BAB V KEMITRAAN DALAM PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF DI KOTA YOGYAKARTA. Bab ini menguraikan sekaligus menganalisa data yang didapatkan peneliti

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB V KEMITRAAN DALAM PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF DI KOTA YOGYAKARTA. Bab ini menguraikan sekaligus menganalisa data yang didapatkan peneliti"

Transkripsi

1 BAB V KEMITRAAN DALAM PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF DI KOTA YOGYAKARTA Bab ini menguraikan sekaligus menganalisa data yang didapatkan peneliti di lapangan untuk memahami bagaimana kemitraan pemerintah-swasta dalam menyelenggarakan pendidikan inklusif di Kota Yogyakarta, yang dielaborasi berdasarkan empat dimensi: adanya tujuan yang sama yang melatarbelakangi pelaksanaan kemitraan, adanya pembagian peran, penyatuan sumberdaya, dan upaya pemecahan masalah bersama. 5.1 Tujuan Penyelenggaraan Kemitraan Aspek pertama yang dieksplorasi untuk memahami kemitraan pemerintahswasta dalam menyelenggarakan pendidikan inklusif di Kota Yogyakarta adalah adanya tujuan yang sama yang melatarbelakangi masing-masing aktor menyelenggarakan kemitraan. Tujuan masing-masing aktor menyelenggarakan kemitraan tersebut, erat kaitannya dengan tujuan masing-masing aktor menyelenggarakan pendidikan inklusif. Maksud pemerintah Kota Yogyakarta menyelenggarakan pendidikan inklusif dapat dilihat dalam Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 47 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif, Pasal 2 yang berbunyi 83

2 maksud penyelenggaraan pendidikan inklusi adalah menyelenggarakan pelayanan pendidikan melalui proses pembelajaran yang memadai bagi peserta didik yang berlatarbelakang dan berkebutuhan berbeda-beda dalam suatu satuan pendidikan. Sementara, tujuan penyelenggaraan pendidikan inklusif, sebagaimana tertuang dalam Pasal 3 pada peraturan perundangan yang sama, adalah (1) terpenuhinya hak atas pendidikan yang layak dan memberikan akses seluasluasnya bagi semua anak termasuk anak berkebutuhan khusus, (2) terwujudnya pemerataan penyelenggaraan sistem pembelajaran yang layak dan berkualitas sesuai dengan kondisi, potensi dan kebutuhan individu siswa, serta (3) terwujudnya pembentukan manusia sosial yang menjadi bagian integral dalam keluarga, masyarakat dan bangsa. Dalam peraturan tersebut, jelas bahwa tujuan Pemerintah Kota Yogyakarta menyelenggarakan pendidikan inklusif yakni untuk mewujudkan pemerataan pendidikan, mewujudkan pendidikan untuk semua, dalam rangka membentuk masyarakat inklusif. Maksud dan tujuan tersebut nampaknya cukup dipahami oleh Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta selaku pihak yang mengimplementasikan teknis penyelenggaraan pendidikan inklusi. Setidaknya hal tersebut sesuai dengan pernyataan Kepala Sie Manajemen Sekolah, Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta, yang berperan besar dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di Kota Yogyakarta. Jadi kami memang punya prinsip pelayanan, Mas. Artinya pelayanan publik dalam bidang pendidikan. Sehingga orientasi kami, itu sebetulnya bukan membuat sistem pendidikan inklusif, bukan. Kalau itu ada anak ABK itu maka harus kita layani karena 84

3 dia juga anak bangsa, sama seperti kita, kita juga adalah pegawaipegawai pemerintah dimana salah satu tugasnya adalah melayani mereka. Itu fungsi utama yang pertama. Jadi tidak boleh memilihmilih, siswa ini harus yang baik-baik, nggak. Jadi semua siswa itu harus bisa diterima di semua sekolah dimanapun dia dekat, itu prinsipnya. Kemudian yang kedua, ketika tahun 2008 pemerintah belum mencanangkan mengenai pendidikan inklusif, itu pemerintah Yogya sudah memikirkan itu. Perwal kita tentang pendidikan inklusif itu Permen no. 70 tentang pendidikan inklusif itu Sehingga 2008 kita sudah melaksanakannya, 2009 kita sudah menyusun Juknisnya dari Perwal itu kita susun Juknis kita sebarkan ke sekolah, kita punya kewajiban melayani anak-anak itu. (Aris Widodo, Kepala Sie Manajemen Sekolah Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta, 11 Juli 2014) Sedangkan, tujuan sekolah swasta menyelenggarakan pendidikan inklusif, dapat diketahui dari pernyataan mantan Kepala Sekolah SMK BOPKRI 2 Yogyakarta, yakni:...karena visi kita bahwa kita menanamkan kasih untuk semua anak, semua siswa baik itu mempunyai kebutuhan khusus ataupun tidak. Itu awalnya. Tentu saja kita menerapkan ini sudah lama ya, sudah jauh sekali dulu. Sekitar tahun 2000an mungkin ya. (Christiana Triwulan, Koordinator Sie Hubungan Masyarakat SMK BOPKRI 2 Yogyakarta, 17 September 2014) Pernyataan diatas, setidaknya menyatakan bahwa SMK BOPKRI 2 Yogyakarta menganggap dengan menyelenggarakan pendidikan inklusif merupakan bentuk kepedulian mereka terhadap sesama, terutama bagi difabel agar memperoleh pendidikan yang lebih baik, dalam rangka membentuk potensi siswa. Hal senada juga diutarakan Ahmad Djam an, Kepala Sekolah di SMA Muhammadiah 4 Yogyakarta: Bentuk layanan pendidikan yang paling manusiawi bagi anak berkebutuhan khusus adalah pendidikan inklusif yaitu suatu sistem pendidikan yang menyertakan semua anak dalam satu iklim dan proses pembelajaran bersama dengan layanan pendidikan yang 85

4 layak dan sesuai kebutuhan individu siswa tanpa membedakan anak berasal dari latar belakang dari suku manapun, baik suku maupun warna kulit, kondisi sosial, kemampuan ekonomi, politik, bahasa, geografis, jenis kelamin, maupun agama/kepercayaan. (Ahmad Djam an, Kepala Sekolah SMA Muhammadiah 4 Yogyakarta, 1 September 2014) Jika dilihat dari nilai akreditasi sekolah, sekolah penyelenggara pendidikan inklusif di Kota Yogyakarta pada level sekolah menengah atas, didominasi oleh sekolah swasta yang cenderung bukan unggulan pertama. Artinya, jumlah murid yang mendaftarkan diri di sekolah tersebut cenderung lebih sedikit dari sekolah swasta yang merupakan swasta unggulan. Bagi sekolah swasta, dalam menyelenggarakan pendidikan, tidak dipungkiri harus mengusahakan pemasukan anggaran yang tidak sedikit untuk operasional penyelenggaraan pendidikan. Sehingga mau tidak mau, sekolah harus mencari murid hingga biaya operasional sekolah tersebut dapat terpenuhi. Bagi SMK BOPKRI 2 Yogyakarta dan SMA Muhammadiah 4 Yogyakarta sendiri, kuota jumlah minimal siswa per kelas memang terpenuhi, namun selama ini baik SMK BOPKRI 2 Yogyakarta maupun SMA Muhammadiah 4 Yogyakarta, belum pernah menolak ABK maupun non- ABK yang mendaftarkan diri ke sekolah. Hal di atas dapat menjadi salah satu indikasi bahwa sekolah menerima ABK yang mendaftar karena memang membutuhkan murid agar biaya operasional sekolah terpenuhi. SMK BOPKRI 2 Yogyakarta bahkan secara terang-terangan mengakui hal tersebut. Kita nggak pernah mengadakan seleksi mas. Jadi kuota kita tidak pernah terpenuhi, biasanya setiap tahun itu kita kuotanya 3 kelas ya. 3 kelas kalau kemarin satu kelas 36, sekarang kan nggak boleh 86

5 ya, jadi satu kelas 32. Ya kudune 32 kali 3 itu 96, ini aja tahun ini kita cuma dapat 37, dengan segala macam siswa. Kalau kita nggak mau terima mereka ya ndak punya murid. Mau sekolah e bubar? Kalau saya ada guru yang ngeluh siswa kok bodo-bodo, saya jawab gitu mas. (Rusmiati, guru BK/GPK SMK BOPKRI 2 Yogyakarta, 17 Juli 2014) Berdasarkan pernyataan diatas, diketahui bahwa selain untuk memberikan kesempatan akses yang lebih luas bagi difabel untuk mengenyam pendidikan, terdapat sekolah yang menerima ABK karena membutuhkan murid. Disatu sisi, sekolah swasta penyelenggara pendidikan inklusif menerima ABK karena membutuhkan murid sekaligus pemasukan sekolah untuk biaya operasional sekolah, namun untuk memenuhi kebutuhan khusus ABK tersebut, sekolah masih kurang mampu. Disisi lain, pemerintah Kota Yogyakarta memiliki akses terhadap anggaran, karena sesuai peraturan pemerintah wajib mengakomodasi kebutuhan ABK untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas. Sementara, ABK yang menjadi tanggung-jawab pemerintah tersebut, terdapat di sekolah-sekolah swasta. Perlu diketahui, di Kota Yogyakarta, ABK yang menempuh pendidikan reguler cenderung tersebar di sekolah swasta karena dilatarbelakangi beberapa faktor yakni nilai siswa, kesesuaian keyakinan agama, faktor jarak dengan tempat tinggal, kenyamanan siswa, maupun siswa mengikuti teman sesama difabel yang pernah bersekolah di sekolah swasta. 1 Dalam posisi demikian, baik Pemerintah Kota Yogyakarta ataupun sekolah swasta, dalam hal ini diwakili SMK BOPKRI 2 Yogyakarta dan SMA 1 Purwadi. Kepala Sie Pendidikan Luar Biasa, Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Daerah Istimewa Yogyakarta. Wawancara hari Kamis, 10 Juli 2014 pukul WIB 87

