Pesisir adalah wilayah laut sampai wilayah darat yang masih dipengaruhi sifatsifat

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Pesisir adalah wilayah laut sampai wilayah darat yang masih dipengaruhi sifatsifat"

Transkripsi

1 BAB III PENGETAHUAN DAN AKTIFITAS PENGELOLAAN MASYARAKAT NELAYAN TERHADAP EKOSISTEM PESISIR DAN LAUT Daerah pinggir laut atau wilayah darat yang berbatas langsung dengan bagian laut disebut sebagai pantai. Pantai bisa juga didefinisikan sebagai wilayah pertemuan dari dua segi yang berlawanan, yakni: - Dari segi daratan Pesisir adalah wilayah daratan sampai wilayah laut yang masih dipengaruhi sifat-sifat darat (seperti: angin darat, drainase air tawar dari sungai, sedimentasi) - Dari segi laut Pesisir adalah wilayah laut sampai wilayah darat yang masih dipengaruhi sifatsifat lau (seperti: pasang surut, angina laut, salinitas, intrusi air ke wilayah daratan) Adapun fungsi laut bagi bangsa Indonesia menurut hasil yang dicapai dalam seminar laut nasional menyebutkan antara lain: 1. Sebagai media komunikasi dan transportasi 2. Sebagai sumber mineral dan hasil-hasil tambang 3. Sebagai sumber daya hayati laut yang dapat menghasilkan sumber protein konsumtif di samping protein hewani yang berasal dari ternak potong dan nabati didaratan. 4. Sebagai media pertahanan dan keamanan nasional 5. Sebagai media olahraga dan sarana pariwisata yang mampu menghasilkan devisa Negara 56

2 6. Sebagi sumber ilmu pengetahuan. (Wibisono: 2005) Selain fungsi pesisir pantai dan laut seperti yang tertera diatas, pesisir pantai dan laut juga memiliki potensi kekayaan alam yang sangat besar. Seperti halnya dengan pesisir Pantai Timur Sumatera Utara. Potensi wilayah Pantai Timur Sumatera Utara yang memiliki garis panjai sepanjang 545 km berupa berbagai jenis ikan diantaranya: ikan pelagis, ikan demersal, ikan karang, dan berbagai macam jenis udang-udangan. Wilayah pesisir Pantai Sumatera Utara yang terdiri dari 7 kabupaten yaitu: Kabupaten Langkat, Kota Medan, Kota Tanjung Balai, Kabupaten Asahan, Kabupaten Labuhan Batu, Kabupaten Deli Serdang, dan Kabupaten Serdang Bedagai. Kabupaten Serdang Bedagai merupakan kabupaten pemekaran baru dari kabupaten induk yaitu kabupaten Deli Serdang dengan luas 1999,2 km2. Kabupaten Serdang Bedagai berbatasan langsung dengan Selat Malaka di Utara, kabupaten Simalungun di Selatan, Deli Serdang di sebelah barat dan kabupaten Asahan dan Simalungun di sebelah timur. Panjang garis pantai sepanjang 95 km mencakup lima kecamatan yaitu: Pantai Cermin, Perbaungan, Teluk Mengkudu, Tanjung Beringin dan Bandar Khalifah. Desa Pekan Tanjung Beringin Kecamatan Tanjung Beringin dan desa Pantai Cermin Kanan Kecamatan Pantai Cermin adalah wilayah pesisir kabupaten Serdang Bedagai yang memiliki potensi kekayaan hayati laut yang sangat besar namun sampai saat ini belum dikelola secara baik. Karakteristik ekosistem laut mewarnai geografis wilayah ini, paling tidak ada tiga jenis bentuk ekosistem laut diantaranya ekosistem hutan bakau (mangrove), muara sungai (Estuaria), dan Terumbu karang (Coral Reef). 57

3 Penyebaran ekosistem laut tersebut terkonsentrasi dan terbagi di berbagai tempat di dua wilayah ini. A. Ekosistem Mangrove (Bakau) Kawasan populasi hutan mangrove adalah hutan yang berada di daerah tepi pantai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut, sehingga lantai hutannya selalu tergenang air dikenal masyarakat dengan sebutan hutan bakau. Bakau menjadi salah satu lokasi masyarakat desa beraktifitas mencari biota-biota laut, menjaring ikan, menebang pepohonan bakau, mengambil daun nipah, sarana transportasi, kayu gelondongan, dan tempat pengelolaan budidaya udang. Pesatnya pertumbuhan penduduk dan meningkatnya kebutuhan ekonomi menimbulkan kawasan bakau yang menyimpan keanekaragaman hayati dan sebagai pusat kawasan pertumbuhan flora dan fauna laut (Nursery Groud) semakin menyempit terdegradasi oleh eksploitasi masyarakat terhadap sumberdaya didalamnya. Biota-biota, ikan dan tumbuhan bakau yang beranekaragam jenis telah dimanfaatkan penduduk sekitar untuk bermacam-macam keperluan sehari-hari antara lain dikonsumsi, obat, bahan bangunan dan bahan bakar. Penduduk setempat sebenarnya memahami fungsi bakau, namun mereka tidak begitu menghiraukan keberadaan bakau yang sangat bermanfaat dan hanya aktif menggali, mencari dan mengambil jenis hewan, tumbuhan bermanfaat untuk kebutuhan ekonomi atau konsumsi mereka tanpa memikirkan pengaruh merosotnya kelestarian kawasan ekosistem mangrove (bakau) sebagai daerah pertumbuhan. Pemahaman masyarakat tentang bakau sesungguhnya sudah sangat jelas. Bentuk pemahaman itu terlihat ketika mereka mengatakan bahwa hutan bakau adalah kumpulan pepohonan 58

4 yang hidup di sekitar tepi pantai, di pinggr muara atau bahkan dipinggir sungai yang dengan dengan muara yang didalamnya sering terdapat binatang-binatang tertentu seperti biawak, ular bakau, ketam dan lain-lain. Menurut sebahagian masyarakat di kedua desa hutan bakau memiliki banyak fungsi yang diantaranya adalah sebagai: - Tempat ikan serta udang bertelur dan juga merupakan tempat ketam bakau berkembang biak. - Benteng yang mencegah tanah dari erosi yang disebabkan oleh arus sungai/paluh atau akibat pasang surutnya air laut. - Sumber bahan bangunan dan bahan kayu bakar. Selain daripada itu yang namanya hutan bakau (mangrove), pepohonan yang ada didalamnya harus terdiri dari pepohonan yang biasanya berupa pohon bakau (Rhizopora), api-api (Avicenia), lenggadai, tengat dan lainnya. Menurut sebagian informan bahwa sebuah hutan bakau biasanya akan terdapat didalamnya berbagai hewan serta beberapa jenis ikan seperti ikan belacak. Di kawasan hutan bakau yang terendam oleh air laut maupun sungai akan terdapat berbagai jenis hewan air seperti udang-udangan, kepiting, dan berbagai jenis ikan-ikanan. Dalam banyak kajian diterangkan bahwa hutan bakau memiliki beberapa fungsi yaitu: 1. Perlindungan Pantai dengan ciri pohon-pohon yang kuat dan berakar banyak berfungsi sebagai peredam ombak dan mempercepat pengendapan yang dibawa oleh sungai-sungai sekitarnya. Tanaman mangrove dapat berfungsi sebagai penahan abrasi, pelindung pemukiman penduduk dan sarana perhubungan (jalan). 59

5 2. Pengendalian banjir yang ditandai dengan banyaknya pohon yang ada didalamnya dan fungsi ini akan hilang apabila tanaman ditebang. 3. Penyerapan bahan pencemaran yang bisa berupa gas buangan industri, kendaraan dan lainya. 4. Sumber energi lingkungan perairan. Daun tanaman mangrove berguguran, oleh jasad-jasad mikro diurai menjadi komponen bahan organik, menjadi sumber makanan bagi biota perairan seperti kepiting, udang dan sebagainya. Bagi daerah hutan bakau di sepanjang pantai akan merupakan daerah perawatan udang. 5. Penunjang kondisi lingkungan yang ditandai banyaknya manfaat hutan bakau bagi manusia dengan penggunaan peralatan yang baik dan dapat dikonservasi untuk menunjang program ekstensifikasi tambak maupun budidaya laut. 6. Sumber produksi kayu, dan ini diperjelas dengan kenyataan bahwa sejak dahulu hutan bakau telah dieksploitasi untuk berbagai macam kegunaan, yaitu kayu baker, arang, bahan balu pulp/kertas, bahan penyamak dan bahan bangunan. 7. Sumber produksi akuatik. Hal ini terjadi dikarenakan ekosistem mangrove terkenal sebagai penghasil bahan organik, yang merupakan mata rantai jaringan makanan di daerah patai, tempat bertelur dan memijah binatang perairan (ikan, udang) dan tempat berlindung (suaka alam) berbagai jenis binatang (burung, kalong, dan binatang mamalia lainnya). 60

6 8. Sumber rekreasi. Hutan mangrove merupakan tempat rekreasi yang nyaman untuk olah raga pancing, berperahu dan rekreasi burung (seperti burung pemakan ikan: Belekok rawa, Pecuk ular, trinil dan lainnya) 9. Sumber Pelindung. Hutan mangrove memberikan perlindungan terhadap angina dan gelombang ombang sehingga dibelakangnya terhindar dari erosi pantai. (Dahuri: 2000) Menurut masyarakat di kedua wilayah ini, kira-kira tahun 1980-an kondisi hutan Mangrove (bakau) masih sangat baik, hutan bakau masih sangat lebat dengan berbagai jenis tumbuhan mangrove didalamnya. Namun saat ini hutan tersebut sudah tidak ada lagi, saat ini yang ada hanya tumbuhan jenis nipah, api-api dan tumbuhan yang dapat hidup dalam kondisi air payau. Bakau yang berguna untuk perlindungan terhadap ombak laut sudah hampir habis, keberadaannya hanya tinggal beberapa saja yang masih hidup. Kondisi hutan mangrove di kedua wilayah sekitar tahun 1980-an terkesan begitu asri dan alami. Namun keadaan seperti itu tidak bisa dipertahankan dan pada akhirnya kemunculan tambak, pembangunan perumahan, perkebunan kelapa sawit serta perkembangan pariwisata berakibat penebangan dan penggundulan hutan bakau. Penebangan itu sendiri tidaklah dilakukan secara langsung melainkan tahap demi tahap. Pada mulanya hutan bakau yang ditebangi hanyalah yang berada disekitar wilayah pemukiman penduduk dan kemudian semakin meluas hingga akhirnya habis. A. 1. Pengumpul Daun Nipah Ada beberapa warga di dua desa ini yang memanfaatkan daun nipah sebagai penambah penghasilan ekonomi mereka. Pekerjaan pengumpul daun nipah (Nypa 61

7 puticans) yang tumbuh menyebar, mengelompok di daerah pasang surut dilakukan oleh sebagian warga yang berketrampilan merajuk daun sehingga membentuk atap yang berguna bagi atap rumah, dan tankahan. Ada beberapa warga di desa Pekan Tanjung Beringin malah memiliki kebun pohon nipah yang sengaja ditanami di belakang rumah mereka. Pohon nipah ini ditanam karena menurut mereka pohon tersebut mudah ditanam dan perawatannya tidak begitu sulit. Sekaligus pohon nipah tersebut bisa dijadikan penambah penghasilan bila hasil laut tidak mencukupi. Namun banyak diantara para warga masyarakat di dua desa ini mengambil langsung daun nipah tersebut langsung dari lahan-lahan hutan yang ada didua desa tersebut. Mereka biasanya melaksanakan pengambilan daun ketika siang hari dan ketika air surut. Biasanya yang melakukan pengambilan daun nipah ini adalah para perempuan beserta anak-anaknya dengan peralatan sederhana yaitu parang, tali dan beberapa kain sebagai alas pundak atau kepala,mereka ketika mengangkat daun nipah tersebut Setelah daun nipah terkumpul dirasa cukup maka periode berikutnya daun nipah dijalin membentuk atap bertulang bambu agar daun tersusun rapi, kemudian dijahit dengan tali pelastik maka terbentuklah sebuah atap yang siap dipasarkan dengan harga perlembar atap Rp tergantung kondisi nipah yang telah di bentuk tersebut. Para konsumen yang membeli tidak serta merta tiap hari ada. Mereka biasanya menunggu sampai dihargai atau dibeli oleh para peminat yang datang langsung ke tempat mereka tetapi tidak jarang pula mereka harus memasarkannya ke desa tetangga dengan menggunakan sepeda atau mereka langsung membawanya ke pasar terdekat. 62

8 A.2. Penebangan dan Pemanfaatan Hutan Bakau Saat ini di Pekan Tanjung Beringin dan Pantai Cermin Kanan tidak ada lagi hutan yang khusus dijadikan wilayah hutan lindung bakau (PPA) yang tidak boleh di ganggu dan dirusak. Hal tersebut dikarenakan wilayah hutan pada saat ini memang sudah tidak ada lagi. Yang ada hanya pohon-pohon yang dapat hidup diperairan payau saja seperti pohon nipah, bakau jenis api-api, dan berbagai tumbuhan yang tahan terhadap air payau. Pada awalnya, penebangan hutan bakau adalah untuk dijadikan areal tambak saja namun karena tambak-tambak yang dibangun tersebut lambat laun tidak menghasilkan lagi maka areal tersebut secara berlahan dirubah menjadi perkebunan kelapa sawit. Pepohonan bakau yang tersisapun tidak lebih dari satu lapis tanaman semata. Selain itu bila semakin menuju kearah daratan, sekarang ini perkebunanperkebunan juga dapat dijumpai semakin banyak. Hal ini mengakibatkan pemukiman penduduk desa Pekan Tanjung Beringin dan desa Pantai Cermin Kanan dikelilingi oleh perkebunan kelapa sawit, dan khususnya di desa Pantai Cermin Kanan yang saat ini merupakan salah satu tempat yang sedang dikembangkan oleh Kabupaten untuk pengembangan wisata. Menurut masyarakat setempat pembangunan objek wisata di desa Pantai Cermin tersebut juga telah melakukan penebangan hutan bakau yang ada untuk kepentingan pengembangan objek wisata tersebut. Seperti penuturan Ibu Tumini (desa Pantai Cermin): Dulu sebelum kawasan pantai wisata belum dibangun, hutan bakau masih ada disekitar sana, meskipun sedikit tapi masih bisa digunakanlah untuk mengambil kayunya, atau daun nipah sekalian juga bisa untuk melindungi desa ini dari ombak sama angin. 63

9 Pemanfaatan hutan bakau bagi masyarakat didua wilayah tersebut bukan hanya sekedar lokasi aktifitas pencaharian biota-biota laut atau ikan semata. Tidak menjadi rahasia lagi bagi para warga, kayu bakau banyak berguna untuk berbagai kebutuhan masyarakat seperti pembuatan pondasi bangunan, arang, kayu bakar dan lainya. Dahulu ketika keberadaan hutan masih sangat lebat dan asri, komersialisme kayu bakau sangat menggiurkan bagi masyarakat hingga saat ini. Sehingga mendorong masyarakat semakin menebangi pohon bakau. Sebatang pohon bakau yang standar saat ini mempunyai harga mencapai Rp /batang, panjang 5m dan diameter20- an cm. Dengan peralatan kampak atau parang mereka mengadakan penebangan walaupun berbagai resiko yang dihadapi. Untuk kayu arang atau pondasi bangunan biasanya standar yang harus dipunyai pohon bakau tersebut harus lebih bagus lagi. Sebab akan menentukan hasil arang atau ke kokohan pondasi bangunan. Pemasaran kayu bakau tergantung permintaan oleh para penampungnya. Selain kedua jenis penggunaan di atas kayu bakau yang kecil atau ranting yang sudah kering dijadikan untuk kayu bakar, dikumpulkan sampai banyak lalu dijual per ikatnya seharga Rp 1500 kepada para pembeli yang datang langsung atau dibawa ke pasar saat hari onan (pasar) tiba, bagian kayu yang kecil dan lurus terkadang dibuat pagar pekarangan rumah dan lantaran penjemur ikan. Perambahan hutan bakau saat ini sudah diatur oleh pemerintah dalam Undangundang No. 5 tahun 1990, tentang pengelolaan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dimana tercantum pelarangan terhadap pengerusakan hutan bakau. Udang-undang ini diberlakukan karena melihat keberadaan hutan pesisir pantai yang 64

10 sudah sangat buruk kondisinya dan untuk memelihara dan melindungi hutan yang masih ada saat ini. Masyarkat menyadari akan pelarangan tersebut namun bagi sebagian warga yang masih tergiur akan nilai ekonomisnya dan kurangnya bahan laut saat ini serta kurang tersedia lapangan pekerjaan yang lain bagi mereka, dengan cara apapun tetap melaksanakan penebangan walaupun dengan cara sembunyi-sembunyi, tetapi saat ini intensitasnya telah menurun sebab telah berkurangnya lahan pohon bakau yang berstandar ekonomis dan juga pihak pemerintah setempat mengontrol dengan ketat lahan-lahan bakau yang tersisa. Seperti penuturan bapak Bahtiar (desa Pekan Tanjung Beringin): Sudah sekitar 5 tahun terakhir pemerintah membuat larangan itu. Hasilnya penebangan lama-lama makin berkurang. Tapi aku rasa sia-sia aja karena hutan bakaunya udah habis duluan baru ada pelarangan. Itukan sama aja dengan bohong Dilihat dari keberadaan bakau di dua wilayah ini yang sudah sangat kritis, terlihat bahwa masyarakat tidak ambil pusing atas masalah ini. Dan pemerintah sepertinya hampir terambat mengatasinya. A. 3. Pertambakan Dan Perkebunan Sawit Potensi lahan hutan mangrove merupakan lirikan para pengusaha untuk menanamkan investasi pertambakan udang, karapu dan perkebunan secara besar dan profesional dengan dukungan modal, tenaga ahli pembudidayaan tambak dan kelapa sawit serta tenaga-tenaga buruh padat karya yang berfungsi merawat, mengawasi sampai usaha tersebut menghasilkan. Namun saat ini pertambakan kerapu di dua desa 65

11 ini sudah sejak lima belas tahun yang lalu sudah tidak produktif lagi. Hal ini dikarenakan kondisi air laut yang menurut para nelayan sudah tidak cocok lagi untuk dijadikan pertambakan kerapu. Air laut disekitar pesisir sudah menjadi tawar akibat pengikisan air laut yang sudah mencapai daratan sehingga aliran air sungai yang ada di desa tersebut mempengaruhi kondisi air laut. Dan yang dapat di budidayakan hanyalah budidaya tambak udang. Sarana pertambakan udang yang ada hanya ada di desa Pantai Cermin Kanan. Sementara di desa Pekan Tanjung Beringin sudah tidak ada lagi pertambakan apapun. Dahulu setidaknya keberadaan tambak udang dan kerapu mempengaruhi masyarakat setempat untuk ikut membudidayakannya, tentunya bagi mereka yang mempunyai kesanggupan modal. Saat ini lahan yang dikelola secara produktif untuk tambak udang air payau yang ada di desa Pantai Cermin Kanan ada sekitar 10 ha dari 25 ha lahan yang potensial. Pada tahun 2006 produksi usaha tambak udang tersebut kira-kira 14 ton dari 10 ha yang produktif tersebut. Hal tersebut menggambarkan bahwasanya bila seluruh lahan yang potensial (25 ha) di kelola secara baik dan terpadu maka produksi untuk tiap tahunnya pastilah akan memberikan hasil yang sangat tinggi bagi kondisi dan perekonomian kabupaten Serdang Bedagai pada umumnya. Sementara perkebunan kelapa sawit adalah usaha yang terbanyak yang saat ini dilakoni oleh para pemilik modal. Hampir separuh luas wilayah perkebunan tersebut menutupi desa Pekan Tanjung Beringin dan desa Pantai Cermin Kanan. Hal tersebut terlihat dari sepanjang jalan yang menuju kedua wilayah ini terbentang luas hamparan kelapa sawit. Menurut para masyarakat pembangunan perkebunan yang dilakukan di 66

