BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1) Tinjauan Umum tentang Penuntut Umum a. Pengertian Jaksa dan Penuntut Umum Penuntutan dalam perkara pidana dilakukan oleh jaksa yang mempunyai kewenangan untuk bertindak sebagai penuntut umum. Pasal 1 butir 6 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pengertian jaksa dan penuntut umum sebagai berikut: 1) Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undangundang untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putasan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; 2) Pada Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia ditentukan bahwa jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang. Sedangkan penuntut umum dijelaskan dalam Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undangundang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. b. Tugas dan Wewenang Penuntut Umum Apabila Pasal 1 butir 6a Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) maka dapat disimpulkan tugas jaksa adalah: 1) Sebagai penuntut umum yaitu melakukan penuntutan, melaksanakan penetapan pengadilan; 12

2 13 2) Melaksanakan putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap. Berdasarkan ketentuan Pasal 14 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), penuntut umum mempunyai wewenang: a) Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu; b) Mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat 3 dan ayat 4 dengan memberi pentunjuk dalam rangkapenyempurnaan penyidikan dari penyidik; c) Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau merubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan kepada penyidik; d) Membuat surat dakwaan; e) Melimpahkan perkara ke pengadilan; f) Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan baik kepada terdakwa maupun kepada saksi untuk datang pada sidang yang telah ditentukan; g) Melakukan penuntutan; h) Menutup perkara demi kepentingan umum; i) Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab penuntut umum menurut ketentuan undang-udang ini; j) Melaksanakan penetapan hakim. Kewenagan penuntut umum harusn sesuai dengan undang-undang:

3 14 Pengertian tindakan lain dalam penjelasan pasal tersebut adalah meneliti identitas tersangka, barang bukti dengan memperhatikan secara tegas batas wewenang dan fungsi antara penyidik,penuntut umum dan pengadilan. 2. Tinjauan tentang Pembuktian a. Pengertian Pembuktian Pengertian pembuktian menurut Yahya Harahap adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undangundang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undangundang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan. Pembuktian juga bisa berarti suatu penegasan bahwa ketentuan tindak pidana lain yang harus dijatuhkan kepada terdakwa. Surat dakwaan penuntut umum bersifat alternatif dan dari hasil kenyataan pembuktian yang diperoleh dalam persidangan pengadilan, kesalahan yang terbukti adalah dakwaan pengganti. Berarti apa yang didakwakan pada dakwaan primair tidak sesuai dengan kenyataan pembuktian.arti dan fungsi pembuktian merupakan penegasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa, serta sekaligus membebaskan dirinya dari dakwaan yang tidak terbukti dan menghukumnya berdasar dakwaan tindak pidana yang telah terbukti (Yahya Harahap, 2006: ). Menurut Subekti pengertian membuktikan adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan (Subekti, 2007:1). Menurut Adami Chazawi pembuktian ditujukan untuk memutuskan suatu perkara pidana dan bukan semata-mata menjatuhkan pidana. Untuk menjatuhkan pidana masih diperlukan lagi syarat terbuktinya kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana. Jika setelah kegiatan pembuktian dijalankan dan berdasarkan minimal dua alat bukti yang sah majelis hakim mendapatkan keyakinan, yaitu terbukti terjadinya tindak pidana, terdakwa melakukannya dan keyakinan terdakwa bersalah. Sebaliknya, apabila tindak pidana yang didakwakan terbukti dilakukan terdakwa tetapi dalam persidangan terbukti adanya dasar atau alasan

4 15 yang meniadakan pidana baik di dalam undang-undang maupun di luar undangundang, maka tidak dibebaskan dan juga tidak dipidana melainkan dijatuhi amar putusan pelepasan dari tuntutan hukum (Adami Chazawi, 2008:31). b. Macam-Macam Alat Bukti dan Kekuatan Alat-Alat Bukti Mengenai jenis-jenis alat bukti yang boleh dipergunakan dan kekuatan pembuktian serta cara bagaimana dipergunakannya alat bukti tersebut untuk membuktikan di sidang pengadilan merupakan hal paling pokok dalam hukum pembuktian dengan sistem negatif yaitu terdakwa dapat dipersalahkan melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya apabila alat-alat bukti itu ada ditambah keyakinan hakim sendiri. Mengenai macam-macam alat bukti dimuat dalam Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sedangkan mengenai cara mempergunakan alat-alat bukti dan kekuatan pembuktian alat-alat bukti dimuat dalam Pasal Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) (Adami Chazawi,2008:36-37). Alat-alat bukti yang sah menurut Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) meliputi: 1) Keterangan Saksi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memberikan batasan pengertian keterangan saksi ialah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya (Pasal 1 angka 27 KUHAP). Suatu fakta yang didapat dari keterangan seorang saksi tidaklah cukup, dalam arti tidak bernilai pembuktian apabila tidak didukung oleh fakta yang sama atau disebut bersesuaian yang didapat dari saksi lain atau alat bukt lainnya. Pasal 185 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menentukan bahwa: keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya. Jadi nilai pembuktian keterangan saksi adalah bukan terletak dari banyaknya atau kuantitas saksi, tetapi dari kualitasnya. Artinya, isi atau fakta apa yang diterangkan satu saksi bernilai pembuktian apabila bersesuaian dengan isi dari keterangan saksi yang lain atau alat bukti lain. Berapapun banyaknya saksi

5 16 tetapi isi keterangannya berdiri sendiri tidaklah berharga. Kecuali apabila isi keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri tersebut adalah berupa fakta-fakta mengenai suatu kejadian atau keadaan yang ada hubungan yang sedemikian rupa, sehingga saling mendukung dan membenarkan, yang jika dirangkai dapat menunjukkan kebenaran atas suatu kejadian atau keadaan tertentu. Dengan demikian, dapat dirangkai menjadi satu alat bukti yang disebut dengan alat bukti petunjuk. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 185 ayat (4) Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) (Adami Chazawi, 2008:52 54). 2) Keterangan Ahli Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan (Pasal 1 angka 28 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)). Seorang ahli memberikan keterangan bukan mengenai segala hal yang dilihat, didengar dan dialaminya sendiri, tetapi mengenai hal-hal yang menjadi atau dibidang keahliannya yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa. Ketrangan ahli tidak perlu diperkuat dengan alasan sebab keahliannya atau pengetahuannya sebagaimana keterangan saksi. Apa yang diterangkan saksi adalah hal mengenai kenyataan atau fakta. Diterangkan ahli adalah suatu penghargaan dari kenyataan dan atau kesimpulan atas penghargaan itu berdasarkan keahlian seorang ahli (Wirjono Prodjodikoro, 1985:128). Kita Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) membedakan keterangan seorang ahli di persidangan sebagai alat bukti keterangan ahli (Pasal 186 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)) dan keterangan seorang ahli secara tertulis di luar sidang pengadilan sebagai alat bukti surat (Pasal 187 butir c Kitab Undang-UndangHukumAcara Pidana (KUHAP)). 3) Alat Bukti Surat Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur tentang alat bukti surat hanya dua pasal, yakni Pasal 184 dan secara khusus Pasal 187 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Menurut Pasal 187 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ada empat surat yang dapat digunakan sebagai alat bukti. Tiga surat harus dibuat diatas

6 17 sumpah atau dikuatkan dengan sumpah (Pasal 187 huruf a, b dan c Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana(KUHAP)), sedangkan surat yang keempat adalah surat dibawah tangan (Pasal 187 huruf d Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)). Tiga jenis surat yang dibuat diatas sumpah atau dikuatkan dengan sumpah tersebut adalah: a) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat jaksa penuntut umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu; b) Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan; c) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliann mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan (Adami Chazawi, 2008:70). 4) Alat Bukti Petunjuk Alat bukti petunjuk bukanlah suatu alat bukti yang bulat dan berdiri sendiri, melainkan suatu alat bukti bentukan hakim. Hal itu tampak dari batasanya dalam ketentuan Pasal 188 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan bahwa: petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Karena alat bukti petunjuk adalah berupa pemikiran atau pendapat hakim yang dibentuk dari hubungan atau persesuaian alat bukti yang ada dan dipergunakan dalam sidang, maka sifat subyektivitas hakim lebih dominan (Adami Chazawi, 2008:72-73). Alat bukti petunjuk hanya dapat

