Daftar Isi Kata Pengantar Datar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar... Daftar Grafik... BAB I. Pendahuluan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Daftar Isi Kata Pengantar Datar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar... Daftar Grafik... BAB I. Pendahuluan"

Transkripsi

1

2 Kata Pengantar Pemerintah Kabupaten Gunungkidul dalam visinya, yaitu : Mewujudkan Gunungkidul yang lebih Maju, Makmur, dan Sejahtera. Serta pada Misi kedua, yaitu : Pemanfaatan sumber daya alam secara lestari, peningkatan iklim usaha yang kondusif, peningkatan peluang investasi, dan penggalangan sumber-sumber pendanaan untuk menggerakkan perekonomian daerah Oleh sebab itu kebijakan pembangunan ekonomi diupayakan dengan tetap menjaga keseimbangan anata pemanfaatan, keberlanjutan, keberadaan dan kegunaan sumber daya alam dan lingkungan hidup melalui pemanfaatan ruang yang serasi untuk kegiatan ekonomi dalam rangka mendukung peningkatan kualitas kehidupan masyarakat. Buku Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD) ini diharapkan dapat menggambarkan keadaan lingkungan hidup, baik penyebab dan dampak permasalahannya, maupun respon pemerintah dan masyarakat dalam menanggulangi masalah lingkungan hidup. Buku SLHD ini diharapkan sebagai sarana yang penting berkomunikasi, dan mendapatkan informasi mengenai lingkungan hidup, meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap lingkungan serta membantu dalam pengambil keputusan untuk menentukan tindakan yang diperlukan untuk memperbaiki pengelolaan lingkungan, maka perlu adanya Semoga buku ini bermanfaat bagi kita semua. ii

3 Daftar Isi Kata Pengantar ii Datar Isi iii Daftar Tabel iv Daftar Gambar vi Daftar Grafik viii BAB I. Pendahuluan A. Kondisi umum B. Permasalahan C. Isu Strategis Lingkungan Hidup Kabupaten Gunungkidul BAB II. Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya... II-1 A. Lahan dan Hutan... II-1 B. Keanekaragaman Hayati... II-26 C. Air II-28 D. Udara II-63 E. Laut, Pesisir dan Pantai II-73 F. Iklim... II-79 G. Bencana Alam... II-80 BAB III. Tekanan Terhadap Lingkungan... III-1 A. Kependudukan... III-1 B. Permukiman... III-2 C. Kesehatan... I II-10 D. Pertanian... III-14 E. Industri... III-16 F. Pertambangan... I II-18 G. Transportasi... I II-20 H. Energi... III-25 I. Pariwisata... III-26 J. Limbah B3... I II-31 BAB IV. Upaya Pengelolaan Lingkungan... IV-1 A. Rehabilitasi Lingkungan... IV-1 B. Amdal... IV-7 C. Penegakan Hukum... IV-8 D. Peran Serta Masyarakat... IV-12 E. Kelembagaan... IV-17 iii

4 Daftar Tabel Tabel 2-1. Kriteria Baku Kerusakan Tanah untuk Produksi Biomassa (di Lahan Kering) menurut PP RI No. 150 tahun II-3 Tabel 2-2. Hasil Pemantauan Kualitas Tanah di zone Utara... II-3 Tabel 2-3. Diameter Ukuran Besar Butir Penyusun Tanah... II-4 Tabel 2-4. Klasifikasi Kecepatan Infiltrasi... II-8 Tabel 2-5. Hubungan antara Nilai DHL (ms/cm) Tanah dengan Pertumbuhan Tanaman... II-11 Tabel 2.6. Hasil Analisa Sampel Tanah dari zone Utara, Dibandingkan Nilai Ambang Kritis Sesuai PP RI No. 150 Tahun II-13 Tabel 2-7. Hasil Pemantauan Kualitas Tanah di Zone Tengah... II-14 Tabel 2-8. Hasil Analisa Sampel Tanah dari Zone Tengah dibandingkan nilai ambang Kritis sesuai PP RI No. 150 tahun II-17 Tabel 2-9. Hasil Pemantauan Kualitas Tanah di zone Selatan...II-18 Tabel Hasil Analisa Sampel Tanah dari zone Selatan dibandingkan Nilai Ambang Kritis sesuai PP RI No. 150 tahun II-22 Tabel Status Peruntukan Hutan Negara... II-24 Tabel Potensi Hutan Rakyat Kabupaten Gunungkidul... II-25 Tabel Hutan Rakyat yang Dijadikan Kawasan Lindung...II-25 Tabel Jenis Flora yang Dilindungi... II-27 Tabel Jenis Fauna yang Dilindungi... II-27 Tabel Baku Mutu Air berdasarkan Kelas Air menurut PP RI No. 82 Tahun 2001 serta Metode Uji Kualitas Air Sungai... II-30 Tabel Hasil pengujian di alur Sungai yang Melewati Kota Wonosari pada Bulan April... I I-31 Tabel 2.18 Hasil Pengujian di Alur Sungai yang Melewati Kota Wonosari pada Bulan September...II-37 Tabel Hasil Pengujian Kualitas Air Sungai Oyo... II-44 Tabel Hasil Pengujian Parameter Kualitas Air di Alur Sungai Lainnya... II-48 Tabel Indeks Pencemaran Air Sungai yang Melewati Kota Wonosari... II-52 Tabel Indeks Pencemaran Air Sungai Oyo... II-53 Tabel 2-23 Indeks Pencemaran Air Sungai Lainnya... II-53 Tabel Parameter dan Baku Mutu Air Berdasarkan Permenkes No. 492/Menkes/Per/IV/2010 serta Metode Uji Kualitas Sumber Air... II-54 Tabel Hasil Pengujian Parameter Kualitas Air Mata Air... II-55 Tabel Hasil Pengujian Parameter-Parameter Air Telaga... II-56 Tabel Hasil Pengujian Parameter Kualitas Air Mata Air... II-61 Tabel Parameter yang dipantau, baku mutu dan metode pengujian kualitas udara ambien... II-65 iv

5 Tabel Hasil pengukuran parameter-parameter kualitas udara ambien... II-65 Tabel Hasil Pengujian Parameter Air Laut... II-74 Tabel 3-1. Indikator Perumahan Kabupaten Gunungkidul Tahun III-3 Tabel 3-2. Umur Harapan Hidup Penduduk Kabupaten Gunungkidul Tahun III-12 Tabel 3-3. Angka Kematian di Kabupaten Gunungkidul Tahun III-12 Tabel 3-4. Sepuluh besar penyakit di Puskesmas Kabupaten Gunungkiul... III-14 Tabel 3-5. Jenis usaha industri di Gunungkidul...III-17 Tabel 3-6. Luas areal dan Produksi pertambangan menurut jenis bahan galian... III-18 Tabel 3-7. Luas kerusakan lahan akibat pertambangan... III-20 Tabel 3-8. Panujang jalan dan lebar rata-rata jalan menurut status jalan... III-20 Tabel 3-9. Kondisi jalan menurut status jalan... III-21 Tabel Kinerja jaringan jalan ruas jalan utama jam sibuk... III-23 Tabel Jumlah kendaraan bermotor wajib uji dan realisasi III-25 Tabel Data jumlah kunjungan obyek wisata pantai di masing-masing pos retribusi... III-28 Tabel 4-1. Jenis tanaman penghijauan telaga menurut lokasi telaga... IV-1 Tabel 4.3. Hasil Kejuaraan Lomba Sekolah Adiwiyata... IV-10 v

6 Daftar Gambar Gambar 2-1. Gambar 2-2. Gambar 2-3. Gambar 2-4. Gambar 2-5. Gambar 2-6. Gambar 2-7. Gambar 2-8. Gambar 2-9. Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar 3-1. Gambar 3-2. Gambar 3-5. Gambar 3-6. Gambar 3-7. Gambar 3-8. Gambar 3-9. Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar 4.1. Segitiga Tekstur... II-5 Pengambilan Sampel Tanah di Nglipar... II-9 Pengambilan sampel tanah Desa Puylutas, Wonosari... II-10 Pengambilan sampel tanah di Desa Pampang Paliyan... II-11 Pengambilan Sampel tanah di Desa Pampang Paliyan... II-15 Pengambilan Sampel tanah di desa Ngeposari, Semanu... II-18 Pengambilan sampel tanah desa Kerdonmiri, Rongkop... II-22 Pengambilan sampel tanah dusun Kemuning, Patuk... II-23 Pengambilan Sampel Air Sungai Besole... II-37 Pengambilan sampel air sungai Blimbing... II-41 Air sungai oya Watusigar, Ngawen pada pemantauan bulan April (ki) danseptember (ka) II-45 Pengambilan sampel sungai oya Getas bulan September... II-50 Pengambilan Sampel Air Sungai Gedangan bulan September... II-51 Pengambilan sampel air Embung Nglanggeran... II-56 Pengambilan Sampel Air Telaga Wuru... II-58 Pengambilan Sampel Air Pok Blembem... II-62 Mata Air Ngembel... II-62 Pengambilan sampel air laut di Pantai Sadeng... II-75 Pengambilan Sampel Air Laut di Pantai Baron... II-75 Pengambilan Sampel Air Laut di Pantai Indrayanti... II-76 Pengambilan sampel air laut di Pantai Siung... II-76 Penanaman Cemara Udang... II-79 Trech Method... III-7 Area Method... III-8 Bak TPS... III-8 Arm roll... III-9 Dump truck... III-9 Kontainer Sampah... III-9 Buldozer... III-9 Exavator... III-9 Bak Sampah terpilah... III-10 Pelatihan pengelolaan sampah... III-10 Pelatihan pengolahan sampah... III-10 Bibit yang sudah tertanam... IV-2 vi

7 Gambar 4.1. Penghitungan bibit yang didistribusikan... IV-2 Gambar 4.3. Pembuatan lubang tanam IV-3 Gambar 4.4. Pembuatan lubang tanam IV-3 Gambar 4.5. Monitoring proses pembangunan sumur resapan di Balai Desa Patuk IV-4 Gambar4.6. Monitoring proses pembangunan sumur resapan di Sanggar Budaya Tirtomoyo Karangrejek IV-4 Gambar 4.7. Sumur resapan di SD Karangrejek..... IV-4 Gambar 4.8. Sumur resapan di SMPN 2 Patuk..... IV-4 Gambar4.9. Pembangunan taman hijau di pintu Gerbang kabupaten Gunungkidul Patuk....IV-5 Gambar4.10. Pembangunan taman hijau di pintu Gerbang kabupaten Gunungkidul Patuk IV-5 Gambar4.11. Pembinaan Pantai Lestari......IV-13 Gambar4.12. Pembinaan Kampung Hijau......IV-14 vii

8 Daftar Grafik Grafik 2-1. Berat isi tanah di Zone Utara dibandingkan dengan ambang kritisnya...ii-6 Grafik 2-2. Porositas total tanah di Zona Utara dibandingkan dengan ambang kritisnya... II-7 Grafik 2-3. Derajat pelulusan air (permeabilitas) sampel tanah di Zone Utara dibandingkan dengan ambang kritisnya...ii-8 Grafik 2-4. Potensial redoks sampel tanah di Zone Utara dibandingkan dengan ambang kritisnya... II-12 Grafik 2-5. Derajat pelulusan air (permeabilitas) sampel tanah di Zone Tengah dibandingkan dengan ambang kritisnya... II-16 Grafik 2-6. Potensial redoks sampel tanah di Zone Tengah dibandingkan dengan ambang kritisnya... II-17 Grafik 2-7. Derajat pelulusan air (permeabilitas) sampel tanah di Zone Selatan dibandingkan dengan ambang kritisnya... II-20 Grafik 2-8. Potensial redoks sampel tanah di Zone Selatan dibandingkan dengan ambang kritisnya... II-21 Grafik 2-9. Zat padat terlarut air sungai yang melewati Kota Wonosari pada bulan April... II-32 Grafik Nilai BOD dan COD air sungai yang melewati Kota Wonosari pada bulan April... II-36 Grafik Kandungan sulfat air sungai yang melewati Kota Wonosari pada bulan September... II-39 Grafik Nilai BOD dan COD air sungai yang melewati Kota Wonosari pada bulan September... II-39 Grafik Kandungan Coliform total air sungai yang melewati Kota Wonosari pada bulan September... II-40 Grafik Peningkatan Nitrat di alur sungai yang melewati kota Wonosari... II-41 Grafik Peningkatan Sulfat di alur sungai yang melewati kota Wonosari... II-42 Grafik Kandungan Nitrat di alur sungai yang melewati kota Wonosari bulan April dan September dibandingkan baku mutunya... II-42 Grafik Kandungan Nitrit di alur sungai yang melewati kota Wonosari bulan April dan September dibandingkan baku mutunya... II-43 Grafik BOD air sungai Oyo (ki) dan COD air sungai Oyo( Ka)... II-46 Grafik Peningkatan Nitrat di air sungai Oyo... II-46 Grafik Peningkatan Deterjen di air sungai Oyo... II-47 Grafik Kandungan Amoniak (ki) dan Nilai DO (Ka) air sungai Oyo dibandingkan baku mutunya... II-48 Grafik Kekeruhan air telaga dibandingkan baku mutunya... II-57 Grafik Kandungan zat organik air telaga dibandingkan baku mutunya... II-60 Grafik Kandungan NO2 di 7 titik pantau pada bulan Maret dan Oktober... II-67 Grafik Kandungan SO2 di 7 titik pantau pada bulan Maret dan Oktober... II-68 viii

9 Grafik Kandungan Ox di 7 titik pantau pada bulan Maret dan Oktober... II-69 Grafik Kandungan CO di 7 titik pantau pada bulan Maret dan Oktober... II-70 Grafik Kandungan Partikel/debu di 7 titik pantau pada bulan Maret dan Oktober... II-71 Grafik Tingkat kebisingan di 7 titik pantau dibandingkan dengan baku mutunya... II-73 Grafik 3.1. Pertumbuhan penduduk Gunungkidul... III-4 Grafik 3.2. Timbulan sampah penduduk Gunungkidul... III-5 Grafik 3.3. Diagram Pengelola Sampah... III-5 Grafik 3.4. Sebaran pelayanan persampahan UPT KP DPU Kabupaten Gunungkidul... III-6 Grafik 3.5. Perbandingan Angka Kematian Ibu (per kelahiran hidup) Nasional, DIY dan Kabupaten Gunungkidul... III-13 Grafik 3.6. Perbandingan Angka Kematian Bayi (per 1000 kelahiran hidup) Nasional, DIY dan Kabupaten Gunungkidul... III-13 Grafik 3.7. Panjang jalan dan lebar jalan menurut Status jalan di Kabupaten Gunungkidul... III-21 Grafik 3.8. Kondisi jalan menurut Status jalan di Kabupaten Gunungkidul... III-22 Grafik 3.9. Perbandingan Kondisi jalan menurut Status jalan di Kabupaten Gunungkidul... III-22 ix

10 BAB I PENDAHULUAN A. Kondisi Umum 1. Kondisi Geografi Kabupaten Gunungkidul adalah salah satu kabupaten yang berada di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan Ibukotanya di Wonosari. Luas wilayah Kabupaten Gunungkidul 1.485,36 km 2 atau sekitar 46,63 % dari luas wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kondisi iklim tropis Kabupaten Gunungkidul yang terletak antara Bujur Timur dan Lintang Selatan. Kabupaten Gunungkidul terletak di sebelah tenggara Kota Yogyakarta (Ibu kota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta). Jarak Wonosari sebagai Ibukota Kabupaten Gunungkidul dengan Kota Yogyakarta ± 39 km. Secara geografis Kabupaten Gunungkidul terletak pada Bujur Timur dan Lintang Selatan. Wilayah Kabupaten Gunungkidul selain berbatasan dengan kabupaten-kabupaten lain di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta juga berbatasan dengan kabupaten-kabupaten dari Provinsi Jawa Tengah dan Samudera Hindia. Batas wilayah Kabupaten Gunungkidul sebagai berikut: a. Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Bantul dan Kabupaten Sleman Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta b. Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Klaten dan Kabupaten Sukoharjo Provinsi Jawa Tengah c. Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Wonogiri Provinsi Jawa Tengah d. Sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Hindia Secara topografi dan kaitannya dengan pengembangan kecamatan di Kabupaten Gunungkidul, dapat dikelompokkan menjadi tiga zona topografi/ pengembangan, yaitu: a.zona Batur Agung Zona Batur Agung yang terletak di bagian utara ini merupakan pegunungan blok patahan yang tersusun oleh batuan sedimen volkanik berumur Oligo-Miosen Miosen Tengah. Elevasi pada zona ini adalah m dpal, dengan kemiringan lereng Pengembangannya diarahkan sebagai kawasan lindung rawan bencana, hutan lindung dan kawasan budidaya tanaman lahan kering dan lahan basah serta kawasan perbatasan. Luas Zona Batur Agung adalah Ha. Wilayah zona ini meliputi wilayah Kecamatan Patuk, Nglipar, Ngawen, Semin, Ponjong bagian utara dan Gedangsari bagian utara. I-1

11 b. Zona Ledok Wonosari Zona Ledok Wonosari terletak di bagian tengah Kabupaten Gunungkidul, mempunyai topografi hampir datar, bergelombang rendah, tersusun oleh batuan sedimen karbonat (batu gamping) yang berumur Miosen. Sebelah timur dari Ledok Wonosari adalah Tinggian Panggung atau disebut juga sebagai Masif Panggung (istilah geologi) yang tersusun oleh batuan sedimen volkaniklastik berumur Miosen. Elevasi pada Ledok Wonosari berkisar m dpal dan Tinggian Panggung berkisar m dpal. Pengembangannya diarahkan sebagai kawasan pertanian lahan kering dan lahan basah, kecuali pada wilayah hutan dan lembah Sungai Oyo yang berfungsi sebagai kawasan hutan lindung dan kawasan lindung bawahan serta kawasan penunjang sektor andalan. Luas Zona Ledok Wonosari Tinggian Pangung adalah ,80 Ha. Wilayah zona ini meliputi Kecamatan Playen, Wonosari, Karangmojo, Ponjong bagian tengah, Gedangsari dan Semanu bagian Utara. c.zona Pegunungan Seribu Zona di bagian selatan ini mempunyai topografi yang sangat khas, sebagai bentukan ekosistem karst. Bentuk topografi karst ini misalnya: kerucut karst, bentukan ledokan karst (dolina), telaga karst, goa karst, sungai bawah tanah serta morfologi pantai bertebing terjal yang langsung berbatasan dengan Samudera Indonesia. Elevasi pada zona ini berkisar m dpal, dengan kemiringan lereng rata-rata 25 o -30 o. Pengembangannya diarahkan sebagai kawasan lindung setempat, ekosistem karst, goa karst, mata air dan sempadan pantai. Kawasan yang membutuhkan penanganan yang optimal adalah kawasan yang sumberdaya alamnya kritis dan terbatas sumberdaya alternatifnya serta wilayah perbatasan. Luas zona ini ,20 Ha. 2. Kondisi Lingkungan Hidup 2.1. Kondisi Kualitas Air a. Kondisi Kualitas Air Sungai Hasil pemantauan kualitas air sungai yang melewati kota Wonosari, yaitu sungai Besole (bagian hulu), sungai Kepek, Sungai Krapyak dan sungai Blimbing (bagian tengah) serta sungai Wunut (bagian hilir), pada bulan April mutu air di alur sungai Kepek dan sungai Krapyak, termasuk dalam kategori tercemar sedang bila digunakan sebagai prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut, (mutu air kelas 2) menurut Peraturan Pemerintah RI No. 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, sedangkan di sungai Blimbing dan sungai Wunut masih memenuhi baku mutu bila digunakan untuk peruntukan yang sama. Pada I-2

12 pemantauan bulan September hampir di semua titik pemantauan, mutu air sungai termasuk dalam kategori tercemar ringan kecuali di penggal sungai Besole yang masih memenuhi baku mutu. Parameter yang dominan menyebabkan sungai Kepek dan Sungai Krapyak masuk dalam kategori tercemar sedang pada pemantauan bulan April adalah kandungan nitrit. Parameter yang dominan menyebabkan sungai yang melewati kota Wonosari pada pemantauan bulan September termasuk dalam kategori tercemar ringan adalah kandungan nitrit untuk penggal sungai Kepek dan sungai Krapyak, sedangkan di sungai Blimbing dan sungai Wunut adalah kandungan nitrat. Hasil pengujian parameter fisika, kimia dan biologi di alur sungai yang melewati kota Wonosari pada pemantauan bulan April maupun September cukup bervariasi. Pada bulan September parameter kimia yang mengalami peningkatan cukup besar dibandingkan dengan hasil pemantauan bulan April adalah parameter kandungan nitrat dan kandungan sulfat di semua lokasi pemantauan, ph di Sungai Krapyak, kandungan amoniak di sungai Blimbing dan sungai Wunut, Biologycal Oxygen Demand (BOD) di sungai Wunut dan terjadi penurunan Dissolved Oxygen (DO) atau oksigen terlarut terjadi Sungai Wunut. Peningkatan kandungan nitrat terjadi di semua titik pemantauan. Peningkatan tertinggi terjadi di sungai Kepek (bagian tengah), sedangkan peningkatan kandungan sulfat tertinggi terjadi di sungai Wunut (bagian hilir) Dari hasil pemantauan air sungai yang melewati kota Wonosari, yang dilakukan pada bulan April ada parameter yang melampaui baku mutu air untuk kelas 2 menurut PP RI No. 82 tahun 2001, yaitu kandungan nitrit di sungai Kepek dan sungai Krapyak serta Dissolved Oxygen (DO) atau oksigen terlarut di sungai Blimbing. Pada pemantauan bulan September, parameter yang melebihi baku mutu adalah kandungan nitrat di sungai Kepek, sungai Blimbing dan sungai Wunut, kandungan nitrit di sungai Besole dan sungai Krapyak serta DO di sungai Krapyak Air sungai Oyo mulai dari bagian hulu (Watusigar, Ngawen), bagian tengah (Karangtengah, Wonosari) dan bagian hilir (Getas, Playen), pada pemantauan bulan April, memiliki status mutu tercemar ringan bila dipergunakan untuk air baku air minum dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut (mutu air kelas 1) menurut Peraturan Pemerintah RI No. 82 tahun 2001, sedangkan pada pemantauan bulan September air sungai Oyo dari hulu sampai ke hilir masuk dalam kategori memenuhi baku mutu. Parameter yang dominan menyebabkan status mutu air sungai Oyo tercemar ringan pada pemantauan bulan April adalah kandungan amoniak untuk alur sungai bagian hulu dan hilir serta kandungan total coliform untuk alur sungai bagian tengah. Hasil pengujian parameter fisika, kimia dan biologi di sepanjang alur sungai Oyo dari hulu sampai hilir (Watusigar, Karangtengah dan Getas) cukup bervariasi. Pada pemantauan I-3

13 bulan September terjadi peningkatan untuk kandungan nitrat, nitrit, sulfat dan deterjen, serta penurunan kadar Dissolved Oxygen (DO) atau oksigen terlarut dibandingkan pada pemantauan bulan April. Kandungan nitrat dan deterjen meningkat di semua titik pemantauan. Peningkatan kandungan nitrat tertinggi terdapat di bagian tengah, peningkatan kandungan deterjen tertinggi terdapat di bagian hulu, sedangkan peningkatan kandungan nitrit hanya terjadi di alur sungai bagian tengah. Peningkatan kandungan sulfat terjadi di bagian hulu dan tengah, di mana peningkatan yang lebih besar terjadi di bagian hulu, sedangkan penurunan kadar DO terjadi di alur sungai bagian hulu dan tengah, di mana penurunan yang lebih besar terjadi di bagian hulu. Parameter yang melebihi baku mutu air kelas 1 menurut Peraturan Pemerintah RI No. 82 tahun 2001 di alur sungai Oyo, baik pada pemantauan yang dilakukan pada bulan April maupun September, adalah kandungan amoniak, nitrit, Biologycal Oxygen Demand (BOD) dan total coliform serta terdapat kadar Dissolved Oxygen (DO) atau oksigen terlarut yang kurang dari ambang batas yang dipersyaratkan. Kandungan amoniak yang melebihi baku mutu terdapat di alur sungai bagian hulu dan hilir pada pemantauan bulan April, sedangkan kandungan nitrit yang melebihi baku mutu hanya terdapat di alur sungai bagian hilir pada pemantauan bulan April. Nilai BOD yang melebihi baku mutu terdapat di bagian hulu pada pemantauan bulan April, sedangkan nilai DO atau oksigen terlarut yang kurang dari yang dipersyaratkan terdapat di alur sungai bagian tengah dan hilir pada pemantauan bulan April serta di bagian tengah pada pemantauan bulan September. Kualitas air di alur sungai Pentung (Patuk) dan sungai Gedangan (Karangmojo) pada pemantauan bulan April maupun September memenuhi baku mutu untuk digunakan sebagai prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut (mutu air kelas 2) menurut Peraturan Pemerintah RI No. 82 tahun Pengujian parameter fisika, kimia dan biologi air di alur sungai Pentung (Patuk) dan sungai Gedangan (Karangmojo) pada bulan April dan September hasilnya cukup bervariasi. Parameter yang mengalami peningkatan pada pemantauan bulan September bila dibandingkan hasil pemantauan pada bulan April di kedua sungai ini adalah Total Dissolved Solid (TDS) atau zat padat terlarut, kandungan nitrat, kandungan nitrit, kandungan sulfat, kandungan besi total (Fe), kandungan deterjen, Biological Oxygen Demand (BOD) dan Chemichal Oxygen Demand (COD). Kandungan nitrit, sulfat, deterjen dan BOD meningkat di kedua sungai yang dipantau. Peningkatan kandungan nitrit, deterjen dan nilai BOD yang lebih besar terdapat di sungai Gedangan, sedangkan peningkatan kandungan sulfat yang lebih besar terjadi di sungai Pentung. Peningkatan TDS dan kandungan besi total (Fe) hanya I-4

14 terdapat di sungai Gedangan, sedangkan kandungan nitrat hanya meningkat di sungai Pentung. Dari hasil pemantauan bulan April maupun bulan September, di alur sungai Pentung (Patuk) dan sungai Gedangan (Karangmojo) tidak ada parameter yang melebihi baku mutu air untuk kelas 2 menurut PP RI No. 82 tahun b. Kondisi Kualitas Air Laut Kandungan bahan-bahan pencemar air laut yang dipantau di pantai Baron, Tanjungsari, pantai Indrayanti dan pantai Siung di Tepus serta pantai Sadeng, Girisubo cukup bervariasi. Hampir semua kandungan parameter kimia air laut di 4 lokasi pantai yang dipantau melebihi baku mutu yang diperkenankan berdasarkan Lampiran 3 Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut, kecuali untuk kandungan nitrat dan sianida. Kandungan tembaga, timbal dan krom melebihi baku mutu di semua lokasi pemantauan. Kandungan amoniak melebihi baku mutu di pantai Siung dan pantai Indrayanti, sedangkan kandungan sulfida melebihi baku mutu terdapat di pantai Sadeng dan pantai Baron. c. Kondisi Kualitas Air Sumber/Mata Air Hasil pemantauan kualitas air sumber air yang dilakukan di Embung Nglanggeran, baik untuk parameter fisika maupun kimia cukup baik, tidak ada parameter yang melebihi baku mutu yang diperkenankan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 492/Menkes/Per/IV/2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum, namun untuk parameter biologi, yang dilihat dari kandungan total coliform melebihi baku mutu bila dibandingkan dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 492/Menkes/Per/IV/2010. d. Kondisi Air Telaga Hasil pemantauan kualitas air telaga yang dilakukan di Telaga Kerdonmiri, Karangwuni, Rongkop, Telaga Wuru, Pringombo, Rongkop, Telaga Wotawati, Jerukwudel, Girisubo, Telaga Ngomang, Saptosari dan telaga Kemuning, Bunder, Patuk menunjukkan bahwa kandungan bahan-bahan pencemar di 5 lokasi telaga cukup bervariasi. Hasil pengujian parameter yang melebihi baku mutu menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 492/Menkes/Per/IV/2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum adalah kekeruhan dan kandungan zat organik di semua lokasi telaga yang dipantau, kandungan besi total di Telaga Wotawati dan kandungan total coliform di telaga Ngomang dan Telaga Kemuning. I-5

15 2.2. Kondisi Kualitas Udara Ambien Kualitas udara di Kabupaten Gunungkidul bisa dikatakan masih cukup baik, karena dari hasil pemantauan yang dilakukan di 7 titik lokasi (simpang tiga Sambipitu, simpang empat Kantor Pos Wonosari, taman parkir Pasar Argosari Wonosari, Kawasan industri Mijahan, simpang tiga Bedoyo, simpang empat Karangmojo dan Pasar Semin) pada bulan Maret maupun Oktober, hasil pengujian parameter-parameter kualitas udara ambiennya masih berada di bawah ambang batas yang diperkenankan berdasarkan Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta No. 153 Tahun 2002 tentang Baku Mutu Udara Ambien Daerah di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, namun untuk parameter kebisingan, di beberapa titik sudah melebihi ambang batas yang diperkenankan berdasarkan Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta No. 176 Tahun 2003 tentang Baku Tingkat Getaran, Kebisingan dan Kebauan di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kandungan gas ozon (Ox) dan partikel (debu) di udara pada pemantauan bulan Oktober di sebagian besar lokasi mengalami peningkatan dibandingkan pada pemantauan bulan Maret Kondisi Kualitas Tanah Hasil pemantauan kualitas tanah di zone Utara, yang meliputi kecamatan Patuk, Gedangsari, Nglipar, Ngawen, Ponjong dan Semin dapat dilihat bahwa sampel tanah dari Ngawen melebihi ambang kritis untuk 2 parameter dibandingkan dengan Kriteria Baku Kerusakan Tanah untuk Produksi Biomassa (di lahan kering) menurut Peraturan Pemerintah RI No. 150 tahun 2000 tentang Pengendalian Kerusakan Tanah untuk Produksi Biomassa, yaitu parameter daya hantar listrik (DHL) dan potensial redoks. Sampel tanah dari Patuk (Widoro Kulon) melebihi ambang kritis untuk 3 parameter, yaitu parameter berat isi, daya hantar listrik (DHL) dan potensial redoks. Sampel tanah dari Patuk (Kemuning), Ponjong dan Semin melebihi ambang kritis untuk 4 parameter, yaitu untuk parameter berat isi (Ponjong dan Semin), porositas total (Patuk dan Semin), derajat pelulusan air (Patuk dan Ponjong), daya hantar listrik (Patuk, Ponjong dan Semin) serta potensial redoks (Patuk, Ponjong dan Semin). Sampel dari Gedangsari dan Nglipar melebihi ambang batas untuk 5 parameter, yaitu komponen koloid, berat isi, derajat pelulusan air, daya hantar listrik dan potensial redoks untuk sampel tanah di Gedangsari, sedangkan untuk sampel tanah dari Nglipar melebihi ambang batas untuk parameter berat isi, porositas total, derajat pelulusan air, daya hantar listrik dan potensial redoks. Dari pemantauan kualitas tanah di zone Tengah, yang meliputi kecamatan Playen, Wonosari, Karangmojo dan Semanu dapat dilihat bahwa sampel tanah dari Playen dan Karangmojo melebihi ambang kritis untuk 2 parameter, yaitu daya hantar listrik dan potensial redoks. Sampel tanah dari Wonosari, baik dari desa Pulutan maupun Karangrejek serta dari I-6

16 Semanu melebihi ambang kritis untuk 3 parameter, yaitu untuk parameter ketebalan solum, derajat pelulusan air (permeabilitas), daya hantar listrik (DHL) dan potensial redoks. Dari pemantauan kualitas tanah di zone Selatan, yang meliputi kecamatan Purwosari, Panggang, Saptosari, Paliyan, Tanjungsari, Tepus, Rongkop dan Girisubo dapat dilihat bahwa sampel tanah dari Saptosari, Paliyan dan Tepus melebihi ambang kritis untuk 2 parameter, yaitu untuk parameter daya hantar listrik (DHL) dan potensial redoks, sampel tanah dari Tanjungsari, Rongkop dan Girisubo melebihi ambang kritis untuk 3 parameter, yaitu untuk kebatuan permukaan, DHL dan potensial redoks untuk sampel tanah dari Tanjungsari, sedangkan sampel tanah dari Rongkop dan Girisubo melebihi ambang kritis untuk parameter derajat pelulusan air (permeabilitas), DHL dan potensial redoks. Sampel tanah dari Purwosari melebini ambang kritis untuk 4 parameter, yaitu porositas total, derajat pelulusan air (permeabilitas), daya hantar listrik dan potensial redoks, sedangkan sampel tanah dari Panggang melebihi ambang kritis untuk 5 parameter, yaitu berat isi, porositas total, derajat pelulusan air (permeabilitas), daya hantar listrik dan potensial redoks. B. Permasalahan Ketersediaan sumberdaya alam di Kabupaten Gunungkidul secara umum masih cukup baik, kawasan hutan yang telah mencapai ,68 Ha, apabila dilihat dari kebutuhan luas hutan minimal yang harus dimiliki Ha, berdasarkan amanat Undang-Undang Pokok Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999, bahwa setiap wilayah minimal harus mempunyai zona bervegetasi hutan minimal 30% dari luas total wilayah. Maka Gunungkidul telah memenuhi kebutuhan luas hutan minimananl yang diamanatkan dalam Undang-undang Pokok Kehutanan. Sedangkan luas lahan kritis yang ada di Kabupaten Gunungkidul pada tahun 2013 adalah seluas 5.773,97 Ha atau menurun dibandingkan luas lahan kritis tahun 2012 yaitu ,33 Ha atau menurun 50%. Lahan kritis terbesar di Kecamatan Panggang yaitu Ha dan terkecil di Kecamatan Wonosari. Keberhasilan penurunan lahan kritis ini merupakan indikator keberhasilan penanaman tanaman penghijuan di Kabupaten Gunungkidul. Kondisi lingkungan di Kabupaten Gunungkidul masih cukup baik berdasarkan pemantauan kualitas lingkungan, baik kualitas udara (udara ambien), kualitas air (air sungai, sumber air, air laut) maupun kualitas tanah. Hal yang mengkhawatirkan bagi lingkungan hidup adalah kerusakan lahan akibat pertambangan berdasarkan data dari Disperindagkoptam tahun 2009 seluas M 2, yang menyebar di tiga kecamatan yaitu Ponjong, Wonosari, dan Semanu, dengan kondisi yang masuk dalam kriteria antara rusak dan sedang. Pertambangan tersebut berada di 41 lokasi penambangan, dengan jenis bahan tambang adalah batu gamping keprus, dan sebagian besar merupakan penambangan tanpa izin (Peti). Dimungkinkan kerusakan lahan akibat pertambangan pada tahun 2013 semakin luas, apalagi penggunaan alat berat dalam melakukan eksploitasi pertambangan cenderung semakin marak di tahun I-7

17 2013 ini. Kondisi pertambangan saat ini terus berlangsung tetapi tanpa izin atau illegal, dan kerusakan lingkungan yang terjadi semakin tidak terkontrol. Kerusakan lahan yang ditimbulkan adalah timbulnya lubang bekas penambangan yang tidak di reklamasi atau tidak melakukan pengelolaan pasca tambang/reklamasi. Penggunaan bahan peledak dan alat berat dalam menambang akan menimbulkan getaran, kebisingan dan debu. Teknik penambangan rakyat yang dilakukan tidak sesuai aturan, karena rendahnya pengetahuan penambang tentang teknik menambang yang benar, sehingga berdampak pada aspek keselamatan dan kerusakan lingkungan. Kasus pencemaran lingkungan yang terjadi selama tahun 2013 yaitu pencemaran udara, yaitu bau dan lalat dari kegiatan peternakan ayam. Sebagian besar usaha/kegiatan yang diadukan belum memiliki ijin usaha an sebagian lagi sudah berizin tetapi kurang taat dalam melaksanakan upaya pengelolaan lingkungan dan perubahan usaha tidak disertai perubahan izin usaha dan dokumen lingkungan hidup. Kasus pengaduan lainnya yang belum terselesaikan dan dampaknya sampai wilayah Jawa Tengah adalah pembuangan limbah cair/bubur/mild dari usaha pemotongan/pengolahan batu alam di wilayah Semin. Apabila dilihat dari Peraturan Daerah Nomor 6 tahun 2011 tentang RTRW Kabupaten Gunungkidul tahun bahwa Desa Candirejo Kecamatan Semin ditetapkan sebagai kawasan industri, di lokasi ini telah tumbuh dan berkembang industri pengolahan/pemotongan batu alam yang menghasilkan limbah cair berupa mild/bubur yang dibuang ke sungai yang melintas wilayah Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah dan menimbulkan keresahan masyarakat petani di sana dikhawatirkan dapat mengancam tanaman pertanian karena air yang digunakan untuk irigasi dari sungai tercampur mild/bubur dari limbah industri pemotongan/pengolahan batu alam di wilayah Semin dan lebih jauh dikhawatirkan dapat mengancam ketahanan pangan. Sebagai tindak lanjut Pemerintah Daerah Gunungkidul dan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah melakukan operasi bersama terhadap usaha Pemotongan/pengolahan batu alam, diperoleh fakta bahwa sebagian usaha tersebut belum berizin, dan ada yang berizin tetapi tidak taat dalam mengelola dampak yang ditimbulkan. Selanjutnya disepakati diserahkan Pemerintah Daerah Gunungkidul untuk melakukan pengawasan dan pembinaan serta meninjau tata ruang wilayah. C. Isu Strategis Lingkungan Hidup Kabupaten Gunungkidul 1. Ekosistem Perbukitan Karst Selama tahun 2013 isu lingkungan yang mencuat adalah penambangan tanpa izin dan penggunaan alat berat dalam proses penambangan batu kapur di wilayah karst. Terkait ketidak jelasan aturan pertambangan, beberapa undang-undang yang menjadi referensi belum bisa menjadi jawaban pasti untuk memberi solusi tepat bagi para penambang. Hingga saat ini para penambang terus mengajukan ijin permohonan agar bisa secara resmi mengelola I-8

18 lahan pertambangan. Namun mereka belum mendapat kejelasan legalitas atas hukum dan usaha mereka hingga sekarang, sehingga belum mendapatkan rekomendasi izin. Dalam hal aturan, pemerintah daerah tak hanya mengacu pada satu referensi saja tapi secara garis besar selama ini mengacu pada Permen 17 Tahun 2012 tentang penetapan kawasan bentang alam karst, namun untuk peraturan daerah terbaru yang berisikan pemetaan wilayah kawasan karst yang dapat ditambang masih dalam proses dan belum finish. Penegakan hukum bagi penambang tanpa izin oleh Satuan polisi Pamong Praja (Pol PP) bahwa sikap Pol PP yang terkesan lamban dikarenakan beberapa alasan, salah satunya regulasi yang masih belum bisa dijadikan landasan hukum bagi Pol PP untuk mengambil sikap tegas dan juga menyangkut lapangan pekerjaan ribuan penambang yang akan hilang bila semena-mena melakukan penutupan sepihak. 2. Ekosistem Pesisir dan Pantai Kabupaten Gunungkidul memiliki potensi wisata yang cukup potensial dan beragam, mulai dari kekayaan alam berupa pantai, goa, bukit dan pegunungan, tempat bersejarah serta desa wisata budaya maupun wisata religi. Obyek wisata pantai merupakan obyek wisata unggulan Kabupaten Gunungkidul dengan jumlah kurang lebih 46 pantai yang panjang garis pantai di Kabupaten Gunungkidul menurut data dari BPS adalah 71 km dengan topografi perbukitan karst yang berupa pegunungan terjal yang terbentang dari Desa Girijati Kecamatan Purwosari sampai dengan Pantai Sadeng, Desa Songbanyu, Kecamatan Girisubo. Peningkatan kunjungan wisata mulai dari tahun 2010 mengalami peningkatan hampir tiga kali lipat baik wisatawan domestik maupun asing. Namun permasalahan lingkungan yang terjadi di ekosistem pesisir dan pantai Gunungkidul masih saja terjadi adalah : a. Pengambilan pasir pantai untuk kegiatan urug pada lokasi hajatan jika terjadi hujan agar tidak timbul genangan. b. Penebangan tanaman atau vegetasi disekitar pantai yang merupakan tanaman budidaya masyarakat masih bersifat tebang habis sehingga terkesan gundul ; c. Penggunaan bahan peledak atau racun untuk mencari atau menangkap habitat perairan laut; d. Pembangunan bangunan-bangunan liar di kawasan sempadan pantai dan bukit-bukit karst di sekitarnya; e. Pembangunan emplek-emplek/lapak-lapak pedagang di bibir pantai; f. Maraknya pembangunan kandang ayam, yang tidak sesuai kaidah tata ruang wilayah. Selain permasalah tersebut diatas, beberapa hal yang mengakibatkan terjadinya degradasi kualitas lingkungan kawasan pesisir antara lain adalah : a. Sebagian besar perbukitan terjal di sekitar pantai telah gersang, tererosi, dan tanpa vegetasi penutup; b. Terjadinya abrasi yang telah merusak sempadan pantai; c. Terjadinya pencemaran lingkungan pantai dan laut; d. Penurunan kualitas komunitas fauna; e. Penurunan kualitas habitat terumbu karang. Permasalah lain yang ada disebabkan faktor masyarakat pengunjung adalah dengan timbulnya sampah, keberadaan sampah ini munculnya selalu linier dengan jumlah pengunjung I-9

19 yang terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, sehingga dengan demikian keberadaan volume sampah ini tergantung dengan jumlah pengunjung. Komunitas masyarakat pesisir di Kabupaten Gunungkidul sampai saat ini masih berdiri sendiri-sendiri berdasarkan dari profesi yang berhubungan dengan pemanfaatan potensi pesisir. Belum adanya suatu komunitas tersendiri secara kewilayahan atau teritorial yang bergerak dalam pengelolaan lingkungan. Pemerintah daerah Kabupaten Gunungkidul dalam mengatasi permasalahan lingkungan di Gunungkidul melalui beberapa upaya yang dilakukan lintas sector, antara lain : 1. Sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan wilayah pantai yang sejuk, indah, dan nyaman maka dilakukan kegiatan penghijauan pantai. Destinasi wisata di wilayah pantai Kabupaten Gunungkidul menunjukkan peningkatan yang luar biasa. Hal ini apabila tidak diikuti dengan pengelolaan lingkungan yang baik, maka lambat laun kunjungan akan menurun. Pengelolaan lingkungan wilayah pantai yang segera mendapatkan perhatian adalah penambahan vegetasi untuk keteduhan dan pengelolaan sampah. Penanaman tanaman penghijauan dilakukan oleh kelompok sadar dengan gerakan bersama. 2. Pengendalian kerusakan lingkungan melalui penerbitan rekomendasi dokumen lingkungan hidup dan izin gangguan dan pengawasan dan pemantauan usaha dan kualitas lingkungan hidup : air, udara dan tanah secara rutin. Pada tahun 2013 Kapedal telah menerbitkan 30 rekomendasi UKL-UPL dan hampir 500 SPPL sebagai syarat diterbitkanya Izin Gangguan. Upaya pengendalian lainnya adalah dengan ditetapkannya peraturan daerah Nomor 6 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Gunungkidul , melalui pengendalian keruangan diharapkan dapat mengendalikan kerusakan lingkungan dengan melakukan penataan kawasan, termasuk kawasan pertambangan yang telah diakses dalam Perda ini sesuai realita yang ada dan aturan. Meskipun perda tata ruang telah ditetapkan sebagai salah satu dasar penerbitan izin pertambangan, tetapi selama tahun 2013 Pemerintah Daerah belum memberikan izin tambang, karena peraturan daerah terbaru yang berisikan pemetaan wilayah kawasan karst yang dapat ditambang masih dalam proses dan belum selesai sampai akhir 2013 ini. 3. Penyelesaian kasus lingkungan melalui koordinasi dan komunikasi dengan pengusaha dan warga sekitar sebagai upaya persuasif dan pemberian peringatan dan pembuatan surat pernyataan bagi pengusaha untuk melaksanakan dokumen lingkungan sesuai aturan yang berlaku. 4. Peningkatan kesadaran masyarakat melalui pendidikan dan pelatihan di bidang lingkungan hidup seperti pengelolaan sampah dengan prinsip 3 R, program kali bersih, program langit biru, pantai lestari, kampong iklim, dan sekolah adiwiyata terus dilakukan termasuk pembangunan fasilitasnya. 5. Pembangunan fisik untuk mengendalikan kerusakan lingkungan dan mengembalikan fungsi lingkungan hidup antara lain sumur resapan, biogas, IPAL dan sarana prasarana pengelolaan sampah. I-10

