PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR UNIVERSITAS NGURAH RAI Prof. Dr. Azhari A Samudra, M.Si

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR UNIVERSITAS NGURAH RAI Prof. Dr. Azhari A Samudra, M.Si"

Transkripsi

1 PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR UNIVERSITAS NGURAH RAI Prof. Dr. Azhari A Samudra, M.Si JUDUL : PERTIMBANGAN KEARIFAN LOKAL DALAM PERSPEKTIF ADMINISTRASI PUBLIK DAN PUBLIC FINANCE Plato ( SM) : bahwa tidak ada kebijakan pemerintah yang baik sampai filosof menjadi raja, atau raja menjadi filosof. Karena itu, berusahalah anda menjadi filosof agar negara ini menjadi baik. Edgar N Gladen (dalam Kettl, 1996) mengajukan pertanyaan apakah profesi tertua? Jawabannya, the oldest proffesion is not prostitution but administration 1. Pengantar Bali adalah salah satu propinsi yang unik dibanding dengan propinsi lain karena memiliki kelebihan yang berbeda. Perbedaan itu telah terlihat pada ikhwal sebelum kemerdekaan Republik ini eksis. Sejarah mencatat bahwa satu- satunya propinsi yang paling otonom pada masa sebelum kemerdekaan ialah Bali (Soebekti, 1964:65). Menurut Soebekti, Propinsi Bali juga memiliki konsep kebersamaan yang homogen, memiliki ragam filsafat tentang kehidupan, yang dalam implementasinya dapat dikatakan melebihi etnis lain. Dengan kehinduan mereka yang sejati, masyarakat Bali mudah membentuk diri dalam komunal- komunal dan segera mampu mengambil kebijakan dengan tanggap, cepat dalam konsep musyawarah. Pengaruh luar yang begitu membahana, tidak menyibakkan kesopanan, moral dan etika masyarakat Bali. Seperti halnya masyarakat Jepang yang kuat dengan ketradisiannya, maka masyarakat Bali tidak bergeming dengan membajirnya pengaruh asing yang silih berganti menggoda untuk menghancurkan sebuah tradisi mapan. Unik tersebut dapat pula diungkapkan bahwa berbagai keputusan lokal yang telah menjadi kebiasaan yang bermula dari adat- istiadat dan terangkat menuju kearifan lokal (local wisdom) yang terjaga dan terpelihara dengan baik. Di Bali, berbagai kebijakan publik yang telah diberlakukan secara nasional perlu dicermati dan disesuaikan dengan kebiasaan- kebiasaan lokal. Sebagai contoh, polisi lalu lintas jalan raya tidak mampu untuk menegakkan kebijakan untuk memakai helm, manakala sebagian anggota masyarakat telah memakai udeng- udeng. Mereka tidak berdaya untuk menyetop dan menghentikan pengendara kendaraan bermotor. Padahal kita sama- sama tahu, bahwa kebijakan mengenai helm dibuat dalam bentuk Undang- Ã Pertimbangan Kearifan lokal Prof. Dr. Azhari AS,M.Si 1

2 undang yang berlaku untuk seluruh wilayah Republik ini. Kebiasan ini disebut dengan kearifan lokal (local wisdom). Di Bali, kita tidak akan pernah menemukan bangunan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pohon kelapa atau pura, karena sudah menjadi ketetapan dan penghormatan terhadap rumah suci. Karena itu mungkin saja kita tidak akan menemukan jembatan layang yang dikonsep dengan ketinggian sama atau lebih dibandingkan dengan pura. Ketentuan tradisi seperti ini disebut juga dengan local wisdom. Di seantero Bali, para pecalang yang merupakan polisi adat yang dibanggakan masyarakat lebih berkuasa dibanding polisi lalu lintas jalan raya. Mereka juga dalam hal- hal tertentu lebih berkuasa dibandingkan dengan pemerintah lokal (kota/kabupaten) misalnya di dalam pemungutan retribusi parkir. Menurut Peraturan Daerah tentang perparkiran, pemerintah kota/kabupaten memiliki tupoksi untuk memungut retribusi parkir dan mendistribusikan kepada pemerintah tingkat bawah hasil pungutan tersebut dalam bentuk sistem bagi hasil. Pada kenyataannya justru pecalanglah yang menetapkan sistem bagi hasil dan bentuk setoran sisa kepada pemerintah daerah. Peran pecalang telah terangkat menjadi local wisdom. Karena itu di Bali jugalah Undang- undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (UU APP) terbentur, tertunda untuk segera diberlakukan, karena masyarakat Bali menganggap hal ini hanyalah sebagai suatu seni (art) saja (lihat lokal- bali- me- nentang- uu- anti- pornografi/). Lihatlah, bagaimana kebijakan publik selalu berbenturan dengan kearifan lokal (local wisdom), dan kebijakan publik tidak berdaya tak punya kharisma untuk menghentikan local wisdom. Mengapa demikian? Jawabannya hanya satu, karena kita di pusat, tidak memulai merencanakan kebijakan dari bawah (bottom- up), atau dengan kata lain konsep otonomi itu barulah sebatas wacana saja, atau implementasi kebijakan publik hanyalah dipandang sebelah mata oleh pengambil kebijakan (Lihat Nugroho, 2009). 2. Konsep Kearifan Lokal (Local Wisdom) Dalam kamus, kearifan lokal (local wisdom) terdiri dari dua kata: kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan Hassan Syadily, local berarti setempat, sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan- gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognitif) untuk à Pertimbangan Kearifan lokal Prof. Dr. Azhari AS,M.Si 2

3 bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Pengertian di atas, disusun secara etimologi, di mana wisdom dipahami sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau bersikap sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi. Sebagai sebuah istilah wisdom sering diartikan sebagai kearifan/kebijaksanaan. Local secara spesifik menunjuk pada ruang interaksi terbatas dengan sistem nilai yang terbatas pula. Sebagai ruang interaksi yang sudah didesain sedemikian rupa yang di dalamnya melibatkan suatu pola- pola hubungan antara manusia dengan manusia atau manusia dengan lingkungan fisiknya. Pola interaksi yang sudah terdesain tersebut disebut settting. Setting adalah sebuah ruang interaksi tempat seseorang dapat menyusun hubungan- hubungan face to face dalam lingkungannya. Sebuah setting kehidupan yang sudah terbentuk secara langsung akan memproduksi nilai- nilai. Nilai- nilai tersebut yang akan menjadi landasan hubungan mereka atau menjadi acuan tingkah- laku mereka. Teezzi, Marchettini, dan Rosini (dalam NA Ridwan 2007 : 3), mengatakan bahwa akhir dari sedimentasi kearifan lokal ini akan mewujud menjadi tradisi atau agama. Dalam masyarakat kita, kearifan- kearifan lokal dapat ditemui dalam nyayian, pepatah, sasanti, petuah, semboyan, dan kitab- kitab kuno yang melekat dalam perilaku sehari- hari. Kearifan lokal biasanya tercermin dalam kebiasaan- kebiasaan hidup masyarakat yang telah berlangsung lama. Keberlangsungan kearifan lokal akan tercermin dalam nilai- nilai yang berlaku dalam kelompok masyarakat tertentu. Nilai- nilai itu menjadi pegangan kelompok masyarakat kita yang biasanya akan menjadi bagian hidup tak terpisahkan yang dapat diamati melalui sikap dan perilaku mereka sehari- hari. Proses sedimentasi ini membutuhkan waktu yang sangat panjang, dari satu generasi ke generasi berikut. Teezzi, Marchettini, dan Rosini mengatakan bahwa kemunculan kearifan lokal dalam masyarakat merupakan hasil dari proses trial and error dari berbagai macam pengetahuan empiris maupun non- empiris atau yang estetik maupun intuitif. Akhirnya kearifan lokal lebih menggambarkan satu fenomena spesifik yang biasanya akan menjadi ciri khas komunitas pada masyarakat Bali. Sartini (2004) menjelaskan dalam disiplin antropologi dikenal istilah local genius. Local genius ini merupakan istilah yang mula pertama dikenalkan oleh Quaritch Wales. Para antropolog membahas secara panjang pengertian local genius ini (lihat Ayatrohaedi, 1986). Antara lain Haryati Soebadio mengatakan bahwa local genius adalah juga cultural identity, identitas/kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut à Pertimbangan Kearifan lokal Prof. Dr. Azhari AS,M.Si 3

4 mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri (Ayatrohaedi, 1986:18-19). Moendardjito (dalam Ayatrohaedi, 1986:40-41) menyatakan bahwa unsur budaya daerah potensial sebagai local genius karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang. Ciri- cirinya adalah: 1. mampu bertahan terhadap budaya luar, 2. memiliki kemampuan mengakomodasi unsur- unsur budaya luar, 3. mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli, 4. mempunyai kemampuan mengendalikan, 5. mampu memberi arah pada perkembangan budaya. I Ketut Gobyah dalam Berpijak pada Kearifan Lokal dalam balipos.co.id, didownload 17/9/2003, mengatakan bahwa kearifan lokal (local genius) adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai- nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus- menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal. S. Swarsi Geriya dalam Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali dalam Iun, mengatakan bahwa secara konseptual, kearifan lokal dan keunggulan lokal merupakan kebijaksanaan manusia yang bersandar pada filosofi nilai- nilai, etika, cara- cara dan perilaku yang melembaga secara tradisional. Kearifan lokal adalah nilai yang dianggap baik dan benar sehingga dapat bertahan dalam waktu yang lama dan bahkan melembaga. Dalam penjelasan tentang urf, Pikiran Rakyat terbitan 6 Maret 2003 menjelaskan bahwa tentang kearifan berarti ada yang memiliki kearifan (al- addah al- ma rifah), yang dilawankan dengan al- addah al- jahiliyyah. Kearifan adat dipahami sebagai segala sesuatu yang didasari pengetahuan dan diakui akal serta dianggap baik oleh ketentuan agama. Kekurangpahaman akan kearifan lokal dapat menyebabkan pertikaian yang diakhiri dengan kemelut panjang. Hal ini terjadi pada pemindahan makam Mbah Priok pada waktu yang lalu sehingga memakan belasan orang meninggal dunia. Perseteruan ini dalam konsep kebijakan publik disebut myopia administration, yaitu bila suatu peraturan telah dilaksanakan, maka besok hari bila masyarakat melanggar harus segera dihukum, tanpa sosialisasi aturan itu. (lihat Nugroho, 2009). Adat kebiasaan pada dasarnya teruji secara alamiah dan niscaya bernilai baik, karena kebiasaan tersebut merupakan tindakan sosial yang à Pertimbangan Kearifan lokal Prof. Dr. Azhari AS,M.Si 4

