BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Lambung dan Duodenum Struktur Makroskopis Lambung Lambung merupakan salah satu organ, yang bilamana terdapat berbagai kelainan dalam organ tesebut, maka dapat menimbulkan gejala dispepsia (Friedman, 2012). Lambung merupakan bagian saluran pencernaan yang berbentuk rongga seperti kantung berbentuk huruf J yang terletak antara esofagus dan usus halus (Sherwood, 2012). Lambung juga merupakan suatu organ campuran antara eksokrin dan endokrin karena fungsinya yakni sebagai pencernaan makanan dan juga penyekresi hormon (Mescher, 2012). Posisi tepatnya terletak di bagian atas abdomen dan membentang dari bawah regio arcus costalis kiri menuju regio epigastrica dan umbilicalis (Snell, 2014). Struktur lambung dapat dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu fundus yang berbentuk kubah dan menonjol ke atas dan kiri dari ostium cardiacum, corpus yang memanjang dari setinggi ostium sampai dengan setinggi incisura angularis, antrum pyloricum yang memanjang dari incisura angularis ke pylorus dan pylorus yang merupakan bagian lambung yang terhubung dengan duodenum (Snell, 2014). Terdapat pula pembagian lambung yang lain, yakni terbagi atas dua ostium, dua curvatura dan dua permukaan. Dua ostium tersebut adalah ostium cardiacum yang berperan sebagai pintu keluar esofagus dalam memasuki lambung dan ostium pyloricus yang berperan sebagai pintu keluar lambung untuk memasuki duodenum. Dua curvatura pada lambung terdiri dari curvatura minor yang membentuk batas kanan lambung dan memanjang dari ostium cardiacum ke pylorus dan curvatura major yang bentuknya mirip dengan curvatura minor tetapi jauh lebih panjang dan memanjang pada sisi kiri ostium cardiacum, ke arah kubah fundus dan sepanjang batas kiri lambung ke pylorus. Dua permukaan pada lambung sendiri terdiri atas

2 7 facies anterior dan facies posterior (Snell, 2014). Struktur dan bagian bagian dari lambung dapat dilihat pada gambar 2.1. Gambar 2.1. Struktur dan Bagian Bagian dari Lambung Sumber : Anatomi Klinis Berdasarkan Regio, Snell, 2014 Sistem vaskularisasi pada lambung terdiri atas sistem arteri dan vena. Sistem arteri pada lambung sebagian besar berasal dari percabangan truncus coeliacus. Sistem arteri tersebut terdiri atas arteri gastrica sinistra yang berasal dari truncus coeliacus dan berjalan ke atas lalu ke kiri menuju esofagus dan turun ke sepanjang curvatura minor, arteri gastrica dextra yang berasal dari arteri hepatica di bagian atas pylorus dan berjalan ke kiri di sepanjang curvatura minor, arteri gastrica brevis yang berasal dari arteri splenica pada hilum splenicum lalu berjalan ke depan guna memperdarahi fundus, arteri gastroomentalis sinistra yang berasal dari arteri splenica pada hilum splenicum dan berjalan ke depan guna mendarahi lambung di sepanjang atas curvatura major, arteri gastroomentalis dextra yang berasal dari arteri gastroduodenalis yang juga merupakan arteri hepatica lalu berjalan ke kiri guna

3 8 mendarahi lambung di sepanjang bawah curvatura major (Snell, 2014). Sistem arteri pada lambung dapat dilihat pada gambar 2.2. Gambar 2.2. Sistem Arteri Pada Lambung Sumber : Anatomi Klinis Berdasarkan Regio, Snell, 2014 Selain sistem arteri, vaskularisasi pada lambung juga memiliki sistem vena. Sistem vena pada lambung ini terdiri dari vena gastrica dextra dan vena gastrica sinistra yang langsung bermuara ke dalam vena porta, vena gastrica brevis dan vena gastroepiploica sinistra yang bergabung dengan vena splenica, dan vena gastroepiploica dextra yang bergabung dengan vena mesenterica superior (Snell, 2014). Sistem vena pada lambung dapat dilihat pada gambar 2.3. Sistem limfe pada lambung sendiri mengikuti penjalaran dan percabangan arteri menuju nodi gastrici dextri dan sinistri, nodi gastroepiploici dextri dan sinistri serta nodi gastrici brevis, lalu keseluruhannya akan menuju nodi coeliaci yang terletak di pangkal truncus coeliacus (Snell, 2014). Sistem limfe pada lambung dapat dilihat pada gambar 2.4.

4 9 Sistem persarafan pada lambung terdiri atas sistem simpatis yang berasal dari plexus coeliacus, dan sistem parasimpatis yang berasal dari nervus vagus. Sistem ini terdiri atas truncus vagalis anterior yang berasal dari nervus vagus sinister dan mempersarafi permukaan anterior lambung, dan truncus vagalis posterior yang berasal dari nervus vagus dexter dan mempersarafi permukaan posterior Gambar 2.3. Sistem Vena Pada Lambung Sumber : Anatomi Klinis Berdasarkan Regio, Snell, 2014

5 10 lambung (Snell, 2014). Selain sistem saraf simpatis dan parasimpatis, terdapat pula sistem saraf otonom yang terdiri atas pleksus saraf mienterikus dalam lapisan muskularis lambung dan pleksus saraf submukosa atau Meissner (Mescher, 2012). Gambar 2.4. Sistem Limfe Pada Lambung Sumber : Anatomi Klinis Berdasarkan Regio, Snell, Struktur Mikroskopis Lambung Secara histologis, permukaan dalam atau mukosa lambung tersusun atas epitel permukaan yaitu simple columnar epithelium yang membentuk lekukan lekukan ke arah dalam yang disebut foveola gastrica dan berfungsi sebagai tempat dikeluarkan dan dicurahkannya isi kelenjar pada lambung. Bagian bagian dari kelenjar lambung tersebut terdiri atas bagian isthmus yang terletak dekat muara dari foveola gastrica dan terdiri atas sel mukosa yang akan menggantikan sel mukosa pada permukaan lambung, dan sel punca yang jumlahnya tidak dominan serta sel parietal atau oksintik, bagian leher yang terdiri atas sel punca dan sel mukosa leher serta sel parietal dan bagian dasar yang tediri atas sel parietal dan sel zimogen atau chief cell (Mescher, 2012).

6 11 Setiap kelenjar pada lambung tersebut terdiri atas bagian bagian yang memiliki karakteristik yang khas dan berbeda beda. Perbedaan tersebut terletak pada struktur sel sel kelenjar lambung mana yang lebih dominan di masing masing bagiannya (Mescher, 2012). Sel sel kelenjar lambung tersebut terdiri atas sel mukosa leher yang hanya dijumpai di bagian leher dari kelenjar lambung, sel parietal yang lebih banyak dijumpai pada bagian atas dari kelenjar lambung jika dibandingkan dengan di bagian dasarnya, sel zimogen atau chief cell yang lebih banyak dijumpai di bagian dasar dari kelenjar lambung dan berfungsi dalam menyekresikan pepsinogen, sel enteroendokrin yang berfungsi menghasilkan berbagai jenis hormon, dan sel punca yang banyak dijumpai di bagian leher kelenjar lambung (Mescher, 2012). Sel sel ini akan bermuara ke suatu ruang bersama atau gastric pit yang kemudian terbuka ke permukaan mukosa (Ganong, 2008). Di bawah lapisan mukosa lambung terdapat lapisan submukosa yang terdiri dari jaringan ikat padat. Terdapat pula lapisan otot yang tersusun atas tiga arah, yaitu lapisan luar yang longitudinal, lapisan tengah yang sirkular dan lapisan dalam yang tersusun oblik. Terkhusus di bagian pylorus, di sini struktur lapisan ototnya lebih tebal, terutama di lapisan tengah, dibanding bagian dari lambung yang lain. Pada lapisan terluar dari lambung terdapat lapisan serosa yang lebih tipis (Mescher, 2012) Struktur Makroskopis Duodenum Selain lambung, duodenum juga merupakan salah satu organ, yang bilamana terdapat berbagai kelainan dalam organ tesebut, maka dapat menimbulkan gejala dispepsia (Friedman, 2012). Duodenum merupakan salah satu dari tiga bagian utama pada usus halus dan berbentuk seperti huruf C, yang menghubungkan lambung dengan bagian lain dari usus halus. Secara anatomis, duodenum terletak pada regio epigastrica dan umbilicalis (Snell, 2014). Duodenum dibagi dalam empat bagian yang tersusun secara berurutan. Bagian pertama dari duodenum berasal dari pylorus lambung lalu berjalan ke atas dan

7 12 belakang hingga setinggi vertebra lumbalis II, bagian kedua yang berjalan vertikal ke bawah di depan hilum renale dextrum di sisi kanan vertebra lumbalis II dan III, bagian ketiga yang berjalan horizontal lalu melintas di depan columna vertebralis dan berjalan menyusuri sisi bawah caput pancreatis, dan bagian keempat yang berjalan ke atas lalu ke kiri hingga mencapai flexura duodenojejunalis, yang tetap berada pada posisinya karena ditahan oleh ligamentum Treitz (Snell, 2014). Keempat bagian dari duodenum ini dapat dilihat pada gambar 2.5. Gambar 2.5. Bagian Bagian dari Duodenum Sumber : Anatomi Klinis Berdasarkan Regio, Snell, 2014 Struktur mukosa duodenum membentuk kerutan kerutan yang berbentuk sirkular, yang disebut plicae circulares. Struktur kerutan ini dijumpai di seluruh bagian duodenum, kecuali di bagian pertama, yang struktur mukosanya cenderung halus. Pada plicae circulares di dinding pertengahan pada bagian kedua duodenum, khususnya pada muara ductus choledochus dan ductus pancreaticus, terdapat suatu peninggian kecil yang berbentuk bulat dan disebut sebagai papilla duodeni major (Snell, 2014).

8 13 Sistem vaskularisasi pada duodenum terdiri atas arteri dan vena, yang membagi duodenum menjadi bagian atas dan bagian bawah. Pada bagian atas diperdarahai oleh arteri dan vena pancreaticoduodenalis superior, sedangkan pada bagian bawah diperdarahi oleh arteri dan vena pancreaticoduodenalis inferior (Snell, 2014) Struktur Mikroskopis Duodenum Secara histologis, struktur duodenum dengan bagian usus halus yang lain,yakni jejunum dan ileum memiliki karakteristik yang mirip. Struktur mukosa dan submukosanya membentuk kerutan kerutan yang disebut plicae circulares, dan pada mukosanya sendiri terdapat penonjolan penonjolan berbentuk seperti daun yang disebut vili. Vili vili ini tersusun atas sel absorptif atau enterosit, dan sel goblet, yang keseluruhannya tersusun secara kolumnar. Sel absorptif ini memiliki fungsi menyerap molekul nutrisi yang berasal dari proses pencernaan, sedangkan sel goblet berfungsi untuk menghasilkan musin glikoprotein yang akan melumasi dan melindungi lapisan usus. Sel goblet ini jarang dijumpai dalam duodenum dan lebih banyak dijumpai pada bagian usus halus lainnya (Mescher, 2012). Vili vili pada usus halus ini, diantaranya terdapat suatu muara yang berasal dari kelenjar tubular, yang disebut kriptus Lieberkuhn. Pada epitel dari kriptus ini, selain terdiri dari sel absorptif dan sel goblet, juga dijumpai sel Panneth yang berperan dalam imunitas alami, sel enteroendokrin yang menghasilkan berbagai peptida yang memiliki berbagai fungsi, dan sel punca (Mescher, 2012). Di bawah lapisan epitel duodenum terdapat lamina propria yang terdiri atas jaringan ikat longgar. Lapisan muscularis mucosae berfungsi dalam menimbulkan pergerakan pergerakan pada vili maupun plicae circulares guna proses pencernaan. Pada lapisan submukosa duodenum terdapat kelenjar Brunner yang menghasilkan produk basa yang dapat menetralkan kimus yang baru saja masuk dari dalam lambung. Lapisan muskularis terdiri atas lapisan luar yang sirkular dan lapisan dalam

9 14 yang longitudinal. Lapisan terluar dari duodenum adalah lapisan serosa tipis yang disertai dengan mesotel (Mescher, 2012) Fisiologi Lambung dan Duodenum Lambung memiliki tiga fungsi utama, yakni sebagai tempat pengisian makanan yang masuk ke dalamnya sekaligus menyimpannya sebelum dialirkan ke duodenum, menyekresikan asam hidroklorida atau HCL dan enzim yang memulai pencernaan protein serta melakukan proses pencampuran makanan hingga akhirnya pengosongan isi lambungkm ke dalam duodenum (Sherwood, 2012) Fungsi Pengisian dan Penyimpanan Lambung merupakan tempat perlintasan bagi makanan dari esofagus menuju usus halus. Sebelum dimasuki oleh makanan asal esofagus, lambung memiliki volume 50 ml, namun setelah diisi makanan, volum lambung dapat meningkat hingga dua kali lipat volum awal ketika masih kosong, yaitu mencapai 1000 ml. Struktur lipatan dalam permukaan lambung atau ruggae akan melemas dan berkurang kedalamannya, bahkan hingga mendatar ketika makanan masuk ke dalam lambung. Hal ini disebabkan oleh adanya mekanisme relaksasi reseptif pada lambung, yaitu kemampuan relaksasi refleks pada lambung keitika dimasuki makanan, sehingga volum lambung dapat meningkat tanpa terjadi perubahan pada tegangan di dindingnya serta peningkatan tekanan intralambung yang berarti (Sherwood, 2012). Relaksasi reseptif ini diperantarai oleh nervus vagus dan sudah mulai berlangsung ketika terjadi pergerakan pada faring dan esofagus akibat makanan (Ganong, 2008). Sesaat setelah makanan masuk ke dalam lambung, lebih tepatnya pada daerah fundus, suatu potensial gelombang lambat timbul pada lapisan otot polos di fundus, yang kemudian menyebabkan otot polos tersebut berkontraksi dan menimbulkan suatu gerakan peristaltik yang menyebar dari fundus ke korpus, antrum dan sfingter pylorus, membawa makanan tergerak dari fundus hingga ke pylorus (Sherwood,

10 ). Kontraksi otot lambung yang timbul disetiap gelombang ini kadang disebut sistol antrum dan masa waktunya sekitar 10 detik, lalu muncul hingga empat kali setiap menitnya (Ganong, 2008). Struktur otot pada fundus dan korpus yang tipis jika dibandingkan dengan sfingter pylorus mengakibatkan pergerakan kontraksi otot pada fundus dan korpus lebih lemah, sehingga makanan yang masuk ke lambung akan disimpan dibagian yang lebih tenang proses pencampurannya ini (Sherwood, 2012) Fungsi Sekresi Lambung memiliki fungsi sekresi, yakni sebanyak 2 liter getah lambung diproduksi setiap harinya. Getah lambung ini diproduksi oleh sel sel sekretorik lambung yang berada di dinding dari foveola gastrica, imvaginasi invaginasi dari permukaan dalam lambung (Sherwood, 2012). Salah satu dari sel sekretorik lambung adalah sel parietal yang memproduksi HCL. Keberadaan HCL di dalam lambung memiliki fungsi, antara lain mengaktifkan prekursor enzim perpsinogen menjadi pepsin yang merupakan enzim aktif, membantu proses pemecahan jaringan ikat dan serat otot dan mengurangi ukuran partikel makanan besar menjadi lebih kecil, menimbulkan terjadinya denaturasi protein dan mematikan sebagian besar mikoorganisme yang tertelan bersama makanan (Sherwood, 2012). Disamping menghasilkan HCL, sel parietal juga memproduksi suatu produk sekretorik lain, yakni faktor intrinsik yang berfungsi dalam penyerapan vitamin B12 atau sianokobalamin. Vitamin B12, yang hanya dapat diserap jika berikatan dengan faktor inrinsik, memiliki fungsi yang esensial untuk pembentukan normal sel darah merah (Sherwood, 2012). Vitamin B12 yang berikatan dengan faktor intrinsik ini akan membentuk kompleks yang diserap oleh kubilin yaitu suatu apolipoprotein akan dipindahkan ke transkobalamin II, yang merupakan protein pengikat vitamin B12, yang akan mengangkut vitamin ini ke plasma. Jika terjadi defisiensi faktor intrinsik ini maka dapat terjadi anemia dan tidak akan beemanfaat dalam perbaikan jika vitamin B12 diberikan secara oral (Ganong, 2008).

11 16 Sel sekretorik lambung lainnya adalah chief cell yang menghasilkan suatu molekul enzim yang inaktif yang disebut pepsinogen, yang sebelumnya tersimpan dalam granula zimog. Sesaat setelah pepsinogen dilepas menuju lumen lambung, HCL yang dihasilkan sel parietal mengubuh struktur enzim inaktif tersebut, membentuk pepsin, yang selanjutnya pepsin tersebut melakukan suatu proses autokatalisis atau pengaktifan diri, yakni pepsin, suatu enzim yang aktif, mengaktifkan molekum enzim inaktif yang sama, yakni pepsinogen, guna membentuk pepsin yang lebih banyak lagi (Sherwood, 2012). Sel sekretorik lambung, yaitu sel parietal, chief cell dan mucous cell, dalam memproduksi sekresinya diatur oleh sel sel sekretorik lain yang menghasilkan faktor regulatorik endokrin. Faktor faktor regulatorik tersebut terdiri dari sel G yang menghasilkan gastrin, ECL cell yang menghasilkan histamin dan sel D yang menghasilkan somatostatin (Sherwood, 2012). Sel G dan sel ECL mengeluarkan produknya ketika mendapatkan rangsangan dari asetilkolin atau ACh, yang dibebaskan dari pleksus saraf intrinsik sebagai respon terhadap stimulasi nervus vagus. Sel G lalu mengeluarkan gastrin ke dalam darah, yang kemudian dibawa kembali ke fundus dan korpus lambung lalu merangsang sel parietal dan chief cell menghasilkan produknya. Demikian pula dengan histamin yang dihasilkan oleh sel ECL, yang bekerja secara lokal pada sel sel parietal disekitarnya (Sherwood, 2012). Jika sel G dan sel ECL meningkatkan produktivitas sel parietal dan chief cell, maka sel D yang menghasilkan somatostatin berfungsi kebalikannya. Sel D bekerja sebagairespon terhadap tingginya kadar asam dalam lumen lambung, dan menghasilkan somatostatin yang akan menghambat sekresi sel parietal, juga faktor stimulasinya, yakni sel G dan sel ECL, sehingga produksi sel parietal menjadi minimal (Sherwood, 2012).

12 17 Seluruh proses sekresi sel sekretorik lambung beserta faktor regulatoriknya dipengaruhi oleh faktor faktor tertentu yang muncul sebelum makanan masuk ke dalam lambung, ketika makanan berada di dalam lambung, dan ketika makanan sudah keluar dari dalam lambung, di dalam duodenum. Adanya faktor faktor ini menyebabkan proses sekresi sel sekretorik lambung berlangsung dalam tahap tahap tertentu, antara lain : 1. Fase sefalik, yang timbul akibat mekanisme umpan sebagai respon terhadap rangsangan yang bekerja di luar lambung, termasuk memikirkan, mencium, mencicipi, mengunyah dan menelan makanan, yang pada akhirnya akan meningkatkan sekresi lambung oleh aktvitas nervus vagus, yang merangsang ACh keluar dari pleksus saraf intrinsik. 2. Fase lambung, yang terjadi ketika makanan telah mencapai lambung sehingga timbul rangsangan rangsangan yang memicu sekresi lambung. 3. Fase usus yang berlangsung ketika makanan telah mencapai usus halus, sehingga terjadi suatu proses inhibitorik terhadap sekresi lambung pada fase ini (Sherwood, 2012). Meski sel sel sekretorik lambung menghasilkan berbagai macam komponen getah lambung, namun permukaan mukosa lampung tetap terlindungi dari iritasi akibat paparan getah lambung yang dapat berperan sebagai perusak endogen (Sherwood, 2012). Selain perusak endogen, permukaan mukosa lampung juga tetap terlindungi dari perusak eksogen seperti obat tertentu, alkohol maupun bakteri (Tarigan, 2014). Komponen yang berfungsi sebagai pelindung tersebut adalah suatu lapisan mukus yang dihasilkan oleh sel mukus (Sherwood, 2012). Mukus ini terdiri atas glikoprotein musin dan membentuk struktur gel yang fleksibel, yang melapisi mukosa lambung (Ganong, 2008). Ketebalan lapisan mukus ini sekitar 0,2 mm. Sebelum membentuk lapisan gel sebagai fase tidak terlarut, mukus ini berada dalam cairan lambung sebagai fase terlarut. Guna membantu fungsi lapisan mukus ini, ion bikarbonat yang diproduksi oleh sel epitel non parietal lambung, akan memasuki

13 18 lapisan mukus dan memungkinkan terjadinya reaksi pendaparan atau buffering, membentuk ph basa, yaitu pada kisaran ph 1 sampai dengan 2. Ion bikarbonat ini diproduksi dengan perangsangan kalsium dan prostaglandin (McGuigan, 2012). Keberadaan lapisan mukus ini mampu melindungi mukosa lambung dari cedera mekanis akibat sifat pelumasan yang dimilikinya, juga melindungi lambung dari cedera asam karena sifat basa yang dimilikinya mampu menetralkan HCL di dekat lapisan mukosa lambung tanpa mengganggu fungsi HCL di lambung (Sherwood, 2012). Mukosa lambung juga memiliki mekanisme pelindung terhadap getah lambung yang lain. Lapisan mukosa lambung membentuk suatu sawar mukosa lambung yang dapat mencegah rusaknya lapisan mukosa oleh getah lambung. Sawar pada membran luminal sel mukosa membuat membran tersebut tidak dapat ditembus oleh asam ke dalam sel. Disamping itu, tepi tepi lateral sel mukosa juga saling menyatu membentuk taut erat sehingga asam tidak dapat melintas lewat ruang antar sel mukosa menuju lapisan dibawahnya (Sherwood, 2012). Prostaglandin juga berpengaruh dalam mekanisme perlindungan mukosa lambung. Seperti yang telah dipaparkan di atas, bahwa sejumlah prostaglandin juga berpengaruh dalam sekresi mukus lambung dan ion bikarbonat mukosa lambung dan duodenum. Prostaglandin juga berpengaruh dalam mempertahankan aliran darah pada mukosa lambung dan dalam mempertahankan intaknya lapisan sawar mukosa lambung, serta dalam pembaruan sel epitel terhadap luka pada epitel mukosa (McGuigan, 2012) Fungsi Pencampuran dan Pengosongan Proses pencampuran makanan berlangsung di bagian antrum dari lambng. Gelombang kontraksi peristaltik lambung lebih kuat di antrum dibandingkan dengan daerah lain kaarena lapisan ototnya yang lebih tebal. Kontraksi pada natrum akan

14 19 menyebabkan makanan di dalamnya akan tercampur dan membentuk campuran cairan kental makanan yang disebut sebagai kimus. Sambil mencampur, kontraksi peristaltk juga mendorong kimus untuk terus maju menuju ke sfingter pylorus. Meski kimus telah sampai di dekat sfingter pylorus, kimus tersebut tidak akan, atau setidaknya hanya sedikit yang bisa melewati sfingter tersebut menuju duodenum. Hal ini disebabkan kontraksi pada otot lambung yang juga menyebar sampai ke otot sfingter pylorus akan menyebabkan sfingter itu berkontraksi dan nyaris menutup sempurna. Akibatnya setiap kimus yang terdorong ke arah sfingter namun tidak dapat mencapai duodenum akan tertahan di sfingter yang menutup lalu memantul kembali ke arah antrum, menimbulkan suatu gerakan berpola maju mundur yang berperan dalam proses pencampuran makanan (Sherwood, 2012). Proses kontraksi pada otot sfingter pylorus, juga pada bagian lambung lain tergantung pada seberapa besar intensitas kontraksi tersebut. Intensitas ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik dari dalam lambung itu sendiri, dari dalam duodenum, maupun dari luar saluran cerna (Sherwood, 2012). Jumlah kimus menjadi faktor yang besar dalam mempengaruhi kontraksi otot lambung. Jumlah dan volume kimus yang besar akan menimbulkan terjadinya peregangan pada lambung, yang secara langsung berefek pada meningkatnya eksitabilitas kontraksi otot lambung. Disamping itu, kontraksi otot lambung juga dipengaruhi oleh seberapa lama kimus diubah dari bentuk padat menjadi cair kental, karena semkin cepat keenceran kimus diperoleh makan akan semakin cepat juga pengosongan isi lambung ke dalam duodenum (Sherwood, 2012). Selain volume dan keenceran kimus, jenis makanan yang dikonsumsi ikut mempengaruhi kontraksi otot lambung. Makanan yang banyak mengandung karbohidrat akan lebih cepat meninggalkan lambung, namun pada protein akan lebih lambat dan lemak adalah zat yang paling lambat meninggalkan lambung (Ganong, 2008). Selain faktor dari dalam lambung itu sendiri, faktor dari dalam duodenum juga mempengaruhi kontraksi otot lambung. Faktor faktor dari dalam duodenum itu akan mengaktifkan reseptor yang sesuai dengan masing masing faktor tersebut di

15 20 duodenum, lalu memicu berbagai mekanisme yang dapat mengurangi eksitabilitas otot lambung. Mekanisme tersebut antara lain : 1. Melalui respon saraf yang diperantarai oleh pleksus saraf intrinsik sebagai refleks pendek dan saraf otonom sebagai refleks panjang, sehingga refleks refleks ini disebut sebagai refleks enterogastrik. 2. Melalui respon hormon yang melibatkan sejumlah hormon yang kesemuanya disebut enterogastron, dimana enterogastron yang paling penting adalah sekretin dan kolesistokinin atau CCK. Enterogastron ini akan dibawa oleh darah ke lambung dan akhirnya aka mengurangi kecepatan pengosongan lambung (Sherwood, 2012). Terdapat empat faktor dari dalam duodenum yang dapat mengurangi kecepatan pengosongan lambung, antara lain lemak, asam, hipertonisitas dan peregangan. Faktor yang pertama adalah lemak, yang bersifat lambat pencernaannya daripada zat lain dan proses pencernaan tersebut hanya berlangsung di dalam usus halus, menyebabkan setiap pengosongan lemak di duodenum haruslah menunggu proses pencernaan lemak lainnya di dalam usus halus. Lemak sendiri merupakan zat yang paling lama laju pengosongannya di dalam lambung, sehingga banyaknya kadar lemak dalam lambung maupun duodenum akan memperlambat laju pengosongan lambung (Sherwood, 2012). Karena lemak efektif dalam mempelambat pengosongan lambung, maka banyak orang yang akan mengkonsumsi susu, krim, atau zat makanan yang mengandung lemak lainnya sebelum mengkonsumsi alkohol. Proses pengosongan di lambung dan pencernaan lemak yang lama akan menahan alkohol di lambung dalam waktu yang lebih lama dan proses pemasukan alkohol ke dalam usus halus juga akan berlangsung perlahan lahan, sehingga intoksikasi alkohol akibat peningkatan kadar alkohol dalam darah yang mendadak dapat dihindari (Ganong, 2008). Faktor yang kedua adalah sifat asam kimus lambung yang berasal dari HCL, membutuhkan proses netralisasi ketika memasuki duodenum guna tidak mengiritasi

16 21 mukosa duodenum dan menginaktifkan enzim penccernaan yang disekresikan pankreas ke dalam lambung. Netralisasi tersebut berlangsung ketika kimus bercampur dengan natrium bikarbonat yang disekresikan ke dalam lumen duodenum oleh pankreas. Jika masih ada kimus yang belum ternetralkan maka proses pengosongan isi lambung lebih lanjut akan melambat hingga proses netralisasi tuntas (Sherwood, 2012). Faktor yang ketiga adalah hipertonisitas sebagai akibat dari lebih lambatnya proses penyerapan molekul asam amino dan glukosa dibandingkan dengan kecepatan pencernaan protein dan tepung untuk membentuk molekul asam amino dan glukosa di dalam duodenum. Hal ini akan mengakibatkan menumpuknya sejumlah besar molekul tersebut di dalam kimus, sehingga akan meningkatkan osmolaritas kimus tersebut. Hal ini secara refleks akan menghambat proses pengosongan kimus lebih lanjut dari dalam lambung (Sherwood, 2012). Faktor yang keempat adalah peregangan pada duodenum sebagai akibat dari kelebihan volume kimus yang ditampung di dalam duodenum. Hal ini akan menyebabkan melambatnya waktu pengosongan isi lambung lebih lanjut guna menunggu duodenum dalam memproses kimus di dalamnya sebelum menerima kimus tambahan dari lambung (Sherwood, 2012). Disamping faktor faktor yang masih berhubungan pada saluran cerna, faktor lain yang tidak ada kaitannya dengan saluran cerna juga bisa mempengaruhi waktu pengosongan lambung. Faktor tersbut antara lain emosi yang dapat mengubah motilitas lambung melalui saraf otonom sehingga mempengaruhi eksitabilitas otot lambung. Faktor lainnya adalah nyeri dari nagian tubuh manapun yang dapat juga menghambat motilitas, tidak hanya di lambung, tetapi juga di bagian saluran cerna lainnya, melalui mekanisme peningkatan saraf simpatis (Sherwood, 2012).

17 Dispepsia Istilah dispepsia berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yakni kata dys yang berarti buruk dan kata pepsis yang berarti pencernaan. Istilah ini, menurut Konsensus Rome II tahun 2000, digunakan untuk menggambarkan berbagai gejala yang dirasakan sebagai rasa ketidaknyamanan yang terpusat pada abdomen bagian atas (Djojoningrat, 2014). Menurut Tarigan (2014), dispepsia merupakan suatu kumpulan gejala dari berbagai penyakit pada saluran cerna seperti mual, muntah, kembung, nyeri pada ulu hati, sendawa, rasa seperti terbakar, rasa penuh pada ulu hati dan cepat merasa kenyang. Istilah lain yang dapat menggambarkan klinis yang sama dengan dispepsia adalah indigesti (Friedman, 2012). Menurut ada atau tidaknya etiologi atau penyebab munculnya gejala dispepsia tersebut, dispepsia dapat dibagi dua yaitu dispepsia organik dan dispepsia fungsional (Djojoningrat, 2014) Klasifikasi Dispepsia Berdasarkan ada atau tidaknya penyakit organik yang menyertai timbulnya gejala dispepsia tersebut, dispepsia dapat dibagi menjadi dua bagian besar yaitu dispepsia fungsional dan dispepsia organik (Djojoningrat, 2014). Kedua bagian dari dispepsia tersebut adalah sebagai berikut Dispepsia Fungsional Menurut Konsesus Rome III, dispepsia fungsional didefinisikan sebagai suatu sindroma yang mencakup satu atau lebih dari gejala perasaan penuh pada perut setelah makan, cepat kenyang, nyeri pada ulu hati / epigastrium atau rasa terbakar di ulu hati / epigastrium, yang berlangsung sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal mula munculnya gejala tersebut sedikitnya timbul 6 bulan sebelum diagnosis ditegakkan dan tidak ada suatu bukti kelainan struktural yang dapat menjelaskan penyebab gejala tersebut muncul (Abdullah, 2012). Istilah dispepsia fungsional juga

18 23 diartikan sebagai suatu gejala klinis dispepsia yang timbul dan berbagai evaluasi klinis tidak dapat mengungkapkan penyebab timbulnya gejala dispepsia tersebut (Friedman, 2012). Sebelum ada Konsesus Rome III, disepsia fungsional dibagi menjadi tiga yaitu ulcer like dyspepsia yang didominasi nyeri epigastrium dan mirip dengan gejala tukak peptik namun tidak ditemui kelainan organik seperti tukak saat pemeriksaan diagnostik, dismotility like dyspepsia yang didominasi keluhan kembung, mual, muntah, rasa penuh dan cepat kenyang namun tidak ditemui kelainan organik seperti dismotilitas saluran cerna saat pemeriksaan diagnostik, serta dispepsia non spesifik yang tidak disertai dengan dominannya salah satu keluhan. Setelah adanya Konsesus Rome III, dispepsia fungsional dibagi menjadi dua, yaitu post prandial distress syndrome yang keluhannya didominasi oleh perasaan penuh pada perut dan cepat kenyang setelah makan dalam porsi yang umumnya tidak menimbulkan keluhan tersebut, dan epigastric pain syndrome yang keluhannya didominasi perasaan nyeri dan terbakar yang hilang timbul di ulu hati / epigastrium (Djojoningrat, 2014) Dispepsia Organik Istilah dispepsia organik diartikan sebagai suatu gejala klinis dispepsia yang timbul dan berkaitan dengan berbagai penyakit pada saluran cerna maupun pada sistem organ lain (Friedman, 2012). Menurut Tarigan (2014), dispepsia organik secara klinis dapat dibagi atas dispepsia akibat gangguan motilitas, dispepsia akibat tukak, dispepsia akibat refluks dan dispepsia yang tidak spesifik. Pengertian lain dari dispepsia organik yakni dispepsia yang berkaitan dengan penyakit organik seperti gastritis dan tukak peptik (Djojoningrat, 2014). Menurut Prio (2011) dalam Anggita (2012), istilah gastritis berasal dari bahasa Yunani, yakni gastro yang berarti perut atau lambung, dan itis yang berarti peradangan. Gastritis merupakan suatu proses inflamasi pada mukosa maupun submukosa lambung (Hirlan, 2014). Gastritis bukanlah suatu penyakit tunggal,

19 24 melainkan suatu kelompok penyakit yang memiliki perubahan peradangan pada mukosa lambung yang sama, namun memiliki ciri klinis, karakteristik histologik dan patogenesis yang berlebihan (McGuigan, 2012). Tukak peptik merupakan suatu kumpulan penyakit ulseratif yang berlokasi pada saluran cerna bagian atas, utamanya adalah bagian proksimal dari lambung dan duodenum. Tukak biasanya lebih dalam, setidaknya hingga lapisan sub mukosa. Hal ini berbeda dengan erosi, yang umumnya superfisial dan hanya ada pada lapisan mukosa saja. Tukak peptik yang sering terjadi adalah tukak lambung dan tukak duodenum (McGuigan, 2012). Tukak lambung merupakan suatu luka yang berbentuk bulat atau oval dengan ukuran lebih besar dari 5 mm dengan pinggirnya yang oedem, disertai dengan indurasi dan dasarnya ditutupi debris. Kedalaman dari tukak lambung ini mencapai lapisan sub mukosa lambung sehingga terjadi pemutusan pada kontinuitas lapisan mukosa lambung yang terletak di atasnya (Tarigan, 2014). Biasanya disekeliling ulkus lambung terdapat gambaran peradangan atau gastritis (McGuigan, 2012). Tukak duodenum merupakan suatu kerusakan atau luka pada lapisan mukosa dan sub mukosa duodenum, bahkan dapat mencapai lapisan muskularis mukosa hingga serosa pada duodenum sehingga bisa menimbulkan perforasi (Akil, 2014). Diameter luka biasanya lebih dari 5 mm namun kurang dari 1 cm, dalam, berbatas tegas, dan disertai hilangnya epitel superfisial pada daerah tukak tersebut. Bentuk tukak umumnya bulat atau oval, namun dapat juga tidak teratur (McGuigan, 2012). Dismotilitas saluran cerna juga bisa memicu dispepsia organik. Dismotilitas saluran cerna merupakan kumpulan gejala pada saluran cerna yang disebabkan oleh gangguan motilitas saluran cerna sehingga otot dan saraf pada saluran cerna tidak bekerja dengan baik. Dismotilitas saluran cerna yang dapat menyebabkan timbulnya dispepsia terutama jika terjadi di saluran cerna bagian atas, utamanya pada lambung dan duodenum (Simadibrata, 2014). Dispesia dapat berlangsung secara fungsional dan masuk dalam kategori dispepsia fungsional yaitu post prandial distress syndrome (Djojoningrat, 2014). Meski demikian, kasus ini dapat pula terjadi sebagai

20 25 komplikasi dari diabetes, penyakit Parkinson, setelah operasi lambung atau karena pseudoobstruksi pada saluran cerna bagian atas. Hal ini menimbulkan terjadinya dispepsia organik (Simadibrata, 2014) Faktor Risiko Dispepsia Banyak hal hal yang menjadi faktor, yang memiliki pengaruh terhadap timbulnya dispepsia bagi seseorang. Faktor tersebut dapat terbagi menjadi faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal tersebut meliputi faktor makanan, faktor minuman, faktor lingkungan dan faktor obat obatan, sedangkan faktor internal meliputi faktor jenis kelamin, faktor usia, faktor genetik, faktor hormonal dan faktor stres (Djojoningrat, 2014). Masing masing faktor tersebut adalah sebagai berikut Faktor Eksternal Faktor eksternal yang dapat mempengaruhi timbulnya gejala dispepsia meliputi faktor makanan, faktor minuman, faktor lingkungan dan faktor obat obatan (Djojoningrat, 2014). Masing masing faktor tersebut adalah sebagai berikut Faktor Makanan Pola makan yang tidak teratur dan kurang baik dapat menimbulkan timbulnya gejala dispepsia. Ketidakteraturan pola makan tersebut meliputi jeda waktu makan yang tidak menentu, tidak terbiasa untuk sarapan setiap hari, terbiasa mengonsumsi makanan selingan dan biasa membatasi makan. Suatu penelitian case control oleh Susanti (2011) mengemukakan bahwa pola dan kebiasaan makan pada kelompok kontrol yang tidak mengalami dispepsia ternyata lebih baik dibanding kelompok kasus yang mengalami dispepsia, meskipun tingkat persentasinya masih mayoritas di kedua kelompok tersebut, yakni 91.7 % terhadap 60 sampel kontrol dan 76.7 % terhadap 60 sampel kasus. Penelitian lain yang dilakukan oleh Andre (2013) terhadap

21 26 40 penderita dispepsia juga mengemukakan hal yang sama yaitu pola makan pada penderita dispepsia lebih banyak yang tidak teratur yakni sebanyak 57.5 % berbanding 42.5 % yang teratur. Kedua hasil penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Reshetnikov (2007) dengan subyek penelitian sebanyak 1562 orang dewasa, berhasil menyimpulkan bahwa pola makan yang tidak teratur berkaitan dengan timbulnya gejala dispepsia (Susilawati, 2013). Menurut Firman (2009) dalam Anggita (2012), pola makan yang tidak teratur sangat besar dampaknya dalam menimbulkan kambuhnya gejala dispepsia, karena pola makan yang teratur setiap harinya akan memudahkan lambung dalam mengenal waktu makan tertentu yang teratur sehingga produksi asam lambung akan teratur pula, sesuai dengan pola makan tersebut. Selain pola makan yang tidak teratur, konsumsi jenis makanan tertentu juga dapat menimbulkan kambuhnya gejala dispepsia. Makanan tersebut terutama yang banyak mengandung lemak dan minyak (Anggita, 2012). Selain itu makanan pedas dan asam juga dapat berpengaruh terhadap kambuhnya gejala dispepsia. Suatu penelitian case control oleh Susanti (2011) mengemukakan bahwa 78,3 % dari 40 penderita dispepsia sering mengkonsumsi makanan pedas, sedangkan kebiasaan makan makanan asam sekitar 55 % dari 40 penderita dispepsia. Makanan yang diketahui sering menimbulkan dispepsia antara lain makanan yang mengandung laktosa dan fruktosa, green salad dan sayuran yang menyerupai kacang kacangan (Tandon, 2012) Faktor Minuman Beberapa jenis minuman dapat menimbulkan kambuhnya gejala dispepsia. Minuman tersebut antara lain minuman yang berkarbonasi dan minuman mengandung kafein seperti kopi dan teh (Anggita, 2012). Namun suatu penelitian case control oleh Susanti (2011) mengemukakan bahwa kebiasaan meminum kopi, teh, minuman berkarbonasi ataupun kombinasi dari ketiganya ternyata kurang begitu

22 27 dominan dampaknya dalam menimbulkan kambuhnya gejala dispepsia, yaitu masing masing dari jenis minuman atau kombinasi dari minuman minuman tersebut hanya berada dalam kisaran 3.3 % sampai dengan 20, 8 % dari 60 penderita dispepsia Faktor Lingkungan Berdasarkan lingkungan tempat tinggal, kasus dispepsia lebih banyak terajdi di kawasan yang padat penduduknya serta negara negara berkembang yang tingkat sosial ekonominya masih tidak sebaik negara negara maju. Prevalensi kasus dispepsia di negara berkembang berada di kisaran 10 %, dibandingkan dengan di negara maju yang berada di kisaran 1 % (Anggita, 2012) Faktor Obat Obatan Suatu penelitian case control oleh Susanti (2011) menyatakan kebiasan mengonsumsi obat obatan pada kelompok kasus lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol, yaitu sebesar 33,3 % dari 60 sampel kasus dan hal ini tidak dijumpai pada 60 sampel kontrol, namun lebih dari setengah terhadap total 60 sampel kasus, yaitu 53,3 % dan lebih dari setengah terhadap total 60 sampel kasus kontrol, yaitu 84 %, tidak termasuk dalam kategori pengguna obat dokter harian sehingga faktor ini tidak begitu signifikan dalam mepengaruhi, jika dibandingkan dengan faktor lainnya Faktor Internal Faktor internal yang dapat mempengaruhi timbulnya gejala dispepsia meliputi faktor jenis kelamin, faktor usia, faktor genetik, faktor hormonal dan faktor stres (Djojoningrat, 2014). Masing masing faktor tersebut adalah sebagai berikut.

23 Faktor Jenis Kelamin Sejumlah penelitian menyatakan bahwa perempuan lebih banyak mengalami gejala dispepsia dibanding laki laki. Sebuah penelitian oleh Tarigan (2003) menyatakan bahwa 59,1 % pasien dispepsia fungsional di RSUP Adam Malik adalah perempuan, dibanding dengan laki laki sebesar 40,9 %. Penelitian lain oleh Dwigint (2010) menyimpulkan bahwa perempuan lebih berisiko menderita dispepsia dibanding laki laki. Kedua penelitian ini ternyata mendukung teori yang menyatakan bahwa perbandingan kasus dispepsia menurut jenis kelamin adalah 2 : 1 (Harahap, 2007) Faktor Usia Dispepsia terutama terjadi pada usia produktif yaitu usia 20 tahun ke atas. Hal ini dilatarbelakangi oleh pola hidup di kalangan kelompok masyarakat usia produktif yang kurang teratur dibandingkan dengan kelompok masyarakat usia lain (Anggita 2012) Faktor Genetik Terdapat berbagai faktor genetik yang turut berperan dalam menimbulkan gejala dispepsia dan faktor yang mencetusnya. Menurut Camilleri (2009) dalam Tandon (2012), saat ini telah dilaporkan bahwa terdapat single nucleotide polymorphism pada alel 825T dari gen second messenger GNB 3, yang turut mendukung adanya hipersensitifitas viseral yang pada akhirnya dapat memicu dispepsia fungsional Faktor Hormonal Faktor hormonal terhadap terjadinya dispepsia masih belum begitu jelas dan masih membutuhkan riset lebih lanjut. Beberapa riset yang telah ada sebelumnya mengemukakan bahwa penurunan motilin dapat menyebabkna gangguan motilitas lambung dan duodenum, progesteron, estradiol dan prolaktin memiliki pengaruh

24 29 terhadap kontraktilitas otot polos di lambung. Kolesistokinin dan sekretin diketahui juga memiliki pengaruh terhadap dispepsia fungsional (Djojoningrat, 2014) Faktor Stres Menurut Tarigan (2003) dalam Susanti (2011), faktor stres juga turut berpengaruh dalam menimbulkan gejala dispepsia. Hal ini disebabkan dengan kaitan yang erat antara stres dan berbagai reaksi tubuh yang merugikan kesehatan. Berbagai gangguan mekanisme hormonal seperti penurunan serotonin dan katekolamin serta peningkatan asetilkolin akan menimbulkan hiperasimtomatik sistem gastrointestinal yang akan meningkatkan peristaltik dan sekresi asam lambung. Hal tersebut akan menyebabkan terjadinya produksi asam lambung yang lebih tinggi dan terjadilah hipeasiditas lambung. Hiperasiditas lambung yang juga disertai meningkatnya cadangan glukosa darah akibat pengaruh hormonal menyebabkan berkurangnya nafsu makan sehingga mengakibatkan timbulnya pola makan yang tidak teratur sehingga bisa menimbulkan kambuhnya gejala dispepsia (Susanti, 2011). Salah satu penelitian yang mendukung teori tentang faktor stres terhadap dispepsia adalah suatu penelitian case control oleh Susanti (2011) yang menyatakan bahwa 63,3 % dari 60 sampel kasus berada pada tingkat stres kategori sedang, dibandingkan dengan 51,7 % dari 60 sampel kontrol. Hal sebaliknya terjadi untuk tingkat stres kategori rendah sebesar 28,3 % dari 60 sampel kasus, dibandingkan dengan 48,3 % terhadap 60 sampel kontrol (Susanti, 2011) Etiologi Dispepsia Dispepsia dapat disebabkan oleh berbagai hal, yang mana pberdasarkan penyebab itulah, maka timbulnya gejala dispepsia dapat dibagi menjadi dispepsia fungsional dan dispepsia organik (Djojoningrat, 2014). Etiologi dari dispepsia antara lain sebagai berikut.

25 Dispepsia Fungsional Dispepsia fungsional adalah suatu gejala klinis dispepsia yang timbul dan berbagai sarana diagnostik, baik yang baku maupun yang konvensional, tidak dapat menunjukkan adanya gangguan gangguan patologik struktural atau biokimiawi (Djojoningrat, 2014). Berdasarkan pada pengertian tersebut, maka tidak ada suatu penyebab organik yang menyebabkan timbulnya dispepsia fungsional (Friedman, 2012). Terdapat berbagai hipotesis tentang dispepsia fungsional seperti pengaruh hiperasiditas lambung, pengaruh gangguan motorik, pengaruh infeksi, pengaruh hipersensitifitas viseral, pengaruh gangguan psikologik, pengaruh intoleransi makanan, pengaruh dari gangguan sistem imun dan faktor genetik (Tandon, 2012). Etiologi lain yang tidak jauh berbeda dengan hipotesis di atas adalah karena sekresi asam lambung yang berlebih, infeksi Helicobacter pylori, dismotilitas gastrointestinal yang juga dipengaruhi olehambang rangsang persepsi, disfungsi otonom, gangguan relaksasi fundus dan pengaruh aktivitas miolektrik lambung yang abnormal, pengaruh hormonal, faktor dietetik dan pengaruh psikologis (Djojoningrat, 2014) Dispepsia Organik Sejumlah dugaan tentang penyebab gastritis yang pada akhirnya menimbulkan munculnya gejala dispepsia, antara lain karena infeksi dari Helicobacter pylori yang prevalensinya cukup tinggi di negara berkembang, gangguan fungsi sistem imun, infeksi virus seperti Enteric rotavirus dan Calicivirus serta Cytomegalovirus, dan infeksi jamur seperti Candida species, Histoplasma capsulatum dan Mukonaceae, yang terutama menginfeksi pasien immuno compromized (Hirlan, 2014). Pemakaian obat obatan seperti aspirin dan obat golongan obat anti inflamasi non steroid atau NSAID serta etanol diketahui memiliki mekanisme kerja yang dapat mencederai mukosa lambung (McGuigan, 2012).

26 31 Terdapat beberapa teori tentang hal hal yang menyebabkan tukak lambung yang pada akhirnya menimbulkan munculnya gejala dispepsia. Menurut teori No Acid No Ulcer yang dikemukakan oleh Schwarst tahun 1910, tukak lambung lebih disebabkan oleh hiperasiditas lambung saja, namun teori lain yang bernama Shay and Sun : Balance Theory tahun 1974 mengemukakan tukak akan terjadi jika ada gangguan keseimbangan antara faktor agresif dan faktor defensif, yaitu jika faktor agresif mengalami peningkatan dan faktor defensif mengalami penurunan. Faktor agresif tersebut terdiri dari asam dan pepsin, sedangkan faktor defensif tersebut terdiri dari mukus, bikarbonat, aliran darah dan prostaglandin (Tarigan, 2014). Teori lain yang lebih terbarukan tentang penyebab tukak lambung adalah teori No HP No Ulcer yang dikemukakan oleh Warren dan Marshall pada tahun Menurut teori tersebut, tukak lambung lebih disebabkan oleh infeksi bakteri Helicobacter pylori, suatu bakteri patogen gram negatif yang berbentuk kurva atau S shaped, mikroaerofilik, berflagel, hidup di lapisan epitel antrum dan bermigrasi ke proksimal lambung. Infeksi bakteri ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain faktor host itu sendiri, lamanya infeksi berlangsung, faktor bakteri itu sendiri dan juga lingkungan tempat infkesi berlangsung. Faktor lamanya infeksi meliputi lokasi infeksi dan respon inflamasi yang terjadi setelah infeksi. Faktor bakteri tersebut antara lain virulensi dan struktur bakteri tersebut. Faktor lingkungan tempat infeksi berlangsung meliputi keberadaan asam lambung dan faktor lain yang dapat mengiritasi mukosa lambung (Tarigan, 2014). Konsentrasi NSAID dalam lambung dan konsentrasi cairan empedu akibat regurgitasi isi duodenum ke dalam lambung juga dapat menyebabkan tukak lambung (McGuigan, 2012). Penyebab tukak duodenum tidak jauh berbeda dengan tukak lambung, yaitu disebabkan oleh faktor faktor agresif yang dapat menimbulkan kerusakan pada mukosa duodenum, antara lain infeksi Helicobacter pylori, NSAID, asam lambung dan pepsian, serta faktor lingkungan dan kelainan pada satu atau lebih dari faktor pertahanan mukosa duodenum (Akil, 2014).

27 32 Pada dismotilitas saluran cerna bagian atas pada akhirnya menimbulkan munculnya gejala dispepsia, pada umumnya tidak disertai dengan penyebab yang jelas mengenai kerusakan organik, sehingga biasanya berlangsung fungsional dan masuk dalam kategori dispepsia fungsional (Djojoningrat, 2014). Meski demikian, kasus ini dapat pula terjadi sebagai komplikasi dari diabetes, penyakit Parkinson, setelah operasi lambung atau karena pseudoobstruksi pada saluran cerna bagian atas. Hal ini menimbulkan terjadinya dispepsia organik (Simadibrata, 2014) Manifestasi Klinis Dispepsia Keluhan utama yang terjadi saat gejala dispepsia timbul adalah rasa nyeri dan atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas, seperti kembung, mual, muntah, rasa penuh dan cepat kenyang. Keluhan yang berlangsung dapat lebih dominan ke salah satu gejala sehingga dispepsia yang terjadi dapat mengarah ke salah satu tipe dispepsia sesuai dengan klasifikasinya (Abdullah, 2012). Klasifikasi tersebut adalah ulcer like dyspepsia atau epigastric pain syndrome dan dismotility like dyspepsia atau post prandial distress syndrome yang merupakan klasifikasi dari dispepsia fungsional. Epigastric pain syndrome didominasi oleh rasa nyeri dan perasaan seperti terbakar di daerah ulu hati, sedangkan post prandial distress syndrome didominasi oleh rasa penuh, cepat kenyang, kembung, mual dan muntah (Djojoningrat, 2014). Jika dispepsia disebabkan oleh kelainan organik, maka lokasi nyeri dapat menjadi penentu letak dimana terjadi kelainan organik tersebut. Nyeri di daerah substernal biasanya timbul akibat kelainan di esofagus atau kardia dari lambung, sedangkan nyeri epigastrium biasanya berasal dari bagian lambung selain kardia, duodenum, kantung empedu atau pankreas. Nyeri yang timbul dapat disertai dengan rasa terbakar atau heartburn atau pirosis. Heartburn yang timbul dapat terjadi mulai dari epigastrium dan menjalar hingga ke atas dari epigastrium dan substernal, yang dapat dicetuskan oleh aktivitas motorik yang abnormal pada esofagus sehingga dapat terjadi refluks dari isi lambung ke dalam esofagus atau esophageal reflux (Friedman, 2012).

28 33 Dispepsia yang disebabkan oleh gangguan organik berupa gangguan motilitas saluran cerna bagian atas tukak, baik di lambung maupun duodenum memiliki gejala yang tidak jauh berbeda dengan dispepsia fungsional. Tukak lambung didominasi oleh rasa nyeri di ulu hati (Tarigan, 2014). Nyeri ini dapat ditimbulkan oleh makan, sehingga dapat timbul rasa keenganan untuk makan sehingga terjadilah anoreksia. Efek penurunan rasa nyeri setelah pemberian antasida tidak sebesar pada pemberian terhadap penderita tukak duodenum (McGuigan, 2012). Demikian pula dengan tukak duodenum, namun nyeri yang dirasakan, terutama seperti terbakar dan sangat perih, saat lapar, nyeri tidak terlokalisir dan nyeri akan berkurang setelah makan (Akil, 2014). Nyeri yang timbul dapat dirasakan sebagai perasaan seperti ditusuk atau dibor dan dapat membangunkan penderitanya di tengah malam saat tidur. Nyeri ini akan berkurang dengan pemberian antasida (McGuigan, 2012). Khusus untuk tukak yang disebabkan oleh NSAID maupun pada kalangan lanjut usia, tukak ini seringkali tidak bergejala dan baru menimbulkan gejala setelah terjadi komplikasi seperti perdarahan atau perforasi (Tarigan, 2014). Pada dispepsia yang disebabkan gangguan motilitas saluran cerna bagian atas, keluhan yang timbul terjadi akibat gangguan dari pengosongan lambung, baik terlambat maupun terlalu cepat. Keluhan akibat keterlambatan pengosongan lambung akan menimbulkan gejala dispepsia pasca prandial, antara lain cepat kenyang, rasa penuh, sendawa, kembung, mual dan muntah. Keluhan ini dapat disertai dengan nyeri epigastrium, anoreksia, rasa terbakar, dan penurunan berat badan. Jika terjadi percepatan pengosongan lambung, maka akan terjadi keluhan ansietas, lemah, takikardia, dizziness, berkeringat, flushing dan penurunan kesadaran. Keluhan ini akan timbul segera atau setidaknya dua jam setelah makan (Simadibrata, 2014). Pada kasus gastritis pada umumnya tidak menimbulkan gejala yang khas, namun yang paling sering dikaitkan dengan gastritis adalah keluhan nyeri, panas dan pedih di daerah ulu hati. Keluhan ini dapat disertai dengan mual atau muntah (Hirlan, 2012).

