DAFTAR ISI. Halaman Judul. i. Kata Pengantar ii. Daftar Isi iii. Daftar Tabel... viii. Daftar Lampiran. xi BAB I PENDAHULUAN. 1. A. Latar Belakang..

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DAFTAR ISI. Halaman Judul. i. Kata Pengantar ii. Daftar Isi iii. Daftar Tabel... viii. Daftar Lampiran. xi BAB I PENDAHULUAN. 1. A. Latar Belakang.."

Transkripsi

1

2

3 iii DAFTAR ISI Halaman Judul. i Kata Pengantar ii Daftar Isi iii Daftar Tabel... viii Daftar Lampiran. xi BAB I PENDAHULUAN. 1 A. Latar Belakang.. 1 B. Rumusan Masalah 15 C. Tujuan Penelitian 16 D. Kontribusi Penelitian. 17 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 18 A. Otonomi Daerah. 18 B. Kebijakan Pengelolaan Keuangan Daerah. 19 C. Tujuan Pengelolaan Keuangan Daerah 22 D. Pendapatan Asli Daerah. 23 E. Konsep Pertumbuhan Ekonomi. 29 BAB III METODE PENELITIAN.. 35 A. Daerah dan Waktu Penelitian 35 B. Metode Pengumpulan Data.. 35 C. Jenis dan Sumber Data 36 D. Metode Analisis 36 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 39 A. Gambaran Umum Kabupaten Kolaka 39

4 iv 1. Keadaan Geografis Sistem Pemerintahan Penduduk dan Tenaga Kerja Pendidikan Transportasi. 46 B. Potensi Ekonomi Kabupaten Kolaka Potensi Sektor Pertanian. 46 a. Potensi Sub Sektor Tanaman Bahan Pangan 47 b. Potensi Sub Sektor Perkebunan 48 c. Potensi Sub Sektor Perikanan.. 49 d. Potensi Sub Sektor Peternakan. 50 e. Potensi Sub Sektor Kehutanan Potensi Sektor Industri Potensi Sektor Pertambangan Potensi Sektor Perdagangan. 54 C. PDRB, Pertumbuhan Ekonomi, dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Kolaka Perkembangan PDRB Pertumbuhan Ekonomi Struktur Ekonomi Perkembangan Pendapatan Per Kapita Perkembangan Tingkat Inflasi 62 D. Perkembangan Pendapatan Asli Daerah Pajak Daerah Retribusi Daerah 67

5 v 3. Penerimaan Laba Pengelolaan Kekayaan Daerah Lain-lain PAD Yang Syah.. 70 E. Analisis Daya, Efektifitas, dan Elastisitas PAD Analisis Daya Pajak Daerah dan Retribusi Daerah 70 a. Analisis Daya Pajak Daerah 71 b. Analisis Daya Retribusi Daerah Analisis Efektifitas Jenis PAD. 73 a. Analisis Efektifitas Pajak Daerah 73 b. Analisis Efektifitas Retribusi Daerah 74 c. Analisis Efektifitas Penerimaan Laba BUMD.. 75 d. Analisis Efektifitas Lain2 PAD Yang Syah Analisis Elastisitas Pajak Daerah dan Retribusi Daerah 79 a. Elastisitas Pajak Daerah 79 b. Elastisitas Retribusi Daerah 81 F. Kajian Potensi Peningkatan Pajak Daerah Pajak Hotel dan Restoran Pajak Reklame Pajak Penerangan Jalan Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian C Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan PBB Pedesaan dan Perkotaan Pajak Air Permukaan.. 88 G. Kajian Potensi Peningkatan Retribusi Daerah Retribusi IMB 88

6 vi 2. Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah Retribusi Pelayanan Pasar Retribusi Izin Usaha Kehutanan Retribusi Terminal Retribusi Izin Industri dan Perdagangan Retribusi Izin Usaha Perikanan dan Kelautan Retribusi Izin Laik Menyeberang Kendaraan Bermotor di Pelabuhan Retribusi Penggunaan Jalan Bongkar Muat Kendaraan Angkutan Barang dan Dispensasi Retribusi Izin Gangguan/Keramaian Retribusi Izin Trayek Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi 105 H. Kajian Potensi Peningkatan Laba Pengelolaan Kekayaan Daerah Penerimaan Dari PDAM Penerimaan Pembagian Deviden Dari BPD Sultra. 107 I. Kajian Potensi Peningkatan Lain-Lain PAD Yang Syah Penerimaan Jasa Giro Sewa Kontrak Los Pasar Sumbangan Pihak Ketiga. 111 J. Pengaruh Struktur PDRB dan Jumlah Penduduk Terhadap Peningkatan PAD Koefisien Korelasi dan Uji Statistik F Koefisien Regresi dan Uji Statistik t. 114

7 vii BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI. 118 A. Simpulan 118 B. Rekomendasi DAFTAR PUSTAKA.. 133

8 Kajian Potensi Peningkatan PAD 1 A. Latar Belakang Tuntutan reformasi di segala bidang yang didukung oleh seluruh masyarakat Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan daerah akhirakhir ini membawa dampak terhadap hubungan keuangan antar pemerintah pusat dan daerah. Otonomi yang luas serta perimbangan keuangan yang lebih adil, proporsional dan transparan antar tingkat pemerintah menjadi salah satu tuntutan daerah dan masyarakat. Oleh karena itu, MPR sebagai wakil-wakil rakyat menjawab tuntutan tersebut dengan menghasilkan beberapa ketetapan yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah. Salah satu ketetapan MPR dimaksud adalah Ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah: Pengaturan dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Berdasarkan Ketetapan MPR tersebut pemerintah telah mengeluarkan satu paket kebijakan tentang otonomi daerah yaitu: 1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok- Pokok Pemerintahan di Daerah dan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Sekarang Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 disempurnakan menjadi Undang-undang Nomor 32 Tahun Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah sebagai pengganti Undang-Undang

9 Kajian Potensi Peningkatan PAD 2 Nomor 32 Tahun 1956 tentang Perimbangan Keuangan antara Negara dengan Daerah-Daerah yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Sekarang Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tersebut disempurnakan menjadi Undang-Undang Nomor 33 Tahun Konsekuensi dari pelaksanaan Undang-Undang Nomor 32 dan Undang-Undang 33 Tahun 2004 tersebut adalah bahwa daerah harus mampu mengembangkan otonomi daerah secara luas, nyata dan bertanggung jawab dalam rangka pemberdayaan masyarakat, lembaga ekonomi, lembaga politik, lembaga hukum, lembaga keagamaan, lembaga adat dan lembaga swadaya masyarakat serta seluruh potensi masyarakat dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di sisi lain, saat ini kemampuan keuangan beberapa Pemerintah Daerah masih sangat tergantung pada penerimaan yang berasal dari Pemerintah Pusat. Oleh karena itu bersamaan dengan semakin sulitnya keuangan negara dan pelaksanaan otonomi daerah itu sendiri, maka kepada setiap daerah dituntut harus dapat membiayai diri melalui sumber-sumber keuangan yang dikuasainya. Peranan Pemerintah Daerah dalam menggali dan mengembangkan berbagai potensi daerah sebagai sumber penerimaan daerah akan sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan tugas pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat di daerah. Pelaksanaan Undang-undang Nomor 32 dan 33 Tahun 2004 sebagai penyempurnaan dari Undang-Undang Nomor 22 dan 25 Tahun 1999 telah menyebabkan terjadi perubahan yang sangat mendasar mengenai pengaturan hubungan Pusat dan Daerah, khususnya dalam bidang administrasi pemerintahan maupun dalam hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat

10 Kajian Potensi Peningkatan PAD 3 dan Daerah, yang dalam banyak literatur disebut intergovernment fiscal relation atau dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 disebut perimbangan keuangan. Sesuai Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, daerah diberikan kewenangan untuk menyelenggarakan seluruh fungsi pemerintahan, kecuali kewenangan pemerintahan dalam bidang pertahanan keamanan, politik luar negeri, fiskal dan moneter, peradilan, agama, dan adminsitrasi pemerintahan yang bersifat strategis. Dengan pembagian kewenangan/fungsi tersebut pelaksanaan pemerintahan di daerah dilaksanakan berdasarkan asas desentralisasi, asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Implikasi langsung dari kewenangan/fungsi yang diserahkan kepada daerah sesuai Undangundang Nomor 32 Tahun 2004 adalah kebutuhan dana yang cukup besar. Untuk itu, perlu diatur hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah yang dimaksudkan untuk membiayai pelaksanaan fungsi yang menjadi kewenangannya. Dengan adanya pelimpahan wewenang kepada pemerintah daerah dengan diikuti perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, diharapkan pengelolaan dan penggunaan anggaran sesuai dengan prinsip money follows function yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun Tetapi mengingat desentralisasi di bidang administrasi juga berarti transfer personal (Pegawai Negeri Sipil) yang penggajiannya menjadi tanggung jawab daerah, prinsip money follows function atau penggunaan anggaran sesuai fungsinya, tidak mungkin berlangsung. Menurut Lewis (2001), hal ini terjadi karena Dana Alokasi Umum (DAU) yang menjadi sumber utama pendapatan

11 Kajian Potensi Peningkatan PAD 4 daerah pada umumnya sebagian besar akan digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin, sehingga anggaran untuk pembangunan menjadi kecil. Secara umum menurut Musgrave (1991), penerimaan pemerintah (termasuk pemerintah daerah) dapat bersumber dari pajak (taxes), retribusi (user charges) dan pinjaman. Hal ini secara eksplisit diatur pada pasal 5 Undang-Undang No. 33 Tahun Khusus untuk pinjaman daerah, Peraturan Pemerintah No. 107/2000 telah memuat ketentuan-ketentuan yang terkait dengan kapasitas keuangan daerah untuk meminjam. Semua pinjaman yang dilakukan oleh pemerintah daerah harus lewat (dan seizin) pemerintah pusat, baik itu pinjaman dalam negeri maupun pinjaman luar negeri. Untuk menyelenggarakan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab diperlukan kewenangan dan kemampuan menggali sumber keuangan sendiri, yang didukung oleh perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Dalam hal ini, kewenangan keuangan yang melekat pada setiap kewenangan pemerintah yang menjadi kewenangan daerah. Dalam menjamin terselenggaranya otonomi daerah yang semakin mantap, maka diperlukan usaha-usaha untuk meningkatkan kemampuan keuangan sendiri yakni dengan upaya peningkatan penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD), baik dengan meningkatkan penerimaan sumber PAD yang sudah ada maupun dengan penggalian sumber PAD yang baru sesuai dengan ketentuan yang ada serta memperhatikan kondisi dan potensi ekonomi masyarakat. Kondisi dan permasalahan yang ditemui dalam pengelolaan keuangan dan pendapatan daerah pada masing-masing daerah adalah tidak sama, karena menyangkut tersedianya sumber, tingkat kemajuan serta kemampuan

12 Kajian Potensi Peningkatan PAD 5 sumber-sumber yang ada. Dalam rangka upaya pendayagunaan aparatur, termasuk di dalamnya para pejabat dan staf yang mengelola keuangan dan pendapatan daerah, perlu diberikan peningkatan pengetahuan dan keterampilan untuk menggali potensi sumber pendapatan daerah yang ada serta mengelola administrasi keuangan daerah secara baik sehingga dapat digunakan secara efisien dalam pembangunan daerah. Salah satu wujud dari desentralisasi fiskal adalah pemberian sumbersumber penerimaan bagi daerah yang dapat digali dan digunakan sendiri sesuai dengan potensinya masing-masing. Kewenangan Daerah untuk memungut pajak dan retribusi diatur dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 ditindaklanjuti peraturan pelaksanannya dengan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah. Berdasarkan Undang-Undang dan Perturan Pemeritah tersebut, Daerah diberikan kewenangan untuk memungut 7 jenis pajak dan 10 jenis retribusi. Penetapan jenis pajak dan retribusi didasarkan pertimbangan bahwa jenis pajak dan retribusi tersebut secara umum dipungut oleh hampir semua Daerah dan merupakan jenis pungutan yang secara teoritis dan praktis adalah jenis pungutan yang baik. Selain jenis pajak dan retribusi, daerah juga diberikan kewenamgan untuk memungut jenis pajak (kecuali provinsi) dan retribusi lainnya sesuai dengan kriteria-kriteria tertentu yang ditetapkan dalam undangundang. Ditinjau dari kontribusi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, sampai saat ini distribusi kewenangan perpajakan antara Daerah dengan Pusat terjadi

13 Kajian Potensi Peningkatan PAD 6 ketimpangan yang relatif besar. Demikian pula halnya dengan Daerah, dimana terjadi ketimpangan yang sangat tinggi dan bervariasi. Peranan pajak dalam membiayai Daerah yang sangat rendah dan sangat bervariasi juga terjadi karena adanya perbedaan yang cukup besar dalam jumlah penduduk, keadaan geografis (berdampak pada biaya yang relatif mahal), dan kemampuan masyarakat. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, daerah diberi kewenangan untuk memungut 11 (sebelas) jenis Pajak, yaitu 4 (empat) jenis Pajak provinsi dan 7 (tujuh) jenis Pajak kabupaten/kota. Selain itu, kabupaten/kota juga masih diberi kewenangan untuk menetapkan jenis Pajak lain sepanjang memenuhi kriteria yang ditetapkan dalam Undang-Undang. Undang-Undang tersebut juga mengatur tarif pajak maksimum untuk kesebelas jenis Pajak tersebut. Terkait dengan Retribusi, Undang-Undang tersebut hanya mengatur prinsip-prinsip dalam menetapkan jenis Retribusi yang dapat dipungut Daerah. Baik provinsi maupun kabupaten/kota diberi kewenangan untuk menetapkan jenis Retribusi selain yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah. Selanjutnya, peraturan pemerintah menetapkan lebih rinci ketentuan mengenai objek, subjek, dan dasar pengenaan dari 11 (sebelas) jenis Pajak tersebut dan menetapkan 27 (dua puluh tujuh) jenis Retribusi yang dapat dipungut oleh Daerah serta menetapkan tarif Pajak yang seragam terhadap seluruh jenis Pajak provinsi. Hasil penerimaan Pajak dan Retribusi diakui belum memadai dan memiliki peranan yang relatif kecil terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) khususnya bagi daerah kabupaten dan kota.

