BAB I PENDAHULUAN. A. Problematika Birokrasi dan Tuntutan Agenda Reformasi. Penelitian ini membahas mengenai bekerjanya faktor internal dan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. A. Problematika Birokrasi dan Tuntutan Agenda Reformasi. Penelitian ini membahas mengenai bekerjanya faktor internal dan"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN "The successes of modern democratic government have to be considered the successes of government bureaucracies as well."(douglas J. Amy) A. Problematika Birokrasi dan Tuntutan Agenda Reformasi Penelitian ini membahas mengenai bekerjanya faktor internal dan eksternal dalam mekanisme pengisian jabatan struktural berbasis kompetensi di lingkungan Sekretariat Daerah Propinsi Kalimantan Tengah. Pengisian jabatan struktural di dunia birokrasi bukanlah sebuah proses yang bekerja di ruang vakum dan imun dari berbagai pengaruhinstitusional normatif, sosio-politik, sosio-kultural dan sosio-ekonomibaik yang berasal dari lingkungan internal maupun eksternal.sulit untuk dipungkiri bahwa terdapat banyak kemungkinan faktor yang berpotensi mempengaruhi terciptanya kondisi ideal birokrasi berbasis merit system, di antaranya adalah faktor legal-formal, faktor politis, faktor nepotisme, faktor primordialisme dan budaya patrimonial.menempatkan birokrasi pada wilayah steril yang sepenuhnya terbebas dari pengaruh beragam faktor tersebut boleh dikatakan mustahil. Birokrasi adalah sebuah sistem terstruktur dari bangun kekuasaan berisi aktor-aktor yang terbagi menurut area dan jenjang hirarkis. Bangun kekuasaan tersebut, puncaknya ditempati oleh aktor penguasa tunggal (executive ascendancy) yang memposisikan diri sebagai super ordinat terhadap aktor lainnya, yakni para eksekutif karir. Penguasa tunggal dengan klaim hak prerogatifnya adalah satu-satunya aktor paling berkuasa dalam menentukan nasib jabatan birokrasi para eksekutif. Penguasa tunggal ini tentunya 1

2 merupakan pribadi humanistik dengan segala motif dan kepentingan individualnya, pun ia adalah pribadi politik (homo politicus). Birokrasi secara natural memang berwajah ganda, di satu sisi ia dituntut untuk menjadi entitas netral mengatasi semua kepentingan partikular, namun pada saat yang bersamaan ia dituntut pula untuk mampu menerjemahkan visimisi dan agenda dari sang penguasa tunggal. Birokrasi adalah tempat berkumpulnya para eksekutor peraturan perundang-undangan yang notabene merupakan produk dari sebuah proses politik. Persoalan klasik birokrasi hingga saat ini adalah kebutuhan birokrasi untuk berjuang keluar dari zona stigmatisasi negatif yang dialamatkan kepadanya. Masyarakat menganggap bahwa birokrasi Indonesia pada umumnya dan birokrasi daerah khususnya masih terkungkung dalam kondisi patologis (bureau-pathology) seperti kecenderungan adanya inefisiensi, penyalahgunaan wewenang, kolusi, korupsi dan nepotisme. Bila kita menengok ke belakang dan sekedar mengambil potongan fragmentasi sejarah dengan memulai titik berangkat pengamatan dari birokrasi orde baru, maka keburukan birokrasi itu pun sudah jelas terlihat. Bagaimana tidak, birokrasi secara struktural dipakai untuk mendukung pemenangan partai politik pemerintah melalui praktek diskriminasi dan penyalahgunaan fasilitas, program maupun dana negara. Birokrasi adalah alat rejim status quo untuk melakukan kooptasi kepada masyarakat dalam rangka mempertahankan dan memperluas kekuasaan monolitik. Jati diri birokrasi sebagai lembaga publik yang netral dan adil hanyalah sekedar harapan. Sejumlah kenyataan tersebut, 2

3 sekali lagi memperlihatkan wajah buram birokrasi sebagai salah satu bagian dari sistem yang turut menghambat berkembangnya keadilan dan demokrasi. Kondisi kepegawaian yang ada di birokrasi sekarang memiliki pertalian sejarah dengan kebijakan kepegawaian di masa lalu. Proses penataan kepegawaian mulai dari rekrutmen, pembinaan, dan pensiun banyak diwarnai aroma politik. Pemerintah saat itu membutuhkan pegawai karena didorong oleh keinginan memperbanyak jumlah sehingga semakin banyak pegawai yang bisa dibina untuk mendukung kekuatan golongan politik yang berkuasa. Menurut Eko Prasojo, yang menjadi akar permasalahan buruknya kondisi birokrasi di Indonesia hingga saat ini, di samping karena adanya pengaruh perkembangan lingkungan eksternal juga disebabkan oleh persoalan sistem internal kepegawaian terkait dengan fungsi dan profesionalismenya. Persoalan itu meliputi: (a) rekrutmen pegawai, (b) penggajian dan reward, (c) pengukuran kinerja, (d) promosi jabatan, (e) pengawasan. Kegagalan pemerintah melakukan reformasi terhadap subsistem tersebut menyebabkan terjadinya kesenjangan kemampuan birokrasi dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya serta melahirkan para birokrat yang dicirikan oleh kerusakan moral. (Prasojo, 2009 : 7) Pendapat tentang adanya kerusakan moral para birokrat sebagaimana tersebut di atas, dikuatkan dengan hasil survei PERC yang berbasis di Hongkong tentang persepsi ekspatriat terhadap kinerja birokrasi publik di Indonesia. Hasil survei PERC yang diterbitkan dalam jurnal Transparency Internasional Indonesia (2010), menyatakan bahwa kondisi birokrasi Indonesia termasuk salah satu yang terburuk di kawasan Asia Pasifik. Dari 16 3

4 negara yang disurvei, Indonesia menempati peringkat terendah setelah Kamboja, dengan skor 9.27 (0: terbersih; 10: terkorup). Bahkan di antara negara ASEAN, Indonesia hampir selalu mendapatkan peringkat terkorup sejak 1997 hingga (Dwiyanto, 2011 : 309) Oleh karenanya, maka reformasi birokrasi menjadi kata kunci guna mengatasi persoalan tersebut. Ada banyak hal yang perlu disikapi oleh birokrasi terkait perubahan lingkungan eksternal dengan melaksanakan agenda pembenahan internal. Setidaknya terdapat tiga area pembenahan internal birokrasi yang diamanatkan melalui agenda reformasi birokrasi, yakni pembenahan pada aspek kelembagaan, aspek ketatalaksanaan dan aspek Sumber Daya Manusia (SDM) aparatur. Gagasan utama dalam rangka mengelola reformasi birokrasi adalah terjadinya perbaikan yang sistematis, komprehensif dan cepat atas pelayanan yang diberikan kepada publik sehingga publik merasa sangat puas terhadap apa yang telah dan sedang birokrat berikan kepada mereka. Ini berarti, harus terdapat perubahan (change) di tubuh birokrasi berkaitan dengan organisasi maupun sumber daya manusia (Masdar, 2009 : 46-47). Walaupun rencana perubahan sudah matang dan siap dengan prioritas kerja yang jelas, reformasi birokrasi tetap tidak akan berjalan dengan baik tanpa didukung oleh tersedianya SDM yang profesional dan handal. SDM Aparatur yang berkualitas, terutama di level pejabat eselon sangat diperlukan untuk memastikan bahwa mesin birokrasi bisa bekerja secara optimal dalam rangka menjalankan misi utamanya dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan pembangunan dan pelayanan terhadap masyarakat. 4

5 Ketersediaaan SDM pejabat yang kompeten dan profesional tentu tidak terlepas dari bagaimana kehandalan mekanisme rekrutmen jabatan yang diberlakukan dalam internal birokrasi untuk memastikan penempatan pegawai yang tepat pada posisi yang tepat. Penyebaran pegawai untuk memenuhi tugas dari masing-masing organisasi tidak memiliki Kejelasan. Berapa jumlah pegawai yang sebenarnya dibutuhkan oleh masing-masing unit organisasi dalam departemen pemerintah pusat dan pemerintah daerah, tidak jelas ukuran dan kriterianya. Upaya untuk melakukan penataan kembali (rightsizing) merupakan kebutuhan yang amat mendesak guna melihat seberapa jauh kepegawaian pemerintah ini bisa berperan dalam menciptakan tata kepemerintahan yang baik. (Thoha, 2005:99) Penempatan pegawai yang tepat berarti ada kesesuaian kompetensi pegawai terhadap jabatan sebagai suatu kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak-haknya dalam satuan organisasi negara (Jeddawi, 2010 : 71). Jabatan yang dimaksud adalah jabatan karir pada struktur organisasi birokrasi yang hanya dapat diduduki oleh para pegawai yang sudah berstatus PNS.Kenyataan hingga saat ini, penempatan PNS dalam jabatan struktural birokrasi, meskipun telah dijalankan menurut prosedur normatif yang dirancang seideal mungkin, namun belum sepenuhnya mampu memenuhi harapan akan ketersediaan sosok-sosok pejabat yang dapat membawa birokrasi bergerak ke luar dari zona stigmatisasi negatif. Sejalan dengan itu, dalam salah satu karya tulisannya, Cornelis Lay mengatakan bahwa : secara normatif birokrasi Indonesia didesain menurut model merit system dengan mengandaikan proses pengangkatan birokrasi 5

6 dilakukan menurut standar-standar profesional dan non politis. Akan tetapi dalam praktiknya, kriteria pengangkatan birokrat terutama pada tingkat elite birokrasi lebih dekat dengan praktek perkoncoan (patrimonialisme) dan kental dengan pertimbangan politis. (Lay, 2003 : 59). Untuk menghindari terjadinya tendensi politis terus-menerus dalam mekanisme pengisian jabatan, maka perlu adanya kajian ulang mengenai pola serta sistem rekrutmen pejabat yang ada saat ini sehingga terdapat jaminan bahwa unsur kompetensi dan prestasi kerja merupakan inti utama dari kebijakan rekrutmen tersebut sembari memastikan bahwa setiap PNS yang telah memenuhi persyaratan dan ketentuan, bisa memperoleh kesempatan sama dalam hal pengangkatan sebagai pejabat struktural di birokrasi. Gambaran riil mengenai kondisi dari mekanisme pengisian pos jabatan struktural di lingkungan sekretariat daerah propinsi Kalimantan Tengah, bisa ditelusuri dari proses yang telah dijalankan selama ini, apakah sudah memberikan ruang kondusif bagi terciptanya struktur peluang dan akses yang sama kepada setiap PNS untuk bisa diangkat dalam jabatan struktural pada level eselon tertentu. Struktur peluang dan kesamaan akses tersebut, diharapkan dapat terlahir dari suatu mekanisme seleksi yang pelaksanaannya didasarkan pada prinsip keadilan dan obyektivitas, bukan karena adanya alasan-alasan yang subyektif yang bias kepentingan (interest), seperti faktor nepotisme, primordialisme, patrimonialisme atau beragam motif politis lainnya. Sepengetahuan penulis, sebenarnya telah banyak karya tulis dan hasil penelitian sebelumnya yang mengulas seputar permasalahan pengisian jabatan 6