20 I-11

21 BAB II KONDISI LINGKUNGAN HIDUP DAN KECENDERUNGANNYA A. Lahan dan Hutan Kerusakan hutan dan lahan telah memberikan dampak yang cukup luas, mulai dari kemerosotan keanekaragaman hayati, banjir, longsor, kekeringan, penurunan kualitas tanah dan air hingga perubahan iklim di tingkat global yang saat ini kita hadapi. Merupakan tantangan bagi kita semua untuk mengendalikan kerusakan hutan dan lahan tersebut. Salah satu upaya pengendalian kerusakan hutan dan lahan adalah dengan melakukan pemantauan kerusakan tanah untuk produksi biomassa. Tanah adalah salah satu komponen lahan, berupa lapisan teratas kerak bumi, yang terdiri dari bahan mineral dan bahan organik, serta mempunyai sifat fisik, kimia, biologi dan mempunyai kemampuan menunjang kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya.tanah terbentuk apabila bahan induk berada dalam pengaruh iklim tertentu, organisme dan air dalam periode waktu yang lama. Proses pembentukan tanah secara alami berjalan sangat lambat dan karena itu tanah dapat dianggap sebagai sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui. Oleh karena itu sumberdaya alam ini harus dilestarikan. Tanah memiliki banyak fungsi dalam kehidupan, di samping sebagai ruang hidup, tanah mempunyai fungsi produksi, antara lain sebagai penghasil biomassa, seperti bahan makanan, serat, kayu dan bahan obat-obatan. Selain itu tanah juga berperan dalam menjaga kelestarian sumber daya air dan kelestarian lingkungan hidup secara umum.tanah merupakan media tumbuh tanaman, di mana akar tanaman menyerap air dan hara dari dalam tanah. Tanaman memproduksi bahan (biomassa) yang dibutuhkan bagi kehidupan yang lain termasuk manusia. Biomassa adalah tumbuhan atau bagian-bagiannya yaitu bunga, biji, buah, daun, ranting, batang dan akar, termasuk tanaman yang dihasilkan oleh kegiatan pertanian, perkebunan dan hutan tanaman. Kerusakan tanah dapat disebabkan oleh sifat alami tanah, dapat pula disebabkan oleh kegiatan manusia yang menyebabkan tanah tersebut terganggu/rusak sehingga tidak mampu lagi berfungsi. Kegiatan manusia di dalam memanfaatkan lahan mempengaruhi berbagai proses di dalam tanah, seperti gerakan air, daya tanah menahan air, sirkulasi udara serta penyerapan hara oleh tanaman. Penggundulan hutan sebagai salah satu usaha manusia untuk menambah areal pertanian pada awalnya akan menghilangkan peneduh serta akumulasi sisa-sisa tanaman, sedangkan pengolahan/pemanfaatan tanah yang berlebihan, terutama pada tanah berlereng akan mempercepat dekomposisi bahan-bahan organik, meningkatkan aliran permukaan, menurunkan daya infiltrasi tanah yang kesemuanya menjadi penyebab erosi dan menurunkan produktivitas tanah. II-1

22 Sebagai negara yang sebagian besar penduduknya mengandalkan sektor Pertanian, maka sumberdaya tanah memiliki nilai yang sangat penting. Mengingat pentingnya tanah, maka pengendalian kerusakan tanah sangat diperlukan, sebab tanah merupakan sumberdaya alam yang terbatas dan senantiasa mendapatkan tekanan yang semakin besar untuk memenuhi kebutuhan penduduk akan pangan, sandang dan papan yang semakin meningkat.oleh sebab itu semua orang berkewajiban untuk mempertahankan dan meningkatkan fungsi tanah dengan tujuan melestarikan dan meningkatkan kemampuan produksinya. Hal ini berarti bahwa pemanfaatan tanah harus dilakukan dengan bijaksana, dengan memperhitungkan kepentingan generasi sekarang dan yang akan datang. Pemantauan kualitas tanah tahun 2013 oleh Kantor Pengendalian Dampak Lingkungan Kabupaten Gunungkidul bekerja sama dengan Laboratorium Geografi Tanah Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, dilaksan akan satu kali dalam setahun, pengambilan sampel dilakukan pada bulan September - Oktober. Pengambilan sampel untuk pemantauan kualitas tanah tahun 2013 dilakukan di 20 titik, yang tersebar di 18 kecamatan yang ada di Kabupaten Gunungkidul. Lokasi pengambilan sampel tersebut adalah di : 1. Zone Utara a. Kecamatan Patuk 2 (dua) titik lokasi di Desa Bunder, yaitu di Dusun Widoro Kulon dan Dusun Kemuning (Koordinat : dan ) b. Kecamatan Gedangsari Desa Ngalang (Koordinat : ) c. Kecamatan Nglipar Desa Kedungpoh (Koordinat : ) d. Kecamatan Ngawen Desa Watusigar (Koordinat : ) e. Kecamatan Ponjong Desa Bedoyo (Koordinat : ) f. Kecamatan Semin Desa Semin (Koordinat : ) 2. Zone Tengah a. Kecamatan Playen, Desa Playen (Koordinat : ) b. Kecamatan Wonosari 2 (dua) titik lokasi, yaitu Desa Pulutan dan Desa Karangrejek (Koordinat : dan ). c. Kecamatan Karangmojo Desa Gedangan ( Koordinat : ) d. Kecamatan Semanu Desa Ngeposari (Koordinat : ) 3. Zone Selatan a. Kecamatan Purwosari Desa Giriasih (Koordinat : ) b. Kecamatan Panggang Desa Girisekar (Koordinat : ) c. Kecamatan Saptosari Desa Kepek (Koordinat : ) d. Kecamatan Paliyan Desa Pampang (Koordinat : ). e. Kecamatan Tanjungsari (Koordinat : ) f. Kecamatan Tepus Desa Purwodadi (Koordinat : ) g. Kecamatan Rongkop Desa Karangwuni (Koordinat : ) h. Kecamatan Girisubo Desa Jerukwudel (Koordinat : ) Parameter yang dipantau, baku mutu yang digunakan dan metode pemantauan sesuai dengan Peraturan Pemerintah RI No. 150 Tahun 2000 tentang Pengendalian Kerusakan Tanah untuk Produksi Biomassa sebagaimana dapat dilihat dalam tabel di bawah ini. II-2

23 Tabel 2.1 Kriteria Baku Kerusakan Tanah untuk Produksi Biomassa (di lahan kering) menurut PP RI No. 150 tahun 2000 Parameter Ambang Kritis Metode Ketebalan solum < 20 cm Pengukuran langsung Kebatuan permukaan Komposisi fraksi < 18 % koloid ; > 80 % pasir kuarsitik > 40 % Pengukuran langsung imbangan batu dan tanah dalam unit luasan Warna pasir, gravimetrik Berat isi >1,4 g/cm 3 Gravimetrik pada satuan volume Porositas total < 30 % ; > 70 % Perhitungan berat isi (BI) dan berat jenis (BJ) Derajat pelulusan air < 0,7 cm/jam ; > 8,0 cm/jam Permeabilitas ph (H 2 O) < 4,5 ; > 8,5 Potensiometrik DHL > 4,0 ms/cm Tahanan listrik Redoks < 200 mv Tegangan listrik Jumlah mikroba < 10 2 cfu/g tanah Platting technique 1. Hasil Pemantauan Kualitas Tanah di Zone Utara Pemantauan kualitas tanah di zone Utara dilakukan di 7 titik lokasi yang meliputi 6 kecamatan, yaitu kecamatan Patuk (2 lokasi, yaitu di dusun Widoro Kulon dan dusun Kemuning, desa Bunder), kecamatan Gedangsari, kecamatan Nglipar, kecamatan Ngawen, kecamatan Ponjong dan kecamatan Semin. Tumbuhan akan lebih leluasa menyerap air, hara dan mempertahankan tubuhnya agar tidak tumbang apabila ruang gerak akarnya longgar. Ruang gerak akar dalam tanah diperankan oleh jeluk efektif (effective depth) yang dikenal sebagai soul tanah. Solum tanah sangat bervariasi dari jenis tanah dan tingkat genesisinya. Tanah yang selalu tererosi dapat sangat dangkal solumnya (kurang dari 10 cm), sedangkan tanah yang lanjut berkembang tanpa erosi dapat mencapai ketebalan solum lebih dari 10 m. Parameter Satuan Patuk (Widoro Kulon) Ketebalan solum Kebatuan Permukaan Tabel 2.2. Hasil Pemantauan Kualitas Tanah di Zone Utara Patuk (Kemuni ng) Gedangs ari Nglipar Ngawen Ponjong Semin cm % Tekstur: Pasir kasar % 18,21 19,12 62,69 29,71 21,89 10,40 13,12 Debu % 19,15 22,72 22,21 26,75 20,75 20,51 28,85 Lempung % 62,64 58,16 15,09 43,55 57,36 69,09 58,03 Kelas - Lempung Lempung Geluh Lempung Lempung Lempung Lempung pasiran tekstur ph H 2 O - 6,43 6,01 7,38 6,38 6,86 6,42 5,91 II-3

24 Redoks mv DHL µmhos/cm Permeabili cm/jam 2,664 3,000 8,449 14,22 1,075 0,521 3,656 tas Kelas Sedang Sedang Agak Cepat Agak Agak Sedang permeabili tas cepat lambat lambat Berat gr/cc 1,421 1,232 0,954 1,669 1,245 1,322 1,32 volume Berat 2,056 1,619 1,807 2,012 1,943 2,038 1,776 Jenis Porositas % 30,89 23,90 47,21 17,05 35,92 35,13 25,68 Jumlah Mikroba cfu/g tanah 9, , ,81 x10 5 8,81 x10 5 5,40 x10 5 1,50 x10 8 7,37 x10 4 Kedalaman efektif dibatasi oleh berbagai faktor pembatas, ada yang bersifat permanen (padas, bahan induk, lapisan pirit) dan ada pula yang bersifat dapat dikelola (misalnya air tanah dangkal, lapisan kontras, dll). Tebal tanah kurang dari 20 cm dianggap sebagai limit zona rizofir yang berkaitan dengan penyediaan hara dan air dalam tanah. Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa ketebalan solum di 7 lokasi yang diambil sampelnya di zone Utara berkisar antara cm. Yang memiliki solum lebih tebal adalah tanah di Gedangsari, Ngawen dan Semin, sedangkan yang solumnya paling tipis adalah tanah di Ponjong. Berdasarkan PP RI No. 150 tahun 2000, ambang kritis ketebalan solum untuk kerusakan lahan di lahan kering adalah bila ketebalan solumnya kurang dari 20 cm. Dari hasil pengamatan ketebalan solum, tanah di 7 lokasi tersebut tidak ada yang melebihi ambang kritis. Jumlah bahan bukan fraksi tanah di dalam soul dapat mempengaruhi ruang gerak dan penyediaan hara tanaman. Bahan bukan tanah tersebut dapat berupa batu, lapisan kontras, keberadaan gipsum dan batu kapur serta bahan asing lainnya. Bahan-bahan tersebut dapat mengganggu bilamana berada di zona perakaran, sangat mengganggu bila jumlahnya mencapai lebih dari 40 %. Oleh karena itu berdasarkan PP RI No. 150 tahun 2000, ambang kritis kerusakan tanah di lahan kering untuk kebatuan permukaan adalah bila persentase tutupan batu di permukaan tanah lebih dari 40 %. Kebatuan permukaan di 6 lokasi yang dipantau di zone Utara adalah sebesar 1 %, hanya tanah di Nglipar yang memiliki kebatuan permukaan sebesar 5%. Tekstur tanah adalah susunan dari besar butir tanah. Ukuran besar butir bahan penyusun tanah biasanya dipilahkan menjadi 7 kelompok (kelas), dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 2.3. Diameter ukuran besar butir penyusun tanah Sebaran Besar Butir Diameter limits (mm)(usda classification) Koloid Lempung (clay) Less than 0,002 Debu (silt) 0,002 0,05 Pasir sangat halus (very find sand) 0,05-0,10 Pasir halus(fine sand) 0,10 0,25 II-4

25 Pasir sedang (medium sand) 0,25 0,50 Pasir Kasar (coarse sand ) 0,50 1,00 Pasir sangat kasar (very coarse sand) 1,00 2,00 Fraksi pasir merupakan salah satu komponen penyusun tekstur tanah di samping debu dan lempung (clay). Peranan tekstur sangat menentukan sifat tanah secara menyeluruh. Lempung dan bahan organik sangat berperan dalam penyimpanan dan penyediaan hara karena luas permukaannya yang sangat besar dan memiliki muatan. Fraksi halus berperan menyatukan butiran tanah membentuk agregat dan memegang lengas, sedangkan fraksi kasar berguna untuk menjaga keseimbangan udara air dalam tanah. Keberadaan fraksi pasir lebih dari 80 % sebagai penyusun utama tekstur tanah menunjukkan potensi pemegangan hara dan air dalam tanah sangat rendah sehingga tidak mampu menunjang lingkungan tumbuh vegetasi atau tanaman secara umum. Berdasarkan PP RI No. 150 tahun 2000, ambang kritis untuk fraksi tanah adalah bila bahan penyusun tanah terdiri kurang dari 18 % koloid dan lebih dari 80 % pasir kuarsitik. Dari hasil analisa, bahan penyusun tanah di 7 lokasi yang diambil sampelnya di zone Utara, untuk komponen koloid (lempung) berkisar antara 15,09 69,09 %, sedangkan untuk komponen pasir kuarsitik (pasir kasar) berkisar antara 10,40 62,69 %. Komponen koloid yang terendah terdapat pada sampel tanah di Gedangsari dan melebihi ambang kritisnya, karena kurang dari 18 %, sedangkan komponen koloid tertinggi terdapat pada sampel tanah di Ponjong. Komponen pasir kuarsitik terendah terdapat pada sampel tanah di Ponjong, sedangkan yang tertinggi terdapat pada sampel tanah di Gedangsari. Bila dilihat dari komponen pasir kuarsitiknya, dari 7 lokasi yang diambil sampelnya tidak ada yang melebihi ambang kritisnya. Gambar 2.1. Segitiga Tekstur Apabila persentase pasir, debu dan koloid lempung di dalam tanah diketahui, maka kelas tekstur tanah dapat ditentukan. Penentuan kelas tekstur biasanya menggunakan segitiga tekstur sebagaimana dapat dilihat dalam gambar diatas. Untuk sampel tanah di zone Utara hampir semua memiliki kelas tekstur lempung, kecuali sampel tanah dari Gedangsari yang mempunyai kelas geluh pasiran. II-5

26 Berat volume (berat isi) tanah sebagaimana berat volume benda-benda lain adalah nisbah antara berat massa (padat) dengan volume total (volume padatan + volume pori) tanah. Berat volume merupakan ukuran tidak langsung dari pori tanah dan dipengaruhi oleh tekstur dan struktur tanah. Berat volume tanah pasiran hanya berkisar antara 1,2 1,8 g/cm 3, sedangkan tanah lempungan umumnya mempunyai nilai berat volume 1,0 1,6 g/cm 3. 1,8 1,6 1,4 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0 Berat Isi Tanah di Zona Utara dibandingkan Baku mutunya Baku Mutu Berat Isi Tanah Grafik 2.1. Berat Isi Tanah di Zone Utara dibandingkan dengan ambang kritisnya Pengolahan tanah tidak mempengaruhi tekstur tanah, tetapi mempengaruhi struktur tanah. Pengolahan tanah biasanya menurunkan berat volume, tetapi pemadatan (compaction) meningkatkan berat volume. Peningkatan berat volume akan berarti juga penurunan pori tanah, yang pada gilirannya akan mempengaruhi kandungan lengas (air) tersedia dan aerasi (udara) tanah. Selain pemadatan, terjadinya sementasi (perekatan) partikel-partikel tanah disebabkan oleh bahanbahan tertentu, misalnya sisa-sisa bahan-bahan pupuk (carrier) dapat meningkatkan berat volume tanah. Ambang kritis berat volume tanah menurut PP RI No. 150 tahun 2000 adalah bila berat volumenya melebihi 1,4 g/cm 3. Dari hasil analisa sampel tanah dari 7 lokasi di zone Utara memiliki berat volume berkisar antara 1,232 2,038 g/cm 3. Yang memiliki berat volume terbesar adalah sampel tanah di Ponjong, sedangkan berat volume terkecil dimiliki oleh sampel tanah Patuk (Kemuning). Dari hasil analisa diketahui bahwa berat volume sampel tanah di zone utara, hampir semua melebihi ambang kritisnya, kecuali sampel tanah dari Patuk (Kemuning) dan Ngawen. Tanah yang sarang (porous), lepas-lepas teragregasi dengan baik akan mempunyai berat volume yang lebih rendah bila dibandingkan dengan tanah padat, mampat dan pejal. Hal ini karena pori tanah terisi oleh udara atau air yang mempunyai bobot yang lebih ringan dibandingkan dengan bahan mineral penyusun tanah. Tanah pasiran mempunyai pori total yang lebih rendah daripada tanah lempungan, itulah sebabnya pada umumnya tanah pasiran mempunyai berat volume yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanah lempungan. II-6

27 Porositas Total Tanah di Zona Utara dibandingkan Baku mutunya Baku Mutu Atas Porositas Total Baku Mutu bawah Grafik 2.2. Porositas total tanah di zone Utara dibandingkan dengan ambang kritisnya Hasil analisa porositas total tanah pada sampel tanah dari zone Utara berkisar antara 16,13 47,21 %, di mana porositas total terendah terdapat pada sampel tanah Patuk (Kemuning), sedangkan yang tertinggi terdapat pada sampel tanah di Gedangsari. Menurut PP RI No. 150 tahun 2000, ambang kritis porositas total tanah adalah bila nilainya kurang dari 30 % atau lebih dari 70 %. Dari hasil analisa, dapat dilihat bahwa sampel tanah di Patuk (Kemuning), Nglipar dan Semin memiliki porositas total yang melebihi ambang kritis karena kurang dari 30 %. Derajat pelulusan air (permeabilitas) tanah adalah kemampuan bahan penyusun tanah untuk melewatkan cairan/larutan melalui pori-pori di dalam tanah. Permeabilitas tanah merupakan salah satu sifat tanah yang penting yang berkaitan dengan aliran air di dalam tubuh tanah, misalnya masalah rembesan dari dam (bendungan), drainase, dan pengisian kembali (recharge) sumur, dsb. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi permeabilitas tanah, antara lain viskositas air, ukuran dan bentuk partikel tanah, tingkat kejenuhan dan void ratio. Void ratio adalah nisbah volume void dengan volume solid. Tetapi pada umumnya permeabilitasberbanding terbalik dengan kerapatan massa tanah. II-7

28 Baku mutu bawah Permeabilitas Baku Mutu Atas Gambar 2.3. Derajat pelulusan air (Permeabilitas) sampel tanah di zone utara dibandingkan dengan ambang kritisnya Berdasarkan PP RI No. 150 tahun 2000, ambang kritis permeabilitas tanah adalah bila nilainya di bawah 0,7 cm/jam atau di atas 8,0 cm/jam, dengan demikian, sampel tanah dari ada beberapa yang melebihi ambang kritisnya, yaitu sampel tanah di Ponjong yang memiliki permeabilitas kurang dari 0,5 cm/jam) dan sampel tanah di Patuk (Kemuning), Gedangsari serta Nglipar yang memiliki permeabilitas lebih dari 8,0 cm/jam. Kelas permeabilitas tanah (seri tanah) biasanya ditentukan oleh permeabilitas terendah dari lapisan tanah yang terdapat di dalam jeluk 1,5 m dari permukaan tanah. Tabel 2.4 Klasifikasi Kecepatan Infiltrasi Klasifikasi Kecepatan Infiltrasi (inch/jam) Sangat lambat (very slow) < 0,06 Lambat (slow) 0,06 0,2 Agak lambat (moderately slow) 0,2 0,6 Sedang (moderate) 0,6 2,0 Agak cepat (moderately rapid) 2,0 6,0 Cepat (rapid) 6,0 20,0 Sangat cepat (very rapid) > 20,0 Berdasarkan tabel di atas, sampel tanah dari Ngawen dan Ponjong termasuk dalam kelas permeabilitas agak lambat, sampel tanah dari Patuk, baik dari dusun Widoro Kulon maupun Kemuning serta sampel tanah dari Semin termasuk dalam kelas permeabilitas sedang, sampel tanah dagi Gedangsari termasuk dalam kelas permeabilitas agak cepat, sedangkan sampel tanah dari Nglipar termasuk dalam kelas permeabilitas cepat. II-8

29 Tanah akan menunjukkan reaksi asam dan basa di dalam tanah. Reaksi tersebut secara tidak langsung akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman lewat pengaruhnya terhadap ketersediaan unsur hara. Tanah dapat bereaksi asam atau basa (alkalis) tergantung pada konsentrasi ion H dan OH. Untuk mencirikan reaksi tanah tersebut digunakan istilah ph. ph tanah adalah logaritma negatif dari konsentrasi ion H + di dalam larutan tanah. ph tanah merupakan salah satu indikator yang baik dan cepat serta akurat untuk mengetahui sifat-sifat kimia tanah, status dan taraf ketersediaan hara dan taraf pelapukan yang telah berlangsung di dalam tanah. Selain itu nilai ph tanah dapat secara langsung digunakan untuk memberikan anjuran tentang pengapuran. ph tanah juga penting dalam hubungannya dengan kehidupan biologi tanah. Pada ph rendah, beberapa unsur seperti Ca, Mg, K biasanya kurang tersedia, tetapi sebaliknya unsur-unsur tertentu seperti Fe, Al dan Mn sangat tersedia. Ketidak seimbangan ketersediaan hara ini akan sangat tidak menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman.kisaran ph kurang dari 4,5 atau lebih dari 8,5 mencerminkan tanah tersebut bermasalah. Bila ph kurang dari 4,5 akan terjadi keracunan alumunium dan bila ph lebih dari 8,5 akan terjadi ketidaktersediaan hara dalam kondisi seimbang. Gambar 2.2. Pengambilan sampel tanah di Nglipar ph tanah ditentukan oleh banyak hal, baik secara alami maupun akibat campur tangan manusia. Secara alami, tanah akan menjadi asam akibat terjadinya proses pencucian (leaching) kation-kation basa (Ca, Mg, K, Na), sehingga yang tertinggal di dalam tanah adalah kation-kation Fe, Al dan H. Semakin intensif proses leaching, akan semakin asam tanah yang bersangkutan. Di daerahdaerah tropis humid, di mana pelapukan dan pencucian hara berlangsung sangat kuat karena didorong oleh curah hujan dan temperatur tinggi, mengakibatkan ph tanah jauh lebih rendah dibandingkan dengan ph tanah daerah kering (arid). Pencucian (leaching) yang sangat intensif dalam waktu lama akan menyebabkan tanah sangat miskin akan unsur hara yang diperlukan oleh tanaman. II-9

30 ph tanah dapat dipengaruhi oleh tindakan manusia lewat berbagai cara pengelolaan tanah, pemberian air irigasi maupun tindakan pemupukan. Penggunaan air irigasi yang memiliki kandungan garam tinggi akan berakibat meningkatkan ph tanah. Selain itu pemberian pupuk kimia dalam jumlah tinggi dan terus menerus akan sangat mempengaruhi ph tanah. ph tanah merupakan indikator yang peka terhadap perubahan komposisi kimiawi tanah dan dengan demikian dapat digunakan sebagai salah satu kriteria kerusakan tanah. ph tanah umumnya berkisar antara 3,0 9,0. Hasil analisa ph sampel tanah dari zone utara berkisar antara 5,91 7,38. ph terendah terdapat pada sampel tanah dari Semin, sedangkan yang tertinggi terdapat pada sampel dari Gedangsari. ph tanah dari 7 lokasi pengambilan sampel di zone Utara tidak ada yang melebihi ambang kritis menurut PP RI No. 150 tahun Gambar 2.3. Pengambilan sampel tanah Desa Pulutan, Wonosari Daya hantar listrik (DHL) atau electrical conductivity (EC)tanah merupakan ukuran dari jumlah garam terlarut di dalam tanah. Garam adalah unsur yang umum terdapat di dalam tanah, beberapa garam seperti garam nitrat, kalium merupakan unsur hara esensial yang diperlukan tanaman. Garam-garam di dalam tanah dapat berasal dari pelapukan mineral, pupuk anorganik, bahan pembenah tanah (misalnya gipsum, kompos dan pupuk hijau) dan air irigasi.hasil pengukuran DHL dinyatakan dalam ds/m atau ms/cm atau µmhos/cm. DHL tanah sangat mempengaruhi pertumbuhan tanaman lewat beberapa mekanisme. Dari hasil-hasil penelitian memperlihatkan bahwa tanaman akan mengalami kesulitan menyerap air apabila kandungan garam di dalam larutan tanah tinggi dan hal ini akan berakibat terhambatnya pertumbuhan tanaman. Tanaman akan mengalami dehidrasi dan mati. Gejala ini dikenal juga dengan istilah cekaman garam. Tergantung jenis garam yang terdapat dalam tanah, pengaruh kegaraman terhadap sifat tanah dan tanaman dapat positif tetapi dapat pula berdampak negatif. Kandungan garam Ca, Mg II-10

31 yang tinggi dapat bersifat positif lewat pengaruhnya mendorong terjadinya ikatan antar partikelpartikel tanah. Gejala ini disebut flokulasi yang memberikan pengaruh yang menguntungkan dalam hubungannya dengan aerasi tanah, penetrasi dan pertumbuhan akar. Namun demikian apabila garam di dalam tanah didominasi oleh garam Na, maka akan memberikan pengaruh yang berlawanan dengan garam terdahulu. Kandungan Na yang sangat tinggi akan menimbulkan dampak buruk. Gambar 2.4. Pengambilan sampel tanah di Desa Pampang, Paliyan. Beberapa penelitian di Australia dan Utah USA memperlihatkan bahwa tanah-tanah dengan konsentrasi garam Na yang sangat tinggi akan menyebabkan keracunan Na, sehingga tingginya kandungan garam Na merupakan faktor pembatas pertumbuhan kebanyakan tanaman, karena pada konsentrasi garam yang tinggi hanya tanaman-tanaman tertentu saja yang dapat tumbuh dengan baik. Selain itu kandungan Na yang tinggi akan menyebabkan terjadinya dispersi dan pengembangan partikel lempung yang lebih lanjut mengakibatkan terjadinya pembengkakan (swelling) dari agregat tanah.hubungan antara Nilai DHL dengan pertumbuhan tanaman disajikan dalam tabel berikut ini. Tabel 2.5. Hubungan antara nilai DHL (ms/cm) tanah dengan pertumbuhan tanaman Daya Hantar Listrik (DHL) Respon Tanaman 0-1 Umumnya pertumbuhan tanaman tidak terpengaruh 1-2 Pertumbuhan yang peka garam agak terhambat 2-4 Pertumbuhan kebanyakan tanaman terhambat 4-8 Hanya tanaman yang toleran garam yang dapat tumbuh baik 8-16 Hanya beberapa jenis tanaman yang sangat tahan /toleran dapat dengan baik Diatas 16 Umumnya tanaman tidak akan tumbuh baik Toleransi tanaman terhadap kegaraman dipengaruhi iklim dan irigasi. Apabila tanah mengering, maka konsentrasi garam akan meningkat diikuti oleh meningkatnya cekaman garam. II-11

32 Oleh karena itu masalah kegaraman lebih berat/parah pada daerah-daerah kering dan panas dibandingkan dengan daerah dingin dan basah/lembab. Penggunaan air irigasi yang sedikit melampaui keperluan tanaman mungkin diperlukan pada musim kemarau untuk mengurangi cekaman garam di atas. Daya hantar listrik (DHL) pada sampel tanah dari zone Utara berkisar antara µmhos/cm. Menurut PP RI No. 150 tahun 2000, ambang kritis DHL tanah adalah bila nilainya lebih besar dari 4 ms/cm atau 4 µmhos/cm, sehingga dapat dikatakan bahwa semua sampel tanah dari zone Utara melebihi ambang kritis. DHL tertinggi terdapat pada sampel tanah dari Gedangsari, sedangkan yang terendah terdapat pada sampel tanah dari Patuk (Kemuning). Pengukuran potensial redoks merupakan cara pendugaan tentang tata udara tanah. Apabila suatu jenis tanah berada dalam keadaan tergenang untuk jangka waktu yang lama akan berakibat menurunnya kandungan oksigen yang ada di dalam tanah sehingga merugikan biota tanah. Tanah-tanah yang menunjukkan kondisi langka udara (anaerob) akan memperlihatkan gejala yang sangat khusus pada morfologi tanah di lapangan, yaitu berupa bercak-bercak yang berwarna kebiruan, yang apabila teroksidasi akan berwarna kecoklatan. Apabila gejala ini tampak di lapangan, maka dapatlah dipastikan bahwa suasana anaerob menguasai tanah tersebut, oleh karena itu pendugaan suasana langka udara jauh lebih akurat dengan memperhatikan gejala morfologi di lapangan. Tanah-tanah yang menunjukkan morfologi redoks tersebut dapat dipastikan mempunyai nilai redoks kurang dari 200 mv.relevansi pengukuran potensial redoks terletak pada peruntukan dari tanah yang bersangkutan. Apabila tanah yang bersangkutan digunakan untuk persawahan yang dalam kebanyakan waktu diperlukan genangan air, maka signifikansi pengukuran redoks tidak terlalu berarti Redoks Tanah di Zona Utara dibandingkan Baku mutunya baku Mutu Redoks 0 Grafik 2.4. Potensial redoks sampel tanah dari zone Utara dibandingkan ambang kritisnya II-12

33 Berdasarkan PP RI No. 150 tahun 2000, ambang kritis potensial redoks tanah adalah apabila nilainya kurang dari 200 mv. Dari hasil analisa potensial redoks pada sampel tanah dari zone Utara berkisar antara mv, semuanya kurang dari 200 mv, berarti telah melebihi ambang kritisnya. Potensial redoks tertinggi terdapat pada sampel tanah dari Gedangsari, sedangkan yang terendah terdapat pada sampel tanah Semin. Hasil analisa jumlah mikroba pada sampel tanah dari zone Utara berkisar antara 7,37 x ,50 x 10 8 cfu/g tanah. Menurut PP RI No. 150 tahun 2000 ambang kritis jumlah mikroba dalam tanah adalah apabila jumlah mikroba kurang dari 10 2 cfu/g tanah, dengan demikian sampel tanah yang dianalisa tidak ada yang memiliki jumlah mikroba yang melebihi ambang batas. Jumlah mikroba terbanyak terdapat pada sampel tanah dari Ponjong sedangkan yang paling sedikit terdapat pada sampel tanah dari Semin. Bila dibandingkan dengan ambang kritis kerusakan lahan untuk produksi biomassa sesuai PP RI No. 150 tahun 2000, maka hasil analisa sampel tanah dari zone Utara ada beberapa parameter yang melampaui ambang kritisnya. Sampel tanah dari Ngawen melebihi ambang kritis untuk 2 parameter, yaitu parameter daya hantar listrik (DHL) dan potensial redoks. Sampel tanah dari Patuk (Widoro Kulon) melebihi ambang kritis untuk 3 parameter, yaitu parameter berat isi, daya hantar listrik (DHL) dan potensial redoks. Sampel tanah dari Patuk (Kemuning), Ponjong dan Semin melebihi ambang kritis untuk 4 parameter, yaitu untuk parameter berat isi (Ponjong dan Semin), porositas total (Patuk dan Semin), derajat pelulusan air (Patuk dan Ponjong), daya hantar listrik (Patuk, Ponjong dan Semin) serta potensial redoks (Patuk, Ponjong dan Semin). Sampel dari Gedangsari dan Nglipar melebihi ambang batas untuk 5 parameter, yaitu komponen koloid, berat isi, derajat pelulusan air, daya hantar listrik dan potensial redoks untuk sampel tanah di Gedangsari, sedangkan untuk sampel tanah dari Nglipar melebihi ambang batas untuk parameter berat isi, porositas total, derajat pelulusan air, daya hantar listrik dan potensial redoks. Tabel 2.6. Hasil analisa sampel tanah dari zone Utara dibandingkan nilai ambang kritis sesuai PP RI No. 150 tahun 2000 Parameter Patuk Patuk Gedangs Nglipar Ngawen Ponjong Semin (Widoro Kulon) (Kemuni ng) ari Ketebalan solum Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Kebatuan permukaan Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Komposisi fraksi Tidak Tidak Melebihi Tidak Tidak Tidak Tidak Berat isi Melebihi Tidak Melebihi Tidak Melebihi Melebihi Melebihi Porositas total Tidak Melebihi Tidak Melebihi Tidak Tidak Melebihi Derajat pelulusan air Melebihi Melebihi melebihi Melebihi Tidak Melebihi Tidak ph (H 2 O) tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak II-13

34 DHL Melebihi Melebihi Melebihi Melebihi Melebihi Melebihi Melebihi Redoks Melebihi Melebihi Melebihi Melebihi Melebihi Melebihi Melebihi Jumlah mikroba Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak 2. Hasil Pemantauan di Zone Tengah Pemantauan kualitas tanah di zone Tengah dilakukan di 5 titik yang meliputi 4 kecamatan, yaitu kecamatan Playen, kecamatan Wonosari (desa Pulutan dan Desa Karangrejek), kecamatan Karangmojo dan kecamatan Semanu. Hasil analisa sampel tanah zone Tengah dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 2.7. Hasil Pemantauan Kualitas Tanah di Zone Tengah Parameter Satuan Playen Wonosari (Pulutan) Wonosari (Karangrejek) Karang - mojo Semanu Ketebalan solum cm Kebatuan % Permukaan Tekstur: Pasir kasar % 21,20 21,92 18,03 14,08 10,35 Debu % 9,89 9,47 13,71 28,08 10,16 Lempung % 68,91 68,61 68,27 57,84 79,49 Kelas tekstur - Lempung Lempung Lempung Lempung Lempung ph H 2 O - 7,10 7,12 7,04 7,01 6,52 Redoks mv DHL µmhos/cm Permeabilitas cm/jam 3,454 0,211 27,15 3,106 1,051 Kelas permeabilitas Sedang Lambat Sangat Cepat Sedang Agak Lambat Berat volume gr/cc 1,263 1,244 1,264 1,28 1,302 Berat Jenis 1,888 1,824 1,966 1,943 1,985 Porositas % 33,10 31,80 35,71 34,12 34,41 Jumlah Mikroba cfu/g tanah 4, , ,50x10 7 7,57x10 5 1,05x10 6 Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa ketebalan solum di 5 lokasi yang dipantau di zone Tengah berkisar antara cm. Yang memiliki solum paling tebal adalah tanah di Playen, sedangkan yang solumnya paling tipis adalah tanah di Wonosari (Karangrejek) dan Karangmojo. Bila dibandingkan dengan PP RI No. 150 tahun 2000, semua lokasi memiliki ketebalan solum lebih dari 20 cm, sehingga dapat dikatakan tidak melebihi ambang kritisnya. Kebatuan permukaan tanah di semua lokasi yang dipantau di zone Tengah adalah sebesar 1 %, sehingga tidak ada yang kebatuan permukaannya melebihi ambang kritis berdasarkan PP RI No. 150 tahun 2000 (lebih dari 40 %). Komposisi bahan penyusun tanah pada sampel-sampel tanah yang diambil di zone Tengah tidak ada yang melebihi ambang batas berdasarkan PP RI No. 150 tahun Komponen koloid pada sampel tanah yang dianalisa berkisar antara 57,84 79,49 %, sedangkan untuk komponen pasir II-14

35 kuarsitik berkisar antara 10,35 21,92 %. Sampel tanah yang memiliki komponen koloid tertinggi dan komponen pasir kuarsitik terendah adalah sampel tanah di Semanu. Berdasarkan komposisi bahan penyusun tanah, semua sampel tanah di zone Tengah mempunyai kelas tekstur lempung. Gambar 2.5.Pengambilan sampel tanah di Desa Pampang, Paliyan. Sampel tanah dari zone Tengah memiliki berat volume berkisar antara 1,244 1,302 g/cm 3. Yang memiliki berat volume terbesar adalah sampel tanah dari Semanu, sedangkan berat volume terkecil dimiliki oleh sampel tanah dari Wonosari (Pulutan). Ambang kritis berat volume tanah menurut PP RI No. 150 tahun 2000 adalah bila berat volumenya melebihi 1,4 g/cm 3, sehingga dari hasil analisa tersebut diketahui bahwa sampel tanah dari 5 lokasi yang dipantau di zone Tengah tidak ada yang melampaui ambang kritisnya. Hasil analisa porositas total tanah pada sampel tanah yang dipantau di zone Tengah berkisar antara 31,80 35,71 %, di mana porositas total terendah terdapat pada sampel tanah Wonosari (Pulutan), sedangkan yang tertinggi terdapat pada sampel tanah Wonosari (Karangrejek). Dari hasil analisa tersebut, dapat dilihat bahwa sampel tanah dari ke 5 lokasi yang dipantau di zone Tengah tidak ada yang memiliki porositas total kurang dari 30 % yang berarti tidak ada yang melebihi ambang kritis berdasarkan PP RI No. 150 tahun Hasil analisa derajat pelulusan air (permeabilitas) sampel tanah dari zone Tengah berkisar antara 0,211 27,15 cm/jam, di mana permeabilitas terendah terdapat pada sampel tanah dari Wonosari (Pulutan), sedangkan yang tertinggi terdapat pada sampel tanah dari Wonosari (Karangrejek). Semua sampel tanah dari zone Tengah memiliki permeabilitas tanah yang melebihi ambang kritis berdasarkan PP RI No. 150 tahun 2000, karena nilainya kurang dari 0,7 cm/jam untuk sampel tanah dari Wonosari (Pulutan) dan lebih dari 8,0 cm/jam untuk keempat sampel lainnya. II-15

36 Permeabilitas Air Tanah di Zona Tengah dibandingkan Baku mutunya baku Mutu Bawah Permeabilitas Baku Mutu Atas Grafik 2.5. Derajat pelulusan air (Permeabilitas) sampel tanah di zone Tengah dibandingkan ambang kritis bawahnya Berdasarkan permeabilitas tanah, sampel tanah di zone Tengah mempunyai kelas permeabilitas yang cukup bervariasi. Sampel tanah dari Wonosari (Pulutan) termasuk kelas permeabilitas lambat, sampel tanah dari Semanu termasuk kelas permeabilitas agak lambat, sampel tanah dari Playen dan Karangmojo memiliki kelas permeabilitas sedang, sedangkan sampel tanah dari Wonosari (Karangrejek) memiliki kelas permeabilitas agak cepat. Hasil analisa ph sampel tanah dari zone Tengah berkisar antara 6,52 7,12. ph terendah terdapat pada sampel dari Semanu, sedangkan yang tertinggi terdapat pada sampel dari Wonosari (Pulutan). ph tanah dari ke 5 lokasi di zone Tengah tersebut tidak ada yang melebihi ambang kritis berdasarkan PP RI No. 150 tahun Daya hantar listrik (DHL) pada sampel tanah dari zone Tengah berkisar antara µmhos/cm. Sampel tanah yang memiliki DHL terendah adalah sampel tanah dari Semanu, sedangkan sampel tanah dari Playen memiliki DHL yang paling tinggi. Menurut PP RI No. 150 tahun 2000, ambang kritis DHL tanah adalah bila nilainya lebih dari 4 ms/cm atau 4 µmhos/cm, sehingga dapat dikatakan bahwa DHL pada sampel tanah dari 5 lokasi pemantauan di zone Tengah semuanya melebihi ambang kritis. II-16

37 Redoks Tanah di Zona Tengah dibandingkan Baku Mutunya Baku Mutu Redoks Grafik 2.6. Potensial redoks sampel tanah zone Tengah dibandingkan ambang kritisnya Ambang kritis potensial redoks tanah menurut PP RI No. 150 tahun 2000 adalah apabila nilainya kurang dari 200 mv. Dari hasil analisa potensial redoks pada sampel tanah di zone Tengah berkisar antara mv, semuanya kurang dari 200 mv, berarti telah melebihi ambang kritisnya. Potensial redoks yang tertinggi terdapat pada sampel tanah di Playen dan Wonosari (Pulutan), sedangkan yang terendah terdapat pada sampel tanah di Semanu. Hasil analisa jumlah mikroba pada sampel tanah zone Tengah berkisar antara 7,57 x ,50 x 10 7 cfu/g tanah, dengan demikian sampel tanah yang dianalisa tidak ada yang memiliki jumlah mikroba yang melebihi ambang kritis menurut PP RI No. 150 tahun Jumlah mikroba terbanyak terdapat pada sampel tanah dari Wonosari (Karangrejek), sedangkan yang paling sedikit jumlah mikrobanya adalah Karangmojo. Bila dibandingkan dengan ambang kritis kerusakan lahan untuk produksi biomassa sesuai PP RI No. 150 tahun 2000, maka hasil analisa sampel tanah dari zone Tengah ada beberapa parameter yang melampaui ambang kritisnya. Hal ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 2.8. Hasil analisa sampel tanah dari zone Tengah dibandingkan nilai ambang kritis sesuai PP RI No. 150 tahun 2000 Parameter Playen Wonosari Wonosari Karangmojo Semanu (Pulutan) (Karangrejek) Ketebalan solum Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Kebatuan permukaan Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Komposisi fraksi Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Berat isi Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Porositas total Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Derajat pelulusan air Tidak Melebihi Melebihi Melebihi Melebihi ph (H 2 O) Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak DHL Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Redoks Melebihi Melebihi Melebihi Melebihi Melebihi II-17

38 Jumlah mikroba Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa sampel tanah dari Playen dan Karangmojo melebihi ambang kritis untuk 2 parameter, yaitu daya hantar listrik dan potensial redoks. Sampel tanah dari Wonosari, baik dari desa Pulutan maupun Karangrejek serta dari Semanu melebihi ambang kritis untuk 3 parameter, yaitu untuk parameter ketebalan solum, derajat pelulusan air (permeabilitas), daya hantar listrik (DHL) dan potensial redoks. 3. Hasil Pemantauan di Zone Selatan Pemantauan kualitas tanah di zone Selatan dilakukan 8 lokasi yang meliputi 8 kecamatan, yaitu kecamatan Purwosari, kecamatan Panggang, kecamatan Saptosari, kecamatan Paliyan, kecamatan Tanjungsari, kecamatan Tepus, kecamatan Rongkop dan kecamatan Girisubo. Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa ketebalan solum di 8 lokasi yang diambil sampelnya di zone Selatan berkisar antara cm. Untuk sampel tanah di Purwosari tidak ada data ketebalan solumnya. Yang memiliki solum paling tebal adalah tanah di Panggang, sedangkan yang solumnya paling tipis adalah tanah di Saptosari dan Paliyan. Dari hasil pengamatan tersebut, tidak ada lokasi yang ketebalan solumnya kurang dari 20 cm, sehingga tidak ada yang melebihi ambang kritisnya. Kebatuan permukaan di zone Selatan berkisar antara 1-80 % Gambar 2.6.Pengambilan sampel tanah di desa Ngeposari, Semanu Tabel 2.9. Hasil Pemantauan Kualitas Tanah di Zone Selatan Parameter Satuan Purw Pangga Saptos Paliyan Tanjun Tepus Rongk Girisubo osari ng ari gsari op Ketebalan solum cm II-18

39 Kebatuan Permukaan % Tekstur: Pasir kasar % 14,13 10,05 10,75 19,39 10,08 12,35 11,41 9,20 Debu % 16,43 9,89 11,41 10,21 6,96 10,40 4,93 6,16 % 69,44 80,05 77,84 70,40 82,96 77,25 83,65 84,64 Lempung Kelas tekstur - Lemp ung Lempu ng Lempu ng Lempu ng Lempu ng Lempu ng Lempu ng Lempun g ph H 2 O - 6,66 6,03 6,47 7,04 6,82 6,10 6,48 6,44 Redoks mv DHL µmhos/ cm Permeabilit as cm/jam 36,86 33,80 1,185-45,26 2,373 0,230 0,665 Kelas permeabilit as Sang at Cepa t Sangat Cepat Agak Lamba t - Sangat Cepat Sedang Lamba t Agak Lambat Berat gr/cc 1,26 1,763 1,201 1,215 1,231 1,35 1,352 1,343 volume Berat Jenis 1,787 2,102 1,766 1,789 1,896 1,986 1,943 1,942 Porositas % 29,49 16,13 31,99 32,08 35,07 32,02 30,42 30,84 Jumlah Mikroba cfu/g tanah 3, ,45x10 6 4,54x ,21x10 7 1,01x10 8 1,62x10 5 1,49x10 6 1,25x10 6 Dari ke 8 lokasi yang diambil sampelnya ada 1 lokasi yang kebatuan permukaannya melebihi ambang kritis menurut PP RI No. 150 tahun 2000 (lebih dari 40 %), yaitu pada sampel tanah dari Tanjungsari, yang memiliki kebatuan permukaan mencapai 80 %. Di 7 lokasi yang lainnya, kebatuan permukaan berkisar antara 1 5 %. Komposisi bahan penyusun tanah pada sampel-sampel tanah yang diambil dari zone Selatan tidak ada yang melebihi ambang kritis, karena untuk komponen koloid (lempung) berkisar antara ,68 % (lebih dari 18 %), sedangkan untuk komponen pasir kuarsitik (pasir kasar) berkisar antara 9,20 19,39 % (kurang dari 80 %). Untuk sampel tanah di 8 lokasi tersebut semuanya mempunyai kelas tekstur lempung. Sampel tanah dari zone Selatan memiliki berat volume berkisar antara 1,201 1,763 g/cm 3. Yang memiliki berat volume terbesar adalah sampel tanah dari Panggang, sedangkan berat volume terkecil dimiliki oleh sampel tanah dari Saptosari. Dari hasil analisa tersebut diketahui bahwa sampel tanah dari Panggang melampaui ambang kritisnya, berdasarkan PP RI No. 150 tahun 2000, yaitu sebesar 1,4 g/cm 3. Hasil analisa porositas total tanah pada sampel tanah yang dipantau berkisar antara 16,13 35,07 %, di mana porositas total terendah terdapat pada sampel tanah dari Panggang sedangkan yang tertinggi terdapat pada sampel tanah dari Tanjungsari. Dari hasil analisa tersebut, II-19