29 Etiopatogenesis dan Patofisiologi Dispepsia Timbulnya gejala dispepsia dilatar belakangi oleh berbagai etiologi, yang masing masing dari etiologi tersebut memiliki mekanisme yang saling berbeda hingga menimbulkan dispepsia. Masing masing dari mekanisme tersebut antara lain mekanisme yang dipengaruhi oleh sekresi asam lambung, Helicobacter pylori, dismotilitas gastrointestinal, hipersensitifitas viseral, psikologis dan obat obatan (Djojoningrat, 2014). Masing masing mekanisme tersebut antara lain sebagai berikut Sekresi Asam Lambung Penderita dispepsia fungsional pada umumnya memiliki tingkat sekresi asam lambung yang normal, tidak berlebih. Jika pasien mengalami gejala nyeri didaerah epigastrium, diduga hal tersebut disebabkan oleh sensitivitas mukosa lambung terhadap asam lambung yang meningkat (Djojoningrat, 2014). Hal ini berbeda dengan pandangan sebelumnya yang menyatakan bahwa asam lambung turut terlibat secara dalam terhadap mekanisme terjadinya nyeri pada epigastrium, seperi pada kasus tukak peptik, sehingga banyak pasien dispepsia fungsional yang diterapi dengan acid suppresion (Tandon, 2012). Namun pada tukak lambung yang juga menyebabkan dispepsia organik, khususnya pada teori No Acid No Ulcer yang dikemukakan Schwarst pada tahun 1910, terjadi sekresi asam lambung dan pepsin yang berlebih. Histamin yang berperan dalam perangsangan sel parietal untuk menghasilkan asam lanbung juga dapat meningkat. Peningkatan sekresi asam lambung dapat dipengaruihi faktor genetik yang berpengaruh pada massa sel parietal atau sekresinya yang leboh banyak (Tarigan, 2014) Helicobacter pylori Helicobacter pylori merupakan suatu bakteri gram negatif berbentuk kurva dengan panjang kurang lebih 3 µm dan diameter 0,5 µm dan berflagel. Bakteri ini pada umumnya ditularkan secara fekal oral atau oral oral (Akil, 2014). Ketika bakteri

30 35 ini memasuki saluran cerna, bakteri ini akan bertahan dalam suasana asam di dalam lambung, yaitu dengan memproduksi urease yang berperan dalam menghidrolisis urea menjdai karbondioksida dan amonia, dengan demikian bakteri ini dapat tahan hidup dalam suasana lambung yang asam. Selain itu keberadaan flagel akan membuat bekteri ini memiliki kemampuan motilitas yang baiksaat berkolonisasi dan bergerak dalam permukaan mukosa lambung yang tidak rata. Adanya mekanisme ini akan memuat bakteri ini mudah dalam menembus lapiasn mukus lambung dan melekat pada epitel permukaan lambung (Rani, 2014). Dalam proses perlekatannya terhadap sel epitel lambung, bakteri ini memiliki struktur di permukaannya yaitu adhesin BabA yang memperantarai proses perlekatannya. Guna menunjang hidupnya, bakteri ini dapat mengeluarkan eksotosin VacA atau vacuolating cytotoxin yang dapat membentuk suatu saluran pada membran sel epitel, dan melalui saluran tersebut, anion organik dan bikarbonat akan dilepaskan untuk memenuhi nutrisi bakteri tersebut. Bakteri ini, dalam perlekatannya, akan terikat dengan MHC atau Major Histocompatibility Complex kelas II yang ada pada permukaaan sel epitel lambung. Hal ini akan memicu terjadinya apoptosis atau kematian sel epitel tersebut (Rani, 2014). Jika bakteri ini berhasil melekatkan dirinya ke sel epitel permukaan mukosa lambung dan selanjutnya berkolonisasi, maka akan terjadi proses inflamasi pada mukosa lambung. Molekul molekul seperti neutrofil, sel PMN / limfosit serta makrofag dan sel plasma akan meningkat di sekitar sel yang mengalami kerusakan akibat keberdaan bakteri tersebut, diikuti dengan meningkatnya berbagai macam mediator inflamasi atau sitokin seperti interleukin atau IL 1β, IL 2, IL 6, IL 8 dan tumor necrosis factor atau TNF α (Rani, 2014). Bakteri ini juga akan menghasilkan berbagai sitotoksin yang juga akan membantu proses inflamasi yang lebih buruk yaitu vacuolating cytotoxin (Vac A gen) dan cytotoxin associated gen A (Cag A gen) yang akan langsung merusak epitel mukosa saluran cerna. Selain itu, terdapat juga enzim seperti urease yang akan memecah urea menjadi amonia yang bersifat toksik pada epitel mukosa, protease dan fosfolipase yang akan menurunkan

31 36 sekresi mukus lambung yang berperan dalam proteksi mukosa lambung (Akil, 2014). Proses inflamasi ini akan mengakibatkan terjadinya proses produksi antibodi yang meningkat, yang bukannya menurunkan tingkatan terjadinya proses inflamasi dan infeksi bakteri tersebut, namun justru menimbulkan terjadinya kerusakan jaringan setempat. Selain itu juga akan terjadi peningkatan respon imun yang berperan dalam perlindungan mukosa lambung dari kerusakan tahap lanjut akibat perlekatan bakteri tersebut, berupa timbulnya sel T helper immatur atau sel Th0 yang akan mengalami proses diferensiasi menjadi dua bentuk yaitu sel Th1 yang nantinya akan mensekresikan IL 2 dan interferon atan INF γ, dan sel Th2 yang akan mensekresikan IL 4, IL 5, dan IL 10. Diharapkan nantinya respon Th2, yang menstimulasi sel B sebagai dampak dari adanya bakteri patogen di luar sel, akan lebih dominan berlangsung, dibanding dengan respon sel Th1 yang muncul karena adanya bakteri patogen intrasel. Hal ini terjadi karena Helicobacter pylori jarang melakukan invasi ke intrasel epitel, namun hanya melakukan perlekatan di ekstrasel epitel mukosa lambung (Rani, 2014). Pada kasus dispepsia fungsional, faktor infeksi dari Helicobacter pylori sudah banyak diteliti. Menurut Moayyedi (2003) dalam Tandon (2012), infeksi Helicobacter pylori konsisten pengaruhnya dalam menyebabkan dispepsia fungsional, namun tidak begitu signifikan pengaruhnya, jika dibandingkan dengan faktor lainnya. Suatu penelitian oleh Rhee (1999) dalam Tandon (2012) mengemukakan bahwa hubungan antara Helicobacter pylori dan dispepsia fungsional tidak terlihat. Namun penelitian lain dari O Morain (2010) dalam Tandon (2012) justru mengemukakan bahwa Helicobacter pylori banyak terdeteksi pada kelompok kasus dispesia fungsional dibandingkan dengan kelompok kontrol yang tidak menderita dispesia fungsional. Kedua penelitian diatas menyimpulkan bahwa Helicobacter pylori memang memegang peranan penting, namun hanya dalam sebagian kecil penderia dispepsia fungsional (Tandon, 2012).

32 37 Helicobacter pylori dapat menyebabkan terjadinya gastritis dan tukak peptik. Gastritis sendiri dibagi menjadi dua yaitu gastritis kronik non atropi predominasi antrum, yang ditandai dengan peradangan mukosa yang sedang atau berat pada di antrum namun dikorpus tidak ada peradangan atau hanya peradangan ringan saja, dan gastritis kronik atropi multifokal yang ditandai dengan peradangan pada mukosa yang terjadi hampir di seluruh bagian lambung (Hirlan, 2014). Gatritis yang kronis dapat mengakibatkan terjadinya tukak peptikum, yakni tukak lambung dan tukak duodenum, dengan mekanisme yang tidak jauh berbeda (Tarigan, 2014). Prevalensi infeksi bakteri ini cukup tinggi di Indonesia. Hampir 100 % kasus tukak duodenum berhubungan dengan infeksi bakteri ini. Pada tukak lambung dan gastritis, sebanyak, masing masing 80 % dan 40 % kasus, berhubungan dengan infeksi bakteri ini (Rani, 2012) Dismotilitas Gastrointestinal Kasus dispepsia fungsional yang diakibatkan oleh dismotilitas fungsional cukup tinggi yaitu berada dalam kisaran setengah dari seluruh kasus. Bentuk bentuk dismotilitas tersebut antara lain berupa perlambatan pengosongan lambung sebesar 23 % dari seluruh kasus dispepsia fungsional, yang berdampak pada rasa mual, muntah dan penuh (Djojoningrat, 2014). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Delgado Aros (2004) yang menyimpulkan ada kaitan antara perlambatan pengosongan lambung dan dispesia fungsional (Tandon, 2012). Dispepsia fungsional juga ada kaitannya dengan hipersensitifitas terhadap distensi lambung, sebesar 35 % dari seluruh kasus disepsia fungsional yang berdampak pada rasa nyeri ulu hati (Djojoningrat, 2014). Dispepsia fungsional juga dapat berkaitan dengan gangguan akomodai makanan di lambung. Akomodasi merupakan kemampuan lambung dalam melebarkan ukuran volume isinya sesuai dengan volume makanan yang dikonsumsi dan waktu waktu makan yang diharapkan berpola teratur. Adanya gangguan dalam

33 38 proses akomodasi lambung akan berdampak pada perasaan nyeri selama proses makan berlangsung atau cepat kenyang (Tandon, 2012). Sebuah penelitian oleh Tack (1998), yang diperbarui oleh Bredenoord (2003) dalam Tandon (2012) mengemukakan bahwa 40 % - 47 % dari seluruh pasien dispepsia fungsional berkaitan dengan gangguan akomodasi lambung dengan menggunakan alat penunjang single photon emission computed tomography atau SPECT dan pasien tersebut menunjukkan gejala cepat kenyang. Penelitian lain menungkapkan bahwa sebesar 40 % dari seluruh kasus disepsia fungsional berkaitan dengan gangguan akomodasi lambung (Djojoningrat, 2014). Aktivitas mioelektrik pada lambung yang abnormal dan gangguan relaksasi fundus bisa menyebabkan dismotilitas pada lambung. Aktivitas mioelektrik lambung yang abnormal atau disritmia yang memiliki pengaruh terhadap dismotilitas pada lambung antara lain takigastria dan bradigastria. Gangguan relaksasi fundus yang memiliki pengaruh adalah menurunnya kapasitas relaksasi fundus dari lambung (Djojoningrat, 2014). Disfungsi pada saraf otonom, terutama nervus vagus, yang juga mempersarafi saluran cerna bagian atas, bisa menyebabkan dismotilitas pada lambung. Hal ini dapat menyebabkan gangguan relaksasi lambung bagian proksimal ketika menerima makanan. Hal ini akan berakibat pada rasa cepat kenyang ketika makan (Djojoningrat, 2014) Hipersensitifitas Viseral Beberapa kasus dispepsia fungsional dapat dilatar belakangi oleh hipersensitifitas viseral yang disebabkan oleh peningkatan ambang rangsang persepsi terhadap berbagai reseptor di saluran cerna, seperti reseptor kimiawi dan mekanik, sehingga meningkatnya sensitifitas ini dapat dipicu oleh distensi volume lambung yang mempengaruhi reseptor mekanik dan pengaruh makanan yang mempengaruhi reseptor kimiawi. Mekanisme terjadinya hal ini masih belum banyak dipahami

34 39 (Djojoningrat, 2014). Teori ini didukung oleh riset yang telah ada sebelumnya. Sebuah penelitian oleh Kindt (2003) dalam Tandon (2012) menyimpulkan hubungan yang erat hipersensitifitas viseral dengan timbulnya gejala dispepsia. Gejala dispepsia itu adalah rasa penuh dan cepat kenyang akibat hipersensitifitas lambung terhadap distensi. Hipersensitifas viseral juga dapat disebabkan oleh adanya disfungsi pada saraf otonom, terutama nervus vagus yang juga mempersarafi saluran cerna bagian atas. Hal ini dapat menyebabkan gangguan relaksasi lambung bagian proksimal ketika menerima makanan. Hal ini akan berakibat pada rasa cepat kenyang ketika makan (Djojoningrat, 2014) Psikologis Faktor piskologis seperti stress ternyata memiliki pengaruh terhadap fungsi sistem pencernaan (Barry, 2006). Hal ini disebabkan oleh meningkatnya aktivitas daru dua bagian otak yang berperan dalam aktivitas stres, yaitu hipotalamus dan locus ceruleus. Meningkatnya aktivitas hipotalamus oleh stres sendiri dipengaruhi oleh aktvitas sistem limbik, khususnya amigdala dan hippocampus, dan juga aktivitas dari locus ceruleus di batang otak. Sistem limbik merupakan bagian bagian dari otak yang berpengaruh dalam emosi dan perilaku primitif yang esensial seperti mencari makan, berkelahi dan melarikan diri untuk pertahanan dan perlindungan diri serta reproduksi. Amigdala yang berpengaruh dalam emosi kemarahan dan kegusaran cukup penting dalam mekanisme ini. Aktivasi amigdala akan menyebabkan teraktivasinya hippocampus, cingulate cortex dan bagian lain dari sistem limbik, yang pada akhirnya juga mengaktivasi hipotalamus dalam melepas corticotropin releasing factor atau CRF (Mertz, 2000). Pelepasan CRF oleh hipotalamus juga dipengaruhi oleh aktivasi locus ceruleus, yang merupakan bagian dari batang otak. Locus ceruleus merupakan sumber dari sebagian besar neurotransmiter norepinephrine yang mengaktivasi sistem saraf, sehingga jika locus ceruleus teraktifkan, maka norepinephrine akan dilepaskan

35 40 dan mengaktivasi bagian dari otak yang mengakibatkan meningkatnya kewaspadaan dan kesiagaan Hal ini juga dapat turut berperan dalam mengaktivasi hipotalamus dalam melepas corticotropin releasing factor atau CRF (Mertz, 2000). Pelepasan CRF sebagai respon dari stres akan mengaktifkan hypothalamic pituitary adrenal axis atau HPA aksis. Pelepasan CRF oleh hipotalamus akan merangsang kelenjar pituitari untuk melepaskan adrenocorticotropin hormone atau ACTH yang juga akan merangsang kelenjar adrenal dalam melepaskan kortisol. Kortisol yang dilepaskan tersebut akan menimbulkan terjadinya retensi cairan dan garam dalam tubuh, sehingga bisa menyebabkan hipertensi, dan juga dapat mengganggu fungsi imun tubuh. Selain pengaruh kortisol, meningkatnya neurotransmiter norepinephrine yang dihasilkan sebagai akibat dari aktivasi locus ceruleus akan mengaktivasi berbagai sistem dalam tubuh sehingga akan berpengaruh dalam takikardi, hipertensi, ketegangan otot, spasme pada saluran pencernaan dan dispepsia (Mertz, 2000). Keseluruhan mekanisme ini dapat dilihat pada gambar 2.6. Respon stres terhadap fungsi saluran pencernaan pada manusia memiliki kemiripan dengan hewan seperti mencit. Dalam suatu penelitian dengan menggunakan mencit sebagai hewan coba, diberikan perlakuan yang dapat memicu terjadinya stres pada hewan tersebut, yaitu dengan menempatknnya dalam suatu tempat yang sangat sempit. Hal ini menyebabkan perubahan dari motilitas saluran cerna, yakni menurunnya motilitas di saluran cerna bagian atas, yang ditandai dengan menurunnya kemampuan pengosongan lambung dan meningkatnya motilitas pada saluran cerna bagian bawah, yang ditandai dengan buang air besar yang lebih sering (Micut, 2012) Obat obatan Penggunaan obat obatan seperti NSAID, aspirin dan etanol dalam jangka panjang dapat menyebabkan terjadinya inflamasi pada mukosa saluran cerna, terutama lambung dan duodenum. Hal ini disebabkan efek dari NSAID yang akan

36 41 menghambat kerja enzim siklooksigenase atau COX, terutama COX 1 yang beperan dalam produksi prostaglandin. Prostaglandin sendiri turut berperan dalam fungsi perlindungan mukosa melalui pengaturan akiran darah di mukosa, proliferasi sel epitel, sekresi mukus dan bikarbonat dan fungsi imun mukosa. Jika terjadi gangguan dalam produksi prostaglandin, maka akan terjadi kerusakan pada lapisan mukosa (Akil, 2014). Gambar 2.6. Hypothalamic Pituitary Adrenal Axis Sumber : Stress and the Gut, Mertz, 2000 Kerusakan lapisan mukosa ini berlangsung dalam berbagai tahapan, yaitu berkurangnya aliran darah di lapisan mukosa dan kerusakan mikorvaskuler serta sekresi mukus dan bikarbonat yang menurun (Akil, 2014). Aspirin juga dapat menyebabkan kerusakan lapisan mukosa lambung Hal ini disebabkan karena rusaknya pembuluh darah di mukosa melalui mekanisme penghambatan dari pembentukan tromboksan pada dinding pembuluh darah, pembentukan tromboksan oleh trombosit, dan pembentukan sodium salisilat yang merupakan hasil metabolisme aspirin dalam sistem sirkulasi, yang dapat merusak kerja sel, melalui gangguan pada fungsi respirasi dan fosforilasi oksidatif oleh sel,

Anatomi, Histologi, dan Fisiologi Lambung. Anak Agung K Tri K

Anatomi, Histologi, dan Fisiologi Lambung. Anak Agung K Tri K Anatomi, Histologi, dan Fisiologi Lambung Anak Agung K Tri K 111 0211 075 ANATOMI LAMBUNG (GASTER) Bentuk : seperti huruf J Letak : terletak miring dari regio hipochondrium kiri cavum abdominis mengarah

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. menjadi salah satu penyebab sindrom dispepsia (Anggita, 2012).

BAB V PEMBAHASAN. menjadi salah satu penyebab sindrom dispepsia (Anggita, 2012). BAB V PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden 1. Jenis Kelamin Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa sebagian besar responden (51 orang) adalah perempuan. Perempuan lebih mudah merasakan adanya serangan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak enak perut bagian atas yang menetap atau episodik disertai dengan keluhan

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak enak perut bagian atas yang menetap atau episodik disertai dengan keluhan BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Dispepsia merupakan kumpulan gejala berupa keluhan nyeri, perasaan tidak enak perut bagian atas yang menetap atau episodik disertai dengan keluhan seperti rasa penuh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ansietas 2.1.1. Definisi Kecemasan atau ansietas adalah suatu sinyal yang menyadarkan, ia memperingatkan adanya bahaya yang mengancam dan memungkinkan seseorang mengambil tindakan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ulkus Peptikum 2.1.1 Definisi Ulkus peptikum merupakan luka terbuka dengan pinggir edema disertai indurasi dengan dasar tukak tertutup debris (Tarigan, 2009). Ulkus peptikum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dispepsia menurut kriteria Rome III didefinisikan sebagai sekumpulan gejala yang berlokasi di epigastrium, terdiri dari nyeri ulu hati atau ketidaknyamanan, bisa disertai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lambung merupakan perluasan organ berongga besar berbentuk kantung dalam rongga peritoneum yang terletak di antara esofagus dan usus halus. Saat keadaan kosong, bentuk

Lebih terperinci

PERGERAKAN MAKANAN MELALUI SALURAN PENCERNAAN

PERGERAKAN MAKANAN MELALUI SALURAN PENCERNAAN PERGERAKAN MAKANAN MELALUI SALURAN PENCERNAAN FUNGSI PRIMER SALURAN PENCERNAAN Menyediakan suplay terus menerus pada tubuh akan air, elektrolit dan zat gizi, tetapi sebelum zat-zat ini diperoleh, makanan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dispepsia 2.1.1 Definisi Dispepsia Menurut Grace & Borley (2006), dispepsia merupakan perasaan tidak nyaman atau nyeri pada abdomen bagian atas atau dada bagian bawah. Salah

Lebih terperinci

Rongga Mulut. rongga-mulut

Rongga Mulut. rongga-mulut Sistem pencernaan makanan pada manusia terdiri dari beberapa organ, berturut-turut dimulai dari 1. Rongga Mulut, 2. Esofagus 3. Lambung 4. Usus Halus 5. Usus Besar 6. Rektum 7. Anus. Rongga Mulut rongga-mulut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perilaku hidup sehatnya, khususnya pada pola makannya sehari-hari.

BAB I PENDAHULUAN. perilaku hidup sehatnya, khususnya pada pola makannya sehari-hari. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mahasiswa sebagai bagian dari masyarakat Indonesia dan khususnya sebagai generasi penerus bangsa tidak luput dari aktifitas yang tinggi. Oleh sebab itu, mahasiswa diharapkan

Lebih terperinci

Nyeri Ulu Hati. Skenario 1

Nyeri Ulu Hati. Skenario 1 Skenario 1 Nyeri Ulu Hati Seorang wanita berusia 21 tahun, datang ke dokter Puskesmas dengan keluhan nyeri ulu hati dan mual sejak 2 minggu yang lalu. Keluhan akan bertambah bila penderita terlambat makan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadinya gangguan pencernaan. Salah satunya dispepsia. Dispepsia adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadinya gangguan pencernaan. Salah satunya dispepsia. Dispepsia adalah 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan gaya hidup dan pola makan menjadi salah satu penyebab terjadinya gangguan pencernaan. Salah satunya dispepsia. Dispepsia adalah istilah yang dipakai untuk

Lebih terperinci

Gambar 1 urutan tingkat perkembangan divertikulum pernapasan dan esophagus melalui penyekatan usus sederhana depan

Gambar 1 urutan tingkat perkembangan divertikulum pernapasan dan esophagus melalui penyekatan usus sederhana depan EMBRIOLOGI ESOFAGUS Rongga mulut, faring, dan esophagus berasal dari foregut embrionik. Ketika mudigah berusia kurang lebih 4 minggu, sebuah divertikulum respiratorium (tunas paru) Nampak di dinding ventral

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makanan dicerna untuk diserap sebagai zat gizi, oleh sebab itu kesehatan. penyakit dalam dan kehidupan sehari-hari (Hirlan, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. makanan dicerna untuk diserap sebagai zat gizi, oleh sebab itu kesehatan. penyakit dalam dan kehidupan sehari-hari (Hirlan, 2009). 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saluran pencernaan merupakan gerbang utama masuknya zat gizi sebagai sumber pemenuhan kebutuhan tubuh baik untuk melakukan metabolisme hingga aktivitas sehari-hari.

Lebih terperinci

SISTEM PENCERNAAN. Oleh: dr. Danurwendo Sudomo, Sp.Ok

SISTEM PENCERNAAN. Oleh: dr. Danurwendo Sudomo, Sp.Ok SISTEM PENCERNAAN Oleh: dr. Danurwendo Sudomo, Sp.Ok PENDAHULUAN Sistem pencernaan bertanggung jawab untuk menghancurkan dan menyerap makanan dan minuman Melibatkan banyak organ secara mekanik hingga kimia

Lebih terperinci

Sistem Pencernaan Manusia

Sistem Pencernaan Manusia Sistem Pencernaan Manusia Sistem pencernaan pada manusia terdiri atas beberapa organ yang berawal dari mulut, kerongkongan, lambung, usus halus, usus besar dan anus. Pada sistem pencernaan manusia terdiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan korban tersering dari kecelakan lalu lintas. 1. Prevalensi cedera secara nasional menurut Riskesdas 2013 adalah 8,2%,

BAB I PENDAHULUAN. merupakan korban tersering dari kecelakan lalu lintas. 1. Prevalensi cedera secara nasional menurut Riskesdas 2013 adalah 8,2%, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut WHO, lebih dari 3.400 manusia di dunia meninggal di jalan setiap hari dan lebih dari 10 juta manusia mengalami cedera dan disabilitas tiap tahunnya. Anak anak,

Lebih terperinci

Organ Pencernaan Pada Manusia Proses pencernaan merupakan suatu proses yang melibatkan organ-organ pencernaan dan kelenjar-kelenjar pencernaan.

Organ Pencernaan Pada Manusia Proses pencernaan merupakan suatu proses yang melibatkan organ-organ pencernaan dan kelenjar-kelenjar pencernaan. Organ Pencernaan Pada Manusia Proses pencernaan merupakan suatu proses yang melibatkan organ-organ pencernaan dan kelenjar-kelenjar pencernaan. Antara proses dan organ-organ serta kelenjarnya merupakan

Lebih terperinci

Lesi mukosa akut lambung akibat Aspirin atau dengan istilah Aspirin gastropati merupakan kelainan mukosa akibat efek topikal yang akan diikuti oleh

Lesi mukosa akut lambung akibat Aspirin atau dengan istilah Aspirin gastropati merupakan kelainan mukosa akibat efek topikal yang akan diikuti oleh V. PEMBAHASAN UMUM Lesi mukosa akut lambung akibat efek samping OAINS/Aspirin merupakan kelainan yang sering ditemukan. Prevalensi kelainan ini sekitar 70 persen sedangkan pada 30 persen kasus tidak didapatkan

Lebih terperinci

SMP JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN VIII (DELAPAN) ILMU PENGETAHUAN ALAM (IPA) SISTEM PENCERNAAN MANUSIA

SMP JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN VIII (DELAPAN) ILMU PENGETAHUAN ALAM (IPA) SISTEM PENCERNAAN MANUSIA JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN SMP VIII (DELAPAN) ILMU PENGETAHUAN ALAM (IPA) SISTEM PENCERNAAN MANUSIA Salah satu ciri mahluk hidup adalah membutuhkan makan (nutrisi). Tahukah kamu, apa yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan penyakit yang sangat mengganggu aktivitas sehari hari, yang bisa

BAB I PENDAHULUAN. merupakan penyakit yang sangat mengganggu aktivitas sehari hari, yang bisa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gastritis merupakan radang pada jaringan dinding lambung yang disebabkan oleh faktor iritasi, infeksi dan ketidakteraturan dalam pola makan misalnya makan terlalu banyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dispepsia merupakan keluhan nyeri atau rasa tidak nyaman yang

BAB I PENDAHULUAN. Dispepsia merupakan keluhan nyeri atau rasa tidak nyaman yang BAB I PENDAHULUAN A Latar Belakang Penelitian Dispepsia merupakan keluhan nyeri atau rasa tidak nyaman yang berpusat pada perut bagian atas. Menurut kriteria Roma III, dispepsia didefinisikan sebagai kumpulan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. paling sering terjadi. Peningkatan penyakit gastritis atau yang secara umum

BAB 1 PENDAHULUAN. paling sering terjadi. Peningkatan penyakit gastritis atau yang secara umum 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kehidupan manusia yang mengarah modern ditandai gaya hidup yang tidak sehat seperti mengkonsumsi makanan yang dapat merangsang peningkatan asam lambung, seperti:

Lebih terperinci

Proses pencernaan di dalam Rongga mulut Saliva gl.salivarius Proses mengunyah memecah makanan dengan menaikkan kelarutannya, memperluas daerah permuka

Proses pencernaan di dalam Rongga mulut Saliva gl.salivarius Proses mengunyah memecah makanan dengan menaikkan kelarutannya, memperluas daerah permuka PENCERNAAN DAN ABSORBSI PENCERNAAN Perubahan kimiawi bahan makanan lebih sederhana Karbohidrat Monosakarida Protein Asam amino Lemak Asam lemak, monoasilgliserol, gliserol Enzim hidrolase pencernaan, proses

Lebih terperinci

Satuan Acara penyuluhan (SAP)

Satuan Acara penyuluhan (SAP) Lampiran Satuan Acara penyuluhan (SAP) A. Pelaksanaan Kegiatan a. Topik :Gastritis b. Sasaran : Pasien kelolaan (Ny.N) c. Metode : Ceramah dan Tanya jawab d. Media :Leaflet e. Waktu dan tempat : 1. Hari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kasus-kasus penyakit tidak menular yang banyak disebabkan oleh gaya

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kasus-kasus penyakit tidak menular yang banyak disebabkan oleh gaya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan kesehatan di Indonesia saat ini dihadapkan pada dua masalah, penyakit menular masih merupakan masalah kesehatan yang belum terselesaikan, dan terjadi peningkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengalami dispepsia (Djojoningrat, 2009). 21% penderita terkena dispepsia dimana hanya 2% dari penderita yang

BAB I PENDAHULUAN. mengalami dispepsia (Djojoningrat, 2009). 21% penderita terkena dispepsia dimana hanya 2% dari penderita yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dispepsia adalah kumpulan gejala atau sindrom yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa perut penuh,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. perubahan beberapa faktor atau pun kondisi setempat antara lain faktor

BAB 1 PENDAHULUAN. perubahan beberapa faktor atau pun kondisi setempat antara lain faktor BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pola makan disuatu daerah dapat berubah-ubah sesuai dengan perubahan beberapa faktor atau pun kondisi setempat antara lain faktor budaya, agama/kepercayaan,

Lebih terperinci

HIPONATREMIA. Banyak kemungkinan kondisi dan faktor gaya hidup dapat menyebabkan hiponatremia, termasuk:

HIPONATREMIA. Banyak kemungkinan kondisi dan faktor gaya hidup dapat menyebabkan hiponatremia, termasuk: HIPONATREMIA 1. PENGERTIAN Hiponatremia adalah suatu kondisi yang terjadi ketika kadar natrium dalam darah adalah rendah abnormal. Natrium merupakan elektrolit yang membantu mengatur jumlah air di dalam

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. gangguan mual-mual, perut keras bahkan sampai muntah (Simadibrata dkk,

BAB 1 PENDAHULUAN. gangguan mual-mual, perut keras bahkan sampai muntah (Simadibrata dkk, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dispepsia adalah adanya perasaan nyeri dan tidak nyaman yang terjadi di bagian perut atas ditandai dengan rasa penuh, kembung, nyeri, beberapa gangguan mual-mual, perut

Lebih terperinci

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 4. SISTEM PENCERNAAN PADA MANUSIALatihan Soal 4.1

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 4. SISTEM PENCERNAAN PADA MANUSIALatihan Soal 4.1 SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 4. SISTEM PENCERNAAN PADA MANUSIALatihan Soal 4.1 1. Bila mengunyah nasi tawar lama lama akan terasa manis sebab dalam air liur terdapat enzim Renin Ptialin Pepsin Tripsin Kunci

Lebih terperinci

Fungsi Sistem Pencernaan Pada Manusia

Fungsi Sistem Pencernaan Pada Manusia Fungsi Sistem Pencernaan Pada Manusia Setiap manusia memerlukan makanan untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Sari makanan dapat diangkut oleh darah dalam bentuk molekul-molekul yang kecil dan sederhana. Oleh

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini akan membahas mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah,

I PENDAHULUAN. Bab ini akan membahas mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, I PENDAHULUAN Bab ini akan membahas mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sering terjadi akibat ketidakteraturan makan, misalnya makan terlalu banyak,

BAB 1 PENDAHULUAN. sering terjadi akibat ketidakteraturan makan, misalnya makan terlalu banyak, BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Gastritis merupakan suatu peradangan mukosa lambung yang paling sering terjadi akibat ketidakteraturan makan, misalnya makan terlalu banyak, cepat dan makan makanan

Lebih terperinci

PENCERNAAN MAKANAN. Sistem Pencernaan Mamalia :

PENCERNAAN MAKANAN. Sistem Pencernaan Mamalia : Sistem Pencernaan Mamalia : PENCERNAAN MAKANAN * Terdiri atas saluran pencernaan dan berbagai kelenjar aksesoris yang mengekskresikan getah pencernaan ke dalam saluran melalui duktus (saluran) Peristalsis,

Lebih terperinci

HUBUNGAN POLA MAKAN DENGAN SINDROMA DISPEPSIA REMAJA PUTRI DI SMP NEGERI I KARYA PENGGAWA KABUPATEN PESISIR BARAT TAHUN 2013

HUBUNGAN POLA MAKAN DENGAN SINDROMA DISPEPSIA REMAJA PUTRI DI SMP NEGERI I KARYA PENGGAWA KABUPATEN PESISIR BARAT TAHUN 2013 JURNAL KESEHATAN HOLISTIK Vol 8, No 2, April 2014 : 94-98 HUBUNGAN POLA MAKAN DENGAN SINDROMA DISPEPSIA REMAJA PUTRI DI SMP NEGERI I KARYA PENGGAWA KABUPATEN PESISIR BARAT TAHUN 2013 Rohani 1, M. Ricko

Lebih terperinci

PROSES PENCERNAAN SECARA MEKANIK DAN KIMIAWI

PROSES PENCERNAAN SECARA MEKANIK DAN KIMIAWI 1. Pengertian Sistem Pencernaan Manusia PROSES PENCERNAAN SECARA MEKANIK DAN KIMIAWI Pencernaan makanan merupakan proses mengubah makanan dari ukuran besar menjadi ukuran yang lebih kecil dan halus, serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. 1.2 Rumusan Masalah. 1.3 Tujuan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. 1.2 Rumusan Masalah. 1.3 Tujuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami definisi, penyebab, mekanisme dan patofisiologi dari inkontinensia feses pada kehamilan. INKONTINENSIA

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN GASTRITIS

ASUHAN KEPERAWATAN GASTRITIS ASUHAN KEPERAWATAN GASTRITIS Konsep Medik : 1. Pengertian Gastritis berasal dari bahasa yunani yaitu gastro, yang berarti perut/lambung dan itis yang berarti inflamasi/peradangan. Secara umum Gastritis

Lebih terperinci

sebesar 90% (Dodge, 1993). Ulkus gaster berukuran lebih besar dan lebih menonjol sehingga pada pemeriksaan autopsi lebih sering atau mudah dijumpai di

sebesar 90% (Dodge, 1993). Ulkus gaster berukuran lebih besar dan lebih menonjol sehingga pada pemeriksaan autopsi lebih sering atau mudah dijumpai di BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penyakit ulkus peptikum (ulkus peptik) merupakan penyakit yang masih banyak ditemukan terutama dalam kelompok usia di atas 45 tahun (Gartner dan Hiatt, 2001).

Lebih terperinci

FISIOLOGI PENCERNAAN. Dr. Katrin Roosita, MSi.

FISIOLOGI PENCERNAAN. Dr. Katrin Roosita, MSi. FISIOLOGI PENCERNAAN Dr. Katrin Roosita, MSi. ORGAN-ORGAN SISTEM PENCERNAAN Organ sistem pencernaan: 1. Traktus gastro intestinal, berupa pipa, memanjang dari mulut sampai anus pencernaan.exe 2. Organ

Lebih terperinci

Bab. Peta Konsep. Gambar 3.1 Orang sedang makan. Mulut, kerongkongan, lambung, usus halus, usus besar, dan anus. terdiri dari. Saluran Pencernaan

Bab. Peta Konsep. Gambar 3.1 Orang sedang makan. Mulut, kerongkongan, lambung, usus halus, usus besar, dan anus. terdiri dari. Saluran Pencernaan Bab 3 Sistem Pencernaan Sumber: Dok. Penerbit Gambar 3.1 Orang sedang makan Peta Konsep Pernahkah kamu berpikir dari manakah energi yang kamu peroleh untuk melakukan berbagai aktivitas, seperti berolahraga

Lebih terperinci

BAB XII. Kelenjar Pankreas

BAB XII. Kelenjar Pankreas BAB XII Kelenjar Pankreas A. Struktur Kelenjar Pankreas Kelenjar pankreas adalah kelenjar lonjong berwarna keputihan terletak dalam simpul yang terbentuk dari duodenom dan permukaan bawah lambung. Panjangnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tukak lambung merupakan salah satu bentuk tukak peptik yang ditandai dengan

BAB I PENDAHULUAN. Tukak lambung merupakan salah satu bentuk tukak peptik yang ditandai dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini, tukak lambung menjadi suatu penyakit yang banyak diderita oleh masyarakat dan dalam kondisi yang parah dapat menjadi penyebab kematian. Tukak lambung merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Dispepsia kronis merupakan keluhan nyeri atau rasa tidak nyaman yang berpusat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Dispepsia kronis merupakan keluhan nyeri atau rasa tidak nyaman yang berpusat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dispepsia kronis merupakan keluhan nyeri atau rasa tidak nyaman yang berpusat pada perut bagian atas. Menurut kriteria Roma III, dispepsia kronis didefinisikan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 7 HASIL DAN PEMBAHASAN Pemeriksaan Fisik Anjing Lokal Hewan yang digunakan adalah anjing lokal berjumlah 2 ekor berjenis kelamin betina dengan umur 6 bulan. Pemilihan anjing betina bukan suatu perlakuan

Lebih terperinci

SET 13 TUBUH MANUSIA 2 (SISTEM PENCERNAAN) Karbohidrat - Beras - Gandum - Jagung - Sagu. Lemak - Keju - Mentega - Minyak Kelapa

SET 13 TUBUH MANUSIA 2 (SISTEM PENCERNAAN) Karbohidrat - Beras - Gandum - Jagung - Sagu. Lemak - Keju - Mentega - Minyak Kelapa 13 MATERI DAN LATIHAN SOAL SBMPTN ADVANCE AND TOP LEVEL biologi SET 13 TUBUH MANUSIA 2 (SISTEM PENCERNAAN) A. ZAT MAKANAN Karbohidrat - Beras - Gandum - Jagung - Sagu Bergerak / Zat Tenaga Lemak - Keju

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Almatsier tahun 2004, dispepsia merupakan istilah yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Almatsier tahun 2004, dispepsia merupakan istilah yang BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Dispepsia Menurut Almatsier tahun 2004, dispepsia merupakan istilah yang menunjukkan rasa nyeri atau tidak menyenangkan pada bagian atas perut. Kata dispepsia berasal

Lebih terperinci

LI1. Memahami dan Menjelaskan Anatomi Gaster LO1.1. Memahami dan Menjelaskan Anatomi Makroskopis Gaster

LI1. Memahami dan Menjelaskan Anatomi Gaster LO1.1. Memahami dan Menjelaskan Anatomi Makroskopis Gaster LI1. Memahami dan Menjelaskan Anatomi Gaster LO1.1. Memahami dan Menjelaskan Anatomi Makroskopis Gaster Anatomi Gaster Gaster (Pylorus/ Vantriculus) atau masyarakat juga menyebutnya dg lambung, atau apabila

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut Sukarmin (2012) gastritis merupakan peradangan yang mengenai mukosa lambung. Peradangan ini dapat mengakibatkan pembengkakan mukosa lambung sampai terlepasnya

Lebih terperinci

LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN NUTRISI DI RS ROEMANI RUANG AYUB 3 : ANDHIKA ARIYANTO :G3A014095

LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN NUTRISI DI RS ROEMANI RUANG AYUB 3 : ANDHIKA ARIYANTO :G3A014095 LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN NUTRISI DI RS ROEMANI RUANG AYUB 3 NAMA NIM : ANDHIKA ARIYANTO :G3A014095 PROGRAM S1 KEPERAWATAN FIKKES UNIVERSITAS MUHAMMADIAH SEMARANG 2014-2015 1 LAPORAN

Lebih terperinci

hiperacidity. Adapun jenis-jenis dispepsia organik yaitu

hiperacidity. Adapun jenis-jenis dispepsia organik yaitu BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Dispepsia a. Definisi Dispepsia Dispepsia berasal dari bahasa Yunani, yaitu dys (buruk) dan peptein (pencernaan) (Bonner, 2006). Dispepsia menggambarkan keluhan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. esophagus dan duodenum. Organ ini adalah saluran pencernaan yang mengalami

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. esophagus dan duodenum. Organ ini adalah saluran pencernaan yang mengalami BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. Lambung Manusia 12 II.1.1. Anatomi Lambung Manusia Lambung merupakan bagian dari tractus gastrointestinal diantara esophagus dan duodenum. Organ ini adalah saluran pencernaan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Obat Anti-Inflamasi Nonsteroid (OAINS) adalah suatu golongan obat

BAB 1 PENDAHULUAN. Obat Anti-Inflamasi Nonsteroid (OAINS) adalah suatu golongan obat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Obat Anti-Inflamasi Nonsteroid (OAINS) adalah suatu golongan obat yang memiliki khasiat analgetik, antipiretik, serta anti radang dan banyak digunakan untuk menghilangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sendawa, rasa panas di dada (heartburn), kadang disertai gejala regurgitasi

BAB I PENDAHULUAN. sendawa, rasa panas di dada (heartburn), kadang disertai gejala regurgitasi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dispepsia adalah kumpulan gejala atau sindrom yang terdiri dari nyeri ulu hati, mual, kembung, muntah, rasa penuh (begah) atau cepat kenyang, sendawa, rasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. protozoa, dan alergi. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007

BAB I PENDAHULUAN. protozoa, dan alergi. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit inflamasi saluran pencernaan dapat disebabkan oleh virus, bakteri, protozoa, dan alergi. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 menunjukkan

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. disatu pihak masih banyaknya penyakit menular yang harus ditangani, dilain pihak

BAB 1 : PENDAHULUAN. disatu pihak masih banyaknya penyakit menular yang harus ditangani, dilain pihak BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia yang sedang kita hadapi saat ini dalam pembangunan kesehatan adalah beban ganda penyakit, yaitu disatu pihak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ulu hati (daerah lambung), kembung, mual, muntah, sendawa, rasa cepat kenyang,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ulu hati (daerah lambung), kembung, mual, muntah, sendawa, rasa cepat kenyang, BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dispepsia Dispepsia merupakan isitilah yang digunakan untuk suatu sindrom (kumpulan gejala atau keluhan) yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di ulu hati (daerah lambung),

Lebih terperinci

PENGATURAN FUNGSI TRAKTUS GASTROINTESTINAL

PENGATURAN FUNGSI TRAKTUS GASTROINTESTINAL PENGATURAN FUNGSI TRAKTUS GASTROINTESTINAL MAKALAH Disusun oleh : R. RIZKY SUGANDA P. D100.531 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG 2011 DAFTAR ISI Daftar Isi i Daftar Gambar Ii BAB I. PENDAHULUAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN. kumpulan gejala yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah,

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN. kumpulan gejala yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. DEFINISI DISPEPSIA Istilah dispepsia berkaitan dengan makanan dan menggambarkan keluhan atau kumpulan gejala yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium,

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM PENCERNAAN: DISPEPSIA

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM PENCERNAAN: DISPEPSIA 1 ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM PENCERNAAN: DISPEPSIA By Iwan Sain, S.Kp, M.Kes A. Konsep Dasar Medik 1. Pengertian Dispepsia merupakan kumpulan keluhan/gejala klinis yang terdiri dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sebagai kesatuan antara jasmani dan rohani, manusia mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sebagai kesatuan antara jasmani dan rohani, manusia mempunyai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai kesatuan antara jasmani dan rohani, manusia mempunyai kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi agar dapat mencapai suatu keseimbangan atau suatu keadaan

Lebih terperinci

Usus Halus dan Struktur yang Berkaitan

Usus Halus dan Struktur yang Berkaitan Usus Halus dan Struktur yang Berkaitan Terbentang dari sfinkter pilorus sampai katup ileosekal. Ada tiga bagian: duodenum, jejunum dan ileum. Saluran empedu umum bersatu dengan saluran pankreas membentuk

Lebih terperinci

Pencernaan dan Penyerapan Makanan

Pencernaan dan Penyerapan Makanan Pencernaan dan Penyerapan Makanan Makanan (KH, Lipid, Protein, Mineral, Vitamin dan Air) energi Makanan diubah molekul2 kecil masuk ke dalam sel Rx kimia energi Proses penguraian bahan makanan menjadi

Lebih terperinci

Keluhan dan Gejala. Bagaimana Solusinya?

Keluhan dan Gejala. Bagaimana Solusinya? Faktor psikis atau kejiwaan seseorang bisa pula meningkatkan produksi asam lambung. Selain itu penyakit maag juga bisa disebabkan insfeksi bakteri tertentu, misalnya helicobacter pylori yang merupakan

Lebih terperinci

Pembahasan Video :http:// :1935/testvod/_definst_/mp4:(21). 8 SMP BIOLOGI/4. SISTEM PENCERNAAN PADA MANUSIA/BIO mp4/manifest.

Pembahasan Video :http:// :1935/testvod/_definst_/mp4:(21). 8 SMP BIOLOGI/4. SISTEM PENCERNAAN PADA MANUSIA/BIO mp4/manifest. 1. Perhatikan gambar sistem pencernaan berikut! SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 4. SISTEM PENCERNAAN PADA MANUSIALATIHAN SOAL Enzim pepsin dihasilkan oleh bagian yang benromor... 1 2 3 4 Kunci Jawaban : B Enzim

Lebih terperinci

Sekresi Getah Pencerna. Kurnia Eka Wijayanti

Sekresi Getah Pencerna. Kurnia Eka Wijayanti Sekresi Getah Pencerna Kurnia Eka Wijayanti Sekresi cairan intestinum sehari-hari VOL SEKRESI (ml) Ph SALIVA 1000-1500 6.0-7.0 GASTRIC SECR. 1500 1.0-3,5 PANCREATIC SECR. 1000 8-8.3 EMPEDU 1000 7,8 SMALL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini penyakit lambung/maag sudah banyak timbul di masyarakat dengan keluhan perut yang sakit, perih, atau kembung. Namun penyakit maag tidak seperti yang diketahui

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. Animasi II.1.1. Sejarah Animasi Sejak jaman purbakala manusia sudah memiliki bakat dalam membuat sebuah gambar, ini dibuktikan berdasarkan banyaknya ditemukan gambar-gambar

Lebih terperinci

Sistem Pencernaan Manusia

Sistem Pencernaan Manusia Sistem Pencernaan Manusia Manusia memerlukan makanan untuk bertahan hidup. Makanan yang masuk ke dalam tubuh harus melalui serangkaian proses pencernaan agar dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi. Proses

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Konstipasi berasal dari bahasa Latin constipare yang berarti ramai bersama. 18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Konstipasi berasal dari bahasa Latin constipare yang berarti ramai bersama. 18 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Konstipasi Konstipasi berasal dari bahasa Latin constipare yang berarti ramai bersama. 18 Konstipasi secara umum didefinisikan sebagai gangguan defekasi yang ditandai

Lebih terperinci

dr.imas DAMAYANTI FAKULTAS PENDIDIKAN OLAHRAGA DAN KESEHATAN UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

dr.imas DAMAYANTI FAKULTAS PENDIDIKAN OLAHRAGA DAN KESEHATAN UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA dr.imas DAMAYANTI FAKULTAS PENDIDIKAN OLAHRAGA DAN KESEHATAN UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 1. Motilitas: Pergerakan makanan dari mulut sepanjang traktus gastrointestinal Ingesti=memasukkan makanan dari

Lebih terperinci

MODUL MATA PELAJARAN IPA

MODUL MATA PELAJARAN IPA KERJASAMA DINAS PENDIDIKAN KOTA SURABAYA DENGAN FAKULTAS MIPA UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA MODUL MATA PELAJARAN IPA Sistem Pencernaan untuk kegiatan PELATIHAN PENINGKATAN MUTU GURU DINAS PENDIDIKAN KOTA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kesehatan di Indonesia saat ini dihadapkan pada dua

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kesehatan di Indonesia saat ini dihadapkan pada dua BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan kesehatan di Indonesia saat ini dihadapkan pada dua masalah, di satu pihak penyakit menular masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang belum

Lebih terperinci

SISTEM PENCERNAAN MAKANAN. SUSUNAN SALURAN PENCERNAAN Terdiri dari : 1. Oris 2. Faring (tekak) 3. Esofagus 4. Ventrikulus

SISTEM PENCERNAAN MAKANAN. SUSUNAN SALURAN PENCERNAAN Terdiri dari : 1. Oris 2. Faring (tekak) 3. Esofagus 4. Ventrikulus SISTEM PENCERNAAN MAKANAN SUSUNAN SALURAN PENCERNAAN Terdiri dari : 1. Oris 2. Faring (tekak) 3. Esofagus 4. Ventrikulus 5. Intestinum minor : Duodenum Jejenum Iliem 6. Intestinum mayor : Seikum Kolon

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. obat berperan sangat penting dalam pelayanan kesehatan. Berbagai pilihan obat saat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. obat berperan sangat penting dalam pelayanan kesehatan. Berbagai pilihan obat saat BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Obat Obat merupakan semua bahan tunggal atau campuran bahan yang digunakan semua makhluk hidup untuk bagian dalam maupun bagian luar dalam menetapkan diagnosis, mencegah,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Dispepsia Dispepsia berasal dari bahasa Yunani, yaitu dys (buruk) dan peptein (pencernaan). Istilah dispepsia mulai gencar dikemukakan sejak akhir tahun 1980-an,

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Sakit Perut Berulang Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut berulang pada remaja terjadi paling sedikit tiga kali dengan jarak paling sedikit

Lebih terperinci

Anatomi dan Fisiologi Sistem Pencernaan Manusia

Anatomi dan Fisiologi Sistem Pencernaan Manusia Anatomi dan Fisiologi Sistem Pencernaan Manusia SISTEM PENCERNAAN Sistem pencernaan atau sistem gastroinstestinal (mulai dari mulut sampai anus) adalah sistem organ dalam manusia yang berfungsi untuk menerima

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pekerjaan serta problem keuangan dapat mengakibatkan kecemasan pada diri

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pekerjaan serta problem keuangan dapat mengakibatkan kecemasan pada diri BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap perubahan dalam kehidupan manusia dapat menimbulkan stress. Stress yang dialami seseorang dapat menimbulkan kecemasan yang erat kaitannya dengan pola hidup. Akibat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Aspirin adalah golongan Obat Anti Inflamasi Non-Steroid (OAINS), yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Aspirin adalah golongan Obat Anti Inflamasi Non-Steroid (OAINS), yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Aspirin adalah golongan Obat Anti Inflamasi Non-Steroid (OAINS), yang memiliki efek analgetik, antipiretik dan antiinflamasi yang bekerja secara perifer. Obat ini digunakan

Lebih terperinci

3. Apakah anda pernah menderita gastritis (sakit maag)? ( ) Pernah ( ) Tidak Pernah

3. Apakah anda pernah menderita gastritis (sakit maag)? ( ) Pernah ( ) Tidak Pernah 104 KUESIONER PENELITIAN GAMBARAN FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENCEGAHAN PENYAKIT GASTRITIS PADA MAHASISWA FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA TAHUN 2015 A. Karateristik 1. Umur

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Dispepsia berasal dari bahasa Yunani yang berarti pencernaan yang tidak baik.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Dispepsia berasal dari bahasa Yunani yang berarti pencernaan yang tidak baik. BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi dispepsia Dispepsia berasal dari bahasa Yunani yang berarti pencernaan yang tidak baik. Dispepsia mengacu pada nyeri atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas;

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Dispepsia Fungsional 2.1.1 Defenisi Dispepsia Fungsional Dalam konsensus Roma III (tahun 2006 dikutip dari Djojoningrat, 2009) yang khusus membicarakan tentang kelainan gastrointestinal

Lebih terperinci

FISIOLOGI SISTEM PENCERNAAN. R Bayu Kusumah N

FISIOLOGI SISTEM PENCERNAAN. R Bayu Kusumah N FISIOLOGI SISTEM PENCERNAAN R Bayu Kusumah N Fungsi Saluran Cerna Secara umum berfungsi : Jalan makanan Timbun makanan Cerna makanan Absorbsi zat makanan Ekskresi sisa makan Pergerakan saluran cerna Histologi

Lebih terperinci

Pencernaan mekanik terjadi di rongga mulut, yaitu penghancuran makanan oleh gigi yang dibantu lidah.

Pencernaan mekanik terjadi di rongga mulut, yaitu penghancuran makanan oleh gigi yang dibantu lidah. Kata pengantar Saat akan makan, pertama-tama yang kamu lakukan melihat makananmu. Setelah itu, kamu akan mencium aromanya kemudian mencicipinya. Setelah makanan berada di mulut, kamu akan mengunyah makanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Gastritis adalah peradangan pada lapisan lambung. Banyak hal yang dapat menyebabkan gastritis. Penyebabnya paling sering adalah infeksi bakteri Helicobacter pylori

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dispepsia merupakan kumpulan gejala berupa rasa nyeri atau

BAB I PENDAHULUAN. Dispepsia merupakan kumpulan gejala berupa rasa nyeri atau 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dispepsia merupakan kumpulan gejala berupa rasa nyeri atau ketidaknyamanan yang berpusat di perut bagian atas. Rasa tidak nyaman secara spesifik meliputi rasa cepat

Lebih terperinci

Amorrita Puspita Ratu Skenario 1 Blok Gastrointestinal Tract. LI 1. MM Anatomi Gaster. LO 1.1 Makroskopik

Amorrita Puspita Ratu Skenario 1 Blok Gastrointestinal Tract. LI 1. MM Anatomi Gaster. LO 1.1 Makroskopik Amorrita Puspita Ratu 1102013023 Skenario 1 Blok Gastrointestinal Tract LI 1. MM Anatomi Gaster LO 1.1 Makroskopik Gaster terletak di bagian atas abdomen, terbentang dari permukaan bawah arcus costalis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sistem organ dikarenakan hipersensitivitas terhadap makanan tertentu yang

BAB I PENDAHULUAN. sistem organ dikarenakan hipersensitivitas terhadap makanan tertentu yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Alergi makanan merupakan gejala yang mengenai banyak organ atau sistem organ dikarenakan hipersensitivitas terhadap makanan tertentu yang sebagian besar diperantarai

Lebih terperinci

WRAP UP SKENARIO 1 NYERI ULU HATI KELOMPOK B-1

WRAP UP SKENARIO 1 NYERI ULU HATI KELOMPOK B-1 WRAP UP SKENARIO 1 NYERI ULU HATI KELOMPOK B-1 Ketua : Mohammad Doddy Rizki Dwi Putra (1102011166) Sekertaris : Ratna Murni Suryaningsih (1102011223) Anggota : Tiara Anggun N (110201 Rahmadhini Elkri (1102010227)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masa pertumbuhan dan perkembangan yang dimulai dari bayi (0-1 tahun),

BAB I PENDAHULUAN. masa pertumbuhan dan perkembangan yang dimulai dari bayi (0-1 tahun), BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan individu yang berada dalam satu rentang perubahan perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja. Masa anak merupakan masa pertumbuhan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan pola konsumsi makanan, sehingga banyak timbul masalah kesehatan, salah

BAB I PENDAHULUAN. dan pola konsumsi makanan, sehingga banyak timbul masalah kesehatan, salah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Timbulnya suatu penyakit berpengaruh terhadap perubahan gaya hidup dan pola konsumsi makanan, sehingga banyak timbul masalah kesehatan, salah satunya gangguan pada

Lebih terperinci

SINDROMA DISPEPSIA. Dr.Hermadia SpPD

SINDROMA DISPEPSIA. Dr.Hermadia SpPD SINDROMA DISPEPSIA Dr.Hermadia SpPD Pendahuluan Dispepsia merupakan keluhan klinis yg sering dijumpai Menurut studi berbasis populasi tahun 2007 peningkatan prevalensi dispepsia fungsional dr 1,9% pd th

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan UKDW. dys- (buruk) dan peptin (pencernaan) (Abdullah,2012). Dispepsia merupakan istilah

BAB I. Pendahuluan UKDW. dys- (buruk) dan peptin (pencernaan) (Abdullah,2012). Dispepsia merupakan istilah BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Dispepsia merupakan salah satu gangguan yang diderita oleh hampir seperempat populasi umum di negara industri dan merupakan salah satu alasan orang melakukan konsultasi

Lebih terperinci

THE RELATION OF DIET PATTERN TO DYSPEPSIA SYNDROM IN COLLEGE STUDENTS

THE RELATION OF DIET PATTERN TO DYSPEPSIA SYNDROM IN COLLEGE STUDENTS [ARTIKEL REVIEW]TIKEL REVIEW] THE RELATION OF DIET PATTERN TO DYSPEPSIA SYNDROM IN COLLEGE STUDENTS Sabrine Dwigint Faculty of Medicine, Lampung University Abstract Dyspepsia is a group of symptoms include

Lebih terperinci

Pengaturan sistem pencernaan oleh saraf dan hormon Sistem yang fungsinya itu dapat mengatur dan mengendalikan kerja alat tubuh agar tubuh dapat

Pengaturan sistem pencernaan oleh saraf dan hormon Sistem yang fungsinya itu dapat mengatur dan mengendalikan kerja alat tubuh agar tubuh dapat Pengaturan sistem pencernaan oleh saraf dan hormon Sistem yang fungsinya itu dapat mengatur dan mengendalikan kerja alat tubuh agar tubuh dapat bekerja dengan serasi dan sesuai dengan fungsinya dan itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan adalah keadaan sehat baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Pembangunan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. diserahkan oleh apoteker di apotek (Asti dan Indah, 2004). The International

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. diserahkan oleh apoteker di apotek (Asti dan Indah, 2004). The International BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Swamedikasi Swamedikasi adalah suatu pengobatan sendiri yang dilakukan oleh masyarakat terhadap penyakit yang umum diderita, dengan menggunakan obatobatan yang dijual bebas

Lebih terperinci