7 struktural di birokrasi daerah, di antaranya penelitian yang dilakukan oleh Didimus D. (2004) yang meneliti pengaruh etnisitas dalam penempatan pejabat di lingkungan pemerintah kota Kupang, temuan penelitian menyebutkan bahwa birokrasi daerah yang tidak memiliki sikap netral dengan menjadikan kesamaan etnik sebagai dasar bagi rekrutmen pegawai maupun penempatan para pejabat, merupakan pemicu terjadinya konflik lokal. Selanjutnya adalah penelitian oleh Belo (2008) yang membahas mengenai Strategi Pengembangan Sumber Daya Aparatur Pemerintah di Sekretariat Dewan Menteri Negara Republik Demokratik Timor-Leste. Hasil studinya berhasil mengungkapkan kondisi di lokus penelitian bahwa kompetensi dan profesionalisme para pejabat yang ada masih rendah, tatakelola administrasi yang buruk serta belum diterapkannya sistem manajemen data administrasi berbasis elektronik. Berikutnya penelitian yang lebih spesifik mengenai rekrutmen pejabat pernah dilakukan oleh Rustam (2011) tentang pelaksanaan prosedur pengangkatan pejabat struktural di lingkungan sekretariat daerah propinsi Sumatera Barat di tinjau dari peran instansi dan Individu terkait. Hasil penelitiannya menemukan fakta bahwa pengangkatan pejabat struktural dilaksanakan secara tertutup di setiap instansi tanpa adanya analisa jabatan yang ideal. Berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, penelitian ini difokuskan pada usaha memberikan pandangan sistematis dan menyeluruh, mengenai mekanisme pengisian jabatan struktural di birokrasi sekretariat daerah propinsi Kalimantan Tengah dan analisa terhadap bekerjanya faktor 7

8 internal dan faktor eksternal yang bersumber dari klaim hak prerogatif pejabat politik, dimana kedua faktor ini mempengaruhi hasil dan pelaksanaan mekanisme tersebut. Dengan demikian, menurut hemat kami, kajian ini memiliki signifikansi untuk diteliti lebih jauh. B. Rumusan Masalah Berdasarkan deskripsi singkat pada latar belakang di atas, kami merasa tertarik untuk meneliti lebih jauh mengenai rekrutmen jabatan tersebut dengan mengajukan pertanyaan: Bagaimana bekerjanya faktor internal dan eksternal dalam mempengaruhi mekanisme pengisian jabatan struktural di lingkungan sekretariat daerah propinsi (setdaprop) Kalimantan Tengah? C. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini, adalah : 1. Menganalisa bagaimana mekanisme pengisian jabatan struktural yang dilaksanakan di sekretariat daerah propinsi (setdaprop) Kalimantan Tengah. 2. Memetakan sejumlah faktor baik internalmaupun eksternalsekaligus menjelaskan bagaimana faktor-faktor tersebut bekerja dan potensial mempengaruhi mekanisme pengisian jabatan struktural di sekretariat daerah propinsi (setdaprop) Kalimantan Tengah. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan bermanfaat baik secara teoritis maupun praktis. 1. Manfaat Teoritis, yakni memberikan kontribusi pemikiran bagi pengembangan pengetahuan terkait implikasi nilai-nilai good governancedi 8

9 level birokrasi daerah dalam rangka mewujudkan pelayanan prima kepada publik. 2. Manfaat Praktis, yakni menjadi bahan masukan atau rekomendasi bagi pemerintah guna perbaikan sistem rekrutmen jabatan karir birokrat daerah, termasuk memperkaya perspektif sejumlah stakeholders lainnya untuk dapat ambil bagian dalam mendorong terciptanya kualitas SDM pejabat yang profesional dan kompeten. E. Kerangka Dasar Teori Penelitian ini didasarkan pada sejumlah pilihan teori yang masingmasing kedudukannya berusaha diletakan secara konsisten dalam masalah yang diteliti. Kerangka teori disusun sedemikian rupa yang memuat pokokpokok pemikiran terdahulu dari para ahli untuk menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian disoroti termasuk bagaimana membangun asumsiasumsi. (Nawawi, 1995 : 39-40). Adapun teori-teori yang dipilih sebagai landasan berfikir peneliti dalam menjelaskan dan membingkai argumen mengenai mekanisme pengisian jabatan struktural beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya, adalah sebagaimana paparan berikut ini: 1. Konsepsi Birokrasi Konsep birokrasi lahir sekitar abad 19 yang dicetuskan oleh Max Weber. Definisi birokrasi, menurut bapak birokrasi ini, a clearly defined hierarchy where office holders have very specific functions and apply universalistic rules in a spirit of formalistic impersonality (Frinces, 2008 : 32). Pengertian birokrasi sebagaimana tersebut, mengandung arti yang rasional 9

10 dimana birokrasi merupakan struktur hirarkis bagi sejumlah pejabat yang melaksanakan tugas serta fungsi khusus berdasarkan aturan-aturan formal yang bersifat impersonalitas. Dari berbagai konsep birokrasi yang banyak ditulis oleh para ahli, setidaknya terminologi birokrasi dapat dikontraskan ke dalam dua kategori: pertama, birokrasi dalam pengertian yang baik atau rasional (bureau rationality) seperti terkandung dalam pengertian Hegelian Bureaucracy dan Weberian Bureaucracy; Kedua, birokrasi dalam pengertian sebagai suatu penyakit (bureau pathology) seperti terkandung dalam pengertian Marxian Bureaucracy. Birokrasi dalam pengertian bureau rationality terungkap dari pemikiran Max Weber tentang konsep tipe ideal birokrasi. Tetapi kritikan tentang seberapa jauh peran birokrasi terhadap kehidupan politik, atau sebaliknya pengaruh politik terhadap birokrasi, kurang dikenal dalam konsep birokrasi Weberian yang hanya menekankan bagaimana seharusnya mesin birokrasi itu secara rasional dijalankan. Namun demikian, David Beetham melihatnya secara berbeda, birokrasi Weberian dalam praktek masih memiliki titik persinggungan dengan persoalan politis. (Ma arif, 2013: ) Tipe ideal birokrasi Weber sebagaimana dirangkum oleh Martin Albrow, memiliki empat ciri utama, yaitu: (1) adanya suatu struktur hirarki, termasuk pendelegasian wewenang dari atas ke bawah dalam organisasi, (2) adanya serangkaian posisi-posisi jabatan, dimana masing-masing memiliki tugas dan tanggungjawab yang tegas, (3) adanya aturan-aturan, regulasiregulasi, serta standar-standar formal yang mengatur tata kerja organisasi dan 10

11 tingkah laku para anggotanya, (4) adanya personel yang secara teknis memenuhi syarat dan dipekerjakan atas dasar karir, dengan promosi berdasarkan pada kualifikasi dan penampilan. (Santoso, 1997:18). Konsep Weber tentang tipe ideal birokrasi dapat ditelusuri akarnya dari pandangan filsafat Hegel yang melihat negara sebagai suatu elemen netral yang seolah-olah terpisah dari kehidupan masing-masing individu warga masyarakat. Menurut Hegel, kalau warga sebuah negara dibiarkan mengatur dirinya sendiri, maka akan terjadi kekacauan karena masing-masing warga akan memperjuangkan kepentingan subyektifnya melawan kepentingan subyektif warga lainnya (homo homini lupus). Ini adalah tesa dan antitesa yang sintesanya ditemui dalam perwujudan lembaga negara. Negara bagi Hegel merupakan penjelmaan kepentingan umum masyarakat. Kepentingan umum ini sebenarnya bukan sesuatu yang asing di luar individu tiap-tiap warga negara, melainkan juga adalah kepentingan obyektif warga itu sendiri. Dengan mengikuti kepentingan umum, berarti warga patuh pada negara, meskipun sebenarnya warga ini sedang melawan kepentingan personalnya yang subyektif. Hegel mengatakan: negara merupakan penjelmaan dari kebebasan rasional yang menyatakan dan mengenali dirinya dalam bentuk yang kongkrit dan obyektif. Dengan demikian negara merupakan sebuah lembaga yang mengatasi dan lebih sempurna dari masyarakat. Kesempurnaan dan kekuatan negara terletak di dalam kesatuan dari tujuannya yang universal daripada kepentingan khusus dari masing-masing warga. Di dalam kenyataan bahwa 11

12 para warga punya kewajiban-kewajiban terhadap negara dengan hak-hak yang mereka peroleh sebagai warga dari negara tersebut. (ibid :15) Berdasarkan uraian di atas, nampaknya Hegel beranggapan bahwa negara secara apriori melayani kepentingan umum, karena ia merupakan sintesis dari pertentangan-pertentangan individu yang subyektif dan tidak rasional. Pada tataran realitas, berbagai kebijaksanaan negara yang ada seringkali hanya menguntungkan sekelompok orang dalam masyarakat. Oleh karena itu perlu adanya struktur yang menjembatani antara the state yang merefleksikan kepentingan umum dan civil society yang terdiri dari pelbagai kepentingan khusus dalam masyarakat. Inilah inti dari konsep Hegelian Bureaucracy. Pendapat Hegel tersebut dibantah oleh Karl Marx. Bagi Marx, negara hanyalah alat dari kelas yang berkuasa yakni kalangan bangsawan di negara feodal dan kaum pemilik modal di negara kapitalis. Marx melontarkan kritik terhadap pemikiran Hegel yang dianggap abstrak dan hanya bermain dengan logika, namun kemudian ingin memaksakan kesimpulan-kesimpulan dari logika-abstrak tersebut masuk ke dalam kenyataan empiris. Marx beranggapan ada kesalahan metodologis yang dilakukan Hegel. Seharusnya ide diperoleh dan diangkat dari kenyataan empiris, bukan sebaliknya. Karena itu bagi dia, Hegel bukan melahirkan sebuah analisa tentang lembaga-lembaga tersebut. Marx berpendapat, birokrasi adalah alat bagi kaum borjuis dan kapitalis selaku kelas yang berkuasa untuk mengeksploitir kelas proletar. Birokrasi adalah parasit yang eksistensinya menempel pada kelas yang berkuasa dan dipergunakan untuk menghisap kelas proletar tadi. Karena eksistensi birokrasi 12

13 terkait dengan kelas, maka setelah terjadi revolusi sosial yang memporakporandakan kelas-kelas sosial dan terciptanya classes society, bersamaan dengan itu akan lenyaplah birokrasi. Pandangan Marx tentang birokrasi ini melahirkan model birokrasi Marxian yang memandang birokrasi sebagai bureau pathology. Birokrasi dalam pengertian bureau pathology selalu dikaitkan dengan kelambanan kerja dan beragam prosedur yang begitu berbelit-belit. Seringkali birokrasi dianggap sebagai organisasi yang kejam dengan peraturan anehaneh, sewenang-wenang dan menindas. Sejalan dengan Marx, setidaknya Laski juga mencatat bahwa birokrasi merupakan suatu sistem pemerintahan di mana kekuasaan ada pada pejabat-pejabat negara yang diselenggarakan sedemikian rupa sehingga merugikan atau membahayakan warga negara. Sementara itu Robert Michels melihat birokrasi sebagai suatu struktur yang mesti mengambil bentuk oligarki. Oleh karenanya, pandangan ini sering disebut sebagai the iron law of oligarkhi. Pengertian lainnya tentang birokrasi juga dicatat oleh Crocier dalam penelitiannya di Perancis, yakni birokrasi sebagai organisasi birokratik merupakan suatu organisasi yang tidak dapat mengoreksi tingkah lakunya dengan cara belajar dari kesalahan-kesalahannya. (op. cit :18-19) 2. Model Birokrasi Dalam terminologi ilmu politik, setidaknya dikenal empat model birokrasi yang umum ditemui dalam praktik pembangunan di beberapa negara di dunia. Model-model tersebut, yakni model Weberian, Parkinsonian, 13

14 Jacksonian, dan Orwellian. (Fatah, 1998: ) yang secara lebih rinci keempat model birokrasi tersebut sebagaimana diuraikan berikut ini: Pertama, Model Weberian digagas oleh Max Weber, seorang tokoh penting yang menjelaskan konsep birokrasi klasik. Model ini menunjuk pada birokrasi sebagai sebuah organisasi yang ber-tipe ideal, yakni : 1) adanya pembagian kerja yang jelas; 2) hierarki kewenangan yang jelas; 3) formalisasi yang tinggi; 4) bersifat tidak pribadi (impersonal); 5) pengambilan keputusan mengenai penempatan pegawai yang didasarkan atas kemampuan; 6) jejak karir bagi para pegawai; dan 7) kehidupan organisasi yang dipisahkan dengan jelas dari kehidupan pribadi. Kedua, Model Parkinsonian merupakan model birokrasi dengan memperbesar sosok kuantitatif birokrasi melalui kebijakan penambahan jumlah anggota (PNS) dan atau mengembangkan struktur organisasi birokrasi untuk meningkatkan kapabilitasnya sebagai alat pembangunan. Di satu sisi, model Parkinsonian dibutuhkan untuk mengakomodasikan perkembangan masyarakat yang semakin maju dan kebutuhan mengatasi berbagai persoalan pembangunan yang makin bertumpuk, namun di sisi lain juga dipakai sekedar alat bagi kepentingan fragmatis penguasa untuk menampung para pejabat yang dijadikan klien dalam pola hubungan patronase. Ketiga, Model Jacksonian merupakan suatu model dengan menjadikan birokrasi sebagai akumulasi kekuasaan negara yang menyingkirkan masyarakat di luar birokrasi dari ruang politik dan pemerintahan. Dalam prakteknya, model ini menggambarkan pergantian rejim penguasa akan diikuti dengan penggantian komposisi pejabat di lingkungan birokrasi yang 14

15 dipimpinnya dengan cara memasukan para pendukungnya dan menyingkirkan orang orang dari kubu lawan politiknya. Keempat, Model Orwellian ini merupakan model yang menempatkan birokrasi sebagai alat perpanjangan tangan negara dalam menjalankan kontrol terhadap masyarakat. Ruang gerak masyarakat menjadi terbatas, segenap aspek kehidupan masyarakat berada pada wilayah kontrol birokrasi. Sebagaimana fakta yang terjadi selama ini bahwa dalam berbagai masalah di banyak aspek, masyarakat harus meminta ijin kepada birokrasi. 3. Patologi Birokrasi dan Penyebabnya Penyempurnaan birokrasi dalam pemerintahan memerlukan perubahan sikap mendasar dari birokrasi itu sendiri. Sampai saat ini birokrasi mengalami apa yang disebut dengan patologi birokrasi, terutama ditunjukan dengan adanya kecenderungan mengutamakan kepentingan sendiri, mempertahankan status quo dan menghalangi adanya perubahan. Namun, di dalam praktek transformasi birokrasi itu sendiri juga tidak mudah untuk dilaksanakan. Pendekatan yang dipakai dalam pelaksanaan transformasi itu seringkali terlalu bersifat struktural, yaitu sekedar menyasar kepada penataan organisasi dan fungsi-fungsinya saja. Sebenarnya, satu hal yang tidak kalah penting adalah bagaimana pembaharuan pada sisi nilai-nilai yang membentuk manusia birokrat. Birokrasi pemerintah dibentuk untuk menjalankan peran pada penyelenggaraan tata pemerintahaan. Dalam mewujudkan fungsinya, birokrasi menghadapi hadangan dan gangguan yang berasal dari lingkungan internal maupun eksternal. Ibarat sebuah organisme hidup, birokrasi tumbuh dan 15

16 berkembang untuk menyesuaikan dengan lingkungan dan jamannya. Dalam berproses itulah, birokrasi seringkali menemui pengganggu yang berpotensi menghambat kinerjanya yaitu penyakit birokrasi, atau yang sering diistilahkan oleh para ahli sebagai patologi birokrasi. Berbagai keluhan dan kritikan mengenai kinerja birokrasi memang bukan lagi hal baru bagi kita, karena sudah ada sejak zaman dulu. Birokrasi lebih menunjukkan kondisi empirik yang sangat buruk sehingga dipersepsikan suatu penyakit (bureau patology) ketimbang citra yang baik atau rasional (bureau rationality), seperti terkandung misalnya, dalam birokrasi Weberian dan Hegelian. Citra buruk tersebut semakin diperparah dengan isu yang sering muncul ke permukaan, yang berhubungan dengan kedudukan dan kewenangan pejabat publik, yakni korupsi dalam aneka-ragam bentuknya, serta lambatnya pelayanan karena prosedur berbelit-belit atau yang lebih dikenal sebagai efek pita merah (red-tape). Keseluruhan kondisi empirik yang terjadi secara akumulatif telah meruntuhkan konsep birokrasi Hegelian dan Weberian yang memfungsikan birokasi untuk mengkoordinasikan unsur-unsur dalam proses pemerintahan secara ideal. Apabila ditelusuri lebih jauh, bisa dipahami bahwa gejala patologi dalam birokrasi bersumber dari masalah-masalah pokok, diantaranya: Pertama, persepsi gaya manajerial para pejabat di lingkungan birokrasi yang menyimpang dari prinsip-prinsip demokrasi dan mewujud dalam tindakan penyalahgunaan jabatan. Kedua, manifestasi perilaku birokrasi yang bersifat disfungsional, seperti perilaku sewenang-wenang dan diskriminatif. 16

17 Dwiyanto menyatakan bahwa patologi birokrasi atau penyakit birokrasi adalah hasil interaksi antara struktur birokrasi yang salah dan variabelvariabel lingkungan yang salah (Dwiyanto, 2011: 63). Patologi birokrasi muncul dikarenakan hubungan antar variabel pada struktur birokrasi yang terlalu berlebihan, seperti rantai hierarki panjang, spesialisasi, formalisasi dan kinerja birokrasi yang tidak linear. Menurut Peter M. Blau dan Marshal W Meyer (2000) maupun Taliziduhu Ndraha (2003), mereka menyebutkan bahwa penyebab patologi birokrasi adalah lemahnya faktor moral, gaji rendah, sistem rekrutmen dan promosi tidak baik, aturan dan mekanisme kerja belum jelas, lemahnya pengawasan dan birokrasi berpotensi politis. Sedangkan menurut JW. Schoorl (1984), patologi birokrasi disebabkan faktor kekurangan administrator yang cakap, besarnya jumlah aparat birokrasi, luasnya tugas pemerintahan, sentralisasi, besarnya kekuasaan birokrasi serta adanya anasir tradisional seperti nepotisme, primordialisme dan patrimonialisme. Berikut adalah penjelasan lebih rinci mengenai faktor politis dan anasir tradisional sebagai salah satu penyebab terjadinya patologi birokrasi yang dianggap potensial mempengaruhi mekanisme pengisian jabatan struktural di birokrasi daerah, yakni: a. Faktor Politis Birokrasi publik tidak pernah beroperasi dalam ruang hampa, melainkan selalu beroperasi dalam suatu lingkungan sosial, budaya, politik, dan pemerintahan yang kompleks (Dwiyanto, 2011 : 7). Lebih lanjut, menurut Azhari bahwa Marx mengemukakan birokrasi merupakan instrumen yang 17

18 dipergunakan oleh kelas-kelas dominan untuk melaksanakan kekuasaan dominasinya atas kelas-kelas sosial lainnya. (Azhari, 2010 : 83) Birokrasi dan politik ibarat dua sisi mata uang yang sulit untuk dipisahkan (ibid : 1). Di satu sisi birokrasi dipimpin oleh pejabat politik sebagai pemegang tampuk tertinggi kekuasaan yang selalu berganti secara periodik melalui mekanisme pemilihan umum, sementara di lain sisi, birokrasi dalam strukturnya terdapat pejabat birokrasi karir. Kondisi seperti ini rentan memunculkan hubungan emosional dan personal antara pejabat karir dengan pejabat politik dalam hal pertukaran atau transaksi politik demi kekuasaan. Alhasil, seringkali nuansa politis begitu kental terjadi dalam proses pengisian jabatan struktural di lingkup birokrasi. Keterkaitan ini dapat terlihat jelas pada saat momen pemilukada dalam perebutan jabatan politik di tingkat daerah yang melibatkan kontestasi calon incumbent. Kecenderungan untuk mempertahankan kekuasaan dengan memenangi kontestasi, mendorong calon incumbent selaku pejabat yang sedang berkuasa melirik birokrasi untuk dijadikan mesin politiknya atau tim sukses yang mendukung pemenangannya. Kesadaran penguasa akan pentingnya dukungan dari berbagai pihak merupakan sesuatu yang saling terkait (mutual interest) dengan adanya kenyataan bahwa para birokrat pemburu jabatan (job seeker) sangat menyadari bahwa skenario peraturan perundang-undangan meletakan nasib dari karir jabatan mereka berada pada genggaman pejabat politik yang memiliki kontrol terhadap sumberdaya organisasi, termasuk lingkup hegemoni atas kewenangan luas dan kuat dari pejabat politik melalui klaim hak prerogatif. Azhari menyebut fenomena ini sebagai personal executive acendency (op.cit. : viii), 18

19 yakni suatu kondisi di mana karir birokrasi hanya diatur oleh satu orang pejabat politik. b. Faktor Nepotisme Secara etimologis, istilah nepotisme berasal dari kata latin nepos yang berarti "keponakan" atau "cucu". Pengertian lengkapnya bisa merujuk pada kata nepotism dalam kamus Inggris, yang diartikan sebagai mendahulukan sanak saudara sendiri. (Echols dan Sadily Hasan, 1985 : 21 ). Dalam dunia birokrasi, nepotisme merupakan produk dari personalisasi kekuasaan oleh pejabat politik yang menganggap bahwa kewenangan yang dimilikinya bisa dipergunakan secara relatif bebas menurut kehendak diri pribadi. Pola nepotisme biasanya teridentifikasi melalui praktek perlakuan khusus, pemberian prioritas maupun fasilitas lebih berupa akses informasi penting, properti, jabatan maupun proyek oleh penguasa kepada para kerabatnya. Nepotisme merupakan tindakan subyektif penguasa yang mengabaikan aspek fairness dengan tanpa mempertimbangan kualitas dan kemampuan dari pihak penerima perlakuan khusus tersebut. Dalam sistem nepotis tidak ada istilah kesamaan peluang dan iklim kompetisi sehat. Nepotisme merupakan tindakan yang semata-mata berdasarkan pada naluri dan ikatan emosional karena alasan pertalian darah atau hubungan kekerabatan. c. Faktor Primordialisme Primordialisme adalah suatu sikap sangat cintanya terhadap sesuatu, atau dapat juga dimaknai sebagai suatu faham yang menunjukkan sikap berpegang teguh kepada karakteristik individu yang dibawanya sejak lahir, seperti agama, etnis, maupun golongan dan kebudayaan (bahasa, adat istiadat). 19

20 Faktor primordial merupakan suatu hubungan keterikatan berdasarkan pada kesamaan unsur-unsur komunal yang dimiliki secara bersama oleh sejumlah individu dalam suatu komunitas. Primordialisme tidak hanya menimbulkan pola perilaku yang sama tetapi melahirkan pula persepsi yang sama tentang masyarakat yang dicita-citakan. (Surbakti, 1992:44). Perspektif primordialisme umumnya melihat bahwa kelompokkelompok sosial dikarakteristikan oleh gambaran seperti kewilayahan, kebudayaan, bahasa, organisasi sosial dan agama yang memang disadari sebagai hal yang given dari sananya. Pendekatan ini terbukti mempunyai pengaruh terhadap gambaran sosial masyarakat. Primordialisme muncul disebabkan oleh beberapa faktor antara lain : 1) Adanya sesuatu yang dianggap istimewa oleh individu dalam suatu kelompok atau perkumpulan sosial. 2) Adanya suatu sikap untuk mempertahankan keutuhan kelompok atau kesatuan sosial terhadap ancaman dari luar. 3) Adanya nilai-nilai yang berkaitan dengan sistem keyakinan, misal agama. (Abdilah S., 2002 : 76) Clifford Geertz beranggapan bahwa primordialisme menyangkut hubungan kesetiaan komunal yang adalah percampuran faktor politis, psikologis, kultural dan demografis (Geertz, 1992 : 77). Dalam politik, menguatnya primordialisme dapat mengakibatkan munculnya tindakan diskriminasi sebagai upaya untuk membedakan golongan-golongan yang berkaitan dengan kepentingan tertentu yang dilakukan dengan sengaja. Primordialisme sekarang ini menjadi aspek penting dalam hubungan antar kelompok yang menyangkut gagasan tentang pembedaan, dikotomi antara kami dan mereka. Dikotomi ini menegaskan batas-batas komunal 20

21 yang melingkupi anggota yang terikat di dalamnya dan non anggota di luarnya. d. Faktor Patrimonialisme Salah satu budaya yang menonjol di dalam tubuh birokrasi Indonesia adalah kecenderungan pembentukan pola hubungan patronage. Hubungan ini oleh James Scott (1972) disebut sebagai hubungan patron-client. Pola hubungan dalam konteks ini terjadi antar dua individu, si patron dan si client yang bersifat resiprokal atau timbal-balik dengan saling mempertukarkan sumber daya (exchange of resources) oleh masing-masing pihak. Si Patron memiliki sumber daya berupa kekuasaan, kedudukan atau jabatan, harta kekayaan, perlindungan, perhatian dan rasa sayang. Sementara, klien memiliki sumber daya berupa tenaga, dukungan, dan loyalitas. Pola hubungan tersebut akan tetap terpelihara selama masing-masing pihak tetap memiliki sumber daya tersebut. Kalau tidak demikian, maka masing-masing pihak akan kembali mencari orang lain sebagai patron atau klien yang baru. Menarik untuk diperhatikan, bahwa tidak jarang pula pola hubungan yang bersifat clientilistic ini tumbuh dan berkembang, karena ada orang ketiga yang menjadi perantara yang disebut sebagai brooker atau middleman. (Gaffar, 2006: ) Pola hirarki yang bertemu dengan budaya paternalistik dalam birokrasi telah menumbuhkan ketergantungan kuat para pejabat karir terhadap pejabat politik sebagai atasan maupun pejabat karir lainnya dengan kedudukan eselon lebih tinggi. Ketergantungan itu kemudian mendorong mereka untuk memperlakukan atasan secara berlebihan, dengan menunjukkan loyalitas dan 21

22 pengabdian yang sangat tinggi kepada pimpinan dan mengabaikan perhatiannya kepada para pengguna layanan yang seharusnya menjadi perhatian utama. (Mulder dalam Dwiyanto, 2011: 65) Selanjutnya, ketergantungan ini lebih diperkuat dengan posisi tawar pejabat atasan selaku pemegang otoritas tunggal yang akan menentukan nasib para pejabat karir bawahannya. Menyadari akan hal yang demikian seringkali pejabat karir sedapat mungkin mencari citra baik dan simpati atasan dengan menjual loyalitas dan dedikasi guna dipertukarkan dengan peluang memperoleh kemudahan dari sang pejabat politik dalam memuluskan karir birokrasinya. Prinsif loyalitas yang dipahami secara keliru oleh aparat pelayanan turut pula memberikan implikasi pada rendahnya kemampuan melakukan tindakan diskresi. Prinsip loyalitas yang dipahami dalam konteks struktur piramidal kekuasaan birokrasi menyebabkan persepsi yang berkembang dalam birokrasi adalah loyal kepada pimpinan karena jabatannya, bukan loyalitas yang dipahami sebagai ketaatan secara institusional dan profesional atas dasar visi dan misi organisasi serta tujuan pelayanan. (Kausar, 2008 : 9) Hubungan emosional yang terbangun dari pola paternalistik yang mementingkan loyalitas, cenderung membuat pejabat politik mengabaikan sejumlah unsur obyektifitas seperti prestasi kerja, kompetensi dan profesionalisme yang seharusnya menjadi dasar pertimbangan utama penilaian kinerja dan keputusan promosi jabatan. Dengan demikian ada perbedaan karakteristik tentang konsep jabatan, dimana birokrasi paternalistik melihat 22

23 jabatan sebagai fungsi dari kepercayaan atasan, sedangkan dalam birokrasi rasional, jabatan merupakan fungsi dari kemampuan dan prestasi kerja. F. Alur Pikir Penelitian Untuk memberikan kejelasan mengenai mekanisme pengisian jabatan struktural yang akan dijadikan obyek sekaligus fokus penelitian, maka dibuat alur pikir yang mengkerangkai proses dan kerja riset di lapangan sebagaimana berikut: Skema I.1 Alur Pikir Penelitian Internal Internal Internal Internal BAPERJAKAT ( Proses Birokrasi ) GUBERNUR (Proses Politik) Tahap Pengusulan Tahap Verifikasi Tahap Rekomendasi Tahap Penetapan Pejabat Terpilih Eksternal Eksternal Eksternal Eksternal Proses rekrutmen pejabat struktural, dipengaruhi oleh sejumlah faktor, baik internal maupun eksternal yang terjadi di setiap tahapan. Secara skematik mekanisme pengisian jabatan struktural berlangsung dalam beberapa tahapan sebagai sebuah sistem normatif, meliputi: tahap pengusulan, tahap verifikasi, tahap rekomendasi dan tahap penetapan yang ditandai dengan adanya keputusan gubernur. Proses yang bekerja dalam mekanisme ini mengalir mulai dari satuan kerja/ instansi menuju institusi BAPERJAKAT sebagai tempat dimana proses birokrasi berlangsung, dan selanjutnya berakhir dalam proses 23

24 politik di tangan gubernur sebagai pejabat tertinggi yang berhak membuat penetapan final melalui penerbitan surat keputusan pengangkatan sekaligus melantik pejabat terpilih. Faktor internal merupakan seperangkat aturan normatif di dalam birokrasi yang menjadi dasar acuan pada tahap pengusulan oleh pimpinan instansionalmaupun dalam tahap verifikasi dan rekomendasi di BAPERJAKAT untuk membuat daftar nominasi para calon pejabat yang layak diusulkan pengangkatannya, sedangkan faktor eksternal adalahsejumlah faktor dari luar birokrasi yang berpotensi menyusup melalui pertimbangan personalistik gubernur dengan klaim hak prerogatifnya. Peran strategis gubernur sebagai pimpinan tertinggi eksekutif yang dianggap sangat menentukan arah perkembangan karir para PNS, sebenarnya berangkat dari perspektif klasik yang memaknai konsep jabatan lebih kepada fungsi kepercayaan atasan ketimbang hak pegawai yang bisa dituntut berdasarkan kinerja dan prestasi. Kondisi seperti ini diperparah lagi dengan fakta bahwa karir birokrasi terpusat pada pejabat politik selaku pemimpin tertinggi eksekutif. G. Definisi Konsepsional Untuk memudahkan pemahaman sekaligus memberikan kepastian arah dalam ruang lingkup studi, maka dilakukan penegasan definisi terhadap sejumlah konsep yang dipakai. Definisi konsep sesuai permasalahan yang terangkum pada pertanyaan penelitian, adalah sebagai berikut: 1. Mekanisme adalah totalitas alur kerja berisi tahapan-tahapan yang terdiri dari : tahap pengusulan, tahap verifikasi, tahap rekomendasi, dan tahap 24

25 penetapan. Keseluruhan tahapan tersebut merupakan satu rangkaian proses yang ditempuh dalam mekanisme pengisian pos jabatan struktural di birokrasi daerah yang secara ideal dirancang untuk mampu menghasilkan SDM Aparatur yang profesional dan kompeten dalam mengisi posisi jabatan struktural di birokrasi daerah. 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi mekanisme pengisian jabatan struktural di kelompokkan ke dalam kategori faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam birokrasi itu sendiri terkait sejumlah pertimbangan formal yang diatur secara normatif berdasarkan ketentuan perundang-undangan. Adapun faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari lingkungan di luar birokrasi. Faktor eksternal ini erat kaitannya dengan penggunaan klaim Hak Prerogatif yang keberadaannya meskipun tidak diatur secara resmi dan tertulis, namun dalam praktek kesehariannya tetap ikut andil dalam mempengaruhi hasil keputusan pengangkatan para PNS dalam berbagai posisi jabatan struktural di birokrasi daerah. Pertimbangan personalistik gubernur atas dasar klaim Hak Prerogatif ini selanjutnya berpotensi menjadi pintu masuk bagi sejumlah faktor eksternal, diantaranya faktor politis, nepotisme, primordialisme dan paternalisme. H. Definisi Operasional Berdasarkan definisi konsepsional yang disebutkan di atas, maka operasionalisasi terhadap konsep-konsep dalam penelitian mengenai mekanisme pengisian jabatan struktural di sekretariat daerah propinsi Kalimantan Tengah, dapat dilihat dengan menggunakan indikator-indikator: 25

26 1. Mekanisme Pengisian Jabatan Struktural Mekanisme ini diketahui dari pelaksanaan setiap tahapan dalam proses pengisian pos jabatan struktural yang berlangsung di sekretariat daerah propinsi Kalimantan Tengah mulai dari tahap pengusulan, tahap verifikasi, tahap rekomendasi dan tahap penetapan. Setiap tahapan dipaparkan masingmasing untuk memberi gambaran apa adanya mengenai proses yang berlangsung di dalamnya. 2. Faktor Inte rnal dan Eksternal yang me mpengaruhi mekanis me pengisian Jabatan Struktural a. Faktor Internal Berlandaskan pada pertimbangan legal rasional yang berlaku secara formal di internal birokrasi terkait unsur-unsur obyektif yang mewakili kemampuan personal masing-masing PNS yang akan diusulkan menjadi pejabat struktural, yakni: a.1. Unsur Kecakapan Kerja (merit system) pengalaman rotasi jabatan dan prestasi kedinasan yang pernah diraih selama ini; sertifikasi tertinggi dari diklat jabatan yang dimiliki; pendidikan tertinggi yang dimiliki; nilai rata-rata penilaian prestasi kerja dalam 2 (dua) tahun terakhir. a.2. Unsur Senioritas (seniority system) pangkat terakhir pada saat pelantikan; 26

27 masa kerja pada saat pengangkatan dibandingkan dengan para pegawai lain dalam satu unit kerja atau instansi di sekretariat daerah propinsi Kalimantan Tengah; pengalaman jabatan atau catatan mutasi yang dimiliki oleh pegawai dari satu unit ke unit kerja yang lain. Hal ini menggambarkan berapa luas lingkup tugas dan tanggung jawab yang pernah ditangani. b. Faktor Eksternal Faktor ini bertalian dengan keberadaan klaim Hak Prerogatif gubernur yang meskipun tidak dirancang secara resmi dan juga tidak tercantum secara tertulis di dalam ketentuan perundang-undangan, namun dalam realitasnya ia memiliki pengaruh terhadap pelaksanaan dan ikut menentukan hasil dari mekanisme pengisian jabatan struktural di birokrasi daerah. Faktor eksternal ini berkesempatan masuk melalui adanya personalisasi kekuasaan pejabat politik dengan klaim Hak Prerogatif yang dianggap melekat dalam jabatannya selaku pembina kepegawaian daerah. Adapun faktor informal ini berupa anasir tradisional, meliputi faktor politis, faktor nepotisme, faktor primordialisme dan faktor patrimonialisme, sebagaimana berikut ini: b.1. Faktor Politis Proses pengisian jabatan yang memiliki indikasi dan tendensi mewakili kepentingan pragmatis penguasa dan lingkarannya. 27

28 b.2. Faktor Nepotisme Ada tidaknya pejabat yang memiliki hubungan kekerabatan dengan gubernur yang saat diangkat tidak memenuhi syarat legalformal. b.3. Faktor Primordialisme Ada tidaknya pejabat struktural dengan ikatan primordialistik terhadap gubernur yang diangkat namun tidak memenuhi syarat legal-formal. b.4. Faktor Patrimonialisme Intensitas dan akses komunikasi non formal terhadap pejabat politik; Ketaatan terhadap instruksi atasan langsung dan pejabat politik mengenai suatu kebijakan yang tidak berkaitan dengan tanggung jawab jabatan. I. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Studi ini merupakan jenis penelitian kualitatif dengan metode deskriptif-analitis yakni menggunakan kata-kata tertulis (Moleong, 2013:4) untuk memberikan gambaran secara sistematik, terperinci dan menyeluruh mengenai mekanisme pengisian jabatan struktural di sekretariat daerah propinsi Kalimantan Tengah dan bekerjanya faktor internal dan eksternal yang keberadaannya potensial mempengaruhi pelaksanaan dan hasil dari mekanisme rekrutmen jabatan di birokrasi sekretariat daerah propinsi Kalimantan Tengah. 28

29 2. Fokus Penelitian Pembatasan terhadap ruang lingkup penelitian diperlukan agar pembahasan tidak terlalu meluas, sehingga penelitian ini hanya fokus pada mekanisme pengisian pos jabatan struktural yang telah dilaksanakan di lingkungan sekretariat daerah propinsi Kalimantan Tengah, sekaligus pula melihat bagaimana bekerjanya faktor-faktor, baik internal maupun eksternal dalam mempengaruhi pelaksanaan dan hasil dari mekanisme tersebut. 3. Unit Analisa Data Adalah unit darimana informasi dikumpulkan sekaligus sebagai basis untuk melakukan analisis, yaitu para pejabat eselon yang tergabung dalam tim BAPERJAKAT propinsi, termasuk jajaran birokrat yang ada di sejumlah biro/ bagian di sekretariat daerah propinsi (setdaprop) Kalimantan Tengah dan para outsider terpilih, yakni anggota LSM, wartawan, akademisi, dan pengurus partai politik yang dianggap memiliki wawasan cukup mengenai kondisi birokrasi daerah dan peta perpolitikan lokal. 4. Teknik Pengumpulan Data a. Penelitian Lapangan, dilaksanakan dengan terjun langsung ke lapangan untuk mengumpulkan data primer melalui observasi dan wawancara (interview) kepada para narasumber yang terdiri dari para pejabat terkait dan sejumlah stake-holders seperti tersebut di unit analisa data. b. Penelitian Kepustakaan, dilakukan dengan mempelajari bahan-bahan literatur fisik maupun informasi digital. Data yang dikumpulkan adalah data sekunder mencakup dokumen resmi, buku, hasil penelitian berwujud laporan, karya akademik, artikel, jurnal.(soekanto, 1998 : 12) 29

30 5. Metode Analisis Data Data penelitian diolah menggunakan metode deskriptif-analitis, dengan mendeskripsikan dan membuat analisis argumentatif terhadap data primer hasil observasi dan wawancara maupun data sekunder dari penelusuran pustaka dan dokumen relevan. Hasil analisis merupakan jawaban atas rumusan masalah, sekaligus sebagai bahan dalam menyusun kesimpulan dan saran. Gambar I. 2 Skema Analisis Data Data Hasil Observasi Data Hasil Wawancara Data Hasil Studi Pustaka Hasil Analisis Kesimpulan dan Saran J. Sistematika Bab Hasil penelitian ini disajikan secara sistematis dan terstruktur yang dituangkan ke dalam satuan bab. Secara keseluruhan terdapat total lima bab, berisikan pokok bahasan berbeda yang saling terkait sebagai suatu kesatuan gugus pemikiran. Tulisan dimulai dengan sekilas latar untuk mengantarkan kita memasuki bab-bab berikutnya. Bab kedua, memaparkan gambaran umum tentang struktur organisasi birokrasi sekretariat daerah propinsi Kalimantan Tengah beserta jalur hirarkis kewenangan dan pola koordinasi yang saling terkoneksi antar bagian. Setting 30

31 birokrasi dilihat dalam hubungannya dengan konstelasi perpolitikan lokal yang diwarnai oleh dominasi PDI-P yang berkiprah sekaligus di dua domain kekuasaan pada level daerah, baik di ranah legislatif maupun di ranah eksekutif dengan berposisi sebagai partai yang menjadi patron dari gubernur. Bab ketiga, menampilkan mekanisme pengisian pos jabatan struktural melalui empat tahapan, yakni tahap pengusulan, verifikasi, rekomendasi dan penetapan yang diselenggarakan oleh BAPERJAKAT sebagai instrumen normatif yang memberikan pertimbangan kepada pejabat politik dalam rangka menetapkan keterpilihan pejabat karir di dalam struktur birokrasi daerah. Bab keempat, mengulas tentang faktor internal dan eksternal yang potensial mempengaruhi mekanisme dan hasil rekrutmen para pejabat di lingkungan birokrasi daerah Kalimantan Tengah. Faktor internal adalah kriteria legal-rasional pada pegawai terkait kelayakan normatif untuk diangkat sebagai pejabat,. Adapun faktor eksternal meliputi pertimbangan politis, nepotisme, primordialisme dan patrimonialisme yang merupakan unsur dari lingkungan luar birokrasi yang dalam prakteknya seringkali menjadi dasar pertimbangan pejabat politik dalam membuat keputusan sehingga turut mempengaruhi hasil dari mekanisme rekrutmen tersebut. Bab kelima, merupakan bagian akhir tulisan berisi ulasan singkat mengenai intisari bahasan di tiap bab sebagai satu kesatuan penjelasan yang merupakan jawaban atas pertanyaan penelitian. Bagian ini juga menampilkan refleksi dari teori yang dipakai dalam menganalisa sejumlah fenomena dan data temuan lapangan, sekaligus beberapa ide dan saran perbaikan yang bisa dipertimbangkan untuk dijadikan wilayah garap bagi riset selanjutnya. 31

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Kalimantan Tengah, tidak bisa dilepaskan dari pengaruh faktor internal dan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Kalimantan Tengah, tidak bisa dilepaskan dari pengaruh faktor internal dan BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Mekanisme pengisian jabatan struktural di sekretariat daerah propinsi Kalimantan Tengah, tidak bisa dilepaskan dari pengaruh faktor internal dan faktor eksternal.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ketatanegaraan adalah terjadinya pergeseran paradigma dan sistem. dalam wujud Otonomi Daerah yang luas dan bertanggung jawab untuk

I. PENDAHULUAN. ketatanegaraan adalah terjadinya pergeseran paradigma dan sistem. dalam wujud Otonomi Daerah yang luas dan bertanggung jawab untuk 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dampak reformasi yang terjadi di Indonesia ditinjau dari segi politik dan ketatanegaraan adalah terjadinya pergeseran paradigma dan sistem pemerintahan yang bercorak

Lebih terperinci

Oleh : S u p a n d i, SE (Kabid Pengembangan BKD Kab. Kolaka) A. Pendahuluan

Oleh : S u p a n d i, SE (Kabid Pengembangan BKD Kab. Kolaka) A. Pendahuluan PROMOSI JABATAN MELALUI SELEKSI TERBUKA PADA JABATAN ADMINISTRATOR; TATA CARA PELAKSANAAN DAN KEMUNGKINAN PENERAPANNYA DILINGKUNGAN PEMERINTAH KAB. KOLAKA Oleh : S u p a n d i, SE (Kabid Pengembangan BKD

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Seiring dengan pesatnya perkembangan zaman dan semakin kompleksnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Seiring dengan pesatnya perkembangan zaman dan semakin kompleksnya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Seiring dengan pesatnya perkembangan zaman dan semakin kompleksnya persoalan yang dihadapi oleh negara, telah terjadi pula perkembangan penyelenggaraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Birokrasi di Indonesia mempunyai sejarah yang cukup panjang. Pada masa awal kemerdekaan ada semacam kesepakatan pendapat bahwa birokrasi merupakan sarana politik yang baik

Lebih terperinci

BAB II PEMBINAAN KARIR PEGAWAI NEGERI SIPIL DI INDONESIA. A. Pengertian Pembinaan dan Konsep Pembinaan

BAB II PEMBINAAN KARIR PEGAWAI NEGERI SIPIL DI INDONESIA. A. Pengertian Pembinaan dan Konsep Pembinaan BAB II PEMBINAAN KARIR PEGAWAI NEGERI SIPIL DI INDONESIA A. Pengertian Pembinaan dan Konsep Pembinaan Pembinaan adalah suatu proses atau pengembangan yang mencakup urutan urutan pengertian, diawali dengan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PENGANGKATAN, PEMINDAHAN, DAN PEMBERHENTIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH DALAM DAN DARI JABATAN STRUKTURAL KABUPATEN KENDAL DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BIROKRASI. Andhyka Muttaqin, S.AP, MPA

BIROKRASI. Andhyka Muttaqin, S.AP, MPA BIROKRASI Andhyka Muttaqin, S.AP, MPA Beberapa Istilah Secara etimologi, kita mengenal sbb: Biro + krasi = Meja + kekuasaan Demo + krasi = Rakyat + kekuasaan Tekno+ krasi = Cendikiawan + kekuasaan Aristo

Lebih terperinci

BUPATI PANGANDARAN PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANGANDARAN NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI PANGANDARAN PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANGANDARAN NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG BUPATI PANGANDARAN PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANGANDARAN NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG KINERJA DAN DISIPLIN PEGAWAI APARATUR SIPIL NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANGANDARAN,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada masa reformasi ini, Indonesia mengalami perubahan seperti munculnya tuntutan penyelenggaraan pemerintahan yang lebih baik. Hal itu merupakan jawaban terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat (public service. Perbaikan atau reformasi di bidang kepegawaian

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat (public service. Perbaikan atau reformasi di bidang kepegawaian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada dasarnya merupakan aparatur institusi atau abdi negara yang berfungsi untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat (public

Lebih terperinci

BAB II. dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Terselenggaranya

BAB II. dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Terselenggaranya BAB II IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 43 TAHUN 1999 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1974 TENTANG POKOK-POKOK KEPEGAWAIAN DALAM PENEMPATAN JABATAN STRUKTURAL A. Pengaturan Kepegawaian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tata kelola kepemerintahan yang baik (Good Governance) merupakan issue

BAB I PENDAHULUAN. Tata kelola kepemerintahan yang baik (Good Governance) merupakan issue BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Tata kelola kepemerintahan yang baik (Good Governance) merupakan issue yang menonjol dalam pengelolaan administrasi publik saat ini. Tuntutan gencar yang

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Strategi Implementasi..., Baragina Widyaningrum, Program Pascasarjana, 2008

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Strategi Implementasi..., Baragina Widyaningrum, Program Pascasarjana, 2008 1 1. PENDAHULUAN Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian secara akademis dan praktis, batasan penelitian serta model operasional

Lebih terperinci

PEMBENAHAN KINERJA APARATUR PEMERINTAH

PEMBENAHAN KINERJA APARATUR PEMERINTAH PEMBENAHAN KINERJA APARATUR PEMERINTAH Oleh Wayan Gede Suacana Sampai dengan saat ini persoalan kompleks partikularisme dan maladministrasi masih membelit birokrasi kita, tidak terkecuali aparatur pemerintah

Lebih terperinci

Kebutuhan Pelayanan Publik

Kebutuhan Pelayanan Publik BAB I Pendahuluan Bagian pendahuluan merupakan uraian yang mengantarkan pembaca untuk memahami apa yang dibicarakan dalam buku ini. Uraian terbagi dalam tiga subbab, yakni kebutuhan perbaikan pelayanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penting untuk dilakukan karena pengelolaan pegawai di instusi pemerintahan akan

BAB I PENDAHULUAN. penting untuk dilakukan karena pengelolaan pegawai di instusi pemerintahan akan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengelolaan pegawai di Pemerintah Kabupaten Humbang Hasundutan dianggap penting untuk dilakukan karena pengelolaan pegawai di instusi pemerintahan akan menentukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tata kelola yang baik (good governance) adalah suatu sistem manajemen pemerintah yang dapat merespon aspirasi masyarakat sekaligus meningkatkan kepercayaan kepada pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai dampak pada berbagai hal. Salah satu dampak perubahan itu adalah

BAB I PENDAHULUAN. berbagai dampak pada berbagai hal. Salah satu dampak perubahan itu adalah BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Masalah Perubahan lingkungan yang dinamis dalam era globalisasi membawa berbagai dampak pada berbagai hal. Salah satu dampak perubahan itu adalah dalam ranah pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan kelangsungan hidup organisasi. Apabila manusia yang ada

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan kelangsungan hidup organisasi. Apabila manusia yang ada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumber daya manusia dibutuhkan tenaga dan pikirannya untuk mempertahankan kelangsungan hidup organisasi. Apabila manusia yang ada dan bekerja di dalam organisasi

Lebih terperinci

ISU ADMINISTRASI PERKANTORAN. Oleh : MAYA MUTIA, SE, MM Analis Kepegawaian Pertama Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur

ISU ADMINISTRASI PERKANTORAN. Oleh : MAYA MUTIA, SE, MM Analis Kepegawaian Pertama Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur ISU ADMINISTRASI PERKANTORAN Oleh : MAYA MUTIA, SE, MM Analis Kepegawaian Pertama Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur PEMERINTAH ADALAH PELAYAN MASYARAKAT SETUJUKAH ANDA?? Kantor Pemerintah Kantor Pemerintah

Lebih terperinci

Prayudi POSISI BIROKRASI DALAM PERSAINGAN POLITIK PEMILUKADA

Prayudi POSISI BIROKRASI DALAM PERSAINGAN POLITIK PEMILUKADA Prayudi POSISI BIROKRASI DALAM PERSAINGAN POLITIK PEMILUKADA Diterbitkan oleh: P3DI Setjen DPR Republik Indonesia dan Azza Grafika 2013 Judul: Posisi Birokrasi dalam Persaingan Politik Pemilukada Perpustakaan

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. Mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa serta pelayanan

BAB I PENGANTAR. Mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa serta pelayanan BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa serta pelayanan publik yang baik, efisien, efektif dan berkualitas menuntut kehadiran sumber daya manusia (SDM) aparatur

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan. Bab pendahuluan ini menjelaskan pemikiran peneliti terkait pertanyaan

BAB I. Pendahuluan. Bab pendahuluan ini menjelaskan pemikiran peneliti terkait pertanyaan BAB I Pendahuluan Bab pendahuluan ini menjelaskan pemikiran peneliti terkait pertanyaan mengapa penelitian ini dilakukan. Bab ini berisi latar belakang, rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Nurul Ramadhani Makarao, 2013

BAB I PENDAHULUAN Nurul Ramadhani Makarao, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dalam kehidupan sehari-hari di kalangan karyawan sering muncul beragam pertanyaan yang terkait dengan masa depan mereka, khususnya tentang karier. Pertanyaan

Lebih terperinci

EVALUASI KURIKULUM DIKLAT BERBASIS KOMPETENSI DALAM MENINGKATKAN SOFT COMPETENCY PELAKSANA KEMENTERIAN KEUANGAN:

EVALUASI KURIKULUM DIKLAT BERBASIS KOMPETENSI DALAM MENINGKATKAN SOFT COMPETENCY PELAKSANA KEMENTERIAN KEUANGAN: 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Birokrasi pemerintahan memiliki tiga fungsi utama, yaitu fungsi pelayanan, fungsi pembangunan, dan fungsi pemerintahan umum (Lembaga Administrasi Negara, 2007).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lainnya sehingga harus benar-benar dapat digunakan secara efektif dan efisien

BAB I PENDAHULUAN. lainnya sehingga harus benar-benar dapat digunakan secara efektif dan efisien BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pegawai Negeri Sipil adalah sumber daya manusia yang dimiliki oleh organisasi pemerintah yang digunakan untuk menggerakkan atau mengelola sumber daya lainnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di era globalisasi sekarang ini, mewujudkan pemerintahan yang baik (good

BAB I PENDAHULUAN. Di era globalisasi sekarang ini, mewujudkan pemerintahan yang baik (good BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Di era globalisasi sekarang ini, mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance) menjadi suatu hal yang tidak dapat ditawar lagi keberadaannya dan mutlak terpenuhi.

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. Dominasi politik Dinasti Mustohfa di Desa Puput telah dirintis sejak lama

BAB VI PENUTUP. Dominasi politik Dinasti Mustohfa di Desa Puput telah dirintis sejak lama BAB VI PENUTUP 1. KESIMPULAN Dominasi politik Dinasti Mustohfa di Desa Puput telah dirintis sejak lama di tahun-tahun awal Orde Baru. Walaupun struktur politik nasional maupun lokal mengalami perubahan

Lebih terperinci

BAB V. Kesimpulan. A. Pengantar. B. Karakter Patronase di Alun-Alun Kidul Yogyakarta

BAB V. Kesimpulan. A. Pengantar. B. Karakter Patronase di Alun-Alun Kidul Yogyakarta BAB V Kesimpulan A. Pengantar Bab V merupakan bab terakhir dari seluruh narasi tulisan ini. Sebagai sebuah kesatuan tulisan yang utuh, ide pokok yang disajikan pada bab ini tidak dapat dipisahkan dari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. aspirasi dan memilih pemimpin dengan diadakannya pemilihan umum.

I. PENDAHULUAN. aspirasi dan memilih pemimpin dengan diadakannya pemilihan umum. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia merupakan suatu negara yang menganut paham demokrasi, dan sebagai salah satu syaratnya adalah adanya sarana untuk menyalurkan aspirasi dan memilih pemimpin

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Perencanaan Dan..., Widyantoro, Program Pascasarjana, Universitas Indonesia

1. PENDAHULUAN. Perencanaan Dan..., Widyantoro, Program Pascasarjana, Universitas Indonesia 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Organisasi sebagai wadah kegiatan manusia yang memiliki tujuan tertentu, secara absolut sangatlah tergantung dari kualitas pengelolaan sumber daya manusia di dalamnya.

Lebih terperinci

M A N A J E M E N A S N

M A N A J E M E N A S N ader PNS BAHAN AJAR PELATIHAN DASAR CALON PNS GOLONGAN III M A N A J E M E N A S N Oleh: Ir. DJOKO SUTRISNO, M.Si Widyaiswara Ahli Utama NIP. 19561112 198503 1 006 BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diamati dan dikaji. Otonomi acap kali menjadi bahan perbincangan baik di

BAB I PENDAHULUAN. diamati dan dikaji. Otonomi acap kali menjadi bahan perbincangan baik di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perjalanan otonomi daerah di Indonesia merupakan isu menarik untuk diamati dan dikaji. Otonomi acap kali menjadi bahan perbincangan baik di kalangan birokrat, politisi,

Lebih terperinci

MATERI INISIASI KEEMPAT: BIROKRASI ORGANISASI

MATERI INISIASI KEEMPAT: BIROKRASI ORGANISASI MATERI INISIASI KEEMPAT: BIROKRASI ORGANISASI PENDAHULUAN Model organisasi birokratis diperkenalkan pertama kali oleh Max Weber. Dia membahas peran organisasi dalam suatu masyarakat dan mencoba menjawab

Lebih terperinci

PANITIA UJIAN AKHIR SEMESTER GANJIL 2010 JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS WARMADEWA

PANITIA UJIAN AKHIR SEMESTER GANJIL 2010 JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS WARMADEWA PANITIA UJIAN AKHIR SEMESTER GANJIL 2010 JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS WARMADEWA MATA UJI : BIROKRASI INDONESIA JURUSAN/ CAWU : ILMU PEMERINTAHAN/ V HARI/

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sebagai dampak globalisasi memaksa organisasi pemerintah untuk

I. PENDAHULUAN. sebagai dampak globalisasi memaksa organisasi pemerintah untuk I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan yang terjadi dengan cepat dalam segala aspek kehidupan sebagai dampak globalisasi memaksa organisasi pemerintah untuk mempersiapkan diri dalam kehidupan global

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pilihan kebijakan dalam bingkai negara kesatuan Republik Indonesia, selalu

BAB I PENDAHULUAN. pilihan kebijakan dalam bingkai negara kesatuan Republik Indonesia, selalu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Desentralisasi dan otonomi daerah dalam sistem pemerintahan daerah sebagai pilihan kebijakan dalam bingkai negara kesatuan Republik Indonesia, selalu menarik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perubahan yang terjadi dengan cepat dalam segala aspek kehidupan. sebagai dampak globalisasi memaksa organisasi pemerintah untuk

I. PENDAHULUAN. Perubahan yang terjadi dengan cepat dalam segala aspek kehidupan. sebagai dampak globalisasi memaksa organisasi pemerintah untuk I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan yang terjadi dengan cepat dalam segala aspek kehidupan sebagai dampak globalisasi memaksa organisasi pemerintah untuk mempersiapkan diri dalam kehidupan global

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Alnis Dwipayana, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah   Alnis Dwipayana, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di Indonesia dan di Negara-negara berkembang lainnya, pemerintah memiliki peran yang sangat dominan. Peran tersebut mencakup sebagai agen pelayanan, agen perubahan,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Birokrasi pemerintahan baik di pusat maupun di daerah, memegang peranan penting dalam pembangunan bangsa Indonesia. Oleh karena itu birokrat pemerintah daerah dituntut untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Latar belakang permasalahan menguraikan alasan mengapa suatu penelitian layak untuk dilakukan. Bagian ini menjelaskan tentang permasalahan dari sisi teoritis

Lebih terperinci

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5 6 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Profil Responden Kendati pejabat imigrasi yang memiliki jabatan struktural eselon IV dan eselon III terdapat juga di Direktorat Jenderal Imigrasi, namun dalam penelitian

Lebih terperinci

BAB II VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN STRATEGIS BADAN KEPEGAWAIAN NEGARA

BAB II VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN STRATEGIS BADAN KEPEGAWAIAN NEGARA BAB II VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN STRATEGIS BADAN KEPEGAWAIAN NEGARA Keberadaan BKN secara yuridis formal termuat di dalam Undang- Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

BULETIN ORGANISASI DAN APARATUR

BULETIN ORGANISASI DAN APARATUR BULETIN ORGANISASI DAN APARATUR KENDALA-KENDALA YANG DIHADAPI PEMERINTAH PROPINSI SUMATERA BARAT DALAM MELAKSANAKAN KEBIJAKAN REFORMASI BIROKRASINYA 2013-2014 Oleh: Dr. Drs. H. Maisondra, S.H, M.H, M.Pd,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. informasi dan mengambil keputusan dengan cepat dan akurat. Kemampuan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. informasi dan mengambil keputusan dengan cepat dan akurat. Kemampuan tersebut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Era Globalisasi, yang ditandai antara lain dengan adanya percepatan arus informasi menuntut adanya sumber daya manusia yang mampu menganalisa informasi dan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Seiring dengan dimulainya era reformasi pada tahun 1998, telah memberikan harapan bagi perubahan menuju perbaikan di

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Seiring dengan dimulainya era reformasi pada tahun 1998, telah memberikan harapan bagi perubahan menuju perbaikan di PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Seiring dengan dimulainya era reformasi pada tahun 1998, telah memberikan harapan bagi perubahan menuju perbaikan di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Termasuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Organisasi merupakan kesatuan sosial yang dikoordinasikan secara sadar,

I. PENDAHULUAN. Organisasi merupakan kesatuan sosial yang dikoordinasikan secara sadar, I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Organisasi merupakan kesatuan sosial yang dikoordinasikan secara sadar, dengan sebuah batasan yang relatif dapat diindentifikasikan, bekerja secara terus menerus untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tujuan Negara sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-undang

BAB I PENDAHULUAN. tujuan Negara sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-undang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam rangka pelaksanaan cita-cita bangsa dan mewujudkan tujuan Negara sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang

BAB 1 PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak diberlakukannya Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian direvisi lagi dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2008, maka tanggung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu institusi pemerintahan yang memiliki tugas dan tanggung

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu institusi pemerintahan yang memiliki tugas dan tanggung BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kepolisian Negara Republik Indonesia atau yang biasa kita kenal POLRI merupakan salah satu institusi pemerintahan yang memiliki tugas dan tanggung jawab untuk

Lebih terperinci

Pengertian Birokrasi. Ciri-ciri Birokrasi. Aparat birokrasi

Pengertian Birokrasi. Ciri-ciri Birokrasi. Aparat birokrasi Pengertian Birokrasi Ciri-ciri Birokrasi Aparat birokrasi What is bureaucracy? Jay M. Shafrits (1997) : 1. All government s offices 2. All government s officials 3. A general invective What is bureaucracy?

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. permasalahannya berupa pola pikir pemerintah dalam struktur pemerintahan,

BAB I PENDAHULUAN. permasalahannya berupa pola pikir pemerintah dalam struktur pemerintahan, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan sejarah Indonesia, khususnya pada era Orde Baru terdapat berbagai permasalahan dalam pelaksanaan sistem pemerintahan Indonesia. Bentuk permasalahannya berupa

Lebih terperinci

LAPORAN SINGKAT PANJA RUU APARATUR SIPIL NEGARA KOMISI II DPR RI

LAPORAN SINGKAT PANJA RUU APARATUR SIPIL NEGARA KOMISI II DPR RI TERBATAS (Untuk Kalangan Sendiri) LAPORAN SINGKAT PANJA RUU APARATUR SIPIL NEGARA KOMISI II DPR RI (Bidang Pemerintahan Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kepemiluan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berwibawa (good gavernance) serta untuk mewujudkan pelayanan publik yang

BAB I PENDAHULUAN. berwibawa (good gavernance) serta untuk mewujudkan pelayanan publik yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam rangka mewujudkan sistem pemerintahan yang bersih dan berwibawa (good gavernance) serta untuk mewujudkan pelayanan publik yang baik, efisien, efektif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki posisi yang strategis dalam pembuatan kebijakan dan pelayanan publik.

BAB I PENDAHULUAN. memiliki posisi yang strategis dalam pembuatan kebijakan dan pelayanan publik. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pegawai Negeri Sipil merupakan sumber daya manusia organisasi negara memiliki posisi yang strategis dalam pembuatan kebijakan dan pelayanan publik. Meskipun

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan cita-cita

Lebih terperinci

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR \0 TAHUN 2017 TENTANG RENCANA KEBUTUHAN PEGAWAI DAN FORMASI

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR \0 TAHUN 2017 TENTANG RENCANA KEBUTUHAN PEGAWAI DAN FORMASI GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR \0 TAHUN 2017 TENTANG RENCANA KEBUTUHAN PEGAWAI DAN FORMASI APARATUR SIPIL NEGARA PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. paket kebijakan otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 tentang

BAB I PENDAHULUAN. paket kebijakan otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak awal tahun 2001 secara resmi pemerintah mengimplementasikan paket kebijakan otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akselerasi pembangununan sistem kinerja yang handal. Demikian halnya. perubahan paradigma masyarakat terhadap pemerintah, menuntur

BAB I PENDAHULUAN. akselerasi pembangununan sistem kinerja yang handal. Demikian halnya. perubahan paradigma masyarakat terhadap pemerintah, menuntur BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dinamika kehidupan masyarakat yang berubah begitu cepat di bidang politik, ekonomi, dan sosial budaya, memerlukan langkah penyesuaian dan akselerasi pembangununan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kompleksnya persoalan yang dihadapi Negara, maka terjadi pula. perkembangan di dalam penyelenggaraan pemerintahan yang ditandai

BAB I PENDAHULUAN. kompleksnya persoalan yang dihadapi Negara, maka terjadi pula. perkembangan di dalam penyelenggaraan pemerintahan yang ditandai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejalan dengan pesatnya perkembangan zaman dan semakin kompleksnya persoalan yang dihadapi Negara, maka terjadi pula perkembangan di dalam penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

RENCANA STRATEGIS (RENSTRA)

RENCANA STRATEGIS (RENSTRA) RENCANA STRATEGIS (RENSTRA) PENGADILAN AGAMA TUAL TUAL, PEBRUARI 2012 Halaman 1 dari 14 halaman Renstra PA. Tual P a g e KATA PENGANTAR Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NKRI) tahun 1945

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sumarto, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2009, hal. 1-2

BAB I PENDAHULUAN. Sumarto, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2009, hal. 1-2 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Penelitian Governance disini diartikan sebagai mekanisme, praktik, dan tata cara pemerintah dan warga mengatur sumber daya serta memecahkan masalahmasalah publik. Dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam menjalani dan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tujuan akhir dari para

BAB I PENDAHULUAN. dalam menjalani dan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tujuan akhir dari para BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pegawai Negeri Sipil (PNS) idealnya merupakan pelayan masyarakat dalam menjalani dan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tujuan akhir dari para PNS tentunya tak

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. efisien untuk mencapai tujuan tertentu didalam suatu organisasi. Dasar-dasar manajemen adalah sebagai berikut :

BAB II LANDASAN TEORI. efisien untuk mencapai tujuan tertentu didalam suatu organisasi. Dasar-dasar manajemen adalah sebagai berikut : BAB II LANDASAN TEORI A. Definisi Manajemen Manajemen adalah ilmu dan seni mengatur proses pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber-sumber lainnya secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan tertentu

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KARIR PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM JABATAN STRUKTURAL DI DINAS SOSIAL PROVINSI JAWA TIMUR SKRIPSI

PENGEMBANGAN KARIR PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM JABATAN STRUKTURAL DI DINAS SOSIAL PROVINSI JAWA TIMUR SKRIPSI PENGEMBANGAN KARIR PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM JABATAN STRUKTURAL DI DINAS SOSIAL PROVINSI JAWA TIMUR SKRIPSI Disusun Oleh : YULI TRI RETNANINGTYAS NPM. 0641010053 YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN

Lebih terperinci

Ida Nurnida. School of Communication & Business Telkom University

Ida Nurnida. School of Communication & Business Telkom University Ida Nurnida Berasal dari kata bureaucracy (bahasa Inggris bureau + cracy), diartikan sebagai suatu organisasi yang memiliki rantai komando dengan bentuk piramida, dimana lebih banyak orang berada ditingkat

Lebih terperinci

CERITAKAN MENGENAI JURNAL (+-5 ) KAITKAN DENGAN MATERI, SEBANYAK MUNGKIN PENGKAITAN YANG BENAR ANTARA MATERI JURNAL DENGAN TEORI MAKA MENDAPAT

CERITAKAN MENGENAI JURNAL (+-5 ) KAITKAN DENGAN MATERI, SEBANYAK MUNGKIN PENGKAITAN YANG BENAR ANTARA MATERI JURNAL DENGAN TEORI MAKA MENDAPAT CERITAKAN MENGENAI JURNAL (+-5 ) KAITKAN DENGAN MATERI, SEBANYAK MUNGKIN PENGKAITAN YANG BENAR ANTARA MATERI JURNAL DENGAN TEORI MAKA MENDAPAT TAMBAHAN NILAI (+- 10 ) Birokrasi berasal dari kata bureaucracy

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pada era Reformasi Birokrasi saat ini, setiap organisasi pemerintahan dituntut untuk selalu melaksanakan semua aspek yaitu legitimasi, kewenangan, maupun aktivitas utama

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI. Setelah dilakukan analisis dan pembahasan terhadap data hasil penelitian

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI. Setelah dilakukan analisis dan pembahasan terhadap data hasil penelitian 165 BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Setelah dilakukan analisis dan pembahasan terhadap data hasil penelitian seperti yang disajikan pada Bab IV, dapat diperoleh fakta empirik

Lebih terperinci

RINGKASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA

RINGKASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA RINGKASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA A. Pendahuluan Alasan/pertimbangan penggantian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok- Pokok Kepegawaian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dudih Sutrisman, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dudih Sutrisman, 2015 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Indonesia sebagai sebuah negara berdaulat telah melalui perjalanan sejarah panjang dalam kepemimpinan nasional sejak kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat dengan mudah menyesuaikan diri dan dapat mengakomodasikan setiap

BAB I PENDAHULUAN. dapat dengan mudah menyesuaikan diri dan dapat mengakomodasikan setiap BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan organisasi perguruan tinggi dewasa ini tumbuh dan berkembang dengan sangat dinamis, sangat memerlukan sistem manajemen yang efektif artinya dapat

Lebih terperinci

BAB V MODEL KONSEPTUAL MANAJEMEN PENGEMBANGAN KUALITAS KINERJA KARYAWAN BANK JABAR. Model merupakan abstraksi visual atau konstruksi dari suatu

BAB V MODEL KONSEPTUAL MANAJEMEN PENGEMBANGAN KUALITAS KINERJA KARYAWAN BANK JABAR. Model merupakan abstraksi visual atau konstruksi dari suatu BAB V MODEL KONSEPTUAL MANAJEMEN PENGEMBANGAN KUALITAS KINERJA KARYAWAN BANK JABAR A. ASUMSI MODEL Model merupakan abstraksi visual atau konstruksi dari suatu konsep. Sebagai pendekatan, model dapat digunakan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Hingga saat ini, relasi antara Pemerintah Daerah, perusahaan dan masyarakat (state, capital, society) masih belum menunjukkan pemahaman yang sama tentang bagaimana program CSR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah memberikan perhatian yang sungguh-sungguh dalam memberantas

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah memberikan perhatian yang sungguh-sungguh dalam memberantas 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Akhir-akhir ini banyak orang membicarakan masalah krisis kepemimpinan. Konon sangat sulit mencari kader-kader pemimpin pada berbagai tingkatan. Reformasi dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kualitas suatu organisasi sangat bergantung pada mutu sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. Kualitas suatu organisasi sangat bergantung pada mutu sumber daya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kualitas suatu organisasi sangat bergantung pada mutu sumber daya manusia (SDM). Kualitas sumber daya manusia dapat menentukan kualitas organisasi dalam keberhasilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. khususnya pemerintah daerah adalah menampilkan aparatur yang profesional,

BAB I PENDAHULUAN. khususnya pemerintah daerah adalah menampilkan aparatur yang profesional, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam era globalisasi dewasa ini salah satu tantangan besar oleh pemerintah khususnya pemerintah daerah adalah menampilkan aparatur yang profesional, memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Tujuan pembangunan Indonesia adalah mewujudkan visi pembangunan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Tujuan pembangunan Indonesia adalah mewujudkan visi pembangunan 1 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tujuan pembangunan Indonesia adalah mewujudkan visi pembangunan Indonesia jangka panjang yaitu Indonesia yang maju dan mandiri, adil dan demokratis, serta

Lebih terperinci

8 KESIMPULAN DAN REFLEKSI

8 KESIMPULAN DAN REFLEKSI 8 KESIMPULAN DAN REFLEKSI 8.1 Kesimpulan 8.1.1 Transformasi dan Pola Interaksi Elite Transformasi kekuasaan pada etnis Bugis Bone dan Makassar Gowa berlangsung dalam empat fase utama; tradisional, feudalism,

Lebih terperinci

yang dianggap menguasai permasalahan yang diteliti. Dalam FGD peserta dipilih dari para pejabat politik maupun karier di lingkungan birokrasi, para

yang dianggap menguasai permasalahan yang diteliti. Dalam FGD peserta dipilih dari para pejabat politik maupun karier di lingkungan birokrasi, para Executive Summary Perdebatan tentang hubungan antara politik dan birokrasi telah mempunyai sejarah panjang dan kembali menghangat terjadinya reformasi politik pada akhir tahun 90 an yang telah merubah

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.6, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA ADMINISTRASI. Kepegawaian. Aparatur Sipil Negara. Manajemen. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5494) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil temuan lapangan, terdapat beberapa persoalan mendasar yang secara teoritis maupun praksis dapat disimpulkan sebagai jawaban dari pertanyaan penelitian.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. merupakan bentuk kelompok sedangkan budaya berararti nilai yang berlaku dalam kelompok tersebut.

PENDAHULUAN. merupakan bentuk kelompok sedangkan budaya berararti nilai yang berlaku dalam kelompok tersebut. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah saat ini merupakan ruang otonom 1 dimana terdapat tarik-menarik antara berbagai kepentingan yang ada. Undang-Undang Otonomi Daerah yang dikeluarkan oleh pemerintah

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI PASAL 3 ANGKA 11 PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 53 TAHUN 2010 TENTANG DISIPLIN PEGAWAI NEGERI SIPIL DI PEMERINTAHAN KABUPATEN KEDIRI

IMPLEMENTASI PASAL 3 ANGKA 11 PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 53 TAHUN 2010 TENTANG DISIPLIN PEGAWAI NEGERI SIPIL DI PEMERINTAHAN KABUPATEN KEDIRI IMPLEMENTASI PASAL 3 ANGKA 11 PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 53 TAHUN 2010 TENTANG DISIPLIN PEGAWAI NEGERI SIPIL DI PEMERINTAHAN KABUPATEN KEDIRI Ponirah ABSTRAK Implementasi pasal 3 angka 11 Peraturan Pemerintah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka pelaksanaan cita-cita bangsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tersebut salah satunya adalah sumber daya manusia. Tumbuh lebih baik, bahkan

BAB I PENDAHULUAN. tersebut salah satunya adalah sumber daya manusia. Tumbuh lebih baik, bahkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Persaingan dalam berbagai industri merupakan bagian yang tidak bisa dihi ndari. Banyak faktor yang mendukung tingginya persaingan di berbagai industri tersebut

Lebih terperinci

Bab 5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Bab 5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Bab 5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Women can be very effective in navigating political processes. But there is always a fear that they can become pawns and symbols, especially if quotas are used. (Sawer,

Lebih terperinci

MATERI KULIAH PENGANTAR ILMU HUKUM MATCH DAY 25 ILMU HUKUM SEBAGAI ILMU KENYATAAN (BAGIAN 1)

MATERI KULIAH PENGANTAR ILMU HUKUM MATCH DAY 25 ILMU HUKUM SEBAGAI ILMU KENYATAAN (BAGIAN 1) MATERI KULIAH PENGANTAR ILMU HUKUM MATCH DAY 25 ILMU HUKUM SEBAGAI ILMU KENYATAAN (BAGIAN 1) A. SOSIOLOGI HUKUM 1. Pemahaman Dasar Sosiologi Hukum Sosiologi hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang

Lebih terperinci

SOSIOLOGI PENDIDIKAN

SOSIOLOGI PENDIDIKAN SOSIOLOGI PENDIDIKAN PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF STRUKTURAL KONFLIK TOKOH PEMIKIR ANTARA LAIN: 1. KARL MARX (1818-1883) 5. JURGEN HABERMAS 2. HEGEL 6. ANTONIO GRAMSCI 3. MAX HORKHEIMER (1895-1973) 7. HERBERT

Lebih terperinci

ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KOMPETENSI SDM APARATUR KEMENTERIAN PAN DAN

ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KOMPETENSI SDM APARATUR KEMENTERIAN PAN DAN ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KOMPETENSI SDM APARATUR KEMENTERIAN PAN DAN RB @2017 PENDAHULUAN BAGAIMANA TRANSFORMASI BIROKRASI INDONESIA? 2025 2018 2013 Dynamics bureaucracy Vision and Performance based

Lebih terperinci

Pasal I. Pasal 1. Pasal 2. Ketentuan mengenai anggota Tentara Nasional Indonesia, diatur dengan undangundang.

Pasal I. Pasal 1. Pasal 2. Ketentuan mengenai anggota Tentara Nasional Indonesia, diatur dengan undangundang. PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 1999 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1974 TENTANG POKOK-POKOK KEPEGAWAIAN UMUM 1. Kelancaran penyelenggaraan tugas pemerintahan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Pada Bab Penutup ini melihat kesimpulan dari data yang diperoleh di

BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Pada Bab Penutup ini melihat kesimpulan dari data yang diperoleh di Studi Kasus: Kontestasi Andi Pada Pilkada Kabupaten Pinrang 1 BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Pada Bab Penutup ini melihat kesimpulan dari data yang diperoleh di lapangan yang menyajikan interpretasi saya

Lebih terperinci

LAPORAN HASIL PENELITIAN

LAPORAN HASIL PENELITIAN LAPORAN HASIL PENELITIAN PEMETAAN PERSEPSI ATAS PENYELENGGARAAN SOSIALISASI KEPEMILUAN, PARTISIPASI DAN PERILAKU PEMILIH DI KABUPATEN BANGLI Kerjasama Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bangli dan Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea ke-4 dijelaskan. bahwa tujuan nasional Indonesia diwujudkan melalui pelaksanaan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea ke-4 dijelaskan. bahwa tujuan nasional Indonesia diwujudkan melalui pelaksanaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea ke-4 dijelaskan bahwa tujuan nasional Indonesia diwujudkan melalui pelaksanaan penyelenggaraan negara yang berkedaulatan

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN MANAJEMEN PEGAWAI PEMERINTAH DENGAN PERJANJIAN KERJA

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN MANAJEMEN PEGAWAI PEMERINTAH DENGAN PERJANJIAN KERJA FINAL HARMONISASI RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN MANAJEMEN PEGAWAI PEMERINTAH DENGAN PERJANJIAN KERJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

ANALISIS SISTEM PENGISIAN JABATAN STRUKTURAL PADA PEMERINTAH DAERAH PROVINSI RIAU. Ishak, M.Y. Tiyas Tinov, Hasanuddin, Baskoro Wicaksono ABSTRAK

ANALISIS SISTEM PENGISIAN JABATAN STRUKTURAL PADA PEMERINTAH DAERAH PROVINSI RIAU. Ishak, M.Y. Tiyas Tinov, Hasanuddin, Baskoro Wicaksono ABSTRAK ANALISIS SISTEM PENGISIAN JABATAN STRUKTURAL PADA PEMERINTAH DAERAH PROVINSI RIAU TAHUN 2012-2013 Ishak, M.Y. Tiyas Tinov, Hasanuddin, Baskoro Wicaksono Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan

Lebih terperinci

WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 107 TAHUN 2016 TENTANG

WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 107 TAHUN 2016 TENTANG WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 107 TAHUN 2016 TENTANG TALENT POOL PEGAWAI NEGERI SIPIL DI PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PEDOMAN PENANGANAN BENTURAN KEPENTINGAN DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN AGAMA KAB. SUMBAWA

PEDOMAN PENANGANAN BENTURAN KEPENTINGAN DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN AGAMA KAB. SUMBAWA PEDOMAN PENANGANAN BENTURAN KEPENTINGAN DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN AGAMA KAB. SUMBAWA BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Salah satu faktor pendorong terjadinya tindak pidana korupsi adalah perilaku benturan

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 4 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN ANALISIS JABATAN DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN DALAM NEGERI DAN PEMERINTAH DAERAH MENTERI DALAM NEGERI,

Lebih terperinci