12 dua desa ini sudah optimal dilakukan, karena sumbangan pajak terbesar adalah berasal dari perkebunan kelapa sawit tersebut. Dan ketika pembangunan kelapa sawit banyak sekali hutan-hutan bakau yang ditebang oleh para pemodal tersebut. Pembudidayaan udang dan Perkebunan kelapa sawit telah menyempitkan tempat aktifitas nelayan tradisional hutan bakau dalam berburu biota atau ikan yang bermanfaat. Akar-akar bakau sebagai lokasi pengembangan mengalami disfungsi begitu juga dengan sarang ketam, kerang-kerangan ikut terbongkar oleh mesin-mesin pembukaan areal pertambakan dan perkebunan. A. 4. Organisasi Pengelolaan Kawasan Hutan Mangrove Masyarakat nelayan di dua daerah ini umumnya tidak mengenal organisasi yang mengelola lahan-lahan bakau semenjak dahulu sampai sekarang. Masyarakat bebas beraktifitas di lokasi-lokasi yang memang dianggap sebagai lahan mata pencarian sebelum masuknya kepemilikan beserta investasi para pengusaha maka terjadilah perpindahan tangan atas otoritas kepemilikan suatu kawasan hutan bakau. Pranata-pranata desa sebagai lembaga yang mengatur akivitas budaya masyarakat tidak menyentuh kepada kepedulian aturan main dalam suatu eksploitasi sumberdaya laut. Termasuk hutan mangrove, lingkungan seakan independen dalam pandangan pemangku adat atau ketua-ketua agama. Tetapi tidaklah murni aturan main dalam masyarakat pesisir tidak menyentuh sama sekali akses kelingkungan hidup. Dahulu aturan melarang aktifitas perikanan pada waktu-waktu tertentu saat hari jum at dengan sangsi adapt pengucilan dari komunitasnya setidaknya berkolerasi terhadap masyarakat desa berinteraksi mengelola lingkungan laut termasuk hutan-hutan bakau. Namun saat ini norma-norma tersebut telah longgar, memudar dari hati nurani 67

13 masyarakat disebabkan perubahan konstelasi kebudayaan dari masyarakat bersangkutan, sejalan dengan krisis kemerosotan produksi sumberdyaa, moral masyarakat dan perkembangan teknologi yang semakin bersaing di antara komunitas masyarakat itu sendiri. Pranata masyarakat nelayan termarjinalisasikan beserta norma adat, agama yang selama beberapa dekade masih mewarnai kehidupan masyarakat pantai. Akhirnya rumah tangga individu-individu yang berusaha mengatur dirinya sendiri tanpa campur tangan norma yang ada menjadikan masyarakat pantai menjadi tanpa kesatuan sosial, hal tersebutlah yang menumbuhkan eksploitasi tanpa batas terhadap sumberdaya pesisir dan laut serta hutan bakau. Hutan Mangrove (bakau) pada dasarnya bukanlah kepunyaan semacam hak pribadi masyarakat tetapi telah mengalami polarisasi kepemilikan dan kepentingan orang-orang yang mengelolanya. Telah banyak lahan-lahan mangrove yang berubah fungsi menjadi tempat budidaya udang, pemukiman penduduk, dan pemabangunan perkebunan kelapa sawit yang terlebih dahulu lahan-lahan bakau ditebang lalu ditimbun dengan tanah. Dengan demikian kawasan bakau sebagai tempat keanekaragaman flora dan fauna semakin teracam punah yang akan berakibat langsung kepada aktifitas penangkapan ikan, pencarian biota yang menjadikan hutan bakau sebagai mata pencaharian sehari-hari atau tambahan para nelayan setempat. Masyarakat nelayan yang ada di dua wilayah ini cenderung memiliki persepsi yang bertolak belakang tentang keberadaan mangrove. Menurut sebahagian dari mereka yang tidak begitu peduli akan keberadaan bakau ekosistem mangrove tidaklah begitu 68

14 penting keberadaanya bagi warga dan sama sekali tidak mempengaruhi ekosistem sumberdaya laut. Seperti yang dikatakan oleh Bapak Suhairi (Pekan Tanjung Beringin): Hutan bakau sebenarnya enggak ada pengaruhnya sama bahan-bahan laut. Karena ikan, udang sama kepiting tetapnya ada walaupun enggak ada bakau. Karena bakau untuk melindungi pantai aja kok fungsinya. Hampir senada pula dengan perkataan Bapak Anwar (Pantai Cermin Kanan): Mana mungkin ikan-ikan, udang atau kepiting berkembang biak di hutan bakau. Buktinya aja sekarang enggak ada lagi hutan bakau, tapi tetap ada kok ikan, udang sama kepiting. Malah kadang-kadang makin banyak pun Pelarangan penebangan yang ada saat ini adalah oleh pemerintah. Dengan kekuasaan yang dimilikinya pemerintah bisa membuat keputusan hutan bakau di daerah mana yang bisa ditebangi dan mana yang tidak. Selama ini peran pemerintah mulai tampak dalam menjaga kelestarian hutan bakau di dua desa ini, namun tidak jarang pula pembukaan hutan bakau untuk dijadikan tambak udang terlihat dilakukan oleh oknumoknum pemerintah itu sendiri. Peraturan untuk menjaga dan melestarikan hutan bakau yang dianjurkan pemerintah melalui aparat-aparatnya sedikit yang masih dipraktekkan. Dan ada kalanya anjuran tersebut malah tidak dijalankan. B. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Dan Laut Trumbu karang di perairan dua wilayah ini, oleh masyarakat nelayan setempat sudah lama dikenal. Mereka mengenal trumbu karang dengan pengertian bahwa trumbu karang adalah kelompok karang-karang laut yang berada ditengah laut dan yang ditumbuhi berbagai macam rumput laut atau tumbuhan laut lainnya atau biasa disebut 69

15 hutan laut, yang merupakan sarang atau rumah bagi berbagai jenis ikan, udang, kerang, yang ada di dasar laut. Selain hutan laut masyarakat juga menamakan terumbu karang sebagai pondasi pulau sebab dimana terdapat pulau pasti terdapat juga gugusan trumbu karang, ditambah lagi masyarakat nelayan sering juga menyebut terumbu karang sebagai rumah ikan yang berada di dasar laut atau dapat juga ke permukaan membentuk pulau karang yang sewaktu-sewaktu sangat rawan bagi pelayaran kapal-kapal, sebab kapal mereka bisa mengalami kandas di karang tersebut. Gugusan karang merupakan lokasi-lokasi ikan-ikan, biota laut untuk mencari makanan, bermain dan berkembang biak (berpijah). Hampir seluruh jenis ikan akan datang mengunjungi kawasan karang, dan cirri khas yang dengan demikian itu makna masyarakat banyak memanfaatkan daerah terumbu karang sebagai lokasi operasional perburuan jenis-jenis ikan konsumsi, ikan hias, serta memanfaatkan biota-biota yang terdapat di daerah tersebut. Karang yang berada dilaut terbagi atau dibedakan juga berdasarkan jenisnya yaitu: 1. Sebutan dengan jenis karang Gadung (karang gedung) karena biasanya karang ini berbentuk besar dan luas. 2. Sebutan dengan jenis karang bunga. Disebut demikian karena karang ini terdiri dari berbagai macam tumbuhan atau bunga-bunga laut. Karang gadung, karang bunga (bunga karang) dan tumbuhan laut seperti jariamun, akar bahar dan anemone bersosialisasi membentuk terumbu karang yang memiliki asset keanekaragaman flora dan fauna yang sangat tinggi bermanfaat bagi nelayan maupun 70

16 bagi keseimbangan ekosistem lingkungan laut. Karang gadung sudah banyak digunakan sebagai bahan-bahan bangunan, pembuatan jalan, kapur dan lainnya. Karang bunga lebih banyak digunakan untuk hiasan rumah tangga, perkantoran dan lainya. Sedangkan jenis tumbuhan laut juga berguna sebagai bahan obat-obatan yang aktif dan mujarab diramu masyarakat nelayan. Kelompok karang bunga tumbuh diatas karang gadung, memerlukan waktu yang sangat lama untuk mewujudkan bentuk pendukungnya. Sekuntum bunga karang memerlukan waktu setahun untuk tumbuh setinggi 1 cm, dengan bentuk fisik setiap 1 cm 2 bulat melingkar, berlubang-lubang kecil atau pori-pori (Spoon) Yang menandakan umur bunga karang. Semakin besar kuntum bunga, semakin jelas garis-garis spoonya, berarti hampai sama dengan lingkaran tahun yang menentukan umur pada pohon-pohon di daratan namun pada karang sangat sulit menentukan umur kumpulan bunga karang, sampai saat ini belum terjawab secara ilmiah. Proses pengguguran alamiah dari bunga karang dan langsung berganti dengan tunas yang baru tumbuh, begitu seterusnya pertumbuhan bunga karang. Versi biologi laut terumbu karang dibentuk binatangbinatang karang hermatypik yang hanya hidup pada perairan kaut tropis. (Saptarni dkk, 1996.II.10 dalam Syamsuri Sulham, 2000). Terumbu karang senantiasa rentan terhadap kerusakan, kerusakan alamiah lebih disebabkan oleh faktor-faktor alam seperti terjadinya badai lautan yang menimbulkan gelombang air besar sehingga arus air menerpa bunga-bunga karang, biasanya setelah badai reda serpihan-serpihan bunga karang akan terlihat terdampar di tepi pantai. Namun karang gadung tahan akan terpaan arus laut sehingga sulit untuk mengalami kerusakan tanpa disengaja untuk mengusiknya, kemampuan untuk melawan gelombang 71

17 arus laut tersebut sangat penting bagi masyarakat pesisir pantai guna melindungi bahaya abrasi daratan atau laut yanbg sering ditimbulkan gelombang laut. Kerusakan terhadap terumbu karang yang lebih tinggi adalah oleh pencemaran perairan, pertambangan dan penerapan metode atau alat penangkapan ikan yang bersifat destruktif. Berdasarkan penelitian ilmiah pencemaran perairan penyebabnya adalah limbah logam-logam hasil endapan pemakaian pupuk pertanian (revolusi hijau), limbah pabrikpabrik yang mengalir dari hulu sungai menuju perairan laut serta endapan erosi lumpur atau tanah akibat banjir yang dapat menyebabkan rusaknya terumbu karang. Disamping itu limbah hasil rumah tangga yang langsung menuju laut, limbah industri perikanan dan akibat kegiatan pariwisata bahari dengan penyelaman bawah laut yang berlebihan seluruhnya unsure-unsur diatas dapat mengganggu kelestarian ekosistem laut khususnya terumbu karang (Syamsuri Sulhan, 2000). Nelayan yang selalu beraktifitas di lokasi karang memiliki kontribusi untuk merusak kawasan terumbu karang dengan penerapan penangkapan ikan yang menggunakan zat-zat kimia, pemboman, dan pengoperasian pukat harimau (trawl) yang selama ini menggunakan alat panel besi jarring yang dapat meratakan haling rintang karang sehingga jaring tidak mengalami kerusakan saat melewati gugusan karang. Sebaliknya nelayan tradisional dengan penerapan alat tangkap seadanya seperti pancing, perangkap, atau bubu/lukka setidaknya tidak menggangu kehidupan karang-karang sehingga dapat membantu kesinambungan pelestrian kawasan terumbu karang sebagai wilayah penangkapan utama mereka. 72

18 Saat ini keberadaan trumbu karang di kedua desa ini sudah sangat menghawatirkan. Di Tanjung Beringin kawasan lokasi trumbu karang yang masih baik ada di Pulau Berhala. Pulau ini memiliki kekayaan alam yang masih alami berupa keindahan trumbu karang bawah laut dan hutan tropis dengan keanekaragaman hayati yang tinggi serta menjadi habitat berbagai jenis flora dan fauna. Pulau Berhala tersebut masih alami karena pemerintah daerah Serdang Bedagai secara berkala mengawasi dan melindungi lokasi tersebut guna untuk melindungi sumber daya alam yang ada ditempat tersebut. Sementara di desa Pantai Cermin Kanan kondisi trumbu karang menurut masyarakat setempat sudah tidak ada lagi. Rusaknya lokasi-lokasi trumbu karang dimulai sejak 15-tahun terakhir dan dikarenakan oleh banyaknya nelayan luar dan nelayan setempat yang menangkap ikan dengan menggunakan alat tangkap yang tidak sesuai dengan zona yang telah ditentukan. Para nelayan tidak segan-segan menerapkan metode penangkapan dengan berbagai alat tangkap yang menggunakan teknologi canggih. Biasanya nelayan luar yang datang melaut ke wilayah tersebut adalah nelayan yang berasal dari Belawan, Tanjung Balai, dan dari luar pulau Sumatera. Mereka rata-rata menggunakan kapal yang sangat besar dengan alat tangkap berteknologi tinggi. Mereka melaut di wilayah Serdang Bedagai dikarenakan kondisi laut di tempat mereka sudah tidak bisa lagi diharapkan untuk memenuhi kebutuhan mereka atau dengan kata lain kondisi laut di wilayah mereka sudah rusak total, sehingga mereka pergi ketempat lokasi yang masih memiliki kondisi laut yang masih memiliki banyak ikan. 73

19 B. 1. Organisasi Dan Aturan Formal Terhadap Trumbu Karang Secara umum, masyarakat nelayan di kedua wilayah tersebut tidak mengetahui organisasi-organisasi yang mengatur tentang keberadaan dan kelestarian trumbu karang. Mereka hanya tahu bahwa pemerintah saja yang saat ini melarang penangkapan ikan yang ada disekitar trumbu karang, hal ini terutama ada didesa Pekan Tanjung Beringin. Sementara di desa Pantai Cermin Kanan yang tidak ada lagi memiliki trumbu karang yang masih bagus kondisinya tidak tahu sama sekali tentang larangan tersebut. Trumbu karang yang kondisinya masih bagus hanya terdapat di satu wilayah saja yaitu di perairan Tanjung Beringin. Trumbu karang tersebut sudah dilindungi oleh pemerintah daerah sekitar tahun 1995-sampai sekarang. Pelarangan tersebut dilakukan guna untuk melindungi suatu pulau kecil yang ada pada batas yang berdekatan dengan negara Malaysia. Pulau tersebut bernama Pulau Berhala, dimana menurut rencana pembangunan daerah kabupaten akan dijadikan sebagai tempat wisata bahari. Pranata di desa Pekan Tanjung Beringin dan desa Pantai Cermin Kanan tidak memiliki andil dalam mengatur pengelolaan sumberdaya laut baik trumbu karang atau hutan mangrove. Sebab pranata masyarakat lebih terfokus dalam peranan seremoni adat istiadat daripada mengurusi pengelolaan sumber daya dan pelestariannya. Ketiadaan organisasi pengelolaan baik organisasi berdasarkan adat (manajemen tradisional), orospol, LSM dan organisasi formal pemerintah yang memotavasi mekanisme pengelolaan berkelanjutan mengakibatkan nelayan-nelayan kurang memahami tindakannya. 74

20 Aparat desa tidak mampu berbuat banyak dalam mencegah para nelayan yang merusak karang dengan alat tangkap mereka, begitu juga nelayan setempat tidak mempunyai keberanian bertindak terhadap aktifitas penangkapan ikan oleh nelayan luar dilokasi yang seharusnya tidak cocok untuk alat tangkap mereka. Nelayan setempat berperinsip asalkan mereka tidak mengganggu alat tangkap nelayan setempat. B. 2. Wilayah Penangkapan atau jalur Penangkapan Secara umum komunitas nelayan desa Pekan Tanjung Beringin dan nelayan desa Pantai Cermin Kanan tidak mengenal atau batas-batas wilayah pengelolaan. Proses perburuan sumber daya laut lebih tergantung kepada kemampuan penerapan teknologi penangkapan nelayan di perairan, hal ini terbukti bila ikan timbul pada zona nelayan pantai 3-4 mil laut masih saja banyak terlihat pukat-pukat moderen seperti pukat cincin, bagan boat ber GT yang bebas beroperasi menangkap ikan sementara alat tangkap tradisional seperti bagan pancang, pukat tepi, jaring salam dan lain-lain tidak dapat berbuat apa-apa hanya melihat, mengomentari perilaku-perilaku nelayan moderen tersebut. Pemerintah melalui dinas perikanan sebenarnya telah mengeluarkan aturan zona-zona batas wilayah penangkapan bagi para nelayan sebagai katub pengaman berdimensi publik dalam rangka untuk pelestarian sumber daya laut dari kecenderungan eksploitasi yang berlebihan, disamping bertujuan untuk melindungi kepentingan nelayan-nelayan kecil. Maka surat keputusan Menteri Pertanian No. 607/Kpts/Um/9/1976 yang diperkuat Undang-undang No. 329/Kpts/IK.120/4/1999 tersebut secara mekanik berfungsi menghindari konflik kepentingan diantara pihak- 75

21 pihak yang berkompoten dalam mengeksploitasi potensi sumber daya laut melalui pengaturan jalur-jalur operasi penangkapan ikan. Pengaturan jalur-jalur penangkapan tersebut berhubungan dengan wilayah (Non ZEE) yang dapat digali dan penggunaan kapal, alat tangkap ikan yang sesuai. 1. Jalur penangkapan I, adalah perairan pantai selebar 3 mil laut yang diukur dari titik terendah pada waktu air surut, yang tertutup bagi: 1). Kapal penangkap ikan bermesin dalam (In Board) berukuran di atas 5 GT atau kapal penangkap ikan in board berkekuatan di atas 10 daya kuda (PK), 2). Semua jenis jaring Trawl, 3). Jaring Pukat cincin/langgar dan sejenisnya, 4). Jaring Pukat lingkar dan jaring pukat hanyut tongkol, 5). Pukat paying/lempar/banting diatas 120 m panjang dari ujung sayap atau kaki yang satu ke ujung yang lain. 2. Jalur penangkapan II, adalah perairan 4 mil laut yang di ukur dari luar garis jalur penangkapan I, dan tertutup bagi: 1). Kapal penangkapan ikan bermesin in board berukuran >25 GT atau penangkapan ikan bermesin in board yang berkekuatan di atas 50 daya kuda (PK), 2). Jaring Trawl dasar berpanel (Otte Board) yang panjang tali ris atas/bawah di atas 12 m, 3). Jaring Trawl melayang (Pelagis Trawl) jaring trawl yang ditarik dua kapal (Pair Bull Trawl), 4). Jaring Pukat cincin/langgar dan sejenisnya yang mempunyai panjang di atas 300-m. 3. Jalur penangkapan ikan III, adalah perairan selebar 5 mil laut yang diukur dari garis luar jalur penangkapan II, dimana tertutup bagi 1). Kapal penangkap ikan bermesin in board berukuran diatas 100 GT atau kapal penangkap ikan yang berkekuatan di atas 200 daya kuda (PK), 2). Jaring trawl dasar dan melayang 76

22 berpanel (Otter Boad) yang panjang tali rias atas/bawah di atas 20 m, 3). Pair Bull Trawl, 4). Jaring pukat cincin/langgar dan sejenisnya yang panjangnya di atas 600-m. 4. Jalur penangkapan IV, terbuka bagi: semua jenis kapal dan alat penangkapan yang sah terkecuali pair bull trawl hanya boleh beroperasi di perairan samudera Indonesia. Selain itu, disebabkan pula untuk semua jenis jaring yang ukuran matanya kurang dari 25 mm dan purse seine cakalang (pukat cincin tuna) yang ukuran matanya kurang dari 60 mm dilarang dipergunakan untuk semua jalur penangkapan. Dari bunyi SK Mentan No. 607/Kpts/Um/ 9/1976 diatas, sebagian nelayan terutama nelayan tradisional kurang tahu atau tidak tahu sama sekali dan merasa kabur dalam penentuan titik batas wilayah penangkapan, karena sifat territorial, apalagi bagi armada nelayan yang tidak dilengkapi dengan petunjuk arah dan jarak sedangkan nelayan moderen di sisi lain tetap saja melanggar aturan wilayah penangkapan di atas sehingga masalahmasalah yang berhubungan dengan konteks wilayah penagkapan ini masih memerlukan penanganan, khususnya dalam penentuan batas-batas permanen perairan yang menjadi acuan bagi jalur atau penangkapan ikan. Faktor-faktor mendasar yang menjadi acuan dalam penentuan kawasan penangkapan ikan berdasarkan atas: (a). jenis-jenis ikan yang dimanfaatkan atau jenis ikan yang berpeluang bagi pengembangan penangkapan, (b). bentuk dan geografi perairan, (c) migrasi dan penyebaran ikan-ikan, (d) ukuran dan jenis kapal perikanan, 77

23 (e). ukuran dan jenis alat tangkap, (f). dukungan kelembagaan perikanan dan peraturan yang telah ada (Dinas Perikanan Dati I Sumatera Utara, 1993, 122). Lokasi penangkapan ikan sangat bergantung kepada besarnya potensi lestari dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan, penyebaran sumber daya biota laut, ikan dan musim penangkapan serta tingkat produktifitas nelayan. Nelayan desa Pekan Tanjung Beringin dan desa Pantai Cermin Kanan tidak saja melakukan penangkapan ikan di perairan Sergai saja, namun mencakup seluruh perairan yang berada dekat dengan kawasan daerah mereka. Ruang lingkup penangkapan tergantung kemampuan daya jelajah dan penurunan produksi penangkapan yang ada di wilayah mereka. C. Jenis Alat Tangkap Nelayan Dan Pemanfaatan Sumber Daya Laut Pemanfaatan sumber daya laut yang dilakukan para nelayan tidak terlepas dari model-model perlengkapan atau peralatan penangkapan ikan. Pilihan dalam penerapan peralatan sebagai alat tangkapnya pada dasarnya harus sesuai dengan kondisi dan stok biota-biota didalamnya. Peralatan eksploitasi ikan sangat ditentukan menurut jenis alat, hasil tangkapan, daya jelajah teknologi pembantu, sumber daya nelayan (skill) sifat dan lokasi ikan serta pilihan nelayan dalam beradaptasi terhadap musim. Nelayan di dua wilayah ini terbagi aktif pada berbagai jenis unit nelayan yang mengoperasikan beraneka ragam alat tangkap dalam usahanya memanfaatkan ekosistem perairan laut. Jenis-jenis alat tangkap nelayan tersebut diantaranya adalah nelayan bagan pancang, bagan boat, pukat cincin (Purse Seine), jaring udang (Trammel Net), pukat pantai (Beach Seine Net), perangkap/bubu (Portable Traps), dan pancing (Line Fishing). Namun tidak jarang karena diakibatkan situsi dan kondisi keadaan perairan yang saat ini 78

24 tidak menentu banyak para nelayan yang memiliki jenis alat tangkap yang lebih dari dua jenis. Ketika musim satu jenis ikan yang menjadi sumberdaya laut yang biasa mereka tangkap mulai berkurang hasilnya maka mereka segera merubah jenis alat tangkap mereka dengna jenis yang berbeda untuk menangkap ikan yang menjadi musim disaat itu. Jenis-jenis alat tangkap yang ada di dua desa ini dapat dilihat dalam tabel data berikut: Tabel 6: Data Kapal Dan Alat Tangkap No Kapal/Perahu Motor Dengan Alat Tangkap Pekan Tanjung Beringin Desa Pantai Cermin Kanan 1. Purse Seine 7-2. Gill Net Trammel Net Line Fishing Trap Seine Net Drage Stow Net (Jermal) - 2 Jumlah Sumber: Data Base Perikanan Dan Kelautan Kabupaten Serdang Bedagai 2007 Keteranagan: Purse Seine : Pukat Cincin, Pukat Langgar, Pukat Lingkar Gill Net : Jaring Insang, Jaring Hanyut Tramel Net : Jaring Tiga Lapis, Jaring Lingkar, Jaring Insang Tetap Line Fishing : Pancing, Pancing Tonda, Jaring Appolo, Rawai Hanyut Seine Net : Payang, Dogol, Pukat Pantai, Songko, Langgei Drage : Penangkap Kerang, Penangkap Kepiting (Mangrove) Stow Net : Jermal 79

25 Karena sumber daya laut bersifat universal dan terbuka dalam penerapan zonazona penangkapan terdapat juga nelayan yang mengoperasikan jenis alat tangkap lain seperti nelayan pancing kakap, nelayan pukat gerandong (pukat Tarik), nelayan pukat ikan atau pukat harimau (PI/Trawl/Katrol), dan nelayan-nelayan penyelam biota-biota laut, meskipun alat tangkap tersebut tidak dipakai masyarakat setempat. C. 1. Nelayan Kawasan Hutan Mangrove Dan Pantai Komunitas nelayan hutan bakau (mangrove) dan kawasan pantai merupakan mayoritas kelompok nelayan yang menggunakan teknologi penangkapan tradisional terbatas kemampuan daya jelajahnya dan aktif beroperasi hanya disekitar kawasan bakau dan pantai disebut juga perikanan rakyat. C Nelayan Pencari Biota-biota Bakau Saat ini penduduk desa Pekan Tanjung Beringin dan desa Pantai Cermin Kanan yang melakukan aktifitas penangkapan biota laut yang ada di lokasi hutan bakau sudah hampir tidak ada lagi. Hal tersebut dikarenakan lokasi hutan bakau di dua wilayah ini hampir tidak ada lagi yang kondisinya masih baik. Keberadaan nelayan ini hanya beberapa orang saja yang tetap aktif melakukan penangkapan biota-biota laut di pinggiran bakau tersebut. Hewan yang banyak menghuni bakau diantaranya: dari jenis kerang-kerangan, hewan melata, ketpiting, siput, kepah dan lainnya. Kerang-kerangan yang hidup di bakau selalu berkelompok, untuk menandakan tempat mereka tidak terlalu sulit, biasanya mereka hidup berkoloni didalam lumpur bakau atau pasir lunak. Sementara untuk kepiting dan siput biasanya mereka berada di sekita akar-akar bakau yang 80

26 berlumpur dan beriaran. Para nelayan cukup menggunakan jaring yang khusus dapat menangkap kepiting. Biasanya mereka akan menebar jaring mereka di sekitar akar-akar bakau ketika air laut sedang pasang, dan setelah surut maka mereka akan datang kembali kelokasi dan mengambil jaring kepiting tersebut. Biasanya mereka selalu mendapatkan 5-10 ekor sekali menebar jaring setiap harinya. Pencarian biota-biota dilakukan biasanya pada saat air sedang surut di pagi hari, siang atau sore sehingga untuk berjalan di lumpur hutan bakau tersebut tidak akan sulit. Pekerjaan pencari biota-biota ini biasanya didominasi kaum wanita dewasa dan anak laki-lakinya, namun laki-laki dewasa dapat melakukan aktifitas ini meskipun jumlahnya lebih sedikit. Biasanya mereka akan mengumpulkan hasil pencarian mereka kedalam wadah masing-masing berupa ember, lalu bila ember mereka penuh maka akan dimasukkan kedalam satu wadah yang terbuat dari goni plastik yang berada didalam satu ember pastik atau baskom, lalu kemudian mereka akan menggotongnya secara bersama-sama. Pekerjaan ini bukanlah mata pencaharian pokok masyarakat nelayan, namun untuk sekedar menambah penghasilan atau untuk dikonsumsi sendiri oleh keluarga mereka. Hasil pencarian nelayan ini sekembalinya dari lokasi akan langsung dibersihkan dan kemudian di jual kepada pedagang pengumpul yang menjadi langganan mereka. Biota-biota ini saat ini dijual dengan harga Rp ,- per kilo, sementara pedagang pengumpul akan menjualnya dipasaran dengan harga Rp ,- per kilo. 81

27 C Nelayan Penangkap Ketam dan Kepiting Sama halnya dengan nelayan pencari biota-biota, nelayan penangkap ketam dan kepiting yang kebanyakan beroperasi di hutan bakau, saat ini sudah jauh berkurang jumlah nelayan yang melakukan aktifitas ini. Hal ini terjadi akibat kemerosotan kualitas dan kuantitas hutan bakau akibat perubahan fungsi, dan hal ini sangat berpengaruh terhadap hasil tangkap mereka dimana populasi ketam dan kepiting ini sudah berkurang. Diantara dua wilayah ini, nelayan yang melakukan aktifitas penangkapan kepiting yang paling banyak adalah di desa Pantai Cermin Kanan. Sementara di Pekan Tanjung Beringin hampir tidak ada nelayan yang melakukan aktifitas ini. Hal tersebut dikarenakan nelayan di desa Pekan Tanjung Beringin lebih terkofokus dengan jaring Gembung sebagai alat tangkapnya. Dan rata-rata nelayan di desa ini adalah nelayan buruh yang notabene tidak memiliki sampan/kapal pribadi. Di desa Pantai Cermin Kanan banyak yang melakukan penangkapan ini karena menurut mereka keadaan pesisir mereka memang dari dahulu sangat banyak kepitingnya sebagai sumber daya alam. Ditambah lagi biasanya nelayan yang melakukan aktifitas ini adalah nelayan dengan modal yang pas-pasan. Mereka juga menimbang struktur harga kepiting yang semakin hari semakin mahal harganya, jarang harga kepiting yang bisa turun drastis harganya. Ditambah lagi di daerah tersebut adalah wilayah wisata. Sehingga bila mendapat hasil tangkap akan segera laku terjual ke pedagang penampung dengan harga yang cukup mahal per kilonya. Saat ini harga kepiting per kilonya Rp ,- Penangkapan ketam dan kepiting ini termasuk zona perikanan pantai. Mereka biasanya menebar jaring mereka ke wilayah bakau yang hampir menuju laut kira-kira 82

28 30-50 meter dari pinggiran hutan. Biasanya mereka menebar jaring jam 4 pagi lalu sore datang kembali kelokasi sekitar jam 3 sore untuk melihat hasil tangkapan mereka. Jaring yang mereka gunakan biasanya adalah jaring yang di rajut sendiri oleh mereka. Mereka akan membeli bahan-bahan yang menjadi bahan utama pembuatan jaring yaitu benang, besi yang berbentuk bulat lonjong yang berukuran 1cm sebanyak yang mereka butuhkan, lalu jarum kait untuk mengkait benang-benang tersebut. Mereka biasanya membuat jaring dengan panjang kira-kira 10-30m dengan tinggi 40-50cm tergantung modal yang mereka punya. Hasil tangkapan mereka biasanya tergantung musim. Bila sekitar bulan Desember sampai pertengahan bulan February biasanya hasil tangkapan mereka banyak. Namun di sekitar bulan Maret sampai awal November maka hasil tangkap mereka tidak terlalu banyak. Biasanya hasil tangkapan mereka akan di jual kepada para pedagang yang memang khusus menampung hasil laut berupa kepiting. Para nelayan biasanya menjual kepada pedagang penampung yang menjadi langganan mereka. Ada hal yang cukup menarik dari hubungan pedagang penampung dan nelayan penangkap kepiting ini. Untuk mengikat para nelayan agar mau menjual hasil tangkap kepiting mereka, biasanya para pedagang ini akan langsung mendatangi si nelayan sehari sebelum si nelayan pergi kelaut. Hal ini mereka lakukan agar si nelayan tidak menjualkan hasil tangkapnya ke pedagang yang lain. Dan para pedagang ini akan memberi uang muka awal untuk nelayan sebagai tanda jadinya. Hal tersebut dikarenakan lokasi Pantai Cermin Kanan yang saat ini sedang mengembangkan wisata pantainya yang cukup terkenal yaitu Theme Park. Di lokasi wisata tersebut banyak 83

29 sekali rumah makan atau yang biasa disebut kafe oleh warga setempat menyediakan berbagai menu makanan yang terbuat dari bahan kepiting atau ketam laut yang harganya cukup mahal per porsinya sekitar Rp ,-. Dan menurut para pemilik kafe makanan yang terbuat dari bahan kepiting dan ketam tersebutlah yang menjadi primadona oleh para pengunjung pantai. C Penjaring Ikan Alat tangkap yang digunakan nelayan penjaring ini adalah jaring insang (gill net) yang berbentuk empat persegi panjang dan dilengkapi dengan pemberat-pemberat pada tali ris dibawahnya dan pelampung-pelampung pada tali ris di atasnya. Jaring ini dipasang tegak lurus dalam air dan menghadang arah gerak ikan atau dipasang melingkar. Ikan-ikan tertangkap karena tersangkut pada mata jaring atau tergulung pada jaring tersebut. Jenis ikan yang sering tertangkap oleh jaring ini adalah ikan belanak, ikan bulan-bulan, bandeng, tertangkap juga kedalam jaring saat dioperasikan. Pembuatan jaring dirakit sendiri dengan membeli bahan-bahan yang diperlukan seperti benang nilon, pelampung dan timah pemberat. Panjang jaring berkisar m, lebar 1-1,5 m. Total harga sebuah jaring gill net ini sekitar Rp ,- lebih murah dan hemat bila dibandingkan membeli jaring yang telah siap dari toko, begitupun jaring yang bentuk siap dari toko biasanya terlalu panjang dan lebar sehingga tidak sesuai diterapkan di perairan disana, serta daya tahan jaringnya pun kurang kuat dibanding buatan nelayan sendiri. Disamping alat tangkap jaring, alat tangkap jala (Cast Net) pun digunakan nelayan untuk berburu ikan daerah bakau, mereka menelusuri air setinggi pinggang 84

30 lantas menyebar jala pada lokasi-lokasi yang dianggap berikan. Jenis ikan yang tertangkap hampir sama dengan penjaring, aktivitas menjala hanya dilakukan seorang nelayan sedangkan menjaring terdiri dari dua orang nelayan dan tidak tertutup kemungkinan mereka menggunakan transportasi sampan (perahu) dalam mempelancar aktifitas menangkap ikan. C Nelayan Pukat Pantai (Beach Seine Net) Pukat pantai lazim disebut dengan jaring tepi, nelayan yang mengoperasikan biasnya selalu berkelompok 5-10 orang bahkan lebih terdiri dari seorang kepala regu, 2 orang pembangkit pukat lebihnya anak buah biasa. Bentuk pukat ini rata-rata lebar kotak jaring awal kurang lebih 5cm, lebar jaring penghalang atas bawah 1 m dan lebar kotak kantong jaring tempat terperangkapnya ikan 2 mm dengan demikian ikan kecil 1cm bila masuk kantong jaring maka akan terperangkap. Jaring juga dilengkapi dengan pelampung pengapung berjarak 1m antar pelampung terbuat dari bahan gabus jika tidak nelayan menggantikan dengan sandal bekas, sebagai pemberat terbuat dari batu atau timah seberat 3-6 Kg yang terletak pada ujung jaring pukat tepi. Harga satu unit pukat tepi Rp jika dibeli siap, namun nelayan cenderung merakit sendiri bahan-bahan jaring sehingga terbentuk sebuah jaring pukat yang siap pakai dengan alasan lebih hemat biaya dan kualitas jaring lebih tahan lama atau kuat dibanding jaring yang dibeli siap pakai dari toko. Pembuatan satu unit jaring membutuhkan sekitar 1 bulan yang dikerjakan secara bersama-sama dengan anggotaanggota. 85

31 Saat ini yang masih menekuni alat tangkap model pukat tepi hanya nelayan yang tidak memiliki modal yang besar, baik di desa Pekan Tanjung Beringin maupun Pantai Cermin Kanan. Para nelayan dalam operasi penangkapan selalu membawa bekal makan siang (akomodasi) sebab tidak ada waktu untuk kembali ke rumah saat menjatuhkan jaring di pantai yang agak jauh dari tempat tinggal mereka atau mereka cukup makan dan minum di warung-warung terdekat dengan pusat operasi dan penjual ikan tangkapan. Pukat tepi beroperasi di perairan laut yang landai atau berlumpur harus menghindari kawasan terumbu karang sebab akan menghambat kelancaran jaring, karena jaring akan tersangkut pada karang dan akan fatal akibatnya pada jaring. Namun tidak jarang juga ada beberapa nelayan yang berani menebarkan jaring di areal trumbu karang, biasanya mereka mengambil resiko tersebut dikarenakan alasan ketiadaan ikanikan di luar perairan trumbu karang tersebut. Biasanya mereka yang menebar jaring di areal trumbu karang dengan memperhitungkan titik rawan dan mekanisme penarikan jaring untuk menghindari kerusakan. Faktor musim sangat mempengaruhi kinerja nelayan pukat tepi, arus deras saat bulan-bulan musim Barat Desember-Maret terkadang mengganggu penebaran dan penarikan jaring sebab jaring akan menyamping terbawa arus menyebabkan ikan sukar terperangkap, tetapi suasana ini tidak selalu datang. Musim Barat menurut kebiasaan nelayan ikan cenderung ke pinggir, air laut keruh maka musim ini menjadi masa panen nelayan pukat tepi. Dibandingkan pada Musim Timur bulan Juni-September dan musim peralihan (Musin Selatan) bulan April, Mei, Oktober, Nopember menurut kebiasaan air 86

32 laut tenang, jernih menyebabkan kecenderungan ikan akan ketengah, dan dikarenakan air laut terlihat jernih, ikan akan melihat ketika jaring sedang ditebarkan sehingga ikanikan akan sangat sulit untuk terperangkap di jaring. Bila keadaan begini maka nelayan pukat tepi melaksanakan operasi pada malam hari. Dimana menurut mereka keliaran ikan berkurang saat malam. Namun para nelayan pukat tepi ini bila mengadakan operasi di malam hari akan bersaing dengan para nelayan bagan pancang, bagan boat dan pukat cincin sebab mereka aktif melampu ikan (menangkap ikan) di tengah laut dengan demikian lampu ransangan akan menghambat arah ikan ke peinggir, ikan akan lebih tertarik kepada gejala fototaksis (gerak rangsang makhluk hidup untuk bergerak menuju cahaya atau benda yang bercaya) alat-alat tangkap moderen. Hambatan teknis maupun non teknis sangat mempengaruhi hasil pendapatan mereka, semakin hari pendapatan mereka semakin menurun sebab utamanya adalah persaingan alat tangkap perairan laut yang makin kompleks, daya efektifitas pukat tepi dan semakin berkurangnya persediaan ikan (over fishing) di pesisir dan laut. Seperti penuturan seorang informan Agustaf (Pekan Tanjung Beringin): Dulu kita tidak perlu ketengah laut untuk menangkap ikan, cukup dipinggir-pinggir saja sudah banyak ikan yang dapat. 1 atau 2 kali tebar jaring ikannya sudah banyak yang dapat. Dulupun musim mempengaruhi hasil tangkapan tapi sekarang karena ikan mulai berkurang jadi musim tidak diperhitungkan lagi. Banyaknya persaingan antar nelayan aja sudah membuat hasil laut berkurang. Apalagi 87

