BAB II KAJIAN PUSTAKA. disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Penyakit ini biasanya menyerang kulit

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KAJIAN PUSTAKA. disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Penyakit ini biasanya menyerang kulit"

Transkripsi

1 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Definisi Kusta Penyakit kusta merupakan infeksi kronik granulomatosa yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Penyakit ini biasanya menyerang kulit dan saraf tepi namun juga dapat mengenai otot, mata, tulang, testis dan organ lainnya (Lee dkk, 2012; Thorat dan Sharma, 2010). Penyakit kusta memiliki manifestasi klinis yang bervariasi dimana secara garis besar terdapat tiga pembagian penyakit kusta yaitu tipe tuberkuloid (tipe kusta yang lebih ringan), lepromatosa (tipe kusta yang lebih berat, dapat disertai keterlibatan organ lain) dan borderline (terdapat gejala tuberkuloid maupun lepromatosa) (Sandle, 2013; Thorat dan Sharma, 2010). 2.2 Epidemiologi Hingga saat ini MDT masih merupakan faktor utama dalam pengendalian penyakit kusta selama 3 dekade setelah diperkenalkannya obat ini untuk pertama kali. Pada tahun-tahun pertama sejak diperkenalkannya MDT prevalensi penyakit kusta menurun secara drastis hingga 45 %, sehingga WHO kemudian mencanangkan program eliminasi penyakit kusta sebagai permasalahan kesehatan masyarakat secara global pada tahun Eliminasi penyakit kusta didefinisikan sebagai penurunan prevalensi penyakit hingga mencapai <1 kasus per populasi. Program ini terutama ditujukan pada negara-negara dimana 9

2 10 penyakit kusta bersifat endemik. Sebagai hasilnya target eliminasi penyakit kusta secara global dapat dicapai pada tahun 2000 dengan perkecualian pada beberapa negara dimana target eliminasi secara nasional baru dicapai pada tahun 2005 (WHO, 2014). Berdasarkan data yang diperoleh dari 121 negara pada tahun 2014, WHO melaporkan jumlah kasus baru yang terdeteksi adalah sebesar jumlah ini menurun dibanding jumlah kasus baru pada tahun 2013 yaitu sebesar Jumlah kasus baru terbanyak dilaporkan berasal dari Asia yaitu sebesar (72%), kemudian Amerika , Afrika , Pasifik Barat 4337 dan terakhir Meditarian Timur Berdasarkan data WHO Indonesia masih menempati peringkat ketiga jumlah kasus baru terbanyak setelah India dan Brasil yaitu sebesar Jumlah kasus baru ini mengalami peningkatan dibanding tahun 2013 yaitu sebesar Diantara negara di Asia, Indonesia juga menempati jumlah kasus kusta tipe MB terbanyak yaitu sebesar 83,4% diantara kasus baru yang terdeteksi, serta jumlah kasus kusta baru pada anak yang terbanyak yaitu sebesar 11,1%, sedangkan untuk jumlah kasus yang teregistrasi selama trimester pertama 2015 berdasarkan data WHO adalah sebesar (WHO, 2015). Berdasarkan data Kementerian Kesehatan Republik pada tahun 2013 jumlah kasus baru yang tecatat di provinsi Bali adalah sebesar 88 kasus dengan 81 kasus MB dan 7 kasus PB, sedangkan pada tahun 2014 tercatat 81 kasus baru dengan 68 kasus MB dan 13 kasus PB. Angka prevalensi kusta di Provinsi Bali pada tahun 2014 adalah 0,21 per penduduk (Yudianto dkk., 2014; Sitohang dkk., 2015).

3 11 Penyakit kusta dapat mengenai semua usia namun yang terbanyak adalah pada usia muda dan produktif. Berdasarkan jenis kelamin penyakit kusta dapat mengenai laki-laki dan perempuan dengan proporsi yang sama. Penyakit kusta juga dipengaruhi oleh sosial ekonomi, dimana penyakit kusta lebih jarang ditemukan pada tingkat sosial ekonomi yang tinggi (Kemenkes RI, 2012). 2.3 Etiologi Penyakit kusta disebabkan oleh Mycobacterium leprae, yang merupakan bakteri tahan asam, berbentuk batang gram positif, tidak dapat dikultur pada media buatan, aerob dan bersifat obligat intraseluler. Bakteri ini pertama kali ditemukan oleh Gerhard Armauer Hansen pada tahun 1873 sehingga penyakit ini dikenal pula sebagai Morbus Hansen (Lee dkk., 2012; Sekar, 2010). Mycobacterium leprae bersifat non motil berukuran panjang 1-8 mikron dan diameter 0,3 mikron dengan sisi paralel dan ujung yang membulat. Tropisme dari bakteri ini adalah sistem retikuloendotelial dan sistem saraf perifer (sel Schwann). Replikasi memerlukan waktu 11 hingga 13 hari, tumbuh maksimal pada suhu 27 0 C hingga 30 0 C (Eichelmann dkk., 2013; Sekar, 2010). Dinding sel bakteri mengandung peptidoglikan yang berikatan dengan arabinogalaktan dan mycolic acid. Lipoarabinomanan merupakan target lipoglikan respon imunitas selular maupun humoral yang ditemukan pada membran bagian luar hingga ke membran sel. Kapsul M. leprae mengandung 2 lipid bakteri utama yaitu pthiocerol dimycocerosate dan phenolic glycolipid-1 (PGL-1) yang merupakan glikolipid spesifik untuk M. leprae yang aktif secara serologis. Phenolic

4 12 glycolipid-1 sangat imunogenik,dapat memicu imunoglobulin kelas Imunoglobulin (Ig ) M yang ditemukan pada 60% kusta tipe TT dan 90% kusta tipe LL. (Lee dkk., 2012; Sekar, 2010; Polycarpou dkk., 2013). 2.4 Patogenesis Penyakit kusta ditandai dengan adanya spektrum klinis yang luas didasari oleh respon imunitas pejamu (Gambar 2.1). Penderita kusta tipe tuberkuloid menunjukkan adanya respon imunitas seluler yang dimediasi oleh Th (T Helper) 1, IFN-γ dan interleukin (IL)-2 ) pada kulit dan saraf, yang menggambarkan adanya respon hipersensitivitas tipe lambat terhadap antigen M. leprae. Kusta tipe tuberkuloid ditandai dengan adanya pembentukan granuloma dengan predominan sel T CD4+ dan gambaran klinis adanya gangguan saraf tepi yang jelas namun jumlah basil serta lesi yang sedikit. Sebaliknya kusta tipe lepromatosa dihubungkan dengan respon imun yang dimediasi oleh sel Th2 (IL-4 dan IL-10) yang tidak responsif terhadap antigen M. leprae, predominan sel T CD8+ serta tidak terbentuk granuloma. Terdapat pula kelompok kusta tipe borderline yang menunjukan pola imunitas diantara kedua kutub kusta. (Gulia dkk., 2010; Nath dan Chaduvula, 2010; Misch dkk, 2010).

5 13 Gambar 2.1 Spektrum Klinis Penyakit Kusta (Nath dan Chaduvula, 2010) Pada tahap awal M. leprae dikenali oleh beberapa reseptor imunitas alamiah termasuk Toll-like receptor (TLR). Toll-like receptor 2 membentuk heterodimer dengan TLR1 untuk mengenali komponen mikobakterium seperti protein 19-kDa dan lipopeptida lainnya (Misch dkk., 2010). Lipoglikan lipomanan (LM) dan manosa atau arabinose-capped lipoarabinomanan (ManLAM dan AraLAM) merupakan faktor virulensi utama pada spesies mikobakterium, berperan sebagai agonis poten TLR1/2 dan berkontribusi pada aktivasi makrofag dan imunomodulasi respon pejamu. Molekul ini berperan pada pelepasan ROS oleh sel fagosit melalui mekanisme respiratory burst (Hart dan Tapping, 2012). Beberapa reseptor signaling lainnya yang juga dianggap berperan antara lain TLR 4,6,8 dan 9, sel dendritik, Dectin-1 dan mincle (Misch dkk., 2010).

6 14 Determinan utama diferensiasi sel limfosit T yang naïf menjadi sel Th1 dimediasi oleh antigen presenting cell (APC) dan komplek TLR melalui pelepasan IL-12. Pada kusta tipe tuberkuloid ekspresi IL-12 ditemukan 10 kali lipat lebih tinggi dibanding kusta tipe lepromatosa. Pelepasan IL12 juga dimediasi oleh TLR 1 dan 2 dan CD40 dimana ekspresi TLR maupun CD40 ini ditemukan lebih banyak pada lesi tuberkuloid dibanding lepromatosa. Hal ini menjelaskan mengapa pada kusta tipe lepromatosa terjadi kegagalan pembentukan Th1 dan IFN γ yang berespon terhadap antigen M. leprae (Renault dan Ernst, 2015) Makrofag merupakan sel pejamu yang paling banyak berinteraksi dengan M. leprae. Makrofag memiliki 2 fungsi utama yaitu sebagai APC melalui molekul Major Histocompatibility Complex (MHC) klas I dan klas II yang dipresentasikan kepada sel CD8+ dan CD4+ serta sebagai fagositosis bakteri patogen melalui mekanisme efektor nonspesifik. Makrofag pada jaringan spesifik dan lokasi infeksi berperan dalam melepaskan sitokin termasuk TNF-α sebagai hasil dari stimulasi M. leprae utuh maupun komponen dinding sel. Stimulasi makrofag oleh PGL-1 juga dapat menginduksi pelepasan TNF-α (Bath dan Prakash, 2012; Venkatesan dan Deo, 2012). Produk utama reaktivasi makrofag adalah ROS dan nitric oxide (NO). Produksi ROS diperantarai oleh fagosit oksidase suatu enzim multisubunit yang diaktivasi terutama oleh IFN-γ dan sinyal dari TLR. Fagosit oksidase berfungsi mereduksi molekul oksigen menjadi ROS dengan kofaktor nicotinamide adenine dinucleotide phosphate (NADPH). Radikal superoksid yang terbentuk dari proses ini kemudian akan mengalami dismutasi secara enzimatik menjadi hidrogen peroksida, yang selanjutnya digunakan oleh

7 15 enzim myeloperoksidase untuk mengubah ion halida menjadi asam hipoklorat yang bersifat reaktif. Proses ini dikenal dengan sebutan respiratory burst (Abbas dkk., 2015). Selain ROS, makrofag juga memproduksi reactive nitrogen species terutama NO. Nitric oxide dibentuk dari aktivasi enzim inducible nitric oxide synthase (inos). Enzim ini merupakan enzim sitosolik yang terinduksi sebagai respon terhadap produk mikrobial yang mengaktivasi TLR, terutama apabila dikombinasi dengan IFN-γ. Enzim inos mengkatalisasi konversi arginin menjadi sitrulin dan melepaskan NO yang berdifusi aktif. Di dalam fagolisosom NO dapat membentuk radikal peroksinitrit yang sangat reaktif, sebagai hasil penggabungan dengan hidrogen peroksida atau radikal superoksid yang dapat membunuh bakteri (Abbas dkk., 2015). Gambar 2.2 Peran Makrofag pada Sistem Imunitas (Abbas dkk., 2015)

8 16 Sel schwann pada saraf perifer merupakan target utama infeksi oleh M. leprae. Kerusakan saraf perifer dapat disebabkan secara langsung oleh M. leprae maupun melalui respon imunitas. Mycobacterium leprae dapat menginvasi sel schwann melalui ikatan PGL-1 dengan domain G pada rantai α2 laminin-2 yang terdapat pada membran sel Schwann. Laminin binding protein 21 (LBP-21) berperan memediasi masuknya M. leprae menuju ke intraseluler sel Schwann, selanjutnya internalisasi M. leprae akan menyebabkan demyelinisasi saraf perifer diakibatkan oleh ikatan langsung antara bakteri dengan reseptor neuregulin, aktivasi ErB2 dan Erk1/2 dan aktivasi Mitogen Activated Protein (MAP) kinase (Gulia dkk., 2010; Nath dan Chaduvula, 2010; Misch dkk., 2010; Renault dan Ernst, 2015). Demyelinisasi oleh M. leprae akan memicu invasi lebih lanjut karena M. leprae lebih menyukai unit akson yang tidak bermyelin. Mekanisme kerusakan saraf secara langsung ini terutama berperan pada kusta tipe multibasilar (Renault dan Ernst, 2015). Hipotesis kerusakan saraf yang dimediasi oleh sistem imun diduga disebabkan karena pelepasan sitokin proinflamasi antara lain TNF, IL-12, IL-16, IL-18, 1L-15 dan IL-1β oleh monosit atau makrofag. Protein 19-kDa yang dikenali oleh TLR1/2 menginduksi pelepasan sitokin proinflamasi dan apoptosis sel Schwann, selain itu sel Schwann yang terpapar secara in vitro terhadap neuron yang mengalami nekrosis memproduksi TNF dan nitric oxide (NO) yang merupakan mediator inflamasi poten. Pada tingkat jaringan, kerusakan saraf disebabkan karena influks sel imunitas dan cairan interstisial (edema) pada saraf

9 17 sehingga terjadi kompresi dan iskemia (Misch dkk., 2010; Renault dan Ernst, 2015). 2.5 Cara Penularan Manusia merupakan satu-satunya reservoir alamiah M.leprae dan sumber infeksi kusta pada manusia adalah kasus kusta yang tidak diobati. Kusta tipe MB merupakan sumber infeksi yang lebih penting dibanding PB. Jumlah bakteri pada kusta tipe lepromatosa dikatakan mencapai 7000 juta basil per gram jaringan, sedangkan jumlah basil pada kusta tipe yang lain dikatakan lebih rendah, namun semua kasus kusta yang aktif harus dipertimbangkan sebagai sumber infeksi yang potensial (Eichelmann, 2013; Rao, 2012; Thorat, 2010). Mekanisme transmisi M.leprae hingga saat ini masih belum diketahui secara pasti. Saluran pernafasan terutama hidung merupakan tempat masuk utama M. leprae, sehingga inhalasi melalui droplet merupakan metode transmisi utama (Eichelmann, 2013; Rao, 2012). Berjuta basil dikeluarkan dari mukosa nasal individu dengan pemeriksaan bakteriologis positif pada saat bersin, namun hanya sedikit (kurang dari 3%) dari bakteri yang berhasil keluar bersifat viabel bahkan pada kasus yang belum mendapat pengobatan. Sehingga kemampuan transmisi M. leprae bersifat rendah dan kontak yang lama serta penduduk yang padat merupakan salah satu faktor risiko (Eichelmann, 2013; Thorat, 2010). Metode transmisi lainnya meliputi kontak kulit secara langsung, melalui fomit dan inokulasi lewat trauma meskipun masih memerlukan pembuktian lebih lanjut.

10 18 Metode transmisi lain yang juga masih belum terbukti adalah transmisi in utero dan melalui air susu ibu (Rao, 2012; Thorat, 2010). 2.6 Diagnosis Berdasarkan pertemuan komite ahli WHO pada tahun 1997, penyakit kusta didiagnosis berdasarkan atas 3 tanda kardinal. Diagnosis ditegakkan apabila individu yang belum menyelesaikan pengobatan memiliki satu atau lebih tanda kardinal berikut (Kumar dan Dogra, 2010) : 1. Lesi kulit hipopigmentasi atau eritematosa yang disertai dengan hilangnya atau gangguan sensasi Makula atau plak dapat berwarna hipopigmentasi, hiperpigmentasi, eritematosa atau berwarna seperti tembaga. Permukaan dapat kering atau kasar karena hilangnya fungsi kelenjar keringat atau berkilap atau dapat pula dengan permukaan lembut. Dapat ditemukan hilangnya folikel rambut dan lesi dapat berupa infiltasi, edema atau eritema. Adanya anestesi merupakan hal yang spesifik untuk penyakit kusta. Pemeriksaan adanya gangguan sensorik dilakukan terhadap rasa raba, nyeri dan suhu. (Kumar dan Dogra, 2010; Noto dan Schreuder, 2010). 2. Keterlibatan saraf tepi yang ditunjukkan dengan adanya penebalan saraf Pembesaran saraf tepi biasanya baru ditemukan setelah adanya lesi kulit. Saraf yang paling sering terkena adalah nervus ulnaris dan peroneus komunis. Adanya pembesaran saraf yang lebih dari satu biasanya lebih sering ditemukan pada kusta tipe MB. Penebalan saraf diketahui dengan

11 19 pemeriksaan palpasi. Evaluasi meliputi rasa nyeri (nyeri spontan atau dengan palpasi), konsistensi (lunak, keras atau iregular) dan ukuran (membesar, normal atau kecil). Pemeriksaan saraf meliputi pemeriksaan nervus supraorbital, nervus aurikularis magnus, nervus ulnaris, nervus radialis, nervus medianus, nevus poplitea lateralis, nervus peroneus, dan nervus tibialis posterior (Kumar dan Dogra, 2010; Noto dan Schreuder, 2010). 3. Pemeriksaan hapusan sayatan kulit ditemukan basil tahan asam Pemeriksaan hapusan sayatan kulit dapat diambil dari mukosa nasal, lobus telinga dan lesi kulit. Pewarnaan dilakukan dengan metode Ziehl-Neelsen. Berdasarkan pemeriksaan hapusan kulit kemudian dapat ditentukan indeks bakteri (IB) dan indeks morfologi (IM) yang membantu dalam menentukan tipe kusta dan evaluasi terapi (Eichelmann, 2013; Job dan Ponnaiya, 2010). Pada kasus yang meragukan dapat dilakukan pemeriksaan histopatologis. Pemeriksaan histopatologis pada kusta akan menunjukkan gambaran granuloma yang khas disertai keterlibatan saraf. Pada kusta tipe tuberkuloid umumnya akan ditemukan gambaran granuloma epiteloid disertai infiltrat limfosit, sedangkan pada kusta tipe lepromatosa akan ditemukan gambaran granuloma makrofag. Pada kusta tipe borderline akan ditemukan gambaran granuloma dengan proporsi sel epiteloid dan makrofag yang berbeda-beda (Porichha dan Natrajan; 2010). Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan serologis yaitu

12 20 pemeriksaan titer antibodi PGL-1 dan polymerase chain reaction (PCR) (Eichelmann; 2013). 2.7 Klasifikasi Klasifikasi kusta sangat penting dalam menentukan regimen pengobatan, prognosis dan komplikasi serta perencanaan operasional misalnya menemukan pasien yang menular yang mempunyai nilai epidemiologi tinggi sebagai target utama pengobatan. Selain itu klasifikasi kusta juga sangat penting untuk identifikasi pasien yang kemungkinan besar akan menderita cacat. Klasifikasi kusta yang sering digunakan adalah klasifikasi berdasarkan atas Ridley dan Jopling 1962) yang membagi kusta menjadi 5 yaitu kusta tipe Tuberculoid Tuberculoid (TT), Borderline Tuberculoid (BT), Mid-Borderline (BB), Borderline Lepromatosa (BL) dan Lepromatous Lepromatous (LL). Pembagian ini didasarkan pada kriteria klinis, bakteriologis, imunologis dan histopatologis (Lee, dkk., 2012; Mishra dan Kumar 2010). Klasifikasi kusta yang lain adalah klasifikasi Madrid yang didasarkan pada Kongres Internasional Kusta di Madrid pada tahun Klasifikasi ini terdiri dari kusta tipe Indeterminate (I), Tuberculoid (T), Borderline-Dimorphous (B) dan Lepromatous (L). Untuk kepentingan program kusta WHO mengeluarkan klasifikasi kusta pada tahun 1988 yang terdiri dari kusta tipe pausibasilar (PB) meliputi kusta dengan pemeriksaan BTA negatif yaitu tipe I, TT dan BT berdasarkan klasifikasi Ridley dan Jopling atau tipe I dan T menurut klasifikasi Madrid dan kusta tipe MB yang meliputi kusta tipe LL, BL, BB menurut Ridley dan Jopling atau tipe B

13 21 dan L menurut klasifikasi Madrid dan semua tipe kusta dengan BTA positif. Keterbatasan pemeriksaan hapusan kulit yang tidak bisa diterapkan secara global menyebabkan WHO kembali mengeluarkan klasifikasi pada tahun 1998 yang membagi kusta menjadi 3 berdasarkan atas jumlah lesi yaitu kusta tipe PB dengan lesi tunggal, kusta tipe PB dengan jumlah lesi 2-5 dan kusta tipe MB dengan jumlah lesi lebih dari 5 atau semua kusta dengan BTA positif (Mishra dan Kumar 2010). Tabel 2.1 Karakteristik Klasifikasi Kusta Ridley dan Jopling (Kumar dan Dogra, 2010) Lesi TT BT BB BL LL Jumlah Biasanya tunggal (s/d 3) Sedikit (s/d 10) Beberapa (10-30) Banyak asimetris (>30) Ukuran Permukaan Bervariasi, umumnya besar Kering, dengan skuama Bervariasi, beberapa besar Kering, dengan skuama, terlihat cerah, terdapat infiltrat Sensasi Hilang Menurun dengan jelas Pertumbuhan rambut Tidak ada Menurun dengan jelas BTA Negatif Negatif atau sedikit Reaktivitas lepromin Positif kuat (+++) Positif lemah (+ atau ++) Bervariasi Kusam atau sedikti mengkilap Menurun sedang Menurun sedang Jumlah sedang Negatif atau positif lemah Kecil, beberapa dapat besar Mengkilap Sedikit menurun Sedikit menurun Banyak Negatif Tidak terhitung, simetris Kecil Mengkilap Normal atau menurun minimal Normal pada tahap awal Banyak sekali termasuk globi Negatif

14 Pemeriksaan Hapusan Sayatan Kulit Pemeriksaan hapusan sayatan kulit atau slit skin smear merupakan pemeriksaan sediaan yang diperoleh melalui irisan atau kerokan kecil pada kulit yang kemudian diberikan pewarnaan tahan asam untuk melihat M. leprae. Dari keseluruhan pemeriksaan laboratorium yang tersedia untuk penyakit kusta, pemeriksaan hapusan kulit merupakan pemeriksaan yang paling sederhana. Tujuan pemeriksaan ini antara lain untuk konfirmasi diagnosis kusta, klasifikasi penyakit, untuk mengetahui derajat infeksius penderita, progresivitas penyakit dan pemantauan pengobatan. Pengambilan lokasi yang banyak mengandung bakteri yaitu kedua telinga, siku kiri, dorsum jari kiri, dan ibu jari kanan (Mahajan, 2013). Atau dapat pula diambil pada 2 atau 3 lokasi yaitu cuping telinga kanan dan kiri serta lesi kulit yang aktif (Kemenkes RI, 2012). Pemeriksaan hapusan sayatan kulit memiliki spesifitas sebesar 100% karena secara langsung menunjukkan gambaran BTA, namun sensitivitasnya rendah yaitu berkisar antara 10%-50%. Sensitivitas yang rendah ini disebabkan karena pemeriksaan hapusan sayatan kulit dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain keterampilan petugas, teknik pengambilan seperti kedalaman insisi dan ketebalan film serta kelengkapan alat dan bahan seperti reagan dan mikroskop yang berfungsi dengan baik (Desikan dkk., 2006; Bhushan dkk., 2008). Setelah pengambilan spesimen, kemudian dilakukan pewarnaan dengan metode Ziehl Neelsen dan diperiksa dibawah mikroskop. Jumlah BTA dalam setiap lapangan pandang dihitung serta morfologi masing-masing basil diperhatikan dengan seksama. Basil yang solid umumnya merupakan basil yang

15 23 masih hidup dan viabel sedangkan basil dengan morfologi granular, atau terfragmentasi merupakan basil yang sudah mati dan tidak viabel. Berdasarkan jumlah dan kepadatan bakteri serta morfologi bakteri dilakukan penghitungan IB dan IM (Job dan Ponnaiya, 2010; Lee dkk., 2012). Indeks bakteri merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan apus. Pada IB, penghitungan dilakukan baik pada basil yang masih hidup (solid) maupun yang telah mati (fragmentasi dan granular). Penghitungan dilakukan menurut skala logaritma Ridley sebagai berikut: a. +6 terdapat lebih dari 1000 BTA atau lebih dari 5 gumpalan pada satu lapangan pandang. b. +5 terdapat 100 sampai 1000 BTA pada satu lapangan pandang. c. +4 terdapat 10 sampai 100 BTA pada satu lapangan pandang. d. +3 terdapat 1 sampai 10 BTA pada satu lapangan pandang. e. +2 terdapat 1 sampai 10 BTA pada 10 lapangan pandang. f. +1 terdapat 1 sampai 10 BTA pada 100 lapangan pandang g. 0 terdapat 0 BTA pada 100 lapangan pandang (Bryceson, 1990; Job dan Ponnaiya, 2010; Lee dkk., 2012). Pada pasien yang tidak diobati, pemeriksaan pada cuping telinga menghasilkan jumlah basil yang terbesar. Pada pasien yang diobati, permukaan dorsal dari jari sering merupakan tempat terakhir yang memberikan hasil negatif. Indeks morfologi merupakan persentase basil kusta berbentuk utuh atau solid terhadap keseluruhan BTA. Indeks morfologi berguna untuk mengetahui

16 24 kemampuan penularan kuman dan menilai hasil pengobatan (Job dan Ponnaiya, 2010; Noto dan Schreuder, 2010). Indeks bakteri umumnya mulai turun setelah setahun mendapatkan terapi MDT sebesar log 0,6-1,0 per tahun atau +1 per tahun dan berlanjut meskipun MDT telah dihentikan. Penurunan umumnya ditemukan lebih lambat pada kasus MB dibanding PB (Mahajan, 2013). Pada penelitian yang dilakukan oleh Maghanoy dkk (2011) di Filipina, ditemukan 98% pasien kusta dengan IB yang tinggi ( +4) masih tetap positif setelah 1 tahun pengobatan sedangkan pada pasien kusta dengan IB yang rendah (<+4), 74% masih ditemukan dengan IB positif setelah 1 tahun pengobatan. 2.9 Terapi Kusta World Health Organization sejak tahun 1981 merekomendasikan penggunaan multidrug therapy (MDT) yang terdiri dari rifampisin, dapson dan klofasimin untuk pengobatan kusta. Pengobatan dengan MDT bertujuan untuk menurunkan insiden relaps pasca pengobatan, menurunkan efek samping serta menurunkan durasi pengobatan sehingga menurunkan biaya (Pai dkk., 2010). Regimen PB terdiri atas rifampisin 600 mg sebulan sekali ditambah dapson 100 mg/hari selama 6 bulan. Regimen MB terdiri atas kombinasi rifampisin 600 mg sebulan sekali, dapson 100 mg/hari ditambah klofazimin 300 mg/sebulan dengan lama pengobatan 12 bulan. Pengobatan baru yang juga efektif terhadap M. leprae meliputi minoksiklin, ofloksasin, klaritromisin, rifabutin, rifapentin, bromidoprim dan antibiotika golongan beta laktam (Pai dkk., 2010; Yawalkar, 2009).

17 Reaksi Kusta Salah satu komplikasi pada penyakit kusta yaitu adanya reaksi kusta yang dapat terjadi sebelum, selama dan sesudah pengobatan. Reaksi kusta merupakan episode inflamasi akut atau subakut yang dimediasi oleh proses imunologis pada perjalanan penyakit kusta yang bersifat kronis, yang dapat mengenai kulit, saraf, membran mukosa dan lokasi lain. (Kar dan Sharma, 2010; Yawalkar, 2009). Terdapat 3 jenis reaksi kusta yaitu reaksi tipe 1, reaksi tipe 2 atau reaksi eritema nodosum leprosum (ENL) dan fenomena lucio (Kar dan Sharma, 2010). Reaksi tipe 1 umumnya ditemukan pada kusta tipe borderline. Reaksi tipe 1 dapat bersifat upgrading (reaksi reversal) apabila terjadi peningkatan imunitas seluler sehingga terjadi pergeseran spektrum ke arah tuberkuloid atau downgrading apabila terjadi pergeseran spektrum ke arah lepromatosa. Pada reaksi reversal, lesi kulit yang telah ada menjadi lebih eritematosa dan dapat disertai timbulnya lesi baru. Lesi kulit dapat disertai dengan neuritis ringan hingga berat (Lee dkk., 2012). Reaksi kusta tipe 2 atau ENL merupakan reaksi kusta yang dihubungkan dengan pembentukan kompleks imun antigen-antibodi pada jaringan sehingga menyebabkan terjadinya fokus inflamasi akut. Reaksi tipe 2 ini terutama sering ditemukan pada kusta tipe LL serta BL. Lesi dapat berupa papul kecil ataupun nodul berwarna kemerahan dan nyeri pada penekanan. Pada ENL yang berat berat dapat disertai dengan gangguan saraf, gejala sistemik dan gangguan pada organ lain (Bryceson, 1990; Kar dan Sharma, 2010; Lee dkk., 2012).

18 26 Fenomena lusio merupakan reaksi yang ditemukan pada penderita kusta lusio diawali dengan terbentuknya plak merah kebiruan dengan halo eritematosa yang selanjutnya berkembang menjadi infark hemoragik pada bagian tengah tanpa atau disertai pembentukan bula (Bryceson, 1990; Kar dan Sharma, 2010) Stres Oksidatif Definisi Stres oksidatif merupakan suatu kondisi yang disebabkan karena ketidakseimbangan antara oksidan dan antioksidan. Hal ini dapat disebabkan oleh pembentukan radikal bebas atau ROS yang berlebihan atau karena defisiensi antioksidan enzimatik dan nonezimatik atau keduanya (Dalle-Donne, 2006; Rahal dkk., 2014). Setiap sel pada tubuh manusia mempertahankan kondisi homeostasis antara oksidan dan antioksidan. Sekitar 1-3% oksigen yang dikonsumsi manusia diubah menjadi ROS. Pada kondisi metabolisme normal pembentukan ROS secara terus menerus dan radikal bebas lainnya diperlukan untuk fungsi fisiologis normal seperti pembentukan Adenosine Triphosphate (ATP), berbagai macam proses anabolik dan katabolik dan siklus reduksi-oksidasi seluler. Pembentukan ROS dan radikal bebas lainnya yang berlebihan dapat disebabkan karena proses biologikal endogen dan faktor eksogen yang berasal dari lingkungan seperti paparan kimia, polusi atau radiasi (Rahal dkk., 2014). Adanya ROS berlebihan dapat menyebabkan kerusakan pada komponen sel seperti lipid, protein dan Deoxyribonucleic acid (DNA) sehingga selanjutnya dapat mempengaruhi

19 27 viabilitas sel dan menginduksi berbagai respon seluler yang dapat menimbulkan kematian sel dan kerusakan jaringan (Dalle-Donne, 2006; Birben dkk., 2012) Radikal bebas, reactive oxygen species, antioksidan Radikal bebas merupakan molekul yang memiliki satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan pada orbit luarnya. Radikal bebas bersifat tidak stabil dan sangat reaktif karena elektron yang tidak berpasangan ini cenderung akan mencari pasangan elektron dari molekul lain dengan tujuan untuk menetralisasi dirinya sendiri. Pada saat reaksi antara radikal bebas dengan molekul lain dapat terbentuk molekul nonradikal yang kurang reaktif atau akan terbentuk radikal bebas lainnya yang lebih reaktif sehingga terjadi reaksi berantai. Tanpa adanya suatu mekanisme untuk menonaktifkan radikal bebas ini maka sejumlah besar radikal bebas akan terbentuk dalam waktu beberapa detik setelah reaksi awal. Radikal bebas dapat berasal dari oksigen, sulfur, atau karbon, namun yang paling signifikan secara fisiologis adalah radikal bebas yang berasal dari oksigen (Birben dkk., 2012; Winarsi, 2007). Reactive oxygen species merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan sejumlah molekul reaktif dan radikal bebas yang berasal dari molekul oksigen (Held, 2015). Terdapat dua kelompok ROS yaitu yang bersifat radikal bebas dan bersifat non radikal. Anion superoksid (O - 2 ) dan radikal hidroksil merupakan contoh ROS yang bersifat radikal bebas sedangkan hidrogen peroksida (H 2 O 2 ), singlet oksigen dan asam hipoklorat (HOCl) merupakan contoh ROS yang bersifat non radikal (Birben dkk., 2012; Halliwell, 2001). Reactive oxygen species dihasilkan oleh sel melalui berbagai mekanisme antara lain

20 28 sebagai konsekuensi metabolisme aerob normal oleh mitokondria, oksidatif atau respiratory burst sel fagosit serta berasal dari metabolisme xenobiotik untuk detoksifikasi substansi toksik. Pada umumnya ROS pada konsentrasi rendah penting untuk fungsi fisiologis normal seperti ekspresi gen, pertumbuhan sel, pertahanan terhadap infeksi, biosintesis molekul seperti tiroksin, prostaglandin, serta memicu proliferasi sel T. Beberapa penelitian terakhir juga menemukan peranan ROS sebagai molekul signaling yang penting untuk efek biologis. Persentase ROS meningkat pada kondisi inflamasi kronik, infeksi, olahraga yang berlebihan, paparan terhadap alergen, obat dan toksin (Krishnamurthy dan Wadhwani, 2012; Bennett dan Griffiths, 2013). Terdapat berbagai macam ROS, namun yang paling berperan adalah anion superoksida (O - 2 ), hidrogen peroksida (H 2 O 2 ), radikal hidroksil (OH. ). Anion superoksid terbentuk dari penambahan 1 elektron pada molekul oksigen. Proses ini dimediasi oleh enzim nicotinamide adenine dinucleotide phosphate (NADPH) oksidase atau xantine oksidase atau oleh sistem transport elektron mitokondria. Mitokondria merupakan lokasi utama pembentukan anion superoksid namun enzim NADPH juga ditemukan pada leukosit, neutrofil, monosit dan makrofag. Selama proses fagositosis terjadi respiratory burst yang memproduksi superoksid. Superoksid kemudian diubah menjadi hidrogen peroksida oleh superoksid dismutase (SOD) (Birben dkk., 2012; Kunwar dan Priyadarshini, 2011; Valko dkk., 2006). Hidrogen peroksida dapat diproduksi oleh xanthine oxidase, asam amino oksidase dan NADPH oksidase. Struktur H 2 O 2 menyerupai air dan dapat

21 29 berdifusi didalam maupun diantara sel. Hidrogen peroksida memiliki sifat yang kurang reaktif namun dapat bergabung dengan besi serta tembaga membentuk radikal hidroksil yang sangat reaktif. Anion superoksid juga dapat bereaksi dengan H 2 O 2 dan menghasilkan radikal hidroksil (OH - ). Radikal hidroksil merupakan ROS yang sangat berbahaya karena reaktivitas yang tinggi dan memiliki waktu paruh yang sangat singkat sehingga umumnya menimbulkan kerusakan terutama pada lokasi disekitarnya (Birben dkk., 2012; Halliwell, 2001; Kunwar dan Priyadarshini, 2011). Untuk mengimbangi efek merugikan yang ditimbulkan oleh adanya stres oksidatif pada sel, sistem tubuh telah melengkapi dirinya dengan beberapa strategi seperti mekanisme pencegahan dengan cara mempertahankan pembentukan ROS seminimal mungkin, mekanisme perbaikan untuk mengurangi kerusakan sel, mekanisme proteksi fisik serta yang terpenting adalah mekanisme pertahanan antioksidan. Antioksidan merupakan suatu substansi dengan konsentrasi rendah yang dapat berfungsi sebagai senyawa pemberi elektron sehingga mencegah oksidasi substrat yang rentan teroksidasi (Kunwar dan Priyadarshini, 2011; Rahal dkk., 2014). Sistem pertahanan antioksidan endogen meliputi jaringan molekul antioksidan enzimatik dan nonenzimatik yang umumnya terdistribusi pada sitoplasma dan organel sel. Antioksidan juga dapat berasal dari eksogen seperti yang berasal dari makanan. Antioksidan eksogen dan endogen berfungsi secara interaktif dan sinergis untuk menetralisir radikal bebas (Winarsi, 2007). Antioksidan enzimatik meliputi superoksid dismutase (SOD), glutation peroksidase (GPx), dan katalase (CAT), sedangkan antioksidan

22 30 nonenzimatik meliputi asam askorbat (vitamin C), α-tocopherol (vitamin E), glutathione (GSH), karatenoid, flavonoid dan antioksidan lainnya (Valko dkk., 2006). Superoksid dismutase merupakan protein yang mengandung metal berfungsi untuk mengkatalisasi superoksid membentuk hidrogen peroksida. Terdapat tiga isozim SOD, yaitu SOD1 mengandung Cu dan Zn sebagai kofaktor logamnya ditemukan di sitosol, SOD2 yang mengandung logam Mn ditemukan pada mitokondria dan SOD3 yang juga mengandung kofaktor logam Cu dan Zn, ditemukan di ekstrasel (Birben dkk., 2012; Winarsi, 2007; Valko dkk., 2006). Hidrogen peroksida yang berasal dari aktivitas SOD atau oksidase lainnya akan digunakan untuk mengoksidasi glutation tereduksi (GSH) menjadi glutation teroksidasi (GSSG) oleh GPx. Enzim katalase juga dapat mereduksi H 2 O 2 menjadi air (Birben dkk., 2012). Vitamin C, vitamin E, glutation dan beta karoten merupakan antioksidan nonenzimatik yang paling banyak diteliti. Antioksidan non enzimatik disebut juga antioksidan pemecah rantai yang dapat berupa senyawa nutrisi maupun non nutrisi. Vitamin C dianggap sebagai antioksidan larut air yang penting pada cairan ekstraseluler. Vitamin C mampu menetralisir ROS pada fase aqueous sebelum dimulainya peroksidasi lipid. Vitamin E merupakan antioksidan larut lemak dan antioksidan pemecah rantai utama yang melindungi membran asam lemak dari peroksidasi lipid. Glutation banyak ditemukan pada semua kompartemen sel dan merupakan antioksidan larut dengan efek antioksidan glutation melalui kerja sama dengan GPx. Glutation juga berfungsi mengubah

23 31 vitamin C dan E menjadi bentuk aktifnya. Beta karoten dan karotenoid lainnya juga dipercaya memiliki perlindungan antioksidan terhadap jaringan kaya lemak yang bekerja secara sinergis dengan vitamin E (Birben dkk., 2012; Winarsi, 2007). Mekanisme pertahanan antioksidan enzimatik dan non enzimatik secara lebih jelas digambarkan pada Gambar 2.3 dibawah ini. Gambar 2.3 Mekanisme Pertahanan Antioksidan Enzimatik dan Non Enzimatik (Atukeren dan Yigitoglu, 2013) Kerusakan akibat stres oksidatif Konsekuensi utama adanya stres oksidatif adalah kerusakan yang dapat ditimbulkan pada DNA, lipid dan protein yang pada akhirnya akan dapat menyebabkan kematian sel (Birben dkk., 2012).

24 32 Gambar 2.4 Mekanisme Kerusakan Sel Akibat Stres Oksidatif (Dawane dan Pandit, 2012) 1. Efek pada DNA Reactive oxygen species dapat menyebabkan modifikasi DNA melalui beberapa mekanisme yang melibatkan degradasi basa, pemecahan DNA rantai tunggal atau ganda, modifikasi purin, pirimidin atau ikatan gula, delesi dan translokasi dan ikatan silang dengan protein. Terdegradasinya basa DNA akan menghasilkan produk seperti 8-hidroksiguanin, hidroksimetil urea, timin, glikol dan produk lainnya. Penanda stres oksidatif tingkat DNA yang dapat diukur adalah 8- hydroxy-2-deoxyguanosine (8-OHdG) (Birben dkk., 2012; Winarsi, 2007). 2. Efek pada Protein Reactive oxygen species dapat menyebabkan fragmentasi rantai peptida, gangguan pada tenaga elektrik protein, menyebabkan ikatan silang dan oksidasi asam amino spesifik. Hal ini akan mengakibatkan peningkatan kerentanan terhadap proteolisis karena degradasi protease tertentu. Produk-produk oksidasi protein yang dapat

25 33 diukur adalah gugus thiol tereduksi dalam protein plasma, protein karbonil dalam plasma dan orto-tirosin dalam protein plasma. Biomarker yang umum digunakan untuk pengukuran protein teroksidasi adalah protein karbonil melalui kalorimeter (Birben dkk., 2012; Winarsi, 2007). 3. Efek pada Lipid Membran sel merupakan struktur yang sangat rentan terhadap oksidasi yang disebabkan oleh ROS karena adanya asam lemak dalam konsentrasi yang tinggi pada komponen lipid. Reaksi ROS dengan membran lipid menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid didefinisikan sebagai proses dimana oksidan seperti radikal bebas dan spesies nonradikal bereaksi dengan lipid yang mengandung ikatan karbon-karbon ganda, terutama asam lemak tak jenuh ganda (PUFA). Reaksi ini menimbulkan pemisahan hidrogen dari karbon dan penambahan oksigen yang menghasilkan radikal peroksil lipid (LOO ) dan hidroksiperoksida lipid (LOOH). Pada kondisi fisiologis atau derajat lipid peroksidase yang rendah (kondisi subtoksik), sel mempertahankan diri melalui sistem pertahanan antioksidan atau aktivasi jalur sinyal yang mengatur protein antioksidan sehingga terjadi respon adaptif terhadap stres. Sebaliknya pada derajat peroksidasi lipid yang berat kerusakan oksidatif melebihi kapasitas perbaikan sehingga terjadi induksi program kematian sel apoptosis atau nekrosis. Kedua proses ini pada akhirnya akan mengakibatkan kerusakan molekular sel dengan berbagai kondisi patologis (Ayala dkk., 2014; Valko dkk., 2006). Proses peroksidasi lipid secara keseluruhan terdiri atas 3 tahap yaitu inisiasi, propagasi dan terminasi (Gambar 2.4). Pada tahap inisiasi ROS seperti

26 34 radikal hidroksil memisahkan hidrogen dan membentuk radikal lipid dengan karbon pada bagian tengah (L ). Pada fase propagasi radikal lipid (L ) secara cepat bereaksi dengan oksigen untuk membentuk radikal peroksi lipid (LOO ) yang menarik hidrogen dari molekul lipid lainnya membentuk L yang baru (reaksi berantai) dan hidroksiperoksida lipid (LOOH). Pada tahap terminasi antioksidan akan mendonasikan atom hidrogennya pada LOO menghasilkan produk nonradikal. Sekali peroksidasi lipid diinisiasi, reaksi berantai akan terus terjadi hingga produk terminasi terbentuk (Ayala dkk., 2014; Valko dkk., 2006). Gambar 2.5 Tahapan Proses Peroksidasi Lipid (Boots dkk., 2012) Salah satu akibat penting peroksidasi lipid adalah pembentukan senyawa-senyawa aldehida. Hidroksiperoksida lipid bersifat tak stabil dan dapat di dekomposisi atau terurai menjadi aldehid seperti malondialdehyde (MDA), propanal, heksanal, 4-hidroksinonenal (HNE). Selain itu produk sekunder peroksidasi lipid juga dapat berupa siklik endoperoksidase seperti isoprostan dan hidrokarbon. Diantara produk sekunder tersebut MDA merupakan produk yang paling bersifat mutagenik. Malondialdehyde mampu meninaktivasi protein selular dengan cara membentuk ikatan silang protein, sedangkan HNE menyebabkan

27 35 deplesi GSH intrasel dan induksi pembentukan produksi peroksida. Terjadinya peroksidasi lipid juga dapat menimbulkan inaktivasi ikatan reseptor dan enzim pada membran sehingga mengganggu fungsi sel (Ayala dkk., 2014; Birben dkk, 2012; Dalle-Donne dkk., 2006) Malondialdehyde sebagai biomarker stres oksidatif Biomarker didefinisikan sebagai suatu karakteristik yang dapat diukur dan dievaluasi secara objektif sebagai indikator proses biologis normal, proses patogenik, atau respon farmakologik terhadap intervensi terapi. Biomarker stres oksidatif yang ideal harus bersifat stabil, dapat berakumulasi pada konsentrasi yang dapat dideteksi, menggambarkan jalur oksidasi spesifik dan berhubungan dengan keparahan penyakit sehingga bisa digunakan sebagai alat diagnostik. Pengukuran ROS secara langsung cukup sulit karena ROS sangat reaktif dan memiliki waktu paruh yang singkat. Pengukuran stres oksidatif umumnya dilakukan dengan cara menilai metabolit yang bersifat stabil atau produk oksidasinya seperti produk akhir dari peroksidasi lipid. Biomarker peroksidasi lipid merupakan hasil kerja radikal bebas yang diketahui paling awal dan paling mudah pengukurannya karena itulah reaksi ini paling sering dilakukan untuk mempelajari stres oksidatif (Patil, 2006; Winarsi, 2007). Malondialdehyde merupakan ketoaldehid yang diproduksi oleh dekomposisi peroksidatif lemak tidak jenuh dan sebagai hasil antara metabolisme asam arakidonat. Malondialdehyde ditemukan hampir di seluruh cairan biologis termasuk plasma, urin, cairan aqueous, cairan persendian, cairan bronkoalveolar, cairan empedu, cairan getah bening, cairan amnion, perikardial dan seminal,

28 36 namun plasma dan urin merupakan sampel yang paling umum digunakan, karena paling mudah didapat dan tidak invasif. Malondialdehyde sangat sesuai sebagai biomarker untuk stres oksidatif karena beberapa alasan, yaitu pembentukannya meningkat sesuai dengan stres oksidatif, kadarnya dapat diukur secara akurat dengan berbagai metode, bersifat stabil dalam sampel cairan tubuh yang diisolasi, pengukurannya tidak dipengaruhi oleh variasi diurnal dan tidak dipengaruhi kandungan lemak dalam diet, merupakan produk spesifik dari peroksidasi lipid dan terdapat dalam jumlah yang dapat dideteksi pada semua jaringan tubuh dan cairan biologis sehingga memungkinkan untuk menentukan referensi interval (Palmiere dan Sblendorio, 2006; Patil dkk., 2006; Winarsi, 2007). Sejak bertahun-tahun MDA telah digunakan sebagai biomarker peroksidasi lipid karena reaksinya dengan thiobarbituric acid (TBA). Pemeriksaan dengan TBA berdasarkan atas reaktivitas TBA terhadap MDA yang menghasilkan kromogen dengan fluoresensi berwarna merah (Dalle-Donne dkk., 2006). Berdasarkan penelitian, interval nilai normal MDA pada laki-laki diperkirakan sebesar 1,14-1,53 μmol/l sedangkan pada perempuan adalah 1,08-1,41 μmol/l (Nielsen dkk., 1997) Stres Oksidatif pada Penyakit Kusta Patogenesis stres oksidatif pada penyakit kusta Patogenesis terjadinya stres oksidatif pada penyakit kusta hingga saat ini masih belum diketahui secara pasti. Diduga stres oksidatif pada penyakit kusta dihubungkan dengan infeksi oleh M. leprae itu sendiri, respon imunitas pejamu

29 37 terhadap infeksi serta adanya defek pada imunitas seluler yang akan mengakibatkan peningkatan produksi ROS pada penderita kusta (Prabhakar dkk., 2012; Vijayaraghavan dan Paneerselvam, 2011). Seperti diketahui, pada penyakit kusta berkembangnya infeksi pada pejamu dihubungkan dengan kualitas respon imunitas. Mekanisme pertahanan utama pada infeksi M. leprae melibatkan sel-sel imunitas terutama makrofag, limfosit dan sitokin-sitokin yang mengatur produksi, pelepasan dan modulasi reaksi imunitas seluler (Lima dkk., 2007; Prabhakar dkk., 2012). Makrofag merupakan sistem pertahanan utama melawan infeksi M. leprae. Sel-sel fagosit seperti makrofag, neutrofil, eosinofil serta limfosit T dan B memiliki enzim NADPH oksidase yang bertanggung jawab pada produksi ROS saat terjadinya stimulasi respon imun. Makrofag akan mengenali M. leprae atau komponen dinding selnya melalui TLR, ikatan ini akan mengaktivasi jalur nuclear factor kappa B (NF-κB) yang akan menginduksi pelepasan sitokin seperti TNF-α, IL-1, IL-6 dan IL-12. Sitokin-sitokin ini akan menyebabkan terjadinya inflamasi dan menstimulasi imunitas adaptif. Interleukin-12 akan mengaktivasi sel T dan menginduksi pelepasan IFN γ yang selanjutnya akan mengaktivasi enzim fagosit oksidase (NADPH oksidase) sehingga terjadi pelepasan ROS seperti superoksid, radikal hidroksil dan hidrogen peroksida. (Prasad dkk, 2007; Rahal dkk., 2014; Hart dan Tapping, 2012; Abbas dkk., 2015). Reactive oxygen species yang terbentuk dapat berdifusi dari tempat terbentuknya dan menyebabkan kerusakan pada DNA, protein dan lipid sehingga terjadi kerusakan pada fungsi dan integritas sel serta kerusakan jaringan. Adanya

30 38 kerusakan jaringan akan ditandai oleh peningkatan biomarker stres oksidatif termasuk MDA sebagai produk akhir peroksidasi lipid. Reactive oxygen species yang terbentuk ini juga dapat menyebabkan kerusakan saraf pada penyakit kusta sehingga berhubungan dengan manifestasi klinis penyakit (Prasad dkk., 2007). Beberapa penelitian terakhir menghubungkan peran ROS dalam memediasi proses inflamasi dan kaskade sinyal sistem imunitas, dimana peningkatan ROS juga ternyata dapat mengaktivasi sinyal NF-κB, menunjukkan peranan ROS sebagai secondary messenger untuk tranksripsi gen proinflamasi dan respon sinyal sitokin selama proses infeksi (Spooner dan Yilmaz, 2010). Penelitian yang dilakukan oleh King dkk. yang menstimulasi sel mononuklear perifer dengan ROS, menemukan adanya MDA dan HNE sebagai hasil dari peroksidasi lipid ternyata dapat menstimulasi diferensiasi sel Th menuju fenotip kearah Th2 sehingga menginduksi hiporesponsif sel limfosit T (Bennet dan Griffiths, 2013). Gambar 2.6 Mekanisme Pembentukan ROS Selama Proses Fagositosis (Abbas dkk., 2015)

31 39 Mekanisme penurunan sistem antioksidan pada penyakit kusta juga masih belum diketahui secara pasti. Hal ini diduga disebabkan karena inhibisi enzim atau rendahnya konsentrasi protein enzim yang disebabkan karena regresi gen SOD pada tingkat DNA. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa lipopolisakarida bakteri diduga dapat mempengaruhi gen SOD. Selain itu PGL-1 yang dimiliki M. leprae juga dikatakan dapat berikatan dengan enzim SOD sehingga menghambat aktivitas SOD dan mengakibatkan down-regulasi ekspresi gen SOD pada sel darah merah dan makrofag (Swathi dan Tagore, 2015; Bhadwat dan Borade, 2000; Schalcher dkk, 2012). MDA Gambar 2.7 Peroksidasi Lipid pada Penyakit Kusta (Vazques dkk., 2014) Penelitian yang ada juga menghubungkan antara stres oksidatif pada kusta dengan indeks bakteri yang lebih tinggi. Hal ini diduga disebabkan karena utilisasi biometal seperti zinc, besi, dan kalsium dari sel pejamu untuk pertahanan hidup M. leprae, sehingga dapat mempengaruhi metaloenzim seperti SOD (Swathi dan Tagore, 2015; Bhadwat dan Borade; 2000).

32 Tingkat stres oksidatif pada penyakit kusta Berbagai macam penelitian mengenai tingkat stres oksidatif pada penyakit kusta telah dilakukan. Tingkat stres oksidatif dinilai melalui pengukuran kadar oksidan seperti pengukuran nitrat atau nitrit yang merupakan produk stabil NO, pengukuran kadar antioksidan enzimatik seperti SOD, katalase atau GSH, atau kadar antioksidan nonenzimatik seperti vitamin A, vitamin C, dan vitamin E, serta melalui pengukuran biomarker kerusakan akibat stres oksidatif seperti MDA (Dalle Donne, 2006). Penelitian yang dilakukan oleh Prasad dkk. pada tahun 2007 pada 100 pasien baru yang terdiagnosis kusta menemukan penurunan kadar SOD, katalase serta peningkatan MDA secara signifikan pada penderita kusta dibanding kontrol sehat. Penurunan kadar SOD, katalase dan peningkatan kadar MDA ditemukan lebih besar pada kusta tipe lepromatosa serta pada penderita kusta dengan IB yang lebih tinggi. Sehingga disimpulkan adanya hubungan antara stres oksidatif dengan tipe kusta dan indeks bakteri. Penelitian lain pada tahun 2007 oleh Jyothi dkk. menemukan hal yang serupa dimana terdapat penurunan kadar SOD serta peningkatan kadar MDA pada pasien kusta. Hal ini juga ditemukan lebih signifikan pada penderita kusta tipe MB. Pada penelitian ini juga dihitung rasio MDA/SOD yang ditemukan mengalami peningkatan signifikan pada kusta tipe MB. Penelitian yang dilakukan oleh Lima dkk. (2007) untuk mengetahui peroksidasi lipid dan kadar antioksidan non enzimatik pada kusta menemukan peningkatan kadar MDA dibanding kontrol, dengan peningkatan sesuai dengan spektrum penyakit dimana kadar

33 41 tertinggi ditemukan pada kusta tipe lepromatosa. Pada penelitian ini juga ditemukan penurunan kadar vitamin A dibanding kontrol dengan penurunan yang lebih besar pada kusta tipe lepromatosa. Penelitian serupa yang dilakukan oleh Trimbake dkk. juga menemukan peningkatan kadar MDA serum dan penurunan kadar vitamin E secara signifikan pada kusta tipe PB dan MB. Penelitian ini menunjukkan adanya stres oksidatif pada penderita kusta juga disebabkan karena adanya penurunan antioksidan nonenzimatik. Penelitian yang dilakukan oleh Vijayaraghavan dkk. di India pada tahun 2011 menemukan penurunan secara signifikan kadar antioksidan enzimatik seperti SOD, katalase, glutation peroksidase, glutation reduktase dan glutation-stransferase pada penderita kusta tipe MB dibandingkan kontrol yang sehat. Penelitian lain oleh Garad (2014) dkk. mengenai peroksidasi lipid juga menemukan adanya peningkatan MDA secara signifikan pada penderita kusta dibanding kontrol serta lebih tinggi pada kusta tipe MB dibanding PB. Pada penelitian ini juga ditemukan penurunan kadar antioksidan thiol pada penderita kusta terutama tipe MB dibanding kontrol sehat. Penelitian oleh Meneses dkk. (2014) yang menggunakan sampel urin menemukan peningkatan MDA urin pada penderita kusta dibanding kontrol. Penelitian mengenai stres oksidatif pada penyakit kusta tidak hanya dilakukan pada pasien yang baru terdiagnosis namun juga pada pasien yang sudah mendapatkan terapi maupun yang sudah selesai pengobatan (Release from treatment/rft). Penelitian oleh Prabhakar dkk. tahun 2012 pada penderita kusta tipe MB yang telah mendapat terapi menemukan penurunan kadar SOD,

34 42 glutathione, total antioksidan status serta peningkatan kadar MDA secara signifikan pada pasien kusta tipe MB dibanding kontrol. Penelitian lain yang dilakukan oleh Ozan dkk. (2010) pada pasien kusta yang sudah selesai pengobatan mendapatkan peningkatan signifikan kadar MDA dan aktivitas GSH dan katalase dibanding kontrol. Penelitian ini menunjukkan bahwa kejadian stres oksidatif tidak hanya dapat terjadi pada kasus baru kusta namun juga pada kusta yang yang telah selesai mendapatkan pengobatan. Meskipun sebagian besar penelitian menunjukkan bukti adanya tingkat stres oksidatif terutama melalui peningkatan kadar MDA namun beberapa penelitian menemukan hasil yang bertentangan. Penelitian oleh Schalcer pada tahun 2013 yang dilakukan pada 23 pasien penderita kusta sebelum mendapat terapi. Pada penelitian ini didapatkan kadar MDA yang tidak berbeda antara penderita kusta dan kontrol sehat, namun kadar SOD ditemukan mengalami penurunan secara signifikan dibanding kontrol sehat. Penelitian lain yang juga dilakukan oleh Schalcher dkk. pada tahun 2014 yang bertujuan untuk mengetahui stres oksidatif pada pasien yang sudah mendapatkan terapi MDT, menemukan kadar MDA yang tidak berbeda secara signifikan antara penderita kusta dibanding kontrol sebelum maupun setelah mendapat terapi sedangkan kadar SOD ditemukan menurun pada pasien kusta dan penurunan ini ditemukan menetap setelah mendapatkan terapi MDT.

BAB I PENDAHULUAN. hanya dari segi medis namun juga psikososial, sedangkan bagi masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. hanya dari segi medis namun juga psikososial, sedangkan bagi masyarakat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit infeksi kronis yang hingga saat ini masih menimbulkan permasalahan yang bersifat kompleks baik bagi penderita maupun masyarakat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kusta merupakan salah satu penyakit infeksi yang masih mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. Kusta merupakan salah satu penyakit infeksi yang masih mendapatkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kusta merupakan salah satu penyakit infeksi yang masih mendapatkan perhatian khusus dari Badan Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO), terutama di negara-negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Lepra adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Lepra adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lepra adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae (M. leprae). Kuman ini bersifat intraseluler obligat yang menyerang saraf tepi dan dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan, manusia amat tergantung kepada alam sekeliling. Yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan, manusia amat tergantung kepada alam sekeliling. Yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam kehidupan, manusia amat tergantung kepada alam sekeliling. Yang paling mendasar manusia memerlukan oksigen, air serta sumber bahan makanan yang disediakan alam.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. berlebihnya asupan nutrisi dibandingkan dengan kebutuhan tubuh sehingga

BAB 1 PENDAHULUAN. berlebihnya asupan nutrisi dibandingkan dengan kebutuhan tubuh sehingga BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obesitas adalah kondisi berlebihnya berat badan akibat banyaknya lemak pada tubuh, yang umumnya ditimbun dalam jaringan subkutan (bawah kulit), di sekitar organ tubuh,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Radikal bebas merupakan salah satu penyebab timbulnya berbagai penyakit

BAB I PENDAHULUAN. Radikal bebas merupakan salah satu penyebab timbulnya berbagai penyakit 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Radikal bebas merupakan salah satu penyebab timbulnya berbagai penyakit degeneratif, seperti kardiovaskuler, tekanan darah tinggi, stroke, sirosis hati, katarak,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Telah diketahui bahwa ketinggian menimbulkan stress pada berbagai sistem organ manusia. Tekanan atmosfer menurun pada ketinggian, sehingga terjadi penurunan tekanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bidang obstetri, karena merupakan penyulit 2% sampai 20% dari semua

BAB I PENDAHULUAN. bidang obstetri, karena merupakan penyulit 2% sampai 20% dari semua 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ketuban Pecah Dini (KPD) masih merupakan masalah penting dalam bidang obstetri, karena merupakan penyulit 2% sampai 20% dari semua kelahiran dan mengakibatkan peningkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis merupakan penyakit kulit yang penyebabnya sampai saat ini masih belum

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis merupakan penyakit kulit yang penyebabnya sampai saat ini masih belum 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Psoriasis merupakan penyakit kulit yang penyebabnya sampai saat ini masih belum diketahui. Penyakit ini tidak mengancam jiwa, namun lesi kulit yang terjadi menimbulkan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. penebalan saraf perifer. Kegagalan dalam terapi dapat menyebabkan kecacatan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. penebalan saraf perifer. Kegagalan dalam terapi dapat menyebabkan kecacatan BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kusta 2.1.1 Definisi Kusta adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae. Kuman kusta dapat menyerang kulit serta saraf perifer dimana secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup secara tidak langsung menyebabkan manusia terus-menerus dihadapkan

BAB I PENDAHULUAN. hidup secara tidak langsung menyebabkan manusia terus-menerus dihadapkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Perubahan pola hidup serta terjadinya penurunan kualitas lingkungan hidup secara tidak langsung menyebabkan manusia terus-menerus dihadapkan pada persoalan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Penurunan jumlah ookista dalam feses merupakan salah satu indikator bahwa zat yang diberikan dapat berfungsi sebagai koksidiostat. Rataan jumlah ookista pada feses ayam berdasarkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. masa kanak-kanak, yang mengakibatkan kelainan signifikan dan gangguan pada

BAB 1 PENDAHULUAN. masa kanak-kanak, yang mengakibatkan kelainan signifikan dan gangguan pada BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Autisme adalah gangguan perkembangan yang biasanya didiagnosis awal pada masa kanak-kanak, yang mengakibatkan kelainan signifikan dan gangguan pada interaksi sosial,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kusta adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh kuman kusta (Mycobacterium leprae) terutama menyerang kulit dan saraf tepi. Penularan dapat terjadi dengan cara kontak

Lebih terperinci

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Mekanisme Pertahanan Tubuh Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. fagositosis makrofag pada kelompok perlakuan (diberi ekstrak daun salam)

BAB V PEMBAHASAN. fagositosis makrofag pada kelompok perlakuan (diberi ekstrak daun salam) BAB V PEMBAHASAN 1. Kemampuan fagositosis makrofag Kemampuan fagositosis makrofag yang dinyatakan dalam indeks fagositosis makrofag pada kelompok perlakuan (diberi ekstrak daun salam) lebih tinggi dibandingkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. vulgaris disertai dengan suatu variasi pleomorfik dari lesi, yang terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. vulgaris disertai dengan suatu variasi pleomorfik dari lesi, yang terdiri dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Akne vulgaris merupakan suatu penyakit dari unit pilosebasea yang dapat sembuh sendiri, terutama dijumpai pada anak remaja. Kebanyakan kasus akne vulgaris disertai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. membunuh serangga (Heller, 2010). Sebanyak dua juta ton pestisida telah

BAB 1 PENDAHULUAN. membunuh serangga (Heller, 2010). Sebanyak dua juta ton pestisida telah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Insektisida adalah bahan-bahan kimia bersifat racun yang dipakai untuk membunuh serangga (Heller, 2010). Sebanyak dua juta ton pestisida telah digunakan per tahun dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes melitus adalah penyakit tidak menular yang bersifat kronis dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes melitus adalah penyakit tidak menular yang bersifat kronis dan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus adalah penyakit tidak menular yang bersifat kronis dan jumlah penderitanya terus meningkat di seluruh dunia seiring dengan bertambahnya jumlah populasi,

Lebih terperinci

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI rina_susilowati@ugm.ac.id Apakah imunologi itu? Imunologi adalah ilmu yang mempelajari sistem imun. Sistem imun dipunyai oleh berbagai organisme, namun pada tulisan ini sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) masih menjadi salah satu masalah kesehatan dunia,

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) masih menjadi salah satu masalah kesehatan dunia, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tuberkulosis (TB) masih menjadi salah satu masalah kesehatan dunia, dimana 2-3 milyar penduduk dunia diperkirakan telah terinfeksi TB (World Health Organization, 2015).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam masyarakat latihan fisik dipahami sebagai olahraga. Olahraga dapat mempertahankan dan meningkatkan kesehatan tubuh, serta berdampak pada kinerja fisik. Olahraga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Neoplasma adalah suatu massa jaringan abnormal yang berproliferasi cepat, tidak terkoordinasi melebihi jaringan normal dan dapat menetap setelah hilangnya rangsang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Di era globalisasi yang semakin maju, terjadi pergeseran dan perubahan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Di era globalisasi yang semakin maju, terjadi pergeseran dan perubahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di era globalisasi yang semakin maju, terjadi pergeseran dan perubahan yang sangat signifikan, banyak sekali aktivitas lingkungan yang menghasilkan radikal bebas sehingga

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Terjadinya diabetes melitus ini

BAB 1 PENDAHULUAN. metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Terjadinya diabetes melitus ini 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Diabetes melitus (DM) yang juga dikenal di Indonesia dengan istilah penyakit kencing manis adalah kelainan metabolisme yang disebabkan oleh banyak faktor dengan gejala

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Roundup adalah herbisida yang menggunakan bahan aktif glifosat yang banyak

I. PENDAHULUAN. Roundup adalah herbisida yang menggunakan bahan aktif glifosat yang banyak 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Roundup adalah herbisida yang menggunakan bahan aktif glifosat yang banyak digunakan di dunia. Glifosat (N-phosphonomethyl-glycine) digunakan untuk mengontrol gulma

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. serius, menyebabkan peradangan pada kulit, saraf dan organ lain. Penyebab dan faktor risiko

BAB I PENDAHULUAN. serius, menyebabkan peradangan pada kulit, saraf dan organ lain. Penyebab dan faktor risiko BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar belakang Eritema Nodosum Leprosum (ENL) adalah suatu komplikasi imunologi kusta yan g serius, menyebabkan peradangan pada kulit, saraf dan organ lain. Penyebab dan faktor risiko

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan, dan kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat. World Health Organization (WHO) pada berbagai negara terjadi

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan, dan kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat. World Health Organization (WHO) pada berbagai negara terjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit kusta adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae (M. leprae) yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Parasetamol merupakan obat antipiretik dan analgetik yang telah lama

I. PENDAHULUAN. Parasetamol merupakan obat antipiretik dan analgetik yang telah lama I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Parasetamol merupakan obat antipiretik dan analgetik yang telah lama digunakan di dunia. Parasetamol merupakan obat yang efektif, sederhana dan dianggap paling aman sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Abortus adalah berakhirnya kehamilan sebelum usia 20 minggu kehamilan atau berat janin kurang dari 500 gram (Cunningham et al., 2005). Abortus adalah komplikasi umum

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. Pemberian asam lemak trans dosis 5 % dan 10 % selama 8 minggu dapat

BAB VI PEMBAHASAN. Pemberian asam lemak trans dosis 5 % dan 10 % selama 8 minggu dapat BAB VI PEMBAHASAN Pemberian asam lemak trans dosis 5 % dan 10 % selama 8 minggu dapat menyebabkan perlemakan hati non alkohol yang ditandai dengan steatosis hati, inflamasi dan degenerasi ballooning hepatosit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Merokok merupakan suatu masalah kesehatan pada masyarakat dan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Merokok merupakan suatu masalah kesehatan pada masyarakat dan merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Merokok merupakan suatu masalah kesehatan pada masyarakat dan merupakan ancaman besar bagi kesehatan di dunia (Emmons, 1999). Merokok memberikan implikasi terhadap

Lebih terperinci

Klasifikasi penyakit kusta

Klasifikasi penyakit kusta Penyakit kusta merupakan masalah dunia, terutama bagi Negara-negara berkembang. Di Indonesia pada tahun 1997 tercatat 33.739 orang, yang merupakan negara ketiga terbanyak penderitanya setelah India dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah World health organization ( WHO ) telah mengumumkan bahwa prevalensi diabetes mellitus ( DM) akan meningkat di seluruh dunia pada millenium ketiga ini, termasuk

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA mulut. 7 Gingiva pada umumnya berwarna merah muda dan diproduksi oleh pembuluh BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Penyakit periodontal adalah inflamasi yang dapat merusak jaringan melalui interaksi antara bakteri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Aktifitas fisik merupakan kegiatan hidup yang dikembangkan dengan

BAB I PENDAHULUAN. Aktifitas fisik merupakan kegiatan hidup yang dikembangkan dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Aktifitas fisik merupakan kegiatan hidup yang dikembangkan dengan harapan dapat memberikan nilai tambah berupa peningkatan kualitas, kesejahteraan dan martabat manusia.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 10 juta jiwa, dan 70% berasal dari negara berkembang, salah satunya Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. 10 juta jiwa, dan 70% berasal dari negara berkembang, salah satunya Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perilaku merokok merupakan salah satu ancaman terbesar kesehatan masyarakat dunia. Menurut laporan status global WHO (2016), perilaku merokok telah membunuh sekitar

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. Analisis jumlah limfosit T CD4+ pada penelitian ini dijadikan baseline yang juga

BAB VI PEMBAHASAN. Analisis jumlah limfosit T CD4+ pada penelitian ini dijadikan baseline yang juga 54 BAB VI PEMBAHASAN Analisis jumlah limfosit T CD4+ pada penelitian ini dijadikan baseline yang juga berperan sebagai Immunological recovery pada saat memulai terapi ARV sehingga dapat memaksimalkan respon

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tingginya penyakit infeksi seperti thypus abdominalis, TBC dan diare, di sisi lain

BAB I PENDAHULUAN. tingginya penyakit infeksi seperti thypus abdominalis, TBC dan diare, di sisi lain BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia saat ini terjadi transisi epidemiologi yakni di satu sisi masih tingginya penyakit infeksi seperti thypus abdominalis, TBC dan diare, di sisi lain mulai meningkatnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengonsumsi minuman beralkohol. Mengonsumsi etanol berlebihan akan

BAB I PENDAHULUAN. mengonsumsi minuman beralkohol. Mengonsumsi etanol berlebihan akan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gaya hidup remaja yang telah digemari oleh masyarakat yaitu mengonsumsi minuman beralkohol. Mengonsumsi etanol berlebihan akan mengakibatkan gangguan pada organ hati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. transparansinya. Katarak merupakan penyebab terbanyak gangguan

BAB I PENDAHULUAN. transparansinya. Katarak merupakan penyebab terbanyak gangguan BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Katarak adalah keadaan dimana lensa menjadi keruh atau kehilangan transparansinya. Katarak merupakan penyebab terbanyak gangguan penglihatan, yang bisa menyebabkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes melitus merupakan suatu penyakit kronis yang ditandai oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes melitus merupakan suatu penyakit kronis yang ditandai oleh BAB 1 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN Diabetes melitus merupakan suatu penyakit kronis yang ditandai oleh adanya hiperglikemia akibat defisiensi sekresi hormon insulin, kurangnya respon tubuh terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit yang dapat dicegah dan diobati berupa hambatan aliran udara yang progresif, ditandai dengan inflamasi

Lebih terperinci

BAB 2 TERMINOLOGI SITOKIN. Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur

BAB 2 TERMINOLOGI SITOKIN. Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur BAB 2 TERMINOLOGI SITOKIN Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur immunitas, inflamasi dan hematopoesis. 1 Sitokin adalah salah satu dari sejumlah zat yang disekresikan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. TB Paru merupakan penyakit yang disebabkan oleh. Mycobacterium tuberculosis, yaitu kuman aerob yang mudah mati dan

BAB I PENDAHULUAN. TB Paru merupakan penyakit yang disebabkan oleh. Mycobacterium tuberculosis, yaitu kuman aerob yang mudah mati dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang TB Paru merupakan penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, yaitu kuman aerob yang mudah mati dan didapat terutama di paru atau berbagai organ tubuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada tahun 2007 menjadi 2,1 pada tahun 2013 (Riskesdas, 2013). Hasil riset tersebut

BAB I PENDAHULUAN. pada tahun 2007 menjadi 2,1 pada tahun 2013 (Riskesdas, 2013). Hasil riset tersebut BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Menurut Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 yang diselenggarakan oleh Departemen Kesehatan RI, rerata prevalensi diabetes di Indonesia meningkat dari 1,1 pada tahun

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. makhluk hidup, yang berguna bagi kelangsungan hidupnya. Makanan penting

BAB 1 PENDAHULUAN. makhluk hidup, yang berguna bagi kelangsungan hidupnya. Makanan penting BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Makanan dan minuman merupakan bahan yang sangat dibutuhkan oleh makhluk hidup, yang berguna bagi kelangsungan hidupnya. Makanan penting untuk pertumbuhan maupun untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Makanan adalah sumber kehidupan. Di era modern ini, sangat banyak berkembang berbagai macam bentuk makanan untuk menunjang kelangsungan hidup setiap individu. Kebanyakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN Latar Belakang Tubuh manusia secara fisiologis memiliki sistim pertahanan utama untuk melawan radikal bebas, yaitu antioksidan yang berupa enzim dan nonenzim. Antioksidan enzimatik bekerja

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) telah dikategorikan sebagai penyakit yang terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan jumlah pasien yang terus meningkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan injuri otot (Evans, 2000) serta menimbulkan respon yang berbeda pada jaringan

BAB I PENDAHULUAN. dan injuri otot (Evans, 2000) serta menimbulkan respon yang berbeda pada jaringan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Latihan fisik yang dilakukan dengan teratur dapat mencegah penyakit kronis seperti kanker, hipertensi, obesitas, depresi, diabetes dan osteoporosis (Daniel et al, 2010).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 8,7% di tahun 2001, dan menjadi 9,6% di tahun

BAB I PENDAHULUAN. 8,7% di tahun 2001, dan menjadi 9,6% di tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Asma merupakan penyakit kronik yang sering ditemukan dan merupakan salah satu penyebab angka kesakitan pada anak di seluruh dunia. Di negara maju dan negara berkembang

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari. Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah

BAB VI PEMBAHASAN. Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari. Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah BAB VI PEMBAHASAN Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah Yogyakarta. Banyaknya mencit yang digunakan adalah 24

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit kusta (Morbus Hansen, Lepra) Penyakit kusta (Morbus Hansen, Lepra) adalah suatu infeksi kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae, primer menyerang saraf tepi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dermatitis alergika merupakan suatu penyakit yang sering kita jumpai di masyarakat yang dikenal juga sebagai dermatitis atopik (DA), yang mempunyai prevalensi 0,69%,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Malaria merupakan salah satu penyakit menular utama di sebagian wilayah Indonesia seperti di Maluku Utara, Papua Barat, dan Sumatera Utara. World Malaria Report - 2008,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tujuh sumber utama pencemaran udara yaitu: partikel debu/partikulat

BAB I PENDAHULUAN. Tujuh sumber utama pencemaran udara yaitu: partikel debu/partikulat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuh sumber utama pencemaran udara yaitu: partikel debu/partikulat dengan diameter kurang dari 10 µm, sulfur dioksida (SO2), ozon troposferik, karbon monoksida (CO),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari emisi pembakaran bahan bakar bertimbal. Pelepasan timbal oksida ke

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari emisi pembakaran bahan bakar bertimbal. Pelepasan timbal oksida ke 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pencemaran atau polusi merupakan perubahan yang tidak dikehendaki yang meliputi perubahan fisik, kimia, dan biologi. Pencemaran banyak mengarah kepada pembuangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. saat ini umur harapan hidup di Indonesia sekitar 72 tahun dengan rerata perempuan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. saat ini umur harapan hidup di Indonesia sekitar 72 tahun dengan rerata perempuan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lansia 2.1.1 Definisi Lansia Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia menetapkan, bahwa batasan umur lansia di Indonesia adalah 60 tahun ke atas. Pada

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam air, tidak berbau dan sangat manis. Pemanis buatan ini mempunyai tingkat kemanisan 550

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam air, tidak berbau dan sangat manis. Pemanis buatan ini mempunyai tingkat kemanisan 550 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sakarin adalah zat pemanis buatan yang dibuat dari garam natrium, natrium sakarin dengan rumus kimia (C 7 H 5 NO 3 S) dari asam sakarin berbentuk bubuk kristal putih,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. berbahaya dari logam berat tersebut ditunjukan oleh sifat fisik dan kimia.

BAB 1 PENDAHULUAN. berbahaya dari logam berat tersebut ditunjukan oleh sifat fisik dan kimia. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam era industrialisasi terjadi peningkatan jumlah industri, akan selalu diikuti oleh pertambahan jumlah limbah, baik berupa limbah padat, cair maupun gas. Limbah

Lebih terperinci

PEMBAHASAN. 6.1 Efek Pelatihan Fisik Berlebih Terhadap Spermatogenesis Mencit. Pada penelitian ini, data menunjukkan bahwa kelompok yang diberi

PEMBAHASAN. 6.1 Efek Pelatihan Fisik Berlebih Terhadap Spermatogenesis Mencit. Pada penelitian ini, data menunjukkan bahwa kelompok yang diberi 1 BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Efek Pelatihan Fisik Berlebih Terhadap Spermatogenesis Mencit Pada penelitian ini, data menunjukkan bahwa kelompok yang diberi pelatihan fisik berlebih selama 35 hari berupa latihan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang baik pun meningkat. Salah satu sumber gizi yang paling penting adalah protein

BAB I PENDAHULUAN. yang baik pun meningkat. Salah satu sumber gizi yang paling penting adalah protein BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dari tahun ke tahun jumlah penduduk di negara Republik Indonesia semakin meningkat yang menyebabkan kebutuhan akan sumber makanan yang memiliki gizi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehamilan. Umumnya prevalensi abortus sekitar % dari semua. prevalensi masih bervariasi dari yang terendah 2-3% sampai yang

BAB I PENDAHULUAN. kehamilan. Umumnya prevalensi abortus sekitar % dari semua. prevalensi masih bervariasi dari yang terendah 2-3% sampai yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Abortus merupakan kejadian yang paling sering dijumpai pada kehamilan. Umumnya prevalensi abortus sekitar 10-15 % dari semua tanda klinis kehamilan yang dikenali,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia dari semua kelompok usia dan ras. Jong (2005) berpendapat bahwa

BAB I PENDAHULUAN. manusia dari semua kelompok usia dan ras. Jong (2005) berpendapat bahwa BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Kanker merupakan suatu jenis penyakit berupa pertumbuhan sel yang tidak terkendali secara normal. Penyakit ini dapat menyerang semua bagian organ tubuh dan dapat menyebabkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tingkat gen akan kehilangan kendali normal atas pertumbuhannya. Tumor

I. PENDAHULUAN. tingkat gen akan kehilangan kendali normal atas pertumbuhannya. Tumor I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tumor adalah jaringan baru (neoplasma) yang timbul dalam tubuh akibat berbagai faktor penyebab tumor yang menyebabkan jaringan setempat pada tingkat gen akan kehilangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyerang banyak orang sehingga menimbulkan wabah. Demam

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyerang banyak orang sehingga menimbulkan wabah. Demam BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut akibat infeksi Salmonella typhi. Demam tifoid masih merupakan salah satu masalah kesehatan yang penting di Indonesia, penyakit

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dunia sekarang mengalami penderitaan akibat dampak epidemik dari berbagai penyakit penyakit akut dan kronik yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Penyakit penyakit

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Merokok telah menjadi kebiasaan masyarakat dunia sejak ratusan tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. Merokok telah menjadi kebiasaan masyarakat dunia sejak ratusan tahun BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Merokok telah menjadi kebiasaan masyarakat dunia sejak ratusan tahun lalu. Sekitar satu milyar penduduk dunia merupakan perokok aktif dan hampir 80% dari total tersebut

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. digunakan dalam jumlah kecil karena memiliki tingkat kemanisan yang tinggi,

BAB 1 PENDAHULUAN. digunakan dalam jumlah kecil karena memiliki tingkat kemanisan yang tinggi, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sakarin merupakan pemanis buatan yang memberikan rasa manis. Sakarin digunakan dalam jumlah kecil karena memiliki tingkat kemanisan yang tinggi, yaitu 200-700 kali

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kusta 2.1.1. Definisi Istilah kusta berasal dari bahasa India, yakni kushtha berarti kumpulan gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen, sesuai

Lebih terperinci

Tuberkulosis merupakan penyakit yang telah lama ada. Tetap menjadi perhatian dunia Penyebab kematian kedua pada penyakit infeksi

Tuberkulosis merupakan penyakit yang telah lama ada. Tetap menjadi perhatian dunia Penyebab kematian kedua pada penyakit infeksi LOGO Pendahuluan Tuberkulosis merupakan penyakit yang telah lama ada. Tetap menjadi perhatian dunia Penyebab kematian kedua pada penyakit infeksi Kasus baru didunia : 8,6 juta & Angka kematian : 1,3 juta

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. STZ merupakan bahan toksik yang dapat merusak sel ß pankreas secara langsung.

BAB V PEMBAHASAN. STZ merupakan bahan toksik yang dapat merusak sel ß pankreas secara langsung. BAB V PEMBAHASAN STZ merupakan bahan toksik yang dapat merusak sel ß pankreas secara langsung. Mekanisme diabetogenik STZ adalah alkilasi DNA oleh STZ melalui gugus nitroourea yang mengakibatkan kerusakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PENYAKIT KUSTA 1. Pengertian Umum. Epidemiologi kusta adalah ilmu yang mempelajari tentang masyarakat kejadian, penyebaran dan faktor yang mempengaruhi sekelompok manusia. Timbulnya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. membuat kadar kolesterol darah sangat sulit dikendalikan dan dapat menimbulkan

BAB 1 PENDAHULUAN. membuat kadar kolesterol darah sangat sulit dikendalikan dan dapat menimbulkan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pola makan modern yang banyak mengandung kolesterol, disertai intensitas makan yang tinggi, stres yang menekan sepanjang hari, obesitas dan merokok serta aktivitas

Lebih terperinci

BAB 5 PEMBAHASAN. Telah dilakukan penelitian terhadap 100 penderita stroke iskemik fase akut,

BAB 5 PEMBAHASAN. Telah dilakukan penelitian terhadap 100 penderita stroke iskemik fase akut, lxxiii BAB 5 PEMBAHASAN Telah dilakukan penelitian terhadap 100 penderita stroke iskemik fase akut, setelah dialokasikan secara acak 50 penderita masuk kedalam kelompok perlakuan dan 50 penderita lainnya

Lebih terperinci

GASTROPATI HIPERTENSI PORTAL

GASTROPATI HIPERTENSI PORTAL BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka konseptual VIRUS SEL KUFFER SIMVASTATIN NFkβ IL 6 TNF α IL 1β TGF β1 HEPATOSIT CRP FIBROSIS ECM D I S F U N G S I E N D O T E L KOLAGEN E SELEKTIN inos

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. banyak ditemukan di lingkungan (WHO, 2010). Logam plumbum disebut non

BAB 1 PENDAHULUAN. banyak ditemukan di lingkungan (WHO, 2010). Logam plumbum disebut non BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Plumbum adalah salah satu logam berat yang bersifat toksik dan paling banyak ditemukan di lingkungan (WHO, 2010). Logam plumbum disebut non essential trace element

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. DM yaitu DM tipe-1 dan DM tipe-2. Diabetes tipe-1 terutama disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. DM yaitu DM tipe-1 dan DM tipe-2. Diabetes tipe-1 terutama disebabkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ulkus diabetikum (UD) adalah luka terbuka pada permukaan kulit yang disebabkan oleh adanya komplikasi kronik berupa mikroangiopati dan makroangiopati akibat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Olahraga sepatu roda (inline skating) merupakan olahraga yang. membutuhkan keseimbangan antara kelincahan, kekuatan, kecepatan,

BAB I PENDAHULUAN. Olahraga sepatu roda (inline skating) merupakan olahraga yang. membutuhkan keseimbangan antara kelincahan, kekuatan, kecepatan, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Olahraga sepatu roda (inline skating) merupakan olahraga yang membutuhkan keseimbangan antara kelincahan, kekuatan, kecepatan, ketahanan dan koordinasi (de

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Penelitian Pengaruh ekstrak jahe terhadap jumlah spermatozoa mencit yang terpapar 2-ME

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Penelitian Pengaruh ekstrak jahe terhadap jumlah spermatozoa mencit yang terpapar 2-ME BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Pengaruh ekstrak jahe terhadap jumlah spermatozoa mencit yang terpapar 2-ME Telah dilakukan penelitian pengaruh ekstrak jahe terhadap jumlah spermatozoa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Cedera ginjal akut (Acute Kidney Injury / AKI) memiliki insidensi yang terus meningkat setiap tahunnya

BAB I PENDAHULUAN. Cedera ginjal akut (Acute Kidney Injury / AKI) memiliki insidensi yang terus meningkat setiap tahunnya 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Cedera ginjal akut (Acute Kidney Injury / AKI) memiliki insidensi yang terus meningkat setiap tahunnya (Cerda et al., 2008). Berbagai macam strategi pencegahan telah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Mycobacterium leprae (M. leprae) yang pertama menyerang saraf tepi, namun sebagian kecil memperlihatkan gejala dan mempunyai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Mycobacterium leprae (M. leprae) yang pertama menyerang saraf tepi, namun sebagian kecil memperlihatkan gejala dan mempunyai BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Kusta (Morbus Hansen, Lepra) Penyakit kusta adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae (M. leprae) yang pertama menyerang saraf tepi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Istilah atopik pertama kali diperkenalkan oleh Coca (1923), yaitu istilah yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai riwayat alergi/hipersensitivitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Malaria adalah penyakit menular yang disebabkan oleh parasit (protozoa) dari genus plasmodium yang dapat ditularkan melalui cucukan nyamuk anopheles betina. Penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam bentuk persenyawaan dengan molekul lain seperti PbCl 4 dan PbBr 2.

BAB I PENDAHULUAN. dalam bentuk persenyawaan dengan molekul lain seperti PbCl 4 dan PbBr 2. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Timbal merupakan logam yang secara alamiah dapat ditemukan dalam bentuk persenyawaan dengan molekul lain seperti PbCl 4 dan PbBr 2. Logam ini telah digunakan sejak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Penyakit Tuberkulosis (TB) Paru merupakan penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini masih merupakan masalah kesehatan

Lebih terperinci

KADAR MALONDIALDEHYDE PLASMA BERKORELASI POSITIF DENGAN INDEKS BAKTERI PADA PENDERITA KUSTA

KADAR MALONDIALDEHYDE PLASMA BERKORELASI POSITIF DENGAN INDEKS BAKTERI PADA PENDERITA KUSTA TESIS KADAR MALONDIALDEHYDE PLASMA BERKORELASI POSITIF DENGAN INDEKS BAKTERI PADA PENDERITA KUSTA NI MADE DINA PRANIDYA ARI NIM 1114088202 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker kolorektal adalah kanker ketiga tersering di dunia dan merupakan penyebab kematian akibat kanker kedua di Amerika Serikat, setelah kanker paru-paru. Pada tahun

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. jenis teripang yang berasal dari Pantai Timur Surabaya (Paracaudina australis,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. jenis teripang yang berasal dari Pantai Timur Surabaya (Paracaudina australis, BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak tiga jenis teripang yang berasal dari Pantai Timur Surabaya (Paracaudina australis,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kerusakan oksidatif dan injuri otot (Evans, 2000).

BAB I PENDAHULUAN. kerusakan oksidatif dan injuri otot (Evans, 2000). 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Latihan fisik secara teratur memberikan banyak manfaat bagi kesehatan termasuk mengurangi risiko penyakit kardiovaskuler, osteoporosis, dan penyakit diabetes (Senturk

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. kulit, selanjutnya dapat mengenai organ atau sistem lain seperti mata, mukosa

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. kulit, selanjutnya dapat mengenai organ atau sistem lain seperti mata, mukosa 6 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Kusta 2.1.1 Definisi Penyakit kusta merupakan penyakit infeksi kronik pada manusia yang disebabkan oleh M. leprae. 20 Penyakit ini mula mula menyerang saraf tepi dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Umumnya anti nyamuk digunakan sebagai salah satu upaya untuk mengatasi

BAB I PENDAHULUAN. Umumnya anti nyamuk digunakan sebagai salah satu upaya untuk mengatasi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anti nyamuk merupakan benda yang sudah tak asing lagi bagi kita. Umumnya anti nyamuk digunakan sebagai salah satu upaya untuk mengatasi gigitan nyamuk. Jenis formula

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Akne vulgaris adalah salah satu penyakit kulit. yang selalu menjadi masalah bagi remaja dan dewasa muda

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Akne vulgaris adalah salah satu penyakit kulit. yang selalu menjadi masalah bagi remaja dan dewasa muda 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Akne vulgaris adalah salah satu penyakit kulit yang selalu menjadi masalah bagi remaja dan dewasa muda (Purdy dan DeBerker, 2007). Prevalensi yang mencapai 90 %

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. proses penuaan dan meningkatkan kualitas hidup. Proses menjadi tua memang

BAB I PENDAHULUAN. proses penuaan dan meningkatkan kualitas hidup. Proses menjadi tua memang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anti Aging Medicine (AAM) adalah ilmu yang berupaya memperlambat proses penuaan dan meningkatkan kualitas hidup. Proses menjadi tua memang akan terjadi pada

Lebih terperinci

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS KD 3.8. Menjelaskan mekanisme pertahanan tubuh terhadap benda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Radikal bebas merupakan senyawa yang terbentuk secara alamiah di

BAB I PENDAHULUAN. Radikal bebas merupakan senyawa yang terbentuk secara alamiah di 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Radikal bebas merupakan senyawa yang terbentuk secara alamiah di dalam tubuh dan terlibat hampir pada semua proses biologis mahluk hidup. Senyawa radikal bebas mencakup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah infertilitas pria merupakan masalah yang menunjukkan peningkatan dalam dekade terakhir ini. Infertilitas yang disebabkan oleh pria sebesar 50 %, sehingga anggapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. reaksi imun berupa plak eritematosa, skuama berwarna putih keperakan berlapislapis,

BAB I PENDAHULUAN. reaksi imun berupa plak eritematosa, skuama berwarna putih keperakan berlapislapis, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Psoriasis merupakan penyakit peradangan kulit kronik residif didasari oleh reaksi imun berupa plak eritematosa, skuama berwarna putih keperakan berlapislapis, berbatas

Lebih terperinci

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. betina dengan kambing Etawah jantan. Berdasarkan tipe kambing PE digolongkan

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. betina dengan kambing Etawah jantan. Berdasarkan tipe kambing PE digolongkan II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1. Kambing Peranakan Etawah (PE) Kambing PE merupakan kambing hasil persilangan antara kambing Kacang betina dengan kambing Etawah jantan. Berdasarkan tipe kambing PE digolongkan

Lebih terperinci