KUMPULAN PERATURAN MENTERI KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KUMPULAN PERATURAN MENTERI KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA"

Transkripsi

1 KUMPULAN PERATURAN MENTERI KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA Versi 0.1

2 PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER.11/MEN/VI/2005 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN DAN PEREDARAN GELAP NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA DAN ZAT ADIKTIF LAINNYA DI TEMPAT KERJA MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. b. c. Mengingat : bahwa untuk mencegah dan menanggulangi pengaruh buruk terhadap kesehatan, ketertiban, keamanan dan produktivitas kerja akibat penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya di tempat kerja diperlukan upaya pencegahan dan penanggulangan yang optimal; bahwa untuk keberhasilan upaya pencegahan dan penanggulangan sebagaimana dimaksud pada huruf a diperlukan peran aktif pihak pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh; bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Peraturan Menteri; Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 Dari Republik Indonesia Untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1951 Nomor 4); Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2918); Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671); Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3698);

3 5. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279); 6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2002 tentang Badan Narkotika Nasional; 7. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2002 tentang Penanggulangan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Zat Adiktif Lainnya; 8. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun 2004 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu; 9. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER-02/MEN/1980 tentang Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja dalam Penyelenggaraan Keselamatan Kerja; 10. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor. 03/MEN/1982 tentang Pelayanan Kesehatan Kerja. Memperhatikan : 1. Rekomendasi Seminar dan Lokakarya Tripartit Nasional Program Bebas Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif Lainnya di Tempat Kerja tanggal 26 Juni 2002; 2. Rekomendasi ASEAN Senior Officials Meeting on Drug Matters (ASOD) di Manila Philipina tanggal September MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN DAN PEREDARAN GELAP NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA DAN ZAT ADIKTIF LAINNYA DI TEMPAT KERJA. Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan : 1. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan. 2. Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan syarat pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. 3. Zat adiktif lainnya adalah zat yang berpengaruh psikoaktif di luar yang disebut narkotika dan psikotropika. 4. Penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya adalah penggunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya di luar keperluan medis, tanpa pengawasan dokter dan merupakan perbuatan melanggar hukum.

4 5. Peredaran gelap narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara tanpa hak dan melawan hukum yang ditetapkan sebagai tindak pidana. 6. Pencegahan dan penanggulangan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya adalah upaya yang dilakukan untuk mencegah penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya dan menanggulangi dampak negatif dari penggunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya 7. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. 8. Pengusaha adalah : a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri; b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya; c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia. 9. Tempat kerja adalah tiap ruangan atau lapangan, tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap dimana tenaga kerja bekerja, atau yang sering dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha dan dimana terdapat sumber atau sumber-sumber bahaya. Termasuk tempat kerja adalah semua ruangan, lapangan halaman dan sekelilingnya yang merupakan bagian-bagian atau yang berhubungan dengan tempat kerja tersebut. 10. Perusahaan adalah : a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain; b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pasal 2 (1) Pengusaha wajib melakukan upaya aktif pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya di tempat kerja. (2) Upaya aktif pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya di tempat kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah : a. penetapan kebijakan; b. penyusunan dan pelaksanaan program. (3) Dalam melaksanakan upaya pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya di tempat kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan melibatkan pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, pihak ketiga atau ahli di bidang narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya.

5 Pasal 3 Dalam melaksanakan upaya pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya di tempat kerja, pengusaha, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dapat berkonsultasi dengan instansi pemerintah yang terkait. Pasal 4 (1) Proses penetapan kebijakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a, harus melalui konsultasi antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan atau serikat pekerja/serikat buruh. (2) Kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dinyatakan secara tertulis dan sekurang-kurangnya memuat : a. komitmen pengusaha dalam upaya pencegahan dan penanggulangan; b. komitmen pembentukan unit yang menangani program pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya di tempat kerja. (3) Unit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat merupakan unit tersendiri atau terintegrasi dengan Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3) atau Pelayanan Kesehatan Kerja. (4) Kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diberlakukan tanpa diskriminasi. Pasal 5 (1) Pelaksanaan program sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b, dilaksanakan dengan cara : a. mengkomunikasikan kebijakan dan program kepada semua pekerja/buruh; b. melaksanakan program penyuluhan, pendidikan dan latihan untuk meningkatkan kesadaran pekerja/buruh; c. mengembangkan program bantuan konsultasi bagi pekerja/buruh; d. melaksanakan evaluasi kebijakan dan program secara berkala. (2) Pelaksanaan program sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus terintegrasi dalam program keselamatan dan kesehatan kerja. Pasal 6 (1) Pengusaha dapat meminta pekerja/buruh yang diduga menyalahgunakan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya untuk melakukan tes dengan biaya ditanggung oleh perusahaan. (2) Pelaksanaan tes sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan oleh sarana pelayanan kesehatan atau laboratorium yang berwenang sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Hasil tes sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dijaga kerahasiaannya sebagaimana yang berlaku bagi data rekam medis lainnya.

6 (4) Berdasarkan hasil tes sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dokter yang telah mendapatkan pelatihan di bidang narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya dapat menetapkan apakah pekerja/buruh harus mengikuti perawatan dan atau rehabilitasi. Pasal 7 (1) Ketentuan lebih lanjut mengenai pekerja/buruh yang membutuhkan perawatan dan atau rehabilitasi akibat penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama. (2) Pengusaha dapat menjatuhkan tindakan disiplin kepada pekerja/buruh dalam hal pekerja/buruh tidak bersedia untuk mengikuti program pencegahan, penanggulangan, perawatan dan atau rehabilitasi akibat penyalahgunaan narkotika, psikotropika atau zat adiktif lainnya. Pasal 8 (1) Pengusaha atau pekerja/buruh harus segera melaporkan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia apabila ditemukan seseorang atau lebih memiliki atau mengedarkan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya di tempat kerja. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan juga kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota melalui mekanisme pelaporan Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja atau Pelayanan Kesehatan Kerja. Pasal 9 Peraturan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 27 Juni 2005 MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, ttd. FAHMI IDRIS

7 MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER.15/MEN/VIII/2008 TENTANG PERTOLONGAN PERTAMA PADA KECELAKAAN DI TEMPAT KERJA MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. b. c. Mengingat : bahwa dalam rangka memberikan perlindungan bagi pekerja/buruh yang mengalami kecelakaan di tempat kerja perlu dilakukan pertolongan pertama secara cepat dan tepat; bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 3 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja perlu menetapkan ketentuan mengenai pertolongan pertama pada kecelakaan di tempat kerja; bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b, perlu ditetapkan dengan Peraturan Menteri; Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan tahun 1948 Nomor 23 Dari Republik Indonesia Untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Nomor 4 Tahun 1951); Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1969 tentang Persetujuan Konvensi ILO Nomor 120 mengenai Hygiene Dalam Perniagaan dan Kantorkantor (Lembaran Negara Nomor 14 Tahun 1969); Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1818); Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Republik Indonesia Nomor 4279); Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2008; Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737); 1

8 7. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 31/P 2007; 8. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER. 01/MEN/I/2007 tentang Pedoman Pemberian Penghargaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI TENTANG PERTOLONGAN PERTAMA PADA KECELAKAAN DI TEMPAT KERJA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan : 1. Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan di tempat kerja selanjutnya disebut dengan P3K di tempat kerja, adalah upaya memberikan pertolongan pertama secara cepat dan tepat kepada pekerja/buruh dan/atau orang lain yang berada di tempat kerja, yang mengalami sakit atau cidera di tempat kerja. 2. Petugas P3K di tempat kerja adalah pekerja/buruh yang ditunjuk oleh pengurus/pengusaha dan diserahi tugas tambahan untuk melaksanakan P3K di tempat kerja. 3. Fasilitas P3K di tempat kerja adalah semua peralatan, perlengkapan, dan bahan yang digunakan dalam pelaksanaan P3K di tempat kerja. 4. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. 5. Tempat Kerja ialah tiap ruangan atau lapangan tertutup atau terbuka bergerak atau tetap di mana tenaga kerja bekerja atau yang sering dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha dan di mana terdapat sumber atau sumber-sumber bahaya sebagaimana diperinci dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun Pengusaha adalah : a. orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri; b. orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya; c. orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia; 7. Pengurus adalah orang yang mempunyai tugas memimpin langsung sesuatu tempat kerja atau bagiannya yang berdiri sendiri. Pasal 2 (1) Pengusaha wajib menyediakan petugas P3K dan fasilitas P3K di tempat kerja. (2) Pengurus wajib melaksanakan P3K di tempat kerja. 2

9 BAB II PETUGAS P3K DI TEMPAT KERJA Pasal 3 (1) Petugas P3K di tempat kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) harus memiliki lisensi dan buku kegiatan P3K dari Kepala Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat. (2) Untuk mendapatkan lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syaratsyarat sebagai berikut : a. bekerja pada perusahaan yang bersangkutan; b. sehat jasmani dan rohani; c. bersedia ditunjuk menjadi petugas P3K; dan d. memiliki pengetahuan dan keterampilan dasar di bidang P3K di tempat kerja yang dibuktikan dengan sertifikat pelatihan. (3) Pemberian lisensi dan buku kegiatan P3K sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dikenakan biaya. (4) Pedoman tentang pelatihan dan pemberian lisensi diatur lebih lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan. Pasal 4 Petugas P3K dalam melaksanakan tugasnya dapat meninggalkan pekerjaan utamanya untuk memberikan pertolongan bagi pekerja/buruh dan/atau orang lain yang mengalami sakit atau cidera di tempat kerja. Pasal 5 (1) Petugas P3K di tempat kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), ditentukan berdasarkan jumlah pekerja/buruh dan potensi bahaya di tempat kerja, dengan rasio sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini. (2) Pengurus wajib mengatur tersedianya Petugas P3K pada : a. tempat kerja dengan unit kerja berjarak 500 meter atau lebih sesuai jumlah pekerja/buruh dan potensi bahaya di tempat kerja; b. tempat kerja di setiap lantai yang berbeda di gedung bertingkat sesuai jumlah pekerja/buruh dan potensi bahaya di tempat kerja; c. tempat kerja dengan jadwal kerja shift sesuai jumlah pekerja/buruh dan potensi bahaya di tempat kerja. Pasal 6 Petugas P3K di tempat kerja mempunyai tugas : a. melaksanakan tindakan P3K di tempat kerja; b. merawat fasilitas P3K di tempat kerja; c. mencatat setiap kegiatan P3K dalam buku kegiatan; dan d. melaporkan kegiatan P3K kepada pengurus. 3

10 Pasal 7 (1) Pengurus wajib memasang pemberitahuan tentang nama dan lokasi petugas P3K di tempat kerja pada tempat yang mudah terlihat. (2) Petugas P3K di tempat kerja dapat menggunakan tanda khusus yang mudah dikenal oleh pekerja/buruh yang membutuhkan pertolongan. BAB III FASILITAS P3K DI TEMPAT KERJA Pasal 8 (1) Fasilitas P3K sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) meliputi: a. ruang P3K; b. kotak P3K dan isi; c. alat evakuasi dan alat transportasi; dan d. fasilitas tambahan berupa alat pelindung diri dan/atau peralatan khusus di tempat kerja yang memiliki potensi bahaya yang bersifat khusus. (2) Alat pelindung diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d merupakan peralatan yang disesuaikan dengan potensi bahaya yang ada di tempat kerja yang digunakan dalam keadaan darurat. (3) Peralatan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d berupa alat untuk pembasahan tubuh cepat (shower) dan pembilasan/pencucian mata. Pasal 9 (1) Pengusaha wajib menyediakan ruang P3K sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a dalam hal : a. mempekerjakan pekerja/buruh 100 orang atau lebih; b. mempekerjakan pekerja/buruh kurang dari 100 orang dengan potensi bahaya tinggi. (2) Persyaratan ruang P3K sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi : a. lokasi ruang P3K : 1. dekat dengan toilet/kamar mandi; 2. dekat jalan keluar; 3. mudah dijangkau dari area kerja; dan 4. dekat dengan tempat parkir kendaraan. b. mempunyai luas minimal cukup untuk menampung satu tempat tidur pasien dan masih terdapat ruang gerak bagi seorang petugas P3K serta penempatan fasilitas P3K lainnya; c. bersih dan terang, ventilasi baik, memiliki pintu dan jalan yang cukup lebar untuk memindahkan korban; d. diberi tanda dengan papan nama yang jelas dan mudah dilihat; e. sekurang-kurangnya dilengkapi dengan : 1. wastafel dengan air mengalir; 2. kertas tisue/lap; 3. usungan/tandu; 4. bidai/spalk; 5. kotak P3K dan isi; 6. tempat tidur dengan bantal dan selimut; 7. tempat untuk menyimpan alat-alat, seperti : tandu dan/atau kursi roda; 8. sabun dan sikat; 9. pakaian bersih untuk penolong; 10. tempat sampah; dan 11. kursi tunggu bila diperlukan. 4

11 Pasal 10 Kotak P3K sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : a. terbuat dari bahan yang kuat dan mudah dibawa, berwarna dasar putih dengan lambang P3K berwarna hijau; b. isi kotak P3K sebagaimana tercantum dalam lampiran II Peraturan Menteri ini dan tidak boleh diisi bahan atau alat selain yang dibutuhkan untuk pelaksanaan P3K di tempat kerja; c. penempatan kotak P3K : 1. pada tempat yang mudah dilihat dan dijangkau, diberi tanda arah yang jelas, cukup cahaya serta mudah diangkat apabila akan digunakan; 2. disesuaikan dengan jumlah pekerja/buruh, jenis dan jumlah kotak P3K sebagaimana tercantum dalam Lampiran III Peraturan Menteri ini; 3. dalam hal tempat kerja dengan unit kerja berjarak 500 meter atau lebih masing-masing unit kerja harus menyediakan kotak P3K sesuai jumlah pekerja/buruh; 4. dalam hal tempat kerja pada lantai yang berbeda di gedung bertingkat, maka masingmasing unit kerja harus menyediakan kotak P3K sesuai jumlah pekerja/buruh. Pasal 11 Alat evakuasi dan alat transportasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf c meliputi: a. tandu atau alat lain untuk memindahkan korban ke tempat yang aman atau rujukan; dan b. mobil ambulance atau kendaraan yang dapat digunakan untuk pengangkutan korban. BAB IV PENGAWASAN Pasal 12 Pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Menteri ini dilakukan oleh Pengawas Ketenagakerjaan pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan pada Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. BAB V KETENTUAN PERALIHAN Pasal 13 Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri ini, maka Surat Ketetapan Kepala Djawatan Pengawasan Perburuhan Nomor 1/Bb3/P tanggal 1 Oktober 1956 tentang Peraturan Khusus Untuk Pertolongan Pada Kecelakaan (Peraturan Khusus AA), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. 5

12 BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 14 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 13 Agustus 2008 MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, ttd. Dr. Ir. ERMAN SUPARNO, MBA., M.Si. 6

13 LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER.15/MEN/VIII/2008 TENTANG PERTOLONGAN PERTAMA PADA KECELAKAAN DI TEMPAT KERJA RASIO JUMLAH PETUGAS P3K DI TEMPAT KERJA DENGAN JUMLAH PEKERJA/BURUH BERDASARKAN KLASIFIKASI TEMPAT KERJA Klasifikasi Tempat Kerja Jumlah Jumlah petugas P3K Pekerja/Buruh Tempat kerja dengan potensi orang bahaya rendah >150 1 orang untuk setiap 150 orang atau kurang Tempat kerja dengan potensi orang bahaya tinggi >100 1 orang untuk setiap 100 orang atau kurang Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 13 Agustus 2008 MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, ttd. Dr.Ir. ERMAN SUPARNO, MBA.,M.Si. 7

14 LAMPIRAN II PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER.15/MEN/ VIII/2008 TENTANG PERTOLONGAN PERTAMA PADA KECELAKAAN DI TEMPAT KERJA ISI KOTAK P3K No ISI 1. Kasa steril terbungkus 2. Perban (lebar 5 cm) 3. Perban (lebar 10 cm) 4. Plester (lebar 1,25 cm) 5. Plester Cepat 6. Kapas (25 gram) 7. Kain segitiga/mittela 8. Gunting 9. Peniti 10. Sarung tangan sekali pakai 11. (pasangan) 12. Masker 13. Pinset 14. Lampu senter 15. Gelas untuk cuci mata 16. Kantong plastik bersih 17. Aquades (100 ml lar. Saline) 18. Povidon Iodin (60 ml) 19. Alkohol 70% 20. Buku panduan P3K di tempat kerja 21. Buku catatan Daftar isi kotak KOTAK A KOTAK B (untuk 25 (untuk 50 pekerja/buruh pekerja/buruh atau kurang) atau kurang) Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 13 Agustus 2008 KOTAK C (untuk100 pekerja/buruh atau kurang) MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, ttd. Dr.Ir. ERMAN SUPARNO, MBA.,M.Si. 8

15 LAMPIRAN III PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER.15/MEN/VIII/2008 TENTANG PERTOLONGAN PERTAMA PADA KECELAKAAN DI TEMPAT KERJA JUMLAH PEKERJA/BURUH, JENIS KOTAK P3K DAN JUMLAH KOTAK P3K Jumlah Pekerja/Buruh Keterangan : Kurang 26 pekerja/buruh 26 s.d 50 pekerja/buruh 51 s.d 100 pekerja/buruh Setiap 100 pekerja/buruh Jenis Kotak P3K A B/A C/B/A C/B/A Jumlah Kotak P3K Tiap 1 (Satu) Unit Kerja 1 kotak A 1 kotak B atau, 2 kotak A 1 kotak C atau, 2 kotak B atau, 4 kotak A atau, 1 kotak B dan 2 kotak A 1 kotak C atau, 2 kotak B atau, 4 kotak A atau, 1 kotak B dan 2 kotak A 1. 1 kotak B setara dengan 2 kotak A kotak C setara dengan 2 kotak B Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 13 Agustus 2008 MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, ttd. Dr.Ir. ERMAN SUPARNO, MBA.,M.Si

16 MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.25/MEN/XII/2008 TENTANG PEDOMAN DIAGNOSIS DAN PENILAIAN CACAT KARENA KECELAKAAN DAN PENYAKIT AKIBAT KERJA MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. b. c. d. Mengingat : bahwa penggunaan peralatan kerja, mesin dan bahan kimia berbahaya dalam proses produksi dapat menyebabkan tenaga kerja menderita kecelakaan dan penyakit akibat kerja; bahwa untuk menetapkan kompensasi bagi tenaga kerja yang menderita karena kecelakaan dan penyakit akibat kerja, perlu dilakukan diagnosis dan penilaian serta penetapan tingkat kecacatannya; bahwa dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kedokteran yang berpengaruh terhadap penilaian cacat akibat kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.79/MEN/2003 tentang Pedoman Diagnosis dan Penilaian Cacat karena Kecelakaan dan Penyakit Akibat Kerja, perlu dilakukan penyempurnaan; bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c perlu menetapkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi tentang pedoman diagnosis dan penilaian cacat karena kecelakaan dan penyakit akibat kerja; Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1951) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2918); Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3468); Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1993 tentang Penyakit Yang Timbul Karena Hubungan Kerja; Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu, sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 31/P Tahun 2007; 1

17 6. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER. 02/MEN/1980 tentang Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja Dalam Penyelenggaraan Keselamatan Kerja; 7. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER. 01/MEN/1981 tentang Kewajiban Melapor Penyakit Akibat Kerja; 8. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER. 03/MEN/1982 tentang Pelayanan Kesehatan Kerja; MEMUTUSKAN : Menetapkan : KESATU : Pedoman Diagnosis dan Penilaian Cacat karena Kecelakaan dan Penyakit Akibat Kerja sebagaimana tercantum dalam lampiran Peraturan Menteri ini. KEDUA : Pedoman sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESATU digunakan sebagai acuan untuk menetapkan diagnosis dan penilaian cacat karena kecelakaan dan penyakit akibat kerja guna menghitung kompensasi yang menjadi hak tenaga kerja. KETIGA : Dengan ditetapkan Peraturan Menteri ini, maka Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.79/MEN/2003 tentang Pedoman Diagnosis dan Penilaian Cacat Karena Kecelakaan dan Penyakit Akibat Kerja, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. KEEMPAT : Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 18 Desember 2008 MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, ttd. Dr. Ir. ERMAN SUPARNO, MBA., M.Si 2

18 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.25/MEN/XII/2008 TENTANG PEDOMAN DIAGNOSIS DAN PENILAIAN CACAT KARENA KECELAKAAN DAN PENYAKIT AKIBAT KERJA BIDANG PENYAKIT KULIT I. BATASAN Penyakit kulit akibat kerja, ialah setiap penyakit kulit yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja yang berupa faktor risiko mekanik, fisik, kimia, biologik dan psikologik. Kelainan yang terjadi dapat berupa : - Dermatitis kontak - Dermatitis kontak foto - Acne - Infeksi kulit (bakteri, virus, jamur, infestasi parasit) - Neoplasi kulit - Kelainan pigmentasi kulit. II. DIAGNOSIS Setelah identifikasi dan assesment potensial hazards di tempat kerja, maka data pemeriksaan penderita dapat dievaluasi kemungkinannya berupa penyakit akibat kerja. A. Anamnesis. 1. Keluhan 2. Riwayat pekerjaan sekarang - sudah berapa lama bekerja di perusahaan? - riwayat pekerjaan dalam perusahaan (pernah dibagian mana saja?) 3. Riwayat pekerjaan sebelumnya. - perusahaan apa saja? - berapa lama? Dibandingkan catatan medik sebelum bekerja di perusahaan medical check up"). ("pre-employment 4. Riwayat penyakit keluarga 5. Riwayat perjalanan penyakit - Waktu kejadian? - Rasa gatal? - Perbaikan selama cuti? - Pengobatan yang pernah/telah didapat? B. Pemeriksaaan Fisik 1. Inspeksi - Pemeriksaan seluruh badan termasuk lipatan kulit, misal lipat paha, celah antar jari. - Kondisi higiene umum - Lokasi kelainan 3

19 2. Palpasi 3. Pemeriksaaan dengan kaca pembesar C. Pemeriksaaan penunjang 1. Pemeriksaaan Laboratorium 1.1. Pemeriksaan hasil kerokan kulit dengan KOH 20% (pemeriksaan jamur) Tes serologi untuk sifilis : - VDRL < 1/4 bukan sifilis, bukan pada pasien berisiko tinggi. - VDRL > 1/4 kemungkinan sifilis (perlu dirujuk ke spesialis kulit dan kelamin Kelainan kulit karena HIV : - Western Blot, atau - Elisa 3x dengan metoda berbeda. - Bagi yang tidak punya fasilitas Western Blot dapat dikirim sample darahnya ke laboratorium rujukan 2. Pemeriksaan dengan Lampu Wood : 2.1. Untuk perubahan warna kulit berupa hipo atau hiper pigmentasi tanpa disertai radang Untuk pemeriksaan psoriasis versicolor (panu) 3. Histopatologi. Khususnya untuk neoplasma pada kulit. 4. Uji tempel. Ada 2 (dua) cara : 4.1. Uji tempel terbuka. Terutama untuk bahan yang bersifat iritan (biasanya bahan mudah menguap, bahan yang dicurigai sebagai iritan dioleskan dibelakang telinga dan dievaluasi 24 jam kemudian) Uji tempel tertutup - Dilakukan baik dengan alergen standar ataupun bukan standar dengan pengenceran 1/1000-1/ Lokasi penempelan di punggung atau lengan atas bagian lateral atau punggung, alergen dioleskan pada unit uji tempel dan setelah 48 jam dibuka, setelah terbuka 15 menit kemudian dievaluasi. III. URAIAN PENILAIAN CACAT Sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, cacat bidang penyakit kulit sulit diperhitungkan terhadap penurunan kemampuan kerja dan tidak tercakup dalam lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 yang telah disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun

20 BIDANG NEUROLOGI I. BATASAN Penyakit akibat kerja bidang neurologi adalah penyakit yang mengenai sistem syaraf pusat dan perifer yang penyebabnya antara lain adalah trauma, gangguan vaskuler, infeksi, degenerasi, keganasan, gangguan metabolisme, dan intoksikasi yang bermanifestasi berupa keluhan-keluhan subjektif seperti nyeri, rasa berputar, kehilangan keseimbangan, penglihatan kabur/double, gangguan kognitif (atensi, bahasa, kalkulasi, memory) dan gangguan emosi. Dan keluhan objektif berupa gangguan fungsi sistem motorik, sistem sensorik, sistem autonom. II. DIAGNOSIS Diagnosis ditegakkan berdasarkan : 1. Anamnesis. 2. Pemeriksaan fisik: a. Umum b. Pemeriksaan Neurologi Pemeriksaan neurologis harus meliputi riwayat pekerjaan dan medis yang akurat mengenai fungsi saraf, hal-hal berikut perlu dievaluasi, status mental, saraf kranial, sistem motorik dan sensorik, refleks, koordinasi, gaya berjalan dan postur tubuh. Evaluasi sistem saraf otonom (refleks cahaya pupil dan fungsi kelenjar lakrimal, ludah, dan pencernaan, kencing dan seksual) harus dilakukan. Pemeriksaan refleks tendon dalam dan kekuatan otot di anjurkan diperiksa dan evaluasi dengan teliti. 3. Pemeriksaan Penunjang Neurologi : a. Pengukuran sensitivitas getaran Pengukuran sensitivitas getaran memberi informasi tentang informasi serabut saraf yang membawa sensasi dalam, dan dianggap sebagai sarana yang baik untuk menilai ganggguan sensorik. Uji ini termasuk pemeriksaan garpu tala (antara Hz) pada suatu tonjolan tulang. Akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk menghitung sensitivitas vibrasi dengan getaran yang ditimbulkan secara elektromagnetik atau elektrik. b. Uji neurofisiologis Elektromiografi dapat membantu mendeteksi denervasi serat otot akibat degenerasi akson. Selain itu dapat pula mendemonstrasikan potensial llistrik pada otot yang sedang istirahat, menurunnya rekruitmen unit motorik saat kontraksi otot, dan variasi parameter unit motorik. Elektroneurografi memungkinkan pengukuran kecepatan konduksi impuls serabut motorik maupun sensorik. c. Elektroensefalografi Elektroensefalografi tidak dapat dianjurkan sebagai uji deteksi dini gangguan fungsional sistem saraf pusat. Demikian pula teknik-teknik baru seperti analisis frekuensi elektroensefalografi dan potensial yang dibangkitkan otak. d. Uji psikologis (neuro behavior). Para pekerja yang berisiko tinggi terpapar zat neurotoksik hendaknya menjalani pemeriksaan psikologis secara berkala untuk mencegah terjadinya kemunduran fungsi yang irreversible pada sistem saraf yang lebih tinggi. Kalau mungkin, hendaknya didapat suatu profil dasar sebelum paparan, guna rujukan untuk pemeriksaan selanjutnya. Uji profil dasar dan pengendalian lebih lanjut hendaknya meliputi : 5

21 Pengukuran dinamisme intelektual (mis., tes RavenPM38) uji daya ingat, meliputi komponen mekanis, visual dan logis (mis., uji daya ingat Wechsler) skrining kepribadian untuk melihat kemungkinan ciri-ciri kepribadian seperti neurotik waktu reaksi. Perhatian khusus hendaknya diberikan pada laporan subjektif tentang kegelisahan emosional dan mental. Perasaan-perasaan ini seringkali merupakan satu-satunya bukti dini dari gangguan fungsi saraf yang lebih tinggi. Bila gejala-gejala tersebut memberi kesan keterlibatan sistem saraf pusat yang lebih berat, pemeriksaan psikodiagnostik yang seksama hendaknya dilaksanakan untuk menggali integritas fungsi sistem saraf pusat termasuk : dinamisme mental dalam hubungannya dengan kapasitas intelektual budaya, daya ingat jangka pendek dan panjang, kemampuan menahan, menyimpan, mereproduksi informasi, kemampuan psikomotor, dan perubahan kepribadian yang mempengaruhi individu tersebut dan lingkungan sosial yang ada. Uji psikologis dianggap dengan indikator yang sensitif untuk gangguan mental dan emosional dini. Akan tetapi seringkali sulit membedakan gangguan psikogenik fungsional dari proses-proses kemunduran organik. Dalam hal ini, profil dasar individual tentu saja merupakan bantuan yang besar untuk diagnosis. Tetapi jika profil dasar tidak ada, hal-hal berikut hendaknya dipertimbangkan dalam diagnosis : gangguan fungsional bersifat kurang spesifik dibandingkan tanda-tanda proses kemunduran organik gangguan fungsional mempunyai pengaruh yang lebih besar pada kepribadian daripada fungsi mental gangguan fungsional berubah sesuai dengan waktu dan dapat pulih. Dengan mempertimbangkan fasilitas yang terbatas untuk pemeriksaan psikologis yang seksama di banyak negara, maka sulit untuk menganjurkan selang waktu yang dapat diterapkan pada semua situasi. Akan tetapi, selang waktu yang pantas mungkin sekitar 2 tahun. Bilamana mungkin, subjek-subjek dengan gangguan kondisi emosional atau mental hendaknya tidak ditempatkan pada pekerjaan yang melibatkan paparan terhadap agen-agen neurotoksis. e. Pemeriksaan Radiologi dengan CT Scan dan MRI Pemeriksaan penunjang Lumbal punctie/cairan otak Elektro Fisiologi (EEG, EMG) Radiologi (foto kepala, CT Scan, MRI) III. URAIAN CACAT DAN PENILAIAN TINGKAT CACAT Penilaian cacat dilakukan sesuai dengan gangguan fungsi : 6

22 A. Penilaian cacat factor motorik menggunakan metode Manual Muscle Test (MMT) Nilai Tingkat Cacat Menurut MMT Penilaian tingkat cacat 0 Kelumpuhan sama dengan amputasi 100% 1 Ada gerak otot tanpa gerak sendi 80% 2 Dapat menggerakkan anggota badan tersebut 60% pada seluruh lingkup gerak sendi tanpa factor gravitasi 3 Dapat menggerakkan anggota badan tersebut 40% pada seluruh LGS dengan faktor gravitasi 4 Nilai 3+ melawan tahanan ringan 20% 5 Nilai 3+ melawan tahanan kuat/penuh 0% B. Penilaian cacat pada sistem saraf otonom Ggn Fungsi Otonom Tak ada Ggn Sebagian Ggn Total Berkeringat 0% 50% 100% Miksi/defekasi 0% 50% 100% C. Penilaian cacat penurunan libido - untuk yang belum punya anak 40% - untuk yang sudah punya anak 20% D. Syaraf Kranial - N. I. lihat bidang penyakit mata - N. VIII, lihat bidang penyakit THT - N, IX - X, lihat bidang penyakit orthopaedi. E. Penilaian tingkat disabilitas dan cacat perdarahan subarachnoid traumatika. Penilaian dilakukan setelah menjalani neurorehabilitasi selama 6 bulan berdasarkan Glasgow Outcome Scale (GOS) : 0 = death 1 = vegetatif state (patients exhibits no obvious cortical functions) 2 = severe disability (concious but disable. Patients depends upon others for daily support due to mental or physical disability or both) 3 = moderate disability (disable but independent. Patient is independent as far as daily life is concerned. The disabilities found include. Varying degrees of dysphasia, hemiparesis, or ataxia, as well as intelectual and memory deficits and personal changes) 4 = Good recovery (resumption of normal activities even though there may be minor neurological or psychological deficits) GOS 1 Status vegetatif, nilai fungsi yang hilang diatas 75% GOS 2 Disabilitas berat, nilai fungsi yang hilang 51-75% GOS 3 Disabilitas sedang, nilai fungsi yang hilang diatas 25-50% GOS 4 Disabilitas ringan, nilai fungsi yang hilang 1-25% F. Penilaian kecacatan tetap fisik trauma Medula Spinalis. Klasifikasi tingkat dan keparahan trauma medula spinalis ditegakkan pada saat 72 jam sampai 7 hari setelah trauma, kemudian penilaian kecacatan tetap fisik setelah dilakukan neurorehabilitasi 6 bulan. 7

23 Impairment scale : Grade Tipe Gangguan medula spinalis Persentasi fungsi ASIA/IMSOP yang hilang A Komplit Tidak ada fungsi motorik dan sensorik sampai S4-S5 >75% B Inkomplit Fungsi sensorik masih baik tapi >50-75% motorik terganggu sampai segmen sakral S4-S5 C Inkomplit Fungsi motorik terganggu dibawah >25-50% level, tapi otot-otot motorik utama masih punya kekuatan<3 D Inkomplit Fungsi motorik terganggu dibawah 1-25% level, otot-otot motorik utama punya kekuatan >3 E Normal Fungsi motorik dan sensorik 0% normal G. Penilaian gangguan fungsi Ischialgia dan Brachialgia. Penilaian gangguan fungsi setelah program terapi selesai selama 6 bulan dengan kemampuan daya kerja > 50-75% sesuai persentase santunan 40%. H. Penilaian gangguan fungsi neuritis akibat jebakan. Penilaian gangguan fungsi setelah program terapi selesai selama 6 bulan dengan kemampuan daya kerja > 25-50% sesuai persentase santunan 20%. I. Pekerja yang mengalami Stroke yang terjadi pada saat melaksanakan pekerjaan di tempat kerja kemudian dibawa ke Rumah Sakit dan mengakibatkan kematian tidak lebih dari 24 jam sejak terjadinya stroke dapat di kategorikan sebagai kecelakaan kerja. Penentuan ganti rugi mengacu pada Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 yang telah disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun Penentuan ganti rugi didasarkan pada persentase cacat fungsi neurologik 100% sama dengan 70% dari upah. BIDANG PENYAKIT DALAM I. BATASAN Penyakit akibat kerja dalam lingkup penyakit dalam adalah penyakit yang timbul akibat pemaparan oleh faktor risiko di tempat kerja yang mengenai organ : 1. Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah (sistem kardio vaskuler) 2. Penyakit Ginjal dan Saluran Kemih 3. Penyakit Saluran Cerna dan Hati 4. Penyakit Sistem Endokrin 5. Penyakit Darah dan Sistem Pembentuk Darah (hemopoetik) 6. Penyakit Otot dan Kerangka 7. Penyakit Infeksi Kelainan yang terjadi dapat berupa kelainan akut, kelainan kronis dan penyakit keganasan. Yang tersering terjadi adalah penyakit otot dan kerangka, penyakit infeksi dan penyakit darah. 8

24 II. DIAGNOSIS A. Secara umum sistematika pemeriksaan penderita adalah sebagai berikut : 1. Anamnesis Dalam melakukan anamnesis penyakit akibat kerja hendaknya meliputi hal-hal sebagai berikut : - Riwayat pekerjaan saat ini (apa yang dikerjakan setiap hari?, bahan-bahan/alat yang dipakai, lingkungan sekitar tempat kerja dan lain-lain) - Riwayat pekerjaan sebelumnya (sama seperti diatas) - Riwayat pekerjaan sampingan/hobi - Hubungan antara keluhan penyakit dan waktu kerja : Kapan keluhan paling sering timbul (bandingkan frekwensi keluhan waktu kerja/hari-hari kerja dengan hari libur); Kapan keluhan tersebut pertama kali timbul (dihitung mulai saat masuk kerja sampai timbulnya keluhan) - Riwayat penyakit keluarga - Riwayat penyakit dahulu 2. Pemeriksaan Fisik Sama seperti penyakit pada umumnya disesuaikan dengan diagnosis yang ada. 3. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang disesuaikan dengan diagnosis yang dibuat meliputi pemeriksaan : - Laboratorium darah, urin, feses dan lain-lain - Radiologi - Patologi anatomi B. Sistematika diagnostik dan penilaian tingkat cacat untuk kelainan setiap sistem adalah sebagai berikut : 1. Penyakit jantung dan pembuluh darah akibat kerja 2. Penyakit ginjal dan saluran kemih akibat kerja 3. Penyakit saluran pencernaan dan penyakit hati akibat kerja 4. Penyakit endokrin akibat kerja 5. Penyakit darah dan sistem pembentuk darah akibat kerja 6. Penyakit otot dan kerangka akibat kerja 7. Penyakit insfeksi akibat kerja ad 1. Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Akibat Kerja a. Iskemia dengan menyebabkan penyakit koroner (PJK) 1) Contoh penyebab : - karbon disulfida - karbon monoksida - metilin klorida - debu fibrogenik - nitrat - arsen 2) Kriteria diagnostik : - ada kontak dengan agen - angina pektoris - faktor risiko PJK lainnya harus disingkirkan terlebih dahulu - EKG : perubahan ST-T - Exercise stress test 9

25 3) Tingkat cacat menetap - ringan : tak ada angina pektoris pada beban fisik ringan (sesuai Class I Canadian Cardiovascular Sosial Function Classification). - Sedang : angina pektoris pada beban fisik sedang (sesuai Class II - III Canadian Cardiovascular Social Function Classification). - Berat : angina pektoris pada keadaan istirahat (sesuai Class IV Canadian Cardiovascular Social Function Classification). b. Iskemia tanpa menyebabkan PJK 1) Contoh penyebab : - karbon monoksida - metilin klorida - nitrat 2) Kriteria diagnostik - ada kontak dengan agen - angina pektoris - faktor risiko dapat disingkirkan - EKG : perubahan ST-T - Exercise stress test 3) Tingkat cacat : tidak menimbulkan cacat menetap c. Disritmia 1) Contoh penyebab : - fluorocarbon - chlorinated hydrocarbon - nitrat - semua faktor risiko penyebab iskemia 2) Kriteria diagnostik : - ada kontak dengan agen - palpitasi - sinkope - EKG : disritmia atrium atau ventrikel yang patologis 3) Tingkat cacat yang menetap : Disritmia yang menetap sesudah melalui pemeriksaan baik yang berhubungan iskemia maupun tidak. yang berulang d. Kardiomiopati 1) Contoh penyebab : - cobalt - antimon 2) Kriteria diagnostik : - ada kontak dengan agen - sesak nafas - tekanan darah yang rendah, tekanan nadi kecil - gallop - kardiomegali 3) Tingkat cacat menetap yang timbul adalah cacat menetap sedan. e. Penyakit pembuluh darah perifer : 1) Contoh penyebab : - karbon disulfida - karbon monoksida - metilin klorida 2) Kriteria diagnostik : - ada kontak dengan agen - klaudikasio/ fenomena Raynaud - faktor risiko penyakit pembuluh darah perifer lain harus disingkirkan 10

26 3) Tingkat cacat menetap yang timbul adalah cacat menetap sedang. f. Cor pulmonale : 1) Contoh penyebab : debu fibrogenik 2) Kriteria diagnostik : - ada kontak dengan agen - gagal jantung kanan - insufisiensi pernapasan (lihat penyakit paru akibat kerja) 3) Tingkat cacat menetap sesuai dengan penilaian tingkat cacat bidang paru : - ringan : tanpa gejala atau dalam stadium kompensasi (sesuai Class I NYHA) - sedang : dengan gagal jantung ringan - sedang (sesuai Class II - III NYHA) - berat : dengan gagal jantung berat (sesuai Class IV NYHA) ad. 2. Penyakit Ginjal dan Saluran Kemih Akibat Kerja a. Gagal ginjal Akut 1) Contoh penyebab : a) Langsung : - hidrokarbon halogenated misal karbon tetraklorid - glikol, misalnya etilen glikol - pestisida : - organopospat misal paration - organoklorin misal DDT - biripidil misal paraquat b) Tak langsung : - agen hemolitik misal arsen - agen rabdomiolitik misal etilen-glikol - pelarut hidrokarbon - logam berat. 2) Kriteria diagnostik : - ada kontak dengan agen - gejala timbul dalam waktu kurang dari 1 minggu - gejala gastrointestinal misal mual, muntah - kreatinin serum > 1,5 mg% - asidosis metabolik - hiperkalemi (K>5.5 meq/l) - oliguri atau anuri 3) Tingkat cacat menetap penilaiannya dilakukan setelah fase akut diatasi. b. Gagal ginjal kronik 1) Contoh penyebab : - logam berat misal cadmium, timah hitam, berilium - fisik misal radiasi mengion 2) Kriteria diagnostik - ada kontak dengan agen - gangguan gastrointestinal misal mual, muntah - oliguria dan anuria - hipertensi - edema - kreatinin serum > 1,5 mg% - asam urat > 7 mg% - asidosis metabolik - hiperkalemia (K > 5,5 meq/l) 11

27 3) Tingkat cacat menetap : - ringan : - tes kliren kreatinin ml/menit - kreatinin serum 1,5-4 mg% - tidak ada asidosis metabolik - tidak ada hiperkalemia - sedang : - tes kliren kreatinin ml/menit - kreatinin serum 4-6 mg% - tidak ada asidosis metabolik - tidak ada hiperkalemia - berat : - tes kliren kreatinin 5-25 ml/menit - kreatinin serum 6-8 mg% - tidak ada asidosis metabolik - tidak ada hiperkalemia - sangat berat: - tes kliren kreatinin < 5 ml/menit - kreatinin serum > 8 mg% - ada asidosis metabolik - ada hiperkalemia c. Neoplasma pada kandung kemih 1) Contoh penyebab : - beta naftilamin - benzidin - 4-aminodifenil - 4-nitrodifenil - auramin - magenta 2) Kriteria diagnostik : - ada kontak dengan agen - gangguan miksi misal sakit, berdarah dan susah pada waktu kencing - sistoskopi ada massa di kandung kemih - biopsi kandung kemih ditemukan tanda ganas 3) Tingkat cacat menetap tergantung pada jenis keganasan dan stadium pada waktu ditemukan d. Neoplasma pada ginjal 1) Contoh penyebab : paparan asbes, coke-oven workers 2) Kriteria diagnostik : - ada kontak dengan agen - gangguan miksi misal berdarah - benjolan pada daerah ginjal - pielografi intravena ditemukan gangguan fungsi dan ginjal yang membesar - USG ginjal ditemukan ginjal membesar - Gambaran histopatologi keganasan ginjal 3) Tingkat cacat menetap tergantung kepada jenis keganasan dan stadium pada waktu diketemukan. CATATAN : RUMUS PERHITUNGAN TES KLIREN KREATININ (TKK) : T.K.K (LAKI-LAKI) = (140 - UMUR) X BERAT BADAN KREATININ PLASMA X 72 T.K.K (WANITA) = 0,85 X T.K.K LAKI-LAKI 12

28 Ad.3. Penyakit Saluran Pencernaan dan Penyakit Hati Akibat Kerja a. Penyakit saluran pencernaan : 1) Esofagitis erosif korosif a) Contoh penyebab adalah zat korosif asam/basa yang tertelan b) Kriteria diagnostik : - Klinik : - Odinofagia (nyeri waktu menelan) - Heart burn (nyeri di bawah tulang dada) - Disfagia - Esofagografi - Esofagoskopi c) Tingkat cacat menetap : - ringan misal odinofagia, heart burn - sedang : - odinofagia, heart burn - disfagia makanan padat - makanan halus masih bisa ditelan - berat : - odinofagia, heart burn - disfagia terhadap makanan cair ataupun halus - berat sekali misal pada disfagia total 2) Pancreatitis akut a) Contoh penyebab adalah metanol, seng, cobalt, merkuri klorid, cadmium, cresol b) Kriteria diagnostik : - klinik - panas - nyeri epigastrium yang berat/hebat - muntah - nyeri tekan pada epigastrium bisa di seluruh abdomen - laboratorium : - lekositosis - amilase meningkat - lipase meningkat - kalsium menurun - gula darah meningkat - ultrasonografi c) Tingkat cacat menetap dinilai sesudah perawatan fase akut teratasi 3) Pankreatitis kronik a) Contoh penyebab : - sama dengan pankreatitis akut - sebagai kelanjutan pankreatitis akut b) Kriteria diagnostik - klinik : - nyeri epigastrium yang menjalar ke punggung - rasa sakit hilang timbul - sindrom malabsorbsi - berat badan menurun - diare kronik - laboratorium : dalam keadaan eksaserbasi didapat kenaikan kadar amilase - ultrasonografi 13

29 c) Tingkat cacat menetap : - ringan : - nyeri masih dapat di tolerir - diare yang dapat diatasi dengan diit dan obat preparat enzim. - Sedang : - Nyeri tidak dapat ditolerir, harus dengan analgetik - Diare menimbulkan malnutrisi - Berat : - Nyeri tidak dapat ditolerir, harus dengan analgetik - Diare menimbulkan malnutrisi 4) Kanker esofagus a) Contoh penyebab : - asbestos - akrilonitrile b) Kriteria diagnostik : - klinik : disfagia - endoskopi - biopsi c) Tingkat cacat menetap dipandang cacat berat 5) Kanker lambung a) Contoh penyebab sama dengan kanker esofagus b) Kriteria diagnostik : - Klinik : - Nyeri epigastrium - Nausea - Anoreksia - Berat badan turun - Anemia - Foto lambung - Gastroskopi - Biopsi c) Tingkat cacat menetap dipandang tingkat cacat berat 6) Kanker kolon a) Contoh penyebab : - asbestos - akrilonitrile b) Kriteria diagnostik : - klinik : - perubahan pola defekasi - diare atau obstipasi - perdarahan per-anum - mules - feses berlendir - berat badan turun - foto kolon - kolonoskopi c) Tingkat cacat menetap dipandang tingkat berat. 14

30 b. Penyakit hati 1) Penyakit hepatitis akut a) Contoh penyebab : - Anorganik : bahan kimia anorganik misal tembaga, timah hitam, fosfor, antimon, thallium, krom, brom, merkuri. - Organik : bahan kimia organik misal senyawa hidrokarbon alifatik dan aromatik dengan ikatan klor maupun lain (dinitro benzene, hidrazin, eter, alkohol). b) Kriteria diagnostik : - klinik : - riwayat adanya pemaparan dengan agen sebelum timbulnya gejala - rasa lemas, cepat lelah, mual, intoleransi lemak, urin warna air teh/kopi - ikterus, hepatomegali dan nyeri tekan - singkirkan penyebab lain (alkohol, obat, infeksi) - laboratorium : - hiperbilirubinemia (libirubin D>1) - SGOT dan SGPT SGOT < SGPT - - HBs Ag negatif IgM anti HAV negatif IgM anti HCV negatif c) Tingkat cacat menetap : tidak ada. 2) Hepatitis akut kolestatik a) Contoh penyebab : resin b) Kriteria diagnostik : sama dengan penyakit hepatitis akut yang sering disertai keluhan gatal. c) Tingkat cacat menetap : sama dengan penyakit hepatitis akut 3) Disfungsi hepatoseluler kronik persisten a) Contoh penyebab : aromatik chlorinated (bifenil poliklorida, benzen heksaklorida, dioksin, pestisida). b) Kriteria diagnostik : - ada kontak dengan agen - gangguan faal hati hilang timbul (bilirubin, SGOT, SGPT) - sering disertai kelainan kulit (porfiria tarda) - singkirkan penyakit hati kronik lain (histopatologik tidak khas) c) Tingkat cacat menetap : ringan 4) Sirosis hati a) Contoh penyebab : - ikatan logam (arsenik) - haloalkil (vinil klorida) - hidrokarbon chlorinated (CCI 4 ) - aromatik chlorinated (PCB, benzen heksaklorida, dioksin, pestisida). b) Kriteria diagnostik : - riwayat adanya penyakit yang disebut di atas (pernah alami penyakit 1 s/d 3) - tanda/ stigmata sirosis hati - USG untuk usus yang stigmatanya minimal c) Tingkat cacat menetap : berat 15

31 5) Hepatoma (karsinoma hepatoseluler) a) Contoh penyebab : - ikatan logam (arsenik) - haloalkil (vinil klorida) - hidrokarbon chlorinated (CCI 4, CHCI 3, trikloroetilin) b) Kriteria diagnostik : - ada kontak dengan agen - eksklusi penyebab lain (virus hepatitis B, aflatoksin) - asites - hepatomegali, keras, berbenjol, kadang terdengar bruit - gangguan faal hati - AFP meninggi - Lesifokal (SOL) pada USG c) Tingkat cacat menetap : berat 6) Angiosarkoma a) Contoh penyebab : - ikatan logam (arsenik) - haloalkil (vinil klorida) b) Kriteria diagnostik : - riwayat adanya paparan dengan agen - hepatomegali, nyeri spontan dan nyeri tekan - asites - gangguan faal hati - lesi fokal (SOL) pada USG c) Tingkat cacat menetap berat 7) Hepatitis granulomatosa (beriliosis) a) Contoh penyebab : ikatan logam (berilium) b) Kriteria diagnostik : - riwayat paparan dengan agen - demam lama - anikterik - fosfatase alkali - transaminase dan globulin sedikit bilirubin normal - berilium dalam urin dan kulit (skin patch) - laparoskopi - biopsi c) Tingkat cacat menetap : - sedang : - kenaikan SGOT dan atau SGPT sampai dengan 2 x nilai normal tertinggi - Berat : - Kenaikan SGOT dan atau SGPT lebih dari 2 x normal tertinggi 8) Sklerosis hepatoportal. a) Contoh penyebab : - ikatan logam (arsenik, torium dioksida) - haloalken (vinil klorida) b) Kriteria diagnostik : - adanya kontak dengan agen - kelainan fisik tidak jelas, dapat timbul manifestasi hipertensi portal (asistes, edema) - kelainan histologik khas perlu untuk diagnosis pasti - gangguan faal hati ringan, tidak khas 16

32 c) Tingkat cacat menetap : - ringan : - tes faal hati (bilirubin dan transaminase) sedikit meninggi - tidak ada tanda-tanda hipertensi portal - berat - tes faal hati jelas meninggi - ada tanda-tanda hipertensi portal ( asites, edema, varises esofagus dan hemoroid) Dalam penyakit hati : - klasifikasi tingkat cacat menetap berat berarti nilai cacat 70% dari upah sehari - klasifikasi tingkat cacat menetap sedang berarti nilai cacat 50% dari upah sehari - klasifikasi tingkat cacat menetap ringan berarti nilai cacat adalah 30% dari upah sehari. ad.4. Penyakit Endokrin Akibat Kerja. Sistem endokrin. Masalah terpenting dalam sistem ini ditemukan pada fungsi gonad, yaitu gangguan fungsi reproduksi. Bahan yang sudah diketahui dapat menyebabkan kemandulan ialah : - dibromklorpropan - kepone (klordekon = insektisida organoklor) - timah hitam (batere) - timah putih organik (plastik, cat, pestisida) - dietilstilbestrol (produksi DES) - radiasi mengion Derajat cacat untuk kemandulan sukar ditetapkan. Walaupun kewaspadaan harus ditingkatkan demi keselamatan pekerja. demikian ad.5. Penyakit Hematologi Akibat Kerja a. Anemia hemolitik 1) Contoh penyebab : - arsen - stibine - trinitrotoluen (TNT) - naftalen - timah hitam - oksigen hiperbarik (lebih-lebih pada G6PD) 2) Kriteria diagnostik : - ada kontak dengan agen - klinis - kelelahan umum - sakit kepala difus - mata : - konjunctiva pucat - sklera ikterik +/- - laboratorium : - Hb - Rt - SDM : - sferosit - fragmented - basophilic stippling (timah hitam dan arsen) - Hein bodies (naftalen dan TNT) 17

33 - Kimia darah : bilirubin indirek - Urin : hemosiderin (+) 3) Tingkat cacat menetap dinilai sesudah fase akut diatasi. b. Anemia hipoplasia 1) Contoh penyebab : radiasi mengion, benzene, timah hitam 2) Kriteria diagnostik : - ada kontak dengan agen - klinis : Gejala umum : - konstipasi, muntah - lead line (pada gusi) - neuritis perifer - pucat - hematologi : - Hb - SDM : - basophilic stippling - normokrom, normositer - Kimia darah : kadar timah dalam darah > 40 Ug/ dl 3) Tingkat cacat menetap : dinilai setelah fase akut diatasi c. Methemoglobinemia 1) Contoh penyebab : - aniline dyes - aromatic amine - senyawa nitro substituted benzene - organic/inorganic nitrit/nitrat 2) Kriteria diagnostik : - ada kontak dengan agen - klinis : sianosis - laboratorium : - darah warna coklat - methemoglobin 3) Tingkat cacat menetap : dinilai sesudah fase akut diatasi d. Trombositopenia 1) Disertai depresi sumsum tulang a) Contoh penyebab : - benzene - pestisida - radiasi mengion - arsen - TNT b) Kriteria diagnostik : - ada kontak dengan agen - klinis : - ptekia, purpura, ekimosis - perdarahan mukosa - laboratorium : trombosit - aspirasi sumsum tulang : hipoplasia c) Tingkat cacat menetap dinilai sesudah pengobatan. 2) Dengan sumsum tulang normal a) Contoh penyebab : oksigen hiperbarik (scuba divers) b) Kriteria diagnostik : - ada kontak dengan agen - klinis : seperti pada trombositopenia yang disertai depresi sumsum tulang - laboratorium : trombosit - 18

34 c) Tingkat cacat menetap : dinilai sesudah pengobatan e. Anemia aplasi 1) Contoh penyebab : - benzene - arsen - pestisida - TNT - Radiasi 2) Kriteria diagnostik : - ada kontak dengan agen - klinis : - kelelahan umum - pucat - sering infeksi - perdarahan mukosa - ptekia, purpura, ekimosis - laboratorium : - - Lekosit - Trombosit - Aspirasi sumsum tulang : hypoplasia 3) Tingkat cacat menetap : - ringan : HB : gr% L : Tr : sedang : Hb : 7,5-9,9 gr% L : Tr : berat : Hb : < 7,49 L : < 1500 Tr : < f. Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria 1) Contoh penyebab : - benzene - radiasi 2) Kriteria diagnostik : - ada kontak dengan agen - klinis : - pucat - urin : coklat kehitam-hitaman - sering nyeri pada abdomen - laboratorium : Hb 3) Tingkat cacat menetap : - ringan : Hb : gr% - sedang : Hb : 7,5-9,9 gr% - berat : Hb : < 7,4% g. Leukemia akut 1) Contoh penyebab - benzene - etilen - pestisida - arsen - TNT - Radiasi 2) Kriteria diagnostik : - ada kontak dengan agen - klinis : - kelelahan umum 19

35 - sering infeksi - perdarahan mukosa - pucat - ptekia, purpura, ekimosis - hepatosplenomegali - laboratorium : - HB - Leukosit - Trombosit - Sel blas (+) - Aspirasi sumsum tulang : sel blas > 30% 3) Tingkat cacat menetap : dinilai sesudah pengobatan (sedang sampai berat) h. Leukemia limfositik kronik 1) Contoh penyebab : - benzen - radiasi 2) Kriteria diagnostik : - ada kontak dengan agen - klinis : - kelelahan umum - pucat - hepatosplenomegali - limphadenopati - laboratorium : - HB N / - Leukosit - - Sel blas (+) 3) Tingkat cacat menetap : - Ringan : - HB, trombosit normal - Limfosit > Limfoid terkena < 3 area - Sedang : - HB, trombosit normal - Limfoid terkena > 3 area - Splenomegali/ hepatomegali - Berat : - Hb < 10 g% - Tr < Hepatosplenomegali - Limfoid terkena > 3 area i. Leukemia mielositik kronik 1) Contoh penyebab : - benzen - radiasi 2) Kriteria penyebab : - ada kontak dengan agen - klinis : - kelelahan umum - pucat - hepatosplenomegali - laboratorium : - Hb - Leukosit - Trombosit N / - Aspirasi sumsum tulang : sel blas (+) 20