7 18 dibentuk melalui tiga alat bukti, yaitu keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa (Pasal 188 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). 5) Keterangan Terdakwa hal yang sangat penting dalam pembuktian suatu perkara pidana, hal ini dikarenakan dari keterangan terdakwa dapat diketahui bagaimana suatu tindak pidana terjadi dan menjadi penentu putusan dari tindak pidana tersebut. a) Sering kali keterangan terdakwa tidak bersesuaian dengan isi dari alat-alat bukti lain, misalnya keterangan saksi; b) Pada diri terdakwa mwmiliki hak untuk bebas berbicara termasuk yang isinya tidak benar; c) Pengabaian oleh hakim biasanya terhadap keterangan terdakwa yang berisi penyangkalan terhadap dakwaan (Adami Chazawi,2008:87). Tidak semua keterangan terdakwa mengandung nilai pembuktian. Dari ketentuan Pasal 189 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) didapatkan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar keterangan terdakwa mengandung nilai pembuktian,yaitu: a) Keterangan terdakwa haruslah dinyatakan dimuka sidang pengadilan; b) Isi keterangan terdakwa haruslah mengenai tiga hal yaitu perbuatan yang dilakukan terdakwa, segala hal yang diketahuinya sendiri, dan kejadian yang dialaminya sendiri; c) Nilai ketarangan terdakwa hanya berlaku sebagai bukti untuk dirinya sendiri; d) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa dirinya bersalah melakukan tindak pidana, melainkan harus ditambah dengan alat bukti yang lain (Adami Chazawi, 2008:89). Mengenai barang bukti tidak diatur dalam Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) atau di dalam pasal tersendiri di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai salah satu syarat dalam pembuktian, namun dalam praktik peradilan barang bukti tersebut dapat

8 19 memberikan keterangan yang berfungsi sebagai tambahan dalam pembuktian di persidangan. Barang bukti adalah benda-benda yang dipergunakan untuk memperoleh hal-hal yang benar-benar dapat meyakinkan hakim akan kesalahan terdakwa terhadap perkara pidana yang dituduhkan (Simorangkir dkk, 2004:14). Barang bukti yang dimaksud diatur dalam Pasal 39 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tentang apa saja yang dapat dikenakan tindakan penyitaan oleh penyidik di tempat kejadian perkara yang dapat dikatakan sebagai barang bukti. Di pengadilan, barang bukti tersebut dipergunakan pada saat pemeriksaan barang bukti dan guna dilakukanya pengesahan terhadap barang bukti dilakukan dengan cara memperlihatkan langsung kepada terdakwa maupun saksi, lalu diberikan pertanyaan baik kepada terdakwa maupun saksi yang berhubungan dengan barang bukti yang dihadirkan didalam persidangan guna terang dan ditemukannya faktafakta mengenai kesalahan terdakwa atau ketidak salahan terdakwa sendiri (arisirawan.wordpress.com/.../peranan-barang-bukti dalam-pembuktian-perkarapidana-menurut-pasal-183-k-u-h-ap/..peran barbuk ps 183> diakses pada tgl pukul 20.00). Kekuatan alat bukti atau juga di sebut sebagai efektivitas alat bukti terhadap suatu kasus sangat tergantung dari beberapa faktor. Sebut saja faktor itu adalah psikososial (kode etik, kualitas sikap penegak hukum, dan hubungan dengan warga masyarakat)dan pertisipasi masyarakat. Salah bsatu fungsi hukum baik sebagai kaidah maupun sebagai sikap tindak atau perilaku teratur adalah membimbing perilaku manusia, sehingga hal itu juga menjadi salah satu ruang lingkup studi terhadap hukum secara ilmiah. Suatu sikap tindak atau perilaku hukumk dianggap efektif, apabila sikap dan perilaku pihak lain menuju kesatu tujuan yang dikehendaki artinya apabila pihak lain itu mematuhi hukum. Tetapi kenyataannya tidak jarang orang tidak mengacu atau bahkan melanggar dengan terang-terangan, yang berarti orang itu tidak taat hukum. Diformulasikan oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 KUHAP adanya 5 (lima) alat bukti yang sah. Dibandingkan dengan hukum acara pidana terdahulu

9 20 yaitu HIR (Stb Nomor 44), ketentuan mengenai alat-alat bukti yang diatur oleh KUHAP ini mempunyai perbedaan yang prinsip dengan HIR. Susunan alat-alat bukti dalam HIR dilukiskan dalam HIR dilukiskan dalam Pasal 295 HIR. (Martimah prodjohamirdjojo, 2001 : ) adalah: a) Ketentuan saksi (kesaksian) b) Surat-surat c) Pengakuan, dan d) Tanda-tanda atau penunjukan. c. Teori atau Sistem Pembuktian Sistem atau teori pembuktian dalam hukum acara pidana menilai kekuatan pembuktian alat-alat bukti yang ada. Adapun sistem atau teori pembuktian sebagai berikut: 1) Sistem Positif menurut Undang-Undang (Positif Wettelijk) Pembuktian menurut Undang-Undang secara positif, keyakinan hakim tidak ikut ambil bagian dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim tidak ikut berperan menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan Undang-Undang (M. Yahya Harahap, 2003: 278). Sistem ini berdasarkan Undang-Undang mengatur jenis alat-alat bukti dan cara mempergunakan atau menentukan kekuatan pembuktian. Keyakinan hakim dalam hal ini tidak boleh berperan (Leden Marpaung, 2011: 26). Menurut D. Simons yang dikutip oleh Andi Hamzah (Andi Hamzah, 2008: 251): Sistem atau teori pembuktian berdasar Undang-Undang secara positif (positif wettelijk) ini berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subyektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut peraturan-peraturan pembuktian yang keras. Dianut di Eropa pada waktu berlakunya asas inkisitor (inquisitoir) dalam acara pidana. Sistem ini keyakinan hakim tidak ikut ambil bagian dalam membuktikan kesalahan terdakwa.sistem ini berpedoman pada prinsip dan pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditemukan Undang-Undang. Dengan demikan walaupun

10 21 hakim tidak yakin dengan kesalahan terdakwa tetapi perbuatannya sudah memenuhi syarat dan ketentuan pembuktian menurut Undang-Undang maka sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa. 2) Sistem Negatif menurut Undang-Undang (Negatief Wettelijk) Sistem Negatief Wettelijk ini memadukan unsur subyektif dan obyektif dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Tidak ada yang paling dominan diantara kedua unsur tersebut. Jika salah satu unsur dari keduanya tidak ada maka tidak akan cukup untuk mendukung keterbuktian suatu kesalahan terdakwa Pembuktian menerut sistem ini seorang hakim ditentukan/ dibatasi mempergunakan alat-alat bukti. Alat-alat bukti tertentu telah ditentukan Undang- Undang. Hakim tidak diperkenankan mempergunakan alat bukti lain. Cara menilai atau menggunakan alat bukti tersebut pun telah diatur oleh Undang-Undang. Hakim harus mempunyai keyakinan atas adanya kebenaran. Menurut M. Yahya Harahap, sistem pembuktian menurut Undang-Undang secara negatif merupakan teori antara sistem pembuktian menurut Undang-Undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction intime. Untuk menentukan salah tidaknya seorang terdakwa menurut sistem ini, terdapat 2 (dua) komponen, yaitu: (1) Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang. (2) Dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut Undang- Undang. Sistem ini memadukan unsur obyektif dan subyektif dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Tidak ada yang paling dominan diantara kedua unsur tersebut. Jika salah satu diantara dua unsur itu tidak ada, tidak cukup mendukung keterbuktian kesalahan terdakwa (M. Yahya Harahap, 2003: 279). Sistem pembuktian negatif ini dianut oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) yang dirumuskan dalam Pasal 183 KUHAP, yaitu Hakim tidak boleh menjatuhkan

11 22 pidana kepada orang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa yang bersalah melakukannya. Kalimat tersebut nyata bahwa pembuktian harus didasarkan kepada Undang- Undang (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana), yaitu alat bukti yang sah tersebut dalam Pasal 184 KUHAP, disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut (Andi Hamzah, 2009: 254). 3) Sistem atau Teori Pembuktian Keyakinan Hakim Berdasarkan Alasan yang Logis (Conviction Rasionee) Hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan keyakinannya,keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusive) yang berlandaskan kepada peraturanperaturan pembuktian tertentu( Andi Hamzah,2008:253). Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis hampir sama dengan teori pembuktian keyakinan melulu, akan tetapi teori ini faktor kebebasan hakim lebih di batasi dimana setiap keyakinan hakim dalam memutus suatu perkara pidana harus berdasarkan alasan alasan yang logis dalam menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa sehingga bisa mengambil suatu putusan. 4) Sistem atau Teori Pembuktian Keyakinan Hakim Melulu (Conviction In time) Teori pembuktian keyakinan hakim melulu suatu pengakuan terdakwa tidak menjamin bahwa terdakwa benar-benar melakukan perbuatan yang didakwakan.menurut Andi Hamzah Teori Conviction In Time atau disebut juga teori pembuktian menurut keyakinan hakim melulu merupakan teori yang berlawanan dengan teori pembuktian menurut Undang-Undang. Teori berdasar keyakinan hakim melulu didasarkan kepada keyakinan hati nurani hakim sehingga pemidanaan dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat-alat bukti dalam Undang-Undang (Andi Hamzah, 2008: 252).

12 23 Menurut M. Yahya Harahap, conviction intime menentukan salah tidaknya terdakwa semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim. Keyakinan hakim yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim dapat diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan dan bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan hakim dan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa (M. Yahya Harahap, 2001: 277). 3. Tinjauan tentang Dakwaan a. Pengertian Dakwaan Dakwaan merupakan dasar penting hukum acara pidana karena berdasarkan hal yang dimuat dalam surat itu, hakim akan memeriksa perkara pemeriksaan didasarkan kepada surat dakwaan (Andi Hamzah,2008:167). Pengertian tentang surat dakwaan telah dikemukakan oleh berbagai pakar di bidang ilmu hukum pidana atau hukum acara pidana. Pengertian-pengertian tersebut antara lain: 1) Harun M. Husein mengemukakan pengertian surat dakwaan adalah suatu surat yang diberi tanggal dan ditandatangani oleh jaksa penuntut umum, yang memuat uraian tentang identitas lengkap terdakwa, perumusan tindak pidana yang didakwakan yang dipadukan dengan unsur-unsur tindak pidana sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan pidana yang bersangkutan, disertai uraian tentang waktu dan tempat tindak pidana dilakukan oleh terdakwa, surat yang mana menjadi dasar dan batas ruang lingkup pemeriksaan disidang pengadilan (Harun M. Husein, 1994:43). 2) Yahya Harahap menyatakan bahwa urat dakwaan adalah surat atau akta yang memuat rumusan tindak pidana yang dari dakwaan kepada terdakwa yang disimpulkan dan ditarik hasil pemeriksaan penyidikan dan merupakan dasar serta landasan bagi hakim dalam

13 24 pemeriksaan dimuka sidang pengadilan (Yahya Harahap, 2000: ). 3) Soetomo merumuskan surat dakwaan adalah surat yang dibuat atau disiapkan oleh penuntut umum yang dilampirkan pada waktu melimpahkan berkas perkara ke pengadilan yang memuat nama dan identitas pelaku perbuatan pidana, kapan dan dimana perbuatan dilakukan serta uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai perbuatan tersebut yang didakwakan telah dilakukan oleh terdakwa yang memenuhi unsur-unsur pasal tertentu dari undang-undang yang tertentu pula yang nantinya merupakan dasar dan titik tolak pemeriksaan terdakwa di sidang pengadilan untuk dibuktikan apakah benar perbuatan yang didakwakan itu betul dilakukan dan apakah betul terdakwa adalah pelakunya yang dapat dipertanggung jawabkan untuk perbuatan tersebut (Soetomo, 1989:4). Inti persamaan dari berbagai definisi di atas adalah: a) Surat dakwaan merupakan suatu akte dan sebagai suatu akte surat dakwaan harus mencantumkan tanggal pembuatan dan tanda tangan pembuatnya; b) Bahwa setiap definisi surat dakwaan tersebut selalu mengandung elemen yang sama yaitu adanya perumusan tentang tindak pidana yang didakwakan beserta waktu dan tempat dilakukannya tindak pidana; c) Bahwa dalam merumuskan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa harus dilakukan secara cermat, jelas dan lengkap sebagaimana diisyaratkan dalam ketentuan erundang-undangan;

14 25 d) Bahwa surat dakwaan merupakan dasar pemeriksaan perkara di sidang pengadilan (Harun M. Husein, 1994:45). b. Syarat-syarat Surat Dakwaan Berdasarkan Pasal 143 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), maka surat dakwaan harus memenuhi syarat formil dan syarat materiil. 1) Syarat Formil Syarat formil diatur dalam Pasal 143 ayat (2) huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam syarat ini hendaknya surat dakwaan diberi tanggal, menyebutkan dengan lengkap identitas terdakwa yang meliputi nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa kemudian surat itu harus ditandatangani oleh penuntut umum. 2) Syarat Materiil Menurut Pasal 143 ayat (2) huruf b Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), surat dakwaan harus berisi uraian secara cermat, jelas dan lengkap tentang tindak pidana yang dilakukan dengan menyebutkan waktu dan tempat dimana tindak pidana itu dilakukan. Adapun pengertian dari cermat, jelas dan lengkap adalah sebagai berikut (Darwan Prinst, 1998: ): a) Cermat, yaitu ketelitian penuntut umum dalam membuat surat dakwaan yang didasarkan pada undang-undang yang berlaku serta menghindari hal-hal yang akan berakibat bahwa dakwaan itu menjadi batal atau dapat dibatalkan. b) Jelas, yaitu bahwa penuntut umum harus merumuskan unsur-unsur dari delik yang didakwakan sekaligus mengadukan dengan uraian perbuatan material atau fakta yang dilakukan oleh terdakwa dalam surat dakwaan. c) Lengkap, yaitu surat dakwaan harus mencakupi semua unsur yang ditentukan oleh undang-undang dengan baik dan benar.

15 26 c. Bentuk-Bentuk Surat Dakwaan Undang-undang tidak mengatur mengenai bentuk surat dakwaan. Bentuk surat dakwaan lahir dari ilmu pengetahuan hukum dan kemudian berkembang dalam praktek (Kejaksaan Agung Republik Indonesia, 1985:24). Didalam praktek dan perkembangan dewasa ini dikenal 5 (lima) bentuk surat dakwaan, yaitu: 1) Surat Dakwaan Tunggal Apabila jaksa penuntut umum berpendapat dan yakin benar bahwa perbuatan yang dilakukan terdakwa hanya merupakan satu tindak pidana saja dan hanya dicantumkan satu pasal yang dilanggar (Kejaksaan Agung Republik Indonesia, 1985:24). Contoh dakwaan tunggal misalnya hanya didakwakan tindak pidana penipuan (Pasal 378 KUHP). 2) Surat Dakwaan Alternatif Dibuat jaksa penuntut umum jika dalam surat dakwaan, didakwakan beberapa perumusan tindak pidana tetapi pada hakekatnya yang merupakan tujuan utama ialah hanya ingin membuktikan satu tindak pidana saja diantara rangkaian tindak pidana yang didakwakan. Dalam hal ini jaksa penuntut umum belum mengetahui secara pasti apakah tindak pidana yang satu atau yang lain dapat dibuktikan dan ketentuan manakah yang akan diterapkan oleh hakim. Konsekuensi pembuktiannya adalah apabila dakwaan yang dimaksudkan telah terbukti, maka dakwaan pada lapisan lainnya tidak perlu dibuktikan lagi. Jaksa penuntut umum dapat langsung membuktikan dakwaan yang dianggap terbukti, tanpa terikat oleh urutan dakwaan yang tercantum dalam surat dakwaan. Jadi disini ada faktor memilih, dakwaan yang mana yang dapat dibuktikan (Kejaksaan Agung Republik Indonesia,1985:26). Dakwaan alternatif ini digunakan penuntut umum dalam hal kualifikasi tindak pidana yang satu dengan kualifikasi tindak pidana yang lain menunjukan corak atau ciri yang sama atau hampir bersamaan dan biasanya menggunakan kata sambung atau ( >) Contoh dakwaan alternatif misalnya adalah pencurian atau penadahan. Bentuk dakwaannya, yaitu: Pertama : pencurian (Pasal 362 KUHP)

16 27 Kedua : penadahan (Pasal 480 KUHP) 3) Surat Dakwaan Subsidair Bentuk surat dakwaan yang dibuat oleh jaksa penuntut umum bilamana jaksa penuntut umum berpendapat bahwa terdakwa hanya melakukan satu tindak pidana akan tetapi ia ragu-ragu tentang tindak pidana apa yang dilakukan oleh terdakwa. Dalam dakwaan ini dirumuskan beberapa perumusan tindak pidana yang disusun sedemikian rupa dari yang paling berat sampai yang ringan. Hal ini dimaksudkan agar terdakwa tidak lepas dari pemidanaan. Konsekuensi pembuktiannya adalah pertama-tama harus diperiksa terlebih dahulu dakwaan primair dan apabila tidak terbukti baru beralih ke dakwaan sibsidair, dan demikian seterusnya. Tetapi sebaliknya apabila dakwaan primair telah terbukti, maka dakwaan subsidairnya tidak perlu dibuktikan lagi dan seterusnya (Kejaksaan Agung Republik Indonesia, 1985:25 26). Contoh dakwaan subsidair misalnya: Primair : pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP). Subsidair : pembunuhan (Pasal 338 KUHP). Lebih Subsider : penganiayaan berat yang mengakibatkan mati (Pasal 355 KUHP). 4) Surat Dakwaan Kumulatif Dibuat oleh jaksa penuntut umum bila ia berpendapat bahwa terdakwa melakukan dua atau lebih tindak pidana. Dalam surat dakwaan ini beberapa tindak pidana masing-masing berdiri sendiri artinya tidak ada hubungan antara tindak pidana yang satu terhadap yang lain dan didakwakan secara serempak. Yang penting dalam hal ini bahwa subyek pelaku tindak pidana adalah terdakwa yang sama. Konsekuensi pembuktiannya adalah masing-masing dakwaan harus dibuktikan sedangkan yang tidak terbukti secara tegas harus dituntut bebas atau lepas dari tuntutan hukum (Kejaksaan Agung Republik Indonesia, 1985:25). Jaksa penuntut umum menerapkan dua pasal sekaligus dengan menerapkan kata sambung dan ( >

17 28 diakses pada tanggal pukul 19.15) Contoh dakwaan kumulatif misalnya: Kesatu : pembunuhan (Pasal 338 KUHP). Kedua : pencurian dengan pemberatan (Pasal 363 KUHP). 5) Surat Dakwaan Kombinasi Surat dakwaan kombinasi merupakan bentuk surat dakwaan yang didalamnya mengandung bentuk dakwaan kumulatif, yang masing-masing dapat terdiri pula dari dakwaan subsidair dan atau alternatif atau dapat juga antara bentuk subsidair dengan kumulatif (Kejaksaan Agung Republik Indonesia,1985:27). Contoh dakwaan kombinasi misalnya: Kesatu Primair : pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP). Subsidair : pembunuhan biasa (Pasal 338 KUHP). Kedua Primair : sengaja membakar (Pasal 187 KUHP). Subsidair : karena kesalahannya yang mengakibatkan kebakaran (Pasal 188 KUHP). Ketiga Primair : pencurian yang didahului atau disertai dengan kekerasan (Pasal 365 KUHP). Subsidair : pencurian pada waktu malam hari yang dilakukan bersama-sama oleh dua orang atau lebih (Pasal 363 KUHP). 4. Tinjauan Umum tentang Putusan Hakim a. Kajian Umum tentang Hakim Hakim adalah organ pengadilan yang memegang kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia ( Bambang Poernomo,1988:30). Menurut ketentuan KUHAP Pasal 1 butir (8) yang dimaksud dengan pengertian hakim adalah pejabat peradilan Negara yang diberi wewenang oleh undangundang yang mengadili. Sedangkan menurut Pasal 1 butir (5) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman hakim pada Mahkamah

18 29 Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam linkungan peradilan umum,lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan Tata Usaha Negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada pada lingkungan peradilan tersebut. Menurut Pasal 19 hakim adalah pejabat Negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Undang-Undang. Dalam Pasal 5 disebutkan bahwa seorang hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela,jujur,adil,profesional, dan berpengalaman di bidang hukum. Kebebasan peradilan dan kebebasan hakim merupakan syarat mutlak bagi suatu Negara hukum. Peradilan yang bebas dapat memberikan suatu keadilan tanpa dipengarui oleh kekuatan dan kekuaaan dari pihak manapun dalam bentuk apapun. Kebebasan hakim juga mutlak diperlukan terutama untuk menjamin keobyektifan hukum dalam putusannya, kebebasan hakim bukanlah dimaksudkan adanya suatu hak-hak istimewa dari para hakim untuk daapat berbuat sebebas-bebasnya terhadap suatu perkara yang diperiksa karena hakim harus terikat dan tunduk pada hakim. b. Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Putusan yang dijatuhkan hakim terhdap suatu perkara, harus benar-benar menghayati arti amanah dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya sesuai dengan fungsi dan kewenangannya masing-masing. Hakikat pada pertimbangan yuridis hakim merupakan pembuktian unsur-unsur dari suatu tindak pidana yang dapat menunjukkan perbuatan terdakwa tersebut memenuhi dan sesuai dengan tindak pidana yang didakwakan oleh penuntut umum sehingga pertimbangan tersebut relevan terhadap amar atau diktum putusan hakim (Lilik Mulyadi, 2007:193). 1) Pertimbangan Yuridis Pertimbangan yuridis adalah pertimbangan hakim yang didasarkan oada fakta fakta yuridis yang terungkap dalam persidangan dan oleh Undang-Undang ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat didalam putusan ( Rusli Muhammad, )

19 30 Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah pertimbangan hakim yang didasarkan pada faktor-faktor yang terungkap di dalam persidangan dan oleh Undang-Undang telah ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat di dalam putusan. Pertimbangan yang bersifat yuridis ini diantaranya yaitu(repository.usu.ac.id/bitstream/ /4748/1/09e01948.pdf): a) Dakwaan Jaksa Penuntut Umum Dakwaan adalah surat atau akte yang memuat rumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa yang disimpulkan dan ditarik dari hasil pemeriksaan penyidikan, dan merupakan dasar serta landasan bagi hakim dalam pemeriksaan di muka pengadilan. Dalam menyusun sebuah surat dakwaan, hal-hal yang harus diperhatikan adalah syarat-syarat formil dan materilnya. Dakwaan berisi identitas terdakwa juga memuat uraian tindak pidana serta waktu dilakukannya tindak pidana dan memuat Pasal yang dilanggar (Pasal 143 ayat (2) KUHAP). b) Tuntutan Pidana Tuntutan pidana biasanya menyebutkan jenis-jenis dan beratnya pidana atau jenisjenis tindakan yang dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum untuk dijatuhkan oleh pengadilan kepada terdakwa, dengan menjelaskan karena telah terbukti melakukan tindak pidana yang mana, Jaksa Penuntut Umum telah mengajukan tuntutan pidana tersebut di atas. Penyusunan surat tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum disesuaikan dengan dakwaan Jaksa Penuntut Umum dengan melihat proses pembuktian dalam persidangan, yang disesuaikan pula dengan bentuk dakwaan yang digunakan oleh Jaksa Penuntut Umum sebelum sampai pada tuntutannya di dalam requisitoir itu biasanya Penuntut Umum menjelaskan satu demi satu tentang unsur-unsur tindak pidana yang ia dakwakan kepada terdakwa, dengan memberikan alasan tentang anggapannya tersebut. c) Keterangan Saksi Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang merupakan keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Keterangan saksi merupakan alat bukti seperti yang diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP huruf a. Keterangan saksi merupakan

20 31 keterangan mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar, ia lihat sendiri, dan alami sendiri, yang harus disampaikan dalam sidang pengadilan dengan mengangkat sumpah. Keterangan saksi yang disampaikan di muka sidang pengadilan yang merupakan hasil pemikiran saja atau hasil rekaan yang diperoleh dari kesaksian orang lain tidak dapat dinilai sabagai alat bukti yang sah. Kesaksian semacam ini dalam hukum acara pidana disebut dengan istilah testimonium de auditu. Kesaksian de auditu dimungkinkan dapat terjadi di persidangan. d) Keterangan Terdakwa Berdasarkan Pasal 184 ayat (1) KUHAP huruf e, keterangan terdakwa digolongkan sebagai alat bukti. Keterangan terdakwa adalah apa yang dinyatakan terdakwa di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau yang ia alami sendiri, ini diatur dalam Pasal 189 KUHAP. Keterangan terdakwa dapat meliputi keterangan yang berupa penolakan dan keterangan yang berupa pengakuan atas semua yang didakwakan kepadanya. e) Barang-barang Bukti Barang bukti adalah barang yang dipergunakan oleh terdakwa untuk melakukan suatu tindak pidana atau barang sebagai hasil dari suatu tindak pidana. Barang yang digunakan sebagai bukti yang diajukan dalam sidang pengadilan bertujuan untuk menguatkan keterangan saksi, keterangan ahli, dan keterangan terdakwa untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Adanya barang bukti yang diperlihatkan pada persidangan akan menambah keyakinan hakim dalam menilai benar tidaknya perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa dan sudah barang tentu hakim akan lebih yakin apabila barang bukti itu dikenal dan diakui oleh terdakwa maupun para saksi. 2) Pertimbangan Non Yuridis Selain pertimbangan yang bersifat yuridis, hakim dalam menjatuhkan putusan membuat pertimbangan yang bersifat non yuridis. Pertimbangan yuridis saja tidaklah cukup untuk menentukan nilai keadilan, tanpa ditopang dengan pertimbangan non yuridis yang bersifat sosiologis, psikologis, kriminologis dan filosofis.