6 Muhammadiah 4 Yogyakarta, kemudian berinisiatif untuk melakukan kerjasama untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif....kebanyakan sebenarnya anak-anak berkebutuhan khusus itu banyaknya di swasta, Mas ya. Sehingga ketika mereka kita wadahi, kita biayai, artinya kita fasilitasi, itu mereka seneng. (Aris Widodo, Kepala Sie Manajemen Sekolah Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta, 11 Juli 2014)...mengembangkan inklusi untuk swasta itu lebih mudah, karena mereka lebih fleksibel itu satu, mereka tidak takut nilainya jelek. Jadi sama swasta itu relatif lebih mudah. Kalau swasta itu sudah suka, ya konsisten dia. Mereka itu tidak terbebani, dan mereka itu bisa berjalan karena ngopeni, maaf ya, anak-anak yang nggak pinter-pinter banget, kalau anak-anak yang pinter kan pasti milihnya sekolahan favorit. Kemudian yang koretannya itu nanti masuk ke sekolah swasta. Sehingga gudangnya ABK itu kebanyakan ya disekolah swasta. Sekolahan swasta yang bisa dibilang tidak begitu bagus, ABK-nya jauh lebih banyak lagi. Karena itu ya anak-anak dari kalangan miskin, ya yang terpinggirkan, lambat belajar, itu biasanya ngumpul disitu. (Aris Widodo, Kepala Sie Manajemen Sekolah Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta, 16 Juli 2014) Dilihat berdasarkan tujuannya tersebut, kerjasama antara pemerintah Kota Yogyakarta dengan sekolah swasta dalam menyelenggarakan pendidikan inklusif dapat dikatakan memiliki hubungan timbal balik yang saling menguntungkan. Sekolah swasta diuntungkan karena mendapatkan dukungan sumberdaya, sedangkan pemerintah Kota Yogyakarta diuntungkan karena sekolah swasta mau memberikan pendidikan bagi ABK dalam metode pembelajaran inklusif. Namun demikian, kerjasama antara pemerintah Kota Yogyakarta dengan sekolah swasta dalam menyelenggarakan pendidikan inklusif tersebut belum dapat dikatakan terjadi penyatuan tujuan. Tujuan kerjasama yang saling menguntungkan saja, tidak jauh berbeda dengan kerjasama pemerintah-swasta misalnya dalam 88

7 proyek pembangunan infrastruktur tertentu, yang juga tidak akan terjadi jika kedua belah pihak merasa tidak diuntungkan. Disatu sisi pemerintah diuntungkan karena agendanya terselesaikan, disisi lain, swasta diuntungkan oleh profit. Sebagaimana dipaparkan oleh Lienhard (lihat hal.32), salah satu kriteria kemitraan yang mencirikan kerjasama yang bersifat kolaboratif, adalah kerjasama dilaksanakan untuk mencapai tujuan bersama, yang mana tujuan bersama tersebut diindikasikan dengan adanya tujuan yang selaras, sehingga hubungan yang terjadi bersifat mutualisme atau saling menguntungkan. 2 Dalam konteks kemitraan pemerintah-swasta dalam penyelengaraan pendidikan inklusif di Kota Yogyakarta, visi bersama ini seharusnya diwujudkan dengan adanya komitmen baik dari pemerintah Kota Yogyakarta maupun sekolah swasta untuk benar-benar menciptakan pemerataan pendidikan bagi ABK. Tujuan Pemerintah Kota Yogyakarta dengan SMK BOPKRI 2 Yogyakarta maupun SMA Muhammadiah 4 Yogyakarta dalam menyelenggarakan pendidikan inklusif di Kota Yogyakarta yang telah dipaparkan sebelumnya, jelas berbeda dengan aspek penyatuan tujuan seperti dikonsepsikan oleh Lienhard karena belum ditemukan adanya tujuan yang selaras antar aktor dalam kerjasama. Sehingga, kerjasama antara pemerintah dengan sekolah swasta dalam menyelenggarakan pendidikan inklusif di Kota Yogyakarta belum dapat dikatakan terjadi penyatuan tujuan. 2 Lienhard, Andreas Public-Private Partnerships (PPPs) in Switzerland: Experiences- Risks-Potentials. International Review of Administrative Sciences, Vol. 72(4): Hal

8 Belum adanya penyatuan tujuan dalam kerjasama antara Pemerintah Kota Yogyakarta dengan sekolah swasta penyelenggara pendidikan inklusif dalam menyelenggarakan pendidikan inklusif di Kota Yogyakarta, tentu dapat menghambat terwujudnya pendidikan yang semakin berkualitas bagi ABK di Kota Yogyakarta. Dikatakan dapat menghambat terwujudnya pendidikan yang semakin berkualitas bagi ABK disebabkan sekolah penyelenggara pendidikan inklusif bisa saja hanya menerima ABK namun tanpa diiringi penyesuaianpenyesuaian agar ABK dapat mengikuti pembelajaran secara maksimal atau penyesuaian telah dilakukan tetapi hanya minimalis, dikarenakan pada dasarnya tujuan sekolah swasta menyelenggarakan pendidikan inklusif cenderung hanya untuk memenuhi kepentingannya sendiri saja. Selain itu, tidak menutup kemungkinan suatu saat sekolah akan menolak ABK karena kepentingannya telah terpenuhi, sehingga sekolah tersebut tidak lagi terakses bagi ABK. 5.2 Pembagian Peran Kemitraan yang menggambarkan kerjasama yang bersifat kolaboratif menuntut adanya pembagian peran antar pihak-pihak yang terlibat dalam kerjasama. Masing-masing pihak yang terlibat dalam kemitraan pemerintahswasta bertanggung-jawab terhadap peran yang dijalankannya untuk mencapai tujuan bersama yang dicita-citakan. Pembagian peran yang dimaksudkan dalam kemitraan pemerintah-swasta, bukan hanya permasalahan bagaimana peran yang dijalankan masing-masing pihak, namun keberimbangannya juga harus 90

9 diperhatikan mengingat posisi aktor-aktor yang terlibat dalam kerjasama seharusnya setara dan otonom, tidak ada pihak yang membawahi pihak yang lain. Sebelum lebih jauh melihat pembagian peran antara pemerintah dengan sekolah swasta penyelenggara pendidikan inklusif di Kota Yogyakarta, perlu dijelaskan diawal bahwa pemerintah, yang meliputi pemerintah pusat, provinsi, dan kota, masing-masing memiliki dan menjalankan perannya masing-masing dengan batasan yang jelas. Secara singkat dapat dijelaskan, Pemerintah Kota Yogyakarta bertanggung-jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusif di Kota Yogyakarta. Pemerintah Kota Yogyakarta memiliki kewenangan untuk menjalankan kebijakan pendidikan inklusif dengan memaksimalkan potensipotensi yang ada di Kota Yogyakarta, sebagaimana diatur melalui otonomi daerah. Sebagaimana diatur dalam otonomi daerah pula, Pemerintah Provinsi DIY tidak memiliki kapasitas untuk mengatur langsung sekolah-sekolah penyelenggara pendidikan inklusif yang merupakan tanggung-jawab Pemerintah Kota Yogyakarta, sehingga peran Pemerintah DIY cenderung mengatur dan mengawasi pelaksanaan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Kota Yogyakarta melalui Pemerintah Kota Yogyakarta, dengan tanggung-jawab yang terbatas yakni membantu Pemerintah Kota Yogyakarta dalam menyelenggarakan pendidikan inklusif yang mana salah satu yang paling pokok adalah membantu tersedianya sumber daya untuk pendidikan inklusif. Begitu pula dengan peran yang dijalankan pemerintah pusat, yakni mengatur dan mengawasi pelaksanaan penyelenggaraan pendidikan inklusif di 91

10 Kota Yogyakarta melalui Pemerintah DIY sebagai institusi dibawahnya. Dengan demikian, masing-masing aktor dalam pemerintah memiliki perannya sendirisendiri secara tegas, dengan sistem pengawasan yang berjenjang. Pemerintah Kota Yogyakarta bertanggung-jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusif di Kota Yogyakarta, Pemerintah DIY mengawasi penyelenggaraan pendidikan inklusif oleh Pemerintah Kota Yogyakarta, dan pemerintah pusat mengawasi Pemerintah DIY. Sehingga, baik pemerintah pusat maupun Pemerintah DIY memiliki tanggung-jawab sebatas membantu penyelenggaraan pendidikan inklusif di Kota Yogyakarta. Oleh karena itu, pembahasan pembagian peran pada sub-bab ini cenderung diarahkan untuk menelaah peran yang dijalankan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta dan sekolah swasta penyelenggara pendidikan inklusif di Kota Yogyakarta dalam menyelenggarakan pendidikan inklusif. Untuk memahami pembagian peran antara Pemerintah Kota Yogyakarta dan sekolah swasta dalam menyelenggarakan pendidikan inklusif, ditelaah dengan melihat tugas, tanggung-jawab, dan wewenang baik pemerintah maupun sekolah swasta penyelenggara pendidikan inklusif di Kota Yogyakarta. Secara garis besar, peran pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan inklusif di Kota Yogyakarta yakni sebagai regulator, yang mengatur, membina, mengawasi, dan mengevaluasi penyelenggaraan pendidikan inklusif, sementara sekolah swasta berperan sebagai penyelenggara teknis kebijakan pendidikan inklusif di Kota Yogyakarta. 92

11 Tugas, tanggung-jawab, dan wewenang baik pemerintah maupun sekolah swasta penyelenggara pendidikan inklusif, telah diatur dalam beberapa peraturan dari tingkat nasional hingga kota/kabupaten. Untuk memudahkan memahami peran Pemerintah Kota Yogyakarta dan sekolah swasta penyelenggara pendidikan inklusif dalam menyelenggarakan pendidikan inklusif di Kota Yogyakarta, berikut disajikan tabel berisi tugas, tanggung-jawab, dan wewenang hasil analisis dan olah data penulis berdasarkan peraturan mulai dari tingkat nasional, hingga kabupaten/kota, yang meliputi Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa, Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta No. 21 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif, Peraturan Walikota Yogyakarta No. 47 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif, serta Surat Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta No. 188/661 tentang Penetapan Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusi Kota Yogyakarta: Tabel 5.1 Tugas, Tanggung-jawab, dan Wewenang Pemerintah Yogyakarta dalam Menyelenggarakan Pendidikan Inklusif Tugas Tanggung-jawab Wewenang 1. Menyelenggarakan 1. Memberikan ijin pendidikan inklusif kepada satuan sesuai dengan pendidikan yang kebutuhan peserta menyelenggarakan didik pada setiap pendidikan inklusi. jenjang dan jalur pendidikan. 1. Melaksanakan pembinaan pelaksanaan teknis penyelenggaraan pendidikan inklusif. 2. Melaksanakan pengawasan pelaksanaan teknis penyelenggaraan 2. Memfasilitasi penyediaan tenaga pendidik dan tenaga 2. Memberikan pembinaan terkait manajemen berbasis sekolah berperspektif inklusi kepada 93

