ANALISIS BIAYA PENGOLAHAN GONDORUKEM DAN TERPENTIN DI PGT. SINDANGWANGI, KPH BANDUNG UTARA, PERUM PERHUTANI UNIT III JAWA BARAT BANTEN.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS BIAYA PENGOLAHAN GONDORUKEM DAN TERPENTIN DI PGT. SINDANGWANGI, KPH BANDUNG UTARA, PERUM PERHUTANI UNIT III JAWA BARAT BANTEN."

Transkripsi

1 ANALISIS BIAYA PENGOLAHAN GONDORUKEM DAN TERPENTIN DI PGT. SINDANGWANGI, KPH BANDUNG UTARA, PERUM PERHUTANI UNIT III JAWA BARAT BANTEN. Dwi Nugroho Artiyanto E DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

2 ANALISIS BIAYA PENGOLAHAN GONDORUKEM DAN TERPENTIN DI PGT. SINDANGWANGI, KPH BANDUNG UTARA, PERUM PERHUTANI UNIT III JAWA BARAT BANTEN. Oleh: Dwi Nugroho Artiyanto E Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

3 DWI NUGROHO ARTIYANTO (E ). Analisis Biaya Pengolahan Gondorukem dan Terpentin di PGT. Sindangwangi, KPH Bandung Utara, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat Banten, dibawah bimbingan Ir. Bintang C.H. Simangunsong. MS., Ph.D. Salah satu pemanfaatan tegakan pinus yang sudah lama dilakukan adalah sebagai penghasil getah. Di Indonesia, penyadapan getah pinus pertama kali dilakukan di Aceh, pada tahun Pabrik pengolahan getah pinus pertama didirikan pada tahun 1938 di Lampahan. Pabrik pengolahan tersebut dibangun oleh pihak Prancis, namun bekerja dengan kapasitas tidak penuh ( hanya bekerja beberapa hari dalam satu bulan) karena pasokan getah pinus masih kurang. Sementara itu, di Pulau Jawa, penyadapan getah pinus dimulai di lereng-lereng Gunung Lawu dan Gunung Wilis pada tahun 1947 (Soetomo, 1972). Pabrik pengolahan getah pinus di Jawa diantaranya berada di Bandung, Pekolangan, Cilacap, Pekalongan Ponorogo dan Trenggalek. Getah pinus yang telah disadap kemudian diolah dan menghasilkan gondorukem dan terpentin. Gondorukem digunakan sebagai bahan baku yang penting bagi industri-industri batik, kulit, sabun cuci, cat, isolator, kertas dan vernis. Sedangkan terpentin digunakan untuk bahan industri cat dan vernis, ramuan semir sepatu, pelarut bahan organik, bahan pembuatan kamper sintetis serta kegunaan lainnya. Kapasitas industri gondorukem yang ada saat ini, khususnya yang dimilki Perhutani belum dapat dimanfaatkan secara optimum akibat kurangnya bahan baku getah. Di lain pihak, Perhutani saat ini sedang berusaha meningkatkan pendapatannya dari komoditas non kayu. Atas dasar ini, efesiensi produksi perlu dilakukan untuk meminimumkan biaya produksi sehingga keuntungan dapat meningkat meskipun penerimaan tetap. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses produksi pengolahan getah pinus menjadi gondorukem dan terpentin dan melakukan analisis biaya produksi gondorukem dan terpentin. Sehingga dapat dilakukan efesiensi produksi melalui pengendalian biaya Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2006-Februari 2006 di pabrik Gondorukem dan Terpentin (PGT) Sindangwangi, KPH Bandung Utara, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat-Banten. Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data tersebut digunakan dalam perhitungan analisis biaya produksi dan anlisis rugi laba. PGT. Sindangwangi berlokasi di Desa Nagrek, Kecamatan Nagrek, Kabupaten Bandung yang masuk dalam wilayah kerja KPH Bandung Utara. Kebutuhan bahan baku PGT. Sindangwangi, diperoleh dari KPH-KPH yang ada di wilayah Perum Perhutani Unit III Jawa Barat-Banten. PGT. Sindangwangi mengolah bahan baku getah selama 5 tahun terakhir berkisar 53,6-64,5%. Hal ini menunjukkan kurangnya pasokan bahan baku. Sedangkan rendemen pengolahan getah menjadi gondorukem berkisar 59,8-78,9% dan menjadi terpentin berkisar 13,6-16,1%. Selain itu, pendapatan selama 5 tahun berkisar Rp. 10,4 milyar-rp. 23,22 milyar. Biaya produksi gondorukem dan terpentin PGT. Sindangwangi tahun 2005 adalah Rp.16,9 milyar/tahun atau Rp.4.564/kg gondorukem. Biaya tetap yang dikeluarkan adalah Rp.5,1 milyar/tahun atau Rp /kg gondorukem. Biaya

4 variabel yang dikeluarkan adalah Rp.11.8 milyar/tahun atau Rp /kg gondorukem. Biaya terbesar pada tahap persiapan bahan baku (50,5%) disusul tahap pengolahan bahan baku (32,6%) dan umum (14,7%). Harga pokok gondorukem diperhitungkan dengan memperhatikan besarnya keuntungan yang ingin diperoleh oleh perusahaan, yaitu sebesar 18% dari biaya produksi. Besarnya harga pokok gondorukem sebesar Rp 4.462/kg. Harga pokok tersebut lebih kecil dari pada harga jual dalam negeri yang besarnya Rp 4.953/kg tetapi lebih kecil lagi dari pada harga jual ekspor yang besarnya Rp 5.375kg. Sehingga apabila gondorukem tersebut dijual ekspor maka perusahaan akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari pada dijual dalam negeri. Analisis rugi laba dalam penelitian ini menunjukkan besarnya produksi gondorukem adalah 3.710,6 ton dan terpentin sebesar 758,7 ton, nilai investasi sebesar Rp. 15,7 milyar, biaya produksi sebesar Rp. 16,9 milyar, BEP sebesar 2.620,76 ton atau 26,2%, ROI sebesar 40,3%, pendapatan sebesar Rp. 19,31 milyar dan laba sebesar Rp. 6,32 milyar. PGT.Sindangwangi memproduksi gondorukem diatas BEP tersebut, hal ini menunjukkan bahwa PGT. Sindangwangi tidak mengalami kerugian dalam kegiatan produksinya. Dilain pihak PGT. Sindangwangi sudah mendapatkan keuntungan dari hasil penjualan gondorukem dan terpentin. Tetapi perusahaan masih jauh berproduksi dari kapasitas terpasangnya, untuk itu perusahaan perlu menambah produksinya agar memperoleh keuntungan yang lebih besar lagi. LEMBAR PENGESAHAN

5 Judul Penelitian : Analisis Biaya Pengolahan Gondorukem dan Terpentin di PGT Sindangwangi, KPH Bandung Utara, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat Banten. Nama Mahasiswa : Dwi Nugroho Artiyanto NRP : E Program Studi : Teknologi Hasil Hutan Menyetujui : Dosen Pembimbing Ir. Bintang C. H. Simangunsong, MS., Ph.D. Tanggal: Mengetahui : Dekan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS Tanggal: Tanggal lulus: 31 Mei 2006 RIWAYAT HIDUP

6 Penulis dilahirkan di Karanganyar pada tanggal 20 Oktober 1982 dari ayah Sugiyo dan ibu Sri Suparti. Penulis merupakan putra pertama dari dua bersaudara. Tahun 2001 penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Umum Majelis Tafsir Al Qur an (SMUMTA) Surakarta, Kota Madya Surakarta, Jawa Tengah. Pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih program studi Pengolahan Hasil Hutan, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan. Selama mengikuti perkuliahan, penulis tidak hanya mengikuti kegiatan akademik saja. Untuk mengasah kemampuan berorganisasi dan kepemimpinannya, penulis aktif mengikuti berbagai organisasi seperti Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kehutanan pada tahun 2003 dan aktif dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Hutan pada tahun Penulis mengikuti kegiatan Praktek Pengenalan Hutan di Kesatuan Pemangkuan Hutan Banyumas dengan jalur Baturaden-Cilacap dan Praktek Umum Pengelolaan Hutan di Kesatuan Pemangkuan Hutan Cepu, Ngawi, Blora dan Madiun selama satu bulan pada tahun Penulis juga mengikuti kuliah kerja profesi di PT. Rakabu Furniture, Surakarta, selama dua bulan pada tahun Penulis menyusun karya ilmiah yang berjudul ANALISIS BIAYA PENGOLAHAN GONDORUKEM DAN TERPENTIN DI PGT. SINDANGWANGI, KPH BANDUNG UTARA, PERUM PERHUTANI UNIT III JAWA BARAT BANTEN. sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kehutanan. KATA PENGANTAR

7 Segala puji bagi Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-nya sehingga penelitian dan penulisan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada junjungan besar Nabi Muhammad SAW. Penelitian dengan judul ANALISIS BIAYA PENGOLAHAN GONDORUKEM DAN TERPENTIN DI PGT. SINDANGWANGI, KPH BANDUNG UTARA, PERUM PERHUTANI UNIT III JAWA BARAT BANTEN., ini diharapkan dapat memberikan informasi dan rujukan sehingga menjadi pertimbangan dalam penelitian lainnya. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada : 1. Ir. Bintang C. H. Simangunsong, MS., Ph.D. Pembimbing atas berbagai masukan dan saran dalam penyusunan skripsi. 2. Ir. Edje Djamhuri selaku dosen penguji dari Departemen MNH dan Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si. selaku dosen penguji dari Departemen KSH atas saran, nasihat, dan masukannya. 4. Kedua orang tua penulis atas segala curahan kasih sayang, doa, dan nasihat selama perkuliahan hingga penyelesaian karya ilmiah ini. 5. Teman-teman THH 38 atas segala bantuan, kebersamaan dan kerjasamanya selama ini. 6. Gongliers atas persahabatan dan dukungannya dalam suka maupun duka. Penulis menerima masukan baik saran maupun kritik membangun demi kesempurnaan karya ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya. Bogor, Juni 2006 Dwi Nugroho Artiyanto

8 DAFTAR ISI DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... Halaman PENDAHULUAN Latar Belakang... 1 Tujuan... 2 TINJAUAN PUSTAKA Gondorukem dan Terpentin... 4 Proses Produksi Gondorukem... 5 Persyaratan dan Kualitas Gondorukem... 9 Produksi, Biaya, Eksport dan Harga Jual Gondorukem dan Terpentin Hutan Pinus Sebagai Penghasil Getah Pinus METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Jenis Data Metode Pengumpulan Data Analisis Data KEADAAN UMUM PERUSAHAAN Industri Pengolahan Getah Pinus HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi dan Rendemen Biaya Produksi Analisis Harga Pokok Analisis Rugi-Laba Sistem Pemasaran KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN i ii iii

9 DAFTAR TABEL Nomor Teks Halaman 1. Persyaratan Umum Gondorukem Persyaratan Khusus Mutu Gondorukem Klasifikasi Kualitas Gondorukem Produksi dan Rendemen Gondorukem dan Terpentin Indonesia Produksi dan Rendemen Gondorukem Dan Terpentin Perhutani Rekapitulasi Biaya Tetap dan Biaya variabel PGT. Cimanggu Penjualan Luar Negeri Gondorukem dan Terpentin Tahun Perhutani Ekspor Gondorukem Ke Berbagai Negara Tahun Daftar Harga Jual Dasar Gondorukem dan Terpentin Luas Hutan Pinus Menurut KPH dan Fungsi Hutannya Perincian Kawasan Hutan Pinus Menurut Ketinggian di atas Permukaan Laut Sumber Benih Pinus merkusii di Perum Perhutani Perincian Kawasan Hutan Pinus Menurut Jenis Tanah Perincian Kawasan Hutan Pinus Menurut Tipe Iklim Oldeman Realisasi Produksi Kayu dan Getah Pinus Perum Perhutani tahun dibandingkan dengan Kapasitas Industri Pengolahan Kemampuan Pengolahan Getah Pinus Perkembangan Produksi Getah Selama 5 Tahun ( ) Realisasi Produksi Getah Pinus Perum Perhutani selama 5 Tahun terakhir, Berdasarkan Luas Sadapan dan Jumlah Pohon yang Disadap Penerimaan Getah Pinus Tahun PGT. Sindangwangi Rekapitulasi Produksi dan Pendapatan PGT. Sindangwangi Tahun Rekapitulasi Biaya Tetap dan Variabel (Rp Juta / tahun) Setiap Tahapan dan Komponen PGT.Sindangwangi Tahun Rekapitulasi Biaya Tetap dan Biaya Variabel (Rp/kg gondorukem)

10 PGT. Sindangwangi tahun Rekapitulasi biaya tetap dan biaya variabel PGT.Sindangwangi Rekapitulasi Biaya Tetap dan Biaya Variabel menurut KPH Bandung Utara, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat-Banten Laporan Rugi Laba Produksi Getah Pinus Perum Perhutani Berdasar Produktivitas Rata-rata Per Hektar dan Per Pohon Nomor Lampiran Halaman 1. Ekspor Gondorukem ke Berbagai Negara Tahun Inventaris, Penyusutan dan Bunga Modal PGT Sindangwangi Gaji Pegawai PGT. Sindangwangi Biaya Umum PGT. Sindangwangi Rekapitulasi Biaya Variabel setiap Tahapan Produksi PGT. Sindangwangi... 64

11 DAFTAR GAMBAR No Teks Halaman 1. Tahap kegiatan dalam proses produksi gondorukem dan terpentin Grafik Break Event Point Proses pengolahan getah pinus PGT. Sindangwangi Unit Melter di PGT. Sindangwangi Unit Settler di PGT Sindangwangi Unit Ketel Pemasak di PGT. Sindangwangi Gudang penyimpanan gondorukem di PGT. Sindangwangi Struktur organisasi PGT.Sindangwangi Sistem pemasaran gondorukem dan terpentin... 51

12 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumber kekayaan alam yang dapat diperbaharui dan mempunyai multi fungsi, seperti fungsi produksi dan fungsi konservasi. Hutan dapat menghasilkan kayu dan non kayu yang berguna bagi kebutuhan hidup manusia. Oleh karena itu sumberdaya hutan harus dimanfaatkan secara maksimal dan rasional dengan tetap melaksanakan prinsip kelestariannya yang sejalan dengan sasaran yang ingin dicapai oleh pemerintah dalam sektor kehutanan. Produksi hutan berupa kayu sudah dimanfaatkan sejak dulu sebagai bahan bangunan maupun meubel, tetapi produksi kayu tersebut kurang memperhatikan kaidah kelestarian hutan, sehingga produksi kayu dari waktu ke waktu semakin menurun, akibat sumber daya hutan yang semakin berkurang. Pada era teknologi sekarang ini, bukan saatnya lagi kayu dijadikan prioritas dalam pemanfaatan hutan, karena masih banyak hasil hutan non kayu yang belum dimanfaatkan secara optimum. Seperti getah, akar, kulit, daun dan buah, yang apabila diolah dengan teknologi yang tepat akan menghasilkan nilai tambah yang tinggi. Salah satu hasil hutan non kayu adalah getah pinus yang dihasilkan dari tegakan pinus. Getah pinus yang telah disadap kemudian diolah dan menghasilkan gondorukem dan terpentin. Gondorukem digunakan sebagai bahan baku yang penting bagi industri-industri batik, kulit, sabun cuci, cat, isolator, kertas dan vernis. Sedangkan terpentin digunakan untuk bahan industri cat dan vernis, ramuan semir sepatu, pelarut bahan organik, bahan pembuatan kamper sintetis serta kegunaan lainnya. Di Indonesia, penyadapan getah pinus pertama kali dilakukan di Aceh, pada tahun Pabrik pengolahan getah pinus pertama didirikan di Lampahan, Aceh pada tahun Pabrik tersebut dibangun oleh pihak Prancis namun bekerja dengan kapasitas tidak penuh yaitu hanya bekerja beberapa hari dalam satu bulan karena pasokan getah pinus masih kurang. Sementara itu, di Pulau Jawa, penyadapan getah pinus dimulai di lereng lereng Gunung Lawu dan Gunung Wilis pada tahun 1947 (Soetomo, 1972). Pabrik pengolahan getah pinus

13 di Jawa diantaranya berada di Bandung, Pekolangan, Cilacap, Pekalongan Ponorogo dan Trenggalek. Kawasan hutan Kelas Perusahaan Pinus Perum Perhutani terletak di pulau Jawa, tersebar 6 KPH di Unit I Jawa Tengah, 7 KPH di Unit II Jawa Timur, dan 12 KPH Unit III Jawa Barat dan Banten. Luas total hutan pinus Perhutani adalah hektar, dimana ha terletak di areal Hutan Produksi, ha di areal Hutan Lindung dan ha di areal Hutan Suaka Marga Satwa. (Statistik Perhutani, 2003) Kapasitas industri gondorukem yang ada di Perhutani belum dapat dimanfaatkan secara optimum akibat kurangnya bahan baku getah. Kapasitas industri gondorukem Perhutani saat ini sebesar ton/tahun, sedangkan produksi getah pinus Perhutani rata-rata ton/tahun. Sementara, Perhutani saat ini sedang berusaha meningkatkan pendapatannya dari komoditas non kayu. Efesiensi produksi jelas perlu dilakukan untuk meminimumkan biaya produksi sehingga keuntungan meningkat meskipun penerimaan tetap. Kegiatan efesiensi produksi ini juga berarti turut serta mensukseskan pelaksanaan program pembangunan kehutanan di bidang ekonomi, khususnya sebagai penghasil devisa negara dari sektor komoditi non migas yang sekarang sedang digalakkan. Di lain pihak keberhasilan industri atau usaha ditentukan oleh kemampuan mengelola atau memanfaatkan sumberdaya yang tersedia. Aktifitas produksi tidak terlepas dari tujuan tercapainya efesiensi pemanfaatan sumberdaya tersebut. Dalam kaitannya dengan pengembangan industri gondorukem dan terpentin, besarnya biaya produksi menjadi indikator utama yang perlu diperhatikan. Hal ini dapat dihitung melalui analisis biaya, sehingga tingkat produksi minimum dan keuntungan dapat diketahui melalui analisis titik impas (Break Event Analisys). Sehubungan dengan hal tersebut, penulis mengadakan penelitian Analisis Biaya Pengolahan Gondorukem dan Terpentin. Penelitian ini dilakukan di Pabrik Gondorukem dan Terpentin Sindangwangi, KPH Bandung Utara, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat-Banten.

