KUALITAS FISIKA-KIMIA SEDIMEN SERTA HUBUNGANNYA TERHADAP STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS DI ESTUARI PERCUT SEI TUAN KABUPATEN DELI SERDANG

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KUALITAS FISIKA-KIMIA SEDIMEN SERTA HUBUNGANNYA TERHADAP STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS DI ESTUARI PERCUT SEI TUAN KABUPATEN DELI SERDANG"

Transkripsi

1 KUALITAS FISIKA-KIMIA SEDIMEN SERTA HUBUNGANNYA TERHADAP STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS DI ESTUARI PERCUT SEI TUAN KABUPATEN DELI SERDANG HANIFAH MUTIA Z. N. AMRUL SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 27

2 ABSTRAK HANIFAH MUTIA Z. N. AMRUL. Kualitas Fisika-Kimia Sedimen Serta Hubungannya Terhadap Struktur Komunitas Makrozoobentos di Estuari Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang. Dibimbing oleh Harpasis S. Sanusi dan Fredinan Yulianda Kualitas perairan akan mempengaruhi kualitas sedimen dan struktur komunitas makrozoobentos yang dapat dijadikan sebagai indikator biologis dalam suatu ekosistem perairan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan kondisi habitat perairan Percut Sei Tuan melalui pengukuran dan analisis faktorfaktor fisika-kimia sedimen dan biologi serta menentukan hubungan antara komunitas makrozoobentos dengan faktor fisika kimia sedimen. Pengukuran terhadap parameter fisika kimia air diperoleh nilai yang sesuai kriteria baku mutu kualitas air untuk biota (KEPMEN No. 51/MNLH/I/24). Berdasarkan nilai potensial redok, sedimen Percut tergolong kedalam zona oksidasi hingga reduksi yang ditandai dengan sedimen berwarna hitam. Pada pengamatan didapat 29 jenis makrozobentos yang terdiri dari 7 jenis Bivalvia, 21 jenis Gastropoda dan 1 jenis Polychaeta. Tekstur sedimen dengan fraksi pasir dominan, membentuk struktur komunitas dengan kelimpahan yang tinggi, keanekaragaman rendah dan komposisi spesies yang rendah.

3 ABSTRACT HANIFAH MUTIA ZNA. Physical-Chemical Quality of Sediment and It's Relation to Macrozoobenthos Community Structures in Percut Sei Tuan Estuary, Deli Serdang Regency. Under the supervision of Harpasis S. Sanusi and Fredinan Yulianda Water quality will affect sediment quality and community structure of macrozoobenthos which considered as biological indicators in an aquatic ecosystem. The purpose of the research was to determine the habitate condition especially sediment quality of Percut Sei Tuan Estuarine based on their physical-chemical and biological parameters. The other purpose was to determine the correlation between the community structure of macrozoobenthos and the physical-chemical parameters of sediment. The results show that water quality generally inaccordance with national water quality standard criteria (KEPMEN NO. 51/MNLH/I/24) for aquatic living purposes. Based on potential redox value, the sediment was grouped into oxidation up to reduction zone whics is marked by black colour. The number of macrozoobenthos species found during research were 29 species which consist of 7 Bivalvia, 21 Gastropods and 1 Polychaeta. Sediment texture is dominated by sand fraction with benthic structure community of low diversity indices, low species composition and high abundance of macrozoobenthos.

4 KUALITAS FISIKA-KIMIA SEDIMEN SERTA HUBUNGANNYA TERHADAP STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS DI ESTUARI PERCUT SEI TUAN KABUPATEN DELI SERDANG HANIFAH MUTIA Z. N. AMRUL Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 27

5 Judul Tesis : Kualitas Fisika-Kimia Sedimen dan Hubungannya Terhadap Struktur Komunitas Makrozoobentos di Estuari Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang Nama : Hanifah Mutia Z. N. Amrul NIM : C Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Harpasis S. Sanusi, M.Sc. Ketua Dr. Fredinan Yulianda, M.Sc. Anggota Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Kelautan Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Djisman Manurung, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Natadiputro, M.S. Tanggal Ujian: 14 Mei 27 Tanggal Lulus:

6 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kualitas Fisika-Kimia Sedimen dan Hubungannya Terhadap Struktur Komunitas Makrozoobentos di Estuari Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Mei 27 Hanifah Mutia Z.N.Amrul NIM C

7 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bukittinggi pada tanggal 29 September 1977 sebagai anak kedua dari Ayah Delyusri Amrul dan Bundo Erma Zaida. Menikah dengan Hasri Abdillah pada tanggal 8 Juli 26 di Medan. Pendidikan sarjana ditempuh pada Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara dan lulus pada tahun 22. Penulis melanjutkan pendidikan di Program Studi Ilmu Kelautan Sekolah Pascasarjana IPB pada tahun 24.

8 PRAKATA Syukur Alhamdulillah hanya kepada Allah SWT karena atas ridho dan karunianya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul Kualitas Fisika-Kimia Sedimen Serta Hubungannya Terhadap Struktur Komunitas Makrozoobentos di Estuari Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang. Pada kesempatan ini penulis ucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada: 1. Prof. Dr. Harpasis S. Sanusi, M.Sc. dan Dr. Fredinan Yulianda, M.Sc selaku ketua dan anggota komisi pembimbing atas semua pengorbanannya baik waktu, tenaga, pikiran, petunjuk serta pengarahan dan dorongan semangat dari awal hingga berakhirnya penelitian dan penulisan tesis ini. 2. Dr. Isdradjad Setyobudiandi selaku penguji luar komisi, atas segala saran dan petunjuk demi kesempurnaan tesis ini. 2. Kepala Laboratorium Pengelolaan Mutu Lingkungan (Dr. Pina L. Barus M.Si) Kepala Laboratorium Ilmu-ilmu Dasar Biologi USU (Dra. Nunuk Priyani, M.Sc.), Kepala Laboratorium Ekologi Perairan Biologi USU (Dra. Hesti Wahyuningsih, M.Si.) Kepala PUSLIT-SDAL USU (Prof. Dr. Ing. Ternala Alexander Barus, M.Sc.), Analis Laboratorium Ilmu Tanah USU (Bapak Suid), Analis Laboratorium PTKI Medan (Ibu Darni) yang telah banyak membantu dalam penyediaan peralatan dan analisis sampel. 3. Suamiku (Hasri Abdillah), Kedua orang tua (Delyusri Amrul dan Erma Zaida), Ibu dan Bapak (Nurzaimah dan Haryono), Abang (Delkhalifa Amrul) dan Adik-adikku (Dian, Naylus, Emil, Ima, Ami, Siti, Keke dan Koko) dan seluruh keluargan besarku di Medan, atas dorongan dan dukungannya. 4. Tema-temanku Gigi, Aran, Leman, Hendrik, Arief, Mugi, Pipit, Jamrud, dan keluarga besar BIOPALAS yang telah banyak membantu selama pengamatan di lapangan. Dinand, Faizal, Neng dan Vera atas bantuannya dalam penelusuran dan pengolahan data.

9 5. Iwan, Mutia, Ninit, Teman-teman IKL 24 dan Keluarga besar SA (Ratih, Siti, Misri, Diah, Zikra, Wita, Nunung) atas dorongan dan bantuannya serta teman setia dalam penulisan tesis ini. Semoga tesis ini bermanfaat. Bogor, Mei 27 Hanifah Mutia Z. N. Amrul.

10 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... PENDAHULUAN Latar Belakang... Tujuan dan Manfaat Penelitian... Kerangka Pendekatan Masalah... TINJAUAN PUSTAKA halaman Ekosistem Estuari... Faktor Fisika dan Kimia Perairan... Faktor Fisika dan Kimia Sedimen... Makrozoobentos... METODE PENELITIAN Deskripsi Lokasi dan Waktu Penelitian... Bahan dan Alat... Pengukuran Parameter Fisika, Kimia dan Biologi... Metode Pengambilan Sedimen/Makrozoobentos... Analisis Data... Sebaran Karakteristik Fisika-Kimia Air dan Sedimen... Sebaran Spasial Makrozoobentos serta Hubungannya dengan Karakteristik Sedimen... Hubungan Parameter Fisika-Kimia Sedimen Terhadap Struktur Komunitas Makrozoobentos... HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Fisika-Kimia Air... Karakteristik Fisika-Kimia Sedimen... Faktor Biologis... vii viii ix SIMPULAN... DAFTAR PUSTAKA... LAMPIRAN

11 DAFTAR TABEL Tabel halaman Pembagian zonasi pada estuari berdasarkan nilai salinitas.. Klasifikasi dan ukuran sedimen berdasarkan Skala Wentworth... Kecepatan endapan sedimen... Contoh spesies makrozoobentos menurut tingkat kepekaannya... Titik koordinat masing-masing stasiun dan tipe habitat di lokasi penelitian... Parameter fisika-kimia dan biologi air dan sedimen serta alat dan metode yang digunakan... Hasil pengukuran kedalaman pada saat surut di lokasi penelitian... Indeks dispersi dan pola distribusi makrozoobentos pada tiap-tiap stasiun pengamatan... Persamaan regresi masing-masing jenis makrozoobentos... Analisis regresi parameter fisika-kimia sedimen terhadap struktur makrozoobentos Analisis korelasi makrozoobentos Kelompok I dan Kelompok II terhadap parameter sedimen... Analisis korelasi makrozoobentos Kelompok III terhadap parameter sedimen vii

12 DAFTAR GAMBAR Gambar halaman 4 Kerangka pendekatan masalah... Peta lokasi penelitian di Estuari Percut Sei Tuan (Google Earth 27)... Nilai rata-rata suhu di lokasi penelitian... Nilai rata-rata kecepatan arus di lokasi penelitian... Arah arus di lokasi penelitian... Nilai rata-rata TSS di lokasi penelitian... Nilai rata-rata kecerahan di lokasi penelitian... Nilai rata-rata salinitas di lokasi penelitian... Nilai rata-rata ph di lokasi penelitian... Nilai rata-rata DO di lokasi penelitian... Nilai rata-rata BOD 5 di lokasi penelitian... Nilai rata-rata TOM di lokasi penelitian... Persentase rata-rata fraksi sedimen di lokasi penelitian Lpr = lumpur ( = mm), Phl = pasir halus ( = mm), Psd = pasir sedang ( = mm) dan Pks = pasir kasar ( =1-.5 mm)... Nilai rata-rata potensial redok di lokasi penelitian... Nilai rata-rata C-organik di lokasi penelitian... Nilai rata-rata N-total di lokasi penelitian... Nilai rata-rata C-N ratio di lokasi penelitian... Persentase kelimpahan (a) dan jumlah jenis (b) Gastropoda ( ), Bivalvia ( ) dan Polychaeta ( ) di masing-masing stasiun penelitian.. Rata-rata kelimpahan makrozoobentos dan jumlah jenis di masing-masing stasiun penelitian... Indeks Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominansi makrozoobentos di masing-masing stasiun pada Bulan Maret ( ), April ( ) dan Mei ( )... Analisis Komponen Utama (PCA) terhadap parameter fisika-kimia air dan sedimen di lokasi penelitian pada sumbu 1 dan 2 (a), pengelompokan stasiun berdasarkan karakteristik fisika-kimia sedimen (b)... Analisis Koresponden (CA) terhadap parameter fisika-kimia sedimen dan kelimpahan makrozoobentos pada sumbu faktorial 1 dan 2 (a); sumbu faktorial 1 dan 3 (b)... Peta skematis sebaran makrozoobentos dominan berdasarkan parameter fisika-kimia sedimen di Estuari Percut Sei Tuan viii

13 Lampiran DAFTAR LAMPIRAN Nilai rata-rata suhu di masing-masing stasiun pengamatan pada Bulan Maret (1), April (2) dan Mei (3)... Nilai rata-rata kecepatan arus di masing-masing stasiun pengamatan pada Bulan Maret (1), April (2) dan Mei (3)... Nilai rata-rata TSS di masing-masing stasiun pengamatan pada Bulan Maret (1), April (2) dan Mei (3)... Nilai rata-rata kecerahan di masing-masing stasiun pengamatan pada Bulan Maret (1), April (2) dan Mei (3)... Nilai rata-rata salinitas di masing-masing stasiun pengamatan pada Bulan Maret Maret (1), April (2) dan Mei (3)... Nilai rata-rata ph di masing-masing stasiun pengamatan pada Bulan Maret (1), April (2) dan Mei (3)... Nilai rata-rata DO di masing-masing stasiun pengamatan pada Bulan Maret (1), April (2) dan Mei (3)... Nilai rata-rata BOD 5 di masing-masing stasiun pengamatan pada Bulan Maret (1), April (2) dan Mei (3)... Nilai rata-rata TOM di masing-masing stasiun pengamatan pada Bulan Maret (1), April (2) dan Mei (3)... Nilai rata-rata C-organik di masing-masing stasiun pengamatan pada Bulan Maret (1), April (2) dan Mei (3)... Nilai rata-rata N-total di masing-masing stasiun pengamatan pada Bulan Maret (1), April (2) dan Mei (3)... Nilai rata-rata kelimpahan makrozoobentos di masing-masing stasiun pengamatan pada Bulan Maret (1), April (2) dan Mei (3)... Gambar profil menegak lapisan sedimen Klasifikasi jenis-jenis makrozoobentos yang ditemukan pada lokasi penelitian... Beberapa Jenis makrozoobentos yang didapat pada lokasi penelitian... Analisa TOM dengan Metode Permanganat... Penentuan Kadar N-total dengan Metode Kjeldahl... Penentuan kadar C-organik sedimen dengan Metode Walkley dan Black... Nilai kisaran parameter fisika-kimia air dan sedimen di lokasi penelitian... a Jumlah individu dan jumlah jenis makrozoobentos pada pengamatan Bulan Maret... b Jumlah individu dan jumlah jenis makrozoobentos pada pengamatan Bulan April... c Jumlah individu dan jumlah jenis makrozoobentos pada pengamatan Bulan Mei... a Nilai Kelimpahan, Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominansi Makrozoobentos pada Bulan Maret... halaman ix

14 b Nilai Kelimpahan, Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominansi Makrozoobentos pada Bulan April... c Nilai Kelimpahan, Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominansi Makrozoobentos pada Bulan Mei... Hasil Analisis Komponen Utama (PCA) karakteristik fisika-kimia air dan sedimen di lokasi penelitian... Hasil analisis korespondes (CA; Correspondence Analysis) antara makrozoobentos dan parameter fisika-kimia sedimen... Grafik hasil analisis regresi linear x

15 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Estuari merupakan daerah yang ekstrim, disamping sebagai lokasi pertemuan antara air tawar dan air laut, juga merupakan daerah yang rawan terhadap pemasukan material terlarut yang berasal dari berbagai aktivitas masyarakat di sekitar daerah tersebut. Dewasa ini daerah Estuari Percut Sei Tuan mengalami berbagai masalah yang diakibatkan adanya pemanfaatan di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS). Pada daerah Percut terdapat berbagai aktivitas penduduk, seperti pemukiman, pertambakan, areal pertanian dan lalu lintas perairan yang cukup ramai. Selain itu juga terjadi pendangkalan pada muara sungai karena adanya pertemuan/penggabungan aliran Sungai Deli dan Sungai Percut sehingga mengakibatkan pendangkalan pada Muara Sungai Percut (Sinar Indonesia Baru Tanggal 5 September 25). Pembukaan dan konversi lahan hutan mangrove yang berada di sekitar estuari menjadi lahan pertanian, pemukiman, pertambakan, perkebunan dan pengambilan batang pohon sebagai sumber bahan baku arang tidak hanya menyebabkan pengurangan areal hutan, tetapi juga menyebabkan pemasukan bahan-bahan terlarut seperti nitrogen dan bahan organik yang berasal dari aktivitas pertambakan dan aktivitas lainnya. Masuknya berbagai bahan terlarut ini dapat menyebabkan terjadinya penurunan kualitas perairan, seperti perubahan sifat-sifat fisika dan kimia perairan yang dapat berpengaruh pada kondisi sedimen dan pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kehidupan organisme yang berada di lingkungan tersebut, baik itu di badan maupun di dasar perairan. Salah satu ancaman yang serius terhadap kualitas lingkungan estuari adalah berlangsungnya proses pelumpuran dan turbiditas dari daerah sungai (Prasetyo et al. 2). Pelumpuran dan turbiditas yang tinggi serta didukung oleh berbagai faktor lingkungan, seperti kecepatan arus, akan sangat mempengaruhi proses sedimentasi di daerah estuari yang pada akhirnya akan mempengaruhi berbagai organisme yang berada di dasar perairan (sedimen). Pengaruh penurunan berbagai parameter lingkungan akan sangat jelas terlihat pada struktur komunitas bentos. Hewan-hewan bentos dapat dianggap lebih mencerminkan adanya

16 2 perubahan-perubahan faktor lingkungan pada suatu ekosistem perairan (Prasetyo et al. 2). Oleh karena itu dipandang perlu dilakukannya suatu penelitian untuk mengetahui kondisi habitat pada perairan estuari di daerah Percut Sei Tuan dengan melakukan pengukuran terhadap faktor-faktor fisika, kimia dan biologi Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1 Untuk menentukan kondisi ekosistem Estuari Percut Sei Tuan melalui pengukuran dan analisis faktor-faktor fisika-kimia air dan sedimen serta faktor biologis di perairan tersebut. 2 Untuk mengkaji hubungan struktur komunitas makrozoobentos dengan faktor fisika dan kimia lingkungan estuari. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang kondisi terkini habitat Estuari Percut Sei Tuan, sehingga data-data ini dapat digunakan sebagai salah satu dasar acuan untuk pengelolaan wilayah tersebut secara berkelanjutan Kerangka Pendekatan Masalah Berbagai aktivitas masyarakat yang terjadi, baik secara langsung maupun tidak langsung, akan memberi pengaruh terhadap kondisi ekosistem Estuari Percut Sei Tuan. Berbagai bahan buangan yang berasal dari daerah di sekitar Estuari Percut dapat menyebabkan terjadinya perubahan lingkungan baik itu di badan maupun di dasar perairan. Aktivitas yang sangat menonjol di sekitar Estuari Percut adalah adanya penggunaan lahan di sepanjang DAS (Daerah Aliran Sungai), diantaranya sebagai daerah pemukiman, pertanian dan jalur transportasi. Selain itu juga terjadi pembukaan dan konversi areal mangrove menjadi areal pertambakan, baik tambak ekstensif maupun intensif. Secara keseluruhan, aktivitas ini akan menyebabkan terjadinya pemasukan bahan-bahan terlarut ke badan air dalam jumlah yang besar sehingga dapat menyebabkan penurunan kualitas perairan dan dasar perairan melalui proses sedimentasi. Proses sedimentasi tersebut akan mempengaruhi

17 3 faktor fisika maupun kimia sedimen yang akhirnya akan mempengaruhi organisme makrozoobentos, yang dapat dilihat dari struktur komunitas makrozoobentos. Keseluruhan faktor-faktor tersebut memiliki hubungan yang erat, sehingga dapat memberi gambaran mengenai kondisi dari suatu habitat perairan. Brower et al. (199) menyatakan kondisi biotik dan abiotik pada lingkungan tersebut dapat mempengaruhi biota dan habitatnya dan termasuk juga pengaruh dari luar lingkungan. Apabila satu variabel lingkungan berubah maka dapat mempengaruhi variabel lingkungan lainnya (Gambar 1).

18 Penebangan Hutan Sedimentasi dan kualitas air Aktivitas Masyarakat Pertambakan Pertanian Pemukiman Fisika-Kimia Air: Suhu, salinitas, TSS, DO, BOD 5, Kecerahan, TOM Estuaria Fisika Kimia Sedimen Tekstur sedimen, Potensial redok, C-organik, N-total Pengelolaan Lingkungan Terpadu Faktor Biologi Struktur Komunitas Makrozoobentos Kualitas Habitat = Ruang lingkup penelitian (yang diamati) = Tidak diamati Produksi Perikanan Gambar 1 Kerangka pendekatan masalah 4

19 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Estuari Menurut fungsinya ekosistem dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu ekosistem laut, estuari, air tawar dan ekosistem teresterial. Ekosistem estuari merupakan suatu tempat pertemuan air tawar dan air asin, dan merupakan tempat peralihan antara dua ekosistem akuatik di bumi (Nybakken 1988). Estuari adalah ekosistem muara sungai tempat pertemuan air tawar dan air laut yang masih dipengaruhi oleh pasang surut. Contoh dari estuari adalah muara sungai, teluk dan rawa pasang-surut (Bengen 24). Estuari sangat produktif karena kaya akan nutrien dari sungai dan laut. Estuari juga merupakan tempat memijah dan mencari makan bagi berbagai jenis ikan dan udang yang biasanya merupakan kawasan bakau (mangrove) yang berkembang dengan baik secara alamiah (Komite Nasional Pengelolaan Ekosistem Lahan Basah 24). Menurut Supriharyono (2) kombinasi pengaruh air laut dan air tawar tersebut menghasilkan suatu komunitas yang khas dengan kondisi lingkungan yang bervariasi diantaranya: a Tempat bertemunya arus air sungai dan arus pasang-surut yang berlawanan, menyebabkan suatu pengaruh yang kuat pada sedimentasi, pencampuran air, dan ciri-ciri fisika lainnya, serta membawa pengaruh besar pada biotanya. b Percampuran kedua macam air tersebut menghasilkan suatu sifat fisika-kimia lingkungan khusus yang tidak sama dengan sifat air sungai maupun sifat air laut. c Perubahan yang terjadi akibat adanya pasang-surut mengharuskan komunitasnya mengadakan penyesuaian secara fisiologis dengan lingkungan sekelilingnya. d Tingkat kadar garam di daerah estuari tergantung pada pasang-surut air laut, banyaknya aliran air tawar dan arus-arus lainnya, serta topografi daerah estuari tersebut, sehingga sistem ekologi di daerah estuari juga berbeda dengan adanya perbedaan kadar garam.