36 3) Tingkat cacat menetap : - ringan : - HB, g% - leukosit < trombosit normal - sel blas 1-5% - Sedang : - HB, 7,5-9,9 g% - leukosit trombosit normal - sel blas 6-25 % - Berat : - Hb < 7,5 g% - leukosit > trombosit < sel blas > 25 % Dalam hal penyakit hematologi akibat kerja : - klasifikasi tingkat cacat menetap berat berarti nilai cacat adalah 70% dari upah sehari - klasifikasi tingkat cacat menetap sedang berarti nilai cacat adalah 50% dari upah sehari - klasifikasi tingkat cacat menetap ringan berarti nilai cacat adalah 30% dari upah sehari ad.6. Penyakit Otot dan Kerangka Akibat Kerja a. Fenomena Raynaud : - vibration white finger - akroosteolisis 1) Contoh penyebab : - trauma vibrasi - vinil klorida 2) Kriteria diagnostik : - pemaparan terhadap pekerjaan atau alat tersebut, beberapa bulan hingga lebih dari 20 tahun - gejala prodromal : parastesia, anestesia, ujung jari pucat - radiologi : adanya ostreoporis falang distal/ perubahan-perubahan kistik kecil b. Carpal tunnel syndrome 1) Contoh penyebab : sering pada macam-macam pekerjaan operator mesin asembling, yang melakukan pengepakan, pekerjaan tekstil, pekerja lainnya (vibrasi & fleksi yang kuat pada pergelangan tangan maupun ekstensi atau deviasi) 2) Kriteria diagnostik : - karakteristik parastesia, nyeri, lemah pada jari-jari menurut distribusi N. medianus distal - gejala khas tadi memburuk malam hari ataupun sesudah fleksi yang lama misal : pengemudi mobil - hilangnya rasa raba permukaan tangan sebelah medial - kelemahan tenar/atrofi - kesemutan dari pergelangan ke bawah - EMG, hubungan dengan kerja dinilai secara hati-hati, penggunaan tangan, posisi tangan & sering atau beratnya kekuatan atau tekanan pada pergelangan tangan atau vibrasi. - Gejala berkurang sesudah istirahat kerja 21

37 c. Sindroma kompresi lain : 1) Sindroma pronator a) Contoh penyebab - pronasi yang kuat berlangsung lama menjepit N. medianus di lengan bawah - tugas kerja memutar tuas atau roda. b) Kriteria diagnostik : mirip carpal tunnel syndrome, tetapi kesemutan meluas ke lengan bawah 2) Cubital tunnel syndrome a) Contoh penyebab : N. ulnaris dapat rusak pada siku oleh tekanan langsung atau oleh fleksi ekstensi yang berulang b) Kriteria diagnostik : - pekerja kantor, supir, operator mesin dan juru gambar - semutan daerah ulnar dari telapak tangan dan kelemahankelemahan otot-otot tangan yang dipersarafi N. ulnaris. 3) Wrist drop a) Contoh penyebab : - N. radialis oleh tekanan langsung pada humerus posterior - Mengangkat barang berat yang terus menerus atau menggunakan ban kompresif yang dipakai terus menerus b) Kriteria diagnostik : kelemahan pada pergelangan dan gejala Wirst Drop 4) Obstruksi mulut rongga dada a) Contoh penyebab : - mengangkat barang berat di bahu dan bekerja dengan lengan ke belakang kepala - penggunaan otot-otot bahu yang berlebihan menyebabkan hipertropi otot subclavius. b) Kriteria diagnostik : - riwayat adanya paparan dengan agen - kompresi plexus Brachialis dan arteri Brachialis - insuffisiensi intermitten neurovasculer lengan. 5) Ischialgia a) Contoh penyebab : kompresi eksternal saraf ischiadicus oleh karena duduk yang lama atau duduk pada tempat yang sempit. b) Kriteria diagnostik : gejala sama dengan akibat penyakit discus intervertebrata lumbalis. 6) Sindroma N. cutaneous femoralis lateralis. a) Contoh penyebab : - Kompresi saraf sensoris - Trauma pada pelvis oleh tempat duduk ataupun oleh sabuk yang digunakan. - Tarikan atau gerakan-gerakan tubuh maupun tungkai bawah pada posisi tertentu yang berlebihan. b) Kriteria diagnostik : gejala nyeri yang terasa seperti terbakar dan parestesia pada paha lateral. 22

38 7) Foot Drop a) Contoh penyebab : N. Peroneous mengalami kompresi langsung atau akibat posisi bungkuk atau melipat badan, jongkok, berlutut. b) Kriteria diagnostik : kelemahan dorsofleksi kaki, bisa juga kehilangan sensoris pada punggung kaki dan tungkai bawah lateral. 8) Tarsal Tunnel Syndrome a) Contoh penyebab : N. tibialis posterior yang melalui bagian bawah pergelangan kaki medial tertekan sepatu yang tidak tepat dan terlalu sempit sebagai penyebab utama. b) Kriteria diagnostik : seperti pada syndrome carpal tunnel menyebabkan parestesia dan rasa terbakar pada jari-jari kaki dan telapak bagian distal. d. Artritis degeneratif (termasuk pinggang) 1) Contoh penyebab : Sehubungan dengan pekerjaan tertentu yaitu penggunaan berulang dan pembebanan pada sendi-sendi tertentu : - pergelangan siku & bahu : alat-alat vibrasi (bor, gerinda, gergaji) - kaki & pergelangan kaki : penari - siku : pekerja pengecoran - siku & genu : pekerja tambang - genu : pramu wisma - jari tangan dan pergelangan : pekerja tekstil - jari tangan : pemetik kapas 2) Kriteria diagnostik : Kelainan radiologi yang jelas disertai pemeriksaan fisik : - Lokasi sesuai dengan pekerjaan (hanya beberapa sendi) - Telah melakukannya sedikit-dikitnya 10 th dengan gerakan berulang dari sendi yang terkena. - Struktur kontra-lateral tidak kena kecuali pengunaan secara simetris. e. Tendinitis 1) Contoh penyebab : - Inflamasi bursa, tendo, ligamen ataupun jaringan sekitar sendi lainnya - Gerakan yang berulang atau trauma langsung. 2) Kriteria diagnostik : - Nyeri setempat atau bengkak. Nyeri terutama pada gerakan tertentu yang diberi perlawanan (tahanan) misal : epicondilitis di samping nyeri setempat juga pronasi yang ditahan. - Radiologi menyingkirkan kelainan pada sendi atau tulang - Jelas pekerjaannya mengenai gerakan berulang atau keras pada sendi tersebut. - Perlu disingkirkan faktor bukan pekerjaan (Gout, RA, GO) f. Kontraktur Dupuytren's 1) Contoh penyebab : - Adanya proliferasi noduler jaringan fibrosa pada fascia palmaris - disangka ada kaitannya dengan trauma pekerjaan yang berulang - sekarang diragukan benar tidaknya pengaruh kerja dan trauma 2) Kriteria diagnostik : - Gejala dan tanda jelas - Menimbulkan fleksi jari-jari yang menetap dan progresif - Singkirkan penyebab lain. 23

39 g. Nyeri pinggang bawah 1) Contoh penyebab : - Sering menyebabkan cacat temporer - Ada kaitannya kerja mengangkat ataupun mengerjakan & mengepak barang - Walaupun pekerjaan apapun sering menunjukkan hampir sama terjadinya kelainan ini. 2) Kriteria diagnostik : - Osteofit maupun penyempitan diskus (radiologi) - Perlu disingkirkan adanya infeksi atau penyakit tulang, saraf, vaskuler dan lain-lain. - Kecenderungan eksaserbasi pada waktu bekerja. h. Nekrosis tulang yang aseptik 1) Contoh penyebab : - Penyelam atau pekerja di bawah air lainnya mempunyai risiko meningkat terutama mengenai tulang panjang. - Ada kaitannya dengan obstruksi vaskuler oleh gelembung nitrogen atau oleh karena dekompresi yang terlalu cepat mengakibatkan ischemia dan infark tulang. 2) Kriteria diagnostik : - Radiografi dan/atau radionuklir - Genu, coxae, bahu, dengan mulainya pelan-pelan berbulan-bulan dan berulang-ulang. i. Kelainan kolagen 1) Skleroderma a) Contoh penyebab : - Pelarut hidrokarbon aromatik - Debu silikon - Debu karbon (batu bara). b) Kriteria diagnostik : - Kecenderungan pada penderita pneumokoniosis dan silikosis - Kriteria diagnostik sama dengan skleroderma sebab lain. 2) Akroosteolitis a) Contoh penyebab : vinyl clorida monomer b) Kriteria diagnostik : - Kontak dengan vynil chlorida monomer - Waktu laten kurang dari 2 tahun - Hiperglobulinemia - Tes fungsi hati terganggu - Biopsi : - kulit - pembuluh darah j. Gout sekunder 1) Contoh penyebab : - Timah hitam (Pb) - Berilium 2) Kriteria diagnostik : - Pemaparan sedikitnya tahun - Klinis sama seperti Gout Primer - Gangguan fungsi organ (hati, ginjal, otak) - Kadar Pb dalam darah tinggi. 24

40 k. Gangguan tulang metabolik 1) Fluorosis a) Penyebab : fluor b) Kriteria diagnostik : - Kontak kronik (beberapa tahun) dengan fluorida pada tulang dan jaringan - Mobilitas tulang punggung berkurang - Radiologis : - bentuk tulang berubah, ligamen dan tendon mengalami kalsifikasi - osteosklerosis dan kalsifikasi pelvis dan ligamen spinal laboratorium : - kadar fluor di urine 24 jam, > 1,5 Ng/dl kreatinin - kadar fluor di darah - biopsi tulang. 2) Phosphorous (Phossy Jaw) a) Contoh penyebab : posfor b) Kriteria diagnostik : - Sakit gigi - Gigi tanggal secara progresif - Pyorhea - Disfungsi rahang - Radiologik : nekrosis aseptik progresif pada tulang rahang l. Artralgia & myalgia difus 1) Akut difus a) Contoh penyebab : - Uap logam - Pestisida - Pelarut kimia b) Kriteria diagnostik : - Nyeri difus akut - Myalgia difus 2) Kronik difus a) Artralgia Pb (1) Penyebab : timah hitam inorganik (2) Kriteria diagnostik : - Kontak kronik - Myalgia difus kronik - Terkena sendi besar - Gejala tidak khas, ada gejala umum akibat keracunan Pb. - Kadar timah hitam > 40 Ug/dl b) Fluorosis sistemik (1) Penyebab : fluor (2) Kriteria diagnostik : - Biopsi tulang - Kadar fluor dalam darah. Penyakit kelainan otot dan kerangka akibat kerja, penentuan tingkat cacat menetap dengan menggunakan kriteria tingkat cacat pada orthopaedi. 25

41 III. PENENTUAN TINGKAT CACAT PENYAKIT OTOT DAN KERANGKA AKIBAT KERJA GANGGUAN FUNGSI 1. Keterbatasan ROM (RGS = Ruang Gerak Sendi) a. Ringan : Keterbatasan sendi 30% b. Sedang : Keterbatasan sendi 30-70% c. Berat : Keterbatasan sendiri % 2. Stabilitas sendi a. Ringan : Sendi masih dapat digunakan dengan sedikit gangguan b. Sedang : Sendi sukar digunakan/terbatas c. Berat : Sendi sangat sukar digunakan/sangat terbatas 3. Deviasi/Malformasi a. Ringan : Sedikit menimbulkan kesukaran b. Sedang : Menyukarkan gerakan sendi c. Berat : Sangat terbatas dalam gerakan sendi/tak dapat digunakan 4. Kelemahan otot / Syaraf Tepi a. Ringan : Kekuatan otot 4-5 b. Sedang : Kekuatan otot 3-2 c. Berat : Kekuatan otot 1-0 SENDI - SENDI YANG DAPAT TERKENA - Bahu Coxae - Siku Genu - Pergelangan Subtarsal - MCP (Metacarpo Phalangeal) Tarso - Metatarsal - PIP (Proximal Inter Phalangeal) MTP (Metatarso Phalangeal) - DIP (Distal Inter Phalangeal) GANGGUAN FUNGSI (STEINBROCKER) 1. Dapat melaksanakan tugas / kegiatan sehari-hari : 25% 2. Ada beberapa kesukaran dalam melaksanakan tugas / kegiatan sehari-hari : 50% 3. Melaksanakan kegiatan sehari-hari dengan terbatas / perlu dibantu : 75 % 4. Sangat sukar melaksanakan kegiatan / tugas sehari-hari : 100% Penyakit infeksi akibat kerja a. Hepatitis B/C 1. Penyebab : virus hepatitis B/C 2. Kriteria diagnostik : - Adanya riwayat kontak dengan cairan tubuh penderita (petugas kesehatan, laboratorium, kebersihan), demam/sindroma flu (tak selalu), rasa kelemahan umum, cepat lelah, mual, intoleransi lemak, urin berwarna coklat tua (teh), konjungtiva ikterik, hepatomegali. - Hbs Ag (+), lg M Anti HCV (+) 26

42 3. Tingkat kecacatan : Tingkat kecacatan menetap tidak ada bila sembuh Ringan : bila menjadi hepatitis kronis Sedang : bila menjadi sirosis hati Berat : bila menjadi hepatoma atau fulminan b. Tuberkulosis 1. Penyebab : Mycobacterium tuberculosis 2. Kriteria diagnostik : - Ada kontak dengan droplet (petugas kesehatan, laboratorium), batuk-batuk, CNS : meningitis dll. - Laboratorium : ditemukan kuman Mycobacterium tubercolusis, - Pemeriksaan Radiologis. 3. Tingkat kecacatan : dinilai setelah terapi. c. HIV (Human Immunodeficiency Virus) 1. Penyebab : virus HIV 2. Kriteria diagnostik : - Adanya kontak dengan cairan tubuh penderita (petugas kesehatan, laboratorium, kebersihan). Gejala sindrom flu, bila sudah menjadi AIDS terdapat infeksi oportunistik seperti : TBC, Pneumonia P. carinii, infeksi jamur, infeksi virus Citomegalo, virus Epstein Barr, mudah terjadi infeksi. - Laboratorium : serologi HIV (+), Western Blot (+) 3. Tingkat kecacatan : Berat BIDANG PSIKIATRI I. BATASAN Psikiatri atau ilmu kedokteran jiwa adalah cabang dari ilmu kedokteran yang menangani sebab-musabab (patogenesis), diagnosis, prevensi, terapi dan rehabilitasi gangguan jiwa serta promosi kesehatan jiwa (Maramis, 1980). Psikiatri industri atau psikiatri okupasional berkaitan dengan prevensi, diagnosis, terapi dan rehabilitasi di tempat kerja Penyakit akibat kerja dan cacat akibat kecelakaan kerja di bidang psikiatri adalah gangguan jiwa yang bersifat sementara maupun menetap, yang berhubungan dengan pekerjaan. Gangguan jiwa yang dapat terjadi berupa : A. Kondisi kejiwaan yang khas di tempat kerja : Anxiestas, depresi, lesu kerja (burn-out), absenteisme dan Histeria Massal B. Gangguan jiwa yang paling banyak terkait dengan kondisi kerja menurut ICD - 10 adalah : 1. Gangguan Neurotik 2. Gangguan Somatoform 3. Gangguan yang berkaitan dengan Stress C. Gangguan jiwa yang kadang-kadang terkait dengan kondisi kerja menurut ICD - 10 adalah : 1. F00-F09 : 1. Gangguan Organik, termasuk Gangguan Mental Simptomatik : Demensia dan Delirium 2. Anxietas, Depresi dan Gangguan Kepribadian Akibat Zat Toksik. 27

43 2. F10-F19 : Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat Psikoaktif. 3. F30-F39 : Gangguan Suasana Perasaan (Mood) 4. F50-F59 : Sindrom Perilaku yang Berhubungan dengan Gangguan Fisiologik dan Faktor Fisik : Disfungsi Seksual, Gangguan Makan dan Tidur yang Berkaitan dengan pekerjaan. D. Gangguan jiwa yang mengakibatkan cacat mental 1. Skizofrenia 2. Gangguan Paranoid 3. Psikosis Organik II. DIAGNOSIS Diagnosis psikiatri didasarkan atas gejala-gejala yang diperoleh atas dasar wawancara psikiatrik dan pengamatan (observasi) klinik. Kemudian gejala-gejala tersebut disusun menurut kriteria diagnostik yang sudah dibakukan dalam Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) di Indonesia. Gangguan jiwa biasanya terjadi melalui suatu proses perjalanan penyakit yang panjang. Gangguan ini dilandasi oleh faktor-faktor dasar (predisposing factors) dan dibangkitkan oleh faktor pencetus (precipitating factor). Faktor dasar sudah ada sejak awal perkembangan kepribadian seseorang. Individu tersebut telah memiliki kondisi-kondisi tertentu yang diperolehnya melalui proses genetik (herediter, keturunan), atau kondisi yang telah ada pada saat itu, yaitu proses konstitusional. Kondisi awal ini berkembang, baik melalui proses maturasi (pematangan) akibat bertambahnya usia, maupun akibat pengaruh lingkungan. Faktor herediter, organobiologik, konstitusional dan psikososial dapat berkembang menjadi kekuatan dan kelemahan pada individu tersebut. Apabila mendapat pencetus yang berat dan tepat (spesifik), jatuhlah orang tersebut dalam keadaan terganggu jiwanya. Pencetus tersebut misalnya adalah stresor dalam pekerjaan. Kesulitan untuk menentukan adanya hubungan kausalistas antara gangguan jiwa dan kondisi kerja adalah karena hakikat gangguan jiwa yang multi-kasual dan multifaktorial. Lain halnya dengan gangguan mental organik seperti demensia, delirium dan epilepsi yang dapat secara kausal dihubungkan dengan akibat kerja yang bersifat fisik seperti cedera kepala dan intoksikasi otak. Dalam psikiatri, penyebab umum gangguan jiwa terdiri dari faktor organobiologik misalnya faktor hereditas dan lingkungan yang mempengaruhi tubuh, faktor psikologis terutama dari pengalaman belajar dari lingkungan, terutama hubungan interpersonal, dan faktor sosiokultural yang dipengaruhi oleh masyarakat dan budaya yang ia hidup di dalamnya. Manusia bereaksi secara holistik (keseluruhan) yaitu secara somato-psikososial, sehingga yang sakit dan menderita adalah manusia seutuhnya. Perlu ditentukan seberapa jauh hubungan antara akibat kerja sebagai kausa dan gangguan jiwa sebagai akibatnya. Kadang-kadang faktor predisposisinya terlalu kuat, misalnya Skizofrenia dan Psikosis Afektif yang bersifat endogen, artinya memang telah terdapat kelainan neurotransmiter di dalam otak seperti dopamin dan serotonin. Gangguan jiwa tersebut akan timbul walaupun faktor pencetusnya tidak spesifik, misalnya setelah giginya dicabut, dimarahi oleh atasan atau tidak dinaikkan pangkatnya. Dengan demikian keterkaitan dengan kondisi kerja sangat lemah. Berbeda dengan gangguan jiwa yang dikelompokkan dalam Gangguan Neurotik, Gangguan Somatoform, dan Gangguan yang Berhubungan dengan Stres (di tempat) kerja dapat lebih mudah ditentukan. 28

44 Telah terbukti secara empiris bahwa untuk timbulnya gangguan jiwa kelompok ini memerlukan waktu sedikitnya enam bulan. Misalnya seorang pekerja yang menderita Fobia untuk naik helikopter ke lepas pantai. Depresi Reaktif setelah merasa pekerjaannya tidak cocok dengan yang dijanjikan atau gangguan Stres Pasca-trauma setelah mendapat kecelakaan kerja. Gangguan jiwa atau kondisi kejiwaan yang dianggap khas akibat kerja ialah gangguan jiwa ringan seperti anxietas dan depresi akibat stres yang tak dapat ditanggulangi, gangguan psikosomatik, kecelakaan kerja, absenteisme, lesu kerja (burn-out), histeria massal (mass hysteria atau behavioral contagion), writer's cramp dan sebagainya. Ditentukan melalui pemeriksaan : A. Anamnesis 1. Identitas : nama, umur, gender 2. Riwayat : a. Perkembangan kepribadian b. Pendidikan c. Penyakit dalam keluarga 3. Riwayat penyakit : a. Timbul mendadak atau pelan-pelan b. Apakah pernah menderita gejala semacam ini sebelumnya c. Adakah stresor psiko-sosial 4. Riwayat pekerjaan : a. Hubungan dengan stres b. Hubungan dengan kelainan organik pada susunan saraf-pusat akibat pekerjaan (pada gangguan psikosis organik) B. Pemeriksaan Fisik Diagnostik C. Pemeriksaan Neurologik D. Pemeriksaan Psikiatrik Khusus 1. Penampilan umum : a. Kesadaran b. Perilaku dan aktivitas psikomotor c. Pembicaraan d. Sikap 2. Keadaan afektif : a. Perasaan dasar b. Ekspresi afektif c. Empati 3. Fungsi kognitif a. Daya ingat b. Daya konsentrasi c. Orientasi d. Kemampuan menolong diri sendiri 4. Gangguan persepsi : halusinasi, ilusi, depersonalisasi, derealisasi 5. Proses pikir : waham, gangguan asosiasi pikiran 6. Daya nilai sosial 7. Persepsi tentang diri dan kehidupannya 29

45 E. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan laboratorium 2. Pemeriksaan rontgen 3. Pemeriksaan psikologik, laporan social worker F. Penentuan Hubungan Kausatif Atau Kausalitas Antara Kondisi Kerja Dengan Gangguan Psikiatrik 1. Pasien telah bekerja selama minimal 6 (enam) bulan. Hal ini untuk menghindari kemungkinan bahwa gangguan psikiatrik diakibatkan oleh stress atau kausa sebelum bekerja. 2. Didapatkan faktor pencetus yang objektif pada tempat kerja yang dinyatakan tidak hanya oleh pasien tersebut. 3. Apabila ditemukan beberapa faktor pencetus, harus dapat ditentukan bahwa kondisi kerja merupakan faktor yang paling dominan. III. URAIAN CACAT DAN PENILAIAN TINGKAT CACAT Penilaian tingkat cacat penyakit akibat kerja bidang psikiatrik diberikan apabila : Menurut perjalanan penyakit, gangguan jiwa dapat menimbulkan cacat mental (mental disability) misalnya pada gangguan mental organik, skizofrenia, neurosis berat, gangguan kepribadian dan ketergantungan zat. Hal ini dapat ditentukan apabila gangguan jiwa tersebut masih terdapat gejala sisa sehingga merupakan hendaya dalam fungsi sosial dan pekerjaan. Cacat Mental Akibat Kecelakaan Kerja American Medical Association pada tahun 1985 menerbitkan Guides to the Evaluation of Permanent Impairment. Sedangkan Pemerintah Federal Amerika Serikat (1980) mendefinisikan disabilitas sebagai ketidakmampuan untuk berperan dalam setiap aktivitas substansial karena sebab medik yang ditentukan oleh hendaya mental yang berlangsung terus menerus lebih dari 12 bulan. Kaplan (1995) dalam upaya rehabilitasi psikiatrik mendefinisikan sebagai berikut : 1. Hendaya (impairment) adalah gejala positif dan negatif yang khas dan gangguan yang berhubungan dengan abnormalitas kognitif dan afektif, seperti pada Skizofrenia, Gangguan Autistik dan Gangguan Bipolar. 2. Disabilitas (disability) adalah pembatasan (restriksi) yang diakibatkan oleh hendaya dalam ranah (domain) fungsi kehidupan seperti higiene pribadi, mengelola pengobatan sendiri, rekreasi pada waktu luang, dan hubungan keluarga dan sosial. 3. Cacat (handicap) kondisi yang dirugikan sebagai akibat hendaya dan disabilitas yang membatasi atau mencegah pemenuhan peranan yang normal, seperti sebagai pekerja, mahasiswa, warga negara dan anggota keluarga. Pedoman yang diterbitkan oleh American Medical Association tersebut mempunyai lima asas, yaitu : 1. Asas I : Dalam menentukan hendaya yang diakibatkan oleh gangguan mental dan fisik, kriteria empirik harus dilaksanakan secara tepat. Penilaian perlu diperhatikan tiga faktor yaitu derajat hendaya, derajat disabilitas dan derajat kecacatannya. 30

46 Pada gangguan jiwa, hendaya dapat ditujukan sebagai kehilangan fungsi penting yang disebabkan oleh gangguan mental organik, gangguan fungsi pikir atau gangguan afektif. Disabilitas merujuk pada taraf fungsi sosial dan pekerjaan yang telah diubah oleh hendaya, misalnya seseorang dapat tidak mampu melaksanakan pekerjaan yang normal karena pikiran yang menetap, atau tidak mampu berhubungan secara produktif terhadap teman sekerjanya karena anxietas atau persepsi yang salah terhadap tindakannya. Untuk menentukan tingkat disabilitas, dapat terjadi dilema untuk membedakan antara orang-orang yang tidak mampu bekerja dan mereka yang tidak mau bekerja karena keuntungan sekunder (secondary gain) yang mereka peroleh dari hendaya. Seorang penyandang cacat (mental) apabila kemampuannya untuk berfungsi dalam sosial dan pekerjaan menghilang atau berkurang karena hendaya yang menetap, dan tidak ada gejala atau perubahan fundamental yang diharapkan. Seorang penyandang cacat mental tidak mampu untuk berfungsi secara memuaskan karena defisit yang khas seperti gangguan pikiran dengan interpretasi salah terhadap realitas. Derajat kecacatan sosial atau pekerjaan sebagian ditentukan oleh reaksi individu terhadap hendaya. 2. Asas II Diagnosis adalah diantara faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam menilai parahnya dan lamanya hendaya, untuk kriteria diagnostik dan deskriptif, penilaian harus menggunakan Diagnostic dan Statistical Manual of Mental Disorders dari American Pshychiatric Association, Edisi ke empat (DSM-IV). Karena DSM-IV telah diterbitkan pada tahun 1994, maka evaluasi multiaksialnya sudah berubah. Evaluasi multiaksial tersebut juga sudah diresmikan oleh Depkes RI pada tahun 1995 melalui buku Suplemen Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III (Suplemen PPDGJ-III), sebagai berikut : Aksis I : Gangguan Klinis Kondisi Lainnya yang Mungkin Merupakan Fokus Perhatian Klinis Aksis II : Gangguan Kepribadian Retardasi Mental Aksis III : Kondisi Medis Umum Aksis IV : Problem Psikososial dan Lingkungan Aksis V : Penilaian Fungsi Secara Global Penggunaan sistem multiaksial memungkinkan evaluasi yang komprehensif dan sistematik dengan memperhatikan berbagai gangguan jiwa dan kondisi medis umum, problem psikososial dan lingkungan, dan taraf fungsional, yang mungkin saja terlewatkan bila fokus perhatian hanya pada penilaian terhadap problem utama yang diungkapkan saja. Misalnya seorang yang mendapat kecelakaan kerja hingga mengakibatkan cacat fisik, dapat ditegakkan diagnosisnya menurut evaluasi multiaksial sebagai berikut : Aksis I : Depresi Aksis II : Gangguan kepribadian Organik Aksis III : Post-contusio cerebri Epilepsi Aksis IV : Problem pekerjaan Problem yang berkaitan dengan lingkungan sosial Aksis V : Skala GAF (Global Assessment of Functioning Scale) = : Gejala berat, hendaya berat. 31

47 Dari semua aksis yang banyak terkait dengan cacat karena kecelakaan kerja adalah aksis V, karena Aksis V digunakan untuk melaporkan penilaian klinik terhadap taraf seseorang secara menyeluruh. Informasi ini berguna dalam perencanaan terapi dan pengukuran hasilnya, memprediksi hasil terapi dan taraf pemulihan, serta derajat kecacatan mentalnya. Pada kondisi tertentu, mungkin bermanfaat untuk menilai disabilitas sosial dan okupasional. 3. Asas III Dalam hal terdapat ketidaksamaan pada evaluasi terhadap sistem organ yang lain, faktor-faktor yang berkaitan dengan situasi keluarga, pendidikan keuangan dan sosial hendaknya diperhatikan, demikian pula taraf fungsi seseorang. Evaluasi perlu dilakukan terhadap fungsi yang sekarang dan masa lampau, dan potensi untuk fungsi yang akan datang. Hal ini meliputi perawatan diri, tanggung jawab terhadap anggota keluarga yang lain dan rumah tangga, serta tanggung jawab terhadap masyarakat. Fungsi pekerjaan pasien yang sekarang harus ditentukan, ketrampilan apa yang masih utuh, dan keterbatasan apa yang terjadi. Misalnya apakah orang tersebut dapat bekerja kembali pada taraf yang lebih rendah daripada sebelum sakit. Pemeriksaan status mental merupakan hal yang utama terhadap evaluasi menyeluruh, atau membantu untuk menentukan derajat defisit yang mempengaruhi cacat kerja dalam taraf berat, sedang atau tidak ada sama sekali. Penilaian juga harus menentukan derajat dan kemungkinan lamanya hendaya, sebagian atau seluruh, merupakan problem jangka pendek atau panjang, dan apakah akan makin memburuk. 4. Asas IV Karakter (kepribadian) dan sistem nilai dari seseorang merupakan faktor yang penting dalam perjalanan gangguan jiwa fisik. Motivasi untuk sembuh merupakan faktor utama untuk prognosisnya. Untuk beberapa orang, motivasi yang kurang merupakan suatu penyebab utama untuk berlanjutnya malfungsi. Kepribadian seseorang dapat pula merupakan faktor dominan dalam memperoleh keuntungan pada rehabilitasi. Keuntungan sekunder (secondary gain) timbul tidak hanya karena besarnya kompensasi atau keuntungan finansial yang akan diperoleh, tetapi juga gaya hidup seseorang. Hendaya ditambah motivasi yang rendah dapat mengakibatkan cacat menyeluruh, sedangkan hendaya ditambah motivasi yang tinggi dapat mengakibatkan cacat yang minimal. 5. Asas V Suatu tinjauan yang berkali-kali harus dilaksanakan terhadap metode terapi dan rehabilitasi. Keputusan akhir belum boleh diambil hingga seluruh riwayat penyakit, fase terapi dan rehabilitasi, status mental, fisik dan perilaku yang sekarang terus diperhatikan. Penilaian yang penting adalah terhadap derajat keterbatasan kerja yang diderita oleh seseorang, yang dapat mulai dari minimal hingga menyeluruh. Rehabilitasi merupakan hal yang mutlak untuk dilaksanakan dalam pengobatan pasien yang telah sembuh dari fase akut pada gangguan jiwa, terutama gangguan jiwa yang berat. 32

48 Dengan upaya rehabilitasi yang tepat, jarang didapati hendaya total yang permanen, kecuali pada pasien dengan penyakit organik. Terdapat berbagai derajat hendaya, dan rehabilitasi total dapat dimungkinkan. Sebagai contoh kedokteran fisik, tungkai yang diamputasi dapat diganti dengan tungkai palsu, yang diharapkan dapat berjalan kembali walaupun tidak seperti semula. Analog dengan kehilangan tungkai adalah kehilangan kemampuan sebagai akibat dari gangguan jiwa. Hendaya yang tersisa dari gangguan jiwa berat, dapat seperti hendaya berat sebagai akibat dari penyakit fisik atau kecelakaan. Hubungan antara motivasi dan pemulihan memerlukan pengamatan pada orang-orang yang menderita penyakit fisik dan gangguan jiwa, dan hal ini merupakan tugas dari psikiatri rehabilitasi. Dengan mempertimbangkan latar belakang seseorang dan kepribadian serta sistem nilainya, taraf pendidikan dan sumber keuangan keluarga perlu diperhatikan. Metode untuk penilaian hendaya psikiatrik dapat dilihat pada Tabel I, Tabel ini digunakan apabila telah dilakukan keputusan klinik yang cermat, setelah semua faktor diagnosis, klinik, terapi dan rehabilitasi telah dilaksanakan. Suatu contoh kasus yang memberikan derajat menyeluruh dari seorang pasien setelah dievaluasi menurut status mental seperti pada Tabel II. Tabel I. Evaluasi Hendaya Psikiatrik Derajat Hendaya Persentase Hendaya 0-5 % 10-20% 25-50% 55-75% >75% 1. Inteligensi Normal atau Retartasi Retadarsi Retardasi Retardasi berat lebih baik ringan sedang - ringan sedang-berat 2. Daya fikir Tak ada Defisit ringan Defisit sedang Defisit Defisit berat defisit sedang-berat 3. Persepsi Tak ada Defisit ringan Defisit sedang Defisit Defisit berat defisit sedang- berat 4. Daya nilai Tak ada Defisit ringan Defisit sedang Defisit Defisit berat defisit sedang-berat 5. Afek Normal Problem Problem Problem Problem berat ringan sedang sedang- berat 6. Perilaku Normal Problem Problem Problem Problem berat ringan sedang sedang- berat 33

49 AKTIVITAS KEHIDUPAN SEHARI-HARI Kemampuan Mandiri Perlu sedikit bantuan Perlu bantuan teratur Perlu bantuan besar Tidak dapat dibantu AKTIVITAS REHABILIASI DAN TERAPI Potensi Baik sekali Baik Baik untuk Kondisi statis Kondisi akan pemulihan lebih buruk parsial Tabel II. Contoh profil Hendaya Psikiatrik Kategori Deskripsi Hendaya Gabungan Hendaya Setatus Mental 1. Intelegensi Normal 1 2. Daya fikir Defisit sedang-berat, tidak mampu menarik kesimpulan 4 minimal dari pernyataan tunggal 3. Persepsi Defisit ringan, tetapi tidak ada gejala waham 2 4. Afek Antara defisit sedang dan berat, suasana perasaan dari 4 permusuhan hingga ramah 5. Perilaku Defisit sedang hingga berat 4 Aktivitas Mandiri kehidupan sehari- 1 hari Potensi Baik untuk pemulihan parsial rehabilitasi 3 Dan terapi Hendaya kolektif Sedang hingga berat 55% - 75% 4 A. Telah dilakukan terapi psikiatrik yang optimal selama 1 (satu) tahun B. Terdapat cacat psikiatrik yang menyebabkan pekerja sama sekali tidak mampu bekerja. 34

50 BIDANG PENYAKIT TELINGA, HIDUNG, DAN TENGGOROK (THT) I. BATASAN Penyakit akibat kerja bidang Telinga, Hidung, dan Tenggorok adalah penyakit atau kelainan pada telinga, hidung dan tenggorok akibat pemaparan faktor-faktor risiko di tempat kerja Kelainan bidang THT yang terjadi dapat berupa : A. Gangguan telinga, sistem pendengaran dan keseimbangan, antara lain : - Gangguan pendengaran akibat bising - Gangguan pendengaran akibat cedera kepala - Gangguan keseimbangan B. Gangguan hidung dan sistem penciuman, antara lain : - Rinitis alergi - Rinitis dan sinusitis kronis - Hiposmia atau anosmia (gangguan penciuman) C. Gangguan tenggorok, antara lain : - Gangguan suara - afoni (tidak ada suara) - disfoni (suara parau) - Cidera laring dan trakea - Gangguan menelan/disfagia, misalnya pada Esofagitis korosi. II. DIAGNOSIS A. TELINGA, SISTEM PENDENGARAN DAN KESEIMBANGAN Diagnosis ditegakkan berdasarkan : 1. Anamnesis a. umur penderita b. riwayat gangguan pendengaran dalam keluarga c. riwayat penyakit : 1) penyakit telinga yang diderita sebelumnya 2) riwayat trauma sebelumnya 3) gangguan pendengaran datangnya mendadak atau berlahan. 4) Riwayat menggunakan bahan-bahan toksik 5) Apakah mempunyai hobi yang berhubungan dengan bising 6) Apakah ada gangguan keseimbangan d. Riwayat pekerjaan : 1) Apakah pernah atau sedang bekerja di tempat yang bising, apakah pernah ada ledakan keras dekat telinga? 2) Apakah menggunakan alat pelindung telinga? kalau ya jenis apa? 3) Selama bekerja, apakah dilakukan pemeriksaan berkala, khususnya pendengaran? 4) Lama bekerja di tempat bising perhari kerja dan lamanya masa kerja 2. Pemeriksaan fisik a. Keadaan umum dan pemeriksaan THT lengkap b. Pemeriksaan telinga bagian luar yang mencakup : - Liang telinga, apakah ada serumen, sekret, perdarahan - Membran timpani, apakah ada tanda-tanda peradangan Otitis Media Akut (OMA), Otitis Media Efusi (OME), Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK). 35

51 c. Pemeriksaan keseimbangan dengan cara : - Pemeriksaan keseimbangan sederhana seperti : Tes Romberg, Stepping, Nudge, Past pointing dan tes tunjuk hidung. - Tes posisi dan tes Perasat Hallpike - Tes posturografi (keseimbangan postural) - Tes kalori menggunakan elektro nistagmografi (ENG) d. Pemeriksaan pendengaran untuk menentukan : - Apakah ada kesulitan? - Apakah jenis kesulitan? Cara : - tes berbisik jarak 6 meter - tes garpu tala - tes audiometrik e. Pemeriksaan laboratorium f. Pemeriksaan audiometri, dengan persiapan optimal terhadap individu dan tempat (16-36 jam bebas pajanan bising). Diagnosis Tuli akibat Bising : 1. Keadaan sebelum kerja : umur, penyakit telinga, pemeriksaan THT, Audiometri. 2. Keadaan bising lingkungan kerja 3. Pekerja : lama pajanan/hari, alat pelindung telinga, pemeriksaan pendengaran tiap 6 bulan. 4. Pemeriksaan pendengaran : tes berbisik dalam jarak 6 meter, audiometri nada murni dengan waktu jam bebas pajanan bising, dan perhatikan malingering. GANGGUAN KESEIMBANGAN Keseimbangan tergantung dari sistem visual, proprioseptif dan sistem vestibuler sendiri. Untuk mempertahankan keseimbangan sedikitnya 2 atau 3 sistem tersebut dapat berfungsi dengan baik. Bentuk gangguan keseimbangan yang sering dijumpai adalah rasa tidak seimbang (sempoyongan), kepala terasa ringan (melayang), vertigo (berputar). Gangguan keseimbangan tersering dijumpai disebabkan karena gangguan fungsi vestibuler perifer. Hal ini dapat terjadi unilateral atau bilateral dan dapat terjadi kompensasi sentral. Keluhan vertigo dapat disertai rasa mual, muntah dan timbulnya nistagmus. Keluhan ini sering berhubungan dengan gangguan pendengaran dan tinitus. Diagnosis gangguan keseimbangan : 1. anamnesis : ditanyakan apakah timbulnya gangguan keseimbangan bila terjadi perubahan sikap atau posisi tertentu?. Adakah rasa tidak stabil, takut berjalan atau bertambah buruk pada kegelapan. Apakah ada rasa mual dan muntah. Apakah disertai gangguan pendengaran atau keluhan berdenging. 2. Pemeriksaan keseimbangan dengan cara : a. Pemeriksaan keseimbangan sederhana seperti : Tes Romberg, Shap Romberg, Stepping, Post pointing dan tes ujung hidung b. Tes posisi dan tes perasat Hallpike c. Tes postugrafi (keseimbangan postural) d. Tes kalori menggunakan elektro nystagmography (ENG). 36

52 B. HIDUNG DAN SISTEM PENGHIDU Batasan : Gangguan pada mukosa hidung yang dipengaruhi oleh suhu, kelembaban dan tekanan udara serta polusi. Pengaruh pajanan polusi terhadap mukosa saluran napas dapat menimbulkan berbagai gangguan pada saluran nafas terutama mukosa hidung dan sistem penciuman, terutama disebabkan asap, iritasi bahan industri. Rongga hidung merupakan lapisan pertama bagi udara yang diisap dari lingkungan. Faktor yang mempengaruhi mukosa hidung ialah suhu udara, kelembaban udara, tekanan udara serta polusi. Polusi udara sering kali terjadi dan mempunyai dampak negatif terhadap mukosa hidung, sehingga insidens rinosinusitis dan alergi meningkat oleh pemaparan asap, seperti asap rokok. Selain itu akibat iritasi bahan industri dapat menyebabkan penyakit kanker. Diagnosis ditegakkan berdasarkan : 1. Anamnesis a. umur. b. riwayat keluarga c. riwayat penyakit : - penyakit hidung yang pernah diderita - keluhan yang dirasakan saat ini - kapan mulai dirasakan - apakah ada : - trauma - infeksi kronis - alergi - terpajan oleh zat tertentu d. Riwayat pekerjaan : - Apakah bekerja di tempat dengan faktor risiko kimia? Kalau ya bahan kimia apa? dan berapa lama? - Apakah menggunakan alat pelindung pernapasan? - Apa jenis alat pelindungnya, apakah selalu digunakan dengan baik? 2. Pemeriksaan fisik a. Keadaan umum b. Pemeriksaan THT lengkap c. Pemeriksaan hidung dan penciuman : Rinoskopi anterior : - Dilihat keadaan mukosa, konka : edema, hipertrofi, hiperemis atau livide - Apakah ada polip atau sekret di meatus medius - Kelainan sinus paranasal d. Pemeriksaan penciuman secara subyektif Kehilangan penciuman disebut anosmia Pemeriksaan penciuman secara subyektif, dipakai 2 zat yaitu: - amonia, selain merangsang alat penciuman, juga merangsang N.Trigeminus - Kopi, hanya merangsang alat penciuman, Cara pemeriksaan penderita diminta untuk menyebutkan nama zat yang diciumkan pada penderita dengan mata tertutup. Perlu diingat adanya malingering 37

53 3. Pemeriksaan penunjang a. Pemeriksaan laboratorium. Sekret hidung dan darah tepi, biasanya jumlah eosinofil meningkat dan konsentrasi lge total meningkat pada alergi. b. Pemeriksaan tes kulit Dilakukan dengan alergen yang terdapat di tempat kerja (pabrik) c. Pemeriksaan radiologik Dilakukan dengan posisi Waters dan lateral untuk melihat keadaan sinus paranasal. d. Pemeriksaan Histopatologik e. Bila ditemukan jaringan yang mencurigakan pada mukosa hidung maka dilakukan usapan mukosa hidung untuk pemeriksaan sitologi dan diambil jaringan dengan biopsi untuk pemeriksaan histopatologi. Hal ini dilakukan pada industri seperti tempat produksi nikel, krom, pembuat sepatu dan tukang kayu/mebel, karena berdasarkan kepustakaan, lingkungan tersebut bersifat karsinogen. Bahan karsinogen dapat menyebabkan displasia epitel mukosa hidung yang merupakan keadaan prekanker. Diagnosis Rinitis Alergi akibat kerja : 1. Pemeriksaan klinis : anamnesis, rinoskopi antrior 2. Pemeriksaan laboratorium : skret hidung, darah tepi (eosinofil, IgE total) 3. pemeriksaan kulit : dengan jenis alegen yang ada di tempat kerja. Diagnosis Rinitis Kronis dan Rinosinusitis Akibat Kerja : 1. Pemeriksaan klinis : anamnesis, rinoskopi anterior 2. Pemerikaan radiologi : posisi waters, lateral 3. pemeriksaan histopatologi : jaringan abnormal pada industri nikel, krom, sepatu, kayu (diplasia epitel mukosa, merupakan tanda pre kanker) 4. pemeriksaan penghidu : rinitis kronis (hiposmia, anosmia) C. TENGGOROK 1. Anamnesis a. umur b. Riwayat penyakit keluarga c. Riwayat penyakit : 1) Apakah ada gangguan menelan? 2) Apakah ada sakit tenggorok? 3) Apakah ada suara parau? 4) Apakah ada gangguan pernapasan? d. Riwayat pekerjaan : 1) Apakah ada trauma (mekanis, kimia) di daerah leher? 2) Apakah bekerja di tempat kerja dengan risiko faktor kimia? kalau ya : - apa saja - sudah berapa lama 2. Pemeriksaan fisik a. Keadaan umum dan pemeriksaan THT lengkap b. Pemeriksaan tenggorok secara khusus : 1) Inspeksi Apakah ada tanda cidera - Bengkak/kemerahan - Perdarahan atau luka pada selaput lendir 2) Palpasi Apakah ada krepitasi pada struktur laring dan trakea? 3) Pemeriksaan laring tidak langsung dengan kaca tenggorok 38

54 3. Pemeriksaan penunjang Radiologik : foto jaringan lunak leher D. CIDERA LARING DAN TRAKHEA Cidera laring atau trakea dapat berupa cedera tumpul atau tajam akibat luka sayat, luka tusuk dan luka tembak. Cedera tumpul pada daerah leher selain dapat menghancurkan struktur laring juga dapat menyebabkan cedera pada jaringan lunak seperti otot, saraf, pembuluh darah dll. Hal ini sering terjadi dalam kehidupan seharihari seperti leher terbentur alat-alat kerja. Cedera dapat ringan, hanya terdapat edema atau laserasi mukosa saja. Pada cedera berat, tulang rawan laring dan trakea hancur serta sebagian jaringan hilang. Selain itu dapat ditemukan luka terbuka atau luka tertutup. Ballanger membagi penyebab cedera laring atas : 1. Cidera mekanik eksternal (cedera tumpul dan tajam) dan mekanik internal 2. Cidera akibat luka bakar oleh panas (gas, cairan panas) dan kimia (cairan alkohol, amoniak, natrium hipoklorid dan lisol) yang terhirup. 3. Cidera Otogen akibat pemakaian pita suara yang berlebihan. Boyes membagi cedera laring dan trakea berdasarkan beratnya kerusakan yang timbul, dalam 3 golongan : 1. Cidera dengan kelainan mukosa saja, berupa edema, hematoma, emfisema submukosa, luka tusuk atau sayat tanpa kerusakan tulang rawan. 2. Cidera yang mengakibatkan tulang rawan hancur. 3. Cidera yang mengakibatkan sebagian jaringan hilang. Pembagian ini erat hubungannya dengan prognosis fungsi primer laring dan trakea, yaitu sebagai saluran napas yang adekuat. Penegakan Diagnosis 1. Gejala Suara parau, rasa nyeri di daerah yang terkena cedera. Pada keadaan yang berat terdapat sesak napas dan sianosis. Pada luka terbuka terdapat perdarahan. 2. Pemeriksaan 2.1. Inspeksi : Melihat daerah yang terkena cedera, bengkak dan kemerahan, perdarahan ringan atau berat Palpasi : Meraba struktur laring dan trakea, adakah krepitasi 2.3. Pemeriksaan laring tak langsung dengan kaca tenggorok. Kadang-kadang sukar untuk menentukan kelainan Pemeriksaan laring langsung: dapat dilihat kelainan di laring berupa edema, Hiperemis dan perdarahan Pemeriksaan Radiologik : foto jaringan lunak leher. Prognosis : 1. Pada luka terbuka, dengan melakukan penjahitan luka akan dapat sembuh sempurna. 2. Pada kerusakan tulang rawan serta mukosa laring dan trakea mungkin terdapat gejala sisa: 2.1. Suara tetap parau 2.2. Tidak dapat bernafas melalui laring, sehingga harus dilakukan trakeostomi permanen. 39

55 E. CIDERA KEPALA Cidera kepala dapat disebabkan oleh kecelakaan yang menyebabkan benturan di kepala. Kelainan THT yang disebabkan oleh cedera kepada ialah : 1. Tuli saraf yang disebabkan oleh kerusakan di koklea 2. Kelainan alat keseimbangan 3. Kelumpuhan saraf wajah (nervus fasial) 4. Tuli konduktif, karena membran timpani pecah. 5. Kebocoran likuor serebrospinal ke telinga Pemeriksaan Pada pemeriksaan, selain memperhatikan keadaan kesadaran dengan menentukan skala Glasgow, perlu dilakukan pemeriksaan sebagai berikut: 1. Keadaan umum dan kesadaran 2. Adanya sekret di liang telinga, dapat berupa darah atau likuor serebrospinal. 3. Keadaan membran timpani : Terdapat ruptur, dan tampak darah mengalir ke liang telinga. Membran timpani utuh, tetapi berwarna kebiruan, berarti terdapat darah di kavum timpani. 4. Pemeriksaan audiologik : tuli konduktif atau tuli saraf. 5. Pemeriksaan alat keseimbangan : 5.1. Memeriksa adanya nistagmus posisi. Penderita yang ditidurkan telentang tiba-tiba kepalanya diangkat dan dimiringkan ke satu sisi. Diperhatikan adanya nistagmus yang timbul 5.2. Tes kalori cara Halklpike - Fitzgeral Pemeriksaan yang lebih canggih ialah dengan melakukan pemeriksaan elektronistagmosgrafi (ENG). 6. Pemeriksaan gerak otot wajah, untuk memeriksa adanya kelumpuhan nervus fasial perifer atau sentral. Penderita diminta untuk menutup mata, mengernyitkan dahi, menggelembungkan pipi dan lain-lain. Dilihat apakah simetris atau tidak. F. OESOFAGITIS KOROSIF Kecelakaan karena terminum zat korosif di suatu industri yang menggunakan zat korosif besar kemungkinan terjadi. Keluhan dan gejala yang timbul sebagai akibat tertelannya zat korosif tergantung pada jenis zat korosif (basa kuat, asam kuat atau zat organik). Konsentrasi zat korosif (zat dengan konsentrasi tinggi menyebabkan kerusakan yang lebih hebat), volume yang tertelan, serta lama zat korosif melalui saluran cerna (kerusakan oleh benda padat lebih berat dibandingkan dengan zat cair). Diagnosis 1. Anamnesis : rasa terbakar di mulut dan tenggorok setelah meminum zat korosif. Keluhan ini dapat lebih berat sampai sama sekali tidak dapat menelan. 2. Pemeriksaan fisik : dapat berbagai tingkat, dari keadaan umum masih baik, sampai syok. 3. Pemeriksaan radiologik : dilakukan setelah seminggu kejadian, untuk melihat apakah ada penyempitan esofagus. 4. Esofagoskopi : untuk diagnostik dan terapi dengan melakukan businasi pada penyempitan esofagus. 40

56 Gambaran Klinik Esofagitis Korosif Keluhan dan gejala yang timbul akibat tertelan zat korosif tergantung pada jenis zat korosif, konsentrasi zat korosif, jumlah zat korosif, lamanya kontak dengan dinding esofagus, sengaja diminum atau tidak dan dimuntahkan atau tidak. Bila muntah, maka mukosa esofagus dua kali dikenai zat korosif, sehingga kerusakan lebih berat. Esofagitis korosif dibagi dalam 5 bentuk klinis berdasarkan beratnya luka bakar yang ditemukan yaitu : 1. Esofagitis korosif tanpa ulserasi. Penderia mengalami ganguan menelan yang ringan. Pada esofagoskopi tampak mukosa hiperemis tanpa disertai ulserasi. 2. Esofagitis korosif dengan ulserasi ringan Penderita mengeluh disfagia ringan. Pada esofagoskopi tampak ulkus yang tidak dalam yang mengenai mukosa esofagus saja. 3. Esofagitis korosif ulserasi sedang Ulkus sudah mengenai lapisan otot. Biasanya ditemukan satu ulkus atau lebih (multipel) 4. Esofagitis korosif ulserasi berat tanpa komplikasi Terdapat pengelupasan mukosa serta nekrosis yang letaknya dalam, dan telah mengenai seluruh lapisan esofagus. Keadaan ini jika dibiarkan akan menimbulkan striktur esofagus. 5. Esofagitis korosif ulseratif berat dengan komplikasi Terdapat perforasi esofagus yang dapat menimbulkan mediastinitis dan peritonitis. Kadang-kadang ditemukan tanda-tanda obstruksi jalan napas atas dan gangguan keseimbangan asam dan basa. Berdasarkan gejala klinis dan perjalanan penyakitnya esofagitis korosif dibagi dalam 3 fase, yaitu; fase akut, fase laten (intermediate) dan fase kronik (obstruktif). III. URAIAN CACAT DAN PENILAIAN TINGKAT CACAT A. TELINGA DAN SISTEM PENDENGARAN 1. Tingkat cacat ditentukan dengan mengukur nilai ambang dengar (Hearing Threshold Level = HTL), yaitu angka rata-rata penurunan ambang dengan dengan db pada frekuensi 500, 1000, 2000, 4000 Hz. Penurunan nilai ambang dengar dilakukan pada kedua telinga 1.1. Telinga normal : Pada pemeriksaan audio metrik ambang dengar tidak melebihi 25 db dan di dalam pembicaraan biasa tidak ada kesukaran mendengar suara perlahan 1.2. Tuli ringan : Pada pemeriksaan audio-metrik ambang dengar db dan terdapat kesukaran mendengar Tuli sedang : Pada pemeriksaan audio-metrik terdapat ambang dengar antara db Seringkali terdapat kesukaran untuk mendengar pembicaraan biasa. 41

57 1.4. Tuli sedang berat 1.5. Tuli berat 1.6. Tuli sangat berat : Pada pemeriksaan audiometri terdapat ambang dengar rata-rata antara db. Kesukaran mendengar suara pembicaraan kalau tidak dengan suara keras. : Ambang dengar rata-rata antara db. Hanya dapat mendengar suara yang sangat keras. : Ambang dengar 90 db atau lebih. Sama sekali tidak mendengar pembicaraan. Tingkat cacat : American Medical Association (AMA) Committee on Medical Rating of Physical Imparment, menyatakan bahwa cacat total pendengaran, apabila ambang dengar diatas 92 db. Jadi ambang tertinggi ialah 93 db dan batas terendah untuk tuli ialah 25 db. 2. Penentuan tingkat cacat a. Ketulian monaural dinilai sebagai berikut : 1) Periksa pendengaran pada frekuensi 500, 1000, 2000, 4000 Hz, kemudian ambil rata-ratanya. 2) Kurangi dengan 25 db. 3) Perkalikan sisanya dengan 1,5%, Hasilnya ialah persentase ketulian dari suatu telinga (monaural) b. Ketulian-binaural dihitung sebagai berikut : 1) Perkalikan monaural pada telinga yang lebih baik dengan 5. 2) Perkalikan monaural pada telinga yang lebih buruk dengan 1 3) Tambahkan nilai ketulian monaural dari telinga yang lebih baik dan lebih buruk 4) Bagi jumlah ini dengan 6. Hasilnya persentase ketulian binaural (dua telinga). c. Pada pekerja di atas usia 40 tahun, dikurangi 0,5 db per tahun, tetapi tidak melebihi 12,5 db. Contoh penentuan tingkat cacat Penentuan tingkat cacat, dilakukan dengan pemeriksaan monaural (satu telinga) dan binaural (dua telinga) 1) Cara perhitungan cacat dengan monaural : Tentukan nilai ambang dengan pada frekuensi 500, 1000, 2000 dan 4000 Hz. Contoh : Telinga kanan : Telinga kiri : Hz = 35 cb Hz = 40 db Hz = 40 db Hz = 50 db Hz = 45 db Hz = 50 db Hz = 60 db Hz = 60 db 180 db 200 db Hasil penjumlahan di bagi 4, didapat nilai ambang dengan rata-rata (average Hearing Threshold Level = HTL rata -rata) : Telinga kanan : 180 : 4 = 45 db Telinga kiri : 200 : 4 = 50 db 42

