkan. Motif sujen merupakan motif yang terletak tepat diatas motif mata gareng, sekaligus sebagai garis antara mata gareng dengan motif sujen. Motif sujen juga merupakan pembeda antara ragam hias batik parang satu dengan yang lain. Selain bisa dikatakan sebagai tusukan, motif sujen juga bisa dikatakan sebagai keris. Keris adalah senjata tikam golongan belati (berujung runcing dan tajam pada kedua sisinya). Bentuknya khas dan mudah dibedakan dari senjata tajam lainnya karena tidak simetris di bagian pangkal yang melebar, seringkali bilahnya berliku-liku. Motif sujen terbentuk dari keris yang sudah di stilasi yag disusun secara kebalikan. Motif sujen merupakan kombinasi antara bidang dan garis, yang dimaksud bidang disini adalah bidang yang terdiri dari tiga garis lengkung yang disatukan. Serta di atasnya terdapat garis lurus seperti tusukan. Motif sujen disusun dari warna hitam dan soga. Hitam yaitu terletak pada bidang yang dibentuk, sedangkan garis seperti tusukan berwarna soga.

58 Gambar 4.31 Motif Sujen Keterangan : 1. Ada pendapat lain yang mengatakan motif sujen merupakan gambaran dari keris, ada banyak macam keris, disini keris awalnya digambarkan mulai dari yang berkelok-kelok, berkelok sedikit, lalu lurus. 2. Keris yang lurus tersebut lalu di gambarkan sehingga menjadi motif sujen yang sedemikian rupa. 3. Penggambaran motif sujen pada batik parang rusak kagok.

59 116 (2) Isen-isen (a) Ucheng Perbedaan batik parang dengan batik yang lain salah satunya adalah semua motif memiliki nama dan makna tersendiri. Misalnya ucheng. Ucheng ini termasuk dalam isen-isen dalam batik. Ucheng merupakan isen dari motif sujen.ucheng adalah sumbu pada lampu minyak tanah. ada pendapat lain. Menurut Gusti Puger (wawancara 20 Agustus 2013) yang mengatakan bahwa ucheng merupakan bakal buah melinjo. Disini ucheng merupakan bibit dari buah melinjo. Dalam penggambaran batik parang kagok, isen yang digunakan merupakan penggambaran dari pohon melinjo secara keseluruhan. Hal ini dikarenakan pohon melinjo merupakan pohon yang bisa tumbuh dimana-mana dan dekat dengan masyarakat sehingga dalam penggambarannya menggunakan istilah yang sudah familiar di masyarakat. Ucheng ini terdiri dari garis lekuk kurang lebih 4 lekukan. Ucheng berwarna coklat dengan latar motif sujen yang berwarna hitam. 1 2 Motif Sujen Isen motif sujen (ucheng) Gambar 4.32 Isen Ucheng

60 117 Keterangan : 1. Merupakan ucheng dari pohon mlinjo, ucheng yang berarti bakal buah mlinjo, yang di gambarkan menjadi garis lengkung dalam ucheng dalam dodot parang rusak kagok. 2. Penggambaran ucheng yang di stilasi dari bakal buah mlinjo. (3) Motif Pelengkap (a) Bagongan Motif pengisi pola parang rusak berupa pembatas bidang antara motif utama. Motif utama dibatasi oleh garis yang membentuk bidang non geometris, salah satu bidang yang dibentuk adalah bagongan. Dalam kisah pewayangan tokoh bagong digambarkan sebagai sosok yang bertubuh gemuk, bermata bulat lebar, bermulut lebar dan memiliki watak yang gemar bercanda atau bergurau. Bentuk tubuh Bagong yang besar dan lebar memberi inspirasi penamaan pada bagongan sekaligus mewakili filosofi yang terkandung didalamnya. Menurut Gusti Puger (wawancara 20 Agustus 2013) sebenarnya bagongan tidak ada, bagongan tersebut terjadi karena susunan dua motif sujen yang saling berhadap-hadapan yang kemudian membentuk bidang seperti oval yang besar dan lebar dengan warna kontur motif sujen yaitu soga, sehingga bagongan berwarna putih, warna putih yang dibentuk merupakan warna asli kain.

61 Keterangan : Gambar 4.33 Motif Bagongan 1. Motif bagongan pada dodot parang kagok merupakan gambaran dari bagong dalam pewayangan, bagong dipilih karena sosok nya yang bulat mulai dari tubuhnya, matanya, mulutnya yang lebar. Diantara dua sirep kendela terdapat motif yang besar dan bulat yang kemudian dinamakan bagongan. 2. Gambaran motif bagongan yang digambarkan pada parang rusak kagok. (b) Alis-alisan. Menurut Gusti Puger (wawancara 20 Agustus 2013) Alis-alisan dalam batik parang rusak kagok merupakan bentuk motif mlinjon sekaligus pembatas antara motif mlinjon dan motif mata gareng. Pengulangan alis-alisan secara terus menerus memberi kesan ritmis (bergerak tanpa batas) Alis-alisan ditampilkan secara berhadapan yang dipisahkan oleh mlinjon (Pujiyanto,

62 :39). Alis-alisan juga bisa dikatakan sebagai wadah untuk mata gareng, alis-alisan disini diambil dari alis gareng tokoh pewayangan, kenapa diambil tokoh gareng karena tokoh gareng dalam pewayangan sudah sangat dikenal oleh masyarakat. Alisalisan berbentuk garis cekung-cekung. Walaupun alis-alisan bukan merupakan motif pokok tetapi alis-alisan juga menjadi ciri dari motif dodot parang rusak. Garis kontur yang alis-alisan berwarna soga Gambar 4.34 Alis-Alisan Keterangan : 1. Alis-alisan pada batik parang rusak diambil dari alis gareng, gareng merupakan tokoh pewayangan yang sangat terkenal dan akrab di telingga masyarakat.

63 Alis gareng yang berbetuk lengkung digambarkan dengan menambahkan garis lengkung diatas motif mata gareng. 3. Visualisasi motif alis gareng yang di gambarkan pada dodot parang rusak gendreh. (c) Sirep Kendela Menurut Gusti Puger (wawancara 20 Agustus 2013) Nama sirap kendela bukan merupakan motif baku dalam batik parang rusak, tetapi hanya sebagai pengembangan. Diantara tiap stilasi parang terdapat ruang yang bernama sirep kendela. Bidang yang terbentuk diantara dua bagongan itu sebenarnya tidak ada sehingga tidak mempunyai nama. Motif sirep kendela terjadi karena motif tersebut juga terbuat dari garis yang digariskan oleh dua motif sujen Sirep yang berarti atap rumah yang terbuat dari kayu sedangkan kendela merupakan hewan capung, sirep kendela ini merupakan stilasi dari atap rumah yang terbuat dari kayu dan atap tersebut juga merupakan stilasi dari sayap capung yang berbentuk kotak panjang. Bagongan juga berwarna putih, yaitu warna kain. 2 1 Gambar 4.35 Sirep Kendela (Sumber: Dokumentasi Kartika M, 2013)

64 121 Keterangan : 1. Merupakan atap dari kayu yang menjadi inspirasi sirep kendela. Yang berbentuk lurus dan panjang. 2. Penggambaran sirep kendela pada dodot parang rusak. 3) Warna penyusun dodot parang rusak Warna-warna yang digunakan dalam pewarnaan batik parang rusak merupakan warna-warna alam, seperti soga, teger, tingi, dan daun nila/daun tom/daun tarum. Bahan-bahan alam tersebut kebanyakan di dapat di Keraton itu sendiri. Dari pencapuran warna alam tersebut didapatkan warna-warna yang baru, sesuai dengan banyak sedikitnya pencampuran warna, tetapi warna-warna batik yang biasanya dipakai Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat antara lain warna coklat (sogan), biru kehitaman dan putih (krem). Senada dengan hal tersebut, batik parang rusak juga memiliki tiga warna yaitu coklat (sogan), biru kehitaman dan putih (krem). Warna Biru Kehitaman Warna Coklat (Soga) Gambar 4.36 Warna Pada Dodot Parang Rusak Warna Putih (Krem) a) Warna putih (krem) Memang batik parang rusak ini menggunakan warna asli kain yaitu putih kekuningan commit (krem). to user Warna putih pada latar batik parang

65 122 rusak di Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat tidak begitu putih karena untuk membedakan dengan batik parang di Keraton Yogyakarta yang memiliki warna latar putih bersih. Warna putih batik parang rusak terdapat pada motif mata gareng, bagongan dan sirap kendela. b) Warna Biru Kehitaman Warna biru kehitaman dihasilkan dari daun nila (daun tom). Warna hitam pada batik parang rusak digunakan untuk mempertegas warna motif sujen, mlinjon dan ucheng. Warna hitam pada kain batik parang rusak terdapat pada motif sujen, dan bidang disekitar motif mlinjon. c) Warna Coklat (Soga) Warna coklat soga pada kain batik parang rusak yang diteliti terdapat pada mlotif mlinjon, alis-alisan dan sujen. Warna coklat (sogan) berasal dari penggambungan tiga bahan alam yaitu teger (kuning), soga jambal (biru coklat), dan tingi (merah tua). Ketiga warna tersebut dicampur menjadi satu, tetapi perlu diingat takaran yang sesuai agar memperoleh warna sesuai. b. Dodot Alas-alasan Dodot alas-alasan merupakan dodot yang sangat akrab di telingga masyarakat. Busana dodot sebagai aspek luar merupakan salah satu komponen busana tari yang harus diperhatikan. Bahan dasarnya adalah jenis kain mori (katun primisima) yang dibatik. Batik adalah karya seni yang banyak memanfaatkan unsur menggambar ornamen, dan unsur pewarnaan yang berupa ragam hias atau motif. Nama pakaian ageng ini disebut bangun tulak (bango tulak) dan gadhung melathi. Dodot bango tulak dan gadhung mlathi ini merupakan busana utama dalam tari Bedhaya Ketawang, dodot bangun tulak dan gadhung melathi tidak bisa terlepas dari sejarah penciptaannya. Karena dari situ, diketahui penamaan dodot dan bangun tulak. gadhung melathi.

66 123 1) Sejarah Terciptanya Dodot Alas-alasan Dalam dodot bangun tulak dan gadhung melathi terdapat polapola yang menghiasi kain. Pola-pola yang ada pada pakaian tersebut disebut alas-alasan. Kedua nama tersebut memiliki makna simbolik yang rumit. Bangun dalam bahasa jawa kuno adalah bangau yaitu burung berleher panjang, berbulu putih dengan bercak biru. Burung ini telah berabad-abad menghuni sawah di pulau Jawa. Tulak berarti mencegah bala atau kejahatan. Dodot bango tulak berwarna biru tua / wungu tua dan putih sedangkan gadhung melathi berwarna hijau dan putih. Gadhung melathi dipakai oleh penari batak dan endhel ajeg, sedangkan nago tulak dipakai ketujuh penari lainnya. Dalam perkembangannya dodot yang dipakai para penari Bedhaya Ketawang pada masa Susuhunan Paku Buwono XIII dibuat dari bahan primisima latar hijau dan biru tua dengan motif alas-alasan berwarna menyerupai emas. Diceritakan bahwa busana tari Bedhaya Ketawang merupakan rancangan dari Kanjeng Ratu Kencanasari. Ratu kidul merancang pakaian seperti yang kita lihat sekarang, untuk kepanggih dengan Sang Raja Putra. Temanten pasehan dan dodotan itu baru pertama kali, Kanjeng ratu mau seistimewa dan sebaik mungkin untuk temantinnya sendiri, itulah asal usul pakaian temantin basahan. Lalu Kanjeng ratu kencanasari pakai untuk menari Bedhaya Ketawang. Untuk mengenang terus hari temantin, dengan Sang Nata Binatara. Menurut Gusti Puger (wawancara 11 September 2013) Kebenaran legenda tersebut masih dipertanyakan apakah benar memang Kanjeng Ratu Kencanasari yang merancang sendiri busana penari Bedhaya Ketawang ataukah ada pihak lain yang terlibat dalam pembuatan dodot alas-alasan. Dodot alas-alasan dikenakan pertama kali pada abad 15 sampai sekarang bila dihitung umurnya sudah 500 tahun, tetapi dodot alas-alasan yang sekarang sudah mengalami beberapa pembaharuan.

