BAB II PENGATURAN PEMBERIAN JAMINAN PRODUK HALAL BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II PENGATURAN PEMBERIAN JAMINAN PRODUK HALAL BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL"

Transkripsi

1 16 BAB II PENGATURAN PEMBERIAN JAMINAN PRODUK HALAL BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL A. Kewajiban Muslim untuk Mengkonsumsi Produk Halal berdasarkan Alquran dan Hadist Halal atau haram suatu produk pangan yang telah termaktub dalam Alquran dan Sunnah adalah salah satu ketentuan yang harus dipatuhi oleh pemeluknya. Secara subtsansi produk yang dihasilkan yang diharam-halalkan pada dasarnya memiliki kadungan hikmah dan manfaat. Kehalalan dan keharaman produk pangan menurut ajaran islam merupakan otoritas mutlak yang dimiliki oleh Allah SWT. Manusia tidak bisa mengubah apapun ketetapan yang diberikan- Nya, karena keterbatasan daya jangkau akal yang dimiliki oleh manusia. Mengonsumsi makanan halal diwajibkan oleh Agama Islam bagi umatnya,dimana hal ini terdapat dalam Al-quran dan hadist. 1. Mengkonsumsi produk halal berdasarkan Al-quran dan Hadist Suatu produk halal dalam Islam memiliki konsep bahwa produk tersebut harus sesuai dengan Syar i atau dengan kata lain sesuai dengan dasar hukum Islam. Produk yang dimaksud dalam hal ini adalah dapat berupa makanan atau minuman yang mana dikonsumsi oleh setiap orang khususnnya Muslim. Kata halal berasal dari bahasa Arab yang berarti melepaskan dan tidak terikat. Secara etimologi halal berarti hal-hal yang dapat dilakukan karena bebas dan tidak terikat dengan sesuatu yang bebas dari bahaya duniawi dan ukhrawi. Sedangkan thayyib berarti makanan yang tidak kotor dan rusak dari segi zatnya 14

2 17 atau tercampur benda najis dengan pengertian baik. Ada juga yang mengartikan sebagai makanan yang mengundang selera konsumennya dan tidak membahayakan fisik serta akalnya yang secara luas dapat diartikan dengan makanan yang menyehatkan. 14 Makanan dan minuman yang haram dan yang halal adalah merujuk pada zatnya (substansinya), dan bukan karena faktor eksternalnya seperti karena hasil rampasan, curian dan sebagainya. Mengetahui halal dan haramnya suatu makanan atau minuman bagi umat Muslim adalah hal yang sangat penting karena mengetahui halal dan haram adalah fardhu ain. 15 Allah SWT berfirman yang artinya Wahai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu. 16 Di dalam ayat tersebut ditegaskan bahwa mengkonsumsi makanan yang halal dan thayyib adalah sama dengan menghindari diri dari seruan untuk mengikuti langkah-langkah syetan yang merupakan musuh yang nyata yang mengajak manusia untuk menjauhi keridhoan Allah SWT. Seruan ini dari Allah SWT kepada mereka dalam statusnya sebagai ummat manusia. Syetan berusaha untuk menghiasi hal-hal yang haram agar manusia cenderung tersesat dan menjerumuskan sebagian yang lain dengan mengharamkan hal-hal yang dihalalkan Allah SWT Aisjah Girindra, Pengukir Sejarah Sertifikasi Halal (Jakarta: LPPOM-MUI, 2005), hlm Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalat: Sitem Transaksi dalam Fiqh Islam (Jakarta: AMZAH, 2010), hlm Al-Quran Surat Al-Baqarah Ayat Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam (Solo: Era Intermedia, 2003), hlm. 72.

3 18 Kata thayyib yang disandingkan dengan kata halal untuk memberi sifat kepada makanan yang halal disebutkan sebanyak empat kali di dalam al-qur an, yaitu dalam surat al-baqarah ayat 168, surat al-ma idah ayat 88, surat al-anfal ayat 69 dan surat an-nahl ayat 114. Berdasarkan maknanya, makna thayyib ini merujuk kepada tiga pengertian, 18 yaitu : sesuatu yang tidak membahayakan tubuh dan akal fikiran, sesuatu yang lezat, dan halal itu sendiri, yaitu suci, tidak najis dan tidak diharamkan. Lawan kata thayyib adalah khabits 19, sebagaimana firman Allah SWT yang artinya Dan menghalalkan bagi semua segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk. 20 Hai orang-orang yang beriman, makanlah antara rezeki yang baik-baik yang kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kamu kepada Allah, jika benarbenar hanya kepada-nya kamu menyembah. 21 Mereka menanyakan kepadamu: apakah yang dihalalkan bagi mereka? katakanlah: dihalalkan bagimu yang baik-baik:. 22 Bagi seorang muslim, makanan bukan sekedar pengisi perut dan penyehat badan saja, sehingga diusahakan harus sehat dan bergizi, tetapi di samping itu juga harus halal. Baik halal pada zat makanan itu sendiri, yaitu tidak termasuk makanan yang diharamkan oleh Allah, dan halal pada cara mendapatkannya. Di dalam Al-Quran, Allah SWT memerintahkan seluruh hamba-nya yang beriman dan yang kafir agar mereka makan makanan yang baik lagi halal, sebagaimana 18 Ali Mustafa Yaqub, Kriteria Halal-Haram Untuk Pangan, Obat, dan Kosmetika Menurut AL-Qur'an Dan Hadist (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009), hlm Ibid, hlm Al-Quran Surat Al-A raf Ayat Al-Quran Surat Al-Baqarah Ayat A l-quran Surat Al-Maidah Ayat 4.

4 19 firman-nya yang artinya Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi Kriteria makanan yang halal dan haram Ada dua kriteria yang menjadi makanan itu menjadi haram, yakni makanan yang diharamkan secara lidzaatihi, yaitu jenis makanan yang diharamkan karena secara zatnya diharamkan dan makanan yang diharamkan secara lighairihi, yaitu jenis makanan yang diharamkan karena cara mendapatkannya haram. Namun dalam pembahasan ini, yang menjadi fokus pembahasan hanyalah sebatas haram secara lidzaatihi. Makanan yang diharamkan secara lidzaatihi adalah jenis makanan yang diharamkan karena secara zatnya diharamkan. Adapun jenis makanan yang haram secara lidzaatihi, antara lain: a. Jenis makanan yang disebutkan keharamannya dalam Al-Quran, antara lain; daging binatang yang mati tanpa disembelih. Allah SWT berfirman yang artinya 1) Sesungguhgnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 24 2) Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tecekik, yang 23 Al-Quran Surat Al-Baqarah Ayat Al-Quran Surat Al-Baqarah Ayat 123.

5 20 dipukul, yang jatuh ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali kamu sempat menyembelihnya. 25 3) Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 26 b. Jenis makanan yang diharamkan seperti minuman/makanan yang memabukkan serta turunannya. Allah SWT berfiman, yang artinya: 1) Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: pada keduanya itu terdapat dosa besar dan keduanya lebih besar dari manfaatnya. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: yang lebih baik dari keperluan. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-nya kepadamu supaya jamu berfikir. 27 2) Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berduji (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syeitan. Maka jauhilah perbuatanperbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan Al-Quran Surat Al-Maidah Ayat Al-Quran Surat Al-An am Ayat Al-Quran Surat Al-Baqarah Ayat Al-Quran Surat Al-Maidah Ayat 90.

6 21 3) Sesungguhnya syeitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan mengahalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kami (dari mengerjakan pekerjaan itu). 29 Hal senada juga disampaikan oleh Departemen Agama Republik Indonesia bahwa produk makanan halal adalah produk yang memenuhi syarat kehalalan sesuai dengan syariat Islam, antara lain: 30 a. Tidak mengandung babi dan bahan yang berasal dari babi. b. Tidak mengandung bahan-bahan yang diharamkan seperti bahan-bahan yang berasal dari organ manusia, darah dan kotoran. c. Semua bahan yang yang berasal dari hewan halal yang disembelih menurut tata cara syariat Islam. d. Semua tempat penyimpanan, tempat penjualan, tempat pengolahan, tempat pengolahan dan dan transportasi tidak boleh digunakan untuk babi dan atau barang tidak halal lainnya. Jika pernah digunakan untuk babi dan/atau barang tidak halal lainnya terlebih dahulu harus dibersihkan dengan tata cara syariat Islam. e. Semua makanan dan minuman yang tidak mengandung khamar. Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa semua yang memabukkan adalah khamar, dan khamar adalah haram. Selanjutnya Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa apa yang memabukkan karena diminum banyak, maka diminum sedikit adalah diharamkan. Selain itu dilarang memakan binatang buas yang bertaring 29 Al-Quran Surat Al-Maidah Ayat Departemen Agama RI, Panduan Sertifikasi Halal (Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2008), hlm. 2.

7 22 seperti anjing, kucing, harimau, dan sebagainya. Hadis riwayat Abu Tsa`labah ra., ia berkata: Nabi saw. melarang memakan binatang buas yang bertaring. Haram juga memakan keledai: Bahwa Rasulullah saw. melarang makan daging keledai piaraan. Kelima hewan ini haram dimakan, berdasarkan hadits Abu Hurairah - radhiallahu anhu-, beliau berkata Rasulullah SAW melarang membunuh shurad, kodok, semut, dan hud-hud. (HR. Ibnu Majah dengan sanad yang shohih). Nabi pernah bersabda Lima jenis hewan yang harus dibunuh, baik di tanah haram maupun di tanah biasa, yaitu : ular, kalajengking, tikus, anjing buas dan burung rajawali (H.R. Abu Daud) dalam riwayat lain disebutkan juga burung gagak. 31 Makanan halal secara dzatiyah (subtansi barangnya), menurut Thobieb dibagi dalam dua kategori, yaitu jamad (benda mati) dan hayawan (binatang). Yang termasuk makanan dan minuman yang halal adalah: 32 a. Bukan terdiri dari atau mengandung bagian atau benda dari binatang yang dilarang oleh ajaran Islam untuk memakannya atau yang tidak disembelih menurut ajaran Islam b. Tidak mengandung sesuatu yang digolongkan sebagai najis menurut ajaran Islam. c. Dalam proses, menyimpan dan menghidangkan tidak bersentuhan atau berdekatan dengan makanan yang tidak memenuhi persyaratan 31 Husein Bahriesj, Himpunan Fatwa (Al-Ikhlas: Surabaya, 1987), hlm Thobieb Al-asyhar, Bahaya Makanan Haram bagi Kesehatan Jasmani Dan Rohani (Jakarta, Al Mawardi Prima, 2003), hlm.125.

