BAB I PENGANTAR. (Teeuw, 1980: 11). Menurut Faruk (1988: 7), karya sastra adalah. sistem tanda yang bersifat kognitif.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENGANTAR. (Teeuw, 1980: 11). Menurut Faruk (1988: 7), karya sastra adalah. sistem tanda yang bersifat kognitif."

Transkripsi

1 BAB I PENGANTAR 1. 1 Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan tanggapan seorang sastrawan terhadap dunia sekitarnya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Pradopo (1995: 178) bahwa karya sastra adalah hasil ciptaan pengarang sebagai anggota masyarakat tidak lahir dalam kekosongan sosial budaya. Pengarang dalam menciptakan karya sastra tidak berangkat dari kekosongan budaya, tetapi diilhami oleh realitas kehidupan yang kompleks, yang ada di sekitarnya (Teeuw, 1980: 11). Menurut Faruk (1988: 7), karya sastra adalah fakta semiotik yang memandang fenomena kebudayaan sebagai sistem tanda yang bersifat kognitif. Karya sastra dan kehidupan merupakan dua fenomena sosial yang saling melengkapi dalam kedirian mereka sebagai sesuatu yang eksistensial. Hal ini mengandung pengertian bahwa karya sastra dan kehidupan nyata, selain memiliki otonomi tersendiri, keduanya juga memiliki hubungan timbal balik (Mahayana, 2007: 5). Keberangkatan pengarang dalam menciptakan karya sastra diilhami oleh fenomena kehidupan. Akan tetapi, tidak berarti bahwa setiap fenomena yang muncul akan direkam

2 2 kemudian dilaporkan. Untuk menghasilkan karya sastra yang baik, tentu masih perlu adanya kontemplasi terlebih dahulu sebelum memberikan interpretasi terhadap fenomena untuk selanjutnya dituangkan ke dalam karya sastra. Pada awal kelahirannya, novel Indonesia ditandai dengan adanya unsur budaya daerah (Rampan, 1984: 4; Sumardjo, 1979: 51; Teeuw, 1988: 184). Azab dan Sengsara karya Merari Siregar (1920) dan Sitti Nurbaya karya Marah Rusli (1922) merupakan contoh novel Indonesia yang mengandung warna lokal, yaitu Sumatra sesuai daerah asal kedua pengarang novel tersebut. Para sastrawan/novelis Indonesia awal memang banyak dari daerah dan hasil karya mereka banyak yang mengandung warna lokal daerah, terutama dari Sumatra. Hal ini terjadi karena sebagian besar mereka berasal dari daerah Sumatra. Sumatra, khususnya Minangkabau, sebagai daerah yang kaya dengan nilai-nilai budaya, menjadi salah satu daerah yang sering dimanfaatkan sebagai latar penciptaan karya sastra, yaitu sejak sebelum Perang Dunia II meletus. Masa ini, dalam periodisasi sastra menurut Nugroho Notosusanto (dalam Pradopo, 1995:16), termasuk dalam masa kebangkitan ( ). Kekhasan latar Minangkabau juga sering ditemukan dalam karya

3 3 sastra yang lahir setelah meletus Perang Dunia II yang dalam periodisasi sastra menurut Nugroho Notosusanto (dalam Pradopo, 1995:16), termasuk pada masa perkembangan. Pemanfaatan warna lokal dalam penulisan novel pada periode selanjutnya (1930-an) sudah mulai berkurang. Novel yang terbit pada masa itu, yakni Layar Terkembang dan Belenggu tidak lagi mengangkat permasalahan daerah. Novel Layar Terkembang (1936) karya Sutan Takdir Alisyahbana bercerita tentang emansipasi wanita dalam membangun bangsa. Sutan Takdir Alisyahbana merupakan tokoh sastra Indonesia yang berkiblat ke Barat. Menurutnya, Indonesia hanya akan maju bila mengikuti langkah Negara Barat bukan melihat kembali budaya lokal. Baginya, masa lalu adalah jahiliyah. Dirinya lebih condong kepada individualisme, intelektualisme, dan materialisme. Hal ini berbeda dengan Sanusi Pane yang mengambil unsur-unsur dari masa lalu (orang Jawa) sebagai inspirasi untuk masa depan (Allen, 2004: 26). Pada periode 1970-an sastrawan Indonesia mulai banyak menulis novel yang mengangkat warna lokal daerahnya. Rosidi (1985: 27), ketika mengumumkan lahirnya suatu angkatan terbaru tahun 60-an, menyebutkan salah satu ciri kuatnya angkatan

4 4 tersebut adalah adanya orientasi nilai-nilai budaya daerah. Sesudah dekade 70-an, novel-novel yang memperlihatkan kecenderungan menonjolnya nilai-nilai daerah Jawa mulai kelihatan. Penulisan novel berwarna lokal daerah mencapai puncaknya pada periode 1980-an. Pada tahu 1980-an dan 1990-an awal, sastra (khususnya) novel Indonesia digairahkan oleh sesuatu yang disebut dengan warna lokal atau sensibilitas lokal (Kuntowijoyo, 1987: 133). Pada saat itu, banyak muncul karya sastra dari berbagai daerah yang menunjukkan kekhasan warna lokal. Karya sastra seperti ini pada umumnya ditulis oleh pengarang yang berasal dari daerah tempat pengarang-pengarang tersebut dilahirkan. Korie Layun Rampan dalam Upacara (1978) menunjukkan kehidupan sosial budaya masyarakat Dayak. Ahmad Tohari dalam Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Lintang Kemukus Dini Hari (1985), dan Jantera Bianglala (1986) menunjukkan kehidupan sosial budaya masyarakat Jawa khususnya daerah Banyumas. Demikian juga, Linus Suryadi A.G. dalam Pengakuan Pariyem (1981), Arswendo Atmowiloto dalam Canting (1986), Umar Kayam dalam Sri Sumarah (1985) dan Para Priyayi (1992), YB. Mangunwijaya dalam Burung-Burung Manyar (1981) dan Durga Umayi (1991),

5 5 Kuntowijoyo dalam Pasar (1994) dan NH. Dini dalam Tirai Menurun (1993) menunjukkan kehidupan sosial budaya masyarakat Jawa. Putu Wijaya dalam Bila Malam Bertambah Malam (1971) menunjukkan kehidupan sosial budaya masyarakat Bali. Salah satu fenomena penulisan karya sastra di Indonesia pada periode 1980-an tersebut adalah adanya kecenderungan untuk mengangkat budaya daerah sesuai dengan latar belakang sosial-budaya demografi pengarang. Salah satu budaya daerah yang banyak diangkat ke permukaan itu adalah budaya Jawa (Nurgiyantoro, 1998: viii; Saryono, 2006: 138). Kenyataan bahwa banyak pengarang yang kembali ke akar budaya sebagai salah satu sumber penulisan karya kreatifnya merupakan hal yang wajar karena mereka hidup dan dibesarkan di daerah tersebut. Sastra Indonesia sulit untuk melepaskan diri dari unsur daerah atau lokalitas. Hal ini terjadi karena sastra Indonesia pada dasarnya adalah sastra lokal (Sayuti, 2012: 1). Teeuw mengatakan bahwa perkembangan kesusasteraan Indonesia telah kembali ke akar tradisi (Jamil, 1987: 41). Kembali ke tradisi budaya daerah, budaya lama, sastra lama. Menurutnya, sastra Indonesia modern tidak pernah putus hubungannya dengan sastra tradisi atau sastra lama (Teeuw, 1982: 12). Ada

6 6 kesinambungan antara sastra lama dengan sastra Indonesia modern. Pada awal perkembangannya, sastra Indonesia selalu berorientasi ke Jakarta sebagai pusatnya. Namun, seiring dengan perkembangannya, orientasinya semakin berkembang, tidak hanya di Jakarta saja, tetapi mulai mengangkat budaya daerah. Jakob Sumardjo (1982), menyatakan bahwa pada dekade 80-an pusat dan orientasi kesusasteraan Indonesia ada kemungkinan akan beralih ke Jawa (tengah) setelah sebelumnya terfokus di Jakarta. Pada era 80-an, kecenderungan mengangkat warna lokal dalam sastra Indonesia mulai menguat. Sebagai contohnya adalah munculnya dua novel yang cukup fenomenal, yaitu Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi AG. yang penuh dengan lokalitas kedaerahan, khususnya lokalitas Jawa. Menurut Budi Darma (1995: 171), semakin jauh sastrawan melangkah, akan semakin dalam mereka kembali ke akar daerahnya karena subkebudayaan daerah itu merupakan salah satu unsur yang membentuk mereka. Menurutnya, semakin menasional dan menginternasional orientasi kepengarangan seorang penulis, sekaligus ia juga akan semakin menukik ke akar

7 7 budayanya yang merupakan salah satu unsur sosial budaya yang telah membentuknya. Para pengarang yang dilahirkan dan dibesarkan dalam kebudayaan daerah masing-masing, setelah menjadi manusia Indonesia, merindukan kembali subkebudayaan yang telah membentuknya itu. Mereka kemudian menulis novel atau bentuk karya sastra lain yang mengangkat warna lokal daerah asalnya. Novel Indonesia selalu menunjukkan kekhasan, unikum, dan hal itu berkaitan erat dengan kultur etnik yang telah lama ada pada diri pengarang dan mengalir menjadi pola berpikir, perilaku, dan sikap hidup, tata krama dan etika, tindakan dan ekspresi diri, pandangan dan orientasi tentang alam dan lingkungan, bahkan juga sampai pada wawasan estetikanya (Mahayana, 2007: 2). Perkembangan karya sastra masih menyediakan tempat bagi karya yang mengungkapkan warna lokal di dalamnya. Misalnya, kumpulan cerpen Raudal Tanjung Banua yang berjudul Parang Tak Berulu yang menawarkan representasi dunia perempuan di tengah masyarakat Minangkabau, atau Rumah Kawin karya Nur Zen Hae yang berlatar kultur masyarakat Betawi, juga karya-karya Taufik Ikram Jamil yang mengungkapkan persoalan masyarakat Melayu-Riau (Murniah,

8 8 2006). Para sastrawan perlu menggali potensi lokal, baik bahasa, mitos, maupun sejarah lokal sebagai sumber penciptaan karya sastra di tengah-tengah arus globalisasi sekarang ini. Ada beberapa pengarang yang di dalam cerita-ceritanya tanpa memberi keterangan maksud kata-katanya memakai kata-kata Jawa, baik sebagai alat pemberi warna lokal maupun karena tidak ada padanan katanya dalam bahasa Indonesia (Sastrowardoyo, 2000: 839). Sastra Indonesia berwarna lokal adalah sastra Indonesia yang di dalamnya tergambar realitas sosial budaya suatu daerah yang ditunjuk secara langsung oleh fiksionalitas. Secara intrinsik dalam suatu karya sastra Indonesia berwarn lokal selalu dihubungkan dengan unsur-unsur pembangkitannya, yaitu latar belakang, penokohan, gaya bahasa, dan suasana, adat istiadat, agama, kepercayaan, sikap, filsafat hidup, hubungan sosial, dan stuktur sosial ( Warna lokal tersebut sebagian besar berfungsi sebagai latar cerita. Warna lokal Minangkabau untuk menggambarkan latar Minangkabau, warna lokal Bali untuk menggambarkan latar Bali. Apakah warna lokal Jawa juga berfungsi untuk menggambarkan latar Jawa?

9 9 Novel Indonesia pada periode 80-an banyak mengungkap warna lokal di dalamnya, khususnya warna lokal Jawa. Mengapa budaya Jawa menjadi acuan atau sumber inspirasi bagi para sastrawan Indonesia? Bentuk warna lokal Jawa apa saja yang digunakan pengarang dalam karyanya dan apa fungsi warna lokal tersebut dalam membangun keseluruhan cerita. Pertanyaan tersebut tidak dapat dilepaskan dari kenyataan tentang Jawa. Menurut Kayam (2001: 2) Jawa masih merupakan kekuatan faktual dalam konstelasi kehidupan di Indonesia, baik secara ekonomi, politik, sosial, maupun budaya. Karenanya, Jawa juga akan menjadi suatu kekuatan penting dalam konstelasi baik kehidupan regional maupun global. Penelitian terhadap warna lokal Jawa dalam novel-novel tersebut masih kurang, maka perlu dilakukan penelitian yang mendalam terkait dengan permasalahan warna lokal Jawa yang terungkap dalam novel Indonesia periode 80-an. Secara intrinsik dalam konteks struktur karya, unsur budaya lokal Jawa selalu dihubungkan dengan unsur pembentuk struktur, yaitu latar dan penokohan. Selain unsur intrinsik, analisis juga perlu dilakukan terhadap unsur sosial budaya.

10 10 Warna lokal Jawa dalam novel pada penelitian ini terkait dengan latar budaya masyarakat Jawa yang tercermin pada novel. Warna lokal Jawa dalam sastra berkaitan erat dengan budaya Jawa. Koentjaraningrat (1994: 11-12, dan 32-33) berpendapat bahwa konsep budaya merupakan totalitas pikiran, karsa, dan hasil karya manusia yang tidak berakar pada nalurinya. Konsep budaya diuraikan ke dalam unsur-unsurnya yang meliputi (1) sistem religi dan upacara keagamaan, (2) sistem dan organisasi kemasyarakatan, (3) sistem pengetahuan, (4) bahasa, (5) kesenian, (6) mata pencaharian, (7) teknologi dan peralatan. Pengertian tersebut identik dengan pendapat Abrams (1981: 98) yang mengatakan bahwa warna lokal adalah lukisan mengenai latar, adat-istiadat, cara berpakaian, dan cara berpikir yang khas dari suatu daerah tertentu. Latar sosial budaya dalam karya sastra biasanya terwujud dalam tokoh-tokoh yang ditampilkan, sistem kemasyarakatan, adat istiadat, pandangan masyarakat, kesenian, dan benda-benda kebudayaan yang terungkap dalam karya sastra (Pradopo, 1987: 234). Warna lokal Jawa mengacu pada budaya lokal Jawa, budaya masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa merupakan orangorang yang bertempat tinggal, bergaul, dan berkembang di

11 11 pulau Jawa yang kemudian mengembangkan tradisi dan kebudayaan yang khas dan berkarakteristik Jawa (Roqib, 2007: 33). Masyarakat Jawa adalah orang yang secara geografis tinggal di pulau Jawa, tepatnya di provinsi Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur, bukan Jawa Barat, Banten, dan Jakarta yang dihuni oleh suku Sunda dan Betawi, dan bukan pula bagian Timur Jawa yang menggunakan bahasa Madura meskipun masih kategori subkultur Jawa. Mereka yang tinggal di daerah Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur kecuali Madura masih menggunakan bahasa Jawa dan tetap mengembangkan kebudayaan Jawa. Mereka yang tinggal dan hidup di Madura tidak menggunakan bahasa Jawa dan budaya yang dikembangkan juga bukan budaya Jawa tetapi budaya Madura. Demikian juga mereka yang tinggal di Jawa Barat. Walaupun tinggal di pulau Jawa tetapi mereka menggunakan bahasa Sunda dan mengembangkan kebudayaan Sunda yang sudah berbeda dengan kebudayaan Jawa.

12 Permasalahan Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas, permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut. 1) Mengapa warna lokal Jawa banyak diungkapkan dalam novel Indonesia periode ? 2) Bagaimana fungsi warna lokal Jawa dalam membangun cerita secara keseluruhan pada novel Indonesia periode ? 1. 3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan warna lokal Jawa yang terepresentasikan dalam novel Indonesia periode Secara praktis, penelitian ini bertujuan untuk: 1) memperoleh gambaran yang rinci mengenai warna lokal Jawa yang terkandung dalam novel Indonesia periode , 2) mendapatkan gambaran yang jelas tentang fungsi warna lokal Jawa dalam membangun struktur cerita pada novel Indonesia periode

13 Manfaat Penelitian Manfaat Teoretis Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan dan aplikasi kajian sastra dengan teori strukturalisme, semiotik, dan sosiologi sastra pada novel-novel yang mengandung warna lokal Jawa. Hasil penelitian ini juga dapat dijadikan masukan dan pengembangan wawasan kajian sastra, mengembangkan pengkajian budaya dan humaniora terhadap sastra Indonesia khususnya novel Indonesia. Selain itu, juga dapat dijadikan contoh pengkajian budaya dan humaniora dalam novel Indonesia Manfaat Praktis Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah apresiasi yang mendalam terhadap karya sastra Indonesia khususnya novel-novel yang mengandung warna lokal Jawa. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran pentingnya warna lokal atau

14 14 budaya lokal dalam mengembangkan budaya nasional, khususnya sastra Indonesia. Melalui warna lokal dalam karya sastra, masyarakat dapat memperoleh pendidikan dan pesan moral yang baik. Dengan mengetahui dan memahami warna lokal dari daerah khususnya Jawa, maka rasa persatuan dan kesatuan dapat lebih ditingkatkan. Kesadaran terhadap konsep bhineka tunggal ika juga akan lebih meningkat. Kesadaran bahwa budaya nusantara atau budaya nasional Indonesia terdiri atas budaya daerah lebih meningkat dan akhirnya rasa saling menghormati dan menghargai antarpendukung budaya dapat terjalin dengan baik. Dengan demikian, rasa persatuan dan kesatuan dalam mendukung budaya nasional diharapkan dapat terwujud dengan baik Tinjauan Pustaka Penelitian terdahulu yang dapat dijangkau dan dipandang relevan dengan penelitian ini adalah tesis Wiranta yang ditulis pada tahun 1992 di Program Pascasarjana UGM. Wiranta menulis tesis dengan judul Unsur Budaya Jawa dalam

15 15 Novel Indonesia Mutakhir. Wiranta sampai pada kesimpulan bahwa budaya Jawa digambarkan melalui gagasan keselarasan yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan alam adikodrati, manusia dengan masyarakat, dan manusia dengan alam kebendaan. Hasil penelitian yang dilakukan juga menyimpulkan bahwa unsur budaya Jawa berfungsi dalam aktualisasi cerita, baik yang menyangkut pengembangan alur yang berfungsi untuk mengidealisasikan gambaran tokoh, mendinamisasi tokoh, menunjukkan keterjalinan sastra lisan dan tulis, dan mengukuhkan tradisi lama, pengembangan tokoh yang berfungsi baik sebagai model penyesuaian karakter, menyediakan kerangka karakter, memunculkan nilai-nilai tradisi, mengidealisasikan gagasan keselarasan, maupun pengembangan latar yang berfungsi untuk menghidupkan citraan suasana Jawa dalam aktualisasi cerita. Penelitian yang lain dilakukan oleh Rahmanto (1994), dalam tesisnya yang berjudul Makna Penghambaan dalam Novel Para Priyayi Karya Umar kayam: Analisis Semiotik. Dalam penelitian yang dilakukan, Rahmanto menyimpulkan bahwa lewat tokoh-tokoh Sastrodarsono, Noegroho, Hardoyo, dan

16 16 Lantip ditampilkan masalah penghambaan tokoh wayang Sumantri, Kumbakarna, dan Karna dalam transformasi budaya priyayi Jawa sejak masa penjajahan Belanda, Jepang, kemerdekaan, sampai pascakemerdekaan. Penelitian lain yang membahas masalah budaya Jawa dalam karya sastra dilakukan oleh Sardjono berjudul Paham Jawa: Menguak Falsafah Hidup Manusia Jawa Lewat Karya Fiksi Mutakhir Indonesia (1992). Sardjono mendeskripsikan pemikiran Jawa, khususnya pemikiran tentang manusia Jawa dalam novel Indonesia mutakhir dengan pendekatan fenomenologis. Dalam penelitian ini Sardjono sampai pada kesimpulan bahwa wajah manusia Jawa yang muncul dalam novel Indonesia mutakhir ialah manusia Jawa yang masih tetap menjunjung kejawaannya dengan sikap hidup yang tetap bersandarkan keselarasan. Kajian nilai budaya Jawa dalam fiksi Indonesia dilakukan oleh Djoko Saryono dalam disertasinya yang berjudul Representasi Nilai Budaya Jawa dalam Prosa Fiksi Indonesia (1998). Dalam disertasi ini, diteliti masalah representasi nilai religius Jawa, nilai filosofis Jawa, nilai etis Jawa, dan nilai estetik Jawa dengan menggunakan teori sejarah mentalitas, sosiologi sastra, dan arkeologi pengetahuan. Hasil penelitian menunjukkan

17 17 bahwa dalam teks wacana prosa fiksi Indonesia yang diteliti terepresentasikan empat macam nilai esensial budaya Jawa, yaitu nilai relegius Jawa, nilai filosofis Jawa, nilai etis Jawa, dan nilai estetis Jawa. Nilai relegius Jawa terdiri atas nilai keselamatan dan kesempurnaan menurut manusia Jawa, nilai filosofis Jawa terdiri atas nilai kemapanan dan keselarasan menurut manusia Jawa, nilai etis Jawa terdiri atas nilai kebijaksanaan dan kekasihsayangan menurut manusia Jawa, sedangkan nilai estetik Jawa terdiri atas keterpesonaan dan keterhanyutan menurut manusia Jawa. Selain itu, disimpulkan juga bahwa representasi nilai budaya Jawa di dalam teks wacana prosa fiksi Indonesia, disikapi, ditanggapi, dan diperlakukan berbeda-beda oleh pengarang. Keberadaan budaya Jawa dalam prosa fiksi Indonesia bukan merupakan proses sekaligus wujud jawanisasi sastra Indonesia. Keberadaan budaya Jawa tersebut lebih dikatakan sebagai bentuk pertimbangan budaya atau respons kultural manusia Indonesia terhadap baik budaya Jawa maupun budaya Indonesia sekaligus.