40 dapat dilihat bahwa sampel dari Purwosari dan Panggang memiliki porositas total kurang dari 30 % yang berarti melebihi ambang kritis berdasarkan PP RI No. 150 tahun Hasil analisa permeabilitas tanah sampel yang berasal dari zone Selatan berkisar antara 0, cm/jam, di mana permeabilitas terendah terdapat pada sampel tanah dari Girisubo, sedangkan yang tertinggi terdapat pada sampel tanah dari Rongkop. Berdasarkan PP RI No. 150 tahun 2000, sampel tanah dari Girisubo memiliki permeabilitas tanah yang melebihi ambang kritisnya, karena permeabilitasnya kurang dari 0,7 cm/jam, sedangkan sampel tanah dari Purwosari, Panggang dan Rongkop juga melebihi ambang kritisnya karena nilainya lebih besar dari 70 cm/jam Permeabilitas Air Tanah di Zona Selatan Dibandingkan Baku Mutunya Baku Mutu Atas Permeabilitas Baku Mutu Bawah Grafik 2.7. Derajat pelulusan air (permeabilitas) tanah di zone Selatan dibandingkan dengan ambang kritisnya Berdasarkan permeabilitas tanah, sampel tanah dari Rongkop termasuk dalam kelas permeabilitas lambat, sampel tanah dari Saptosari dan Girisubo termasuk dalam kelas permeabilitas agak lambat, sampel tanah dari Tepus termasuk dalam kelas permeabilitas sedang dan sampel tanah dari Purwosari, Panggang serta Tanjungsari termasuk kelas permeabilitas sangat cepat, sedangkan sampel tanah dari Paliyan tidak ada data kelas permeabilitasnya. Hasil analisa ph sampel tanah berkisar antara 6,03 7,04. ph terendah terdapat pada sampel dari Panggang, sedangkan yang tertinggi terdapat pada sampel dari Paliyan. Bila dibandingkan dengan ambang kritis menurut PP RI No. 150 tahun 2000, sampel tanah dari 8 lokasi tersebut tidak ada yang memiliki ph melebihi ambang kritisnya. Daya hantar listrik (DHL) pada sampel tanah yang dianalisa berkisar antara µmhos/cm, semuanya melebihi ambang kritis II-20

41 menurut PP RI No. 150 tahun 2000, karena lebih besar dari 4 ms/cm atau 4 µmhos/cm. DHL tertinggi terdapat pada sampel tanah dari Paliyan, sedangkan sampel tanah dari Saptosari memiliki DHL yang terendah. Dari hasil analisa potensial redoks pada sampel tanah dari 8 lokasi yang dipantau di zone Selatan berkisar antara mv, semuanya kurang dari 200 mv, berarti telah melebihi ambang kritisnya. Potensial redoks tertinggi terdapat pada sampel tanah dari Paliyan, sedangkan yang terendah terdapat pada sampel tanah dari Saptosari. Redoks Tanah di Zona Selatan Dibandingkan Baku Mutunya Baku Mutu Redoks 50 0 Grafik 2.8. Potensial redoks sampel tanah zone Selatan dibandingkan ambang kritisnya Hasil analisa jumlah mikroba pada sampel tanah dari zone Selatan berkisar antara 1,62 x ,01 x 10 8 cfu/g tanah, dengan demikian sampel tanah yang dianalisa tidak ada yang memiliki jumlah mikroba yang melebihi ambang batas. Jumlah mikroba terbanyak terdapat pada sampel tanah dari Tanjungsari, sedangkan yang paling sedikit terdapat pada sampel tanah dari Tepus. Bila dibandingkan dengan ambang kritis kerusakan lahan untuk produksi biomassa sesuai PP RI No. 150 tahun 2000, maka hasil analisa sampel tanah di zone Selatan ada beberapa parameter yang melampaui ambang kritisnya. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel Hasil analisa sampel tanah dari zone Selatan dibandingkan nilai ambang kritis sesuai PP RI No. 150 tahun 2000 Parameter Purwosari Panggan Sapt Paliyan Tanjun Tepus Rongk Girisubo II-21

42 g osari gsari op Ketebalan solum - Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Kebatuan Melebi Tidak Tidak Tidak Tidak permukaan hi Tidak Tidak Tidak Komposisi fraksi Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Berat isi Tidak Melebihi Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Porositas total Melebihi Melebihi Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Derajat Melebi Melebihi Melebihi Tidak - Tidak Melebihi pelulusan air hi Melebihi ph (H 2 O) Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak DHL Melebihi Melebihi Mele Melebi Melebi Melebi Melebihi bihi hi hi hi Melebihi Redoks Melebihi Melebihi Mele Melebi Melebi Melebi Melebihi bihi hi hi hi Melebihi Jumlah mikroba Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Gambar 2.7.Pengambilan sampel tanah Desa Kerdonmiri,Rongkop. Sampel tanah dari Saptosari, Paliyan dan Tepus melebihi ambang kritis untuk 2 parameter, yaitu untuk parameter daya hantar listrik (DHL) dan potensial redoks, sampel tanah dari Tanjungsari, Rongkop dan Girisubo melebihi ambang kritis untuk 3 parameter, yaitu untuk kebatuan permukaan, DHL dan potensial redoks untuk sampel tanah dari Tanjungsari, sedangkan sampel tanah dari II-22

43 Rongkop dan Girisubo melebihi ambang kritis untuk parameter derajat pelulusan air (permeabilitas), DHL dan potensial redoks. Sampel tanah dari Purwosari melebini ambang kritis untuk 4 parameter, yaitu porositas total, derajat pelulusan air (permeabilitas), daya hantar listrik dan potensial redoks, sedangkan sampel tanah dari Panggang melebihi ambang kritis untuk 5 parameter, yaitu berat isi, porositas total, derajat pelulusan air (permeabilitas), daya hantar listrik dan potensial redoks. Gambar 2.8.Pengambilan sampel tanah dusun Kemuning, Patuk. Kerusakan lahan yang lain adalah akibat pertambangan dan lahan kritis. Kerusakan lahan akibat pertambangan berdasarkan data dari Disperindagkoptam tahun 2009 seluas m 2, yang menyebar di tiga kecamatan yaitu Ponjong, Wonosari, dan Semanu, dengan kondisi yang masuk dalam kriteria antara rusak dan sedang. Pertambangan tersebut berada di 41 lokasi penambangan, dengan jenis bahan tambang adalah batu gamping keprus, dan sebagian besar merupakan penambangan tanpa izin (Peti). Penentuan kriteria kerusakan lahan tersebut mengacu pada Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 63 Tahun 2003 tentang Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Bagi Usaha Dan/Atau Kegiatan Penambangan Bahan Galian Golongan C di Wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. II-23

44 Sedangkan luas lahan kritis yang ada di Kabupaten Gunungkidul pada tahun 2013 adalah seluas 5.773,97 Ha atau menurun dibandingkan luas lahan kritis tahun 2012 yaitu ,33 Ha atau menurun 50%. Lahan kritis terbesar di Kecamatan Panggang yaitu Ha dan terkecil di Kecamatan Wonosari. Keberhasilan penurunan lahan kritis ini merupakan indikator keberhasilan penanaman tanaman penghijuan di Kabupaten Gunungkidul. Luas hutan di Kabupaten Gunungkidul adalah ,68 Ha dengan perincian Hutan Negara seluas ,82 Ha, hutan rakyat seluas ,63 ha, hutan kota seluas 7,25 Ha dan hutan tanaman rakyat di tanah AB seluas 327,73 Ha. Apabila dibandingkan dengan Tahun 2012, luas hutan di Gunungkidul mengalami peningkatan sebesar 20%. Paling besar peningkatannya dari hutan rakyat dan hutan tanaman rakyat, artinya bahwa kesadaran masyarakat untuk menanam cukup tinggi, tentu dengan pertimbangan ekonomi yang akan diperoleh. 1. Hutan Negara Hutan Negara adalah hutan yang dikembangkan pada kawasan lahan yang berstatus formal sebagai kawasan hutan yang dimiliki oleh Negara. Di Kabupaten Gunungkidul, kawasan Hutan Negara ini dikelola oleh unit lembaga yang bernama Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH), lembaga ini merupakan lembaga pemerintah yang bertugas secara teknis mengelola kawasan hutan Negara di wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Secara formal lembaga Kesatuan Pemangkuan Hutan ini berada dibawah kesatuan organisasi Dinas Kehutanan dan Perkebunan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, berdasarkan status keperuntukanya, Hutan Negara dibagi ke dalam beberapa status peruntukan hutan. Tabel Status Peruntukan Hutan Negara No Jenis Pemanfaatan Luas (Ha) Keterangan 1. Suaka Margasatwa 343,6 Perlindungan satwa 2. Tahura Bunder 634,1 Konservasi/wisata 3. Hutan Pendidikan Wanagama I 600,0 Diklat dan riset 4. Penangkaran Rusa 10,0 Perlindungan rusa 5. Hutan Kemasyarakatan 1.087,6 Hutan produksi masyarakat 6. Hutan Produksi ,5 Hutan produksi negara Jumlah ,8 Sumber : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Gunungkidul, Hutan Rakyat Hutan rakyat di Gunungkidul mengalami peningkatan dari tahun 2012 yaitu dengan luas lahan sekitar bertambah 500 Ha. Hutan Rakyat di Gunungkidul dikembangkan oleh masyarakat pada lahan pegunungan, lahan tegalan maupun pekarangan. Pola pengembangan hutan rakyat dilakukan dengan sistem monokultur maupun tumpangsari. Pola monokultur banyak dilakukan pada kawasan pegunungan kritis maupun pada lahan tidak produktif lainnya, sedangkan pola tumpangsari banyak II-24

45 dilakukan oleh masyarakat pada lahan-lahan yang masih relative produktif. Secara terperinci persebaran potensi Hutan Rakyat Gunungkidul per wilayah kecamatan adalah sebagai berikut. Tabel Potensi Hutan Rakyat Kabupaten Gunungkidul No Kecamatan Luas ( Ha ) Keterangan 1 Purwosari 1, Gedangsari 2, Girisubo 4, Karangmojo Ngawen 2, Nglipar 1, Paliyan 1, Panggang 2, Patuk 1, Ponjong 3, Rongkop 3, Saptosari 3, Semanu 2, Semin 1, Tanjungsari 2, Tepus 3, Wonosari 1, Playen 1, Total ,97 Sumber : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Gunungkidul, 2013 Di dalam Hutan Rakyat ini ada sebagian yang difungsikan sebagai kawasan lindung oleh masyarakat, yang dikelola secara berkelompok. Tabel Hutan Rakyat yang Dijadikan Kawasan Lindung No Jenis Pemanfaatan Lokasi Luas ( Ha ) 1. Hutan Konservasi Wanasadi Duren, Beji, Ngawen Konservasi Gunung Api Purba Nglanggeran, Patuk Konservasi Pantai Wediombo, Girisubo Kawasan Konservasi Kehati Danggolo, Purwodadi, Tepus 6 Jumlah 246 Sumber : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Gunungkidul, Hutan Tanaman Rakyat ( HTR ) Hutan Tanaman Rakyat (HTR) adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh perorangan atau koperasi untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan. Masyarakat cukup berminat dengan program Pengembangan Hutan Tanaman Rakyat yang disingkat HTR ini. Luas HTR II-25

46 di Kabupaten Gunungkidul adalah 327,73 Ha. Hutan Tanaman Rakyat seluruhnya dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai Hutan Produksi. Kabupaten Gunungkidul telah memiliki hutan seluas ,68 Ha, apabila dilihat dari kebutuhan luas hutan minimal yang harus dimiliki Ha, berdasarkan amanat Undang-Undang Pokok Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999, bahwa setiap wilayah minimal harus mempunyai zona bervegetasi hutan minimal 30% dari luas total wilayah. Maka capaian tutupan vegetasi di Gunungkidul sebenarnya telah memenuhi ketentuan yang berlaku. Hal tersebut karena kesadaran masyarakat Gunungkidul yang cukup tinggi dalam menjaga kelestarian vegetasi di lingkungannya. Namun, masih terdapat potensi lahan yang dapat dipergunakan sebagai lokasi penambahan pengembangan hutan sebagai vegetasi penutup lahan, yaitu lahan kritis yang masih ada dan tersebar di berbagai wilayah lahan. B. Keanekaragaman Hayati Keanekaragaman hayati merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan keanekaan bentuk kehidupan di bumi, baik di darat, laut, maupun perairan lainnya. Keanekaragaman Hayati meliputi berbagai jenis tumbuhan, satwa, mikroorganisme dan fenomena alam yang mempunyai fungsi dan manfaat sebagai unsur pembentuk lingkungan hidup, dimana kehadirannya tidak dapat diganti. Keanekaragaman hayati merupakan bagian dari sumberdaya alam (SDA) yang sangat penting bagi kelangsungan hidup dan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Mengingat potensi kekayaan keanekaragaman hayati yang sangat besar bagi upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat maka dalam pemanfaatannya harus selalu berdasarkan prinsip kelestarian dan pendayagunaan secara lestari dan berkelanjutan. Guna mendukung keberlangsungan keanekaragaman hayati di Gunungkidul telah menetapkan kawasan konservasi (in-situ) dan kawasan konservasi (ex-situ). Kawasan konservasi (insitu) tersebut meliputi suaka marga satwa hutan sodong, hutan wisata alam hutan Wonosadi, Tahura Bunder, Kawasan konservasi Gunung Api Purba, kawasan konservasi Wediombo, dan Kawasan konservasi Hutan Kusnadi Harjosumantri. Sedangkan kawasan konservasi (ex-situ) terdiri dari hutan Wanagama, hutan kota, penangkaran rusa, dan taman kota. Di Gunungkidul untuk tumbuhan/flora yang dilindungi sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999 ada beberapa jenis tumbuhan, dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel Jenis Flora yang Dilindungi Nama flora Nama Latin Status 1. Gayam Inocarpus fagiferus terancam punah II-26

47 2. Ingas Gluta rengas terancam punah 3. Kelor Moringa oleifera terancam punah 4. Kepel Stelechocarpus burahol terancam punah 5. Dandang Gendis Clinacanthus nutans terancam punah 6. Cempaka Michelia champaca terancam punah 7. Ceremai Phyllanthus acitus terancam punah 8. Awar-Awar Ficus Septica terancam punah 9. Biduri Calotropis Gigantea terancam punah 10.Bendo Artocarpus maxima terancam punah 11. Adem ati Litsea chinensis terancam punah Sumber : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Gunungkidul, 2012 Sedangkan potensi fauna yang dilindungi di Gunungkidul ada sekitar 20 spesies dari golongan hewan menyusui, Amphibi, Reptil dan Burung. Lebih jelasnnya dapat dilihat pada tabel berikut ini. Pada tahun 2013 Kapedal Kabupaten Gunungkidul melakukan kegiatan peningkatan keanekaragaman hayati melalui penanaman tanaman identitas yang disesuaikan nama lokasiyang ditanami meliputi Pule, Kedondong, Klumpit, Pakel, Belimbing, Munggur, Beringin, Nangka, dan Duwet/Jamblang. Adapun lokasi penanaman dan jumlah tanaman yang didistribusikan yakni di Dusun Pule, Ngloro sebanyak 50 batang bibti Pule ; Dusun Dondong, Jetis sebanyak 60 batang bibit Kedondong; Dusun Klumpit, Kanigoro sebanyak 60 batang bibit Klumpit; Dusun Pakel Jaluk dan Pakelrejo, Piyaman sebanyak 50 batang bibit Pakel, Dusun Blimbing, Karangrejek sebanyak 60 batang bibit Belimbing, Dusun Munggur, Sidorejo sebanyak 50 batang bibit Munggur; Dusun Ringin, Semoyo sebanyak 50 batang bibit beringin; Dusun Karangnongko, Wiladeg sebanyak 68 batang bibit Nangka; Dusun Karangduwet, Karangmojo sebanyak 65 batang bibit Duwet/Jamblang; Dusun Munggur, Ngipak sebanyak 50 batang bibt Munggur dan Dusun Ringin, Bejiharjo sebanyak 50 batang. Pelaksanaan pengadaan bibit secara kontraktual. Selain bibit juga diserahkan pupuk organik sebanyak kg yang dibagi pada 11 lokasi tersebut. Tabel Jenis Fauna yang Dilindungi No. Golongan Nama spesies Nama Latin Spesies Status 1 Hewan menyusui 1. Harimau tutul Pantera pardus terancam 2. Landak Hystrix brachyura terancam 3.Trenggiling Manis javanica terancam 4. Meong congkok Felis bengalensis terancam 5. Ayam Hutan Galus galus terancam 2 Burung 1. Alap-alap Accipitridae terancam 2. Raja Udang Alcedo terancam 3. Kuntul Bubulcus Ibis terancam II-27

48 4. Bangau Hutan/sandang lawe Ciconia Episcopus terancam 5. Burung Kipas Rhipidura Javanica terancam 6. Ayam Hutan Galus galus terancam 7. Burung Madu Nectarinia Jugularis terancam 8. Elang Ular bido Spizaetus Cheela terancam 9. Elang Alpa Cina Accipiter soloensis terancam 10. Raja Udang Meninting Alcedo Meninting terancam 11. Alap-alap sapi Falco Sylvatica terancam 12. Alap-alap macan Falco Severus terancam 13. Burung Madu Kelapa Anttreptes malaccensis terancam 3 Reptil 1. Ular sawah Phyton reticulatus - 4 Amphibi 1. Penyu Tempayan Caretta-caretta - 2. Penyu Hijau Chelonia onydas - 3.Penyu sisik Cretmochelys mibricata - Sumber : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Gunungkidul, 2010 Kecenderungan keanekaragaman hayati di Gunungkidul, semakin berkurang, hal ini disebabkan oleh ekploitasi sumberdaya alam dan rendahnya kesadaran masyarakat untuk menjaga lingkungan karena permasalahan kebutuhan menyebabkan potensi hayati terancam punah. Upaya pengembangan keanekaragaman hayati di Gunungkidul diharapkan dapat menambah jumlah fauna yang ada. Upaya untuk pengembangan fauna di Gunungkidul, pada Oktober 2013 Balai Konservasi Sumber Daya Alam melepasliarkan 1 ekor burung elang Brontok di hutan Wonosadi, yang sebelumnya dilakukan inventarisasi di hutan Wonosadi dan menemukan 4 ekor Elang Brontok. Sebelum melepaskan elang brontok didahului dengan pelepasan ratusan ekor burung Pipit, Puter Lumut serta Kutilang. C. AIR Air merupakan sumber daya alam yang diperlukan untuk hajat hidup orang banyak, bahkan oleh semua mahluk hidup. Oleh karena itu, sumber daya air harus dilindungi agar tetap dapat dimanfaatkan dengan baik oleh manusia serta mahluk hidup yang lain. Pemanfaatan air untuk berbagai kepentingan harus dilakukan secara bijaksana, dengan memperhitungkan kepentingan generasi sekarang maupun generasi mendatang. Aspek penghematan dan pelestarian sumber daya air harus ditanamkan pada segenap pengguna air. Saat ini, masalah utama yang dihadapi oleh sumber daya air meliputi kuantitas air yang sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan yang terus meningkat dan kualitas air untuk keperluan domestik yang semakin menurun. Kegiatan industri, domestik dan kegiatan lain berdampak negatif terhadap sumber daya air, antara lain menyebabkan penurunan kualitas air. Kondisi ini dapat menimbulkan gangguan, kerusakan dan bahaya bagi semua mahluk hidup yang bergantung pada II-28

49 sumber daya air. Oleh karena itu diperlukan pengelolaan dan perlindungan sumber daya air secara seksama.salah satu langkah pengelolaan yang dilakukan adalah pemantauan dan interpretasi data kualitas air, mencakup kualitas fisika, kimia dan biologi. Dengan dilakukannya pemantauan kualitas air secara terus menerus, kita bisa mendapatkan informasi mengenai kondisi kualitas air saat ini dan gambaran kecenderungan kualitas air di masa yang akan datang, sehingga bila ada kecenderungan kualitas air akan semakin menurun akibat adanya aktivitas pembangunan, dapat segera dilakukan pengendalian antara lain dengan penyusunan kebijakan, program dan kegiatan yang sesuai dalam rangka penyelamatan sumber-sumber air, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Diharapkan penyusunan kebijakan, program dan kegiatan tetap dilakukan dengan melihat data hasil pemantauan kualitas air yang telah dilaksanakan. Pemantauan kualitas air tahun 2013 dilaksanakan Kapedal Kabupaten Gunungkidul bekerja sama dengan Laboratorium Hidrologi dan Kualitas Air Fakultas Geografi Universitas Gadjah MadaYogyakarta. Secara umum, sungai merupakan aliran air permukaan yang bergerak dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah. Sungai mempunyai aliran air yang berkelok-kelok dan sangat panjang dari hulu ke hilir. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai, sungai adalah alur atau wadah air alami dan/atau buatan berupa jaringan pengaliran air beserta air di dalamnya, mulai dari hulu sampai muara, dengan dibatasi kanan dankiri oleh garis sempadan. Sungai sebagai badan air yang memiliki ekosistem terbuka dan secara terus menerus memperoleh masukan dari lingkungan sekitarnya, memiliki resiko tinggi akan terjadinya pencemaran dan kerusakan yang diakibatkan oleh kegiatan manusia. Aliran air sungai akan mengalir melewati berbagai daerah, sehingga terjadi interaksi antara aliran sungai dengan komponen lingkungan di daerah yang dilewati. Interaksi antara air sungai dengan komponen lingkungan ditentukan oleh sifat air sungai dan rona lingkungan di daerah tersebut. Sifat sungai secara alamiah dipengaruhi oleh sifat fisik, kimia dan biologi, sedangkan rona lingkungan di suatu daerah sangat ditentukan oleh tata guna lahan di sekitarnya. Hal ini yang menunjukkan bahwa perubahan sifat air sungai dipengaruhi oleh tata guna lahan di sekitarnya. Pemantauan kualitas air sungai tahun 2013 dilaksanakan 2 kali dalam setahun, yaitu pada bulan April dan September.Pengambilan sampel air sungai pada tahun 2013 ini dilaksanakan di 2 alur sungai utama dan 2 alur sungai lainnya, yaitu : a. Alur sungai yang melewati kota Wonosari, diambil di 5 titik, yaitusungai Besole (Wonosari), Sungai Kepek(Kepek), Sungai Krapyak (Siraman), Sungai Blimbing (Karangrejek) dan Sungai Wunut(Wareng) b. Alur sungai Oyo, diambil di 3 titik, yaitu di Watusigar (Ngawen), Karangtengah (Wonosari) dan Getas (Playen). II-29

50 c. Alur sungai lainnya, diambil di 2 titik, yaitu Sungai Pentung (Patuk) dan Sungai Gedangan (Karangmojo). Baku mutu yang digunakan untuk pemantauan kualitas air sungai adalah Baku Mutu Air berdasarkan Kelas Air menurut Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, sebagaimana dapat dilihat pada tabel 3.1. di bawah ini : Tabel 2.16 Baku Mutu Air berdasarkan Kelas Air menurutpp RI No. 82 Tahun 2001 serta metode uji kualitas air sungai PARAMETER Satuan Baku Mutu Metode Uji Kelas 1 Kelas 2 FISIKA Debit Lt/dt Temperatur 0 C Deviasi 3 Deviasi 3 SNI TDS mg/l SNI Kekeruhan FTU - - SNI KIMIA ph mg/l SNI Amoniak(NH 3 N) mg/l SNI ) Nitrat (NO 3 mg/l SNI Nitrit (NO - 2 ) mg/l SNI PARAMETER Satuan Baku Mutu Metode Uji Kelas 1 Kelas 2 Sulfat(SO -2 4 ) mg/l SNI Klorida(Cl - ) mg/l SNI Besi total(fe) mg/l SNI Kesadahan(CaCO 3 ) mg/l - - SNI Detergen sbg MBAS mg/l SNI BOD mg/l 2 3 SNI COD mg/l SNI DO mg/l 6 4 SNI BIOLOGI Caliform Total MPN/100ml SNI Pemantauan Alur Sungai yang Melewati Kota Wonosari Kota Wonosari yang merupakan ibukota Kabupaten Gunungkidul dilewati oleh alur sungai yang melintas mulai dari desa Wonosari, desa Kepek, desa Siraman, desa Karangrejek, desa Wareng dan desa Wunung. Di sepanjang tepi alur sungai tersebut terdapat permukiman, dan aktivitas lainnya yang dilakukan oleh masyarakat lainnya, seperti rumah sakit, pasar, pertokoan, industri, bengkel, sekolahan, pertanian dan peternakan, yang secara otomatis turut mempengaruhi kualitas air sungai karena ada air buangan atau air limbah yang dibuang ke sungai tersebut. Pemantauan di alur sungai yang melewati kota Wonosari dilakukan di 5 titik, yaitu sungai Besole (bagian hulu), sungai Kepek, sungai Krapyak dan sungai Blimbing (bagian tengah) serta sungai Wunut (bagian hilir). Di titik pantau sungai Besole, sumber pencemar yang utama adalah II-30

51 permukiman dan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) dari RSUD Wonosari, di titik pantau sungai Kepek, sumber pencemar utama adalah permukiman dan kegiatan-kegiatan komersial, seperti pertokoan, pasar, bengkel dan sekolahan. Di titik pantau sungai Krapyak, sumber pencemar utama adalah industri (tahu) dan permukiman, di titik pantau sungai Blimbing, sumber pencemar utamanya adalah kegiatan pertanian, sedangkan di titik pantau sungai Wunut, sumber pencemar utama adalah kegiatan pertanian, peternakan dan mencuci. Hasil pengujian parameter kualitas air sungai yang melewati kota Wonosari pada bulan April 2013 dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 2.17 Hasil pengujian di alur sungai yang melewati kota Wonosaripada bulan April Parameter Satuan Baku Kepek Krapya Blimbing Wunut mutu k Debit Lt/dt 0,05 4, Temperatur 0 C Deviasi 3 26, TDS mg/l ph Amoniak(NH 3 N) mg/l ) Nitrat (NO 3 mg/l Nitrit (NO - 2 ) mg/l Sulfat(SO -2 4 ) mg/l Besi total(fe) mg/l Detergen sbg MBAS mg/l 200 <0,0003 0,0292 0,0534 0,1801 BOD mg/l COD mg/l DO mg/l Caliform Total MPN/100ml Nihil Keterangan : Sungai Besole tidak ada data (air sungai tidak mengalir) Pada pemantauan bulan April ini Sungai Besole tidak diambil sampel airnya, karena air sungai tersebut tidak mengalir, sehingga tidak bisa dikategorikan sungai, namun seperti bak penampung limbah. Zat padat terlarut atau Total Dissolved Solid (TDS) adalah bahan yang tersisa setelah air sampel mengalami evaporasi dan pengeringan pada suhu tertentu (APHA, 1976), artinya bahwa besarnya nilai TDS menandakan adanya unsur mineral terlarut. Unsur mineral terlarut umumnya terdiri dari karbonat, bikarbonat, klorida, kalium, sulfat, nitrat, magnesium, natrium, kalsium dan dalam jumlah kecil merupakan unsur besi, mangan serta unsur-unsur lain yang kadang dijumpai. Hasil pengukuran TDS pada bulanapril berkisar antara mg/l, kandungan TDS tertinggi, terdapat di sungai Blimbing (bagian tengah), sedangkan yang terendah terdapat di sungai Kepek (bagian tengah). Nilai TDS cenderung meningkat dari alur sungai bagian tengah ke bagian hilir, sebagaimana dapat dilihat pada gambar di bawah ini : II-31

52 Zat Padat Terlarut Air Sungai yang Melewati Kota Wonosari pada Bulan April TDS Besole Kepek Krapyak Blimbing wunut Grafik 2.9. Zat Padat Terlarut Air Sungai yang Melewati Kota Wonosari pada bulan April Derajat keasaman (ph) merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan tingkat keadaan asam atau basa sesuatu larutan. ph juga merupakan suatu cara untuk menyatakan konsentrasi ion H +. Dalam penyediaan air, ph merupakan satu faktor yang harus dipertimbangkan mengingat bahwa derajat keasaman dari air akan sangat mempengaruhi aktivitas pengolahan yang akan dilakukan, misalnya dalam melakukan koagulasi kimiawi, desinfeksi, pelunakan air (water softening) dan dalam korosi. Pengaruh yang menyangkut aspek kesehatan pada penyimpangan standar kualitas air minum adalah bahwa ph yang lebih kecil dari 6,5 dan lebih besar dari 9,2 akan dapat menyebabkan korosi pada pipa-pipa air dan dapat menyebabkan beberapa senyawa kimia berubah menjadi racun yang mengganggu kesehatan. Hasil pengukuran ph pada bulan April berkisar antara 7,54 7,62, di mana ph tertinggi terdapat di sungai Wunut (bagian hilir), sedangkan ph terendah terdapat di sungai Krapyak (bagian tengah). Unsur nitrogen di dalam perairan dapat berbentuk senyawa amonia (NH 3 ), nitrat (NO 3 ) dan nitrit (NO 2 ). Senyawa-senyawa tersebut umumnya berasal dari daratan, seperti limbah rumah tangga, limbah industri dan juga limbah pertanian. Kandungan amonia di perairan berasal dari dekomposisi bahan organik, reduksi nitrit oleh bakteri dan hasil ekskresi organisme yang terdapat di dalamnya.terdapatnya amonia bebas dalam air erat hubungannya dengan siklus nitrogen di alam ini. Dengan siklus tersebut dapat diketahui bahwa amonia bebas dapat terbentuk dari dekomposisi bahan-bahan organik yang mengandung nitrogen, baik yang berasal dari hewan (misalnya faeses) oleh bakteri, dekomposisi bahan-bahan organik dari tumbuh-tumbuhan yang telah mati oleh bakteri dan hidrolisa urea yang terdapat pada urine. Amonia yang terdapat dalam mineral masuk ke badan air melalui erosi tanah. Amonia yang terukur di perairan berupa amonia total (NH 3 dan NH 4 ). Amonia bebas tidak dapat terionisasi, sedangkan amonium (NH 4 ) dapat terionisasi. Amonia bebas yang tidak II-32

53 dapat terionisasi bersifat toksik terhadap organisme akuatik. Toksisitas amonia bebas akan meningkat bila terjadi penurunan kadar oksigen terlarut, ph dan suhu. Nitrat (NO 3 ) merupakan senyawa nitrogen anorganik utama dalam air selain amonia (NH 3 ). Senyawa nitrat terdapat dalam perairan alami sebagai garam-garam terlarut, tersuspensi atau terendap. Adanya nitrat dalam air berkaitan erat dengan siklus nitrogen dalam alam. Dalam siklus tersebut dapat diketahui bahwa nitrat dapat terjadi baik dari N 2 atmosfir maupun dari pupuk yang digunakan dari oksidasi NO 2 oleh bakteri dari kelompok nitrobacter. Efek yang akan terjadi bila air tanah mengandung nitrat yang tinggi, dalam usus manusia cenderung untuk berubah menjadi nitrit yang dapat bereaksi langsung dengan haemoglobin dalam darah membentuk methaemoglobin yang dapat menghalangi perjalanan oksigen di dalam tubuh.sumber dari nitrit (NO 2 ) sebetulnya tidak jauh berbeda dengan sumber nitrat, sebab nitrit merupakan salah satu bentuk dari reduksi nitrat. Nitrit merupakan zat kimia toksik terutama pada bayi. Nitrit dapat menonaktifkan haemoglobin, menyebabkan suatu keadaan yang dikenal dengan sebutan methaemoglobinemia atau bayi biru. Hasil pengukuran amoniak pada bulan April berkisar antara kurang dari 0,0094 4,78 mg/l, di mana kandungan amoniak tertinggi terdapat di sungai Krapyak (bagian tengah), sedangkan yang terendah terdapat di sungai sungai Wunut (bagian hilir). Kandungan nitrat berkisar antara 0,103 3,589 mg/l, yang tertinggi terdapat di sungai Wunut (bagian hilir), sedangkan yang terendah terdapat di sungai Krapyak (bagian tengah).kandungan nitrit berkisar antara kurang dari 0,0009 0,7574 mg/l, di mana kandungan tertinggi terdapat di sungai Krapyak (bagian tengah) dan yang terendah terdapat di sungai Wunut (bagian hilir). Ion sulfat adalah salah satu anion yang banyak terjadi pada air alam. Ion ini merupakan sesuatu yang penting dalam penyediaan air untuk umum, karena apabila ion sulfat ada dalam air dalam konsentrasi yang cukup besar, pencucian perut bisa terjadi pada manusia. Efek laksatif pada sulfat dapat ditimbulkan pada konsentrasi mg/l, apabila Mg 2+ dan Na + merupakan kation yang bergabung dengan SO 4. Efek laksatif yang ditimbulkan oleh terbentuknya Na 2 SO 4 atau MgSO 4 ini adalah berupa timbulnya rasa mual dan ingin muntah. Kandungan sulfat pada pemantauan bulan April berkisar antara 0,09 0,32 mg/l, di mana kandungan tertinggi terdapat di sungai Krapyak (bagian tengah), sedangkan yang terendah terdapat di sungai Wunut (bagian hilir). Unsur besi terdapat di sebagian besar batuan yang ada di bumi. Unsur besi yang ada dalam berbagai mineral tersebut hampir sebagian besar mudah dilarutkan dalam air, terutama pada air yang bersifat asam.pada air tanah, kandungan besi umumnya lebih besar dibandingkan dengan air permukaan yang mengalir (air sungai), hal ini disebabkan karena lingkungannya yang tertutup. Air tanah mempunyai kandungan oksigen lebih kecil, akan tetapi baik air tanah maupun air permukaan dapat mempunyai kandungan unsur besi dalam bentuk feri dalam jumlah yang besar jika airnya bersifat asam dengan ph lebih kecil dari 4.Air permukaan yang bersifat asam umumnya air II-33

54 dalam lingkungan yang tertutup, misalnya rawa dan danau. Lingkungan yang sifatnya tertutup ini hampir tidak ada arus air yang bergerak, menyebabkan material berbutir halus (lempung) diendapkan secara sempurna. Material atau batuan lempung ini banyak mengandung unsur besi yang kemudian dioksidasi oleh oksigen dari air dan mengakibatkan melimpahnya hidrogen bebas dalam air hingga air bersifat asam. Pada pemantauan bulan April, kandungan besi (Fe) total berkisar antara kurang dari0,0011 0,0392 mg/l, di mana kandungan yang tertinggi terdapat di sungai Krapyak (bagian tengah), sedangkan yang terendah terdapat di sungai Bimbing (bagian tengah) dan sungai Wunut (bagian hilir). Hasil pengukuran kandungan deterjen pada bulan April berkisar antara kurang dari 0,0003 0,1801 mg/l. Kandungan deterjen terendah terdapat di sungai Kepek (bagian tengah), dan semiakin meningkat ke arah hilir. Kandungan yang tertinggi terdapat di sungai Wunut (bagian hilir) Deterjen adalah bahan pembersih seperti halnya sabun, akan tetapi dibuat dari senyawa petrokimia. Deterjen mempunyai kelebihan dibandingkan dengan sabun, karena dapat bekerja pada air sadah. Bahan deterjen yang umum digunakan adalah Dodecylbenzen sulfonat. Deterjen di dalam air akan mengalami ionisasi membentuk komponen bipolar aktif yang akan mengikat ion Ca atau ion Mg pada air sadah. Bahan buangan deterjen di dalam air akan mengganggu karena alasan sebagai berikut : 1. Deterjen yang menggunakan bahan non fosfat akan menaikkan ph air sampai sekitar 10, Bahan antiseptik yang ditambahkan ke dalam deterjen juga mengganggu kehidupan mikroorganisme di dalam air, bahkan dapat mematikan. 3. Ada sebagian bahan deterjen yang tidak dapat dipecah (didegradasi) oleh mikroorganisme di dalam air. Kesadahan ini sudah barang tentu akan merugikan lingkungan. Deterjen atau surfaktan sintesis merupakan zat yang sangat bersifat toksik atau racun jika tertelan atau masuk ke dalam tubuh. Senyawa deterjen bersifat karsinogenik atau dapat menimbulkan kanker bila terakumulasi dalam jangka waktu yang lama dalam tubuh. Deterjen juga mengandung zat aditif lain seperti golongan amonium kuartener dan beberapa jenis surfaktan seperti sodium lauryl sulfate (SLS) dan sodium laureth sulfate (SLES). Golongan amonium kuartener ini dapat membentuk senyawa nitrosamin yang juga bersifat karsinogenik. Penggunaan deterjen secara intensif dan dengan kandungan fosfat tinggi diketahui pula dapat menyebabkan proses eutrofikasi di perairan. Saat ini dikembangkan deterjen dengan kandungan fosfat rendah atau non fosfat yang diharapkan lebih ramah terhadap kesehatan dan lingkungan. Namun ternyata deterjen yang rendah kandungan fosfatnya juga dapat menimbulkan resiko terhadap kesehatan atau lingkungan karena deterjen lebih bersifat alkalis atau dengan keasaman tinggi dan kaustik. Sisa-sisa bahan surfaktan yang terdapat dalam deterjen dapat membentuk chlorobenzene pada proses klorinasi pengolahan air minum PAM. Chlorobenzene merupakan II-34

55 senyawa kimia yang bersifat racun dan berbahaya bagi kesehatan. Keluhan yang banyak ditemui adalah pertumbuhan eceng gondok yang tak terkendali, gangguan pada pipa-pipa air minum yang terganggu karena sistem pembusaan yang banyak dari deterjen-deterjen itu.busa yang ditimbulkan deterjen juga dapat merusak dan mematikan biota-biota yang ada dalam air atau sekitar perairan karena menghalangi sinar matahari yang berguna untuk memberikan oksigen bagi biota yang ada di dalam air, sehingga air yang telah tercemar deterjen, kualitasnya menurun dan tidak baik untuk dikonsumsi sebagai air minum bagi masyarakat. BOD (Biological Oxygen Demand) merupakan gambaran kadar organik, yaitu jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroba aerob untuk mengoksidasi bahan organik menjadi karbondioksida dan air, dengan kata lain BOD menunjukkan jumlah oksigen yang dikonsumsi oleh proses respirasi mikroba aerob yang terdapat dalam botol BOD yang diinkubasi pada suhu 20 o C selama lima hari dalam keadaan tanpa cahaya. BOD hanya menggambarkan bahan organik yang dapat didekomposisi secara biologis (biodegradable). Bahan organik ini dapat berupa lemak, protein, kanji, glukosa, aldehide dan ester. Dekomposisi selulosa secara biologis berlangsung relatif lambat. Bahan organik merupakan hasil pembusukan tumbuhan dan hewan yang telah mati atau hasil buangan dari limbah domestik dan industri. Pada proses dekomposisi, mikroba memanfaatkan bahan organik sebagai sumber makanan dari suatu rangkaian reaksi biokimia yang kompleks. Reaksireaksi tersebut dapat berupa katabolisme maupun anabolisme.pada reaksi katabolisme, makanan (bahan organik) dipecah menghasilkan energi. Pada reaksi anabolisme, energi digunakan untuk sintesis sel baru. BOD menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang diperlukan oleh organisme air untuk memecah atau mengoksidasi bahan-bahan organik menjadi anorganik. Apabila dalam penguraian tersebut kekurangan oksigen, yang artinya reaksi berlangsung dalam kondisi anaerob, maka dapat mengakibatkan timbulnya bau busuk dari sungai. Pada umumnya kebutuhan oksigen ini dari hulu sampai ke hilir semakin meningkat. Hal ini dipengaruhi karena semakin banyaknya pembuangan terutama limbah cair dan limbah domestik pada daerah sungai bagian tengah, sehingga kebutuhan akan oksigen ini akan semakin meningkat sebagai bahan pengurai limbah-limbah tersebut, sehingga kandungan BOD ini dapat digunakan sebagai indikator kadar pencemar dalam air, baik bahan organik maupun bahan anorganik. Untuk mengukur tingkat pencemaran bahan organik juga dilakukan pengukuran COD (Chemical Oxygen Demand). COD menggambarkan jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimiawi, baik yang dapat didegradasi secara biologis (biodegradable) maupun yang sukar didegradasi secara biologis (non biodegradable) menjadi CO 2 dan H 2 O. Nilai COD merupakan ukuran bagi pencemaran air oleh zat-zat organik yang secara alamiah dapat dioksidasikan melalui proses mikrobiologis dan mengakibatkan berkurangnya oksigen terlarut dalam air.jika bahan organik terlarut merupakan bahan organik tahan urai dan sangat lambat II-35

56 mengalami proses penghancuran akan dicirikan oleh nilai COD yang tinggi dan nilai BOD yang rendah. Hasil pengukuran BOD pada bulan April berkisar antara 0,87-2,03 mg/l, sedangkan hasil pengukuran COD pada bulan April berkisar antara 2,55 11,47 mg/l. Nilai BOD tertinggi terdapat di sungai Blimbing (bagian tengah), sedangkan di ketiga penggal sungai lainnya nilai BOD sama, yaitu 0,87 mg/l. Nilai COD tertinggi terdapat di Sungai Kepek. Nilai COD semakin menurun ke arah hilir, sehingga nilai COD terendah terdapat di sungai Wunut (bagian hilir). Nilai BOD dan COD Air Sungai yang melewati Kota Wonosari pada bulan April BOD COD Besole Kepek Krapyak Blimbing Wunut Grafik Nilai BOD dan COD air sungai yang melewati kota Wonosari pada bulan April Oksigen merupakan salah satu gas yang terlarut dalam perairan. Kadar oksigen terlarut (Dissolved Oxygen/ DO) di perairan alami bervariasi, tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air dan tekanan atmosfir. Kadar oksigen terlarut juga berfluktuasi secara harian dan musiman, tergantung pada percampuran dan pergerakan massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi dan limbah yang masuk ke badan air. Peningkatan suhu sebesar 1 o C akan meningkatkan konsumsi oksigen sekitar 10%. Dekomposisi bahan organik dan oksidasi bahan an organik dapat mengurangi kadar oksigen terlarut. Kelarutan oksigen dan gas-gas lain juga berkurang dengan meningkatnya salinitas, sehingga kadar oksigen di laut cenderung lebih rendah daripada kadar oksigen di perairan tawar. Sumber oksigen terlarut dapat berasal dari difusi oksigen yang terdapat di atmosfir (sekitar 35 %) dan aktivitas fotosintesis oleh tumbuhan air dan fitoplankton. Difusi oksigen dari atmosfer ke dalam air dapat terjadi secara langsung pada kondisi air diam. Difusi juga dapat terjadi karena agitasi atau pergolakan massa air akibat adanya gelombang atau ombak dan air terjun. Pada II-36

57 siang hari, ketika matahari bersinar terang, berlangsung proses fotosintesis dan respirasi, di mana oksigen yang dilepas dari proses fotosintesis lebih besar daripada oksigen yang dikonsumsi oleh proses respirasi. Pada malam hari, fotosintesis berhenti, tapi respirasi terus berlangsung. Pola perubahan kadar oksigen ini mengakibatkan terjadinya fluktuasi harian. Kadar oksigen maksimum terjadi pada sore hari, sedangkan kadar minimum terjadi pada pagi hari. Selain akibat proses respirasi tumbuhan dan hewan, hilangnya oksigen di perairan juga terjadi karena oksigen dimanfaatkan oleh mikroba untuk mengoksidasi bahan organik.kadar oksigen terlarut yang tinggi tidak menimbulkan pengaruh fisiologis bagi manusia. Ikan dan organisme akuatik lainnya membutuhkan oksigen terlarut dengan jumlah cukup. Kebutuhan oksigen sangat dipengaruhi oleh suhu dan bervariasi antar organisme. Oksigen terlarut dapat membentuk presipitasi dengan besi dan mangan. Kedua unsur tersebut menimbulkan rasayang tidak enak pada air. Untuk keperluan air minum, air dengan nilai oksigen terlarut pada taraf jenuh lebih dikehendaki, karena air yang demikian menimbulkan rasa segar. Demikian pula perairan untuk berbagai peruntukan yang lain, kecuali untuk keperluan industri, karena kadar oksigen yang tinggi dapat meningkatkan korosivitas. Pada pemantauan bulan April, DO berkisar antara 0,87 8,12 mg/l, di mana DO tertinggi terdapat di sungai Wunut (bagian hilir), sedangkan yang terendah terdapat di sungai Krapyak (bagian tengah). Gambar 2.9. Pengambilan sampel air sungai Besole Kandungan bakteri coliform pada pemantauan bulan April di semua titik lokasi adalah lebih dari MPN/100 ml. Hasil pengujian parameter kualitas air sungai yang melewati kota Wonosari pada bulan September dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 2.18 Hasil pengujian di alur sungai yang melewati kota Wonosari pada bulan September II-37

58 Parameter Satuan Baku Besole Kepek Krapyak blimbing wunut mutu FISIKA Debit Lt/dt Temperatur 0 C Deviasi TDS mg/l KIMIA ph Amoniak(NH 3 N) mg/l ) Nitrat (NO 3 mg/l Nitrit (NO - 2 ) mg/l 0, Sulfat(SO -2 4 ) mg/l Besi total(fe) mg/l Detergen sbg mg/l MBAS BOD mg/l COD mg/l DO mg/l BIOLOGI Caliform Total MPN/100ml Parameter fisika yang diukur dan diuji kualitasnya pada bulan Oktober hanya debit, temperatur dan Total Dispended Solid (TDS). Hasil pengukuran TDS pada bulan September berkisar antara mg/l, TDS tertinggi terdapat di sungai Blimbing (bagian tengah) dan sungai Wunut (bagian hilir), sedangkan yang terendah terdapat di sungai Besole (bagian hulu). Kandungan TDS dari bagian hulu semakin meningkat ke arah hilir. Pada pemantauan bulan September, ph air sungai yaitu berkisar antara 7,13 7,62, di mana ph tertinggi terdapat di sungai Krapyak (bagian tengah), sedangkan ph terendah terdapat di sungai Besole (bagian hulu). Kandungan amoniak tertinggi terdapat di sungai Besole (bagian hulu), sedangkan yang terendah terdapat di sungai sungai Wunut bagian hilir). Hasil pengukuran kandungan amoniak ini berkisar antara 0,018 0,1708 mg/l. Kandungan nitrat berkisar antara1,63 27,84 mg/l, yang tertinggi terdapat di sungai Blimbing (bagian tengah), sedangkan yang terendah terdapat di sungai Besole (bagian hulu). Pada pemantauan bulan September, kandungan nitrit di sungai Kepek dan sungai Blimbing (bagian tengah, nilainya sama, yaitu kurang dari 0,0009 mg/l, sedangkan yang tertinggi terdapat di sungai Krapyak di bagian tengah, yaitu sebesar 0,083 mg/l. Kandungan sulfat pada pemantauan bulan September berkisar antara kurang dari7,18 31,79 mg/l. Kandungan tertinggi terdapat di sungai Besole (bagian hulu), sedangkan yang terendah terdapat di sungai Blimbing (bagian tengah).kandungan sulfat ini menurun dari alur sungai bagian hulu menuju ke alur sungai bagian tengah dan kandungan tertinggi di alur sungai bagian paling tengah (sungai Belimbing), kemudian di bagian hilir, kandungan sulfat ini meningkat lagi Kandungan besi (Fe) total dari bagian tengah sampai hilir besarnya sama, yaitu kurang dari 0,0011 mg/l. Kandungan besi total tertinggi terdapat di sungai Besole, yaitu sebesar 0,051 mg/l. II-38

