Studi Distribusi dan Eksploitasi Siput Gonggong di Lokasi Coremap II Kabupaten Lingga.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Studi Distribusi dan Eksploitasi Siput Gonggong di Lokasi Coremap II Kabupaten Lingga."

Transkripsi

1

2 KATA PENGANTAR Penyusunan Laporan Akhir ini merupakan rentetan pekerjaan yang harus diselesaikan sehubungan dengan adanya kerjasama Pusat Penelitian Oceanografi (Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang/COREMAP II) LIPI dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Pengelolaan Sumberdaya Perairan dan Lingkungan (BPP-PSPL) Universitas Riau. Kontrak penelitian tersebut dengan judul Studi Distribusi dan Eksploitasi Siput Gonggong di Lokasi Coremap II Kabupaten Lingga. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi habitat, distribusi dan kelimpahan; hubungan panjang berat; tingkat ekploitasi di setiap kawasan dan merekomendasi kawasan serta upaya perlindungan siput gonggong. Selanjutnya kami mengucapkan terimakasih kepada Pusat Penelitian Oceanografi (Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang/COREMAP II) LIPI yang telah memberikan kepercayaan kepada kami untuk melaksanakan pekerjaan ini. Hal yang sama disampaikan kepada semua pihak yang telah banyak memberikan bantuan sehingga tersusunnya laporan ini. Kritik dan saran sangat kami harapkan untuk kesempurnaan laporan ini. Pekanbaru, Oktober 2010 Tim Peneliti BPP-PSPL Universitas Riau

3 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... i ii iv v BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Luaran BAB II. METODOLOGI Lokasi Penelitian Alat dan Bahan Pengumpulan Data Kondisi Umum Wilayah Kelimpahan dan Ukuran Gonggong Kondisi Habitat Kualitas Air Tingkat Eksploitasi dan Persepsi Masyarakat Analisa Data Kondisi Umum Wilayah Kelimpahan dan Ukuran Gonggong Kondisi Habitat Kualitas Air Tingkat Eksploitasi dan Persepsi Masyarakat Penentuan Kawasan BAB III. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN Kecamatan Lingga Utara Geografis dan Administrasi Topografi dan Kemiringan Lereng Geologi Hidrologi Iklim Kependudukan Sosial Ekonomi dan Budaya Kondisi Umum Desa Penelitian Desa Limbung Desa Bukit Harapan Desa Linau Desa Sekanah Laporan Akhir, Studi Distribusi & Eksploitasi Siput Gonggong di Lokasi Coremap II Kab. Lingga ii

4 BAB IV. BIOEKOLOGI SIPUT GONGGONG Siput Gonggong Klasifikasi Siput Gonggong Distribusi dan Kelimpahan Hubungan Panjang Berat dan Morfometrik Biologi Siput Gonggong Faktor Biotik (Padang Lamun) Faktor Abiotik (Kualitas Air) BAB V. EKSPLOITASI DAN PERLINDUNGAN SIPUT GONGGONG Eksploitasi dan Produksi Persepsi Masyarakat Perlindungan dan Konservasi Rencana Usulan Kawasan Konservasi Gonggong Manajemen Konservasi BAB VI. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan Rekomendasi DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN Laporan Akhir, Studi Distribusi & Eksploitasi Siput Gonggong di Lokasi Coremap II Kab. Lingga iii

5 DAFTAR TABEL Tabel Halaman 2.1. Lokasi sampling, jumlah dan posisi transek Lokasi sampling kualitas air Kelas Penutupan Lamun Parameter dan bobot untuk penentuan kawasan konservasi siput gonggong Penduduk menurut desa/kelurahan dan jenis kelamin di Kecamatan Lingga Utara tahun Kepadatan penduduk menurut desa/kelurahan di Kecamatan Lingga Utara tahun Keadaan penduduk Desa Limbung Kecamatan Lingga Utara Juli Distribusi dan kelimpahan siput gonggong pada lokasi penelitian Hasil pengukuran terhadap morfometrik siput gonggong Persentase kerapatan padang lamun Enhalus acoroides Faktor abiotik daerah penelitian di Kecamatan Lingga Utara Jumlah pengumpul dan produksi siput gonggong Upaya penangkapan, jumlah produksi dan nilai produksi siput gonggong per tahun Persepsi masyarakat di lokasi studi terhadap ekploitasi, perlindungan dan kepunahan gonggong Skoring parameter untuk setiap daerah penelitian Nilai perhitungan bobot dengan kriteria Koordinat dan luasan usulan kawasan konservasi gonggong di Desa Limbung dan Desa Linau Laporan Akhir, Studi Distribusi & Eksploitasi Siput Gonggong di Lokasi Coremap II Kab. Lingga iv

6 DAFTAR GAMBAR Gambar Halaman 2.1. Peta Lokasi Studi Siput gonggong (Strombus turturella) yang ditemukan pada lokasi penelitian di utara Pulau Lingga Peta distribusi siput gonggong di Kabupaten Lingga Parameter yang diukur untuk morfometrik siput gonggong Hubungan antara panjang dan berat siput gonggong Hubungan antara panjang (SL) dan ketebalan bibir luar (OL) siput gonggong Peta Usulan Kawasan Konservasi Siput Gonggong Pelaksanaan monitoring kawasan konservasi siput gonggong Laporan Akhir, Studi Distribusi & Eksploitasi Siput Gonggong di Lokasi Coremap II Kab. Lingga v

7 Bab 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kabupaten Lingga merupakan salah satu wilayah yang termasuk dalam Provinsi Kepulauan Riau. Ibu kota Kabupaten Lingga terletak di Kota Daik. Kabupaten Lingga memiliki luas wilayah sekitar 2.117,72 km 2 dengan jumlah penduduk sekitar jiwa dengan kepadatan 41 jiwa/km 2. Secara administratif Kabupaten Lingga terdiri dari 5 Kecamatan yaitu Kecamatan Lingga, Lingga Utara, Senayang, Singkep dan Singkep Barat. Wilayahnya Kabupaten Lingga berbatasan dengan Kota Batam di sebelah utara, Laut Bangka dan Selat Bangka di sebelah selatan, Laut Indragiri di sebelah barat dan Laut Cina Selatan di sebelah timur. Kabupaten ini terdiri dari tiga gugusan pulau besar yaitu Senayang di sebelah utara, Lingga di tengah-tengah dan Singkep di ujung paling selatan. Pulau Lingga adalah yang terbesar diantara dua gugusan pulau lainnya. Sebagai daerah kepulauan, tak sedikit kegiatan ekonomi kabupaten ditopang dari hasil perikanan karena perairan disekelilingnya yang mencapai 95 persen dari luas keseluruhan wilayah Kabupaten Lingga. Kondisi wilayah yang demikian membawa konsekwensi ketergantungan masyarakatnya terhadap sumberdaya perikanan sangat besar. Sehubungan dengan itu sumberdaya kelautan dan perikanan akan mendapat tekanan semakin berat sehingga dapat mengancam kelestarian sumberdaya itu sendiri. Tekanan terhadap sumberdaya juga dipengaruhi oleh terbukanya pasar yang dapat menampung hasil-hasil perikanan. Pasar komoditas perikanan yang cukup besar adalah Batam dan Tanjung Pinang. Komoditas perikanan dapat dipasarkan di daerah tersebut maupun di ekspor ke Negara tetangga yaitu Singapore dan Malaysia. Salah satu produksi perikanan yang diminati selain Laporan Akhir, Studi Distribusi & Eksploitasi Siput Gonggong di Lokasi Coremap II Kab. Lingga 1-1

8 ikan adalah jenis kerang gonggong (Strombus turturella). Hal tersebut, karena kerang gonggong mempunyai gizi yang tinggi dan dapat meningkatkan stamina atau daya tahan tubuh karena mengandung asam-asam amino yang lengkap. Gonggong dikelompokkan ke dalam Filum Moluska, kelas Gastropoda, Famili Strombidae, Genus Strombus, Spesies Strombus sp. Hewan ini merupakan moluska bentik yang hidup di perairan pasir berlumpur dan sering bersembunyi di bawah seagrass adapun kebiasaan makan hewan ini tergolong herbivora. Gonggong merupakan jenis gastropoda yang disukai orang untuk dikonsumsi baik oleh wisatawan domestik maupun internasional. Di kota-kota di Provinsi Kepulauan Riau seperti Tanjungpinang dan Batam, gonggong merupakan makanan khas yang banyak disajikan di restoran-restoran sea food dan tempat jajanan (Akau). Gonggong ini merupakan komoditi khas sehingga gonggong dijadikan maskotnya Provinsi Kepulauan Riau. Kondisi yang seperti ini mengakibatkan hewan-hewan ini sering diburu atau dieksploitasi tanpa memperhatikan kelestariannya. Sementara itu usaha budidayanya belum dilakukan. Mengingat demikian besar minat masyarakat untuk mengkonsumsi gonggong dikhawatirkan jenis ini pada suatu waktu akan punah. Gonggong yang diperdagangkan di restoran dan pusat jajanan (akau) berasal dari hasil tangkapan dari alam. Sementara itu usaha budidayanya belum dilakukan karena beberapa hal: 1). Sulitnya mendapatkan benih dari alam, 2). Teknologi pembenihan yang belum dikuasai, 3). Belum dikuasainya teknologi budidaya, dan 4). Lambatnya pertumbuhan gonggong. Oleh karena kecenderungan pemanfaatan gonggong terus meningkat, sedangkan teknologi budidayanya belum dikuasai. Hal tersebut dikhawatirkan akan punahnya sumberdaya hayati gonggong. Dengan demikian usaha-usaha penyelamatannya perlu dilakukan. Salah satu usaha penyelamatan perlu dilakukan adalah dengan usaha perlindungan kawasan yang menjadi habitat gonggong tersebut dan pengaturan eksploitasinya. Usaha perlindungan kawasan yang menjadi habitat gonggong dan pengaturan eksploitasinya pada tahap awal diperlukan studi yang berhubungan Laporan Akhir, Studi Distribusi & Eksploitasi Siput Gonggong di Lokasi Coremap II Kab. Lingga 1-2

9 dengan inventarisasi kawasan sebaran habitat gonggong. Kawasan tersebut diidentifiksi berdasarkan kepadatan dan ukuran gonggong yang ditemukan. Disamping itu, perlu juga diketahui tingkat ekploitasi yang dilakukan baik yang berhubungan dengan waktu, tingkat ekploitasi, serta produksi dan lain sebagainya. Dengan diketahuinya kawasan sebaran habitat gonggong di Lokasi Coremap II Kabupaten Lingga dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan kawasan perlindungan dan pengaturan waktu penangkapan, sehingga keberadaan gonggong dapat dipertahankan dan tidak punah Tujuan Tujuan dari kegiatan Studi Distribusi dan Ekploitasi Siput Gonggong (Strombus turturella) di Lokasi Coremap II Kabupaten Lingga adalah: 1. Mengetahui distribusi dan kelimpahan 2. Mengetahui hubungan panjang berat 3. Mengetahui kondisi habitat 4. Mengetahui tingkat ekploitasi di setiap kawasan 5. Merekomendasi kawasan dan upaya perlindungan siput gonggong Luaran Luaran dari kegiatan Studi Distribusi dan Ekploitasi Siput Gonggong di Lokasi Coremap II Kabupaten Lingga adalah sebuah dokumen yang berisi: 1. Distribusi dan kelimpahan 2. Hubungan panjang berat 3. Kondisi habitat 4. Tingkat ekploitasi di setiap kawasan 5. Usulan kawasan perlindungan 6. Upaya perlindungan siput gonggong Laporan Akhir, Studi Distribusi & Eksploitasi Siput Gonggong di Lokasi Coremap II Kab. Lingga 1-3

10 Bab 2 METODOLOGI 2.1. Lokasi Penelitian Studi Distribusi dan Ekploitasi Siput Gonggong akan dilakukan di desa-desa yang dijadikan Lokasi Coremap II Kabupaten Lingga. Adapun lokasi sampling ditetapkan yaitu pada daerah atau lokasi yang terdapat siput gonggong berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat tempatan yang melakukan aktivitas pengumpulan. Peta Lokasi Studi dapat dilihat pada Gambar Alat dan Bahan Alat dan bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah: refraktometer, ph meter, termometer, DO meter, tali, meteran, counter, jangka sorong, seperangkat komputer, panduan wawancara dan alat tulis Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan pada penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Parameter yang diamati meliputi kondisi umum wilayah, distribusi dan ukuran gonggong, kondisi habitat, kualitas air dan tingkat eksploitasi. Cara pengumpulan data dari masing-masing parameter akan diuraikan sebagai berikut: Kondisi Umum Wilayah Kondisi umum wilayah dikumpulkan melalui mencatatan dari dinas instansi terkait yaitu data sekunder pada Kantor Camat Lingga Utara, Kantor Kepala Desa dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lingga Provins Kepuluan Riau. Adapun variabel data yang dicatat meliputi geografis, administrasi, iklim, kependudukan, keadaan ekonomi dan budaya. Laporan Akhir, Studi Distribusi & Eksploitasi Siput Gonggong di Lokasi Coremap II Kab. Lingga 2-1

11 Gambar 2.1. Peta Lokasi Studi Draf Laporan Akhir, Studi Distribusi & Eksploitasi Siput Gonggong di Lokasi Coremap II Kab. Lingga 2-2

12 Kelimpahan dan Ukuran Gonggong Untuk mengetahui kelimpahan gonggong digunakan metode transek dan petak contoh, yaitu dengan menggunakan tali transek sepanjang 300 meter tegak lurus garis pantai. Kemudian dengan interval 30 meter diletakkan petak contoh seluas 100 cm x 100 cm. invidu yang ada dalam petak tersebut dihitung dan diukur panjang-beratnya. Jumlah transek di masing-masing stasiun dirangkum dalam Tabel 2.1. dibawah ini. Tabel 2.1. Lokasi sampling, jumlah dan posisi transek No Lokasi Sampling/ Desa Jumlah Transek Posisi Transek 1 Desa Limbung : - Centeng 2 S = ,6 E = ,4 - Senempek 2 S = ,1 E = ,2 2 BuKit Harapan : - Limbong 1 2 S = ,2 E = ,0 - Limbong 2 2 S = ,38 E = ,86 3 Desa Linau : - Linau 1 2 S = ,3 E = 104 o 43 47,46 - Linau 2 2 S = 0 o 08 33,96 E = 104 o 44 22,62 4 Desa Sekanah - Tregeh 1 2 N = 0 o 00 55,38 E = 104 o 34 59,82 - Tregeh 2 2 N = 0 o 00 53,94 E = 104 o 34 49, Kondisi Habitat Kondisi habitat yang diamati adalah substrat dasar serta kondisi lamun. Pengamatan substrat dasar dilakukan secara visual dengan melakukan snorkeling di area penelitian. Untuk mengetahui tutupan lamun dan keragaman digunakan metode transek dan Petak Contoh bersama-sama dengan pengamatan kelimpahan gongong. Laporan Akhir, Studi Distribusi & Eksploitasi Siput Gonggong di Lokasi Coremap II Kab. Lingga 2-3

13 Kualitas Air Parameter yang diukur untuk melihat kualitas air adalah. Salintas, ph, suhu dan DO. Pengukuran kualitas air dilakukan di pada delapan (8) stasiun pengamatan Posisi dan jumlah stasiun dirangkum dalam Tabel 2.2. Tabel 2.2. Lokasi sampling kualitas air No Lokasi Sampling/ Desa Jumlah Stasiun Posisi Stasiun 1 Desa Limbung : - Centeng 2 S = ,6 E = ,4 - Senempek 2 S = ,1 E = ,2 2 Bukit Harapan : - Limbong 1 2 S = ,2 E = ,0 - Limbong 2 2 S = ,38 E = ,86 3 Desa Linau : - Linau 1 2 S = ,3 E = 104 o 43 47,46 - Linau 2 2 S = 0 o 08 33,96 E = 104 o 44 22,62 4 Desa Sekanah - Tregeh 1 2 N = 0 o 00 55,38 E = 104 o 34 59,82 - Tregeh 2 2 N = 0 o 00 53,94 E = 104 o 34 49, Tingkat Eksploitasi dan Persepsi Masyarakat Untuk mengetahui seberapa jauh tingkat eksploitasi siput gonggong dan persepsi masyarakat dilakukan wawancara terhadap penangkap, pengumpulan siput gonggong dan tokoh masyarakat sebagai informan kunci. Adapun variabel yang diperlukan untuk mengetahui tingkat eksploitasi yaitu jumlah orang yang menangkap gonggong, asal, waktu dan hasil tangkapan/produksi. Sedangkan persepsi masyarakat berhubungan dengan persepsi terhadap eksploitasi, kepunahan dan perlindungan gonggong. Laporan Akhir, Studi Distribusi & Eksploitasi Siput Gonggong di Lokasi Coremap II Kab. Lingga 2-4

14 2.4. Analisa Data Kondisi Umum Wilayah Data yang diperoleh baik berupa data primer maupun data sekunder dari kondisi umum wilayah ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif Kelimpahan dan Ukuran Gonggong Analisis kelimpahan gonggong dilakukan dengan menghitung jumlah yang gonggong yang ditemukan per m 2. Sedangkan ukuran gonggong dianalisis mengunakan persamaan panjang berat sebagai berikut: W = a L b dengan W = berat gonggong (g) L = panjang gonggong (mm) a dan b = konstanta Kondisi Habitat Kondisi habitat yaitu tutupan lamun dianalisis mengunakan kelas penutupan lamun dengan petunjuk kelas penutupan sesuai dengan Tabel 2.3. Tabel 2.3. Kelas Penutupan Lamun Kelas Nilai penutupan pada substrat % penutupan substrat Nilai tengah (Mi) 5 ½ - Seluruhnya ¼ -1/ /8 ¼ 12, ,75 2 1/16 1/8 6,25 12,5 9,38 1 < 1/16 < 6,25 3,13 0 kosong 0 0 Penutupan (C) dari tiap spesies lamun dalam tiap transek 1x1 m 2 dihitung dengan rumus : C = (Mi x Fi ) / F Dimana : Mi : Nilai tengah persentase dari kelas ke-i Fi : frekuensi (jumlah dari sektor dengan kelas penutupan yang sama ) Laporan Akhir, Studi Distribusi & Eksploitasi Siput Gonggong di Lokasi Coremap II Kab. Lingga 2-5