8 23 B. Jaminan Produk Halal Setiap produsen harus memenuhi kebutuhan dan hak konsumen, termasuk konsumen Muslim. Memproduksi produk halal adalah bagian dari tanggungjawab perusahaan kepada konsumen muslim. Di Indonesia, untuk memberikan keyakinan kepada konsumen bahwa produk yang dikonsumsi adalah halal, maka perusahaan perlu memiliki sertifikat halal. Oleh karena itu untuk melindungi konsumen muslim tersebut, dibentuklah suatu undang-undang untuk sebagai dasar legalitas atas produk halal yaitu Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Secara mendasar Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal lahir dikarenakan adanya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan, Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label dsn Iklan Pangan, Inpres Tahun 1991 Tentang Peningkatan Pembinaan dan Pengawasan Produksi dan Peredaran Makanan Olahan, Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Agama RI Nomor: 427/Menkes/SKB/VIII/1985. Nomor 68 Tahun 1985 Tentang Pencantuman Tulisan Halal Pada Lebel Makanan, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 82/MENKES/SK/I/1996 Tentang Pencantuman tulisan Halal pada Label Makanan, yang diubah dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor :924/MENKES/SK/VIII/1996 Tentang Perubahan atas Kepmenkes RI No. 82/Menkes/SK/1996 Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Kesehatan No.

9 24 472/MENKES/SKB/VIII/1985 dan No. 68/1985 tentang pengaturan tulisan halal pada label makanan. Dalam pasal 4 ayat 1 SKB tersebut, soal halalharam produk ditangani Tim Penilaian Pendaftaran Makanan pada Depkes RI, dalam hal ini Direktorat Pengawasan Obat dan Makanan. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal antara lain mengatur mengenai: 1. Untuk menjamin ketersediaan Produk Halal, ditetapkan bahan produk yang dinyatakan halal, baik bahan yang berasal dari bahan baku hewan, tumbuhan, mikroba, maupun bahan yang dihasilkan melalui proses kimiawai, proses biologi, atau proses rekayasa genetik. Di samping itu, ditentukan pula PPH yang merupakan rangkaian kegiatan untuk menjamin kehalalan Produk yang mencakup penyediaan bahan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian Produk. 2. Undang-Undang ini mengatur hak dan kewajiban Pelaku Usaha dengan memberikan pengecualian terhadap Pelaku Usaha yang memproduksi Produk dari Bahan yang berasal dari Bahan yang diharamkan dengan kewajiban mencantumkan secara tegas keterangan tidak halal pada kemasan Produk atau pada bagian tertentu dari Produk yang mudah dilihat, dibaca, tidak mudah terhapus, dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Produk. 3. Dalam rangka memberikan pelayanan publik, Pemerintah bertanggung jawab dalam menyelenggarakan JPH yang pelaksanaannya dilakukan oleh BPJPH.

10 25 Dalam menjalankan wewenangnya, BPJH bekerja sama dengan kementerian dan/atau lembaga terkait, MUI, dan LPH. 33 Jaminan Produk Halal yang selanjutnya disingkat JPH memiliki arti suatu kepastian hukum terhadap kehalalan suatu produk yang dibuktikan dengan sertifikat halal. 34 Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat dipahami bahwa jaminan produk halal merupakan bagian yang tidak dipisahkan dari serangkaian proses untuk memperoleh sertifikat halal. Serangkaian proses untuk memperoleh sertifikat halal tersebut diawali dengan adanya penyelenggara jaminan produk halal yang berperan dalam proses tersebut dan terdapatnya bahan dan proses produk halal dalam hal memproduksi produk tersebut sehingga pada akhirnya memperoleh sertifikat halal. Pengertian jaminan produk halal tidak jauh berbeda dengan pengertian sistem jaminan halal yang memiliki pengertian suatu sistem manajemen yang disusun, diterapkan dan dipelihara oleh perusahaan pemegang sertifikat halal untuk menjaga kesinambungan proses produksi halal sesuai dengan ketentuan LPPOM MUI. 35 Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa jaminan produk halal merupakan suatu bentuk kepastian hukum terhadap kehalalan produk yang dibuktikan dengan sertifikat halal yang mana sertifikat halal tersebut dikeluarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal melalui fatwa tertulis MUI. Jaminan produk halal dengan sistem jaminan poduk halal hanya memiliki sedikit 33 Baca selanjutnya dalam penjelasan Undang-Udnang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal 34 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 1 angka Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-0batan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia, Panduan Umum Sistem Jaminan Halal LPPOM-MUI (Jakarta: LPPOM-MUI, 2008), hlm. 7.

11 26 perbedaan dimana lembaga yang mengeluarkan sertifikat halal. Untuk lebih lanjut terkait dengan pihak yang mengeluarkan sertifikat halal dalam jaminan produk halal tersebut, dapat dilihat pada pembahasan berikutnya mengenai prosedur memperoleh sertifikat halal. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal memang tidak mengatur secara terperinci terkait dengan kewajiban pelaku usaha untuk menjaga kehalalan produknya karena pengaturan tersebut diatur di dalam peraturan pemerintah, namun apabila dibandingkan dengan sistem jaminan halal maka yang dapat dijelaskan disini bahwa sistem jaminan adalah suatu sistem yang dipakai oleh perusahaan produsen makanan dan minuman halal untuk memelihara dan menjamin kehalalan produk mereka. Perusahaan yang akan meminta sertifikat halal dan yang sudah mendapatkan sertfikat halal harus menyusun, mengembangkan dan menerapkan Sistem Jaminan Halal (SJH) untuk melengkapi sertifikat halal yang diminta atau dimiliki. 36 Sistem jaminan halal adalah suatu aturan yang dibuat oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai petunjuk untuk menjamin proses produksi dan produk yang dihasilkan adalah halal. Dengan kata lain sistem jaminan halal adalah aturan tersendiri yang dibuat oleh MUI sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat yang bertujuan untuk memberikan bimbingan dan tuntunan kepada kepada umat Islam. Sistem jaminan halal adalah sebuah ketentuan yang harus dalam bentuk tertulis dan didukung pelaksanaannya oleh kebiijakan perusahaaan. Sistem ini 36 Tim Pengkajian Hukum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, Peran Serta Masyarakat dalam Pemberian informasi Produk Halal (Jakarta: Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2011), hlm. 84.

12 27 dibangun, diatur dan dievaluasi oleh Tim Manajemen Halal yang dibuat oleh Pimpinan Perusahaan. Sistem ini adalah salah satu bentuk partisipasi perusahaan dalam bertanggung jawab terhadap kehalalan produk mereka. Tim terdiri dari semua bagian yang terlibat dalam aktivitas yang kritis bagi kehalalan produk Perusahaan juga harus memiliki internal halal auditor, yaitu staf perusahaan yang bertanggung jawab langsung memelihara kehalalan produk mereka yang sudah bersertifikat halal. Salah satu persyaratan seorang auditor internal adalah beragama Islam (di Indonesia) dan memiliki kewenangan untuk menghentikan proses produksi apabila ada yang menyimpang dari persyaratan halal. 37 Sistem jaminan halal memiliki beberapa komponen, yaitu: Kebijakan halal Kebijakan halal merupakan pernyataan tertulis tentang komitmen perusahaan untuk memproduksi produk halal secara konsisten, mencakup konsistensi dalam penggunaan dan pengadaan bahan baku, bahan tambahan dan bahan penolong serta konsistensi dalam proses produksi halal 2. Panduan halal Panduan halal adalah pedoman perusahaan dalam melaksanakan kegiatan untuk menjamin produksi halal 3. Organisasi manajemen halal Manajemen halal merupakan organisasi internal perusahaan yang mengelolal seluruh fungsi dan aktivitas manajemen dalam menghasilkan produk halal 4. Standard operating procedures (SOP) 37 Ibid, hlm Ibid, hlm

13 28 Standard operating proscedures (SOP) adalah suatu perangkat instruksi yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu. SOP dibuat agar perusahaan mempunyai prosedur baku untuk mencapai tujuan penerapan SJH yang mengacu kepada kebijakan halal perusahaan 5. Acuan teknis Pelaksanaan SJH dilakukan oleh bidang-bidang yang terkait dalam organisasi manajemen halal 6. Sistem administrasi Perusahaan harus mendisain suatu sistem administrasi terintegrasi yang dapat ditelusuri dari pembelian bahan sampai dengan distribusi produk 7. Sistem dokumentasi Pelaksanaan SJH di perusahaan harus didukung oleh dokumentasi yang baik dan mudah diakses oleh pihak yang terlibat dalam proses produksi halal termasuk LPPOM MUI 8. Sosialisasi SJH yang dibuat dan dimplementasikan oleh perusahaan harus disosialisasikan ke seluruh pemangku kepentingan perusahaan termasuk kepada pihak ketiga 9. Pelatihan Perusahaan perlu melakukan pelatihan bagi seluruh jajaran pelaksana SJH. Untuk itu perusahaan harus mengidentifikasi kebutuhan pelatihan dalam peridode waktu tertentu 10. Komunikasi eksternal dan internal

14 29 Perusahaan dalam melaksanakan SJH perlu melakukan komunikasi dengan berbagai pihak yang terkait baik secara intenal maupun eksternal 11. Audit internal Pemantauan dan evaluasi SJH pelaksanaannya diwujudkan dalam bentuk audit internal. 12. Tindakan perbaikan Tindakan perbaikan atas pelaksanaan SJH dilakukan jika pada saat dilakukan audit halal internal ditemukan ketidaksesuaian pelaksanaannya. 13. Kaji ulang manajemen Kaji ulang manajemen atas SJH secara menyeluruh harus dilakukan dalam kurun waktu tertentu misalnya minimal 1 tahun sekali. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal yang diakui belum sepenuhnya mengatur mengenai produk halal seperti halnya yang diatur seperti sistem jaminan produk halal tersebut. Penyelenggaraan JPH dilakukan dengan berasaskan: pelindungan; 2. keadilan; 3 kepastian hukum; 4. akuntabilitas dan transparansi; 5. efektivitas dan efisiensi; dan 6. profesionalitas 39 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 2.