59 40 Kandungan Sulfat Air Sungai yang melewati kota Wonosari pada Bulan September Besole Kepek Krapyak Blimbing Wunut Grafik Kandungan sulfat air sungai yang melewati kota Wonosari pada bulan September Pada pemantauan bulan September hasil pengukuran deterjen sebagai MBAS berkisar antara 0,1686 0,4242 mg/l, di mana kandungantertinggi terdapat di sungai Besole (bagian hulu) dan yang terendah terdapat di sungai Blimbing (bagian tengah). Hasil pengukuran BOD pada pemantauan bulan September berkisar antara 0,29 1,02 mg/l, nilai BOD tertinggi terdapat di sungai Wunut (bagian hilir) sedangkan yang terendah terdapat di sungai Blimbing (bagian tengah). Hasil pengukuran COD berkisar antara 1,68 19,39 mg/l. Nilai COD tertinggi terdapat di alur sungai bagian hulu (Sungai Besole) sedangkan nilai COD terendah terdapat di alur sungai Krapyak, (bagian tengah), sebagaimana dapat dilihat pada gambar di bawah ini Nilai BOD dan COD Air Sungai yang Melewati Kota Wonosari pada bulan September BOD COD 5 0 Besole Kepek Krapyak Blimbing Wunut Grafik Nilai BOD dan COD air sungai yang melewati kota Wonosari bulan September II-39

60 Pada pemantauan bulan September, DO berkisar antara 3,04 8,84 mg/l, di mana DO tertinggi terdapat di sungai Kepek dan sungai Blimbing (bagian tengah), sedangkan yang terendah terdapat di sungai Krapyak (bagian tengah). Kandungan bakteri coliform pada pemantauan bulan September berkisar antara 6 lebih dari MPN/100 ml. Kandungan bakteri coliform tertinggi terdapat alur sungai Kepek (bagian tengah), sedangkan yang terendah di sungai Besole (bagian hulu) dan sungai Krapyak (bagian tengah) Kandungan Coliform Total Air Sungai yang Melewati Kota Wonosari Bulan September besole kepek krapyak blimbing Wunut Grafik Kandungan Coliform total air sungai yang melewati kota Wonosari bulan September Parameter Total Dispended Solid (TDS)pada pemantauan bulan September mengalami penurunanbila dibandingkan dengan pemantauan pada bulan Maret di semua titik pemantauan. Penurunanterbesar terjadi di sungai Blimbing, yaitu dari 472 mg/l menjadi 312 mg/l. Berdasarkan hasil pemantauan pada bulan Maret dan bulan September, parameter kimia yang mengalami peningkatan cukup besar adalah nitrat dan sulfat di semua lokasi pemantauan, ph di Sungai Krapyak, kandungan amoniak di sungai Blimbing dan sungai Wunut, BOD di sungai Wunut dan DO terjadi penurunan di Sungai Wunut, kandungan nitrit di alur sungai bagian hulu, kandungan besi total dan kandungan coliform total meningkat di sebagian alur sungai serta terjadi penurunan DO di sungai Besole dan sungai Blimbing. Peningkatan nitrat terjadi di semua titik pemantauan. Peningkatan tertinggi terjadi di sungai Kepek (bagian tengah), yaitu dari 0,126 mg/l meningkat menjadi 18,03 mg/l. II-40

61 30 Peningkatan Nitrat di Alur Sungai Yang Melewati Kota Wonosari April September Besole Kepek Krapytak Blimbing Wunut Grafik Peningkatan nitrat di alur sungai yang melewati kota Wonosari Gambar Pengambilan sampel air sungai Blimbing Peningkatan sulfat terjadi di semua titik pemantauan, di mana peningkatan tertinggi terjadi di sungai Wunut (bagian hilir), yaitu dari 0,09 mg/l menjadi 19,49 mg/l. II-41

62 Peningkatan Sulfat di Laur Sungai Yang melewati Kota Wonosari Besole Kepek Krapyak Blimbing Wunut April September Grafik Peningkatan sulfat di alur sungai yang melewati kota Wonosari 30 Kandungan Nitrat bulan April Dan September Dibandingkan Baku mutunya Baku mutu April September Besole Kepek Krapyak Blimbing Wunut Grafik Kandungan Nitrat di Alur Sungai yang Melewati Kota Wonosari bulanapril dan September dibandingkan baku mutunya Dari hasil pemantauan air sungai yang melewati kota Wonosari, yang dilakukan pada bulan April ada parameter yang melampaui baku mutu air untuk kelas 2 menurut PP RI No. 82 tahun 2001, yaitu nitrit di sungai Kepek dan sungai Krapyak serta DO di sungai Blimbing. Pada pemantauan bulan September,parameter yang melebihi baku mutu adalah nitrat di sungai Kepek, sungai Blimbing dan sungai Wunut, nitrit di sungai Besole dan sungai Krapyak serta DO di sungai Krapyak II-42

63 1 0,9 0,8 0,7 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0 Kandungan Nitrit bulan April Dan September Dibandingkan Baku mutunya Besole Kepek Krapyak Blimbing Wunut Baku mutu April September Grafik Kandungan Nitrit di Alur Sungai yang Melewati Kota Wonosari Pada BulanApril dan September dibandingkan baku mutunya 2. Pemantauan Alur Sungai Oyo Sungai Oyo merupakan anak dari sungai Opak yang merupakan wilayah sungai Serayu Opak-Serang. Sungai ini melintasi Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Gunungkidul serta Kabupaten Bantul di Daerah Istimewa Yogyakarta. Di Kabupaten Gunungkidul, daerah paling hulu dari alur sungai ini berada di kecamatan Semin, sedangkan daerah hilirnya berada di kecamatan Playen dan seterusnya masuk ke wilayah Kabupaten Bantul. Di sepanjang alur sungai Oyo, banyak terdapat kegiatan pertanian dan peternakan dan di beberapa tempat dipergunakan untuk mencuci oleh masyarakat setempat serta beberapa aktivitas masyarakat lainnya. Pemantauan kualitas air sungai Oyo dilakukan di 3 titik, yaitu di Watusigar, Ngawen (hulu), Karangtengah, Wonosari (tengah) dan Getas, Playen (hilir). Pada pemantauan bulan April,Total Dispended Solid (TDS) atau zat padat terlarut berkisar antara mg/l dan pada pemantauan bulan September berkisar antara mg/l, di mana pada bulan April TDS terendah terdapat di alur sungai bagian tengah dan yang tertinggi adalah di bagian hilir, sedangkan pada pemantauan bulan September, TDS di alur sungai bagian tengah lebih tinggi daripada di alur sungai bagian hilir. Pada pemantauan bulan September terjadi peningkatan TDS di alur sungai bagian tengah, dari 184 mg/l menjadi 220 mg/l, sedangkan di alur sungai bagian hulu dan hilir terjadi penurunan. Tabel Hasil pengujian kualitas air sugai Oyo Parameter Satuan Baku mutu Watu Sigar APRIL Karang tengah Getas Watu sigar SEPTEMBER Karang tengah Getas II-43

64 FISIKA Debit Lt/dt Banjir Banjir Temperatur 0 C Deviasi TDS mg/l KIMIA ph Amoniak mg/l 0, (NH 3 -N) -) Nitrat (NO 3 mg/l Nitrit (NO - 2 ) mg/l Sulfat(SO -2 4 ) mg/l Klorida(Cl - ) mg/l 600 Besi total(fe) mg/l Kesadahan mg/l - (CaCO 3 ) Detergen sbg mg/l MBAS BOD mg/l COD mg/l DO mg/l BIOLOGI ColiformTotal MPN/100ml Derajat keasaman (ph) pada pemantauan bulan April berkisar antara 7,71 7,75, sedangkan pada pemantauan bulan September ph meningkat menjadi berkisar antara 7,38 7,80, di mana ph tertinggi, pada pemantauan bulan April terdapat di alur sungai bagian hilir, sedangkan yang terendah terdapat di alur sungai bagian tengah dan pada bulan September, ph di alur sungai bagian tengah lebih tinggi daripada di alur sungai bagian hulu dan hilir. Gambar Air sungai Oyo Watusigar, Ngawen pada pemantauan bulan April (ki) dan September (ka) 2013 II-44

65 Kandungan amoniak pada pemantauan bulan April berkisar antara 0,22 3,34 mg/l, yang tertinggi adalah di alur sungai bagian hulu dan yang terendah adalah di alur sungai bagian tengah, sedangkan pada pemantauan bulan September, kandungan amoniak berkisar antara kurang dari 0,0094-0,037 mg/l, yang lebih tinggi adalah di alur sungai bagian hulu. Pada pemantauan bulan April, kandungan nitrat berkisar antara 1,048-2,757 mg/l, kandungan tertinggi terdapat di alur sungai bagian hulu dan yang terendah di alur sungai bagian hilir dan pada bulan September berkisar antara 2,832 5,707 mg/l, di mana kandungan yang di alur sungai bagian tengah lebih tinggi daripada di alur sungai bagian hulu dan hilir. Kandungan nitrit pada pemantauan bulan April berkisar antara kurang dari 0,0009 0,0662 mg/l, sedangkan pada pemantauan bulan September berkisar antara kurang dari 0,0009 0,052 mg/l. Pada pemantauan bulan April, kandungan sulfat berkisar antara 0,19 0,79 mg/l dengan kandungan tertinggi terdapat di alur sungai bagian huludan yang terendah di alur sungai bagian hilir, sedangkan pada pemantauan bulan September, kandungan sulfat berkisar antara 6,15 34,87 mg/l, kandungan yang lebih tinggi terdapat di alur sungai bagian hulu. Kandungan besi (Fe) total pada pemantauan bulan April berkisar antara 0,0054-0,2304 mg/l, yang tertinggi adalah di alur sungai bagian tengah dan yang terendah di alur sungai bagian hulu. Pada pemantauan bulan September, kandungan besi (Fe) total di semua lokasi sama, yaitu kurang dari 0,0011 mg/l. Pemantauan kandungan detergen pada bulan April berkisar antara 0,0793 0,1763 mg/l, kandungan yang tertinggi terdapat di bagian hilir, sedangkan yang terendah terdapat di bagian tengah. Pada pemantauan bulan September, kandungannya berkisar antara 0,2292 0,5860 mg/l, di mana kandungan yang lebih tinggi terdapat di alur sungai bagian hulu. Biological Oxygen Demand (BOD) dan Chemichal Oxygen Demand (COD) di alur sungai Oyo yang tertinggi adalah di bagian hulu, baik pada pemantauan bulan April maupun September. Pada pemantauan bulan September nilai BOD maupun COD semakin menurun dari alur sungai bagian hulu ke hilir. Pada pemantauan bulan April, BOD berkisar antara 043 2,32 mg/l, sedangkan pada bulan September berkisar antara 0,15 0,29 mg/l. Hasil pengukuran COD pada pemantauan bulan April berkisar antara 4,59 8,66 mg/l, sedangkan pada pemantauan bulan September berkisar antara 2,63 4,79 mg/l. II-45

66 BOD Air Sungai Oyo Septemb er COD Air Sungai Oyo 2 0 April Grafik BOD air sungai Oyo (Ki) dan COD air sungai Oyo Pada pemantauan bulan April, Dissolved Oxygen (DO) atau oksigen terlarut berkisar antara 5,65 7,25 mg/l, yang tertinggi terdapat di alur sungai bagian hulu, sedangkan yang terendah terdapat di bagian tengah. Pada pemantauan bulan September, DO berkisar antara ,12mg/L, di mana DO di bagian hilir lebih tinggi daripada di alur sungai bagian hulu dan tengah. 6 Peningkatan Nitrat Air Sungai Oyo April September Watusigar Karangtengah Getas Grafik Peningkatan nitrat air sungai Oyo II-46

67 Parameter kimia yang mengalami peningkatan dari pemantauan bulan April ke bulan September adalah nitrat, nitrit, sulfat dan detergen. Selain itu penurunan kadar Dissolved Oxygen (DO) atau oksigen terlarut.. Kandungan nitrat dan detergen meningkat di semua titik pemantauan. Peningkatan kandungan nitrat tertinggi terdapat di nagian tengah, yaitu dari 1.25 mg/l menjadi 5,707 mg/l. Peningkatan kandungan detergen tertinggi terdapat di bagian hulu, yaitu dari 0,0812 mg/l menjadi 0,5860 mg/l. Peningkatan kandungan nitrit hanya terjadi di alur sungai bagian tengah, yaitu dari kurang dari 0,0009 mg/l menjadi 0,052 mg/l, Peningkatan sulfat terjadi di bagian hulu dan tengah, di mana penigkatan yang lebih besar terjadi di bagian hulu, yaitu dari 0,79 mg/l menjadi 34,87 mg/l. Penurunan kadar DO terjadi di alur sungai bagian hulu dan tengah, di mana penurunan yang lebih besar terjadi di bagian hulu. 0,7 0,6 0,5 Peningkatan Detergen Air Sungai Oyo 0,4 0,3 April September 0,2 0,1 0 Watusigar Karangtengah Getas Grafik Peningkatan deterjen air sungai Oyo Kandungan bakteri coliform total pada pemantauan bulan April di semua bagian alur sungai Oyo lebih dari MPN/100 ml, sedangkan pada pemantauan bulan September kandungan di semua alur sungai menurun dan mempunyai niai sama, yaitu sebesar 22 MPN/100 ml. Sungai Oyo yang mengalir lintas Kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta telah ditetapkan kelas airnya berdasarkan Peraturan Gubernur Propinsi DIY No. 22 tahun 2007 tentang Penetapan Kelas Air Sungai. Alur sungai Oyo dari jembatan Pengkol, Sriharjo, Imogiri, Bantul ke arah hulu ditetapkan sebagai peruntukan mutu air kelas 1, sedangkan ke arah hilir sebagai perutukan mutu air kelas 2. Mengacu pada Peraturan Gubernur tersebut, maka untuk pemantauan kualitas air di sungai Oyo yang melintas di Kabupaten Gunungkidul, digunakan baku mutu air kelas 1 menurut PP RI No. 82 tahun Dari pemantauan di alur sungai Oyo, baik yang dilakukan pada bulan April maupun September, terdapat parameter yang hasilnya melebihi baku mutunya, yaitu kandungan amoniak, II-47

68 nitrit, BOD dan total coliform serta terdapat kandungan DO yang kurang dari ambang batas yang dipersyaratkan.kandungan amoniak yang melebihi baku mutu terdapat di alur sungai bagian hulu dan hilir pada pemantauan bulan April, sedangkan kandungan nitrit yang melebihi baku mutu hanya terdapat di alur sungai bagian hilir pada pemantauan bulan April. Nilai BOD yang melebihi baku mutu terdapat di bagian hulu pada pemantauan bulan April, sedangkan nilai DO yang kurang dari yang dipersyaratkan terdapat di alur sungai bagian tengah dan hilir pada pemantauan bulan April serta di bagian tengah pada pemantauan bulan September. 4 3,5 3 2,5 2 1,5 1 0,5 0 Kandungan Amoniak Air Sungai Oyo Dibandingkan Baku mutunya Baku Mutu April September Nilai DO Air Sungai Oyo Dibandingkan Baku mutunya Baku Mutu April September Grafik Kandungan amoniak (Ki) dan Nilai DO (Ka) air sunyai Oyo dibandingkan baku mutunya 3.Pemantauan Alur Sungai Lainnya Alur sungai lainnya yang dipantau pada tahun 2013 adalah sebanyak 2 sungai, yaitu sungai Pentung (Patuk) dan sungai Gedangan (Karangmojo). Sumber pencemaran di kedua sungai tersebut berbeda-beda, namun di sebagian besar alur sungai tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk kegiatan pertanian, peternakan dan mencuci. Hasil pengujian parameter kualitas air di alur sungai lainnya dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 2.20 Hasil pengujian parameter kualitas air di alur sungai lainnya No. Parameter Satuan Baku APRIL SEPTEMBER mutu Pentung Gedangan Pentung Gedangan I FISIKA 1. Debit Lt/dt Temperatur 0 C Deviasi TDS mg/l Kekeruhan FTU - II KIMIA 5. ph Amonik (NH 3 -N) mg/l II-48

69 7. -) Nitrat (NO 3 mg/l Nitrit (NO - 2 ) mg/l 0, Sulfat(SO -2 4 ) mg/l Klorida(Cl - ) mg/l Besi mg/l total(fe) 12. Kesadahan mg/l - (CaCO 3 ) 13. Detergen mg/l sbg MBAS 14. BOD mg/l COD mg/l DO mg/l III BIOLOGI 17 ColiformTot al MPN/100 ml Hasil pemantauantotal Dispended Solid (TDS) atau zat padat terlarut antara mg/l, dimana TDS di sungai Pentung lebih tinggi daripada di sungai Gedangan, baik pada pemantauan bulan April maupun bulan September. ph air sungai berkisar antara 7,53 7,68, di mana ph yang lebih tinggi terdapat di sungai Pentung, baik pada pemantauan bulan April maupun bulan September. Hasil pemantauan kandungan amoniak dan nitrat, masing-masing berkisar antara 0,0207 1,24 mg/l dan 0,958 1,733 mg/l. Kandungan amoniak yang lebih tinggi terdapat di sungai Pentung, baik pada pemantauan bulan April maupun September, sedangkan kandungan nitrat yang lebih tinggi terdapat di sungai Gedangan pada pemantauan bulan April dan pada bulan September lebih tinggi di sungai Pentung. Kandungan nitrit di kedua alur sungai pada pemantauan bulan April sama, yaitu sebesar kurang dari 0,0009 mg/l, sedangkan pada bulan September berkisar antara 0,0026 0,003 mg/l. Kandungan nitrit yang lebih tinggi pada pemantauan bulan September ini terdapat di sungai Gedangan. Kandungan sulfat berkisar antara 0,07 17,44 mg/l, di mana kandungan yang lebih tinggi terdapat di sungai Pentung, baik pada pemantauan bulan April maupun September. Kandungan besi total (Fe) pada pemantauan bulan April berkisar antara kurang dari 0,0001 0,0126 mg/l, di mana kandungan yang lebih tinggi terdapat di sungai Pentung. Pada pemantauan bulan September, kandungan besi tota (Fe) di kedua sungai sama, yaitu sebesar kurang dari 0,0011 mg/l. II-49

70 Gambar Pengambilan sampel air sungai Oyo Getas Bulan September Kandungan detergen berkisar antara 0,1119 0,4360 mg/l, di mana pada pemantauan bulan April, kandungan yang lebih tinggi terdapat di sungai Pentung, sedangkan pada pemantauan bulan September, kandungan yang lebih tinggi terdapat di sungai Gedangan. Biological Oxygen Demand (BOD)pada pemantauan bulan April berkisar antara 0,44 0,58 mg/l, di mana nilai BOD yang lebih tinggi terdapat di sungai Gedangan. Pada pemantauan bulan September nilai BOD di kedua sungai tersebut sama, yaitu sebesar 1.01 mg/l. Chemichal Oxygen Demand (COD berkisar antara 2,29 6,37 mg/l, di mana nilai COD yang lebih tinggi terdapat di sungai Pentung, baik pada pemantauan bulan April maupun September.Dissolved Oxygen (DO) atau oksigen terlarutdi air sungai berkisar antara 6,9 8,84 mg/l, di mana DO di sungai Pentung lebih rendah daripada di sungai Gedangan, baik pada pemantauan bulan April maupun September. Kandungan bakteri coliform total di kedua sungai mencapai lebih dari 2400 MPN/100 ml, pada pemantauan bulan April, sedangkan pada pemantauan bulan September kandungannya sama, yaitu sebesar 6 MPN/100 ml. II-50

71 Gambar Pengambilan sampel air sungai Gedangan bulan September Parameter yang mengalami peningkatan pada pemantauan bulan September bila dibandingkan hasil pemantauan pada bulan April di kedua sungai ini adalah TDS, kandungan nitrat, kandungan nitrit, kandungan sulfat, kandungan besi total (Fe), kandungan detergen, BOD dan COD. Kandungan nitrit, sulfat, detergen dan BOD meningkat di kedua sungai yang dipantau. Peningkatan kandungan nitrit, detergen dan nilai BOD yang lebih besar terdapat di sungai Gedangan, sedangkan peningkatan kandungan sulfat yang lebih besar terjadi di sungai Pentung. Peningkatan TDS dan kandungan besi total (Fe) hanya terdapat di sungai Gedangan, sedangkan kandungan nitrat hanya meningkat di sungai Pentung. Dari hasil pemantauan bulan April maupun bulan September, di kedua sungai yang dipantau tidak ada parameter yang melebihi baku mutu air untuk kelas 2 menurut PP RI No. 82 tahun Status Mutu Air Sungai Mutu air merupakan kondisi kualitas air yang diukur dan atau diuji berdasarkan parameter-parameter tertentu dan menggunakan metode tertentu, berdasarkan peraturan perundang-undangan. Status mutu air merupakan tingkat kondisi mutu air yang menunjukkan kondisi tercemar atau kondisi baik pada suatu sumber air dalam waktu tertentu dengan membandingkan dengan baku mutu air yang ditetapkan. II-51

72 Klasifikasi mutu air berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 82 tahun 2001 ditetapkan menjadi 4 kelas. Mutu air kelas 1 adalah air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. Mutu air kelas 2 adalah air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. Mutu air kelas 3 adalah air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan air yang sama dengan kegunaan tersebut. Mutu air kelas 4 adalah air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi pertanaman atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. Penentuan status mutu air dilakukan menggunakan metode Indeks Pencemaran, yang merupakan salah satu metode yang diatur dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. Kep-115/MENLH/2003. Prinsip metode ini adalah membandingkan data kualitas air dengan baku mutu air disesuaikan dengan peruntukannya, yang dalam hal ini menggunakan baku mutu sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Sungai di Kabupaten Gunungkidul yang sudah ditetapkan kelas mutu airnya baru sungai Oyo. Sungai Oyo yang melintas di Daerah Istimewa Yogyakarta, melewati Kabupaten Gunungkidul dan Kabupaten Bantul. Berdasarkan Peraturan Gubernur Propinsi DIY No. 22 tahun 2007 tentang Penetapan Kelas Air Sungai, Sungai Oyo terbagi menjadi 2 kelas mutu air, sungai Oyo yang melintas di Kabupaten Gunungkidul sampai batas jembatan Pengkol, Sriharjo, Imogiri, Bantul ditetapkan sebagai sungai dengan mutu air kelas 1, sedangkan untuk alur sungai yang melewati kota telah Wonosari dan alur sungai lainnya belum ditetapkan kelas mutu airnya. Berdasarkan penetapan kelas air tersebut, maka untuk penghitungan indeks pencemaran (IP) di alur sungai Oyo digunakan baku mutu air kelas 1 sedangkan untuk alur sungai yang melewati kota Wonosari dan alur sungai lainnya digunakan baku mutu air kelas 2 menurut PP RI No. 82 Tahun Hasil perhitungan indeks pencemaran (IP) di alur sungai yang melewati kota Wonosari dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel Indeks Pencemaran air sungai yang melewati kota Wonosari Sungai Bulan APRIL Bulan SEPTEMBER IP Kategori IP Kategori Besole - - 0,846 Memenuhi Baku Mutu Kepek 10,336 Tercemar Sedang 1,307 Tercemar ringan Krapyak 9,080 Tercemar Sedang 1,018 Tercemar ringan Blimbing 0,613 Memenuhi Baku Mutu 1,996 Tercemar Ringan II-52

73 Wunut 0,387 Memenuhi Baku 1,127 Tercemar ringan Mutu Keterangan : Sungai Besole ada bulan April tidak diambil sampel airnya Dari hasil perhitungan indeks pencemaran tersebut, dapat dilihat bahwa pada bulan Aprilmutu air di alur sungai Kepek dan sungai Krapyak, termasuk dalam kategori tercemar sedang bila digunakan sebagai prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut,sedangkan di sungai Blimbing dan sungai Wunut masih memenuhi baku mutu bila digunakan untuk peruntukan yang sama. Parameter yang dominan menyebabkan sungai Kepek dan Sungai Krapyak masuk dalam kategori tercemar sedang adalah parameter nitrit. Pada pemantauan bulan September hampir di semua titik pemantauan mutu air sungai termasuk dalam kategori tercemar ringan kecuali di penggal sungai Besole yang masih memenuhi baku mutu.parameter yang dominan menyebabkan sungai yang melewati kota Wonosari pada pemantauan bulan September termasuk dalam kategori tercemar ringanadalah parameter nitrit untuk penggal sungai Besole sampai dengan sungai Krapyak, sedangkan di sungai Blimbing dan sugai Wunut adalah parameter nitrat. Tabel Indeks Pencemaran Air sungai Oyo Sungai Bulan APRIL Bulan SEPTEMBER IP Kategori IP Kategori Oyo Watusigar 4,805 Tercemar ringan 0,348 Memenuhi Baku Mutu Oyo Karangtengah 1,728 Tercemar ringan 0,632 Memenuhi baku Mutu Oyo Getas 2,590 Tercemar ringan 0,302 Memenuhi Baku Mutu Hasil perhitungan indeks pencemaran (IP) air sungai Oyo bahwa pada pemantauan bulan April, mutu air sungai Oyo dari hulu sampai ke hilir masuk ke dalam kategori tercemar ringan bila digunakan untuk air baku air minum dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. Parameter yang dominan menyebabkan status mutu air sungai Oyo tercemar ringan pada pemantauan bulan April ini adalah kandungan amoniak untuk alur sungai bagian hulu dan hilir serta kandungan total coliform untuk alur sungai bagian tengah, Pada pemantauan bulan September, dari hasil perhitungan IP menunjukkanbahwa air sungai Oyo dari hulu sampai ke hilir masuk dalam kategori memenuhi baku mutu bila digunakan untuk air baku air minum dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. Tabel Indeks Pencemaran Air sungai lainnya Sungai Bulan APRIL Bulan SEPTEMBER IP Kategori IP Kategori Pentung 0,367 Memenuhi baku mutu 0,259 Memenuhi Baku Mutu Gedangan 0,356 Memenuhi baku mutu 0,252 Memenuhi Baku Mutu II-53

74 Berdasarkan perhitungan indeks pencemaran (IP), kedua alur sungai lainnya pada pemantauan bulan April maupun September memenuhi baku mutu untuk digunakan sebagai prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut 5. Pemantauan Kualitas Air Sumber Air Kabupaten Gunungkidul secara umum merupakan kawasan perbukitan karst. Kondisi seperti ini memang di satu sisi banyak menghasilkan jenis-jenis potensi bahan tambang, namun di sisi lain merupakan wilayah yang tidak bisa menyimpan air tanah lebih lama sehingga pada musim kemarau akan mengalami keadaan kekurangan air bersih. Sumber air di permukaan umumnya berupa telaga. Jumlah telaga yang ada di Kabupaten Gunungkidul kurang lebih 300 buah, namun secara umum tidak mempunyai umur yang cukup untuk menampung air pada musim kemarau, sehingga masyarakat sekitar tetap mengalami kekurangan air. Banyak telaga yang dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk mencukupi kebutuhannya akan air bersih. Air telaga dimanfaatkan untuk mandi, mencuci, memandikan dan memberi minum ternaknya. Pemantauan kualitas air perlu dilakukan pada sumber-sumber air yang dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mencukupi kebutuhannya sehari-hari, baik yang berupa telaga, mata air, sendang, maupun sumur. Pemantauan kualitas air ini terutama bertujuan untuk menjaga kualitas air agar tetap baik dan tetap dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk mencukupi kebutuhannya akan air bersih. Pemantauan kualitas air sumber air tahun 2013 dilaksanakan 1 kali dalam setahun, pengambilan sampel dilakukan pada bulan September Oktober 2013.Pengambilan sampel untuk pemantauan kualitas sumber air dilaksanakan di 6 lokasi sumber air berupa mata air dan telaga, yaitu di : a. Telaga Kerdonmiri, Karangwuni, Rongkop b. Telaga Wuru, Pringombo, Rongkop c. Telaga Wotawati, Jerukwudel, Girisubo d. Telaga Ngomang, Saptosari e. Telaga Kemuning, Bunder, Patuk f. Embung Nglanggeran, Patuk Baku mutu airyang digunakan untuk pemantauan kualitas air sumber air berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 492/Menkes/Per/IV/2010tentang Persyaratan Kualitas Air Minum dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel Parameter dan Baku Mutu Air berdasarkan Permenkes No. 492/Menkes/Per/IV/2010 serta metode uji kualitas sumber air II-54

75 PARAMETER SATUAN BAKU MUTU METODE FISIKA Kekeruhan FTU 5 SNI Temperatur 0 C Deviasi 3 SNI Daya Hantar Listrik µmhos/cm - SNI TDS mg/l 500 SNI KIMIA ph mg/l 6,5-8,5 SNI Amoniak(NH 3 -N) mg/l 1,5 SNI ) Nitrat (NO 3 mg/l 50 SNI Nitrit (NO - 2 ) mg/l 3 SNI Sulfat(SO -2 4 ) mg/l 250 SNI Klorida(Cl - ) mg/l 250 SNI Besi total(fe) mg/l 0,3 SNI Kesadahan(CaCO 3 ) mg/l 500 SNI Kalsium (Ca+2) mg/l - SNI Magnesium (Mg+2) mg/l - SNI Zat Organik mg/l 10 SNI (KmnO 4 ) Mangan(Mn) mg/l 0,4 SNI BIOLOGI Total coliform MPN/100 ml Nihil SNI Pemantauan Kualitas Air Mata Air Pemantauan kualitas air dimata air dilakukan di 1 lokasi embung yang airnya diambil masyarakat sekitar untuk mencukupi kebutuhannya sehari-hari, yaitu di embung Nglanggeran yang terletak di Kawasan Kebun Buah dekat Gunung Api Purba, Nglanggeran, Patuk. Hasil pemantauan kualitas air di 3 mata air tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel Hasil pengujian parameter kualitas air mata air PARAMETER SATUAN EMBUNG NGLANGGERAN FISIKA Kekeruhan NTU 2,34 Temperatur 0 C 25,8 Daya Hantar Listrik µmhos/cm 126,9 TDS mg/l 40 KIMIA ph mg/l 7,45 Amoniak(NH 3 -N) mg/l 0,0094 -) Nitrat (NO 3 mg/l 0,006 Nitrit (NO - 2 ) mg/l 0,0009 Sulfat(SO -2 4 ) mg/l 23,59 Klorida(Cl - ) mg/l 10 Besi total(fe) mg/l 0,0011 Kesadahan(CaCO 3 ) mg/l 108 Kalsium (Ca+2) mg/l 30 Magnesium (Mg+2) mg/l 19 Zat Organik (KmnO 4 ) mg/l 4,31 II-55

76 Mangan(Mn) mg/l 0,0142 BIOLOGI Total coliform MPN/100 ml 14 Hasil pengukuran parameter fisika dan kimia air di embung Nglanggeran cukup baik, tidak ada parameter yang melebihi baku mutu yang diperkenankan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 492/Menkes/Per/IV/2010tentang Persyaratan Kualitas Air Minum. Untuk parameter biologi, yang dilihat dari kandungan total coliform melebihi baku mutu bila dibandingkan dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 492/Menkes/Per/IV/2010. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan tersebut, kandungan total coliform seharusnya adalah nihil, yang berarti tidak boleh mengandung total coliform, namun hasil pengukuran air di embung Nglanggeran terdapat kandungan total coliform sebesar 14 MPN/100 ml. Gambar Pengambilan sampel air EmbungNglanggeran 7. Pemantauan Kualitas Air Telaga Pemantauan kualitas air telaga dilakukan di telaga yang airnya manfaatkan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, baik untuk mandi, mencuci maupun untuk memandikan dan memberi minum ternaknya. Telaga yang dipantau adalah telaga yang airnya selalu ada, baik pada musim hujan maupun musim kemarau. Hasil pengujian parameter air telaga dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 2.26 Hasil pengujian parameter-parameter air telaga Parameter Satuan Telaga Wuru Telaga Donmiri Telaga Wotawati Telaga Ngomang Telaga Kemuning FISIKA Kekeruhan FTU Temperatur 0 C Daya Hantar Listrik µmhos/cm TDS mg/l KIMIA ph mg/l Amoniak(NH 3 -N) mg/l II-56

77 -) Nitrat (NO 3 mg/l Nitrit (NO - 2 ) mg/l Sulfat(SO -2 4 ) mg/l Klorida(Cl - ) mg/l Besi total(fe) mg/l Kesadahan(CaCO 3 ) mg/l Kalsium (Ca+2) mg/l Magnesium (Mg+2) mg/l Zat Organik mg/l (KmnO 4 ) Mangan(Mn) mg/l BIOLOGI Total coliform MPN/100 ml nihil Nihil Nihil Kekeruhan air telaga yang dipantau berkisar antara 7,42 47,6 FTU. Hasil pengukuran kekeruhan di 5 telaga tersebut, tingkat kekeruhannya telah melebihi baku berdasarkan Permenkes no. 492/Menkes/Per/IV/2010, yaitu sebesar 5 FTU. Kekeruhan yang tertinggi terdapat di telaga Wuru, sedangkan yang terendah di telaga Kemuning. Kekeruhan air menggambarkan sifat optic air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat di dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut (misalnya lumpur dan pasir halus) maupun bahan anorganik dan organik berupa plankton dan mikroorganisme. Kekeruhan Air Telaga dibandingkan Baku Mutunya Kekeruhan Bakumutu T.Wuru T.Donmiri T.wotawati T.Ngomang T.kemuning Grafik Kekeruhan air telaga dibandingkan baku mutunya II-57

78 Daya hantar listrik (DHL) di 5 telaga yang dipantau berkisar antara 184,2-647µmhos/cm. DHL terendah terdapat di telaga Ngomang, sedangkan yang tertinggi terdapat di telaga Wotawati. Hasil pengukuran Total Dispended Solid (TDS) berkisar antara mg/l, di mana TDS terendah terdapat di telaga Kemuning, sedangkan yang tertinggi terdapat di telaga Wuru. Di 5 lokasi telaga yang dipantau tidak ada yang TDSnya melebihi baku mutu menurut Permenkes no. 492/Menkes/Per/IV/2010, yaitu sebesar 500 mg/l. Gambar Pengambilan sampel air telaga Wuru Dari pengukuran terhadap parameter-parameter kimia air telaga, hampir semua parameter hasilnya masih di bawah baku mutu menurut Permenkes no. 492/Menkes/Per/IV/2010, kecuali untuk kandunganbesi total di Telaga Wotawati dan kandungan zat organik di semua lokasi telaga yang dipantau. ph air telaga yang dipantau berkisar antara 6,94 7,35. ph terendah terdapat di telaga Kerdonmiri, sedangkan yang tertinggi terdapat di telaga Ngomang. Kandungan amoniak berkisar antara 0,0163 0,3013 mg/l, dimana kandungan tertinggi terdapat di telaga Kerdonmiri, sedangkan yang terendah terdapat di Telaga Wuru. Kandungan nitrat di 4 lokasi yang dipantau nilainya sama, yaitu kurang dari 0,066 mg/l, kecuali di Telaga Kemuning kandungannya sebesar 3,676 mg/l. Kandungan nitrit berkisar antara kurang dari 0,0009 0,0455 mg/l, kandungan yang terendah terdapat di telaga Kemuning, sedangkan yang tertinggi terdapat di telaga Ngomang. Hasil pemantauan kandungan sulfat berkisar antara 0,25 11,28 mg/l. Kandungan sulfat terendah terdapat di telaga Kerdomiri, sedangkan yang tertinggi terdapat di telaga Kemuning. Kandungan klorida berkisar antara mg/l, di mana kandungan terendah terdapat di telaga Kerdonmiri dan Telaga Kemuning, sedangkan kandungan yang tertinggi terdapat di telaga Wuru. Di telaga Ngomang dan telaga Kemuning, kandungan besi (Fe) totalnya sebesar kurang dari 0,0011 II-58

79 mg/l, sedangkan di 3 telaga lainnya berkisar antara 0,204 0,453 mg/l, yang tertinggi adalah di telaga Wotawati. Hasil pengukuran kesadahan berkisar antara mg/l. Kesadahan terendah terdapat di telaga Kerdonmiri, sedangkan yang tertinggi terdapat di telaga Wuru. Kandungan kalsium berkisar antara20-36 mg/l, di mana kandungan terenah terdapat di Telaga Kerdonmiri, sedangkan ang tertinggi terdapat di telaga Ngomang dan Telaga Kemuning. Kandungan magnesium berkisar antara mg/l. Kandungan terendah untuk magnesium terdapat di telaga Ngomang, sedangkan yang tertinggi terdapat di telaga Wuru. Hasil pengukuran zat organik berkisar antara 11,73 15,56 mg/l, yang terendah terdapat di telaga Ngomang, sedangkan yang tertinggi terdapat di telaga Kerdonmiri dan Telaga Wotawati. Kandungan zat organik di semua telaga yang dipantau sudah melebihi baku mutu berdasarkan Permenkes no. 492/Menkes/Per/IV/2010 sebesar 10 mg/l. Sumber zat organik di perairan berasal dari proses pembusukan mahluk hidup yang telah mati, karena protein dan polipeptida terdapat pada semua organisme hidup. Sumber antropogenik organik adalah limbah industri dan limpasan dari daerah pertanian terutama urea. Perubahan bentuk senyawa organik di perairan dapat dijadikan indikator terjadinya pencemaran. Zat organik yang berada dalam air limbah mula-mula berasal dari nitrogen organik dalam bentuk protein. Dengan bertambahnya waktu, kadar nitrogen organik berkurang karena dikonversi menjadi amonia. Apabila keberadaan oksigen mencukupi, amonia dioksidasi menjadi nitrit dan nitrat. Akibatnya kadar amonia berkurang, sedangkan kadar nitrit dan nitrat meningkat. Bahan organik berasal dari tiga sumber utama, yaitu : a. alam, misalmya fiber, minyak nabati dan lemak hewani alkaloid, selulosa, kanji, gula dan sebagainya. b. sintesis, yang meliputi semua bahan organik yang diproses oleh manusia c. fermentasi, misalnya alkohol, aseton, gliserol dan asam yang semuanya diperoleh dari aktivitas mikroorganisme. Kandungan mangan berkisar antara 0,0117 0,0308 mg/l. Kandungan mangan terendah terdapat di telaga Ngomang, sedangkan yang tertinggi terdapat di telaga Wuru. II-59

80 Kandungan Zat Organik Air Telaga dibandingkan Baku Mutunya T.Wuru T.Donmiri T.Wotawati T.Ngomang T.kemuning Zat Organik Bakumutu Grafik Kandungan zat organik air telaga dibandingkan baku mutunya Kandungan total coliform hasil pemantauan di telaga Wuru, Telaga Kerdonmiri dan Telaga Wotawati adalah nihil, sedangkan di Telaga Ngomang dan telaga Kemuning nilainya sama sebesar 14MPN/100 ml,. Berdasarkan Permenkes no. 492/Menkes/Per/IV/2010, baku mutu untuk total coliform adalah nihil, sehingga dari 5 telaga yang dipantau, ada 2 telaga yang tidak memenuhi baku mutu. 8. Pemantauan Kualitas Air Mata Air Pemantauan kualitas air di mata air dilakukan di 3 lokasi mata air yang airnya diambil masyarakat sekitar untuk mencukupi kebutuhannya sehari-hari, yaitu di mata air Kalisong yang terletak di Kawasan Gunung Api Purba, Nglanggeran, Patuk, Pok Blembem, yang terletak di kawasan hutan wisata Wonosadi, Beji, Ngawen dan di mata air Ngembel, yang terletak di Karang Tengah, Wonosari. Hasil pemantauan kualitas air di 3 mata air tersebut dapat dilihat pada tabel I-25. Hasil pengukuran kekeruhan di 3 lokasi mata air yang dipantau berkisar antara 0,03 1,98 FTU, air yang paling keruh terdapat di Pok Blembem, sedangkan yang paling jernih terdapat di mata air Kalisong. Baku mutu untuk kekeruhan menurut Permenkes No. 492/Menkes/Per/ IV/2010 adalah 5 FTU, dengan demikian kekeruhan di 3 mata air tersebut tidak ada yang melebihi baku mutunya. Hasil pengukuran daya hantar listrik (DHL) berkisar antara 270,37 451,28 µmhos/cm, di mana DHL terendah terdapat di mata air Kalisong, sedangkan yang tertinggi terdapat di mata air Ngembel. Total Dispended Solid (TDS) atau zat padat terlarut berkisar antara mg/l, di mana TDS terendah terdapat di mata air Kalisong, sedangkan yang tertinggi terdapat di mata air Ngembel. Berdasarkan Permenkes No. 492/Menkes/Per/IV/2010, baku mutu untuk TDS adalah sebesar 500 mg/l, dengan demikian TDS di 3 lokasi mata air tersebut tidak ada yang melampaui baku mutunya. Tabel Hasil Pengujian Parameter Kualitas Air Mata Air II-60

81 FISIKA Parameter Satuan Kalisong Pok Blembem Ngembel Kekeruhan FTU 0,85 1,98 0,03 Temperatur 0C 25,3 25,2 25,3 Daya Hantar Listrik µmhos/cm 270,37 310,75 451,28 TDS mg/l KIMIA ph 7,87 7,45 7,17 Amoniak (NH3-N) mg/l 0,02 0,02 0,05 Nitrat (NO3-) mg/l < 0,066 0,14 3,84 Nitrit (NO2-) mg/l 0,028 0,028 0,024 Sulfat (SO4-2) mg/l 3,27 2,45 9,80 Klorida ((Cl-) mg/l Besi total (Fe) mg/l 0,0121 0,0138 0,0138 Kesadahan (CaCO3) mg/l Kalsium (Ca+2) mg/l Magnesium (Mg+2) mg/l Zat organik (KMnO4) mg/l 0,9 2,51 2,24 Mangan (Mn) mg/l 0,0185 0,0243 0,2736 BIOLOGI Total Coliform MPN/100 ml ph air di sumber air yang dipantau berkisar antara 7,17 7,87. ph terendah terdapat di mata air Ngembel, sedangkan yang tertinggi terdapat di mata air Kalisong. Hasil pengukuran ph di 3 lokasi mata air tidak ada yang melebihi baku mutu berdasarkan Permenkes No. 492/Menkes/Per/IV/2010. Kandungan amoniak di mata air Kalisong dan Pok Blembem sama, yaitu sebesar 0,02 mg/l, sedangkan di mata air Ngembel sebesar 0,05 mg/l. Hasil pengukuran nitrat berkisar antara kurang dari 0,066 3,84 mg/l. Kandungan nitrat terendah terdapat di mata air Kalisong, dan yang tertinggi terdapat di mata air Ngembel. Hasil pengukuran kandungan nitrit di mata air Kalisong dan Pok Blembem adalah sebesar 0,028 mg/l sedangkan di mata air Ngembel adalah sebesar 0,024 mg/l. Baik kandungan amoniak, nitrat maupun nitrit di 3 lokasi yang dipantau tidak ada yang melebihi baku mutu menurut Permenkes No. 492/Menkes/Per/IV/2010. II-61

82 Gambar Pengambilan Sampel Air Pok Blembem Gambar Mata Air Ngembel Hasil pengukuran kandungan sulfat berkisar antara 2,45 9,80 mg/l, di mana kandungan sulfat terendah terdapat di Pok Blembem, sedangkan yang tertinggi terdapat di mata air Ngembel. Baku mutu untuk kandungan sulfat menurut Permenkes No. 492/Menkes/Per/IV/2010 adalah sebesar 250 mg/l, sehingga hasil pengukuran di 3 lokasi tidak ada yang melebihi baku mutunya. Kandungan klorida di 3 lokasi yang dipantau berkisar antara mg/l di mana kandungan terendah terdapat di Pok Blembem, sedangkan yang tertinggi terdapat di mata air Ngembel. Berdasarkan Permenkes No. 492/Menkes/Per/IV/2010, baku mutu untuk kandungan klorida adalah sebesar 250 mg/l, sehingga hasil pemantauan kandungan klorida di 3 lokasi masih berada di bawah baku mutunya. Kandungan besi (Fe) total di mata air Kalisong adalah sebesar 0,0121 mg/l, sedangkan di Pok Blembem dan mata air Ngembel adalah sebesar 0,0138 mg/l, ketiganya masih berada di bawah baku mutu menurut Permenkes No. 492/Menkes/Per/IV/2010 (0,3 mg/l). Hasil pengukuran kesadahan berkisar antara mg/l, yang terendah terdapat di Pok Blembem, sedangkan yang tertinggi terdapat di mata air Ngembel. Berdasarkan Permenkes No. 492/Menkes/Per/IV/2010, baku mutu kesadahan adalah sebesar 500 mg/l, sehingga kesadahan di 3 lokasi yang dipantau belum ada yang melebihi baku mutunya. Hasil pengukuran kandungan kalsium berkisar antara mg/l, kandungan terendah terdapat di Pok Blembem, sedangkan yang tertinggi terdapat di mata air Ngembel. Kandungan magnesium berkisar antara mg/l, di mana kandungan terendah terdapat di Pok Blembem, sedangkan yang tertinggi terdapat di mata air Ngembel. Pada pemantauan terhadap kandungan zat organik, tidak ada yang melebihi baku mutu berdasarkan Permenkes no. 492/Menkes/Per/IV/2010 sebesar 10 mg/l. Hasil pengukuran kandungan zat organik ini hanya berkisar antara 0,9 2,51 mg/l. Kandungan zat organik terendah terdapat di II-62