14 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk : 1. Mengetahui proses produksi pengolahan getah pinus menjadi gondorukem dan terpentin. 2. Menghitung biaya produksi gondorukem dan terpentin 3. Melakukan analisis rugi laba perusahaan. Manfaat Hasil dari penelitian ini diharapkan : 1. Dapat menjadi masukan bagi pihak manajemen perusahaan dalam pengambilan keputusan dan penyusunan rencana bisnis internal. 2. Dapat dijadikan sebagai sumber informasi dan rujukan bagi penelitian selanjutnya.

15 TINJAUAN PUSTAKA Gondorukem dan Terpentin Pengertian dan Kegunaan Gondorukem Rosin atau yang lebih dikenal sebagai gondorukem dalam dunia perdagangan merupakan produk olahan dari getah pinus yang saat ini merupakan komoditi andalan non migas. Pengolahan gondorukem di Indonesia bukan hanya dilakukan dengan cara penyulingan getah pohon Tusam (Pinus merkusii), baik itu dengan atau tanpa bantuan tekanan dan uap. Gondorukem yang dihasilkan digunakan dalam industri perekat, industri batik, kertas, sabun, lilin, serta keperluan lainnya (Susilowati, 2001). Silitonga dan Suwardi (1977) menyatakan gondorukem terdiri dari 80-90% senyawa asam. Secara garis besar asam resin gondorukem dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu tipe abietat dan pimarat. Tipe abietat terdiri dari asam-asam abietat, levopimarat, palustrat, neoabietat, dehidroabietat dan tetra dehidroabietat. Tipe pimarat terdiri dari asam pimarat dan isopimarat. Asam abietat, neoabietat dan levopimarat bersifat tidak stabil dan mudah terisomer oleh panas dalam suasana asam, sedangkan tipe pimarat lebih stabil. Gondorukem mengandung 10-13% bahan netral yang akan mempengaruhi titik lunak dan sifat kristalisasinya. Gondorukem merupakan campuran kompleks yang sebagian besar terdiri dari asam-asam resin dan sebagian kecil komponen bukan asam. Asam-asam resin tersebut merupakan asam monokarboksilat yang mempunyai rumus molekul C 20 H 30 O 2. Gondorukem berdasarkan sumber bahan bakunya dibagi menjadi tiga macam, yaitu gondorukem getah (gum rosin), gondorukem kayu (wood rosin) dan gondorukem tall oil (tall oil rosin) (Silitonga dan Suwardi, 1977). Gondorukem getah diperoleh dari residu penyulingan getah hasil sadapan pohon pinus. Gondorukem kayu diperoleh dari hasil ekstraksi tunggul kayu dengan bahan pelarut organik dan larutan tersebut disuling. Gondorukem tall oil diperoleh dari hasil penyulingan bertingkat tall oil kasar yang merupakan hasil ikutan industri pulp. Gondorukem yang diperoleh dari tiga macam sumber bahan baku tersebut disebut gondorukem non-modifikasi (Kirk dan Othmer, 1972).

16 Pengertian dan Kegunaan Terpentin Terpentin merupakan bagian hidrokarbon yang mudah menguap dari getah pinus. Hidrokarbon ini dipisahkan dari bagian yang tidak menguap (gondorukem) melalui cara penyulingan. Berdasarkan sumber bahan bakunya ada 3 jenis terpentin yaitu terpentin getah (gum terpentin), terpentin kayu (wood turpentine), dan terpentin sulifat (sulphat turpentine) (Wiyono dan Silitonga, 1989). Silitonga et al (1973) menyatakan terpentin adalah minyak yang diperoleh sebagai hasil sampingan dari pembuatan gondorukem. Oleh karena sifatnya yang khusus maka minyak terpentin banyak digunakan baik sebagai bahan pelarut ataupun sebagai minyak pengering seperti ramuan semir (sepatu, logam, dan kayu), sebagai bahan substitusi kamper dalam pembuatan seluloid (film) dan pelarut bahan organik. Jumlah terpentin yang terkandung dalam getah pinus berkisar antara 10-17,5%. Getah yang segar akan menghasilkan persentase terpentin yang lebih tinggi. Terpentin hasil penyulingan bersifat korosif, oleh sebab itu perlu disimpan pada tempat (drum) yang digalvanisasi. Harga drum ini cukup mahal jika dibandingkan dengan harga terpentin itu sendiri. Terpentin juga dapat tersimpan dalam tempat yang terbuat dari alumunium atau plastik dan disimpan ditempat yang tidak terkena cahaya. Proses Produksi Gondorukem Proses produksi pengolahan getah pinus menjadi gondorukem dan terpentin sebagai berikut, yaitu : penerimaan getah, penampungan getah, pemanasan awal, pengenceran getah, pencucian awal, pencucian ulang, penampungan getah bersih, pemasakan getah, penampungan gondorukem dan terpentin. Proses produksi ini ada beberapa modifikasi yang bertujuan untuk mempermudah proses produksi itu sendiri dan meningkatkan mutu gondorukem yang dihasilkan. Secara umum tahap proses produksi gondorukem disajikan pada Gambar 1.

17 PENERIM AAN GETAH PENAMPUNGA N GETAH PEMANAS AN AWAL PENGENCE RAN PEMASAK AN GETAH PENAMPU NGAN PENCUCIA N ULANG PENCUCI AN PENAMPUNG AN PENAMPU NGAN Gambar 1. Tahap Kegiatan dalam Proses Produksi Gondorukem Penerimaan Getah Penerimaan getah dilakukan untuk menyortir getah hasil dari sadapan yang telah dikumpulkan oleh pengumpul. Getah yang telah disadap dikumpulkan di Tempat Pengumpulan Getah sebelum dikirimkan ke pabrik. Getah pinus yang baru dikirim dari Tempat Pengumpulan Getah (TPG) masih bercampur dengan kotoran-kotoran berupa daun, tatal, jonjot, tanah dan lain-lain. Penampungan Getah Getah pinus ini ditampung dalam suatu tempat yang disebut dengan bak getah yang berukuran 10x5x3 m 3. Dalam bak getah ada beberapa peralatan yaitu close steam yang berfungsi untuk mengencerkan getah, open steam yang berfungsi untuk mengencerkan getah yang mengkristal, stayner yang berfungsi untuk menyaring kotoran dan kran pengeluaran getah. Pemanasan Awal Getah dari bak getah dialirkan ke blow case melalui talang getah dan dilakukan pemanasan pendahuluan hingga mencapai suhu C. Setelah dicapi suhu pemanasan tersebut, selanjutnya getah dipindahkan ke tangki melter sampai habis. Fungsi dari blow case adalah sebagai pemanasan awal agar getah menjadi encer sehingga mudah dialirkan ke tangki melter.

18 Pengenceran Pengenceran dilakukan di dalam tangki melter dengan mencampurkan terpentin sebanyak kg lalu dipanasi kembali hingga mencapai suhu C, kemudian getah diendapkan 4-6 menit. Kotoran air yang terendap dibuang atau dialirkan ke bak penampungan limbah sampai habis melalui pipa pembuangan. Getah yang ada kemudian dialirkan ke filter press B-1 untuk difiltrasi menggunakan steam dengan tekanan 0,2-2 kg/cm 2. Setelah getah difiltrasi, getah dipindahkan ke tangki settler sampai habis. Adapun fungsi dari melter adalah untuk melarutkan getah dan terpentin, menyaring kotoran yang terbawa dalam getah dan mencairkan getah yang mengkristal. Pencucian Awal Pencucian awal dilakukan dalam tabung settler dengan menggunakan air sebanyak 200 liter dari tangki water tretment, kemudian dicampurkan dengan larutan asam oksalat sebanyak 7,5 kg (0,3% setiap batch) dari tangki asam oksalat. Asam oksalat ini berfungsi untuk mengikat kotoran dan ion besi yang tercampur dalam larutan getah. Setelah tercampur dengan asam oksalat, larutan getah diendapkan 5-10 menit, kemudian air dan kotoran dialirkan ke bak penampungan limbah melalui pipa pembuangan sampai habis. Apabila larutan getah masih terlihat kotor, harus dilakukan pencucian ulang sebanyak 2-3 kali sampai larutan getah terlihat bersih, kemudian dipindah ke tangki scrubbing sampai habis. Pencucian Ulang Pencucian kembali dilakukan dalam tangki scrubbing dengan menambahkan air hangat sebanyak liter dari water treatment sambil dilakukan pengadukan dengan menggunakan agigator selama menit. Suhu larutan dalam tangki scrubbing dipertahankan pada suhu C. Kemudian larutan getah diendapkan selama 5-10 menit. Air dan kotoran yang telah mengendap dibuang ke bak penampungan limbah melalui pipa pembuangan sampai habis. Pencucian getah dapat dilakukan ulang bila larutan getah belum memenuhi standar berdasarkan informasi dari quality controller.

19 Penampungan Getah Bersih Jika larutan getah telah dinyatakan lulus oleh quality controller, larutan getah dipindahkan ke tangki penampung A1 dan A2 sampai habis melalui filter press B-2 yang dilengkapi dengan filter duck dan filter wire mesh agar kotoran yang masih tertinggal dapat tersaring. Bila larutan getah dalam tangki penampung A1 dan A2 sudah memenuhi kapasitas pemasakan, dilakukan pengendapan, kemudian kotoran dibuang ke bak penampungan limbah. Pemasakan Getah Pemasakan getah dimaksudkan untuk mematangkan getah dan mengeluarkan air serta komponen lainnya yang terdapat dalam getah dengan menggunakan energi panas yang dihasilkan oleh boiler. Dengan pemasakan maka sifat sifat getah akan lebih stabil serta memiliki daya tahan yang lama. Pemasakan ini dilakukan dalam suatu ketel pemasak khusus yang mempunyai ketahanan terhadap suhu dan tekanan. Tangki pemasak dirancang untuk bekerja pada tekanan yang dilengkapi dengan coil pemanas, closed steam, open steam, kaca pengamat, dan kran untuk pengeluaran terpentin. Ketel pemasak ini mampu menampung getah sebanyak kg. Prosesnya, getah yang sudah bersih dan siap dimasak dalam tangki penampung dimasukkan ke dalam tangki ketel pemasak melewati filter gaff. Setelah getah masuk ke dalam ketel pemasak lalu dilakukan pemanasan hingga mencapai suhu C. Selama pemanasan, suhu, aliran, tekanan dan condensor harus selalu dikontrol. Ketika awal pemasakan pada suhu C uap air dan uap terpentin menguap dan masuk ke condensor yang ditarik oleh pompa vakum untuk diembunkan atau dicairkan. Penampungan Gondorukem dan Terpentin Hasil dari kondensasi dialirkan ke tangki separator untuk memisahkan antara air dan terpentin. Setelah keduanya terpisah terpentin dialirkan ke tangki penampung terpentin A yang disiapkan untuk digunakan dalam proses pengenceran getah dalam tangki melter. Pada suhu C sampai suhu akhir pemanasan hasil terpentinnya dialirkan ke tangki penampung terpentin B sebagai terpentin produk. Terpentin dalam tangki terpentin B dipindahkan ke tangki

20 terpentin sementara melalui tangki dehidrator. Dalam dehidrator terpentin disaring kembali dengan garam industri agar kandungan air yang masih terdapat dalam terpentin dapat tertinggal. Kemudian terpentin dialirkan kembali ke tangki terpentin produk. Sedangkan untuk gondorukem jika suhu sudah mencapai C dibiarkan untuk sementara kemudian didinginkan hingga suhu C dan dipanasi kembali sampai suhu C agar panasnya menyebar. Setelah itu gondorukem siap dikemas. Hasil penelitian Helmi Kamilla (2004) menunjukkan rendemen produksi gondorukem mencapai 68-70% sedangkan rendemen terpentin mencapai 10-18%. Rendemen gondorukem sangat ditentukan oleh kualitas dari getah sebagai bahan baku gondorukem dan kualitas gondorukem yang ingin dicapai itu sendiri. Persyaratan dan Kualitas Gondorukem Persyaratan Gondorukem Sumadiwangsa dan Silitonga (1974) menyatakan bahwa penetapan persyaratan dan kualitas gondorukem secara laboratoris dapat digolongkan kedalam sifat fisik dan sifat kimia. Sifat fisik meliputi : berat jenis, titik lunak, warna, persen tramisi, dan kerapuhan. Sedangkan sifat kimia meliputi bilangan asam, bilangan penyabunan, bilangan ester, bilangan iod bagian tak tersabun, kadar kotoran, kadar air, dan kadar terpentin tersisa. Tabel 1. menunjukkan persyaratan umum gondorukem untuk Indonesia sebelum dikelompokkan menjadi beberapa kelas mutu yang berbeda-beda. Persyaratan ini merupakan standar pengolahan getah pinus menjadi gondorukem dan terpentin di Indonesia. Sedangkan persyaratan khusus mutu gondorukem yang merupakan persyaratan untuk berbagai kualitas gondorukem disajikan pada Tabel 2. Persyaratan khusus ini digunakan untuk memisahkan gondorukem menjadi mutu-mutu tertentu untuk berbagai tujuan diantaranya untuk ekspor dan di jual di dalam negeri. Kualitas Gondorukem Kualitas gondorukem berdasarkan persyaratan yang disajikan pada Tabel 1 dan 2 tersebut dibagi menjadi 4, yaitu Prima, Pertama, Kedua dan Lokal (SNI