5 berulang- ulang dan mengalami penguatan (reinforcement). Apabila suatu tindakan tidak dianggap baik oleh masyarakat maka ia tidak akan mengalami penguatan secara terus- menerus. Pergerakan secara alamiah terjadi secara sukarela karena dianggap baik atau mengandung kebaikan. Adat yang tidak baik akan hanya terjadi apabila terjadi pemaksaan oleh penguasa. Bila demikian maka ia tidak tumbuh secara alamiah tetapi dipaksakan. Fungsi Kearifan Lokal Menurut Prof. Nyoman Sirtha dalam Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali dalam bentuk- bentuk kearifan lokal dalam masyarakat dapat berupa: nilai, norma, etika, kepercayaan, adat- istiadat, hukum adat, dan aturan- aturan khusus. Oleh karena bentuknya yang bermacam- macam dan ia hidup dalam aneka budaya masyarakat maka fungsinya menjadi bermacam- macam. Balipos terbitan 4 September 2003 memuat tulisan Pola Perilaku Orang Bali Merujuk Unsur Tradisi, antara lain memberikan informasi tentang beberapa fungsi dan makna kearifan lokal, yaitu: 1. Berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumber daya alam. 2. Berfungsi untuk pengembangan sumber daya manusia, misalnya berkaitan dengan upacara daur hidup, konsep kanda pat rate. 3. Berfungsi untuk pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, misalnya pada upacara saraswati, kepercayaan dan pemujaan pada pura Panji. 4. Berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan. 5. Bermakna sosial misalnya upacara integrasi komunal/kerabat. 6. Bermakna sosial, misalnya pada upacara daur pertanian. 7. Bermakna etika dan moral, yang terwujud dalam upacara Ngaben dan penyucian roh leluhur. 8. Bermakna politik, misalnya upacara ngangkuk merana dan kekuasaan patron client. 9. Dan satu lagi saya perlu tambahkan, bermakna otonom karena memiliki nilai sakral untuk mendorong daerah menuju masyarakat yang otonom. Dari penjelasan fungsi- fungsi tersebut tampak betapa luas ranah keraifan lokal, mulai dari yang sifatnya sangat teologis sampai yang sangat pragmatis dan teknis. Elly Burhainy Faizal dalam SP Daily tanggal 31 Oktober 2003 dalam papuaindependent.com mencontohkan beberapa kekayaan budaya, kearifan lokal di Nusantara yang terkait dengan pemanfaatan alam yang pantas digali lebih lanjut makna dan fungsinya serta kondisinya sekarang dan yang akan datang. Misalnya pada à Pertimbangan Kearifan lokal Prof. Dr. Azhari AS,M.Si 5

6 masyarakat Bali, dikenal istilah awig- awig yakni kearifan lokal yang merupakan suatu gagasan konseptual yang hidup dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang secara terus- menerus dalam kesadaran masyarakat, berfungsi dalam mengatur kehidupan masyarakat dari yang sifatnya berkaitan dengan kehidupan yang sakral sampai yang profan. Dari awig- awig kita dapat memacu menuju daerah yang otonom menuju konsep social welfare, masyarakat Bali yang sejahtera. 3. Tantangan Ke Depan Ada banyak hal untuk menjelaskan bagaimana pengaruh hubungan lintas budaya, eknomi, administrasi publik dan globalisasi mempengaruhi kearifan lokal. Dalam perspektif nilai hal tersebut dapat dilihat misalnya dalam nilai etis, apa yang dianggap baik pada budaya masa lalu belum tentu demikian untuk masa sekarang. Apa yang dianggap wajar dan diterima pada budaya masa lalu mungkin sekarang dianggap aneh, atau sebaliknya. Kita dapat melihat bagaimana orang menanggapi cara berpakaian jaman sekarang, dengan model pakaian (agak) terbuka itu dianggap wajar, tetapi tidak demikian dengan orang dulu. Begitu juga bagaimana laki- laki dan perempuan bergaul, berbeda baik menurut pengertian budaya orang dulu dengan orang sekarang. Hal- hal tersebut menunjukkan betapa kearifan lokal itu mendapat banyak tantangan dengan adanya pengaruh budaya asing. Peluang penggalian dan analisis dapat juga dilihat dari aspek nilai lain di bawah ini (Sartini, 2004). Dalam konteks nilai religi, hubungan antara religi dan perkembangan budaya juga menunjukkan hal serupa. Bagaimana keberagamaan (bereligi) orang Bali berubah akibat pengaruh luar. Antara lain pergeseran ini menyebabkan penampilan budaya Bali menjadi berbeda antara dulu dan sekarang dan yang akan datang. Informasi populer tentang hal ini dapat dilihat pada tulisan dengan judul Antara Agama dan Budaya dalam iloveblue. com/balifunky/artikel_nali/detail/1099.htm. Dalam konteks nilai intelektual misalnya masalah kesehatan dalam penyembuhan penyakit, Nusantara sangat kaya dari pangalaman intelektual tentang pengobatan dengan obat tradisional sampai yang memanfaatkan kekuatan supranatural. Ada banyak peluang untuk pengembangan wacana kearifan lokal Nusantara. Dari beragam bentuk dan fungsinya dapat dilihat pada pemaparan di bagian depan tulisan ini. Di samping itu kearifan lokal dapat didekati dari nilai- nilai yang berkembang di dalamnya seperti nilai religius, nilai etis, estetis, intelektual atau bahkan nilai lain seperti ekonomi, teknologi dan lainnya. Maka kekayaan kearifan lokal menjadi lahan yang à Pertimbangan Kearifan lokal Prof. Dr. Azhari AS,M.Si 6

7 cukup subur untuk digali, diwacanakan dan dianalisis mengingat faktor perkembangan budaya terjadi dengan begitu pesatnya. Dalam tulisan ini, saya ingin menyoroti bagaimana kedudukan local wisdom dalam implementasi kebijakan publik di Indonesia, dan apa upaya yang harus dilakukan ke depan agar tidak berbenturan dengan kearifan lokal? serta apakah kearifan lokal dapat memainkan perannya untuk mendongkrak (leverage) keuangan daerah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat (social welfare)? 4. Kearifan Local Dalam Wacana Kebijakan Publik Teori- teori ilmu administrasi yang berkembang dewasa ini paling sedikit telah sampai pada empat hal penting, yaitu menggeser paradigma rule government menuju good governance (Richard Aronson, 1985), mengubah pola pelayanan birokratisasi menjadi pendekatan servqual (Eliansen & Koiman, 1993), terjadinya perubahan paradigma public expenditure menjadi public revenue (Eric Ian Lane, 1985) serta pengukuran kinerja yang berlandaskan pada faktor finance belaka menunju pengukuran kinerja organisasi yang ekselen (Shingeo, Ohno, Crosby dan Ishikawa, 1995). Salah satu inti dari good governance ialah pelibatan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan. Sekalipun konsep ini sesungguhnya konsep lama dengan nama bottom- up, namun dalam implementasinya Indonesia adalah salah satu negara yang dianggap belum serius dalam menerapkan konsep bottom up. Alhasil dalam implementasi program pemerintah, seringkali tidak sesuai dengan hasil yang diharapkan. Osborne dan Gaebler (2007) menggambarkan hendaknya pemerintah sekarang ini memahami bahwa pemerintahan mereka adalah pemerintah milik masyarakat yang mengalihkan wewenang kontrol yang dimilikinya ke tangan masyarakat. Masyarakat diberdayakan sehingga mampu mengontrol pelayanan yang diberikan oleh birokrasi pemerintah. Dengan adanya kontrol dari masyarakat, pegawai negeri (dan juga pejabat terpilih, politisi) akan memiliki komitmen yang lebih baik, lebih peduli, dan lebih kreatif dalam memecahkan berbagai masalah. Osborne juga menganggap bahwa pemerintahan sekarang ini haruslah merupakan sebuah pemerintahan yang cepat tanggap yang disebut dengan pemerintah antisipatif, sebuah pemerintahan yang berpikir ke depan. Dalam hal ini pimpinan instansi pemerintah mencoba mencegah timbulnya masalah daripada memberikan pelayanan untuk menghilangkan masalah. Mereka menggunakan perencanaan strategis, pemberian visi masa depan, dan berbagai metode lain untuk melihat masa depan. Ã Pertimbangan Kearifan lokal Prof. Dr. Azhari AS,M.Si 7

8 Sekarang kita menyaksikan kejadian nyata, pemerintah ditingkat pusat yang terdiri dari banyak departemen dan kementerian berjalan sendiri- sendiri, tidak terkoordinasi. Di tingkat propinsi dan kota/kabupaten kecendrungan inipun terjadi pula, dimana setiap dinas juga berjalan sendiri- sendiri tanpa koordinasi. Pemerintah di tingkat pusat dan ditingkat daerah tidak membentuk sistem nilai dengan baik, cendrung tidak memelihara dan tidak mengembangkan sistem yang dapat menyelesaikan berbagai masalah. Dengan demikian partisipasi masyarakat tidak terbentuk. Partisipasi masyarakat hanya terlihat pada sistem politik yang terwujud dalam bentuk kepartaian belaka. Partisipasi adalah prinsip bahwa setiap orang memiliki hak untuk terlibat dalam pengambilan keputusan di setiap kegiatan penyelenggaraan pemerintahan. Keterlibatan dalam pengambilan keputusan ini dapat dilakukan secara langsung atau secara tidak langsung. Dampak tidak terbentuknya partisipasi aktif masyarakat adalah tidak terakomodasinya berbagai argumen masyarakat, dan tidak terwakilinya kepentingan- kepentingan level bawah. Karena itu, kitapun akan dapat melihat berbagai keputusan yang telah disusun dengan proses akumulasi sebagaimana Dunn (2004) dan Nugroho (2008) menjelaskan, ternyata tidak dapat diimplementasikan dengan baik. Buruknya, sebagian hasil kebijakan publik berupa Undang- undang tidak dapat diimplementasikan dengan baik. Setiap kebijakan akhirnya cenderung dipaksakan. Misalnya kita dapat melihat Undang- undang Sisdik yang tidak menyuarakan berbagai usulan dari setiap perguruan tinggi, Undang- undang Penistaan Agama, Undang- undang- undang perpajakan yang datangnya selalu dari atas. Uji materil pasal- pasal dalam Undang- undang belakangan yang diajukan oleh berbagai institusi kepada Komisi Yudisial menunjukkan bahwa masyarakat mulai kritis terhadap setiap keputusan berupa kebijakan publik yang diambil hanya berdasarkan keinginan kalangan atas. Benturan implementasi sering terjadi dikalangan bawah ketika kebijakan mulai diimplementasikan. Implementasi kebijakan yang mandul, yang menghabiskan energi dan pikiran hampir terjadi di semua sektor termasuk kebijakan dalam Undang- undang Perpajakan yang dipaksakan dengan tarif tinggi. Indonesia adalah termasuk salah satu negara yang menerapkan tarif pajak tertinggi di dunia. Bandingkan dengan USA yang menerapkan tarif tertinggi 33% terhadap PPh, Indonesia ternyata lebih tinggi lagi mencapai 35%. Penerapan kebijakan NPWP terhadap penduduk yang bekerja dan penghasilannya di bawah PTKP merupakan kebijakan yang inefisiensi dan menghabiskan kertas untuk melakukan tax report setiap bulan dan setiap tahunnya. Pantaslah kemudian, kita menjadi terkenal sebagai negara yang boros sekaligus tidak berpihak pada rakyat kecil. Ã Pertimbangan Kearifan lokal Prof. Dr. Azhari AS,M.Si 8