14 Kajian Potensi Peningkatan PAD 7 Sebagian besar pengeluaran APBD dibiayai dana alokasi dari pusat. Dalam banyak hal, dana alokasi dari pusat tidak sepenuhnya dapat diharapkan menutup seluruh kebutuhan pengeluaran Daerah. Oleh karena itu, pemberian peluang untuk mengenakan pungutan baru yang semula diharapkan dapat meningkatkan penerimaan Daerah, dalam kenyataannya tidak banyak diharapkan dapat menutupi kekurangan kebutuhan pengeluaran tersebut. Dengan kriteria yang ditetapkan dalam Undang-Undang hampir tidak ada jenis pungutan Pajak dan Retribusi baru yang dapat dipungut oleh Daerah. Oleh karena itu, hampir semua pungutan baru yang ditetapkan oleh Daerah memberikan dampak yang kurang baik terhadap iklim investasi. Banyak pungutan Daerah yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi karena tumpang tindih dengan pungutan pusat dan merintangi arus barang dan jasa antardaerah. Untuk daerah provinsi, jenis Pajak yang ditetapkan dalam Undang- Undang tersebut telah memberikan sumbangan yang besar terhadap APBD. Namun, karena tidak adanya kewenangan provinsi dalam penetapan tarif Pajak, provinsi tidak dapat menyesuaikan penerimaan pajaknya. Dengan demikian, ketergantungan provinsi terhadap dana alokasi dari pusat masih tetap tinggi. Keadaan tersebut juga mendorong provinsi untuk mengenakan pungutan Retribusi baru yang bertentangan dengan kriteria yang ditetapkan dalam Undang-Undang. Pada dasarnya kecenderungan Daerah untuk menciptakan berbagai pungutan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan dan bertentangan dengan kepentingan umum dapat diatasi oleh Pemerintah

15 Kajian Potensi Peningkatan PAD 8 dengan melakukan pengawasan terhadap setiap Peraturan Daerah yang mengatur Pajak dan Retribusi tersebut. Undang-undang memberikan kewenangan kepada Pemerintah untuk membatalkan setiap Peraturan Daerah yang bertentangan dengan Undang-Undang dan kepentingan umum. Peraturan Daerah yang mengatur Pajak dan Retribusi dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari kerja sejak ditetapkan harus disampaikan kepada Pemerintah. Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja Pemerintah dapat membatalkan Peraturan Daerah yang mengatur Pajak dan Retribusi. Dalam kenyataannya, pengawasan terhadap Peraturan Daerah tersebut tidak dapat berjalan secara efektif. Banyak Daerah yang tidak menyampaikan Peraturan Daerah kepada Pemerintah dan beberapa Daerah masih tetap memberlakukan Peraturan Daerah yang telah dibatalkan oleh Pemerintah. Tidak efektifnya pengawasan tersebut karena Undang-Undang yang ada tidak mengatur sanksi terhadap Daerah yang melanggar ketentuan tersebut dan sistem pengawasan yang bersifat represif. Peraturan Daerah dapat langsung dilaksanakan oleh Daerah tanpa mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Pemerintah. Pengaturan kewenangan perpajakan dan retribusi yang ada saat ini kurang mendukung pelaksanaan otonomi Daerah. Pemberian kewenangan yang semakin besar kepada Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat seharusnya diikuti dengan pemberian kewenangan yang besar pula dalam perpajakan dan retribusi. Basis pajak kabupaten dan kota yang sangat terbatas dan tidak adanya kewenangan

16 Kajian Potensi Peningkatan PAD 9 provinsi dalam penetapan tarif pajaknya mengakibatkan Daerah selalu mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pengeluarannya. Ketergantungan Daerah yang sangat besar terhadap dana perimbangan dari pusat dalam banyak hal kurang mencerminkan akuntabilitas Daerah. Pemerintah Daerah tidak terdorong untuk mengalokasikan anggaran secara efisien dan masyarakat setempat tidak ingin mengontrol anggaran Daerah karena merasa tidak dibebani dengan Pajak dan Retribusi. Untuk meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan otonomi daerah, Pemerintah Daerah seharusnya diberi kewenangan yang lebih besar dalam perpajakan dan retribusi. Berkaitan dengan pemberian kewenangan tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, perluasan kewenangan perpajakan dan retribusi tersebut dilakukan dengan memperluas basis pajak Daerah dan memberikan kewenangan kepada Daerah dalam penetapan tarif. Perluasan basis pajak tersebut dilakukan sesuai dengan prinsip pajak yang baik. Pajak dan Retribusi tidak menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan/atau menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antardaerah dan kegiatan ekspor-impor. Pungutan seperti Retribusi atas izin masuk kota, Retribusi atas pengeluaran/pengiriman barang dari suatu daerah ke daerah lain dan pungutan atas kegiatan ekspor-impor tidak dapat dijadikan sebagai objek Pajak atau Retribusi. Berdasarkan pertimbangan tersebut perluasan basis pajak Daerah dilakukan dengan memperluas basis pajak yang

17 Kajian Potensi Peningkatan PAD 10 sudah ada, mendaerahkan pajak pusat dan menambah jenis Pajak baru. Perluasan basis pajak yang sudah ada dilakukan untuk Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor diperluas hingga mencakup kendaraan Pemerintah, Pajak Hotel diperluas hingga mencakup seluruh persewaan di hotel, Pajak Restoran diperluas hingga mencakup pelayanan katering. Ada 4 (empat) jenis Pajak baru bagi Daerah, yaitu Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang sebelumnya merupakan pajak pusat dan Pajak Sarang Burung Walet sebagai Pajak kabupaten/kota serta Pajak Rokok yang merupakan Pajak baru bagi provinsi. Selain perluasan pajak, dalam Undang-Undang ini juga dilakukan perluasan terhadap beberapa objek Retribusi dan penambahan jenis Retribusi. Retribusi Izin Gangguan diperluas hingga mencakup pengawasan dan pengendalian kegiatan usaha secara terus-menerus untuk mencegah terjadinya gangguan ketertiban, keselamatan, atau kesehatan umum, memelihara ketertiban lingkungan dan memenuhi norma keselamatan dan kesehatan kerja. Terdapat 4 (empat) jenis Retribusi baru bagi Daerah, yaitu Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang, Retribusi Pelayanan Pendidikan, Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi, dan Retribusi Izin Usaha Perikanan. Berkaitan dengan pemberian kewenangan dalam penetapan tarif untuk menghindari penetapan tarif pajak yang tinggi yang dapat menambah beban bagi masyarakat secara berlebihan, Daerah hanya diberi kewenangan untuk menetapkan tarif pajak dalam batas maksimum yang ditetapkan dalam

18 Kajian Potensi Peningkatan PAD 11 Undang-Undang ini. Selain itu, untuk menghindari perang tarif pajak antardaerah untuk objek pajak yang mudah bergerak, seperti kendaraan bermotor, dalam Undang-Undang ini ditetapkan juga tarif minimum untuk Pajak Kendaraan Bermotor. Pengaturan tarif demikian diperkirakan juga masih memberikan peluang bagi masyarakat untuk memindahkan kendaraannya ke daerah lain yang beban pajaknya lebih rendah. Oleh karena itu, dalam Undang-Undang ini Nilai Jual Kendaraan Bermotor sebagai dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor masih ditetapkan seragam secara nasional. Namun, sejalan dengan tuntutan masyarakat terhadap pelayanan yang lebih baik sesuai dengan beban pajak yang ditanggungnya dan pertimbangan tertentu, Menteri Dalam Negeri dapat menyerahkan kewenangan penetapan Nilai Jual Kendaraan Bermotor kepada Daerah. Selain itu, kebijakan tarif Pajak Kendaraan Bermotor juga diarahkan untuk mengurangi tingkat kemacetan di daerah perkotaan dengan memberikan kewenangan Daerah untuk menerapkan tarif pajak progresif untuk kepemilikan kendaraan kedua dan seterusnya. Khusus untuk Pajak Rokok, dasar pengenaannya adalah cukai rokok. Tarif Pajak Rokok ditetapkan secara definitif di dalam Undang-Undang ini, agar Pemerintah dapat menjaga keseimbangan antara beban cukai yang harus dipikul oleh industri rokok dengan kebutuhan fiskal nasional dan Daerah melalui penetapan tarif cukai nasional. Untuk meningkatkan akuntabilitas pengenaan pungutan, dalam Undang-Undang ini sebagian hasil penerimaan Pajak dialokasikan untuk

19 Kajian Potensi Peningkatan PAD 12 membiayai kegiatan yang berkaitan dengan Pajak tersebut. Pajak Penerangan Jalan sebagian dialokasikan untuk membiayai penerangan jalan, Pajak Kendaraan Bermotor sebagian dialokasikan untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum, dan Pajak Rokok sebagian dialokasikan untuk membiayai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum. Dengan perluasan basis pajak dan retribusi yang disertai dengan pemberian kewenangan dalam penetapan tarif tersebut, jenis pajak yang dapat dipungut oleh Daerah hanya yang ditetapkan dalam Undang-Undang. Untuk Retribusi, dengan peraturan pemerintah masih dibuka peluang untuk dapat menambah jenis Retribusi selain yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang ini sepanjang memenuhi kriteria yang juga ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Adanya peluang untuk menambah jenis Retribusi dengan peraturan pemerintah juga dimaksudkan untuk mengantisipasi penyerahan fungsi pelayanan dan perizinan dari Pemerintah kepada Daerah yang juga diatur dengan peraturan pemerintah. Selanjutnya, untuk meningkatkan efektivitas pengawasan pungutan Daerah, mekanisme pengawasan diubah dari represif menjadi preventif. Setiap Peraturan Daerah tentang Pajak dan Retribusi sebelum dilaksanakan harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Pemerintah. Selain itu, terhadap Daerah yang menetapkan kebijakan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi akan dikenakan sanksi berupa penundaan dan/atau pemotongan dana alokasi umum dan/atau dana bagi hasil atau restitusi.

20 Kajian Potensi Peningkatan PAD 13 Dengan diberlakukannya Undang-Undang ini, kemampuan Daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya semakin besar karena Daerah dapat dengan mudah menyesuaikan pendapatannya sejalan dengan adanya peningkatan basis pajak daerah dan diskresi dalam penetapan tarif. Di pihak lain, dengan tidak memberikan kewenangan kepada Daerah untuk menetapkan jenis pajak dan retribusi baru akan memberikan kepastian bagi masyarakat dan dunia usaha yang pada gilirannya diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Selain pajak daerah dan resribusi daerah, bagian laba perusahaan milik daerah (BUMD) merupakan salah satu sumber yang cukup potensial untuk dikembangkan. Beberapa kendala yang dihadapi oleh perusahaan milik daerah seperti kelemahan manajemen, masalah kepegawaian, terlalu banyak campur tangan pejabat daerah, dan sebagainya, telah menyebabkan kebanyakan perusahaan daerah berjalan tidak efisien. Dengan demikian kebanyakan mereka mengalami kerugian dan menjadi beban APBD. Menurut Elmi (2002) terdapat beberapa hal sebagai penyebab kurang berhasilnya perusahaan daerah memberikan kontribusi dalam PAD, yaitu disebabkan karena (1) kurang tegas dalam menetapkan visi, misi dan objektif perusahaan, sehingga secara tepat sasaran dapat dipilih jenis usaha yang menguntungkan pada skala usaha yang sesuai; (2) kualitas sumber daya manusia yang rendah, recruitment dan placement pegawai yang tidak benar, dan ada campur tangan birokrat daerah dengan urusan bisnis perusahaan

21 Kajian Potensi Peningkatan PAD 14 daerah telah menyebabkan biaya tinggi atau inefisiensi, sehingga perusahaan lebih sering merugi. Ditinjau dari sisi penerimaan, kemampuan pemerintah daerah dalam meningkatkan penerimaan daerah secara berkesinambungan masih lemah. Masalah yang seringkali muncul adalah rendahnya kemampuan pemerintah daerah untuk menghasilkan prediksi penerimaan daerah yang akurat dan jujur. Sedangkan di sisi pengeluaran, metode penentuan prioritas dan besarnya alokasi dana untuk setiap kegiatan pemerintah daerah masih belum baik. Pemerintah daerah umumnya belum melakukan identifikasi kegiatan yang menjadi prioritas kebutuhan daerahnya sendiri, tetapi lebih banyak menyesuaikan dengan arahan prioritas kebijakan pemerintah pusat. Situasi tersebut menyebabkan banyak layanan publik yang dijalankan secara tidak efisien dan kurang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan publik, sementara dana pada anggran daerah yang pada dasarnya merupakan dana publik, habih dibealanjakan seluruhnya. Pada akhirnya, kondisi seperti itu akan menurunkan kapabilitas dan efektivitas pemerintah daerah dalam mendorong proses peningkatan taraf hidup masyarakat secara berkesinambungan. Selanjutnya, berkaitan dengan hakekat otonomi daerah yaitu berupa pelimpahan wewenang pengambilan keputusan kebijakan, pengelolaan dana publik dan pengaturan kegiatan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat, maka peranan data keuangan daerah sangat dibutuhkan untuk mengidentifikasikan sumber-sumber pembiayaan daerah serta jenis dan besar belanja yang harus dikeluarkan agar perencanaan

22 Kajian Potensi Peningkatan PAD 15 keuangan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Data keuangan daerah yang memberikan gambaran statistik perkembangan anggaran dan realisasi, baik penerimaan maupun pengeluaran dan analisa terhadapnya merupakan informasi yang penting terutama untuk membuat kebijakan dalam pengelolaan keuangan daerah dan melihat kemampuan atau tingkat kemandirian daerah. B. Rumusan Masalah Sebagaimana diuraikan pada latar belakang di atas, bahwa otonomi daerah adalah pemberian wewenang yang lebih luas kepada daerah dalam mengatur, dan mengelola rumah tangganya sendiri. Berkaitan dengan hal tersebut, peranan pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah sangat menentukan berhasil tidaknya menciptakan kemandirian yang selalu didambakan selama ini. Ciri utama yang menunjukkan suatu daerah otonom mampu berotonomi terletak pada kemampuan keuangan daerah untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerahnya dengan tingkat ketergantungan kepada pemerintah pusat mempunyai proporsi yang semakin kecil dan diharapkan bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) harus menjadi bagian terbesar dalam memobilisasi dana penyelenggaraan pemerintahan daerah. Oleh karena itu sudah sewajarnya bila PAD dijadikan salah satu tolak ukur dalam pelaksanaan otonomi daerah. Adapun masalah pokok dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Berapa besar indeks daya pajak daerah terhadap pertumbuhan ekonomi ekonomi Kabupaten Kolaka

23 Kajian Potensi Peningkatan PAD Berapa besar indeks daya retribusi daerah terhadap pertumbuhan ekonomi yang dicerminkan dalam Produk Domestik Regional Bruto 3. Sejauh mana tingkat efektifitas antara realisasi dan target penerimaan pajak daerah, retribusi daerah, laba BUMD, dan Lain-lain PAD yang Syah. 4. Berapa besar tingkat elastisitas perubahan pajak daerah dan retribusi daerah dari perubahan Produk Domestik Regional Bruto 5. Apakah sektor pertanian, sektor industri dan pertambangan, sektor jasa, dan jumlah penduduk berpengaruh positif dan signifikan terhadap peningkatan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Kolaka 6. Bagaimana potensi jenis PAD yang baru setelah belakunya UU No.28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah C. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk: 1. Untuk mengetahui potensi indeks daya pajak daerah sebagai akibat pertumbuhan ekonomi 2. Untuk mengetahui potensi indeks daya retribusi daerah sebagai akibat pertumbuhan ekonomi 3. Untuk mengetahui tingkat efektifitas pemungutan pajak daerah, retribusi daerah, laba BUMD, dan lain-lain PAD yang Syah 4. Untuk mengetahui tingkat elastisitas perubahan pajak daerah dan retribusi daerah sebagai akibat dari perubahan PDRB 5. Untuk mengetahui pengaruh sektor pertanian, sektor industri dan pertambangan, sektor jasa, dan jumlah penduduk terhadap peningkatan PAD.

24 Kajian Potensi Peningkatan PAD Untuk mengetahui potensi jenis PAD yang baru setelah berlakunya UU Nomor 28 tahun D. Kontribusi Penelitian Kontribusi yang diharapkan dari hasil penelitian yang akan dilakukan adalah: 1. Sebagai bahan informasi dan masukan kepada pemerintah Kabupaten Kolaka dalam merumuskan kebijakan dan mencari solusi yang efektif terhadap pengelolaan pendapatan asli daerah Kabupaten Kolaka, utamanya dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. 2. Dapat dijadikan indikator untuk mengevaluasi keberhasilan dan kegagalan terhadap pengelolaan pendapatan asli daerah yang diterapkan di Kabupaten Kolaka.

25 Kajian Potensi Peningkatan PAD 18 A. Otonomi Daerah Tujuan otonomi daerah menurut Smith (1985) dalam Analisa CSIS yang dikemukakan oleh Syarif Hidayat dibedakan dari dua sisi kepentingan, yaitu kepentingan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dari kepentingan Pemerintah Pusat tujuan utamanya adalah pendidikan politik, pelatihan kepemimpinan, menciptakan stabilitas politik dan mewujudkan demokratisasi sistem pemerintahan di daerah. Sementara, bila dilihat dari sisi kepentingan Pemerintah Daerah ada tiga tujuan yaitu : 1. Untuk mewujudkan apa yang disebut sebagai political equality, artinya melalui otonomi daerah diharapkan akan lebih membuka kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas politik di tingkat lokal atau daerah. 2. Untuk menciptakan local accountability, artinya dengan otonomi akan meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam memperhatikan hakhak masyarakat. 3. Untuk mewujudkan local responsiveness, artinya dengan otonomi daerah diharapkan akan mempermudah antisipasi terhadap berbagai masalah yang muncul dan sekaligus meningkatkan akselerasi pembangunan sosial dan ekonomi daerah. Selanjutnya jika dilihat dari tujuan otonomi daerah menurut Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004, pada dasarnya adalah sama yaitu otonomi daerah diarahkan untuk memacu pemerataan pembangunan dan hasil-

26 Kajian Potensi Peningkatan PAD 19 hasilnya, meningkatkan kesehajteraan rakyat, menggalakkan prakarsa dan peran serta aktif masyarakat serta peningkatan pendayagunaan potensi daerah secara optimal dan terpadu secara nyata, dinamis dan bertanggung jawab sehingga memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa, mengurangi beban pemerintah pusat dan campur tangan di daerah yang akan memberikan peluang untuk koordinasi tingkat lokal. Otonomi daerah dapat berarti nyata dan dinamis. Nyata berarti pemberian otonomi pada daerah didasarkan pada faktor-faktor perhitungan, tindakan dan kebijaksanaan yang benar-benar menjamin daerah yang bersangkutan dapat mengurus rumah tangganya sendiri. Sedangkan dinamis didasarkan pada kondisi dan perkembangan pembangunan dan bertanggung jawab adalah pemberian otonomi yang diupayakan untuk memperlancar pembangunan di pelosok tanah air. Uraian di atas merupakan tujuan ideal dari otonomi daerah. Pencapaian tujuan tersebut tentunya tergantung dari kesiapan masing-masing daerah yang menyangkut ketersediaan sumber daya atau potensi daerah, terutama adalah sumber daya manusia yang tentunya akan berperan dan berfungsi sebagai motor penggerak jalannya pemerintahan daerah. B. Kebijaksanaan Pengelolaan Keuangan Daerah Kebijaksanaan umum pengelolaan keuangan daerah disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta potensi daerah dengan berpedoman pada Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 sebagai penyempurnaan dari Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan Undang- Undang No. 33 Tahun 2004 juga sebagai penyempurnaan Undang-Undang

27 Kajian Potensi Peningkatan PAD 20 Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. Berdasarkan peraturan peundang-undangan tersebut, maka dapat dikemukakan bahwa kebijakan umum pengelolaan keuangan daerah antara lain sebagai berikut : 1. Dalam mengalokasikan anggaran baik anggaran aparatur maupun anggaran publik senantiasa berpegang pada prinsip-prinsip anggaran berimbang dan dinamis serta efisien dan efektif dalam meningkatkan produktifitas. 2. Anggaran aparatur diarahkan untuk menunjang kelancaran tugas pemerintahan dan pembangunan. 3. Anggaran publik diarahkan untuk meningkatkan sektor-sektor secara berkesinambungan dalam mendukung penyempurnaan maupun memperbaiki sarana dan prasarana yang dapat menunjang peningkatan pembangunan dan kemsyarakatan dengan memperhatikan skala prioritas. Pada dasarnya pengelolaan keuangan daerah menyangkut tiga bidang analisis yang saling terkait satu dengan lainnya. Ketiga aspek tersebut meliputi: 1. Analisis Penerimaan, yaitu analisis mengenai kemampuan pemerintah daerah dalam menggali sumber-sumber pendapatan yang potensial dan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk meningkatkan pendapatan tersebut.

28 Kajian Potensi Peningkatan PAD Analisis Pengeluaran, yaitu analisis mengenai seberapa besar biaya-biaya dari suatu pelayanan publik dan faktor-faktor yang menyebabkan biayabiaya tersebut meningkat. 3. Analisis Anggaran, yaitu analisis mengenai hubungan antara pendapatan dan pengeluaran serta kecenderungan yang diproyeksikan untuk masa depan. Hasil analisis pendapatan dan pengeluaran merupakan komponen dalam menganalisis keuangan daerah. Jika pendapatan lebih besar daripada pengeluaran, akan terjadi surplus anggaran dan jika pengeluaran lebih besar daripada pendapatan akan terjadi defisit anggaran. Dalam hal ini perlu diperhatikan bagaimanan kondisi keuangan yang ada pada tahun sekarang dan kecenderungannnya untuk masa yang akan datang, sehingga pola surplus dan defisit anggaran dapat diprediksikan. Disamping itu, stabilitas anggaran dari tahun ke tahun juga perlu diperhatikan. Dilihat dari sisi pendapatan, keuangan daerah yang berhasil adalah keuangan daerah yang mampu meningkatkan penerimaan daerah secara berkesinambungan seiring dengan perkembangan perekonomian tanpa mempermarosk alokasi faktor-faktor produksi dan keadilan serta dengan sejumlah biaya administrasi tertentu. Dalam rangka membicarakan kebutuhan pembiayaan dalam penyelenggaraan tugas Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang dibiayai dari dan atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), maka yang pertama harus diperhatikan adalah seberapa besar pendapatan yang diterima oleh suatu daerah. Dengan

29 Kajian Potensi Peningkatan PAD 22 diketahuinya total penerimaan yang diperkirakan dalam satu tahun anggaran, maka setelah dibandingkan dengan kebutuhan pembiayaan dalam tahun yang bersangkutan akan dapat terlihat apakah anggaran yang tersedia dapat menutupi kebutuhan pembiayaan (belanja) atau tidak. Apabila ternyata rencana kebutuhan belanja lebih besar dari rencana penerimaan daerah, maka daerah harus berupaya menutupi kekurangan (defisit) yang terjadi. C. Tujuan Pengelolaan Keuangan Daerah Tujuan utama pengelolaan keuangan pemerintah daerah menurut Igusti Ayu Rima (2001:88) adalah : 1. Tanggung Jawab Tanggung jawab mempunyai arti bahwa, pemerintah daerah harus mempertanggungjawabkan tugas keuangannya kepada lembaga atau orang yang berkepentingan yang sah. Lembaga atau orang itu termasuk pemerintah pusat, DPRD, kepala daerah dan masyarakat umum. Adapun unsur-unsur penting dalam tanggung jawab mencakup keabsahan (setiap transaksi keuangan harus berpangkap pada wewenang hukum tertentu) dan pengawasan (tata cara yang efektif untuk menjaga kekayaan uang dan barang, mencegah penyelewengan, dan memastikan semua pendapatan yang sah benar-benar terpungut, jelas sumbernya dan tepat penggunaannya). 2. Mampu memenuhi kewajiban keuangan Ini berarti bahwa, keuangan daerah harus ditata sedemikian rupa sehingga mampu melunasi semua ikatan keuangan, jangka pendek dan jangka panjang (termasuk pinjaman jangka panjang).