20 6 Berdasarkan perbedaan salinitas, daerah estuari dapat dikelompokan menjadi beberapa mintakat atau zona (Tabel 1). Tabel 1 Pembagian zonasi pada estuari berdasarkan nilai salinitas (Segerstrale 1964 dalam Supriharyono 2) Hyperhaline Euhaline Mixohaline (Mixo)-euhaline (Mixo)-polyhaline (Mixo)-mesohaline mesohaline mesohaline (Mixo)-oligohaline -oligohaline -oligohaline Limnetik (air tawar) Mintakat (Zona) Salinitas ( ) > (4) 3.5 > 3, tetapi kecil dari laut euhaline <.5 Berdasarkan pola sirkulasi dan stratifikasi air, estuari dibedakan menjadi tiga tipe, yaitu: 1 Estuari berstratifikasi sempurna/nyata atau estuari biji garam, dicirikan oleh adanya batas yang jelas antara air tawar dan air asin. Estuari tipe ini ditemukan di daerah-daerah dimana aliran air tawar dari sungai besar lebih dominan dari pada intrusi air asin dari laut yang dipengaruhi oleh pasang surut. 2 Estuari berstratifikasi sebagian/spasial merupakan tipe yang paling umum dijumpai. Pada estuari ini aliran air tawar dari sungai seimbang dengan air laut yang masuk melalui arus pasang. Percampuran air dapat terjadi karena adanya turbulensi yang berlangsung secara berkala oleh aksi pasang-surut. 3 Estuari campuran sempurna atau estuari homogen vertikal. Estuari tipe ini dijumpai di lokasi-lokasi dimana arus pasang-surut sangat dominan dan kuat, sehingga air estuari tercampur sempurna dan tidak terdapat stratifikasi.

21 Faktor Fisika dan Kimia Perairan Suhu Suhu pada daerah estuari berubah dengan cepat sesuai dengan perubahan pada suhu udara. Suhu pada daerah estuari memperlihatkan fluktuasi anual dan diurnal yang lebih besar daripada laut, terutama apabila estuari tersebut dangkal dan air yang datang (pada saat pasang naik) ke permukaan estuari tersebut kontak dengan substrat yang terekspos (Karleskint 1998). Perubahan suhu akan berpengaruh terhadap pola kehidupan organisme perairan. Pengaruh suhu yang utama adalah mengontrol penyebaran hewan dan tumbuhan. Suhu juga memberi pengaruh langsung terhadap aktivitas organisme seperti pertumbuhan maupun metabolismenya, bahkan dapat menyebabkan kematian organisme (Odum 1993). Sedangkan pengaruh tidak langsung adalah meningkatnya daya akumulasi berbagai zat kimia dan menurunnya kadar oksigen dalam perairan (Effendi 23). Setiap jenis hewan moluska mempunyai toleransi yang berbeda-beda terhadap suhu. Suhu optimum bagi organisme moluska bentik berkisar antara ºC (Hutagalung 1988) Salinitas Perairan estuari atau daerah sekitarnya mempunyai struktur salinitas yang kompleks, karena selain merupakan daerah pertemuan air tawar dan laut juga merupakan daerah pengadukan air yang sangat dipengaruhi oleh pasang-surut (Nontji 1993). Hal ini menyebabkan salinitas pada daerah estuari bervariasi baik secara vertikal maupun horizontal (Karleskint 1998). Variasi salinitas pada daerah estuari menentukan kehidupan organisme di daerah tersebut. Hewan-hewan yang hidup pada daerah ini mempunyai toleransi yang tinggi terhadap perubahan salinitas. Pada daerah estuari, salinitas merupakan faktor penentu yang membatasi penyebaran makrozoobentos yang hidup di dasar perairan. Disamping itu, salinitas juga mempengaruhi reproduksi dari organisme itu sendiri. EPA (1985) menyebutkan pentingnya pengukuran nilai salinitas dalam ekosistem perairan, antara lain: 1) Salinitas dapat digunakan untuk memprediksi

22 8 distribusi dari pollutan, 2) Salinitas adalah faktor utama yang menentukan densitas perairan, dan 3) Salinitas dapat mempengaruhi parameter air lainnya seperti Oksigen Terlarut (DO) Kecepatan Arus dan Kedalaman Pergerakan massa air dan pola arus yang terjadi pada suatu perairan sangat dipengaruhi oleh keadaan iklim dan topografi perairan setempat. Pergerakan arus pasang naik maupun surut dari atau yang menuju ke muara sungai akan mempengaruhi penyebaran limbah yang terdapat di estuari. Kecepatan arus akan menentukan jenis sedimen suatu perairan. Gastropoda menyukai substrat pasir bercampur lumpur yang kaya zat organik dan sedikit liat dengan kecepatan arus yang sesuai dengan kehidupannya adalah 1-2 cm/dtk. Sementara Bivalvia yang bersifat pemakan suspensi lebih menyukai substrat pasir dan liat (Parsons et al. 1977). Kedalaman perairan, terutama pada daerah sungai akan mempengaruhi debit dari sungai. Pada daerah estuari, tinggi rendahnya kedalaman dipengaruhi oleh kondisi pasang dan surut. Kedalaman terendah akan didapat pada saat surut dan kedalaman tertinggi pada saat pasang TSS Menurut Sastrawijaya (1991) ada dua alasan pengukuran Total Padatan Terlarut atau Total Suspended Solid (TSS) dalam air, yaitu: 1) Untuk menentukan produktivitas, yaitu kemampuan mendukung kehidupan, dan 2) Untuk menentukan norma air yang dimaksud dengan mengukur TSS pada berbagai periode di berbagai lokasi. Jika suatu saat ada penyimpangan dari norma ini, maka kemungkinan ada pemasukan bahan pencemar ke dalam kolom air. Komponen TSS dalam perairan dapat berupa biological material (jaringan dan cangkang) dan presipitasi organik. Konsentrasi yang tinggi dari TSS ditemui apabila pemasukan fluvial dan glasial cukup tinggi ke dalam badan air dan konsentrasi terendah ditemui di laut lepas yang jauh dari daratan. TSS yang mudah mengendap dapat menutupi permukaan sedimen sehingga mengganggu populasi hewan bentos. Hewan bentos seperti Bivalvia dan

23 9 Gastropoda menyukai perairan jernih dengan kadar TSS optimum berkisar -2 mg/l Oksigen Terlarut (DO = Dissolved Oxygen) Masuknya air tawar dan air laut secara teratur ke dalam estuari bersama-sama dengan kedangkalannya, pengadukannya dan pencampuran oleh angin biasanya mempengaruhi ketersediaan oksigen di perairan. Oksigen sangat berkurang di dalam substrat disebabkan tingginya kandungan bahan organik. Selain itu juga dipengaruhi oleh ukuran partikel sedimen. Partikel sedimen yang halus membatasi pertukaran antara air interstisial dengan kolom air diatasnya sehingga oksigen sangat cepat berkurang (Nybakken 1988). Kehidupan di air dapat bertahan jika kandungan oksigen terlarut minimal 5 ppm dan hal ini juga tergantung pada daya tahan organisme, derajat keaktifan, kehadiran pencemar, suhu air dan sebagainya (Sastrawijaya 1991). Kehidupan hewan bentos sangat tergantung pada ketersediaan oksigen dan makanan. Oksigen sangat penting untuk beberapa jenis bentos seperti Polychaeta dan Bivalvia. Selain itu tanpa adanya pemasukan makanan, hewan bentos tidak akan dapat bertahan hidup. Pemasukan oksigen pada perairan sangat dikontrol oleh kondisi lingkungan seperti kedalaman air, penetrasi cahaya, substrat, sediment rate dan ukuran butir sedimen. Oksigen memegang peranan penting sebagai indikator kualitas perairan karena oksigen terlarut berperan dalam proses oksidasi dan reduksi bahan organik dan anorganik. Selain itu oksigen juga menentukan khan biologis yang dilakukan oleh organisme aerobik atau anaerobik. Dalam kondisi aerobik, peranan oksigen adalah untuk mengoksidasi bahan organik dan anorganik menjadi nutrien. Dalam kondisi anaerobik oksigen yang dihasilkan mereduksi senyawa-senyawa kimia menjadi lebih sederhana dalam bentuk nutrien dan gas. Karena proses oksidasi dan reduksi inilah maka peranan oksigen terlarut sangat penting untuk membantu mengurangi beban pencemaran pada perairan secara alami maupun secara perlakuan aerobik yang ditujukan untuk memurnikan air buangan industri dan rumah tangga (Salmin 25).

24 BOD 5 (Biochemical Oxygen Demand) BOD 5 merupakan gambaran kadar bahan organik yaitu jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroba aeorob untuk mengoksidasi bahan organik menjadi karbondioksida dan air (Effendi 23). Perairan alami memiliki nilai BOD antara.5-7. mg/l. Perairan yang memiliki nilai BOD 5 lebih dari 1 mg/l dianggap tercemar (Sastrawijaya 1991) Faktor Fisika dan Kimia Sedimen Tekstur Sedimen Sebagian besar daerah estuari didominasi oleh substrat berlumpur. Substrat berlumpur ini merupakan endapan yang dibawa oleh air tawar dan air laut. Diantara partikel yang mengendap di estuari kebanyakan bersifat organik, akibatnya substrat ini kaya akan bahan organik. Bahan inilah yang menjadi cadangan makanan yang besar bagi organisme estuari (Dahuri et al. 24). Tipe substrat mempengaruhi penyebaran dari hewan bentos (Parsons et al. 1977). Selain tipe substrat, ukuran partikel sedimen juga berpengaruh terhadap penyebaran/distribusi hewan bentos. Holme dan McIntyre (1971) mengklasifikasikan sedimen berdasarkan ukuran partikelnya (Tabel 2). Tabel 2 Klasifikasi dan ukuran sedimen berdasarkan Skala Wentworth (Holme dan McIntyre 1971) No Nama Partikel Ukuran (mm) Batuan (Boulder) Batuan bulat (Cobble) Batuan kerikil (Pebble) Butiran (Granule) Pasir paling kasar (Very coarse sand) Pasir kasar (Coarse sand) Pasir sedang (Medium sand) Pasir halus (Fine sand) Pasir sangat halus (Very fine sand) Lumpur (Silt) Liat (clay) > <.39 Karakteristik sedimen akan mempengaruhi morfologi, fungsional, tingkah laku serta nutrien bentos. Hewan bentos seperti Bivalvia dan Gastropoda

25 11 beradaptasi sesuai dengan tipe substratnya. Bivalvia merupakan hewan filter feeder umumnya melimpah pada sedimen yang berukuran.18 mm (Parsons et al. 1977). Pengendapan sedimen atau sedimentasi ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya kecepatan arus sungai, kondisi dasar sungai, turbulensi, densitas, bentuk sedimen dan diameter sedimen (Libes 1992). Sedimen dengan diameter 14 µm akan tererosi oleh arus dengan kecepatan 15 cm/dtk dan terbawa arus pada kecepatan antara 9-15 cm/dtk, selanjutnya mengendap pada kecepatan < 9 cm/dtk. Hal yang sama untuk sedimen yang halus dengan diameter 12 µm, sedimen ini tererosi pada kecepatan arus > 3 cm/dtk dan terdeposisi pada kecepatan < 15 cm/dtk (Holme dan McIntyre 1971). Selanjutnya Wood (1986) menyatakan partikel yang halus akan mengendap pada kecepatan arus 5 cm/dtk, tetapi dapat kembali ke perairan dengan kecepatan arus 15 cm/dtk. Tabel 3 Kecepatan endapan sedimen (King 1976 dalam Supriharyono 2) Tipe Sedimen Diameter (µm) Kecepatan Endapan (cm/detik) Pasir halus Pasir sangat halus Silt Clay x x 1-6 Karena besarnya jumlah partikel tersuspensi dalam perairan estuari, air menjadi sangat keruh. Kekeruhan terjadi pada saat aliran sungai maksimum dan biasanya minimum pada daerah mulut sungai karena sepenuhnya berupa air laut (Nybakken 1988) Nitrogen dan C-organik Nitrogen adalah nutrien yang penting di lingkungan perairan dan terkadang dapat sebagai faktor pembatas dalam produktivitas. Umumnya nitrogen sebagai faktor pembatas di laut dan phospat sebagai faktor pembatas di air tawar (Odum 1997). Chester (199) menyatakan nitrogen di laut ada dalam beberapa bentuk, yaitu: a Molekul nitrogen

26 12 b Campuran garam-garam inorganik, seperti nitrogen nitrat (NO 3 -N), nitrit nitrogen (NO 2 -N) dan ammoniak (NH 3 -N). c Jajaran dari komponen organik karbon yang berasosiasi dengan organisme, seperti amino acids dan urea d Particulate nitrogen Bahan organik di sedimen berasal dari dua sumber utama, dapat berasal dari luar, tetapi secara umum berasal dari aktivitas di lingkungan sedimen sendiri. Umumnya perairan estuari mengandung lebih banyak bahan organik (C-organik) terlarut dan akan mengendap apabila air mengalir pelan (Wood 1986). Pada sedimen umumnya terdiri dari ~1-5 % organik karbon, tapi konsentrasi ini tergantung pada deposit dari sedimen. Sebagai contoh Calvert & Price (197) dalam Libes (1992) melaporkan bahwa lumpur yang kaya organik diatomeceous mengandung hampir ~ 25% organik karbon Potensial Redok Potensi pengurangan oksigen atau redok diukur dengan ukuran milivolt yang disebut dengan skala Eh. Eh merupakan pengukuran terhadap aktivitas elektron, sedangkan ph mengukur aktivitas proton (Odum 1993). Konsentrasi oksigen sedimen berhubungan erat dengan potensial redok (Eh) sedimen. Eh-pH berkorelasi dengan kondisi habitat dasar, terutama berhubungan dengan kandungan bahan organik dan oksigen. Nilai Eh lebih kurang 4 mv, konsentrasi oksigen berkisar 4-1 mg/l. Nilai Eh kurang dari 3 mv, nilai oksigennya.3 mg/l. Nilai Eh kurang dari 2 mv oksigennya.1 mg/l. Apabila nilai Eh dibawah nol maka nilai oksigen tidak terukur (Rhoads 1974 dalam Razak 22). Selanjutnya Tomaszek (1991) dalam Tomaszek (1995) menyatakan bahwa dengan nilai redok potensial dapat ditentukan zona denitrifikasi, dimana mikroorganisme autotropik dan heterotropik memfasilitasi proses oksidasi dari bahan organik yang disebabkan adanya gradien ph, Eh dan komposisi ionik. Perubahan nilai ph akan mempengaruhi sebaran faktor kimia perairan, hal ini juga akan mempengaruhi sebaran organisme yang metabolismenya tergantung pada sebaran faktor-faktor kimia tersebut (Odum 1993).

27 13 Pada perairan alami, nilai ph umumnya adalah sebesar Namun pernah dilaporkan bahwa nilai ph dalam perairan dapat mencapai (Perkins 1974 dalam EPA 1985). Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan ph dan menyukai nilai ph sekitar Nilai ph sangat mempengaruhi proses biokimia perairan, misalnya proses nitrifikasi akan berakhir jika ph rendah (Effendi 23) Makrozoobentos Makrozoobentos adalah organisme yang tidak mempunyai tulang belakang dan hidup di dasar perairan dengan ukuran > 1 mm. Umumnya hewan bentos yang berada di perairan terdiri dari beberapa jenis, diantaranya Echinodermata, Crustacea dan Moluska (Ziegelmeier 1972). Hewan bentos adalah salah satu organisme yang memegang peranan penting dalam ekosistem esturia (Odum 1997). Diantaranya sebagai pengurai bahan-bahan organik yang terdapat di dasar atau di dalam dasar perairan, pentransferan energi dari produsen primer ke organisme pada tingkat yang lebih tinggi. Oleh karena itu bentos dapat digunakan sebagai indikator biologis bagi kualitas air dan substrat. Berdasarkan ukurannya, hewan bentos dapat dikelompokan menjadi tiga yaitu macrofauna yang berukuran > 1 mm, microfana yang berukuran < 5 m dan meiofauna yang berukuran antara macrofauna dan microfana (Sumich 1979). Berdasarkan tipe makan, Mann (2) mengelompokkan hewan bentos menjadi tiga, yaitu: 1 Shredders, adalah jenis hewan-hewan yang bergerak bebas di permukaan sedimen dan memakan detritus organik bersama dengan alga yang ada. Contohnya Amphipoda, Isopoda dan beberapa jenis Gastropoda. 2 Suspension feeders, contohnya Bivalvia dan Polychaeta. 3 Deposit feeders, adalah hewan yang memakan bahan-bahan organik dan inorganik di sedimen dan diubah menjadi bahan yang dibutuhkan. Yang termasuk kelompok ini adalah Polychaeta dan beberapa jenis Gastropoda Perubahan pada struktur komunitas makrozoobentos ditandai dengan terjadinya perubahan pada indeks keragaman komunitasnya. Indeks keragaman ini dapat digunakan untuk mengetahui tingkat pencemaran suatu perairan. Indeks

28 14 keragaman komunitas antara.6-.8 adalah sebagai standar untuk ekosistem perairan yang tidak menerima masukan bahan organik dan anorganik tinggi (Odum 1993). Masing-masing jenis dari makrozoobentos akan memberikan respon yang berbeda terhadap kondisi lingkungannya, namun spesies yang dapat hidup pada suatu kondisi ekstrim akan menderita stress fisiologi sehingga dapat digunakan sebagai indikator biologi (Sastrawijaya 1991). Salah satu makrozoobentos yang digunakan sebagai indikator biologis adalah dari jenis Gastropoda, karena menurut Odum (1993) memenuhi syarat, yaitu: 1 Memiliki distribusi geografis yang luas. 2 Mendominasi komunitas pesisir dan estuari. 3 Mengakumulasi bahan-bahan kontaminan dalam tubuhnya. Tabel 4 Contoh spesies makrozoobentos menurut tingkat kepekaannya (Wilhm, 1975). Tingkat Kepekaan Intoleran Jenis Makrozoobentos Ephemere simlans, Acroneura evoluta, Chimarra obscura, Mesovelia sp., Helichus lithopilus, Anopheles puntipennas. Fakultatif Stenotema heterotarsale, Taenopteryx maura, Hydropsyche bronta, Agrion maculatum, Cordyalis cornutus, Agabus stagninus, Chironomus decorus, Helodrilus chlorotica, Lamellaibranchiata sp. Toleran Chironomus riparium, Limnodrills sp., Tubiex sp. Pola adaptasi hewan bentos menurut Day et al dikelompokan menjadi: 1 Beberapa jenis hewan bentos menyaring air dari bahan-bahan partikel disaat kekeruhan meningkat akibat pengangkatan sedimen. 2 Beberapa hewan bentos yang lunak akan menutupi tubuhnya dengan biodeposit dari fecal. Kekurangan oksigen terlarut dalam sedimen diatasi dengan mengairi liang (lubang). Distribusi hewan bentos makro berdasarkan jenis sedimen Day et al. (1989) mengelompokan sebagai berikut:

29 15 1 Daerah lumpur berpasir dengan arus yang signifikan sering didominasi oleh hewan suspension feeding, contohnya kerang-kerangan seperti Mya arenaria, Ensis directus. 2 Sedimen dengan fraksi pasir halus, biasanya didominasi oleh hewan deposit feeding seperti jenis cacing Nassarius vibex

30 III. METODE PENELITIAN 3.1. Deskripsi Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Perairan Estuari Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Wilayah Kecamatan Percut Sei Tuan mempunyai luas km 2 yang terdiri dari 18 desa dan 2 kelurahan, 5 desa diantaranya merupakan desa pantai dengan ketinggian dari permukaan laut berkisar dari -2 mdpl dengan curah hujan rata-rata 243 % per tahun (BPS 24). Estuari Percut merupakan pertemuan dua sungai yaitu Sungai Percut dan Sungai Lalang. Luas lahan basah Percut Sei Tuan ± 3 ha yang merupakan HPK (Hutan Produksi Konversi) dan HPT (Hutan Produksi Terbatas) (Komite Nasional Pengelolaan Ekosistem Lahan Basah 24). Sebanyak 6 % dari luas lahan basah tersebut berupa hutan bakau (± 18 ha) dan 1.67 % berupa areal pertambakan (± 32.3 ha) (Anonim 25). Sepanjang lokasi penelitian yang berada di daerah Sungai Percut, Sungai Terusan hingga muara Sungai Percut terdapat berbagai aktivitas masyarakat. Stasiun 1 berada pada Sungai Percut yang merupakan daerah pemukiman penduduk serta aktivitas lainnya seperti TPI (Tempat Pelelangan Ikan), pelabuhan dan jalur transportasi air. Pada Stasiun 2 yang terdapat di Sungai Terusan terdapat pertambakan intensif dan daerah yang aktif dilalui oleh kapal nelayan. Pada Stasiun 3 yaitu pertemuan Sungai Lalang dan Sungai Percut dan merupakan daerah pertambakan intensif. Stasiun 4 berada di muara Sungai Percut, sedangkan Stasiun 5, 6 dan 7 berada lebih ke arah laut. Pada daerah ini, selain banyak dilalui oleh kapal-kapal nelayan juga merupakan tempat mencari makan bagi berbagai jenis burung, baik burung lokal maupun migran serta tempat penangkapan ikan. Penelitian dilaksanakan pada Bulan Maret sampai dengan Mei 26. Pengambilan sampel dilakukan pada 7 stasiun pengamatan dan dikelompokan berdasarkan letak stasiun (Tabel 5) dan pada masing-masing stasiun ditentukan 3 titik pengamatan. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak 3 kali dengan interval waktu selama 1 bulan. Pengambilan sampel dilakukan pada saat surut.

