NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMILIHAN UMUM MAHASISWA PRESIDEN MAHASISWA, ANGGOTA SENAT MAHASISWA KELUARGA MAHASISWA DENGAN RAHMAT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMILIHAN UMUM MAHASISWA PRESIDEN MAHASISWA, ANGGOTA SENAT MAHASISWA KELUARGA MAHASISWA DENGAN RAHMAT"

Transkripsi

1 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMILIHAN UMUM MAHASISWA PRESIDEN MAHASISWA, ANGGOTA SENAT MAHASISWA KELUARGA MAHASISWA DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG

2 A.Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara kesatuan yang berdasarkan kedaulatan rakyat. Prinsip tersebut telah disepakati para pendiri bangsa menjelang Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Naskah Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat, antara lain menyatakan bahwa kemerdekaan kebangsaan Indonesia disusun dalam suatu Undang-Undang Dasar yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat. 1 Kedaulatan rakyat selanjutnya diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa "kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar" 2.Perwujudan kedaulatan rakyat dimaksud dilaksanakan melalui pemilihan umum (Pemilu) secara langsung seb agai sarana bagi rakyat untuk memilih wakil-wakilnya yang akan menjalankan fungsi melakukan pengawasan, menyalurkan aspirasi politik rakyat, membuat undang-undang sebagai landasan bagi semua pihak di Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam menjalankan fungsi masing-masing.dari dasar itu kedaulatan mahasiswa berada ditanggan mahasiswa yang diselengarakan melalui pemilihan umum mahasiswa sebagai perwujutan kedaulatan mahasiwa dalam memilih Presiden dan Senat mahsiswa keluarga mahasiswa perlu bahwa pemilihan presiden mahasiswa dan senat keluarga mahasiswa Keluarga mahasiswa dari unsur Independen dan Partai mahasiswa perlu adanya payung hukum sebagai peraturan yang mengatur pelaksanaan dari penyelengaraan kedaulatan mahsiswa dengan mengedepankan langsung,jujur,bebas,rahasia dan adil. Mahasiwa pemilih dapat melakukan pilihan terhadap calon Senat yang dalam proses pemilihan umum mahasiwa terdaftar dalam calon yang diajukan melalui partai mahasiwa. Partai mahaiswa dimaknai sebagai saluran untuk memperjuangkan aspirasi mahasiwa, sekaligus sebagai sarana kaderisasi dan rekrutmen calon pemimpin bangsa yang kelak akan menjadi penerus perjuangan bangsa Indonesia. 1 2 Lihat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Ibid

3 Sementara, pemilihan Senat Independen dipilih dari perseorangan yang memenuhi persyaratan dalam pemilihan umum mahasiwa bersamaan dengan pemilihan umum mahasiswa untuk memilih anggota senat mahasiswa dari unsure partai politik dan presiden mahasiwa. Hal ini, untuk mengakomodasi aspirasi keanekaragaman dari setiap fakultas. Pemilihan umum mahasiwa perlu diselenggarakan oleh penyelenggara pemilu yang mempunyai integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas yang dilaksanakan secara lebih berkualitas, sistematis, legitimate dan akuntabel dengan partisipasi mahasiswa seluas-luasnya. Setiap penyelenggara pemilihan umum mahasiwa, peserta pemilihan umum mahasiwa, pengawas pemilihan umum mahasiwa, pemantau pemilihan umum mahasiwa, pemilih, serta semua pihak yang terkait harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundangundangan. Setiap pemilih dan peserta pemilihan umum mahasiwa mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan dan/atau perlakuan yang tidak adil dari pihak manapun. Pemilihan umum mahasiwa harus dilaksanakan secara lebih berkualitas agar lebih menjamin derajat kompetisi yang sehat, partisipatif, mempunyai derajat keterwakilan yang lebih tinggi, dan memiliki mekanisme pertanggungjawaban yang jelas. Untuk mewujudkan penyelenggaraan pemilihan umum mahasiwa yang lebih berkualitas, yang menjamin derajat kompetisi yang tinggi, sehat, partisipatif, serta mempunyai derajat keterwakiilan yang tinggi dan mekanisme pertanggungjawaban yang jelas, dipandang perlu untuk membentuk undang-undang (UU) tentang pemilihan umum mahasiwa anggota Senat Keluarga Mahasiswa dan Presiden Mahasiswa Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Gadjah Mada. B.Identifikasi Masalah Perubahan nama Pemira yang sebelumnya diatur dalam AD/ART dirubah menjadi Pemilihan Umum Mahasiwa perlu adanya suatu peraturan pengganti yang mengantikan UU no 3 tahun 2011 tentang Pemilihan raya karena dirasa tidak sesuai dengan perubahan AD/ART yang merubah pemilihan raya menjadi pemilihan umum mahasiwa maka berlaku lex superiori derogate legi inferiori sehingga agar adanya kepastian hukum perlu adanya undang undang yang sesuai denggan AD/ART keluarga mahasiwa UGM

4 Penghitungan suara langsung di TPS rawan terjadi kecurangan pengelembungan suara dan lain lain. dampaknya pasal tersebut tidak berlaku secara sosiologis sehingga penghitungan dipindah di tingkat universitas.kelemahan penghitungan di universitas adalah penghitungan ini memakan waktu yang lama disamping itu kedekatan antara pemilih kurang bisa terakomodasi dengan baik karena tidak semua mahaisawa dapat memantau jalanya penghitunagan. pemutahiran data pemilih tidak dilakukan dengan akuntabel sehingga masih banyak pemilih yang seharusnya sudah lulus masih tercantum sebagai pemilih. C.Maksud dan Tujuan Maksud penyusunan naskah akademis Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan Umum Mahasiwa untuk memilih Senat KM UGM,Senat Independen dan Presiden Mahasiwa ini adalah untuk memberikan landasan konseptual dan pokok-pokok pemikiran yang diperlukan untuk melakukan penyempurnaan terhadap undang-undang tersebut. Tujuan dari naskah akademis ini adalah tersedianya data-data dan bahan yang dapat digunakan sebagai sumber landasan penyusunan subtansi RUU Pemilihan Umum Mahasiwa sebagai wujud penyelengaraan kedaulatan mahasiwa dalam memilih senat,senat independen dan Presiden Mahasiwa Keluarga mahasiswa UGM Metode Penyusunan Naskah akademis ini disusun dengan menggunakan metode sebagai berikut: 1. Studi Pustaka Metode studi pustaka digunakan sebagai cara untuk melakukan pengayaan bahan-bahan dalam penulisan naskah akademis ini. Metode ini dilakukan dengan mempelajari dokumen, laporan, peraturan perundangundangan, dan literatur lainnya yang relevan dengan permasalahan yang akan dikupas dalam naskah akademis ini. Metode ini sangat berguna terutama untuk hal yang berkaitan dengan pengembangan dan pengaplikasian teori-teori dan data-data yang menunjang guna menjawab permasalahan yang ada. Selain itu metode studi pustaka juga berguna sebagai bahan observasi awal terhadap permasalahan-permasalahan yang ada di seputar

5 penyeleggaraan pemerintahan di lingkup Negara RI khususnya pelaksaaan Pemira dan laporan pelaksanaan Pemira Dari hasil studi pustaka ini kemudian dirumuskan draft awal Naskah Akademis 2. Konsultasi Publik Setelah draft awal tersusun maka selanjutnya dilanjutkan dengan konsultasi publik. Metode ini dilakukan untuk menggali masukan-masukan langsung dari berbagai stakeholders sehingga terjadi pengayaan terhadap bahan awal yang sebelumnya hanya mendasarkan pada studi pustaka. 3. Perumusan Berdasarkan bahan dasar yang menggunakan metode studi pustaka serta ditambah dengan masukan dari berbagai stakeholders maka kemudian dilakukan perumusan dengan melibatkan pejabat, pakar, dan pihak-pihak

6 A. SISTEM PEMILU Sistem Pemilu menurut Lijphart, diartikan sebagai satu kumpulan metode atau cara warga masyarakat memilih para wakil mereka 3. Sistem pemilu, dilihat dari kedudukan individu rakyat maka terdapat dua sistem, yakni sistem pemilu mekanis dan sistem pemilu organis. Sistem pemilu mekanis melihat bahwa rakyat terdiri atas individu. Sedangkan pada sistem pemilu organis, rakyat ditempatkan sebagai jumlah kelompok individu atau dengan perkataan lain rakyat dibagi dalam organ-organ kelompok individu. Kelompok ini didasarkan misalnya geneologis, lapisan sosial, organisasi kelembagaan, dan sebagainya. Dengan demikian pada sistem pemilu organis hak suara terletak pada kelompok. Sistem pemilu mekanis dilaksanakan dengan tiga cara yaitu sistem semi proporsional, sistem representasi proporsional dan sistem mayoritas-pluralitas Sistem Pemilu Semi Proporsional Sistem pemilu semi proporsional 5 merupakan sistem yang mengkonversi suara menjadi kursi dengan hasil yang berada di antara proporsionalitas sistem perwakilan proporsional dengan mayoritarian dari sistem mayoritas-pluralitas. Terdapat tiga macam sistem pemilu dalam kelompok ini yang digunakan untuk pemilihan para anggota legislatif yaitu 6 Single Non-Transferable Vote (SNTV), sistem paralel (atau campuran), dan Limited Vote (LV). a. Sistem Single Non-Transferable Vote (SNTV) Dalam sistem SNTV ini, setiap pemilih memilih satu suara, tetapi ada beberapa kursi yang harus diisi dalam distrik tersebut dan calon anggota legislative yang memperoleh suara terbanyak dapat mengisi kursi tersebut Arend Lijphart, Electoral Systems, dalam Afan Gaffar, Politik Indonesia, Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000, hal Sistem Pemilu, ACE PROJECT sebuah kerjasama IDEA, United Nations, dan IFES Ben Reilly and Andrew Reynolds, Sistem Pemilu, IDEA, International Stockhlom, United Nations New York, dan IFES Washington DC, 2001 hal. 84. Andrew Reynolds, Semi Proporsional dalam Sistem Pemilu, op. cit. hal 94.

7 b. Sistem Paralel Sistem Paralel menggunakan dua sistem utama, baik daftar-daftar representasi proporsional maupun distrik-distrik mayoritas-pluralitas. Dalam sistem ini representasi proporsional daftar tidak memberikan imbangan atas setiap disproporsionalitas dalam distrik mayoritarian. c. Sistem Limited Vote Sistem LV terletak di antara SNTV dan Block Vote (varian dalam sistem pluralitasmayoritas), karena dalam sistem ini ada distrik wakil mejemuk, dan para calon anggota legislative yang menang semata-mata adalah mereka yang mengumpulkan paling banyak suara. Para pemilih dapat memberikan suara yang jumlahnya lebih sedikit dari jumlah kursi yang harus diisi, tetapi lebih dari satu suara. 2. Sistem Pemilu Representasi Proporsional Sistem pemilu proporsional ialah sistem dimana prosentase kursi di dewan perwakilan rakyat yang akan dibagikan kepada tiap-tiap partai politik, disesuaikan dengan jumlah prosentase suara yang diperoleh tiap-tiap partai politik itu. Sistem proporsional ini dapat dilakukan dengan bervariasi, misalnya dengan hare system dan list system. Hare system, di mana pemilih diberi kesempatan untuk memilih pilihan pertama, kedua dan seterusnya dari distrik pemilih yang bersangkutan. Jumlah imbangan suara yang diperlukan untuk pemilih ditentukan dan segera jumlah keutamaan pertama dipenuhi, dan apabila ada sisa suara, maka kelebihan suara ini dapat dipindahkan kepada calon berikutnya, dan seterusnya. List system, di mana pemilih diminta memilih di antara daftar calon yang berisi sebanyak mungkin nama-nama calon wakil rakyat yang akan dipilih dalam pemilu. Tujuan awal sistem proportional reprecentation adalah untuk menghasilkan lembaga perwakilan di mana proporsi kursi-kursi yang dimenangkan oleh tiap-tiap partai kurang lebih merefleksikan proporsi jumlah suara yang diperoleh tiap-tiap partai. Kandidat-kandidat dipilih dari distrik-distrik dengan wakil majemuk. Negara secara keseluruhan mungkin

8 merupakan satu daerah pemilihan tempat para wakil dipilih, atau mungkin ada beberapa daerah pemilihan kabupaten/kota atau regional asal para wakil dipilih. Semakin besar jumlah daerah pemilihan yang digunakan, semakin kecil kemungkinan komposisi lembaga perwakilan akan mencerminkan proporsi suara yang dimenangkan oleh tiap partai. Keuntungan sistem proporsional : 1) Menjamin eksistensi partai-partai kecil. 2) Dianggap demokratis dan representatif, karena jumlah wakil partai sesuai dengan jumlah suara yang diperolehnya dalam pemilu secara nasional. Sistem ini dianggap lebih mencerminkan asas keadilan, karena semua golongan dalam masyarakat termasuk yang paling minoritas sekalipun, mempunyai peluang untuk menampilkan wakilnya dalam parlemen 7. 3) Menjamin suara rakyat tidak terbuang dengan sia-sia. Kerugian sistem proporsional : 1) Hubungan antara rakyat dengan wakilnya kurang akrab, karena rakyat hanya memilih tanda gambar. Siapa orangnya, rakyat kurang tahu dengan pasti. 2) Sistem ini cenderung menggeser asas kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan partai politik. Partai politik yang menentukan calon dan partai pula yang berhak me-recall-nya kapan saja. 3) Sistem ini akan memberikan peluang bagi radikalisasi partai politik, karena masingmasing partai politik akan melindungi kepentingannya dengan kuat. Akibatnya, akan sulit mempertahankan sebuah koalisi sebab partai yang kecil memiliki kemampuan untuk menteror partai besar ( blackmailing power) dengan mengancam mundur dari koalisi sehingga kabinet setiap waktu terancam bubar. 4) Kualitas calon sukar dikontrol pemilih dan rasa tanggung jawab terhadap yang diwakili menjadi sangat abstrak Makmur Keliat dkk (Eds), Selamatkan Pemilu Jakarta, 2001, hal, Ibid, hal Agar Rakyat Tak Ditipu Lagi, The Ridep Institute,

9 Sistem proporsional ini mempermudah terjadinya fragmentasi antar-partai politik. Jika timbul konflik, anggota partai cenderung mendirikan partai baru, karena terdapat peluang partai baru itu memperoleh kursi melalui pemilu. Beberapa varian dari sistem proporsional ini antara lain List Proportional Reprecentation, Mixed Member Proportional (MMP) dan Single Transferable Vote (STV). a. Representasi Proporsional Daftar (RP Daftar) 9 Sejumlah bentuk RP Daftar diterapkan di sekitar 70 negara. Semua bentuk RP memiliki karakteristik umum sebagai berikut: (1) Partai memberikan daftar kandidat yang sama jumlahnya dengan kursi yang tersedia di daerah pemilihan. (2) Para pemilih memilih untuk satu partai. Jumlah kursi yang diperoleh tiaptiap partai ditentukan oleh dan secara langsung berkaitan dengan proporsi jumlah suara yang diperolehnya di daerah pemilihan yang bersangkutan. (3) Jumlah kursi yang diperoleh tiap-tiap partai dapat ditentukan dengan menggunakan rumus yang dapat berupa metode sisa terbanyak ( largestremainder) atau metode rata-rata tertinggi (highest average). Setiap cara yang berbeda dalam penghitungan suara ini menimbulkan hasil yang sedikit berbeda dalam hal jumlah wakil yang terpilih dari tiap-tiap partai politik. (4) Mungkin ada persyaratan yang harus dipenuhi partai, seperti ambang batas (thresholds) agar dapat diikutsertakan dalam pembagian kursi misalnya, memperoleh presentase suara minimal tertentu. (5) Varian-varian dari RP Daftar dapat dibedakan berdasarkan pemilihan kandidat yang terpilih untuk mengisi kursi yang dimenangkan oleh tiap-tiap partai. Variasi dari RP Daftar ini, antara lain: 9 Andrew Reynolds, Representasi Proporsional Daftar, dalam Sistem Pemilu, op. cit., hal 100.

10 (1) Daftar Tertutup Merupakan bentuk yang paling banyak digunakan di dunia ini. Kursi yang dimenangkan oleh partai politik diisi dengan kandidat-kandidat sesuai dengan ranking mereka dalam daftar kandidat yang ditentukan oleh partai. Biasanya, hanya nama partai yang dimunculkan dalam surat suara, meskipun urutan kandidat-kandidat dalam daftar partai biasanya diumumkan dan biasanya tidak dapat diubah setelah tanggal nominasi tertentu. Oleh karena itu, partai politik memiliki kekuasaan yang cukup besar dalam penentuan kandidat partai yang terpilih untuk mengisi kursikursi yang tersedia. (2) Daftar Terbuka Pemilih memilih partai politik yang mereka sukai dan dalam daftar partai politik tersebut, juga memilih kandidat yang mereka inginkan untuk mengisi kursi yang dimenangkan oleh partai tersebut. Biasanya, jumlah kandidat dalam daftar partai yang ditampilkan dalam surat suara adalah dua kali jumlah kursi yang tersedia. Para pemilih secara umum dapat memilih kandidat-kandidat dalam daftar kandidat suatu partai sebanyak kursi yang tersedia. Memilih kandidat dari partai-partai yang berbeda ( ticket splitting) biasanya tidak diperbolehkan. (3) Daftar Bebas Tiap-tiap partai politik menentukan daftar kandidatnya, dengan partai dan tiap-tiap kandidat ditampilkan secara terpisah dalam surat suara. Pemilih dapat memilih dari daftar partai sebagaimana adanya, atau mencoret atau mengulangi nama-nama, membagi pilihan mereka diantara daftar-daftar partai atau memilih nama-nama dari daftar manapun dengan membuat daftar mereka sendiri di dalam sebuah surat suara kosong. Contoh dari sistem ini diterapkan di Swiss.Beberapa kelebihan sistem RP Daftar:

11 (1) RP Daftar merupakan sistem yang inklusif, memungkinkan badan legislatif terdiri dari wakil rakyat yang berasal dari berbagai macam kekuatan politik, termasuk kelompok minoritas dalam masyarakat. (2) Cukup akurat dalam menterjemahkan proporsi suara yang dimenangkan menjadi persentase wakil yang terpilih. (3) Pada Sistem RP Daftar, hanya sedikit pemilih yang tidak terwakili suara mereka yang terbuang. Oleh karena itu, jumlah pemilih lebih besar. (4) RP Daftar menghasilkan keragaman dalam sistem multi partai. (5) RP Daftar menghasilkan keragaman dalam nominasi kandidat, dan membantu terpilihnya kandidat dari kelompok minoritas. Contohnya, proporsi anggota legislatif perempuan biasanya lebih tinggi di bawah sistem-sistem RP. (6) RP Daftar cenderung menghalangi adanya dominasi regional partai-partai politik tertentu. (7) Beberapa bukti empiris dari Eropa menunjukkan bahwa sistem ini menghasilkan pemerintahan yang lebih efektif. (8) Dalam varian sistem RP daftar tertutup, pemilih dapat memahami dengan mudah dan secara relatif lebih mudah untuk dilaksanakan. (9) RP Daftar menciptakan contoh yang sangat nyata mengenai sharing kekuasaan dan kerjasama. Beberapa kekurangan dari RP Daftar : (1) Di bawah sistem RP Daftar, seringkali tidak ada hubungan yang kuat antara para pemilih dengan wakilnya. (2) Terutama dalam RP Daftar Tertutup, para pemilih tidak memiliki pengaruh dalam menentukan wakil mereka. Hal ini dapat berakibat pada kurangnya akuntabilitas para wakil terhadap pemilihnya. Dengan demikian kekuasaan para pimpinan partai politik dalam menentukan daftar calon legislatif sangat dominan. (3) Dalam penggunaan sistem RP Daftar, sangat jarang bagi suatu partai untuk menjadi mayoritas dalam badan legislatif. Koalisi pemerintahan yang dihasilkan akan membutuhkan kompromi kebijakan, dan dapat memperlambat tindakan dan secara internal kurang stabil dibandingkan pemerintahan yang berasal dari satu partai.