15 Syarat penutupan Kesimpulan C < 5% Sangat jarang 5 C < 25 % Jarang 25 C < 50 % Sedang 50 C < 75 % Rapat C 75 % Sangat rapat Kualitas Air Kualitas air dianalisis dengan merujuk pada kepustakaan untuk kehidupan organisme gonggong dan biota air lainnya Tingkat Ekploitasi dan Persepsi Masyarakat Data tingkat eksploitasi dan persepsi masyarakat ditabulasi kemudian dibahas secara deskriptif dengan bantuan berbagai referensi yang relevan untuk digunakan Penentuan Kawasan Penentuan lokasi untuk rencana kawasan konservasi Siput Gonggong dilakukan dengan kriteria. Penerapan kriteria akan sangat membantu dalam memilih lokasi kawasan konservasi secara obyektif, yaitu terdiri dari atas kelompok kriteria kesesuain dengan tata ruang, kesesuaian ekologis dan sosial. Metode tersebut digunakan didalam proses perencanaan yang berhadapan dengan variable/parameter yang berdimensi kualitatif. Prosedur penilaian tingkat kesesuaian kawasan untuk konservasi pada penelitian ini meliputi 2 metode yaitu : (1) Matrik Kesesuaian dan (2) Pembobotan (FAO dalam Anonymous 1990). Dengan pembobotan akan mendapatkan variabel-variabel yang bersifat kualitatif. Setiap variabel kesesuaian diberi bobot yang besarnya ditentukan oleh kontribusi atau peranan yang diberikan oleh parameter tersebut. Sampai berapa jauh suatu kawasan mampu memenuhi kriteria/subkriteria yang ditetapkan untuk suatu variabel kesesuaian, menentukan jumlah skor yang diperoleh. Laporan Akhir, Studi Distribusi & Eksploitasi Siput Gonggong di Lokasi Coremap II Kab. Lingga 2-6

16 Metode scoring dengan menggunakan pembobotan untuk setiap parameter dikarenakan setiap parameter memiliki andil yang berbeda dalam menunjang kawasan konservasi. Parameter yang memiliki peran yang besar akan mendapatkan nilai lebih besar dari parameter yang tidak memiliki dampak yang besar. Untuk komoditas yang berbeda, pembobotan pada setiap parameter juga berbeda. Jumlah total dari semua bobot parameter adalah 50. Adapun parameter yang ditetapkan dalam pembobotan untuk penentuan kawasan konservasi siput gonggong yaitu: Kesesuaian dengan tata ruang, kelimpahan siput gonggong, kerapatan tutupan lamun, substrat, tingkat eksploitasi, kualitas air, ancaman pencemaran dan persepsi masyarakat. Parameter tersebut selanjutnya dibobot mulai dari nilai bobotnya tinggi hingga rendah. Untuk melihat parameter dengan nilai bobot dapat dilihat pada Tabel 2.4. Tabel 2.4. Parameter dan bobot untuk penentuan kawasan konservasi siput gonggong No. Parameter Bobot 1 Kesesuaian dengan tata ruang 9 2 Kelimpahan Gonggong 5 3 Kerapatan Tutupan lamun 5 4 Substrat 5 5 Tingkat eksploitasi 9 6 Kualitas Air 5 7 Ancaman Pencemaran 9 8 Persepsi Masyarakat 3 Jumlah 50 Selanjutnya setiap parameter tersebut ditetapkan pula kriteria masing-masingnya. Adapun uraian kriteria masing-masing paramater sebagai berikut : I. Kesesuaian dengan Tata Ruang V. Tingkat eksploitasi 1. Tidak sesuai 1. Jumlah nelayan >25 orang 2. Sesuai 2. Jumlah nelayan <25 orang Laporan Akhir, Studi Distribusi & Eksploitasi Siput Gonggong di Lokasi Coremap II Kab. Lingga 2-7

17 II. Kelimpahan Gonggong VI. Kualitas Air 1. Rendah <1 1. Tidak sesuai 2. Banyak >1 2. Sesuai III. Kerapatan Tutupan Lamun VII. Ancaman Pencemaran 1. Sangat jarang <10% 1. Ada 2. Jarang >10% 2. Tidak ada IV. Substrat VIII. Persepsi 1. Bukan pasir lumpur 1. Menolak 2. Pasir lumpur 2. Mendukung Nilai bobot dikali nilai skor tertinggi 100 dan terendah 67. Selanjutnya dibangun nilai bobot dikali skor kecil dari 67 digolongkan kawasan tidak sesuai untuk konservasi siput gonggong, nilai antara tergolong kawasan yang kurang sesuai untuk konservasi; dan nilai skor yang besar dari 83 tergolong kawasan yang sesuai untuk ditetapkan sebagai kawasan konservasi siput gonggong. Setelah menentukan nilai bobot dan skor tahap selanjutnya adalah tahapan tumpang susun. Tahap tumpang susun ini berdasarkan pada tingkat kepentingan parameter (layer) terhadap penentuan kesesuaian kawasan. Tumpang susun/penampalan adalah suatu proses untuk menyatukan data spasial (peta) dan merupakan salah satu fungsi efektif dalam SIG yang digunakan dalam analisa keruangan. Sedangkan metode yang digunakan adalah indeks overlay model (Bonham-Carter dalam Subandar, 1999). Dalam tumpang susun ini kriteriakriteria fisik perlu dirumuskan terlebih dahulu, kemudian setiap kriteria dinilai tingkat pengaruhnya terhadap penentuan wilayah. Setelah proses tumpang susun ini selesai, terbentuk peta kesesuaian kawasan budidaya yang terdiri dari polygon-polygon area kesesuaian. Dalam model ini, setiap coverage memiliki urutan kepentingan, coverage yang memiliki pengaruh yang paling besar diberikan nilai lebih tinggi dari yang lainnya. Laporan Akhir, Studi Distribusi & Eksploitasi Siput Gonggong di Lokasi Coremap II Kab. Lingga 2-8

18 Bab 3 KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 3.1. Kecamatan Lingga Utara Geografis dan Administrasi Secara geografis wilayah studi terletak di kawasan Kecamatan Lingga Utara, yang terletak diantara 0 o derajat 03 menit Lintang Utara, dengan 02 o derajat 21 menit Lintang Selatan, dan 104 o derajat 22 menit Bujur Timur, disebelah Barat dengan 105 o derajat 02 menit Bujur Timur. Adapun luas wilayah daratan dan lautan mencapai kurang lebih 283,21 km 2. Secara Administrasi kecamatan Lingga Utara berbatasan dengan: Sebelah Utara : Kecamatan Senayang Sebelah Selatan : Kecamatan Lingga Sebelah Barat : Kecamatan Lingga Sebelah Timur : Kecamatan Senayang Topografi dan Kemiringan Lereng Topografi wilayah Kecamatan Lingga Utara mulai dari datar, berbukit dan bergunung. Wilayah dengan topografi datar umumnya tersebar di bagian Barat terutama pada kawasan pesisir pantai, sedangkan wilayah berbukit dan bergunung tersebut di bagian Selatan. Tinggi rata-rata kecamatan Lingga Utara dari atas permukaan Laut 0 7 meter Geologi Kecamatan Lingga Utara merupakan bagian dari paparan kontinental yang terkenal dengan nama Paparan Sunda, secara geografis daerah Kecamatan Lingga Utara terbentuk dari batuan pluton yang bersifat asam dengan singkapan berupa batuan endapan yang berasal dari zaman geologi pratersier dan trios. Batuan Laporan Akhir, Studi Distribusi & Eksploitasi Siput Gonggong di Lokasi Coremap II Kab. Lingga 3-1

19 endapan zaman pratersier hampir menyebar di Pulau Lingga. Jenis tanah yang ada di Kecamatan Lingga Utara pada umumnya adalah podsonik merah kuning, litosol dan organosol, Lapisan tanahnya berstruktur remah sampai gumpal sedangkan lapisan bawahnya berselaput liat dan teguh Hidrologi Wilayah Kecamatan Lingga Utara tidak memiliki sungai yang besar, kebanyakannya berupa sungai kecil dan dangkal. Namun, masih dapat dimanfaatkan penduduk untuk lalu lintas pelayaran. Penduduk memanfaatkanya untuk jenis angkutan laut khususnya kapal kecil/pompong/mesin gantung. Pemanfaatan tersebut dipengaruhi oleh kondisi pasang surut air laut. Sungai yang ada di Kecamatan Lingga Utara pada umumnya relatif kecil, oleh karena, geomorfologi yang berbukit-bukit dan banyak ditutupi oleh vegetasi hutan dan di beberapa kawasan banyak terdapat rawa - rawa. Kedalaman permukaan air di kawasan datar berkisar 1 2 meter sedangkan di tempat yang berbukit / bergunung antara 2 3 meter. Sumber air minum penduduk Kecamatan Lingga Utara berasal dari bukitbukit dengan kualitas air yang cukup baik dan debit air yang besar dapat digunakan untuk keperluan air minum, mandi, cuci dan kebutuhan lainnya Iklim Pada umumnya daerah Kecamatan Lingga Utara beriklim laut tropis basah yang dipengaruhi oleh angin musim. Terdapat musim hujan dan musim kemarau yang diselingi dengan musim pancaroba, dengan temperatur rata-rata terendah 21ºC dan tertinggi rata-rata 31ºC. Iklim laut tropis basah dipengaruhi oleh angin musim utara, selatan, timur dan barat yang bertiup pada periode periode tertentu dengan curah hujan rata rata mm/tahun dengan jumlah terbanyak pada bulan Nopember, Desember dan Januari Kependudukan Penduduk Kecamatan Lingga Utara pada tahun 2008 mencapai jiwa dengan rincian jiwa laki-laki dan jiwa perempuan. Tingkat Kelahiran Penduduk Kecamatan Lingga Utara akhir tahun 2008 adalah 63 Jiwa dan tingkat Laporan Akhir, Studi Distribusi & Eksploitasi Siput Gonggong di Lokasi Coremap II Kab. Lingga 3-2

20 kematian penduduk akhir tahun 2008 adalah 27 Jiwa, datang 21 Jiwa dan pindah 18 Jiwa. Salah satu ciri khas masalah kependudukan di Kecamatan Lingga Utara adalah pemusatan sebagian besar penduduk di daerah pantai sebagai nelayan. Hal ini menyebabkan variasi kepadatan penduduk antar desa cukup besar. Untuk komposisi penduduk Kecamatan Lingga Utara dapat dilihat pada Tabel 3.1. Tabel 3.1. Penduduk menurut desa/kelurahan dan jenis kelamin di Kecamatan Lingga Utara tahun 2008 No Desa Laki-laki Perempuan Jumlah 1 Sekanah Duara Resun Limbung Bukit Harapan Teluk Linau Pancur Jumlah Sumber: Kantor Camat Lingga Utara Tingkat kepadatan penduduk di Kecamatan Lingga Utara rata-rata 39,34 jiwa per km 2. Kepadatan penduduk terbesar di Kelurahan Pancur yaitu mencapai 110,91 jiwa per km 2 dan terendah di Desa Sekanah yaitu 14,70 jiwa per km 2. Kepadatan penduduk pada Kecamatan Lingga Utara di setiap Desa atau Kelurahan dapat dilihat pada Tabel 3.2. Tabel 3.2. Kepadatan penduduk menurut desa/kelurahan di Kecamatan Lingga Utara tahun 2008 No Desa Laki-laki Perempuan Jumlah 1 Sekanah ,50 14,70 2 Duara ,64 64,52 3 Resun ,90 24,46 4 Limbung ,92 60,43 5 Bukit Harapan ,00 32,92 6 Teluk ,86 24,37 7 Linau ,48 71,66 8 Pancur ,91 110,91 Jumlah ,21 39,34 Sumber: Kantor Camat Lingga Utara Laporan Akhir, Studi Distribusi & Eksploitasi Siput Gonggong di Lokasi Coremap II Kab. Lingga 3-3

21 Sosial Ekonomi dan Budaya Pada saat ini penduduk yang mendiami wilayah Lingga Utara berasal dari berbagai suku bangsa, kebudayaan dan golongan sosial. Oleh karena, berbatasan dengan laut maka kehidupan penduduk pada umumnya bermata pencaharian sebagai nelayan dan hal-hal lain yang erat kaitannya dengan laut. Pada umumnya masyarakat di wilayah Kecamatan Lingga Utara berasal dari suku Melayu yang masih kental kebudayaan dalam menjalani kehidupan sehari-hari, seperti: bahasa melayu, agama islam dan berbagai adat istiadat yang masih kental. Masyarakat melayu terkenal dengan masyarakat yang taat dalam menjalankan Ibadah, ramah, mementingkan hidup secara kekeluargaan, dan secara ekonomi tidak agresif atau serakah. Secara tradisional masyarakat melayu umumnya bermata pencaharian sebagai petani, berkebun, menangkap ikan dan berdagang. Sedangkan dalam struktur pemerintahan, orang melayu umumnya mengabdi sebagai guru pendidik dibandingkan pekerjaan pemerintah lainnya. Suku lainnya yang ada di Kecamatan Lingga Utara adalah suku Jawa, China, Batak, Bugis, Minangkabau, dan suku lainnya Kondisi Umum Desa Penelitian Desa Limbung a. Geografis dan Administrasi Desa Limbung berada di pantai timur Pulau Lingga yang merupakan salah satu dari tujuh desa binaan Coremap yang berada di Kabupaten Lingga dengan batas wilayah: Sebelah Utara : Laut Kecamatan Senayang Sebelah Selatan : Desa Sungai Pinang, Keton, Pekaka dan Bukit Harapan Sebelah Barat : Desa Musai dan Resun Sebelah Timur : Desa Teluk Laporan Akhir, Studi Distribusi & Eksploitasi Siput Gonggong di Lokasi Coremap II Kab. Lingga 3-4

22 Luas wilayah Desa Limbung berkisar ± hektar. Berdasarkan batas administrasi Desa Limbung tidak memiliki laut yang luas walaupun desa ini terletak di pesisir pantai Pulau Lingga. Sebagian besar pulau-pulau yang ada di sekitar desa ini tercatat sebagai bagian dari wilayah Kecamatan Senayang. Desa Limbung memiliki daratan yang lebih luas dan hanya memiliki sedikit pulau antara lain Pulau Kekek, Pulau Telom, Pulasu Seranggas, Pulau Barok, Pulau Tikus dan Pulau Hantu untuk lokasi daerah pengelolaan terumbu karang. b. Kependudukan Penduduk desa Limbung Kecamatan Lingga Utara hingga juli 2009 sebanyak 1522 jiwa. Komposisi penduduk tersebut terdiri dari 799 jiwa lakilaki dan 723 jiwa perempuan. Untuk melihat komposisi penduduk desa Limbung berdasarkan dusun atau RW dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 3.3. Keadaan penduduk Desa Limbung Kecamatan Lingga Utara Juli 2009 No Desa Laki-laki Perempuan Jumlah 1 Pangkalan Buluh Air Berani Senempek RW Senempek RW Sambau Air Kelat Jumlah Sumber: Kantor Desa Limbung Kecamatan Lingga Utara, Juli 2009 Peningkatan penduduk Desa Limbung tidak hanya disebabkan oleh besarnya angka kelahiran, akan tetapi lebih disebabkan oleh penambahan penduduk dari luar kampung. Salah satunya adalah transmigrasi di Desa Bukit Harapan di kedalaman Pulau Lingga pada tahun 1970 dan karena tidak berhasil sebagai transmigrasi sebagiannya menetap di Desa Limbung untuk menjadi nelayan. Kesadaran masyarakat Desa Limbung terhadap pendidikan masih kurang. Hampir 87% penduduk hanya lulus SD atau tidak tamat SD. Namun di desa ini juga sudah ada yang dapat menyelesaikan pendidikan sampai taraf Perguruan Tinggi dan mendapat pekerjaan yang layak. Contoh kesuksesan dari beberapa orang yang telah berhasil dapat memberikan motivasi kepada orangorang tua untuk menyekolahkan anaknya. Laporan Akhir, Studi Distribusi & Eksploitasi Siput Gonggong di Lokasi Coremap II Kab. Lingga 3-5

23 c. Perekonomian Perekonominan suatu wilayah dapat digambarkan dengan melihat mata pencaharian penduduk yang dominan. Di Desa Limbung sebahagian besar penduduknya sebagai nelayan. Namun status nelayan belum dapat menjamin kesejahteraan mereka, walaupun hasil tangkapan relatif banyak terutama dengan primadona hasil tangkapan kepiting. Situasi ini disebabkan karena masyarakat kekurangan informasi mengenai harga pasaran hasil tangkapan dan harga yang selalu ditentukan oleh Tauke karena posisi tawar menawar mereka masih lemah. d. Sosial Budaya Kondisi sosial budaya yang ada pada masyarakat dipengaruhi oleh latar belakang etinis yang ada di masyarakat tersebut. Penduduk di wilayah studi sebagian besar merupakan masyarakat Melayu, sehingga tradisi budaya Melayu masih mewarnai kehidupan masyarakatnya, disamping terdapat juga suku pendatang lainnya yang jumlahnya sangat sedikit. Oleh karena masyarakat Melayu beragama Islam maka buddaya yang berkembang adalah budadya Melayu yang Islami. Hal ini dapat dilihat pada upaca adat yang berhubungan dengan upacara perkawinan, upacara kelahiran, sunat rasul dan peringatan hari-hari besar Islam. Orientasi nilai-nilai budaya masyarakat pada umumnya saling menghargai antara satu sama lain. Hal ini dapat dilihat dalam hubungan kehidupan seharihari, dimana masyarakat di daerah studi saling tolong menolong dan bergotong royong dalam membuat jalan desa, membantu orang yang ditimpa kemalangan/kesusahan, penyelenggaraan pesta perkawinan dan sebagainya. Kelembagaan sosial yang ada di wilayah studi berupa lembaga formal dan lembaga non formal. Lembaga formal antara lain BPD, PKK dan Karang Taruna. Kegiatan Karang Taruna berupa kegiatan olah raga, kerjasama (gotong royong) dalam pembentukan lapangan olah raga dan memperbaiki jalan serta jembatan. Lembaga non formal diantaranya kelompok wirid pengajian. Laporan Akhir, Studi Distribusi & Eksploitasi Siput Gonggong di Lokasi Coremap II Kab. Lingga 3-6