15 30 Penyelenggaraan JPH memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan produk halal bagi masyarakat dalam mengonsumsi dan menggunakan produk; dan meningkatkan nilai tambah bagi Pelaku Usaha untuk memproduksi dan menjual produk halal. 40 Pemerintah bertanggung jawab dalam menyelenggarakan JPH. 41 Saat ini dapat dikatakan jaminan produk halal tidak terlalu luas apabila dibandingkan dengan sistem jaminan halal dalam hal peraturannya. Hal ini sangat berasalan karena jaminan produk halal merupakan peraturan baru bahkan saat ini pula masih terdapat badan-badan yang belum dibentuk seperti BPJPH. Salah satu peraturan yang tidak kalah penting yang belum dibentuk terkait dengan Undang- Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal adalah peraturan pemerintah, oleh karenanya kekurangan dari jaminan produk halal adalah dalam hal pengaturan apabila dibandingkan dengan sistem jaminan halal. C. Para Pihak dalam Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal 1. Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal yang selanjutnya disingkat BPJPH adalah badan yang dibentuk oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan Jaminan Porduk Halal disingkat JPH. 42 Dalam penyelenggaraan JPH, BPJPH berwenang: 43 a. Merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH. b. Menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria JPH. 40 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 1 angka Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 6.

16 31 c. Menerbitkan dan mencabut Sertifikat Halal dan Label Halal pada Produk. d. Melakukan registrasi Sertifikat Halal pada Produk luar negeri. e. Melakukan sosialisasi, edukasi, dan publikasi Produk Halal. f. Melakukan akreditasi terhadap LPH. g. Melakukan registrasi Auditor Halal. h. Melakukan pengawasan terhadap JPH. i. Melakukan pembinaan Auditor Halal. j. Melakukan kerja sama dengan lembaga dalam dan luar negeri di bidang penyelenggaraan JPH. Wewenang sebagaimana dimaksud dalam pasal di atas, BPJPH bekerja sama dengan: 44 a. Kementerian dan/atau lembaga terkait. b. LPH. c. MUI. Kerja sama BPJPH dengan kementerian dan/atau lembaga terkait dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi kementerian dan/atau lembaga terkait. 45 Di dalam penjelasan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk halal disebutkan bahwa: a. Bentuk kerja sama BPJPH dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian misalnya dalam hal pengaturan serta pembinaan dan pengawasan industri terkait dengan bahan baku dan bahan tambahan pangan yang digunakan untuk menghasilkan Produk Halal. 44 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 8.

17 32 b. Bentuk kerja sama BPJPH dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan misalnya dalam pembinaan kepada Pelaku Usaha dan masyarakat, pengawasan Produk Halal yang beredar di pasar, serta perluasan akses pasar. c. Bentuk kerja sama BPJPH dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan misalnya dalam hal penetapan cara produksi serta cara distribusi obat, termasuk vaksin, obat tradisional, kosmetik, alat kesehatan, perbekalan kesehatan rumah tangga, makanan, dan minuman. d. Bentuk kerja sama BPJPH dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian misalnya dalam hal penetapan persyaratan rumah potong hewan/unggas dan unit potong hewan/unggas, pedoman pemotongan hewan/unggas dan penanganan daging hewan serta hasil ikutannya, pedoman sertifikasi kontrol veteriner pada unit usaha pangan asal hewan, dan sistem jaminan mutu dan keamanan pangan hasil pertanian. e. Bentuk kerja sama BPJPH dengan lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang standardisasi dan akreditasi misalnya dalam hal persyaratan untuk pemeriksaan, pengujian, auditor, lembaga pemeriksa, dan lembaga sertifikasi dalam sistem JPH sesuai dengan standar yang ditetapkan. f. Bentuk kerja sama BPJPH dengan lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koperasi, usaha mikro,

18 33 kecil, dan menengah misalnya dalam hal menyiapkan Pelaku Usaha mikro dan kecil dalam sosialisasi dan pendampingan sertifikasi kehalalan Produk. g. Bentuk kerja sama BPJPH dengan lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan misalnya dalam hal pengawasan produk pangan, obat, dan kosmetik dalam dan luar negeri yang diregistrasi dan disertifikasi halal. Kerja sama BPJPH dengan LPH dilakukan untuk pemeriksaan dan/atau pengujian Produk. 46 Kerja sama BPJPH dengan MUI dilakukan dalam bentuk: 47 a. sertifikasi Auditor Halal; b. penetapan kehalalan Produk; dan c. akreditasi LPH Pelaku usaha dalam mengajukan sertifikasi halal, BPJPH merupakan pihak yang diminta atas permohonan sertifikasi halal tersebut. 48 Selain itu pula, BPJPH menetapkan Lembaga Pemeriksaan Halal atau yang disingkat dengan LPH untuk melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk. 49 Fungsi BPJPH yang lain adalah menetapkan bentuk Label Halal yang berlaku nasional. 50 Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal melakukan pengawasan terhadap JPH. 51 BPJPH dan kementerian dan/atau lembaga terkait yang memiliki kewenangan pengawasan JPH dapat melakukan pengawasan secara sendiri-sendiri 46 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 49.

19 34 atau bersama-sama. 52 BPJPH dapat memberikan penghargaan kepada masyarakat yang berperan serta dalam penyelenggaraan JPH. 53 BPJPH saat ini belum dibentuk dan sesuai Pasal 65 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal menyebutkan bahwa BPJPH dibentuk paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal diudangkan. Maka dengan itu, MUI saat ini masih memiliki wewenang untuk mengeluarkan sertifikat halal sampai BPJPH dibentuk Majelis ulama Indonesia Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal menyebutkan bahwa majelis ulama indonesia yang selanjutnya disingkat MUI adalah wadah musyawarah para ulama, zuama, dan cendekiawan muslim. MUI adalah Lembaga Swadaya Masyarakat yang mewadahi ulama, zu ama, dan cendikiawan Islam di Indonesia untuk membimbing, membina dan mengayomi kaum muslimin di seluruh Indonesia. Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 Hijriah, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, Indonesia. 55 MUI berdiri sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air, antara lain meliputi dua puluh enam orang ulama yang mewakili 26 Provinsi di Indonesia pada masa itu, 10 orang ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam 2015). 52 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal Pasal 59 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal 55 Anonim, Sekilas MUI, (diakses pada tanggal 20 April

20 35 tingkat pusat, yaitu, NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al Washliyah, Math laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan Al Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut dan POLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan. Dari musyawarah tersebut, dihasilkan adalah sebuah kesepakatan untuk membentuk wadah tempat bermusyawarahnya para ulama. zuama dan cendekiawan muslim, yang tertuang dalam sebuah Piagam Berdirinya MUI, yang ditandatangani oleh seluruh peserta musyawarah yang kemudian disebut Musyawarah Nasional Ulama I. 56 Momentum berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia tengah berada pada fase kebangkitan kembali, setelah 30 tahun merdeka, di mana energi bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap masalah kesejahteraan rohani umat. Dalam perjalanannya, selama dua puluh lima tahun, Majelis Ulama Indonesia sebagai wadah musyawarah para ulama, zu ama dan cendekiawan muslim berusaha untuk: 57 a. memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam Indonesia dalam mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridhoi Allah Subhanahu wa Ta ala; b. memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhwah Islamiyah dan kerukunan antar-umat beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa serta; 56 Ibid. 57 Ibid.

21 36 c. menjadi penghubung antara ulama dan umaro (pemerintah) dan penterjemah timbal balik antara umat dan pemerintah guna mensukseskan pembangunan nasional; d. meningkatkan hubungan serta kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan cendekiawan muslimin dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada masyarakat khususnya umat Islam dengan mengadakan konsultasi dan informasi secara timbal balik. Lima Peran MUI Khittah pengabdian Majelis Ulama Indonesia telah dirumuskan lima fungsi dan peran utama MUI yaitu: 58 a. Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya). b. Sebagai pemberi fatwa (mufti). c. Sebagai pembimbing dan pelayan umat (Ri ayat wa khadim al ummah). d. Sebagai gerakan Islah wa al Tajdid. e. Sebagai penegak amar ma ruf nahi munkar. 3. Lembaga pemeriksa halal Lembaga Pemeriksa Halal yang selanjutnya disingkat LPH adalah lembaga yang melakukan kegiatan pemeriksaan dan/atau pengujian terhadap kehalalan Produk. 59 Fungsi dari LPH ini adalah bekerja sama dengan BPJPH untuk melakukan pemeriksaan dan atau pengujian produk. 60 LPH dapat dibentuk oleh pemerintah ataupun masyarakat untuk membantu BPJPH untuk melakukan 58 Ibid. 59 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 1 angka Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 9.

22 37 pemeriksaan dan atau pengujian kehalalan produk. 61 Untuk mendirikan LPH, harus dipenuhi persyaratan: 62 a. memiliki kantor sendiri dan perlengkapannya; b. memiliki akreditasi dari BPJPH; c. memiliki Auditor Halal paling sedikit 3 (tiga) orang; dan d. memiliki laboratorium atau kesepakatan kerja sama dengan lembaga lain yang memiliki laboratorium. Lembaga Pemeriksa Halal yang didirikan oleh masyarakat, LPH harus diajukan oleh lembaga keagamaan Islam berbadan hukum. 63 Pada saat ini, LPH yang dikenal oleh masyarakat adalah Lembaga Pengkajian Pangan dan Obatobatan dan Makanan-Majelis Ulama Indonesia atau disingkat dengan LPPOM- MUI. Pembentukan LPPOM MUI didasarkan atas mandat dari Pemerintah/negara agar Majelis Ulama Indonesia (MUI) berperan aktif dalam meredakan kasus lemak babi di Indonesia pada tahun LPPOM MUI didirikan pada tanggal 6 Januari 1989 untuk melakukan pemeriksaan dan sertifikasi halal. Untuk memperkuat posisi LPPOM MUI menjalankan fungsi sertifikasi halal, maka pada tahun 1996 ditandatangani Nota Kesepakatan Kerjasama antara Departemen Agama, Departemen Kesehatan dan MUI. Nota kesepakatan tersebut kemudian disusul dengan penerbitan Keputusan Menteri Agama (KMA) 518 Tahun 2001 dan KMA 519 Tahun 2001, yang menguatkan MUI sebagai lembaga sertifikasi halal serta melakukan pemeriksaan/audit, penetapan fatwa, dan menerbitkan dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 12 ayat 1 62 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 13 ayat Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 13 ayat 2.

23 38 sertifikat halal 64.Di dalam proses dan pelaksanaan sertifikasi halal, LPPOM MUI melakukan kerjasama dengan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (Badan POM), Kementerian Agama, Kementerian Pertanian, Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif serta sejumlah perguruan Perguruan Tinggi di Indonesia antara lain Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Muhammadiyah Dr. Hamka, Universitas Djuanda, UIN, Univeristas Wahid Hasyim Semarang, serta Universitas Muslimin Indonesia Makasar. 65 Sedangkan kerjsama dengan lembaga telah terjalin dengan Badan Standarisasi Nasional (BSN), Kadin Indonesia Komite Timur Tengah, GS1 Indonesia, dan Research in Motion (Blackberry). Khusus dengan Badan POM, sertifikat halal MUI merupakan persyaratan dalam pencantuman label halal pada kemasan untuk produk yang beredar di Indonesia. 66 Visi dari LPPOM-MUI adalah menjadi lembaga sertifikasi halal terpercaya di Indonesia dan dunia untuk memberikan ketenteraman bagi umat Islam serta menjadi pusat halal dunia yang memberikan informasi, solusi dan standar halal yang diakui secara nasional dan internasional. 67 Misi dari LPPOM- MUI adalah: 68 a. Menetapkan dan mengembangkan standar halal dan standar audit halal. 64 Anonim Tentang LPPOM-MUI, pada tanggal 20 April 2015). 65 Ibid. 66 Ibid. 67 Anonim Visi dan Misi, / mui14 / index.php /main / go_to_section/3/32/page/1 (diakses pada tanggal 20 April 2015). 68 Ibid.

24 39 b. Melakukan sertifikasi produk pangan, obat dan kosmetika yang beredar dan dikonsumsi masyarakat. c. Melakukan edukasi halal dan menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk senantiasa mengkonsumsi produk halal. d. Menyediakan informasi tentang kehalalan produk dari berbagai aspek secara menyeluruh. 4. Auditor halal Auditor Halal adalah orang yang memiliki kemampuan melakukan pemeriksaan kehalalan Produk. 69 Auditor halal bekerja di dalam lembaga pemeriksa halal. Auditor Halal bertugas: 70 a. memeriksa dan mengkaji Bahan yang digunakan; b. memeriksa dan mengkaji proses pengolahan Produk; c. memeriksa dan mengkaji sistem penyembelihan; d. meneliti lokasi Produk; e. meneliti peralatan, ruang produksi, dan penyimpanan; f. memeriksa pendistribusian dan penyajian Produk; g. memeriksa sistem jaminan halal Pelaku Usaha; dan h. melaporkan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kepada LPH. Berdasarkan tugas dan fungsinya, Auditor Halal diangkat oleh LPH harus memenuhi persyaratan: 71 a. warga negara Indonesia; Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 1 angka 70 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 14.

25 40 b. beragama Islam; c. berpendidikan paling rendah sarjana strata 1 (satu) di bidang pangan, kimia, biokimia, teknik industri, biologi, atau farmasi; d. memahami dan memiliki wawasan luas mengenai kehalalan produk menurut syariat Islam; e. mendahulukan kepentingan umat di atas kepentingan pribadi dan/atau golongan; dan f. memperoleh sertifikat dari MUI 5. Pelaku usaha Pelaku Usaha adalah orang perseorangan atau badan usaha berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang menyelenggarakan kegiatan usaha di wilayah Indonesia. 72 Di dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal memang tidak secara detail dan lengkap mengenai pengertian pelaku usaha namun akan dijelaskan pada mengenai pelaku usaha dan jenisnya dalam bab selanjutnya. 6. Penyelia halal Penyelia Halal adalah orang yang bertanggung jawab terhadap PPH. 73 Penyelia Halal bertugas: 74 a. mengawasi PPH di perusahaan; b. menentukan tindakan perbaikan dan pencegahan; c. mengoordinasikan PPH; dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 1 angka 73 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 1 angka 74 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 28 ayat 1.

26 41 d. mendampingi Auditor Halal LPH pada saat pemeriksaan Terdapat beberapa persyaratan Penyelia Halal dalam melaksakan tanggung jawab PPH,yaitu: 75 a. beragama Islam; dan b. memiliki wawasan luas dan memahami syariat tentang kehalalan; c. penyelia Halal ditetapkan oleh pimpinan perusahaan dan dilaporkan kepada BPJPH. D. Bahan dan Proses Produk Halal Beberapa hal terpenting dalam suatu produk halal yang tidak dapat dilupakan adalah bahan dan bagaiaman proses pengolahannya. Produk halal tidak dapat dipisahkan dari bahan-bahannya yang halal. Namun bahan halal saja tidak cukup, harus pula diikuti dengan prosesnya. Proses pembuatan produk halal haruslah benar-benar jauh dari hal-hal yang berbau haram dalam arti kata proses pengolahannya harus benar-benar bersih dari zat-zat yang dilarang dalam syariah Islam. Bahan adalah unsur yang digunakan untuk membuat atau menghasilkan Produk. 76 Bahan yang digunakan dalam proses produk halal terdiri atas bahan baku, bahan olahan, bahan tambahan, dan bahan penolong. 77 Bahan yang dimaksud adalah: hewan; 75 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 28 ayat Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 1 angka Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 17 ayat Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 17 ayat 2.

27 42 2. tumbuhan; 3. mikroba; atau 4. bahan yang dihasilkan melalui proses kimiawi, proses biologi, atau proses rekayasa genetik. Bahan yang berasal dari hewan pada dasarnya halal, kecuali yang diharamkan menurut syariat. Bahan yang dari hewan yang diharamkan meliputi: bangkai; 2. darah; 3. babi; dan/atau 4. hewan yang disembelih tidak sesuai dengan syariat. Bahan yang berasal dari hewan yang diharamkan ditetapkan oleh Menteri berdasarkan fatwa MUI. 80 Hewan yang digunakan sebagai bahan produk wajib disembelih sesuai dengan syariat dan memenuhi kaidah kesejahteraan hewan serta kesehatan masyarakat veteriner. 81 Tuntunan penyembelihan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 82 Bahan yang berasal dari tumbuhan pada dasarnya halal, kecuali yang memabukkan dan/atau membahayakan kesehatan bagi orang yang mengonsumsinya. 83 Bahan yang berasal dari mikroba dan bahan yang dihasilkan melalui proses kimiawi, proses biologi, atau proses rekayasa genetik diharamkan jika proses pertumbuhan dan/atau pembuatannya tercampur, terkandung, dan/atau 79 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 18 ayat Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 18 ayat Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 19 ayat Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 19 ayat Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 20 ayat 1.

28 43 terkontaminasi dengan bahan yang diharamkan. 84 Bahan yang diharamkan ditetapkan oleh Menteri berdasarkan fatwa MUI. 85 Proses produk halal yang selanjutnya disingkat PPH adalah rangkaian kegiatan untuk menjamin kehalalan produk mencakup penyediaan bahan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian produk. 86 Proses produk halal haruslah memiliki lokasi, tempat, dan alat PPH wajib dipisahkan dengan lokasi, tempat, dan alat penyembelihan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian produk tidak halal. 87 Lokasi, tempat, dan alat PPH wajib: 88 1.Dijaga kebersihan dan higienitasnya. 2.Bebas dari najis. 3.Bebas dari Bahan tidak halal. Pelaku usaha yang tidak memisahkan lokasi, tempat, dan alat PPH dikenai sanksi administratif berupa: 89 1.Peringatan tertulis. 2.Denda administratif. Terkait akan hal bahan dan proses produk halal, MUI memuat beberapa ketentuan khusus yang harus dilakukan perusahaan diantaranya adalah: 84 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 20 ayat Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 20 ayat Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 1 angka Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 21 ayat Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 21 ayat Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 22 ayat 1.

29 44 1. Perusahaan harus jujur menjelaskan semua bahan yang digunakan dan proses produksi yang dilakukan di perusahaan serta melakukan operasional produksi halal sehari-hari 2. Semua bahan yang digunakan dalam proses produksi halal harus pasti kehalalannya 3. Sistem harus dapat mengidentifikasi setiap bahan secara spesifik merujuk pada pemasok, produsen, dan negara asal. Ini berarti bahwa setiap kode spesifik untuk satu bahan dengan satu status kehalalan. 4. Menyusun sistem pembuatan produk baru berdasarkan bahan yang telah disusun oleh KAHI dan diketahui oleh LPPOM MUI 5. Menyusun sistem perubahan bahan sesuai dengan ketentuanhalal. 6. Melaksanakan pemeriksaan terhadap setiap bahan yang masuk sesuai dengan sertifikat halal, spesifikasi dan produsennya 7. Melakukan komunikasi dengan KAHI terhadap setiap penyimpangan dan ketidakcocokan bahan dengan dokumen 8. Menyusun prosedur dan melaksanakan pembelian yang dapat menjamin konsistensi bahan sesuai dengan daftar bahan yang telah disusun oleh KAHI dan diketahui oleh LPPOM MUI 9. Melakukan komunikasi dengan KAHI dalam pembelian bahan baru dan atau pemilihan pemasok baru. 10. Melakukan evaluasi terhadap pemasok dan menyusun peringkat pemasok berdasarkan kelengkapan dokumen halal

30 Menyusun prosedur administrasi pergudangan yang dapat menjamin kehalalan bahan dan produk yang disimpan serta menghindari terjadinya kontaminasi dari segala sesuatu yang haram dan najis 12..Melaksanakan penyimpanan produk dan bahan sesuai dengan daftar bahan dan produk yang telah disusun oleh KAHI dan diketahui oleh LPPOM MUI. 13. Melakukan komunikasi dengan KAHI dalam sistem keluar masuknya bahan dari dan ke dalam gudang. Selain itu, MUI juga menetapkan keteentuan secara khusus kepada perusahaan dengan produk halal, yaitu: 1. Audit produk adalah audit yang dilakukan terhadap produk dengan melalui pemeriksaan proses produksi, fasilitas dan bahan-bahan yang digunakan dalam produksi produk tersebut 2. Menyusun prosedur produksi yang dapat menjamin kehalalan produk 3. Melakukan pemantauan produksi yang bersih dan bebas dari bahan haram dan najis. 4. Menjalankan kegiatan produksi sesuai dengan matrik formulasi bahan yang telah disusun oleh KAHI dan diketahui oleh LPPOM MUI. 5. Melakukan komunikasi dengan KAHI dalam hal proses produksi halal. 6. Menerapkan suatu Standard Operating Procedures (SOP) adalah suatu perangkat instruksi yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu. SOP dibuat agar perusahaan mempunyai prosedur baku untuk mencapai tujuan penerapan SJH yang mengacu kepada kebijakan halal perusahaan. SOP dibuat untuk seluruh kegiatan kunci pada proses produksi