31 3 43'45'' 98 46'5'' 98 47'1'' 98 47'3'' 98 47'5'' 3 43'45'' PETA LOKASI PENELITIAN ESTUARIA PERCUT SEI TUAN KABUPATEN DELI SERDANG SUMATERA UTARA Skala : 1: '25'' '25'' Meter 3 43'5'' '5'' 1 Keterangan: = Stasiun Pengamatan 3 42'5'' 3 42'5'' Sumber: Google Earth '5'' 98 47'1'' 98 47'3'' 98 47'5'' Gambar 2 Peta lokasi penelitian di Estuari Percut Sei Tuan (Google Earth 27) 17

32 18 Tabel 5 Titik koordinat masing-masing stasiun dan tipe habitat di lokasi penelitian Stasiun Posisi Geografis Tipe Habitat 1 N 3 42' 57.9''; E 98 47' 2.9'' Sungai 2 N 3 43' 7.37''; E 98 47' 2.66'' Sungai 3 N 3 43' 3.9''; E 98 47' 33.7'' Mulut Muara 4 N 3 43' 2.37''; E 98 47' 32.12'' Mulut Muara 5 N 3 43' 4.73''; E 98 47' 2.84'' Muara 6 N 3 43' 35.2''; E 98 47' 34.98'' Muara 7 N 3 43' 34.6''; E 98 47' 5.98'' Muara 3.2. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah aquades, alkohol 7%, bahan-bahan pereaksi lainnya untuk menganalisa berbagai sifat kimia sampel air dan sedimen. Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah termometer air raksa, Eh-pH meter, botol air, kompas, Peterson Grab, lup, pinset, saringan, ember, ice box, kantong plastik, pipet tetes, sediment corer, label, sampan bermesin tempel dan sampan dayung Pengukuran Parameter Fisika, Kimia dan Biologi Pengukuran parameter fisika, kimia dan biologi serta alat dan metode yang digunakan terdapat pada Tabel 6. Pengukuran kedalaman dilakukan dengan tongkat penduga. Kedalaman pada Stasiun 1, 2, 3 dan 4 diukur bagian tepi kiri dan kanan serta tengah sungai. Stasiun 5, 6 dan 7 kedalaman diukur pada saat pengambilan sampel makrozoobentos.

33 19 Tabel 6 Parameter fisika, kimia dan biologi air dan sedimen, alat dan metode yang digunakan No Parameter Satuan Alat/Metode A. Fisika Air 1 Suhu ºC Termometer 2 Kedalaman meter Meteran 3 Kecepatan Arus cm/dtk - 5 TSS mg/l Gravimetri 6 Kecerahan m Secchi B. Kimia Air 1 Salinitas Refraktometer 2 ph - ph meter 3 Oksigen Terlarut (DO) mg/l Titrasi Winkler 4 BOD 5 mg/l Titrasi Winkler 5 TOM mg/l Permanganat C. Fisika Sedimen 1 Tekstur Sedimen % Saringan bertingkat D. Kimia Sedimen 1 Potensial Redok mv Eh-pH Meter 2 C-organik % Walkley dan Black 3 N-total % Kjeldhal E. Biologis 1 Makrozoobentos ind/m 2 Peterson Grab dan Sediment Corer 3.4. Metode Pengambilan Sedimen/Makrozoobentos Pengambilan sampel moluska bentik dilakukan pada setiap stasiun yang telah ditentukan dengan menggunakan Peterson Grab yang memiliki luas bukaan 3x3 cm. Sampel makrozoobentos dipisahkan dari sedimen menggunakan saringan bertingkat. Selanjutnya sampel dimasukan ke dalam botol contoh dan diawetkan dengan alkohol 7%, kemudian dihitung jumlah individunya dan diidentifikasi menggunakan buku acuan Abbott dan Morris (1995), Dance (1977), Jutting dan Benthem (1955), Sowerby s (1996), Pennak (1967), Gosner (1991) dan Kozloff (1987).

34 Analisis Data Struktur Komunitas Makrozoobentos Komposisi dan Kelimpahan Komposisi jenis makrozoobentos menggambarkan kekayaan jenis yang terdapat dilingkungannya. Kelimpahan makrozoobentos didefinisikan sebagai jumlah individu persatuan luas (Brower et al. 199). K 1 b dimana: K = kelimpahan makrozoobentos a = jumlah individu b = luas bukaan mulut grab (cm 2 ) 1 = konversi cm 2 ke m 2 a Keanekaragaman Keanekaragaman makrozoobentos yang berada di perairan estuari dihitung dengan menggunakan formula yang dikemukakan oleh Shannon-Winner (Krebs 1989). ' pi log 2 pi dimana: H' pi ni N = indeks keanekaragaman jenis = ni/n = jumlah total individu ke-i = jumlah total individu Berdasarkan nilai konversi basis logaritma oleh Brower et al. (199) kisaran nilai Indeks Keanekaragaman dapat diklasifikasikan sebagai berikut: H' < 3.32 = keanekaragaman rendah, penyebaran jumlah individu tiap spesies rendah dan kestabilan komunitas rendah < H' < 9.96 = keanekaragaman sedang, penyebaran individu tiap spesiesnya sedang dan kestabilan komunitas sedang. H' > 9.96 = keanekaragaman tinggi, penyebaran jumlah individu tiap spesies tinggi dan kestabilan komunitas tinggi.

35 21 Keseragaman Untuk mengetahui keseragaman (equitabilitas) makrozoobentos yaitu penyebaran individu antar spesies yang berbeda digunakan indeks equitabilitas (Krebs 1989). ' ' max dimana: E = indeks keseragaman jenis H' = indeks keanekaragaman H' max = log 2 S S = jumlah spesies Dominansi Untuk menghitung adanya dominansi suatu spesies dalam suatu komunitas makrozoobentos dapat dihitung dengan indeks dominansi (Odum 1993) C ni N dimana: C = nilai dominansi Ni = jumlah individu spesies ke-i N = jumlah total individu 2 Untuk nilai Keseragaman (E) dan Dominansi (C) nilainya berkisar antara hingga 1. Semakin kecil nilai E, nilai C akan mendekati 1, artinya semakin kecil keseragaman suatu populasi dan ada kecenderungan bahwa suatu jenis mendominasi populasi tersebut (Yulianda dan Damar 1994). Pola Distribusi Makrozoobentos Untuk mengetahui pola distribusi makrozoobentos digunakan Indeks Morisita (Brower et al. 199) Id n 2 X N ( N N 1) dimana: Id = indeks dispersi Morisita N = total jumlah individu suatu organisme dalam petak contoh X 2 = total jumlah individu dalam petak contoh n = jumlah unit pengambilan contoh

36 22 Pola dispersi biota dalam lokasi penelitian diduga dengan menggunakan kriteria nilai sebagai berikut: Id = 1; pola dispersi acak Id < 1: pola dispersi seragam Id > 1: pola dispersi mengelompok Untuk menguji kebenaran nilai indeks dispersi tersebut digunakan uji statistik Khi-kuadrat (Chi-square) berdasarkan Brower et al. (199). X 2 n X N 2 Selanjutnya nilai Khi-kuadrat dari hasil perhitungan tersebut dibandingkan dengan nilai Khi-kuadrat pada tabel statistik dengan menggunakan selang kepercayaan 95% ( =.5). Jika nilai Khi-kuadrat hitung lebih kecil dari Khi-kuadrat tabel maka berarti tidak ada perbedaan nyata dengan acak. N Sebaran Karakteristik Fisika-Kimia Air dan Sedimen Untuk menentukan sebaran karakteristik fisika-kimia air dan sedimen antar stasiun pengamatan digunakan pendekatan analisis statistik multivariabel yang didasarkan pada Analisis Komponen Utama atau PCA (Principle Component Analysis). Analisis Komponen Utama (PCA) merupakan teknik mereduksi dimensi. PCA merupakan an atheoretic approach yang menghasilkan kombinasi linear dari variabel-variabel yang diperoleh dari mereduksi variabel asli. Tujuan utamanya adalah menjelaskan sebanyak mungkin jumlah varian data asli dengan sedikit mungkin komponen utama yang disebut faktor (Supranto 24) Sebaran Spasial Makrozoobentos serta Hubungannya dengan Karakteristik Sedimen Evaluasi kuantitatif terhadap sebaran makrozoobentos antar stasiun pengamatan dan kaitannya terhadap karakteristik fisika-kimia sedimen dilakukan dengan menggunakan Analisis Faktorial Korespondensi atau CA (Correspondence Analysis). Analisis Koresponden ini bertujuan untuk mencari hubungan yang erat antara modalitas dari dua karakter atau variabel pada variabel matrik data

37 23 kontingensi serta mencari hubungan yang erat antara seluruh modalitas karakter dan kemiripan antar individu berdasarkan konfigurasi pada tabel atau matrik data disjongtif lengkap (Bengen 2) Hubungan Parameter Fisik-Kimia Sedimen terhadap Struktur Komunitas Makrozoobentos Hubungan antara parameter fisika-kimia sedimen terhadap struktur makrozoobentos dilakukan dengan menggunakan Analisis Regresi. Untuk menguji ketepatan fungsi (goodness of fit test) yang digunakan dilakukan perbandingan terhadap nilai R 2, semakin besar nilainya (mendekati 1) makin bagus untuk meramalkan. Pengujian menggunakan Regresi Kuadratik diperoleh nilai R 2 yang sangat kecil. Nilai R 2 tertinggi diperoleh pada persamaan Regresi Linear Berganda. Persamaan Regresi Linear Berganda: Y = B + B 1 X 1 + B 2 X 2 + B 3 X B i X i dimana: Y = Variabel tetap X = Variabel bebas Selanjutnya dilakukan uji nyata secara menyeluruh dan parsial dengan ketentuan sebagai berikut (Supranto 24): A Secara menyeluruh Apabila F tabel < F hitung, maka persamaan dapat digunakan untuk meramalkan Y, artinya ada satu atau lebih variable bebas X mempengaruhi variable Y. B Secara parsial Apabila Nyata (P-value) < oleh variabel bebas =.5 maka maka variabel tetap dipengaruhi Selanjutnya dilakukan uji Korelasi untuk melihat hubungan antara jenis makrozoobentos dengan masing-masing parameter fisika-kimia sedimen.

38 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisika-Kimia Air Suhu Suhu Estuari Percut Sei Tuan pada Bulan Mei di masing-masing stasiun lebih rendah dibanding Bulan Maret dan April, suhu berkisar C (Lampiran 1). Rendahnya suhu pada Bulan Mei ini disebabkan pada saat pengamatan cuaca mendung hingga turun hujan. Nilai kisaran suhu selama pengamatan adalah 25-3 C (Lampiran 19), ini merupakan suhu umum Perairan Indonesia. Menurut Nontji (1993) kisaran suhu permukaan Perairan Indonesia adalah 28-3 C. Kisaran suhu ini masih memungkinkan untuk metabolisme berbagai jenis organisme yang berada di perairan tersebut, termasuk juga untuk makrozoobentos. Pada umumnya suhu optimum bagi hewan moluska bentik berkisar antara C (Hutagalung 1988). Untuk bentos jenis Bivalvia suhu optimum pertumbuhannya berkisar antara 2-3 C (Hicks dan McMohan 22). Selain itu suhu juga mempengaruhi distribusi hewan bentos, dimana suhu akan mempengaruhi ketersediaan nutrisi dari hewan bentos. Menurut Basmi (2) suhu berperan penting dalam proses metabolisme dan laju fotosintesis organisme fitoplankton yang merupakan salah satu makanan bagi hewan bentos. Suhu tertinggi hingga 3 C dijumpai pada Stasiun 5, 6 dan 7. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor lingkungan disekitarnya antara lain kedalaman dan intensitas cahaya matahari. Stasiun 5, 6 dan 7 ini kondisi perairannya lebih dangkal dibanding 4 stasiun lainnya, kondisi ini mengakibatkan kolom air lebih cepat panas. Secara keseluruhan, suhu terendah ditemukan pada Stasiun 4 yang berada pada muara sungai. Hal ini diungkapkan oleh Nybakken (1988) yang menyatakan bahwa kisaran suhu paling rendah akan ditemui di daerah mulut estuari (muara sungai) yang merupakan tempat masuk ke estuari dimana pada daerah ini terjadi percampuran dengan air tawar minimal. Namun secara statistik suhu pada masing-masing stasiun pengamatan tidak berbeda nyata (Gambar 3).

39 25 Suhu ( C) Stasiun Pengamatan Gambar 3 Nilai rata-rata suhu di lokasi penelitian Kedalaman Kedalaman perairan antara daerah sungai dengan daerah muara atau yang berada lebih ke arah laut memiliki perbedaan dimana semakin ke arah laut kondisi perairannya semakin dangkal, terutama pada Stasiun 5, 6 dan 7 memiliki kondisi yang cukup dangkal dengan kedalaman rata-ratanya berkisar antara m (Tabel 7). Pendangkalan pada ketiga stasiun ini terjadi akibat adanya aktivitas pengerukan pada hulu sungai serta didukung oleh kecepatan arus yang tinggi sehingga dapat membawa partikel-partikel terlarut dari daerah hulu dan kemudian mengendap di muara. Kedalaman pada suatu perairan akan mempengaruhi berbagai faktor lingkungan seperti suhu dan kecerahan yang tentunya akan mempengaruhi penyebaran dari hewan bentos.

40 26 Tabel 7 Hasil pengukuran kedalaman pada saat surut di lokasi penelitian Lebar dan Kedalaman Stasiun Sungai (m) Stasiun Lebar (m) Tepi Kanan (A) Tengah (B) Tepi Kiri (C) Profil Dasar Sungai A B C A B C A B C A B C Stasiun Muara Kedalaman rata-rata (m) Simpangan Baku 5,63,3 6,72,3 7,65, Arus Kecepatan arus pada suatu perairan sangat dipengaruhi oleh kekuatan angin, topografi, kedalaman, luas estuari dan efek coriolis. Kecepatan arus ini akan mempengaruhi berbagai faktor fisika, kimia dan biologi perairan. Kecepatan arus tertinggi dijumpai pada Stasiun 2 yaitu sebesar.86 m/dtk dan yang terendah dijumpai pada Stasiun 4 yaitu.16 m/dtk (Gambar 4). Kecepatan arus akan mempengaruhi juga penyebaran dari hewan bentos. Odum (1993) menyatakan umumnya invertebrata bentik (bentos) mempunyai kerapatan yang paling tinggi pada air deras, sementara Bivalvia lebih banyak dijumpai pada air yang tenang.

41 27 Kecepatan arus pada Stasiun 2 untuk pengamatan Bulan April tampak lebih tinggi hingga.86 m/dtk (Lampiran 2), hal ini dapat disebabkan karena pada waktu pengamatan terjadi aliran air yang cukup besar dari daerah pertambakan yang juga ditandai dengan tingginya salinitas pada bulan tersebut. Semakin ke arah laut, kecepatan arus semakin kecil dimana hal ini berhubungan dengan semakin dangkalnya perairan pada daerah tersebut. Kecepatan arus pada daerah ini sangat dipengaruhi oleh kondisi pasang dan surut. Kisaran kecepatan arus adalah m/dtk (Gambar 4). Arah arus pada kondisi surut bergerak ke arah laut (Gambar 5). Ini dapat memperlihatkan bahwa pada waktu pengambilan sampel kondisi perairan sangat dipengaruhi oleh aliran air dari hulu sungai yang dibuktikan dengan rendahnya nilai salinitas pada stasiun pengamatan di daerah sungai dan mulut muara (Stasiun 1, 2, 3, dan 4) dibandingkan dengan daerah muara (Stasiun 5, 6, dan 7). Kecepatan Arus (m/dtk). 1,,8,6,4,2, 4 Stasiun Pengamatan Gambar 4 Nilai rata-rata kecepatan arus di lokasi penelitian.

42 96 47' PETA LOKASI PENELITIAN ESTUARI PERCUT SEI TUAN KABUPATEN DELI SERDANG SUMATERA UTARA 3 43'25'' 3 43'25'' Skala 1 : '45'' 3 42'45'' Sumber Google Earth 27 Keterangan = Arah arus 96 47' Gambar 5 Arah arus di lokasi penelitian 28

43 TSS Muatan partikel terlarut pada Estuari Percut Sei Tuan relatif tinggi yaitu sebesar mg/l. Daerah yang memiliki TSS terendah yaitu Stasiun 1 sebesar 2 mg/l untuk pengamatan bulan April dan yang tertinggi pada daerah Stasiun 1 sebesar 128 mg/l untuk pengamatan Bulan Maret (Lampiran 3). Tinggi rendahnya nilai TSS pada lokasi penelitian dapat disebabkan oleh berbagai aktivitas di sekitar lokasi pengamatan serta proses erosi pada daerah hulu sungai dan terbawa oleh aliran air menuju laut. Stasiun 1 merupakan daerah yang paling dekat dengan hulu sungai serta merupakan daerah dengan aktivitas masyarakat yang paling tinggi, diantaranya pemukiman penduduk, Tempat Pelelangan Ikan (TPI) dan tempat berlabuhnya kapal-kapal nelayan. Kisaran nilai TSS ini cukup tinggi, namun masih berada di bawah ambang batas yang masih dapat mendukung kehidupan berbagai organisme perairan. Berdasarkan keputusan Menteri Lingkungan Hidup KEP No-51/MNLH/I/24 nilai ini masih sesuai dengan standar baku mutu air untuk biota yaitu dibawah 2 mg/l yang dapat menopang kehidupan biota perairan (MNLH 24). TSS rata-rata tertinggi dijumpai pada Stasiun 4 yaitu sebesar 54 mg/l. Tingginya nilai TSS ini dapat disebabkan karena daerah ini kondisi perairannya lebih dalam dibanding Stasiun 5, 6 dan 7. Aliran air yang berasal dari sungai akan mengalami percampuran dan pengadukan dengan air dari laut pada daerah ini, sehingga tingkat kekeruhannya lebih tinggi. Tingginya nilai TSS dapat menunjukkan bahwa perairan Percut tergolong keruh, ini secara tidak langsung akan mempengaruhi produktivitas perairan terutama plankton yang juga merupakan makanan bagi makrozoobentos. Namun secara statistik nilai TSS antar stasiun pengamatan tidak berbeda nyata (Gambar 6).

44 TSS (mg/l) Stasiun Pengamatan Gambar 6 Nilai rata-rata TSS di lokasi penelitian Kecerahan Kecerahan sangat berhubungan dengan tingkat kejernihan perairan. Kecerahan lebih rendah didapat pada pengamatan Bulan Mei dengan rata-rata sebesar cm (Lampiran 4). Kecerahan suatu perairan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya kedalaman perairan, cuaca (sinar matahari) serta adanya zat-zat terlarut yang berada di perairan tersebut. Pertikel-partikel terlarut yang dapat mengendap dan terbawa oleh aliran air dari hulu juga akan mempengaruhi kecerahan perairan. Pada pengamatan Bulan Mei, Perairan Percut kelihatan keruh dengan cuaca mendung hingga turun hujan. Secara keseluruhan kisaran kecerahan pada perairan ini sebesar 4-45 cm (Gambar 7) dimana pada Stasiun 5, 6 dan 7 terlihat nilai kecerahan sangat rendah yaitu < 12 cm dan hal ini terjadi erat kaitannya dengan kondisi perairannya yang cukup dangkal (Tabel 7).

45 31 Kecerahan (cm) Stasiun Pengamatan G am bar 7 N ilai rata-rata kecerahan di lokasi penelitian Salinitas Kandungan garam-garam terlarut (salinitas) pada masing-masing stasiun tidak menunjukkan perbedaan yang nyata untuk setiap bulan pengamatan, namun pada Stasiun 2 untuk pengamatan Bulan April nilai salinitasnya lebih tinggi dengan rata-rata 3.33 bila dibandingkan dengan Bulan Maret dan Mei dengan rata-rata.5 dan 1. (Lampiran 5). Tingginya nilai salinitas tersebut dapat disebabkan oleh adanya aliran air dari areal pertambakan yang memiliki nilai salinitas yang lebih tinggi pada saat pengamatan. Nilai salinitas pada Stasiun 1, 2, 3 dan 4 berkisar antara.5-1. sedangkan pada Stasiun 5, 6 dan 7 berkisar antara 4-1 (Gambar 8). Rendahnya nilai salinitas pada keempat stasiun tersebut dapat membuktikan bahwa perairan daratan sangat mempengaruhi perairan ini pada saat surut dan juga adanya pemasukan air tawar dari hulu sungai. Salinitas pada perairan Estuari Percut Sei Tuan dapat digolongkan perairan mixohaline dengan kisaran salinitas sebesar.5-4 (Segerstrale 1964 dalam Supriharyono 2). Nilai salinitas ini akan mempengaruhi penyebaran dari hewan bentos dan pada umumnya hewan bentos yang hidup pada daerah estuari adalah yang mempunyai toleransi tinggi terhadap perubahan salinitas. Selain itu, salinitas juga akan mempengaruhi proses reproduksi dari hewan bentos itu sendiri.

46 Salinitas ( ) Stasiun Pengamatan Gambar 8 Nilai rata-rata salinitas di lokasi penelitian ph Kadar asam perairan Estuari Percut Sei Tuan cenderung stabil selama Bulan Maret-April dengan rata-rata ph pada masing-masing stasiun untuk setiap bulannya tidak berbeda nyata (Lampiran 6). Nilai ph pada suatu perairan akan mempengaruhi sebaran faktor kimia perairan, hal ini juga akan mempengaruhi sebaran organisme yang metabolismenya tergantung pada sebaran faktor-faktor kimia tersebut (Odum 1993). Nilai ph perairan pada tiap stasiun pengamatan masih berada pada kisaran normal, yaitu antara (Gambar 15). Kisaran ini masih sesuai dengan standar baku mutu air untuk biota perairan berdasarkan keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup KEP No.51/MNLH/I/24, bahwa kisaran ph normal perairan yang dapat menopang kehidupan organisme perairan adalah (MNLH 24). Batas toleransi organisme terhadap ph sangat bervariasi dan pada umumnya sebagian besar dari biota akuatik sensitif terhadap perubahan ph dan menyukai ph sekitar Nilai ph sangat mempengaruhi proses biokimia dalam perairan dan juga akan memberi pengaruh terhadap keanekaragaman komunitas biologi perairan. ph menyebabkan keanekaragaman bentos akan sedikit menurun (Novotny dan Olem 1994 dalam Effendi 23). ph daerah muara yaitu Stasiun 5, 6 dan 7 lebih mendekati kisaran normal yaitu Hal ini erat kaitannya dengan kandungan salinitas pada perairan

47 33 tersebut. Sesuai dengan yang diungkapkan EPA (1985) bahwa ph air laut lebih tinggi dari pada air tawar, hal ini disebabkan air laut mengandung ion-ion yang bersifat basa seperti ion natrium, kalium dan kalsium. Selain itu air laut mempunyai kapasitas penyangga atau buffer yang mampu mempertahankan nilai ph air sehingga ph air laut tetap dalam kisaran yang sempit atau dalam keseimbangan. 8 6 ph Stasiun Pengamatan Gambar 9 Nilai rata-rata ph di lokasi penelitian Oksigen Terlarut Konsentrasi oksigen terlarut pada Perairan Percut Sei Tuan tidak terlalu tinggi. Pada umumnya nilai DO lebih rendah pada pengamatan Bulan Mei (Lampiran 8). Rendahnya nilai DO erat berhubungan dengan tingkat kekeruhan yang cukup tinggi, adanya cahaya matahari serta kecepatan arus yang dapat membantu proses percampuran air. Nilai DO pada perairan ini berkisar antara mg/l dan untuk masing-masing stasiun tidak berbeda nyata (Gambar 1). Kisaran nilai DO ini masih dalam kisaran yang kondusif untuk kehidupan organisme akuatik. Menurut Effendi (23) kandungan oksigen terlarut dibawah 2 mg/l dapat menyebabkan kematian bagi organisme. Kandungan DO yang optimum untuk moluska bentik adalah mg/l. Kisaran kandungan oksigen terlarut pada Perairan Percut masih berada pada kisaran normal yang masih dapat menopang kehidupan makrozoobentos sesuai dengan baku mutu kualitas air untuk biota yang

48 34 ditetapkan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup melalui KEP No-51/MNLH/I/24 yaitu > 3 mg/l (MNLH 24). Konsentrasi oksigen terlarut dapat menentukan kondisi perairaan. Menurut Lee et al. (1978) dalam Razak (22) menyatakan bahwa kisaran DO antara mg/l menunjukkan perairan tersebut tercemar ringan namun apabila nilai DO > 6.5 mg/l perairan tersebut tergolong tidak tercemar atau masih dalam kondisi yang alami. Konsentrasi oksigen terlarut dalam perairan dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya suhu, salinitas, ph serta proses dekomposisi dan respirasi organisme. Menurut (Brower et al. 199) bahwa semakin tinggi suhu kelarutan oksigen akan semakin berkurang, dimana kenaikan suhu 1 C akan meningkatkan metabolisme organisme dan meningkatkan konsumsi oksigen sekitar 1 %. Salmin (25) menyatakan bahwa DO memegang peranan penting sebagai indikator biologis karena oksigen terlarut berperan dalam proses oksidasi dan reduksi bahan organik dan anorganik. 8 Oksigen Terlarut (mg/l) Stasiun Pengamatan Gambar 1 Nilai rata-rata DO di lokasi penelitian BOD 5 Konsentrasi oksigen biologis pada Perairan Percut Sei Tuan tergolong rendah. Nilai tertinggi dijumpai pada Stasiun 2 dengan nilai rata-rata 4.79 mg/l dan terendah 1.36 mg/l pada Stasiun 6 (Lampiran 9). Menurut Salmin (25) untuk mengetahui kualitas air dalam suatu perairan dapat dilakukan dengan pengamatan beberapa parameter lingkungan diantaranya DO dan BOD 5.

49 35 Nilai BOD 5 pada Stasiun 1, 2, 3 dan 4 tidak terlalu bervariasi, sedangkan pada Stasiun 5, 6 dan 7 cukup bervariasi. Nilai BOD 5 dalam suatu perairan sangat berhubungan dengan ada tidaknya pemasukan bahan organik dari daratan serta ketersediaan oksigen bagi mikroorganisme dalam melakukan proses dekomposisi. Rendahnya nilai BOD 5 berarti tingkat konsumsi oksigen oleh mikroorganisme dalam proses dekomposisi juga rendah. BOD 5 pada perairan Percut Sei Tuan berkisar antara mg/l dan untuk masing-masing stasiun tidak berbeda nyata (Gambar 11). Nilai BOD 5 pada perairan ini masih sesuai dengan baku mutu air untuk biota yang ditetapkan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup KEP No-51/MNLH/I/24 bahwa nilai BOD 5 yang masih dapat menopang kehidupan biota adalah < 25 mg/l (MNLH 24). Menurut Sastrawijaya (1991) perairan alami memiliki nilai BOD 5 antara.5-7. mg/l. Perairan yang memiliki nilai BOD 5 >1 mg/l dianggap tercemar. 6 5 BOD 5 (mg/l) Stasiun Pengamatan Gambar 11 Nilai rata-rata BOD 5 di lokasi penelitian TOM Kandungan bahan organik terlarut pada masing-masing stasiun menunjukkan nilai yang bervariasi. TOM tertinggi dijumpai pada Stasiun 1 dengan rata-rata sebesar mg/l yang terendah dengan rata-rata 7.95 mg/l. Kandungan TOM dalam perairan sangat dipengaruhi oleh pemasukan zat-zat dari daratan dan adanya erosi dari hulu sungai yang banyak mengandung bahan organik. TOM pada suatu perairan akan mempengaruhi kandungan bahan organik di sedimen melalui proses pengendapan ke dasar perairan. Laju pengendapan

50 36 tersebut sangat dipengaruhi oleh kecepatan arus. Partikel yang halus akan terbawa oleh aliran air yang deras. Kisaran TOM pada perairan ini cukup tinggi yaitu berkisar antara mg/l (Gambar 12). Kandungan TOM dalam perairan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adanya pemasukan bahan organik dari lingkungan sekitarnya dan kecepatan arus. Secara keseluruhan nilai TOM lebih tinggi ke arah muara sungai namun tidak berbeda nyata untuk tiap-tiap stasiunnya (Gambar 12), hal ini sangat berhubungan dengan kecepatan arus yang semakin kecil ke arah muara dan juga nilai salinitas yang semakin tinggi, dimana tingginya salinitas sangat berhubungan dengan kandungan bahan-bahan mineral yang ada dalam perairan tersebut. TOM (mg/l) Stasiun Pengamatan Gambar 12 Nilai rata-rata TOM di lokasi penelitian Karakteristik Fisika-Kimia Sedimen Tekstur Sedimen Tekstur sedimen sangat erat kaitannya dengan fraksi butiran sedimen. Stasiun 1, 2 dan 3 didominasi oleh sedimen berupa pasir halus dengan kisaran persentase %. Untuk Stasiun 4, 5, 6 dan 7 didominasi oleh fraksi sedimen berupa pasir sedang dan kasar dengan kisaran persentase % (Gambar 13). Secara visual tekstur sedimen di Perairan Percut dapat digolongkan kedalam jenis pasir berlumpur. Pembentukan sedimen sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan, diantaranya kecepatan arus. Menurut Holme dan Mclntyre (1971) kecepatan arus

51 37 akan mempengaruhi proses erosi dan deposisi dari sedimen. Sedimen dengan diameter 14 m akan tererosi oleh arus dengan kecepatan 15 cm/dtk dan selanjutnya mengendap pada kecepatan < 9 cm/dtk. Hal yang sama untuk sedimen yang halus dengan diameter 12 m, sedimen ini tererosi pada kecepatan arus > 3 cm/dtk dan terdeposisi pada kecepatan < 15 cm/dtk. Selanjutnya Green (1991) menambahkan bahwa nilai salinitas dapat mempengaruhi laju endapan sedimen, karena pada air laut gaya gravitasi lebih besar dibanding air tawar. Partikel dengan diameter 6 akan tenggelam pada air tawar dengan kecepatan 1 cm untuk setiap 4 detik dan partikel dengan diameter 2 akan tenggelam 1 cm/jam. Gambar 13 Persentase rata-rata fraksi sedimen di lokasi penelitian, Lpr = lumpur ( = mm), Phl = pasir halus ( = mm), Psd = pasir sedang ( = mm) dan Pks = pasir kasar ( = 1-.5 mm). Hal ini juga diungkapkan oleh Nybakken (1988) bahwa pada estuari yang arusnya kuat akan banyak ditemui substrat berpasir karena hanya partikel yang berukuran besar lebih cepat mengendap dari pada partikel yang lebih kecil.

52 38 Sebaliknya pada estuari yang arusnya lemah jenis sedimennya adalah lumpur dan liat. Tekstur sedimen akan mempengaruhi struktur komunitas dari hewan bentos. Bentos dari jenis Bivalvia menyukai tekstur berlumpur atau berpasir, Gastropoda memiliki penyebaran yang lebih luas karena mampu beradaptasi pada habitat air tawar ataupun laut dengan tekstur sedimen lunak atau keras. Pada umumnya Gastropoda lebih menyukai substrat pasir berlumpur (Barnes 1987) Potensial Redok Potensial redok sedimen Estuari Percut Sei Tuan berkisar antara mv. Pada stasiun pengamatan terdapat nilai Eh yang negatif yaitu pada Stasiun 4, 5 dan 6 dengan kisaran nilai masing-masing mv; mv dan mv (Gambar 14). Sedimen suatu ekosistem perairan dapat dibagi ke dalam 3 zona berdasarkan nilai potensial redoknya, yaitu zona oksidasi yang ditandai dengan nilai Eh > 2 mv, zona transisi dengan Eh -2 mv dan zona reduksi dengan nilai Eh < (Odum 1993). Stasiun 4, 5, dan 6 dapat digolongkan kedalam zona oksidasi hingga reduksi. Hal ini juga dapat disebabkan oleh jumlah bakteri yang terdapat pada sedimen dan kurangnya sirkulasi air sedimen. Biasanya zona reduksi ini ditandai dengan lapisan sedimen berwarna hitam (Lampiran 13). Sedangkan Stasiun 1, 2, 3 dan 7 digolongkan pada zona oksida. Nilai Eh juga akan mempengaruhi kandungan O 2 dalam sedimen, jika nilai Eh kecil maka kandungan oksigennya juga rendah, seperti yang diungkapkan oleh Rhoads (1974) dalam Razak (22) bahwa nilai Eh ± 4 mv konsentrasi oksigen berkisar 4-1 mg/l. Nilai Eh < 3 mv oksigennya.1 mg/l. Apabila nilai Eh dibawah nol maka nilai oksigen tidak terukur. Perubahan nilai Eh ini akan mempengaruhi penyebaran hewan makrozoobentos. Hal ini dibuktikan dengan pengambilan bentos menggunakan Sediment corer dan ditemukan bentos hanya terdapat pada lapisan teratas dari sedimen ( 1 cm).

53 39 4 Potensial Redoks (mv) Stasiun Pengamatan Gambar 14 Nilai rata-rata potensial redok di lokasi penelitian C-organik Kandungan karbon organik pada masing-masing stasiun cenderung bervariasi. C-organik pada Bulan Mei untuk Stasiun 1, 5 dan 6 lebih tinggi dibandingkan Bulan Maret dan April (Lampiran 1) dengan nilai kisaran % (Gambar 15). Nilai C-organik ini berhubungan dengan tekstur sedimen yang berpasir, dimana tekstur sedimen seperti ini kurang mampu menahan bahan organik. Menurut EPA (1985) kandungan C-organik dalam sedimen sangat berhubungan dengan jenis/tekstur sedimen, tekstur sedimen yang berbeda mempunyai kandungan bahan organik yang berbeda pula. C-organik dalam sedimen merupakan hasil dekomposisi yang mengendap di dasar perairan. Umumnya pada perairan estuari kandungan C-organik di sedimen berkisar antara ~1-5 %. Untuk menentukan tingkat kesuburan suatu perairan, nilai C-organik sangat berhubungan dengan nilai N, dengan melihat perbandingan antara C dan N yang dikenal dengan Redfield ratios dengan perbandingan 16: 16 yaitu 16 atom karbon dan 16 atom nitrogen (Chester 199). Kandungan C-organik pada Stasiun 1, 2, 3 dan 4 lebih tinggi dibandingkan dengan Stasiun 5, 6 dan 7, ini berhubungan dengan jenis sedimen yang rata-rata berupa fraksi lumpur dan pasir halus yang lebih tinggi sedangkan pada Stasiun 5, 6 dan 7 fraksi pasir sedang dan kasar yang lebih tinggi.

54 4 3 C-organik (%) Stasiun Pengamatan Gambar 15 Nilai rata-rata C-organik di lokasi penelitian N-total Rata-rata N-total di masing-masing stasiun penelitian menunjukkan nilai yang bervariasi. Nilai N-total pada Stasiun 1 mengalami peningkatan pada pengamatan Bulan Mei (Lampiran 11).,3 N-total (%).,2,1, Stasiun Pengamatan Gambar 16 Nilai rata-rata N-total di lokasi penelitian. N-total rata-rata pada perairan Percut berkisar antara % (Gambar 16). Nilai ini masih berada pada kisaran normal. Kandungan N dalam sedimen sangat berhubungan dengan tekstur sedimen. Sedimen yang teksturnya lebih kasar maka kandungan N-nya lebih rendah. N-total lebih kecil ke arah laut yang memiliki tekstur sedimen berpasir dengan fraksi pasir kasar dan sedang lebih tinggi. Nilai N-total juga berhubungan dengan potensial redok. Pada zona reduksi nitrat lebih rendah karena N banyak ditemukan pada zona transisi dengan nilai

55 41 diatas 2 mv (Odum 1993). Hal ini sesuai dengan data yang diperoleh bahwa Stasiun 5 dan 6 memiliki nilai N-total lebih kecil karena pada daerah ini merupakan zona reduksi (Gambar 16) Rasio C-N Rasio antara C dan N dapat menentukan tingkat kesuburan dari suatu perairan. Rasio C-N rata-rata di tiap stasiun tidak terlalu jauh berbeda, berkisar antara Rasio C-N erat hubungannya dengan fraksi sedimen dan kecepatan arus. Sedimen dengan fraksi halus (liat) yang tinggi akan memiliki rasio C-N tinggi karena proses dekomposisi akan berjalan dengan lambat. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Noguera dan Hendrickx (1997) bahwa nilai C-N tertinggi dijumpai pada sedimen yang halus dan dipengaruhi oleh arus yang lemah sedangkan C-N rendah akan dijumpai pada sedimen yang lebih kasar dan kecepatan arus yang kuat. Berdasarkan kriteria kandungan zat organik dalam tanah, rasio C-N pada lokasi penelitian tergolong sangat rendah hingga tinggi. Pusat Penelitian Tanah (1983) dalam Razak (22) menyatakan bahwa rasio C-N < 5 tergolong sangat rendah, 5-1 tergolong rendah, tergolong sedang, tergolong tinggi dan > 25 tergolong sangat tinggi. Nilai dari C-N ini juga akan mempengaruhi diversitas hewan bentos, seperti yang diungkapkan oleh Osuna et al. (1992); Noguera et al. (1997) dalam Noguera dan Hendrickx (1997) berdasarkan penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa diversitas yang tinggi dari hewan bentos setara dengan tingginya kandungan Nitrogen dan Carbon dalam sedimen dan ditandai dengan substrat lumpur dan kecepatan arus yang lemah.

56 Rasio C-N Stasiun Pengamatan Gambar 17 Nilai rata-rata Ratio C-N di lokasi penelitian Faktor Biologis Struktur Komunitas Makrozoobentos Makrozoobentos yang didapat selama penelitian sebanyak 29 jenis, yang terdiri atas 7 jenis Bivalvia, 21 jenis Gastropoda dan 1 jenis Polychaeta (Lampiran 14). Jumlah individu makroozoobentos yang didapat pada masing-masing stasiun menunjukan nilai yang berbeda-beda. Hampir seluruh stasiun didominasi oleh jenis Gastropoda, kecuali Stasiun 5 persentase jumlah individu Bivalvia mencapai %. Untuk jenis Polychaeta hanya dijumpai pada Stasiun 6 dan 7 dengan persentase masing-masing sebesar.79 % dan 3.15 % (Gambar 18). Makrozoobentos yang didapat pada pengamatan Bulan Maret sebanyak 368 individu yang terdiri dari 7 jenis Bivalvia, 16 jenis Gastropoda dan 1 jenis Polychaeta. Jenis yang dominan pada Stasiun 1, 2, 3 dan 4 adalah Melanoides riqueti, M. Tuberculata dan Melanoides sp., sedangkan pada Stasiun 5, 6 dan 7 jenis yang dominan adalah Abra soyoae dan M. tuberculata (Lampiran 2a). Makrozoobentos yang didapat pada pengamatan Bulan April sebanyak 3683 individu yang terdiri atas 8 jenis Bivalvia, 13 jenis Gastropoda dan 1 jenis Polychaeta. Pada Stasiun 1, 2, 3 dan 4 jenis yang dominan adalah M. Tuberculata dan Melanoides sp, sedangkan pada Stasiun 5, 6 dan 7 jenis yang dominan adalah Abra soyoae dan Melanoides riqueti (Lampiran 2b). Pengamatan Bulan Mei didapat 121 individu makrozoobentos yang terdiri atas 5 jenis Bivalvia, 12 jenis Gastropoda dan 1 jenis Polychaeta. Pada Stasiun 1,

57 43 2, 3 dan 4 jenis yang dominan adalah adalah Melanoides riqueti, M. Tuberculata dan Melanoides sp, sedangkan pada Stasiun 5, 6 dan 7 jenis yang dominan adalah Abra soyoae dan Melanoides riqueti (Lampiran 2c).,24% 8,33% 99,76% 91,67% a Stasiun 1 b 1% 1% a b Stasiun 2,31% 25,% 99,69% 75,% a Stasiun 3 b,21% 16,67% 99,79% 83,33% a b Stasiun 4 Gambar 18 Persentase kelimpahan (a) dan jumlah jenis (b) Gastropoda ( ), Bivalvia ( ) dan Polychaeta ( ) di masing-masing stasiun penelitian.

58 44 47,46% 4,% 6,% 52,54% a Stasiun 5 b,79% 9,11% 5,88% 35,29% 58,82% 9,1% a Stasiun 6 b 3,15% 14,23% 5,88% 35,29% 58,82% 82,63% a b Stasiun 7 Gambar 18 Persentase kelimpahan (a) dan jumlah jenis (b) Gastropoda ( ), Bivalvia ( ) dan Polychaeta ( ) di masing-masing stasiun penelitian (Lanjutan). Makrozoobentos yang didapat selama penelitian lebih sedikit pada pengamatan Bulan Mei baik dari jumlah individu maupun dari jumlah jenisnya. Jenis spesies yang dominan pada pengamatan setiap bulannya hampir sama yaitu jenis Melanoides riqueti, M. Tuberculata dan Melanoides sp. pada Stasiun 1, 2, 3 dan 4 serta Abra soyoae pada Stasiun 5, 6, dan 7. Jenis Gastropoda merupakan jenis yang paling banyak didapat. Hal ini sangat erat kaitannya dengan berbagai faktor fisika-kimia perairan dan sedimen, salah satunya adalah jenis sedimen. Jenis sedimen pada lokasi penelitian dengan fraksi pasir dominan dapat menopang kehidupan makrozoobentos dari jenis

59 45 Gastropoda. Jenis Gastropoda M. Tuberculata dijumpai pada seluruh stasiun pengamatan, ini menunjukkan bahwa M. Tuberculata lebih toleran terhadap perubahan kondisi lingkungan. Menurut Barnes (1987) bahwa jenis Gastropoda biasa hidup pada substrat berpasir. Selain itu hal ini juga berhubungan dengan sifat Gastropoda yang lebih toleran terhadap perubahan berbagai parameter lingkungan sehingga penyebarannya bersifat kosmopolit. Polychaeta merupakan jenis paling sedikit dijumpai, hal ini sangat erat hubungannya dengan kondisi lingkungan disekitarnya. Rendahnya kelimpahan Polychaeta diduga karena nilai salinitas pada lokasi penelitian masih tergolong payau baik pada surut maupun saat pasang. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Purba (27) kisaran salinitas pada Estuari Percut Sei Tuan pada waktu pasang adalah Selain itu Polychaeta juga merupakan organisme yang bersifat deposit feeder dan hidup pada lingkungan yang memiliki kandungan bahan oranik yang tinggi. Sanusi et al. (25) melaporkan bahwa Polychaeta terutama jenis Nereis sp. ditemui melimpah pada kandungan bahan organik tinggi dan salinitas berkisar antara Eyre dan Ferguson (25) menemukan Polychaeta melimpah pada sedimen dengan Rasio C-N sebesar 84:1. Kelimpahan makrozoobentos pada Estuari Percut Sei Tuan cukup bervariasi. Kelimpahan makrozoobentos di masing-masing stasiun mengalami perubahan pada setiap bulan pengamatan. Pada Stasiun 1 kelimpahan makrozoobentos mengalami penurunan pada Bulan Mei, demikian juga terhadap Stasiun 2, 3, 4, 6 dan 7. Pada pengamatan Bulan Maret total kelimpahan makrozoobentos adalah ind/m 2, pengamatan Bulan April sebesar ind/m 2, sedangkan Bulan Mei terjadi penurunan yaitu sebesar ind/m 2 (Lampiran 12). Tinggi atau rendahnya nilai kelimpahan makroozoobentos pada suatu perairan sangat tergantung pada kandungan bahan organik yang ada pada substrat. Pearson dan Rosemberg dalam Lardicci et al. (1997) menyatakan bahwa kandungan bahan organik dalam substrat akan mempengaruhi struktur dari komunitas makrozoobentos yang dapat ditandai dengan meningkatnya jumlah spesies yang diikuti dengan meningkatnya biomassa dan selanjutnya peningkatan kelimpahan.