33 ditambah nelayan yang datang dari luar pakai pukat yang seharusnya tidak boleh dipakai di pinggir, maka ikan-ikan jadi cepatlah habisnya. Pemorsiran nelayan pukat turun untuk melaut terdorong oleh semakin sulitnya mendapatkan hasil tangkap maksimal sehingga mengenyampingkan faktor-faktor musim (gejala alam) terkecuali cuaca yang sangat rawan baik aktifitas turun beroperasi, selama ini musim seyogyanya menjadi perhitungan kaun nelayan dalam penangkapan ikan. Hasil tangkap nelayan pukat tepi berupa ikan pelagis seperti ikan asoaso/gembung, gembung kuring, teri/bada, bawal, tenggiri, pandan-pandan, sinangin dan lain-lain. Ikan demersal (button Fish) seperti sumbelang, pari, jenis udang-udangan (udang putih, udang kelong, udang windu, udang batu, udang kotak dan lain-lain). Biasanya jenis-jenis hasil tangkap sesuai dengan musimnya, namun saat ini tidak tentu lagi. Ikan hasil penangkapan sangat bervariasi dan masih berdasarkan kecenderungan musim-musim koloni-koloni jenis ikan yang terdapat dalam areal perairan. Tetapi tidak jarang nelayan hanya mendapatkan banyak berjenis-jenis ikan namun sangat sedikit hasilnya sehingga harus dipilih ikan-ikan yang berkualitas baik, berharga mahal bila dipasarkan seperti tenggiri, aso-aso/gembung dan lain-lain. Ikan-ikan seperti itu nelayan menyebutnya dengan istilah lauk baik (ikanbagus) sedangkan ikan berharga rendah disebut dengan istilah lauk campur. Biasanya ikan-ikan tersebut tidak dijual, nelayan mengolahnya menjadi ikan asin supaya agak terangkat harganya jika dijual kepasar. 88

34 Saat operasi penangkapan di antara kru nelayan pukat terkadang mengkombinasikan alat tangkap tepi dengan jaring lampu disebut dengan istilah melampu, dengan melilitkan jaring ke arah kantong pukat kegunaannya menangkap ikan-ikan yang terlepas dari jaring pukat, dilaksanakan ketika jaring utama telah berada 10-15m dari tepi pantai. Jika ikan dirasa banyak masuk jaring tetapi banyak yang terlepas maka dihambat dengan jaring lampu, biasanya dilakukan 2-3 orang nelayan dengan merenangkan jaring untuk melilitkannya. Jaring lampu sama seperti jaring gill net, besar mata jaring 1-2cm dilengkapi dengan pemberat. Hasil tangkapan jaring ini hanya dibagi kepada nelayan aktif melampu sebagai penambah dari pembagian hasil tangkapan pukat tepi. Pemasaran ikan hasil tangkapan nelayan ada dua jenis. Yang pertama dengan sistem penjualan hasil langsung kepada toke-toke mereka, yang kedua dengan menjualnya secara langsung dengan sistem borong per keranjang kepada para pedagang berjalan atau langsung dengan konsumen yang biasanya adalah masyarakat setempat dengan harga kiloan. Bila dijual kepada si toke, maka harga akan ditentukan oleh toke mereka tersebut. Biasanya nelayan yang menjual kepada toke adalah nelayan yang mempunyai ikan patron-klien. Si toke adalah patron dan si nelayan adalah kliennya. Sistem ini ada dikarenakan si nelayan adalah nelayan yang tidak memiliki kapal/boat sendiri sehingga mereka bekerja membawa kapal milik toke dengan perjanjian bahwa hasil yang ditangkap akan dijual hanya kepada toke. Ada pula yang hubungan antara toke dan nelayan adalah hubungan pinjaman modal melaut. Biasanya nelayan tersebut memiliki perahu sendiri namun ketika melaut mereka meminjam atau meminta dana 89

35 dari seorang toke ketika mereka akan melaut. Hal ini dilakukan oleh nelayan karena mereka kehabisan modal atau sedang dalam kesulitan keuangan sehingga mereka akan berhutang dengan si toke. Pembayaran yang dilakukan oleh nelayan dengan cara menjual hasil laut mereka kepada toke. Mekanisme lelang melibatkan beberapa orang pembeli yang terlebih dahulu berembuk, mengumpulkan uang untuk modal membeli ikan tersebut, setelah ikan sesuai harganya dengan nelayan ikan yang dibeli itu dilelangkan kembali kepada anggota-anggota pengumpul modal tadi. Jika telah ada yang bersedia membeli maka ia akan mengembalikan modal awal hasil pengumpulan untuk membeli ikan dari nelayan kepada pihak-pihak yang terlibat rembuk pengumpul modal tersebut. C Nelayan Jaring Gembung (Jaring Salam/Gill Net) Komunitas nelayan yang menggunakan jaring gembung lebih banyak di desa Pekan Tanjung Beringin. Hal ini terlihat dari aktifitas mereka yang setiap hari melakukan penangkapan dan perawatan jaring di pelataran-pelataran mereka. Menurut data Base Perikanan dan Kelautan Kabupaten Serdang Bedagai tahun 2007 perbandingan antara kedua desa ini, jumlah nelayan yang menggunakan jaring ini adalah untuk desa Pekan Tanjung Beringin sebanyak 84 nelayan dan untuk desa Pantai Cermin Kanan sebanyak 15 nelayan. Jaring ini banyak digunakan nelayan yang pemasangannya dibiarkan hanyut mengikuti arus dan salah satu ujungnya diikatkan pada perahu/kapal atau nelayan sering meninggalkan/menahan jaring tersebut selama beberapa jam sebelum ditarik kemabali yang ditandai dengan pelampung-pelampung 90

36 kecil sebagai tanda lokasi jaring terpasang. Tetapi jaring ini juga dapat dilingkarkan sesuai dengan inisiatif nelayan dalam pengoperasiannya. Wilayah penangkapan jaring adalah jalur I, 3 mil laut. Namun pada prakteknya nelayan sampai ke jalur II dan III, 4 sampai 12 mil laut dan zona terbuka bagi seluruh nelayan karena biasanya kemampuan mesin kapal untuk melakukan pengoperasian ini sudah memadai untuk mengadakan penjelajahan daerah penangkapan. Pengoperasian alat ini dibantu dengan kapal/boat bermesin 3-15 PK disamping mesin tempel. Satu unit kapal/boat terdiri dari 1-2 orang anggota kru, panjang jaring 2-4 set atau sama dengan m. Jaring terbuat dari benang nilon, ditambah pelampung, timah pemberat dan tali ris untuk penarik jaring. Lebar mata jaring tergantung jenis dan besar ikan yang akan ditangkap yaitu anak pari, hiu dan ikan sebelah dapat pula tertangkap. Tetapi pada umumnya jaring ini dikhususkan untuk menangkap jenis-jenis ikan aso-aso/gembung, gembung kuring, dan lainnya. Harga jaring gembung berkisar Rp ,- dengan ukuran 24 kaki. Nelayan jaring gembung beroperasi 2 kali sehari, waktu pagi hari jam WIB kemudian dilanjutkan jam WIB. Pemilihan waktu tersebut berhubungan dengan perubahan pola siklus angin darat menuju laut dan dari laut menuju darat hal ini menurut nelayan berkorelasi dengan kecenderungan ikan untuk timbul dalam bermain dan mencari makan. Nelayan jaring ini juga beroperasi bersamaan dengan bagan boat saat mengatrol jaringnya untuk memburu ikan-ikan gembung/aso-aso, menurut mereka bagan sulit untuk menangkap ikan-ikan tersebut 91

37 yang sering terlepas dari perangkap mereka untuk itu nelayan jaring salam telah siap menghambat ikan-ikan itu dengan alat tangkap yang mereka miliki. Dalam pengoperasiannya jaring gembung ini mudah sekali mengalami kerusakan. Kerusakan jaring bisa saja diakibatkan tersangkut di karang atau ada kepiting yang terperangkap yang dapat memutuskan benang-benang jaring karena terkadang dioperasikan didasar laut. Dan bila dalam kondisi seperti ini nelayan terpaksa selalu menambal agar jaring kembali layak pakai. Untuk memperbaiki jaring biasanya akan mengeluarkan dana yang tidak sedikit. Bila kerusakannya tidak begitu parah maka nelayan akan mengeluarkan dana minimal Rp perharinya, tetapi bila kerusakan cukup parah maka nelayan akan mengeluarkan dana bisa sampai minimanl Rp ,- perharinya. Kegiatan penambalan ini biasanya dilakukan disaat para nelayan sedang tidak melaut, dan dilakukan dipelataran para toke mereka. C Nelayan Jaring Udang (Trammel Net) Penangkapan menggunakan jaring udang mulai berkembang setelah nelayan mengetahui banyaknya sumber daya jenis udang di perairan Serdang Bedagai. Ditambah lagi nilai jual berbagai jenis udang yang sangat tinggi saat ini, membuat para nelayan tertarik untuk menangkapnya. Desa yang banyak menggunakan alat tangkap ini adalah desa Pantai Cermin Kanan dengan jumlah 62 nelayan, sementara untuk wilayah desa Pekan Tanjung Beringin saat ini menurut data Base Perikanan dan Kelautan Kabupaten Serdang Bedagai tahun 2007 tidak ada yang menggunakan alat tangkap ini. Mulanya tidak ada alat khusus yang diterapkan, udang-udang tertangkap oleh jaringjaring yang sering mereka gunakan dan yang tertangkap hanya beberapa ekor saja. 92

38 Pengalaman dan nilai harga jual yang tinggi mendorong nelayan untuk menyiapkan alat khusus untuk menangkap udang-udangan yaitu jaring udang (Trammel Net). Jaring udang adalah jaring yang berbentuk empat persegi panjang yang terdiri dari tiga lapis jaring, dimana ukuran mata jaring bagian dalam lebih kecil sekitar 2 cm daripada kedua lapis jaring luarnya selebar 4 cm. Tujuan utama penangkapan alat ini adalah jenis udang sehingga pemasangannya dilakukan di dasar perairan. Bahan jaring terbuat dari benang pukat dan benang nilon biasanya berwarna-warni, bagian dalam berwarna putih sedangkan luar biru atau merah tetapi ada juga seluruhnya benang jaring berwarna polos putih atau biru. Panjang jaring berkisar m. Jaring udang hanya dapat dibeli dalam bentuk siap pakai sebab nelayan tidak mampu menjalin tiga lapis seperti jaring gembung. Harga rata-rata per unit jaring udang berkisar Rp ,- Pengoperasian alat tangkap masih termasuk aktifitas perikanan pantai di jalur I dengan bantuan biduk atau boat berkekuatan 2 PK. Nelayan kadang mengkombinasikan jaring udang dengan jaring gembung/salam, sebelum menjaring terlebih dahulu menahan jaring udang yang dilaksanakan pada sore hari, lama waktu penahanan selama sepanjang malam apabila jaring udang diangkat kembali atau dapat juga hanya beberapa jam sebelum penarikan dilakukan. Sasaran utama jenis udang yang ditangkap adalah jenis udang kelong, udang maradona, udang windu karena nilai ekonominya sangat tinggi sekitar Rp ,-/kg bila dijual ke penampung/toke tetapi jika dijual ke pasar dapat pencapai Rp ,-/kg. Sedangkan jenis udang batu kualitas nomor dua hanya seharga Rp

39 8.500,-/kg. Namun harga tersebut saat ini bisa saja berubah naik atau pun turun bila persedian hasil tanggkap nelayan banyak ataupun sedikit. Dalam pengoperasian jaring udang mudah sekali mengalami kerusakan. Kerusakan jaring bisa diakibatkan tersangkut di karang atau ada kepiting yang terperangkap dapat memutuskan benang-benang jaring karena dioperasikan di dasar perairan laut, bisa juga rusak dikarenakan banyaknya benda-benda atau sampah-sampah yang terbuat dari ranting-ranting kayu yang hanyut ke lautan. Dalam kondisi seperti itu terpaksa nelayan menambal agar jaring kembali layak untuk dipergunakan. Biasanya dalam memperbaiki jaring tersebut para nelayan mengeluarkan biaya yang cukup banyak tergantung kerusakannya. Semakin parah kerusakan maka biaya yang dikeluarkan akan semakin besar. C Nelayan Pancing acar (Line Fishing) Alat pancing Acar adalah sejenis pancing yang pada talinya terdapat puluhan mata pancing bahkan bisa sampai ratusan mata pancing (kail) tergantung pada kemampuan modal para nelayan. Pancing dengan rupa kail seperti garpu dimasukkan ke dalam laut, kemudian dengan berlahan akan di tarik dengan sentakkan bila ada kumpulan ikan yang melintas di mata kail jaring ini agar ikan tersebut dapat tersangkut ke mata kail yang berjumblah banyak tadi. Biasanya mata kail jaring ini tidak di beri umpan namun ada pula beberapa nelayan yang menggunakan umpan sebagai penarik perhatian ikan-ikan. Jika ikan memakan umpan tersebut maka pancing akan disentak dan ditarik. Umpan yang dipakai adalah umpan mati dan umpan hidup, umpan mati antara lain ikan kecil teri, cumi-cumi 94

40 dan lain-lain. Sedangkan umpan hidup biasanya digunakan jenis udang bakau, menurut pengalaman para nelayan yang menggunakan jaring ini ikan-ikan lebih menyukai memakan umpan yang hidup seperti ikan kakap, gabu, kerapu dan lainnya. Para nelayan yang menggunakan jaring ini biasanya memilih lokasi penangkapan di kawasan terumbu karang dan lokasi-lokasi bagan pancang yang telah runtuh dan tidak dipergun akan lagi. Waktu yang mereka pergunakan menangkap ikan biasanyanya pagi hari WIB karena saat itu air laut masih tenang, jernih dan ikan pun biasanya tidak enggan memakan umpan pancing. Kemudian saat sore hari menjelang malam, diluar waktu tersebut ikan-ikan enggan memakan umpan karena angin biasanya telah berhembus kencang dan membuat air menjadi keruh. C. 2. Nelayan Lepas Pantai Dan Laut Lepas Nelayan Lepas Pantai melakukan aktifitas di perairan wilayah jalur penangkapan ikan III, adalah perairan selebar 5 mil. Semantara nelayan Laut Lepas memusatkan aktifitas penangkapan ikan di wilayah perairan yang sangat dalam dan bebas di luar kedua kawasan pantai lepas pantai dengan mengaplikasikan teknologi penangkapan yang sangat moderen dan kemampuannya pun cukup besar untuk mengeksploitasi segala sumberdaya perikanan di perairan laut dalam. Nelayan Pekan Tanjung Beringin untuk wilayah perairan laut lepas ada sekitar 7 kapal nelayan yang beroperasi di wilayah tersebut, sementara untuk Pantai Cermin Kanan tidak ada nelayan yang beroperasi di wilayah laut lepas. Rata-rata nelayan yang beroperasi pada wilayah tersebut adalah nelayan yang datang dari luar daerah seperti Tanjung Balai, Belawan, Sibolga dan lainnya. Nelayan di kedua desa ini tidak banyak 95

41 beroperasi diwilayah tersebut dikarenakan rata-rata nelayan di dua desa tersebut adalah nelayan yang masih memiliki modal yang kecil atau dengan kata lain masih tradisional. Sementara nelayan-nelayan yang beroperasi di wilayah Lepas Pantai dan Laut Lepas harus memiliki kapal yang besar dan alat tangkap yang canggih. Dan untuk memiliki alat tangkap tersebut para nelayan harus mempunyai uang yang cukup banyak. Dengan kata lain bila ada yang menggunakan alat tangkap ini maka nelayan tersebut dapat dikatakan adalah nelayan yang kaya. C.2.1. Bagan Boat (Boat Lift Net) Desa Pekan Tanjung Beringin dan Pantai Cermin Kanan tidak ada yang mengoperasikan alat ini. Nelayan yang mengoperasikan alat ini adalah nelayan yang berasal dari luar wilayah Sergai. Bagan Boat merupakan sarana penangkapan kapal motor berkonstruksi kayu keras dengan panjang buritan sampai 20-30m. Daya mesin Bagan Boat 150 PK dan GT umumnya memakai mesin merek Kubota, Fuso, Hino, Isuzu, Mitsubishi yang khusus didatangkan dari Taiwan dan Thailand, dilengkapi dengan fasiltas kotak es pendingin, fish fender dan lampu pijar, halogen berkekuatan total watt, jumlah 34 lamou holagen setiap lampu memerlukan watt. Alat tangkap ikan utama yang digunakan adalah jaring angkat (lift net) ukuran mata jaring 2-3 mm dan panjang m, lebar 15 m 2 yang ditarik dan dijatuhkan dengan gulungan (katrol) bertenaga mesin bersamaan dengan kerangka bagan (jaring) terbuat dari kayu-kayu kecil memanjang, dibingkai berbentuk segi empat masuk ke dalam laut sedalam 20-40m. Posisi bergandengan cadik kapal berbentuk tangan-tangan tempat jaring turun naik. Kelengkapan lain yang digunakan radio single band (SSB), 96

42 peta laut, kompas manual, atau digital merangkap dengan deteksi fish fender yang menentukan posisi kapal, jarak tempuh, kedalam laut, kecepatan angin, arus laut, posisi ikan. Semuanya mempermudah nelayan dalam mengoperasikan dan untuk berkomunikasi antar sesama nelayan mengenai situasi dan kondisi perairan, cuaca, lokasi ikan, bergerombol serta menghubungkan nelayan dengan toke, pemasaran, dan pihak keamanan laut. Inisiatif untuk merubah teknologi yang digunakan dalam penangkapan ikan tergantung ketersediaan modal yang sangat sulit dirasakan para nelayan kecil untuk menyediakan modal sebesar itu, hanya nelayan-nelayan modal besar dapat menyediakan dana demi merubah alat tangkap mereka. Keunggulan bagan boat dibanding bagan tradisional terletak pada kemampuan jelajah dan gaya manufer mencakup kawasan wilayah penangkapan ikan (fishing ground). Di samping itu bagan boat lebih mudah dipindah-pindahkan ke lokasi-lokasi tertentu yang dianggap lebih melimpah stok ikannya dengan bantuan alat deteksi ikan yang mampu memantau lokasi ikan, jumlah, jenis dan kedalaman laut dengan radius 1 mil laut. Jenis-jenis ikan yang tertangkap adalah ikan-ikan pelagis antara lain ikan teri, ikan jenis gembung, aso-aso, tenggiri, ikan tongkol, bawal, sotong dan jenis cumi-cumi. Proses penangkapan merupakan inti kegiatan kru bagan boat dalam menghasilkan produksi ikan maksimal, keberhasilan dalam proses penangkapan berkaitan dengan persiapan yang dilakukan seperti kelayakan bagan boat beroperasi, modal kerja, kerjasama kru. Selain itu planing di darat akan teruji melalui proses 97

43 penangkapan, yang tergantung pada kerjasama, keterampilan dan etos kerja masingmasing kru serta peran tekong sebagai pemimpin operasi. Wilayah penangkapan bagan boat menurut aturan baku berada pada jalur III antara 8-12mil dan perairan bebas, namun pada prakteknya sangat tergantung pada putusan tekong dengan berbagai pertimbangan kecenderungan lokasi kantong ikan. Kemampuan mesin telah mempermudah nelayan bagan boat menjelajahi wilayah penangkapan sampai ke perairan Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bengkulu dan Aceh. Penyusuran lokasi penangkapan dilakukan siang sampai sore hari sembari dikombinasikan dengan metode deteksi fish fender. Lalu ketika malam hari penelusuran segera dihentikan jatuh sauh/jangkar dengan pertimbangan telah ditemukan lokasi yang tepat sebab bila malam tiba bagan boat tidak bisa berpindah-pindah lagi. Menyalakan lampu rangsangan harus bedasarkan posisi timbul dan kelamnya bulan sebab cahaya bulan dapat mengganggu bahkan mengalahkan intensitas cahaya lampu halogen sehingga gerombolan ikan tidak mengumpul ke jaring. Tetapi sebelum mati bulan atau masih dalam waktu bulan timbul 3-2 jam sebelum lampu mulai dinyalakan, atau dapat pula walaupun saat terang bulan namun tidak terang total serta cuaca hujan kondisi gelap cahaya bulan sehingga intensitas cahaya rendah menerangi perairan maka bagan boat dapat beroperasi jatuh jaring seiring dinyalakannya lampu rangsangan. Setelah diamati dan diperkirakan melalui fish fender bahwa gerombolan ikan sudah banyak berkumpul disekitar jaring dan layak untuk ditangkap, maka setelah beberapa jam atau ½ jam berikutnya seluruh lampu utama serentak dimatikan kecuali lampu-lampu pijar pendukung yang dinyalakan terus watt yang berfungsi 98

44 sebagai stimulan terhadap ikan agar tidak lari menyebar jauh dari dalam jaring dan agar ikan-ikan yang agak jauh dari jaring semakin mendekat mengumpul. Kira-kira ½ jam berikutnya secara berlahan jaring bagan ditarik (katrol) ke atas oleh para anggota kru secara bergantian atau dapat ditarik dengan menggunakan mesin katrol kapal yang telah tersedia sampai ikan-ikan tertangkap. Lalu ikan-ikan disortir menurut jenis, besar untuk dikategorikan dalam msaing-masing kotak pendingin dan wahana lainnya seperti drum, fiber, kulkas/kerangjang/goni atau ember plastik). Bila ikan hasil tangkapan belum mencapai target, maka proses penangkapan (jatuh Jaring) tersebut akan terus dilakukan berulang-ulang pada daerah yang sama atau keesokan harinya dengan daerah yang berbeda (operasinya tetap malam hari) biasanya dalam satu malam turun angkat jaring dapat dilaksanakan sebanyak 2-3 kali. Penangkapan akan dihentikan bila hasil tangkapan telah memenuhi target atau dianggap berhasil, penangkapan dihentikan sementara jika lokasi penangkapan dekat dengan wilayah pangkalan bongkar muat dan hasil penangkapan melimpah, sementara akomodasi masih tersedia maka hasil produksi harus dibongkar lalu langsung kembali beroperasi sampai persediaan bahan makanan habis. Waktu yang dibutuhkan untuk bagan boat dalam melakukan trip operasi sekitar 4-5 hari, saat musim Barat tiba terkadang tidak teratur beroperasi namun tetap pergi melaut. Pengeluaran uang belanja operasional dalam satu trip sekitar Rp ,-. Uang belanja boat tersebut biasany dipegang oleh toke atau dipegang oleh tekong. Uang tersebut mencakup biaya perehaban boat yang difakturkan kepada hutang para kru bagan boat yang selalu diperhitungkan saat akhir masa operasi (wajib bayar) 99

45 dari penghasilan penjualan ikan hasil tangkapan. Biaya pengeluran sering kali menurut para awak dimar-ap toke dan tekong sedangkan para anggota tidak diperkenankan mengetahui kalkulasi perbelanjaan tekong yang notabene adalah tangan kanan toke. Mereka tidak tranparan berkenaan dengan pengeluaran setiap trip operasi, hal tersebut lumrah dikalangan anggota kru bagan boat. Bila dalam satu operasi penangkapan hasil tangkapan tidak mampu menutupi biaya operasional berbelanjaan karena minimnya pendapatan atau sama sekali tidak mendapat hasil tangkap maka kru bagan boat akan sangat merugi sebab mereka terhitung terutang kepada toke, maka untuk menutupi hutang tersebut dibebankan kepada hasil tangkap berikutnya. Dalam hal merugi ini toke sama sekali tidak menanggungjawabi atau kerugian tidak dibebankan kepadanya, semuanya dibebankan kepada tekong dan kru bagan boat bersangkutan. Bila masa panceklik berkelanjutan dari masa operasi ke operasi selanjutnya maka proses terhutang tersebut akan membengka, dan toke akan memutuskan hubungan atau kontaro kerja dengan tekong beserta krunya, maka posisi unit bagan boat tersebut dengan gantung artinya tidak dioperasikan menanti datangnya tekong baru dan kru-kru yang baru. Resesi penangkapan membawa para nelayan bagan boat kepada keterlilitan hutang yang mengarah kepada jaringan patron-klien, apalagi saat kebutuhan uang mendesak misalnya menghadapi hari-hari besar seperti halnya hari raya Idul Fitri tekong akan meminta pinjaman kepada toke, kru biasa tidak berurusan kepada toke maka mereka meminjam kepada tekong. Pola patron-klien sudah mengental di kalangan nelayan baik nelayan besar maupun nelayan tradisional. Nelayan toke sengaja membuat 100

46 kondisi seperti demikian agar ketergantungan para nelayan sangat besar kepadanya mulai dari pinjaman operasi, belanja boat, pembagian hasil serta pinjaman lainya yang semuanya menjurus agar hasil tangkapan pun didistribusikan melalui tangan-tangan toke. Keadaan paceklik dan hutang yang menumpuk akan membuat para nelayan bagan boat berusaha untuk mendapatkan hasil tangkapan yang banyak. Hal tersebut akan membuat mereka berusaha mengeksploitasi sumberdaya laut secara berlebihan. Mereka menjadi tidak memandang keadaan ekosistem laut yang akan rusak nantinya. Mereka hanya berfikir bagaimana memperoleh hasil tangkapan yang besar, untuk membayar hutang mereka kepada para toke. Contohnya perilaku para kru yang melakukan aktifitas memancing untuk menambah penghasilan diluar pembagian kerja sebagai kru bagan boat. Aktifitas memancing dilaksanakan saat siang hari sewaktu istirahat, sebab malam hari memancing tidak memungkinkan dilakukan karena mereka akan dituntut aktif menjaring atau mengatrol ikan. Hasil memancing tidak termasuk pedapatan bagan boat namun pendapatan individu awak kapal. Lokasi pemancingan dicari berdasarkan petunjuk fish fender biasanya tekong selalu mengarahkan kapal kelokasi-lokasi berstok ikan anatar zona terumbu karang yang tampak jelas memiliki karakter hidup atau mati menurut tampilan layar fish fender. C.2.2. Nelayan Pukat Ikan (PI) atau Pukat Harimau Pengoperasian pukat ikan atau pukat harimau diperairan Sumatera Utara khususnya di wilayah Kabupaten Serdang Bedagai adalah termasuk wilayah yang sangat banyak yang mengoperasikansnya. Tetapi pada umumnya tidak ada warga 101

47 setempat yang memiliki alat tangkap tersebut, biasanya nelayan yang menggunakannya adalah nelayan yang berasal dari luar daerah. Legalitas operasional pukat ikan sampai saat ini masih mendapat tantangan keras dari berbagai kalangan nelayan terutama nelayan tradisional. Mereka menganggap pukat tersebut merusak ekosistem laut terutama terumbu karang, memusnahkan bibit ikan yang akhirnya akan mengancam lahan mata pencaharian nelayan. Aturan formal KEPPRES. No. 39/1980 tentang larangan pengoperasian pukat harimau (trawl) tidak membuat para nelayan yang menggunakan pukat tersebut takut untuk beroperasi secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Malah untuk saat ini banyak kabar yang masih sulit dipastikan kebenarannya mengatakan aturan formal pelarangan terhadap pengoperasian pukat harimau dan sejenisnya telah dicabut dan telah diizinkan keberadaannya. Malah ada beberapa berita yang belum bisa di jelaskan kebenarannya bahwa dibeberapa wilayah di Indonesia seperti pesisir Kalimantan, Sulawesi, dan dibeberapa wilayah jawa pengoperasian pukat tersebut yang sudah sangat meresahkan ekosistem laut telah diperbolehkan dan ada undang-undang yang baru telah dikeluarkan antara tahun bahwa pengoperasian alat tangkap ini sudah dapat dilakukan guna untuk menambah penghasilan dan pendapatan para nelayan di daerah tersebut. Menurut para nelayan di Pekan Tanjung Beringin dan Pantai Cermin Kanan para penggunan pukat-pukat ini mengubah nama-nama pukat tersebut walaupun secara hakiki cara kerjanya sama. Mulai dari sengso, pukat trawl, pukat tarik, pukat gerandong, pukat ikan, dan lain sebagainya. Pukat Ikan adalah jenis pukat tarik yang efektif untuk menangkap ikan pelagis atau pun ikan demersal, dan jenis udang-udangan. Kedalaman 102

48 operasi dapat diatur sesuai dengan kelompok ikan yang dituju yaitu lapisan tengah atau lapisan dasar, menggunakan satu buah kapal berbobot > GT berkekuatan 1500 PK yang dilengkapi dengan fish fender, besi panel sebagai pembuka mulut jaring dan pengaman dari rintangan-rintangan karang dan lain-lain saat beroperasi. Pengoperasiannya dapat melibatkan 1-2 kapal. Sesuai dengan tujuannya menangkap semua jenis ikan tanpa terkecuali karena ukuran mata jaring terkecil 2 mm. fasilitas penghubung lainnya adalah sarana komunikasi, kesturi, fiber, kulkas papan dan lainnya. Zona operasional pukat ikan sebenarnya adalah di luar 12 mil laut sampai perairan bebas di luar ZEE tetapi selalu saja ada pelanggaran wilayah penangkapan yang dilakukan para pukat tersebut, sehingga menimbulkan persoalan dengan nelayan tradisional. Daya jelajah pukat ikan yang sangat luas dengan teknologi yang canggih membuat mereka tanpa keterbatasan dalam beroperasi dimana dan kapan saja. Nelayan Pukat Ikan tidak mengenal musim paceklik setiap kali beroperasi selalu mengantongi puluhan ataupun ratusan ton hasil dari berbagai jenis ikan, udang, cumi-cumi, dan lainnya yang disortir berdasarkan jenis dan kualitas masing-masing, tidak jarang pukat ikan mengalami over produksi, ikan-ikan dimasukkan ke dalam goni (ikan dengan kualitas yang rendah) dibiarkan menjadi busuk yang merupakan bahan baku pabrik pengolahan pakan ternak yang diolah menjadi tepung-tepung ikan dan sebagian lagi dipasok menjadi ikan asin ke penjemuran warga nelayan. Terkadang nelayan Pukat Ikan membuang ikan-ikan yang telah membusuk berharga murah di tengah laut sebab harga jualnya yang rendah, satu goni ikan ukuran 50 kg hanya berharga Rp ,- 103

49 sedangkan ikan kualitas ekspor dipertahankan secara baik dalam kotak-kotak pendingin seperti ikan Kerapu, ikan kakap, udang, cumi-cumi dan lain-lain. Kedudukan tekong Pukat ikan sangat ekslusif para anggota biasa jarang dan terlarang memasuki ruang tekong kapal, begitupun di darat sulit terjadi komunikasi antar sesama mereka, hal tersebut dikarenakan unsur kesengajaan agar anggota biasa tidak mengenal sama sekali siapa pemilik atau toke armada kapal yang mereka tumpangi. Prinsipnya kerja dan diberi gaji, resiko tertangkap pihak-pihak tertentu atau bila terjadi kecelakaan lainnya menjadi tanggung jawab individu para anggota. Rata-rata para anggota yang dipilih adalah mereka yang masih awam dan sangat buta terhadap fenomena alam laut namun dengan bantuan teknologi Pukat ikan yang tergolong canggih tanpa kendala mereka meraup keuntungan yang sangat besar dari potensi laut. C.2.3. Nelayan Pukat Langgai Pukat Langgai pada prinsipnya jenis dan sifatnya hampir sama pula dengan pukat Harimau yaitu dengan menggunakan besi ataupun balok kayu pada pukat untuk mengeruk isi laut dengan dibantu katrol bermesin sebagai penarik pukat. Perbedaannya terletak pada ukuran perahu dan pukat, dimana Langgai ukurannya lebih kecil agar dapat beroperasi pada perairan laut dangkal. Hasil yang didapat dari pukat ini sangat memuaskan, sebab tidak ada udang, ataupun ikan-ikan kecil mampu lepas dari alat tangkap ini. Dengan kata lain Langgai dapat menangkap ikan atau udang dengan ukuran yang sangat kecil sekali pun. Hal inilah menurut masyarakat yang merusak regenerasi bahan laut (ikan, udang, dan sebagainya) sehingga sumber daya laut menjadi turun secara drastis bagi nelayan 104

50 tradisional. Penggunaan papan yang kuat dan keras sebagai pemberat pukat tersebut agar sampai kedasar laut mengakibatkan rusaknya segala hal yang ada di dasar laut termasuk pula trumbu karang karena terbentur atau tabrakan dengan pemberat tersebut ketika perahu menarik pukat tersebut. Dengan keberadaan pukat Langgai di desa Pekan Tanjung Beringin dan Pantai Cermin membuat warga setempat menjadi resah. Hal tersebut dikarenakan para nelayan pukat Langgai tersebut yang lebih mengkonsentrasikan lokasi penangkapannya pada areal trumbu karang. Sehingga menurut masyarakat akan mengakibatkan trumbu karang tersebut rusak dan kemudian ikan-ikan tidak tidak akan lagi bergerombol pada trumbu karang tersebut hal hasil ikan-ikan dan lainnya akan berpindah tempat kelokasi yang lebih jauh lagi dan akibatkan akan mengurangi penghasilan mereka sebagai nelayan tradisional. C.2.4. Nelayan Pukat Cincin/Pukat Tongkol Untuk alat tangkap ini ada sekitar 7 orang nelayan yang mengoperasikannya yaitu di desa Pekan Tanjung Beringin, sementara untuk desa Pantai Cermin Kanan tidak ada yang menggunakan alat tangkap ini. Namun untuk perairan laut lepas di wilayah tersebut yang terbanyak menggunakannya adalah nelayan yang berasal dari Tanjung Balai, Belawan ataupun yang berasal dari Sibolga. Karena menurut nelayan Tanjung Beringin nelayan di daerah-daerah tersebut rata-rata adalah nelayan besar. Mereka jauh lebih memiliki kemampuan ekonomi yang lebih tinggi. Hal tersebut dikarenakan ratarata para toke atau pemilik kapal adalah warga keturunan Cina yang memiliki modal besar. 105

51 Pukat Cincin (Purse Seine) dari segi jaring adalah jaring yang umumnya berbentuk empat persegi panjang, tanpa kantong dan digunakan untuk menangkap gerombolan ikan permukaan (ikan Pelagis). Cara operasionalnya adalah dengan cara melingkarkan jaring sehingga mengurung gerombolan ikan, setelah ikan terkurung maka bagian bawah jaring ditutup dengan menarik tali yang dipasang sepanjang bagian bawah jaring melalui cincin. Sama halnya dengan Bagan Boat, Pukat Cincin juga dilengkapi seperangkat lampu yang berfungsi sebagai perangsang terhadap ikan-ikan yang berada dilokasi tangkap. Armada Pukat Cincin berbobot > GT, berkekuatan PK berfasilitas Fish Fender, kesturi, dan radio komunikasi dengan jumlah anggota maksimal 30 orang. Kapasitas tersebut menandakan bahwa Pukat Cincin ratarata lebih besar daya jelajahnya, badan boat panjang m, lebar 7-9 m dan diameter panjang dan kedalaman jaring m 2 serta waktu melaut 5-7 hari dibandingkan dengan Bagan Boat. Maka biaya operasionalnya pun jauh lebih besar untuk memenuhi kebutuhan para kru yang tergolong banyak jumlahnya. Pengoperasian mencakup malam dan siang hari, saat malam nelayan menggunakan lampu rangsangan sedangkan pada siang hari nelayan selalu memantau gerombolan ikan yang kadang-kadang timbul ke permukaan baik dengan cara manual ataupun dengan cara deteksi bantuan alat fish fender. Mekanisme penangkapan siang dan malam hari sangat berbeda, dimana saat malam nelayan mengadakan rangsangan lampu kapal dan lampu bantuan diatas perahu yang menjadi lampu utama saat menggantikan lampu halogen, lampu neon pengganti khusus dijaga beberapa orang nelayan yang dinamai tukang lampu, setelah ikan bergerombolan menuju lampu perahu 106

52 maka nelayan melilitkan jaring. Dalam satu malam nelayan dapat melakukan dua kali penjatuhan jaring, sedangkan siang hari nelayan aktif menjelajahi segenap wilayah perairan dalam rangka mencari atau memburu gerombolan-gerombolan ikan. Wilayah operasional pukat ini tergolong sangat jauh sampai zona perairan bebas wilayah Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu dan lain-lain. Namun bila timbul ikan di zona pantai nelayan Pukat Cincin tersebut tidak segan-segan menjatuhkan jaringnya. Hasil tangkapan Pukat Cincin adalah kelompok ikan pelagis besar dan kecil seperti ikan tongkol, tuna sisik, aso-aso, gembung dan lain-lain. Sedangkan ikan pelagis kecil seperti teri dan lainnya tidak akan tertangkap sebab mata jaring berukuran 1-2 cm. Dilihat dari hasil tangkapannya Pukat Cincin biasa disebut oleh nelayan pada umumnya adalah pukat Tongkol. C.2.5. Budidaya Selain perikanan tangkap, dua desa ini memiliki budidaya perikanan air tawar dan payau. Hal tersebut dikarenakan adanya sejumlah warga yang memiliki cukup modal untuk membuat budidaya tersebut. Rata-rata budidaya tersebut adalah milik para nelayan setempat dengan modal sendiri, adan juga pemilik dari budidaya tersebut adalah warga yang berasal dari luar desa. Untuk budidaya air payau desa Pantai Cermin memiliki jenis budidaya udang dan di desa Pekan Tanjung Beringin tidak memiliki budidaya jenis air payau. Desa Pekan Tanjung Beringin hanya memiliki budiday air tawar saja yang berjenis kolam air tenang yang berisi lele dumbo ataupun ikan nila. Secara singkatnya dapat dilihat dalam tabel berikut: 107

53 Tabel 7: Data Sarana Budidaya, Produksi dan Pemasaran No Kriteria Pekan Tanjung Beringin Pantai Cermin Kanan 1. Jenis Budidaya Lele Dumbo / nila (kolam air tenang) Udang (air payau) 2. Luas Potensi (ha) Produktif (ha) 1 / 0, Tidak Produktif (ha) Produksi Tahun 2006 (ton) / Harga rata-rata /kg Rp ,- / , ,- 7. Nilai produksi xrp.1.000, / Pemasaran dalam daerah (Kg) 500 / Pemasaran luar daerah (Kg) / Sumber: Data Base Perikanan dan Kelautan Kabupaten Serdang Bedagai 2007 D. Pemasaran Dan Pengelolaan Hasil Tangkap Bentuk pengelolaan dan pemasaran hasil tangkap di desa Pekan Tanjung Beringin dan Pantai Cermin Kanan tidak jauh berbeda, hanya jenis hasil tangkapan saja yang sedikit berbeda. Bila di desa Pekan Tanjung Beringin hasil tangkap yang paling dominan adalah jenis ikan gembung, maka di desa Pantai Cermin Kanan lebih mendominasi berbagai jenis kepiting sebagai hasil tangkap paling diminati para nelayan. Para nelayan di kedua wilayah ini yang merupakan nelayan tradisional lebih cenderung melakukan pemasaran yang bersifat tidak langsung atau dengan kata lain para nelayan menjual hasil tangkapannya melalui para toke yang menjadi penampung ikan-ikan hasil tangkapan mereka. Lalu toke akan menjualkannya lagi kepada para 108

54 pengecer atau menjualnya langsung kepasaran. Nelayan jarang menjual secara langsung hasil tangkapannya ke pasar. Keterkaitan hubungan antar toke dan para nelayan pada dasarnya adalah hubungan bisnis antara pembeli dan penjual, namun dikarenakan persaingan yang begitu banyak antar toke dan persediaan ikan hasil tangkapan yang terbatas maka para toke secara sengaja maupun tidak mencoba untuk mengikat para nelayan dengan cara memberikan berbagai kemudahan baik secara ekonomi maupun finansial. Toke dengan memberikan bantuan berupa pinjaman modal ataupun bantuan alat tangkap yang diperhitungkan sebagai pinjaman kepada si nelayan dengan syarat nelayan tidak menjual hasil tangkapnya kepada toke yang lainnya dan hanya menjual semua hasil kepada toke yang memberikan kemudahan-kemudahan tersebut. Disisi lain toke sebagai penampung ikan selalu saja menerapkan pembelian ikan yang tidak sesuai dengan mekanisme pasar, harga ikan tidak sesuai dengan harga pasar atau timbangan selalu dimanipulasi (jumlah hasil tangkap yang ditimbang oleh toke). Keadaan tersebut dapat dilakukan kerja sama atau main mata antar toke agar para nelayan tidak tahu secara pasti harga pasaran ikan. Hasil penjual nelayan ke toke biasanya digunakan untuk pemotongan hutang yang diberikan oleh para toke sebagai bentuk bantuan ekonomi dan finansial tadi. Bila hasil tangkap melebihi hutang tersebut maka para nelayan akan mendapatkan keuntungan dari hasil tangkapnya, namun bila hasil tangkapnya kurang dari jumlah pinjaman maka nelayan tidak akan melunasinya semuanya. Mereka akan membayarkannya setelah hasil penangkapan selanjutnya. Biasanya para toke tidak akan memaksakan nelayan harus melunasi seluruh 109

55 pinjamannya, malah mereka memberi kemudahan dengan cara menambah pinjaman tersebut agar nelayan dapat lebih terikat dengan toke. Dengan keadaan seperti itu para nelayan akan selalu terikat dan akan selalu tergantung kepada si toke, sehingga tidak akan menjual lagi hasil tangkapannya kepada toke-toke yang lainnya. Bila toke memiliki sendiri kapalnya maka dia juga akan menerapkan sistem yang berbeda pada nelayan buruh yang membawa kapal miliknya. Pola yang diterapkan oleh mereka ada dua bentuk, pertama bentuk sistem tangkap bagi: pembagian hasil dilakukan tiap-tiap trip kepulangan setelah beroperasi (biasanya pola ini diberlakukan bila yang digunakan adalah kapal yang berdaya tampung cukup besar) dan penangkapan dilakukan dengan 5-10 orang nelayan. Kedua, bentuk sistem pembagian hasil dengan cara sistem sewa kapal (kapal yang digunakan nelayan adalah kapal kecil), biasanya yang melakukan penangkapan hanya seorang atau dua orang saja. Pola yang pertama dalam garis besarnya perhitungannya adalah sebagai berikut: penghasilan kotor dipotong 20% untuk toke, potong uang belanja selama operasional, potong 10% untuk tekong, kemudian penghasilan bersih dibagi dua antara toke dengan tekong dan para kru anggota operasi jika dibuat dalam bentuk persenan dari hasil pembagian pemilik kapal mendapat 65% sementara tekong dan nelayan buruh 35%. Namun dengan catatan seluruh biaya operasional, kerusakan kapal dan alat tangkap dilibatkan kepada anggota kru (nelayan buruh) atau dengan kata lain dimaksudkan dalam anggaran belanja yang setiap hasil penangkapan selalu diperhitungkan. Masalah timbul dikarenakan setiap kali turun ke laut belum tentu sebuah kapal mengalami hasil maksimal dengan mendapatkan laba cukup besar, terkadang sama sekali tidak 110

56 mendapatkan hasil untuk menutupi biaya produksi atau mengalami kerugian maka nelayan yang menanggung kerugian tersebut dianggap berhutang kepada toke. Untuk pola yang kedua, sistemnya adalah sistem sewa kapal, yaitu dengan sistem bayar sewa kepada toke pemilik kapal. Hasil tangkap nelayan yang menjadi penyewa akan dibagi tiga yaitu untuk toke, untuk perbaikan kapal dan alat tangkap dan untuk nelayan. Pembagian untuk perbaikan kapal biasanya dipegang oleh toke, sehingga menjadikan perhitungannya menjadi 2/3 untuk toke dan 1/3 untuk nelayan. Hasil tangkap nelayan penyewa ini harus dijual kepada toke pemilik kapal tidak boleh kepada toke lain. Bila nelayan tersebut menjual kepada toke lain maka pemilik kapal tidak akan segan-segan memberikan sangsi, baik secara jalur hukum ataupun jalur kekeluargaan yang dapat melibatkan kepala desa atau pun aparatur desa. Sama halnya dengan sistem yang pertama para toke pemilik hanya mendapat keuntungan saja dari cara ini, karena bila terjadi kerusakan yang cukup parah, toke biasanya tidak akan membiayai seluruh perbaikannya dia akan meminta nelayan yang menyewa kapalnya ikut andil membiayainya. Alasan mereka biasanya adalah biaya perbaikan yang cukup mahal dan kebiasaan nelayan yang tidak bisa menjaga alat tangkap tersebut saat beroperasi. Pemasaraan ikan hasil tangkap nelayan berjalan lancar sesuai dengan mekanisme pasar ikan yang berlaku di dalam komunitas nelayan, kelembagaan ekonomi akan sangat mendukung aktivitas jual beli ikan antara produsen dan konsumen. Terstrukturnya kelembagaan dan tersedianya sarana-sarana pemasaran membantu nelayan untuk memasarkan hasil tangkapan sesuai dengan harga tawar menawar yang saling menguntungkan antar kedua belah pihak yang berkepentingan. Pada prakteknnya 111

57 di lapangan kondisi pasar ikan justru melemahkan sebagian nelayan skala tradisional dan nelayan buruh yang tidak memiliki alat tangkap sendiri. Untuk nelayan tradisional lebih dikarenakan tingkat pengolahan ikan yang kurang memadai, penghasilan sedikit sehingga mengambil jalan pintas melelang ikan secara tradisional tanpa mengikuti mekanisme pasar. Sedangkan nelayan moderen (buruh) hasil tangkapan sudah dimonopoli langsung oleh pihak pemilik kapal atau toke yang sering mempermainkan harga dan timbangan berat ikan hasil tangkapan. Begitu juga akan menutup peluang menyalurkan ikan ke pembeli lain seperti TPI (Tempat Penjualan Ikan) yang menerapkan standar baku pada ikan, di samping itu nelayan juga enggan menjual ikan ke TPI karena terbatasnya pengetahuan mereka terhadap institusi ekonomi tersebut. Pemasaran dalam pola ekonomi nelayan terdiri dari dua bentuk, pertama bentuk tradisional dan bentuk rantai pemasaran moderen. Pemasaran tradisional dilakoni antara para nelayan dengan para penampung-penampung ikan dan para pengelola ikan berskala kecil yang menampung jenis-jenis ikan kualitas lokal. Sedangkan pemasaran moderen dilakoni para toke besar, pemasaran (marketing pihak pemilik modal) dan TPI yang menampung memasarkan jenis ikan yang berkualitas ekspor. Untuk penampung mata rantai pemasaran tradisional daya tampungnya terhadap kebutuhan ikan masih sangat terbatas, sistem pembeliannya pun dominan borongan tanpa timbang sebab jenis ikan yang dibeli sangat beraneka ragam tanpa sortir terkecuali jenis ikan yang sangat mahal di pasaran seperti udang kelong. Untuk pemasaran dengan sistem yang moderen kapasitas penampungan sangat besar khususnya ikan-ikan besar berkualitas pangsa pasar luar daerah dan ekspor. Sortiran-sortiran ikan tersusun rapi berdasarkan jenis ikan 112

58 dengan pengawet yang terjamin setelah sampai di tangkahan daratan, tak lama kemudian seluruh fiber-fiber ikan tersebut akan diangkut untuk dipasarkan melalui jasa transportasi darat maupun laut menuju berbagai kota antara lain Medan, Sei Rampah, Aceh dan lain-lain, tidak jarang pula dipasarkan ke kota manca negara seperti Singapura, Malaysia, Taiwan, Jepang, Hongkong sebagai sasaran utama untuk pemasaran jenis ikan berkualitas tinggi. Seperti Udang-udangan, ikan kerapu, ikan kakap, ikan tuna/sisik dan lainnya. Biasanya untuk pemsaran moderen tersebut dilakukan oleh toke-toke yang memiliki kapal yang besar dan lebih dari satu. Di desa Pekan Tanjung Beringinlah yang paling banyak memiliki toke-toke yang besar dibandingkan desa Pantai Cermin Kanan. Tidak ada yang tahu pasti mengapa bisa terjadi demikian. Dalam beberapa tahun terakhir menurut para nelayan di dua wilayah ini kondisi laut saat ini sangat parah, dimana para nelayan yang melaut bisa saja tidak mendapat ikan sama sekali. Menurut mereka hal ini disebabkan kondisi laut yang sudah tidak dapat ditebak lagi keadaannya. Hal tersebut menyebabkan melemahnya kondisi pasar ikan nelayan. Bila ditelusuri secara mendalam ada beberapa faktor struktural yang menyebabkan hal ini terjadi selain diakibatkan kondisi laut. Pertama, dipengaruhi permintaan yang lebih kecil daripada pembeli dibanding persediaan ikan yang ditawarkan penjual jika saat musim panen. Kedua, masih terbatasnya jumlah pedagang yang memborong ikan sehingga tawar-menawar tidak seimbang dan bersifat monopolistik. Ketiga, penerapan sistem patron-klien antara pihak pemilik armada dengan para toke, dimana pihak nelayan buruh tidak leluasa memasarkan ikan hasil 113

59 tangkapannya dan menerapkan monopoli dengan melarang keras memasarkan produksi ke TPI. Keempat, keberadaan organisasi nelayan berupa HNSI atau pun LSM-LSM nelayan belum mampu berfungsi sepenuhnya melindungi kepentingan ekonomi nelayan tradisional. E. Pengetahuan Nelayan Terhadap Gejala alam, Konflik Nelayan Dan Mitos Laut Sumberdaya perairan laut lebih bersifat milik umum (Common property), di desa Pekan Tanjung Beringin dan desa Pantai Cermin Kanan nelayannya tidak menetapkan wilayah-wilayah penangkapan secara absolut, nelayan dari wilayah lain dapat melakukan penangkapan di zona perairan mereka. Misalnya saja banyak nelayan luar dengan teknologi penangkapan yang lebih canggih lagi dari mereka yang secara notebene seharusnya tidak dapat melakukan penangkapan di zona tradisional yang melarang alat tangkap mereka melabuh disana dan melakukan penangkapan ikan. Nelayan tidak sama dengan kehidupan petani yang membudidayakan tanaman sekitar lingkungan hidupnya, nelayan menggantungkan kebutuhan hidup dengan melakukan perburuan ikan-ikan, biota laut yang hidup bebas, liar di perairan laut. Namun hal tersebut kiranya harus segera berubah, karena nelayan harus mulai berinisiatif membudidayakan ikan dan biota laut sebab ketergantungan kepada sumberdaya yang berasal dari alam semata, sewaktu-waktu akan mengalami penipisan atau krisis stok sumberdaya laut (over fising) karena pemanfaatan yang tanpa batas oleh sesama nelayan dengan penerapan aneka ragam teknologi eksploitasi. Di kedua wilayah desa yaitu desa Pekan Tanjung Beringin dan Pantai Cermin Kanan usaha pembudidayaan masih sangat kurang. Keterbatasan pengetahuan, modal 114

60 menjadikan kendala untuk merealisasikannya. Komunitas nelayan masih sangat besar ketergantungannya terhadap sumberdaya perairan bebas yang diwarisi dari generasigenerasi berikutnya. Dalam usaha mengelola sumberdaya laut nelayan telah dibekali atau selalu tersosialisasi akan pengetahuan menyangkut seluk beluk fenomena dilautan yang sangat berpengaruh kepada pengambilan keputusan alternatif yang tempuh dalam melaksanakan mekanisme aktifitas atau operasi kelautan. Nelayan memahami segala sesuatu yang terdapat di sekitar lingkungan perairan laut, fenomena alam (iklim, cuaca, musim yang berhubungan dengan ikan dan aneka sumberdaya laut) yang tentunya akan mendorong terwujudnya kelakuan nelayan dalam mengeksploitasi atau memberlakukan sumberdaya dilingkungannya. E. 1. Pengetahuan Tentang Gejala alam (Membaca Cuaca dan Rotasi Bulan) Faktor penting yang selalu mempengaruhi operasi penangkapan ikan para nelayan walaupun pengaruhnya relatif berdampak langsung kepada nelayan adalah faktor kondisi cuaca. Hanya kondisi cuaca yang sangat dahsyat, buruk atau tidak mengenal kompromi yang sanggup total menonaktifkan aktiofitas para nelayan melaut. Sebagian nelayan dengan teknologi yang moderen telah mampu menjinakkan atau meminimalisasikan pengarug cuaca seperti badai, hujan, dan lain-lain, namun sebagian besar nelayan masih ada yang mempertahankan alat tangkap tradisional dan terbatas kemampuannya, tentunya sangat merasakan dampak cuaca tersebut. Di sisi lain ada juga nelayan yang menyelaraskan operasi penangkapan dengan pengaruh-pengaruh gejala alam baik nelayan moderen maupun tradisional. 115

61 Nelayan secara umum mengetahui beberapa jenis perubahan cuaca atau musim yang mengalami rotasi namun musim tidak lagi menjadi patokan baku komunitas nelayan, sebab adanya kecenderungan perubahan yang tidak stabil di saat-saat musim itu tiba dan kontribusi teknologi penangkapan moderen serta kondisi kebutuhan sosial ekonomi yang mendesak mendorong para nelayan semakin mengabaikan faktor cuaca atau musim. Para nelayan mengenal beberapa musim yang populer yang di dasarkan pada arah angin yang berhembus adalah musim angin Barat (musim Barat), musim Angin Timur (Musim Timur), musim Angin Selatan (Musim Selatan), dan musim peralihan. Musim Barat terjadi bulan Desember, Januari, Februari, Maret (4 bulan) dimana frekuensi angin Barat Daya dan hujan sangat tinggi dalam satu atau dua minggu pasti kondisi hembusan cuaca memburuk melanda sehingga nelayan mengalami kendala besar dalam beroperasi menangkap ikan. Memasuki bulan April dan Mei terjadi musim Selatan atau musim Peralihan dari musim Barat menuju musim Timur, angin Barat masih berhembus tetapi kecepatannya dan kemampuannya berkurang. Dalam bulan ini arah angin sudah tidak menentu berhembus dari segala arah mata angin. Periode ini dikenal juga musim pancaroba awal tahun (paceklik) yang berimbas dari musim Barat. Kemudian memasuki bulan Juni, Juli, Agustus, September terjadilah apa yang disebut musim Timur, masa-masa panennya nelayan sebab peluang beroperasi cukup besar dengan dukungan keadaan cuaca, arah mata angin, dan gelombang laut sangat tenang. Setelah itu memasuki bulan Oktober dan November musim peralihan terjadi lagi dari musim Timur ke musim Barat arah mata angin kembali tidak menentu. 116

62 Menurut pengalaman para nelayan angin yang membuat suasana paling kondusif untuk beroperasi menangkap ikan adalah angin tenang, angin yang berhembus dari beberapa penjuru mata angin berfrekuensi sedang dan lambat (Barat Daya, Timur, Selatan, Utara) kondisi ini dapat terjadi pada segala jenis angon musim tetapi paling dominan terjadi pada bulan-bulan musim Timur yang memungkinkan para nelayan dapat menangkap berbagai jenis ikan perairan laut. Musim penangkapan berhubungan dengan ukuran (besar/kecil) dan jenis tangkapan baik ikan-ikan dasar laut, ikan yang biasa di permukaan laut, maupun udang, cumi-cumi yang tertangkap, karena adaptasi alamiah dan siklus ekologi. Bagi nelayan Pekan Tanjung Beringin dan Pantai Cermin Kanan, mereka mengidentifikasikan hasil tangkap ikan tertentu berdasarkan lamanya musim suatu koloni ikan. Khususnya saat musim Timur nelayan akan mendapatkan hasil tangkapan berupa jenis-jenis ikan pelagis antara lain ikan aso-aso/gembung, gembung kuring, dencis, selar, tongkol, dan lain-lain. Sedangkan saat musim Barat, maka yang timbul adalah jenis-jenis udang, kepiting/rajungan. Tetapi bila diamati secara umum nelayan di dua wilayah ini mendapatkan jenis ikan yang beraneka ragam, dikategorikan atas ikan yang hidup didasar perairan disebut kelompok ikan demersal, ikan yang hidup dipermukaan laut disebut kelompok ikan pelagis dan kelompok non ikan seperti udangudang dan cumi-cumi, sotong dan lain-lain. Dari ukurannya ikan pelagis dapat dibedakan atas ikan pelagis besar seperti tuna, cakalang dan sebagainya, dan ikan pelagis kecil misalnya aso-aso/gembung, jenis ikan layang, ikan selar, tenggiri, ikan 117

63 tongkol, bawal dan sebagainya, disamping itu terdapat ikan-ikan pelagis yang sangat peka terhadap cahaya misalnya ikan badar/teri, dencis dan lainnya. Disamping angin musim, masyarakat nelayan juga mengetahui dan memanfaatkan angin laut dan angin darat. Angin laut dan angin darat terjadi karena perbedaan pemanasan dan pendinginan antara daratan dan lautan pada siang hari dan malam hari, sedangkan angin musim terjadi karena perbedaan pemanasan dan pendinginan antara benua dengan laut luas pada musim panas dan musim dingin. Angin laut adalah angin permukaan yang berhembus dari arah laut ke arah darat dan terjadi pada siang hari. Sebaliknya angin darat ialah angin permukaan yang berhembus dari darat ke arah laut yang terjadi pada malam hari. Segolongan nelayan tradisional memanfaatkan angin darat sekitar jam pagi untuk pergi beroperasi menangkap ikan sebab menurut mereka suasana angin, arus laut tenang tidak bergelombang besar dan pagi hari bertepatan dengan tabiat ikan-ikan akan muncul dan mencari makanan sampai batas bertiupnya angin laut jam pada siang hari, perairan bergelombang, air laut keruh serta ikan-ikan menjadi liar. Begitu juga disaat sore hari perubahan air laut menuju angin darat nelayan juga memanfaatkannya dengan baik. Nelayan yang sering memanfaatkan rotasi angin darat, angin laut dan sebaliknya angin laut dan angin darat untuk beroperasi adalah nelayan dengan alat tangkap jaring gill net, pemancing tradisional, pukat tepi, dan lainlain. Selain peredaran musim untuk memahami gejala-gejala alam nelayan berpegang juga kepada sandi atau tanda-tanda alam dengan mengamati posisi bintang, bulan yang 118

64 diyakini nelayan menentukan, berpengaruh terhadap kondisi berikutnya yang akan datang atau sesuatu akan melanda mereka saat beroperasi ditengah laut. Bulan beredar mengelilingi bumi dengan bantuan cahaya matahari planet bulan menyinari belahan bumi pada saat malam hari. Peredaran cahaya bulan berpengaruh terhadap aktifitas nelayan di lingkungan laut sebagai tempat perburuan ikan-ikan. Pengaruhnya sangat dirasakan nelayan yang menggunakan rangsangan cahaya (gejala fotoaksis) dengan bantuan alat tangkap lampu dalam operasi penangkapannya yaitu meliputi nelayan bagan pancang, bagan boat dan pukat cincin. Peredaran rotasi bulan dimulai dari arah Timur 1 hari bulan dari kuartir pertama menuju kuartir kedua berusia 7 hari bulan berada tepat di tengah angkasa, setelah itu bergerak ke kuartir ketiga menuju arah Barat, terbit berbentuk bulan purnama (15 hari bulan) dari arah Barat, kembali bergerak menuju kuartir ke empat terbit tepat berada di tengah angkasa 23 hari bulan kemudian berakhir menuju kuartir ke empat dari peredarannya kembali ke arah Timur 30 hari bulan (bulan mati/kalam bulan). Khususnya bagi nelayan yang beraktifitas di hutan bakau desa Hajoran, nelayan jala, jaring belanak, memungkinkan mereka mendapatkan hasil yang banyak sebab kondisi waktu-waktu pasang besar koloni-koloni ikan akan menuju pinggir ke dalam zona hutan bakau (wilayah penangkapan), mereka akan memanfaatkan momen-momen tersebut sebaik mungkin agar mendapatkan produksi penangkapan yang maksimal. Sebaliknya nelayan pencari biota-biota laut: kerang, ketam, kepiting dan lainnya, kondisi pasang besar akan menghambat aktifitas pencarian biota-biota tersebut. Mereka lebih aktif beroperasi saat-saat kondisi pasang air laut surut serendah-rendahnya. 119

65 Disamping hal tersebut diatas, secara umum pengetahuan mengenai gejala alam semakin lama semakin ditinggalkan para komunitas nelayan di desa Pekan Tanjung Beringin dan desa Pantai Cermin Kanan sebab dianggap kurang efektif seperti sediakalanya dulu. Banyak nelayan tidak mau tahu akan hal ini, yang paling utama bagi mereka adalah bagaimana meningkatkan kecanggihan alat tangkap agar mampu meningkatkan produksi dan bersaing dengan nelayan yang telah lebih dahulu menggunakan alat tangkap yang canggih dan moderen, menurut mereka teknologi alat tangkap yang moderen tidak lagi terlalu dipengaruhi gejala-gejala alam. Secara langsung ataupun tidak moderenisasi teknologi kelautan ikut andil menekan nelayan tradisional kehilangan tradisi pengetahuan lokal mereka. E. 2. Konflik-Konflik Nelayan Kebebasan penerapan dan penggunaan teknologi dalam penangkapan ikan di perairan laut memberi peluang besar bagi pihak-pihak nelayan moderen berperan lebih menonjol dalam operasi penangkapan di lokasi-lokasi zona penangkapan tradisional sementara nelayan tradisional kalah bersaing terhadap teknologi penangkapan mutakhir, kondisi lautnya pun semakin hari produktifitasnya menurun drastis. Persaingan bebas antara nelayan menimbulkan kecemburuan sosial yang menjurus ke konflik terbuka karena salah satu pihak merasa dirugikan terus menerus oleh pihak lain. Persaingan antar nelayan ini menimbulkan konflik yang semakin hari berlarut-larut yang mengakibatkan para nelayan mengambil sikap diam dalam menanggapi semua persaingan yang ada. Bukan hanya persaingan antara nelayan tradisional dan nelayan 120

66 moderen saja yang timbul namun sesama nelayan tradisional pun selalu merasa dirugikan satu dan yang lainnya. E Konflik Sesama Nelayan Tradisional Pemanfaatan zona perairan perikanan pantai yang semakin padat oleh para nelayan tradisional antara lain pukat tepi, jaring udang, jaring salam, jaring kepiting dan nelayan yang menggunakan alat pancing sederhana mengakibatkan persaingan diantara mereka dalam penangkapan dan perebutan lokasi tangkap. Walaupun secara tidak langsung, tetapi mereka akan berusaha mempertahankan lokasi mereka bila mereka mendapatkan hasil yang banyak dari suatu lokasi tangkap. Mereka tidak akan memberitahukan kepada nelayan lain bila suatu waktu mereka menemukan lokasi tangkap yang kebetulan mempunyai banyak hasil tangkap. Walapun masing-masing nelayan memiliki lokasi-lokasi tertentu dalam pengoperasiannya, tidak jarang diantara mereka juga terjadi keributan kecil akibat terjadinya perebutan wilayah secara tidak sengaja ataupun disengaja. Hal tersebut dikibatkan ketidak adannya keterbatasan nelayan untuk menangkap ikan di perairan laut. Contoh lainnya adalah saat komunitas nelayan jaring gembung di desa Pekan Tanjung Beringin atau komunitas nelayan jaring Kepiting di desa Pantai Cemin Kanan sangat terganggu bila pendirian bagan pancang semakin menjamur tanpa mengenal batas-batas perairan daerah pembangunannya, baik yang didirikan di pinggir maupun agak ke tengah perairan terlihat seperti perumahan kecil berderet di tengah laut. Rasa keberatan mereka berupa alasan bahwa bekas-bekas reruntuhan bagan pancang yang berada didalam perairan laut dapat mengganggu kelancaran kegiatan menangkap ikan 121

67 sebab jaring akan mudah tersangkut dan mengalami kerusakan parah Begitu juga yang dirasakan penjaring udang dan pukat tepi jika bagan-bagan tersebut sudah sangat banyak berdiri dan tegak ke tepi akan mengganggu jaring yang dibentangkan, maka tindakan yang mereka ambil adalah meruntuhkan bagan-bagan yang berdiri seenaknya saja tanpa sepengetahuan sipemilik bagan. Lalu oleh si pemilik bagan yang diruntuhkan tersebut dengan ikhlas hati harus rela memindahkan bagan miliknya. Konflik yang sering juga terjadi pada nelayan jaring kepiting di desa Pantai Cermin Kanan, dimana para nelayan ini sering sekali kehilangan jaring mereka ketika sedang di tinggalkan oleh pemiliknya di tengah laut. Cara penggunaan jaring kepiting yang mengharuskan nelayan tersebut pergi untuk memasang jaringnya ketika pagi-pagi buta sekitar jam Wib dan meninggalkan jaringnya di tempat dimana mereka biasa melakukan penangkapan, lalu akan kembali lagi ke lokasi untuk melihat hasil tangkapan sekitar jam Wib. Namun tidak jarang mereka sering kehilangan jaring akibat adanya pencurian oleh nelayan lainnya. Bila hal tersebut terjadi biasanya mereka tidak dapat melakukan apapun. Alasannya, mereka tidak bisa menuduh siapapun dan bila mereka menuduh tanpa bukti maka si nelayan akan di cap pembuat onar. Nelayan yang kehilangan jaring hanya bisa diam dan segera mengganti jaring tersebut dengan yang baru. Dikalangan interen nelayan, pembangunan unit yang saling berdekatan akan menimbulkan kecurigaan satu sama lainnya, terutama operasi mekanisme penangkapannya sama maka salah satu diantaranya harus pindah membangun bagan baru yang jaraknya relatif jauh. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah terjadinya 122

68 kecurigaan antar nelayan bila suatu waktu salah satu dari jaring mereka terjadi kerusakan atau kehilangan. Hal tersebutlah yang biasa dilakukan untuk mencegah terjadinya keributan. E Konflik Antar Nelayan Tradisional Dan Nelayan Moderen Persaingan yang sangat menonjol dalam pengelolaan sumberdaya laut terlihat antara nelayan tradisional dengan mereka yang menerapkan teknologi penangkapan moderen (nelayan moderen). Daya jelajah yang tinggi memungkinkan bagi nelayan moderen untuk leluasa beroperasi pada seluruh wilayah penangkapan baik lokasi penangkapan tradisional dan lokasi penangkapan bebas. Nelayan-nelayan bagan boat, pukat cincin, dan pukat trawl (pukat harimau) sering kali melakukan aktifitas penangkapan yang sebenarnya melanggar aturan yang berlaku. Menurut nelayan di dua wilayah ini, perilaku tersebut merupakan unsur kesengajaan meskipun telah beberapa kali mendapat keluhan dan protes dari nelayan-nelayan tradisional yang melihat langsung aktifitas mereka. Nelayan sangat mengeluh akan beroperasinya kelompok-kelompok nelayan moderen karena dirasa dapat berpengaruh mengurangi produksi penangkapan, dimana ikan-ikan terhambat, terlebih dahulu dieksploitasi dan lebih banyak kepada nelayan moderen sehingga nelayan tradisional yang beroperasi agak kepinggir dengan mengaplikasikan teknologi apa adanya kalah bersaing dalam memperoleh sumberdaya ikan yang memadai. Protes-protes keras berdatangan dari para nelayan tradisional. Mereka pernah melakukan protes kepada pihak-pihak yang berwenang seperti polisi laut, hingga ke 123

69 pemerintah setempat dan DPRD. Mereka meminta agar pengusaha yang mengoperasikan pukat harimau hendaknya di usut secara hukum, menghentikan operasionalnya pada wilayah tradisional karena melanggar hukum serta dapat merusak kelestarian laut yang akan berpengaruh terhadap mata pencaharian komunitas nelayan tradisional. Pertama mereka menyikapi protes tersebut dengan sikap positif dan terbuka. Namun karena banyaknya faktor-faktor kepentingan dari nelayan moderen, pihak-pihak yang memiliki otoritas selalu saja tidak mampu berlaku di lapangan. Permasalahan pelanggaran zona penangkapan selalu saja mewarnai pemanfaatan pengelolaan sumberdaya laut dan nelayan tradisional menduka hal tersebut merupakan bentuk kerja sama antara pihak nelayan moderen dengan pihak polisi laut dan pihak-pihak terkait lainnya sehingga pelanggaran-pelanggaran wilayah operasi tersebut hingga saat ini tetap ada. E. 3. Kepercayaan Nelayan Terhadap Mitos Laut Saat ini dikarenakan perkembangan pendidikan, pengetahuan moderen, perkembangan teknologi serta meningkatnya keyakinan beragama masyarakat nelayan di desa Pekan Tanjung Beringin dan desa Pantai Cermin Kanan kepercayaan terhadap mitos-mitos laut yang dahulu ada sudah tidak lagi berlaku bagi masyarakat nelayan setempat. Menurut masyarakat setempat berakhirnya kepercayaan terhadap mitos-mitos sejak 15 atau 20 tahun yang lalu dan sejak itu tidak ada lagi upacara-upacara untuk menolak bala ataupun yang lazim disebut mitos. Dahulu kira-kira tahun 1980-an masyarakat nelayan desa Pekan Tanjung Beringin dan Pantai Cermin Kanan mempercayai suatu upacara untuk menghormati 124

70 para penunggu laut (makhluk halus), upacara tersebut bernama Jamu Laut. Upacara Jamu Laut adalah upacara yang dilakukan guna untuk menenangkan penunggupenunggu laut yang suatu saat dapat memberi musibah bila hatinya sedang marah akibat perilaku para nelayan yang semena-mena menangkap hasil laut tanpa memperhitungkan kondisi laut. Fungsi upacara Jamu laut pada umumnya memiliki fungsi yang beranea ragam, walaupun fungsi tersebut lebih cenderung kepada fungsi magis. Fungsi-fungsi bila upacara ini dilakukan adalah para penunggu laut tersebut tidak akan memberi musibah (bencana ombak besar, kecelakaan di laut, penyakit-penyakit dan lainnya)malah akan memberi suatu rezeki (hasil laut yang melimpah, terhindar dari bencana, penyakit dan lainnya) yang berlimpah bagi nelayan-nelayan sekitar, terlebih lagi bagi nelayan yang menggantungkan hidupnya dari sumberdaya yang terkandung di dalam perairan laut. Upacara ini dulunya wajib dilakukan setiap kali ada tanda-tanda terjadinya suatu musibah besar, penyakit menular yang tidak ada obatnya, dan penurunan hasil laut yang secara mendadak turun drastis. Maka rangkaian upcara Jamu Laut tersbut akan dilakukan. Mulanya akan diadakan pertemuan para tetua-tetua adat dan kepala desa dengan dukun atau orang pintar yang dipercayai dapat berhubungan dengan para rohroh tersebut. Hal ini dilakukan guna untuk mencari tahu apa yang diinginkan oleh penunggu-penunggu laut tersebut. Lalu setelah mengetahui segala kehendak si roh maka segenap masyarakat akan menyediakannya tanpa boleh satupun yang terlupakan. Maka setelah itu akan diadakan lagi pertemuan antara tetua adat dengan dukun tersebut untuk mendengar dan meminta hari yang pasti untuk melakukan upacara tersebut kepada 125

71 penunggu/roh laut tersebut. Biasanya upacara tersebut diadakan selama tiga hari-tiga malam secara besar-besaran. Masyarakat mempercayai bila upacara tersebut telah dilakukan maka mereka akan mendapatkan berbagai kelimpahan rezeki dari hasil laut. Namun bila mereka tetap mendapatkan kemalangan maka mereka akan berserah diri menerima segala bencana tersebut. Mereka mempercayai bahwa bila penunggu laut tetap memberi kemalangan itu karena penunggu/roh laut tersebut sudah sangat marah dan tidak bisa memaafkan kesalahan yang mereka perbuat. 126

72 BAB IV KETERKAITAN AKTIFITAS DAN PENGELOLAAN MASYARAKAT NELAYAN TERHADAP KELESTARIAN EKOSISTEM PESISIR DAN LAUT A. Perubahan Lingkungan Wilayah Pesisir Dan Laut Akibat Aktivitas Manusia Pertumbuhan penduduk yang mengalami peningkatan setiap tahunnya dan begitu pula pertumbuhan penduduk di wilayah pesisir meningkat secara pasti, akibat dari bertambahnya jumlah penduduk maka aktivitas manusia di wilayah pesisir terutama dalam pemanfaatan sumberdaya alam dan ekosistem pesisir meningkat pula secara drastis. Berbagai macam aktivitas manusia yang dilakukan baik di daratan maupun di lautan mendorong terjadinya perubahan lingkungan wilayah pesisir. Usaha-usaha pemanfaatan sumberdaya perairan secara intensif tanpa batasan-batasan tertentu dengan segala bentuk-bentuk pengaplikasian teknologi skala tradisional atau teknologi penangkapan muktahir (moderen) akan menimbulkan reaksi-reaksi positif maupun negatif terhadap manusia dan lingkungan sumberdaya tersebut antara lain: (1). Ekosistem lingkungan hutan bakau (mangrove), (2). Ekosistem trumbu karang dan eksosistem laut secara keseluruhan. Aspek-aspek positif eksploitasi akan memenuhi kebutuhan masyarakat nelayan sementara pengaruh negatifnya pengelolaan berlebihan mengakibatkan putusnya mata rantai lingkungan hidup. Banyak sumberdaya alam di wilayah pesisir dan lautan mengalami over eksploitasi, diantaranya adalah sumberdaya perikanan laut. Secara agregat nasional pemanfaatan sumberdaya perikanan laut pada tahun 1997 baru mencapai 58,5% dari potensi lestarinya, akan tetapi pada beberapa wilayah di Indonesia sudah mengalami kondisi tangkap lebih (over fishing) (Dinas Perikanan dan Kelautan Serdang Bedagai 127

73 2007). Jenis stok sumberdaya ikan yang telah mengalami tangkap lebih adalah ikanikan komersial seperti ikan jenis pelagis, udang dan ikan karang. Udang mengalami over fishing hampir di seluruh perairan Indonesia. Begitu pula halnya di wilayah desa Pekan Tanjung Beringin dan desa Pantai Cermin Kanan, bila dilihat secara umum perairan laut di wilayah ini adalah salah satu wilayah yang memiliki banyak sekali sumberdaya alam laut yang sangat kaya. Dimana masyarakat nelayannya adalah ratarata nelayan tradisional dengan alat tangkap yang masih tergolong sederhana. Namun dikarenakan persaingan yang terjadi diperairan laut yang begitu tinggi mau tidak mau membuat nelayan di dua desa ini harus meningkatkan kinerja alat tangkap mereka agar dapat bersaing dengan nelayan yang berasal dari luar wilayah yang sengaja datang melakukan penangkapan dengan alat tangkap yang jauh sangat moderen dibandingkan mereka. Persaingan inilah yang mengakibatkan semakin besarnya eksplotasi laut atau penangkapan yang berlebih. Perlombaan dalam meraup potensi yang lebih banyak diwujudkan dengan meningkatkan kecanggihan alat penangkapan demi memaksimalkan hasil tangkapan, memperluas wilayah operasi dan lainnya yang hanya dimiliki sebagian komunitas nelayan sedangkan komunitas lain tetap saja tertinggal secara teknologi yang berhubungan langsung dengan pendapatan sektor ekonomi laut. Sehingga nelayan dari kriteria tersebut terbagi dua yaitu nelayan moderen yang mengoperasionalkan teknologi canggih, pendapatannya sangat mencukupi bahkan over produksi dan nelayan tradisional yang kemampuan teknologinya terbatas, terbatas pula dalam hasil penangkapan yang berkorelasi langsung terhadap income pendapatan ekonomi, dari itu banyak nelayan-nelayan tradisional memperbanyak jenis alat tangkapnya agar mampu 128

74 bertahan memanfaatkan potensi laut sesuai dengan kecenderungan musim jenis-jenis ikan hasil tangkapan, atau mencari usaha sampingan seperti berdagang, buruh, ataupun bertani. Persaingan yang terjadi antar nelayan telah mengakibatkan stok potensi sumberdaya laut yang semakin menipis. Kondisi persaingan dan semakin marjinalnya nelayan tradisional bukan saja dialami nelayan perairan tetapi juga dialami nelayan yang beroperasi di kawasan hutan mangrove, akibat penyempitan lahan, berubah menjadi lahan-lahan perkebunan, tambak, perumahan dan lain-lain. Pengerusakan hutan mangrove, terumbu karang menambah runyamnya suasana kondusif nelayan untuk memaksimalkan hasil penangkapan sebab kelestarian kedua jenis eksosistem menyumbang sangat berarti terhadap kawasan pengembangan semua jenis biota laut yang menjadi sumber penghidupan nelayan. Menurut Dahuri (2001), setiap perubahan bentang alam daratan dan dampak negatif lainnya seperti pencemaran, erosi dan perubahan secara drastis regim aliran air tawar yang terjadi di ekosistem daratan (lahan atas) pada akhirnya akan berdampak terhadap ekosistem pesisir. Antar ekosistem yang ada di wilayah pesisir juga terdapat keterkaitan dan interaksi satu sama lain, sehingga saling mempengaruhi. Sebagai contoh tipe keterkaitan ekosistem adalah: pembukaan hutan mangrove besar-besaran mengakibatkan mangrove kehilangan fungsi sebagai perangkap sedimen sehingga sedimen masuk ke ekosistem padang lamun dan terumbu karang dan mengganggu fungsi kedua ekosistem tersebut. Hubungan tersebut dapat dilihat dalam gambar yang ada di berikut ini: 129

75 Gambar: Tipe interaksi antara ekosistem padang lamun dengan ekosistem mangrove dan terumbu karang (Ogden dan Gladfelter, 1983 dalam Bengen, 2002) A. 1. Kelestarian Ekosistem Mangrove Hutan mangrove memegang peranan yang sangat penting dalam eksosistem wilayah pesisir. Peran ini telah diketahui oleh masyarakat umum walupun tidak begitu dalam, namun sudah cukup menjadi dasar acuan bagi pemerintah untuk membangkitkan semangat dalam diri masyarakat agar melakukan penyelamatan terhadap areal hutan mangrove yang masih tersisa. Namun terkadang dikarenakan kebutuhan ekonomi dan pengetahuan yang masih tipis tersebut mereka malah tidak peduli dan melakukan penebangan baik secara terang-terangan maupun diam-diam yang akibatnya kerugian banyak pihak. Seiring dengan peningkatan jumlah dan aktivitas penduduk di desa Pekan Tanjung Beringin dan desa Pantai Cermin Kanan maka hutan mangrove banyak dimanfaatkan oleh masyarakat setempat antara lain: dikonversi menjadi lahan 130

Keterkaitan Aktifitas Ekonomi Nelayan Terhadap Lingkungan Pesisir Dan Laut SKRIPSI

Keterkaitan Aktifitas Ekonomi Nelayan Terhadap Lingkungan Pesisir Dan Laut SKRIPSI Keterkaitan Aktifitas Ekonomi Nelayan Terhadap Lingkungan Pesisir Dan Laut (Studi Deskriptif Di Desa Pekan Tanjung Beringin Dan Desa Pantai Cermin Kanan Kabupaten Serdang Bedagai) SKRIPSI Diajukan guna

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir bukan merupakan pemisah antara perairan lautan dengan daratan, melainkan tempat bertemunya daratan dan perairan lautan, dimana didarat masih dipengaruhi oleh

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis berbentuk kepulauan dengan 17.500 pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km, yang merupakan kawasan tempat tumbuh hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai yang terpanjang di dunia, lebih dari 81.000 KM garis pantai dan 17.508 pulau yang membentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir.

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove banyak dijumpai di wilayah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Pustaka Wilayah laut Indonesia kaya akan ikan, lagi pula sebagian besar merupakan dangkalan. Daerah dangkalan merupakan daerah yang kaya akan ikan sebab di daerah dangkalan sinar

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM. 4.1 Letak dan Kondisi Geografis

4 KEADAAN UMUM. 4.1 Letak dan Kondisi Geografis 29 4 KEADAAN UMUM 4.1 Letak dan Kondisi Geografis Keadaan geografi Kabupaten Aceh Besar merupakan salah satu kabupaten yang memiliki luas laut yang cukup besar. Secara geografis Kabupaten Aceh Besar berada

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai II. TINJAUAN PUSTAKA A. Mangrove Mangrove adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup di antara laut dan daratan yang dipengaruhi oleh pasang surut. Habitat mangrove seringkali ditemukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, dikawasan mangrove terjadi interaksi kompleks

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang ± 81.000 km dan luas sekitar 3,1 juta km 2.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang dan asosiasi biota penghuninya secara biologi, sosial ekonomi, keilmuan dan keindahan, nilainya telah diakui secara luas (Smith 1978; Salm & Kenchington

Lebih terperinci

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN Tinjauan Pustaka Perikanan adalah kegiatan ekonomi dalam bidang penangkapan atau budidaya ikan atau binatang air lainnya serta

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia dan hidup serta tumbuh berkembang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULU 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULU 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air merupakan zat yang paling banyak terdapat dalam protoplasma dan merupakan zat yang sangat esensial bagi kehidupan, karena itu dapat disebut kehidupan adalah

Lebih terperinci

ALAT PENANGKAPAN IKAN. Riza Rahman Hakim, S.Pi

ALAT PENANGKAPAN IKAN. Riza Rahman Hakim, S.Pi ALAT PENANGKAPAN IKAN Riza Rahman Hakim, S.Pi A. Alat Penangkap Ikan Definisi alat penangkap ikan: sarana dan perlengkapan atau benda-benda lainnya yang dipergunakan untuk menangkap ikan Pengertian sarana:

Lebih terperinci

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL Oleh : Nurul Dhewani dan Suharsono Lokakarya Muatan Lokal, Seaworld, Jakarta, 30 Juni 2002 EKOSISTEM LAUT DANGKAL Hutan Bakau Padang Lamun Terumbu Karang 1 Hutan Mangrove/Bakau Kata

Lebih terperinci

Potensi Terumbu Karang Luwu Timur

Potensi Terumbu Karang Luwu Timur Potensi Terumbu Karang Luwu Timur Kabupaten Luwu Timur merupakan kabupaten paling timur di Propinsi Sulawesi Selatan dengan Malili sebagai ibukota kabupaten. Secara geografis Kabupaten Luwu Timur terletak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan garis pantai lebih dari 8.100 km serta memiliki luas laut sekitar 5,8 juta km2 dan memiliki lebih dari 17.508 pulau, sehingga

Lebih terperinci

Jaring Angkat

Jaring Angkat a. Jermal Jermal ialah perangkap yang terbuat dari jaring berbentuk kantong dan dipasang semi permanen, menantang atau berlawanlan dengan arus pasang surut. Beberapa jenis ikan, seperti beronang biasanya

Lebih terperinci

JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN III (TIGA) ILMU PENGETAHUAN SOSIAL (IPS) LINGKUNGAN ALAM DAN BUATAN

JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN III (TIGA) ILMU PENGETAHUAN SOSIAL (IPS) LINGKUNGAN ALAM DAN BUATAN JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN SD III (TIGA) ILMU PENGETAHUAN SOSIAL (IPS) LINGKUNGAN ALAM DAN BUATAN A. Ketampakan Lingkungan Alam dan Buatan Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara kepulauan yang memiliki sekitar 17.508 pulau dan panjang garis pantai lebih dari 81.000

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang sangat kaya raya akan keberagaman alam hayatinya. Keberagaman fauna dan flora dari dataran tinggi hingga tepi pantai pun tidak jarang

Lebih terperinci

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL SUKANDAR, IR, MP, IPM (081334773989/cak.kdr@gmail.com) Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Sebagai DaerahPeralihan antara Daratan dan Laut 12 mil laut

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Penelitian Terdahulu. Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Saskia (1996), yang menganalisis

II. TINJAUAN PUSTAKA Penelitian Terdahulu. Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Saskia (1996), yang menganalisis II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Saskia (1996), yang menganalisis masalah Kemiskinan dan Ketimpangan pendapatan nelayan di Kelurahan Bagan Deli dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. Ekosistem mangrove

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam suatu wilayah pesisir terdapat beragam sistem lingkungan (ekosistem). Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, terumbu karang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, terdiri dari lebih 17.000 buah pulau besar dan kecil, dengan panjang garis pantai mencapai hampir

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis PENDAHULUAN Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang memiliki peranan penting dalam pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis kondisi dan keberadaannya. Beberapa

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang . 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di wilayah pesisir yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon bakau yang mampu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, yang memiliki ± 18.110 pulau dengan garis pantai sepanjang 108.000 km, serta

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan 29 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan ekosistem laut. Mangrove diketahui mempunyai fungsi ganda

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kawasan pesisir yang cukup luas, dan sebagian besar kawasan tersebut ditumbuhi mangrove yang lebarnya dari beberapa

Lebih terperinci

C. Potensi Sumber Daya Alam & Kemarintiman Indonesia

C. Potensi Sumber Daya Alam & Kemarintiman Indonesia C. Potensi Sumber Daya Alam & Kemarintiman Indonesia Indonesia dikenal sebagai negara dengan potensi sumber daya alam yang sangat besar. Indonesia juga dikenal sebagai negara maritim dengan potensi kekayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Indonesia terkenal memiliki potensi sumberdaya kelautan dan pesisir yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic

Lebih terperinci

Sejarah Peraturan Perikanan. Indonesia

Sejarah Peraturan Perikanan. Indonesia Sejarah Peraturan Perikanan Indonesia Peranan Hukum Laut dalam Kedaulatan RI Laut Indonesia pada awalnya diatur berdasarkan Ordonansi 1939 tentang Wilayah Laut dan Lingkungan Maritim yg menetapkan laut

Lebih terperinci

TIPOLOGI EKOSISTEM DAN KERAWANANNYA

TIPOLOGI EKOSISTEM DAN KERAWANANNYA TIPOLOGI EKOSISTEM DAN KERAWANANNYA 1 OLEH : Kelompok V Muslim Rozaki (A 231 10 034) Melsian (A 231 10 090) Ni Luh Ari Yani (A 231 10 112) Rinanda Mutiaratih (A 231 11 006) Ismi Fisahri Ramadhani (A 231

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari atas 17.508 pulau, dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Luas laut Indonesia sekitar 3,1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kerusakan fisik habitat wilayah pesisir dan lautan di Indonesia mengakibatkan penurunan kualitas ekosistem. Salah satunya terjadi pada ekosistem mangrove. Hutan mangrove

Lebih terperinci

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R Oleh : Andreas Untung Diananto L 2D 099 399 JURUSAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pukat merupakan semacam jaring yang besar dan panjang untuk. menangkap ikan yang dioperasikan secara vertikal dengan menggunakan

BAB I PENDAHULUAN. Pukat merupakan semacam jaring yang besar dan panjang untuk. menangkap ikan yang dioperasikan secara vertikal dengan menggunakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pukat merupakan semacam jaring yang besar dan panjang untuk menangkap ikan yang dioperasikan secara vertikal dengan menggunakan pelampung di sisi atasnya dan pemberat

Lebih terperinci

Mata Pencaharian Penduduk Indonesia

Mata Pencaharian Penduduk Indonesia Mata Pencaharian Penduduk Indonesia Pertanian Perikanan Kehutanan dan Pertambangan Perindustrian, Pariwisata dan Perindustrian Jasa Pertanian merupakan proses untuk menghasilkan bahan pangan, ternak serta

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Geografis Desa Lebih terletak di Kecamatan Gianyar, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali dengan luas wilayah 205 Ha. Desa Lebih termasuk daerah dataran rendah dengan ketinggian

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut TINJAUAN PUSTAKA Hutan Manggrove Hutan mangrove oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut Kusmana dkk (2003) Hutan mangrove

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 20 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Geografis, Letak Topografi dan Luas Sibolga Kota Sibolga berada pada posisi pantai Teluk Tapian Nauli menghadap kearah lautan Hindia. Bentuk kota memanjang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Ekosistem mangrove adalah tipe ekosistem yang terdapat di daerah pantai dan secara teratur di genangi air laut atau dipengaruhi oleh pasang surut air laut,

Lebih terperinci

AGROBISNIS BUDI DAYA PERIKANAN KABUPATEN CILACAP

AGROBISNIS BUDI DAYA PERIKANAN KABUPATEN CILACAP AGROBISNIS BUDI DAYA PERIKANAN KABUPATEN CILACAP Cilacap merupakan salah satu wilayah yang berpotensi maju dalam bidang pengolahan budi daya perairan. Memelihara dan menangkap hewan atau tumbuhan perairan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan. serta ada yang berskala kecil(said dan lutan, 2001).

I. PENDAHULUAN. perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan. serta ada yang berskala kecil(said dan lutan, 2001). I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian mencakup kegiatan usahatani perkebunan, perhutanan, peternakan, dan perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan ragam. Dari sakala

Lebih terperinci

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV xxxxxxxxxx Kurikulum 2006/2013 Geografi K e l a s XI PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove bagi kelestarian sumberdaya perikanan dan lingkungan hidup memiliki fungsi yang sangat besar, yang meliputi fungsi fisik dan biologi. Secara fisik ekosistem

Lebih terperinci

VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA

VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA 73 VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA Pengelolaan ekosistem wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Kecamatan Kayoa saat ini baru merupakan isu-isu pengelolaan oleh pemerintah daerah, baik

Lebih terperinci

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah yang memberikan kontribusi produksi perikanan yang sangat besar dan tempat aktivitas manusia paling banyak dilakukan; bahkan menurut

Lebih terperinci

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Perairan Palabuhanratu terletak di sebelah selatan Jawa Barat, daerah ini merupakan salah satu daerah perikanan yang potensial di Jawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara, seperti

BAB I PENDAHULUAN. mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara, seperti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu bagian terpenting dari kondisi geografis Indonesia sebagai wilayah kepulauan adalah wilayah pantai dan pesisir dengan garis pantai sepanjang 81.000

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut Menurut UU No. 26 tahun 2007, ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,

Lebih terperinci

V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru

V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN Geografis dan Administratif Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru terbentuk di Provinsi Sulawesi Tengah berdasarkan Undang-Undang Nomor 51 tahun

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya alam pesisir merupakan suatu himpunan integral dari komponen hayati (biotik) dan komponen nir-hayati (abiotik) yang dibutuhkan oleh manusia untuk hidup dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sekitar 78 % wilayah Indonesia merupakan perairan sehingga laut dan wilayah pesisir merupakan lingkungan fisik yang mendominasi. Di kawasan pesisir terdapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hutan mangrove merupakan ekosistem yang penting bagi kehidupan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hutan mangrove merupakan ekosistem yang penting bagi kehidupan di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hutan mangrove merupakan ekosistem yang penting bagi kehidupan di wilayah pesisir. Hutan mangrove menyebar luas dibagian yang cukup panas di dunia, terutama

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 20 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 20 TAHUN 2012 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 20 TAHUN 2012 TENTANG PELARANGAN PENGUNAAN ALAT-ALAT TANGKAP YANG DAPAT MERUSAK HABITAT IKAN DAN BIOTA LAUT DI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 3,2 juta ha (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam 2 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, di kawasan mangrove terjadi interaksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Budidaya laut (marinecultur) merupakan bagian dari sektor kelautan dan perikanan yang mempunyai kontribusi penting dalam memenuhi target produksi perikanan. Walaupun

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu sumberdaya pesisir yang penting adalah ekosistem mangrove, yang mempunyai fungsi ekonomi dan ekologi. Hutan mangrove dengan hamparan rawanya dapat menyaring dan

Lebih terperinci

8 AKTIVITAS YANG DAPAT DITAWARKAN PPI JAYANTI PADA SUBSEKTOR WISATA BAHARI

8 AKTIVITAS YANG DAPAT DITAWARKAN PPI JAYANTI PADA SUBSEKTOR WISATA BAHARI 8 AKTIVITAS YANG DAPAT DITAWARKAN PPI JAYANTI PADA SUBSEKTOR WISATA BAHARI Aktivitas-aktivitas perikanan tangkap yang ada di PPI Jayanti dan sekitarnya yang dapat dijadikan sebagai aktivitas wisata bahari

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 32 TAHUN 1990 (32/1990) Tanggal : 25 JULI 1990 (JAKARTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas

4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas 26 4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi 4.1.1 Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas Menurut DKP Kabupaten Banyuwangi (2010) luas wilayah Kabupaten Banyuwangi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. dan juga nursery ground. Mangrove juga berfungsi sebagai tempat penampung

PENDAHULUAN. dan juga nursery ground. Mangrove juga berfungsi sebagai tempat penampung PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia kaya dan beranekaragam sumberdaya alam. Satu diantara sumberdaya alam di wilayah pesisir adalah ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove merupakan ekosistem

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Pulau Pramuka secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu, Kotamadya Jakarta

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. beradaptasi dengan salinitas dan pasang-surut air laut. Ekosistem ini memiliki. Ekosistem mangrove menjadi penting karena fungsinya untuk

PENDAHULUAN. beradaptasi dengan salinitas dan pasang-surut air laut. Ekosistem ini memiliki. Ekosistem mangrove menjadi penting karena fungsinya untuk PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan masyarakat tumbuhan atau hutan yang beradaptasi dengan salinitas dan pasang-surut air laut. Ekosistem ini memiliki peranan penting dan manfaat yang

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 27 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Geografis, Topografis dan Luas Wilayah Kabupaten Ciamis merupakan salah satu kota yang berada di selatan pulau Jawa Barat, yang jaraknya dari ibu kota Propinsi

Lebih terperinci

PENGENALAN EKOSISTEM DI LAUT DANGKAL (Biologi(

PENGENALAN EKOSISTEM DI LAUT DANGKAL (Biologi( PENGENALAN EKOSISTEM DI LAUT DANGKAL (Biologi( Biologi) oleh : Yosephine Tuti Puslitbang Oseanologi - LIPI EKOSISTEM DI LAUT DANGKAL (BIOLOGI) I. EKOSISTEM TERUMBU KARANG / CORAL REEFS II. EKOSISTEM LAMUN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seperti tercantum dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 di dalam

BAB I PENDAHULUAN. seperti tercantum dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 di dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lingkungan hidup mempunyai arti penting dalam kehidupan manusia, seperti tercantum dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 di dalam pengertian lingkungan hidup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang secara geografis terletak di antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai keanekaragaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkelanjutan (sustainabel development) merupakan alternatif pembangunan yang

BAB I PENDAHULUAN. berkelanjutan (sustainabel development) merupakan alternatif pembangunan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan mengandung pengertian suatu perubahan besar yang meliputi perubahan fisik wilayah, pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang didukung

Lebih terperinci

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA PERENCANAAN WILAYAH 1 TPL 314-3 SKS DR. Ir. Ken Martina Kasikoen, MT. Kuliah 10 BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA Dalam KEPPRES NO. 57 TAHUN 1989 dan Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang PEDOMAN

Lebih terperinci

BUPATI JEMBRANA KEPUTUSAN BUPATI JEMBRANA NOMOR 656 TAHUN 2003

BUPATI JEMBRANA KEPUTUSAN BUPATI JEMBRANA NOMOR 656 TAHUN 2003 BUPATI JEMBRANA KEPUTUSAN BUPATI JEMBRANA NOMOR 656 TAHUN 2003 TENTANG PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 9 TAHUN 2003 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN IJIN USAHA PERIKANAN BUPATI JEMBRANA,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. lebih pulau dan memiliki panjang garis pantai km yang merupakan

PENDAHULUAN. lebih pulau dan memiliki panjang garis pantai km yang merupakan PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri atas lebih 17.000 pulau dan memiliki panjang garis pantai 81.000 km yang merupakan terpanjang kedua di dunia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah pesisir pantai yang ada di Medan. Sebagaimana daerah yang secara

BAB I PENDAHULUAN. daerah pesisir pantai yang ada di Medan. Sebagaimana daerah yang secara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan merupakan salah satu daerah pesisir pantai yang ada di Medan. Sebagaimana daerah yang secara geografis berada di pesisir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk rawan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, pengertian hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun memiliki hak yang sama untuk mengambil atau mengeksploitasi sumberdaya didalamnya. Nelayan menangkap

Lebih terperinci

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki garis pantai terpanjang kedua setelah Kanada, dua per tiga wilayah Indonesia adalah kawasan perairan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada 8 februari 2010 pukul Data dari diakses

BAB I PENDAHULUAN. pada 8 februari 2010 pukul Data dari  diakses BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fakta jumlah pulau di Indonesia beserta wilayah laut yang mengelilinginya ternyata menempatkan Indonesia sebagai negara yang memiliki wilayah pesisir yang terpanjang

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut dan hampir sepertiga penduduknya mendiami daerah pesisir pantai yang menggantungkan hidupnya dari

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. pada iklim tropis dan sub tropis saja. Menurut Bengen (2002) hutan mangrove

TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. pada iklim tropis dan sub tropis saja. Menurut Bengen (2002) hutan mangrove II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Mangrove 1. Pengertian Hutan Mangrove Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan sub tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove mampu tumbuh

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TRENGGALEK,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TRENGGALEK, BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pulau-Pulau Kecil 2.1.1 Karakteristik Pulau-Pulau Kecil Definisi pulau menurut UNCLOS (1982) dalam Jaelani dkk (2012) adalah daratan yang terbentuk secara alami, dikelilingi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Penilaian Masyarakat di sekitar Sungai Terhadap Keberadaan Ekosistem Sungai Siak

HASIL DAN PEMBAHASAN Penilaian Masyarakat di sekitar Sungai Terhadap Keberadaan Ekosistem Sungai Siak VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Penilaian Masyarakat di sekitar Sungai Terhadap Keberadaan Ekosistem Sungai Siak Sungai Siak sebagai sumber matapencaharian bagi masyarakat sekitar yang tinggal di sekitar

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Letak Geografis Kabupaten Seram Bagian Timur memiliki luas wilayah 20.656.894 Km 2 terdiri dari luas lautan 14,877.771 Km 2 dan daratan 5,779.123 Km 2. Dengan luas

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. yang lokasinya di pantai Timur Sumatera Utara yaitu Selat Malaka. Kegiatan

PENDAHULUAN. yang lokasinya di pantai Timur Sumatera Utara yaitu Selat Malaka. Kegiatan PENDAHULUAN Latar Belakang Kotamadya Medan merupakan salah satu daerah penghasil ikan di Provinsi Sumatera Utara. Kecamatan penghasil ikan yang produktif di daerah ini ialah Kecamatan Medan Belawan. Kecamatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial.

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial. 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia sebagai suatu negara kepulauan dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial. Salah satu ekosistem

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN CIREBON

BERITA DAERAH KABUPATEN CIREBON BERITA DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR? TAHUN 2016 SERI E. 2 PERATURAN BUPATI CIREBON NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PENGELOLAAN SEMPADAN PANTAI DI KABUPATEN CIREBON DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Tjardhana dan Purwanto,

Lebih terperinci