31 46 halal yaitu bidang R&D, Purchasing, QA/QC, PPIC, Produksi dan Gudang. Adanya perbedaan teknologi proses maupun tingkat kompleksitas di tiap perusahaan maka SOP di setiap perusahaan bersifat unik. E. Prosedur Memperoleh Sertifikat Halal Pengaturan penggunaan produk halal di Indonesia memiliki dua hal yang saling terkait yaitu sertifikasi halal dan labelisasi. 90 Sertifikat halal adalah suatu fatwa tertulis dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan syari'at Islam. Sertifikat halal ini merupakan syarat untuk mendapatkan ijin pencantuman label halal pada kemasan produk dari instansi pemerintah yang berwenang. Pengadaan sertifikasi halal pada produk pangan, obat-obat, kosmetika dan produk lainnya sebenarnya bertujuan untuk memberikan kepastian status kehalalan suatu produk, sehingga dapat menentramkan batin konsumen muslim. Namun ketidaktahuan seringkali membuat minimnya perusahaan memiliki kesadaran untuk mendaftarkan diri guna memperoleh sertifikat halal. 91 Adapun labelisasi halal adalah perizinan pemasangan kata HALAL pada kemasan prduk dari suatu perusahaan oleh Badan POM. Izin pencantuman label halal pada kemasan produk makanan yang dikeluarkan oleh Badan POM didasarkan rekomendasi MUI dalam bentuk sertifikasi halal MI. Sertifikat halal MUI dikeluarkan oleh MUI berdasarkan hasi pemeriksaan LPPOM-MUI Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), hlm Anonim, Tata Cara Sertifikasi Halal, (jurnal) go.id / file/dokumen/tatacarasertifikasihalal.pdf (diakses pada tanggal 18 april 2015), hlm Aisjah Girindra, Op.Cit, hlm. 69.

32 47 Namun sejak di terbitkannya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal akan ada perbedaan atas lembaga yang mengeluarkan sertifikat halal dan label halal. Berdasarkan Pasal Pasal 6 Undang- Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal disebutkan bahwa Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal merupakan pihak yang berwenang untuk mengeluarkan sertifikat halal dan label halal. Akan tetapi peran MUI dalam hal untuk merekomendasikan atas sertifikat dan label halal tersebut masih ada dan tetap berperan. Prosedur memperoleh sertifikat halal tercantum pada Pasal 29 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, disebutkan bahwa permohonan sertifikat halal diajukan oleh pelaku usaha secara tertulis kepada BPJPH. Permohonan Sertifikat Halal harus dilengkapi dengan dokumen: 1. data Pelaku Usaha; 2. nama dan jenis Produk; 3. daftar Produk dan Bahan yang digunaka; dan 4. proses pengolahan Produk. Pada ayat 3 juga disebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan permohonan sertifikat halal diatur dalam Peraturan Menteri. Akan tetapi pada saat ini, Peraturan Menteri terkait dengan permohonan sertifikat halal belum dikeluarkan. Di dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal pada poin 4 dan 5 disebutkan, bahwa:

33 48 1. Tata cara memperoleh Sertifikat Halal diawali dengan pengajuan permohonan Sertifikat Halal oleh Pelaku Usaha kepada BPJPH. Selanjutnya, BPJPH melakukan pemeriksaan kelengkapan dokumen. Pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk dilakukan oleh LPH. LPH tersebut harus memperoleh akreditasi dari BPJH yang bekerjasama dengan MUI. Penetapan kehalalan Produk dilakukan oleh MUI melalui sidang fatwa halal MUI dalam bentuk keputusan Penetapan Halal Produk yang ditandatangani oleh MUI. BPJPH menerbitkan Sertifikat Halal berdasarkan keputusan Penetapan Halal Produk dari MUI tersebut. 2. Biaya sertifikasi halal dibebankan kepada Pelaku Usaha yang mengajukan permohonan Sertifikat Halal. Dalam rangka memperlancar pelaksanaan penyelenggaraan JPH, Undang-Undang ini memberikan peran bagi pihak lain seperti Pemerintah melalui anggaran pendapatan dan belanja negara, pemerintah daerah melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah, perusahaan, lembaga sosial, lembaga keagamaan, asosiasi, dan komunitas untuk memfasilitasi biaya sertifikasi halal bagi pelaku usaha mikro dan kecil. Selanjutnya, dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal juga disebutkan bahwa BPJPH menetapkan LPH untuk melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk. Penetapan LPH sebagaimana dimaksud dilakukan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak dokumen permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) dinyatakan lengkap.

34 49 Pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 di atas dilakukan oleh Auditor Halal. Pemeriksaan terhadap Produk dilakukan di lokasi usaha pada saat proses produksi. Dalam hal pemeriksaan produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat bahan yang diragukan kehalalannya, dapat dilakukan pengujian di laboratorium. Dalam pelaksanaan pemeriksaan di lokasi usaha, pelaku usaha wajib memberikan informasi kepada Auditor Halal. 93 LPH menyerahkan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk kepada BPJPH. BPJPH menyampaikan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk kepada MUI untuk memperoleh penetapan kehalalan produk. 94 Setelah dilakukan pengujian dan pemeriksaan, maka selanjutnya adalah penetapan kehalalan produk. MUI dalam hal ini masih sebagai lembaga yang memiliki wewenang dalam melakukan penetapan kehalalan produk yang dimaksud, hal ini juga sesuai dengan Pasal 33 ayat 1 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal yang menyebutkan bahwa penetapan kehalalan produk dilakukan oleh MUI. Penetapan kehalalan produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam Sidang Fatwa Halal. Sidang Fatwa Halal MUI sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengikutsertakan pakar, unsur kementerian/lembaga, dan/atau instansi terkait. Sidang Fatwa Halal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memutuskan kehalalan Produk paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak MUI menerima hasil pemeriksaan dan/atau pengujian produk dari BPJPH. Keputusan 93 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 32.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa Undang-Undang Dasar Negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Undang-Undang Dasar Negara

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.295, 2014 PERINDUSTRIAN. Produk Halal. Jaminan. Bahan. Proses. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5604) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI PERINDUSTRIAN. Produk Halal. Jaminan. Bahan. Proses. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 295) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR TAHUN... TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR TAHUN... TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR TAHUN... TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

2. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal

2. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR TAHUN... TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang berhak mendapat perlindungan

Lebih terperinci

MAKANAN DAN MINUMAN DALAM ISLAM OLEH : SAEPUL ANWAR

MAKANAN DAN MINUMAN DALAM ISLAM OLEH : SAEPUL ANWAR MAKANAN DAN MINUMAN DALAM ISLAM OLEH : SAEPUL ANWAR Konsep dasar halal dan haram dalam islam Halal dan Haram adalah Hak absolut Allah dan RasulNya Kejelasan halal dan haram Dalam islam sesuatu itu terbagi

Lebih terperinci

BAB III SEJARAH SINGKAT MAJELIS ULAMA INDOSESIA. pada masa itu, 10 orang ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam

BAB III SEJARAH SINGKAT MAJELIS ULAMA INDOSESIA. pada masa itu, 10 orang ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam BAB III SEJARAH SINGKAT MAJELIS ULAMA INDOSESIA A. Sekilas Tentang Berdirinya MUI 1. Sejarah Berdirinya MUI MUI berdiri sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu ama yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. energi. Makanan dan minuman yang dikonsumsi manusia haruslah makanan. dalam Al-Qur an surat Al-Baqarah ayat 172:

BAB I PENDAHULUAN. energi. Makanan dan minuman yang dikonsumsi manusia haruslah makanan. dalam Al-Qur an surat Al-Baqarah ayat 172: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sehari-hari, makanan mempunyai peranan yang penting bagi manusia. Peran tersebut antara lain untuk mempertahankan kelangsungan hidup, melindungi

Lebih terperinci

Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) MEA

Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) MEA Konferensi Tingkat Tinggi Association of South East Asia Nations (ASEAN) ke-9 tahun 2003 menyepakati Bali Concord II yang memuat 3 pilar untuk mencapai vision 2020 yaitu ekonomi, sosial, budaya, dan politik

Lebih terperinci

Keputusan Menteri Agama R.I. Nomor 518 Tahun 2001 Tanggal 30 Nevember 2001 TENTANG PEDOMAN DAN TATA CARA PEMERIKSAAN DAN PENETAPAN PANGAN HALAL

Keputusan Menteri Agama R.I. Nomor 518 Tahun 2001 Tanggal 30 Nevember 2001 TENTANG PEDOMAN DAN TATA CARA PEMERIKSAAN DAN PENETAPAN PANGAN HALAL Keputusan Menteri Agama R.I. Nomor 518 Tahun 2001 Tanggal 30 Nevember 2001 TENTANG PEDOMAN DAN TATA CARA PEMERIKSAAN DAN PENETAPAN PANGAN HALAL MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan primer bagi setiap manusia. Sebagai kebutuhan primer, maka

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan primer bagi setiap manusia. Sebagai kebutuhan primer, maka I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan primer bagi setiap manusia. Sebagai kebutuhan primer, maka pangan harus tersedia cukup setiap waktu, aman, bermutu, bergizi, dan beragam jenisnya

Lebih terperinci

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR TAHUN 2016 TENTANG

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR TAHUN 2016 TENTANG GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN JAMINAN PANGAN AMAN DAN HALAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kosmetik Oleh Mahasiswi Jurusan Ekonomi Islam Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Universitas Airlangga, Jurnal EKonomi, 2016, hal. 1.

BAB I PENDAHULUAN. Kosmetik Oleh Mahasiswi Jurusan Ekonomi Islam Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Universitas Airlangga, Jurnal EKonomi, 2016, hal. 1. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wanita tentu ingin selalu tampil cantik di mana pun dan kapan pun. Banyak yang dilakukan untuk mendapatkan tampilan yang diinginkan agar terlihat menawan. Hal yang paling

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan, teknologi dan informasi, maka semakin luas alur keluar dan

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan, teknologi dan informasi, maka semakin luas alur keluar dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di era globalisasi dan perdagangan bebas, dengan dukungan ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi, maka semakin luas alur keluar dan masuknya barang dan jasa melintasi

Lebih terperinci

SISTEM JAMINAN HALAL (S J H)

SISTEM JAMINAN HALAL (S J H) SISTEM JAMINAN HALAL (S J H) 2014 MANUAL SISTEM JAMINAN HALAL [PERUSAHAAN ] Disiapkan oleh, Disahkan oleh, (Ketua Tim Manajemen Halal) (Perwakilan Manajemen) DAFTAR ISI Daftar Isi... 1 Halaman Pengesahan...