24 Desa Bukit Harapan a. Geografis dan Administrasi Desa Bukit Harapan adalah termasuk dalam Kecamatan Lingga Utara. Luas wilayah Desa Bukit Harapan mencapai km 2. Dari luas wilayah tersebut 62,5 ha termasuk lahan usaha I dan 187,5 ha lahan usaha II. Sedangkan luas lahan desa mencapai 10 ha dan 4 ha termasuk lahan untuk fasilitas umum. Adapun secara administrasi wilayah Desa Bukit Harapan terdiri dari 2 dusun, 4 RW dan 7 RT dengan batas-batas desa sebagi berikut: Sebelah Utara : Laut Senayang Sebelah Selatan : Desa Pekaka Sebelah Barat : Desa Kerandin Sebelah Timur : Desa Limbung b. Kependudukan Berdasarkan monografi Desa Bukit Harapan tahun 2010, jumlah penduduk laki-laki mencapai 448 jiwa, dan perempuan mencapai 398 jiwa sehingga jumlah penduduk Desa Bukit Harapan sebanyak 846 jiwa. Jumlah penduduk tersebut terdiri dari 239 Kepala Keluarga. Penduduk Desa Bukit Harapan sebanyak 803 orang (94,94%) beragama Islam dan sisanya 43 orang (5,06%) beragama Kristen Katolik. Untuk mendukung kegiatan keagamaan, di desa ini terdapat 3 buah masjid dan 1 buah surau. c. Perekonomian Sebahagian besar mata pencaharian penduduk di desa ini adalah petani. Hal ini didasari bahwa daerah ini bekas daerah tranmiggrasi. Untuk menunjang kegiatan ekonomi tersedia prasarana ekonomi seperti jalan, dermaga dan tambatan perahu dengan perincian : Jalan Poros : 12 km Jalan Desa : 9,9 km Dermaga : 450 m Tambatan Perahu : 1 buah Laporan Akhir, Studi Distribusi & Eksploitasi Siput Gonggong di Lokasi Coremap II Kab. Lingga 3-7

25 Sedangkan sarana penunjang ekonomi, Desa Bukit Harapan mempunyai beberapa macam alat transportasi. Alat transportasi tersebut secara umum dibedakan menjadi 2 yaitu transportasi darat dan laut. Adapun rincian alat penunjang kegiatan sarana ekonomi sebagai berikut yaitu: Pompong Sepeda Sampan Sepeda Motor Truk/Pick Up : 28 buah : 15 buah : 45 buah : 59 buah : 1 buah d. Sosial Budaya Kondisi sosial budaya yang ada pada masyarakat dipengaruhi oleh latar belakang etinis yang ada di masyarakat tersebut. Penduduk Desa Bukit Harapan sebagian besar merupakan masyarakat Jawa yang berasal dari Program Transmigrasi. Oleh karena masyarakat besar masyarakatnya penganut Agama Islam, maka budaya yang berkembang juga bernuansa Islam. Nilai-nilai budaya masyarakat pada umumnya saling menghargai antara satu sama lain. Hal ini dapat dilihat dalam hubungan kehidupan sehari-hari, dimana masyarakat saling tolong menolong dan bergotong royong dalam membuat jalan desa, membantu orang yang ditimpa kemalangan/kesusahan, penyelenggaraan pesta perkawinan dan sebagainya. Sadangkan Kelembagaan sosial yang ada di desa ini adalah BPD, LPM, PKK, Persatuan kematian dan UED SP Desa Linau a. Geografis dan Administrasi Desa Linau termasuk salah satu desa yang termasuk di Kecamatan Lingga Utara. Desa Mempunyai luas 13,48 Km 2 dengan kepadatan penduduk sekitar 71,66 orang per km 2. Adapun secara administrasi Desa Linau berbatas dengan beberapa desa lain yaitu pada Sebelah Utara berbatas dengan Desa Resun dan Kecamatan Senayang. Sebelah Selatan berbatas dengan Desa Bukit Harapan; Sebelah Barat dengan Desa Musai dan desa Bukit Langkap. Untuk sebelah Timur berbatas dengan Kecamatan Senayang. Topografi Desa Linau bervariasi dari Laporan Akhir, Studi Distribusi & Eksploitasi Siput Gonggong di Lokasi Coremap II Kab. Lingga 3-8

26 rendah dan tinggi. Ketinggian tempata (Topografi) desa Linau berkisar antara 0 6 m dari permukaan laut. Desa Linau terdiri dari dua dusun (lingkungan) dimana dusun tersebut terdiri dari 4 Rukun warta dan 8 Rukun Tetangga. b. Kependudukan Jumlah penduduk Desa Linau hingga tahun 2008 mencapai 966 Jiwa dengan komposisi 502 jiwa penduduk laki-laki dan 464 penduduk perempuan. Penduduk Desa Linau terdiri penduduk dewasa dan anak-anak. Jumlah penduduk dewasa laki-laki mencapai 341 jiwa dan perempuan 312 jiwa, sedangkan penduduk untuk struktur umur dibawah 15 tahun berjumlah 161 jiwa laki-laki dan 152 jiwa perempuan. Sedangkan jumlah rumah tangganya sebanyak 238 Rumah Tangga dengan anggota dalam rumah tangga mencapai 4 orang. Desa Linau mempunyai satu sekolah Negeri dengan 11 orang guru PNS. Untuk satu sekolah Dasar Negeri tersebut mempunyai murid sebanyak 97 orang. Sedangkan sara kesehatan yang ada Puskesmas Pembantu dan Posyandu dengan masing-masing terdiri dari 1 unit. Pada puskesmas pembantu tersebut hanya memiliki 1 orang perawat. Untuk kegiatan keagamaan di Desa Linau terdapat mesjid dan musholla. Rumah ibadah tersebut yaitu mesjid dan musholla masing-masing hanya 1 unit. c.perekonomian Aktifitas perekonomian penduduk terpusat di perairan atau di laut yaitu sebagi nelayan. Untuk mengoperasikan alat tangkap digunakan pompong dan sampan. Pompong dan sampan selain digunakan sebagai armada penangkapan digunakan juga sebagai sarana transportasi. d. Sosial Budaya Penduduk Desa Linau sebagian besar terdiri dari Etnis Melayu, sehingga tradisi budaya Melayu mewarnai kehidupan masyarakatnya. Oleh karena masyarakat Melayu beragama Islam maka budaya yang berkembang adalah budaya Melayu yang Islami. Hal ini dapat dilihat pada upacara adat yang berhubungan dengan upacara perkawinan, upacara kelahiran, sunat rasul dan peringatan hari-hari besar Islam. Kelembagaan sosial yang ada di desa ini seperti BPD, PKK dan Karang Taruna dan kelembagaan sosial lainnya. Laporan Akhir, Studi Distribusi & Eksploitasi Siput Gonggong di Lokasi Coremap II Kab. Lingga 3-9

27 Desa Sekanah a. Geografis dan Administrasi Desa Sekanah berada di sebelah utara pesisir pantai Pulau Lingga. Desa Sekanah berbatasan dengan: Sebelah Utara : Kelurahan Senayang Sebelah Selatan : Desa Duara Sebelah Barat : Desa Mentuda Sebelah Timur : Kelurahan Senayang Pusat pemerintahan berada di Dusun Teregeh dan Sasah. Luas wilayah Desa Sekanah berkisar ± 55 km 2, memiliki 4 dusun, yaitu Dusun Teregeh, Dusun Sasah, Dusun Tanjung Awak dan Dusun Lundang. Antar dusun dibatasi dengan batas alam berupa bukit dan sungai. b. Kependudukan Pada tahun 2009, jumlah penduduk Desa Sekana sebanyak 816 jiwa, terdiri dari 422 jiwa laki-laki dan 394 jiwa perempuan, dengan kepadatan penduduk 14,70 jiwa/km 2. Tingkat pendidikan masyarakat tergolong rendah. Sekitar 40% penduduk tidak dapat membaca dan menulis (buta aksara). Dari orang yang pernah menerima pendidikan, sebagian besar hanya tamat Sekolah Dasar. Hal ini berpengaruh pada rendahnya aspek pengetahuan dan keterampilan kerja serta penerimaan pengetahuan baru. c. Perekonomian Mayoritas mata pencaharian masyarakat Desa Sekanah adalah nelayan, hanya sebagian kecil saja yang menjadi pengrajin kayu atau pembuat pompong serta pemanfaatan hutan dan pedagang. Bagi pemuda pekerjaan sebagai nelayan sudah tidak lagi menjadi pilihan pertama, mereka cenderung pergi ke hutan untuk mencari kayu atau pergi mencari lapangan pekerjaan ke daerah lain. Namun ada juga pemuda yang mepunyai keahlian seperti berkebun karena lahan yang cukup luas atau membantu pengrajin kapal. Laporan Akhir, Studi Distribusi & Eksploitasi Siput Gonggong di Lokasi Coremap II Kab. Lingga 3-10

28 d. Sosial Budaya Sebahagian besar penduduk Desa Sekanah terdiri dari Etnis Melayu, sehingga tradisi budaya Melayu mewarnai kehidupan masyarakatnya. Oleh karena masyarakat Melayu beragama Islam maka budaya yang berkembang adalah budaya Melayu yang Islami. Hal ini dapat dilihat pada upacara adat yang berhubungan dengan upacara perkawinan, upacara kelahiran, sunat rasul dan peringatan hari-hari besar Islam. Kelembagaan sosial yang ada di desa ini seperti BPD, PKK dan Karang Taruna dan kelembagaan sosial lainnya. Laporan Akhir, Studi Distribusi & Eksploitasi Siput Gonggong di Lokasi Coremap II Kab. Lingga 3-11

29 Bab 4 BIOEKOLOGI SIPUT GONGGONG 4.1. Siput Gonggong Klasifikasi Siput Gonggong Pada wilayah Pengelolaan Coremap II Senayang Lingga ditemukan Siput Gonggong di Utara Pulau Lingga atau yang termasuk administrasi Kecamatan Lingga Utara. Jenis Siput Gonggong yang ditemukan dari jenis Strombus turturella termasuk familiy strombidae, Klas Gastropoda dan Phylum Mollusca. Bentuk dan gambaran jenis siput gonggong yang ditemukan dapat dilihat pada gambar 4.1. berikut: Gambar 4.1. Siput gonggong (Strombus turturella) yang ditemukan pada lokasi penelitian di utara Pulau Lingga Secara klasifikasi siput gonggong yang temukan pada daerah studi adalah Kingdom : Animalia, Phylum: Mollusca, Class: Gastropoda, Ordo: Neotaenioglossa, Family: Strombidae, Genus: Strombus, Species : Strombus turturella Laporan Akhir, Studi Distribusi & Eksploitasi Siput Gonggong di Lokasi Coremap II Kab. Lingga 4-1

30 Distribusi dan Kelimpahan Siput Gonggong (Strombus turturella) pada wilayah COREMAP II di Kabupaten Lingga ditemukan pada wilayah Kecamatan Lingga Utara. Kawasan yang paling banyak ditemukan adalah di Desa Limbung dan Desa Linau. Siput gonggong yang berlimpah dapat dilihat dari banyaknya aktivitas para pengumpul kerang di daerah tersebut. Untuk melihat distribusi dan kelimpahan siput gonggong (Strombus turturella) dapat dilihat pada Tabel 4.1. Tabel 4.1. Distribusi dan kelimpahan siput gonggong pada lokasi penelitian Parameter Kelimpahan (Ind/m 2 ) Stasiun Pengamatan (Desa) Limbung Bukit Harapan Linau Sekanah (Trege) I II I II I II I II I II I II I II I II Rata-rata Keterangan: 1. Centeng 2. Senempek 3. Limbong 1 4. Limbong 2 5. Linau 1 6. Linau 2 7. Trege 1 8. Trege 2 I : Ulangan 1 II : Ulangan 2 Pada Tabel 4.1. dapat dilihat bahwa siput gonggong berdistribusi pada daerah pulau Lingga bagian utara yaitu ditemui pada Desa Limbung, Desa Bukit Harapan, Desa Linau dan Desa Sekanah (Gambar 4.2.). Distribusi dan kelimpahan siput gonggong pada lokasi penelitian berkisar antara 0,2 1,9 individu/m 2 atau rata-rata kelimpahan siput gonggong berkisar antara 0,2 1,8 individu/m 2. Kelimpahan siput gonggong yang terendah ditemui pada lokasi penelitian Desa Sekanah dan kelimpahan tertinggi ditemui pada lokasi Desa Limbung yaitu Centeng dan selanjutnya pada Desa Linau. Kelimpahan siput gonggong pada daerah penelitian Desa Limbung, Desa Bukit Harapan dan Desa Linau tidak jauh berbeda. Hal ini karena wilayah tersebut secara geografis masih dalam satu hamparan. Pada daerah yang geografisnya masih dalam satu hamparan atau berdekatan tersebut, seringnya pengumpulan siput gonggong oleh para nelayan tidak mengenal batas administrasi. Laporan Akhir, Studi Distribusi & Eksploitasi Siput Gonggong di Lokasi Coremap II Kab. Lingga 4-2

31 Gambar 4.2. Peta distribusi siput gonggong di Kabupaten Lingga Laporan Akhir, Studi Distribusi & Eksploitasi Siput Gonggong di Lokasi Coremap II Kab. Lingga 4-3

32 Hubungan Panjang Berat dan Morfometrik Siput gonggong yang ditemukan pada penelitian ini dilakukan pengukuran dan penimbangan berat basahnya. Adapun parameter yang diukur yaitu Shell Length (SL), Body Whorl Length (BW), Shell Width (SW), Sheel Depth (SD), Outer Lip/Lip thickness (OL) dan Aperture length (AL) serta beratnya (W) (Gambar 4.3.) Gambar 4.3. Parameter yang diukur untuk morfometrik siput gonggong Hasil pengukuran terhadap siput gonggong diketahui pada lokasi studi berat rata-rata siput gonggong 28,23 gr dengan kisaran berat antara 13,7 47,6 gr. Panjang siput gonggong berkisar antara mm dengan ratarata panjang 64,13 mm. Ketebalan bibir luar (OL) yang ditemukan berkisar antara 1 6 mm dengan rata-rata 2,76 mm. Ketebalan bibir luar ini dapat menunjukkan tingkat kedewasaan siput gonggong. Siput gonggong yang dewasa bibir luar kerangnya semakin tebal. Sedangkan untuk parameter BW, SW, SD, dan AL dapat dilihat pada Tabel 4.2. Laporan Akhir, Studi Distribusi & Eksploitasi Siput Gonggong di Lokasi Coremap II Kab. Lingga 4-4

33 Tabel 4.2. Hasil pengukuran terhadap morfometrik siput gonggong No Parameter Satuan Kisaran Rerata + S.E 1 Berat gonggong gr ,07 2 Shell Length (panjang) mm ,84 3 Body Whorl Length (panjang lingkaran badan) mm Shell Width (lebar kerang) mm Shell Depth (ketebalan kerang) mm Outer lip (ketebalan bibir luar) mm Aperture length (panjang rongga) mm Pada Tabel 4.2. dapat dilihat bahwa kisaran panjang siput gonggong dan panjang rongga mempunyai kisaran panjang yang yang sama yaitu mm, namun rata-rata panjang rongga (AP) yaitu 51,85 mm. Untuk melihat hubungan antara panjang dan berat siput gonggong dilakukan analisis regresi. Hasil analisis hubungan panjang dan berat siput gonggong menunjukkan bahwa ada hubungan yang positif antara panjang dengan berat siput gonggong yaitu 0,75. Bentuk hubungan positif tersebut membentuk persamaan Y = 3,086 e 0,033X, atau untuk menduga berat (W) mengunakan persamaan tersebut yaitu W= 3,086 e 0,033SL. Hanya saja, panjang siput gonggong 56,50% dapat menentukan berat siput gonggong. Untuk melihat gambaran hubungan panjang dan berat siput gonggong dapat dilihat pada Gambar 4.4. Gambar 4.4. Hubungan antara panjang dan berat siput gonggong Laporan Akhir, Studi Distribusi & Eksploitasi Siput Gonggong di Lokasi Coremap II Kab. Lingga 4-5

34 Hubungan morfometrik antara beberapa ukuran siput gonggong adalah hubungan antara panjang siput (SL) dengan ketebalan bibir luar (OL). Panjang siput gonggong (SL) tidak dapat sebagai penentuan kedewasaan siput gonggong. Umumnya OL yang tipis menunjukkan siput gonggong masih muda. Namun, dari sampel yang ada menunjukkan bahwa ukuran panjang yang dibawah 70 mm terdapat juga OL yang masih tipis (siput muda). Hasil ini menunjukkan bahwa ukuran panjang (SL) >70 mm sudah menunjukkan siput yang mempunyai OL yang sudah semakin tebal yaitu >2 mm. Dengan memperhatikan ketebalan (OL) tersebut maka dapat dinyatakan bahwa siput gonggong yang sudah mencapai ukuran >70 mm sudah dewasa. Untuk melihat hubungan antara panjang siput gonggong (SL) dengan ketebalan bibir luar (OL) dapat dilihat pada Gambar 4.5. Gambar 4.5. Hubungan antara panjang (SL) dan ketebalan bibir luar (OL) siput gonggong Biologi Siput Gonggong Siput gonggong merupakan jenis moluska gastropoda yang mendiami areal pasang surut dengan kedalaman 3-4 meter, substrat pasir berlumpur dan ditumbuhi lamun. Induk siput gonggong dapat memijah sepanjang tahun, dimana satu induk siput dapat memijah ribu butir telur. Telur yang berhasil menetas akan membentuk cangkang hingga mencapai ukuran panjang 2-3 mm. Setelah berumur hari, saat itulah larva sudah bisa mengonsumsi makanan yang berada di dasar subtrat (Dody, 2008). Laporan Akhir, Studi Distribusi & Eksploitasi Siput Gonggong di Lokasi Coremap II Kab. Lingga 4-6