12 (4) RP Daftar membutuhkan sistem partai yang berfungsi dengan baik. (5) Terutama dalam sistem RP Daftar Tertutup, kurang dapat mengakomodasi kandidat independen. (6) RP Daftar menghasilkan banyak partai dan dapat menimbulkan fragmentasi sistem partai menjadi partai-partai yang hanya mengetengahkan satu wacana tertentu atau suatu kepribadian tertentu. (7) Memungkinkan bertahannya partai-partai ekstrimis. (8) Pemerintahan terpilih di bawah RP Daftar akan menjadi kurang bertanggung jawab karena lebih sulit untuk menjatuhkan sebuah partai dari kekuasaan. Bahkan, partai yang tidak populer dapat bertahan dalam koalisi pemerintahan setelah pemilu. (9) Versi yang lebih rumit (RP Daftar Terbuka dan Daftar Bebas) mungkin lebih sulit untuk dimengerti dan dilaksanakan. b. Mixed Member Proportional (MMP) 10 Sistem mixed member proportional (MM) ini diterapkan di Jerman, Selandia Baru, Mexico, Bolivia, Italia, dan lain-lain. Karakteristiknya: (1) Pemilih mendapatkan dua surat suara yang berbeda, atau satu surat suara yang terdiri dari dua sistem pemilihan: satu untuk pilihan partai (biasanya secara nasional), yang lain untuk kandidat di daerah pemilihan mereka (distrik lokal). (2) Dimungkinkan adanya rasio yang berbeda-beda dari kursi representasi proporsional terhadap kursi daerah pemilihan biasanya, antara 25 % - 50 % kursi merupakan kursi representasi proporsional. (3) Bagian tiap-tiap partai dari keseluruhan jumlah kursi dalam badan legislatif secara langsung ditentukan berdasarkan proporsi suara pemilihan RP. (4) Untuk menentukan anggota partai yang terpilih: - Semua kandidat partai yang menang dari pemilihan distrik dinyatakan terpilih. Sejumlah kandidat tambahan dari daftar partai untuk pemilihan RP dinyatakan terpilih untuk membuat presentase jumlah wakil sama dengan presentase suara pemilihan RP. 10 Ibid

13 - Ketentuan khusus mungkin dibutuhkan, termasuk jumlah parlemen yang fleksibel, untuk menangani situasi di mana kursi yang dimenangkan sebuah partai dari distrik melebihi jumlah kursi yang diperolehnya dari presentase suara RP. Beberapa kelebihan yang signifikan dari MMP, mirip dengan sistem RP: (1) Menghasilkan keuntungan proporsional dari sistem pemilihan RP secara keseluruhan. Ada hubungan langsung antara suara yang diperoleh dengan jumlah kursi yang dimenangkan, sementara juga menjamin pemilih memperoleh representasi geografis yang bertanggung jawab. (2) Memungkinkan pemilih memiliki dua suara, sehingga suara dapat dibagi antara partai/orang yang mewakili bagian yang berbeda dari pandangan pemilih. (3) Merupakan sistem yang inklusif, sehingga memungkinkan badan legislatif untuk terdiri dari berbagai macam gerakan politik, termasuk minoritas dalam masyarakat. (4) Di bawah MMP, sedikit suara yang terbuang, sehingga jumlah pemilih yang memilih lebih besar. (5) Menghasilkan keragaman dalam nominasi kandidat untuk pemilihan, membantu terpilihnya wakil dari kelompok minoritas dan menyediakan perwakilan untuk partaipartai minoritas. Beberapa kekurangan sistem MMP: (1) MMP cenderung memenghasilkan koalisi atau pemerintahan yang lemah, sulit untuk dijatuhkan dari kekuasaan. (2) Di bawah MMP, suara untuk perwakilan lokal kurang penting dibandingkan suara untuk partai politik dalam menentukan alokasi kursi secara keseluruhan. MMP dapat menimbulkan dua kelas perwakilan dalam parlemen, masing-masing dengan agenda yang berbeda, walaupun berasal dari partai yang sama. (3) Pemilih sulit memahami bagaimana kursi-kursi dialokasikan dalam MMP, dan mungkin membutuhkan usaha pendidikan pemilih yang substansial. (4) MMP dapat memberi peluang bagi strategic voting di mana pemilih dianjurkan oleh partai politik yang didukungnya untuk memilih kandidat dari partai lain, tapi

14 bersimpati pada partai yang mereka dukung, untuk memaksimalkan kursi partai mereka di bawah alokasi RP. (5) MMP lebih rumit untuk diterapkan oleh pemilih dan administrator pemilu, dibandingkan dengan sistem RP Daftar. Namun hasil proporsional yang diperolehnya sama kualitasnya. 3. Sistem Pemilu Mayoritas-Pluralitas (Distrik) Sistem mayoritas-pluralitas atau sistem distrik merupakan sistem pemilihan yang paling tua, didasarkan atas kesatuan geografis. Setiap kesatuan geografis (yang biasanya disebut distrik karena kecilnya daerah yang diliputi) mempunyai satu wakil dalam parlemen. Untuk keperluan pemilihan, negara dibagi dalam sejumlah besar distrik dan jumlah wakil rakyat dalam parlemen ditentukan oleh sejumlah distrik. Calon yang dalam satu distrik memperoleh suara terbanyak menang, sedangkan suara-suara yang diberikan kepada caloncalon lain dalm distrik itu dianggap hilang dan tidak diperhitungkan lagi, bagaimana kecilpun selisih itu kekalahannya. Misalnya, dalam distrik dengan jumlah suara , ada dua calon yakni A dan B. Calon A memperoleh dan B , maka calon A memperoleh kemenangan, sedangkan jumlah suara dari calon B dianggap hilang. Sistem pemilihan ini dipakai di Inggris, Kanada, Amerika Serikat dan India. Dalam sistem distrik ini biasanya yang dijadikan dasar pembagian distrik adalah jumlah penduduk 11. Seperti di Amerika Serikat, luas atau besarnya wilayah sama sekali tidak menentukan. Oleh karena itu, isu yang sering menimbulkan pertentangan adalah penentuan distrik karena ada yang diuntungkan berkenaan bertambahnya penduduk dan ada pula yang dirugikan karena penduduknya berkurang. 11 Afan Gaffar, Politik Indonesia, op.cit, hal. 265.

15 Yang menjadi hukum dasar dalam sistem distrik adalah the winner takes all. Artinya apabila dalam sebuah distrik ada dua calon atau lebih, seorang calon memenangkan 50 persen suara ditambah satu (simple majority) maka dialah yang akan memenangkan kursi didistrik tersebut. Jika tidak ada yang memenangkan dengan simple majority katakanlah ada tiga atau empat calon, maka harus diadakan pemilu atau run-off dari mereka yang dua terbesar mengumpulkan suara. Sistem distrik mempunyai beberapa aspek positif 12 : (1) Karena kecilnya distrik, maka wakil yang terpilih biasanya dikenal oleh penduduk distrik, sehingga hubungannya dengan penduduk lebih erat. Dengan demikian, dia akan lebih terdorong untuk memperjuangkan kepentingan distrik. Lagipula, kedudukannya terhadap partainya akan lebih bebas karena dalam pemilihan semacam ini faktor kepribadian seserang merupakan faktor yang penting. (2) Sistem ini lebih mendorong ke arah integrasi partai-partai politik karena kursi yang diperebutkan dalam setiap distrik pemilihan hanya satu. Hal ini akan mendorong partaipartai untuk menyisihkan perbedaan-perbedaan yang ada dan mengadakan kerja sama. Di samping kecenderungan untuk membentuk partai baru sedikit banyak dapat dibendung, sistem ini mendorong ke arah penyederhanaan partai secara alamiah, tanpa paksaan. (3) Terbatasnya jumlah partai dan meningkatnya kerjasama antar partai-partai mempermudah terbentuknya pemerintahan yang stabil dan tercapainya stabilitas nasional. (4) Sistem ini sederhana dan mudah untuk diselenggarakan. Sistem ini mempunyai beberapa kelemahan : (1) Sistem ini kurang menguntungkan bagi partai-partai kecil dan golongan minoritas, apalagi jika golongan ini terpencar dalam beberapa distrik pemilihan. Amat sukar bagi partai kecil untuk menjadi pemenang tunggal dalam suatu distrik. 12 Miriam Budiarjo, Sistem Pemilu yang Bagaimana (Bagian 2) dalam Sistem-Sistem Pemilihan Umum: Suatu Himpunan Pemikiran, Fakultas Hukum UI, Jakarta,2000.

16 Sebaliknya sistem distrik menguntungkan partai besar. Partai yang besar dalam masyarakat akan menjadi lebih besar di parlemen dan partai yang kecil dalam masyarakat akan menjadi lebih kecil dalam parlemen. Penyebabnya adalah partai kecil sukar sekali untuk menang mutlak dalam suatu distrik. (2) Sistem ini kurang representatif dalam arti bahwa calon yang kalah dalam suatu distrik, kehilangan semua suara yang telah mendukungnya.hal ini berarti ada sejumlah suara yang tidak dihitung sama sekali; dan kalau ada banyak partai yang bersaing, maka jumlah suara yang hilang dapat mencapai jumlah yang besar.hal ini sering dianggap tidak adil oleh golongan yang kalah. (3) Bisa terjadi kesenjangan antara jumlah suara yang diperoleh dari masyarakat dan jumlah kursi yang diperoleh dari masyarakat dan jumlah kursi yang diperoleh dalam parlemen. Sugiono menyatakan bahwa sistem distrik biasanya didasarkan pada beberapa hipotesa yang pernah dibuat oleh Maurice Duverger dalam bukunya Political Party (1954). Dari penelitiannya di Eropa, Duverger berpendapat bahwa terdapat Hukum sosiologi yang riil bahwa apabila sistem distrik dipakai dalm pemilu suatu negara maka akan timbul sistem dua partai, karena partai-partai yang nomor tiga dan seterusnya yang tidak pernah menang dalam pemilu akan berkoalisi dengan sesama partai kecil atau bergabung dengan dua partai besar, agar suaranya yang sedikit di suatu distrik pemilihan masih bisa dialihkan ke partai lain dengan imbalan politik tertentu. Dengan demikian, suara para pemilihnya tidak terbuang percuma, namun masih ada artinya sebagai bargaining chip. Akibatnya, partai politik akan semakin berkurang jumlahnya. Menurut Duverger keadaan tersebut akan menjamin stabilitas pemerintahan (kabinet) karena partai-partai yang berkuasa di Parlemen dan Pemerintahan, relative susah dijatuhkan oleh partai-partai kecil yang berkoalisi sesamanya atau mengalihkan dukungan dari partai pemerintahan kepada partai besar yang berada di luar pemerintahan. Teori ini tampaknya hanya cocok untuk negara-negara Eropa barat yang memang sudah tidak mempunyai masalah dengan identitas-identitas atau integrasi mereka, sehingga perdebatan mengenai nilai budaya atau konflik antar kelompok budaya sudah dapat dikatakan tidak

17 ada lagi. Situasi tidak sama terjadi dalam negara Indonesia karena masih terdapat perbedaan nilai kelompok budaya yang masih sangat menonjol. Akibatnya, belum tentu sistem ini menghasilkan stabilisasi sistem politik kita sebagaimana yang dikemukakan pada teori Duverger. Sebaliknya, sistem distrik justru akan mempertajam konflik politik 13. Sementara, menurut Cornelis Lay 14 : Titik yang paling rawan dari sistem pemilihan distrik adalah ia menyediakan ruang yang luas bagi, dan sekaligus dengan mudah memacu radikalisme daerah. Bisa dipastikan, daerah-daerah akan mematok putra asli sebagai syarat politik, sementara perilaku pemilih pun akan banyak didikte oleh keterkaitan primordialisme sempit. Pengalaman banyak bangsa memastikan eskploitasi berlebihan isu-isu primordial bisa merosot sangat tajam menjadi kecenderungan etnonasionalisme-provinsialisme atau daerahisme yang sangat menghancurkan. Bagi Indonesia, persoalan di atas akan menjadi semakin pelik karena realitas masyarakat Indonesia yang super-majemuk dengan derajat cross-cutting affiliation yang sangat rendah, merupakan faktor-faktor yang bisa mempercepat radikalisme daerah-daerah. Pemilahan masyarakat kita yang sangat tegas-etnik yang bertumpang tindih dengan agama, lokasi (pulau atau daerah), kultur, bahkan ciri-ciri fisik dan lain-lain- yang diikuti oleh keterbatasan arena dan sarana (antara lain, karena kendala geografis) bagi pembentukan jaringan afiliasi yang bersifat tumpang tindih, tentunya bukan merupakan kondisi yang kondusif bagi pemberlakuan sistem distrik. Apabila sistem distrik ini diberlakukan maka akan terjadi perubahan secara luar biasa di daerah. Dinamika hubungan politik akan lebih diwarnai dan dideterminasi oleh rute politik primordial, menyisihkan pertimbangan-pertimbangan dan isu-isu lainnya. Dalam konteks ini, daerah-daerah ini dengan pemilahan masyarakat yang tegas berdasarkan garis etnik yang bertumpangtindih dengan agama, kultur dan seterusnya akan menjadi kawasan yang sangat ringkih terhadap kemungkinan terjadinya benturan antar aneka segmen Sugiono, Bahaya Sistem Distrik Bagi Integrasi Bangsa dalam Sistem-sistem Pemilihan Umum : Suatu Himpunan Pemikiran, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Cornelis Lay, Problem Sistem Pemilihan Distrik, dalam Sistem-sistem Pemilihan Umum : Suatu Himpunan Pemikiran, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000.

18 yang terpilih di atas. Akibatnya, daerah-daerah dengan karakter diatas, arena pemilihan bukan sebatas sebagai arena perebutan pengaruh diantara elit-elit politik yang saling bersaing ke posisi di lembaga-lembaga perwakilan, tapi sebagai arena konsolidasi dan reproduksi perbedaan-perbedaan di antara masyarakat yang memang sudah berbeda. Di ujungnya pada tingkat paling moderat, pemberlakuan sistem pemilihan distrik akan semakin mempertegas dan mengentalkan pemilahan masyarakat ke dalam sekat-sekat eksklusivisme berdasarkan kesamaan stink, agama, asal daerah, kultur, ciri fisik, dan seterusnya. Sistem ini mempunyai varian antara lain First Past The Post (FPTP), Block Vote (BV), Alternative Vote (AV) dan Two Round Sistem (TRS). a. First Past The Post (FPTP) 15 Sistem tipe ini secara menonjol diterapkan di Inggris dan daerah-daerah bekas jajahannya. Sistem ini memiliki karakteristik: (1) Sistem ini didasarkan pada distrik-distrik wakil tunggal satu wakil dipilih dari setiap daerah pemilihan. (2) Pemenang di setiap daerah pemilihan merupakan kandidat yang mendapatkan suara terbanyak. Ini tidak selalu berarti kandidat yang memperoleh suara mayoritas. Beberapa kelebihan yang signifikan dari First Past The Post : (1) FPTP dapat mengkonsolidasi dan membatasi jumlah partai, biasanya menjadi dua partai yang memiliki jangkauan luas, sehingga para pemilih memiliki pilihan yang jelas. Hal ini dapat membatasi kemungkinan adanya partai-partai yang ekstrim. (2) Memiliki kecenderungan untuk menghasilkan pemerintahan yang kuat, dan berasal dari satu partai. (3) Pemilihan dengan sistem FPTP cenderung membuat partai-partai bertanggungjawab atas tindakan-tindakan mereka. (4) Dapat mendorong adanya pihak oposisi untuk membuat pemerintah bertanggungjawab. 15 Andrew Reynold, First Past The Post, dalam Sistem Pemilu op.cit., hal 82.

19 (5) Seperti sistem lain yang berdasarkan pada daerah pemilihan, dapat membuat hubungan yang erat antara pemilih dan wakilnya, juga lebih menjamin akuntabilitas wakil rakyat terhadap pemilihnya. (6) Memungkinkan kandidat independen untuk mengikuti pemilu. (7) Menyeimbangkan fokus antara partai politik dan para kandidat secara individual. (8) Merupakan sistem yang sederhana untuk dimengerti dan digunakan oleh para pemilih, serta mudah dalam pelaksanaannya. Beberapa kekurangan sistem First Past The Post : (1) Kursi-kursi yang dimenangkan sangat tidak proporsional dengan keseluruhan suara yang diperoleh dalam pemilu. Partai dengan jumlah suara mayoritas atau terbanyak, mungkin tidak mendapatkan mayoritas, atau bagian terbesar dari jumlah kursi yang ada. Partai dengan proporsi yang menonjol dari keseluruhan jumlah suara mungkin tidak mendapatkan kursi sama sekali; (2) Proses pemenang memperoleh semua ( the winner takes all) mengakibatkan sebagian besar dari suara yang ada terbuang. Para pemilih ini tidak terwakili dan partai-partai minoritas tidak terikutsertakan dalam perwakilan yang adil ; (3) Sistem pluralitas berarti bahwa kandidat yang menang mungkin hanya didukung oleh 30-40% pemilih, atau mungkin kurang dari itu; (4) Sebagaimana lazimnya sistem distrik wakil tunggal, FPTP tidak memberikan insentif untuk kandidat-kandidat dari partai-partai minoritas; (5) Menghalangi berkembangnya sistem multi partai yang pluralisits; (6) Dapat menciptakan dominasi partai daerah dan mendorong adanya partai-partai yang berhaluan etnis/kesukuan; (7) Tidak sensitif atau teramat sensitif terhadap perubahan opini publik (8) Dapat dipengaruhi manipulasi dari batas-batas daerah pemilihan. b. Block Vote (BV) 16 Secara prinsip sama dengan sistem FPTP, kecuali BV berwakil banyak. Para pemilih diberi kesempatan untuk memilih sebanyak kursi yang akan diisi dan biasanya mereka 16 Ben Reilly dan Andrew Reynold, Block Vote dalam Sistem Pemilu op.cit

20 bebas memilih calon anggota legislative tanpa mempertimbangkan afiliasi partainya. Dalam sistem BV, para pemilih dapat menggunakan sebanyak mungkin atau sesedikit mungkin pilihan yang mereka inginkan. c. Alternative Vote (Preferential Voting atau AV) Sistem ini diterapkan di Australia, dan di Nauru dalam bentuk yang telah dimodifikasi. Sistem ini juga pernah diterapkan di Fiji, hanya sekali, pada tahun 1999, dan juga di Papua Nugini dari tahun 1964 sampai 1975, ketika masih berada di bawah administrasi Australia. Karakteristik sistem ini adalah: (1) Sistem Alternative Vote biasanya menggunakan distrik wakil tunggal (dapat diterapkan untuk pemilu dengan distrik wakil majemuk, misalnya untuk Senat Australia sampai tahun 1949, sistem ini cenderung menghasilkan hasil yang lebih tidak berimbang dibandingkan dengan sistem-sistem Block Vote). (2) Pada sistem full preferential voting, para pemilih harus mengurutkan semua kandidat sesuai urutan preferensi mereka (1,2,3,4, dan seterusnya). (3) Pada sistem optional preferential voting, para pemilih memiliki pilihan untuk menandai hanya satu kandidat atau memilih mengurutkan beberapa atau semua kandidat. (4) Pada sistem ticket voting pemilih memilih sebuah partai politik, dan preferensi pemilih akan sama dengan urutan preferensi yang telah ditentukan partai yang bersangkutan, yang diumumkan oleh semua partai politik kepada pelaksana pemilu sebelum hari pemilihan. (5) Pemenangnya adalah kandidat dengan perolehan 50% + 1 dari suara sah yang ada di distrik yang bersangkutan. Apabila ketentuan ini tidak tercapai dari preferensi pertama para pemilih, maka kandidat dengan jumlah pilihan pertama yang terrendah akan disingkirkan, dan pilihan kedua yang ditandai di kertas suara kandidat tersebut dibagikan ke kandidat lainnya. Proses eliminasi kandidat dengan jumlah suara terendah dan membagikan kertas suaranya kepada kandidat lain yang tertinggal, di mana kepada mereka pemilih