21 32 Aspek sosiologis berguna untuk mengkaji latar belakang sosial mengapa seseorang melakukan suatu tindak pidana, aspek psikologis berguna untuk mengkaji kondisi psikologis pelaku pada saat melakukan suatu tindak pidana dan setelah menjalani pidana, sedangkan aspek kriminologi diperlukan untuk mengkaji sebab-sebab seseorang melakukan tindak pidana dan bagaimana sikap serta perilaku seseorang yang melakukan tindak pidana, dengan demikian hakim diharapkan dapat memberikan putusan yang adil sesuai dengan kebutuhan pelaku. 3) Pertimbangan Sosiologi Kehendak rakyat Indonesia dalam penegakan hukum ini tertuang dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang rumusannya: Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Sebagai upaya pemenuhan yang menjadi kehendak rakyat ini maka di keluarkan berbagai peraturan Perundang-Undangan yang salah satunya adalah Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dengan tujuan agar penegakan hukum di Indonesia dapat dipenuhi. Salah satu Pasal dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berkaitan dengan masalah ini adalah : Hakim sebagai penegak hukum,menurut Pasal 5 ayat ( 1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa Hakim wajib menggali, mengikuti,dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Penjelasan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan bahwa ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Jadi,hakim merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan rakyat sehingga dia harus turun langsung ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan,dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian,hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut

22 33,dikalangan praktisi hukum terdapat kecenderungan untuk senantiasa melihat pranata pradilan hanya sekedar sebagai pranata hukum belaka yang penuh dengan muatan normatif dan diikuti dengan sejumlah asas-asas peradilan yang sifatnya sangat ideal dan normatif. Dengan demikian penggunaan kajian moral dan kajian ilmu hukum (normatif), pengadilan cederung dibebani tanggungjawab yang sangat berat dan tidak terwujud. Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan secara sosiologis oleh hakim dalam menjatuhkan putusan adalah: (1) Memperhatikan sumber hukum tertulis dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat; (2) Memperhatikan sifat baik dan buruk dari terdakwa serta nilai-nilai yang meringankan dan hal-hal yang memberatkan terdakwa; (3) Memperhatikan ada atua tidaknya perdamaian,kesalahan, peran korban; (4) Faktor masyarakat yaitu lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; (5) Faktor kebdayaan,yaitu sebagi hasil karya cipta dn rasa yang didasarkan pada karsa manusia dalam pergaulan hidup. Penjatuhan putusan apapun bentuknya akan berpengaruh besar baik pelaku,masyarakat dan hukum itu sendiri. Oleh karna itu,semakin besar dan banyak pertimbangan haakim aka akan seakin mendekati keputusan yang rasional dan dapat diterima oleh semua pihak. Selain itu, juga harus diperhatikan sistem pembuktian yang dipakai di Indonessia yakni hakim harus berusaha untuk menetapkan hukuman yang dirasa oleh masyarakat dan oleh terdakwa sebagai suatu hukuman yang setimpal dan adil. Penyusunan surat putusan pengadilan harus didasarkan pada Pasal 50 dan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,serta surat putusan pemidanaan harus memuat persyaratan sebagai mana diatur dalam Pasal 197 KUHAP.

23 34 4) Pertimbangan yang Memberatkan dan Meringankan Seorang hakim dalam menjatuhkan putusan harus mempertimbangkan apakah terdakwa benar-benar melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya. Lalu hakim juga harus mempertimbangkan juga hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa. Dalam hal penjatuhan pidana, hakim dipengaruhi oleh banyak hal yang dapat dipakai sebagai pertimbangan untuk menjatuhkan berat ringannya pemidanaan, baik yang terdapat di dalam maupun di luar Undang- Undang, jangan sampai penentuan pidana oleh hakim itu akan berdampak buruk dalam kehidupan masyarakat pada umumnya dan hukum itu sendiri pada khususnya. Selain alat bukti yang sah, untuk menentukan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan kepada terdakwa, ada faktor lain yang harus diperhatikan oleh hakim, yaitu hal-hal yang meringankan dan hal-hal yang memberatkan. (1) Pertimbangan yang Memberatkan (a) Hal-hal yang Memberatkan Pidana dalam KUHP KUHP hanya mengatur hal-hal yang dijadikan alasan memberatkan pidana, yaitu pertama, sedang memangku suatu jabatan (Pasal 52 KUHP) dimana pemberatan karena jabatan ditentukan dalam Pasal 52 KUHP yang rumusannya sebagai berikut: bilamana seseorang pejabat karena melakukan tindakan pidana, melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya atau pada waktu melakukan tindak pidana memakai kekuasaan, kesempatan, atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya dapat ditambah sepertiganya Kedua yaitu recidive atau pengulangan dimana dalam KUHP menganut sistem Recidive Khusus artinya pemberatan pidana hanya dikenakan pada pengulangan jenis-jenis tindak pidana (kejahatan/pelanggaran) tertentu saja dan yang dilakukan dalam tenggang waktu tertentu, dan yang terakhir yaitu gabungan atau semenloop (adalah orang yang melakukan beberapa peristiwa pidana). (b) Hal-hal yang Memberatkan pada Putusan Pengadilan Dalam hal ini yang dijadikan dasar alasan memberatkan pidana yaitu meresahkan masyarakat.

24 35 (2) Hal-hal yang Meringankan Menurut KUHP alasan-alasan yang dapat meringankan pidana adalah: (a) Percobaan (Pasal 53 ayat (2 dan 3)); (b) Membantu atau medeplichgqheid (Pasal 57 ayat (1 dan 2)); (c) Belum dewasa atau minderjarigheid (Pasal 47). Selain itu hal-hal yang dapat meringankan dalam persidangan adalah sebagai berikut: (1) Sikap correct dan hormat terdakwa terhadap pengadilan, dan pengakuan terus terang sehingga memperlancar jalannya persidangan; (2) Pada kejahatannya tersebut tidak ada motif yang berhubungan dengan latar belakang publik; (3) Dalam persidangan, terdakwa telah menyatakan penyealan atas perbuatannya. c. Jenis-Jenis Putusan Hakim dalam Perkara Pidana Menurut Pasal 1 butir 11 KUHAP, yang dimaksud dengan Putusan Pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Mengenai jenis putusan hakim, ada 2 (dua) jenis putusan hakim dalam hukum pidana yang dikenal selama ini, yaitu putusan sela dan putusan akhir. a) Putusan Sela Masalah terpenting dalam peradilan pidana adalah mengenai surat dakwaan Penuntut Umum, sebab surat dakwaan merupakan dasar atau kerangka pemeriksaan terhadap terdakwa di suatu persidangan. Sebagaimana ketentuan Pasal 156 ayat (1) KUHAP dapat berupa antara lain sebagai berikut: (1) Menyatakan Keberatan (eksepsi) Diterima