60 46 Kelimpahan makrozoobentos tertinggi ditemukan pada Stasiun 1 dengan kelimpahan rata-rata ind/m 2 dan kelimpahan terendah pada Stasiun 5 yaitu sebesar ind/m 2. Jumlah jenis tertinggi dijumpai pada Stasiun 7 yaitu 17 jenis dan yang terendah yaitu pada Stasiun 2 yaitu sebanyak 9 jenis. Tinggi rendahnya kelimpahan suatu organisme sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan disekitarnya. Salah satu faktor yang sangat berpengaruh adalah ketersediaan makanan dan adanya oksigen yang cukup. Pada Stasiun 5 diperoleh kalimpahan makrozoobentos yang rendah, hal ini erat kaitannya dengan C-organik pada sedimen yang tergolong rendah (Gambar 15). Stasiun 5 tergolong kedalam zona oksidasi hingga reduksi yang menyebabkan rendahnya kandungan organik sedimen. 2 Kelimpahan (ind/m ) Stasiun Pengamatan Gambar 19 Rata-rata kelimpahan makrozoobentos dan jumlah jenis di masing-masing stasiun penelitian. Indeks keanekaragaman makrozoobentos pada Estuari Percut Sei Tuan berkisar antara (Gambar 2). Nilai keanekaragaman tertinggi dijumpai pada Stasiun 7 yaitu sebesar 2.13, hal ini erat kaitannya dengan banyaknya jenis makrozoobentos yang didapat yaitu sebanyak 17 jenis (Gambar 19). Kondisi suatu lingkungan perairan dapat ditentukan melalui nilai keanekaragaman. Lardicci et al. (1997) mengemukakan bahwa dengan menentukan nilai keanekaragaman kita dapat menentukan tingkat stress atau tekanan yang diterima oleh lingkungan. Stirn (1981) dalam Basmi (2) yang dikonversi dengan logaritma basis dua juga menjelaskan antara nilai Indeks Shannon (H') dengan stabilitas komunitas biota, yaitu bila H' < 3 maka komunitas biota dinyatakan tidak stabil, bila H' berkisar antara 3-9 maka stabilitas komunitas

61 47 biota adalah moderat (sedang) sedangkan bila H' > 9 maka stabilitas komunitas biota bersangkutan berada dalam kondisi prima (Stabil). Dahuri et al. (24) menambahkan bahwa nilai keanekaragaman yang berada dibawah 3.32 tergolong rendah dan penyebaran individu tiap spesies rendah dan stabilitas komunitas rendah. Namun untuk menentukan apakah keanekaragaman pada Estuari Percut Sei Tuan tergolong rendah atau tinggi perlu ditelaah lebih lanjut, karena sampai saat ini belum ada standar baku untuk indeks keanekaragaman bagi biota di Indonesia. Keseragaman jenis pada Estuari Percut diperoleh kisaran nilai (Gambar 2). Nilai keseragaman ini menggambarkan keseimbangan ekologis pada suatu komunitas, dimana semakin tinggi nilai keseragaman maka kualitas lingkungan semakin baik. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa lingkungan Perairan Percut Sei Tuan berada dalam kisaran baik, karena secara keseluruhan nilai keseragaman pada setiap stasiun pengamatan tidak jauh berbeda di setiap bulannya. Indeks dominansi diperoleh nilai kisaran antara (Gambar 32). Nilai dominansi ini menunjukkan dominansi suatu spesies pada suatu komunitas. Semakin mendekati 1 berarti semakin tinggi tingkat dominansi oleh spesies tertentu. Berdasarkan nilai tersebut dapat dilihat bahwa adanya dominansi dari salah satu atau lebih jenis makrozoobentos namun akan berbeda untuk setiap stasiunnya yang digambarkan dengan nilai dominansi yang berbeda. Pada Stasiun 6 dan 7 nilai dominansi masing-masing pada bulan April sebesar.69 dan.63 lebih besar dari sebelumnya. Hal ini juga ditunjukkan bahwa pada Stasiun 6 dan 7 dijumpai jenis Melanoides riqueti yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan jenis lainnya (Lampiran 2). Secara keseluruhan nilai dominansi pada stasiun pengamatan tergolong rendah hingga sedang.

62 48 Indeks Keanekaragaman Stasiun Pengamatan a Indeks Keseragaman 1,,8,6,4,2, 1, Stasiun Pengamatan b Indeks Dominansi.,8,6,4,2, Stasiun Pengamatan c Gambar 2 Indeks Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominansi makrozoobentos di masing-masing stasiun pada Bulan Maret ( ), April ( ) dan Mei ( ).

63 49 Indeks dispersi makrozoobentos pada Estuari Percut diperoleh kisaran antara -9. Setelah dilakukan uji Khi-kuadrat dapat dinyatakan bahwa penyebaran makrozoobentos pada Perairan Percut sebagian besar mengelompok dan ada beberapa jenis yang tersebar acak (Tabel 8). Jenis-jenis yang tergolong acak adalah Anadara brasiliana, Arca Tetragona, Nucula sp., Tellidora sp., Polinices maurus, Marginella sp, Syncera hidalgoi, S. carinata, Pila scutata, Paramormula sp, Turbonilla sp., Septaria lineate, Velutina velutina, Epitonium pallasi dan Telescopium sp. Nybakken (1993) menyatakan bahwa faktor utama yang menentukan pola penyebaran dari hewan bentos adalah interaksi antar populasi. Interaksi tersebut dapat berupa persaingan, pemangsaan serta adanya hubungan antar populasi yang dapat bersifat mutualisme, komensalisme ataupun parasitisme. Faktor lingkungan lain yang dapat mempengaruhi penyebaran makrozoobentos adalah potensial redok sedimen yang juga erat kaitanya dengan ketersediaan oksigen dalam sedimen. Selain itu adanya predator dalam perairan juga akan mempengaruhi penyebaran hewan bentos. Distribusi dari hewan bentos juga berhubungan dengan proses musiman dari pertumbuhan populasi. Sebagian besar dari hewan bentos penyebarannya dimulai pada stadium larva yang berupa plankton, sehingga penyebarannya sangat dipengaruhi oleh adanya arus pada perairan tersebut (Azouksky et al. 2).

64 5 Tabel 8 Indeks dispersi dan pola distribusi makrozoobentos pada tiap-tiap stasiun pengamatan No Spesies ID X 2 Pola Hitung Tabel Penyebaran 1 Tellina sp. 3,53 175,87 185,88 Mengelompok 2 Anadara brasiliana, 59, 185,88 Acak 3 Arca Tetragona 21, 12, 185,88 Acak 4 Mytilus sp. 6,59 453,41 185,88 Mengelompok 5 Abra soyoae 7,4 121,2 185,88 Mengelompok 6 Nucula sp., 6, 185,88 Acak 7 Tellidora sp. 9,8 141,2 185,88 Acak 8 Nassarius distortus * * * - 9 Marginella sp. 21, 12, 185,88 Acak 1 Polinices maurus, 58, 185,88 Acak 11 Stenothyra ventricosa 5,22 43,56 185,88 Mengelompok 12 Syncera hidalgoi 1,5 9,5 185,88 Acak 13 S. carinata, 6, 185,88 Acak 14 Melanoides tuberculata 3,7 878,64 185,88 Mengelompok 15 Melanoides sp. 4, ,11 185,88 Mengelompok 16 M. requeti 3, ,36 185,88 Mengelompok 17 Thiara sp. 8,88 367,12 185,88 Mengelompok 18 M. torulosa 6,8 1279,2 185,88 Mengelompok 19 Mitra sp. * * * 2 Pila scutata, 61, 185,88 Acak 21 Paramormula sp 9, 11, 185,88 Acak 22 Turbonilla sp. 21, 12, 185,88 Acak 23 Bankivia sp. * * * - 24 Septaria lineata, 6, 185,88 Acak 25 Velutina velutina, 61, 185,88 Acak 26 Trichotropis bicarinata * * * - 27 Telescopium sp., 59, 185,88 Acak 28 Epitonium pallasi, 61, 185,88 Acak 29 Nereis limnicola 8,53 25,23 185,88 Mengelompok Sebaran Karakteristik Fisika-Kimia Air dan Sedimen Sebaran karakteristik fisika-kimia sedimen untuk Bulan Maret yang digambarkan dengan Analisis Komponen Utama (PCA) pada dua komponen utama (PC1 dan PC2) dapat menjelaskan 84.2% dari ragam total dengan persentase masing-masing sebesar 56.7% dan 28.4%, sedangkan Sumbu 3 dan 4 masing-masing menjelaskan 1.1% dan 4.5% (Lampiran 22). Setiap stasiun dikelompokkan menurut ciri-cirinya masing-masing. Stasiun penelitian dikelompokkan dalam tiga kelompok yaitu stasiun Kelompok I terdiri atas Stasiun 1 dan 2, Kelompok II terdiri atas Stasiun 3 dan 4

65 51 serta Kelompok III terdiri atas Stasiun 5, 6 dan 7 (Gambar 21b). Kelompok I merupakan stasiun yang berada ke arah hulu sungai yang dicirikan dengan fraksi sedimen berupa lumpur dan pasir halus lebih banyak serta potensial redok yang tinggi serta pasir kasar dan sedang rendah. Kelompok I ini berada dekat dengan Sumbu 1 positif yang dicirikan dengan parameter fisika lingkungan. Kelompok II merupakan stasiun yang berada di mulut estuari. Kondisi lingkungannya sangat dipengaruhi oleh aliran air dari sungai dan laut, dapat dikatakan merupakan daerah peralihan. Kelompok ini dicirikan oleh C-organik dan N-total yang tinggi. Kelompok II ini terletak pada Sumbu 2 positif yang dicirikan oleh parameter kimia sedimen. Kelompok III merupakan stasiun yang berada di muara atau ke arah laut, kondisi lingkungannya sebagian besar dipengaruhi oleh kondisi laut. Kelompok ini dicirikan dengan salinitas, total bahan organik dan suhu yang tinggi serta kecerahan, BOD 5, N-total dan C-organik rendah. Kelompok ini berada pada Sumbu 1 negatif yang merupakan penciri dari parameter kimia lingkungan.

66 52 a b Keterangan : Gambar 21 Co = C-oganik; Nt = N-total; Kec = Kecepatan arus; Phl = Pasir halus; Psd = Pasir sedang; Pks = Pasir kasar; Lpr = Lumpur; Eh = Potensial redok; Sal = Salinitas; S = Stasiun. Analisis Komponen Utama (PCA) terhadap parameter fisika-kimia air dan sedimen di lokasi penelitian pada Sumbu 1 dan 2 (a), pengelompokan stasiun berdasarkan karakteristik fisika kimia sedimen (b).

67 Sebaran Spasial Makrozoobentos serta Hubungannya terhadap Karakteristik Fisika-Kimia Sedimen Analisis Koresponden (CA) terhadap 12 jenis makrozoobentos yang tersebar pada 7 stasiun pengamatan menunjukkan bahwa sebaran spasial makrozoobentos di Estuari Percut Sei Tuan terpusat pada 3 sumbu utama yang dapat menjelaskan 88,91% dari ragam total dan mampu mencirikan stasiun. Sumbu-sumbu tersebut yaitu Sumbu 1, 2 dan 3 masing-masing menjelaskan 57.99%, 23.% dan 7.92% (Lampiran 23a) Grafik hasil analisis koresponden pada sumbu faktorial 1, 2 dan 3 memperlihatkan 3 kelompok penyebaran makrozoobentos pada masing-masing stasiunnya dan memiliki ciri-ciri yang berbeda (Gambar 22). Kelompok I yang tersebar pada Stasiun 1 dan 2 dicirikan dengan makrozoobentos dari jenis Melanoides sp., M. torulosa, Thiara sp., dan M. Tuberculata yang merupakan Gastropoda dari air tawar. Selanjutnya Kelompok I ini juga dicirikan dengan nilai potensial redok yang lebih tinggi, fraksi sedimen lumpur dan pasir halus. Kelompok II (Stasiun 3 dan 4) dicirikan dengan jenis makrozoobentos M. requeti dan Thiara sp. dan nilai C-organik dan N-total yang lebih tinggi. Kelompok III (Stasiun 5, 6 dan 7) yang didominasi oleh makrozoobentos dari jenis Nereis limnicola, Tellina sp., Mytilus sp., Anadara brasiliana dan Stenothyra ventricosa. Parameter fisika sedimen lebih dominan adalah fraksi pasir sedang dan kasar yang lebih banyak. Jenis makrozoobentos yang didapat pada Kelompok II merupakan jenis yang berasal dari Kelompok I dan III. Untuk lebih lanjut akan dibahas pada pengujian regresi linear. Adanya perbedaan antara Kelompok I dan II erat kaitannya dengan letak stasiun penelitian serta parameter fisika-kimia sedimen yang berbeda. Pada Kelompok I Gastropoda lebih banyak dijumpai, sedangkan pada Kelompok III jenis yang lebih banyak dijumpai adalah Bivalvia. Hal ini erat kaitannya dengan fraksi sedimen. Barnes (1987) menyatakan tekstur sedimen akan mempengaruhi struktur komunitas dari hewan bentos. Bentos dari jenis Bivalvia menyukai tekstur berlumpur atau berpasir. Gastropoda memiliki penyebaran yang lebih luas karena mampu beradaptasi pada habitat air tawar ataupun laut dengan tekstur sedimen lunak atau keras dan umumnya lebih menyukai substrat pasir berlumpur.

68 54 A B Keterangan: = Stasiun, = Makrozoobentos, x = Fisika-kimia sedimen, Ms = Melanoides sp.; Mto = M. torulosa; Mt= M. tuberculata I; Ts= Thiara sp; Mr = M. requeti; Nel = Nereis limnicola; Nel = Nereis limnicola; Tel = Tellina sp.; My = Mytilus sp.; Sv = S. Ventricosa; Agr = Anadara brasiliana; Mr = M. requeti; Nt = N-total; Co = C-organik; Rdk = Potensial redok; Lpr = Lumpur; Phl = Pasir halus; Psd = Pasir sedang; Pks = Pasir kasar; S = Stasiun. Gambar 22 Analisis Koresponden (CA) terhadap parameter fisika-kimia sedimen dan kelimpahan makrozoobentos pada sumbu faktorial 1 dan 2 (a); Sumbu faktorial 1 dan 3 (b).

69 Hubungan Parameter Fisika-Kimia Sedimen terhadap Struktur Makrozoobentos Analisis regresi linear parameter fisika-kimia sedimen terhadap jenis-jenis makrozoobentos yang dominan pada masing-masing kelompok menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Kelompok I dan III memperlihatkan adanya hubungan yang erat antara makrozoobentos dengan parameter fisika-kimia sedimen ditandai dengan nilai R 2 > 5%. Uji signifikan terhadap jenis makrozoobentos pada Kelompok I memperlihatkan M. Torulosa, Melanoides sp., Melanoides tuberculata dan Thiara sp. memiliki hubungan yang nyata terhadap parameter sedimen, yang ditunjukan juga dengan sebaran variabel bebas yang mendekati garis normal (Lampiran 24 a). Uji parsial parameter sedimen dengan jenis makrozoobentos menunjukkan bahwa N-total dan C-organik mempengaruhi keberadaan dari M. Torulosa, Melanoides sp. dan Thiara sp. (Tabel 9). Tabel 9 Persamaan regresi masing-masing jenis makrozoobentos Variabel Tetap Kelompok I M. torulosa Melanoides sp. M. tuberculata Thiara sp. Persamaan Regresi Y = X 1-26 X X X 4-2. X 5 (R 2 = 95.7) Y = X X X X X 5 (R 2 = 99.3) Y = X X X X 4-39 X 5 (R 2 = 96.9) Y = X X X X X 5 (R 2 = 95.4) Kelompok II M. requeti Thiara sp. Y = X X 2-8 X X 4-32 X 5 (R 2 = 32.3) Y = X 1-65 X X 3-33 X X 5 (R 2 = 33.4) Kelompok III Nereis limnicola Y = X X X X X 5 (R 2 = 52.9) Tellina sp. Y = X X X X X 5 (R 2 = 2.3) Mytilus sp. Y = X X X 3-13 X X 5 (R 2 = 99.4) Stenothyra ventricosa Y = X X X X X 5 (R 2 = 72.1) Anadara granosa Y = X X X X X 5 (R 2 = 51.9) M. requeti Y = X X X 3-92 X X 5 (R 2 = 78.1) Y = Variabel tetap; X 1 = N-total; X 2 = C-organik; X 3 = Potensial redok; X 4 = Lumpur; X 5 = Pasir halus.

70 56 Tabel 1 Analisis regresi parameter fisika-kimia sedimen terhadap struktur makrozoobentos Nyata (P-value) Variabel Tetap R 2 F X 1 X 2 X 3 X 4 X 5 Kelompok I M. torulosa Melanoides sp. M. tuberculata Thiara sp * 85.28* 18.71* 12.47*.29*.9*.85.28*.15*.1*.16*.12* * Kelompok II. M. requeti Thiara sp Kelompok III Nereis limnicola Tellina sp. Mytilus sp. S. ventricosa Anadara brasiliana M. requeti * * * * * * Taraf signifikansi 5%; * = pengaruh nyata; F tabel = 3.69; X 1 = N-total; X 2 = C-organik; X 3 = Potensial redok; X 4 = Lumpur; X 5 = Pasir halus. Lebih lanjut hal ini ditunjukkan dengan nilai korelasi antara C-organik dan M. Torulosa, Melanoides sp., M. tuberculata serta Thiara sp. yang menunjukkan nilai korelasi negatif (Tabel 1) artinya semakin tinggi kandungan C-organik di sedimen maka kelimpahan makrozoobentos akan semakin menurun. Dengan meningkatnya kandungan bahan organik di sedimen dapat menyebabkan menurunnya oksigen terlarut di sedimen. Thiara sp. Dan M. Requeti yang berada pada Kelompok II tidak menunjukkan hubungan yang erat terhadap parameter fisika-kimia sedimen dengan nilai R 2 sebesar 32.3 dan 33.4, yang ditunjukan juga dengan sebaran variabel bebas yang jauh dari garis normal (lampiran 24b). Hal ini dapat disebabkan oleh kondisi habitat yang dinamis karena merupakan daerah peralihan antara air tawar dan air laut. Selain itu Thiara sp. merupakan makrozoobentos yang berasal dari Kelompok I dan M. Requeti dari Kelompok III. Kedua jenis ini lebih dipengaruhi oleh kondisi habitat dari lingkungan asalnya.

71 57 Tabel 11 Analisis korelasi makrozoobentos Kelompok I dan Kelompok II terhadap parameter sedimen Kelompok I Kelompok II Mto Ms Mt Ts Mr Ts Nt Co *.1*.21*.3* Rdk Lpr *.96.5*.53* Phl * Psd * Pks * Cetak tebal: nilai korelasi; Cetak miring: nilai nyata; * : korelasi nyata (5%); Mto = Melanoides torulosa; Ms = Melanoides sp.; Mt= M. tuberculata I; Ts= Thiara sp.; Mr = M. requeti; Nel = Nereis limnicola ; Nt = N-total; Co = C-organik; Rdk = Potensial redok; Lpr = Lumpur; Phl = Pasir halus; Psd = Pasir sedang; Pks = Pasir kasar. Tabel 12 Analisis korelasi makrozoobentos Kelompok III terhadap parameter sedimen. Kelompok III Nel Tel My Sv Agr Mr Nt Co Rdk Lpr * Phl Psd Pks *.2* Cetak tebal: nilai korelasi; Cetak miring: nilai nyata; * : korelasi nyata (5%); Nel = Nereis limnicola; Tel = Tellina sp.; My = Mytilus sp.; Sv = S. Ventricosa; Agr = Anadara. brasiliana; Mr = M. requeti; Nt = N-total; Co = C-organik; Rdk = Potensial redok; Lpr = Lumpur; Phl = Pasir halus; Psd = Pasir sedang; Pks = Pasir kasar. Pada Kelompok III hampir seluruh jenis makrozoobentos tidak memiliki hubungan yang nyata dengan parameter fisika-kimia sedimen, kecuali Mytilus sp.