18 18 Dalam penelitiannya yang berjudul Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk Ahmad Tohari: Telaah Semiotik dan Strukturalisme Genetik (1992), Taufik Dermawan menganalisis budaya Jawa yang terdapat dalam tiga novel tersebut dengan metode semiotik dan strukturalisme genetik. Penelitian tersebut sampai pada kesimpulan bahwa ketiga novel tersebut merupakan bagian terpadu dari sistem sosiokultural masyarakat Jawa yang melukiskan perubahan sosiokultural dari masyarakat kesukuan ke masyarakat negara kebangsaan, dari budaya pertanian ke budaya industri, dari nilai-nilai lama ke nilai-nilai baru. Perubahan pertama berupa pergeseran orientasi nilai dalam kehidupan ekonomi, dari orientasi pada nilai guna ke orientasi nilai tukar suatu produk. Perubahan kedua berupa pergeseran orientasi tata nilai budaya, dari orientasi pada kebudayaan suku primitif ke orientasi pada kebudayaan masyarakat modern. Perubahan ketiga berupa terintegrasinya komunitas santri ke dalam komunitas abangan. Penelitian yang berjudul Transformasi Unsur Pewayangan dalam Fiksi Indonesia (1998) dilakukan oleh Burhan Nurgiyantoro. Dalam penelitian ini, Nurgiyantoro menganalisis transformasi unsur pewayangan yang ada dalam fiksi Indonesia dengan

19 19 sumber data lima buah novel dan delapan cerpen yang di dalamnya terkandung unsur pewayangan. Kesimpulan penelitian ini adalah sebagai berikut. (1) Transformasi alur per cerita ke dalam fiksi jauh lebih dominan daripada alur pertunjukan wayang. Alur per cerita wayang menyediakan banyak sekali alur cerita sebanyak cerita wayang itu sendiri; (2) Transformasi penokohan tokoh wayang ke dalam tokoh fiksi lebih intensif, khas, atau tipikal jika mencakup perwatakan atau perwatakan dan penamaan sekaligus daripada hanya mencakup penamaan tanpa disertai perwatakan; (3) Transformasi latar tidak terjadi secara intensif karena transformasi alur dan penokohan tidak harus melibatkan latar; (4) Masalah pokok dan tema dalam cerita wayang dapat diangkat dan ditampilkan dalam kehidupan modern secara kontekstual; (5) Transformasi nilai-nilai wayang ke dalam karya fiksi menunjukkan adanya keterbalikan dalam hal penekanan nilai-nilai; (6) Wayang sebagai sumber penulisan dan cara pengkomunikasian gagasan dan pesan banyak dipilih oleh pengarang; (7) Terdapat perbedaan sikap dan penerimaan terhadap wayang antara pengarang yang lebih tua dengan pengarang yang lebih muda.

20 20 Pada kajian-kajian yang telah dikemukakan tersebut, pembahasan Wiranta difokuskan budaya Jawa yang digambarkan melalui gagasan keselarasan yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan alam adikodrati, manusia dengan masyarakat, dan manusia dengan alam kebendaan. Penelitian ini lebih mengkhususkan pada unsur keselarasan dalam budaya Jawa. Sikap hidup yang disandarkan keselarasan dalam budaya Jawa juga dibahas oleh Sardjono. Dermawan lebih fokus pada adanya perubahan sosial budaya yang terjadi pada masyarakat Jawa yang terlukiskan pada novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk. Rahmanto membahas makna penghambaan dalam budaya Jawa yang difokuskan pada novel Para Priyayi. Yang dibahas adalah makna penghambaan yang dilakukan oleh para priyayi yang terjadi dalam novel Para Priyayi, penghambaan sebagaimana yang dilakukan oleh tokoh wayang Sumantri, Kumbakarna, dan Karna. Nurgiyantoro secara khusus membahas transformasi unsur pewayangan dalam fiksi Indonesia. Sedangkan Saryono lebih khusus membahas masalah nilai budaya Jawa yang terdiri atas nilai religius Jawa, nilai filosofis Jawa, nilai etis Jawa, dan nilai estetik Jawa yang terepresentasikan dalam fiksi Indonesia.

21 21 Dari kajian-kajian yang telah dilakukan tersebut pembahasan yang secara rinci dan lengkap mengungkapkan warna lokal Jawa yang terkandung dalam novel-novel Indonesia periode masih kurang. Kajian yang dilakukan lebih dikhususkan pada bagian budaya pada novel tertentu. Oleh karena itu, masih perlu dilakukan penelitian dengan fokus warna lokal Jawa dalam novel-novel tersebut yang mengungkap bentuk-bentuk warna lokal Jawa yang ada dalam novel dan fungsi warna lokal tersebut dalam membangun cerita secara keseluruhan Landasan Teori Strukturalisme Menurut Teeuw (1983: 17-18), untuk memberi makna pada sebuah teks tertentu, maka ada beberapa pengetahuan tentang sistem kode yang harus dikuasai oleh seorang peneliti, yaitu kode bahasa, kode budaya, dan kode sastra. Menurut Culler (1975:134), membaca sastra adalah kegiatan yang paradoksal. Pembaca menciptakan kembali dunia ciptaan, dunia rekaan, menjadikannya sesuatu yang akhirnya dikenal. Hal-hal yang menyimpang, yang aneh, yang

22 22 mengejutkan yang terdapat dalam ciptaan sastra itu dinaturalisasikan, dikembalikan kepada yang wajar supaya kumunikatif. Sebuah karya sastra, baik fiksi maupun puisi, menurut kaum strukturalis adalah sebuah totalitas yang dibangun secara koherensif oleh berbagai unsur (pembangun)-nya. Di satu pihak, struktur karya sastra dapat diartikan sebagai susunan, penegasan, dan gambaran semua bahan dan bagian yang menjadi komponennya yang secara bersama membentuk kebulatan yang indah (Abrams, 1981: 68). Struktur karya sastra juga menyaran pada pengertian hubungan antarunsur (intrinsik) yang bersifat timbal-balik, saling menentukan, saling mempengaruhi, yang secara bersama membentuk satu kesatuan yang utuh. Secara sendiri, terisolasi dari keseluruhannya, bahan, unsur, atau bagian-bagian tersebut tidak penting, bahkan tidak ada artinya. Tiap bagian akan menjadi berarti dan penting setelah ada dalam hubungannya dengan bagian-bagian yang lain, serta bagaimana sumbangannya terhadap keseluruhan wacana. Analisis struktural pada karya sastra, yang dalam hal ini berupa novel, dapat dilakukan dengan mengidentifikasi,

23 23 mengkaji, dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antarunsur-unsurnya. Mula-mula diidentifikasi dan dideskripsikan, misalnya, bagaimana keadaan peristiwa-peristiwa, plot, tokoh, latar, sudut pandang, dan lain-lain. Setelah dijelaskan bagaimana fungsi-fungsi masing-masing unsur tersebut dalam menunjang makna keseluruhannya, dan bagaimana hubungan antarunsur tersebut sehingga secara bersama membentuk sebuah totalitas kemaknaan yang terpadu. Misalnya, bagaimana hubungan antarperistiwa yang satu dengan yang lain, kaitannya dengan pemplotan yang tidak selalu kronologis, kaitannya dengan tokoh dan latar. Akan tetapi, yang lebih penting adalah menunjukkan bagaimana hubungan antarunsur tersebut untuk pencapaian nilai estetis dan makna keseluruhan yang ingin dicapai. Berkaitan dengan hal di atas, prinsip strukturalisme memandang pula bahwa karya sastra adalah sebuah struktur yang terdiri atas unsur-unsur yang berjalin erat. Unsur-unsur dalam struktur tersebut tidak memiliki fungsi atau makna sendiri terlepas dari lainnya, arti/maknanya ditentukan oleh hubungannya dengan unsur-unsur lain secara keseluruhan (Hawkes, 1978: 17-18). Di dalam keseluruhan struktur, suatu unsur mempunyai fungsi sebagai pendukung terhadap makna

24 24 bagian yang lain, dan demikian pula sebaliknya. Bagian-bagian tersebut, dengan sendirinya, menduduki fungsi sebagai pendukung terhadap unsur lain. Menurut Teeuw makna unsurunsur tersebut baru dapat dipahami dan diberi nilai sepenuhnya jika didasarkan pada pemahaman dan fungsi tiap-tiap unsur tersebut dalam keseluruhan karya sastra (1984: 136). Jean Piaget (1995: 4-9) menjelaskan bahwa di dalam pengertian struktur terkandung tiga gagasan pokok yang memberi kepaduan pada karya sastra khususnya cerita atau novel. Pertama, gagasan keseluruhan (wholeness), dalam arti bahwa bagian-bagian atau anasirnya menyesuaikan diri dengan seperangkat kaidah intrinsik yang menentukan, baik keseluruhan struktur maupun bagian-bagiannya. Kedua, gagasan tranformasi (transformation), yaitu struktur itu menyanggupi prosedur transfomasi yang terus-menerus memungkinkan pembentukan bahan-bahan baru. Ketiga, pengaturan diri (self regulation), yaitu tidak diperlukan dari luar dirinya untuk mempertahankan prosedur transformasi. Struktur adalah suatu sistem transformasi yang bercirikan keseluruhan, dan keseluruhan itu dikuasai oleh hukum-hukum tertentu dan mempertahankan, atau bahkan memperkaya diri sendiri karena

25 25 cara dijalankannya transformasi-transformasi itu tidak memasukkan ke dalam unsur-unsur luar (lihat juga Teeuw,1984: 141; Pradopo, 1997: 119). Pada prinsipnya yang lebih tegas, analisis struktural bertujuan membongkar dan memaparkan dengan cermat keterkaitan semua analisis karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh. Dasar pengertian teori struktural dalam penelitian ini merujuk pada pernyataan Teeuw (1983: 61) bahwa dalam meninjau karya sastra dari berbagai segi, analisis struktural adalah tugas atau prioritas pertama sebelum melangkah pada hal-hal lain dan dasar penelitian selanjutnya tentang struktur yang dirujuk oleh Piaget, khususnya mengenai konsep gagasan keseluruhan (wholeness). Gagasan keseluruhan dianggap penting dengan pertimbangan bahwa karya sastra pada hakikatnya adalah rangkaian unsur-unsur yang bersistem dan saling berjalinan erat, serta unsur-unsur itu tidak otonom, tetapi berhubungan satu sama lain yang memiliki fungsi sendiri dan dalam koherensi tersebut, dapat ditentukan maknanya (Piaget, 1995: 4-5). Karya sastra adalah hasil ciptaan pengarang sebagai anggota masyarakat tidak terlahir dalam kekosongan sosial budaya (Teeuw, 1984: ; Pradopo, 1995: 178). Analisis

26 26 struktural merupakan tugas prioritas utama bagi seorang peneliti sebelum melangkah pada hal-hal lain. Unsur intrinsik karya sastra yang digunakan dalam analisis struktural penelitian ini adalah masalah dan tema serta fakta cerita. Masalah pokok adalah sesuatu yang diungkapkan dalam karya fiksi atau berkaitan dengan masalah apa yang diceritakan yang berkaitan dengan berbagai masalah kehidupan. Masalah pokok berkaitan langsung dengan tema, namun tema sering berisi abstraksi yang lebih umum, sedang masalah pokok lebih konkret (Nurgiyantoro, 1998: 19). Tema adalah gagasan, ide atau pikiran yang mendasari suatu karya sastra (Panuti-Sudjiman, 1991: 50). Sebagai dasar suatu karya sastra, tema menjadi tumpuan pengembangan seluruh cerita. Tema ini menjiwai seluruh bagian cerita karena tema merupakan kesimpulan dari keseluruhan cerita. Tema tidak hanya mewakili bagian-bagian tertentu saja (Nurgiyantoro, 1995: 68). Tema harus menjadi bagian integral dari sebuah karya sastra. Tema membentuk kesatuan cerita dan membuat keseluruhan peristiwa di dalam karya sastra menjadi lebih berarti. Peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam karya sastra bukan peristiwa yang lepas dan dapat berdiri sendiri tanpa hubungan yang jelas.

27 27 Tema dipilih dan diangkat dari berbagai masalah yang berkembang dalam karya sastra (Nurgiyantoro, 1998: 71). Masalah-masalah tersebut muncul secara bersamaan dan mendukung ide atau tujuan utamanya. Tema berangkat dari masalah pokok yang terdapat dalam karya sastra itu. Nurgiyantoro (1998: 85-86) mengatakan bahwa usaha menemukan dan memahami masalah utama itu merupakan usaha untuk menentukan tema sebuah karya sastra. Unsur latar dalam karya sastra merupakan landas tumpu yang menunjuk pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwaperistiwa yang diceritakan (Abrams, 1981: 175). Latar sebagai segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra (Panuti-Sudjiman, 1991: 44). Unsur latar dalam karya sastra dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar sosial (Nurgiyantoro, 1998: 227) Ketiga unsur latar ini membangun karya sastra secara bersamaan karena ketiganya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya.

28 28 Latar tempat mengacu pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam karya sastra. Unsur tempat itu menunjuk pada tempat dengan nama-nama tertentu, inisial tertentu, atau lokasi tertentu tanpa nama jelas. Pengangkatan suasana kedaerahan, sesuatu yang mencerminkan unsur local color, akan menyebabkan latar tempat menjadi unsur yang dominan dalam karya yang bersangkutan. Tempat menjadi sesuatu yang bersifat khas, tipikal, dan fungsional (Nurgiyantoro, 1998: 228). Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar waktu tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, yaitu waktu yang ada kaitannya dengan peristiwa sejarah atau perkembangan zaman. Latar waktu dalam fiksi dapat menjadi dominan dan fungsional jika digarap secara teliti, terutama jika dihubungkan dengan waktu sejarah (Nurgiyantoro, 1998: 230). Latar sosial mengacu pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat-istiadat,

29 29 tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir, cara bersikap, dan lain-lain (Nurgiyantoro, 1998: 233). Warna lokal suatu daerah dapat dilihat dalam latar sosial masyarakat. Penggunaan bahasa daerah atau dialek-dialek tertentu juga mendukung penggambaran warna lokal dalam karya sastra (Nurgiyantoro, 1998: 235). Unsur fakta cerita yang kedua adalah penokohan. Tokoh cerita adalah individu rekaan yang mengalami berbagai peristiwa atau perlakuan di dalam berbagai peristiwa cerita (Panuti-Sudjiman, 1991: 16). Tokoh itu hadir di dalam cerita membawa pesan yang ingin disampaikan kepada pembaca. Abrams (1981: 20) menyebut tokoh cerita dengan karakter (character), yaitu orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Istilah penokohan mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Penokohan sekaligus menyaran pada teknik perwujudan dan pengembang-

30 30 an tokoh dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 1998: 166). Tokoh cerita juga menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca (Nurgiyantoro, 1998: 167). Tokoh dalam cerita dibedakan menjadi tokoh utama dan tokoh pembantu. Ada juga yang membedakan menjadi tokoh protagonis dan antagonis. Unsur fakta cerita yang ketiga adalah plot atau alur cerita. Alur merupakan cerita yang berisi urutan kejadian yang dihubungkan secara sebab akibat. Hubungan cerita dalam karya sastra mengandung unsur kausalitas sehingga peristiwa yang satu dalam cerita menyebabkan munculnya peristiwa yang lain (Nurgiyantoro, 1998: 113). Hubungan kausalitas dalam suatu alur tidak hanya menunjukkan urutan waktu secara lurus saja tetapi urutan waktu itu juga dapat berjalan ke mundur, peristiwa sekarang kemudian menceritakan peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelumnya sehingga dikenal adanya alur maju atau progresif dan alur mundur atau sorot-balik.

31 Sosiologi Sastra Teori sosiologi sastra dilatarbelakangi oleh fakta bahwa keberadaan karya sastra tidak dapat terlepas dari realitas sosial yang terjadi dalam masyarakat. Seperti yang pernah dikemukakan oleh Damono (1979: 17) bahwa karya sastra tidak jatuh begitu saja dari langit, tetapi selalu ada hubungan antara sastrawan, sastra, dan masyarakat. Ada hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat. Sebagai salah satu pendekatan dalam kritik sastra, sosiologi sastra mengacu pada cara memahami dan menilai sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan (sosial). Sastra pada dasarnya menyajikan sebuah gambaran kehidupan. Kehidupan dalam karya sastra sebagian besar terdiri atas kenyataan sosial (Wellek dan Warren, 1990: 109). Menurut Wellek dan Warren (1990: 113) sosiologi sastra diklasifikasikan menjadi tiga tipe, yaitu (1) sosiologi pengarang, (2) sosiologi karya, dan (3) sosiologi pembaca dan dampak sosial karya sastra. Dalam sosiologi pengarang ditelaah latar belakang sosial, status sosial pengarang, dan ideologi pengarang yang terlihat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra. Dalam sosiologi, karya ditelaah isi karya sastra, tujuan, serta hal-

32 32 hal yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan yang berkaitan dengan masalah sosial. Dalam sosiologi pembaca dan dampak sosial karya sastra ditelaah sejauhmana sastra ditentukan atau tergantung dari latar sosial, perubahan, dan perkembangan sosial. Dalam perkembangan selanjutnya, pendekatan sosiologi sastra memiliki berbagai varian, yang msing-masing memiliki kerangka teori dan metode sendiri. Dalam hal ini, Junus (1986: 36) membedakan sejumlah pendekatan sosiologi sastra ke dalam beberapa macam, yaitu (1) sosiologi sastra yang mengkaji karya sastra sebagai dokumen sosial budaya, (2) sosiologi sastra yang mengkaji penghasilan dan pemasaran karya sastra, (3) sosiologi sastra yang mengkaji penerimaan masyarakat terhadap karya sastra seorang penulis tertentu dan apa sebabnya, (4) sosiologi sastra yang mengkaji pengaruh sosial budaya terhadap penciptaan karya sastra, (5) sosiologi sastra yang mengkaji mekanisme universal seni, termasuk karya sastra, dan (6) strukturalisme genetik yang dikembangkan oleh Lucien Goldmann dari Perancis. Teori sosiologi sastra yang digunakan dalam penelitian ini adalah sosiologi karya, yaitu sosiologi sastra yang mengkaji

33 33 sastra sebagai dokumen sosial budaya, sastra sebagai cermin masyarakat. Karya sastra dianggap sebagai sebuah usaha untuk menciptakan kembali hubungan manusia dengan kekeluargaan, masyarakat, politik, agama, dan lain-lain karena memungkinkannya untuk menjadi satu alternatif aspek estetis untuk menyesuaikan diri serta melakukan perubahan dalam suatu masyarakat (Swingewood, 1972: 12). Sosiologi sastra mengupas sebuah karya sastra sekaligus dalam hubungannya dengan masyarakat yang melatarbelakangi. Analisis sosiologi sastra tidak bermaksud untuk mereduksikan hakikat dunia imajinatif ke dalam fakta. Sebaliknya, sosiologi sastra juga tidak bermaksud melegitimasikan hakikat fakta ke dalam dunia imajinasi (Ratna, 2003: 117). Dalam esainya yang berjudul Literature and Society, Ian Watt (dalam Damono, 1979: 3-6; Faruk, 1994: 4-5) membicarakan hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat yang dikelompokkan menjadi tiga kelompok. Pertama, konteks sosial pengarang, kedua, sastra sebagai cermin masyarakat, dan ketiga adalah dampak sosial sebuah karya sastra pada pembacanya.

34 Semiotik Semiotik merupakan cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, misalnya sistem tanda dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda (Zoest, 1993: 1). Selanjutnya, Pradopo (1997: 121) menyatakan bahwa dalam pengertian tanda ada dua prinsip yang perlu diperhatikan, yaitu penanda (signifier) atau yang menandai dan petanda (signified) atau yang ditandai. Berkaitan dengan penanda dan petanda ini, Peirce (dalam Zoest, 1993: 24-24, Pradopo, 1997: 121) menyatakan bahwa ada tiga macam tanda, yaitu, (1) ikon adalah tanda yang penanda dan petandanya menujukkan ada hubungan yang bersifat alamiah, yaitu penanda sama dengan petandanya, (2) indeks adalah tanda yang penanda dan petandanya menujukkan adanya hubungan alamiah yang bersifat kausalitas, (3) simbol adalah tanda yang penanda dan petandanya tidak menujukkan adanya hubungan alamiah; hubungan arbitrer (semau-maunya), hubungan antara penanda dan petanda bersifat konvensi. Karya sastra merupakan struktur tanda-tanda yang bermakna, tanpa memperhatikan sistem tanda, dan maknanya

35 35 serta konvensi tanda, maka struktur karya sastra tidak dapat dimengerti maknanya secara optimal. Dengan demikian, metode semiotik dalam pemaknaan sastra itu berupa pencarian tanda-tanda yang penting sebab keseluruhan sastra itu merupakan tanda-tanda, baik berupa ikon, indeks, atau simbol. Karena tanda-tanda itu mempunyai makna berdasarkan konvensi, maka memberi makna itu harus mencari konvensi-konvensi apa yang menyebabkan tanda-tanda itu mempunyai arti atau makna. Karya sastra dianggap sebagai ragam pemaknaan dan komunikasi dan setiap orang harus mengidentifikasikan pengaruh pemaknaan yang dikehendakinya (Culler,1981: 49). Pada saat komunikasi berlangsung, sejak itu pula, penafsiranpenafsiran dapat direkam. Pernyataan Culler tersebut sama dengan pernyataan Preminger (dalam Pradopo, 1995: ) yang menyatakan bahwa studi semiotik sastra adalah usaha untuk mengkaji suatu sistem tanda-tanda dan menentukan konvensi-konvensi yang memungkinkan karya sastra tersebut memiliki makna. Dalam proses signifikansi karya sastra, perlu diketahui bahwa struktur bermakna dalam karya sastra dibentuk

36 36 berdasarkan susunan bahasa. Bahasa itu sendiri merupakan sistem semiotik tingkat pertama yang sudah memiliki arti, sedangkan bahasa dalam karya sastra ialah sistem semiotik tingkat kedua yang maknanya ditentukan bersama-sama berdasarkan konvensi sastra (Pradopo, 1997: 122). Karya fiksi pun mempunyai konvensi-konvensi sendiri yang lain dari konvensi puisi, misalnya konvensi yang berhubungan dengan bentuk cerita yang sifat naratifnya, misalnya plot, penokohan, latar atau setting, dan pusat pengisahan (point of view). Di samping itu, karya sastra juga mempunyai konvensi kebahasaan yang berupa gaya bahasa. Elemen-elemen cerita rekaan (fiksi) itu merupakan satuan-satuan tanda yang harus dianalisis. Dengan demikian, bahasa dalam karya sastra ditentukan oleh konvensi sastra itu sendiri sehingga timbullah arti yang baru. Jadi, arti sastra itu merupakan arti dari arti (meaning of meaning) dan untuk membedakannya (dari arti bahasa), arti dalam sastra disebut makna (significance). Berkaitan dengan hal ini, Riffaterre (1978: 3) meletakkan istilah arti bagi informasi yang disampaikan teks pada taraf mimetik. Berdasarkan sudut pandang arti tersebut, karya sastra adalah unit-unit informasi yang berurutan,

37 37 sedangkan dari sudut pandang signifikansi, karya sastra adalah satuan unit semantik. Teks sastra dalam analisis semiotik dianggap merupakan sistem tanda sebagai alat komunikasi antara penulis dengan pembaca. Mukarovsky (dalam Fokkema dan Kunne Ibsch, 1977: 31) memperkenalkan dua aspek dalam tanda sastra, yaitu artefak dan objek estetis. Artefak adalah penanda sastra atau karya seni sastra sebagai tanda. Artefak tetap sama pada pembaca siapa pun. Objek estetis adalah petanda sastra atau pengertian yang dikonkretkan oleh pembaca. Objek estetis selalu berubah tergantung pada pengetahuan dan pengalaman pembaca masing-masing (Luxemburg, dkk., 1984: 37-38). Untuk memperoleh makna teks sastra yang optimal secara semiotik, teks harus dilihat hipogramnya. Hipogram adalah satu kata, frase, atau kutipan ataupun ungkapan klise yang mereferensi pada kata/frase yang sudah ada sebelumnya (Riffaterre, 1978: 23). Hipogram ini dapat bersifat potensial ataupun aktual. Hipogram potensial dapat dilihat pada bahasa atau segala bentuk implikasi dari makna kebahasaan, baik yang berupa presuposisi maupun makna konotatif yang sudah dianggap umum di dalam karya sastra itu sendiri meskipun

38 38 tidak secara langsung diekspresikan. Hipogram aktual dapat dilihat pada teks-teks terdahulu atau yang ada sebelumnya, baik berupa mitos maupun karya sastra lain. Karya sastra tidak lahir dalam situasi kekosongan sosial budaya (Teeuw, 1980: 11). Riffaterre (1978: 23), juga menyatakan bahwa sebuah puisi/karya sastra merupakan respons atau jawaban terhadap teks-teks lain sebelumnya. Respons tersebut dapat berupa pertentangan atau penerusan tradisi dan dapat pula sekaligus, baik berupa penentangan maupun penerusan tradisi. Sebuah karya sastra merupakan sintesis yang kompleks antara afirmasi dan negasi dengan teks-teks lain sebelumnya. Tiap teks merupakan sebuah mosaik kutipan-kutipan, tiap teks merupakan penyerapan dan transformasi dari teks-teks lain (Kristeva dalam Culler, 1981: 107). Penyimpangan atau penentangan itu bisa sebagian atau seluruh bentuk formalnya; sedangkan isi pikiran, ide, masalah, tema, dan amanatnya sama. Dapat juga teks baru bentuk formalnya sama dalam arti melanjutkan konvensi-konvensi yang telah ada, sebagian atau seluruhnya; sedangkan isi pikiran, ide, masalah, tema, dan amanatnya berbeda dengan teks yang telah ada sebelumnya (Teeuw, 1984: ).

39 39 Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah strukturalisme, sosiologi sastra, dan semiotik. Ketiga teori tersebut digunakan untuk menganalisis bentuk warna lokal Jawa dalam novel Indonesia Periode dan fungsi warna lokal Jawa tersebut dalam membangun cerita secara keseluruhan Metode Penelitian Pendekatan Penelitian Penggunaan metode dalam penelitian ini didasari oleh pendekatan yang berupa wawasan-wawasan tentang karya sastra (novel). Karya sastra mempunyai karakteristik tersendiri dan dinyatakan sebagai fenomena sosial budaya. Untuk dapat memahami nilai (value) dalam karya sastra (novel) dilakukan melalui pemahaman tentang makna yang hadir secara konkret dari teks karya sastra dan makna yang dihadirkan sendiri oleh pembaca (peneliti) sendiri berdasarkan makna dasarnya (literal). Metode yang relevan dengan karakteristik karya sastra sebagaimana diuraikan di atas, yakni metode kualitatif. Karakteristik metode kualitatif dianggap relevan dengan karya sastra disebabkan, antara lain (1) data dalam penelitian kualitatif dikumpulkan secara langsung dari situasi sebagaimana adanya,

40 40 karena fenomena memperlihatkan maknanya secara penuh dalam konteksnya, dan (2) peneliti sendiri merupakan instrumen kunci baik dalam pengumpulan maupun analisis data. Proses penelitian lebih merupakan penafsiran logika untuk mendapatkan makna dari sumber data yang diteliti yang berupa novel Subjek Penelitian Subjek penelitian ini adalah semua novel Indonesia yang diterbitkan dalam kurun waktu 1980 sampai tahun 1995 yang di dalamnya terungkap warna lokal Jawa. Dalam penelitian ini dibatasi pada novel-novel yang diterbitkan antara tahun 1980 sampai dengan 1995 karena dalam tahun-tahun tersebut banyak novel yang mengangkat warna lokal, terutama warna lokal Jawa. Jassin (2000: 535) menyatakan bahwa dalam sejarah kesusasteraan, setiap 15 atau 25 tahun akan timbul generasi baru. Selanjutnya, untuk menentukan subjek penelitian digunakan teknik purposif berdasarkan pertimbangan logis. Novel-novel yang dipilih sebagai subjek penelitian adalah novel yang di dalamnya dominan mengandung dan mengekspresikan unsur-unsur warna lokal Jawa lebih banyak sehingga tidak

41 41 semua novel yang mengandung warna lokal Jawa menjadi subjek penelitian. Novel-novel Indonesia yang dipilih menjadi sumber data dipandang menampilkan, membayangkan, dan menghadirkan warna lokal Jawa secara dominan. Yang menjadi sumber data penelitian berarti novel-novel yang mengandung warna lokal Jawa lebih kuat. Selain itu, novel-novel tersebut ditulis oleh sastrawan Indonesia yang berasal dan berangkat dari etnis Jawa, yang menghayati dan mengerti masyarakat dan budaya Jawa, serta memiliki pandangan yang positif terhadap budaya Jawa. Karena para pengarang novel yang dijadikan subjek penelitian ini berasal dari Jawa maka dapat diprediksi bahwa mereka memahami budaya Jawa dan dalam novel yang ditulisnya juga banyak mengungkap budaya Jawa sebagai warna lokalnya. Dengan teknik tersebut, diperoleh novel-novel berikut: 1) Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari terbitan tahun 1982, penerbit PT Gramedia, tebal 174 halaman. Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari bercerita tentang kehidupan Srintil bersama Rasus sebagai tokoh utama sejak kecil sampai menjadi seorang ronggeng di

42 42 Dukuh Paruk. Srintil anak Dukuh Paruk yang yatim piatu akibat bencana tempe bongkrek. Srintil diasuh oleh kakek neneknya dan setelah diketahui bahwa ia telah kerasukan indang ronggeng dan mendapat restu arwah Ki Secamenggala, ia diserahkan kepada Kertareja, dukun ronggeng untuk dididik menjadi seorang ronggeng. 2) Lintang Kemukus Dini Hari karya Ahmad Tohari terbitan tahun 1985, penerbit PT Gramedia, tebal 209 halaman. Novel Lintang Kemukus Dini Hari merupakan kelanjutan cerita dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk. Cerita berawal ketika Srintil ditinggalkan oleh Rasus tanpa pesan sedikitpun kepadanya. Srintil jatuh cinta pada Rasus tapi ia ditinggalkannya. Kehidupan Srintil sebagai gowok dan ketenaran Srintil sebagai Ronggeng Rakyat pada masa pergerakan partai komunis. 3) Jantera Bianglala karya Ahmad Tohari terbitan tahun 1986, penerbit PT Gramedia, tebal 231 halaman. Novel Jantera Bianglala juga merupakan kelanjutan novel Ronggeng Dukuh Paruk dan Lintang Kemukus Dini Hari.

43 43 Dalam novel ini diceritakan kelanjutan kisah Srintil dan Dukuh Paruk yang sudah porak poranda. Setelah lama tidak pulang, Rasus akhirnya pulang ke Dukuh Paruk menemui neneknya sampai akhirnya neneknya meningal. Dari Sakarya, Rasus tahu kalau Srintil di tahan tapi ia tidak tahu di mana tempat penahanannya. Srintil menjadi hilang ingatan dan Rasuslah yang menolongnya. 4) Para Priyayi karya Umar Kayam cetakan keempat, terbit tahun 1993, penerbit PT Pustaka Utama Grafiti, tebal 308 halaman. Novel Para Priyayi karya Umar Kayam ini bercerita tentang keluarga besar Sastrodarsono, keluarga priyayi yang berasal dari keturunan orang biasa, yaitu seorang petani. Status priyayi Sastrodarsono berawal dari pekerjaannya sebagai seorang guru di desa kemudian dinikahkan dengan Siti Aisah, putri seorang priyayi rendahan yang menjabat sebagai Mantri candu bernama Mukarom. Dari perkawinannya tersebut Sastrodarsono dikaruniai tiga orang anak. Selain ketiga anaknya tersebut, di rumah Sastrodarsono juga ada Lantip yang ikut mengabdi. Dalam

44 44 membina keluarga, Sastrodarsono selalu berpedoman pada etika dan budaya priyayi Jawa. 5) Burung Burung Manyar karya YB. Mangunwijaya terbit tahun 1981, penerbit Djambatan, tebal 319 halaman. Novel Burung-Burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya ini bercerita tentang tokoh Setadewa dan Larasati yang berlatar perang kemerdekaan Indonesia. Hipogram novel ini adalah cerita wayang yang diceritakan pada awal novel dengan judul prawayang. Kedua tokoh dalam novel ini berteman sejak kanak-kanak, tetapi pada masa remajanya berpisah karena Larasati berpihak pada Republik dan Setadewa berpihak pada KNIL. Setelah perang selesai, Larasati bekerja di Kementerian Luar Negeri sedangkan Setadewa pergi meninggalkan Indonesia dan melanjutkan studinya di Harvard dan menjadi pakar komputer. Ketika kembali ke Indonesia, ia bertemu kembali dengan Larasati yang sudah berkeluarga. 6) Durga Umayi Karya Y.B. Mangunwijaya, cetakan pertama, terbitan tahun 1991, penerbit PT Pustaka Utama Grafiti, tebal 188 halaman.

45 45 Novel Durga Umayi karya Y.B. Mangunwijaya ini berhipogram cerita wayang yang diceritakan pada awal cerita dengan judul prawayang. Bercerita tentang kehidupan Iin Sulinda Pertiwi sejak kecil bersama kembar dampitnya Kang Brojol. Kehidupan waktu kanak-kanaknya di Magelang, menjadi pembantu rumah tangga Sang Proklamator di Jakarta, pindah ke Yogyakarta dan ikut berjuang bersama rakyat sampai akhirnya tetangkap musuh. Setelah Indonesia merdeka, Iin menjadi pelacur kelas tinggi. Dia beberapa kali operasi plastik mengubah wajahnya. 7) Pasar karya Kuntowijoyo, cetakan pertama, terbitan tahun 1994, penerbit PT. Bentang Intervisi Utama, tebal 271 halaman. Novel Pasar karya Kutowijoyo bercerita tentang kehidupan Pak Mantri Pasar bersama pembantunya, Paijo yang tukang karcis dan sekaligus tukang kebersihan pasar. Kehidupan priyayi dan masyarakat Jawa menjadi latar dalam novel ini. Dalam mengelola pasar bersama Paijo, Pak Mantri memiliki seteru yang tinggalnya di depan pasar, yaitu Kasan Ngali.

BAB V PENUTUP. dalam novel-novel yang ditulis oleh para pengarang yang berasal. dari Jawa. Deskripsi warna lokal Jawa dalam novel Indonesia terdiri

BAB V PENUTUP. dalam novel-novel yang ditulis oleh para pengarang yang berasal. dari Jawa. Deskripsi warna lokal Jawa dalam novel Indonesia terdiri 264 BAB V PENUTUP 5. 1 Kesimpulan Warna lokal Jawa, dalam novel Indonesia periode 1980 1995, cukup banyak dan dominan. Warna lokal tersebut tersebar dalam novel-novel yang ditulis oleh para pengarang yang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sosiologi dan Sastra Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, sedangkan objek ilmu-ilmu kealaman adalah gejala alam. Masyarakat adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara etimologis kata kesusastraan berasal dari kata su dan sastra. Su berarti

BAB I PENDAHULUAN. Secara etimologis kata kesusastraan berasal dari kata su dan sastra. Su berarti BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara etimologis kata kesusastraan berasal dari kata su dan sastra. Su berarti baik dan sastra (dari bahasa Sansekerta) berarti tulisan atau karangan. Dari pengertian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra bersumber dari kenyataan yang berupa fakta sosial bagi masyarakat sekaligus sebagai pembaca dapat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra bersumber dari kenyataan yang berupa fakta sosial bagi masyarakat sekaligus sebagai pembaca dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra bersumber dari kenyataan yang berupa fakta sosial bagi masyarakat sekaligus sebagai pembaca dapat memberikan tanggapannya dalam membangun karya sastra.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Semua penelitian ilmiah dimulai dengan perencanaan yang seksama, rinci, dan mengikuti logika yang umum, Tan (dalam Koentjaraningrat, 1977: 24). Pada dasarnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sastra sangat dipengaruhi oleh bahasa dan aspek-aspek lain. Oleh karena

BAB I PENDAHULUAN. sastra sangat dipengaruhi oleh bahasa dan aspek-aspek lain. Oleh karena BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra merupakan suatu karya seni yang disampaikan oleh seorang sastrawan melalui media bahasa. Keindahan dalam suatu karya sastra sangat dipengaruhi oleh bahasa

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. sosialnya. Imajinasi pengarang dituangkan dalam bentuk bahasa yang kemudian

PENDAHULUAN. sosialnya. Imajinasi pengarang dituangkan dalam bentuk bahasa yang kemudian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra merupakan imajinasi pengarang yang dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya. Imajinasi pengarang dituangkan dalam bentuk bahasa yang kemudian dinikmati oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia serta segala problema kehidupannya tidak dapat terpisah-pisah. Sastra

BAB I PENDAHULUAN. manusia serta segala problema kehidupannya tidak dapat terpisah-pisah. Sastra BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra dan kehidupan manusia merupakan satu kesatuan. Sastra dan manusia serta segala problema kehidupannya tidak dapat terpisah-pisah. Sastra muncul sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ataupun kitab-kitab pengajaran, Teeuw dalam Susanto (2012 : 1).

BAB I PENDAHULUAN. ataupun kitab-kitab pengajaran, Teeuw dalam Susanto (2012 : 1). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Secara etimologis sastra atau sastera berasal dari bahasa Sansekerta yang terdiri dari akar kata Cas atau sas dan tra. Cas dalam bentuk kata kerja yang diturunkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra dapat dikatakan bahwa wujud dari perkembangan peradaban

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra dapat dikatakan bahwa wujud dari perkembangan peradaban BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Karya sastra dapat dikatakan bahwa wujud dari perkembangan peradaban manusia sesuai dengan lingkungan karena pada dasarnya, karya sastra itu merupakan unsur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan seni yang bermediumkan bahasa dan dalam proses terciptanya melalui intensif, selektif, dan subjektif. Penciptaan suatu karya sastra bermula

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut tersebar di daerah-daerah sehingga setiap daerah memiliki kebudayaan yang berbeda-beda.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan wujud dari pengabdian perasaan dan pikiran pengarang yang muncul ketika ia berhubungan dengan lingkungan sekitar. Sastra dianggap sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra lahir dari hasil kreatifitas dan imajinasi manusia, serta pemikiran dan

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra lahir dari hasil kreatifitas dan imajinasi manusia, serta pemikiran dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra lahir dari hasil kreatifitas dan imajinasi manusia, serta pemikiran dan juga pengalaman yang dimiliki oleh individu atau kelompok. Keindahan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari buku-buku pendukung yang relevan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari buku-buku pendukung yang relevan BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kepustakaan Yang Relevan Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari buku-buku pendukung yang relevan dengan judul skripsi, buku-buku yang digunakan dalam pengkajian ini adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penikmatnya. Karya sastra ditulis pada kurun waktu tertentu langsung berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. penikmatnya. Karya sastra ditulis pada kurun waktu tertentu langsung berkaitan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra terbentuk atas dasar gambaran kehidupan masyarakat, karena dalam menciptakan karya sastra pengarang memadukan apa yang dialami dengan apa yang diketahui

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pada jiwa pembaca. Karya sastra merupakan hasil dialog manusia dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. pada jiwa pembaca. Karya sastra merupakan hasil dialog manusia dengan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan hasil imajinasi manusia yang dapat menimbulkan kesan pada jiwa pembaca. Karya sastra merupakan hasil dialog manusia dengan problematika yang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. penelitian yang ditemukan oleh para peneliti terdahulu yang berhubungan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. penelitian yang ditemukan oleh para peneliti terdahulu yang berhubungan BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka menjelaskan gagasan, pemikiran atau hasil-hasil penelitian yang ditemukan oleh para peneliti terdahulu yang berhubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagaimana dikatakan Horatio (Noor, 2009: 14), adalah dulce et utile

BAB I PENDAHULUAN. sebagaimana dikatakan Horatio (Noor, 2009: 14), adalah dulce et utile BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra merupakan struktur dunia rekaan, artinya realitas dalam karya sastra adalah realitas rekaan yang tidak sama dengan realitas dunia nyata. Karya sastra itu

Lebih terperinci

PERBANDINGAN NILAI BUDAYA PADA NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK KARYA AHMAD TOHARI DENGAN NOVEL JANGIR BALI KARYA NUR ST. ISKANDAR.

PERBANDINGAN NILAI BUDAYA PADA NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK KARYA AHMAD TOHARI DENGAN NOVEL JANGIR BALI KARYA NUR ST. ISKANDAR. PERBANDINGAN NILAI BUDAYA PADA NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK KARYA AHMAD TOHARI DENGAN NOVEL JANGIR BALI KARYA NUR ST. ISKANDAR. Hj. Yusida Gloriani dan Siti Maemunah Pendidikan Bahasa dan Sastra Inonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial yang terdapat di

BAB I PENDAHULUAN. pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial yang terdapat di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial yang terdapat di sekitarnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan norma-norma dan adat istiadat pada saat karya sastra tersebut

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan norma-norma dan adat istiadat pada saat karya sastra tersebut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra dipandang sebagai gejala sosial, sebab pada umumnya langsung berkaitan dengan norma-norma dan adat istiadat pada saat karya sastra tersebut dibuat. Hasil

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN KAJIAN PUSTAKA

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN KAJIAN PUSTAKA BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN KAJIAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep merupakan aspek penting dalam penelitian. Konsep berfungsi untuk menghindari kegiatan penelitian dari subjektifitas peneliti serta mengendalikan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sastrawan yang dicetak pun semakin banyak pula dengan ide-ide dan karakter. dengan aneka ragam karya sastra yang diciptakan.

BAB 1 PENDAHULUAN. Sastrawan yang dicetak pun semakin banyak pula dengan ide-ide dan karakter. dengan aneka ragam karya sastra yang diciptakan. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra merupakan hasil kreasi sastrawan melalui kontemplasi dan refleksi setelah menyaksikan berbagai fenomena kehidupan dalam lingkungan sosialnya. Fenomena kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan sebuah cerita fiksi atau rekaan yang dihasilkan lewat proses kreatif dan imajinasi pengarang. Tetapi, dalam proses kreatif penciptaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra sebagai karya seni bersifat kreatif, artinya sebagai hasil ciptaan manusia

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra sebagai karya seni bersifat kreatif, artinya sebagai hasil ciptaan manusia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Karya sastra sebagai karya seni bersifat kreatif, artinya sebagai hasil ciptaan manusia yang berupa karya bahasa. Dari zaman ke zaman sudah banyak orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sejalan dengan perkembangan masyarakatnya. Hal tersebut dapat dilihat

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sejalan dengan perkembangan masyarakatnya. Hal tersebut dapat dilihat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesusastraan pada umumnya selalu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Demikian halnya dengan kesusastraan Indonesia. Perkembangan kesusastraan Indonesia sejalan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka merupakan bahan acuan yang dipakai dalam penelitian sekaligus sebagai sumber ide untuk menggali pemikiran dan gagasan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI. Dalam melakukan sebuah penelitian memerlukan adanya kajian pustaka.

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI. Dalam melakukan sebuah penelitian memerlukan adanya kajian pustaka. BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Dalam melakukan sebuah penelitian memerlukan adanya kajian pustaka. Kajian pustaka merupakan pedoman terhadap suatu penelitian sekaligus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seorang pengarang yang dituangkan melalui kata-kata yang indah sehingga. berbentuk tulisan dan karya sastra berbentuk lisan.

BAB I PENDAHULUAN. seorang pengarang yang dituangkan melalui kata-kata yang indah sehingga. berbentuk tulisan dan karya sastra berbentuk lisan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan sebuah hasil ciptaan manusia yang mengandung nilai keindahan yang estetik. Sebuah karya sastra menjadi cermin kehidupan yang terjadi pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karya seni yang memiliki kekhasan dan sekaligus sistematis. Sastra adalah

BAB I PENDAHULUAN. karya seni yang memiliki kekhasan dan sekaligus sistematis. Sastra adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya merupakan hasil kreasi sastrawan melalui kontemplasi dan refleksi setelah menyaksikan berbagai fenomena kehidupan dalam lingkungan sosialnya (Al- Ma ruf 2009:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. puisi. Latar belakang kehidupan yang dialami pengarang, sangat berpengaruh

BAB I PENDAHULUAN. puisi. Latar belakang kehidupan yang dialami pengarang, sangat berpengaruh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahirnya sebuah karya sastra tentu tidak akan terlepas dari kehidupan pengarang baik karya sastra yang berbentuk novel, cerpen, drama, maupun puisi. Latar belakang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Karya sastra muncul karena karya tersebut berasal dari gambaran kehidupan

BAB 1 PENDAHULUAN. Karya sastra muncul karena karya tersebut berasal dari gambaran kehidupan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra selalu muncul dari zaman ke zaman di kalangan masyarakat. Karya sastra muncul karena karya tersebut berasal dari gambaran kehidupan manusia yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. 1 Drs. Atar Semi. Kritik Sastra, 1984: Ibid. Hal. 52.