Lebih terperinci

SERTIFIKASI HALAL DALAM PRODUK KULINER UMKM

SERTIFIKASI HALAL DALAM PRODUK KULINER UMKM SERTIFIKASI HALAL DALAM PRODUK KULINER UMKM UMKM ( Usaha Mikro Kecil dan Menengah ) merupakan pelaku ekonomi nasional yang mempunyai peran yang sangat penting dalam pembangunan perekonomian. Karena. kegiatan

Lebih terperinci

BAB VII PENUTUP. A.1. Bentuk-bentuk perlindungan konsumen produk halal dan tayib dalam. hukum Islam dan sertifikasi halal MUI diwujudkan melalui:

BAB VII PENUTUP. A.1. Bentuk-bentuk perlindungan konsumen produk halal dan tayib dalam. hukum Islam dan sertifikasi halal MUI diwujudkan melalui: 674 BAB VII PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian pada Bab-Bab sebelumnya maka dapat diambil kesimpulan bahwa: A.1. Bentuk-bentuk perlindungan konsumen produk halal dan tayib dalam hukum Islam dan sertifikasi

Lebih terperinci

III. TINJAUAN PUSTAKA

III. TINJAUAN PUSTAKA III. TINJAUAN PUSTAKA A. PANGAN HALAL Pangan di dalam UU RI No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan didefinisikan sebagai segala sesuatu yang berasal dari sumber daya hayati dan air, baik yang diolah maupun yang

Lebih terperinci

Pancasila sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa

Pancasila sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa 1 Al-Qur an yang menyatakan bahwa halal dan haram merupakan sesuatu yang sangat prinsip dalam Islam karena di dalamnya terkait hubungan antara manusia dengan Allah. Pancasila sila pertama, Ketuhanan Yang

Lebih terperinci

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor: 52 Tahun 2012 Tentang HUKUM HEWAN TERNAK YANG DIBERI PAKAN DARI BARANG NAJIS

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor: 52 Tahun 2012 Tentang HUKUM HEWAN TERNAK YANG DIBERI PAKAN DARI BARANG NAJIS FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor: 52 Tahun 2012 Tentang HUKUM HEWAN TERNAK YANG DIBERI PAKAN DARI BARANG NAJIS (MUI), setelah : Menimbang : 1. bahwa produk pangan ternak ada yang telah dikembangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berarti "diizinkan" atau "boleh ". Istilah ini dalam kosakata sehari-hari lebih sering

BAB I PENDAHULUAN. berarti diizinkan atau boleh . Istilah ini dalam kosakata sehari-hari lebih sering BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Halal,حلال) halāl, halaal) adalah istilah bahasa Arab dalam agama Islam yang berarti "diizinkan" atau "boleh ". Istilah ini dalam kosakata sehari-hari lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kehadiran Agama Islam sebagai raḥmatallil ālamīn sesungguhnya telah

BAB I PENDAHULUAN. Kehadiran Agama Islam sebagai raḥmatallil ālamīn sesungguhnya telah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehadiran Agama Islam sebagai raḥmatallil ālamīn sesungguhnya telah mengatur segala aspek kehidupan manusia, mulai dari hal-hal yang besar hingga bagian terkecil dalam

Lebih terperinci

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor: 02 Tahun 2012 Tentang SARANG BURUNG WALET

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor: 02 Tahun 2012 Tentang SARANG BURUNG WALET FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor: 02 Tahun 2012 Tentang SARANG BURUNG WALET (MUI), setelah : MENIMBANG : a. bahwa di tengah masyarakat muncul budidaya burung walet yang diambil sarangnya serta dimanfaatkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI Hlm. HALAMAN JUDUL...i HALAMAN PERSETUJUAN...ii HALAMAN PERNYATAAN...iii KATA PENGANTAR...iv DAFTAR ISI...viii DAFTAR TABEL...xiv DAFTAR SINGKATAN...xvi DAFTAR FATWA...xvii INTISARI...xix ABSTRACT...xx

Lebih terperinci

2 Mengingat penyelenggaraan kegiatan standardisasi dan penilaian kesesuaian; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, hur

2 Mengingat penyelenggaraan kegiatan standardisasi dan penilaian kesesuaian; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, hur LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.216, 2014 PERDAGANGAN. Standardisasi. Penilaian Kesesuaian Perumusan. Pemberlakuan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5584) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

Waspadai Produk Gunaan dari Babi

Waspadai Produk Gunaan dari Babi Waspadai Produk Gunaan dari Babi 23 Februari 2015 Makalah Islam Waspadai Produk Gunaan dari Babi Siti Aminah (Kasubdit Produk Halal Direktorat Urais dan Binsyar) Babi adalah sejenis hewan ungulata yang

Lebih terperinci

WALIKOTA BATAM PROPINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH KOTA BATAM NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PRODUK HALAL DAN HIGIENIS

WALIKOTA BATAM PROPINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH KOTA BATAM NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PRODUK HALAL DAN HIGIENIS WALIKOTA BATAM PROPINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH KOTA BATAM NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PRODUK HALAL DAN HIGIENIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BATAM, Menimbang

Lebih terperinci

Sertifikasi dan Sistem Jaminan Halal

Sertifikasi dan Sistem Jaminan Halal Sertifikasi dan Sistem Jaminan Halal Apa itu Perbuatan Hukum asal perbuatan adalah terikat dengan hukum syara. (Wajib, Sunnah, Mubah, Makruh, Haram) Hukum Halal/Haram Menjadi dasar dalam proses Sertifikasi

Lebih terperinci

SERTIFIKASI HALAL OLEH LPPOM DAN MUI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA. Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) adalah

SERTIFIKASI HALAL OLEH LPPOM DAN MUI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA. Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) adalah IV. SERTIFIKASI HALAL OLEH LPPOM DAN MUI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) adalah lembaga yang berfungsi membantu Majelis Ulama Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. informasi tentang produk yang akan digunakan, informasi dapat didefenisikan

BAB I PENDAHULUAN. informasi tentang produk yang akan digunakan, informasi dapat didefenisikan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini konsumen semakin kritis dalam mencari dan menggali informasi tentang produk yang akan digunakan, informasi dapat didefenisikan sebagai isi dari apa yang

Lebih terperinci

MANUAL SISTEM JAMINAN HALAL [PERUSAHAAN ]

MANUAL SISTEM JAMINAN HALAL [PERUSAHAAN ] MANUAL SISTEM JAMINAN HALAL [PERUSAHAAN ] Disiapkan oleh, Disahkan oleh, (Ketua Tim Manajemen Halal) (Perwakilan Manajemen) Daftar Isi... 1 Halaman Pengesahan... 2 1. Pendahuluan...3 1.1 Informasi Umum

Lebih terperinci

-1- QANUN ACEH NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG SISTEM JAMINAN PRODUK HALAL

-1- QANUN ACEH NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG SISTEM JAMINAN PRODUK HALAL -1- QANUN ACEH NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG SISTEM JAMINAN PRODUK HALAL BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYANYANG ATAS RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH,

Lebih terperinci

apoteker123.wordpress.com 1 dari 5 DAFTAR PERIKSA Halal Assurance System 23000:1 PERTANYAAN PERIKSA HASIL PERIKSA

apoteker123.wordpress.com 1 dari 5 DAFTAR PERIKSA Halal Assurance System 23000:1 PERTANYAAN PERIKSA HASIL PERIKSA 1 Kebijakan Halal Apakah pimpinan perusahaan memilik kebijakan tertulis yang menunjukkan bahwa perusahaan berkomitmen untuk memproduksi produk halal secara konsisten? Apakah kebijakan halal disosialisasikan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS STANDAR SERTIFIKASI PENYEMBELIHAN HALAL DAN URGENSINYA. A. Analisis Terhadap Standar dan Prosedur Sertifikasi Penyembelihan Halal

BAB IV ANALISIS STANDAR SERTIFIKASI PENYEMBELIHAN HALAL DAN URGENSINYA. A. Analisis Terhadap Standar dan Prosedur Sertifikasi Penyembelihan Halal 60 BAB IV ANALISIS STANDAR SERTIFIKASI PENYEMBELIHAN HALAL DAN URGENSINYA A. Analisis Terhadap Standar dan Prosedur Sertifikasi Penyembelihan Halal 1. Analisis terhadap standar sertifikasi penyembelihan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut ketentuan Pasal 1 Angka (1) Undang-undang No.7 Tahun 1996 tentang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut ketentuan Pasal 1 Angka (1) Undang-undang No.7 Tahun 1996 tentang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Produk Pangan 1. Pengertian Pangan Menurut ketentuan Pasal 1 Angka (1) Undang-undang No.7 Tahun 1996 tentang Pangan yang selanjutnya disingkat UUP, Pangan adalah segala sesuatu

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Pemerintah

Lebih terperinci

MAKANAN HALAL THAYYIBAN

MAKANAN HALAL THAYYIBAN SEKOLAH IBU CABANG KEPANJEN MAKANAN HALAL THAYYIBAN 1 Titis Sari Kusuma, S.Gz, M.P Staf Dosen PS. Ilmu Gizi FKUB Penyelia Halal (KJF Food Halal UB) Food Safety Trainer Good Hygiene Practices Trainer HP

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Pemerintah Negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Islam agama yang sempurna, yang diturunkan oleh Allah SWT kepada. Nabi Muhammad SAW yang memiliki sekumpulan aturan.

BAB I PENDAHULUAN. Islam agama yang sempurna, yang diturunkan oleh Allah SWT kepada. Nabi Muhammad SAW yang memiliki sekumpulan aturan. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Islam agama yang sempurna, yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW yang memiliki sekumpulan aturan. Menurut An- Nabhani sekumpulan aturan yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, budaya serta teknologi

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, budaya serta teknologi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, budaya serta teknologi saat ini, maka kebutuhan hidup manusia kian berkembang pula. Tidak hanya kebutuhan akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidup lainnya, seperti kebutuhan sandang dan papan. Secara etimologi

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidup lainnya, seperti kebutuhan sandang dan papan. Secara etimologi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Makanan merupakan kebutuhan hidup manusia yang sangat penting disamping kebutuhan hidup lainnya, seperti kebutuhan sandang dan papan. Secara etimologi makanan adalah

Lebih terperinci

Manual SJH. Dokumen perencanaan yang menggambarkan cara perusahaan memenuhi 11 kriteria SJH Berfungsi sebagai panduan bagi perusahaan

Manual SJH. Dokumen perencanaan yang menggambarkan cara perusahaan memenuhi 11 kriteria SJH Berfungsi sebagai panduan bagi perusahaan MANUAL SJH STANDAR Manual SJH Dokumen perencanaan yang menggambarkan cara perusahaan memenuhi 11 kriteria SJH Berfungsi sebagai panduan bagi perusahaan dalam menerapkan SJH Prinsip Manual Sistem Menuliskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan perilaku konsumen, kebijakan pemerintah, persaingan bisnis, hanya mengikuti perkembangan penduduk namun juga mengikuti

BAB I PENDAHULUAN. perubahan perilaku konsumen, kebijakan pemerintah, persaingan bisnis, hanya mengikuti perkembangan penduduk namun juga mengikuti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian dalam segala bidang di Indonesia akan mengalami perubahan yang dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya perubahan perilaku konsumen, kebijakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara yang sebagian besar dari penduduknya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara yang sebagian besar dari penduduknya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang sebagian besar dari penduduknya memeluk agama Islam. Dalam ajaran agama Islam, mengatur banyak hal yang ditujukan pada umatnya.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Pemerintah

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NO 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN MENGENAI LABELISASI HALAL PADA PRODUK MAKANAN (STUDI KASUS KOTA LANGSA)

IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NO 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN MENGENAI LABELISASI HALAL PADA PRODUK MAKANAN (STUDI KASUS KOTA LANGSA) IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NO 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN MENGENAI LABELISASI HALAL PADA PRODUK MAKANAN (STUDI KASUS KOTA LANGSA) SKRIPSI Diajukan Oleh : MUTIA Mahasiswa Sekolah Tinggi Agama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan khususnya di bidang perindustrian dan perdagangan nasional telah

BAB I PENDAHULUAN. dan khususnya di bidang perindustrian dan perdagangan nasional telah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perlindungan konsumen merupakan bagian tak terpisahkan dari kegiatan bisnis yang sehat. Pembangunan dan perkembangan perekonomian umumnya dan khususnya di bidang perindustrian

Lebih terperinci

Jurnal EduTech Vol. 3 No.2 September 2017 ISSN: e-issn:

Jurnal EduTech Vol. 3 No.2 September 2017 ISSN: e-issn: PERAN MAJELIS ULAMA INDONESIA DALAM MENERBITKAN SERTIFIKAT HALAL PADA PRODUK MAKANAN DAN KOSMETIKA Sheilla Chairunnisyah ABSTAK Sertifikasi dan labelisasi halal yang selama ini dilakukan baru menjangkau

Lebih terperinci

SERTIFIKASI HALAL SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN KUALITAS PRODUK OLAHAN KOMODITAS PERTANIAN UNGGULAN DAERAH

SERTIFIKASI HALAL SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN KUALITAS PRODUK OLAHAN KOMODITAS PERTANIAN UNGGULAN DAERAH 86 SERTIFIKASI HALAL SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN KUALITAS PRODUK OLAHAN KOMODITAS PERTANIAN UNGGULAN DAERAH Pujiati Utami Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Purwokerto Jl. Raya Dukuhwaluh PO BOX

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia, karena dengan makanan itulah manusia akan dapat melakukan

BAB I PENDAHULUAN. manusia, karena dengan makanan itulah manusia akan dapat melakukan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Makanan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia, karena dengan makanan itulah manusia akan dapat melakukan aktivitas dengan semangat

Lebih terperinci

MAKANAN HALALAN TOYYIBBAN PERSPEKTIF ISLAM

MAKANAN HALALAN TOYYIBBAN PERSPEKTIF ISLAM MAKANAN HALALAN TOYYIBBAN PERSPEKTIF ISLAM Tajudin Nur*) Penyuluh Agama Islam Kementerian Agama Kabupaten Way Kanan Dan Bidang Produk Halal dan Hisab Rukyat (Penyelenggara Syariah) Hai sekalian manusia,

Lebih terperinci

Halal (atau) haram?? Bagaimana system kerja MUI sebagai media filter Halal Haram di Indonesia??

Halal (atau) haram?? Bagaimana system kerja MUI sebagai media filter Halal Haram di Indonesia?? Halal (atau) haram?? Bagaimana system kerja MUI sebagai media filter Halal Haram di Indonesia?? Apa Yang Dimaksud Halal Haram Itu? Halal dalam Al-Quran berarti diperbolehkan atau sah. Makanan dan minuman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta dan sekitar 87%

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta dan sekitar 87% 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta dan sekitar 87% beragama Islam merupakan potensi pasar yang sangat besar bagi produk-produk halal. Apabila

Lebih terperinci

BAB I. Semakin maraknya persaingan bisnis global, pasar menjadi semakin ramai. dengan barang-barang produksi yang dihasilkan. Bangsa Indonesia dengan

BAB I. Semakin maraknya persaingan bisnis global, pasar menjadi semakin ramai. dengan barang-barang produksi yang dihasilkan. Bangsa Indonesia dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Semakin maraknya persaingan bisnis global, pasar menjadi semakin ramai dengan barang-barang produksi yang dihasilkan. Bangsa Indonesia dengan masyarakatnya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

BAB IV. A. Analisis Terhadap Bentuk-Bentuk Perlindungan Konsumen Dalam Mas}lahah

BAB IV. A. Analisis Terhadap Bentuk-Bentuk Perlindungan Konsumen Dalam Mas}lahah 80 BAB IV ANALISIS TERHADAP BENTUK-BENTUK PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM MAS}LAHAH MURS}ALAH TERHADAP LABEL HALAL PADA PRODUK, ANALISIS TERHADAP UU NO.8 TAHUN 1999 TERHADAP PRODUK BAGI KONSUMEN MUSLIM. A.

Lebih terperinci

BAB III USAHA MIKRO KECIL MENENGAH (UMKM) DAN SERTIFIKASI HALAL

BAB III USAHA MIKRO KECIL MENENGAH (UMKM) DAN SERTIFIKASI HALAL BAB III USAHA MIKRO KECIL MENENGAH (UMKM) DAN SERTIFIKASI HALAL A. UMKM Makanan dan Minuman di Surabaya Usaha mikro kecil menengah (UMKM) merupakan pelaku ekonomi nasional yang mempunyai peran yang sangat

Lebih terperinci

PERUBAHAN KEWENANGAN LEMBAGA-LEMBAGA YANG BERWENANG DALAM PROSES SERTIFIKASI HALAL

PERUBAHAN KEWENANGAN LEMBAGA-LEMBAGA YANG BERWENANG DALAM PROSES SERTIFIKASI HALAL PERUBAHAN KEWENANGAN LEMBAGA-LEMBAGA YANG BERWENANG DALAM PROSES SERTIFIKASI HALAL Iffah Karimah 167 Abstrak Halal dan Haram bagi muslim merupakan masalah yang sangat krusial, karena menyangkut hubungan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. dimana banyak muncul produk-produk kosmetik dengan jenis dan

BAB II LANDASAN TEORI. dimana banyak muncul produk-produk kosmetik dengan jenis dan BAB II LANDASAN TEORI A. Customer Switching Dalam menghadapi persaingan yang kompetitif di dunia kecantikan, dimana banyak muncul produk-produk kosmetik dengan jenis dan keunggulan yang hampir sama, konsumen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Populasi umat Muslim di seluruh dunia saat ini semakin meningkat.

BAB I PENDAHULUAN. Populasi umat Muslim di seluruh dunia saat ini semakin meningkat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Populasi umat Muslim di seluruh dunia saat ini semakin meningkat. Jumlah populasi muslim telah mencapai seperempat dari total populasi dunia dan diperkirakan

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PRODUK BARANG HIGIENIS DAN HALAL

GUBERNUR JAWA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PRODUK BARANG HIGIENIS DAN HALAL SALINAN GUBERNUR JAWA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PRODUK BARANG HIGIENIS DAN HALAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

MANUAL Sistem Jaminan Halal

MANUAL Sistem Jaminan Halal MANUAL Sistem Jaminan Halal Perusahaan : (Diisi Nama Perusahaan) Disusun Oleh : Manual SJH 0 HALAMAN PENGESAHAN Manual Sistem Jaminan Halal Perusahaan [.] ini merupakan dokumen perusahaan terhadap pemenuhan

Lebih terperinci

KIAT MEMILIH PRODUK HALAL

KIAT MEMILIH PRODUK HALAL Serial artikel sosialisasi halalan toyyiban PusatHalal.com Materi 5 KIAT MEMILIH PRODUK HALAL Oleh DR. Anton Apriyantono Mengkonsumsi pangan yang halal dan thoyyib (baik, sehat, bergizi dan aman) adalah

Lebih terperinci

Hukum Syariat Islam sumber utamanya AlQur'an dan Hadis, dari kedua sumber itu ulama fiqih berijtihad sebagai sandaran hukumnya.

Hukum Syariat Islam sumber utamanya AlQur'an dan Hadis, dari kedua sumber itu ulama fiqih berijtihad sebagai sandaran hukumnya. Muzamil, Achmad From: Muzamil, Achmad Sent: Tuesday, February 19, 2002 11:00 PM To: Nasution, Nurli Cc: Murdopo, Edy Subject: [icmi-houston] RE: [Format_jaktim] Tanya: daging anjing haram..?? Assalamu

Lebih terperinci

BUPATI HULU SUNGAI UTARA PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

BUPATI HULU SUNGAI UTARA PROVINSI KALIMANTAN SELATAN BUPATI HULU SUNGAI UTARA PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PENGAWASAN BAHAN TAMBAHAN PANGAN DAN PEREDARAN BAHAN BERBAHAYA YANG DISALAHGUNAKAN

Lebih terperinci

II. KETENTUAN HUKUM TERKAIT KEAMANAN PANGAN. A. UU Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

II. KETENTUAN HUKUM TERKAIT KEAMANAN PANGAN. A. UU Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 II. KETENTUAN HUKUM TERKAIT KEAMANAN PANGAN A. UU Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dalam BAB XA mengenai Hak Asasi Manusia pada pasal

Lebih terperinci

PEDOMAN DAN PROSEDUR PENETAPAN FATWA

PEDOMAN DAN PROSEDUR PENETAPAN FATWA PEDOMAN DAN PROSEDUR PENETAPAN FATWA Dr. HM. Asrorun Ni am Sholeh,MA Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia @ans PENGERTIAN Fatwa adalah jawaban atau penjelasan dari ulama mengenai masalah keagamaan