58 2) Cara perhitungan cacat pendengaran monaural Pada orang muda (usia di bawah 40 tahun) : HTL rata-rata dikurangi 25 db : Telinga kanan : = 20dB Telinga kiri : = 25 db Konversi HTL rata-rata yang melebihi 25 db ke dalam presentasi daya dengan dengan mengalikan 1,5 % : Telinga kanan : 20 x 1,5 % = 30% (penurunan) pendengaran monaural Telinga kiri : 25 x 1,5 % = 37,5% (penurunan) pendengaran monaural 3) Cara perhitungan cacat pendengaran binaural adalah 5 (lima) kali penurunan pendengaran monaural terkecil ditambah 1 (satu) kali penurunan pendengaran monaural terbesar dibagi 6 (enam). Konversikan penurunan pendengaran monaural kedalam presentasi binaural. Telinga kanan (lebih baik) : 30% x 5 = 150 % Telinga kiri (lebih buruk) : 37,5 % x 1 = 37,5 % Jumlah : 150 % + 37,5% = 187,5 Jumlah ini dibagi 6 = 187,5 % : 6 = 31,25% Jadi nilai penurunan pendengaran binaural ialah : 31,25%. Penentuan ganti rugi cacat di dasarkan pada cacat pendengaran binaural, sesuai dengan lampiran Peraturan Pemerintah No.14 tahun 1993 yang telah disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah No. 64 tahun Pada contoh diatas perhitungan presentase cacatnya adalah : 31,25% x 40% = 12,5%. 4) Cara perhitungan cacat pendengaran pada orang tua (presbiakusis) Presbiakusis diasumsikan menyebabkan kenaikan ambang dengar 0,5 db tiap tahun, dimulai dari usia 40 tahun. Misalnya seorang pekerja sekarang berusia 43 tahun, maka kenaikan ambang dengar karena faktor usia ialah : (43-40) x 0,5 db = 1,5 db Contoh pada butir a di atas : - HTL rata-rata dikurangi 25 db, dikurangi lagi dengan ambang dengan oleh presbiakusis (pada contoh ini = 1,5 db), sehingga : Telinga kanan : ,5 = 18,5 db Telinga kiri : ,5 = 23,5 db - Konversikan HTL rata-rata ke dalam presentase penurunan daya dengan, dengan mengalikan 1,5 : Teling kanan : 18,5 x 1,5 % = 25,75 % (penurunan pendengaran monaural) Telinga kiri : 23,5 x 1,5% = 35,25 % (penurunan pendenganran monaural) - Konversikan penurunan pendengaran monaural ke dalam presentase binaural : Telinga kanan (lebih baik) = 25,75% x 5 = 128,75% Telinga kiri (lebih buruk) = 35,25 % x 1 = 35,25 % Jumlah : 128,75 % + 35,25 % = 164 % Jumlah ini dibagi 6 : 164 % : 6 = 27,33%. - Jadi nilai prosentase penurunan pendengaran binaural ialah 27,33% x 40% = 10,93 %. 43

59 Penilaian cacat juga dapat dilakukan dengan melihat tabel. Contoh : Pasien A. Telinga kanan Telinga kiri Hz = 15 db Hz = 30 db Hz = 25 db Hz = 45 db Hz = 45 db Hz = 60 db Hz = 55 db Hz = 85 db 140 db 220 db Pasien B. Telinga kanan Telinga kiri Hz = 80 db Hz = 75 db Hz = 90 db Hz = 80 db Hz = 100 db Hz = 90 db Hz = 100 db Hz = 95 db 370 db 340 db Dapat dilihat pada tabel 1 (di halaman berikut) Perhitungan persentase kehilangan pendengaran monaural, pada: Pasien A : tingkat pendengaran telinga kanan adalah 140 db sesuai dengan 15%, pendengaran telinga kiri adalah 220 db Pasien B : tingkat pendengaran telinga kanan adalah 370 db sesuai dengan 100%, pendengaran telinga kiri adalah 340 db sesuai dengan 90% Dilihat pada tabel 2 (halaman berikut) Perhitungan persentase kehilangan pendengaran binaural, pada : Pasien A : Jumlah tingkat pendengaran telinga kanan adalah 140 db (lebih baik) kombinasi dengan jumlah tingkat pendengaran telinga kiri yaitu 220 db (lebih buruk), maka didapat persentase kehilangan pendengaran binaural sebesar 20 % Pasien B : Jumlah tingkat pendengaran telinga kiri adalah 340 db (lebih baik), kombinasi dengan jumlah tingkat pendengaran telinga kanan yaitu 370 db (lebih buruk), maka didapat persentase kehilangan pendengaran binaural sebesar 92 % (catatan : digunakan jumlah tingkat pendengaran maksimum yaitu 368 db. Dilihat pada tabel 3 (dibawah) : Perhitungan persentase kehilangan pendengaran dari seluruh tubuh manusia. Pasien A : Persentase kehilangan pendengaran binaural sebesar 20% sesuai dengan 7 % dari kecacatan seluruh tubuh. Pasien B : Persentase kehilangan pendengaran binaural sebesar 92 % sesuai dengan 32% dari kecacatan seluruh tubuh. 44

60 Tabel 1. Monaural Hearing Loss Impairment (%). * % DSHL % DSHL % or greater TABLE 3 Relationship of Binaural Hearing Impairment to Impairment of the Whole person % Binaural hearing % Impairment % Binaural hearing % Impairment Impairment of the Impairment of the whole person whole person

61 Guides to the Evaluation of Permanent Impairment Table 2. Computation of Binaural Hearing Impairment Worse ear ANSI Catatan : Tuli saraf penilaiannya sama seperti pada tuli akibat bising. Tuli hantar dan campuran : tambahnya nilai hantaran udara dan hantaran tulang pada 500, 100, 2000 dan 4000 Hz, kemudian dibagi 8 (delapan). Selanjutnya perhitungannya sama dengan tuli akibat bising. Penentuan ganti rugi mengacu lampiran Peraturan Pemerintah No.14 tahun 1993 yang telah disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah No. 64 tahun GANGGUAN KESEIMBANGAN Evaluasi gangguan keseimbangan sebaiknya dilakukan bila kondisi tubuh telah stabil, sehingga dapat dilakukan penilaian secara adekuat. Penilaian gangguan keseimbangan dibagi sebagai berikut: 1. Persentase gangguan keseimbangan dari seluruh tubuh = 0%, bila terdapat gejala gangguan keseimbangan tanpa ditemukan gejala klinis yang obyektif dan dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa bantuan. 46

62 2. Persentase gangguan keseimbangan dari seluruh tubuh = 5-10 %, bila terdapat gejala gangguan keseimbangan dengan adanya gejala klinis yang obyektif dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa bantuan, kecuali aktivitas yang kompleks seperti bersepeda. 3. Persentase gangguan keseimbangan dari seluruh tubuh = %, bila terdapat gejala gangguan keseimbangan dengan adanya gejala klinis yang obyektif dan tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa bantuan, kecuali aktivitas ringan seperti berjalan, pekerjaan rumah ringan dan menolong diri sendiri. 4. Persentase gangguan keseimbangan dari seluruh tubuh = 35-60%, bila terdapat gangguan keseimbangan dengan adanya gejala klinis yang obyektif dan tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa bantuan, kecuali menolong diri sendiri. 5. Persentase gangguan keseimbangan dari seluruh tubuh = %, bila terdapat gejala gangguan keseimbangan dengan adanya gejala klinis yang obyektif, tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa bantuan dan menjalani perawatan di rumah. B. HIDUNG DAN SISTEM PENCIUMAN Penentuan Tingkat Cacat 1. Terdapat perubahan suhu dan kelembaban udara, pada umumnya hidung dapat menyesuaikan diri, sehingga tidak menyebabkan kelainan. 2. Tentang rinitis alergi akibat kerja, disebabkan oleh kontak alergen di lingkungan kerja. Bila pekerja dipindahkan dari lingkungan itu, maka gejala akan berkurang atau hilang sama sekali, Hal ini tidaklah mudah, oleh karena : 2.1. Kemampuan/keahlian pekerja pada pekerjaan yang khusus, yang kebetulan di daerah yang mengandung alergen itu Lowongan kerja di tempat kerja itu akan dipindahkan, tidak ada atau tidak cocok dengan keahliannnya. 3. Kelainan penciuman dapat merupakan cacat, oleh karena sering kali tidak dapat sembuh lagi, misalnya yang disebabkan oleh trauma. Penentuan tingkat cacatnya ialah dengan menghitung persentase zat yang dapat dicium oleh penderita pada waktu pemeriksaan, misalnya yang tidak dapat diketahuinya zat yang diciumnya sebanyak 5 buah dari 10 zat yang harus diciumnya = 50% apabila ditentukan bahwa anosmia merupakan cacat 40%, maka tingkat cacat disini ialah 50 x 40% = 20%. 4. Kelainan hidung yang menyebabkan keluhan menahun / berulang : 4.1. Sinusitis kronis yang meskipun telah dilakukan pengobatan dengan operasi, akan selalu kambuh, apabila lingkungannya mengandung polusi. Hal ini dapat disebut sebagai cacat. Jadi cacatnya 40% Hidung tersumbat sebagai akibat konka hipertrofi pada rinitis kronis, meskipun telah dilakukan tindakan operasi dengan melakukan konkotomi untuk mengurangi konka yang hipertrofi, kadang-kadang akibatnya akan ditemukan gejala "open space syndrome", penderita terus menerus merasakan pusing dan kepala nyeri. Pada keadaan yang demikian pekerja tidak dapat berproduksi dengan baik. Nilai cacatnya ialah 40%. 5. Tumor ganas hidung dan sinus paranasal : Bila tumor ganas ditemukan pada stadium dini, dan diobati secara dini juga dengan tepat, maka masa bertahan 5 tahun dapat mencapai %. Akan tetapi bila diketahui setelah dalam stadium lanjut, maka prognosisnya tidak baik. Perlu diingat, bahwa waktu inkubasi untuk terjadinya tumor ganas memerlukan waktu, sehingga ada kemungkinan setelah pekerja tidak terpapar lagi oleh zat karsinogenik barulah penyakit itu tampak. 47

63 Penentuan ganti rugi mengacu kepada lampiran Peraturan Pemerintah No.14 tahun 1993 yang disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah No. 64 tahun Ganti rugi fungsi penciuman sama dengan 10% dari upah. C. TENGGOROK CIDERA LARING DAN TRAKEA Penentuan tingkat cacat. 1. Suara tidak keluar sama sekali : 40% 2. Suara parau masih dapat dimengerti kata-kata yang diucapkan : 50 x 40% = 20%. 3. Tidak dapat bernafas melalui laring/trakea, sehingga bernafas melalui lubang trakeostomi : 40%. Presentase cacat akibat kerja atau kecelakaan diambil dari buku tentang perubahan kemampuan daya kerja pekerja di Hongaria : 0-40% = sakit akibat kecelakaan 0-15% = sakit ringan, kesembuhan dalam waktu singkat dan setelah sembuh dapat bekerja pada profesi semula % = sakit berat, kesembuhan dalam waktu lama, setelah sembuh dapat bekerja pada profesi semula % = cacat 40-67% = cacat sementara akibat kecelakaan, diharapkan akan tetap bekerja ringan pada profesi lain tanpa mengganggu kesehatannya % = cacat tetap akibat kecelakaan, tidak dapat bekerja sama sekali, dan karena itu mempunyai hak pensiun. D. CIDERA KEPALA Penilaian cacat : 1. Tuli saraf yang terjadi tidak dapat sembuh. Untuk penilaian cacatnya dihitung seperti pada tuli akibat bising. 2. Kelainan alat keseimbangan dapat disembuhkan, tetapi pengobatannya lama. 3. Kelumpuhan saraf wajah yang letaknya perifer, bila sarafnya tidak terputus, dapat disembuhkan dengan jalan operasi apabila dilakukan dalam waktu tidak lebih dari 2 minggu. E. ESOFAGITIS KOROSIF Penilaian Cacat : Sebagai komplikasi esofagitis korosif ialah terjadinya striktur esofagus. Hanya sebagian kecil dari striktur esofagus yang dapat disembuhkan dengan businasi. Bila tidak tertolong, maka dilakukan reseksi esofagus, serta mengganti esofagus dengan kolon, atau dengan membuat gastrostomi untuk makan penderita. Pada keadaan ini tingkat cacat 40%. BIDANG ORTHOPAEDI I. BATASAN Orthopaedi adalah suatu spesialisasi yang mencakup investigasi, prevensi, restorasi dan perkembangan dari bentuk dan fungsi ekstremitas, tulang belakang dan struktur yang berkaitan secara medikamentosa, pembedahan dan dengan metoda fisik (AAOS 1960). Sehingga dengan demikian yang dimaksud dengan penyakit orthopaedi adalah penyakit yang mengenai sistem muskuloskeletal sehingga menimbulkan gangguan fungsi pergerakan yang kemudian menimbulkan hambatan pada kegiatan si penderita. Terdapat 3 stadia gangguan kegiatan penderita akibat dari suatu penyakit. 48

64 1. Stadia 'Impairment' (cacat) Stadia dimana seseorang kehilangan kemampuan untuk merawat diri (self care) sebagai akibat penyakit yang diderita, baik secara anatomi-fisiologis maupun psikologis. Dalam stadia ini penderita tidak mampu melaksanakan tugas pekerjaan sehari-hari, yang biasanya dapat dilaksanakan. Penderita masih memerlukan terapi aktif. 2. Stadia 'Disability' (ilat) Stadium dimana seseorang mendapatkan keterbatasan atau kekurangan kemampuan (akibat impairment) dalam melaksanakan kegiatan dibanding dengan orang sehat. Penderita masih mengalami perbaikan, sehingga sedikit demi sedikit dapat kembali melaksanakan beberapa macam pekerjaan walaupun masih terbatas; dalam stadia ini mungkin masih diperlukan terapi atau modalitas alat bantu. 3. Stadia 'Handicapped' (tuna) Stadia keadaan akhir dimana keadaan penyakit dan gejala sesudah menetap dan disebut cacat menetap (tuna), baik sebagian maupun keseluruhan. Tindakan yang diperlukan, tujuannya adalah membantu semaksimal mungkin agar si penderita secara keseluruhan dapat mandiri (independent) dengan bantuan modalitas untuk mengatasi kecacatan. Gangguan fungsi muskuloskeletal dapat terjadi sebagai akibat : 1. Kelainan sebagian atau seluruh anggota tubuh 2. Kelainan bentuk/anatomi 3. Kekakuan sendi 4. Kelumpuhan Penentuan tingkat kecacatan secara medis sangat penting karena konsekuensinya pada bidang administrasi, finansial dan sosial dalam menentukan bahwa seseorang tidak lagi dapat melakukan pekerjaan seperti semula. Karena itu perlu ada keseragaman dan ketepatan dalam penentuan kecacatan secara medis. II. DIAGNOSIS A. Anamnesis 1. Apa ada trauma? 2. Apakah penderita tak dapat kerja sama sekali? 3. Kidal atau kinan? 4. Sudah berapa lama? 5. Sudah dapat terapi? 6. Sejak kapan dapat terapi? 7. Masih perlu pengobatan rehabilitasi? 8. Berapa lama waktu yang diperlukan untuk kembali kerja? 9. Keadaan tersebut sudah hasil maksimum/stabil (permanen)? B. Pemeriksaan Fisik 1. Keadaan umum 2. Pemeriksaan orthopaedik tentang anggota gerak atas, bawah dan tulang belakang secara keseluruhan dengan dasar pemeriksaan : - Look (inspeksi) - Feel (palpasi) - Move (gerakan aktif dan pasif) Kelainan yang dapat ditemukan : - Amputasi - Kelainan sensorik dan motorik - Kelainan tonus otot/lingkar (diameter) - Ukuran panjang atau pendek - Kekakuan atau kelainan sendi - Stabilitas dan gerak lingkup sendi - Kelainan lain seperti: sikatriks, trofi (pertumbuhan), deformitas. - Kelemahan (manual Muscle Test) 3. Pemeriksaan laboratorium rutin 49

65 4. Pemeriksaan penunjang : a. Pemeriksaan rongent minimal dalam 3 proyeksi Bila perlu dilakukan : - Proyeksi khusus untuk daerah tertentu - Tomografi - Kontras (arthrografi, mielografi, arteriografi) - CT scan/scintigrafi - M.R.I (Magnetic Resonance Imaging) / N.M.R (Nuclear Magnetic Resonance) b. Ultrasonografi (U.S.G) c. Pemeriksaan neurologik Dengan pemeriksaan EMG (Elektromyography) untuk menyatakan apakah gangguan fungsi akibat neurogical deficit, saraf perifer, neuro muscularfunction atau otot. C. Penyakit pada Ortopedi 1. Trauma Trauma pada muskuloskeletal dapat menimbulkan penyakit/kerusakan fungsi akibat kecelakaan kerja : a. kerusakan/perlukaan jaringan lunak b. kerusakan tulang (patah/fraktur) c. kerusakan persendian (merupakan kombinasi 1&2) a. Jaringan lunak - gangguan pada sirkulasi (peredaran darah) dan perdarahan - gangguan pada persyarafan tepi (peripheral nerve) - kerusakan pada otot dan jaringan komponen sendi (ligament serupa sendi) b. Tulang - Patah tulang - Patah tulang rawan c. Sendi - Cerai sendi/dislokasi - Perdarahan sendi - Kerusakan ligament dan simpai sendi ketidakstabilan (instability) dan kekakuan. (capsul) mengakibatkan: 2. Penyakit Menahun Beberapa macam penyakit pekerjaan dapat timbul akibat keadaan kerja antara lain: - Caisar`s disease : tekanan tinggi yang mendadak berkurang dapat menimbulkan avasculair necrosis dari kaput femoris, menyebabkan kerusakan tulang dan sakit di pinggul - Postural/sikap posisi mengerjakan pekerjaan secara menahun yang dikenal sebagai Low Back Pain (LBP) otot-otot menjadi fatigue menimbulkan unstability dari tulang belakang sehingga timbul proses degenerasi yang dapat menimbulkan keluhan sakit, pegal di daerah pinggang - Pekerjaan kasar, yang harus mengangkat beban, dapat cedera pada diskus yang dikenal sebagai HNP (Hernia Nucleus Pulposus) III. URAIAN CACAT DAN PENILAIAN TINGKAT CACAT A. Amputasi Sebagian atau seluruhnya dari bagian anggota gerak Uraian : - Jelaskan bagian yang hilang - Tentukan daerah / regio amputasi 50

66 - Tentukan tinggi/level amputasi - Tentukan tingkat gangguan fungsi - Penilaian tingkat cacat mengacu pada lampiran Peraturan Pemerintah Nomor : 14 tahun 1993 dan telah disempurnakan Peraturan Pemerintah No. 64 tahun B. Kelumpuhan (plegia) atau kelemahan (parese) Kelumpuhan dan kelemahan Tentukan daerah/gerakan sendi yang terganggu Tentukan tingkat kekuatan otot (Manual Muscle Test : 0 sampai 5) Tentukan tingkat gangguan fungsi Nilai : - 0 : tidak ada gerakan otot kehilangan fungsi 100 % 1 : Ada gerakan otot, tanpa gerakan sendi kehilangan fungsi 80 % 2 : Dapat menggerakkan sendi pada seluruh lingkup gerak sendi, dan dapat melawan gravitasi kehilangan fungsi 60% - 4 : Nilai 3 ditambah dengan tahanan ringan kehilangan fungsi 20% 5 : Nilai 3 ditambah dengan tahanan penuh (normal kehilangan fungsi 0 %. C. Kekakuan Kehilangan fungsi dihitung dari perubahan derajat lingkup gerak sendi (LGS)/ range of motion (ROM) dengan cara : 1. Membandingkan dengan catatan medik awal 2. Bandingkan dengan LGS sisi yang lain 3. Bandingkan dengan LGS pemeriksa yang normal Contoh : 1) LGS awal 90 (normal) Setelah terjadi kekakuan 60 o : kehilangan LGS 90 o - 60 o = 30 o Maka kehilangan fungsi menjadi 30/90 x 100% = 33,3%. 2) Bila suatu sendi terdapat gerakan yaitu fleksi, ekstensi dan abduksi : Gerak Normal Hasil pemeriksaan Kehilangan LGS Fleksi Ekstensi Abduksi Maka kehilangan fungsi akibat kekakuan : x 100% = 62,5% 400 D. Perpendekan (discrepancy) Cacat akibat perpendekan hanya berlaku untuk anggota gerak bawah (tungkai). Setiap perpendekan 0,5 inchi (2,5 cm) salah satu tungkai, mengakibatkan kehilangan fungsi sebesar 5% dari fungsi kedua tungkai dari pangkal paha ke bawah. Penilaian tingkat cacat mengacu pada lampiran Peraturan Pemerintah Nomor : 14 tahun 1993 dan telah disempurnakan Peraturan Pemerintah No. 64 tahun

67 E. Kasus khusus 1. Sendi panggul (nilai/terhadap seluruh badan 50%) : - Non union tanpa koreksi perbaikan : 75% - Dengan arthroplasti, dapat jalan dan berdiri waktu bekerja 40% gerak : 50% - Lingkup gerak dan kedudukan kelainan : 50% 2. Sendi lutut : - Pasca minisektomi 5% Ruptur ligament krusiatum : 20 % - 30% Patelektomi 20% Gangguan gerak : % % % % 3. Pergelangan kaki/kaki Impairment and loss physical handicap (diperhitungkan 80% dari anggota gerak bawah) Sedangkan kekakuan sendi pergelangan kaki lebih besar dari tulang-tulang tarsalia dan tarsal - metatarsal lebih dari jari-jari kaki. 4. Nyeri pada anggota gerak dan tulang belakang : Nyeri sulit dinilai secara objektif dan harus ditentukan apakah merupakan suatu akibat kelainan fisik atau bukan. Bila bukan maka pemeriksaaan dilakukan sesuai dengan pemeriksaan psikiari/psikologi. Penentuan kecacatan sebaiknya dilakukan setelah menjalani pengobatan minimal 6 bulan untuk periode penyembuhan luka dan selama lamanya 24 bulan untuk penyembuhan komplikasi vaskuler. Penilaian kecacatan juga ditentukan sisi mana yang terkena. Sisi yang bukan sisi dominan maka nilai kecacatan dikurangi 5% bila penurunan fungsi sebesar 5% - 50% dan dikurangi 10% bila penurunan fungsi sebesar 51% - 100%. Penilaian kecacatan yang disebabkan oleh penyakit akibat kerja, sebaiknya dilakukan dengan membandingkan dengan kondisi / kemampuan penderita sebelum mengalami penyakit tersebut. Karena itu penting adanya catatan kecacatan yang telah ada pada setiap pekerja saat akan mulai bekerja. Penilaian akhir suatu kecacatan sebaiknya juga dengan mempertimbangkan kemampuan pasien bekerja kembali dibandingkan dengan kemampuannya sebelum mengalami penyakit tersebut. Karena itu juga penting mengetahui kemampuan bekerja pekerja (misalnya : jumlah huruf yang mampu diketik oleh seorang juru ketik dalam waktu satu menit). Sebagai pertimbangan dapat digunakan pedoman penentuan kecacatan yang dikemukakan oleh Steinbocker (kemampuan penderita setelah penyembuhan untuk kegiatannya sehari-hari) : a. Dapat melakukan tugas / kegiatan sehari-hari : 25 % b. Terdapat kesukaran melakukan tugas /kegiatan sehari-hari : 50% c. Dapat melaksanakan tugas / kegiatan sehari-hari dengan bantuan : 75% d. Dapat melakukan tugas / kegiatan sehari-hari dengan banyak kesulitan : 100% F. Ketentuan dalam bidang orthopaedi : 1. Penilaian cacat bidang orthopaedi meliputi : a. Penilaian cacat Anatomi akibat kecelakaan kerja / Penyakit Akibat Kerja bisa dilakukan kurang dari 6 bulan s/d 2 tahun setelah luka sembuh. 52

68 b. Penilaian cacat Fungsi anggota tubuh akibat kecelakaan kerja / Penyakit Akibat Kerja selambat-lambatnya 6 bulan s/d 2 tahun setelah usaha medis secara maksimal dilakukan termasuk rehab medis. 2. Kriteria akibat kecelakaan kerja bidang orthopaedi yaitu : a. Sembuh sempurna : 1) Luka sembuh. 2) Radiologi Union (pada kasus fraktur). 3) Tidak di dapat komplikasi. 4) Fungsi kembali lagi 100%. 5) Waktu maksimal 2 tahun. 6) Tidak ada implant kecuali protesa. b. Sembuh belum sempurna 1) Luka sembuh. 2) Radiologi Union (pada kasus fraktur). 3) Tidak di dapat komplikasi. 4) Fungsi bisa kembali normal, bisa berkurang. 5) Waktu maksimal 2 tahun. 6) Masih ada implant. c. Sembuh tidak sempurna (fungsi berkurang). 1) Telah dilakukan terapi medis secara maksimal. 2) Fungsi berkurang dan dianggap tidak bisa pulih serta tidak dapat dikoreksi dengan terapi medis apapun (hasil akhir). 3) Waktu maksimal 2 tahun. d. Tidak sembuh. 1) Tidak sembuh setelah menjalani terapi maksimal selama 2 tahun karena penyakit tersebut. 2) Selanjutnya pasien dapat ditentukan kecacatannya. 3. Penetapan cacat di bidang Orthopaedi dilakukan setelah dilaksanakan terapi maksimal selambat-lambatnya sampai dengan 2 tahun. 4. Apabila tenaga kerja dinyatakan sembuh akibat kecelakaan kerja/penyakit akibat kerja oleh dokter pemeriksa maka selanjutnya diberikan surat keterangan dengan mengisi formulir bentuk KK4 untuk kecelakaan kerja, KK5 untuk penyakit akibat kerja dan ditulis bahwa penilaian kecacatan klinis dilakukan pada hari/dan tanggal penilaian, serta apabila nilai kecacatan dimungkinkan dapat berubah, pasien diberi formulir inform concern yang ditanda tangani oleh pasien. Apabila kondisi tenaga kerja belum sembuh Badan Penyelenggara belum wajib membayar santunan / Jaminan Kecelakaan Kerja. 5. Hernia Nucleus Pulposus (HNP) termasuk kasus Kecelakaan Kerja apabila memenuhi kriteria : Ada riwayat trauma ditempat kerja; ada keluhan akut/mendadak dan ada penyebabnya. 6. Penyakit yang berkaitan dengan otot, urat, tulang persendian, pembuluh darah tepi atau syaraf tepi dapat di kategorikan sebagai penyakit akibat kerja apabila dapat dibuktikan faktor penyebabnya dalam pekerjaan atau lingkungan kerja. 53

69 7. Orthose/prothese dan alat bantu lainnya diberikan saat layanan rehabilitasi medik dalam masa pemulihan fungsi mencapai stadium lanjut dengan keadaan cacat yang sudah menetap atau permanen. BIDANG PENYAKIT PARU I. BATASAN Penyakit paru akibat kerja adalah penyakit atau kelainan paru yang disebabkan oleh pajanan faktor-faktor risiko di tempat kerja antara lain berupa : debu, gas dan uap. Kelainan yang terjadi dapat berupa : A. Kelainan akut 1. Trauma inhalasi akut akibat gas iritan, fosgen, asap ; termasuk Reactive Airways Dysfunction Syndrome (RADS) 2. Toxic Pneumonitis 3. Edema paru akut, misalnya akibat asap, nitrogen, SO2, fosgen 4. Bronkitis akut 5. Hipersensitiviti pneumonitis B. Kelainan kronik 1. Pneumokoniosis Misalnya akibat debu asbes (asbestosis), batubara (pneumoconiosis batubara), silica (silicosis), beryllium (beriliosis) dan lain lain 2. Penyakit pleura (efusi pleura, mesotelioma, plak pleura) Misalnya akibat pajanan debu asbes 3. Bronkitis kronik Misalnya akibat pajanan debu tambang, tepung, talk, asap, gas 4. Asma kerja Misalnya akibat : Isosianat ; Heksametilen diisosianat (HDI), toluene diisosianat (TDI) Tepung gandum Kolofoni pada proses solder elektronik Lateks Bulu binatang tertentu Dan lain-lain 5. Bisinosis Timbul akibat pajanan debu kapas 6. Hipersensitiviti pneumonitis Timbul akibat respons hiperimun terhadap antigen inhalasi antara lain berasal dari mikroorganisme, binatang, tumbuhan dan zat kimia. 7. Kanker paru Kanker paru akibat pajanan di tempat kerja dapat disebabkan antara lain oleh arsen, asbes, krom, uranium, metal eter, nikel, cadmium. 8. Penyakit infeksi : Antraks Coccodiodomycosis Echinococcosis Psitacosis Tuberkulosis 54

70 II. DIAGNOSIS A. Anamnesis 1. Riwayat pekerjaan. a. Pencatatan pekerjaan dan kegemaran/hobby yang terus menerus atau part time secara kronologis b. Identifikasi bahan berbahaya di tempat kerja : - bahan yang digunakan oleh pekerja - bahan yang digunakan oleh pekerja pembantu. c. Hubungan antara paparan dan gejala yang timbul : - waktu antara mulai bekerja dan gejala pertama - urutan-urutan dan perkembangan gejala - hubungan antara gejala dengan tugas tertentu - perubahan gejala dan waktu libur, jauh dari tempat kerja 2. Keluhan penyakit : Ditanyakan tentang adanya keluhan penyakit berupa : a. Batuk : sifat batuk (kering atau berdahak) waktu batuk (pagi/siang/malam/terusfrekuensi sejak kapan? - batuk selama 3(tiga) bulan, terjadi tiap-tiap tahun - peningkatan batuk selama 3 minggu atau lebih, selama 3 tahun terakhir b. Dahak Warna Jumlah Konsistensi Waktu (pagi/siang/malam/terus- Sejak kapan? - batuk selama 3(tiga) bulan, terjadi tiap-tiap tahun - peningkatan batuk selama 3 minggu atau lebih, selama 3 tahun terakhir. c. Sesak napas/napas pendek Ditanyakan sesuai dengan kriteria sesak napas menurut American Thoracic Society (ATS) : 0 tidak ada Tidak ada sesak napas kecuali exercise berat 1 ringan Rasa napas pendek bila berjalan cepat mendatar atau mendaki 2 sedang Berjalan lebih lambat dibandingkan orang lain sama umur karena sesak atau harus berhenti untuk bernapas saat berjalan mendatar 3 berat Berhenti untuk bernapas setelah berjalan 100 meter/beberapa menit, berjalan mendatar 4 Sangat berat Terlalu sesak untuk keluar rumah, sesak saat mengenakan/ melepaskan pakaian Sejak 12 bulan terakhir pernah mengalami/tidak waktu terbangun dari tidur malam d. Nyeri dada Lokasi Deskripsi nyeri dada Sejak 3 tahun terakhir pernah mengalami/tidak, yang lamanya 1 minggu e. Mengi Disertai napas pendek atau napas normal Sejak kapan?. 55

71 3. Riwayat Penyakit Dahulu Ditanyakan tentang adanya penyakit / keluhan penyakit yang pernah dideritanya berupa : a. Penyakit-penyakit lain yang pernah diderita : - kecelakaan / operasi daerah dada - gangguan jantung - bronkitis - pneumoni - pleuritis - T B paru - Asma bronkial - Gangguan dada yang lain - Hay fever - Dal lain-lain b. Riwayat atopi/alergi. 4. Riwayat kebiasaan Ditanyakan kebiasaan merokok meliputi : a. Jumlah rokok yang dihisap : - 1 (satu) batang rokok perhari atau 1 batang rokok perbulan atau lebih dari 1 batang rokok - jumlah batang rokok / tembakau perhari / perminggu. b. Lama merokok : Kurang dari 1 tahun / lebih dari 1 tahun. c. Cara mengisap rokok : - dangkal - sedang - dalam d. Umur waktu mulai merokok dengan teratur. e. Jenis rokok : - buatan pabrik / buatan sendiri - menggunakan filter / tidak - rokok tipe kecil / sedang - sering berganti-berganti rokok / kombinasi / tidak - kretek / putih f. Kontinuitas merokok : - pernah mengalami / berhenti merokok / tidak, lamanya - jumlah hari selama merokok (jumlah bulan / tahun ) g. Derajat berat merokok dengan indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok yang dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun : - Ringan : Sedang : Berat : >600 B. Pemeriksaan Fisik 1. Keadaan umum dan tanda vital 2. Pemeriksaan pulmonologik a. Inspeksi b. Palpasi c. Perkusi d. Auskultasi C. Pemeriksaan Penunjang 1. Rutin : - laboratorium : darah, urine - foto toraks : PA dan lateral - spirometri. 56

72 2. Khusus : - uji alergi pada kulit - uji provokasi bronkus dengan bahan spesifik/non spesifik di tempat kerja - sputum BTA 3x - Sputum sitologi - bronkoskopi - patologi anatomi : biopsi - radiologi : tomogram, bronkografi, CT - scan - kapasitas difusi terhadap CO (DLCO) - uji Cardio Pulmonary Exercise (CPX). D. Penetapan diagnosis Penyakit Akibat Kerja dalam bidang paru diperlukan data pendukung berupa kondisi lingkungan kerja apakah terdapat faktor dan bahan-bahan yang menimbulkan penyakit akibat kerja. III. URAIAN CACAT DAN PENILAIAN TINGKAT CACAT A. Uraian Cacat. 1. Kelainan fungsi paru (restriktif dan obstruktif atau campuran) Restriksi (KVP% atau KVP/prediksi%) Obstruksi (VEP1/KVP)% atau VEP1% (VEP1/prediksi) Normal >80% >75% Ringan 60-79% 60-74% Sedang 30-59% 30-59% Berat <30% <30% 2. Kelainan anatomi seperti kehilangan sebagian jaringan paru, misalnya lobektomi. B. Penilaian derajat sesak Derajat O : Tidak sesak kecuali exercise berat Derajat I : Sesak ringan, rasa napas pendek bila berjalan cepat mendatar atau mendaki Derajat II : Sesak sedang, berjalan lebih lambat dibandingkan orang lain sama umur karena sesak atau harus berhenti untuk bernapas saat berjalan mendatar Derajat III : Sesak berat, berhenti untuk bernapas setelah berjalan 100 meter/beberapa menit, berjalan mendatar Derajat IV : Sangat berat terlalu sesak untuk keluar rumah, sesak saat mengenakan/melepaskan pakaian C. Penilaian Cacat. Penilaian cacat pada penyakit paru akibat kerja didasarkan kepada hasil penentuan pemeriksaan spirometri dan derajat sesak sebagai berikut: 57

73 Derajat sesak VEP 1 Persentase cacat fungsi (fungsional disability) 0 > 2,5 L - 1 Ringan 1,6-2,5 L 25 % 2 Sedang 1,1-1,5 L 50 % 3 Berat 0,5-1 L 75 % 4 Sangat berat < 0,1L 100 % Penilaian dilakukan setelah penderita mendapat terapi maksimal (bronkodilator) selama 3 bulan dengan hasil menetap. Cara menetapkan penilaian kecacatan fungsi (Functional disability) ditentukan dengan menilai secara subyektif keluhan sesak napas dan penilaian obyektif dengan pemeriksaan spirometri Penentuan ganti rugi didasarkan pada persentase cacat fungsi 100% sama dengan 70%. BIDANG PENYAKIT MATA I. BATASAN Kecelakaan Kerja dan Penyakit Akibat Kerja (PAK) bidang mata adalah penyakit atau kelainan pada mata akibat pemaparan antara lain faktor-faktor risiko di tempat kerja yang dapat menyebabkan gangguan fungsi penglihatan yang dapat mengurangi kemampuan seseorang untuk melakukan pekerjaan dan menjalankan aktivitas normal. Kelainan mata akibat kecelakaan kerja dan PAK yang terjadi dapat berupa: 1. Kelainan jaringan penunjang dan adneksa mata: - Kelopak mata : laserasi atau ruptur kelopak mata akibat trauma - Tulang orbita : fraktur dinding orbita akibat trauma - Sistem air mata (lakrima): sumbatan sistem lakrima oleh trauma - Konjungtiva : radang konjungtiva (konjungtivitis) akibat kontak iritan atau bahan kimia, benda asing di konjungtiva - Otot mata : kelumpuhan otot mata akibat trauma. 2. Kelainan bola mata - Kornea : ruptur kornea akibat trauma, trauma kimia asam dan basa, trauma termal (panas atau dingin), trauma radiasi (misalnya akibat lampu ultraviolet, ledakan nuklir, sinar-x atau radio-isotop), trauma akibat kontak dengan serangga/tumbuhan, benda asing kornea, dan erosi / abrasi kornea, dry eye syndrome - Sklera : ruptur sklera akibat trauma - Lensa : katarak traumatik, luksasi/subluksasi lensa - Bilik mata depan : hifema akibat trauma - Iris : iridodialisis, siklodialisis, ruptur iris akibat trauma, midriasis atau miosis traumatik - Badan kaca (vitreus) : perdarahan vitreus akibat trauma, benda asing dalam vitreus, endoftalmitis pasca trauma - Koroid : ruptur koroid akibat trauma 58

74 3. Kelainan saraf/jaras penglihatan - Retina : edema makula, komosio retina, perdarahan retina dan/atau robekan retina akibat trauma, retinopati toksik (terutama kloroquin), retinopati radiasi (misalnya pada radioterapi), atau retinopati akibat cahaya (efek mekanik, termal atau fotokimia, contohnya solar retinopathy pada pekerja las) - Saraf optik : neuropati optik akibat kontak, inhalasi atau ingesti zat toksik atau nutrisional (lihat tabel), neuropati optik akibat trauma, neuropati akibat radiasi (> 3000 rad), dan avulsi papil n.optik. Berbagai Zat yang dapat menyebabkan Neuropati Optik Toksik Metanol Etilen glikol (antifreeze) Kloramfenikol Isoniazid Etambutol Digitalis Klorokuin Streptomisin Amiodaron Kuinin Vinkristin and metotreksat Sulfonamides Melatonin dengan Zoloft dalam die Karbon monoksida Timah Merkuri Talium Malnutrisi dengan defisiensi vitamin B-1 Anemia pernisiosa (fenomena malabsorpsi vitamin B- Arsenik pentavalen Nitrobenzol Karbon disulfida Disulfiram - Korteks penglihatan : akibat trauma kepala atau intoksikasi, misalnya oleh metil merkuri II. DIAGNOSIS Diagnosis gangguan mata akibat kerja harus dilaksanakan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan oftalmologis yang baik, serta pemeriksaan penunjang yang tepat. A. Anamnesis: 1. Umur penderita 2. Jenis pekerjaan 3. Apa keluhan okular yang dirasakan pasien? Perlu dirinci: penglihatan buram, mata merah, nyeri pada mata, keluar darah dari mata, melihat ganda/diplopia, floaters, atau fotopsia, dll 4. Apakah terdapat trauma? Bila ya, kapan terjadinya trauma? 5. Bagaimana perjalanan penyakit (misalnya: akut atau kronik)? 6. Apakah terdapat risiko di lingkungan kerja? (termasuk: iritan/polutan, tidak adanya sarana proteksi, dsb) 7. Berapa lama terpapar faktor risiko? 8. Dicari apakah terdapat penyakit sistemik, penyakit dalam keluarga atau riwayat penyakit mata mata sebelumnya. 59

75 B. Pemeriksaan fisik 1. Keadaan umum 2. Pemeriksaan oftalmologis a. Pemeriksaan tajam penglihatan, baik monokular maupun binokular b. Pemeriksaan mata luar, meliputi pemeriksaan terhadap: kelopak mata konjungtiva sklera kornea bilik mata depan iris pupil lensa Pemeriksaan menggunakan loupe dan senter atau biomikroskop slit lamp di tingkat rujukan. Semua kelainan yang dicatat harus dideskripsikan secara sistematis. Pada kasus trauma, jenis luka (tajam/tembus atau tumpul atau trauma kimia) harus dideskripsikan. c. Pemeriksaan refleks pupil. Dilakukan dengan menyinari mata dengan senter, dicari kelainan pupil seperti anisokoria atau afferent pupillary defect. d. Posisi (alignment) dan gerakan bola mata; dinilai secara binokular ke 8 arah (cardinal gaze). Pada pemeriksaan posisi bola mata dicari tanda-tanda strabismus (esotropia, eksotropia, dan hipertropia). Pada pemeriksaan gerakan bola mata dicari tanda-tanda hambatan gerak. e. Pemeriksaan lapang pandang. Cara paling sederhana yang dapat dilakukan di layanan primer adalah tes Konfrontasi, namun pemeriksaan di tingkat rujukan adalah dengan kampimetri Goldmann. f. Pemeriksaan fundus dengan oftalmoskop. Dilakukan penilaian terhadap bagian dalam mata meliputi badan kaca, retina dan pupil saraf optik. g. Pemeriksaan khusus, antara lain meliputi : Tonometri : mengukur tekanan intraokular (TIO). Nilai normal adalah mmhg; peningkatan TIO dapat ditemukan pada glaukoma. Penglihatan warna : menilai kemampuan melihat warna, mendeteksi buta warna. Binokularitas : menilai kemampuan kedua mata saat melihat secara bersamaan. Dinilai adakah penglihatan ganda, dan apakah kedua mata melihat secara stereoskopis. Berdasarkan Lampiran II, PP No.14 tahun 1993 dan Peraturan Pemerintah No. 64 Tahun 2005 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Jaminan Sosial Tenaga Kerja, paramater gangguan mata akibat kerja adalah tajam penglihatan, lapang pandang, penglihatan warna dan binokularitas. Pemeriksaan terhadap keempat parameter ini akan dibahas dalam uraian di bawah. C. Pemeriksaan terhadap parameter gangguan fungsi penglihatan. 1. Pemeriksaan tajam penglihatan a. Pemeriksaan tajam penglihatan jauh Dasar pemeriksaan: 2 buah titik akan terlihat terpisah bila kedua titik sudah membentuk 1 (satu) menit busur derajat sudut penglihatan mata. Peralatan yang digunakan: Kartu Snellen (Snellen Chart) dan Kartu Kipas Astigmatisme. Alat tersebut dapat tersedia baik di pelayanan mata tingkat primer, sekunder maupun tersier. 60

76 1) Untuk penilaian tajam penglihatan jauh: - Setiap huruf tertentu pada jarak tertentu akan membentuk 5 menit busur derajat sudut penglihatan - Besar huruf pada kartu untuk dapat dilihat, telah diatur - Warna huruf/angka hitam dengan dasar putih; dan warna huruf/angka putih di atas dasar hitam - Pencahayaan latar belakang sebesar 50 lux, sedangkan pencahayaan pada Kartu Snellen (yang menggunakan lampu) adalah sebesar 500 lux - Jarak baca 6 meter, atau setidaknya 3 meter dengan menggunakan cermin. Pada jarak ini dianggap mata yang diperiksa tidak lagi berakomodasi - Kedua mata diperiksa bergantian, dengan cara menutup satu mata bergantian - Pada orang buta huruf dapat digunakan kartu E atau kartu Landolt dengan prinsip yang sama 2) Refraksi dengan set lensa dan bingkai coba (trial lens dan trial frame) Lensa coba yang tersedia naik bertahap sebesar minimal 0.5 dioptri dimulai dari lensa terkecil 0.5 dioptri. Kekuatan lensa silinder bertahap naik sebesar minimal 0.5 dioptri dimulai dari lensa terkecil 0.5 dioptri dan tersedia minimum sampai 3 dioptri. Teknik pemeriksaan : Pemeriksaan dilakukan dalam jarak 6 meter Dipasang bingkai coba, mata yang tidak diperiksa ditutup dengan occluder Penderita diminta untuk membaca sampai baris terkecil yang masih dapat dibaca olehnya. Hasil yang didapat merupakan tajam penglihatan sebelum koreksi. Apabila hasil tajam penglihatan yang didapat tidak mencapai penglihatan normal (6/6), dilakukan koreksi kacamata. Dicoba dengan lensa negatif/positif terkecil dan bila tajam penglihatan menjadi lebih baik ditambah kekuatannya perlahan-lahan hingga dapat membaca huruf pada baris terbawah. Apabila dengan penambahan lensa negatif/positif belum juga dapat mencapai tajam penglihatan normal, dilakukan pemeriksaan melalui lubang intip (pinhole). Apabila dengan teknik ini tidak terdapat kemajuan tajam penglihatan, maka penglihatan tidak bisa diperbaiki lebih lanjut (kelainan retina / saraf optik). Apabila terdapat kemajuan tajam penglihatan maka diperiksa kemungkinan adanya astigmatisme. Dengan lensa negatif/positif yang memberi hasil terbaik pada masa tersebut ditambahkan lensa positif yang cukup besar (kira-kira S+3 dioptri), membuat kekaburan penglihatan, kemudian diminta untuk melihat kartu kipas astigmat. Ditanyakan adanya garis pada kipas yang paling jelas terlihat (yang paling hitam dan tajam gambarannya). Apabila belum terlihat perbedaan tebal garis kipas astigmat, maka lensa S+3.0 dioptri diperlemah sedikit demi sedikit, hingga penderita dapat menentukan perbedaan garis yang terjelas dan terkabur. Lensa silinder negatif dipasang dengan sumbu sesuai dengan garis terkabur pada kipas astigmat. Lensa silinder negatif diperkuat sedikit demi sedikit hingga semua garis terlihat sama tebalnya pada kipas astigmat tersebut. Pembacaan kartu Snellen dilanjutkan sampai baris terkecil, dengan pengurangan lensa positif yang terpasang atau penambahan lensa negatif. Diperiksa mata sebelahnya, seperti di atas. 61

77 Penilaian : Tajam penglihatan dinyatakan dalam pecahan dengan pembilang merupakan jarak pemeriksaan (biasanya 6 meter) dan penyebut adalah angka yang terkecil yang masih dapat dibaca. Contoh: Tajam penglihatan 6/12 berarti penderita tersebut hanya dapat membaca dalam jarak 6 meter huruf/gambar yang seharusnya dapat dibaca oleh orang normal pada jarak 12 meter. Tajam penglihatan normal adalah 6/6 Hasil koreksi kacamata sesuai dengan ketentuan lensa negatif / positif, dengan / tanpa lensa silinder negatif pada sumbu terpasang. Apabila penderita tidak dapat membaca huruf terbesar pada kartu Snellen, maka dilakukan hitung jari (counting fingers=cf). Tajam penglihatan pada tes hitung jari diberi simbol angka 1/60 hingga 5/60. Pembilang merupakan jarak yang masih dapat dilihat oleh penderita dalam satuan meter. Apabila penderita tidak juga dapat menghitung jari, maka dilakukan tes gerakan tangan (hand movement = HM). Tajam penglihatan pada tes ini diberikan simbol angka 1/300. Apabila penderita hanya dapat membedakan gelap dan terang, tajam kemampuan menentukan arah sumber cahaya (proyeksi baik atau salah) Bila sama sekali tidak dapat menerima langsung rangsang cahaya dinyatakan tajam penglihatan nol (no light perception = NLP) b. Pemeriksaan Tajam Penglihatan Dekat Dasar : sama dengan dasar penglihatan jauh. Daya akomodasi yaitu kemampuan mata untuk menambah daya bias lensa dengan kontraksi otot siliar, yang menyebabkan penambahan tebal dan kecembungan lensa sehingga bayangan benda pada jarak yang berbeda akan terfokus di retina Peralatan dan persyaratan : Besar huruf bervariasi dalam ukuran 0.5 mm hingga 19.5 mm, dan dinyatakan dalam tingkat Jaeger 1 sampai dengan Jaeger 20. Pencahayaan minimal 100 footcandles pada kartu. Teknik Pemeriksaan : Penderita diperiksa terlebih dahulu penglihatan jauhnya, kemudian diberikan ukuran kacamata yang sesuai. Jarak baca cm. Penderita diminta untuk membaca huruf terkecil yang masih bisa dibaca pada kartu baca Penilaian Tajam penglihatan dekat normal adalah Jaeger 1 Kriteria klinik ini dapat dilihat kuantifikasinya secara fungsional sebagai Efisiensi Penglihatan. 2. Pemeriksaan Lapang Pandang Lapang pandang adalah bagian dari ruang di mana semua obyek dapat dilihat secara serentak pada waktu mata berfiksasi ke suatu arah. Dasar : Retina perifer mempunyai kemampuan melihat yang berbeda dengan retina sentral 62

78 Perimetri merupakan metode klinis untuk mengukur fungsi penglihatan di luar daerah sentral (fovea). Perimetri mampu mendeteksi berbagai kelainan fungsi penglihatan akibat kelainan saraf optik maupun retina. Peralatan : Pada pelayanan mata tingkat primer dan sekunder, pemeriksaan dapat dilakukan dengan cara sederhana, yaitu tes konfrontasi di mana tidak diperlukan alat. Perimeter Goldmann tersedia di pelayanan mata tingkat rujukan/tersier Tes Konfrontasi : Dasar : membandingkan lapang pandang penderita dengan lapang pandang pemeriksa. Pemeriksa harus mempunyai fungsi mata yang baik, sehingga lapang pandangnya dianggap normal Teknik pemeriksaan : Penderita dan pemeriksa berhadapan muka dengan jarak kira-kira 75 cm (dua kali jarak baca). Mata kiri pemeriksa dan mata kanan penderita ditutup. Mata yang terbuka saling berpandangan; sebuah obyek (misalnya tangan pemeriksa) pada jarak yang sama dari pemeriksa-penderita (bidang tengah) digerakkan dari tidak terlihat ke arah tengah pada 8 meridian. Penderita diminta menyebutkan dengan segera, pada saat obyek (benda, warna) terlihat. Dibandingkan luasnya lapang pandang antara pemeriksa dan penderita Cara lain adalah dengan menyuruh penderita menghitung jari pemeriksa pada keempat kuadran yaitu superotemporal. Inferotemporal, superonasal dan inferonasal. Pemeriksaan dilakukan pada mata sebelahnya Penilaian Lapang pandang dianggap normal apabila sama luasnya dengan pemeriksa. Lapang pandang dianggap menyempit apabila lebih kecil dari lapang pandang pemeriksa. Apabila penderita tidak dapat menghitung jumlah jari di salah satu kuadran atau lebih, dianggap sebagai abnormal Pada tingkat rujukan (pelayanan mata tingkat tersier) dilakukan pemeriksaan lapang pandang dengan Perimeter Goldmann Perimeter Goldmann : Berupa mangkuk besar berwarna putih (kepala pasien dihadapkan pada alat tersebut, dengan pemeriksa di balik mangkuk tersebut). Pencahayaan 10 apostilb, diameter obyek target 64 mm, persegi (V), pencahayaan obyek 1000 apostilb (4) dan warna obyek target putih. Teknik pemeriksaan : Perlu diterangkan terlebih dahulu perlunya kerjasama pada pemeriksaan dan perlunya fiksasi terus menerus, serta penderita diminta untuk bereaksi cepat bila sudah melihat sinar yang datang dari arah pinggir. Penderita duduk di depan perimetri dengan dagu pada bantalan dagu, mata sebelah ditutup. 63

79 Mata yang terbuka diberi koreksi penglihatan jauh dan adisi penglihatan dekatnya, lalu diminta berfiksasi pada target yang terletak 33 cm di depan matanya. Obyek yang bercahaya digeser dari pinggir (tidak terlihat), ke arah sentral (daerah terlihat) daerah fiksasi. Penderita diminta segera memberitahu bila melihat cahaya, dengan cara memencet bel yang tersedia, kemudian dicatat pada kartu lapang pandang. Bila ditemukan defek lapang pandang, pemeriksaan diulang Hal ini dilakukan pada meridian Pemeriksaan ini juga dapat dilakukan untuk mengetahui adanya diplopia (diplopia chart) Penilaian : Gambaran normal adalah apabila batas lapang pandang di daerah temporal 85o, daerah nasal 60 o, superior 45 o, dan inferior 65 o. Hasil pemeriksaan dengan ukuran obyek IV atau V dan pencahayaan obyek 4 pada alat perimetri. Hasil perhitungan dapat menyatakan hilangnya persentase lapang pandang Bentuk defek lapang pandang umumnya menunjukkan lokasi kelainan pada jaras penglihatan. Contoh: neuropati optik akibat intoksikasi akan memberikan skotoma (defek lapang pandang) sekosentral atau sentral 3. Pemeriksaan binokularitas Penglihatan binokular terdiri atas beberapa gradasi yaitu : a. Penglihatan serentak (simultaneous perception), yaitu keadaan di mana kedua mata dapat melihat sekaligus. b. Fusi, yaitu keadaan di mana kedua mata dapat bekerja sama c. Stereopsis, yaitu kemampuan untuk membedakan ruang. Pemeriksaan terhadap binokularitas dapat dilakukan dengan: Tes Worth Four-Dot Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui adanya supresi, deviasi, ambliopia dan fusi. Pemeriksaan ini dapat dilakukan di pelayanan mata baik tingkat primer, sekunder maupun tersier. Dasar : Melalui suatu filter berwarna hanya dapat dilihat benda dengan warna filternya. Warna putih akan berubah oleh filter sesuai dengan warna filternya Peralatan : Kacamata filter merah (pada mata kanan) Kotak hitam dengan 4 lubang (diameter 2-3 cm), susunan ketupat; 2 lubang lateral atau horizontal berwarna hijau, lubang di atas berwarna merah dan lubang bawah berwarna putih. Kotak berjarak 6 meter dari tempat pemeriksaan. Kotak hitam di atas dapat digantikan oleh slide Worth Four-Dot Test, yang umumnya termasuk dalam proyektor Snellen yang dapat tersedia di pelayanan mata tingkat primer, sekunder maupun tersier. Teknik pemeriksaan : Penderita memakai kacamata koreksi diberikan sesuai kacamata dan diberi kaca filter merah pada mata kanan dan filter hijau pada mata kiri. Penderita diperiksa pada jarak 6 meter dan 30 cm Kepala penderita harus dalam posisi tegak dan melihat lurus ke depan. Penderita diminta menerangkan apa yang dilihat dengan kedua mata, sewaktu melihat Worth Four Dot 64

80 Penilaian : Bila terlihat : 4 sinar berarti ada fusi (melihat dengan 2 mata) 2 merah atau 3 hijau saja, berarti penderita hanya melihat dengan salah satu matanya dan mata lain dalam keadaan tersupresi. Sumber cahaya putih kadang-kadang berwarna merah dan berganti menjadi hijau, berarti pada setiap saat penderita hanya melihat dengan satu mata, berganti-ganti. Bila terlihat 5 titik berarti terdapat diplopia. Catatan : Penilaian ini hanya bermakna apabila tajam penglihatan mata terburuk minimal 6/18 Penilaian ini harus ditunjang dengan pemeriksaan obyektif untuk menilai adanya juling. Bila terdapat diplopia dianggap kehilangan satu mata dengan tajam penglihatan terburuk. Dinilai adanya diplopia pada penglihatan jauh dan penglihatan dekat. Pemeriksaan ini hanya untuk posisi primer, keluhan pada posisi lain harus diperiksa di tingkat rujukan. 4. Penglihatan Warna Orang normal memiliki kemampuan untuk membedakan warna sinar yang masuk berdasarkan fotoreseptor dan reaksi fotokimia retina yang berbeda. Warna dasar yang terlihat adalah hitam-putih, hijau-merah dan kuning-biru. Tes Ishihara : Dasar : dipakai untuk mengenal adanya cacat warna merah-hijau Peralatan : Kartu Ishihara Teknik pemeriksaan : Pemeriksaan dilakukan dalam ruangan dengan pencahayaan yang cukup Penderita diminta melihat kartu dan menentukan gambar yang terlihat dalam waktu tidak lebih dari 10 detik Penilaian : Ditentukan ada atau tidaknya buta warna hijau merah. Orang normal dapat mengenali warna gambar dalam waktu 3-10 detik, bila terdapat kelambatan atau kesalahan dalam pengenalan gambar berarti terdapat kelainan penglihatan warna. Dari aspek kompensasi cacat penglihatan penilaian ini hanya bermakna apabila keadaan sebelumnya diketahui, tajam penglihatan 6/6 (dengan koreksi), dan lapang pandang normal. III. URAIAN CACAT DAN PENILAIAN TINGKAT CACAT Perhitungan kecacatan dilakukan adalah setelah semua usaha medis yang optimal telah dilakukan, berdasarkan tajam penglihatan dengan koreksi terbaik (baik dengan kacamata, lensa kontak maupun lensa intraokular). Perhitungan kecacatan dilakukan dalam waktu 3 bulan setelah usaha medis optimal selesai dilakukan. 65

81 Penghitungan tingkat cacat dilakukan dengan menilai komponen - komponen fungsi penglihatan. Komponen ini dinilai masing-masing mata dan kemudian diberikan nilai dalam fungsi binokular. A. Tajam penglihatan Pada pemeriksaan tajam penglihatan jauh dan dekat, dilakukan koreksi kacamata yang terbaik. Dilakukan konversi ke dalam nilai kehilangan penglihatan. 1. Persentase kehilangan penglihatan jauh (dengan koreksi terbaik) Efisiensi Tajam Penglihatan Tajam Penglihatan 6/ /7,5 95 6/ / / / / / / /60 5 % Kehilangan Persentase kehilangan tajam penglihatan dekat (dengan koreksi terbaik) Efisiensi Tajam Penglihatan Tajam Penglihatan % Kehilangan Jaeger Jaeger Jaeger Jaeger Jaeger Jaeger Jaeger Persentase kehilangan tajam penglihatan Jumlah aljabar penglihatan jauh dan dekat dibagi 2. Nilai kehilangan penglihatan jauh dan penglihatan dekat adalah sama. Contoh : penglihatan jauh 6/24 efisiensi penglihatan 40%; penglihatan dekat Jaeger 6 efisiensi penglihatan 50% 66

82 berarti orang ini mempunyai kehilangan tajam penglihatan sebesar : ( % kehilangan X.P.jauh ) + ( % kehilangan X.P. dekat) 2 = 40 % + 50 % = 45 % 2 4. Perhitungan Efisiensi Tajam Penglihatan Rumus : Efisiensi penglihatan = 100 % - % kehilangan penglihatan Efisiensi tajam penglihatan pada contoh di atas adalah = 55% B. Lapang Pandang 1. Lapang pandang dilakukan pemeriksaan lapang pandang dengan perimeter Goldman 2. Dihitung luasnya lapang pandang yang hilang 3. Dihitung luas pandang yang masih ada C. Binokularitas 1. Dilakukan pemeriksaan Worth Four Dot atau dengan perimeter Goldmann 2. Bila terdapat diplopia pada posisi utama dan konvergensi (penglihatan dekat) dianggap telah kehilangan satu mata terburuk 3. Pada pemeriksaan dengan perimeter Goldman, diplopia pada daerah 20 derajat berarti kehilangan penglihatan 100%. D. Penglihatan warna 1. Hanya berlaku apabila keadaan penglihatan warna sebelumnya diketahui 2. Dilakukan pemeriksaan Ishihara 3. Dinilai ada tidaknya kehilangan penglihatan warna merah-hijau 4. Pada kehilangan penglihatan warna, dianggap kehilangan efisiensi penglihatan sebesar 10% Efisiensi penglihatan satu mata Menggunakan rumus efisiensi tajam penglihatan. Efisiensi penglihatan dua mata ( Efisiensi penglihatan terbaik X 3 ) + ( Efisiensi penglihatan terburuk X 1 ) 4 Hasil yang didapat dikalikan dengan persentase kompensasi kecacatan dua mata (Lampiran II, PP No.14 tahun 1993 dan Peraturan Pemerintah No. 64 Tahun 2005 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Jaminan Sosial Tenaga Kerja) Bila Kehilangan efisiensi penglihatan hanya terjadi pada satu mata, maka penilaian tingkat cacat didasarkan pada rumus efisiensi penglihatan satu mata. 67

83 BIDANG PENYAKIT AKIBAT RADIASI MENGION I. BATASAN Penyakit akibat kerja karena radiasi mengion ialah ganguan kesehatan yang disebabkan pemaparan radiasi mengion ditempat kerja. Kelainan yang terjadi dapat berupa : A. Gangguan Stokastik Perubahan biologis karena radiasi mengion yang menimbulkan perubahan sifat sel kearah teratogenik dan karsiogenik, terjadi karena pemaparan dalam waktu yang lama yang tidak tergantung pada Nilai yang Boleh Diterima, antara lain : Kanker: - tulang - paru - thiroid - payudara Leukemia. B. Gangguan non Stokastik Efek biologis yang bersifat akut dan kronik akibat radiasi mengion yang menimbulkan kerusakan sel / jaringan akibat pemaparan diatas Nilai Batas Dosis (NBD), antara lain : - luka bakar - radiodermatitis - sindroma radiasi akut - katarak - infertilitas / sterilitas II. DIAGNOSIS A. Anamnesis 1. Umur penderita 2. Riwayat penyakit Keluarga 3. Riwayat Penyakit : a. Timbul gejala mendadak b. Penyakit-penyakit yang pernah diderita sebelumnya. 4. Riwayat Pekerjaan : a. Apakah pernah atau sedang bekerja di lingkungan radiasi mengion. Kalau ya, sudah berapa lama? b. Apakah menggunakan alat pelindung diri? Terus menerus atau terputus-putus. Kalau ya, jenis apa? Apakah selalu digunakan dengan baik?. c. Selama bekerja, apakah dilakukan pemeriksaan kesehatan badan berkala? Apakah selalu menggunakan alat pantau diri (misal: film badge). d. Apakah pernah dinyatakan melebihi dosis nilai batas hasil pemantauan? Bila ya, kapan?. B. Pemeriksaan Fisik. 1. Diagnosis fisik secara umum 2. Pemeriksaan lokal sesuai dengan kelainan / penyakit. C. Pemeriksaan Laboratorium. 1. Rutin : - Hb - Iekosit - S.D.M. - Hitung jenis 2. Khusus : - morfologi lekosit - hitung thrombosit - hitung retikulosit 68

84 D. Pemeriksaan penunjang. 1. Patologi anatomi 2. Radiologi III. PENILAIAN TINGKAT CACAT Penentuan tingkat cacat penyakit akibat radiasi mengion didasarkan pada penilaian tingkat cacat pada masing-masing sistem organ yang terkena. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 18 Desember 2008 MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, ttd. Dr. Ir. ERMAN SUPARNO, MBA., M.Si 69

85 MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.04/MEN/II/2009 TENTANG PENCABUTAN KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA NOMOR KEP-27/MEN/2000 TENTANG PROGRAM SANTUNAN PEKERJA PERUSAHAAN JASA PENUNJANG PERTAMBANGAN MINYAK DAN GAS BUMI MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ketentuan perlindungan bagi pekerja/buruh dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu telah diatur di dalam Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan serta peraturan pelaksanaannya; b. bahwa ketentuan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP- 27/MEN/2000 tentang Program Santunan Pekerja Perusahaan Jasa Penunjang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan saat ini, sehingga perlu dicabut dengan Peraturan Menteri. Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia Untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Tahun 1951 Nomor 4); 2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279); 3. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu, sebagaimana telah beberapa kali diubah, dan yang terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 31/P Tahun 2007; MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI TENTANG PENCABUTAN KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA NOMOR KEP-27/MEN/2000 TENTANG PROGRAM SANTUNAN PEKERJA PERUSAHAAN JASA PENUNJANG PERTAMBANGAN MINYAK DAN GAS BUMI.

86 Pasal 1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP-27/MEN/2000 tentang Program Santunan Pekerja Perusahaan Jasa Penunjang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 2 Bagi Perusahaan Jasa Penunjang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi yang saat diterbitkannya Peraturan Menteri ini masih melaksanakan hubungan kerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu, maka ketentuan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP-27/MEN/2000 tetap berlaku hingga berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu tersebut, dan perusahaan tetap memberikan santunan pekerja/buruh sesuai ketentuan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP-27/MEN/2000. Pasal 3 Perusahaan Jasa Penunjang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi yang akan memberikan santunan kepada pekerja/buruh yang hubungan kerjanya berdasarkan hubungan kerja perjanjian kerja waktu tertentu dapat mengaturnya di dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Pasal 4 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. diperbaiki sebagaimana semestinya. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 20 Februari 2009 MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, ttd. Dr. Ir. ERMAN SUPARNO, MBA., M.Si.

87 MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.08/MEN/VII/2010 TENTANG ALAT PELINDUNG DIRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 3, Pasal 4 ayat (1), Pasal 9, Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja perlu diatur mengenai alat pelindung diri; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a perlu diatur dengan Peraturan Menteri; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 Dari Republik Indonesia Untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1951 Nomor 4); 2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1969 tentang Persetujuan Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional Nomor 120 Mengenai Hygiene Dalam Perniagaan Dan Kantor-Kantor (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1969 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2889); 3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2918); 4. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279); 5. Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2010 tentang Pengawasan Ketenagakerjaan; 6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 84/P Tahun 2009;

88 MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI TENTANG ALAT PELINDUNG DIRI. Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1. Alat Pelindung Diri selanjutnya disingkat APD adalah suatu alat yang mempunyai kemampuan untuk melindungi seseorang yang fungsinya mengisolasi sebagian atau seluruh tubuh dari potensi bahaya di tempat kerja. 2. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. 3. Pengusaha adalah: a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri; b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya; c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia. 4. Pengurus adalah orang yang mempunyai tugas memimpin langsung sesuatu tempat kerja atau bagiannya yang berdiri sendiri. 5. Tempat kerja adalah tiap ruangan atau lapangan tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap, di mana tenaga kerja bekerja atau yang sering dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha dan di mana terdapat sumber atau sumber-sumber bahaya, termasuk semua ruangan, lapangan, halaman dan sekelilingnya yang merupakan bagian atau berhubungan dengan tempat kerja. 6. Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan yang selanjutnya disebut Pengawas Ketenagakerjaan adalah Pegawai Negeri Sipil yang diangkat dan ditugaskan dalam Jabatan Fungsional Pengawas Ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 7. Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah tenaga teknis berkeahlian khusus dari luar Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang ditunjuk oleh Menteri. Pasal 2 (1) Pengusaha wajib menyediakan APD bagi pekerja/buruh di tempat kerja. (2) APD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) atau standar yang berlaku. (3) APD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diberikan oleh pengusaha secara cuma-cuma. 2

89 Pasal 3 (1) APD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 meliputi: a. pelindung kepala; b. pelindung mata dan muka; c. pelindung telinga; d. pelindung pernapasan beserta perlengkapannya; e. pelindung tangan; dan/atau f. pelindung kaki. (2) Selain APD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), termasuk APD: a. pakaian pelindung; b. alat pelindung jatuh perorangan; dan/atau c. pelampung. (3) Jenis dan fungsi APD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini. Pasal 4 (1) APD wajib digunakan di tempat kerja di mana: a. dibuat, dicoba, dipakai atau dipergunakan mesin, pesawat, alat perkakas, peralatan atau instalasi yang berbahaya yang dapat menimbulkan kecelakaan, kebakaran atau peledakan; b. dibuat, diolah, dipakai, dipergunakan, diperdagangkan, diangkut atau disimpan bahan atau barang yang dapat meledak, mudah terbakar, korosif, beracun, menimbulkan infeksi, bersuhu tinggi atau bersuhu rendah; c. dikerjakan pembangunan, perbaikan, perawatan, pembersihan atau pembongkaran rumah, gedung atau bangunan lainnya termasuk bangunan perairan, saluran atau terowongan di bawah tanah dan sebagainya atau di mana dilakukan pekerjaan persiapan; d. dilakukan usaha pertanian, perkebunan, pembukaan hutan, pengerjaan hutan, pengolahan kayu atau hasil hutan lainnya, peternakan, perikanan dan lapangan kesehatan; e. dilakukan usaha pertambangan dan pengolahan batu-batuan, gas, minyak, panas bumi, atau mineral lainnya, baik di permukaan, di dalam bumi maupun di dasar perairan; f. dilakukan pengangkutan barang, binatang atau manusia, baik di daratan, melalui terowongan, di permukaan air, dalam air maupun di udara; g. dikerjakan bongkar muat barang muatan di kapal, perahu, dermaga, dok, stasiun, bandar udara dan gudang; h. dilakukan penyelaman, pengambilan benda dan pekerjaan lain di dalam air; i. dilakukan pekerjaan pada ketinggian di atas permukaan tanah atau perairan; j. dilakukan pekerjaan di bawah tekanan udara atau suhu yang tinggi atau rendah; k. dilakukan pekerjaan yang mengandung bahaya tertimbun tanah, kejatuhan, terkena pelantingan benda, terjatuh atau terperosok, hanyut atau terpelanting; l. dilakukan pekerjaan dalam ruang terbatas tangki, sumur atau lubang; m. terdapat atau menyebar suhu, kelembaban, debu, kotoran, api, asap, gas, hembusan angin, cuaca, sinar atau radiasi, suara atau getaran; n. dilakukan pembuangan atau pemusnahan sampah atau limbah; o. dilakukan pemancaran, penyiaran atau penerimaan telekomunikasi radio, radar, televisi, atau telepon; p. dilakukan pendidikan, pembinaan, percobaan, penyelidikan atau riset yang menggunakan alat teknis; q. dibangkitkan, dirubah, dikumpulkan, disimpan, dibagi-bagikan atau disalurkan listrik, gas, minyak atau air; dan r. diselenggarakan rekreasi yang memakai peralatan, instalasi listrik atau mekanik. 3

90 (2) Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan atau Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja dapat mewajibkan penggunaan APD di tempat kerja selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 5 Pengusaha atau Pengurus wajib mengumumkan secara tertulis dan memasang ramburambu mengenai kewajiban penggunaan APD di tempat kerja. Pasal 6 (1) Pekerja/buruh dan orang lain yang memasuki tempat kerja wajib memakai atau menggunakan APD sesuai dengan potensi bahaya dan risiko. (2) Pekerja/buruh berhak menyatakan keberatan untuk melakukan pekerjaan apabila APD yang disediakan tidak memenuhi ketentuan dan persyaratan. Pasal 7 (1) Pengusaha atau Pengurus wajib melaksanakan manajemen APD di tempat kerja. (2) Manajemen APD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi: a. identifikasi kebutuhan dan syarat APD; b. pemilihan APD yang sesuai dengan jenis bahaya dan kebutuhan/kenyamanan pekerja/buruh; c. pelatihan; d. penggunaan, perawatan, dan penyimpanan; e. penatalaksanaan pembuangan atau pemusnahan; f. pembinaan; g. inspeksi; dan h. evaluasi dan pelaporan. Pasal 8 (1) APD yang rusak, retak atau tidak dapat berfungsi dengan baik harus dibuang dan/atau dimusnahkan. (2) APD yang habis masa pakainya/kadaluarsa serta mengandung bahan berbahaya, harus dimusnahkan sesuai dengan peraturan perundangan-undangan. (3) Pemusnahan APD yang mengandung bahan berbahaya harus dilengkapi dengan berita acara pemusnahan. Pasal 9 Pengusaha atau pengurus yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 4, dan Pasal 5 dapat dikenakan sanksi sesuai Undang-Undang Nomor 1 Tahun

91 Pasal 10 Pengawasan terhadap ditaatinya Peraturan Menteri ini dilakukan oleh Pengawas Ketenagakerjaan. Pasal 11 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Menteri ini diundangkan dengan penempatan dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 6 Juli 2010 MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, ttd. DRS. H. A. MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si. Diundangkan di Jakarta pada tanggal 6 Juli 2010 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. PATRIALIS AKBAR,SH. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 330 5

92 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.08/MEN/VII/2010 TENTANG ALAT PELINDUNG DIRI FUNGSI DAN JENIS ALAT PELINDUNG DIRI 1. Alat pelindung kepala 1.1 Fungsi Alat pelindung kepala adalah alat pelindung yang berfungsi untuk melindungi kepala dari benturan, terantuk, kejatuhan atau terpukul benda tajam atau benda keras yang melayang atau meluncur di udara, terpapar oleh radiasi panas, api, percikan bahan-bahan kimia, jasad renik (mikro organisme) dan suhu yang ekstrim. 1.2 Jenis Jenis alat pelindung kepala terdiri dari helm pengaman (safety helmet), topi atau tudung kepala, penutup atau pengaman rambut, dan lain-lain. 2. Alat pelindung mata dan muka 2.1 Fungsi Alat pelindung mata dan muka adalah alat pelindung yang berfungsi untuk melindungi mata dan muka dari paparan bahan kimia berbahaya, paparan partikel-partikel yang melayang di udara dan di badan air, percikan benda-benda kecil, panas, atau uap panas, radiasi gelombang elektromagnetik yang mengion maupun yang tidak mengion, pancaran cahaya, benturan atau pukulan benda keras atau benda tajam. 2.2 Jenis Jenis alat pelindung mata dan muka terdiri dari kacamata pengaman (spectacles), goggles, tameng muka (face shield), masker selam, tameng muka dan kacamata pengaman dalam kesatuan (full face masker). 3. Alat pelindung telinga 3.1 Fungsi Alat pelindung telinga adalah alat pelindung yang berfungsi untuk melindungi alat pendengaran terhadap kebisingan atau tekanan. 3.2 Jenis Jenis alat pelindung telinga terdiri dari sumbat telinga (ear plug) dan penutup telinga (ear muff). 6

93 4. Alat pelindung pernapasan beserta perlengkapannya 4.1 Fungsi Alat pelindung pernapasan beserta perlengkapannya adalah alat pelindung yang berfungsi untuk melindungi organ pernapasan dengan cara menyalurkan udara bersih dan sehat dan/atau menyaring cemaran bahan kimia, mikro-organisme, partikel yang berupa debu, kabut (aerosol), uap, asap, gas/ fume, dan sebagainya. 4.2 Jenis Jenis alat pelindung pernapasan dan perlengkapannya terdiri dari masker, respirator, katrit, kanister, Re-breather, Airline respirator, Continues Air Supply Machine=Air Hose Mask Respirator, tangki selam dan regulator (Self-Contained Underwater Breathing Apparatus /SCUBA), Self-Contained Breathing Apparatus (SCBA), dan emergency breathing apparatus. 5. Alat pelindung tangan 5.1 Fungsi Pelindung tangan (sarung tangan) adalah alat pelindung yang berfungsi untuk melindungi tangan dan jari-jari tangan dari pajanan api, suhu panas, suhu dingin, radiasi elektromagnetik, radiasi mengion, arus listrik, bahan kimia, benturan, pukulan dan tergores, terinfeksi zat patogen (virus, bakteri) dan jasad renik. 5.2 Jenis Jenis pelindung tangan terdiri dari sarung tangan yang terbuat dari logam, kulit, kain kanvas, kain atau kain berpelapis, karet, dan sarung tangan yang tahan bahan kimia. 6. Alat pelindung kaki 6.1 Fungsi Alat pelindung kaki berfungsi untuk melindungi kaki dari tertimpa atau berbenturan dengan benda-benda berat, tertusuk benda tajam, terkena cairan panas atau dingin, uap panas, terpajan suhu yang ekstrim, terkena bahan kimia berbahaya dan jasad renik, tergelincir. 6.2 Jenis Jenis Pelindung kaki berupa sepatu keselamatan pada pekerjaan peleburan, pengecoran logam, industri, kontruksi bangunan, pekerjaan yang berpotensi bahaya peledakan, bahaya listrik, tempat kerja yang basah atau licin, bahan kimia dan jasad renik, dan/atau bahaya binatang dan lain-lain. 7. Pakaian pelindung 7.1 Fungsi Pakaian pelindung berfungsi untuk melindungi badan sebagian atau seluruh bagian badan dari bahaya temperatur panas atau dingin yang ekstrim, pajanan api dan benda-benda panas, percikan bahan-bahan kimia, cairan dan logam panas, uap panas, benturan (impact) dengan mesin, peralatan dan bahan, tergores, radiasi, binatang, mikro-organisme patogen dari manusia, binatang, tumbuhan dan lingkungan seperti virus, bakteri dan jamur. 7

94 7.2 Jenis Jenis pakaian pelindung terdiri dari rompi (Vests), celemek (Apron/Coveralls), Jacket, dan pakaian pelindung yang menutupi sebagian atau seluruh badan. 8. Alat pelindung jatuh perorangan bagian 8.1. Fungsi Alat pelindung jatuh perorangan berfungsi membatasi gerak pekerja agar tidak masuk ke tempat yang mempunyai potensi jatuh atau menjaga pekerja berada pada posisi kerja yang diinginkan dalam keadaan miring maupun tergantung dan menahan serta membatasi pekerja jatuh sehingga tidak membentur lantai dasar. 8.2 Jenis 9. Pelampung 9.1. Fungsi 9.2. Jenis Jenis alat pelindung jatuh perorangan terdiri dari sabuk pengaman tubuh (harness), karabiner, tali koneksi (lanyard), tali pengaman (safety rope), alat penjepit tali (rope clamp), alat penurun (decender), alat penahan jatuh bergerak (mobile fall arrester), dan lain-lain. Pelampung berfungsi melindungi pengguna yang bekerja di atas air atau dipermukaan air agar terhindar dari bahaya tenggelam dan atau mengatur keterapungan (buoyancy) pengguna agar dapat berada pada posisi tenggelam (negative buoyant) atau melayang (neutral buoyant) di dalam air. Jenis pelampung terdiri dari jaket keselamatan (life jacket), rompi keselamatan ( life vest), rompi pengatur keterapungan (Bouyancy Control Device). Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 6 Juli 2010 MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, ttd. DRS. H. A. MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si. 8

95 MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.09/MEN/VII/2010 TENTANG OPERATOR DAN PETUGAS PESAWAT ANGKAT DAN ANGKUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat : bahwa dengan berkembangnya penggunaan jenis dan kapasitas pesawat angkat dan angkut maka perlu menyempurnakan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER.01/MEN/1989 tentang Kwalifikasi dan Syarat-Syarat Operator Keran Angkat dengan Peraturan Menteri; 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2918); 2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279); 3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437); 4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; 5. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2010 tentang Pengawasan Ketenagakerjaan; 6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 84/P Tahun 2009; 7. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor PER.05/MEN/1985 tentang Pesawat Angkat dan Angkut; 1

96 MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI TENTANG OPERATOR DAN PETUGAS PESAWAT ANGKAT DAN ANGKUT. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksudkan dengan: 1. Operator adalah tenaga kerja yang mempunyai kemampuan dan memiliki keterampilan khusus dalam pengoperasian pesawat angkat dan angkut. 2. Petugas adalah tenaga kerja yang mempunyai kemampuan dan memiliki keterampilan khusus di bidang pesawat angkat dan angkut yang terdiri dari juru ikat (rigger) dan teknisi. 3. Juru ikat (rigger) adalah tenaga kerja yang mempunyai kemampuan dan memiliki keterampilan khusus dalam melakukan pengikatan barang serta membantu kelancaran pengoperasian peralatan angkat. 4. Teknisi adalah petugas pelaksana pemasangan, pemeliharaan, perbaikan dan/atau pemeriksaan peralatan/komponen pesawat angkat dan angkut. 5. Pesawat angkat dan angkut adalah suatu pesawat atau alat yang digunakan untuk memindahkan, mengangkat muatan baik bahan atau orang secara vertikal dan/atau horizontal dalam jarak yang ditentukan. 6. Peralatan angkat adalah alat yang dikonstruksi atau dibuat khusus untuk mengangkat naik dan menurunkan muatan. 7. Pita transport adalah suatu pesawat atau alat yang digunakan untuk memindahkan muatan secara terus menerus (continue) dengan menggunakan bantuan pita. 8. Pesawat angkutan di atas landasan dan di atas permukaan adalah suatu pesawat atau alat yang digunakan untuk memindahkan muatan atau orang dengan menggunakan kemudi baik di dalam atau di luar pesawat dan bergerak di atas landasan maupun permukaan. 9. Alat angkutan jalan rel adalah suatu alat angkutan yang bergerak di atas jalan rel. 10. Lisensi Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang selanjutnya disingkat Lisensi K3 adalah kartu tanda kewenangan seorang operator untuk mengoperasikan pesawat angkat dan angkut sesuai dengan jenis dan kualifikasinya atau petugas untuk penanganan pesawat angkat dan angkut. 11. Buku kerja (log book) adalah buku kerja yang diberikan kepada seorang operator untuk mencatat kegiatan selama mengoperasikan pesawat angkat dan angkut sesuai dengan jenis dan kualifikasinya atau petugas untuk mencatat penanganan pesawat angkat dan angkut. 12. Pengurus adalah orang yang mempunyai tugas memimpin langsung sesuatu tempat kerja atau bagiannya yang berdiri sendiri. 2

97 13. Pengusaha adalah: a. orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri; b. orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya; dan c. orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia. 14. Pegawai pengawas ketenagakerjaan yang selanjutnya disebut Pengawas Ketenagakerjaan adalah pegawai negeri sipil yang diangkat dan ditugaskan dalam jabatan fungsional pengawas ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 15. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang membidangi pembinaan pengawasan ketenagakerjaan. Pasal 2 Peraturan Menteri ini mengatur kualifikasi, syarat-syarat, wewenang, kewajiban operator dan petugas pesawat angkat dan angkut. Pasal 3 Pengusaha atau pengurus dilarang mempekerjakan operator dan/atau petugas pesawat angkat dan angkut yang tidak memiliki Lisensi K3 dan buku kerja. Pasal 4 Jumlah operator pesawat angkat dan angkut yang dipekerjakan oleh pengusaha atau pengurus harus memenuhi kualifikasi dan jumlah sesuai dengan jenis dan kapasitas pesawat angkat dan angkut sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini. BAB II KUALIFIKASI DAN SYARAT-SYARAT OPERATOR DAN PETUGAS PESAWAT ANGKAT DAN ANGKUT Bagian Kesatu Operator Pesawat Angkat dan Angkut Pasal 5 (1) Pesawat angkat dan angkut harus dioperasikan oleh operator pesawat angkat dan angkut yang mempunyai Lisensi K3 dan buku kerja sesuai jenis dan kualifikasinya. (2) Operator pesawat angkat dan angkut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi operator peralatan angkat, pita transport, pesawat angkutan di atas landasan dan di atas permukaan, dan alat angkutan jalan rel. 3

98 Paragraf Kesatu Operator Peralatan Angkat Pasal 6 (1) Operator peralatan angkat meliputi operator dongkrak mekanik (lier), takal, alat angkat listrik/lift barang/passenger hoist, pesawat hidrolik, pesawat pneumatik, gondola, keran mobil, keran kelabang, keran pedestal, keran menara, keran gantry, keran overhead, keran portal, keran magnet, keran lokomotif, keran dinding, keran sumbu putar, dan mesin pancang. (2) Operator peralatan angkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diklasifikasikan sebagai berikut: a. operator kelas I; b. operator kelas II; dan c. operator kelas Ill. (3) Pengklasifikasian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi operator gondola, dongkrak mekanik (lier), takal, dan mesin pancang. Pasal 7 (1) Operator peralatan angkat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf a harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. sekurang-kurangnya berpendidikan SLTA/sederajat; b. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun membantu pelayanan di bidangnya; c. berbadan sehat menurut keterangan dokter; d. umur sekurang-kurangnya 23 tahun; dan e. memiliki Lisensi K3 dan buku kerja. (2) Operator peralatan angkat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf b harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. sekurang-kurangnya berpendidikan SLTA/sederajat; b. berpengalaman sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun membantu pelayanan di bidangnya; c. berbadan sehat menurut keterangan dokter; d. umur sekurang-kurangnya 21 tahun; dan e. memiliki Lisensi K3 dan buku kerja. (3) Operator peralatan angkat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf c harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. sekurang-kurangnya berpendidikan SLTP/sederajat; b. berpengalaman sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun membantu pelayanan di bidangnya; c. berbadan sehat menurut keterangan dokter; d. umur sekurang-kurangnya 19 tahun; dan e. memiliki Lisensi K3 dan buku kerja. (4) Operator gondola, dongkrak mekanik (lier), takal, dan mesin pancang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. sekurang-kurangnya berpendidikan SLTP/sederajat; b. berpengalaman sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun membantu pelayanan di bidangnya; c. berbadan sehat menurut keterangan dokter; d. umur sekurang-kurangnya 19 tahun; dan e. memiliki Lisensi K3 dan buku kerja. 4

99 Pasal 8 Operator peralatan angkat kelas III dapat ditingkatkan menjadi operator peralatan angkat kelas II dan operator peralatan angkat kelas II dapat ditingkatkan menjadi operator peralatan angkat kelas I dengan persyaratan sebagai berikut: a. berpengalaman sebagai operator sesuai dengan kelasnya sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus; dan b. lulus uji operator peralatan angkat sesuai dengan kualifikasinya. Paragraf Kedua Operator Pita Transport Pasal 9 Operator pita transport meliputi operator eskalator, ban berjalan, dan rantai berjalan. Pasal 10 Operator pita transport sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. sekurang-kurangnya berpendidikan SLTP/sederajat; b. berpengalaman sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun membantu pelayanan di bidangnya; c. berbadan sehat menurut keterangan dokter; d. umur sekurang-kurangnya 20 tahun; dan e. memiliki Lisensi K3 dan buku kerja. Paragraf ketiga Operator Pesawat Angkutan di atas Landasan dan di atas Permukaan Pasal 11 Operator pesawat angkutan di atas landasan dan di atas permukaan meliputi antara lain operator: dump truk, truk derek/trailer, alat angkutan bahan berbahaya, traktor, kereta gantung, shovel, excavator/back hoe, compactor, mesin giling, bulldozer, loader, tanden roller, tire roller, grader, vibrator, side boom, forklift dan/atau lift truk. Pasal 12 Operator forklift dan/atau lift truk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 diklasifikasikan sebagai berikut: a. operator kelas I; dan b. operator kelas II. Pasal 13 Operator pesawat angkutan di atas landasan dan di atas permukaan sebagaimana di maksud dalam Pasal 11 kecuali operator forklift dan/atau lift truk harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. sekurang-kurangnya berpendidikan SLTP/sederajat; b. berpengalaman sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun membantu pelayanan di bidangnya; c. berbadan sehat menurut keterangan dokter; d. umur sekurang-kurangnya 19 tahun; dan e. memiliki Lisensi K3 dan buku kerja. 5

100 Pasal 14 (1) Operator forklift dan/atau lift truk kelas I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. sekurang-kurangnya berpendidikan SLTA/sederajat; b. berpengalaman sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun membantu pelayanan di bidangnya; c. berbadan sehat menurut keterangan dokter; d. umur sekurang-kurangnya 21 tahun; dan e. memiliki Lisensi K3 dan buku kerja. (2) Operator forklift dan/atau lift truk kelas II sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf b harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. sekurang-kurangnya berpendidikan SLTP/sederajat; b. berpengalaman sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun membantu pelayanan di bidangnya; c. berbadan sehat menurut keterangan dokter; d. umur sekurang-kurangnya 19 tahun; dan e. memiliki Lisensi K3 dan buku kerja. Pasal 15 Operator forklift dan/atau lift truk kelas II dapat ditingkatkan menjadi operator forklift dan/atau lift truk kelas I dengan persyaratan sebagai berikut: a. berpengalaman sebagai operator sesuai dengan kelasnya sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus; dan b. lulus uji operator forklift dan/atau lift truk sesuai dengan kualifikasinya. Paragraf Keempat Operator Alat Angkutan Jalan Rel Pasal 16 Operator alat angkutan jalan rel meliputi operator lokomotif dan Iori. Pasal 17 Operator alat angkutan jalan rel sebagaimana dimaksud dalam Pasal memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. sekurang-kurangnya berpendidikan SLTA/sederajat; b. berpengalaman sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun di bidangnya; c. berbadan sehat menurut keterangan dokter; d. umur sekurang-kurangnya 19 tahun; dan e. memiliki Lisensi K3 dan buku kerja. 16 harus Bagian Kedua Petugas Pesawat Angkat dan Angkut Pasal 18 (1) Pengoperasian pesawat angkat dan angkut dapat dibantu oleh petugas pesawat angkat dan angkut yang mempunyai Lisensi K3 dan buku kerja sesuai jenis dan kualifikasinya. (2) Petugas pesawat angkat dan angkut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi juru ikat (rigger) dan teknisi. 6

101 Paragraf Kesatu Juru Ikat (rigger) Pasal 19 Juru ikat (rigger) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. sekurang-kurangnya berpendidikan SLTP/sederajat; b. berpengalaman sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun di bidangnya; c. berbadan sehat menurut keterangan dokter; d. umur sekurang-kurangnya 19 tahun; dan e. memiliki Lisensi K3 dan buku kerja. Paragraf Kedua Teknisi Pasal 20 Teknisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. sekurang-kurangnya berpendidikan SLTA/sederajat dan/atau berpengalaman di bidangnya sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun; b. berbadan sehat menurut keterangan dokter; c. umur sekurang-kurangnya 21 tahun; dan d. memiliki Lisensi K3 dan buku kerja. BAB III TATA CARA MEMPEROLEH LISENSI K3 DAN BUKU KERJA Pasal 21 Direktur Jenderal atau pejabat yang ditunjuk menerbitkan Lisensi K3 dan buku kerja operator atau petugas pesawat angkat dan angkut. Pasal 22 (1) Untuk memperoleh Lisensi K3 dan buku kerja operator atau petugas pesawat angkat dan angkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, pengusaha atau pengurus mengajukan permohonan tertulis kepada Direktur Jenderal dengan melampirkan: a. copy ijazah terakhir; b. surat keterangan berpengalaman kerja membantu operator atau petugas pesawat angkat dan angkut sesuai bidangnya yang diterbitkan oleh perusahaan; c. surat keterangan berbadan sehat dari dokter; d. copy kartu tanda penduduk; e. copy sertifikat kompetensi sesuai dengan jenis dan kualifikasinya; dan f. pas photo berwarna 2 x 3 (3 lembar) dan 4 x 6 (2 lembar). (2) Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pemeriksaan dokumen oleh Tim. (3) Berdasarkan hasil pemeriksaan Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Jenderal menerbitkan Lisensi K3 dan buku kerja. 7

102 Pasal 23 (1) Lisensi K3 dan buku kerja berlaku untuk jangka waktu 5 (lima tahun), dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama. (2) Permohonan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Direktur Jenderal dengan melampirkan: a. lisensi K3 lama yang asli; b. buku kerja asli yang telah diperiksa oleh atasannya; c. surat keterangan berbadan sehat dari dokter; d. copy kartu tanda penduduk; e. copy sertifikat kompetensi sesuai dengan jenis dan kualifikasinya; dan f. pas photo berwarna 2 x 3 (3 lembar) dan 4 x 6 (2 lembar). Pasal 24 Dalam hal sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf e dan Pasal 23 ayat (2) huruf e belum dapat dilaksanakan maka dapat menggunakan sertifikat pembinaan K3 yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal. Pasal 25 Buku kerja operator atau petugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 harus diperiksa setiap 3 bulan oleh atasannya. Pasal 26 Lisensi K3 dan buku kerja hanya berlaku selama operator atau petugas pesawat angkat dan angkut yang bersangkutan bekerja di perusahaan yang mengajukan permohonan. Pasal 27 Lisensi K3 dan buku kerja dapat dicabut apabila operator atau petugas pesawat angkat dan angkut yang bersangkutan terbukti: a. melakukan tugasnya tidak sesuai dengan jenis dan kualifikasi pesawat angkat dan angkut; b. melakukan kesalahan, atau kelalaian, atau kecerobohan sehingga menimbulkan keadaan berbahaya atau kecelakaan kerja; dan c. tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 sesuai bidangnya. BAB IV KEWENANGAN OPERATOR DAN PETUGAS Pasal 28 (1) Operator peralatan angkat Kelas I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf a berwenang: a. mengoperasikan peralatan angkat sesuai dengan jenisnya dengan kapasitas lebih dari 100 ton atau tinggi menara lebih dari 60 meter; dan b. mengawasi dan membimbing kegiatan operator Kelas II dan/atau operator Kelas III, apabila perlu didampingi oleh operator Kelas II dan/atau Kelas III. 8

103 (2) Operator peralatan angkat Kelas II sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf b berwenang: a. mengoperasikan peralatan angkat sesuai dengan jenisnya dengan kapasitas Iebih dari 25 ton sampai kurang dari 100 ton atau tinggi menara lebih dari 40 meter sampai dengan 60 meter; dan b. mengawasi dan membimbing kegiatan operator Kelas III, apabila perlu didampingi oleh operator Kelas Ill. (3) Operator peralatan angkat Kelas III sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf c berwenang mengoperasikan peralatan angkat sesuai jenisnya dengan kapasitas kurang dari 25 ton atau tinggi menara sampai dengan 40 meter. (4) Operator peralatan angkat jenis gondola, dongkrak mekanik (lier), takal, dan mesin pancang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) berwenang mengoperasikan gondola, dongkrak mekanik (lier), takal, dan mesin pancang. Pasal 29 Operator pita transport sebagaimana dimaksud dalam Pasal mengoperasikan eskalator, ban berjalan, dan rantai berjalan. 9 berwenang Pasal 30 (1) Operator pesawat angkutan di atas landasan dan di atas permukaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 berwenang mengoperasikan antara lain operator: dump truk, truk derek/trailer, alat angkutan bahan berbahaya, traktor, kereta gantung, shovel, excavator/back hoe, compactor, mesin giling, bulldozer, loader, tanden roller, tire roller, grader, vibrator, side boom, forklift dan/atau lift truk. (2) Operator forklift dan/atau lift truk kelas I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a berwenang: a. mengoperasikan forklift dan/atau lift truk sesuai dengan jenisnya dengan kapasitas lebih dari 15 ton; dan b. mengawasi dan membimbing kegiatan operator Kelas II. (3) Operator forklift dan/atau lift truk kelas II sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf b berwenang mengoperasikan forklift dan/atau lift truk sesuai jenisnya dengan kapasitas maksimum 15 ton. Pasal 31 Operator alat angkutan jalan rel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 berwenang mengoperasikan lokomotif beserta rangkaiannya dan lori. Pasal 32 Juru ikat (rigger) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) berwenang melakukan: a. pengikatan barang atau bahan sesuai dengan prosedur pengikatan; dan b. pemberian aba-aba pengoperasian pesawat angkat dan angkut. 9

104 Pasal 33 Teknisi pesawat angkat dan angkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) berwenang melakukan: a. pemasangan, perbaikan, atau perawatan pesawat angkat dan angkut; dan b. pemeriksaan, penyetelan, dan mengevaluasi keadaan pesawat angkat dan angkut. BAB V KEWAJIBAN OPERATOR DAN PETUGAS Pasal 34 (1) Operator pesawat angkat dan angkut berkewajiban untuk: a. melakukan pengecekan terhadap kondisi atau kemampuan kerja pesawat angkat dan angkut, alat-alat pengaman, dan alat-alat perlengkapan lainnya sebelum pengoperasian pesawat angkat dan angkut; b. bertanggung jawab atas kegiatan pengoperasian pesawat angkat dan angkut dalam keadaan aman; c. tidak meninggalkan tempat pengoperasian pesawat angkat dan angkut, selama mesin dihidupkan; d. menghentikan pesawat angkat dan angkut dan segera melaporkan kepada atasan, apabila alat pengaman atau perlengkapan pesawat angkat dan angkut tidak berfungsi dengan baik atau rusak; e. mengawasi dan mengkoordinasikan operator kelas II dan operator kelas III bagi operator kelas I, dan operator kelas II mengawasi dan mengkoordinasikan operator kelas III; f. mematuhi peraturan dan melakukan tindakan pengamanan yang telah ditetapkan dalam pengoperasian pesawat angkat dan angkut; dan g. mengisi buku kerja dan membuat laporan harian selama mengoperasikan pesawat angkat dan angkut. (2) Juru ikat (rigger) berkewajiban untuk: a. melakukan pemilihan alat bantu angkat sesuai dengan kapasitas beban kerja aman; b. melakukan pengecekan terhadap kondisi pengikatan aman dan alat bantu angkat yang digunakan; c. melakukan perawatan alat bantu angkat; d. mematuhi peraturan dan melakukan tindakan pengamanan yang telah ditetapkan; dan e. mengisi buku kerja dan membuat laporan harian sesuai dengan pekerjaan yang telah dilakukan. (3) Teknisi berkewajiban untuk: a. melaporkan kepada atasan langsung, kondisi pesawat angkat dan angkut yang menjadi tanggung jawabnya jika tidak aman atau tidak layak pakai; b. bertanggung jawab atas hasil pemasangan, pemeliharaan, perbaikan, dan/atau pemeriksaan peralatan/komponen pesawat angkat dan angkut; c. mematuhi peraturan dan melakukan tindakan pengamanan yang telah ditetapkan; d. membantu pegawai pengawas ketenagakerjaan spesialis pesawat angkat dan angkut dalam pelaksanaan pemeriksaan dan pengujian pesawat angkat dan angkut; dan e. mengisi buku kerja dan membuat laporan harian sesuai dengan pekerjaan yang telah dilakukan. 10

105 BAB VI PEMBINAAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA Pasal 35 (1) Pelaksanaan pembinaan K3 bagi operator dan petugas pesawat angkat dan angkut dilakukan oleh: a. instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota; dan b. perusahaan jasa keselamatan dan kesehatan kerja bidang pembinaan yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal berkoordinasi dengan instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada pemerintah provinsi dan/atau pemerintah kabupaten/kota. (2) Dalam hal perusahaan akan melakukan pembinaan secara mandiri (in house training) maka harus mengajukan permohonan ke instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada pemerintah provinsi dan/atau pemerintah kabupaten/kota. (3) Materi pembinaan K3 bagi operator dan petugas pesawat angkat dan angkut ditetapkan oleh Direktur Jenderal. BAB VII PENGAWASAN Pasal 36 Pengawasan terhadap ditaatinya Peraturan Menteri ini dilakukan oleh Pengawas Ketenagakerjaan. BAB VIII SANKSI Pasal 37 Pengusaha atau pengurus yang mempekerjakan operator dan/atau petugas pesawat angkat dan angkut yang tidak memiliki Lisensi K3 dan buku kerja, dan tidak memenuhi kualifikasi dan jumlah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 dikenakan sanksi sesuai Undang-Undang Nomor 1 Tahun BAB IX ATURAN PERALIHAN Pasal 38 (1) Bagi operator atau petugas pesawat angkat dan angkut yang telah memiliki Lisensi K3 dan buku kerja sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini tetap berlaku sampai berakhir jangka waktu Lisensi K3 dan buku kerja. (2) Setelah berakhir jangka waktu berlakunya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diperpanjang sesuai dengan prosedur sebagaimana dimaksud dalam Pasal

106 BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 39 Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri ini maka Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER.01/MEN/1989 tentang Kwalifikasi dan Syarat-syarat Operator Keran Angkat dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 40 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Menteri ini diundangkan dengan penempatan dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 13 Juli 2010 MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, ttd. Drs. H.A MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si. Diundangkan di Jakarta pada tanggal 13 Juli 2010 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. PATRIALIS AKBAR, SH. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR

107 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.09/MEN/VII/2010 TENTANG OPERATOR DAN PETUGAS PESAWAT ANGKAT DAN ANGKUT JUMLAH OPERATOR YANG DIPERLUKAN UNTUK SETIAP PENGOPERASIAN PESAWAT ANGKAT DAN ANGKUT Nomor Jenis dan Kapasitas Pesawat Angkat dan Angkut Kualifikasi dan Jumlah Operator Kelas III Kelas II Kelas I I Peralatan Angkat 1.1 Keran mobil, keran kelabang, keran portal, keran magnet, keran lokomotif, pesawat hidrolik, dan pesawat pneumatik. s/d 25 ton 1 orang - - > 25 ton dan 100 ton 1 orang 1 orang - > 100 ton dan 300 ton 1 orang 1 orang 1 orang > 300 ton dan 600 ton 2 orang 1 orang 1 orang 1.2 > 600 ton 2 orang 2 orang 1 orang Alat angkat listrik/lift barang/passenger hoist, keran overhead, keran pedestal, keran tetap, keran gantry, keran dinding dan keran sumbu putar. s/d 25 ton 1 orang - - > 25 ton dan 100 ton - 1 orang - > 100 ton dan 300 ton 1 orang - 1 orang > 300 ton dan 600 ton - 1 orang 1 orang > 600 ton 1 orang 1 orang 1 orang 1.3 Keran menara (tower crane). Tinggi menara s/d 40 m 1 orang - - Tinggi menara > 40 m s/d 60 m - 1 orang - II. III. 1.4 Pita transport. Tinggi menara > 60 m Gondola, dongkrak mekanik (lier), takal, dan mesin pancang. Pesawat angkutan di atas landasan dan diatas permukaan orang non kelas non kelas non kelas 1 orang 1 orang 1 orang 3.1 Jenis forklift dan/atau lift truk s/d 15 ton. - 1 orang Jenis forklift dan/atau lift truk > 15 ton orang IV. Alat angkutan jalan ril. non kelas 1 orang Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 13 Juli 2010 MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, ttd. Drs. H.A MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si. 13

108 MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.13/MEN/X/2011 TENTANG NILAI AMBANG BATAS FAKTOR FISIKA DAN FAKTOR KIMIA DI TEMPAT KERJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, perlu ditetapkan Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Faktor Kimia di tempat kerja; b. bahwa dalam rangka perlindungan tenaga kerja terhadap timbulnya risiko-risiko bahaya akibat pemaparan faktor bahaya fisika dan kimia, sekaligus meningkatkan derajat kesehatan kerja di tempat kerja sebagai bagian dari pemenuhan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja; c. bahwa meningkatnya tuntutan di kalangan industri, praktisi dan asosiasi untuk memperbarui standar sesuai dengan standar internasional; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu ditetapkan dengan Peraturan Menteri; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2918); 2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279); 3. Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2010 tentang Pengawasan Ketenagakerjaan; 4. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.02/MEN/1980 tentang Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja dalam Penyelenggaraan Kesehatan Kerja;

109 5. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.01/MEN/1982 tentang Pelayanan Kesehatan Tenaga Kerja; 6. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER.05/MEN/1996 tentang Audit Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja; 7. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.12/MEN/VIII/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi; MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI TENTANG NILAI AMBANG BATAS FAKTOR FISIKA DAN FAKTOR KIMIA DI TEMPAT KERJA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1. Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. 2. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. 3. Tempat Kerja adalah tiap ruangan atau lapangan, tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap dimana tenaga kerja bekerja, atau yang sering dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha dan dimana terdapat sumber atau sumber-sumber bahaya. 4. Faktor lingkungan kerja adalah potensi-potensi bahaya yang kemungkinan terjadi di lingkungan kerja akibat adanya suatu proses kerja. 5. Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badanbadan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. 6. Pengusaha adalah: a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri; b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya; c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia. 2

110 7. Perusahaan adalah: a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain; b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. 8. Nilai Ambang Batas yang selanjutnya disingkat NAB adalah standar faktor bahaya di tempat kerja sebagai kadar/intensitas rata-rata tertimbang waktu (time weighted average) yang dapat diterima tenaga kerja tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan, dalam pekerjaan sehari-hari untuk waktu tidak melebihi 8 jam sehari atau 40 jam seminggu. 9. Kadar Tertinggi Diperkenankan yang selanjutnya disingkat KTD adalah kadar bahan kimia di udara tempat kerja yang tidak boleh dilampaui meskipun dalam waktu sekejap selama tenaga kerja melakukan pekerjaan. 10. Faktor fisika adalah faktor di dalam tempat kerja yang bersifat fisika yang dalam keputusan ini terdiri dari iklim kerja, kebisingan, getaran, gelombang mikro, sinar ultra ungu, dan medan magnet. 11. Faktor kimia adalah faktor di dalam tempat kerja yang bersifat kimia yang dalam keputusan ini meliputi bentuk padatan (partikel), cair, gas, kabut, aerosol dan uap yang berasal dari bahan-bahan kimia. 12. Faktor kimia mencakup wujud yang bersifat partikel adalah debu, awan, kabut, uap logam, dan asap; serta wujud yang tidak bersifat partikel adalah gas dan uap. 13. Iklim kerja adalah hasil perpaduan antara suhu, kelembaban, kecepatan gerakan udara dan panas radiasi dengan tingkat pengeluaran panas dari tubuh tenaga kerja sebagai akibat pekerjaannya, yang dimaksudkan dalam peraturan ini adalah iklim kerja panas. 14. Suhu kering (Dry Bulb Temperature) adalah suhu yang ditunjukkan oleh termometer suhu kering. 15. Suhu basah alami (Natural Wet Bulb Thermometer) adalah suhu yang ditunjukkan oleh oleh termometer bola basah alami (Natural Wet Bulb Thermometer). 16. Suhu bola (Globe Temperature) adalah suhu yang ditunjukkan oleh termometer bola (Globe Thermometer). 17. Indeks Suhu Basah dan Bola (Wet Bulb Globe Temperature Index) yang selanjutnya disingkat ISBB adalah parameter untuk menilai tingkat iklim kerja yang merupakan hasil perhitungan antara suhu udara kering, suhu basah alami dan suhu bola. 18. Berat molekul adalah ukuran jumlah dari berat atom dari atom-atom dalam molekul atau seluruh unsur penyusunnya. 19. Kebisingan adalah semua suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alatalat proses produksi dan/atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran. 3

111 20. Getaran adalah gerakan yang teratur dari benda atau media dengan arah bolakbalik dari kedudukan keseimbangannya. 21. Radiasi frekuensi radio dan gelombang mikro (Microwave) adalah radiasi elektromagnetik dengan frekuensi 30 Kilo Hertz sampai 300 Giga Herzt. 22. Radiasi ultra ungu (ultraviolet) adalah radiasi elektromagnetik dengan panjang gelombang 180 nano meter sampai 400 nano meter (nm). 23. Medan magnet statis adalah suatu medan atau area yang ditimbulkan oleh pergerakan arus listrik. 24. Terpapar adalah peristiwa seseorang terkena atau kontak dengan faktor bahaya di tempat kerja. 25. Paparan Singkat Diperkenankan yang selanjutnya disingkat PSD adalah kadar zat kimia di udara di tempat kerja yang tidak boleh dilampaui agar tenaga kerja yang terpapar pada periode singkat yaitu tidak lebih dari 15 menit masih dapat menerimanya tanpa mengakibatkan iritasi, kerusakan jaringan tubuh maupun terbius yang tidak boleh dilakukan lebih dari 4 kali dalam satu hari kerja. 26. Pengurus adalah orang yang mempunyai tugas memimpin langsung sesuatu tempat kerja atau bagiannya yang berdiri sendiri. 27. Pengawasan ketenagakerjaan adalah kegiatan mengawasi dan menegakkan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan. 28. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Pasal 2 (1) Pengurus dan/atau pengusaha wajib melakukan pengendalian faktor fisika dan faktor kimia di tempat kerja sehingga di bawah NAB. (2) Jika faktor fisika dan faktor kimia pada suatu tempat kerja melampaui NAB, pengurus dan/atau pengusaha wajib melakukan upaya-upaya teknis-teknologi untuk menurunkan sehingga memenuhi ketentuan yang berlaku. (3) Pengurus dan/atau pengusaha wajib melakukan ketentuan-ketentuan yang terkait dengan faktor fisika dan faktor kimia tertentu sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pasal 3 (1) NAB faktor fisika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, meliputi iklim kerja, kebisingan, getaran, gelombang mikro, sinar ultra ungu, dan medan magnet. (2) NAB faktor kimia meliputi bentuk padatan (partikel), cair, gas, kabut, aerosol dan uap yang berasal dari bahan-bahan kimia. (3) NAB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 tercantum dalam Lampiran I dan Lampiran II yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. 4

112 BAB II NAB FAKTOR FISIKA Pasal 4 NAB iklim kerja menggunakan parameter ISBB sebagaimana tercantum dalam Lampiran I nomor 1 Peraturan Menteri ini. Pasal 5 (1) NAB kebisingan ditetapkan sebesar 85 decibel A (dba). (2) Kebisingan yang melampaui NAB, waktu pemaparan ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I nomor 2 Peraturan Menteri ini. Pasal 6 (1) NAB getaran alat kerja yang kontak langsung maupun tidak langsung pada lengan dan tangan tenaga kerja ditetapkan sebesar 4 meter per detik kuadrat (m/det 2 ). (2) Getaran yang melampaui NAB, waktu pemaparan ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I nomor 3 Peraturan Menteri ini. Pasal 7 NAB getaran yang kontak langsung maupun tidak langsung pada seluruh tubuh ditetapkan sebesar 0,5 meter per detik kuadrat (m/det 2 ) Pasal 8 NAB radiasi frekuensi radio dan gelombang mikro ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I nomor 4 Peraturan Menteri ini. Pasal 9 (1) NAB radiasi sinar ultra ungu ditetapkan sebesar 0,0001 milliwatt per sentimeter persegi (mw/cm 2 ). (2) Radiasi sinar ultra ungu yang melampaui NAB waktu pemaparan ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I nomor 5 Peraturan Menteri ini. Pasal 10 NAB medan magnit statis untuk seluruh tubuh ditetapkan sebesar 2 Tesla. Pasal 11 NAB medan magnit statis untuk bagian anggota tubuh (kaki dan tangan) ditetapkan sebesar 600 milli tesla (mt). NAB medan magnit untuk masing-masing anggota badan tercantum dalam Lampiran I nomor 6 Peraturan Menteri ini. 5

113 BAB III NAB FAKTOR KIMIA Pasal 12 NAB Faktor Kimia di udara tempat kerja tercantum dalam Lampiran II Peraturan Menteri ini. Pasal 13 (1) Pengukuran dan penilaian faktor fisika dan faktor kimia di tempat kerja dilaksanakan oleh Pusat Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Balai Keselamatan dan Kesehatan Kerja, serta Balai Hiperkes dan Keselamatan Kerja atau pihak-pihak lain yang ditunjuk Menteri. (2) Persyaratan pihak lain untuk dapat ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuk. Pasal 14 Untuk kepentingan hukum dan pengendalian risiko bahaya di tempat kerja, Pegawai Pengawas ketenagakerjaan dapat meminta pengurus dan/atau pengusaha untuk memutahirkan data pengukuran faktor fisika dan faktor kimia di tempat kerja. Pasal 15 Pengurus dan/atau pengusaha berkewajiban melakukan pengukuran faktor fisika dan faktor kimia di tempat kerja sesuai dengan Peraturan Menteri ini dilakukan berdasarkan penilaian risiko dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 16 Pengurus dan/atau pengusaha harus melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Menteri ini dan menyampaikan hasil pengukuran pada kantor yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. Pasal 17 NAB faktor fisika dan faktor kimia di tempat kerja dalam Peraturan Menteri ini dapat ditinjau kembali sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sekali sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. BAB IV KETENTUAN PENUTUP Pasal 18 Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri ini, maka Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 51/MEN/1999 tentang Nilai Ambang Batas (NAB) Faktor Fisika di Tempat Kerja dan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Nomor: SE-01/MEN/1997 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Kimia di Udara Tempat Kerja, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. 6

114 Pasal 19 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Menteri ini diundangkan dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 28 Oktober 2011 MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, ttd. Drs.H.A.MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si. Diundangkan di Jakarta pada tanggal 1 Nopember 2011 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. AMIR SYAMSUDDIN BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 684 7

115 LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.13/MEN/X/2011 TENTANG NILAI AMBANG BATAS FAKTOR FISIKA DAN FAKTOR KIMIA DI TEMPAT KERJA 1. NILAI AMBANG BATAS IKLIM KERJA INDEKS SUHU BASAH DAN BOLA (ISBB) YAN DIPERKENANKAN ISBB Pengaturan waktu kerja setiap jam ( C ) Beban Kerja Ringan Sedang Berat 75% - 100% 31,0 28,0-50 % - 75% 31,0 29,0 27,5 25% - 50% 32,0 30,0 29,0 0% - 25% 32,2 31,1 30,5 Indeks Suhu Basah dan Bola untuk di luar ruangan dengan panas radiasi: ISBB = 0,7 Suhu basah alami + 0,2 Suhu bola + 0,1 Suhu kering. Indeks Suhu Basah dan Bola untuk di dalam atau di luar ruangan tanpa panas radiasi : ISBB = 0,7 Suhu basah alami + 0,3 Suhu bola. Catatan : - Beban kerja ringan membutuhkan kalori sampai dengan 200 Kilo kalori/jam. - Beban kerja sedang membutuhkan kalori lebih dari 200 sampai dengan kurang dari 350 Kilo kalori/jam. - Beban kerja berat membutuhkan kalori lebih dari 350 sampai dengan kurang dari 500 Kilo kalori/jam. 8

116 2. NILAI AMBANG BATAS KEBISINGAN Waktu pemaparan per hari Intensitas kebisingan dalam dba 8 Jam Menit , , , , ,12 Detik , , , , , , , , Catatan : Tidak boleh terpajan lebih dari 140 dba, walaupun sesaat. 3. NILAI AMBANG BATAS GETARAN UNTUK PEMAPARAN LENGAN DAN TANGAN Jumlah waktu pemaparan Per hari kerja 4 jam dan kurang dari 8 jam 2 jam dan kurang dari 4 jam 1 jam dan kurang dari 2 jam Kurang dari 1 jam Nilai percepatan pada frekuensi dominan Meter per detik kuadrat Gravitasi ( m/det 2 ) 4 0,40 6 0,61 8 0, ,22 Catatan: 1 Gravitasi = 9,81 m/det 2 4. NILAI AMBANG BATAS RADIASI FREKUENSI RADIO DAN GELOMBANG MIKRO Frekuensi Power Kekuatan Kekuatan Waktu Density Medan medan pemaparan ( mw/cm 2 ) listrik magnit ( menit ) ( V/m ) ( A/m ) 30 khz khz khz - 1 MHz ,3/f 6 1 MHz - 30 MHz 1842/f 16,3/f 6 30 MHz MHz 61,4 16,3/f 6 9

117 100 MHz ,4 0,163 6 MHz 300 MHz - 3 GHz f/ GHz - 30 GHz ,2/f 1, GHz GHz ,62/f 0,476 Keterangan : khz : Kilo Hertz MHz : Mega Hertz GHz : Giga Hertz f : Frekuensi dalam MHz mw/cm 2 : Mili Watt per senti meter persegi V/m : Volt per Meter A/m : Amper per Meter 5. WAKTU PEMAPARAN RADIASI SINAR ULTRA UNGU YANG DIPERKENANKAN Masa pemaparan per hari Iradiasi Efektif ( IEff ) mw / cm 2 8 jam 0, jam 0, jam 0, jam 0, menit 0, menit 0, menit 0,005 5 menit 0,01 1 menit 0,05 30 detik 0,1 10 detik 0,3 1 detik 3 0,5 detik 6 0,1 detik NAB PEMAPARAN MEDAN MAGNIT STATIS YANG DIPERKENANKAN No. Bagian Tubuh Kadar Tertinggi Diperkenankan (Ceiling ) 1 Seluruh Tubuh (tempat kerja umum) 2 T 2 Seluruh Tubuh (pekerja khusus dan lingkungan 8 T kerja yang terkendali) 3 Anggota gerak (Limbs) 20 T 4 Pengguna peralatan medis elektronik 0,5 mt Keterangan: mt ( milli Tesla) 10

118 NAB medan magnit untuk frekwensi 1-30 khz No. Bagian Tubuh NAB (TWA) Rentang Frekuensi 1 Seluruh tubuh 2 Lengan dan paha 3 Tangan dan kaki 4 Anggota tubuh dan seluruh tubuh 60/f mt Hz 300/f mt Hz 600/f mt Hz 0,2 mt 300Hz - 30KHz Keterangan: f adalah frekuensi dalam Hz Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 28 Oktober 2011 MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, ttd. Drs.H.A.MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si. 11

119 LAMPIRAN II PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.13/MEN/X/2011 TENTANG NILAI AMBANG BATAS FAKTOR FISIKA DAN FAKTOR KIMIA DI TEMPAT KERJA Penjelasan NAB Faktor Kimia 1. Kegunaan NAB NAB FAKTOR KIMIA DI UDARA TEMPAT KERJA NAB ini akan digunakan sebagai (pedoman) rekomendasi pada praktek higene perusahaan dalam melakukan penatalaksanaan lingkungan kerja sebagai upaya untuk mencegah dampaknya terhadap kesehatan. Dengan demikian NAB antara lain dapat pula digunakan: a. Sebagai kadar standar untuk perbandingan. b. Sebagai pedoman untuk perencanaan proses produksi dan perencanaan teknologi pengendalian bahaya-bahaya di lingkungan kerja. c. Menentukan pengendalian bahan proses produksi terhadap bahan yang lebih beracun dengan bahan yang sangat beracun. d. Membantu menentukan diagnosis gangguan kesehatan, timbulnya penyakitpenyakit dan hambatan-hambatan efisiensi kerja akibat faktor kimiawi dengan bantuan pemeriksaan biologik 2. Kategori Karsinogenitas Bahan-bahan kimia yang bersifat karsinogen, dikategorikan sebagai berikut: A-1 Terbukti karsinogen untuk manusia (Confirmed Human Carcinogen). Bahanbahan kimia yang berefek karsinogen terhadap manusia, atas dasar bukti dari studi-studi epidemologi atau bukti klinik yang meyakinkan, dalam pemaparan terhadap manusia yang terpajan. A-2 Diperkirakan karsinogen untuk manusia (Suspected Human Carcinogen). Bahan kimia yang berefek karsinogen terhadap binatang percobaan pada dosis tertentu, melalui jalan yang ditempuh, pada lokasi-lokasi, dari tipe histologi atau melalui mekanisme yang dianggap sesuai dengan pemaparan terhadap tenaga kerja terpajan. Penelitian epidemologik yang ada belum cukup membuktikan meningkatnya risiko kanker pada manusia yang terpajan. A-3 Karsinogen terhadap binatang. Bahan-bahan kimia yang bersifat karsinogen pada binatang percobaan pada dosis relatif tinggi, pada jalan yang ditempuh, lokasi, tipe histologik atau mekanisme yang kurang sesuai dengan pemaparan terhadap tenaga kerja yang terpapar. 12

120 A-4 Tidak diklasifikasikan karsinogen terhadap manusia. Tidak cukup data untuk mengklasifikasikan bahan-bahan ini bersifat karsinogen terhadap manusia ataupun binatang. A-5 Tidak diperkirakan karsinogen terhadap manusia. Repr. Menimbulkan gangguan reproduksi pada wanita, seperti abortus spontan, gangguan haid, infertilitas, prematur, kelainan kongenital, Berat Badan Lahir Rendah (BBLR). 3. NAB Campuran Apabila terdapat lebih dari satu bahan kimia berbahaya yang bereaksi terhadap sistem atau organ yang sama, di suatu udara lingkungan kerja, maka kombinasi pengaruhnya perlu diperhatikan. Jika tidak dijelaskan lebih lanjut, efeknya dianggap saling menambah. Dilampaui atau tidaknya Nilai Ambang Batas (NAB) campuran dari bahan-bahan kimia tersebut, dapat diketahui dengan menghitung dari jumlah perbandingan diantara kadar dan NAB masing-masing, dengan rumus-rumus sebagai berikut: C1 + C2 +.. Cn =.. NAB (1) NAB (2) NAB (n) Kalau jumlahnya lebih dari dilampaui. 1 (satu), berarti Nilai Ambang Batas Campuran a. Efek Saling Menambah Keadaan umum NAB campuran : C1 + C2 + C3 +. = NAB(1) NAB(2) NAB(3) Contoh 1 a: Udara mengandung 400 bds Aseton (NAB-750 bds), 150 bds Butil asetat sekunder (NAB-200 bds) dan 100 bds Metil etil keton (NAB-200 bds). Kadar campuran =400 bds bds bds = 650 bds. Untuk mengetahui NAB campuran dilampaui atau tidak, angka-angka tersebut dimasukkan ke dalam rumus : = 0,53 + 0,75 + 0,5 = 1, Dengan demikian kadar bahan kimia campuran tersebut di atas telah melampaui NAB campuran, karena hasil dari rumus lebih besar dari 1 (satu). 13

121 b. Kasus Khusus Yang dimaksud dengan kasus khusus yaitu sumber kontaminan adalah suatu zat cair dan komposisi bahan-bahan kimia di udara dianggap sama dengan komposisi campuran diketahui dalam % (persen) berat, sedangkan NAB campuran dinyatakan dalam milligram per meter kubik (mg/m3). NAB Campuran = 1 fa + fb + fc + fn NAB (a) NAB (b) NAB (c) NAB (n) Contoh 1 b: Zat cair mengandung :50 % heptan (NAB 400 bds atau 1640 mg/m3), 30 % Metil kloroform (NAB = 350 bds atau 1910 mg/m3), 20 % Perkloroetelin (NAB = 25 bds atau 170 mg/m3). 1 1 NAB campuran = = 0, ,2 0, , , = = 610 mg/m3 0, , , ,00164 Komposisi campuran adalah : 50 % atau (610) (0,5) mg/m3 = 305 mg/m3 Heptan = 73 bds. 30 % atau (610) (0,3) mg/m3 = 183 mg/m3 Metil kloroform = 33 bds. 20 % atau (610) (0,2) mg/m3 = 122 mg/m3 Perkloroetilen = 18 bds. NAB campuran : = 124 bds atau 610 mg/m3 c. Berefek Sendiri-Sendiri NAB campuran = C1 = 1; C2 = 1; C3 = 1 dan seterusnya NAB (1) NAB (2) NAB (3) Contoh 1 c: Udara mengandung 0,15 mg/mg3 timbal (NAB = 0,15 mg/m3) dan 0,7 Mg/m3 asam sulfat (NAB = 1 mg/m3). 0,15 = 1 : 0,7 = 0,7 0,15 1 Dengan demikian NAB campuran belum dilampaui 14

122 d. NAB Untuk Campuran Debu-Debu Mineral Untuk campuran debu-debu mineral yang secara biologi bersifat aktif, dipakai rumus seperti pada campuran di A.2. (kasus khusus). CATATAN: Identitas bahan-bahan kimia dimana diperlukan indikator Pemaparan Biologik (BEI = Biological Exposure Indices) Bahan-bahan kimia yang NAB-nya lebih tinggi dari Batas Pemaparan yan Diperkenankan (PEL) dari OSHA dan atau Batas Pemaparan yang Dianjurkan dari NIOSH Identitas bahan-bahan kimia yang dikeluarkan oleh sumber-sumber lain, diperkirakan atau terbukti karsinogen untuk manusia CAS Chemical Abstracts Services adalah nomor pendaftaran suatu bahan kimia yang diterbitkan oleh American Chemical Society A Menurut kategori A- Karsinogen B Bahan-bahan kimia yang mempunyai komposisi berubah-ubah T Kadar tertinggi BDS Bagian Dalam Sejuta (Bagian uap atau gas per juta volume dari udara terkontaminasi) mg/m 3 Miligram bahan kimia per meter kubik udara (c) Bahan kimia yang bersifat asfiksian (d) NOC = not otherwise classified (tidak diklasifikasikan dengan cara lain) (e) Nilai untuk partikulat yang dapat dihirup (total), tidak mengandung asbes dan kandungan silica kristalin < 1% (f) Serat lebih panjang dari 5µm dan dengan suatu rasio sama atau lebih besar dari 3:1 (g) Nilai untuk material partikulat yang mengandung Kristal silica < 5% (h) Serat lebih panjang dari 5µm; diameter kurang dari 3µm; rasio lebih besar dari 5:1 (i) Partikulat dapat dihirup (j) NAB untuk fraksi respirabel dari material partikulat (k) Pengambilan contoh dengan metoda dimana tidak terambil bentuk uapnya (l) Tidak termasuk stearat-stearat yang berbentuk logam-logam beracun (m) Berdasarkan pengambilan contoh dengan High Volume Sampling (n) Bagaimanapun respirabel partikulat tidak boleh melampaui 2mg/m3 (o) Untuk jaminan yang lebih baik dalam perlindungan tenaga kerja, disarankan monitoring sampel biologi (p) Kecuali minyak kastroli (jarak), biji mete (cashew nut), atau minyakminyak iritan yang sejenis (q) Material partikulat bebas bulu kain diukur dengan vertical elutrior cotton-dust sampler 15

123 Notasi NAMA BAHAN KIMIA DAN NAB PSD/KTD Berat Keterangan NOMOR CAS BDS Mg/m 3 BDS Mg/m 3 Molekul (BM) Adiponitril ( ) 2 8,8 108,10 Iritasi saluran pernafasan atas & bawah Air raksa (sebagai Hg) ( ) Air raksa senyawa 0,025; Gangguan sistem saraf anorganik - A4-0,03 pusat dan susunan 0,01 saraf tepi, kerusakan 0,1 ginjal Air raksa senyawa alkyl Idem Air raksa senyawa aril Idem Akrilamid (79-061) - 0,03; A ,08 Kerusakan susunan saraf pusat, kulit, A4 Akrilonitril ( ) 2,A3 4,3;A ,05 Kerusakan susunan saraf pusat, kulit Akrolein ( ) 0,1 0,23 0,3 0,69 56,06 Mata & Iritasi saluran pernafasan atas, edema paru; emphysema; Kulit, A4 Alakhlor ( ) 1 269,8 Hemosiderosis; A3 Aldrin ( ) - 0,05;A ,92 Kerusakan susunan saraf pusat, hati & ginjal Alifatik hidrokarbon/alkana Gangguan jantung; Gas (C1 - C4) Kerusakan susunan saraf pusat Allil alkohol ( ) 0, ,08 Mata & Iritasi saluran pernafasan atas, Kulit, A4 Allil klorida ( ) ;A3 76,50 Mata & Iritasi saluran pernafasan atas, hati dan ginjal Allil glisidil eter (AGE) (106-1;A ,14 Iritasi saluran 92-3) pernafasan atas; Dermatitis; Mata dan iritasi kulit Allil propil disulfida (2179-0, ,16 Iritasi saluran 59-1) pernafasan atas & mata Aluminium metal dan 1, A4 26,98 Pneumokoniosis; Iritasi senyawa tidak terlarut - bervariasi saluran pernafasan ( ) bawah; keracunan saraf Debu logam Bubuk pyro sbg Al 5 Uap las sbg Al 5 Garam larut sbg Al 2 Alkil yg tidak terklasifikasi 2 sbg Al Aluminium oksida - 10,A4 - - ( ) n-amil Asetat( ) Sek - amil asetat ( ) Aminodifenil ( ) - Kulit, A ,23 Kanker kandung kemih dan hati 16

124 Notasi NAMA BAHAN KIMIA DAN NAB PSD/KTD Berat Keterangan NOMOR CAS BDS Mg/m 3 BDS Mg/m 3 Molekul (BM) Amino1,2,4 - triazole - 0,2;A Amitrole ( ) - 0,2;A ,08 Lihat etanolamin; Efek tiroid 2-Aminoetanol Aminopiridin ( ) 0,5 1, ,11 Ammonia ( ) ,03 Kerusakan mata; Iritasi saluran pernafasan atas Ammonium klorida ( ,50 Kerusakan mata; Iritasi 02-9) saluran pernafasan atas Ammonium perfluoro 0,01;A3 431,00 Kerusakan hati oktanoat ( ) Ammonium sulfamat ,13 ( ) Tersier amil metal eter ,2 Kerusakan susunan (TAME) - ( ) saraf pusat; Kerusakan embrio/janin Amosit Lihat asbestos Anilin ( ) 2;A3 7,6;A3 93,12 Kekurangan Met-Hb orto- Anisidin ( ) - 0,5;A3 123,15 Kulit Kekurangan Met-Hb para-anisidin ( ) 0,1;A 0,5;A4 123,15 Kulit; Kekurangan Met- 4 Hb Antimon dan persenyawaan 0,5 121,75 Kulit; sebagai Sb ( ) Iritasi saluran pernafasan atas Sebagai Sb ANTU (alfa naftil 0,3;A4 202,27 Efek tiroid; Mual tiourea) ( ) ANTU ( ) 0,3;A4 202,27 Efek tiroid; Mual Antimoni Hidrida ( ,1 124,78 Hemolisis, kerusakan 3) ginjal, iritasi saluran pernafasan bawah Antimoni Trioksida (1309- A2 291,5 Kanker paru, 64-4) pneumokoniosis Argon ( ) 39,35 Asfiksia Arsen dan persenyawaan 0,01;A1 74,92 Kanker paru anorganik sebagai As (7440- bervariasi 38-2) Arsin ( ) 0,005 77,95 Kerusakan sistem saraf tepi, pembuluh darah, ginjal dan hati, reproduksi Asam Adipic ( ) 5 146,14 Iritasi saluran pernafasan atas; Kerusakan Syaraf otonom Asam Akrilat ( ) 2;A4 5,9;A4 72,06 Kulit; Iritasi saluran pernafasan atas Asam asetat ( ) Iritasi saluran pernafasan atas, mata, fungsi paru Asam asetat anhidrid ( ,09 Iritasi saluran 24-7) pernafasan atas & mata Asam asetil salisilat (aspirin) 5 180,15 Iritasi kulit dan mata - ( ) Asam formiat ( ) ,02 Iritasi saluran pernafasan atas & mata; Kulit Asam fosfat ( ) ,00 Iritasi saluran pernafasan atas & mata; Kulit Asam 2-kloropropionat (598-0,1 0, ,53 Kulit, kerusakan 78-7) reproduksi pria 17

125 Notasi NAMA BAHAN KIMIA DAN NAB PSD/KTD Berat Keterangan NOMOR CAS BDS Mg/m 3 BDS Mg/m 3 Molekul (BM) Asam kromat & kromit Lihat kromit sebagai Cr Asam metakrilat ( ) ,09 Iritasi saluran pernafasan atas & mata Asam nitrat ( ) 2 5, ,02 Iritasi saluran pernafasan atas & mata, kulit Asam oksalat ( ) ,04 Iritasi saluran pernafasan atas & mata Asam pikrat ( ) 0,1 229,11 Dermatitis, iritasi mata, sensitif pada kulit Asam propionat ( ) ,08 Iritasi saluran pernafasan atas; Iritasi mata, kulit Asam tereftalik ( ) ,13 - Asam trikloro asetat ( ;A3 6,7;A3 163,39 Iritasi mata, Iritasi 9) saluran pernafasan atas Asbestos semua bentuk 0,1 Kanker paru, ( ) serat / pneumokoniosis, Asbes biru (crosidolit) ml;a1 mesotelioma dilarang penggunaannya (sesuai peraturan yang berlaku) Asetaldehid ( ) TD T 45;A3 Iritasi mata dan saluran 25;A3 44,05 pernafasan atas Asetilen ( ) (c) Aspiksia Sederhana 26,02 Asfiksia Asetelin diklorida Lihat 1,2 dikloroetilen Aseton ( ) , ,05 Iritasi mata dan saluran ;A4 pernafasan atas, kerusakan sistem saraf pusat, efek hematologi Aseton sianohidrin sebagai T 4,7 T 5 85,10 Kulit, iritasi saluran CN ( ) pernafasan atas, sakit kepala, hipoksia/sianosis Asetonitril ( ) 20;A4 33,95;A 41,05 Kulit, iritasi saluran 4 pernafasan bawah Asetophenon ( ) 10 49,14 120,15 Iritasi mata Aspal (bitumen) bentuk uap 0,5;A4 Iritasi mata dan iritasi - sbg aerosol terlarut saluran pernafasan atas benzene ( ) Atrasin ( ) 5;A4 216,06 Kejang - Sistem saraf pusat Azinfos - methyl ( ) 0,2;A4 317,34 Kulit, penghambat kolinesterase Barium ( ) dan 0,5;A4 137,30 Mata, kulit, iritasi persenyawaan larut sebagai pencernaan, stimulasi Ba otot Barium sulfat ( ) ,43 Pneumoconiosis Benomil ( ) 1;A3, 290,32 Iritasi saluran sinsitif pernafasan atas, reproduksi pria & kerusakan saluran testis; Embrio/janin Benz (a) antrasen ( ) A2 A2 228,30 Kanker kulit Benzen (benzol) ( ) 0,5 2,5 78,11 Kulit; Leukimia (A1) Benzo (b) fluoranten (205- A2 252,30 Kanker 99-2) Benzo (a) pyrene ( ) A2 252,30 Kanker Benzoil klorida ( ) T 0,5 ; 195,50 Iritasi saluran A4 pernafasan atas 18

126 Notasi NAMA BAHAN KIMIA DAN NAB PSD/KTD Berat Keterangan NOMOR CAS BDS Mg/m 3 BDS Mg/m 3 Molekul (BM) Benzil asetat ( ) 10 ; 61 ; A4 150,18 Iritasi saluran A4 pernafasan atas Benzidin ( ) A1 Kulit; Kanker kandung kemih Benzil klorida ( ) 1;A3 5,2;A3 126,58 Iritasi saluran pernafasan atas & kulit Benzoil peroksida ( ) 5;A4 242,22 Iritasi saluran pernafasan atas & kulit p- Benzoqinon Lihat Quinon Berrilium ( ) dan 0,002;A (-) (-) 9,01 Sebagai Be senyawaannya 2 Bifenil ( ) 0,2 1,3 154,20 Fungsi paru Bismuth telluride indoped 10;A4 800,83 Sebagai B12 Te2 ( ) sedoped 5;A4 Borat, tetra, garam sodium bervariasi Iritasi saluran ( ) Anhidrat 1 pernafasan atas Dekahidrat 5 Pentahidrat 1 Boron oksida ) 10 69,64 Iritasi saluran pernafasan atas & mata Boron tribromida ( T 1 T ,57 Iritasi saluran 4) pernafasan atas Boron trifluorida ( ) T 1 T 2,8 67,82 Iritasi saluran pernafasan bawah; Pneumonitis Brom (Bromine) ( ) 0,1 0,66 0,2 1,3 159,81 Iritasi saluran pernafasan atas & bawah; Kerusakan fungsi paru Bromofrom ( ) 0,5;A 5,2;A3 252,73 Kerusakan liver; Iritasi 3 saluran pernafasan atas & mata Bromasil( ) 10;A3 261,11 Efek tiroid Bromoklorometan Lihat Klorobromometan Brompentafluorida ( ,1 0,72 174,92 Iritasi saluran 2) pernafasan atas; Mata & kulit 1,3 Butadien( ) 2;A2 4,4;A2 54,09 Kanker Butan ( ) Lihat gas-gas alifatik hidrokarbon; Alkanas (C1-C4) 2 Butanon 74,12 Lihat metal etil keton Butanetiol Lihat butyl merkaptan n-butil alkohol (n-butanol) (T;50) (T;152) Kulit; Iritasi kulit, mata & ( ) saluran pernafasan atas n-butil akrilat ( ) 10;A4 52;A4 128,17 Iritasi kulit, mata & saluran pernafasan atas n-butil laktat ( ) ,19 Pusing; Iritasi kulit, mata & saluran pernafasan atas o-sek-butil fenol ( ) ,22 Iritasi kulit, mata & saluran pernafasan atas sek-butil alkohol (sek butanol) ( ) tert Butil alohol (tert-butanol) 100;A 303;A4 ( ) 4 n-butil amin ( ) T 5 T 15 Kulit; Pusing; Iritasi kulit, mata & saluran pernafasan atas n-butil asetat ( ) 150;A 713;A4 200;A4 950;A4 116,16 Iritasi kulit, mata & 4 saluran pernafasan atas 19

127 Notasi NAMA BAHAN KIMIA DAN NAB PSD/KTD Berat Keterangan NOMOR CAS BDS Mg/m 3 BDS Mg/m 3 Molekul (BM) sek-butil asetat ( ) ,16 Iritasi kulit, mata & saluran pernafasan atas tert-butil asetat ( ) ,16 Iritasi kulit, mata & saluran pernafasan atas n-butil glisidil eter ,21 Reproduksi (BGE)( ) Butil merkaptan ( ) 0,5 1,8 90,19 Saluran pernafasan atas p- tert- Butyl toluene ( ,1 148,18 Iritasi kulit, mata & 1) saluran pernafasan atas; Mual 2-Butoksi etanol( ) ,17 Kulit; Iritasi kulit, mata & saluran pernafasan atas 2,4 D (dichloro pheonoxy 10;A4 221,04 aceticacid) ( ) DDT ( ) 1;A3 354,50 Kerusakan hati DDVP (Diklorvos) ( ) 0,1;A 0,90;A4 220,98 Penghambat 4 kolinesterase Debu biji-bijian (jenis 4 (I) gandum) Debu tembakau 3,5 Lihat nikotin Dekaboran ( ) 0,005 0,25 0,15 0,75 122,31 Kulit; Konvulsi sistem saraf pusat, penurunan kesadaran Demeton 0,01 0,11 256,34 Kulit; Inhisi kolinesterase Diatomaseoues Lihat silika - amorf Diboran ( ) 0,1 0,11 27,69 Iritasi saluran pernafasan atas; Pusing 1-2 Diaminoetan Lihat etilen diamin Diaseton alkohol ( ) ,16 Diazinon ( ) 0,1;A4 304,36 Kulit Diazometan ( ) 0,2:A 0,34;A2 42,04 2 1,2 Dibrometan Lihat etilen dibromida 2-n-Dibutil amino etanol 0,5 3,5 173,29 Kulit; Iritasi saluran ( ) pernafasan atas & mata Dibutil fenil fosfat ( ,3 3,5 286,26 Kulit; Inhibisi 1) kolinesterase Dibutil fosfat ( ) 1 8, ,21 Kandung kemih; Iritasi saluran pernafasan atas Dibutil ftalat ( ) 5 278,34 Kerusakan testis; Iritasi saluran pernafasan atas Dieldrin ( ) 0,25;A4 380,93 Kulit; Kerusakan hati Dietanol amine ( ) 0, ,14 Kulit; Kerusakan hati & ginjal Dietil amine ( ) 5;A4 15;A4 15;A4 45;A4 73,14 Kulit; Iritasi saluran pernafasan atas; Konvulsi sistem saraf pusat 2-Dietil amino etanol ( ,6 117,19 Kulit; Iritasi saluran 37-8) pernafasan atas; Konvulsi sistem saraf pusat Dietil eter Lihat etil eter Dietil keton( ) ,13 Iritasi saluran pernafasan atas; Mata Dietil ftalat ( ) 5 222,23 Iritasi saluran pernafasan atas Dietil triamin ( ) 1 4,2 103,17 Kulit; Mata & Iritasi saluran pernafasan atas; Konvulsi sistem saraf pusat Di (2-etil hexi) ftalat 390,54 Lihat di-sek-oktil ftalat Difenil, (Bifeni) Lihat bifenil 20

128 Notasi NAMA BAHAN KIMIA DAN NAB PSD/KTD Berat Keterangan NOMOR CAS BDS Mg/m 3 BDS Mg/m 3 Molekul (BM) Difenil amin ( ) 10;A4 Kerusakan, hati & ginjal, efek hematologi Difenil metan di-isosianat Lihat Metilen bisfenil isosianat Difluoro dibromo metan ( ,83 Iritasi saluran 61-6) pernafasan atas; Kerusakan hati Diglisidil eter (DGE) (2238-0,1;A 0,53;A4 130,14 Iritasi saluran 07-5) 4 pernafasan atas; Kerusakan hati; Gangguan reproduksi pria Dihidroksi benzen Lihat hidroquinon Diisobutil keton( ) ,23 Diisopropil amin ( ) ,19 Kulit Diklor asitelin ( ) T 0,1 A3 T.0,39.A 94,93 Mual; Kerusakan sistim 3 saraf tepi o-diklorobenzen ( ) 25;A4 150;A4 50;A4 301;A4 147,01 Iritasi mata; Saluran pernafasan atas; Kerusakan hati p- Diklorobenzen ( ) 10;A3 60;A3 147,01 Iritasi mata; saluran pernafasan atas; Kerusakan ginjal 3,3 - Diklorobenzidin (91- A3 253,13 Kulit; Kanker kandung 94-1) kemih; Iritasi mata 1,4 Dikloro-2 buten ( ,005; 0,025;A 124,99 Kulit; Iritasi mata; 0) A2 2 saluran pernafasan atas 1,2 Dikloro etilen ( ) ,95 Kerusakan sistem saraf pusat, iritasi mata 1,2 Dikloro propan Lihat Propilen diklorida 2,2 Dikloro propionik asid 1 5,8 142,97 ( ) Dikloro difluoremetan ( ; 4950;A4 102,92 Sensitisasi jantung 71-8) A4 1,1 Dikloroetan ( ) 100;A 405;A4 98,97 Iritasi mata; Saluran 4 pernafasan atas; Kerusakan hati & ginjal 1,2 Dikloroetan 96,95 Lihat etilen diklorida 1,1 Dikloroetilen Lihat vinilidin klorida Dikloroetil eter ( ) 5;A4 29;A4 10;A4 58;A4 143,02 Kulit; Iritasi mata; Saluran pernafasan atas;mual Diklorotofos ( ) 0,25;A4 237,21 Kulit; Penghambat kolinesterase Dikloroflurometan ( ) ,92 Kerusakan hati Diklorometan 84,93 Lihat metilen klorida 1,3 - Dikloro - 5,5 dimetil 0,2 0,4 197,03 Saluran pernafasan hidantion ( ) atas 1,1 Dikloro 1-nitro etan ( ,96 Saluran pernafasan 72-9) atas 1,3 Dikloropropen ( ;A4 4,5;A4 110,98 Kulit; Kerusakan ginjal 6) Dikloro tetra fluoro etan ( ; 6990;A4 170,93 Fungsi paru 14-2) A4 Diklorvos, DDVP ( ) 0,1;A 0,90;A4 220,98 Kulit; Penghambat 4 kolinestrase Dimetil amin ( ) 5;A4 9,2;A4 15;A4 27,6;A4 45,08 Saluran pernafasan atas; Gastro intestinal Dimetil aminobenzen Lihat Xylidin Dimetil anilin ( ) 5;A4 25;A4 10;A4 50;A4 121,18 Kulit N,N Dimetil asetamid (127-10;A4 36;A4 87,12 Kerusakan hati; Embrio 19-5) dan janin Dimetil benzen Lihat Xilin Dimetil 1,2-dibromo-2,2 Lihat Naled dikloretil fosfat Dimetil etoksi silane ( ,5 2,1 1,5 6,4 104,20 Iritasi mata; Saluran 34-2) pernafasan atas; Pusing 21

129 Notasi NAMA BAHAN KIMIA DAN NAB PSD/KTD Berat Keterangan NOMOR CAS BDS Mg/m 3 BDS Mg/m 3 Molekul (BM) Dimetil formamid ( ) 10;A4 30;A4 73,09 Kulit; Kerusakan hati Dimetil flatlat ( ) 5 194,19 Iritasi mata; Saluran pernafasan atas 2,6 Dimetil 4 heptanon Lihat Diisobutil keton 1,1 Dimetil hidrazin ( ,01; 0,025;A 60,12 Kulit; Iritasi mata; 7) A3 3 Saluran pernafasan atas; Kanker nasal Dimetil karbomil klorida (79- A2 A2 107,54 Kanker nasal; Iritasi 44-7) mata; Saluran pernafasan atas Dimetil nitroso amin Lihat N-Nitroso dimetil amin Dimetil sulfat ( ) 0,1;A 0,52;A3 126,10 Kulit; Iritasi mata; 3 Saluran pernafasan atas Dimetoksimetan Lihat Metilal Dinotrobenzen ( ) 0,15 1,0 168,11 Kulit/semua isomer Dinotro - o - kresol, DNOC 0,2 198,13 Kulit; Metabolisme ( ) basal Dinitolmid ( ) 5;A4 3,5 - Dinitro-o-toluamid 198,13 Lihat Dinitolmid; Kerusakan hati Dinitro toluen ( ) 015;A2 182,15 Kulit; Kerusakan jantung; Efek reproduksi 1,4-Dioksan ( ) (20) (90) 88,10 Kulit; Kerusakan hati Dioksation ( ) 0,2;A4 456,54 Penghambat kolinesterase Dipropil keton ( ) ,23 Iritasi saluran pernafasan atas Dipropilen glikol metal Kulit metil eter ( ) Diquat ( ) 0,5, A4 Bervariasi Iritasi saluran 0,1, A4 pernafasan bawah; Katarak Di - sek, oktil ftalat ( ;A3 10 7) Disiklopentadin ( ) 5 27 Disiklopentadienil iron ( ) Disiston,disulfoton,thiodemet 0,05 Penghambat on ( ) Cholinesterase Disulfiram ( ) 2;A4 296,52 Vasodilatasi; Mual 2,6 - Di-tert-butil-p-kresol 10;A4 ( ) Diuron ( ) 10;A4 233,10 Divinil benzen ( ) ,19 Saluran pernafasan atas Emery ( ) 10 (e) Endosulfan, benzoepin (115-0,1;A4 406,95 Kulit 29-7) Endrin ( ) 0,1 380,93 Kulit, kerusakan hati,gangguan syaraf pusat, sakit kepala Enfluran ( ) ,50 kerusakan syaraf pusat, kerusakan jantung Enzim 0,00006 Asma; Iritasi kulit, Saluran pernapasan atas dan bawah Epiklorhidrin ( ) 0,5 92,53 Infeksi saluran pernafasan atas, gangguan reproduksi pria. EPN ( ) 0,1 323,31 Kulit, penghambat kolinesterase 1,2 Epoksipropan 2 Iritasi mata dan saluran pernapasan atas 22

130 Notasi NAMA BAHAN KIMIA DAN NAB PSD/KTD Berat Keterangan NOMOR CAS BDS Mg/m 3 BDS Mg/m 3 Molekul (BM) ,3 Epoksi- 1- propanol Iritasi saluran pernapasan atas, mata, dan kulit Etan ( ) ,31 Sensitisasi jantung, kerusakan syaraf pusat Etantiol 0,5 62,13 Iritasi saluran pernapasan atas, kerusakan saraf pusat Etanolamin ( ) ,08 Iritasi mata, kulit Etil akrilat ( ) ,11 Iritasi saluran pernapasan atas, mata, dan pencernaan. Kerusakan saraf pusat, sensitifitas kulit. Etil alkohol (etanol) ( ,07 Iritasi saluran pernapas 5) atas Etil amin( ) ,08 Iritasi mata, Kulit, kerusakan mata Etil asetat ( ) ,10 Iritasi saluran pernapasan atas dan mata Etil benzene ( ) ,16 Iritasi saluran pernapasan atas, mata, kerusakan saraf pusat. Etil bromide ( ) 5 108,98 Kerusakan hati, kerusakan saraf pusat Etil butil keton ( ) ,19 Kerusakan kulit, iritasi mata dan kulit Etion ( ) 0,4 384,48 Penghambat kolinesterasi Etil klorida ( ) ,52 Kerusakan hati Etil eter ( ) ,12 Kerusakan syaraf dan iritasi mata Etil format ( ) ,08 Iritasi saluran pernapasan atas dan mata Etil merkaptan ( ) 0,5 62,13 Iritasi saluran pernapasan atas dan kerusakan syaraf. Etil silikat ( ) ,30 Iritasi saluran pernapasan atas dan mata, kerusakan ginjal Etilen ( ) ,05 Asfiksia Etilen diamin( ) 10 60,10 Kulit Etilen dibromida ( ) 187,88 Kulit Etilen diklorida ( ) 10 98,96 Kerusakan hati dan mual Etilen glikol aerosol( ,07 Iritasi saluran 1) pernapasan atas dan mata Etilen glikol dinitrat dan/atau 0,05 152,06 Pelebaran pembuluh Nitrogliserin ( ) darah; Pusing Etilen imin ( ) 0,05 0,1 43,08 Iritasi saluran pernapasan atas; Kerusakan hati dan ginjal Etilen klorohidrin ( ) 1 80,52 Gangguan saraf; Kerusakan hati dan ginjal Etilen oksida ( ) 1 44,05 Kanker; gangguan saraf Etilidin klorida ( ,97 Iritasi saluran pernapasan atas dan mata; Kerusakan hati dan ginjal Etilidin norbormen ( ,19 Iritasi saluran 75-3) pernapasan atas dan mata 23

131 Notasi NAMA BAHAN KIMIA DAN NAB PSD/KTD Berat Keterangan NOMOR CAS BDS Mg/m 3 BDS Mg/m 3 Molekul (BM) n-etilmorfolin ( ) 5 115,18 Iritasi saluran pernapasan atas dan kerusakan mata Etil-amil keton ( ) ,21 2-etoksi etanol ( ) ,12 Kulit 2-etoksi etil asetat ( ,16 kulit 9) Fenamifos ( ) 0,05 0,1 303,40 Penghambat kolinesterase Fenasil klorida Lihat Klaroaseptofenon n-fenil beta neptalin ( ,29 Kanker 6) O-fenilen diamin ( ) 0,1 108,05 Anemia m-fenilen diamin ( ) 0,1 108,5 Kerusakan hati; Iritasi kulit p-fenilen diamin ( ) 0,1 108,5 Iritasi saluran pernapasan atas dan sensitisasi kulit Fenil eter ( ) ,20 Iritasi saluran pernapasan atas dan mata; Mual Fenil etilen ,16 Kerusakan sistem saraf, iritasi saluran pernapasan atas, neuropati perifer Fenilfosfin ( ) 0,05 110,10 Dermatitis, gangguan hematologi, kerusakan testis Fenil glisidil eter (FGE) (122-0,1 150,17 Kerusakan testis 60-1) Fenil hidrazin ( ) 0,1 108,14 Anemia; Iritasi mata dan kulit Fenil merkaptan ( ) 0,1 110,18 Dermatitis; Gangguan hematologi; Kerusakan testis Fenol ( ) 5 94,11 Iritasi saluran pernapasan atas; Kerusakan paru dan sistem saraf Fenotioazin ( ) 5 199,26 Reaksi fotosensitivitas mata; Iritasi kulit Fensulfothion( ) 001` 308,35 Penghambat kolinesterase Fention ( ) 0,05 278,34 Penghambat kolinesterase Ferbam ( ) 5 416,50 Gangguan sistem saraf; Gangguan berat badan; Kerusakan limpa Fero vanadium ( ) Iritasi mata, saluran pernapasan atas dan bawah Ferum (iron) sebagai Fe 1 Iritasi saluran pernapasan atas dan kulit Ferum oksida sebagai Fe B2 5,A4 Debu dan Uap ( ) Ferum penta karbonil 0,1 0,2 195,90 Pembengkakan paru; sebagai Fe ( ) Kerusakan sistem syaraf Fluorida sebagai F 2,5 Bervariasi Kerusakan tulang dan fluorosis Fluorin (fluor) ( ) ,00 Iritasi saluran pernapasan atas, mata dan kulit Fluorotriklorometan ,38 Sensitifitas jantung Fonofos ( ) 0,01 246,32 Hambatan kolinesterase Forat ( ) 0,05 0,2 Kulit Formaldehid ( ) 0,3,A2 0,3 30,03 Iritasi saluran pernapasan atas dan mata 24

132 Notasi NAMA BAHAN KIMIA DAN NAB PSD/KTD Berat Keterangan NOMOR CAS BDS Mg/m 3 BDS Mg/m 3 Molekul (BM) Formamid( ) 10 45,04 Iritasi mata dan kulit; Kerusakan ginjal dan hati Fosdrin 0,01 224,16 Penghambat kolinesterase Fosfin ( ) 0,3 1 34,00 Iritasi saluran pernapasan atas dan saluran pencernaan; Sakit kepala; Gangguan sistem saraf Fosfor kuning ( ) 0,02 0,1 Fofsfor oksiklorida ( ,1 153,35 Iritasi saluran 87-3) pernapasan atas Fosfor pentaklorida ( ,1 208,24 Iritasi saluran 13-8) pernapasan atas dan mata Fosfor pentasulfida ( ,29 Iritasi saluran 80-3) pernapasan atas Fosfor triklorida ( ) 0,2 0,5 137,35 Iritasi saluran pernasan atas, mata, dan kulit Fosgen ( ) 0,1 98,92 Iritasi saluran pernapasan bawah; Pembengkakan paruparu; Emfisema paru Ftalik anhidrida ( ) 1 148,11 Iritasi saluran pernapasan atas, mata dan kulit m-ftalodinitril ( ) 5 128,14 Iritasi mata dan saluran pernapasan atas Furfural ( ) 2 96,08 Iritasi saluran pernapasan atas dan mata Furfuril alkohol ( ) ,10 Iritasi saluran pernapasan atas dan mata Gasolin ( ) Iritasi saluran pernapasan atas dan mata; Kerusakan sistem saraf Gelasserat atau debu Lihat fibrous gelas, debu Germanium tetrahidrida 0,2 76,63 Perubahan hematologi ( ) Gips ,14 Gangguan penciuman Glikol monoetil eter 5 90,12 Kerusakan reproduksi pria; Kerusakan janin Gliserin, mist ( ) 10 92,09 Iritasi saluran pernapasan atas Glutaraldehid ( ) 0,05 100,11 Iritasi saluran pernapasan atas, kulit, dan mata; Gangguan sistem saraf Glisidol ( ,08 Iritasi saluran pernapasan atas, mata dan kulit Grafit ( ) 2 Radang paru-paru Hafnium ( ) 0,5 178,49 Iritasi saluran pernapasan atas dan mata; Kerusakan hati Halotan ( ) ,39 Kerusakan hati; Kerusakan sistem saraf; Pelebaran pembuluh darah Heksafluoro aseton ( ,1 0,68 166,02 Kerusakan testis dan 2) ginjal Heksakloroetan ( ) 1 236,74 Kerusakan hati dan ginjal 25

133 Notasi NAMA BAHAN KIMIA DAN NAB PSD/KTD Berat Keterangan NOMOR CAS BDS Mg/m 3 BDS Mg/m 3 Molekul (BM) Heksakloronaftalen (1335-0,2 334,74 Kerusakan hati; 87-1) jerawatan Heksaklorobenzen ( , ,78 Efek porphyrin; 1) Kerusakan kulit; Kerusakan sistem saraf Heksaklorobutadin ( ) 0,02 260,76 Kerusakan ginjal Heksaklorosiklopentadien 0,01 272,75 Iritasi saluran ( ) pernapasan atas n-heksan ( ) 86,18 Gangguan sistem saraf; isomer-isomer lain Iritasi saluran pernapasan atas dan mata Heksametilen diisosianat 0, ,22 Iritasi saluran ( ) pernapasan atas; Sensitisasi respon Heksametil fosforamid ( ,20 Kanker saluran 31-9) pernapasan atas 1,6 Heksandiamin ( ,5 116,21 Iritasi saluran 4) pernapasan atas dan kulit Hekson ,16 Iritasi saluran pernapasan atas, pusing dan sakit kepala 2-Heksanon Lihat metal n- butil keton; Reproduksi Sek-Heksil asetat ( ) ,21 Heksilen glikol ( ) T 25 T ,17 Helium ( ) (c) 4,00 Heptaklor ( ) dan 0,05;A3 373,32 Kulit heptaklorepoksida ( ) 389,40 Heptan ( ) ,20 2- Heptanon Lihat metil n- amil keton 3- Heptanon Lihat etil butyl keton Herbisida Crag Hidrazin ( ) 0,01; 0,013A3 32,05 Kulit A3 Hidrogen ( ) (c) 1,01 Hidrogen bromida ( T 3 T 9,9 80, ) Hidrogen fluoride, sebagai F 0,5 KTD 2 20,01 Kulit ( ) Hidrogen klorida ( ) KTD 36,47 2,A4 Hidrogen sulfida ( ) ,08 Hidrogen selenida ( ,05 80,98 5) Hydrogen sianida dan garam-garam sianida sbg CN Hidrogen sianida KTD 4,7 27,03 Kulit ( ) Garam-garam sianida KTD bervariasi Kulit ( ; ; ) Hidrogenated terfenil 0,5 4,9 241,00 ( ) 4-Hidroksi-4metil -2- Lihat diaceton alkohol pentanon 2- Hidroksipropil akrilat (999-0,5 2,8 130,14 Kulit 61-1) Hidroquinon ( ) 2;A3 110,11 Hidrogen peroksida (7722-1;A3 1,4;A3 34, ) Inden ( ) ,15 Indium dan 0,1 49,00 persenyawaannya sebagai In ( ) 26

134 Notasi NAMA BAHAN KIMIA DAN NAB PSD/KTD Berat Keterangan NOMOR CAS BDS Mg/m 3 BDS Mg/m 3 Molekul (BM) Iodine ( ) T 0,1 T 1,0 Bervariasi Iodoform ( ) 0, ,78 Isoamil alkohol ( ) ,15 Isoamil asetat ( ) Isobutil alkohol ( ) ,12 Isobutil asetat ( ) ,16 Isoforon ( ) T 5,A3 T 28,A3 138,21 Isooktil alkohol ( ) ,23 Kulit Isoforon diisosianat (4098-0,005 0, , ) Isopropoksi etanol ( ) ,15 Kulit Isopropil alkohol ( ) Isopropil amin ( ) ,08 N-Isopropil anilin ) ,21 Isopropil asetat ( ) ,13 Isopropil eter ( ) ,17 Isopropil glisidil eter ( , ) Kadmium, logam dan 0,01 A2 112,40 persenyawaannya sebagai 0,002; bervariasi Cd ( ) (j) A2 Kalsium hidroksida ( , ) Kalsium karbonat ( (e) 3) Kalsium kromat ( ,001;A 156,09 Sebagai Cr 0) 2 Kalsium oksida ( ) 2 56,08 Iritasi saluran pernafasan atas Kalsium sianamida ( ,5;A4 80,11 7) Kalsium silikat ( ) 10;(e)A - 4 Kalsium sulfat ( ) 10(e) 136,14 Kamfer ( ) 2;A4 12;A4 3;A4 19;A4 152,23 Sintetis Kaolin ( ) 2 (j),a4 - Kapas (debu katun) 0,2(q) Kaprolaktam ( ) 113,16 Debu Uap 1;A4 3;A4 5;A4 23;A4 10;A4 46;A4 Kaptafol ( ) 0,1;A4 394,06 Kulit Kaptan ( ) 5;A3 300,60 Karbaril ( ) 5;A4 201,20 Karbofuran ( ) 0,1;A4 221,30 Karbon hitam ( ) 3,5;A4 - Karbon dioksida ( ) ,01 Karbon disulfida ( ) ,14 Kulit, reproduksi Karbon monoksida ( ,01 Reproduksi 0) Karbon tetrabromida (558-0,1 1,4 0,3 4,1 331, ) Karbon tetraklorida ( ;A2 31;A2 10;A2 63;A2 153,84 Kulit 5) Karbonil klorida Lihat fosgen Karbonil Fluorida ( ) 2 5, ,01 Katekol ( ) 5;A3 23;A3 110,11 Kulit Kayu, debu 1;A1 Kayu-kayu keras tertentu seperti kayu beech dan oak Kayu-kayu lunak 5 10 Ketena ( ) 0,5 0,86 1,5 2,6 Klorin ( ) 0,5;A 1,5;A4 1;A4 2,9;A4 70,19 Reproduksi 4 o-klorinated difenil oksida 0,5 414,00 Reproduksi ( ) Klorinated kamfer ( ,5;A ,00 Kulit, reproduksi 2) 27

135 Notasi NAMA BAHAN KIMIA DAN NAB PSD/KTD Berat Keterangan NOMOR CAS BDS Mg/m 3 BDS Mg/m 3 Molekul (BM) Klorin dioksida ( ) 0,1 0,28 0,3 0,83 67,46 Reproduksi Klorin trifluorida ( ) T 0,1 T 0,38 92,46 Reproduksi Klordane, Chlordane ( ,5;A3 Kulit 9) Kloroasetaldehid ( ) T 1 T 3,2 78,50 Kloro aseton ( ) T 1 T 3,8 92,53 Kloro asetil klorida ( ) 0,05 0,23 0,15 0,69 112,95 Kulit 2-Kloroaseto fenon ( ,05; 0,32;A4 154,59 4) A4 Klorobenzen ( ) 10;A3 46;A3 112,56 O-Klorobenzildin malononitril T T 188,61 Kulit ( ) 0,05;A4 0,39;A4 Klorobromometan ( ) ,39 2-Kloro-1,3 butadien Lihat B. kloropen Klorodifluorometan ( ) 1000; 3540;A4 86,47 A4 Klorodifenil ( ) 1 266,50 42 % klorin, kulit Klorodifenil ( ) 0,5;A4 328,40 54 % klor Awas kulit 1-Klor 2,3 epoksipropen ( Lihat Epiklorhidrin 2 Kloro etanol Lihat etilen klorohidrin Kloro etilen Lihat vinil klorida Kloroform ( ) 10;A3 49;A3 119,38 Bis (klorometil) eter ( ,001; 0,0047; 114,96 1) A1 A1 Klorometil metil eter (107- A2 A2 80, ) 1-Kloro-1-nitropropan ( , ) Kloropentafluoroean ( ,47 3) Kloropikrin ( ) 0,1; 0,67;A4 164,39 A4 B-kloropren( ) ,54 O-Klorostiren ( ) ,60 O-Klorotoluen ( ) ,59 2-Kloro-6 (trikloro metil) Lihat Nitrapinin piridin Klorpirifos ( ) 0,2;A4 350,57 Kulit Kobalt, ( ) 0,002;A 58,93 Logam dan 3 bervariasi persenyawaan anorganik sebagai Co Kobalt hidrokarbonil ( ,1 171,98 Sebagai Co 03-8) Kobalt karbonil ( ) 0,1 341,94 Sebagai Co Koper (tembaga) 63,55 ( ) Uap (0,2) Debu dan mist sebagai Cu 1 Korundum (Alumunium 10;(e)A oksida)( ) 4 Kresol ( ), ,14 Kulit semua isomer Klopidol ( ) 10;A4 192,06 Krisen ( ) A3 A3 228,30 Krisotile Lihat asbestos Kristobalit Lihat silika kristalin Kromit, proses tambang 0,05;A1 - (kromat) sebagai Cr Kromium,logam dan bervariasi persenyawaan anorganik sebagai Cr. ( ) logam dan persenyawaan krom III 0,5;A4 28

136 Notasi NAMA BAHAN KIMIA DAN NAB PSD/KTD Berat Keterangan NOMOR CAS BDS Mg/m 3 BDS Mg/m 3 Molekul (BM) persenyawaan krom VI larut di air. NOC 0,05;A1 persenyawaankrom VI tidak larut dalam air NOC (d) 0,01,A1 Kromil klorida ( ) 0,025 0,16 154,92 Krosidolit Lihat Asbestos Koal, debu 2(g-j) - Koal,tar,sebagai 0,2;A1 - benzenterlarut ( ) Kroton aldehid ( ) 2;A3 5,7;A3 Kruformat ( ) 5;A4 Kumene ( ) Kulit Kwarsa Lihat silika kristal Las (Uap) (NOC) 5;B2 Lihat kalsium karbonit Lindane ( ) 0,5;A3 290,85 Kulit Litium hidrida ( ) 0,025 7,95 LPG ( Magnesit ( ) 10 Marmer Lihat kalsium karbonat Magnesium oksida ( ,32 Uap 48-4) Malathion, 10;A4 330,36 Kulit Marcaptothion, Carbofos ( ) Maleik anhidrida ( ) 0,25 1,0 98,06 Mangan dan 0,2 54,94 persenyawaan Bervariasi anorganiknya sebagai Mn ( ) Mangan siklopentadienil 0,1 204,10 Kulit trikarbonil ( ), Sebagai Mn Mesitil oksida ,14 ( ) Metan ( ) (c) Metantiol 0,5-48,11 Lihat metil merkaptan Kerusakan hati Metanol ( ) ,04 Pusing, sumbatan saluran mata Metil akrilat ( ) 2-86,09 Iritasi mata, kulit, saluran pernafasan atas, dan sumbatan saluran mata Metil akrilonitril 1-67,09 Gangguan sistem saraf ( ) pusat, iritasi mata dan kulit Metilal ( ) ,10 Iritasai mata, gangguan sistem saraf pusat Metil alkohol ,04 Lihat methanol Pusing, sumbatan saluran mata Metil amil alkohol ( ) ,18 Lihat metal isobutil karbinol Iritasi saluran pernafasan atas, iritasi mata, gangguan sistem saraf pusat Metil amin ( ) ,06 Iritasi mata, kulit, saluran pernafasan atas, mata, Metil asetat ( ) ,08 Pusing, iritasi mata, saluran pernafasan atas, kerusakan saraf mata Metil asitelin ( ) ,07 Gangguan sistem saraf pusat 29

137 Notasi NAMA BAHAN KIMIA DAN NAB PSD/KTD Berat Keterangan NOMOR CAS BDS Mg/m 3 BDS Mg/m 3 Molekul (BM) Metil asitelin-propadien ,07 Campuran (MAPP) Gangguan sistem saraf pusat Metilen bisfenil 0, ,26 Sensitif sist.respirasi isosianat Metilen klorida 50-84,93 Diklorometan ( ) Kekurangan Karboksi hemoglobin, gangguan sistem saraf pusat Metil bromide ( ) 1-94,95 Iritasi saluran pernafasan atas dan kulit Metil - tert - butil eter 50-88,17 Iritasi saluran ( ) pernafasan atas, kerusakan di ginjal Metil demeton 0,5 230,30 Penghambat ( ) kolinesterase Metil n- butil keton ( ,16 Neuropathy perifer, 6) sumbatan testikular Metil etil keton ,10 Saluran pernafasan ( ) atas Metil etil keton - C 0,2 176,24 Iritasi mata, kulit, peroksida ( ) sumbatan di hati dan ginjal Metil Format ( ) ,05 Saluran Pernafasan atas, saluran pernafasan bawah, dan iritasi mata 5-Metil-3-Heptanon ,21 Dilihat Etil Amil Keton Keracunan saraf Metil etil keton - C 0,2 176,24 Iritasi mata, kulit, peroksida ( ) sumbatan di hati dan ginjal Metil Format ( ) ,05 Saluran pernafasan atas, saluran pernafasan bawah, dan iritasi mata 5-Metil-3-Heptanon ,21 Dilihat Etil Amil Keton Keracunan saraf Metantiol 0,5-48,11 Lihat metil merkaptan Kerusakan hati Metanol ( ) ,04 Pusing, sumbatan saluran mata Metil akrilat ( ) 2-86,09 Iritasi mata, kulit, saluran pernafasan atas,dan sumbatan saluran mata Metil akrilonitril 1-67,09 Gangguan sistem saraf ( ) pusat, iritasi mata dan kulit Metilal ( ) ,10 Iritasai mata, gangguan sistem saraf pusat Metil alkohol ,04 Lihat methanol pusing, sumbatan saluran mata Metil amil alkohol ( ) ,18 Lihat metal isobutil karbinol Iritasi saluran pernafasan atas, iritasi mata, gangguan sistem saraf pusat Metil amin ( ) ,06 Iritasi mata, kulit, saluran pernafasan atas, mata, Metil asetat ( ) ,08 Pusing, iritasi mata, saluran pernafasan atas, kerusakan saraf mata 30

138 Notasi NAMA BAHAN KIMIA DAN NAB PSD/KTD Berat Keterangan NOMOR CAS BDS Mg/m 3 BDS Mg/m 3 Molekul (BM) Metil asitelin ( ) ,07 Gangguan sistem saraf pusat Metil asitelin-propadien ,07 Campuran (MAPP) Gangguan sistem saraf pusat Metilen bisfenil 0, ,26 Sensitif sistem respirasi isosianat Metilen klorida 50-84,93 Diklorometan ( ) Kekurangan Karboksi hemoglobin, gangguan sistem saraf pusat Metil bromide ( ) 1-94,95 Iritasi saluran pernafasan atas dan kulit Metil - tert - butil eter 50-88,17 Iritasi saluran ( ) pernafasan atas, kerusakan di ginjal Metil demeton 0,5 230,30 Penghambat ( ) kolinesterase Metil n- butil keton ( ,16 Neuropati perifer, 6) Sumbatan testikular Metil etil keton ,10 Saluran Pernafasan ( ) atas Metil etil keton - C 0,2 176,24 Iritasi mata, kulit, peroksida ( ) sumbatan di hati dan ginjal Metil Format ( ) ,05 Saluran pernafasan atas, saluran pernafasan bawah, dan iritasi mata 5-Metil-3-Heptanon ,21 Dilihat Etil Amil Keton Keracunan saraf Metil akrilonitril 1-67,09 Gangguan sistem saraf ( ) pusat, iritasi mata dan kulit Metilal ( ) ,10 Iritasai mata, gangguan sistem saraf pusat Metil alkohol ,04 Lihat methanol Pusing, sumbatan saluran mata Metil amil alkohol ( ) ,18 Lihat metal isobutil karbinol Iritasi saluran pernafasan atas, iritasi mata, gangguan sistem saraf pusat Metil amin ( ) ,06 Iritasi mata, kulit, saluran pernafasan atas, mata Metil asetat ( ) ,08 Pusing, iritasi mata, saluran pernafasan atas, kerusakan saraf mata Metil Hidrasin ( ) 0,01-46,07 Iritasi saluran pernafasan atas dan mata, kanker paru, kerusakan di hati Metil Iodida ( ) 2-141,95 Kerusakan mata, gangguan sistem saraf pusat Metil Isoamil Keton ( ,20 Iritasi saluran nafas 3) atas, iritasi mata, kerusakan di ginjal dan hati, gangguan sistem saraf pusat Metil Isobutil Keton ( ,16 Iritasi kulit, pusing, sakit 12) kepala 31

139 Notasi NAMA BAHAN KIMIA DAN NAB PSD/KTD Berat Keterangan NOMOR CAS BDS Mg/m 3 BDS Mg/m 3 Molekul (BM) Metil Iso Propil Keton ( ,14 Iritasi saluran nafas 80-4) atas dan mata Metil Isosianat ( ) 0,02-57,05 Iritasi saluran nafas atas Metil Klorida ( ) ,49 Gangguan sistem saraf pusat, kerusakan di hati dan ginjal, kerusakan di saluran testis, efek teratogenik Metil Kloroform ( ) ;A4 133,42 Gangguan sistem saraf pusat, kerusakan di hati Metil Merkaptan ( ) 0,5-48,11 Kerusakan di hati Metil Metakrilat ( ) ,13 Iritasi saluran nafas atas dan mata, efek berat badan, edema paru Metil n-amil Keton ,18 Iritasi mata dan kulit n-metil Analin ( ) 0,5-107,15 MeHb-emia, gangguan sistem saraf pusat Metil Paration ( ) 0,2 263,2 Penghambat kolinesterase Metil Propil Keton ( ) ,17 Fungsi paru, iritasi mata Metil-2 Sianokrilat ( ,2 111,10 Iritasi mata dan saluran 3) nafas atas Metil Sikloheksan ( ,19 Iritasi saluran nafas 2) atas, gangguan sistem saraf pusat, kerusakan pada hati dan ginjal Metil Sikloheksanol ( ,19 Iritasi mata dan saluran 42-3) nafas atas O-Metil Sikloheksanon ( ,17 Iritasi mata dan saluran 60-8) nafas atas ; Gangguan sistem saraf pusat 2-Metil Siklopentadienil 0,2 218,10 Gangguan sistem saraf Mangan tri karbonil pusat ; Kerusakan paru, sebagai Mn ( ) lever dan ginjal Metil Silikat ( ) 1 152,22 Iritasi saluran nafas atas ; Kerusakan di mata Alfa Metil Stiren ( ) ,18 Iritasi saluran nafas atas, kerusakan ginjal, dan kerusakan saluran reproduksi wanita 4,4 Metilen bis (2 0,01 267,17 Ca kandung kronoanilin(moka) ( ) Metilen bis (4-Sikloheksil 0, ,35 Sensitif respirasi ; Iritasi Isosianat) ( ) saluran nafas bawah 4,4- Metilen dianilin ( ,1 198,26 Kerusakan pada lever 9) 2-Metoksientanol ( ) 0,1 76,09 Hematologi efek ; Efek reproduksi Metoksikhlor ( ) ,65 Kerusakan hati Metomil ( ) 2,45 162,20 Penghambatan kolinesterase 2-Metoksi etil Asetat (110-0,1 118,13 Hematologi efek ; Efek 49-6) reproduksi 4-Metoksi fenol ( ) 5 124,15 Iritasi mata ; Kerusakan kulit Metribuzin ( ) 5 214,28 Kerusakan hati ; Efek hematologi Mevinfos ( ) 0,01 224,16 Penghambatan kolinesterase Mika ( ) 3 Pneumokoniosis Mineral,serat wool 10;(e) 32

140 Notasi 1 NAMA BAHAN KIMIA DAN NOMOR CAS 2 Molibdenum ( ) sebagai Mo Untuk persenyawaan larut Untuk Metal dan persenyawaan tidak larut Monoklor benzene (Lihat kloro benzene) Monokrotofus ( ) Morfolin ( ) Naled ( ) Naftalen ( )..43 beta-naftilamin ( ) Neon ( ) Nilkel Dasar ( ) Persenyawaan anorganik tidak larut persenyawaan an organik larut Nikel karbonil ( ) sebagai Ni Nikel sulfide, uap dan debu sebagai Ni Nikotin( ) Nitrapirin ( ) p-nitroanilin ( ) Nitrobenzen ( ) NAB PSD/KTD BDS Mg/m 3 BDS Mg/m ,05 0, ,5 0,1 0,2 0,05 (0,12) 1 (1,A1) 0, Berat Keterangan Molekul (BM) ,95 Iritasi saluran nafas bawah idem Kerusakan hati 223,16 Penghambat kolinesterase 87,12 Kerusakan mata ; Iritasi saluran nafas atas 380,79 Penghambat kolinesterase 128,19 Efek pada hematologi;iritasi saluran nafas atas dan mata ; Kerusakan mata 143,18 Ca kandung kemih 20,18 Sasak nafas Dermatits 58,71 pneumokoniosis Bervariasi Ca paru bervariasi Kerusakan paru ; Ca hidung 170,73 Ca paru dan hidung 162,23 Kerusakan saluran cerna; Gangguan sistem saraf pusat; Gangguan jantung 230,93 Kerusakan hati 138,12 Kekurangan methemoglobin; Kerusakan hati; Iritasi mata 123,11 Kekurangan methemoglobin 4 - Nitrodefenil ( ) Nitroetan ( ) Nitrogen ( ) Nitromethane ( ) Nitrogen dioksida ( ) Nitrit oksida ( ) Nitrogen trifluorida ( ) Nitrogliserin ( ) p-nitroklorobenzen ( ) ,05 0,1 199,20 Ca kandung kemih 75,07 Iritasi saluran nafas atas;gangguan sistem saraf pusat;gangguan hati 14,01 Sesak nafas 61,04 Efek tiroid, iritasi saluran nafas atas; Kerusakan di paru 46,01 Iritasi saluran napas atas dan bawah 30,01 Hipoksia/sianosis; Membentuk nitrosil HB 71,00 Kekurangan methemoglobin; Kerusakan di hati dan ginjal 227,09 Vasodilatasi 157,56 Kekurangan methemoglobin 33

141 Notasi NAMA BAHAN KIMIA DAN NAB PSD/KTD Berat Keterangan NOMOR CAS BDS Mg/m 3 BDS Mg/m 3 Molekul (BM) Nitropropan ( ) 10 89,09 Kerusakan di hati; Ca hati n-nitrosodimetilamin ( ,08 Ca hati dan ginjal; 9) Kerusakan di hati Nitrotoluen ( ) 2 137,13 Kekurangan methemoglobin Nitrotriklormetan 0,1 164,39 Iritasi mata; Edema (Lihat kloropikrin) paru Nitrous oksida ( ) 50 44,02 Gangguan sistem saraf pusat; Efek hematologi; Kerusakan pada embrio/fetus Nonan, semua isomer ( ,26 Gangguan sistem saraf 84-2) pusat Oil mist, mineral 5 (k) (10) Oksigen difuolrida ( ,05 54,00 Sakit kepala; Edema 7) paru; Iritasi saluran pernafasan atas 1 - Nitropropan 25 89,09 Iritasi saluran ( ) pernafasan atas dan mata; Kerusakan di hati Oktakloronaftalen ( ,1 0,3 403,74 Kerusakan pada hati 1) Oktan ( ) ,22 Iritasi saluran nafas atas Osmium tetraoksida 0,000 0, ,20 Iritasi mata,saluran ( ) sebagai 2 nafas atas, dan kulit Os Ozon ( ) Pekerja berat 0,05 48,00 Fungsi paru Pekerja sedang 0,08 Idem Idem Pekerja keras 0,10 Idem Idem Pekerja berat,sedang,dan 0,20 Idem Idem keras(kurang atau sama dengan 2 jam) Parafin, uap lilin ( ) 2 Iritasi saluran nafas atas; Mual Paraqu t ( ) debu Kerusakan di paru total faksi respirabel 0,5 257,18 0,1 idem Parathion, Thiophas ( ,05 291,27 Penghambat 2) kolinesterase Partikulat polisiklik 0,2 Kanker aromatic hirokarbon Lihat (Coal tar) Partikulat tidak terklasifikasi Partikulat inhalabel 10 (e) Partikulat respirabel 3(e) Partikel-partikel pengganggu (Nuisance particulates) Lihat partikel-partikel NOC (partikel tidak terklasifikasi) Pelarut karet (naftan) ( ) Pentaboran ( ) 0,005 0,015 63,17 Konvulsi sistem saraf pusat; Gangguan sistem saraf pusat Pentaeritrtitol ( ) ,15 Iritasi mata dan saluran nafas atas Pentakloropenol, PCP (87-0,5 266,35 Iritasi saluran nafas 86-5) atas dan mata; Gangguan sistem saraf pusat; Gangguan jantung Pentakloronaftalen (1321-0,5 300,40 Kerusakan di hati; 64-28) chloracne Pentakloronitro benzen (82-0,5 295,36 Kerusakan di hati 68-8) Pentan (semua isomer) ,15 Gangguan saraf tepi 34

142 Notasi NAMA BAHAN KIMIA DAN NAB PSD/KTD Berat Keterangan NOMOR CAS BDS Mg/m 3 BDS Mg/m 3 Molekul (BM) Pentanon (Lihat metil Mempengaruhi fungsi propel keton) paru; Iritasi mata Perak (silver) ( ) logam 0, Argyria persenyawaan larut 0,01 variatif idem sebagai Ag Perfluoroisobutilen 0,01 200,04 Iritasi saluran nafas ( ) atas; Mempengaruhi hematologi Perlit ( ) 10(e); A4 Persulfat 0,1 bervariasi Iritasi kulit Amonium ( ) 0,1 Polasium ( ) 0,1 Sodium ( ) Perkloretilen Gangguan sistem saraf (Tetrakloroetilen) pusat ( ) Perkloril fluoride ,46 Iritasi saluran nafas ( ) atas dan bawah; Kekurangan methemoglobin; Fluorosis Perklorometil 0,1 185,87 Iritasi mata dan saluran merkaptan ( ) nafas atas Petroleum distilat(lihat Gasolin, Petroleum distilat, pelarut standard UM & P naftan) Pindon ( ) 0,1 230,35 Koagulasi Pikloram ( ) ,48 Kerusakan di hati dan ginjal Piperazin dihidroklorida 5 159,05 Iritasi mata dan kulit; ( ) Sensitisasi kulit; Asma Piridin ( ) 1 79,10 Iritasi kulit; Kerusakan di hati dan ginjal Piretrum ( ) (rata- Kerusakan di hati dan rata) ginjal; Iritasi saluran nafas bawah Pirokatekol Lihat Katekol 2- Pivalil- 1,3 - Indandione Lihat Pindon Plaster dari Paris Lihat Kalsium sulfat Platina ( ) logam garam-garam terlarut 1 195,09 Asma ; Iritasi saluran sebagai Pt 0,002 variasi nafas atas Poliklorodipenil Kerusakan hati; Iritasi (42 % chlorine) mata; Cloracne Poliklorodipenil 0, Kerusakan hati; Iritasi (54 % chlorine) saluran nafas atas; Cloracne Politetrafluororetilen B1 Potasium hidroksida ( ,10 Iritasi saluran nafas 58-3) atas, mata dan kulit Propan ( ) Lihat gas-gas aliphatic hidrokarbon: Alkana (C1-C4) Propan sulfon ( ) 122,14 kanker Propargil alkohol ( ) 1 2,3 56,06 Iritasi mata; Kerusakan hati dan ginjal 35

143 Notasi 1 NAMA BAHAN KIMIA DAN NOMOR CAS 2 Beta - Propiolakton ( ) n- Propil alkohol ( ) n- Propil asetat ( ) Propilen ( ) Propilen diklorida ( ) Propilene imina ( ) Propilen oksida ( ) Propilen glikol dinitrat ( ) Propilen glikol monometil eter ( ) n- Propil nitrat ( ) Propin Beta- Propiolakton ( ) Propoxur, Aprocarb ( ) Quinon ( ) RDX Resorsinol ( ) Rhodium ( ) Logam Garam-garam tidak larut sebagai Rh Garam-garam larut sebagai Rh Ronnel,Fenchlorphos ( ) Rosin ( ) Rotenon ( ) Rouge Sayur, mist minyak Selenium & Persenyawaan sebagai Se ( ) Semen Portland ( ) Selenium heksa fluoride ( ) sebagai Se Sellulosa ( ) Sesium hidroksida ( ) Seson ( ) Sianida asam dan garam sebagai CN Asam sianida ( ) Kalsium sianida ( ) Kalsium sianida ( ) Natrium sianida ( ) Sianamid ( ) Sianogen ( ) NAB PSD/KTD BDS Mg/m 3 BDS Mg/m , ,2 0, ;A3 0, ,5 0,1 0,5 10;A4 45;A4 20;A4 90;A4 1;A4 1;A4 0,01;A4 10;A4 5;A4 10 (e); A4 10 0,2 10 (e) 0,05 0, ;A T 4,7 T 5 T 5 T 5 T 5 Berat Keterangan Molekul (BM) ,06 Kanker kulit dan iritasi saluran nafas atas 60,09 Iritasi mata dan saluran nafas atas; Gangguan sistem saraf pusat 102,13 Iritasi dan saluran nafas atas 42,08 Sesak nafas iritasi saluran nafas atas 112,99 Iritasi saluran nafas atas; Efek terhadap berat badan 57,09 Iritasi saluran nafas atas; Kerusakan di ginjal 58,08 Iritasi mata dan saluran nafas atas 166,09 Sakit kepala; Gangguan sistem saraf pusat Iritasi mata; Gangguan sistem saraf pusat 105,09 Mual; Sakit kepala Lihat Metil Asetilen 72,06 Iritasi saluran nafas atas 209,24 Penghambatan kolinesterase 108,09 Iritasi mata; Kerusakan di kulit Lihat siklonit 110,11 102,91 Bervariasi bervariasi 321,57 NA 391,41 78,96-192,96 149,92 309,13 42,04 52,04 Sensitizer, pemaparan serendah mungkin Kulit Kulit Kulit Kulit Sianogen klorida ( ) T 0,3 T 0,75 61,48 36

144 Notasi NAMA BAHAN KIMIA DAN NAB PSD/KTD Berat Keterangan NOMOR CAS BDS Mg/m 3 BDS Mg/m 3 Molekul (BM) Siheksatin ( ) 5;A4 Sikloheksan ( ) ,16 Sikloheksanol ( ) ,16 Kulit Sikloheksanon ( ) 25;A4 100;A4 98,14 Kulit Sikloheksen ( ) ,14 Sikloheksilamin ( ) 10;A4 41;A4 99,17 Siklonit ( ) (1,5) 222,26 Kulit Siklopentadien ( ) ,10 Siklopentan ( ) ,13 Silika - Amorf Diatomaseous Earth Uncalcined ) ( ) Partikel inhalebel 10 (e) Partikel respirabel 3 (e) Prespitad silica 10 ( ) Uap silica ( ) 2(j) Silika, fused ( ) 0,1 (j) Silika, gel ( ) 10 Silika - kristalin 0,05 (j) 60,09 Mengandung kwarsa Kristabalit ( ) respiable Kwarsa ( ) 0,1 (j) Tridimid ( ) 0,05 (j) Tripoli ( ) 0,1 (j) Silikon ( ) 10 (e) Silikon karbida ( ) 10 (e), 40,10 A4 Silikon tetrahidrida ( ,6 32, ) Silan Soap stone - Debu inhalabel 6 (e) Debu respirabel 3 (j) Sodium ajid 65,02 ( ) Sebagai sodium ajid T 0,29;A4 Sebagai uap asam T hidrazoik 0,11;A4 Sodium bisulfit ( ) 5;A4 104,07 Lihat silikontetrahidrit Sodium 2,4 dikloro Lihat seson fenoksietil sulfat Sodium fluoro asetat ( ,05 100,02 Kulit 8) Sodium hidroksida (1310- T 2 40, ) Sodium metabisulfit (7681-5;A4 190, ) Starch (Kanji) ( ) 10;A4 - Stearat 10;A4 Bervariasi Systoks Lihat demeton Stibin ( ) 0,1 0,51 Stiren monomor ( ) (50) (213) (100) (426) 104,16 Kulit Strikhnin ( ) 0,15 334,40 Stoddard, pelarut ( ,00 3) Strontium kromat ( ,0005; 203,61 Sebagai Cr 2) A2 Subtililsin ( ) T % kristal enzim 0,0000 murni 6(m) 37

145 Notasi NAMA BAHAN KIMIA DAN NAB PSD/KTD Berat Keterangan NOMOR CAS BDS Mg/m 3 BDS Mg/m 3 Molekul (BM) Sukrose ( ) 10;A4 342,30 Sulfometuron metal ( ;A4 364, ) Sulfotep ( ) 0,2;A2 322,30 Kulit Sulfur dioksida ( ) - 0,25;A4 64,07 Gangguan fungsi paru Sulfur heksafluorida ( , ) Sulfuril fluoride ( ) ,07 Sulfur monoklorida ( T 1 T. 5,5 135, ) Sulfur pentafluorida (5714- T. 0,1 T. 0,10 254, ) Sulfur tetrafluorida ( T. 0,1 T. 0,44-0) Sulprofos ( ) 1;A4 322,43 2,4,5T (Triklor phenoxy 10;A4 255,49 acetic acid) ( Talk tidak mengandung 2 (j) A4 serat asbes ( ) Talk (mengandung serat Mema- - asbes) kai NAB asbes Tantalum, oksida dan logam 5 debu ( ) sebagai Ta TEDP Lihat sulfotep TEPP ( ) 0,004 0, ,20 Kulit Teflon Lihat Politetra fluoroetilen Tellurium dan ,60 persenyawaan sebagai Te ( ) Tellurium heksofluorida ,61 sebagai Te ( ) Temefos ( ) ,46 Tembakau Lihat Nikotin Ter batubara (benzene, Lihat koal, tar antrasen,fenantren,akridin, krisen,piren) Terfenil ( ) T 0.53 T 5 230,31 Terpentin ( ) Tetra etil timah hitam ,33 Kulit sebagai Pb ( ) (o).a4 Tetra hidrofuran ( ) ,10 1,1,2,2 tetra bromo etana 0,1 345,7 Iritasi mata, infeksi ( ) saluran pernafasan atas, odem paru, kerusakan hati Tetrakloro ,83 difluoretan ( ) Tetrakloro ,83 difluoretan ( ) tetrakloroetan (79-1;A4 167,86 Kulit 34-5) Tetrakloroetilen 165,80 Lihat Perkloroetilen Tetraklorometan Lihat Karbon tetraklorida Tetrakloronaftalen ( ,96 2) Tetrametil suksinonitril ( ,20 Kulit 52-6) Tetrametil timah hitam ( (o) 267,33 Kulit 74-1) sebagai Pb Tetranitrometan ( ) 0.005; 0.04;A3 196,04 A3 Tetrasodium pirofosfat 5 ( ) 38

146 Notasi NAMA BAHAN KIMIA DAN NAB PSD/KTD Berat Keterangan NOMOR CAS BDS Mg/m 3 BDS Mg/m 3 Molekul (BM) Tetril ( ) ,15 Thallium ( )logam ,37 Kulit dan persenyawaan larut Bervariasi sebagai TI 4.4 Tiobis (6-tert-butil-m- 10;A4 358,52 kresol) ( ) Thiram,Thiram ( ) 1;A4 240,44 Timah hitam,logam dan 0.05;A3 persenyawaan anorganik sebagai Pb ( ) Timah hitam arsenat 0.15 sebagai Pb3 (AsO4)2 ( ) Timah hitam kromat ( )sebagai Pb 0.05;A2 sebagai Cr 0.012;A 2 Timah putih ( ) Logam 2 Oksida dan persenyawaan anorganik (kecuali,sn H4,sebagai Sn) 2 Persenyawaan organic Sn 0.1;A4 Kulit Timbal arsenat Tionil klorida ( ) T1 T4,9 118,98 Titanium dioksida ( ;A4 79, ) Trikloro benzene (120- T5 T37 181, ) Trikloro fluoro metan ( T T5620;A 137,38 4) 1000;A4 4 Trikloro nitro metan Trikloro propan ( ;A3 60;A3 147,43 Kulit 4) Trikloro ; 7670;A4 1250;A4 9590;A4 187,40 Trifluoroetan ( ) Trisiklohexiltin hidrosida A4 Lihat timah hitam arsenat, reproduksi Lihat kloropikrin Lihat seheksatin Tridimit Lihat silica kristalin Trietanolamin ( ) 5 149,22 Trimetilik anhidrid ( ) T0,04 192,12 Trimetilamin ( ) ,19 Trimetil fosfit ( ) ,08 Tripoli Lihat silica kristalin Toxaphene Lihat Khlorinated camfen Toluen ( ) 50;A4 188;A4 92,13 Kulit Toluen diisosianat 0.005; 0.036;A 0.02;A4 0.14;A4 174,15 ( ) A4 4 o - Tolidin ( ) A3 A3 Kulit o - Toluidin ( ) 2;A3 8.8;A3 107,15 Kulit m - Toluidin ( ) 2;A4 8.8;A4 107,15 Kulit p- Toluidin ( ) 2;A3 8,8;A3 107,15 Kulit Toluol Lihat Toluena Tributil fosfat ( ) 0,2 2,2 266,32 Trietilamin ( ) 1;A4 4,1;A4 3,A4 12,A4 101,19 Kulit Trifenil fosfat ( ) 3;A4 Trifluorobromometan ( , ) 1,1,1 - Trikloroetan Lihat Metilkloroform 1,1,2 - Trikloretan ( ) 10;A4 55;A4 Trikloroetilen ( ) 50;A5 269;A5 100,A5 573;A5 39

147 Notasi NAMA BAHAN KIMIA DAN NAB PSD/KTD Berat Keterangan NOMOR CAS BDS Mg/m 3 BDS Mg/m 3 Molekul (BM) Triklorometan Lihat kloroform Trikloronaftalen ( ) 5 Kulit Trimetilbenzen ( ) ,19 2,4,6 - Trinitrofenol Lihat Tetril metilnitramin 2,4,6Trinitrotoluen (TNT) (0,5) 227,13 Kulit ( ) Trifenil amin ( ) 5 Triortokresilfosfat ( ) 0,1;A4 368,37 Tungsten dan 183,85 persenyawaannya ( Bervariasi 7) sebagai W Larut 1 tidak larut 5 Uranium ( ) 0,2;A1 0,6;A1 238,03 (persenyawaan larut Bervariasi dan tidak larut sebagai U) Vanadium Pentoksida 0,05;A4 181,88 (V205) sebagai C205 ( ) respirabel atau uap logam n- Valeraldehid ( ) ,13 Viniliden klorida ( ) 5;A3 20;A3 20;A3 79;A3 106,96 Vinil asetat ( ) 10;A3 35;A3 15;A3 53;A3 86,09 Vinil benzen Lihat striren Vinil bromida ( ) 5;A2 22;A2 106,96 Vinil klorida ( ) 5;A1 13;A1 62,50 Vinil sianida Vinil toluen ( ) 50;A4 242;A4 100;A4 483;A4 118, Vinil sikloheksen (100-0,1; 0,44;A3 108,18 Kulit 40-3) A3 Vinil sikloheksen 0,1; 0,57;A3 140,18 Kulit dioksida ( ) A3 VM & P Nafta ( ) 300; 1370;A3 A5 Warfarin, ( ) 0,1 308,32 Lihat Akrilonitril Xilen ( ) (0,m,p- 100; 434;A4 150;A4 651;A4 106,16 Reproduksi isomer) A4 m-xilen ( ) T 0,1 136,20 Kulit; Reproduksi Xilidin ( ) 0,5; 2,5;A3 121,18 Kulit A3 Yodium Lihat Iodin Yitrium ( ) 1 88,91 logam persenyawaan Y Zirkonium dan 5;A4 10;A4 91,22 persenyawaannya sebagai Zn ( ) Zink klorida ( ) ,29 Uap Zink kromat ( ); 0,01;A1 Bervariasi sebagai Zn. Zink oksida ( ) 5 81,37 Uap, Debu 10 (e) Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 28 Oktober 2011 MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, ttd. Drs.H.A.MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si. 40

148 MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN PELATIHAN BERBASIS KOMPETENSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. b. c. Mengingat : bahwa dalam rangka implementasi pelatihan berbasis kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional, perlu disusun pedoman penyelenggaraan pelatihan berbasis kompetensi; bahwa pedoman penyelenggaraan pelatihan berbasis kompetensi sebagaimana dimaksud dalam huruf a, merupakan norma, standar, prosedur dan kriteria sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelatihan Berbasis Kompetensi; Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279); Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997 Tentang Ketransmigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3682) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 29 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5050);

149 3. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2004 tentang Badan Nasional Sertifikasi Profesi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4408); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4637); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5497); 6. Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 24); 7. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 5 Tahun 2012 tentang Sistem Standardisasi Kompetensi Kerja Nasional (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 338); 8. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 8 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 364); 9. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 11 Tahun 2013 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Pelatihan Kerja Nasional Di Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 1463); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN PELATIHAN BERBASIS KOMPETENSI. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan: 1. Kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang sesuai dengan standar yang ditetapkan.

150 2. Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia, yang selanjutnya disingkat SKKNI, adalah rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan/atau keahlian serta sikap kerja yang relevan dengan pelaksanaan tugas dan syarat jabatan yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 3. Standar Internasional adalah standar kompetensi kerja yang dikembangkan dan ditetapkan oleh suatu organisasi multinasional dan digunakan secara internasional. 4. Standar Khusus adalah standar kompetensi kerja yang dikembangkan dan digunakan oleh organisasi untuk memenuhi tujuan internal organisasinya sendiri dan/atau untuk memenuhi kebutuhan organisasi lain yang memiliki ikatan kerja sama dengan organisasi yang bersangkutan atau organisasi lain yang memerlukan. 5. Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia, yang selanjutnya disingkat KKNI, adalah kerangka penjenjangan kualifikasi kompetensi yang dapat menyandingkan, menyetarakan, dan mengintegrasikan antara bidang pendidikan dan bidang pelatihan kerja serta pengalaman kerja dalam rangka pemberian pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan struktur pekerjaan di berbagai sektor. 6. Pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh, meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin, sikap, dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau pekerjaan. 7. Pelatihan Berbasis Kompetensi yang selanjutnya disingkat PBK adalah pelatihan kerja yang menitikberatkan pada penguasaan kemampuan kerja yang mencakup pengetahuan, keterampilan, dan sikap sesuai dengan standar yang ditetapkan dan persyaratan di tempat kerja. 8. Unit Pelaksana Teknis Pusat yang selanjutnya disingkat UPTP adalah lembaga pelatihan kerja milik Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. 9. Unit Pelaksana Teknis Daerah yang selanjutnya disingkat UPTD adalah lembaga pelatihan kerja milik pemerintah daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota. 10. Lembaga Pelatihan Kerja adalah instasi pemerintah, badan hukum atau perorangan yang memenuhi persyaratan untuk menyelenggarakan pelatihan kerja. 11. Tenaga Pelatih adalah instruktur atau istilah lain yang setara, yang memiliki kompetensi teknis dan metodologis untuk melakukan pelatihan. 12. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

151 Pasal 2 (1) Peraturan Menteri ini dimaksudkan sebagai acuan dalam penyelenggaraaan PBK bagi lembaga pelatihan yang dikelola oleh instansi pemerintah, badan usaha, perorangan yang memenuhi persyaratan untuk menyelenggarakan pelatihan. (2) Peraturan Menteri ini bertujuan untuk: a. meningkatkan sinergitas lembaga pelatihan dengan kebutuhan pengguna tenaga kerja; b. meningkatkan pelayanan dan kinerja lembaga pelatihan; dan c. meningkatkan kompetensi peserta pelatihan. Pasal 3 Prinsip dasar PBK: a. dilaksanakan berdasarkan hasil identifikasi kebutuhan pelatihan dan/atau standar kompetensi; b. adanya pengakuan terhadap kompetensi yang telah dimiliki; c. berpusat kepada peserta pelatihan dan bersifat individual; d. multi-entry/multi-exit, yang memungkinkan peserta untuk memulai dan mengakhiri program pelatihan pada waktu dan tingkat yang berbeda, sesuai dengan kemampuan masing-masing peserta pelatihan; e. setiap peserta pelatihan dinilai berdasarkan pencapaian kompetensi sesuai dengan standar kompetensi; dan f. dilaksanakan oleh lembaga pelatihan yang teregistrasi atau terakreditasi nasional. Pasal 4 (1) Pelaksanaan PBK pada setiap kejuruan/sub kejuruan/program pelatihan harus memenuhi komponen PBK yaitu: a. standar kompetensi kerja, sebagai acuan dalam mengembangkan program pelatihan kerja; b. strategi dan materi belajar, merupakan cara atau metode penyajian pelatihan kepada masing-masing peserta pelatihan; c. pengujian, merupakan penilaian/asesmen atas pencapaian kompetensi sebagaimana ditentukan dalam standar kompetensi; dan d. KKNI, merupakan acuan dalam pemaketan atau pengemasan SKKNI ke dalam jenjang kualifikasi. (2) Standar kompetensi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri atas: a. SKKNI; b. Standar Khusus; dan/atau c. Standar Internasional. Pasal 5 PBK di setiap lembaga pelatihan diselenggarakan melalui tahapan: a. persiapan; b. pelaksanaan; dan c. evaluasi.

152 BAB II PERSIAPAN PELATIHAN BERBASIS KOMPETENSI Pasal 6 (1) Tahapan persiapan PBK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a, merupakan proses mempersiapkan dan merencanakan aktivitas pelatihan yang akan menjadi pedoman dalam pelaksanaan PBK untuk mencapai tujuan pelatihan. (2) Tahapan persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. identifikasi kebutuhan pelatihan; b. menyusun program pelatihan; c. melaksanakan rekruitmen dan seleksi; d. menyusun rencana pelatihan; e. menyiapkan sumber daya manusia; f. menyiapkan fasilitas pelatihan; g. menyusun jadwal pelatihan; dan h. menyiapkan administrasi pelatihan. BAB III PELAKSANAAN PELATIHAN BERBASIS KOMPETENSI Pasal 7 (1) Pelaksanaan PBK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b, merupakan interaksi antara tenaga pelatih dan peserta dengan menerapkan berbagai metode dan teknik pelatihan, serta pemanfaatan perangkat media pelatihan yang relevan untuk mencapai tujuan pelatihan. (2) Pelaksanaan PBK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus dilakukan dengan metode pendekatan: a. pelatihan di lembaga pelatihan atau off the job training; dan b. pelatihan di tempat kerja atau on the job training. Pasal 8 (1) Pelaksanaan PBK disetiap kejuruan/sub kejuruan/program pelatihan mengacu pada: a. jenjang kualifikasi; b. klaster kompetensi; c. unit kompetensi. (2) Pelaksanaan PBK yang mengacu pada jenjang kualifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan untuk mendapatkan capaian kompetensi berdasarkan jenjang KKNI. (3) Dalam hal kejuruan/sub kejuruan/program pelatihan belum memiliki penetapan kualifikasi berdasarkan KKNI sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pelaksanaan PBK mengacu pada klaster kompetensi dan/atau unit kompetensi.

153 (4) Pelaksanaan PBK yang mengacu pada klaster kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, terdiri atas okupasi/jabatan kerja atau nonokupasi/bukan jabatan kerja yang merupakan sekumpulan unit kompetensi untuk melakukan suatu pekerjaan. (5) Pelaksanaan PBK yang mengacu pada unit kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dilaksanakan untuk mendapatkan capaian 1 (satu) unit kompetensi. Pasal 9 Pelaksanaan PBK terdiri atas: a. pelatihan di lembaga pelatihan atau off the job training; b. penilaian/asesmen di lembaga pelatihan; c. pelatihan di tempat kerja atau on the job training; d. penilaian/asesmen di tempat kerja; dan e. penerbitan sertifikat pelatihan dan/atau sertifikat kompetensi. Pasal 10 Lembaga pelatihan yang menyelenggarakan PBK paling sedikit harus memiliki: a. tenaga pelatih yang memenuhi persyaratan; dan b. sarana dan fasilitas pelatihan yang memenuhi standar. BAB IV EVALUASI PELATIHAN BERBASIS KOMPETENSI Pasal 11 (1) Evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c, merupakan proses untuk mengetahui tingkat keberhasilan suatu program PBK melalui pengumpulan dan pengolahan data dan informasi. (2) Evaluasi PBK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. monitoring; dan b. pelaporan. BAB V KETENTUAN PENUTUP Pasal 12 Tahapan penyelenggaraan PBK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, tercantum dalam Lampiran I dan Lampiran II yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

154 Pasal 13 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Diundangkan di Jakarta pada tanggal 30 April 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. AMIR SYAMSUDIN Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 30 April 2014 MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, ttd. Drs. H.A.MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 586

155 LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAN PELATIHAN BERBASIS KOMPETENSI BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tersedianya Sumber Daya Manusia (SDM) yang kompeten merupakan salah satu target yang harus dicapai dalam pembangunan nasional saat ini. Upaya tersebut dapat diwujudkan antara lain melalui pelatihan kerja. Pelatihan Kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh, meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin, sikap, dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau pekerjaan. Hal ini sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional (Sislatkernas) dan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun Sislatkernas merupakan panduan arah kebijakan bagi terselenggaranya pelatihan kerja secara terarah, sistematis, dan sinergis dalam menyelenggarakan pelatihan di berbagai bidang, sektor, instansi, pusat maupun daerah agar tujuan pelatihan kerja dapat dicapai secara efisien dan efektif. Pelatihan harus dilakukan secara komprehensif mulai dari perencanaan hingga evaluasi, sehingga peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja dapat dilakukan. Orientasi pelatihan ditekankan pada peningkatan kemampuan atau kompetensi untuk melakukan pekerjaan yang spesifik sesuai dengan tuntutan kebutuhan pasar kerja atau kebutuhan pengembangan masyarakat dan kawasan Transmigrasi. Pelatihan yang seperti itu disebut Pelatihan Berbasis Kompetensi (PBK). Melalui PBK diharapkan setiap peserta pelatihan dapat mengatasi gap kompetensi yang dimilikinya dengan kompetensi yang dibutuhkan oleh pasar kerja atau jabatan kerja yang dibutuhkan. Untuk dapat menyelenggarakan PBK di lembaga pelatihan, maka diperlukan pedoman penyelenggaraan yang digunakan sebagai acuan bersama. Hal ini penting agar pelaksanaan PBK dapat diarahkan pada peningkatan relevansi, kualitas dan efisiensi pelatihan dengan kebutuhan dunia kerja dan pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM). B. Sasaran Sasaran pedoman penyelenggaraan PBK ini adalah terselenggaranya PBK disetiap lembaga pelatihan di seluruh Indonesia secara efektif dan efisien.

156 C. Ruang Lingkup Ruang lingkup pedoman penyelenggaraan PBK ini meliputi: 1. Persiapan PBK. 2. Pelaksanaan PBK. 3. Evaluasi. BAB II PERSIAPAN PELATIHAN BERBASIS KOMPETENSI Sebelum melaksanakan PBK setiap lembaga pelatihan melakukan langkah/tahapan sebagai berikut: A. Melakukan Identifikasi Kebutuhan Pelatihan. Identifikasi kebutuhan pelatihan adalah suatu proses pengumpulan data dalam rangka mengidentifikasi bidang-bidang atau faktor-faktor apa saja yang perlu diperbaiki atau ditingkatkan melalui pelatihan. Identifikasi kebutuhan pelatihan dapat dilakukan secara makro dan/atau mikro. Pada umumnya, identifikasi kebutuhan pelatihan yang dilakukan oleh lembaga pelatihan adalah bersifat mikro, yaitu proses identifikasi untuk mengetahui kesenjangan atau gap kompetensi yang dimiliki oleh angkatan kerja/calon peserta dengan kebutuhan pasar kerja atau persyaratan jabatan. Identifikasi kebutuhan pelatihan dilaksanakan dengan cara membandingkan kondisi riil calon peserta dengan kompetensi yang harus dimiliki untuk melaksanakan suatu pekerjaan tertentu. Identifikasi dapat dilakukan dengan pendekatan: 1. Level Industri Untuk mendapatkan informasi kinerja dari setiap bagian/departemen yang dapat mempengaruhi kinerja, tujuan dan rencana bisnis organisasi secara keseluruhan, sehingga dapat ditentukan kebutuhan pelatihan yang menjadi skala prioritas. 2. Level Jabatan Untuk mendapatkan informasi tugas dan rincian tugas dari suatu jabatan baik untuk waktu sekarang maupun kemungkinannya dimasa yang akan datang, kemudian mengidentifikasi hubungan atau korelasi antar tugas dan informasi dari jabatan yang relevan. 3. Level Individu Identifikasi kebutuhan pelatihan pada level individu dilakukan untuk menganalisis tingkat pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dimiliki oleh tenaga kerja atau peserta saat ini dibandingkan dengan tingkat yang dipersyaratkan, sehingga dapat ditentukan kebutuhan kompetensi apa yang harus ditambahkan terhadap seorang tenaga kerja atau peserta. Hasil identifikasi kebutuhan pelatihan, tidak selamanya harus direspon dengan kebutuhan pelatihan, tetapi dapat juga hanya menghasilkan respon bukan pelatihan seperti; bimbingan dan konsultasi, re-desain jabatan, dan lain-lain. 2

157 B. Menyusun Program Pelatihan Program PBK disusun berdasarkan hasil identifikasi kebutuhan pelatihan. Jika hasil identifikasi kebutuhan pelatihan telah tersedia standar kompetensinya baik SKKNI, standar internasional atau standar khusus, maka program pelatihan disusun berdasarkan standar kompetensi tersebut. Namun, jika standar kompetensinya belum tersedia maka program pelatihan harus disusun berdasarkan hasil identifikasi kebutuhan pelatihan. Program pelatihan yang disusun dapat dilakukan berdasarkan: 1. Jenjang kualifikasi; 2. Klaster kompetensi: a. Okupasi/jabatan kerja; b. Nonokupasi/bukan jabatan kerja. 3. Unit kompetensi. Program pelatihan yang disusun terdiri dari: 1. Judul/nama program pelatihan Menggambarkan/menunjukkan nama program pelatihan yang akan dilaksanakan. 2. Tujuan Menggambarkan secara garis besar hasil pelatihan yang akan dicapai oleh peserta. 3. Kompetensi yang akan ditempuh Kompetensi yang akan ditempuh oleh peserta pelatihan dituangkan dalam unit-unit kompetensi. 4. Perkiraan waktu pelatihan Perkiraan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan proses pelatihan. Penentuan waktu pelatihan tidak bersifat absolut/mutlak harus diikuti oleh setiap peserta pelatihan. 5. Persyaratan peserta pelatihan Merupakan persyaratan minimal kualifikasi peserta pelatihan, dapat terdiri dari: pendidikan, umur/usia, jenis kelamin. 6. Kurikulum dan silabus Adalah rincian dan uraian unit kompetensi yang akan ditempuh oleh peserta pelatihan. Kurikulum dan silabus menggambarkan: a. Unit kompetensi yang akan ditempuh. b. Elemen kompetensi. c. Kriteria unjuk kerja yang harus dicapai. d. Indikator unjuk kerja. e. Ilmu pengetahuan yang terkait. f. Praktek yang diperlukan untuk mencapai unjuk kerja. g. Sikap kerja yang diperlukan. h. Perkiraan waktu yang dibutuhkan untuk setiap elemen kompetensi. 7. Daftar bahan dan peralatan Adalah rincian kebutuhan, jumlah dan spesifikasi teknis bahan, alat, mesin yang diperlukan selama pelaksanaan pelatihan. C. Melakukan Rekruitmen dan Seleksi Rekruitmen dan seleksi merupakan proses penyaringan awal untuk mendapatkan calon peserta pelatihan yang memenuhi syarat normatif. 3

158 Penerapan jenis dan materi uji dalam proses seleksi tergantung pada program pelatihan yang akan diikuti. Secara keseluruhan proses pelaksanakan rekruitmen dan seleksi dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Menyebarluaskan informasi tentang program pelatihan yang akan dilaksanakan serta persyaratannya. 2. Melakukan pendaftaran calon peserta. 3. Menyiapkan daftar rekapitulasi calon peserta. 4. Menetapkan metode seleksi yang akan dipakai sesuai dengan persyaratan yang telah ditetapkan. Seleksi dapat dilakukan dengan salah satu atau kombinasi metode sebagai berikut: a. Tes tertulis. b. Wawancara. c. Recognition Current Competency (RCC) atau pengakuan terhadap kompetensi terkini. d. Recognition Prior Learning (RPL) atau pengakuan terhadap hasil pembelajaran sebelumnya (formal, non formal atau pengalaman kerja). 5. Melakukan seleksi terhadap calon peserta. Tujuan dilakukan seleksi: a. Untuk memilih calon peserta sesuai dengan persyaratan yang ditentukan; b. Untuk mengetahui kondisi (pengetahuan, keterampilan) calon peserta pelatihan. Data/informasi dari kedua tujuan tersebut dipakai sebagai dasar dalam memulai pelatihan. 6. Menetapkan hasil seleksi. 7. Mengumumkan hasil seleksi. 8. Menyiapkan daftar peserta yang telah dinyatakan diterima. 9. Membuat data lengkap peserta pelatihan. D. Menyusun rencana pelatihan Rencana pelatihan merupakan dokumen perencanaan tahapan pelatihan yang disusun berdasarkan analisis terhadap isi materi pelatihan secara keseluruhan. Rencana pelatihan digunakan sebagai acuan bagi tenaga pelatih untuk memfasilitasi dan memilih metode pelatihan yang tepat bagi peserta pelatihan sesuai dengan materi pelatihan yang ditempuh masingmasing peserta pelatihan. Rencana pelatihan minimal berisi: 1. Tujuan pelatihan. 2. Metode dan teknik yang digunakan untuk setiap materi pelatihan. 3. Alat bantu dan media pelatihan yang dibutuhkan untuk setiap materi pelatihan. 4. Jenis evaluasi/asesmen yang akan digunakan. E. Menyiapkan Sumber Daya Manusia 1. Penyelenggaraan a. Penerbitan surat keputusan penyelenggaraan pelatihan oleh Kepala Lembaga Pelatihan. Surat keputusan berisi nama kejuruan/sub kejuruan/program pelatihan, nama penanggung jawab, nama pelaksana teknis, dan nama peserta pelatihan. b. Penentuan tempat On the Job Training (OJT) di perusahaan, untuk diintegrasikan dengan program pelatihan di lembaga pelatihan. 4

159 2. Tenaga Pelatih a. Persyaratan tenaga pelatih 1) Memiliki kompetensi metodologi dan kompetensi teknis. 2) Mendapat penugasan dari Kepala Lembaga Pelatihan melalui surat penugasan. 3) Dapat terdiri dari instruktur, PSM, tenaga ahli, atau istilah lain yang setara dengan itu. Lembaga pelatihan dapat mendatangkan/memanfaatkan tenaga pelatih yang berasal dari luar seperti industri/perusahaan sesuai dengan kriteria yang dibutuhkan dan persyaratan sebagaimana disebutkan diatas. b. Tugas dan peran tenaga pelatih dalam pelaksanaan PBK 1) Tugas tenaga pelatih sebagai berikut: a) Membantu peserta pelatihan dalam merencanakan proses pelatihan. b) Membimbing peserta melalui tugas-tugas pelatihan yang dijelaskan dalam pelatihan. c) Membantu untuk memahami konsep dan menjawab pertanyaan peserta pelatihan. d) Membantu mencari sumber informasi tambahan yang diperlukan peserta pelatihan. e) Mengorganisasikan kegiatan belajar kelompok jika diperlukan. f) Mendatangkan seorang ahli dari tempat kerja jika diperlukan. g) Menguji/mengamati dan mengumpulkan bukti-bukti serta membuat catatan-catatan kemajuan pelatihan untuk setiap peserta pelatihan. h) Mengevaluasi pencapaian kompetensi peserta per individu. 2) Peran tenaga pelatih yaitu: a) Sebagai narasumber, mengusasi materi teori dan mampu mendemonstrasikan materi praktek. b) Sebagai fasilitator, mampu menjembatani antara peserta dan materi pelatihan. c) Sebagai pembimbing, mampu menolong peserta pelatihan mengembangkan rencana-rencana belajar individu atau kelompok, mendorong cara berfikir kritis dan kemampuan memecahkan persoalan, dan memotivasi peserta pelatihan secara perorangan. d) Sebagai penilai, membuat keputusan mengenai RCC/RPL, menilai capaian kompetensi perorangan menurut kriteria dan standar yang ditetapkan, serta mendokumentasikan hasil-hasil penilaian setiap peserta pelatihan e) Sebagai mechanism, lebih memfokuskan pada proses pelatihan dan mampu menggerakkan proses pelatihan. Dalam proses pelatihan, tenaga pelatih harus dapat mengkombinasikan peran-peran tersebut sesuai dengan kondisi dan situasi yang terjadi. 3. Peserta Pelatihan a. Merupakan subyek pelatihan. b. Telah mengikuti proses rekruitmen dan seleksi. 5

160 F. Menyiapkan Fasilitas Pelatihan 1. Peralatan a. Menyiapkan seluruh peralatan yang dibutuhkan dalam rangka pencapaian kompetensi sebagaimana yang ditetapkan dalam kurikulum pelatihan. b. Peralatan terdiri atas: mesin, peralatan tangan (handtools), peralatan dan fasilitas pendukung lainnya serta alat-alat keselamatan kerja. c. Sebelum digunakan dalam pelatihan, semua peralatan dipastikan berfungsi dengan baik dan sesuai dengan program pelatihan yang akan dilaksanakan. 2. Bahan pelatihan a. Bahan pelatihan harus tersedia dalam jumlah yang cukup dan disesuaikan dengan tujuan kompetensi yang akan ditempuh. b. Bahan pelatihan terdiri atas; bahan pelatihan untuk teori dan/atau untuk praktek. c. Sebelum digunakan, bahan pelatihan dipastikan memenuhi syarat untuk digunakan sesuai dengan program pelatihan yang akan dilaksanakan. 3. Tempat Pelatihan a. Tempat pelatihan harus tersedia sesuai dengan yang dipersyaratkan. b. Tempat pelatihan terdiri dari ruang kelas, workshop/bengkel/tempat praktek, atau demplot beserta kelengkapannya. 4. Modul Modul atau materi pelatihan merupakan bahan/sumber pembelajaran yang disusun berdasarkan standar kompetensi kerja. Modul PBK terdiri atas buku informasi, buku kerja dan buku penilaian. 5. Referensi Buku-buku lain yang relevan untuk mencapai kompetensi, dapat berupa teks book, manual book, Prosedur Operasional Standar (POS), dan referensi lainnya yang terkait. G. Menyusun Jadwal Pelatihan Jadwal pelatihan disusun oleh bagian penyelenggara pelatihan di setiap lembaga pelatihan dan dikoordinasikan dengan tenaga pelatih. Jadwal dipergunakan sebagai pegangan bagi tenaga pelatih, penyelenggara, dan peserta pelatihan untuk mengetahui tahapan selama latihan berlangsung sesuai dengan program latihan. H. Menyiapkan Administrasi Pelatihan 1. Daftar hadir peserta. 2. Daftar hadir tenaga pelatih. 3. Tanda terima perlengkapan peserta. 4. Tata tertib pelatihan. 5. Sertifikat pelatihan. 6. Formulir-formulir penilaian/asesmen. 6

161 A. Persiapan PBK BAB III PELAKSANAAN PELATIHAN BERBASIS KOMPETENSI Sebelum menyampaikan pelatihan, tenaga pelatih harus memastikan kesiapan hal-hal sebagai berikut: 1. Seluruh peserta pelatihan telah diketahui kapasitas kompetensi yang dimiliki berdasarkan hasil seleksi. 2. Seluruh peserta telah diberikan/memperoleh buku informasi dan buku kerja sesuai dengan unit kompetensi yang akan di ikuti. 3. Bahan dan peralatan pelatihan sudah tersedia di workshop/ bengkel/tempat praktek/demplot. 4. Rencana pelatihan telah divalidasi kesesuaiannya untuk mencapai tujuan pelatihan. B. Pelaksanaan PBK Terdapat dua teknik atau pendekatan yang harus dilakukan dalam pelaksanaan pelatihan berbasis kompetensi yaitu: off the job training dan on the job training. Off the job training merupakan suatu proses pelatihan dilaksanakan di ruang kelas dan workshop/bengkel/demplot, sedangkan on the job training merupakan suatu proses untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja sesuai dengan tuntutan tempat kerja, dan dilaksanakan di tempat kerja yang sebenarnya. 1. Pelatihan di tempat pelatihan (Off The Job Training) Dalam proses PBK ada tiga pendekatan yang dapat digunakan oleh tenaga pelatih. Seorang tenaga pelatih harus dapat memilih pendekatan pelatihan yang paling efektif berdasarkan kondisi riil yang dihadapi dilapangan. Artinya, tenaga pelatih dalam menetapkan pendekatan yang dipilih telah memperhitungkan efektivitas biaya, isi program pelatihan, prinsip-prinsip pembelajaran yang akan diterapkan, fasilitas peralatan dan bahan yang tersedia, kemampuan dan preferensi peserta pelatihan serta kemampuan dan preferensi tenaga pelatih yang bersangkutan. Ketiga pendekatan pelatihan yang dapat digunakan oleh tenaga pelatih, yaitu: a. Belajar secara mandiri/individu Belajar secara mandiri membolehkan peserta pelatihan untuk belajar secara individu sesuai dengan kecepatan belajarnya masing-masing. Peserta dapat menemui tenaga pelatih setiap saat untuk mengkonfirmasikan kemajuan dan mengatasi kesulitan belajar. Agar proses belajar mandiri dapat dilaksanakan secara efektif, hal-hal yang perlu dilakukan oleh tenaga pelatih adalah sebagai berikut: 1) Mendorong setiap peserta pelatihan untuk membuat pilihan tentang target berlajar mandiri yang diinginkan. 2) Memberi bantuan pada setiap peserta pelatihan, sesuai dengan permintaan bantuan yang bersifat spesifik. 3) Menyediakan materi dan sumber belajar yang diperlukan peserta pelatihan. 7

162 4) Memberi bimbingan dan bantuan bagi peserta pelatihan dalam hal penggunaan sumber belajar. 5) Membekali peserta dengan keterampilan belajar pada aspek perencanaan: apa, kapan, dan bagaimana cara belajar. 6) Mendorong peserta pelatihan untuk memiliki tanggung jawab individu dalam manajemen pengembangan diri. 7) Membimbing peserta pelatihan untuk mampu memilih dan memanfaatkan sumber pembelajaran yang tersedia. b. Belajar berkelompok Belajar berkelompok memungkinkan peserta untuk berpartisipasi dalam kelompok, walaupun proses belajar memiliki prinsip sesuai dengan kecepatan masing-masing individu, metode ini memungkinkan interaksi sesama peserta dan tenaga pelatih. Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh tenaga pelatih dalam melaksanakan belajar kelompok adalah sebagai berikut: 1) Mendorong agar setiap anggota kelompok harus memiliki peran. 2) Membantu peserta agar terjadi interaksi langsung antar anggota kelompok belajar. 3) Membimbing setiap anggota kelompok bertanggungjawab atas hasil belajar dirinya dan anggota kelompoknya. 4) Membantu mengembangkan proses interaksi antar anggota kelompok belajar. 5) Hanya berinteraksi dengan kelompok belajar pada saat diperlukan. c. Belajar terstruktur Belajar terstruktur adalah belajar di kelas secara formal, metode ini umumnya mencakup topik tertentu. Metode belajar terstruktur dapat berupa: ceramah, ceramah bergambar, demonstrasi, tanya jawab, diskusi, dan praktek. Tahapan yang harus dilakukan oleh tenaga pelatih, agar belajar terstruktur dapat efektif yaitu: 1) Tahap Pendahuluan (Introduction/Preparation), meliputi: a) Mengatur ruangan (kelas/bengkel) seperti ventilasi, penerangan. b) Menyiapkan bahan dan peralatan yang diperlukan waktu mengajar. c) Menentukan bahan dan alat yang akan digunakan peserta pelatihan. d) Menyiapakan alat bantu mengajar seperti projektor, komputer, dan lainnya sesuai dengan kebutuhan. e) Menyiapkan evaluasi yang akan digunakan. f) Mengecek kehadiran peserta pelatihan. g) Memperkenalkan judul pelajaran, disamping diucapkan, juga disampaikan secara tertulis. Kemudian lakukan diskusi singkat dengan peserta pelatihan tentang judul tersebut. h) Melakukan apersepsi, menghubungkan materi yang akan disajikan dengan materi sebelumnya sehingga jelas kaitannya. i) Mengecek pengetahuan peserta pelatihan, dengan melakukan tanya jawab singkat untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan peserta sebelumnya tentang materi yang akan disajikan. Dengan demikian, pelajaran dapat dimulai dari apa yang sudah diketahui peserta pelatihan; 8

163 j) Menyampaikan tujuan belajar, agar para peserta pelatihan mengetahui dengan jelas kemampuan apa yang akan diperoleh setelah pelatihan selesai. Dalam hal ini juga disampaikan manfaat apa yang diperoleh termasuk arah yang akan dipelajari. 2) Tahap Penyajian, meliputi a) Pastikan entry point untuk memulai proses pelatihan, jelaskan hubungan antara pelatihan dengan harapan peserta. b) Penyajian dilakukan secara bertahap (per unit kompetensi). c) Sampaikan penjelasan secara sederhana, sistematis, jelas dan masuk akal. d) Jelaskan perlahan-lahan, sesuaikan dengan tingkat kemampuan peserta pelatihan. Jelaskan secara bertahap. e) Jangan menggunakan kata-kata, istilah atau ucapan yang mungkin sulit dimengerti oleh peserta pelatihan. f) Hindari menjelaskan terlalu banyak hal, yang memungkinkan peserta tidak dapat memahami. g) Ciptakan komunikasi dua arah, gunakan teknik mendengar aktif (seperti bahasa tubuh yang positif). h) Berikan kesempatan kepada setiap peserta untuk berbagi pengalaman, dan hubungannya dengan pelatihan yang diikuti. i) Lakukan identifikasi, bagaimana setiap peserta dapat belajar dengan baik (seperti melalui diskusi kelompok, praktek, peragaan dan lain-lain). j) Lakukan interaksi kepada peserta yang kurang berpartisipasi (misalnya dengan pertanyaan yang sederhana). k) Berikan kenyamanan dalam pelatihan terutama bagi peserta yang memiliki kesulitan atau tantangan dalam pelatihan. l) Berikan umpan balik positif, dengan menjelaskan kesalahan atau perbaikan yang harus dilakukan. m) Jika menjelaskan menggunakan tampilan visual, yakinkan bahwa peserta pelatihan dapat memahami dan menginterpretasikan tampilan visual atau gambar ke keadaan yang sebenarnya. n) Jika tenaga pelatih akan mendemonstrasikan materi praktek, atur posisi peserta pelatihan sedemikian rupa sehingga dapat memperhatikan secara jelas dan detail setiap pekerjaan yang didemonstrasikan. o) Lakukan demonstrasi secara perlahan-lahan agar semua peserta pelatihan dapat mengikuti dengan jelas. p) Pada saat demonstrasi, tenaga pelatih wajib menekankan keselamatan dan kesehatan kerja dalam melakukan pekerjaan tersebut. q) Demonstrasikan secara bertahap, beri kesempatan peserta bertanya. r) Bila diperlukan, lakukan demonstrasi berulang-ulang untuk satu pekerjaan, sampai semua peserta pelatihan mengerti. s) Untuk mengetahui tingkat penguasaan terhadap materi pelatihan, ajukan pertanyaan tentang materi pelatihan kepada seluruh peserta pelatihan. t) Lakukan interaksi dengan industri atau pasar kerja (misalnya menghadirkan nara sumber dari perusahaan). 9

164 u) Lakukan pelatihan secara komprehensif dan berkesinambungan. Artinya setiap materi pelatihan atau unit kompetensi harus diselesaikan secara tuntas, sebelum berpindah ke materi pelatihan/unit kompetensi yang lain. v) Berikan kesimpulan sebagai key point di setiap akhir sesi pelatihan. 3) Tahap Aplikasi Untuk materi pelatihan teori dilakukan dengan memberikan tugas-tugas, pertanyaan-pertanyaan yang harus dikerjakan/ dijawab, baik secara lisan maupun tulisan. Tenaga pelatih membetulkan jawaban yang salah, memberikan penguatan terhadap jawaban yang benar dan memberikan pujian. Bila peserta tidak dapat menjawab atau jawabannya kurang tepat, jangan memojokkan peserta karena akan menurunkan semangatnya. Waktu peserta sudah menjawab, jangan buru-buru dikomentari, tetapi buatlah suasana persaingan dengan cara menanyakan pendapat peserta lain terhadap jawaban peserta terdahulu. Untuk materi pelatihan praktek, lakukan langkah-langkah sebagai berikut: a) Sebelum dimulai tekankan kepada peserta pelatihan tentang keselamatan kerja dan kunci kerja yang harus diperhatikan. b) Atur tempat kerja setiap peserta agar tidak saling terganggu. c) Tunjukkan/bagikan/tentukan bahan dan alat yang akan digunakan oleh setiap peserta pelatihan. d) Bagikan lembaran kerja (job sheet) bila itu diperlukan. e) Lakukan pengawasan yang seksama. f) Berikan bantuan bila diperlukan saja, jangan pilih kasih. g) Bila peserta melakukan langkah yang salah, segera hentikan dan betulkan. h) Bila diperlukan, demonstrasikan atau jelaskan kembali. 4) Tahap Penilaian/Asesmen Penilaian/asesmen berbasis kompetensi yang dilaksanakan pada saat pelatihan off the job training, merupakan rangkaian kegiatan tenaga pelatih untuk menilai/memutuskan pencapaian kompetensi dari peserta pelatihan. Dalam proses tersebut tenaga pelatih melakukan pengumpulan informasi/bukti atau pengujian selama proses pelatihan berlangsung, sehingga tenaga pelatih akan memperoleh potret atau profil kemampuan setiap peserta dalam mencapai indikator kompetensi yang telah dirumuskan, sebagai informasi untuk menilai/memutuskan kompeten atau belum kompeten. Tenaga pelatih harus dapat menentukan metode atau jenis penilaian yang akan digunakan untuk mengukur ketercapaian kompetensi. Penentuan ini sangat penting, mengingat kebanyakan kompetensi bersifat kompleks dan mengandung variabel yang cukup sulit untuk dinilai. Tenaga pelatih dalam melakukan penilaian/asesmen harus memenuhi prinsip sebagai berikut: a) Validitas. 10

165 Artinya teknik/metode asesmen yang digunakan untuk mengukur capaian kompetensi harus sesuai dengan apa yang seharusnya dinilai. Contoh: Kompetensi Teknik/Metode Asesmen Menggunakan peralatan tangan unjuk kinerja Jika menggunakan teknik/metode yang lain, maka asesmen menjadi tidak valid b) Reliabilitas Artinya hasil asesmen handal dan dapat dipercaya, asesmen yang handal terdapat konsistensi pada hasil pengujian, jika dilakukan asesmen ulang pada kondisi yang sama diperoleh hasil yang relatif sama. c) Komprehensif Artinya penilaian harus dilakukan secara menyeluruh pada semua aspek kompetensi yang telah ditetapkan dengan menggunakan berbagai teknik dan metode asesmen untuk menilai kompetensi peserta pelatihan. d) Adil. Teknik/metode asesmen dalam pelaksanaan penilaian harus adil untuk semua peserta pelatihan. Menggunakan prosedur, aturan, kriteria dan bahasa yang digunakan harus jelas untuk setiap peserta pelatihan. e) Objektif Artinya proses asesmen yang dilakukan harus terhindar dari pengaruh-pengaruh atau pertimbangan yang bersifat subyektif. f) Berpusat kepada peserta Artinya proses asesmen difokuskan kepada peserta untuk pencapaian kompetensi, bukan kepada penguasaan materi pelatihan. Oleh karena itu asesmen harus dilakukan secara terencana, bertahap dan terus menerus kepada peserta dalam kurun waktu yang telah ditentukan. g) Efektif dan efisien Artinya tidak membuang-buang sumber daya pelatihan dan efektif dalam menilai kompetensi yang ditetapkan. h) Bagian dari pelatihan Artinya assesmen merupakan bagian dari proses pelatihan dan bukan untuk menghakimi atau menggambarkan ketidakmampuan peserta pelatihan, tetapi asesmen harus mampu memberikan informasi positif dan umpan balik terhadap peningkatan capaian kompetensi peserta pelatihan. Dengan demikian hasil asesmen menjadi dasar untuk memotivasi, peningkatan kualitas instruktur dan kualitas proses pelatihan. Untuk melakukan penilaian/asesmen berbasis kompetensi, seorang tenaga pelatih harus: 1. Sudah mengidentifikasi tingkat kemampuan/kompetensi peserta pelatihan 11

166 2. Menyusun perencanaan asesmen yang meliputi: a. Penetapan indikator capaian kompetensi (biasanya dibuat bersamaan dengan penyusunan silabus pelatihan). Indikator yang disusun jangan hanya satu karena akan mengakibatkan program pelatihan menjadi kaku. Indikator capaian kompetensi disusun berdasarkan standar kompetensi kerja. Setiap capaian kompetensi memerlukan teknik/metode asesmen yang berbeda. b. Penyusunan teknik/metode asesmen, ditetapkan berdasarkan pilihan-pilihan dari berbagai teknik/metode yang sesuai dengan kondisi peserta pelatihan dan sarana/fasilitas yang digunakan. Oleh karena itu, harus dilakukan dengan cermat untuk menghindari berbagai keterbatasan yang bersumber dari subjektivitas tenaga pelatih. Beberapa teknik/metode asesmen yang digunakan yaitu: 1) Penilaian unjuk kerja (performance) 2) Penilaian tertulis (written test) 3) Penilaian sikap 4) Penilaian penugasan 5) Penilaian produk 6) Penilaian melalui kumpulan hasil kerja peserta pelatihan (portfolio) 7) Penilaian terhadap diri sendiri (self assessment) 8) Penilaian skenario (scenario test) Dari 8 (Sembilan jenis teknik/metode penilaian/asesmen terdapat 4 (empat) jenis teknik/metode yang lebih banyak digunakan di lembaga pelatihan, yaitu: penilaian unjuk kerja, penilaian terhadap diri sendiri, penilaian tertulis, penilaian skenario. 3. Mengupayakan proses asesmen dilakukan dalam suasana yang menyenangkan. 4. Tidak boleh membandingkan hasil asesmen satu peserta dengan peserta lainnya. Berdasarkan hasil asesmen, bagi peserta pelatihan yang dinyatakan belum mampu mencapai kompetensi yang dipersyaratkan, diberikan kesempatan melakukan pengulangan terhadap bagian/unit kompetensi yang belum tercapai tersebut. Pengulangan dilakukan paling banyak 3 (tiga) kali. Dan apabila setelah pengulangan tersebut, peserta pelatihan tetap belum mampu mencapai kompetensi yang dipersyaratkan, maka peserta yang bersangkutan dinyatakan belum kompeten terhadap bagian/unit kompetensi tersebut. Setelah seluruh capaian kompetensi tercapai maka peserta pelatihan dapat mengikuti tahap selanjutnya yaitu On the Job Training. 12

167 2. On the Job Training (OJT) Peserta yang mengikuti program OJT di perusahaan/tempat kerja yaitu yang telah dinyatakan selesai/kompeten dalam pelatihan off the job training. OJT merupakan bagian dari proses pelatihan secara keseluruhan yang dilaksanakan di tempat kerja dengan fokus utama peningkatan dan penguatan nilai-nilai budaya dan etos kerja di perusahaan/tempat kerja. OJT harus dilaksanakan di bawah bimbingan seorang pendamping/ karyawan yang berasal dari perusahaan/tempat kerja. Hal-hal yang harus di perhatikan dalam persiapan dan pelaksanaan OJT antara lain: a. Indikator capaian kompetensi yang di persyaratkan dalam OJT. b. Penetapan pendamping yang berasal dari perusahaan/tempat kerja OJT. c. Penetapan pembimbing dari lembaga pelatihan. d. Monitoring dan evaluasi peserta selama masa OJT. Pelaksanaan On the Job Training Program on the Job Training dilaksanakan dalam kurun waktu sebagaimana ditentukan dalam silabus pelatihan. Materi pelatihan yang diberikan di perusahaan/tempat kerja selama OJT harus sesuai atau merupakan penyempurnaan dari kompetensi yang telah diberikan di lembaga pelatihan. Oleh karena itu, perusahaan/tempat kerja bertanggung jawab sepenuhnya tehadap peserta pelatihan, baik dalam hal pemberian tugas atau pekerjaan, pembimbingan, dan penilaian/asesmen, sehingga peserta dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Asesmen peserta dalam pelaksanaan OJT Asesmen dilakukan oleh pendamping/karyawan di tempat kerja yang diberi tugas, dengan menilai kompetensi dan kinerja peserta OJT selama mengikuti program tersebut. Asesmen dilakukan dengan berbagai indikator, sehingga akan diperoleh hasil pelatihan sesuai dengan tujuan OJT yang telah ditetapkan. Penetapan indikator dimaksud dilakukan secara bersama-sama oleh pendamping/karyawan dan tenaga pembimbing atau tenaga pelatih lembaga pelatihan. Asesmen yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1) Penilaian perilaku individu atau sikap kerja 2) Penilaian kemampuan teknis Apabila peserta OJT belum mampu mencapai kompetensi yang dipersyaratkan, maka peserta pelatihan diberikan kesempatan untuk melakukan pengulangan 1 (satu) kali lagi. Apabila setelah pengulangan tersebut, peserta OJT belum mampu mencapai kompetensi yang dipersyaratkan, maka peserta yang bersangkutan dinyatakan belum kompeten dalam OJT. C. Penerbitan sertifikat 1. Sertifikat pelatihan Pada prinsipnya, sertifikat pelatihan diberikan kepada peserta pelatihan yang dinyatakan kompeten, baik untuk pelatihan di lembaga pelatihan (off the job training) maupun pelatihan di tempat kerja (on the job 13

168 training). Sertifikat pelatihan diberikan kepada peserta pelatihan sesuai dengan jenis program pelatihan yang di ikuti, terdiri atas 3 (tiga) jenis yaitu: a. Sertifikat pelatihan berdasarkan KKNI. b. Sertifikat pelatihan berdasarkan klaster kompetensi. c. Sertifikat pelatihan berdasarkan unit kompetensi. 2. Surat keterangan Surat keterangan dari lembaga pelatihan diberikan kepada peserta yang dinyatakan sebagai berikut: a. Kompeten untuk sebagian unit-unit kompetensi. Surat keterangan berisi unit-unit kompetensi yang telah dinyatakan kompeten, sedangkan unit-unit kompetensi yang dinyatakan belum kompeten tidak dicantumkan. b. Belum kompeten. Surat keterangan berisi bahwa yang bersangkutan pernah mengikuti pelatihan. 3. Sertifikat Kompetensi Sertifikat kompetensi diberikan kepada peserta yang dinyatakan kompeten oleh lembaga sertifikasi profesi atau Badan Nasional Sertifikasi Profesi setelah melalui uji kompetensi. D. Pengendalian PBK Pengendalian pelaksanaan PBK di lembaga pelatihan dilakukan secara terpadu dan terkoordinasi dari persiapan pelatihan hingga pelaksanaan. Pengendalian pelatihan terdiri dari beberapa aspek, yaitu: 1. Aspek Perencanaan Perencanaan pelaksanaan pelatihan mulai dari persiapan software dan hardware pelatihan, sampai dengan pasca pelatihan dan yang terakhir evaluasi atau umpan balik. 2. Aspek Pengorganisasian Aspek ini berfungsi untuk menentukan mekanisme kerja yang baik mulai dari peserta pelatihan, bahan, peralatan, aktivitas tenaga pelatih, staf untuk mencapai tujuan dan sasaran pelatihan. 3. Aspek Pelaksanaan Aspek pelaksanaan pelatihan, merupakan inti dari semua proses program pelatihan, akan menjadi perhatian khususnya kepada para pelaksana program pelatihan. Pengendalian penyelenggaraan pelatihan melalui koordinasi aktif pelaksana dilapangan yang terpadu antara lembaga pelatihan dengan perusahaan tempat on the job training serta pihak pelaksana sertifikasi didaerah (jika tersedia), sehingga diharapkan tidak menyimpang dari tujuan pelatihan dan sertifikasi. BAB IV EVALUASI PENYELENGGARAN PBK A. Monitoring Monitoring dilaksanakan selama berlangsungnya kegiatan, mulai dari persiapan, pelaksanaan pelatihan dan hasil pelatihan. Dalam melaksanakan monitoring harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut : 14

169 1. Unsur-unsur yang dimonitor a. Persiapan pelaksanaan pelatihan terdiri dari : 1) Pembentukan Tim Pelaksana. 2) Rekruitmen dan seleksi peserta pelatihan. 3) Sarana dan prasarana pelatihan. 4) Tenaga pelatih. 5) Administrasi pelaksanaan pelatihan. b. Proses pelatihan berbasis kompetensi. 1) Kehadiran peserta pelatihan. 2) Kehadiran tenaga pelatih. 3) Pengelolaan bengkel/workshop/tempat praktek. 4) Metode pelatihan yang digunakan. 5) Bahan pelatihan yang digunakan. 6) Referensi penunjang yang digunakan. 7) Penilaian pelatihan. 8) Administrasi penilaian 2. Petugas monitoring Petugas monitoring terdiri dari personil di lembaga pelatihan dan Dinas Tenaga Kerja Provinsi, Kabupaten/Kota yang ditunjuk untuk melakukan monitoring. Bagi lembaga pelatihan UPTP dilakukan oleh tim yang ditunjuk oleh Kepala lembaga pelatihan UPTP atau Direktorat Jenderal Binalattas. 3. Teknik dan metoda monitoring a. Langsung. Petugas mendatangi lokasi pelaksanaan pelatihan untuk melakukan pengamatan pada saat berlangsungnya kegiatan. b. Tidak langsung. Berdasarkan laporan penyelenggaraan pelaksana pelatihan. B. Evaluasi Evaluasi dimaksudkan untuk mendapatkan masukan berdasarkan temuan hasil monitoring guna penyempurnaan penyelenggaraan pelatihan dimasa mendatang. 1. Aspek-aspek yang dievaluasi. a. Persiapan pelaksanaan pelatihan terdiri dari: 1) Pembentukan Tim Pelaksana. 2) Rekruitmen dan seleksi peserta pelatihan. 3) Sarana dan prasarana pelatihan. 4) Tenaga pelatih. 5) Administrasi pelaksanaan pelatihan. b. Proses pelatihan berbasis kompetensi. 1) Persipan PBK. 2) Kehadiran peserta pelatihan. 3) Kehadiran tenaga pelatih. 4) Pengelolaan bengkel. 5) Metode pelatihan yang digunakan. 6) Bahan pelatihan yang digunakan. 7) Referensi penunjang yang digunakan. 8) Penilaian pelatihan. 9) Administrasi penilaian 2. Petugas evaluasi Petugas evaluasi dapat terdiri dari personil yang ditunjuk oleh lembaga pelatihan kerja. 15

170 3. Waktu evaluasi Evaluasi dapat dilaksanakan baik pada saat proses pelaksanaan maupun setelah selesai penyelenggaraan pelatihan. C. Pelaporan Laporan penyelenggaraan PBK dibuat oleh tim pelaksana lembaga pelatihan, lembaga pelatihan UPTP maupun UPTD, selambat-lambatnya 2 (dua) minggu setelah seluruh kegiatan selesai, laporan disampaikan kepada pihak-pihak terkait, yaitu: 1. Untuk pelatihan yang dibiayai oleh lembaga pelatihan/masyarakat, laporan disampaikan kepada pimpinan lembaga pelatihan yang bersangkutan. 2. Untuk pelatihan yang dibiayai oleh pemerintah daerah kabupaten/kota laporan disampaikan kepada Kepala Dinas yang membidangi Ketenagakerjaan Kabupaten/Kota dengan tembusan Bupati/Walikota. 3. Untuk pelatihan yang dibiayai oleh pemerintah daerah Provinsi laporan disampaikan kepada Kepala Dinas yang membidangi Ketenagakerjaan Provinsi dengan tembusan Gubernur. 4. Untuk pelatihan yang dibiayai oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi laporan disampaikan kepada Direktur Jenderal Binalattas Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. 5. Untuk pelatihan yang dibiayai oleh Kementerian Teknis/Lembaga laporan disampaikan kepada unit eselon I yang terkait. Isi laporan sekurang-kurangnya memuat hal-hal sebagai berikut: 1. Pendahuluan 2. Persiapan pelatihan 3. Pelaksanaan pelatihan 4. Permasalahan 5. Pemecahan masalah 6. Kesimpulan dan saran 7. Penutup 8. Lampiran, terdiri dari: a. Daftar peserta pelatihan (berdasarkan jenis kejuruan) b. Penempatan/rencana penempatan output pelatihan c. Hasil evaluasi peserta pelatihan (pada akhir pelatihan) 16

171 BAB V PENUTUP Pedoman penyelenggaraan PBK diharapkan dapat menjadi acuan dalam penyelenggaraaan PBK bagi lembaga pelatihan yang dikelola oleh instansi pemerintah, badan usaha, perorangan yang memenuhi persyaratan untuk menyelenggarakan pelatihan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 30 April 2014 MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, ttd. Drs. H.A. MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si. 17

172 LAMPIRAN II PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAN PELATIHAN BERBASIS KOMPETENSI SKEMA DASAR PELATIHAN BERBASIS KOMPETENSI a. Langkah 1 Lembaga pelatihan kerja melakukan Identifikasi Kebutuhan Pelatihan atau Training Need Assesmen (TNA). b. Langkah 2 Melaksanakan rekruitmen dan seleksi peserta pelatihan 18

173 c. Langkah 3 Melaksanakan pelatihan 19

174 DIAGRAM ALIR PELATIHAN BERBASIS KOMPETENSI Persiapan Penyebarluasan Informasi HASIL IDENTIFIKASI KEBUTUHAN PELATIHAN Kembali ke Pendaftaran/ PROGRAM KURIKULUM masyarakat Registrasi DAN SILABUS Tes Tertulis Wawancara RCC Menentukan Metode Seleksi T Penentuan hasil test Y Registrasi Ulang Pelaksanaan Pelatihan di Lembaga Pelatihan (off the job training) Mandiri Kelompok Terstruktur T Asesmen Y Pelatihan di Tempat Kerja (on the job training) Penerbitan Surat Keterangan T Asesmen di Tempat Kerja Y Penerbitan Sertifikat Pelatihan Dokumentasi Pelaporan T Uji Kompetensi Y Sertifikat Kompetensi Selesai 20

175 TAHAPAN DAN AKTIVITAS PENYELENGGARAAN PELATIHAN BERBASIS KOMPETENSI No Tahapan Aktivitas yang dilakukan Dokumen Penanggung jawab 1. Persiapan 1. Membentuk tim 1. SK pembentukan Manajemen pelaksana pelatihan tim dari pimpinan lembaga 2. Rapat-rapat persiapan lembaga pelatihan pelatihan 3. Menyiapkan 2. Undangan rapat (point 1-7) kelengkapan dokumen 3. Materi publikasi untuk penyebarluasan media cetak dan Tenaga informasi elektronik pelatih (point 4. Mencari tempat bagi 4. Surat 8-12) pelaksanaan on the job permohonan training untuk tempat on 5. Mengkomunikasikan the job training kurikulum dan silabus 5. Kurikulum dan on the job training silabus OJT dengan pihak tempat 6. Formulir pelaksananaan OJT pendaftaran dan 6. Menyiapkan dokumen kelengkapannya untuk pendaftaran 7. Soal test tertulis 7. Menyiapkan materi test dan panduan test seleksi wawancara 8. Menyiapkan ruangan 8. Lembar isian tempat pendaftaran pemeriksaan 9. Menyiapkan daftar kesiapan kebutuhan bahan peralatan pelatihan pelatihan 10. Memeriksa kesiapan 9. Standar peralatan pelatihan, jika kompetensi, ada yang rusak segera program dan dilaporkan ke bagian modu pelatihan maintenance 10. Lesson plan untuk 11. Menata masing-masing workshop/tempat program pelatihan latihan sesuai dengan kebutuhan pelatihan 12. Melakukan telaah kesesuaian unit-unit kompetensi yang akan dilatih dengan program dan modul pelatihan. Untuk memastikan bahwa tidak terjadi deviasi antara modul pelatihan dengan unitunit kompetensi yang menjadi target capaian pelatihan. 13. Menyusun lesson plan 2. Penyebarluasan 1. Menyebarluaskan 1. Petunjuk teknis Manajemen informasi informasi pendaftaran atau SOP bagi lembaga pelatihan melalui media petugas yang pelatihan cetak dan elektronik melakukan penyebarluasan informasi 21

176 No Tahapan Aktivitas yang dilakukan Dokumen Penanggung jawab 2. MoU, kontrak kerja atau perjanjian kerjasama dengan media cetak atau media elektronik jika dibutuhkan 3. Registrasi/ 1. Melayani calon pendaftar 1. Informasi tentang Manajemen Pendaftaran yang membutuhkan program pelatihan lembaga informasi lebih detail berupa brosur, pelatihan tentang program leaflet, dan lainpelatihan lain 2. Melayani proses 2. Formulir pendaftaran pelatihan pendaftaran 3. Memberikan informasi 3. Informasi tentang tentang proses alur proses selanjutnya setelah pelatihan mulai pendaftaran dari pendaftaran 4. Menyusun rekap sampai dengan informasi calon peserta pelatihan selesai pelatihan yang sudah mendaftar 4. Formulir rekap informasi calon peserta pelatihan 5. Petunjuk teknis atau SOP bagi petugas pendaftaran 4. Menentukan 1. Menentukan metode 1. Program pelatihan Manajemen Metode seleksi seleksi dan RCC/RPL 2. Rekap informasi lembaga (Recognize Current calon peserta pelatihan Competency/Recognice pelatihan yang Prior Learning) calon telah mendaftar peserta untuk masing- 3. Matriks metode masig kejuruan sesuai seleksi dan dengan program RCC/RPL untuk pelatihan, persyaratan masing-masing peserta, dan latar kejuruan belakang calon peserta 4. Petunjuk teknis pelatihan yang telah mendaftar atau SOP bagi untuk menentukan metode seleksi 5. Tes Tertulis, 1. Menyelenggarakan test 1. Materi test tertulis Manajemen Wawancara tertulis bagi kejuruan untuk masing- lembaga RCC/RPL yang menggunakan masing kejuruan pelatihan metode seleksi dengan 2. Panduan test test tertulis wawancara untuk 2. Menyelenggarakan test masing-masing wawancara bagi kejuruan kejuruan yang 3. Kunci jawaban menggunakan metode test tertulis untuk seleksi dengan test petugas pemeriksa wawancara hasil test tertulis 3. Melakukan RCC/RPL 4. Form isian hasil dengan menganalisis test wawancara hasil test tertulis dan sesuai dengan 22

177 No Tahapan Aktivitas yang dilakukan Dokumen Penanggung jawab test wawancara masing-masing 4. Menyusun rekap hasil kejuruan test dan RCC/RPL 5. Rekap hasil test dan RCC/RPL 6. Petunjuk teknis atau SOP untuk menyelenggarakan test seleksi dan RCC/RPL 6. Penentuan 1. Pemaparan rekap hasil 1. Undangan rapat Manajemen hasil test test seleksi calon peserta untuk seluruh lembaga pelatihan masing-masing jajaran pelatihan kejuruan pada rapat manajemen dan penentuan kelulusan ketua juruan di test seleksi lembaga pelatihan 2. Menetapkan jumlah 2. Rekap hasil test calon peserta pelatihan dan RCC/RPL yang lulus test seleksi untuk masingberdasarkan peringkat masing kejuruan hasil test 3. Pengumuman 3. Menyiapkan resmi hasil test pengumuman hasil test 4. Petunjuk teknis seleksi yang atau SOP bagi ditandatangani oleh untuk pimpinan lembaga menentukan hasil pelatihan test 4. Mengumumkan hasil test 7. Registrasi 1. Pendataan kembali 1. Formulir registrasi Manajemen ulang calon peserta pelatihan ulang lembaga yang lolos seleksi untuk 2. Daftar calon pelatihan memastikan apakah siap peserta pelatihan untuk mengikuti proses yang lolos seleksi pelatihan dan daftar calon 2. Menghubungi calon peserta pelatihan peserta pelatihan yang yang menjadi menjadi cadangan jika cadangan ada calon peserta 3. Petunjuk teknis pelatihan yang sudah atau SOP bagi lolos seleksi tetapi mengundurkan diri untuk pelaksanaan registrasi ulang 8. Pelaksanaan 1. Melakukan monitoring 1. Lembar monitoring Manajemen Pelatihan di dan supervisi terhadap proses pelatihan lembaga Lembaga proses pelaksanaan pelatihan Pelatihan pelatihan 2. Datfar hadir (point 1-5 ) (off the job 2. Mengumpulkan dan peserta pelatihan training) merekap daftar hadir dan daftar hadir Tenaga peserta pelatihan dan tenaga pelatih pelatih (point tenaga pelatih 3. Kuesioner evaluasi 6-8) 3. Membantu tenaga 4. Surat keterengan pelatih untuk mengatasi telah mengikuti permasalahan- pelatihan permasalah yang muncul 5. Lesson plan selama proses pelatihan 6. Learning material berlangsung, baik berupa media 23

178 No Tahapan Aktivitas yang dilakukan Dokumen Penanggung jawab permasalahan teknis cetak maupun maupun permasalahan elektronik non teknis 7. Buku-buku 4. Melaksanakan evaluasi referensi terhadap proses penunjang pelatihan off the job training 5. Menerbitkan surat keterangan telah mengikuti pelatihan bagi peserta pelatihan yang tidak melanjutkan ke tahapan on the job training 6. Memfasilitasi proses pelatihan sesuai dengan lesson plan 7. Menggunakan metode melatih yang efektif dan melakukan bimbingan kepada masing-masing individu peserta pelatihan sesuai dengan kebutuhan dan tingkat capaian kompetensi masing-masing peserta pelatihan. 8. Membantu peserta pelatihan menyelesaikan permasalahan yang dihadapi dalam proses pelatihan 9. Asesmen 1. Melakukan penilaian 1. Materi asesmen Tenaga terhadap capaian 2. Lembar penilaian pelatih (point kompetensi peserta per unit 1-4) pelatihan secara individu kompetensi saat peserta pelatihan 3. Lembar rekap Manajemen sudah siap untuk dinilai hasil penilaian lembaga 2. Mendiskusikan hasil semua unit pelatihan penilaian dengan peserta kompetensi (point 5) pelatihan 3. Memberikan kesempatan kepada peserta pelatihan untuk mengulang unit kompetensi yang belum kompeten atau melanjutkan latihan ke unit kompetensi berikutnya setelah unit kompetensi sebelumnya dinyatakan kompeten melalui proses asesmen oleh tenaga pelatih 4. Membuat rekap hasil penilaian semua unit kompetensi yang ditempuh oleh peserta pelatihan dan 24

179 No Tahapan Aktivitas yang dilakukan Dokumen Penanggung jawab menyerahkannya ke pihak manajemen lembaga pelatihan 5. Memfasilitasi peserta pelatihan untuk melaksanakan pelatihan on the job training jika telah melaksanakan asesmen semua unit kompetensi dalam program pelatihan dan dinyatakan kompeten oleh tenaga pelatih 10. Pelatihan di 1. Menyerahkan peserta 1. Dokumen MoU Manajemen Tempat Kerja pelatihan kepada antara lembaga lembaga (on the job penanggung jawab pelatihan dengan pelatihan training) teampat pelaksanaan tempat OJT (point 1-2) OJT 2. Berita acara serah 2. Melakukan monitoring terima peserta Pembimbing pelaksanaan OJT untuk OJT di tempat OJT memastikan 3. Lembar monitoring (point 3) pelaksanaan OJT sesuai pelaksanaan OJT dengan program yang direncanakan 3. Membantu peserta pelatihan menyelesaikan permasalahan yang dihadapi selama proses OJT 11. Asesmen di 1. Menilai capaian 1. Materi asesmen Pembimbing tempat kerja kompetensi peserta 2. Lembar penilaian di tempat OJT pelatihan berdasarkan per unit (point 1-4) target kompetensi yang kompetensi akan dicapai pada saat 3. Lembar rekap OJT hasil penilaian Manajemen 2. Mendiskusikan hasil semua unit lembaga penilaian denga peserta kompetensi pelatihan pelatihan (point 5) 3. Memberikan kesempatan kepada peserta pelatihan untuk mengulang unit kompetensi yang belum kompeten atau melanjutkan ke unit kompetensi berikutnya apabila teah dinyatakan kompeten dala proses asesmen 4. Membuat rekap hasil penilaian semua unit kompetensi yang ditempuh oleh peserta pelatihan dan menyerahkannya ke pihak penanggung jawab tempat OJT dan manajemen lembaga pelatihan 25

180 No Tahapan Aktivitas yang dilakukan Dokumen Penanggung jawab 5. Memberikan surat keterangan telah mengikuti pelatihan bagi peserta pelatihan yang dinyatakan belum kompeten untuk semua unit kompetensi dalam program pelatihan melalui asesmen di tempat kerja 12. Penerbitan 1. Menerbitkan sertifikat 1. Sertifikat Manajemen Sertifikat pelatihan bagi peserta pelatihan lembaga Pelatihan atau pelatihan yang pelatihan surat dinyatakan kompeten keterangan melalui proses asesmen di tempat pelatihan dan asesmen di tempat kerja untuk semua unit kompetensi 2. Menerbitkan surat 2. Surat keterangan Manajemen keterangan bagi peserta lembaga pelatihan yang kompeten pelatihan untuk sebagian unit kompetensi 13. Dokumentasi Mengumpulkan semua Semua dokumen Manajemen dokumen terkait dengan yang terkait dengan lembaga pelaksanaan pelatihan pelaksanaan pelatihan sebagai bahan penyusunan pelatihan laporan mulai dari tahapan persiapan sampai penerbitan sertifikat. 14. Pelaporan 1. Menyusun laporan 1. Laporan paripurna Manajemen paripurna pelaksanaan pelaksanaan lembaga pelatihan untuk semua kegiatan pelatihan pelatihan kejuruan denga dilampiri dokumen yang terkait dengan pelaksanaan pelatihan 2. Mendistribusikan laporan pelaksanaan pelatihan kepada pihak terkait sebagai pertanggungjawaban pelaksanaan kegiatan pelatihan 26

181 Formulir 1 ASESMEN PESERTA PELATIHAN (OFF THE JOB TRAINING) KEJURUAN/SUB KEJURUAN PROGRAM PELATIHAN TAHUN NAMA PESERTA :. :. : : NO.PESERTA.. CAPAIAN UMPAN TANGGAL KODE UNIT JUDUL/NAMA KOMPETENSI (*) BALIK REKOMENDASI KOMPETENSI UNIT KOMPETENSI K BK PESERTA Keterangan (*): K = Kompeten BK = Belum Kompeten.., 20.. Tenaga Pelatih. Formulir 2 ASESMEN PESERTA PELATIHAN (ON THE JOB TRAINING) KEJURUAN/SUBKEJURUAN PROGRAM PELATIHAN UNIT KOMPETENSI TAHUN NAMA PESERTA :. :. :.. :. : NO. PESERTA.. KOMPETENSI SIKAP UMPAN NO INDIKATOR TEKNIS(*) KERJA (**) BALIK REKOMENDASI KOMPETENSI K BK PESERTA Keterangan (*): K = Kompeten BK = Belum Kompeten (**): Sesuai yg dipersyaratkan.., 20.. Pendamping Perusahaan. 27

182 Formulir 3 FORM PENILAIAN PELATIHAN BERBASIS KOMPETENSI Program Pelatihan :.. Unit Kompetensi :.. NO NAMA PESERTA PELATIHAN KUK 1.1 KUK ELEMEN KOMPETENSI 1 ELEMEN KOMPETENSI 2 KUK 1.3 KUK KUK 1.5 KUK KUK 2.2 KUK KUK 2.4 KUK 2.5 HASIL AKHIR K/BK 1 Peserta 1 BK K K BK BK K K K K K BK K K K K 2 Peserta 2 K K K K K K K K K K K 3 Peserta 3 BK BK K K K K K K K K K K K 4 Peserta 4 K K K K K K K K K K K 5 Peserta 5 K K K K K K K K K K K 6 Peserta 6 K K K K K K K K K K K 7 Peserta 7 K K K K K K K K K K K 8 Peserta 8 K K K K K K K K K K K., 20.. Tenaga Pelatih ( ) CATATAN : - Setiap kolom KUK diisi dengan keterangan K (Kompten) atau BK (Belum Kompeten) - Jika ada satu KUK dalam suatu elemen kompetensi belum kompeten, maka peserta pelatihan dianggap belum kompeten dan wajib mengulang materi pelatihan pada KUK atau elemen kompetensi tersebut - Setiap peserta pelatihan mempunyai kesempatan dinilai sebanyak tiga kali - Jika hasil akhir penilaian ada elemen kompetensi yang belum kompeten, maka peserta pelatihan dianggap belum kompeten pada unit kompetensi tersebut. 28

183 Tena ( REKAP PENILAIAN PELATIHAN BERBASIS KOMP Program Pelatihan : Tanggal Pelaksanaan : s.d UNIT KOMPETENSI NAMA KODE UNIT KODE UNIT KODE UNIT KOD PESERTA KOMPETENSI KOMPETENSI KOMPETENSI KOMP NO PELATIHAN Peserta 1 K K K 2 Peserta 2 K K K 3 Peserta 3 K K K 4 Peserta 4 K K K 5 Peserta 5 K K K 6 Peserta 6 K K K 7 Peserta 7 K K K 8 Peserta 8 K K K 9 Peserta 9 K K K 10 Peserta 10 K K K 11 Peserta 11 K K K 12 Peserta 12 K K K 13 Peserta 13 K K K 14 Peserta 14 K K K 15 Peserta 15 K K K 16 Peserta 16 K K K

184 .., Tenaga Pel DAFTAR REKAPITULASI AKHIR HASIL PELATIHA No No. Nama Peserta Jumlah Jam Induk Kehadiran Teori Praktek dst Capaian Kompetens Keterangan (*): K = Kompeten BK = Belum Kompeten (**): Tanggapan terhadap setiap peserta, seperti; berhak mengikuti mendapatkan sertifikat pelatihan, atau untuk pembinaan lebih lanjut.

185 EVALUASI PENYELENGGARAAN PELATIHAN Dalam rangka meningkatkan mutu penyelenggaraan pelatihan di masa pengukuran kepuasan pelanggan maka kami mohon kesediaan Anda untuk m dengan memberikan tanda (X) pada kotak yang sesuai. Penilaian Anda dijamin Terima Kasih. Keterangan : 5 : Baik Sekali 4 : Baik 3 : Cukup/ Sedang 2 : Kurang Baik 1 : Tidak Baik Nama Pelatihan Tanggal Pelaksanaan : : Dari mana anda memperoleh informasi tentang pelatihan ini? (Jawaban boleh Media Cetak ( Koran, Pamflet, Brosur, Poster) Media Elektronik ( TV, Radio, SMS) Lainnya, sebutkan. I. Materi Pelatihan (kurikulum silabus dan modul) 1 Tulisan di dalam materi pelatihan jelas dan mudah di baca Kualitas materi pelatihan dapat menambah tingkat ketrampilan dan 2 pengetahuan anda Tahapan materi pelatihan sudah berurutan dari materi tingkat dasar 3 sampai dengan materi tingkat lanjutan 4 Materi pelatihan mudah di pahami dan mudah diterapkan dalam prak 5 Materi pelatihan telah sesuai dengan harapan anda Komentar / saran tentang materi pelatihan: II. Tenaga Pelatih Nama Tenaga Pelatih

186 3 Tenaga pelatih selalu mendemonstra sikan dan menjelaskan jobsheet sesuai dengan prosedur kerja 4 Tenaga pelatih selalu menjelaskan, memberikan contoh, dan mengingatkan peserta pelatihan tentang pentingnya K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja) di lingkungan kerja B Kemampuan dalam membawakan materi 1 Tenaga pelatih menjelaskan tujuan pelatihan dan gambaran pelatihan secara umum di awal pelatihan 2 Tenaga pelatih menyajikan pelajaran dengan jelas dan bahasanya mudah di mengerti 3 Tenaga pelatih selalu mendampingi peserta pelatihan selama proses pelatihan 4 Tenaga pelatih memberikan materi sesuai dengan tujuan pembelajaran secara

187 *) Bagi tenaga pelatih yang hanya mengajar teori saja,peserta jangan m 6 Tenaga pelatih mendorong partisipasi peserta pelatihan dalam diskusi, demonstrasi, peragaan dan percobaan 7 Tenaga pelatih memperhatikan kebersihan lingkungan dan keamanan peralatan / bahan praktek dan 7b C Kemampuan memahami masalah peserta 1 Tenaga pelatih menciptakan suasana belajar yang kondusif (aman dan nyaman) 2 Tenaga pelatih mendengarka n dan memperhatik an keluhan, usul dan saran dari peserta pelatihan 3 Tenaga pelatih memperlaku kan peserta pelatihan secara adil, tidak memihak atau membedabedakan D Penampilan Tenaga Pelatih

188 3 Tenaga pelatih memberikan keteladanan baik di dalam maupun di luar kelas/ bengkel 4 Tenaga pelatih tidak merokok pada saat di ruang kelas/ bengkel maupun gedung kantor Komentar / saran tentang Tenaga pelatih : III. Sarana / Prasarana A Workshop (Bengkel) Bengkel yang ada telah memiliki kelengkapan alat/mesin untuk praktek dengan 1 jumlah yang cukup 2 Peralatan dan mesin di bengkel dalam kondisi baik dan siap pakai 3 Bengkel dilengkapi instruksi & prosedur cara penggunaan alat/mesin 4 Kelengkapan P3K di bengkel tersedia 5 Kelengkapan alat pelindung diri tersedia 6 Kelengkapan alat kebersihan tersedia dan kondisi baik B Ruang Teori 1 Kondisi ruang teori dalam keadaan baik, nyaman dan bersih 2 Diruang teori tersedia alat / media pelatihan dalam kondisi baik 3 Meja dan kursi bagi instruktur dan peserta tersedia dalam kondisi baik dan cuku 4 Kelengkapan alat kebersihan tersedia dan kondisi baik C Listrik 1 Sumber listrik untuk peralatan pelatihan dalam keadaan cukup Penerangan lampu pada ruangan pelatihan dan bengkel dalam kondisi cukup dan 2 baik D Kamar Mandi dan Toilet 1 Air bersih cukup tersedia 2 Kamar mandi / toilet dalam kondisi bersih,wangi dan tidak licin 3 Kran yang terpasang kondisinya baik 4 Perlengkapan kamar mandi dan toilet tersedia

189 KOP LEMBAGA PELATIHAN FORMAT LAPORAN PELAKSANAAN PELATIHAN A. PENDAHULUAN Berisi latar belakang pelaksanaan pelatihan, proses pelatihan B. DASAR PELAKSANAAN KEGIATAN Berisi dasar pelaksanaan kegiatan yang mengikat secara Undang-Undang, Peraturan Menteri, Peraturan Gubern Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan, Surat Keputusan Kepala dan lain-lain. C. PROGRAM PELATIHAN Berisi kurikulum dan silabus pelatihan. D. SARAN Berisi masukan untuk perbaikan pelaksanaan pelatihan s ditujukan baik untuk peserta pelatihan, lembaga pelatih instruktur/psm. E. PENUTUP Merupakan bagian penutup dari laporan. Dan pada bagian tanggal pembuatan laporan serta di tandatangani oleh yang (instruktur/psm) LAMPIRAN 1. DAFTAR HADIR PESERTA 2. REKAPITULASI AKHIR HASIL PELATIHAN

190 LOGO KEMENTERIAN ATAU LOGO PEMDA CONTOH SERTIFIKAT PELATIHAN (BAGIAN DEPAN) KOP LEMBAGA PELATIHAN SERTIFIKAT Nomor : xxxxxxxxxxxxx LOGO LEMBAGA PELATIHAN Kepala Lembaga Pelatihan/Balai Latihan Kerja... berdasarkan Surat Keputusan Penyelenggaraan Pelatihan No tanggal menyatakan, bahwa: Nama : Nomor Peserta : Tempat, Tanggal Lahir : Alamat : TELAH MENGIKUTI Pelatihan Berbasis Kompetensi (PBK) Program Design Grafis Kejuruan Teknologi Informatika dari tanggal.. sampai dengan. dan dinyatakan KOMPETEN.., Pimpinan Lembaga Pelatihan TTD ( ) 36

191 LOGO KEMENTERIAN ATAU LOGO PEMDA CONTOH SERTIFIKAT PELATIHAN (BAGIAN DEPAN) KOP LEMBAGA PELATIHAN SERTIFIKAT Nomor : xxxxxxxxxxxxx LOGO LEMBAGA PELATIHAN Kepala Lembaga Pelatihan/Balai Latihan Kerja... berdasarkan Surat Keputusan Penyelenggaraan Pelatihan No tanggal menyatakan, bahwa: Nama : Nomor Peserta : Tempat, Tanggal Lahir : Alamat : TELAH MENGIKUTI Pelatihan Berbasis Kompetensi (PBK) Program Teknik Kendaraan Ringan Kejuruan Teknik Otomotif Kualifikasi Level 4 dari tanggal.. sampai dengan. dan dinyatakan KOMPETEN.., Pimpinan Lembaga Pelatihan TTD ( ) 37

192 Formulir sertifikat untuk lembaga pelatihan swasta/perusahaan CONTOH SERTIFIKAT PELATIHAN (BAGIAN DEPAN) KOP LEMBAGA PELATIHAN SERTIFIKAT Nomor : xxxxxxxxxxxxx LOGO LEMBAGA PELATIHAN Kepala Lembaga Pelatihan/Balai Latihan Kerja... berdasarkan Surat Keputusan Penyelenggaraan Pelatihan No tanggal menyatakan, bahwa : Nama : Nomor Peserta : Tempat, Tanggal Lahir : Alamat : TELAH MENGIKUTI Pelatihan Berbasis Kompetensi (PBK) Kejuruan Bisnis dan Manajemen Jabatan Kerja Asisten Sekretaris dari tanggal.. sampai dengan. dan dinyatakan KOMPETEN.., Pimpinan Lembaga Pelatihan TTD 38 ( )

193 CONTOH SERTIFIKAT PELATIHAN (BAGIAN BELAKANG) DAFTAR UNIT KOMPETENSI YANG DICAPAI NO UNIT KOMPETENSI KODE UNIT 1 Melakukan Komunikasi Di Tempat Kerja. TIK.PR Menerapkan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Tempat Kerja TIK.JK Memilih dan Memakai Software dan Hardware untuk Multimedia TIK.MM Membuat, memanipulasi, dan Menggabung Gambar 2D TIK.MM Membuat dan Memanipulasi Gambar-Gambar Digital TIK.MM Menggabungkan Gambar 2D kedalam Sajian Multimedia TIK.MM JUMLAH..,..20 Kepala bidang/seksi/unit penyelengara pelatihan ttd (.) 39

194 , Kepala Lemb Balai Latih KOP LEMBAGA PELATIHAN FORMAT SURAT KETERANGAN Kepala Lembaga Pelatihan/Balai Latihan Kerja (*). mene Nama :. Nomor Peserta :. Tempat Tanggal Lahir : Alamat : dilaksanakan pada tanggal.. s.d dan dinyatakan KOM Telah mengikuti pelatihan berbasis kompetensi selama.. ja kompetensi sebagai berikut: NO KODE UNIT KOMPETENSI JUDUL/NAMA UNIT KO Demikian surat keterangan ini dibuat untuk dipergunakan seperlunya. (*) untuk disesuaikan

195 Formulir 8 FormulirKOP LEMBAGA PELATIHAN FORMAT SURAT KETERANGAN Kepala Lembaga Pelatihan/Balai Latihan Kerja (*).. menerangkan: Nama :. Nomor Peserta :. Tempat Tanggal Lahir : Alamat : Telah mengikuti pelatihan berbasis kompetensi selama.. jam pelajaran yang dilaksanakan pada tanggal.. s.d Demikian surat keterangan ini dibuat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya., 20.. Kepala Lembaga Pelatihan/ Balai Latihan Kerja (*). (*) untuk disesuaikan Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 30 April 2014 MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, ttd. Drs. H.A. MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si. 41

196 Kirim ke PNK3 MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PENILAIAN PENERAPAN SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja, efektivitas perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja melalui penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja perlu dilakukan penilaian; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan tentang Penyelenggaraan Penilaian Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan berlakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 untuk seluruh Indonesia dari Republik Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 4); 2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2918); 3. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Republik Indonesia Negara Nomor 4279); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Dan Kesehatan Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5309); 5. Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2010 tentang Pengawasan Ketenagakerjaan;

197 6. Keputusan Presiden Nomor 121/P Tahun 2014 tentang Pembentukan Kementerian dan Pengangkatan Menteri Kabinet Kerja Periode Tahun ; MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN TENTANG PENYELENGGARAAN PENILAIAN PENERAPAN SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang selanjutnya disebut SMK3 adalah bagian dari sistem manajemen perusahaan secara keseluruhan dalam rangka pengendalian risiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien dan produktif. 2. Penilaian Penerapan SMK3 yang selanjutnya disebut Audit SMK3 ialah pemeriksaan secara sistematis dan independen terhadap pemenuhan kriteria yang telah ditetapkan untuk mengukur suatu hasil kegiatan yang telah direncanakan dan dilaksanakan dalam penerapan SMK3 di perusahaan. 3. Auditor SMK3 ialah tenaga teknis yang berkeahlian khusus dan independen untuk melaksanakan audit SMK3 yang ditunjuk oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. 4. Lembaga Audit SMK3 adalah badan hukum yang ditunjuk oleh Menteri untuk melaksanakan audit eksternal SMK3. 5. Audit Eksternal SMK3 adalah audit SMK3 yang diselenggarakan oleh Lembaga Audit dalam rangka penilaian penerapan SMK3 di perusahaan. 6. Perusahaan adalah: a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain; b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. 7. Pengawas Ketenagakerjaan adalah pegawai negeri sipil yang diangkat dan ditugaskan dalam jabatan fungsional pengawas ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 8. Dinas Provinsi adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di provinsi. 2

198 9. Direktorat Jenderal adalah unit kerja yang membidangi pembinaan pengawasan ketenagakerjaan. 10. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang membidangi pembinaan pengawasan ketenagakerjaan. 11. Menteri adalah Menteri Ketenagakerjaan. Pasal 2 (1) Setiap perusahaan wajib menerapkan SMK3 yang terintegrasi dengan sistem di perusahaan. (2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi perusahaan: a. mempekerjakan pekerja/buruh paling sedikit 100 (seratus) orang; atau b. mempunyai tingkat potensi bahaya tinggi. Pasal 3 (1) Perusahaan yang telah melaksanakan penerapan SMK3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan penilaian penerapan SMK3 melalui Audit Eksternal SMK3 oleh Lembaga Audit SMK3 yang ditunjuk oleh Menteri. (2) Penilaian penerapan SMK3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap: a. perusahaan yang secara sukarela mengajukan permohonan Audit SMK3; b. perusahaan yang mempunyai potensi bahaya tinggi antara lain perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan, minyak dan gas bumi; c. perusahaan yang mempunyai potensi bahaya tinggi berdasarkan penetapan Direktur Jenderal dan/atau Kepala Dinas Provinsi. (3) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c berdasarkan hasil pemeriksaan dan pengujian di perusahaan oleh pengawas ketenagakerjaan. BAB II PELAKSANA AUDIT Bagian Kesatu Lembaga Audit SMK3 Pasal 4 (1) Untuk dapat ditunjuk sebagai Lembaga Audit SMK3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), perusahaan harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal dengan melampirkan persyaratan sebagai berikut: a. fotokopi akte pendirian dan/atau akte perubahan Perseroan Terbatas dan tanda bukti pengesahan dari instansi yang berwenang; b. fotokopi Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP); c. fotokopi Surat Tanda Daftar Perusahaan (TDP); d. fotokopi Surat Keterangan Domisili Hukum; e. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); f. fotokopi bukti kepemilikan kantor cabang paling sedikit di 3 (tiga) wilayah pada Indonesia bagian barat, bagian tengah dan bagian timur; g. fotokopi Wajib Lapor Ketenagakerjaan di tingkat pusat dan cabang; 3

199 h. fotokopi keputusan penunjukkan auditor eksternal SMK3 yang masih berlaku, paling sedikit 4 (empat) orang auditor eksternal senior SMK3 dan 8 (delapan) orang auditor eksternal yunior SMK3; i. fotokopi sertifikat kepesertaan jaminan sosial; j. dokumen yang membuktikan telah berpengalaman melakukan sertifikasi sistem manajemen; k. struktur organisasi penyelenggara Audit SMK3 kantor pusat dan cabang; l. pas photo berwarna pimpinan perusahaan ukuran 3x4 cm sebanyak 4 (empat) lembar; dan m. dokumen panduan audit sistem manajemen yang digunakan oleh lembaga audit sesuai dengan standar yang berlaku. (2) Direktur Jenderal melakukan pemeriksaan dokumen dan verifikasi lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja. (3) Direktur Jenderal melaporkan hasil pemeriksaan dokumen dan verifikasi lapangan kepada Menteri dalam waktu paling lama 2 (dua) hari kerja. Pasal 5 (1) Berdasarkan hasil laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3), Menteri dapat menerima atau menolak permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1). (2) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima, Menteri menetapkan keputusan penunjukan Lembaga Audit SMK3 dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja. Pasal 6 (1) Keputusan penunjukan Lembaga Audit SMK3 berlaku untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama. (2) Permohonan perpanjangan penunjukan Lembaga Audit SMK3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum berakhir jangka waktu berlakunya keputusan penunjukan Lembaga Audit SMK3. (3) Permohonan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan oleh Lembaga Audit SMK3 dengan melampirkan: a. persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1); b. laporan pelaksanaan Audit SMK3 selama 3 (tiga) tahun terakhir; dan c. fotokopi keputusan penunjukan Lembaga Audit SMK3 yang masih berlaku. (4) Direktur Jenderal melakukan pemeriksaan dokumen dan verifikasi lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja. (5) Direktur Jenderal menetapkan keputusan perpanjangan penunjukan Lembaga Audit SMK3 dalam waktu paling lama 2 (dua) hari kerja. Pasal 7 Lembaga Audit SMK3 yang telah mendapatkan keputusan penunjukan oleh Menteri mempunyai kewajiban: 4

200 a. menaati ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja; b. melaksanakan Audit SMK3 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; c. menjaga kerahasiaan perusahaan yang diaudit; dan d. melaporkan hasil Audit SMK3 kepada Menteri, perusahaan yang diaudit, dan Dinas Provinsi. Pasal 8 Lembaga Audit SMK3 yang telah mendapatkan keputusan penunjukan oleh Menteri dilarang: a. melakukan kegiatan konsultasi dalam bidang SMK3; b. melakukan jasa pabrikasi, pemeliharaan, reparasi, dan instalasi teknik K3; c. melakukan pemeriksaan dan pengujian keselamatan dan kesehatan kerja; dan d. melakukan jasa pembinaan K3. Pasal 9 (1) Menteri dapat mencabut keputusan penunjukan Lembaga Audit SMK3 apabila Lembaga Audit SMK3 tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan/atau Pasal 8. (2) Pencabutan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh pengawas ketenagakerjaan. Bagian Kedua Auditor SMK3 Pasal 10 (1) Pelaksanaan Audit Eksternal SMK3 dilakukan oleh Auditor SMK3 yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal. (2) Auditor SMK3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. auditor eksternal junior SMK3; b. auditor eksternal senior SMK3. Pasal 11 (1) Penunjukan auditor eksternal junior SMK3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf a ditetapkan berdasarkan permohonan tertulis dari pengurus atau pimpinan Lembaga Audit SMK3 kepada Direktur Jenderal, dengan melampirkan persyaratan sebagai berikut: a. daftar riwayat hidup; b. surat keterangan sehat dari dokter; c. fotokopi sertifikat pembinaan Auditor SMK3; d. fotokopi ijasah pendidikan terakhir serendah-rendahnya D3 dengan pengalaman kerja minimum 4 (empat) tahun di bidang keselamatan dan kesehatan kerja dan/atau S1 dengan pengalaman kerja minimum 2 (dua) tahun di bidang keselamatan dan kesehatan kerja; e. fotokopi keputusan penunjukan ahli keselamatan dan kesehatan kerja yang masih berlaku; f. surat keterangan telah melaksanakan Audit Eksternal SMK3 sebagai peninjau sekurang-kurangnya 5 (lima) kali audit yang ditandatangani oleh auditor eksternal senior SMK3; 5

201 g. surat keterangan telah melaksanakan Audit Eksternal SMK3 sebagai auditor magang sekurang-kurangnya 5 (lima) kali; h. surat rekomendasi dari auditor eksternal senior SMK3; i. pas foto terbaru berwarna ukuran 4x6 cm sebanyak 2 (dua) lembar; dan j. surat pernyataan tidak sedang ditunjuk sebagai ahli keselamatan dan kesehatan kerja spesialis. (2) Direktur Jenderal melakukan pemeriksaan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam waktu paling lama 2 (dua) hari kerja. (3) Direktur Jenderal menetapkan keputusan penunjukan auditor eksternal junior SMK3 dalam waktu paling lama 2 (dua) hari kerja. Pasal 12 Sertifikat pembinaan Auditor SMK3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf c diperoleh setelah yang bersangkutan dinyatakan lulus dalam pembinaan Auditor SMK3 yang dilaksanakan sesuai dengan pedoman sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini. Pasal 13 (1) Penunjukan auditor eksternal senior SMK3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf b ditetapkan berdasarkan permohonan tertulis dari pengurus atau pimpinan Lembaga Audit SMK3 kepada Direktur Jenderal, dengan melampirkan persyaratan sebagai berikut: a. daftar riwayat hidup; b. surat keterangan pengalaman kerja sesuai persyaratan tingkatan auditor; c. surat keterangan telah melaksanakan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) kali Audit Eksternal SMK3 secara penuh; d. fotokopi keputusan penunjukan sebagai auditor eksternal junior SMK3 yang masih berlaku; e. tanda bukti telah mengikuti pengembangan kemampuan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja sekurang-kurangnya 120 (seratus dua puluh) jam; dan f. pas foto terbaru berwarna ukuran 4x6 cm sebanyak 2 (dua) lembar. (2) Direktur Jenderal melakukan pemeriksaan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam waktu paling lama 2 (dua) hari kerja. (3) Direktur Jenderal menetapkan keputusan penunjukan auditor eksternal senior SMK3 dalam waktu paling lama 2 (dua) hari kerja. Pasal 14 (1) Keputusan penunjukan auditor eksternal junior SMK3 dan auditor eksternal senior SMK3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) dan Pasal 13 ayat (3) berlaku untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama. (2) Dalam hal keputusan penunjukan auditor eksternal junior SMK3 dan auditor eksternal senior SMK3 telah diterbitkan, maka yang bersangkutan tidak berhak merangkap sebagai ahli keselamatan dan kesehatan kerja spesialis dan tidak berhak melaksanakan pemeriksaan dan pengujian sesuai dengan penunjukan spesialisnya. 6