21 2001). Sedangkan Gadner (1937) dalam Silitonga dkk (1973) membagi kualitas gondorukem menjadi 12 macam kualitas berdasarkan warna seperti disajikan pada Tabel 3. Tabel 1. Persyaratan Umum Gondorukem di Indonesia Indikator satuan Persyaratan umum gondorukem 1) 2) Warna - Tidak berwarna hitam - Pecahan - Pecah seperti kaca - Titik leleh 75 0 C - Titik Cair 0 C C C - Berat Jenis 0 C 1,045 1,085 - Bilangan Asam Bilangan Ester Bilangan Penyabunan Bilangan Iod Bagian Tak Tersabun % 4 9% - Kelarutan dalam Potroleum Ester ) Sumber : Silitonga et al (1973) 2) Sumber : SNI (2001) Tabel 2. Persyaratan Khusus Mutu Gondorukem di Indonesia Indikator Satuan Persyaratan khusus Mutu U P D T Warna X WW WG N Titik Lunak 0 C > 78 > 78 > 76 > 74 Kadar kotoran % < 0,02 < 0,05 < 0,07 < 0,10 Kadar abu % < 0,01 < 0,04 < 0,05 < 0,08 Komponen menguap % < 2 < 2 < 2,5 < 3 Sumber : SNI (2001) Keterangan 1) U : Kualitas utama; X : Extra ; P : Kualitas pertama ; WW : Water White ; D : Kualitas kedua ; WG : Window Glass ; T :Kualitas ketiga ; N : Nancy 2) Titik lunak : Suhu saat gondorukem menjadi lunak di ukur dengan cincin dan bola (softening point ring and ball apparatus dinyatakan dalam derajat celcius ( c ); Warna gondorukem : Warna yang ditetapkan dibandingkan dengan warna standar lovibond (lihat tabel); Bilangan asam : Banyaknya kalium hidroksida dalam miligram untuk menetralkan 1 gram lemak yang terkandung dalam senyawaan gondorukem; Bilangan penyabunan : Banyaknya kalium hidroksida dalam miligram untuk menyabunkan 1 gram lemak baik asam lemak bebas maupun terikat yang terkandung dalam senyawaan gondorukem; Bilangan Iod : Suatu bilangan yang menunjukkan banyakknya ikatan rangkap yang terkandung dalam komponen gondorukem; Kadar kotoran : Jumlah bahan yang tak larut dalam toluol pada kondisi tertentu, dinyatakan dalam persen (%) Ada beberapa indikator yang dapat mempengaruhi diterima tidaknya gondorukem untuk berbagai macam aplikasi, namun warna dan titik lunaknya

22 biasanya merupakan indikator kualitas yang cukup mewakili kualitas gondorukem. Gondorukem diperdagangkan dalam beberapa kelas warna dari kuning pucat hingga merah gelap. Perbedaan warna tersebut terjadi karena jenis pohon, peralatan, dan cara pengolahan yang berbeda. Walaupun sifat lain seperti titik lunak dan bilangan asam mempunyai arti penting namun tidak digunakan dalam penetapan kelas kualitas gondorukem. Berdasarkan warna ada 4 tingkat kualitas gondorukem yang sering diperdagangkan yaitu, X (Ekstra), WW (Water White), WG (Window Glass), N (Nancy), selain 4 kualitas tersebut masih ada tingkat kualitas lainnya diantaranya M (Mary), K (Kate), I (Isaac), H (Harry), G (George), F (Frank), E (Edward), dan D (Dolly), dengan selang warna dari kuning pucat, pucat, sedang, gelap sampai hitam kemerahan (Tabel 3) (Gadner, 1937 dalam silitonga et al, 1973). Tabel 3. Klasifikasi Kualitas Gondorukem Kualitas Nama Standar Warna Warna X Extra 6-7 Kuning pucat WW Water White 6-7 Pucat WG Window Glass 7-8 N Nancy 8-9 M Mary 9-10 K Kate I Isaac Sedang H Harry 11 G George F Frank E Edward Sedang D Dolly 18 Hitam kemerahan Sumber: Gardner, 1937 dalam Silitonga et al, Lebih lanjut, Sumadiwangsa dan Silitonga (1974) menyatakan kualitas gondorukem yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh kualitas getah dan cara pengolahan. Kualitas getah dipengaruhi oleh kotoran yang terdapat dalam getah seperti daun, ranting, pasir, dan sebagainya disamping itu tempat penampungan getah, varietas pohon, cara penyadapan, tempat tumbuh juga dapat mmempengaruhi kualitasnya. Sedangkan cara pengolahannya tergantung dari modifikasi yang digunakan, bisa dengan penyulingan biasa atau dengan perlakuan khusus, yaitu dengan tambahan tekanan dan uap.

23 Produksi, Biaya, Ekspor dan Harga Jual Gondorukem dan Terpentin Produksi Gondorukem dan Terpentin Produksi gondorukem dan terpentin terbanyak dihasilkan oleh Perum Perhutani Unit I. Produksi gondorukem dan terpentin dari tahun 1999 sampai tahun 2003 berfluktuasi. Sedangkan rendemen gondorukem berkisar antara 63,5-69,5%. Sedangkan rendemen terpentinnya berkisar antara 11,6-20,6%. Gambaran produksi gondorukem dan terpentin serta rendemen disajikan pada Tabel 5. Sedangkan total produksi gondorukem dan terpentin Indonesia juga berfluktuasi. Produksi gondorukem Indonesia tahun berkisar antara ton dengan rendemen berkisar antara 68-69%. Sedangkan untuk produksi terpentin berkisar antara ton ton dengan rendemen 12,83-20,45% (Tabel 4). Tabel 4. Produksi dan Rendemen Gondorukem Dan Terpentin Indonesia Item Produk Satuan Tahun Getah Pinus Ton Produksi Gondorukem Ton Terpentin Ton Rendemen Gondorukem % 68,8 68,6 68,00 69,0 68,5 Terpentin % 13,6 13,2 12,8 20,5 13,4 Sumber : Statistik Kehutanan (2004) Biaya Produksi Gondorukem dan Terpentin Biaya produksi gondorukem digolongkan dalam biaya tetap (fixed cost) dan biaya variabel (variabel cost). Biaya tetap adalah biaya yang relatif tetap (konstan) dan tidak tergantung volume produksi, sedangkan biaya tidak tetap (biaya variabel) adalah biaya yang berubah sesuai dengan besarnya produksi. Biaya tetap terdiri dari elemen-elemen biaya : upah, penyusutan, overhead tetap dan sebagainya, sedangkan biaya variabel diklasifikasikan menjadi biaya bahan baku (pembelian getah), upah langsung, bahan bakar, bahan penolong, bahan pengepakan. Overhead variabel terdiri dari bahan perlengkapan, pemeliharaan instalasi, pemeliharaan bangunan dan sebagainya (Fakultas Pertanian UNS, 1996).

24 Tabel 5. Produksi dan Rendemen Gondorukem Dan Terpentin Perhutani dan Mitra KSP Tahun Item Unit Produk Satuan Perhutani Mitra Ksp Getah Pinus Ton Unit I Gondorukem Ton Terpentin Ton Getah Pinus Ton Unit II Gondorukem Ton Produksi Terpentin Ton Getah Pinus Ton Unit III Gondorukem Ton Terpentin Ton Getah Pinus Ton Jumlah Gondorukem Ton Terpentin Ton Unit I Gondorukem % Terpentin % Rendemen Unit II Gondorukem % Terpentin % Unit III Gondorukem % 68,04 68,15 68,17 725,81 68,61 67,57 67,43 67, ,95 Terpentin % 22,01 21, ,5 15,02 15,38 10, ,99 Jumlah Gondorukem % 68,85 68,59 67,94 68,73 68,48 68,37 68,2 68,35 69,21 68 Terpentin % Sumber : Statistik Perum Perhutani (2003) 13

25 Tabel 6.Rekapitulasi Biaya Tetap dan Biaya Variabel PGT. Cimanggu bulan November 2003 Komponen Biaya Jumlah (Rp juta) Biaya Tetap 105,60 Biaya penyusutan modal tetap 40,06 Bunga atas modal tetap 23,90 Pajak 0,41 Gaji kepala pabrik 1,84 Gaji pegawai tetap 33,63 Biaya asuransi 5,77 Biaya variabel 2016,80 Biaya getah 1447,44 Biaya bahan penolong (bahan kimia, bahan bakar, bahan pelumas, biaya suku cadang) 111,79 Upah Langsung biaya angkut getah 127,45 biaya langsir 0,55 upah operator harian 11,18 upah timbang 0,37 Upah Tak Langsung 4,30 upah lembur 0,63 upah lembur kantor dan pabrik 3,67 Biaya Administrasi 0,21 Biaya Pergudangan 261,56 biaya kaleng 222,78 upah mengatur, menumpuk, dan marking kaleng. 38,78 Biaya Pakaian Kerja 7,13 Biaya Pemeliharaan 27,69 biaya pemeliharaan gedung kantor 2,94 biaya pemeliharaan gedung pabrik 9,58 biaya pemeliharaan gudang pabrik 2,14 biaya pemeliharaan gedung lainnya 0,.21 biaya pemeliharaan mesin diesel 11,99 biaya pemeliharaan boiler 0,16 biaya pemeliharaan forklift 0,15 biaya pemeliharaan mesin dan instalasi lain 0,53 Biaya Umum 17,14 makan 4,07 biaya perjalanan phl 0,19 biaya rekening listrik 12,67 biaya rekening telp 0,21 Sumber : Helmi Kamilla (2004) Hasil penelitian Helmi Kamilla (2004) menunjukkan biaya produksi total gondorukem dan terpentin di pabrik Gondorukem dan Terpentin Cimanggu pada bulan November 2003 mencapai Rp. 2,12 milyar terdiri dari biaya tetap sebesar Rp milyar dan biaya variabel sebesar Rp. 2,017 milyar. Biaya tetap dan biaya variabel tersebut secara rinci dapat dilihat pada Tabel 6. Dari semua biaya

26 produksi tersebut, biaya getah merupakan komponen biaya yang mempunyai persentase paling besar yaitu 71,8%. Ekspor, Harga Jual Gondorukem dan Terpentin Kegiatan ekspor gondorukem di Perhutani secara teknis diserahkan ke bagian Kantor Pelaksana Ekspor (KPE) Perum Perhutani. Jumlah ekspor Perhutani tahun berkisar antara ton dengan nilai jual berkisar USD 15,3-18,4 juta untuk gondorukem, sedangkan untuk terpentin jumlah penjualan keluar negeri berkisar ton dengan nilai jual USD 2,1-4,4. Penjualan Luar Negeri Gondorukem dan Terpentin Tahun Perhutani disajikan pada Tabel 7. Tabel 7.Penjualan Luar Negeri Gondorukem dan Terpentin Tahun Perhutani Item Tahun Jumlah Nilai ekspor Harga Harga jual rata - ton USD USD/ton USD/ton , ,82 Gondorukem ,02 432, , , , ,20 Terpentin ,72 333, , ,33 Sumber : Perum Perhutan 2003 Negara tujuan ekspor gondorukem terbesar dalam empat tahun terakhir adalah negara India yaitu sebesar 20,24 % dari total ekspor ke semua negara tujuan ekspor gondorukem, disusul oleh negara Pakistan, Netherland, Taiwan dan France. Untuk puluhan negara tujuan ekspor yang lain sebesar 39,06%. Jumlah ekspor gondorukem Indonesia disajikan pada Tabel 9. Perum Perhutani menetapkan harga jual dasar gondorukem dan terpentin berdasarkan mutu gondorukem seperti yang disajikan pada Tabel 9. Harga jual luar negeri Indonesia yang sebesar 0.41 USD/kg atau 410 USD/ton ternyata hampir sama dengan harga jual dasar yang ditetapkan oleh Perhutani (Tabel 8).

27 Tabel 8. Ekspor Gondorukem ke Berbagai Negara Tahun Item Negara Tujuan Eksport Tahun Jumlah 1) India Pakistan Belanda Taiwan France Lain Lain Produksi (Kg) Jumlah 2) Persentase (%) Fob Value (US$) ,44 0,42 0,42 0,43 0,41 0,41 0,42 Harga Jual ,42 0,42 0,43 0,43 0,41 0,42 0,36 Eksport (US$/Kg) ,43 0,43 0,43 0,43 0,43 0,44 0, ,39 0,39 0,38 0,40 0,41 0,39 0,40 Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS) Keterangan : HS atau SITC )Jumlah ekspor ke berbagai negara tujuan 2) Jumlah ekpor dalam empat tahun terakhir. Tabel 9.Daftar Harga Jual Dasar Gondorukem dan Terpentin. Jenis produk Mutu 1) Satuan Harga X Kg Gondorukem Ww Kg Wg Kg Terpentin tanpa kemasan Kg X 2) 420 Gum rosin fc Ww USD/ ton 410 Wg 405 Turpentin c Usual 2) USD/ ton 430 Sumber : Surat Keputusan Direksi Perum Perhutani, No. 258 Dan 259/Kpts/Dir/2004, Tgl 28 Juni 2004 Keterangan : 1)X : Extra ;Ww : White Water ;Wg : Window glass 2)Diekspor sehingga harga jual dalam Fob Hutan Pinus Sebagai Penghasil Getah Pinus Luas Kawasan, Letak Ketinggian, Jenis Tanah dan Iklim Hutan Pinus di Perum Perhutani Luas Kawasan Hutan Pinus. Fakultas Pertanian UNS (1996), mengemukakan bahwa di Indonesia jenis Pinus yang sudah dimanfaatkan di Indonesia adalah Pinus merkusii. Daerah penyebarannya meliputi Jawa Timur

28 (Madiun dan Sempolan, Jember), Jawa Tengah (Pekalongan, Pemalang, Magelang, Purworejo, dan Banyumas), Aceh (Lampahan), Sumatera Barat, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan (Rantai Pao). Di Jawa di kawasan hutan Perum Perhutani, luasnya adalah ha, yang dijumpai pada Hutan Produksi, Hutan Lindung dan Hutan Konservasi. Hutan produksi menempati sekitar 60% dari total wilayah Perum Perhutani. Dan di dalamnya terdapat Kelas Perusahaan Pinus dengan proporsi luas sekitar 30% dari luas Hutan Produksi. Pengusahaan KP Pinus oleh Perum Perhutani dibagi ke dalam wilayah wilayah unit kerja, yaitu Unit I Propinsi Jawa Tengah seluas ,41 ha, Unit II di Propinsi Jawa Timur seluas ,41 ha dan Unit II di Propinsi Jawa Barat dan Banten seluas ,56 ha. Luas kawasan hutan pinus pada unit setiap dan tipe hutan disajikan pada Tabel 10. Letak Ketinggian Hutan Pinus. Berdasarkan peta topografi, kawasan hutan Pinus pada umumnya menempati areal miring sampai curam, hanya sebagian kecil saja berupa daerah landai atau datar. Sedangkan berdasarkan ketinggian tempat kawasan hutan pinus pada umumnya berada pada ketinggian 500 m diatas permukaan laut. Kawasan hutan menurut letak ketinggiannya dapat dilihat pada Tabel 11. Jenis Tanah Hutan Pinus. Berdasarkan peta eksplorasi tanah skala 1 : terbitan Lembaga Penelitian Tanah tahun 1969, jenis-jenis tanah yang paling luas pada kawasan hutan pinus adalah latosol, alluvial, grumosol dan mediteran merah kuning. Perincian Kawasan hutan pinus menurut jenis tanah disajikan pada Tabel 13. Iklim Hutan Pinus. Berdasarkan data iklim dari Jawatan Meteologi dan Geofisika, kawasan hutan Pinus terletak pada tipe iklim A, B dan C menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson. Sedangkan menurut klasifikasi Oldeman, kawasan hutan pinus mempunyai tipe iklim A, B1, B2, C1, C2, C3 dan D3. Untuk lebih jelasnya lihat pada Tabel 14.

29 Tabel 10. Luas Hutan Pinus Menurut KPH dan Fungsi Hutannya Luas Hutan (Ha) Unit/KPH Lindung Konservasi Produksi Unit I Banyumas Barat ,30 Banyumas Timur 5.802,40 150, ,90 Kedu Utara ,50 Kedu Selatan 5.408,80 85, ,10 Pekalongan Barat 5.310,70 7, ,60 Pekalongan Timur 3.103,70 10, ,50 Surakarta 7.577,70 8, ,50 Unit II Lawu Ds ,6 218, ,20 Kediri ,3 19, ,40 Malang , , ,20 Pasuruan , , ,80 Probolinggo , , ,31 Jember , , ,60 Bondowoso , , ,20 Banyuwangi Barat , ,50 Unit III Bogor , , ,00 Sukabumi 1.619, , ,84 Cianjur , , ,23 Purwakarta , ,87 Bandung Utara , ,41 Bandung Selatan , , ,18 Garut , , ,53 Tasikmalaya , ,58 Ciamis , ,92 Kuningan , ,74 Majalengka , ,33 Sumedang , , ,17 Sumber : Statistik Perhutani (2003)

30 Tabel 11. Perincian Kawasan Hutan Pinus Menurut Ketinggian di Atas Permukaan Laut Unit/KPH Ketinggian, m dpl Unit I Banyumas Barat 500 Banyumas Timur Kedu Selatan 500 Kedu Utara Pekalongan Barat Pekalongan Timur , > 1000 Surakarta 500 Unit II Lawu Ds 500 Kediri , > 1000 Malang , > 1000 Pasuruan Probolinggo , > 1000 Jember 500 Bondowoso Banyuwangi Barat Unit III Bogor >1000 Sukabumi Cianjur >1000 Purwakarta Bandung Utara , > 1000 Bandung Selatan >1000 Garut >1000 Tasikmalaya , > 1000 Ciamis Kuningan Majalengka , > 1000 Sumedang ,> 1000 Sumber: Statistik Perhutani (2003) Tabel 12. Sumber Benih Pinus merkusii di Perum Perhutani Lokasi Tipe Sumber Benih dan Luasannya Areal Produksi Benih Kebun Benih Semai (Ha) Unit I 234,30 96,0 Unit II 99,50 96,0 Unit III 64,50 54,0 Jumlah 398,30 246,0 Sumber: Statisti Perhutani (2003)

31 Tabel 13. Perincian Kawasan hutan pinus menurut jenis tanah KPH Jenis Tanah Keterangan Unit I Banyumas Barat Banyumas Timur Kedu Selatan Kedu Utara Pekalongan Barat Pekalongan Timur Surakarta Unit II Lawu Ds Kediri Malang Pasuruan Probolinggo Jember Bondowoso Banyuwangi Barat Unit III Kompleks Mediteran Merah Kuning, Grumosol dan Regosol Latosol dan Andosol Kompleks Podsolik Merah Kuning, Latosol dan Litosol Regosol, Latosol dan Andosol Regosol dari endapan di daerah bukit, Grumosol dari endapan liat di daerah datar Latosol dan Andosol, Andosol dan Regosol Kompleks Podsolik Merah Kuning, Latosol dan Litosol Kompleks Mediteran Merah Kuning dan Litosol Aluvial, Mediteran Merah Kuning dan Grumosol, Mediteran Merah Kuning dan Litosol Litosol dan Regosol, Regosol Regosol Latosol dan Andosol Regosol Regosol Regosol Latosol, Kompleks Podsolik Bogor Merah Kuning, Latosol dan Litosol Latosol dan Andosol, Sukabumi Kompleks Podsolik Merah Kuning, Latosol dan Litosol Cianjur Latosol dan Andosol, Latosol Purwakarta Latosol dan Andosol, Latosol Bandung Utara Latosol dan Andosol, Andosol Bandung Selatan Latosol, Andosol Garut Andosol Tasikmalaya Latosol dan Andosol, Regosol Ciamis Latosol dan Andosol Kuningan Regosol Regosol, Kompleks Mediteran Majalengka Merah Kuning, Grumosol dan Regosol Sumedang Latosol dan Andosol Sumber : RePPPrOT, 1989 Regosol bertekstur pasir, permeabilitas cepat, terdapat di daerah pegunungan berapi muda dan kipas alluvial. Grumosol mempunyai kesuburan sedang, ph di bawah 6.5, kendala penggunaan biasanya dari ketersediaan air. Mediteran Merah Kuning umunya ditemukan pada kaki-kaki bukit dan dataran berombak pada gunung berapi tua dan batu kapur, kesuburan cukup baik, ph dan KB tinggi. Latosol terdapat pada topografi landai, curah hujan cukup, tanah ini termasuk relative agak subur. Andosol terdapat pada ketinggian >1000 m dpl, kesuburan sedang, suhu rendah dan kurang sinar matahari. Podsolik Merah Kuning, umumnya terdapat di dataran, kesuburan rendah, peka erosi. Aluvial umumnya terdapat di sepanjang aliran sungai, rawa air tawar, pasang surut, sampai ke daerah dengan ketinggian 1000 m dpl. Umumnya subur.

32 Tabel 14. Perincian Kawasan Hutan Pinus Menurut Tipe Iklim Oldeman Unit/KPH Tipe Iklim Oldeman Keterangan Unit I Banyumas Barat P2 BB : 7-9 bln, BK : 2-4 bln Banyumas Timur B1 BB : 7-9 bln, BK : < 2 bln Kedu Selatan B2 BB : 7-9 bln, BK : 2-4 bln Kedu Utara B2 BB : 7-9 bln, BK : 2-4 bln Pekalongan Barat A, B1, dan B2 BB : 7-9 bln, BK : > 9 bln Pekalongan Timur B1 dan B2 BB : 7-9 bln Surakarta B2 BB : 7-9 bln, BK : 2-4 bln Unit II Lawu Ds C3 BB : 5-6 bln, BK : 5-6 bln Kediri C3 BB : 5-6 bln, BK : 5-6 bln Malang A, B1, C2 BB : 5-6 bln, BK : > 9 bln Pasuruan C2 BB : 5-6 bln, BK : 2-4 bln Probolinggo B1, B2, D3 BB : 7-9 bln, BK : 3-4 bln Jember C2 BB : 5-6 bln, BK : 2-4 bln Bondowoso C2, C3 BB : 5-6 bln, BK : 5-6 bln Banyuwangi Barat B1, C2 BB : 7-9 bln, BK : 5-6 bln Unit III Bogor A BB : > 9 bln Sukabumi B1, B2 BB : 7-9 bln, BK : 2-4 bln Cianjur B1, B2 BB : 7-9 bln, BK : 2-4 bln Purwakarta B1 BB : 7-9 bln, BK : <2 bln Bandung Utara A, B1 BB : >9 bln, BK : <2 bln Bandung Selatan B1, B2 BB : 7-9 bln, BK : 2-4 bln Garut B2 BB : 7-9 bln, BK : 2-4 bln Tasikmalaya B1 BB : 7-9 bln, BK : <2 bln Ciamis A, B2 BB : >9 bln, BK : 2-4 bln Kuningan B2 BB : 7-9 bln, BK : 2-4 bln Majalengka B2 BB : 7-9 bln, BK : 2-4 bln Sumedang B2 BB : 7-9 bln, BK : 2-4 bln Keterangan : BB = Bulan Basah : BK : Bulan Kering Sumber Benih, Pemuliaan, Persemaian, Penanaman, Penyadapan dan Penebangan Pinus Sumber Benih. Salah satu jenis Pinus yang dapat dimanfaatkan di Indonesia adalah jenis Pinus merkusii Jung et De Vries (Abidin,1973). Penyebaran jenis tersebut pada beberapa daerah yaitu Jawa Timur ( Madiun, Sempolan, Jember), Jawa Tengah (Pekalongan, Magelang, Purworejo dan Banyumas) Aceh, Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan. Saat ini, Perum Perhutani telah memiliki sumber benih yang terdiri dari Areal Produksi Benih (APB) seluas 398,30 ha dan Kebun Benih Semai (KBS) seluas 246 ha. Secara rinci lokasi dan luasan sumber benih tersebut disajikan pada Tabel 12.

33 Lokasi APB tersebar dibeberapa KPH yang memiliki Kelas Perusahaan Pinus, sedangkan KBS dijumpai di Unit I di Baturaden, Purwokerto, di Unit II adalah di Sempolan, Jember dan di Unit III di Cijambu, Sumedang. Produktivitas hutan tanaman pinus baik berupa kayu maupun getah dapat ditingkatkan melalui penggunaan benih unggul genetik dan penerapan teknik silvikultur intensif. Benih unggul yang dimaksud adalah benih yang mampu mengekspresikan karakter yang diinginkan, seperti pertumbuhan atau riap yang tinggi, bentuk batang lurus, produksi getah yang tinggi dan tahan terhadap hama penyakit. Namun benih unggul genetik ini hanya dapat diperoleh melalui program pemuliaan pohon. Yaitu, penerapan asas-asas genetika pada penanaman hutan untuk memperoleh pohon-pohon yang memiliki sifat dan hasil yang lebih tinggi nilainya. Kegiatan berupa studi keragaman populasi, uji provenan, seleksi, uji keturunan, menyilangkan pohon unggul (breeding) dan membangun kebun benih (Soerianegara dan Djamhuri (1979) dalam laporan akhir tim peneliti Fakultas Kehutanan IPB, 2005). Pemuliaan Pinus. Kegiatan pemuliaan pinus di Indonesia diawali dengan studi keragaman populasi alami Pinus di Aceh, Tapanuli dan Kerinci. De Veer dan Gover (1953) dalam Fakultas Pertanian UNS (1996) mengemukakan adanya perbedaan-perbedaan sifat/karakter antara pinus di Aceh dan di Tapanuli. Sehingga dapat dikatakan bahwa populasi pinus Aceh dan Tapanuli masingmasing merupakan ekotipe dari Pinus merkusii di Indonesia. Pada tahun lembaga penelitian hutan melakukan seleksi pohon pinus di Jawa dan Hutan Alam di Sumatera. Dari hasil seleksi tersebut dikukuhkan sebanyak 22 pohon seleksi dan 60 pohon induk. Program pemuliaan Pinus merkusii di Jawa telah dimulai pada tahun 1976, kegiatan ini merupakan kerjasama antara Direktorat Reboisasi (Ditsi) dengan Fakultas Kehutanan UGM dengan tujuan : 1. Studi keragaman genetik pinus di Indonesia. 2. Memperoleh perbaikan genetik dari bentuk batang dan pertumbuhan pinus. 3. Membangun kebun benih untuk memproduksi benih unggul genetik. Suseno (1982) dalam laporan akhir tim peneliti Fakultas Kehutanan IPB (2005) mengemukakan program pemuliaan Pinus merkusii di Jawa

34 pembiayaannya berasal dari Direktorat Reboisasi (Ditsi), namun sejak tahun 1987 seluruh pembiayaanya diambil alih oleh Perum Perhutani. Program ini dimulai dengan seleksi pohon plus pada hutan tanaman Pinus merkusii di Jawa, kemudian dilanjutkan dengan membuat uji keturunan di tiga lokasi, yaitu di Sumedang, di Baturaden dan di Jember. Jumlah pohon plus yang berhasil diseleksi lebih dari pohon. Uji keturunan ini dibangun mulai tahun 1978 sampai dengan tahun 1983 dengan luas setiap lokasi adalah sebagai berikut: di Sumedang 54 ha, di Baturaden 96 ha, dan di Jember 96 ha. Uji keturunan tersebut secara bertahap telah dikonversi menjadi kebun benih semai untuk menghasilkan benih bermutu melalui penjarangan genetik (rouging). Sejak tahun 1992, kebun benih di tiga lokasi tersebut telah dapat menghasilkan benih secara normal. Benih tersebut dipergunakan untuk pembangunan hutan tanaman operasional di Perum Perhutani. Setiap tahunnya, kebun benih di Sumedang mampu menghasilkan benih lebih dari satu ton. Peningkatan produktivitas dari penggunaan benih yang berasal dari kebun benih tersebut pada saat ini sudah mulai terlihat. Selanjutnya, kebun benih generasi pertama tidak akan produktif menghasilkan benih dalam jangka waktu kurang dari 10 tahun. Untuk itu, kebun benih generasi kedua perlu segera dibangun. Kebun benih generasi kedua diusulkan tetap dibangun di Sumedang dan Jember, sedangkan untuk Jawa Tengah tidak akan dibangun lagi di Baturaden mengingat kondisi lingkungannya tidak mendukung untuk pembungaan dan penyerbukan. Program pemuliaan pinus yang bertujuan untuk meningkatkan produksi getah saat ini belum ada. Sehubungan dibentuknya kelas perusahaan pinus yang tujuannya adalah produksi getah maka harus dipersiapkan program pemuliaan Pinus merkusii yang khusus untuk memperoleh perbaikan genetik dalam hal produksi getah baik kuantitas maupun kualitas. Persemain Pinus. Persemaian pinus dibangun untuk memproduksi bibit dalam jumlah sesuai dengan rencana penanaman. Persemaian pinus dibangun secara permanen (tetap) atau bersifat sementara (berpindah-pindah). Persemaian permanen pada umumnya berukuran luas dan digunakan dalam periode waktu yang lama, sedangkan persemaian sementara tidak terlalu luas dan hanya

35 digunakan beberapa kali saja. Lokasinya pun berpindah-pindah mendekati lokasi penanaman. Di setiap unit Perum Perhutani telah dibangun persemaian pinus permanen, dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang memadai dan modern serta dengan tenaga teknis terlatih. Namun setelah beberapa tahun memproduksi bibit, ternyata pohon bibit terebut mengalami serangan penyakit yang mematikan dan cepat menyebar sehingga ratusan ribu bibit mati. Berbagai upaya pencegahan dan pemberantasan telah dilakukan, bahkan dengan tidak memproduksi bibit pinus selama 2-3 tahun tetapi tidak berhasil dan serangan penyakit tetap berlangsung. Sehubungan dengan hal tersebut, beberapa persemaian pinus permanen di KPH Cianjur, dan KPH Banyumas Barat sudah tidak digunakan lagi untuk memproduksi bibit pinus sedangkan untuk memenuhi kebutuhan bibit pinus di KPH tersebut dibangun persemaian semi permanen dan persemaian sementara. Penanaman Pinus. Teknik penanaman pinus telah menerapkan teknik penanaman intensif khususnya yang dilaksanakan dengan sistem tumpang sari. Sedangkan penanaman dengan sistem banjar harian atau borongan kurang intensif (pengolahan tanahnya minimum). Jarak tanam yang optimal adalah 3x2 m 2 ditinjau dari persaingan perakaran maupun pertumbuhan tajuk. Disamping pemeliharaan, perlu kegiatan perlindungan hutan yang meliputi pengendalian hama dan penyakit, pengendalian kebakaran hutan dan pengamanan hutan. Penyadapan dan Penebangan Pinus. Tegakan pinus mulai dapat disadap apabila telah mencapai umur masak sadap, yakni mulai umur 11 tahun atau ketika mencapai Kelas Umur (KU) III. Arah sadapan mempunyai pengaruh terhadap produksi getah. Produksi getah yang arah sadapannya mengarah ke Timur menunjukkan produksi getah yang paling besar kemudian diikuti arah Selatan, Barat dan Utara. Keadaan ini ada hubungannya dengan cepat lambatnya penyinaran matahari dan intensitas cahaya yang masuk dapat mempengaruhi suhu/temperatur sekitarnya. Fakultas Pertanian UNS (1996) menyatakan produksi getah pinus dipengaruhi oleh kondisi tegakan maupun oleh perlakuan manusia terhadap pohon tersebut, seperti sistem penyadapan, arah sadap dan penggunaan bahan kimia dalam penyadapan. Terdapat tiga cara penyadapan yang dikemukakan oleh

36 Soetomo (1972), yaitu sistem koakan (quarre system), sistem bor dan sistem kopral (rill). Perlakuan terhadap tegakan yang juga mempengaruhi produksi getahnya adalah penjarangan. Fakultas Pertanian UNS (1996) selanjutnya menyatakan ada perbedaan pendapat apakah tegakan pinus dimanfaatkan untuk menghasilkan kayu sebagai bahan bangunan atau diambil getahnya, karena keduanya mempunyai nilai ekonomis yang tinggi. Atas dasar ini metoda Rill dikembangkan agar penyadapan getah dapat dilakukan kemudian setelah habis masa sadapnya, kayu pinus ditebang dan dijual tanpa mengandung kerusakan. Selain itu, produksi getah pinus dari Perum Perhutani saat ini jauh lebih rendah dibandingkan beberapa tahun sebelumnya sebagai akibat dari beberapa kondisi eksternal dan internal Perum Perhutani yang kurang mendukung peningkatan produksi getah pinus. Realisasi produksi kayu, getah pinus dan kapasitas industri pengolahan Perum Perhutani untuk periode tahun disajikan pada Tabel 15. Tabel 15. menunjukkan produksi getah saat ini jauh lebih kecil dari pada kapasitas industri pengolahan getah pinus yang dimiliki Perhutani dan Mitranya. Kecilnya produksi getah tersebut menyebabkan permintaan pasar terhadap gondorukem dan terpentin tidak terpenuhi. Tabel 15. Realisasi Produksi Kayu dan Getah Pinus Perum Perhutani, tahun dibandingkan dengan Kapasitas Industri Pengolahan. Item Unit Produk Satuan Tahun Unit I a. Kayu Pinus 3 m b.getah Pinus Ton Produksi Unit II a. Kayu Pinus 3 m b.getah Pinus Ton Unit III a. Kayu Pinus 3 m b.getah Pinus Ton , , , , a. Pengolahan Kapasitas Perhutani Kayu m 3 /th Sangat Besar b. Pengolahan Getah Pinus Ton/th Sumber : Perum Perhutani 2004

37 Tabel 16. Kemampuan Pengolahan Getah Pinus Pabrik Gondorukem dan Terpentin Volume Masak Per Kapasitas Unit I A. Perhutani Paninggaran Cimanggu Sapuran Winduaji Jumlah A B. Swasta Kongsi Tiga Gondomegar IIma Rimbu Bina Lestari K Jumlah B Jumlah Unit I Unit II Sukun Garahan Rejowinangun Jumlah Unit II Unit III A. Perhutani Sindangwangi B. swasta Maruha Karya Sari Jumlah Unit III Jumlah PGT. Perhutani Jumlah PGT. Swasta Jumlah Keseluruhan Sumber : Perum Perhutani tahun 2004 Tabel 15. dan 16. menunjukkan bahwa suplai getah pinus dari Unit I masih jauh dibawah kapasitas terpasang industri pengolahan getah yang ada di Unit I, begitu juga dengan Unit II dan Unit III juga masih jauh dari kapasitas terpasangnya. Artinya peningkatan produksi getah masih memungkinkan tanpa mengurangi nilai jual getah pinus ke mitra Perum Perhutani. Perkembangan Produksi Getah selama 5 Tahun ( ) disajikan pada Tabel 17.

