Sebuah uraian singkat Konsep Manunggaling Kawula Gusti

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Sebuah uraian singkat Konsep Manunggaling Kawula Gusti"

Transkripsi

1 1 Sebuah uraian singkat Konsep Manunggaling Kawula Gusti Oleh Setya Amrih Prasaja, S.S. 1. Pendahuluan Pada dasarnya sebuah kebudayaan mempunyai caranya sendiri dalam memandang alam dan seisinya. Baik itu memandang secara makro (besar) maupun mikro (kecil) lingkungan dimana ia hidup. Hal senada pun dapat ditemukan dalam struktur pola pikir masyarakat Jawa yang penuh dengan simbol-simbol itu. Simbolisme bagi orang Jawa dianggap sebagai suatu yang sangat penting, agar dapat memahami komunikasi yang penuh dengan bahasa isyarat. Bahasa Jawa yang penuh dengan kembang, lambang dan sinamung samudana atau tersembunyi dalam kiasan harus dibahas dan dikupas dengan perasaan yang dalam serta tanggaping sasmitha atau dapat menangkap maksud sebenarnya yang tersembunyi 1. Untuk bisa lebih jauh kita mengerti bagaimana cara pandang dan berpikir orang Jawa mau tidak mau kita harus mengenal istilah yang sangat populer di kalangan masyarakat apalagi untuk seorang ahli kebatinan yaitu kejawen. Terjemahan kamus umum untuk kejawen atau kejawaan dalam bahasa indonesia adalah kejawaan dan Jawanisme. Kata yang terakhir ini menjadi sebutan deskriptif bagi elemen-elemen kebudayaan Jawa yang dianggap Jawa secara hakiki dan hal itu didefinisikan sebagai suatu kategori unik 2. 1 Budiono (1984;86). 2 Niels Mulder (2001 ; 2).

2 2 Jawanisme, atau kejawen, bukanlah suatu kategori religiusitas. Namun lebih menunjuk pada sebuah etika dan sebuah gaya hidup yang diilhami oleh pemikiran Jawa 3. Penganut aliran ini mempunyai cara pikir sendiri dalam mengaktualisasikan diri mereka baik dalam hubungannya dengan sesama manusia, Tuhan, maupun makhluk ciptaannya yang lain. Sejalan dengan itu pemikiran kejawen ini berkembang luas meliputi kosmologi, mitologi. Salah satunya adalah konsepsi mistis Manunggaling kawula kalawan Gusti. Dan selalu dibawah pemahaman sepi ing pamrih atau iklas. Karena paham ini bukanlah sebuah paham dogmatis tentang agama, maka paham ini selalu membayang pada setiap ritual keagamaan masyarakat Jawa dengan latar belakang kepercayaan apapun yang dianutnya. 2. Pengertian secara umum Konsepsi Manunggaling Kawula Gusti ini muncul seiring dengan gencarnya dakwah Islam pada jaman Demak sekitar abad VX-VVI, yang digagas oleh seorang Syeh Siti Jenar atau Seh Lemah Abang. Yang pada akhirnya konsep ini coba dilebur dan batasi perkembangannya oleh para walisanga karena dianggap merupakan ajaran yang menyesatkan. Dengan melakukan eksekusi terhadap Syeh Siti Jenar, namun ajarannya terlanjur tersebar luas dikalangan murid-muridnya. Dalam tasawuf Islam atau dikalangan orang sufi 4 terdapat jenjang atau tataran dalam memahami sebuah perilaku spiritual yaitu; a. Syariat (sarengat) b. Tarekat c. Hakikat d. Makrifat Sedangkan tasawuf itu sendiri bersinonim dengan sophos kata yang berarti hikmah dalam bahasa Yunani. Tasawuf diartikan juga sebagai ajaran mistik yang diusahakan oleh segolongan umat Islam dan disesuaikan dengan ajaran Islam. 3 Ibid. h.4. 4 sufi kata ini berasal dari kata shafa atau shafwun yang berarti bening, sufi yakni, manusia-manusia yang selalu menyucikan diri dengan latihan-latihan kejiwaan atau batin. Lih. Suwardi Endraswara (2003;68.).

3 3 Namun dalam prakteknya konsep ini membutuhkan kesiapan mental serta spiritual yang tinggi. Pada perkembangan selanjutnya dari konsep atau yang kemudian dalam tulisan ini akan disebut Manunggaling Kawula Gusti tidak hanya menuju pada arah bentuk penyembahan akan tetapi juga digunakan untuk memahami hakikat alam dan manusianya. Darimana ia berasal, untuk apa dan mau kemana nantinya. Atau tahu ngelmu sangkan paraning dumadi (awal muasal kejadian). Dalam masyarakat Jawa kegiatan olah rasa semacam ini disebut olah batin dan aliran untuk kegiatan semacam ini disebut kebatinan dan ilmu yang diterapkan kejawen.. Pengertian kebatinan mengisyaratkan bahwa manusia memiliki sifat lahir (lair) dan batin dalam potensi, dan dua aspek itu saling berhubungan 5. Pada dasarnya pengertian Manunggaling Kawula Gusti itu, tidak hanya dapat diartikan sebagai pola hubungan manusia dengan Tuhan namun juga hubungan manusia dengan sesamanya. Menurut Purwadi 6, perwujudan Manunggaling Kawula Gusti dapat digolongkan menjadi tiga tipe yaitu; a. Tipe Ethis, tipe ini mengharapkan adanya nanusia yang waskitha dan susila. Harmonitas antara suara batin dengan laku amalnya menjadi titik sentral orientasi dharma bhaktinya dalam kehidupan sosial. b. Tipe Kosmologis, pada tipe ini terdapat kecenderungan kuat tentang olah lahir dan olah batinnya, yaitu peleburan diri ke dalam daya kosmos universal dan mengeliminasi individualitas. c. Tipe Theologis, tipe ini sama dengan tipe kosmologis hanya saja banyak menggunakan istilah dari kitab suci dan ajaran para nabi 7. Ketiga tipe tersebut diatas merupakan beberapa tipe dari perwujudan manunggaling kawula Gusti. Adapun bentuk perwujudan lain dari manunggaling kawula Gusti dalam jagad pemikiran orang Jawa tak lain hanyalah keselarasan, keseimbangan. Yang kesemuanya bermuara pada satu keseimbangan jagad gedhe 5 ibid. h Purwadi, (2002;80). 7 Istilah-istilah yang diambil setelah masuknya pengaruh agama dari Arab atau daerah sekitar Timur Tengah yang lain.

4 4 dan jagad cilik, ungkapan seperti manunggaling sastra kalawan gendhing, curiga manjing warangka, yang kesemuanya merujuk pada satu arah yaitu keselarasan-- harmonis. Hubungan kosmologi antara makrokosmos dan mikrokosmos ini bersifat kodrati. Hal ini dapat disaksikan pula ke dalam pertunjukkan wayang kulit. Dalam wayang kulit terdapat hubungan antara kelir, gedebog (batang pisang), blencong (lampu panggung wayang kulit), dan sebagainya (makro) selalu terkait dengan wayang (mikro). Keduanya saling berhubungan dan saling memerlukan satu sama lain. Jika ia adalah manusia, berarti dia adalah bagian dari alam semesta 8. Oleh karena itu pertunjukkan wayang dikalangan masyarakat Jawa mendapat nilai lebih karena wayang merupakan tontonan sekaligus tuntunan. Oleh karena itu wayang juga mempunyai peranan sosio-religius. 3. Manunggaling Kawula Gusthi dan hubungan vertikal dengan Tuhan Penjabaran konsep Manunggaling Kawula Gusti dalam hubungannya dengan Dzat Illahiah adalah menuntut keselaran dalam mencapai sebuah kesatuan antara apa yang dilakukan dengan apa yang ada dalam hatinya bentuk manembahing rasa. Jadi bukanlah hanya mutlak penyatuan diri secara fisik dengan Dzat Illahiah. Tapi bagaimana manusia bisa berada sedekat mungkin dengan Tuhan. Hal ini menuntut kepada manusia untuk lebih dalam menghayati dengan seksama dan sungguh-sungguh tentang hal-hal praktek penyembahan atau ibadah terhadap Tuhan. Dia harus tahu betul makna dan tujuan dari penyembahannya hingga terjadi satunya rasa dan tahu ada apa dibalik semua rahasia alam semesta hingga kadunungan atau mendapat Dzat Illahiah. Dalam serat Sastra Gendhing karya Sultan Agung, pupuh pangkur dijelaskan tentang konsep bahwa Tuhan berada dalam tubuh manusia ; Nadyan sastra kalih dasa 8 Suwardi Endraswara, (2003;52).

5 5 Wit saestu tuduh kareping puji Puji asaling tumuwuh Mirid sing akhadiyat Ponang hanacaraka pituduhipun Dene kang datasawala Kagentyaning kang pamuji Wahdiat jati rinasan Ponang padhajayanya angyekteni Kang tuduh lan kang tinuduh Sami santosanya Kahananya wakhadiyat pambilipun Dene kang magabathanga Wus kanyatan jatining sir Makna serta maksud dari dua bait pupuh pangkur tersebut diatas kurang lebih adalah bahwasanya aksara Jawa yang duapuluh itu merupakan sebuah petunjuk tujuan berdoa (menyembah), pujia-pujian terhadap asal mula, hanacaraka sebagai petunjuknya sedangkan datasawala untuk yang memuji hingga terjadi kemanunggalan yang sejati, sedangkan padhajayanya merujuk pada kekuatan antara yang diberi petunjuk dan yang menunjuk sama-sama kuat (seimbang), adapun rahasia kemanunggalan kawula-gusti terungkap setelah manusia tersebut mati (magabathanga) 9. Di balik perasaan manusiawi yang kasar, terdapat perasaan dasar yang murni atau rasa, yang merupakan jatidiri, seorang individu (aku) dan manifestasi Tuhan (Gusti Allah) dalam individu itu. Kebenaran keagamaan yang dasar dari mistikus Jawa terikat dalam persamaan: rasa = aku = Tuhan Ibid. h Geertz Clifford. Dikutip dalam (Purwadi : 2002;81).

6 6 Sebagai contoh apabila seorang muslim Jawa (abangan) atau yang memahami konsep ini dengan benar maka ia akan menemukan apa dan untuk apa sebenarnya hidup ini, dengan melakukan tidak hanya sebatas ritual religiusitasnya saja namun paham dengan sepaham-pahamnya apa yang terkandung didalamnya. Begitu pun halnya bagi pemeluk agama lain. Jadi ketika ia diberi pertanyaan hakikat dari praktek religiusitasnya itu apa, maka ia akan bisa memberikan sebuah Jawaban yang tidak hanya sekedar karena kewajiban serta ritualitas semata. Namun bisa njlentrehke atau mengungkapkannya sedalam mungkin Hingga ia menjadi satu dengan Tuhannya. Dikarenakan ia tahu apa yang Tuhan ingin dan maksudkan dan mampu menerjemahkan semua firman-nya semurni dan sedekat mungkin yang Tuhan kehendaki. Kisah perjalanan Bima 11. Anak kedua dari pandu yang mencari air suci tirta pawitra, mengisyarakatkan bahwa untuk mencapai kesempurnaan atau yang dilambangkan dengan tirta pawitra tidaklah semudah membalik telapak tangan, akan tetapi melalui ritual dan laku yang komplek hingga akhirnya ia mendapat wejangan dari Dewa Ruci 12 yaitu Dzat Illahiah yang menempati sukma sejatinya. Bima dalam ngudi kasampurnan selalu mendapat rintangan dan godaan. Namun karena dilandasi oleh keteguhan hati, ketaatan kepada guru dan sikap yang susila anoraga (merendahkan diri), berbudi, legawa, madhep, mantep (rela,sungguh-sungguh mantap), dan berserah diri, tidak takut mati meskipun telah diingatkan oleh saudarasaudaranya--akhirnya ia dapat menemukan jati dirinya. Bahkan dia sudah sampai 11 Kisah tentang Pencarian tirta perwitasari ini bisa dilihat dalam serat Bima Suci gubahan Yasadipura I. 12 Dewa Ruci dalam penggambaran pewayangannya serupa dengan Bima hanya saja bertubuh kecil, namun walaupun bertubuh kecil mampu memasukkan tubuh Bima yang besar itu kedalam lubang telinganya dan memberikan wejangan tentang ngelmu kasampurnan kepada Bima. Dewa Ruci di sini menggambarkan citra dari sukma sejati sedangkan Bima sebagai sosok wadagnya. Dan oleh Dewa ruci Bima diwejang tentang Sedulur lima pancer, yaitu pengetahuan tentang sifat-sifat dasar manusia. Supiah, aluamah, amarah dan mutmainah, hingga ia bisa masuk kedalam telinga kiri Dewa Ruci dan mendapat wejangan ngelmu Sangkan Paraning Dumadi.

7 7 pada tingkat eneng,ening, dan eling pada saat bertemu dengan guru sejati yaitu dewa Ruci 13. Gambaran semacam itu merupakan gambaran bagi seseorang yang telah mencapai kesempurnaan hidup atau telah sadar sangkan paraning dumadi (mengerti maksud hidup yang sebenarnya) Manunggaling Kawula Gusti dalam Hubungan Horisontal dengan Manusia Kalau dalam hubungan vertikal terjadi pergumulan yang sifatnya induvidu, dalam hubungan ini justru bisa kebalikannya atau malah keduanya. Manunggaling kawula lan Gusti disini cenderung pada tatanan hierarkis antara pemimpin dan rakyat yang dipimpinnya. Terjadinya hubungan antara Gusti (Raja/pemimpin) dan Kawula (rakyat) yang harmonis, dimana Raja bisa mengoptimalkan fungsi dan kedudukannya dan rakyat bisa nyengkuyung (mendukung) serta berfungsi sesuai dengan fungsinya masingmasing. Hal ini ditekankan pada sebuah perpaduan serta penyatuan yang harmonis dari berbagai macam elemen yang berbeda satu sama lain dalam hubungan saling diuntungkan. Untuk menggambarkan proses tersebut bisa dilihat dari simbol yang melekat pada gamelan Jawa. Apabila kita amati lebih dalam, ternyata seperangkat gamelan Jawa merupakan sebuah gambaran, bagaimana dari sekian jenis macamnya itu indah apabila dimainkan dengan mengikuti polanya masing-masing, tanpa mengganggu yang lain. Contoh seorang penabuh gong mempunyai tugasnya menabuh gong, apabila ia serakah mencoba menabuh kenong misalnya, padahal kenong tersebut sudah ada yang menabuh maka akan terjadi ketidak serasian lagi. Jadi bentuk kemanunggalan disini tidak identik dengan peleburan dalam bentuk fisik melainkan rasa. Manusia hidup bermasyarakat tidaklah dalam keadaan yang serba sama satu sama lain, adakalanya berbeda entah beda keturunan, adat tatacara maupun budaya. 13 Suwardi Endraswara (2003 ; 79). 14 Bratawijaya (1997; 63).

8 8 Namun kalau rasa kita sama niscaya perbedaan fisik bukanlah sebuah kendala dalam menciptakan sebuah harmoni yang serasi. Tugu Jogja yang menjadi icon kota pelajar, pada jamanya dulu dibangun untuk menggambarkan lambang manunggaling kawula lan Gusti di daerah jogja yang pada waktu itu masih berbentuk Kasultanan merdeka, ketika awal tahta Jogja berdiri. Dulu tugu tersebut berbentuk golong-gilig 15, beda dengan yang kita lihat sekarang. Tugu yang sekarang merupakan hasil dari pemugaran tugu oleh pemerintah kolonial Belanda karena khawatir kalau tugu tersebut masih tegak berdiri maka rasa manunggal antara rakyat dan Sultan tumbuh dan mengakar. 5. Relevansi Konsep Manunggaling Kawula Gusti Apabila kita melihat serta mengamati, ternyata manunggaling kawula Gusti masih dipegang oleh sebagian masyarakat Jawa dalam mengaktualisasikan diri mereka dengan alam serta Dzat Illahiah. Dan hal ini merupakan sesuatu yang ideal. Bukan berarti manunggaling kawula Gusti lantas kita menjadi Tuhan tidak. Gusti disini mempunyai beberapa arti Gusti bisa untuk Tuhan, Raja, atau sukma kita sendiri, tergantung konteks mana yang kita pakai. Dan dari sudut pandang mana kita melihatnya. Proses pencarian Gusti, atau dalam ungkapan Jawa menjadi kepanjangan bagusing ati (kesucian hati), harus melalui tingkatan serta latihan yaitu dengan mengenali watak atau sedulur papat kita, yaitu nafsu supiyah, aluamah, amarah dan mutmainah, apabila kita bisa mengenali nafsu ini dan mengendalikannya maka kita sudah menginjak tataran awal manunggaling kawula Gusti, yaitu kesucian hati karena kita tahu siapa kita. Dan hal tersebut merupakan modal untuk lebih bisa dekat dengan Dzat Illahiah yang kita cari. 6. Penutup Sebenarnya apabila kita berbicara masalah kejawen atau kebatinan Jawa, maka kita akan disuguhi sebuah daratan yang maha luas, serta komplek karena apa 15 Gambar tugu, golong gilig ini berbentuk lonjong seperti lidi, sekarang masih dipakai dalam lambang pemerintah Daerah Istimewa Jogjakarta.

9 9 yang ada saling terkait satu sama lain. Dan dalam tulisan singkat ini hanya sedikit dikupas masalah Manunggaling Kawula Gusti secara sederhananya, sehingga setidaknya bisa membuka sedikit wacana bagi kita tentang apakah makna dibalik kata-kata tersebut. Dan masih relevan tidaknya konsep tersebut semua kembali kepada individu setiap manusia Jawa itu sendiri atau yang diluar itu namun mencoba menguak informasi di dalamnya. Semoga tulisan yang sangat dangkal ini bisa bermanfaat untuk kita. Pustaka Acuan Bratawijaya, Thomas Wiyasa Mengungkap dan Mengenal Budaya Jawa. Jakarta : Pradnya Paramita. Endraswara, Suwardi Mistik Kejawen ; Sinkretisme, Simbolisme dan Sufisme dalam Budaya Spiritual Jawa. Yogyakarta : Hinindita ,2003. Budi Pekerti dalam Budaya Jawa. Yogyakarta : Hinindita. Mulder, Niels Mistisme Jawa ; Ideologi Di Indonesia. Yogyakarta : LKIS. Purwadi Penghayatan Keagamaan Orang Jawa ; Refleksi atas Religiusitas Serat Bima Suci. Yogyakarta : Media Pressindo.

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang 1 Pramudito, FIB UI, 2009

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang 1 Pramudito, FIB UI, 2009 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Koentjaraningrat (1990:2) menyebutkan, bahwa dalam kebudayaan Jawa terdapat 7 unsur kebudayaan universal, unsur-unsur kebudayaan tersebut ialah:1. sistem religi dan

Lebih terperinci

LOSOFI PECUT ATAU CEMETI

LOSOFI PECUT ATAU CEMETI LOSOFI PECUT ATAU CEMETI Ketika ritual sudah dilaksanakan maka terlihat anggota paguyuban seni Turonggo seto kinasih melakukan atraksi mengibaskan pecut atau cemeti dari berbagai arah, utara, selatan,

Lebih terperinci

BAB 4 KESIMPULAN. Universitas Indonesia. Sistem nilai..., Mastiur Pharmata, FIB UI, 2009

BAB 4 KESIMPULAN. Universitas Indonesia. Sistem nilai..., Mastiur Pharmata, FIB UI, 2009 127 BAB 4 KESIMPULAN Serat Nitimani adalah salah satu hasil karya sastra Jawa yang isinya merupakan ajaran tentang seks. Dengan kata lain, Serat Nitimani memberikan informasi mengenai seksologi Jawa (ilmu

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN. Pada dasarnya Keraton Yogyakarta dibangun berdasarkan. kosmologi Jawa, yang meletakkan keseimbangan dan keselarasan

BAB VI KESIMPULAN. Pada dasarnya Keraton Yogyakarta dibangun berdasarkan. kosmologi Jawa, yang meletakkan keseimbangan dan keselarasan 533 BAB VI KESIMPULAN A. Kesimpulan Pada dasarnya Keraton Yogyakarta dibangun berdasarkan kosmologi Jawa, yang meletakkan keseimbangan dan keselarasan sebagai landasan relasi manusia-tuhan-alam semesta.

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. akan memaparkan beberapa pokok pemikiran penting yang merupakan inti

BAB V KESIMPULAN. akan memaparkan beberapa pokok pemikiran penting yang merupakan inti 111 BAB V KESIMPULAN Bab ini merupakan kesimpulan terhadap semua hasil penelitian yang telah diperoleh setelah melakukan pengkajian, sekaligus memberikan analisis terhadap permasalahan yang dibahas. Dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Jawa pada umumnya masih melestarikan kepercayaan terhadap

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Jawa pada umumnya masih melestarikan kepercayaan terhadap BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masyarakat Jawa pada umumnya masih melestarikan kepercayaan terhadap ajaran-ajaran terdahulu dari nenek-moyang mereka. Ajaran-ajaran ini akan terus diamalkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Istimewa Yogyakarta, atau yang disingkat DIY, memiliki keistimewaan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu animisme dan dinamisme. Setelah itu barulah masuk agama Hindu ke

BAB I PENDAHULUAN. yaitu animisme dan dinamisme. Setelah itu barulah masuk agama Hindu ke 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebelum datangnya Islam masyarakat Indonesia masih percaya akan kekuatan roh nenek moyang yang merupakan sebuah kepercayaan lokal yaitu animisme dan dinamisme.

Lebih terperinci

Nilai-nilai Ajaran Kepercayaan terhadap Tuhan YME sebagai Rujukan Pembentukan Karakter Bangsa MAJELIS LUHUR

Nilai-nilai Ajaran Kepercayaan terhadap Tuhan YME sebagai Rujukan Pembentukan Karakter Bangsa MAJELIS LUHUR Nilai-nilai Ajaran Kepercayaan terhadap Tuhan YME sebagai Rujukan Pembentukan Karakter Bangsa MAJELIS LUHUR KEPERCAYAAN TERHADAP TUHAN YME I N D O N E S I A Andri Hernandi Ketua Presidium Pusat Periode

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Permasalahan Perkembangan gereja dan kekristenan di era globalisasi sekarang ini begitu pesat. Pembangunan gereja secara fisik menjadi salah satu indikator bahwa suatu

Lebih terperinci

Filsafat Nusantara Damardjati Supadjar: Reformasi Ke-Jawa-an. Oleh : Venti Wijayanti

Filsafat Nusantara Damardjati Supadjar: Reformasi Ke-Jawa-an. Oleh : Venti Wijayanti Filsafat Nusantara Damardjati Supadjar: Reformasi Ke-Jawa-an Oleh : Venti Wijayanti Usaha untuk menemukan filsafat Nusantara tidaklah mudah. Hal ini dikarenakan adanya dominasi kuat peradaban Barat yang

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Masjid Agung Demak mempunyai arti yang sangat penting bagi kehidupan

BAB V PENUTUP. Masjid Agung Demak mempunyai arti yang sangat penting bagi kehidupan BAB V PENUTUP Masjid Agung Demak mempunyai arti yang sangat penting bagi kehidupan orang-orang Islam di Jawa. Kedudukan dan kelebihan Masjid Agung Demak tidak terlepas dari peran para ulama yang bertindak

Lebih terperinci

SERAT SASTRA GENDHING

SERAT SASTRA GENDHING SERAT SASTRA GENDHING (Analisis Untuk Memahami Spiritualisme Sultan Agung Hanyakrakusuma) SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Adab Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Untuk Memenuhi Sebagian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Aspek-aspek laku..., Lulus Listuhayu, FIB UI, Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Aspek-aspek laku..., Lulus Listuhayu, FIB UI, Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebudayaan merupakan hasil pikiran dari kehidupan manusia. Selain itu kebudayaan melatarbelakangi segala aspek kehidupan dan karenanya tidak dapat dipisahkan satu

Lebih terperinci

KERANGKA TEORI. A. Definisi Aliran Kepercayaan Dan Kebatinan. Kata kepercayaan menurut istilah yang dimaksud di sini ialah

KERANGKA TEORI. A. Definisi Aliran Kepercayaan Dan Kebatinan. Kata kepercayaan menurut istilah yang dimaksud di sini ialah 29 BAB II KERANGKA TEORI A. Definisi Aliran Kepercayaan Dan Kebatinan Kata kepercayaan menurut makna kata mempunyai beberapa arti, seperti iman kepada agama, anggapan (keyakinan) bahwa benar sungguh ada,

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN. kesenian yang khas. Konsep akan yang indah (beauty) itu sendiri seiring waktu

BAB VI KESIMPULAN. kesenian yang khas. Konsep akan yang indah (beauty) itu sendiri seiring waktu BAB VI KESIMPULAN A. Simpulan Keindahan dalam beragam pemaknaannya melahirkan ekspresi-ekspresi kesenian yang khas. Konsep akan yang indah (beauty) itu sendiri seiring waktu bertransformasi secara ideal

Lebih terperinci

SERAT DEWA RUCI : KONSEP MANUNGGALING KAWULA GUSTI

SERAT DEWA RUCI : KONSEP MANUNGGALING KAWULA GUSTI SERAT DEWA RUCI : KONSEP MANUNGGALING KAWULA GUSTI TRI ULFA SUSILA 2611414001 Jurusan Bahasa Jawa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang, Indonesia Info Artikel SejarahArtikel: Keywords:

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. budaya Jawa terhadap liturgi GKJ adalah ada kesulitan besar pada tata

BAB V PENUTUP. budaya Jawa terhadap liturgi GKJ adalah ada kesulitan besar pada tata BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Kesimpulan akhir dari penelitian tentang teologi kontekstual berbasis budaya Jawa terhadap liturgi GKJ adalah ada kesulitan besar pada tata peribadahan GKJ di dalam menanamkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seorang manusia sebagai bagian dari sebuah komunitas yang. bernama masyarakat, senantiasa terlibat dengan berbagai aktifitas sosial

BAB I PENDAHULUAN. Seorang manusia sebagai bagian dari sebuah komunitas yang. bernama masyarakat, senantiasa terlibat dengan berbagai aktifitas sosial BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seorang manusia sebagai bagian dari sebuah komunitas yang bernama masyarakat, senantiasa terlibat dengan berbagai aktifitas sosial yang berlaku dan berlangsung

Lebih terperinci

TONTONAN, TATANAN, DAN TUNTUNAN ASPEK PENTING DALAM AKSIOLOGI WAYANG

TONTONAN, TATANAN, DAN TUNTUNAN ASPEK PENTING DALAM AKSIOLOGI WAYANG TONTONAN, TATANAN, DAN TUNTUNAN ASPEK PENTING DALAM AKSIOLOGI WAYANG Oleh: Kasidi Hp. Disampaikan dalam Sarasehan Senawangi Dalam Rangka Kongres IX Senawangi 25-26 April 2017 Jakarta PENGERTIAN AKSIOLOGI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia memiliki kebebasan untuk memeluk dan menjalankan agama menurut

BAB I PENDAHULUAN. Manusia memiliki kebebasan untuk memeluk dan menjalankan agama menurut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia memiliki kebebasan untuk memeluk dan menjalankan agama menurut kepercayaannya. Glock & Stark, (1965) mendefinisikan agama sebagai sistem simbol, sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kehidupan sosial, adat istiadat. Indonesia memiliki beragam kebudayaan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kehidupan sosial, adat istiadat. Indonesia memiliki beragam kebudayaan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia yang terdiri atas beberapa pulau dan kepulauan serta di pulau-pulau itu terdapat berbagai suku bangsa masing-masing mempunyai kehidupan sosial,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. serta mudah dipahami oleh orang awam lantaran pendekatan-pendekatan

BAB I PENDAHULUAN. serta mudah dipahami oleh orang awam lantaran pendekatan-pendekatan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan dakwah Islam di Pulau Jawa mengalami proses yang cukup unik dan berliku-liku. Hal ini disebabkan karena kekuatan tradisi budaya dan sastra Hindu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masih tersebar diseluruh Nusantara. Menurut Kodirun (dalam Koentjaranigrat,

BAB I PENDAHULUAN. masih tersebar diseluruh Nusantara. Menurut Kodirun (dalam Koentjaranigrat, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wayang adalah suatu kebudayaan yang ada di Indonesia sejak ajaran Hindu masih tersebar diseluruh Nusantara. Menurut Kodirun (dalam Koentjaranigrat, 1990:329). Daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dinamakan mampu berbuat hamemayu hayuning bawana (Suwardi Endraswara,

BAB I PENDAHULUAN. dinamakan mampu berbuat hamemayu hayuning bawana (Suwardi Endraswara, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah bagian dari suatu ekosistem yang harus diperhatikan eksistensinya. Manusia harus menciptakan lingkungan budayanya menjadi enak dan nyaman. Orang yang

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. 5.1 Alasan Kehadiran Rejang Sangat Dibutuhkan dalam Ritual. Pertunjukan rejang Kuningan di Kecamatan Abang bukanlah

BAB V KESIMPULAN. 5.1 Alasan Kehadiran Rejang Sangat Dibutuhkan dalam Ritual. Pertunjukan rejang Kuningan di Kecamatan Abang bukanlah BAB V KESIMPULAN 5.1 Alasan Kehadiran Rejang Sangat Dibutuhkan dalam Ritual Kuningan Pertunjukan rejang Kuningan di Kecamatan Abang bukanlah merupakan seni pertunjukan yang biasa tetapi merupakan pertunjukan

Lebih terperinci

Spiritualitas Islam Dalam Pandangan Muhammadiyah. Farah Meidita Firdaus

Spiritualitas Islam Dalam Pandangan Muhammadiyah. Farah Meidita Firdaus Spiritualitas Islam Dalam Pandangan Muhammadiyah Farah Meidita Firdaus 201410330311104 Pengertian Spiritual Secara etimologi kata sprit berasal dari kata Latin spiritus, yang diantaranya berarti roh, jiwa,

Lebih terperinci

Mistik Nawaruci dan Mistik Bimasuci dalam Perjumpaannya dengan Yesus, Sang Air Kehidupan

Mistik Nawaruci dan Mistik Bimasuci dalam Perjumpaannya dengan Yesus, Sang Air Kehidupan Mistik Nawaruci dan Mistik Bimasuci dalam Perjumpaannya dengan Yesus, Sang Air Kehidupan Endah Christina Pendahuluan Mistik Nawaruci atau Mistik Bimasuci adalah suatu lakon wayang yang mempergelarkan secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebelum masuknya agama-agama besar dunia ke Indonesia, masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Sebelum masuknya agama-agama besar dunia ke Indonesia, masyarakat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebelum masuknya agama-agama besar dunia ke Indonesia, masyarakat Indonesia telah bertuhan dan menjunjung tinggi prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa. Prof. Dr. Purbatjaraka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Midi Prawirowasito dilahirkan di Baron Nganjuk pada tanggal 27 Februari 1881 dan ia dibesarkan di lingkungan keluarga muslim. Sejak kecil ia aktif belajar mengaji

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Kebudayaan Indonesia sangat beragam. Pengaruh-pengaruh kebudayaan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Kebudayaan Indonesia sangat beragam. Pengaruh-pengaruh kebudayaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebudayaan merupakan sistem nilai yang terkandung dalam sebuah masyarakat. Kebudayaan Indonesia sangat beragam. Pengaruh-pengaruh kebudayaan yang membentuk lapis-lapis

Lebih terperinci

IPTEK DAN SENI DALAM ISLAM

IPTEK DAN SENI DALAM ISLAM IPTEK DAN SENI DALAM ISLAM KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, berkah, dan hidayah-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul IPTEK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bahasa, hingga kebudayaan yang beragam. Kebudayaan yang dimiliki Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bahasa, hingga kebudayaan yang beragam. Kebudayaan yang dimiliki Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara kepulauan yang majemuk. Terdapat banyak suku, bahasa, hingga kebudayaan yang beragam. Kebudayaan yang dimiliki Indonesia mengandung unsur-unsur

Lebih terperinci

AGAMA dan PERUBAHAN SOSIAL. Oleh : Erna Karim

AGAMA dan PERUBAHAN SOSIAL. Oleh : Erna Karim AGAMA dan PERUBAHAN SOSIAL Oleh : Erna Karim DEFINISI AGAMA MENGUNDANG PERDEBATAN POLEMIK (Ilmu Filsafat Agama, Teologi, Sosiologi, Antropologi, dan Ilmu Perbandingan Agama) TIDAK ADA DEFINISI AGAMA YANG

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Permasalahan Bangsa Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki begitu banyak kekayaan yang dapat dilihat oleh dunia. Berbagai macam kekayaan seperti suku,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan, bukan hanya terjadi ketika seseorang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan, bukan hanya terjadi ketika seseorang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Religius (religiosity) merupakan ekspresi spiritual seseorang yang berkaitan dengan sistem keyakinan, nilai, hukum yang berlaku. Religiusitas diwujudkan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Kata tembang nyanyian sama fungsi dan kegunaannya dengan kidung, kakawin dan gita. Kata kakawin berasal

BAB I PENDAHULUAN. 1 Kata tembang nyanyian sama fungsi dan kegunaannya dengan kidung, kakawin dan gita. Kata kakawin berasal BAB I PENDAHULUAN A. Pendahuluan a. Latar Belakang Masalah Dalam menjalani kehidupannya di dunia manusia mengalami banyak peristiwa baik itu yang menyenangkan maupun yang menyedihkan. Terkadang beberapa

Lebih terperinci

M I S T E R I. Publication : 1436 H_2015 M MISTERI SYEKH SITI JENAR

M I S T E R I. Publication : 1436 H_2015 M MISTERI SYEKH SITI JENAR M I S T E R I Syekh SITI JENAR حفظه هللا Ustadz Zainal Abidin bin Syamsuddin Publication : 1436 H_2015 M MISTERI SYEKH SITI JENAR حفظه هللا Oleh : Ustadz Zainal Abidin bin Syamsuddin Sumber: Majalah al-furqon

Lebih terperinci

Pola Perilaku Spiritual dalam Kelompok Kebatinan Santri Garing di Desa Kajoran Kecamatan Karanggayam Kabupaten Kebumen

Pola Perilaku Spiritual dalam Kelompok Kebatinan Santri Garing di Desa Kajoran Kecamatan Karanggayam Kabupaten Kebumen Pola Perilaku Spiritual dalam Kelompok Kebatinan Santri Garing di Desa Kajoran Kecamatan Karanggayam Kabupaten Kebumen Oleh: Riana Anggraeni Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa rianaanggraeni93@yahoo.com

Lebih terperinci

BAB I Pendahuluan. 1.1 Latar belakang permasalahan

BAB I Pendahuluan. 1.1 Latar belakang permasalahan BAB I Pendahuluan 1.1 Latar belakang permasalahan Bangsa Indonesia merupakan salah satu bangsa yang besar yang dikenal karena keberagaman budaya dan banyaknya suku yang ada di dalamnya. Untuk mengelola

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan karakter sebagian pemuda-pemudi saat ini sehubungan dengan pendidikan karakter atau kodratnya sebagai makhluk sosial, dapat dikatakan sangat memprihatinkan.

Lebih terperinci

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI BAB 9 KESIMPULAN Dari apa yang telah diuraikan dan dibahas pada bab-bab sebelumnya, tergambarkan bahwa perdesaan di Tabola pada khususnya dan di Bali pada umumnya, adalah perdesaan yang berkembang dinamis.

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN. hasil penelitian sebelumnya. Kajian pustaka bersifat mutakhir yang memuat teori,

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN. hasil penelitian sebelumnya. Kajian pustaka bersifat mutakhir yang memuat teori, BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka memuat uraian yang sistematik dan relevan dari fakta serta hasil penelitian sebelumnya. Kajian pustaka

Lebih terperinci

Bab VI Simpulan & Saran

Bab VI Simpulan & Saran Bab VI Simpulan & Saran VI.1. Simpulan Berdasarkan analisis pada perupaan sampel artefak yang saling diperbandingkan, maka sesuai hipotesis, memang terbukti adanya pemaknaan Tasawuf yang termanifestasikan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. manusia senantiasa mengalami suatu perubahan-perubahan pada kehidupan. tak terbatas (Muhammad Basrowi dan Soenyono, 2004: 193).

TINJAUAN PUSTAKA. manusia senantiasa mengalami suatu perubahan-perubahan pada kehidupan. tak terbatas (Muhammad Basrowi dan Soenyono, 2004: 193). 11 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka 1. Konsep Perubahan Perubahan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti, hal (keadaan) berubah, peralihan, pertukaran. Dalam hal ini perubahan didefinisikan

Lebih terperinci

PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT

PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT PENGERTIAN FILSAFAT FILSAFAT (Philosophia) Philo, Philos, Philein, adalah cinta/ pecinta/mencintai Sophia adalah kebijakan, kearifan, hikmah, hakikat kebenaran Cinta pada

Lebih terperinci

21. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Menengah Atas Luar Biasa Tunalaras (SMALB - E)

21. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Menengah Atas Luar Biasa Tunalaras (SMALB - E) 21. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Menengah Atas Luar Biasa Tunalaras (SMALB - E) A. Latar Belakang Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat manusia. Agama menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah suatu proses multi dimensial yang meliputi bimbingan atau pembinaan yang dilakukan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani

Lebih terperinci

BAB IV PERBANDINGAN PEMURNIAN TAREKAT IBNU TAIMIYAH DAN HAMKA

BAB IV PERBANDINGAN PEMURNIAN TAREKAT IBNU TAIMIYAH DAN HAMKA BAB IV PERBANDINGAN PEMURNIAN TAREKAT IBNU TAIMIYAH DAN HAMKA A. Pemurnian Tarekat Ibnu Taimiyah dan Hamka 1. Ibnu Taimiyah Seperti yang telah dibahas dalam bab sebelumnya, hubungan antara tarekat dengan

Lebih terperinci

lease purchase PDFcamp Printer on to remove this watermark. BAB 4 KESIMPULAN

lease purchase PDFcamp Printer on  to remove this watermark. BAB 4 KESIMPULAN 124 BAB 4 KESIMPULAN Masyarakat Jawa yang kaya akan nilai-nilai budaya memiliki banyak cara untuk mengapresiasi dan mengaplikasikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Melalui ungkapan, falsafah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem pemikiran Yoga dapat dilihat sebagai suatu konstelasi pemikiran filsafat, bukan hanya seperangkat hukum religi karena ia bekerja juga mencapai ranah-ranah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pedoman hidup sehari-hari. Keberagaman tersebut memiliki ciri khas yang

BAB I PENDAHULUAN. pedoman hidup sehari-hari. Keberagaman tersebut memiliki ciri khas yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap negara memiliki beragam norma, 1 moral, 2 dan etika 3 yang menjadi pedoman hidup sehari-hari. Keberagaman tersebut memiliki ciri khas yang berbeda-beda

Lebih terperinci

TEORISASI DAN STRATEGI PENDIDIKAN ISLAM Oleh : Fahrudin

TEORISASI DAN STRATEGI PENDIDIKAN ISLAM Oleh : Fahrudin A. Pendahuluan TEORISASI DAN STRATEGI PENDIDIKAN ISLAM --------------------------------------------------------------------- Oleh : Fahrudin Tujuan agama Islam diturunkan Allah kepada manusia melalui utusan-nya

Lebih terperinci

MEMAHAMI AJARAN FANA, BAQA DAN ITTIHAD DALAM TASAWUF. Rahmawati

MEMAHAMI AJARAN FANA, BAQA DAN ITTIHAD DALAM TASAWUF. Rahmawati MEMAHAMI AJARAN FANA, BAQA DAN ITTIHAD DALAM TASAWUF Rahmawati Abstrak: Tulisan ini akan membahas sekelumit tentang konsep fana dan baqa, dari segi pengertian, tujuan dan kedudukannya. Juga dibahas sejarah

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS KEISLAMAN DENGAN SIKAP TERHADAP RITUAL PENGRAWIT PADA MAHASISWA ISI SURAKARTA

HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS KEISLAMAN DENGAN SIKAP TERHADAP RITUAL PENGRAWIT PADA MAHASISWA ISI SURAKARTA HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS KEISLAMAN DENGAN SIKAP TERHADAP RITUAL PENGRAWIT PADA MAHASISWA ISI SURAKARTA SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana-S1 Bidang Psikologi

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Simpulan BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI Hasil penelitian menunjukkan bahwa filsafat pendidikan Ki Hadjar Dewantara merupakan sistem konsep pendidikan yang bersifat kultural nasional. Sekalipun Ki Hadjar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Di dunia ini banyak hal yang tidak terbaca karena selalu ada sesuatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Di dunia ini banyak hal yang tidak terbaca karena selalu ada sesuatu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dunia ini banyak hal yang tidak terbaca karena selalu ada sesuatu yang tidak bisa terungkap secara kasat mata. Untuk mengungkapkan sesuatu kadang tabu untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang terdapat pada kertas, lontar, kulit kayu atau rotan (Djamaris, 1977:20). Naskah

BAB I PENDAHULUAN. yang terdapat pada kertas, lontar, kulit kayu atau rotan (Djamaris, 1977:20). Naskah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Naskah merupakan obyek material filologi yang menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan perasaan hasil budaya bangsa pada masa lalu (Baried, 1985:54). Naskah yang dimaksud

Lebih terperinci

MAKALAH PENERAPAN NILAI-NILAI PANCASILA DALAM BIDANG PROFESI MANUSIA

MAKALAH PENERAPAN NILAI-NILAI PANCASILA DALAM BIDANG PROFESI MANUSIA MAKALAH PENERAPAN NILAI-NILAI PANCASILA DALAM BIDANG PROFESI MANUSIA Disusun: Nama : Aries Paraditha NPM : 11.11.4900 Kelompok : D Program Studi : S1 TI Dosen: Tahajudin Sudibyo,Drs. MEMENUHI SALAH SATU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Restu Nur Karimah, 2015

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Restu Nur Karimah, 2015 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dalam mempelajari suatu agama, aspek yang pertama dipertimbangkan sekaligus harus dikaji ialah konsep ketuhanannya. Dari konsep ketuhanan, akan diketahui

Lebih terperinci

Oleh: ENCEP SUPRIATNA

Oleh: ENCEP SUPRIATNA Pemikiran Tasawuf (Mistisme) Dalam Dunia Islam Serta Kemunculan Aliran-Aliran Tarekat (Studi Kasus Pemikiran Tasawuf Hamzah Fansuri) Oleh: ENCEP SUPRIATNA Pengertian dan Asal Usul Tasawuf Pandangan ahli

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu dari sekian banyaknya kesenian di Pulau Jawa adalah kesenian wayang

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu dari sekian banyaknya kesenian di Pulau Jawa adalah kesenian wayang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu dari sekian banyaknya kesenian di Pulau Jawa adalah kesenian wayang kulit purwa. Kesenian wayang kulit purwa hampir terdapat di seluruh Pulau Jawa.

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TENTANG PROSES PENANAMAN NILAI NILAI AGAMA ISLAM PADA SISWA TAMAN KANAK KANAK DI R.A TARBIYATUL ISLAM

BAB IV ANALISIS TENTANG PROSES PENANAMAN NILAI NILAI AGAMA ISLAM PADA SISWA TAMAN KANAK KANAK DI R.A TARBIYATUL ISLAM BAB IV ANALISIS TENTANG PROSES PENANAMAN NILAI NILAI AGAMA ISLAM PADA SISWA TAMAN KANAK KANAK DI R.A TARBIYATUL ISLAM Keinginan seorang guru untuk mendidik anak didiknya menjadi orang yang pintar, berbudi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai di masyarakat. Karya sastra ini mengandung banyak nilai dan persoalan

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai di masyarakat. Karya sastra ini mengandung banyak nilai dan persoalan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra tradisional yang tersimpan dalam naskah lontar banyak dijumpai di masyarakat. Karya sastra ini mengandung banyak nilai dan persoalan yang berhubungan

Lebih terperinci

Agung Pramujiono. (Makalah diterima tanggal 2 Januari 2010 Disetujui tanggal 23 September 2010)

Agung Pramujiono. (Makalah diterima tanggal 2 Januari 2010 Disetujui tanggal 23 September 2010) TENTANG MANUSIA DALAM TEMBANG PALARAN DHANDHANGGULA NYI TJONDROLUKITO: KAJIAN FILSAFAT SANGKAN-PARAN About Human in Tembang Palaran Dhandanggula Nyi Tjondrolukito : A Sangkan-Paran Philosophy Study Agung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. macam suku, ras, agama, dan budaya. Keberagaman tersebut tersebar hampir

BAB I PENDAHULUAN. macam suku, ras, agama, dan budaya. Keberagaman tersebut tersebar hampir digilib.uns.ac.id 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia merupakan negara plural yang terdiri dari berbagai macam suku, ras, agama, dan budaya. Keberagaman tersebut tersebar hampir di seluruh

Lebih terperinci

Kualitas Sumber Daya Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam Pelestarian Nilai-Nilai Luhur

Kualitas Sumber Daya Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam Pelestarian Nilai-Nilai Luhur Kualitas Sumber Daya Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam Pelestarian Nilai-Nilai Luhur Purwokerto, 22 23 Agustus 2016 (Hertoto Basuki) Rahayu, Sebagai bangsa yang menjadi bagian dari

Lebih terperinci

BAB 3 KAJIAN TIPOMORFOLOGI ARSITEKTUR PERCANDIAN BATUJAYA

BAB 3 KAJIAN TIPOMORFOLOGI ARSITEKTUR PERCANDIAN BATUJAYA BAB 3 KAJIAN TIPOMORFOLOGI ARSITEKTUR PERCANDIAN BATUJAYA 3.1. Tata letak Perletakan candi Batujaya menunjukkan adanya indikasi berkelompok-cluster dan berkomposisi secara solid void. Komposisi solid ditunjukkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk individu dan makhluk sosial. maksud bahwa manusia bagaimanapun juga tidak bisa terlepas dari individu

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk individu dan makhluk sosial. maksud bahwa manusia bagaimanapun juga tidak bisa terlepas dari individu BAB I PENDAHULUAN A. Konteks Penelitian Manusia adalah makhluk individu dan makhluk sosial. Dalam hubungannya dengan manusia sebagai makhluk sosial, terkandung suatu maksud bahwa manusia bagaimanapun juga

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. dalam penelitian novel Saya Mujahid Bukan Teroris karya Muhammad B.

BAB V PENUTUP. dalam penelitian novel Saya Mujahid Bukan Teroris karya Muhammad B. BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Berdasarkan uraian dari bab-bab sebelumnya, hasil temuan penulis dalam penelitian novel Saya Mujahid Bukan Teroris karya Muhammad B. Anggoro yaitu berupa makna pesan dakwah

Lebih terperinci

17. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)

17. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 17. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) A. Latar Belakang Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat manusia. Agama

Lebih terperinci

11. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik untuk Sekolah Dasar (SD)

11. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik untuk Sekolah Dasar (SD) 11. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik untuk Sekolah Dasar (SD) A. Latar Belakang Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat manusia. Agama menjadi pemandu dalam upaya mewujudkan

Lebih terperinci

Mengapa Al-Quran Diturunkan Berbahasa Arab

Mengapa Al-Quran Diturunkan Berbahasa Arab Mengapa Al-Quran Diturunkan Berbahasa Arab Al-hamdulillah, wash-shalatu wassalamu 'ala rasulillah, wa ba'du Barangkali ada sebagian dari kita, termasuk kaum muslimin, masih muncul pertanyaan dalam dirinya:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa merupakan sesuatu yang kḥas, yang hanya dimiliki oleh manusia. Ernest Cassier dalam hal ini menyebutkan manusia sebagai animal symbolicum, yakni makhluk yang

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Konsep manusia dari Erich Fromm merujuk pada pandangan yang bersifat

BAB V PENUTUP. 1. Konsep manusia dari Erich Fromm merujuk pada pandangan yang bersifat BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Konsep manusia dari Erich Fromm merujuk pada pandangan yang bersifat antropologico-philosophies, dengan berada pada dua persimpangan yaitu pandangan manusia yang mendasarkan

Lebih terperinci

E. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN AGAMA BUDDHA DAN BUDI PEKERTI SDLB TUNADAKSA

E. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN AGAMA BUDDHA DAN BUDI PEKERTI SDLB TUNADAKSA - 1266 - E. KOMPETENSI INTI DAN PENDIDIKAN AGAMA BUDDHA DAN BUDI PEKERTI SDLB TUNADAKSA KELAS : I Kompetensi Sikap Spiritual, Kompetensi Sikap Sosial, Kompetensi Pengetahuan, dan Kompetensi Keterampilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Secara teoretis kita dapat melakukan berbagai macam bandingan, di antaranya (a) bandingan intratekstual, seperti studi filologi, yang menitikberatkan pada

Lebih terperinci

PEMBUKAAN MUSABAQAH TILAWATIL QURAN TINGKAT NASIONAL XXII, 17 JUNI 2008, DI SERANG, PROPINSI BANTEN Selasa, 17 Juni 2008

PEMBUKAAN MUSABAQAH TILAWATIL QURAN TINGKAT NASIONAL XXII, 17 JUNI 2008, DI SERANG, PROPINSI BANTEN Selasa, 17 Juni 2008 PEMBUKAAN MUSABAQAH TILAWATIL QURAN TINGKAT NASIONAL XXII, 17 JUNI 2008, DI SERANG, PROPINSI BANTEN Selasa, 17 Juni 2008 SAMBUTAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PADA ACARA PEMBUKAAN MUSABAQAH TILAWATIL QURAN

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. Adapun kesimpulan tersebut terdapat dalam poin-poin berikut:

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. Adapun kesimpulan tersebut terdapat dalam poin-poin berikut: BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Uraian akhir dari analisa atas pemikiran Frithjof Schuon tentang makna agama dalam perspektif Filsafat Agama adalah bagian kesimpulan, yang merupakan rangkuman jawaban atas

Lebih terperinci

Sumber dan Tujuan Pendidikan yang Benar. Pengetahuan orang kudus adalah pengertian, Kenalilah akan Dia.

Sumber dan Tujuan Pendidikan yang Benar. Pengetahuan orang kudus adalah pengertian, Kenalilah akan Dia. Sumber dan Tujuan Pendidikan yang Benar Pengetahuan orang kudus adalah pengertian, Kenalilah akan Dia. Pemikiran kita tentang pendidikan terlalu sempit dan dangkal. Karena hanya mengejar suatu arah pelajaran

Lebih terperinci

Ringkasan Disertasi MORAL ISLAM DALAM LAKON BIMA SUCI. Oleh: T e guh NIM: /83. Pro motor: Prof. Dr. Marsono Prof. Dr. H. lskandar Zulkarnain

Ringkasan Disertasi MORAL ISLAM DALAM LAKON BIMA SUCI. Oleh: T e guh NIM: /83. Pro motor: Prof. Dr. Marsono Prof. Dr. H. lskandar Zulkarnain Ringkasan Disertasi MORAL ISLAM DALAM LAKON BIMA SUCI Oleh: T e guh NIM: 993155/83 Pro motor: Prof. Dr. Marsono Prof. Dr. H. lskandar Zulkarnain Diajukan kepada Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut; Eksistensi spiritualitas guru dalam

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut; Eksistensi spiritualitas guru dalam 204 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut; Eksistensi spiritualitas guru dalam perspektif pendidikan Islam adalah aktualisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. macam suku bangsa termasuk agamapun banyak aliran yang berkembang.

BAB I PENDAHULUAN. macam suku bangsa termasuk agamapun banyak aliran yang berkembang. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suatu kenyataan bahwa masyarakat Indonesia memiliki berbagai macam adat dan kebudayaan yang berbeda, karena masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai macam suku bangsa

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN A. Kesimpulan Dari Hasil Penelitian yang telah diuraikan dimuka, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Keraton Kasunanan Surakarta mulai dibangun pada

Lebih terperinci

Bab 4. Faktor-Faktor Penggerak Praktik Ritual dan Pandangan Kejawen. tentang Ritual Gunung Kemukus

Bab 4. Faktor-Faktor Penggerak Praktik Ritual dan Pandangan Kejawen. tentang Ritual Gunung Kemukus Bab 4 Faktor-Faktor Penggerak Praktik Ritual dan Pandangan Kejawen tentang Ritual Gunung Kemukus Ritual ngalap berkah adalah usaha yang dilakukan seseorang dalam mencari peruntungan melalui permohonan

Lebih terperinci

12. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)

12. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 12. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) A. Latar Belakang Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat manusia. Agama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. juga memberikan pengalaman dan gambaran dalam bermasyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. juga memberikan pengalaman dan gambaran dalam bermasyarakat. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra merupakan cerminan keadaan sosial masyarakat yang dialami pengarang, yang diungkapkan kembali melalui perasaannya ke dalam sebuah tulisan. Dalam tulisan

Lebih terperinci

2.4 Uraian Materi Pengertian dan Hakikat dari Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia Sebagai pendangan hidup bangsa Indonesia,

2.4 Uraian Materi Pengertian dan Hakikat dari Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia Sebagai pendangan hidup bangsa Indonesia, 2.4 Uraian Materi 2.4.1 Pengertian dan Hakikat dari Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia Sebagai pendangan hidup bangsa Indonesia, Pancasila berarti konsepsi dasar tentang kehidupan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memberikan identitas kultural terhadap seseorang (Jayanti, 2008: 48).

BAB I PENDAHULUAN. memberikan identitas kultural terhadap seseorang (Jayanti, 2008: 48). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan dunia fashion terus mengalami kemajuan sehingga menghasilkan berbagai trend mode dan gaya. Hal ini tidak luput dari kemajuan teknologi dan media sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jika kita membaca berbagai macam karya sastra Jawa, maka di antaranya ada

BAB I PENDAHULUAN. Jika kita membaca berbagai macam karya sastra Jawa, maka di antaranya ada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jika kita membaca berbagai macam karya sastra Jawa, maka di antaranya ada karya sastra berbentuk puisi yang dikenal sebagai těmbang macapat atau disebut juga těmbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sejarah umat manusia, agama dan kebudayaan memiliki peran sentral yang tak

BAB I PENDAHULUAN. sejarah umat manusia, agama dan kebudayaan memiliki peran sentral yang tak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Agama dan kebudayaan adalah dua hal yang selalu menarik untuk dicermati. Hal ini disebabkan karena bagi hidup manusia, keduanya selalu menjadi hal yang tak terelakkan.

Lebih terperinci

Ajaran Kesempurnaan Hidup dalam Teks Suluk Ulam Loh

Ajaran Kesempurnaan Hidup dalam Teks Suluk Ulam Loh Ajaran Kesempurnaan Hidup dalam Teks Suluk Ulam Loh Oleh : Lilis setyorini Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa lilisetyo91@gmail.com Abstrak: Tujuan dari penelitian ini adalah 1) menyajikan

Lebih terperinci

Seminar Nasional Sastra, Pendidikan Karakter dan Industri Kreatif Surakarta, 31 Maret 2015

Seminar Nasional Sastra, Pendidikan Karakter dan Industri Kreatif Surakarta, 31 Maret 2015 HARMONISASI HUBUNGAN TUHAN DENGAN MANUSIA DALAM SERAT SASTRA GENDHING, PEMBACAAN HERMENEUTIK TERHADAP SASTRA JAWA TRANSENDENTAL Yuli Kurniati Werdiningsih Universitas PGRI Semarang Jl. Sidodadi Timur No.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Karya sastra sebagai hasil pemikiran imajinatif, menceritakan segala

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Karya sastra sebagai hasil pemikiran imajinatif, menceritakan segala BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra sebagai hasil pemikiran imajinatif, menceritakan segala permasalahan yang berasal dari kehidupan manusia. Permasalahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penerangan, dakwah, pendidikan, pemahaman filsafat, serta hiburan.

BAB I PENDAHULUAN. penerangan, dakwah, pendidikan, pemahaman filsafat, serta hiburan. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wayang salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling menonjol di antara banyak karya budaya lainnya. Budaya wayang terus berkembang dari zaman ke zaman,

Lebih terperinci

BAB IV RESPON MASYARAKAT MUSLIM TERHADAP TRADISI RUWATAN BULAN PURNAMA. A. Masyarakat Umum di Komplek Candi Brahu

BAB IV RESPON MASYARAKAT MUSLIM TERHADAP TRADISI RUWATAN BULAN PURNAMA. A. Masyarakat Umum di Komplek Candi Brahu 54 BAB IV RESPON MASYARAKAT MUSLIM TERHADAP TRADISI RUWATAN BULAN PURNAMA A. Masyarakat Umum di Komplek Candi Brahu Dalam suatu aktivitas budaya pasti melibatkan elemen masyarakat, dimana dalam lingkup

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Islam yang tidak terlalu penting untuk serius dipelajari dibandingkan

BAB 1 PENDAHULUAN. Islam yang tidak terlalu penting untuk serius dipelajari dibandingkan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagian orang berpikir bahwa fiqh merupakan pelajaran agama Islam yang tidak terlalu penting untuk serius dipelajari dibandingkan dengan pelajaran umum lainnya.

Lebih terperinci

ISLAM DAN MITOLOGI Oleh Nurcholish Madjid

ISLAM DAN MITOLOGI Oleh Nurcholish Madjid c Demokrasi Lewat Bacaan d ISLAM DAN MITOLOGI Oleh Nurcholish Madjid Mereka yang tidak menerima ajaran Nabi Muhammad saw, barangkali memandang ajaran Islam itu, sebagian atau seluruhnya, tidak lebih daripada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia sebagai negara kepulauan dengan ratusan suku bangsa,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia sebagai negara kepulauan dengan ratusan suku bangsa, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara kepulauan dengan ratusan suku bangsa, didalamnya memiliki keragaman budaya yang mencerminkan kekayaan bangsa yang luar biasa. Kebudayaan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 5.1 Kesimpulan

BAB V PENUTUP. 5.1 Kesimpulan BAB V PENUTUP Manusia dalam kehidupannya adalah manusia yang hidup dalam sebuah institusi. Institusi yang merupakan wujud implementasi kehidupan sosial manusia. Di mana pun keberadaannya manusia tidak

Lebih terperinci