12 pendidikan inklusif. 3. Melaksanakan evaluasi pelaksanaan teknis penyelenggaraan pendidikan inklusif. kependidikan pendidikan inklusif. 3. Menyediakan sarana prasarana pendidikan inklusif 4. Menyediakan pembiayaan pendidikan inklusif 5. Melaksanakan evaluasi program atas penyelenggaraan pendidikan inklusi di sekolah. sekolah penyelenggara pendidikan inklusi. 3. Membentuk Pusat Sumber pendidikan inklusif. 4. Menyertakan guru reguler pada program pelatihan, melaksanakan program sertifikasi pendidikan khusus, menyelenggarakan studi lanjut program pendidikan khusus, dan menyelenggarakan program pengembangan kompetensi lainnya dalam rangka memfasilitasi penyediaan tenaga pendidik. 5. Melaksanakan kerjasama dengan instansi/lembaga yang berkompeten baik didalam/diluar negeri dalam menyelenggarakan peningkatan kualifikasi dan pengembangan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan. Sumber: Hasil olah data sekunder berdasarkan peraturan tingkat nasional hingga kota/kab yang mengatur penyelenggaraan pendidikan inklusif di Kota Yogyakarta tahun

13 Tabel 5.2 Tugas, Tanggung-jawab, dan Wewenang Sekolah Swasta dalam 1. Menyelenggarakan pendidikan inklusi di sekolah masingmasing. 2. Menyelenggarakan pembelajaran yang ramah dan terbuka terhadap ABK. 3. Melaksanakan kerjasama dengan stakeholder pendidikan inklusi untuk meningkatkan pelayanan kepada ABK disekolah. 4. Melakukan rujukan ke instansi yang kompeten bila terjadi kesulitan dalam proses pemberian layanan pembelajaran maupun layanan perilaku bagi ABK disekolah. Menyelenggarakan Pendidikan Inklusif Tugas Tanggung-jawab Wewenang 1. Menerima siswa tanpa membedakan latar belakang sosial, ekonomi, politik, suku, bahasa, jenis kelamin, agama/kepercayaan, serta perbedaan kondisi fisik maupun mental. 2. Memprioritaskan penerimaan peserta didik yang berkebutuhan khusus yang tempat tinggalnya dekat dengan satuan pendidikan yang bersangkutan. 3. Melaksanakan pengelolaan sekolah penyelenggara pendidikan inklusi menggunakan sistem manajemen berbasis sekolah yang berperspektif inklusi. 4. Mengembangkan kerangka dasar dan struktur kurikulum yang telah disusun pemerintah dengan melakukan penyesuaian terhadap kondisi, potensi, kemampuan, dan kebutuhan individu peserta didik. 5. Menyelenggarakan 1. Melaksanakan kerjasama dengan pihak lain untuk menyediakan tenaga pendidik di sekolah. 2. Melaksanakan kerjasama dengan komite sekolah, dewan pendidikan, pusat sumber, universitas, dan lembaga terkait baik pemerintah maupun swasta serta forum atau individu pemerhati pendidikan inklusi dalam rangka kelancaran penyelenggaraan sistem pendidikan inklusi. 3. Melaksanakan kerjasama dengan lembaga penyedia tenaga ahli untuk keperluan penilaian dan penanganan lain yang diperlukan dalam memberikan pelayanan bagi siswa. 4. Mengajukan permohonan kepada Pemerintah Yogyakarta agar menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan inklusi bagi siswa 95

14 proses pembelajaran yang partisipatorik, aktif, kreatif, menyenangkan, dan berbasis keragaman kondisi, potensi, kemampuan, dan kebutuhan individu peserta didik termasuk peserta didik berkebutuhan khusus. 6. Melaksanakan tehnik penilaian pembelajaran yang disesuaikan dengan kondisi, potensi, kemampuan, dan kebutuhan individu peserta didik. 7. Menyediakan tenaga pendidik yang mempunyai kompetensi dalam hal mengajar, membimbing, dan melatih peserta didik yang berkebutuhan khusus. 8. Menyediakan sarana, prasarana, media, dan sumber pembelajaran yang aksesibel untuk semua termasuk bagi siswa berkebutuhan khusus. 9. Melaksanakan penilaian bagi siswa berkebutuhan khusus pada saat proses penerimaan peserta didik baru terhadap kondisi dan potensi baik fisik, psikologis, berkebutuhan khusus yang kurang mampu. 5. Mengajukan permohonan kepada Pemerintah Yogyakarta agar mendapatkan bantuan profesional dalam menyelenggarakan pendidikan inklusi. 96

15 maupun kemampuan akademik peserta didik. 10. Melaksanakan pelayanan dan perhatian yang semestinya bagi siswa yang memiliki catatan kesehatan yang memerlukan pemantauan khusus. 11. Mengembangkan secara optimal layanan lain bagi peserta didik misalnya bimbingan belajar, perpustakaan, UKS, olahraga dan kesenian, rekreasi, dan kegiatan ekstrakulikuler lainnya dengan mengakomodasi kebutuhan individu peserta didik yang berkebutuhan khusus dengan perspektif inklusi. 12. Mengembangkan program atau kegiatan yang bertujuan menumbuhkembangkan iklim lingkungan sekolah yang inklusif serta ramah pembelajaran. 13. Mengusahakan pembiayaan pelaksanaan penyelenggaraan pendidikan inklusi. Sumber: Hasil olah data sekunder berdasarkan peraturan tingkat nasional hingga kota/kab yang mengatur penyelenggaraan pendidikan inklusif di Kota Yogyakarta tahun

16 Pembagian peran antara Pemerintah Kota Yogyakarta dengan sekolah swasta penyelenggara pendidikan inklusif yang diatur dalam peraturan sudah cukup mendetail dan seimbang, hanya saja untuk melihat pembagian peran tersebut tidak hanya cukup dari melihat aturannya saja, melainkan juga melihat bagaimana praktek yang terjadi di lapangan dalam menyelenggarakan pendidikan inklusif di Kota Yogyakarta. Mengenai bagaimana Pemerintah Kota Yogyakarta serta SMK BOPKRI 2 Yogyakarta maupun SMA Muhammadiah 4 Yogyakarta menjalankan perannya dalam menyelenggarakan pendidikan inklusif di Kota Yogyakarta, dipaparkan sebagai berikut. Dalam menjalankan tugas pembinaan, Pemerintah Kota Yogyakarta melakukan berbagai macam upaya dalam rangka menjamin terselenggaranya pendidikan inklusif sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Upaya-upaya yang dilakukan Pemerintah Kota Yogyakarta meliputi membentuk forum diskusi yang berisi GPK sekolah maupun guru reguler dari sekolah-sekolah penyelenggara pendidikan inklusif yang diangkat menjadi GPK walaupun keahliannya masih kurang memadahi. Forum diskusi guru tersebut menjalankan fungsi pembinaan/pelatihan bagi para GPK maupun sebagai wadah GPK dalam berkoordinasi dalam rangka meningkatkan pengetahuan mereka untuk melayani ABK. Selain itu, Pemerintah Kota Yogyakarta juga banyak melaksanakan sosialisasi terkait pengelolaan manajemen berbasis sekolah berperspektif inklusif di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif dan pelatihan guru reguler bagi sekolah-sekolah penyelenggara pendidikan inklusif di Kota Yogyakarta. 98

17 Pada tugas pengawasan, Pemerintah Kota Yogyakarta berupaya memantau penyelenggaraan pendidikan inklusif baik dengan cara membantu mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan yang dibutuhkan sekolah maupun membantu menyelesaikan kendala/hambatan yang ditemui sekolah dalam rangka memastikan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Kota Yogyakarta terselenggara dengan baik. Dalam tugas pengawasan Pemerintah Kota Yogyakarta intensif berkoordinasi dengan sekolah untuk mengetahui kondisi penyelenggaraan pendidikan inklusif di sekolah melalui GPK. Pemerintah Kota Yogyakarta juga bekerja-sama dengan LSM internasional untuk meningkatkan mutu tenaga pendidik, menyediakan pembiayaan bagi sekolah untuk memenuhi sarana sekolah/kebutuhan lain terkait penyelenggaraan pendidikan inklusif di sekolah, serta membentuk Pusat Sumberdaya sebagai lembaga yang bertugas menyelenggarakan pelatihan dan pendampingan untuk mendukung kelancaran penyelenggaraan sistem pendidikan inklusif di Kota Yogyakarta. Sementara, pada tugas evaluasi, pekerjaan Pemerintah Kota Yogyakarta cenderung minim. Bahkan, selama ini tidak ada laporan terkait penyelenggaraan pendidikan inklusif yang diserahkan pihak sekolah swasta, khususnya pada level sekolah menengah atas, selaku penyelenggara teknis pendidikan inklusif ke Pemerintah Kota Yogyakarta. Hal tersebut dikarenakan pengembangan sekolah inklusif pada semua jenjang pendidikan oleh Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta, selama ini hanya diserahkan kepada Seksi yang sebenarnya bertanggung-jawab pada manajemen pendidikan tingkat dasar, sehingga menyebabkan pengembangan 99

18 sekolah inklusif pada level sekolah menengah atas yang salah satunya meliputi aspek evaluasi, cenderung terabaikan. Sedangkan, bagaimana sekolah swasta menjalankan perannya sebagai penyelenggara teknis kebijakan pendidikan inklusif dapat dilihat dari peran yang dilaksanakan SMK BOPKRI 2 Yogyakarta dan SMA Muhammadiah 4 Yogyakarta. Dilihat dari bagaimana sekolah menyelenggarakan pendidikan inklusif dan menyelenggarakan pembelajaran yang ramah dan terbuka bagi ABK, baik SMK BOPKRI 2 Yogyakarta maupun SMA Muhammadiah 4 Yogyakarta keduanya selama ini bukan hanya telah menerima siswa ABK saja untuk dididik dengan sistem pembelajaran yang sama dengan siswa non-abk, namun juga sejumlah modifikasi telah dilakukan dalam rangka mengakomodasi kebutuhan ABK tersebut walaupun dalam beberapa aspek masih minimalis, seperti telah dijelaskan dalam bab sebelumnya. Modifikasi yang dilakukan yakni dalam kurikulum pembelajaran, proses belajar mengajar, penilaian/evaluasi pembelajaran, tenaga pendidik, sarana dan infrastruktur sekolah, serta manajemen layanan khusus bagi ABK. Selain itu, sekolah baik SMK BOPKRI 2 Yogyakarta maupun SMA Muhammadiah 4 Yogyakarta telah beberapa kali menyelenggarakan pelatihan guna meningkatkan kemampuan guru di sekolah untuk dapat lebih memahami ABK, walaupun pelatihan tersebut bukan merupakan agenda rutin terutama dikarenakan keterbatasan anggaran sekolah. Dalam melaksanakan kerjasama dengan pihak lain untuk meningkatkan pelayanan kepada ABK disekolah, SMK BOPKRI 2 Yogyakarta telah 100