72 58 yang berhubungan nyata. Keberadaan Mytilus sp. dipengaruhi oleh kandungan N-total, C-organik, potensial redoks, fraksi sedimen lumpur dan pasir sedang. Mytilus sp. berkorelasi positif terhadap fraksi pasir kasar dan berkorelasi negatif dengan fraksi lumpur (Tabel 11). Terdapatnya jenis-jenis makrozoobentos yang tidak memiliki hubungan yang nyata terhadap parameter fisika-kimia sedimen diduga terjadi karena adanya parameter lingkungan lain yang berpengaruh namun tidak dilakukan pengukuran pada penelitian ini, seperti phospor, salinitas sedimen dan oksigen terlarut di sedimen. Seperti yang dinyatakan oleh Razak (22) bahwa organisme bentik sangat dipengaruhi oleh keberadaan oksigen terlarut, karena kekurangan oksigen dapat menyebabkan stress pada organisme bentik. Jenis Stenothyra ventricosa tidak dipengaruhi oleh parameter sedimen (Tabel 9), namun pada analisa korelasi parameter pasir kasar berhubungan erat. dengan nilai korelasi,2 (Tabel 12). Pada analisis regresi variabel ini tidak ikut diukur, hal ini juga membuktikan bahwa ada variabel lainnya yang mungkin mempengaruhi keberadaan makrozoobentos di sedimen. Gambaran secara menyeluruh kondisi Estuari Percut Sei Tuan menunjukkan bahwa daerah yang berada di sungai membentuk kondisi lingkungan yang berbeda dengan daerah muara. Daerah tersebut dikelompokan menjadi 3 kelompok berdasarkan parameter lingkungannya, jenis makrozoobentos yang dominan serta persamaan regresi yang memperlihatkan hubungan antara parameter fisika-kimia sedimen dengan kelimpahan makrozoobentos. Kelompok I disebut sebagai Kelompok Sungai, Kelompok II disebut sebagai Kelompok Mulut Muara dan Kelompok III disebut sebagai Kelompok Muara (Gambar 23).

73 Nel; Y = X X X X X 5 (R 2 = 52.9) Tel; Y = X X X X X 5 (R 2 = 2.3) My; Y = X X X 3-13 X X 5 (R 2 = 99.4) Sv; Y = X X X X X 5 (R 2 = 72.1) Agr;Y = X X X X X 5 (R 2 = 78.1) Mr; Y = X X X 3-92 X X 5 (R 2 = 51.9) Ts Mt Phl Eh Mto Ms Lpr Nel Ts M Nt Tel Agr Co My Sv Mr Pks Psd Mr; Y = X X 2-8 X X 4-32 X 5 (R 2 = 33.4) Ts; Y = X 1-65 X X 3-33 X X 5 (R 2 = 32.3) Mto; Y = X 1-26 X X X 4-2. X 5 (R 2 = 95.7) Ms; Y = X X X X X 5 (R 2 = 99.3) Mt; Y = X X X X 4-39 X 5 (R 2 = 96.9) Ts; Y = X X X X X 5 (R 2 = 95.4) Keterangan: = Kelompok I (Stasiun 1 dan 2) = Kelompok II (Stasiun 3 dan 4) = Kelompok III (Stasiun 5, 6 dan 7) = Garis pantai = Sungai Makrozoobentos Ms = Melanoides sp Mto = M. torulosa Mt = M. tuberculata Mr = M. requeti Ts = Thiara sp. Nel = Nereis limnicola Tel = Tellina sp. My = Mytilus sp. Agr = Anadara brasiliana Sv = Stenothyra ventricosa Fisika-kimia Sedimen Eh = Potensial redok Lpr = Lumpur Phl = Pasir halus Psd = Pasir sedang Pks = Pasir kasar Nt = N-total Co = C-organik Gambar 23 Peta skematis sebaran makrozoobentos dominan berdasarkan parameter fisika-kimia sedimen di Estuari Percut Sei Tuan 59

74 V. SIMPULAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Estuari Percut Sei Tuan dapat disimpulkan: 1 Parameter fisika-kimia air di perairan estuari tergolong baik yang ditandai dengan nilai kisaran sesuai dengan kriteria baku mutu kualitas air laut untuk kehidupan biota (KEP No.51/MNLH/I/24), sedangkan kualitas sedimen dicirikan oleh kandungan C-organik dan N-total rendah. 2 Kualitas fisika-kimia air dan sedimen perairan estuari sangat mempengaruhi keberadaan makrozoobentos. Tekstur sedimen dengan dominan fraksi pasir sedang dan kasar membentuk struktur komunitas makrozoobentos dengan kelimpahan tinggi, keanekaragaman rendah dan komposisi makrozoobentos rendah. 3 Kelimpahan makrozoobentos Melanoides sp.,m. torulosa, M. tuberculata, Thiara sp. dan Mytilus sp. memiliki hubungan nyata terhadap parameter fisika-kimia lingkungan. 4 Jenis Makrozoobentos yang dominan pada daerah sungai adalah Gastropoda dan pada daerah muara adalah Bivalvia 5.2. Saran 1 Penelitian dilakukan pada saat surut periode Maret sampai dengan Mei, dianggap perlu dilakukan penelitian yang meliputi pasang dan surut, serta periode waktu berbeda untuk mendapatkan gambaran yang lebih menyeluruh tentang ekosistem Estuari Percut Sei Tuan. 2 Terkait dengan kepentingan proses degradasi bahan organik di sedimen terutama C dan N, perlu dilakukan penelitian tentang mikroba yang berperan dalam proses pembentukan zona oksidasi dan reduksi. 3 Ada jenis-jenis makrozoobentos tertentu yang tersebar pada semua stasiun penelitian, maka perlu dilakukan penelitian tentang toleransi makrozoobentos terhadap perubahan salinitas di Estuari Percut Sei Tuan.

75 DAFTAR PUSTAKA Abbott RT. dan Morris PA Shells of The Atlantic and Gulf Coasts and The West Indies. 4 th Edition. Houghton Mifflin Company. New York. Anonim. 25. Data Monografi Kecamatan Percut Sei Tuan. Azouksky AI. Chertoprous MV. Kucheruk NV. Rybnikov PV. Sapozhnikov FV. 2. Fractal Properties of Spation Distribution of Intertidal Benthic Communities. Marine Biology. No pp: Badan Pusat Statistik. 24. Kecamatan Percut Sei Tuan Dalam Angka 23. Badan Pusat Statistik Kabupaten Deli Serdang. Barnes RD Invertebrate Zoology. 5 th Edition. Philadelphia. Basmi HJ. 2. Planktonologi: Plankton Sebagai Bioindikator Kualitas Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Bogor. Bengen DG. 24. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor. Bogor Brower JE. Zar JH. Ende CN Field and Laboratory Methods for General Ecology. Edisi Ketiga. Wm C. Brown Publishers. United States of Amerika. Chester R Marine Geochemistry. Unwin Hyman Ltd. London Dahuri R. Rais J. Ginting SP. Sitepu MJ. 24. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Cetakan ketiga. PT Pradnya Paramita. Jakarta. Dance SP The Encyclopedia of Shells. Bland Ford Press. London. Day J W., Hall CAS. Daan Arancibia AY Estuarine Ecology. John Wiley and Sons. New York. Effendi H. 23. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta. EPA Water Quality Assessment A Screening Procedure for Toxic and Conventional Pollutants in Surface and Ground Water. Part II. Enviromental Research and Development U.S. Environmental Protection Agency. Georgia.

76 62 Eyre BD. dan Ferguson AJP. Benthic Metabolism and Nitrogen Cycling in a Subtropical East Australian Estuary. Lymnology and Oceanography. Vol 5. pp Google Earth. 27. Citra Satelit Kecamatan Percut Sei Tuan. (2 Maret 27). Gosner KL Guide to Identification of Marine and Estuarine Invertebrates. Wiley-Interscience. Division of John Wiley and Sons Inc. New York. Hicks DW dan McMohan RF. 22. Temperature Acclimation of Upper and Lower Thermal Limits and Freeze Resistance in the Nonindigenous Brown mussel, Perna perna (L) from Gulf of Mexico. Marine Biology. Nomor 14. pp: Hutagalung, P. D Logam Berat dalam Lingkungan Laut. LON-LIPI. Pewarta Oseania. 9: Holme NA. McIntyre AD Methods for the Study of Marine Benthos. International Biological Programme Blackwell Scientific Publication. Philadelphia. Jutting WSS dan Benthem V Systematic studies on the non marine mollusca of The Indo-Australis Achipelago. dalam. Treubia A Journal of Zoology, Hydrobiology and Oceanography of The Indo-Australia Archipelago. Vol 23 Part 1-2. Museum Zoology Bogoriense. Karleskint G Introduction to Marine Biology. Saunders College publishing. United states of America. Krebs C. J Ecological Methodology. Harper and Row. New York. Komite Nasional Pengelolaan Ekosistem Lahan Basah. 24. Strategi Nasional dan Rencana Aksi Pengelolaan Lahan Basah Indonesia. Kementerian Lingkungan Hidup. Jakarta. Kozloff EN Marine Invertebrates of The Pasific northwest. University of Washington Press. London. Lardicci C. Rossi F dan Castelli A Analysis of Makrozoobenthic Community Structure after Severe Dystrophic Crises in a Mediterranean Coastal Lagoon. Marine Pollution Bulentin Vol. 34 No. 7 pp: Libes SM An Introduction to Marie Biogeochemistry. John Wiley & Sons. Inc. Canada. Mann KH. 2. Ecology of Coastal Water with Implication for Management. 2 nd Edition. Blackwell Science Inc.

77 63 MNLH. 24. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Tentang Baku Mutu Air laut. KEP No-51/MNLH/I/24. 8 April 24. Jakarta. Noguera SEG. dan Hendrickx ME Distribution and Abundance of Meiofauna in Subtropical Castal Lagoon in The South- eastern Gulf of California Mexico. Marine Pollution Bulletin. Vol. 34. No. 7 pp: Nontji A Laut Nusantara. PT Djambatan. Jakarta Nybakken JW Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Alih Bahasa Eidman M. Bengen DG. Hutomo M. Sukardjo S. PT Gramedia. Jakarta. Odum E.P Dasar-dasar Ekologi. Jilid 3. Penerjemah Samingan T. Gajah Mada University Press. Jogjakarta. Odum E.P Ecology a Bridge between science and society. Sinauer Associates Inc. Canada. Parsons T R. Takahashi M. Hargrave B Biological Oceanographic Processes. Second edition. Pargamon Press. New York. Pennak RW Fresh Water Invertebrates of The United States Protozoa to Molusca. 3 th Edition. John Wiley and Sons Inc. New York. Prasetyo Y. Saraswati R. Sukanta D. 2. Persebaran Bentos dari Jenis Periglypta di Perairan Teluk Jakarta. Di dalam: Ekosistem Pantai Indonesia; Depok: Departemen Kelautan RI dan Jurusan Geografi UI. Hlm Purba CFA. 27. Keanekaragaman dan Distribusi Kepiting bakau Scylla spp. Di Kawasan Muara Percut Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang. Skripsi Biologi FMIPA USU. Medan Razak A. 22. Dinamika Karakteristik Fisika-Kimiawi Sedimen dan Hubungannya Dengan Struktur Komunitas Moluska Bentik (Bivalvia dan Gastropoda) di Muara Bandar Bakali Padang. Thesis Pascasarjana IPB. Bogor. Salmin, 25. Oksigen Terlarut (DO) dan Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD) sebagai Salah Satu Indikator Untuk menentukan Kualitas Perairan. Oceana. Vol. XXX. Nomor 3.pp LIPI.Jakarta. Sanusi HS. Kaswadji RF. Nurjaya IW dan Rafni R. 25. Kajian Kapasitas Beban Pencemaran Organik dan Anorganik di Perairan Teluk Jobokuto Kabupaten Jepara Jawa Tengah. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia. Jilid 12 No.1. pp: Sastrawijaya AT Pencemaran Lingkungan. PT Rineka Cipta. Jakarta

78 64 Sowerbys, Book of Shells. Crown Publisher, Inc. New York. Sinar Indonesia Baru. 25. Seratus Massa BPD Percut Sei Tuan Unjuk Rasa ke DPRD Sumut. Sinar Indonesia Baru (SIB) tanggal 5 September 25. Medan. Sumich JL An Introduction to The Biology of Marine Life. WM C Brown Company Publisher. USA. Supranto MA. 24. Analisis Multivariant Arti dan Interpretasi. Rineka Cipta. Jakarta. Supriharyono. 2. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Tomaszek JA Relationship between Denitrification and Redox Potential in Two Sediment-Water Systems. Marine Freshwater Research. 46. pp: Whilm J L Biology Indicators of Pollution dalam Whitton B A River Ecology. Vol 2. Blackwell cientific Publication. Oxford. Wood EM Subtidal Ecology (News Study in Biology). Edward Arnold publishers. London. Yulianda F dan Damar A Penuntun Praktikum Ekologi Perairan (Pengenalan Dasar, Metoda dan Analisis Dasar). Institut Pertanian Bogor. Fakultas Perikanan. Bogor. Ziegelmeier E Bottom Living Animals Macrobenthos. Dalam; Research Methods in Marine Biology. Sidgwick & Jackson. London; pp

79 65 Lampiran 1 Nilai rata-rata suhu di masing-masing stasiun pengamatan pada Bulan Maret (1), April (2) dan Mei (3) Suhu ( C) Suhu ( C) Stasiun 1 Stasiun 2 Suhu ( C). Suhu ( C) Suhu ( C) Stasiun 3 Stasiun 4 Suhu ( C) Stasiun 5 Stasiun 6 Suhu ( C) Stasiun 7

80 66 Lampiran 2 Nilai rata-rata kecepatan arus di masing-masing stasiun pengamatan pada Bulan Maret (1), April (2) dan Mei (3) Kecepatan Arus (m/dt). Kecepatan Arus (m/dt).,5,4,3,2,1,,6,5,4,3,2,1, Kecepatan Arus (m/dt). 1,,8,6,4,2, Stasiun 1 Stasiun 2 Kecepatan Arus (m/dt).,3,25,2,15,1,5, Stasiun 3 Stasiun 4

81 67 Lampiran 3 Nilai rata-rata TSS di masing-masing stasiun pengamatan pada Bulan Maret (1), April (2) dan Mei (3) TSS (mg/l) TSS (mg/l) Stasiun 1 Stasiun TSS (mg/l) TSS (mg/l) Stasiun 3 Stasiun TSS (mg/l) TSS (mg/l) Stasiun 5 Stasiun 6 8 TSS (mg/l) Stasiun 7

82 68 Lampiran 4 Nilai rata-rata kecerahan di masing-masing stasiun pengamatan pada Bulan Maret (1), April (2) dan Mei (3) 4 4 Kecerahan (cm) Kecerahan (cm) Stasiun 1 Stasiun 2 4 Kecerahan (cm) Kecerahan (cm) Stasiun 3 Stasiun 4 15 Kecerahan (cm). 1 5 Kecerahan (cm). 1 5 Stasiun 5 Stasiun 6 15 Kecerahan (cm). 1 5 Stasiun 7

83 69 Lampiran 5 Nilai rata-rata salinitas di masing-masing stasiun pengamatan pada Bulan Maret (1), April (2) dan Mei (3) 1, 1, 8, Salinitas ( ).,5 Salinitas ( ). 6, 4, 2,,, Stasiun 1 Stasiun 2 4, 2, Salinitas ( ). 2, Salinitas ( ). 1,5 1,,5,, Stasiun 3 Stasiun 4 12, 8, Salinitas ( ). 9, 6, 3, Salinitas ( ). 6, 4, 2,,, Stasiun 5 Stasiun 6 8, Salinitas ( ). 6, 4, 2,, Stasiun 7

84 7 Lampiran 6 Nilai rata-rata ph di masing-masing stasiun pengamatan pada Bulan Maret (1), April (2) dan Mei (3). ph ph Stasiun 1 Stasiun ph. 4 ph Stasiun 3 Stasiun ph. 4 ph Stasiun 5 Stasiun ph. 4 2 Stasiun 7

85 71 Lampiran 7 Nilai rata-rata DO di masing-masing stasiun pengamatan pada Bulan Maret (1), April (2) dan Mei (3) DO (mg/l) DO (mg/l) Stasiun 1 Stasiun 2 DO (mg/l) DO (mg/l) Stasiun 3 Stasiun 4 DO (mg/l) DO (mg/l) Stasiun 5 Stasiun 6 DO (mg/l) Stasiun 7

86 72 Lampiran 8 Nilai rata-rata BOD 5 di masing-masing stasiun pengamatan pada Bulan Maret (1), April (2) dan Mei (3) 6 6 BOD (mg/l). 4 2 BOD (mg/l) Stasiun 1 Stasiun 2 8 BOD (mg/l). 4 2 BOD (mg/l) Stasiun 3 Stasiun BOD (mg/l). 4 2 BOD (mg/l). 4 2 Stasiun 5 Stasiun 6 6 BOD (mg/l). 4 2 Stasiun 7

87 73 Lampiran 9 Nilai rata-rata TOM di masing-masing stasiun pengamatan pada Bulan Maret (1), April (2) dan Mei (3) TOM (mg/l) TOM (mg/l) Stasiun 1 Stasiun 2 TOM (mg/l) TOM (mg/l) Stasiun 3 Stasiun 4 TOM (mg/l) TOM (mg/l) Stasiun 5 Stasiun 6 25 TOM (mg/l) Stasiun 7

88 74 Lampiran 1 Nilai rata-rata C-organik di masing-masing stasiun pengamatan pada Bulan Maret (1), April (2) dan Mei (3) C-organik (%). C-organik (%) C-organik (%) Stasiun 1 Stasiun 2 C-organik (%) Stasiun 3 Stasiun 4 C-organik (%) C-organik (%). 2 1 Stasiun 5 Stasiun 6 3 C-organik (%). 2 1 Stasiun 7

89 75 Gambar 11 Nilai rata-rata N-total di masing-masing stasiun pengamatan pada Bulan Maret (1), April (2) dan Mei (3),25,25 N-total (%).,2,15,1,5, N-total (%).,2,15,1,5, Stasiun 1 Stasiun 2,25,25 N-total (%).,2,15,1,5, N-total (%).,2,15,1,5, Stasiun 3 Stasiun 4 N-total (%).,1,8,6,4,2, N-total (%).,15,1,5, Stasiun 5 Stasiun 6 N-total (%).,12,1,8,6,4,2, Stasiun 7

90 76 Lampiran 12 Nilai rata-rata kelimpahan makrozoobenthos di masing-masing stasiun pengamatan pada Bulan Maret (1), April (2) dan Mei (3) Kelimpahan (ind/m 2 ) Kelimpahan (ind/m 2 ) Stasiun 1 Stasiun 2 Kelimpahan (ind/m 2 ) Kelimpahan (ind/m 2 ) Stasiun 3 Stasiun 4 Kelimpahan (ind/m 2 ) Kelimpahan (ind/m 2 ) Stasiun 5 Stasiun 6 Kelimpahan (ind/m 2 ) Stasiun 7

91 77 Lampiran 13 Gambar profil menegak lapisan sedimen Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 5 Stasiun 6 Stasiun 7

92 78 Lampiran 14 Klasifikasi jenis-jenis makrozoobentos yang ditemui pada lokasi penelitian Phylum Klass Ordo Family Genus Species Tellinacea Tellinidae Telina Tellidora Tellina sp. Tellidora sp. Bivalvia Acaceae Arcidae Anadara Arca Anadara brasiliana Arca Tetragona Mytilacea Mytilidae Mytilus Mytilus sp. Semelidae Abra Abra soyoae Protobranchia Solemyidae Nucula Nucula sp. Buccinacea Nassariidae Nassarius Nassarius distortus Marginellidae Marginella Marginella sp. Naticacea Naticidae Polinices Polinices maurus Stenothyridae Stenothyra Stenothyra ventricosa Synceridae Syncera Syncera hidalgoi Synceridae Syncera S. carinata Molusca Mesogastropoda Melanoides requeti Melanoides sp. Thiaridae Melanoides M. torulosa M. tuberculata Gastropoda Thiara sp. Oliva Mitra sp. Ampullariidae Pila Pila scutata Opisthobranchia Pyramidellidae Paramormula Paramormula sp Turbonilla Turbonilla sp. Trochacea Trochidae Bankivia Bankivia sp. Archaeogastropoda Neritidae Septaria Septaria lineata Lamellariacea Lamellariidae Veltina Velutina velutina Trachelipoda Purpurifera Trichotropis Trichotropis bicarinata Canalifera Telescopium Telescopium sp. Epitonicea Epitoniidae Epitonium Epitonium pallasi Annelida Polychaeta Nereidae Nereis Nereis limnicola

93 79 Lampiran 15 Beberapa jenis makrozoobentos yang didapat pada lokasi penelitian Melanoides tuberculata (Habitat: Sungai dan Muara) Melanoides sp. (Habitat: Sungai dan Muara) Melanoides requeti (Habitat: Sungai dan Muara) Thiara sp. (Habitat: Sungai dan Muara ) M. torulosa (Habitat: Sungai dan Muara) Mitra sp (Habitat: Sungai) Trichotropis bicarinata (Habitat: Muara) Telescopium sp. (Habitat: Muara)

94 8 Arca tetragona (Habitat: Muara) Abra soyoae (Habitat; Muara ) Mytilus sp. (Habitat: Sungai dan Muara) Pila scutata (Habitat: Sungai) Nucula sp (Habitat: Muara) Stenothyra ventricosa (Habitat: Sungai dan Muara) Bankivia sp (Habitat: Muara) Epitonium pallasi (Habitat: Muara)

95 81 Tellidora sp Paramormula sp. (Habitat: Muara) (Habitat: Muara ) Nassarius distortus Marginella sp. (Habitat: Muara) (Habitat: Muara) Velutina velutina Septaria lineata (Habitat: Sungai) (Habitat: Sungai dan Muara) S. carinata Anadara brasiliana (Habitat: Sungai) (Habitat: Muara)

96 82 Lampiran 16 Analisa TOM dengan Metode Permanganat Pembuatan Pereaksi 1 Larutan asam sulfat 8 N bebas zat organik Masukkan ke dalam ± 5 ml akuades pada labu takar, tuangkan 222 ml H 2 SO 4 pekat sambil diaduk, dinginkan Kemudian tetesi larutan KMnO 4.1 N sampai berwarna merah jambu, panaskan 1 menit pada suhu ± 8 C. Bila warna hilang selama pemanasan, tetesi kembali sampai warna merah jambu stabil, dinginkan, kemudian tepatkan volumenya sampai dengan 1 liter. 2 Asam Oksalat,1 N Larutkan 6,32 gr Asam Oksalat (COOH) 2.2H 2 O dalam 1 liter akuades atau 6,7 gr Na-Oksalat (COONa) 2 ke dalam 25 ml H 2 SO 4 yang telah diencerkan dan sesudah dingin kemudian encerkan sampai 1 liter. 3 Asam oksalat,1 N Lakukan pengenceran dari larutan Asam Oksalat,1 N. 4 Kalium Permanganat,1N Larutkan 3,16 gr KMnO 4 ke dalam 1 liter akuades. 5 Kalium Permanganat,1N (alkalis) 16 gr NaOH dilarutkan di dalam 1 liter KMnO 4,1N. Didihkan selama 1 jam, dinginkan dan tepatkan volumenya 1 liter. Prosedur Kerja 1 Pipet 1 ml contoh air ked alam erlenmeyer 3 ml 2 Tambahkan KMnO 4,1 N sampai timbul larutan merah muda. 3 Tambahkan beberapa tetes H 2 SO 4 8 N 4 Cepat panaskan hingga mendidih, apabila timbul bau H 2 S pendidihan diteruskan sampai beberapa menit. 5 Tambahkan 1 ml KMnO 4,1 N dan teruskan pemanasan sampai mendidih selama 1 menit 6 Tambahkan 5 ml H 2 SO 4 8N dan 1 ml asam oksalat,1n dengan hati-hati, kemudian rendam erlenmeyer tersebut ke dalam air dingin selama 1 menit. 7 Titrasi dengan menggunakan KMnO 4,1 N sampai timbul warna merah muda. 8 Apabila memerlukan KMnO 4,1 N lebih dari 7 ml maka pemeriksaan diulangi dengan volume air contoh lebih sedikit dan dilakukan pengenceran hingga menjadi 1 ml Perhitungan mg KMnO 4 / l 1 a b 1 c d 31,6 1 Keterangan: a = ml KMnO 4,1 yang dibutuhkan pada titrasi b = Normalitas KMnO 4 c = Normalitas asam oksalat d = ml contoh yang digunakan

97 83 Lampiran 17 Penentuan kadar N-total dengan Metode Kjeldahl Pereaksi: Asam sulfat p.a. pekat 1 Campuran selen: Dicampurkan 1,55 gram CuSO 4 anhidrus 96,9 gram Na 2 SO 4 anhidrus serta 1,55 gram selen dan dihaluskan. 2 Asam borat 1 %: Ditimbang 1 gram H 3 BO 3 dilarutkan dalam air murni hingga 1 liter. 3 Asam sulfat,5 N: Pada labu ukur 1 ml yang sebagian besar telah diisi dengan air murni, ditambahkan 1,4 ml H 2 SO 4 pekat, kemudian dipenuhkan dengan air hingga tanda garis. Kenormalannya ditetapkan dengan boraks,5 N dengan merah metil sebagai petunjuk. 4 Natrium Hidroksida 3%: 4 gram NaOH dalam piala 2 liter ditambah perlahan-lahan 6 ml air murni. Setelah dingin ditambah air murni hingga isi menjadi 1 liter. 5 Penunjuk campuran metil + hijau bromkresol: Ditimbang,1 gram merah metil dan,15 gram hijau bromkresol dan dilarutkan dengan 2 ml etanol 96%, batu didih atau karborondum Cara kerja: 1 Ditimbang 1 gram tanah halus <,5 mm dan masukkan dalam labu Kjeldahl 1 ml. Kemudian tambahkan 1 gram campuran selen dan 3 ml H 2 SO 4 pekat. 2 Dipanaskan diatas alat destruksi, mula-mula dengan nyala api kecil selama 15 menit, kemudian nyala dibesarkan hingga larutan jernih. Pemanasan dilanjutkan selama 15 menit. Setelah dingin ditambahkan 1 ml air murni dan dipindahkan ke dalam labu penyulingan. Diencerkan dengan air murni hingga 1 ml, ditambahkan ½ sendok batu didih dan 2 ml NaOH 3%. Setelah itu labu penyuling segera dihubungkan dengan alat pendingin dan disulingkan. Sulingan ditampung dalam erlenmeyer 1 ml yang telah diisi dengan 15 ml asam borat 1% dan 3 tetes penunjuk campuran. Penyulingan dihentikan setelah 1 menit, dihitung sejak tetes pertama. 3 Amoniak yang disuling dititar dengan H 2 SO 4,5 N sampai warna menjadi merah. Disamping itu dilakukan penetapan blanko. Perhitungan: % N-Total = (ml contoh ml blanko) x N H 2 SO 4 x 1,4 Pendapatannya dikoreksi terhadap contoh halus <,5 mm kering mutlak (15 C) dan dinyatakan hingga 2 desimal.

98 84 Lampiran 18 Penentuan kadar C-organik sedimen dengan Metode Walkley dan Black Pereaksi Asam Sulfat 96% Asam Chromat 1N: Ditimbang 22 gram CrO 3 dan dilarutkan dengan air hingga 66 ml. Untuk mengetahui konsentrasi H 2 CrO 4 dipipet 1 ml diencerkan dengan 5 ml air, kemudian dititer dengan FeSO 4,2 N. Asam fosfat (H 3 PO 4 ) 85%: Penunjuk Feroin,25N: Ditimbang 1,485 gram ortofenantrolin dan dilarutkan dengan 1 ml air yang mengandung,695 gram FeSO 4.7 H 2 O. Besi (II) sulfat,2n Ditimbang 55,6 gram FeSO 4.7H 2 O, dipindahkan ke dalam labu ukur 1 ml diencerkan dengan air murni sampai 8 ml dan ditambahkan 15 ml H 2 SO 4 pekat lalu dipenuhkan dengan air sampai tanda garis. Kenormalannya ditetapkan dengan K 2 Cr 2 O 7. Prosedur kerja: 1. Pada 1 gram contoh (<,5 mm) kering udara dalam labu diukur 1 ml, ditambahkan tepat 2 ml H 2 Cr 2 O 4 1 N dan 4 ml H 2 SO 4 96%. 2. Labu ukur diputar selama 1 menit dengan tangan diatas alas yang lunak. Setelah 15 menit, diputar lagi 1 menit. Kemudian diisi air murni sampai 8 ml. Dibiarkan dingin. Dipenuhkan sampai garis dengan air murni, dikocok, dibiarkan mengendap. 3. Dipipet 1 ml cairan jernih ke dalam erlenmeyer 5 ml, ditambahkan 1 ml H 3 PO 4 85 % dan 4 tetes penunjuk feroin. Kemudian dititer dengan FeSO 4,2 N. Diadakan penetapan blanko. Perhitungan: Untuk 1gram: % C-Organik = (ml blnko ml contoh) x N FeSO 4 x 3,596 Persen bahan organik = 1,724 x % C-rganik. Persen C-organik dari bahan organik dikoreksi terhadap contoh kering 15 C dan dinyatakan hingga 2 desimal.

99 Lampiran 19 Nilai kisaran parameter fisika-kimia air dan sedimen di lokasi penelitian No Parameter STASIUN Parameter Fisika-Kimia Air 1 Suhu ( C) Kedalaman (m) Kecepatan Arus (m/dt) TSS (mg/l) Kecerahan (cm) Salinitas ( ) ph DO (mg/l) BOD 5 (mg/l) TOM (mg/l) Parameter Fisika-Kimia Sedimen 12 Potensial Redok (mv) C-organik (%) N-total (%) Rasio C/N

100 Lampiran 2a Jumlah individu dan jumlah jenis Makrozoobentos pada pengamatan Bulan Maret S T A S I U N JENIS Bivalvia Abra soyoae Anadara brasiliana 1 1 Tellidora sp. 1 Mytilus sp Nucula sp. 1 Tellina sp Gastropoda Bankivia sp. 1 Epitonium pallasi 1 M. torulosa Marginella sp. 2 Melanoides riqueti Melanoides sp Melanoides tuberculata Nassarius distortus 1 Paramormula sp 2 2 Pila scutata 1 1 Polinices maurus S. carinata 1 Septaria lineata 1 Stenothyra ventricosa Telescopium sp 1 1 Thiara sp Turbomilla sp 1 Polychaeta Nereis limnicola 1 2 JUMLAH JUMLAH INDIVIDU JUMLAH JENIS (S)

101 Lampiran 2b Jumlah individu dan jumlah jenis makrozoobentos pada pengamatan Bulan April S T A S I U N JENIS Bivalvia Abra soyoae Anadara brasiliana 1 1 Arca Tetragona 1 2 Mytilus sp Nucula sp. 1 1 Polinices maurus 1 1 Tellidora sp. 2 Tellina sp Gastropoda M. torulosa Melanoides riqueti Melanoides sp Melanoides tuberculata Paramormula sp 1 S. carinata 1 1 Septaria lineata 1 1 Stenothyra ventricosa Syncera hidalgoi Telescopium sp 1 Thiara sp Velutina velutina 1 1 Turbonilla sp 2 Polychaeta Nereis limnicola JUMLAH JUMLAH INDIVIDU JUMLAH JENIS (S)

102 Lampiran 2c Jumlah individu dan jumlah jenis makrozoobentos pada pengamatan Bulan Mei S T A S I U N JENIS Bivalvia Abra soyoae Mytilus sp Nucula sp. Tellidora sp Tellina sp Gastropoda Bankivia sp. 1 M. torulosa Marginella sp. 1 Melanoides riqueti Melanoides sp Melanoides tuberculata Mitra sp. 1 Paramormula sp 2 1 Stenothyra ventricosa Telescopium sp 1 Thiara sp Trichotropis bicarinata 1 Polychaeta Nereis limnicola JUMLAH JUMLAH INDIVIDU JUMLAH JENIS (S)

103 Lampiran 21a Nilai Kelimpahan, Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominansi Makrozoobentos pada Bulan Maret JENIS STASIUN Bivalvia Abra soyoae Anadara brasiliana Tellidora sp Mytilus sp Nucula sp Tellina sp Gastropoda Bankivia sp Epitonium pallasi M. torulosa Marginella sp Melanoides riqueti Melanoides sp Melanoides tuberculata Nassarius distortus Paramormula sp Pila scutata Polinices maurus S. carinata Septaria lineata Stenothyra ventricosa Telescopium sp Thiara sp Turbonilla sp Polychaeta Nereis limnicola JUMLAH RATA-RATA KEANEKARAGAMAN (H ) KESERAGAMAN (E) DOMINANSI C

104 Lampiran 21b Nilai Kelimpahan, Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominansi Makrozoobentos pada Bulan April Bivalvia JENIS Kelimpahan Makrozoobentos (ind/m 2 ) Abra soyoae Anadara brasiliana Arca Tetragona Mytilus sp Nucula sp Polinices maurus Tellidora sp Tellina sp Gastropoda M. torulosa Melanoides riqueti Melanoides sp Melanoides tuberculata Paramormula sp S. carinata Septaria lineata Stenothyra ventricosa Syncera hidalgoi Telescopium sp Thiara sp Velutina velutina Turbonilla sp Polychaeta Nereis limnicola TOTAL RATA-RATA KEANEKARAGAMAN (H ) KESERAGAMAN (E) DOMINANSI C

105 Lampiran 21c Nilai Kelimpahan, Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominansi Makrozoobentos pada Bulan Mei Kelimpahan Makrozoobentos (ind/m 2 ) Bivalvia JENIS Abra soyoae Mytilus sp Nucula sp. Tellidora sp Tellina sp Gastropoda Bankivia sp M. torulosa Marginella sp Melanoides riqueti Melanoides sp Melanoides tuberculata Mitra sp Paramormula sp Stenothyra ventricosa Telescopium sp Thiara sp Trichotropis bicarinata Polychaeta Nereis limnicola Jumlah Rata-rata KEANEKARAGAMAN (H ) KESERAGAMAN (E) DOMINANSI C

106 92 Lampiran 22 Hasil Analisis Komponen Utama (PCA) karakteristik fisika-kimia sedimen di lokasi penelitian a Akar ciri dan persentase varian (ragam) dari 6 sumbu utama PC1 PC2 PC3 PC4 PC5 PC6 Akar Ciri Ragam (%) Akumulasi (%) b Skor komponen utama terhadap stasiun STASIUN PC1 PC2 PC3 PC4 PC5 PC6 1 2,58-1,356,9745, , , , ,444-1,6164,7461,44469, , ,9757, ,74982, , ,4583 2, ,25547, ,3376, , ,728, ,9415 -,5581, , ,218,92593,653494, , ,4179 -,9197-1,5875, , ,3326 c Skor komponen utama terhadap parameter fisika-kimia VARIABEL PC1 PC2 PC3 PC4 PC5 PC6 Salinitas -,3661 -, ,3974 -,3737,45123, Eh,346 -,3718 -,296,6486, ,38466 C-organik,16887, , ,1226,9743,28956 N-total,24675, , ,126, ,2245 Kecerahan,41593,22214,2848, ,4687, Lumpur, ,2997 -,29413,18378,11967, Pasir Halus, ,1939, ,4411, ,19563 Pasir Sedang -,34952,1396 -,6844, , ,11816 Pasir Kasar -,3721,274762,58494,45623,131564,312424

107 93 Lampiran 23 Hasil Analisis Korespondes (CA) antara makrozoobentos dan parameter fisika-kimia sedimen a Akar ciri dan persentase varian (ragam) dari 6 sumbu utama Akar Ciri Ragam (%) Akumulasi (%) b Tabel kualitas representasi (kosinus kuadrat) dan kontribusi relatif untuk stasiun pada 3 sumbu utama Variabel Sumbu 1 Sumbu 2 Sumbu Stasiun Stasiun Stasiun Stasiun Stasiun Stasiun Stasiun c Tabel kualitas representasi (kosinus kuadrat) dan kontribusi relatif untuk variabel lingkungan pada 3 sumbu utama Variabel Sumbu 1 Sumbu 2 Sumbu Rdk Co Nt Cn Lpr Phl Psd Pks Keterangan: Rdk = Potensial Redok; Co=C-organik; Nt=N-total; Cn=C/N; Lpr=Lumpur; Phl=Pasir Halus; Psd=Pasir Sedang; Pks=Pasir Kasar

108 94 d Tabel kualitas representasi (kosinus kuadrat) dan kontribusi relatif makrozoobentos pada 3 sumbu utama Variabel Sumbu 1 Sumbu 2 Sumbu Mt Ms Mr Ts Mto As My Sv Agr Tel Nel Me

109 95 Lampiran 24 Grafik hasil analisis regresi linear a. Kelompok I Melanoides sp. Melanoides tuberculata M. torulosa Thiara sp. b. Kelompok II M. requeti Thiara sp.

110 96 c. Kelompok III Anadara brasiliana M. requeti Mytilus sp. Nereis limnicola Stenothyra ventricosa Tellina sp.

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Deskripsi Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Perairan Estuari Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Wilayah Kecamatan Percut Sei Tuan

Lebih terperinci

KUALITAS FISIKA-KIMIA SEDIMEN SERTA HUBUNGANNYA TERHADAP STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS DI ESTUARI PERCUT SEI TUAN KABUPATEN DELI SERDANG

KUALITAS FISIKA-KIMIA SEDIMEN SERTA HUBUNGANNYA TERHADAP STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS DI ESTUARI PERCUT SEI TUAN KABUPATEN DELI SERDANG KUALITAS FISIKA-KIMIA SEDIMEN SERTA HUBUNGANNYA TERHADAP STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS DI ESTUARI PERCUT SEI TUAN KABUPATEN DELI SERDANG HANIFAH MUTIA Z. N. AMRUL SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

KUALITAS FISIKA-KIMIA SEDIMEN SERTA HUBUNGANNYA TERHADAP STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS DI ESTUARI PERCUT SEI TUAN KABUPATEN DELI SERDANG

KUALITAS FISIKA-KIMIA SEDIMEN SERTA HUBUNGANNYA TERHADAP STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS DI ESTUARI PERCUT SEI TUAN KABUPATEN DELI SERDANG KUALITAS FISIKA-KIMIA SEDIMEN SERTA HUBUNGANNYA TERHADAP STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS DI ESTUARI PERCUT SEI TUAN KABUPATEN DELI SERDANG HANIFAH MUTIA Z. N. AMRUL SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelompok Umur Pertumbuhan populasi tiram dapat dilihat berdasarkan sebaran kelompok umur. Analisis sebaran kelompok umur dilakukan dengan menggunakan FISAT II metode NORMSEP.

Lebih terperinci

2.2. Struktur Komunitas

2.2. Struktur Komunitas 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Makrozoobentos Hewan bentos dibagi dalam tiga kelompok ukuran, yaitu makrobentos (ukuran lebih dari 1,0 mm), meiobentos (ukuran antara 0,1-1 mm) dan mikrobentos (ukuran kurang

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Komunitas Makrozoobenthos

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Komunitas Makrozoobenthos 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Komunitas Makrozoobenthos Odum (1993) menyatakan bahwa benthos adalah organisme yang hidup pada permukaan atau di dalam substrat dasar perairan yang meliputi organisme

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif,

TINJAUAN PUSTAKA. Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif, TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Estuari Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif, karena area ini merupakan area ekoton daerah pertemuan dua ekosistem berbeda (tawar dan laut)

Lebih terperinci

STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH

STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai

TINJAUAN PUSTAKA. Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai TINJAUAN PUSTAKA Sungai Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai peranan penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air (catchment area) bagi daerah disekitarnya,

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 16 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Kajian populasi Kondisi populasi keong bakau lebih baik di lahan terlantar bekas tambak dibandingkan di daerah bermangrove. Hal ini ditunjukkan oleh nilai kepadatan

Lebih terperinci

Stasiun 1 ke stasiun 2 yaitu + 11,8 km. Stasiun '4.03"LU '6.72" BT. Stasiun 2 ke stasiun 3 yaitu + 2 km.

Stasiun 1 ke stasiun 2 yaitu + 11,8 km. Stasiun '4.03LU '6.72 BT. Stasiun 2 ke stasiun 3 yaitu + 2 km. 8 menyebabkan kematian biota tersebut. Selain itu, keberadaan predator juga menjadi faktor lainnya yang mempengaruhi hilangnya atau menurunnya jumlah makrozoobentos. 3 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Makrozoobenthos Sebagai Bioindikator Kualitas Perairan Organisme makrozoobenthos

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Makrozoobenthos Sebagai Bioindikator Kualitas Perairan Organisme makrozoobenthos 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Makrozoobenthos Sebagai Bioindikator Kualitas Perairan 2.1.1. Organisme makrozoobenthos Organisme benthos merupakan organisme yang melekat atau beristirahat pada dasar perairan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air laut merupakan suatu medium yang unik. Sebagai suatu sistem, terdapat hubungan erat antara faktor biotik dan faktor abiotik, karena satu komponen dapat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Tipe Estuari dan Debit Sungai. Tipe estuari biasanya dipengaruhi oleh kondisi pasang surut. Pada saat pasang, salinitas perairan akan didominasi oleh salinitas air laut karena

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kelangsungan hidup yang panjang. Oleh karena itu peran bentos dalam

TINJAUAN PUSTAKA. kelangsungan hidup yang panjang. Oleh karena itu peran bentos dalam TINJAUAN PUSTAKA Benthos Bentos merupakan kelompok organisme yang hidup di dalam atau di permukaan sedimen dasar perairan. Bentos memiliki sifat kepekaan terhadap beberapa bahan pencemar, mobilitas yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air

TINJAUAN PUSTAKA. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air TINJAUAN PUSTAKA Sungai Sungai merupakan suatu bentuk ekositem aquatik yang mempunyai peran penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air (catchment area) bagi daerah di sekitarnya,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. hubungan bebas dengan laut terbuka dan menerima masukan air tawar dari

TINJAUAN PUSTAKA. hubungan bebas dengan laut terbuka dan menerima masukan air tawar dari 7 TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Estuari Estuari merupakan wilayah pesisir semi tertutup yang mempunyai hubungan bebas dengan laut terbuka dan menerima masukan air tawar dari daratan. Sebagian besar estuari

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Gambar 1. Peta Lokasi penelitian

BAB III METODOLOGI. Gambar 1. Peta Lokasi penelitian BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di perairan Pulau Bintan Timur, Kepulauan Riau dengan tiga titik stasiun pengamatan pada bulan Januari-Mei 2013. Pengolahan data dilakukan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan 5 TINJAUAN PUSTAKA Estuari Estuari merupakan suatu komponen ekosistem pesisir yang dikenal sangat produktif dan paling mudah terganggu oleh tekanan lingkungan yang diakibatkan kegiatan manusia maupun oleh

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Selat Bali Bagian Selatan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Selat Bali Bagian Selatan 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Selat Bali Bagian Selatan Selat merupakan perairan relatif sempit yang menghubungkan dua buah perairan yang lebih besar dan biasanya terletak di antara dua daratan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Sungai Perairan dibagi dalam tiga kategori utama yaitu tawar, estuaria dan kelautan. Habitat air tawar menempati daerah yang relatif kecil pada permukaan bumi bila

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (GASTROPODA DAN BIVALVIA) SERTA ASOSIASINYA PADA EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI ULEE - LHEUE, BANDA ACEH, NAD

STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (GASTROPODA DAN BIVALVIA) SERTA ASOSIASINYA PADA EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI ULEE - LHEUE, BANDA ACEH, NAD STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (GASTROPODA DAN BIVALVIA) SERTA ASOSIASINYA PADA EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI ULEE - LHEUE, BANDA ACEH, NAD Oleh : IRMA DEWIYANTI C06400033 SKRIPSI PROGRAM STUD1 ILMU

Lebih terperinci

bentos (Anwar, dkk., 1980).

bentos (Anwar, dkk., 1980). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keanekaragaman jenis adalah keanekaragaman yang ditemukan di antara makhluk hidup yang berbeda jenis. Di dalam suatu daerah terdapat bermacam jenis makhluk hidup baik tumbuhan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak di Cagar Alam Leuweung Sancang. Cagar Alam Leuweung Sancang, menjadi satu-satunya cagar

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tidak kurang dari 70% dari permukaan bumi adalah laut. Atau dengan kata lain ekosistem laut merupakan lingkungan hidup manusia yang terluas. Dikatakan bahwa laut merupakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. di darat maupun di laut. Kandungan bahan organik di darat mencerminkan

PENDAHULUAN. di darat maupun di laut. Kandungan bahan organik di darat mencerminkan 15 PENDAHULUAN Latar Belakang Bahan organik merupakan salah satu indikator kesuburan lingkungan baik di darat maupun di laut. Kandungan bahan organik di darat mencerminkan kualitas tanah dan di perairan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Teluk Palabuhan Ratu Kecamatan Palabuhan Ratu, Jawa Barat. Studi pendahuluan dilaksanakan pada Bulan September 007 untuk survey

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. hari dengan batas 1 minggu yang dimulai dari tanggal Juli 2014 dan

BAB V PEMBAHASAN. hari dengan batas 1 minggu yang dimulai dari tanggal Juli 2014 dan jumalah Individu 1 BAB V PEMBAHASAN A. Familia Bivalvia yang didapatkan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada bulan Juli sampai dengan bulan Agustus, di mana penelitian ini dilaksanakan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di perairan Waduk Cirata dengan tahap. Penelitian Tahap I merupakan penelitian pendahuluan dengan tujuan untuk mengetahui

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 5 3 '15 " 5 3 '00 " 5 2 '45 " 5 2 '30 " BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2009 sampai dengan bulan April 2010, lokasi pengambilan sampel di perairan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai saluran air bagi daerah

I. PENDAHULUAN. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai saluran air bagi daerah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai peran penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai saluran air bagi daerah sekitarnya. Oleh karena

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Kerang tahu (Meretrix meretrix L. 1758)

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Kerang tahu (Meretrix meretrix L. 1758) 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi Kerang Tahu (Meretrix meretrix) Kerang merupakan hewan filter feeders yang memasukkan pasir kedalam tubuhnya kemudian mengakumulasikan pasir tersebut dilapisan tubuhnya.

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Alat dan Bahan

METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Alat dan Bahan 9 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dibagi dalam dua tahap, yaitu pengambilan contoh dan analisis contoh. Pengambilan contoh dilaksanakan pada bulan Maret 2011 di perairan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 15 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Situ Gede. Situ Gede terletak di sekitar Kampus Institut Pertanian Bogor-Darmaga, Kelurahan Situ Gede, Kecamatan Bogor Barat,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Perairan Pulau Panggang Kepulauan Seribu DKI Jakarta pada bulan Maret 2013. Identifikasi makrozoobentos dan pengukuran

Lebih terperinci

BAB 2 BAHAN DAN METODE

BAB 2 BAHAN DAN METODE BAB 2 BAHAN DAN METODE 2.1 Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2011 pada beberapa lokasi di hilir Sungai Padang, Kecamatan Medang Deras, Kabupaten Batubara. Metode yang digunakan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pencemaran Organik di Muara S. Acai, S. Thomas, S. Anyaan dan Daerah Laut yang Merupakan Perairan Pesisir Pantai dan Laut, Teluk Youtefa. Bahan organik yang masuk ke perairan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi Makrozoobentos Bentos adalah organisme yang mendiami dasar perairan dan tinggal di dalam atau di permukaan substrat dasar perairan (Odum, 1994). Organisme ini terdiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sekitar 78 % wilayah Indonesia merupakan perairan sehingga laut dan wilayah pesisir merupakan lingkungan fisik yang mendominasi. Di kawasan pesisir terdapat

Lebih terperinci

BAB 2 BAHAN DAN METODA

BAB 2 BAHAN DAN METODA BAB 2 BAHAN DAN METODA 2.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2010 pada 3 (tiga) lokasi di Kawasan Perairan Pulau Kampai, Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat,

Lebih terperinci

BAB 2 BAHAN DAN METODE

BAB 2 BAHAN DAN METODE BAB 2 BAHAN DAN METODE 2.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret Mei 2011 pada 4 lokasi di Sungai Bah Bolon, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara (peta lokasi penelitian

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Pantai Sei Nypah adalah salah satu pantai yang berada di wilayah Desa

TINJAUAN PUSTAKA. Pantai Sei Nypah adalah salah satu pantai yang berada di wilayah Desa TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Lokasi Pantai Sei Nypah adalah salah satu pantai yang berada di wilayah Desa Nagalawan, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai, Propinsi Sumatera Utara dan merupakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. pengaliran air beserta air di dalamnya, mulai dari hulu sampai muara, dengan

TINJAUAN PUSTAKA. pengaliran air beserta air di dalamnya, mulai dari hulu sampai muara, dengan 47 TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Sungai Sungai adalah alur atau wadah air alami dan/atau buatan berupa jaringan pengaliran air beserta air di dalamnya, mulai dari hulu sampai muara, dengan dibatasi kanan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Produktivitas Primer Fitoplankton Berdasarkan hasil penelitian di Situ Cileunca didapatkan nilai rata-rata produktivitas primer (PP) fitoplankton pada Tabel 6. Nilai PP

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Proses adsorpsi antar partikel tersuspensi dalam kolom air terjadi karena adanya muatan listrik pada permukaan partikel tersebut. Butir lanau, lempung dan koloid asam

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FISIKA-KIMIA PERAIRAN DAN STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (BIVALVIA DAN GASTROPODA) DI PANTAI CERMIN SUMATERA UTARA SKRIPSI

KARAKTERISTIK FISIKA-KIMIA PERAIRAN DAN STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (BIVALVIA DAN GASTROPODA) DI PANTAI CERMIN SUMATERA UTARA SKRIPSI KARAKTERISTIK FISIKA-KIMIA PERAIRAN DAN STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (BIVALVIA DAN GASTROPODA) DI PANTAI CERMIN SUMATERA UTARA SKRIPSI RAISSHA AMANDA SIREGAR 090302049 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

3. METODOLOGI. Koordinat stasiun penelitian.

3. METODOLOGI. Koordinat stasiun penelitian. 3. METODOLOGI 3.1 Lokasi dan waktu penelitian Penelitian ini dilakukan di perairan pesisir Bahodopi, Teluk Tolo Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah pada bulan September 2007 dan Juni 2008. Stasiun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan zat yang sangat penting bagi kehidupan semua makhluk hidup yang ada di bumi. Hampir 71%

Lebih terperinci

sedangkan sisanya berupa massa air daratan ( air payau dan air tawar ). sehingga sinar matahari dapat menembus kedalam air.

sedangkan sisanya berupa massa air daratan ( air payau dan air tawar ). sehingga sinar matahari dapat menembus kedalam air. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perairan merupakan ekosistem yang memiliki peran sangat penting bagi kehidupan. Perairan memiliki fungsi baik secara ekologis, ekonomis, estetika, politis,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. lingkungan hidup yang didalamnya terdapat hubungan fungsional yang sistematik

II. TINJAUAN PUSTAKA. lingkungan hidup yang didalamnya terdapat hubungan fungsional yang sistematik II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Perairan Ekosistem merupakan tingkat organisasi yang lebih tinggi dari komunitas atau merupakan kesatuan dari suatu komunitas dengan lingkungannya dimana terjadi antar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Perairan Bintan Pulau Bintan merupakan salah satu pulau di kepulauan Riau tepatnya di sebelah timur Pulau Sumatera. Pulau ini berhubungan langsung dengan selat

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 15 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di muara Sungai Citepus, Kecamatan Palabuhanratu dan muara Sungai Sukawayana, Kecamatan Cikakak, Teluk Palabuhanratu, Kabupaten

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi dan Kelimpahan Plankton Hasil identifikasi komunitas plankton sampai tingkat genus di Pulau Biawak terdiri dari 18 genus plankton yang terbagi kedalam 14 genera

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Aspek Biologi Klasifikasi Morfologi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Aspek Biologi Klasifikasi Morfologi 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Aspek Biologi 2.1.1. Klasifikasi Tiram merupakan jenis bivalva yang bernilai ekonomis. Tiram mempunyai bentuk, tekstur, ukuran yang berbeda-beda (Gambar 2). Keadaan tersebut

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi Dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2005 - Agustus 2006 dengan lokasi penelitian di Pelabuhan Sunda Kelapa, DKI Jakarta. Pengambilan contoh air dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sidoarjo dan 6 kota yaitu Batu, Malang, Blitar, Kediri, Mojokerto, dan Surabaya

BAB I PENDAHULUAN. Sidoarjo dan 6 kota yaitu Batu, Malang, Blitar, Kediri, Mojokerto, dan Surabaya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sungai Brantas adalah sungai terpanjang yang ada di provinsi Jawa Timur. Panjangnya yaitu mencapai sekitar 320 km, dengan daerah aliran seluas sekitar 12.000 km 2

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2013 sampai dengan April 2014.

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2013 sampai dengan April 2014. 25 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2013 sampai dengan April 2014. Tempat penelitian berlokasi di Sungai Way Sekampung, Metro Kibang,

Lebih terperinci

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 49 V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 5.1 Distribusi Parameter Kualitas Perairan Karakteristik suatu perairan dan kualitasnya ditentukan oleh distribusi parameter fisik dan kimia perairan yang berlangsung

Lebih terperinci

GEOKIMIA Pb, Cr, Cu DALAM SEDIMEN DAN KETERSEDIAANNYA PADA BIOTA BENTIK DI PERAIRAN DELTA BERAU, KALIMANTAN TIMUR

GEOKIMIA Pb, Cr, Cu DALAM SEDIMEN DAN KETERSEDIAANNYA PADA BIOTA BENTIK DI PERAIRAN DELTA BERAU, KALIMANTAN TIMUR GEOKIMIA Pb, Cr, Cu DALAM SEDIMEN DAN KETERSEDIAANNYA PADA BIOTA BENTIK DI PERAIRAN DELTA BERAU, KALIMANTAN TIMUR Oleh: Sabam Parsaoran Situmorang C64103011 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB 2 BAHAN DAN METODA

BAB 2 BAHAN DAN METODA BAB 2 BAHAN DAN METODA 2.1 Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penentuan lokasi sampling untuk pengambilan sampel ikan adalah Purpossive Random Sampling dengan menentukan tiga stasiun pengamatan.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 20 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Oseanografi Pesisir Kalimantan Barat Parameter oseanografi sangat berperan penting dalam kajian distribusi kontaminan yang masuk ke laut karena komponen fisik

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komunitas Fitoplankton Di Pantai Balongan Hasil penelitian di perairan Pantai Balongan, diperoleh data fitoplankton selama empat kali sampling yang terdiri dari kelas Bacillariophyceae,

Lebih terperinci

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Chironomida Organisme akuatik yang seringkali mendominasi dan banyak ditemukan di lingkungan perairan adalah larva serangga air. Salah satu larva serangga air yang dapat ditemukan

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS DI PERAIRAN KRONJO, KABUPATEN TANGERANG BANTEN DEDY FRIYANTO

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS DI PERAIRAN KRONJO, KABUPATEN TANGERANG BANTEN DEDY FRIYANTO STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS DI PERAIRAN KRONJO, KABUPATEN TANGERANG BANTEN DEDY FRIYANTO SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini, data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Penyajian grafik dilakukan berdasarkan variabel konsentrasi terhadap kedalaman dan disajikan untuk

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif. Pengambilan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif. Pengambilan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif. Pengambilan data sampel yaitu dengan pengamatan atau pengambilan sampel secara langsung pada lokasi

Lebih terperinci

BAB 2 BAHAN DAN METODA

BAB 2 BAHAN DAN METODA BAB 2 BAHAN DAN METODA 2.1 Metode Penelitian Penentuan lokasi sampling untuk pengambilan sampel ikan dilakukan dengan Metode Purpossive Random Sampling pada tiga stasiun penelitian. Di masing-masing stasiun

Lebih terperinci

Gambar 2. Peta lokasi pengamatan.

Gambar 2. Peta lokasi pengamatan. 3. METODOLOGI 3.1. Rancangan penelitian Penelitian yang dilakukan berupa percobaan lapangan dan laboratorium yang dirancang sesuai tujuan penelitian, yaitu mengkaji struktur komunitas makrozoobenthos yang

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Lokasi dan objek penelitian analisis kesesuaian perairan untuk budidaya

III. METODE PENELITIAN. Lokasi dan objek penelitian analisis kesesuaian perairan untuk budidaya III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi dan objek penelitian analisis kesesuaian perairan untuk budidaya rumput laut ini berada di Teluk Cikunyinyi, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung.

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Oksigen terlarut dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme, atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan

Lebih terperinci

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 14 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Fisika Kimia Perairan dan Substrat Estuari mempunyai kondisi lingkungan yang berbeda dengan sungai dan laut. Keberadaan hewan infauna yang berhabitat di daerah estuari

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Barus, 1996). Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri dari pulau

BAB I PENDAHULUAN. (Barus, 1996). Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri dari pulau BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem perairan yang menutupi seperempat bagian dari permukaan bumi dibagi dalam dua kategori utama, yaitu ekosistem air tawar dan ekosistem air laut (Barus, 1996).

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. data sampel yaitu dengan pengamatan atau pengambilan sampel secara langsung,

BAB III METODE PENELITIAN. data sampel yaitu dengan pengamatan atau pengambilan sampel secara langsung, BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif. Pengambilan data sampel yaitu dengan pengamatan atau pengambilan sampel secara langsung, serta menentukan

Lebih terperinci

BAB 2 BAHAN DAN METODA

BAB 2 BAHAN DAN METODA BAB 2 BAHAN DAN METODA 2.1 Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 10 Maret- 20 Juli 2011 di Perairan Kuala Tanjung Kecamatan Medang Deras Kabupaten Batubara, dan laboratorium Pengelolaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. limbah dari pertanian dan industri, serta deforestasi ilegal logging (Nordhaus et al.,

I. PENDAHULUAN. limbah dari pertanian dan industri, serta deforestasi ilegal logging (Nordhaus et al., I. PENDAHULUAN Segara Anakan merupakan perairan estuaria yang terletak di pantai selatan Pulau Jawa, termasuk dalam wilayah Kabupaten Cilacap, dan memiliki mangroveestuaria terbesar di Pulau Jawa (7 o

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kawasan pesisir yang cukup luas, dan sebagian besar kawasan tersebut ditumbuhi mangrove yang lebarnya dari beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULU 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULU 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air merupakan zat yang paling banyak terdapat dalam protoplasma dan merupakan zat yang sangat esensial bagi kehidupan, karena itu dapat disebut kehidupan adalah

Lebih terperinci

KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA

KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA Umroh 1, Aries Dwi Siswanto 2, Ary Giri Dwi Kartika 2 1 Dosen Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian,Perikanan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pencemaran Perairan

II. TINJAUAN PUSTAKA Pencemaran Perairan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pencemaran Perairan Pencemaran adalah peristiwa perubahan yang terjadi terhadap sifat-sifat fisik-kimia dan biologi yang tidak dikehendaki pada udara, tanah dan air (Odum, 1971),

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KARTIKA NUGRAH PRAKITRI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITAN

3. METODOLOGI PENELITAN 3. METODOLOGI PENELITAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Pantai Sanur Desa Sanur, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Provinsi Bali (Lampiran 1). Cakupan objek penelitian

Lebih terperinci

SEBARAN MENEGAK KONSENTRASI Pb, Cu, Zn, Cd, DAN Ni DI SEDIMEN PULAU PARI BAGIAN UTARA KEPULAUAN SERIBU. Oleh : ACHMAD AULIA RACHMAN C

SEBARAN MENEGAK KONSENTRASI Pb, Cu, Zn, Cd, DAN Ni DI SEDIMEN PULAU PARI BAGIAN UTARA KEPULAUAN SERIBU. Oleh : ACHMAD AULIA RACHMAN C SEBARAN MENEGAK KONSENTRASI Pb, Cu, Zn, Cd, DAN Ni DI SEDIMEN PULAU PARI BAGIAN UTARA KEPULAUAN SERIBU Oleh : ACHMAD AULIA RACHMAN C64102057 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG

STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG Oleh: Muhammad Firly Talib C64104065 PROGRAM STUDI ILMU DAN

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kadar Oksigen Terlarut Hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut pada kolam pemeliharaan ikan nila Oreochromis sp dapat dilihat pada Gambar 2. Dari gambar

Lebih terperinci

BAB 2 BAHAN DAN METODA

BAB 2 BAHAN DAN METODA BAB 2 BAHAN DAN METODA 2.1 Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret - April 2011 di Perairan Kuala Tanjung Kecamatan Medang Deras Kabupaten Batubara, dan laboratorium Pengelolaan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia dan hidup serta tumbuh berkembang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sungai Tabir terletak di Kecamatan Tabir Kabupaten Merangin. Sungai Tabir

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sungai Tabir terletak di Kecamatan Tabir Kabupaten Merangin. Sungai Tabir BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian Sungai Tabir terletak di Kecamatan Tabir Kabupaten Merangin. Sungai Tabir memiliki lebar maksimal 20 meter dan kedalaman maksimal 10 meter.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Laut Belawan merupakan pelabuhan terbesar di bagian barat Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA. Laut Belawan merupakan pelabuhan terbesar di bagian barat Indonesia TINJAUAN PUSTAKA Laut Belawan Laut Belawan merupakan pelabuhan terbesar di bagian barat Indonesia yang berjarak ± 24 km dari kota Medan berhadapan dengan Selat Malaka yang sangat padat lalu lintas kapalnya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Air Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat di daratan, perairan lepas pantai (off shore water) dan perairan laut. Ekosistem air yang terdapat

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan Maret

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan Maret III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu Dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan Maret 2016 di Muara Sungai Nipah Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai Sumatera

Lebih terperinci

MANGROVE DAN KETERKAITANNYA DENGAN POPULASI GASTROPODA

MANGROVE DAN KETERKAITANNYA DENGAN POPULASI GASTROPODA ABSTRAK Musayyadah Tis in. TIPOLOGI MANGROVE DAN KETERKAITANNYA DENGAN POPULASI GASTROPODA Littorina neritoides (LINNE, 1758) DI KEPULAUAN TANAKEKE, KABUPATEN TAKALAR, SULAWESI SELATAN. Di bawah bimbingan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perikanan. Bagi biota air, air berfungsi sebagai media baik internal maupun

I. PENDAHULUAN. perikanan. Bagi biota air, air berfungsi sebagai media baik internal maupun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Air merupakan kebutuhan pokok dalam pengembangan industri budidaya perikanan. Bagi biota air, air berfungsi sebagai media baik internal maupun eksternal. Sebagai media

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada era industrialisasi, semakin banyak orang yang menikmati waktu

BAB I PENDAHULUAN. Pada era industrialisasi, semakin banyak orang yang menikmati waktu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada era industrialisasi, semakin banyak orang yang menikmati waktu senggangnya (leisure time), dengan melakukan aktifitas wisata (Mulyaningrum, 2005). Lebih

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk hidup baik manusia,

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk hidup baik manusia, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk hidup baik manusia, flora, fauna maupun makhluk hidup yang lain. Makhluk hidup memerlukan air tidak hanya sebagai

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI JENIS PLANKTON DI PERAIRAN MUARA BADAK, KALIMANTAN TIMUR

IDENTIFIKASI JENIS PLANKTON DI PERAIRAN MUARA BADAK, KALIMANTAN TIMUR 3 Dhani Dianthani Posted 3 May, 3 Makalah Falsafah Sains (PPs ) Program Pasca Sarjana /S3 Institut Pertanian Bogor Mei 3 Dosen: Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab) Dr Bambang Purwantara IDENTIFIKASI

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 12 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret - Juli 2011 dalam selang waktu 1 bulan sekali. Pengambilan contoh dilakukan sebanyak 5 kali (19 Maret

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diperkirakan sekitar 25% aneka spesies di dunia berada di Indonesia. Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. diperkirakan sekitar 25% aneka spesies di dunia berada di Indonesia. Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman hayati, diperkirakan sekitar 25% aneka spesies di dunia berada di Indonesia. Indonesia memiliki banyak hutan

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS PRIMER PERIFITON DI SUNGAI NABORSAHAN SUMATERA UTARA

PRODUKTIVITAS PRIMER PERIFITON DI SUNGAI NABORSAHAN SUMATERA UTARA PRODUKTIVITAS PRIMER PERIFITON DI SUNGAI NABORSAHAN SUMATERA UTARA SKRIPSI Oleh: BETZY VICTOR TELAUMBANUA 090302053 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Lebih terperinci