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. 1 Drs. Atar Semi. Kritik Sastra, 1984: Ibid. Hal. 52. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesusastraan merupakan sebuah bentuk ekspresi atau pernyataan kebudayaan dalam suatu masyarakat. Sebagai ekspresi kebudayaan, kesusastraan mencerminkan sistem sosial,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karya sastra tidak lahir dalam situasi kekosongan budaya, budaya tidak hanya. konvensi atau tradisi yang mengelilinginya.

BAB I PENDAHULUAN. karya sastra tidak lahir dalam situasi kekosongan budaya, budaya tidak hanya. konvensi atau tradisi yang mengelilinginya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra diciptakan oleh pengarang untuk dipahami dan dinikmati oleh pembaca pada khususnya dan oleh masyarakat pada umumnya. Hal-hal yang diungkap oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Karya sastra adalah sebuah struktur yang kompleks. Oleh karena itu, untuk dapat memahaminya haruslah karya sastra dianalisis. Dalam analisis itu karya sastra diuraikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu

BAB I PENDAHULUAN. dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia adalah makhluk hidup ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu berupa akal, cipta, rasa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sastra sebagai cabang dari seni, yang keduanya unsur integral dari

BAB I PENDAHULUAN. Sastra sebagai cabang dari seni, yang keduanya unsur integral dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sastra sebagai cabang dari seni, yang keduanya unsur integral dari kebudayaan. Usianya sudah cukup tua. Kehadiran hampir bersamaan dengan adanya manusia. Karena ia diciptakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sastra adalah karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sastra adalah karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra adalah karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan emosi yang spontan yang mampu mengungkapkan aspek estetik baik yang berdasarkan aspek kebahasaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra adalah salah satu bentuk karya seni yang pada dasarnya merupakan sarana menuangkan ide atau gagasan seorang pengarang. Kehidupan manusia dan pelbagai

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. bertumpu pada penelaahan kritis dan mendalam terhadap bahan-bahan pustaka yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. bertumpu pada penelaahan kritis dan mendalam terhadap bahan-bahan pustaka yang BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Telaah yang dilakukan untuk memecahkan suatu masalah pada dasarnya bertumpu pada penelaahan kritis dan mendalam terhadap bahan-bahan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. berjudul Citra Perempuan dalam Novel Hayuri karya Maria Etty, penelitian ini

BAB II LANDASAN TEORI. berjudul Citra Perempuan dalam Novel Hayuri karya Maria Etty, penelitian ini 12 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Penelitian Sejenis Penelitian lain yang membahas tentang Citra Perempuan adalah penelitian yang pertama dilakukan oleh Fitri Yuliastuti (2005) dalam penelitian yang berjudul

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. materi yang harus diajarkan dalam mata pelajaran Bahasa dan Sastra

BAB I PENDAHULUAN. materi yang harus diajarkan dalam mata pelajaran Bahasa dan Sastra 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Karya sastra, yaitu puisi, prosa (cerpen dan novel), dan drama adalah materi yang harus diajarkan dalam mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. indah setelah diberi arti oleh pembaca (Teeuw, 1984 : 91)

BAB I PENDAHULUAN. indah setelah diberi arti oleh pembaca (Teeuw, 1984 : 91) 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra adalah hasil cerminan dari sebuah budaya kelompok masyarakat yang menceritakan tentang interaksi manusia dengan lingkungannya dan merupakan hasil kegiatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sastra adalah bentuk seni yang diungkapkan oleh pikiran dan perasaan manusia dengan keindahan bahasa, keaslian gagasan, dan kedalaman pesan (Najid, 2003:7). Hal ini

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Nellasari Mokodenseho dan Dian Rahmasari. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Nellasari Mokodenseho dan Dian Rahmasari. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Relevan Sebelumnya Dari beberapa penelusuran, tidak diperoleh kajian yang relevan sebelumnya dengan penelitian ini. Adapun penelitian yang hampir sama adalah penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan sebuah karya fiksi yang berisi imajinasi seorang

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan sebuah karya fiksi yang berisi imajinasi seorang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra merupakan sebuah karya fiksi yang berisi imajinasi seorang pengarang dalam memaparkan berbagai permasalahan-permasalahan dan kejadian-kejadian dalam kehidupan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. mutakhir yang pernah diteliti oleh peneliti sebelumnya yang berkaitan dengan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. mutakhir yang pernah diteliti oleh peneliti sebelumnya yang berkaitan dengan BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka berfungsi untuk mengetahui faktor-faktor keaslian suatu penelitian. Kajian pustaka menjelaskan gagasan, pemikiran, atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan gambaran hasil rekaan seseorang yang. memiliki unsur-unsur seperti pikiran, perasaan, pengalaman, ide-ide,

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan gambaran hasil rekaan seseorang yang. memiliki unsur-unsur seperti pikiran, perasaan, pengalaman, ide-ide, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra merupakan gambaran hasil rekaan seseorang yang dituangkan dalam bahasa. Kegiatan sastra merupakan suatu kegiatan yang memiliki unsur-unsur seperti pikiran,

Lebih terperinci

intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh, latar, sudut pandang, dan lain-lain yang semuanya bersifat imajinatif. Novel adalah karya fiksi yang

intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh, latar, sudut pandang, dan lain-lain yang semuanya bersifat imajinatif. Novel adalah karya fiksi yang 1 PENDAHULUAN Karya sastra adalah salah satu bentuk karya seni yang pada dasarnya merupakan sarana menuangkan ide atau gagasan seorang pengarang. Kehidupan manusia dan berbagai masalah yang dihadapinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan antara sastra dengan bahasa bersifat dialektis (Wellek dan Warren,

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan antara sastra dengan bahasa bersifat dialektis (Wellek dan Warren, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra dan bahasa merupakan dua bidang yang tidak dapat dipisahkan. Hubungan antara sastra dengan bahasa bersifat dialektis (Wellek dan Warren, 1990:218).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun kehidupan sehari-hari. Seseorang dapat menggali, mengolah, dan

BAB I PENDAHULUAN. maupun kehidupan sehari-hari. Seseorang dapat menggali, mengolah, dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan ungkapan pikiran dan perasaan, baik tentang kisah maupun kehidupan sehari-hari. Seseorang dapat menggali, mengolah, dan mengekspresikan gagasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara etimologi sastra berasal dari bahasa sanskerta, sas artinya mengajar,

BAB I PENDAHULUAN. Secara etimologi sastra berasal dari bahasa sanskerta, sas artinya mengajar, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Secara etimologi sastra berasal dari bahasa sanskerta, sas artinya mengajar, memberi petunjuk atau intruksi, tra artinya alat atau sarana sehingga dapat disimpulkan

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. 9 Universitas Indonesia

BAB 2 LANDASAN TEORI. 9 Universitas Indonesia BAB 2 LANDASAN TEORI Sebagaimana telah disinggung pada Bab 1 (hlm. 6), kehidupan masyarakat dapat mengilhami sastrawan dalam melahirkan sebuah karya. Dengan demikian, karya sastra dapat menampilkan gambaran

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. suatu objek tertentu. Rene Wellek mengatakan bahwa sastra adalah institusi sosial

BAB 1 PENDAHULUAN. suatu objek tertentu. Rene Wellek mengatakan bahwa sastra adalah institusi sosial BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Rumusan Masalah 1.1.1. Latar Belakang Sastra 1 merupakan curahan hati manusia berupa pengalaman atau pikiran tentang suatu objek tertentu. Rene Wellek mengatakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sastra merupakan tulisan yang bernilai estetik dengan kehidupan manusia sebagai

I. PENDAHULUAN. Sastra merupakan tulisan yang bernilai estetik dengan kehidupan manusia sebagai 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sastra merupakan tulisan yang bernilai estetik dengan kehidupan manusia sebagai objeknya dan bahasa sebagai mediumnya. Menurut Esten (2000: 9), sastra merupakan pengungkapan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kajian pustaka adalah paparan atau konsep-konsep yang mendukung pemecahan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kajian pustaka adalah paparan atau konsep-konsep yang mendukung pemecahan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kepustakaan Yang Relevan Dalam menyusun sebuah karya ilmiah sangat diperlukan kajian pustaka. Kajian pustaka adalah paparan atau konsep-konsep yang mendukung pemecahan masalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sastra merupakan karya seni yang mengandung banyak estetika

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sastra merupakan karya seni yang mengandung banyak estetika BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra merupakan karya seni yang mengandung banyak estetika keindahan, dalam karya sastra itu sendiri banyak mengankat atau menceritakan suatu realitas yang terjadi

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. oleh peneliti terdahulu yang ada kaitannya dengan penelitian yang akan dilakukan.

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. oleh peneliti terdahulu yang ada kaitannya dengan penelitian yang akan dilakukan. BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Penelitian ini memuat tentang hasil hasil penelitian yang ditemukan oleh peneliti terdahulu yang ada kaitannya dengan penelitian yang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. karena kajian pustaka merupakan langkah awal bagi peneliti dalam

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. karena kajian pustaka merupakan langkah awal bagi peneliti dalam BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka mempunyai peranan penting dalam melakukan penelitian karena kajian pustaka merupakan langkah awal bagi peneliti dalam

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. penelitian, maka pada subbab ini akan dijelaskan rancangan-rancangan tersebut.

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. penelitian, maka pada subbab ini akan dijelaskan rancangan-rancangan tersebut. BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Agar peneliti dan pembaca mendapatkan gambaran yang jelas mengenai rancangan penelitian, maka pada subbab ini akan dijelaskan rancangan-rancangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil kreasi sastrawan melalui kontemplasi dan refleksi setelah menyaksikan berbagai fenomena kehidupan dalam lingkungan sosialnya. Fenomena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sangat dipengaruhi oleh bahasa dan aspek-aspek lain. Oleh karena itu, bagi

BAB I PENDAHULUAN. sangat dipengaruhi oleh bahasa dan aspek-aspek lain. Oleh karena itu, bagi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra merupakan suatu karya seni yang disampaikan oleh seorang sastrawan melalui media bahasa. Keindahan dalam suatu karya sastra sangat dipengaruhi oleh bahasa

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis kajian penelitian ini harus ada teori

BAB II LANDASAN TEORI. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis kajian penelitian ini harus ada teori BAB II LANDASAN TEORI Untuk mendeskripsikan dan menganalisis kajian penelitian ini harus ada teori pendukungnya antara lain; hakekat pendekatan struktural, pangertian novel, tema, amanat, tokoh dan penokohan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan sosial, dan karya sastra memiliki kaitan yang sangat erat. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan sosial, dan karya sastra memiliki kaitan yang sangat erat. Menurut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Moral, kebudayaan, kehidupan sosial, dan karya sastra memiliki ruang lingkup yang luas di kehidupan masyarakat, sebab sastra lahir dari kebudayaan masyarakat. Aspek

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. suatu karya seni yang berhubungan dengan ekspresi dan keindahan. Dengan kata

BAB II LANDASAN TEORI. suatu karya seni yang berhubungan dengan ekspresi dan keindahan. Dengan kata BAB II LANDASAN TEORI Seperti yang telah disebutkan dalam bab pendahuluan bahwa sastra adalah suatu karya seni yang berhubungan dengan ekspresi dan keindahan. Dengan kata lain, kegiatan sastra itu merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Sampai saat ini tidak banyak penelitian yang memperhatikan tentang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Sampai saat ini tidak banyak penelitian yang memperhatikan tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra anak masih terpinggirkan dalam khazanah kesusastraan di Indonesia. Sampai saat ini tidak banyak penelitian yang memperhatikan tentang sastra anak. Hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara etimologi, sastra berasal dari bahasa latin, yaitu literatur

BAB I PENDAHULUAN. Secara etimologi, sastra berasal dari bahasa latin, yaitu literatur BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara etimologi, sastra berasal dari bahasa latin, yaitu literatur (litera=huruf atau karya tulis). Dalam bahasa Indonesia karya sastra berasal dari bahasa sansakerta,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wellek dan Warren (1993:14) bahasa adalah bahan baku kesusastraan, seperti

BAB I PENDAHULUAN. Wellek dan Warren (1993:14) bahasa adalah bahan baku kesusastraan, seperti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra merupakan hasil karya cipta manusia yang mengandung daya imajinasi dengan menggunakan bahasa sebagai medianya. Menurut Wellek dan Warren (1993:14) bahasa

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret; (3) ling gambaran

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret; (3) ling gambaran BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep dan Landasan Teori 2.1.1 Konsep Konsep adalah (1) rancangan atau buram surat dan sebagainya; (2) ide atau pengertian yang diabstrakkan dari

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI. Kajian pustaka memuat uraian sistematis tentang teori-teori dasar dan konsep

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI. Kajian pustaka memuat uraian sistematis tentang teori-teori dasar dan konsep BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka memuat uraian sistematis tentang teori-teori dasar dan konsep atau hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti terdahulu

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka merupakan bahan acuan yang dipakai dalam penelitian sekaligus sebagai sumber ide untuk menggali pemikiran dan gagasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan hasil kreasi manusia yang indah, di dalamnya

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan hasil kreasi manusia yang indah, di dalamnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil kreasi manusia yang indah, di dalamnya terdapat daya kreatif dan daya imajinasi. Kedua kemampuan tersebut sudah melekat pada jiwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra adalah sebuah karya yang indah yang mempunyai banyak

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra adalah sebuah karya yang indah yang mempunyai banyak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra adalah sebuah karya yang indah yang mempunyai banyak makna dan banyak aspek didalamnya yang dapat kita gali. Karya sastra lahir karena ada daya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Warna lokal adalah kelokalitasan yang menggambarkan ciri khas dari suatu

I. PENDAHULUAN. Warna lokal adalah kelokalitasan yang menggambarkan ciri khas dari suatu 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Warna lokal adalah kelokalitasan yang menggambarkan ciri khas dari suatu daerah dalam karya sastra. Warna lokal yang dibangun dengan istilah atau ungkapan dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jepang juga dikenal sebagai negara penghasil karya sastra, baik itu karya sastra

BAB I PENDAHULUAN. Jepang juga dikenal sebagai negara penghasil karya sastra, baik itu karya sastra BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Jepang selain dikenal sebagai negara maju dalam bidang industri di Asia, Jepang juga dikenal sebagai negara penghasil karya sastra, baik itu karya sastra prosa,

Lebih terperinci

RAGAM TULISAN KREATIF. Muhamad Husni Mubarok, S.Pd., M.IKom

RAGAM TULISAN KREATIF. Muhamad Husni Mubarok, S.Pd., M.IKom RAGAM TULISAN KREATIF C Muhamad Husni Mubarok, S.Pd., M.IKom HAKIKAT MENULIS Menulis merupakan salah satu dari empat aspek keterampilan berbahasa. Menulis merupakan kemampuan menggunakan pola-pola bahasa

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Penelitian ini melibatkan beberapa konsep, antara lain sebagai berikut: 2.1.1 Gambaran Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:435), gambaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana

BAB I PENDAHULUAN. pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan bentuk realita dari hasil imajinasi dan pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana ekspresi pengarang saja,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diungkapkan dengan bahasa dan gaya bahasa yang menarik.

BAB I PENDAHULUAN. diungkapkan dengan bahasa dan gaya bahasa yang menarik. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan hasil cipta, kreasi, imajinasi manusia yang berbentuk tulisan, yang dibangun berdasarkan unsur ekstrinsik dan unsur instrinsik. Menurut Semi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra merupakan bagian dari kehidupan manusia, yang berkaitan dengan memperjuangkan kepentingan hidup manusia. Sastra merupakan media bagi manusia untuk berkekspresi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sastra diciptakan melalui kata-kata.sastra lahir dari representasi pikiran

BAB I PENDAHULUAN. Sastra diciptakan melalui kata-kata.sastra lahir dari representasi pikiran BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sastra diciptakan melalui kata-kata.sastra lahir dari representasi pikiran pengarang, tentu pengarang sebagai Tuhan kecil dalam dunianya memiliki gugusan ide yang direpresentasikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diistilahkan dengan proses cerita, proses narasi, narasi atau cerita berplot. Prosa

BAB I PENDAHULUAN. diistilahkan dengan proses cerita, proses narasi, narasi atau cerita berplot. Prosa BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Dunia kesusastraan mengenal prosa sebagai salah satu genre sastra di samping genre-genre lain. Prosa fiksi atau cukup disebut karya fiksi bisa juga diistilahkan dengan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI. peneliti memaparkan mengenai penelitian-penelitian yang pernah menganalisis tokoh utama

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI. peneliti memaparkan mengenai penelitian-penelitian yang pernah menganalisis tokoh utama BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Penelitian tentang tokoh utama dalam novel tentu sudah banyak diteliti. Berikut ini peneliti memaparkan mengenai penelitian-penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sastrawan kelas dunia. Begitu banyak karya sastra Jepang yang telah di

BAB I PENDAHULUAN. sastrawan kelas dunia. Begitu banyak karya sastra Jepang yang telah di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Jepang adalah salah satu negara maju di Asia yang banyak memiliki sastrawan kelas dunia. Begitu banyak karya sastra Jepang yang telah di terjemahkan dalam berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab pendahuluan ini akan diberikan gambaran mengenai latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab pendahuluan ini akan diberikan gambaran mengenai latar belakang 1 BAB I PENDAHULUAN Dalam bab pendahuluan ini akan diberikan gambaran mengenai latar belakang penelitian. Ruang lingkup penelitian dibatasi pada unsur intrinsik novel, khususnya latar dan objek penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mamak atau pulang ka bako (Navis,1984: ). Dengan kata lain dikenal

BAB I PENDAHULUAN. mamak atau pulang ka bako (Navis,1984: ). Dengan kata lain dikenal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkawinan dalam adat Minangkabau merupakan salah satu hal yang penting karena berhubungan erat dengan sistem kekerabatan matrilineal dan garis keturunan. Menurut alam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertentu. Kenyataan ini tidak dapat dipungkiri, bahwa sastra merupakan cerminan. nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat tertentu.

BAB I PENDAHULUAN. tertentu. Kenyataan ini tidak dapat dipungkiri, bahwa sastra merupakan cerminan. nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat tertentu. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Melalui karya sastra dapat diketahui eksistensi kehidupan suatu masyarakat di suatu tempat pada suatu waktu meskipun hanya pada sisi-sisi tertentu. Kenyataan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam karya sastra terdapat nilai-nilai kehidupan masyarakat yang dituangkan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam karya sastra terdapat nilai-nilai kehidupan masyarakat yang dituangkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Dalam karya sastra terdapat nilai-nilai kehidupan masyarakat yang dituangkan ke dalam bentuk tulisan dengan media bahasa. Orang dapat mengetahui nilai-nilai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Karya sastra merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia, selain memberikan hiburan juga sarat dengan nilai, baik nilai keindahan maupun nilai- nilai ajaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. analisis unsur intrinsiknya, yaitu unsur-unsur yang membangun karya sastra,

BAB I PENDAHULUAN. analisis unsur intrinsiknya, yaitu unsur-unsur yang membangun karya sastra, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sebuah karya sastra itu diciptakan pengarang untuk dibaca, dinikmati, ataupun dimaknai. Dalam memaknai karya sastra, di samping diperlukan analisis unsur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui ekspresi yang berupa tulisan yang menggunakan bahasa sebagai

BAB I PENDAHULUAN. melalui ekspresi yang berupa tulisan yang menggunakan bahasa sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra merupakan hasil cipta atau karya manusia yang dapat dituangkan melalui ekspresi yang berupa tulisan yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Selain itu sastra

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan cerminan, gambaran atau refleksi kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan cerminan, gambaran atau refleksi kehidupan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan cerminan, gambaran atau refleksi kehidupan yang terjadi di masyarakat ataupun kehidupan seseorang. Karya sastra merupakan hasil kreasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berarti di dalamnya bernuansakan suasana kejiwaan sang pengarang, baik

BAB I PENDAHULUAN. berarti di dalamnya bernuansakan suasana kejiwaan sang pengarang, baik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra merupakan hasil ungkapan kejiwaan seorang pengarang, yang berarti di dalamnya bernuansakan suasana kejiwaan sang pengarang, baik suasana pikir maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kontemplasi dan refleksi setelah menyaksikan berbagai fenomena. kehidupan dalam lingkungan sosialnya (Al- Ma ruf 2009: 1).

BAB I PENDAHULUAN. kontemplasi dan refleksi setelah menyaksikan berbagai fenomena. kehidupan dalam lingkungan sosialnya (Al- Ma ruf 2009: 1). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra merupakan hasil kreasi sastrawan melalui kontemplasi dan refleksi setelah menyaksikan berbagai fenomena kehidupan dalam lingkungan sosialnya (Al- Ma ruf

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni (Wellek dan Warren, 1990: 3). Karya sastra adalah suatu kegiatan kreatif, hasil kreasi pengarang. Ide

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan manusia pada dasarnya mempunyai berbagai permasalahan yang kompleks. Permasalahan-permasalahan tersebut menyangkut berbagai hal, yakni permasalahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra yang tercipta merupakan hasil dari proses kreativitas pengarang. Pengarang

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra yang tercipta merupakan hasil dari proses kreativitas pengarang. Pengarang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra yang tercipta merupakan hasil dari proses kreativitas pengarang. Pengarang merupakan bagian dari masyarakat, dan hidup dalam masyarakat dengan beraneka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memberikan atau menyampaikan suatu hal yang di ungkapkan dengan cara

BAB I PENDAHULUAN. memberikan atau menyampaikan suatu hal yang di ungkapkan dengan cara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan wujud dari daya imajinasi pengarang yang dituangkan dalam sebuah wadah. Sastra sendiri adalah bentuk rekaman dari bahasa yang akan disampaikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tentang kisah maupun kehidupan sehari-hari. Seseorang dapat menggali, seseorang dengan menggunakan bahasa yang indah.

I. PENDAHULUAN. tentang kisah maupun kehidupan sehari-hari. Seseorang dapat menggali, seseorang dengan menggunakan bahasa yang indah. 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil imajinasi manusia yang dapat menimbulkan kesan pada diri pembaca. Karya juga merupakan ungkapan pikiran dan perasaan, baik tentang

Lebih terperinci