83 mata air Kalisong, sedangkan yang tertinggi terdapat di Pok Blembem. Hasil pengukuran kandungan mangan berkisar antara 0,0185 0,2736 mg/l, masih jauh di bawah baku mutu menurut menurut Permenkes no. 492/Menkes/Per/IV/2010, yaitu sebesar 0,4 mg/l. Kandungan mangan terendah terdapat di mata air Kalisong, sedangkan yang tertinggi terdapat di mata air Ngembel. Kandungan total coliform berkisar antara MPN/100 ml, kandungan tertinggi terdapat di mata air Kalisong, sedangkan kandungan yang terendah terdapat di Pok Blembem. Berdasarkan Permenkes no. 492/Menkes/Per/IV/2010, baku mutu untuk total coliform adalah nihil, sehingga dari ke 3 lokasi mata air tidak ada yang memenuhi baku mutu kandungan total coliform. D. Udara Udara merupakan salah satu kebutuhan utama bagi kehidupan. Manusia dapat tidak makan atau minum selama beberapa jam, bahkan sampai beberapa hari, tapi jika tidak menghirup udara beberapa menit saja akan menyebabkan kematian. Kepedulian terhadap pencemaran udara masih sangat rendah bila dibandingkan dengan kepedulian terhadap pencemaran air. Jika suatu pagi melihat air keluar dari kran terlihat kotor, kita begitu kaget dan langsung bereaksi serta mengupayakan perbaikan seketika. Mengapa ada reaksi secepat itu? Karena air kotor tersebut terlihat langsung oleh mata dan terasa langsung oleh indera perasa. Namun, apa yang dilakukan orang ketika terjadi pencemaran udara? Tentu tidak akan sereaktif ketika melihat air keruh, kecuali pencemaran yang langsung terasa, seperti asap kebakaran atau bau sampah/kotoran. Perlu kita sadari bahwa penyebab penurunan kualitas udara lebih banyak diakibatkan oleh tingkah laku manusia daripada akibat aktivitas alam sendiri. Pertambahan jumlah penduduk, peningkatan transportasi, kemajuan industri dan teknologi akan membawa dampak penurunan kualitas udara yang pada akhirnya berujung pada pemanasan global, meningkatnya suhu bumi dan mempengaruhi iklim dunia. Aktivitas kehidupan manusia melibatkan banyak kegiatan, dari kegiatan kecil merokok, merebus air untuk kopi, pergi bekerja naik kendaraan, penggunaan energi untuk melihat TV sampai dengan proses yang lebih besar, yaitu industri, ternyata memberi dampak pada lingkungan. Banyak orang beranggapan bahwa merokok, membakar sampah, membakar batubara, minyak bumi dan lainnya, prosesnya telah selesai begitu saja karena asap telah hilang berbaur dengan udara. Namun sebenarnya tidak demikian, dampak dari pembakaran itu sangat luar biasa dalam jangka panjang, yaitu pemanasan global. Gejala terjadinya pemanasan global dapat diamati dan dirasakan dengan adanya pergantian musim yang tidak bisa diprediksi, hujan badai sering terjadi di mana-mana, sering terjadi angin puting beliung, banjir dan kekeringan terjadi pada waktu yang bersamaan dan penyakit mewabah di banyak tempat serta terumbu karang memutih. Salah satu upaya untuk mengendalikan pencemaran udara adalah dengan melakukan pemantauan kualitas udara. Dengan pemantauan kualitas udara yang dilakukan secara terus menerus, kita dapat mengetahui kondisi kualitas udara saat ini dan kecenderungannya di masa yang II-63

84 akan datang, sehingga bila ada indikasi kualitas udara akan semakin memburuk, kita dapat melakukan pengendalian dan merancang kebijakan, program maupun kegiatan yang untuk menanggulangi semakin memburuknya kualitas udara. Pemantauan kualitas udara dibedakan menjadi dua, yaitu pemantauan kualitas udara ambien dan pemantauan kualitas udara emisi dari sumbernya. Udara ambien adalah udara bebas di permukaan bumi pada lapisan troposfir yang dibutuhkan dan mempengaruhi kesehatan manusia, mahluk hidup dan unsur lingkungan hidup lainnya, sedangkan udara emisi adalah udara yang dikeluarkan dari setiap usaha dan atau kegiatan yang mengeluarkan emisi dari sumbernya. Selama ini pemantauan kualitas udara lebih ditekankan pada udara ambien, di mana udara ambien merupakan percampuran sumber pencemar yang berasal dari industri, kendaraan bermotor maupun domestik dengan udara sekitarnya. Pemantauan kualitas udara ambien di Gunungkidul pada tahun 2013 dilakukan 2 kali dalam setahun, yaitu pada bulan April dan Oktober. Pengambilan sampel untuk pemantauan kualitas udara ambien tahun 2013 dilakukan di 7 titik sebagai berikut : 1. Simpang tiga Sambipitu, Bunder, Patuk, sumber pencemar utama di lokasi ini adalah dari kegiatan transportasi 2. Simpang empat Kantor Pos Wonosari (alun-alun Wonosari), sumber pencemar utama di lokasi ini adalah dari kegiatan transportasi dan perkantoran 3. Taman Parkir depan Pasar Argosari, Wonosari, sumber pencemar utama di lokasi ini adalah dari kegiatan perkantoran, pertokoan/pasar dan transportasi 4. Kawasan industri Mijahan, Semanu, sumber pencemar utama di lokasi ini adalah dari kegiatan industri dan tranportasi 5. Simpang tiga Bedoyo, Ponjong, sumber pencemar utama di lokasi ini adalah dari kegiatan industri dan transportasi 6. Simpang empat Karangmojo, sumber pencemar utama di lokasi ini adalah dari kegiatan transportasi 7. Pasar Semin, sumber pencemar utama di lokasi ini adalah dari kegiatan perdagangan (pasar) dan transportasi Pemantauan kualitas udara ambien pada tahun 2013 dilaksanakan bekerja sama dengan Balai Hiperkes dan Keselamatan Kerja Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Daerah Istimewa Yogyakarta. Parameter dan baku mutu udara ambien yang dipantau sesuai dengan Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta No. 153 Tahun 2002 tentang Baku Mutu Udara Ambien II-64

85 Daerah di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, sedangkan untuk parameter kebisingan sesuai dengan Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta No. 176 Tahun 2003 tentang Baku Tingkat Getaran, Kebisingan dan Kebauan di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, sebagaimana dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel Parameter yang dipantau, baku mutu dan metode pengujian kualitas udara ambien PARAMETER SATUAN BAKU MUTU METODE NO 2 (Nitrogen dioksida µg/m Spektrofotometri SO 2 (Sulfur dioksida) µg/m Spektrofotometri O x µg/m Spektrofotometri CO (Karbon monoksida) µg/m Spektrofotometri Pb (Timah hitam) µg/m 3 2 Spektrofotometri Partikel (debu) µg/m Gravimetri Kebisingan dba (Leq) 70 Gravimetri Hasil pengukuran parameter-parameter kualitas udara ambien di 7 titik lokasi dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel Hasil pengukuran parameter-parameter kualitas udara ambien No Lokasi Parameter Satuan Hasil Pengukuran Maret Oktober 1. Sambipitu NO 2 µg/m 3 192,57 30,06 SO 2 µg/m 3 107,07 9,10 Ox µg/m 3 1,41 3,67 CO µg/m 3 543,38 414,70 Pb µg/m 3 Di bawah LOD Di bawah LOD Partikel µg/m 3 18,87 89,17 Kebisingan dba (Leq) 72,8 69,4 2. Alun - alun NO 2 µg/m 3 104,55 20,75 SO 2 µg/m 3 38,77 11,85 Ox µg/m 3 1,34 7,49 CO µg/m 3 413,04 284,63 Pb µg/m 3 Di bawah LOD Di bawah LOD Partikel µg/m 3 18,18 51,43 Kebisingan dba (Leq) 64,4 73,3 3. Taman Parkir NO 2 µg/m 3 107,61 17,43 SO 2 µg/m 3 52,34 33,75 Ox µg/m 3 1,21 4,43 CO µg/m 3 570,20 426,26 Pb µg/m 3 Di bawah LOD Di bawah LOD Partikel µg/m 3 24,15 39,43 Kebisingan dba (Leq) 68,6 64,2 4. Mijahan NO 2 µg/m 3 165,27 24,41 SO 2 µg/m 3 53,97 16,13 Ox µg/m 3 1,18 4,10 CO µg/m 3 427,78 430,19 Pb µg/m 3 Di bawah LOD Di bawah LOD II-65

86 Partikel µg/m 3 79,10 152,23 Kebisingan dba (Leq) 71,4 74,2 5. Bedoyo NO 2 µg/m 3 188,90 23,22 SO 2 µg/m 3 53,55 28,29 Ox µg/m 3 1,03 8,59 CO µg/m 3 477,14 368,43 Pb µg/m 3 Di bawah LOD Di bawah LOD Partikel µg/m 3 21,47 31,77 Kebisingan dba (Leq) 69,2 55,9 6. Karangmojo NO 2 µg/m 3 277,16 16,93 SO 2 µg/m 3 89,80 39,14 Ox µg/m 3 1,59 5,39 CO µg/m 3 618,97 519,58 Pb µg/m 3 Di bawah LOD Di bawah LOD Partikel µg/m 3 22,29 74,76 Kebisingan dba (Leq) 72,7 69,5 7. Semin NO 2 µg/m 3 286,04 29,08 SO 2 µg/m 3 93,48 36,92 Ox µg/m 3 1,27 7,55 CO µg/m 3 762,43 637,17 Pb µg/m 3 Di bawah LOD Di bawah LOD Partikel µg/m 3 24,85 104,76 Kebisingan dba (Leq) 71,9 61,8 1. Kandungan NO 2 (Nitrogen Dioksida) Nitrogen dioksida (NO 2 ) dibentuk ketika pembakaran terjadi di udara bebas. Sumber utama NO 2 adalah dari aktifitas transportasi. NO 2 berwarna kemerahan dan sedikit berbau, mudah larut dalam air, bereaksi dengan air menjadi asam nitrit atau nitrat. Kandungan NO 2 yang melewati ambang batas dalam udara ambien dapat menimbulkan dampak bagi kesehatan, antara lain menimbulkan iritasi tenggorokan, mata dan hidung. Dampak NO 2 terhadap tanaman dapat merusak klorofil dan menghambat fotosintesis tanaman. Ambang batas kandungan NO 2 yang diperkenankan menurut Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta No. 153 Tahun 2002 adalah sebesar 400 µg/m 3. Hasil pemantauan di 7 titik lokasi, baik pada pemantauan bulan Maret maupun Oktober menunjukkan kandungan NO 2 berkisar antara 16,93 286,04 µg/m 3, yang berarti masih jauh di bawah baku mutunya. Lokasi dengan kandungan NO 2 terendah pada pemantauan bulan Maret adalah di alun-alun Wonosari sedangkan yang tertinggi di Semin. Pada pemantauan bulan Oktober kandungan NO 2 terendah adalah di Taman Parkir, sedangkan yang tertinggi adalah di Sambipitu. Pada pemantauan bulan Oktober, di semua lokasi yang dipantau terjadi penurunan kandungan NO 2 yang cukup besar dibandingkan pada pemantauan bulan Maret. II-66

87 KANDUNGAN NO 2 (µg/m 3 ) Maret Oktober Grafik Kandungan NO 2 di 7 titik pantau pada bulan Maret dan Oktober 2. Kandungan SO 2 (Sulfur Dioksida) Sulfur dioksida (SO 2 ) dihasilkan dari pembakaran sulfur atau materi lain yang mengandung sulfur, seperti pembakaran bahan bakar fosil dari instalasi pembangkit listrik. SO 2 mempunyai karakteristik bau yang tajam dan tidak terbakar di udara. SO 2 bersifat korosif terhadap metal dan menimbulkan deposisi asam. Kandungan SO 2 di udara yang melebihi ambang batas dapat berdampak bagi kesehatan, antara lain menimbulkan iritasi sistem membran pernafasan, menyebabkan bronchitis dan sangat beresiko terhadap orang yang menderita penyakit kronis pada sistem pernafasan dan kardiovaskuler. Ambang batas kandungan SO 2 yang diperkenankan menurut Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta No. 153 Tahun 2002 adalah sebesar 900 µg/m 3. Hasil pemantauan kandungan SO 2 di 7 titik lokasi, baik pada pemantauan bulan Maret maupun Oktober menunjukkan angka berkisar antara 9,10 107,07 µg/m 3, yang berarti masih jauh di bawah ambang batasnya. Kandungan SO 2 terendah, pada pemantauan bulan Maret adalah di Alun-alun Wonosari, sedangkan yang tertinggi terdapat terdapat di Sambipitu. Pada pemantauan bulan Oktober, kandungan SO 2 yang terendah terdapat di Sambipitu, sedangkan yang tertinggi adalah di Karangmojo. Pada pemantauan bulan Oktober di semua lokasi yang dipantau mengalami penurunan kandungan SO 2 dibandingkan hasil pemantauan pada bulan Maret. II-67

88 KANDUNGAN SO 2 (µg/m 3 ) Maret Oktober Grafik Kandungan SO 2 di 7 titik pantau pada bulan Maret dan Oktober 3. Kandungan O x (Ozon) Ozon adalah lapisan pelindung atmosfir bumi yang berfungsi sebagai pelindung terhadap sinar ultra violet yang datang berlebihan dari sinar matahari. Sinar ultra violet yang tidak difilter oleh lapisan ozon akan berbahaya bagi manusia. Selain itu sinar ultra violet yang tidak difilter oleh lapisan ozon, sesampainya di atmosfir permukaan bumi akan menjadi panas yang mengakibatkan kenaikan suhu bumi. Kenaikan suhu bumi akan mengakibatkan berkurangnya kenyamanan di muka bumi. Kandungan O x yang diperkenankan menurut Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta No. 153 Tahun 2002 adalah sebesar 235 µg/m 3. Pemantauan kandungan Ox yang dilakukan pada bulan April dan Oktober menunjukkan hasil berkisar antara 2,32 8,79 µg/m 3, yang berarti masih jauh berada di bawah baku mutunya. II-68

89 KANDUNGAN O x (µg/m 3 ) Maret Oktober Grafik Kandungan O x di 7 titik pantau pada bulan Maret dan Oktober Pada pemantauan bulan Maret, kandungan Ox terendah terdapat di Bedoyo, sedangkan kandungan tertinggi terdapat di Karangmojo. Pada pemantauan bulan Oktober, kandungan Ox terendah terdapat di Sambipitu dan yang tertinggi terdapat di Bedoyo. Di semua lokasi, hasil pemantauan kandungan Ox pada bulan Oktober terjadi peningkatan yang cukup besar dibandingkan dengan hasil pemantauan bulan Maret, kecuali di Alun-alun dan Taman Parkir. Peningkatan terbesar terjadi di Bedoyo, yaitu dari 1,03 µg/m 3 menjadi 8,59 µg/m Kandungan CO (Karbon Monoksida) Karbon monoksida (CO) adalah gas yang ditimbulkan oleh pembakaran tidak sempurna bahan-bahan yang mengandung karbon. Sifat CO adalah tidak berwarna, tidak mudah larut dalam air. Di dalam udara, bila diberikan api akan terbakar dengan mengeluarkan asap biru dan menjadi CO 2. CO mengikat hemoglobin darah (Hb) dengan afinitas (daya ikat) yang lebih besar dibanding daya ikat oksigen dengan Hb, akibatnya darah akan kekurangan oksigen dan mengganggu saraf pusat. Pada konsentrasi yang tinggi dan jangka waktu tertentu CO dapat mengakibatkan pingsan dan kematian. Keracunan CO dalam darah akan terjadi pada COHb 5% dan kadar CO di udara 40 ppm. CO berasal dari kendaraan bermotor, terutama saat idling (kondisi kendaraan tidak jalan, tapi mesin tetap hidup) dan pembangkit listrik. Kandungan CO yang diperkenankan menurut Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta No. 153 Tahun 2002 adalah sebesar µg/m 3. Dari hasil pemantauan di 7 titik, baik pada pemantauan bulan Maret maupun Oktober diperoleh angka berkisar antara 284,63 762,43 II-69

90 µg/m 3, ini menunjukkan bahwa kandungan CO yang ada di lokasi pemantauan masih jauh di bawah baku mutunya. Hasil pemantauan kandungan CO dapat dilihat pada tabel 2.4. Dari hasil pemantauan bulan Maret, kandungan CO terendah adalah di Alun-alun Wonosari, sedangkan yang tertinggi terdapat di Semin. Pada pemantauan bulan Oktober, kandungan CO terendah berada di Alun-alun, sedangkan kandungan CO tertinggi terdapat di Semin. Pada pemantauan bulan Oktober, di sebagian besar lokasi terjadi penurunan kandungan CO bila dibandingkan dengan hasil pemantauan bulan Maret, sedangkan di Alun-alun, Mijahan dan Bedoyo terjadi penurunan kandungan kecuali di Mijahan terjadi peningkatan sedikit, yaitu dari 427,78 µg/m 3 menjadi 430,19 µg/m 3. KANDUNGAN CO (µg/m 3 ) Maret Oktober Grafik Kandungan CO di 7 titik pantau pada bulan Maret dan Oktober 5. Kandungan Pb (Timah Hitam) Timah hitam (Pb) merupakan zat pencemar yang dihasilkan dari hasil pembakaran bahan bakar yang mengandung Tetra Ethyl Lead (TEL). Sifat Pb adalah berbau, beracun dan korosif. Pb berasal dari kendaraan bermotor dan pemakaian cat, pipa yang mengandung timbal. Berdasarkan estimasi, sekitar % Pb di udara ambien yang berasal dari pembakaran bensin tidak sama antara satu tempat dengan tempat lain karena tergantung pada kepadatan kendaraan bermotor dan efisiensi upaya untuk mereduksi kandungan Pb pada bensin. Pb merupakan racun penyerang saraf yang dapat menyebabkan penurunan daya pikir (IQ) pada janin dan anak-anak. Dampak lanjutan adalah kerusakan ginjal, hati, lambung dan tekanan darah tinggi. II-70

91 Ambang batas kandungan Pb menurut Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta No. 153 Tahun 2002 adalah sebesar 2 µg/m 3. Dari hasil pemantauan yang dilakukan pada bulan Maret dan bulan Oktober, kandungan Pb yang terdapat di 7 lokasi pemantauan di bawah LOD (< 0,969 µg/m 3 ). Hasil ini menunjukkan bahwa kandungan Pb di 7 lokasi pemantauan masih berada di bawah baku mutunya. 6.Kandungan Partikel (Debu) Partikulat/partikel didefinisikan sebagai suatu senyawa, kecuali air yang berbentuk cair atau padat yang ada di atmosfir pada kondisi normal. Emisi partikulat tidak hanya diemisikan dalam bentuk partikel, tetapi dapat juga terbentuk dari kondensasi gas secara langsung atau melalui reaksi kimia. Partikulat berasal dari kendaraan bermotor (diesel) maupun pabrik, generator dan pemanas. Berdasarkan atas sifat-sifat fisik suspensi partikel debu yang terdapat di udara dan struktur anatomi sistem pernapasan, dapat diprediksikan bahwa partikel yang memiliki ukuran lebih besar dari 10 mikron dapat dikeluarkan kembali melalui hidung atau melalui saluran pernapasan atas. Partikel yang berukuran 5 10 mikron mengalami penahanan terutama pada saluran pernapasan atas. Partikel yang berukuran 1 2,5 mikron dapat mencapai bagian pernapasan yang lebih dalam yaitu mengendap di alveoli, sedangkan partikel yang lebih kecil dari 0,1 mikron dapat keluar kembali bersama udara pernapasan. Masuk dan tertimbunnya debu di dalam paru-paru dapat memberikan rangsangan pada organ tersebut, yaitu partikel debu dapat menstimulir otot polos sirkuler pada saluran pernapasan, sehingga dapat menimbulkan kontraksi penyempitan saluran pernapasan. Kandungan Partikel Debu (µg/m 3 ) Maret Oktober Grafik Kandungan partikel/debu di 7 titik pantau pada bulan Maret dan II-71

92 Oktober Berdasarkan atas sifat-sifat fisik suspensi partikel debu yang terdapat di udara dan struktur anatomi sistem pernapasan, dapat diprediksikan bahwa partikel yang memiliki ukuran lebih besar dari 10 mikron dapat dikeluarkan kembali melalui hidung atau melalui saluran pernapasan atas. Partikel yang berukuran 5 10 mikron mengalami penahanan terutama pada saluran pernapasan atas. Partikel yang berukuran 1 2,5 mikron dapat mencapai bagian pernapasan yang lebih dalam yaitu mengendap di alveoli, sedangkan partikel yang lebih kecil dari 0,1 mikron dapat keluar kembali bersama udara pernapasan. Masuk dan tertimbunnya debu di dalam paru-paru dapat memberikan rangsangan pada organ tersebut, yaitu partikel debu dapat menstimulir otot polos sirkuler pada saluran pernapasan, sehingga dapat menimbulkan kontraksi penyempitan saluran pernapasan. Hasil pemantauan konsentrasi partikel debu di 7 lokasi pemantauan, baik pada bulan Maret maupun Oktober menunjukkan angka berkisar antara 18,18 152,23 µg/m 3. Menurut Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta No. 153 Tahun 2002, ambang batas konsentrasi partikel yang diperkenankan adalah sebesar 230 µg/m 3, sehingga hasil pemantauan konsentrasi debu masih berada di bawah ambang batas. Dari hasil pemantauan bulan Maret, kandungan partikel terendah terdapat di alun-alun Wonosari, sedangkan yang tertinggi terdapat di Mijahan. Pada pemantauan bulan Oktober, kandungan partikel terendah terdapat di Bedoyo dan yang tertinggi terdapat di Mijahan. Pada pemantauan bulan Oktober, di semua lokasi terjadi peningkatan kandungan partikel dibandingkan dengan bulan Maret. Peningkatan terbesar terjadi di Semin, yaitu dari 24,85 µg/m 3 menjadi 104,76 µg/m 3. 7.Tingkat Kebisingan Menurut Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta No. 176 Tahun 2003 tentang Baku Tingkat Getaran, Kebisingan dan Kebauan di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan kenyamanan dan kesehatan manusia. II-72

93 Tingkat Kebisingan dibandingkan dengan Baku mutunya Maret Oktober Bakumutu Grafik Tingkat kebisingan di 7 titik pantau dibandingkan dengan baku mutunya Berdasarkan pemantauan tingkat kebisingan di 7 lokasi, baik pemantauan pada bulan Maret maupun Oktober menunjukkan tingkat kebisingan yang cukup tinggi, bahkan ada yang melebihi ambang batas tingkat kebisingan untuk daerah industri (70 dba (Leq)). Pada pemantauan bulan Maret, lokasi yang memiliki tingkat kebisingan melebihi ambang batas adalah Sambipitu, Mijahan, Karangmojo dan Semin, dengan tingkat kebisingan tertinggi terdapat di Sambipitu. Pada pemantauan bulan Oktober, lokasi yang mempunyai tingkat kebisingan melebihi ambang batas adalah Alun-alun Wonosari dan Mijahan. Hampir di semua lokasi pada pemantauan bulan Oktober terjadi penurunan tingkat kebisingan dibandingkan pada saat pemantauan bulan Maret, kecuali di Alun-alun Wonosari dan Mijahan. E. Laut, Pesisir dan Pantai Wilayah Kabupaten Gunungkidul merupakan wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta bagian selatan dan langsung berbatasan dengan laut selatan (Samudera Indonesia). Panjang garis pantai yang ada di Kabupaten Gunungkidul + 70 km.berdasarkan letak geografis tersebut, di wilayah Kabupaten Gunungkidul banyak dikembangkan wisata pantai, yang membentang dari Barat ke Timur, antara lain Pantai Gesing, Pantai Ngrenehan, Pantai Baron, Pantai Kukup, Pantai Sundak, Pantai Krakal, Pantai Siung, Pantai Wediombo, Pantai Sadeng dan masih banyak lagi lainnya. Di antara pantai-pantai tersebut ada pula yang dikembangkan sebagai tempat II-73

94 pendaratan ikan, antara lain pantai Gesing, Pantai Ngrenehan, Pantai Baron dan Pantai Sadeng, selain itu di daerah pantai Sundak terdapat usaha tambak udang. Banyaknya usaha dan/atau kegiatan yang berkembang di sekitar pantai tersebut tentunya akan berpengaruh terhadap kualitas air laut untuk kehidupan biota laut, padahal banyak masyarakat Kabupaten Gunungkidul terutama yang bermukim di pesisir pantai, yang mempunyai mata pencaharian sebagai nelayan. Bila pembuangan limbah dari usaha dan/atau kegiatan tersebut tidak dikendalikan dapat menyebabkan penurunan kualitas air laut dan mempengaruhi kehidupan biota dalam laut. Oleh karena itu dalam rangka menjaga kualitas air laut untuk kehidupan biota laut, perlu dilakukan pemantauan secara rutin. Pemantauan kualitas air laut pada tahun 2013dilaksanakan 1 kali dalam setahun, yaitu pada bulan September Pengambilan sampel air laut dilaksanakan di 4lokasi, yaitu Pantai Baron ditanjungsari, Pantai Indrayanti dan Pantai Siung di TepussertaPantai Sadeng di Girisubo. Pantai Baron merupakan tempat wisata yang banyak dikunjungi oleh wisatawan dari berbagai daerah, selain itu di lokasi tersebut juga terdapat Tempat Pelelangan Ikan (TPI) dan sekaligus tempat pengolahan ikan dan juga berkembang usaha penginapan. Pantai Indrayanti selain merupakan tempat wisata yang juga banyak dikunjungi wisatawan dari berbagai daerah, di dekat lokasi pantai tersebut juga terdapat dan tambak udang. Pantai Siung merupakan tempat wisata yang banyak dikunjungi wisatawan, sedangkan pantai Sadeng merupakan pelabuhan pendaratan ikan dan terdapat Tempat Pelelangan Ikan (TPI)). Kegiatan-kegiatan yang ada di pantai tersebut tentunya mempengaruhi kualitas air laut di keempat pantai tersebut. Parameter yang dipantau dan baku mutu yang digunakan untuk pengujian kualitas air laut adalah sesuai dengan Lampiran 3 Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut. sebagai berikut : Hasil pengujian terhadap parameter kualitas air laut di 4 lokasi pemantauan adalah Tabel Hasil pengujian parameter air laut Parameter Satuan Baku Metode Uji Hasil Uji Mutu Sadeng Siung Baron Indrayanti ph mg/l 7-8,5 SNI Amoniak(N mg/l 0,3 SNI H 3 -N) ) Nitrat (NO 3 mg/l 0,008 SNI Sianida (CN) mg/l 0,50 SNI Tembaga mg/l 0,008 SNI (Cu) Timbal (Pb) mg/l 0,008 SNI II-74

95 Krom Heksavalen (Cr +6 ) Sulfida (H 2 S) mg/l 0,005 SNI mg/l 0,01 SNI BOD mg/l 20 SNI , Hampir semua kandungan parameter kimiaair laut di 4 lokasi pantai yang dipantau melebihi baku mutu yang diperkenankan berdasarkan Lampiran 3 Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut, kecuali untuk kandungan nitrat dan sianida. Kandungan tembaga, timbal dan krom melebihi baku mutu di semua lokasi pemantauan. Kandungan amoniak melebihi baku mutu di pantai Siung dan pantai Indrayanti, sedangkan kandungan sulfida melebihi baku mutu terdapat di pantai Sadeng dan pantai Baron. Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa ph air laut di lokasi pemantauan berkisar pada ph 6,99 7,26. ph yang terendah terdapat di pantai Siung, sedangkan yang tertinggi terdapat di pantai Sadeng. Kandungan amoniak berkisar antara kurang dari 0,0094 0,58 mg/l, kandungan tertinggi terdapat di Pantai Siung dan yang terendah di Pantai Sadeng. Hasil pemantauan kandungan nitrat dan sianida di keempat pantai sama, yaitu kurang dari 0,066 mg/l untuk nitrat dan kurang dari 0,001 mg/l untuk sianida. Gambar Pengambilan sampel air laut di pantai Sadeng Gambar Pengambilan sampel air laut di pantai Baron II-75

96 Gambar Pengambilan sampel air laut di Pantai Indrayanti Kandungan tembaga berkisar antara 0,0216 0,0816 mg/l, di mana kandungan yang tertinggi terdapat di pantai Sadeng, sedangkan yang terendah terdapat di pantai Siung. Baku mutu untuk tembaga adalah 0,008 mg/l, sehingga kandungan tembaga air laut di 4 lokasi pantai yang dipantau sangat jauh melebihi baku mutunya. Tembaga merupakan logam berat yang dijumpai pada perairan alami dan merupakan unsur yang esensial bagi tumbuhan dan hewan. Garam-garam tembaga divalen, misalnya tembaga klorida, tembaga sulfat dan tembaga nitrat bersifat sangat mudah larut dalam air, sedangkan tembaga karbonat, tembaga hidroksida dan tembaga sulfida bersifat tidak mudah larut dalam air.defisiensi tembaga dapat mengakibatkan anemia, namun kadar tembaga yang berlebihan dapat mengakibatkan air menjadi berasa jika diminum dan dapat mengakibatkan kerusakan pada hati. Kadar tembaga yang tinggi dapat menyebabkan korosi pada besi dan alumunium. Gambar 2.21.Pengambilan sampel air laut di Pantai Siung Baku mutu untuk timbal adalah sebesar 0,008 mg/l, sedangkan hasil pemantauan kandungan timbal berkisar antara 0,0393 0,1422 mg/l, di mana kandungan tertinggi terdapat di pantai Indrayanti, sedangkan yang terendah terdapat di pantai Sadeng. Kandungan timbal air laut di II-76

97 4 lokasi pantai ini sangat jauh melebihi baku mutunya. Timbal/timah hitam pada perairan ditemukan dalam bentuk terlarut dan tersuspensi. Kelarutan timbal cukup rendah, sehingga kadar timbal di dalam air relatif sedikit. Kadar dan toksisitas timbal dipengaruhi oleh kesadahan, ph, alkalinitas dan kadar oksigen. Bahan bakar yang mengandung timbal juga memberikan kontribusi yang berarti bagi keberadaan timbal di dalam air. Akumulasi timbal di dalam tubuh manusia mengakibatkan gangguan pada otak dan ginjal, serta kemunduran mental pada anak yang sedang tumbuh. Timbal tidak termasuk unsur yang esensial bagi mahluk hidup, bahkan unsur ini bersifat toksik bagi hewan dan manusia karena dapat terakumulasi pada tulang. Toksisitas timbal terhadap organisme akuatik berkurang dengan meningkatnya kesadahan dan kadar oksigen terlarut. Kromium termasuk unsur yang jarang ditemukan pada perairan alami. Kromium yang ditemukan di perairan adalah kromiun trivalen (Cr 3+ ) dan kromium heksavalen (Cr 6+ ), namun pada perairan yang memiliki ph lebih dari 5, kromium heksavalen tidak ditemukan. Apabila masuk ke perairan, kromium trivalen akan dioksidasi menjadi kromium heksavalen yang lebih toksik. Kromium trivalen biasanya terserap ke dalam partikulat, sedangkan kromium heksavalen tetap berada dalam bentuk larutan. Kromium tidak pernah ditemukan di alam sebagai logam murni. Garam-garam kromium digunakan dalam industri besi baja, cat, bahan celupan (dyes), bahan peledak, tekstil, kertas, keramik, gelas, fotografi, sebagai penghambat korosi dan sebagai campuran lumpur pengeboran. Kromium trivalen merupakan unsur yang esensial bagi tumbuhan dan hewan, sedangkan kromium heksavalen bersifat toksik. Keracunan kromium dapat mengganggu fungsi hati, ginjal, pernafasan dan mengakibatkan kerusakan kulit. Garam-garam kromium yang masuk ke dalam tubuh manusia akan segera dikeluarkan oleh tubuh. Akan tetapi jika kadar kromium tersebut cukup besar, akan mengakibatkan kerusakan pada sistem pencernaan. Toksisitas kromium dipengaruhi oleh bentuk oksidasi kromium, suhu dan ph. Kadar kromium yang diperkirakan aman bagi kehidupan akuatik adalah sekitar 0,05 mg/l. Kadar kromium 0,1 mg/l dianggap berbahaya bagi kehidupan organisme laut. Hasil pengukuran kandungan krom berkisar antara 0,0533 0,1089 mg/l dengan kandungan tertinggi terdapat di pantai Siung, sedangkan yang terendah di pantai Baron. Kandungan krom pada air laut di 4 lokasi pemantauan ini melebihi baku mutunya yaitu sebesar 0,005 mg/l. Kandungan sulfida berkisar antara kurang dari 0,001 0,061 mg/l, kandungan yang tertinggi terdapat di pantai Sadeng dan yang terendah di pantai Indrayanti. Hasil pengukuran Biologycal Oxygen Demand (BOD) air laut berkisar antara 0,14 1,01 mg/l. BOD terendah terdapat pada sampel air laut di Pantai Siung, sedangkan yang tertinggi terdapat pada sampel dari Pantai Baron. BOD air laut dari 4 pantai yang dipantau tidak ada yang melebihi baku mutunya. II-77

98 Hasil identifikasi yang telah dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi DI Yogyakarta menunjukkan bahwa di wilayah perairan laut Kabupaten Gunungkidul cukup kaya terumbu karang dan ikan hias. Sampai saat ini luasan terumbu karang belum ada identifikasi yang cukup akurat. Data yang diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi DIY, luas terumbu karang adalah seluas 5100 ha dengan kondisi baik 510 Ha (10%), 1020 Ha (20%) kondisinya sedang dan sisanya atau 3570 Ha (70%) dalam kondisi rusak. Sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan wilayah pantai yang sejuk, indah, dan nyaman maka dilakukan kegiatan penghijauan pantai. Destinasi wisata di wilayah pantai Kabupaten Gunungkidul menunjukkan peningkatan yang luar biasa. Hal ini apabila tidak diikuti dengan pengelolaan lingkungan yang baik, maka lambat laun kunjungan akan menurun. Pengelolaan lingkungan wilayah pantai yang segera mendapatkan perhatian adalah penambahan vegetasi untuk keteduhan dan pengelolaan sampah. Untuk keteduhan belum seluruhnya pantai di Gunungkidul hijau. Hal ini diakibatkan rendahnya daya tumbuh bibit di wilayah pantai. Wilayah pantai di Gunungkidul uap air garamnya sangat tinggi sehingga mengganggu pertumbuhan bibit. Bibit tertentu perlu ternaungi oleh tanaman pioner yang tahan terhadap uap air laut, seperti pandan dan kangkung laut. Di wilayah pantai Sepanjang dengan panjang pantai hampir m telah terdapat tanaman pandan. Namun tanaman pandan tersebut belum bisa memberikan keteduhan secara maksimal sehingga diperlukan penanaman penghijauan berupa cemara laut. Cemara laut dengan tanaman pelindung pandan mampu tumbuh dengan baik. Lewat Dana DAK tahun 2013 dialokasi penghijauan pantai dengan tanaman cemara udang sebanyak 400 batang, seluas 0,5 ha. Untuk mendukung penanaman juga diberikan pupuk organik sebanyak 800 kg atau 2 kg/bibit. Penanaman dilakukan oleh kelompok sadar wisata dengan gerakan bersama. Namun adda beberapa kendala yang dihadapi, antara lain: 1. Adanya musim kemarau panjang, sehingga banyak bibit yang mati, perlu diantisipasi dengan penyiraman sistem infus. 2. Pada saat musim liburan, banyak pengunjung yang tidak bertanggungjawab, sehingga merusak bibit, seperti terinjak dan sebagainya. Perlu diantisipasi dengan dibuatkan bronjong. Agar penghijauan dapat berhasil maka perlu peran semua pihak baik pokdarwis, tokoh masyarakat maupun pemerintah. Betapa pentingnya nilai sebuah penghijauan di kawasan pantai. Pantai yang gersang akan terasa panas dan akibatnya kurang diminati pengunjung sehingga kegiatan perekonomian warga akan terganggu. Untuk mengoptimalkan keberhasilan penghijauan pantai maka setiap anggota pokdarwis diberi tanggung jawab untuk memelihara tanaman hingga berhasil. Selain itu juga diberikan pupuk organik untuk mendukung kegiatan penanaman. II-78

99 Gambar Penanaman Cemara Udang F. Iklim Curah hujan merupakan salah satu unsur yang mempengaruhi kondisi lingkungan hidup. Pengukuran curah hujan sangat berguna dalam bidang pertanian terutama untuk merencanakan musim tanam. Berdasarkan data curah hujan pada tahun 2013, musim hujan tahun 2013 dimulai pada bulan Oktober dengan sebaran yang belum merata di semua wilayah kecamatan. Pada tahun 2013 ini musim kemarau berlangsung lebih singkat daripada tahun sebelumnya, yaitu hanya berkisar 3 bulan kering dimana pada bulan Juli 2013 masih terjadi hujan di beberapa wilayah kecamatan. Berdasarkan data curah hujan tahun 2013, curah hujan tertinggi berada di kecamatan Semin dengan curah hujan sebesar mm dengan jumlah hari hujan 126 hari dengan perbandingan rata-rata curah hujan per kecamatan 2032 mm dengan jumlah hari hujan 87 hari. Dari data yang disajikan pada tahun 2013 curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari. Untuk pulau Jawa pada bulan Januari memang masih terjadi curah hujan maksimum dimana rata-rata masih diatas 300 mm, dimana pada bulan Januari masih dipengaruhi oleh munson Asia walaupun sudah berkurang. Selain itu hasil analisis angin juga menunjukkan bahwa terjadi konvergensi masa udara di daerah yang memiliki curah hujan maksimum. Selain karena dipengaruhi munson Asia terjadinya curah hujan yang tinggi juga disebabkan adanya pertemuan masa udara dari belahan bumi utara dan selatan. Kemudian untuk curah hujan terendah terjadi pada bulan Agustus dan September dimana dipengaruhi oleh munson Australia wlaupun pada bulan September pengaruhnya mulai berkurang. Pada bulan Agustus dann September ini merupakan puncak dari musim kemarau pada tahun Pola sebaran hujan di wilayah Gunungkidul bervariasi, dimana untuk zona bagian utara cenderung curah hujan lebih tinggi dibandingkan dengan curah hujan di zona tengah dan selatan Gunungkidul. Zona utara yang dimaksud meliputi Kecamatan Semin, Ngawen, Gedangsari, Patuk dan Nglipar, karena secara geografis zona utara merupakan perbatasan dengan daerah yang datar II-79

100 sehingga memberikan pengaruh terhadap curah hujan, sedangkan secara topografi zona utara lebih banyak berupa pegunungan berbeda dengan zona tengah yang lebih cenderung datar. Dari hasil analisa curah hujan tahun 2013 menunjukkan bahwa musim hujan lebih panjang dibandingkan musim kemarau, hal tersebut berpengaruh pada kondisi tanaman terutama tanaman hortikultura berupa buah-buahan dimana waktu berbunga mundur yang mengakibatkan musim panen buah-buahan menjadi mundur. Sedangkan untuk tanaman sayuran terjadi banyak serangan hama dan penyakit karena curah hujan yang cukup tinggi. Suhu udara Kabupaten Gunungkidul untuk suhu rata-rata harian 27,7 o C, suhu minimum 23,2 0 C dan suhu maksimum 32,4 0 C. Kelembaban nisbi di Kabupaten Gunungkidul berkisar antara 80% -85%. Kelembaban nisbi ini bagi wilayah Kabupaten Gunungkidul tidak terlalu dipengaruhi oleh tinggi tempat, tetapi lebih dipengaruhi oleh musim. Kelembaban tertinggi terjadi pada bulan Januari Maret, sedangkan terendah pada bulan September. G. Bencana Alam Wilayah Kabupaten Gunungkidul dengan kondisi geografis dan geologis yang beragam menyimpan ancaman bencana dalam kehidupan masyarakat di dalamnya. Ancaman bencana alam di Kabupaten Gunungkidul berdasarkan letak geografis dan geologisnya antara lain: a. Zona utara (Batur agung) berpotensi terjadi bencana gempa bumi, tanah longsor, banjir, angin kencang, kebakaran dan kekeringan b. Zona tengah (Wonosari) berpotensi terjadi bencana gempa bumi, banjir, angin kencang, kebakaran dan kekeringan c. Zona selatan (Pegunungan Seribu) berpotensi terjadi bencana gempa bumi, tsunami, angin kencang, abrasi dan gelombang pasang, kebakaran dan kekeringan. Dari tahun ke tahun catatan kejadian dan jumlah korban bencana alam di kabupaten Gunungkidul fluktuatif dengan frekuensi terbanyak terjadi antara tahun Jenis bencana alam yang pasti terjadi di Kabupaten Gunungkidul adalah Tanah longsor di zona utara, angin kencang dan kebakaran merata di wilayah kabupaten, serta kekeringan yang sudah menjadi kebiasaan di wilayah Gunungkidul setiap musim kemarau. Tanah longsor terjadi diwilayah yang memiliki lereng yang cukup terjal meliputi wilayah Patuk, Gedangsari, Nglipar, Ngawen, Semin dan Ponjong. Bencana banjir terjadi di sepanjang aliran sungai OYO meliputi semin, ngawen, nglipar dan patuk dengan kerugian pada lahan pertanian dan rumah penduduk yang dekat dengan sungai yang merupakan wilayah DAS OYO. Dalam tiga tahun terakhir, bencana banjir justru terjadi banyak di wilayah Kota Wonosari (Sungai Besole) yang masuk dalam DAS Bribin, sering meluap dan menimbulkan kerugian masyarakat di sepadan sungai. Kejadian terakhir banjir terjadi pada tanggal 11 II-80

101 Desember 2013 yang mengakibatkan puluhan keluarga mengevakuasi diri ke lokasi yang aman, meskipun banjir berlangsung singkat namun genangan yang terjadi cukup tinggi. Bencana kebakaran terjadi di Kabupaten Gunungkidul disebabkan 60% hubungan arus pendek listrik, 30 % tungku pembakaran/minyak dan 10% faktor lain dengan jumlah intensitas kejadian antara lain Wonosari, Gedangsari, Semanu, Karangmojo, Paliyan dan Playen. Upaya pengurangan resiko bencana yang dilakukan secara terpadu dan terkoordinasi sering terkendala dengan budaya dan kebiasaan masyarakat khususnya yang tinggal di wilayah rawan untuk tetap tinggal dengan tidak memperhatikan kondisi lingkungannya. II-81

102 BAB III TEKANAN TERHADAP LINGKUNGAN A. KEPENDUDUKAN Jumlah penduduk Kabupaten Gunungkidul pada tahun 2013 berdasarkan data dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Gunungkidul sampai dengan triwulan III tercatat sebanyak ,00 jiwa. Pada tahun periode tahun ini laju petumbuhan penduduk mengalami penurunan. Dari rata-rata 0,07 persen per tahun menjadi -0,1. Hal ini di sebabkan karena adanya pembersihan data ganda dari Dirjen Administrasi Kependudukan terkait dengan adanya Program KTP Elektronik sehingga penduduk yang terindikasi mempunyai status kependudukan ganda dihapus dari database kependudukan. Dikarenakan sifat dari registrasi kependudukan yang bersifat de yure yang berarti lebih mendasarkan pada dokumen kependudukan dari masing-masing penduduk, maka jumlah penduduk diatas dimungkinkan terjadi perbedaan dengan data dari instansi lain yang menggunakan pendekatan dan metode yang berbeda. Menurut komposisinya, penduduk Kabupaten Gunungkidul terdiri dari 49,90% penduduk laki-laki dan 50,10% penduduk perempuan sehingga rasio jenis kelaminnya tercatat sebesar 99,6%. Hal ini berarti dari setiap seratus orang penduduk perempuan di Kabupaten Gunungkidul terdapat sekitar 99 orang penduduk laki-laki. Selama beberapa tahun terakhir rasio jenis kelamin penduduk di Kabupaten Gunungkidul berada pada kisaran 94 persen. Salah satu faktor yang cukup mempengaruhi adalah mobilitas penduduk laki-laki yang lebih tinggi dari penduduk wanita, terutama pada penduduk yang sudah berusia kerja. Terbatasnya kesempatan kerja yang tersedia bagi para penduduk yang mulai memasuki usia kerja menyebabkan banyak penduduk laki-laki produktif yang ke luar Gunungkidul untuk mencari pekerjaan. Berdasarkan sebaran penduduk menurut kecamatan terlihat bahwa persebaran penduduk Kabupaten Gunungkidul pada tahun 2013 yang paling banyak penduduknya berada di Kecamatan Wonosari sebanyak ,00 (11,44%). Sementara di Kecamatan Purwosari mempunyai jumlah penduduk terendah yakni ,00 ( 2,72%). Sedangkan rata-rata kecamatan lain persentase penduduknya berkisar antara 3 sampai dengan 8 persen dari total penduduk. Kepadatan penduduk merupakan salah satu indikator kependudukan yang mencerminkan tingkat pemerataan penduduk di suatu wilayah. Tingkat kepadatan penduduk juga berhubungan dengan keberadaan sumber-sumber daya ekonomi yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat.