38 Tabel 17. Perkembangan Produksi Getah selama 5 Tahun setiap KPH( ) KPH Tahun (Ton) Jumlah Unit I Banyumas barat , , , , , ,00 Banyumas Timur 3.194, , , , , ,00 Kedu selatan , , , , , ,00 Kedu selatan 1.038,00 836,00 793, , , ,00 Pekalongan Barat , , , , , ,00 Pekalongan Timur 5.423, , , , , ,00 Surakarta 805,00 566,00 676, , , ,00 Jumlah A ,00 40,626, , , , ,00 Unit II Lawu Ds , , , , , ,00 Kediri , , , , , ,00 Malang 322,00 348,00 241,00 356,00 359, ,00 Pasuruan 326,00 375,00 256,00 382,00 440, ,00 Probolinggo 403,00 350,00 622,00 457,00 583, ,00 Jember 2.092, ,00 295, , , ,00 Bondowoso 904, , , , , ,00 Banyuwangi Barat 2.922, , , , , ,00 Jumlah B , , , , , ,00 Unit III Bogor 618,05 648, ,75 479, ,32 Sukabumi 3.091, , , , , ,83 Cianjur 412,00 385,31 322,00 353,46 335, ,77 Purwakarta 252,00 267,71 234,00 257,00 255, ,71 Bandung Utara 966,00 698,35 364,00 434,00 514, ,35 Bandung Selatan 606,00 596,72 351,00 313,00 363, ,72 Garut 1.311, ,26 636, , , ,26 Tasikmalaya 465,00 579,40 311,00 426,00 620, ,4 Ciamis 365,00 463,28 416,94 578,33 557, ,55 Kuningan 511,00 486,13 476,00 718,33 662, ,46 Majalengka 588, ,41 832,00 701,00 359, ,41 Sumedang 1319,00 661,53 472,00 486,75 529, ,28 Jumlah C , , , ,62 7,415, ,06 Total , , , , , ,06 Sumber : Statistik Perhutani Tahun 2003 Tabel 17. menunjukkan produksi getah dari masing-masing KPH di Perum Perhutani. Jumlah produksi getah untuk masin-masing Unit menurut KPH tidak berbeda jauh dengan jumlah produksi masing-masing Unit menurut luas sadapan dan pohon yang disadap seperti yang disajikan pada Tabel 18.

39 Tabel 18. Realisasi Produksi Getah Pinus Perum Perhutani selama 5 Tahun terakhir, Berdasarkan Luas Sadapan dan Jumlah Pohon yang disadap. Unit Jenis Satuan Unit I Unit II Unit III Jumlah Ratarata Ratarata Ratarata Ratarata Tahun Jumlah Luas Ha Jml phn Phn Produksi Ton Prod/Ha ton/ha 0, , , , , ,54931 Prod/Phn ton/phn 0, , , , , ,00210 Phn/Ha phn/ha Luas Ha Jml phn Phn Produksi Ton Prod/Ha ton/ha 0, , , , , ,57239 Prod/Phn ton/phn 0, , , , , ,00460 Phn/Ha phn/ha Luas Ha Jml phn Phn Produksi Ton Prod/Ha ton/ha 0, , , , , ,42737 Prod/Phn ton/phn 0, , , , , ,00243 Phn/Ha phn/ha Luas Ha Jml phn Phn Produksi Ton Prod/Ha ton/ha , , , , ,54164 Prod/Phn ton/phn 0, , , , , ,00269 Phn/Ha phn/ha

40 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2006-Februari 2006 di pabrik Gondorukem dan Terpentin (PGT) Sindangwangi, KPH Bandung Utara, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat Banten. Jenis Data Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer yang diperlukan antara lain: 1. Tahapan proses pengolahan getah pinus menjadi gondorukem dan terpentin. 2. Modal yang diperlukan. 3. Sumber daya lainnya yang tersedia dan digunakan dalam pengolahan gondorukem dan terpentin. Sedangkan data sekunder terdiri atas : 1. Keadaan umum industri dan struktur orgsanisasi. 2. Masa pakai dan suku bunga yang dikenakan untuk peralatan, bangunan dan infestasi lainnya. 3. Jumlah produksi dan harga jual gondorukem. 4. Data ekspor gondorukem Metode Pengumpulan Data Data primer dikumpulkan dengan melakukan wawancara, observasi dan pengukuran langsung dilapangan. Data sekunder diperoleh dari kutipan literatur, arsip - arsip perusahaan dan laporan yang dihasilkan oleh Perum Perhutani dan instansi instansi terkait.

41 Analisis Data Rendemen. Perhitungan rendemen dimaksudkan untuk mengetahui efesiensi perusahan dalam mengolah getah pinus menjadi gondorukem dan terpentin. Rendemen dihitung dengan cara sebagi berikut : O Rd = I Keterangan : Rd = Rendemen O = Output (Kg). I = Input (Kg). Analisis Biaya Produksi Perhitungan biaya produksi dilakukan untuk mengetahui struktur biaya pengusahaan pengolahan getah pinus menjadi gondorukem dan terpentin dan besarnya keuntungan yang diperoleh oleh pabrik serta memberikan gambaran kelayakan usaha pengolahan getah pinus. Biaya produksi dihitung dengan menjumlahkan total biaya tetap dan biaya variabel seperti persamaan berikut: TC = TFC + TVC Sedangkan untuk menghitung biaya produksi per kilogram menggunakan rumus : TFC + TVC UC = V dimana : TC = Total biaya produksi gondorukem per tahun (Rp/tahun). TFC = Biaya tetap total produksi gondorukem per tahun (Rp/tahun). TVC = Biaya variable total produksi gondorukem per tahun(rp/tahun). V = Volume produksi gondorukem per tahun (Rp/bln). UC = Biaya produksi per kilogram (kg). Biaya tetap yang diperhitungkan antara lain penyusutan, bunga modal, gaji dan pajak-pajak. Sementara biaya variabel yang diperhitungkan adalah biaya

42 getah, biaya angkut getah, biaya bahan penolong, biaya bongkar, biaya bahan bakar, upah tak langsung dan upah langsung. Penyusutan. Besarnya dihitung dengan rumus sebagai berikut : M D = (tanpa nilai rongsokan) N dimana : D = Penyusutan modal (Rp/tahun). M = Nilai modal yang ditanamkan untuk pembelian mesin dan pembangunan gedung (Rp/tahun). N = masa pakai bangunan atau mesin yang ekonomis (tahun). Bunga Modal. Besarnya bunga modal dihitung dengan rumus sebagai berikut: M ( N + 1) B = 0. 0 p 2N dimana : B = Besarnya bunga yang harus dibayar (Rp/tahun). P = suku bunga pinjaman (18%/tahun). Gaji Tetap. Gaji tetap ditetapkan oleh perusahaan. Gaji tetap dihitung dengan menjumlahkan besar gaji per bulan per orang selama satu tahun (Rp/tahun). Pajak. Besarnya pajak dan pembebanan lainnya dihitung atau dikutip dari peraturan-peraturan yang berlaku. Biaya pemeliharaan dan suku cadang. Biaya pemeliharaan merupakan penjumlahan biaya pemeliharaan dari setiap mesin selama satu tahun seperti forklift termasuk pemeliharaan gudang dan instalasi. Biaya getah. Biaya getah biaya yang dikeluarkan untuk membayar getah hasil sadapan petani dan dihitung dengan mengalikan tarif getah dengan jumlah getah yang dibeli. Biaya angkut getah. mengingat getah yang diolah diperoleh dari berbagai KPH yang letaknya berjauhan biaya angkut getah dihitung dengan menjumlahkan banyaknya pengangkutan getah. Biaya bahan-bahan penolong. Biaya ini biasanya adalah pengeluaran untuk memperoleh bahan-bahan kimia seperti asam-asam oksalat dan kapur dan

43 dihitung dengan mengalikan harga bahan penolong dengan jumlah bahan penolong yang diperlukan untuk mengolah getah pinus. Biaya bongkar. Biaya bongkar industri dan biaya bongkar getah dihitung dengan mengalikan besarnya upah per orang dengan jumlah orang yang bekerja. Biaya bahan bakar. Biaya ini adalah pengeluaran untuk membeli bahan bakar mesin forklift dan dihitung dengan mengalikan harga bahan bakar per unit dengan jumlah bahan bakar yang digunakan. Upah tak langsung. Upah adalah biaya untuk membayar pegawai harian lepas dan pegawai yang bekerja lembur di kantor dan pabrik. Upah ini dihitung dengan mengalikan besarnya upah per jam atau per hari dengan jumlah orang yang bekerja. Upah langsung. Upah langsung adalah biaya untuk membayar upah langsir, upah opertor dan upah timbang. Biaya ini dihitung dengan mengalikan besarnya upah per orang dengan jumlah orang yang bekerja. Analisis Rugi-Laba Analisis ini mencakup perhitungan harga pokok, perhitungan total pendapatan, perhitungan keuntungan perusahaan dan titik impas atau analisis break even point. Perhitungan Harga Pokok. Perhitungan harga pokok perlu dilakukan untuk mengetahui besarnya keuntungan (p%). Berdasarkan perhitungan biaya produksi dan jumlah gondorukem yang dihasilkan mengikuti nilai mata uang yang berlaku, maka besarnya harga pokok ditentukan dengan rumus sebagai berikut : Hp = ( 1 + p %) V TC dimana : Hp = Harga pokok gondorukem (Rp/kg); T C = Total biaya untuk memproduksi gondorukem (Rp/tahun); dan V = Total produksi gondorukem (kg/tahun)

44 p% = Prosentasi keuntungan yang ingin diperoleh oleh perusahaan (% / tahun) Total Pendapatan. Total pendapatan dihitung dengan mengalikan harga jual gondorukem per kilogram dengan jumlah total gondorukem yang terjual, seperti yang ditunjukkan oleh rumus berikut ini: TR = PM x V dimana : TR = Total pendapatan (Rp/tahun) PM = Harga jual (Rp / kg) V = Jumlah unit yang dijual (kg/tahun) Keuntungan perusahaan. Keuntungan perusahaan diperoleh dengan mengurangkan biaya produksi dari pendapatan seperti yang terlihat pada rumus berikut ini: BP = TR TC dimana: BP= Keuntungan produksi gondorukem per tahun (Rp/tahun). TR = Pendapatan total produksi gondorukem per tahun(rp/tahun). TC = Biaya total produksi gondorukem per tahun (Rp/tahun). Analisis Break Even Point. Analisis Break even point (BEP) perusahaan bertujuan menentukan volume penjualan minimum yang tidak mengakibatkan perusahaan mengalami kerugian tetapi juga tidak untung. Ada dua cara untuk menentukan BEP, yaitu menggunakan teknik persamaan dan pendekatan grafis (Sigit, 1987). Perhitungan BEP dengan pendekatan grafis dibuat dengan menentukan titik pertemuan antara garis pendapatan penjualan dengan garis biaya dalam suatu grafik (Gambar 2). Titik pertemuan antara garis pendapatan (TR) dengan garis biaya (TC) merupakan titik impas. Grafik dibuat dengan sumbu datar menunjukkan volume penjualan

45 (output) sedangkan sumbu mendatar menunjukkan biaya dan pendapatan (harga). Daerah sebelum BEP, perusahaan memperoleh kerugian karena pendapatan penjualannya lebih kecil daripada biaya produksi total. Sedangkan daerah diatas BEP, perusahaan memperoleh laba karena pendapatan penjaualannya lebih tinggi dibandingkan biaya total yang digunakan. Persamaan BEP adalah sebagai berikut : N BEP = TFC H C Dimana : N BEP = Tingkat produksi gondorukem pada titik impas (ton/tahun) TFC C H = Biaya tetap per satuan unit waktu (Rp/tahun) = Biaya variabel per satuan unit produksi (Rp/kg) = Harga persatuan unit (Rp/kg). PENDAPATAN/ BIAYA TR TC TVC TFC jumlah BEP GAMBAR 2. GRAFI BREAK EVENT POINT

46 KEADAAN UMUM PERUSAHAAN Industri Pengolahan Getah Pinus Sejarah Pendirian Pabrik Sebelum PGT Sindangwangi didirikan, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat-Banten mengadakan kerjasama produksi dengan pabrik swasta dalam pengolahan getah pinus, yaitu Maruha Karya Sari yang berlokasi di Jatinangor, Sumedang. Jumlah produksi getah yang meningkat dari tahun ke tahun mendorong Perum Perhutani unit III Jawa Barat-Banten membangun pabrik gondorukem dan terpentin yang diberi nama Sindangwangi pada tahun Pabrik tersebut berlokasi di Desa Nagrek, Kecamatan Nagrek, Kabupaten Bandung. Pabrik tersebut berjarak 32 km dari Bandung yang masuk dalam wilayah kerja KPH Bandung Utara. Pembangunannya diresmikan pada tanggal 27 Agustus 1991 oleh Menteri Kehutanan Ir. Hasrul Harahap. Luas keseluruhan komplek pabrik beserta kantor, gudang, dan perumahan karyawan sekitar m 2, sementara luas bangunannya sekitar 946 m 2. Pabrik ini diproyeksikan untuk penjualan dalam negeri dengan sasaran kualitas hasil produksi gondorukem adalah kualitas WW-X. Pabrik Gondorukem dan Terpentin Sindangwangi yang didirikan berdasarkan Keputusan Direksi Perhutani No. 691/Kpts/dir/1990 adalah upaya Perum Perhutani untuk mengintensifkan dan menganekaragamkan hasil hutan sehingga diperoleh hasil dan nilai tambah yang optimum. Pabrik tersebut juga didirikan untuk memenuhi permintaan pasar akan gondorukem yang semakin meningkat dan juga untuk meningkatkan pembangunan di bidang pemanfaatan hasil hutan non kayu. Kapasitas produksi PGT Sindangwangi dalam 1 tahun berkisar ton per tahun, dengan rendemen gondorukem sebesar 68% dan terpentin sebesar 12%. Sesuai dengan bertambahnya luas areal sadapan dan diterapkannya penggunaan Cairan Asam Sulfat (CAS), produksi getah diharapkan semakin bertambah, sehingga produksi gondorukem dan terpentin juga meningkat. PGT. Sindangwangi mulai membangun sistem management mutu pada bulan juni tahun 2000 dan dinyatakan lulus ISO 9002 oleh assesor dari MALQA.