19 melaksanakan kerjasama dengan salah satu universitas swasta di Kota Yogyakarta dalam melaksanakan penilaian awal atau assessment terhadap seluruh siswa untuk mengidentifikasi siswa yang berkebutuhan khusus. Sayangnya, kerjasama untuk kebutuhan seperti meningkatkan kemampuan tenaga pendidik serta penyediaan sarana dan infrastruktur belum diupayakan. Sedangkan, di SMA Muhammadiah 4 Yogyakarta kerjasama baru dilaksanakan dengan menggandeng salah satu percetakan di Kota Yogyakarta untuk mengadakan sarana penunjang pembelajaran seperti Al-Quran braile, majalah braile, buku braile yang disertai kaset dan CD berisi cerita dan pengetahuan umum bagi siswa tuna netra. Sementara itu, jika terjadi kesulitan dalam proses pemberian layanan pembelajaran maupun layanan perilaku bagi ABK disekolah baik SMK BOPKRI 2 Yogyakarta maupun SMA Muhammadiah 4 Yogyakarta seringkali meminta pertimbangan dan arahan Pemerintah Kota Yogyakarta atau sekolah penyelenggara pendidikan inklusif lain baik melalui forum diskusi ataupun secara langsung untuk mendapatkan masukan sehingga sekolah dapat memberikan treatment yang baik bagi ABK. Poin spesialisasi kerja, tanggung-jawab, dan kewenangan antara Pemerintah Kota Yogyakarta dengan sekolah swasta penyelenggara pendidikan inklusif dalam menyelenggarakan pendidikan inklusif di Kota Yogyakarta, berdasarkan ketentuan dalam perundangan, telah diatur secara mendetail dan seimbang. Sayangnya dalam pelaksanaannya, terdapat poin yang masih 101

20 dilaksanakan setengah-setengah, walaupun beberapa poin yang lain telah dilaksanakan dengan baik. Namun, hal tersebut tidaklah mengindikasikan belum terjadinya pembagian peran antar aktor dalam menyelenggarakan pendidikan inklusif di Kota Yogyakarta, karena baik dalam perundangan maupun praktek di lapangan antara pemerintah dan sekolah swasta telah menunjukkan spesialisasi kerja, tanggung-jawab, dan kewenangan, sebagaimana dikonsepsikan oleh Lienhard. Menurut Lienhard, hendaknya aktor-aktor yang terlibat dalam kemitraan memiliki perannya sendiri-sendiri yang mana antara satu dengan yang lainnya saling melengkapi. Masing-masing pihak memiliki spesialisasi kerjanya sendiri-sendiri, tanggung jawab juga kewenangan sendiri-sendiri. 3 Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan, antara Pemerintah Kota Yogyakarta dengan sekolah swasta penyelenggara pendidikan inklusif dalam menyelenggarakan pendidikan inklusif di Kota Yogyakarta, telah menunjukkan pembagian peran diantara keduanya, namun masing-masing pihak belum menjalankan perannya secara penuh/maksimal. Artinya, terdapat poin tugas/tanggung-jawab/wewenang yang masih perlu ditingkatkan baik dari pihak Pemerintah Kota Yogyakarta maupun SMK BOPKRI 2 Yogyakarta dan SMA Muhammadiah 4 Yogyakarta. 3 Lienhard, Andreas Public-Private Partnerships (PPPs) in Switzerland: Experiences- Risks-Potentials. International Review of Administrative Sciences, Vol. 72(4): Hal

21 5.3 Penyatuan Sumberdaya Penyatuan sumberdaya dan keberimbangan sumberdaya yang dialokasikan masing-masing aktor yang terlibat dalam kemitraan diperlukan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Pengalokasian sumberdaya oleh pemerintah untuk penyelenggaraan pendidikan inklusif, bukan hanya dilakukan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta saja, melainkan pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi DIY juga memiliki andil atau tanggung-jawab membantu penyediaan sumberdaya, walaupun memang Pemerintah Kota Yogyakarta yang bertindak atas nama pemerintah yang memiliki tanggung-jawab pokok dalam penyediaan sumberdaya dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di Kota Yogyakarta. Hal tersebut sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa, Pasal 6 Ayat 3, bahwa pemerintah dan pemerintah provinsi membantu tersedianya sumber daya pendidikan inklusif. Secara garis besar, sumberdaya diperlukan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif yakni dalam tenaga pendidik, fasilitas pembelajaran, serta pembiayaan pelaksanaan penyelenggaraan pendidikan inklusif. Dalam penyediaan tenaga pendidik khusus, disebutkan dalam Peraturan Walikota Yogyakarta No. 47 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif, Pasal 3, Ayat 1 bahwa satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan inklusi wajib memiliki tenaga pendidik yang mempunyai kompetensi dalam hal mengajar, membimbing, 103

22 dan melatih peserta didik yang berkebutuhan khusus. Baik SMK BOPKRI 2 Yogyakarta maupun SMA Muhammadiah 4 Yogyakarta sebagai sekolah penyelenggara pendidikan inklusif, saat ini telah memiliki tenaga pendidik khusus/gpk yang penyediaannya dilakukan atas kerjasama sekolah dengan pemerintah. Dalam penyediaan tenaga pendidik khusus, SMK BOPKRI 2 Yogyakarta maupun SMA Muhammadiah 4 Yogyakarta cenderung mengalokasikan SDM-nya untuk difasilitasi pemerintah agar memiliki kompetensi dalam hal mengajar, membimbing, dan melatih peserta didik yang berkebutuhan khusus. Fasilitasi oleh pemerintah dalam rangka penyediaan tenaga pendidik ini sendiri dilaksanakan baik oleh Pemerintah Kota Yogyakarta, Pemerintah DIY, maupun pemerintah pusat. Fasilitasi oleh Pemerintah Kota Yogyakarta, dilakukan dengan menyertakan guru reguler pada program pelatihan yang diselenggarakan sekali dalam setahun, serta memberikan SK pengangkatan GPK dan insentif bagi guru reguler yang dianggap telah cukup memenuhi syarat untuk menjadi GPK, setidaknya menurut Pemerintah Kota Yogyakarta. Selain itu, Pemerintah Kota Yogyakarta juga bekerjasama dengan Hellen Keller International (HKI), sebuah LSM internasional yang memiliki fokus pada isu-isu difabilitas, dalam upaya meningkatkan mutu guru di Kota Yogyakarta. Peningkatan mutu guru dilaksanakan melalui penyelenggaraan pelatihan bagi pelatih (Training of Trainer/TOT) bagi pelatih-pelatih guru di Kota Yogyakarta agar memiliki 104

23 kompetensi yang lebih baik dalam memberikan pelatihan kompetensi khusus bagi guru-guru reguler di sekolah-sekolah penyelenggara pendidikan inklusif di Kota Yogyakarta. Fasilitasi oleh Pemerintah DIY, dilakukan dengan menyertakan guru reguler pada program pelatihan yang dilaksanakan dua kali setahun. Selain itu juga, Pemerintah DIY membantu menyediakan tenaga pendidik khusus dengan memperbantukan GPK dari SLB kepada beberapa sekolah penyelenggara pendidikan inklusif di Kota Yogyakarta, yang salah satunya diperbantukan di SMA Muhammadiah 4 Yogyakarta. Sedangkan pemerintah pusat memfasilitasi penyediaan tenaga pendidik bagi beberapa sekolah penyelenggara pendidikan inklusif di Kota Yogyakarta, termasuk SMK BOPKRI 2 Yogyakarta maupun SMA Muhammadiah 4 Yogyakarta, dengan memberikan bantuan profesional untuk meningkatkan kompetensi di bidang pendidikan khusus bagi pendidik dan tenaga kependidikan di sekolah. Jika dicermati berdasarkan penjelasan diatas, sumberdaya yang dialokasikan sekolah swasta penyelenggara pendidikan inklusif cenderung pasif. Dikatakan demikian, karena belum terlihat upaya-upaya yang diusahakan sekolah swasta penyelenggara pendidikan inklusif untuk meningkatkan kompetensi tenaga pendidiknya dalam hal mengajar, membimbing, dan melatih peserta didik yang berkebutuhan khusus, sesuai dengan sumberdaya dan kewenangan yang dimilikinya, misalnya seperti akses terhadap donasi, atau kerjasama dengan pihak ketiga. Selama ini, pemerintah cenderung proaktif dalam pengupayaan tenaga 105

24 pendidik khusus baik di SMK BOPKRI 2 Yogyakarta maupun SMA Muhammadiah 4 Yogyakarta. Jika dilihat dari regulasi yang ada, memang kondisi demikian sudah sesuai dengan peraturan perundangan. Dalam Peraturan Walikota Yogyakarta No. 47 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif, Pasal 13 disebutkan, (1) satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan inklusi wajib memiliki tenaga pendidik yang memiliki kompetensi dalam hal mengajar, membimbing, dan melatih peserta didik yang berkebutuhan khusus, (2) SKPD yang berwenang dalam urusan pendidikan memfasilitasi penyediaan tenaga pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), (3) fasilitasi penyediaan tenaga pendidik sebagaimana disebut pada ayat (2) dapat dilakukan dengan, menyertakan guru reguler pada program pelatihan, program sertifikasi pendidikan khusus, studi lanjut program pendidikan khusus, program pengembangan kompetensi lainnya, atau bekerjasama dengan pihak lain, (4) satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan inklusi dapat menyediakan tenaga pendidik sebagaimana disebut pada ayat (1) melalui kerjasama dengan pihak lain. Dapat dicermati pada pasal diatas, SKPD yang berwenang dalam urusan pendidikan, dalam penelitian ini Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta dan Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga DIY, memfasilitasi penyediaan tenaga pendidik yang dilakukan dengan beberapa cara. Sementara, disinggung diatas, sekolah penyelenggara pendidikan inklusif, dapat menyediakan tenaga pendidik melalui kerjasama dengan pihak lain. Kata dapat pada ayat (4) diatas, dipandang 106

25 bukan sesuatu hal yang mutlak dikerjakan oleh sekolah penyelenggara pendidikan inklusif di Kota Yogyakarta. Sehingga, ketika sekolah melaksanakan kerjasama maka akan lebih baik, namun ketika sekolah tidak melaksanakannya pun, hal tersebut tidak mengapa karena bukan suatu keharusan. Tentunya hal di atas berpengaruh terhadap fenomena di lapangan, yang menyebabkan praktek penyatuan sumberdaya dalam penyediaan tenaga pendidik khusus antara pemerintah dengan sekolah swasta penyelenggara pendidikan inklusif, terjadi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Sumberdaya dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif yang selanjutnya, dialokasikan dalam pemenuhan fasilitas khusus di sekolah. Dalam pemenuhan fasilitas khusus, regulasi yang ada telah jelas menyebutkan pembagian sumberdaya antara pemerintah dengan sekolah penyelenggara pendidikan inklusif di Kota Yogyakarta. Pada Peraturan Walikota Yogyakarta No. 47 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif, Pasal 15, disebutkan satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan inklusi harus menyediakan sarana, prasarana, media dan sumber pembelajaran yang aksesibel untuk semua termasuk bagi siswa berkebutuhan khusus. Untuk memenuhi perannya tersebut, sekolah penyelenggara pendidikan inklusif diberikan kewenangan untuk dapat bekerjasama dengan komite sekolah, dewan pendidikan, pusat sumber, universitas, dan lembaga terkait baik pemerintah maupun swasta serta forum atau individu pemerhati pendidikan inklusi, sebagaimana dijelaskan dalam peraturan yang sama, dalam Pasal