103 Kepadatan penduduk yang sudah mencapai titik jenuh dikahwatirkan akan memberikan dampak yang kurang baik pada masyarakat akibat terjadinya ketimpangan atau disparitas terhadap kepemilikan sumber-sumber daya ekonomi itu sendiri. Jika dilihat menurut kepadatan penduduk, angka kepadatan tertinggi tercatat di Kecamatan Wonosari sebesar 1.165,75 jiwa/km 2. Sedangkan Kecamatan Purwosari mempunyai angka kepadatan penduduk terendah, yakni hanya 311 jiwa/km 2. Kecamatan lainnya kepadatan penduduk berkisar antara 335 sampai dengan 822 jiwa/km 2. Kepadatan penduduk Kabupaten Gunungkidul sendiri sebesar 576 jiwa/km 2. Jumlah rumah tangga miskin di Kabupaten Gunungkidul tahun 2013 mencapai dari rumah tangga. Penyebaran prosentase rumah tangga miskin di tiap kecamatan paling besar ada di Kecamatan Saptosari yakni sebanyak 56,7%, dan paling sedikit ada di Kecamatan Wonosari sebanyak 20,89%. Peranan pendidikan dalam pembangunan kualitas manusia lebih diarahkan pada peningkatan ketrampilan (skill) dan kemampuan beradaptasi dengan dunia kerja dan lingkungan sosial. Dengan pengetahuan dan skill yang lebih baik, masyarakat diharapkan mampu memberdayakan diri mereka untuk berperan dalam lingkungan dan mencapai produktivitas kerja yang lebih tinggi. Dalam perkembangan kehidupan mutakhir dewasa ini, peran pendidikan tidak hanya terbatas pada kesempatan mengenyam pendidikan formal. Dalam konteks yang lebih luas, pendidikan diluar jalur tersebut yang diperoleh dalam interaksi dalam masyarakat juga sangat bermanfaat bagi terbentuknya karakter serta kemampuan individu secara komprehensif. Pembentukan karakter yang relevan dengan kebutuhan pembangunan sangat tergantung sistem pendidikan yang diprogramkan oleh masing-masing lembaga pendidikan. Pengayaan karakter individu akan menentukan peran dan kesempatan masing-masing penduduk berpartisipasi dalam pembangunan. Adapun gambaran kondisi pendidikan di Kabupaten Gunungkidul dapat dilihat berdasarkan jenis kelamin. Secara persentase penduduk laki-laki pada semua jenjang pendidikan mulai SD, SLTP, SLTA sampai Perguruan Tinggi strata dua relatif lebih banyak dari penduduk perempuan, tetapi tidak terpaut jauh, sedangkan perempuan yang tidak sekolah lebih banyak dari laki-laki. B. PERMUKIMAN Penyediaan perumahan di Kabupaten Gunungkidul masih didominasi oleh rumah milik sendiri masih luasnya areal permukiman yang ada di seluruh wilayah.

104 Tabel 3.1. Indikator Perumahan Kabupaten Gunungkidul Tahun No Uraian Tahun Satuan Status Kepemilikan a. Rumah milik sendiri b. Rumah Dinas/Bebas Sewa Luas Permukiman , , ,96 Ha 3. Luas permukiman kumuh 1.174, , ,46 Ha 4. Jumlah rumah tinggal unit layak huni 5. Jumlah bangunan ber unit IMB Berdasarkan data diatas jumlah rumah milik sendiri sekitar unit tahun 2013 dibanding jumlah KK di Gunungkidul adalah , maka dapat diasumsikan hampir semua KK telah memiliki rumah sendiri atau satu orang dapat memiliki rumah lebih dari satu, dengan luas permukiman hampir 19 % luas wilayah kabupaten Gunungkidul. unit unit Jika dilihat dari data jumlah rumah yang memiliki jamban adalah 90,2% dan jamban sehat baru sekitar 70,4 %. Sehingga masih ada 10 % masyarakat buang air besar (BAB) sembarangan, Pemerintah Daerah perlu mengencarkan program sanitasi total berbasis masyarakat (STBM), masyarakat diajak/pemicuan untuk tidak buang air besar (BAB) sembarangan. Penyediaan sarana dan prasarana air bersih terhambat oleh kondisi geografi Gunungkidul yang berbukit-bukit sehingga membutuhkan investasi yang cukup besar untuk memenuhi kebutuhan air bersih. Pemerintah tetap berupaya mencukupi kebutuhan air bersih bagi warga masyarakatnya antara lain dengan memanfaatkan sumber air bawah tanah yang tersedia melimpah di Kabupaten Gunungkidul. Optimalisasi terhadap sumber air bawah tanah ini dijadikan solusi dan terus ditingkatkan pemanfaatannya untuk menghadapi permasalahan kekeringan yang dating pada musim kemarau. Salah satu masalah yang berpotensi untuk merusak lingkungan hidup adalah masalah pengelolaan sampah. Tidak hanya itu sampah juga dapat menimbulkan masalah kesehatan warga dan banjir. Untuk itu diperlukan keseriusan dari pemerintah daerah Kabupaten Gunungkidul sebagai pemangku kebijakan. Pemerintah Kabupaten Gunungkidul harus lebih bekerja keras dalam menangani sampah. Selain itu dibuat suatu terobosan agar upaya yang dilakukan bias lebih efektif. Upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ternya kurang efektif karena hanya sekedar mengumpulkan, mengangkut dan membuang sampah ketempat pembuangan sampah. Padahal untuk menangani permasalaahan sampah secara menyeluruh diperlukan terobosan pola piker dan alternative pengelolaan. Sistem mengumpulkan sampah pada suatu lokasi bukan lagi

105 satu-satunya solusi, karena dengan system ini bersifat tidak berkelanjutan karena keterbatasan lahan dan terbukti menimbulkan masalah endemic pada lingkungan sekitar. Solusi alternative yang berhubungan dengan paradigm prioritas salah satunya yaitu volume sampah seharusnya diminimalkan mulai dari masyarakat yang menghasilkan sampah. Sistem daur ulang kembali semua limbah yang dibuang dapat mengurangi tekanan terhadap sumber daya alam secara drastis. Sebagai contoh untuk makanan ternak, kompos atau vermi kompos dan kerajinan berbasis bahan daur ulang. Sistem penanganan sampah organik yang baik merupakan komponen terpenting dalam penangan sampah secara mandiri. Sehingga diperlukan suatu pelatihan-pelatihan kepada masyarakat secara intens dan serius. Selain itu penanaman pola pikir masyarakat yang terbiasa membuang sampah menjadi satu perlu dirubah karena percampuran antar sampah dapat merusak dan mengurangi nilai material yang mungkin masih bisa dimanfaatkan lagi. Tingkat pertumbuhan penduduk sangat berpengaruh pada volume sampah yang merupahan hasil dari konsumsi penduduk. Menurut data sensus tahun 2010 penduduk Kabupaten Gunungkidul berjumlah jiwa dengan nilai laju pertumbuhan penduduk per tahun sebesar 1,5 % maka diperkirakan jumlah penduduk pada tahun 2013 adalah jiwa jumlah penduduk Grafik 3.1. Pertumbuhan Penduduk Gunungkidul Dengan asumsi setiap jiwa penduduk di Kabupaten Gunungkidul menghasilkan 2 liter atau 0,002 m 3 sampah perhari maka terdapat kurang lebih m 3 sampah yang di hasilkan. Dari data lapangan yang diperoleh dari UPT Kebersihan dan Pertamanan ( UPT KP) Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Gunungkidul maka perhari sampah yang di hasilkan di Kabupaten Gunungkidul dapat

106 dilihat pada grafik berikut ini. Ngawen Gedangsari Playen Karangmojo Semanu Sampah (m3) Rongkop Tepus Paliyan Panggang - 50,00 100,00 150,00 200,00 Grafik 3.2. Timbulan Sampah Penduduk Gunungkidul Dari grafik di atas maka penghasil terbesar sampah di Kabupaten Gunungkidul adalah Kecamatan Wonosari dengan volume 121,49 m 3, dan untuk yang paling rendah adalah kecamatan Purwosari dengan volume 38,72 m 3. Untuk hasil rata-rata Volume Sampah yang dihasilkan adalah 78,47 m 3. Dari jumlah total sampah yang dihasilkan sebanyak 1.412,46 m 3 Dinas Pekerjaan Umum hanya mampu mengangkut 120 m 3 perhari. Sisanya diolah oleh kantor Pasar, Pokdarwis, Pengelola terminal dan Masyarakat, dengan sistem timbun, bakar atau daur ulang. DIAGRAM PENGELOLA SAMPAH UPT KP Masyarakat Kantor Pasar Pengelola Terminal Grafik 3.3. Diagram Pengelola Sampah

107 Panggang Purwosari Paliyan Saptosari Tepus Tanjungsari Rongkop Girisubo Semanu Ponjong Karangmojo Wonosari Playen Patuk Gedangsari Nglipar Ngawen Semin Dinas pekerjaan umum melalui UPT KP yang mengampu untuk pengelolaan sampah yaitu dengan, pengumpulan, pengangkutan dan pengolahan sampah hanya mampu melayani 6 kecamatan dengan sebaran diagram sebagai berikut. 250,0 200,0 150,0 100,0 Series 3 TERANGKUT (m3) 50,0 - Grafik 3.4. Sebaran Pelayanan Persampahan UPT KP DPU Kabupaten Gunungkidul Jadi UPT KP hanya mampu mengangkut 8,50 % dari total 1.412,46 m3 sampah yang dihasilkan di Kabupaten Gunungkidul perhari. Hal ini di karenakan keterbatasan Sumber daya manusia, alat pengangkut dan anggaran operasional. Kondisi lingkungan hidup di kabupaten Gunungkidul Tahun 2013 yang berkaitan dengan pengaruh dari sampah belum cukup signifikan terpengaruh. Hal ini di buktikan dengan sedikitnya penyakit endemik akibat sampah, kerusakan lingkungan akibat sampah, banjir akibat sampah dan polusi tanah, air dan udara akibat sampah. Namun perlu diwaspadai dengan berjalannya waktu serta pertumbuhan penduduk yang pesat maka Kondisi secara umum dapat terpengaruhi oleh meningkatnya volume dan kwalitas sampah yang dihasilkan. Pada kawasan-kawasan tertentu perlu diwaspadai untuk peningkatan volume dan kualitas sampah misalnya pada kawasan pasar, Pemukiman padat, rumah sakit dan klinik, kawasan pariwisata dan tempat hiburan, dan TPA Wukirsari Baleharjo. Karena pada tempat tempat ini produksi sampah akan meningkat pada situasi dan kondisi tertentu. Untuk mengatasi permasalahan persampahan maka Pemerintah kabupaten Gunungkidul telah membuat beberapa program dan kebijakan anatara lain :

108 1. Aplikasi sistem Sanitary Landfill Sistem ini di pakai pada TPA wukirsari guna menjaga agar isolasi pencemaran air, atanah dan udara tetap tercapai. Sanitary Landfill dilakukan dengan membuang sampah pada suatu lokasi yang diisolasi dengan menumpuk, memadatkan, dan menutupnya dengan tanah. Secara umum sanitary landfill terdiri atas elemen sebagai berikut : Gambar 3.1. Trech Method a. Lining system, adalah lapisan yang berguna untuk menaha kebocoran leachate kedalam tanah yang bisa mencemari air tanah. biasanya terbuat dari compacted clay, geo membran, atau campuran tanah dengan bentonite. b. Leachate collection system, dibuat diatas lining system berguna untuk mengumpulkan leachate dan memompa keluar sebelum leachate menggenang di lining system dan akhirnya akan menyerap kedalam tanah. Leachate akan dipompa keluar melalui sumur yang disebut leachate extraction system. c. Cover atau Cap system, berguna untuk mengurai cairan akibat hujan yang masuk kedalam landfill sehingga cairan leachate akan berkurang. d. Gaz ventiation system, adalah alat untuk mengendalikan aliran dan konsentrasi di dalam sehingga konsentrasi dan aliran gas terkontrol dan mengurangi resiko peledakan. e. Monitoring System, adalah alat peringatan dini jika terjadi kebocoran atau bahaya kontaminasi lingkungan sekitar.

109 Gambar 3.2. Area Method 2. Pengesahan Peraturan Daerah Kabupaten Gunungkidul Nomor 13 Tahun 2012 tentang Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan, sehingga pelaksanaan retribusi sampah menjadi optimal dan teratur. 3. Pembuatan TPS pada kawasan-kawasan strategis seperti di pemukiman padat, Pasar, Kawasan wisata dan hiburan, rumah sakit dan klinik. Gambar 3.5. Bak TPS 4. Penambahan armada truk sampah di UPT KP Dinas Pekerjaan Umum, sejak tahun 2010 sampai tahun 2013 terdapat 4 unit armada yang melayani pengangkutan sampah, Sehingga total armada yang dimiliki oleh UPT KP adalah 34 Unit.

110 Gambar 3.6. Arm roll Gambar 3.7. Dump truck 5. Peremajaan alat pengangkut dan pengumpul sampah seperti, dump truck, arm roll, kontainer sampah dan buldozer. Gambar 3.8. Kontainer sampah Gambar 3.9. Buldozer 6. Pengadaan escavator untuk mendukung program sanitary landfill di TPA Wukirsari Baleharjo.

111 Gambar Excavator 7. Pengadaan Bak sampah terpisah antara organik dan non organik. Gambar Bak Sampah Terpilah 8. Pelatihan mengenai pengelolaan sampah secara mandiri ataupun kelompok.

112 Gambar Pelatihan pengelolaan sampah Gambar Pelatihan pengolahan sampah B. KESEHATAN Pembangunan bidang kesehatan bertujuan meningkatkan derajad kesehatan penduduk yang ditandai dengan kemampuan yang lebih besar untuk melaksanakan pola hidup sehat. Proses pembangunan kesehatan yang baik akan ditandai oleh kemudahan masyarakat dalam mengakses serta memperoleh layanan kesehatan serta meningkatnya kemampuan ekonomi untuk belanja kesehatan. Pelayanan kesehatan yang ada di Gunungkidul meliputi sarana dan tenaga kesehatan. 1. Sarana Kesehatan Sarana Kesehatan sebagai input bagi berlangsungnya sistem kesehatan secara umum meliputi : sarana kesehatan yang dimiliki pemerintah, bersumberdaya masyarakat dan swasta. Untuk sarana kesehatan pemerintah sumberdaya yang dimiliki pada tahun 2013 adalah puskesmas induk yang 13 diantaranya adalah puskesmas rawat inap, dengan jumlah puskesmas pembantu ada 110 dan puskesmas keliling 42 mobil. Untuk sarana yang bersumberdaya masyarakat meliputi Polindes berjumlah 31 dan posyandu berjumlah Puskesmas di Gunungkidul yang telah mendapatkan sertifikasi ISO adalah : Panggang 2, Patuk 1, Wonosari 1, Nglipar 1 dan Ponjong 1. Sarana Kesehatan pemerintah yang dimiliki pemerintah pusat dan pemerintah provinsi dan BUMN tidak ada di Gunungkidul. Untuk fasilitas yang dimiliki TNI/POLRI berupa klinik kesehatan kurang terakses masyarakat, kecuali pada kegiatan sosial. Sarana kesehatan swasta mengalami perkembangan pesat dari tahun ke tahun. Apalagi dengan adanya kemudahan dalam perijinan (lisensi) melalui Kantor Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu (KPMPT) setelah mendapat rekomendasi dari Dinas Kesehatan. Sarana swasta tersebut meliputi : 2 Rumah Sakit Umum, 3 Rumah Bersalin, 45 Klinik. Sarana kesehatan penunjang seperti : Apotik, Laboratorium Klinik, Optical.

113 Untuk Gedung, instalasi fisik dan Alat Kesehatan (alat medis, alat penunjang medis, alat non medis) di sarana kesehatan pemerintah (Rumah Sakit dan Puskesmas) juga disesuaikan dengan standar pelayanan. Untuk pemeliharaannya dilakukan kalibrasi berkala, sehingga mutu pelayanan untuk keselamatan pasien meningkat. Walau demikian ada peralatan canggih di Puskesmas walau disatu sisi meningkatkan pelayanan, namun disisi lain juga membuat sistem rujukan perlu koreksi. 2. Tenaga Kesehatan Isu utama dengan mudahnya perijinan tenaga kesehatan adalah adanya Dual Practice di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah dan di swasta. Baik praktek perorangan maupun di RS/RB/Klinik swasta. Hal ini dapat dilihat dari jumlah praktek perorangan : 82 dokter umum, 35 dokter gigi, 31 dokter spesialis, 149 perawat dan 41 bidan (sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Gunungkidul, 2013). Pemenuhan tenaga kesehatan berkorelasi positif terhadap pencapaian target-target kesehatan seperti: jumlah dokter dan perawat dengan capaian kunjungan puskesmas; jumlah bidan dengan kunjungan K1 dan K4; juga jumlah tenaga gizi dengan capaian target status gizi. Walau demikian pemenuhan jumlah namun tidak menambah kapabilitas dan kompetensi mereka melalui pelatihan/diklat/bimtek tentunya akan mengurangi mutu pelayanan kesehatan yang dicapai. 3. Indikator Derajat Kesehatan Masyarakat Peningkatan pelayanan kesehatan bagi masyarakat diharapkan dapat meningkatkan derajad kesehatan masyarakat. Indikator derajat kesehatan dapat di ketahui dari Angka Harapan Hidup, Angka Kematian (mortalitas) dan Mordibitas. a. Umur Harapan Hidup (UHH) Salah satu indikator derajat kesehatan masyarakat adalah umur harapan hidup. Demikian pula untuk mengukur indikator Indek Pembangunan Manusia (IPM) salah satu indikator yang mewakili bidang kesehatan adalah Umur Harapan Hidup (UHH). UHH di Kabupaten Gunungkidul cukup baik jika dibandingkan dengan Umur Harapan Hidup rata-rata di Indonesia. UHH penduduk Gunungkidul dipaparkan pada tabel berikut : Tabel 3.2. Umur Harapan Hidup Penduduk Kabupaten Gunungkidul Tahun INDIKATOR Umur Harapan Hidup/UHH - Laki-laki ,07 - Perempuan ,97 Rata-rata UHH : - Gunungkidul - DIY - Nasional Sumber : BPS Kabupaten Gunungkidul, ,21 70,97 71,01 73,27 69,65

114 Rata-rata Umur Harapan Hidup Penduduk Gunungkidul menunjukkan angka dibawah ratarata propinsi DIY tetapi masih tergolong tinggi bila dibanding dengan angka rata-rata UHH nasional. b. Mortalitas Jumlah kematian bayi di Kabupaten Gunungkidul pada tahun 2012 sebanyak 95 kematian, menurun dibanding tahun sebelumnya. sedangkan jumlah lahir mati pada tahun 2012 sebanyak 79 kasus. Angka Kematian Bayi masih tergolong tinggi bila dibanding dengan Kabupaten lain di DIY, walaupun telah melampaui target Nasional/MDG s 2015 (17/1.000KH). Penyebab utama kematian bayi adalah BBLR, premature, dan asfiksia. Kasus BBLR/prematur merupakan manifestasi dari berbagai masalah yaitu: Gizi, Kesehatan, dan Umur kehamilan ibu waktu hamil (KTD). Kematian ibu merupakan kematian yang terjadi pada saat ibu hamil dan ibu nifas. Kematian ibu pada tahun 2012 sebanyak 9 kasus (angka kematian ibu 107,5/ KH) menurun dibanding tahun 2011 (14 kasus). Penyebab kematian ibu pada tahun 2012 adalah perdrahan dan hipertensi pada masa kehamilan (eklamsi). Selengkapnya disajikan pada tabel berikut : Tabel 3.3. Angka Kematian di Kabupaten Gunungkidul Tahun Mortalitas Tahun Target Jumlah Kematian bayi Menurun AK Bayi/1000 KH ,7 Menurun Jumlah Kematian Ibu Menurun AK Ibu/ KH / KH Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Gunungkidul AK = Angka Kematian; KH = Kelahiran Hidup; Grafik 3.5. Perbandingan Angka Kematian Ibu (per Kelahiran Hidup) Nasional, DIY dan Kabupaten Gunungkidul Tahun Gunungkidul DIY Nasional , ,9 72,9 38,6 46,9 66, Sumber : Dinas Kesehatan DIY dan Dinas Kesehatan Kabupaten Gunungkidul

115 Grafik 3.6. Perbandingan Angka Kematian Bayi (per 1000 Kelahiran Hidup) Nasional, DIY dan Kabupaten Gunungkidul Tahun DIY Gunungkidul Nasional ,7 Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Gunungkidul c. Morbiditas Berikut ini urutan 10 besar penyakit di Kabupaten Gunungkidul yang tercatat di sistem pencatatan dan pelaporan Puskesmas. Tabel 3.4. Sepuluh Besar Penyakit di Puskesmas Kabupaten Gunungkidul No Nama Penyakit 1 J00 Common Cold / Nasopharingitis Akut 2 J06 Infeksi akut lain pada saluran pernapasan bag.atas 3 I10 Hipertensi Primer 4 K29 Gastritis 5 L23 Dermatitis Kontak Alergi 6 J45 Asma 7 R51 Nyeri Kepala 8 M06 Rheumatoid Arthritis 9 R05 Batuk 10 M25 Gangguan sendi, Athralgia Sumber : Rekap LB 1 Puskesmas Pola penyakit degeneratif seperti Hipertensi dan Rheumatoid Arthritis ternyata semakin menggeser urutan penyakit-penyakit infeksi. Penyakit degeneratif banyak terjangkit pada golongan umur Lansia. Umur harapan hidup yang panjang dan perilaku yang tidak sehat bisa dimungkinkan ikut andil dalam meningkatnya kasus penyakti degeneratif. Bila dibandingkan dengan hasil Riskesdas tahun 2010 angka Hipertensi di Kabupaten Gunungkidul tercatat 12,21% (DIY sebesar 8,53%) dan penyakit sendi sebesar 39,68% (DIY sebesar

116 27,03). Hal ini berarti banyak kasus penyakit sendi yang tidak berkunjung ke Puskesmas dibanding dengan Hipertensi. D. PERTANIAN Pertanian merupakan sektor penting dalam pembangunan perekonomian masyarakat, seperti diketahui bahwa sebagian besar penduduk Gunungkidul hidup dari sektor pertanian. Hal ini juga didukung dengan luas kabupaten Gunungkidul yang merupakan kabupaten terluas di DIY. Potensi lahan pertanian di Gunungkidul sebagian besar berupa lahan kering, dengan luas potensi lahan kering sekitar Ha. Untuk luas lahan sawah di Gunungkidul adalah Ha yang sebagian besar berada di zona utara dan sebagian di zona tengah dan sedikit di zona selatan. Dengan luas lahan kering yang dominan maka Gunungkidul merupakan sentra budidaya padi lahan kering. Untuk mendukung keberhasilan bidang pertanian di Gunungkidul, pada tahun 2013 telah dilaksanakan berbagai kegiatan baik yang berasal dari pusat maupun dari daerah. Kegiatan yang dilaksanakan antara lain penyaluran bantuan SLPTT, bantuan alat mesin pertanian, pembangunan sarana prasarana pertanian, dan pembinaan kelompok tani. Program SLPTT merupakan program nasional, dimana bertujuan untuk meningkatkan produktivitas tanaman pangan berupa padi, kedelai dan jagung. Pada program SLPTT, petani difasilitasi sarana produksi berupa pupuk dan pestisida serta subsidi benih. Untuk bantuan alat mesin pertanian pada tahun 2013 ini berupa handtraktor, power threser mini, power threser multiguna, pompa air dan handsprayer. Dengan adanya bantuan alat ini diharapkan dapat membantu petani dalam berusaha tani dan dapat meningkatkan hasil pertanian. Kemudian untuk pembangunan sarana dan prasarana untuk tahun 2013 adalah pembangunan saluran irigasi berjumlah 20 unit dengan tiap unit sekitar 200 meter yang berguna untuk mengoptimalkan penggunaan air untuk irigasi, dam parit/embung berjumlah 2 unit yang berfungsi untuk menampung air agar dapat lebih dimanfaatkan, dan pembangunan jalan usaha tani dengan panjang sekitar meter yang berfungsi untuk memperlancar akses ke lahan pertanian. Sistem budidaya pertanian tidak terlepas dari pemenuhan sarana produksi pertanian yang dibutuhkan petani. Salah satu sarana produksi yang penting dalam berusaha tani adalah pupuk. Pupuk sendiri dibagi menjadi pupuk anorganik dan pupuk organik. Penggunaan pupuk di masyarakat tani dipengaruhi oleh pemahaman petani tentang teknologi pemupukan yang didapat. Untuk saat ini penggunaan pupuk anorganik sudah mulai sedikit berkurang, hal tersebut disebabkan pemahaman petani yang telah meningkat tentang aplikasi pupuk organik yang lebih ramah lingkungan. Tiap tahun alokasi untuk pupuk anorganik memang dikurangi untuk mendorong agar petani dapat beralih ke

117 pemupukan dengan pupuk organik. Berdasarkan data penggunaan pupuk yang disajikan, dapat diketahui bahwa penggunaan pupuk paling besar adalah pada komoditas padi, hal ini dikarenakan budidaya tanaman padi dilakukan dengan intensif dengan pola monokultur dan mendapat pendampingan yang serius karena merupakan inti dari keberhasilan swasembada beras yang dicanangkan oleh pemerintah. Sedangkan untuk tanaman palawija penggunaan pupuk memang tidak terlalu banyak dikarenakan sistem tanam palawija biasanya tumpangsari sehingga kebutuhan pupuk hanya secara global saja tidak memperhatikan per jenis tanaman. Untuk mendukung kelestarian lingkungan, dalam sektor pertanian juga telah dikembangkan system pertanian organik dengan fasilitasi dari pemerintah pusat. Kegiatan tersebut antara lain adanya System Of Rice Intensification (SRI), dan optimasi lahan mendukung tanaman pangan maupun hortikultura. Untuk SRI pada tahun 2013 ini ada 15 unit yang tiap unit seluas 20 Ha, dalam SRI ini diterapkan berbagai teknologi yang berguna untuk meningkatkan produktifitas dengan penerapan sistem pertanian organik yang hemat air. Dengan sistem ini maka diharapkan kebutuhan air untuk pertanian dapat digunakan secara efisien dengan tanpa mengurangi hasil yang didapat. Selain itu di Gunungkidul sudah diterbitkan Peraturan Daerah Kabupaten Gunungkidul Nomor 23 tahun 2012 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Pada Perda itu sudah ditetapkan bahwa luas lahan pertanian pangan berkelanjutan adalah Ha yang tersebar di beberapa Kecamatan yang memiliki lahan sawah. Adanya Perda tersebut untuk melindungi lahan pertanian agar tidak beralih fungsi ke non pertanian. Selain pertanian usaha masyarakat lainnya di Gunungkidul yang banyak dilakukan masyarakat adalah usaha peternakan. Hal ini dapat dilihat dari populasi ternak di Kabupaten Gunungkidul yang jumlahnya yang hampir separo dari populasi ternak di DIY, maka tidak salah apabila Gunungkidul menyandang predikat sebagai gudang ternak bagi DIY, tetapi populasi ternak besar seperti sapi potong mengalami penurunan sekitar 13 % jika dibandingkan populasi sapi potong ternak tahun 2012, begitu pula populasi ternak kecil seperti ayam buras yang populasinya menurun hampir 16% jika dibandingkan tahun lalu. Predikat sebagai gudang ternak membawa konsekuensi bagi pemerintah dan masyarakat untuk menjaga dan meningkatkan populasi ternak, antara lain meningkatkan pelayanan inseminasi buatan, meningkatkan pelayanan kesehatan hewan, meningkatkan bantuan modal pemeliharaan ternak bagi masyarakat dan meningkatkan pembimbingan manajemen pemeliharaan ternak. E. INDUSTRI Sektor industri memberikan sumbangan 9,63% pada PDRB Kabupaten Gunungkidul tahun Walaupun sumbangan sector industry pengolahan masih di bawah 10% terhadap struktur

118 perekonomian, sektor industry memegang peranan penting karena sebagian besar merupakan industry kecil dan mikro yang berbasis pertanian, kehutanan dan pertambangan. Keberadaaan industri hampir merata di semua kecamatan di Gunungkidul. Potensi yang dimiliki Kabupaten Gunungkidul sangat beragam, industry yang tersebar di wilayah Kabupaten Gunungkidul yang menonjol antara lain kerajinan topeng batik, boneka kayu, fiber glass, tatah sungging, ornament batu alam, batik tulis, perak, akar wangi, tembaga, ukir bambu, dan anyaman bambu. Pada tahun 2013 jumlah perusahaan industry sedang/besar di Kabupaten Gunungkidul tercatat 6 perusahaan, dan industri kecil menengah sebanyak unit dengan jumlah tenaga kerja orang. Industri adalah suatu proses dari input sampai dengan output atau mulai bahan baku sampai dengan bahan jadi yang dikemas sedemikian rupa sehingga menjadi daya tarik tersendiri bagi konsumen. Pada saat terjadinya proses produksi sampai dengan selesainya proses produksi akan menghasilkan beberapa hal antara lain produk (barang yang diinginkan) dan produk lainnya (limbah). Limbah ada yang bisa diolah lagi menjadi produk baru, contoh limbah padat dari mebel berupa potongan kayu kayu yang dapat diolah lagi/dijadikan menjadi mainan anak sehingga akan menjadi nilai tersendiri /bermanfaat, tapi tidak menutup kemungkinan limbah yang lain seperti limbah cair dan padat dapat merugikan bagi lingkungan disekitar area produksi. Adapun industri yang berpotensi mencemari sumber air adalah industri olahan makanan tahu, tempe, industri tepung mokaf, industri penggergajian batu, industri olahan makanan pathilo dan industri batik kain. Rata rata industri diatas dalam pengolahan limbahnya belum maksimal bahkan ada yang sama sekali limbahnya belum diolah, ini disebabkan besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk pengolahan limbah. Sedangkan industri yang berpotensi mencemari udara adalah industri tobong gamping dan industri pande besi, industri ini rata rata sudah memakai cerobong sebagai alat bantu untuk tidak mencemari udara disekitar area produksi hanya saja cerobong yang dibuat ada yang belum sesuai prosedur dikarenakan keterbatasan biaya dan informasi. Apabila dilihat dari tahun ke tahun industri di Kabupaten Gunungkidul terjadi kemajuan dalam hal kesadaran pengolahan limbah dibuktikan semakin bertambahnya izin usaha industri yang didalamnya ada dokumen lingkungan hidup sebagai syarat izin. Berdasarkan hasil laporan pelaksanaan pengelolaan lingkungan dan pemantauan lingkungan tahun 2013 yang dituangkan dalam dokumen UKL-UPL, diperoleh fakta bahwa hampir semua limbah usaha/kegiatan melebihi baku mutu yaitu parameter BOD dan COD kecuali usaha batu ornamen. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini.

119 . No Jenis Industri Tabel 3.5. Jenis Usaha Industri di Gunungkidul Produksi 5 ) Beban Limbah Cair (mg/liter) 1 ) BOD COD TSS Lainnya 2 ) (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) 1 Batu Pajangan / Ornamen m 2 0,14 11,97 79, Batik m ) ) Tempe kg 537,83 378,24 970, Tahu kg 1,59 181, Olahan Makanan kg 153 4) 420 4) - - Total Keterangan : yang berizin TDI, (-) data tidak tersedia 1 ) data tahun ) TDS 3 ) data asumsi 4 ) data ) data produksi tahun 2012 Sumber: Dinperindagkop ESDM Kab. Gunungkidul dan Kapedal Kabupaten Gunungkidul F. PERTAMBANGAN Pertambangan di Kabupaten Gunungkidul terdapat dua hal yaitu pertambangan yang dilakukan oleh Perusahaan (yang dikelola secara profesional/alat yang modern) dan pertambangan rakyat (alat yang masih terbatas) dan kedua pertambangan diatas diawasi olah tim pengawasan baik dari kabupaten maupun propinsi. Tabel 3.6. Luas Areal dan Produksi Pertambangan menurut Jenis Bahan Galian No Nama Perusahaan Jenis Bahan Galian Luas Areal (Ha) Produksi (Ton/Tahun) 1 PT. Selodwipo Kaolin /Felspar 1,3430 Tidak aktif Nuswantoro Batugamping / Bedes Tidak aktif 2 PT. Supersonic Chenical Batugamping / Keprus 0,7891 Tidak aktif Industry 3 CV. Sumber Alam Pratama Batugamping / Kalkarenit 3,0025 Tidak aktif 4 PB. Sutrisno Batugamping / Keprus 1,0570 Tidak aktif 5 Irwan Edhi Kuncoro, ST Batugamping / Keprus 0,4000 Tidak aktif 6 CV. Bukit Batu Indah Batugamping / Bedes 0, ,50 7 UD. Mineral Persada Batugamping / Keprus 2,0497 Tidak aktif 8 PT. Sugih Alam Batugamping / Keprus 1,6500 Tidak aktif

120 9 PT. Anindyamitra Internasional Batugamping / Keprus - Tidak aktif Zeolit - Tidak aktif Kalsit - Tidak aktif 10 PB. Sidomulyo Batugamping / Bedes - Tidak aktif 11 PB. Pulungjaya Batugamping / Bedes - Tidak aktif 12 PB. Gunungmakmur Batugamping / Bedes - Tidak aktif Sumber : Disperindagkop dan ESDM Kabupaten Gunungkidul,2012 Produksi pertambangan yang dilakukan oleh Perusahaan pertambangan maupun Perorangan setelah mendapat ijin usaha pertambangan dari Pemerintah Kabupaten Gunungkidul. Nama perusahaan, luas areal dan produksi pertambangan sebagaimana terlihat dalam diatas. Perusahaan pertambangan terbanyak adalah batu gamping, yang sebagian besar berada di wilayah karst. Di Kabupaten Gunungkidul pada tahun 2012 ada 12 perusahaan tambang tetapi yang aktif hanya satu dikarenakan habis masa berlakunya ijin dan perpanjangan ijin baru masih dalam proses/ditangguhkan karena bersamaan dengan penyusunan RTRW Kabupaten Gunungkidul. Ada empat perusahaan tidak mempunyai areal penambangan karena hanya melakukan pengolahan saja, bahan baku didapat dengan membeli pada pertambangan rakyat, yaitu PT. Anindyamitra Internasional, PB. Sidomulyo, PB. Pulungjaya dan PB. Gunungmakmur. Pertambangan rakyat dilakukan oleh kelompok penambang yang berjumlah 3 10 orang, baik yang berijin maupun tidak berijin. Luas areal pertambangan rakyat yang berijin dibatasi maksimal m² untuk setiap Surat Ijin Pertambangan Rakyat (SIPR). Di Kabupaten Gunungkidul terdapat 5 jenis bahan galian yang diusahakan rakyat, yaitu yaitu batugamping terumbu lunak (keprus) dengan luas areal 8.356,9159 Ha berproduksi 79,335,00 ton/tahun, batugamping terumbu keras (bedhes) dengan luas areal ,8246 Ha yang telah berproduksi 2.952,50 ton/tahun, batugamping berlapis kasar (kalkarenit) dengan luas areal ,7760 Ha yang telah berproduksi 2.217,50 ton/tahun, batupasir tufan dengan luas areal ,7706 Ha yang telah berproduksi 295,66 ton/tahun dan Kaolin dengan luas areal 4.832,307 Ha yang telah berproduksi 796,25 ton/tahun. Sampai dengan tahun 2013 belum ada izin usaha pertambangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Gunungkidul, maka banyak upaya penambangan terus dilakukan dengan berbagai modus antara lain pemerataan lahan untuk perumahan/tempat usaha, usaha penyedia jasa pemerataan lahan, membuka lapangan kerja dan lain sebagainnya. Kondisi ini apabila dibiarkan, maka kerusakan lingkungan yang terjadi semakin tidak terkontrol. Kerusakan lahan yang ditimbulkan

121 adalah timbulnya lubang bekas penambangan yang tidak di reklamasi atau tidak melakukan pengelolaan pasca tambang/reklamasi. Upaya reklamasi pada tahun 2011 ini adalah 2,5 ha di Desa Bedoyo dan 0,8 ha di Desa Kenteng Kecamatan Ponjong, yang dilakukan oleh pihak swasta/pengusaha pertambangan. Disamping itu, dilakukan pula pemeliharaan/penyulaman di areal bekas tambang yang di reklamasi pada tahun 2009 dan 2010 oleh tiga perusahaan pertambangan yaitu PT. Sugih Alam, PT.Supersonic, dan UD.Mineral Persada. Kerusakan lahan akibat pertambangan berdasarkan data dari Disperindagkoptam tahun 2009 seluas m 2, yang menyebar di tiga kecamatan yaitu Ponjong, Wonosari, dan Semanu, dengan kondisi yang masuk dalam kriteria antara rusak dan sedang. Pertambangan tersebut berada di 41 lokasi penambangan, dengan jenis bahan tambang adalah batu gamping keprus, dan sebagian besar merupakan penambangan tanpa izin (Peti). Penentuan kriteria kerusakan lahan tersebut mengacu pada Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 63 Tahun 2003 tentang Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Bagi Usaha dan/atau Kegiatan Penambangan Bahan Galian Golongan C di Wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Tabel 3.7. Luas Kerusakan Lahan Akibat Pertambangan No Kecamatan Luas Lahan Rusak (m 2 ) Kriteria Rusak (Lokasi) Sedang(Lokasi) 1 Ponjong Wonosari Semanu Jumlah Sumber : Disperindgkop dan ESDM Kabupaten Gunungkidul,2009 G. TRANSPORTASI 1. Data Jalan Data panjang jalan dan kondisi jalan disesuaikan dengan data jalan dari Dinas Pekerjaan Umum Kab. Gunungkidul. Panjang dan lebar jalan menurut status di Wilayah Kota / Ibukota Kabupaten untuk 2 (dua) tahun terakhir adalah sebagai berikut : No Tabel 3.8. Panjang Jalan dan Lebar Rata-Rata Jalan menurut Status Jalan Tahun 2012 Tahun 2013 Status Panjang (Km) Lebar rata-rata (m) Panjang (Km) Lebar rata-rata (m) 1 Jalan Nasional 14,8 10,0 14,8 10,0 2 Jalan Propinsi 6.0 9, ,0 3 Jalan Kabupaten 29,0 5,0 29,0 5,0 Jumlah 49, ,8 Sumber :DPU Kabupaten Gunungkidul

122 Panjang (Km) Lebar Jalan (m) Data kondisi panjang dan lebar jalan menurut statusnya di Kabupaten Gunungkidul pada tahun 2013 masih sama dari tahun sebelumnya. Panjang Jalan Nasional adalah 14,8 km dengan lebar jalan rata-rata adalah10 m, panjang Jalan Propinsi adalah 6,0 Km dengan lebar jalan rata-rata adalah 9,0 m, sedangkan Jalan Kabupaten/Kota adalah 29,0 km dengan lebar jalan rata-rata adalah 5,0 m. Data panjang dan lebar jalan di Kabupaten Gunungkidul untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada grafik berikut ini Status Jalan Status Jalan Grafik 3.7 Panjang Jalan dan Lebar Jalan Menurut Status Jalan di Kabupaten Gunungkidul Adapun kondisi jalan menurut statusnya saat ini di Wilayah Kota / Ibukota Kabupaten adalah sebagai berikut. Tabel 3.9. Kondisi Jalan menurut Status Jalan Kondisi No Status Baik Sedang Rusak (Km) (%) (Km) (%) (Km) (%) (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) 1 Jalan Nasional Jalan Propinsi Jalan Kabupaten/Kota Jumlah Dari tabel diatas terlihat kondisi Jalan Nasional seluruhnya dalm kondisi baik 100 %, Jalan Propinsi 80,84 % dalam kondisi baik dan 19,6 % dalam kondisi sedang, dan kondisi Jalan

123 Prosentase (%) Panjang Jalan (km) Kabupaten/Kota 78,62 % dalam kondisi baik sedangkan 21,38 % dalam kondisi sedang. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam gambar berikut. 100,00 90,00 80,00 70,00 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 0,00 Baik Sedang Gambar 3.8. Kondisi Jalan Menurut Status Jalan di Kabupaten Gunungkidul Gambar 3.9. Perbandingan Kondisi Jalan Menurut Status Jalan di Kabupaten Gunungkidul 2. Data Lalulintas Kapasitas (smp/jam) adalah arus maksimum yang stabil dimana kendaraan diharapkan dapat melewati suatu segmen atau titik tertentu pada suatu ruas jalan pada periode waktu tertentu (misal 15 menit, 1 jam, dsb) dengan kondisi geometrik, pola dan komposisi lalu lintas tertentu, dan faktor lingkungan tertentu pula. Kapasitas merupakan dasar untuk perhitungan kemampuan ruas untuk dapat menampung beban lalu lintas yang melewatinya. Ini juga akan menjadi ukuran dasar sisi penawaran (supply side). Pengukuran kinerja ruas Jalan dilakukan dengan mengukur indikator kinerja ruas jalan yaitu perbandingan volume per kapasitas (v/c ratio). Indikator tersebut kemudian di pakai untuk mencari tingkat pelayanan (level of service). Tingkat pelayanan (level of service) adalah ukuran kinerja ruas atau simpang yang dihitung berdasarkan tingkat penggunaan jalan, kecepatan, kepadatan dan hambatan yang terjadi. Kinerja jaringan jalan ruas jalan pada jam sibuk, pada jalan-jalan utama adalah sebagai berikut :

124 Tabel Kinerja Jaringan Jalan Ruas Jalan Utama pada Jam Sibuk Volume No Ruas Fungsi Kapasitas V/C Kecepatan Lalulintas Jalan *) Jalan (kend/jam) Ratio (km/jam) (kend/jam) (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) 1 KH. Agus Salim KS ,51 62,5 2 Birigjend Katamso KS ,53 29,5 MGR. 0,32 44,5 3 Sugiyopranoto KS Veteran KS ,32 40,5 5 Tentara Pelajar KS ,48 40,8 6 Ksatrian KS ,44 45,5 7 Taman Bakti KS ,39 43,5 8 Sumarwi LP ,18 20,5 9 Kol. Sugiyono P ,21 35,5 10 Pemuda KS ,31 43,5 Rata-rata 0,37 40,63 Pada tahun 2011, kendaraan bermotor yang diuji oleh Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika Kabupaten Gunungkidul sebanyak kendaraan (berbahan bakar premium) dan kendaraan (berbahan bakar solar) atau apabila dibandingkan data pada tahun 2010 terjadi penurunan jumlah kendaraan yang diuji sebanyak 404 kendaraan dengan rincian penurunan jumlah kendaraan yang diuji sebanyak 575 kendaraan (bahan bakar premium) dan penambahan jumlah kendaraan sebanyak 171 kendaraan (bahan bakar solar) dibandingkan tahun Jumlah kendaraan yang tidak lolos uji dari tahun ke tahun meningkat berbanding lurus dengan peningkatan jumlah kendaraan. Kendaraan yang paling banyak tidak lolos dari tahun didominasi kendaraan pick up dan truk sedang. Tabel Jumlah kendaraan bermotor wajib uji dan realisasi No Jenis Kendaraan Tahun 2010 (unit) Tahun 2011 (unit) Tahun 2012 (unit) Wajib Uji Realisasi Wajib Uji Realisasi Wajib Uji Realisasi (1) (2) (3) (4) (5) 1 Bus Umum

125 No Jenis Kendaraan Tahun 2010 (unit) Tahun 2011 (unit) Tahun 2012 (unit) Wajib Uji Realisasi Wajib Uji Realisasi Wajib Uji Realisasi (1) (2) (3) (4) (5) *. Ukuran besar *. Ukuran sedang *. Ukuran kecil Bus Bukan Umum *. Ukuran besar *. Ukuran sedang *. Ukuran kecil Mobil Penumpang Umum Taksi Kendaraan roda Pick up Truk sedang Truk berat Kereta gandengan Kereta tempelan Penarik (tractor head) Jumlah Tidak Lolos Uji Sumber: Dishubkominfo Kab. GK Sarana terminal kendaraan penumpang umum untuk Kabupaten Gunungkidul pada tahun 2012, terminal baru tipe A di desa Selang Wonosari sudah dapat digunakan. Sarana pelabuhan laut, sungai dan danau serta pelabuhan udara sampai saat ini tidak ada. Jumlah limbah padat dari sarana transportasi di Kabupaten Gunungkidul sampai saat ini belum ada data. Data yang diisajikan hanya asumsi dan hasil pengamatan di lapangan. No. Tabel Perkiraan Volume Limbah Padat Berdasarkan Sarana Transportasi Nama Tempat Sarana Transportasi Tipe/Jenis/Kl asifikasi Lokasi Luas Kawasan (Ha) Volume Limbah Padat (m3/hari) (1) (2) (3) (4) (5) (6) Darat 1 Air Terminal Penumpang Tipe A Dhaksinarga Wonosari 1 Pelabuhan Perikanan Sadeng A Pelabuhan Kecil Desa Selang, Wonosari, Gunungkidul Desa Songbanyu, Girisubo, Gunungkidul