30 Kajian Potensi Peningkatan PAD Kejujuran Semua urusan keuangan harus diserahkan kepada pegawai yang jujur, dan kesempatan untuk berbuat curang diperkecil. 4. Hasil guna dan kegiatan bunga Tata cara mengurus keuangan daerah harus sedemikian rupa sehingga memungkinkan program dapat direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan pemerintah daerah dengan biaya serendahrendahnya dan dalam waktu secepat-cepatnya. 5. Pengendalian Petugas keuangan pemerintah daerah, DPRD dan petugas pengawas harus melakukan pengendalian agar semua tujuan tersebut di atas tercapai. Dalam hal ini, mereka harus mengusahakan agar selalu mendapat informasi yang diperlukan untuk memantau pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran, untuk kemudian dibandingkan dengan rencana dan sasaran. D. Pendapatan Asli Daerah Berbicara mengenai sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD), tidak dapat dipisahkan dari pendapatan daerah secara keseluruhan. Menurut Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, sumber pendapatan daerah terdiri atas : 1. Pendapatan Asli Daerah, yaitu : a. Hasil Pajak Daerah b. Hasil Retribusi Daerah c. Hasil Perusahaan Milik Daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah

31 Kajian Potensi Peningkatan PAD 24 d. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah 2. Dana Perimbangan 3. Pinjaman Daerah 4. Lain-lain pendapatan daerah yang sah. Dari penggolongan di atas dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk meningkatkan kemandirian daerah, pemerintah daerah haruslah berupaya secara terus menerus menggali dan meningkatkan sumber keuangannya sendiri. Salah satu masalah yang dihadapi dalam upaya peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah kelemahan dalam hal pengukuran/penilaian atas pungutan daerah. Untuk mendukung upaya peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) perlu diadakan pengukuran/penilaian sumber-sumber PAD agar dapat dipungut secara berkesinambungan tanpa mempermarosk alokasi faktor-faktor produksi dan keadilan. Ada beberapa indikator yang biasa digunakan untuk menilai Pajak dan Retribusi Daerah, yaitu : 1. Hasil (Yield), yaitu memadai tidaknya hasil suatu pajak dalam kaitannya dengan berbagai layanan yang dibiayainya; stabilitas dan mudah tidaknya memperkirakan besarnya hasil pajak tersebut; perbandingan hasil pajak

32 Kajian Potensi Peningkatan PAD 25 dengan biaya pungut, dan elastisitas hasil pajak terhadap inflasi, pertambahan penduduk, pertambahan pendapatan dan sebagainya. 2. Keadilan (Equity). Dalam hal ini dasar pajak dan kewajiban membayarnya harus jelas dan tidak sewenang-wenang; pajak harus adil secara horizontal, artinya beban pajak harus sama antara berbagai kelompok yang berbeda tetapi dengan kedudukan ekonomi yang sama; adil secara vertikal artinya beban pajak harus lebih banyak ditanggung oleh kelompok yang memiliki sumber daya yang lebih besar; dan pajak/retribusi haruslah adil dari suatu daerah ke daerah lain, kecuali memang suatu daerah mampu memberikan fasilitas pelayanan sosial yang lebih tinggi. 3. Efisiensi ekonomi. Pajak/Retribusi Daerah hendaknya mendorong atau setidak-tidaknya tidak menghambat penggunaan sumber daya secara efisien dan efektif dalam kehidupan ekonomi, mencegah jangan sampai pilihan konsumen dan pilihan produsen menjadi salah arah atau orang menjadi segan bekerja atau menabung; dan memperkecil beban lebih pajak. 4. Kemampuan melaksanakan (Ability to implement). Dalam hal ini suatu pajak haruslah dapat dilaksanakan, baik dari aspek politik maupun administrtif. 5. Kecocokan sebagai sumber penerimaan daerah (Suitability as local revenue source). Ini berarti, haruslah jelas kepada daerah mana suatu pajak harus dibayarkan, dan tempat memungut pajak sedapat mungkin sama dengan tempat akhir beban pajak; pajak tidak mudah dihindari, dengan cara memindahkan objek pajak dari suatu daerah ke daerah lain;

33 Kajian Potensi Peningkatan PAD 26 pajak daerah hendaknya jangan mempertajam perbedaan-perbedaan antara daerah dari segi potensi ekonomi masing-masing, dan pajak hendaknya tidak menimbulkan beban yang lebih besar dari kemampuan tata usaha pajak daerah. Potensi Pendapatan Asli Daerah adalah kekuatan yang ada di suatu daerah untuk menghasilkan sejumlah penerimaan PAD. Untuk mengetahui potensi sumber-sumber PAD dibutuhkan pengetahuan tentang analisis perkembangan beberapa variabel yang dapat dikendalikan (yaitu variabelvariabel ekonomi) yang dapat mempengaruhi kekuatan sumber-sumber penerimaan PAD. Beberapa variabel yang perlu dianalisa untuk mengetahui potensi sumber-sumber PAD adalah : 1. Kondisi awal suatu daerah. Keadaan struktur ekonomi dan sosial suatu daerah sangatlah menentukan, diantaranya adalah sebagai berikut : a. Besar kecilnya keinginan pemerintah daerah untuk menetapkan pungutan. Hal ini disebabkan karena struktur ekonomi dan sosial suatu masyarakat menentukan tinggi rendahnya tuntutan akan adanya pelayanan publik dalam kuantitas dan kualitas tertentu. Pada masyarakat agraris (berbasis pertanian) misalnya, tuntutan akan ketersediaan fasilitas pelayanan publik dalam kuantitas dan kualitas tertentu akan lebih rendah daripada tuntutan yang ada di masyarakat agraris, pemerintah tidak akan terpacu untuk menarik pungutanpungutan dari masyarakat, sementara dalam masyarakat industri

34 Kajian Potensi Peningkatan PAD 27 pemerintah akan terpacu untuk menarik pungutan-pungutan untuk memenuhi tuntutan akan ketersediaan fasilitas pelayanan publik. b. Kemampuan masyarakat untuk membayar segala pungutan-pungutan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah. Karena perbedaan pada struktur ekonomi dan sosialnya, kemampuan membayar segala pungutan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah akan lebih tinggi di masyarakat industri daripada masyarakat agraris. 2. Peningkatan cakupan atau ekstensifikasi dan intensifikasi penerimaan PAD. Kegiatan ini merupakan upaya memperluas cakupan penerimaan PAD. Ada tiga hal penting yang harus diperhatikan dalam usaha peningkatan cakupan ini, yaitu: 1. Menambah objek dan subjek pajak dan atau retribusi. Peningkatan cakupan Pendapatan Asli Daerah dapat dilakukan dengan meningkatkan jumlah objek dan subjek pajak dan atau retribusi daerah. 2. Meningkatkan besarnya penetapan. Dalam penelitian potensi Pendapatan Asli Daerah, perlu dipertimbangkan kemungkinan adanya kesenjangan yang disebabkan data potensi tidak tersedia dengan akurat sehingga besarnya penetapan pajak atau retribusi belum sesuai dengan potensi yang sebenarnya. Untuk meningkatkan cakupan, perlu dideteksi kemungkinan adanya kebocoran dan mengevaluasi kembali besarnya penetapan serta estimasi terhadap besarnya potensi. Sistem dan prosedur pemungutan perlu dipelajari dengan seksama, bila perlu dengan bantuan auditor yang berpengalaman.

35 Kajian Potensi Peningkatan PAD Mengurangi tunggakan. Peningkatan cakupan dapat dilakukan dengan mengurangi besarnya tunggakan. Perlu dilakukan pemeriksaan terhadap tunggakan rekening, kemudian diambil langkah-langkah konkrit untuk mengurangi tunggakan yang ada maupun mencegah terjadinya tunggakan baru. Hal ini perlu didukung dengan adanya administrasi tunggakan yang lengkap dan rapi. 3. Perkembangan PDRB Per Kapita Riil Semakin tinggi pendapatan seseorang, maka akan semakin tinggi pula kemampuan seseorang untuk membayar (ability to pay) berbagai pungutan yang ditetapkan oleh pemerintah. Dengan logika yang sama, pada tingkat distribusi pendapatan tertentu yang tetap, semakin tinggi PDRB per kapita riil suatu daerah, semakin besar pula kemampuan masyarakat daerah tersebut untuk membiayai pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan pemerintahnya. Dengan kata lain, semakin tinggi PDRB per kapita riil suatu daerah, semakin besar pula potensi sumber penerimaan daerah tersebut. 4. Pertumbuhan penduduk. Besarnya pendapatan dapat dipengaruhi oleh jumlah penduduk. Jika jumlah penduduk meningkat, maka pendapatan yang dapat ditarik akan meningkat. Tetapi pertumbuhan penduduk mungkin tidak mempengaruhi pertumbuhan pendapatan secara proporsional. 5. Tingkat inflasi. Inflasi akan meningkatkan penerimaan PAD yang penetapannya didasarkan pada omzet penjualan, misalnya pajak hotel, pajak restoran.

36 Kajian Potensi Peningkatan PAD 29 Untuk pajak atau retribusi yang penetapannya didasarkan pada tarif secara flat, maka inflasi diperlukan dalam pertimbangan perubahan tarif. 6. Penyesuaian Tarif. Peningkatan pendapatan sangat tergantung pada kebijakan penyesuaian tarif. Untuk pajak atau retribusi yang tarifnya ditentukan secara tetap (flat), maka dalam penyesuaian tarif perlu mempertimbangkan laju inflasi. Kegagalan untuk menyesuaikan tarif dengan laju inflasi akan menghambat peningkatan PAD. Dalam rangka penyesuaian tarif retribusi daerah, selain harus memperhatikan laju inflasi, perlu juga ditinjau hubungan antara biaya pelayanan jasa dengan penerimaan PAD. 7. Pembangunan Baru. Penambahan PAD juga dapat diperoleh bila pembangunanpembangunan baru ada, seperti pembangunan pasar, pembangunan terminal, pembangunan jasa pengumpulan sampah, dan lain-lain. 8. Sumber Pendapatan Baru. Adanya kegiatan usaha baru dapat mengakibatkan bertambahnya sumber pendapatan pajak atau retribusi yang sudah ada. Misalnya, usaha persewaan laser disc, usaha persewaan komputer/internet, dan lain-lain. 9. Perubahan Peraturan. Adanya peraturan-peraturan baru, khususnya yang berhubungan dengan pajak dan atau retribusi, jelas akan meningkatkan PAD. E. Konsep Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu hal yang hampir selalu dikaitkan atau dihubungkan dengan pembangunan ekonomi. Dalam hal ini,

37 Kajian Potensi Peningkatan PAD 30 proses pembangunan ekonomi suatu negara atau daerah haruslah mengandung aspek pertumbuhan ekonomi sebagai salah satu unsur pokoknya. Menurut Boediono (1982), pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang. Tekanannya pada tiga aspek, yaitu : proses, output per kapita dan jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi sebagai suatu proses, jadi bukan suatu gambaran ekonomi pada suatu saat, tetapi melihat aspek dinamis dari suatu perekonomian, yaitu melihat bagaimana suatu perekonomian berkembang atau berubah dari waktu ke waktu. Aspek output per kapita harus dilihat dari sisi output total dan sisi jumlah penduduknya, oleh karena output per kapita adalah output total dibagi dengan jumlah penduduk. Aspek perspektif waktu jangka panjang, melihat pertumbuhan ekonomi dalam kecenderungannya untuk jangka waktu yang cukup panjang. Jhingan (1994), dalam hal ini mengutip pandangan Simon Kuznets, mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebagai kenaikan jangka panjang dalam kemampuan suatu negara untuk menyediakan semakin banyak jenis barang-barang ekonomi kepada penduduknya. Kemampuan ini tumbuh sesuai dengan kemajuan teknologi serta penyesuaian kelembagaan dan ideologis yang diperlukan. Sesuai pandangan Sumitro Djojohadikusumo (1994), bahwa pertumbuhan ekonomi bersangkut-paut dengan proses peningkatan produksi barang dan jasa dalam kegiatan ekonomi masyarakat. Di sini, pertumbuhan ekonomi diukur dari meningkatnya hasil produksi dan

38 Kajian Potensi Peningkatan PAD 31 pendapatan masyarakat. Peningkatan produksi itu sendiri merupakan salah satu ciri pokok dalam proses pembangunan. Perkembangan ekonomi sejak masa Klasik telah melahirkan beberapa model berdasarkan pendekatan tertentu mengenai pertumbuhan ekonomi. Model-model berdasarkan pendekatan teoritis dengan sudut pandangnya masing-masing berusaha untuk menerangkan proses berlangsungnya pertumbuhan ekonomi. Beberapa model utama dengan maksud untuk mengidentifikasi sumber-sumber atau faktor-fakor dominan dalam menentukan atau mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, yaitu model klasik, Harrod-Domar, Neo Klasik, Optimal, dan Endogen. Salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu daerah dalam suatu periode tertentu adalah data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan. Menurut BPS (2003) dijelaskan bahwa PDRB pada sadarnya merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu daerah tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir (neto) yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi. PDRB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada setiap tahun, sedangkan PDRB atas dasar harga konstan menunjukkan nilai tambah barang dan jasa tersebut yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada satu tahun tertentu sebagai dasar. Untuk menghitung angka-angka PDRB, ada tiga pendekatan yang dapat digunakan, yaitu:

39 Kajian Potensi Peningkatan PAD Pendekatan Produksi. PDRB adalah jumlah nilai tambah atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di wilayah suatu daerah dalan jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). Unit-unit produksi tersebut dapat dikelompokkan kedalam 9 lapangan usaha, yaitu (a) Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan perikanan; (b) Pertambangan dan Penggalian; (c) Industri pengolahan; (d) Listrik, Gas dan Air Bersih; (e) Bangunan; (f) Perdagangan, Hotel dan restoran; (g) Jasa-Jasa termasuk jasa pelayanan pemerintah. Setiap sektor tersebut dirinci lagi menjadi subsub sektor. 2. Pendekatan pendapatan. PDRB merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi di suatu daerah dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). Balas jasa faktor produksi yang dimaksud adalah upah dan gaji (balas jasa tenaga kerja), sewa tanah (balas jasa tanah), bunga modal (balas jasa modal) dan keuntungan (balas jasa kewiraswastaan), semuanya sebelum dipotong pajak penghasilan dan pajak langsung lainnya. Dalam pengertian ini, PDRB mencakup juga penyusutan dan pajak yang tidak langsung neto (pajak tak langsung dikurangi subsidi). 3. Pendekatan Pengeluaran. PDRB adalah semua komponen permintaan akhir yang terdiri dari (a) pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta nirlaba; (b) konsumsi pemerintah; (c) pembentukan modal tetap domestik bruto; (d) perubahan stock; dan (e) ekspor neto (ekspor neto merupakan ekspor dikurangi impor).

40 Kajian Potensi Peningkatan PAD 33 Secara konsep, ketiga pendekatan tersebut akan menghasilkan angka yang sama, sehingga jumlah pengeluaran akan sama dengan jumlah barang dan jasa akhir yang dihasilkan dan harus sama pula dengan jumlah pendapatan untuk faktor-faktor produksi. PDRB yang dihasilkan dengan cara ini disebut sebagai PDRB atas dasar harga pasar, karena di dalamnya sudah termasuk pajak tak langsung neto. BPS (2003) menguraikan pula bahwa data PDRB mempunyai kegunaan sebagai berikut: 1. PDRB atas dasar harga berlaku (nominal) menunjukkan kemampuan sumber daya ekonomi yang dihasilkan oleh suatu daerah. Nilai PDRB yang besar menunjukkan kemampuan sumber daya ekonomi yang besar, begitu pula sebaliknya. 2. PDRB harga berlaku menunjukkan pendapatan yang memungkinkan untuk dinikmati oleh penduduk suatu daerah. 3. PDRB harga konstan (riil) dapat digunakan untuk menunjukkan laju pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan atau setiap sektor dari tahun ke tahun. 4. Distribusi PDRB harga aberlaku menurut sektor menunjukkan struktur perekonomian atau peranan setiap sektor ekonomi dalam suatu daerah. Sektor-sektor ekonomi yang mempunyai peran besar menunjukkan basis perekonomian suatu daerah. 5. PDRB harga berlaku menurut penggunaan menunjukkan produk barang dan jasa digunakan untuk tujuan konsumsi, investasi dan diperdagangkan dengan pihak luar negeri.

41 Kajian Potensi Peningkatan PAD Distribusi PDRB menurut pengunaan menunjukkan peranan kelembagaan dalam menggunakan barang dan jasa yang dihasilkan oleh berbagai sektor ekonomi. 7. PDRB penggunaan atas dasar harga konstanbermanfaat untuk mengukur laju pertumbuhan konsumsi, investasi dan perdagangan luar negeri. 8. PDRB dan PRB per kapita atas dasar harga berlaku menunjukkan PDRB dan dan PRB per kepala atau per satu orang penduduk. 9. PDRB dan PRB per kapita atas dasar harga konstan berguna untuk mengetahui pertumbuhan nyata ekonomi per kapita penduduk suatu daerah.

42 Kajian Potensi Peningkatan PAD 35 A. Daerah dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Kolaka, dengan harapan bahwa dalam pelaksanaan otonomi daerah mampu meningkatkan Pendapatan Asli Daerahnya dan mengelola keuangan daerahnya dengan cara yang efektif dan efisien. Sedangkan waktu yang digunakan dalam penelitian ini adalah selama 3 (tiga) bulan. B. Metode Pengumpulan Data 1. Survei, yaitu mengadakan pengamatan langsung pada tempat atau obyek penelitian, untuk memperoleh informasi atau data yang ada hubungannya dengan penelitian ini. 2. Observasi, yaitu penelitian secara langsung pada obyek penelitian, khususnya menyangkut pajak daerah, retribusi daerah, Badan Usaha Milik Daerah, lain-lain pendapatan asli daerah yang syah, serta pengelolaan keuangan daerah oleh instansi terkait dengan penelitian ini di Kabupaten Kolaka. 3. Dokumentasi, yaitu pengumpulan data yang diperoleh melalui laporanlaporan atau dokumen-dokumen yang ada dan informasi lainnya yang ada kaitannya dengan penelitian ini, antara lain: Kolaka Dalam Angka, Laporan Realisasi PAD. 4. Kuaisioner, yaitu pengumpulan data melalui penggunaan angket kepada responden baik aparat Dispenda atau Dinas terkait maupun pengguna jasa.

43 Kajian Potensi Peningkatan PAD 36 C. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa data primer dan data sekunder. Data primer adalah data-data yang diperoleh secara langsung dari hasil observasi, baik yang berupa lisan maupun tulisan pada pihak-pihak yang berwenang. Sedangkan data sekunder adalah datadata pendukung yang diperoleh dari pihak eksteren atau sumber lainnya yang ada hubungannya dengan pajak daerah, retribusi daerah, laba badan usaha milik daerah, lain-lain PAD yang syah, serta pengelolaan keuangan daerah yang dilakukan oleh pihak atau instansi terkait di Kabupaten Kolaka. Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari Dinas Pendapatan Daerah, Dinas Keuangan dan Asset Daerah, dan Badan Pusat Statistik yang ada di Kabupaten Kolaka, serta instansi-instansi terkait lainnya yang dapat menunjang penelitian ini. D. Metode Analisis Adapun metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Analisis Kualitatif, yang digunakan untuk menggambarkan dan menjelaskan potensi sumber-sumber pajak daerah, retribusi daerah, laba usaha daerah, dan lain-lain PAD yang syah. 2. Analisis Kuantitatif, digunakan untuk menjelaskan potensi penerimaan jenis-jenis pendapatan asli daerah, yakni sebagai berikut: a. Tabel Distribusi Frekuensi Menjelaskan tentang indeks perubahan dan atau kontribusi variabel penelitian.

44 Kajian Potensi Peningkatan PAD 37 b. Analisis Daya Pajak dan Retribusi Daerah Daya pajak daerah dan retribusi daerah adalah rasio antara penerimaan pajak atau retribusi dengan kapasitas atau kemampuan bayar pajak/retribusi di suatu daerah. Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui kemampuan membayar masyarakat adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), dengar formula : c. Analisis Efektifitas PAD Efektivitas adalah mengukur hubungan antara hasil pungut suatu retribusi dengan potensi retribusi itu sendiri, atau dengan formula : d. Analisis Elastisitas Pajak dan Retribusi Daerah Analisis elastisitas dimaksudkan untuk mengetahui tingkat kepekaan perubahan suatu jenis penerimaan jika terjadi perubahan pada jumlah PDRB, yaitu dengan formula : e. Analisis Regresi Berganda Analisis regresi berganda digunakan untuk mengestimasi pengaruh pertumbuhan ekonomi yang dicerminkan pada Produk Domestik Regional Bruto pada tiga sector utama (sector pertanian, sector industri dan pertambangan, dan sector jasa-jasa) dan jumlah penduduk terhadap Pendapatan Asli Daerah, dengan formulasi:

45 Kajian Potensi Peningkatan PAD 38 Y i = b 0 + b 1 X 1i + b 2 X 2i + b 3 X 3i + b 4 X 4i + e i Dimana: Y = Realisasi PAD X1 = PDRB sector pertanian X2 = PDRB sector industry/pertambangan X3 = PDRB sector jasa X4 = Jumlah Penduduk b 0 = Konstant b 1, b 2, b 3, dan b 4 = Koefisien regresi e I = Error term (kesalahan pengganggu) = 1, 2,., n Di samping itu akan dihitung pula koefisien korelasi (R) dan koefisien determinasi (R 2 ) serta dilakukan pengujian statistic F dan statistic t pada tingkat kepercayaan 95 % dengan menggunakan soft-ware SPSS.

46 Kajian Potensi Peningkatan PAD 39 A. Gambaran Umum Kabupaten Kolaka 1. Keadaan Geografis Daerah Kabupaten Kolaka berada di jazirah Tenggara pulau Sulawesi dan secara geografis terletak pada bagian barat Propinsi Sulawesi Tenggara memanjang dari utara ke selatan berada diantara Lintang Selatan dan membentang dari Barat ke Timur diantara Bujur Timur. Batas daerah Kabupaten Kolaka adalah sebagai berikut : a. Disebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Kolaka Utara yang merupakan pecahan dari Kabupaten Kolaka. b. Di sebelah Barat berbatasan dengan Teluk Bone. c. Di sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bombana Propinsi Sulawesi Tenggara. d. Di sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Konawe dan Konawe Selatan Propinsi Sulawesi Tenggara. Kabupaten Kolaka mencakup Jazirah daratan dan kepulauan yang memiliki wilayah daratan seluas ,38 Km 2 dan wilayah perairan (laut) diperkirakan seluas Km 2. Dari luas wilayah tersebut Kabupaten Kolaka dibagi dalam 20 kecamatan yaitu: Kecamatan Watubangga, Kecamatan Tanggetada, Kecamatan Pomalaa, Kecamatan Wundulako, Kecamatan Baula, Kecamatan Ladongi, Kecamatan Lambandia, Kecamatan Tirawuta, Kecamatan Kolaka, Kecamatan Latambaga, Kecamatan Wolo, Kecamatan Samaturu, Kecamatan Mowewe, Kecamatan Uluiwoi, Kecamatan

47 Kajian Potensi Peningkatan PAD 40 Tinondo, Kecamatan Lalolae, Kecamatan Poli-Polia, Kecamatan Toari, Kecamatan Polinggona, dan Kecamatan Loea. Untuk lebih jelasnya luas wilayah Kabupaten Kolaka, maka dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini. No Tabel 1 Luas Wilayah Kabupaten Kolaka Menurut Kecamatan Luas Kecamatan Km 2 %tase (%) Watubangga 245,20 3,54 Tanggetada 450,00 6,50 Pomalaa 373,82 5,40 Wundulako 140,00 2,02 Baula 150,47 2,17 Ladongi 183,00 2,65 Lambandia 226,57 3,27 Tirawuta 381,14 5,51 Kolaka 207,25 3,00 Latambaga 308,32 4,46 Wolo 730,54 10,56 Samaturu 344,69 4,98 Mowewe 92,75 1,34 Uluiwoi 2.306,58 33,34 Tinondo 203,25 2,94 Lalolae 81,93 1,18 Poli-Polia 162,56 2,35 Toari 71,25 1,03 Polinggona 151,12 2,18 Loae 107,94 1,56 Kabupaten Kolaka 6.918,38 100,00 Sumber : Kabupaten Kolaka Dalam Angka Tahun 2009 (BPS Kabupaten Kolaka) Selain jazirah daratan terdapat pula pulau-pulau yang tersebar diberbagai kecamatan yaitu : a. Pulau Padamarang b. Pulau Lambasina Kecil c. Pulau Buaya d. Pulau Pisang e. Pulau Lambasina Besar f. Pulau Maniang g. Pulau Lemo

48 Kajian Potensi Peningkatan PAD 41 Keadaan permukaan wilayah Kabupaten Kolaka pada umumnya terdiri dari gunung dan bukit yang memanjang dari utara ke selatan. Di antara gunung dan bukit terbentang dataran-dataran yang merupakan daerah potensial untuk pengembangan sektor pertanian dan sektor pertambangan dengan tingkat kemiringan sebagai berikut : a. Antara 0-2 % seluas Ha (9,94% dari luas daratan). b. Antara 2-15% seluas 88,051 Ha (8,84% dari luas daratan). c. Antara 15-40% seluas Ha (19,99% dari luas wilayah daratan). d. Antara 40% keatas seluas Ha (61,23% dari luas daratan). Kabupaten Kolaka dipandang dari sudut oceanografi memilih perairan (laut) yang sangat luas yaitu diperkirakan mencapai Km. Perairan ini masih belum begitu dimanfaatkan secara optimal walaupun potensial untuk usaha perikanan. Kemudian bilamana dibandingkan dengan Kabupaten Buton, Kabupaten Muna, Kabupaten Kendari maka Kabupaten Kolaka produksi ikan lebih rendah. Oleh karena itu untuk mencukupi konsumsi masyarakat terhadap ikan selain hasil penangkapan ikan diperairan laut diperoleh dari hasil tambak dan kolam serta penangkapan diperairan umum. Keadaan musim di daerah ini umumnya sama seperti di daerah lainnya di Indonesia, mempunyai dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau. Musim hujan terjadi antara bulan Nopember dan Maret di mana pada bulan tersebut angin Barat yang bertiup dari Asia dan samudera pasific mengandung banyak uap air. Musim kemarau terjadi antara bulan Mei dan Oktober di mana antara bulan tersebut angin Timur yang bertiup dari Australia sifatnya kering dan kurang mengandung uap air. Khusus pada bulan April arah

49 Kajian Potensi Peningkatan PAD 42 angin tidak menentu, demikian pula curah hujan sehingga pada bulan ini dikenal sebagai musim pancaroba. Curah hujan di wilayah ini umumnya tidak merata, hal ini menimbulkan adanya wilayah daerah basah dan wilayah daerah kering. Wilayah daerah basah dengan curah hujan lebih dari 2000 mm per tahun berada pada wilayah sebelah utara jalur Kolaka meliputi Kecamatan Kolaka, Kecamatan Wolo, dan Kecamatan Mowewe dengan bulan basah sekitar 5 sampai 9 bulan dalam setahun. Wilayah daerah kering dengan curah hujan kurang dari 2000 mm per tahun meliputi wilayah sebelah selatan dan Timur meliputi Kecamatan Watubangga, Kecamatan Pomalaa, Kecamatan Wundulako, Kecamatan Ladondi dan Kecamatan Tirawuta yang memiliki bulan basah antara 3 sampai 4 bulan dalam setahun. Tinggi rendahnya suhu udara pada suatu tempat antara lain dipengaruhi oleh posisi dan ketinggian tempat dari permukaan laut. Makin tinggi posisi suatu tempat dari permukaan laut akan semakin rendah suhu udaranya dan sebaliknya. Oleh karena itu wilayah daratan Kabupaten Kolaka mempunyai ketinggian umumnya di bawah Meter dari permukaan laut dan berada di sekitar daerah khatulistiwa maka daerah ini beriklim tropis. Suhu udara minimum sekitar 10 0 C dan maksimum 31 0 C atau rata-rata antara 24 0 C C. 2. Sistem Pemerintahan Wilayah administrasi pemerintahan Kabupaten Kolaka pada tahun 2009 adalah terdiri atas 20 Kecamatan, 168 Desa dan 45 Kelurahan dan 1 UPT. Pada tahun 2005 ini banyak desa yang berubah status menjadi

50 Kajian Potensi Peningkatan PAD 43 kelurahan yaitu dari tahun 2003 sebanyak 33 kelurahan (khusus Kabupaten Kolaka) pada tahun 2005 menjadi 45 kelurahan. Ini menunjukkan adanya gerak pembangunan yang signifikan di Kabupaten Kolaka. Usaha pemerintah Kabupaten Kolaka dalam pembangunan bertujuan untuk meletakkan sendi-sendi kehidupan desa dan kelurahan yaitu masyarakat desa yang berkecukupan materil, spritual serta ahklak menuju masyarakat adil dan merata guna terwujudnya Desa Pancasila. Kondisi desa di Kabupaten Kolaka, menunjukkan bahwa dari sebanyak 214 Desa/Kelurahan terdapat 173 desa yang sudah mencapai tingkat desa swakarya, sedangkan sebanyak 29 desa merupakan desa swadaya dan 12 desa sudah berpredikat desa swasembada. Diupayakan Desa-desa swakarya tersebut terus ditingkatkan statusnya menjadi Desa swasembada dalam waktu yang akan datang. 3. Penduduk dan Tenaga Kerja Berdasarkan hasil proyeksi Supas 2005 penduduk Kabupaten Kolaka tahun 2009 menjadi jiwa. Laju pertumbuhan penduduk menurut Kecamatan pada kurun waktu tahun tercatat 2,06 %. Persebaran penduduk di Kabupaten Kolaka pada 20 Kecamatan relative tersebar dengan normal. Hal ini menunjukkan bahwa sektor-sektor ekonomi pertanian di pedesaan sebagai sumber pendapatan relativf sama dengan sektor ekonomi industri dan jasa sebagai sumber pendapatan penduduk yang ada di perkotaan. Struktur umur penduduk Kabupaten Kolaka menunjukkan bahwa pada tahun 2009 penduduk usia produktif atau berumur di atas 15 tahun sekitar

51 Kajian Potensi Peningkatan PAD 44 64,88%. Rasio Jenis kelamin menunjukkan perbandingan jumlah penduduk laki-laki dengan perempuan. Tahun 2009 rasio jenis kelamin 104. Ini berarti setiap 104 penduduk laki-laki terdapat 100 penduduk perempuan. Hal ini dapat dilihat pada table berikut: Tabel 2 Penduduk Kabupaten Kolaka Menurut Kecamatan dan Jenis Kelamin Tahun 2009 No Kecamatan Laki-laki Perempuan Jumlah Watubangga Tanggetada Pomalaa Wundulako Baula Ladongi Lambandia Tirawuta Kolaka Latambaga Wolo Samaturu Mowewe Uluiwoi Tinondo Lalolae Poli-Polia Toari Polinggona Loae J u m l a h Sumber: Kabupaten Kolaka Dalam Angka Tahun 2009 Pada tahun 2009 secara keseluruhan angkatan kerja sebesar orang atau 71,18 % dari total penduduk Kabupaten Kolaka yang berumur 15 tahun ke atas. Ditinjau dari lapangan pekerjaan utama penduduk berumur 15 tahun ke atas, sektor pertanian yang paling banyak menyerap tenaga kerja sebesar orang, kemuadian sector jasa orang, dan sector industri sebesar orang.

52 Kajian Potensi Peningkatan PAD Pendidikan Upaya peningkatan pendidikan yang ingin dicapai adalah untuk menghasilkan manusia yang seutuhnya sedangkan perluasan kesempatan belajar dimaksidkan agar penduduk usia sekolah yang setiap tahunnya mengalami peningkatan yang sejalan dengan laju pertumbuhan penduduk, sehingga semua penduduk dapat memperoleh kesempatan pendidikan yang seluas-luasnya secara merata. Pelaksanaan pendidikan di Kabupaten Kolaka selama ini mengalami peningkatan. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 3 Jumlah Sekolah, Guru, Murid Menurut Jenjang Pendidikan Kabupaten Kolaka Tahun 2009/2010 Tingkat Pendidikan Jumlah Sekolah Jumlah Guru Jumlah Murid Guru/ Sekolah TK SD SLTP SLTA Sumber: Kabupaten Kolaka Dalam Angka Tahun 2009 Rata-rata Murid/ Sokolah Murid/ Guru Tabel 3 menunjukkan bahwa rasio antara guru dan sekolah pada jenjang TK sebesar 5, SD sebesar 6, SLTP sebesar 7, dan SLTA sebesar 17. Rasio antara murid dan sekolah menunjukkan bahwa pada jenjang TK sebesar 34, SD sebesar 156, SLTP sebesar 170, dan SLTA sebesar 280. Rasio antara murid dan sekolah pada jenjang TK 7, SD sebesar 26, SLTP sebesar 24, dan SLTA sebesar 16.

53 Kajian Potensi Peningkatan PAD Transportasi Jalan merupakan salah satu prasarana yang penting dalam memperlancar hubungan perekonomian dari perkotaan ke pedesaan atau sebaliknya dari pedesaan ke perkotaan dan dari perkotaan ke perkotaan lainnya. Kondisi jalan yang baik akan mempermudah mobilitas penduduk dan memperlancar transportasi pendistribusian barang dalam hubungan kegiatan ekonomi dan social lainnya. Panjang jalan Kabupaten Kolaka untuk tahun 2009 adalah 2.880,17 Km yang terdiri dari jalan Negara 217,51 Km, jalan provinsi 109,26 Km, dan jalan Kabupaten 2.553,40 Km. Di lihat dari jenis permukaan jalan terdiri dari 1.855,76 Km sudah diaspal, 963,46 Km jalan kerikil, dan 60,95 Km masih jalan tanah. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 4 Panjang Jalan Negara, Provinsi, dan Kabupaten Menurut Permukaan Kabupaten Kolaka Tahun 2009/2010 Uraian Jalan 1. Jalan Negara Diaspal Tidak Diaspal 2. Jalan Provinsi Diaspal Tidak Diaspal 3. Jalan Kabupaten Diaspal Tidak Diaspal Sumber: Kabupaten Kolaka Dalam Angka Tahun 2009 B. Potensi Ekonomi 1. Potensi Sektor Pertanian Panjang Jalan (Km) 217,51 217, ,26 80,40 28, , ,85 995,55 Sektor pertanian merupakan sektor yang sangat penting dalam mendorong pembangunan di Kabupaten Kolaka, khususnya dalam

54 Kajian Potensi Peningkatan PAD 47 penyerapan tenaga kerja dan merupakan pemberi kontribusi terbesar dalam pembentukan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sebagai indikator pertumbuhan ekonomi. Sektor pertanian meliputi: subsektor tanaman pangan, subsektor perkebunan, subsektor perikanan, subsektor peternakan, dan subsektor kehutanan, yang akan dijelaskan potensi masing-masing subsektor. a. Potensi Sub Sektor Tanaman Pangan Sub sektor tanaman bahan makanan merupakan salah satu sub sektor pada sektor pertanian yang banyak menyerap tenaga kerja. Sub sektor ini mencakup tanaman padi, jagung, ubi kayu, ubi jajar, kacang tanah, kacang hijau dan kacang kedelai. Kabupaten Kolaka dengan kondisi dan sumber daya alam yang berdasarkan letak geografisnya dengan keadaan tanah yang subur. Luas wilayah yang berada diatas 100 m tercatat sekitar 71,70 %, sisanya sekitar 28,30 % wilayah berada pada ketinggian m. Tabel 5 Produksi Tanaman Pangan Kabupaten Kolaka Thn 2009 No Komoditi Produksi (Ton) 1 Padi Jagung Ubi Kayu Ubi Jalar Kacang Tanah Kacang Hijau Kedelai 444 Sumber : Kabupaten Kolaka Dalam Angka Tahun 2009

55 Kajian Potensi Peningkatan PAD 48 Selain produksi tanaman bahan makanan yang diusahakan, maka untuk mencukupi kebutuhan masyarakat akan bahan makanan Depot Logistik (DOLOG) setiap tahun melakukan mengadaan makanan pokok utama beras. b. Potensi Sub Sektor Perkebunan Produksi tanaman perkebunan rakyat pada tahun 2010, seperti yang disajikan pada tabel 6 terdapat 15 jenis tanaman perkebunan yang terdiri dari kelapa, kopi, kapuk, lada, pala, cengkeh, jambu mente, kemiri, kakao, enau/aren, kelapa sawit, asam jawa, pinang, panili, dan sagu. Dari sejumlah jenis tanaman perkebunan rakyat yang diusahakan dan dikembangkan di Kabupaten Kolaka baru terbatas pada tujuh jenis produksi tanaman perkebunan, yakni: kelapa, kopi, lada, cengkeh, jambu mente, sagu, dan kakao yang dieksport. Beberapa komiriti yang memiliki potensi untuk dikembangkan dimasa depan, seperti panili, dimana minat masyarakat menanam panili bertambah, sehingga produksi panili untuk tahun 2010 mengalami peningkatan. Upaya pemerintah bersama swasta telah melakukan program pembaharuan tanaman yang sudah dianggap tua dan senantiasa melakukan penyuluhan tentang bagaimana melakukan teknik bertani dan pola usaha tani yang baik dalam rangka meningkat produksi tanaman perkebunan dimaksud, karena tanaman perkebunan rakyat, seperti Kakao, cengkeh, kelapa sawit, dan kopi merupakan komoditas unggulan Kabupaten Kolaka yang harus

56 Kajian Potensi Peningkatan PAD 49 secara berkesinambungan mampu mendorong dalam pembangunan ekonomi dan sekaligus dapat meningkatkan pendapatan petani Kabupaten Kolaka. Tabel 6 Produksi Perkebunan Kabupaten Kolaka Tahun 2009/2010 No Jenis Tanaman Produksi (Ton) Kelapa Kopi Kapuk Lada Pala Cengkeh Jambu Mente Kemiri Kakao Enau/Aren Kelapa Sawit Asam Jawa Pinang Panili Sagu Sumber : Kabupaten Kolaka Dalam Angka Tahun , ,92 16, ,74 1,30 915,21 928,23 327, ,07 119, ,35 0,90 17,32 87, ,20 c. Potensi Sub Sektor Perikanan Potensi Perikanan yang melimpah karena didukung oleh sumberdaya alam yang berada di daerah pesisir Teluk Bone. Kegiatan penangkapan ikan dilaksanakan melalui berbagai usaha meliputi perikanan laut dan perikanan budidaya. Pada tahun 2009 Kabupaten Kolaka memproduksi ikan sebesar ,95 ton yang terdiri dari ikan laut sebesar ,10 ton dan budidaya perikanan sebesar 7.556,80 ton.

57 Kajian Potensi Peningkatan PAD 50 Penduduk Kabupaten Kolaka yang berada di wilayah pesisir bermata pencaharian sebagai nelayan. Jenis peralatan penangkapan ikan yang digunakan sifatnya masih tardisional yaitu perahu sandeq dan kapal motor nelayan dengan jenis alat tankap yaitu payang, pukat dan pancing. Fasilitas prsessing masih sifat tradisional yaitu pembekuan dan pengeringan biasa serta pengasapan. Potensi perikanan laut di Kabupaten Kolaka sangat dimungkinkan untuk pengembangan dengan skala besar untuk orientasi ekspor dengan penyediaan fasilitas penangkapan, sumber manusia dan processing. Pada saat ini ekspor perikanan adalah sirip ikan hiu yang merupakan asset daerah yang potensial untuk dikembangkan. Adpaun produksi perikanan Kabupaten Kolaka Tahun 2009 sebagai berikut. Tabel 7 Produksi dan Nilai Produksi Ikan Kabupaten Kolaka Tahun 2009 Usaha Perikanan Produksi (Ton) Nilai Produksi (000 Rp) Ikan Laut , Budidaya Perikanan Rumput Laut 7.556, Sumber : Kabupaten Kolaka Dalam Angka Tahun 2009 d. Potensi Sub Sektor Peternakan Jenis populasi ternak yang dikembangkan di Kabupaten Kolaka terdiri dari ternak besar, ternak kecil, dan ternak unggas. Untuk ternak besar melipti: sapi, kerbau, dan kuda,

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut M. Suparmoko (2001: 18) otonomi daerah adalah kewenangan daerah

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut M. Suparmoko (2001: 18) otonomi daerah adalah kewenangan daerah II. TINJAUAN PUSTAKA A. Otonomi Daerah Menurut M. Suparmoko (2001: 18) otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah masalah perimbangan keuangan pusat dan daerah merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. daerah masalah perimbangan keuangan pusat dan daerah merupakan salah satu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada era desentralisasi fiskal seperti sekarang ini, fungsi dan peran pajak sebagai salah satu sumber penerimaan negara sangatlah penting. Sejalan dengan otonomi daerah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan menggali sumber-sumber daya yang ada di setiap daerah untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan menggali sumber-sumber daya yang ada di setiap daerah untuk 19 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Otonomi Daerah Pembangunan daerah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan nasional yang dijalankan selama ini. Keberhasilan akan ditentukan dari bagaimana kemampuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keuangan Daerah Faktor keuangan merupakan faktor yang paling dominan dalam mengukur tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan otonominya. Keadaan keuangan daerah yang menentukan

Lebih terperinci

Keterangan Pers POKOK-POKOK PENGATURAN UNDANG-UNDANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

Keterangan Pers POKOK-POKOK PENGATURAN UNDANG-UNDANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH Keterangan Pers POKOK-POKOK PENGATURAN UNDANG-UNDANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH Pada hari ini tanggal 18 Agustus 2009, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah menyetujui dan mengesahkan

Lebih terperinci

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Kebijakan pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah secara efektif

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS 1.1 Tinjauan Teoretis 1.1.1 Otonomi Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tekad pemerintah pusat untuk meningkatkan peranan pemerintah daerah dalam mengelola daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep, Konstruk, Variabel Penelitian 2.1.1 Otonomi Daerah Di dalam pembangunan ekonomi terutama pembangunan di daerah, peranan yang sangat penting dari keuangan daerah adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah dinyatakan secara tegas bahwa pembangunan ekonomi merupakan salah satu bagian penting daripada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Sirojuzilam (2005) pengembangan wilayah pada dasarnya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Sirojuzilam (2005) pengembangan wilayah pada dasarnya BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengembangan Wilayah Menurut Sirojuzilam (2005) pengembangan wilayah pada dasarnya merupakan peningkatan nilai manfaat wilayah bagi masyarakat suatu wilayah tertentu, mampu

Lebih terperinci

BAB III KEBIJAKAN UMUM DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB III KEBIJAKAN UMUM DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB III KEBIJAKAN UMUM DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Pelaksanaan Otonomi Daerah secara luas, nyata dan bertanggungjawab yang diletakkan pada Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang

Lebih terperinci

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN (REVISI) GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN (REVISI) GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB 3 GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan rencana pengelolaan keuangan tahunan pemerintah daerah yang disetujui oleh DPRD dalam Peraturan Daerah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan untuk merubah keadaan kearah yang lebih baik, dengan sasaran akhir terciptanya kesejahreraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perkembangan Akuntansi Sektor Publik, Khususnya di Negara Indonesia semakin pesat seiring dengan adanya era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. No.22 tahun 1999 dan Undang-undang No.25 tahun 1999 yang. No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat

BAB I PENDAHULUAN. No.22 tahun 1999 dan Undang-undang No.25 tahun 1999 yang. No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem pemerintahan daerah, baik ditingkat provinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru dengan dikeluarkannya Undangundang No.22 tahun 1999 dan

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Kondisi perekonomian Kota Ambon sepanjang Tahun 2012, turut dipengaruhi oleh kondisi perekenomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang keuangan negara. Hal ini diindikasikan dengan telah diterbitkannya Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep, Konstruk, Variabel Penelitian 2.1.1 Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Menurut Halim (2004:15-16) APBD adalah suatu anggaran daerah, dimana memiliki unsur-unsur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (revisi dari UU no

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang dasar 1945 yang mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas provinsi-provinsi

Lebih terperinci

ANALISIS KEMANDIRIAN FISKAL DALAM UPAYA MENDUKUNG PELAKSANAAN URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI KABUPATEN INDRAGIRI HULU

ANALISIS KEMANDIRIAN FISKAL DALAM UPAYA MENDUKUNG PELAKSANAAN URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI KABUPATEN INDRAGIRI HULU ANALISIS KEMANDIRIAN FISKAL DALAM UPAYA MENDUKUNG PELAKSANAAN URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI KABUPATEN INDRAGIRI HULU Taryono Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Riau ABSTRAK Penelitian ini bertujuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat melalui beberapa proses dan salah satunya adalah dengan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat:

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pajak Sejarah pemungutan pajak mengalami perubahan dari masa ke masa sesuai dengan perkembangan masyarakat dan negara baik di bidang kenegaraan maupun di bidang sosial dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut UU No. 22 Tahun 1999 yang telah diganti dengan UU No. 34 Tahun 2004

BAB I PENDAHULUAN. Menurut UU No. 22 Tahun 1999 yang telah diganti dengan UU No. 34 Tahun 2004 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut UU No. 22 Tahun 1999 yang telah diganti dengan UU No. 34 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, menyebutkan bahwa melalui otonomi daerah, pembangunan ekonomi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara pemerintah pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan di daerah akhir-akhir ini,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan di daerah akhir-akhir ini, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tuntutan reformasi di segala bidang yang didukung oleh sebagian masyarakat Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan di daerah akhir-akhir ini, membawa dampak

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut:

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi daerah Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004, otonomi daerah merupakan kewenangan daerah otonom untuk mengurus dan mengatur kepentingan masyarakat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan teori 2.1.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2.1.1.1 Pengertian APBD Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi dasar dalam pelaksanaan pelayanan

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Kondisi perekonomian Kabupaten Lamandau Tahun 2012 berikut karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun 2013-2014 dapat digambarkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia memasuki era baru tata pemerintahan sejak tahun 2001 yang ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini didasarkan pada UU

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melancarkan jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melancarkan jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Pengertian Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan daerah adalah komponen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang digunakan untuk membiayai pembangunan dan melancarkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengembangan Wilayah Pada dasarnya pengembangan adalah proses dimana individu, kelompok, organisasi, institusi dan masyarakat meningkatkan kemampuannya

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam

KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam Pendahuluan Sejalan dengan semakin meningkatnya dana yang ditransfer ke Daerah, maka kebijakan terkait dengan anggaran dan penggunaannya akan lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU No.23 Tahun 2014 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi adalah dambaan semua daerah maupun Negara.

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi adalah dambaan semua daerah maupun Negara. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi yang tinggi adalah dambaan semua daerah maupun Negara. Pertumbuhan ekonomi juga merupakan gambaran hasil kerja pemerintah dalam mensejahterakan rakyatnya.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah memiliki

I. PENDAHULUAN. pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah memiliki 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pelaksanaan otonomi daerah merupakan suatu harapan cerah bagi pelaksanaan pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah memiliki kesempatan untuk mengelola,

Lebih terperinci

Hubungan Keuangan antara Pemerintah Daerah-Pusat. Marlan Hutahaean

Hubungan Keuangan antara Pemerintah Daerah-Pusat. Marlan Hutahaean Hubungan Keuangan antara Pemerintah Daerah-Pusat 1 Desentralisasi Politik dan Administrasi Publik harus diikuti dengan desentralisasi Keuangan. Hal ini sering disebut dengan follow money function. Hubungan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan trend ke arah zona ekonomi sebagai kota metropolitan, kondisi ini adalah sebagai wujud dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerataan yang sebaik mungkin. Untuk mencapai hakekat dan arah dari

BAB I PENDAHULUAN. pemerataan yang sebaik mungkin. Untuk mencapai hakekat dan arah dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi adalah suatu proses kenaikan pendapatan total dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan penduduk dan disertai dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pengertian PAD dan penjabaran elemen-elemen yang terdapat dalam PAD.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pengertian PAD dan penjabaran elemen-elemen yang terdapat dalam PAD. 18 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan dijelaskan teori-teori yang berkaitan dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD), variabel-variabel yang diteliti serta penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya.

Lebih terperinci

1 UNIVERSITAS INDONESIA

1 UNIVERSITAS INDONESIA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengelolaan pemerintahan daerah di Indonesia memasuki babak baru seiring diberlakukannya desentralisasi fiskal. Dengan diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep, Konstruk, Variabel Penelitian 2.1.1 Otonomi Daerah Timbulnya pergerakan dan tuntutan-tuntutan praktek otonomi daerah menyebabkan dikeluarkannya peraturan perundang-undangan

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) Dra. Sri Murdiati, M.Si. Abstrak

ANALISIS POTENSI PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) Dra. Sri Murdiati, M.Si. Abstrak ANALISIS POTENSI PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) Dra. Sri Murdiati, M.Si. Abstrak Penyelenggarakan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab diperlukan kewenangan dan kemampuan menggali sumber

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH.

