BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang termasuk tumbuhan tingkat rendah (Thallophyta). Tumbuhan tersebut

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang termasuk tumbuhan tingkat rendah (Thallophyta). Tumbuhan tersebut"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Uraian Tumbuhan Rumput laut dalam bahasa Inggris disebut seaweeds adalah algae makro yang termasuk tumbuhan tingkat rendah (Thallophyta). Tumbuhan tersebut memiliki sistem morfologis dan reproduksi tersendiri yang umumnya berbeda dengan tumbuhan tingkat tinggi (tumbuhan berbunga) yang biasa tumbuh didarat. Tumbuhan ini tidak memiliki akar, batang, dan daun sejati (Atmadja, dkk., 1996). Rumput laut biasa nya hanya dimanfaatkan sebagai bahan makanan manusia. Seiring kemajuan sains dan teknologi pemanfaatan rumput laut telah meluas di berbagai bidang, seperti bidang pertanian dapat digunakan sebagai bahan pupuk organik dan salah satu media tumbuh dalam kultur, di bidang peternakan dapat digunakan sebagai bahan makanan ternak, di bidanag kedokteran digunakan sebagai media kultur bakteri, di bidang farmasi digunakan sebagai bahan pembuat suspensi, pengemulsi, tablet, pleste dan filter, di bidang industri digunakan sebagai bahan aditifseperti pada industri teksti, keras dan keramik (Aslan, 1991). Perkembangbiakan rumput laut terjadi dengan sistem vegetatif dan generetif melalui penyebaran spora dan gamet (gamet jantan dan gamet betina) serta perbanyakan batang atau stek. Ada tumbuhan yang mengeluarkan spora yaitu yang disebut sporofit dan ada yang mengeluarkan gamet yang disebut gametofit. Tumbuhan yang mengeluarkan gamet jantan adalah tumbuhan jantan dan yang mengeluarkan gamet betina adalah tumbuhan betina. Ada juga gamet jantan dan

2 betina yang berasal dari satu tumbuhan, hal ini disebut partenogenesis atau berumah satu (monoceus). Perbedaan jenis kelamin tumbuhan tersebut di alam ada yang mudah dikenal dengan penglihatan biasa tetapi ada juga yang sulit dibedakan kecuali dengan bantuan alat pandang mikroskopik (Atmadja, dkk., 1996). Sargassum polycystum C.A. Agardh tumbuh pada substrat batu atau benda keras lainnya di daerah rataan terumbu. Terdapat dengan sebaran yang meluas diperairan Indonesia (Atmadja, dkk., 1996). Talus berbentuk silindris, holdfast membentuk cakram kecil, batang pendek dengan percabangan utama tumbuh rimbun di bagian ujungnya, dapat mencapai tinggi 2 meter. Daun kecil, lonjong, ujungnya rata dan runcing, tepi daun bergerigi dan urat daun tidak begitu jelas, gelembung udara atau vesikel bulat telur,duduk pada percabangan. Kandungan kimianya antara lain berupa alginat dan yodium (iodin) (Atmadja, dkk., 1996). Sistematika tumbuhan Sargassum menurut Pusat Penelitian Oseanografi LIPI adalah: Divisio Subdivisio Kelas Ordo Marga Spesies : Phaeophyta : Phaeophyceae : Fucales : Sargassaceae : Sargassum : Sargassum polycystum C.A. Agardh

3 2.2. Kandungan Kimia Menurut skrinning fitokimia yang telah di lakukan rumput laut jenis Sargassum polycystum C.A. Agardh mengandung steroid/triterpenoiod, glikosida dan saponin. Rumput laut ini juga mengandung protein, vitamin C, mineral seperti Ca, Mg, Na, dan Mn, tanin, iodin dan fenol (Kadi, 2005) dan memproduksi beberapa jenis senyawa sekunder seperti florotanin, steroid dan sterol (Hayati, 2010) Simplisia Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain, berupa bahan alam yang telah dikeringkan. Simplisia dibedakan atas simplisia nabati, simplisia hewani dan simplisia mineral (Ditjen POM, 1979). Simplisia nabati adalah simplisia berupa tanaman utuh, bagian tanaman dan eksudat tanaman. Simplisia hewani adalah simplisia berupa hewan utuh, bagian hewan atau zat yang dihasilkan hewan yang masih belum berupa zat kimia murni. Simplisia mineral adalah simplisia berasal dari bumi, baik telah diolah atau belum, tidak berupa zat kimia murni (Ditjen POM, 1979). 2.4 Ekstraksi Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Dengan diketahui senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dengan cara ekstraksi yang tepat (Ditjen POM, 1995).

4 Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstarksi zat aktif dari simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian rupa hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Ditjen POM, 1995). Ada beberapa metode ekstraksi menggunakan pelarut (Ditjen POM 2000), yaitu: 1. Cara Dingin a. Maserasi adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur kamar b. Perkolasi Perkolasi adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang selalu baru, yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Prosesnya terdiri dari tahap pengembangan bahan, tahapan maserasi antara tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang tidak meninggalkan sisa bila 500 mg perkolat terakhir diuapkan pada suhu ±50ºC. 2. Cara Panas a. Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 sehingga proses ekstraksi sempurna.

5 b. Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru, umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik. c. Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan yaitu pada temperatur o C. d. Infudasi adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperature o C selama menit di penangas air dapat berupa bejana infus tercelup dangan penangas air mendidih. 2.5 Bakteri Nama bakteri berasal dari kata bakterion (bahasa Yunani) yang berarti tongkat atau batang. Sekarang namanya dipakai untuk menyebutkan sekelompok mikroorganisme yang bersel satu, berkembangbiak dengan pembelahan diri, serta demikian kecilnya sehingga hanya tampak dengan mikroskop (Dwidjoseputro, 1988). Menurut Pratiwi (2008), pertumbuhan dan perkembangan bakteri di pengaruhi oleh: a. Temperatur Pertumbuhan bakteri sangat dipengaruhi oleh temperatur. Setiap mikroorganisme mempunyai temperatur optimum yaitu temperatur di mana terjadi kecepatan pertumbuhan optimal dan dihasilkan jumlah sel yang maksimal. Temperatur yang terlalu tinggi dapat menyebabkan denaturasi protein sedangkan temperatur yang sangat rendah aktivitas enzim akan terhenti.

6 Berdasarkan batas temperatur dibagi atas tiga golongan yaitu: - Bakteri psikrofil yaitu mikroorganisme yang dapat hidup baik pada suhu 0-20 o C, dengan suhu optimumnya adalah o C. - Bakteri mesofil yaitu mikroorganisme yang dapat hidup baik pada suhu 5-60 o C, dan memiliki suhu pertumbuhan optimal antara o C. - Bakteri termofil yaitu mikroorganisme yang dapat hidup baik pada suhu o C. Suhu optimumnya antara o C. b. ph ph optimum bagi kebanyakan bakteri terletak antara 6,5 dan 7,5. Namun ada beberapa mikroorganisme yang dapat tumbuh pada keadaan yang sangat asam atau alkali. c. Tekanan osmosis Osmosis merupakan perpindahan air melewati membran semipermeabel karena ketidakseimbangan material terlarut dalam media. Medium yang baik untuk pertumbuhan sel adalah medium isotonis terhadap sel tersebut. Dalam larutan hipotonik air akan masuk ke dalam sel sehingga menyebabkan sel membengkak, sedangkan dalam larutan hipertonik air akan keluar dari sel sehingga membran plasma mengerut dan lepas dari dinding sel (plasmolisis). d. Oksigen Berdasarkan kebutuhan oksigen, mikroorganisme menjadi 5 golongan yaitu: - Aerob yaitu bakteri yang membutuhkan oksigen dalam pertumbuhannya. - Anaerob yaitu bakteri yang tidak memerlukan oksigen dalam pertumbuhannya.

7 - Anaerob fakultatif yaitu bakteri yang dapat hidup tumbuh dengan atau tanpa oksigen. - Mikroaerofilik yaitu bakteri yang memerlukan hanya sedikit oksigen dalam pertumbuhannya. e. Nutrisi Nutrisi merupakan substansi yang diperlukan untuk biosintesis dan pembentukan energi. Berdasarkan kebutuhannya, nutrisi dibedakan menjadi dua yaitu makroelemen (elemen yang diperlukan dalam jumlah banyak) dan mikroelemen (trace element yaitu elemen nutrisi yang diperlukan dalam jumlah sedikit) Morfologi Bakteri Menurut Pratiwi (2008), berdasarkan bentuk morfologinya bakteri dapat di bagi atas tiga golongan yaitu: 1. Bentuk basil Golongan basil berbentuk serupa tongkat pendek, silindris. Basil dapat bergandengan dua-dua, atau terlepas satu sama lain, yang bergandeng-gandengan panjang disebut streptobasil, yang dua-dua disebut diplobasil. 2. Bentuk kokus Golongan kokus merupakan bakteri yang bentuknya serupa bola-bola kecil. Golongan ini tidak sebanyak golongan basil. Kokus ada yang bergandenggandengan panjang, disebut streptokokus, ada yang bergandengan dua, disebut diplokokus, ada yang mengelompok berempat, disebut tetrakokus, kokus yang mengelompok serupa kubus disebut sarsina.

8 3. Bentuk spiral Golongan spiral merupakan bakteri yang bengkok atau berbengkok-bengkok serupa spiral. Bakteri ini tidak banyak terdapat, karena itu merupakan golongan yang paling kecil, jika dibandingkan dengan golongan kokus maupun golongan basil. 2.7 Uraian Bakteri Jenis bakteri yang digunakan dalam penelitian ini adalah Propionibacterium acne dan Staphylococcus epidermidis Bakteri Propionibacterium acne Menurut Irianto (2006), sistematika bakteri Propionibacterium acne adalah: Divisio Kelas Ordo Genus Marga Spesies : Protophyta : Schizomycetes : Eubacteriales : Propionibacteriaceae : Propionibacterium : Propionibacterium acne Propionibacterium acne termasuk gram-positif berbentuk batang tak teratur yang terlihat pada pewarnaan gram positif, tidak berspora, tangkai anaerob, beberapa strain/jenis adalah aerotoleran, tetapi tetap menunjukkan pertumbuhan lebih baik sebagai anaerob. Bakteri ini dapat berbentuk filamen bercabang atau campuran antara bentuk batang/filamen dengan bentuk kokoid. Beberapa bersifat patogen untuk hewan dan tanaman. Bakteri ini mempunyai kemampuan untuk menghasilkan asam propionat, sebagaimana ia mendapatkan namanya.

9 Propionibacterium acne adalah flora normal kulit terutama di wajah. Bakteri ini berperan pada patogenesis jerawat yang dapat menyebabkan inflamasi (Irianto, 2006) Bakteri Staphylococcus epidermidis Menurut Irianto (2006), sistematika bakteri Staphylococcus epidermidis adalah: Divisio Kelas Ordo Genus Marga Jenis : Protophyta : Schizomycetes : Eubacteriales : Micrococaceae : Staphylococcus : Staphylococcus epidermidis Staphylococcus epidermidis merupakan bakteri gram positif berbentuk bulat biasanya tersusun dalam bentuk kluster yang tidak teratur seperti anggur. Bakteri ini membentuk koloni berupa abu-abu sampai putih, non patogen, koagulasi negatif, memfermentasi glukosa, dapat bersifat aerob dan anaerob fakultatif. Staphylococcus epidermidis merupakan flora normal pada kulit. Infeksi Staphylococcus secara lokal tampak sebagai jerawat, infeksi folikel rambut atau abses, terdapat juga sebagai reaksi inflamasi yang kuat dan terlokalisir (Irianto, 2006). 2.8 Fase Pertumbuhan Bakteri Menurut Pratiwi (2008) dan Dwidjoseputro (1988), pertumbuhan bakteri dapat dibagi dalam 4 fase yaitu:

10 1. Fase lambat (Lag phase) Pada saat dipindahkan ke media yang baru, bakteri tidak langsung tumbuh dan membelah, meskipun kondisi media sangat mendukung untuk pertumbuhan. Bakteri biasanya akan mengalami masa penyesuaian untuk menyeimbangkan pertumbuhan. 2. Fase cepat (Log phase) Selama fase ini, populasi meningkat dua kali pada interval waktu yang teratur. Jumlah koloni bakteri akan terus bertambah seiring lajunya aktivitas metabolisme sel. 3. Fase tetap (Stationary phase) Pada fase ini terjadi kompetisi antara bakteri untuk memperoleh nutrisi dari media untuk tetap hidup. Sebagian bakteri mati sedangkan yang lain tumbuh dan membelah sehingga jumlah sel bakteri yang hidup menjadi tetap. 4. Fase kematian (Death phase) Pada fase ini, sel bakteri akan mati bila tidak dipindahkan ke media segar yang lain. Sebagaimana pertumbuhan kematian sel juga secara eksponensial, fase kematian ini merupakan penurunan secara garis lurus yang digambarkan oleh jumlah sel-sel yang hidup terhadap waktu, kecepatan kematian berbeda-beda tergantung dari lingkungan dan spesies mikroorganisme. 2.9 Media Pertumbuhan Bakteri Media pertumbuhan bakteri dapat dikelompokkan dalam beberapa kategori, yaitu: a. Menurut Lay (1994), berdasarkan asalnya dapat dibagi atas:

11 1. Media sintetik yaitu media yang kandungan dan isi bahan yang ditambahkan diketahui secara terperinci. Contoh: glukosa, kalium fosfat, magnesium fosfat. 2. Media non-sintetik yaitu media yang kandungan dan isinya tidak diketahui secara terperinci dan menggunakan bahan yang terdapat di alam. Contohnya: ekstrak daging, pepton. b. Menurut Irianto (2006), berdasarkan kegunaannya dapat dibagi atas: 1. Media selektif Media selektif adalah media biakan yang mengandung paling sedikit satu bahan yang dapat menghambat perkembangbiakan mikroorganisme yang tidak diinginkan dan membolehkan perkembang biakan mikroorganisme tertentu yang ingin diisolasi. 2. Media diferensial Media ini digunakan untuk menyeleksi suatu mikroorganisme dari berbagai jenis dalam suatu lempengan agar. 3. Media diperkaya Media ini digunakan untuk menumbuhkan mikroorganisme yang diperoleh dari lingkungan alami karena jumlah mikroorganisme yang ada terdapat dalam jumlah sedikit. c. Menurut Irianto (2006), berdasarkan konsistensinya dapat dibagi atas: 1. Media padat/solid 2. Media semi solid 3. Media cair

12 2.10 Metode Isolasi Biakan Bakteri Menurut Stanier, et al., (1982), metode isolasi biakan bakteri dapat dibagi atas: 1. Cara gores Ose yang telah steril dicelupkan ke dalam suspensi mikroorganisme yang diencerkan, lalu dibuat serangkaian goresan sejajar yang tidak saling menutupi di atas permukaan agar yang telah padat. 2. Cara sebar Suspensi mikroorganisme yang telah diencerkan diinokulasikan secara merata dengan menggunakan hockey stick pada permukaan media padat. 3. Cara tuang Pengenceran inokulum yang berturut-turut diletakkan pada cawan petri steril dan dicampurkan dengan medium agar cair, lalu dibiarkan memadat. Koloni yang berkembang akan tertanam di dalam media tersebut Uji Aktivitas Antibakteri Penentuan kepekaan bakteri patogen terhadap antimikroba pada dasarnya dapat dilakukan melalui tiga cara yaitu: a. Metode Dilusi Cara ini digunakan untuk menentukan KHM (kadar hambat minimum) dan KBM (kadar bunuh minimum) dari obat antibiotika. Prinsip dari metode dilusi adalah sebagai berikut : Menggunakan satu seri tabung reaksi yang diisi media cair dan sejumlah tertentu sel mikroba yang diuji, masing-masing tabung diuji dengan obat yang telah diencerkan secara serial. Seri tabung diinkubasi pada suhu 37 o C selama

13 18-24 jam dan diamati terjadinya kekeruhan pada tabung. Konsentrasi terendah obat pada tabung yang ditunjukkan dengan hasil biakan yang mulai tampak jernih (tidak ada pertumbuhan mikroba) adalah KBM dari obat. Konsentrasi terendah obat pada biakan padat yang ditunjukkan dengan tidak adanya pertumbuhan koloni mikroba adalah KBM dari obat terhadap bakteri uji (Pratiwi, 2008). b. Metode Difusi Sebagai pencadang dapat digunakan cakram kertas, silinder gelas, porselen, logam danpencetak logam (punch hole). 1. Cara tuang Media agar yang telah diinokulasikan dengan suspensi bakteri uji dituangkan ke dalam cawan petri, dan dibiarkan memadat, kedalam cakram yang digunakan di teteskan zat antibakteri, kemudian diinkubasikan pada suhu 37 o C selama jam. Daerah bening yang terdapat di sekeliling cakram kertas atau selinder menunjukkan hambatan pertumbuhan bakteri, diamati dan diukur. 2. Cara sebar Media agar dituang kedalam cawan petri kemudian dibiarkan memadat, lalu suspensi bakteri uji disebarkan. Media dilubangi dengan alat pencetak lubang (punch hole), ke dalamnya diteteskan zat antibakteri, didiamkan, diinkubasikan pada suhu 37 o C selama jam. Zona hambat diukur yaitu daerah bening disekitar lubang dengan menggunakan jangka sorong (Lay, 1994).

14 c. Metode turbidimetri Pada cara ini digunakan media cair, yaitu dilakukan penuangan media ke dalam tabung reaksi, ditambahkan suspensi bakteri, kemudian dilakukan pemipetan larutan uji dan inkubasi. Selanjutnya dilakukan pengukuran kekeruhan, kekeruhan yang disebabkan oleh pertumbuhan bakteri diukur dengan menggunakan instrument yang cocok, misalnya nephelometer setelah itu dilakukan penghitungan potensi antimikroba (Depkes,1995).

15 BAB III METODE PENELITIAN Metode penelitian yang dilakukan adalah metode eksperimental. Tahap penelitian meliputi penyiapan bahan, karakterisasi simplisia, skrinning fitokimia, pembuatan ekstrak, dan pengujian aktivitas antibakteri. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Farmakognosi, dan Laboratorium Mikrobiologi Departemen Biologi Fakultas Farmasi Medan. 3.1 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat-alat gelas laboratorium, lemari pengering, blender (Philips), desikator, freeze dryer (Modulio), inkubator (Fiber Scientific), jangka sorong, jarum ose, kamera digital (Sony), krus porselin, Laminar Air Flow Cabinet (Astec HLF 1200L), lemari pendingin (Toshiba), mikroskop, neraca kasar (Sun), neraca listrik (Vibra AJ), oven (Memmert), penangas air (Yenaco), pinset, pipet mikro (Eppendorf), rotary evaporator (Haake D), seperangkat alat penetapan kadar air, punch hole, spektrofotometer visible (Dynamica). 3.2 Bahan Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah rumput laut, Nutrient Agar (Oxoid), Nutrient Broth (Oxoid), Mueller Hinton Agar (Oxoid), bakteri Propionibacterium acne (ATCC 12228), Staphylococcus epidermidis (ATCC No 6918), air suling, bahan kimia yang digunakan berkualitas pro analisa, kecuali dinyatakan lain yaitu alfa naftol, amil alkohol, asam klorida pekat, asam asetat anhidrida, asam nitrat, asam asetat glasial, asam sulfat pekat, besi (III) klorida,

16 bismuth (III) nitrat, dimetil sulfoksida (DMSO), etanol 96%, etilasetat, n-heksana, iodium, isopropanol, kalium iodida, kloralhidrat, kloroform, metanol, natrium hidroksida, natrium klorida, natrium sulfat anhidrat, raksa (II) klorida, serbuk magnesium, serbuk zinkum, timbal (II) asetat dan toluen. 3.3 Pengambilan Bahan Tumbuhan Pengambilan bahan tumbuhan dilakukan secara purposif yaitu tanpa membandingkan dengan tumbuhan dari daerah lain. Bahan penelitian adalah rumput laut Sargassum polycystum C.A. Agardh yang diperoleh dari Pantai Desa Pal 7, Kecamatan Sosorgadong, Kabupaten Tapanuli Tengah, Propinsi Sumatera Utara. 3.4 Identifikasi Tumbuhan Identifikasi tumbuhan dilakukan di Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Jakarta. Hasil determinasi menunjukan bahan tumbuhan adalah Sargassum polycystum C.A. Agardh. 3.5 Pembuatan Simplisia Rumput laut yang telah dikumpulkan, direndam dalam air ledeng dan dibersihkan dari pengotor dan organisme yang melekat serta sisa-sisa karang yang menempel. Dicuci berkali-kali dengan air sampai bersih, kemudian ditiriskan dan disebarkan diatas kertas perkamen sehingga airnya terserap. Bahan ditimbang sebagai berat basah, bahan dikeringkan dilemari pengering hingga kering dimana jika simplisia tersebut dipatahkan akan hancur. Bahan kering ditimbang dan diperoleh berat kering. Bahan selanjutnya diserbuk dengan menggunakan blender

17 sampai diperoleh serbuk. Berat bahan basah adalah 15 kg dan berat kering adalah 1,9 kg. Dapat dilihat pada lampiran 2 halaman Pembuatan Larutan Pereaksi Pembuatan larutan pereaksi besi (III) klorida 1%, Bouchardat, Dragendorff, Mayer, Molish dilakukan menurut (Depkes RI, 1995), asam klorida 2 N, asam sulfat 2 N, kloralhidrat, natrium hidroksida 2 N (Ditjen POM, 1979), Liebermann- Bouchard (Harbone, 1987), timbal (II) asetat 0,4 M (Ditjen POM, 1979) Besi (III) klorida 1% Sebanyak 1 g besi (III) klorida dilarutkan dalam air suling hingga 100 ml kemudian disaring Bouchardat Sebanyak 4 g kalium iodida ditimbang, kemudian dilarutkan dalam air suling, ditambahkan iodium sebanyak 2 g dan dicukupkan dengan air suling hingga 100 ml Dragendorff Sebanyak 0,85 g bismut (III) nitrat ditimbang, kemudian dilarutkan dalam 100 ml asam asetat glasial ditambahkan 40 ml air suling. Kemudian pada wadah lain ditimbang 8 g kalium iodida lalu dilarutkan dalam 20 ml air suling, lalu campurkan kedua larutan sama banyak. Kemudian ditambahkan 20 ml asam asetat glasial dan diencerkan dengan air suling hingga 100 ml Mayer Sebanyak 1,35 g raksa (II) klorida dilarutkan dalam 60 ml air suling. Kemudian pada wadah lain sebanyak 5 g kalium iodida dilarutkan dalam 10 ml air lalu campurkan keduanya dan ditambahkan air suling hingga 100 ml.

18 3.6.5 Molish Sebanyak 3 g α-naftol ditimbang, kemudian dilarutkan dalam asam nitrat 0,5 N hingga volume 100 ml Asam klorida 2 N Sebanyak 17 ml asam klorida pekat dilarutkan dalam air suling hingga volume 100 ml Asam sulfat 2 N Sebanyak 5,4 ml asam sulfat pekat kemudian diencerkan dengan air suling hingga 100 ml Natrium hidroksida 2 N Sebanyak 8,002 g kristal natrium hidroksida dilarutkan dalam air suling hingga 100 ml Liebermann-Burchard Sebanyak 5 ml asam asetat anhidrida dicampurkan dengan 5 ml asam sulfat pekat kemudian ditambahkan 50 ml etanol ke dalam campuran tersebut Timbal (II) asetat 0,4 M Sebanyak 15,17 g timbal (II) asetat dilarutkan dalam air bebas karbondioksida hingga 100 ml. 3.7 Pemeriksaan Karakteristik Simplisia Pemeriksaan makroskopik Pemeriksaan makroskopik dilakukan dengan mengamati mengamati sifat morfologi luar, warna, bau dan rasa dari rumput laut.

19 3.7.2 Pemeriksaan mikroskopik Pemeriksaan mikroskopik dilakukan terhadap serbuk simplisia rumput laut. Serbuk simplisia ditaburkan sedikit di atas kaca objek, kemudian ditambahkan kloral hidrat lalu dipanaskan dan tutup dengan kaca penutup, kemudian diamati dibawah mikroskop Penetapan kadar air Penetapan kadar air dilakukan menurut metode Azeotropi (destilasi toluena) (WHO, 1992). Cara kerja: Dimasukkan 200 ml toluena dan 2 ml air suling ke dalam labu alas bulat, lalu didestilasi selama 2 jam, setelah toluena dibiarkan mendingin selama 30 menit volume air pada tabung penerima dibaca, kemudian ke dalam labu tersebut dimasukkan 5 g serbuk simplisia yang telah ditimbang seksama, labu dipanaskan hati-hati selama 15 menit. Setelah toluena mendidih, kecepatan tetesan diatur lebih kurang 2 tetes tiap detik sampai sebagian besar air terdestilasi, kemudian kecepatan tetesan dinaikkan hingga 4 tetes tiap detik, setelah semua air terdestilasi, bagian dalam pendingin dibilas dengan toluena. Destilasi dilanjutkan selama 5 menit, kemudian tabung penerima dibiarkan mendingin pada suhu kamar. Setelah air dan toluena memisah sempurna, volume air dibaca dengan ketelitian 0,05 ml. Selisih kedua volume air yang dibaca sesuai dengan kandungan air yang terdapat dalam bahan yang diperiksa. Kadar air dihitung dalam persen Penetapan kadar sari larut dalam air Sebanyak 5 g serbuk yang telah dikeringkan di udara, dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml air-kloroform (2,5 ml kloroform dalam air suling sampai 1 liter) dalam labu bersumbat sambil dikocok sesekali selama 6 jam pertama,

20 kemudian dibiarkan selama 18 jam, lalu disaring. Sejumlah 20 ml filtrat pertama diuapkan sampai kering dalam cawan penguap yang berdasar rata yang telah ditara dan sisa dipanaskan pada suhu 105 o C sampai bobot tetap. Kadar dalam persen sari yang larut dalam air dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes, 1995) Penetapan kadar sari larut dalam etanol Sebanyak 5 g serbuk yang telah dikeringkan di udara, dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml etanol 96% dalam labu bersumbat sambil dikocok sesekali selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam. Kemudian disaring cepat untuk menghindari penguapan etanol. Sejumlah 20 ml filtrat diuapkan sampai kering dalam cawan penguap yang berdasar rata yang telah dipanaskan dan ditara. Sisa dipanaskan pada suhu 105 o C sampai bobot tetap. Kadar dalam persen sari yang larut dalam etanol 96% dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes, 1995) Penetapan kadar abu total Sebanyak 2 g serbuk yang telah digerus dan ditimbang seksama dimasukkan dalam krus porselin yang telah dipijar dan ditara, kemudian diratakan. Krus dipijar perlahan-lahan sampai arang habis, pijaran dilakukan pada suhu 600 o C selama 3 jam kemudian didinginkan dan ditimbang sampai diperoleh bobot tetap. Kadar abu dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes, 1995) Penetapan kadar abu tidak larut dalam asam Abu yang diperoleh dalam penetapan kadar abu dididihkan dalam 25 ml asam klorida encer selama 5 menit, bagian yang tidak larut dalam asam dikumpulkan, disaring melalui kertas saring, dipijarkan, didinginkan dan

21 ditimbang sampai bobot tetap. Kadar abu yang tidak larut dalam asam dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes, 1995). 3.8 Penentuan Golongan Senyawa Kimia Pemeriksaan alkaloid Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 0,5 g kemudian ditambahkan 1 ml asam klorida 2 N dan 9 ml air suling, dipanaskan di atas penangas air selama 2 menit, didinginkan dan disaring. Filtrat yang diperoleh dipakai untuk tes alkaloid. Diambil 3 tabung reaksi, lalu ke dalamnya dimasukkan 0,5 ml filtrat. Pada masing-masing tabung reaksi: a. Ditambahkan 2 tetes pereaksi Mayer b. Ditambahkan 2 tetes pereaksi Bouchardat c. Ditambahkan 2 tetes pereaksi Dragendorff Percobaan dilanjutkan dengan mengocok sisa filtrat dengan 3 ml amonia pekat dan 10 ml campuran eter-kloroform (3:1), diambil lapisan kloroform lalu diuapkan di atas penangas air. Sisa kemudian dilarutkan dengan sedikit asam klorida 2 N dan ditambahkan dengan pereaksi Mayer, Bouchardat dan Dragendorff. Alkaloid positif jika terjadi endapan atau kekeruhan pada dua dari tiga percobaan di atas Pemeriksaan flavonoid Serbuk simplisia ditimbang 0,5 g, lalu ditambahkan 10 ml metanol, direfluks selama 10 menit, disaring panas-panas melalui kertas saring. Filtrat diencerkan dengan 10 ml air suling, setelah dingin ditambahkan 5 ml petroleum eter, dikocok hati-hati, lalu didiamkan sebentar. Lapisan metanol diambil, diuapkan pada

22 temperatur 40 o C, sisanya dilarutkan dalam 5 ml etilasetat, disaring. Filtratnya digunakan untuk uji flavonoid dengan cara berikut: a. Sebanyak 1 ml filtrat diuapkan sampai kering, sisa dilarutkan dalam 2 ml etanol 96%, lalu ditambah 0,5 g serbuk Zn dan 2 ml asam klorida 2 N. Didiamkan selama 1 menit. Kemudian ditambahkan 10 tetes asam klorida pekat. Jika dalam waktu 2-5 menit terjadi warna merah intensif menunjukkan adanya flavonoid. b. Sebanyak 1 ml filtrat diuapkan sampai kering, sisa dilarutkan dalam 1 ml etanol 96%, lalu ditambah 0,1 g serbuk Mg dan 10 tetes asam klorida pekat. Jika terjadi warna merah jingga sampai warna merah ungu menunjukkan adanya flavonoid Pemeriksaan glikosida Sebanyak 3 g serbuk simplisia disari dengan 30 ml campuran etanol 96% dengan air (7:3) direfluks selama 10 menit, didinginkan dan disaring. Kemudian diambil 20 ml filtrat ditambahkan 25 ml air suling dan 25 ml timbal (II) asetat 0,4 M, dikocok, didiamkan selama 5 menit lalu disaring. Filtrat disari dengan 20 ml campuran kloroform dan isopropanol (3:2), dilakukan berulang sebanyak 3 kali. Kumpulan sari air diuapkan pada suhu tidak lebih dari 50 o C. Sisanya dilarutkan dalam 2 ml metanol. Larutan sisa digunakan untuk percobaan: - Sebanyak 0,1 ml larutan percobaan dimasukkan dalam tabung reaksi dan diuapkan diatas penangas air. Pada sisa ditambahkan 2 ml air dan 5 tetes pereaksi Molish. Kemudian secara perlahan-lahan ditambahkan 2 ml asam sulfat pekat melalui dinding tabung, terbentuk cincin warna ungu pada batas antara kedua cairan menunjukkan adanya ikatan gula.

23 - Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia direbus dalam air, kemudian didinginkan lalu disaring. Pada filtrat ditambahkan Fehling A dan Fehling B (1:1), kemudian dipanaskan. Terbentuknya endapan warna merah bata menunjukkan adanya gula pereduksi Pemeriksaan saponin Uji busa Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 0,5 g dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu ditambahkan 10 ml air panas, didinginkan, kemudian dikocok kuat-kuat selama 10 menit. Jika terbentuk busa setinggi 1-10 cm yang stabil tidak kurang dari 10 menit dan tidak hilang dengan penambahan 1 tetes asam klorida 2 N menunjukkan adanya saponin Uji dengan pereaksi Liebermann-Burchard Sebanyak 1 g simplisia dimaserasi dengan 20 ml n-heksana selama 2 jam, disaring, filtrat diuapkan dan sisanya ditambahkan pereaksi Liebermann- Burchard. Jika terbentuk warna ungu atau merah yang berubah menjadi biru ungu atau biru hijauan menunjukkan adanya triterpenoid/steroid bebas Pemeriksaan tanin Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 1 g, dididihkan selama 3 menit dalam air suling lalu didinginkan dan disaring. Pada filtrat ditambahkan 1-2 tetes pereaksi besi (III) klorida 1% b/v. Jika terjadi warna biru kehitaman atau hijau kehitaman menunjukkan adanya tanin Pemeriksaan triterpenoid/steroid Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 1 g, dimaserasi dengan 20 ml n- heksana selama 2 jam, disaring. Filtrat diuapkan dalam cawan penguap dan pada

24 sisanya ditambahkan pereaksi Liebermann-Burchard melalui dinding cawan. Apabila terbentuk warna ungu atau merah yang berubah menjadi biru ungu atau biru hijau menunjukkan adanya triterpenoid/steroid (Harborne, 1987). 3.9 Pembuatan ekstrak n-heksana, etilasetat dan etanol rumput laut secara perkolasi berkesinambungan Pembuatan ekstrak dilakukan secara perkolasi berkesinambungan menggunakan tiga pelarut. Cara kerja: sebanyak 400 g serbuk simplisia dimasukkan ke dalam bejana tertutup, dituangi cairan penyari n-heksana sampai semua simplisia terendam sempurna dan dibiarkan sekurang-kurangnya selama 3 jam. Pindahkan massa sedikit demi sedikit ke dalam perkolator sambil tiap kali ditekan hati-hati, dituangi cairan penyari secukupnya sampai cairan mulai menetes dan di atas simplisia masih terdapat selapis cairan penyari, tutup perkolator dan biarkan selama 24 jam. Biarkan cairan menetes dengan kecepatan 1 ml per menit, ditambahkan berulang-ulang cairan penyari secukupnya hingga selalu terdapat selapis cairan penyari di atas simplisia. Perkolasi dihentikan jika 500 mg perkolat yang keluar terakhir diuapkan, tidak meninggalkan sisa, kemudian ampasnya di keringkan dan diperkolasi kembali dengan menggunakan cairan penyari etilasetat dengan prosedur perkolasi yang sama. Setelah perkolat etilasetat di peroleh, ampasnya di perkolasi kembali dengan menggunakan cairan penyari etanol dengan menggunakan prosedur perkolasi yang sama. Masing-masing perkolat yang diperoleh dipekatkan dengan alat penguap rotary evaporator dan dikering bekukan dengan freeze dryer (Depkes, 1979).

25 3.10 Sterilisasi Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan dalam uji aktivitas antibakteri ini, disterilkan terlebih dahulu sebelum dipakai. Alat-alat gelas disterilkan didalam oven pada suhu 170 C selama 1 jam. Media disterilkan di autoklaf pada suhu 121 C selama 15 menit (Lay,1994) Pembuatan Media Media Nutrient Agar (NA) Komposisi : Bacto Beef extract 3 g Bacto peptone Bacto Agar Cara Pembuatan: 5 g 15 g Sebanyak 23 g sediaan NA ditimbang, disuspensikan kedalam air suling 1000 ml, lalu dipanaskan sampai larut sempurna. Kemudian media dimasukkan kedalam erlenmeyer dan disterilkan di dalam autoklaf pada suhu 121 C selama 15 menit (Oxoid, 2013) Media Mueller Hinton Agar (MHA) Komposisi: Beef infusion form 300 g Casein hydrolysate Starch Agar 17,5 g 1,5 g 17 g Cara pembuatan: Sebanyak 38 gram sediaan MHA ditimbang kemudian disuspensikan dalam erlenmeyer dengan air suling yang ditambahkan sedikit demi sedikit hingga 1000 ml, dipanaskan hingga mendidih sambil sekali-kali diaduk sampai terbentuk larutan jernih. Tutup erlenmeyer dengan kapas yang dilapisi kain kasah.

26 Disterilkan di dalam autoklaf pada suhu 121 o C tekanan 2 atm selama 15 menit (Oxoid, 2013) Nutrient Broth Komposisi: Bacto beef extract 3,0 g Bacto peptone 5,0 g Cara pembuatan: Sebanyak 8 g nutrient broth dilarutkan dalam air suling steril sebanyak 1000 ml kemudian dipanaskan hingga semua larut, dalam keadaan panas larutan tersebut kemudian dimasukkan dalam erlenmeyer. Lalu disterilkan di autoklaf C selama 15 menit (Oxoid, 2013) Pembuatan Agar Miring Kedalam tabung reaksi dimasukkan 10 ml media Nutrien agar yang sudah dicairkan, kemudian diletakkan dengan posisi miring dengan kemiringan lebih kurang 45 o C, ditutup mulut tabung reaksi dengan kapas dan dibiarkan memadat Pembuatan Stok Kultur Bakteri Propionibacterium acne Biakan bakteri Propionibacterium acne dari strain utama diambil dengan jarum ose steril lalu diinokulasikan pada permukaan media nutrient agar miring, kemudian diinkubasikan pada suhu 37 o C selama 24 jam Bakteri Staphylococcus epidermidis Biakan bakteri Staphylococcus epidermidis dari strain utama diambil dengan jarum ose steril lalu diinokulasikan pada permukaan media nutrient agar miring, kemudian diinkubasikan pada suhu 37 o C selama 24 jam.

27 3.13 Penyiapan Inokulum Bakteri Propionibacterium acne Koloni bakteri Propionibacterium acne diambil dari stok kultur diambil menggunakan jarum ose steril kemudian disuspensikan ke dalam 10 ml media nutrient broth steril lalu diinkubasikan pada suhu 37 o C selama ± 3 jam sampai didapat kekeruhan dengan transmitan 25% menggunakan alat spektrofotometer UV panjang gelombang 580 nm (Ditjen POM, 1995) Bakteri Staphylococcus epidermidis Koloni bakteri Staphylococcus epidermidis diambil dari stok kultur diambil menggunakan jarum ose steril kemudian disuspensikan ke dalam 10 ml media nutrient broth steril lalu diinkubasikan pada 37 o C selama ± 3 jam sampai didapat kekeruhan dengan transmitan 25% menggunakan alat spektrofotometer UV panjang gelombang 580 nm (Ditjen POM, 1995) Pembuatan larutan uji (ekstrak n-heksana, etilasetat dan etanol) dengan berbagai konsentrasi. Sebanyak 5 g masing-masing ekstrak n-heksana, ekstrak etilasetat dan ekstrak etanol ditimbang seksama dengan neraca analitik, dilarutkan dalam 10 ml dimetil sulfoksida (DMSO) dan dimasukkan ke dalam labu takar 10 ml. Tambahkan dimetil sulfoksida (DMSO) hingga garis tanda dan diperoleh konsentrasi ekstrak 500 mg/ml. Selanjutnya larutan tersebut diencerkan kembali dengan dimetil sulfoksida (DMSO) hingga didapat ekstrak dimetil sulfoksida (DMSO) dengan konsentrasi 500 mg/ml, 400 mg/ml, 300 mg/ml, 200 mg/ml, 100 mg/ml, 90 mg/ml, 80 mg/ml, 70 mg/ml, 60 mg/ml,50 mg/ml, 40 mg/ml, 30 mg/ml.

28 3.15 Metode Pengujian Efek Antibakteri secara In vitro Bakteri Propionibacterium acne Kedalam cawan petri dimasukkan 0,1 ml inokulum (10 6 ) kemudian ditambahkan ml media Mueller Hinton Agar steril yang telah dicairkan (45-50 o C CFU/ml) dihomogenkan dan dibiarkan sampai media memadat. Selanjutnya diatas permukaan media dilubangi, kemudian masing-masing kedalam lubang dimasukkan ekstrak n-heksana sebanyak 0,1 ml dengan berbagai konsentrasi, diinkubasi pada suhu 37 o C selama jam. Hal yang sama dilakukan terhadap ekstrak etilasetat dan ekstrak etanol, selanjutnya diameter daerah hambat disekitar sumur diukur dengan menggunakan jangka sorong. Pengujian dilakukan sebanyak 3 kali (Ditjen POM, 1995) Bakteri Staphylococcus epidermidis Kedalam cawan petri dimasukkan 0,1 ml inokulum (10 6 ) kemudian ditambahkan ml media Mueller Hinton Agar steril yang telah dicairkan (45-50 o C CFU/ml) dihomogenkan dan dibiarkan sampai media memadat. Selanjutnya permukaan media dilubangi, kemudian masing-masing kedalam lubang dimasukkan ekstrak n-heksana sebanyak 0,1 ml dengan berbagai konsentrasi, kemudian diinkubasi pada suhu 37 o C selama jam. Hal yang sama dilakukan terhadap ekstrak etilasetat dan ekstrak etanol. Selanjutnya diameter daerah hambat disekitar sumur diukur dengan menggunakan jangka sorong. Pengujian dilakukan sebanyak 3 kali (Ditjen POM, 1995).

29 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Identifikasi Tumbuhan Identifikasi tumbuhan yang dilakukan di Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Jakarta, menyatakan bahwa tumbuhan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rumput laut Sargassum polycyctum C.A. Agardh. 4.2 Karakterisasi Simplisia Pemeriksaan makroskopik rumput laut jenis Sargassum diperoleh simplisia berupa talus yang berkerut-kerut, bewarna coklat kehitaman, berbau khas dan tidak berasa. Hasil pemeriksaan mikroskopik dari serbuk simplisia rumput laut coklat memperlihatkan adanya sel-sel parenkim yang bewarna coklat dan sel-sel propagul. Hasil pemeriksaan karakterisasi simplisia rumput laut terlihat pada Tabel 1 berikut ini: Tabel 1. Hasil pemeriksaan karakterisasi simplisia rumput laut No Uraian Hasil (%) 1 Kadar air 5,95 2 Kadar sari yang larut dalam air 10,28 3 Kadar sari yang larut dalam etanol 4,01 4 Kadar abu total 18,13 5 Kadar abu yang tidak larut dalam asam 2,55 Hasil karakterisasi yang diperoleh mempunyai sedikit hasil yang cukup besar pada kadar abu total. Hal ini kemungkinan disebabkan karena pada saat pencucian simplisia kurang bersih dari kotoran yang melekat pada simplisia. Kadar air yang diperoleh telah memenuhi persyaratan MMI, yakni tidak lebih dari

30 10%. Apabila kadar air simplisia lebih besar dari 10% maka simplisia tersebut akan lebih mudah ditumbuhi kapang pada saat penyimpanan sehingga mutu simplisia akan menurun. Hasil penetapan kadar sari menunjukkan bahwa simplisia rumput laut lebih banyak mengandung senyawa yang larut dalam air daripada yang larut dalam etanol. Penetapan kadar sari larut air dilakukan untuk mengetahui kadar senyawa yang bersifat polar sedangkan kadar sari larut dalam etanol untuk mengetahui senyawa yang terlarut dalam etanol baik polar maupun non polar. Kadar sari yang larut dalam air lebih besar dari kadar sari yang larut dalam etanol karena senyawa bersifat polar lebih banyak larut di dalam pelarut air daripada etanol, dan senyawa yang tidak larut di pelarut air akan larut di dalam pelarut etanol. Air dapat melarutkan zat lain yang tidak diperlukan seperti gom, pati, protein, lemak, lendir dan lain-lain, hal ini yang menyebabkan tingginya kadar sari yang larut dalam air dari tanaman yang dilarutkan (Depkes, 1986). Penetapan kadar abu dimaksudkan untuk mengetahui kandungan mineral internal (abu fisiologis) yang berasal dari jaringan tanaman itu sendiri, dan eksternal (abu non-fisiologis) yang merupakan residu dari luar seperti pasir dan tanah yang terdapat di dalam sampel (Ditjen POM 2000; WHO, 1992). Kadar abu tidak larut asam untuk menunjukkan jumlah silikat, khususnya pasir yang ada pada simplisia dengan cara melarutkan abu total dalam asam klorida (WHO, 1992). 4.3 Hasil Penentuan Golongan Senyawa Kimia Simplisia Rumput Laut Penentuan golongan senyawa kimia terhadap rumput laut dilakukan untuk mendapatkan informasi golongan senyawa metabolit sekunder yang terdapat di

31 dalamnya. Hasil pemeriksaan penentuan golongan senyawa kimia simplisia rumput laut dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini. Tabel 2. Hasil penentuan golongan senyawa kimia simplisia rumput laut No Golongan Senyawa Hasil Skrining Fitokimia 1 Alkaloida - 2 Glikosida + 3 Saponin + 4 Flavonoid - 5 Tanin - 6 Steroid/Triterpenoid + Keterangan : + = Mengandung golongan senyawa - = Tidak mengandung golongan senyawa Berdasarkan hasil pemeriksaan skrining fitokimia terhadap serbuk simplisia rumput laut terdapat kandungan senyawa kimia golongan glikosida, saponin, dan steroida/triterpenoida. Senyawa saponin akan merusak membran sitoplasma dan membunuh sel (Assani, 1994). Senyawa steroid/triterpenoid juga memiliki potensi sebagai senyawa antibakteri. Senyawa steroid atau triterpenoid menghambat pertumbuhan bakteri dengan mekanisme penghambatan terhadap sintesis protein karena terakumulasi dan menyebakan perubahan komponenkomponen penyusun sel bakteri itu sendiri. Senyawa terpenoid mudah larut dalam lipid sifat inilah yang mengakibatkan senyawa ini lebih mudah menembus dinding sel bakteri gram positif dan sel bakteri gram negatif. Satu atau lebih senyawa bioaktif dalam rumput laut juga dapat memungkinkan kemampuan antibakteri semakin besar (Rosyidah, et al., 2010).

32 4.4 Hasil Ekstraksi Hasil ekstraksi yang diperoleh dari rumput laut sebanyak 400 g yang diperkolasi dengan pelarut n-heksana 4,57 g, pelarut etilasetat 4,75 g, dan pelarut etanol 8,15 g. Ekstrak n-heksana, etilasetat dan etanol ini kemudian digunakan untuk uji aktivitas antibakteri terhadap Propionibacterium acne dan Staphylococcus epidermidis. 4.5 Hasil Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak n-heksana, Etilasetat dan Etanol Rumput Laut Terhadap Bakteri Propionibacterium acne dan Staphylococcus epidermidis Hasil uji aktivitas antibakteri dari ekstrak rumput laut menunjukkan bahwa ekstrak n-heksana dan ekstrak etanol tidak dapat menghambat pertumbuhan bakteri Propionibacterium acne dan Staphylococcus epidermidis yang ditandai dengan tidak adanya zona hambat (daerah bening) disekitar daerah sumur. Ekstrak etilasetat dapat menghambat pertumbuhan bakteri Propionibacterium acne dan Staphylococcus epidermidis, yaitu ditandai dengan adanya zona hambat (daerah bening) disekitar sumur. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak etilasetat maka akan menghasilkan diameter daerah hambat yang semakin besar. Hasil pengukuran diameter daerah hambat ekstrak n-heksana, etilasetat dan etanol, rumput laut dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini:

33 Tabel 3. Hasil pengukuran diameter daerah hambatan pertumbuhan Propionibacterium acne dan Staphylococcus epidermidis ekstrak n- heksana, etilasetat dan etanol rumput laut. No Konsentrasi (mg/ml) Diameter daerah hambatan pertumbuhan bakteri (mm)* Staphylococcus epidermidis Propionibacterium acne n-heksana etilasetat etanol n-heksana etilasetat Etanol , , , , , , , , , , , , , , , , , Blanko Keterangan: (*) = Hasil rata-rata tiga kali pengukuran (-) = Tidak ada hambatan Blanko = DMSO (dimetil sulfoksida) Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode sumuran yaitu mengukur diameter zona hambat pertumbuhan bakteri di sekitar sumur. Diameter zona hambat akan meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi ekstrak. Berdasarkan tabel di atas memperlihatkan bahwa ekstrak etil asetat memberikan hasil yang memuaskan sesuai dengan batas daerah hambat yang dinilai efektif menurut Farmakope Indonesia yaitu diameter daya hambat lebih kurang 14 mm sampai 16 mm. Hasil pengukuran diameter daerah hambat ekstrak etilasetat pada bakteri Staphylococcus epidermidis didapat diameter 15,1 mm pada konsentrasi 500 mg/ml dan KHM 60 mg/ml (9,8 mm) sedangkan pada bakteri Propionibacterium acne didapat diameter 15,9 mm pada konsentrasi 500 mg/ml

34 dan KHM 60 mg/ml (10,1 mm). Sedangkan pada ekstrak etanol dan ekstrak n- heksana tidak memberikan daya hambat terhadap bakteri Propionibacterium acne dan Staphylococcus epidermidis. Hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak etilasetat menunjukkan bahwa senyawa antibakteri yang terkandung dalam ekstrak etilasetat memiliki aktivitas antibakteri sehingga menunjukkan aktivitas yang efektif. Hal ini mungkin disebabkan karena ekstrak etilasetat mengandung senyawa steroid dalam jumlah yang lebih banyak dan adanya kerja yang sinergis antara senyawa metabolit sekunder yang terdapat dalam ekstrak etilasetat dalam peranannya sebagai antibakteri. Aktivitas suatu zat antibakteri dalam menghambat pertumbuhan atau membunuh mikroorganisme tergantung pada konsentrasi dan jenis bahan antimikroba tersebut (Tim Mikrobiologi FK Brawijaya, 2003). Faktor-faktor yang mempengaruhi ukuran daerah penghambatan yaitu sensitivitas organisme, medium kultur, kondisi inkubasi, dan kecepatan difusi agar. Sedangkan faktorfaktor yang mempengaruhi kecepatan difusi agar, yaitu konsentrasi mikroorganisme, komposisi media, suhu inkubasi, dan waktu inkubasi. KHM bergantung kepada banyaknya inokulum serta media yang dipakai pembiakan mikroba (Schlegel, 1994). Semakin tinggi konsentrasi ekstrak maka semakin besar diameter daerah hambatnya karena semakin banyak zat aktif yang terkandung dalam ekstrak tersebut (Dwijoseputro, 1998).

Lampiran 1. Hasil identifikasi dari jenis rumput laut Kappaphycus alvarezii (Doty)

Lampiran 1. Hasil identifikasi dari jenis rumput laut Kappaphycus alvarezii (Doty) Lampiran 1. Hasil identifikasi dari jenis rumput laut Kappaphycus alvarezii (Doty) Lampiran 2. Bagan penelitian Talus Kappaphycus alvarezii (Doty) dicuci dari pengotoran hingga bersih ditiriskan dan ditimbang

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat 19 Metode ekstraksi tergantung pada polaritas senyawa yang diekstrak. Suatu senyawa menunjukkan kelarutan yang berbeda-beda dalam pelarut yang berbeda. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemilihan pelarut

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. pembuatan simplisia, karakterisasi simplisia, skrining fitokimia, pembuatan

BAB III METODE PENELITIAN. pembuatan simplisia, karakterisasi simplisia, skrining fitokimia, pembuatan BAB III METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimental. Tahap penelitian meliputi pengambilan bahan tumbuhan, identifikasi bahan tumbuhan, pembuatan simplisia, karakterisasi

Lebih terperinci

BAB 3 PERCOBAAN 3.1 Bahan 3.2 Alat 3.3 Penyiapan Serbuk Simplisia Pengumpulan Bahan Determinasi Tanaman

BAB 3 PERCOBAAN 3.1 Bahan 3.2 Alat 3.3 Penyiapan Serbuk Simplisia Pengumpulan Bahan Determinasi Tanaman BAB 3 PERCOBAAN 3.1 Bahan Rambut jagung (Zea mays L.), n-heksana, etil asetat, etanol, metanol, gliserin, larutan kloral hidrat 70%, air, aqua destilata, asam hidroklorida, toluena, kloroform, amonia,

Lebih terperinci

Lampiran 1. Hasil identifikasi tumbuhan

Lampiran 1. Hasil identifikasi tumbuhan Lampiran 1. Hasil identifikasi tumbuhan Lampiran 2. Gambar bunga belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.) Lampiran 3. Gambar simplisia bunga belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.) Lampiran 4. Gambar serbuk

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Metodologi penelitian ini meliputi penyiapan dan pengolahan sampel, uji

BAB III METODOLOGI. Metodologi penelitian ini meliputi penyiapan dan pengolahan sampel, uji 19 BAB III METODOLOGI Metodologi penelitian ini meliputi penyiapan dan pengolahan sampel, uji pendahuluan golongan senyawa kimia, pembuatan ekstrak, dan analisis kandungan golongan senyawa kimia secara

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengkarakterisasi simplisia herba sambiloto. Tahap-tahap yang dilakukan yaitu karakterisasi simplisia dengan menggunakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kadar garam dan lain-lain. Substrat dasar tempat melekatnya adalah berupa batu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kadar garam dan lain-lain. Substrat dasar tempat melekatnya adalah berupa batu BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan 2.1.1 Habitat dan daerah tumbuh Habitat dan sebaran Sargasssun di Indonesia pada umumnya tumbuh di perairan yang terlindung maupun berombak besar pada habitat

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2012 hingga Juli 2012. Penelitian ini diawali dengan pengambilan sampel yang dilakukan di persawahan daerah Cilegon,

Lebih terperinci

Lampiran 2. Tumbuhan dan daun ketepeng. Universitas Sumatera Utara

Lampiran 2. Tumbuhan dan daun ketepeng. Universitas Sumatera Utara Lampiran 2. Tumbuhan dan daun ketepeng 44 Tumbuhan ketepeng Daun ketepeng Lampiran 3.Gambarsimplisia dan serbuk simplisia daun ketepeng 45 Simplisia daun ketepeng Serbuk simplisia daun ketepeng Lampiran

Lebih terperinci

A : Tanaman ceplukan (Physalis minima L.)

A : Tanaman ceplukan (Physalis minima L.) Lampiran 1 A Gambar 1. Tanaman ceplukan dan daun ceplukan B Keterangan A : Tanaman ceplukan (Physalis minima L.) B : Daun ceplukan Lampiran 1 (Lanjutan) A B Gambar 2. Simplisia dan serbuk simplisia Keterangan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Hasil identifikasi tumbuhan

Lampiran 1. Hasil identifikasi tumbuhan Lampiran 1. Hasil identifikasi tumbuhan 47 Lampiran 2. Gambar tumbuhan dan daun binara (Artemisia vulgaris L.) Tumbuhan binara Daun segar tampak depan Daun segar tampak belakang 48 Lampiran 3. Gambar tumbuhan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode ekperimental meliputi penyiapan alat,

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode ekperimental meliputi penyiapan alat, BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode ekperimental meliputi penyiapan alat, bahan dan pereaksi, pengolahan simplisia, skrining fitokimia dan uji aktivitas antibakteri secara in vitro

Lebih terperinci

Lampiran 1. Hasil Identifikasi Tanaman Kecipir

Lampiran 1. Hasil Identifikasi Tanaman Kecipir Lampiran 1. Hasil Identifikasi Tanaman Kecipir Lampiran 2. Morfologi Tanaman Kecipir Gambar 1. Tanaman Kecipir (Psophocarpus tetragonolobus (L.) DC.) Lampiran 2. (Lanjutan) A B Gambar 2. Makroskopik Daun

Lebih terperinci

Lampiran 1. Hasil Identifikasi Tanaman Jengkol

Lampiran 1. Hasil Identifikasi Tanaman Jengkol Lampiran 1. Hasil Identifikasi Tanaman Jengkol Lampiran 2. Karakteristik Tanaman Jengkol A B Lampiran 2. (lanjutan) C Keterangan : A. Tanaman Jengkol B. Kulit Buah Jengkol C. Simplisia Kulit Buah Jengkol

Lebih terperinci

BAB IV PROSEDUR PENELITIAN

BAB IV PROSEDUR PENELITIAN BAB IV PROSEDUR PENELITIAN 4.1. Pengumpulan Bahan Tumbuhan yang digunakan sebagai bahan penelitian ini adalah daun steril Stenochlaena palustris. Bahan penelitian dalam bentuk simplisia, diperoleh dari

Lebih terperinci

LAMPIRAN LAMPIRAN 1. Alur Kerja Ekstraksi Biji Alpukat (Persea Americana Mill.) Menggunakan Pelarut Metanol, n-heksana dan Etil Asetat

LAMPIRAN LAMPIRAN 1. Alur Kerja Ekstraksi Biji Alpukat (Persea Americana Mill.) Menggunakan Pelarut Metanol, n-heksana dan Etil Asetat 47 LAMPIRAN LAMPIRAN 1. Alur Kerja Ekstraksi Biji Alpukat (Persea Americana Mill.) Menggunakan Pelarut Metanol, n-heksana dan Etil Asetat Biji Alpukat - Dicuci dibersihkan dari kotoran - Di potong menjadi

Lebih terperinci

BAB 3 PERCOBAAN 3.1 Bahan 3.2 Alat 3.3 Penyiapan Simplisia 3.4 Karakterisasi Simplisia

BAB 3 PERCOBAAN 3.1 Bahan 3.2 Alat 3.3 Penyiapan Simplisia 3.4 Karakterisasi Simplisia BAB 3 PERCOBAAN Pada bab ini dibahas tentang langkah-langkah percobaan yang dilakukan dalam penelitian meliputi bahan, alat, pengumpulan dan determinasi simplisia, karakterisasi simplisia, penapisan fitokimia,

Lebih terperinci

Lampiran 1. Hasil identifikasi daun ekor naga (Rhaphidopora pinnata (L.f.) Schott.)

Lampiran 1. Hasil identifikasi daun ekor naga (Rhaphidopora pinnata (L.f.) Schott.) Lampiran 1. Hasil identifikasi daun ekor naga (Rhaphidopora pinnata (L.f.) Schott.) Lampiran 2. Bagan Penelitian Daun Ekor Naga Dicuci dari pengotor hingga bersih Ditiriskan dan ditimbang Dikeringkan pada

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Identifikasi tumbuhan dan karakterisasi simplisia dilakukan sebelum pembuatan

BAB III METODE PENELITIAN. Identifikasi tumbuhan dan karakterisasi simplisia dilakukan sebelum pembuatan BAB III METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimental parametrik. Identifikasi tumbuhan dan karakterisasi simplisia dilakukan sebelum pembuatan ekstrak kulit buah pisang

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan bulan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan bulan 30 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian 1. Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan bulan Agustus 2013. 2. Tempat Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium

Lebih terperinci

Lampiran 1. Gambar 1. Talus Segar Rumput Laut Gracilaria verrucosa (Hudson) Papenfus. Universitas Sumatera Utara

Lampiran 1. Gambar 1. Talus Segar Rumput Laut Gracilaria verrucosa (Hudson) Papenfus. Universitas Sumatera Utara Lampiran 1. Gambar 1. Talus Segar Rumput Laut Gracilaria verrucosa (Hudson) Papenfus Lampiran 2. Hasil Identifikasi Tumbuhan Lampiran 3. Serbuk Simplisia Rumput Laut Gracilaria verrucosa (Hudson) Papenfus

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. adalah dengan metode maserasi menggunakan pelarut etanol 95%. Ekstrak yang

BAB III METODE PENELITIAN. adalah dengan metode maserasi menggunakan pelarut etanol 95%. Ekstrak yang digilib.uns.ac.id BAB III METODE PENELITIAN A. Kategori Penelitian Penelitian ini menggunakan metode eksperimental dekskriptif. Metode yang digunakan untuk mengekstraksi kandungan kimia dalam daun awar-awar

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dengan rancang bangun penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dengan rancang bangun penelitian BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan rancang bangun penelitian eksperimental laboratorik. Proses ekstraksi dilakukan dengan menggunakan pelarut methanol

Lebih terperinci

Lampiran 1.Identifikasi tumbuhan

Lampiran 1.Identifikasi tumbuhan Lampiran 1.Identifikasi tumbuhan Lampiran 2. Gambar tumbuhan dan daun segarkembang bulan (Tithonia diversifolia (Hemsley) A. Gray Keterangan :Gambar tumbuhan kembang bulan (Tithonia diversifolia (Hemsley)

Lebih terperinci

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. 4.1 Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik.

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. 4.1 Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik. BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik. 4.2 Waktu Penelitian Oktober - November 2008. 4.3 Lokasi Penelitian Laboratorium Biologi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Oktober Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknik Pengolahan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Oktober Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknik Pengolahan 30 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Waktu pelaksanaan penelitian ini adalah pada bulan Juli sampai Oktober 2013. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknik Pengolahan Sawit

Lebih terperinci

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. 4.1 Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik.

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. 4.1 Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik. BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik. 4.2 Waktu Penelitian Oktober - November 2008. 4.3 Lokasi Penelitian Laboratorium Biologi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian bulan Desember 2011 hingga Februari 2012.

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian bulan Desember 2011 hingga Februari 2012. BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini telah dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga, Surabaya.

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE. Bahan dan Alat BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah daun salam, daun jati belanda, daun jambu biji yang diperoleh dari Pusat Studi Biofarmaka (PSB) LPPM-IPB Bogor. Bahan yang digunakan untuk uji

Lebih terperinci

BAB 4 METODE PENELITIAN. 4.1 Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik.

BAB 4 METODE PENELITIAN. 4.1 Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik. BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1 Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik. 4.2 Waktu Penelitian Oktober - November 2008. 4.3 Lokasi Penelitian Laboratorium Biologi Mulut

Lebih terperinci

BAB IV PROSEDUR KERJA

BAB IV PROSEDUR KERJA BAB IV PROSEDUR KERJA 4.1. Penyiapan Bahan Bahan tumbuhan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun alpukat dan biji alpukat (Persea americana Mill). Determinasi dilakukan di Herbarium Bandung Sekolah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Agustus hingga bulan Desember 2013 di Laboratorium Bioteknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Lebih terperinci

Uji antibakteri komponen bioaktif daun lobak (Raphanus sativus L.) terhadap Escherichia coli dan profil kandungan kimianya

Uji antibakteri komponen bioaktif daun lobak (Raphanus sativus L.) terhadap Escherichia coli dan profil kandungan kimianya Uji antibakteri komponen bioaktif daun lobak (Raphanus sativus L.) terhadap Escherichia coli dan profil kandungan kimianya UNIVERSITAS SEBELAS MARET Oleh: Jenny Virganita NIM. M 0405033 BAB III METODE

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Pelaksanaan penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kesehatan Masyarakat,

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Pelaksanaan penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kesehatan Masyarakat, BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi Dan Waktu Penelitian Pelaksanaan penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kesehatan Masyarakat, Jurusan Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan dan Keolahragaan,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Instrumen Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Instrumen Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan 21 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dimulai pada bulan Maret sampai Juni 2012 di Laboratorium Riset Kimia dan Material Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT C. METODE PENELITIAN

III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT C. METODE PENELITIAN III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT Bahan baku utama yang digunakan pada penelitian ini adalah rimpang jahe segar yang diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Aromatik dan Obat (Balitro) Bogor berumur 8

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELITIAN

BAB III METODELOGI PENELITIAN BAB III METODELOGI PENELITIAN 3.1 JENIS PENELITIAN : Eksperimental Laboratoris 3.2 LOKASI PENELITIAN : Laboratorium Fatokimia Fakultas Farmasi UH & Laboratorium Mikrobiologi FK UH 3.3 WAKTU PENELITIAN

Lebih terperinci

Lampiran 2. Morfologi Tanaman Jengkol (Pithecellobium lobatum Benth)

Lampiran 2. Morfologi Tanaman Jengkol (Pithecellobium lobatum Benth) Lampiran 2 Morfologi Tanaman Jengkol (Pithecellobium lobatum Benth) Gambar 1. Tanaman Jengkol (Pithecellobium lobatum Benth) suku Fabaceae Lampiran 2 A B C Gambar 2. Buah dari Tanaman Jengkol (Pithecellobium

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan April 2014 sampai dengan bulan Januari 2015 bertempat di Laboratorium Riset Kimia Makanan dan Material serta

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorium.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorium. BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorium. B. Tempat dan Waktu Penelitian Proses ekstraksi biji C. moschata dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Juni 2012.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Juni 2012. 26 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material Jurusan Pendidikan Kimia, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Penelitian

Lebih terperinci

Lampiran 1. Hasil Identifikasi Tumbuhan

Lampiran 1. Hasil Identifikasi Tumbuhan Lampiran 1. Hasil Identifikasi Tumbuhan Lampiran 2. Gambar Tanaman Andong (Cordyline fruticosa Goepp.) Lampiran 3. Gambar Daun Andong Segar dan Simplisia Daun Andong A Keterangan: A. Daun Andong Segar,

Lebih terperinci

BAB IV PROSEDUR PENELITIAN

BAB IV PROSEDUR PENELITIAN BAB IV PROSEDUR PENELITIAN 4.1. Penyiapan Bahan Daun sukun Artocarpus altilis (Parkinson) Fosberg yang digunakan sudah berwarna hijau tua dengan ukuran yang sama. Bahan uji yang digunakan dalam penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Rancangan Penelitian. Pada metode difusi, digunakan 5 perlakuan dengan masing-masing 3

BAB III METODE PENELITIAN. A. Rancangan Penelitian. Pada metode difusi, digunakan 5 perlakuan dengan masing-masing 3 digilib.uns.ac.id BAB III METODE PENELITIAN A. Rancangan Penelitian Pada metode difusi, digunakan 5 perlakuan dengan masing-masing 3 ulangan meliputi pemberian minyak atsiri jahe gajah dengan konsentrasi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan Umbi bawang dayak segar, simplisia, keripik, metanol, etanol, etilasetat, heksan, air destilata, toluen, H 2 SO 4 pekat, H 2 BO 3 3%, NaOH-5%, Na 2 S 2

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Laboratorium Pertanian Universitas Sultan Syarif Kasim Riau.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Laboratorium Pertanian Universitas Sultan Syarif Kasim Riau. BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan Juli 2013 di Laboratorium Pertanian Universitas Sultan Syarif Kasim Riau. B.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Variabel penelitian 1. Variabel bebas : variasi konsentrasi sabun yang digunakan. 2. Variabel tergantung : daya hambat sabun cair dan sifat fisik sabun 3. Variabel terkendali

Lebih terperinci

Lampiran I. Hasil Identifikasi/Determinasi Tumbuhan. Universitas Sumatera Utara

Lampiran I. Hasil Identifikasi/Determinasi Tumbuhan. Universitas Sumatera Utara Lampiran I Hasil Identifikasi/Determinasi Tumbuhan Lampiran 2 Morfologi Tumbuhan kecapi (Sandoricum koetjape Merr.) Gambar 3. Tumbuhan kecapi (Sandoricum koetjape Merr.) suku Meliaceae Gambar 4. Daun kecapi

Lebih terperinci

dimana a = bobot sampel awal (g); dan b = bobot abu (g)

dimana a = bobot sampel awal (g); dan b = bobot abu (g) Lampiran 1. Metode analisis proksimat a. Analisis kadar air (SNI 01-2891-1992) Kadar air sampel tapioka dianalisis dengan menggunakan metode gravimetri. Cawan aluminium dikeringkan dengan oven pada suhu

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Pada penelitian ini digunakan berbagai jenis alat antara lain berbagai

BAB III METODE PENELITIAN. Pada penelitian ini digunakan berbagai jenis alat antara lain berbagai 30 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Alat dan Bahan Pada penelitian ini digunakan berbagai jenis alat antara lain berbagai macam alat gelas, labu Kjeldahl, set alat Soxhlet, timble ekstraksi, autoclave, waterbath,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. laboratoris murni yang dilakukan secara in vitro. Yogyakarta dan bahan uji berupa ekstrak daun pare (Momordica charantia)

BAB III METODE PENELITIAN. laboratoris murni yang dilakukan secara in vitro. Yogyakarta dan bahan uji berupa ekstrak daun pare (Momordica charantia) BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian yang dilakukan termasuk jenis penelitian eksperimental laboratoris murni yang dilakukan secara in vitro. B. Bahan Uji dan Bakteri Uji Bakteri uji

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Prosedur Penelitian

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Prosedur Penelitian 14 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan mulai bulan Maret sampai Juli 2012 di Laboratorium Biokimia, Laboratorium Mikrobiologi, dan Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Hasil Perairan,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. laboratorium, mengenai uji potensi antibakteri ekstrak etilasetat dan n-heksan

BAB III METODE PENELITIAN. laboratorium, mengenai uji potensi antibakteri ekstrak etilasetat dan n-heksan BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian yang dilakukan menggunakan metode eksperimental laboratorium, mengenai uji potensi antibakteri ekstrak etilasetat dan n-heksan daun J. curcas terhadap

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. yaitu 10%, 25%, 50%, 75% dan 100%. 2. Bakteri uji yang digunakan adalah bakteri Enterococcus faecalis dengan

BAB III METODE PENELITIAN. yaitu 10%, 25%, 50%, 75% dan 100%. 2. Bakteri uji yang digunakan adalah bakteri Enterococcus faecalis dengan BAB III METODE PENELITIAN A. Disain Penelitian Disain penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimental murni secara laboratoris in vitro. B. Bahan Uji dan Bakteri Uji 1. Bahan uji yang digunakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni laboratorium in vitro. B. Subjek Penelitian 1. Bakteri Uji: bakteri yang diuji pada penelitian ini

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan metode eksperimental menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial. Sampel yang digunakan berjumlah 24, dengan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April Juni 2014 di Laboraturium

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April Juni 2014 di Laboraturium BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April Juni 2014 di Laboraturium organik Jurusan Kimia dan Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi Fakultas Sains

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Morfologi Tumbuhan Tumbuhan Sida rhombifolia.l. merupakan tumbuhan dikotil berakar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Morfologi Tumbuhan Tumbuhan Sida rhombifolia.l. merupakan tumbuhan dikotil berakar BAB II TINJAUAN PUSTAKA Morfologi Tumbuhan Tumbuhan Sida rhombifolia.l. merupakan tumbuhan dikotil berakar tunggang. Tumbuhan ini termasuk tumbuhan perdu, tegak, bercabang, tinggi dapat mencapai 2 meter.

Lebih terperinci

III. Metode Penelitian A. Waktu dan Tempat Penelitian kelimpahan populasi dan pola sebaran kerang Donax variabilis di laksanakan mulai bulan Juni

III. Metode Penelitian A. Waktu dan Tempat Penelitian kelimpahan populasi dan pola sebaran kerang Donax variabilis di laksanakan mulai bulan Juni III. Metode Penelitian A. Waktu dan Tempat Penelitian kelimpahan populasi dan pola sebaran kerang Donax variabilis di laksanakan mulai bulan Juni sampai bulan Agustus 2013 di pulau Jefman Kabupaten Raja

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN. Erlenmeyer 250 ml. Cawan Petri - Jarum Ose - Kertas Saring Whatmann No.14 - Pipet Tetes - Spektrofotometer UV-Vis

BAB 3 METODE PENELITIAN. Erlenmeyer 250 ml. Cawan Petri - Jarum Ose - Kertas Saring Whatmann No.14 - Pipet Tetes - Spektrofotometer UV-Vis BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Alat-alat Erlenmeyer 250 ml Neraca Analitik Inkubator Inkubator Goyang Lemari Es Rotary Evaporator Pyrex Tettler Toledo Memmert E-Scientific Labs Panasonic Steward Cawan Petri

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan April-Juni 2014 di Laboratorium

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan April-Juni 2014 di Laboratorium BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu Dan Tempat Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan April-Juni 2014 di Laboratorium Kimia Organik Jurusan Kimia dan Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian BAB III METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan dari bulan April sampai bulan Oktober 2013, bertempat di Laboratorium Kimia Makanan Jurusan Pendidikan Kimia Fakultas Matematika

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. waterbath, set alat sentrifugase, set alat Kjedalh, AAS, oven dan autoklap, ph

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. waterbath, set alat sentrifugase, set alat Kjedalh, AAS, oven dan autoklap, ph BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Alat dan Bahan Dalam pembuatan dan analisis kualitas keju cottage digunakan peralatan waterbath, set alat sentrifugase, set alat Kjedalh, AAS, oven dan autoklap, ph meter,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan menggunakan Rancangan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan menggunakan Rancangan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan dua faktor yaitu perlakuan konsentrasi dan perlakuan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret sampai dengan bulan Juni 2014 di Laboratorium Kimia Instrumen dan Laboratorium Kimia Riset Makanan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 39 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Bagan Alir Produksi Kerupuk Terfortifikasi Tepung Belut Bagan alir produksi kerupuk terfortifikasi tepung belut adalah sebagai berikut : Belut 3 Kg dibersihkan dari pengotornya

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia/Biokimia Hasil Pertanian dan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia/Biokimia Hasil Pertanian dan 18 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia/Biokimia Hasil Pertanian dan Laboratorium Mikrobiologi Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil

Lebih terperinci

HASIL DA PEMBAHASA. Kadar Air

HASIL DA PEMBAHASA. Kadar Air Pemilihan Eluen Terbaik Pelat Kromatografi Lapis Tipis (KLT) yang digunakan adalah pelat aluminium jenis silika gel G 60 F 4. Ekstrak pekat ditotolkan pada pelat KLT. Setelah kering, langsung dielusi dalam

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Desain penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian eksperimental

BAB III METODE PENELITIAN. Desain penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian eksperimental BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Desain penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian eksperimental laboratoris In Vitro. B. Populasi dan Sampel Penelitian Subyek pada penelitian ini yaitu

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari 2012 sampai Juli 2012. Pengambilan sampel dilakukan di Perairan Lampung Selatan, analisis aktivitas antioksidan dilakukan di

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan sampel ascidian telah dilakukan di Perairan Kepulauan Seribu. Setelah itu proses isolasi dan pengujian sampel telah dilakukan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Prosedur Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Prosedur Penelitian 9 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan mulai bulan November 2010 sampai dengan bulan Juni 2011 di Laboratorium Kimia Analitik Departemen Kimia FMIPA dan Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Juli sampai September 2012,

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Juli sampai September 2012, III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Juli sampai September 2012, bertempat di Laboratorium Biokimia Jurusan Kimia Fakultas MIPA Universitas

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian observasional laboratorik.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian observasional laboratorik. BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional laboratorik. B. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Oktober Desember 2014 bertempat

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan tempat Penelitian Penelitian telah dilaksanakan dari bulan Agustus 2006 sampai Juli 2007, bertempat di Laboratorium Bioteknologi Hasil Perairan Departemen Teknologi

Lebih terperinci

OPTIMASI PEMBUATAN KOPI BIJI PEPAYA (Carica papaya)

OPTIMASI PEMBUATAN KOPI BIJI PEPAYA (Carica papaya) JURNAL TEKNOLOGI AGRO-INDUSTRI Vol. 2 No.2 ; November 2015 OPTIMASI PEMBUATAN KOPI BIJI PEPAYA (Carica papaya) MARIATI Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Politeknik Negeri Tanah Laut, Jl. A. Yani, Km

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI 01-2891-1992) Sebanyak 1-2 g contoh ditimbang pada sebuah wadah timbang yang sudah diketahui bobotnya. Kemudian dikeringkan

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan mulai Maret 2012 sampai Juli 2012. Proses preparasi sampel dan ekstraksi (maserasi) dilakukan di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Hasil Perairan.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan adalah metode eksploratif meliputi pengumpulan

BAB III METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan adalah metode eksploratif meliputi pengumpulan BAB III METODE PENELITIAN Metode yang digunakan adalah metode eksploratif meliputi pengumpulan bahan tumbuhan, identifikasi tumbuhan, pembuatan simplisia, pemeriksaan karakterisasi simplisia, skrining

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Gambar 3 Garis besar jalannya penelitian

3 METODE PENELITIAN. Gambar 3 Garis besar jalannya penelitian 3 METODE PENELITIAN 3. 1 Waktu dan tempat penelitian Penelitian ini dilakukan di laboratorium Protozoologi, Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juli sampai bulan November 2009

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juli sampai bulan November 2009 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juli sampai bulan November 2009 yang bertempat di Laboratorium Riset, Jurusan Pendidikan Kimia, Fakultas

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret sampai dengan bulan Juni 2013 di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material serta di Laboratorium

Lebih terperinci

BAB 3 PERCOBAAN. Hewan yang digunakan pada penelitian ini adalah kelinci albino New Zealand yang diperoleh dari peternakan kelinci di Lembang.

BAB 3 PERCOBAAN. Hewan yang digunakan pada penelitian ini adalah kelinci albino New Zealand yang diperoleh dari peternakan kelinci di Lembang. BAB 3 PERCOBAAN 3.1 Bahan, Alat, dan Hewan Percobaan Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah buah duku (Lansium domesticum Corr.), hirdoksipropil metilselulosa (HPMC), carbomer, gliserin, trietanolamin

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. reaksi, piring kultur sel atau di luar tubuh makhluk hidup, syarat penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. reaksi, piring kultur sel atau di luar tubuh makhluk hidup, syarat penelitian BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah eksperimental semu laboratoris (in vitro). In vitro adalah jenis pemeriksaan yang dilakukan dalam tabung reaksi, piring

Lebih terperinci

Lampiran 1. Hasil Identifikasi hewan Teripang. Universitas Sumatera Utara

Lampiran 1. Hasil Identifikasi hewan Teripang. Universitas Sumatera Utara Lampiran 1. Hasil Identifikasi hewan Teripang Lampiran 2. Gambar 1. Hewan Teripang segar Gambar 2. Daging Teripang Lampiran 2. (Lanjutan) Gambar 3. Simplisia Teripang Gambar 4. Serbuk simplisia Lampiran

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pengukuran zona hambat yang berikut ini disajikan dalam Tabel 2 : Ulangan (mm) Jumlah Rata-rata

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pengukuran zona hambat yang berikut ini disajikan dalam Tabel 2 : Ulangan (mm) Jumlah Rata-rata BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 1.1 Hasil Dari penelitian yang dilakukan sebanyak 3 kali pengulangan, diperoleh hasil pengukuran zona hambat yang berikut ini disajikan dalam Tabel 2 : Tabel 2 : Hasil pengukuran

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif laboratorium dengan metode

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif laboratorium dengan metode 25 BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif laboratorium dengan metode difusi Kirby bauer. Penelitian di lakukan di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 24 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorium untuk membandingkan kemampuan antibakteri ekstrak etanol daun sirih merah

Lebih terperinci

Lampiran 1. Hasil identifikasi bunga lawang

Lampiran 1. Hasil identifikasi bunga lawang Lampiran 1. Hasil identifikasi bunga lawang Lampiran 2. Bunga lawang (Illicium verum. Hook.f.) Gambar 1. Simplisia kering bunga lawang Gambar 2. Serbuk simplisia bunga lawang Lampiran 3. Perhitungan pemeriksaan

Lebih terperinci

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB III. METODE PENELITIAN BAB III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan rancangan penelitian Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian eksperimental laboratorium untuk menguji aktivitas antibakteri ekstrak daun sirih merah (Piper

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian eksperimental laboratoris. B. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian Penelitian

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai Juni 2014 bertempat di

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai Juni 2014 bertempat di 29 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai Juni 2014 bertempat di Laboratorium Kimia Fisik, Laboratorium Biomassa Universitas Lampung

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Ubi jalar ± 5 Kg Dikupas dan dicuci bersih Diparut dan disaring Dikeringkan dan dihaluskan Tepung Ubi Jalar ± 500 g

BAB III METODE PENELITIAN. Ubi jalar ± 5 Kg Dikupas dan dicuci bersih Diparut dan disaring Dikeringkan dan dihaluskan Tepung Ubi Jalar ± 500 g 19 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Bagan Alir Penelitian Ubi jalar ± 5 Kg Dikupas dan dicuci bersih Diparut dan disaring Dikeringkan dan dihaluskan Tepung Ubi Jalar ± 500 g Kacang hijau (tanpa kulit) ± 1

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan April 2013 sampai Agustus 2013 di Laboratoium Kimia Riset Makanan dan Material serta di Laboratorium Instrumen

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan dari Bulan Maret sampai Bulan Juni 2013. Pengujian aktivitas antioksidan, kadar vitamin C, dan kadar betakaroten buah pepaya

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. III. 1 Alat dan Bahan Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam proses pembuatan sabun pencuci piring ialah :

BAB III METODOLOGI. III. 1 Alat dan Bahan Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam proses pembuatan sabun pencuci piring ialah : BAB III METODOLOGI III. 1 Alat dan Bahan Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam proses pembuatan sabun pencuci piring ialah : III.1.1 Pembuatan Ekstrak Alat 1. Loyang ukuran (40 x 60) cm 7. Kompor

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian yang dilakukan menggunakan daun sirsak (Annona muricata) yang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian yang dilakukan menggunakan daun sirsak (Annona muricata) yang BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 1.1. Hasil Penelitian yang dilakukan menggunakan daun sirsak (Annona muricata) yang berasal dari daerah Sumalata, Kabupaten Gorontalo utara. 4.1.1 Hasil Ektraksi Daun Sirsak

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODA

BAB III BAHAN DAN METODA BAB III BAHAN DAN METODA 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan selama lebih kurang enam bulan di laboratorium Organik dan laboratorium Biokimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 17 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret sampai dengan bulan April 2013 di Laboratorium Kimia Instrumen dan Laboratorium Kimia Riset Makanan

Lebih terperinci