BAB II KEDUDUKAN ANAK YANG BERSTATUS WARGA NEGARA ASING YANG PERKAWINAN ORANG TUANYA TIDAK DICATATKAN DI INDONESIA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KEDUDUKAN ANAK YANG BERSTATUS WARGA NEGARA ASING YANG PERKAWINAN ORANG TUANYA TIDAK DICATATKAN DI INDONESIA"

Transkripsi

1 BAB II KEDUDUKAN ANAK YANG BERSTATUS WARGA NEGARA ASING YANG PERKAWINAN ORANG TUANYA TIDAK DICATATKAN DI INDONESIA A. Perkawinan Yang Dilangsungkan di Luar Negeri dan Kedudukannya di Indonesia Perkawinan merupakan suatu perbuatan hukum yang dapat dilakukan oleh setiap manusia dengan memenuhi segala ketentuan yang berlaku bagi dirinya. Perkawinan merupakan suatu hak keperdataan yang melekat pada diri manusia yang tidak dapat dihapuskan atau dihilangkan dan dihalang-halangi. Secara teoritis dalam Hukum Perdata Internasional dikenal dua pandangan utama yang berusaha membatasi pengertian dari perkawinan campuran yaitu: a. Pandangan yang beranggapan bahwa suatu perkawinan campuran adalah perkawinan yang berlangsung antara pihak-pihak yang berbeda domicilenya sehingga terhadap masing-masing pihak berlaku kaidah-kaidah hukum intern dari dua sistem hukum yang berbeda. b. Pandangan yang beranggapan bahwa suatu perkawinan dianggap sebagai perkawinan campuran apabila para pihak berbeda kewarganegaraan/nasionalitasnya. Pandangan-pandangan tersebut dianut oleh negara-negara di dunia. Pandangan tersebut tercermin dalam hukum nasional atau hukum intern yang mengatur perkawinan di dalam negaranya masing-masing. Indonesia sendiri

2 menganut pandangan yang beranggapan bahwa suatu perkawinan campuran adalah perkawinan antara para pihak yang berbeda kewarganegaraannya.yang tunduk pada hukum yang berlainan. Pandangan ini tercermin dalam Undang-Undang Perkawinan Pasal 57. Ketentuan Pasal 57 Undang-Undang Perkawinan ini mengatur perkawinan campuran yang dalam prinsipnya disebutkan perkawinan campuran dalam undangundang ini merupakan perkawinan antara 2 (dua) orang di Indonesia yang tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satunya adalah Warga Negara Indonesia. Hukum mengenai perkawinan termasuk bidang status personal. Pasal 16 AB berlaku pula dalam hal hendak dilangsungkan perkawinan dan akibat-akibat hukum dari suatu perkawinan dengan unsur-unsur internasional. Dalam hal ini Indonesia memakai pula prinsip nasionalitas, sebagai warisan dari sistem hukum dahulu. Pasal 16 AB ini berlaku bukan saja untuk Warga Negara Indonesia yang berada di luar negeri, tetapi juga untuk orang asing yang berada di Indonesia. Sehingga dari Pasal 16 AB tersebut, sebaliknya berdasarkan asas resiprositas dapat disimpulkan bahwa para Warga Negara Indonesia yang berada di luar negeri dan hendak menikah harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum Indonesia sebagai hukum nasionalnya. Jadi seolah-olah, lingkungan kuasa dari hukum perdata Indonesia juga berlaku di luar batas-batas wilayah Republik Indonesia, sepanjang, mengenai syarat-syarat untuk dapat menikah. Hal ini berarti, bahwa juga perbedaan-perbedaan dalam hukum perdata seperti diatur dalam Hukum

3 Antara Tata Hukum-intern Indonesia, dalam hukum yang berlaku untuk berbagai golongan tetap berlaku pula untuk warga Negara Indonesia yang berada di luar negeri itu. Mereka yang di Indonesia takluk di bawah hukum perdata Barat yang tertulis mengenai perkawinan, jika berada di luar negeri pun harus menikah dengan memenuhi syarat-syarat materiil yang berlaku bagi mereka jika mereka berada di Indonesia. 46 Setiap negara mempunyai Undang-Undang Perkawinan atau peraturanperaturan tentang perkawinan. Seperti halnya di Indonesia diberlakukan Undang- Undang Perkawinan. Setiap Undang-Undang Perkawinan di masing-masing negara menetapkan syarat-syarat dasar untuk melangsungkan perkawinan yang terdiri dari atas syarat formal dan materiil. Mengenai materi yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan masing-masing negara tidak sama antara negara yang satu dengan negara yang lainnya. Perkawinan yang dilakukan antar sesama warga negara Indonesia di luar negeri merupakan suatu perkawinan internasional, karena tersangkut dua sistem dari negara yang berbeda. Semua syarat-syarat materil ini harus dipenuhi oleh pihak warga negara Indonesia yang hendak menikah di luar negeri. Sebaliknya mengenai syarat-syarat formal dilakukan menurut ketentuan hukum setempat (locus regit actum) Ketentuan ini adalah sesuai dengan berlakunya adagium locus regit actum dalam Pasal 18 AB Sudargo Gautama, Op.Cit., hlm Sering juga dikenal dengan place of celebration, lex loci celebrations, dan lex loci actum.

4 Perkawinan diatur oleh masing-masing negara menurut undang-undang dan peraturan-peraturan setempat. Perkawinan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia di luar negeri atau menurut undang-undang negara tempat dilangsungkannya perkawinan dianggap sah oleh pemerintah Indonesia. Seperti telah dijelaskan di atas bahwa warga negara Indonesia untuk melangsungkan perkawinan di luar wilayah negara Republik Indonesia apabila memang mereka berminat atau dalam keadaan yang memaksa mereka untuk melangsungkan perkawinan di luar negeri karena perkawinan tersebut tidak mengabaikan hukum yang berlaku di Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan di luar Indonesia diatur di dalam Pasal 56 Undang-Undang Perkawinan, pasal tersebut menentukan bahwa: (1) Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang warga negara Indonesia atau seorang warga negara Indonesia dengan Warga Negara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warga negara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan Undang-Undang ini. (2) Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami-isteri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka

5 Ketentuan pasal tersebut diatas, jika dibandingkan dengan ketentuan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdapat kemiripan. Dapat dikatakan bahwa Pasal 56 Undang Undang Perkawinan mengambil prinsip yang terdapat dalam Pasal 83 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tentang perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia menentukan bahwa perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia, baik antara warga negara Indonesia satu sama lain, maupun antara mereka dengan warga negara lain adalah sah, jika perkawinan itu dilangsungkan menurut cara yang lazim dalam negeri, dimana perkawinan-perkawinan itu dilangsungkan dan suami-isteri warga negara Indonesia, tidak melanggar ketentuan-ketentuan tersebut dalam bagian Kesatu Bab ini. Pasal 84 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan dalam waktu satu tahun setelah suami isteri pulang kembali ke wilayah Indonesia, akta tentang perkawinan mereka di luar Indonesia harus dipindah bukukan dalam register kawin umum di tempat tinggal mereka. Kaitan Pasal 83 dan 84 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tidak dapat dipisahkan dengan prinsip dalam Pasal 26 KUHPerdata yang memandang perkawinan hanya dari segi perdatanya saja. Dengan demikian, dapat kiranya dapat diambil kesimpulan, bahwa lazimnya perkawinan antara mereka yang melangsungkan perkawinan di luar negeri tidak menjadi masalah, karena tidak memperhatikan hukum

6 agama. 48 Ketentuan-ketentuan pembedaan antara syarat materil dan syarat formil suatu perkawinan tersebut berlaku untuk hukum intern (nasional). Bagi hubungan internasional harus diadakan pembedaan yang lain, pembedaan yang lebih disesuaikan dengan keadaan-keadaan internasional. Telah disebutkan bahwa menurut Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan, perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya serta dicatatkan menurut peraturan perundaang-undangan yang berlaku. Pasal ini mengharuskan setiap perkawinan yang dilangsungkan di Indonesia untuk dilangsungkan menurut agamanya masing-masing. Jika ditinjau dari segi keharusan perkawinan dilangsungkan menurut keagamaan saja, maka Pegawai Catatan Sipil hanya berfungsi sebagai Pejabat Pendaftaran Perkawinan, bukan Pejabat Nikah (huwelijkssluiter). 49 Bagi Warga Negara Indonesia yang melakukan perkawinan di luar negeri mereka berkewajiban untuk mendaftarkan kembali surat bukti perkawinan mereka yang berasal dari luar negeri pada kantor pencatatan perkawinan di wilayah tempat mereka tinggal. Perkawinan tersebut dicatat dalam daftar pencatatan dan diberikan suatu surat keterangan suatu akta resmi. Hal tersebut dilakukan agar perkawinan menjadi jelas, baik bagi yang bersangkutan atau bagi masyarakat. Jika terjadi kelalaian dalam mendaftarkan kembali maka perkawinan tersebut 48 Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Op.Cit., hlm Sudargo Gautama, Op.Cit., hlm. 195.

7 tidak menjadi batal. Karena keterlambatan tersebut hanyalah administrasi saja, tetapi mereka harus mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri di wilayah tempat tinggal mereka agar pengadilan memerintahkan kantor Pencatatan Perkawinan mendaftarkan surat bukti perkawinan mereka. Bagi perkawinan campuran yang dilangsungkan di luar Indonesia sama halnya Kutipan Akta Perkawinan yang telah didapat, masih harus dilegalisir di Kementerian Hukum dan HAM dan Kementerian Luar Negeri, serta didaftarkan di Kedutaan negara asal suami/isteri. Dengan adanya legalisasi itu, maka perkawinan tersebut sudah sah dan diterima secara internasional, baik bagi hukum negara asal suami, maupun menurut hukum di Indonesia. Pencatatan perkawinan bagi perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri diatur dalam Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan yang berbunyi: Dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah suami isteri itu kembali ke wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka. Selain itu Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, mengatur mengenai kewajiban bagi warga Negara Indonesia yang berada di luar negeri, bahwa : Warga Negara Indonesia yang berada di luar wilayah Republik Indonesia wajib melaporkan peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialaminya kepada instansi pelaksana pencatatan sipil negara setempat dan/atau kepada perwakilan Republik Indonesia dan memenuhi persyaratan yang diperlukan dalam pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil. Hukum nasional dari tiap-tiap calon suami-isteri yang hendak menikah

8 mengatur syarat-syarat materil (kewenangan) 50 untuk menikah. Oleh karena itu, maka kewenangan dari pihak suami harus ditentukan menurut hukum nasionalnya. Demikian pula kewenangan pihak isteri harus ditentukan menurut hukum nasional dari isteri tersebut. Jadi, disini dapat diadakan pembedaan yaitu untuk syarat-syarat formalitas dipakai locus regit actum dan untuk syarat-syarat materil dipakai hukum personal masing-masing pihak. Dalam sistem Hukum Perdata Internasional yang berlaku di Indonesia, salah satunya mengatur soal bentuk formal suatu perbuatan hukum, yaitu Pasal 18 AB. Pasal ini berbunyi: 51 Bentuk dari setiap perbuatan ditentukan menurut hukum dari negara atau tempat perbuatan itu dilakukan. Ketentuan bahwa semua perbuatan hukum ditentukan menurut undangundang yang berlaku di negara atau tempat ia melakukannya adalah suatu asas yang sudah diterima sejak dahulu. Boleh dikatakan asas ini diterima dalam sistem Hukum Perdata Internasional dari hampir semua negara di dunia. Menurut ketentuan dalam Pasal 18 AB ini diadakan pemisahan tertentu dari perbuatan-perbuatan hukum. Di suatu pihak kita harus memperhatikan apa yang disebut formele geldigheid (berlakunya secara formal) dari suatu perbuatan hukum, disamping itu kita mengenal apa yang dinamakan materiele geldigheid (berlakunya secara materil). Pasal 18 AB menggantungkan kepada persoalan sah tidaknya 50 Mengenai kewenangan ini merupakan syarat-syarat yang bersifat mutlak yang dapat menjadikan suatu perkawinan menjadi batal atau dapat dibatalkan. 51 Sudargo Gautama, Op. Cit., hlm 463.

9 perbuatan hukum semata-mata pada hukum yang berlaku pada tempat dilangsungkan perbuatan bersangkutan. Tidak diberitahukan bahwa syarat-syarat materil dari perbuatan itu digantungkan pula pada hukum setempat. Ketentuan Pasal 18 AB ini disusun secara umum. Artinya, tidak diadakan pembatasan kepada perbuatan-perbuatan yang dilakukan dalam wilayah Republik Indonesia saja. Juga perbuatan-perbuatan hukum dari warga negara Indonesia yang berlaku di luar negeri tercakup di dalamnya. Bukan saja perbuatan-perbuatan hukum dari warga negara Indonesia di dalam wilayah Indonesia, tetapi pasal ini pun tidak dibatasi kepada warga negara Indonesia saja. Juga orang-orang asing yang melakukan perbuatan-perbuatan hukum, baik di dalam maupun di luar negeri. Hal ini terkait dengan ketentuan Pasal 3 AB bahwa tidak ada perbedaan antara status hukum perdata dari warga negara dan orang asing, selama tidak ditentukan lain oleh undang-undang. Sehingga konsekuensi dari Pasal 18 AB ini, perbuatan-perbuatan yang telah dilakukan di luar negeri baik oleh warga negara Indonesia maupun oleh Warga Negara Asing, akan diakui di Indonesia secara sah, apabila perbuatan-perbutan ini telah dilakukan pada tempat bersangkutan, dengan memenuhi formalitas-formalitas yang berlaku setempat. Adapun beberapa alasan dapat diterimanya asas locus regit actum ini adalah: Ibid.

10 1. Dikemukakan bahwa pertimbangan-pertimbangan untuk penerimaan kaidah tersebut ialah bahwa orang-orang yang berada di negara asing dan melakukan perbuatan hukum disana harus dianggap sebagai kaula negara sementara dari negara tersebut. 2. Ada juga yang mengemukakan bahwa penerimaan lex loci actus untuk bentuk-bentuk perbuatan hukum didasarkan atas penundukan sukarela (vrijwilige onderwerping). 3. Menurut pemikiran yang lebih modern, dasar teori ini ialah tujuan vormvoorschriften yang hanya dapat terlaksana dengan pemakaian dari lex loci actus. 4. Ada pula penulis yang memakai ajaran vested rights (hak-hak yang telah diperoleh) sebagai dasar, yaitu hak yang telah diperoleh di negara tertentu secara sah, juga harus diaku secara sah oleh negara lain. 5. Sekarang ini, alasan yang dipakai sebagai dasar daripada asas locus regit actum ini ialah bahwa penerimaan yang bermanfaat bagi kelancaran lalu lintas internasional. Kaidah ini bukan merupakan hasil dari hukum melainkan merupakan kebutuhan praktik. Mengenai ajaran vested rights ini dalam hukum Perdata Internasional diterima adanya suatu prinsip bahwa suatu hak yang telah diperoleh (vested rights) menurut ketentuan hukum negara asing, akan diakui dan dilaksanakan seperlunya pada suatu negara, sepanjang hak-hak ini tidak bertentangan dengan konsepsi dari ketertiban

11 umum negara yang bersangkutan. Dengan demikian, perubahan fakta-fakta tidak akan mempengaruhi berlakunya suatu kaidah yang semula dipakai. Hak-hak yang diperoleh ini tercermin dalam pasal 16 dan 17 AB. 53 B. Pencatatan Perkawinan di Indonesia Untuk melaksanakan perkawinan, harus dipenuhi dua macam syarat yaitu syarat materil dan syarat formil. Syarat materil adalah syarat yang mengenai pribadi calon suami isteri yang akan melangsungkan perkawinan, sedangkan syarat formil adalah syarat yang mengenai formalitas yang harus dilakukan. Syarat formil ini diatur lebih lanjut di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Syarat-syarat formil yang harus dilakukan sebelum perkawinan dilangsungkan adalah: a. Pemberitahuan dari orang yang akan melangsungkan perkawinan kepada pegawai Pencatat Perkawinan dimana sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari sebelum perkawinan dilangsungkan. (Pasal 3 ayat (1) dan (2)). b. Pemberitahuan memuat nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan apabila salah satu atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama isteri atau suami terdahulu (Pasal 5). c. Penelitian dilakukan oleh pegawai pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan. Pegawai pencatat meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah terdapat halangan perkawinan menurut Undang-undang (Pasal 6 ayat 1). Selain itu pegawai pencatatan harus meneliti pula kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai, keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat tinggal orang tua mempelai, serta izin pengadilan bagi yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, dispensasi pengadilan/pejabat, surat kematian istri atau suami yang terdahulu atau 53 Sanwani Nasution, Hukum Perdata Internasional (Diktat Kuliah Hukum Perdata Internasional Fakultas Hukum USU 2008), hlm Selanjutnya disebut PP No. 9/1975.

12 surat keterangan perceraian bagi perkawinan untuk kedua kalinya, izin tertulis dari pejabat yang ditunjuk bagi anggota Angkatan Bersenjata, serta surat kuasa otentik atau dibawah tangan apabila salah satu calon mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri karena suatu alasan yang penting (Pasal 6 ayat (2) huruf a sampai dengan h). d. Pengumuman diselenggarakan pegawai pencatat tentang pemberitahuan tentang kehendak melangsungkan perkawinan dengan cara menempelkan surat pengumuman menurut formulir yang ditetapkan pada Kantor Pencatatan Perkawinan yang mudah dibaca oleh umum (Pasal 8). Pengumuman tersebut ditandatangani oleh pegawai pencatat perkawinan dan juga harus memuat keterangan jati diri calon mempelai dan orang tua mempelai. 2. Syarat-syarat formil yang dilaksanakan pada saat perkawinan dilangsungkan adalah melakukan perkawinan sesuai tatacara perkawinan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan calon mempelai dan dilakukan dihadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri dengan 2 (dua) orang saksi. 3. Syarat-syarat formil yang harus dilakukan setelah dilangsungkan perkawinan yaitu penandatanganan akta perkawinan oleh kedua mempelai yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan-ketentuan yang berlaku, yang kemudian ditandatangi oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat yang menghadiri perkawinan. Bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, akta perkawinan ditandatangani oleh wali nikah atau yang mewakilinya. Hal ini diatur Pasal 11 PP No. 9/75. Akta perkawinan dibuat dalam rangkap 2 (dua), 1 (satu) helai disimpan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan dimana perkawinan dilangsungkan dan 1 (satu) helai dikirim kepada Pengadilan Negeri di wilayah perkawinan dilangsungkan yang kemudian disimpan oleh Panitera Pengadilan wilayah Pengadilan Negeri tersebut. Bagi kedua mempelai diberikan kutipan akta perkawinan mereka yang ditandatangani oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 13 ayat (1) dan (2) PP No. 9/75 yang juga berarti telah terpenuhinya Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan. Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui perundangundangan, untuk melindungi martabat dan kesucian perkawinan dan lebih khusus lagi perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Lebih tegas lagi bahwa tujuan pencatatan perkawinan agar mendapat kepastian hukum dan ketertiban. Namun perlu diingat

13 bahwa pencatatan perkawinan hanya bersifat administrasi, dan bukan syarat sah atau tidaknya perkawinan, dan tidak mengakibatkan batalnya perkawinan. Menurut Wahyono Darmabrata, Aspek yuridis perkawinan antara lain dapat disimpulkan dari Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan yang menentukan bahwa: tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 55 Selain itu, sahnya perkawinan dan fungsi pencatatan perkawinan dapat dilihat dari Penjelasan Umum angka 4 huruf b Undang-Undang Perkawinan. Pencatatan perkawinan menurut Penjelasan Umum angka 4 huruf b Undang-Undang Perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang misalnya, kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam suratsurat keterangan, yaitu suatu akta yang juga dimuat dalam daftar pencatatan. 56 Peristiwa penting yang telah disebut diatas lebih jelas diuraikan dalam Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, adalah kejadian yang dialami oleh seseorang meliputi kelahiran, kematian, lahir mati, perkawinan, perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak, pengangkatan anak, perubahan nama dan perubahan status kewarganegaraan. 57 Dalam hal pelaksanaan perkawinan juga diperlukan alat bukti yang otentik dan dibuat oleh pejabat yang berwenang yang disebut dengan Akta Nikah yang 55 Wahyono Darmabrata, Tinjauan Undang-Undang No. 1 Tahun 194 Tentang Perkawinan Beserta Undang-Undang dan Peraturan Pelaksananya (Jakarta:CV Gitama Jaya, 2003), hlm Neng Djuabidah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat Menurut Hukum Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika,2010), hlm Ibid, hlm. 225

14 mempunyai fungsi untuk kekuatan pembuktian yang menunjukkan perkawinan itu telah ada. Apabila terjadi perceraian diantara pasangan suami isteri untuk menindaklanjuti perceraiannya pada sidang pengadilan diperlukan adanya Akta Nikah, tanpa adanya Akta Nikah tersebut maka akan menyulitkan bagi pihak yang bersangkutan dalam proses perceraian. Menurut undang-undang, salah satu alat bukti yang sah yaitu alat bukti surat. Surat-surat dapat dibagi dalam surat-surat akta dan surat-surat lain. 58 Dalam urutan rincian alat-alat bukti tersebut tampak bahwa dalam perkara perdata alat bukti yang utama adalah surat-surat yang merupakan alat bukti tertulis. Hal yang sedemikian itu tidak mengherankan, sebab dalam lalu lintas keperdataan dan perdagangan, misalnya perkawinan, jual beli, kematian, perceraian, dan lain sebagainya setiap orang dalam melakukan perbuatan tersebut dengan sengaja membuat alat bukti tertulis untuk menjaga segala kemungkinan yang terjadi dikemudian hari. Dari bukti surat-surat tersebut ada yang termasuk dalam penggolongan pembuktian yang sah dipersidangan yaitu surat-surat yang disebut akta. Yang dimaksud surat akta adalah suatu tulisan yang semata-mata dibuat untuk membuktikan sesuatu hal atau peristiwa, karenanya suatu akta harus selalu ditandatangani oleh pihak berwenang. 1. Surat-surat Akta Otentik 59 Surat-surat akta dapat dibagi lagi atas : 58 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Intermasa, 2010), hlm H.M.Abdurrahman, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Universitas Trisakti, 1997), hlm. 75.

15 Yang dimaksud dengan akta resmi ialah suatu akta yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum yang menurut undang-undang ditugaskan untuk membuat akta tersebut. Pejabat umum yang dimaksud adalah Notaris, Hakim, jurusita pada suatu pengadilan, Pegawai Pencatatan Sipil dan sebagainya. Dengan demikian suatu akta Notaris, suatu surat Putusan Hakim, suatu surat Berita Acara yang dibuat oleh suatu jurusita, suatu akta perkawinanatau kelahiran yang dibuat oleh Pegawai Catatan Sipil, kesemuanya itu merupakan akta-akta yang otentik. Jika suatu akta mengandung keterangan-keterangan dari dua pihak yang menghadap dihadapan seorang Notaris, sehingga seorang Notaris ini sebenarnya hanya menetapkan saja apa yang diterangkan oleh orang-orang yang menghadap itu sendiri, maka akta tersebut dinamakan partij-akta. Misalnya, jika dua orang mengadakan suatu perjanjian dihadapan Notaris. Jika suatu akta mengandung suatu pemberitaan atau proses verbal tentang suatu perbuatan yang telah dilakukan seorang notaris atau seorang juru sita, maka akta itu dinamakan Proses verbal-akte. Misalnya, jika seorang notaris atau jurusita membuat suatu akta tentang suatu lelangan atau penyitaan harta benda. Menurut undang-undang suatu akta resmi mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, artinya apabila suatu pihak mengajukan suatu akta resmi, hakim harus menerimanya dan menganggap apa yang dituliskannya di dalam akta tersebut sungguh-sungguh terjadi, sehingga hakim itu tidak boleh memerintahkan

16 penambahan pembuktian lagi. Jadi, kekuatan akta pembuktian suatu akta otentik dapat dibagi menjadi: 60 a. Kekuatan pembuktian formal yaitu bahwa kedua belah pihak benar-benar sudah menerangkan di muka notaris apa yang telah tertulis di dalam akta tersebut. b. Kekuatan pembuktian material, yaitu bahwa apa yang diterangkan oleh kedua belah pihak di muka notaris dan tertulis di dalam akta itu, memang benar-benar terjadi atau dalam kata-kata lain bahwa isinya keterangan mereka benar-benar terjadi. 2. Akta dibawah tangan Sedangkan yang dimaksud dengan akta di bawah tangan ialah tiap akta yang tidak dibuat oleh atau dengan perantaraan seorang pejabat umum. Misalnya surat perjanjian jual beli atau sewa menyewa yang dibuat sendiri dan ditandatangani sendiri oleh kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian itu. 61 Jika pihak yang menandatangani surat perjanjian itu mengakui atau tidak menyangkal tanda tangannya, yang berarti ia mengakui atau tidak menyangkal kebenaran apa yang tertulis dalam surat perjanjian itu, maka akta di bawah tangan tersebut memperoleh suatu kekuatan pembuktian yang sama dengan suatu akta resmi. Akan tetapi jika tanda tangan itu disangkal, maka pihak yang mengajukan surat perjanjian tersebut diwajibkan untuk membuktikan kebenaran penandatangan atau isi akta tersebut. Ini adalah suatu hal yang sebaliknya dari apa yang berlaku terhadap akta resmi, 60 H.M.Abdurrahman, Op.Cit, hlm Subekti, Op.Cit, hlm. 176

17 diwajibkan membuktikan bahwa tanda tangan itu palsu, dengan kata lain, pejabat umum (notaris) yang membuat akta tersebut telah melakukan pemalsuan surat. 62 Oleh karena pembuktian dengan surat akta memang suatu cara pembuktian yang paling utama, maka dapatlah dimengerti mengapa pembuktian oleh undangundang disebutkan sebagai cara pembuktian nomor satu. Begitu pula dapat dimengerti mengapa undang-undang untuk beberapa perbuatan atau perjanjian yang dianggap sangat penting mengharuskan pembuatan suatu akta. Misalnya perjanjian perkawinan, pemberian benda-benda yang tertulis atas nama, perjanjian hipotik, pendirian perseroan firma atau perseroan terbatas diharuskan dengan akta notaris, sedangkan perjanjian perdamaian adanya perjanjian asuransi setidak-tidaknya harus dengan suatu tulisan. 63 Sebagai alat bukti maka akta perkawinan mempunyai 3 buah sifat 64 : a. Sebagai satu-satunya alat bukti yang mempunyai arti mutlak (eeneig bewijsmiddel); b. Sebagai alat bukti penuh, artinya disamping akta perkawinan itu tidak dapat dimintakan ala-alat bukti lain (volledig bewijsmiddel); c. Sebagai alat bukti yang bersifat memaksa sehingga bukti lawannya tidak dapat melemahkan akta perkawinan itu. 62 Ibid. 63 Ibid, hlm R. Soetojo Prawiroharmidjojo dan Asis Safioedin, Hukum Orang dan Keluarga, (Bandung: Alumni, 1986), hlm. 41.

18 Berkaitan dengan pencatatan perkawinan di Indonesia telah terbentuk dua macam lembaga perkawinan yang bertugas untuk mengadakan pencatatan perkawinan diantara adalah: a. Kantor Urusan Agama (KUA), bagi mereka yang beragama Islam. Bagi orang-orang Islam dalam melangsungkan perkawinannya wajib didaftarkan dan dicatatkan pada pegawai pencatat nikah, talak dan rujuk sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 t yang bertujuan memberlakukan pencatatan perkawinan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia. b. Kantor Catatan Sipil Bagi orang-orang yang beragama non Islam, peristiwa perkawinannya perlu dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil sesuai dengan peraturan yang berlaku yaitu Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 1983 mengenai Pencatatan Perkawinan. Tujuannya adalah untuk mendapatkan salinan Akta Perkawinan, yang berguna memberikan kepastian dan kekuatan hukum dari peristiwa perkawinan tersebut. Akta perkawinan tersebut merupakan alat bukti yang tertulis dan otentik yang dapat memberikan keterangan selengkapnya dari suatu peristiwa tersebut bagi yang bersangkutan maupun bagi orang lain yang berkepentingan. Sebuah akta perkawinan yang diterbitkan oleh Pejabat Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil memiliki arti yang sangat besar di kemudian hari manakala terjadi sesuatu, misalnya untuk kepentingan menentukan ahli waris dalam warisan,

19 untuk menentukan dan memastikan bahwa mereka adalah suami isteri atau dapat memberi arah ke pengadilan mana ia mengajukan cerai dan lain-lain Kantor Urusan Agama Sebagai Lembaga Pencatatan Perkawinan Bagi Pemeluk Agama Islam Kantor Urusan Agama (KUA) adalah salah satu instansi pemerintah di tingkat Kecamatan, yang mempunyai peranan membantu sebagian tugas dari Departemen Agama, diantaranya yaitu mengawasi, menyaksikan dan mencatat suatu peristiwa perkawinan yang dilakukan oleh kalangan masyarakat. 66 Keberadaan KUA di Indonesia sudah mulai sejak zaman Hindia Belanda, pada saat itu menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 mengatur tentang Pencatatan Nikah, Talak, Rujuk, dan Cerai. Setelah adanya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 sebagai dasar hukum pencatatan perkawinan di KUA yang bertujuan memberlakukan pencatatan perkawinan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia. Disamping itu dengan lahirnya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, maka KUA hanya melakukan tugas pencatatan nikah dan rujuk. Sedangkan untuk perceraian maupun talak dilakukan di Pengadilan Agama. Mengingat betapa pentingnya peranan dan keberadaan KUA, maka dapat diketahui bahwa tugas pokok KUA adalah: a. Mengadakan pencatatan peristiwa perkawinan; 65 Konsorsium Catatan Sipil, 30 Kasus Catatan Sipil di Indonesia Analisis Kasus dan Rekomendasi, Jakarta: Deutsche Gessellschaft furtechnische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH Good Governance in Population Administration (GG PAS) dan Konsorsium Catatan Sipil, 2006), hlm.3 66 Departemen Agama RI, Sejarah Perkembangan KUA,(Jakarta:Direktorat Jenderal Urusan Agama Islam Dirjen Dinas Islam dan Kasubdis Kepenghuluan). 67 Ibid. 67

20 b. Perwakafan c. Kemasjidan d. BP4 (Bimbingan Penasehat Pelaksanaan Perkawinan) Biaya pernikahan yang berlaku berbeda untuk setiap wilayah, karena akan disesuaikan dengan kebijaksanaan daerah setempat dan keadaan ekonomi di lingkungan masyarakatnya. Seseorang yang Bergama Islam dan akan melakukan pernikahan, maka harus memenuhi rukun nikah sesuai agama Islam, ada 5 macam, yaitu: a. Ada calon suami b. Ada calon isteri c. Wali nikah (orang tua calon isteri) d. Minimal ada dua orang saksi yang beragama Islam, berakal sehat dan telah dewasa e. Ijab Qabul 2. Kantor Catatan Sipil Sebagai Lembaga Pencatatan Perkawinan Bagi Pemeluk Agama Non Islam Undang-undang tidak memberikan pengertian yang dimaksud dengan catatan sipil itu. Padahal lembaga pencatatan sipil sudah dikenal sejak zaman Hindia Belanda. Ada beberapa pendapat mengenai catatan sipil yaitu: Menurut Subekti dan Tjitrosudibio, Burgerlijk Stand (Belanda), catatan sipil, suatu lembaga yang ditugaskan untuk memelihara daftar-daftar atau catatan-

21 catatan guna pembuktian status atau peristiwa-peristiwa penting bagi para warga negar, seperti kelahiran, perkawinan, dan kematian. Menurut Vollmar, catatan sipil adalah suatu lembaga yang diadakan oleh penguasa yang bermaksud membukukan selengkap mungkin dan karena itu memberikan kepastian sebesar-besarnya tentang semua peristiwa yang penting bagi status keperdataan seseorang mengenai kelahiran, pengakuan, perkawinan, perceraian, dan kematian. 68 Sementara itu menurut Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Catatan sipil adalah suatu lembaga yang sengaja diadakan oleh pemerintah yang bertugas untuk mencatatat, mendaftarkan, serta membukukan selengkap mungkin tiap peristiwa penting bagi status keperdataan seseorang, misalnya perkawinan, kelahiran, pengakuan/pengesahan anak, perceraian dan kematian, serta ganti nama. 69 Dari beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan catatan sipil atau pencatatan sipil merupakan suatu lembaga yang sengaja dibentuk oleh pemerintah dengan tugas menyelenggarakan pencatatan, penerbitan, penyimpanan dan pemeliharaan data keperdataan seseorang, seperti kelahiran, perkawinan, perceraian, kematian pengakuan dan pengesahan anak, serta pergantian nama. Dengan kata lain pencatatan sipil merupakan proses pencatatan peristiwa penting dalam kehidupan manusia. Proses tersebut dimulai dari: 70 a. Terjadinya peristiwa penting; b. Pencatatan peristiwa penting dengan menggunakan metode verifikasi dan validasi; c. Penerbitan akta dan penjagaan data atas arsipnya; 68 H.F.A Vollmar, Hukum Keluarga (Menurut KUHPerdata), diterjemahkan oleh: Chidir Ali (Bandung: Tarsito, 1982), hlm Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Op.Cit., hlm Ibid, hlm. 7.

22 Kejadian ini dicatat agar pada setiap waktu ada bukti bagi-bagi orang yang berkepentingan, tetapi juga bagi pihak ketiga karena daftar-daftar di kantor catatan sipil terbuka untuk umum (openbaar), yang berarti bahwa daftar itu dapat dilihat semua orang. 71 Dalam perkembangan sejarahnya catatan sipil ini muncul pertama kalinya didaratan Eropa, yaitu seiring dengan kelahiran Republik Perancis sebagai negara kebangsaan (nation state) melalui Revolusi Perancis. Lembaga ini kemudian dibawa ke Hindia Belanda oleh pemerintah Kolonial Belanda. Sejalan dengan diterapkannya politik pemerintah kolonial yang membagi penduduk Hindia Belanda ke dalam 3 (tiga) golongan penduduk 72, maka dibentuklah lembaga catatan sipil (Burgerlijk Stand) yang masing-masing berlaku bagi penduduk golongan Eropa yang dipersamakan dengannya, bagi golongan Tionghoa, bagi golongan Pribumi, dan bagi penduduk golongan Pribumi yang beragama Nasrani. 73 Sumber pengaturan catatan sipil atau pencatatan sipil diatur dalam Bab Kedua Pasal 4 sampai dengan Pasal 16 Buku Kesatu KUHPerdata, ketentuan-ketentuan dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16 KUHPerdata tersebut mengatur mengenai akta-akta catatan sipil bagi golongan penduduk Eropa dan mereka yang dipersamakan dengan itu. Namun, dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1961 tentang Perubahan atau Penambahan Nama Keluarga, ketentuan-ketentuan dalam Pasal 6 sampai dengan 71 H.F.A Vollmar, Op.Cit, hlm Perhatikan Pasal 163 IS 73 Afdol, ed., Catatan Sipil dan Masyarakat Hukum Adat, (Depok: Lembaga Kajian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Good Governance Population Administration (GTZ GG PAS), 2007), hlm. 3.

23 Pasal 10 KUHPerdata dinyatakan tidak berlaku dan diganti dengan ketentuanketentuan yang baru sebagaimana termuat dalam Pasal-Pasal Undang-Undang Nomor 4 Tahun Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 5 KUHPerdata yang berdasar atas ketentuan undang-undang tentang Catatan Sipil, tempat dimana, oleh siapa, dan dengan cara bagaimana register itu harus diselenggarakan, serta cara bagaimana aktaakta catatan sipil harus disusun dan syarat-syarat dalam pembuatan akta catatan sipil ini, maka keluar Reglemen Pencatatan Sipil untuk Golongan Eropa (Reglement op het houden der registers van den Burgerlijken Stand voor Europeanen), yang dipublikasikan tanggal 10 Mei 1849 dalam Staatsblad nomor 25, kemudian disusul dengan keluarnya: 1. Reglemen Penyelenggaraan Daftar-Daftar Catatan Sipil untuk Golongan Tionghoa (Reglement op het houden der registers van den Burgerlijken Stand voor de Chineezen), yang dipublikasikan tanggal 29 Maret 1917 dalam Staatsblad 1917 Nomor 130 juncto Staatsblad 1919 Nomor 81 yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Mei 1919; 2. Reglemen Penyelenggaraan Daftar Catatan Sipil untuk Beberapa Golongan Penduduk Indonesia yang Tidak Termasuk dalam Kaula-Kaula daerah Swapraja di Jawa dan Madura (Reglement op het houden der registers van den Burgerlijken Stand vooreenige groepen van de niet tot de onderhoorigen van een Zelfbestuur behoorende Ind. Bevolking van java en Madura), yang dipublikasikan tanggal 15 Oktober1920 dalam Staatsblad 1920 Nomor 751 juncto Staatsblad 1927 Nomor 564, yang mulai berlaku 1 Januari 1928; 3. Peraturan Pencatatan dalam Daftar-Daftar Catatan Sipil Mengenai Kelahiran dan Kematian (Regeling betreffende de inschrijving in de registers van den Burgerlijken Stand van geboorten en Stergevallen), yang dipublikasi tanggal 9 Desember 1946 dalam Staatsblad 1946 Nomor 137 yang mulai berlaku tanggal 18 Desember 1946;

24 4. Peraturan Daftar Pencatatan Sipil untuk Perkawinan campuran, yang dipublikasi dalam Staatsblad 1904 Nomor 279 yang mulai berlaku tanggal 1 Juli Kemudian setelah Indonesia merdeka, keluar pula beberapa peraturan yang mengatur mengenai dan berkaitan dengan pencatatan sipil seiring dengan terbuka Kantor Catatan Sipil untuk seluruh penduduk Indonesia, diantaranya yaitu: 1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk; 2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Penetapan berlakunya Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk di Seluruh Daerah Luar Jawa dan Madura; 3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1961 tentang Perubahan Atau Penambahan Nama Keluarga; 4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; 5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ; 6. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; 7. Instruksi Presidium Kabinet Ampera Nomor: 31/U/IN/12/1966 mengenai penghapusan penggolongan penduduk dan keterbukaan Kantor Catatan Sipil untuk Semua Golongan Penduduk Indonesia; 74 Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia, (Jakarta:Sinar Grafika, 2006), hlm. 190.

25 8. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor: 221a Tahun 1975 tentang Pencatatan Perkawinan dan Perceraian pada Kantor Catatan Sipil sehubungan dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan serta Peraturan Pelaksanaannya; 9. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 131 Tahun 1997 tentang Penyelenggaraan Catatan Sipil Dalam Kerangka Sistem Kependudukan; 10. Surat Edaran Direktorat Jenderal Pembinaan Hukum Departemen Kehakiman Nomor J.A.3/9/13 tentang Penjelasan tentang Penerbitan Akta-Akta Kelahiran bagi Orang Indonesia yang Tidak Terkait Perkawinan tanggal 27 November Berdasarkan kepada peraturan catatan sipil diatas, akta-akta catatan sipil bagi masing-masing golongan penduduk Eropa, Tionghoa, dan Pribumi berlainan sesuai dengan aturannya. Namun setelah keterbukaan Kantor Catatan Sipil, perbedaan aktaakta catatan tersebut ditiadakan, sehingga Kantor Catatan Sipil terbuka bagi seluruh penduduk Indonesia dan hanya dibedakan atas warga negara Indonesia dan Warga Negara Asing saja. Adapun akta catatan sipil yang dicatat dan diterbitkan oleh Kantor Catatan Sipil meliputi akta kelahiran, akta perkawinan, dan perceraian bagi yang bukan beragama Islam, akta kematian, serta akta pengakuan dan pengesahan anak. Dalam praktik pelayanan sehari-hari oleh pihak Kantor Catatan Sipil dibedakan adanya berbagai akta pencatatan sipil, yaitu: Akta Perkawinan, yang dibagi atas: a. Akta Perkawinan Umum b. Akta Perkawinan Istimewa c. Akta Perkawinan lainnya Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Op. Cit., hlm

26 2. Akta kelahiran, yang dibagi atas: 77 a. Akta Kelahiran Umum b. Akta Kelahiran Istimewa c. Akta kelahiran Luar Biasa 3. Akta Perceraian, yang dibagi atas: a. Akta Perceraian Umum b. Akta Perceraian Khusus 4. Akta Kematian, yang dibagi atas: a. Akta Kematian Umum b. Akta Kematian Luar Biasa c. Akta Kematian Istimewa Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 12 PP No. 9/75, suatu akta perkawinan harus memuat hal-hal sebagai berikut: 78 a. Nama, tanggal dan tempat lahir, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman suami isteri. Apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama isteri/suami terdahulu; b. Nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman orang tua mereka; c. Izin orang tua, wali, atau pengadilan bagi calon mempelai yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun; d. Dispensasi dari pengadilan bagi calon mempelai yang belum genap mencapai batas usia perkawinan; e. Izin pengadilan bagi seorang suami yang beristri lebih dari seorang; f. Persetujuan kedua calon mempelai yang dinyatakan secara tertulis, yang dibuat atas dasar sukarela, bebas dari tekanan, ancaman atau paksaan; g. Izin dari pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima TNI/Kepala Kepolisian Negara bagi anggota TNI dan Kepolisian Negara Republik Indonesia; h. Perjanjian perkawinan apabila ada; i. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman para saksi dan wali nikah bagi yang beragama Islam; j. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, dan tempat kediaman kuasa apabila perkawinan dilakukan melalui seorang kuasa. 76 Pencatatan ini dimaksudkan untuk mereka yang perkawinannya dilakukan oleh Pemuka Agama, Pastor dan Pendeta dan pelaksanaannya di Kantor Catatan Sipil. 77 Perbedaan diatas berdasarkan pada proses penyelesaiannya dihubungkan dengan peristiwanya, jadi bukan jenis atau model akta kelahiran. 78 Rachmadi Usman, Op.Cit., hlm. 223.

27 Dalam rangka mewujudkan kepastian hukum, maka semua akta-akta didaftar dan dikeluarkan oleh catatan sipil mempunyai kekuatan hukum yang pasti, yang tidak dapat dibantah oleh pihak lain. Tujuannya adalah untuk mendapatkan data-data selengkap mungkin agar status warga masyarakat dapat diketahui. Kantor Catatan Sipil ini dibentuk untuk mewujudkan suatu kehidupan hukum yang harmonis di masyarakat. Selain itu juga akta-akta yang dibuat dan dikeluarkan oleh Kantor Catatan Sipil merupakan bukti yang paling kuat dan sempurna, karena akta ini bersifat otentik yang dibuat oleh pejabat pemerintah sesuai dengan ketentuan yang ada. Suatu sistem dan cara pendaftaran catatan sipil yang baik dan tertib pelaksanaannya akan memberikan data-data tentang kependudukan yang lengkap dan terpercaya, disamping berbagai pendaftaran, seperti pendaftaran penduduk, sensus penduduk, dan lain sebagainya. Untuk memperoleh gambaran yang jelas di bidang pengaturan tugas pokok dan fungsi dari Kantor Catatan Sipil, maka dapat dilihat pada kebijaksanaankebijaksanaan yang telah ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 1983 Tentang Penataan dan Peningkatan Pembinaan Penyelenggaraan Catatan Sipil. 79 Dalam melaksanakan tugasnya Kantor Catatan Sipil mempunyai fungsi menyelenggarakan: a. Pencatatan dan penerbitan kutipan akta kelahiran; b. Pencatatan dan penerbitan kutipan akta perkawinan; 79 Perhatikan Pasal 1

28 c. Pencatatan dan penerbitan kutipan akta perceraian; d. Pencatatan dan penerbitan kutipan akta pengakuan dan pengesahan anak; e. Pencatatan dan penerbitan kutipan akta kematian; f. Penyimpanan dan pemeliharaan akta kelahiran, akta perkawinan, akta perceraian, atas pengakuan dan pengesahan anak, dan akta kematian; g. Penyediaan bahan dalam rangka perumusan kebijaksanaan di bidang kependudukan atau kewarganegaraan; Dari uraian tersebut, tugas dan fungsi Kantor Catatan Sipil dapat dikelompokkan menjadi dua fungsi, yaitu: a. Fungsi yang bersifat operasional atau teknis fungsional, yang berkaitan dengan pelayanan dan proses penyelesaian suatu akta catatan sipil; b. Fungsi yang bersifat administratif fungsional, yaitu yang berkaitan dengan ketatausahaan perkantoran pada umumnya; Dapat disimpulkan bahwa tujuan catatan sipil dapat dilihat dari empat sudut, yaitu: Untuk mewujudkan kepastian hukum; 2. Untuk membentuk ketertiban umum; 3. Sebagai alat pembuktian; 4. Untuk memperlancar aktivitas pemerintah di bidang kependudukan atau administrasi kependudukan 80 Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Op.Cit.,hlm. 13.

29 Pada awalnya pencatatan sipil hanya bertitik tolak dari peristiwa kelahiran saja, dimana setiap anak yang lahir diakui sebagai subyek hukum baru (dengan dicatat identitasnya) dan dilindungi hak-hak keperdataannya (dengan dicatat identitas orang tuanya) dan untuk itu dibuatkan akta lahirnya. Namun seiring dengan perkembangan zaman cakupan pencatatan sipil ini kemudian berkembang meliputi pula pencatatan perkawinan, perceraian, pencatatan pengakuan anak/pengesahan anak, dan pencatatan pengangkatan anak, dan juga pencatatan kematian. Pencatatan kelahiran merupakan hak asasi manusia yang mendasar. Fungsinya yang esensial adalah untuk melindungi hak anak menyangkut identitasnya. Pendaftaran kelahiran menjadi satu mekanisme pencatatan sipil yang efektif karena ada pengakuan eksistensi seseorang secara hukum. Pencatatan ini memungkinkan anak mendapatkan akte kelahiran. Ikatan keluarga si anak pun menjadi jelas. Artinya catatan hidup seseorang dari lahir, perkawinan hingga mati juga menjadi jelas. Bagi pemerintah, akte kelahiran membantu menelusuri statistik demografis, kecenderungan dan kesenjangan kesehatan. Dengan data yang komprehensif maka perencanaan dan pelaksanaan kebijakan-kebijakan serta program pembangunan pun akan lebih akurat. Terutama yang menyangkut kesehatan, pendidikan, perumahan, air, kebersihan dan pekerjaan. 81 Terdapat kenyataan dalam anggota masyarakat bahwa mereka secara tidak pasti mengenal kapan dilahirkan. Dengan demikian secara pasti pula mereka tidak 81 Pencatatan Kelahiran, diakses tanggal 30 Oktober 2013, pukul WIB

30 mengenal berapa usianya. Sementara itu pula pihak instansi pemerintah ikut-ikutan mengeluarkan data mereka yang berbeda. Ambil contoh misalnya seseorang akan mempunyai data berbeda antara yang tercantum dalam Surat Izin Mengemudi (SIM), Kartu Tanda Penduduk (KTP), dan Ijazah. Kenyataan menunjukkan bahwa dalam Sistem Tata Usaha Negara di semua negara mengakui bahwa nama sebagai identitas seseorang untuk semua jenis legalitas diperlukan. Namun, karena penulisan data nama dengan benar dianggap kurang penting, seringkali dijumpai nama yang berbeda antara yang tertulis pada SIM, KTP, ijazah dan akta perkawinan, maupun bukti diri yang lain. Akibatnya, akan terjadi kekacauan di bidang tertib administrasi pemerintahan dan kependudukan. Banyak hubungan hukum perdata timbul sebagai akibat dilaksanakannya perbuatan hukum tertentu di Kantor Catatan Sipil, mulai dari pengakuan hukum hingga di bidang pewarisan dan kewarganegaraan. Dilakukannya pencatatan sipil terhadap semua peristiwa penting tersebut di atas, karena dengan terjadinya peristiwa tersebut akan mempengaruhi status hukum seseorang dan hak-hak keperdataan yang melekat padanya. Untuk memastikan seorang anak memiliki klaim yang sah atas harta waris dari orang tuanya, maka perkawinan orang tua harus diakui sebagai perkawinan yang sah, dengan cara dicatat dalam register pencatatan sipil. Harta yang dikumpulkan oleh kedua orang tua dalam di dalam ikatan perkawinan (disebut harta gono-gini) akan menjadi hak waris bagi anak-anak yang lahir dari perkawinan.

31 Sedangkan harta yang telah dimiliki oleh masing-masing orang tua sebelum perkawinan, masih harus diperlakukan sebagai hak waris orangtua dari orangtua si anak, juga memperhitungkan ikatan perkawinan yang sah, demikian seterusnya. Bagi anak, untuk bisa mengklaim hak warisnya, harus dibuktikan bahwa orangtuanya telah meninggal dunia. Untuk memberikan pernyataan yang sah tentang ini, pencatatan sipil mencakupi pula catatan kematian. Perlindungan terhadap hak-hak keperdataan si anak selaku ahli waris selanjutnya diwujudkan dengan pengembangan suatu institusi yang secara khusus didesain untuk memelihara harta waris yang disebut Balai Harta Peninggalan (Belanda: Weeskamer). 82 Jadi yang dimaksud dengan akta perkawinan catatan sipil adalah suatu surat atau catatan resmi mengenai peristiwa perkawinan yang dicatat oleh pejabat negara yakni pejabat kantor catatan sipil. Peristiwa perkawinan yang terjadi didafarkan dan dibuktikan pada Kantor Catatan Sipil. Seluruh akta yang dikeluarkan oleh Kantor Catatan Sipil mempunyai kekuatan hukum apabila telah ditandatangani oleh Pejabat Kantor Catatan Sipil. 3. Pencatatan Perkawinan Untuk Perkawinan Campuran Sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Perkawinan di Indonesia telah ada 3 (tiga) produk legislatif mengenai atau berhubungan dengan perkawinan campuran. Ketiga ketentuan-ketentuan perundang-undangan itu adalah sebagai berikut: 83 a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek); 82 Konsorsium Catatan Sipil, Op.Cit, hlm Mohammad Idris Romulyo, Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis dari Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta:Bumi Aksara, 1999), hlm. 196

32 b. Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (HOCI) Staatsblad nomor 74 tahun 1933; c. Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de Gemengde Huwelijke) Staatsblad nomor 158 tahun Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam ketiga produk legislatif ini setelah dikeluarkannya Undang-Undang Perkawinan sebagaimana diketahui antara lain yang merupakan prinsip umum dalam perundang-undangan bahwa peraturan perundangundangan yang setingkat derajatnya yang ditetapkan kemudian menghapuskan ketentuan-ketentuan yang berlawanan dalam perundang-undangan sederajat mendahuluinya. 84 Pasal 57 Undang-Undang Perkawinan memberikan pengertian tentang apa yang dimaksud dengan perkawinan campuran menurut undang-undang tersebut yaitu: Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam undang-undang ini adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia." Pencatatan perkawinan untuk perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dimaksudkan untuk memperoleh kutipan Akta Perkawinan (Kutipan Buku Nikah) oleh pegawai yang berwenang. Bagi yang beragama Islam, pencatatan dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, 84 Ibid

33 Talak, Cerai, dan Rujuk. Sedang bagi yang non-islam, pencatatan dilakukan oleh Pegawai Kantor Catatan Sipil. 85 Perkawinan yang dilangsungkan di Indonesia harus memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Perkawinan yang diatur lebih lanjut pada PP No. 9/1975, dan syarat yang telah ditetapkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan tempat perkawinan akan dilangsungkan. Perkawinan yang sah harus dicatatkan, hal ini berlaku bagi pasangan mempelai yang keduanya berkewarganegaraan Republik Indonesia dan juga berlaku bagi pasangan perkawinan campuran. Setiap perkawinan campuran yang sah harus dicatatkan sesuai dengan ketentuan Pasal 61 Undang-Undang Perkawinan yang menyebutkan bahwa: 1. Perkawinan campuran dicatat oleh Pegawai Pencatat yang berwenang. 2. Barang siapa melangsungkan perkawinan campuran tanpa memperlihatkan lebih dahulu kepada pegawai pencatatat yang berwenang surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan yang disebut dalam Pasal 60 ayat (4) Undang- Undang ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 1 (satu) bulan. 3. Pegawai pencatat perkawinan yang mencatat perkawinan sedangkan ia mengetahui bahwa keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak ada, dihukum dengan kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan dihukum jabatan. Perkawinan yang telah dicatatkan akan mempunyai akibat hukum bagi perkawinan tersebut. Pencatatan perkawinan ditegaskan pula dalam Pasal (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, yaitu bagi yang beragama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat (dalam hal ini Kantor Urusan Agama), dan bagi yang beragama selain Islam dicatatkan di Kantor Catatan Sipil. 85 Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Op.Cit., hlm. 43.

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN 2.1 Pengertian Perkawinan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB II KEBIJAKAN HUKUM PEMERINTAH INDONESIA DALAM PENCATATAN KELAHIRAN

BAB II KEBIJAKAN HUKUM PEMERINTAH INDONESIA DALAM PENCATATAN KELAHIRAN 23 BAB II KEBIJAKAN HUKUM PEMERINTAH INDONESIA DALAM PENCATATAN KELAHIRAN A. Pengertian Umum Pencatatan sipil merupakan hak dari setiap Warga Negara Indonesia dalam arti hak memperoleh akta autentik dari

Lebih terperinci

BAB III AKTA NIKAH DALAM LINTAS HUKUM. A. Akta Nikah dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974

BAB III AKTA NIKAH DALAM LINTAS HUKUM. A. Akta Nikah dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 BAB III AKTA NIKAH DALAM LINTAS HUKUM A. Akta Nikah dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Perkawinan merupakan institusi kecil yang sangat penting dalam masyarakat. Eksistensi institusi ini adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan lain sebagainya. Hikmahnya ialah supaya manusia itu hidup

BAB I PENDAHULUAN. dan lain sebagainya. Hikmahnya ialah supaya manusia itu hidup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Allah menjadikan makhluk-nya berpasang-pasangan, menjadikan manusia laki-laki dan perempuan, menjadikan hewan jantan betina begitu pula tumbuhtumbuhan dan lain sebagainya.

Lebih terperinci

BAB II. Perkawinan Campuran, Prosedur Dan Pencatatannya. Di Indonesia. Manusia dalam menempuh pergaulan hidup dalam masyarakat tidak

BAB II. Perkawinan Campuran, Prosedur Dan Pencatatannya. Di Indonesia. Manusia dalam menempuh pergaulan hidup dalam masyarakat tidak BAB II Perkawinan Campuran, Prosedur Dan Pencatatannya Di Indonesia A. Gambaran Umum Tentang Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan Manusia dalam menempuh pergaulan hidup dalam masyarakat tidak terlepas dari

Lebih terperinci

PENCATATAN NIKAH, TALAK DAN RUJUK MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 1/1974 DAN PP. NO. 9/1975. Yasin. Abstrak

PENCATATAN NIKAH, TALAK DAN RUJUK MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 1/1974 DAN PP. NO. 9/1975. Yasin. Abstrak PENCATATAN NIKAH, TALAK DAN RUJUK MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 1/1974 DAN PP. NO. 9/1975 Yasin Abstrak Apabila ternyata dari hasil penelitian itu terdapat halangan perkawinan atau belum dipenuhi syarat-syarat

Lebih terperinci

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang,

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, Pendahuluan Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat. Di dalam agama islam sendiri perkawinan merupakan sunnah Nabi Muhammad Saw, dimana bagi setiap umatnya dituntut untuk mengikutinya.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sejak jaman dahulu hingga saat ini. Karena perkawinan merupakan suatu

BAB 1 PENDAHULUAN. sejak jaman dahulu hingga saat ini. Karena perkawinan merupakan suatu BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perkawinan merupakan kebutuhan hidup seluruh umat manusia, dari sejak jaman dahulu hingga saat ini. Karena perkawinan merupakan suatu kenyataan atas keinginan

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA) Sumber: LN 1974/1; TLN NO. 3019 Tentang: PERKAWINAN Indeks: PERDATA. Perkawinan.

Lebih terperinci

BAB II PENGESAHAN ANAK LUAR KAWIN DARI PASANGAN SUAMI ISTRI YANG BERBEDA KEWARGANEGARAAN BERDASARKAN PARTICULARS OF MARRIAGE

BAB II PENGESAHAN ANAK LUAR KAWIN DARI PASANGAN SUAMI ISTRI YANG BERBEDA KEWARGANEGARAAN BERDASARKAN PARTICULARS OF MARRIAGE 30 BAB II PENGESAHAN ANAK LUAR KAWIN DARI PASANGAN SUAMI ISTRI YANG BERBEDA KEWARGANEGARAAN BERDASARKAN PARTICULARS OF MARRIAGE NO. 49/08 YANG TERDAFTAR PADA KANTOR DINAS KEPENDUDUKAN DAN PENCATATAN SIPIL

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA A. Pengertian Perkawinan Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan nomor 1 Tahun 1974. Pengertian perkawinan menurut Pasal

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG PENDAFTARAN PENDUDUK DAN PENCATATAN SIPIL

PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG PENDAFTARAN PENDUDUK DAN PENCATATAN SIPIL PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG PENDAFTARAN PENDUDUK DAN PENCATATAN SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA,

Lebih terperinci

BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR

BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR KAWIN DALAM HUKUM PERDATA (BURGERLIJK WETBOEK) A. Pengertian Anak Luar Kawin Menurut Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) Anak menurut bahasa adalah

Lebih terperinci

BAB III PERKAWINAN DI BAWAH ANCAMAN TERHADAP KORBAN KECELAKAAN LALU LINTAS

BAB III PERKAWINAN DI BAWAH ANCAMAN TERHADAP KORBAN KECELAKAAN LALU LINTAS 40 BAB III PERKAWINAN DI BAWAH ANCAMAN TERHADAP KORBAN KECELAKAAN LALU LINTAS A. Proses Terjadinya Kawin di bawah Ancaman Terhadap Korban Kecelakaan Lalu Lintas di Desa Klapayan Kecamatan Sepulu Kabupaten

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG AKTA NOTARIIL. Istilah atau perkataan akta dalam bahasa Belanda disebut acte atau akta

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG AKTA NOTARIIL. Istilah atau perkataan akta dalam bahasa Belanda disebut acte atau akta BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG AKTA NOTARIIL 2.1 Pengertian Akta Istilah atau perkataan akta dalam bahasa Belanda disebut acte atau akta dan dalam bahasa Inggris disebut act atau deed. Secara etimologi menurut

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL

PEMERINTAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL PEMERINTAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL PERATURAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL NOMOR 5 TAHUN 2003 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDAFTARAN PENDUDUK DAN CATATAN SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GUNUNGKIDUL,

Lebih terperinci

...Humas Kanwil Kemenag Prov. Jabar

...Humas Kanwil Kemenag Prov. Jabar PERATURAN MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG PENCATATAN NIKAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA Menimbang : bahwa untuk memenuhi tuntutan perkembangan

Lebih terperinci

BAB III PERANAN NOTARIS DALAM PEMBAGIAN HARTA WARISAN DENGAN ADANYA SURAT KETERANGAN WARIS

BAB III PERANAN NOTARIS DALAM PEMBAGIAN HARTA WARISAN DENGAN ADANYA SURAT KETERANGAN WARIS BAB III PERANAN NOTARIS DALAM PEMBAGIAN HARTA WARISAN DENGAN ADANYA SURAT KETERANGAN WARIS A. Kedudukan Notaris Pasal 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (UUJN), menyebutkan bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SRAGEN, Menimbang : a. bahwa untuk memberikan perlindungan,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAHREPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

PERATURAN PEMERINTAHREPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN PERATURAN PEMERINTAHREPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: Bahwa untuk kelancaran pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB IV. Putusan Pengadilan Agama Malang No.0758/Pdt.G/2013 Tentang Perkara. HIR, Rbg, dan KUH Perdata atau BW. Pasal 54 Undang-undang Nomor 7

BAB IV. Putusan Pengadilan Agama Malang No.0758/Pdt.G/2013 Tentang Perkara. HIR, Rbg, dan KUH Perdata atau BW. Pasal 54 Undang-undang Nomor 7 BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENGAKUAN SEBAGAI UPAYA PEMBUKTIAN DALAM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MALANG NO. 0758/PDT.G/2013 TENTANG PERKARA CERAI TALAK A. Analisis Yuridis Terhadap Pengakuan Sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul

BAB I PENDAHULUAN. tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sah untuk membina rumah tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul amanah dan tanggung jawab.

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH KOTA YOGYAKARTA NOMOR 8 TAHUN 2012

PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH KOTA YOGYAKARTA NOMOR 8 TAHUN 2012 PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH KOTA YOGYAKARTA NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA YOGYAKARTA, Menimbang : Mengingat

Lebih terperinci

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 98 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PENCATATAN SIPIL KABUPATEN SIDOARJO

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 98 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PENCATATAN SIPIL KABUPATEN SIDOARJO BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 98 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PENCATATAN SIPIL KABUPATEN SIDOARJO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIDOARJO, Menimbang

Lebih terperinci

P E N E T A P A N. Nomor XX/Pdt.P/2012/PA.Ktbm BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P E N E T A P A N. Nomor XX/Pdt.P/2012/PA.Ktbm BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P E N E T A P A N Nomor XX/Pdt.P/2012/PA.Ktbm BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Kotabumi yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Tinjauan Umum tentang Pelayanan Publik Harus diakui bahwa pelayanan yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat terus mengalami pembaruan, baik dari segi paradigma maupun

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG. Nomor 07 Tahun 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 07 TAHUN 2010 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG. Nomor 07 Tahun 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 07 TAHUN 2010 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG Nomor 07 Tahun 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 07 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

KEDUDUKAN AKTA OTENTIK SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA. Oleh : Anggun Lestari Suryamizon, SH. MH

KEDUDUKAN AKTA OTENTIK SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA. Oleh : Anggun Lestari Suryamizon, SH. MH MENARA Ilmu Vol. X Jilid 1 No.70 September 2016 KEDUDUKAN AKTA OTENTIK SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA Oleh : Anggun Lestari Suryamizon, SH. MH ABSTRAK Pembuktian merupakan tindakan yang dilakukan

Lebih terperinci

BAB II PERANAN KANTOR CATATAN SIPIL DALAM PENCATATAN KELAHIRAN. dinamakan dengan Burgerlijke Stand (BS). Pada zaman Belanda, Burgerlijke

BAB II PERANAN KANTOR CATATAN SIPIL DALAM PENCATATAN KELAHIRAN. dinamakan dengan Burgerlijke Stand (BS). Pada zaman Belanda, Burgerlijke BAB II PERANAN KANTOR CATATAN SIPIL DALAM PENCATATAN KELAHIRAN A. Sejarah Lembaga Catatan Sipil di Indonesia Lembaga Catatan Sipil yang ada di Indonesia sekarang ini sebenarnya merupakan kelanjutan, peralihan,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP AKTA SERTA KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA NOTARIS. A. Pengertian Akta dan Macam-Macam Akta

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP AKTA SERTA KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA NOTARIS. A. Pengertian Akta dan Macam-Macam Akta BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP AKTA SERTA KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA NOTARIS A. Pengertian Akta dan Macam-Macam Akta Istilah atau perkataan akta dalam bahasa Belanda disebut acte atau akta dan dalam bahasa

Lebih terperinci

BUPATI SINTANG PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BUPATI SINTANG PROVINSI KALIMANTAN BARAT BUPATI SINTANG PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINTANG NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SINTANG, Menimbang : a. bahwa untuk

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG BALAI HARTA PENINGGALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG BALAI HARTA PENINGGALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG BALAI HARTA PENINGGALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Balai Harta Peninggalan merupakan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA. penelitian kepustakaan seperti buku-buku, dokumen-dokumen, jurnal, dan lainlain

BAB IV ANALISIS DATA. penelitian kepustakaan seperti buku-buku, dokumen-dokumen, jurnal, dan lainlain 59 BAB IV ANALISIS DATA Setelah penulis menguraikan setiap bab yang memiliki hubungan dengan judul skripsi penulis, maka penulis akan menganalisa data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan seperti

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 26 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 26 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 26 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL, Menimbang : a. bahwa Pemerintah Kabupaten Bantul

Lebih terperinci

SEMINAR SEHARI PRAKTIK PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM MASYARAKAT INDONESIA

SEMINAR SEHARI PRAKTIK PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM MASYARAKAT INDONESIA SEMINAR SEHARI PRAKTIK PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM MASYARAKAT INDONESIA OLEH H.SISRUWADI, SH,M.Kn KEPALA DINAS KEPENDUDUKAN DAN PENCATATAN SIPIL KOTA YOGYAKARTA DALAM PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BLORA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLORA NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

PEMERINTAH KABUPATEN BLORA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLORA NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN Menimbang : PEMERINTAH KABUPATEN BLORA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLORA NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BLORA, a. bahwa dengan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG

LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG TAHUN 2008 NOMOR 5 PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG NOMOR 2 TAHUN 2008 T E N T A N G PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN Menimbang : a. DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA PALEMBANG

PERATURAN DAERAH KOTA PALEMBANG 1 PERATURAN DAERAH KOTA PALEMBANG NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DAN PENCATATAN SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PALEMBANG, Menimbang : a. bahwa administrasi

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KUDUS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

PEMERINTAH KABUPATEN KUDUS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN PEMERINTAH KABUPATEN KUDUS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUDUS, Menimbang : a. bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN PENERBITAN AKTA KEMATIAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN D. Pengertian Akta Kematian dan Dasar Hukumnya

BAB II PENGATURAN PENERBITAN AKTA KEMATIAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN D. Pengertian Akta Kematian dan Dasar Hukumnya 35 BAB II PENGATURAN PENERBITAN AKTA KEMATIAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2013 D. Pengertian Akta Kematian dan Dasar Hukumnya Sebagai negara yang pernah mengalami masa penjajahan maka pengaturan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR : 1 TAHUN 2009

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR : 1 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR : 1 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang Mengingat B U P A T I K A R A W A N G, : bahwa untuk

Lebih terperinci

BUPATI DHARMASRAYA PERATURAN DAERAH KABUPATEN DHARMASRAYA NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

BUPATI DHARMASRAYA PERATURAN DAERAH KABUPATEN DHARMASRAYA NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN BUPATI DHARMASRAYA PERATURAN DAERAH KABUPATEN DHARMASRAYA NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI DHARMASRAYA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA YOGYAKARTA (Berita Resmi Kota Yogyakarta)

LEMBARAN DAERAH KOTA YOGYAKARTA (Berita Resmi Kota Yogyakarta) LEMBARAN DAERAH KOTA YOGYAKARTA (Berita Resmi Kota Yogyakarta) Nomor : 1 Tahun 200 I Seri : C ============================================================= PERATURAN DAERAH KOTA YOGYAKARTA (PERDA KOTA

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA SINGKAWANG

PEMERINTAH KOTA SINGKAWANG PEMERINTAH KOTA SINGKAWANG PERATURAN DAERAH KOTA SINGKAWANG NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SINGKAWANG, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

www.pa-wonosari.net admin@pa-wonosari.net UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : bahwa sesuai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Penelitian. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum. 1. Hal itu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Penelitian. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum. 1. Hal itu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum. 1 Hal itu menegaskan bahwa pemerintah menjamin kepastian hukum dalam kehidupan bermasyarakat,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa gejolak moneter yang terjadi di

Lebih terperinci

PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MERANGIN NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DAN PENCATATAN SIPIL

PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MERANGIN NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DAN PENCATATAN SIPIL PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MERANGIN NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DAN PENCATATAN SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MERANGIN, Menimbang

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA SALATIGA NOMOR 13 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KOTA SALATIGA NOMOR 13 TAHUN 2013

LEMBARAN DAERAH KOTA SALATIGA NOMOR 13 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KOTA SALATIGA NOMOR 13 TAHUN 2013 LEMBARAN DAERAH KOTA SALATIGA NOMOR 13 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KOTA SALATIGA NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. b.

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 37 TAHUN 2001 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDAFTARAN PENDUDUK DI KABUPATEN BANTUL

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 37 TAHUN 2001 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDAFTARAN PENDUDUK DI KABUPATEN BANTUL PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 37 TAHUN 2001 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDAFTARAN PENDUDUK DI KABUPATEN BANTUL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL, Menimbang : a. Bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG

BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAM PENYELENGGARAAN DISPENSASI PENCATATAN KELAHIRAN DAN PERKAWINAN YANG TERLAMBAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DI KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DI KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DI KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI HULU SUNGAI TENGAH,

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA SUNGAI PENUH NOMOR 05 TAHUN 2010

LEMBARAN DAERAH KOTA SUNGAI PENUH NOMOR 05 TAHUN 2010 LEMBARAN DAERAH KOTA SUNGAI PENUH NOMOR 05 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KOTA SUNGAI PENUH NOMOR 05 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PURBALINGGA PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 08 TAHUN 2010

PEMERINTAH KABUPATEN PURBALINGGA PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 08 TAHUN 2010 PEMERINTAH KABUPATEN PURBALINGGA PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 08 TAHUN 2010 TENTANG KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA, Menimbang Mengingat : : a. bahwa berdasarkan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABANAN NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABANAN NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABANAN NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TABANAN, Menimbang : a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

BUPATI GUNUNGKIDUL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GUNUNGKIDUL,

BUPATI GUNUNGKIDUL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GUNUNGKIDUL, BUPATI GUNUNGKIDUL PERATURAN BUPATI GUNUNGKIDUL NOMOR 26 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 5. Ibid, Pasal 2 ayat (1) 3

BAB I PENDAHULUAN. Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 5. Ibid, Pasal 2 ayat (1) 3 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan ketetapan pemerintah dalam Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat (2) dan KHI Pasal 5 ayat (1) : Setiap perkawinan harus dicatat.1 Hal ini

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEPULAUAN

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN TRENGGALEK PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DI KABUPATEN TRENGGALEK

PEMERINTAH KABUPATEN TRENGGALEK PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DI KABUPATEN TRENGGALEK PEMERINTAH KABUPATEN TRENGGALEK PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DI KABUPATEN TRENGGALEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TRENGGALEK, Menimbang

Lebih terperinci

BUPATI BONDOWOSO PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDAFTARAN PENDUDUK DAN PENCATATAN SIPIL

BUPATI BONDOWOSO PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDAFTARAN PENDUDUK DAN PENCATATAN SIPIL BUPATI BONDOWOSO PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDAFTARAN PENDUDUK DAN PENCATATAN SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BONDOWOSO, Menimbang

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 7 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDAFTARAN PENDUDUK DAN PENCATATAN SIPIL

PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 7 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDAFTARAN PENDUDUK DAN PENCATATAN SIPIL PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 7 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDAFTARAN PENDUDUK DAN PENCATATAN SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SLEMAN, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2006 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2006 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2006 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MERANGIN NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DAN PENCATATAN SIPIL

PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MERANGIN NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DAN PENCATATAN SIPIL PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MERANGIN NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DAN PENCATATAN SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MERANGIN, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA. Presiden Republik Indonesia

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA. Presiden Republik Indonesia UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA Presiden Republik Indonesia Menimbang : bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk

Lebih terperinci

STATUS PERKAWINAN INTERNASIONAL DAN PERJANJIAN PERKAWINAN. (Analisis Kasus WNI Yang Menikah Dengan Warga Negara Prancis di Jepang)

STATUS PERKAWINAN INTERNASIONAL DAN PERJANJIAN PERKAWINAN. (Analisis Kasus WNI Yang Menikah Dengan Warga Negara Prancis di Jepang) STATUS PERKAWINAN INTERNASIONAL DAN PERJANJIAN PERKAWINAN (Analisis Kasus WNI Yang Menikah Dengan Warga Negara Prancis di Jepang) A. Latar Belakang Masalah Seorang WNI menikah dengan warga Negara Prancis

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KULON PROGO PERATURAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR : 11 TAHUN 2002 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN KULON PROGO PERATURAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR : 11 TAHUN 2002 TENTANG PEMERINTAH KABUPATEN KULON PROGO PERATURAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR : 11 TAHUN 2002 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDAFTARAN PENDUDUK DAN PENCATATAN SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA CILEGON TAHUN : 2009 NOMOR : 14 PERATURAN DAERAH KOTA CILEGON NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KOTA CILEGON TAHUN : 2009 NOMOR : 14 PERATURAN DAERAH KOTA CILEGON NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG LEMBARAN DAERAH KOTA CILEGON TAHUN : 2009 NOMOR : 14 PERATURAN DAERAH KOTA CILEGON NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA CILEGON,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI BANYUASIN NOMOR 16 TAHUN 2010

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI BANYUASIN NOMOR 16 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI BANYUASIN NOMOR 16 TAHUN 2010 T E N T A N G PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DAN PENCATATAN SIPIL DENGAN PENYELENGGARAAN SISTEM INFORMASI ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG TAHUN 2011 S A L I N A N

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG TAHUN 2011 S A L I N A N 24 PEBRUARI 2011 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG TAHUN 2011 S A L I N A N SERI E NOMOR 10 PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARA ENIM NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARA ENIM NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARA ENIM NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MUARA ENIM, Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan kependudukan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN DEMAK

PEMERINTAH KABUPATEN DEMAK PEMERINTAH KABUPATEN DEMAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN DEMAK NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN DAN RETRIBUSI PELAYANAN PENDAFTARAN PENDUDUK DAN PENCATATAN SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KATINGAN NOMOR : 5 TAHUN 2011 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KATINGAN NOMOR : 5 TAHUN 2011 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KATINGAN NOMOR : 5 TAHUN 2011 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KATINGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka memberikan perlindungan dan

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Mediasi

Lebih terperinci

PENETAPAN Nomor: X/Pdt.P/2012/PA.Ktbm BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

PENETAPAN Nomor: X/Pdt.P/2012/PA.Ktbm BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA PENETAPAN Nomor: X/Pdt.P/2012/PA.Ktbm BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Kotabumi yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat pertama,

Lebih terperinci

BUPATI MAGELANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DI KABUPATEN MAGELANG

BUPATI MAGELANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DI KABUPATEN MAGELANG BUPATI MAGELANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DI KABUPATEN MAGELANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAGELANG, Menimbang

Lebih terperinci

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA BENGKULU dan WALIKOTA BENGKULU

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA BENGKULU dan WALIKOTA BENGKULU WALIKOTA BENGKULU PROVINSI BENGKULU PERATURAN DAERAH KOTA BENGKULU NOMOR 04 TAHUN 2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA BENGKULU NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDAFTARAN PENDUDUK

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2005 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2005 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2005 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa untuk memberikan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA MEMPEROLEH, KEHILANGAN, PEMBATALAN, DAN MEMPEROLEH KEMBALI KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah mempunyai peran paling pokok dalam setiap perbuatan-perbuatan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah mempunyai peran paling pokok dalam setiap perbuatan-perbuatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian Seiring dengan perkembangan zaman dan era globalisasi saat ini, peran notaris sebagai pejabat umum pembuat akta yang diakui secara yuridis oleh

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 12 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENCATATAN PERKAWINAN DAN PELAPORAN AKTA YANG DITERBITKAN OLEH NEGARA LAIN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2008 TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA PENDAFTARAN PENDUDUK DAN PENCATATAN SIPIL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2008 TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA PENDAFTARAN PENDUDUK DAN PENCATATAN SIPIL PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2008 TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA PENDAFTARAN PENDUDUK DAN PENCATATAN SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kedudukan hukum seseorang sebagai penyandang hak dan kewajiban dimulai

BAB I PENDAHULUAN. Kedudukan hukum seseorang sebagai penyandang hak dan kewajiban dimulai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kedudukan hukum seseorang sebagai penyandang hak dan kewajiban dimulai sejak berada di dalam kandungan sampai meninggal. Setiap kehidupan manusia dari lahir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa negara hukum (rechtsstaat)

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa negara hukum (rechtsstaat) BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Penelitian Negara Indonesia adalah Negara Hukum sebagaimana tertuang di dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa negara hukum (rechtsstaat)

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA SURABAYA

PEMERINTAH KOTA SURABAYA PEMERINTAH KOTA SURABAYA SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA, Menimbang : a.

Lebih terperinci

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 56 TAHUN 2009

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 56 TAHUN 2009 WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 56 TAHUN 2009 T E N T A N G PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KOTA KEDIRI NOMOR 7 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DAN RETRIBUSI

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2008 TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA PENDAFTARAN PENDUDUK DAN PENCATATAN SIPIL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2008 TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA PENDAFTARAN PENDUDUK DAN PENCATATAN SIPIL PERATURAN PRESIDEN NOMOR 25 TAHUN 2008 TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA PENDAFTARAN PENDUDUK DAN PENCATATAN SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PEKALONGAN, Menimbang

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH NGAWI PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGAWI NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

PEMERINTAH DAERAH NGAWI PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGAWI NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN PEMERINTAH DAERAH NGAWI PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGAWI NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI NGAWI, Menimbang : a. bahwa untuk

Lebih terperinci

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1. Pasal 2

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1. Pasal 2 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN Pasal 1 Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BERAU

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BERAU LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BERAU TAHUN : 2005 NOMOR : 6 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BERAU NOMOR 6 TAHUN 2005 T E N T A N G PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANTUL

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANTUL 1 2014 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANTUL No.10,2014 Bagian Hukum Setda Kab.Bantul; Dinas Kependudukan & Pencatatan Sipil Kabupaten Bantul BUPATI BANTUL PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB III HAK WARIS ANAK SUMBANG. A. Kedudukan Anak Menurut KUH Perdata. Perdata, penulis akan membagi status anak ke dalam beberapa golongan

BAB III HAK WARIS ANAK SUMBANG. A. Kedudukan Anak Menurut KUH Perdata. Perdata, penulis akan membagi status anak ke dalam beberapa golongan 46 BAB III HAK WARIS ANAK SUMBANG A. Kedudukan Anak Menurut KUH Perdata Sebelum penulis membahas waris anak sumbang dalam KUH Perdata, penulis akan membagi status anak ke dalam beberapa golongan yang mana

Lebih terperinci

. PEMERINTAH KABUPATEN BOYOLALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOYOLALI NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

. PEMERINTAH KABUPATEN BOYOLALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOYOLALI NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN . PEMERINTAH KABUPATEN BOYOLALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOYOLALI NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BOYOLALI, Menimbang : a.

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA MEMPEROLEH, KEHILANGAN, PEMBATALAN, DAN MEMPEROLEH KEMBALI KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci