BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN. Disfungsi ereksi (DE) pada pasien penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
|
|
- Indra Gunawan
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. DEFINISI Disfungsi ereksi (DE) pada pasien penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) stabil adalah ketidakmampuan persisten untuk mencapai dan/atau mempertahankan suatu ereksi yang cukup untuk aktivitas seksual yang memuaskan, yang ditemukan pada pasien PPOK stabil PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyakit yang ditandai dengan adalanya perlambatan aliran udara yang kronik disertai perubahan patologis paru, gejala ekstra-pulmoner, dan penyakit penyerta yang turut memberikan kontribusi terhadap keparahan penyakit pada pasien secara individual. 8 Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) didefinisikan sebagai penyakit yang ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel. Hambatan aliran udara ini bersifat progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun atau berbahaya. 1,9,10 Bronkitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK, karena bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis, sedangkan emfisema merupakan diagnosis patologi. 1 Dalam menilai gambaran klinis pada PPOK harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut : 1 a. Onset (awal terjadinya penyakit) biasanya pada usia pertengahan b. Perkembangan gejala bersifat progresif lambat
2 c. Riwayat pajanan, seperti merokok, polusi udara (di dalam ruangan, luar ruangan, dan tempat kerja) d. Sesak pada saat melakukan aktivitas e. Hambatan aliran udara umumnya irrevesibel (tidak bisa kembali normal) Diagnosis PPOK Dalam mendiagnosis PPOK dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang (foto toraks, spirometri dan lain-lain). Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan foto toraks dapat menentukan PPOK klinis. Apabila dilanjutkan dengan pemeriksaan spirometri akan dapat menentukan diagnosis PPOK sesuai stadium Diagnosis PPOK Klinis Diagnosis PPOK klinis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, yang akan diuraikan sebagai berikut : a. Anamnesis. 1,9 Ada faktor risiko : - usia pertengahan - riwayat pajanan asap rokok, polusi udara, polusi tempat kerja Gejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi. Keluhan respirasi ini harus diperiksa dengan teliti karena seringkali dianggap sebagai gejala yang biasa terjadi pada proses penuaan. - Batuk kronik Batuk kronik adalah batuk yang hilang timbul selama 3 bulan yang tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan
3 - Berdahak kronik Kadang kadang pasien menyatakan hanya berdahak terus menerus tanpa disertai batuk - Sesak napas, terutama pada saat melakukan aktivitas Seringkali pasien sudah mengalami adaptasi dengan sesak napas yang bersifat progresif lambat sehingga sesak ini tidak dikeluhkan. b. Pemeriksaan Fisik. 1,9 Pada pemeriksaan fisik seringkali tidak ditemukan kelainan yang jelas terutama auskultasi pada PPOK ringan, karena sudah mulai terdapat hiperinflasi alveoli. Sedangkan pada PPOK sedang dan berat seringkali terlihat perubahan cara bernapas atau perubahan bentuk anatomi toraks. Secara umum pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hal-hal sebagai berikut : Inspeksi Bentuk dada : barrel chest (dada seperti tong) Terdapat cara bernapas purse lips breathing (seperti orang meniup). Takipnea. Terlihat penggunaan dan hipertrofi (pembesaran) otot bantu napas. Pelebaran sela iga Tampilan fisik pink puffer atau blue bloater. Palpasi Fremitus melemah Perkusi Hipersonor Auskultasi Suara napas vesikuler melemah atau normal
4 Ekspirasi memanjang. Mengi (biasanya timbul pada eksaserbasi) Ronki kering. Bunyi jantung jauh. c. Pemeriksaan penunjang. 1,9 lain : Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada diagnosis PPOK antara Radiologi (foto toraks) Spirometri Laboratorium darah rutin (timbulnya polisitemia menunjukkan terjadi hipoksia kronik) Analisa gas darah Mikrobiologi sputum (diperlukan untuk pemilihan antibiotik bila terjadi eksaserbasi) Meskipun kadang kadang hasil pemeriksaan radiologis masih normal pada PPOK ringan tetapi pemeriksaan radiologis ini berfungsi juga untuk menyingkirkan diagnosis banding dari keluhan pasien. 1 Hasil pemeriksaan radiologis dapat berupa kelainan : 1 Paru hiperinflasi atau hiperlusen Diafragma mendatar Corakan bronkovaskuler meningkat Bulla Jantung pendulum
5 Diagnosis PPOK (secara klinis) apabila sekurang-kurangnya pada anamnesis ditemukan adanya riwayat pajanan faktor risiko disertai batuk kronik dan berdahak dengan sesak napas terutama pada saat melakukan aktivitas pada seseorang yang berusia pertengahan atau yang lebih tua Penentuan klasifikasi (stadium) PPOK Penentuan klasifikasi (stadium) PPOK sesuai dengan ketentuan Depkes RI 2008 / GOLD 2009 adalah sebagai berikut : 1,8 a. PPOK Stadium I (ringan) Gambaran klinis : Dengan atau tanpa batuk kronis Dengan atau tanpa produksi sputum Pasien biasanya tidak mengetahui bahwa fungsi parunya abnormal Spirometri (perlambatan aliran udara ringan) FEV1/FVC < 0,7 FEV1 80% prediksi b. PPOK Stadium II (sedang) Gambaran klinis : Dengan atau tanpa batuk kronis Dengan atau tanpa produksi sputum Sesak napas timbul pada saat aktivitas Pasien mulai mencari bantuan medis sehubungan dengan gejala pernapasan kronik atau keadaan eksaserbasi penyakitnya
6 Spirometri (perburukan dari perlambatan aliran udara) FEV1/FVC < 0,7 50% FEV1< 80% prediksi c. PPOK Stadium III (berat) Gambaran klinis : Sesak napas lebih berat Berkurangnya kapasitas aktivitas Fatigue Eksaserbasi lebih sering terjadi sehingga mempengaruhi kualitas hidup pasien. Spirometri (perburukan lebih lanjut dari perlambatan aliran udara) FEV1/FVC < 0,7 30% FEV1< 50% prediksi d. PPOK Stadium IV (sangat berat) Gambaran klinis & penunjang : Gagal napas kronik, ditunjukkan dari hasil pemeriksaan analisa gas darah, dengan kriteria PaO2 < 60 mmhg (hipoksemia, dengan atau tanpa PaCO2 > 50 mmhg (hiperkapnia) Disertai komplikasi kor pulmonale (gagal jantung kanan) ditandai dengan peningkatan tekanan vena jugularis, edema pitting kaki. Kualitas hidup sangat terganggu dan eksaserbasi dapat mengancam jiwa
7 Spirometri (perlambatan aliran udara berat) FEV1/FVC < 0,7 FEV1 < 30% prediksi, atau FEV1 < 50% prediksi ditambah gagal napas kronik / adanya komplikasi cor pulmonale 2.3. FUNGSI EREKSI Fisiologi Ereksi Pada tahun enampuluhan, William Masters dan Virginia Johnson mempublikasikan Human Sexual Response, sebuah buku yang memberikan gambaran terperinci mengenai beberapa fase perubahan organ seksual laki-laki sebagai respon seksual. Adapun respon seksual tersebut dibagi atas 4 fase : Excitement Gambar 1 Fase Excitement Perubahan permulaan organ seksual laki laki ketika jaringan spons diperbesar oleh darah untuk menghasilkan ereksi. Serabut otot dibawah kulit
8 skrotum membuat skrotum kontraksi dan bergerak lebih mendekati tubuh. Kelenjar Couper menghasilkan cairan jernih yang disekresikan ke dalam uretra. Secara bersamaan, terjadi peningkatan tekanan darah seiring dengan meningkatnya excitement seksual Plateau Gambar 2 Fase Plateau Pada fase ini, penis menjadi ereksi penuh dan laki-laki tersebut mendekati orgasm. Bagian atas penis menjadi semakin membesar dan gelap atau keunguan karena meningkatnya darah yang memenuhinya. Demikian juga terjadi peningkatan denyut nadi, tekanan darah dan ketegangan otot tubuh. Pernapasan menjadi cepat dan dalam. Banyak laki-laki tidak mampu bertahan pada fase ini lebih daripada waktu yang pendek sebelum orgasm datang. Meskipun demikian dengan pengendalian otot pelvis yang efisien, seorang laki-laki dapat belajar bertahan pada fase ini untuk waktu yang panjang ketika berhubungan seksual. 11
9 3. Orgasm Gambar 3 Fase Orgasm Ketika orgasm menjelang, terdapat sejumlah besar cairan pada kedua kelenjar prostat dan vesikula seminalis. Ketika orgasm otot penis berkontraksi dengan selang waktu yang teratur. Masters dan Johnson mengukur selang waktu antara kontraksi pertama sekitar 0,8 detik. Setelah beberapa detik kontraksi menjadi melemah dan panjang selang waktu meningkat. Serabut otot uretra juga mengalami kontraksi ketika ejakulasi untuk membantu mengeluarkan cairan semen melalui uretra yang terbuka Resolution Gambar 4 Fase Resolution
10 Setelah ejakulasi badan spons secara bertahap dikosongkan dari darah. Pada awalnya penis akan berkurang ukurannya sampai 50% dari ukuran ketika ereksi. Dibutuhkan waktu beberapa saat sebelum ukuran penis kembali pada keadaan flaccid. 11 Fisiologi ereksi mencakup komponen hormonal, vaskuler, psikologis, neurologis dan seluler. Testosteron terutama berperan mempertahankan hasrat seksual (libido), dan keadaan hipogonadism kadang-kadang berhubungan dengan disfungsi ereksi. Keadaan hormonal lain yang dapat menyebabkan disfungsi ereksi diantaranya adalah hipertiroid dan prolaktinoma. Suplai darah penis bermula pada arteri pudendal interna, yang bercabang kedalam arteri penis yang berakhir pada arteri kavernosa, dorsalis dan bulbouretra. Ereksi psikogenik, dipicu oleh stimulasi fantasi atau visual, yang kemungkinan dimediasi oleh masukan dari percabangan torakolumbal (T 11 sampai L 2 ). Ereksi refleks disebabkan oleh stimulasi taktil dan dimediasi sistim saraf parasimpatis (S 2 dan S 4 ). Secara keseluruhan, sinyal parasimpatetik bertanggung jawab untuk ereksi, dan sinyal simpatetik bertanggung jawab untuk ejakulasi. 12 Gairah seksual (sexual arousal) dan sinyal parasimpatetik pada penis memulai perubahan intraseluler yang diperlukan untuk ereksi (Gambar 5).
11 Gambar 5 Mekanisme molekuler ereksi penis. Nitric oxide dilepaskan dari terminal nervus nonadrenergik/nonkolinergik dan sel endotel pada korpus kavernosum. cgmp = cyclic guanosine monophosphate; GTP = guanosine triphosphate; PDE-5 = phosphodiesterase type 5. (Sumber : Beckman TJ. Evaluation and Medical Management of Erectile Dysfunction) Sel endotel dan nervus terminal melepaskan nitric oxide, yang pada gilirannya meningkatkan kadar cyclic guanosine monophosphate (cgmp). Kadar cgmp yang berlimpah menyebabkan relaksasi otot polos arteri dan kavernosa, serta meningkatkan aliran darah penis. Ketika tekanan intrakavernosa meningkat, venula subtunika penis terkompresi, sehingga membatasi aliran balik vena dari penis. Kombinasi peningkatan aliran arteri dan penurunan aliran balik vena mengakibatkan ereksi (Gambar 6). Proses ini dibalikkan oleh aktifitas type 5 cgmp phosphodiesterase (PDE), yang memecah cgmp, menyebabkan penghentian ereksi. 12,13
12 Gambar 6 Mekanisme Fisiologik Relaksasi Otot Polos Penis. (Sumber : McVary KT. Erectile dysfunction. N Engl J Med 2007) Disfungsi Ereksi Disfungsi ereksi merupakan salah satu tipe dari disfungsi seksual. Adapun disfungsi seksual memiliki beberapa tipe masalah, diantaranya : Libido Ejakulasi Disfungsi Ereksi Kombinasi dari tipe diatas
13 Berkurangnya libido dapat diakibatkan dari penyebab organik atau psikologik. Keadaan ini sering disertai kadar testosteron serum yang rendah atau kadar prolaktin yang meningkat, perubahan ini dapat primer maupun sekunder. Berkurangnya libido dapat juga berkaitan dengan problem psikologik, kesulitan menjalin hubungan, kesakitan medikal, penggunaan obat-obat tertentu. Kesulitan ejakulasi dapat berupa ejakulasi prematur, ejakulasi yang lambat, anejakulasi atau ejakulasi retrograd. Ejakulasi prematur lebih sering dijumpai pada laki-laki muda daripada yang lebih tua. Keadaan ini dapat hilang atau berkurang dengan bertambahnya usia dan pengalaman seksual. Ejakulasi prematur didefinisikan sebagai ejakulasi yang terjadi sebelum atau dalam 2 menit setelah penetrasi vagina. Faktor psikologis, medis atau keduanya harus dipertimbangkan. Obat adrenergik, seperti dekongestan, sering menyebabkan ejakulasi prematur, sebagaimana halnya dengan epinefrin endogen yang dihasilkan pada ansietas. Ejakulasi yang lambat atau anejakulasi juga dapat disebabkan karena penyebab psikologik, neurologik atau medis atau kombinasi diantaranya. Ejakulasi retrograd sering terjadi pada pasien dengan gangguan neurologik, terutama neuropati diabetik, atau sebagai komplikasi dari reseksi prostat transuretral. 14 Disfungsi ereksi merupakan masalah tersering melanda 80 85% pasien mencari bantuan medis untuk disfungsi seksual. 14 Disfungsi ereksi (DE) adalah ketidakmampuan persisten untuk mencapai dan/atau mempertahankan suatu ereksi yang cukup untuk aktivitas seksual yang memuaskan. 2 Disfungsi ereksi sering dianggap psikogenik dan sering diabaikan petugas kesehatan. Saat ini telah meningkat pengetahuan terhadap penyebab fisiologik disfungsi ereksi dan terapi
14 yang potensial memperbaiki kualitas hidup, kepercayaan diri, dan kemampuan mempertahankan hubungan intim. 7,13 Terdapat dua kategori disfungsi ereksi yaitu psikologik dan organik atau keduanya. Sering dijumpai seorang laki-laki yang mempunyai masalah dengan fungsi ereksi menjadi menderita ansietas, dan bisa kesulitan menentukan apakah faktor psikologik merupakan faktor utama atau menyertai penyakit lain. Penyebab psikogenik terlibat pada hampir semua laki-laki dengan disfungsi ereksi, bahkan jika diketahui bahwa kebanyakan proses patofisiologi yang dominan adalah organik. Aspek psikis berperan penting terhadap ereksi, bahkan jika malfungsi organik terkecil pun dapat berakibat pada konsekuensi psikologis, yang selanjutnya disebut dengan performance related anxiety. Faktor faktor yang berperan pada disfungsi ereksi psikogenik dibagi atas 3 kelompok, yaitu faktor predisposisi (pendidikan, kultur, pengalaman traumatik, masalah keluarga, stres keuangan), faktor pencetus (gangguan organik, perselingkuhan, harapan yang tidak rasional, depresi dan ansietas, kehilangan pasangan hidup), maintaining factors (penampilan terkait ansietas, berkurangnya daya tarik terhadap pasangan, ketakutan berhubungan intim). 15 Penyebab organik disfungsi ereksi meliputi : Neurogenik o Penyakit sistem saraf pusat : sklerosis multipel, cedera saraf spinal, depresi, penyakit parkinson, penyakit serebrovaskuler. 15
15 o Penyakit sistem saraf perifer : kompresi kauda equina, prolaps diskus intervertebralis, neuropati perifer (diabetes, alkohol), cedera bedah pada saraf pelvis. 15 Endokrin Testosteron berperan penting terhadap fungsi seksual laki-laki pada hasrat seksual dan ereksi penis. Akan tetapi, berkurangnya kadar testosteron mempunyai efek yang bervariasi terhadap fungsi ereksi. Terdapat pengurangan libido, tetapi hanya sedikit efek pada fungsi ereksi. Laki-laki dengan hipogonad tidak serta-merta kehilangan fungsi ereksinya, namun dapat terjadi pengurangan ereksi nocturnal, dengan berkurangnya lama dan kekakuan ereksi. 15 Vaskulogenik Penyakit vaskular merupakan penyebab paling sering disfungsi ereksi, dan dari semua penyebab vaskuler, yang paling banyak adalah aterosklerosis. Akan tetapi, tidak semua aterosklerosis berhubungan dengan disfungsi ereksi, tetapi faktor resikonya seperti merokok, hipertensi, hiperlipidemia dan diabetes, juga berkaitan dengan terjadinya disfungsi ereksi. Penelitian Massachusetts Male Aging menunjukan hubungan antara disfungsi ereksi dengan hipertensi, diabetes dan hiperkolesterolemia. Penelitian Cologne pada laki-laki dengan disfungsi ereksi juga tampak hubungan antara disfungsi ereksi dengan diabetes dan hipertensi, sementara itu beberapa penelitian lain menunjukkan hubungan antara merokok dan disfungsi ereksi. Pada tingkat seluler, telah dianggap bahwa pengurangan aliran masuk darah arteri menyebabkan hipoksia relatif didalam penis disusul dengan efek seluler (Gambar 1). Mediator seluler yang utama tampak berupa
16 Transforming Growth Factor Beta 1 (TGFβ1), yang meningkat pada hipoksia dan menginduksi perubahan trofik otot polos kavernosa. 15 Seluler Terdapat dua tipe sel kavernosa yang berperan penting pada ereksi penis, yaitu sel otot polos dan sel endotel. Sel endotel vaskuler membatasi ruang trabekuler dari sinusoid kavernosa dan melepaskan beberapa zat kimia vasoaktif yang mengendalikan tonus otot polos didalam penis, yang terpinting diantaranya adalah NO. Penyakit yang merusak endotel sehingga mengganggu respon vaskuler penis terhadap rangsangan neural. Beberapa penyakit yang dapat merusak endotel (termasuk hiperkolesterolemia), namun yang terpenting adalah diabetes melitus. Perubahan stuktur endotel pada diabetes melitus disertai perubahan fungsi akan berakibat terganggunya relaksasi otot polos. Pada penuaan dapat terjadi pengurangan otot polos penis. Jika terjadi malfungsi otot polos, dilatasi arteri menjadi tidak sempurna, dan relaksasi kavernosa gagal terjadi, akhirnya mekanisme oklusi vena gagal. 15 Iatrogenik Sejumlah obat-obatan dapat mengganggu fungsi seksual, dapat berupa efek pada fungsi ereksi, fungsi ejakulasi, atau hasrat seksual. Penggunaan obat-obat ini sangat jarang secara langsung menyebabkan disfungsi ereksi sendirian, kerja obat tersebut biasanya sebagai tambahan mekanisme patofisiologi yang lain. Pembedahan dan radioterapi juga dapat mengganggu fungsi ereksi. Pembedahan yang paling sering menyebabkan disfungsi ereksi adalah pembedahan pelvis radikal terhadap kanker rektum, kanker kandung kemih, atau kanker prostat.
17 Saraf parasimpatis yang membantu ereksi penis berada berdekatan dengan prostat dan sering mengalami kerusakan ketika pembedahan radikal. 15 Penyakit Sistemik Penyakit sistemik mempengaruhi fungsi seksual pria melalui berbagai jalan, antara lain pada penurunan libido dan impotensia ereksi, infertilitas, osteoporosis, dan penurunan massa otot. Efeknya dapat langsung pada tingkat testikular atau pada hypothalamic-pituitary-testicular axis. 16 Pada tingkat testikular dapat terjadi pengurangan fungsi sel Leydig yang mengakibatkan defisiensi androgen. Penyakit akut dan kronik dapat mengganggu hypothalamic-pituitary-testicular axis dan juga menyebabkan berkurangnya fungsi testikuler. Hipogonadisme didefinisikan sebagai berkurangnya aktifitas fungsional testis, dan dapat primer (penyakit testikuler) atau sekunder (penyakit hipotalamik-pituitari). Pada hipogonadisme primer, kadar testosteron berada dibawah rentang normal berkaitan dengan peningkatan gonadotropin. Sedangkan pada hipogonadisme sekunder kadar testosteron berada dibawah rentang normal berkaitan dengan kadar gonadotropin yang normal. Lama penyakit, apakah akut atau kronik tidak bermakna mempengaruhi kadar testosteron aktual, meskipun nilai testosteron sedikit tetapi tidak bermakna lebih rendah pada mereka dengan penyakit kronik dibandingkan dengan penyakit akut. Kadar follicle stimulating hormone (FSH), luteinising hormone (LH) dan prolaktin tidak berbeda bermakna diantara penderita penyakit akut dengan penyakit kronik. 16
18 2.4. DISFUNGSI EREKSI (DE) PADA PPOK STABIL Patogenesis DE pada PPOK Stabil Patogenesis terjadinya disfungsi ereksi pada pasien PPOK stabil belum sepenuhnya diketahui. Pada penelitian penelitian awal, Semple dkk (1979) menemukan kadar testosteron yang rendah pada pasien PPOK dibandingkan kontrol, dengan kadar serum LH dan FSH yang normal, dan melihat kadar gonadotropin tidak sesuai, diduga bahwa hipoksia menyebabkan supresi pituitari. Pasien PPOK yang juga mengalami hiperkapnia mempunyai kadar testoteron lebih rendah daripada yang normokapnia, secara sederhana merefleksikan keparahan penyakit PPOK. 17 Namun Gow dkk (1987) menemukan tidak ada korelasi bermakna antara tekanan oksigen arteri dan testosteron. 18 Penelitian Aasebo dkk (1993) menemukan bahwa pemberian terapi oksigen jangka panjang pada pasien PPOK laki-laki menunjukkan 5/12 pasien mengalami perbaikan impotensi dan peningkatan testosteron, dengan meningkatnya tekanan oksigen arteri. 19 Rhoden dkk (2002) melaporkan bahwa kadar testosteron tidak berkorelasi dengan disfungsi ereksi atau derajat disfungsi ereksi. 20 Hal yang berbeda dilaporkan oleh Svartberg dkk (2004) yang menemukan bahwa pemberian 250 mg testosteron IM setiap empat minggu pada pasien PPOK sedang sampai berat, secara bermakna memperbaiki fungsi ereksi, dan tidak mempengaruhi hasil spirometri maupun kadar PaO2. 21 Penelitian terbaru dilakukan oleh Karadag dkk (2007) menemukan derajat disfungsi ereksi tidak berkorelasi bermakna dengan kadar serum testosteron meskipun terdapat kadar testosteron pada pasien PPOK stabil tampak lebih rendah bermakna daripada kontrol. Sehingga sampai saat ini hubungan antara testosteron dan disfungsi ereksi pada pasien PPOK masih kontroversial. 7
19 Saat ini dugaan peran inflamasi kronik dapat menjadi pertimbangan. Hal ini dikuatkan oleh penelitian Karadag dkk (2007) yang menemukan bahwa terjadi peningkatan bermakna kadar sitokin pro-inflamasi (TNFα) seiring dengan semakin beratnya disfungsi ereksi dan keparahan PPOK. Walaupun demikian, masih belum jelas apakah TNF-α mempunyai efek langsung pada DE atau hanya merupakan refleksi dari semakin beratnya keparahan PPOK stabil. Penelitian lebih lanjut diperlukan, karena belum ada penelitian yang melaporkan hubungan disfungsi ereksi dengan sitokin pro-inflamasi pada pasien PPOK stabil. 7 Beberapa penelitian pada populasi umum melaporkan hubungan disfungsi ereksi dengan peningkatan sitokin pro-inflamasi. Ryu dkk (2004) menemukan hubungan disfungsi ereksi dengan peningkatan kadar TGF-β1 pada populasi umum. 22 Guigliano dkk (2004) menemukan konsentrasi sitokin pro-inflamasi (IL-6, IL-8, IL-18) dan CRP yang lebih tinggi bermakna pada pasien dengan disfungsi ereksi dibandingkan pasien tanpa disfungsi ereksi Frekuensi DE pada PPOK Stabil Beberapa penelitian terhadap pasien PPOK menghasilkan berbagai frekuensi disfungsi ereksi. Hudoyo dkk. (1996) melakukan survei dengan teknik wawancara, mereka menjumpai disfungsi seksual pada 62,5% dari 16 pasien laki laki dengan PPOK. 3 Ibanez dkk. (2001) mewawancarai pasien PPOK dengan gagal napas kronis dan pasangan mereka. Mereka mendeteksi disfungsi seksual pada 67% pasien. Saat wawancara dengan istri pasien, terdapat 94% istri merasakan perubahan kemampuan aktivitas seksual suami mereka sehubungan dengan konsekuensi penyakit yang diderita. 4 Koseoglu dkk. (2005) menemukan disfungsi ereksi pada 75,5% dari 60 pasien PPOK. 5 Leluya dkk. (2006) dengan kuesioner International
20 Index of Erectile Function (IEEF) menemukan disfungsi ereksi pada 97% dari 40 pasien PPOK stabil Diagnosis Disfungsi Ereksi pada pasien PPOK Stabil Disfungsi ereksi pada pasien PPOK stabil dipertimbangkan bila tidak ditemukan penyebab yang sering lainnya Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang diperlukan untuk menyingkirkan penyebab penyebab lain atau keadaan yang dapat mempengaruhi disfungsi ereksi pada pasien PPOK stabil. Selain laboratorium darah rutin juga diperlukan pemeriksaan kimia darah lain seperti fungsi hati, ureum, kreatinin dan kadar glukosa darah. Pemeriksaan foto toraks juga dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis penyakit paru lainnya atau menyingkirkan diagnosis banding dari keluhan pasien Kuesioner International Index of Erectile Function (IIEF). 24 Pasien PPOK stabil di wawancara untuk menjawab kuesioner International Index of Erectile Function (IIEF) yang merupakan suatu metode untuk mendiagnosis dan mengklasifikasikan DE. Skor IIEF berkisar 0 25 dan DE digolongkan dalam lima kelompok menurut kriteria National Institutes of Health sebagai berikut : Skor 0 7 : DE berat Skor 8 11 : DE sedang Skor : DE ringan-sedang Skor : DE ringan Skor : Tidak ada DE
PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK
PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK DEFINISI PPOK Penyakit paru yang dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat progresif dan berhubungan dengan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. namun demikian ternyata tidak semua pasangan dapat mengalami. Hubungan
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hubungan seksual yang harmonis adalah dambaan bagi setiap pasangan, namun demikian ternyata tidak semua pasangan dapat mengalami. Hubungan seksual yang harmonis dapat
Lebih terperinciBAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronis ditandai dengan hambatan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronis ditandai dengan hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel. Hambatan aliran udara ini
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruksi Kronik ( PPOK ) adalah penyakit paru kronik
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Paru Obstruksi Kronik ( PPOK ) adalah penyakit paru kronik yang ditandai dengan hambatan aliran udara saluran nafas, dimana hambatan aliran udara saluran nafas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Penyekat beta merupakan salah satu terapi medikamentosa pada pasien
BAB I PENDAHULUAN 1.A. Latar Belakang Penelitian Penyekat beta merupakan salah satu terapi medikamentosa pada pasien penyakit jantung koroner (PJK). Penggunaan penyekat beta diindikasikan pada semua pasien
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit yang mempunyai
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit yang mempunyai karakteristik keterbatasan aliran nafas yang persisten, bersifat progresif dan berkaitan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. keterbatasan aliran udara yang menetap pada saluran napas dan bersifat progresif.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah suatu keadaan terdapatnya keterbatasan aliran udara yang menetap pada saluran napas dan bersifat progresif. Penyakit ini
Lebih terperinciSuradi, Dian Utami W, Jatu Aviani
KEDARURATAN ASMA DAN PPOK Suradi, Dian Utami W, Jatu Aviani Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr. Moewardi Surakarta WORKSHOP PIR 2017 PENDAHULUAN PPOK --> penyebab utama mortalitas
Lebih terperinciBab I. Pendahuluan. yang ditandai oleh progresivitas obstruksi jalan nafas yang tidak sepenuhnya
Bab I Pendahuluan Latar Belakang Penelitian Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) didefinisikan sebagai penyakit yang ditandai oleh progresivitas obstruksi jalan nafas yang tidak sepenuhnya reversibel,
Lebih terperinciBAB I A. LATAR BELAKANG. morbiditas kronik dan mortalitas di seluruh dunia, sehingga banyak orang yang
BAB I A. LATAR BELAKANG Penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) merupakan penyebab utama dari morbiditas kronik dan mortalitas di seluruh dunia, sehingga banyak orang yang menderita akibat PPOK. PPOK merupakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. SK/XI/2008 tentang pedoman pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik,
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permasalahan penyakit paru obstruktif kronik telah di bahas dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1022/MENKES/ SK/XI/2008 tentang pedoman
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. progressif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) merupakan penyakit yang perlu diwaspadai karena penyakit ini merupakan penyebab kematian dengan nomor urut lima di Indonesia.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Bronkitis menurut American Academic of Pediatric (2005) merupakan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bronkitis menurut American Academic of Pediatric (2005) merupakan penyakit umum pada masyarakat yang di tandai dengan adanya peradangan pada saluran bronchial.
Lebih terperinciPENGANTAR KESEHATAN. DR.dr.BM.Wara K,MS Klinik Terapi Fisik FIK UNY. Ilmu Kesehatan pada dasarnya mempelajari cara memelihara dan
PENGANTAR KESEHATAN DR.dr.BM.Wara K,MS Klinik Terapi Fisik FIK UNY PENGANTAR Ilmu Kesehatan pada dasarnya mempelajari cara memelihara dan meningkatkan kesehatan, cara mencegah penyakit, cara menyembuhkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Di seluruh negara-negara industri stroke merupakan. problem kesehatan besar. Penyakit ini masih merupakan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di seluruh negara-negara industri stroke merupakan problem kesehatan besar. Penyakit ini masih merupakan penyabab ketiga terbesar kematian di dunia setelah penyakit
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyakit yang dapat
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyakit yang dapat dicegah dan diobati. Penyakit ini berhubungan dengan peningkatan respon inflamasi kronik pada jalan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam kehidupan rumah tangga, hubungan seksual merupakan unsur penting yang dapat meningkatkan hubungan dan kualitas hidup. Pada laki-laki, fungsi seksual normal terdiri
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. napas, batuk kronik, dahak, wheezing, atau kombinasi dari tanda tersebut.
1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah inflamasi saluran napas kecil. Pada bronkitis kronik terdapat infiltrat dan sekresi mukus di saluran pernapasan. Sedangkan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritik 1. Merokok a. Definisi Rokok Berdasarkan PP No. 19 tahun 2003, diketahui bahwa rokok adalah hasil olahan tembakau terbungkus yang meliputi kretek dan rokok
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tidak selalu diidentikkan semata-mata untuk menghasilkan keturunan (prokreasi),
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fungsi seksual merupakan bagian dari fungsi yang mempengaruhi kualitas hidup manusia. Fungsi seksual dalam hubungan seksual suami istri, pada dasarnya tidak selalu
Lebih terperinciKanker Prostat. Prostate Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved
Kanker Prostat Kanker prostat merupakan tumor ganas yang paling umum ditemukan pada populasi pria di Amerika Serikat, dan juga merupakan kanker pembunuh ke-5 populasi pria di Hong Kong. Jumlah pasien telah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kadar hormon seseorang. Aging proses pada pria disebabkan oleh menurunnya sistem
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Siklus kehidupan khususnya manusia pasti akan mengalami penuaan baik pada wanita maupun pria. Semakin bertambahnya usia, berbanding terbalik dengan kadar hormon seseorang.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan. penelitian, manfaat penelitian sebagai berikut.