UNDANG-UNDANG TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH. RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pembangunan daerah (sebagai bagian integral dari pembangunan nasional) pada hakekatnya adalah upaya untuk meningkatkan kapasitas pemerintahan daerah sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. finansial Pemerintah Daerah kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

BAB I PENDAHULUAN. finansial Pemerintah Daerah kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan aspek

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Kinerja Keuangan Masa lalu

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Kinerja Keuangan Masa lalu BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1. Kinerja Keuangan Masa lalu Pengelolaan keuangan daerah Kabupaten Sintang diselenggarakan berpedoman pada Undang-Undang Nomor 17

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Otonomi Daerah Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah merupakan landasan yuridis bagi pengembangan otonomi daerah di Indonesia, akan tetapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penting yang dilakukan yaitu penggantian sistem sentralisasi menjadi

BAB I PENDAHULUAN. penting yang dilakukan yaitu penggantian sistem sentralisasi menjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam waktu tujuh tahun sejak tumbangnya rezim orde baru, bangsa Indonesia terus berupaya memperbaiki sistem pemerintahannya. Bahkan upaya-upaya perubahan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. titik awal pelaksanaan pembangunan, sehingga daerah diharapkan bisa lebih mengetahui

BAB I PENDAHULUAN. titik awal pelaksanaan pembangunan, sehingga daerah diharapkan bisa lebih mengetahui BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi daerah khususnya Daerah Kabupaten Bekasi merupakan titik awal pelaksanaan pembangunan, sehingga daerah diharapkan bisa lebih mengetahui

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Kondisi perekonomian Kabupaten Sleman Tahun 2014 berikut karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun 2015-2016 dapat digambarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada masa Orde Baru dilakukan secara sentralistik, dari tahap perencanaan sampai dengan tahap implementasi ditentukan oleh pemerintah pusat dan dilaksanakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan antar

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pusat (sentralistik) telah menimbulkan kesenjangan antara Jawa dan luar Jawa

BAB 1 PENDAHULUAN. pusat (sentralistik) telah menimbulkan kesenjangan antara Jawa dan luar Jawa BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk mensejahterakan masyarakat yaitu melalui pembangunan yang dilaksanakan secara merata. Pembangunan di Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keputusan politik pemberlakuan otonomi daerah yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 2001, telah membawa implikasi yang luas dan serius. Otonomi daerah merupakan fenomena

Lebih terperinci

GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB - III Kinerja Keuangan Masa Lalu

GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB - III Kinerja Keuangan Masa Lalu BAB - III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Kinerja Keuangan Masa Lalu Arah Kebijakan Pengelolaan Keuangan Kebijakan Umum Anggaran Bab ini berisi uraian tentang gambaran umum mengenai pengelolaan keuangan

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Hal mendasar dalam perencanaan pembangunan tahunan adalah kemampuannya dalam memproyeksikan kapasitas riil keuangan daerah secara

Lebih terperinci

BAB II. Tinjauan Pustaka. Puspitasari dkk (2016) menjelaskan bahwa 1. Proses pemungutan Pajak

BAB II. Tinjauan Pustaka. Puspitasari dkk (2016) menjelaskan bahwa 1. Proses pemungutan Pajak BAB II 1. Penelitian Terdahulu Tinjauan Pustaka Puspitasari dkk (2016) menjelaskan bahwa 1. Proses pemungutan Pajak Parkir di Kota Malang telah dilaksanakan dengan baik. Proses pemungutan telah dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pemerintah pusat sehingga dengan demikian pembangunan daerah diupayakan sejalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sistem pemerintahan Republik Indonesia mengatur asas desentralisasi,

BAB I PENDAHULUAN. Sistem pemerintahan Republik Indonesia mengatur asas desentralisasi, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sistem pemerintahan Republik Indonesia mengatur asas desentralisasi, dekosentrasi dan tugas pembantuan yang dilaksanakan secara bersama-sama. Untuk mewujudkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama, yaitu fungsi alokasi yang meliputi: sumber-sumber ekonomi dalam bentuk

BAB I PENDAHULUAN. utama, yaitu fungsi alokasi yang meliputi: sumber-sumber ekonomi dalam bentuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemerintahan suatu negara pada hakikatnya mengemban tiga fungsi utama, yaitu fungsi alokasi yang meliputi: sumber-sumber ekonomi dalam bentuk barang dan jasa pelayanan

Lebih terperinci

Subbag Hukum BPK Perwakilan Provinsi Sumatera Selatan

Subbag Hukum BPK Perwakilan Provinsi Sumatera Selatan PENGATURAN MENGENAI PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH SEBAGAIMANA DIATUR DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH www.kaltimpost.co.id I. PENDAHULUAN Dalam rangka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi otonomi daerah merupakan sarana

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi otonomi daerah merupakan sarana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Besarnya tuntutan reformasi di segala bidang yang didukung oleh sebagian masyarakat Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan di daerah akhir-akhir ini,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pusat dan daerah, bahwa pembangunan daerah sebagai bagian integral dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. pusat dan daerah, bahwa pembangunan daerah sebagai bagian integral dari 19 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Otonomi Daerah Menurut Undang-Undang No.33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, bahwa pembangunan daerah sebagai bagian integral dari Pembangunan

Lebih terperinci

BAB VIII KERANGKA EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB VIII KERANGKA EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN BAB VIII KERANGKA EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN Kerangka ekonomi makro dan pembiayaan pembangunan Kabupaten Sleman memuat tentang hasil-hasil analisis dan prediksi melalui metode analisis ekonomi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Otonomi Daerah Otonomi selalu dikaitkan atau disepadankan dengan pengertian kebebasan dan kemandirian. Sesuatu akan dianggap otonomi jika ia menentukan diri sendiri, membuat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah khususnya Daerah Tingkat II (Dati II)

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah khususnya Daerah Tingkat II (Dati II) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah khususnya Daerah Tingkat II (Dati II) merupakan titik awal pelaksanaan pembangunan, sehingga daerah diharapkan bisa lebih mengetahui potensi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. meningkatkan nilai tambah sumber daya alam. Sumber daya potensial yang

I. PENDAHULUAN. meningkatkan nilai tambah sumber daya alam. Sumber daya potensial yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan secara umum diartikan sebagai suatu usaha untuk lebih meningkatkan nilai tambah sumber daya alam. Sumber daya potensial yang dimiliki oleh suatu negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi yang dimulai beberapa tahun lalu telah merambah ke seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah aspek pemerintahan yaitu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2.1.1 Pengertian dan unsur-unsur APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada hakekatnya merupakan salah satu instrumen

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep, Konstruk, Variabel Penelitian 2.1.1 Akuntansi Pemerintahan Saat ini terdapat perhatian yang lebih besar terhadap praktik akuntansi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga

Lebih terperinci

BAB III PENGELOLAAN KEUANGAN DAN KERANGKA PENDANAAN

BAB III PENGELOLAAN KEUANGAN DAN KERANGKA PENDANAAN BAB III PENGELOLAAN KEUANGAN DAN KERANGKA PENDANAAN 3.1. Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Perkembangan kinerja keuangan pemerintah daerah tidak terlepas dari batasan pengelolaan keuangan daerah sebagaimana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan Nasional adalah untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan Nasional adalah untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan pembangunan Nasional adalah untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur yang merata baik materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila di dalam Negara

Lebih terperinci

BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH 34 BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Pengelolaan Keuangan Daerah merupakan rangkaian siklus Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang pelaksanaannya dimulai dari perencanaan,

Lebih terperinci

local accountability pemerintah pusat terhadap pembangunan di daerah.

local accountability pemerintah pusat terhadap pembangunan di daerah. BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undangundang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut pasal 1 ayat (h) Undang-undang RI Nomor Tahun 1999 tentang pemerintah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut pasal 1 ayat (h) Undang-undang RI Nomor Tahun 1999 tentang pemerintah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Otonomi Daerah dan Pemerintahan Daerah 2.1. Otonomi Daerah Menurut pasal 1 ayat (h) Undang-undang RI Nomor Tahun 1999 tentang pemerintah daerah, otonomi daerah adalah kewenangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi menjadi Undang-

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi menjadi Undang- BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi menjadi Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Pemerintah Daerah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Pendapatan Asli Daerah berdasarkan Undang-undang Nomor

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Pendapatan Asli Daerah berdasarkan Undang-undang Nomor BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pengertian Pendapatan Asli Daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah pasal 1 angka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan. Otonomi daerah memberikan kesempatan yang luas kepada daerah untuk berkreasi dalam meningkatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kehidupan baru yang penuh harapan akan terjadinya berbagai langkah-langkah

I. PENDAHULUAN. kehidupan baru yang penuh harapan akan terjadinya berbagai langkah-langkah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Era reformasi saat ini telah menghantarkan bangsa Indonesia memasuki suasana kehidupan baru yang penuh harapan akan terjadinya berbagai langkah-langkah perbaikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal bukan konsep baru di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal bukan konsep baru di Indonesia. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal bukan konsep baru di Indonesia. Perjalanan reformasi manajemen keuangan daerah dapat dilihat dari aspek history yang dibagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Salah satu landasan yuridis bagi pengembangan Otonomi Daerah di Indonesia adalah lahirnya Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Pengganti

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keuangan Daerah Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Organisasi sebagai satu kesatuan yang dinamis merupakan alat untuk mencapai

I. PENDAHULUAN. Organisasi sebagai satu kesatuan yang dinamis merupakan alat untuk mencapai I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Organisasi sebagai satu kesatuan yang dinamis merupakan alat untuk mencapai tujuan pokok. Pencapaian tujuan dalam suatu program kerja tidak saja bergantung pada konsep-konsep

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perubahan mendasar paradigma pengelolaan keuangan daerah terjadi sejak diterapkan otonomi daerah pada tahun 2001. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan Pemerintah Republik

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan Pemerintah Republik BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan Pemerintah Republik Indonesia disamping sektor migas dan ekspor barang-barang non migas. Sebagai salah satu sumber penerimaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Peran pemerintah daerah semakin meningkat dengan adanya kebijakan otonomi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Peran pemerintah daerah semakin meningkat dengan adanya kebijakan otonomi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Peran pemerintah daerah semakin meningkat dengan adanya kebijakan otonomi daerah. Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peranan yang sangat penting dari keuangan daerah adalah adanya otonomi daerah.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peranan yang sangat penting dari keuangan daerah adalah adanya otonomi daerah. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Otonomi Daerah Di dalam pembangunan ekonomi terutama pembangunan di daerah, peranan yang sangat penting dari keuangan daerah adalah adanya otonomi daerah. Otonomi daerah ditunjukkan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Otonomi Daerah Pergantian Pemerintahan dari Orde Baru ke orde Reformasi menuntut pelaksanaan otonomi daerah yang memberikan kewenangan yang lebih luas, nyata dan bertanggung jawab

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS 10 BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Tinjauan Teoretis 2.1.1 Otonomi Daerah Perkembangan akuntansi sektor publik di Indonesia tumbuh semakin pesat seiring dengan adanya otonomi daerah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sendiri berdasarkan pada prinsip-prinsip menurut Devas, dkk (1989) sebagai berikut.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sendiri berdasarkan pada prinsip-prinsip menurut Devas, dkk (1989) sebagai berikut. 3. Bagi masyarakat, memberikan informasi yang jelas tentang pengelolaan keuangan di Provinsi Sumatera Utara BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 4. Prinsip-prinsip pengelolaan keuangan daerah Pengelolaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Republik Indonesia No. 25 Tahun 1999 telah menyebabkan perubahan yang mendasar mengenai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Catatan Atas Laporan Keuangan (CALK) Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu Tahun 2015

BAB I PENDAHULUAN. Catatan Atas Laporan Keuangan (CALK) Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu Tahun 2015 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Maksud dan Tujuan Penyusunan Laporan Keuangan Laporan keuangan disusun untuk menyediakan informasi yang relevan mengenai posisi keuangan dan seluruh transaksi yang dilakukan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang seharusnya banyak disadari oleh masyarakat di Indonesia. Kesadaran

BAB I PENDAHULUAN. yang seharusnya banyak disadari oleh masyarakat di Indonesia. Kesadaran BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pajak merupakan pendapatan negara yang cukup potensial untuk dapat mencapai keberhasilan pembangunan. Penerimaan pajak berperan aktif dalam pembangunan nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penyelenggaraan pemerintahan serta pembangunan nasional, Indonesia menganut

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penyelenggaraan pemerintahan serta pembangunan nasional, Indonesia menganut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam penyelenggaraan pemerintahan serta pembangunan nasional, Indonesia menganut asas desentralisasi dengan memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan aspirasi masyarakat yang sejalan dengan semangat demokrasi.

BAB I PENDAHULUAN. dan aspirasi masyarakat yang sejalan dengan semangat demokrasi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Peralihan masa orde baru ke reformasi memberikan perubahan terhadap pemerintahan Indonesia. Salah satu perubahan tersebut adalah otonomi daerah yang merupakan

Lebih terperinci