67 124 Alas-alasan berarti rimba raya, elemen pengisi merupakan seisi hutan belantara, dan merupakan bagian sebuah konsepsi alam. Seperti dijelaskan Annegret dalam Djandjang (2004:89-90) : Makhluk-makhluk berwarna emas melambangkan tiga bgian dunia yaitu, bumi, air dan langit. Namun, elemen binatang atau makhluk itu tidak selalu sama pada setiap pakaian. Misalnya beberapa pakaian memiliki motif gajah sementara pakaian yang lainnya tidak dan terkadang binatangnya adalah kumpulan binatang yang berasal dari dunia mistis. Diantaranya diselingi oleh tumbuhan bercabang tiga dengan akar menyebar. Tumbuhan itu distilir menjadi bentuk gunung. Bentuk itu diulang-ulang dengan penataan hierarkis. Gununga-gununga itu terbentuk dari dedaunan, di dalam dan diatasnya terdapat pohon yang bercabang tiga yang memiliki akar yang besar. Setiap gunung diampit oleh burung yang berkaki panjang, yaitu bangau, burung pertanda. Untuk itulah pakaian itu dinamakan. Dalam kombinasi air/teratai/pohon/gunung/burung/ binatang ini, masing-masing elemen memiliki asosiasi yang kuat. Beberapa diantaranya merupakan pengaruh hindu, beberapa diantaranya merupakan kepercayaan pribumi yang sangat reseptif terhadap pengaruh asing. Misalnya pohon beringin dipercaya sebagai tempat tinggal rohpenjaga desa. Pohon ini akan diberi sesaji dan dilabeli status tertentu 2) Ragam Hias Dalam Dodot Alas-alasan Ragam hias dalam dodot alas-alasan karena sesuai dengan namanya, maka ragam hiasnya merupakan susunan dari motif hewanhewan yang diambil dari hutan. Menurut Gusti Puger (wawancara 20 Agustus 2013) Alas-alasan berarti rimba raya, elemen-elemen pola itu adalah seisi belantara. Elemen ini nampaknya merupakan bagian sebuah diagram konsepsi alam. Alas-alasan merupakan batik dengan motif hewan-hewan yang sudah distilasi, hewan-hewan tersebut sudah dibagikan kedalam keadaan wilayah, yaitu dunia atas, dunia tengah dan dunia bawah. Hal ini diperkuat dengan makhluk-makhluk berwarna emas melambangkan tiga bagian dunia, bumi, air dan langit. Untuk lebih jelasnya tentang ragam hias pada dodot alas-alasan, maka akan diuraikan sebagai berikut :

68 125 a) Penyusunan pola pada dodot alas-alasan C D A B A B Gambar 4.37 Pola Dalam Dodot Alas-Alasan Keterangan : A : Merupakan Motif tumbuhan B : Merupakan Motif hewan C : Blumbangan D : Merupakan Motif hewan Pola dalam dodot alas-alasan merupakan pola non geometris, hal ini bisa diketahui dari penuyusunan motif-motif dalam dodot alas-alasan, pembagian raportnya tidak teratur menurut bidang goemetris. Golongan pola batik non geometris biasanya terdiri dari motif seperti tumbuh-tumbuhan, binatang yang tersusun tidak beraturan, tetapi dalam bidang luas akan terjadi pengulangan kembali susunan pola tersebut. b) Motif yang terdapat dalam dodot alas-alasan Apabila dilihat secara keseluhuran pola dalam dodot alas-alasan merupakan satu kesatuan pola secara utuh dan komponen-komponen bagian yang tidak dapat dipisahkan, sehingga semua unsur memiliki peran sebagai motif utama. Pola dalam dodot alas-alasan bukan merupakan pola non geometris. Ragam hias dalam dodot alas-alasan karena sesuai dengan namanya, maka ragam hiasnya merupakan hewan-hewan yang diambil dari hutan sehingga elemen-elemen pola itu adalah seisi belantara.

69 126 Motif-motif yang terdapat dalam dodot alas-alasan merupakan motif stilasi. Stilasi dalam pembuatan motif merupakan teknik pengayaan dengan melakukan gubahan bentuk tertentu, dengan tidak meninggalkan idenditas atau ciri dari bentuk yang digubah. Karena semua motif merupakan motif utama, jadi dodot alas-alasan dikelompokkan menurut macam motif. Menurut Pujiyanto (2010 : 49) alas-alasan berarti hutan, segala sesuatunya yang ada di dalam ragam hias ini seperti hewan-hewan dan tumbuh-tumbuhan. Ragam hias alas-alasan ditampilkan secara ramai dengan gaya bebas namun masih mengacu ke unsur alam. Bentuk bentuk stilasi alam masih tampak jelas dengan bentuk yang sebenarnya, seperti jago dan ayam betina, kupu dengan kumbang, harimau dan kuda dan sebagainya. Karena motif alas-alasan menekankan pada obyek binatang, sehingga bentuk, yang ditampilkan mengarah ke unsur binatang dengan penempatan yang ditata rapi ke arah vertikal maupun horizontal dengan jarak yang sama. Untuk memberi kesan supaya tidak monoton dalam penempatan, maka peran tumbuh-tumbuhan sangat dibutuhkan sebagai pengisi ruang kosong dan sebagai penghubung pada tiap-tiap bentuk binatang. Pengisian ruang kosong selalu dilakukan hingga kelihatan ramai dan liar (semrawut) seperti adanya hutan belantara yang penuh binatang dan tumbuh-tumbuhan liar. Untuk lebih jelasnya tentang motif pada dodot alas-alasan, maka akan diuraikan sebagai berikut :

70 127 (1) Kelompok Motif Hewan (a) Garuda Kepala Sayap Isen-isen Isen-isen Gambar 4.38 Motif Garuda Menurut Gusti Puger (wawancara 29 September 2013) Garuda dalam ragam hias batik biasa disebut gurdha adalah burung yang penting dalam kesenian Jawa. motif garuda merupakan stilasi pada bermacam-macam benda seperti kayu, tembaga dan sebagainya. Motif ini lebih mudah dimengerti, karena dilihat dari bentuknya yang jelas dan mudah diterima oleh pikiran biasa. Burung Garuda adalah kendaraan Dewa Wisnu Motif burung garuda ini digambarkan pada kain dodot alas-alasan karena berdasarkan ciri-ciri burung garuda itu sendiri, bila dilihat secara sekilas burung ini gagah perkasa serta garuda merupakan hewan yang bisa terbang. Bila dilihat pada dodot alasalasan perkasanya burung garuda ditampilkan pada dadanya yang membusung, serta melambangkan hewan atas karena mempunyai sayap. Garuda adalah burung dewa, kendaraan dewa Wisnu, ada tiga jenis motif garuda, yakni : Lar : satu sayap, mirong : dua sayap, sawat : sayap ganda dengan kepala. Dalam dodot alasalasan burung garuda ini digambarkan dengan dengan motif lar

71 128 yaitu satu sayap tetapi ada dua burung yang saling berhadapan, yang mempunyai tanduk di kepalanya. Gambar burung garuda ini terlihat tampak dari samping. Motif burung garuda terletak di pojok pojok kain. Jadi dalam selembar kain dodot alas-alasan terdapat 4 motif garuda. Dalam motif garuda diberikan isen-isen galaran, galaran lurus pada sayap garuda, sedangkan galaran berkelok pada bagian bawah garuda. (b) Motif Kura-Kura Tempurung Isen-isen Kepala Kaki Gambar 4.39 Motif Kura-kura Menurut Gusti Puger (wawancara 29 September 2013) Kurakura dan penyu adalah hewan bersisik berkaki empat yang termasuk golongan reptil. Bangsa hewan yang mudah dikenali dengan adanya rumah atau batok yang keras dan kaku. Batok kura-kura ini terdiri dari dua bagian. Bagian atas yang menutupi punggung dan bagian bawah. Ciri-ciri tersebut digambarkan dalam dodot alas-alasan penggambarannya kura kura mempunyai tempurung, serta tempurung tersebut commit didalamnya to user terdapat isen-isen yang dinamakan

72 129 gringsing. Kura-kura adalah hewan yang berjalan lambat. Penggambaran dari hewan lambat yaitu digambarkan 4 kakinya yang pendek. Kura-kura juga merupakan binatang mitologi yang terkenal dalam kesenian Hindu-Jawa. Kura-kura dipilih sebagai hewan yang digambarkan pada dodot alas-alasan, karena dari habitat kura-kura yang berada di hutan serta ciri fisik kura-kura. Bila lihat sekilas maka seseorang sudah bisa menebak bahwa motif tersebut merupakan gambaran dari hewan kura-kura, karena bentuknya yang tidak begitu berubah dari aslinya (c) Motif Ular Lidah Ekor Kepala Isen-isen Gambar 4.40 Motif Ular Keterbatasan fisik tidak menghalangi gerakan lincahnya saat ditanah maupun saat memanjat. Hal itu membuat hewan ini dianggap sebagai lambang keuletan, kekuatan dan kesederhanaan. Ular atau naga merupakan bentuk binatang yang banyak dipakai sebagai motif dalam kesenian Indonesia. Menurut Gusti Puger (wawancara 29 September 2013) Bentuk ular banyak ditampakkan di candi-candi Jawa dari periode

73 130 paling awal dan tak dapat dipungkiri bahwa ular merupakan bagian mitologi Hindu. Ular adalah reptil yang tak berkaki dan bertubuh panjang, ciri ciri ular tersebut sama seperti penggambarannya dalam dodot alas-alasan digambarkan ular digambarkan dengan hewan yang yang berbentuk lonjong dan panjang. Visualnya motif ular tersusun dari garis lengkung S. Ular memiliki sisik seperti kadal dan sama-sama digolongkan ke dalam reptil bersisik, hal itu juga bisa dilihat dalam penggambaran dalam dodot alas-alasan penggambaran sisik ular yaitu bahwa dibagian tubuh ular terdapat isen yang disebut gringsing. Pemilihan hewan ular sebagai salah satu motif dalam dodot alas-alasan karena di gunung, hutan, gurun, dataran rendah, lahan pertanian, lingkungan pemukiman, sampai ke lautan, dapat ditemukan. Ular dalam dodot alas-alasan digambarkan dengan lidah yang keluar, itu juga merupakan salah satu ciri fisik ular. Motif ular sering dipakai dalam batik, ular digambarkan dengan bentuk aneh, kepala raksasa memakai mahkota, kadang bersayap dan berkaki. Kadang kadang dua ular dibentuk simetris sehingga berbentuk seperti ornamen garuda, ada juga yang berbentuk seperti burung yang mempunyai sayap. Dalam motif batik ornamen ular terutama terdapat dalam motif semen. Ular sering kali dipakai dalam khasanah batik.

74 131 (d) Motif Burung Paruh Ekor Sayap Kaki Isen-isen Gambar 4.41 Motif Burung Burung adalah anggota kelompok hewan bertulang belakang yang memiliki bulu dan sayap. Jenis-jenis burung begitu bervariasi, mulai dari burung yang kecil mungil hingga burung unta, yang lebih tinggi dari orang. Berbagai jenis burung ini secara ilmiah digolongkan ke dalam kelas Aves. Untuk motif burung terdiri dari garis-garis lengkung yang membentuk suatu bidang. Motif burung digambarkan dengan teknik stilasi. Ciri-ciri utama hewan burung adalah badan ditutupi oleh bulu, dalam dodot alas-alasan bulu burung ditampakkan tetapi tidak banyak, hanya pada badan saja. Motif burung dalam dodot alas-alasan dipercantik dengan isen-isen sawut yang menghiasi bagian tubuhnya. Ciri lain memiliki paruh yang tidak bergigi dan dua sayap, penggambaran paruh burung dalam dodot alas-alasan memang seperti burung pada umunnya, serta dua sayap yang digambarkan saat posisi terbang, hal itu juga menunjukkan bahwa habitat burung yang ada di atas. Memiliki sisik pada kakinya, penggambaran burung pada saat terbang juga bisa dilihat dari bentuk kaki yang sejajar dengan sayap. Menurut Gusti Puger (wawancara 29 September 2013) alam khasanah batik, burung digambarkan dengan bentuk yang tidak jauh

75 132 berbeda dengan aslinya, burung digambarkan mempunyai sayap, sebagian besar sayap burung digambarkan dalam batik, sayapnya dikepakkan serta ada yang digambarkan mempunyai mahkota di kepalanya. Penggambaran burung dalam khasanah batik sangatlah banyak, tetapi penggambaran burung pasti tidak lepas dari ciri-ciri burung tersebut. (e) Motif Ayam Jantan Cengger Paruh Ekor Kaki Isen-isen Gambar 4.42 Motif Ayam jantan Ayam termasuk dalam kelas aves (hewan bersayap). Ayam termasuk hewan yang mudah beradaptasi disembarang tempat, asalkan ketersediaan makanan melimpah. Menurut Gusti Puger (wawancara 29 September 2013) Ciri-ciri ayam yaitu ayam bisa sebagai penanda keadaan, hal itu bisa dilihat dari suaranya, ayam mempunyai paruh, hal itu digambarkan dalam motif ayam, selain paruh, ayam juga mempunyai ekor serta bulu yang indah, dalam dodot alas-alasan bulu indah digambarkan dengan garis-garis yang disusun secara rapi, dari atas sampai bawah sehingga terkesan ekor ayam yang lebat. Bidangbidang yang kosong pada badan ayam diberi isen-isen berupa cecegceceg (titik-titik) selain itu dalam dodot alas-alasan ayam yang

76 133 digambarkan merupakan ayam jantan, hal itu bisa dilihat dari cengger dan godoh dalam motif pada dodot alas-alasan, selain itu ciri-ciri penggambaran ayam dalam motif dodot alas-alasan adalah ayam jantan bisa dilihat dari kaki ayam yang mempunyai jalu. Ayam merupakan hewan tengah, ayam diambil sebagai salah satu motif dalam dodot alas-alasan karena ayam merupakan hewan yang dekat dengan masyarakat. (f) Motif Kijang Tanduk Ekor Isen-isen Kaki Gambar 4.43 Motif Kijang Menurut Gusti Puger (wawancara 29 September 2013) Ciri-ciri kijang, Kijang atau muncak adalah kerabat rusa. Mantel rambut kijang pendek, rapat, lembut dan licin. Warna bulunya bervariasi dari coklat gelap hingga coklat terang. Pada punggung kijang terdapat garis kehitaman. Dalam penggambaran motif kijang, matel serta garis pada punggung kijang tidak diperlihatkan, tubuh kijang hanya dihias dengan rawan. Ciri kijang yang lain, Kijang jantan mempunyai isenisen ranggah (tanduk) yang pendek, tidak melebihi setengah dari panjang kepala dan bercabang. Dalam motif dodot alas-alasan kijang