47 Keberhasilan PGT. Sindangwangi memperoleh ISO 9002 merupakan tantangan positif bagi jajaran Perum Perhutani Unit III untuk selalu berusaha meningkatkan produktivitas dan kualitas sehingga mampu bersaing dengan pabrik pabrik penghasil gondorukem dari mancanegara. Bahan Baku Kebutuhan bahan baku untuk kelangsungan proses produksi PGT. Sindangwangi diperoleh dari 12 KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan) yang ada di wilayah Perum Perhutani Unit III Jawa Barat-Banten yang meliputi KPH Bogor, Sukabumi, Bandung Utara, Bandung Selatan, Cianjur, Garut, Tasikmalaya, Majalengka, Purwakarta, Ciamis, Kuningan dan Sumedang. Penerimaan getah pinus dari masing masing KPH tersebut secara rinci disajikan pada Tabel 19. Tabel 19. Penerimaan Getah Pinus Tahun PGT. Sindangwangi KPH Tahun (ton) Bogor 479,78 489,06 466,02 478,19 279,27 Sukabumi 1.667, , , , ,44 Cianjur 302,23 363,29 339,57 332,89 300,52 Bandung Utara 351,48 428,70 502,17 287,41 89,23 Bandung Selatan 331,56 315,04 354,40 247,42 298,43 Garut 610,24 956, ,50 250,31 141,72 Tasikmalaya 303,78 408,72 615,16 202,40 199,93 Ciamis 433,77 569,33 543,23 725,48 675,00 Majalengka 230,55 160,05 51,14 147,51 216,10 Kuningan 187,84 23,42 312,05 639,53 682,10 Sumedang 257,93 250,97 306,27 267,09 271,15 Purwakarta 475,00 109,51 248,55 271,84 290,69 Jumlah , , , ,53 Sumber: KPH Bandung Utara,2005 Proses Produksi Proses produksi gondorukem dan terpentin di PGT. Sindangwangi hampir sama dengan proses produksi di PGT. Cimanggu, tetapi di PGT. Sindangwangi tidak memakai proses pemanasan awal di tangki blowcase. Hal ini bertujuan untuk mengefesiensikan proses produksi itu sendiri dengan menyingkat waktu pengolahan getah. Pada dasarnya proses produksi gondorukem di PGT. Sindangwangi seperti pada Gambar 3.

48 PENGENC ERAN PENCUC IAN PENGENDA PAN CANNIN G PEMASAK AN PENYARI NGAN Gambar 3. Proses pengolahan getah pinus PGT. Sindangwangi Proses Pengenceran. Pengenceran larutan getah dilakukan dengan cara menambahkan kg terpentin ke dalam larutan getah dalam tangki melter (Gambar 3) kemudian dipanaskan pada suhu C selama menit. Tujuan pengenceran adalah untuk memudahkan proses pencucian getah. Getah lalu diendapkan selama 4-6 menit. Setelah diendapkan, kotoran dan air yang terendap dibuang atau dialirkan ke bak penampungan limbah melalui pipa pembuangan sampai habis. Getah yang ada kemudian dialirkan ke filter press B-1 untuk difiltrasi menggunakan steam dengan tekanan 0,2-2 kg/cm 2. Setelah getah difiltrasi, kemudian dialirkan ke tangki settler sampai habis. Gambar 4. Unit Melter di PGT. Sindangwangi

49 Proses Pencucian. Getah hasil pengenceran kemudian dimasukkan ke tangki settler (Gambar 5). Di tangki ini, getah dicuci dengan cara menambahkan asam oksalat 3-5 kg/bacth. Asam oksalat ini berguna untuk mengendapkan ion besi yang berasal dari kotoran getah. Setelah tercampur dengan asam oksalat, larutan getah diendapkan selama 5-10 menit, kemudian kotorannya dibuang atau dialirkan ke bak penampungan limbah melalui pipa pembuangan sampai habis. Apabila larutan getah masih terlihat kotor, harus dilakukan pencucian ulang sebanyak 2-3 kali sampai larutan getah terlihat bersih. Setelah larutan getah bersih, kemudian getah dialirkan ke tangki scrubbing sampai habis. Gambar 5. Unit Settler di PGT. Sindangwangi Proses Pengendapan. Getah hasil pencucian kemudian dimasukkan ke dalam tangki scrubbing. Dalam tangki scrubbing ini dilakukan pencucian ulang dengan menambahkan air sebanyak liter sambil diaduk dan suhu dipertahankan pada C kemudian getah diendapkan selama menit. Proses Penyaringan. Setelah getah diendapkan lalu dilakukan penyaringan. Penyaringan getah ini melalui beberapa tahap, yaitu: 1 Penyaringan pertama dengan filter RBT4 BSL 200 Mikron

50 2 Penyaringan kedua dengan Filter Graft 5 mikron 3 Penyaringan ketiga dengan filter graft 1 mikron. Tujuan dari penyaringan ini adalah untuk membersihkan kotoran-kotoran yang masih ada dalam getah, karena kotoran ini mempengaruhi kualitas gondorukem yang dihasilkan. Proses Pemasakan. Getah hasil penyaringan yang telah dinyatakan bersih kemudian dipompakan dari tangki penampung ke ketel pemasak (Gambar 6) melalui filter graft 1 mikron dan kemudian dipanaskan pada suhu C dengan vacum menunjukkan cm Hg selama kurang lebih 3 jam sehingga larutan getah matang menjadi gondorukem dan akhirnya dialirkan pada instalasi canning. Gambar 6. Unit Ketel Pemasak di PGT. Sindangwangi Proses Canning. Proses ini merupakan proses akhir dari pemasakan getah pinus dimana gondorukem yang dihasilkan dicurahkan ke dalam drum kerucut. Pada saat pengisian, gondorukem tersebut ditimbang agar berat setiap drum

51 sebesar 240 kg. Setelah drum terisi dengan gondorukem, dilakukan pengujian untuk menentukan kualitas gondorukemnya, kemudian drum dibawa ke gudang penyimpanan (Gambar 7) dan diletakkan berdasarkan mutu masing-masing. Gambar 7. Gudang penyimpanan gondorukem di PGT. Sindangwangi Tenaga Kerja PGT. Sindangwangi dipimpin oleh seorang kepala pabrik dan dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh 2 orang kepala bagian, yaitu kepala bagian prosesing dan kepala bagian penerimaan. Kepala pabrik juga dibantu staf tata usaha dan staf unsur keamanan. Jabatan kepala pabrik setingkat dengan Asisten Perhutani sementara Kepala Bagian kedudukannya setara dengan Kepala Resort Polisi Hutan. Di samping itu, ada juga operator pabrik, yaitu orang yang bekerja langsung dalam proses produksi; pembantu uji; dan petugas kebersihan pabrik. Dalam pembagian kerjanya, setiap hari ada tiga shift dan masing-masing shift ada regu kerjanya masing-masing. Shift I berlangsung dari pukul , shift II dari pukul dan shift III dari pukul Total pegawai tetap PGT. Sindangwangi sebanyak 45 orang, sedangkan pegawai tidak tetap berkisar antara orang tergantung dengan volume getah yang diolah. Struktur organisasi PGT. Sindangwangi disajikan pada Gambar 8.

ANALISIS BIAYA PENGOLAHAN GONDORUKEM DAN TERPENTIN DI PGT. SINDANGWANGI, KPH BANDUNG UTARA, PERUM PERHUTANI UNIT III JAWA BARAT BANTEN.

ANALISIS BIAYA PENGOLAHAN GONDORUKEM DAN TERPENTIN DI PGT. SINDANGWANGI, KPH BANDUNG UTARA, PERUM PERHUTANI UNIT III JAWA BARAT BANTEN. ANALISIS BIAYA PENGOLAHAN GONDORUKEM DAN TERPENTIN DI PGT. SINDANGWANGI, KPH BANDUNG UTARA, PERUM PERHUTANI UNIT III JAWA BARAT BANTEN. Dwi Nugroho Artiyanto E 24101029 DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hutan merupakan sumber kekayaan alam yang dapat diperbaharui dan

I. PENDAHULUAN. Hutan merupakan sumber kekayaan alam yang dapat diperbaharui dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan sumber kekayaan alam yang dapat diperbaharui dan memiliki fungsi produksi yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Fungsi produksi hutan yang dapat dimanfaatkan

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA TEORITIS. Penelitian terdahulu adalah penelitian yang telah dilakukan oleh orang lain

BAB II KERANGKA TEORITIS. Penelitian terdahulu adalah penelitian yang telah dilakukan oleh orang lain BAB II KERANGKA TEORITIS 2.1 Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu adalah penelitian yang telah dilakukan oleh orang lain sebelumnya, yang dianggap memiliki relevansi dengan penelitian yang dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia yaitu di Aceh, Tapanuli dan Kerinci. Dalam perkembangannya tanaman

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia yaitu di Aceh, Tapanuli dan Kerinci. Dalam perkembangannya tanaman BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pinus merkusii merupakan spesies pinus yang tumbuh secara alami di Indonesia yaitu di Aceh, Tapanuli dan Kerinci. Dalam perkembangannya tanaman P. merkusii banyak dibudidayakan

Lebih terperinci

G O N D O R U K E M 1. Ruang lingkup

G O N D O R U K E M 1. Ruang lingkup SNI 01-5009.12-2001 G O N D O R U K E M 1. Ruang lingkup Standar ini menetapkan istilah dan definisi, syarat mutu, cara uji, pengemasan dan penandaan gondorukem, sebagai pedoman pengujian gondorukem yang

Lebih terperinci

Perum Perhutani yang merupakan Badan Usaha Milik. Negara (BUMN) berbentuk perusahaan umum bertugas menyelenggarakan

Perum Perhutani yang merupakan Badan Usaha Milik. Negara (BUMN) berbentuk perusahaan umum bertugas menyelenggarakan I. PENDAHULUAN A. LATARBELAKANG Perum Perhutani yang merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berbentuk perusahaan umum bertugas menyelenggarakan kegiatan pengusahaan hutan di Pulau Jawa, meliputi Unit

Lebih terperinci

PABRIK ROSIN DAN TURPENTINE PRA RENCANA PABRIK

PABRIK ROSIN DAN TURPENTINE PRA RENCANA PABRIK PABRIK ROSIN DAN TURPENTINE DARI GETAH PINUS DENGAN PROSES OPEN STEAM PRA RENCANA PABRIK Oleh : RIA PUSPITASARI JATMIKA 073101 0023 PROGRAM STUDI TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI UNIVERSITAS PEMBANGUNAN

Lebih terperinci

hutan tetap lestari, tetapi dari aspek ekonomi untuk pemenuhan kebutuhan akan kayu

hutan tetap lestari, tetapi dari aspek ekonomi untuk pemenuhan kebutuhan akan kayu I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Hutan Indonesia seluas 120 juta hektar, kondisinya sangat memprihatinkan, laju deforestasi relatif masih tinggi meskipun ada penurunan. Pada periode tahun 1998-2000 laju

Lebih terperinci

POTENSI PENGEMBANGAN KEDELAI DI KAWASAN HUTAN

POTENSI PENGEMBANGAN KEDELAI DI KAWASAN HUTAN POTENSI PENGEMBANGAN KEDELAI DI KAWASAN HUTAN Suwarno Asisten Direktur Perum Perhutani Unit 2 PENDAHULUAN Perusahaan Umum (Perum) Perhutani Unit 2 berdasar Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 2010 mendapat

Lebih terperinci

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1. Kondisi Geografis Wilayah Provinsi Jawa Barat Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak antara 5 54' - 7 45' LS dan 106 22' - 108 50 BT dengan areal seluas 37.034,95

Lebih terperinci

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 19 3.1 Luas dan Lokasi BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Kabupaten Humbang Hasundutan mempunyai luas wilayah seluas 2.335,33 km 2 (atau 233.533 ha). Terletak pada 2 o l'-2 o 28' Lintang Utara dan

Lebih terperinci

ANALISIS PENGELUARAN ENERGI PEKERJA PENYADAPAN KOPAL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT AVIANTO SUDIARTO

ANALISIS PENGELUARAN ENERGI PEKERJA PENYADAPAN KOPAL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT AVIANTO SUDIARTO ANALISIS PENGELUARAN ENERGI PEKERJA PENYADAPAN KOPAL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT AVIANTO SUDIARTO DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

Lebih terperinci

geografi Kelas X PEDOSFER II KTSP & K-13 Super "Solusi Quipper" F. JENIS TANAH DI INDONESIA

geografi Kelas X PEDOSFER II KTSP & K-13 Super Solusi Quipper F. JENIS TANAH DI INDONESIA KTSP & K-13 Kelas X geografi PEDOSFER II Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini kamu diharapkan memiliki kemampuan untuk memahami jenis tanah dan sifat fisik tanah di Indonesia. F. JENIS TANAH

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN BERBAGAI JENIS STIMULANSIA TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS

PENGARUH PEMBERIAN BERBAGAI JENIS STIMULANSIA TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS PENGARUH PEMBERIAN BERBAGAI JENIS STIMULANSIA TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS (Pinus merkusii Jung et de Vriese) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT NURKHAIRANI DEPARTEMEN HASIL

Lebih terperinci

SNI Gondorukem. Badan Standardisasi Nasional ICS

SNI Gondorukem. Badan Standardisasi Nasional ICS Gondorukem ICS 27.180 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii 1 Ruang lingkup...1 2 Istilah dan definisi...1 3 Simbol dan singkatan istilah...2 4 Klasifikasi mutu...3 5 Persyaratan

Lebih terperinci

PENGARUH JUMLAH SADAPAN TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS

PENGARUH JUMLAH SADAPAN TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS PENGARUH JUMLAH SADAPAN TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS (Pinus merkusii) DENGAN METODE KOAKAN DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT YUDHA ASMARA ADHI DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 26 Administrasi Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Propinsi Jawa Barat. Secara geografis terletak diantara 6 o 57`-7 o 25` Lintang Selatan dan 106 o 49` - 107 o 00` Bujur

Lebih terperinci

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala Geografi Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala TANAH Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat besar dalam menyerap tenaga kerja di Indonesia. masak, minyak industri, maupun bahan bakar (biodiesel).