35 Siput Gonggong adalah organisme yang dioecious, yaitu organisme yang masing-masing terlihat jelas antara jantan dan betina. Musim peminjahan berlangsung mulai akhir Nopember hingga awal Maret. Telur-telur yang telah menetas akan berkembang dalam empat tingkat yang melalui masa periode pendek sebagai planktonik. Pada umur hari 0-3 hari adalah tingkat I veligers: setelah berumur 4-8 hari larva mencapai tingkat II; pada umur 9-16 hari larva mencapai tingkat III; selanjutnya pada umur 17 hari masuk kepada tingkat IV metamorphosis. Metomorphosis dinyatakan bila telah hilang lobes velar pada larva dan munculnya propodium yang khas untuk bergerak dari juvenil siput gonggong (Cob et al., 2008; Cob et al., 2009). Pada studi terbaru menunjukkan bahwa sexual dimorfirm terjadi pada masa-masa awal selama saat ontogeny spesies. Siput gonggong jantan mencapai tingkat kematangan awal lebih pendek ukurannya dibandingkan siput betina. Individu-individu mencapai dewasa pada saat bibir luarnya sudah padat atau tebal. Kebiasaan makan siput gonggong yang cenderung herbivore yaitu memakan algae yang biasanya terdapat pada detritus (Cob et al., 2008; Cob et al., 2009) Faktor Biotik (Padang Lamun) Padang lamun di lingkungan perairan laut dangkal dapat berperan antara lain yaitu sebagai produsen primer, habitat biota, penangkap sedimen dan sebagai pendaur zat hara. Padang lamun sebagai produsen primer adalah karena lamun mempunyai tingkat produktivitas primer tertinggi bila dibandingkan dengan ekosistem lainnya yang ada di laut dangkal seperti ekositem mangrove dan ekosistem terumbu karang (Thayer et al., 1975; Qosim & Bhattarhiri 1971). Sebagai habitat biota, padang lamun memberikan tempat perlindungan dan tempat menempel berbagai hewan dan tumbuh-tumbuhan (algae). Padang lamun dapat juga sebagai daerah asuhan, daerah pengembalaan dan makanan dari berbagai jenis ikan herbivore dan ikan-ikan karang (Kikuchi & Peres 1977). Sedangkan sebagai penangkap sedimen yaitu padang lamun dengan daun lamun yang lebat akan memperlambat air yang disebabkan oleh arus dan Laporan Akhir, Studi Distribusi & Eksploitasi Siput Gonggong di Lokasi Coremap II Kab. Lingga 4-7

36 ombak, sehingga perairan disekitarnya menjadi tenang. Selain itu, rimpang dan akar lamun dapat menahan dan mengikat sedimen, sehingga dapat menguatkan dan menstabilkan dasar permukaan (Gingsbur & Lowenstan, 1958; Thoraug & Austin 1976). Lamun juga memegang peranan penting dalam pendauran berbagai zat hara dan elemen elemen yang langka di lingkungan laut. Khususnya zat-zat hara yang dibutuhkan oleh algae epifitik. Jenis Lamun yang ditemui pada wilayah studi tidak beragam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis lamun yang ditemui dari jenis Enhalus. Pada beberapa literatur menyatakan bahwa lamun jenis Enhalus termasuk jenis yang membentuk komunitas tunggal. Komunitas tunggal umum dijumpai di dataran lumpur dekat hutan mangrove. Sedangkan komunitas campuran sering dijumpai tumbuh di substrat berpasir yang kondisi perairannya tenang. Jenis Lamun yang ditemui dikenal oleh masyarakat tempatan dengan nama setu. Berdasarkan klasifikasi oleh Hartog (1970) dan Menez, Philips, dan Calumpong (1983), klasifikasi jenis lamun tersebut adalah Divisi : Anthophyta, Kelas : Angiospermae, Famili : Hydrocharitaceae, Subfamili : Hydrocharitaceae, Genus : Enhalus acoroides Lamun Enhalus acorides dijumpai pada semua lokasi penelitian. Lamun ditemukan mulai pada batas surut terendah hingga ke arah laut. Lamun lebih sering ditemukan pada pantai Desa Limbung, Desa Bukit Harapan dan Desa Linau. Kerapatan rata-rata lamun pada lokasi penelitian berkisar antara 7,23 16,22%. Kerapatan lamun tertinggi ditemui pada lokasi sampling di Desa Limbung selanjutnya pada Bukit Harapan dan Desa Linau. Kisaran tutupan lamun yang ditemui pada lokasi studi tergolong jarang (5 < C < 25%; C: persentase kerapatan). Beberapa faktor lingkungan juga akan mempengaruhi distribusi dan kestabilan ekosistem lamun. Adapun faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi yaitu kecerahan, temperatur, salinitas, substrat dan kecepatan arus. Penetrasi cahaya yang masuk ke dalam perairan sangat mempengaruhi proses fotosintesis yang dilakukan oleh tumbuhan lamun. Laporan Akhir, Studi Distribusi & Eksploitasi Siput Gonggong di Lokasi Coremap II Kab. Lingga 4-8

37 Lamun membutuhkan intensitas cahaya yang tinggi untuk proses fotosintesa, jika suatu perairan mendapat pengaruh akibat aktivitas pembangunan sehingga meningkatkan sedimentasi pada badan air yang akhirnya mempengaruhi turbiditas maka akan berdampak buruk terhadap proses fotosintesis. Hal ini juga diperkirakan yang menyebabkan kondisi lamun pada stasiun sampling Tregeh (Desa Sekanah) persentase kerapatannya rendah. Pada daerah tersebut terdapat aktivitas pembukaan lahan karena eksploitasi pertambangan. Suhu atau temperatur dapat juga mempengaruhi distribusi dan kelimpahan lamun. Secara umum ekosistem lamun ditemukan secara luas di daerah bersuhu dingin dan di tropis. Hal ini mengindikasikan bahwa lamun memiliki toleransi yang luas terhadap perubahan temparatur. Pada daerah tropis, lamun dapat hidup optimal hanya pada temperatur C. Pada lokasi penelitian menunjukkan bahwa perairan laut masih dalam kisaran untuk hidup optimal lamun. Suhu yang optimal tersebut berkaitan dengan kemampuan proses fotosintesis. Proses fotosintesis akan menurun jika temperatur berada di luar kisaran tersebut. Untuk salinitas perairan, kisaran salinitas yang dapat ditolerir lamun adalah dan nilai optimumnya adalah 35. Pada daerah penelitian salinitas perairan termasuk dalam kondisi optimum yaitu 35 0 / 00. Hasil ini menunjukkan bahwa lamun dapat tumbuh baik dilokasi penelitian, akan tetapi yang ditemukan kerapatan lamun yang jarang. Penurunan salinitas akan menurunkan kemampuan lamun untuk melakukan fotosintesis. Toleransi lamun terhadap salinitas bervariasi juga terhadap jenis dan umur. Lamun yang tua dapat mentoleransi fluktuasi salinitas yang besar. Padang lamun hidup pada berbagai macam tipe sedimen, mulai dari lumpur sampai karang. Kebutuhan substrat yang utama bagi pengembangan padang lamun adalah kedalaman sedimen yang cukup. Peranan kedalaman substrat dalam stabilitas sedimen yaitu untuk pelindung tanaman dari arus laut dan tempat pengolahan dan pemasok nutrien. Salinitas juga berpengaruh terhadap biomassa, produktivitas, kerapatan, lebar daun dan kecepatan pulih. Adapun kerapatan lamun akan semakin meningkat dengan meningkatnya salinitas. Laporan Akhir, Studi Distribusi & Eksploitasi Siput Gonggong di Lokasi Coremap II Kab. Lingga 4-9

38 Padang lamun hidup pada berbagai macam tipe sedimen, mulai dari lumpur sampai karang. Kebutuhan substrat yang utama bagi pengembangan padang lamun adalah kedalaman sedimen yang cukup. Selain itu, kecepatan arus juga akan mempengaruhi lamun. Adapun pengaruh kecepatan arus adalah produktivitas padang lamun tersebut. Untuk melihat persentasi kerapatan padang lamun di daerah penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.3. Tabel 4.3. Persentase kerapatan padang lamun Enhalus acoroides Transek Stasiun Pengamatan (Desa) Limbung Bukit Harapan Linau Sekanah (Trege) 1 24,71-12,71 22, , ,04 14,63 16,75-17, ,67 21,25-18,67 19,54 9,79 11, ,29 19,84 20,29 15,00 26,67 12,13 25,25 - Rata-rata 16,22 10,38 13,56 15,17 14,99 12,11 8,76 7,23 Keterangan: 1. Centeng 2. Senempek 3. Limbong 1 4. Limbong 2 5. Linau 1 6. Linau 2 7. Trege 1 8. Trege Faktor Abiotik (Kualitas Air) Pengukuran kualitas air atau faktor abiotik dilakukan pada daerah Kawasan Coremap II. Sebahagian desa yang termasuk wilayah Coremap II Kabupaten Lingga telah mengalami pemekaran desa. Desa Limbung telah dimekarkan menjadi beberapa desa. Oleh karena itu, pengukuran faktor lingkungan dilakukan pada desa-desa pemekaran tersebut. Adapun faktor lingkungan yang diukur yaitu ketinggian pasang, kedalaman perairan, suhu perairan, kecerahan, kecepatan arus, substrat dasar perairan, oksigen terlarut, salinitas perairan, dan ph. Pada stasiun pengambilan sampel yaitu pada Desa Limbung, Desa Bukit Harapan, Desa Linau dan Tregeh keadaan ketinggian pasang berkisar antara 1,2 1,5 m. Ketinggian pasang surut air laut terendah terdapat pada Desa Sekanah (Tregeh) yaitu 1,2 m. Namun, pada wilayah lain yang termasuk daerah sampling ketinggian pasang surut rata-rata yaitu 1,5 m. Laporan Akhir, Studi Distribusi & Eksploitasi Siput Gonggong di Lokasi Coremap II Kab. Lingga 4-10

39 Kedalaman rata-rata perairan pada wilayah studi berkisar antara 4,2 6,0 m. kedalaman perairan sangat bervariasi pada masing-masing stasiun pengamatan. Pengumpulan siput gonggong dilakukan pada daerah pantai hingga pada kedalaman perairan 2 m. Pengumpulan sering dilakukan pada siang hari saat air surut dan pada daerah yang tidak terlalu dalam. Suhu air merupakan faktor lingkungan yang paling mudah diselidiki. Perubahan suhu dilingkungan laut merupakan indikator yang penting untuk menunjukkan perubahan ekologi, baik secara vertikal maupun horizontal. Suhu dapat mempengaruhi fotosintesis di laut. Secara langsung, suhu air laut dapat mempengaruhi reaksi kimia enzimatik yang berperan pada fotosintesis, dan secara tidak langsung suhu akan menentukan struktur hidrologis suatu perairan. Suhu dan salinitas mempengaruhi rapat air (water density). Semakin dalam perairan, suhunya makin rendah dan salinitas makin meningkat, sehinga rapat air juga meningkat (Raymont, 1966). Selain itu, suhu sangat berpengaruh terhadap kondisi arus di laut. Arus air akan bergerak dari perairan ber-suhu rendah ke yang ber-suhu tinggi, untuk menggantikan masa iar yang menguap dan juga kerena rapat air pada Suhu tinggi yang renggang. Suhu perairan selama penelitian berkisar antara 26,8 28,2 o C. Keadaan suhu perairan pada wilayah penelitian masih termasuk suhu perairan yang alami, karena pada wilayah tersebut belum ada aktivitas industri yang dapat menimbulkan peningkatan suhu perairan. Kecerahan perairan adalah suatu kondisi yang menunjukkan kemampuan cahaya untuk menembus lapisan air pada kedalaman tertentu. Pada perairan alami kecerahan sangat penting karena erat kaitannya dengan aktifitas fotosintesa. Kecerahan merupakan faktor penting bagi proses fotosintesa dan produksi primer dalam suatu perairan. Adapun kecerahan perairan pada daerah studi selama penelitian berkisar antara 4,3 5,0 m. Kecerahan perairan ini menunjukkan bahwa perairan daerah studi jernih. Pada lokasi yang dekat dengan pantai, kecerahan perairan mencapai dasar perairan. Pada wilayah studi ini, kecerahan perairan sangat dipengaruhi oleh musim. Kecerahan perairan akan menurun atau rendah apabila sudah masuk musim utara yaitu diperkirakan mulai dari bulan Desember Pebruari. Namun, bila musim selatan wilayah perairan tersebut terlindung, karena letaknya di Laporan Akhir, Studi Distribusi & Eksploitasi Siput Gonggong di Lokasi Coremap II Kab. Lingga 4-11

40 utara Pulau Daik, serta terlindung karena merupakan teluk. Kecerahan perairan tersebut juga akan mempengaruhi aktivitas pengumpulan siput gonggong oleh para nelayan. Aktivitas pengumpulan siput gonggong akan sangat berkurang karena perairan keruh atau kecerahan perairan sangat rendah sehingga pengumpul siput tidak dapat melihat siput di dasar perairan. Arus adalah proses pergerakan massa air menuju kesetimbangan yang menyebabkan perpindahan horizontal dan vertikal massa air. Gerakan massa air tersebut merupakan resultan dari beberapa gaya yang bekerja dan beberapa faktor yang mempengaruhinya. Arus laut (sea current) adalah gerakan massa air laut dari satu tempat ke tempat lain baik secara vertikal (gerak ke atas) maupun secara horizontal (gerakan ke samping) (Gross 1972). Faktor abiotik yang berkaitan dengan faktor fisika perairan yaitu kecepatan arus. Pada stasiun sampling kecepatan arus air laut selama pengambilan sampel mencapai 0,4 m/det. Secara umum pada stasiun sampling kecepatan arus air laut rata-rata 0,4 m/det. Kecepatan arus sangat bervariasi tergantung tempat yaitu terbuka ataupun tertutup, waktu seperti waktu pasang dan surut serta musim yaitu musim Utara, Selatan, Barat atau Timur. Saat musim tersebut, kecepatan arus dan arah arus dipengaruhi oleh massa air akibat dari arah angin. Aktivitas organisme perairan akan beradaptasi dengan berbagai fenomena alam tersebut, demikian juga aktivitas manusia yang melakukan penangkapan atau pengumpulan siput gonggong pada sekitar kawasan Kecamatan Lingga Utara. Keadaan substrat perairan pada daerah penelitian terdiri dari pasir berlumpur. Kondisi pasir berlumpur terdapat mulai dari lokasi Desa Limbung hingga Desa Sekanah di bagian utara Pulau Lingga. Substrat pasir berlumpur berkaitan erat dengan lokasi penelitian yang terletak pada pesisir Pulau Lingga yang wilayah pantainya cukup landai. Oleh karena wilayah ini terletak di pesisir Pulau Lingga yang juga berarus tidak terlalu kuat dan terlindung dari massa air, maka kawasan ini mempunyai substrat pasir berlumpur. Jenis substrat pasir berlumpur memberikan habitat yang cocok untuk beberapa jenis kerang terutama dari jenis siput yaitu siput gonggong. Untuk lebih jelasnya beberapa faktor abiotik lingkungan sekitar daerah penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.4. Laporan Akhir, Studi Distribusi & Eksploitasi Siput Gonggong di Lokasi Coremap II Kab. Lingga 4-12

41 Tabel 4.4. Faktor abiotik daerah penelitian di Kecamatan Lingga Utara No Parameter Satuan Stasiun Pengamatan (Desa) Limbung Bukit Harapan Linau Sekanah (Trege) 1 Ketinggian pasang m 1,5 1,5 1,5 1,5 1,5 1,5 1,2 1,2 2 Kedalaman m 4,5 5,6 4,2 5,8 5,2 6,0 5,6 6,0 3 Suhu 0 C 28,2 28,2 28,2 28,2 28,2 28,2 26,0 26,8 4 Kecerahan m 4,3 4,5 4,5 4,5 4,5 4,5 4,5 5,0 5 Kecepatan arus m/det 0,4 0,4 0,4 0,4 0,4 0,4 0,4 0,4 6 Oksigen terlarut mg/l 5,26 6,20 5,1 5,9 5,33 6,45 6,4 7,0 7 Salinitas 0 / 00 35,0 35,0 35,0 35,0 35,0 35,0 35,0 35,0 8 ph - 8,12 8,12 8,10 8,10 8,11 8,11 8,41 8,41 9 Dasar perairan - Pasir lumpur Pasir lumpur Pasir lumpur Pasir lumpur Pasir lumpur Keterangan: 1. Centeng 2. Senempek 3. Limbong 1 4. Limbong 2 5. Linau 1 6. Linau 2 7. Trege 1 8. Trege 2 Pasir lumpur Pasir lumpur Pasir lumpur Pada Tabel 4.4. menunjukkan bahwa konsentrasi oksigen terlarut di stasiun penelitian berkisar antara 5,1 7,0 mg/l. Konsentrasi oksigen terlarut tertinggi yang ditemukan pada saat sampling yaitu pada stasiun sampling di Desa Sekanah. Sedangkan konsentrasi oksigen terlarut terendah ditemukan pada stasiun sampling Desa Bukit Harapan. Namun, konsentrasi oksigen terlarut masing-masing stasiun penelitian tidak terlihat terlalu berbeda. Konsentrasi oksigen terlarut pada lokasi-lokasi sampling tergolong tinggi. Konsentrasi oksigen terlarut sangat bervariasi antara satu tempat dengan tempat lain. Pada perairan laut yang masih alami, konsentrasi oksigen terlarut banyak dipengaruhi oleh aktivitas pengadukan dari adanya arus dan gelombang. Konsentrasi oksigen yang ditemukan pada daerah sampling tergolong baik untuk perkembangan organisme perairan. Salinitas merupakan jumlah dari seluruh garam-garaman dalam gram pada setiap kilogram air laut. Konsentrasi salinitas perairan pada semua daerah penelitian yaitu Desa Limbung, Desa Bukit Harapan, Desa Linau dan Desa Sekanah adalah 35 per mil atau 3,5%. Air laut mengandung 3,5% garam-garaman, gas-gas terlarut, bahan-bahan organik dan partikel-partikel tak terlarut. Keberadaan garam-garaman mempengaruhi sifat fisik air laut beberapa tingkat. Beberapa sifat lain seperti viskositas, daya serap cahaya tidak terpengaruh secara signifikan oleh salinitas. Dua sifat yang sangat ditentukan oleh salinitas adalah daya hantar listrik konduktivitas dan tekanan osmosis. Laporan Akhir, Studi Distribusi & Eksploitasi Siput Gonggong di Lokasi Coremap II Kab. Lingga 4-13

42 Kondisi ph perairan pada lokasi penelitian berkisar antara 8,10 8,41. Kondisi ph yang terendah terukur pada lokasi sampling Bukit Harapan, sedangkan kondisi ph yang tertinggi terukur selama penelitian adalah di Trege. Secara umum kondisi ph perairan laut pada daerah penelitian tidak jauh berbeda. Kondisi perairan laut tergolong normal, karena perairan laut yang tidak tercemar kondisi ph cenderung normal yang mengarah ke basa. ph yang terukur pada lokasi yang hampir berdekatan menunjukkan nilai ph yang tidak jauh berbeda yaitu sekitar 8,10. Secara umum dapat dinyatakan bahwa perairan di utara Pulau Lingga, kondisi perairannya tidak jauh berbeda. Laporan Akhir, Studi Distribusi & Eksploitasi Siput Gonggong di Lokasi Coremap II Kab. Lingga 4-14

43 Bab 5 EKSPLOITASI DAN PERLINDUNGAN SIPUT GONGGONG 5.1. Eksploitasi dan Produksi Siput gonggong merupakan salah satu komoditas perikanan yang potensial di Lingga yang ditemukan di daerah Kecamatan Lingga Utara. Adapun beberapa tempat yang menghasilkan siput gonggong adalah pada Desa Limbung, Desa Bukit Harapan, Desa Linau dan Desa Sekanah. Penangkapan atau eksploitasi siput gonggong dilakukan oleh masyarakat tempatan di wilayah tersebut. Umumnya penangkapan dilakukan masih dalam administrasi wilayah masing-masing desa oleh karena organisme tersebut tersebar dalam wilayah dengan tipe substrat yang sama. Wilayah Desa Limbung, Bukit Harapan dan Desa Linau sebelumnya termasuk dalam Desa Limbung, sehingga sejak lama masing-masing nelayan sudah melakukan eksploitasi siput gonggong sesuai dengan dusunnya. Penangkapan siput gonggong dilakukan pada pagi atau sore hari saat air surut. Upaya penangkapan atau pengumpulan siput dilakukan oleh nelayan berlangsung antara 2 hingga 4 jam setiap harinya pada pagi atau sore hari. Lama waktu pengumpulan tergantung kemampuan nelayan. Untuk mendapatkan siput gonggong secara umum dilakukan dengan melakukan penyelaman ke dasar perairan pada kedalaman 2 2,5 m. Jumlah pengumpul siput gonggong sekitar 128 orang. Jumlah pengumpul terbanyak terdapat di Desa Limbung yaitu pada dusun Centeng dan Senempek yaitu sekitar 60 orang. Jumlah pengumpul yang juga cukup banyak setelah Desa Limbung yaitu terdapat pada Desa Linau yaitu sebanyak 40 orang. Untuk melihat jumlah pengumpul siput gonggong pada masing-masing desa dapat dilihat pada Tabel 5.1. Laporan Akhir, Studi Distribusi & Eksploitasi Siput Gonggong di Lokasi Coremap II Kab. Lingga 5-1

44 Tabel 5.1. Jumlah pengumpul dan produksi siput gonggong No Desa Nelayan Produksi per hari (Kg) 1 Limbung Bukit Harapan Linau Sekanah/Trege Jumlah Sumber: wawancara dan analisis Hasil tangkapan bervariasi tergantung waktu dan masing-masing nelayan. Umumnya hasil tangkapan masing-masing nelayan berkisar antara kg/orang. Para nelayan melakukan pengumpulan selama 15 hari dalam sebulan. Hal ini berkaitan dengan pengaruh pasang surut, penangkapan umumnya dilakukan pada pagi hingga siang hari saat air laut surut pada waktu tersebut. Pengumpulan siput gonggong juga tidak dilakukan disepanjang tahun. Aktivitas tersebut dipengaruhi oleh musim juga, yaitu tidak dilakukan selama musim utara yaitu mulai dari Desember hingga Pebruari. oleh karena, air laut keruh dan bergelombang. Pada musim utara tersebut, para pengumpul tidak dapat mengumpulkan siput gonggong karena siput tersebut tidak terlihat dari permukaan air sehingga tidak tahu keberadaannya untuk di selam. Produksi siput gonggong pada daerah penelitian mencapai 1,2 ton per hari. Produksi hasil tangkapan tersebut mencapai kisaran kg per hari di lokasi penelitian. Produksi terbanyak terdapat di Desa limbung yaitu sekitar 600 kg/hari dan selanjutnya pada Desa Linau yaitu 400 kg/hari. Pada waktu-waktu tertentu jumlah produksi dapat saja melebihi dari produksi rata-rata tersebut, namun kemampuan pedagang pengumpul terbatas untuk mampu membeli hasil produksi tersebut. Sehingga apabila jumlah siput gonggong pada pengumpul masih banyak dan belum semua dapat tersalurkan ke Batam, maka para nelayan tidak melakukan penangkapan. Untuk melihat produksi siput gonggong per tahun dilakukan analisis perhitungan upaya penangkapan dan produksi. Upaya untuk penangkapan atau pengumpulan siput gonggong mencapai unit upaya per tahunya. Dimana Laporan Akhir, Studi Distribusi & Eksploitasi Siput Gonggong di Lokasi Coremap II Kab. Lingga 5-2

45 upaya pengumpulan siput gonggong berkisar antara unit. Upaya penangkapan terbesar yaitu pada Desa Limbung. Sedangkan produksi gonggong per tahunnya dapat mencapai 206,55 ton dengan nilai rupiahnya dapat mencapai Rp 1,032 milyar per tahunnya. Harga ini adalah disesuaikan dengan harga patokan siput gonggong yang dibeli oleh pedagang tingkat pengumpul di desa yaitu 5.000/ kg. Namun, harga siput gonggong pada tingkat konsumen di Batam dapat mencapai kisaran harga Rp / kg. Untuk melihat upaya penangkapan, jumlah produksi dan nilai harga produksi siput gonggong dapat dilihat pada Tabel 5.2. Tabel 5.2. Upaya penangkapan, jumlah produksi dan nilai produksi siput gonggong per tahun No Desa Upaya Produksi/ tahun (ton) Nilai Produksi (Rp.) 1 Limbung ,5 607,500,000 2 Bukit Harapan ,3 121,500,000 3 Linau ,0 270,000,000 4 Sekanah/Trege ,75 33,750,000 Jumlah ,55 1,032,750, Persepsi Masyarakat Persepsi masyarakat disini dimaksudkan untuk mengetahui tingkat pemahaman masyarakat tentang tingkat eksploitasi, kepunahan dan perlindungan gonggong dan mengetahui respon atau sikap yang diberikan terhadap hal tersebut tersebut. Persepsi masyarakat terbentuk dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi bakat, minat, kemauan, perasaan, fantasi dan tanggapan yang dibawa sejak lahir, sedangkan faktor eksternal adalah umur, pendapatan, nilai/kepercayaan, pengalaman, jenis kelamin, ingatan, keadaan sosial, harapan dan agama. Perbedaan persepsi dapat terjadi akibat pengaruh status penduduk dilingkungan lingkup sosial budaya. Contoh: status perempuan dalam rumah tangga dimana perempuan bukan merupakan pencari nafkah utama yang tentunya tidak akan berhubungan secara langsung dengan pengelolaan perairan, bila dibandingkan dengan kaum laki-laki. Seandainya status perempuan tersebut Laporan Akhir, Studi Distribusi & Eksploitasi Siput Gonggong di Lokasi Coremap II Kab. Lingga 5-3

46 adalah kepala keluarga baik karena ditinggal mati suaminya atau pun karena penceraian, perbedaan persepsi juga dimungkin terjadi karena kemampuan seorang laki-laki dan seorang perempuan tersebut tidaklah sama atau juga dapat terjadi karena berbeda pengalaman dan pendidikannya. Sikap dan persepsi masyarakat di lokasi studi terhadap tingkat eksploitasi, kepunahan dan perlindungan gonggong diperoleh dari hasil wawancara dengan kuisioner dari 40 responden, seperti terlihat pada Tabel 5.3. Tabel 5.3. Persepsi masyarakat di lokasi studi terhadap ekploitasi, perlindungan dan kepunahan gonggong No Keterangan Jumlah Responden Persentase (%) 1 Eksploitasi Gonggong - Setuju ,00 - Tidak setuju Tidak ada jawaban Perlindungan Gonggong - Setuju 33 82,50 - Tidak setuju 5 12,50 - Tidak ada jawaban 2 5,00 3 Kepunahan Gonggong - Setuju - - Tidak setuju ,00 - Tidak ada jawaban - - Dari apa yang dilihat pada Tabel 5.3. dapat dijelaskan bahwa seluruh responden (100,00%) setuju dengan eksploitasi gonggong. Persepsi tersebut muncul akibat cukup banyaknya masyarakat yang mengambil gonggong sebagai mata pencaharian, dengan demikian mereka juga tidak menginginkan siput gonggong itu punah dari lingkungan mereka (100,00%). Demikian juga persepsi responden terhadap perlindungang gonggong, dimana 33 responden (82,50%) menyatakan setuju. Terdapat 5 orang responden (12,50%) yang menyatakan tidak setuju dengan perlindungan gonggong, dan 2 responden (5,00%) tidak memberikan jawaban. Persepsi ini muncul karena kurangnya pengetahuan responden terhadap konsep perlindungan. Mereka beranggapan bahwa kalau kawasan itu dijadikan kawasan perlindungan, maka mereka tidak dapat melakukan pengambilan Laporan Akhir, Studi Distribusi & Eksploitasi Siput Gonggong di Lokasi Coremap II Kab. Lingga 5-4

47 gonggong sama sekali. Persepsi ini dapat saja berubah menjadi setuju jika mereka telah memahami konsep perlindungan yang sebenarnya Perlindungan dan Konservasi Pada setiap desa yang direncanakan untuk kawasan konservasi diberi nilai kriteria yang sesuai menurut parameter yang telah ditentukan. Penilaian bobot kriteria tersebut dengan merujuk data-data yang telah dianalisis sebelumnya. Untuk Desa Limbung dan Desa Linau berdasarkan kesesuaian dengan tata ruang, maka kawasan tersebut tergolong sesuai untuk dijadikan kawasan konservasi siput gonggong. Oleh karena, kawasan tersebut masih mempunyai kawasan untuk dikembangkan menjadi kawasan perlindungan dan tidak tumpang tindih dengan kawasan yang direncanakan untuk pengembangan kawasan budidaya laut. Berdasarkan parameter kelimpahan gonggong untuk desa-desa penelitian, hanya pada Desa Sekanah yang mempunyai kelimpahan gonggong yang kecil dari 1 individu/m 2. Sedangkan desa lainnya, mempunyai kelimpahan gonggong lebih dari 1 individu/m 2. Parameter kerapatan tutupan lamun menunjukkan bahwa Desa Limbung dan Desa Linau mempunyai persentase tutupan yang lebih besar dari 10%. Ini menunjukkan bahwa kawasan ini yang tergolong tutupan lamun yang tergolong jarang sedangkan kawasan lain tergolong sangat jarang. Substrat pada masing-masing daerah penelitian mempunyai bobot yang sama yaitu substrat pasir berlumpur. Siput gonggong pada Desa Limbung dan Linau mempunyai tingkat eksploitasi yang tinggi, maka parameter tingkat eksploitasi diberikan bobot yang rendah. Berdasarkan analisis kualitas air, menunjukkan bahwa parameter kualitas air memenuhi kesesuaian untuk hidup siput gonggong. Sehingga untuk parameter kualitas air diberikan bobot 2. Kawasan tersebut juga dinilai terhadap kemungkinan akan terjadinya ancaman pencemaran. Untuk kawasan Desa Bukit Harapan dan Sekanah mempunyai ancaman terhadap pencemaran. Desa sekanah ancaman pencemaran dari aktivitas penambangan dan kawasan perairan Desa Bukit Harapan dari aktivitas kegiatan pembukaan lahan untuk pertanian. Berdasarkan Laporan Akhir, Studi Distribusi & Eksploitasi Siput Gonggong di Lokasi Coremap II Kab. Lingga 5-5

48 persepsi masyarakat, menunjukkan bahwa masyarakat setuju apabila kawasannya untuk dijadikan kawasan perlindungan. Hal ini disebabkan bahwa mereka sudah mendapatkan manfaat dari keberhasilan melaksanakan konservasi Terumbu Karang. Untuk melihat skor kriteria tiap parameter pada tiap daerah penelitian dapat dilihat pada Tabel 5.4. Tabel 5.4. Skoring parameter untuk setiap daerah penelitian No Parameter Bobot Limbung B.Harapan Linau Sekanah 1 Kesesuaian dengan tata ruang Kelimpahan Gonggong Kerapatan Tutupan lamun Substrat Tingkat eksploitasi Kualitas Air Ancaman Pencemaran Persepsi Masyarakat Selanjutnya masing-masing parameter dikalikan dengan nilai skor kriterianya. Adapun hasil perhitungan parameter untuk pemilihan kawasan konservasi siput gonggong dengan kriteria bobot dapat dilihat pada Tabel 5.5. Tabel 5.5. Nilai perhitungan bobot dengan kriteria No Parameter Limbung B.Harapan Linau Sekanah 1 Kesesuaian dengan tata ruang Kelimpahan Gonggong Kerapatan Tutupan lamun Substrat Tingkat eksploitasi Kualitas Air Ancaman Pencemaran Persepsi Masyarakat Jumlah Pada Tabel 5.5. dapat dilihat bahwa kawasan Limbung dan Linau mempunyai nilai skor mencapai 91 dan kawasan Desa Bukit Harapan dan Sekanah masing-masing 77 dan 72. Berdasarkan nilai skor yang dihitung dan dibandingkan Laporan Akhir, Studi Distribusi & Eksploitasi Siput Gonggong di Lokasi Coremap II Kab. Lingga 5-6

49 dengan nilai rangking skoring kesesuaian untuk konservasi, maka dapat disimpulkan bahwa Kawasan Desa limbung dan Linau tergolong kawasan yang sesuai untuk diusulkan menjadi kawasan konservasi siput gonggong (nilai skoring 91; >84). Sedangkan untuk kawasan Desa Bukit Harapan dan Desa Sekanah mempunyai skoring antara Sehingga kawasan tersebut tergolong kawasan yang kurang sesuai untuk konservasi siput gonggong Rencana Usulan Kawasan Konservasi Gonggong Rencana kawasan konservasi gonggong perlu ditetapkan dengan pertimbangan hasil analisis biologi dan ekologi serta aspek sosial ekonomi dan budaya. Untuk itu telah dilakukan serangkaian analisis agar didapatkan wilayah yang akan dijadikan usulan untuk kawasan konservasi gonggong. Setelah dilakukan analisis terhadap kesesuaian lahan, aspek biofisik dan persepsi masyarakat untuk rencana kawasan konservasi gonggong didapatkan beberapa kawasan di Kecamatan Lingga Utara yang potensial. Kawasan yang potensial untuk diusulkan menjadi kawasan konservasi gonggong terdapat di Desa Limbung dan Desa Linau. Rencana kawasan yang diusulkan juga sudah dipertimbangkan kajian terdahulu tentang rencana pengembangan kawasan budidaya perikanan. Untuk rencana usulan kawasan konservasi gonggong setelah melalui analisis matrik kesesuaian dan plotting pada peta Desa Limbung dan Desa Linau didapatkan yaitu Desa Limbung seluas 9,599 ha dan Desa Linau seluas 0,930 ha (Gambar 5.1). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 5.6. Tabel 5.6. Koordinat dan luasan usulan kawasan konservasi gonggong di Desa Limbung dan Desa Linau No Lokasi Longitude Latitude Luas (Ha) 1 Desa Linau Desa Limbung , Laporan Akhir, Studi Distribusi & Eksploitasi Siput Gonggong di Lokasi Coremap II Kab. Lingga 5-7

50 Gambar 5.1. Peta usulan kawasan konservasi siput gonggong di Kabupaten Lingga Laporan Akhir, Studi Distribusi & Eksploitasi Siput Gonggong di Lokasi Coremap II Kab. Lingga 5-8

51 Manajemen Konservasi a. Pendekatan Perencanaan Secara ekologis, kawasan konservasi siput gonggong mempunyai hubungan yang fungsional dengan ekosistem lain di sekitarnya (seperti hutan mangrove dan padang lamun), daratan dan laut lepas. Dengan demikian perubahan yang terjadi pada ekosistem lain diperkirakan akan mempengaruhi ekosistem kawasan ini. Pendekatan pengelolaan kawasan konservasi siput gonggong dilakukan secara terpadu. Ini mengandung pengertian bahwa semua pemangku kepentingan (stakeholders) yang berhubungan erat dengan kawasan konservasi siput gonggong, secara langsung maupun tidak langsung harus dilibatkan dalam proses perencanaan dan pengelolaan. Keterpaduan dalam perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi siput gonggong mencakup empat aspek, yaitu: 1. Keterpaduan Wilayah/Ekologis Secara ekologis, kawasan konservasi siput gonggong mempunyai keterkaitan dengan daratan dan lautan serta ekosistem lain (hutan mangrove dan lamun. Hal ini disebabkan karena kawasan konservasi siput gonggong berada dekat dengan ekosistem tersebut serta daratan dan lautan. Berbagai dampak kegiatan pembangunan yang dilakukan di lahan atas atau hutan mangrove daratan akan menimbulkan dampak pula pada ekosistem kawasan siput gonggong. Demikian pula dengan kegiatan yang dilakukan di laut lepas, seperti: pembuangan limbah dan perhubungan laut. 2. Keterpaduan Sektor Kawasan konservasi siput gonggong dimanfaatkan oleh beberapa sektor/pihak untuk memenuhi tujuannya, seperti sektor perikanan dan kelautan, Swasta dan masyarakat. Agar pemanfaatan kawasan dapat dilakukan secara optimal dan berkelanjutan, maka dalam perencanaan pengelolaan harus mengintegrasikan kepentingan semua sektor tersebut. Kegiatan suatu sektor tidak boleh mengganggu, apalagi sampai mematikan sektor lain. Laporan Akhir, Studi Distribusi & Eksploitasi Siput Gonggong di Lokasi Coremap II Kab. Lingga 5-9

52 3. Keterpaduan Disiplin Ilmu Ekosistem kawasan konservasi siput gonggong memiliki karakteristik yang unik. Pada kawasan konservasi siput gonggong hidup berbagai jenis biota, hewan maupun tumbuhan yang berasosiasi dan berafiliasi dengan lingkungan maupun kawasan konservasi siput gonggong itu sendiri. Dengan ciri yang demikian disiplin ilmu yang khusus pula seperti oseanografi (fisika, kimia, dan biologi, ekologi, biologi laut dan penginderaan jauh). Disamping itu diperlukan juga bidang keahlian perencanaan dan pengembangan wilayah sebagai suatu konsekwensi dari peruntukan wilayah untuk suatu kepentingan tertentu. 4. Keterpaduan Stakeholders Kawasan konservasi siput gonggong dimanfaatkan oleh banyak pihak. Maka pengelolaan harus dapat mengakomodir semua pihak, oleh karena itu dalam konservasi siput gonggong perencanaan pengelolaan harus menggunakan pendekatan dua arah, yaitu top down dan bottom up. Perencanaan diperlukan dalam pengelolaan, yaitu untuk mengalokasikan sumberdaya alam, khususnya yang berkaitan dengan sumberdaya kawasan konservasi siput gonggong. Perencanaan disini dapat diartikan sebagai proses persiapan pembuatan keputusan untuk pelaksanaan sesuai dengan sasaran yang dikehendaki. Untuk merencanakan pengelolaan kawasan konservasi siput gonggong, ada beberapa tahapan kegiatan yang perlu dilakukan: (1) Identifikasi isu-isu pengelolaan, yaitu masalah yang akan dihadapi (2) Merumuskan sasaran dan tujuan umum, yang berkaitan dengan masalah (3) Proyeksi kondisi yang akan datang dan, (4) Hasil perencanaan yang diharapkan (sustainable). b. Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya kawasan konservasi siput gonggong merupakan bagian dari sumberdaya alam di wilayah pesisir yang pengelolaannya tidak terlepas dari pengelolaan sumberdaya alam lainnya seperti hutan bakau (mangrove), padang lamun, dan sumberdaya alam lainnya. Oleh karena itu, pengelolaan Laporan Akhir, Studi Distribusi & Eksploitasi Siput Gonggong di Lokasi Coremap II Kab. Lingga 5-10

53 kawasan konservasi siput gonggong harus memperhatikan serta menggunakan pendekatan menyeluruh (holistik) dan terpadu. Selain itu juga harus sejalan dengan pelaksanaan Undang-Undang No. 22 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (Otonomi Daerah). Pengelolaan kawasan konservasi siput gonggong disusun berdasarkan beberapa prinsip atau kaidah: 1. Keseimbangan antara intensitas dan variasi pemanfaatan kawasan konservasi siput gonggong. 2. Pertimbangan pengelolaan sesuai dengan prioritas kebutuhan masyarakat lokal dan ekonomi regional. 3. Mengandalkan pelaksanaan peraturan formal dan peraturan non-formal untuk mencapai tujuan pengelolaan dan pemanfaatan kawasan konservasi siput gonggong yang optimal. 4. Menciptakan insentif bagi pengelolaan yang berkeadilan dan berkesinambungan. 5. Mencari pendekatan pengelolaan secara kooperatif antara semua pihak terkait. 6. Menyusun program pengelolaan berdasarkan data ilmiah yang tersedia dan kemampuan daya dukung lingkungan. 7. Pengakuan hak-hak ulayat dan pranata sosial persekutuan masyarakat adat tentang pengelolaan kawasan konservasi siput gonggong. 8. Memantapkan wewenang daerah dalam pengelolaan kawasan konservasi siput gonggong sesuai dengan semangat otonomi daerah. Ke delapan prinsip di atas, ditambah dengan azas desentralisasi baik dalam perencanaan maupun implementasi menjadi suatu hal yang sangat penting dan harus dilaksanakan. Pengelolaan sumberdaya kawasan konservasi siput gonggong yang berhasil merupakan gabungan dari ilmu pengetahuan, kebijakan, hukum dan pengaturan administrasi yang sangat tergantung pada situasi, kondisi sosial, ekonomi dan politik dari daerah tersebut. Pengelolaan kawasan konservasi siput gonggong adalah: mengelola ekosistem kawasan konservasi siput gonggong berdasarkan keseimbangan antara pemanfaatan dan kelestarian (berkelanjutan) yang dirancang dan dilaksanakan secara terpadu dan sinergis oleh pemerintah dan pemerintah daerah, masyarakat, swasta, perguruan tinggi serta organisasi non pemerintah. Laporan Akhir, Studi Distribusi & Eksploitasi Siput Gonggong di Lokasi Coremap II Kab. Lingga 5-11

54 Konsep pengelolaan kawasan konservasi siput gonggong demikian dijabarkan menjadi tujuh kebijakan berikut ini : 1. Mengupayakan pelestarian, perlindungan, dan peningkatan kondisi ekosistem kawasan konservasi siput gonggong, terutama bagi kepentingan masyarakat yang kelangsungan hidupnya sangat bergantung pada pemanfaatan ekosistem tersebut, berdasarkan pada kesadaran hukum dan perundang-undangan yang berlaku. 2. Mengembangkan kapasitas dan kapabilitas pemerintah daerah dan Dinas Kelautan dan Perikanan dengan meningkatkan hubungan kerjasama antar institusi untuk dapat menyusun dan melaksanakan program-program pengelolaan ekosistem kawasan konservasi siput gonggong berdasarkan prinsip keseimbangan antara pemanfaatan sumberdaya alam yang sesuai dengan nilai-nilai kearifan masyarakat dan karakteristik biofisik serta kebutuhan pembangunan wilayah. 3. Menyusun rencana tata ruang dan pengelolaan wilayah pesisir dan laut untuk mempertahankan kelestarian ekosistem kawasan konservasi dan sumberdaya alam pesisir dan laut serta mampu menjamin kelestarian fungsi ekologis kawasan konservasi dan pertumbuhan ekonomi wawasan. 4. Meningkatkan kerjasama, koordinasi dan kemitraan antara pemerintah dan pemerintah daerah serta masyarakat dalam pengambilan keputusan mengenai pengelolaan ekosistem kawasan konservasi siput gonggong yang meliputi aspek perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi, pengawasan dan penegakan hukum. 5. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui pengembangan kegiatan ekonomi kerakyatan, dengan mempertimbangkan sosial budaya masyarakat setempat dan tetap memperhatikan kelestarian ekosistem kawasan konservasi dan lingkungan sekitar. 6. Mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, penelitian, sistem informasi, pendidikan dan pelatihan dalam pengelolaan ekosistem kawasan konservasi siput gonggong dengan meningkatkan peran sektor swasta dan kerjasama internasional. 7. Menggali dan meningkatkan pendanaan untuk pengelolaan ekosistem kawasan konservasi siput gonggong. Laporan Akhir, Studi Distribusi & Eksploitasi Siput Gonggong di Lokasi Coremap II Kab. Lingga 5-12

55 Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan adanya strategi berikut : Memberdayakan masyarakat pesisir yang secara langsung bergantung pada pengelolaan kawasan konservasi siput gonggong di Desa Limbung dan Linau. Mengurangi laju degradasi kawasan. Mengelola kawasan konservasi berdasarkan karakteristik ekosistem, potensi, tata ruang wilayah, pemanfaatan, status hukum dan kearifan masyarakat pesisir. Merumuskan dan mengkoordinasi program tindak instansi pemerintah dan pemerintah daerah, pihak swasta dan masyarakat yang diperlukan dalam pengelolaan ekosistem kawasan konservasi siput gonggong berbasis masyarakat. Menciptakan dan memperkuat komitmen, kapasitas dan kapabilitas pihakpihak pelaksana pengelolaan. Mengembangkan, menjaga serta meningkatkan dukungan masyarakat luas dalam upaya-upaya pengelolaan kawasan konservasi siput gonggong dengan meningkatkan kesadaran seluruh lapisan masyarakat mengenai arti penting nilai ekonomis dan ekologis dari ekosistem kawasan konservasi siput gonggong. Menyempurnakan berbagai peraturan perundang-undangan serta mendefinisikan kembali kriteria keberhasilan pembangunan suatu wilayah agar lebih relevan dengan upaya pelestarian lingkungan ekosistem kawasan konservasi. Meningkatkan dan memperluas kemitraan antara pemerintah, pemerintah daerah, swasta dan masyarakat untuk mengembangkan kegiatan ekonomi yang ramah lingkungan dalam rangka pemanfaatan sumberdaya kawasan konservasi siput gonggong secara berkelanjutan. Meningkatkan dan mempertegas komitmen pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat serta mencari dukungan lembaga dalam dan luar negeri, dalam penyediaan dana untuk mengelelola ekosistem kawasan konservasi. Laporan Akhir, Studi Distribusi & Eksploitasi Siput Gonggong di Lokasi Coremap II Kab. Lingga 5-13

56 c. Rencanan Pengelolaan Rencana pengelolaan kawasan konservasi siput gonggong terdiri dari program dan indikasi kegiatan yang diarahkan untuk mencapai sasaran sasaran pengelolaan. Program dan kegiatan pengelolaan dilaksanakan oleh badan dan dinas, sesuai dengan tugas pokok dan fungsi serta kewenangan masing masing, dengan mendorong terciptanya partisipasi aktif, kemandirian dan mengembangkan program kemitraan dengan masyarakat dan dunia usaha. Untuk menindaklanjuti rencana pengelolaan sebagai akibat dari issue yang berkembang dimasyarakat, dibutuhkan kelembagaan dan organisasi untuk mempermudah keberhasilan pelaksanaan pengelolaan. Pengaturan kelembagaan dan organisasi tersebut, antara lain berupa: (1). Klarifikasi mengenai hukum formal dan tanggung jawab, misalnya tradisi atau hukum adat, (2). Klarifikasi mengenai ketetapan hukum (jurisdiction) dan tanggung jawab dan, (3). Pemantauan dan pengawasan kepada masyarakat secara langsung terhadap perubahan tingkah laku yang terjadi pada anggota masyarakat, termasuk instrumen kebijaksanaan seperti peraturan-peraturan, dan keikutsertaan pemerintah atau pengusaha secara langsung. Pelaksanaan pengelolaan di atas membutuhkan suatu rangkaian proses, yang meliputi unsur-unsur pendidikan, pelatihan, pengawasan (surveillance), pengendalian (enforcement), pemantauan dan evaluasi. Ini semua harus dilakukan secara efektif, sesuai dengan issue yang akan ditangani. Program pengelolaan kawasan konservasi siput gonggong terdiri atas 6 (enam) kelompok program : 1. Pengelolaan tata guna lahan 2. Pengendalian kualitas air 3. Pengaturan eksploitasi siput gonggong 4. Budidaya siput gonggong 5. Peningkatan kapasitas kelembagaan 6. Peningkatan kesadaran dan peran serta masyarakat dan dunia usaha Laporan Akhir, Studi Distribusi & Eksploitasi Siput Gonggong di Lokasi Coremap II Kab. Lingga 5-14

57 1. Pengelolaan Tata Guna Lahan Pengelolaan tata guna lahan pada prinsipnya adalah pelaksanaan kegiatan kawasan konservasi siput gonggong yang antara lain terdiri dari penangkapan ikan, kawasan budidaya perikanan, wisata dan rehabilitasi. Kegiatan yang penting adalah mengupayakan agar pemanfaatan lingkungan kawasan konservasi siput gonggong sesuai dengan tata ruang atau peruntukannya. 2. Pengendalian Kualitas Air Pengendalian kualitas air difokuskan kepada pengendalian limbah domestik, limbah aktivitas transportasi dan limbah yang dihasilkan oleh aktivitas publik lainnya. Program ini diarahkan untuk memperbaiki daya dukung ekosistem kawasan konservasi Siput Gonggong. 3. Pengaturan Eksploitasi Siput Gonggong Melihat kondisi dilapangan dengan tingginya intensitas eksploitasi siput gonggong, dikuatirkan siput gonggong yang ada akan punah. Pengaturan eksploitasi dengan membagi kawasan perlindungan dalam beberapa bagian dengan disepakati oleh masyarakat yang menangkap gonggong. Pada tahun pertama kawasan tertentu tidak dilakukan eksploitasi dan dapat dilakukan eksploitasi pada tahun selanjutnya. Areal secara bergantian ditutup untuk eksploitasi. Program ini penting untuk jangka pendek sampai batas waktu tertentu. 4. Pembudidayaan Siput Gonggong Kegiatan budidaya merupakan upaya untuk stoking atau restoking siput gonggong. Gonggong yang dibudidayakan dapat dilepas sebagai restoking. 5. Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Program peningkatan kapasitas kelembagaan mencakup dua sub program yaitu peningkatan sumberdaya aparatur, pemberdayaan institusi dan pengembangan sarana dan prasarana. Peningkatan sumberdaya aparatur dimaksudkan agar aparat birokrasi pemerintahan memiliki komitmen dan kemauan politik (political will) terhadap upaya konservasi dan pelestarian Laporan Akhir, Studi Distribusi & Eksploitasi Siput Gonggong di Lokasi Coremap II Kab. Lingga 5-15

58 sumberdaya lahan dan air. Disamping itu, pemberdayaan institusi diperlukan dalam kerangka koordinasi antar lembaga baik lembaga pemerintah, dunia usaha maupun lembaga swadaya masyarakat. Oleh karena kawasan konservasi gonggong diusulkan sebagai kawasan perlindungan desa, maka pemberdayaan dan peningkatan kapasitas kelembagaan pada tingkat desa. Pengembangan sarana dan prasarana dimaksudkan untuk mengadakan dan atau meningkatkan sarana dan prasarana yang ada. 6. Peningkatan Kesadaran dan Peran serta Masyarakat dan Dunia Usaha Program peningkatan kesadaran dan peran serta masyarakat dan dunia usaha dikemas dalam bentuk kegiatan kegiatan penyuluhan lingkungan untuk mendorong pemanfaatan kawasan konservasi siput gonggong yang berasaskan konservasi dan pelestarian sumberdaya alam. d. Monitoring dan Evaluasi Monitoring pengelolaan kawasan konservasi siput gonggong dimaksudkan sebagai suatu proses pengamatan data dan fakta yang pelaksanaannya dilakukan secara periodik dan terus-menerus terhadap hal berikut: Jalannya kegiatan Penggunaan input Keluaran yang dihasilkan (output) Faktor luar atau kendala yang mempengaruhi Evaluasi pengelolaan kawasan konservasi siput gonggong mengacu kepada proses pengamatan dan analisis data dan fakta yang pelaksanaanya dilakukan mulai dari penyusunan rencana pengelolaan, pelaksanaan dan pengembangan pengelolaan. Kegiatan monitoring dan evaluasi secara skematis ditunjukkan dalam Gambar 5.2. Aspek aspek yang akan dilakukan pada kegiatan monitoring dan evaluasi adalah: Laporan Akhir, Studi Distribusi & Eksploitasi Siput Gonggong di Lokasi Coremap II Kab. Lingga 5-16

59 1. Pengelolaan Tata Guna Lahan Kegiatan ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran mengenai perubahan jenis, penggunaan, pengelolaan lahan. Tujuan monitoring dan evaluasi ini adalah untuk mengetahui perubahan kondisi lahan terutama terutama menyangkut ada tidaknya kecenderungan degradasi habitat siput gonggong. 2. Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Salah satu indikator yang penting dimonitor dan evaluasi dalam kelembagaan pengelolaan kawasan konservasi siput gonggong adalah KISS (koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan simplifikasi) karena pengelolaan kawasan tersebut melibatkan berbagai pemangku kepentingan (stakeholders), multi sektor dan multi disiplin. Parameter yang bisa digunakan diantaranya ada tidaknya konflik yang terjadi. Hal lain yang perlu dievaluasi dalam kelembagaan adalah ketergantungan masyarakat kepada pemerintah. Evaluasi terhadap hal tersebut bisa mencerminkan kemampuan dan kemandirian masyarakat dan tingkat intervensi pemerintah dalam kegiatan pengelolaan kawasan konservasi siput gonggong. 3. Peningkatan Kesadaran dan Peran serta Masyarakat dan Dunia Usaha Kegiatan ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran tentang pengaruh dan hubungan timbal balik antara faktor-faktor sosial ekonomi dengan kondisi sumberdaya alam (siput gonggong) di dalam kawasan konservasi. Data yang dikumpulkan dalam monitoring sosial ekonomi antara lain mencakup kependudukan, tekanan penduduk terhadap kawasan konservasi siput gonggong, tingkat dan proporsi pendapatan keluarga, dan kepedulian/prilaku masyarakat. Sasaran yang ingin dicapai adalah mengetahui perubahan kondisi sosial ekonomi sebelum dan sesudah kegiatan pengelolaan kawasan konservasi siput gonggong, misalnya apakah pengelolaan kawasan konservasi siput gonggong telah dapat meningkatkan tingkat perekonomian keluarga. Laporan Akhir, Studi Distribusi & Eksploitasi Siput Gonggong di Lokasi Coremap II Kab. Lingga 5-17

60 Monitoring dan Evaluasi Rencana Program Pelaksanaan Program Input / Aktivitas Monitoring Output Evaluasi Efek / Dampak Tidak Sesuai Target Pengembangan Program Ya Pemeliharaan Gambar 5.2. Pelaksanaan monitoring kawasan konservasi siput gonggong Laporan Akhir, Studi Distribusi & Eksploitasi Siput Gonggong di Lokasi Coremap II Kab. Lingga 5-18

61 Bab 6 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 6.1. Kesimpulan Dari apa yang telah dijelaskan diatas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu: 1. Siput gonggong yang ditemui pada lokasi penelitian yaitu dari jenis Stombus turturella dengan klasifikasinya yaitu Kingdom: Animalia, Phylum: Mollusca, Class: Gastropoda, Ordo: Neotaenioglossa, Family: Strombidae, Genus: Strombus dan Species : Strombus turturella. 2. Siput gonggong berdistribusi pada daerah pulau Lingga bagian utara yaitu ditemui pada Desa Limbung, Desa Bukit Harapan, Desa Linau dan Desa Sekanah. Kelimpahan siput gonggong (Strombus turturella) pada lokasi penelitian berkisar antara 0,2 1,9 individu/m 2 atau rata-rata kelimpahan siput gonggong (Strombus turturella) berkisar antara 0,2 1,8 individu/m Hasil pengukuran terhadap siput gonggong diketahui berat rata-rata siput gonggong 28,23 gr dengan kisaran berat antara 13,7 47,6 gr. Panjang siput gonggong berkisar antara mm dengan rata-rata panjang 64,13 mm. Ketebalan bibir luar (OL) yang ditemukan berkisar antara 1 6 mm dengan rata-rata 2,76 mm. 4. Hubungan panjang dan berat siput gonggong menunjukkan bahwa ada hubungan yang positif antara panjang dengan berat siput gonggong yaitu 0,75. Bentuk hubungan positif tersebut membentuk persamaan Y = 3,086 e 0,033X, atau untuk menduga berat (W) mengunakan persamaan tersebut yaitu W= 3,086 e 0,033SL. Laporan Akhir, Studi Distribusi & Eksploitasi Siput Gonggong di Lokasi Coremap II Kab. Lingga 6-1

62 5. Kondisi habitat siput gonggong menunjukkan bahwa kualitas perairan tergolong baik dengan fluktuasi pasang surut berkisar antara 1,2 1,5 m. Kedalaman perairan berkisar antara 4,2 6,0 m. Suhu perairan selama studi berkisar antara 26,0 28,2 o C. Kecerahan perairan berkisar 4,3 5,0 m. Sedangkan kecepatan arus yaitu sebesar 0,4 m/detik. Oksigen terlarut berkisar antara 5,1 7,0 mg/l. Kondisi salinitas yaitu sebesar 35,0 o / oo dan ph perairan mencapai 8,11 8,41. Sedangkan dasar perairan yaitu pasir berlumpur. 6. Jenis lamun yang ditemui yaitu jenis Enhalus acoroides dengan klasifikasi jenis lamun sebagai yaitu Divisi: Anthophyta, Kelas: Angiospermae, Famili: Hydrocharitaceae, Subfamili: Hydrocharitaceae dan Genus: Enhalus acoroides. 7. Kerapatan rata-rata lamun pada lokasi penelitian berkisar antara 7,23 16,22%. Kerapatan lamun tertinggi ditemui pada lokasi sampling di Desa Limbung selanjutnya pada Bukit Harapan dan Desa Linau. Kisaran tutupan lamun yang ditemui pada lokasi studi tergolong jarang. 8. Hasil tangkapan siput gonggong bervariasi antara waktu. Umumnya hasil tangkapan siput gonggong masing-masing nelayan berkisar antara kg/orang. Para nelayan melakukan pengumpulan siput gonggong selama 15 hari dalam sebulan. Pengumpulan siput gonggong juga tidak dilakukan disepanjang tahun. Aktivitas tidak dilakukan selama musim utara yaitu mulai dari Desember hingga Pebruari. Produksi siput gonggong pada daerah penelitian mencapai 1,2 ton per hari. Produksi hasil tangkapan tersebut mencapai kisaran kg per hari. 9. Hasil perhitungan terhadap nilai skor dan dibandingkan dengan nilai rangking skoring kesesuaian untuk konservasi, maka dapat disimpulkan bahwa Kawasan Desa limbung dan Linau tergolong kawasan yang sesuai untuk diusulkan menjadi Kawasan Konservasi Siput Gonggong (nilai skoring 91; >84). Laporan Akhir, Studi Distribusi & Eksploitasi Siput Gonggong di Lokasi Coremap II Kab. Lingga 6-2

63 10. Model Pengelolaan Kawasan Konservasi Siput Gonggong di kawasan Lingga Utara didasarkan kepada prinsip-prinsip keterpaduan. Berbagai program yang diperlukan untuk mendukung model pengelolaan tersebut adalah sebagai berikut: Pengelolaan tata guna lahan Pengendalian kualitas air Pengaturan eksploitasi siput gonggong Budidaya siput gonggong Peningkatan kapasitas kelembagaan Peningkatan kesadaran dan peran serta masyarakat dan dunia usaha 6.2. Rekomendasi Agar rencana pengelolaan dan pengamanan dimaksud dapat dilaksanakan secara lebih efesien dan efektif, direkomendasikan hal hal sebagai berikut: 1. Diperlukan paduan serasi antara tata ruang perikanan dengan kawasan konservasi. 2. Perlu dilakukan konsultasi publik untuk membangun komitmen bersama dalam mewujudkan Kawasan Konservasi Siput Gonggong. 3. Perlunya status hukum untuk penunjukan kawasan tersebut sebagai Kawasan Konservasi Siput Gonggong dengan Peraturan Desa (Perdes). 4. Perlunya dilakukan penataan batas wilayah dan kajian zonasi Kawasan Konservasi Siput Gonggong. Laporan Akhir, Studi Distribusi & Eksploitasi Siput Gonggong di Lokasi Coremap II Kab. Lingga 6-3

64 DAFTAR PUSTAKA Cob, Z.C, A. Arshad, J.Sidik B, S.M. Nurul Amin and M.A.Ghaffar, Growth, Mortality, Recruitment and Yield-per-recruit of Strombus canarium Linnaeus, 1758 (Mesogastropoda: Strombidae) from the West Johor Strais, Malaysia. Res.Journal of Fisheries and Hydrobiology, 3 (2): Cob, Z.C., A. Arshad, M.A.Ghaffar, J.S.Bujang and W.L.Wan Muda, Development and Growth of larvae of the Dog Conch, Strombus canarium (Mollusca: Gastropoda), In the Laboratory. Zoological Studies 48 (1): 1-11 Cob, Z.C., A.Arshad, J.S. Bujang and M.A. Ghaffar, Species desciption and Distribuition of Strombus (Mollusca: Strombidae) in Johor Straits and its Surrounding Areas. Sains Malaysiana 38 (1): Cob, Z.C., M.A. Ghaffar, A. Arshad and J.S.Bujang, Exploring the use of empirical methods to measure the secondary production of Strombus canarium (Gastropoda: Strombidae) Population in Johor Straits, Malaysia. Sains Malaysiana 38 (6): Elwin, Analisis Kesesuaian Kawasan Konservasi dalam pengelolaan sumberdaya alam di wilayah pesisir dan laut. Pasca sarjana universitas Andalas, Padang. English, S., C. Wilkinson and V. Baker, Survey Manual for Tropical Marine Resources. Australian Istitute of Marine Science, Townsville. Ginsburg. R. and H.A. Lowestan The Influence of marine bottom communities on the depsitional environments of sediments J. Geol. 66 (3): Gross,M.G.1990.Oceanography : A View of Earth. Prentice Hall, Inc. Englewood Cliff. New Jersey. Hamilton and Snechdaker, Handbook for Concervation. IUCN and UNESCO Hartog, C.den Seagrass of the world. North-Holland Publ.Co.,Amsterdam Laporan Akhir, Studi Distribusi & Eksploitasi Siput Gonggong di Lokasi Coremap II Kab. Lingga DP-1

65 Kikuchi dan J.M. Peres Consumer ecology of seagrass beds, pp In P. McRoy and C.Helferich (eds). Seagrass ecosystem. A scientific perspective. Mar.Sci.Vol 4.Marcel Dekker Inc, New York. Kikuchi, T. and J.M. Peres Cosumer Ecology of seagrass beds. In: Mcroy and C.Helferich (eds.) Seagrass ecosystem: A Scientific perspective. Mar. Scie. Vol. 4 Marcel Dekker Inc. New York: 357 pp. Menez, E.G.,R.C. Phillips dan H.P.Calumpong Sea Grass from the Philippines. Smithsonian Cont. Mar. Sci. 21. Smithsonian Inst. Press, Washington. Pond, S dan G.L Pickard Introductory dynamical Oceanography. Second edition. Pergamon Press. New York. Qasim, S.Z and P.M.A. Bhattarhiri, Primary production of a seagrass bed on Karavatti Atoll (Laccadives). Hydrobio 38: Rusliadi, Jenis Kepadatan dan Ekologi Kerang Gonggong (Strombus sp) di perairan sekitar pulau Bintan Tanjung Pinang. Pusat Penelitian Universitas Riau, Pekanbaru Thayer, G.W., S.M. Adams and M.W. LA Croix, Structural and functional aspets of a recently etablished Zostera marina community. In: L.E. Cronin (Ed.), Estuarinr Research Vol. I. Academic Press, New YorkL 207 pp. Thorhaug., A. and C.B. Austin, Restoration of seagrass with economic analysis. Env. Conserv. 3 (4): Yordan, E.L and P.S. Verna, Inveterbrate Zoology, 8 th ed, S.Chand Company LTD. Ram Nogar, New Delhi. Laporan Akhir, Studi Distribusi & Eksploitasi Siput Gonggong di Lokasi Coremap II Kab. Lingga DP-2

66 Lampiran Dokumentasi Lapangan Laporan Akhir, Studi Distribusi & Eksploitasi Siput Gonggong di Lokasi Coremap II Kab. Lingga L-1

67 Lampiran Dokumentasi Lapangan Laporan Akhir, Studi Distribusi & Eksploitasi Siput Gonggong di Lokasi Coremap II Kab. Lingga L-2

BAB III METODA PENELITIAN

BAB III METODA PENELITIAN BAB III METODA PENELITIAN 3.1. Lokasi Penelitian Studi Distribusi dan Ekploitasi Siput Gonggong akan dilakukan di desa-desa yang dijadikan Lokasi Coremap II Kabupaten Lingga. Adapun lokasi sampling ditetapkan

Lebih terperinci

Bab 4. Gambar 4.1. Siput gonggong (Strombus turturella) yang ditemukan pada lokasi penelitian di utara Pulau Lingga

Bab 4. Gambar 4.1. Siput gonggong (Strombus turturella) yang ditemukan pada lokasi penelitian di utara Pulau Lingga Bab 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Biologi Siput Gonggong 4.1.1. Klasifikasi Siput Gonggong Pada wilayah Pengelolaan Coremap II Senayang Lingga ditemukan Siput Gonggong di Utara Pulau Lingga atau yang termasuk

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya alam pesisir merupakan suatu himpunan integral dari komponen hayati (biotik) dan komponen nir-hayati (abiotik) yang dibutuhkan oleh manusia untuk hidup dan

Lebih terperinci

BAB III KONDISI UMUM. 3.1. Geografis. Kondisi Umum 14. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

BAB III KONDISI UMUM. 3.1. Geografis. Kondisi Umum 14. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau dan Kabupaten Lingga BAB III KONDISI UMUM 3.1. Geografis Wilayah Kepulauan Riau telah dikenal beberapa abad silam tidak hanya di nusantara tetapi juga

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara ekologis ekosistem padang lamun di perairan pesisir dapat berperan sebagai daerah perlindungan ikan-ikan ekonomis penting seperti ikan baronang dan penyu, menyediakan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung.

IV. GAMBARAN UMUM. Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung. IV. GAMBARAN UMUM A. Kondisi Umum Kabupaten Lampung Tengah Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung. Luas wilayah Kabupaten Lampung Tengah sebesar 13,57 % dari Total Luas

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Geografis Kabupaten Bengkalis merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Riau. Wilayahnya mencakup daratan bagian pesisir timur Pulau Sumatera dan wilayah kepulauan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan kabupaten administratif yang terletak di sebelah utara Provinsi DKI Jakarta, memiliki luas daratan mencapai 897,71 Ha dan luas perairan mencapai

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 53 IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Kondisi Geografis Selat Rupat merupakan salah satu selat kecil yang terdapat di Selat Malaka dan secara geografis terletak di antara pesisir Kota Dumai dengan

Lebih terperinci

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN. Berikut ini letak batas dari Desa Ponelo: : Pulau Saronde, Mohinggito, dan Pulau Lampu

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN. Berikut ini letak batas dari Desa Ponelo: : Pulau Saronde, Mohinggito, dan Pulau Lampu BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Desa Ponelo merupakan Desa yang terletak di wilayah administrasi Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo.

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM 4.1 Letak dan Luas IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili 4.2 Tanah dan Geologi

BAB IV KONDISI UMUM 4.1 Letak dan Luas IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili 4.2 Tanah dan Geologi BAB IV KONDISI UMUM 4.1 Letak dan IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili Secara administratif pemerintah, areal kerja IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili dibagi menjadi dua blok, yaitu di kelompok Hutan Sungai Serawai

Lebih terperinci

STATISTIK DAERAH KECAMATAN SERASAN STATISTIK DAERAH KECAMATAN SERASAN ISSN : - Katalog BPS : 1101002.2103.060 Ukuran Buku : 17,6 cm x 25 cm Jumlah Halaman : 10 halaman Naskah : Seksi Neraca Wilayah dan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian Pulau Bintan merupakan salah satu bagian dari gugusan pulau yang berada di wilayah Provinsi Kepulauan Riau.Wilayah administrasi gugus Pulau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki peranan penting sebagai wilayah tropik perairan Iaut pesisir, karena kawasan ini memiliki nilai strategis berupa potensi sumberdaya alam dan sumberdaya

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. secara geografis terletak antara 101º20 6 BT dan 1º55 49 LU-2º1 34 LU, dengan

IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. secara geografis terletak antara 101º20 6 BT dan 1º55 49 LU-2º1 34 LU, dengan 18 IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1. Letak dan Keadaan Geografis Kelurahan Lubuk Gaung adalah salah satu kelurahan yang terletak di Kecamatan Sungai Sembilan Kota Dumai Provinsi Riau. Kelurahan Lubuk

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem mangrove tergolong ekosistem yang unik. Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem dengan keanekaragaman hayati tertinggi di daerah tropis. Selain itu, mangrove

Lebih terperinci

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM 69 4. DESKRIPSI SISTEM SOSIAL EKOLOGI KAWASAN PENELITIAN 4.1 Kondisi Ekologi Lokasi studi dilakukan pada pesisir Ratatotok terletak di pantai selatan Sulawesi Utara yang termasuk dalam wilayah administrasi

Lebih terperinci

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993).

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pelecypoda merupakan biota bentik yang digunakan sebagai indikator biologi perairan karena hidupnya relatif menetap (sedentery) dengan daur hidup yang relatif lama,

Lebih terperinci

Tim Peneliti KATA PENGANTAR

Tim Peneliti KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Penyusunan Laporan Akhir ini merupakan rentetan pekerjaan yang harus diselesaikan sehubungan dengan adanya kerjasama Pusat Penelitian Oceanografi (Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. bahasa Gorontalo yaitu Atiolo yang diartikan dalam bahasa Indonesia yakni

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. bahasa Gorontalo yaitu Atiolo yang diartikan dalam bahasa Indonesia yakni BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keadaan Umum Lokasi Pengamatan Desa Otiola merupakan pemekaran dari Desa Ponelo dimana pemekaran tersebut terjadi pada Bulan Januari tahun 2010. Nama Desa Otiola diambil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropika yang terdiri dari 17.504 buah pulau (28 pulau besar dan 17.476 pulau kecil) dengan panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada daerah yang berair payau dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove memiliki ekosistem khas karena

Lebih terperinci

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN Kondisi Geografi dan Topografi Kawasan Sendang Biru secara administratif merupakan sebuah pedukuhan yang menjadi bagian dari Desa Tambakrejo Kecamatan Sumbermanjing Wetan,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2) PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 33 4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kondisi Umum Kepulauan Seribu Wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu terletak di sebelah Utara Teluk Jakarta dan Laut Jawa Jakarta. Pulau Paling utara,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisika dan Kimiawi Perairan Berdasarkan hasil penelitian di perairan Kepulauan Seribu yaitu Pulau Pramuka dan Pulau Semak Daun, diperoleh nilai-nilai parameter

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN (Seagrass) DI PERAIRAN PANTAI KAMPUNG ISENEBUAI DAN YARIARI DISTRIK RUMBERPON KABUPATEN TELUK WONDAMA

STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN (Seagrass) DI PERAIRAN PANTAI KAMPUNG ISENEBUAI DAN YARIARI DISTRIK RUMBERPON KABUPATEN TELUK WONDAMA STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN (Seagrass) DI PERAIRAN PANTAI KAMPUNG ISENEBUAI DAN YARIARI DISTRIK RUMBERPON KABUPATEN TELUK WONDAMA YUSTIN DUWIRI Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 41 IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Umum Provinsi Lampung 1. Keadaan Umum Provinsi Lampung merupakan salah satu provinsi di Republik Indonesia dengan areal daratan seluas 35.288 km2. Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya merupakan perairan dan terletak di daerah beriklim tropis. Laut tropis memiliki

Lebih terperinci

V. KEADAAN UMUM WILAYAH. 5.1 Kondisi Wilayah Kelurahan Pulau Panggang

V. KEADAAN UMUM WILAYAH. 5.1 Kondisi Wilayah Kelurahan Pulau Panggang V. KEADAAN UMUM WILAYAH 5.1 Kondisi Wilayah Kelurahan Pulau Panggang Wilayah Kelurahan Pulau Panggang terdiri dari 12 pulau dan memiliki kondisi perairan yang sesuai untuk usaha budidaya. Kondisi wilayah

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Pulau Pramuka secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu, Kotamadya Jakarta

Lebih terperinci

28 antara 20º C 36,2º C, serta kecepatan angin rata-rata 5,5 knot. Persentase penyinaran matahari berkisar antara 21% - 89%. Berdasarkan data yang tec

28 antara 20º C 36,2º C, serta kecepatan angin rata-rata 5,5 knot. Persentase penyinaran matahari berkisar antara 21% - 89%. Berdasarkan data yang tec BAB III KONDISI UMUM LOKASI Lokasi penelitian bertempat di Kabupaten Banjar, Kabupaten Barito Kuala, Kabupaten Kota Banjarbaru, Kabupaten Kota Banjarmasin, dan Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan

Lebih terperinci

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti Sebuah lagu berjudul Nenek moyangku seorang pelaut membuat saya teringat akan kekayaan laut Indonesia. Tapi beberapa waktu lalu, beberapa nelayan Kepulauan

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Kondisi Geografis Daerah Kecamatan Pulau Tiga merupakan salah satu bagian dari wilayah Kabupaten Natuna yang secara geografis berada pada posisi 3 o 34 30 3 o 39

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Sejarah Desa Pulau Pahawang berawal dari datangnya Ki Nokoda tahun an

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Sejarah Desa Pulau Pahawang berawal dari datangnya Ki Nokoda tahun an IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Sejarah Desa Pulau Pahawang Sejarah Desa Pulau Pahawang berawal dari datangnya Ki Nokoda tahun 1.700-an yang diikuti pula oleh datangnya Hawang yang merupakan keturunan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Kemiling, Kota Bandarlampung. Kota

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Kemiling, Kota Bandarlampung. Kota 66 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Gambaran Umum Kota Bandarlampung 1. Letak Geografis Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Kemiling, Kota Bandarlampung. Kota Bandarlampung memiliki luas wilayah

Lebih terperinci

4. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

4. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 4. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Kondisi Geografis Kota Makassar secara geografi terletak pada koordinat 119 o 24 17,38 BT dan 5 o 8 6,19 LS dengan ketinggian yang bervariasi antara 1-25 meter dari

Lebih terperinci

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir BAB V ANALISIS Bab ini berisi analisis terhadap bahasan-bahasan pada bab-bab sebelumnya, yaitu analisis mengenai komponen-komponen utama dalam pembangunan wilayah pesisir, analisis mengenai pemetaan entitas-entitas

Lebih terperinci

V. KEADAAN UMUM WILAYAH DESA PABEAN UDIK KECAMATAN INDRAMAYU, KABUPATEN INDRAMAYU

V. KEADAAN UMUM WILAYAH DESA PABEAN UDIK KECAMATAN INDRAMAYU, KABUPATEN INDRAMAYU V. KEADAAN UMUM WILAYAH DESA PABEAN UDIK KECAMATAN INDRAMAYU, KABUPATEN INDRAMAYU Wilayah Kabupaten Indramayu terletak pada posisi geografis 107 o 52 sampai 108 o 36 Bujur Timur (BT) dan 6 o 15 sampai

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Lokasi Penelitian Kepulauan Seribu merupakan gugusan pulau datar yang melintang di barat daya Laut Jawa dan memiliki ekosistem terumbu karang, mangrove dan padang

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Desa Merak Belantung secara administratif termasuk ke dalam Kecamatan

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Desa Merak Belantung secara administratif termasuk ke dalam Kecamatan 24 IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Letak dan Luas Desa Merak Belantung secara administratif termasuk ke dalam Kecamatan Kalianda Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung. Desa Merak Belantung

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Kondisi Geografis Daerah Penelitian. Kecamatan Rumbai merupakan salah satu Kecamatan di ibukota

IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Kondisi Geografis Daerah Penelitian. Kecamatan Rumbai merupakan salah satu Kecamatan di ibukota IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Kondisi Geografis Daerah Penelitian Kecamatan Rumbai merupakan salah satu Kecamatan di ibukota Pekanbaru yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. pemerintahan Propinsi Lampung di Bandar Lampung adalah 77 km.

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. pemerintahan Propinsi Lampung di Bandar Lampung adalah 77 km. IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Kecamatan Sendang Agung merupakan salah satu bagian wilayah Kabupaten Lampung Tengah Propinsi Lampung, terletak pada 104 0 4905 0 104 0 56 0 BT dan 05 0 08 0 15 0 LS,

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak dan Luas Wilayah Kabupaten Kepulauan Meranti secara geografis terletak pada koordinat antara sekitar 0 42'30" - 1 28'0" LU dan 102 12'0" - 103 10'0" BT, dan terletak

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Cidokom Kecamatan Rumpin. Kecamatan Leuwiliang merupakan kawasan

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Cidokom Kecamatan Rumpin. Kecamatan Leuwiliang merupakan kawasan V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5. Kecamatan Leuwiliang Penelitian dilakukan di Desa Pasir Honje Kecamatan Leuwiliang dan Desa Cidokom Kecamatan Rumpin. Kecamatan Leuwiliang merupakan kawasan pertanian

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH PULAU BURUNG. wilayah administratif Kabupaten Indragiri Hilir, Propinsi Riau yang memiliki luas 531,22 km²

BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH PULAU BURUNG. wilayah administratif Kabupaten Indragiri Hilir, Propinsi Riau yang memiliki luas 531,22 km² BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH PULAU BURUNG 2.1 Letak Geografis Pulau Burung Pulau Burung merupakan salah satu kecamatan dari 17 kecamatan yang berada dalam wilayah administratif Kabupaten Indragiri Hilir,

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG DESA OLAK KECAMATAN SUNGAI MANDAU KABUPATEN SIAK

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG DESA OLAK KECAMATAN SUNGAI MANDAU KABUPATEN SIAK 12 BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG DESA OLAK KECAMATAN SUNGAI MANDAU KABUPATEN SIAK A. Kondisi Geografis Desa Olak merupakan salah satu daerah integral yang terletak di Kecamatan Sungai Mandau Kabupaten Siak

Lebih terperinci

KONDISI UMUM WILAYAH STUDI

KONDISI UMUM WILAYAH STUDI 16 KONDISI UMUM WILAYAH STUDI Kondisi Geografis dan Administratif Kota Sukabumi terletak pada bagian selatan tengah Jawa Barat pada koordinat 106 0 45 50 Bujur Timur dan 106 0 45 10 Bujur Timur, 6 0 49

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Pekanbaru, Oktober Penulis

KATA PENGANTAR. Pekanbaru, Oktober Penulis KATA PENGANTAR Penyusunan Laporan Akhir ini merupakan rentetan pekerjaan yang harus diselesaikan sehubungan dengan adanya kerjasama Pusat Penelitian Oceanografi (Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Sejarah Pelabuhan Sunda Kelapa Pelabuhan Sunda Kelapa berlokasi di Kelurahan Penjaringan Jakarta Utara, pelabuhan secara geografis terletak pada 06 06' 30" LS,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem padang lamun (seagrass) merupakan suatu habitat yang sering dijumpai antara pantai berpasir atau daerah mangrove dan terumbu karang. Padang lamun berada di daerah

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 26 Administrasi Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Propinsi Jawa Barat. Secara geografis terletak diantara 6 o 57`-7 o 25` Lintang Selatan dan 106 o 49` - 107 o 00` Bujur

Lebih terperinci

PENENTUAN LOKASI BALAI BENIH KEPITING BAKAU DI KABUPETAN INDRAGIRI HILIR. oleh:

PENENTUAN LOKASI BALAI BENIH KEPITING BAKAU DI KABUPETAN INDRAGIRI HILIR. oleh: PENENTUAN LOKASI BALAI BENIH KEPITING BAKAU DI KABUPETAN INDRAGIRI HILIR oleh: Rusliadi Dosen Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau Abstrak Kabupaten Indragiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekayaan jenis flora dan fauna yang sangat tinggi (Mega Biodiversity). Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. kekayaan jenis flora dan fauna yang sangat tinggi (Mega Biodiversity). Hal ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki kekayaan jenis flora dan fauna yang sangat tinggi (Mega Biodiversity). Hal ini disebabkan karena Indonesia

Lebih terperinci

STATISTIK DAERAH KECAMATAN SEKUPANG

STATISTIK DAERAH KECAMATAN SEKUPANG STATISTIK DAERAH KECAMATAN SEKUPANG 2015 STATISTIK DAERAH KECAMATAN SEKUPANG 2015 No Publikasi : 2171.15.27 Katalog BPS : 1102001.2171.060 Ukuran Buku : 24,5 cm x 17,5 cm Jumlah Halaman : 14 hal. Naskah

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. kota Bandar Lampung. Kecamatan kemiling merupakan kecamatan hasil

III. METODE PENELITIAN. kota Bandar Lampung. Kecamatan kemiling merupakan kecamatan hasil III. METODE PENELITIAN A. Gambaran Umum Kecamatan Kemiling. Kondisi Wilayah Kecamatan kemiling merupakan bagian dari salah satu kecamatan dalam wilayah kota Bandar Lampung. Kecamatan kemiling merupakan

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 5.1. Letak dan Luas Wilayah Kabupaten Seluma Kabupaten Seluma merupakan salah satu daerah pemekaran dari Kabupaten Bengkulu Selatan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 3

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Tanggamus merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Lampung yang

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Tanggamus merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Lampung yang 70 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Umum Kabupaten Tanggamus 1. Keadaan Geografis Tanggamus merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Lampung yang merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Pesawaran merupakan kabupaten baru yang dibentuk berdasarkan

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Pesawaran merupakan kabupaten baru yang dibentuk berdasarkan 78 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Umum Kabupaten Pesawaran Kabupaten Pesawaran merupakan kabupaten baru yang dibentuk berdasarkan UU No.33 Tahun 2007 yang diundangkan pada tanggal 10 Agustus

Lebih terperinci

IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 37 IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Sejarah Pengelolaan Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang merupakan kawasan hutan produksi yang telah ditetapkan sejak tahun

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak Geografis. 08º00'27" Lintang Selatan dan 110º12'34" - 110º31'08" Bujur Timur. Di

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak Geografis. 08º00'27 Lintang Selatan dan 110º12'34 - 110º31'08 Bujur Timur. Di IV. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak Geografis Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai lima Kabupaten dan satu Kotamadya, salah satu kabupaten tersebut adalah Kabupaten Bantul. Secara geografis,

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Geografis. dari luas Provinsi Jawa Barat dan terletak di antara Bujur Timur

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Geografis. dari luas Provinsi Jawa Barat dan terletak di antara Bujur Timur III. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Kondisi Geografis Kabupaten Subang merupakan kabupaten yang terletak di kawasan utara Jawa Barat. Luas wilayah Kabupaten Subang yaitu 2.051.76 hektar atau 6,34% dari

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Belitung yang terbentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2003 sejak

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Belitung yang terbentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2003 sejak IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Kabupaten Belitung Timur adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Bangka Belitung yang terbentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2003 sejak tanggal 25 Februari

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 63 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Fisik Daerah Penelitian Berdasarkan Badan Pusat Statistik (2011) Provinsi Lampung meliputi areal dataran seluas 35.288,35 km 2 termasuk pulau-pulau yang

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelompok Umur Pertumbuhan populasi tiram dapat dilihat berdasarkan sebaran kelompok umur. Analisis sebaran kelompok umur dilakukan dengan menggunakan FISAT II metode NORMSEP.

Lebih terperinci

I. Pengantar. A. Latar Belakang

I. Pengantar. A. Latar Belakang I. Pengantar A. Latar Belakang Secara geografis, Raja Ampat berada pada koordinat 2 o 25 Lintang Utara hingga 4 o 25 Lintang Selatan dan 130 132 55 Bujur Timur (Wikipedia, 2011). Secara geoekonomis dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam suatu wilayah pesisir terdapat beragam sistem lingkungan (ekosistem). Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, terumbu karang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan secara geografis Indonesia terletak di antara benua Asia dan Benua

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan secara geografis Indonesia terletak di antara benua Asia dan Benua BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara geografis Indonesia membentang 6 0 LU 11 0 LS dan 95 0-141 0 BT, sedangkan secara geografis Indonesia terletak di antara benua Asia dan Benua Australia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewi Fitriyani, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewi Fitriyani, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masyarakat pesisir merupakan kelompok orang yang tinggal di daerah pesisir dan sumber kehidupan perekonomiannya bergantung secara langsung pada pemanfaatan sumberdaya

Lebih terperinci

Bab 4 Hasil Dan Pembahasan

Bab 4 Hasil Dan Pembahasan Bab 4 Hasil Dan Pembahasan 4.1. Potensi Sumberdaya Lahan Pesisir Potensi sumberdaya lahan pesisir di Kepulauan Padaido dibedakan atas 3 tipe. Pertama adalah lahan daratan (pulau). Pada pulau-pulau berpenduduk,

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM DESA KALIURANG. memiliki luas lahan pertanian sebesar 3.958,10 hektar dan luas lahan non

IV. KEADAAN UMUM DESA KALIURANG. memiliki luas lahan pertanian sebesar 3.958,10 hektar dan luas lahan non IV. KEADAAN UMUM DESA KALIURANG A. Letak Geografis Wilayah Kecamatan Srumbung terletak di di seputaran kaki gunung Merapi tepatnya di bagian timur wilayah Kabupaten Magelang. Kecamatan Srumbung memiliki

Lebih terperinci

BAB V PROFIL KAWASAN PENELITIAN

BAB V PROFIL KAWASAN PENELITIAN BAB V PROFIL KAWASAN PENELITIAN 5.1. LATAR BELAKANG DESA KESUMA Kawasan penelitian yang ditetapkan ialah Desa Kesuma, Kecamatan Pangkalan Kuras, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Desa ini berada pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat dimanfaatkan untuk menuju Indonesia yang maju dan makmur. Wilayah

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat dimanfaatkan untuk menuju Indonesia yang maju dan makmur. Wilayah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara maritim, kurang lebih 70 persen wilayah Indonesia terdiri dari laut yang pantainya kaya akan berbagai jenis sumber daya hayati dan

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU 4.1 Kondisi Geografis Secara geografis Provinsi Riau membentang dari lereng Bukit Barisan sampai ke Laut China Selatan, berada antara 1 0 15 LS dan 4 0 45 LU atau antara

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM TEMPAT PENELITIAN. 4.1 Profil Kabupaten Karimun dan Kecamatan Karimun Gambaran Umum Geografis Kabupaten Karimun

BAB IV GAMBARAN UMUM TEMPAT PENELITIAN. 4.1 Profil Kabupaten Karimun dan Kecamatan Karimun Gambaran Umum Geografis Kabupaten Karimun BAB IV GAMBARAN UMUM TEMPAT PENELITIAN 4.1 Profil Kabupaten Karimun dan Kecamatan Karimun 4.1.1 Gambaran Umum Geografis Kabupaten Karimun Kabupaten Karimun secara astronomis terbentang antara koordinat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. Ekosistem mangrove

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Administrasi Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat bagian Selatan pada koordinat 6º56'49'' - 7 º45'00'' Lintang Selatan dan 107º25'8'' - 108º7'30'' Bujur Timur

Lebih terperinci

STATISTIK DAERAH KECAMATAN BUNGURAN TIMUR 2015 STATISTIK DAERAH KECAMATAN BUNGURAN TIMUR 2015 ISSN : - Katalog BPS : 1101002.2103.050 Ukuran Buku : 17,6 cm x 25 cm Jumlah Halaman : 10 halaman Naskah :

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir dan laut Indonesia merupakan wilayah dengan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan

Lebih terperinci

BAB II DESA PULOSARI. Desa Pulosari merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan

BAB II DESA PULOSARI. Desa Pulosari merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan BAB II DESA PULOSARI 2.1 Keadaan Umum Desa Pulosari 2.1.1 Letak Geografis, Topografi, dan Iklim Desa Pulosari merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 49 V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 5.1 Distribusi Parameter Kualitas Perairan Karakteristik suatu perairan dan kualitasnya ditentukan oleh distribusi parameter fisik dan kimia perairan yang berlangsung

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Pesisir Teluk Jakarta terletak di Pantai Utara Jakarta dibatasi oleh garis bujur 106⁰33 00 BT hingga 107⁰03 00 BT dan garis lintang 5⁰48

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Geografis dan Luas Wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung secara geografis terletak pada 104 0 50 sampai 109 0 30 Bujur Timur dan 0 0 50 sampai 4 0 10 Lintang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan zat yang sangat penting bagi kehidupan semua makhluk hidup yang ada di bumi. Hampir 71%

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang dan asosiasi biota penghuninya secara biologi, sosial ekonomi, keilmuan dan keindahan, nilainya telah diakui secara luas (Smith 1978; Salm & Kenchington

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

BAB II SOSIAL DEMOGRAFIS TINJAUAN LOKASI PENELITIAN. Kecamatan Ukui yang ibukotanya pangkalan Kerinci

BAB II SOSIAL DEMOGRAFIS TINJAUAN LOKASI PENELITIAN. Kecamatan Ukui yang ibukotanya pangkalan Kerinci 15 BAB II SOSIAL DEMOGRAFIS TINJAUAN LOKASI PENELITIAN A. Kecamatan Ukui 1. Geografis Kecamatan Ukui Kecamatan Ukui yang ibukotanya pangkalan Kerinci merupakan salah satu Kecamatan yang termasuk dalam

Lebih terperinci

BAB II KONDISI DESA BELIK KECAMATAN BELIK KABUPATEN PEMALANG. melakukan berbagai bidang termasuk bidang sosial.

BAB II KONDISI DESA BELIK KECAMATAN BELIK KABUPATEN PEMALANG. melakukan berbagai bidang termasuk bidang sosial. 18 BAB II KONDISI DESA BELIK KECAMATAN BELIK KABUPATEN PEMALANG A. Keadaan Geografis 1. Letak, Batas, dan Luas Wilayah Letak geografis yaitu letak suatu wilayah atau tempat dipermukaan bumi yang berkenaan

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan 29 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan ekosistem laut. Mangrove diketahui mempunyai fungsi ganda

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Kabupaten Kerinci 5.1.1 Kondisi Geografis Kabupaten Kerinci terletak di sepanjang Bukit Barisan, diantaranya terdapat gunung-gunung antara lain Gunung

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemetaan Sebaran Lamun Pemetaan sebaran lamun dihasilkan dari pengolahan data citra satelit menggunakan klasifikasi unsupervised dan klasifikasi Lyzenga. Klasifikasi tersebut

Lebih terperinci

Kerapatan dan Keanekaragaman Jenis Lamun di Desa Ponelo, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara

Kerapatan dan Keanekaragaman Jenis Lamun di Desa Ponelo, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara Nikè: Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. Volume 1, Nomor 2, September 2013 Kerapatan dan Keanekaragaman Jenis Lamun di Desa Ponelo, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara 1,2 Nurtin Y.

Lebih terperinci

POLA DISTRIBUSI DAN KEPADATAN POPULASI GASTROPODA Terebralia sulcata DI PERAIRAN MUARA SUNGAI PUTRI SEMBILAN KECAMATAN RUPAT UTARA

POLA DISTRIBUSI DAN KEPADATAN POPULASI GASTROPODA Terebralia sulcata DI PERAIRAN MUARA SUNGAI PUTRI SEMBILAN KECAMATAN RUPAT UTARA POLA DISTRIBUSI DAN KEPADATAN POPULASI GASTROPODA Terebralia sulcata DI PERAIRAN MUARA SUNGAI PUTRI SEMBILAN KECAMATAN RUPAT UTARA Oleh Maryanto 1) Syafruddin Nasution 2) Dessy yoswaty 2) Maryantorupat@yahoo.com

Lebih terperinci

Gambar 5. Peta Citra Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi

Gambar 5. Peta Citra Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi 54 IV. DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN IV.1. Deskripsi Umum Wilayah yang dijadikan objek penelitian adalah kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, Propinsi Jawa Barat. Kecamatan Muara Gembong berjarak

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM TEMPAT PENELITIAN. Pada Bab sebelumnya peneliti telah menjelaskan beberapa metode yang

IV. GAMBARAN UMUM TEMPAT PENELITIAN. Pada Bab sebelumnya peneliti telah menjelaskan beberapa metode yang IV. GAMBARAN UMUM TEMPAT PENELITIAN Pada Bab sebelumnya peneliti telah menjelaskan beberapa metode yang dipergunakan dalam penelitian. Pada Bab ini penulis akan menggambarkan tentang gambaran umum tempat

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH

KARAKTERISTIK WILAYAH III. KARAKTERISTIK WILAYAH A. Karakteristik Wilayah Studi 1. Letak Geografis Kecamatan Playen terletak pada posisi astronomi antara 7 o.53.00-8 o.00.00 Lintang Selatan dan 110 o.26.30-110 o.35.30 Bujur

Lebih terperinci