126 No. Nama Tempat Sarana Transportasi Tipe/Jenis/Kl asifikasi Lokasi Luas Kawasan (Ha) Volume Limbah Padat (m3/hari) (1) (2) (3) (4) (5) (6) Udara 1 Bandara Udara Gading Pusat latihan TNI AU Gading,Playen, Gunungkidul - - Sumber : Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika Kabupaten Gunungkidul, 2013 Pemerintah Daerah dalam hal ini Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika Kabupaten Gunungkidul melalui Unit Pelaksana Teknis Pengujian Kendaraan Bermotor terus berupaya untuk menegakkan aturan yang sudah ditetapkan yaitu sesuai Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 5 Tahun 2006 tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Lama. Tidak hanya berhenti pada kegiatan rutin dalam hal penegakan aturan tetapi juga mensosialisasikan peraturan tersebut pada pihak-pihak yang belum mengetahui peraturan tersebut antara lain melalui kegiatan uji emisi bagi kendaraan dinas milik Pemerintah Daerah yang tidak masuk dalam kategori wajib uji. Kegiatan ini sudah berlangsung selama kurang lebih 2 tahun, hal ini bertujuan agar pihak-pihak yang belum diwajibkan untuk melakukan uji emisi bisa berkontribusi terhadap penurunan tingkat pencemaran udara di Kabupaten Gunungkidul. H. ENERGI Kegiatan energi di Kabupaten Gunungkidul dibagi menjadi tiga hal yaitu kegiatan untuk transportasi, kegiatan untuk industri dan kegiatan untuk rumah tangga. Kegiatan untuk transportasi terdiri dari bio solar, pertamax, premium. Untuk kegiatan industri ini ada yang bersifat subsidi contohnya solar untuk industri kecil dan non subsidi untuk industri besar, sedangkan untuk kegiatan rumah tangga adalah LPG yang bersubsidi. Adapun informasi data penggunaan untuk premium, pertamax dan bio solar tahun 2013 dapat dilihat pada SPBU di wilayah Kabupaten Gunungkidul. Jumlah SPBU di Kabupaten Gunungkidul ada 8 SPBU antara lain : SPBU ledoksari Wonosari, SPBU Tegalsari Siraman, SPBU Baleharjo Wonosari, SPBU Siyono Wetan Playen, SPBU Gading Playen, SPBU Ngipak Karangmojo, SPBU Widoro Kulon Patuk, SPBU Bulurejo Semin. Data yang tersedia sampai dengan bulan November 2013 adalah untuk premium ( ), pertamax ( ), bio solar ( ). Penggunaan Bio solar untuk kegiatan industri di Gunungkidul didominasi kegiatan industry pengolahan batu dan kayu. Industri pengolahan batu dan kayu berkembang pesat di Gunungkidul mengingat sumber bahan baku melimpah. Data tahun 2012 menunjukkan bahwa industry pengolahan batu menggunakan solar 3 juta liter/tahun diikuti usaha pengergajian kayu

127 liter/tahun, kemudian usaha penggilingan padi. Sedangkan perusahaan penggilingan batu sudah mulai menggunakan teknologi listrik dalam mengolah batu, sehingga penggunaan BBM sangat minim, hanya digunakan untuk alat transportasi bahan baku dan bahan jadi. Berdasarkan data Disperindagkop dan ESDM Kabupaten Gunungkidul penggunaan BBM jenis premium lebih banyak digunakan dibandingkan dengan solar untuk konsumsi kendaraan, dilihat dari penjualan BBM di SPBU, jika dilihat dari jenis kendaraan yang banyak digunakan masyarakat diluar kendaraan roda dua dan mobil pribadi, lebih banyak jenis kendaraan berbahan bakar solar didominasi kendaraan truk besar karena Gunungkidul memiliki potensi tambang batu dan kayu. Potensi kelistrikan yang tersedia di Kabupaten Gunungkidul yang disuplai oleh PLN sebesar kwh, disalurkan oleh PLN sebagian besar digunakan oleh rumah tangga sebesar kwh, bisnis kwh, umum kwh dan social kwh. I. PARIWISATA Sektor pariwisata sebagai salah satu sektor unggulan yang diandalkan pemerintah daerah Kabupaten Gunungkidul untuk meningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat serta meningkatkan pendapatan Asli Daerah melalui pemanfaatan potensi sumber daya yang dimiliki. Dalam mendayagunakan pemanfaatan sumber daya alam untuk kepentingan kepariwisataan, sangat diperlukan kerangka dasar perwilayahan daya tarik wisata sesuai dengan rencana keruangan berupa RIPARDA Kabupaten Gunungkidul. Arahan pengembangan dan pembangunan kepariwisataan yang telah diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, dalam pengaturannya ditingkat Kabupaten Gunungkidul telah ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan. Pemanfaatan dan pengelolaan pariwisata di wilayah Kabupaten Gunungkidul sebagai daerah tujuan wisata ditetapkan 6 kawasan strategis pariwisata(ksp), yang didalamnya terdapat keunikan dan keanekaragaman alam, budaya dan buatan sebagai unsur pendukung penyelenggaraan kepariwisataan sebagai bagian dari rencana tata ruang wilayah Kabupaten Gunungkidul. Aksesibilitas menuju daya tarik wisata di Kabupaten Gunungkidul terbagi atas 4 koridor jalur pintu masuk: Koridor I Yogyakarta Patuk Wonosari Baron Kukup Drini Krakal Sundak Pulangsawal (70 Km) Koridor II Yogyakarta Parangrtritis Purwosari - Panggang Trowono/Saptosari_JJLS(Jalur Jalan Lintas Selatan) Baron Kukup Drini Krakal Sundak Pulangsawal (74 Km)

128 Koridor III Solo/Sukoharjo/Klaten - Ngawen Semin Karangmojo Wonosari Baron Kukup Drini Krakal Sundak Pulangsawal (55 Km) Koridor IV Pacitan/Wonogiri/Pracimantoro Girisobo Jerukwudel Sadeng Wedi Ombo Siung Tepus Pulangsawal Sundak Krakal Drini Baron (50 km) Paradigma pembangunan pariwisata yang telah dikembangkan adalah model keberlanjutan dan lebih menekankan pemberdayaan masyarakat (community base development) bahwa pembangunan bidang pariwisata harus melibatkan seluruh potensi yang ada di masyarakat dan di sekitar daya tarik wisata. Pemanfaatan dan pengelolaan pariwisata berkembang pesat pertumbuhannya berikut data daya tarik wisata yang dikelola masyarakat sebagai desa wisata dan wisata petualangan. 1. Desa Wisata Pacarejo terletak di Kecamatan Semanu 7 km arah timur kota Wonosari dengan daya tarik wisata luweng Jomblang dan goa Kalisuci.Aktivitas wisata yang berkembang berupa Cave Tubing Kalisuci yaitu perpaduan antara rafting dan caving dengan menggunakan ban dalam,wisatawan menghanyutkan diri mengikuti aliran sungai bawah tanah menembus kegelapan goa yang menawarkan keindahan dan sensasi petualangan dalam perut bumi.kunjungan wisatawan pada tahun 2012 berjumlah orang dan pada tahun 2013 sampai dengan bulan oktober berjumlah wisatawan. 2. Desa Wisata Bejiharjo terletak di Kecamatan Karangmojo, 7 km arah timur laut kota Wonosari Ibukota Kabupaten Gunungkidul.Desa ini memiliki daya tarik wisata Goa Pindul dengan aktivitas wisata berupa penelusuran sungai bawah tanah menggunakan ban dalam (cave tubing) dan river tubing yaitu penelusuran sungai permukaan menggunakan ban dalam di sungai Oyo.Kunjungan wisatawan pada tahun 2012 berjumlah orang dan pada tahun 2013 sampai dengan bulan oktober berjumlah wisatawan 3. Desa Wisata Bleberan terletak di Kecamatan Playen 8 km arah barat kota Wonosari.dengan daya tarik wisata goa rancang kencono,penelusuran sungai Oyo (rafting) dan air terjun Srigethuk. Wisatawan yang berkunjung pada tahun 2012 berjumlah orang dan pada tahun 2013 sampai bulan oktober berjumlah wisatawan. 4. Desa Wisata Nglanggeran terletak di Kecamatan Patuk 25 km sebelum kota Wonosari dari arah Yogyakarta.Desa ini menawarkan daya tarik wisata petualangan berupa panjat tebing dan jelajah pendakian Gunung Api Purba Nglanggeran.Kunjungan wisatawan pada tahun 2012 berjumlah orang dan pada tahun 2013 sampai dengan bulan oktober 2013 berjumlah wisatawan. 5. Desa Wisata Mojo terletak di desa Ngeposari kecamatan Semanu 10 km arah timur kota Wonosari dengan daya tarik wisata goa Jlamprong,goa Gesing dan goa Sinden serta terdapat sentra industri kerajinan ukir batu ornament.tingkat kunjungan wisatawan masih relatif kecil sekitar 175 orang

129 pada tahun 2012 sedangkan pada tahun 2013 ada peningkatan kunjungan wisatawan berjumlah 205 orang. 6. Desa Wisata Jelok terletak di desa Beji kecamatan Patuk 15 km sebelum kota Wonosari dari arah Yogyakarta.Daya tarik wisata pedesaan berbasis adat istiadat dan kehidupan sehari hari.wisatawan yang berkunjung pada tahun 2012 berjumlah orang dan pada tahun 2013 berjumlah orang. Daya tarik wisata kawasan pantai yang terbentang 70 km dari arah barat ke timur terdapat di kawasan karst Gunungsewu. Objek dan daya tarik wisata pantai yang berkembang dan dikelola oleh Dinas Kebudayaan dan Kepariwisataan Kabupaten Gunungkidul sebagai daerah tujuan wisata adalah sebagai berikut: No Tebel 3.13.Data jumlah kunjungan objek wisata pantai di masing-masing pos retribusi: Kawasan Objek Wisata Pantai Lokasi Desa Pos Retribusi Jumlah Wisatawan * 1. Ngrenehan, Ngobaran, Nguyahan 2. Baron, Kukup, Sepanjang. Drini Krakal Slili, Sundak Pulangsawal 3. Baron, Kukup, Sepanjang. Drini Krakal Slili, Sundak Pulangsawal 4. Slili, Sundak Pulangsawal Krakal Drini Baron, Kukup, Sepanjang. 5. Pulangsawal Slili, Sundak Desa Kanigoro Kec. Saptosari Desa Kemadang Kec Tanjungsari Desa Banjarejo Kec. Tanjungsari, Desa Ngestirejo Kec. Tanjungsari Desa Sidoharjo Kec. Tepus Desa Tepus Kec. Tepus Desa Kemadang Kec Tanjungsari Desa Banjarejo Kec. Tanjungsari, Desa Ngestirejo Kec. Tanjungsari Desa Sidoharjo Kec. Tepus Desa Tepus Kec. Tepus Desa Sidoharjo Kec. Tepus Desa Tepus Kec. Tepus Desa Ngestirejo Kec. Tanjungsari Desa Banjarejo Kec. Tanjungsari, Desa Kemadang Kec Tanjungsari Desa Tepus Kec. Tepus Desa Sidoharjo Kec. Ngrenehan J J L S Baron Pulegundes Tepus

130 Krakal Tepus Desa Ngestirejo Kec. Tanjungsari Drini Desa Banjarejo Kec. Tanjungsari, Baron, Kukup, Sepanjang. Desa Kemadang Kec Tanjungsari 6. Siung Desa Purwodadi Kec. Tepus 7. Wediombo Desa Jepitu, Kec Girisubo 8. Sadeng Desa Pucung Kec. Girisubo *Data kunjungan sampai bulan Oktober 2013 Siung Wediombo Sadeng Meningkatnya minat dan motivasi berkunjung wisatawan ke destinasi wisata Kabupaten Gunungkidul disebabkan adanya intensifikasi dan diversifikasi produk wisata yang ditawarkan.promosi dan penyebaran informasi produk wisata baru yang lebih menarik serta meningkatnya kemudahan aksesibilitas telah meningkatkan kunjungan wisatawan,terutama objek dan daya tarik wisata kawasan pantai Baron-Pulangsawal yaitu 8 pantai yang terbentang dalam satu kawasan sepanjang 8 km. Perkembangan kepariwisataan di Kabupaten Gunungkidul sebagian besar masuk wilayah Zona Pegunungan Sewu yang memiliki luas sekitar Ha, sebagai bentukan alam kawasan karts yang memiliki daya tarik berupa keindahan,keunikan dan kelangkaan alamnya. Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono telah mencanangkan wilayah Geologi Gunungsewu dan Gombong sebagai kawasan Ekokarst pada tanggal 6 Desember 2004 di Kabupaten Gunungkidul. Pemerintah Daerah dalam mendayagunakan pemanfaatan sumberdaya alam untuk kepentingan pariwisata, sejalan dengan upaya pendayagunaan alam di kawasan karst terkait dengan sumber alternatif penghasilan masyarakat dan penerimaan pendapatan daerah. Sehubungan dengan hal tersebut telah ditetapkan 10 Geosite diwilayah Kabupaten Gunungkidul sebagai pendukung jaringan Geopark Nasional Gunungsewu sebagai berikut: 1. Gunung Nglanggeran 2. Endapan Laut Miosen Awal Sambipitu 3. Goa Pindul 4. Kompleks Kalisuci 5. Luweng Jomblang 6. Pantai Siung-Wediombo 7. Lembah Kering Purba Sadeng 8. Air Terjun Bleberan 9. Goa Jlamprong 10. Luweng Cokro

131 Trend kunjungan wisata semakin meningkat seiring dengan berkembangnya minat wisatawan pada produk- produk yang khusus dan spesifik. Daya tarik wisata yang unik dan baru dikawasan karst Gunungsewu menjadikan semangat masyarakat untuk mengembangkan dan mengelola lokasi- lokasi baru daya tarik wisata yang lebih menantang dan yang lebih berkualitas.nilai tantangan atau petualangan dari kunjungan wisata menjadi motivasi wisatawan dalam melakukan kunjungan ke destinasi wisata Kabupaten Gunungkidul Wisatawan yang berkunjung di Kabupaten Gunungkidul lebih banyak wisatawan Nusantara/Domestik.Kunjungan terbesar diwilayah daya tarik wisata pantai terutama kawasan pantai Baron,Kukup dan Pulangsawal.Penyebaran kunjungan wisatawan yang tidak merata di objek wisata unggulan menyebabkan terjadinya kemacetan kendaraan terutama pada saat liburan.penumpukan kendaraan wisatawan dipos pintu masuk objek wisata menjadi kendala dalam memberikan pelayanan yang nyaman,hal ini diakibatkan sempitnya badan jalan dan banyaknya tanjakan dan turunan. Pengelolaan kebersihan lingkungan sebagai upaya memberikan pelayanan wisatawan dalam menikmati kunjungan objek wisata yang aman,bersih,sejuk dan nyamandilakukan pemerintah daerah bersama masyarakat dalam wadah kelompok sadar wisata.petugas kebersihan yang ditempatkan dimasing masing kawasan objek wisata mengumpulkan sampah sebelum pengunjung/wisatawan datang dibantu masyarakat dan pedagang.untuk ditampung di TPS atau langsung diangkut menggunakan armada L300 ketempat pembuangan sampah Pokwarak desa Kemadang Kecamatan Tanjungsari,sedangkan untuk proses pengangkutan sampah di kawasan objek wisata pantai Kukup dilakukan oleh petugas kebersihan Dinas Pekerjaan Umum menggunakan Dump Truck Sampah menuju TPA Baleharjo Wonosari. Daerah tujuan wisata Kabupaten Gunungkidul merupakan pendukung kepariwisataan di Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai tujuan wisata utama setelah Bali. Peningkatan wisatawan yang berkunjung di Kabupaten Gunungkidul didukung dengan peningkatan kemudahan aksesibilitas pencapaian menuju objek wisata, sehingga dari pusat kota Yogyakarta dapat ditempuhkurang dari 2-3 jam waktu perjalanan. Kebutuhan kamar hotel atau penginapan didasarkan atas konsep pengembangan pariwisata dan rencana target jumlah kunjungan wisatawan.masih sangat terbatas terutama hotel atau penginapan yang memiliki daya tampung wisatawan yang bersifat massal atau rombongan.asosiasi biro perjalanan yang membawa rombongan wisatawan menggunakan moda transportasi bus pariwisata akan kesulitan mendapatkan fasilitas hotel/penginapan sehingga untuk bermalam selama ini terkonsentrasi di kota Yogyakarta.

132 Sarana kamar hotel/penginapan yang ada di Kabupaten Gunungkidul masih dalam kelompok hotel melati dengan jumlah kamar rata-rata dibawah 35 kamar. Jumlah hotel/penginapan yang terdata memiliki ijin usaha berjumlah 30 hotel dengan jumlah kamar 389 buah. Penyebaran usaha akomodasi hotel/penginapan masih terkonsentrasi di Wonosari Ibukota Kabupaten Gunungkidul dan dikawasan wisata pantai Baron, Kukup, Krakal, dan Pulangsawal serta dikawasan Girijati Kecamatan Purwosari berbatasan dengan kawasan pantai Parangtritis Kabupaten Bantul. Tingkat hunian kamar hotel rata rata masih dibawah 0,4 atau 40% karena kunjungan wisatawan di destinasi wisata Kabupaten Gunungkidul rata rata kurang dari satu hari, sehingga lama tinggal wisatawan (Length of Stay/LoS) masih sangat rendah. J. LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN (B3) Limbah yang termasuk B3 antara lain adalah bahan baku yang berbahaya dan beracun, yang tidak digunakan lagi karena rusak, sisa kemasan, tumpahan, sisa proses dan oli bekas yang memerlukan penanganan dan pengolahan khusus. Limbah B3 umumnya dihasilkan oleh industri migas, industri kimia, laboratorium kimia, laboratorium kesehatan, aktivitas bengkel serta aktivitas lain yang memerlukan bahan B3. Berdasarkan Lampiran Tabel 2 Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) di Kabupaten Gunungkidul adalah kegiatan atau usaha : 1. Penyimpanan/pengemasan Pestisida Penyimpanan pestisida dilakukan oleh toko-toko yang menjual bahan pertanian, dengan jumlah sekitar 169 (data tahun 2008). Usaha ini banyak terdapat di Kecamatan Girisubo dan Purwosari masing-masing 24 dan disusul kecamatan Panggang terdapat 19 toko. Kemudian Kecamatan karangmojo 15 toko. Pestisida tersebut dijual umumnya dengan kemasan botol atau plastik yang sudah dipacking dari pabrik. 2. Sarana Pelayanan Kesehatan Sarana pelayanan kesehatan baik negeri maupun swasta di Gunungkidul mencapai 43 usaha. Kegiatan ini menghasilkan limbah B3, berasal dari laboratorium, limbah cair dan padat medis, dan limbah rontgen. Limbah padat medis sejak tahun 2013 sudah tidak lagi dilakukan pembakaran dengan incinerator di Rumah Sakit Wonosari dan puskesmas mengingat incenerator yang dioperasikan belum berizin dan hasilnya belum sesuai stándar, maka dilakukan kerjasama dengan pihak ketiga (PT Arah atau PT. Medivest).

133 3. Laboratorium Laboratorium yang ada di Gunungkidul, selain dari pelayanan kesehatan dan atau laboratorium klinik adalah sekolah, Lembaga Penelitian/LIPI. Pada tahun 2013 telah dilakukan lomba/evaluasi pengelolaan Laboratorium tingkat SMA, Kabupaten Gunungkidul mengusung SMAN I Panggang maju tingkat DIY dan memperoleh juara Fotocopy Usaha fotocopy yang ada di Gunungkidul berjumlah sekitar 91 usaha, ada 9 usaha fotocopy di kecamatan Ponjong atau terbanyak dibanding kecamatan lainnya. Limbah B3 yang dihasilkan berasal dari toner-toner bekas. 5. Bengkel Usaha bengkel kendaraan roda dua atau empat di Gunungkidul, hampir tersebar merata di semua kecamatan. Limbah B3 yang dihasilkan adalah oli bekas dan aki bekas. Untuk usaha karoseri limbah B3 berupa cat bekas, teer dan bekas dempul. Kapedal Kabupaten Gunungkidul mulai tahun 2008 telah melakukan inventarisasi limbah B3, kemudian telah dilakukan pembinaan di sekolah sekolah yang memiliki laboratorium dan pembinaan penggunaan bahan ramah lingkungan di rumah tangga guna meminimalisir B3 yang dihasilkan dari kegiatan rumah tangga. Bagi usaha wajib memiliki dokumen lingkungan dan dilakukan pembinaan serta diwajibkan mengelola limbahnya dengan baik dan benar. Selama tahun 2013 belum ada izin yang dikeluarkan mengenai penyimpanan limbah B3 di Gunungkidul, dan belum memiliki peraturan daerah yang mengatur penyimpanan limbah B3. Guna memberikan pemahaman pada masyarakat akan limbah B3 terutama di lingkungan Rumah tangga maka Kapedal melaksanakan sarasehan dengan sasaran ibu-ibu PKK terutama dalam Kota Wonosari mengenai penggunaan vahan ramah lingkungan, dengan harapan melalui peningkatan pengetahuan keluarga akan bahaya limbah B3 yang digunakan di rumah tangga, maka pemilihan atau penggunaan bahan yang berbahaya di dalam rumah tangga dapat dikurangi.

134 BAB IV UPAYA PENGELOLAAN LINGKUNGAN A. Rahabilitasi Lingkungan Kondisi lingkungan Kabupaten Gunungkidul secara umum masih dalam kondisi cukup baik, artinya untuk kualitas air, udara, laut dan tanah belum mengalami pencemaran yang berat. Indikatornya adalah sebagian besar hasil pemeriksaan komponen lingkungan tersebut belum melebihi baku mutu. Tetapi kuantitas sumberdaya alam yang dimiliki seperti lahan, hutan dan air sudah mengalami kerusakan, seperti kerusakan sumberdaya air, kerusakan lahan akibat pertambangan dan lahan kritis sudah cukup mengkhawatirkan, karena kecenderungan meningkat terus seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan masyarakat. Meskipun demikian upaya pengendalian kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup harus terus dilakukan guna mencegah kerusakan lingkungan yang lebih besar atau bencana lingkungan. Mulai dari penghijauan telaga merupakan salah satu upaya untuk melestarikan fungsi telaga, yaitu sebagai penyimpan air hujan di permukaan tanah pada lokasi cekungan. Dengan konsep penghijauan yang tepat maka akan diperoleh kawasan tangkapan air hujan yang cukup, sehingga dapat menambah pasokan air dalam telaga. Dengan penaungan yang cukup disekitar telaga maka proses evaporasi akan berkurang sehingga laju berkurangnya volume telaga dapat dikendalikan. Penggunaan jenis tanaman yang tepat, seperti gayam, akarnya mampu untuk menjernihkan air telaga. Kapedal Kabupaten Gunungkidul pada tahun 2013 melaksanakan penghijauan telaga di 5 lokasi, yaitu telaga Ngrejek, Gombang, Ponjong, telaga Dorogayung, Pacarejo, Semanu, telaga Mendak, Pacarejo, Semanu, telaga Banteng, Ngricik, Melikan, Rongkop, telaga Dawung, Melikan, Rongkop. Adapun jenis bibit dan pendistribusiannya dapat dilihat pada table berikut ini. Tabel 4. 1 Jenis Tanaman Penghijauan Telaga menurut lokasi telaga No Jenis Lokasi Telaga Banteng Dawung Ngrejek Dorogayung Mendak 1 Munggur Ringin Bungur Kemiri Gayam Klumprit Huru Puspa Jati Cemara Aren Rosamala IV-1

135 13 Bambu Sengon Salomon 15 Kelapa Bodi Asem Nyamplung Pule Nangka Kedondong Mangga Sukun Sirsak Pete Jeruk Bali Rambutan Kelengkeng Duwet Duren Jambu Air Jambu Klutuk 33 Jambu Mete Srikoyo Jumlah Sumber : Kapedal Kabupaten Gunungkidul,2013 Dalam rangkaian penghijauan tersebut juga diserahkan pupuk organik yang jumlahnya kg dan didistribusikan sesuai jumlah bibit yang diterima di masing-masing lokasi. Kegiatan penghijauan telaga ini dimaksudkan untuk menambah tutupan vegetasi, mempertahankan daerah tangkapan air, mengkonservasi sumber-sumber air dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam upaya perlindungan dan konservasi dumber daya alam. Gamar 4.1.Bibit yang sudah tertanam Gambar 4.2.Penghitungan bibit yang didistribusikan IV-2

136 Gambar 4.3. Pembuatan lubang tanam Gambar 4.4.Pembuatan lubang tanam Lahan kritis yang terjadi di wilayah Gunungkidul disebabkan secara alami jenis tanah terdiri dari bebatuan (batu bertanah), erosi dan sedimentasi, minimnya vegetasi penutupan lahan dan perubahan penutupan lahan/alih fungsi lahan. Luas lahan kritis tahun 2013 mencapai Ha, tersebar di berbagai wilayah, jika dibandingkan data tahun lalu telah mengalami penurunan hampir 50%. Upaya rehabilitasi lahan kritis tersebut dapat dilakukan secara simple teknis dan vegetatif. Penanganan secara vegetatif dengan reboisasi dan penghijauan. Sasaran lokasi reboisasi adalah lahan hutan negara, sedangkan penghijauan adalah hutan non negara (rakyat dan hutan tanaman rakyat). Kegiatan rahabilitasi lahan kritis yang dilaksanakan oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Gunungkidul adalah seluas 595 Ha dengan jumlah tanaman yang ditanam mencapai batang. Upaya penghijuan lainnya adalah penghijauan wilayah pantai sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan wilayah pantai yang sejuk, indah, dan nyaman maka dilakukan kegiatan penghijauan pantai. Destinasi wisata di wilayah pantai Kabupaten Gunungkidul menunjukkan peningkatan yang luar biasa. Hal ini apabila tidak diikuti dengan pengelolaan lingkungan yang baik, maka lambat laun kunjungan akan menurun. Pengelolaan lingkungan wilayah pantai yang segera mendapatkan perhatian adalah penambahan vegetasi untuk keteduhan dan pengelolaan sampah. Untuk keteduhan belum seluruhnya pantai di Gunungkidul hijau. Hal ini diakibatkan rendahnya daya tumbuh bibit di wilayah pantai. Wilayah pantai di Gunungkidul uap air garamnya sangat tinggi sehingga mengganggu pertumbuhan bibit. Bibit tertentu perlu ternaungi oleh tanaman pioner yang tahan terhadap uap air laut, seperti pandan dan kangkung laut. Di wilayah pantai Sepanjang dengan panjang pantai hampir m telah terdapat tanaman pandan. Namun tanaman pandan tersebut belum bisa memberikan keteduhan secara maksimal sehingga diperlukan penanaman penghijauan berupa cemara laut. Cemara laut dengan tanaman pelindung pandan mampu tumbuh dengan baik. Lewat Dana DAK tahun 2013 dialokasi penghijauan pantai dengan tanaman cemara udang sebanyak 400 batang, seluas 0,5 ha. Untuk mendukung penanaman juga diberikan pupuk organik sebanyak 800 kg atau 2 kg/bibit. Penanaman dilakukan oleh kelompok sadar wisata dengan gerakan bersama. Kuantitas sumberdaya air di wilayah manapun mengalami penurunan, hal in ditandai dengan semakin banyaknya daerah yang mengalami bencana kekeringan. Sumber air yang kering di Gunungkidul umumnya berupa sumur, mata air, sungai, dan telaga, sedangkan sungai bawah IV-3

137 tanah relative belum mengalami kekeringan, karena belum dieksploitasi secara berlebihan, mengingat pengambilannya sangat dalam dan membutuhkan teknologi yang canggih. PDAM Kabupaten Gunungkidul pada tahun 2007 hanya mampu memenuhi kebutuhan air 43,8 % penduduk. Dari perhitungan neraca sumberdaya air tahun 2007, menunjukkan angka yang surplus air, jika air tersebut hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan domestik. Ternyata dari kajian tersebut sumber air yang terbesar adalah sungai bawah tanah yang belum dieksplotasi secara maksimal, yang mengalami kesulitan dalam pengambilannya. Disamping itu kondisi geografis yang bergunung-gunung juga menyulitkan dalam distribusi air. Perbaikan sumberdaya air yang ada di Gunungkidul pada tahun 2013, mengingat Gunungkidul merupakan daerah rawan kekeringan, yaitu dengan melakukan upaya konservasi, antara lain penghijauan di sekitar telaga, dan sumber air, pembangunan taman hijau serta pembangunan sumur resapan air hujan. Sumur resapan ini juga berfungsi sebagai pengganti daerah resapan air yang sudah berubah fungsi menjadi bangunan sehingga kedap air. Sumur resapan ini hanya boleh diisi dengan air hujan atau air bersih misalnya bekas air wudlhu dan tidak diperkenankan diisi dengan air limbah misalnya dari kamar mandi atau dapur. Pembangunan sumur resapan tahun 2013 ditargetkan sebanyak 31 unit dan tereralisasi sebanyak 33 unit. Peningkatan ini karena adanya tambah kurang pekerjaan seperti di SMP 1 Patuk yang sebelumnya direncanakan 2 unit menjadi 3 unit dan di Desa Nglegi yang sebelumnya direncanakan 8 unit terealisasi 9 unit. Gambar 4.5. Monitoring Proses pembangunan sumur resapan di Balai Desa Patuk Gambar 4.6. Monitoring proses pembangunan sumur resapan di Sanggar Budaya Tirtomoyo, Karangrejek Gambar 4.7. Sumur Resapan di SD Karangrejek I Gambar 4.8. Sumur Resapan di SMPN 2 Patuk IV-4

138 Taman hijau merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi sebagai amanat dari undangundang. Dibangunnya taman hijau mempunyai beberapa fungsi yaitu sebagai fungsi estetika/keindahan, fungsi penyerap karbon, berfungsi sebagai kawasan resapan air hujan, berfungsi sebagai kawasan sosial, dan berfungsi sebagai wahana edukatif. Taman hijau di Kabupaten Gunungkidul dibangun di Gapura Pintu Masuk Kabupaten Gunungkidul di Patuk. Luas m2. Pada Tahun 2013 dibangun Taman Hijau pada Gapura sisi timur. Sedangkan untuk sisi barat direncanakan pada tahun Untuk mengoptimalkan pemanfaatan Taman Hijau maka dibuat 2 unit gasebo dan tempat parkir. Hal ini perlu diperhatikan karena untuk memenuhi fungsi sosial dan fungsi estetika. Sedangkan untuk menampung sampah disediakan bak sampah terpilah Gambar 4.9. Pembangunan Taman Hijau di Pintu Gerbang Kabupaten Gunungkidul Gambar Pembangunan Taman Hijau di Pintu Gerbang Kabupaten Gunungkidul Selain pembangunan taman di Pintu Masuk Kabupaten Gunungkidul, pembangunan taman hijau di pinggir sungai ini dalam program kali Bersih dan sebagai bagian untuk mendukung kegiatan Adipura, oleh karena itu ditempatkan pada titik pemantauan Adipura. Adapun lokasi berada pada Desa Siraman Kecamatan Wonosari Gunungkidul. Pembangunan Taman di pinggir kali ini telah dilaksanakan sejak tahun 2012 dan terkena banjir, kemudian dilanjutkan pata tahun 2013 ini dengan pembangunan talud. Target yang dicapai pembangunan taman di pinggir kali adalah adanya taman hijau yang dapat digunakan untuk memperindah kawasan dipinggir sungai Siraman yang semula hanya dijadikan tempat pembuangan sampah oleh warga sekitar, selain itu juga dapat dijadikan sebagai kawasan bermain bagi anak anak. Dari sisi kualitas air bersih yang dikonsumsi masyarakat bersumber dari PDAM Tirta Handayani kurang baik, baru ada 5 Instalasi Pengolahan Air (IPA), 2 diantaranya belum beroperasi. Yaitu Seropan yang mengcover Semanu, Ponjong, Karangmojo, Semin dan sebagian Rongkop. Tanjungsari mengcover Panggang, Paliyan, Saptosari dan sebagian Tepus. Gading yang mengcover Playen dan Wonosari dan Gedangsari yang mengcover satu kecamatan itu sendiri. Karena kondisi air yang diambil adalah air sungai maka wajar kalau musim hujan menjadi keruh. Jadi PDAM harus lebih meningkatkan fasilitas IPA agar bisa memberikan kualitas air yang jernih di segala musim. IV-5

139 Upaya perbaikan kualitas air yang dilakukan selama ini dengan pembangunan IPAL komunal pada sumber pencemar. Pada tahun 2013 dilakukan pembangunan IPAL Komunal limbah domestik rumah tangga program Sanimas di Dusun Kepek I Desa Kepek dan Desa Siraman, Pembangunan IPAL di Ponpes Al Hikmah Gubug Rubuh Playen, Ponpes Al Hadid Karangmojo dan Panti Asuhan Santo Thomas Ngawen Kabupaten Gunungkidul. Pembangunan IPAL Komunal ini sebagai sarana pengendalian pencemaran dan polusi yang berasal dari limbah domestik yang dalam hal ini limbah dari kamar mandi. Sehingga pencemaran air akibat limbah dari permukiman dapat diminimalisasi, meskipun sebenarnya daya dukung lingkungan masih mampu menampung pencemaran yang terjadi. Pembangunan Teknologi Biogas telah dilaksanakan sejak lama, sebagai bagian dari pengendalian pencemaran dan polusi yang berasal dari limbah kotoran ternak. Pengolahan ini bertujuan untuk mengubah kotoran ternak menjadi biogas yang dapat dimanfaatkan oleh pemilik ternak itu sendiri. Dengan dimanfaatkannya gas yang dihasilkan oleh kotoran ternak maka sekaligus dapat mengurangi efek gas rumah kaca yang berasal dari gas metan. Pada tahun 2013 telah dibangun 2 unit Teknologi Bio gas di Gading dan Logandeng. Guna mendukung pengelolaan sampah mandiri di Kabupaten Gunungkidul perlu adanya bantuan sarana-prasarana untuk kegiatan pengelolaan sampah mandiri, maka Kapedal Kabupaten Gunungkidul pada tahun 2013 mengadakan sarana dan prasarana pengelolaan sampah, yaitu : 1. Pengadaan Tong Sampah Terpilah sejumlah 152 set, tiap set terdiri dari 3 (tiga) buah tong volume 65 liter berbahan HDPE dan diberi tulisan sesuai tujuan pemilahan dan identitas ORGANIK DAK KAPEDAL GK 2013, KERTAS DAK KAPEDAL GK 2013 dan PLASTIK DAK KAPEDAL GK 2013, masing-masing tong sampah dilengkapi penutup. Pengadaan tersebut dimaksudkan untuk mendukung kelompok pengelola sampah mandiri tingkat padukuhan di dalam dan sekitar kota wonosari. 2. Pengadaan Gerobak Sampah sejumlah 7 (tujuh) unit dimaksudkan untuk mendukung kelompok pengelola sampah mandiri yang mulai terbentuk. 3. Pengadaan Alat Pemilah Sampah sejumlah 105 unit, tiap unit terdiri dari 2 (dua) buah tong sampah volume 45 liter berbahan fiberglass dan diberi tulisan sesuai tujuan pemilahan dan identitas ORGANIK DAK KAPEDAL GK 2013 dan NONORGANIK DAK KAPEDAL GK 2013, masing-masing tong sampah dilengkapi penutup. Kemudian tong sampah tersebut dikaitkan pada tiang dudukan yang terbuat dari besi sehingga siap dipancangkan/ditanam pada lokasi penempatan. Tempat sampah ini dipasang tersebar di titik pantau adipura, guna mendukung program Adipura. 4. Pengadaan 1 (satu) unit kendaraan roda tiga pengangkut sampah, dimaksudkan untuk mendukung kelompok pengelola sampah mandiri yaitu Amrih Lestari yang akan memperluas jaringan layanan sampah di 4 pedukuhan Kepek di Kota Wonosari. 5. Pengadaan 5 (lima) unit Container sampah volume 6 m 3, setiap unitnya tersekat menjadi dua sebagai pemilah dengan tulisan sesuai tujuan pemilahan dan identitas ORGANIK DAK KAPEDAL GK 2013 dan NONORGANIK DAK KAPEDAL GK Pengadaan container ini bertujuan untuk mendukung kelompok pengelola sampah/masyarakat/pokdarwis pada kawasan wisata pantai selatan Kab. Gunungkidul, yaitu Kukup, Krakal, Drini, Sundak, dan Sepanjang. IV-6

140 B. AMDAL Aktivitas pembangunan yang dilakukan dalam berbagai bentuk usaha dan/atau kegiatan pada dasarnya akan menimbulkan dampak terhadap lingkungan. Dengan diterapkanya prinsip berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dalam proses pelaksanaan pembangunan, dampak terhadap lingkungan yang diakibatkan oleh berbagai aktivitas pembangunan tersebut dianalisis sejak awal perencanaannya, sehingga langkah pengendalian dampak negative dan pengembangan dampak positif dapat disiapkan sedini mungkin. Perangkat atau instrumen yang dapat digunakan untuk melakukan hal tersebut adalah Amdal dan UKL-UPL. Pasal 22 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup menetapakan bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki Amdal. Amdal tidak hanya mencakup kajian terhadap aspek biogeofisik dan kimia saja, tetapi juga aspek social ekonomi, social budaya, dan kesehatan masyarakat. Sedangkan untuk setiap usaha dan/ atau kegiatan yang tidak berdampak penting, sesuai dengan ketentuan pasal 34 Undangundang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup diwajibkan untuk memiliki UKL-UPL. Amdal dan UKL-UPL merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan Izin Lingkungan. Tujuan diterbitkannya Izin Lingkungan antara lain untuk memberikan perlindungan terhadap lingkungan hidup yang lestari dan berkelanjutan, meningkatkan upaya pengendalian usaha dan/atau kegiatan yang berdampak negative pada lingkungan hidup, memberikan kejelasan prosedur, mekanisme dan koordinasi antar instansi dalam penyelenggaraan perizinan untuk usaha dan/atau kegiatan, dan memberikan kepastian hokum dalam usaha dan/atau kegaiatan Sejak ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan tanggal 23 Februari 2012, belum semua daerah mengimplementasikan izin lingkungan termasuk Kabupaten Gunungkidul mengingat belum ada peraturan menteri mengenai bentuk dan format baku sebagai tindak lanjut peraturan pemerintah ini. Izin Lingkungan identik dengan Izin gangguan, sehingga memberikan kesan tumpang tindih aturan. Adanya izin lingkungan ini menambah panjang birokrasi perizinan di daerah, karena membutuhkan waktu untuk mengumumkan kepada masyarakat melalui media, dan belum adanya pelimpahan wewenang pemberian izin lingkungan dari Bupati kepada Kepala Instansi Lingkungan Hidup di daerah. Disamping itu tindak lanjut dikeluarkanya Izin lingkungan yaitu Izin PPLH yang harus diwadahi dalam Peraturan Daerah, menimbulkan kebuntuan hukum dalam pelaksanaan izin PPLH bagi daerah yang belum memilik perda yang mengatur Izin PPLH. Kapedal Kabupaten sejak tahun 2011 mengampu pemberian rekomendai Izin gangguan, berdasarkan Peraturan daerah Kabupaten Gunungkidul Nomor 13 tahun Salah satu persyaratan untuk mendapatkan Izin gangguan adalah dokumen lingkungan hidup, sehingga semua usaha/kegiatan yang akan mendapatkan izin gangguan wajib menyusun AMDAL/UKl- UPL/SPPL. Selama tahun 2013 ada sekitar 628 kegiatan/usaha yang mengajukan izin gangguan, IV-7

141 kegiatan/usaha yang mendapatkan kelayakan lingkungan hidup tidak ada, rekomendasi UKL-UPL sekitar 30, rekomendasi SPPL sekitar 600 usaha/kegiatan. Usaha yang mendominasi rekomendasi UKl-UPL pada tahun 2013 adalah jasa pelayanan kesehatan ada 12 Rumah sakit dan klinik, sebagaian besar perubahan status dari balai pengobatan ke klinik atau klinik menjadi rumah sakit atau perluasan gedung usaha. Kabupaten Gunungkidul belum memiliki Komisi Penilai Amdal sehingga masih dibantu Komisi Amdal DIY dalam penilaian Amdal. Dibandingkan tahun 2012 usaha/kegiatan yang mendapatkan rekomendasi UKL-UPL sekitar 50 atau mengalami penurunan. Sedangkan yang mendaptkan rekomendasi SPPL meningkat dibanding tahun 2012 yang hanya sekitar 481. Kewajiban pemrakarsa setelah menyusun dokumen lingkungan tersebut adalah membuat laporan secara rutin. Laporan yang disusun mengacu pada Keputusan Menteri LH Nomor 45 Tahun Pada tahun 2013 hanya ada 9 usaha/kegiatan yang taat melaporkan kegiatannya yang memiliki dokumen UKL/UPL, DPPL dan AMDAL yaitu : RS Nurohmah, PT. Sugih Alamnugraha, RS Pelita Husada, PT. Janu Putra Sejahtera breeding, Tambak udang Anugrah Alam, RSUD Wonosari, Super Sonic Chemical industry, Klinik Bakti Husada dan Klinik Leonisa. Sedangkan dari usaha yang memiliki dokumen SPPL belum ada satupun yang melaporkan kewajibannya di bidang lingkungan. Berdasarkan hasil pengawasan yang dilakukan Kapedal Kabupaten Gunungkidul bulan oktober sampai November 2013, dari 8 lokasi yang diawasi ada 4 usaha yang taat membuat laporan 2 dari sector kesehatan dan 2 dari sector peternakan, yaitu RS Nurohmah, RS Pelita Husada, PT. Malindo Feed Mill, Union Perdana Semesta. Sedangkan UPT Puskesmas Semin I selaku penyelenggara pelayanan kesehatan milik pemerintah belum memiliki dokumen lingkungan. Ketidaktaatan dalam pengelolaan lingkungan disebabkan oleh ketidaksadaran pemrakarsa karena adanya pertimbangan ekonomi sangat dipengaruhi oleh pertimbangan bahwa pengelolaan lingkungan adalah mahal. Lingkungan hidup hanya berfungsi sebagai sumberdaya ekonomi, fungsi ekologinya tidak ada. Semangat penyusunan dokumen lingkungan hanya sebatas melengkapi persyaratan perizinan. Setelah izin dikeluarkan, kewajiban pengelolaan dan pemantauan hanya sebatas tulisan saja. Apalagi penyusun dokumen lingkungan bukan pemrakarsa, tetapi disusun oleh konsultan, pemrakarsa menganggap semuanya sudah beres diserahkan kepada konsultan karena sudah membayar kepada pihak konsultan, tanpa mengetahui konsekuensinya. Sehingga apa yang ditulis konsultan idealis, tetapi belum tentu bisa dilaksanakan oleh pemrakarsa. C. Penegakan Hukum Kerusakan lingkungan yang terjadi akibat ulah manusia yang mengambil keuntungan dari alam yang bertindak di luar batas kewajaran tanpa memikirkan dampak buruk akibat dari proses yang mereka lakukan seringkali berimbas pada masyarakat. Di dalam peraturan penegakan hukum IV-8

142 lingkungan yang didasarkan pada Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Ruang lingkup UU Nomor 32 tahun 2009 meliputi siklus yang saling terkait dan tidak terpisahkan dimulai dari perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan dan penegakan hukum. Instrumen penegakan hukum lingkungan berdasarkan Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 terdiri dari administrasi, perdata, dan pidana. Jika terjadi pelanggaran baik itu perorangan atau secara bersama dalam skala perusahaan maka akan dituntut mulai dari segi administrasi, kemudian perdata dan sampai pada pidana. Meskipun perangkat hukum perlindungan dan pengelolaan lingkungan sudah ada. Tetapi kondisi lingkungan hidup dari waktu ke waktu ada kecenderungan terjadi penurunan kualitasnya, penyebab utamanya yaitu karena pada tingkat pengambilan keputusan, kepentingan pelestarian sering diabaikan sehingga menimbulkan adanya pencemaran dan kerusakan lingkungan. Dengan terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan ternyata juga menimbulkan konflik sosial maupun konflik lingkungan. Konflik lingkungan terjadi, sebagai akibat adanya bentuk hubungan sosial yang tidak harmonis diantara institusi-institusi yang terkait dengan kegiatan eksploitasi sumber daya alam yang meliputi masyarakat, pemerintah dan pengusaha atau investor. Dalam hal ini terdapat pemahaman di kalangan pengusaha bahwa sumberdaya alam merupakan lahan yang secara legal telah dikuasakan oleh negara kepadanya untuk dikelola secara komersial dengan tujuan memberikan keuntungan ekonomis yang besar. Perlakuan pengusaha yang tanpa melibatkan masyarakat yang biasanya sebagai penderita kerusakan lingkungan- menjadi pemicu utama terjadinya ketidakpuasan dalam masyarakat. Akumulasi ketidakpuasan yang bertemu dengan semangat berjuang memperbaiki nasib secara kolektif menjadi penyebab munculnya konflik ke permukaan. Salah satu indikator terjadi konflik lingkungan adalah munculnya pengaduan masalah lingkungan. Pada tahun 2013 di Gunungkidul ada 11 pengaduan masalah. Paling banyak permasalahan pencemaran udara. Bidang usaha yang banyak dipermasalahkan adalah pertambangan dan Peternakan. Pada awal Januari 2013 pengaduan dari Imam Cahyono, Krikilan RT 01/ RW 10 Tegaltirto, Berbah, Sleman mengenai penambangan batu kapur tak berizin disalah satu bukit di Pantai Watu Kodok, kemadang, Tanjungsari, kemudian dilakukan verifikasi lapangan tanggal 25 Januari 2013 bersama Bagian Perekonomian dan SDA Kab. Gunungkidul, adapun hasilnya adalah : 1. menjumpai sebuah truk dengan 2 orang personil sedang memuat batu kapur hasil penambangan di lokasi tersebut dan sebuah truk lain yang baru datang dan juga akan memuat batu kapur; IV-9

143 2. memerintahkan kedua personil tersebut untuk segera menghentikan kegiatan memuat batu kapur; 3. menjelaskan kepada kedua personil tersebut bahwa bila mereka membeli batu kapur dari penambang yang tidak berizin berarti mereka menjadi penadah hasil curian dan bisa dilaporkan kepada pihak yang berwajib. Pada waktu yang bersamaan dilakukan verifikasi adanya berita Harian Jogja mengenai sampah menumpuk di Pantai Indrayanti, disimpulkan bahwa : 1. ada tumpukan sampah dipinggir antara Pantai Pulang Syawa l(indrayanti) ke arah Kecamatan Tepus (2 lokasi); 2. sebagai tindak lanjut memberi masukan ke Pemkab (Surat Bupati) untuk alternatif pembangunan TPA di zona selatan. Kasus selanjutnya di Bulan Januari 2013 dari pengaduan lewat SMS adalah bau dan lalat dari peternakan ayam petelur Union Perdana Semesta (UPS) Jl. Wonosari-Semanu Km. 3,8 Mijahan, Sambirejo, Semanu, kemudian dilakukan verifikasi lapangan tanggal 28 Januari 2013, dengan hasil: 1. Tim verifikasi lapangan bertemu dengan pengelola (Sdr. Subandi); 2. sesuai dengan izin usaha untuk ayam petelur namun kenyataannya digunakan untuk pembibitan broiler; 3. direkomendasikan untuk mengubah dokumen UKL-UPL dan izin. Awal Februari dari Berita Harian Jogja menampilkan berita pembuangan limbah industri tempe di Jeruk, Kepek, Wonosari ke sungai Kepek menimbulkan bau, sehingga meresahkan warga sekitar, lalu diverifikasi lapangan tanggal 11 Februari 2013, denga hasil : 1. limbah dibuang ke saluran yang diberi saringan melewati pipa pralon menuju sungai; 2. pada saat pembuangan limbah ditambahkan cairan EM4 ata sejenisnya guna mengurangi bau; 3. diminta untuk membuat pengolahan limbah sederhana sebelum limbah tersebut dibuang ke sungai. Memasuki Bulan Maret 2013 muncul pengaduan kasus lama via SMS tepatnya tanggal 6 Maret 2013 yaitu bau dan lalat dari peternakan ayam potong di Ngipak I, Karangmojo engaduan via sms tanggal 6 Maret Selanjutnya dilakukan verifikasi lapangan tanggal 8 Maret 2013, dengan hasil : 1. ternak baru dipanen, kandang sedang dibersihkan; 2. pengadu mengatakan bahwa ibunya masuk rumah sakit karena mencium bau kotoran ayam, setelah di Cross Check ke tetangga ternyata masuk rumah sakit karena sakit stroke. Pengaduan dari A. Nurcahya Jaka Sulistya, ST pada tanggal 25 April 2013 tentang Kebisingan dari usaha pengelasan di Rejosari 01/04 Baleharjo, Wonosari, kemudian dilakukan verifikasi lapangan ditemukan usaha pengelasan sepi (tidak ada aktivitas) dan rumah pengadu IV-10

144 kosong (bekerja sebagai guru), lalu hasil cross check dengan tetangga, sehari sebelumnya terjadi keributan antara pengadu dengan pengusaha las, dan sampai sekarang tidak ada pengaduan lagi. Pengaduan selanjutnya adalah pembuangan limbah penggergajian batu di Ngijo, Semin dari perangkat Kecamatan Semin, lalu dilakukan verifikasi lapangan bersama dengan Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Gunungkidul, hasil verifikasi: 1. banyak terdapat sludge/lumpur hasil penggergajian batu yang berada di badan sungai; 2. pemilik disarankan untuk mengelola sludge limbah hasil penggergajian dengan membuat bak bak penampung. Pengaduan masalah ternak ayam yang ketiga selama tahun 2013 yaitu bau dan lalat dari peternakan ayam di Playen II RT 05 RW 02. Pengaduan via surat tanggal 30 Mei 2013 oleh perwakilan warga atas nama Umi Nurhayati, lalu dilakukan verifikasi lapangan dengan hasil: 1. kandang dalam keadaan kosong dan tidak aktivitas; 2. hasil cross check ke pengadu sekaligus tetangga dekat kandang memberitahu bahwa peternak berencana menutup dan memindahkan kandang; 3. info terakhir kandang sudah tutup. Permasalahan lama dan terus menimbulkan gejolak sejak 2011 sampe sekarang adalah Warga sekitar TPA Baleharjo mengeluhkan bau dan lalat karena banyak pemulung yang masih mengaduk - aduk sampah yang sudah beberapa hari sebelumnya dimasukkan ke dalam lubang. Upaya yang dilakukan DPUKabupaten Gunungkidul dengan koordinasi upaya pengelolaan lingkungan di kawasan TPA yang diadakan pada tanggal 22 januari 2013, dengan kesimpulan bahwa Pengelolaan TPA secara sanitary landfill belum maksimal. Kasus limbah usaha pemotongan batu yang kedua di tahun 2013 adalah pembuangan limbah penggergajian batu milik Fajarudin, Kranggan RT 05 RW 11 Ngeposari, Semanu,. Pengaduan via surat ke KPMPT Kabupaten Gunungkidul dari Sunaryo tanggal 16 Maret 2013, sudah diverifikasi lapangan oleh KPMPT bersama Kapedal dan disepakati pemrakarsa diminta melakukan pengelolaan lingkungan sesuai dokumen UKL-UPL (membuat surat pernyataan). Pengaduan di bulan September adalah dugaan peracunan ikan di Perairan Obyek wisata Sri Getuk, Bleberan, Playen. Pengaduan melalui telepon langsung kepada Kepala Kapedal Kabupaten Gunungkidul. Verifikasi lapangan dan pengambilan sampel air sungai tanggal 12 September Hasil verifikasi: 1. saat tiba dilokasi sudah banyak warga yang berada di badan sungai dengan membawa jala untuk menangkap ikan; 2. ada himbauan dari perangkat desa dan dari DKP Kabupaten Gunungkidul melalui pengeras suara yang meminta warga untuk menjauhi badan sungai dan tidak mengkonsumsi ikan hasil tangkapan. Dari sebelas kasus tersebut diatas, disimpulkan bahwa terjadinya konflik social di masyarakat secara umum karena pengelolaan lingkungan yang tidak baik terhadap usaha dan atau IV-11

145 kegiatan baik yang memilki izin atau tidak berizin. Permasalahan tersebut semuanya bisa selesai semua dan perlu dilakukan pengawasan intensif terhadap usaha yang menimbulkan kasus guna mencegah terjadinya kasus pengaduan yang sama tidak berulang dari tahun ke tahun. Perlu juga dilakukan pengetatan dan pencermatan izin usaha terutama usaha pemotongan batu dan peternakan. Upaya yang dilakukan pemerintah Kabupaten Gunungkidul melalui Kapedal adalah melaksanakan pembinaan kepada pelaku usaha pada bulan November 2013 mengenai penyusunan laporan dokumen lingkungan hidup yang telah disusunnya dan tekankan pelaku usaha untuk tertib dalam menyampaikan pelaporannya yaitu 6 bulan sekali. Berdasarkan laporan rutin tersebut dapat digunakan sebagai bahan pengawasan di lapangan. D. Peran Serta Masyarakat Aspek pemberdayaan masyarakat meliputi masyarakat yang diberdayakan, akses informasi, kapasitas organisasi lokal dan pelaku pemberdaya. Sebagai pelaku pemberdaya di sini dapat berupa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). LSM peduli lingkungan di Kabupaten Gunungkidul ada 13 (tiga belas), namun kiprahnya dalam kegiatan lingkungan hidup masih belum kelihatan di Gunungkidul, dan pelibatan LSM dalam pengelolaan lingkungan belum terlihat, hanya pada even tertentu. Pelibatan LSM tersebut masih sebatas rapat/seminar/penyuluhan. Pengelolaan lingkungan yang ada di Kabupaten Gunungkidul sebagian besar melibatkan kelompok masyarakat yang ada. Pelibatan kelompok masyarakat seperti pokdarling (kelompok sadar lingkungan), pokmaswas (kelompok masyarakat pengawas), dan pokdarwis (kelompok sadar wisata) serta kelompok lainnya belum terdata dengan baik. Pembinaan pengelolaan lingkungan untuk kelompok/masyarakat umum dilakukan baik Kapedal maupun instansi lain. Kegiatan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan yaitu gerakan kebersihan kali, program langit biru, Program Adipura, Pengelolaan sampah, sekolah adiwiyata, dan penghijauan di pesisir, sumber air ada karst. Sebelum dilakukan kegiatan tersebut masyarakat diberi pembinaan terlebih dahulu. Program Adipura merupakan program yang bertujuan menciptakan kota yang bersih dan teduh. Penilaian dilakukan secara rutin dua kali setahun, guna memotret kondisi lingkungan kota dan perilaku masyarakat di dalamnya. Pada tahun 2013 Gunungkidul belum mendapatkan Adipura, upaya yang dilakukan Pemerintah daerah antara lain melalui rapat koordinasi lintas sector, pembinaan, sosialisasi Adipura bidang pendidikan, pelayanan kesehatan dan permukiman terus dilakukan. Pelatihan kader Yogyakarta Green and Clean (YGC) mengenai pengelolaan sampah pada titik pantau diharapkan dapat menumbuhkan partisipasi masyarakat damalam pengelolaan sampah, karena Adipura sulit tercapai tanpa partisipasi semua warga dan pemerintah serta swasta. IV-12

146 Pengelolaan sampah mandiri terus digulirkan seiring dengan ditetapkan Peraturan daerah Kabupaten Gunungkidul Nomor 10 Tahun 2012 tentang pengelolaan sampah, dalam perda tersebut disebutkan bahwa sampah menjadi tanggung jawab sumber sampah bukan hanya pemerintah. Masayarakat diharapkan mengelola sampahnya secara mandiri dari sumber ke TPS, sedangkan dari TPS ke TPA menjadi tanggung jawab pemerintah, dan diharapkan dilakukan masyarakat mengelola sampah dengan prinsip 3 R (Reduce, reuse, dan Recycle) dan pemerintah mendorong ini dengan melaksanakan pembinaan/pelatihan/bimtek : 1. Pelatihan pembuatan kerajinan dari sampah dilakukan terhadap 20 orang 2. Bimtek jejaring pengelolaan sampah mandiri dilakukan terhadap 40 orang 3. Pelatihan/TOT kader pengelolaan sampah dilakukan terhadap 50 orang Adapun peserta seobagai sasaran adalah dari kelompok pengelola sampah mandiri di wilayah kota/ kecamatan wonosari dan dari beberapa sekolah yang diprogram/direncanakan sebagai Sekolah Berwawasan Lingkungan Hidup. Pembinaan rutin pantai dan laut lestari dilakukan pada warga pesisir selatan Gunungkidul dilakukan di Pokdarwis Pantai Nguyahan, Ngobaran, Baron, Kukup, Sepanjang, Watu Kodok, Drini, Krakal, Slili, Sundak, Somandeng dan Pulang Sawal. Peserta pembinaan diikuti oleh 25 peserta terdiri dari unsur Pemerintah Desa, Unsur lembaga Desa, lembaga dusun dan tokoh masyarakat serta masyarakat pada masing-masing lokasi pantai, dilaksanakan pada Bulan Agustus Narasumber pembinaan patai lestari dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Gunungkidul, Bagian Administrasi Sumberdaya Alam Setda Kabupaten Gunungkidul, Kapedal Kabupaten Gunungkidul, dan Pemerintah Kecamatan. Selesainya kegiatan Pembinaan Pantai Lestari akan diadakan evaluasi kebersihan pantai di semua pantai sasaran pembinaan dengan waktu tanpa pemberitahuan terlebih dahulu sehingga dapat melihat kondisi kebersihan pantai secara riil. Gambar Pembinaan Pantai Lestari IV-13

147 Setelah dilakukan pembinaan untuk waktu yang paling akhir (Pantai Watu Kodok) dilanjutkan penyerahan tong sampah sebanyak 86 unit kepada pemenang lomba kebersihan pantai. Hasil kejuaraan lomba kebersihan pantai tahun 2013 ini adalah sebagai berikut. Tabel 4.2. Hasil Kejuaraan Lomba Kebersihan Pantai Juara I : Kelompok Sadar Wisata Pantai Krakal, Ngestirejo, Tanjungsari Juara II : Kelompok Sadar Wisata Pantai Baron, Kemadang, Tanjungsari Juara III : Kelompok Sadar Wisata Pantai Kukup, Kemadang, Tanjungsari Juara IV : Kelompok Sadar Wisata Pantai Sundak, Sidoharjo, Tepus Kegiatan ini dilaksanakan dalam rangka untuk memberikan motivasi kepada warga masyarakat dalam menciptakan kebersihan lingkungan di kawasan pantai. Kegiatan sosialisasi Kampung Hijau dilaksanakan sebanyak 2 angkatan pada bulan Oktober Adapun pelaksanaan sosialisasi tersebut adalah sebagai berikut : a. Angkatan I dilaksanakan di Desa Natah, Nglipar, Gunungkidul. b. Angkatan II dilaksanakan di Desa Semoyo, Patuk, Gunungkidul. Jumlah peserta pada masing-masing angkatan sebanyak 15 orang terdiri dari perangkat desa, lembaga desa, PKK, Karang Taruna, tokoh masyarakat, pendidik, dan pelaku budaya. Sedangkan Instruktur/narasumber dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Bagian Administrasi Sumberdaya Alam Setda Kab. Gunungkidul, Kecamatan setempat, dan Kapedal Kabupaten Gunungkidul. Materi pembinaan berupa : Kebijakan Program Kampung Hijau sebagai Upaya Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup di Desa, Pedoman dan Penilaian Kampung Hijau, Konservasi Sumberdaya Alam, Partisipasi masyarakat desa dalam penentuan perencanaan dan pelaksanaan kegiatan. Gambar Pembinaan Kampung Hijau Pemerintah pusat melalui Kementerian Lingkungan Hidup menyelenggarakan kegiatan Program Kampung Iklim terkait dengan upaya merespon perubahan iklim global yang saat ini sedang terjadi. Program tersebut bertujuan untuk mengantisipasi dampak buruk yang terjadi IV-14

Kata Pengantar. pemanfaatan, keberlanjutan, keberadaan dan kegunaan sumber daya alam dan lingkungan hidup melalui. masyarakat.

Kata Pengantar. pemanfaatan, keberlanjutan, keberadaan dan kegunaan sumber daya alam dan lingkungan hidup melalui. masyarakat. Kata Pengantar Pemerintah Kabupaten Gunungkidul dalam visinya, yaitu : Mewujudkan Gunungkidul yang lebih Maju, Makmur, dan Sejahtera. Serta pada Misi kedua, yaitu : Pemanfaatan sumber daya alam secara

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Kata Pengantar. Daftar Isi. Daftar Tabel. Daftar Gambar

DAFTAR ISI. Kata Pengantar. Daftar Isi. Daftar Tabel. Daftar Gambar DAFTAR ISI Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Daftar i ii iii vii Bab I Pendahuluan A. Kondisi Umum Daerah I- 1 B. Pemanfaatan Laporan Status LH Daerah I-10 C. Isu Prioritas Lingkungan Hidup Kabupaten Kulon

Lebih terperinci

DATA MINIMAL YANG WAJIB DITUANGKAN DALAM DOKUMEN INFORMASI KINERJA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH

DATA MINIMAL YANG WAJIB DITUANGKAN DALAM DOKUMEN INFORMASI KINERJA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH Lampiran II. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor : Tanggal : DATA MINIMAL YANG WAJIB DITUANGKAN DALAM DOKUMEN INFORMASI KINERJA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH Tabel-1. Lindung Berdasarkan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Istimewa Yogyakarta. Gunungkidul memiliki luas 1.485,36 Km 2 terletak antara 7

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Istimewa Yogyakarta. Gunungkidul memiliki luas 1.485,36 Km 2 terletak antara 7 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Fisik Daerah Gunungkidul adalah daerah yang termasuk dalam wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Gunungkidul memiliki luas 1.485,36 Km 2 terletak antara

Lebih terperinci

pengaduan, kritik dan saran secara online demi terciptanya Polri yang Profesional dalam melaksanakan tugas pokoknya.

pengaduan, kritik dan saran secara online demi terciptanya Polri yang Profesional dalam melaksanakan tugas pokoknya. Kepolisian Resor Gunungkidul berkedudukan di Jl. MGR Sugiyopranoto No. 15 Wonosari, Gunungkidul, merupakan Institusi Polri yang mempunyai tugas pokok Polri Sebagai pemelihara keamanan, ketertiban masyarakat

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM OBYEK PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN UMUM OBYEK PENELITIAN 58 BAB IV GAMBARAN UMUM OBYEK PENELITIAN A. Gambaran Umum Obyek Penelitian 1. Profil Daerah Istimewa Yogyakarta Sumber: DPPKA Pemda DIY Gambar 4.1 Peta Administrasi Daerah Istimewa Yogyakarta Daerah Istimewa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permukiman merupakan kebutuhan pokok manusia, selain kebutuhan makanan dan pakaian. Permukiman sebagai tempat untuk kelangsungan hidup manusia. Permukiman sebagai unit

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Bogor, 08 Desember 2015 Walikota Bogor, Dr. Bima Arya Sugiarto

KATA PENGANTAR. Bogor, 08 Desember 2015 Walikota Bogor, Dr. Bima Arya Sugiarto WALIKOTA BOGOR KATA PENGANTAR Dalam rangka pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan perlu didukung data dan informasi lingkungan hidup yang akurat, lengkap dan berkesinambungan. Informasi

Lebih terperinci

BAB 2 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB 2 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN BAB 2 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Kondisi Umum Kabupaten Gunungkidul adalah salah satu kabupaten yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan Ibukotanya Wonosari. Luas wilayah Kabupaten Gunungkidul

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH

KARAKTERISTIK WILAYAH III. KARAKTERISTIK WILAYAH A. Karakteristik Wilayah Studi 1. Letak Geografis Kecamatan Playen terletak pada posisi astronomi antara 7 o.53.00-8 o.00.00 Lintang Selatan dan 110 o.26.30-110 o.35.30 Bujur

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Yogyakarta yang memiliki luasan 1.485,36 kilometer persegi. Sekitar 46,63 %

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Yogyakarta yang memiliki luasan 1.485,36 kilometer persegi. Sekitar 46,63 % I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kabupaten Gunungkidul merupakan wilayah dari Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang memiliki luasan 1.485,36 kilometer persegi. Sekitar 46,63 % dari luas wilayah Provinsi

Lebih terperinci

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI 3.1 IDENTIFIKASI PERMASALAHAN BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI PELAYANAN BADAN LINGKUNGAN HIDUP PROVINSI JAWA TENGAH Dalam penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. benua (benua Asia dan benua Australia) dan dua samudera (samudra Pasifik dan

BAB I PENDAHULUAN. benua (benua Asia dan benua Australia) dan dua samudera (samudra Pasifik dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang terletak di antara dua benua (benua Asia dan benua Australia) dan dua samudera (samudra Pasifik dan

Lebih terperinci

mengakibatkan Kabupaten Gunungkidul dikatakan sebagai daerah miskin air dan bencana kekeringan menjadi permasalahan yang sering dihadapi oleh

mengakibatkan Kabupaten Gunungkidul dikatakan sebagai daerah miskin air dan bencana kekeringan menjadi permasalahan yang sering dihadapi oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Gunungkidul adalah salah satu kabupaten di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yang memiliki ibukota Wonosari. Luas wilayah Kabupaten Gunungkidul sebesar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kabijakan pembangunan ini dilakukan untuk meningkatkan produktivitas hasil

BAB I PENDAHULUAN. kabijakan pembangunan ini dilakukan untuk meningkatkan produktivitas hasil BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan daerah tropis karena letak geografisnya diantara 6 o LU 11 o LS dan 95 o BT 141 o BT. Indonesia merupakan negara yang sedang melakukan pembangunan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 150 TAHUN 2000 TENTANG PENGENDALIAN KERUSAKAN TANAH UNTUK PRODUKSI BIOMASSA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 150 TAHUN 2000 TENTANG PENGENDALIAN KERUSAKAN TANAH UNTUK PRODUKSI BIOMASSA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.legalitas.org PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 150 TAHUN 2000 TENTANG PENGENDALIAN KERUSAKAN TANAH UNTUK PRODUKSI BIOMASSA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tanah sebagai

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Lahan merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan di sektor

TINJAUAN PUSTAKA. Lahan merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan di sektor II. TINJAUAN PUSTAKA Lahan merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan di sektor pertanian, kehutanan, perumahan, industri, pertambangan dan transportasi.di bidang pertanian, lahan merupakan sumberdaya

Lebih terperinci

RENCANA PENGELOLAAN SDA DAN LH DAS BARITO

RENCANA PENGELOLAAN SDA DAN LH DAS BARITO RENCANA PENGELOLAAN SDA DAN LH DAS BARITO Oleh: Firman Dermawan Yuda Kepala Sub Bidang Hutan dan Hasil Hutan Bidang Perencanaan Pengelolaan SDA dan LH I. Gambaran Umum DAS Barito Daerah Aliran Sungai (DAS)

Lebih terperinci

Pemantauan Kerusakan Lahan untuk Produksi Biomassa

Pemantauan Kerusakan Lahan untuk Produksi Biomassa Pemantauan Kerusakan Lahan untuk Produksi Biomassa Rajiman A. Latar Belakang Pemanfaatan lahan memiliki tujuan utama untuk produksi biomassa. Pemanfaatan lahan yang tidak bijaksana sering menimbulkan kerusakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Tapanuli Tengah merupakan salah satu wilayah yang berada di Pantai Barat Sumatera. Wilayahnya berada 0

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Tapanuli Tengah merupakan salah satu wilayah yang berada di Pantai Barat Sumatera. Wilayahnya berada 0 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Tapanuli Tengah merupakan salah satu wilayah yang berada di Pantai Barat Sumatera. Wilayahnya berada 0 1.266 m di atas permukaan laut serta terletak pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan kebutuhan pokok yang mutlak harus dipenuhi sehari-hari. Tanpa adanya air, manusia tidak dapat bertahan hidup karena air digunakan setiap harinya untuk

Lebih terperinci

PENGELOLAAN DAN KELESTARIAN KEBERADAAN SUMBER AIR SEBAGAI SALAH SATU UNSUR PENTING KEBUTUHAN MANUSIA

PENGELOLAAN DAN KELESTARIAN KEBERADAAN SUMBER AIR SEBAGAI SALAH SATU UNSUR PENTING KEBUTUHAN MANUSIA PENGELOLAAN DAN KELESTARIAN KEBERADAAN SUMBER AIR SEBAGAI SALAH SATU UNSUR PENTING KEBUTUHAN MANUSIA Disampaikan dalam Kegiatan Pengabdian Pada Masyarakat (PPM) Dosen: PELATIHAN DAN SOSIALISASI PEMBUATAN

Lebih terperinci

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Penataan Ruang Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Kawasan peruntukan hutan produksi kawasan yang diperuntukan untuk kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya;

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya; Lampiran III : Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor : 21 Tahun 2012 Tanggal : 20 Desember 2012 Tentang : RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BULUKUMBA TAHUN 2012 2032 KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 150 TAHUN 2000 TENTANG PENGENDALIAN KERUSAKAN TANAH UNTUK PRODUKSI BIOMASSA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 150 TAHUN 2000 TENTANG PENGENDALIAN KERUSAKAN TANAH UNTUK PRODUKSI BIOMASSA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 150 TAHUN 2000 TENTANG PENGENDALIAN KERUSAKAN TANAH UNTUK PRODUKSI BIOMASSA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tanah sebagai salah satu sumber

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Letak, Batas, dan Luas Daerah Penelitian. Sungai Oyo. Dalam satuan koordinat Universal Transverse Mercator

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Letak, Batas, dan Luas Daerah Penelitian. Sungai Oyo. Dalam satuan koordinat Universal Transverse Mercator 32 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Daerah Penelitian 1. Letak, Batas, dan Luas Daerah Penelitian Daerah yang digunakan sebagai tempat penelitian merupakan wilayah sub DAS Pentung yang

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL (Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul) Nomor : 7 Tahun : 2016

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL (Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul) Nomor : 7 Tahun : 2016 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL (Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul) Nomor : 7 Tahun : 2016 PERATURAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN PERANGKAT

Lebih terperinci

BUKU DATA STATUS LINGKUNGAN HIDUP KOTA SURABAYA 2012 DAFTAR TABEL

BUKU DATA STATUS LINGKUNGAN HIDUP KOTA SURABAYA 2012 DAFTAR TABEL DAFTAR TABEL Tabel SD-1. Luas Wilayah Menurut Penggunaan Lahan Utama... 1 Tabel SD-1A. Perubahan Luas Wilayah Menurut Penggunaan lahan Utama Tahun 2009 2011... 2 Tabel SD-1B. Topografi Kota Surabaya...

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG 1 PEMERINTAH KABUPATEN MALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MALANG NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MALANG, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dinamika pembangunan yang berjalan pesat memberikan dampak tersendiri bagi kelestarian lingkungan hidup Indonesia, khususnya keanekaragaman hayati, luasan hutan dan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 267, 2000 LINGKUNGAN HIDUP.TANAH.Pengendalian Biomasa. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

ISU PRIORITAS DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

ISU PRIORITAS DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA ISU PRIORITAS DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Tahun 2016 adalah dokumen yang bertujuan untuk memberikan informasi tentang kecenderungan keadaan lingkungan hidup di DIY, kegiatan-kegiatan yang menyebabkan terjadinya

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN PACITAN

KATA PENGANTAR RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN PACITAN KATA PENGANTAR Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, mengamanatkan bahwa RTRW Kabupaten harus menyesuaikan dengan Undang-undang tersebut paling lambat 3 tahun setelah diberlakukan.

Lebih terperinci

SALINAN. Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN KAWASAN KARS DI JAWA BARAT GUBERNUR JAWA BARAT

SALINAN. Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN KAWASAN KARS DI JAWA BARAT GUBERNUR JAWA BARAT SALINAN Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN KAWASAN KARS DI JAWA BARAT GUBERNUR JAWA BARAT Menimbang : Mengingat : a. bahwa kawasan kars yang merupakan sumberdaya

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA KEPUTUSAN GUBERNUR PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR : 63 TAHUN 2003

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA KEPUTUSAN GUBERNUR PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR : 63 TAHUN 2003 GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA KEPUTUSAN GUBERNUR PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR : 63 TAHUN 2003 TENTANG KRITERIA BAKU KERUSAKAN LINGKUNGAN BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENAMBANGAN BAHAN

Lebih terperinci

`BAB IV PENYELENGGARAAN URUSAN PEMERINTAH DAERAH

`BAB IV PENYELENGGARAAN URUSAN PEMERINTAH DAERAH `BAB IV PENYELENGGARAAN URUSAN PEMERINTAH DAERAH URUSAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP (Urusan Bidang Lingkungan Hidup dilaksanakan oleh Badan Lingkungan Hidup Daerah (BAPEDAL) Aceh. 2. Realisasi Pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB I KONDISI LINGKUNGAN HIDUP DAN KECENDERUNGANNYA

BAB I KONDISI LINGKUNGAN HIDUP DAN KECENDERUNGANNYA DAFTAR ISI Kata Pengantar... i Daftar Isi... iii Daftar Tabel... vi Daftar Gambar... ix Daftar Grafik... xi BAB I KONDISI LINGKUNGAN HIDUP DAN KECENDERUNGANNYA A. LAHAN DAN HUTAN... Bab I 1 A.1. SUMBER

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Tujuan Penulisan Laporan

BAB I PENDAHULUAN Tujuan Penulisan Laporan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Tujuan Penulisan Laporan Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Lingkungan dan Pembangunan (the United Nations Conference on Environment and Development UNCED) di Rio

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber daya alam yang memenuhi hajat hidup orang banyak sehingga perlu dilindungi agar dapat bermanfaat bagi hidup dan kehidupan manusia serta mahkluk

Lebih terperinci

REKLAMASI LAHAN BEKAS PENAMBANGAN

REKLAMASI LAHAN BEKAS PENAMBANGAN REKLAMASI LAHAN BEKAS PENAMBANGAN PENDAHULUAN Masalah utama yang timbul pada wilayah bekas tambang adalah perubahan lingkungan. Perubahan kimiawi berdampak terhadap air tanah dan air permukaan. Perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bentanglahan (landscape ecosystem), yang selanjutnya dipakai sebagai dasar bagi

BAB I PENDAHULUAN. bentanglahan (landscape ecosystem), yang selanjutnya dipakai sebagai dasar bagi BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kab. Gunungkidul terdiri atas 3 (tiga) satuan fisiografis atau ekosistem bentanglahan (landscape ecosystem), yang selanjutnya dipakai sebagai dasar bagi pembagian satuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. eksploitasi dan pemanfaatan sumber daya alam, yang dalam praktiknya perlu

BAB I PENDAHULUAN. eksploitasi dan pemanfaatan sumber daya alam, yang dalam praktiknya perlu BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Ekploitasi terhadap sumber daya alam yang ada di Indonesia semakin lama semakin meluas. Hal ini merupakan dampak dari semakin meningkatnya kebutuhan hidup

Lebih terperinci

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 92 IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 4.1. Kota Bekasi dalam Kebijakan Tata Makro Analisis situasional daerah penelitian diperlukan untuk mengkaji perkembangan kebijakan tata ruang kota yang terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah tandus, akan tetapi pada kenyataannya Kabupaten Gunungkidul

BAB I PENDAHULUAN. daerah tandus, akan tetapi pada kenyataannya Kabupaten Gunungkidul BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kabupaten Gunungkidul selalu identik dengan kekeringan dan daerah tandus, akan tetapi pada kenyataannya Kabupaten Gunungkidul mempunyai berbagai sumberdaya yang

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN LOKASI DAN WILAYAH

BAB III TINJAUAN LOKASI DAN WILAYAH BAB III TINJAUAN LOKASI DAN WILAYAH 3.1. Tinjauan Kondisi Umum Pegunungan Menoreh Kulonprogo 3.1.1. Tinjauan Kondisi Geografis dan Geologi Pegunungan Menoreh Pegunungan Menoreh yang terdapat pada Kabupaten

Lebih terperinci

PENDAHULUAN LATAR BELAKANG

PENDAHULUAN LATAR BELAKANG I. PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang melaksanakan pembangunan di segala bidang. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang diandalkan, karena sektor

Lebih terperinci

1.5. Lingkup Daerah Penelitian Lokasi, Letak, Luas dan Kesampaian Daerah Penelitian Lokasi dan Letak Daerah Penelitian...

1.5. Lingkup Daerah Penelitian Lokasi, Letak, Luas dan Kesampaian Daerah Penelitian Lokasi dan Letak Daerah Penelitian... DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PERSETUJUAN... ii KATA PENGANTAR... iii PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN... iv DAFTAR ISI... v DAFTAR GAMBAR... ix DAFTAR TABEL... xi DAFTAR PETA... xii INTISARI...

Lebih terperinci

BAB I. KONDISI LINGKUNGAN HIDUP DAN KECENDERUNGANNYA

BAB I. KONDISI LINGKUNGAN HIDUP DAN KECENDERUNGANNYA DAFTAR TABEL Daftar Tabel... i BAB I. KONDISI LINGKUNGAN HIDUP DAN KECENDERUNGANNYA A. LAHAN DAN HUTAN Tabel SD-1. Luas Wilayah Menurut Penggunaan Lahan/Tutupan Lahan. l 1 Tabel SD-1A. Perubahan Luas Wilayah

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 150 TAHUN 2000 TENTANG PENGENDALIAN KERUSAKAN TANAH UNTUK PRODUKSI BIOMASSA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 150 TAHUN 2000 TENTANG PENGENDALIAN KERUSAKAN TANAH UNTUK PRODUKSI BIOMASSA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 150 TAHUN 2000 TENTANG PENGENDALIAN KERUSAKAN TANAH UNTUK PRODUKSI BIOMASSA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tanah sebagai salah satu sumber

Lebih terperinci

Sungai berdasarkan keberadaan airnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu (Reid, 1961):

Sungai berdasarkan keberadaan airnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu (Reid, 1961): 44 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekologi Sungai Aspek ekologi adalah aspek yang merupakan kondisi seimbang yang unik dan memegang peranan penting dalam konservasi dan tata guna lahan serta pengembangan untuk

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso KATA PENGANTAR Sebagai upaya mewujudkan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang efektif, efisien dan sistematis guna menunjang pembangunan daerah dan mendorong perkembangan wilayah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk fenomena pelarutan batuan lain, seperti gypsum dan batu garam. 1

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk fenomena pelarutan batuan lain, seperti gypsum dan batu garam. 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karst berasal dari bahasa daerah Yugoslavia yang merupakan nama suatu kawasan diperbatasan Italia Utara dan Yugoslavia sekitar kota Trieste. Istilah Karst ini

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 4. Dinamika Lithosferlatihan soal 4.6

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 4. Dinamika Lithosferlatihan soal 4.6 SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 4. Dinamika Lithosferlatihan soal 4.6 1. Komponen tanah yang baik yang dibutuhkan tanaman adalah.... bahan mineral, air, dan udara bahan mineral dan bahan organik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkatnya aktivitas industri akan memberikan dampak terhadap kondisi

BAB I PENDAHULUAN. meningkatnya aktivitas industri akan memberikan dampak terhadap kondisi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kualitas air sungai dipengaruhi oleh kualitas pasokan air yang berasal dari daerah tangkapannya sedangkan kualitas pasokan air dari daerah tangkapan berkaitan dengan

Lebih terperinci

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN 2.1 Tujuan Penataan Ruang Dengan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, khususnya Pasal 3,

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN WILAYAH

BAB III TINJAUAN WILAYAH BAB III TINJAUAN WILAYAH 3.1. TINJAUAN UMUM DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Pembagian wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) secara administratif yaitu sebagai berikut. a. Kota Yogyakarta b. Kabupaten Sleman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karena fungsi utama jalan raya adalah sebagai prasarana untuk melayani pergerakan

BAB I PENDAHULUAN. karena fungsi utama jalan raya adalah sebagai prasarana untuk melayani pergerakan BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Jalan raya merupakan prasarana transportasi yang berpengaruh terhadap perkembangan sosial dan ekonomi masyarakat, sebaliknya peningkatan taraf hidup masyarakat akan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang secara khas berkembang pada batu gamping dan/atau dolomite sebagai

I. PENDAHULUAN. yang secara khas berkembang pada batu gamping dan/atau dolomite sebagai I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karst adalah bentang alam di permukaan dan di bawah permukaan tanah yang secara khas berkembang pada batu gamping dan/atau dolomite sebagai akibat proses pelarutan air.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Air merupakan komponen lingkungan yang penting bagi kehidupan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Air merupakan komponen lingkungan yang penting bagi kehidupan yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Air merupakan komponen lingkungan yang penting bagi kehidupan yang merupakan kebutuhan utama bagi proses kehidupan di bumi. Manusia menggunakan air untuk memenuhi

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Sampel tanah untuk analisis laboratorium yaitu meliputi sampel tanah terusik dan sampel tanah tidak terusik. 2.

METODE PENELITIAN. Sampel tanah untuk analisis laboratorium yaitu meliputi sampel tanah terusik dan sampel tanah tidak terusik. 2. III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di bagian timur Kabupaten Natuna, yaitu Kecamatan Bunguran Timur, Bunguran Tengah, Bunguran Selatan dan Bunguran Timur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Rencana pengembangan kawasan pantai selatan Pulau Jawa yang membentang dari Jawa Timur sampai Jawa Barat, tentu akan memberi dampak perkembangan penduduk di daerah-daerah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri atas 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.791 km (Supriharyono, 2007) mempunyai keragaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dimilikinya selain faktor-faktor penentu lain yang berasal dari luar. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dimilikinya selain faktor-faktor penentu lain yang berasal dari luar. Hal ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aliran permukaan adalah air yang mengalir di atas permukaan. Aliran permukaan sendiri memiliki peranan penting dalam menentukan kualitas air yang dimilikinya selain

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 32 TAHUN 1990 (32/1990) Tanggal : 25 JULI 1990 (JAKARTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

Museum Karst di Gunungkidul

Museum Karst di Gunungkidul BAB III TINJAUAN KHUSUS MUSEUM KARST DI GUNUNGKIDUL 3.1 Gambaran Umum Kabupaten Gunungkidul 3.1.1 Kondisi Geografi 3.1.1.1 Letak, Batas dan Luas Gambar ar 3.1 Peta Topografi Kabupaten Gunungkidul Sumber

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Perencanaan Hutan Kota Arti kata perencanaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Fak. Ilmu Komputer UI 2008) adalah proses, perbuatan, cara merencanakan (merancangkan).

Lebih terperinci

PENENTUAN PUSAT-PUSAT PERTUMBUHAN DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH DI KABUPATEN GUNUNGKIDUL

PENENTUAN PUSAT-PUSAT PERTUMBUHAN DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH DI KABUPATEN GUNUNGKIDUL JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 3, No. 2, (2014) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) C-290 PENENTUAN PUSAT-PUSAT PERTUMBUHAN DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH DI KABUPATEN GUNUNGKIDUL Eta Rahayu dan Eko Budi Santoso

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng. Indonesia juga merupakan negara yang kaya akan hasil alam.

BAB I PENDAHULUAN. utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng. Indonesia juga merupakan negara yang kaya akan hasil alam. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang berada pada pertemuan tiga lempeng utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng pasifik. Pertemuan tiga

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan Menurut Lillesand dan Kiefer (1997) penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Penggunaan lahan juga diartikan sebagai setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. Ekosistem mangrove

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SRAGEN TAHUN

PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SRAGEN TAHUN PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SRAGEN TAHUN 2011-2031 I. UMUM 1. Faktor yang melatarbelakangi disusunnya Rencana Tata Ruang

Lebih terperinci

PEDOMAN TEKNIS PENGGUNAAN DAN PEMANFAATAN TANAH

PEDOMAN TEKNIS PENGGUNAAN DAN PEMANFAATAN TANAH Lampiran I Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor : 2 TAHUN 2011 Tanggal : 4 Pebruari 2011 Tentang : Pedoman Pertimbangan Teknis Pertanahan dalam Penerbitan Izin Lokasi, Penetapan

Lebih terperinci

Pemanfaatan Peta Geologi dalam Penataan Ruang dan Pengelolaan Lingkungan

Pemanfaatan Peta Geologi dalam Penataan Ruang dan Pengelolaan Lingkungan Pemanfaatan Peta Geologi dalam Penataan Ruang dan Pengelolaan Lingkungan Yogyakarta, 21 September 2012 BAPPEDA DIY Latar Belakang UU No.25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional; Seluruh

Lebih terperinci

STATUS LINGKUNGAN HIDUP KOTA DENPASAR TAHUN 2008

STATUS LINGKUNGAN HIDUP KOTA DENPASAR TAHUN 2008 LAPORAN STATUS LINGKUNGAN HIDUP KOTA DENPASAR TAHUN 2008 DITERBITKAN DESEMBER 2008 DATA OKTOBER 2007 SEPTEMBER 2008 PEMERINTAH KOTA DENPASAR PROVINSI BALI KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik 4.1.1 Wilayah Administrasi Kota Bandung merupakan Ibukota Propinsi Jawa Barat. Kota Bandung terletak pada 6 o 49 58 hingga 6 o 58 38 Lintang Selatan dan 107 o 32 32 hingga

Lebih terperinci

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 43 Tahun 1996 Tentang : Kriteria Kerusakan Lingkungan Bagi Usaha Atau Kegiatan Penambangan Bahan Galian Golongan C Jenis Lepas Di Dataran MENTERI NEGARA LINGKUNGAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk hidup baik manusia,

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk hidup baik manusia, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk hidup baik manusia, flora, fauna maupun makhluk hidup yang lain. Makhluk hidup memerlukan air tidak hanya sebagai

Lebih terperinci

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA PERENCANAAN WILAYAH 1 TPL 314-3 SKS DR. Ir. Ken Martina Kasikoen, MT. Kuliah 10 BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA Dalam KEPPRES NO. 57 TAHUN 1989 dan Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang PEDOMAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 7 TAHUN 2000 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KOTA KUPANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KUPANG, Menimbang

PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 7 TAHUN 2000 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KOTA KUPANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KUPANG, Menimbang PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 7 TAHUN 2000 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KOTA KUPANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KUPANG, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 7 TAHUN 2000 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KOTA KUPANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KUPANG,

PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 7 TAHUN 2000 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KOTA KUPANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KUPANG, PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 7 TAHUN 2000 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KOTA KUPANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KUPANG, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan

Lebih terperinci

SEMINAR HASIL PENELITIAN

SEMINAR HASIL PENELITIAN 1 SEMINAR HASIL PENELITIAN BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Kegiatan pembangunan bidang sumber daya air yang meliputi perencanaan umum, teknis, pelaksanaan fisik, operasi dan pemeliharaan maupun

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. berhasil menguasai sebidang atau seluas tanah, mereka mengabaikan fungsi tanah,

TINJAUAN PUSTAKA. berhasil menguasai sebidang atau seluas tanah, mereka mengabaikan fungsi tanah, II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pertambangan Tanah merupakan salah satu faktor yang terpenting bagi kehidupan manusia. Akan tetapi sangat disayangkan bahwa pada umumnya setelah manusia berhasil menguasai sebidang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kepulauan Bangka Belitung ditetapkan sebagai provinsi baru sesuai Undang - Undang No. 27 tahun 2000 tanggal 4 Desember 2000. Wilayah provinsi ini meliputi Pulau Bangka,

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak Geografis. 08º00'27" Lintang Selatan dan 110º12'34" - 110º31'08" Bujur Timur. Di

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak Geografis. 08º00'27 Lintang Selatan dan 110º12'34 - 110º31'08 Bujur Timur. Di IV. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak Geografis Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai lima Kabupaten dan satu Kotamadya, salah satu kabupaten tersebut adalah Kabupaten Bantul. Secara geografis,

Lebih terperinci

BAB III KONDISI EKSISTING DKI JAKARTA

BAB III KONDISI EKSISTING DKI JAKARTA BAB III KONDISI EKSISTING DKI JAKARTA Sejalan dengan tingginya laju pertumbuhan penduduk kota Jakarta, hal ini berdampak langsung terhadap meningkatnya kebutuhan air bersih. Dengan meningkatnya permintaan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Sulawesi Selatan. GUBERNUR SULAWESI SELATAN Dr. H. Syahrul Yasin Limpo, SH, M.

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Sulawesi Selatan. GUBERNUR SULAWESI SELATAN Dr. H. Syahrul Yasin Limpo, SH, M. Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Sulawesi Selatan GUBERNUR SULAWESI SELATAN Dr. H. Syahrul Yasin Limpo, SH, M.Si, MH PROFIL WILAYAH SULAWESI SELATAN Luas Area : 46.083,94 Km2 Panjang Pesisir

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pencemaran Organik di Muara S. Acai, S. Thomas, S. Anyaan dan Daerah Laut yang Merupakan Perairan Pesisir Pantai dan Laut, Teluk Youtefa. Bahan organik yang masuk ke perairan

Lebih terperinci

INDIKATOR RAMAH LINGKUNGAN UNTUK USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENAMBANGAN TERBUKA BATUBARA

INDIKATOR RAMAH LINGKUNGAN UNTUK USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENAMBANGAN TERBUKA BATUBARA INDIKATOR RAMAH LINGKUNGAN UNTUK USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENAMBANGAN TERBUKA BATUBARA Antung Deddy Asdep Keanekaragaman Hayati dan Pengendalian Kerusakan Lahan Deputi Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bandar Lampung sebagai kota pesisir, terletak pada posisi 5º20-5º31 LS

I. PENDAHULUAN. Bandar Lampung sebagai kota pesisir, terletak pada posisi 5º20-5º31 LS I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bandar Lampung sebagai kota pesisir, terletak pada posisi 5º20-5º31 LS dan 105º10-105º22 BT, mempunyai berbagai permasalahan yang berkaitan dengan karakteristik wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. banyak, bahkan oleh semua mahkluk hidup. Oleh karena itu, sumber daya air

BAB I PENDAHULUAN. banyak, bahkan oleh semua mahkluk hidup. Oleh karena itu, sumber daya air BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber daya alam yang diperlukan untuk hajat hidup orang banyak, bahkan oleh semua mahkluk hidup. Oleh karena itu, sumber daya air harus dilindungi agar

Lebih terperinci

RINGKASAN EKSEKUTIF KOTA BONTANG DOKUMEN INFORMASI KINERJA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH PEMERINTAH KOTA BONTANG PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

RINGKASAN EKSEKUTIF KOTA BONTANG DOKUMEN INFORMASI KINERJA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH PEMERINTAH KOTA BONTANG PROVINSI KALIMANTAN TIMUR RINGKASAN EKSEKUTIF DOKUMEN INFORMASI KINERJA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH KOTA BONTANG 2016 PEMERINTAH KOTA BONTANG PROVINSI KALIMANTAN TIMUR DOKUMEN INFORMASI KINERJA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu aset penting bagi negara, yang juga merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat. Hutan sebagai sumberdaya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengelolaan Lingkungan Hidup Dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang disempurnakan dan diganti dengan Undang Undang

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Tabel SD-1 Luas Wilayah Menurut Penggunaan Lahan Utama Tabel SD-2 Luas Kawasan Hutan Menurut Fungsi/Status... 1

DAFTAR ISI. Tabel SD-1 Luas Wilayah Menurut Penggunaan Lahan Utama Tabel SD-2 Luas Kawasan Hutan Menurut Fungsi/Status... 1 DAFTAR ISI A. SUMBER DAYA ALAM Tabel SD-1 Luas Wilayah Menurut Penggunaan Lahan Utama... 1 Tabel SD-2 Luas Kawasan Hutan Menurut Fungsi/Status... 1 Tabel SD-3 Luas Kawasan Lindung berdasarkan RTRW dan

Lebih terperinci

PELAKSANAAN KEGIATAN BIDANG PENGENDALIAN KERUSAKAN PERAIRAN DARAT TAHUN 2015

PELAKSANAAN KEGIATAN BIDANG PENGENDALIAN KERUSAKAN PERAIRAN DARAT TAHUN 2015 PELAKSANAAN KEGIATAN BIDANG PENGENDALIAN KERUSAKAN PERAIRAN DARAT TAHUN 2015 A. PEMANTAUAN KUALITAS AIR DANAU LIMBOTO Pemantauan kualitas air ditujukan untuk mengetahui pengaruh kegiatan yang dilaksanakan

Lebih terperinci

Geografi PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUN BERKELANJUTAN I. K e l a s. xxxxxxxxxx Kurikulum 2006/2013. A. Kerusakan Lingkungan Hidup

Geografi PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUN BERKELANJUTAN I. K e l a s. xxxxxxxxxx Kurikulum 2006/2013. A. Kerusakan Lingkungan Hidup xxxxxxxxxx Kurikulum 2006/2013 Geografi K e l a s XI PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUN BERKELANJUTAN I Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan berikut.

Lebih terperinci