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat besar dalam menyerap tenaga kerja di Indonesia. masak, minyak industri, maupun bahan bakar (biodiesel). BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Indonesia sebagai Negara agraris memiliki potensi pertanian yang cukup besar dan berkontribusi terhadap pembangunan dan ekonomi nasional. Penduduk di Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Struktur PDB Menurut Lapangan Usaha Triwulan-I Tahun

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Struktur PDB Menurut Lapangan Usaha Triwulan-I Tahun I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara agraris menunjukkan bahwa sektor pertanian mempunyai peranan yang penting dalam mendukung perekonomian nasional, terutama sebagai sumber bahan

Lebih terperinci

V. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. 5.1 Provinsi Jawa Timur Jawa Timur merupakan penghasil gula terbesar di Indonesia berdasarkan

V. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. 5.1 Provinsi Jawa Timur Jawa Timur merupakan penghasil gula terbesar di Indonesia berdasarkan 68 V. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 5.1 Provinsi Jawa Timur Jawa Timur merupakan penghasil gula terbesar di Indonesia berdasarkan tingkat produksi gula antar daerah. Selain itu Jawa Timur memiliki jumlah

Lebih terperinci

BAB III TATA LAKSANA PELAKSANAAN

BAB III TATA LAKSANA PELAKSANAAN BAB III TATA LAKSANA PELAKSANAAN A. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Praktek Produksi Kopi Biji Salak dengan Penambahan Jahe Merah dilaksanakan pada bulan Maret-April 2016 di Laboratorium Rekayasa Proses dan

Lebih terperinci

PENGARUH LAMA WAKTU PENUMPUKAN KAYU KARET (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) TERHADAP SIFAT - SIFAT PAPAN PARTIKEL TRIDASA A SAFRIKA

PENGARUH LAMA WAKTU PENUMPUKAN KAYU KARET (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) TERHADAP SIFAT - SIFAT PAPAN PARTIKEL TRIDASA A SAFRIKA PENGARUH LAMA WAKTU PENUMPUKAN KAYU KARET (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) TERHADAP SIFAT - SIFAT PAPAN PARTIKEL TRIDASA A SAFRIKA DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk menghasilkan keluaran berupa produk yang. akan menghasilkan laba. Dengan demikian untuk menghasilkan laba tersebut

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk menghasilkan keluaran berupa produk yang. akan menghasilkan laba. Dengan demikian untuk menghasilkan laba tersebut BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perusahaan dapat dipandang sebagai suatu sistem yang memproses masukan berupa sumber ekonomi untuk menghasilkan keluaran berupa produk yang nilainya harus lebih tinggi

Lebih terperinci

PEDOSFER BAHAN AJAR GEOGRAFI KELAS X SEMESTER GENAP

PEDOSFER BAHAN AJAR GEOGRAFI KELAS X SEMESTER GENAP PEDOSFER BAHAN AJAR GEOGRAFI KELAS X SEMESTER GENAP PENGERTIAN TANAH Pedosfer berasal dari bahasa latin yaitu pedos = tanah, dan sphera = lapisan. Pedosfer yaitu lapisan kulit bumi yang tipis yang letaknya

Lebih terperinci

Peluang Investasi Minyak Akar Wangi

Peluang Investasi Minyak Akar Wangi Halaman 1 Peluang Investasi Minyak Akar Wangi Kabupaten Garut merupakan salah satu daerah Tingkat II di Jawa Barat yang memiliki tingkat kesuburan tanah yang sangat baik, oleh karena itu daerah Garut sangat

Lebih terperinci

KONTRIBUSI INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI PROPINSI SUMATERA SELATAN ERNIES

KONTRIBUSI INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI PROPINSI SUMATERA SELATAN ERNIES KONTRIBUSI INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI PROPINSI SUMATERA SELATAN ERNIES DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 KONTRIBUSI INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI PROPINSI SUMATERA

Lebih terperinci

KEMAMPUAN SERAPAN KARBONDIOKSIDA PADA TANAMAN HUTAN KOTA DI KEBUN RAYA BOGOR SRI PURWANINGSIH

KEMAMPUAN SERAPAN KARBONDIOKSIDA PADA TANAMAN HUTAN KOTA DI KEBUN RAYA BOGOR SRI PURWANINGSIH KEMAMPUAN SERAPAN KARBONDIOKSIDA PADA TANAMAN HUTAN KOTA DI KEBUN RAYA BOGOR SRI PURWANINGSIH Kemampuan Serapan Karbondioksida pada Tanaman Hutan Kota di Kebun Raya Bogor SRI PURWANINGSIH DEPARTEMEN KONSERVASI

Lebih terperinci

K O P A L SNI

K O P A L SNI K O P A L SNI 01-5009.10-2001 1. Ruang lingkup Standar ini menetapkan istilah dan definisi, klasifikasi mutu, syarat mutu, cara uji, pengemasan dan penandaan Kopal, sebagai pedoman pengujian Kopal yang

Lebih terperinci

Kemampuan Serapan Karbondioksida pada Tanaman Hutan Kota di Kebun Raya Bogor SRI PURWANINGSIH

Kemampuan Serapan Karbondioksida pada Tanaman Hutan Kota di Kebun Raya Bogor SRI PURWANINGSIH Kemampuan Serapan Karbondioksida pada Tanaman Hutan Kota di Kebun Raya Bogor SRI PURWANINGSIH DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 Kemampuan

Lebih terperinci

ANALISIS PENGELUARAN ENERGI PEKERJA PENYADAPAN KOPAL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT AVIANTO SUDIARTO

ANALISIS PENGELUARAN ENERGI PEKERJA PENYADAPAN KOPAL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT AVIANTO SUDIARTO ANALISIS PENGELUARAN ENERGI PEKERJA PENYADAPAN KOPAL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT AVIANTO SUDIARTO DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

Lebih terperinci

PENGARUH JUMLAH SADAPAN TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS

PENGARUH JUMLAH SADAPAN TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS PENGARUH JUMLAH SADAPAN TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS (Pinus merkusii) DENGAN METODE KOAKAN DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT YUDHA ASMARA ADHI DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diutamakan. Sedangkan hasil hutan non kayu secara umum kurang begitu

BAB I PENDAHULUAN. diutamakan. Sedangkan hasil hutan non kayu secara umum kurang begitu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan sumber daya alam hutan. Hasil hutan dapat berupa hasil hutan kayu dan hasil hutan non kayu. Hasil hutan kayu sudah

Lebih terperinci

Dalam proses ekstraksi tepung karaginan, proses yang dilakukan yaitu : tali rafia. Hal ini sangat penting dilakukan untuk memperoleh mutu yang lebih

Dalam proses ekstraksi tepung karaginan, proses yang dilakukan yaitu : tali rafia. Hal ini sangat penting dilakukan untuk memperoleh mutu yang lebih BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Proses Ekstraksi Tepung Karaginan Dalam proses ekstraksi tepung karaginan, proses yang dilakukan yaitu : 1. Sortasi dan Penimbangan Proses sortasi ini bertujuan untuk memisahkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai jenis tanah yang subur. Berdasarkan karakteristik geografisnya Indonesia selain disebut sebagai negara

Lebih terperinci

PENGARUH KADAR AIR AWAL, WADAH DAN PERIODE SIMPAN TERHADAP VIABILITAS BENIH SUREN (Toona sureni Merr) ANDY RISASMOKO

PENGARUH KADAR AIR AWAL, WADAH DAN PERIODE SIMPAN TERHADAP VIABILITAS BENIH SUREN (Toona sureni Merr) ANDY RISASMOKO PENGARUH KADAR AIR AWAL, WADAH DAN PERIODE SIMPAN TERHADAP VIABILITAS BENIH SUREN (Toona sureni Merr) ANDY RISASMOKO DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 17 IV HSIL N PMHSN 4.1 Pengamatan Secara Visual Pengamatan terhadap damar mata kucing dilakukan secara visual. Mutu damar mata kucing yang semakin tinggi umumnya memiliki warna yang semakin kuning bening

Lebih terperinci

KEMIRI SUNAN. (Aleurites trisperma BLANCO) Kemiri sunan (Aleurites trisperma Blanco) atau kemiri China atau jarak Bandung (Sumedang)

KEMIRI SUNAN. (Aleurites trisperma BLANCO) Kemiri sunan (Aleurites trisperma Blanco) atau kemiri China atau jarak Bandung (Sumedang) KEMIRI SUNAN (Aleurites trisperma BLANCO) Kemiri sunan (Aleurites trisperma Blanco) atau kemiri China atau jarak Bandung (Sumedang) atau kaliki (Banten), merupakan salah satu jenis tanaman yang berpotensi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. peningkatan devisa Indonesia. Pada dasarnya karet berasal dari alam yaitu dari getah

BAB 1 PENDAHULUAN. peningkatan devisa Indonesia. Pada dasarnya karet berasal dari alam yaitu dari getah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Indonesia merupakan salah satu negara penghasil karet alam terbesar di dunia. Awal mulanya karet hanya ada di Amerika Selatan, namun sekarang sudah berhasil

Lebih terperinci

Gambar 2 Lokasi penelitian dan pohon contoh penelitian di blok Cikatomas.

Gambar 2 Lokasi penelitian dan pohon contoh penelitian di blok Cikatomas. 21 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Lapangan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam satu blok, yaitu di petak penelitian permanen teknologi penyadapan getah pinus (blok Cikatomas) dengan

Lebih terperinci

PEMBENTUKAN TANAH DAN PERSEBARAN JENIS TANAH. A.Pembentukan Tanah

PEMBENTUKAN TANAH DAN PERSEBARAN JENIS TANAH. A.Pembentukan Tanah PEMBENTUKAN TANAH DAN PERSEBARAN JENIS TANAH A.Pembentukan Tanah Pada mulanya, permukaan bumi tidaklah berupa tanah seperti sekarang ini. Permukaan bumi di awal terbentuknya hanyalah berupa batuan-batuan

Lebih terperinci

Batuan beku Batuan sediment Batuan metamorf

Batuan beku Batuan sediment Batuan metamorf Bagian luar bumi tertutupi oleh daratan dan lautan dimana bagian dari lautan lebih besar daripada bagian daratan. Akan tetapi karena daratan adalah bagian dari kulit bumi yang dapat kita amati langsung

Lebih terperinci

Gambar 9. Peta Batas Administrasi

Gambar 9. Peta Batas Administrasi IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Letak Geografis Wilayah Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat bagian Selatan pada koordinat 6 56'49'' - 7 45'00'' Lintang Selatan dan 107 25'8'' - 108 7'30'' Bujur

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 35 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Curah Hujan Data curah hujan yang terjadi di lokasi penelitian selama 5 tahun, yaitu Januari 2006 hingga Desember 2010 disajikan dalam Gambar 5.1. CH (mm) 600 500 400

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENAWARAN EKSPOR GONDORUKEM PERUM PERHUTANI. Oleh DIAH AYU RETNO ARIMBI A

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENAWARAN EKSPOR GONDORUKEM PERUM PERHUTANI. Oleh DIAH AYU RETNO ARIMBI A ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENAWARAN EKSPOR GONDORUKEM PERUM PERHUTANI Oleh DIAH AYU RETNO ARIMBI A 14105527 PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

VI. ANALISIS KELAYAKAN ASPEK NON FINANSIAL

VI. ANALISIS KELAYAKAN ASPEK NON FINANSIAL VI. ANALISIS KELAYAKAN ASPEK NON FINANSIAL 6.1 Aspek Pasar Aspek pasar merupakan aspek yang sangat penting dalam keberlangsungan suatu usaha. Aspek pasar antara lain mengkaji potensi pasar baik dari sisi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. dijadikan tanaman perkebunan secara besaar besaran, karet memiliki sejarah yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. dijadikan tanaman perkebunan secara besaar besaran, karet memiliki sejarah yang BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sejarah Karet Sejak pertama kali ditemukan sebagai tanaman yang tumbuh secara liar sampai dijadikan tanaman perkebunan secara besaar besaran, karet memiliki sejarah yang cukup

Lebih terperinci

PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS. Oleh MENDUT NURNINGSIH E

PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS. Oleh MENDUT NURNINGSIH E PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Oleh MENDUT NURNINGSIH E01400022 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN

Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pendirian Pabrik Indonesia merupakan suatu negara yang sangat subur dan kaya akan hasil pertanian serta perikanannya, selain hal tersebut Indonesia memiliki aset

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI JENIS-JENIS TANAH DI INDONESIA A. BAGAIMANA PROSES TERBENTUKNYA TANAH

IDENTIFIKASI JENIS-JENIS TANAH DI INDONESIA A. BAGAIMANA PROSES TERBENTUKNYA TANAH IDENTIFIKASI JENIS-JENIS TANAH DI INDONESIA A. BAGAIMANA PROSES TERBENTUKNYA TANAH Tanah adalah salah satu bagian bumi yang terdapat pada permukaan bumi dan terdiri dari massa padat, cair, dan gas. Tanah

Lebih terperinci

PENGARUH TEMPERATUR PADA PROSES PEMBUATAN ASAM OKSALAT DARI AMPAS TEBU. Oleh : Dra. ZULTINIAR,MSi Nip : DIBIAYAI OLEH

PENGARUH TEMPERATUR PADA PROSES PEMBUATAN ASAM OKSALAT DARI AMPAS TEBU. Oleh : Dra. ZULTINIAR,MSi Nip : DIBIAYAI OLEH PENGARUH TEMPERATUR PADA PROSES PEMBUATAN ASAM OKSALAT DARI AMPAS TEBU Oleh : Dra. ZULTINIAR,MSi Nip : 19630504 198903 2 001 DIBIAYAI OLEH DANA DIPA Universitas Riau Nomor: 0680/023-04.2.16/04/2004, tanggal

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 23 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Lokasi Penelitian Penelitian Pengaruh Penggunaan Stimulansia Organik dan ZPT terhadap Produktivitas Penyadapan Getah Pinus di Hutan Pendidikan Gunung Walat dilaksanakan

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik 4.1.1 Wilayah Administrasi Kota Bandung merupakan Ibukota Propinsi Jawa Barat. Kota Bandung terletak pada 6 o 49 58 hingga 6 o 58 38 Lintang Selatan dan 107 o 32 32 hingga

Lebih terperinci

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT. SARMIENTO PARAKANTJA TIMBER KALIMANTAN TENGAH Oleh : SUTJIE DWI UTAMI E 14102057 DEPARTEMEN MANAJEMEN

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Administrasi Kabupaten Bangka Tengah secara administratif terdiri atas Kecamatan Koba, Kecamatan Lubuk Besar, Kecamatan Namang, Kecamatan Pangkalan Baru, Kecamatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Indonesia menguasai ekspor pasar minyak sawit mentah dunia sebesar

BAB I PENDAHULUAN Indonesia menguasai ekspor pasar minyak sawit mentah dunia sebesar 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai negara agraris memiliki potensi pertanian yang cukup besar dan dapat berkontribusi terhadap pembangunan dan ekonomi nasional. Penduduk di Indonesia

Lebih terperinci

2.1 Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Timur A. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah

2.1 Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Timur A. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah 2.1 Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Timur A. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah Provinsi Kalimantan Timur dengan ibukota Samarinda berdiri pada tanggal 7 Desember 1956, dengan dasar hukum Undang-Undang

Lebih terperinci

Lampiran 4. Analisis Keragaman Retensi Bahan Pengawet Asam Borat

Lampiran 4. Analisis Keragaman Retensi Bahan Pengawet Asam Borat Lampiran 1. Kadar Air Kayu Sebelum Proses Pengawetan Kayu Berat Awal (gram) BKT (gram) Kadar Air (%) 1 185,8 165,2 12,46 2 187,2 166,8 12,23 3 173,4 152,3 13,85 Kadar Air Rata-rata 12,85 Lampiran 2. Kerapatan

Lebih terperinci

PRARANCANGAN PABRIK DIETIL ETER DARI ETANOL DENGAN PROSES DEHIDRASI KAPASITAS TON PER TAHUN

PRARANCANGAN PABRIK DIETIL ETER DARI ETANOL DENGAN PROSES DEHIDRASI KAPASITAS TON PER TAHUN LAPORAN TUGAS AKHIR PRARANCANGAN PABRIK DIETIL ETER DARI ETANOL DENGAN PROSES DEHIDRASI KAPASITAS 30.000 TON PER TAHUN Oleh : Rauna Rokhmatin D 500 050 002 Dosen Pembimbing : Ir. H. Haryanto A.R., MS.

Lebih terperinci

KERAGAAN KARAKTER PURWOCENG (Pimpinella pruatjan Molk.) HASIL INDUKSI MUTASI SINAR GAMMA DI TIGA LOKASI. Oleh Muhammad Yusuf Pulungan A

KERAGAAN KARAKTER PURWOCENG (Pimpinella pruatjan Molk.) HASIL INDUKSI MUTASI SINAR GAMMA DI TIGA LOKASI. Oleh Muhammad Yusuf Pulungan A KERAGAAN KARAKTER PURWOCENG (Pimpinella pruatjan Molk.) HASIL INDUKSI MUTASI SINAR GAMMA DI TIGA LOKASI Oleh Muhammad Yusuf Pulungan A34403065 PROGRAM STUDI PEMULIAAN TANAMAN DAN TEKNOLOGI BENIH FAKULTAS

Lebih terperinci

Prarancangan pabrik sikloheksana dari benzena Kapasitas ton/tahun BAB I PENDAHULUAN

Prarancangan pabrik sikloheksana dari benzena Kapasitas ton/tahun BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia sebagai negara berkembang sedang menggalakkan pembangunan di bidang industri. Dengan program alih teknologi, perkembangan industri di Indonesia khususnya industri

Lebih terperinci

STUDI AWAL TERHADAP IMPLEMENTASI TEKNOLOGI BIOGAS DI PETERNAKAN KEBAGUSAN, JAKARTA SELATAN. Oleh : NUR ARIFIYA AR F

STUDI AWAL TERHADAP IMPLEMENTASI TEKNOLOGI BIOGAS DI PETERNAKAN KEBAGUSAN, JAKARTA SELATAN. Oleh : NUR ARIFIYA AR F STUDI AWAL TERHADAP IMPLEMENTASI TEKNOLOGI BIOGAS DI PETERNAKAN KEBAGUSAN, JAKARTA SELATAN Oleh : NUR ARIFIYA AR F14050764 2009 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Karet alam dihasilkan dari tanaman karet (Hevea brasiliensis). Tanaman karet

II. TINJAUAN PUSTAKA. Karet alam dihasilkan dari tanaman karet (Hevea brasiliensis). Tanaman karet II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karet Alam Karet alam dihasilkan dari tanaman karet (Hevea brasiliensis). Tanaman karet termasuk tanaman tahunan yang tergolong dalam famili Euphorbiaceae, tumbuh baik di dataran

Lebih terperinci

PENGELOLAAN LIMBAH CAIR INDUSTRI KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) DI PT AGROWIYANA, TUNGKAL ULU, TANJUNG JABUNG BARAT, JAMBI

PENGELOLAAN LIMBAH CAIR INDUSTRI KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) DI PT AGROWIYANA, TUNGKAL ULU, TANJUNG JABUNG BARAT, JAMBI PENGELOLAAN LIMBAH CAIR INDUSTRI KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) DI PT AGROWIYANA, TUNGKAL ULU, TANJUNG JABUNG BARAT, JAMBI Oleh PUGUH SANTOSO A34103058 PROGRAM STUDI AGRONOMI FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

KAYULAPIS Teknologi dan Sertifikasi sebagai Produk Hijau

KAYULAPIS Teknologi dan Sertifikasi sebagai Produk Hijau KAYULAPIS Teknologi dan Sertifikasi sebagai Produk Hijau Penulis: : Prof. Ir. Tibertius Agus Prayitno, MFor., PhD. Edisi Pertama Cetakan Pertama, 2012 Hak Cipta 2012 pada penulis, Hak Cipta dilindungi

Lebih terperinci

JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA TUGAS AKHIR PRARANCANGAN PABRIK FURFURAL DARI TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT KAPASITAS 20.000 TON/TAHUN Oleh : Yosephin Bening Graita ( I 0509043 ) JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SEBELAS

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM WILAYAH

IV. KONDISI UMUM WILAYAH 29 IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Kondisi Geografis dan Administrasi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 50-7 50 LS dan 104 48-104 48 BT dengan batas-batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan

Lebih terperinci

KADAR AIR TITIK JENUH SERAT BEBERAPA JENIS KAYU PERDAGANGAN INDONESIA ARIF RAKHMAN HARIJADI

KADAR AIR TITIK JENUH SERAT BEBERAPA JENIS KAYU PERDAGANGAN INDONESIA ARIF RAKHMAN HARIJADI KADAR AIR TITIK JENUH SERAT BEBERAPA JENIS KAYU PERDAGANGAN INDONESIA ARIF RAKHMAN HARIJADI DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 KADAR AIR TITIK JENUH SERAT BEBERAPA

Lebih terperinci

LEMBAR KERJA SISWA. No Jenis Tanah Jenis tanaman Pemanfaatannya

LEMBAR KERJA SISWA. No Jenis Tanah Jenis tanaman Pemanfaatannya LEMBAR KERJA SISWA KELOMPOK :. Nama Anggota / No. Abs 1. ALFINA ROSYIDA (01\8.6) 2.. 3. 4. 1. Diskusikan tabel berikut dengan anggota kelompok masing-masing! Petunjuk : a. Isilah kolom dibawah ini dengan

Lebih terperinci

AREN (Arenga pinnata MERR)

AREN (Arenga pinnata MERR) AREN (Arenga pinnata MERR) Aren (Arenga pinnata MERR) adalah tanaman perkebunan yang sangat potensial untuk mengatasi kekurangan pangan. Tanaman ini mudah beradaptasi pada berbagai agroklimat, mulai dari

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN TANAMAN NYAMPLUNG (CALOPHYLLUM INOPHYLLUM L) Oleh H. Marthias Dawi

PENGEMBANGAN TANAMAN NYAMPLUNG (CALOPHYLLUM INOPHYLLUM L) Oleh H. Marthias Dawi PENGEMBANGAN TANAMAN NYAMPLUNG (CALOPHYLLUM INOPHYLLUM L) Oleh H. Marthias Dawi Sekilas Tanaman Nyamplung Nyamplung (Calophyllum inophyllum) Merupakan jenis pohon dari famili Guttiferae. Tinggi mencapai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Biji Kemiri Sumber : Wikipedia, Kemiri (Aleurites moluccana) merupakan salah satu tanaman tahunan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Biji Kemiri Sumber : Wikipedia, Kemiri (Aleurites moluccana) merupakan salah satu tanaman tahunan yang 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kemiri Gambar 1. Biji Kemiri Sumber : Wikipedia, 2016 Kemiri (Aleurites moluccana) merupakan salah satu tanaman tahunan yang termasuk dalam famili Euphorbiaceae (jarak-jarakan).

Lebih terperinci

Proses Pembuatan Biodiesel (Proses Trans-Esterifikasi)

Proses Pembuatan Biodiesel (Proses Trans-Esterifikasi) Proses Pembuatan Biodiesel (Proses TransEsterifikasi) Biodiesel dapat digunakan untuk bahan bakar mesin diesel, yang biasanya menggunakan minyak solar. seperti untuk pembangkit listrik, mesinmesin pabrik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penghasil devisa negara, penyedia lapangan kerja serta mendorong pengembangan

BAB I PENDAHULUAN. penghasil devisa negara, penyedia lapangan kerja serta mendorong pengembangan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kakao merupakan salah satu komoditas andalan perkebunan yang memegang peranan cukup penting dalam perekonomian Indonesia, yakni sebagai penghasil devisa negara, penyedia

Lebih terperinci

GAMBARAN WILAYAH PEGUNUNGAN KENDENG

GAMBARAN WILAYAH PEGUNUNGAN KENDENG 101 GAMBARAN WILAYAH PEGUNUNGAN KENDENG Wilayah Pegunungan Kendeng merupakan bagian dari Kabupaten Pati dengan kondisi umum yang tidak terpisahkan dari kondisi Kabupaten Pati. Kondisi wilayah Pegunungan

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI. Gambaran Umum Kabupaten Cirebon

KONDISI UMUM LOKASI. Gambaran Umum Kabupaten Cirebon KONDISI UMUM LOKASI Gambaran Umum Kabupaten Cirebon Letak Administrasi Kabupaten Cirebon Kabupaten Cirebon merupakan salah satu wilayah yang terletak di bagian timur Propinsi Jawa Barat. Selain itu, Kabupaten

Lebih terperinci

UJI COBA ALAT PENYULINGAN DAUN CENGKEH MENGGUNAKAN METODE AIR dan UAP KAPASITAS 1 kg

UJI COBA ALAT PENYULINGAN DAUN CENGKEH MENGGUNAKAN METODE AIR dan UAP KAPASITAS 1 kg UJI COBA ALAT PENYULINGAN DAUN CENGKEH MENGGUNAKAN METODE AIR dan UAP KAPASITAS 1 kg Nama : Muhammad Iqbal Zaini NPM : 24411879 Jurusan : Teknik Mesin Fakultas : Teknologi Industri Pembimbing : Dr. Cokorda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pra Rancangan Pabrik Pembuatan Bio Oil Dengan Bahan Baku Tandan Kosong Kelapa Sawit Melalui Proses Pirolisis Cepat

BAB I PENDAHULUAN. Pra Rancangan Pabrik Pembuatan Bio Oil Dengan Bahan Baku Tandan Kosong Kelapa Sawit Melalui Proses Pirolisis Cepat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Selama ini Indonesia menggunakan BBM (Bahan Bakar Minyak) sebagai sumber daya energi primer secara dominan dalam perekonomian nasional.pada saat ini bahan bakar minyak

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur kerja analisa bahan organik total (TOM) (SNI )

Lampiran 1. Prosedur kerja analisa bahan organik total (TOM) (SNI ) 41 Lampiran 1. Prosedur kerja analisa bahan organik total (TOM) (SNI 06-6989.22-2004) 1. Pipet 100 ml contoh uji masukkan ke dalam Erlenmeyer 300 ml dan tambahkan 3 butir batu didih. 2. Tambahkan KMnO

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum tentang Pinus 2.1.1. Habitat dan Penyebaran Pinus di Indonesia Menurut Martawijaya et al. (2005), pinus dapat tumbuh pada tanah jelek dan kurang subur, pada tanah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. non kayu diantaranya adalah daun, getah, biji, buah, madu, rempah-rempah, rotan,

BAB I PENDAHULUAN. non kayu diantaranya adalah daun, getah, biji, buah, madu, rempah-rempah, rotan, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hasil hutan non kayu merupakan hasil hutan dimana produk yang diambil bukan kayu atau hasilnya bukan berasal dari penebangan pohon. Produk hasil hutan non kayu diantaranya

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN PERBANDINGAN MASSA ALUMINIUM SILIKAT DAN MAGNESIUM SILIKAT Tahapan ini merupakan tahap pendahuluan dari penelitian ini, diawali dengan menentukan perbandingan massa

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN Tinjauan Pustaka Agronomi Tanaman Kelapa Sistematika tanaman kelapa: Kingdom : Plantae Divisio : Spermatophyta Sub divisio : Angiospermae Kelas :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Komoditi hortikultura dalam negara agraris seperti Indonesia sangat besar,

BAB I PENDAHULUAN. Komoditi hortikultura dalam negara agraris seperti Indonesia sangat besar, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Komoditi hortikultura dalam negara agraris seperti Indonesia sangat besar, hal ini disebabkan cakupan komoditi hortikultura yang luas serta didukung oleh faktor alam

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. nabati lebih dari 5 %. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)

I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. nabati lebih dari 5 %. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peraturan Presiden No 5 tahun 2006 menyatakan bahwa pada tahun 2025 ditargetkan tercapai komposisi sumber energi yang optimal dengan bahan bakar nabati lebih dari 5 %.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gambir (Uncaria gambir Roxb.) merupakan salah satu komoditas perkebunan yang memiliki nilai ekonomi cukup tinggi serta memiliki prospek yang baik bagi petani maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan industri merupakan sebuah proses berkelanjutan sebagai salah

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan industri merupakan sebuah proses berkelanjutan sebagai salah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pendirian Pabrik Pembangunan industri merupakan sebuah proses berkelanjutan sebagai salah satu bagian dalam upaya mencapai ketahanan nasional, menciptakan struktur

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yang dilakukan secara eksperimental laboratorium. B. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Fakultas

Lebih terperinci

ANALISIS NILAI TAMBAH DAN PROFITABILITAS PRODUK GONDORUKEM DAN TERPENTIN

ANALISIS NILAI TAMBAH DAN PROFITABILITAS PRODUK GONDORUKEM DAN TERPENTIN ANALISIS NILAI TAMBAH DAN PROFITABILITAS PRODUK GONDORUKEM DAN TERPENTIN (Studi Kasus Di PGT. Sindangwangi, KBM Industri Kayu dan Non Kayu Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten) AGUNG SEDAYU YUSWANDI

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 63 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Fisik Daerah Penelitian Berdasarkan Badan Pusat Statistik (2011) Provinsi Lampung meliputi areal dataran seluas 35.288,35 km 2 termasuk pulau-pulau yang

Lebih terperinci

1.1. UMUM. Statistik BPKH Wilayah XI Jawa-Madura Tahun

1.1. UMUM. Statistik BPKH Wilayah XI Jawa-Madura Tahun 1.1. UMUM 1.1.1. DASAR Balai Pemantapan Kawasan Hutan adalah Unit Pelaksana Teknis Badan Planologi Kehutanan yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 6188/Kpts-II/2002, Tanggal 10

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. diolah menjadi produk antara berupa aluminium sulfat. Aluminium sulfat termasuk dalam heavy chemical industy yang memegang

I. PENDAHULUAN. diolah menjadi produk antara berupa aluminium sulfat. Aluminium sulfat termasuk dalam heavy chemical industy yang memegang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendirian Pabrik Proses industrialisasi ditandai dengan banyaknya pabrik yang berdiri disuatu tempat. Selain dapat menyerap tenaga kerja juga dapat menambah pendapatan

Lebih terperinci

PEMODELAN SISTEM. Pendekatan Sistem. Analisis Sistem

PEMODELAN SISTEM. Pendekatan Sistem. Analisis Sistem 76 PEMODELAN SISTEM Pendekatan Sistem Analisis Sistem Sistem Rantai Pasok Agroindustri Minyak Nilam secara garis besar terdiri dari 3 (tiga) level pelaku utama, yaitu: (1) usahatani nilam, (2) industri

Lebih terperinci

Proceeding Lokakarya Nasional Pemberdayaan Potensi Keluarga Tani Untuk Pengentasan Kemiskinan, 6-7 Juli 2011

Proceeding Lokakarya Nasional Pemberdayaan Potensi Keluarga Tani Untuk Pengentasan Kemiskinan, 6-7 Juli 2011 STUDI KELAYAKAN PENDIRIAN UNIT PENGOLAHAN GULA SEMUT DENGAN PENGOLAHAN SISTEM REPROSESING PADA SKALA INDUSTRI MENENGAH DI KABUPATEN BLITAR Arie Febrianto M Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak, Luas dan Batas Wilayah Penelitian. Kabupaten Kuningan terletak di bagian timur Jawa Barat dengan luas

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak, Luas dan Batas Wilayah Penelitian. Kabupaten Kuningan terletak di bagian timur Jawa Barat dengan luas III. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak, Luas dan Batas Wilayah Penelitian Kabupaten Kuningan terletak di bagian timur Jawa Barat dengan luas wilayah Kabupaten Kuningan secara keseluruhan mencapai 1.195,71

Lebih terperinci

PRARANCANGAN PABRIK N-BUTIL OLEAT DARI ASAM OLEAT DAN N-BUTANOL KAPASITAS TON / TAHUN

PRARANCANGAN PABRIK N-BUTIL OLEAT DARI ASAM OLEAT DAN N-BUTANOL KAPASITAS TON / TAHUN PRARANCANGAN PABRIK N-BUTIL OLEAT DARI ASAM OLEAT DAN N-BUTANOL KAPASITAS 20.000 TON / TAHUN Disusun Oleh : Eka Andi Saputro ( I 0511018) Muhammad Ridwan ( I 0511030) PROGRAM STUDI SARJANA TEKNIK KIMIA

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN * Keterangan : *Angka ramalan PDB berdasarkan harga berlaku Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2010) 1

I PENDAHULUAN * Keterangan : *Angka ramalan PDB berdasarkan harga berlaku Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2010) 1 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN Sektor pertanian terdiri dari beberapa sub sektor, yaitu tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan, dimana keempat sub sektor tersebut mempunyai peranan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penghasil minyak atsiri yang cukup penting, dikenal dengan nama Patchauly Oil,

BAB I PENDAHULUAN. penghasil minyak atsiri yang cukup penting, dikenal dengan nama Patchauly Oil, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanaman nilam (Pogostemon Cablin Benth) merupakan salah satu tanaman penghasil minyak atsiri yang cukup penting, dikenal dengan nama Patchauly Oil, dihasilkan oleh

Lebih terperinci

PENDAHULUAN PENGOLAHAN NILAM 1

PENDAHULUAN PENGOLAHAN NILAM 1 PENDAHULUAN Minyak nilam berasal dari tanaman nilam (Pogostemon cablin Benth) merupakan salah satu komoditi non migas yang belum dikenal secara meluas di Indonesia, tapi cukup popular di pasaran Internasional.

Lebih terperinci