9 Di berbagai propinsi terdapat banyak culture yang telah berkembang dan mapan semenjak bumi pertiwi ini ada. Culture mulai dikalahkan dengan berbagai kebijakan publik yang muncul belakangan ini. Ketika rumah- rumah adat dipunahkan, ketika seorang pemimpin bersalah masuk penjara dan ketika rasa malu, moral dan nilai- nilai tidak lagi menjadi tameng di waktu mengkorupsi, sebagai orang timur telah bertahun ditinggalkan. Akuntabilitas terbuang, walau dengung adanya sebuah ingin menjadi negara yang good governance seringkali digembar- gemborkan. Orang yang bersalah di negeri ini boleh kembali duduk dipemerintahan (bandingkan dengan Korea dan Jepang sebagai negara timur). Cara- cara pengambilan keputusan dengan musyawarah juga telah mulai ditinggalkan, orang cendrung mengambil keputusan secara individual dan dipaksakan karena adanya interest tertentu. Kita merasakan kebijakan publik tidak memihak kepada moral dan nilai- nilai, tidak memihak kepada rakyat kecil, karena kita tahu setiap pengambilan kebijakan publik mengalami pressure dari faktor eksternal. Dengan demikian kita melihat kebijakan publik mengalami problem serius dalam implementasinya di Indonesia. Apa langkah- langkah kita ke depan? Bali sesungguhnya tidak memerlukan Otonomi Khusus, tapi yang diperlukan ialah suatu kebijakan kekhasan, yakni Kebijakan publik tingkat nasional yang mampu untuk memayungi kearifan lokal (local wisdom). Sebagaimana diketahui, sebagian propinsi di Indonesia memiliki kekhasan, Bali adalah salah satu contoh yang memiliki kekhasan itu. Kekhasan itu terbentuk dalam nilai- nilai luhur yang terwujud jauh sebelum Indonesia merdeka. Unsur budaya daerah Bali yang potensial ini (local genius) telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang. Sesuai dengan pendapat Ayatrohaedi (1986) local genius ini mampu bertahan terhadap budaya luar, memiliki kemampuan mengakomodasi unsur- unsur budaya luar, mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli, serta mempunyai kemampuan mengendalikan, dan mampu memberi arah pada perkembangan budaya. Sesungguhnya kearifan lokal dapat beriringan sejalan dengan kebijakan publik. Sebagai contoh, kearifan lokal dapat berjalan dengan kebijakan publik dapat dilihat pada masyarakat Minang, Sumatera Barat. Dalam hal ini sebuah kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah lokal ternyata mampu mendukung local wisdom yaitu memotivasi masyarakat perantauan dengan gebu minang dan pulang basamo dalam rangka untuk membangun nagari yang tertinggal dalam pembangunan (diunduh dari /08/31/ aneka- harapan- masyarakat- saniangbaka- terhadap- pulang- basamo- 2010). Ã Pertimbangan Kearifan lokal Prof. Dr. Azhari AS,M.Si 9

10 Pentingnya sebuah kebijakan publik yang melindungi kekhasan kearifan lokal perlu diciptakan oleh pemerintah pusat sebagai payung bagi kebijakan publik untuk tidak berbenturan dengan local wisdom. Hal ini akan memberikan banyak manfaat, diantaranya : a. Menjadi acuan bagi setiap kebijakan publik yang akan diambil. b. Menjadi acuan setiap daerah untuk tidak mengambil keptusan yang kontradiktif dengan kearifan lokal; c. agar kearifan lokal dapat terlindungi, d. agar tidak adanya benturan antara kebijakan pusat dengan kearifan lokal, e. agar kebijakan publik dapat lebih efektif dalam implementasinya, f. agar kebijakan publik mendapat dukungan dari setiap anggota masyarakat, serta g. agar implementasi untuk menuju sebuah negara yang good governance dapat dicapai. h. Agar kearifan lokal dapat mendukung ke arah kemandirian daerah menuju daerah otonom. 5. Kearifan Local Dalam Wacana Public Finance 5.1. Sejarah Bali sebagai Satu- satunya Propinsi Otonom Sejarah telah mencatat, selama kurun waktu 10 tahun antara tahun , propinsi Bali dianggap sebagai satu- satunya propinsi yang sudah otonom. Hal ini dapat dilihat pada hasil penelitian Prof. Dr. R. Tobias Soebekti (1965:12) sewaktu beliau mengajukan disertasi program doktoral di Universitas Indiana, USA pada tahun Pernyataan Bali sebagai propinsi yang paling otonom itu dapat diamati pada pertemuan yang ke- 112, yang diselenggarakan pada Parlemen Radjiman Widiodiningrat, untuk mengkaji pemberlakuan kembali sistem landrent dalam bentuk pajak pendapatan. Waktu itu I Gusti Gde Raka, seorang wakil dari Bali sangat skeptis mengenai kebijakan untuk menggantikan landrent dengan Pajak Pendapatan. Gde Raka menjelaskan alasannya sebagai berikut: "ʺSaya ingin memperoleh banyak informasi dari pemerintah mengenai pajak ini, oleh karena dengan pembatalan landrent dan diganti dengan Pajak Peralihan akan semakin tidak jelas cara penerapannya. Secara spesifik harus dicatat, bahwa landrent di Bali telah menjadi sumber pendapatan anggaran bagi Self Governing Lands. Banyak sekali orang Bali, khususnya para buruh tani yang dibebaskan dari pajak sebagai konsekuensi dari penggantian sistem landrent ke sistem Pajak Peralihan. Masalahnya kemudian, apakah pemerintah pada saat itu berkeinginan dapat menolong daerah Bali yang sudah otonom itu apabila kekurangan pendapatan? Ã Pertimbangan Kearifan lokal Prof. Dr. Azhari AS,M.Si 10

11 Tobias Soebekti (1964: 12) kembali menjelaskan, hal ini tampak bahwa pemerintah tidak menyadari akibat dari pertanyaaan I Gusti Gde Raka tersebut. Hal ini terbukti dari pernyataan S.I. Djayadiningrat ; bahwa walaupun landrent di Bali menghasilkan pendapatan utama untuk wilayah otonom tersebut, tapi ada suatu hal yang terlupakan, bahwa suatu saat Pajak Peralihan sebagai pengganti Landrent akan menyebabkan Bali tidak lagi menjadi daerah otonom. Pernyataan S.I. Dyayaningrat telah terbukti, Propinsi Bali tidak lagi menjadi daerah yang paling otonom, tapi saat ini propinsi Bali memiliki tingkat ketergantungan yang cukup tinggi terhadap pemerintah pusat Konsep Social Walfare dan Keuangan Pemerintah Daerah Hakikat keberadaan sebuah negara atau suatu pemerintahan ialah untuk menciptakan msyarakat yang adil dan sejahtera. Dalam literatur public finance negara atau pemerintah memiliki fungsi yang banyak dengan tujuan akhir social welfare (kesejahteraan masyarakat). Untuk mencapai konsep social welfare itu diharapkan setiap pemerintah daerah mampu menggali potensi daerahnya sendiri, menggalakkan partisipasi masyarakat, mengurangi tingkat kemiskinan, mengurangi tingkat korupsi dan meningkatkan kerja pelayanan publik. Semua itu bermuara pada berkurangnya ketergantungan daerah terhadap pusat menuju daerah otonom. Sebab itu pemerintah pusat lalu menyerahkan sebagian discreation kepada daerah untuk mengatur berbagai sumber dan mengamankan sumber- sumber itu dalam kerangka kesejahteraan sosial. Menurut Musgrave and Musgrave (1991), dalam rangka menuju konsep social welfare, pemerintah memiliki paling sedikit empat fungsi, diantaranya ialah redistribution of income, yakni mengambil sejumlah sumber pendapatan dari masyarakat kaya dan mendistribusikan kembali kepada masyarakat tak mampu. Dengan demikian pemerintah memiliki alasan atas nama keadilan dan kesejahteraan untuk mengatur segala lapisan masyarakat. Untuk menterjemahkan konsep redistribution of income, pemerintah lalu memberlakukan undang- undang dan peraturan sebagai bentuk dari sebuah kebijakan publik yang sah. Diantaranya ialah bagaimana mengatur agar sebuah propinsi atau pemerintah kota/kabupaten menuju pemerintah yang otonom. Isu discreation ini pada negara- negara maju dimaksudkan untuk meningkatkan penerimaan pemerintah lokal, mereka mengemasnya dengan nama taxing power. Konsep taxing power pertama kali dijelaskan oleh John Locke dalam Rozeff (2005:1) yang mengatakan bahwa pemerintah tidak dapat menjalankan tampuk kepemerintahannya tanpa biaya yang besar, Ã Pertimbangan Kearifan lokal Prof. Dr. Azhari AS,M.Si 11