21 telah menentukan pilihan berikutnya, berlanjut sampai seorang kandidat memperoleh 50% + 1 total suara. Beberapa kelebihan dari Alternative Vote: (1) Sistem Alternative Vote memiliki kelebihan dalam mempererat hubungan pemilih dengan para wakil mereka, seperti juga halnya dalam sistem-sistem lain yang berdasar kepada distrik. (2) Sistem Alternative Vote memungkinkan pemilih untuk mendapatkan lebih dari satu kesempatan untuk menentukan siapa yang akan menjadi wakil mereka, meskipun argumentasi ini menjadi kurang kuat apabila varian ticket voting diterapkan. (3) Berkat adanya persyaratan dukungan mayoritas bagi seorang kandidat untuk dapat terpilih, sistem ini memberikan legitimasi kuat kepada para kandidat yang terpilih. (4) Mendorong adanya kerjasama antar partai politik dan mengurangi efek-efek ekstrimisme. (5) Memungkinkan partai-partai kecil terfokus untuk berkoordinasi tanpa harus beraliansi secara formal. (6) Lebih murah untuk dilaksanakan dibandingkan dengan sistem majority yang lain seperti sistem dua putaran. Beberapa kekurangan sistem Alternative Vote: (1) Hasilnya tidak proporsional, seringkali memberi peluang bagi terbentuknya suatu pemerintahan yang dikuasai suatu partai dengan proporsi suara yang lebih kecil dalam total jumlah suara. (2) Sistem-sistem Alternative Vote ini seringkali memberikan kemenangan kepada kandidat yang tidak memperoleh suara preferensi teratas pertama dan justru kandidat yang memperoleh suara preferensi teratas kedua dan ketiga sering menjadi pemenang. (3) Membutuhkan tingkat melek-huruf dan numerasi yang tinggi diantara populasi pemilih. Apabila tidak terpenuhi dapat menimbulkan banyaknya suara yang tidak sah sehingga akhirnya legitimasi pemilu dipertanyakan. (4) Membutuhkan program pendidikan pemilih yang lebih rumit dan intensif.

22 (5) Kertas suara untuk distrik pemilihan harus dikumpulkan di statu lokasi untuk penghitungan suara dan penentuan hasil sesuai sistem ini. Hal ini menimbulkan implikasi pada aspek keamanan, transparansi dan logistik. (6) Kerumitan penghitungan suara mungkin melebihi kapacitas pelatihan dan penerapan administrator pemilu, dan tidak sepenuhnya dapat dipahami partai dan para pengamat. Bahkan dalam situasi yang ideal pun, akan membutuhkan waktu lama untuk menentukan pemenang. Ini bukanlah sistem yang mudah dan sederhana. (7) Membuka peluang bagi adanya kesepakatan-kesepakatan bawah tangan dan praktek politik uang untuk menunjang upaya partai politik untuk mempengaruhi preferensi pemilih. (8) Dapat dipengaruhi oleh manipulasi batas-batas daerah pemilihan. d. Two Round System (TRS) 17 Bentuk terakhir sistem pluralitas mayoritas adalah two round system (TRS) atau sistem dua putaran yang juga dikenal dengan sistem run-off atau double ballot. Dalam sistem TRS ini, pemilihan dilakukan dalam dua putaran. Jarak antara putaran pertama dan kedua satu atau dua minggu. Putaran pertama dilaksanakan seperti model FPTP. Jika seorang calon anggota legislatif mendapatkan suara mayoritas absolut, maka secara langsung dipilih dan tidak diperlukan putaran kedua. Tetapi jika tidak ada calon anggota legislatif yang mendapatkan suara mayoritas absolut, maka putaran kedua dilaksanakan dan pemenang putaran ini dinyatakan terpilih. 4. Batas Representasi (Thresholds) Semua sistem pemilu mempunyai batas representasi perwakilan. Artinya, tingkat dukungan minimal yang diperlukan sebuah partai untuk memperoleh perwakilan, yang diterapkan secara legal (efektif). 17 Ben Reilly dan Andrew Reynolds, Two Round System, dalam Sistem Pemilu, op.cit., hal.91

23 Dalam beberapa hal, batas representasi ini merupakan produk sampingan dari sistem milihan umum yang lain, seperti jumlah kursi yang harus diisi dan jumlah partai atau caleg yang bertarung dalam milihan umum, dan dengan demikian disebu t batas representasi yang efektif. Meskipun demikian, pada banyak hal lagi, batas representasi ini dimasukkan ke dalam UU Pemilu, yang kemudian memunculkan sistem RP, dan dengan demikian disebut formal. Di Jerman, Selandia Baru, dan Rusia, misalnya, diberlakukan batas representasi 5% 18. Partaipartai politik yang tidak mencapai batas representasi lima persen tidak berhak memperoleh bagian kursi dari RP Daftar. Sebagai perbandingan, lihat dalam Jerman: Sistem Mixed Member Proportional yang orisinal dan Rusia-Sistem Paralel yang terus berkembang. Ketentuan ini berasal dari Jerman dengan maksud untuk membatasi terpilihnya kelompok ekstrimis, dan dimaksudkan untuk menghentikan partai-partai kecil sehingga mereka tidak mendapatkan perwakilan. Meskipun demikian, baik di Jerman maupun di Selandia Baru ada jalan pintu belakang bagi sebuah partai sehingga mereka dapat memperoleh kursi dari daftar tersebut. Di Selandia Baru sebuah partai harus memenangkan sedikitnya satu kursi konstituen, dan di Jerman tiga kursi untuk dapat lepas dari persyaratan batas representasi. Di Rusia pada tahun 1995 tidak ada jalan pintu belakang dan hampir setengah dari suara partai berdasarkan daftar partai terbuang. Partai-partai yang mendapatkan kurang dari persentase ini dikeluarkan dari penghitungan. Dalam semua kasus diatas, adanya batas representasi formal cenderung meningkatkan tingkat disproporsionalitas, karena suara yang sebenarnya dapat dipakai dalam perwakilan menjadi terbuang. Di Polandia pada tahun 1993, bahkan dengan batas representasi yang relative kecil yaitu sebesar lima persen, lebih dari 34 % suara diberikan untuk partai politik, yang ternyata tidak dapat melampaui batas representasi tersebut. Tetapi pada kebanyakan kasus lain, batas 18 Sebagai pembanding, electoral threshold di Swedia 4%, Argentina dan Bolivia 3%, sedangkan Meksiko dan Norwegia masing-masing 2%. Lihat Lili Romli, Mencari Format Sistem Kepartaian Masa Depan, dalam Jurnal Politika, Vol. 2, 2006, hal. 32.

24 representasi mempunyai pengaruh yang kecil saja terhadap hasil secara keseluruhan. Maka dari itu, beberapa ahli pemilu melihatnya tidak perlu dan seringkali menambah rumitnya aturan pemilu, yang seharusnya dihindari. Batas representasi yang tinggi dapat berfungsi untuk mendiskriminasikan partai-partai kecil dan ternyata dalam beberapa kasus memang inilah maksud dari adanya batas representasi. Tetapi dalam banyak kasus diskriminasi terhadap partai-partai kecil yang disengaja sebenarnya tidak diinginkan, terutama dalam kasus-kasus di mana beberapa partai kecil dengan dasar pendukung yang hamper sama memecah suara mereka sendiri dan pada akhirnya terjatuh dibawah batas representasi. Padahal seandainya mereka menyatukan suara mereka, mereka pasti dapat memperoleh kursi di parlemen. Untuk dapat mengatasi masalah ini, banyak negara yang menggunakan sistem RP Daftar juga memperbolehkan partai-partai kecil membuat kelompok bersama untuk pemilu, dan dengan demikian membentuk kartel atau apparentement untuk dapat bertarung dalam pemilu. Ini berarti bahwa partai tersebut tetap merupakan partai-partai tersendiri, dan dicantumkan sendiri-sendiri dalam kertas suara, tetapi suara yang diperoleh dihitung seolah-olah mereka bersama-sama menjadi satu kartel. Maksudnya, meningkatkan kemungkinan bahwa suara mereka yang dijadikan satu secara keseluruhan akan berada diatas batas representasi, dan dengan demikian mereka mungkin dapat memperoleh perwakilan tambahan.

25 BAB III EVALUASI PEMILIHAN RAYA TAHUN 2013 Sejak era reformasi, Indonesia telah melaksanakan pemilu secara periodik dan tetap yaitu Pemilu tahun 1999, Pemilu 2004, Pemilu 2009 Dan Prestasi menyelenggarakan pemilu mendapat apresiasi dari berbagai kalangan, bahkan luar negeri dan mengantarkan Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar di dunia selain Amerika Serikat dan India. Di tengah kekhwatiran bahwa penyelenggaraan pemilu dapat menimbulkan konflik, ternyata bangsa Indonesia justru berhasil menyelenggarakan pemilu dengan aman, tertib dan demokratis. Padahal, banyak kalangan sejak tahun 2004 menilai bahwa Pemilu di Indonesia merupakan Pemilu yang paling rumit di dunia- seperti ditulis sebuah majalah luar negeri Far Ekonomic Review pada tahun Melihat dari hal itu perlu adanya pendidikan politik di universitas gadjah mada yaitu dalam bentuk pemilihan raya.pada perjalanya banyak hal yang harus dievaluasi dari UU NO >>>>>>>>> tentang pemilihan raya dimana dalam Undang-undang tersebut menyebabkan permasalahan dalam penyelengaraan pemira.berdasarakan hasil evaluasi yang telah dilakukan kita menemukan beberapa kekurangan antara lain, 1. Permasalahan terbesar, UU tidak memiliki Bab Penjelas. Sehingga diskusi yang multitafsir justru dianggap sebagai penyelewengan. Banyak yang salah tulis dan multitafsir. Banyak pasal yang mulai dari penyeleksian sampai penyerahan berkas tidak jelas pengaturannya, dalam tehnis sulit dilakukan karena harus ditafsirkan sendiri tanpa Bab Penjelas. 2. Bebrapa pasal memiliki tumpang tindih sehingga menyebapkan penyelengaraan dilapangan tidak efektif seperdi saat pelaksaan seleksi untuk memilih SC,badan pengawas dan mahkamah pemira ada dua kepanitianaan yang memilih yaitu panitia kerja yang dilakukan oleh senat dan panitia seleksi dari BEM KM sehingga menyebapkan proses seleksi dua kali yang menyebabkan tidak efektif serta memotong waktu untuk persiapan. 3. Ada beberapa pasala yang dalam UU pemira tidak jelas seperti kampanye,dana dan pembentukan OC sehingga dalam perjalanya banyak menimbulkan kebingungan. 4. Dalam UU pemira banyak yangb tidak sesuai dengan komposisi nya salah satunya adalah mahkamah yang tidak dari fakultas Hukum karena pada dasarnya penafsiran UU diperlukan 19 Naskah akademik tentang perubahan uu no 10 tahun 2008

26 dalam penyelengaraan PEMIRA tidak lah sempurna ketika orng yang tidak mengerti UU dapat menafsirkan UU dengan baik. 5. Disamping itu kelembagaan antara SC,OC Pemira tidak jelas sehingga panitia SC harus merangkap menjadi OC 6. Kewenangan Banwaslu yang kurang sehingga dalam eksekusi memerlukan waktu dan cenderung tidak memiliki kewenangan,disamping itu sanksi yang tertera kurang tegas. 7. Dalam perjalananya banyak pengaturn yang dirasa tidak sesuai contoh KTM untuk presiden independen,senat independen dan dan kampanye dirasa sudah tidak seusai.

27 BAB IV MATERI RANCANGAN UNDANG-UNDANG A. Materi Perubahan dan penyempurnaan 1.Perubahan nama Pemilihan raya mahasiwa menjadi Pemilihan umum mahasiwa Perubahan nama pemilihan raya mahasiwa (PEMIRA) menjadi pemilihan umum mahasiwa didasarakan pada perubahan Aangaran dasar dan anggaran rumah tangga keluarga mahasiwa UGM menjadi Pemilihan umum mahasiwa mengharuskan perubahan pada UU PEMIRA karna berlaku lex superiori derogat legi inferiori. 2. Persyaratan mengikuti pemilu Partai mahasiswa dapat menjadi peserta pemilu setelah memenuhi persyaratan umum dan persyaratan khusus. Peserta pemilu untuk memilih anggota Senat adalah perseorangan yang memenuhi persyaratan kualifikasi dan dukungan minimal pemilih. Persyaratan administrasi dan dukungan pemilih disamakan bagi anggota Senat yang akan mencalonkan diri ada pemira berikutnya maupun bagi mahasiswa yang belum pernah menjadi anggota Senat. Ketentuan ini dimaksudkan untuk tidak membuat diskriminasi bagi para calon anggota Senat. Banwaslu melakukan pengawasan atas pelaksanaan verifikasi partai politik calon peserta pemilu yang dilaksanakan oleh KPUM. 3. Alokasi kursi dan daerah pemilihan Jumlah kursi anggota Senat dibagi atas wakil dari Partai Mahasiswa dan wakil dari Independen yang diambil dari perwakilan tiap fakultas. Alokasi kursi DPRD kabupaten/kota untuk setiap daerah pemilihan dilakukan dengan: a. Perwakilan dari tiap Partai Mahasiswa berdasarkan perolehan suara pada pemira b. Perwakilan independen dari tiap fakultas yang ada di Universitas Gadjah Mada sebanyak 18 orang. 4. Penyusunan daftar pemilih Proses penyusunan daftar pemilih dimulai dari pemutakhiran data pemilih oleh KPUM tiap fakultas. Dalam pelaksanaan di lapangan, KPUM dibantu oleh petugas administrasi mahasiswa. Berikutnya adalah penyusunan daftar pemilih sementara oleh KPU dengan basis TPS. Selanjutnya, KPUM tiap fakultas menyusun dan menetapkan Daftar Pemilih Tetap berdasarkan Daftar Pemilih Sementara hasil perbaikan dengan basis TPS. Dalam setiap tahapan, mahasiswa dapat memberikan masukan

28 untuk perbaikan daftar pemilih. Dalam proses penyusunan daftar pemilih, diberikan kewenangan kepada Banwaslu melaksanakan pengawasan atas pelaksanaan pemutakhiran data pemilih, penyusunan dan pengumuman daftar pemilih sementara, perbaikan dan pengumuman daftar pemilih sementara, penetapan dan pengumuman daftar pemilih tetap, penerbitan dan penyampaian kartu pemilih, dan rekapitulasi daftar pemilih tetap yang dilaksanakan oleh KPUM. 5.. Persyaratan bakal calon anggota Senat Mahasiswa dan Presiden Mahasiswa Dalam rangka meningkatkan kualitas kinerja lembaga perwakilan dan Presiden Mahasiswa, selain persyaratan sebagaimana yang telah diatur dalam UU: a) Warga Negara Indonesia; b) mahasiswa Universitas Gadjah Mada minimal telah menempuh 2 (dua) semester; c) setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945, dan nilai-nilai perjuangan Universitas Gadjah Mada; d) tidak pernah dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; e) sehat jasmani dan rohani; f) terdaftar sebagai pemilih; g) bersedia untuk tidak merangkap jabatan di or ganisasi lain yang sekiranya dapat mengganggu kinerja; h) mencalonkan hanya di 1 (satu) lembaga perwakilan; 6. Verifikasi kelengkapan administrasi bakal calon anggota Senat Mahasiswa KM KPUM melakukan verifikasi terhadap kebenaran dan kelengkapan dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota Senat Mahasiswa. Dalam proses ini diberikan kewenangan kepada Banwaslu untuk melaksanakan pengawasan atas verifikasi kelengkapan administrasi calon anggota Senat Mahasiswa dan Presiden Mahasiswa yang dilaksanakan oleh KPUM. Dalam hal Banwaslu, menemukan unsur kesengajaan atau kelalaian anggota KPUM dalam melaksanakan verifikasi kelengkapan administrasi calon anggota Senat dan Presiden Mahasiswa yang merugikan calon anggota, Banwaslu menyampaikan temuan kepada KPUM. Dalam hal ditemukan dugaan telah terjadi

TINJAUAN SINGKAT TENTANG SISTEM PEMILU

TINJAUAN SINGKAT TENTANG SISTEM PEMILU TINJAUAN SINGKAT TENTANG SISTEM PEMILU YANG DIUSULKAN DALAM RANCANGAN AMANDEMEN TERHADAP UU No. 3/1999 Tentang Pemilu ISI: Pengantar Beberapa Kriteria untuk Menilai Sistem Pemilihan Beberapa Petunjuk Praktis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara kesatuan yang berdasarkan kedaulatan rakyat. Prinsip tersebut telah disepakati para pendiri bangsa menjelang Proklamasi

Lebih terperinci

NEGARA-NEGARA YANG MELAKUKAN PERUBAHAN SISTEM PEMILU

NEGARA-NEGARA YANG MELAKUKAN PERUBAHAN SISTEM PEMILU NEGARA-NEGARA YANG MELAKUKAN PERUBAHAN SISTEM PEMILU SISTEM PEMILU Pilihan atas sistem pemilu merupakan salah satu keputusan kelembagaan yang paling penting bagi negara demokrasi di manapun. Pilihan sistem

Lebih terperinci

SISTEM PEMILIHAN UMUM

SISTEM PEMILIHAN UMUM SISTEM PEMILIHAN UMUM Sistem pemilihan umum dapat dibedakan menjadi dua macam: pemilihan mekanis dan pemilihan organis Dalam sistem mekanis, partai politik mengorganisir pemilihan-pemilihan dan partai

Lebih terperinci

PEMILU. Oleh : Nur Hidayah

PEMILU. Oleh : Nur Hidayah PEMILU Oleh : Nur Hidayah A. PENGERTIAN PEMILU Merupakan salah satu sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang berdasarkan pada demokrasi perwakilan. Pemilu diartikan sebagai mekanisme penyeleksian dan

Lebih terperinci

Sistem Pemilihan Umum

Sistem Pemilihan Umum Sistem Pemilihan Umum Sistem pemilihan mekanis Melihat bahwa rakyat terdiri atas individu-individu. Sistem ini dalam pelasanannya dilakukan dengan dua cara yaitu sistem perwakilan distrik/mayoritas dan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2003 TENTANG

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2003 TENTANG top PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2003 TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH I. UMUM 1. Dasar

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.245, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PEMERINTAH DAERAH. Pemilihan. Gubernur. Bupati. Walikota. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5588) PERATURAN

Lebih terperinci

SEJARAH PEMILU DUNIA

SEJARAH PEMILU DUNIA SEJARAH PEMILU DUNIA PENGERTIAN PAKAR Secara etimologis kata Demokrasi terdiri dari dua kata Yunani yaitu damos yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan cratein atau cratos yang berarti kedaulatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pemilihan Umum (Pemilu) di Negara Indonesia merupakan sarana pelaksanaan

I. PENDAHULUAN. Pemilihan Umum (Pemilu) di Negara Indonesia merupakan sarana pelaksanaan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemilihan Umum (Pemilu) di Negara Indonesia merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat, hal tersebut sebagaimana dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun

Lebih terperinci

SISTEM PEMILU DI JERMAN

SISTEM PEMILU DI JERMAN SISTEM PEMILU DI JERMAN Jerman merupakan demokrasi parlementer berbentuk negara federasi. Organ konstitusi yang sangat dikenal masyarakat adalah Parlemen Federal, Bundestag. Anggotanya dipilih langsung

Lebih terperinci

Sistem Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD Tahun 2014 Oleh Husni Kamil Manik (Ketua KPU RI Periode )

Sistem Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD Tahun 2014 Oleh Husni Kamil Manik (Ketua KPU RI Periode ) Sistem Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD Tahun 2014 Oleh Husni Kamil Manik (Ketua KPU RI Periode 2012-2017) I. Pemilihan Umum Pengisian lembaga perwakilan dalam praktik ketatanegaraan demokratis lazimnya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA SALINAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

Partisipasi Politik dan Pemilihan Umum

Partisipasi Politik dan Pemilihan Umum Partisipasi Politik dan Pemilihan Umum Cecep Hidayat cecep.hidayat@ui.ac.id - www.cecep.hidayat.com Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Materi Bahasan Definisi

Lebih terperinci

UNDANG- UNDANG KELUARGA MAHASISWA

UNDANG- UNDANG KELUARGA MAHASISWA UNDANG- UNDANG KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS GADJAH MADA NOMOR 4 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM MAHASISWA PRESIDEN MAHASISWA DAN SENAT MAHASISWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN BADAN EKSEKUTIF

Lebih terperinci

PEMILIHAN UMUM. R. Herlambang Perdana Wiratraman, SH., MA. Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 6 Juni 2008

PEMILIHAN UMUM. R. Herlambang Perdana Wiratraman, SH., MA. Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 6 Juni 2008 PEMILIHAN UMUM R. Herlambang Perdana Wiratraman, SH., MA. Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 6 Juni 2008 Sub Pokok Bahasan Memahami Sistem Pemilu dalam Ketatanegaraan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pemilihan umum adalah suatu sarana demokrasi yang digunakan untuk memilih

I. PENDAHULUAN. Pemilihan umum adalah suatu sarana demokrasi yang digunakan untuk memilih I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemilihan umum adalah suatu sarana demokrasi yang digunakan untuk memilih wakil wakil rakyat untuk duduk sebagai anggota legislatif di MPR, DPR, DPD dan DPRD. Wakil rakyat

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pasca reformasi tahun 1998, landasan hukum pemilihan umum (pemilu) berupa Undang-Undang mengalami perubahan besar meskipun terjadi

BAB I PENDAHULUAN. Pasca reformasi tahun 1998, landasan hukum pemilihan umum (pemilu) berupa Undang-Undang mengalami perubahan besar meskipun terjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasca reformasi tahun 1998, landasan hukum pemilihan umum (pemilu) berupa Undang-Undang mengalami perubahan besar meskipun terjadi kesinambungan dibandingkan dengan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan pemilihan umum

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2007 TENTANG PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2007 TENTANG PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2007 TENTANG PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pemilihan umum secara langsung

Lebih terperinci

Berdasarkan Pasal 22E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia,

Berdasarkan Pasal 22E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2003 TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH I. UMUM 1. Dasar

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2007 TENTANG PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2007 TENTANG PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2007 TENTANG PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pemilihan umum

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2007 TENTANG PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2007 TENTANG PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2007 TENTANG PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pemilihan umum secara langsung

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2003 TENTANG PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2003 TENTANG PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2003 TENTANG PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN I. UMUM 1. Dasar Pemikiran Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.23, 2015 PEMERINTAHAN DAERAH. Pemilihan. Gubernur. Bupati. Walikota. Penetapan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5656) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan pemilihan umum

Lebih terperinci

URGENSI UNDANG-UNDANG PEMILU DAN PEMANTAPAN STABILITAS POLITIK 2014

URGENSI UNDANG-UNDANG PEMILU DAN PEMANTAPAN STABILITAS POLITIK 2014 KETUA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA URGENSI UNDANG-UNDANG PEMILU DAN PEMANTAPAN STABILITAS POLITIK 2014 Disampaikan pada acara Round Table Discussion (RTD) Lemhannas, Jakarta, Rabu 12 Oktober

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS Dalam kesempatan ini sebelum melakukan perbandingan antara kedua sistem dalam Pemilu DPR, DPD dan DPRD di 2009 dan 2014, terlebih dahulu yang dibahas adalah apa dan

Lebih terperinci

2017, No b. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 124, Pasal 128, dan Pasal 132 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Ba

2017, No b. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 124, Pasal 128, dan Pasal 132 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Ba No.1892, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BAWASLU. Bawaslu Provinsi. Bawaslu Kab/Kota. Panwaslu Kecamatan. Panwaslu Kelurahan/Desa. Panwaslu LN. Pengawas TPS. Pembentukan, Pemberhentian, dan Penggantian

Lebih terperinci

TOPIK. Konsepsi SISTEM PEMILU

TOPIK. Konsepsi SISTEM PEMILU TOPIK Konsepsi SISTEM PEMILU By Andri Rusta Mata Kuliah Sistem Perwakilan Politik Semester Genap 2010/2011 Jurusan Ilmu Politik FISIP Universitas Andalas 7 April 2011 1 DEMOKRASI Dalam khasanah ilmu politik,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

Pimpinan dan anggota pansus serta hadirin yang kami hormati,

Pimpinan dan anggota pansus serta hadirin yang kami hormati, PANDANGAN FRAKSI PARTAI DAMAI SEJAHTERA DPR RI TERHADAP PENJELASAN PEMERINTAH ATAS RUU TENTANG PEMILU ANGGOTA DPR, DPD, DPRD, DAN RUU TENTANG PEMILU PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN Disampaikan Oleh : Pastor

Lebih terperinci

USULAN ASOSIASI ILMU POLITIK INDONESIA (AIPI) TERHADAP RUU PEMILIHAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN 1

USULAN ASOSIASI ILMU POLITIK INDONESIA (AIPI) TERHADAP RUU PEMILIHAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN 1 USULAN ASOSIASI ILMU POLITIK INDONESIA (AIPI) TERHADAP RUU PEMILIHAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN 1 USULAN UMUM: MEMPERKUAT SISTEM PRESIDENSIAL 1. Pilihan politik untuk kembali pada sistem pemerintahan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 101, 2011 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5246) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARA PEMILIHAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS GADJAH MADA NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PARTAI MAHASISWA

UNDANG UNDANG KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS GADJAH MADA NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PARTAI MAHASISWA UNDANG UNDANG KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS GADJAH MADA NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PARTAI MAHASISWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS

Lebih terperinci

PENINGKATAN NILAI PARTISIPASI PEMILIH

PENINGKATAN NILAI PARTISIPASI PEMILIH Policy Brief [05] Kodifikasi Undang-undang Pemilu Oleh Sekretariat Bersama Kodifikasi Undang-undang Pemilu MASALAH Demokrasi bukanlah bentuk pemerintahan yang terbaik, namun demokrasi adalah bentuk pemerintahan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang:

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dengan Persetujuan Bersama

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dengan Persetujuan Bersama www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN KOMISI PEMILIHAN UMUM TENTANG PEMBENTUKAN DAN TATA KERJA PANITIA PEMILIHAN KECAMATAN, PANITIA PEMUNGUTAN SUARA, DAN KELOMPOK

RANCANGAN PERATURAN KOMISI PEMILIHAN UMUM TENTANG PEMBENTUKAN DAN TATA KERJA PANITIA PEMILIHAN KECAMATAN, PANITIA PEMUNGUTAN SUARA, DAN KELOMPOK RANCANGAN PERATURAN KOMISI PEMILIHAN UMUM TENTANG PEMBENTUKAN DAN TATA KERJA PANITIA PEMILIHAN KECAMATAN, PANITIA PEMUNGUTAN SUARA, DAN KELOMPOK PENYELENGGARA PEMUNGUTAN SUARA DALAM PENYELENGGARAAN PEMILIHAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

Mengingat: Pasal 5 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), dan Pasal 21 ayat (2) Anggaran Rumah Tangga Keluarga Mahasiswa Universitas Gadjah Mada Tahun 2015.

Mengingat: Pasal 5 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), dan Pasal 21 ayat (2) Anggaran Rumah Tangga Keluarga Mahasiswa Universitas Gadjah Mada Tahun 2015. UNDANG- UNDANG KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS GADJAH MADA NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG PARTAI MAHASISWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. sistem-sistem yang diterapkan dalam penyelenggaraan Pemilu di kedua Pemilu itu

BAB V PENUTUP. sistem-sistem yang diterapkan dalam penyelenggaraan Pemilu di kedua Pemilu itu BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Pembahasan dalam bab sebelumnya (Bab IV) telah diuraikan beberapa ketentuan pokok dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu). Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD 2009 dan 2014

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut sistem demokrasi. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2007 TENTANG PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2007 TENTANG PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2007 TENTANG PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pemilihan umum secara langsung

Lebih terperinci

2008, No.59 2 c. bahwa dalam penyelenggaraan pemilihan kepala pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pem

2008, No.59 2 c. bahwa dalam penyelenggaraan pemilihan kepala pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pem LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.59, 2008 OTONOMI. Pemerintah. Pemilihan. Kepala Daerah. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2014

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2014 BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2014 TENTANG PENGAWASAN TAHAPAN PENCALONAN PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa penyelenggaraan pemilihan umum

Lebih terperinci

- 2 - BAB I KETENTUAN UMUM

- 2 - BAB I KETENTUAN UMUM - 2 - MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN KOMISI PEMILIHAN UMUM TENTANG PEMBENTUKAN DAN TATA KERJA PANITIA PEMILIHAN KECAMATAN, PANITIA PEMUNGUTAN SUARA, DAN KELOMPOK PENYELENGGARA PEMUNGUTAN SUARA DALAM

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG

Lebih terperinci

2012, No Mengingat membentuk Undang-Undang tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan

2012, No Mengingat membentuk Undang-Undang tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.117, 2012 POLITIK. PEMILU. DPR. DPD. DPRD. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1

BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1 PETUNJUK TEKNIS PEMBENTUKAN DAN SELEKSI CALON ANGGOTA KELOMPOK PENYELENGGARA PEMUNGUTAN SUARA (KPPS) DAN PETUGAS KETERTIBAN TEMPAT PEMUNGUTAN SUARA PEMILIHAN BUPATI DAN WAKIL BUPATI MUARO JAMBI PADA PEMILIHAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2017 TENTANG PEMBENTUKAN, PEMBERHENTIAN, DAN PENGGANTIAN ANTAR WAKTU BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM PROVINSI, BADAN PEMILIHAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN

Lebih terperinci

RANCANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DRAFT KETUA KOMISI PEMILIHAN UMUM,

RANCANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DRAFT KETUA KOMISI PEMILIHAN UMUM, BAHAN UJI PUBLIK 12 MARET 2015 RANCANGAN PERATURAN KOMISI PEMILIHAN UMUM NOMOR TAHUN 2015 TENTANG TATA KERJA KOMISI PEMILIHAN UMUM, KOMISI PEMILIHAN UMUM PROVINSI/KOMISI INDEPENDEN PEMILIHAN ACEH, KOMISI

Lebih terperinci

AD/ART KM UGM PEMBUKAAN

AD/ART KM UGM PEMBUKAAN AD/ART KM UGM PEMBUKAAN Bahwa sesungguhnya kemerdekaan Republik Indonesia harus diisi dengan kegiatan pembangunan yang bervisi kerakyatan sebagai perwujudan rasa syukur bangsa Indonesia atas rahmat Tuhan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PERATURAN KOMISI PEMILIHAN UMUM MAHASISWA UNIVERSITAS JEMBER NOMOR 1 TAHUN 2017 tentang KODE ETIK KOMISI PEMILIHAN UMUM MAHASISWA

PERATURAN KOMISI PEMILIHAN UMUM MAHASISWA UNIVERSITAS JEMBER NOMOR 1 TAHUN 2017 tentang KODE ETIK KOMISI PEMILIHAN UMUM MAHASISWA PERATURAN KOMISI PEMILIHAN UMUM MAHASISWA UNIVERSITAS JEMBER NOMOR 1 TAHUN 2017 tentang KODE ETIK KOMISI PEMILIHAN UMUM MAHASISWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA KOMISI PEMILIHAN UMUM MAHASISWA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG IKATAN KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2015

UNDANG-UNDANG IKATAN KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2015 UNDANG-UNDANG IKATAN KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARA PEMILIHAN RAYA IKATAN KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat, dianggap

BAB I PENDAHULUAN. dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat, dianggap BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam negara demokrasi, Pemilu dianggap lambang, sekaligus tolak ukur, dari demokrasi. Hasil Pemilu yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan dengan kebebasan

Lebih terperinci

SALINAN KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN TUBAN KEPUTUSAN KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN TUBAN. NOMOR : 11/Kpts/KPU Kab /2010 TENTANG

SALINAN KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN TUBAN KEPUTUSAN KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN TUBAN. NOMOR : 11/Kpts/KPU Kab /2010 TENTANG SALINAN KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN TUBAN KEPUTUSAN KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN TUBAN NOMOR : 11/Kpts/KPU Kab 014329920/2010 TENTANG TATA KERJA KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN, PANITIA PEMILIHAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pemilihan umum (Pemilu) adalah proses pemilihan orang-orang untuk mengisi

I. PENDAHULUAN. Pemilihan umum (Pemilu) adalah proses pemilihan orang-orang untuk mengisi 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemilihan umum (Pemilu) adalah proses pemilihan orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik baik di pemerintah maupun di legislatif. Pelaksanaan pemilihan

Lebih terperinci

PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 1 TAHUN 2010

PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 1 TAHUN 2010 BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENGANGKATAN ANGGOTA PANITIA PENGAWAS PEMILIHAN UMUM PROVINSI, PANITIA PENGAWAS

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 0 TAHUN 2008 TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2015 TENTANG

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2015 TENTANG RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN, PEMBERHENTIAN, DAN PENGGANTIAN ANTAR WAKTU BADAN PENGAWAS

Lebih terperinci

SEKILAS PEMILU PARTAI POLITIK PESERTA PEMILU

SEKILAS PEMILU PARTAI POLITIK PESERTA PEMILU SEKILAS PEMILU 2004 Pemilihan umum (Pemilu) adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB II TINAJAUAN UMUM TENTANG PEMILU DAN KONSEPS DASAR PEMBENTUKAN PARLIAMENTERY THRESHOLD DI INDONESIA

BAB II TINAJAUAN UMUM TENTANG PEMILU DAN KONSEPS DASAR PEMBENTUKAN PARLIAMENTERY THRESHOLD DI INDONESIA BAB II TINAJAUAN UMUM TENTANG PEMILU DAN KONSEPS DASAR PEMBENTUKAN PARLIAMENTERY THRESHOLD DI INDONESIA 2.1 Pemilihan Umum Legislatif Dalam sebuah negara yang menganut sistem pemerintahan yang demokrasi

Lebih terperinci

Mengingat : 1. Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional; 2. Peraturan Pemerintah No.60 Tahun 1999 Tentang Pendidikan

Mengingat : 1. Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional; 2. Peraturan Pemerintah No.60 Tahun 1999 Tentang Pendidikan UNDANG UNDANG KELUARGA BESAR MAHASISWA UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PEMILIHAN UMUM MAHASISWA PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN

Lebih terperinci

Antara Harapan dan Kecemasan Menyusup di Celah Sempit Pemilu 2004

Antara Harapan dan Kecemasan Menyusup di Celah Sempit Pemilu 2004 Antara Harapan dan Kecemasan Menyusup di Celah Sempit Pemilu 2004 Paparan untuk Sidang Para Uskup Konferensi Waligereja Indonesia Jakarta, 4 November 2003 Yanuar Nugroho yanuar-n@unisosdem.org n@unisosdem.org

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.705, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KPU. Panitia Pemilihan Umum. Penyelenggaraan Pemungutan Suara Luar Negeri. Presiden. Pembentukan Tata Kerja. PERATURAN KOMISI PEMILIHAN UMUM NOMOR 26 TAHUN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA KOMISI PEMILIHAN UMUM,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA KOMISI PEMILIHAN UMUM, PERATURAN KOMISI PEMILIHAN UMUM NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG TATA KERJA KOMISI PEMILIHAN UMUM, KOMISI PEMILIHAN UMUM PROVINSI/KOMISI INDEPENDEN PEMILIHAN ACEH DAN KOMISI PEMILIHAN UMUM/KOMISI INDEPENDEN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN SAMBAS

KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN SAMBAS KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN SAMBAS KEPUTUSAN KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN SAMBAS NOMOR 6/Kpts/KPU-Kab-019.435667/2015 TENTANG PEDOMAN TEKNIS TATA KERJA KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN, PANITIA PEMILIHAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2005 TENTANG PEMILIHAN, PENGESAHAN PENGANGKATAN, DAN PEMBERHENTIAN KEPALA DAERAH

Lebih terperinci

PEMANDANGAN UMUM FRAKSI KEBANGKITAN BANGSA DPR RI TERHADAP KETERANGAN PEMERINTAH TENTANG RUU PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DPR/DPRD DAN DPD

PEMANDANGAN UMUM FRAKSI KEBANGKITAN BANGSA DPR RI TERHADAP KETERANGAN PEMERINTAH TENTANG RUU PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DPR/DPRD DAN DPD PEMANDANGAN UMUM FRAKSI KEBANGKITAN BANGSA DPR RI TERHADAP KETERANGAN PEMERINTAH TENTANG RUU PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DPR/DPRD DAN DPD Disampaikan oleh juru bicara FKB DPR RI : Dra. Bariyah Fayumi, Lc Anggota

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2008 TENTANG 1 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2005 TENTANG PEMILIHAN, PENGESAHAN PENGANGKATAN, DAN PEMBERHENTIAN KEPALA

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.386, 2012 BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM. Pengawasan. Tahapan. Pencalonan. Pemilu, Kepala Daerah. Wakil Kepala Daerah. PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 3

Lebih terperinci

UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN

UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN UNDANG UNDANG KELUARGA BESAR MAHASISWA UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PARTAI MAHASISWA UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN PERUBAHAN ATAS UNDANG NO 4 TAHUN 2016 TENTANG PARTAI MAHASISWA UNIVERSITAS

Lebih terperinci

ANGGARAN DASAR KELUARGA MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS GADJAH MADA TAHUN 2015 PENDAHULUAN

ANGGARAN DASAR KELUARGA MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS GADJAH MADA TAHUN 2015 PENDAHULUAN ANGGARAN DASAR KELUARGA MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS GADJAH MADA TAHUN 2015 PENDAHULUAN Bahwa sesungguhnya kemerdekaan bangsa Indonesia yang saat ini dirasakan seluruh rakyat harus diisi dengan

Lebih terperinci

KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN SAROLANGUN

KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN SAROLANGUN KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN SAROLANGUN KEPUTUSAN KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN SAROLANGUN NOMOR: 20/Kpts/KPU-Kab/005.435316/Pilbup/Tahun 2016 TENTANG PEDOMAN TEKNIS TATA CARA KERJA PANITIA PEMILIHAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG MAJELIS PERWAKILAN MAHASISWA KELUARGA MAHASISWA POLITEKNIK NEGERI BANDUNG NOMOR 001/UU/MPM POLBAN/IX/2016

UNDANG-UNDANG MAJELIS PERWAKILAN MAHASISWA KELUARGA MAHASISWA POLITEKNIK NEGERI BANDUNG NOMOR 001/UU/MPM POLBAN/IX/2016 UNDANG-UNDANG MAJELIS PERWAKILAN MAHASISWA KELUARGA MAHASISWA POLITEKNIK NEGERI BANDUNG NOMOR 001/UU/MPM POLBAN/IX/2016 Tentang PEMILU RAYA KELUARGA MAHASISWA POLITEKNIK NEGERI BANDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PERATURAN KOMISI PEMILIHAN UMUM NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KOMISI PEMILIHAN UMUM,

PERATURAN KOMISI PEMILIHAN UMUM NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KOMISI PEMILIHAN UMUM, KOMISI PEMILIHAN UMUM PERATURAN KOMISI PEMILIHAN UMUM NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN TEKNIS PENETAPAN JUMLAH DAN TATA CARA PENGISIAN KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI ATAU DEWAN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG UNDANG KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS GADJAH MADA NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN UMUM MAHASISWA PRESIDEN MAHASISWA DAN ANGGOTA

RANCANGAN UNDANG UNDANG KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS GADJAH MADA NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN UMUM MAHASISWA PRESIDEN MAHASISWA DAN ANGGOTA RANCANGAN UNDANG UNDANG KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS GADJAH MADA NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN UMUM MAHASISWA PRESIDEN MAHASISWA DAN ANGGOTA SENAT MAHASISWA DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA PENGASIH

Lebih terperinci

Demokrat Peduli, Serap Aspirasi, dan Beri Solusi Untuk Kesejahteraan Rakyat

Demokrat Peduli, Serap Aspirasi, dan Beri Solusi Untuk Kesejahteraan Rakyat PANDANGAN FRAKSI FRAKSI PARTAI DEMOKRAT DPR RI TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENYELENGGARAAN PEMILIHAN UMUM DALAM PEMBICARAAN TINGKAT II (PENGAMBILAN KEPUTUSAN) PADA RAPAT

Lebih terperinci

KOMISI PEMILIHAN UMUM PROVINSI SULAWESI TENGGARA

KOMISI PEMILIHAN UMUM PROVINSI SULAWESI TENGGARA S A L I N A N KOMISI PEMILIHAN UMUM PROVINSI SULAWESI TENGGARA KEPUTUSAN KOMISI PEMILIHAN UMUM PROVINSI SULAWESI TENGGARA NOMOR : 49/PP.02.3-Kpt/74/Prov/IX/2017 TENTANG PEDOMAN TEKNIS TATA KERJA KOMISI

Lebih terperinci

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG 1 BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGAWASAN PENETAPAN JUMLAH KURSI DAN DAERAH PEMILIHAN PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DPRD

Lebih terperinci