25 36 Apabila keberatan (eksepsi) terdakwa atau penasihat hukum terdakwa diterima, maka pemeriksaan terhadap pokok bergantung kepada jenis eksepsi mana yang diterima oleh hakim. Jika eksepsi terdakwa yang diterima mengenai kewenangan relatif, maka perkara tersebut dikembalikan kepada Penuntut Umum untuk dilimpahkan kembali ke wilayah Pengadilan Negeri yang berwenang mengadilinya. (2) Menyatakan Keberatan (eksepsi) Tidak Dapat Diterima Apabila dalam putusan selanya hakim menyatakan bahwa keberatan dari terdakwa atau pensihat hukum terdakwa dinyatakan tidak dapat diterima atau hakim berpendapat hal tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan perkara a quo, maka dakwaan Penuntut Umum dinyatakan sah sebagaimana ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf a dan b KUHAP dan persidangan dapat dilanjutkan untuk pemeriksaan materi pokok perkara (Pasal 156 ayat (2) KUHAP). b) Putusan Akhir Setelah pemeriksaan perkara dinyatakan selesai oleh hakim, maka sampailah hakim pada tugasnya, yaitu menjatuhkan putusan, yang akan memberikan penyelesaian pada suatu perkara yang terjadi antara negara dengan warga negaranya. Putusan yang demikian biasanya disebut sebagai putusan akhir (Ahmad Rifai, 2010: 112). Menurut KUHAP ada beberapa jenis putusan akhir yang dapat dijatuhkan oleh hakim dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut: (1) Putusan Bebas (vrijspraak) Putusan yang dijatuhkan oleh hakim yang berupa pembebasan terdakwa dari suatu tindak pidana yang dituduhkan terhadapnya, apabila dalam dakwaan yang diajukan oleh Penuntut Umum terhadap terdakwa di persidangan. Putusan bebas ini dijelaskan dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP, yaitu jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan disidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas. Dakwaan tidak terbukti berarti bahwa apa yang diisyaratkan oleh Pasal 183 KUHAP tidak dipenuhi, yaitu karena:

26 37 (a) Tiadanya sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, yang disebut oleh Pasal 184 KUHAP, misalnya hanya ada satu saksi saja, tanpa diteguhkan dengan bukti lain; (b) Meskipun terdapat dua alat bukti yang sah, akan tetapi Hakim tidak mempunyai keyakinan atas kesalahan terdakwa, misalnya terdapat dua keterangan saksi, akan tetapi Hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa; (c) Jika salah satu atau lebih unsur tidak terbukti. (2) Putusan Pelepasan dari Segala Tuntutan Hukum (onslaag van allerecht vervolging) Putusan pelepasan terdakwa dari segala tuntutan dijatuhkan oleh hakim apabila dalam persidangan ternyata terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah sebagaimana dalam dakwaan Penuntut Umum, tetapi diketahui bahwa perbuatan tersebut bukan merupakan perbuatan pidana, dan oleh karena itu terhadap terdakwa akan dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 191 ayat (2) KUHAP) (Ahmad Rifai, 2010: 113). Putusan Pengadilan lepas dari segala tuntutan hukum adalah putusan yang dijatuhkan kepada terdakwa yang setelah melalui pemeriksaan ternyata menurut pendapat Pengadilan perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana. Dasar hukum jenis putusan ini terdapat dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP yang menyebutkan : Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan. (3) Putusan Pemidanaan Jenis putusan pengadilan ini adalah putusan yang membebankan suatu pidana kepada terdakwa karena perbuatan yang didakwakan terbukti secara sah dan meyakinkan bahwa terdakwa bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan itu. Apabila pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak

27 38 pidana yang didakwakan maka pengadilan menjatuhkan pidana (Pasal 193 ayat (1) KUHAP). Terdakwa telah terbukti secara sah meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam dakwaan Penuntut Umum, maka terhadap terdakwa harus dipatuhi pidana yang setimpal dengan tindak pidana yang dilakukannya. Berdasarkan Pasal 10 KUHP, pidana terdiri atas : (1) Pidana Pokok : Pidana Mati, Pidana Penjara, Pidana Kurungan, dan Denda; (2) Pidana Tambahan : Pencabutan hak-hak tertentu, Perampasan barangbarang tertentu, dan Pengumuman Putusan Pengadilan. 5. Tinjauan Tentang Tindak Pidana Penipuan Tindak Pidana Penipuan diatur dalam Pasal 378 KUHP Barang siapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya member hutang maupun menghapuskan piutang diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Sebagaimana dirumuskan Pasal 378 KUHP, penipuan berarti perbuatan dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat atau kebohongan yang dapat menyebabkan orang lain dengan mudah menyerahkan barang, uang atau kekayaannya. Unsur Subjektif Penipuan: a. Maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain b. Dengan melawan hukum Unsur Objektif Penipuan: a. Pebuatan menggerakkan (bewegen). Menggerakkan dapat didefinisikan sebagai perbuatan memperbaruhi atau menanamkan pengaruh pada orang lain. Dalam penipuan, menggerakkan

28 39 diartikan dengan cara-cara yang di dalamnya mengandung ketidak benaran palsu dan bersifat membohongi atau menipu b. Yang digerakkan adalah orang c. Tujuan perbuatan Tujuan perbuatan dalam penipuan dibagi menjadi 2 unsur, yakni: 1) Menyerahkan benda Pada penipuan benda yang diserahkan dapat terjadi terhadap benda miliknya sendiri asalkan di dalam hal ini terkandung maksud pelaku untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain. 2) Memberi hutang dan menghapuskan piutang Dalam hal ini penipuan bertujuan menghilangkan kewajiban hukum untuk menyerahkan sejumlah uang tertentu pada korban atau orang lain. 3) Upaya-upaya penipuan a) Dengan menggunakan nama palsu (valsche naam) Dibagi menjadi 2 unsur, yakni: Pertama, diartikan sebagai suatu nama bukan namanya sendiri melainkan nama orang lain. Kedua, diartikan sebagai suatu nama yangt tidak diketahui secara pasti pemiliknya atau pasti ada tidaknya orang tersebut. b) Menggunakan martabat atau kedudukan palsu (valsche hoedanigheid). Yang dimaksud dengan kedudukan palsu itu adalah suatu kedudukan yang disebut atau digunakan seseorang, kedudukan mana menciptakan atau memiliki hak tertentu, padahal sesungguhnya tidak dimilikinya. Seperti contoh seseorang mengaku seorang pewaris, yang dengan demikian menerima bagian tertentu dan boedel waris c) Menggunakan tipu muslihat (listige kunstgreoen) dan rangkaian kebohongan (zamenweenfsel van verdichtsels) Dalam hal ini keduanya memiliki cara menggerakan orang lain dan menimbulkan kesan bahwa semua itu seolah-olah bener adanya dengan merangkai kebohongan sedemikian rupa (Cepi Heru Purnama, jurnal,2013:4)

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian Pengertian dari membuktikan ialah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Dengan demikian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Tentang Dakwaan a) Pengertian Surat Dakwaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ) tidak mengatur mengenai adanya Surat Dakwaan. Surat dakwaan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 1 mengatakan bahwa kekuasaan kehakiman

II. TINJAUAN PUSTAKA. tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 1 mengatakan bahwa kekuasaan kehakiman 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertimbangan dalam Putusan Hakim Hakim diberi kebebasan untuk menjatuhkan putusan dalam setiap pengadilan perkara tindak pidana, hal tersebut sesuai dengan bunyi UU No. 48 tahun

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pembuktian Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan serta hal paling utama untuk dapat menentukan dapat atau

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Kejaksaan a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,

Lebih terperinci

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Pasal 176 Hakim dilarang menjatuhkan pidana kepada terdakwa, kecuali apabila hakim memperoleh keyakinan

Lebih terperinci

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan apa yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bahwa wewenang penghentian penuntutan ditujukan kepada

Lebih terperinci

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta Disusun Oleh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum tentang Pembuktian dan Alat Bukti a. Pengertian Pembuktian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum tentang Pembuktian dan Alat Bukti a. Pengertian Pembuktian BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum tentang Pembuktian dan Alat Bukti a. Pengertian Pembuktian Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan merupakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid),

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid), II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid), sesungguhnya tidak hanya menyangkut soal hukum semata-mata, melainkan juga menyangkut

Lebih terperinci

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords:

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords: Abstrak Penelitian hukum ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian alasan terpidana pelaku tindak pidana penipuan dalam mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali dengan dasar adanya suatu kehilafaan hakim

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti Mengenai pengembalian barang bukti juga diatur dalam Pasal 46 KUHAP. Hal ini mengandung arti bahwa barang bukti selain