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS PENDAFTARAN PANGAN OLAHAN. digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan atau pembuatan makanan atau

BAB III TINJAUAN TEORITIS PENDAFTARAN PANGAN OLAHAN. digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan atau pembuatan makanan atau 1 BAB III TINJAUAN TEORITIS PENDAFTARAN PANGAN OLAHAN A. TINJAUAN PANGAN OLAHAN 1. Pengertian Pangan Olahan Menurut Peraturan Pemerintah RI nomor 28 tahun 2004 pangan adalah segala sesuatu yang berasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penduduk yang beragama muslim, ada hal yang menjadi aturan-aturan dan

BAB I PENDAHULUAN. penduduk yang beragama muslim, ada hal yang menjadi aturan-aturan dan A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Seiring dengan perkembangan globalisasi yang berkembang saat ini, gaya hidup masyarakat pada umumnya mengalami banyak perubahan. Perubahan tersebut dapat

Lebih terperinci

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor : 24 Tahun 2012 Tentang PEMANFAATAN BEKICOT UNTUK KEPENTINGAN NON-PANGAN

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor : 24 Tahun 2012 Tentang PEMANFAATAN BEKICOT UNTUK KEPENTINGAN NON-PANGAN FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor : 24 Tahun 2012 Tentang PEMANFAATAN BEKICOT UNTUK KEPENTINGAN NON-PANGAN (MUI) setelah: Menimbang : 1. bahwa seiring dengan dinamika yang terjadi di masyarakat, beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta keberhasilan pembangunan akhir-akhir ini telah merambah seluruh aspek bidang kehidupan umat manusia, tidak

Lebih terperinci

Perundangan Zaman Rasulullah. Prinsip2 Asas Perundangan Islam:

Perundangan Zaman Rasulullah. Prinsip2 Asas Perundangan Islam: Prinsip2 Asas Perundangan Islam: 1. Perundangan secara beransur2 (beransur2 dari sudut jumlah dan hukum) 2.Perundangan mengurangkan bebanan 3. Perundangan tidak menyempitkan 4.Perundangan selaras kemaslahatan

Lebih terperinci

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor : 33 Tahun 2011 Tentang HUKUM PEWARNA MAKANAN DAN MINUMAN DARI SERANGGA COCHINEAL

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor : 33 Tahun 2011 Tentang HUKUM PEWARNA MAKANAN DAN MINUMAN DARI SERANGGA COCHINEAL FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor : 33 Tahun 2011 Tentang HUKUM PEWARNA MAKANAN DAN MINUMAN DARI SERANGGA COCHINEAL (MUI) setelah: Menimbang : 1. bahwa pewarna makanan dan minuman yang banyak dipakai

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

GUBERNUR GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG

GUBERNUR GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG GUBERNUR GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN INDUSTRI RUMAH TANGGA PANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR GORONTALO, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

2016, No Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 93

2016, No Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 93 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.2154, 2016 KEMEN-KP. Sertifikat Kelayakan Pengolahan. Penerbitan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 72/PERMEN-KP/2016 TENTANG

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK TENTANG

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK TENTANG PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR HK.00.05.1.23.3516 TENTANG IZIN EDAR PRODUK OBAT, OBAT TRADISIONAL, KOSMETIK, SUPLEMEN MAKANAN DAN MAKANAN YANG BERSUMBER, MENGANDUNG, DARI BAHAN

Lebih terperinci

NOMOR 215 TAHUN 2016 TENTANG BAB I PENDAHULUAN

NOMOR 215 TAHUN 2016 TENTANG BAB I PENDAHULUAN LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 215 TAHUN 2016 TENTANG PENETAPAN STANDAR KOMPETENSI KERJA NASIONAL INDONESIA KATEGORI JASA PROFESIONAL, ILMIAH DAN TEKNIS GOLONGAN POKOK

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102 TAHUN 2000 TENTANG STANDARDISASI NASIONAL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102 TAHUN 2000 TENTANG STANDARDISASI NASIONAL PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102 TAHUN 2000 TENTANG STANDARDISASI NASIONAL 1 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Standar adalah spesifikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. informasi produk yang ditawarkan perusahaan, akan cepat sampai kepada

BAB I PENDAHULUAN. informasi produk yang ditawarkan perusahaan, akan cepat sampai kepada BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada era kemajuan teknologi dan informasi dalam dunia usaha atau bisnis, informasi produk yang ditawarkan perusahaan, akan cepat sampai kepada konsumen. Konsumen semakin

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN YURIDIS TENTANG LABEL HALAL PADA MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI)

BAB II KAJIAN YURIDIS TENTANG LABEL HALAL PADA MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI) BAB II KAJIAN YURIDIS TENTANG LABEL HALAL PADA MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI) A. Pengertian dan Jenis-jenis Label Label memiliki kegunaan untuk memberikan informasi yang benar, jelas dan lengkap baik mengenai

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PEMBERIAN HADIAH JALAN SEHAT DARI HASIL PENJUALAN KUPON. Kupon Di Desa Made Kecamatan Sambikerep Surabaya

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PEMBERIAN HADIAH JALAN SEHAT DARI HASIL PENJUALAN KUPON. Kupon Di Desa Made Kecamatan Sambikerep Surabaya BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PEMBERIAN HADIAH JALAN SEHAT DARI HASIL PENJUALAN KUPON A. Analisis Tentang Aplikasi Pemberian Hadiah Jalan Sehat Dari Hasil Penjualan Kupon Di Desa Made Kecamatan

Lebih terperinci

Pendidikan Agama Islam. Bab 10 Makanan dan Minuman dalam Islam

Pendidikan Agama Islam. Bab 10 Makanan dan Minuman dalam Islam Pendidikan Agama Islam Bab 10 Makanan dan Minuman dalam Islam Bagan Makanan dan Minuman dalam Islam Konsep Dasar Halal dan Haram dalam Islam Hidangan Islami Sertifikasi Halal 1. Halal dan Haram adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Komunitas Muslim di seluruh dunia telah membentuk segmen pasar yang potensial dikarenakan pola khusus mereka dalam mengkonsumsi suatu produk. Pola konsumsi ini diatur

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1996 TENTANG PANGAN [LN 1996/99, TLN 3656]

UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1996 TENTANG PANGAN [LN 1996/99, TLN 3656] UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1996 TENTANG PANGAN [LN 1996/99, TLN 3656] BAB X KETENTUAN PIDANA Pasal 55 Barangsiapa dengan sengaja: a. menyelenggarakan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan,

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.214, 2012 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN HIDUP. Peternakan. Kesehatan. Veteriner. Hewan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5356) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Usaha kecil dan menengah (UKM) pada umumnya membuka usahanya di

BAB I PENDAHULUAN. Usaha kecil dan menengah (UKM) pada umumnya membuka usahanya di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Usaha kecil dan menengah (UKM) pada umumnya membuka usahanya di bidang makanan dan minuman seperti usaha membuka tempat makan (restoran/rumah makan), camilan dan kuliner

Lebih terperinci

2 3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara R

2 3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara R No.1706, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENDAG. Wajib Kemasan. Minyak Goreng. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80/M-DAG/PER/10/2014 TENTANG MINYAK GORENG WAJIB

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah No. 102 Tahun Tentang : Standardisasi Nasional

Peraturan Pemerintah No. 102 Tahun Tentang : Standardisasi Nasional Peraturan Pemerintah No. 102 Tahun 2000 Tentang : Standardisasi Nasional Menimbang : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa dalam rangka mendukung peningkatan produktivitas, daya guna produksi, mutu barang,

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KONSEP MODEL SISTEM JAMINAN HALAL PRODUK DAGING AYAM DI RUMAH POTONG AYAM 1

PENGEMBANGAN KONSEP MODEL SISTEM JAMINAN HALAL PRODUK DAGING AYAM DI RUMAH POTONG AYAM 1 PENGEMBANGAN KONSEP MODEL SISTEM JAMINAN HALAL PRODUK DAGING AYAM DI RUMAH POTONG AYAM 1 WAHYUNI AMELIA WULANDARI 2, WIWIT ESTUTI 3 dan GUNAWAN 2 2 BPTP Bengkulu, Jl. Irian Km 6,5 Kota Bengkulu 38119 3

Lebih terperinci

BUPATI SEMARANG SAMBUTAN BUPATI SEMARANG PADA ACARA RAPAT KOORDINASI MAJELIS ULAMA INDONESIA KABUPATEN SEMARANG.

BUPATI SEMARANG SAMBUTAN BUPATI SEMARANG PADA ACARA RAPAT KOORDINASI MAJELIS ULAMA INDONESIA KABUPATEN SEMARANG. 1 BUPATI SEMARANG SAMBUTAN BUPATI SEMARANG PADA ACARA RAPAT KOORDINASI MAJELIS ULAMA INDONESIA KABUPATEN SEMARANG. TANGGAL 15 PEBRUARI 2014 HUMAS DAN PROTOKOL SETDA KABUPATEN SEMARANG 2 Assalamu alaikum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. setiap orang. Dalam hal ini yang dimaksud makanan adalah segala sesuatu. pembuatan makanan atau minuman. 1

BAB I PENDAHULUAN. setiap orang. Dalam hal ini yang dimaksud makanan adalah segala sesuatu. pembuatan makanan atau minuman. 1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Makanan adalah kebutuhan dasar manusia yang paling hakiki. Oleh karena itu pemenuhan akan kebutuhannya merupakan hak asasi setiap orang. Dalam hal ini yang dimaksud

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia saja hewan serta tumbuhanpun juga memerlukan makanan, sebab makanan

BAB I PENDAHULUAN. manusia saja hewan serta tumbuhanpun juga memerlukan makanan, sebab makanan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Makan adalah kebutuhan utama bagi seluruh makhluk hidup, bukan hanya manusia saja hewan serta tumbuhanpun juga memerlukan makanan, sebab makanan nantinya akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan umat yang berkualitas (khairu ummah) demi kejayaan Islam di

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan umat yang berkualitas (khairu ummah) demi kejayaan Islam di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dakwah sudah banyak dipahami oleh umat Islam baik dalam pengertian maupun implementasinya. Mereka menganggap dakwah sebagai upaya yang penting dalam pembinaan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102 TAHUN 2000 TENTANG STANDARDISASI NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102 TAHUN 2000 TENTANG STANDARDISASI NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102 TAHUN 2000 TENTANG STANDARDISASI NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung peningkatan produktivitas, daya guna

Lebih terperinci