202 Pasal 15 (1) Permohonan perpanjangan keputusan penunjukan auditor eksternal junior SMK3 dan auditor eksternal senior SMK3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) diajukan sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 atau Pasal 13 dengan melampirkan: a. persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) atau Pasal 13 ayat (1); b. salinan keputusan penunjukan auditor eksternal junior SMK3 atau auditor eksternal senior SMK3; c. rekapitulasi laporan kegiatan selama menjalankan tugas; dan d. hasil evaluasi oleh tim evaluasi. (2) Permohonan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum berakhir jangka waktu berlakunya keputusan penunjukan auditor eksternal junior SMK3 atau auditor eksternal senior SMK3. (3) Direktur Jenderal melakukan pemeriksaan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam waktu paling lama 2 (dua) hari kerja. (4) Direktur Jenderal menetapkan keputusan perpanjangan penunjukan auditor eksternal junior SMK3 atau auditor eksternal senior SMK3 dalam waktu paling lama 2 (dua) hari kerja. Pasal 16 (1) Keputusan penunjukan auditor eksternal junior SMK3 dan auditor eksternal senior SMK3 dicabut apabila: a. pindah tugas dari Lembaga Audit SMK3; b. mengundurkan diri; c. meninggal dunia; d. dikenakan sanksi pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; e. melakukan kesalahan dan kecerobohan sehingga menimbulkan keadaan berbahaya; f. dengan sengaja dan/atau karena kekhilafannya menyebabkan terbukanya rahasia suatu perusahaan dan/atau instansi; g. melaksanakan kegiatan pemeriksaan dan pengujian dalam bidang keselamatan dan kesehatan kerja; h. melakukan kegiatan konsultasi dalam bidang SMK3; dan/atau i. adanya permohonan pencabutan dari pimpinan Lembaga Audit SMK3. (2) Pencabutan keputusan penunjukan auditor eksternal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh pengawas ketenagakerjaan. Pasal 17 Perusahaan yang mengajukan permohonan penunjukan sebagai Lembaga Audit SMK3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan permohonan penunjukan Auditor SMK3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 13 tidak dipungut biaya. 7

203 Paragraf Kesatu Kewajiban Auditor SMK3 Pasal 18 Auditor SMK3 mempunyai kewajiban: a. melaksanakan Audit SMK3 sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; b. merahasiakan hasil Audit SMK3 kepada pihak-pihak yang tidak berkepentingan; dan c. mematuhi peraturan keselamatan dan kesehatan kerja di perusahaan. Paragraf Kedua Kewenangan Auditor SMK3 Pasal 19 Auditor SMK3 mempunyai kewenangan: a. memasuki semua tempat kerja yang terkait dengan Audit SMK3; b. memberikan penilaian hasil Audit SMK3; c. meminta perusahaan memberikan keterangan, menunjukkan dokumen dan menyediakan petugas pendamping dalam pelaksanaan Audit SMK3; dan d. menghentikan pelaksanaan Audit SMK3 apabila belum ada sistem yang dibangun dan/atau keadaan yang membahayakan Auditor SMK3. BAB III MEKANISME AUDIT SMK3 Pasal 20 (1) Pelaksanaan penilaian penerapan SMK3 melalui Audit Eksternal SMK3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dilakukan berdasarkan kategori: a. tingkat awal dengan pemenuhan terhadap 64 kriteria Audit SMK3; b. tingkat transisi dengan pemenuhan terhadap 122 kriteria Audit SMK3; dan c. tingkat lanjutan dengan pemenuhan terhadap 166 kriteria Audit SMK3. (2) Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a dan huruf b yang akan melakukan Audit Eksternal SMK3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengajukan permohonan Audit SMK3 kepada Lembaga Audit SMK3 yang telah ditunjuk oleh Menteri. (3) Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf c yang akan melakukan Audit Eksternal SMK3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengajukan permohonan Audit SMK3 berdasarkan penetapan Direktur Jenderal dan/atau Kepala Dinas Provinsi. (4) Contoh penetapan Direktur Jenderal dan/atau Kepala Dinas Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Peraturan Menteri ini. 8

204 Pasal 21 (1) Lembaga Audit SMK3 wajib membuat perencanaan pelaksanaan Audit SMK3 dan menyampaikan kepada Menteri atau Direktur Jenderal dengan salinan disampaikan kepada Dinas Provinsi. (2) Pelaksanaan Audit SMK3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit dilakukan melalui tahapan: a. pertemuan pembuka; b. proses Audit SMK3; c. pertemuan tim Auditor SMK3; d. pertemuan penutup; dan e. penyusunan laporan Audit SMK3. (3) Dalam hal diperlukan, Lembaga Audit SMK3 dapat meminta informasi pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja di perusahaan kepada Dinas Provinsi. Pasal 22 Pelaksanaan Audit SMK3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dilaksanakan sesuai dengan pedoman sebagaimana tercantum dalam Lampiran III Peraturan Menteri ini. Pasal 23 Lembaga Audit SMK3 menyampaikan laporan Audit SMK3 kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Dinas Provinsi dan pengurus perusahaan yang di audit dengan bentuk laporan sesuai dengan Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Pasal 24 Laporan Audit SMK3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 menjadi pertimbangan Menteri untuk memberikan penghargaan sesuai dengan tingkat penerapan dan kategori penilaian hasil Audit SMK3. BAB IV PENILAIAN HASIL AUDIT SMK3 Pasal 25 Penilaian terhadap kriteria Audit SMK3 meliputi: a. kategori kritikal; b. kategori mayor; dan c. kategori minor. Pasal 26 (1) Penilaian terhadap kriteria Audit SMK3 dengan kategori kritikal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf a ditetapkan terhadap temuan pada peralatan/mesin/pesawat/instalasi/bahan, cara kerja, sifat kerja, lingkungan kerja dan proses kerja yang dapat menimbulkan korban jiwa. 9

205 (2) Penilaian terhadap kriteria Audit SMK3 dengan kategori kritikal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditindaklanjuti dengan tindakan koreksi paling lambat dalam jangka waktu 1x24 jam. Pasal 27 (1) Penilaian terhadap kriteria Audit SMK3 dengan kategori mayor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf b ditetapkan terhadap: a. tidak terpenuhinya peraturan perundang-undangan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja; b. tidak melaksanakan salah satu prinsip SMK3; dan c. terdapat temuan minor untuk satu kriteria Audit SMK3 di beberapa lokasi. (2) Tidak melaksanakan salah satu prinsip SMK3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dibuktikan apabila terdapat salah satu kriteria yang berkesinambungan yang tidak dilaksanakan. (3) Temuan minor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dibuktikan apabila terdapat 3 (tiga) temuan lokasi dengan kriteria minor. (4) Penilaian terhadap kriteria Audit SMK3 dengan kategori mayor sebagaimana dimaksud ayat (1), harus ditindaklanjuti dengan tindakan koreksi paling lambat dalam jangka waktu 1 (satu) bulan. Pasal 28 Penilaian terhadap kriteria Audit SMK3 dengan kategori minor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf c ditetapkan terhadap ketidakkonsistenan dalam pemenuhan persyaratan peraturan perundang-undangan, standar, pedoman, dan acuan lainnya. Pasal 29 (1) Dalam hal terdapat perbedaan interpretasi penilaian kriteria Audit SMK3 antara perusahaan dengan Lembaga Audit SMK3 maka para pihak yang tidak menerima hasil Audit SMK3 dapat mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal. (2) Direktur Jenderal melakukan pemeriksaan dokumen dan verifikasi lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja. (3) Direktur Jenderal menetapkan keputusan hasil Audit SMK3 dalam waktu paling lama 2 (dua) hari kerja. Pasal 30 (1) Tingkat pencapaian penerapan SMK3 bagi setiap perusahaan yang telah melakukan penilaian penerapan SMK3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) meliputi: a. tingkat penilaian penerapan kurang, apabila tingkat pencapaian penerapan sebesar 0-59%; b. tingkat penilaian penerapan baik, apabila tingkat pencapaian penerapan sebesar 60-84%; c. tingkat penilaian penerapan memuaskan, apabila tingkat pencapaian penerapan sebesar 85%-100%. 10

206 (2) Dalam hal perusahaan telah mencapai tingkat penilaian penerapan kurang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, maka Direktur Jenderal dapat melakukan: a. tindakan hukum pada perusahaan yang wajib Audit Eksternal SMK3 sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan; dan/atau b. tindakan pembinaan pada perusahaan yang mengajukan permohonan untuk dilakukan Audit Eksternal SMK3. (3) Dalam hal perusahaan telah mencapai tingkat penilaian penerapan baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b maka Menteri dapat memberikan penghargaan berupa: a. sertifikat perak bagi perusahaan tingkat kategori awal, transisi dan lanjutan; dan b. bendera perak bagi perusahaan tingkat kategori lanjutan. (4) Dalam hal perusahaan telah mencapai tingkat penilaian penerapan memuaskan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c maka Menteri dapat memberikan penghargaan berupa: a. sertifikat emas bagi perusahaan tingkat kategori awal, transisi dan lanjutan; dan b. bendera emas bagi perusahaan tingkat kategori lanjutan. (5) Sertifikat perak dan sertifikat emas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan ayat (4) huruf a sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV dan Lampiran V Peraturan Menteri ini. (6) Bendera perak dan bendera emas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dan ayat (4) huruf b sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI Peraturan Menteri ini. (7) Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) memiliki masa berlaku paling lama 3 (tiga) tahun. Pasal 31 Biaya yang timbul akibat pelaksanaan Audit Eksternal SMK3 dibebankan kepada perusahaan yang diaudit. BAB V KETENTUAN PERALIHAN Pasal 32 Audit SMK3 yang dilaksanakan sebelum ditetapkannya Peraturan Menteri ini masih tetap berlaku sampai dengan berakhirnya jangka waktu penunjukan Lembaga Audit SMK3, Auditor SMK3, dan penghargaan SMK3. 11

207 BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 33 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku: a. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER.05/MEN/1996 tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja; b. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.18/MEN/XI/2008 tentang Penyelenggara Audit Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja; dan c. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP.19/MEN/1997 tentang Pelaksanaan Audit Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja; dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 34 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Diundangkan di Jakarta pada tanggal 31 Desember 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. YASONNA H. LAOLY Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 31 Desember 2014 MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. M. HANIF DHAKIRI BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR

208 LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PENILAIAN PENERAPAN SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA PEDOMAN PEMBINAAN AUDITOR SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA 1. Kurikulum Pembinaan No. Kurikulum 1 Review Materi Keselamatan dan Kesehatan Kerja 2 Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja 3 SMK3 (PP No. 50 Tahun 2012) 4 Penerapan SMK3 (Lampiran I PP No. 50 Tahun 2012) 5 Mekanisme, Teknik Audit SMK3, Tingkat Penerapan SMK3, dan Sertifikasi SMK3 6 Interpretasi Kriteria Audit 7 Pelaksana Audit SMK3 (Lembaga dan Auditor) 8 Simulasi audit SMK3 9 Evaluasi Jumlah Jam Pelajaran Keterangan: Jumlah jam pelajaran sebanyak 40 JP, masing-masing selama 45 menit. Jam Pelajaran (JP) Metode Pembinaan Penyelenggaraan metode pembinaan Auditor SMK3 dapat dilaksanakan dengan cara: a. Internal training atau inhouse training; b. External training diselenggarakan oleh lembaga pembinaan keselamatan dan kesehatan kerja yang telah mendapat penunjukan sesuai ketentuan peraturan perundangan. Metode Pelatihan dilaksanakan dengan cara: a. Ceramah; b. Diskusi; c. Praktek atau kunjungan. 3. Penilaian Kelulusan Peserta a. Unsur yang dinilai 1) Disiplin kehadiran mengikuti pelatihan; 2) Penguasaan materi yang terdiri dari ujian tertulis dan simulasi/praktek;

209 b. Bobot Penilaian (untuk penentuan ranking di kelas) 1) Disiplin kehadiran; Bagi peserta yang tingkat kehadirannya kurang dari 80%, dinyatakan tidak lulus. 2) Penguasaan materi pelajaran dinyatakan lulus apabila ujian tertulis hasilnya 60% dan simulasi/praktek hasilnya 40%. c. Kriteria kelulusan Peserta dinyatakan lulus apabila memenuhi kriteria sebagai berikut: 1) Disiplin kehadiran nilai serendah-rendahnya 60 yaitu apabila tingkat kehadiran peserta yang bersangkutan 80% dari waktu yang ditetapkan. 2) Penguasaan materi pelajaran: a. Nilai ujian teori serendah-rendahnya 60. b. Nilai simulasi/praktek serendah-rendahnya Sertifikasi Pembinaan Peserta yang dinyatakan lulus seleksi oleh Tim Evaluasi diberikan sertifikat yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal dengan format dan bentuk yang telah ditetapkan oleh Kementerian Ketenagakerjaan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 31 Desember 2014 MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. M. HANIF DHAKIRI 2

210 LAMPIRAN II PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PENILAIAN PENERAPAN SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA CONTOH PENETAPAN DIREKTUR JENDERAL/KEPALA DINAS PROVINSI TENTANG PERUSAHAAN WAJIB AUDIT EKSTERNAL SMK3 KOP SURAT DINAS Tanggal/bulan/tahun No : Lampiran : Perihal : Penetapan Perusahaan Wajib Audit Ekesternal SMK3 Yth. Pimpinan Perusahaan Alamat Berdasarkan hasil pemeriksaan dan pengujian keselamatan dan kesehatan kerja oleh pengawas ketenagakerjaandanmengacu pada ketentuanperaturan perundang-undangankeselamatandankesehatankerja, maka dengan ini menetapkan bahwa perusahaan Saudara mempunyai potensi bahaya tinggi sehingga wajib untuk dilakukan penilaian penerapan SMK3 melalui Audit Eksternal SMK3. Dengan ini kami perintahkan agar Saudara dapat berkoordinasi dengan Lembaga Audit SMK3 yang telah ditunjuk oleh Menteri Ketenagakerjaan dalam waktu segera. Demikian disampaikan, atasperhatiannyadiucapkanterimakasih. Direktur Jenderal/Kepala Dinas Provinsi, ttd Nama Jelas NIP. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 31 Desember 2014 MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. M. HANIF DHAKIRI

211 LAMPIRAN III PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PENILAIAN PENERAPAN SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA PEDOMAN PELAKSANAAN AUDIT EKSTERNAL SMK3 A. PENETAPAN HARI AUDIT SMK3 Penetapan hari Audit SMK3 dilakukan berdasarkan kategori ruang lingkup kegiatan usaha, jumlah tenaga kerja, kompleksitas dan tingkat resiko bahaya kegiatan usaha. Penentuan tingkat resiko mengacu sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Kriteria yang digunakan dalam penetapan hari Audit SMK3 berdasarkan tingkat kompleksitas dan tingkat resiko bahaya kegiatan usaha, sebagaimana tercantum dalam Tabel 1 berikut: JUMLAH TENAGA KERJA Tabel 1 Kriteria Penetapan Hari Audit SMK3 DURASI AUDIT DI LOKASI (Hari Orang) Risiko Risiko Risiko Tinggi Meneng Renda ah h JUMLAH TENAGA KERJA DURASI AUDIT DI LOKASI (Hari Orang) Risiko Risiko Risiko Menengah Rendah Tinggi > Catatan: durasi waktu Audit SMK3 tidak termasuk waktu perjalanan ke lokasi Audit SMK3 (pergi-pulang) dan kegiatan induksi keselamatan dan kesehatan kerja.

212 Penetapan hari Audit SMK3 dikelompokkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Penetapan hari Audit SMK3 untuk kategori tingkat awal dilakukan sekurang-kurangnya 40% dari Tabel 1 2. Penetapan hari Audit SMK3 untuk kategori tingkat transisi dilakukan sekurang-kurangnya 60% dari Tabel 1 3. Penetapan hari Audit SMK3 untuk kategori tingkat lanjutan dilakukan sekurang-kurangnya 80% dari Tabel 1 B. RUANG LINGKUP AUDIT SMK3 Pelaksanaan Audit SMK3 harus dilakukan pada setiap tempat kerja yang diajukan sebagai ruang lingkup yang disertifikasi. C. METODE PENGAMBILAN CONTOH (SAMPLING) 1. Metode pengambilan contoh (sampling) hanya diberlakukan untuk sektor-sektor usaha yang sifatnya berpindah-pindah tempat dan sejenis berdasarkan ruang lingkup yang akan diaudit, antara lain: a. Sektor usaha kontraktor, yang meliputi kegiatan: 1) Engineering (rekayasa) 2) Konstruksi 3) pemeliharaan dan perbaikan 4) jasa penyedia tenaga kerja. b. Sektor usaha distribusi 2. Jumlah contoh (sample) Audit SMK3 yang diambil untuk sektor usaha kontraktor dan distribusi mengacu kepada Tabel 3. Tabel 3 Jumlah pengambilan contoh (sample) Audit SMK3 JUMLAH LOKASI JUMLAH CONTOH PROYEK/KEGIATAN (SAMPLE) AUDIT < >1000 Lebih dari 32 D. KETENTUAN KHUSUS PENILAIAN AUDIT SMK3 SEKTOR KONSTRUKSI/JASA Untuk kegiatan sektor konstruksi/jasa yang belum memiliki proyek dapat dilakukan audit sistem dokumentasi SMK3 tanpa dilakukan penilaian kegiatan/proyek, selanjutnya harus dilakukan kegiatan Audit SMK3 kembali oleh Lembaga Audit SMK3 terhadap kegiatan/proyek selambatlambatnya 1 (satu) tahun sejak diterbitkan surat keterangan Audit SMK3 oleh Kementerian. 2

213 Apabila dalam kurun waktu 1 (satu) tahun tidak dapat dilakukan penilaian kegiatan/proyek, maka surat keterangan Audit SMK3 dinyatakan tidak berlaku. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 31 Desember 2014 MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. M. HANIF DHAKIRI 3

214 LAMPIRAN IV PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PENILAIAN PENERAPAN SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA BENTUK SERTIFIKAT PERAK TIAP TINGKAT KATEGORI PERUSAHAAN A. SERTIFIKAT PERAK BAGI TINGKAT KATEGORI AWAL Keterangan: - Logo SMK3 di sebelah kiri bawah berwarna perak - Ukuran sertifikat: Panjang : 42 cm Lebar : 29 cm

215 B. SERTIFIKAT PERAK BAGI TINGKAT KATEGORI TRANSISI Keterangan: - Logo SMK3 di sebelah kiri bawah berwarna perak - Ukuran sertifikat: Panjang : 42 cm Lebar : 29 cm 2

216 C. SERTIFIKAT PERAK BAGI TINGKAT KATEGORI LANJUTAN Keterangan: - Logo SMK3 di sebelah kiri bawah berwarna perak - Ukuran sertifikat: Panjang : 42 cm Lebar : 29 cm Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 31 Desember 2014 MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. M. HANIF DHAKIRI 3

217 LAMPIRAN V PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PENILAIAN PENERAPAN SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA BENTUK SERTIFIKAT EMAS TIAP TINGKAT KATEGORI PERUSAHAAN A. SERTIFIKAT EMAS BAGI TINGKAT KATEGORI AWAL Keterangan: - Logo SMK3 di sebelah kiri bawah berwarna Emas - Ukuran sertifikat: Panjang : 42 cm Lebar : 29 cm

218 B. SERTIFIKAT EMAS BAGI TINGKAT KATEGORI TRANSISI Keterangan: - Logo SMK3 di sebelah kiri bawah berwarna emas - Ukuran sertifikat: Panjang : 42 cm Lebar : 29 cm 2

219 C. SERTIFIKAT EMAS BAGI TINGKAT KATEGORI LANJUTAN Keterangan: - Logo SMK3 di sebelah kiri bawah berwarna emas - Ukuran sertifikat: Panjang : 42 cm Lebar : 29 cm Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 31 Desember 2014 MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. M. HANIF DHAKIRI 3

220 LAMPIRAN VI PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PENILAIAN PENERAPAN SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA A. BENDERA PERAK BENTUK BENDERA PERAK DAN BENDERA EMAS Keterangan: 1. Ukuran: a. Panjang : 140 cm b. Lebar : 90 cm c. Tebal border : 3 cm 2. Warna latar belakang putih

221 B. BENDERA EMAS Keterangan: 1. Ukuran: a. Panjang : 140 cm b. Lebar : 90 cm c. Tebal border : 3 cm 2. Warna latar belakang putih Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 31 Desember 2014 MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. M. HANIF DHAKIRI

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER- 5 /MEN/VIII/008 TENTANG PERTOLONGAN PERTAMA PADA KECELAKAAN DI TEMPAT KERJA MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK

Lebih terperinci

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.15/MEN/VIII/2008 TAHUN 2008 TENTANG PERTOLONGAN PERTAMA PADA KECELAKAAN DI TEMPAT KERJA MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI

Lebih terperinci

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA MENTERI PERATURAN MENTERI NOMOR :PER.15/MEN/VIII/2008 TENTANG PERTOLONGAN PERTAMA PADA KECELAKAAN DI TEMPAT KERJA. MENTERI Menimbang : a. Bahwa dalam rangka memberikan perlindungan bagi pekerja/buruh yang

Lebih terperinci

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER.11/MEN/VI/2005 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN

Lebih terperinci

TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRAST REPUBLIK INDONESIA

TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRAST REPUBLIK INDONESIA wmenter TENAGA KERJA DAN TRANSMGRAST REPUBLK NDONESA PERATURAN MENTER TENAGA KERJA DAN TRANSMGRAS REPUBLK NDONESA NOMOR : PER; lsi.lven/ V/008 TENTANG PERTOLONGA\ PERTAMA PADA Kf,CELAKAAN D TEMPAT KERJA

Lebih terperinci

PERTOLONGAN PERTAMA PADA KECELAKAAN DI TEMPAT KERJA

PERTOLONGAN PERTAMA PADA KECELAKAAN DI TEMPAT KERJA PERTOLONGAN PERTAMA PADA KECELAKAAN DI TEMPAT KERJA Latar belakang: Sumber bahaya di tempat kerja Disadari tapi tidak dimengerti Dapat mengakibatkan cedera terhadap pekerja (manusianya) Adanya kecelakaan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI NOMOR : PER.01/MEN/1981 TENTANG KEWAJIBAN MELAPOR PENYAKIT AKIBAT KERJA

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI NOMOR : PER.01/MEN/1981 TENTANG KEWAJIBAN MELAPOR PENYAKIT AKIBAT KERJA PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI NOMOR : PER.01/MEN/1981 TENTANG KEWAJIBAN MELAPOR PENYAKIT AKIBAT KERJA MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI Menimbang : a. bahwa penyakit akibat kerja

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1993 TENTANG PENYAKIT YANG TIMBUL KARENA HUBUNGAN KERJA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1993 TENTANG PENYAKIT YANG TIMBUL KARENA HUBUNGAN KERJA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1993 TENTANG PENYAKIT YANG TIMBUL KARENA HUBUNGAN KERJA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Bahwa untuk lebih meningkatkan perlindungan terhadap

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 22 Tahun 1993 Tentang : Penyakit Yang Timbul Karena Hubungan Kerja

Keputusan Presiden No. 22 Tahun 1993 Tentang : Penyakit Yang Timbul Karena Hubungan Kerja Keputusan Presiden No. 22 Tahun 1993 Tentang : Penyakit Yang Timbul Karena Hubungan Kerja Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 22 TAHUN 1993 (22/1993) Tanggal : 27 PEBRUARI 1993 (JAKARTA) DENGAN

Lebih terperinci

KEPPRES 22/1993, PENYAKIT YANG TIMBUL KARENA HUBUNGAN KERJA PENYAKIT YANG TIMBUL KARENA HUBUNGAN KERJA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPPRES 22/1993, PENYAKIT YANG TIMBUL KARENA HUBUNGAN KERJA PENYAKIT YANG TIMBUL KARENA HUBUNGAN KERJA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPPRES 22/1993, PENYAKIT YANG TIMBUL KARENA HUBUNGAN KERJA Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 22 TAHUN 1993 (22/1993) Tanggal: 27 PEBRUARI 1993 (JAKARTA) Sumber: Tentang: PENYAKIT YANG TIMBUL KARENA

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN BANTUL. Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul. Upaya, kesehatan kerja. BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

BERITA DAERAH KABUPATEN BANTUL. Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul. Upaya, kesehatan kerja. BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA 1 2015 No.42,2015 BERITA DAERAH KABUPATEN BANTUL Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul. Upaya, kesehatan kerja. BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN BUPATI BANTUL NOMOR 42 TAHUN 2015 TENTANG UPAYA

Lebih terperinci

Analisis Mitigasi Pertolongan Pertama pada Kecelakaan di PT. X

Analisis Mitigasi Pertolongan Pertama pada Kecelakaan di PT. X Analisis Mitigasi Pertolongan Pertama pada Kecelakaan di PT. X Syifa Chairunnisa, Baju Widjasena, Suroto Bagian Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro Email:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dispepsia menurut kriteria Rome III didefinisikan sebagai sekumpulan gejala yang berlokasi di epigastrium, terdiri dari nyeri ulu hati atau ketidaknyamanan, bisa disertai

Lebih terperinci

PENYAKIT AKIBAT KERJA

PENYAKIT AKIBAT KERJA PENYAKIT AKIBAT KERJA 1. Pendahuluan Undang-undang No.23 tahun 1992 tentang Kesehatan, Pasal 23 tentang Kesehatan Kerja menyatakan bahwa kesehatan kerja diselenggarakan agar setiap pekerja dapat bekerja

Lebih terperinci

2016, No Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2003 tentang Pengesahan ILO Convention Nomor 81 Concerning Labour Inspection in Industry and Commerce

2016, No Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2003 tentang Pengesahan ILO Convention Nomor 81 Concerning Labour Inspection in Industry and Commerce No.1753, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENAKER. Pengawasan Ketenagakerjaan. PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peradangan sel hati yang luas dan menyebabkan banyak kematian sel. Kondisi

BAB I PENDAHULUAN. peradangan sel hati yang luas dan menyebabkan banyak kematian sel. Kondisi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sirosis hati adalah penyakit hati menahun yang mengenai seluruh organ hati, ditandai dengan pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Keadaan tersebut terjadi karena

Lebih terperinci

PENCEGAHAN KERACUNAN SECARA UMUM

PENCEGAHAN KERACUNAN SECARA UMUM PENCEGAHAN KERACUNAN SECARA UMUM Peredaran bahan kimia semakin hari semakin pesat, hal ini disamping memberikan manfaat yang besar juga dapat menimbulkan masalah yang tak kalah besar terhadap manusia terutama

Lebih terperinci

ETIOLOGI : 1. Ada 5 kategori virus yang menjadi agen penyebab: Virus Hepatitis A (HAV) Virus Hepatitis B (VHB) Virus Hepatitis C (CV) / Non A Non B

ETIOLOGI : 1. Ada 5 kategori virus yang menjadi agen penyebab: Virus Hepatitis A (HAV) Virus Hepatitis B (VHB) Virus Hepatitis C (CV) / Non A Non B HEPATITIS REJO PENGERTIAN: Hepatitis adalah inflamasi yang menyebar pada hepar (hepatitis) dapat disebabkan oleh infeksi virus dan reaksi toksik terhadap obat-obatan dan bahan kimia ETIOLOGI : 1. Ada 5

Lebih terperinci

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.25/MEN/XII/2008 TENTANG PEDOMAN DIAGNOSIS DAN PENILAIAN CACAT KARENA

Lebih terperinci

BUPATI BULUNGAN PROPINSI KALIMANTAN UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI BULUNGAN PROPINSI KALIMANTAN UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG SALINAN BUPATI BULUNGAN PROPINSI KALIMANTAN UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG PENCEGAHAN DAN REHABILITASI KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA DAN BAHAN ADIKTIF

Lebih terperinci

Etiology dan Faktor Resiko

Etiology dan Faktor Resiko Etiology dan Faktor Resiko Fakta Penyakit ini disebabkan oleh virus hepatitis C (HCV). Virus hepatitis C merupakan virus RNA yang berukuran kecil, bersampul, berantai tunggal, dengan sense positif Karena

Lebih terperinci

REHABILITASI PADA NYERI PUNGGUNG BAWAH. Oleh: dr. Hamidah Fadhil SpKFR RSU Kab. Tangerang

REHABILITASI PADA NYERI PUNGGUNG BAWAH. Oleh: dr. Hamidah Fadhil SpKFR RSU Kab. Tangerang REHABILITASI PADA NYERI PUNGGUNG BAWAH Oleh: dr. Hamidah Fadhil SpKFR RSU Kab. Tangerang SKDI 2012 : LBP Tingkat kompetensi : 3A Lulusan dokter mampu : Membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahuluan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.25/MEN/XII/2008 TENTANG

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.25/MEN/XII/2008 TENTANG PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.25/MEN/XII/2008 TENTANG PEDOMAN DIAGNOSIS DAN PENILAIAN CACAT KARENA KECELAKAAN DAN PENYAKIT AKIBAT KERJA MENTERI TENAGA KERJA

Lebih terperinci

Penatalaksanaan Astigmatism No. Dokumen : No. Revisi : Tgl. Terbit : Halaman :

Penatalaksanaan Astigmatism No. Dokumen : No. Revisi : Tgl. Terbit : Halaman : 1. Pengertian Angina pektoris ialah suatu sindrom klinis berupa serangan nyeri dada yang khas, yaitu seperti rasa ditekan atau terasa berat di dada yang sering menjalar ke lengan kiri. Nyeri dada tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada beberapa tahun terakhir ini, masalah penyalahgunaan narkoba meningkat luas, tidak hanya di kota besar namun juga di kota-kota kecil dan pedesaan di Indonesia.

Lebih terperinci

Negara Asal (bagi WNA) Tempat / Tanggal lahir * / - -

Negara Asal (bagi WNA) Tempat / Tanggal lahir * / - - Nama Tertanggung* No KTP / SIM / Paspor / KITAS* (copy harap dilampirkan) Kewarganegaraan * WNI WNA Status Perkawinan Kawin Belum Kawin Negara Asal (bagi WNA) Tempat / Tanggal lahir * / - - Alamat (sesuai

Lebih terperinci

Kanker Usus Besar. Bowel Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Kanker Usus Besar. Bowel Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved Kanker Usus Besar Kanker usus besar merupakan kanker yang paling umum terjadi di Hong Kong. Menurut statistik dari Hong Kong Cancer Registry pada tahun 2013, ada 66 orang penderita kanker usus besar dari

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. Hasil penelitian mengenai penerapan Medical Check Up (MCU) berkala di PT. Antam (Persero) Tbk. GMBU sebagai berikut :

BAB V PEMBAHASAN. Hasil penelitian mengenai penerapan Medical Check Up (MCU) berkala di PT. Antam (Persero) Tbk. GMBU sebagai berikut : BAB V PEMBAHASAN Hasil penelitian mengenai penerapan Medical Check Up (MCU) berkala di PT. Antam (Persero) Tbk. GMBU sebagai berikut : 1. PT. Antam (Persero) Tbk. GMBU telah menyelenggarakan pelayanan

Lebih terperinci

2017, No d. bahwa untuk belum adanya keseragaman terhadap penyelenggaraan rehabilitasi, maka perlu adanya pengaturan tentang standar pelayanan

2017, No d. bahwa untuk belum adanya keseragaman terhadap penyelenggaraan rehabilitasi, maka perlu adanya pengaturan tentang standar pelayanan No.1942, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BNN. Standar Pelayanan Rehabilitasi. PERATURAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2017 TENTANG STANDAR PELAYANAN REHABILTASI BAGI

Lebih terperinci

Dasar Manajemen Lingkungan

Dasar Manajemen Lingkungan Dasar Manajemen Lingkungan Setiap kegiatan / usaha manusia dan pembangunan akan menimbulkan perubahan lingkungan hidup sebagai hasil sampingan pembangunan Pembangunan adalah mutlak diperlukan untuk meningkatkan

Lebih terperinci

KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA DI SMK

KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA DI SMK 46 KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA DI SMK Didin Komarudin 1, Wowo S. Kuswana 2, Ridwan A.M. Noor 3 Departemen Pendidikan Teknik Mesin Universitas Pendidikan Indonesia Jl. Dr. Setiabudhi No. 207 Bandung

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN PADA USILA DENGAN GANGGUAN SISTEM CARDIOVASKULER (ANGINA PECTORIS)

ASUHAN KEPERAWATAN PADA USILA DENGAN GANGGUAN SISTEM CARDIOVASKULER (ANGINA PECTORIS) ASUHAN KEPERAWATAN PADA USILA DENGAN GANGGUAN SISTEM CARDIOVASKULER (ANGINA PECTORIS) ANGINA PECTORIS I. PENGERTIAN Angina pectoris adalah suatu sindrom klinis di mana pasien mendapat serangan sakit dada

Lebih terperinci

2015, No Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11, Tambahan Lembar

2015, No Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11, Tambahan Lembar No. 1939, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENPAR. Usaha. Hotel. Standar. PERATURAN MENTERI PARIWISATA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2015 TENTANG STANDAR USAHA MOTEL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PENYALAHGUNAAN DAN PEREDARAN GELAP NARKOBA (P4GN) DI KABUPATEN BANYUWANGI

NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PENYALAHGUNAAN DAN PEREDARAN GELAP NARKOBA (P4GN) DI KABUPATEN BANYUWANGI BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PENYALAHGUNAAN DAN PEREDARAN GELAP NARKOBA (P4GN) DI KABUPATEN BANYUWANGI DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Selain kebutuhan primer ( sandang, pangan, papan) ada hal penting yang sangat dibutuhkan oleh kita agar dapat melaksanakan aktifitas sehari-hari, yaitu kesehatan. Sehat

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Sakit Perut Berulang Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut berulang pada remaja terjadi paling sedikit tiga kali dengan jarak paling sedikit

Lebih terperinci

PERTOLONGAN PERTAMA PADA KECELAKAAN

PERTOLONGAN PERTAMA PADA KECELAKAAN PERTOLONGAN PERTAMA PADA KECELAKAAN Tujuan 1. Menyelamatkan jiwa korban 2. Meringankan penderitaan korban serta mencegah bahaya lanjut akibat kecelakaan 3. Mempertahankan daya tahan korban sampai pertolongan

Lebih terperinci

Kanker Prostat. Prostate Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Kanker Prostat. Prostate Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved Kanker Prostat Kanker prostat merupakan tumor ganas yang paling umum ditemukan pada populasi pria di Amerika Serikat, dan juga merupakan kanker pembunuh ke-5 populasi pria di Hong Kong. Jumlah pasien telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena penderitanya sebagian besar orang muda, sehat dan produktif (Ropper &

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena penderitanya sebagian besar orang muda, sehat dan produktif (Ropper & BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cedera kepala merupakan salah satu kasus penyebab kecacatan dan kematian yang cukup tinggi dalam bidang neurologi dan menjadi masalah kesehatan oleh karena penderitanya

Lebih terperinci

BUPATI JEMBER SALINAN PERATURAN BUPATI JEMBER NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI JEMBER SALINAN PERATURAN BUPATI JEMBER NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG BUPATI JEMBER SALINAN PERATURAN BUPATI JEMBER NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PENYALAHGUNAAN DAN PEREDARAN GELAP NARKOBA (P4GN) DI KABUPATEN JEMBER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

Hidup di jalur cepat diawali dengan

Hidup di jalur cepat diawali dengan Paket Skrining Kesehatan Eksekutif Kami Yang Eksklusif tersedia di: Gleneagles Hospital 6A Napier Road #02-36 Gleneagles Hospital Annexe Block Singapore 258500 Parkway East Hospital 321 Joo Chiat Place

Lebih terperinci

Lampiran:

Lampiran: Lampiran: Lampiran: Lampiran: Lampiran: Lampiran: Lampiran: Lampiran: DAFTAR PERTANYAAN Narasumber : Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Semarang Nama : Mulyati Hari/Tanggal Wawancara : Senin

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 53 TAHUN 2013 TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 53 TAHUN 2013 TENTANG GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 53 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS PADA DINAS SOSIAL PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 32/MEN/XII/2008 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN KEANGGOTAAN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA R.I. NO.KEP. 187/MEN/1999 TENTANG PENGENDALIAN BAHAN KIMIA BERBAHAYA DI TEMPAT KERJA MENTERI TENAGA KERJA R.I.

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA R.I. NO.KEP. 187/MEN/1999 TENTANG PENGENDALIAN BAHAN KIMIA BERBAHAYA DI TEMPAT KERJA MENTERI TENAGA KERJA R.I. KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA R.I. NO.KEP. 187/MEN/1999 TENTANG PENGENDALIAN BAHAN KIMIA BERBAHAYA DI TEMPAT KERJA MENTERI TENAGA KERJA R.I. Menimbang a. bahwa kegiatan industri yang mengolah, menyimpan,

Lebih terperinci

Kanker Payudara. Breast Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Kanker Payudara. Breast Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved Kanker Payudara Kanker payudara merupakan kanker yang paling umum diderita oleh para wanita di Hong Kong dan negara-negara lain di dunia. Setiap tahunnya, ada lebih dari 3.500 kasus kanker payudara baru

Lebih terperinci

Negara Asal (bagi WNA)

Negara Asal (bagi WNA) Customer Care Centre AXA Tower lt. GF Jl. Prof. Dr. Satrio Kav.18, Kuningan City Jakarta 12940, Indonesia Tel : +62 21 3005 9005 Fax : +62 21 3005 9008 Email : customer@axa-insurance.co.id Nama Tertanggung*

Lebih terperinci

S A L I N A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PROBOLINGGO,

S A L I N A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PROBOLINGGO, 02 Maret 2015 BERITA DAERAH KABUPATEN PROBOLINGGO NOMOR 29 S A L I N A N PERATURAN BUPATI PROBOLINGGO NOMOR : 29 TAHUN 2015 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PENYALAHGUNAAN DAN PEREDARAN GELAP NARKOBA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai organ pengeksresi ginjal bertugas menyaring zat-zat yang sudah tidak

BAB I PENDAHULUAN. sebagai organ pengeksresi ginjal bertugas menyaring zat-zat yang sudah tidak BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Ginjal punya peran penting sebagai organ pengekresi dan non ekresi, sebagai organ pengeksresi ginjal bertugas menyaring zat-zat yang sudah tidak dibutuhkan oleh tubuh

Lebih terperinci

Manfaat Terapi Ozon Manfaat Terapi Ozon Pengobatan / Terapi alternatif / komplementer diabetes, kanker, stroke, dll

Manfaat Terapi Ozon Manfaat Terapi Ozon Pengobatan / Terapi alternatif / komplementer diabetes, kanker, stroke, dll Manfaat Terapi Ozon Sebagai Pengobatan / Terapi alternatif / komplementer untuk berbagai penyakit. Penyakit yang banyak diderita seperti diabetes, kanker, stroke, dll. Keterangan Rinci tentang manfaat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kompleks, padat profesi dan padat modal. Kompleksitas ini muncul karena

BAB I PENDAHULUAN. kompleks, padat profesi dan padat modal. Kompleksitas ini muncul karena BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rumah Sakit (RS) merupakan suatu institusi pelayanan kesehatan yang kompleks, padat profesi dan padat modal. Kompleksitas ini muncul karena pelayanan rumah sakit menyangkut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada tubuh manusia, mineral berperan dalam proses fisiologis. Dalam sistem fisiologis manusia, mineral tersebut dibagi menjadi dua bagian yaitu makroelemen antara lain

Lebih terperinci

2015, No Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456); 2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang

2015, No Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456); 2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang No.1510, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENAKER. Peserta Penerima Upah. Jaminan Kecelakaan Kerja. Jaminan Kematian. Jaminan Hari Tua. Tata Cara Penyelenggaraan. PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Kesadaran Menurut Hasibuan (2012:193), kesadaran adalah sikap seseorang yang secara sukarela menaati semua peraturan dan sadar akan tugas dan tanggung jawabnya. Menurut

Lebih terperinci

KEP.333/MEN/1989 KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP.333/MEN/1989 T E N T A N G

KEP.333/MEN/1989 KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP.333/MEN/1989 T E N T A N G KEP.333/MEN/1989 KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP.333/MEN/1989 T E N T A N G DIAGNOSIS DAN PELAPORAN PENYAKIT AKIBAT KERJA MENTERI TENAGA KERJA Menimbang: a. bahwa terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. banyak pabrik-pabrik yang produk-produk kebutuhan manusia yang. semakin konsumtif. Banyak pabrik yang menggunakan bahan-bahan

BAB I PENDAHULUAN. banyak pabrik-pabrik yang produk-produk kebutuhan manusia yang. semakin konsumtif. Banyak pabrik yang menggunakan bahan-bahan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini telah mampu merubah gaya hidup manusia. Manusia sekarang cenderung menyukai segala sesuatu yang cepat, praktis dan

Lebih terperinci

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR: PER-15/MEN/VII/2005 TENTANG WAKTU KERJA DAN ISTIRAHAT PADA SEKTOR USAHA PERTAMBANGAN UMUM PADA DAERAH OPERASI TERTENTU MENTERI

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 36 TAHUN 2014 TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 36 TAHUN 2014 TENTANG GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 36 TAHUN 2014 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT DI PROVINSI

Lebih terperinci

3. Pemeriksaan Tajam Penglihatan (Visus) dan Buta Warna. Pemeriksaan HBs Ag Malaria (untuk daerah endemis malaria)

3. Pemeriksaan Tajam Penglihatan (Visus) dan Buta Warna. Pemeriksaan HBs Ag Malaria (untuk daerah endemis malaria) Lampiran : Surat No. 224/DL.004/V/AMG-2012 Tanggal 15 Mei 2012 Hal : Pemeriksaan Kesehatan MACAM DAN JENIS PEMERIKSAAN KESEHATAN 1. Riwayat Penyakit (Anamnesis) 2. Pemeriksaan Fisik (Physical Test) 3.

Lebih terperinci

KONSEP DASAR KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

KONSEP DASAR KEPERAWATAN GAWAT DARURAT KONSEP DASAR KEPERAWATAN GAWAT DARURAT Pengertian Keperawatan Gawat Darurat (Emergency Nursing) merupakan pelayanan keperawatan yang komprehensif diberikan kepada pasien dengan injuri akut atau sakit yang

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI PARIWISATA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG STANDAR USAHA GEDUNG PERTUNJUKAN SENI

SALINAN PERATURAN MENTERI PARIWISATA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG STANDAR USAHA GEDUNG PERTUNJUKAN SENI SALINAN PERATURAN MENTERI PARIWISATA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG STANDAR USAHA GEDUNG PERTUNJUKAN SENI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PARIWISATA REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

Hepatitis Virus. Oleh. Dedeh Suhartini

Hepatitis Virus. Oleh. Dedeh Suhartini Hepatitis Virus Oleh Dedeh Suhartini Fungsi Hati 1. Pembentukan dan ekskresi empedu. 2. Metabolisme pigmen empedu. 3. Metabolisme protein. 4. Metabolisme lemak. 5. Penyimpanan vitamin dan mineral. 6. Metabolisme

Lebih terperinci

Penyebab, gejala dan cara mencegah polio Friday, 04 March :26. Pengertian Polio

Penyebab, gejala dan cara mencegah polio Friday, 04 March :26. Pengertian Polio Pengertian Polio Polio atau poliomyelitis adalah penyakit virus yang sangat mudah menular dan menyerang sistem saraf. Pada kondisi penyakit yang bertambah parah, bisa menyebabkan kesulitan 1 / 5 bernapas,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis sebagian besar bakteri ini menyerang

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis sebagian besar bakteri ini menyerang BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Penyakit Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis sebagian besar bakteri ini menyerang bagian paru, namun tak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Demensia adalah suatu sindroma penurunan kemampuan intelektual progresif yang menyebabkan deteriorasi kognisi dan fungsional, sehingga mengakibatkan gangguan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial, dan ekonomis. Pemeliharaan kesehatan

Lebih terperinci

LEAF. Book Bacaan ringkas & terpercaya. & apa yang harus anda ketahui untuk mencegah STROKE

LEAF. Book Bacaan ringkas & terpercaya. & apa yang harus anda ketahui untuk mencegah STROKE LEAF Book Bacaan ringkas & terpercaya & apa yang harus anda ketahui untuk mencegah STROKE & apa yang harus anda ketahui untuk mencegah STROKE Oleh: Yudi Garnadi [FamiliaMedika] Hak cipta milik Yudi Garnadi

Lebih terperinci

BAGIAN 1: MENGAPA PERLU DETOKS?

BAGIAN 1: MENGAPA PERLU DETOKS? BAGIAN 1: MENGAPA PERLU DETOKS? Dikutip dari tulisan Ibu Andang Gunawan, ADN, ND (Majalah NIRMALA Mei 2004) - sebagian kecil tulisan asli dibuang Anda punya masalah sembelit, demam, flu, kelebihan berat

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN NUNUKAN

PEMERINTAH KABUPATEN NUNUKAN PEMERINTAH KABUPATEN NUNUKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN NUNUKAN NOMOR 08 TAHUN 2011 TENTANG PELAYANAN KESEHATAN PADA PUSKESMAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI NUNUKAN, Menimbang : a. bahwa untuk

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.08/MEN/VII/2010 TAHUN 2010 TENTANG ALAT PELINDUNG DIRI

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.08/MEN/VII/2010 TAHUN 2010 TENTANG ALAT PELINDUNG DIRI PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.08/MEN/VII/2010 TAHUN 2010 TENTANG ALAT PELINDUNG DIRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI,

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. khususnya nefrologi dan endokrinologi.

BAB IV METODE PENELITIAN. khususnya nefrologi dan endokrinologi. BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah Ilmu Penyakit Dalam khususnya nefrologi dan endokrinologi. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini telah

Lebih terperinci

Kanker Paru-Paru. (Terima kasih kepada Dr SH LO, Konsultan, Departemen Onkologi Klinis, Rumah Sakit Tuen Mun, Cluster Barat New Territories) 26/9

Kanker Paru-Paru. (Terima kasih kepada Dr SH LO, Konsultan, Departemen Onkologi Klinis, Rumah Sakit Tuen Mun, Cluster Barat New Territories) 26/9 Kanker Paru-Paru Kanker paru-paru merupakan kanker pembunuh nomor satu di Hong Kong. Ada lebih dari 4.000 kasus baru kanker paru-paru dan sekitar 3.600 kematian yang diakibatkan oleh penyakit ini setiap

Lebih terperinci

RISIKO PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA PADA IBU HAMIL BADAN NARKOTIKA NASIONAL PROVINSI JAWA TENGAH

RISIKO PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA PADA IBU HAMIL BADAN NARKOTIKA NASIONAL PROVINSI JAWA TENGAH PROVINSI JAWA TENGAH RISIKO PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA PADA IBU HAMIL BADAN NARKOTIKA NASIONAL PROVINSI JAWA TENGAH Latar Belakang Kehamilan merupakan st proses luar biasa, dimana ibu bertanggung jawab untuk

Lebih terperinci

Kanker Serviks. Cervical Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Kanker Serviks. Cervical Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved Kanker Serviks Kanker serviks merupakan penyakit yang umum ditemui di Hong Kong. Kanker ini menempati peringkat kesepuluh di antara kanker yang diderita oleh wanita dengan lebih dari 400 kasus baru setiap

Lebih terperinci

Negara Asal (bagi WNA)

Negara Asal (bagi WNA) Customer Care Centre AXA Tower lt. GF Jl. Prof. Dr. Satrio Kav.18, Kuningan City Jakarta 12940, Indonesia Tel : 1500 733 Fax : +62 21 3005 9008 Email : customer@axa-insurance.co.id Nama Tertanggung* No

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LD 40 2008 R PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 25 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN ORGANISASI KANTOR PELAYANAN PERIJINAN TERPADU SATU PINTU DAN SEKRETARIAT

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI BAHAYA B3 DAN PENANGANAN INSIDEN B3

IDENTIFIKASI BAHAYA B3 DAN PENANGANAN INSIDEN B3 1 dari 7 STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL (SPO) Tanggal terbit Ditetapkan, Direktur RS. Dedy Jaya Brebes PENGERTIAN TUJUAN KEBIJAKAN PROSEDUR dr. Irma Yurita 1. Identifikasi bahaya B3 (Bahan Berbahaya dan

Lebih terperinci

KEPMEN NO. 224 TH 2003

KEPMEN NO. 224 TH 2003 KEPMEN NO. 224 TH 2003 KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP. 224 /MEN/2003 TENTANG KEWAJIBAN PENGUSAHA YANG MEMPEKERJAKAN PEKERJA/BURUH PEREMPUAN ANTARA PUKUL

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA. NOMOR: KEP. 68/MEN/IV/2004

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA. NOMOR: KEP. 68/MEN/IV/2004 KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA. NOMOR: KEP. 68/MEN/IV/2004 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV/ AIDS DI TEMPAT KERJA Tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. mengetahui jenis-jenis efek samping pengobatan OAT dan ART di RSUP dr.

BAB III METODE PENELITIAN. mengetahui jenis-jenis efek samping pengobatan OAT dan ART di RSUP dr. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang lingkup penelitian Penelitian ini mencakup bidang Ilmu Penyakit Dalam, dengan fokus untuk mengetahui jenis-jenis efek samping pengobatan OAT dan ART di RSUP dr. Kariadi

Lebih terperinci

2015, No Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembar

2015, No Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembar BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1511, 2015 KEMENAKER. Agribisnis Hortikultura. Waktu. Kerja. Istirahat. PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2015 TENTANG WAKTU KERJA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA NO.PER-01/MEN/1998

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA NO.PER-01/MEN/1998 PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA NO.PER-01/MEN/1998 PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER-01/MEN/1998 TENTANG PENYELENGGARAAN PEMELIHARAAN KESEHATAN BAGI TENAGA KERJA DENGAN MANFAAT

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG TATA CARA PENANGANAN TERSANGKA DAN/ATAU TERDAKWA PECANDU NARKOTIKA DAN KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA KE DALAM LEMBAGA REHABILITASI

Lebih terperinci

Berbagai Penyakit. Yang Menyerang Liver (Hati)

Berbagai Penyakit. Yang Menyerang Liver (Hati) Seri penyuluhan kesehatan Berbagai Penyakit Yang Menyerang Liver (Hati) Dipersembahkan dengan gratis Oleh: Klinik Umiyah www.klinik-umiyah.com Jl. Lingkar Utara Purworejo, Jawa Tengah, Indonesia Pengertian

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG Nomor 10 Tahun 2004 Seri E PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG BIAYA PELAYANAN KESEHATAN PADA RUMAH SAKIT UMUM KABUPATEN TANGERANG DENGAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER.17/MEN/XI/2008 TENTANG PENGANGKATAN, PEMBERHENTIAN, DAN TATA KERJA

Lebih terperinci

3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik I

3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik I MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI NOMOR PER.24/MEN/VI/2006

Lebih terperinci

LEMBAR PENGESAHAN DOKUMEN DIBUAT OLEH

LEMBAR PENGESAHAN DOKUMEN DIBUAT OLEH PROSEDUR P3K No. Dokumen : PT-KITSBS-29 Tanggal : April : i dari iv LEMBAR PENGESAHAN DOKUMEN DIBUAT OLEH No Nama Jabatan Tanda Tangan 1. RM. Yasin Effendi PLT DM ADM Umum & Fas 2. Abdan Syakuro PLT DM

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.844, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BNN. Rehabilitasi. Penyalahgunaan. Pencandu. Narkotika. Penanganan. Pencabutan. PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG TATA

Lebih terperinci

Pengertian Bahan Kimia Berbahaya dan Beracun Bahan kimia berbahaya adalah bahan kimia yang memiliki sifat reaktif dan atau sensitif terhadap

Pengertian Bahan Kimia Berbahaya dan Beracun Bahan kimia berbahaya adalah bahan kimia yang memiliki sifat reaktif dan atau sensitif terhadap Pengertian Bahan Kimia Berbahaya dan Beracun Bahan kimia berbahaya adalah bahan kimia yang memiliki sifat reaktif dan atau sensitif terhadap perubahan/kondisi lingkungan yang dengan sifatnya tersebut dapat

Lebih terperinci

Tips Mengatasi Susah Buang Air Besar

Tips Mengatasi Susah Buang Air Besar Susah buang air besar atau lebih dikenal dengan nama sembelit merupakan problem yang mungkin pernah dialami oleh anda sendiri. Banyak yang menganggap sembelit hanya gangguan kecil yang dapat hilang sendiri

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.102 /MEN/VI/2004 TENTANG WAKTU KERJA LEMBUR DAN UPAH KERJA LEMBUR

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.102 /MEN/VI/2004 TENTANG WAKTU KERJA LEMBUR DAN UPAH KERJA LEMBUR MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.102 /MEN/VI/2004 TENTANG WAKTU KERJA LEMBUR DAN UPAH KERJA LEMBUR MENTERI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ginjal memiliki peranan yang sangat vital sebagai organ tubuh

BAB I PENDAHULUAN. Ginjal memiliki peranan yang sangat vital sebagai organ tubuh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ginjal memiliki peranan yang sangat vital sebagai organ tubuh manusia terutama dalam sistem urinaria. Pada manusia, ginjal berfungsi untuk mengatur keseimbangan cairan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Penyakit kanker merupakan salah satu masalah kesehatan di Indonesia. Penyakit ini berkembang semakin cepat. Di dunia ini, diperkirakan lebih dari 1 juta orang menderita

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedaruratan psikiatri adalah sub bagian dari psikiatri yang. mengalami gangguan alam pikiran, perasaan, atau perilaku yang

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedaruratan psikiatri adalah sub bagian dari psikiatri yang. mengalami gangguan alam pikiran, perasaan, atau perilaku yang BAB II. TINJAUAN PUSTAKA II.1. Kedaruratan Psikiatri Kedaruratan psikiatri adalah sub bagian dari psikiatri yang mengalami gangguan alam pikiran, perasaan, atau perilaku yang membutuhkan intervensi terapeutik

Lebih terperinci

LEMBARAN PENJELASAN KEPADA CALON SUBJEK PENELITIAN. saraf di FK USU dan saat ini sedang melakukan penelitian yang berjudul: AKUT.

LEMBARAN PENJELASAN KEPADA CALON SUBJEK PENELITIAN. saraf di FK USU dan saat ini sedang melakukan penelitian yang berjudul: AKUT. LAMPIRAN 1 LEMBARAN PENJELASAN KEPADA CALON SUBJEK PENELITIAN Selamat pagi Bapak/Ibu Yth, Saya dr. Rita Sibarani, saat ini sedang menjalani pendidikan spesialis saraf di FK USU dan saat ini sedang melakukan

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2009 NOMOR 19 SERI E PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 30 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN RUMAH SAKIT WALIKOTA BOGOR,

BERITA DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2009 NOMOR 19 SERI E PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 30 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN RUMAH SAKIT WALIKOTA BOGOR, BERITA DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2009 NOMOR 19 SERI E PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 30 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN RUMAH SAKIT WALIKOTA BOGOR, Menimbang : Mengingat a. bahwa rumah sakit merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kecelakaan Kerja Kecelakaan kerja yaitu suatu kejadian yang timbul akibat atau selama pekerjaan yang mengakibatkan kecelakaan kerja yang fatal dan kecelakaan kerja yang tidak

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.540, 2015 KEMENAKER. Listrik. Tempat Kerja. Kesehatan Kerja. Keselamatan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2015 TENTANG

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI PARIWISATA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG STANDAR USAHA GELANGGANG RENANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SALINAN PERATURAN MENTERI PARIWISATA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG STANDAR USAHA GELANGGANG RENANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PERATURAN MENTERI PARIWISATA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG STANDAR USAHA GELANGGANG RENANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PARIWISATA REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci