PENGENDALIAN HAMA Helopeltis spp. PADA JAMBU METE BERDASARKAN EKOLOGI: STRATEGI DAN IMPLEMENTASI 1)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENGENDALIAN HAMA Helopeltis spp. PADA JAMBU METE BERDASARKAN EKOLOGI: STRATEGI DAN IMPLEMENTASI 1)"

Transkripsi

1 102 Pengembangan Inovasi Pertanian 3(2), 2010: Elna Karmawati PENGENDALIAN HAMA Helopeltis spp. PADA JAMBU METE BERDASARKAN EKOLOGI: STRATEGI DAN IMPLEMENTASI 1) Elna Karmawati Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan Jalan Tentara Pelajar No. 1 Bogor Telp. (0251) , Faks. (0251) , criec@indo.net.id PENDAHULUAN Jambu mete (Anacardium occidentale L.) merupakan komoditas ekspor yang memiliki nilai jual cukup tinggi dan relatif stabil dibanding komoditas ekspor Indonesia lainnya. Walaupun nilai ekspor gelondong mete pernah mengalami penurunan pada tahun 2000 dan 2001, nilai ini melonjak kembali pada tahun 2002 dan 2003, dan pada akhir 2006 nilainya mencapai US$ dengan volume M ton (BPEN 2007). Harga jual dalam negeri pun cukup tinggi, berkisar antara Rp Rp47.000/kg (Direktorat Jenderal Perkebunan 2006a). Kondisi gelondong mete Indonesia dalam perdagangan mete internasional masih jauh di bawah negara produsen gelondong lainnya seperti Tanzania, yaitu hanya sekitar 10,1%. Negara tujuan ekspor utama gelondong mete Indonesia adalah India dan hanya memenuhi 45% dari kebutuhan untuk pengolahan mete (Direktorat Jenderal Perkebunan 2006b), serta India memiliki kebijakan melarang impor kacang mete agar industrinya berjalan sepanjang 1) Naskah disarikan dari bahan Orasi Profesor Riset yang disampaikan pada tanggal 19 Desember 2007 di Bogor. tahun (Indrawanto et al. 2001). Tujuan ekspor kacang mete India terkonsentrasi ke Amerika Serikat (48%) dan Eropa (28%). Kekuatan monopoli India dan posisi tawar Amerika Serikat yang cukup kuat dalam perdagangan mete membuat Indonesia sulit menembus pasar dunia dan harus memiliki daya saing yang tinggi melalui kesatuan kinerja dari lima subsistem agribisnis (Indrawanto et al. 2003). Permasalahan utama pada usaha tani jambu mete Indonesia adalah produktivitas dan mutu kacang mete yang masih rendah sehingga harganya pun lebih rendah dibandingkan kacang mete dari negara lain (Ferry et al. 2001). Areal pengembangan jambu mete cukup luas dengan penghasil utama saat ini adalah Nusa Tenggara Timur dengan luas areal ha, diikuti oleh Sulawesi Tenggara dengan luas ha, Sulawesi Selatan ha, Jawa Timur ha, Nusa Tenggara Barat ha, dan Jawa Tengah ha, dengan luas keseluruhan mencapai ha (Direktorat Jenderal Perkebunan 2006a). Organisme pengganggu tumbuhan yang utama pada tanaman jambu mete adalah hama. Serangan hama menyebabkan kematian tanaman serta produktivitas dan mutu biji rendah. Jenis dan luas serangan hama utama bervariasi pada tiap sentra jambu mete. Di lima sentra produksi

2 Pengendalian hama Helopeltis spp. pada jambu mete utama, serangan Helopeltis spp. mencapai luas paling tinggi saat ini. Hama penting kedua pada jambu mete berbeda di masingmasing provinsi, yaitu Sanurus indecora di Nusa Tenggara Barat, Thrips sp. di Nusa Tenggara Timur, rayap di Sulawesi Selatan, dan Cricula sp. di Yogyakarta (Direktorat Perlindungan Tanaman Perkebunan 2006). Berbeda dengan hama-hama jambu mete lainnya yang muncul di setiap sentra produksi walaupun hanya sedikit, S. indecora merupakan hama baru dan hanya ditemukan di Lombok. Berdasarkan fenomena yang ditemukan di alam, diketahui bahwa kelimpahan populasi serangga beserta sebarannya berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya atau dari satu waktu ke waktu berikutnya. Artinya, kelimpahan populasi serangga tersebut tidak akan punah atau terus menurun sampai populasi menghilang. Banyak faktor yang memengaruhi keseimbangan populasi hama di alam serta sangat kompleks dan setiap ahli memiliki pendapat yang berbeda (Karmawati 1983). Namun secara umum, faktor tersebut dapat dikelompokkan menjadi faktor biotik dan abiotik (Krebs 1978). Mempelajari kelimpahan hama dan sebarannya berarti mempelajari satu unit ekologi. Transley (1935) dan Rowe (1961) menyatakan bahwa unit dasar dari ekologi adalah ekosistem, komunitas biotik, dan lingkungan abiotik. Apabila kelimpahan populasi hama terus meningkat, berarti ada indikasi satu atau beberapa faktor tidak berfungsi untuk mengendalikan hama, atau ada input dari luar yang menekan bekerjanya salah satu faktor tersebut. Oleh karena itu, memerhatikan faktor-faktor dalam ekosistem merupakan keharusan. Hubungan antarfaktor dalam ekosistem telah banyak dipelajari dan diaplikasikan pada tanaman perkebunan. Ternyata ada lebih dari satu faktor yang memengaruhi fluktuasi populasi hama, seperti pada lada (Karmawati et al. 1990), jahe (Karmawati et al. 1992; Karmawati dan Kristina 1993), dan jambu mete (Karmawati 1998; Karmawati et al. 1999a; Karmawati 2006). Dalam perencanaan perlindungan tanaman melalui studi ekologi sering diperlukan pendugaan populasi hama dengan ketepatan dan ketelitian yang tinggi. Metode pendugaan populasi melalui penarikan contoh sangat berkaitan dengan sebaran populasi hama pada suatu pertanaman. Hal ini telah dibuktikan pada kedelai, kapas, lada, dan jambu mete (Karmawati dan Tengkano 1986; Karmawati 1988a; Karmawati et al. 1988b; Karmawati et al.1998). Hasil yang dicapai pada tanaman perkebunan mengenai atributatribut ekologi ini memberikan peluang dalam mengembangkan pengendalian hama Helopeltis spp. pada jambu mete berdasarkan ekologi, mengingat luas serangan hama tersebut di sentra produksi makin meningkat. DINAMIKA PERKEMBANGAN DAN EKONOMI HAMA JAMBU METE Perkembangan Hama Jambu Mete Hama merupakan salah satu kendala produksi pada tanaman jambu mete di Indonesia. Serangan hama terjadi sejak tanaman di pembibitan sampai berproduksi, bahkan di gudang penyimpanan hasil. Sebaran dan kerusakan yang ditimbulkan oleh hama jambu mete belum tercatat dengan baik karena semula tanaman tersebut hanya untuk konservasi, tanaman pekarangan atau tanaman sela. Namun dalam 15 tahun terakhir, karena jambu mete mulai ditanam

3 104 Elna Karmawati secara monokultur pada areal yang luas, masalah hama menjadi penting untuk diperhatikan. Hama utama pada jambu mete mengalami perubahan dalam 10 tahun terakhir akibat perubahan ekosistem atau lingkungan dan perilaku manusia (Rauf 2004). Hasil pengamatan di delapan provinsi pengembangan menunjukkan, minimal ada delapan jenis hama yang ditemukan, namun hanya dua jenis yang merusak dan merugikan, yaitu Cricula trifenestrata (Saturniidae: Lepidotera) dan Helopeltis antonii Sign (Heteroptera: Miridae) (Wikardi et al. 1996). Beberapa tahun setelah itu, C. trifenestrata tidak lagi menjadi hama utama karena petani melaksanakan pengendalian secara mekanis dengan memungut setiap kepompong hama tersebut pada tanaman jambu mete. Petani mendapat imbalan sesuai dengan jumlah kepompong yang diperoleh. Kepompong dimanfaatkan sebagai campuran dalam pembuatan kain sutera. Luas serangan Helopeltis spp. meningkat secara signifikan di beberapa sentra produksi dalam 5 tahun terakhir. Pada akhir tahun 2006, luas serangan Helopeltis di Nusa Tenggara Barat mencapai 5.847,29 ha, Nusa Tenggara Timur 3.837,97 ha, Sulawesi Selatan 1.045,25 ha, dan DI Yogyakarta 84,75 ha (Direktorat Perlindungan Tanaman Perkebunan 2006). Lonjakan populasi Helopeltis spp. tidak akan terjadi jika musuh alaminya bekerja dengan baik. Hal ini karena hasil pengamatan menunjukkan bahwa bila serangga yang ditemukan dikelompokkan berdasarkan peran utamanya dalam ekosistem, proporsi yang diperoleh adalah 33% hama utama dan potensial, 52% musuh alami, dan 15 % serangga penyerbuk (Supriadi et al. 2002; Siswanto et al. 2003b). Dengan demikian, jenis serangga berguna lebih banyak dibandingkan dengan serangga yang merugikan. Serangga parasitoid, predator, dan penyerbuk umumnya berasal dari ordo Diptera dan Hymenoptera. Berdasarkan jenis dan rentang tanaman inangnya, ditemukan sembilan spesies hama yang menyerang tanaman perkebunan, seperti kopi, kakao, dan teh (Wiratno et al. 2001). Namun, hanya tiga spesies yang menyerang jambu mete, yaitu H. antonii, H. theivora, H. bradyi (Supriadi et al. 2002), dan yang paling banyak adalah H. antonii dan H. theivora. Ekonomi Hama Jambu Mete Helopeltis spp. dikenal sebagai kepik pengisap (cashew sucker) karena nimfa dan imago mengisap cairan tumbuhan pada pucuk muda, tunas, bunga, gelondong, dan buah muda. Setelah cairan diisap, air liurnya yang sangat beracun dikeluarkan dan tempat yang terkena akan melepuh dan berwarna coklat tua. Serangan pada pucuk dan daun muda mengakibatkan bagian tanaman tersebut mengering dan mati pucuk. Bunga yang terserang menjadi hitam dan mati, kadang bekas tusukan serangga ditandai dengan keluarnya gum. Buah muda yang terserang berbercak hitam, bila diserang beserta gelondongnya maka seluruhnya akan menjadi hitam. Jika yang diserang buah tua, titik-titik hitam akan terlihat pada buah semunya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa banyaknya bekas tusukan memengaruhi persentase kematian pucuk. Bekas tusukan sebanyak 42 bercak mengakibatkan 20% kematian pucuk pada minggu pertama dan menjadi 46% pada minggu keenam (Siswanto et al. 2007). Dengan melihat gejala yang terjadi di lapangan, dapat disimpulkan bahwa makin

4 Pengendalian hama Helopeltis spp. pada jambu mete dini tanaman diserang, kerugian yang ditimbulkan makin besar karena satu pucuk atau satu karangan bunga sehat berpeluang untuk menghasilkan beberapa buah. Serangan Helopeltis anacardii di beberapa negara Asia Selatan, India, dan Afrika Timur menyebabkan kerusakan pucuk hingga 80% tiap pohon (Rickson dan Rickson 1998). Sementara itu, Mandall (2000) menyebutkan bahwa serangan Helopeltis spp. pada tanaman jambu mete menyebabkan kerusakan sebesar 25% pada pucuk, 35% pada karangan bunga, dan 15 % pada buah muda. Di Indonesia, luas serangan Helopeltis spp. di sentra produksi jambu mete sangat bervariasi dan meningkat dengan cepat tiap tahun, namun laju peningkatannya berbeda antarprovinsi. Di Nusa Tenggara Barat, luas serangan Helopeltis spp. pada tahun 2004 hanya ha, tetapi pada akhir 2005 mencapai ha. Di Sulawesi Selatan, luas serangan Helopeltis spp. naik dari 638 ha pada tahun 2004 menjadi ha pada tahun 2005, sedangkan di DI Yogyakarta luas serangannya justru menurun dari 129 ha menjadi 85 ha pada tahun 2005 (Direktorat Perlindungan Tanaman Perkebunan 2006). Kerugian hasil yang disebabkan oleh Helopeltis spp. belum diketahui secara pasti karena masing-masing provinsi memberikan penaksiran yang berbeda. Pada tahun 2004, taksasi kehilangan hasil karena serangan Helopeltis spp. mencapai Rp1,23 miliar (Dinas Perkebunan Provinsi Nusa Tenggara Barat 2005). Di Nusa Tenggara Timur, kerugian akibat serangan Helopeltis spp. pada akhir tahun 2006 mencapai Rp10 miliar, dan 90% dari serangan ini berada di Flores Timur. Di DI Yogyakarta, kerugian akibat serangan Helopeltis spp. hanya mencapai Rp2,5 miliar (Direktorat Perlindungan Tanaman Perkebunan 2006). Dinamika Populasi Helopeltis spp. Kelimpahan populasi Helopeltis spp., seperti serangga hama lainnya, berfluktuasi dan berbeda dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Populasi ada yang berkembang cukup baik di satu lokasi, tetapi tidak pada lokasi lainnya. Banyak faktor yang memengaruhi keseimbangan populasi Helopeltis spp. di alam. Fluktuasi populasi, pola sebaran, dan lingkungan efektif yang memengaruhinya disebut dengan dinamika populasi. Para pakar memiliki pandangan yang berbeda-beda mengenai dinamika populasi. Howard dan Fiske (1911) mengajukan pendapat bahwa harus ada faktor yang menghambat perkembangbiakan populasi jika populasi serangga tersebut naik. Pendapat ini didukung oleh Nicholson (1953) yang menyatakan bahwa faktor yang mengendalikan populasi hanyalah faktor yang bersifat bersaing. Hal ini tidak dapat dilakukan oleh iklim atau cuaca. Andrewartha dan Birch (1954) menentang pendapat Nicholson beberapa tahun kemudian. Dinyatakan bahwa ada empat komponen yang memengaruhi kelimpahan populasi suatu hama, yaitu cuaca, makanan, serangga lainnya, dan tempat hidup. Teori lain diajukan oleh Milne (1957), Chitty (1960), dan Wellington (1960), bahwa sebenarnya populasi serangga bisa mengatur kelimpahan populasinya sendiri. Faktor yang langsung memengaruhi populasi adalah kompetisi dalam spesies itu sendiri. Pimentel (1961) menambahkan bahwa kelimpahan populasi di alam dapat berubah karena perubahan genetik. Populasi mengatur diri sendiri dengan mengadakan seleksi. Berdasarkan penjelasan tersebut, diketahui bahwa faktor yang memengaruhi

5 106 Elna Karmawati keseimbangan populasi sangat kompleks. Namun demikian, pendekatan terhadap dinamika populasi Helopeltis spp. telah dilakukan secara empiris selama beberapa tahun di dua lokasi sentra produksi jambu mete. Di Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, populasi Helopeltis spp. sangat ditentukan oleh keberadaan pucuk, dan munculnya pucuk tanaman setiap tahun bergantung pada kelembapan dan curah hujan. Pada akhir musim hujan, yaitu pada bulan Mei, pucuk mulai bermunculan. Sejalan dengan bertambahnya jumlah pucuk, populasi nimfa dan imago pun meningkat dan mencapai puncaknya pada bulan Juli, kemudian menurun kembali setelah bulan Juli. Faktor yang berperan dalam menurunkan populasi Helopeltis spp. adalah predator Coccinella, semut hitam, dan semut rangrang (Karmawati et al. 1999b). Tumpang sari jambu mete dengan tanaman sela juga dapat menurunkan populasi awal karena tanaman sela mengurangi peluang tumbuhnya gulma yang menjadi inang alternatif bagi Helopeltis spp. (Karmawati et al. 2001). Di Kabupaten Lombok Barat, NTB, faktor yang memengaruhi fluktuasi populasi Helopeltis spp. hampir sama dengan di Jawa Tengah. Namun, di NTB terjadi dua puncak fase pembungaan, walaupun populasi bunga hermafrodit pada puncak pembungaan kedua jauh lebih sedikit dibanding bunga jantan (Karmawati et al. 2007b). Faktor yang berperan adalah curah hujan, kelembapan, semut rangrang (Oechophylla smaragdina), semut hitam (Dolichoderus sp.), kompetisi dengan hama lain, inang alternatif, serta interaksi antara Helopeltis spp., S. indecora, dan semut predator (Karmawati et al. 2004; Karmawati 2006). S. indecora hanya ditemukan di Lombok dan populasinya berlimpah pada musim kemarau. Helopeltis spp. baru muncul pada akhir musim hujan. S. indecora mengeluarkan cairan semacam nektar yang dapat menarik semut untuk datang mengendalikan Helopeltis spp. PENGENDALIAN HAMA JAMBU METE BERBASIS EKOLOGI Kelestarian Ekologi Merupakan Pre-requisite Sejak pengendalian hama terpadu (PHT) dikembangkan di Indonesia pada tahun 1989 dan diimplementasikan melalui program nasional pada padi, palawija, dan sayuran, disadari bahwa masih banyak kekurangan yang perlu diperbaiki dan disempurnakan. Masih ada isu yang berkembang di tingkat petani bahwa insektisida sukar didapat di daerah dan harganya mahal. Hal ini menandakan bahwa petani masih bergantung pada insektisida kimiawi karena teknologi pengendalian hama yang efektif, ekonomis, dan ramah lingkungan belum tersedia. Padahal dampak negatif penggunaan insektisida kimiawi telah ditemukan di tengah kehidupan saat ini (Kardinan 1999), seperti keracunan (lebih dari kasus per tahun), polusi lingkungan (kontaminasi air tanah dan udara), serangga menjadi resisten, resurgen ataupun toleran terhadap pestisida, serta munculnya hama sekunder. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, ledakan hama tidak terjadi secara spontan tetapi karena adanya perubahan atau pergeseran beberapa faktor dalam lingkungan efektifnya. Clark et al. (1967) menyatakan bahwa kelimpahan populasi dipengaruhi oleh faktor genetik dari individu spesies dan lingkungan efektifnya, yang kemudian mengalami evolusi. Munculnya hama sekunder menjadi hama utama

6 Pengendalian hama Helopeltis spp. pada jambu mete pada jambu mete menunjukkan adanya perubahan dalam ekosistem. Salah satu penyebabnya adalah musuh alaminya tidak dapat lagi mempertahankan populasi hama agar tetap berada dalam jumlah yang tidak merugikan. Tanpa disadari, sebenarnya para petani bergantung pada kekuatan musuh alami yang tersedia di lahannya masing-masing. Proporsi musuh alami hama utama pada jambu mete terbukti lebih banyak dibanding serangga hama dan serangga penyerbuk. Keseimbangan populasi serangga dan musuh alaminya di alam harus dilestarikan agar pengelolaan serangga dalam sistem pertanian berkelanjutan. Pengendalian Hama Terpadu Ramah Lingkungan PHT merupakan bagian dari budi daya tanaman dan telah mendapat perhatian dari pemerintah dengan dikeluarkannya UU No.12 tahun 1992 tentang Budidaya Tanaman dan PP No. 6 tahun Disebutkan bahwa pelaksanaan PHT menjadi tanggung jawab petani dan dibantu oleh pemerintah. Konsep PHT sebenarnya telah dicetuskan sejak lama dan terus diperbaiki sesuai dengan kebutuhan. NAS (1969) menyatakan bahwa PHT adalah pemanfaatan semua teknik yang kompatibel untuk mempertahankan populasi hama di bawah tingkat kerusakan ekonomi, atau memadukan semua sistem pengendalian ke dalam suatu sistem yang harmonis untuk mempertahankan populasi hama di bawah tingkat yang merugikan. Smith (1978) memperbaiki definisi tersebut bahwa PHT adalah pendekatan pengelolaan populasi secara ekologi dan multidisiplin dengan memanfaatkan semua teknik secara kompatibel. Sistem pengendalian yang bersifat alami harus didahulukan. Kedua konsep tersebut menunjukkan bahwa pengendalian hama harus memadukan berbagai komponen dengan tetap memerhatikan kelestarian ekologi dan sedikit mungkin input dari luar. Pengendalian yang berbasis ekologi bersifat spesifik lokasi karena keragaman ekologi di lapangan sangat tinggi. Pada komoditas yang sama dengan lingkungan yang berbeda akan diperlukan sistem pengelolaan serangga yang berbeda. Di sentra produksi jambu mete, ada dua lokasi yang ekosistemnya hampir sama tetapi hama utamanya berbeda, yaitu Desa Sambik Jengkel dan Desa Tanah Sebang Kabupaten Lombok Barat. Di Sambik Jengkel, populasi Helopeltis spp. selalu lebih tinggi dibanding S. indecora, sedangkan di Tanah Sebang populasi S. indecora selalu lebih tinggi daripada Helopeltis spp. (Karmawati 2006). Ternyata penampilan populasi kedua hama tersebut merupakan resultan dari faktorfaktor pendukungnya di masing-masing ekosistem. Manfaat Musuh Alami dalam Pengendalian Hama Jambu Mete PHT lebih menekankan pada pemanfaatan musuh alami dibanding penggunaan insektisida. Ini berarti bahwa penggunaan insektisida akan berkurang dalam input produksi petani. Pengurangan penggunaan insektisida akan mendatangkan keuntungan yang lebih besar, walaupun hasil yang diperoleh tetap. Keuntungan lain dengan menggunakan musuh alami adalah tidak adanya residu pestisida pada produk perkebunan. Adanya residu pestisida dalam produk perkebunan akan mengurangi daya saing

7 108 Elna Karmawati produk Indonesia di pasar internasional, terutama di negara-negara yang konsumennya telah memiliki kesadaran yang tinggi terhadap lingkungan, seperti Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang. Musuh alami yang berperan penting dalam menekan populasi hama jambu mete cukup banyak dan dapat menjaga keseimbangan ekosistem. Musuh alami ini dapat berupa parasit, predator atau patogen. Peran masing-masing musuh alami dalam menekan populasi hama terlihat dalam jejaring makanan jambu mete (Benigno 2002). Parasitoid yang dapat menekan populasi H. antonii, H. theivora dan H. bradyi adalah Apanteles sp., Euphorus helopeltidis Ferr., Erythmelus helopeltidis Gah, dan Telenomus. Untuk predatornya adalah O. smaragdina, Dolichoderus bituberculatus Mayr, cocopet, dan Chrysopa busalis. Patogen yang banyak digunakan saat ini adalah Beauveria bassiana. Penggunaan patogen ini sama efektifnya dengan semut predator untuk mengendalikan Helopeltis spp. (Karmawati et al. 2007a). Musuh alami yang ada di alam perlu dijaga kelestariannya dan ditingkatkan perannya bila fungsinya menurun. Insektisida Nabati: Bahan Kendali Ramah Lingkungan Kenyataan di lapang menunjukkan bahwa petani sampai saat ini belum dapat melepaskan diri dari pestisida, walaupun harganya relatif mahal, karena mudah digunakan dan hasilnya dapat dilihat langsung setelah perlakuan. Dalam menghadapi tantangan yang demikian, perlu dipilih alternatif pengendalian yang cara kerjanya mirip dengan insektisida tetapi tidak memberikan efek negatif bagi lingkungan. Salah satu alternatif pengendalian hama yang murah, praktis, dan relatif aman bagi kelestarian lingkungan adalah insektisida yang bahan bakunya berasal dari tumbuhan. Insektisida tersebut dapat dibuat dengan teknologi yang sederhana, dan mudah terurai di alam sehingga tidak mencemari lingkungan sekitar, termasuk manusia dan hewan. Secara evolusi, tumbuhan telah mengembangkan bahan kimia berupa metabolit sekunder yang digunakan oleh tumbuhan sebagai alat pertahanan alami terhadap serangan organisme pengganggu. Tumbuhan sebenarnya kaya akan bioaktif. Lebih dari jenis tumbuhan yang termasuk ke dalam 235 famili dilaporkan mengandung bahan pestisida (Kardinan 1999). Oleh karena itu, apabila tumbuhan tersebut dapat diolah menjadi bahan pestisida maka petani akan sangat terbantu dalam memanfaatkan sumber daya yang ada di sekitarnya. Ada empat kelompok insektisida nabati yang telah lama dikenal (Oka 1993), yaitu: (1) golongan nikotin dan alkaloid lainnya, bekerja sebagai insektisida kontak, fumigan atau racun perut, terbatas untuk serangga yang kecil dan bertubuh lunak; (2) piretrin, berasal dari Chrysanthemum cinerarifolium, bekerja menyerang urat syaraf pusat, dicampur dengan minyak wijen, talek atau tanah lempung, digunakan untuk lalat, nyamuk, kecoa, hama gudang, dan hama penyerang daun; (3) rotenon dan rotenoid, berasal dari tanaman Derris sp. dan bengkuang (Pachyrrhizus eroses), aktif sebagai racun kontak dan racun perut untuk berbagai serangga hama, tetapi bekerja sangat lambat; serta (4) azadirachtin, berasal dari tanaman mimba (Azadirachta indica), bekerja sebagai antifeedant dan selektif untuk serangga pengisap sejenis wereng dan penggulung daun, baru terurai setelah satu minggu.

8 Pengendalian hama Helopeltis spp. pada jambu mete Beberapa bahan aktif tersebut berpeluang untuk dimanfaatkan dalam pengendalian Helopeltis spp. Hasil penelitian dengan menggunakan keempat jenis pestisida pada kutu daun Ferrisia. virgata menunjukkan bahwa daun tembakau (golongan nikotin) lebih cepat mengurai di alam dibandingkan dengan mimba (azadirachtin) dan rotenon (Karmawati dan Balfas 2007). TANTANGAN DAN PELUANG PENGENDALIAN HAMA JAMBU METE Kendala dan Tantangan Serangga akan berubah statusnya menjadi hama jika keseimbangan populasinya di alam terganggu, yaitu kelimpahan populasinya di atas ambang yang merugikan tanaman. Ada beberapa faktor yang memengaruhi keseimbangan populasi ini di alam (Rauf 2004), yang sekaligus menjadi tantangan dalam pengelolaan serangga hama. Faktor-faktor tersebut di antaranya adalah perubahan iklim, peralihan tumbuhan inang, perubahan biologi tanaman inang, perubahan biologi hama, perubahan teknik bercocok tanam, dan invasi dari luar. Iklim merupakan salah satu faktor yang menentukan keseimbangan populasi. Iklim dikelompokkan menjadi iklim mikro dan iklim makro. Iklim makro menentukan distribusi dan kepadatan populasi, sedangkan iklim mikro memengaruhi distribusi lokal atau pola pencaran/sebaran suatu spesies hama dalam zona tertentu dalam iklim makro yang sama (Sukowati 2004). Pada pertanaman jambu mete, iklim mikro ditentukan oleh percabangan yang makin banyak dan tumpang tindih sehingga kelembapan nisbi menjadi rendah. Tantangan yang dihadapi di sentra produksi adalah petani enggan untuk melakukan pemangkasan cabang yang tidak produktif. Berdasarkan rantai makanannya, serangga dapat dikelompokkan menjadi monofag, oligofag, dan polifag. Monofag adalah spesies serangga yang makanannya hanya terbatas pada satu jenis tanaman, khususnya serangga dari ordo Homoptera atau beberapa dari Diptera. Beberapa serangga hanya makan terbatas pada beberapa jenis tanaman dari satu famili (oligofag). Serangga polifag mempunyai tanaman inang yang rentangnya sangat lebar. Pemilihan tanaman inang ini ditentukan oleh faktor fisik dan metabolit sekunder seperti glikosida, alkaloid, dan minyak atsiri (Chapman 1969). Helopeltis spp. dan S. indecora mempunyai rentang tanaman inang yang sangat lebar (Kalshoven 1981; Siswanto et al. 2003a). Kedua hama ini memiliki wilayah serangan berat yang berbeda dalam tiga tahun terakhir. S. indecora menyerang pertanaman jambu mete di Lombok Barat dan Helopeltis spp. banyak menyebabkan kerusakan pertanaman jambu mete di Dompu. Dengan banyaknya tanaman inang alternatif, hama menjadi mudah untuk mempertahankan hidup dan memperbanyak diri. Sebelum pindah ke jambu mete, S. indecora hidup pada tanaman mangga yang dikembangkan di Lombok. Untuk Helopeltis spp., selain kakao dan teh, tanaman inang alternatif lainnya adalah berbagai jenis gulma terutama babadotan, ubi kayu, dan antanan. Tantangan yang dihadapi di lapangan adalah pertumbuhan gulma pada pertanaman jambu mete hampir mencapai kanopi dan petani enggan membersihkannya. Kehadiran populasi hama pada tanaman inang bergantung pada sumber makanan pada tanaman tersebut. Pada tanaman jambu mete, Helopeltis spp. terutama ter-

9 110 Elna Karmawati dapat pada pucuk dan karangan bunga. Pucuk muncul lebih dulu setelah adanya hujan, kemudian Helopeltis spp. mulai menyerang pucuk yang umurnya lebih pendek dibandingkan dengan karangan bunga. Pucuk yang diserang Helopeltis spp. akan mengering dan mati karena air liur hama tersebut mengandung racun. Apabila hujan terus-menerus turun, ketersediaan pucuk akan berlimpah sehingga populasi hama meningkat dan waktu serangannya makin lama. Secara alami, fluktuasi populasi serangga pada suatu tempat dipengaruhi oleh organisme lain seperti parasitoid, predator, serangga lain yang dapat berkompetisi, dan penyakit. Berbagai faktor pembatas termasuk campur tangan manusia dapat mengurangi keefektifan hasil kerja organisme tersebut karena ekosistemnya telah terganggu. Sebagai contoh, penggunaan insektisida kimia yang berlebihan dapat membunuh parasit dan predator suatu serangga hama sehingga pertumbuhan populasi hama tidak ada yang membatasi. Perubahan pertanaman dari polikultur menjadi monokultur umumnya akan mengurangi sumber makanan bagi parasit atau predator dewasa yang memerlukan nektar sebagai makanannya. Kendala yang dihadapi adalah kurangnya informasi bagi petani mengenai sumber makanan bagi parasit dan predator. Hasil penelitian menunjukan bahwa S. indecora mengeluarkan cairan untuk menarik predator pemangsa Helopeltis spp. (Karmawati et al. 2004). Banyak sekali contoh teknik bercocok tanam yang dapat mengubah iklim mikro (niche) dari suatu ekosistem serangga dan lingkungannya, yang paling mudah adalah perubahan dari vegetasi yang beragam menjadi monokultur. Kehidupan serangga inang, parasit, dan predator yang semula seimbang akan terjadi lonjakan karena populasi parasit dan predator tidak dapat diandalkan. Contoh lain adalah pengaruh pemupukan dan pola tanam. Pola tanam jambu mete dengan kacang-kacangan di Wonogiri mengurangi tingkat kerusakan pucuk oleh Helopeltis spp. dibandingkan dengan jambu mete monokultur (Karmawati et al. 2001). Perpindahan tanaman dari suatu wilayah ke wilayah lain juga merupakan tantangan karena satu fase dari serangga hama akan terbawa oleh bagian tanaman tanpa musuh alaminya. Oleh karena itu, serangga yang di tempat semula bukan hama, di tempat yang baru dapat berubah menjadi hama. Berdasarkan kendala dan tantangan tersebut, semua komponen dalam agroekosistem harus diperhatikan dan berjalan secara harmonis. Potensi dan Peluang Produk jambu mete mempunyai peluang untuk memasuki pasar global, namun akan mendapat persaingan dari negara lain. Pasar di negara-negara industri dikuasai oleh konsumen yang menghendaki produk perkebunan yang aman, berkualitas tinggi, dan memiliki risiko minimal bagi kesehatan dan lingkungan hidup. Untuk menghasilkan produk perkebunan yang memenuhi standar konsumen, tidak hanya kualitas produk yang harus diperhatikan, tetapi juga proses produksi, pengemasan, dan distribusinya sampai ke tangan konsumen. Karena itu, agar stabilitas produksi tercapai dan kesehatan dan lingkungan terjaga, prinsip dasar PHT harus dilaksanakan, yaitu pengusahaan tanaman yang sehat dan kuat serta pengelolaan agroekosistem. Dalam pertanaman jambu mete, ekosistem merupakan infrastruktur ekologi

10 Pengendalian hama Helopeltis spp. pada jambu mete yang seimbang dan telah dilengkapi sumber-sumber energi yang diperlukan, seperti rantai makanan (cashew web). Komponen-komponen dalam jejaring tersebut mempunyai potensi untuk dikembangkan. Kemajuan PHT di beberapa negara maju merupakan kontribusi ilmuwan dalam penyediaan teknologi, seperti teknologi serangga, ekologi umum, ekologi serangga, fisiologi serangga, fisiologi tanaman, matematika, ekonomi, sosial, dan biologi molekuler. Sebagian dari teknologi tersebut telah tersedia, seperti teknik perbanyakan dan konservasi musuh alami (Karmawati et al. 1999a; Laba et al. 1999; Karmawati et al. 2001; Siswanto et al. 2003a; Karmawati et al. 2004; Karmawati 2006; Mardiningsing et al. 2006), pemanfaatan pestisida nabati untuk Helopeltis spp., dan faktor-faktor lain yang dapat dimanfaatkan (Supriadi et al. 2002). Teknologi pengendalian hama berdasarkan ekologi mempunyai peluang besar untuk dikembangkan dengan adanya kebijakan pemerintah yaitu UU No. 4 tahun 1982 yang mengatur ketentuan-ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup agar pembangunan yang dilaksanakan tidak merusak dan mencemari lingkungan. Beberapa tahun kemudian, Inpres No. 3 tahun 1986 dikeluarkan untuk mengatur jumlah dan jenis pestisida yang beredar agar tercipta keharmonisan rantai makanan. Pengaturan pengelolaan lingkungan dipertegas lagi dengan UU No.12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. Dalam undang-undang tersebut ditegaskan bahwa PHT merupakan satu-satunya sistem yang digunakan dalam pengelolaan hama. Sistem tersebut menginginkan adanya peningkatan efisiensi produksi, terutama dalam penggunaan pestisida, serta peningkatan kualitas dan kuantitas hasil. Wujud nyata dari undang-undang dan inpres tersebut adalah ditetapkannya PHT menjadi program nasional. Program nasional PHT dilanjutkan pada tahun 2001 pada jambu mete. Pelaksana PHT adalah petani pekebun. Visi PHT perkebunan adalah pemberdayaan atau kemandirian petani dalam pengambilan keputusan pengelolaan kebun. Mengubah kebiasaan petani dari posisi sebagai pengambil keputusan pasif menjadi aktif tidaklah mudah. Namun, peluang untuk meningkatkan kemampuan dan pengetahuan petani makin terbuka dengan diciptakannya wahana pengembangan sumber daya manusia, terutama petani dan petugas. Metode yang digunakan adalah pendekatan partisipatif dalam proses bekerja dan mengajar, yang dikemas dalam Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT). Metode sekolah lapang mendobrak metode sebelumnya yang menjadi acuan kegiatan penyuluhan. Pada pola partisipatif ini, peserta SLPHT datang dengan pengalamannya masing-masing yang kemudian terjadi proses pertukaran pengalaman. Dengan demikian, masing-masing peserta menjadi fasilitator dan lebih berfungsi sebagai mitra bagi para pemandu. ARAH DAN STRATEGI PENGEMBANGAN PHT JAMBU METE Arah Pengendalian Visi pembangunan pertanian saat ini dan masa yang akan datang adalah sustainable growth with zero emission and waste (Manuwoto 1999). Misinya adalah: (1) meningkatkan efisiensi faktor produksi input pertanian; (2) melakukan daur ulang; (3) melakukan proses produksi dan meng-

11 112 Elna Karmawati hasilkan produk yang aman; (4) meningkatkan nilai tambah produk untuk kepentingan produsen dan konsumen; serta (5) meminimumkan dampak pada lingkungan. Beberapa konsep pertanian masa kini dan masa depan telah diterapkan, seperti pertanian organik dan precision agriculture. Oleh karena itu, arah pengendalian hama jambu mete harus selaras dengan konsep pertanian masa kini dan masa depan, yang melakukan analisis lingkungan terhadap setiap jengkal agroekosistem sehingga aplikasi teknologi dilakukan secara tepat. Arah pengendalian hama adalah menciptakan infrastruktur ekologi yang seimbang dalam agroekosistem dengan melengkapi sumber energi yang diperlukan, seperti makanan bagi musuh alami, mangsa atau inang alternatif bagi musuh alami, dan perlindungan dari cuaca yang merugikan. Hal demikian sudah lama ditinggalkan karena petani lebih memilih pengendalian yang cepat memberi hasil tetapi tidak berkelanjutan. Dengan pendekatan tersebut, sistem pembangunan pertanian tidak lagi back to nature tetapi back to basic. Berdasarkan cashew web, banyak komponen yang memengaruhi keseimbangan Helopeltis spp., yaitu: (a) parasitoid telur (Apanteles sp., E. helopeltidis, E. helopeltidis, dan Telenomus); (b) predator telur dan nimfa (cocopet dan C. busalis); (c) predator nimfa dan imago (O. smaragdina, D. bituberculatus); (d) inang alternatif (jambu, mangga); (e) interaksi dengan hama lain (S. indecora); (f) inang alternatif S. indecora (dadap, kapuk, lamtoro, jambu biji, rambutan, dan anona); (g) parasitoid telur Phanomerus sp.; (h) patogen (Synnematium sp. dan B. bassiana); (i) hiperparasitoid Apanteles, dan (j) teknologi tanaman. Selain faktor biotik, faktor abiotik juga memengaruhi keseimbangan populasi, seperti curah hujan, kelembapan, dan radiasi matahari. Musuh alami berupa parasitoid dan predator telur belum banyak dipelajari, tetapi populasinya banyak di alam. Pemanfaatannya dapat dilakukan dengan memberikan lingkungan yang sesuai bagi perkembangan parasit dan predator, misalnya dengan menanam tanaman sela kacangkacangan atau membuat tumpukan serasah di kebun sebagai tempat makan parasit (Soebandrijo 2003). Peran predator Oecophylla dan Dolichoderus telah banyak dipelajari pada agroekosistem kelapa, kopi, kakao (Way dan Khoo 1992), dan jambu mete (Karmawati et al. 2004). Pemanfaatannya sangat mudah, yaitu dengan menggantungkan daun kelapa atau daun kakao kering yang telah diikat pada beberapa tanaman. Parasitoid Aphanomerus sp. (Purnayasa 2003), patogen Synnematium sp. (Mardiningsih et al. 2006) dan B. bassiana (Karmawati et al. 2001) telah dapat diperbanyak di laboratorium dan dimanfaatkan dengan teknik inokulatif atau inundatif. Manipulasi ekologi juga dapat dilakukan dengan memberikan lingkungan yang tidak nyaman bagi perkembangan Helopeltis spp., yaitu memangkas tajuk tanaman inang agar cahaya matahari masuk ke kanopi serta membersihkan gulma yang menjadi inang alternatif karena serangga hama tersebut sangat sensitif terhadap radiasi matahari. Inang alternatif bagi hama utama sebaiknya tidak dihadirkan bersama dalam satu kebun dengan inang yang dibudidayakan. Kehadiran parasitoid, predator, dan serangga penyerbuk tampaknya berkaitan erat dengan tanaman inang utama, inang alternatif, dan bahan organik, yang semuanya merupakan satu kesatuan agroekosistem. Satu dengan lainnya terikat dalam

12 Pengendalian hama Helopeltis spp. pada jambu mete rantai atau jejaring kehidupan/makanan; bila salah satu simpulnya terputus maka keseimbangan alam akan terganggu. Oleh karena itu, Sosromarsono dan Untung (2000) menyatakan bahwa ekosistem sangat tepat sebagai dasar PHT. Strategi Pengembangan Pengendalian Hama Terpadu Teknologi budi daya termasuk PHT jambu mete sebagian besar telah ditemukan dan sebagian merupakan teknologi tepat guna, namun pengembangannya di tingkat petani tidaklah mudah. Pengendalian hama dirasakan menjadi salah satu input yang memberatkan petani. Apabila teknologi yang diterapkan belum mampu menekan biaya produksi dan meningkatkan pendapatan serta sulit dilaksanakan maka teknologi tersebut belum sesuai dengan kondisi petani kecil di Indonesia. Teknologi yang diperlukan adalah yang efektif, efisien, aman, murah, dan mudah diterapkan. Oleh karena itu, strategi yang prospektif dalam mengembangkan PHT yang berbasis ekologi adalah: (1) pemanfaatan dan perekayasaan lingkungan pertanaman jambu mete (kembali ke prinsip dasar PHT) dan (2) pengkajian skala luas di beberapa agroekologi sekaligus melanjutkan pembinaan pemandu dan petani dalam wadah SLPHT. Pemanfaatan lingkungan pertanaman sangat erat hubungannya dengan SLPHT karena kegiatan pokok SLPHT adalah analisis agroekosistem dan pengambilan keputusan. Seluruh peserta sekolah lapang berpartisipasi aktif dalam pengumpulan data aktual lapangan, pengkajian data, dan pengambilan keputusan manajemen lahan. Kegiatan analisis agroekosistem ini bermanfaat dalam penajaman pandangan petani dan petugas terhadap ekologi lokal serta memudahkan proses pengelolaan ekologi lokal. Sebagai gambaran, teknologi yang murah, mudah dilakukan, dan berada di sekitar pertanaman adalah: a. Nomor harapan jambu mete yang toleran terhadap Helopeltis spp. (Amir et al. 2004). b. Serasah yang berupa bahan organik dari ranting yang telah mati dan hasil pangkasan atau gulma hasil penyiangan. Hasil penelitian menunjukkan sekitar 100 spesies parasitoid dan predator muncul dari serasah selama proses dekomposisi (Soebandrijo et al. 2000). c. Pembersihan gulma berdaun lebar karena merupakan inang alternatif bagi Helopeltis spp. Berbeda pada tanaman kapas, gulma berguna bagi parasitoid dan serangga penyerbuk (Kromp dan Steinberger 1992). d. Pemangkasan tajuk yang tumpang tindih untuk meningkatkan jumlah radiasi matahari yang masuk ke pertanaman karena Helopeltis spp. peka terhadap radiasi matahari (Kalshoven 1981). e. Peningkatan populasi semut predator di pertanaman (Karmawati et al. 2004). f. Penggunaan pestisida nabati biji mimba yang tanamannya banyak ditemukan di sentra jambu mete (Karmawati et al. 2007a). Salah satu kegiatan pokok dalam analisis agroekosistem adalah pengamatan secara berkala (pemantauan) oleh petani untuk memperoleh gambaran tentang agroekosistem pada lahannya. Ledakan hama tidak terjadi secara spontan, tetapi secara perlahan karena kombinasi faktor di lingkungannya. Dalam hal ini, metode penarikan contoh berperan penting sehingga petani perlu dibekali cara penarikan contoh yang sederhana atau beruntun

13 114 Elna Karmawati (Karmawati 1988b). Frekuensi pemantauan dilakukan lebih sering pada masa tanaman peka terhadap Helopeltis spp. Ukuran contoh optimum untuk hama jambu mete umumnya adalah 3-4 tanaman tiap 0,5 ha (Benigno 2002). Teknik pemantauan tersebut telah diaplikasikan pada kedelai, kapas, dan lada (Karmawati dan Tengkano 1986; Karmawati 1988c; Karmawati et al.1998). KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan 1. Seiring dengan perkembangan jambu mete di sentra produksi, penanaman jambu mete secara monokultur menimbulkan masalah hama dan penyakit. Namun dari beberapa jenis serangga yang telah diidentifikasi, Helopeltis spp. merupakan hama penting dan menyebabkan kerugian yang bervariasi antardaerah menurut luas serangannya. 2. Kelimpahan populasi Helopeltis spp. berbeda antardaerah yang terserang karena faktor kunci yang berbeda pada agroekosistem. Namun, umumnya populasi Helopeltis spp. akan muncul pada pertanaman jambu mete seiring dengan tersedianya makanan pada akhir musim hujan, yaitu tunas atau pucuk. Curah hujan berkorelasi positif dengan ketersediaan makanan, begitu pula antara ketersediaan makanan dan populasi Helopeltis spp. 3. Keragaman ekologi pertanaman di sentra-sentra produksi jambu mete sangat tinggi karena setiap wilayah mempunyai ekosistem yang khas. Oleh karena itu, pendekatan pengendalian populasi Helopeltis spp. adalah PHT berbasis ekologi dengan menciptakan infrastruktur ekologi yang seimbang dalam agroekosistem. 4. Peluang untuk memanfaatkan faktor yang berada di sekitar lingkungan pertanaman jambu mete untuk mengendalikan populasi Helopeltis spp. cukup besar karena beberapa hal berikut: (a) tersedianya informasi mengenai jejaring makanan jambu mete (cashew web) dengan komponen-komponen teknologi pendukungnya; (b) adanya kebijakan pemerintah yang mengatur pengelolaan lingkungan hidup, pembatasan izin pestisida kimiawi yang dikeluarkan dan pengaturan sistem budi daya tanaman; serta (c) pasar di negara maju yang menginginkan produk perkebunan yang aman dan memiliki risiko minimal bagi kesehatan dan lingkungan hidup. 5. Strategi pengembangan yang disarankan adalah pemanfaatan dan perekayasaan lingkungan pertanaman jambu mete yang didahului dengan analisis agroekosistem, serta menata kembali pembinaan pemandu dan petani dalam wadah SLPHT. Implikasi Kebijakan 1. Produk jambu mete mempunyai peluang yang besar untuk memasuki pasar domestik maupun global. Oleh karena itu, pemerintah baik pusat maupun daerah perlu merencanakan untuk memperluas pertanaman jambu mete, terutama pada wilayah yang berpotensi untuk meningkatkan produktivitas nasional dan bukan di daerah serangan hama yang berat. Tumpang sari jambu mete dengan inang alternatif bagi hama perlu dihindarkan.

14 Pengendalian hama Helopeltis spp. pada jambu mete Keberhasilan pelaksanaan PHT berbasis ekologi memerlukan intervensi pemerintah daerah, terutama dalam penyelenggaraan SLPHT. Bantuan PL1 dan PL2 masih terus diharapkan. Kebijakan pengendalian tidak lagi diutamakan pada penggunaan bahan kimia, tetapi beralih ke varietas toleran, penjarangan, pemeliharaan, dan komponen ekologi lainnya. Pemasyarakatan PHT perlu ditingkatkan dan penyamaan persepsi mengenai konsep PHT antara ilmuwan, praktisi, dan pengambil kebijakan perlu dilakukan. 3. Sebagian besar penelitian jambu mete bersifat parsial dan mengacu pada kegiatan monokultur. Langkah yang perlu dilakukan untuk menjembatani masalah di lapangan dan penelitian pendukung adalah melakukan analisis dinamika ekosistem jambu mete serta penelitian toksikologi, stabilitas mutu, dan sosial ekonomi secara integratif dan komprehensif oleh tim peneliti lintas disiplin. PENUTUP Upaya para pakar dan pemerintah pusat dalam mengembangkan dan mengimplementasikan PHT melalui program nasional telah dilakukan dengan berbagai cara. Dunia internasional menilai Indonesia sukses dan menjadi pelopor dalam pengembangan dan penerapan PHT. Namun di balik itu, kita sadari masih banyak yang perlu diperbaiki, terutama di tingkat petani. Masih ada anggapan tanpa pestisida sulit mengendalikan hama dan penyakit, dan tanaman perkebunan menempati prioritas paling belakang. Komitmen antara pengambil kebijakan dan pelaksana sering tidak tercapai sehingga manajemen pengendalian tidak berkelanjutan. Pengembangan PHT di Indonesia memerlukan banyak pakar seiring dengan luasnya wilayah, beragamnya jenis tanaman, dan kompleksnya masalah hama dan penyakit. Peluang untuk melakukan penelitian dasar cukup terbuka untuk menunjang keberhasilan pengembangan PHT. Dengan mengambil unsur ketiga dari Tri Hita Karana yang sangat relevan dengan isu yang diangkat dalam tulisan ini, yaitu harmoni antara manusia dan lingkungannya, kita perlu memberi peringatan bagi para pelaku dan pegiat pembangunan pertanian. Marilah kita renungkan tiga hal berikut: a. Manusia tidak mengendalikan alam, tetapi menyesuaikan diri dengan alam. b. Tidak semua serangga berbahaya. Tanpa kehadiran serangga yang bermanfaat, kehidupan akan menjadi lebih buruk. Tingkat toleransi terhadap hama perlu diterapkan berdasarkan prinsip ekologi dan ekonomi. c. Mengurangi kebergantungan pada insektisida kimiawi atau tidak sama sekali, dengan mengembangkan pengendalian alternatif sederhana dan justifikasi ilmiah yang kuat. DAFTAR PUSTAKA Amir, A.M., E. Karmawati, dan Hadad E.A Evaluasi ketahanan beberapa aksesi jambu mete (Anacardium occidentale L.) terhadap hama Helopeltis antonii Sign. Jurnal Penelitian Tanaman Industri 10(4): Andrewartha, H.G. and L.C. Birch The Distribution and Abundance of Animals. University of Chicago Press, Chicago. 782 pp. Benigno, E.A ETL Calendar. Cashew ETL. Xls/Helopeltis.

15 116 Elna Karmawati BPEN (Badan Pengembangan Ekspor Nasional) Indonesian Export of Cashew Nut in Shell by Country of Destination. BPEN, Jakarta. 6 hlm. Chitty, D Population processes in the role and their relevance to general theory. Can. J. Zool 38: Chapman, R.F The Insects: Structure and function. Elsevier, New York. 819 pp. Clark, L.R., P.W. Geier, R.D. Hughes, and R.F. Morris The Ecology Insect Populations in Theory and Practice. Halsted Press Book, London. Dinas Perkebunan Provinsi Nusa Tenggara Barat Laporan Tahunan Sub- Dinas Bina Produksi dan Perlindungan Tanaman. Dinas Perkebunan Provinsi Nusa Tenggara Barat, Mataram. hlm. 46. Direktorat Perlindungan Tanaman Perkebunan Data Lepas. Direktorat Jenderal Perkebunan, Jakarta. Direktorat Jenderal Perkebunan. 2006a. Statistik Perkebunan Indonesia Jambu Mete. Direktorat Jenderal Perkebunan, Jakarta. 33 hlm. Direktorat Jenderal Perkebunan. 2006b. Roadmap Komoditas Jambu Mete. Direktorat Jenderal Perkebunan, Jakarta. 9 hlm. Ferry, Y., J.T. Yuhono, dan C. Indrawanto Strategi Pengembangan Industri Mete Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Bogor. hlm Howard, L.D. and W.F. Fiske The importation into the United States of the parasites of the gipsy moth and the brown-tail moth. Bull. Bur. Ent. US Dept. Agric. 91: Indrawanto, C., E. Mulyono, R. Zaubin, dan I. Sriwulan Perspektif perkembangan pemasaran dan pascapanen jambu mete. Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri 7 (4): Indrawanto, C., S. Wulandari, dan A. Wahyudi Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan usahatani jambu mete di Sulawesi Tenggara. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri 9(4): Kalshoven, L.G.E Pests of Crops in Indonesia. PT Ichtiar Baru-Van Hoeve, Jakarta. p Kardinan, A Pestisida Nabati: Ramuan dan aplikasi. Penebar Swadaya, Jakarta. 88 hlm. Karmawati, E Dinamika populasi serangga. Makalah Pendukung Ekologi Serangga. Institut Pertanian Bogor. 62 hlm. Karmawati, E. dan W. Tengkano Pola sebaran dan metode penarikan contoh pengisap polong kedelai. Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan, Balittan Bogor,17-18 Desember hlm Karmawati, E. 1988a. Metode pendugaan populasi pengisap buah lada secara beruntun di Kabupaten Bogor. Pemberitaan Penelitian Tanaman Industri XIII(3): Karmawati, E. 1988b. Metode peramalan serangga hama. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor. hlm Karmawati, E. 1988c. Within plant distribution of Heliothis armigera Hubner eggs on cotton at Asembagus, East Java. Indust. Crops Res. J. 1(1): 1-6. Karmawati, E., Deciyanto, dan Z. Asnawi Dinamika populasi hama utama lada di Bangka. Prosiding Simposium I Hasil Penelitian dan Pengembangan

16 Pengendalian hama Helopeltis spp. pada jambu mete Tanaman Industri. Seri No. 9. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Bogor. 6 hlm. Karmawati, E., M. Iskandar, dan T.E. Wahyono Penelitian penanggulangan lalat rimpang jahe di Kebun Percobaan Cimanggu, Bogor. Buletin Penelitian Tanaman Industri (4): Karmawati, E. dan N.N. Kristina Pengaruh tumpang sari terhadap populasi hama rimpang jahe. Media Komunikasi Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri 11: Karmawati, E Peningkatan produktivitas tanaman jambu mete melalui pengendalian hama terpadu. Bahan Raker Penyusunan Prioritas dan Desain Program Penelitian Tanaman Industri. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Bogor. 14 hlm. Karmawati, E., T.H. Savitri, T.E. Wahyono dan I W. Laba Pola sebaran dan metode penarikan contoh Helopeltis antonii pada jambu mente. Bahan Raker Penyusunan Prioritas dan Desain Program Penelitian Tanaman Industri. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Bogor.11 hlm. Karmawati, E., T.H. Savitri, T.E. Wahyono, dan I W. Laba. 1999a. Dinamika populasi Helopeltis antonii Sign. pada jambu mete. Jurnal Penelitian Tanaman Industri 4(6): Karmawati, E., T.E. Wahyono, dan T.H. Savitri. 1999b. Potensi predator dalam penanggulangan Helopeltis antonii Sign. pada jambu mete. Prosiding Seminar Nasional Peranan Entomologi dalam Pengendalian Hama yang Ramah Lingkungan dan Ekonomi, Buku 2. hlm Karmawati, E., T.H. Savitri, W.R. Atmadja, dan T.E. Wahyono Pengendalian hama terpadu Helopeltis antonii pada tanaman jambu mete. Jurnal Penelitian Tanaman Industri 7(1): 1-5. Karmawati, E., Siswanto, dan E.A. Wikardi Peranan semut (Oecophylla smaragdina dan Dolichoderus sp.) dalam pengendalian Helopeltis spp. dan Sanurus indecora pada jambu mete. Jurnal Penelitian Tanaman Industri 10(1): 1-7. Karmawati, E Peranan faktor lingkungan terhadap populasi Helopeltis spp. dan Sanurus indecora pada jambu mete. Jurnal Penelitian Tanaman Industri 12(4): Karmawati, E. dan R. Balfas Pemanfaatan pestisida nabati dan jamur Beauveria bassiana untuk pengendalian kutu daun F. virgata. Prosiding Lokakarya III Jarak Pagar. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Bogor. Karmawati, E., W. Rumini, Emmyzar, dan C. Sukmana. 2007a. Pengendalian hama Helopeltis antonii pada jambu mete. Laporan Tengah Tahun 2007, Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Industri, Pakuwon. 10 hlm. Karmawati, E., Siswanto, dan T.E. Wahyono. 2007b. Biologi pembungaan jambu mete. Laporan PHT Jambu Mete. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Bogor. Krebs, C.J Ecology: The Experimental Analysis of Distribution and Abundance. Harper and Row, New York. 678 pp. Kromp, B. dan K.H. Steinberger Grassy field margin and arthoprod diversity: A case study on ground and spiders in Eastern Australia. Agric. Ecol. Environ. 40: Laba, I W., E. Karmawati, dan D. Kilin Bioekologi Helopeltis antonii Sign. (Hemiptera: Miridae) pada jambu me-

17 118 Elna Karmawati te. Prosiding Seminar Nasional. Buku III. hlm Mandal, R.C Cashew Production and Processing Technology. Agrobias, India. 195 pp. Manuwoto, S Pengendalian hama ramah lingkungan dan ekonomis. hlm Prosiding Peranan Entomologi dalam Pengendalian Hama yang Ramah Lingkungan dan Harmonis, 16 Februari Perhimpunan Entomologi Indonesia Cabang Bogor. Mardiningsih,T.L., E. Karmawati, dan T.E. Wahyono Peranan Synnematium sp. dalam pengendalian Sanurus indecora Jacobi (Homoptera: Flatidae). Jurnal Penelitian Tanaman Industri 12 (3): Milne, A The natural control of insect population. Ann. Entomol. 89: NAS Insect-Pest Management and Control. Principles of Plant and Animal Pest Control, Vol 3. NAS Publ. Nicholson, A.J The balance of animal population. Anim. Ecol. 2: Oka, I N Penggunaan, permasalahan serta prospek pestisida nabati dalam pengendalian hama terpadu. Prosiding Seminar Hasil Penelitian dalam rangka Pemanfaatan Pestisida Nabati, Bogor, 1-2 Desember hlm Pimentel, D Animal population regulation by the genetic feedback mechanism. Am. Net. 95: Purnayasa, I. G.N.R Parasitasi Aphanomerus sp. pada wereng pucuk jambu mete Sanurus indecora Jacobi. Jurnal Penelitian Tanaman Industri 9 (1): 1-3. Rauf, A Entomologi dalam perubahan lingkungan dan sosial: Perspektif pertanian. Disampaikan pada Seminar Nasional IV Perhimpunan Entomologi Indonesia Cabang Bogor, 5 Oktober hlm. Rickson, F.R. and M.M. Rickson The cashew nut, Anacardium occidentale (Anacardiaceae), and its perennial association with ants: Extra floral nectary location and the potential for ant defense. Am. J. Bot. 95(6): Rowe, J.S The level of integration concept and ecology. Ecology 42: Siswanto, E.A. Wikardi, Wiratno, dan E. Karmawati. 2003a. Identifikasi wereng pucuk jambu mete, Sanurus indecora dan beberapa aspek biologinya. Jurnal Penelitian Tanaman Industri 9(4): Siswanto, Wiratno, E. Karmawati, E.A. Wikardi, C. Sukmana, T.E. Wahyono, dan Ahyar. 2003b. Studi Struktur dan Fungsi Komoditas Serangga pada Ekosistem Tanaman Jambu Mete. Laporan Hasil Penelitian PHT Perkebunan Rakyat Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Bogor. 45 hlm. Siswanto, R. Muhamad, D. Omar, dan E. Karmawati Ecology and Population Biology of Helopeltis antonii or Its Cashew Host Plant. Ph.D. Thesis, Universitas Putra Malaysia. Smith, R.F History and complexity of integrated pest management. p In E.H. Smith and D. Pimentel (Eds.). Pest Control Strategies. Academic Press, New York. Soebandrijo, S., Hadiyani, S.A. Wahyuni, dan M. Soehardjan Peranan serasah dan gulma dalam meningkatkan keanekaragaman hayati dan pengendalian serangga hama kapas di Indonesia. Prosiding Simposium Keanekaragaman Hayati Arthropoda pada Sis-

HAMA Helopeltis spp. PADA JAMBU METE DAN PENGENDALIANNYA

HAMA Helopeltis spp. PADA JAMBU METE DAN PENGENDALIANNYA HAMA Helopeltis spp. PADA JAMBU METE DAN PENGENDALIANNYA Elna Karmawati dan Tri Lestari Mardiningsih Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat ABSTRAK Helopeltis spp. merupakan hama yang paling dominan

Lebih terperinci

TEKNOLOGI PENGENDALIAN HAYATI HAMA PENGHISAP PUCUK DAN BUNGA PADA JAMBU METE

TEKNOLOGI PENGENDALIAN HAYATI HAMA PENGHISAP PUCUK DAN BUNGA PADA JAMBU METE TEKNOLOGI PENGENDALIAN HAYATI HAMA PENGHISAP PUCUK DAN BUNGA PADA JAMBU METE Samsudin dan Iwa Mara Trisawa Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Industri Jalan Raya Pakuwon km 2 Parungkuda,

Lebih terperinci

PERANAN FAKTOR LINGKUNGAN TERHADAP POPULASI Helopeltis spp. dan Sanurus indecora PADA JAMBU METE

PERANAN FAKTOR LINGKUNGAN TERHADAP POPULASI Helopeltis spp. dan Sanurus indecora PADA JAMBU METE Jurnal Littri 12(4), ELNA Desember KARMAWATI 2006. Hlm. : Peranan 129 faktor 134 lingkungan terhadap populasi Helopeltis spp. dan Sanurus indecora pada jambu mete ISSN 0853-8212 PERANAN FAKTOR LINGKUNGAN

Lebih terperinci

BIOPESTISIDA PENGENDALI HELOPELTIS SPP. PADA TANAMAN KAKAO OLEH : HENDRI YANDRI, SP (WIDYAISWARA PERTAMA)

BIOPESTISIDA PENGENDALI HELOPELTIS SPP. PADA TANAMAN KAKAO OLEH : HENDRI YANDRI, SP (WIDYAISWARA PERTAMA) BIOPESTISIDA PENGENDALI HELOPELTIS SPP. PADA TANAMAN KAKAO OLEH : HENDRI YANDRI, SP (WIDYAISWARA PERTAMA) I. PENDAHULUAN Diantara penyebab rendahnya produktivitas kakao di Indonesia adalah serangan organisme

Lebih terperinci

Alternatif pengendalian terhadap si Helopeltis sp. Oleh : Vidiyastuti Ari Y, SP POPT Pertama

Alternatif pengendalian terhadap si Helopeltis sp. Oleh : Vidiyastuti Ari Y, SP POPT Pertama Alternatif pengendalian terhadap si Helopeltis sp Oleh : Vidiyastuti Ari Y, SP POPT Pertama Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan salah satu tanaman perkebunan yang dikembangluaskan dalam rangka peningkatan

Lebih terperinci

Waspada Serangan Hama Tanaman Padi Di Musim Hujan Oleh : Bambang Nuryanto/Suharna (BB Padi-Balitbangtan)

Waspada Serangan Hama Tanaman Padi Di Musim Hujan Oleh : Bambang Nuryanto/Suharna (BB Padi-Balitbangtan) Waspada Serangan Hama Tanaman Padi Di Musim Hujan Oleh : Bambang Nuryanto/Suharna (BB Padi-Balitbangtan) Memasuki musim hujan tahun ini, para petani mulai sibuk mempersiapkan lahan untuk segera mengolah

Lebih terperinci

Perkembangan Jambu Mete dan Strategi Pengendalian Hama Utamanya

Perkembangan Jambu Mete dan Strategi Pengendalian Hama Utamanya Perspektif Vol. 7 No. 2 / Desember 2008. Hlm 102-111 ISSN: 1412-8004 Perkembangan Jambu Mete dan Strategi Pengendalian Hama Utamanya ELNA KARMAWATI Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan Indonesian

Lebih terperinci

Moch Taufiq Ismail_ _Agroekoteknologi_2013

Moch Taufiq Ismail_ _Agroekoteknologi_2013 Tentang Sistem Pertanian Konvensional Sistem pertanian konvensional adalah sistem pertanian yang pengolahan tanahnya secara mekanik (mesin). Sistem pertanian konvensional memiliki tujuan untuk meningkatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. luas areal kakao yang cenderung mengalami peningkatan. Berdasarkan data dari

I. PENDAHULUAN. luas areal kakao yang cenderung mengalami peningkatan. Berdasarkan data dari I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Provinsi Lampung merupakan daerah potensial untuk pengembangan komoditas kakao karena sumber daya alam dan kondisi sosial budaya yang mendukung serta luas areal kakao yang

Lebih terperinci

BAB VII SINTESIS Strategi Pengendalian Hayati Kepik Pengisap Buah Lada

BAB VII SINTESIS Strategi Pengendalian Hayati Kepik Pengisap Buah Lada BAB VII SINTESIS Strategi Pengendalian Hayati Kepik Pengisap Buah Lada Ada empat pendekatan dalam kegiatan pengendalian hayati yaitu introduksi, augmentasi, manipulasi lingkungan dan konservasi (Parella

Lebih terperinci

PENGELOLAAN HAMA SECARA HAYATI Oleh : Awaluddin (Widyaiswara)

PENGELOLAAN HAMA SECARA HAYATI Oleh : Awaluddin (Widyaiswara) PENGELOLAAN HAMA SECARA HAYATI Oleh : Awaluddin (Widyaiswara) A. Pendahuluan Konsepsi Integrated Pest Control atau Pengendalian Hama Terpadu (PHT) mulai diperkenalkan pada tahun 1959 yang bertujuan agar

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Jumlah spesies dalam komunitas yang sering disebut kekayaan spesies

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Jumlah spesies dalam komunitas yang sering disebut kekayaan spesies TINJAUAN PUSTAKA Keragaman dan Keanekaragaman Serangga Indeks Keanekaragaman dapat digunakan untuk menyatakan hubungan kelimpahan species dalam komunitas. Keanekaragaman species terdiri dari 2 komponen

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan tanaman sumber protein yang

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan tanaman sumber protein yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan tanaman sumber protein yang mempunyai peran dan sumbangan besar bagi penduduk dunia. Di Indonesia, tanaman kedelai

Lebih terperinci

PENGELOLAAN HAMA TERPADU (PHT)

PENGELOLAAN HAMA TERPADU (PHT) OVERVIEW : PENGELOLAAN HAMA TERPADU (PHT) Oleh Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fak. Pertanian Univ. Brawijaya Apakah PHT itu itu?? Hakekat PHT PHT merupakan suatu cara pendekatan atau cara berpikir

Lebih terperinci

KONSEP DAN STRATEGI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PESTISIDA NABATI PENDAHULUAN

KONSEP DAN STRATEGI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PESTISIDA NABATI PENDAHULUAN KONSEP DAN STRATEGI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KONSEP DAN STRATEGI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN Haryono KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN PENDAHULUAN Tuntutan masyarakat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. mestinya sudah mengarah pada pertanian yang mempertahankan keseimbangan

II. TINJAUAN PUSTAKA. mestinya sudah mengarah pada pertanian yang mempertahankan keseimbangan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Pertanian Organik Saat ini untuk pemenuhan kebutuhan pangan dari sektor pertanian mestinya sudah mengarah pada pertanian yang mempertahankan keseimbangan lingkungan.

Lebih terperinci

Peran Varietas Tahan dalam PHT. Stabilitas Agroekosistem

Peran Varietas Tahan dalam PHT. Stabilitas Agroekosistem Peran Varietas Tahan dalam PHT Dr. Akhmad Rizali Stabilitas Agroekosistem Berbeda dengan ekosistem alami, kebanyakan sistem produksi tanaman secara ekologis tidak stabil, tidak berkelanjutan, dan bergantung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. negeri maupun untuk ekspor. Komoditas sayuran dapat tumbuh dan berproduksi di

I. PENDAHULUAN. negeri maupun untuk ekspor. Komoditas sayuran dapat tumbuh dan berproduksi di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanaman sayuran cukup penting di Indonesia, baik untuk konsumsi di dalam negeri maupun untuk ekspor. Komoditas sayuran dapat tumbuh dan berproduksi di dataran rendah sampai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Tanaman akan tumbuh subur dengan seizin Allah SWT. Jika Allah tidak

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Tanaman akan tumbuh subur dengan seizin Allah SWT. Jika Allah tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanaman akan tumbuh subur dengan seizin Allah SWT. Jika Allah tidak mengizinkan berbagai halangan bisa muncul yang menyebabkan tanaman itu tidak tumbuh subur, walaupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mudah ditembus oleh alat-alat pertanian dan hama atau penyakit tanaman

BAB I PENDAHULUAN. mudah ditembus oleh alat-alat pertanian dan hama atau penyakit tanaman BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kubis merupakan salah satu jenis sayuran yang banyak dikonsumsi karena berbagai manfaat yang terdapat di dalam kubis. Kubis dikenal sebagai sumber vitamin A, B, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertanian, subsektor perkebunan mempunyai kontribusi yang signifikan terhadap

BAB I PENDAHULUAN. pertanian, subsektor perkebunan mempunyai kontribusi yang signifikan terhadap BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu subsektor pertanian yang berpotensi untuk dijadikan andalan adalah subsektor perkebunan. Sebagai salah satu subsektor yang penting dalam sektor pertanian,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia menjadi salah satu negara penghasil kakao terbesar di dunia seiring dengan

I. PENDAHULUAN. Indonesia menjadi salah satu negara penghasil kakao terbesar di dunia seiring dengan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia menjadi salah satu negara penghasil kakao terbesar di dunia seiring dengan bertambahnya luas perkebunan kakao. Menurut Karmawati, Mahmud, Syakir, Munarso,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Agro Ekologi 1

BAB I PENDAHULUAN. Agro Ekologi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengertian agro ekologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang budidaya tanaman dengan lingkungan tumbuhnya. Agro ekologi merupakan gabungan tiga kata, yaitu

Lebih terperinci

Dalam sistem pengendalian hama terpadu (PHT),

Dalam sistem pengendalian hama terpadu (PHT), PEMANFATAN JAMUR PATOGEN SERANGGA DALAM PENANGGULANGAN Helopeltis antonii DAN AKIBAT SERANGANNYA PADA TANAMAN JAMBU METE Tri Eko Wahyono 1 Dalam sistem pengendalian hama terpadu (PHT), pengenalan terhadap

Lebih terperinci

Penggerek Pucuk Tebu dan Teknik Pengendaliannya

Penggerek Pucuk Tebu dan Teknik Pengendaliannya Penggerek Pucuk Tebu dan Teknik Pengendaliannya Produksi gula nasional Indonesia mengalami kemerosotan sangat tajam dalam tiga dasawarsa terakhir. Kemerosotan ini menjadikan Indonesia yang pernah menjadi

Lebih terperinci

CARA CARA PENGENDALIAN OPT DAN APLIKASI PHESTISIDA YANG AMAN BAGI KESEHATAN 1) SUHARNO 2) 1) Judul karya ilmiah di Website 2)

CARA CARA PENGENDALIAN OPT DAN APLIKASI PHESTISIDA YANG AMAN BAGI KESEHATAN 1) SUHARNO 2) 1) Judul karya ilmiah di Website 2) CARA CARA PENGENDALIAN OPT DAN APLIKASI PHESTISIDA YANG AMAN BAGI KESEHATAN 1) SUHARNO 2) 1) Judul karya ilmiah di Website 2) Lektor Kepala/Pembina TK.I. Dosen STPP Yogyakarta. I. PENDAHULUAN Penurunan

Lebih terperinci

KELEBIHAN DAN KEKURANGAN BEBERAPA TEKNIK PENGENDALIAN HAMA TERPADU

KELEBIHAN DAN KEKURANGAN BEBERAPA TEKNIK PENGENDALIAN HAMA TERPADU KELEBIHAN DAN KEKURANGAN BEBERAPA TEKNIK PENGENDALIAN HAMA TERPADU TUGAS Oleh RINI SULISTIANI 087001021 SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N 2 0 0 8 1. Pendahuluan Pengendalian hama

Lebih terperinci

HAMA Cricula trifenestrata PADA JAMBU METE DAN TEKNIK PENGENDALIANNYA

HAMA Cricula trifenestrata PADA JAMBU METE DAN TEKNIK PENGENDALIANNYA HAMA Cricula trifenestrata PADA JAMBU METE DAN TEKNIK PENGENDALIANNYA Jambu mete merupakan tanaman buah berupa pohon yang berasal dari Brasil Tenggara. Tanaman ini dibawa oleh pelaut portugal ke India

Lebih terperinci

Permasalahan OPT di Agroekosistem

Permasalahan OPT di Agroekosistem Permasalahan OPT di Agroekosistem Dr. Akhmad Rizali Materi: http://rizali.staff.ub.ac.id Konsekuensi Penyederhaan Lingkungan Proses penyederhanaan lingkungan menjadi monokultur pertanian memberi dampak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan salah satu tanaman perkebunan penting

I. PENDAHULUAN. Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan salah satu tanaman perkebunan penting 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan salah satu tanaman perkebunan penting di Indonesia. Biji kakao menjadi komoditas andalan perkebunan yang memperoleh prioritas untuk

Lebih terperinci

Upaya pengendalian Hama pengerek batang (Lophobaris piperis Marsh.) Tanaman lada dengan menggunakan jamur. Beauveria bassiana. Oleh ;Umiati.

Upaya pengendalian Hama pengerek batang (Lophobaris piperis Marsh.) Tanaman lada dengan menggunakan jamur. Beauveria bassiana. Oleh ;Umiati. Upaya pengendalian Hama pengerek batang (Lophobaris piperis Marsh.) Tanaman lada dengan menggunakan jamur Beauveria bassiana Oleh ;Umiati.SP Hama merupakan salah satu kendala produksi lada di Indonesia.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Populasi Kepinding Tanah ( S. coarctata

HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Populasi Kepinding Tanah ( S. coarctata 15 HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Populasi Kepinding Tanah (S. coarctata) Secara umum tampak bahwa perkembangan populasi kepinding tanah terutama nimfa dan imago mengalami peningkatan dengan bertambahnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Prinsip ekologi telah diabaikan secara terus menerus dalam pertanian modern,

BAB I PENDAHULUAN. Prinsip ekologi telah diabaikan secara terus menerus dalam pertanian modern, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Prinsip ekologi telah diabaikan secara terus menerus dalam pertanian modern, akibatnya agroekosistem menjadi tidak stabil. Kerusakan-kerusakan tersebut menimbulkan

Lebih terperinci

TEKNIK PENGELOLAAN HAMA OLEH SUHARA JURUSAN PENDIDIKAN BIOLOI FPMIPA UPI

TEKNIK PENGELOLAAN HAMA OLEH SUHARA JURUSAN PENDIDIKAN BIOLOI FPMIPA UPI TEKNIK PENGELOLAAN HAMA OLEH SUHARA JURUSAN PENDIDIKAN BIOLOI FPMIPA UPI Teknik/cara pengendalian yang dapat digunakan dalam pengelolaan banyak ragamnya. Ada beberapa cara yang dipadukan dalam suatu koordinasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan salah satu tindakan yang mendukung untuk

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan salah satu tindakan yang mendukung untuk 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian merupakan salah satu tindakan yang mendukung untuk menopang perekonomian nasional. Pembangunan pertanian yang baik untuk Negara Indonesia adalah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. senilai US$ 588,329,553.00, walaupun ada catatan impor juga senilai US$ masyarakat (Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, 2010).

PENDAHULUAN. senilai US$ 588,329,553.00, walaupun ada catatan impor juga senilai US$ masyarakat (Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, 2010). PENDAHULUAN Latar Belakang Kopi (Coffea sp.) merupakan salah satu komoditas ekspor penting dari Indonesia. Data menunjukkan, Indonesia mengekspor kopi ke berbagai negara senilai US$ 588,329,553.00, walaupun

Lebih terperinci

REKOMENDASI UMUM PENGENDALIAN HELOPELTIS SPP. PADA TANAMAN KAKAO 1) Oleh: Ir. Syahnen, MS 2) dan Muklasin, SP 3)

REKOMENDASI UMUM PENGENDALIAN HELOPELTIS SPP. PADA TANAMAN KAKAO 1) Oleh: Ir. Syahnen, MS 2) dan Muklasin, SP 3) REKOMENDASI UMUM PENGENDALIAN HELOPELTIS SPP. PADA TANAMAN KAKAO 1) Oleh: Ir. Syahnen, MS 2) dan Muklasin, SP 3) 1. Latar Belakang Hama pengisap buah Helopeltis spp. (Hemiptera, Miridae) merupakan hama

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perkebunan memiliki peran yang penting dalam pembangunan nasional,

I. PENDAHULUAN. Perkebunan memiliki peran yang penting dalam pembangunan nasional, 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkebunan memiliki peran yang penting dalam pembangunan nasional, khususnya pembangunan sektor pertanian. Perkebunan juga berperan dalam membangun perekonomian nasional,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyediaan bahan pangan pokok terutama ketergantungan masyarakat yang besar

BAB I PENDAHULUAN. penyediaan bahan pangan pokok terutama ketergantungan masyarakat yang besar BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Indonesia saat ini menghadapi masalah yang serius berkaitan dengan usaha penyediaan bahan pangan pokok terutama ketergantungan masyarakat yang besar terhadap padi,

Lebih terperinci

Status Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) Sebagai Hama

Status Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) Sebagai Hama Status Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) Sebagai Hama Embriani BBPPTP Surabaya Pendahuluan Adanya suatu hewan dalam suatu pertanaman sebelum menimbulkan kerugian secara ekonomis maka dalam pengertian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Aturan karantina di negara-negara tujuan ekspor komoditi buah-buahan

BAB I PENDAHULUAN. Aturan karantina di negara-negara tujuan ekspor komoditi buah-buahan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aturan karantina di negara-negara tujuan ekspor komoditi buah-buahan Indonesia telah disusun sedemikian ketat. Ketatnya aturan karantina tersebut melarang buah-buahan

Lebih terperinci

Pengembangan Jagung Nasional Mengantisipasi Krisis Pangan, Pakan dan Energi Dunia: Prospek dan Tantangan

Pengembangan Jagung Nasional Mengantisipasi Krisis Pangan, Pakan dan Energi Dunia: Prospek dan Tantangan Pengembangan Jagung Nasional Mengantisipasi Krisis Pangan, Pakan dan Energi Dunia: Prospek dan Tantangan Anton J. Supit Dewan Jagung Nasional Pendahuluan Kemajuan teknologi dalam budidaya jagung semakin

Lebih terperinci

Tetratichus brontispae, PARASITOID HAMA Brontispa longissima

Tetratichus brontispae, PARASITOID HAMA Brontispa longissima Tetratichus brontispae, PARASITOID HAMA Brontispa longissima Oleh : Umiati, SP dan Irfan Chammami,SP Gambaran Umum Kelapa (Cocos nucifera L.) merupakan tanaman perkebunan industry berupa pohon batang lurus

Lebih terperinci

Identifikasi dan Klasifikasi Hama Aphid (Kutu Daun) pada tanaman Kentang

Identifikasi dan Klasifikasi Hama Aphid (Kutu Daun) pada tanaman Kentang Identifikasi dan Klasifikasi Hama Aphid (Kutu Daun) pada tanaman Kentang Kehilangan hasil yang disebabkan gangguan oleh serangga hama pada usaha tani komoditas hortikultura khususnya kentang, merupakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. hama berdasarkan ekologi yang menitikberatkan pada faktor-faktor mortalitas

TINJAUAN PUSTAKA. hama berdasarkan ekologi yang menitikberatkan pada faktor-faktor mortalitas TINJAUAN PUSTAKA Pengendalian Hama Terpadu Flint dan Robert (1981) mendefenisikan PHT adalah strategi pengendalian hama berdasarkan ekologi yang menitikberatkan pada faktor-faktor mortalitas alami seperti

Lebih terperinci

I. P E N D A H U L U A N. empat bibit kelapa sawit dibawa dari Afrika dan ditanam di Kebun Raya Bogor

I. P E N D A H U L U A N. empat bibit kelapa sawit dibawa dari Afrika dan ditanam di Kebun Raya Bogor I. P E N D A H U L U A N 1.1. Latar Belakang Budidaya kelapa sawit (Elaeis guinensis Jacq) diawali pada tahun 1848 ketika empat bibit kelapa sawit dibawa dari Afrika dan ditanam di Kebun Raya Bogor sebagai

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 3586 (Penjelasan Atas Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 12) UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

commit to users I. PENDAHULUAN

commit to users I. PENDAHULUAN I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan bertambahnya jumlah dan tingkat kesejahteraan penduduk, maka kebutuhan akan hasil tanaman padi ( Oryza sativa L.) yang berkualitas juga semakin banyak. Masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila

Lebih terperinci

Perkembangan Produksi dan Kebijakan dalam Peningkatan Produksi Jagung

Perkembangan Produksi dan Kebijakan dalam Peningkatan Produksi Jagung Perkembangan Produksi dan Kebijakan dalam Peningkatan Produksi Jagung Siwi Purwanto Direktorat Budi Daya Serealia, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan PENDAHULUAN Jagung (Zea mays) merupakan salah satu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris dengan sektor pertanian sebagai sumber. penduduknya menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian.

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris dengan sektor pertanian sebagai sumber. penduduknya menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan negara agraris dengan sektor pertanian sebagai sumber matapencaharian dari mayoritas penduduknya, sehingga sebagian besar penduduknya menggantungkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. produksi pertanian baik secara kuantitas maupun kualitas. Pada tahun 1984

I. PENDAHULUAN. produksi pertanian baik secara kuantitas maupun kualitas. Pada tahun 1984 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pertanian merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang memiliki tujuan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani pada khususnya dan masyarakat

Lebih terperinci

Gambar 1. Nimfa Helopeltis spp Sumber: Atmadja (2003) Gambar 2. Imago betina Helopeltis spp Sumber: Atmadja (2003)

Gambar 1. Nimfa Helopeltis spp Sumber: Atmadja (2003) Gambar 2. Imago betina Helopeltis spp Sumber: Atmadja (2003) n. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hama Helopeltis spp Klasifikasi hama Helopeltis spp adalah sebagai berikut: Kingdom: Animalia, Filum: Arthropoda, Kelas: Insekta, Ordo: Hemiptera, Sub Ordo: Heteroptera, Famili:

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pertanian organik adalah sistem manajemen produksi terpadu yang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pertanian organik adalah sistem manajemen produksi terpadu yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1. Sawah organik dan non-organik Pertanian organik adalah sistem manajemen produksi terpadu yang menghindari penggunaan pupuk buatan, pestisida kimia dan hasil rekayasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kubis merupakan produk urutan ketiga sayuran yang dibutuhkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Kubis merupakan produk urutan ketiga sayuran yang dibutuhkan oleh 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kubis merupakan produk urutan ketiga sayuran yang dibutuhkan oleh hotel-hotel di Bali setelah tomat dan wortel. Prospek pengembangan budidaya kubis diperkirakan masih

Lebih terperinci

MANFAAT PENGGUNAAN ARACHIS PINTOI TERHADAP PEKEMBANGAN MUSUH ALAMI HAMA PENGGEREK BATANG (LOPHOBARIS PIPERIS MASH) DALAM BUDIDAYA LADA

MANFAAT PENGGUNAAN ARACHIS PINTOI TERHADAP PEKEMBANGAN MUSUH ALAMI HAMA PENGGEREK BATANG (LOPHOBARIS PIPERIS MASH) DALAM BUDIDAYA LADA MANFAAT PENGGUNAAN ARACHIS PINTOI TERHADAP PEKEMBANGAN MUSUH ALAMI HAMA PENGGEREK BATANG (LOPHOBARIS PIPERIS MASH) DALAM BUDIDAYA LADA SUROSO DAN HERY.S Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung, Jl.

Lebih terperinci

Teknologi Pertanian Sehat Kunci Sukses Revitalisasi Lada di Bangka Belitung

Teknologi Pertanian Sehat Kunci Sukses Revitalisasi Lada di Bangka Belitung Teknologi Pertanian Sehat Kunci Sukses Revitalisasi Lada di Bangka Belitung Oleh: Agus Wahyudi (naskah ini disalin sesuai aslinya untuk kemudahan navigasi) (Sumber : SINAR TANI Edisi 17 23 November 2010)

Lebih terperinci

PETUNJUK PENGAMATAN OPT PERKEBUNAN

PETUNJUK PENGAMATAN OPT PERKEBUNAN PETUNJUK PENGAMATAN OPT PERKEBUNAN PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Dalam budidaya tanaman perkebunan, perlindungan tanaman merupakan kegiatan yang penting, karena menjadi jaminan (assurance) bagi terkendalinya

Lebih terperinci

PENGELOLAAN ORGANISME PENGGANGGU TANAMAN SECARA TERPADU

PENGELOLAAN ORGANISME PENGGANGGU TANAMAN SECARA TERPADU PENGELOLAAN ORGANISME PENGGANGGU TANAMAN SECARA TERPADU Oleh : Awaluddin (Widyaiswara) I. LATAR BELAKANG A. Pendahuluan Program peningkatan produksi dan produktivitas tanaman masih banyak kendala yang

Lebih terperinci

SINTESA HASIL PENELITIAN RPI AGROFORESTRI TAHUN

SINTESA HASIL PENELITIAN RPI AGROFORESTRI TAHUN SINTESA HASIL PENELITIAN RPI AGROFORESTRI TAHUN 2012-2014 TUJUAN untuk merumuskan model agroforestry yang dapat diterapkan dengan mempertimbangkan aspek budidaya, lingkungan dan sosial ekonomi SASARAN

Lebih terperinci

KEPADATAN POPULASI KEPIK PENGHISAP BUAH

KEPADATAN POPULASI KEPIK PENGHISAP BUAH KEPADATAN POPULASI KEPIK PENGHISAP BUAH (Helopeltis theivora) PADA PERKEBUNAN KAKAO (Theobroma cacao L.) DI PADANG MARDANI KECAMATAN LUBUK BASUNG KABUPATEN AGAM E JURNAL WIDYA FITRIANI NIM. 11010065 PROGRAM

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Padi (Oryza sativa L.) tergolong ke dalam Famili Poaceae, Sub- family

II. TINJAUAN PUSTAKA. Padi (Oryza sativa L.) tergolong ke dalam Famili Poaceae, Sub- family 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Padi Padi (Oryza sativa L.) tergolong ke dalam Famili Poaceae, Sub- family Oryzoideae dan Genus Oryza. Organ tanaman padi terdiri atas organ vegetatif dan organ generatif.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Masyarakat luas telah menyadari bahwa pestisida merupakan senyawa yang dapat

I. PENDAHULUAN. Masyarakat luas telah menyadari bahwa pestisida merupakan senyawa yang dapat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masyarakat luas telah menyadari bahwa pestisida merupakan senyawa yang dapat membahayakan kesehatan manusia maupun lingkungan. Pengendalian hama dengan menggunakan pestisida

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Dalam kondisi pertanian Indonesia saat ini dengan harga pestisida tinggi, menyebabkan bahwa usaha tani menjadi tidak menguntungkan sehingga pendapatan tidak layak. Kondisi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional yang memiliki tujuan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani

I. PENDAHULUAN. nasional yang memiliki tujuan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pertanian merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang memiliki tujuan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani pada khususnya dan masyarakat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terutama pangan dan energi dunia, termasuk Indonesia akan dihadapkan pada

I. PENDAHULUAN. terutama pangan dan energi dunia, termasuk Indonesia akan dihadapkan pada I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Peningkatan jumlah penduduk akan terus menuntut pemenuhan kebutuhan dasar terutama pangan dan energi dunia, termasuk Indonesia akan dihadapkan pada krisis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia dikenal sebagai negara produsen kopi ke-empat terbesar di dunia. Data

I. PENDAHULUAN. Indonesia dikenal sebagai negara produsen kopi ke-empat terbesar di dunia. Data I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara produsen kopi ke-empat terbesar di dunia. Data tiga tahun terakhir pada Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia menunjukkan bahwa terjadi penurunan

Lebih terperinci

MENGENAL LEBIH DEKAT PENYAKIT LAYU BEKTERI Ralstonia solanacearum PADA TEMBAKAU

MENGENAL LEBIH DEKAT PENYAKIT LAYU BEKTERI Ralstonia solanacearum PADA TEMBAKAU PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO DINAS PERKEBUNAN DAN KEHUTANAN JL. RAYA DRINGU 81 TELPON 0335-420517 PROBOLINGGO 67271 MENGENAL LEBIH DEKAT PENYAKIT LAYU BEKTERI Ralstonia solanacearum PADA TEMBAKAU Oleh

Lebih terperinci

Host Range of Cashew Shoots Hopper (Sanurus indecora) in the Nursery

Host Range of Cashew Shoots Hopper (Sanurus indecora) in the Nursery JURNAL AGROTEKNOS Juli 2012 Vol.2. No.2. hal. 92-96 ISSN: 2087-7706 KISARAN INANG WERENG PUCUK METE (Sanurus indecora) DI PEMBIBITAN Host Range of Cashew Shoots Hopper (Sanurus indecora) in the Nursery

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max (L) Meriill) merupakan salah satu komoditi tanaman yang

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max (L) Meriill) merupakan salah satu komoditi tanaman yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kedelai (Glycine max (L) Meriill) merupakan salah satu komoditi tanaman yang penting dalam pertanian di Indonesia karena memiliki berbagai manfaat, baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Komoditas hortikultura buah apel (Malus sylvestris (L.) Mill) merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Komoditas hortikultura buah apel (Malus sylvestris (L.) Mill) merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Komoditas hortikultura buah apel (Malus sylvestris (L.) Mill) merupakan bagian penting dalam sektor pertanian, karena kebutuhan apel di Indonesia memiliki permintaan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Saat ini pertanian organik menjadi suatu bisnis terbaru dalam dunia pertanian Indonesia. Selama ini produk pertanian mengandung bahan-bahan kimia yang berdampak

Lebih terperinci

Tungau Karat Jeruk (Phyllocoptruta oleivora)

Tungau Karat Jeruk (Phyllocoptruta oleivora) Tungau Karat Jeruk (Phyllocoptruta oleivora) Tanaman jeruk di Indonesia merupakan komoditas hortikultura jenis buah buahan yang merupakan tanaman tahunan dan tersebar di beberapa sentra utama, seperti

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang.

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Upaya peningkatan produksi tanaman pangan khususnya pada lahan sawah melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang. Pertambahan jumlah penduduk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan sumberdaya alam yang melimpah, terutama pada sektor pertanian. Sektor pertanian sangat berpengaruh bagi perkembangan

Lebih terperinci

Kultur Jaringan Menjadi Teknologi yang Potensial untuk Perbanyakan Vegetatif Tanaman Jambu Mete Di Masa Mendatang

Kultur Jaringan Menjadi Teknologi yang Potensial untuk Perbanyakan Vegetatif Tanaman Jambu Mete Di Masa Mendatang AgroinovasI Kultur Jaringan Menjadi Teknologi yang Potensial untuk Perbanyakan Vegetatif Tanaman Jambu Mete Di Masa Mendatang Tanaman jambu mete (Anacardium occidentale. L.) merupakan salah satu tanaman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menjadi pemasok hasil pertanian yang beranekaragam yaitu rempah-rempah

I. PENDAHULUAN. menjadi pemasok hasil pertanian yang beranekaragam yaitu rempah-rempah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang cukup besar di dunia. Pada masa zaman pemerintahan Hindia-Belanda, Indonesia merupakan negara terkenal yang menjadi pemasok hasil

Lebih terperinci

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS KEDELAI. Edisi Kedua. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian AGRO INOVASI

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS KEDELAI. Edisi Kedua. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian AGRO INOVASI PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS KEDELAI Edisi Kedua Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2007 AGRO INOVASI MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI PERTANIAN

Lebih terperinci

Icerya purchasi & Rodolia cardinalis

Icerya purchasi & Rodolia cardinalis Pengendalian Hayati Merupakan salah satu cara pengendalian hama yang tertua dan salah satu yang paling efektif. Catatan sejarah: tahun 300-an (abad keempat) petani di Kwantung, Cina, telah memanfaatkan

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI LINGKUNGAN. HIDUP. Sumber Daya Alam. Perkebunan. Pengembangan. Pengolahan. Pencabutan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 308) PENJELASAN ATAS

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Sawah irigasi sebagai basis usahatani merupakan lahan yang sangat potensial serta menguntungkan untuk kegiatan usaha tani. Dalam satu tahun setidaknya sawah irigasi dapat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pepaya merupakan salah satu tanaman yang digemari oleh seluruh lapisan

I. PENDAHULUAN. Pepaya merupakan salah satu tanaman yang digemari oleh seluruh lapisan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pepaya merupakan salah satu tanaman yang digemari oleh seluruh lapisan masyarakat, khususnya di Indonesia. Buah ini tersedia sepanjang tahun tanpa mengenal musim. Pertumbuhan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Adapun morfologi tanaman tembakau adalah: Tanaman tembakau mempunyai akar tunggang terdapat pula akar-akar serabut

TINJAUAN PUSTAKA. Adapun morfologi tanaman tembakau adalah: Tanaman tembakau mempunyai akar tunggang terdapat pula akar-akar serabut TINJAUAN PUSTAKA Morfologi Tembakau adalah: Menurut Murdiyanti dan Sembiring (2004) klasifikasi tanaman tembakau Kingdom Divisi Sub divisi Class Ordo Family Genus : Plantae : Spermatophyta : Angiospermae

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1995 TENTANG PERLINDUNGAN TANAMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1995 TENTANG PERLINDUNGAN TANAMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1995 TENTANG PERLINDUNGAN TANAMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa tingkat produksi budidaya tanaman yang mantap sangat menentukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sawit, serta banyak digunakan untuk konsumsi makanan maupun non-makanan.

BAB I PENDAHULUAN. sawit, serta banyak digunakan untuk konsumsi makanan maupun non-makanan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Minyak kelapa sawit merupakan minyak nabati yang berasal dari buah kelapa sawit, serta banyak digunakan untuk konsumsi makanan maupun non-makanan. Minyak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kopi merupakan salah satu komoditas penting di dalam perdagangan dunia.

I. PENDAHULUAN. Kopi merupakan salah satu komoditas penting di dalam perdagangan dunia. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kopi merupakan salah satu komoditas penting di dalam perdagangan dunia. Meskipun bukan merupakan tanaman asli Indonesia, tanaman ini mempunyai peranan penting dalam industri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan produksi sayuran meningkat setiap tahunnya.

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan produksi sayuran meningkat setiap tahunnya. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sayuran adalah produk pertanian yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan memiliki beragam manfaat kesehatan bagi manusia.bagi kebanyakan orang, sayuran memberikan

Lebih terperinci

Geografi KEARIFAN DALAM PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM I. K e l a s. Kurikulum 2013

Geografi KEARIFAN DALAM PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM I. K e l a s. Kurikulum 2013 Kurikulum 2013 Geografi K e l a s XI KEARIFAN DALAM PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM I Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan berikut. 1. Memahami kegiatan pertanian

Lebih terperinci

Ambang Ekonomi. Dr. Akhmad Rizali. Strategi pengendalian hama: keuntungan dan resiko Resiko aplikasi pestisida

Ambang Ekonomi. Dr. Akhmad Rizali. Strategi pengendalian hama: keuntungan dan resiko Resiko aplikasi pestisida Ambang Ekonomi Dr. Akhmad Rizali Materi: http://rizali.staff.ub.ac.id Latar belakang Strategi pengendalian hama: keuntungan dan resiko Resiko aplikasi pestisida >90% tidak memenuhi target hama pencemaran

Lebih terperinci

KEBIJAKAN DAN STRATEGI OPERASIONAL PENGEMBANGAN BIOINDUSTRI KELAPA NASIONAL

KEBIJAKAN DAN STRATEGI OPERASIONAL PENGEMBANGAN BIOINDUSTRI KELAPA NASIONAL KEBIJAKAN DAN STRATEGI OPERASIONAL PENGEMBANGAN BIOINDUSTRI KELAPA NASIONAL Gamal Nasir Direktorat Jenderal Perkebunan PENDAHULUAN Kelapa memiliki peran strategis bagi penduduk Indonesia, karena selain

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya sebagian besar adalah petani. Sektor pertanian adalah salah satu pilar dalam pembangunan nasional Indonesia. Dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Semut (Hymenoptera: Formicidae) memiliki jumlah jenis dan

BAB I PENDAHULUAN. Semut (Hymenoptera: Formicidae) memiliki jumlah jenis dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Semut (Hymenoptera: Formicidae) memiliki jumlah jenis dan populasi yang berlimpah, terdiri dari 16 sub famili, 296 genus dan 15.000 spesies yang telah teridentifikasi

Lebih terperinci

Wilayah Produksi dan Potensi Pengembangan Jagung

Wilayah Produksi dan Potensi Pengembangan Jagung Wilayah Produksi dan Potensi Pengembangan Jagung Zubachtirodin, M.S. Pabbage, dan Subandi Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros PENDAHULUAN Jagung mempunyai peran strategis perekonomian nasional, mengingat

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN Indonesia sebagai negara agraris memiliki hasil pertanian yang sangat berlimpah. Pertanian merupakan sektor ekonomi yang memiliki posisi penting di Indonesia. Data Product

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN SERANGGA PARASITOID UNTUK PENGENDALIAN HAMA PADA TANAMAN KEHUTANAN

KEANEKARAGAMAN SERANGGA PARASITOID UNTUK PENGENDALIAN HAMA PADA TANAMAN KEHUTANAN KEANEKARAGAMAN SERANGGA PARASITOID UNTUK PENGENDALIAN HAMA PADA TANAMAN KEHUTANAN Yeni Nuraeni, Illa Anggraeni dan Wida Darwiati Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Kampus Balitbang Kehutanan, Jl.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kopi menjadi komoditi penting dan merupakan komoditi paling besar

I. PENDAHULUAN. Kopi menjadi komoditi penting dan merupakan komoditi paling besar 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kopi menjadi komoditi penting dan merupakan komoditi paling besar yang diperdagangkan dalam pasar dunia. Komoditi tersebut dihasilkan oleh 60 negara dan memberikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. daerah tropika. Tumbuhan yang termasuk suku polong-polongan ini memiliki

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. daerah tropika. Tumbuhan yang termasuk suku polong-polongan ini memiliki I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kacang hijau adalah tanaman budidaya palawija yang dikenal luas di daerah tropika. Tumbuhan yang termasuk suku polong-polongan ini memiliki banyak manfaat dalam kehidupan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Struktur PDB Menurut Lapangan Usaha di Indonesia Tahun (Persentase)

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Struktur PDB Menurut Lapangan Usaha di Indonesia Tahun (Persentase) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang berperan sangat penting. Sektor ini mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi, laju pertumbuhannya sebesar 4,8 persen

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. banyak menghadapi tantangan dan peluang terutama dipacu oleh proses

I. PENDAHULUAN. banyak menghadapi tantangan dan peluang terutama dipacu oleh proses I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Agribisnis buah-buahan Indonesia saat ini dan masa mendatang akan banyak menghadapi tantangan dan peluang terutama dipacu oleh proses globalisasi, proses yang ditandai

Lebih terperinci

AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN

AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN Noviana Khususiyah, Subekti Rahayu, dan S. Suyanto World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast

Lebih terperinci