1 BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini akan dibahas tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian sebagai berikut. A. Latar Belakang Aktivitas kehidupan manusia sangat dipengaruhi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Late-onset hypogonadism (LOH) atau andropause secara klinis dan
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Late-onset hypogonadism (LOH) atau andropause secara klinis dan biokimia dijelaskan sebagai penyakit pada pria tua dengan level serum testosteron di bawah parameter
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) atau Chronic Obstructive
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) atau Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) merupakan suatu istilah yang digunakan untuk sekelompok penyakit paru
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
20 BAB III METODE PENELITIAN A. Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross-sectional di mana variabel bebas dan variabel tergantung diobservasi
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bronkitis Kronik 2.1.1. Definisi bronkitis kronik Terma bronkitis kronik diperkenalkan di negara Inggris pada awal abad ke-19 untuk mendiskripsi inflamasi mukosal bronkial yang
Lebih terperinciDiabetes tipe 2 Pelajari gejalanya
Diabetes tipe 2 Pelajari gejalanya Diabetes type 2: apa artinya? Diabetes tipe 2 menyerang orang dari segala usia, dan dengan gejala-gejala awal tidak diketahui. Bahkan, sekitar satu dari tiga orang dengan
Lebih terperinciTentang Penyakit SIPILIS dan IMPOTEN...!!! Posted by AaZ - 12 Aug :26
Tentang Penyakit SIPILIS dan IMPOTEN...!!! Posted by AaZ - 12 Aug 2009 19:26 1. SIFILIS Sifilis adalah penyakit kelamin yang bersifat kronis dan menahun walaupun frekuensi penyakit ini mulai menurun, tapi
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. PPOK adalah penyakit paru obstruksi kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Paru Obstruktif Kronik 2.1.1 Definisi PPOK adalah penyakit paru obstruksi kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pada paru-paru terhadap partikel asing maupun gas (GOLD, 2013).
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah suatu penyakit progresif yang ditandai dengan pembatasan aliran udara yang masuk terjadi secara ireversibel, Sehingga
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. di Indonesia dan dunia. World Health Organization (WHO) memperkirakan 30%
BAB I PENDAHULUAN I.A. Latar Belakang Penyakit jantung koroner (PJK) telah menjadi penyebab kematian utama di Indonesia dan dunia. World Health Organization (WHO) memperkirakan 30% dari seluruh kematian
Lebih terperinciBAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan perekonomian ke
BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan perekonomian ke arah yang lebih baik di Indonesia, mempengaruhi pergeseran pola penyakit yang ditandai dengan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang besar di dunia luas dengan prevalensi, dan biaya yang tinggi. Penyakit ini
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan masalah kesehatan yang besar di dunia luas dengan prevalensi, dan biaya yang tinggi. Penyakit ini telah menjadi enam
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
37 BAB III METODE PENELITIAN 38 A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan secara cross sectional, variabel bebas dan variabel terikat diobservasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) akan mengalami peningkatan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) akan mengalami peningkatan beban kerja pernafasan, yang menimbulkan sesak nafas, sehingga pasien mengalami penurunan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. American Thoracic Society (ATS) dan European Respiratory Society (ERS)
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang American Thoracic Society (ATS) dan European Respiratory Society (ERS) mengartikan Penyakit Paru Obstruktif Kronik disingkat PPOK sebagai penyakit yang ditandai dengan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder IV, yang disebut Hypoactive Sexual Desire Disorder (HSDD) adalah (1) Berkurangnya fantasi seksual atau
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) termasuk ke dalam penyakit
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) termasuk ke dalam penyakit pernapasan kronis yang merupakan bagian dari noncommunicable disease (NCD). Kematian akibat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. membutuhkan perhatian di Indonesia. World Health Organisation (2012)
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) telah menjadi suatu keadaan yang membutuhkan perhatian di Indonesia. World Health Organisation (2012) mengatakan bahwa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan penyebab mortalitas terbesar kelima di dunia dan menunjukkan peningkatan jumlah kasus di negara maju dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. arsitektur hati dan pembentukan nodulus regeneratif (Sherlock dan Dooley,
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sirosis hati (cirrhosis hati / CH) adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir fibrosis hati yang ditandai dengan distorsi arsitektur hati dan
Lebih terperinciBAB V PEMBAHASAN. kelamin pria dipilih karena mayoritas populasi sampel di BBKPM adalah pria dan
BAB V PEMBAHASAN Dalam penelitian ini pasien yang dipilih adalah berjenis kelamin pria. Jenis kelamin pria dipilih karena mayoritas populasi sampel di BBKPM adalah pria dan supaya sampel homogen. Secara
Lebih terperinciASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN HIPERPITUITARISME
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN HIPERPITUITARISME A. Pengertian Hiperfungsi kelenjar hipofisis atau sering disebut hiperpituitarisme yaitu suatu kondisi patologis yang terjadi akibat tumor atau hiperplasi
Lebih terperinciGambar 3.1. Kerangka Konsep Karakteristik Pasien PPOK Eksaserbasi Akut
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1. Kerangka Konsep Pada penelitian ini kerangka konsep mengenai karakteristik pasien PPOK eksaserbasi akut akan diuraikan berdasarkan variabel katagorik
Lebih terperinciPenyakit pada Lansia. Gaya Hidup Aktif dan Proses Penuaan dr. Imas Damayanti, M.Kes FPOK-UPI
Penyakit pada Lansia Gaya Hidup Aktif dan Proses Penuaan dr. Imas Damayanti, M.Kes FPOK-UPI Semua penyakit ada obatnya kecuali menjadi tua Patofisiologi Penyakit-penyakit yang Berhungan dengan Usia Lanjut
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. gangguan kesehatan, penyakit degeneratif dan menurunnya kualitas hidup.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap makhluk hidup memiliki kesempatan yang sama untuk menjalani siklus kehidupan. Lingkaran kehidupan dimulai dari pembuahan, perkembangan janin, kelahiran, tumbuh
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Data prevalensi, morbiditas, dan mortalitas berbeda tiap negara namun secara umum terkait
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. EPIDEMIOLOGI Saat ini penyakit paru obstruksi kronik (PPOK ) merupakan masalah kesehatan global. Data prevalensi, morbiditas, dan mortalitas berbeda tiap negara namun secara
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dibutuhkan manusia dan tempat pengeluaran karbon dioksida sebagai hasil sekresi
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Paru-paru merupakan salah satu organ vital pada manusia yang berfungsi pada sistem pernapasan manusia. Bertugas sebagai tempat pertukaran oksigen yang dibutuhkan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. merupakan 63% penyebab kematian di seluruh dunia dengan membunuh 36 juta jiwa
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan epidemiologi kesehatan pada umumnya berfokus dalam menangani masalah penyakit menular. Hal ini dapat dilihat dari sejarah ilmu epidemiologi itu sendiri,
Lebih terperinciSTATUS PEMERIKSAAN PENELITIAN : UJI LATIHAN PERNAFASAN TERHADAP FAAL PARU, DERAJAT SESAK NAFAS DAN KAPASITAS FUNGSIONAL PENDERITA PPOK STABIL
LAMPIRAN 1 STATUS PEMERIKSAAN PENELITIAN : UJI LATIHAN PERNAFASAN TERHADAP FAAL PARU, DERAJAT SESAK NAFAS DAN KAPASITAS FUNGSIONAL PENDERITA PPOK STABIL No : RS/No.RM : Tanggal I. DATA PRIBADI 1. Nama
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker paru merupakan penyebab kematian terbanyak di dunia akibat kanker, baik pada pria maupun wanita di dunia. Di seluruh dunia, kematian akibat kanker paru sendiri
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) adalah penyakit yang dapat
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) adalah penyakit yang dapat dicegah dan diobati, yang ditandai oleh adanya keterbatasan aliran udara persisten yang biasanya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Merokok merupakan sebuah kebiasaan yang telah membudaya bagi masyarakat di sekitar kita. Di berbagai wilayah perkotaan sampai pedesaan, dari anak anak sampai orang
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Asma Dari waktu ke waktu, definisi asma mengalami perubahan beberapa kali karena perkembangan dari ilmu pengetahuan beserta pemahaman mengenai patologi, patofisiologi,
Lebih terperincimekanisme penyebab hipoksemia dan hiperkapnia akan dibicarakan lebih lanjut.
B. HIPERKAPNIA Hiperkapnia adalah berlebihnya karbon dioksida dalam jaringan. Mekanisme penting yang mendasari terjadinya hiperkapnia adalah ventilasi alveolar yang inadekuat untuk jumlah CO 2 yang diproduksi
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. didominasi oleh penyakit menular bergeser ke penyakit tidak menular (noncommunicable
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dengan berubahnya tingkat kesejahteraan, pola penyakit saat ini telah mengalami transisi epidemiologi yang ditandai dengan beralihnya penyebab kematian yang semula
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. menggunakan insulin yang diproduksi dengan efektif ditandai dengan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes adalah suatu penyakit kronis yang terjadi akibat kurangnya produksi insulin oleh pankreas atau keadaan dimana tubuh tidak dapat menggunakan insulin yang diproduksi
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. retrospektif ditetapkan sebagai saat menopause (Kuncara, 2008).
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menoupase didefinisikan oleh WHO sebagai penghentian menstruasi secara permanen akibat hilangnya aktivitas folikular ovarium. Setelah 12 bulan amenorea berturut-turut,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. merupakan akibat buruk merokok, baik secara langsung maupun tidak langsung.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Merokok mengganggu kesehatan barangkali merupakan istilah yang tepat, namun tidak populer dan tidak menarik bagi perokok. Banyak orang sakit akibat merokok, tetapi orang
Lebih terperinciPENDAHULUAN ETIOLOGI EPIDEMIOLOGI
PENDAHULUAN Hemotoraks adalah kondisi adanya darah di dalam rongga pleura. Asal darah tersebut dapat dari dinding dada, parenkim paru, jantung, atau pembuluh darah besar. Normalnya, rongga pleura hanya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Merokok menimbulkan berbagai masalah, baik di bidang kesehatan maupun sosio-ekonomi. Rokok menimbulkan berbagai masalah kesehatan seperti gangguan respirasi, gangguan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. menyerang lebih dari 25% populasi dewasa. (Smeltzer & Bare, 2001)
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) adalah klasifikasi luas dari gangguan, yang mencakup bronkitis kronis, bronkiektasis, emfisema, dan asma. Penyakit Paru Obstruksi
Lebih terperinci2006 Global Initiative for Asthma (GINA) tuntunan baru dalam penatalaksanaan asma yaitu kontrol asma
2006 Global Initiative for Asthma (GINA) tuntunan baru dalam penatalaksanaan asma yaitu kontrol asma penatalaksanaan asma terbaru menilai secara cepat apakah asma tersebut terkontrol, terkontrol sebagian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dari sekian banyak kasus penyakit jantung, Congestive Heart Failure
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dari sekian banyak kasus penyakit jantung, Congestive Heart Failure (CHF) menjadi yang terbesar. Bahkan dimasa yang akan datang penyakit ini diprediksi akan terus bertambah
Lebih terperinciBAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. menuju dewasa dimana terjadi proses pematangan seksual dengan. hasil tercapainya kemampuan reproduksi. Tanda pertama pubertas
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pendahuluan Pubertas merupakan suatu periode perkembangan transisi dari anak menuju dewasa dimana terjadi proses pematangan seksual dengan hasil tercapainya kemampuan reproduksi.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regenatif (Nurdjanah, 2009).
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sirosis hati adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari arsitektur
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. polusi udara baik dalam maupun luar ruangan, serta polusi di tempat kerja. 1
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) telah berkembang menjadi penyebab morbiditas dan mortalitas di dunia yang makin penting. PPOK menjadi penyakit berbahaya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Amerika dan mengakibatkan kematian jiwa pertahun, peringkat ke-empat
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) mempengaruhi 15 juta orang Amerika dan mengakibatkan kematian 160.000 jiwa pertahun, peringkat ke-empat sebagai penyebab kematian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infertilitas adalah suatu kondisi tidak terjadinya kehamilan pada pasangan yang telah berhubungan seksual tanpa menggunakan kontrasepsi secara teratur dalam waktu satu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. gangguan kesehatan yang semakin meningkat di dunia (Renjith dan Jayakumari, perkembangan ekonomi (Renjith dan Jayakumari, 2011).