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori. 1. Tinjauan Tentang Pembuktian a. Pengertian Pembuktian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori. 1. Tinjauan Tentang Pembuktian a. Pengertian Pembuktian BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Tentang Pembuktian a. Pengertian Pembuktian Pembuktian dalam hukum acara pidana merupakan titik sentral, sebab dimuka persidangan para pihak yang berperkara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Sistem Peradilan Pidana Anak Sub-sistem dalam sistem peradilan anak mempunyai kekhususan terhadap anak sebagai suatu kajian hukum yang khusus, membutuhkan

Lebih terperinci

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum tentang Pembuktian a. Pengertian Pembuktian Kata pembuktian berasal dari kata bukti artinya sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa,

Lebih terperinci

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) 1. Dany Try Hutama Hutabarat, S.H.,M.H, 2. Suriani, S.H.,M.H Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

Pemeriksaan Sebelum Persidangan

Pemeriksaan Sebelum Persidangan Pemeriksaan Sebelum Persidangan Proses dalam hukum acara pidana: 1. Opsporing (penyidikan) 2. Vervolging (penuntutan) 3. Rechtspraak (pemeriksaan pengadilan) 4. Executie (pelaksanaan putusan) 5. Pengawasan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan mempertimbangkan semua bukti-bukti yang ada.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim Dalam Proses Peradilan Pidana

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim Dalam Proses Peradilan Pidana II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tugas dan Wewenang Hakim Dalam Proses Peradilan Pidana 1. Kekuasaan Kehakiman Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

Lebih terperinci

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil. 12 A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang 1. Hukum pidana sebagai peraturan-peraturan yang bersifat abstrak merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Pernyataan tersebut secara tegas tercantum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara berkewajiban untuk menjamin adanya suasana aman dan tertib dalam bermasyarakat. Warga negara yang merasa dirinya tidak aman maka ia berhak meminta perlindungan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Setiap tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang pada dasarnya orang tersebut wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban pidana

Lebih terperinci

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk BAB II JENIS- JENIS PUTUSAN YANG DIJATUHKAN PENGADILAN TERHADAP SUATU PERKARA PIDANA Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan- badan peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi diartikan sebagai penyelenggaraan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain atau suatu korporasi.

Lebih terperinci

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 Abstrak: Nilai yang diperjuangkan oleh hukum, tidaklah semata-mata nilai kepastian hukum dan nilai kemanfaatan bagi masyarakat, tetapi juga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang bersifat tidak tertulis, merupakan pedoman bagi setiap individu tentang bagaimana selayaknya berbuat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana 1. Kekuasaan Kehakiman Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) BAB I PENDAHULAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara berdasarkan hukum. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) yang berbunyi

Lebih terperinci

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan

Lebih terperinci

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA Oleh : Sumaidi, SH.MH Abstrak Aparat penegak hukum mengalami kendala dalam proses pengumpulan alat-alat bukti yang sah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia menerima hukum sebagai

Lebih terperinci

JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA SURAT EDARAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR: SE-004/J.A/11/1993 TENTANG PEMBUATAN SURAT DAKWAAN

JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA SURAT EDARAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR: SE-004/J.A/11/1993 TENTANG PEMBUATAN SURAT DAKWAAN I. PENDAHULUAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA SURAT EDARAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR: SE-004/J.A/11/1993 TENTANG PEMBUATAN SURAT DAKWAAN Menurut hasil eksaminasi perkara terutama perkara-perkara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.Kerangka Teori 1. Tinjauan Tentang Kasasi a. Pengertian Kasasi Secara terminologi, kasasi berasal dari kata casser yang artinya memecah atau membatalkan. Kasasi dilakukan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) seperti

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) seperti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) seperti yang tercantum pada pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penyidik maupun pemeriksaan di sidang pengadilan oleh hakim. Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dalam

I. PENDAHULUAN. penyidik maupun pemeriksaan di sidang pengadilan oleh hakim. Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dalam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merupakan landasan dasar dari pelaksanaan pemeriksaan terhadap suatu perkara pidana guna mencari dan menemukan suatu kebenaran

Lebih terperinci

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan 1 Ahmad Bustomi, 2

Lebih terperinci

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA Disusun Dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Memperoleh Derajat Sarjana Hukum Dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dipidana jika tidak ada kesalahan ( Green Straf Zonder Schuld) merupakan dasar

II. TINJAUAN PUSTAKA. dipidana jika tidak ada kesalahan ( Green Straf Zonder Schuld) merupakan dasar II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pertangggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya seseorang telah melakukan tindak pidana. Asas kesalahan menyatakan dengan tegas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan pembunuhan mengalami peningkatan yang berarti dari segi kualitas dan kuantitasnya. Hal ini bisa diketahui dari banyaknya pemberitaan melalui media massa maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Suatu realita, bahwa proses sosial, ekonomi, politik dan sebagainya, tidak dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam masyarakat. Proses

Lebih terperinci

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah merupakan negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 bukan berdasarkan atas kekuasaan semata. Indonesia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Tinjauan Umum tentang Komstruksi Hukum. a. intepretasi hukum, yaitu penafsiran perkataan dalam Undang- Undang,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Tinjauan Umum tentang Komstruksi Hukum. a. intepretasi hukum, yaitu penafsiran perkataan dalam Undang- Undang, digilib.uns.ac.id BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Kerangka Teori a. Tinjauan Umum tentang Komstruksi Hukum Metode penemuan hukum oleh hakim dapat dilakukan dalam dua bentuk sebagai berikut : a. intepretasi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang terdiri dari kesengajaan (dolus atau opzet) dan kelalaian (culpa). Seperti

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang terdiri dari kesengajaan (dolus atau opzet) dan kelalaian (culpa). Seperti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bukti Permulaan yang Cukup Istilah kesalahan ( schuld) adalah pengertian hukum yang tidak sama dengan pengertian harfiah:fout. Kesalahan dalam hukum pidana berhubungan dengan pertanggungjawaban,

Lebih terperinci

TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM

TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM DISUSUN OLEH : NAMA / (NPM) : M. RAJA JUNJUNGAN S. (1141173300129) AKMAL KARSAL (1141173300134) WAHYUDIN (1141173300164) FAKULTAS :

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian a. Pengertian Pembuktian Pembuktian dalam perkara pidana (hukum acara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian a. Pengertian Pembuktian Pembuktian dalam perkara pidana (hukum acara BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian a. Pengertian Pembuktian Pembuktian dalam perkara pidana (hukum acara pidana) adalah bertujuan untuk mencari kebenaran meteriil,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Alat bukti berupa keterangan saksi sangatlah lazim digunakan dalam penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi dimaksudkan untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3)

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) Undang- Undang Dasar 1945 Perubahan Ketiga. Menurut Penjelasan Umum Undang- Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan sebuah Negara hukum, dimana setiap orang dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa penerapan peraturan dalam

Lebih terperinci

HAKIKAT DAN PROSEDUR PEMERIKSAAN TINDAK PIDANA RINGAN 1 Oleh: Alvian Solar 2

HAKIKAT DAN PROSEDUR PEMERIKSAAN TINDAK PIDANA RINGAN 1 Oleh: Alvian Solar 2 HAKIKAT DAN PROSEDUR PEMERIKSAAN TINDAK PIDANA RINGAN 1 Oleh: Alvian Solar 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana hakikat dari tindak pidana ringan dan bagaimana prosedur pemeriksaan

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. V/No. 2/Mar-Apr/2017

Lex et Societatis, Vol. V/No. 2/Mar-Apr/2017 PROSES PENANGANAN TINDAK PIDANA RINGAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh: Raymond Lontokan 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui apa bentuk-bentuk perbuatan

Lebih terperinci

Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana tidak memberikan. penjelasan mengenai pengertian pembuktian, KUHAP hanya memuat jenis-jenis

Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana tidak memberikan. penjelasan mengenai pengertian pembuktian, KUHAP hanya memuat jenis-jenis BAB II KETENTUAN HUKUM TERHADAP PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DALAM PERSIDANGAN A. Tinjauan Umum Pembuktian Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana tidak memberikan penjelasan mengenai pengertian pembuktian,

Lebih terperinci

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN SEBAGAI PEMBERI KETERANGAN AHLI DAN SAKSI DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN SEBAGAI PEMBERI KETERANGAN AHLI DAN SAKSI DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI BADAN PEMERIKSA KEUANGAN SEBAGAI PEMBERI KETERANGAN AHLI DAN SAKSI DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI Sumber gambar http://timbul-lawfirm.com/yang-bisa-jadi-saksi-ahli-di-pengadilan/ I. PENDAHULUAN Kehadiran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung

I. PENDAHULUAN. Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung pengakuan terhadap harkat dan martabat manusia didalam menemukan kemerdekaan, keadilan dan perdamaian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Pengertian Penuntut Umum Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, membedakan pengertian istilah antara Jaksa dan Penuntut Umum. Menurut ketentuan Bab

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA A. Undang Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Undang - undang ini memberikan pengaturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap

BAB I PENDAHULUAN. suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hakim adalah aparat penegak hukum yang paling dominan dalam melaksanakan penegakan hukum. Hakimlah yang pada akhirnya menentukan putusan terhadap suatu perkara disandarkan

Lebih terperinci

PEMERIKSAAN DALAM SIDANG PENGADILAN. Welin Kusuma

PEMERIKSAAN DALAM SIDANG PENGADILAN. Welin Kusuma PEMERIKSAAN DALAM SIDANG PENGADILAN Welin Kusuma ST, SE, SSos, SH, SS, SAP, MT, MKn, RFP-I, CPBD, CPPM, CFP, Aff.WM, BKP http://peradi-sby.blogspot.com http://welinkusuma.wordpress.com/advokat/ V.1 Macam-Macam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA 2.1. Pengertian Berita Acara Pemeriksaaan (BAP) Dan Terdakwa Sebelum masuk pada pengertian

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN ALAT BUKTI DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA

BAB II PENGATURAN ALAT BUKTI DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 12 BAB II PENGATURAN ALAT BUKTI DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 2.1. Pengaturan Alat Bukti Dalam KUHAP Alat bukti merupakan satu hal yang mutlak adanya dalam suatu persidangan. Macam-macam

Lebih terperinci

ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA. (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta)

ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA. (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta) ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4 Undang-Undang Dasar Hal ini. tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4 Undang-Undang Dasar Hal ini. tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara sebagaimana diatur dalam Penjelasan Umum Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4 Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini menunjukkan bahwa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Tentang Upaya hukum Kasasi a. Pengertian Upaya hukum Kasasi Sebelum penulis kemukakan pengertian kasasi, terlebih dahulu penulis akan mengemukakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilakukan untuk mencari kebenaran dengan mengkaji dan menelaah beberapa

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilakukan untuk mencari kebenaran dengan mengkaji dan menelaah beberapa IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Narasumber Sebagaimana disampaikan sebelumnya bahwa penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian secara yuridis normatif adalah pendekatan penelitian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dactyloscopy Sebagai Ilmu Bantu Dalam Proses Penyidikan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dactyloscopy Sebagai Ilmu Bantu Dalam Proses Penyidikan 15 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Dactyloscopy Sebagai Ilmu Bantu Dalam Proses Penyidikan Dactyloscopy adalah ilmu yang mempelajari sidik jari untuk keperluan pengenalan kembali identifikasi orang dengan cara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya sebagaimana tercantum. dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 amandemen keempat.

I. PENDAHULUAN. dalam hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya sebagaimana tercantum. dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 amandemen keempat. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang UUD 1945 pada Pasal 1 ayat (3) menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum.negara Indonesia menjamin setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Hal ini berarti bahwa Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian a. Pengertian Pembuktian Pada Umumnya Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sistem Peradilan Pidana Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan pidana, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan serta Lembaga Pemasyarakatan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak dan Anak Nakal Pengertian masyarakat pada umumnya tentang anak adalah merupakan titipan dari Sang Pencipta yang akan meneruskan keturunan dari kedua orang tuanya,

Lebih terperinci

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN A. Hal-Hal Yang Menjadi Dasar Penyidik Memerlukan Keterangan Ahli Di Tingkat Penyidikan Terkait dengan bantuan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. sumber utama dalam pembuktian. Mengatur macam-macam alat bukti yang sah

TINJAUAN PUSTAKA. sumber utama dalam pembuktian. Mengatur macam-macam alat bukti yang sah 15 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Pembuktian Hukum pembuktian merupakan bagian dari Hukum Acara Pidana yang menjadi sumber utama dalam pembuktian. Mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum,

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1492, 2014 KEJAKSAAN AGUNG. Pidana. Penanganan. Korporasi. Subjek Hukum. Pedoman. PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER-028/A/JA/10/2014 TENTANG PEDOMAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pasal 1 angka 11 Bab 1 tentang Ketentuan Umum Kitab Undang-Undang Hukum

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pasal 1 angka 11 Bab 1 tentang Ketentuan Umum Kitab Undang-Undang Hukum II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Putusan Pengadilan Pasal 1 angka 11 Bab 1 tentang Ketentuan Umum Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa : Putusan Pengadilan adalah

Lebih terperinci

PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI

PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI Oleh : Ruslan Abdul Gani ABSTRAK Keterangan saksi Ahli dalam proses perkara pidana di pengadilan negeri sangat diperlukan sekali untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya

BAB I PENDAHULUAN. acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam buku pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disingkat dengan KUHAP) disebutkan bahwa tujuan hukum acara pidana adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Acara Pidana adalah memberi perlindungan kepada Hak-hak Asasi Manusia dalam keseimbangannya dengan kepentingan umum, maka dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menegaskan bahwa Negara Indonesia berdasarkan Negara hukum

PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menegaskan bahwa Negara Indonesia berdasarkan Negara hukum PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menegaskan bahwa Negara Indonesia berdasarkan Negara hukum (rechtstaat), bukan berdasarkan kekuasaan belaka (mechstaat).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum Pidana di Indonesia merupakan pedoman yang sangat penting dalam mewujudkan suatu keadilan. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) adalah dasar yang kuat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1985 (ADMINISTRASI. KEHAKIMAN. LEMBAGA NEGARA. Mahkamah Agung. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN HUKUM TENTANG DELIK PENIPUAN

BAB II KAJIAN HUKUM TENTANG DELIK PENIPUAN BAB II KAJIAN HUKUM TENTANG DELIK PENIPUAN A. PENGERTIAN TINDAK PIDANA PENIPUAN Penipuan adalah kejahatan yang termasuk dalam golongan yang ditujukan terhadap hak milik dan lain-lain hak yang timbul dari

Lebih terperinci

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH 1 PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * I. PENDAHULUAN Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH Hukum itu akal, tetapi juga pengalaman. Tetapi pengalaman yang diperkembangkan oleh akal, dan akal

Lebih terperinci

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN 2.1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Dasar dari adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dari dapat dipidananya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan 16 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana Menurut Moeljatno (2000: 1), hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Mengenai Kasasi a. Pengertian Kasasi Kasasi berasal dari kata casser yang artinya membatalkan atau memecahkan. Kasasi berarti pembatalan, yaitu salah

Lebih terperinci

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA Nomor : B-69/E/02/1997 Sifat : Biasa Lampiran : - Perihal : Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana -------------------------------- Jakarta, 19 Pebruari 1997 KEPADA

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian Tindak pidana merupakan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan melakukan suatu kejahatan atau

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai dengan hukuman pidana.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Jaksa Penuntut Umum a. Pengertian Kejaksaan Keberadaan institusi Kejaksaan Republik Indonesia saat ini adalah Undang-Undang Nomor 16 Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan adalah suatu permasalahan yang terjadi tidak hanya di dalam suatu

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan adalah suatu permasalahan yang terjadi tidak hanya di dalam suatu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan adalah suatu permasalahan yang terjadi tidak hanya di dalam suatu masyarakat tertentu atau dalam Negara tertentu saja, tetapi merupakan permasalahan

Lebih terperinci

BAB III FILOSOFI ASAS NE BIS IN IDEM DAN PENERAPANNYA DI PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

BAB III FILOSOFI ASAS NE BIS IN IDEM DAN PENERAPANNYA DI PERADILAN PIDANA DI INDONESIA BAB III FILOSOFI ASAS NE BIS IN IDEM DAN PENERAPANNYA DI PERADILAN PIDANA DI INDONESIA 3.1 Dasar Filosofis Asas Ne Bis In Idem Hak penuntut umum untuk melakukan penuntuttan terhadap setiap orang yang dituduh

Lebih terperinci