77 134 yang digambarkan merupakan kijang jantan, karena mempunyai tanduk kijang merupakan hewan yang hidup di hutan, dan merupakan hewan yang lincah, lincah digambarkan dengan posisi kaki yang sedang berlali. Kijang dalam motif batik sangat bermacam bentuknya, mulai dari kepalanya yang mempunyai mahkota, mempunyai ekor. Garis-garis yang membentuk menjadi suatu stilasi kijang, sangat mirip, hal tersebut dapat mempermudah masyararakat dalam menelaah motif kijang. (g) Motif Gajah Belalai Ekor Kaki Isen-isen Gambar 4.44 Motif Gajah Menurut Gusti Puger (wawancara 29 September 2013) Gajah merupakan binatang yang banyak dipakai sebagai motif dalam kesenian indonesia. Ciri-ciri gajah memiliki ukuran tubuh yang besar. binatang ini merupakan binatang mamalia yang berkembang biaknya dengan melahirkan. Dalam dodot alas-alasan motif gajah digambarkan seperti aslinya, yaitu tubuhnya besar dengan motif isen cecek, ciri lainnya telingganya yang lebar serta mempunyai ekor yang kecil. Ciri tersebut digambarkan dalam dodot alas-alasan. Belalainya yang panjang digunakan untuk mengambil makanan, menyedot air kemudian memasukkan commit ke dalam to user mulutnya. Selain itu juga berfungsi

78 135 untuk mengangkat sesuatu. Belalai yang panjang juga digambarkan pada dodot alas-alasan, belalai digambarkan dengan posisi mengangkat ke atas, itu juga menandakan gajah merupakan hewan yang kuat. Gajah merupakan hewan yang sebagian besar hidupnya ada dihutan, gajah bukan termasuk hewan yang dipertanyakan bentuknya seperti apa, karena sebagian besar sudah melihat gajah. Motif gajah digambarkan pada posisi sedang berlari, dilihat dari posisi kaki dan belalai yang diangkat keatas. Gajah dalam dodot alas-alasan merupakan gajah jantan, bisa dilihat gading gajah yang panjang (h) Motif Burung Bagau Sayap Paruh Kaki Gambar 4.45 Motif Burung Bangau Bangau adalah sebutan untuk burung Ada pengertian dalam masyarakat Jawa, bahwa burung bangau atau bango dalam bahasa Jawa adalah merupakan salah satu hewan yang sering dipergunakan di dalam berbagai keperluan. Menurut Gusti Puger (wawancara 29 September 2013) Ciri ciri burung bangau yaitu badan berukuran besar, dalam dodot alas-alasan burung bangau tidak digambarkan dengan badan yang besar tetapi badan hanya digambarkan dengan garis yang tidak memebentuk bidang, berkaki panjang, kaki panjang dalam dodot alas-alasan bisa dilihat commit dari to user panjang kaki setengah dari panjang

79 136 tubuhnya. Ciri lainnya berleher panjang namun lebih pendek dari burung kuntul, dan mempunyai paruh yang besar, kuat dan tebal. Dalam dodot alas-alasan paruh burung bangau besar, serta memiliki bulu yang berwarna putih dan kelabu kehitaman. Motif burung bangau dalam dodot alas-alasan penggambarannya sama dengan burung bangu di kehidupan nyata. Burung bangau merupakan hewan atas, hal itu dalam motif bangau digambarkan posisi yang sedang terbang. (i) Motif Harimau Kepala Ekor Kaki Isen-isen Gambar 4.46 Motif Harimau Menurut Gusti Puger (wawancara 29 september 2013) Harimau merupakan binatang yang sering dipakai sebagai motif dalam kesenian Indonesia. Binatang ini mendapat sebutan sebagai raja hutan atau raja rimba. Harimau merupakan spesies binatang terbesar di kalangan empat jenis "kucing besar" Selain kebesaran dan kegagahannya, ciri-ciri terpenting yang dimiliki harimau ialah corak belang menegak berwarna gelap yang melapisi bulunya yang berwarna keputihan atau merah kejinggaan.

80 137 Dalam motif harimau corak belang digambarkan dengan isen rawan dalam tubuhnya. Harimau biasanya memburu mangsa yang agak besar seperti rusa sambar, kijang, babi, kancil. Hal itu bisa dilihat dalam dodot alas-alasan harimau digambarkan dengan tubuh yang besar serta mempunyai taring yang panjang. Harimau meupakan hewan yang hidup di hutan. Penggambaran harimau disini mempunyai empat kaki dan ekor yang panjang, penggambaran harimau dalam motif dodot alas-alasan ini tidak jauh berbeda dengan penggambaran asli harimau di dunia nyata. Harimau merupakan hewan tengah. (2) Kelompok Motif Tumbuhan (a) Motif Pohon Hayat Gunung Kepala Sayap Pangkal Kaki Gambar 4.47 Motif Pohon Hayat Menurut Gusti Puger (wawancara 29 September 2013) Tanam tuwuh (pepohonan), terdapat di dalam gunungan dan sebagian orang mengartikan sebagai pohon kalpataru yang mempunyai makna pohon hidup, sumber kehidupan, sumber asal usul, sumber asal dan tujuan hidup serta sumber hidup diatas segalanya. Dalam commit hindu to user budha dikenal adanya pohon yang

81 138 dianggap dapat mengabulkan permintaan, lambang kekayaan dan lambang kehidupan. Pohon hayat juga merupakan penggambaran dari gunungan dalam pewayangan, di dalam onanen gunungan terdapat gambar pohon yang melilit serta batang batang yang sangat banyak. Pohon hayat digambarkan dalam dodot alasalasan karena pohon ini merupakan gambaran gunung, yang juga menggambarkan hutan. Dalam dodot alas-alasan, digambarkan dengan segaris seperti gambar gunung serta dibagian bawah terdapat pusat yang berbentuk seperti bunga mekar dengan jumlah tujuh. Secara visual pohon hayat tidak membentuk bidang tetapi hanya dibentuk secara segaris. Selain itu dalam motif pohon hayat, diapit dengan gambar burung merak, burung merak juga hanya digambarkan dengan garis, tetapi secara visual bila dilihat penggambaran burung merak walaupun hanya dengan garis, digambarkan pula kepala, kaki dan sayap. (b) Motif Meru Ujung Pangkal Gambar commit 4.48 to Motif user Meru

82 139 Susanto (1974 :261) Kata Meru, berasal dari Gunung Mahameru. Gunung ini dianggap sebagai tempat tinggal atau singgasana bagi Tri Murti. Tri Murti ini dilambangkan sebagai sumber dari segala kehidupan, sumber kemakmuran, dan segala sumber kebahagiaan hidup di dunia. Oleh karena itu, meru digunakan sebagai motif kain batik agar selalu mendapatkan kemakmuran dan kebahagiaan. Meru adalah bentuk gambaran gunung dilihat dari samping, kadang-kadanag digambarkan rangkaian dari tiga gunung, yang tengah sebagai gunung puncak. Dalam paham indonesia kuno gunung melambangkan unsur tanah, sebagai salah satu pengertian dari empat unsur hidup yaitu, bumi, api, air, dan angin. Meru menggambarkan pucak gunung yang tinggi, tempat bersemayam para dewa. Ditambahkan Gusti Puger (wawancara 29 September 2013) sebenarnya bila dilihat dengan seksama, semua motif yang ada dalam dodot alas-alasan bisa disebut meru, karena meru dapat diartikan kehidupan. Tetapi dalam dodot alas-alasan, digambarkan dengan gambaran gunung yang sudah di stilasi, disini gambar tersebut bisa disebut meru karena bentuknya yang mengerucut ke atas seperti gunung, penggambaran tersebut menggunakan isen yang dinamakan blarak sairit, blarak sairit tersebut merupakan pengembangan dari simbol api (modang). Disini meru digambarkan mempunyai titik tengah di bawah dan diatas.

83 140 (3) Kelompok Motif Geometris (a) Motif Kawung Gambar 4.49 Motif Kawung Menurut Gusti Puger (wawancara 20 Agustus 2013) Motif kawung berpola bulatan mirip buah kawung (sejenis kelapa atau kadang juga dianggap sebagai buah kolang-kaling) yang ditata rapi secara geometris. Kadang, motif ini juga diinterpretasikan sebagai gambar bunga lotus (teratai) dengan empat lembar daun bunga yang merekah. Lotus adalah bunga yang melambangkan umur panjang dan kesucian. Biasanya motif-motif kawung diberi nama berdasarkan besar-kecilnya bentuk bulat-lonjong yang terdapat dalam suatu motif tertentu. Dalam ragam hias pada kain dodot alas-alasan bentuk motif kawung berbentuk geometris yang tersusun dari bentuk bundar dan lonjong atau elips. Susunannya memanjang menurut diagonal miring ke kiri dan ke kanan, berselang seling serta disusun berulang ulang. Motif kawung ini berbetntuk seperti buah aren yang disebut dengan kolang-kaling. (b) Blumbangan Blumbangan merupakan bagian tengah dalam dodot alasalasan yang berwarna putih (Jawa : Kolam, bak air) dipisah

84 141 dengan bidang yang bercorak benua (Jawa: daratan, benua) melalui garis gelombang yang dijahit yang disebut dengan ombak. Blumbangan berbentuk belah ketupat. 3) Warna Penyusun Dodot Alas-Alasan Orang awam bila mendegar alas-alasan pasti bisa menebak warna yang dominan pada dodot alas-alasan. Sebuah versi lain dari kain alasalasan adalah Gadhung Melathi (gadhung dalam bahasa jawa berarti jenis umbi; melati adalah bunga melathi), yang memiliki sebuah lapisan bawah warna hijau dan lapisan tengah yang berwarna putih. Disini gadhung sebagai lambang warna hijau dan bunga melati warna putih. (Jasper dalam Djandjang, 2004 :89) Pada dasarnya bukan hanya dodot yang menggunakan warna dominan hijau, tetapi ada juga warna biru tua, sedangkan riasan penari Bedhaya memakai warna yang dominan hijau, warna yang disukai oleh Ratu Kidul. Lebih lanjut dijelaskan oleh Partahadiningrat bahwa : Pancen warna ijo lan putih utawa gadhung mlati iki kerep dadi sirikan, sebab jarene warna-warna mau kagungane Kanjeng Ratu Kidul kang angreksa Kraton Kidul alias Segara Kidul. Tumekane seprene isih akeh kang padha pracaya manawa warnawarna mau katrajang, bakal bisa nuwuhake kasangsaran kang ora baen-baen. Jarene dadi larangan gedhe, mapan utawa ana ing pesisir kidul ing tepining Segara Kidul mengaggo kang sarwa ijo, luwih-luwih ijo lan putih. Sing sapa nerak angger-angger mau bakal ilang mati kalap, sebab ora liya marga wani madhani ageman kang diremeni Kanjeg Ratu Kidul. (memang warna hijau dan putih atau gadhung mlathi ini sering menjadi pantanagn, sebab katanya warna-warna tadi kepunyaan Kanjeng Ratiu Kidul yang menguasai Kraton Kidul atau Segara Kidul. Sampai sekarang masih banyak yang percaya bila warna-warna tersebut dilanggar akan menimbulkan kesengsaraan yang tidak main-main. Katanya menjadi larangan besar bertempat atau berada di pesisir kidul ditepi Laut Kidul, memakai serba hijau, lebih lebih hijau dan putih. Bagi siapa melanggar peraturan tadi akan hilang mati, sebab tidak lain karena berani-beraninya menyamai pakaian yang paling disukai Kanjeng Ratu Kidul).

85 142 a) Warna Hijau dan Biru tua/ wungu Dari Penjelasan diatas sudah bisa diketahui bahwa dominan warna dalam dodot alas-alasan adalah warna hijau, warna hijau dalam dodot alas-alasan didapat dari warna alam yaitu pencampuran warna teger (kuning), soga jambal (biru coklat). Warna hijau merupakan warna latar dari dodot alas-alasan yang dipakai oleh dua penari utama, sedangkan warna biru untuk ketujuh penari, warna biru yang dihasilkan untuk pewarna batik zaman dulu disebut dengan biru tarum. b) Warna Emas Warna Emas dalam dodot alas-alasan merupakan warna yang berasal dari prodo, warna emas kalau jaman dahulu pada saat keraton masih sebagai pusat pemerintahan, warna emas didapat dari emas asli. Warna emas pada kain dodot alas-alasan digunakan untuk membuat motif hewan serta isen-isen pada dodot alas-alasan, sehingga warna emas terdapat pada motif burung garuda, gajah, harimau, kijang, ayam jantan, kura-kura, ular, meru, pohon hayat, burung bangau serta kawung. c) Warna Putih Warna putih merupakan warna asli kain, warna putih dalam dodot alas-alasan terdapat dalam blumbangan. Blumbangan berada ditengah dodot alas-alasan berbentuk seperti belah ketupat. Warna asli kain, berwarna putih bersih. D. Makna Simbolik Ragam Hias Pada Kain Dodot 1. Dodot Parang Rusak Dodot parang rusak merupakan dodot larangan, batik parang ini hanya boleh dipakai oleh Raja atau putra-putri Raja, hal ini berkaitan dengan lambang/simbol yang ada pada batik tersebut juga terdapat filosofi dalam pemikiran masyarakat Jawa. Lambang/simbol yang terdapat pada batik zaman dulu dianggap memiliki nilai commit agung to sebagai user pemikiran masyarakat Jawa.

86 143 Sehingga beberapa lambang pada batik dianggap hanya pantas dikenakan oleh Raja atau orang-orang tertentu yang dekat dengan Raja. Salah satunya adalah dodot parang rusak, memang dodot parang rusak ini tidak dikenakan oleh Raja, dodot parang yang dikenakan oleh Raja yaitu parang barong, tetapi dodot parang ada juga yang dikenakan oleh penari Bedhaya Ketawang yaitu parang rusak kagok dan dodot ini dikenakan oleh penari Bedhaya Ketawang saat kirab. Sama halnya dengan dodot parang barong yang dikenakan oleh Raja, dodot parang rusak ini juga memiliki makna simbolik yang sangat mendalam. a. Filosofi Batik Parang Rusak Motif batik di keraton Surakarta sangat erat kaitannya dengan perjanjian Giyanti tahun 1755, yang memecah Kerajaan Mataram menjadi dua: Surakarta dan Yogyakarta. Dari perpecahan tersebut, seluruh busana (batik) keraton dibawa ke Yogyakarta. Sejak perpecahan itulah Keraton Mataram Surakarta tidak mempunyai corak busana khas Keraton, hingga kemudian Paku Buwono III memerintahkan untuk membuat motif batik Surakarta. Namun perkembanganan corak batik gagrak Surakarta yang pesat, justru mengakibatkan nilai-nilai filosofi, budaya, dan tatanan dalam penggunaan kain batik menjadi kabur, kain batik yang diperuntukkan bangsawan dan kawula menjadi tidak jelas. Menurut Gusti Puger (wawancara 27 Agustus 2013) Motif batik parang pada dasarnya tergolong sederhana, berupa lilitan huruf S yang jalinmenjalin membentuk garis diagonal dengan kemiringan 45 derajat. Susunan motif huruf S jalin-menjalin tidak terputus melambangkan kesinambungan. Bentuk dasar huruf S diambil dari ombak samudra yang menggambarkan semangat tidak pernah padam. Selain itu motif yang melekat pada dodot parang rusak merupakan medium bantu yang mendukung kesatuan yang utuh yang menciptakan pemahanan sangkan paraning dumadi serta manunggaling kawula gusti. (Pujiyanto,2010 :41) Parang juga dapat diartikan sebagai karang yang runcing, yang melambangkan heroisme, patriotisme dan memberikan kekuatan pada commit si pemakai. to user Parang sering mengingatkan pada

87 144 pisau atau keris, parang dapat diartikan juga sebagai pengolahan bentuk dari daun teratai yang mempunyai lambang kesuburan. KRA Budayaningrat Yusdianto (wawancara 20 Agustus 2013) Parang rusak diambil dari bentuk lereng yang distilasi menjadi sedemikian rupa, parang juga disimbolkan sebagai sumber kehidupan (keselamatan), karena motif parang rusak mempunyai tenaga penghalang terhadap semua kerusakan (kematian). Parang rusak juga mempunyai menangkir mara bahaya, musibah dan bencana alam. b. Makna Simbolik 1) Motif Utama (a) Motif Mlinjon Gambar 4.29 Motif Mlinjon Menurut Gusti Puger (wawancara 20 Agustus 2013) Motif mlinjon sesuai dengan bentuknya yang mempunyai lima titik, empat titik di samping dan satu titik ditengah sebagai pusatnya mengandung makna pajupat lima pancer atau keblat papat lima pancer, konsep ini adalah konsep berdirinya manusia, bahwa manusia memiliki empat arah, yaitu depan, belakang, samping kanan dan samping kiri. Kemudian yang dinamakan pancer yaitu manusia itu sendiri. Hubungan antara manunggaling kawulo gusti dengan pajupat lima pancer adalah penyatuan dengan Tuhan. Ketika menyatu dengan

88 145 Tuhan, yang ditunjuk adalah bagian hati manusia tersebut. Sehingga manusia itu sendirilah yang menjadi pancernya. Dalam konsep sedulur papat limo pancer, masyarakat Jawa juga menggunakan hari pasaran legi, pahing, pon, wage dan kliwon yang dihubungkan dengan arah mata angin. Legi dengan posisi di Timur, pahing dengan posisi di Selatan, pon dengan posisi di Barat, wage dengan posisi di Utara, kliwon dengan posisi di Tengah Kepercayaan ini menempatkan manusia sebagai pusat ( pancer ) yang dikelilingi kekuatan empat penjuru mata angin (keblat papat ) bersifat tidak bergerak.kepercayaan Jawa inilah yang akhirnya, melahirkan terminologi papat keblat kalima pancer. Hal ini disimbolisasikan oleh Manusia Jawa dalam mendesain sebuah bangunan, terutama rumah dengan atap tajuk/joglo. Keempat saka guru (tiang utama) menggambarkan keempat penjuru mata angin, dan rancangan atap yang meruncing ke atas menggambarkan Tuhan. (b) Motif Mata Gareng Gambar 4.30 Motif Mata Gareng Motif mata gareng berbentuk seperti mata gareng dalam tokoh pewayangan yaitu oval, Gareng merupakan tokoh pewayangan yang mempunyai sifat pekerja keras. Gareng menjadi idealisme, bahwa dalam melangkah commit dalam to user hidup harus penuh pertimbangan dan

89 146 perhitungan. Menurut Gusti Puger (wawancara 20 Agustus 2013) Dari ciri gareng dapat diketahui bahwa gareng merupakan sosok yang mempunyai cacat tubuh, cacat tubuhnya mempunyai makna tersendiri, disini dalam batik parang kagok tokoh gareng yang diambil adalah matanya yang juling, mata Juling dengan melirik ke atas dan ke samping : melihat suatu persoalan tidak hanya melihat apa yang dilihat di depannya saja, tetapi memperhatikan keadaan sekelilingnya dengan cermat. (c) Motif Sujen Gambar 4.31 Motif Sujen Menurut Gusti Puger (wawancara 20 Agustus 2013) Motif sujen dalam falsafah jawa merupakan bentuk dari sunduk sate, tetapi ada pendapat lain bahwa sujen merupakan stilasi dari keris, karena bentuknya yang lancip serta memiliki kepala. Keris bukan lagi sebagai senjata, namun masyarakat Jawa memaknai bahwa keris sekarang hanya sebagai ageman atau hanya dipakai sebagai pelengkap busana Jawa yang masih mempunyai nilai spiritual religius, dan sebagai bukti manusia yang lahir, hidup dan kembali bersatu kepada Tuhan sebagai Manunggaling Kawulo Gusti. Manunggaling Kawulo Gusti. Hal ini memberi lambang bahwa manusia itu kecil sekali bila berhadapan dengan kekuasaan, kebijakan dan keberadaan Tuhan yang kekal

90 147 transendental, sehingga manusia harus sadar untuk menyembah, menyerahkan diri kepada sang pencipta. 2) Isen-isen (a) Motif Ucheng Gambar 4.32 Motif Ucheng Motif ucheng merupakan sumbu api minyak tanah, menurut Gusti Puger (wawancara 20 Agustus 2013) ucheng merupakan bakal buah yang akan menjadi mlinjo, ucheng merupakan asal mula terjadinya mlinjo. Ucheng digunakan dalam motif dodot parang rusak karena ucheng merupakan bagian dari buah melinjo, dan buah melinjo merupakan buah yang dekat dengan rakyat, sehingga diberikan penamaan yang bisa dimengerti oleh masyarakat luas. Digambarkan juga motif ucheng yang berkelok-kelok, jadi bisa diambil maknanya bahwa ucheng merupakan perjalanan hidup manusia yaitu mulai dari alam rahim sampai alam akhirat

91 148 3) Motif Pelengkap (a) Motif Alis-alisan Gambar 4.33 Motif Alis-alisan Motif alis-alisan ini merupakan gambaran dari alis, alis yang diambil disini adalah alis gareng. Alis gareng yang berbentuk lengkung dan saling berkaitan antara alis-alisan satu dengan yang lainnya, memudahkan masyarakat dalam pemahaman. Motif Alis-alisan digunakan juga unntuk memperjelas bentuk motif mlinjon atau bisa disebut juga sebagai wadah mlinjon. Menurut Gusti Puger (wawancara 20 Agustus 2013) alis-alisan mempunyai makna, bahwa seseorang itu harus bisa menjadi wadah atau tempat, misalnya tempat berbagi cerita, menjaga rahasia serta tidak terputus silaturahmi antara satu orang dengan yang lainnya (b) Motif Bagongan Gambar commit 4.34 Motif to user Bagongan (Sumber: Dokumentasi Kartika M, 2013

92 149 Motif bagongan dalam dodot parang rusak sebenarnya tidak ada, karena motif bagongan hanya merupakan bidang yang dibentuk dari perpotongan dua motif sujen. Sesuai namanya Bagong diambil dari tokoh pewayangan. Konon Bagong adalah anak angkat ketiga Semar setelah Gareng dan Petruk. Bagong dalam filosofi pewayangan memiliki watak yang jujur dan juga sabar, Ia tak pernah berteriak ataupun memberontak saat keadaan terjepit, Ia tak pernah marah ataupun protes atas himpitan atau tekanan yang menimpa dirinya. Menurut Gusti Puger (wawancara 20 Agustus 2013) Gaya bicara bagong yang jujur, blak blakan serta semaunya sendiri pernah digunakan para dalang untuk mengkritisi pemerintah kolonial belanda. Dari beberapa sifat diatas, tentunya Bagong tidak jauh berbeda dari Semar, sedikti banyak bagong akan mewarisi sifat Semar. Sifat-sifat tersebut antara lain sabar, tidak pernah menyerah, dan bisa menerima keadaan. (c) Motif Sirep Kendela Gambar 4.35 Motif Sirep Kendela Menurut Gusti Puger (wawancara 20 Agustus 2013) Motif sirep kendela seberarnya commit tidak to user ada, karena motif ini tersusun dari

93 150 perpotongan motif sujen. Motif ini merupakan motif dari latar dari batik parang yaitu berwarna putih. Diberi nama sirep kendela, supaya masyarakat lebih memahami, karena diambil dari kata sirep yang berarti dalam bahasa jawa atap kayu. Motif sirep kendela sebenarnya tidak ada sehingga tidak mempunyai makna. c. Filosofi Warna Penyusun Dodot Parang Rusak Komposisi warna dalam dodot parang rusak tidak hanya menambah keindahan tetapi juga merupakan suatu simbol dan ungkapan filosofi. Komposisi warna tersebut yaitu warna putih, biru kehitaman dan warna coklat soga Warna-warna tersebut merupakan warna-warna alam. Bukan hanya motif yang mempunyai makna filosofis, tetapi warna dalam dodot parang juga mempunyai makna filosofis. Berdasarkan wawancara dengan KRA Budayaningrat Yusdianto (20 Mei 2013), warna coklat melambangkan masyarakat jawa yang memiliki kulit coklat sedangkan warna hitam pada batik parang rusak melambangkan kelanggengan, Kemudian untuk latar batik parang rusak yang memiliki warna putih krem yang melambangkan kesucian. Ketiga makna tersebut bisa menggambarkan bahwa seorang wanita penari Bedhaya Ketawang memang menandakan masyarakat jawa, yaitu kulitnya yang sawo matang, serta selalu mensucikan diri. 2. Dodot Alas-alasan Dodot alas-alasan termasuk dalam busana yang disakralkan, hanya dikeluarkan dan bisa dilihat setahun sekali, yaitu pada jumenengan. Elemen utama dalam dodot alas-alasan ini adalah ragam hias, ragam hias adalah salah satu hasil karya seni manusia yang dalam proses penciptaannya sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Dodot alas-alasan dalam proses pembuatannya sangat dipengaruhi oleh keadaan alam sekitar seperti flora dan fauna. Penciptaan motif pada jaman dahulu tidak hanya mencipta sesuatu yang indah dipandang

94 151 mata, tetapi menciptakan motif dengan makna dan arti yang erat dengan falsafah hidup. a. Filosofi Dodot Alas-Alasan Menurut Th Sri Mulyani (wawancara 10 Juli 2013) Dodot yang dipakai pada saat jumenengan dengan yang dipakai pada manten itu sama, dodot yang dipakai pada saat manten itu meniru dodot Bedhaya, jadi asal usul manten basahan itu dari Bedhaya, karena Kanjeng Ratu Kidul ingin memakai baju pengantin karena menurut dongeng, Raja- raja sejawa menjadi suami dari kanjeng ratu kidul. Motif alas-alasan adalah semua binatang yang ada dihutan. Batik Keraton mengambil dari unsur alam seperti burung, binatang berkaki empat, ular, bunga, kupu-kupu, bangunan. Beberapa unsur alam tersebut kalau dikelompokkan menjadi tiga bagian menurut pengertian wilayah alam. Burung, kupu-kupu dan sebagainya merupakan penguasa alam atas, tempat para dewa (tuhan), binatang berkaki empat, bunga dan sebagainya adalah menggambarkan alam tenggah merupakan tempat hidup manusia, adapun ular, perahu dan sebagainya adalah menggambarkan alam bawah yaitu tempat kehidupan yang tidak benar. Maksud dari ketiga wilayah keduniaan tersebut adalah peringatan kepada manusia, bahwa dalam hidupnya harus berbakti kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan berhati yang sumeleh dalam menjalankan hidupnya. Apabila dalam hidupnya tidak benar tentunya akan menemukan kesengsaraan pada dirinya. Maka untuk mencapai hidup yang tentram dan damai haruslah seslalu ingat pada Yang Maha Kuasa dan saling menghormati dan menghargai sesamanya sehingga tercermin manunggaling kawulo gusti ( Pujiyanto, 2010 :71-72). Wawancara KGPH Puger (29 September 2013) pola yang ada di dodot gadhung melathi dan bango tulak disebut alas-alasan. Kedua nama itu memiliki makna yang rumit, bango yaitu burung yang berleher panjang, berbulu putih, biasa ditemukan di persawahan sedangkan tulak berarti mencegah kejahatan, jadi commit bisa dimaksudkan to user bahwa dodot alas-alasan

95 152 merupakan senjata untuk menolak kejahatan, selain itu dodot gadhung melathi, berasal dari kata gadhung yaitu hijau dan melathi putih. Jadi dodot tersebut berwarna hijau dan putih. Gusti Puger menambahkan, bila dilihat hewan-hewan yang ada di kain dodot alas-alasan dapat dibedakan menjadi tiga alam, yaitu bawah, tengah dan atas, serta hewan-hewan tersebut memiliki sifat yang berbeda. Berbagai sifat hewan tersebut mengartikan kehidupan di alam ini. Manusia hidup untuk menuju ke kemakmuran dan ketentraman tentunya terdapat berbagai halangan dan rintangan Ornamen berdasarkan wilayah alam menurut Pujiyanto, alam bawah (perahu, naga (ular), binatang air lainnya) alam tengah (pohon hayat, meru, bangunan, binatang kaki empat, pusaka, binatang-binatang darat lainnya) alam atas (garuda/burung, kupu-kupu, lidah api, dampar, binatangbinatang terbang lainnya) (2010 : 51). Alas-alasan merupakan motif yang diambil dari hutan sehingga banyak hewan dan tumbuhan yang digambarkan. Motif dalam alas-alasan dibedakan menjadi tiga alam, yaitu alam atas, alam tengah dan alam bawah. Kegita alam tersebut mempunyai makna bahwa sebagai manusia harus manunggaling kawulo gusti. Harus percaya dan yakin adanya Tuhan, serta manusia hidup itu ada cobaan yang harus hihadapi.

96 153 b. Makna Simbolik Ragam Hias Dalam Busana Dodot Alas-Alasan 1) Kelompok Motif Hewan a) Motif Garuda Gambar 4.38 Motif Garuda Sesuai dengan namanya motif garuda diambil dari burung garuda. Motif garuda merupakan motif yang paling tinggi kedudukannya di antara motif lain. Motif garuda ini lebih mudah dimengerti dari motif yang lain karena memang bentuknya jelas dan mudah diterima oleh pikiran biasa. Menurut Gusti Puger (wawancara 29 September 2013) Garuda dipercaya sebagai burung dewa, kendaraan Wisnu, dan sekaligus sebagai simbol matahari. Dalam konsep dewa Raja, Raja diposisikan sebagai titisan Wisnu (dewa pemelihara), sehingga kendaraannya disejajarkan dengan kendaraan Wisnu. Simbol garuda dapat meninggikan kedudukan Raja yang berkuasa. Gruda melambangkan mahkota atau penguasa tertinggi, yaitu penguasa jagad dan isinya. Garuda adalah lambang dunia atas juga bisa disebut lambang matahari. Dari uraian diatas menunjukkan bahwa motif garuda atau gurdha mempunyai kedudukan yang sangat penting. Garuda sebagai simbol dunia atas sehingga simbol garuda ini dapat meninggikan kedudukan Raja.

97 154 b) Motif Kura-Kura Gambar 4.39 Motif Kura-Kura Menurut Gusti Puger (wawancara 29 September 2013) sesuai dengan bentuk tubuh kura kura, yang mempunyai cangkang dan berjalan lambat, maka kura-kura dipercaya sebagai lambang dunia bawah atau lambang bumi. Dengan demikian kura-kura sebagai lambang dunia bawah/bumi, selain itu motif kura-kura juga perlambang dari kehatihatian, hal itu ditujukan dari cara berjalan kura-kura yang sangat lamban. Tetapi dalam kelambanan cara jalan kura-kura, terdapat kepastian. Jadi bisa diartikan, seseorang harus bisa seperti kura-kura, lamban tetapi pasti, misalnya dalam mengambil keputusan. c) Motif Ular Gambar 4.40 Motif Ular

98 155 Menurut Gusti Puger (wawancara 29 September 2013) Ular dianggap sebagai simbol perempuan dan merupakan bagian dari konsep kesuburan, hujan, samudera, dan bulan. Sementara itu naga sebagai ular dewa merupakan lambang air dan bumi. Dalam pengertian simbol, naga melambangkan dunia bawah, air, perempuan, bumi, dan yoni. Dengan demikian ular atau naga yang penting terutama sebagai lambang kesuburan. Kesuburan disini bukan hanya kesuburan dalam arti makmur sandang-pangan yang tak habis habisnya. d) Motif Burung Gambar 4.41 Motif Burung Burung merupakan lambang dunia atas yang menggambarkan elemen hidup dari udara (angin) dan melambangkan watak luhur. Kadangkala burung menjadi lambang nenek moyang yang telah meninggal atau dipakai sebagai kendaraan roh menuju Tuhannya. Menurut Gusti Puger (wawancara 29 September 2013) Penggunaan motif burung melambangkan bahwa manusia pada akhirnya akan kembali ke asalnya, yaitu kepada Sang Pencipta. Dalam motif Indonesia burung mempunyai arti yang penting, seringkali burung itu menjadi lambang roh nenek moyang yang telah meninggal atau dipakai sebagai tunggangan roh menuju ke tuhannya. Burung juga bisa dilambangkan sebagai perdamaian. Burung atau kukila merupakan lambang martabat atau harga diri. Dari uraian diatas dapat digambarkan bahwa manusia pada akhirnya

99 156 akan kembali ke asal mulanya yaitu kepada Sang Pencipta sebagai sumber kehidupan maupun sumber kebenaran. e) Motif Ayam Jantan Gambar 4.42 Motif Ayam Jantan Menurut Gusti Puger (wawancara 29 September 2013) Di Indonesia dipandang sebagai simbol keberanian dan tanggung jawab selain itu ayam jantan juga sebagai perlambang kekuatan, kenenaran dan kesuburan. Ayam jantan juga merupakan salah satu benda-benda ampilan raja yang disebut sawunggaling yang dipuja sebagai dewa surya. Ayam juga bisa disebut sebagai hewan perlambang, misalnya saat mulai munculnya matahari, maka ayam berkokok. f) Motif Kijang Gambar commit 4.43 Motif to user Kijang

100 157 Menurut Gusti Puger (wawancara 29 September 2013) Di beberapa suku bangsa di Nusantara terdapat kepercayaan bahwa ujungujung lengkung pelangi adalah kepala kijang dengan badan bagian depan dengan 2 kakinya. Kijang dalam kebudayaan Jawa kuno menjelang masuknya Islam dipandang sebagai simbol pelangi, atau simbol tangga penghubung antara dunia manusia dan dunia dewa-dewa. di Kerajaan Yogyakarta maupun Surakarta, kijang dipakai sebagai benda upacara yang digunakan untuk menyertai Raja dengan tujuan menambah kemegahan pemiliknya. Dengan Demikian kijang merupakan lambang kelincahan dan kebijaksanaan. Kelincahan dalam berfikir dan mengambil tindakan serta keputusan. Dengan demikian sifat-sifat dari perlambang tersebut diharapkan dimiliki oleh seorang. g) Motif Gajah Gambar 4.44 Motif Gajah Secara umum simbol gajah melambangkan kekuatan dan tenaga libido. Kepercayaan masyarakat India menganggap gajah sebagai penopang dan penyangga alam semesta. Menurut Gusti Puger (wawancara 29 September 2013) Gajah merupakan kendaraan yang dinaiki oleh Raja. yang commit melambangkan to user kedudukan luhur, mengandung

101 158 arti sesuatu yang paling tinggi, paling besar, dan paling baik agar menjadi manusia sempurna. Gajah juga dipakai sebagai lambang kendaraan bagi roh orang-orang yang meninggal. Dari Pendapat diatas diambil kesimpulan gajah juga merupakan lambang titihan atau kendaraan Raja yang melambangkan kedudukan luhur, mengandung arti sesuatu yang paling tinggi, paling besar dan paling baik agar menjadi manusia sempurna. h) Motif Burung Bagau Gambar 4.45 Motif Burung Bangau Menurut Gusti Puger (wawancara 29 September 2013) Burung bangau dipercaya memiliki umur yang sangat panjang bahkan dapat mencapai ratusan tahun. Burung Bangau dianggap sebagai lambang penolakan keadaan yang tidak baik, sehingga diharapkan dapat menghindari atau menjauhi bahaya apapun, supaya pada akhirnya dapat meraih keselamatan dan berumur panjang. Menurut kepercayaan orang Jawa, umur bangau sangat panjang dan dapat sampai ratusan tahun. Kata bango tulak kemudian berubah menjadi bangun tulak. Tulak berarti mencegah marabahaya atau kejahatan. Bangau yang terbang paling dahulu dapat melihat marabahaya sehingga dipandang sebagai penjaga dengan tuah pelindung. Dengan demikian burung bangau merupakan lambang menolak keadaan commit yang to tidak user baik, sehingga dapat menghindari

102 159 atau menjauhi bahaya apapun yang akhirnya dapat meraih keselamatan dan berumur panjang. i) Motif Harimau Gambar 4.46 Motif Harimau Menurut Gusti Puger (wawancara 29 September 2013) Harimau merupakan hewan yang buas, dan dianggap sebagai Raja hutan. Di dalam pewayangan, motif harimau selain dipakai sebagai sosok binatang itu sendiri juga diterapkan sebagai motif di dalam gunungan atau kayon. Dengan demikian disebutkan bahwa harimau melambangkan keindahan yang disertai wibawa dan tangguh menghadapi lawan. 2) Kelompok Motif Tumbuhan a) Motif Pohon Hayat Gambar 4.47 commit Motif to user Pohon Hayat

103 160 Menurut Gusti Puger (wawancara 29 September 2013) Pohon hayat dapat dikaitkan dengan ungkapan umum yang dikenal dalam masyarakat Jawa yaitu sangkan paraning dumadi. Melambangkan kesatuan dan ke-esaan. Bahwa Tuhan yang menciptakan alam semesta. Ungkapan ini pada dasarnya berisi pandangan mengenai asal dan tujuan hidup manusia yang pada hakekatnya mengharapkan kebahagiaan dan ketentraman hidup di dunia dan di akhirat. Hal itu akan terwujud bila tercapai keseimbangan dan keselarasan antara kehidupan mikrokosmos dan makrokosmos agar tercapai tujuan tersebut satu satunya jalan ialah dengan cara semakin mendekatkan diri kepada penciptanya yaitu Tuhan YME. Pohon hayat merupakan ungkapan sangkan paraning dumadi yang memberikan gambaran bahwa masyarakat Jawa sebagai masyarakat religius percaya bila segala sesuatu termasuk diri manusia pada akhirnya akan kembali ke asal mulanya yaitu kepada Sang Pencipta sebagai sumber kehidupan maupun sumber kebenaran. b) Motif Meru Gambar 4.48 Motif Meru Menurut Gusti Puger (wawancara 29 September 2013) Meru melambangkan gunung atau tanah yang disebut juga bumi. Berasal dari paham indonesia kuno serta merupakan salah satu bagian dari empat

104 161 unsur hidup ( bumi, api, air, dan angin) dan sebagai lambang dari unsur bumi atau tanah. Dalam kehidupan Jawa-Hindu meru untuk melambangkan puncak gunung yang tinggi, tempat bersemayam para dewa. Motif meru merupakan simbol gunung. Menurut paham Indonesia kuno, gunung melambangkan unsur bumi atau tanah. Pada kebudayaan Jawa Hindu, puncak gunung yang tinggi merupakan tempat bersemayam para dewa. Sementara itu pada pola batik, motif meru menyimbolkan tanah atau bumi yang menggambarkan proses hidup tumbuh di atas tanah. Dari gambaran diatas diartikan bahwa meru/gunung pada hakekatnya merupakan manifestasi simbolik tentang segala sesuatu yang berkaitan erat dengan kepercayaan terhadap Tuhan YME, merupakan manifestasi pandangan hidup tentang sangkan paraning dumadi yang berkembang di dalam pola pikir masyarakat Jawa. 3) Kelompok Motif Geometris a) Motif Kawung Gambar 4.49 Motif Kawung Menurut Gusti Puger (wawancara 29 September 2013) motif kawung berbentuk geometris segi empat di dalam kebudayaan jawa, melambangkan suatu ajaran sangkan paraning dumadi atau suatu ajaran tentang kehidupan manusia yang dikaitkan dengan sedulur sekawan gangsal pancer. Dalam motif kawung ornamnenya terdari dari

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN A. Kesimpulan Dari Hasil Penelitian yang telah diuraikan dimuka, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Keraton Kasunanan Surakarta mulai dibangun pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat yang mendiami daerah tertentu mempunyai suku dan adat istiadat

I. PENDAHULUAN. masyarakat yang mendiami daerah tertentu mempunyai suku dan adat istiadat 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki keanekaragaman suku bangsa dan keanekaragaman kebudayaan yang akan menjadi modal dasar sebagai landasan pengembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makam yang merupakan tempat disemayamkannya Ngabei Loring Pasar

BAB I PENDAHULUAN. makam yang merupakan tempat disemayamkannya Ngabei Loring Pasar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Makam Kotagede atau sering disebut juga dengan Sargede adalah sebuah makam yang merupakan tempat disemayamkannya Ngabei Loring Pasar Sutawijaya, pendiri kerajaan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PARADIGMA. bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara,

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PARADIGMA. bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara, 8 II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PARADIGMA A. Tinjauan Pustaka 1. Konsep Tradisi Tradisi (bahasa latin traditio diteruskan ) atau kebiasaan, dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu

Lebih terperinci

BAB II ISI SERAT ABDI DALEM KERATON

BAB II ISI SERAT ABDI DALEM KERATON 7 BAB II ISI SERAT ABDI DALEM KERATON 2.1 Deskripsi Serat Abdi Dalem Keraton Serat Abdi Dalem Keraton terdapat di Ruang Naskah Perpustakaan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya,. Dengan kode naskah UK.14,

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Berdasarkan hasil analisis setiap gambar yang dipilih dari video mapping

BAB V PENUTUP. Berdasarkan hasil analisis setiap gambar yang dipilih dari video mapping BAB V PENUTUP 5.1 Simpulan Berdasarkan hasil analisis setiap gambar yang dipilih dari video mapping Revitalisasi Kota Tua Jakarta pembahasan yang didasarkan pemikiran yang menggunakan semiotika signifikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Kraton Surakarta merupakan bekas istana kerajaan Kasunanan Surakarta

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Kraton Surakarta merupakan bekas istana kerajaan Kasunanan Surakarta BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kraton Surakarta merupakan bekas istana kerajaan Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Kraton ini didirikan oleh Susuhunan Pakubuwono II pada tahun 1744 sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Danandjaja (dalam Maryaeni 2005) mengatakan bahwa kebudayaan daerah

BAB I PENDAHULUAN. Danandjaja (dalam Maryaeni 2005) mengatakan bahwa kebudayaan daerah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Danandjaja (dalam Maryaeni 2005) mengatakan bahwa kebudayaan daerah sebagai simbol kedaerahan yang juga merupakan kekayaan nasional memiliki arti penting

Lebih terperinci

MAKNA TARI BEDHAYA KETAWANG SEBAGAI UPAYA PENGENALAN BUDAYA JAWA DALAM PEMBELAJARAN BIPA

MAKNA TARI BEDHAYA KETAWANG SEBAGAI UPAYA PENGENALAN BUDAYA JAWA DALAM PEMBELAJARAN BIPA MAKNA TARI BEDHAYA KETAWANG SEBAGAI UPAYA PENGENALAN BUDAYA JAWA DALAM PEMBELAJARAN BIPA Nurul Hidayah Fitriyani 1, Andayani 2, Sumarlam 3 Pascasarjana Universitas Sebelas Maret 1, Dosen Universitas Sebelas

Lebih terperinci

BERBAGAI MACAM GUNUNGAN DALAM UPACARA GAREBEG (GREBEG) DI KERATON YOGYAKARTA. Theresiana Ani Larasati

BERBAGAI MACAM GUNUNGAN DALAM UPACARA GAREBEG (GREBEG) DI KERATON YOGYAKARTA. Theresiana Ani Larasati BERBAGAI MACAM GUNUNGAN DALAM UPACARA GAREBEG (GREBEG) DI KERATON YOGYAKARTA Theresiana Ani Larasati Keraton Yogyakarta setiap tahun menyelenggarakan tiga kali upacara garebeg, yaitu: Garebeg Maulud, Garebeg

Lebih terperinci

PANDANGAN MASYARAKAT TERHADAP UPACARA MERTI DESA DI DESA CANGKREP LOR KECAMATAN PURWOREJO KABUPATEN PURWOREJO

PANDANGAN MASYARAKAT TERHADAP UPACARA MERTI DESA DI DESA CANGKREP LOR KECAMATAN PURWOREJO KABUPATEN PURWOREJO PANDANGAN MASYARAKAT TERHADAP UPACARA MERTI DESA DI DESA CANGKREP LOR KECAMATAN PURWOREJO KABUPATEN PURWOREJO Oleh: Wahyu Duhito Sari program studi pendidikan bahasa dan sastra jawa Wahyu_duhito@yahoo.com

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. A. Lokasi dan Waktu Penelitian

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. A. Lokasi dan Waktu Penelitian BAB III METODOLOGI PENELITIAN 1. Tempat Penelitian A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Keraton Kasunanan Surakarta, yang beralamat Jl. Mangkubumen Sasono Mulyo Solo Kota / Pasar Kliwon.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah keberadaan kota Surakarta tidak bisa terlepas adanya keraton Surakarta yang secara proses tidak dapat terlepas pula dari kerajaan pendahulunya yakni

Lebih terperinci

FUNGSI TARI BEDHAYA KETAWANG DI KERATON SURAKARTA DALAM KONTEKS JAMAN SEKARANG

FUNGSI TARI BEDHAYA KETAWANG DI KERATON SURAKARTA DALAM KONTEKS JAMAN SEKARANG FUNGSI TARI BEDHAYA KETAWANG DI KERATON SURAKARTA DALAM KONTEKS JAMAN SEKARANG Disusun Oleh : Bunga Perdana Putrianna Febrina 0301605010 JURUSAN ANTROPOLOGI FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. ditarik kesimpulan bahwa Pesan Non Verbal dalam Upacara Adat Grebek Sekaten

BAB V PENUTUP. ditarik kesimpulan bahwa Pesan Non Verbal dalam Upacara Adat Grebek Sekaten BAB V PENUTUP 5.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan pada bab IV, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Pesan Non Verbal dalam Upacara Adat Grebek Sekaten di Kraton Yogyakarta (Studi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jenis pekerjaan, pendidikan maupun tingkat ekonominya. Adapun budaya yang di. memenuhi tuntutan kebutuhan yang makin mendesak.

BAB I PENDAHULUAN. jenis pekerjaan, pendidikan maupun tingkat ekonominya. Adapun budaya yang di. memenuhi tuntutan kebutuhan yang makin mendesak. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masyarakat Indonesia merupakan suatu masyarakat majemuk yang terdiri dari banyak suku, bangsa, adat istiadat, agama, bahasa, budaya, dan golongan atas dasar

Lebih terperinci

TARI ADI MERDANGGA SIWA NATA RAJA LINGGA

TARI ADI MERDANGGA SIWA NATA RAJA LINGGA DESKRIPSI TARI ADI MERDANGGA SIWA NATA RAJA LINGGA Produksi ISI Denpasar pada Pembukaan Pesta Kesenian Bali XXXI di Depan Banjar Kayumas Denpasar Tahun 2009 OLEH : I Gede Oka Surya Negara,SST.,M.Sn INSTITUT

Lebih terperinci

FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG PERGESERAN MAKNA TARI BEDHAYA KETAWANG DI KERATON SURAKARTA HADININGRAT DARI TAHUN 1920-2005 SKRIPSI Untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Sosial Pada Universitas Negeri Semarang Oleh Tuti Hariyani FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Syam 2007 : 13), bahwa agama adalah sebagai sistem kebudayaan. Sebagai sitem

BAB I PENDAHULUAN. (Syam 2007 : 13), bahwa agama adalah sebagai sistem kebudayaan. Sebagai sitem BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia adalah makhluk yang paling tinggi derajatnya di mata Tuhan. Dalam kehidupannya manusia memiliki kebutuhan antara lain rohani, jasmani, material, rasional,

Lebih terperinci

BAB II LOKASI PENELITIAN. pada tahun 1745 oleh Raja Paku Buwono ke II. Ditilik secara mendasar,

BAB II LOKASI PENELITIAN. pada tahun 1745 oleh Raja Paku Buwono ke II. Ditilik secara mendasar, BAB II LOKASI PENELITIAN 2. 1. Letak Keraton Surakarta Karaton Kasunanan juga disebut Keraton Surakarta Hadiningrat, dibangun pada tahun 1745 oleh Raja Paku Buwono ke II. Ditilik secara mendasar, keseluruhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara maritim yang terdiri dari pulau-pulau dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara maritim yang terdiri dari pulau-pulau dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara maritim yang terdiri dari pulau-pulau dan penduduk yang padat. Sebagaimana dalam Wikipedia (2012) bahwa Indonesia adalah negara kepulauan

Lebih terperinci

yang masih dipertahankan di suku Jawa adalah Ritual Bulan suro.

yang masih dipertahankan di suku Jawa adalah Ritual Bulan suro. BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Indonesia adalah sebagai sebuah Negara yang besar terkenal dengan keanekaragaman suku dan kebudayaan. Kepulauan Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai Merauke

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. budaya sebagai warisan dari nenek moyang. Sebagaimana disebutkan dalam pasal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. budaya sebagai warisan dari nenek moyang. Sebagaimana disebutkan dalam pasal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman budaya sebagai warisan dari nenek moyang. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 32 ayat (1) dan

Lebih terperinci

TRADISI NGABEKTEN DI KRATON YOGYAKARTA Oleh: Ernawati Purwaningsih

TRADISI NGABEKTEN DI KRATON YOGYAKARTA Oleh: Ernawati Purwaningsih TRADISI NGABEKTEN DI KRATON YOGYAKARTA Oleh: Ernawati Purwaningsih Tulisan ini merupakan uraian secara singkat dari hasil penelitian Maharkesti (alm.), seorang peneliti dari Balai Pelestarian Nilai Budaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada era modern saat ini sangat jarang terlihat rumah-rumah tradisional

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada era modern saat ini sangat jarang terlihat rumah-rumah tradisional BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada era modern saat ini sangat jarang terlihat rumah-rumah tradisional dibangun, namun cukup banyak ditemukan bangunan-bangunan yang diberi sentuhan tradisional

Lebih terperinci

ASAL MULA NAMA PANTARAN

ASAL MULA NAMA PANTARAN ASAL MULA NAMA PANTARAN Suatu daearah di kaki Lereng Gunung Merbabu sebelah timur tanahnya berbukit-bukit serta hawanya dingin. Tanahnya yang gembur sehingga subur tanaman yang ada terbentang luas menyelimuti

Lebih terperinci

Pengaruh Kepemimpinan Keraton pada Arsitektur Masjid Agung Surakarta

Pengaruh Kepemimpinan Keraton pada Arsitektur Masjid Agung Surakarta SEMINAR HERITAGE IPLBI 2017 KASUS STUDI Pengaruh Kepemimpinan Keraton pada Arsitektur Masjid Agung Surakarta Lilis Yuniati y liliss30@gmail.com Program Studi A rsitektur, Sekolah A rsitektur Perencanaan

Lebih terperinci

KAJIAN SEMIOTIK SYAIR SINDHEN BEDHAYA KETAWANG PADA NASKAH SERAT SINDHEN BEDHAYA

KAJIAN SEMIOTIK SYAIR SINDHEN BEDHAYA KETAWANG PADA NASKAH SERAT SINDHEN BEDHAYA KAJIAN SEMIOTIK SYAIR SINDHEN BEDHAYA KETAWANG PADA NASKAH SERAT SINDHEN BEDHAYA Skripsi Diajukan untuk Menempuh Ujian Sarjana Humaniora Program Strata 1 dalam Ilmu Sastra Indonesia Oleh: Fitrianna Arfiyanti

Lebih terperinci

DESKRIPSI PENTAS TARI Sebagai Pengrawit (Pendukung Karawitan)

DESKRIPSI PENTAS TARI Sebagai Pengrawit (Pendukung Karawitan) 1 Laporan Pengabdian Pada Masyarakat DESKRIPSI PENTAS TARI Sebagai Pengrawit (Pendukung Karawitan) Pentas Seni Tari Disajikan dalam Sebuah Pergelaran Seni di Bangsal Sri Manganti, Kraton Yogyakarta, 14

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kemajuan komunikasi dan pola pikir pada zaman sekarang ini

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kemajuan komunikasi dan pola pikir pada zaman sekarang ini BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemajuan komunikasi dan pola pikir pada zaman sekarang ini semakin mendukung terkikisnya nilai-nilai tradisional sebuah bangsa. Lunturnya kesadaran akan nilai budaya

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROPINSI LAMPUNG NOMOR 1 TAHUN 1971 TENTANG BENTUK LAMBANG DAERAH PROVINSI LAMPUNG

PERATURAN DAERAH PROPINSI LAMPUNG NOMOR 1 TAHUN 1971 TENTANG BENTUK LAMBANG DAERAH PROVINSI LAMPUNG PERATURAN DAERAH PROPINSI LAMPUNG NOMOR 1 TAHUN 1971 TENTANG BENTUK LAMBANG DAERAH PROVINSI LAMPUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG, Memperhatikan : 1. Surat Keputusan DPRD Provinsi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lanskap Budaya Lanskap budaya merupakan hasil interaksi antara manusia dan alam dari waktu ke waktu (Plachter dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lanskap Budaya Lanskap budaya merupakan hasil interaksi antara manusia dan alam dari waktu ke waktu (Plachter dan 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lanskap Budaya Lanskap budaya merupakan hasil interaksi antara manusia dan alam dari waktu ke waktu (Plachter dan Rossler, 1995). Lanskap budaya pada beberapa negara di dunia

Lebih terperinci

MUSEUM KARETA KARATON NGAYOGYAKARTA. Theresiana Ani Larasati

MUSEUM KARETA KARATON NGAYOGYAKARTA. Theresiana Ani Larasati MUSEUM KARETA KARATON NGAYOGYAKARTA Theresiana Ani Larasati Museum Kareta Karaton Ngayogyakarta atau Museum Kereta Keraton Yogyakarta adalah sebuah museum khusus yang berisi koleksi kereta kuda milik Keraton

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan jaman. Kesenian tradisional pada

BAB I PENDAHULUAN. tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan jaman. Kesenian tradisional pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap daerah di Indonesia memiliki beragam bentuk kesenian tradisional. Keberagaman kesenian tradisional tersebut adalah bagian dari kebudayaan setempat yang

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. 5.1 Alasan Kehadiran Rejang Sangat Dibutuhkan dalam Ritual. Pertunjukan rejang Kuningan di Kecamatan Abang bukanlah

BAB V KESIMPULAN. 5.1 Alasan Kehadiran Rejang Sangat Dibutuhkan dalam Ritual. Pertunjukan rejang Kuningan di Kecamatan Abang bukanlah BAB V KESIMPULAN 5.1 Alasan Kehadiran Rejang Sangat Dibutuhkan dalam Ritual Kuningan Pertunjukan rejang Kuningan di Kecamatan Abang bukanlah merupakan seni pertunjukan yang biasa tetapi merupakan pertunjukan

Lebih terperinci

Pengaruh Budaya Jawa-Hindu dalam Kompleks Makam Imogiri, Yogyakarta

Pengaruh Budaya Jawa-Hindu dalam Kompleks Makam Imogiri, Yogyakarta SEMINAR HERITAGE IPLBI 2017 DISKURSUS Pengaruh Budaya Jawa-Hindu dalam Kompleks Makam Imogiri, Yogyakarta Nindyasti Dilla Himaya nindy astidh@gmail.com Program Studi A rsitektur, Sekolah A rsitektur, Perencanaan

Lebih terperinci

Pandangan Masyarakat Islam di Desa Tegalsari, Kecamatan Kandeman, Kabupaten Batang terhadap Kesenian Sintren

Pandangan Masyarakat Islam di Desa Tegalsari, Kecamatan Kandeman, Kabupaten Batang terhadap Kesenian Sintren Pandangan Masyarakat Islam di Desa Tegalsari, Kecamatan Kandeman, Kabupaten Batang terhadap Kesenian Sintren Oleh : Zuliatun Ni mah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa zuliatunikmah@gmail.com

Lebih terperinci

WATU GATENG DAN WATU GILANG KOTAGEDE. Theresiana Ani Larasati

WATU GATENG DAN WATU GILANG KOTAGEDE. Theresiana Ani Larasati WATU GATENG DAN WATU GILANG KOTAGEDE Theresiana Ani Larasati Kotagede sebagai bekas ibukota kerajaan memiliki beberapa peninggalan bersejarah, di antaranya Watu Gateng dan Watu Gilang. Kedua peninggalan

Lebih terperinci

NURYANTO PROGRAM STUDI TEKNIK ARSITEKTUR-S1 DEPARTEMEN PENDIDIKAN TEKNIK ARSITEKTUR FPTK-UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

NURYANTO PROGRAM STUDI TEKNIK ARSITEKTUR-S1 DEPARTEMEN PENDIDIKAN TEKNIK ARSITEKTUR FPTK-UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA NURYANTO PROGRAM STUDI TEKNIK ARSITEKTUR-S1 DEPARTEMEN PENDIDIKAN TEKNIK ARSITEKTUR FPTK-UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2016-2017 ARSITEKTUR NUSANTARA-AT. 311 PERTEMUAN KE SEBELAS SENIN, 28 NOVEMBER

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keanekaragaman kulinernya yang sangat khas. Setiap suku bangsa di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keanekaragaman kulinernya yang sangat khas. Setiap suku bangsa di Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Surakarta selain dikenal sebagai kota batik, juga populer dengan keanekaragaman kulinernya yang sangat khas. Setiap suku bangsa di Indonesia memiliki kekhasan

Lebih terperinci

ARTIKEL TENTANG SENI TARI

ARTIKEL TENTANG SENI TARI NAMA : MAHDALENA KELAS : VII - 4 MAPEL : SBK ARTIKEL TENTANG SENI TARI A. PENGERTIAN SENI TARI Secara harfiah, istilah seni tari diartikan sebagai proses penciptaan gerak tubuh yang berirama dan diiringi

Lebih terperinci

Batik Larangan Penguasa Mataram

Batik Larangan Penguasa Mataram Batik Larangan Penguasa Mataram Solichul HA. Bakri dari berbagai sumber Latarangan Pangangggo-Rijksblad van Djokjakarta Undang-Undang Karaton Yogyakarta Tahun 1927... Abdi Ningsun kang kasebut ing nduwur,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. didapat dalam semua kebudayaan dimanapun di dunia. Unsur kebudayaan universal

BAB I PENDAHULUAN. didapat dalam semua kebudayaan dimanapun di dunia. Unsur kebudayaan universal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebudayaan merupakan suatu hal yang begitu lekat dengan masyarakat Indonesia. Pada dasarnya kebudayaan di Indonesia merupakan hasil dari kelakuan masyarakat yang sudah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keberagaman suku, agama, ras, budaya dan bahasa daerah. Indonesia memiliki

BAB I PENDAHULUAN. keberagaman suku, agama, ras, budaya dan bahasa daerah. Indonesia memiliki BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Budaya merupakan simbol peradaban. Apabila sebuah budaya luntur dan tidak lagi dipedulikan oleh sebuah bangsa, peradaban bangsa tersebut tinggal menunggu waktu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia kaya akan budaya, adat istiadat, dan tradisi yang dapat dijadikan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia kaya akan budaya, adat istiadat, dan tradisi yang dapat dijadikan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia kaya akan budaya, adat istiadat, dan tradisi yang dapat dijadikan sebagai objek wisata. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 2009 tentang

Lebih terperinci

Arsitektur Dayak Kenyah

Arsitektur Dayak Kenyah Arsitektur Dayak Kenyah Propinsi Kalimantan Timur memiliki beragam suku bangsa, demikian pula dengan corak arsitekturnya. Namun kali ini hanya akan dibahas detail satu jenis bangunan adat yaitu lamin (rumah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memberikan manfaat bagi masyarakat pada sebuah destinasi. Keberhasilan

BAB I PENDAHULUAN. memberikan manfaat bagi masyarakat pada sebuah destinasi. Keberhasilan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pariwisata adalah salah satu mesin penggerak perekonomian dunia yang terbukti mampu memberikan kontribusi terhadap kemakmuran sebuah negara. Pembangunan pariwisata mampu

Lebih terperinci

UPACARA PENDAHULUAN

UPACARA PENDAHULUAN www.ariefprawiro.co.nr UPACARA PENDAHULUAN I Pasang Tarub & Bleketepe Bleketepe adalah daun kelapa yang masih hijau dan dianyam digunakan sebagai atap atau tambahan atap rumah. Tarub yang biasanya disebut

Lebih terperinci

DESKRIPSI TARI ADI MERDANGGA SIWA NATA RAJA TEDUNG AGUNG

DESKRIPSI TARI ADI MERDANGGA SIWA NATA RAJA TEDUNG AGUNG DESKRIPSI TARI ADI MERDANGGA SIWA NATA RAJA TEDUNG AGUNG Produksi ISI Denpasar pada Pembukaan Pesta Kesenian Bali XXXII Di Depan Gedung Jaya Sabha Denpasar 12 Juni 2010 Oleh: I Gede Oka Surya Negara, SST.,M.Sn.

Lebih terperinci

PERWUJUDAN SIMBOLISME SITIHINGGIL UTARA KERATON KASUNANAN SURAKARTA HADININGRAT (Analisis pada Aspek Arsitektur Secara Makro) Rully.

PERWUJUDAN SIMBOLISME SITIHINGGIL UTARA KERATON KASUNANAN SURAKARTA HADININGRAT (Analisis pada Aspek Arsitektur Secara Makro) Rully. PERWUJUDAN SIMBOLISME SITIHINGGIL UTARA KERATON KASUNANAN SURAKARTA HADININGRAT (Analisis pada Aspek Arsitektur Secara Makro) Rully Abstrak Sitihinggil Utara (Lor) Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ada di Indonesia. Sebagai salah satu unsur keistimewaan DIY, maka pada dasarnya

BAB I PENDAHULUAN. ada di Indonesia. Sebagai salah satu unsur keistimewaan DIY, maka pada dasarnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Kraton Yogyakarta merupakan salah satu kawasan cagar budaya yang ada di Kota Yogyakarta. Keberadaan Kraton Yogyakarta itu sendiri menjadi salah satu unsur

Lebih terperinci

4. Simbol dan makna tari

4. Simbol dan makna tari 4. Simbol dan makna tari Pernahkah Anda mengalami kondisi, melihat tari dari awal sampai akhir, tetapi tidak dapat mengerti maksud dari tari yang Anda amati?. Kondisi tersebut dapat terjadi karena dua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kerajaan yang masih berjaya hingga saat ini, yaitu Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kerajaan yang masih berjaya hingga saat ini, yaitu Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Daerah Istimewa Yogyakarta adalah salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki kerajaan yang masih berjaya hingga saat ini, yaitu Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai Ronggeng Kaleran Dalam Upacara Adat Nyuguh di Kampung Adat Kuta Ciamis dapat disimpulkan sebagai

Lebih terperinci

2015 KESENIAN RONGGENG GUNUNG DI KABUPATEN CIAMIS TAHUN

2015 KESENIAN RONGGENG GUNUNG DI KABUPATEN CIAMIS TAHUN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Masyarakat Sunda Ciamis mempunyai kesenian yang khas dalam segi tarian yaitu tarian Ronggeng Gunung. Ronggeng Gunung merupakan sebuah bentuk kesenian tradisional

Lebih terperinci

pada bangunan yang berkembang pada masa Mesir kuno, Yunani dan awal abad

pada bangunan yang berkembang pada masa Mesir kuno, Yunani dan awal abad Prinsip keseimbangan yang dicapai dari penataan secara simetris, umumnya justru berkembang pada bangunan yang berkembang pada masa Mesir kuno, Yunani dan awal abad renesans. Maka fakta tersebut dapat dikaji

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi Riau adalah rumpun budaya melayu yang memiliki beragam

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi Riau adalah rumpun budaya melayu yang memiliki beragam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Provinsi Riau adalah rumpun budaya melayu yang memiliki beragam suku, yang dapat di jumpai bermacam-macam adat istiadat, tradisi, dan kesenian yang ada dan

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB IV GAMBARAN UMUM BAB IV GAMBARAN UMUM A. Gambaran Umum Lokasi 1. Kondisi Fisik Keraton Yogyakarta a. Peta Lokasi Gambar 4.1 Peta Wilayah Kecamatan Kraton Yogyakarta Sumber: Badan Pusat Statistik b. Kondisi Geografis Wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesenian sebagai salah satu unsur dari perwujudan kebudayaan bangsa,

BAB I PENDAHULUAN. Kesenian sebagai salah satu unsur dari perwujudan kebudayaan bangsa, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesenian sebagai salah satu unsur dari perwujudan kebudayaan bangsa, memiliki nilai-nilai dan prinsip-prinsip luhur yang harus di junjung tinggi keberadaannya. Nilai-nilai

Lebih terperinci

ASPEK PENDIDIKAN SPIRITUAL DALAM PROSESI INJAK TELUR PADA UPACARA PERKAWINAN ADAT JAWA

ASPEK PENDIDIKAN SPIRITUAL DALAM PROSESI INJAK TELUR PADA UPACARA PERKAWINAN ADAT JAWA ASPEK PENDIDIKAN SPIRITUAL DALAM PROSESI INJAK TELUR PADA UPACARA PERKAWINAN ADAT JAWA (Studi Kasus di Desa Palur Kecamatan Mojolaban Kabupaten Sukoharjo) NASKAH PUBLIKASI Untuk memenuhi sebagian persyaratan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ritual bersih desa Mandhasiya (yang selanjutnya disebut RBDM) merupakan ritual bersih desa yang dilaksanakan setiap tujuh bulan sekali pada Wuku Mandhasiya (terdapat

Lebih terperinci

VISUALISASI DAN MAKNA RAGAM HIAS KAIN DODOT PADA BUSANA TARI BEDHAYA KETAWANG DALAM UPACARA PENOBATAN RAJA PB XIII DI KERATON KASUNANAN SURAKARTA

VISUALISASI DAN MAKNA RAGAM HIAS KAIN DODOT PADA BUSANA TARI BEDHAYA KETAWANG DALAM UPACARA PENOBATAN RAJA PB XIII DI KERATON KASUNANAN SURAKARTA VISUALISASI DAN MAKNA RAGAM HIAS KAIN DODOT PADA BUSANA TARI BEDHAYA KETAWANG DALAM UPACARA PENOBATAN RAJA PB XIII DI KERATON KASUNANAN SURAKARTA Skripsi Oleh : Kartika Mardikaningrum K3209019 PROGRAM

Lebih terperinci

Kajian Folklor dalam Tradisi Nyadran di Desa Ketundan Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang

Kajian Folklor dalam Tradisi Nyadran di Desa Ketundan Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang Kajian Folklor dalam Tradisi Nyadran di Desa Ketundan Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang Oleh : Muhamad Arif Susanto Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa MuhamadArif347@yahoo.co.id Abstrak:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. idividu maupun sosial. secara individu, upacara pengantin akan merubah seseorang

BAB I PENDAHULUAN. idividu maupun sosial. secara individu, upacara pengantin akan merubah seseorang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Upacara pengantin merupakan kejadian yang sangat penting bagi kehidupan idividu maupun sosial. secara individu, upacara pengantin akan merubah seseorang dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Konsep diri merupakan suatu bagian yang penting dalam setiap

BAB I PENDAHULUAN. Konsep diri merupakan suatu bagian yang penting dalam setiap BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Konsep diri merupakan suatu bagian yang penting dalam setiap pembicaraan tentang kepribadian manusia. Konsep diri merupakan sifat yang unik pada manusia, sehingga

Lebih terperinci

Kain Sebagai Kebutuhan Manusia

Kain Sebagai Kebutuhan Manusia KAIN SEBAGAI KEBUTUHAN MANUSIA 1 Kain Sebagai Kebutuhan Manusia A. RINGKASAN Pada bab ini kita akan mempelajari kain sebagai kebutuhan manusia. Manusia sebagai salah satu makhluk penghuni alam semesta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Istimewa Yogyakarta, Indonesia, dikenal sebagai bangunan bersejarah yang

BAB I PENDAHULUAN. Istimewa Yogyakarta, Indonesia, dikenal sebagai bangunan bersejarah yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat berlokasi di Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia, dikenal sebagai bangunan bersejarah yang merupakan istana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Analisis nilai..., Yesy Wahyuning Tyas, FIB UI, 2009

BAB I PENDAHULUAN. Analisis nilai..., Yesy Wahyuning Tyas, FIB UI, 2009 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia-manusia dalam rangka kehidupan bermasyarakat (Koentjaraningrat, 1990: 180). Selama

Lebih terperinci

Tugas I PERANCANGAN ARSITEKTUR V

Tugas I PERANCANGAN ARSITEKTUR V Tugas I PERANCANGAN ARSITEKTUR V Buyung Hady Saputra 0551010032 FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN SURABAYA 2011 Rumah Adat Joglo 1. Rumah Joglo Merupakan rumah

Lebih terperinci

BAB II SENI TARI DAN UNSUR VISUAL

BAB II SENI TARI DAN UNSUR VISUAL BAB II SENI TARI DAN UNSUR VISUAL 2.1. Seni dan Tari 2.1.1. Pengertian Seni Seni dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991: 915) didefinisikan sebagai keahlian membuat karya yang bermutu dilihat dari segi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Posisi Astana Mangadeg terletak di lereng barat Gunung Lawu, tepatnya di Desa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Posisi Astana Mangadeg terletak di lereng barat Gunung Lawu, tepatnya di Desa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Astana Mangadeg merupakan makam keturunan Kerajaan Mangkunegaran. Posisi Astana Mangadeg terletak di lereng barat Gunung Lawu, tepatnya di Desa Girilayu Kecamatan

Lebih terperinci

Gaya Arsitektur Masjid Kasunyatan, Masjid Tertua di Banten

Gaya Arsitektur Masjid Kasunyatan, Masjid Tertua di Banten SEMINAR HERITAGE IPLBI 2017 KASUS STUDI Gaya Arsitektur Masjid Kasunyatan, Masjid Tertua di Banten Alya Nadya alya.nadya@gmail.com Arsitektur, Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tari Putri Asrini, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tari Putri Asrini, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Panjalu merupakan sebuah kecamatan yang terletak di Ciamis Utara. Secara geografis Panjalu mempunyai luas wilayah sebesar 50,60 Km² dengan jumlah penduduk 46.991

Lebih terperinci

KEBUDAYAAN SUKU BANJAR

KEBUDAYAAN SUKU BANJAR KEBUDAYAAN SUKU BANJAR 1. Batasan Membahas tentang kebudayaan suatu kelompok masyarakat merupakan bagian yang paling luas lingkupnya. Dalam tulisan ini kebudayaan dipahami sebagai sesuatu yang menunjuk

Lebih terperinci

DESKRIPSI PENTAS TARI Sebagai Pengrawit (Pendukung Karawitan)

DESKRIPSI PENTAS TARI Sebagai Pengrawit (Pendukung Karawitan) Laporan Pengabdian Pada Masyarakat DESKRIPSI PENTAS TARI Sebagai Pengrawit (Pendukung Karawitan) Pentas Seni Tari Disajikan dalam Sebuah Pergelaran Seni di STSI Surakarta, 29 April 2010 Oleh: Dr. Sutiyono

Lebih terperinci

PERSEBARAN SITUS DI KABUPATEN BANTUL DAN ANCAMAN KERUSAKANNYA 1 OLEH: RIRIN DARINI 2

PERSEBARAN SITUS DI KABUPATEN BANTUL DAN ANCAMAN KERUSAKANNYA 1 OLEH: RIRIN DARINI 2 PENDAHULUAN PERSEBARAN SITUS DI KABUPATEN BANTUL DAN ANCAMAN KERUSAKANNYA 1 OLEH: RIRIN DARINI 2 Indonesia merupakan negara yang kaya akan warisan budaya (cultural heritage), yang berasal dari berbagai

Lebih terperinci

BAB IV STUDI ANALISIS TENTANG SIMBOL. A. Simbol Menurut Masyarakat Desa. Kedungrejo, Kecamatan. Kerek,

BAB IV STUDI ANALISIS TENTANG SIMBOL. A. Simbol Menurut Masyarakat Desa. Kedungrejo, Kecamatan. Kerek, 53 BAB IV STUDI ANALISIS TENTANG SIMBOL A. Simbol Menurut Masyarakat Desa. Kedungrejo, Kecamatan. Kerek, Kabupaten. Tuban. Berdasarkan hasil wawancara dapat disimpulkan bahwa masyarakat sekitar menyebut

Lebih terperinci

BAB III HASIL PENELITIAN

BAB III HASIL PENELITIAN Nilai-nilai Pendidikan Islam Dalam Tradisi Saparan di Kaliwungu Kendal BAB III HASIL PENELITIAN A. Gambaran Lokasi Penelitian 1. Letak Geografis dan Demografi Wilayah Kaliwungu Kabupaten Kendal terletak

Lebih terperinci

ASAL MULA DESA TALAKBROTO

ASAL MULA DESA TALAKBROTO ASAL MULA DESA TALAKBROTO Pada suatu hari datanglah seorang wanita bernama Mbok Nyai (yang menurut penuturan masyarakat memang namanya adalah Mbok Nyai didapat dari para pengikutnya jika memanggilnya dan

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR : 25 TAHUN : 2017 PERATURAN BUPATI KULON PROGO NOMOR 23 TAHUN 2016 TENTANG PAKAIAN DINAS KEPALA DESA DAN PERANGKAT DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DPRD KABUPATEN PANGANDARAN NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG LAMBANG DPRD KABUPATEN PANGANDARAN

PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DPRD KABUPATEN PANGANDARAN NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG LAMBANG DPRD KABUPATEN PANGANDARAN PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DPRD KABUPATEN PANGANDARAN NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG LAMBANG DPRD KABUPATEN PANGANDARAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PIMPINAN DPRD KABUPATEN PANGANDARAN, Menimbang :

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN HIBAH BERSAING TEMA

LAPORAN AKHIR PENELITIAN HIBAH BERSAING TEMA LAPORAN AKHIR PENELITIAN HIBAH BERSAING TEMA RITUAL ADAT SEKATEN DI KRATON SURAKARTA SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN APRESIASI DAN BUDAYA MASYARAKAT DI SOLO Tahun ke 1 dari rencana 2 tahun TIM PENGUSUL Drs.

Lebih terperinci

Tradisi Membangun Arsitektur Tradisional Folajiku Sorabi, Tidore Kepulauan

Tradisi Membangun Arsitektur Tradisional Folajiku Sorabi, Tidore Kepulauan TEMU ILMIAH IPLBI 2016 Tradisi Membangun Arsitektur Tradisional, Tidore Kepulauan Sherly Asriany Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Khairun. Abstrak Kebudayaan membangun dalam arsitektur

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN. Universitas Indonesia. Kesesuaian Feng Shui..., Stephany Efflina, FIB UI, 2009

BAB IV KESIMPULAN. Universitas Indonesia. Kesesuaian Feng Shui..., Stephany Efflina, FIB UI, 2009 BAB IV KESIMPULAN Penyesuaian terjadi pada masyarakat Cina yang bermukim atau tinggal di Nusantara. Orang-orang Cina telah ada dan menetap di Nusantara sejak lama. Pada perkembangan pada masa selanjutnya,

Lebih terperinci

Oleh : Siti Masriyah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa

Oleh : Siti Masriyah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa Perubahan Cara Pandang Masyarakat Terhadap Mitos dalam Tradisi Bersih Makam Ki Hajar Welaran di Gunung Paras Desa Karangsambung Kecamatan Karangsambung Kabupaten Kebumen Oleh : Siti Masriyah Program Studi

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. dinobatkan sebagai sultan kemudian menjadi Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun

BAB V KESIMPULAN. dinobatkan sebagai sultan kemudian menjadi Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun BAB V KESIMPULAN Sri Sultan Hamengkubuwono IX naik tahta menggantikan ayahnya pada tanggal 18 Maret 1940. Sebelum diangkat menjadi penguasa di Kasultanan Yogyakarta, beliau bernama Gusti Raden Mas (GRM)

Lebih terperinci

MUSEUM AFFANDI YOGYAKARTA

MUSEUM AFFANDI YOGYAKARTA MUSEUM AFFANDI YOGYAKARTA Oleh : Theresiana Ani Larasati Objek wisata budaya yang banyak dikunjungi oleh wisatawan ketika datang di Yogyakarta adalah Museum Affandi. Museum ini mengingatkan kita pada kegigihan

Lebih terperinci

1. Abstrak. 2. Peluang bisnis. Nama ; MUKHLISON HAKIM

1. Abstrak. 2. Peluang bisnis. Nama ; MUKHLISON HAKIM Nama ; MUKHLISON HAKIM 1. Abstrak Pusat kebudayaan reog ponorogo merupakan sebuah tempat yang digunakan untuk memamerkan,melatih dalam rangka melestarikan kebudayaan reog ponorogo adapun fasilitas yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Kebudayaan Indonesia sangat beragam. Pengaruh-pengaruh kebudayaan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Kebudayaan Indonesia sangat beragam. Pengaruh-pengaruh kebudayaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebudayaan merupakan sistem nilai yang terkandung dalam sebuah masyarakat. Kebudayaan Indonesia sangat beragam. Pengaruh-pengaruh kebudayaan yang membentuk lapis-lapis

Lebih terperinci

Bab VI. KESIMPULAN dan SARAN

Bab VI. KESIMPULAN dan SARAN Bab VI KESIMPULAN dan SARAN 6.1 Kesimpulan Karakter suatu tempat berkaitan dengan adanya identitas, dimana didalamnya terdapat tiga aspek yang meliputi : aspek fisik, aspek fungsi dan aspek makna tempat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Kasunanan Surakarta merupakan sebuah kerajaan yang bercirikan keislaman. Ciri keislaman itu dapat dilihat dari adanya jabatan penghulu dan abdi dalem ngulama dalam

Lebih terperinci

OPTIMISME MASA DEPAN ABDI DALEM KERATON KASUNANAN SURAKARTA

OPTIMISME MASA DEPAN ABDI DALEM KERATON KASUNANAN SURAKARTA OPTIMISME MASA DEPAN ABDI DALEM KERATON KASUNANAN SURAKARTA SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan Dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Diajukan Oleh: HERJUNO WIKANDARU F. 100 060 021 FAKULTAS PSIKOLOGI

Lebih terperinci

DASAR-DASAR PENGETAHUAN BELAJAR KARAWITAN UNTUK ANAK SD

DASAR-DASAR PENGETAHUAN BELAJAR KARAWITAN UNTUK ANAK SD DASAR-DASAR PENGETAHUAN BELAJAR KARAWITAN UNTUK ANAK SD Tata Tertib Pelajaran Karawitan Untuk anak SD 1. Ketika datang dari kelas ke ruang gamelan siswa dilarang ribut. 2. Sebelum masuk ruang gamelan siswa

Lebih terperinci

Cerita Rakyat Goa Menganti di Desa Karangduwur Kecamatan Ayah Kabupaten Kebumen (Kajian Folklor)

Cerita Rakyat Goa Menganti di Desa Karangduwur Kecamatan Ayah Kabupaten Kebumen (Kajian Folklor) Cerita Rakyat Goa Menganti di Desa Karangduwur Kecamatan Ayah Kabupaten Kebumen (Kajian Folklor) Oleh: Rini Widiyanti Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa riniwidiyanti91@yahoo.com Abstrak:

Lebih terperinci

Asal Mula Candi Prambanan

Asal Mula Candi Prambanan Asal Mula Candi Prambanan Zaman dahulu ada sebuah kerajaan di Pengging. sang raja mempunyai seorang putera bernama Joko Bandung. Joko bandung adalah seorang pemuda perkasa, seperti halnya sang ayah, ia

Lebih terperinci

No Nama Umur Pekerjaan Alamat. 1 Yohanes 60 tahun Pensiunan Pegawai. 2 Adrianus 45 tahun Guru Agama Desa. 3 April 25 Tahun Pembuat senjata Desa

No Nama Umur Pekerjaan Alamat. 1 Yohanes 60 tahun Pensiunan Pegawai. 2 Adrianus 45 tahun Guru Agama Desa. 3 April 25 Tahun Pembuat senjata Desa Daftar Informan No Nama Umur Pekerjaan Alamat 1 Yohanes 60 tahun Pensiunan Pegawai Negeri Sipil, tokoh adat Desa Senakin 2 Adrianus 45 tahun Guru Agama Desa Senakin 3 April 25 Tahun Pembuat senjata Desa

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM TARIAN DOLALAK

BAB IV GAMBARAN UMUM TARIAN DOLALAK BAB IV GAMBARAN UMUM TARIAN DOLALAK 4.1 Sejarah Purworejo Sejak jaman dahulu wilayah Kabupaten Purworejo lebih dikenal sebagai wilayah Tanah Bagelen. Kawasan yang sangat disegani oleh wilayah lain, karena

Lebih terperinci

WALIKOTA MADIUN PROVINSI JAWA TIMUR SALINANN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 18 TAHUN 2017 TENTANG IDENTITAS DAERAH

WALIKOTA MADIUN PROVINSI JAWA TIMUR SALINANN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 18 TAHUN 2017 TENTANG IDENTITAS DAERAH WALIKOTA MADIUN PROVINSI JAWA TIMUR SALINANN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 18 TAHUN 2017 TENTANG IDENTITAS DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MADIUN, Menimbang : a. bahwa Pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia terdiri dari banyak suku yang tersebar dari Sabang sampai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia terdiri dari banyak suku yang tersebar dari Sabang sampai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia terdiri dari banyak suku yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, dengan banyak suku dan budaya yang berbeda menjadikan Indonesia sebagai bangsa

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. Berdasarkan data yang ditemukan dapat disimpulkan bahwa slentho

BAB IV PENUTUP. Berdasarkan data yang ditemukan dapat disimpulkan bahwa slentho BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan data yang ditemukan dapat disimpulkan bahwa slentho Gamelan Kyai Kancilbelik Keraton Surakarta mempunyai spesifikasi bentuk, berbeda dengan slentho yang terdapat

Lebih terperinci