26 Selain itu, dalam Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta No. 21 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif, Pasal 2 poin ketiga juga dijelaskan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib menjamin tersedianya sarana prasarana pendidikan inklusif. Dalam menjamin terpenuhinya sarana prasarana pendidikan inklusif oleh Pemerintah Kota Yogyakarta tersebut, Pemerintah pusat dan Pemerintah DIY dapat membantu dengan memberikan bantuan profesional, sebagaimana tertuang dalam Pasal 11, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa, bahwa pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat dapat memberikan bantuan profesional kepada satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif, berupa bantuan profesional dalam melakukan modifikasi sarana dan prasarana yang aksesibel. Berdasarkan peraturan yang dijelaskan diatas, dapat diketahui bahwa penyediaan fasilitas khusus merupakan tanggung-jawab baik oleh pemerintah maupun sekolah penyelenggara pendidikan inklusif. Pengadaan fasilitas khusus di sekolah-sekolah penyelenggara pendidikan inklusif di Kota Yogyakarta selama ini masih didominasi oleh pemerintah baik itu Pemerintah Kota Yogyakarta maupun pemerintah pusat. Pemerintah pusat dalam penyediaan fasilitas khusus, mengalokasikan bantuan profesional kepada beberapa sekolah penyelenggara pendidikan inklusif di Kota Yogyakarta. Sementara, sekolah lainnya yang tidak mendapatkan bantuan profesional dari pemerintah pusat, beberapa diantaranya diberikan bantuan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta berupa alokasi dana untuk 108

27 pemenuhan sarana fisik ringan, yang diberikan plafon anggaran maksimal 15 juta rupiah bagi setiap sekolah penyelenggara pendidikan inklusif yang mengajukan. Di SMK BOPKRI 2 Yogyakarta sendiri penyediaan fasilitas khusus menggunakan dana bantuan profesional dari pemerintah pusat. Dana dari pemerintah pusat ini digunakan untuk mengadakan fasilitas berupa WC duduk yang menurut sekolah diperuntukkan bagi siswa, khususnya siswa tuna daksa yang kesulitan menggunakan WC jongkok. Sementara, pengalokasian sumberdaya untuk penyediaan fasilitas khusus oleh sekolah sendiri belum ada. Sedangkan di SMA Muhammadiah 4 Yogyakarta, penyediaan fasilitas khusus juga cenderung menggunakan dana pemerintah, karena mendapatkan bantuan profesional dari pemerintah pusat. Dana dari pemerintah pusat tersebut digunakan untuk pengadaan alat-alat olahraga (trampolin, tenis meja dengan bola bunyi, alat tarik beban, sepeda statis), serta alat-alat pembelajaran maupun penunjang pembelajaran (komputer, reglet, globe braile, peta braile, mesin ketik braile). Selain itu, penyediaan fasilitas khusus juga telah diusahakan oleh sekolah, walaupun jika disandingkan dengan alokasi sumberdaya oleh pemerintah, keberimbangannya masih kurang. Alokasi sumberdaya oleh SMA Muhammadiah 4 Yogyakarta dilaksanakan melalui kerjasama dengan salah satu percetakan di Kota Yogyakarta dalam pengadaan Al-Quran braile, majalah braile, serta CD berisi audio cerita dan pengetahuan umum. Sekolah juga mengusahakan pengadaan ram/jalur landai pengganti tangga di sekolah dengan memanfaatkan akses terhadap donasi oleh wali murid. 109

28 Berdasarkan pemaparan tersebut diatas, dapat diketahui, disatu sisi penyediaan fasilitas khusus bagi ABK di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif memang sudah terpenuhi. Namun disisi yang lain, sumberdaya yang dialokasikan antara pemerintah dengan sekolah swasta penyelenggara pendidikan inklusif, masih kurang berimbang karena alokasi sumberdaya oleh sekolah swasta penyelenggara pendidikan inklusif di Kota Yogyakarta cenderung masih minimalis. Terakhir, dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif diperlukan alokasi sumberdaya dalam pembiayaan. Pembiayaan penyelenggaraan pendidikan inklusif, sesuai dengan peraturan yang ada, dibebankan baik kepada pemerintah maupun sekolah penyelenggara pendidikan inklusif. Pasal 24, Peraturan Walikota Yogyakarta No. 47 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif menyebutkan bahwa sumber pembiayaan pelaksanaan penyelenggaraan pendidikan inklusi diperoleh dari usaha lembaga penyelenggara pendidikan, orang tua siswa dan masyarakat yang peduli dengan penyelenggaraan pendidikan inklusi. Dalam mengusahakan pembiayaan pelaksanaan pendidikan inklusi tersebut, sekolah juga diberikan kewenangan untuk melakukan kerjasama dengan pihak lain, seperti halnya dalam penyediaan tenaga pendidik khusus maupun fasilitas khusus. Sementara, tanggung-jawab pemerintah dalam pembiayaan penyelenggaraan pendidikan inklusif, disebutkan secara jelas dalam Pasal 2, poin keempat, Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta No. 21 Tahun

29 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif bahwa pemerintah kabupaten/kota wajib menjamin tersedianya pembiayaan pendidikan inklusif. Selain itu, pemerintah pusat juga dapat memberikan bantuan profesional dalam rangka membantu penyediaan pembiayaan pendidikan inklusif bagi sekolah, sebagaimana telah disebutkan dalam Pasal 11, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa. Dapat dicermati pada peraturan yang telah dijelaskan diatas, porsi sekolah penyelenggara pendidikan inklusif maupun pemerintah dalam penyediaan pembiayaan pendidikan inklusif telah diatur dengan jelas. Hal ini jika dilihat dari praktek di lapangan, sebenarnya juga telah menunjukkan keberimbangan sumberdaya yang dialokasikan baik sekolah penyelenggara pendidikan inklusif maupun pemerintah dalam pembiayaan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Kota Yogyakarta. Di SMK BOPKRI 2 Yogyakarta, pembiayaan penyelenggaraan pendidikan inklusif, Pertama, dalam melakukan assessment peserta didik dilakukan atas alokasi sumberdaya sekolah maupun pemerintah. Disatu sisi sekolah bekerjasama dengan salah satu universitas swasta di Kota Yogyakarta untuk mendapatkan biaya assessment yang lebih terjangkau, namun dengan kualitas yang tetap baik. Disisi lain, Pemerintah Kota Yogyakarta juga memberikan bantuan assessment kepada SMK BOPKRI 2 Yogyakarta sebesar Rp ,- per individu, sesuai jumlah siswa di SMK BOPKRI 2 Yogyakarta. Sehingga, karena mendapatkan 111

30 keringanan biaya dan bantuan dari Pemerintah Kota Yogyakarta, bahkan SMK BOPKRI 2 Yogyakarta tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan untuk melakukan assessment terhadap siswanya. Kedua, pembiayaan dalam operasional pendidikan. SMK BOPKRI 2 Yogyakarta selain menggunakan sebagian dana bantuan profesional dari pemerintah pusat, juga sekolah tetap memungut biaya dari wali murid ABK untuk pembiayaan operasional pendidikan inklusif. Sehingga dengan demikian, dapat dikatakan baik sekolah maupun pemerintah memiliki kontribusi yang seimbang dalam penyediaan pembiayaan pendidikan inklusif di SMK BOPKRI 2 Yogyakarta. Sedangkan di SMA Muhammadiah 4 Yogyakarta, penyediaan pembiayaan penyelenggaraan pendidikan inklusif juga hampir sama dengan di SMK BOPKRI 2 Yogyakarta. Dalam assessment siswa, selain sekolah mengeluarkan anggaran yang diusahakan sendiri untuk kegiatan tersebut, sekolah juga mendapatkan dana bantuan dari Pemerintah Kota Yogyakarta sebesar Rp ,- per individu sesuai jumlah siswa di SMA Muhammadiah 4 Yogyakarta. Sementara, untuk keperluan pembiayaan operasional sekolah bagi ABK, sekolah tetap menarik dana dari wali murid berkebutuhan khusus untuk keperluan ABK sehari-hari. Menurut Lienhard, salah satu kriteria kemitraan yang mencirikan kerjasama yang bersifat kolaboratif yakni adanya penyatuan, pemanfaatan, dan sinergi dari sumberdaya pemerintah dan swasta yang mana sumberdaya yang digunakan dalam kemitraan bukan hanya dari satu pihak saja, melainkan 112

31 ditanggung kedua belah pihak. 4 Sumberdaya yang dimaksud bukan melulu persoalan anggaran, namun juga keahlian, teknologi, sumber daya manusia, ataupun yang bersifat simbolik seperti kewenangan untuk melakukan tugas tertentu (kapasitas aktor). Berdasarkan ulasan-ulasan sebelumnya mengenai alokasi sumberdaya dalam pemenuhan tenaga pendidik, fasilitas pembelajaran, serta pembiayaan penyelenggaraan pendidikan inklusif, dapat dipahami bahwa pada kerjasama antara pemerintah dengan sekolah swasta dalam menyelenggarakan pendidikan inklusif di Kota Yogyakarta, belum menunjukkan terjadinya penyatuan dan sinergi sumberdaya antara pemerintah dengan swasta sebagaimana dikonsepkan oleh Lienhard, karena sumberdaya yang dialokasikan setiap pihak untuk memenuhi kebutuhan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif masih belum berimbang. Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif masih pasif dalam mengupayakan sumberdaya-sumberdaya dalam menyelenggarakan pendidikan inklusif khususnya dalam penyediaan tenaga pendidik khusus dan fasilitas khusus di sekolah. Berdasarkan hasil analisis peneliti, belum adanya keberimbangan dalam alokasi sumberdaya tersebut, salah satunya dipengaruhi karena belum melembaganya tujuan penyelenggaraan pendidikan inklusif sebagai media membentuk masyarakat inklusif yang toleran dan anti-diskriminasi. Tujuan penyelenggaraan pendidikan inklusif oleh sekolah swasta penyelenggara 4 Lienhard, Andreas Public-Private Partnerships (PPPs) in Switzerland: Experiences- Risks-Potentials. International Review of Administrative Sciences, Vol. 72(4): Hal

32 pendidikan inklusif di Kota Yogyakarta cenderung masih sebatas untuk memenuhi kebutuhan sekolah, sebagaimana telah dijelaskan dalam sub-bab tujuan penyelenggaraan kemitraan pemerintah-swasta sebelumnya. Adanya disorientasi tujuan penyelenggaraan pendidikan inklusif oleh sekolah swasta penyelenggara pendidikan inklusif di Kota Yogyakarta ini, berdampak pada tindakan-tindakan oleh sekolah swasta penyelenggara pendidikan inklusif di Kota Yogyakarta yang belum mencerminkan adanya penyatuan strategi dan aktifitas untuk mewujudkan sebuah sistem pendidikan yang ramah bagi siswa berkebutuhan khusus. 5.4 Mekanisme Penanggulangan Masalah Pada sebuah proses kebijakan, walaupun kebijakan tersebut berusaha memecahkan suatu masalah, faktanya pasti terdapat masalah baru yang muncul. Dalam kemitraan pemerintah-swasta yang dikonsepsikan sebagai kolaborasi oleh Lienhard, permasalahan-permasalahan yang muncul dalam kemitraan tersebut merupakan masalah untuk diselesaikan bersama. 5 Setiap permasalahan yang dihadapi, didiskusikan bersama dengan modal keahlian, pengetahuan, maupun kapasitas yang dimiliki masing-masing pihak untuk mendapatkan treatment yang pas untuk menyelesaikan masalah tersebut. Adanya kemitraan yang mencirikan kerjasama yang bersifat kolaboratif antara pemerintah dan sekolah swasta dalam menyelenggarakan pendidikan 5 Lienhard, Andreas Public-Private Partnerships (PPPs) in Switzerland: Experiences- Risks-Potentials. International Review of Administrative Sciences, Vol. 72(4): Hal

33 inklusif di Kota Yogyakarta, seharusnya juga menunjukkan terjadinya mekanisme demikian dalam penanggulangan masalah. Masalah yang muncul dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif seharusnya merupakan beban yang harus dipikul bersama baik oleh Pemerintah Kota Yogyakarta dengan SMK BOPKRI 2 Yogyakarta maupun SMA Muhammadiah 4 Yogyakarta. Masalah-masalah dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di Kota Yogyakarta, selama ini muncul baik dari pihak pemerintah maupun sekolah swasta penyelenggara pendidikan inklusif. Beberapa masalah yang selama ini dirasakan cukup mengganggu diantaranya keterbatasan GPK yang memiliki keahlian khusus seperti memahami bahasa isyarat dan huruf braile, struktur organisasi dan fungsi bagian pada Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta yang belum efektif memfasilitasi pengembangan pendidikan inklusif di Kota Yogyakarta, serta masalah-masalah teknis penyelenggaraan pendidikan inklusif di sekolah yang meliputi adanya resistensi dari warga sekolah, resistensi dari wali murid, kendala dalam memodifikasi sistem pembelajaran serta dalam sarana pembelajaran. Mekanisme identifikasi masalah dalam menyelenggarakan pendidikan inklusif di Kota Yogyakarta selama ini dilakukan pemerintah dengan sekolah swasta melalui forum diskusi yang difasilitasi oleh pemerintah. Dalam forum tersebut sekolah swasta diwakili oleh GPK sekolah, karena selain dianggap lebih memahami dinamika penyelenggaraan pelayanan bagi ABK di sekolah, juga GPK sekolah mayoritas adalah pihak yang ditunjuk dalam mengontrol pelayanan pendidikan inklusif di sekolah. 115

I. PENDAHULUAN. dan berjalan sepanjang perjalanan umat manusia. Hal ini mengambarkan bahwa

I. PENDAHULUAN. dan berjalan sepanjang perjalanan umat manusia. Hal ini mengambarkan bahwa 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan adalah sebuah proses yang melekat pada setiap kehidupan bersama dan berjalan sepanjang perjalanan umat manusia. Hal ini mengambarkan bahwa pendidikan tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) membutuhkan fasilitas tumbuh kembang

BAB I PENDAHULUAN. Anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) membutuhkan fasilitas tumbuh kembang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) membutuhkan fasilitas tumbuh kembang khusus agar memiliki hak untuk mendapatkan penghormatan atas integritas mental dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkebutuhan khusus. Permasalahan pendidikan sebenarnya sudah lama

BAB I PENDAHULUAN. berkebutuhan khusus. Permasalahan pendidikan sebenarnya sudah lama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang masalah Masalah difabel atau penyandang ketunaan merupakan satu masalah yang kompleks karena menyangkut berbagai aspek. Salah satu hal yang masih menjadi polemik adalah

Lebih terperinci

BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 68 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF KABUPATEN BANYUWANGI

BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 68 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF KABUPATEN BANYUWANGI BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 68 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF KABUPATEN BANYUWANGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUWANGI, Menimbang

Lebih terperinci

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI A. Identifikasi Permasalahan Berdasarkan Tugas dan Fungsi Pelayanan SKPD Beberapa permasalahan yang masih dihadapi Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLUNGKUNG NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN BIDANG PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLUNGKUNG NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN BIDANG PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLUNGKUNG NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN BIDANG PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KLUNGKUNG, Menimbang : a. bahwa bidang pendidikan merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. orang termasuk anak berkebutuhan khusus, hal ini dapat pula diartikan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. orang termasuk anak berkebutuhan khusus, hal ini dapat pula diartikan sebagai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan inklusif adalah pendidikan yang berusaha menjangkau semua orang termasuk anak berkebutuhan khusus, hal ini dapat pula diartikan sebagai upaya meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kuat, dalam bentuk landasar filosofis, landasan yuridis dan landasan empiris.

BAB I PENDAHULUAN. kuat, dalam bentuk landasar filosofis, landasan yuridis dan landasan empiris. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penddikan adalah hak setiap warga negara. Negara berkewajiban menyelenggarakan pendidikan untuk semua warga negaranya tanpa diskriminasi. Pendidikan untuk semua diwujudkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menengah Pertama Negeri (SMPN) inklusif di Kota Yogyakarta, tema ini penting

BAB I PENDAHULUAN. Menengah Pertama Negeri (SMPN) inklusif di Kota Yogyakarta, tema ini penting BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tesis ini bertujuan untuk menganalisis pelayanan pendidikan inklusif bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) 1. Dengan mengambil lokus pada Sekolah Menengah Pertama Negeri

Lebih terperinci

WALIKOTA BATU PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 24 TAHUN

WALIKOTA BATU PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 24 TAHUN SALINAN WALIKOTA BATU PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 24 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BATU, Menimbang Mengingat : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan pendidikan yang bermutu merupakan ukuran keadilan, pemerataan

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan pendidikan yang bermutu merupakan ukuran keadilan, pemerataan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan pada dasarnya merupakan bagian dari hak asasi manusia dan hak setiap warga negara yang usaha pemenuhannya harus direncanakan dan dijalankan dan dievaluasi

Lebih terperinci

INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR Oleh AGUNG HASTOMO

INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR Oleh AGUNG HASTOMO INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR Oleh AGUNG HASTOMO agung_hastomo@uny.ac.id Abstrak Artikel dengan judul Model penanganan Anak Berkebutuhan Khusus di sekolah akan

Lebih terperinci

PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG TIMUR NOMOR 24 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF

PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG TIMUR NOMOR 24 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF SALINAN PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG TIMUR NOMOR 24 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BELITUNG TIMUR, Menimbang

Lebih terperinci

INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR OLEH AGUNG HASTOMO

INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR OLEH AGUNG HASTOMO INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR OLEH AGUNG HASTOMO INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR Oleh AGUNG HASTOMO agung_hastomo@uny.ac.id

Lebih terperinci

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 15 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 15 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 15 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TRENGGALEK, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN. pembelajaran dengan menggunakan perangkat pembelajaran yang telah

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN. pembelajaran dengan menggunakan perangkat pembelajaran yang telah 141 BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan temuan dan pembahasan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa kurikulum yang digunakan di SMPN 9 dan SMPN 10 Metro untuk anak

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF PROVINSI JAWA TIMUR

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF PROVINSI JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF PROVINSI JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi diantara umat manusia itu sendiri (UNESCO. Guidelines for

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi diantara umat manusia itu sendiri (UNESCO. Guidelines for BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konflik yang terjadi pada peradaban umat manusia sebagian besar disebabkan oleh ketidakmampuan manusia untuk dapat menerima perbedaan yang terjadi diantara umat manusia

Lebih terperinci

jtä ~Éàt gtá ~ÅtÄtçt

jtä ~Éàt gtá ~ÅtÄtçt jtä ~Éàt gtá ~ÅtÄtçt PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA NOMOR 46 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF DI KOTA TASIKMALAYA Menimbang : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TASIKMALAYA,

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Penelitian tentang indeks inklusi ini berdasarkan pada kajian aspek

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Penelitian tentang indeks inklusi ini berdasarkan pada kajian aspek 144 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Penelitian tentang indeks inklusi ini berdasarkan pada kajian aspek budaya, aspek kebijakan, dan aspek praktik yang digunakan sebagai tolak ukur keterlaksanannya

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 116 TAHUN 2007 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSI

PERATURAN GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 116 TAHUN 2007 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSI PERATURAN GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 116 TAHUN 2007 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA,

Lebih terperinci

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR TAHUN 2016

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR TAHUN 2016 BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR TAHUN 2016 PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

BUPATI CIAMIS PROVISI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 29 TAHUN 2015 TENTANG. PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF Dl KABUPATEN CIAMIS

BUPATI CIAMIS PROVISI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 29 TAHUN 2015 TENTANG. PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF Dl KABUPATEN CIAMIS 1 BUPATI CIAMIS PROVISI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 29 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF Dl KABUPATEN CIAMIS Menimbang DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CIAMIS,

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman Judul Surat Keputusan Kepala Dinas Pendidikan

DAFTAR ISI. Halaman Judul Surat Keputusan Kepala Dinas Pendidikan DAFTAR ISI Halaman Judul Surat Keputusan Kepala Dinas Pendidikan DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN 1 A. LATAR BELAKANG 1 B. LANDASAN HUKUM 4 C. MAKSUD DAN TUJUAN 6 D. SISTEMATIKA PENULISAN 6 BAB II GAMBARAN

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR : 57 TAHUN : 2012 PERATURAN BUPATI KULON PROGO NOMOR 57 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KULON PROGO,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dasar bertujuan untuk memberikan bekal kemampuan. dasar kepada peserta didik untuk mengembangkan kehidupannya sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dasar bertujuan untuk memberikan bekal kemampuan. dasar kepada peserta didik untuk mengembangkan kehidupannya sebagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan dasar bertujuan untuk memberikan bekal kemampuan dasar kepada peserta didik untuk mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2007 TENTANG PENYELENGGARAAN KEOLAHRAGAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2007 TENTANG PENYELENGGARAAN KEOLAHRAGAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2007 TENTANG PENYELENGGARAAN KEOLAHRAGAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF

BUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF BUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

1 Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu

1 Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan hal terpenting dalam kehidupan. Semua orang berhak untuk mendapatkan pendidikan, karena dalam Undang-Undang Dasar tahun 1945 yang sudah

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap Peran Pemerintah Kota Yogyakarta dalam Pemenuhan Hak Pendidikan Kaum Difabel dapat diambil kesimpulan

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI TENTANG PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER (PUG) DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DI KABUPATEN MALANG. BAB I KETENTUAN UMUM

PERATURAN BUPATI TENTANG PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER (PUG) DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DI KABUPATEN MALANG. BAB I KETENTUAN UMUM BUPATI MALANG PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 33 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER (PUG) DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DI KABUPATEN MALANG BUPATI MALANG, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan kebutuhan penting dalam perkembangan anak karena, pendidikan merupakan salah satu wahana untuk membebaskan anak dari keterbelakangan, kebodohan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. merealisasikan hak-hak asasi manusia lainnya. Pendidikan mempunyai peranan

BAB 1 PENDAHULUAN. merealisasikan hak-hak asasi manusia lainnya. Pendidikan mempunyai peranan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah sebuah hak asasi sekaligus sebuah sarana untuk merealisasikan hak-hak asasi manusia lainnya. Pendidikan mempunyai peranan sangat strategis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan jalan merubah cara pandang dalam memahami dan menyadari. memperoleh perlakuan yang layak dalam kehidupan.

BAB I PENDAHULUAN. dengan jalan merubah cara pandang dalam memahami dan menyadari. memperoleh perlakuan yang layak dalam kehidupan. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan zaman membuat manusia menyesuaikan diri dengan jalan merubah cara pandang dalam memahami dan menyadari bahwa setiap individu memiliki hak untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam melakukan segala aktifitas di berbagai bidang. Sesuai dengan UUD 1945

BAB I PENDAHULUAN. dalam melakukan segala aktifitas di berbagai bidang. Sesuai dengan UUD 1945 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan sesuatu yang sangat penting dalam lini kehidupan. Semua orang membutuhkan pendidikan untuk memberikan gambaran dan bimbingan dalam

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 21 TAHUN 2009

PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 21 TAHUN 2009 PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG DUKUNGAN PEMERINTAH PROVINSI TERHADAP PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DASAR GRATIS DAN RINTISAN WAJIB BELAJAR 12 TAHUN KEPADA PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA DENGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan penting dalam meningkatkan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan penting dalam meningkatkan sumber daya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan memegang peranan penting dalam meningkatkan sumber daya manusia unggul dan kompetitif dalam upaya menghadapi tantangan perubahan dan perkembangan

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG NO. 20 TH.2003 Tentang SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

UNDANG UNDANG NO. 20 TH.2003 Tentang SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL UNDANG UNDANG NO. 20 TH.2003 Tentang SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL DASAR & FUNGSI Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pendidikan Nasional

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2012

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2012 1 PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan salah satu tujuan nasional yang secara tegas dikemukakan dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Tujuan tersebut berlaku bagi

Lebih terperinci

PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA

PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA WALIKOTA TASIKMALAYA PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA NOMOR : 23 TAHUN 2006 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG PENDIDIKAN DI KOTA TASIKMALAYA WALIKOTA TASIKMALAYA Menimbang : a. bahwa berdasarkan ketentuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berbicara tentang pemerataan akses pendidikan di Indonesia, tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) baik yang diselenggarakan oleh

Lebih terperinci

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PELAYANAN BAGI LANJUT USIA

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PELAYANAN BAGI LANJUT USIA GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PELAYANAN BAGI LANJUT USIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2007 TENTANG PENYELENGGARAAN KEOLAHRAGAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2007 TENTANG PENYELENGGARAAN KEOLAHRAGAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2007 TENTANG PENYELENGGARAAN KEOLAHRAGAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR

GUBERNUR JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 23 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PENERIMAAN PESERTA DIDIK BARU PADA SEKOLAH MENENGAH ATAS, SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN DAN SEKOLAH LUAR BIASA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk semua (Education For All) yang berarti pendidikan tanpa memandang batas

BAB I PENDAHULUAN. untuk semua (Education For All) yang berarti pendidikan tanpa memandang batas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Adanya perubahan paradigma baru tentang pendidikan, yaitu pendidikan untuk semua (Education For All) yang berarti pendidikan tanpa memandang batas usia, tingkat

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil pengumpulan data di lapangan yang dilakukan melaui wawancara, observasi dan studi dokumentasi yang telah ditelaah dengan teknik analisis

Lebih terperinci

PERANGKAT PEMBELAJARAN UNTUK ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SEKOLAH INKLUSI

PERANGKAT PEMBELAJARAN UNTUK ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SEKOLAH INKLUSI PERANGKAT PEMBELAJARAN UNTUK ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SEKOLAH INKLUSI (Program Pengabdian Masyarakat di SD Gadingan Kulonprogo) Oleh: Rafika Rahmawati, M.Pd (rafika@uny.ac.id) Pendidikan inklusi merupakan

Lebih terperinci

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cukup mendasar, terutama setelah diberlakukannya Undang-Undang Republik

BAB I PENDAHULUAN. cukup mendasar, terutama setelah diberlakukannya Undang-Undang Republik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan nasional saat ini sedang mengalami berbagai perubahan yang cukup mendasar, terutama setelah diberlakukannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

Lebih terperinci

BUPATI GARUT PERATURAN BUPATI GARUT NOMOR 735 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI GARUT PERATURAN BUPATI GARUT NOMOR 735 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT PERATURAN BUPATI GARUT NOMOR 735 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58 Tambahan Le

Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58 Tambahan Le WALIKOTA PAREPARE PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN WALIKOTA PAREPARE NOMOR 79 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN RENCANA KERJA SATUAN KERJA PEMERINTAH DAERAH BERPERSPEKTIF GENDER KOTA PAREPARE WALIKOTA PAREPARE

Lebih terperinci

DASAR & FUNGSI. PENDIDIKAN NASIONAL BERDASARKAN PANCASILA DAN UNDANG UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

DASAR & FUNGSI. PENDIDIKAN NASIONAL BERDASARKAN PANCASILA DAN UNDANG UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 DASAR & FUNGSI. PENDIDIKAN NASIONAL BERDASARKAN PANCASILA DAN UNDANG UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 UNDANG UNDANG NO. 20 TH.2003 Tentang SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL DASAR & FUNGSI Pendidikan

Lebih terperinci

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA SALINAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 56 TAHUN 2015 TENTANG RINCIAN TUGAS DAN FUNGSI DINAS PENDIDIKAN, PEMUDA DAN OLAHRAGA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

WALIKOTA CIREBON PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA CIREBON NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KOTA CIREBON

WALIKOTA CIREBON PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA CIREBON NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KOTA CIREBON WALIKOTA CIREBON PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA CIREBON NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KOTA CIREBON DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA CIREBON, Menimbang

Lebih terperinci

DASAR & FUNGSI. Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

DASAR & FUNGSI. Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 UNDANG UNDANG NO. 20 TH.2003 Tentang SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL DASAR & FUNGSI Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pendidikan Nasional

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2013-2018 DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN DAN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN DAN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN DAN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Berdasarkan temuan penelitian dan pembahasan yang dikemukakan pada bab sebelum ini, selanjutnya penulis menyimpulkan hal-hal sebagai berikut.

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN DAN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN DAN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN DAN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PENDIDIKAN INKLUSI DI KABUPATEN PELALAWAN PROVINSI RIAU TAHUN Oleh

PELAKSANAAN PENDIDIKAN INKLUSI DI KABUPATEN PELALAWAN PROVINSI RIAU TAHUN Oleh PELAKSANAAN PENDIDIKAN INKLUSI DI KABUPATEN PELALAWAN PROVINSI RIAU TAHUN 2016 Oleh SRI DELVINA,S.Pd NIP. 198601162010012024 SLB NEGERI PELALAWAN KEC. PANGKALAN KERINCI KAB. PELALAWAN PROVINSI RIAU TAHUN

Lebih terperinci

WALIKOTA PAREPARE PERATURAN WALIKOTA PAREPARE NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF DI KOTA PAREPARE

WALIKOTA PAREPARE PERATURAN WALIKOTA PAREPARE NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF DI KOTA PAREPARE WALIKOTA PAREPARE PERATURAN WALIKOTA PAREPARE NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF DI KOTA PAREPARE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PAREPARE, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan suatu bangsa karena menjadi modal utama dalam pengembangan

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan suatu bangsa karena menjadi modal utama dalam pengembangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan menjadi kebutuhan paling dasar untuk membangun kehidupan suatu bangsa karena menjadi modal utama dalam pengembangan sumber daya manusia. Bangsa Indonesia

Lebih terperinci

P 37 Analisis Proses Pembelajaran Matematika Pada Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) Tunanetra Kelas X Inklusi SMA Muhammadiyah 4 Yogyakarta

P 37 Analisis Proses Pembelajaran Matematika Pada Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) Tunanetra Kelas X Inklusi SMA Muhammadiyah 4 Yogyakarta P 37 Analisis Proses Pembelajaran Matematika Pada Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) Tunanetra Kelas X Inklusi SMA Muhammadiyah 4 Yogyakarta Risti Fiyana Mahasiswa S1 Program Studi Pendidikan Matematika Dr.

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR TENTANG INOVASI DAERAH DI PROVINSI JAWA TENGAH

GUBERNUR JAWA TENGAH RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR TENTANG INOVASI DAERAH DI PROVINSI JAWA TENGAH Draft 4 GUBERNUR JAWA TENGAH RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR TENTANG INOVASI DAERAH DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang : a.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan dan praktik penyelenggaraan dari Sekolah Bertaraf Internasional

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan dan praktik penyelenggaraan dari Sekolah Bertaraf Internasional BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian ini dikembangkan untuk memahami lebih jauh mengenai pelaksanaan dan praktik penyelenggaraan dari Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) yang masih dipandang

Lebih terperinci

WALIKOTA PADANG PERATURAN WALIKOTA PADANG NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN KHUSUS DAN LAYANAN KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA PADANG PERATURAN WALIKOTA PADANG NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN KHUSUS DAN LAYANAN KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PADANG PERATURAN WALIKOTA PADANG NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN KHUSUS DAN LAYANAN KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PADANG, Menimbang : a. bahwa dalam upaya memberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dan strategis dalam pembangunan nasional karena merupakan salah satu penentu kemajuan bagi suatu negara (Sagala, 2006).

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT

PEMERINTAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT PEMERINTAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH GRATIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu ;

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu ; BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 5 ayat 1 s.d 4 menyatakan bahwa ; Setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEMUDA DAN OLAHRAGA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 0059 TAHUN 2013 TENTANG PENGEMBANGAN KEPEMIMPINAN PEMUDA

PERATURAN MENTERI PEMUDA DAN OLAHRAGA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 0059 TAHUN 2013 TENTANG PENGEMBANGAN KEPEMIMPINAN PEMUDA PERATURAN MENTERI PEMUDA DAN OLAHRAGA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 0059 TAHUN 2013 TENTANG PENGEMBANGAN KEPEMIMPINAN PEMUDA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEMUDA DAN OLAHRAGA REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

~ 1 ~ BUPATI KAYONG UTARA PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAYONG UTARA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG PENDIDIKAN GRATIS

~ 1 ~ BUPATI KAYONG UTARA PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAYONG UTARA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG PENDIDIKAN GRATIS ~ 1 ~ SALINAN Menimbang BUPATI KAYONG UTARA PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAYONG UTARA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG PENDIDIKAN GRATIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KAYONG

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN TUGAS KEHUMASAN DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN DALAM NEGERI DAN PEMERINTAH DAERAH DENGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dunia pendidikan merupakan kehidupan yang penuh dengan tantangan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dunia pendidikan merupakan kehidupan yang penuh dengan tantangan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dunia pendidikan merupakan kehidupan yang penuh dengan tantangan sekaligus membuka peluang-peluang baru bagi pembangunan ekonomi dan sumber daya manusia Indonesia

Lebih terperinci

BUPATI KEBUMEN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER

BUPATI KEBUMEN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER SALINAN BUPATI KEBUMEN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEBUMEN, Menimbang Mengingat :

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2017 TENTANG LEMBAGA KONSULTASI KESEJAHTERAAN KELUARGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2017 TENTANG LEMBAGA KONSULTASI KESEJAHTERAAN KELUARGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2017 TENTANG LEMBAGA KONSULTASI KESEJAHTERAAN KELUARGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG, Menimbang Mengingat : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN TENTANG PENYELENGGARAAN KEOLAHRAGAAN KOTA BALIKPAPAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BALIKPAPAN,

PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN TENTANG PENYELENGGARAAN KEOLAHRAGAAN KOTA BALIKPAPAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BALIKPAPAN, PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KEOLAHRAGAAN KOTA BALIKPAPAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BALIKPAPAN, Menimbang : a. bahwa pembangunan di bidang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA BANJARBARU NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KOTA BANJARBARU NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GAWI SABARATAAN PERATURAN DAERAH KOTA BANJARBARU NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJARBARU, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

TUGAS RINCI/ LANGKAH LANGKAH. Guru bimbingan konseling. turut menandatangan i komitment tertulis untuk menginisiasi SRA

TUGAS RINCI/ LANGKAH LANGKAH. Guru bimbingan konseling. turut menandatangan i komitment tertulis untuk menginisiasi SRA NO TAHAPAN RUANG LINGKUP INDIKATOR Pimpinan/Kepala Sekolah/ Satuan 1 PERSIAPAN & Membuat PERENCANAAN komitment tertulis yang diwakili seluruh unsur yang ada di turut menandatangani komitment tertulis untuk

Lebih terperinci

WALIKOTA PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PEKALONGAN, Menimbang Mengingat : a. bahwa penanaman modal merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang bernama komite sekolah (SK Mendiknas Nomor 044/U/2002). karena pembentukan komite sekolah di berbagai satuan pendidikan atau

BAB I PENDAHULUAN. yang bernama komite sekolah (SK Mendiknas Nomor 044/U/2002). karena pembentukan komite sekolah di berbagai satuan pendidikan atau BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Komite sekolah adalah nama badan yang berkedudukan pada satu satuan pendidikan, baik jalur sekolah maupun di luar sekolah atau beberapa satuan pendididkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Terkait dengan isu Social Development: Eradication of Poverty, Creation of

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Terkait dengan isu Social Development: Eradication of Poverty, Creation of BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terkait dengan isu Social Development: Eradication of Poverty, Creation of Productive Employement and Social Integrationyaitu Promote equal access to all levels of

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I

BAB I PENDAHULUAN BAB I BAB I BAB I 1 A Latar Belakang Lahirnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) merupakan perwujudan dari tekad melakukan reformasi pendidikan untuk menjawab tuntutan

Lebih terperinci

BUPATI SEMARANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 32 TAHUN 2016 TENTANG GERAKAN LITERASI KABUPATEN SEMARANG

BUPATI SEMARANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 32 TAHUN 2016 TENTANG GERAKAN LITERASI KABUPATEN SEMARANG BUPATI SEMARANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 32 TAHUN 2016 TENTANG GERAKAN LITERASI KABUPATEN SEMARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SEMARANG, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Dari keterangan dan data-data yang diperoleh dari berbagai nara sumber melalui wawancara, observasi langsung, study dokumentasi dan penggabungan dari ketiga

Lebih terperinci

Bab 6 INDIKATOR KINERJA DINAS PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TIMUR. A. Tujuan dan Sasaran Strategis

Bab 6 INDIKATOR KINERJA DINAS PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TIMUR. A. Tujuan dan Sasaran Strategis Bab 6 INDIKATOR KINERJA DINAS PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TIMUR A. Tujuan dan Sasaran Strategis Berdasarkan pada amanat UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, serta misi dan visi Dinas

Lebih terperinci

Jakarta, Januari 2016 Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. Hamid Muhammad, Ph.D. NIP iii

Jakarta, Januari 2016 Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. Hamid Muhammad, Ph.D. NIP iii KATA PENGANTAR Sesuai dengan amanat Undang Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan, Kementerian Pendidikan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2011 TENTANG PENGEMBANGAN KEWIRAUSAHAAN DAN KEPELOPORAN PEMUDA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2011 TENTANG PENGEMBANGAN KEWIRAUSAHAAN DAN KEPELOPORAN PEMUDA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2011 TENTANG PENGEMBANGAN KEWIRAUSAHAAN DAN KEPELOPORAN PEMUDA, SERTA PENYEDIAAN PRASARANA DAN SARANA KEPEMUDAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB VIII RANCANGAN PROGRAM STRATEGIS

BAB VIII RANCANGAN PROGRAM STRATEGIS BAB VIII RANCANGAN PROGRAM STRATEGIS 8.1. Rancangan Program Peningkatan Peran LSM dalam Program PHBM Peran LSM dalam pelaksanaan program PHBM belum sepenuhnya diikuti dengan terciptanya suatu sistem penilaian

Lebih terperinci

WALIKOTA SINGKAWANG PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN WALIKOTA SINGKAWANG NOMOR 35 TAHUN 2015 TENTANG PERSALINAN AMAN

WALIKOTA SINGKAWANG PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN WALIKOTA SINGKAWANG NOMOR 35 TAHUN 2015 TENTANG PERSALINAN AMAN WALIKOTA SINGKAWANG PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN WALIKOTA SINGKAWANG NOMOR 35 TAHUN 2015 TENTANG PERSALINAN AMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SINGKAWANG, Menimbang : a. bahwa kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kita semua menyadari bahwa dalam upaya mewujudkan masyarakat Indonesia yang berkualitas tinggi demi tercapainya kemajuan suatu bangsa bergantung dan tidak

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENANAMAN MODAL DI PROVINSI JAWA TENGAH

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENANAMAN MODAL DI PROVINSI JAWA TENGAH PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENANAMAN MODAL DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang

Lebih terperinci

WALIKOTA BATU PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 37 TAHUN 2013 TENTANG PENJABARAN TUGAS DAN FUNGSI DINAS PENDIDIKAN KOTA BATU

WALIKOTA BATU PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 37 TAHUN 2013 TENTANG PENJABARAN TUGAS DAN FUNGSI DINAS PENDIDIKAN KOTA BATU SALINAN WALIKOTA BATU PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 37 TAHUN 2013 TENTANG PENJABARAN TUGAS DAN FUNGSI DINAS PENDIDIKAN KOTA BATU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BATU, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

2016, No Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan L

2016, No Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan L No. 1449, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENPORA. Sentra Pemberdayaan Pemuda. PERATURAN MENTERI PEMUDA DAN OLAHRAGA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2016 TENTANG SENTRA PEMBERDAYAAN PEMUDA DENGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Reformasi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 berdampak ke hampir seluruh aspek kehidupan bangsa. Salah satu dampak dari adanya reformasi adalah perubahan

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2009 TENTANG KEPEMUDAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2009 TENTANG KEPEMUDAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2009 TENTANG KEPEMUDAAN Menimbang DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia sejak

Lebih terperinci

PENGUATAN FUNGSI LEGISLASI DPRD DALAM PEMBUATAN RAPERDA INISIATIF. Edy Purwoyuwono Dosen Fakultas Hukum Universitas Widya Gama Mahakam Samarinda

PENGUATAN FUNGSI LEGISLASI DPRD DALAM PEMBUATAN RAPERDA INISIATIF. Edy Purwoyuwono Dosen Fakultas Hukum Universitas Widya Gama Mahakam Samarinda YURISKA, VOL. 2, NO. 1, AGUSTUS 2010 72 PENGUATAN FUNGSI LEGISLASI DPRD DALAM PEMBUATAN RAPERDA INISIATIF Edy Purwoyuwono Dosen Fakultas Hukum Universitas Widya Gama Mahakam Samarinda ABSTRAK Hubungan

Lebih terperinci

PERAN GPK DALAM PELAYANAN SISWA ABK DI SEKOLAH INKLUSI PASCA DEKLARASIKAN PROVINSI BALI SEBAGAI PENYELENGARA PENDIDIKAN INKLUSI

PERAN GPK DALAM PELAYANAN SISWA ABK DI SEKOLAH INKLUSI PASCA DEKLARASIKAN PROVINSI BALI SEBAGAI PENYELENGARA PENDIDIKAN INKLUSI PERAN GPK DALAM PELAYANAN SISWA ABK DI SEKOLAH INKLUSI PASCA DEKLARASIKAN PROVINSI BALI SEBAGAI PENYELENGARA PENDIDIKAN INKLUSI Naskah Penulisan Karya ilmiah pada symposium Guru dan Tenaga Kependidikan

Lebih terperinci

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 54 TAHUN 2011 TENTANG

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 54 TAHUN 2011 TENTANG GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 54 TAHUN 2011 TENTANG PENDIDIKAN ETIKA BERLALU LINTAS PADA SATUAN PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci