SIMULASI DISPERSI GAS POLUTAN SO 2, H 2 S, DAN CO DENGAN MENGGUNAKAN PROGRAM COMPUTATIONAL FLUID DYNAMICS (CFD) Oleh : AGUS GHAUTSUN NI AM F

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "SIMULASI DISPERSI GAS POLUTAN SO 2, H 2 S, DAN CO DENGAN MENGGUNAKAN PROGRAM COMPUTATIONAL FLUID DYNAMICS (CFD) Oleh : AGUS GHAUTSUN NI AM F"

Transkripsi

1 SIMULASI DISPERSI GAS POLUTAN SO 2, H 2 S, DAN CO DENGAN MENGGUNAKAN PROGRAM COMPUTATIONAL FLUID DYNAMICS (CFD) Oleh : AGUS GHAUTSUN NI AM F DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2 SIMULASI DISPERSI GAS POLUTAN SO 2, H 2 S, DAN CO DENGAN MENGGUNAKAN PROGRAM COMPUTATIONAL FLUID DYNAMICS (CFD) SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor Oleh : AGUS GHAUTSUN NI AM F FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

3 INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN SIMULASI DISPERSI GAS POLUTAN SO 2, H 2 S, DAN CO DENGAN MENGGUNAKAN PROGRAM COMPUTATIONAL FLUID DYNAMICS (CFD) SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor Oleh : AGUS GHAUTSUN NI AM F Dilahirkan pada tanggal 11 Juni 1985 di Kuningan Tanggal lulus:.. Menyetujui, Bogor, Januari 2009 Prof.Dr.Ir. Kudang B Seminar,M.Sc Dosen Pembimbing I Dr. Ir. Arief Sabdo Yuwono, MSc Dosen Pembimbing II Mengetahui, Dr. Ir. Desrial, M.Eng Ketua Departemen Teknik Pertanian

4 Agus Ghautsun Ni am. F Simulasi Dispersi Gas Polutan SO 2, H 2 S, dan CO dengan Menggunakan Program Computational Fluid Dynamics (CFD). Di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Kudang Boro Semina, M.Sc. dan Dr. Ir. Arief Sabdo Yuwono, M.Sc. RINGKASAN Studi simulasi dispersi gas polutan dari sebuah cerobong merupakan upaya pengembangan sektor industri yang ramah lingkungan. Prediksi sebaran emisi gas polutan terhadap udara ambien dilakukan untuk mengantisipasi dampak negatif yang ditimbulkan dari suatu kegiatan industri. Studi simulasi dispersi gas polutan dilakukan dengan menggunakan program Computational Fluid Dynamics (CFD). Studi simulasi ini dilakukan untuk melihat simulasi dispersi dan sebaran konsentrasi gas polutan (SO 2, H 2 S, dan CO) dari cerobong ke lingkungan dengan menggunakan program CFD yang akan dibandingkan dengan model Gaussian. Model simulasi yang digunakan untuk menentukan nilai konsentrasi gas polutan di suatu titik tertentu adalah model persamaan dispersi Gaussian dengan menggunakan program visual basic dan model Navier-Stokes yang direpresentasikan oleh software Solidworks Office 2007 dengan menggunakan metode finite volume. Parameter input simulasi yaitu laju emisi gas yang diemisikan dari cerobong, kecepatan udara di sekitar sumber emisi atau ambien, faktor stabilitas atmosfer hingga titik acuan, dan sifat karakteristik kimia gas polutan. Sedangkan parameter output yang diharapkan adalah visualisasi sebaran konsentrasi gas polutan berupa bidang 2 dimensi yang dilengkapi dengan nilai persamaan konsentrasinya terhadap jarak dari sumber emisi. Program CFD digunakan sebagai support simulator atau tools untuk mendapatkan visualisasi sebaran gas terdispersi dari hasil perhitungan. Sotfware yang digunakan adalah sotfware Solidworks Office 2007 yang memiliki kemampuan untuk membuat model geometri, batasan lingkungan simulasi atau domain, meshing model geometri yang akan disimulasikan, solver atau pencarían solusi dengan menyediakan fleksibilitas mesh automatis berbentuk tetahedral yang dapat diatur mudah kerapatan meshnya. Software ini menghitung persamaan fluida dinamik dengan menggunakan metode finite volume, sehingga dapat mempresentasikan data dan memvisualisasikan berbagai kasus aplikasi dinamika fluida secara detail. Representasi hasil visualisasi simulasi dengan program CFD memberikan gambaran bahwa gas polutan yang paling besar memberikan dampak pencemaran terhadap permukaan tanah di lingkungan sekitar adalah gas SO 2, dimana nilai konsentrasi yang paling tinggi terdapat pada jarak 60 m dari ceobong, yaitu sebesar 10721,6 ppm. Sedangkan gas CO mencemari permukaan tanah pada jarak di atas 300 m dari cerobong dan gas H 2 S dari hasil simulasi tidak mencemari permukaan tanah karena bergerak ke atmosfer. Adapun perbandingan hasil simulasi dispersi gas polutan dengan menggunakan model Gaussian sangat berbeda jauh dengan hasil dari model EFD yang menggunakan basis persamaan Navier-Stokes. Dalam model Gaussian tidak ada parameter sifat kimia atau karakteristik bahan material fluida yang mempengaruhi proses dispersi, bahkan diabaikan. Sedangkan simulasi dispersi dengan model EFD sangat dipengaruhi oleh faktor internal dari material fluida yaitu karakteristik kimiawinya.

5 RIWAYAT HIDUP Penulis merupakan putra Sunda yang dilahirkan di Kuningan Jawa Barat pada tanggal 11 Juni Anak kedelapan dari Sembilan bersaudara, buah kasih sayang pasangan ibu Juhro dan bapak Hasbullah (alm). Menamatkan pendidikan dasar pada tahun 1998 di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Mandirancan, kemudian pada tahun 2001 penulis berhasil menyelesaikan studinya di Madrasah Tsanawiyah (MTs) Mandirancan. Setelah lulus dari MTs Mandirancan, penulis diterima di SMU Plus Yayasan Darmaloka Propinsi Jabar sebagai delegasi dari Kabupaten Kuningan untuk dibina, diasramakan dan dibiaya selama studi di SMU Negeri 1 Cisarua Bandung. Tahun 2004 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Cisarua Bandung dan diterima di IPB melalui jalur USMI di Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai asisten kuliah Matematika Teknik dan asisten Praktikum Terpadu Mekanika dan Bahan Teknik. Selain itu, selama 3 tahun masa perkuliahan penulis mendapatkan beasiswa dan pembinaan dari Beastudi Etos yayasan Dompet Dhuafa Republika serta aktif di Himpunan Mahasiswa Teknik Pertanian (HIMATETA) dan Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA) pada Himpunan Mahasiswa Aria Kamuning (HIMARIKA) Kabupaten Kuningan. Penulis pernah melakukan praktek lapangan di PT. Sido Muncul dengan objek pengamatan pada Pengolahan Air Bersih (Water Traetment) dan Pengolahan Limbah Cair (Wastewater Treatment) selama 2 bulan pada tahun ii

6 KATA PENGANTAR Alhamdulillah, syukur dan pujian penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang Maha Menggenggam segala ke-agungan. Dengan Rahmat, Hidayah serta Kasih Sayang-Nya skripsi penelitian ini dapat tersusun. Harapan besar penulis semoga skripsi yang berjudul Simulasi Dispersi Gas Polutan SO 2, H 2 S, dan CO dengan Menggunakan Program Computational Fluid Dynamics (CFD) ini dapat bermanfaat dalam menambah hasanah keilmuan bagi penulis maupun para akademisi lainnya. Dengan segenap kerendahan hati, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Prof. Dr. Ir. Kudang Boro Seminar, M.Sc selaku pembimbing tercinta yang tak henti-hentinya membimbing dan mengarahkan penulis. 2. Dr. Ir. Arief Sabdo Yuwono, M.Sc selaku pembimbing skripsi II yang telah memberikan kontribusi, inspirasi serta ilmunya terhadap penulis. 3. Dr. Ir. Ahmad Indra Siswantara, Pak Dodi beserta segenap karyawan CCIT, yang telah memberikan saran, ilmu dan memfasilitasi penulis dalam melakukan penelitian. 4. Dr. Ir. Leopold O. Nelwan, MS selaku dosen penguji skripsi. 5. Ummi, Teteh dan segenap keluarga penulis, terima kasih atas doa dan dukungannya yang tiada henti kepada penulis. 6. Ibu Hanni dan bapak Fadhil (LAGG PUSPIPTEK), ibu Dyah, atas ilmu dan kesempatan diskusinya dalam mendukung kegiatan penelitian. 7. Teman-teman seperjuangan : Harritz Rizaldi, Adhi N, Aris Setyawan, Ferdian, M Ali Maksum, Gunawan, Yudik, Eko, Arip Sonjaya, terima kasih atas bantuannya serta kepada segenap teman-teman TEP 41 sebagai tempat berbagi dan saling mengingatkan. 8. Lembaga CCIT yang telah memberikan kesempatan penulis menggunakan fasilitas software resmi EFD untuk penelitian Penulis sadar betul kesempurnaan skripsi ini masih jauh. Untuk itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangatlah diperlukan demi menunjang kesempurnaan skripsi ini. Bogor, Desember 2008 Penulis iii

7 DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN... i RIWAYAT HIDUP... ii KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... iv DAFTAR TABEL... vii DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR LAMPIRAN... xii BAB I. PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang... 1 B. Tujuan... 2 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA... 3 A. Pencemaran Udara Definisi Pencemaran Udara Sumber Pencemaran Udara... 4 B. Jenis Pencemaran Udara Karbon Monoksida (CO) Sulfur Dioksida (SO 2 ) Hidrogen Sulfida (H 2 S) Oksida Nitrogen (NO x ) Partikel Tersuspensi (TSP) Ozon (O 3 ) C. Mekanika Fluida Dasar Mekanika Fluida Aliran di Sekitar Permukaan Silinder Ketebalan boundary layer pada permukaan ground dan tegangan geser pada boundary layer Fenomena Pemisahan Aliran D. Dispersi Udara Model Dispersi a. Model Gaussian iv

8 b. Model Eulerian c. Model Lagrangian Stabilitas Atmosfer Kecepatan Angin E. Dasar-dasar Simulasi F. Pemodelan Matematik G. Metode Komputasi Dinamika Fluida Prapemrosesan (Pre-Processing) Pencarian Solusi (Solving) Pasca Pemrosesan (Post-processing) H. Penelitian Terdahulu yang Terkait BAB III. METODOLOGI A. Pendekatan Permasalahan Kekekalan Massa 3 Dimensi Persamaan Momentum 3 Dimensi Persamaan Energi 3 Dimensi Persamaan Spesies Transport Material Fluida B. Bahan dan Alat C. Parameter Input D. Data Input E. Tahapan Kegiatan Penelitian F. Asumsi dalam Simulasi CFD BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kecepatan Angin (wind speed) B. Model Gaussian C. Model EFD Kondisi Awal Udara Ambien Pendefinisian Domain Tahap Penentuan Kondisi Batas Analisis Aliran BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan v

9 B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN vi

10 DAFTAR TABEL Tabel 1. Standard kualitas udara ambien... 4 Tabel 2. Baku tingkat kebauan udara ambien... 4 Tabel 3. Stabilitas atmosfer Turner berdasarkan kecepatan angin, radiasi matahari dan penutupan awan Tabel 4. Nilai konstanta a, c, d, dan f untuk menghitung σ y dan σ z sebagai fungsi dari jarak Tabel 5. Aturan nilai eksponen n untuk pedesaan dan kota Tabel 6. Data input fiktif Tabel 7. Input aliran gas polutan (mass flow rate) dari cerobong Tabel 8. Nilai spesifik sifat kimia masing-masing senyawa fluida Tabel 9. Nilai densitas dan koefisien difusivitas massa masing-masing spesies 41 Tabel 10. Nilai viskositas kinematik dan difusivitas panas udara dan gas polutan63 vii

11 DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Ilustrasi aliran di sekitar silinder Gambar 2. Ilustrasi faktor tekanan dan tegangan geser pada permukaan silinder tampak atas Gambar 3. Aliran pada boundary layer Gambar 4. Skema terbentuknya lapisan geser (shear layer) yang selanjutnya akan membentuk vortex Gambar 5. Ilustrasi aliran vortex di atas permukaan solid pada silinder bagian bawah Gambar 6. Model dispersi Gaussian Gambar 7. Ilustrasi pengambilan data temperatur aliran fluida pada lagrangian dan eulerian Gambar 8. Bentuk geometri cerobong dan area permukaan tanah Gambar 9. Dimensi geometri tampak atas dalam satuan meter Gambar 10. Diagram alir pembuatan program Gambar 11. Diagram alir prosedur simulasi pada EFD Gambar 12. Koreksi kecepatan angin terhadap ketinggian elevasi Gambar 13. Form penghitungan sebaran konsentrasi setiap titik (x, y, z) Gambar 14. Grafik sebaran konsentrasi gas polutan sepanjang centerline a). SO 2, b). H 2 S, dan c). CO, pada bidang permukaan tanah Gambar 15. Profil sebaran gas polutan sepanjang crosswind pada jarak x 10 m, a).so 2, b).h 2 S, dan c).co Gambar 16. Ilustrasi grid hasil meshing domain dari geometri cerobong Gambar 17. Ilustrasi pendefinisian kondisi batas Gambar 18. Kontur dan vektor aliran kecepatan udara dengan melewati silinder cerobong tampak atas Gambar 19. Sebaran kecepatan udara dan tekanan dinamik aliran udara di sekitar permukaan silinder Gambar 20. Sebaran tegangan geser dan koefisien gesek di sepanjang permukaan silinder Gambar 21. Grafik sebaran densitas disepanjang centerline viii

12 Gambar 22. Grafik tekanan dan kecepatan udara hasil iterasi Gambar 23. Kontur kecepatan tampak samping Gambar 24. Ilustrasi gerakan partikel terhadap satuan waktu kecepatan Gambar 25. Sebaran temperatur berbagai gas polutan Gambar 26. Sebaran konsentrasi SO 2 pada berbagai bidang tampak samping Gambar 27. Sebaran konsentrasi SO 2 dipermukaan tanah tampak atas ditunjukan dengan kurva isoline dan kontur Gambar 28. Grafik konsentrasi SO 2 disepanjang centerline Gambar 29. Profil iterasi sebaran konsentrasi gas SO Gambar 30. Sebaran konsentrasi gas H 2 S di atmosfer pada berbagai jarak bidang tampak samping dari centerface Gambar 31. Sebaran konsentrasi gas H 2 S tampak atas pada berbagai jarak bidang dari permukaan tanah Gambar 32. Ilustrasi garis plot data nilai sebaran gas konsentrasi H 2 S Gambar 33. Grafik sebaran gas H 2 S sepanjang centerline Gambar 34. Profil iterasi sebaran konsentrasi gas H 2 S Gambar 35. Sebaran gas polutan CO pada berbagai jarak bidang Gambar 36. Ilustrasi sebaran gas CO sepanjang garis centerline Gambar 37. Profil iterasi gas CO ix

13 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Gambar struktur cerobong...85 Lampiran 2. Hubungan antara tekanan gas polutan dan temperatur Lampiran 3. Algoritma program VB untuk penghitungan dispersi gas polutan dengan model Gaussian Lampiran 4. Data nilai sebaran konsentrasi gas polutan sepanjang sumbu x. 91 Lampiran 5. Data sebaran tegangan geser dan koefisien gesek pada permukaan silinder. 92 Lampiran 6. Hasil iterasi kecepatan rata-rata dan tekanan udara dinamik Lampiran 7. Sebaran konsentrasi gas SO 2 sepanjang centerline x

14 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Industri merupakan salah satu sektor yang dominan mempengaruhi stabilitas perekonomian suatu negara. Perkembangan di sektor industri, telah mengakibatkan regulasi pemerintah dalam hal pemberdayaan sumber daya alam (SDA) dan lingkungan semakin ketat. Hal ini dilakukan untuk mengarahkan para pelaku industri agar berorientasi pada industri yang berteknologi ramah lingkungan dan dapat meningkatkan efisiensi penggunaan SDA yang dikelolanya. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka dikenal istilah Produksi Bersih (Cleaner Production) sebagai pola berpikir dan konsep global dalam perancangan proses suatu industri secara keseluruhan. Produksi Bersih merupakan salah satu pendekatan untuk merancang ulang industri yang bertujuan untuk mencari solusi pengurangan produk-produk samping yang berbahaya, mengurangi polusi secara keseluruhan, dan menciptakan produk yang aman terhadap resiko pada manusia dan lingkungan. Strategi ini berfungsi untuk mengarahkan para pelaku industri memiliki orientasi pada pengembangan industri yang berpola ekoefisiensi dengan memanfaatkan SDA secara optimal dan mengurangi dampak resiko terhadap lingkungan. Salah satu masalah yang terjadi di lingkungan industri adalah penurunan kualitas udara ambien yang diakibatkan oleh emisi gas polutan dari cerobong (stack). Tingginya konsentrasi polutan di udara ambien akan berdampak terhadap penerima khususnya manusia, hewan, tumbuhan dan material atau benda yang ada di lingkungan sumber pencemar. Udara mempunyai arti yang sangat penting di dalam kehidupan makhluk hidup dan keberadaan benda-benda lainnya. Sehingga udara merupakan sumber daya alam yang harus dijaga untuk kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Hal ini berarti bahwa pemanfaatannya harus dilakukan secara bijaksana dengan memperhitungkan kepentingan generasi sekarang dan yang akan datang. Untuk mendapatkan udara sesuai dengan tingkat kualitas yang diinginkan maka pengendalian pencemaran udara menjadi sangat penting untuk dilakukan.

15 Salah satu upaya agar pengembangan industri dapat sejalan dengan upaya pengelolaan lingkungan adalah dengan studi simulasi dispersi gas polutan dari sebuah cerobong. Studi simulasi tersebut dapat memprediksi sebaran emisi gas polutan di udara ambien. Prediksi sebaran emisi gas polutan perlu dipelajari dalam upaya pengelolaan lingkungan hidup untuk mengantisipasi dampak negatif yang ditimbulkan dari suatu kegiatan industri. Analisis studi simulasi dispersi gas polutan dapat dilakukan dengan menggunakan program Computational Fluid Dynamics (CFD). B. Tujuan Penelitian Beberapa tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Melakukan simulasi dispersi gas polutan (SO 2, H 2 S dan CO) dari cerobong ke lingkungan dengan menggunakan program CFD. 2. Mempelajari perbedaan model dispersi gas polutan pada udara ambien menggunakan model Gaussian dengan model CFD. 3. Menghitung konsentrasi gas polutan (SO 2, H 2 S dan CO) di permukaan tanah berdasarkan simulasi CFD. 2

16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pencemaran Udara 1. Definisi Pencemaran Udara Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam udara oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan atau mempengaruhi kesehatan manusia. Sedangkan pencemaran lingkungan hidup memiliki pengertian masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Menurut Soenarmo (1999), pencemaran merupakan hasil sampingan dari industrialisasi penghasil barang, dapat berupa padat, cair maupun gas, dan pencemaran udara adalah masuknya zat pencemar berupa partikelpartikel halus (debu, partikel halus, gas beracun atau toksit) ke dalam udara (atmosfer). Sedangkan menurut Supriyono (1999), pencemaran udara diartikan terdapatnya bahan kontaminan dalam udara ambien yang diakibatkan dari aktivitas manusia. Sementara itu, udara ambien adalah udara bebas dipermukaan bumi pada lapisan troposfer yang berada di dalam wilayah yurisdiksi Republik Indonesia yang dibutuhkan dan mempengaruhi kesehatan manusia, makhluk hidup dan unsur lingkungan hidup lainnya (PP No. 41 Tahun 1999). Kualitas udara ambien dipengaruhi oleh kandungan atau kadar zat, energi dan komponen lain yang terdapat di udara bebas (Syahputra, 2005). Beberapa parameter kualitas udara yang dianalisis meliputi sulfur dioksida, karbon monoksida, dan hidrogen sulfida. Standar kualitas udara ambien menurut EPA (Environmental Protection Agency) milik Amerika Serikat yang disebut sebagai NAAQS (National Ambient Air Quality and Standards) disajikan pada Tabel 1.

17 Tabel 1. Standard kualitas udara ambien. No. Parameter Satuan Nilai Batas Waktu rata-rata 1 Carbon Monoxide (CO) 2 Nitrogen Dioxide (NO2) 3 Sulfur Dioxide (SO2) ppm 9 mg/m³ 10 ppm 35 mg/m³ 40 ppm 0,053 µg/m³ jam 1 jam per tahun ppm 0,03 per tahun ppm 0,14 24 jam ppm 0,5 3 jam 4 Partikel PM10 µg/m³ jam 5 Partikel PM2,5 µg/m³ 15 per tahun µg/m³ jam ppm 0,075 8 jam 6 Ozon (O3) ppm 0,12 1 jam Sumber : The EPA Office of Air Quality Planning and Standards (OAQPS) 2008 Salah satu akibat dari tercemarnya lingkungan udara adalah timbulnya bau dari sumber bau atau zat odoran yang dapat menimbulkan rangsangan bau pada keadaan tertentu sehingga sangat mengganggu kesehatan manusia. Pemerintah telah menetapkan regulasi mengenai tingkat atau kadar kebauan di udara ambien untuk menciptakan lingkungan yang nyaman dan sehat dengan KEPMEN Negara Lingkungan Hidup No 50 Tahun 1996 tentang Baku Tingkat Kebauan yang terdapat pada Tabel 2. Tabel 2. Baku tingkat kebauan udara ambien. No. Parameter Satuan Nilai Batas 1 Amoniak (NH 3 ) ppm 2 2 Metil Merkaptan (CH 3 SH) ppm 0,002 3 Hidrogen sulfida (H 2 S) ppm 0,02 4 Metil Sulfida ((CH 3 ) 2 S) ppm 0,01 5 Stirena (C 6 H 8 CHCH 2 ) ppm 0,1 Sumber : KEPMEN Negara LH No. 50 Tahun Sumber Pencemaran Udara Sumber pencemaran udara dapat berasal dari kegiatan yang bersifat alamiah, yang terjadi di alam seperti polusi akibat letusan gunung berapi, kebakaran hutan dan sebagainya yang secara umum terjadi secara alamiah, 4

18 juga yang bersifat antropogenik atau akibat dari kegiatan manusia, seperti aktivitas transportasi, industri dan domestik atau rumah tangga (Soedomo, 2001). Berdasarkan pola atau model pancaran emisinya sumber pencemar dibagi menjadi (Tjasjono, 1999 dalam Soenarmo, 1999) : a. Sumber titik (point source), dihasilkan oleh pabrik-pabrik atau industri yang mengeluarkan zat pencemar (polutan) ke udara melalui cerobong-cerobong pembuangan. b. Sumber garis (line source), sumber pencemar ini mengeluarkan pancaran zat pencemar berupa garis yang memanjang, seperti jalan raya akibat aktivitas transportasi. c. Sumber area (area source), merupakan sumber pancaran zat pencemar berupa area atau bidang di suatu wilayah, seperti kawasan industri atau areal kebakaran hutan. Sumber pencemar dapat pula dikelompokan ke dalam sumber tidak bergerak atau diam (stationary source), seperti industri dan sumber bergerak (mobile source), seperti kendaraan bermotor (Septiyanzar, 2008). B. Jenis Pencemar Udara Secara umum jenis pencemar dapat dikelompokkan menjadi pencemar primer dan pencemar sekunder. Pencemar primer adalah substansi pencemar yang ditimbulkan langsung dari sumber pencemaran udara. Karbon monoksida (CO) merupakan contoh dari pencemar udara primer karena merupakan hasil langsung dari pembakaran. Pencemar sekunder adalah substansi pencemar yang terbentuk dari reaksi pencemar-pencemar primer di atmosfer (Septiyanzar, 2008). Berdasarkan ciri fisiknya pencemaran udara dibagi menjadi tiga jenis, yaitu (Geiger, 2000 dalam Septiyanzar, 2008) : a. Partikulat, yaitu campuran berbagai senyawa organik dan anorganik yang tersebar di udara dengan diameter mikron. b. Gas, meliputi semua jenis pencemar udara yang berbentuk gas dan berukuran molekular seperti CO, SO 2, dan H 2 S. c. Energi, yaitu seperti temperatur dan kebisingan (noise). 5

19 Karakteristik beberapa gas polutan yang tersebar di atmosfer adalah sebagai berikut : 1. Karbon Monoksida (CO) Menurut Syahputra (2005), karbon monoksida (CO) timbul karena adanya proses pembakaran yang tidak sempurna. Sedangkan menurut Godish (2004), senyawa CO mempunyai potensi bersifat racun yang berbahaya karena mampu membentuk ikatan yang kuat dengan pigmen darah yaitu hemoglobin Senyawa CO memiliki daya distribusi yang luas dan merupakan jenis senyawa polutan yang jumlah emisinya terbesar diantara nilai emisi jenis senyawa polutan lainnya. Karbon dan oksigen dapat bergabung membentuk senyawa CO sebagai hasil pembakaran yang tidak sempurna, seperti tergambar dalam reaksi berikut (Sax, 1974 dalam Septiyanzar, 2008). 2C + O 2 2CO Konsentrasi gas CO sampai dengan 100 ppm masih dianggap aman jika waktu kontak hanya sebentar. Gas CO sebanyak 30 ppm apabila dihisap oleh manusia selama 8 jam akan menimbulkan rasa pusing dan mual. Konsentrasi CO sebanyak 1000 ppm dan waktu paparan (kontak) selama 1 jam menyebabkan pusing dan kulit berubah menjadi kemerahan. Untuk paparan yang sama dengan konsentrasi CO 1300 ppm, kulit akan langsung berubah menjadi merah tua dan disertasi rasa pusing yang hebat. Untuk keadaan yang lebih tinggi, akibatnya akan lebih fatal, yaitu kematian (Syahputra, 2005). 2. Sulfur Dioksida (SO 2 ) Gas sulfur dioksida (SO 2 ) merupakan gas yang berasal dari bahan bakar fosil, terutama batubara. SO 2 merupakan komponen gas yang tidak berwarna dengan karakteristik bau yang tajam dan tidak terbakar di udara (BAPEDAL, 2005). Menurut Syahputra (2005), sulfur dioksida merupakan hasil emisi transportasi dan industri pada awalnya akan bertransformasi dengan atom tunggal oksigen akan membentuk formasi sulfur trioksida, dan formasi dari 6

20 sulfur trioksida (SO 3 ) ketika bereaksi dengan uap air (H 2 O) di atmosfer akan menyebabkan terjadinya hujan asam, seperti tergambar dalam reaksi kimiawi berikut : SO 2 + O SO 3 SO 3 + H 2 O H 2 SO 4 Udara yang tercemar SO X menyebabkan manusia akan mengalami gangguan pada sistem pernapasan. Hal ini karena gas SO X yang mudah menjadi asam tersebut menyerang selaput lendir pada hidung, tenggorokan dan saluran napas lain sampai ke paru-paru. Serangan tersebut juga dapat menyebabkan iritasi pada bagian tubuh lain. Gas SO 2 merupakan bahan pencemar yang berbahaya bagi anak-anak, orang tua dan orang penderita penyakit pernapasan kronis dan penyakit kardiovaskuler. Otot saluran pernapasan dapat mengalami kejang (spasme) bila teriritasi oleh SO 2 lebih tinggi dari temperatur udara rendah. Apabila waktu paparan gas dengan gas SO 2 cukup lama maka akan terjadi peradangan yang hebat pada selaput lendir yang diikuti oleh kelumpuhan sistem pernapasan (paralysis cilia), kerusakan lapisan epthilium yang pada akhirnya diikuti oleh kematian (Soeratmo, 1990). 3. Hidrogen Sulfida (H 2 S) Hidrogen sulfida merupakan gas yang tidak berwarna dan menimbulkan bau busuk. Dalam KEPMEN LH No. 50 Tahun 1996 gas ini disebut sebagai zat odoran tunggal. Sekalipun gas ini bersifat iritan bagi paru-paru, tetapi ia digalongkan ke dalam asphyxiant karena efek utamanya adalah melumpuhkan pusat pernafasan, sehingga kematian disebabkan oleh terhentinya pernapasan. Hidrogen sulfida juga bersifat sangat korosif terhadap metal, dan dapat menghitamkan berbagai material. Karena H 2 S lebih berat daripada udara, maka H 2 S ini sering didapat disumur-sumur, saluran air buangan, dan biasanya ditemukan bersama-sama gas beracun lainnya seperti metan, karbon dioxide dan bersifat sangat mudah terbakar. Gas H 2 S mudah didapat secara alamiah pada gunung-gunung berapi, dan dekomposisi zat organik. Emisi hidrogen sulfida didapat pada industri 7

21 kimia, industri minyak bumi, kilamg minyak, dan terutama pada industri yang memproduksi gas sebagai bahan bakar (Soemirat., 1994). 4. Oksida Nitrogen (NOx) Menurut Supriyono (1999), oksida nitrogen merupakan salah satu komponen kimia pokok dalam reaksi fotokimia yang dapat mengakibatkan pembentukan oksidan fotokimia. Sebagian besar emisi gas oksida nitrogen berasal dari pembakaran bahan bakar pada kendaraan bermotor. Dampak negatif yang ditimbulkan jika seseorang menghisap gas oksida nitrogen di luar standar baku mutu kualitas udara dapat mengakibatkan gangguan kesehatan pada pernapasan dan bronkhitis. Nitrogen oksida terbentuk dalam reaksi temperatur yang tinggi dari pembakaran bahan bakar kendaraan bermotor, dimana komponen nitrogen yang bereaksi dengan oksigen membentuk senyawa nitrogen oksida (NO) sebagai hasil emisi dari kendaraan bermotor seperti tergambar dalam reaksi kimia berikut (Wellburn, 1990 dalam Septiyanzar, 2008). N 2 + O 2 2 NO NO + O 3 NO 2 + O 2 NO 2 + O 3 NO 3 + O 2 NO 3 + NO 2 N 2 O 5 N 2 O 5 + H 2 O 2HNO 3 Emisi gas buang berupa oksida nitrogen (NO x ) adalah senyawasenyawa pemicu pembentukan ozon. Senyawa ozon di lapisan atmosfer bawah (troposfer bawah, pada ketinggian meter) terbentuk akibat adanya reaksi fotokimia senyawa NO x dengan bantuan sinar matahari. Oleh karena itu potensi produksi ozon troposfer di daerah beriklim tropis seperti Indonesia sangat tinggi. Karena merupakan pencemar sekunder, konsentrasi ozon di luar kota di mana tingkat emisi senyawa pemicu umumnya lebih rendah dibanding di pusat kota seringkali ditemukan lebih tinggi daripada di pusat kota (Anonim, 2006). 8

22 5. Partikulat (PM) Partikulat adalah padatan atau cairan di udara dalam bentuk asap, debu dan uap, yang dapat berada di atmosfer dalam waktu yang lama. Selain mengganggu estetika, partikel berukuran kecil di udara dapat terhisap ke dalam sistem pernapasan dan menyebabkan penyakit gangguan pernapasan serta kerusakan paru-paru. Partikulat juga merupakan sumber utama haze (kabut asap) yang menurunkan jarak pandang. Partikel yang terhisap ke dalam sistem pernapasan akan di sisihkan tergantung dari diameternya. Partikel berukuran besar akan tertahan pada saluran pernapasan atas, sedangkan partikel kecil (inhalable) akan masuk ke paru-paru dan bertahan di dalam tubuh dalam waktu yang lama (Anonim, 2006). Partikel yang terhirup (inhalable) juga dapat merupakan partikulat sekunder, yaitu partikel yang terbentuk di atmosfer dari gas-gas hasil pembakaran yang mengalami reaksi fisik-kimia di atmosfer, misalnya partikel sulfat dan nitrat yang terbentuk dari gas SO 2 dan NO x. Umumnya partikel sekunder berukuran 2,5 mikron atau kurang. Partikel PM 2,5 bersifat respirable karena dapat memasuki saluran pernapasan yang lebih bawah dan menimbulkan risiko yang lebih tinggi. Proporsi cukup besar dari PM 2,5 adalah amonium nitrat, amonium sulfat, natrium nitrat, dan karbon organik sekunder. Partikel-partikel ini terbentuk di atmosfer dengan reaksi yang lambat sehingga sering ditemukan sebagai pencemar udara lintas batas yang ditransportasikan oleh pergerakan angin ke tempat yang jauh dari sumbernya (Harrop, 2002, dalam Anonim, 2006). Partikel sekunder PM 2,5 dapat menyebabkan dampak yang lebih berbahaya terhadap kesehatan bukan saja karena ukurannya yang memungkinkan untuk terhisap dan masuk lebih dalam ke dalam sistem pernapasan tetapi juga karena sifat kimiawinya. Partikel sulfat dan nitrat yang inhalable dan bersifat asam akan bereaksi langsung di dalam sistem pernapasan, menimbulkan dampak yang lebih berbahaya daripada partikel kecil yang tidak bersifat asam. Partikel logam berat dan yang mengandung senyawa karbon dapat mempunyai efek karsinogenik, atau menjadi carrier pencemar toksik lain yang berupa gas atau semi gas karena menempel pada permukaannya. Termasuk ke dalam 9

23 partikel inhalable adalah partikel timbel (Pb) yang diemisikan dari gas buang kendaraan bermotor yang menggunakan bahan bakar mengandung Pb. Partikel ini berukuran lebih kecil dari 10 dan 2,5 mikrometer (Anonim, 2006). Partikulat diemisikan dari berbagai sumber, termasuk pembakaran bahan bakar minyak, pencampuran dan penggunaan pupuk dan pestisida, konstruksi, proses-proses industri seperti pembuatan besi dan baja, pertambangan, pembakaran sisa pertanian (jerami), dan kebakaran hutan. Partikel debu yang berasal dari proses peleburan, telah terjadi akumulasi beberapa unsur kimia, sehingga akan sangat berbahaya sekali apabila tidak ditanggulangi. Gangguan partikel ini sangat berbahaya kepada kesehatan terutama dapat menimbulkan sesak napas, dan menimbulkan iritasi pada kulit (Syahputra, 2005). 6. Ozon (O 3 ) Ozon termasuk pencemar sekunder yang terbentuk di atmosfer dari reaksi fotokimia NO x dan HC. Ozon bersifat oksidator kuat, karena itu pencemaran oleh ozon troposferik dapat menyebabkan dampak yang merugikan bagi kesehatan manusia. Laporan Badan Kesehatan Dunia menyatakan konsentrasi ozon yang tinggi (>120 µg/m 3 ) selama 8 jam atau lebih dapat menyebabkan serangan jantung dan kematian atau kunjungan ke rumah sakit karena gangguan pada sistem pernapasan. Konsumsi pada konsentrasi 160 µg/m 3 selama 6,6 jam dapat menyebabkan gangguan fungsi paru-paru akut pada orang dewasa yang sehat dan pada populasi yang sensitive (Anonim, 2006). Percepatan produksi ozon dibantu dengan kehadiran senyawa lain selain NO x yaitu hidrokarbon, CO, dan senyawa-senyawa radikal yang juga diemisikan dari pembakaran bahan bakar fosil. Puncak pola fluktuasi harian ozon umumnya terjadi setelah terjadinya puncak konsentrasi NO x, dan menimbulkan efek yang lebih merugikan terhadap kesehatan karena adanya 10

24 kombinasi pencemar NO x dan ozon yang menyebabkan penurunan fungsi paru-paru (Hazucha, 1996, dalam Anonim 2006). Selain menyebabkan dampak yang merugikan pada kesehatan manusia, pencemar ozon dapat menyebabkan kerugian ekonomi akibat ausnya bahan atau material (tekstil, karet, kayu, logam, cat, dan lain-lain), penurunan hasil pertanian, dan kerusakan ekosistem seperti berkurangnya keanekaragaman hayati. (Agrawal et al., 1999, dalam Anonim, 2006). C. Mekanika Fluida 1. Dasar Mekanika Fluida Mekanika adalah suatu studi yang mempelajari tentang cairan dan gas baik pada saat diam maupun saat bergerak (Okiishi et al., 2006). Dalam fluida bergerak, kemampuan untuk menyalurkan gaya geser suatu fluida dapat dikenali dengan adanya nilai viskositas dinamik µ, dimana fluida yang berada pada suatu bidang permukaan dianggap bergerak dengan kecepatan U paralel terhadap bidang permukaan yang diam stasioner. Selain itu, viskositas dinamik µ juga digunakan dalam menentukan bilangan Reynolds yang dapat dilihat pada Persamaan 1. Re =rul L m... (1) dimana L adalah jarak sepanjang permukaan x untuk aliran eksternal dan L adalah D h = (4 x luas penampang) / (keliling terbasahi) untuk aliran pada saluran bukan silinder, serta L adalah diameter D untuk aliran internal dalam pipa silinder. Nilai bilangan Reynolds digunakan untuk menentukan jenis aliran fluida apakah aliran tersebut termasuk jenis aliran laminar atau aliran turbulen. Untuk aliran eksternal, aliran turbulen memiliki nilai Re L 5 x 10 5 disepanjang bidang permukaan tempat fluida itu mengalir dan Re L 2 x 10 4 jika fluida tersebut mengalir diseputar benda. Sedangkan untuk aliran internal aliran turbulen memiliki nilai Re Dh 2300 (Tuakia, 2008). Aliran turbulen dapat dikenali dengan adanya medan kecepatan yang berfluktuasi. Fluktuasi kecepatan tersebut membawa berbagai besaran 11

25 seperti momentum, energi, konsentrasi partikel, sehingga besaran tersebut juga ikut berfluktuasi (Tuakia, 2008). Fluida yang bergerak dengan kecepatan U pada suatu bidang permukaan solid dipengaruhi oleh tekanan terhadap permukaan solid tersebut yaitu τ.a, dimana τ adalah tegangan geser dan A adalah luas permukaan solid yang dialiri fluida (Fletcher, 2006). Besarnya nilai tegangan geser τ dapat diketahui secara empirik dengan dipengaruhi oleh gradien kecepatan fluida u/ y, sebagaimana terlihat pada Persamaan (2) u t = m......(2) y dimana : τ : Tegangan geser,n/m 2 µ : Viskositas dinamik, kg/m.s u : Kecepatan parsial fluida, m/s y : Jarak terhadap permukaan solid, m Nilai viskositas dinamik µ dan konduktivitas panas k dapat mempengaruhi besarnya nilai momentum dan energi, maka dari itu nilai viskositas kinematik ν dan difusivitas panas α juga dapat dihitung dengan Persamaan (3) dan (4) dan, v = m r k a = r. C p (3).(4) dimana, ν : viskositas kinematik, m 2 /s ρ : density, kg/m 3 k : konduktivitas panas, W/m.K α : difusivitas panas, m 2 /s C p : panas jenis pada tekanan konstan, J/kg.K Difusivitas α dan viskositas kinematik ν pada fluida jenis gas seperti udara akan meningkat sejalan dengan meningkatnya temperatur, sedangkan 12

26 untuk fluida jenis cair seperti air, viskositas akan menurun secara signifikan dengan peningkatan temperatur namun difusivitas panas akan meningkat secara perlahan (Fletcher, 2006). Difusivitas masa didefinisikan oleh hukum Fick s I yang merupakan rasio fluks terhadap perubahan konsentrasi. Hal ini dapat dianalogikan seperti difusivitas panas dalam hukum Fourier s dan viskositas kinematik dalam hukum Newton. Hubungan nilai difusivitas masa dengan nilai viskositas kinematik pada kondisi tekanan konstan dipengaruhi oleh nilai angka Schmith (S c ) sebagaimana dirumuskan pada Persamaan (5) (Kreith, 1998). D m i = r. S = c v S dimana, D i : koefisien difusivitas masa, m 2 /s S c : angka Schmith c.(5) 2. Aliran di sekitar permukaan silinder Fluida yang mengalir dengan kecepatan seragam jika berbenturan dengan suatu bidang permukaan solid akan mengakibatkan terjadinya perubahan pola aliran sehingga beberapa besaran seperti kecepatan, tekanan, momentum dan energi juga akan terbawa berubah atau berfluktuasi. Perubahan pola aliran fluida yang terjadi akan mengikuti karakteristik bentuk bidang permukaan solid tersebut (Okiishi et al., 2006). Untuk bidang permukaan yang berbentuk silinder, pola aliran fluidanya dapat dilihat pada ilustrasi Gambar 1. Fungsi aliran stream ψ di sekitar permukaan silinder dapat ditentukan dengan Persamaan (6) y = Ur æ ç è a r ö sin ø q (6) Dan potensial kecepatan ϕ dirumuskan oleh Persamaan (7) æ f = Ur ç è a r dimana : ψ : fungsi aliran stream, m 2 /s ö cos q.(7) ø 13

27 ϕ : kecepatan potensial, m2/s U : kecepatan fluida seragam, m/s r : jarak titik aliran terhadap titik pusat silinder, m a : radius atau jari jari-jari silinder, m θ : sudut kemiringan jarak r terhadap arah aliran fluida Gambar 1. Ilustrasi aliran di sekitar silinder (Okiishi et al., 2006). Komponen kecepatan aliran fluida di sekitar silinder dapat diidentifikasi dari besarnya perubahan kecepatan potensial dan fungsi aliran terhadap jarak r,, sebagaimana dirumuskan oleh Persamaan (8). æ f 1 y a2 ö = = U çç 1-2 cos q....(8.a) r r q r ø è æ 1 f y a2 ö vq = = = - U çç sin q.. (8.b) r q r r ø è vr = Tepat pada permukaan rmukaan silinder dimana ((r = a), ), maka nilai kecepatan fluida di titik jarak r dan fungsi aliran ψ adalah (vr = ψ = 0), sedangkan komponen kecepatan lainnya akan menjadi : v q s = - 2U sin q...(9) Sebaran tekanan yang terjadi di permukaan silinder diturunkan dari persamaan Bernoulli, sehingga dapat dirumuskan dengan Persamaan (10) p s = p0 + 1 ru 2 2 (1-4 sin 2 q..(10) )... 14

28 dimana, p s : tekanan pada permukaan silinder, N/m 2 p o : tekanan atmosfer, N/m 2 Besaran gaya yang terjadi pada permukaan silinder dipengaruhi oleh faktor tekanan dan gaya gesek. Komponen gaya (F x dan F y ) tersebut dapat dianalisis dari resultan tegangan geser dan distribusi tekanan yang diintegrasikan terhadap luasan elemen permukaan silinder yang terlintasi aliran fluida (Okiishi et al., 2006), seperti diilustrasikan oleh Gambar 2. y x Gambar 2. Ilustrasi faktor tekanan dan tegangan geser pada permukaan silinder tampak atas (Okiishi et al., 2006). Komponen gaya yang terjadi pada permukaan silinder dituliskan pada Persamaan 11. df df ( p. da) cosq ( t wda) sinq -( p. da) sin q ( t da) cosq x = + y = +.(11.a) (11.b) Besaran gaya yang berpengaruh terhadap objek secara aksial atau horizontal disebut drag yang dinotasikan D, sedangkan besaran gaya yang berpengaruh terhadap objek secara vertikal disebut sebagai lift yang dinotasikan L. Drag dan lift diperoleh dari integral Persamaan 10, yaitu dituliskan pada Persamaan 12. w D L dimana, ò df x = ò p cos q da + ò = t sin q da ò df y = -ò p sin q da + ò = t cos q da R e : Reynolds number ρ : densitas fluida, kg/m 3 w w..(12.a).(12.b) 15

29 U : kecepatan aliran fluida, m/s D : diameter silinder, m µ : viskositas dinamik, kg/m.s θ : sudut kemiringan dari searah aliran fluida, deg p : tekanan, Pa τ w : tegangan geser pada dinding, N/m 2 b : panjang permukaan silinder, m da : perubahan luasan elemen permukaan silinder, m 2 dθ : perubahan sudut kemiringan, deg df x, df y : komponen perubahan gaya yang terjadi sepanjang permukaan silinder, N Selain itu, komponen gaya yang timbul pada permukaan silinder adalah gaya tekan dan gaya gesek. Gaya tekan adalah gaya normal yang tegak lurus terhadap bidang permukaan objek dan dipengaruhi oleh gradient kecepatan fluida dan separasi aliran fluida, sedangkan gaya gesek merupakan gaya yang sejajar bidang permukaan atau dinding objek dan dipengaruhi oleh besaran tegangan geser (Okishii et al., 2006). Sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 2, kedua gaya tersebut merupakan besaran gaya yang membentuk resultan gaya pada bidang koordinat x dan y, yaitu dinotasikan dengan Persamaan 13. Gaya normal : N = p cos qda.(13.a) Gaya gesek : F f = t sin w q da.(13.b) Sehingga drag dari gaya normal (drag pressure), D p, dan drag dari gaya gesek (drag friction), D f, dapat dituliskan : D p = ò p cos q da = æ 2ç è D 2 ö b ø p ò 0 p cos q dq..(14.a) D f = ò t w sin q da = æ 2ç è D 2 ö b ø p ò 0 t w sin q dq (14.b) 16

30 fungsi drag friction tidak hanya besaran yang dipengaruhi oleh tegangan geser, namun dalam hal ini juga berorientasi terhadap permukaan objek yang menerima aksi dari peristiwa fisika fluida yang mengalir. Nilai koefisien drag pada permukaan silinder berbanding terbalik dengan kecepatan rata-rata dan densitas fluida, sebagaimana dituliskan pada Persamaan 15. D U C = D 1 r 2 2..(15) A Dimana, N : gaya normal, N F f : gaya gesek, N D p : drag pressure D f : drag friction C D : koefisien drag 3. Ketebalan boundary layer pada permukaan ground dan tegangan geser pada boundary layer Menurut Okiishi et al. (2006), ketebalan momentum boundary layer suatu aliran merupakan pusat momentum fluks. Hal ini diilustrasikan pada Gambar 3. Gambar 3. Aliran pada boundary layer (Okiishi et al., 2006) ). Momentum fluks yang terjadi di dalam lapisan layer dengan kecepatan fluida seragam U dan ketebalan Ө, direpresentasikan pada Persamaan 16 dan Persamaan r bu Q = r b ò 0 u ( U - u ) dy.....(16) 17

31 atau Q = ò 0 u U u ( 1- ) dy.(17) U Besarnya nilai tegangan geser pada permukaan ground, secara empirik dapat diturunkan dari persamaan integral momentum untuk aliran boundary layer pada permukaan ground tersebut. t w = r U 2 dq dx (18) dimana τ w adalah tegangan geser pada permukaan tanah (N/m 2 ), dan dө/dx adalah perubahan ketebalan lapisan layer terhadap perubahan jarak yang searah dengan kecepatan udara. Sehingga tegangan geser pada permukaan tanah sangat dipengaruhi oleh besarnya perubahan ketebalan lapisan layer terhadap arah sumbu x. Tegangan geser pada permukaan tanah akan berbanding lurus terhadap peningkatan boundary layer (Okiishi et al., 2006) 4. Fenomena Pemisahan Aliran Perubahan pola aliran terjadi jika medan aliran fluida terhalang oleh suatu benda, sehingga merubah kondisi stasioner fluida tersebut. Hal ini timbul akibat sifat fluida yang selalu mencari kondisi kesetimbangan baru ketika kondisi stasioner fluida tersebut tergangggu (Anonimous, 2003). Dalam kondisi aliran udara steady yang terhalang oleh sebuah silinder cerobong, akan terbentuk suatu pola aliran baru akibat adanya integral momentum volume udara yang melewati permukaan silinder cerobong. Kecepatan udara seragam yang dihembuskan searah dengan sumbu x pola alirannya akan terpecah atau terpisah pada saat melewati silinder cerobong dikenal dengan istilah creeping flow. Besarnya jarak pemisahan aliran fluida sangat dipengaruhi oleh nilai angka Reynold yang dimiliki aliran tersebut. Ketika terjadi pemisahan aliran, maka terjadi pula pusaran-pusaran lokal fluida yang disebut vortex. Vortex akan terbentuk pada rentang nilai Re tertentu, dimana semakin bertambah nilai Re yang dimiliki aliran fluida maka semakin banyak vortex yang terbentuk. Namun pada nilai Re tertentu juga pasangan vortices yang terbentuk akan tidak stabil sejalan dengan 18

32 bertambahnya nilai Re Re, sehingga salah satu vortex akan tumbuh lebih besar dari pada yang lainnya dan memiliki kekuatan yang sema semakin kin besar sehingga pada suatu titik akan terlepas bebas tanpa terikat terhadap silinder yang kemudian akan terbentuk lagi vortex baru (Okishii et al., 2006). Potensi pembentukan vortex dalam aliran dinamakan sebagai vorticity, sebagaimana diilustrasikan pa pada Gambar 4. (a). (b). Gambar 4. Skema terbentuknya lapisan geser ((shear layer)) yang selanjutnya akan membentuk vortex (Okiishi et al., 2006). Fenomena terlepasnya vortex dari permukaan silinder dikenal dengan istilah vortex shedding shedding. Bagi fluida uida yang mengalir di atas permukaan solid kemudian terhalang oleh sebuah silinder secara ilustrasi dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 5. Ilustrasi aliran vortex di atas permukaan solid pada silinder bagian bawah (Okiishi et al., 2006). 19

33 D. Dispersi Udara Secara umum tingkat kadar pencemaran udara dominan dipengaruhi oleh faktor kondisi yang terjadi di atmosfer. Parameter meteorologi akan mempengaruhi penyebaran (dispersi), pengenceran (dilusi), perubahan (transformasi) fisik dan kimia dari zat-zat pencemar udara yang diemisikan, serta proses transportasi atau perpindahan dan deposisi basah dan kering yang terjadi. Dalam Soedomo (2001), dijelaskan bahwa kondisi atmosfer sangat dinamik yang secara alami mampu melakukan dispersi, dilusi dan transformasi baik melalui proses fisika maupun kimia serta mekanismekinetik atmosfer terhadap zat-zat pencemar. Menurut Davis et al. (2004), faktor pengaruh transportasi, dilusi dan dispersi gas polutan umumnya ditentukan oleh karakteristik titik emisi, bahan (material) polutan alam, kondisi meteorologi, dan struktur antropogenik wilayah tercemar. Dispersi pencemar terjadi karena ada tenaga yang membawa pencemar tersebut dari sumbernya ke udara ambien, sedangkan difusi terjadi karena adanya perbedaan konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah. Menurut Vesilind et al. (1994), dispersi udara merupakan suatu proses pergerakan udara yang terkontaminasi dari sumber emisi (source of emission) menyebar melalui suatu luas area wilayah tertentu untuk mereduksi konsentrasi gas polutan yang terkandung dalam udara terkontaminasi tersebut. Pergerakan atau penyebaran udara terkontaminasi terjadi secara vertikal maupun horizontal. Proses dispersi dan difusi akan menghasilkan dilusi (pengenceran) zat pencemar dari suatu sumber yang konsentrasinya sangat kental di udara ambien dengan hasil konsentrasi yang lebih rendah. Transformasi zat pencemar di atmosfer merubah zat tersebut menjadi zat lain yang berbeda sifatnya baik secara fisika maupun kimia dan juga kadar toksisitasnya. Proses transformasi yang dimaksudkan disini adalah proses transformasi zat-zat pencemar selama berada di udara yang mengalami perubahan fisik dan kimia yang dipengaruhi oleh difusi molekuler dan turbulen, terdapatnya uap air dan adanya radiasi matahari (Soedomo, 2001). Pergerakan udara disebabkan oleh adanya radiasi surya dan bentuk permukaan bumi yang tidak rata, dimana daya serap panas permukaan bumi 20

34 terhadap radiasi surya tersebut berbeda dengan daya serap panas di atmosfer. Hal ini menimbulkan adanya sistem pergerakan (dynamic sistem). Kemudian, sistem dinamika panas atmosfer bumi juga menghasilkan perbedaan dalam tekanan barometrik (Vesilind et al.,, 1994). 1. Model Dispersi Pemodelan dispersi udara berasal dari model analitik semi empiris yang berdasarkan pada persamaan difusi. Persamaan difusi yang dikembangkan diverifikasi dengan data koefisien difusi di atmosfer dan data konsentrasi pencemaran udara yang diambil langsung lokasi pengukuran. a. Model Gaussian Model dispersi yang popular digunakan adalah model dispersi Gaussian yang terlihat pada Gambar 6. Model Extended Gaussian Plume untuk point source, dibuat berdasarkan kenyataan bahwa distribusi konsentrasi polutan ke arah vertikal dan horisontal sesuai dengan distribusi normal (Sugiyono, 1995). Dalam model ini penyebaran polutan dianggap mengikuti asumsi : - sumber emisi mengeluarkan material secara kontinu. - medan angin homogen baik ke arah vertikal maupun horisontal. - perubahan bentuk polutan secara fisik dan kimiawi selama di udara tidak diperhitungkan. - semua variabel dianggap stasioner. Ket : Δh : tinggi kepulan (plume) h : tinggi stack actual H : tinggi stack effective ū : arah sebaran anginn Penyebaran berdasarkan metoda difusi Gauss ganda, adalah Gambar 6. Model dispersi Gaussian (Vesilind et al.,1994) penyebaran dengan normal (distribusi Gauss) arah-y dan arah-z, sedangkan 21

35 arah-x didominasi oleh kecepatan angin. Beberapa model Gauss dibangun sesuai dengan macam sumber emisinya, salah satunya adalah persamaan difusi Gauss ganda untuk sumber tunggal kontinyu. Persamaan dasar untuk sumber tunggal kontinyu dalam keadaan steady (Soenarmo, 1999). Q = òò Cudydz...(19) - kemudian dikembangkan menjadi persamaan Gauss untuk sumber tunggal kontinyu ( Soenarmo, 1999), sebagai : Q ì ï 1é yù C( x, y, z) = íexp. - ê ú 2pus ysz 2 ïî êë syúû 2 ü ïï ì 1éæ - ýíexp. - ê ç 2 ïî ê ïþ ëè sz 2 ( z H) ö æ ( z+ H) + ç ø è s z 2 ö ù ï ü úý ø úû ïþ..(20) dimana, C : Konsentrasi Pencemaran udara pada titik (x,y,z), µg/m 3 Q : Laju emisi / laju pancaran, g/det u : Kecepatan angin rata-rata (wind speed), m/det x y z : Jarak ke arah-x (downwind), m : Jarak ke arah-y (crosswind), m : Jarak ke arah-z (vertikal), m H : Tinggi emisi efektif (h + h), m h : Tinggi cerobong fisik, m h : Penambahan tinggi kepulan (plume rise) oleh pengaruh angin dan kecepatan keluaran / emisi, m σ y : Koefisien dispersi arah sumbu-y σ z : Koefisien dispersi arah sumbu-z Notasi C menyatakan konsentrasi parameter kualitas udara di ambien dengan satuan masa per meter kubik (µg/m 3 ). Notasi σ dalam literatur y adalah konstanta deviasi standar dispersi horizontal dan σ untuk konstanta z deviasi standar dispersi vertikal yang keduanya dinyatakan dalam satuan meter (m). Notasi u adalah kecepatan angin rata-rata dalam meter per detik (m/det), sedangkan notasi Q menyatakan kecepatan alir gas pada saat keluar dari cerobong yang dinyatakan dalam satuan gram per detik (g/det). Ketika 22

36 pengukuran konsentrasi polutan dilakukan pada ground level yang berarti bahwa z = 0, maka persamaannya menjadi : C( x, y,0) = Q pus s y z ì ï íexp. - ïî 1 2 é y ê êë s y ù ú úû 2 ü ïï ì ýíexp. - ïþ ïî 1 2 é H ê ës z 2 ù ú û ï ü ý ïþ... (21) Untuk mengetahui konsentrasi gas polutan di sepanjang garis pusat kepulan (plume centerline), yang berarti bahwa nilai y = 0, maka Persamaan (21) berubah menjadi : Q C( x, y,0) = pus s y z ï ì íexp. - ïî 1 2 é H ê ës z 2 ù ú û ï ü ý...(22) ïþ Terakhir, untuk sumber emisi pada ground level dimana H = 0,maka Persamaan (22) menjadi : Q C( x,0,0) =...(23) pus s y z Persamaan ini digunakan untuk tingkat dasar (ground level), yang mana konsentrasi garis pusat (center line concentration) dari sumber titik berada pada tingkat dasar. Penentuan laju emisi Q untuk sumber tunggal kontinyu diperoleh dari data langsung yang diperoleh dari pengukuran emisi di lubang keluaran (stack) atau dihitung dari kapasitas produksi berdasarkan prosesnya. Sedangkan penentuan kecepatan udara rata-rata (wind speed) adalah dengan analisis mawar angin (wind rose), yaitu didasarkan pada perhitungan arah angin dominan dan kecepatan angin rata-rata pada arah dominan. Perhitungan koefisien dispersi diperoleh dari suatu formula yang menunjukkan hubungan antara koefisien dispersi dengan koefisien stabilitas atmosfer sebagai fungsi jarak x, y, dan z. Koefisien stabilitas atmosfer diperoleh dari pengukuran stabilitas atmosfer (empiris). Faktor yang menjadi indikasi stabilitas atmosfer antara lain lapse rate (penurunan temperatur udara terhadap ketinggian atmosfer) atau profil temperatur udara, profil arah dan kecepatan angin (Soenarmo,1999). Albert H. Holland mengembangkan perhitungan tinggi kepulan (plume), yaitu bahwa tinggi kepulan akan menurun dengan bertambahnya 23

37 kecepatan angin, atauau dengan kata lain tinggi kepulan ( Δh ) berbanding terbalik dengan kecepatan angin (Davis et al., 2004). Dengan memperhitungkan momentum dan panas yang keluar dari cerobong, maka perhitungan tinggi kepulan (Δh) mengikuti Persamaan (24): v é æ sd Dh= ê1.5+ ç u êë è -2 æ Ts - T ( P) ç è Ts dimana : v s : kecepatan gas keluar stack, m/det d : diameter atas stack, m u : kecepatan angin rata-rata, m/det : Tekanan atmosfer, kpa T s : temperatur gas keluar stack, o K T : temp a peratur udara atmosfer (ambien), o K a ö öù d ú...(24) ø øúû Persamaan (24) adalah untuk kondisi atmosfer dengann tingkat stabilitas netral (kelas C atau D), sedangkan untuk kondisi atmosfer yang stabil (kelas A atau B) maka hasil tersebut di atas (Persamaan 24) dikalikan 1,15 dan apabila tidak stabil (kelas E atau F) maka hasil pada Persamaan 24 dikalikan 0,85. b. Model Eulerian Konsep ini menerangkan bahwa pergerakan fluida digambarkan dengan sifat-sifat fisik fluida tersebut seperti temperatur, tekanan, densitas dan kecepatan. Kemudian sifat fisik tersebut di deskripsikan sebagai fungsi ruang dan waktu sehingga diperoleh informasi aliran fluida pada suatu titik dalam ruang (Okiishi et al., 2006). Menurut Finlayson dan Pitts (1986), dalam Septiyanzar (2008), pada model Eulerian konsentrasi gas pencemar diperhitungkan pada lokasi tertentu yang disebut grid dalam setiap waktu. Dalam grid ini terjadi proses transport dan reaksi kimia yang dipengaruhi oleh faktor meteorologi, sehingga menyebabkan konsentrasi berubah sebagai fungsi terhadap waktu. c. Model Lagrangian 24

38 Dasar dari konsep model ini yaitu dengan melibatkan partikel-partikel fluida bergerak dan menjelaskan sifat-sifat fluida dengan perubahan partikel fluida sebagai fungsi dari waktu. Karena itu dengan metode inii partikel fluida dapat diidentifikasi dan dapat menjelaskan sifat-sifat fluida tersebut (Okiishi et al., 2006). Dalam kasus percemar udara atmosfer, model lagrangian direfleksikan dengan meninjau suatu parsel udara yang mengalir pada lintasan tertentu yang dipengaruhi oleh faktor meteorologi. Perubahan konsentrasi pada parsel yang mengalir inilah yang diperhitungkan setiap saat dalam model lagrangian (Septiyanzar, 2008). Perbedaan analisa aliran fluida antara model eulerian dan model lagrangian dapat dilihat dalam kasus kepulan gas polutan dari cerobong seperti pada Gambar 7. Gambar 7. Ilustrasi pengambilan data temperatur aliran fluida pada lagrangian dan eulerian (Okiishi et al., 2006) Pada metode eulerian, titik partikel fluida diukur temperaturnya pada bagian atas cerobong dan dicatat sebagai fungsi waktu. Pada waktu yang berbeda terdapat partikel benda melintasi alat pengukur. Karena temperatur diukur pada satu titik (x = x o, y = y o, dan z = z o ) dan pada satu waktu, maka temperatur didefinisikan sebagai fungsi waktu dan tempat, sehingga temperatur dapat dituliskan sebagai T = T (x o, y o, z o, t). Penggunaann banyak alat ukur temperatur pada berbagai titik dapat memberikan informasi bidang temperatur temperatur field, dimana T = T (x, y, z, t). Temperatur dari sebuah partikel sebagai fungsi waktu tidak dapat diketahui sampai lokasi dari partikel diketahui sebagai fungsi waktu. Sedangkan padaa metode 25

39 lagrangian temperatur diukur dari sebuah partikel hanya sebagai fungsi waktu, dimana T A = T A (t). Penggunaan banyak alat ukur temperatur saat partikel bergerak memberikan informasi bahwa temperatur dari partikel fluida merupakan fungsi dari waktu, sehingga temperatur tidak dapat diketahui sebagai fungsi dari posisi (lokasi partikel) sampai lokasi tiap partikel diketahui sebagai fungsi waktu (Okiishi et al., 2006). 2. Stabilitas Atmosfer Standar deviasi σ dan σ menentukan penyebaran kepulan gas polutan y z pada arah angin lateral dan arah vertikal. Hal ini tergantung pada kondisi stabilitas atmosfer dan jarak dari sumber emisi. Tingkat stabilitas atmosfer yang digunakan ditentukan berdasarkan data meteorologi : penutupan awan, tinggi dasar awan, nomor kelas insolasi yang diperoleh dari data solar altitude dan tabel kategori stabilitas yang dikembangkan oleh Turner yang diklasifikasikan ke dalam kategori A hingga F yang disebut dengan kelas stabilitas (stability class), dimana hubungan antara stability class, kecepatan angin, dan kondisi sinar matahari dijelaskan pada Tabel 3. Tabel 3. Stabilitas atmosfer Turner berdasarkan kecepatan angin, radiasi matahari dan penutupan awan (Soenarmo, 1999) Siang hari Malam hari Kecep. Angin perm pada Radiasi matahari datang Penutupan awan 10 m (m/det) Kuat Moderat Ringan Overcast Clear kelas < 2 A A-B B E F 2-3 A-B B C E F 3-5 B B-C C D E 5-6 C C-D D D D > 6 C D D D D Nilai konstanta dispersi horizontal dan vertikal, σ y dan σ z dapat ditentukan dengan persamaan yang telah dikembangkan oleh D.O. Martin (1976) dalam Davis et al. (2004), yaitu : s y = ax...(25.a) s = cx d f...(25.b) z + dimana konstanta a, c, d, dan f didefinisikan pada Tabel 4. 26

40 Tabel 4. Nilai konstanta a, c, d, dan f untuk menghitung σ y dan σ z sebagai fungsi dari jarak (Davis et al., 2004) Kelas x < 1 km x > 1 km stabilitas a c d F c d f A B C D E F Sumber : Martin,D.O., Comment on the change of concentration standard deviations with distance, Journal of the Air Pollution Control Association, vol. 26, pp , Variasi diurnal radiasi matahari yang mempengaruhi temperatur udara memiliki peranan penting dalam menentukan kestabilan atmosfer. Pada malam hari kondisi udara stabil karena temperatur permukaan tanah lebih rendah dari pada temperatur udara. Pada saat matahari terbit dan kondisi udara cerah, radiasi matahari memanaskan permukaan tanah lebih cepat dibandingkan udara, kondisi ini memicu timbulnya turbulensi udara. Ketebalan lapisan konveksi semakin meningkat pada siang hari akibat pemanasan lapisan permukaan tanah, sehingga kondisi atmosfer menjadi tidak stabil karena pergerakan udara menjadi sangat dinamis. Pada sore hari temperatur udara sama dengan temperatur permukaan tanah, sehingga profil temperatur udara menjadi adiabatik karena tidak adanya fluks bahang dari permukaan tanah (Seinfeld, 1986). 4. Kecepatan Angin Arah angin dan kecepatan angin memegang peranan penting dalam proses pengenceran (dilution) dan pemindahan (transportation). Peningkatan kecepatan angin akan menyebabkan penambahan jumlah volume udara bersama gas-gas polutan yang terkandung dalam suatu kurun waktu tertentu. Proses penyebaran (dispersi) banyak dipengaruhi oleh variasi arah angin jika arah angin secara kontinu menyebar ke berbagai arah maka area sebaran polutan semakin luas, sedangkan apabila arah angin dominan tetap bergerak hanya ke satu arah tertentu, maka daerah tersebut akan memiliki tingkat paparan polutan yang tinggi (Liptak et al., 2000). 27

41 Menurut Davis et al. (2004), arah angin menentukan ke mana arah mengalir atau bergeraknya gas yang terkontaminasi di atas permukaan. Kecepatan angin mempengaruhi ketinggian kepulan dan nilai campuran atau pengenceran (dilution) gas-gas pencemar yang telah diemisikan dari titik keluaran. Peningkatan kecepatan angin akan menurunkan ketinggian kepulan dengan membelokkan kepulan tersebut lebih cepat dari titik keluarannya, dan penurunan ketinggian kepulan cenderung akan meningkatkan konsentrasi polutan di permukaan tanah (ground level). Menurut Davis et al. (2004), koreksi kecepatan angin berdasarkan ketinggian dapat menggunakan Persamaan (26). u z æ h ç è ö ø n z = uoç h...(26) o dimana : u z = Kecepatan angin pada ketinggian z yang diinginkan, m/det u o = Kecepatan angin pada ketinggian standar, m/det h o h z = Ketinggian alat ukur anemometer, m = Ketinggian kecepatan angin yang diinginkan, m n = Konstanta yang ditentukan berdasarkan stabilitas atmosfer EPA (Environmental Protection Agency) United State, membedakan kondisi stabilitas atmosfer di daerah pedesaan dan kota untuk menentukan nilai eksponen n yang tersaji dalam Tabel 5 (Davis et al., 2004), sebagai berikut : Tabel 5. Aturan nilai eksponen n untuk pedesaan dan kota Kelas stabilitas Pedesaan Kota Kelas stabilitas Pedesaan Kota A D B E C F Sumber : User s Guide for ISC3 Dispersion Models, Vol.II, EPA-454/B b,U.S, September, 1995 Pergerakan atmosfer dalam bentuk parsel udara atau angin disebabkan oleh ketidakseimbangan radiasi bersih, kelembaban dan momentum diantara 28

42 lintang rendah dan lintang tinggi di satu pihak serta diantara permukaan bumi dan atmosfer dilain pihak (Prawirowardoyo, 1996). Perbedaan penerimaan radiasi matahari akan menyebabkan terjadinya perbedaan tekanan udara. Semakin tinggi gradien tekanan maka kecepatan angin akan semakin tinggi. E. Dasar-dasar Simulasi Menurut Syamsa (2003), simulasi komputer adalah usaha mengeksplorasi model-model matematika dari suatu proses atau fenomena fisik dengan menggunakan komputer dalam rangka memberikan gambaran situasi nyata dengan sebagian besar rinciannya. Sedangkan simulasi proses adalah penggunaan model matematika untuk menggambarkan secara realistik perilaku nyata dari sistem dengan mengukur tanggap dinamik variabel-variabel proses yang dipantau, misalnya temperatur tekanan, dan komposisi bahan. Dengan memanipulasi atau bekerja dengan model diharapkan : 1. Dapat meramalkan hasil atau keluaran. 2. Lebih memahami model fisik dan matematik dari fenomena dan proses. 3. Bereksperimen dengan model. 4. Melakukan pengujian dengan model. 5. Menggunakan model untuk tujuan pendidikan dan pelatihan. Secara garis besar, simulasi proses dapat dikategorikan menjadi dua kategori berdasarkan kondisinya yaitu simulasi pada keadaan tunak dan simulasi keadaan dinamik (Syamsa, 2003). Simulasi keadaan tunak biasanya terdiri dari sejumlah persamaan aljabar yang diselesaikan secara iteratif, misalnya untuk menghitung kalkulasi panas dan keseimbangan bahan dari suatu proses dibawah kondisi keadaan tunak yang berubah-ubah. Program simulasi keadaan tunak umum digunakan dalam proses industri seperti pengukuran boiler dan peralatan turbin untuk laju panas tertentu. Sedangkan simulasi keadaan dinamik tidak hanya memperhatikan kalkulasi panas dan keseimbangan bahan dalam keadaan tunak, tetapi juga kondisi transien dari perubahan proses. Simulasi dilakukan dengan 29

43 menyelesaikan persamaan persamaan diferensial non-linier berjumlah besar dalam waktu nyata, untuk menggambarkan keseimbangan dinamik bahan dan energi dari proses yang disimulasikan. Laju akumulasi masa dan energi dihitung secara kontinyu dan diintegrasikan sepanjang interval waktu yang relatif kecil, yaitu untuk menghasilkan proses tiruan dari tanggap dinamik yang realistik seperti temperatur, tekanan dan komposisi bahan. F. Pemodelan Matematik Menurut Syamsa (2003), model matematik adalah gambaran dari karakteristik dinamik suatu sistem. Agar dapat diselesaikan dengan komputer, maka fenomena atau proses fisik harus dapat dimodelkan dengan persamaan matematika. Dengan pemodelan diharapkan dapat melakukan : 1. Idealisasi dari proses dan fenomena. 2. Memahami pengaruh dan kendali lingkungan. 3. Menganalisis eksperimen yang sulit atau tidak mungkin dapat dilakukan. 4. Mempertajam pemahaman dan mengurangi pemborosan akibat eksperimen yang tidak terarah (trial and error). 5. Meningkatkan potensi dan keamanan sistem. G. Metode Komputasi Dinamika Fluida Computational Fluid Dynamics (CFD) merupakan pemanfaatan program komputer untuk membuat suatu prediksi apa yang akan terjadi secara kuantitatif saat fluida mengalir. Dengan menggunakan CFD prediksi aliran fluida diberbagai sistem dapat dilakukan dengan biaya yang relatif murah dan waktu yang singkat dibandingkan dengan metode eksperimen (Nugraha, 2005). Menurut Tuakia (2008), CFD adalah ilmu yang mempelajari cara memprediksi aliran fluida, perpindahan panas, reaksi kimia, dan fenomena lainnya dengan menyelesaikan persamaan-persamaan matematika (model matematika). Secara istilah CFD bisa berarti suatu teknologi komputasi yang memungkinkan untuk mempelajari dinamika dari benda-benda atau zat-zat yang mengalir. Menurut Zhang (2005), pada dasarnya persamaan-persamaan dalam fluida dibangun dan dianalisis berdasarkan persamaan-persamaan parsial (PDE = Partial 30

44 Differential Equation) yang merepresentasikan hukum-hukum konservasi massa, momentum, dan energi. Untuk memprediksi aliran fluida pada kondisi tertentu, program CFD harus dapat menyelesaikan persamaan yang mengatur aliran-aliran fluida sehingga pemahaman tentang sifat-sifat dasar aliran fluida sangatlah penting. Persamaan pengaturan aliran fluida adalah persamaan-persamaan diferensial parsial, komputer digital tidak dapat langsung digunakan untuk menyelesaikan persamaan tersebut secara langsung. Oleh karena itu persamaan diferensial ini harus ditransformasikan kedalam persamaan aljabar yang sederhana dan disebut dengan metode diskritisasi (Versteeg and Malalasekera, 1995). Secara umum, proses dalam CFD dibagi kedalam tiga tahapan yaitu prapemrosesan (pre-processing), pencarian solusi (solving), dan pascapemrosesan (post-processing) (Purabaya dan Asmara, 2003). 1. Prapemrosesan Pada tahap prapemrosesan dilakukan pendefinisian masalah dengan membentuk geometri, dapat berupa geometri dua dimensi maupun tiga dimensi. Dalam pembentukan geometri ini didefinisikan topologi yang akan dibangun mulai dari pembentukan titik (point), garis (curve, edge), bidang (face) atau volume sehingga menjadi model yang diinginkan (Purabaya dan Asmara, 2003). Setelah geometri terbentuk dilakukan diskritisasi menjadi sejumlah grid dimana persamaan atur akan dicari solusinya di masing-masing grid tersebut. Bila menggunakan diskritisasi grid berstruktur diusahakan sisi yang membentuk grid tetap tegak lurus atau memliki skewness dengan toleransi tertentu. Pada grid tak berstruktur diperhatikan perbandingan antara panjang dan lebar (aspect ratio) bentuk grid (Parwatha, 2003). Menurut Tuakia (2008), Tahapan ini merupakan langkah pertama dalam membangun dan menganalisis sebuah model CFD. Pre-processing terdiri dari input masalah aliran ke dalam program CFD dengan memakai interface yang memudahkan operator dan transformasi input berikutnya ke dalam bentuk yang sesuai dengan pemecahan oleh solver. Hal-hal yang dilakukan pada tahap ini meliputi: 31

45 - Mendifinisikan geometri dari daerah yang dianalisis. - Pembentukan grid. - Pemilihan fenomena kimia dan fisik yang diperlukan. - Menentukan sifat-sifat fluida (konduktivitas, viskositas, massa jenis, panas jenis dan sebagainya). - Menentukan kondisi batas yang sesuai. Pemecahan masalah aliran (kecepatan, tekanan, temperatur dan lainlain) didefinisikan pada titik (nodal) di dalam tiga sel. Ketepatan CFD dibentuk oleh sejumlah sel dalam grid. Secara umum semakin besar jumlah sel, ketelitian hasil pemecahan semakin baik. Mesh optimal tidak selalu seragam, semakin halus pada bagian yang memiliki variasi cukup besar dan semakin kasar untuk bagian yang relatif tidak banyak perubahan (Tuakia, 2008). 2. Pencarian Solusi Setelah geometri masalah didefinisikan secara numerik melalui gridgrid, tahap selanjutnya adalah pencarian solusi. Pada tahap ini persamaan atur yang diterapkan untuk memodelkan medan aliran didiskritisasi untuk masing-masing grid dan dicari solusinya. Persamaan atur yang digunakan dalam CFD tergantung dari permasalahan yang akan dimodelkan (Purabaya dan Asmara, 2003). Proses pencarian solusi menggunakan metode finite volume, dimana metode ini dikembangkan dari finite difference khusus (Tuakia, 2008). Algoritma numerik metoda ini terdiri dari beberapa tahap, yaitu: - Aproksimasi variabel aliran yang tidak diketahui menggunakan fungsi sederhana - Diskritisasi dengan mensubtitusi hasil aproksimasi ke dalam persamaan aliran dan manipulasi matematis berikutnya - Penyelesaian persamaan aljabar. 3. Pasca-pemrosesan 32

46 Tahap terakhir dalam proses simulasi dengan menggunakan CFD adalah pasca-pemrosesan. Pada tahap ini semua solusi dari parameter aliran yang telah diperoleh untuk setiap grid akan dibentuk visualisasi. Visualisasi solusi ini bertujuan untuk mempermudah memahami solusi yang dihasilkan oleh sotfware CFD (Purabaya dan Asmara, 2003). H. Penelitian Terdahulu yang Terkait Hargreaves (1997), pernah melakukan penelitian tentang simulasi dispersi gas polutan yang bersumber dari kendaraan bermotor atau sumber yang bergerak kontinyu. Dengan menggunakan program CFD simulasi yang dilakukannya terfokus pada analisis pola aliran gas polutan yang diemisikan oleh kendaraan bermotor di sekitar jalan raya. Bangunan-bangunan gedung di sekitar jalan raya merupakan objek yang terkena dampak langsung dari sumber polutan yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor. Sedangkan bangunan tersebut merupakan tempat yang strategis dimana manusia melakukan aktivitas kesehariannya. Beberapa perangkat software yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah Fluent yang digunakan untuk menganalisis aliran fluida, software SCALAR yang digunakan untuk membangun geometri bangunan yang akan disimulasikan dan software CHENSI yang digunakan untuk menganalisis pola aliran udara yang berupa olakan atau yang disebut vortices pada dinding-dinding bangunan di sekitar jalan raya. Berbeda dengan penelitian ini, simulasi yang dirancang adalah simulasi dispersi gas polutan yang bersumber dari sebuah cerobong di kawasan perindustrian. Sedangkan fokus area yang diamati adalah pola aliran dispersi gas polutan dan sebaran konsentrasi gas polutan dari sumber pencemar terhadap area permukaan tanah di sekitar kawasan industri dimana umumnya makhluk hidup berpijak. Software yang digunakan dalam penelitian ini adalah software EFD (Enginering Fluid Dynamics). 33

47 BAB III METODOLOGI A. Pendekatan Permasalahan Simulasi komputer adalah penggunaan model matematika untuk menggambarkan secara realistik perilaku nyata dari sistem dengan mengukur tanggap dinamik dari variabel-variabel proses yang dipantau, seperti kecepatan, temperatur, tekanan, dan komposisi bahan termasuk didalamnya adalah konsentrasi bahan. Dalam melakukan simulasi, model yang dikembangkan idealnya harus dapat memberikan tanggap dinamik sesuai dengan yang sebenarnya (Syamsa, 2003). Maka dari itu, dibutuhkan pemodelan matematis yang tepat dan intuisi serta pertimbangan-pertimbangan yang matang dalam melakukan simulasi. Intuisi yang baik dibutuhkan untuk menentukan asumsi dasar, korelasi antara variabel-variabel kunci serta pendekatan awal sebuah model simulasi. Sedangkan pertimbangan dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan antara tingkat ketelitian dan kelengkapan terhadap batasan yang tersedia, baik dari segi biaya maupun kompleksitasnya. Dalam penelitian ini, model simulasi yang digunakan untuk menentukan nilai konsentrasi gas polutan di suatu titik tertentu adalah model persamaan dispersi Gaussian dengan menggunakan program visual basic dan model CFD yang direpresentasikan oleh software Solidworks Office 2007 dengan menggunakan metode finite volume. Model Gaussian dipengaruhi oleh parameter laju emisi gas yang diemisikan dari cerobong, kecepatan udara di sekitar sumber emisi atau ambien, dan faktor stabilitas atmosfer hingga titik acuan. Sedangkan model CFD dipengaruhi oleh parameter laju emisi gas yang diemisikan dari cerobong, kecepatan udara di sekitar sumber emisi atau ambien, sifat karakteristik kimia dari gas polutan, dan batsan kondisi yang didefinisikan ke dalam software. Oleh karena itu, parameter tersebut dijadikan sebagai parameter input dalam simulasi ini. Sedangkan output yang diharapkan adalah visualisasi sebaran konsentrasi gas polutan berupa bidang 2 dimensi. Visualisasi ini dapat digunakan untuk menganalisa karakteristik aliran sebaran konsentrasi gas polutan yang terdispersi.

48 Selain itu juga menggunakan program Visual Basic untuk perhitungan model dispersi secara manual dari persamaan model Gaussian dalam penentuan nilai konsentrasi gas polutan. Persamaan Gaussian yang digunakan dipresentasikan oleh Persamaan (20). Nilai konsentrasi gas polutan yang dihasilkan dari perhitungan bersifat diskrit. Program CFD digunakan sebagai support simulator atau tools untuk mendapatkan visualisasi sebaran gas terdispersi dari hasil perhitungan. Sotfware yang akan digunakan adalah sotfware Solidworks Office 2007 yang memiliki kemampuan untuk membuat model geometri, batasan lingkungan simulasi atau domain, meshing model geometri yang akan disimulasikan, solver atau pencarían solusi dengan menyediakan fleksibilitas mesh automatis berbentuk tetahedral yang dapat diatur mudah kerapatan meshnya. Software ini menghitung persamaan fluida dinamik dengan menggunakan metode finite volume, sehingga dapat mempresentasikan data dan memvisualisasikan berbagai kasus aplikasi dinamika fluida secara detail. Namun, dalam penelitian ini simulasi yang dilakukan adalah untuk memonitoring fenomena dispersi gas polutan dari cerobong ke atmosfer pada kondisi unsteady state, dimana monitoring kondisi penyebaran gas polutan yang akan divisualisasikan adalah pada saat setelah 1 jam (3600 detik) menyebarnya gas polutan dari cerobong. Dengan kata lain, pada waktu t = 0 itu adalah posisi dimana gas polutan belum menyebar ke udara atau masih dalam cerobong dan siap di permukaan lubang cerobong untuk bergerak ke atmosfer. Dalam proses numerik baik meshing maupun iterasi, persamaan-persamaan yang digunakan adalah persamaan atur fluida, dimana berawal dari hukum kekekalan fisika seperti kekekalan massa, transformasi massa dan persamaan atur kontinuitas fluida. Pemodelan matematis yang digunakan dalam simulasi ini diperoleh dari persamaan atur fluida yang menyatakan hukum hukum fisika yang terdiri dari : 1. Persamaan Kontinuitas 3 Dimensi Dalam metode finite control volume, perubahan spesies massa pada fenomena aliran fluida terjadi sejalan dengan adanya pergerakan elemen 35

49 36 massa fluida sebagai fungsi waktu ke dalam suatu volume terbatas (Anderson, 1995). Dituliskan dalam betuk matematis : t z w y v x u Dt D = r r r r r ) ( ) ( ) (...(27) 2. Persamaan Momentum 3 Dimensi Persamaan momentum yang digunakan adalah persamaan Navier- Stokes yang dikembangkan dalam bentuk metode finite volume (Heinsohn and Cimbala, 2003): Arah sumbu x..(28.a) Arah sumbu y (28.b) Arah sumbu z (28.c) 3. Persamaan Energi 3 Dimensi Persamaan energi diturunkan dari hukum pertama termodinamika yang menyatakan bahwa laju perubahan energi partikel fluida = laju penambahan panas ke dalam partikel fluida ditambahkan dengan laju kerja yang diberikan pada partikel (Anderson, 1995)....(29) 4. Persamaan Spesies Transport Material Fluida Persamaan spesies transport dapat digunakan untuk memprediksi fraksi massa masing-masing spesies material yang memiliki karakteristik V f z y x w z y x v z y x u z w y v x u p z T k z y T k y x T k x q V e Dt D zz yz xz zy yy xy zx yx xx + ú û ù ê ë é ú û ù ê ë é ú û ù ê ë é ú û ù ê ë é ø ö ç è æ + ø ö ç è æ + ø ö ç è æ + = ø ö ç ç è æ + r t t t t t t t t t r r 2 2 ø ö ç ç è æ = ø ö ç è æ z u y u x u g x p z u w y u v x u u t u x m r r ø ö ç ç è æ = ø ö ç è æ z v y v x v g y p z v w y v v x v u t v y m r r ø ö ç ç è æ = ø ö ç è æ z w y w x w g z p z w w y w v x w u t w z m r r

50 kimiawi berbeda dengan pendekatan prinsip difusi-konveksi masing-masing material (Anonim, 2003). v ( ry ) ( )...(30) i +Ñ ruyi = -Ñ J r i + Ri + Si t dimana, Y i merupakan fraksi massa masing-masing spesies i, R i adalah nilai net spesies hasil reaksi kimia dan S i adalah nilai net spesies yang disebarkan ke dalam sistem simulasi yang didefinisikan oleh user. Selain itu, nilai fluks difusi massa dari masing-masing spesies material dipengaruhi oleh tipe aliran yang terjadi dalam sistem, yaitu laminar atau turbulen, dimana secara berturut-turut dituliskan pada Persamaan 31 dan 32. r J -rd ÑY..(31) i = i, m i r J i æ = - ç è r Di, m mt ö + ÑYi Sc t ø.(32) dimana, D i, m adalah difusivitas massa masing-masing spesies material dan Sct merupakan nilai angka Schmidt. B. Bahan dan Alat 1) Personal Computer (PC) PC yang dipergunakan minimal memiliki spesifikasi Pentium 4, RAM 1GB. Hal ini untuk mensupport pengoperasian program sotfware yang akan digunakan. 2) Sotfware Visual Basic Sotfware Visual Basic digunakan untuk mengoperasikan perhitungan analisis kadar gas polutan dengan metoda dispersi. 3) Program Computational Fluid Dynamic (CFD) Program CFD disupport oleh sotfware EFD (Engineering Fluid Dynamics), dimana dalam penelitian ini menggunakan sotfware Solidworks office 2007 yaitu merupakan sotfware engineering yang digunakan untuk mensimulasikan dan menganalisi berbagai kasus aliran fluida beserta sifatsifat fisik dan sifat material fluida yang disimulasikan. Sotfware Solidworks Office 2007 juga dapat digunakan untuk membangun geometri atau desain 37

51 teknik struktur dari kasus yang akan disimulasikan, sehingga sotfware ini mempermudah pengguna (user) dalam memecahkan masalah yang akan dikaji. Karena dalam sotfware ini sudah terintegrasi menjadi satu paket antara perangkat untuk membangun penggambaran geometri dan perangkat untuk menganalisa kasus aliran fluida tersebut, sehingga dapat memvisualisasikan distribusi fluida secara numerik. Geometri yang akan disimulasikan berbentuk outdoor dan sumber pencemar diasumsikan tunggal yang berupa cerobong (stack) dari suatu industri. Prinsip kerja perhitungan yang dilakukan oleh sotfware ini menggunakan metode finite volume dengan mengintegrasikan persamaan model Navier-Stokes sebagai dasar perhitungan kasus mekanika fluida yang akan dianalisis. Pendekatan numerik dengan model Navier-Stokes merupakan jenis model persamaan mekanika fluida yang dianggap paling otentik diantara model lainnya. Hasil running dari proses simulasi direpresentasikan secara otomatis dalam bentuk data dan grafik dengan tipe file Excel Office, *.JPEG untuk gambar dan tipe file *.avi untuk file jenis animasi video. C. Parameter Input Parameter input untuk simulasi ini adalah : 1) Debit emisi gas polutan Debit emisi gas polutan sebagai input diperoleh dari cerobong yang mengemisikan polutan dengan satuan kilogram per detik (kg/s). 2) Kecepatan Angin Kecepatan angin yang akan diinput berupa aliran seragam dan diasumsikan pengambilan data kecepatan angin ini dengan metode wind rose, yaitu berdasarkan arah angin dominan. Besarnya nilai kecepatan angin ditentukan dengan asumsi dari penulis. 3) Jarak Jarak (x, y, z) yang dimaksud, merupakan jarak yang diperkirakan dari sumber emisi (source of emission) sampai titik dimana kadar gas polutan itu ingin diketahui, dalam aplikasi ini adalah titik posisi receptor dari sumber emisi. Untuk mendapatkan nilai standar deviasi kepulan emisi terhadap 38

52 jarak y dan z (σ y, σ z ) maka jarak pada pada koordinat x ditransformasikan pada Persamaan (24). 4) Sifat-sifat spesifik kimia gas polutan Gas polutan yang menjadi objek simulasi adalah hydrogen sulfide (H 2 S), sulfur dioxide (SO 2 ), dan carbon monoxide (CO). Spesifikasi sifat kimia dari masing-masing fluida yang diinput ke dalam database software adalah molecular weight, panas jenis, viskositas dinamik dan konduktivitas panas. Parameter ini yang akan mempengaruhi karakteristik aliran dispersi fluida dalam simulasi. D. Data Input Data input dalam simulasi ini menggunakan data fiktif sesuai dengan skenario rancangan penulis, namun untuk data emisi gas polutan yang diinput diambil dari hasil perhitungan kasus di beberapa industri yang berbeda. Penentuan data fiktif dilakukan dengan perkiraan terhadap keadaan di beberapa industri. Beberapa data input fiktif yang akan disimulasikan terdapat pada Tabel 6. Tabel 6. Data input fiktif. No. Parameter Satuan Kuantitas 1 Kecepatan angin m/s 2 2 Temperatur lingkungan º C 27 3 Temperatur emisi di cerobong º C Tekanan udara Pa Jarak-x m -20 s.d Jarak-y m 0 s.d Jarak-z m -50 s.d Dimensi cerobong tinggi m 20 diameter luar m 4 diameter dalam m 3,8 kemiringan permukaan dinding deg 1 Dimensi struktur cerobong secara detail disajikan pada Lampiran 1. Sedangkan untuk mendapatkan data input polutan yang akan menjadi inlet pada proses simulasi dihitung berdasarkan jumlah bahan bakar yang dikonsumsi dengan menggunakan data faktor emisi dari EPA (Environmental Protection Agency), sehingga jumlah polutan yang diemisikan ke dalam lingkungan dapat 39

53 diketahui. Nilai input masing-masing gas polutan dari cerobong dianggap seragam dan disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Input aliran gas polutan (mass flow rate) dari cerobong. No Parameter Satuan Kuantitas 1 Sulfur dioxide (SO 2 ) kg SO 2 /s 2, Hydrogen Sulfide (H 2 S) kg H 2 S/s 0, Carbon Monoxide (CO) g CO/s 0,6048 Sumber : 1 US-EPA Standard AP-42 Chapter 5, Petroleum Refineries, Emission Faktor for Flaring. 2 Ref. Madura BD Amended Plan Development 3 Data konsumsi bahan bakar PLTU Cilacap EPA,US.,2006. Source: Kuantitas emisi gas CO yang terdapat pada Tabel 7, merupakan hasil dari perhitungan konsumsi bahan bakar batu bara data PLTU Cilacap tahun 2007, dimana sistem pembakaran PLTU Cilacap mampu mengkonsumsi batu bara sebanyak 8 ton/jam. Beberapa sifat kimia dari masing-masing parameter gas polutan mempengaruhi karakteristik penyebaran gas tersebut di udara atau medium fluida lainnya. Oleh karena itu, harus ada input data nilai karakteristik dari masingmasing gas polutan ke dalam database yang telah disediakan fasilitasnya oleh software simulator. Nilai beberapa sifat kimia pada kondisi standar berskala laboratorium disajikan pada Tabel 8. No Tabel 8. Nilai spesifik sifat kimia masing-masing senyawa fluida. Parameter MW (g/mol) Cp (kj/mol.k) Cv (kj/mol.k) Dynamic viscosity µ (kg/m.s) Thermal Conductivity k (W/m.K)* 1 Udara 28,97 0,029 0,02 0, , Sulfur dioxide (SO2) 64,06 0,039 0,031 0, , Carbon Monoxide (CO) 28,01 0,029 0,02 0, , Hydrogen Sulfide (H2S) 34,08 0,034 0,012 0, ,01298 Sumber : The National Institute of Standards and Technology (NIST) USA * ) Nilai densitas dan nilai angka Schmidt dari masing-masing parameter pada kondisi standar yaitu pada tekanan 1 atm dan pada temperatur normal terdapat pada Tabel 9. Nilai angka Schmidt diperlukan untuk menghitung nilai koefisien difusivitas massa dari masing-masing material fluida yang akan disimulasikan. Koefisien difusivitas massa dari masing-masing material sangat dipengaruhi oleh nilai viskositas dinamik yang berbanding terbalik dengan kerapatan massa dan 40

54 angka Schmidt atau nilai viskositas kinematik yang berbanding terbalik dengan nilai angka Schmidt. Koefisien difusivitas material D i atau koefisien difusivitas massa dari masing-masing gas polutan dapat ditentukan dari nilai viskositas kinematik yang berbanding terbalik dengan nilai angka Schmidt S c sebagaimana dipresentasikan pada Persamaan (5). Sedangkan karakteristik tekanan gas polutan dipengaruhi oleh perubahan temperatur terlihat pada grafik yang disajikan pada Lampiran 2. Tabel 9. Nilai densitas dan koefisien difusivitas massa masing-masing spesies. No Parameter Angka Schmidt S c * Koefisien difusivitas massa D i (m 2 /s) Density pada titik didih (kg/m³)** 1 Udara (air) 0,7 7,98661E Sulfur dioxide (SO2) 1,24 3,06288E Carbon Monoxide (CO) 0,77 5,05465E Hydrogen Sulfide (H2S) 0,94 6,49873E Sumber : *) The CRC Handbook of Mechanical Engineering by Frank Kreith, **) The National Institute of Standards and Technology (NIST) USA., Nilai koefisien difusivitas massa gas hydrogen sulfide pada Tabel 9 paling tinggi diantara gas polutan lainnya. Hal tersebut menunjukan bahwa material gas hydrogen sulfide bersifat sangat reaktif dan mudah menyebar atau dengan kata lain potensi laju penyebaran material gas hydrogen sulfide terhadap perubahan konsentrasinya di udara sangat cepat. Sedangkan gas sulfur dioxide potensi laju penyebaran materialnya paling rendah diantara gas lainnya, oleh karena itu dapat dikatakan bahwa gas sulfur dioxide kurang reaktif. Pembuatan geometri dilakukan pada tahap awal dengan pola 3 dimensi (3D) yaitu dalam bentuk sebuah cerobong yang memiliki dimensi diameter luar cerobong di titik permukaan tanah sebesar 4 m, sedangkan ketebalan dinding cerobong sebesar 10 cm. Sudut kemiringan dinding cerobong terhadap titik pusat silinder (mengerucut) sebesar 1 derajat dan tinggi cerobong adalah 20 m. Cerobong tersebut dibuat tertancap pada suatu area permukaan tanah dengan ukuran luas area sebesar 100 x 320 m. Luas area tersebut ditentukan berdasarkan pertimbangan kapasitas memori dan efisiensi kinerja software yang digunakan, dimana luasan area yang dibentuk mempengaruhi luasan domain yang akan dianalisis aliran fluidanya serta kondisi kandungan fluida di dalam domain 41

55 tersebut sehingga kecepatan kerja sotfware dalam melakukan proses meshing domain dan proses iterasi (penghitungan) akan semakin berat. Selain itu, kerumitan dari geometri yang dibangun juga dapat mempengaruhi kecepatan kinerja sotfware. Geometri untuk permukaan tanah dibuat setebal 10 cm. Hal ini diperlukan agar batas permukaan tanah terhadap atmosfer dapat didefinisikan sebagai material padat, sehingga fluida yang dialirkan di atas permukaan tersebut dapat dikatakan bahwa fluida tersebut mengalir di atas permukaan (surface) tanah atau lantai yang padat. Material padatan yang digambar dalam geometri tidak didefinisikan secara spesifik mengenai jenis bahan struktur benda tersebut, karena pengaruh dari perbedaan jenis bahan serta karakteristik bahan tersebut terhadap aliran fluida disekitarnya dianggap tidak begitu nyata atau diabaikan. Bentuk geometri secara jelas dapat dilihat pada Gambar 8 dan Gambar 9. y x z Gambar 8. Bentuk geometri cerobong dan area permukaan tanah. cerobong Gambar 9. Dimensi geometri tampak atas dalam satuan meter. 42

56 E. Tahapan Kegiatan Penelitian Secara garis besar tahapan penelitian dalam penelitian ini dibagi menjadi 2 tahapan, yaitu tahap pembuatan program perhitungan model dispersi Gaussian dan tahap pembuatan model dispersi fluida gas polutan dengan menggunakan software Engineering Fluid Dynamics (EFD). Secara rinci kedua tahapan tersebut dapat dilihat pada Gambar 10 dan Gambar 11. mulai Parameter input Goal setting output Kerangka program pengecekan Desain form Model persamaan program Membuat Algoritma program ya Running error? tidak Pengolahan data dan penyajian hasil Gambar 10. Diagram alir pembuatan program. selesai Tahap ini merupakan penghitungan model dispersi Gaussian, dimana variabel fungsi persamaan yang dibangun dipengaruhi oleh perubahan jarak dari sumber pencemar terhadap titik acuan yang terindikasi atau diperkirakan terkena dampak dari pencemaran. Dengan sistem kerja looping program VB, variabel jarak yang berupa titik tersebut dapat dideklarasikan menjadi beberapa titik sehingga membentuk bidang. Kemudian nilai konsentrasi gas polutan dapat 43

57 dihitung pada masing-masing titik yang telah dideklarasikan tersebut, sehingga dapat diketahui nilai sebaran konsentrasi gas polutan pada suatu bidang. mulai Pembuatan geometri (part) Pendefinisian material geometri Penyusunan struktur geometri (assembly) Pengecekan geometri (satu objek) Geometri baik? tidak pengecekan ya set kondisi umum set domain, boundary condition dan goals Input fluida (jenis & sifat) Proses numerik (solver = run) ya Meshing & iterasi error? tidak Plot kontur, grafik dan data dari goals selesai Gambar 11. Diagram alir prosedur simulasi pada EFD 44

58 Tahap ini merupakan tahap mendefinisikan kasus dinamika fluida ke dalam komputerisasi sehingga aliran fluida berikut sifat-sifat fisik serta bahan materialnya dapat dipresentasikan secara visual, baik animasi, grafik kontur maupun data. Persamaan-persamaan yang dibangun dalam CFD diselesaikan secara iteratif, baik dalam kondisi tunak (steady state) atau transien (unsteady state). F. Asumsi dalam Simulasi CFD Asumsi yang digunakan dalam simulasi temperatur, kelembaban dan aliran udara yaitu sebagai berikut: - Udara bergerak dalam kondisi steady - Aliran udara dianggap seragam (uniform) - Udara tidak tertekan (incompresible), p konstan - Arah angin dalam lingkungan dianggap searah (unidirectional) selama simulasi berlangsung. 45

59 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Proses simulasi dispersi gas polutan memerlukan input data polutan, data kondisi atmosfer, data domain (geometri daerah yang disimulasikan), serta data cerobong (stack) yang dimodifikasi sederhana dengan beberapa perlakuan dimensinya. Simulasi dilakukan pada suatu industri yang telah melakukan pengukuran atau pengujian parameter sistem pembakarannya dengan cerobong tunggal sehingga polutan yang dihasilkan dikeluarkan dari sumber tunggal kontinyu. Inlet aliran gas polutan dari cerobong ke dalam sistem simulasi diasumsikan seragam. Besaran inlet aliran massa gas polutan tersebut dapat diprediksi dari jenis dan jumlah bahan bakar yang dikonsumsi oleh sistem pembakarannya dengan menggunakan persamaan faktor emisi US-EPA, yaitu : Q emisi = FC EF...(33) dimana : Q emisi : laju emisi gas polutan, gram/jam FC : Jumlah konsumsi bahan bakar, ton/jam atau liter/jam EF : Faktor emisi, gram/ton atau gram/liter dengan mensubstitusikan data nilai konsumsi bahan bakar dan faktor emisi, terhadap Persamaan (33), maka laju gas polutan yang diemisikan cerobong dari hasil pembakaran dapat dihitung. Contoh kasus untuk nilai emisi gas CO yang terdapat pada Tabel 7, dimana EPA menetapkan bahwa faktor emisi gas CO sebesar 0,6 lb/ton, maka : Q karbon monoksida = 8 ton/jam 0,6 lb/ton = 4,8 lb/jam karena 1 lb = 453,6 gram, maka Q carbon monoxide dari pembakaran batu bara adalah sebesar 2,17728 kg/jam atau 0,6048 gram/detik. Hasil dari perhitungan emission rate gas CO sangat kecil jika dibandingkan dengan gas polutan lainnya. Namun, disisi lain CO merupakan gas yang memiliki sifat sangat toksik terhadap kelangsungan hidup organisme di sekelilingnya.

60 A. Kecepatan Angin (wind speed) Angin merupakan bentuk parsel udara yang bergerak di atmosfer yang disebabkan oleh perbedaan dan ketidakseimbangan tekanan udara, dimana udara selalu bergerak dari tekanan tinggi ke tekanan rendah. Kecepatan angin yang terjadi berbanding lurus dengan semakin tingginya gradien tekanan udara, dimana perbedaan gradien tekanan udara dapat dipengaruhi oleh posisi ketinggian atau arah vertikal dari permukaan bumi. Selain itu, temperatur, kelembaban dan momentum udara yang tidak seimbang juga dapat memicu parsel udara di atmosfer bergerak. Perbedaan karakteristik tipe aliran udara atau kecepatan angin dapat dilihat dengan mensubstitusikan aturan nilai kondisi stabilitas atmosfer yang ditetapkan US-EPA pada Tabel 5, terhadap Persamaan (25). Lembaga US-EPA mengklasifikasikan kondisi stabilitas atmosfer menjadi kondisi di pedesaan dan kota. Masing-masing pedesaaan dan kota memiliki jumlah tipe angin yang sama yaitu dari A sampai F. Dengan mengasumsikan bahwa kecepatan angin pada ketinggian elevasi 20 meter adalah sebesar 5 m/det, maka grafik sebaran kecepatan angin di atas permukaan bumi dapat terlihat jelas seperti pada Gambar ketinggian elevasi (m) kecepatan angin (m/s) A/B kota = D desa A/B desa C kota C desa D kota E/F kota E desa F desa Gambar 12. Koreksi kecepatan angin terhadap ketinggian elevasi. 47

61 Profil kecepatan angin pada Gambar 12 menunjukan bahwa tipe angin A di kota sama dengan tipe angin B di kota sama juga dengan karakteristik tipe angin D di desa. Sedangkan tipe angin A di desa memiliki karakteristik sama dengan tipe angin B di desa. Kesamaan lain pun terjadi pada profil tipe angin E di kota dengan profil tipe angin F di kota. Adanya kesamaan profil sebaran kecepatan angin pada beberapa tipe angin di atas dapat mengindikasikan bahwa yang mempengaruhi karakteristik sebaran udara di atmosfer atau stabilitas atmosfer tidak mutlak hanya faktor regional saja, namun keseragaman sebaran gas udara atau kondisi atmosfer dapat dilihat melalui pendekatan Persamaan Sutton ini. Oleh karena itu, dari Gambar 8 tampak bahwa karakteristik angin yang paling seragam dimiliki oleh kecepatan angin pada kelas stabilitas A dan B di pedesaan. Keseragaman kecepatan angin dan arah angin digunakan untuk melakukan simulasi transport gas polutan dengan model Gaussian. Karena menurut teori yang diungkapkan olehnya dimana asumsi udara yang masuk atau inlet kecepatan udara adalah dianggap seragam, sehingga bentuk sebaran inlet kecepatan angin yang paling mendekati pola seragam adalah tipe stabilitas kelas A dan B. B. Model Gaussian Model Gaussian digunakan untuk menghitung nilai konsentrasi suatu gas polutan yang tersebar di setiap titik koordinat (x, y, z) yang dipengaruhi oleh adanya proses transport dan difusi udara yang bergerak berdasarkan pada fungsi dari jarak. Berbicara tentang dispersi gas yang diungkapkan oleh Gaussian tidak terlepas dari ilustrasi model Gaussian sebagaimana dijelaskan oleh Gambar 6. Dalam model tersebut arah angin selalu searah dengan sumbu x (downwind) dan tegak lurus terhadap sumbu y atau dikenal dengan crosswind, sedangkan ketinggian atau elevasi ditunjukan oleh sumbu z. Titik pusat atau centerpoint koordinat selalu terletak pada titik pusat lingkaran silinder cerobong di permukaan tanah. Dalam simulasi ini perhitungan dispersi polutan tersebut dilakukan dengan menggunakan program Visual Basic (VB). Perhitungan ini merupakan pemetaan titik-titik yang ingin diketahui nilai konsentrasi sebaran gas polutannya. Nilai jarak yang diinput merupakan nilai maksimal dari variabel jarak yang dihitung. Karena proses perhitungan ini menggunakan sistem looping dimana nilai sebaran 48

62 konsentrasi dihitung pada setiap step jarak yang diinput, sehingga didapatkan data nilai sebaran konsentrasi polutan sejauh jarak x dengan jarak y yang membentuk sebuah luasan bidang (x, y). Input nilai jarak x akan menentukan nilai konstanta dispersi axial (σ y ) terhadap arah crosswind dan konstanta dispersi vertikal (σ z ) terhadap elevasi. Hasil akhir dari program VB ini hanya berupa data sebaran nilai konsentrasi polutan pada sebuah luasan bidang x, y di suatu ketinggian elevasi z. Untuk mendapatkan data sebaran polutan di permukaan tanah (ground level), maka input elevasi z = 0. Secara detail bentuk form sederhana dari sistem penghitung dispersi gas polutan yang dibangun dengan program VB diperlihatkan oleh Gambar 13. Gambar 13. Form penghitungan sebaran konsentrasi setiap titik (x, y, z). 49

63 Parameter input pada form yang ditunjukan oleh Gambar 13 dituliskan ke dalam textbox yang terdiri dari : 1. laju emisi gas polutan dengan satuan (gram/detik) 2. kecepatan angin atau windspeed dengan satuan meter per detik (m/s). 3. tipe angin dengan opsi pilihan dari tipe A sampai tipe F 4. ketinggian cerobong dengan satuan meter 5. jarak maksimum x dengan satuan meter 6. jarak maksimum y dengan satuan meter 7. jarak elevasi z atau ketinggian bidang yang ingin diketahui dengan satuan meter 8. step jarak merupakan interval antar titik-titik yang ingin diketahui nilai konsentrasinya pada bidang x dan y. Ketika semua nilai variabel input sudah dimasukkan ke dalam textbox yang sesuai dengan nama variabel disampingnya, maka jika tombol proses diklik artinya proses penghitungan dilakukan. Kemudian akan muncul nilai data hasil penghitungan pada listbox yang terdiri dari : titik (x, y, z), koefisien crosswind atau horizontal, koefisien vertikal, dan nilai konsentrasi gas polutan disetiap titik (x, y, z) dengan satuan µg/m 3. Data nilai input variabel yang dimasukkan ke dalam proses penghitungan berdasarkan pada data nilai yang terdapat pada Tabel 6 dan Tabel 7. Tipe angin yang dipilih sebaiknya adalah tipe angin yang seragam, sebagaimana dilakukan dalam pendekatan teori Gaussian. Karena itu, pertimbangan ini sebaiknya mengacu pada proyeksi tipe sebaran angin yang terdapat pada Gambar 12. Algoritma program VB yang dibangun terdapat pada Lampiran 3. Input pada program ini dapat dimodifikasi sesuai dengan perlakuan perubahan variabel yang diinginkan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh dari perubahan variabel tersebut terhadap pola sebarannya. Dengan input data polutan yang sama atau kontinyu tunggal tetap, ingin diketahui pengaruh perubahan kecepatan angin dan ketinggian cerobong terhadap pola sebaran polutan yang diemisikan oleh suatu cerobong industri. Dari hasil running program VB di atas, 50

64 diperoleh nilai sebaran polutan terhadap fungsi jarak sebagaimana terlihat pada Gambar konsentrasi (µg/m³) SO jarak x (m) (14.a) (14.b) konsentrasi (µg/m³) CO jarak x (m) (14.c) Gambar 14. Grafik sebaran konsentrasi gas polutan sepanjang centerline a). SO 2, b). H 2 S, dan c). CO, pada bidang permukaan tanah. 51

65 Pada Gambar 14, pola sebaran konsentrasi gas SO 2, H 2 S, dan CO berbentuk eksponensial yang menunjukan terjadinya penurunan kadar konsentrasi di permukaan tanah secara signifikan terhadap jarak pada sumbu x. Penurunan konsentrasi polutan terjadi secara signifikan pada jarak awal dari titik sumber emisi serta tidak terjadi peningkatan konsentrasi di sepanjang centerline. Hal ini terjadi karena nilai kecepatan angin dan ketinggian stack yang diinput adalah sama, yaitu kecepatan angin sebesar 2 m/s sedangkan ketinggian stack sama-sama sebesar 20 m. Data nilai konsentrasi masing-masing parameter sepanjang centerline yang sesuai dengan profil grafik di atas terdapat pada Lampiran 4. Sementara itu, jika profil sebaran konsentrasi gas polutan dilihat dari sepanjang garis ordinat y atau crosswind, dapat dilihat pada Gambar SO2 konsentrasi (µg/m³) jarak y (m) (15.a) H2S konsentrasi (µg/m³) (15.b) jarak y (m) 52

66 CO konsentrasi (µg/m³) (15.c) Gambar 15. Profil sebaran gas polutan sepanjang crosswind pada jarak x 10 m, a).so 2, b).h 2 S, dan c).co Pada Gambar 15, terlihat bahwa konsentrasi sebaran gas polutan di sepanjang sumbu y memiliki pola atau bentuk kuadratik, dimana titik puncak nilai konsentrasi gas polutan terdapat pada titik nol garis sumbu y atau pada centerline arah sumbu x jarak y (m) C. Model EFD 1. Kondisi Awal Udara Ambien Kondisi awal udara ambien dalam siimulasi diasumsikan tidak terdapat kontaminan. Jadi, jika fluida yang terdapat dalam udara ambien dianggap udara bersih dan murni, maka menurut NIST (National Institute of Standards and Technology) United State, memiliki nilai densitas sebesar 3,2 kg/m 3 pada tekanan 101,325 kpa titik didih. Oleh karena itu, dalam software Solidworks Office 2007 konsentrasi udara murni pada kondisi awal dengan satuan ppm (part per millions) dituliskan 10 6 ppm dan gas kontaminannya 0 ppm. Kondisi udara tersebut bergerak seragam searah sumbu x dengan kecepatan tetap 2 m/s, sedangkan kecepatan pada arah sumbu y dan sumbu z dianggap nol. Udara mengalir dalam keadaan seragam di atas permukaan tanah dan membentur cerobong yang memiliki diameter 4 m dan tinggi 20 m. Hal ini yang mengakibatkan terjadi perubahan pola aliran di dalam sistem simulasi yang dibangun, mulai dari parameter kecepatan udara, tekanan dinamik dan turbulensi. 53

67 2. Pendefinisian Domain Domain dapat didefinisikan sebagai batasan ruang gerak fluida dan dihitung dalam simulasi sehingga dapat dianalisa berbagai sifat fisik dan material dari fluida yang disimulasikan. Ukuran domain yang dibuat sebesar 320 m x 100 m x 100 m, dimana titik acuan dari dimensi domain tersebut adalah titik nol pada koordinat (x, y, z). Titik koordinat (0, 0, 0) sama seperti simulasi dengan model Gaussian yaitu terdapat pada titik pusat lingkaran silinder di permukaan tanah. Bangunan solid geometri juga berada dalam kolom domain. Hal ini dilakukan agar simulasi pergerakan fluida yang akan direpresentasikan dapat didefinisikan sebagai fluida yang mengalir di atas permukaan solid. Besarnya ukuran domain sangat berpengaruh terhadap besarnya jumlah grid atau mesh. Sehingga kapasitas memori komputer yang digunakan juga akan berbanding lurus terhadap jumlah grid padaa domain yang telah dibuat. Grid yang akan dibangun dalam domain berbentuk tetrahedral dan secara otomatis software akan menyesuaikan dimensi masing-masing grid, dimana semakin mendekati dinding solid maka grid yang terbentuk akan semakin halus seperti tampak pada Gambar 16. Gambar 16. Ilustrasi grid hasil meshing domain dari geometri cerobong. 54

68 Secara prinsip, pada wilayah yang dekat dengan dinding solid fluida yang mengalir akan membentuk suatu lapisan yang disebut boundary layer akibat dari adanya tumbukan dan tegangan geser pada dinding. Perubahan parameter fisik fluida pada wilayah boundary layer terjadi secara fluktuatif. Oleh karena itu dibutuhkan media untuk menangkap peristiwa perubahan yang terjadi pada setiap parsel fluida yang bergerak agar dapat dianalisa. Semakin halus grid yang terbentuk maka kualitasnya akan semakin bagus. 3. Tahap Penentuan Kondisi Batas Penentuan kondisi batas (boundary condition), dapat diartikan sebagai tahap input skenario aliran fluida gas polutan ke dalam sistem geometri dan domain. Arah aliran, kecepatan aliran, jumlah fluida yang diinput, posisi input, posisi output, temperatur dan tekanan merupakan parameter yang harus didefinisikan secara detail agar simulator dapat menghitung dengan baik proses dinamika fluida yang terjadi. Secara detail pendefinisian kondisi batas atau dikenal dengan initial condition diilustrasikan pada Gambar 17. H G D y C i A E x B F z Gambar 17. Ilustrasi pendefinisian kondisi batas Pada Gambar 17, bidang ADEH didefinisikan sebagai input kecepatan udara yang menerpa cerobong secara seragam atau disebut sebagai velocity inlet. Arah kecepatan udara secara seragam tersebut searah dengan sumbu x. Bidang yang didefinisikan sebagai output adalah bidang BCGF, sedangkan 55

69 bidang ABCD, DCGH, dan EFGH didefinisikan sebagai bidang simetry yang berarti bahwa kondisi udara di luar bidang domain dengan kondisi udara di dalam bidang domain dianggap sama. Bidang ABFE sebagai permukaan tanah dan dinding cerobong didefinisikan sebagai dinding padatan (wall). Sedangkan permukaan cerobong yang diilustrasikan oleh poin i merupakan inlet aliran gas polutan ke dalam sistem atau dikenal dengan mass flow inlet. Fluida gas polutan yang diinput dari cerobong hanya satu jenis polutan dengan konsentrasi 100 % atau 10 6 ppm. Artinya bahwa polutan yang menjadi bahan kontaminan pada udara ambien hanya satu jenis dan dilakukan satu per satu dari bahan kontaminan yang akan dianalisa. Hal ini dilakukan untuk memudahkan proses pendefinisian dan analisa fluida serta menganggap bahwa gas polutan tidak mengalami reduksi akibat faktor reaksi kimia dengan senyawa lain selama proses simulasi. Temperatur gas yang diemisikan dari cerobong sebesar 200 o C sedangkan debit massa aliran gas polutan dari cerobong besarnya sesuai dengan Tabel 7 dan alirannya seragam. 4. Analisis Aliran Pola aliran suatu fluida sangat tergantung pada nilai parameter yang disebut Angka Reynolds (Reynolds number), dimana besarnya nilai Re didefinisikan pada Persamaan 1. Re =rul L m berdasarkan input kecepatan udara, nilai viskositas dinamik, dan jarak x yang didefinisikan pada domain, dimana L = x, dengan nilai standar densitas udara dari NIST U.S adalah sebesar 3,2 kg/m 3, dan aliran udara yang mengalir ke dalam sistem simulasi tersebut dianggap seragam atau dalam kondisi steady state, maka nilai angka Reynolds yang terjadi pada aliran udara dalam domain sistem dapat dihitung yaitu : Re L æ ,2 ç è 1, = 1,07 x 10 8 = - 5 ö ø 56

70 dengan R e > 5 x 10 5, maka sudah dapat dipastikan bahwa aliran udara yang terjadi adalah aliran turbulen eksternal. Dari hasil simulasi, fenomena turbulensi atau pola aliran pada permukaan dapat terlihat dari vektor kecepatan fluida di wilayah permukaan silinder yang divisualisasikan oleh software EFD seperti pada Gambar 18. Gambar 18. Kontur dan vektor aliran kecepatan udara dengan melewati silinder cerobong tampak atas. Gambar 18 menunjukan bahwa terjadi perubahan kecepatan udara secara fluktuatif ketika aliran udara itu melewati silinder cerobong. Besarnya nilai kecepatan udara ditunjukan oleh gradasi level warna pada gambar kontur tersebut. Warna merah menunjukan nilai kecepatan yang tinggi sedangkan warna biru menunjukan nilai kecepatan yang minimum. Pada titik tengah atau centerline dari silinder terjadi stagnasi aliran udara, sehingga nilai kecepatan aliran udara pada titik tersebut rendah. Sedangkan peningkatan kecepatan udara terjadi pada permukaan silinder sebelah samping dimana pada wilayah tersebut merupakan tempat fluida bersinggungan dengan permukaan silinder. Pada titik itu juga terjadi peristiwa pembentukan lapisan geser yang dipengaruhi oleh faktor tegangan geser, dan disini pula tumbuhnya potensi terbentuknya vortex dalam aliran yang disebut dengan vorticity. Kemudian aliran tersebut akan terpisah sejalan dengan titik tumbuh meningkatnya gaya gesek (friction) pada permukaan silinder. Grafik nilai sebaran kecepatan udara dan tekanan dinamik aliran udara di sekitar permukaan silinder ditunjukan oleh Gambar 19, dimana data tersebut diambil dengan garis plot setengah lingkaran tepat 57

71 pada posisi 1 cm dari permukaan silinder membentuk simetris terhadap arah aliran udara. 3.5 Velocity (m/s) kece Length (m) ( 19.a ) Dynamic Pressure (Pa) tekan an Length (m) ( 19.b ) Gambar 19. Sebaran kecepatan udara dan tekanan dinamik aliran udara di sekitar permukaan silinder. Dari Gambar 19, terlihat jelas bahwa hubungan kecepatan udara berbanding lurus dengan tekanan dinamik udara di sekitar permukaan silinder, yaitu sama-sama mengalami peningkatan pada titik dimana terbentuknya lapisan geser dan meningkatnya gaya gesek fluida terhadap permukaan solid benda. Sebaran tegangan geser dan koefisien gesek pada permukaan silinder dipresentasikan oleh grafik yang terdapat pada Gambar 20 dan data Gambar 19 dan 20 disajikan pada Lampiran 5. 58

72 Shear Stress (Pa) Length (m) tegang an geser Friction Coefficient ( ) (20.a) Length (m) koefis ien (20.b) Gambar 20. Sebaran tegangan geser dan koefisien gesek di sepanjang permukaan silinder. Jika dilihat dari parameter kecepatan udara, maka kecepatan maksimum aliran fluida yang terjadi pada permukaan silinder terdapat pada titik singgung arah aliran terhadap permukaan silinder. Pada posisi tersebut terjadi perubahan tekanan secara signifikan karena pada wilayah bagian belakang permukaan silinder deformasi tekanan udara terhadap dinding silinder sangat rendah sehingga udara yang terdapat pada wilayah tersebut juga bertekanan rendah. Karena sifat udara lebih cenderung bergerak dari 59

73 tekanan tinggi menuju tekanan rendah, oleh karena itu udara udara yang berada pada titik singgung permukaan silinder akan cepat bergerak mengisi ruang parsel udara di belakang cerobong silinder. Namun, pergerakan udara tersebut akan terhalang sejalan dengan terbentuknya vortex. Sedangkan pada bagian depan permukaan dinding silinder tepat pada titik simetris, terjadi stagnasi kecepatan udara dan nilai deformasi tekanan maksimum. Nilai tekanan pada permukaan silinder dipresentasikan dalam Persamaan 10. p s 2 ( 1-4 q) 1 2 = p 0 + r U sin 2 Sebaran densitas ρ dari titik pusat silinder hingga ujung domain pada bidang pemukaan tanah (centerline) dapat dilihat pada Gambar Density (kg/m^3) Length (m) Gambar 21. Grafik sebaran densitas disepanjang centerline.. Permukaan luar dinding silinder terletak pada jarak 2 meter dari titik nol, oleh karena itu nilai densitas fluida yang berada di sekitar permukaan cerobong dapat dilihat dari grafik yaitu sekitar 1,1758 kg/m 3. Sedangkan, untuk nilai kecepatan udara rata-rata dan tekanan udara lingkungan ditentukan dari hasil iterasi yang konvergen seperti terlihat pada Gambar 22 dengan keterangan data terdapat pada Lampiran 6. 60

74 Iterations Gambar 22. Grafik tekanan dan kecepatan udara hasil iterasi. Proses iterasi mencapai nilai yang konvergen pada iterasi ke 119. Nilai tekanan udara rata-rata p o menurut hasil iterasi simulator adalah sebesar 2, Pa, sedangkan nilai kecepatan rata-rata udara U adalah sebesar 1, m/s. Maka dari itu, tekanan yang terjadi pada permukaan silinder cerobong selama simulasi dapat dihitung. Tekanan yang terjadi pada sudut kemiringan θ, dimana jika sudut kemiringan tersebut adalah sebesar 120 o, adalah : p s Iterations 1 = 2, ,1758 1, = -1, Pa. 2 2 ( 1- sin 120) 61

75 Tanda negatif pada nilai tekanan hasil perhitungan di atas menunjukan bahwa arah tekanan berlawanan arah terhadap arus aliran fluida. Kontur kecepatan aliran udara dengan tampak samping dapat dilihat pada Gambar 23. Gambar 23. Kontur kecepatan tampak samping. Input kecepatan udara ambien adalah sebesar 2 m/s, namun pada Gambar 23 terlihat bahwa terjadi peningkatan kecepatan di atas cerobong tempat keluarnya polutan. Peningkatan kecepatan tersebut disebabkan oleh perbedaan temperatur, dimana temperatur fluida gas polutan pada saat keluar dari cerobong dikondisikan sebesar 200 o C. Sementara itu kondisi temperatur di ambien hanya sebesar 27 o C. Perbedaan inilah yang memicu pergerakan fluida, karena sifat gas akan sangat reaktif ketika dalam kondisi temperatur tinggi, sehingga fluida yang bertemperatur rendah akan bergerak mengisi ruang parsel udara yang reaktif tadi sampai pada kondisi setimbang. Sumber panas yang masuk ke dalam sistem berasal dari gas polutan yang diemisikan dari cerobong. Panas yang terbawa oleh material polutan menyebar di udara sejalan dengan proses dispersinya, dimana penyebaran material tersebut dipengaruhi oleh faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal adalah kecepatan udara yang menerpa material polutan yang diemisikan, dimana dengan kecepatan udara tersebut partikel material polutan akan terbawa oleh hembusan parsel udara yang diketahui kecepatannya. Di sisi lain faktor internal dalam material juga mempengaruhi potensi terjadinya dispersi gas polutan, diantaranya adalah nilai viskositas kinematis dan difusivitas panas. Viskositas kinematik merupakan nilai satuan viskos dinamika per kerapatan material. Semakin besar nilai viskositas kinematik suatu material, maka potensi penyebaran material 62

76 tersebut juga akan semakin besar. Karena ia memiliki kerapatan material yang kecil sehingga sifat material tersebut akan semakin reaktif. Sifat beberapa material fluida yang disimulasikan dapat diprediksi melalui nilai kimiawi material itu sendiri. Jika nilai densitas material diketahui, maka nilai viskositas kinematik dan difusifitas panas dari parameter Tabel 8 dapat dihitung dengan menggunakan Persamaan 3 dan 4. Nilai densitas yang diketahui diukur pada kondisi standar yaitu pada tekanan 1 atm dan pada temperatur titik didih. Maka viskositas kinematik untuk parameter hydrogen sulfide H 2 S dihitung dengan nilai viskositas dinamik dibagi satuan densitas, yaitu : v = m r = 1, ,93-5 = 6, m 2 / s Sedangkan nilai difusivitas panas hydrogen sulfide H 2 S adalah : a = k r. C p Sehingga, dengan rumus perhitungan yang sama, nilai viskositas kinematik dan difusivitas panas untuk masing-masing parameter dapat disajikan pada Tabel 10. No 0,01298 = 1,93 0,034 = 0,1978 m 2 / s Tabel 10. Nilai viskositas kinematik dan difusivitas panas udara dan gas polutan. Parameter viskositas kinematik (m 2 /s) difusivitas panas (m 2 /s) 1 Udara 5,59063E-06 0, Sulfur dioxide (SO2) 3,79797E-06 0, Carbon Monoxide (CO) 3,89208E-06 0, Hydrogen Sulfide (H2S) 6,10881E-06 0, Tabel 10 menunjukan bahwa nilai viskositas kinematik yang dimiliki oleh gas hydrogen sulfide adalah paling besar diantara parameter fluida 63

77 lainnya. Hal ini berarti bahwa gas hydrogen sulfide merupakan gas yang paling reaktif diantara gas lainnya. Sedangkan gas sulfur dioxide merupakan gas yang paling kurang reaktif diantara yang lainnya, dengan kataa lain gas ini memiliki ikatan molekul yang lebih kuat. Nilai difusivitas panas berbanding lurus terhadap nilai konduktivitas panas material. Semakin besar nilai difusivitas panas suatu material maka semakin cepat kemampuan material tersebut menyebarkan panas ke lingkungan sekitarnya sehingga semakin cepat juga material itu melepaskan panas yang ada dalam partikel material tersebut. Dari Tabel 10, dapat dilihat bahwa nilai difusivitas panas yang dimiliki oleh gas sulfur dioxide sangat rendah. Hal ini menunjukan bahwa konduktifitas panasnya sangat kecil atau nilai panas jenis padaa tekanan konstan dari gas sulfur dioxide bernilai tinggi. Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa gas sulfur dioxide memiliki daya simpan panas yang cukup tinggi. Penjelasan kasus fluida bergerak dapat didekati dengann konsep Lagrangian, dimana analisis ini melibatkan pergerakan unsur terkecil dari fluida tersebut. Jika unsur terkecil dari fluida yang bergerak didefinisikan sebagai partikel, maka identifikasi sifat fisik fluida dapat ditelusuri dari perubahan partikel fluida sebagai fungsi dari waktu. Konsep inilah yang kemudian disebut dengan konsep material derivative. Ilustrasi pergerakan partikel fluida dalam suatu aliran bebas dideskripsikan oleh Okishii et al. (2006) pada Gambar 24. Gambar 24. Ilustrasi gerakan partikel terhadap satuan waktu kecepatan (Okiishi et al., 2006). 64

78 Partikel fluida bergerak sepanjang garis edar sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 24, dengan jarak r terhadap titik acuan nol. Partikel A yang bergerak dengan kecepatan V A merupakan fungsi dari jarak posisi dan waktu. Sehingga hal ini dapat dinotasikan sebagai fungsi Persamaan (34). ( r, t) = V [ x ( t), y ( t), z ( t) t] V A = V A A A A A A,.. (34) Dimana x A = x A (t), y A = y A (t), dan z A = z A (t), merupakan lokasi gerak partikel. Dengan mendefinisikan bahwa percepatan merupakan perubahan kecepatan pergerakan partikel fluida terhadap waktu maka kecepatan dapat dikatakan fungsi dari posisi pergerakan fluida terhadap waktu pergerakan fluida. Maka percepatan pergerakan partikel A dengan aturan rantai diferensial dapat dinotasikan menjadi Persamaan (35). a A ( t ) = dv dt A = V t Derivatif material pada setiap variabel dapat berubah sesuai dengan perubahan waktu. Sebagai contoh untuk menentukan nilai temperatur pada suatu aliran, perubahan waktu dapat mengubah temperatur partikel fluida tersebut selama partikel tersebut bergerak melalui bidang temperatur yang disebut temperatur field dimana T = T (x, y, z, t).. Jika parameter kecepatan diketahui, maka dengan menerapkan persamaan atur berantai nilai perubahan temperatur dapat dinotasikan dengan Persamaan (36). dt dt A T = t A T A + x.(36) Jika dalam simulasi ini temperatur dari gas polutan yang diemisikan didefinisikan sebagai partikel dan membentuk bidang temperatur di permukaan inlet cerobong, maka perubahan temperatur selama fluida itu bergerak dapat dikatakan sebagai fungsi waktu. Inlet gas polutan dari cerobong dianggap seragam dan waktu simulasi pada general setting didefinisikan oleh default software selama 3600 detik. Oleh karena itu, nilai temperatur dari pergerakan fluida selama rentang waktu simulasi tersebut dapat dipresentasikan dalam bentuk kontur warna dengan tampak atas dan samping seperti pada Gambar 25. A dx dt V A + x A dx dt T A + y A dy dt V + y A A dy dt T A + z A dz dt V.(35) A dz A + z dt A 65

79 cerobong (25.a). Sebaran temperatur SO 2 tampak samping pada centerface.. cerobong (25.b). Sebaran temperatur SO 2 tampak atas pada ground level. cerobong (25.c). Sebaran temperatur H 2 S tampak samping pada bidang centerface. cerobong (25.d). Sebaran temperatur CO tampak samping pada bidang centerface. Gambar 25. Sebaran temperatur berbagai gas polutan. 66

80 Pola penyebaran yang terbentuk dari masing-masing gas polutan yang terlihat pada Gambar 25.a, 25.c, dan 25.d berbeda satu sama lainnya. Perbedaan pola penyebaran ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, secara khusus adalah berasal dari faktor internal sifat kimiawi gas polutan itu sendiri, seperti berat molekul, nilai viskositas kinematik, nilai difusivitas panas dan densitasnya. Sebaran konsentrasi gas polutan yang diemisikan dari cerobong masing-masing memiliki pola sebaran berbeda sesuai dengan karakteristik sifat material fluida gas polutan itu sendiri. Karena faktor kecepatan udara, nilai temperatur fluida dan gravitasi bumi yaitu sebesar 9,81 m/ /s 2, yang didefinisikan dalam simulasi satu dengan lainnya adalah sama. Bentuk sebaran konsentrasi gas polutan secara rinci dapat dilihat pada Gambar 26. cerobong (26.a). Tampak samping sepanjang bidang centerface. (26.b). Tampak samping sepanjang jarak 10 meter dari centerface. 67

81 (26.c). Tampak samping sepanjang jarak 20 meter dari centerface. (26.d). Tampak samping sepanjang jarak 30 meter dari centerface. (26.e). Tampak samping sepanjang jarak 40 meter dari centerface. Gambar 26. Sebaran konsentrasi SO 2 pada berbagai bidang tampak samping. Sedangkan untuk sebaran konsentrasi SO 2 dipermukaan tanah tampak atas ditunjukan dengan kurva isoline dan kontur pada Gambar 27. cerobong 68

82 cerobong Gambar 27. Sebaran konsentrasi SO 2 dipermukaan tanah tampak atas ditunjukan dengan kurva isoline dan kontur. Pola sebaran gas polutan SO 2 lebih cenderung jatuh ke permukaan tanah disamping terbawa oleh kecepatan aliran udara. Kecenderungan gas ini jatuh ke permukaan tanah dipengaruhi oleh berat molekul yang dimilikinya yaitu sebesar 64,06 gram/mol, yang kemudian dipengaruhi juga oleh gaya gravitasi bumi. Gaya gravitasi bumi hanya mempengaruhi gaya pada arah berlawanan dengan koordinat sumbu y. Sehingga pada pendefinisian kondisii general gaya gravitasi dituliskan negatif (-9,81) m/s 2 pada arah koordinat sumbu y. Jika ditinjau dari persamaan kontinyuitas Navier-Stokes, maka pergerakan fluida yang searah x dan z tidak terpengaruh sama sekali dengan gaya gravitasi bumi. Namun pada arah x terdapat faktor kecepatan angin yang diasumsikan seragam yaitu sebesar 2 m/s. Dengan massa yang dimiliki oleh molekul fluida, perubahan gaya yang terjadi pada aliran fluida merupakan resultan gaya yang dipengaruhi oleh gravitasi bumi, kecepatan udara dan tegangan geser terhadap dimensi jarak partikel fluida. Hal inilah yang akan menentukan arah pergerakan gerakan fluida tersebut. Gas SO 2 memiliki berat molekul 121,125 % lebih besar dibandingkan dengan berat molekul udara yaitu sekitar 28,97 gram/mol. Jika ini diintegrasikan terhadap gaya gravitasi bumi seperti pada Persamaan 38, maka gaya berat yang dimiliki oleh gas SO 2 dua kali lebih dari gaya berat yang dimiliki udara. Selain itu, viskositas dinamik SO 2 jauh lebih rendah dibanding nilai viskositas dinamik udara yaitu berturut-turut sebesar 1,158 x 10-5 dan 1,789 x 10-5 kg/m.s. Artinya kemampuan gerak massa partikel persatuan 69

83 jarak dan waktu dari gas SO 2 sangat rendah dibandingkan dengan kemampuan udara. Nilai viskositas dinamik akan bepengaruh sama terhadap arah gerak fluida dari sistem momentum Navier-Stokes. Adanya jumlah mass flow inlet yang besar dan terjadi fenomena vortex serta turbulensi fluida pada daerah di belakang cerobong, mengakibatkan terjadinya akumulasi gas SO 2 di daerah tersebut. Hal ini dapat dilihat pada (Gambar 27), dimana terdapat konsentrasi gas polutan yang terbesar dalam wilayah vortex, yaitu wilayah sepanjang centerline di belakang cerobong yang merupakan sumbu simetris dari searah sumbu x pada bidang permukaan tanah. Nilai konsentrasi terbesar di sepanjang centerline ditunjukkan pada Gambar SO2 Mass Fraction (ppm) Length (m) Gambar 28. Grafik konsentrasi SO 2 disepanjang centerline Titik puncak maksimum nilai konsentrasi gas polutan SO 2 terdapat pada jarak 60 m dari titik pusat silinder cerobong yaitu sebesar 10721,64 ppm. Besarnya nilai ini merupakan akibat dari akumulasi yang terjadi selama 3600 detik dihitung dari awal inlet gas polutan dari cerobong. Pengakumulasian terjadi karena disamping berada di permukaan tanah, hembusan kecepatan udara yang menerjang wilayah tersebut pun sangat rendah dibandingkan dengan wilayah permukaan tanah lainnya di luar batasan lapisan vortex. Selain itu nilai viskositas dinamik material SO 2 juga sangat rendah, sehingga tidak ada parsel udara yang membawa gas polutan 70

84 bergerak lebih jauh ke atmosfer. Profil iterasi dari sebaran konsentrasi gas SO 2 disajikan pada Gambar 29. Iterations Gambar 29. Profil iterasi sebaran konsentrasi gas SO 2 Iterasi untuk gas SO 2 terjadi sebanyak 117 kali hingga didapatkan nilai rata-rata konsentrasi gas SO 2 sebesar 617,97 ppm. Data sebaran gas SO 2 sepanjang centerline secara rinci terdapat pada Lampiran 7. Bentuk sebaran konsentrasi gas H 2 S dapat dilihat pada Gambar 30. (30.a). Tampak samping sepanjang centerface. (30.b). Tampak samping pada jarak 10 meter dari bidang centerface. 71

85 (30.c). Tampak samping pada jarak 12,5 meter dari bidang centerface. Gambar 30. Sebaran konsentrasi gas H 2 S di atmosfer pada berbagai jarak bidang tampak samping dari centerface. Pada Gambar 30 terlihat bahwa tidak ada aliran gas polutan yang menuju permukaan tanah. Semua gas polutan yang diemisikan dari cerobong bergerak ke atas dan mengikuti kecepatan angin. Gas H 2 S memiliki kerapatan material atau massa jenis sebesar 1,93 kg/m 3, sedangkan udara memiliki nilai kerapatan material sebesar 3,2 kg/m 3. Jika ditinjau dari persamaan Navier-Stokes, ini menunjukan bahwa potensi pergerakan gas H 2 S menuju arah koordinat y (ke atas) positif lebih besar dibandingkan dengan udara. Disamping itu nilai viskositas kinematik gas H 2 S lebih besar dibandingkan dengan udara yang berturut-turut adalah sebesar 6,1088 x 10-6 dan 5,5906 x 10-6 m 2 /s. Hal ini menunjukan bahwa potensi luas penyebaran material gas H 2 S per satuan waktu lebih besar dibanding dengan udara. Dengan kata lain reaktivitas gas H 2 S lebih tinggi dari pada udara. Gambar penampakan bidang sebaran konsentrasi gas H 2 S tampak dari atas ditunjukkan oleh Gambar 31. (31.a). Tampak atas pada ketinggian 13,5 m dari permukaan tanah. 72

86 (31.b). Tampak atas pada ketinggian 20 m dari permukaan tanah. (31.c). Tampak atas pada ketinggian 30 m dari permukaan tanah. (31.d). Tampak atas pada ketinggian 40 m dari permukaan tanah. (31.e). Tampak atas pada ketinggian 50 m dari permukaan tanah. Gambar 31. Sebaran konsentrasi gas H 2 S tampak atas pada berbagai jarak bidang dari permukaan tanah. 73

87 Pada Gambar 31 terlihat fenomena sebaran fluida pada ujung jarak bidang yang terindikasi oleh polutan H 2 S yang seakan-akan memisah atau membelah. Hal ini terjadi karena adanya gradien kecepatan fluida pada saat fluida polutan berada di dalam cerobong silinder. Perbedaan kecepatan aliran tersebut dipengaruhi oleh tegangan geser dan gaya gesek antara fluida dengan dinding dalam cerobong, sehingga pada bagian titik tengah cerobong merupakan kecepatan yang paling tinggi dari gas emisi. Kecepatan aliran gas emisi dari cerobong searah dengan sumbu y dan tegak lurus terhadap kecepatan udara ambient yang seragam dan searah sumbu x. Jika kedua kecepatan tersebut merupakan vektor, maka pola aliran sebaran gas H 2 S yang dipresentasikan dalam Gambar 30.a, terjadi karena faktor resultan kecepatan udara yang searah dengan sumbu x. Plot nilai sebaran konsentrasi gas H 2 S dilakukan di sepanjang centerline pada ketinggian 20 m. Hal ini dilakukan karena pada permukaan tanah tidak terkena dampak dari sebaran gas polutan H 2 S. Garis plot nilai sebaran gas H 2 S diilustrasikan oleh Gambar 32. Gambar 32. Ilustrasi garis plot data nilai sebaran gas konsentrasi H 2 S Sedangkan sebaran nilai konsentrasi gas polutan H 2 S dipresentasikan dengan grafik pada Gambar

88 Hydrogen sulfide Mass Fraction (ppm) E Length (m) Gambar 33. Grafik sebaran gas H 2 S sepanjang centerline. Sebaran konsentrasi gas H 2 S di sepanjang centerline mulai terlihat pada ketinggian 13,5 m sebagaimana ditunjukan dalam Gambar (31.a). Sedangkan pada ketinggian 20 meter, grafik sebaran gas H 2 S ditunjukan dalam Gambar (33). Pada Gambar 33 terlihat bahwa konsentrasi gas H 2 S semakin menurun terhadap jarak sumbu x. Penurunan secara signifikan terjadi pada jarak di bawah 3 meter. Sedangkan profil iterasi sebaran gas H 2 S dapat dilihat pada Gambar 34. Gambar 34. Profil iterasi sebaran konsentrasi gas H 2 S. 75

89 Nilai konsentrasi maksimum di sepanjang garis plot terdapat pada jarak 1,2 meter dari titik pusat silinder cerobong yaitu sebesar ,6 ppm. Pada jarak selanjutnya di tingkat elevasi 20 m sebaran konsentrasinya berubah sangat signifikan, karena gas H 2 S terus bergerak ke atas sejalan dengan berubahnya jarak dan terbawa oleh parsel udara yang menghembus seragam sebesar 2 m/s searah sumbu x. Oleh karena itu, dampak yang ditimbulkan gas H 2 S terhadap kehidupan makhluk hidup di permukaan bumi secara langsung tidak bermasalah. Bentuk sebaran gas polutan CO terlihat pada Gambar 35. (35.a). Tampak samping pada centerface. (35.b). Tampak samping pada jarak 2 meter dari centerface. (35.c). Tampak samping pada jarak 4 meter dari centerface. 76

90 (35.d). Tampak atas pada jarak 10 meter dari permukaan tanah. (35.e). Tampak atas pada jarak 15 meter dari permukaan tanah. (35.f). Tampak atas pada jarak 19 meter dari permukaan tanah. (35.g). Tampak atas pada jarak 23 meter dari permukaan tanah. Gambar 35. Sebaran gas polutan CO pada berbagai jarak bidang. 77

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pencemaran Udara 1. Definisi Pencemaran Udara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pencemaran Udara 1. Definisi Pencemaran Udara BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pencemaran Udara 1. Definisi Pencemaran Udara Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BB IV HSIL DN PEMBHSN Proses simulasi dispersi gas polutan memerlukan input data polutan, data kondisi atmosfer, data domain (geometri daerah yang disimulasikan), serta data cerobong (stack) yang dimodifikasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Komposisi dan Perilaku Gas Buang Kendaraan Bermotor Emisi kendaraan bermotor mengandung berbagai senyawa kimia. Komposisi dari kandungan senyawa kimianya tergantung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini, bumi tempat tinggal manusia telah tercemar oleh polutan. Polutan adalah segala sesuatu yang berbahaya bagi kehidupan makhluk hidup dan lingkungan. Udara

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI DAN PENGOLAHAN DATA

BAB III METODOLOGI DAN PENGOLAHAN DATA BAB III METODOLOGI DAN PENGOLAHAN DATA 3.1 Data Data yang akan digunakan dalam pengerjaan tugas akhir ini, antara lain data pemakaian batubara, data kandungan sulfur dalam batubara, arah dan kecepatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Perubahan lingkungan udara pada umumnya disebabkan oleh pencemaran,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Perubahan lingkungan udara pada umumnya disebabkan oleh pencemaran, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan lingkungan udara pada umumnya disebabkan oleh pencemaran, yaitu masuknya zat pencemar yang berbentuk gas, partikel kecil atau aerosol ke dalam udara (Soedomo,

Lebih terperinci

PENCEMARAN UDARA LELY RIAWATI, ST., MT.

PENCEMARAN UDARA LELY RIAWATI, ST., MT. 1 PENCEMARAN UDARA LELY RIAWATI, ST., MT. Pencemaran Udara 2 3 Regulasi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara 4 Pencemaran Udara Masuknya atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jumlah penduduk di Kota Padang setiap tahun terus meningkat, meningkatnya jumlah penduduk mengakibatkan peningkatan jumlah transportasi di Kota Padang. Jumlah kendaraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Di era persaingan pasar bebas saat ini, produk suatu industri

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Di era persaingan pasar bebas saat ini, produk suatu industri BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di era persaingan pasar bebas saat ini, produk suatu industri seharusnya memiliki kualitas sesuai standar yang ditentukan. Dalam proses pembuatannya tentu diperlukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup

Lebih terperinci

1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Udara merupakan unsur yang sangat penting untuk mempertahankan kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan semuanya membutuhkan udara untuk mempertahankan hidupnya. Udara

Lebih terperinci

PENERAPAN MODEL FINITE LENGTH LINE SOURCE UNTUK MENDUGA KONSENTRASI POLUTAN DARI SUMBER GARIS (STUDI KASUS: JL. M.H. THAMRIN, DKI JAKARTA)

PENERAPAN MODEL FINITE LENGTH LINE SOURCE UNTUK MENDUGA KONSENTRASI POLUTAN DARI SUMBER GARIS (STUDI KASUS: JL. M.H. THAMRIN, DKI JAKARTA) PENERAPAN MODEL FINITE LENGTH LINE SOURCE UNTUK MENDUGA KONSENTRASI POLUTAN DARI SUMBER GARIS (STUDI KASUS: JL. M.H. THAMRIN, DKI JAKARTA) EKO SUPRIYADI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pencemaran udara merupakan satu atau lebih substansi fisik, kimia,

BAB I PENDAHULUAN. Pencemaran udara merupakan satu atau lebih substansi fisik, kimia, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pencemaran udara merupakan satu atau lebih substansi fisik, kimia, atau biologi di atmosfer dalam jumlah yang dapat membahayakan kesehatan manusia, hewan, dan tumbuhan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udara merupakan komponen yang sangat penting untuk keberlangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya. Tingkat pencemaran udara di Kota Padang cukup tinggi. Hal

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. LEMBAR PENGESAHAN... ii. KATA PENGANTAR... iii. ABSTRAK... vi. ABSTRACT... vii. DAFTAR ISI... viii. DAFTAR TABEL...

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. LEMBAR PENGESAHAN... ii. KATA PENGANTAR... iii. ABSTRAK... vi. ABSTRACT... vii. DAFTAR ISI... viii. DAFTAR TABEL... DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii KATA PENGANTAR... iii ABSTRAK... vi ABSTRACT... vii DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... xv DAFTAR GAMBAR... xviii BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Hukum Kekekalan Massa Hukum kekekalan massa atau dikenal juga sebagai hukum Lomonosov- Lavoiser adalah suatu hukum yang menyatakan massa dari suatu sistem tertutup akan konstan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hujan merupakan unsur iklim yang paling penting di Indonesia karena

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hujan merupakan unsur iklim yang paling penting di Indonesia karena II. TINJAUAN PUSTAKA A. Defenisi Hujan Asam Hujan merupakan unsur iklim yang paling penting di Indonesia karena keragamannya sangat tinggi baik menurut waktu dan tempat. Hujan adalah salah satu bentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan di Indonesia yang berkembang pesat dewasa ini terutama dalam bidang industri telah mengakibatkan kebutuhan tenaga listrik meningkat dari tahun ke tahun.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Udara merupakan unsur yang sangat penting untuk mempertahankan kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan semuanya membutuhkan udara untuk mempertahankan hidupnya. Udara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan parameter..., Duniantri Wenang Sari, FKM 2 UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan parameter..., Duniantri Wenang Sari, FKM 2 UI, Universitas Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Jakarta sebagai kota metropolitan di Indonesia memiliki berbagai masalah, salah satu isu yang sedang hangat diperbincangkan adalah masalah pencemaran udara. Menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pencemaran udara dewasa ini semakin memprihatinkan. Hal ini terlihat

BAB I PENDAHULUAN. Pencemaran udara dewasa ini semakin memprihatinkan. Hal ini terlihat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pencemaran udara dewasa ini semakin memprihatinkan. Hal ini terlihat dimana terjadi perubahan cuaca dan iklim lingkungan yang mempengaruhi suhu bumi dan berbagai pengaruh

Lebih terperinci

BAB II TEORI ALIRAN PANAS 7 BAB II TEORI ALIRAN PANAS. benda. Panas akan mengalir dari benda yang bertemperatur tinggi ke benda yang

BAB II TEORI ALIRAN PANAS 7 BAB II TEORI ALIRAN PANAS. benda. Panas akan mengalir dari benda yang bertemperatur tinggi ke benda yang BAB II TEORI ALIRAN PANAS 7 BAB II TEORI ALIRAN PANAS 2.1 Konsep Dasar Perpindahan Panas Perpindahan panas dapat terjadi karena adanya beda temperatur antara dua bagian benda. Panas akan mengalir dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, baik fisik, biologi, maupun sosial yang memungkinkan setiap orang

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, baik fisik, biologi, maupun sosial yang memungkinkan setiap orang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Upaya kesehatan lingkungan ditujukan untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat, baik fisik, biologi, maupun sosial yang memungkinkan setiap orang mencapai derajat

Lebih terperinci

Pemantauan kualitas udara. Kendala 25/10/2015. Hal yang penting diperhatikan terutama ialah aspek pengambilan sampel udara dan analisis pengukurannya

Pemantauan kualitas udara. Kendala 25/10/2015. Hal yang penting diperhatikan terutama ialah aspek pengambilan sampel udara dan analisis pengukurannya Pemantauan kualitas udara Hal yang penting diperhatikan terutama ialah aspek pengambilan sampel udara dan analisis pengukurannya Keabsahan dan keterpercayaannya ditentukan oleh metode dan analisis yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup terutama manusia. Di dalam udara terdapat gas oksigen (O 2 ) untuk

BAB I PENDAHULUAN. hidup terutama manusia. Di dalam udara terdapat gas oksigen (O 2 ) untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udara adalah suatu campuran gas yang terdapat pada lapisan yang mengelilingi bumi. Udara mempunyai fungsi yang sangat penting bagi makhluk hidup terutama manusia. Di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hasil Analisa Bulan November Lokasi/Tahun Penelitian SO2 (µg/m 3 ) Pintu KIM 1 (2014) 37,45. Pintu KIM 1 (2015) 105,85

BAB I PENDAHULUAN. Hasil Analisa Bulan November Lokasi/Tahun Penelitian SO2 (µg/m 3 ) Pintu KIM 1 (2014) 37,45. Pintu KIM 1 (2015) 105,85 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Udara merupakan salah satu faktor penting dalam keberlangsungan hidup semua mahluk hidup terutama manusia. Seiring dengan meningkatnya pembangunan infrastruktur mulai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Transportasi saat ini menjadi masalah yang sangat penting karena dapat mengindikasikan kemajuan suatu daerah. Transportasi sangat diperlukan untuk mendukung perkembangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dilepaskan bebas ke atmosfir akan bercampur dengan udara segar. Dalam gas

I. PENDAHULUAN. dilepaskan bebas ke atmosfir akan bercampur dengan udara segar. Dalam gas I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sarana transportasi saat ini sangat dibutuhkan bagi masyarakat yang melakukan aktivitas perjalanan di luar rumah. Kebutuhan sarana transportasi tersebut memacu laju pertambahan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan unsur lingkungan hidup lainnya (SNI ).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan unsur lingkungan hidup lainnya (SNI ). 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Udara Ambient Udara dapat di kelompokkan menjadi dua jenis, yaitu udara ambient dan udara emisi. Udara ambient adalah udara bebas di permukaan bumi pada lapisan troposfir

Lebih terperinci

REYNOLDS NUMBER K E L O M P O K 4

REYNOLDS NUMBER K E L O M P O K 4 REYNOLDS NUMBER K E L O M P O K 4 P A R A M I T A V E G A A. T R I S N A W A T I Y U L I N D R A E K A D E F I A N A M U F T I R I Z K A F A D I L L A H S I T I R U K A Y A H FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan kota lebih banyak mencerminkan adanya perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan kota lebih banyak mencerminkan adanya perkembangan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan kota lebih banyak mencerminkan adanya perkembangan fisik kota yang ditentukan oleh pembangunan sarana dan prasarana. Lahan yang seharusnya untuk penghijauan

Lebih terperinci

ANALISIS KONSENTRASI GAS HIDROGEN SULFIDA (H2S) DI UDARA AMBIEN KAWASAN LOKASI PEMBUANGAN AKHIR (LPA) SAMPAH AIR DINGIN KOTA PADANG TUGAS AKHIR

ANALISIS KONSENTRASI GAS HIDROGEN SULFIDA (H2S) DI UDARA AMBIEN KAWASAN LOKASI PEMBUANGAN AKHIR (LPA) SAMPAH AIR DINGIN KOTA PADANG TUGAS AKHIR ANALISIS KONSENTRASI GAS HIDROGEN SULFIDA (H2S) DI UDARA AMBIEN KAWASAN LOKASI PEMBUANGAN AKHIR (LPA) SAMPAH AIR DINGIN KOTA PADANG TUGAS AKHIR OLEH ELGA MARDIA BP. 07174025 JURUSAN TEKNIK LINGKUNGAN FAKULTAS

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang dan Permasalahan Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian 2

DAFTAR ISI. BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang dan Permasalahan Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian 2 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERNYATAAN HALAMAN PERSEMBAHAN KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN INTISARI ABSTRACT i ii iii iv v vii ix x xi xii xiii

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Iklim Mikro Rumah Tanaman Daerah Tropika Basah

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Iklim Mikro Rumah Tanaman Daerah Tropika Basah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Iklim Mikro Rumah Tanaman Daerah Tropika Basah Iklim merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perancangan bangunan. Sebuah bangunan seharusnya dapat mengurangi pengaruh iklim

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagian jenis gas dapat dipandang sebagai pencemar udara terutama apabila konsentrasi gas tersebut melebihi tingkat konsentrasi normal dan dapat berasal dari sumber

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Fluida Aliran fluida atau zat cair (termasuk uap air dan gas) dibedakan dari benda padat karena kemampuannya untuk mengalir. Fluida lebih mudah mengalir karena ikatan molekul

Lebih terperinci

b. Dampak Pencemaran oleh Nitrogen Oksida Gas Nitrogen Oksida memiliki 2 sifat yang berbeda dan keduanya sangat berbahaya bagi kesehatan.

b. Dampak Pencemaran oleh Nitrogen Oksida Gas Nitrogen Oksida memiliki 2 sifat yang berbeda dan keduanya sangat berbahaya bagi kesehatan. 1. Sejarah Perkembangan Timbulnya Pencemaran Kemajuan industri dan teknologi dimanfaatkan oleh manusia untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Sudah terbukti bahwa industri dan teknologi yang maju identik

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR GESEK PADA PIPA AKRILIK DENGAN ASPEK RASIO PENAMPANG 1 (PERSEGI) DENGAN PENDEKATAN METODE EKSPERIMENTAL DAN EMPIRIS TUGAS AKHIR

ANALISIS FAKTOR GESEK PADA PIPA AKRILIK DENGAN ASPEK RASIO PENAMPANG 1 (PERSEGI) DENGAN PENDEKATAN METODE EKSPERIMENTAL DAN EMPIRIS TUGAS AKHIR ANALISIS FAKTOR GESEK PADA PIPA AKRILIK DENGAN ASPEK RASIO PENAMPANG 1 (PERSEGI) DENGAN PENDEKATAN METODE EKSPERIMENTAL DAN EMPIRIS TUGAS AKHIR Oleh : DEKY PUTRA 04 04 22 013 3 DEPARTEMEN TEKNIK MESIN

Lebih terperinci

LIMBAH. Pengertian Baku Mutu Lingkungan Contoh Baku Mutu Pengelompokkan Limbah Berdasarkan: 1. Jenis Senyawa 2. Wujud 3. Sumber 4.

LIMBAH. Pengertian Baku Mutu Lingkungan Contoh Baku Mutu Pengelompokkan Limbah Berdasarkan: 1. Jenis Senyawa 2. Wujud 3. Sumber 4. LIMBAH Pengertian Baku Mutu Lingkungan Contoh Baku Mutu Pengelompokkan Limbah Berdasarkan: 1. Jenis Senyawa 2. Wujud 3. Sumber 4.B3 PENGERTIAN Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 18/1999 Jo.PP 85/1999

Lebih terperinci

4.1 Konsentrasi NO 2 Tahun 2011

4.1 Konsentrasi NO 2 Tahun 2011 4.1 Konsentrasi NO 2 Tahun 2011 Pada pengujian periode I nilai NO 2 lebih tinggi dibandingkan dengan periode II dan III (Gambar 4.1). Tinggi atau rendahnya konsentrasi NO 2 sangat dipengaruhi oleh berbagai

Lebih terperinci

SIMULASI PENYEBARAN GAS SO 2 DENGAN MODEL FLUENT DAN MODEL DIFUSI GAUSS GANDA

SIMULASI PENYEBARAN GAS SO 2 DENGAN MODEL FLUENT DAN MODEL DIFUSI GAUSS GANDA SIMULASI PENYEBARAN GAS SO 2 DENGAN MODEL FLUENT DAN MODEL DIFUSI GAUSS GANDA (Studi Kasus di PLTU PT. INDORAMA SYNTHETICS tbk.) TUGAS AKHIR Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Kurikuler Program Sarjana di

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 5. DINAMIKA ATMOSFERLATIHAN SOAL 5.5. La Nina. El Nino. Pancaroba. Badai tropis.

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 5. DINAMIKA ATMOSFERLATIHAN SOAL 5.5. La Nina. El Nino. Pancaroba. Badai tropis. SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 5. DINAMIKA ATMOSFERLATIHAN SOAL 5.5 1. Perubahan iklim global yang terjadi akibat naiknya suhu permukaan air laut di Samudra Pasifik, khususnya sekitar daerah ekuator

Lebih terperinci

STANDAR KOMPETENSI PENANGGUNGJAWAB PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA. : Penanggung Jawab Pengendalian Pencemaran. Lingkungan

STANDAR KOMPETENSI PENANGGUNGJAWAB PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA. : Penanggung Jawab Pengendalian Pencemaran. Lingkungan Lampiran Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 04 Tahun 2011 Tanggal : 14 September 2011 STANDAR KOMPETENSI PENANGGUNGJAWAB PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA 1. Kualifikasi : Penanggung Jawab Pengendalian

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan berwawasan lingkungan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat dengan sesedikit mungkin memberikan dampak negatif pada lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Udara yang berada di bumi merupakan komponen yang tak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Penggunaannya akan tidak terbatas selama udara mengandung unsur-unsur

Lebih terperinci

PENCEMARAN UDARA AKIBAT KENDARAAN BERMOTOR DI JALAN P. H. H. MUSTOFA, BANDUNG. Grace Wibisana NRP : NIRM :

PENCEMARAN UDARA AKIBAT KENDARAAN BERMOTOR DI JALAN P. H. H. MUSTOFA, BANDUNG. Grace Wibisana NRP : NIRM : PENCEMARAN UDARA AKIBAT KENDARAAN BERMOTOR DI JALAN P. H. H. MUSTOFA, BANDUNG Grace Wibisana NRP : 9721053 NIRM : 41077011970288 Pembimbing : Ir. Budi Hartanto Susilo, M. Sc Ko-Pembimbing : Ir. Gugun Gunawan,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL SIMULASI DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL SIMULASI DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL SIMULASI DAN PEMBAHASAN Dari simulasi yang telah dilakukan didapat hasil sebaran konsentrasi SO 2 dari data emisi pada tanggal 31 Oktober 2003 pada PLTU milik PT. Indorama Synthetics tbk.

Lebih terperinci

1.1 Latar Belakang dan Identifikasi Masalah

1.1 Latar Belakang dan Identifikasi Masalah BAB I PENDAHULUAN Seiring dengan pertumbuhan kebutuhan dan intensifikasi penggunaan air, masalah kualitas air menjadi faktor yang penting dalam pengembangan sumberdaya air di berbagai belahan bumi. Walaupun

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. lingkungan yang utama di dunia, khususnya di negara berkembang. Pencemaran udara dapat

BAB 1 : PENDAHULUAN. lingkungan yang utama di dunia, khususnya di negara berkembang. Pencemaran udara dapat BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada saat sekarang ini pencemaran udara telah menjadi masalah kesehatan lingkungan yang utama di dunia, khususnya di negara berkembang. Pencemaran udara dapat terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sarana dan prasarana fisik seperti pusat-pusat industri merupakan salah satu penunjang aktivitas dan simbol kemajuan peradaban kota. Di sisi lain, pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sungai maupun pencemaran udara (Sunu, 2001). dan dapat menjadi media penyebaran penyakit (Agusnar, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. sungai maupun pencemaran udara (Sunu, 2001). dan dapat menjadi media penyebaran penyakit (Agusnar, 2007). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berkembangnya sektor industri dan pemanfaatan teknologinya tercipta produk-produk untuk dapat mencapai sasaran peningkatan kualitas lingkungan hidup. Dengan peralatan

Lebih terperinci

SUMMARY. ANALISIS KADAR NITROGEN DIOKSIDA (NO₂) dan KARBONMONOKSIDA (CO) DI UDARA AMBIEN KOTA GORONTALO

SUMMARY. ANALISIS KADAR NITROGEN DIOKSIDA (NO₂) dan KARBONMONOKSIDA (CO) DI UDARA AMBIEN KOTA GORONTALO SUMMARY ANALISIS KADAR NITROGEN DIOKSIDA (NO₂) dan KARBONMONOKSIDA (CO) DI UDARA AMBIEN KOTA GORONTALO Oleh : Yuliana Dauhi Jurusan Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan Dan Keolahragaan Universitas

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Semburan lumpur panas yang terletak di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Propinsi Jawa Timur adalah salah satu dari akibat ekplorasi di bidang perminyakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Hal ini disebabkan karena manusia memerlukan daya dukung unsur unsur

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Hal ini disebabkan karena manusia memerlukan daya dukung unsur unsur BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Interaksi manusia dengan lingkungan hidupnya merupakan suatu proses yang wajar dan terlaksana sejak manusia itu dilahirkan sampai ia meninggal dunia. Hal ini disebabkan

Lebih terperinci

FORMULASI PENGETAHUAN PROSES MELALUI SIMULASI ALIRAN FLUIDA TIGA DIMENSI

FORMULASI PENGETAHUAN PROSES MELALUI SIMULASI ALIRAN FLUIDA TIGA DIMENSI BAB VI FORMULASI PENGETAHUAN PROSES MELALUI SIMULASI ALIRAN FLUIDA TIGA DIMENSI VI.1 Pendahuluan Sebelumnya telah dibahas pengetahuan mengenai konversi reaksi sintesis urea dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. Gambar I.1 Bagan alir sederhana sistem pencemaran udara (Seinfield, 1986)

Bab I Pendahuluan. Gambar I.1 Bagan alir sederhana sistem pencemaran udara (Seinfield, 1986) Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Pencemaran udara didefinisikan sebagai hadirnya satu atau lebih substansi/ polutan di atmosfer (ambien) dalam jumlah tertentu yang dapat membahayakan atau mengganggu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bidang kesehatan. Udara sebagai komponen lingkungan yang penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. bidang kesehatan. Udara sebagai komponen lingkungan yang penting dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perwujudan kualitas lingkungan yang sehat merupakan bagian pokok di bidang kesehatan. Udara sebagai komponen lingkungan yang penting dalam kehidupan perlu dipelihara

Lebih terperinci

ATMOSFER & PENCEMARAN UDARA

ATMOSFER & PENCEMARAN UDARA ATMOSFER & PENCEMARAN UDARA Pengelolaan lingkungan diperlukan agar lingkungan dapat terus menyediakan kondisi dan sumber daya yang dibutuhkan oleh makhluk hidup. Lingkungan abiotis terdiri dari atmosfer,

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Definisi Fluida

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Definisi Fluida BAB II DASAR TEORI 2.1 Definisi Fluida Fluida dapat didefinisikan sebagai zat yang berubah bentuk secara kontinu bila terkena tegangan geser. Fluida mempunyai molekul yang terpisah jauh, gaya antarmolekul

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan antara..., Dian Eka Sutra, FKM UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan antara..., Dian Eka Sutra, FKM UI, Universitas Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Polusi udara merupakan masalah lingkungan global yang terjadi di seluruh dunia. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), polusi udara menyebabkan kematian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Nutrient Film Technique (NFT) 2.2. Greenhouse

II. TINJAUAN PUSTAKA Nutrient Film Technique (NFT) 2.2. Greenhouse II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Nutrient Film Technique (NFT) Nutrient film technique (NFT) merupakan salah satu tipe spesial dalam hidroponik yang dikembangkan pertama kali oleh Dr. A.J Cooper di Glasshouse

Lebih terperinci

SELEKSI MASUK UNIVERSITAS INDONESIA (SIMAK-UI) Mata Pelajaran : IPA TERPADU Tanggal : 01 Maret 2009 Kode Soal : 914 PENCEMARAN UDARA Secara umum, terdapat 2 sumber pencermaran udara, yaitu pencemaran akibat

Lebih terperinci

Polusi. Suatu zat dapat disebut polutan apabila: 1. jumlahnya melebihi jumlah normal 2. berada pada waktu yang tidak tepat

Polusi. Suatu zat dapat disebut polutan apabila: 1. jumlahnya melebihi jumlah normal 2. berada pada waktu yang tidak tepat Polusi Polusi atau pencemaran lingkungan adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan, atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. Akan tetapi udara yang benar-benar bersih saat ini sudah sulit diperoleh, khususnya

BAB 1 : PENDAHULUAN. Akan tetapi udara yang benar-benar bersih saat ini sudah sulit diperoleh, khususnya 1 BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udara merupakan unsur yang sangat penting untuk mempertahankan kehidupan manusia, hewan, dan tumbuhan semuanya membutuhkan udara untuk mempertahankan hidupnya.

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK ZAT CAIR Pendahuluan Aliran laminer Bilangan Reynold Aliran Turbulen Hukum Tahanan Gesek Aliran Laminer Dalam Pipa

KARAKTERISTIK ZAT CAIR Pendahuluan Aliran laminer Bilangan Reynold Aliran Turbulen Hukum Tahanan Gesek Aliran Laminer Dalam Pipa KARAKTERISTIK ZAT CAIR Pendahuluan Aliran laminer Bilangan Reynold Aliran Turbulen Hukum Tahanan Gesek Aliran Laminer Dalam Pipa ALIRAN STEDY MELALUI SISTEM PIPA Persamaan kontinuitas Persamaan Bernoulli

Lebih terperinci

KLASIFIKASI LIMBAH. Oleh: Tim pengampu mata kuliah Sanitasi dan Pengolahan Limbah

KLASIFIKASI LIMBAH. Oleh: Tim pengampu mata kuliah Sanitasi dan Pengolahan Limbah KLASIFIKASI LIMBAH Oleh: Tim pengampu mata kuliah Sanitasi dan Pengolahan Limbah 1 Pengertian Limbah Limbah: "Zat atau bahan yang dibuang atau dimaksudkan untuk dibuang atau diperlukan untuk dibuang oleh

Lebih terperinci

Oleh: ANA KUSUMAWATI

Oleh: ANA KUSUMAWATI Oleh: ANA KUSUMAWATI PETA KONSEP Pencemaran lingkungan Pencemaran air Pencemaran tanah Pencemaran udara Pencemaran suara Polutannya Dampaknya Peran manusia Manusia mempunyai peranan dalam pembentukan dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di dalam kerangka pembangunan nasional, pembangunan daerah merupakan bagian yang terintegrasi. Pembangunan daerah sangat menentukan keberhasilan pembangunan nasional secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan teknologi negara-negara di dunia semakin meningkat. Hal

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan teknologi negara-negara di dunia semakin meningkat. Hal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan teknologi negara-negara di dunia semakin meningkat. Hal ini ditunjukkan dengan diproduksinya berbagai macam peralatan yang dapat mempermudah manusia

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor mengeluarkan zat-zat berbahaya yang

BAB 1 : PENDAHULUAN. kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor mengeluarkan zat-zat berbahaya yang BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan pembangunan di berbagai bidang yang semakin meningkat apabila tidak disertai oleh upaya pengelolaan lingkungan yang baik, maka dapat mengakibatkan terjadinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini pencemaran udara telah menjadi masalah kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini pencemaran udara telah menjadi masalah kesehatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini pencemaran udara telah menjadi masalah kesehatan lingkungan utama di dunia, khususnya di negara berkembang, baik pencemaran udara dalam ruangan maupun udara

Lebih terperinci

PENCEMARAN LINGKUNGAN. Purwanti Widhy H, M.Pd

PENCEMARAN LINGKUNGAN. Purwanti Widhy H, M.Pd PENCEMARAN LINGKUNGAN Purwanti Widhy H, M.Pd Pengertian pencemaran lingkungan Proses terjadinya pencemaran lingkungan Jenis-jenis pencemaran lingkungan PENGERTIAN PENCEMARAN LINGKUNGAN Berdasarkan UU Pokok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pencemar kendaraan bermotor di kota besar makin terasa. Pembakaran bensin dalam kendaraan bermotor merupakan lebih dari separuh penyebab polusi udara. Disamping

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Yogyakarta merupakan kota dengan kepadatan penduduk tertinggi di

BAB I. PENDAHULUAN. Yogyakarta merupakan kota dengan kepadatan penduduk tertinggi di BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Yogyakarta merupakan kota dengan kepadatan penduduk tertinggi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Dengan luas wilayah 32,50 km 2, sekitar 1,02% luas DIY, jumlah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Udara sebagai salah satu komponen lingkungan merupakan kebutuhan yang paling utama untuk mempertahankan kehidupan. Metabolisme dalam tubuh makhluk hidup tidak mungkin dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama pencemaran udara di daerah perkotaan. Kendaraan bermotor merupakan

BAB I PENDAHULUAN. utama pencemaran udara di daerah perkotaan. Kendaraan bermotor merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Aktivitas transportasi khususnya kendaraan bermotor merupakan sumber utama pencemaran udara di daerah perkotaan. Kendaraan bermotor merupakan kendaraan yang digerakan

Lebih terperinci

BAB III ANALISA KONDISI FLUIDA DAN PROSEDUR SIMULASI

BAB III ANALISA KONDISI FLUIDA DAN PROSEDUR SIMULASI BAB III ANALISA KONDISI FLUIDA DAN PROSEDUR SIMULASI 3.1 KONDISI ALIRAN FLUIDA Sebelum melakukan simulasi, didefinisikan terlebih dahulu kondisi aliran yang akan dipergunakan. Asumsi dasar yang dipakai

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. beberapa tahun terakhir ini. Ekonomi kota yang tumbuh ditandai dengan laju urbanisasi yang

BAB 1 : PENDAHULUAN. beberapa tahun terakhir ini. Ekonomi kota yang tumbuh ditandai dengan laju urbanisasi yang BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kualitas udara perkotaan di Indonesia menunjukkan kecenderungan menurun dalam beberapa tahun terakhir ini. Ekonomi kota yang tumbuh ditandai dengan laju urbanisasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bumi dan komponen campuran gas tersebut tidak selalu konstan. Udara juga

I. PENDAHULUAN. bumi dan komponen campuran gas tersebut tidak selalu konstan. Udara juga 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Udara adalah suatu campuran gas yang terdapat pada lapisan yang mengelilingi bumi dan komponen campuran gas tersebut tidak selalu konstan. Udara juga merupakan atmosfir

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI.1. KLASIFIKASI FLUIDA Fluida dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bagian, tetapi secara garis besar fluida dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian yaitu :.1.1 Fluida Newtonian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang semakin menurun untuk mendukung kehidupan mahluk hidup. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang semakin menurun untuk mendukung kehidupan mahluk hidup. Menurut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Isu mengenai pencemaran lingkungan terutama udara masih hangat diperbincangkan oleh masyrakat dan komunitas pecinta lingkungan di seluruh dunia. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

POLA SEBARAN OZON SEBAGAI POLUTAN SEKUNDER DI UDARA AMBIEN KAWASAN GAYA MOTOR JAKARTA UTARA

POLA SEBARAN OZON SEBAGAI POLUTAN SEKUNDER DI UDARA AMBIEN KAWASAN GAYA MOTOR JAKARTA UTARA POLA SEBARAN OZON SEBAGAI POLUTAN SEKUNDER DI UDARA AMBIEN KAWASAN GAYA MOTOR JAKARTA UTARA Andhesta Tangari Yono, 1 Dr. Sutanto, M.Si, 1 dan Dra. Ani Iryani, M.Si, 1 1 Kimia, FMIPA UNPAK Jl. Pakuan PO

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. gas nitrogen dan oksigen serta gas lain dalam jumlah yang sangat sedikit. Diantara

BAB I PENDAHULUAN. gas nitrogen dan oksigen serta gas lain dalam jumlah yang sangat sedikit. Diantara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udara merupakan sumber daya yang penting dalam kehidupan, dengan demikian kualitasnya harus dijaga. Udara yang kita hirup, sekitar 99% terdiri dari gas nitrogen dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memberikan dampak negatif bagi kesehatan. Hal ini disebabkan oleh potensi

BAB I PENDAHULUAN. memberikan dampak negatif bagi kesehatan. Hal ini disebabkan oleh potensi BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Perkembangan Industri yang pesat di Indonesia tidak hanya memberikan dampak positif bagi pendapatan negara dan kesejahteraan rakyat, tetapi juga memberikan dampak negatif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bermotor, pembangkit tenaga listrik, dan industri. Upaya pemerintah Indonesia untuk

BAB I PENDAHULUAN. bermotor, pembangkit tenaga listrik, dan industri. Upaya pemerintah Indonesia untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Udara yang bersih adalah kebutuhan dasar bagi kesehatan dan kesejahteraan manusia. Namun, polusi udara masih menjadi ancaman nyata bagi kesehatan di seluruh dunia.

Lebih terperinci

RANCANG BANGUN ALAT UKUR POLLUTANT STANDARD INDEX YANG TERINTEGRASI DENGAN PENGUKURAN FAKTOR-FAKTOR CUACA SECARA REAL TIME

RANCANG BANGUN ALAT UKUR POLLUTANT STANDARD INDEX YANG TERINTEGRASI DENGAN PENGUKURAN FAKTOR-FAKTOR CUACA SECARA REAL TIME RANCANG BANGUN ALAT UKUR POLLUTANT STANDARD INDEX YANG TERINTEGRASI DENGAN PENGUKURAN FAKTOR-FAKTOR CUACA SECARA REAL TIME Vandri Ahmad Isnaini, Indrawata Wardhana, Rahmi Putri Wirman Jurusan Fisika, Fakultas

Lebih terperinci

IV. PEMBAHASAN A. Distribusi Suhu dan Pola Aliran Udara Hasil Simulasi CFD

IV. PEMBAHASAN A. Distribusi Suhu dan Pola Aliran Udara Hasil Simulasi CFD IV. PEMBAHASAN A. Distribusi Suhu dan Pola Aliran Udara Hasil Simulasi CFD Simulasi distribusi pola aliran udara dan suhu dilakukan pada saat ayam produksi sehingga dalam simulasi terdapat inisialisasi

Lebih terperinci

UNIVERSITAS GUNADARMA FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI

UNIVERSITAS GUNADARMA FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI UNIVERSITAS GUNADARMA FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI ANALISIS AERODINAMIKA PADA AHMED BODY CAR DENGAN MENGGUNAKAN SOFTWARE BERBASIS COMPUTATIONAL FLUID DYNAMICS (CFD) http://www.gunadarma.ac.id/ Disusun Oleh:

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring perkembangan zaman, jumlah penduduk dunia semakin meningkat. Beragam aktifitas manusia seperti kegiatan industri, transportasi, rumah tangga dan kegiatan-kegiatan

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. m (2.1) V. Keterangan : ρ = massa jenis, kg/m 3 m = massa, kg V = volume, m 3

BAB II DASAR TEORI. m (2.1) V. Keterangan : ρ = massa jenis, kg/m 3 m = massa, kg V = volume, m 3 BAB II DASAR TEORI 2.1 Definisi Fluida Fluida dapat didefinisikan sebagai zat yang berubah bentuk secara kontinu bila terkena tegangan geser. Fluida mempunyai molekul yang terpisah jauh, gaya antar molekul

Lebih terperinci

IRVAN DARMAWAN X

IRVAN DARMAWAN X OPTIMASI DESAIN PEMBAGI ALIRAN UDARA DAN ANALISIS ALIRAN UDARA MELALUI PEMBAGI ALIRAN UDARA SERTA INTEGRASI KEDALAM SISTEM INTEGRATED CIRCULAR HOVERCRAFT PROTO X-1 SKRIPSI Oleh IRVAN DARMAWAN 04 04 02

Lebih terperinci

/.skisi-kisi INSTRUMEN SOAL PRETEST POSTTEST Lingkunganku Tercemar Bahan Kimia Dalam Rumah Tangga. Indikator Soal Soal No soal

/.skisi-kisi INSTRUMEN SOAL PRETEST POSTTEST Lingkunganku Tercemar Bahan Kimia Dalam Rumah Tangga. Indikator Soal Soal No soal /.skisi-kisi INSTRUMEN SOAL PRETEST POSTTEST Lingkunganku Tercemar Bahan Kimia Dalam Rumah Tangga Mata Pelajaran : IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) Standar Kompetensi : 1.7. Memahami saling ketergantungan dalam

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI 2.1 Kajian Pustaka Ristiyanto (2003) menyelidiki tentang visualisasi aliran dan penurunan tekanan setiap pola aliran dalam perbedaan variasi kecepatan cairan dan kecepatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Udara adalah campuran beberapa macam gas yang perbandingannya tidak tetap, tergantung pada keadaan suhu udara, tekanan udara dan lingkungan sekitarnya. Udarajuga merupakan

Lebih terperinci

PEDOMAN TEKNIS PENETAPAN BAKU MUTU UDARA AMBIEN DAERAH

PEDOMAN TEKNIS PENETAPAN BAKU MUTU UDARA AMBIEN DAERAH Lampiran I Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 12 Tahun 2010 Tanggal : 26 Maret 2010 I. PENDAHULUAN PEDOMAN TEKNIS PENETAPAN BAKU MUTU UDARA AMBIEN DAERAH Dalam Pasal 20 ayat (4) Undang-Undang

Lebih terperinci

Rumus bilangan Reynolds umumnya diberikan sebagai berikut:

Rumus bilangan Reynolds umumnya diberikan sebagai berikut: Dalam mekanika fluida, bilangan Reynolds adalah rasio antara gaya inersia (vsρ) terhadap gaya viskos (μ/l) yang mengkuantifikasikan hubungan kedua gaya tersebut dengan suatu kondisi aliran tertentu. Bilangan

Lebih terperinci

1 Universitas Kristen Maranatha

1 Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam Undang-Undang Republik Indonesia tentang pengelolaan lingkungan hidup No.23 tahun 1997 Bab I Pasal 1 butir 2 dinyatakan bahwa pengelolaan lingkungan hidup adalah

Lebih terperinci

BEBERAPA ISTILAH YANG DIGUNAKAN DALAM PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA

BEBERAPA ISTILAH YANG DIGUNAKAN DALAM PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA BEBERAPA ISTILAH YANG DIGUNAKAN DALAM PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA 1. Kontaminan Adalah semua spesies kimia yang dimasukkan atau masuk ke atmosfer yang bersih. 2. Cemaran (Pollutant) Adalah kontaminan

Lebih terperinci

B A P E D A L Badan Pengendalian Dampak Lingkungan

B A P E D A L Badan Pengendalian Dampak Lingkungan KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN NOMOR : KEP- 107/KABAPEDAL/11/1997 TENTANG PEDOMAN TEKNIS PERHITUNGAN DAN PELAPORAN SERTA INFORMASI INDEKS STANDAR PENCEMAR UDARA B A P E D A L Badan

Lebih terperinci

EVALUASI KOMPETENSI SEMESTER GASAL KELAS XI WAKTU : (90 menit)

EVALUASI KOMPETENSI SEMESTER GASAL KELAS XI WAKTU : (90 menit) EVALUASI KOMPETENSI SEMESTER GASAL KELAS XI WAKTU : (90 menit) A. Pilihlah satu jawaban yang paling benar dengan memberi silang pada salah satu huruf di lembar jawab! 1. Di Indonesia, pengaturan lingkungan

Lebih terperinci