12 karena itu diperlukan kewenangan besar pula untuk memungut biaya dalam bentuk pajak dan retribusi. Di sinilah letak permasalahannya, dengan kewenangan yang besar itu lalu pemungutan pajak menjadi beban dan sekaligus menakutkan bagi masyarakat. Dalam studinya di Chile, Jaime V. Caro sebagaimana dikutip oleh Prof. Dr. Safri Nurmantu (2003:154), mengemukakan 8 alasan mengapa masyarakat tidak mau membayar pajak. Alasannya ialah a). Karena saya tidak menerima manfaat, b). Karena jumlah beban pajak saya terlalu besar, c).karena pemerintah mencuri uang saya, d). Karena para pejabat juga tidak membayar pajak; e). Karena walaupun saya tidak membayar pemerintah tidak akan memberikan sanksi, f). Karena saya tidak tahu bagaimana melaksanakan pembayarannya; g). Karena saya telah mencoba tapi saya tetap tidak mampu; dan h). Karena bila pemerintah menangkap saya, maka baru saya akan membayarnya. Semua alasan masyarakat mengacu kepada ketidaktahuan dan beratnya beban pajak (tax burden). Beban pajak ini digambarkan dalam suatu anekdot sebagai berikut: seorang ibu yang sedang hamil berkelakar sambil menepuk kandungannya, wahai anakku, baru saja ibu habis minum susu prenagen, masih janin saja kamu sudah dikenakan PPN 10%. Ketika sang ibu meninggal, maka si anakpun menimpali, ibuku sekarangpun engkau harus menanggung pajak 10% atas pajak kuburanmu, alangkah teganya engkau wahai pemerintahku. Ukuran otonom dari sisi keuangan daerah tidak seharusnya menjadi beban bagi masayarakat. Ada cara lain yang mengacu pada pendapat para pakar keuangan, pajak retribusi daerah. Misalnya Neumark - dalam Ray M Sommerfeld et.all. (1983: 3-5) - menjelaskan tentang konsep revenue productivity. Sistem ini mengatakan bahwa sistem yang dianut pemerintah seharusnya dapat menjamin penerimaan untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Misalnya pengenaan tarif pajak dan retribusi yang tinggi secara teoritis tidak selalu menghasilkan total penerimaan yang tinggi pula, hal ini tergantung dari respon wajib pajak. Pandangan ini dikenal dengan hipotesis Leviathan yang menjelaskan penerimaan pemerintah dari pajak dan retribusi meningkat bukan disebabkan oleh kenaikan tarif, tetapi naik secara otomatis yang dapat disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi, inflasi atau struktur pajak yang meminimalkan penghindaran pajak, respon harga dan kuantitas barang terhadap pengenaan pajak, maka akan dicapai total penerimaan maksimal (Brennan and Buchanan, 1999:20-22). Dengan demikian di satu sisi fungsi redistribution of income sangat berkaitan dengan local taxing power yang memberi tekanan pada beban pajak. Sebaliknya hipotesis leviathan berusaha mengurangi tekanan pajak dengan cara mengalakkan pajak- pajak konsumtif. Konsep leviathan yang terkenal itu diterapkan oleh pemerintah Jerman yang saat ini à Pertimbangan Kearifan lokal Prof. Dr. Azhari AS,M.Si 12

13 mengimplementasikan pajak- pajak konsumtif (PPN) kepada masyarakat. Dengan demikian orang- orang yang konsumtif akan terkena pajak tinggi dan mereka menyumbang lebih 55% pendapat pajak setiap tahunnya. Dari berbagai isu permasalahan di atas, kita perlu mencermati bagaimana redistribution of income itu terjadi di propinsi Bali. Menurut Vailancourt, Bird dan Musgrave menjelaskan redistribution of income ini dapat dilihat tingkat derajat desentralisasi fiskal, taxing power dan tax effort. Dari tabel 1 berikut ini, perhitungan derajat desentralisasi fiskal propinsi Bali selama kurun waktu 5 tahun anggaran, baik rasio terhadap TPD terhadap APBD memiliki selisih perbedaan angka yang kecil. Pendapatan asli daerah sebagai sumber penerimaan murni daerah dengan rasio rata- rata per TPD 65,92% dan rata- rata rasio per APBD sebesar 66,94%, sedangkan penerimaan berupa sumbangan atau bantuan dari pemerintah pusat mencapai rasio 33,53% untuk rata- rata per TPD dan APBD. Hal ini menunjukkan tingkat ketergantungan pemerintah daerah terhadap pusat masih cukup tinggi. Tabel 1. Gambaran Derajat Desentralisasi Fiskal Propinsi Bali Tahun (dalam juta rupiah) PENERIMAAN PAD BHPBP SUMB/DAU LAIN2 TOTAL TOTAL TPD APBD ,558,657 44,132, ,805,720 9,938, ,435, ,558,657 % terhadap TPD % terhadap APBD ,886,075 61,440, ,924,000 8,832,000 1,013,082,502 1,013,082,505 % terhadap TPD % terhadap APBD ,338,160 68,290, ,306,000-1,150,934,290 1,150,934,289 % terhadap TPD % terhadap APBD ,475,058 88,771, ,533,000 8,225,112 1,368,004,404 1,368,004,404 % terhadap TPD % terhadap APBD ,656,729 92,320, ,129,338-1,475,106,510 1,475,120,112 % terhadap TPD % terhadap APBD Ã Pertimbangan Kearifan lokal Prof. Dr. Azhari AS,M.Si 13

14 RATA2 PER TPD 65,92 6,14 27,49 0,45 RATA2 PER APBD 66,94 5,04 27,48 0,54 Sumber: Propinsi Bali dalam Angka, Data BPS dari Tahun Disisi lain sebagaimana kita ketahui sumber utama pendapatan asli daerah berasal dari sektor pajak dan retribusi daerah. Di Propinsi Bali sumber PAD rata- rata terbesar berasal dari pajak (60,70%), dan rata- rata retribusi (5,22%), atau 65,92% dari total APBD propinsi, sisanya bersumber dari BHBP dan DAU/DAK (33,63%). Sekarang kita memahami, bila sumber pendapatan daerah Bali berasal dari sumbangan pemerintah pusat berkisar sekitar 33,63%, maka dapat disimpulkan bahwa tingkat ketergantungan Propinsi Bali masih cukup besar. Setiap tahun tingkat ketergantungannya bervariasi. Berdasarkan data yang diperoleh selama kurun waktu , maka hanya di tahun 2005, propinsi Bali mampu mencapai derajat desentralisasi terbaik yaitu 73,33%, dan yang paling rendah pada tahun 2007 hanya mencapai 61% saja. Hal ini memperlihatkan range yang jauh dibandingkan dengan propinsi DKI Jakarta yang derajat desentralisasinya mencapai angka 96%. 1 Dengan kata lain, propinsi DKI Jakarta mendekati propinsi yang otonom bila dilihat dari sisi penerimaan keuangan daerah. Tabel 2. Local Taxing Power propinsi Bali Tahun (dalam juta rupiah) Tahun PAD APBD % ,558, ,558, ,886,075 1,013,082, ,338,160 1,150,934, ,475,058 1,368,004, ,656,729 1,475,120, Rata2 0,6592 Sumber: Propinsi Bali dalam Angka, Data BPS dari Tahun Masih rendahnya derajat desentralisasi mengindikasikan beberapa hal yakni tax effort pemerintah propinsi Bali belum maksimal, daya bayar pajak 1 Lihat Penelitian Azhari A Samudra, 2008, Kinerja Organisasi Dinas Pendapatan Daerah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dengan Pendekatan Systems Thinking dan System Dynamics, Disertasi, FISIP- Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 214, tidak dipublikasikan. Ã Pertimbangan Kearifan lokal Prof. Dr. Azhari AS,M.Si 14

15 masyarakat mungkin rendah, tingkat penyelewengan pajak mungkin tinggi, atau pemerintah propinsi mungkin belum mampu menekan pengeluaran rutin dan pembangunan. Tax effort itu sendiri ialah upaya pemerintah lokal untuk meningkatkan penerimaan daerah dari sektor pajak dan retribusi. 2 Menurut Devas, PDRB bagi sebagian besar ahli perpajakan dianggap sebagai pengukur yang lazim digunakan. Untuk melihat tax effort propinsi Bali, dapat dilihat pada tabel sebagai berikut: Tabel 3. Perbandingan Penerimaan Pajak dan PDRB Propinsi Bali Tahun (dalam ribuan rupiah) Tahun PAD % PDRB - ADHB % ,558, , ,886,075 0,33 196,640 0, ,338,160-0,02 220,618 0, ,475,058 0,14 305,213 0, ,656,729 0,11 368,129 0,21 Rata2 0,14 0,22 Sumber : Hasil Olahan Data Elastisitas Penerimaan Pajak terhadap PDRB (Harga Berlaku) = 22,00 % = 1,571 14,00 % Dalam penghitungan ini tax effort dipengaruhi oleh nilai PDRB- ADHB. Hasil penghitungan menunjukkan bahwa upaya fiskal (tax effort) propinsi memiliki nilai 1,57i%. Nilai ini diperoleh dengan membandingkan rata- rata PAD dibagi dengan rata PDRB- ADHB. Dengan demikian dapat diketahui perhitungan elastisitas PAD terhadap PDRB Harga Berlaku. Data di atas menjelaskan bahwa pertumbuhan PDRB atas dasar harga berlaku 2 Menurut Devas et.all, 1989 (dalam buku Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia, Penerbit UI Press, Jakarta), terdapat tiga tolok ukur di dalam mengukur keberhasilan daerah untuk meningkatkan penerimaannya yaitu hasil, efektivitas dan efisiensi. Hasil (yield) menyangkut tentang upaya untuk meningkatkan penerimaan pajak (tax effort) karena hasil itu membandingkan antara jumlah pajak yang dipungut dengan produk domestik regional bruto (PDRB), hal. 61. Ã Pertimbangan Kearifan lokal Prof. Dr. Azhari AS,M.Si 15

16 ikut mempengaruhi penerimaan pajak. Artinya apabila PDRB naik 1,0 % maka penerimaan pajak akan meningkat sebesar 1,571%. Angka di atas juga menunjukkan bahwa angka penerimaan pajak elastis terhadap PDRB harga berlaku. Dengan demikian kesimpulan yang diperoleh dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 4 Derajat Desentralisasi Fiskal dan Posisi Fiskal Propinsi Bali Tahun INDIKATOR 1. Derajat Desentralisasi Fiskal PAD / TPD BHPBP / TPD Sumbangan / TPD 2. Upaya / Posisi Fiskal (tax effort)*) Elastisitas PAD terhadap PDRB (ADHB) Sumber : Hasil Olahan Data. HASIL 0,6694 0,3252 0,0054 1,5710 Hasil tax effort yang diperoleh oleh Propinsi Bali cukup baik karena berada di atas 1%. Sebagai perbandingan, Stotsky dan Mariam (1997:1) dalam studinya tahun di 43 negara Sub Sahara Afrika menjelaskan bahwa tax effort negara- negara bagian tersebut sangat rendah, di bawah 1%. Hal ini disebabkan oleh upaya atau usaha untuk menggali pajak- pajaknya juga rendah. Upaya optimalisasi pajak negara- negara tersebut dilakukan dengan upaya meningkatkan tarif pajak, mengkaji ulang peraturan pajak, insentif petugas pajak dan sebagainya. Tidak satupun ada upaya pemerintah dalam bentuk sosialisasi dan menggencarkan berbagai informasi dalam bidang perpajakan dan retribusi. Inti pokok pada persoalan ini ialah bagaimana pemerintah daerah harus mampu mengatur penerimaan dan mengurangi ketergantungannya terhadap pusat dengan memampukan metode yang ada dan dikombinasikan dengan kearifan lokal dalam rangka menuju social welfare. Hal ini sejalan dengan pendapat Simanjuntak (2001), yaitu semakin berkurangnya ketergantungan daerah terhadap bantuan pusat, maka semakin dicapai derajat desentralisasi fiskal. Dalam hal ini derajat desentralisasi fiskal tidak hanya memfokuskan pada sisi kewenangan dalam pengelolaan penerimaan saja, melainkan juga membahas mengenai kewenangan dalam pengelolaan pengeluaran sehingga lebih berdaya dan berhasil guna terhadap penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat. Sebab itulah, untuk meningkatkan pendapatan asli daerah dari sektor pajak daerah dan retribusi diperlukan a). perencanaan organisasi yang matang, b).sistem kelembagaan dan perangkat hukum yang kuat c). ketersediaan sumber daya manusia yang kompeten, d). Kemampuan à Pertimbangan Kearifan lokal Prof. Dr. Azhari AS,M.Si 16

17 pemerintah propinsi Bali untuk melakukan Sosialisasi dengan didukung masyarakat luas. Hal ini merupakan faktor penting serta prioritas yang dibutuhkan pemerintah propinsi Bali saat ini Dukungan Local Wisdom Sebagaimana melihat masa jayanya Bali di awal kemerdekaan sebagai sebuah propinsi yang paling otonom, maka kini kita banyak cara untuk menjadi sebuah propinsi yang mandiri, apalagi Bali didukung oleh masyarakat yang homogen, trampil, create dengan berbagai idea. Sampai saat ini, masyarakat Bali tidak pernah berpikir untuk mendatangkan sejumlah investor ke wilayahnya sebagaimana konsep PMA/ PMDN yang pernah dicetuskan oleh rezim Soeharto pada tahun Karena kita tahu bahwa investor asing yang datang bila tidak ditenggarai akan menyebabkan kerusakan alam dan mempengaruhi budaya secara negatif. Di tahun 1968 itu pemerintah berharap banyak agar kita bangkit dari keterpurukan ekonomi, maka alhasil setelah itu banyak investor yang mampu menyerap jutaan tenaga kerja dengan cara mengekplorasi berbagai sumber. Setelah masa- masa kejayaan minyak bumi (oil boomber), maka di tahun 1983 Prof. Dr. Soemitro, bagawan ekonomi - memberikan lampu kuning kepada rezim Soeharto bahwa masa- masa indah oil boomber sudah berakhir. Segera pemerintahan Soeharto mengambil kebijakan baru, yakni menggalakkan kemandirian dari sektor perpajakan. Tahun 1984, pemerintah memberlakukan PPh dan PPN yang sekarang ini kita dapat melihat bahwa tanpa 2 jenis pajak itu pemerintah Indonesia akan sakit. Pajak yang tinggi tanpa diimbangi dengan kebijakan moneter yang baik (lihat kasus- kasus perbankan termasuk Century, IMF, korupsi Pejabat di Bank Indonesia) negara ini tidak akan pernah bangkit dari keterpurukan. Hal yang menarik pada propinsi Bali yang tidak punya sumber- sumber bagi hasil seperti tambang, namun demikian walaupun tidak memiliki hasil tambang Bali tidaklah serumit yang dibayangkan. Secara tersirat rezim Soeharto memelihara Bali dengan kebijakan menggalakan sektor pariwisata. Jadi, pada tahun 1983 itu ada dua kebijakan publik yang diungkapkan yakni pemberlakuan pajak baru dalam bentuk PPh dan PPN yang dikenal dengan reformasi perpajakan serta kebijakan publik dalam bidang parawisata untuk propinsi Bali. Melalui sektor pariwisata Bali membangkitkan citra Indonesia, tapi di sisi lain citra Bali sebagai sebuah propinsi paling otonom belumlah pulih. Bali tidak punya pendapatan yang besar, kemampuan Bali dengan derajat desentralisasi yang hanya mencapai rata- rata 66,94% termasuk kategori sedang. Ã Pertimbangan Kearifan lokal Prof. Dr. Azhari AS,M.Si 17

18 Ditinjau dari sistem nilai- nilai yang ada semestinya Bali mampu untuk bangkit lebih jauh. Nilai- nilai yang dibentuk di dalam masyarakat belum sepenuhnya mempunyai korelasi terhadap ilmu administrasi, ekonomi dan mampu menopang sistem ekonomi daerah. Sistem Administrasi dan ekonomi yang diwujudkan dalam bentuk propinsi yang otonom tidak memiliki sistem nilai yang kokoh. Lihatlah kebijakan- kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah daerah dalam wujud pajak daerah, retribusi daerah tidak didasarkan atas pelibatan (involve) bagian terbesar dari anggota masyarakat. Keputusan dibuat sepihak atas usulan pemerintah daerah kepada DPRD, lalu tidak lama Dewan mengesahkan dalam bentuk peraturan daerah. Pendekatan ini dalam implementasi kebijakan publik disebut dengan model Edward III, yang implementasinya dilakukan dengan cara paksaan. Model yang dikembangkan saat ini ialah model Elmore dengan pendekatan behavior yang lebih cenderung pada pendekatan nilai- nilai (diusulkan oleh Richard Elmore dkk, 1979). Model ini sangat terkenal sampai saat ini, karena model kebijakan publik ini mendorong masyarakat untuk mengerjakan sendiri implementasi kebijakan itu. Kebjakan publik yang dibuat harus sesuai dengan harapan dan keinginan publik yang menjadi targetnya. Kebijakan ini diprakarsai oleh masyarakat baik secara langsung ataupun lewat LSM- LSM (Nugroho, 2008: 447). Di zaman penjajahan Belanda, yang pertama kali dibuat ialah membentuk sistem- sistem nilai berupa dukungan dari masyarakat dan pemerintahan desa. Metode ini disebut dengan rincikan yang pertama kali dilakukan tahun 1896 di Periangan Bandung, kemudian melebar ke seluruh pulau Jawa, Madura dan Bali. Rincikan melibatkan pemilik tanah, petugas theodolit, kepala desa dalam pengukuran tanah. Kemudian berdasarkan kesepakatan masyarakat, pemerintah desa dan pemerintah Belanda ditetapkanlah klas tanah. Selanjutnya pemerintah Belanda lalu mengumumkan dalam bentuk plakat- plakat (Soebekti, 1965). Sekarang kita mengenal istilah ini dengan nama bottom- up dan kemudian menyosialisasikannya. Dengan demikian sistem nilai telah terbentuk dengan baik. Sebab itu bila kita menanyakan kepada orang- orang tua yang masih hidup, pastilah mereka bisa menjelaskan landrente atau Ipeda yang pernah berlaku di zaman dulu. Di zaman sekarang, banyak anggota masyarakat yang bingung. Pemerintah memberlakukan retribusi parkir, juga ada pajak parkir. Mereka bertanya apa bedanya? Lalu yang agak mengerti menjawab, kalau retribusi parkir biasanya petugasnya berpakaian warna orange, umurnya sudah tua dan parkirnya di pinggi jalan. Kalau pajak parkir petugasnya kebanyakan cewek cakep- cakep, pakaiannya warna biru muda, bertugas di depan mal- Ã Pertimbangan Kearifan lokal Prof. Dr. Azhari AS,M.Si 18

19 mal dan bayaran parkirnya lebih mahal. Jawaban ini masih tetap membingungkan. Kenapa hal itu terjadi? Karena kita belum membentuk sistem nilai. Di Bali, nilai- nilai mudah tumbuh dengan baik, dukungan masyarakat besar. Bila mereka sudah memberikan kontribusi dukungan yang besar maka program pemerintah mudah berjalan dengan baik. Hal ini sangat tergantung pada metode pendekatan yang akan diambil. Dari local wisdom yang merupakan threat dari sebuah kebijakan publik dapat dijadikan opportunty untuk meningkatkan penerimaan daerah. Mari kita ambil suatu contoh. Di Sumatera Barat, pemerintah lokal mampu membuat kebijakan yang mendukung local wisdom yaitu memotivasi masyarakat perantauan Minang dengan gebu minang dan pulang basamo dalam rangka untuk meningkatkan penerimaan daerah. Berjuta- juta mayarakat Minang yang ada di perantauan mengirimkan sebagian pendapatan mereka untuk pembangunan daerah yang dampaknya ikut menaikkan arus sirkulasi uang di propinsi itu dan sekaligus juga menaikkan penerimaan daerah. Sebab itu local wisdom seharusnya dapat dijadikan sebagai pemicu peningkatan penerimaan daerah dari sektor pajak dan retribusi daerah. Local wisdom yg tidak mampu dimanfaatkan oleh pemerintah daerah justru dapat menjadi bumerang, misalnya ketidakberdayaan pemerintah daerah di dalam meningkatkan pemungutan retribusi daerah. Pemanfaatan pecalang bagi pemerintah daerah kota/kabupaten perlu dianalisis yang bermanfaat untuk membentuk sistem niali baru perlu segera dilakukan. Upaya ini dimaksudkan agar terdapat dukungan dari lapisan masyarakat (local wisdom). 6. Rekomendasi Pada akhirnya perlu kiranya diberikan beberapa rekomendasi penting, sebagai berikut: a). Perlu kiranya segera dirumuskan keberadaan Undang- undang tentang Kearifan Lokal (local wisdom). Manfaat yang diperoleh dengan keberadaan undang- undang ini ialah agar setiap local wisdom yang ada di setiap propinsi dapat dipayungi oleh undang- undang ini; untuk menghindari benturan dalam implementasi kebijakan publik; diperolehnya dukungan dari segenap lapisan masyarakat; terpeliharanya moral, etika dan nilai- nilai masyarakat; dengan dukungan lapisan bawah dapat meningkatkan partisipasi masyarakat sebagai bagian dari konsep good governance. b). Propinsi Bali perlu kiranya menyusun rencana pemanfaatan local wisdom dalam konsep win- win solution untuk memacu propinsi Bali menjadi daerah yang mandiri. Ã Pertimbangan Kearifan lokal Prof. Dr. Azhari AS,M.Si 19

20 Pemerintah dapat memanfaatkan local wisdom yang ada dengan cara memanfaatkan dukungan masyarakat melalui konsep musyawarah, partisipasi masyarakat untuk mensosialisasikan kebijakan peningkatan penerimaan daerah. Contoh ini dapat dilihat pada masyarakat Minang. Bali dapat mencontoh dalam bentuk lain, misalnya dukungan pecalang dalam koordinasi penuh dari pemerintah untuk terus meningkatkan penerimaan penerimaan daerah yang tidak hanya dari retribusi parkir, tapi anjuran/ajakan mereka terhadap pengusaha dan anggota masyarakat untuk lebih giat di dalam meningkatkan sektor ekonomi dan pembayaran pajak retribusi hotel, restoran. Tinggal caranya, bagaimana pemerintah daerah segera mengemas berbagai ide dan create dalam bentuk kerjasama yang saling menguntungkan. DAFTAR PUSTAKA A. Halim and Abdullah S, 2004, Local Original Revenue (PAD) as a Source of Development Financing, makalah disampaikan pada konfrensi International Regional Science Association ke- 6 di Jogyakarta. Adeney, Bernard T., 1995, Etika Sosial Lintas Budaya, Kanisius, Yogyakarta. Al- Hadar Smith, Syariah dan Tradisi Syi ah Ternate, dalam or.id/ rub_budaya.htm, didownload 7/15/04. Ans, Pola Perilaku Orang Bali Merujuk Unsur Tradisional, dalam www. balipos.co.id, 4 September Ayatrohaedi, 1986, Kepribadian Budaya Bangsa (local Genius), Pustaka Jaya, Jakarta. Bayu Dwi Mardana, Menyingkap Fajar Sejarah Nusantara, dalam www. sinarharapan.co.id/hiburan/budaya/2003/1018/bud2.html. di download 7/15/04. Davey, KJ., 1988, Pembiayaan Pemerintahan Daerah: Praktek- praktek Internasional dan Relevansinya bagi Dunia Ketiga, (Jakarta: UI- Press). Dresthasuta, Agama dan Budaya, dalam bali_funky /artikel_nali/detail/1099.htm, didownload 7/15/04. Dunn, William N., 2004, Public policy Analysis; An Introduction, New Jersey. Elly Burhainy Faizal, (SP Daily) 31 Oktober 2003 dalam independent.com à Pertimbangan Kearifan lokal Prof. Dr. Azhari AS,M.Si 20

21 Fuad Hassan, Pokok- pokok Bahasan Mengenai Budaya Nusantara Indonesia, dalam Pokok - pokok_bahasan. htm didownload 7/15/04 Geoffrey Brennan and James M. Buchanan., 1999, Tax Limits and the Logic of Constitutional Restriction in Democratic Choice and Taxation A Theoretical and Empirical Analysis, Cambridge University Press. Hadi Soesastro dalam Jacob Oetama, 2000, Indonesia Abd XI di Tengah Kepungan Perubahan Global, Penerbit Harian Kompas, Jakarta. Hairudin Harun, Weltanschaung Melayu dalam era Teknologi Informasi: Komputer menjadi Teras atau Puncak Tewasnya Pemikiran Tradisional Melayu?, dalam utoronto.ca/epc/srb/ cyber/haroutmal. html, didownload 7/8/04. I Ketut Gobyah, Berpijak pada Kearifan Lokal, dalam co.id, didownload 17/9/03. Irfan Salim, Islam dan Akulturasi Budaya Lokal, dalam isnet.org/islam/gtc/akulturasi.html, didownload 7/15/04. Iun, Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali, dalam co.id Jhon HY Ronald and William L Waugh Jr, 1985, State and Local Tax Policies, Greenwood Press, London. Koenjaraningrat, 1990, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Gramedia, Jakarta. Koentjaraningrat, 1999, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Penerbit Djambatan, Jakarta. Lauer, Robert H, 1993, Perspektif tentang Perubahan Sosial, alih bahasa: Alimandan, Rineka Cipta, Jakarta. Rozeff, Michael S, 2005, How the Power to Tax Destroys, Working paper, msroz@buffalo.edu. Niels, Mulder, 1985, Pribadi dan Masyarakat di Jawa, Sinar Harapan, Jakarta. Nugroho, Riant., 2008, Public Policy, Penerbit Elex Media Komputindo, Kelompok Gramedia, Jakarta. Osborne, David dan Ted Gaebler, 1992, Reinventing Government, Arlington: Addison Wesley. Pianpanussak, Jukraphun, Local wisdom in the ritual of Karen Community, dalam cgs/abstract/cgs html. Didownload 7/21/04. Ridwan, Nurma Ali, Landasan Kelimuan Kearifan Lokal, Ibda, Jurnal Studi Islam dan Budaya Vol. 5 No.1 Jan- Juni 2007,, P3M STAIN Purwokerto. Samudra, Azhari A, 2008, Kinerja Organisasi Dinas Pendapatan Daerah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dengan Pendekatan à Pertimbangan Kearifan lokal Prof. Dr. Azhari AS,M.Si 21

LOKAL GENIUS DALAM KAJIAN MANAJEMEN Oleh Drs. I Made Madiarsa, M.M.A. 6

LOKAL GENIUS DALAM KAJIAN MANAJEMEN Oleh Drs. I Made Madiarsa, M.M.A. 6 LOKAL GENIUS DALAM KAJIAN MANAJEMEN Oleh Drs. I Made Madiarsa, M.M.A. 6 Abstrak: Kearifan lokal berkaitan erat dengan manajemen sumber daya manusia. Dewasa ini, kearifan lokal mengalami tantangan-tantangan,

Lebih terperinci

PERANAN KEARIFAN LOKAL BALI DALAM PERSPEKTIF KEBIJAKAN PUBLIK

PERANAN KEARIFAN LOKAL BALI DALAM PERSPEKTIF KEBIJAKAN PUBLIK Jurnal Ilmu Politik dan Komunikasi Volume VII No. 1 / Juni 2017 PERANAN KEARIFAN LOKAL BALI DALAM PERSPEKTIF KEBIJAKAN PUBLIK I Made Sumada Pasacasarjana Universitas Ngurah Rai Denpasar Bali email: imadesumada@yahoo.co.id

Lebih terperinci

MENGGALI KEARIFAN LOKAL NUSANTARA SEBUAH KAJIAN FILSAFATI

MENGGALI KEARIFAN LOKAL NUSANTARA SEBUAH KAJIAN FILSAFATI MENGGALI KEARIFAN LOKAL NUSANTARA SEBUAH KAJIAN FILSAFATI Sartini Abstract: Local genius is local ideas that is characterized such as: wise, full of wisdom, good values, that planted and followed by society.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah memiliki

I. PENDAHULUAN. pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah memiliki 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pelaksanaan otonomi daerah merupakan suatu harapan cerah bagi pelaksanaan pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah memiliki kesempatan untuk mengelola,

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH BESERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH BESERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH BESERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1 Arah Kebijakan Ekonomi Daerah 3.1.1 Kondisi Ekonomi Daerah Tahun 2011 dan Perkiraan Tahun 2012 Kerangka Ekonomi Daerah dan Pembiayaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan

I. PENDAHULUAN. atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002)

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Negara Republik Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan. Otonomi daerah memberikan kesempatan yang luas kepada daerah untuk berkreasi dalam meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan adalah usaha menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan adalah usaha menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan adalah usaha menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu hasil-hasil pembangunan harus dapat dinikmati oleh seluruh rakyat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Teoritis 2.1.1. Pengertian Partisipasi atau keadaan mengambil bagian dalam suatu aktivitas untuk mencapai suatu keterlibatan mental dan emosi seseorang dalam situasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan trend ke arah zona ekonomi sebagai kota metropolitan, kondisi ini adalah sebagai wujud dari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 1. Definisi Desentralisasi Fiskal Desentralisasi fiskal secara singkat dapat diartikan sebagai suatu proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat melalui beberapa proses dan salah satunya adalah dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi daerah adalah salah satu indikator untuk mengevaluasi perkembangan/kemajuan pembangunan ekonomi di suatu daerah pada periode tertentu (Nuni

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sistem pemerintahan Republik Indonesia mengatur asas desentralisasi,

BAB I PENDAHULUAN. Sistem pemerintahan Republik Indonesia mengatur asas desentralisasi, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sistem pemerintahan Republik Indonesia mengatur asas desentralisasi, dekosentrasi dan tugas pembantuan yang dilaksanakan secara bersama-sama. Untuk mewujudkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. meningkatkan kesadaran perlunya pembangunan berkelanjutan.

I. PENDAHULUAN. meningkatkan kesadaran perlunya pembangunan berkelanjutan. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan daerah pada dasarnya adalah upaya untuk mengembangkan kemampuan ekonomi daerah untuk menciptakan kesejahteraan dan memperbaiki kehidupan material secara adil

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pengelolaan pemerintah daerahnya, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten

I. PENDAHULUAN. pengelolaan pemerintah daerahnya, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistim pemerintahan daerah hampir di seluruh wilayah Republik Indonesia di dalam pengelolaan pemerintah daerahnya, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah khususnya Daerah Tingkat II (Dati II)

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah khususnya Daerah Tingkat II (Dati II) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah khususnya Daerah Tingkat II (Dati II) merupakan titik awal pelaksanaan pembangunan, sehingga daerah diharapkan bisa lebih mengetahui potensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia demi mencapai masyarakat yang sejahtera. Namun, mengingat Negara

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia demi mencapai masyarakat yang sejahtera. Namun, mengingat Negara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi merupakan usaha yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia demi mencapai masyarakat yang sejahtera. Namun, mengingat Negara Indonesia merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan

BAB I PENDAHULUAN. mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah adanya

I. PENDAHULUAN. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah adanya 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah adanya pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Hampir seluruh kewenangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pesatnya perkembangan informasi, komunikasi, dan transportasi dalam kehidupan manusia di segala bidang khususnya bidang ekonomi dan perdagangan merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Semenjak bergulirnya gelombang reformasi, otonomi daerah menjadi salah

BAB I PENDAHULUAN. Semenjak bergulirnya gelombang reformasi, otonomi daerah menjadi salah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Semenjak bergulirnya gelombang reformasi, otonomi daerah menjadi salah satu topik sentral yang banyak dibicarakan. Otonomi daerah menjadi wacana dan bahan kajian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang dasar 1945 yang mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas provinsi-provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dengan berlakunya Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, dan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Republik Indonesia No. 25 Tahun 1999 telah menyebabkan perubahan yang mendasar mengenai

Lebih terperinci

1. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksanaannya yang sifatnya dapat dipaksakan.

1. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksanaannya yang sifatnya dapat dipaksakan. BAB 2 PAJAK RESTORAN: KAJIAN LITERATUR 2.1. Pengertian Pajak Secara umum, pajak diartikan sebagai pungutan dari negara kepada rakyatnya, yang sifatnya memaksa. Pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. terdiri dari dua kata yakni antos yang berarti sendiri dan nomos yang berarti Undang-

BAB II KAJIAN PUSTAKA. terdiri dari dua kata yakni antos yang berarti sendiri dan nomos yang berarti Undang- BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi daerah Istilah Otonomi Daerah atau Autonomy berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata yakni antos yang berarti sendiri dan nomos yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengembangan Wilayah Pada dasarnya pengembangan adalah proses dimana individu, kelompok, organisasi, institusi dan masyarakat meningkatkan kemampuannya

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Tulungagung Berdasarkan ringkasan struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Tulungagung, setiap tahunnya

Lebih terperinci

1 UNIVERSITAS INDONESIA

1 UNIVERSITAS INDONESIA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengelolaan pemerintahan daerah di Indonesia memasuki babak baru seiring diberlakukannya desentralisasi fiskal. Dengan diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan perkembangan gagasan yang terjadi di berbagai negara,

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan perkembangan gagasan yang terjadi di berbagai negara, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sejalan dengan perkembangan gagasan yang terjadi di berbagai negara, peranan negara dan pemerintah bergeser dari peran sebagai pemerintah (government)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya otonomi daerah di Indonesia pada tahun 2001,

BAB I PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya otonomi daerah di Indonesia pada tahun 2001, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak diberlakukannya otonomi daerah di Indonesia pada tahun 2001, pemerintah daerah merupakan organisasi sektor publik yang diberikan kewenangan oleh pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah sangat berdampak pada berbagai

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah sangat berdampak pada berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1. LatarBelakang Otonomi daerah merupakan kebijakan pemerintah dalam hal pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah sangat berdampak pada berbagai aspek. Salah satu aspek

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tekad pemerintah pusat untuk meningkatkan peranan pemerintah daerah dalam mengelola daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan titik awal pelaksanaan pembangunan, sehingga daerah diharapkan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan titik awal pelaksanaan pembangunan, sehingga daerah diharapkan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi daerah khususnya Daerah Tingkat II (Dati II) merupakan titik awal pelaksanaan pembangunan, sehingga daerah diharapkan bisa lebih mengetahui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana diketahui bahwa pajak merupakan iuran wajib dari rakyat kepada

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana diketahui bahwa pajak merupakan iuran wajib dari rakyat kepada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagaimana diketahui bahwa pajak merupakan iuran wajib dari rakyat kepada negara. Dari pajak ini, nantinya akan digunakan negara untuk membiayai kegiatan pemerintahan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewajiban kepada daerah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewajiban kepada daerah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewajiban kepada daerah dalam menyelenggarakan pemerintah kewenangan tersebut diberikan secara profesional yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peraturan penyelenggaraan otonomi daerah, pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam mewujudkan daerah otonom yang luas serta bertanggung jawab. Tiap

BAB I PENDAHULUAN. dalam mewujudkan daerah otonom yang luas serta bertanggung jawab. Tiap BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pemungutan serta pengelolaan pajak dibagi menjadi dua yaitu Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Pajak Pusat adalah suatu pajak yang dikelola dan dipungut oleh Negara,

Lebih terperinci

UPAYA MENINGKATKAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DALAM ERA OTONOMI DAERAH

UPAYA MENINGKATKAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DALAM ERA OTONOMI DAERAH Tri Ratnawati 179 UPAYA MENINGKATKAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DALAM ERA OTONOMI DAERAH Oleh: Tri Ratnawati Staff Pengajar Fakultas Ekonomi dan Program Pascasarjana Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pajak Daerah adalah salah satu sumber penerimaan Pemerintah Daerah yang diatur oleh konstitusi negara dalam Undang undang nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sendiri adalah kemampuan self supporting di bidang keuangan.

I. PENDAHULUAN. sendiri adalah kemampuan self supporting di bidang keuangan. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah tidak terlepas pada kemampuan keuangan daerah. Artinya daerah harus memiliki kemampuan dan kewenangan untuk menggali sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di segala bidang, dan juga guna mencapai cita-cita bangsa Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum,

Lebih terperinci

Analisis Isu-Isu Strategis

Analisis Isu-Isu Strategis Analisis Isu-Isu Strategis Permasalahan Pembangunan Permasalahan yang ada pada saat ini dan permasalahan yang diperkirakan terjadi 5 (lima) tahun ke depan yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Bangkalan perlu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang keuangan negara. Hal ini diindikasikan dengan telah diterbitkannya Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No 22 tahun 1999 dan UU

Lebih terperinci

STUDI DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN PERDA BARU TENTANG PAJAK ATAS PENGUSAHAAN SARANG BURUNG WALET KABUPATEN TULANG BAWANG

STUDI DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN PERDA BARU TENTANG PAJAK ATAS PENGUSAHAAN SARANG BURUNG WALET KABUPATEN TULANG BAWANG STUDI DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN PERDA BARU TENTANG PAJAK ATAS PENGUSAHAAN SARANG BURUNG WALET KABUPATEN TULANG BAWANG Nandang 1 Abstrak Pelaksanaan UU No.22 Tahun 1999 yang diubah menjadi UU No 32 Tahun

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pengaruhnya terhadap nasib suatu daerah karena daerah dapat menjadi daerah

BAB 1 PENDAHULUAN. pengaruhnya terhadap nasib suatu daerah karena daerah dapat menjadi daerah 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada saat ini perkembangan akuntansi sektor publik, khususnya di Indonesia semakin pesat dengan adanya era baru dalam pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah.

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. 6.1 Analisis Kemampuan Keuangan Daerah Dalam Membiayai Pengeluaran

BAB VI PEMBAHASAN. 6.1 Analisis Kemampuan Keuangan Daerah Dalam Membiayai Pengeluaran BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Analisis Kemampuan Keuangan Daerah Dalam Membiayai Pengeluaran Daerah Kabupaten Klungkung. 1) Pendapatan Asli Daerah Kemampuan Keuangan Daerah dalam membiayai pengeluaran daerah seperti

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

PENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), merupakan salah satu faktor pendorong

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perubahan mendasar paradigma pengelolaan keuangan daerah terjadi sejak diterapkan otonomi daerah pada tahun 2001. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 22 Tahun 1999 yang diubah dalam Undang-Undang No. 32 Tahun tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 yang

BAB I PENDAHULUAN. 22 Tahun 1999 yang diubah dalam Undang-Undang No. 32 Tahun tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia yang didasari UU No. 22 Tahun 1999 yang diubah dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam pengertian kamus, kearifan lokal (local wisdom) terdiri dari dua kata:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam pengertian kamus, kearifan lokal (local wisdom) terdiri dari dua kata: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kearifan Lokal Dalam pengertian kamus, kearifan lokal (local wisdom) terdiri dari dua kata: kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris Indonesia John M. Echols

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan Nasional adalah untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan Nasional adalah untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan pembangunan Nasional adalah untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur yang merata baik materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila di dalam Negara

Lebih terperinci

PBB DAN BPHTB. Pertemuan 1 Sejarah PBB

PBB DAN BPHTB. Pertemuan 1 Sejarah PBB PBB DAN BPHTB Pertemuan 1 Sejarah PBB PBB ADA DISELURUH DUNIA MEMPUNYAI DAMPAK FISKAL DAN NON-FISKAL 1. BERAPA UANG YANG DIHASILKAN DARI PBB 2. DASAR PENGENAAN PAJAK DAN SIAPA YANG MENENTUKAN 3. BERAPA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah

BAB I PENDAHULUAN. Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah merupakan subsistem keuangan negara sebagai konsekuensi pembagian tugas antara pemerintah

Lebih terperinci

VISI MISI KABUPATEN KUDUS TAHUN

VISI MISI KABUPATEN KUDUS TAHUN VISI MISI KABUPATEN KUDUS TAHUN 2013 2018 Visi Terwujudnya Kudus Yang Semakin Sejahtera Visi tersebut mengandung kata kunci yang dapat diuraikan sebagai berikut: Semakin sejahtera mengandung makna lebih

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Dalam kajian pustaka ini, akan dijelaskan mengenai pengertian pajak, jenisjenis

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Dalam kajian pustaka ini, akan dijelaskan mengenai pengertian pajak, jenisjenis BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Kajian Pustaka Dalam kajian pustaka ini, akan dijelaskan mengenai pengertian pajak, jenisjenis pajak, tata cara pemungutan pajak dan seterusnya yang berkaitan

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam

KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam Pendahuluan Sejalan dengan semakin meningkatnya dana yang ditransfer ke Daerah, maka kebijakan terkait dengan anggaran dan penggunaannya akan lebih

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tersebut dibutuhkan sumber-sumber keuangan yang besar. Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang

I. PENDAHULUAN. tersebut dibutuhkan sumber-sumber keuangan yang besar. Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan Daerah didasarkan asas otonomi daerah dengan mengacu pada kondisi dan situasi satuan wilayah yang bersangkutan.dengan daerah tidak saja mengurus rumah tangganya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bidang ekonomi dan keuangan. Dalam rangka meningkatkan daya guna ( efektivitas )

I. PENDAHULUAN. bidang ekonomi dan keuangan. Dalam rangka meningkatkan daya guna ( efektivitas ) I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemerintah daerah berusaha mengembangkan dan meningkatkan perannya dalam bidang ekonomi dan keuangan. Dalam rangka meningkatkan daya guna ( efektivitas ) penyelenggaraan

Lebih terperinci

ANALISIS KEMANDIRIAN FISKAL DALAM UPAYA MENDUKUNG PELAKSANAAN URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI KABUPATEN INDRAGIRI HULU

ANALISIS KEMANDIRIAN FISKAL DALAM UPAYA MENDUKUNG PELAKSANAAN URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI KABUPATEN INDRAGIRI HULU ANALISIS KEMANDIRIAN FISKAL DALAM UPAYA MENDUKUNG PELAKSANAAN URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI KABUPATEN INDRAGIRI HULU Taryono Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Riau ABSTRAK Penelitian ini bertujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Selama beberapa tahun terakhir (2005-2009), ekonomi Indonesia membaik dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 5,5 persen. Namun kinerja itu masih jauh jika dibanding

Lebih terperinci

2015 PEWARISAN NILAI-NILAI BUDAYA SUNDA PADA UPACARA ADAT NYANGKU DI KECAMATAN PANJALU KABUPATEN CIAMIS

2015 PEWARISAN NILAI-NILAI BUDAYA SUNDA PADA UPACARA ADAT NYANGKU DI KECAMATAN PANJALU KABUPATEN CIAMIS 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Struktur masyarakat Indonesia yang majemuk menjadikan bangsa Indonesia memiliki keanekaragaman adat istiadat, budaya, suku, ras, bahasa dan agama. Kemajemukan tersebut

Lebih terperinci

Arah Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Daerah

Arah Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Daerah XXII Arah Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Daerah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan bentuk pengelolaan keuangan daerah dalam pengalokasian sumber daya di daerah secara optimal, sekaligus

Lebih terperinci

ANALISIS RASIO UNTUK MENGUKUR KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BANTUL

ANALISIS RASIO UNTUK MENGUKUR KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BANTUL Analisis Rasio untuk Mengukur Kinerja Pengelolaan Keuangan Daerah 333 ANALISIS RASIO UNTUK MENGUKUR KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BANTUL Vidya Vitta Adhivinna Universitas PGRI Yogyakarta,

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN 5.1. Pertumbuhan APBD Pada dasarnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan rencana keuangan tahunan Pemerintahan Daerah yang dibahas dan disetujui oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan suatu bentuk perwujudan pendelegasian. wewenang dan tanggung jawab dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan suatu bentuk perwujudan pendelegasian. wewenang dan tanggung jawab dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Otonomi daerah merupakan suatu bentuk perwujudan pendelegasian wewenang dan tanggung jawab dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dimana Pemerintah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan untuk merubah keadaan kearah yang lebih baik, dengan sasaran akhir terciptanya kesejahreraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara kepulauan yang terdiri dari berbagai macam budaya, ras, etnik, agama dan keragaman lainnya. Guna

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Yuvenalis Anggi Aditya, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Yuvenalis Anggi Aditya, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan dunia pendidikan dewasa ini lebih menekankan pada penanaman nilai dan karakter bangsa. Nilai dan karakter bangsa merupakan akumulasi dari nilai dan karakter

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) a. Pengertian Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan Asli Daerah (PAD) menurut Halim (2001) adalah penerimaan yang diperoleh daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah yang sedang bergulir merupakan bagian dari adanya

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah yang sedang bergulir merupakan bagian dari adanya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Otonomi daerah yang sedang bergulir merupakan bagian dari adanya reformasi atas kehidupan bangsa yang telah ditetapkan dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan merupakan suatu proses yang berkesinambungan yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan merupakan suatu proses yang berkesinambungan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan merupakan suatu proses yang berkesinambungan yang mencakup segala bidang yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat (Rusyadi, 2005).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai unit pelaksana otonomi daerah. Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus

BAB I PENDAHULUAN. sebagai unit pelaksana otonomi daerah. Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Otonomi daerah merupakan suatu konsekuensi reformasi yang harus dihadapi oleh setiap daerah di Indonesia, terutama kabupaten dan kota sebagai unit pelaksana otonomi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Saat ini pemerintah daerah memiliki kewenangan penuh untuk mengatur dan mengelola pembangunan di daerah tanpa adanya kendala struktural yang berhubungan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan aspirasi masyarakat yang sejalan dengan semangat demokrasi.

BAB I PENDAHULUAN. dan aspirasi masyarakat yang sejalan dengan semangat demokrasi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Peralihan masa orde baru ke reformasi memberikan perubahan terhadap pemerintahan Indonesia. Salah satu perubahan tersebut adalah otonomi daerah yang merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melancarkan jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melancarkan jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Pengertian Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan daerah adalah komponen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang digunakan untuk membiayai pembangunan dan melancarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahkluk sosial yang berbudaya mempunyai peran

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahkluk sosial yang berbudaya mempunyai peran BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia merupakan mahkluk sosial yang berbudaya mempunyai peran sebagai aktor, sebagimana manusia itu dapat memberikan sumbangan dan memfasilitasi kehidupan yang mencakup

Lebih terperinci

BUPATI BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PELESTARIAN ADAT ISTIADAT DAN PEMBERDAYAAN LEMBAGA ADAT MELAYU BELITONG KABUPATEN BELITUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PELESTARIAN ADAT ISTIADAT DAN PEMBERDAYAAN LEMBAGA ADAT MELAYU KEPULAUAN BANGKA BELITUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebudayaan Indonesia yang beraneka ragam terdiri dari puncak-puncak kebudayaan daerah dan setiap kebudayaan daerah mempunyai ciri-ciri khas masing-masing. Walaupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan taraf hidup masyarakatnya agar menjadi manusia seutuhnya yang

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan taraf hidup masyarakatnya agar menjadi manusia seutuhnya yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejak masa orde lama, orde baru hingga era reformasi sekarang ini, pemerintah selalu melaksanakan pembangunan di segala bidang kehidupan guna meningkatkan taraf hidup

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pelaksanaan pembangunan daerah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari

I. PENDAHULUAN. Pelaksanaan pembangunan daerah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan pembangunan daerah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan nasional yang berkelanjutan, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 jo Undang-Undang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia memasuki era baru tata pemerintahan sejak tahun 2001 yang ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini didasarkan pada UU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. titik awal pelaksanaan pembangunan, sehingga daerah diharapkan bisa lebih mengetahui

BAB I PENDAHULUAN. titik awal pelaksanaan pembangunan, sehingga daerah diharapkan bisa lebih mengetahui BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi daerah khususnya Daerah Kabupaten Bekasi merupakan titik awal pelaksanaan pembangunan, sehingga daerah diharapkan bisa lebih mengetahui

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pusat (sentralistik) telah menimbulkan kesenjangan antara Jawa dan luar Jawa

BAB 1 PENDAHULUAN. pusat (sentralistik) telah menimbulkan kesenjangan antara Jawa dan luar Jawa BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk mensejahterakan masyarakat yaitu melalui pembangunan yang dilaksanakan secara merata. Pembangunan di Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. No.22 tahun 1999 dan Undang-undang No.25 tahun 1999 yang. No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat

BAB I PENDAHULUAN. No.22 tahun 1999 dan Undang-undang No.25 tahun 1999 yang. No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem pemerintahan daerah, baik ditingkat provinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru dengan dikeluarkannya Undangundang No.22 tahun 1999 dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut M. Suparmoko (2001: 18) otonomi daerah adalah kewenangan daerah

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut M. Suparmoko (2001: 18) otonomi daerah adalah kewenangan daerah II. TINJAUAN PUSTAKA A. Otonomi Daerah Menurut M. Suparmoko (2001: 18) otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diamati dan dikaji. Otonomi acap kali menjadi bahan perbincangan baik di

BAB I PENDAHULUAN. diamati dan dikaji. Otonomi acap kali menjadi bahan perbincangan baik di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perjalanan otonomi daerah di Indonesia merupakan isu menarik untuk diamati dan dikaji. Otonomi acap kali menjadi bahan perbincangan baik di kalangan birokrat, politisi,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terselenggaranya tata pemerintahan yang baik (good governance). Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang direvisi dengan Undang-Undang

I. PENDAHULUAN. terselenggaranya tata pemerintahan yang baik (good governance). Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang direvisi dengan Undang-Undang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan pembangunan yang dihadapi dewasa ini dan di masa mendatang mensyaratkan perubahan paradigma kepemerintahan, pembaruan sistem kelembagaan, peningkatan kompetensi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi adalah dambaan semua daerah maupun Negara.

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi adalah dambaan semua daerah maupun Negara. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi yang tinggi adalah dambaan semua daerah maupun Negara. Pertumbuhan ekonomi juga merupakan gambaran hasil kerja pemerintah dalam mensejahterakan rakyatnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses di mana pemerintah daerah dan seluruh komponen masyarakat mengelola berbagai sumber daya yang ada dan membentuk suatu

Lebih terperinci

BAB VII KEBIJAKAN UMUM DAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH

BAB VII KEBIJAKAN UMUM DAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH BAB VII KEBIJAKAN UMUM DAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH 7.1 Kebijakan Umum Pengelolaan Pendapatan Daerah Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Keuangan Negara bahwa Keuangan Daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. MPR No.IV/MPR/1973 tentang pemberian otonomi kepada Daerah. Pemberian

BAB I PENDAHULUAN. MPR No.IV/MPR/1973 tentang pemberian otonomi kepada Daerah. Pemberian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan otonomi daerah diawali dengan dikeluarkannya ketetapan MPR No.IV/MPR/1973 tentang pemberian otonomi kepada Daerah. Pemberian otonomi dimaksud adalah

Lebih terperinci

2015 KAJIAN NILAI-NILAI BUDAYA UPACARA ADAT NYANGKU DALAM KEHIDUPAN DI ERA MODERNISASI

2015 KAJIAN NILAI-NILAI BUDAYA UPACARA ADAT NYANGKU DALAM KEHIDUPAN DI ERA MODERNISASI BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang terkenal dengan keanekaragaman budaya, hal ini dikarenakan Indonesia terdiri dari berbagai suku dan adat budaya. Setiap suku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah membutuhkan sumber-sumber penerimaan yang cukup memadai. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. daerah membutuhkan sumber-sumber penerimaan yang cukup memadai. Dalam 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah dan peningkatan pelayanan kepada masyarakat serta melaksanakan pembngunan daerah, maka daerah membutuhkan sumber-sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. finansial Pemerintah Daerah kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

BAB I PENDAHULUAN. finansial Pemerintah Daerah kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan aspek

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan antar

Lebih terperinci