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit jantung koroner (PJK) adalah penyebab utama kematian dan gangguan kesehatan yang semakin meningkat di dunia (Renjith dan Jayakumari, 2011). Dalam 3 dekade terakhir,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. di negara-negara barat. Penyakit jantung koroner akan menyebabkan angka
BAB I PENDAHULUAN I.A. Latar Belakang Penelitian Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan penyebab kematian terbanyak di negara-negara barat. Penyakit jantung koroner akan menyebabkan angka morbiditas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Spirometri adalah salah satu uji fungsi paru yang dapat digunakan untuk mendiagnosis penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) (Health Partners, 2011). Uji fungsi paru
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. gangguan pada berbagai organ. Sampai saat ini preeklamsia masih merupakan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Preeklamsia adalah suatu sindroma penyakit yang dapat menimbulkan gangguan pada berbagai organ. Sampai saat ini preeklamsia masih merupakan penyulit utama dalam kehamilan
Lebih terperinciBAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
1.5 Manfaat Penelitian 1. Di bidang akademik / ilmiah : meningkatkan pengetahuan dengan memberikan informasi bahwa ada hubungan antara kadar serum ferritin terhadap gangguan pertumbuhan pada talasemia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di negara-negara berkembang, diperkirakan penyakit tidak menular akan menggantikan penyakit menular dan malnutrisi sebagai penyebab utama kematian dan disabilitas (Rahajeng
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. hidup saat ini yang kurang memperhatikan keseimbangan pola makan. PGK ini
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan penyakit yang cukup banyak terjadi di dunia ini. Jumlah penderita PGK juga semakin meningkat seiring dengan gaya hidup saat ini
Lebih terperinciBAB 4 METODE PENELITIAN
BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah ilmu Penyakit Dalam, sub ilmu Pulmonologi dan Geriatri. 4.2 Tempat dan waktu penelitian Tempat peneltian ini adalah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. imunitas, gangguan sensasi kornea, riwayat operasi kornea, abnormalitas
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mata Kering (MK) merupakan suatu kondisi medis yang ditandai dengan ketidakmampuan mata untuk mempertahankan jumlah air mata yang cukup pada permukaan bola mata. MK
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. penyebab yang belum diketahui sampai saat ini, ditandai oleh adanya plak eritema
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Psoriasis merupakan penyakit inflamasi kronis pada kulit dengan penyebab yang belum diketahui sampai saat ini, ditandai oleh adanya plak eritema ditutupi sisik tebal
Lebih terperinciLAPORAN PENDAHULUAN PRAKTEK KOMPREHENSIF I DENGAN DIAGNOSA MEDIS PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)
LAPORAN PENDAHULUAN PRAKTEK KOMPREHENSIF I DENGAN DIAGNOSA MEDIS PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) A. Definisi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyakit paru kronik dengan karakteristik
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sering timbul dikalangan masyarakat. Data Report Word Healt Organitation
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit paru-paru merupakan suatu masalah kesehatan di Indonesia, salah satunya adalah asma. Serangan asma masih merupakan penyebab utama yang sering timbul dikalangan
Lebih terperinciHORMONAL PRIA. dr. Yandri Naldi
FUNGSI REPRODUKSI PRIA DAN HORMONAL PRIA dr. Yandri Naldi Fisiologi Kedokteran Unswagati cirebon Sistem reproduksi pria Sistem reproduksi pria meliputi organ-organ reproduksi, spermatogenesis dan hormon
Lebih terperinciDIABETES MELLITUS I. DEFINISI DIABETES MELLITUS Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen
DIABETES MELLITUS I. DEFINISI DIABETES MELLITUS Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat.
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. udara ekspirasi yang bervariasi (GINA, 2016). Proses inflamasi kronis yang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Asma merupakan penyakit heterogen dengan karakteristik adanya inflamasi saluran napas kronis. Penyakit ini ditandai dengan riwayat gejala saluran napas berupa wheezing,
Lebih terperinciSistem Reproduksi Pria meliputi: A. Organ-organ Reproduksi Pria B. Spermatogenesis, dan C. Hormon pada pria Organ Reproduksi Dalam Testis Saluran Pengeluaran Epididimis Vas Deferens Saluran Ejakulasi Urethra
Lebih terperincicommit to user BAB V PEMBAHASAN
48 BAB V PEMBAHASAN Penelitian mengenai perbedaan kualitas tidur antara pasien asma dengan pasien PPOK dilakukan pada bulan April sampai Mei 2013 di Poliklinik Paru RSUD Dr. Moewardi, dengan subjek penelitian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Disfungsi ereksi atau impotensi adalah ketidakmampuan yang persisten dalam mencapai atau mempertahankan fungsi ereksi untuk aktivitas seksual yang memuaskan. Batasan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Bahaya penggunaan timah hitam, timbal atau plumbum (Pb) mengakibatkan 350 kasus penyakit jantung koroner, 62.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahaya penggunaan timah hitam, timbal atau plumbum (Pb) mengakibatkan 350 kasus penyakit jantung koroner, 62.000 hipertensi, menurunkan IQ dan juga mengurangi kemampuan
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian PPOK Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik dengan karakteristik adanya hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Stroke adalah cedera otak yang berkaitan dengan gangguan aliran. yang menyumbat arteri. Pada stroke hemoragik, pembuluh darah otak
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Stroke adalah cedera otak yang berkaitan dengan gangguan aliran darah otak. Terdapat dua macam stroke yaitu iskemik dan hemoragik. Stroke iskemik dapat terjadi
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes mellitus (DM) adalah sekelompok gangguan metabolik. dari metabolisme karbohidrat dimana glukosa overproduksi dan kurang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Diabetes mellitus (DM) adalah sekelompok gangguan metabolik dari metabolisme karbohidrat dimana glukosa overproduksi dan kurang dimanfaatkan sehingga menyebabkan hiperglikemia,
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sindroma Ovarium Polikistik Sejak 1990 National Institutes of Health mensponsori konferensi Polikistik Ovarium Sindrom (PCOS), telah dipahami bahwa sindrom meliputi suatu spektrum
Lebih terperinciPENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK EKSASERBASI AKUT PADA LAKI-LAKI LANSIA. Damayanti A. 1)
PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK EKSASERBASI AKUT PADA LAKI-LAKI LANSIA Damayanti A. 1) 1) Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Lampung ABSTRAK Latar Belakang. Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK)
Lebih terperinciPENGARUH SENAM KAKI DIABETIK TERHADAP NYERI KAKI PADA PASIEN DIABETES MELLITUS DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS DELANGGU
1 PENGARUH SENAM KAKI DIABETIK TERHADAP NYERI KAKI PADA PASIEN DIABETES MELLITUS DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS DELANGGU SKRIPSI Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Meraih Derajat Sarjana Keperawatan Disusun
Lebih terperinciCURRICULUM VITAE. Nama : DR. Dr. Nur Ahmad Tabri, SpPD, K-P, SpP(K) Tempat, tanggal lahir : Ujung Pandang, 12 April 1959 Agama: Islam
CURRICULUM VITAE Nama : DR. Dr. Nur Ahmad Tabri, SpPD, K-P, SpP(K) Tempat, tanggal lahir : Ujung Pandang, 12 April 1959 Agama: Islam Email: nurahmad_59@yahoo.co.id Jabatan: Ketua Divisi Pulmonologi Dept.
Lebih terperincidisebabkan internal atau eksternal trauma, penyakit atau cedera. 1 tergantung bagian neurogenik yang terkena. Spincter urinarius mungkin terpengaruhi,
Fungsi normal kandung kemih adalah mengisi dan mengeluarkan urin secara terkoordinasi dan terkontrol. Aktifitas koordinasi ini diatur oleh sistem saraf pusat dan perifer. Neurogenic bladdre adalah keadaan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. PPOK merupakan penyakit yang dapat dicegah dan diobati dengan beberapa efek
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PPOK merupakan penyakit yang dapat dicegah dan diobati dengan beberapa efek ekstraparu yang signifikan dan berpengaruh terhadap keparahan penderita. Menurut GOLD (Global
Lebih terperinci