KARAKTERISTIK OPTIK DAN ELEKTRONIK EKSTRAK KLOROFIL Spirulina fusiformis JESSI LINAR TAMBUNAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KARAKTERISTIK OPTIK DAN ELEKTRONIK EKSTRAK KLOROFIL Spirulina fusiformis JESSI LINAR TAMBUNAN"

Transkripsi

1 KARAKTERISTIK OPTIK DAN ELEKTRONIK EKSTRAK KLOROFIL Spirulina fusiformis JESSI LINAR TAMBUNAN DEPARTEMEN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

2 ABSTRAK JESSI LINAR TAMBUNAN. Karakteristik Optik dan Elektronik Ekstrak Klorofil Spirulina fusiformis. Dibimbing oleh AKHIRUDDIN MADDU dan IRIANI SETYANINGSIH. Pada penelitian ini dilakukan studi sifat optik dan elektronik klorofil Spirulina fusiformis hasil kultur pada media zarouk. Pertumbuhan diukur setiap hari dan dilakukan dua kali pemanenan, yaitu pada fase logaritmik dan fase stasioner. Kurva pertumbuhan diukur menggunakan spektrofotometer dan diperoleh lima fase pertumbuhan. Hasil panen diekstrak untuk mendapatkan larutan klorofil yang kemudian diuji absorbansi dan fluoresensinya. Setelah itu dilakukan evaporasi untuk mendapatkan padatan klorofil yang kemudian dilarutkan dengan asetil aseton, lalu ditempatkan antara kedua TCO dan dilakukan karakterisasi arus-tegangan (I-V). Absorbansi larutan ekstrak klorofil memperlihatkan adanya pita serapan klorofil sekitar 430 nm. Pada fase logaritmik serapan tertinggi berada pada panjang gelombang sekitar 430 nm dan terdapat lima pita serapan, yaitu pada selang nm, nm, nm, nm, dan nm. Pada fase stasioner serapan tertinggi berada pada panjang gelombang sekitar 470 nm dan terdapat dua pita serapan, yaitu pada selang nm dan nm. Puncak absorbansi maksimum menyatakan energi eksitasi klorofil. Besar energi eksitasi pada fase logaritmik untuk panjang gelombang 429,87 nm sebesar 2,892 ev dan panjang gelombang 661,89 nm sebesar 1,878 ev, lalu pada fase stasioner untuk panjang gelombang 468,47 nm sebesar 2,654 ev dan panjang gelombang 658,50 nm sebesar 1,888 ev. Fluoresensi klorofil juga memperlihatkan adanya pita emisi fluoresensi. Pada fase logaritmik emisi tertinggi berada pada panjang gelombang 675,49 nm dengan energi emisi sebesar 1,840 ev. Pada fase stasioner emisi tertinggi berada pada panjang gelombang 678,02 nm dengan energi emisi sebesar 1,833 ev. Pengukuran I-V ekstrak klorofil dilakukan pada kondisi gelap dan terang. Konduktivitas cenderung meningkat terhadap kenaikan intensitas cahaya, sehingga klorofil bersifat fotokonduktif. Kata kunci: Spirulina fusiformis, klorofil, absorbansi, fluoresensi, konduktivitas.

3 KARAKTERISTIK OPTIK DAN ELEKTRONIK EKSTRAK KLOROFIL Spirulina fusiformis JESSI LINAR TAMBUNAN Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Fisika DEPARTEMEN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

4 SKRIPSI Judul : Karakteristik Optik dan Elektronik Ekstrak Klorofil Spirulina fusiformis Nama : Jessi Linar Tambunan NIM : G Menyetujui Dr. Akhiruddin Maddu Pembimbing I Ir. Iriani Setyaningsih, M.S Pembimbing II Mengetahui Dr. drh. Hasyim, DEA Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Tanggal Lulus:

5 PRAKATA Salam Sejahtera Puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat, kasih, dan penyertaan-nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul Karakteristik Optik dan Elektronik Ekstrak Klorofil Spirulina fusiformis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Selama pelaksanaan penelitian hingga tersusunnya skripsi ini penulis mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu, baik itu pada saat pelaksanaan penelitian maupun pada saat penyusunan dan penyelesaian skripsi, dalam hal ini khususnya kepada: 1. Bapak Dr. Akhiruddin Maddu dan Ibu Ir. Iriani Setyaningsih, M.S (selaku dosen pembimbing) atas segala nasehat dan bimbingannya. 2. Bapak Ir. Hanedi Darmasetiawan, M.S dan Bapak Faozan Ahmad, M.Si (selaku dosen penguji seminar dan sidang) atas segala masukan dan perbaikan yang diberikan. 3. Ibu Siti Nikmatin, M.Si (selaku dosen penguji kolokium) atas saran yang diberikan. 4. Bapak Dr. Ir. Djoko Prijono, MagrSc. (dosen Departemen Proteksi Tanaman) yang telah mengizinkan dan membantu penulis menggunakan evaporator di Lab. Fisiologi dan Toksikologi DPT IPB. 5. Dinas Pendidikan kota Dumai atas dukungan biaya yang diberikan selama ini. 6. Seluruh dosen, staf, dan laboran Departemen Fisika FMIPA IPB. 7. Keluargaku tercinta Papa (Alm.), Mama, dan Adik-adik (Samuel, Hotniel, dan Putra) terima kasih atas doa, nasehat, dan dukungan semangatnya. 8. Kak Desna dan bang Piator Pasaribu, serta ponakanku Teresya terima kasih atas dukungan semangat dan nasehat yang telah diberikan. 9. Bang Benardo Nababan yang selalu sabar, penuh kasih, terus membimbing aku selama penelitian, men-support aku, dan selalu ada dalam suka maupun duka. 10. Teman-temanku: Adex, Ahmad, Deni, Ery, Hartip, Lili, Mei, Mena, Rizal, Roni, Tiur, dll. 11. Adik kelompok kecilku di PMK IPB: Adit, Janet, dan Kade atas dukungan doanya. 12. Kak Lina, bang Ricardo, bang Richard, bang Supardi, Mega, Suryana, dan Christina atas dukungan semangat dan doanya selama ini. 13. Teman-teman Fisika 42 atas kebersamaan kita selama ini. 14. Pak Firman dan Pak Indro atas keikhlasan, bantuan, dan informasinya. 15. Kak Dika, Evy, Ita, Riska, Senna, dan mas Ipul atas kerjasamanya di lab. THP. 16. Teman-teman kostan: kak Dona, Acel, Cia, Kade, Lastri, Mayang, Ruli, dan Triva. 17. Komliterz atas pelayanan dan pembinaan yang kita jalani bersama dalam suka dan duka. 18. Pihak lain yang telah membantu penulis yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan masukan baik berupa kritik, saran, dan koreksi lain yang membangun untuk mengisi kekurangan-kekurangan pada skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya. Bogor, November 2009 Jessi Linar Tambunan

6 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di kota Dumai pada 07 Juli 1987 dari pasangan Arnold Chamberlin Tambunan, A.Md (Almarhum) dan Rukiah Lindayana Siahaan. Penulis merupakan putrid kedua dari lima bersaudara. Penulis memulai pendidikan di Taman Kanak-kanak SANTO TARCISIUS Dumai pada tahun 1992, kemudian melanjutkan ke Sekolah Dasar 3 YKPP pada tahun 1993 dan lulus tahun Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama YKPP Dumai dan lulus tahun 2002, kemudian melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Atas Negeri Binaan Khusus Dumai dan lulus pada tahun Pada tahun 2005 pula penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur BUD (Beasiswa Utusan Daerah), kemudian pada 2006 penulis diterima di Departemen Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor melalui program mayor-minor. Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah aktif dalam berbagai organisasi. Pada tahun , penulis aktif dalam Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) IPB. Penulis dipercaya sebagai Sekretaris Komisi Literatur Persekutuan Mahasiswa Kristen IPB periode dan sebagai anggota Departemen Instrumentasi dan Teknologi (INSTEK) Badan Eksekutif Mahasiswa Himpunan Mahasiswa Fisika (BEM HIMAFI) IPB periode Selain itu, penulis juga aktif dalam berbagai kepanitiaan.

7 i DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... PENDAHULUAN Latar Belakang... 1 Tujuan Penelitian... 1 Manfaat Penelitian... 1 TINJAUAN PUSTAKA Spirulina sp Klorofil... 3 Porfirin... 4 Fotosintesis dan Fluoresensi Klorofil... 4 Absorbansi... 5 Fotokonduktivitas Bahan Semikonduktor... 6 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian... 7 Alat dan Bahan... 7 Metode Penelitian Kultivasi Spirulina fusiformis... 7 Pemanenan dan Pengeringan... 7 Analisis Kadar Air... 8 Teknik Ekstraksi... 8 Karakterisasi Optik... 8 Uji Fotokonduktivitas HASIL DAN PEMBAHASAN Kultivasi Spirulina fusiformis Pemanenan dan Pengeringan Analisis Kadar Air Ekstraksi dan Kadar Klorofil Absorbansi Klorofil Fluoresensi Klorofil Uji Fotokonduktivitas Kurva Arus-Tegangan (I-V) Resistansi Resistivitas Konduktivitas KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN i ii iii

8 ii DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Sel Spirulina sp Kurva pertumbuhan mikroalga Struktur klorofil Spektra absorpsi Senyawa porfirin Fotoeksitasi klorofil Transisi muatan klorofil Prinsip pengukuran fotokonduktivitas Kultur Spirulina fusiformis Proses evaporasi Rangkaian pengukuran absorbansi Sampel yang berisi larutan untuk pengukuran absorbansi Rangkaian pengukuran fluoresensi Sampel yang berisi larutan untuk pengukuran fluoresensi Skema pengukuran I-V untuk memperoleh fotokonduktivitas Sel Spirulina fusiformis Kurva pertumbuhan Spirulina fusiformis Spektrum absorbansi larutan klorofil pada fase logaritmik Spektrum absorbansi larutan klorofil pada fase stasioner Spektrum absorbansi larutan klorofil pada fase logaritmik dan fase stasioner Spektrum fluoresensi fase logaritmik Spektrum fluoresensi fase stasioner Kurva I-V klorofil pada fase logaritmik Kurva I-V klorofil pada fase stasioner Kurva resistansi klorofil pada fase logaritmik dan fase stasioner Kurva resistivitas klorofil pada fase logaritmik dan fase stasioner Kurva konduktivitas klorofil pada fase logartimik dan fase stasioner... 16

9 iii DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Diagram alir penelitian Komposisi media Zarouk untuk pertumbuhan Spirulina fusiformis Data hasil pengamatan Optical Density (OD) kultur Spirulina fusiformis Data absorbansi larutan klorofil Data I-V klorofil terhadap intensitas cahaya Data resistansi klorofil terhadap intensitas cahaya Data resistivitas dan konduktivitas klorofil terhadap intensitas cahaya Penentuan kadar klorofil Transisi energi fluoresensi Dokumentasi kegiatan penelitian... 38

10 1 Latar Belakang PENDAHULUAN Dewasa ini, bahan semikonduktor organik sangat menarik untuk beberapa aplikasi optik dan elektronik. Senyawa tersebut menggabungkan kemudahan pembuatannya dengan struktur kimianya yang fleksibel yang dapat dirancang untuk maksud khusus (Sudanti 2006). Sifat optik dan elektronik bahan organik sudah sejak lama menjadi bahan kajian yang menarik dari sisi sains maupun teknologi. Secara umum, bahan organik sering dianggap tidak dapat digunakan dalam aplikasi elektronik dan sejenisnya karena bersifat insulator. Akan tetapi, anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar. Beberapa jenis bahan organik ternyata menunjukkan sifat optik dan listrik yang menarik, sehingga dapat dikembangkan untuk beberapa aplikasi elektronik, optoelektronik dan fotonik, seperti sel surya dan fotosensitizer (Anonim 2008). Sejauh ini dye yang digunakan sebagai sensitizer dapat berupa dye sintesis maupun dye alami. Dye sintesis umumnya menggunakan organik logam berbasis ruthenium komplek yang cukup mahal, sedangkan dye alami dapat diekstrak dari bagian-bagian tumbuhan seperti daun, bunga atau buah. Berbagai jenis ekstrak tumbuhan telah digunakan sebagai fotosensitizer pada sistem sel surya tersensitisasi dye. Ekstrak dye atau pigmen tumbuhan yang digunakan sebagai fotosensitizer berupa ekstrak klorofil, karoten atau antosianin (Maddu et al 2007). Biomolekul dari senyawa porfirin misalnya, merupakan bahan organik untuk dijadikan pembuatan devais optik dan elektronik. Keunggulan bahan organik alam ini dengan berat molekul yang kecil mempunyai nilai koefisien serapan optik yang tinggi. Porfirin merupakan salah satu pigmen organik yang banyak dikaji karena berperan untuk mengkonversi energi matahari menjadi energi kimia dalam proses fotosintesis dan merupakan salah satu bagian dari klorofil (Supriyanto et al 2008). Kehidupan di bumi digerakkan oleh energi matahari. Klorofil tumbuhan menangkap energi cahaya yang telah menempuh jarak 160 juta kilometer dari matahari dan mengubahnya menjadi energi kimiawi yang disimpan dalam gula dan molekul organik lainnya. Proses ini disebut fotosintesis (Campbell et al 2000). Fotosintesis menyerap cahaya matahari dalam bentuk gelombang elektromagnetik. Cahaya matahari yang sampai ke bumi, sekitar 23% digunakan untuk daur hidrologi, 46% untuk pemanasan atmosfer, permukaan bumi serta lautan, dan sekitar 30% dipantulkan kembali ke luar angkasa. Cahaya matahari kurang dari 1% digunakan untuk proses fotosintesis tumbuhan (Wirahadikusumah 1985). Akhir-akhir ini, penelitian dan pengembangan fotosintesis buatan untuk konversi energi matahari kian banyak mendapat perhatian berbagai pusat penelitian dunia, khususnya untuk mengantisipasi krisis bahan bakar fosil dan ancaman pemanasan global di masa depan (Nasruddin & Limantara 2009). Indonesia telah dikenal luas sebagai negara kepulauan yang 2/3 wilayahnya adalah lautan. Berbagai jenis mahluk hidup, baik berupa tumbuhan air maupun hewan air terdapat di perairan. Salah satu mahluk hidup yang tumbuh dan berkembang di perairan adalah Spirulina sp. (Dio 2008). Spirulina sp. adalah sejenis tumbuhan air yang mengandung satu sel saja. Oleh karena itu, ia tidak mempunyai akar, daun, bunga, dan sebagainya. Ia merupakan kumpulan alga yang berbentuk spiral dan berwarna hijau gelap. Warna ini disebabkan oleh kombinasi klorofil (hijau), fikosianin (biru), dan karotenoid (orange). Beberapa hal yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah sifat optik dari klorofil yang diekstrak dari bahan alam Spirulina fusiformis, kemudian mengkarakterisasi sifat listriknya dengan menentukan fotokonduktivitas dan responsivitas cahaya dari klorofil tersebut. Proses kultur Spirulina fusiformis dan fotosintesis juga akan dipelajari pada penelitian ini. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah mengkultur mikroalga Spirulina fusiformis, mengekstrak klorofil dari mikroalga Spirulina fusiformis, dan mengkarakterisasi sifat optik dan elektronik klorofil tersebut. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi bagi masyarakat tentang sifat optik dan elektronik klorofil secara umum.

11 2 Spirulina sp. TINJAUAN PUSTAKA Spirulina sp. merupakan nama umum dari dua spesies Cyanobacteria (alga biruhijau/blue green algae). Klasifikasi Spirulina sp. dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan menurut Bold & Wynne 1985 adalah sebagai berikut: kingdom divisi kelas ordo famili genus spesies : Protista : Cyanophyta : Cyanophyceae : Nostocales : Oscilatoriaceae : Spirulina : Spirulina fusiformis Alga biru-hijau prokariotik (Cyanobacteria) termasuk dalam kelompok mikroalga. Mikroalga adalah mikroorganisme fotosintetik dengan morfologi sel yang bervariasi, baik uni-selular maupun multiselular (membentuk koloni kecil). Sebagian besar mikroalga tumbuh secara fototrofik, meskipun tidak sedikit jenis yang mampu tumbuh secara heterotrofik (Kurniawan & Gunarto 1999). Spirulina sp. merupakan mikroorganisme autotrof berwarna hijau-kebiruan, dengan sel berkoloni membentuk filamen terpilin menyerupai spiral (helix), sehingga disebut alga biru-hijau berfilamen (Cyanobacterium). Bentuk tubuhnya yang menyerupai benang merupakan rangkaian sel (trichome) yang berbentuk silindris dengan dinding sel yang tipis, berdiameter 1-12 µm. Filamen Spirulina sp. hidup berdiri sendiri dan dapat bergerak bebas (Borowitzka 1988). kondisi yang luas di permukaan bumi. Spirulina sp. biasanya ditemukan pada tempat-tempat yang lembab atau lahan yang sering terkena air dan banyak hidup pada lingkungan berair di permukaan bumi. Spirulina sp. dapat hidup di semua tempat yang memiliki cukup sinar matahari, air, dan CO 2. Spirulina sp. yang terdapat di dunia sekitar ± 2000 jenis (Dio 2008). Manfaat dan nilai komersial Spirulina sp. bagi kepentingan industri telah cukup lama dikenal. Penelitian dan pengembangan secara intensif telah dilakukan di beberapa negara, baik dalam skala laboratorium maupun industri. Mikroorganisme fotosintetik ini telah dimanfaatkan dalam produksi biomassa, produksi energi, produksi berbagai produk bermanfaat, bioakumulasi senyawa tertentu, berbagai proses biotransformasi, serta dapat juga dimanfaatkan menjadi biodiesel dari minyak nabati yang dihasilkan. Spirulina sp. juga mampu menyerap karbondioksida dan mengkonversikannya menjadi oksigen sehingga dapat mengurangi polusi CO 2 dan dapat mengurangi dampak pemanasan global. Pertumbuhan mikroalga berlangsung dalam 5 fase seperti pada Gambar 2. Jumlah Sel Usia Gambar 2. Kurva pertumbuhan mikroalga (Fogg & Thake 1987) Keterangan: 1. Fase lag 2. Fase logaritmik 3. Fase penurunan laju 4. Fase stasioner 5. Fase kematian Gambar 1. Sel Spirulina sp. (Borowitzka 1988) Spirulina sp. telah ada sejak 3,5 milyar tahun yang lalu dan telah dikonsumsi oleh suku Aztec kuno di Mexico sejak 5 abad yang lalu. Spirulina sp. dapat tumbuh pada rentang Fase lag merupakan fase berpindahnya populasi ke media yang baru, sehingga Spirulina sp. harus beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Fase logaritmik merupakan fase perkembangbiakan sel Spirulina sp. Fase penurunan laju pertumbuhan merupakan fase dimana kematian sel mulai terjadi, tetapi masih sedikit dibandingkan pertumbuhan selnya. Fase stasioner merupakan fase keseimbangan

12 3 pertumbuhan sel dengan kematian sel. Fase kematian merupakan fase dimana kematian sel lebih besar dibandingkan pertumbuhan sel (Fogg & Thake 1987). Klorofil Klorofil adalah pigmen hijau yang terdapat pada tumbuhan hijau, alga, dan bakteri fotosintesis. Klorofil merupakan kompleks antara porfin dengan magnesium. Porfin adalah struktur makrosiklik tak jenuh yang terdiri dari empat cincin pirol yang digabungkan oleh suatu jembatan karbon. Porfin tersubstitusi dinamai porfirin yang dianggap sebagai inti dari semua klorofil. Porfirin adalah pigmen makrosiklik tetrapirol dimana cincin pirol digabungkan oleh jembatan metana dan sistem ganda tertutup. Oleh karena itu, klorofil diklasifikasikan sebagai porfirin (Aryetti diacu dalam Mariyana 2003). Struktur dari klorofil memiliki kesamaan dengan hemoglobin. Perbedaannya hanyalah terletak pada atom pusat dari molekul. Atom pusat klorofil adalah magnesium (Mg), sedangkan atom pusat hemoglobin adalah besi (Fe). Jika hemoglobin diidentikkan sebagai darah merah manusia, maka klorofil dapat diidentikkan sebagai darah hijau manusia. Oleh karena kemiripan struktur ini, maka klorofil adalah satu-satunya molekul di dunia yang secara alamiah dapat diterima oleh tubuh dan menjadi nutrisi vital bagi tubuh manusia (Campbell et al 2000). Klorofil yang biasanya berikatan dengan protein, dapat diekstraksi dari daun tumbuhan dengan alkohol atau aseton dan dimurnikan dengan cara kromatografi. Tumbuhan umumnya mengandung 2 macam klorofil, yaitu klorofil-a dan klorofil-b (Gambar 3). Klorofil-a adalah suatu senyawa kompleks antara magnesium dan porfirin yang mengandung cincin siklopentanon. Keempat atom nitrogennya dihubungkan secara ikatan koordinasi dengan ion Mg 2+ membentuk senyawa kompleks planar yang mantap. Pada porfirin melekat ekor hidrokarbon yang berinteraksi dengan daerah hidrofobik protein. Klorofil-b adalah klorofil kedua yang terdapat dalam tumbuhan hijau, sedangkan klorofil-c terdapat dalam ganggang coklat, diatom, dan dinoflagelata (Wirahadikusumah 1985). Gambar 3. Struktur klorofil (Campbell et al 2000) Daerah absorpsi klorofil dapat dilihat pada Gambar 4. Klorofil-a menyerap daerah dengan panjang gelombang 430 nm dan 660 nm, sedangkan klorofil-b menyerap daerah dengan panjang gelombang 460 nm dan 650 nm (Campbell et al 2000). Gambar 4. Spektra absorpsi (Campbell et al 2000) Klorofil berpotensi sebagai photosensitizer (obat pemicu yang aktif oleh rangsangan cahaya) untuk terapi tumor dan kanker. Pemanfaatan terapi fotodinamika (TFD) ini didasarkan pada asumsi bahwa photosensitizer (klorofil) akan dapat membunuh sel-sel kanker, ketika senyawa tersebut diekspos dengan cahaya tampak pada panjang gelombang tertentu ( nm) dan dengan intensitas tertentu. Mekanisme kerja klorofil

13 4 sebagai sensitizer adalah ketika photosensitizer mengabsorpsi cahaya, maka photosensitizer akan tereksitasi pada keadaan singlet. Keadaan ini tidak berlangsung lama karena photosensitizer akan berubah ke keadaan triplet. Photosensitizer pada keadaan triplet ini akan bereaksi dengan oksigen yang tentunya ada dalam jaringan tubuh manusia, termasuk dalam jaringan kanker. Oksigen dalam keadaan dasar akan tereksitasi menjadi singlet oksigen yang bersifat sangat reaktif dan selanjutnya akan menghancurkan sel-sel kanker. Pada akhirnya, photosensitizer akan kembali ke keadaan normal (Putra & Bahri 2007). Porfirin Porfirin merupakan senyawa organik makrosiklik yang memiliki kedekatan struktural dengan senyawa klorofil dan bakteriklorofil. Klorofil dan bakterioklorofil yang menghijaukan dedaunan dan segenap biota hijau lainnya di bumi merupakan turunan dari protoporfirin. Bukti-bukti penelitian menunjukkan bahwa terdapat jalur evolusi yang menghubungkan antara keberadaan porfirin, klorofil, dan bakterioklorofil sebagai pigmen fotosintesis dominan. Selain itu, porfirin juga memiliki kedekatan struktural dengan senyawa hemin pada darah manusia dan hewan, yaitu sama-sama sebagai senyawa tetrapirol. Porfirin menyerap cahaya yang membawa warna hijau pada klorofil dan berperan sebagai pusat dalam fotosintesis. Keunikan porfirin jumlahnya sangat banyak dan sebagai perantara kondisi elektronik ketika diiradiasi cahaya tampak. Hal ini menyebabkan porfirin tereksitasi, lalu terjadi proses transfer elektron dalam ruang grana kloroplas. Proses alami transfer elektron ini diikuti dalam bentuk acceptor/donor elektron (D/A) (Hecht et al 2006). Gambar 5. Senyawa porfirin (Hecht et al 2006) Fotosintesis dan Fluoresensi Klorofil Pada hakekatnya, semua kehidupan di bumi ini tergantung langsung dari adanya proses asimilasi CO 2 menjadi senyawa kimia organik dengan energi yang didapat dari sinar matahari. Dalam proses ini energi sinar matahari (energi foton) ditangkap dan diubah menjadi energi kimia dengan proses yang disebut fotosintesis (Wirahadikusumah, 1985). Fotosintesis menyediakan makanan bagi hampir seluruh kehidupan di dunia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Organisme memperoleh senyawa organik yang digunakannya untuk energi (Campbell et al 2000). Fotosintesis merupakan suatu proses biokimia yang dilakukan oleh tumbuhan, alga, dan beberapa jenis bakteri untuk memproduksi energi terpakai (nutrisi) dengan memanfaatkan energi cahaya. Fotosintesis juga berjasa menghasilkan sebagian besar oksigen yang terdapat di atmosfer bumi. Organisme yang menghasilkan energi melalui fotosintesis (photos berarti cahaya) disebut sebagai fototrof. Fotosintesis merupakan salah satu cara asimilasi karbon karena dalam fotosintesis karbon bebas dari CO 2 diikat (difiksasi) menjadi gula sebagai molekul penyimpan energi (Danang H 2008). Tumbuhan menggunakan karbondioksida dan air untuk menghasilkan gula dan oksigen yang diperlukan sebagai makanannya. Energi untuk menjalankan proses ini berasal dari fotosintesis. Keseluruhan proses fotosintesis yang menghasilkan glukosa dituliskan dengan persaman reaksi: (Wirahadikusumah 1985) 6H 2 O + 6CO 2 + cahaya C 6 H 12 O 6 + 6O 2 Dari semua radiasi matahari yang dipancarkan, hanya panjang gelombang tertentu yang dimanfaatkan oleh tumbuhan untuk proses fotosintesis, yaitu panjang gelombang yang berada pada kisaran cahaya tampak ( nm). Cahaya tampak terbagi atas cahaya merah ( nm), hijaukuning ( nm), biru ( nm), dan violet (< 400 nm). Masing-masing jenis cahaya berbeda pengaruhnya terhadap fotosintesis. Hal ini terkait pada sifat pigmen penangkap cahaya yang bekerja dalam fotosintesis. Pigmen yang terdapat pada membran grana menyerap cahaya yang memiliki panjang gelombang tertentu. Pigmen yang berbeda menyerap cahaya pada panjang gelombang yang berbeda. Kloroplast mengandung beberapa pigmen, sebagai contoh klorofil-a terutama menyerap cahaya

14 5 biru-violet dan merah. Klorofil-b menyerap cahaya biru dan orange dan memantulkan cahaya kuning-hijau. Klorofil-a berperan langsung dalam reaksi terang, sedangkan klorofil-b tidak secara langsung berperan dalam reaksi terang. Ketika klorofil dan pigmen lain menyerap foton, warna yang bersesuaian dengan panjang gelombang yang diserap akan menghilang dari spektrum cahaya yang diteruskan dan dipantulkan, tetapi energinya tidak hilang. Ketika molekul menyerap suatu foton, salah satu elektron molekul dinaikkan ke suatu orbital di mana elektron tersebut memiliki energi potensial yang lebih tinggi. Ketika elektron berada pada orbital normalnya, molekul pigmen dikatakan berada dalam keadaan dasarnya. Setelah penyerapan foton mendorong elektron ke orbital yang energinya lebih tinggi, molekul pigmen dikatakan dalam keadaan tereksitasi (Campbell et al 2000). LUMO Eksitasi HOMO Gambar 6. Fotoeksitasi klorofil (Campbell et al 2000) Resonansi Fluoresensi Gambar 7. Transisi muatan klorofil (Skoog et al 1998) Penyerapan suatu foton menyebabkan perpindahan molekul klorofil dari keadaan dasar yang disebut HOMO (Highest Occupied Molecular Orbitals) ke keadaan tereksitasi yang disebut LUMO (Lowest Unoccupied Molecular Orbitals). Foton mendorong elektron ke orbital di mana elektron itu memiliki energi potensial yang lebih tinggi. Jika larutan klorofil diterangi, elektron yang tereksitasi mengalami relaksasi dan segera turun kembali ke orbital keadaan dasarnya dengan melepaskan energi berlebih dan juga panas serta berfluoresensi (berpendar) dalam bagian spektrum merah (Campbell et al 2000). Absorbansi Absorpsi disebabkan oleh ketidakmurnian pada suatu materi dan mengacu pada perubahan energi optik menjadi optoelektronik atau getaran molekul. Jumlah absorpsi dari ketidakmurnian bergantung pada konsentrasi dan panjang gelombang cahaya. Pada daerah infrared dan far infrared, berkas absorpsi juga terjadi, ekor dari spectrum absorpsi mendekati daerah infrared yang disebabkan oleh getaran molekul dalam materi (Tricker 2002). Absorpsi mengakibatkan transisi dari tingkat dasar ke tingkat yang lebih tinggi, yakni tingkat tereksitasi. Pengidentifikasian dan analisa bahan dapat dilakukan dengan menelaah frekuensi absorpsi bahan yang tereksitasi. Bahan semikonduktor mempunyai kemampuan dalam menyerap energi foton untuk mengeksitasi elektron. Kemampuan dalam menyerap energi foton pada bahan semikonduktor disebut juga absorpsivitas semikonduktor (Kopkhar 1990). Jika suatu radiasi elektromagnetik dipancarkan ke suatu materi dan pada materi tersebut terjadi absorpsi selektif, maka materi akan menyerap komponen radiasi pada panjang gelombang yang berbeda dan dalam jumlah yang berbeda pula. Perubahan tingkat serapan sebagai fungsi panjang gelombang disebut sebagai spektrum absorpsi. Spektrum absorpsi merupakan karakteristik kualitas suatu bahan. Tingkat absorpsi cahaya pada panjang gelombang tertentu dapat digunakan untuk menentukan jumlah konsentrasi suatu sampel. Dasar penentuan kuantitatifnya dengan menggunakan Hukum Beer Lambert: (Kurniawan & Gunarto 1999) I = I 0 exp ε l c... (1) dan A = log I 0 = ε l c... (2) I Keterangan: A = serapan cahaya (absorbansi) sampel I 0 = intensitas datang I = intensitas cahaya yang keluar lewat larutan sampel (transmisi)

15 6 l = ketebalan lapisan larutan sampel (jarak tempuh cahaya dalam substansi sampel) ε = koefisien absorpsi molekul (dengan konsentrasi molaritas) c = konsentrasi analat Fotokonduktivitas Bahan Semikonduktor Konduktivitas listrik merupakan ukuran dari kemampuan suatu bahan untuk menghantarkan arus listrik. Fenomena fotokonduktivitas muncul ketika seberkas sinar dikenakan pada bahan semikonduktor dan menyebabkan bahan semikonduktor tersebut bertambah konduktivitas listriknya. Hal ini dikarenakan eksitasi elektron melintasi celah energi semikonduktor. Eksitasi elektron ini juga menimbulkan bertambahnya jumlah pembawa muatan bebas (hole dan elektron). Eksitasi muncul apabila energi foton yang diberikan pada bahan semikonduktor lebih besar atau sama dengan lebar celah dua keadaan, yaitu valensi dan konduksi (hv pita energi antara E g ) bahan tersebut. Konduktivitas pembawa muatan dalam bahan semikonduktor mempengaruhi sifat konduksi bahan tersebut. Konduktivitas ideal bahan semikonduktor dipengaruhi oleh lebar celah pita energi, pembawa muatan bebas, dan temperatur. Rumusan konduktivitas bahan semikonduktor sebagai berikut: (Tjakrawadi 2002) σ = σ 0 exp E g 2kT... (3) Keterangan: σ 0 = konduktivitas bahan semikonduktor sebelum disinari E g = lebar celah pita energi pada bahan semikonduktor k = konstanta Boltzmann T = temperatur mutlak Konduktivitas bahan semikonduktor dapat diperoleh dengan mengukur resistansi yang diperoleh dari hasil pengukuran arus dan tegangan (I-V) pada sampel. Hubungan antara konduktivitas dengan resistivitas dapat dilihat dari perumusan (4): σ = 1... (4) ρ Keterangan: ρ = resistivitas bahan semikonduktor yang diukur (Ωm) σ = konduktivitas listrik (Sm -1 ) Resistivitas bahan semikonduktor dapat ditentukan dengan perumusan (5): ρ = R A... (5) L Keterangan: A = luas penampang sampel yang akan diukur (m 2 ) L = lebar sampel R = resistansi yang diperoleh dari hasil pengukuran I-V (Ω) Konsep fotokonduktivitas diilustrasikan pada Gambar 8. Arus mengalir pada potongan bahan semikonduktor. Seberkas sinar dikenakan pada bahan tersebut pada arah normal bidang permukaan. Sebelum sinar dikenakan pada potongan bahan semikonduktor tersebut, hubungan antara konduktivitas dengan pembawa muatan bebas dapat dirumuskan seperti persamaan (6): σ 0 = e n 0 μ e + p 0 μ... (6) Keterangan: n o = konsentrasi muatan elektron p o = konsentrasi muatan hole kesetimbangan σ o = konduktivitas pada keadaan gelap (tidak diberi sinar) µ e = mobilitas muatan elektron µ h = mobilitas hole Ketika seberkas sinar dikenakan pada potongan bahan semikonduktor, konsentrasi pembawa muatan bebas bertambah sebesar Δn dan Δp dan arus juga meningkat dengan cepat (Tjakrawadi 2002). hv I + - Gambar 8. Prinsip pengukuran fotokonduktivitas Karena elektron dan hole selalu berpasangan, sehingga berlaku Δn = Δp. Persamaan hubungan antara konduktivitas bahan semikonduktor dengan pembawa muatan bebas adalah: σ = σ 0 + e n μ e + μ... (7) σ = σ 0 + e n μ 1 + b... (8) dengan b = μe μ n, rasio mobilitas.

16 7 Kenaikan relatif dalam konduktivitas dirumuskan dari persamaan 8: σ σ 0 = e n μ 1+b σ 0... (9) dengan Δσ = σ - σ o, yang artinya kenaikan konduktivitas terinduksi foton relatif terhadap keadaan gelap. Dari persamaan 9, kenaikan relatif nilai konduktivitas sebanding dengan kenaikan jumlah elektron bebas akibat fotogenerasi oleh foton. 4 stoples masing-masing berisi 2 liter media kultur, sedangkan 1 stoples berisi 800 ml. Kelima stoples tersebut diletakkan dekat cahaya lampu TL (tube lamp) dengan intensitas lux dan berjarak ± 1 cm dari lampu, seperti yang terdapat pada Gambar 9. Pengadukan dilakukan minimal satu kali sehari pada media kultur tersebut agar kandungan nutriennya merata. Lampu BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Mei sampai dengan Juli Tempat penelitian dilakukan di Laboratorium Instrumentasi Fisika dan Laboratorium Biofisika Departemen Fisika, Laboratorium Bioteknologi Hasil Perairan 2 Departemen Teknologi Hasil Perairan, dan Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor. Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah stoples untuk media kultur, batang pengaduk, kain blacu, plastik mika, sendok, mortar dan pestle, aluminium foil, pipet tetes, tabung reaksi, labu erlenmeyer, gelas kimia, gelas ukur, corong, kertas saring, tissue, labu takar, neraca digital, evaporator, mikroskop, spektrofotometer, spektrofotometer UV-VIS (Ocean Optics), spektrofluorometer (Ocean Optics), kuvet, multimeter digital, mikrovoltmeter digital, potensiometer, source meter (I-V meter) dari Keithley, dan lampu Halogen. Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah Spirulina fusiformis yang dikultivasi dengan media Zarouk, aseton, etanol, asetil aseton, aquades, dan substrat TCO (Transparant Conductive Oxide). Metode Penelitian Kultivasi Spirulina fusiformis Proses pengkulturan Spirulina fusiformis dilakukan dalam stoples terbuka dengan media Zarouk (Lampiran 2) yang dilarutkan dalam akuades sebanyak 8 liter. Inokulum Spirulina fusiformis dengan volume 800 ml dimasukkan ke dalam larutan tersebut. Media kultur tersebut dibagi dalam 5 stoples, ± 1 cm Gambar 9. Kultur Spirulina fusiformis Kurva pertumbuhannya ditentukan dengan mengukur kerapatan optik (Optical Density) kultur setiap hari dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 480 nm (Panji & Suharyanto 2001). Kurva pertumbuhan ini diperlukan untuk menentukan fase pertumbuhan dan waktu pemanenan. Proses kultivasi dilakukan mulai 19 Mei Pengukuran OD mulai dilakukan pada 20 Mei 2009 yang dihitung sebagai hari ke-1 dan selanjutnya dilakukan setiap hari sampai kurva pertumbuhan memasuki fase kematian. Pemanenan dan Pengeringan 2 liter Proses pemanenan Spirulina fusiformis dilakukan dua kali, yaitu pada fase logaritmik dan fase stasioner. Proses ini dilakukan dengan menyaring biomassa sel tersebut menggunakan nylon mezh. Penyaringan ini berakhir apabila sudah tidak ada lagi air yang menetes dari nylon mezh tersebut. Biomassa sel dicuci dengan aquades untuk membersihkan residu bahan kimia dari media yang masih bercampur dengan biomassa sel. Biomassa yang diperoleh ditimbang berat basahnya, lalu diratakan setipis mungkin pada plastik mika yang telah dilebarkan pada wadah dengan ketebalan 2-3 mm. Setelah itu biomassa sel dikeringkan menggunakan kipas pada suhu ruang. Biomassa sel yang telah mengering dikeruk menggunakan sendok, kemudian dimasukkan dalam plastik, dan diukur berat biomassa kering yang dihasilkan.

17 8 Analisis Kadar Air Biomassa kering yang telah diperoleh diukur kadar airnya untuk mengetahui kandungan air yang masih terkandung pada biomassa kering tersebut. Proses pengukuran kadar air diawali dengan memasukkan cawan porselin kosong ke dalam oven pada suhu 105 o C selama 60 menit, lalu disimpan dalam desikator selama ± 30 menit dan diukur berat cawan tersebut. Untuk pengukuran kadar air, sebanyak 0,5 g biomassa kering dimasukkan ke dalam cawan porselin kosong yang telah dikeringkan dalam oven, kemudian cawan beserta isinya dimasukkan kembali dalam oven selama ± 2,5 jam pada suhu yang sama dengan proses oven cawan kosong. Setelah itu, disimpan kembali dalam desikator selama ± 30 menit dan diukur beratnya. Kadar air yang terkandung pada biomassa kering tersebut dihitung, kemudian dilakukan kembali pengeringan bahan yang sama ke dalam oven dengan proses yang sama juga dan dihitung lagi kadar air yang terkandung. Apabila hasil perhitungan belum konstan dengan hasil perhitungan sebelumnya, maka bahan tersebut masih harus dikeringkan lagi dalam oven hingga hasil perhitungan kadar air konstan dengan perhitungan sebelumnya. Persentase kadar air dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: (AOAC 1995) ke dalam tabung semula. Hal ini dilakukan berulang-ulang sampai larutannya berwarna bening agar klorofil dari Spirulina fusiformis terserap seluruhnya (Sediadi & Edward 1993). Evaporasi Evaporasi dilakukan untuk menguapkan pelarut dalam larutan ekstrak klorofil, sehingga diperoleh padatan klorofilnya. Sebanyak 50 ml larutan ekstrak klorofil dimasukkan ke dalam tabung evaporator melalui corong yang dilapisi kertas saring whatmann. Larutan klorofil dalam tabung tersebut diuapkan menggunakan evaporator selama satu jam pada suhu 40 o C dan tekanan 556 mbar. Evaporasi dihentikan bila sudah kering yang ditandai dengan menempelnya padatan klorofil pada dinding tabung evaporasi dan berakhirnya tetesan pelarut pada bagian tabung yang menampung pelarut dari larutan klorofil tersebut. Setelah itu, tekanan pada tabung evaporator diturunkan secara perlahan hingga mencapai tekanan minimum (0 mbar). Proses penurunan tekanan ini berlangsung selama sekitar 10 menit. % Kadar air = B1 B2 B 100%... (10) Keterangan: B = massa sampel awal (g) B1 = merupakan massa sampel + cawan sebelum dikeringkan (g) B2 = massa sampel + cawan setelah dikeringkan (g) Teknik Ekstraksi Maserasi Biomassa kering yang dihasilkan digerus menggunakan mortar dan pestle hingga halus dan berbentuk serbuk. Sebanyak 2 g serbuk Spirulina fusiformis dimasukkan ke dalam tabung dan dilarutkan dengan 8 ml aseton perlahan-lahan, lalu diaduk hingga merata dan ditutup rapat dengan dilapisi aluminium foil agar pelarutnya tidak menguap. Larutan tersebut didiamkan selama ± 24 jam, kemudian dipisahkan filtrat dari ekstraknya ke dalam tabung dan ditutup rapat dengan lapisi aluminium foil juga. Ekstrak yang tersisa digerus kembali, lalu dilarutkan lagi 8 ml aseton dan dipisahkan filtrat dari ekstraknya Gambar 10. Proses evaporasi Karakterisasi Optik Karakterisasi optik klorofil yang dilakukan adalah menguji absorbansi dan fluoresensinya. Pengujian absorbansi dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer UV-VIS (Ocean Optics) untuk mengetahui panjang gelombang serapan klorofil, sedangkan untuk pengukuran fluoresensi digunakan spektrofluorometer (Ocean Optics). Pengukuran ini dilakukan setelah proses ekstraksi bahan. Absorbansi Pengukuran absorbansi tersebut dirangkai terlebih dulu dengan menghubungkan spektrofotometer UV-VIS ke komputer yang

18 9 telah diinstal program SpectraSuite (Ocean Optics). Setelah itu tempat kuvet dihubungkan ke spektrofotometer, lalu dihubungkan juga dengan sumber cahaya (Gambar 11 dan 12). Proses pengukuran ini diawali dengan membuka program SpectraSuite. Kuvet yang berisi aseton sebagai blanko diletakkan pada tempatnya, kemudian lampu sebagai sumber cahaya dinyalakan dan kurva blanko diatur dengan menyesuaikan fiber optic terhadap cahaya lampu. Setelah itu lampu dimatikan tanpa membuat fiber optic bergeser, kemudian kuvet blanko diganti dengan kuvet yang berisi larutan hasil ekstraksi klorofil. Lampu dinyalakan kembali dan dapat dilihat kurva absorbansi yang terbentuk pada komputer. Fluoresensi Pengukuran fluoresensi juga dirangkai terlebih dulu dengan menghubungkan spektrofluorometer ke komputer yang telah diinstal program SpectraSuite (Ocean Optics). Setelah itu tempat kuvet dihubungkan ke spektrofluorometer, lalu dihubungkan juga dengan sumber cahaya (Gambar 13 dan 14). Proses pengukuran ini merupakan lanjutan dari pengukuran absorbansi, akan tetapi sumber cahaya yang digunakan adalah laser. Laser disinari langsung terhadap kuvet yang berisi larutan klorofil tersebut, sehingga diperoleh kurva fluoresensi yang terbentuk pada komputer. Kurva fluoresensi yang terbentuk ditandai dengan adanya pendaran cahaya merah pada larutan klorofil yang terkena laser tersebut. Gambar 11. Rangkaian pengukuran absorbansi Gambar 13. Rangkaian pengukuran fluoresensi Kuvet Detektor (Spektrofotometer) Kuvet Larutan Klorofil vv Larutan Klorofil Detektor (Spektrofluorometer) Sinar Gambar 12. Sampel yang berisi larutan untuk pengukuran absorbansi Sinar Laser (sumber eksitasi) Gambar 14. Sampel yang berisi larutan untuk pengukuran fluoresensi

19 10 Uji Fotokonduktivitas Uji fotokonduktivitas dilakukan dengan mengukur karakteristik arus tegangan (I-V) dari sel elektrokimia yang mengandung ekstrak klorofil dalam kondisi gelap dan terang. Tegangan dipindahi dari -2 volt hingga +2 volt sambil diukur arusnya dalam kondisi gelap dan terang. Dalam kondisi terang digunakan lampu halogen dengan variasi intensitas 0,449 W/m 2, 1,047 W/m 2, 1,496 W/m 2, 2,992 W/m 2, dan 4,488 W/m 2. Pengkuran hubungan arus dan tegangan ini menggunakan alat I-V meter (SourceMeter, Keithley). Pengukuran dilakukan menggunakan komputer yang dihubungkan dengan software. Rangkaian pengukuran I-V ditunjukkan pada Gambar 15. TCO hv Klorofil TCO I-V meter (SourceMeter, Keithley) Komputer Gambar 15. Skema pengukuran I-V untuk memperoleh fotokonduktivitas Padatan klorofil yang merupakan hasil evaporasi dilarutkan dengan asetil aseton, kemudian diteteskan di atas kaca TCO pada bagian konduktif, lalu ditutup dengan kaca TCO yang lain dengan bagian konduktif saling berhadapan (seperti struktur sandwich). Kedua TCO tersebut dijepit pada bagian sisinya dan didiamkan hingga larutan klorofil mengering. Setelah larutan tersebut mengering, maka karakterisasi I-V dapat diukur. Proses pengukuran I-V dilakukan dengan menjepit kedua ujung TCO menggunakan I-V meter, lalu tegangan dipindahi dari -2 V sampai +2 V sambil diukur arusnya. Proses ini dilakukan dalam kondisi gelap dan terang, sesuai intensitas yang telah ditentukan. Data keluarannya merupakan nilai arus dan tegangan, kemudian dibuat kurva hubungan menggunakan Microsoft Excel. Dari kurva tersebut dapat diketahui karakteristik lapisan tipis klorofil pada TCO.

20 ln OD (480 nm) 11 HASIL DAN PEMBAHASAN Kultivasi Spirulina fusiformis Pertumbuhan Spirulina fusiformis berlangsung selama 86 hari. Proses pertumbuhan diketahui dengan mengukur nilai kerapatan optik (Optical Density). Hasil OD yang diperoleh selama penelitian menunjukkan kurva pertumbuhan Spirulina fusiformis. Sel Spirulina fusiformis yang dikultur dapat dilihat pada Gambar 16. Gambar 16. Sel Spirulina fusiformis Berdasarkan kurva pertumbuhan seperti yang terdapat pada Gambar 17, dapat diketahui bahwa fase lag terjadi mulai hari ke-1 sampai hari ke-7. Pada fase ini sel mulai mengalami pertumbuhan, tetapi sangat kecil karena sel tersebut masih beradaptasi dengan lingkungan barunya. Fase logaritmik (eksponensial) terjadi mulai hari ke-8 sampai hari ke-25. Pada fase ini pertumbuhan sel semakin tinggi karena terjadi pembelahan sel dan pemanenan pada fase logaritmik ini dilakukan pada hari ke-18. Fase penurunan laju pertumbuhan terjadi mulai hari ke-26 sampai hari ke-41. Pada fase ini pertumbuhan sel masih terjadi, tetapi lebih kecil daripada fase logaritmik karena mulai terjadi kematian sel. Namun, pertumbuhan selnya masih lebih tinggi dibandingkan kematian selnya. Fase stasioner terjadi mulai hari ke-42 sampai hari ke-78. Pada fase ini terdapat keseimbangan antara sel yang tumbuh dan sel yang mati, lalu pemanenan pada fase ini dilakukan pada hari ke-49. Fase kematian mulai hari ke-79 dan pada fase ini kematian sel lebih tinggi daripada pertumbuhan selnya. Pemanenan dan Pengeringan Pemanenan dilakukan pada dua fase (fase logaritmik dan fase stasioner). Pada fase logaritmik dari kultur sebanyak 2 liter diperoleh biomassa sel basah sebesar 14,31 gram dan biomassa sel kering sebesar 1,23 gram, sedangkan pada fase stasioner diperoleh biomassa sel basah sebesar 19,85 gram dan biomassa sel kering sebesar 2,59 gram. Dengan demikian, biomassa sel yang diperoleh pada fase stasioner lebih banyak daripada fase logaritmik. Hal ini dapat dilihat berdasarkan kurva pertumbuhan dimana kerapatan biomassa sel dari fase logaritmik menuju fase stasioner semakin besar (Costa et al 2003). Semakin besar kerapatan biomassa sel tersebut menunjukkan bahwa biomassa sel yang dihasilkan semakin banyak. Proses pengeringan yang dihasilkan dari kedua fase sama, yaitu berlangsung selama ± 3 jam Hari Gambar 17. Kurva pertumbuhan Spirulina fusiformis

21 Absorbansi 12 Analisis Kadar Air Biomassa sel kering Spirulina fusiformis yang dihasilkan pada kedua fase, diukur kadar air serbuknya. Pada fase logaritmik kadar air yang diperoleh adalah sebesar 10%, sedangkan pada fase stasioner kadar air yang diperoleh adalah sebesar 12%. Berdasarkan hasil kadar air tersebut, dapat dilihat bahwa serbuk Spirulina fusiformis pada fase logaritmik memiliki kandungan air yang lebih sedikit dibandingkan fase stasioner. Ekstraksi dan Kadar Klorofil Biomassa sel yang dipanen pada fase logaritmik memerlukan waktu ekstraksi untuk klorofil lebih lama (14 hari) dibanding yang dipanen pada fase stasioner (8 hari). Berdasarkan perhitungan kadar klorofil (Jeffrey & Humprey 1975), seperti yang terdapat pada Lampiran 8 diperoleh bahwa pada fase logaritmik kadar klorofil sebanyak 364,63 µg/l dengan persentasi sebesar 0,06% dan pada fase stasioner kadar klorofil sebanyak 240,93 µg/l dengan persentasi sebesar 0,02%. Hal ini menunjukkan bahwa kadar klorofil pada fase logaritmik lebih tinggi dibandingkan fase stasioner. Tingginya kadar klorofil yang dihasilkan pada fase logaritmik ini disebabkan karena kandungan nutrien medium lebih banyak dibandingkan fase stasioner (Fogg & Thake 1987). Nutrien merupakan makanan utama Spirulina fusiformis yang menghasilkan klorofil (Sediadi & Edward 1993). Persentase klorofil spirulina umumnya sebesar 1% dari berat kering (Henrikson 1997 diacu dalam Mohammad), namun hasil perhitungan total klorofil yang diperoleh pada penelitian ini kurang dari 1%. Seperti diketahui bahwa unsur utama pembentuk klorofil adalah N, Mg, dan Fe, maka dapat diduga persentase klorofil yang kurang dari 1% disebabkan karena tidak terdapatnya unsur Mg dalam media pertumbuhan klorofil ini (Anonim 2009). Absorbansi Klorofil Sifat optik suatu larutan dapat diamati dengan menggunakan spektrofotometer. Berbagai sifat optik yang dapat diamati dengan alat tersebut antara lain absorbansi, transmitansi, dan reflaktansi. Pada penelitian ini yang diamati adalah absorbansi larutan klorofil terhadap panjang gelombangnya. Hal ini bertujuan untuk melihat daerah serapan klorofil pada berbagai panjang gelombang. Pengukuran absorbansi klorofil pada fase logaritmik dilakukan pada rentang panjang gelombang nm. Namun demikian nilai serapan klorofil lebih berfluktuasi pada selang nm, sedangkan pada panjang gelombang yang lebih besar dari 700 nm tidak ada absorpsi oleh klorofil. Nilai absorbansi klorofil pada fase logaritmik dapat dilihat pada Gambar Panjang Gelombang (nm) Gambar 18. Spektrum absorbansi larutan klorofil pada fase logaritmik Berdasarkan Gambar 18 dapat diketahui bahwa serapan tertinggi larutan klorofil berada pada panjang gelombang 429,87 nm dengan nilai absorbansi sebesar 1,393. Klorofil hampir tidak menyerap pada daerah inframerah. Kurva tersebut juga memperlihatkan bahwa serapan klorofil memiliki lima pita serapan, yaitu pada selang nm, nm, nm, nm, dan nm. Hasil pengukuran absorbansi klorofil pada fase stasioner menunjukkan hasil yang hampir serupa dengan fase logaritmik. Nilai absorbansi pada fase stasioner dilakukan pada rentang panjang gelombang nm. Namun demikian nilai serapan klorofil lebih berfluktuasi pada selang nm, sedangkan pada panjang gelombang yang lebih besar dari 700 nm tidak ada absorpsi oleh klorofil. Nilai absorbansi klorofil pada fase logaritmik dapat dilihat pada Gambar 19.

22 Absorbansi Absorbansi Gambar 19. Spektrum absorbansi larutan klorofil pada fase stasioner Berdasarkan Gambar 19 dapat diketahui bahwa serapan paling tinggi berada pada panjang gelombang 468,47 nm dengan nilai absorbansi sebesar 2,241. Grafik tersebut juga memperlihatkan bahwa serapan klorofil memiliki dua pita serapan, yaitu pada selang nm dan nm. Berdasarkan kedua perlakuan diatas dapat diperoleh kesimpulan bahwa secara umum absorbansi klorofil berada pada rentang panjang gelombang 400 nm sampai 700 nm. Klorofil hampir tidak menyerap pada daerah inframerah. Perbandingan nilai absorbansi dari kedua perlakuan tersebut dapat dilihat pada Gambar Panjang Gelombang (nm) Logaritmik Stasioner Panjang Gelombang (nm) Gambar 20. Spektrum absorbansi larutan klorofil pada fase logaritmik dan fase stasioner Berdasarkan Gambar 20 dapat diketahui bahwa spektrum absorbansi larutan klorofil dari fase logaritmik memiliki lima pita serapan, sedangkan fase stasioner hanya memiliki dua pita serapan. Perbedaan banyaknya puncak absorbansi ini menunjukkan kandungan pigmen yang terdapat pada kedua fase pertumbuhan. Nilai absorbansi yang lebih tinggi dari kedua fase yaitu pada selang panjang gelombang nm daripada selang panjang gelombang nm. Hal ini sesuai dengan pernyataan Campbell (2000) yang menyatakan bahwa klorofil-a menyerap daerah dengan panjang gelombang 430 nm dan 660 nm, sedangkan klorofil-b menyerap daerah dengan panjang gelombang 460 nm dan 650 nm. Klorofil merupakan pigmen yang spesifik dan dapat diekstraksi menggunakan aseton (Kusnawijaya diacu dalam Sediadi & Edward 1993). Kedua kurva tersebut memperlihatkan adanya energi transisi yang dapat diamati melalui pita absorbansinya. Energi transisi ini terjadi karena elektron-elektron mengalami eksitasi dari keadaan dasar ke keadaan tereksitasi akibat absorpsi cahaya. Untuk menerangkan peristiwa absorpsi energi radiasi oleh molekul, maka radiasi elektromagnetik dipandang sebagai partikelpartikel yang disebut foton. Oleh Max Planck dinyatakan bahwa energi setiap foton berbanding lurus dengan frekuensi radiasi. Energi eksitasi diberikan oleh persamaan: E eksitasi = v = c λ eksitasi.. (11) Besar energi eksitasi pada fase logaritmik untuk panjang gelombang 429,87 nm yaitu 2,892 ev dan untuk panjang gelombang 661,89 nm yaitu 1,878 ev, sedangkan pada fase stasioner untuk panjang gelombang 468,47 nm yaitu 2,654 ev dan untuk panjang gelombang 658,5 nm yaitu 1,888 ev. Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa bahan organik klorofil mengalami proses eksitasi ketika diberikan cahaya dan elektron tereksitasi dari keadaan HOMO ke keadaan LUMO, sehingga menjadi elektron konduksi. Fluoresensi Klorofil Fluoresensi merupakan luminesensi yang banyak ditemukan sebagai fenomena optik, dimana penyerapan foton oleh molekul menjadi pemicu emisi foton dengan panjang gelombang yang lebih panjang. Selisih antara

23 Fluoresensi Fluoresensi 14 energi absorbsi dan emisi digunakan untuk vibrasi dan rotasi molekul. Larutan klorofil Spirulina fusiformis yang merupakan hasil ekstraksi menghasilkan spektrum fluoresensi. Puncak fluoresensi tertinggi (intensitas relatif) yang dihasilkan pada fase logaritmik berada pada panjang gelombang 675,49 nm, sedangkan pada fase stasioner puncak tertingginya berada pada panjang gelombang 678,02 nm. Adapun kurva fluoresensi kedua fase tersebut dapat dilihat pada Gambar 21 dan Gambar 21. Spektrum fluoresensi fase logaritmik Panjang Gelombang (nm) Panjang Gelombang (nm) Gambar 22. Spektrum fluoresensi fase stasioner Kedua kurva fluoresensi di atas memperlihatkan adanya transisi elektron dari keadaan tereksitasi (LUMO) ke keadaan dasar (HOMO). Emisi fluoresensi yang dihasilkan memiliki panjang gelombang lebih besar dari panjang gelombang eksitasi, sebaliknya energi elektromagnetik yang diemisikan lebih kecil daripada energi absorpsi. Energi emisi diberikan oleh: E emisi = v = c λ emisi (12) dengan h merupakan konstanta Planck, v merupakan frekuensi foton, c merupakan kecepatan cahaya, dan λ merupakan panjang gelombang foton. Besar energi emisi pada fase logaritmik untuk panjang gelombang 675,49 nm yaitu 1,840 ev, sedangkan pada fase stasioner, besar energi emisinya untuk panjang gelombang 678,02 nm yaitu 1,833 ev. Hal ini menunjukkan bahwa besar energi emisi untuk kedua fase tidak jauh berbeda, yaitu berkisar antara 1,8 ev karena bahan yang digunakan berasal dari sumber yang sama, yaitu klorofil Spirulina fusiformis. Dari hasil fluoresensi yang diperoleh dapat dikatakan bahwa klorofil merupakan bahan organik yang mengalami proses fluoresensi. Proses emisi yang terjadi pada penelitian ini yaitu emisi fotolistrik (photovoltaic emission) karena energi yang diberikan pada elektron melalui foton adalah energi cahaya yang oleh elektron kemudian diubah menjadi energi mekanik, sehingga elektron tersebut dapat terlepas dari keadaan tereksitasi (LUMO) kembali ke keadaan dasar (HOMO). Jika dibandingkan hasil absorbansi (eksitasi) maupun fluoresensi (emisi), diperoleh hasil bahwa panjang gelombang eksitasi lebih kecil daripada emisi, sehingga energi transisi eksitasi yang dibutuhkan lebih besar daripada energi transisi emisi. Hal ini disebabkan karena ketika elektron tereksitasi, energi yang dimilikinya lebih tinggi dari keadaan dasarnya. Pada saat foton tersebut teremisi, energi yang dimilikinya lebih kecil daripada energi eksitasi. Uji Fotokonduktivitas Kurva Arus-Tegangan (I-V) Arus listrik merupakan banyaknya muatan listrik yang mengalir tiap satuan waktu dimana muatan listrik tersebut bisa mengalir melalui kabel atau penghantar listrik lainnya. Tegangan listrik (Voltase) merupakan perbedaan potensial listrik antara dua titik dalam rangkaian listrik. Karakterisasi arus-tegangan (I-V) dari klorofil yang diekstrak dari mikroalga Spirulina fusiformis dilakukan dalam kondisi gelap (0 W/m 2 ) dan terang (berbagai intensitas cahaya). Intensitas cahaya yang diberikan

24 Kuat Arus Listrik (A) Resistansi (Ω) Kuat Arus Listrik (A) 15 adalah 0,449 W/m 2, 1,047 W/m 2, 1,496 W/m 2, 2,992 W/m 2, dan 4,488 W/m 2. Kurva I-V tersebut dapat dilihat pada Gambar 23 dan Tegangan (V) Gambar 23. Kurva I-V klorofil pada fase logaritmik W/m2 0,449 W/m2 1,047 W/m2 1,496 W/m2 2,992 W/m2 4,488 W/m2 0 W/m2 0,449 W/m2 1,047 W/m2 1,496 W/m2 2,992 W/m2 4,488 W/m Tegangan (V) Gambar 24. Kurva I-V klorofil pada fase stasioner Berdasarkan Gambar 23 dan 24 dapat diketahui nilai resistansi dan konduktivitas klorofil pada setiap intensitas cahaya yang berbeda. Pada fase logaritmik dan fase stationer dapat dilihat bahwa kurva I-V berbentuk linier (ohmik). Kemiringan kurva I-V meningkat terhadap kenaikan intensitas cahaya yang diberikan. Kemiringan kurva (slope) pada kedua fase adalah berbeda. Kemiringan (slope) ini menunjukkan besarnya resistansi pada klorofil. Resistansi Berdasarkan kurva-kurva pada Gambar 23 dan 24, maka dapat ditentukan resistansi (hambatan) klorofil pada setiap intensitas cahaya, yaitu dengan menentukan kemiringan kurva I-V. Nilai resistansi merupakan satu per kemiringan kurva. Pada fase logaritmik dan stasioner diperoleh nilai resitansi yang berbeda pada setiap intensitas cahaya. Kurva resistansi pada kedua fase dapat dilihat melalui Gambar Logaritmik Stasioner Intensitas Cahaya (W/m2) Gambar 25. Kurva resistansi klorofil pada fase logaritmik dan fase stasioner Pada fase logaritmik, dalam kondisi gelap diperoleh nilai resistansi sebagai slope sekitar 135,389 Ω, kondisi terang dengan intensitas 0,449 W/m 2 diperoleh nilai resistansi sekitar 131,384 Ω, intensitas 1,047 W/m 2 diperoleh nilai resistansi sekitar 129,039 Ω, intensitas 1,496 W/m 2 diperoleh nilai resistansi sekitar 127,372 Ω, intensitas 2,992 W/m 2 diperoleh nilai resistansi sekitar 126,436 Ω, dan intensitas 4,488 W/m 2 diperoleh nilai resistansi sekitar 124,429 Ω. Pada fase stasioner, dalam kondisi gelap diperoleh nilai resistansi sebagai slope sekitar 127,148 Ω, kondisi terang dengan intensitas 0,449 W/m 2 diperoleh nilai resistansi sekitar 121,657 Ω, intensitas 1,047 W/m 2 diperoleh nilai resistansi sekitar 120,089 Ω, intensitas 1,496 W/m 2 diperoleh nilai resistansi sekitar 118,298 Ω, intensitas 2,992 W/m 2 diperoleh nilai resistansi sekitar 115,285 Ω, dan intensitas 4,488 W/m 2 diperoleh nilai resistansi sekitar 114,165 Ω.

25 Resistivitas (Ωm) Konduktivitas (S/m) 16 Jika dilihat hasil dari kedua perlakuan di atas, nilai resistansi menurun seiring dengan kenaikan intensitas cahaya. Hal ini disebabkan karena adanya tambahan pembawa muatan bebas (elektron) yang tereksitasi ketika diberikan cahaya. Elektron ini semakin bertambah seiring dengan meningkatnya intensitas cahaya yang diberikan dan menyebabkan resistansi semakin menurun. Resistansi yang semakin rendah inilah yang menyebabkan arusnya semakin tinggi. Berdasarkan kedua sampel, nilai resistansi yang paling besar terdapat pada sampel fase logaritmik. Resistivitas Resistivitas merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi resistansi. Kurva resistivitas yang diperoleh pada fase logaritmik dan stasioner dapat dilihat pada Gambar Logaritmik Stasioner Intensitas Cahaya (W/m2) Gambar 26. Kurva resistivitas klorofil pada fase logaritmik dan fase stasioner Pada fase logaritmik, dalam kondisi gelap diperoleh nilai resistivitas sekitar 194 Ωm, kondisi terang dengan intensitas 0,449 W/m 2 diperoleh nilai resistivitas sekitar 188 Ωm, intensitas 1,047 W/m 2 diperoleh nilai resistivitas sekitar 185 Ωm, intensitas 1,496 W/m 2 diperoleh nilai resistivitas sekitar 182 Ωm, intensitas 2,992 W/m 2 diperoleh nilai resistivitas sekitar 181 Ωm, dan intensitas 4,488 W/m 2 diperoleh nilai resistivitas sekitar 178 Ωm. Pada fase stasioner, dalam kondisi gelap diperoleh nilai resistivitas sekitar 242 Ωm, kondisi terang dengan intensitas 0,449 W/m 2 diperoleh nilai resistivitas sekitar 231 Ωm, intensitas 1,047 W/m 2 diperoleh nilai resistivitas sekitar 228 Ωm, intensitas 1,496 W/m 2 diperoleh nilai resistivitas sekitar 225 Ωm, intensitas 2,992 W/m 2 diperoleh nilai resistivitas sekitar 219 Ωm, dan intensitas 4,488 W/m 2 diperoleh nilai resistivitas sekitar 217 Ωm. Jika dilihat dari hasil yang diperoleh pada kedua fase, diperoleh bahwa resistivitas semakin menurun seiring dengan kenaikan intensitas cahaya. Data resistivitas yang diperoleh menunjukkan bahwa klorofil bersifat sebagai semikonduktor karena resistivitas bahan semikonduktor berada pada selang sekitar 10-5 sampai 10 6 Ωm (Tyagi 1934). Konduktivitas Besar konduktivitas bahan semikonduktor dapat ditentukan dari resistivitas yang diperoleh, dimana hubungan antara konduktivitas dan resistivitas berbanding terbalik. Adapun kurva konduktivitas pada fase logaritmik dan stasioner dapat dilihat pada Gambar Logaritmik Stasioner Intensitas Cahaya (W/m2) Gambar 27. Kurva konduktivitas klorofil pada fase logaritmik dan fase stasioner Pada fase logaritmik, dalam kondisi gelap diperoleh nilai konduktivitas sekitar 0,00517 S/m, kondisi terang dengan intensitas 0,449 W/m 2 diperoleh nilai konduktivitas sekitar 0,00532 S/m, intensitas 1,047 W/m 2 diperoleh nilai konduktivitas sekitar 0,00542 S/m, intensitas 1,496 W/m 2 diperoleh nilai konduktivitas sekitar 0,00549 S/m, intensitas 2,992 W/m 2 diperoleh nilai konduktivitas sekitar 0,00553 S/m, dan intensitas 4,488 W/m 2 diperoleh nilai konduktivitas sekitar 0,00562 S/m. Pada fase stasioner, dalam kondisi gelap diperoleh nilai konduktivitas sekitar 0,00414 S/m, kondisi terang dengan intensitas 0,449 W/m 2 diperoleh nilai konduktivitas sekitar 0,00433 S/m, intensitas 1,047 W/m 2

26 17 diperoleh nilai konduktivitas sekitar 0,00438 S/m, intensitas 1,496 W/m 2 diperoleh nilai konduktivitas sekitar 0,00445 S/m, intensitas 2,992 W/m 2 diperoleh nilai konduktivitas sekitar 0,00457 S/m, dan intensitas 4,488 W/m 2 diperoleh nilai konduktivitas sekitar 0,00461 S/m. Berdasarkan kedua perlakuan di atas, konduktivitas listrik meningkat seiring dengan kenaikan intensitas cahaya yang diberikan. Kenaikan konduktivitas ini disebabkan karena bertambahnya jumlah pembawa muatan bebas akibat diberikan cahaya dengan intensitas yang meningkat. Bertambahnya muatan bebas ini mengakibatkan resistansi dan resistivitas semakin menurun. Oleh karena konduktivitas berbanding terbalik dengan resistivitas, maka kurva hubungan konduktivitas terhadap kenaikan intensitas cahaya semakin naik. Hal ini menunjukkan bahwa klorofil mempunyai respon terhadap cahaya dan dapat dimanfaatkan sebagai dye sensitizer, fotokonduktor, dan fotosel. Jika diurutkan dari kedua sampel di atas, nilai konduktivitas yang terbesar hingga yang terkecil adalah sampel pada fase logaritmik dan kemudian fase stasioner. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa sampel klorofil pada fase logaritmik merupakan bahan yang lebih sensitif terhadap cahaya dan memiliki sifat fotokonduktif yang lebih baik. Hal ini diduga karena pada fase logaritmik kadar klorofil yang dihasilkan lebih banyak. Klorofil merupakan bahan yang sangat peka terhadap cahaya dan bersifat konduktif (Lipsova et al 2007). Bersadarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh suatu hasil bahwa klorofil Spirulina fusiformis baik untuk digunakan dalam aplikasi sel surya maupun fotosensitizer. Proses terjadinya fotokonduktif tersebut disebabkan elektron menyerap energi cahaya yang datang dari lampu. Semakin banyak cahaya (foton) yang diserap oleh elektron pada keadaan HOMO, maka semakin banyak elektron yang tereksitasi ke keadaan LUMO, sehingga lebih banyak menghasilkan arus listrik. Kesimpulan KESIMPULAN DAN SARAN Pertumbuhan Spirulina berlangsung selama 86 hari yang terdiri dari lima fase, yaitu fase lag (hari ke-1 sampai 7), fase logaritmik (hari ke-8 sampai 25), fase penurunan laju (hari ke-26 sampai 41), fase stasioner (hari ke-42 sampai 78), dan fase kematian (mulai hari ke-79) Hasil pemanenan menunjukkan bahwa biomassa sel yang dihasilkan pada fase logaritmik lebih sedikit dibandingkan fase stasioner, namun kadar klorofil yang diperoleh pada fase logaritmik lebih tinggi dibandingkan fase stasioner. Nilai absorbansi dan fluoresensi menunjukkan bahwa klorofil merupakan bahan organik yang mengalami proses eksitasi dan emisi. Panjang gelombang yang diperoleh saat eksitasi lebih kecil daripada emisi, sedangkan energi transisi eksitasi lebih besar daripada emisi. Besar konduktivitas listrik semakin besar seiring dengan kenaikan intensitas cahaya, sedangkan resistansi dan resistivitasnya semakin kecil, sehingga klorofil Spirilina fusiformis merupakan bahan semikonduktor yang fotokonduktif dan baik untuk digunakan dalam aplikasi sel surya maupun fotosensitizer. Sampel pada fase logaritmik memiliki nilai konduktivitas yang lebih besar daripada fase stasioner, sehingga sampel pada fase logaritmik lebih konduktif dan lebih baik digunakan dalam aplikasi sel surya maupun fotosensitizer. Saran Penelitian ini dapat dilanjutkan hingga ke aplikasinya dan mencari rendemen antara banyaknya kultur yang diperlukan terhadap aplikasinya. Hasilnya dapat dibandingkan juga dengan menggunakan media dan proses kultivasi yang berbeda, misalnya media NPK dan cahaya matahari. Pengukuran fotokonduktivitas juga dapat dilakukan dengan metode dan sumber cahaya yang berbeda-beda. Penelitian ini dapat dikembangkan dengan mengisolasi senyawa porphyrin dari klorofil menggunakan metode kromatografi.

27 18 DAFTAR PUSTAKA [Anonim] Introduction to organic optoelectronics and photonic crystals. /10/15/brief info/ [19 Maret 2009]. [Anonim] Pengertian dan definisi dari fotosintesis pada daun hijau. /"title [24 Juli 2009]. [AOAC] Official Method of Analysis of The Assosiation of Official Analytical of Chemist Arlington. USA: Published by The Assosiation of Official Analytical of Chemist Inc. Bold HC, Wynne MJ Introduction to the Algae. Second Edition. America: Prentice-Hall. Borowitzka MA, Borowitzka LJ Micro-algal Biotechnology. New York: Cambridge University Press. Campbell NA, Reece JB, Mitchell LG Biologi. Edisi ke-5. Lestari R, Adil EIM, Anita N, Andri, Wibowo W, Manalu W, penerjemah; Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Biology Fifth Edition. Costa JAV, Colla LM, Filho PD Spirulina platensis growth in open raceway ponds using fresh water supplemented with carbon, nitrogen, and metal ions. Verlag der Zeitschrift für Naturforschung 58c: Daluningrum IPW Penapisan awal komponen bioaktif dari kerang darah (Anadara granosa) sebagai senyawa antibakteri [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Danang H Fotosintesis dan respirasi. [03 Maret 2009]. Dio Spirulina (Arthrosphira). [05 Maret 2009]. Fogg GE, Thake B Algal Cultures and Phytoplankton Ecology. Third Edition. London: The University of Wisconsin Press. Hecht DS et al Bioinspired detection of light using a porphyrin sensitized single wall nanotube field effect transistor. The Journal of Nano Letters 6(9): Kopkhar SM Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: Universitas Indonesia. Kurniawan H, Gunarto L Aspek industri sistem kultivasi sel mikroalga imobil. Jurnal Tinjauan Ilmiah Riset Biologi dan Bioteknologi Pertanian 2(2). Lipsova AR et al Polarographic and voltammetric determination of mesotetrakis(4-sulfonatophenyl)porphyrin tetrasodium salt at mercury electrodes. International Journal of Electrochemical Science 2: Maddu A, Zuhri M, Irmansyah Penggunaan ekstrak antosianin kol merah sebagai fotosensitizer pada sel surya TiO 2 nanokristal tersensitisasi dye. Makara Teknologi 11(2): Mariyana Karakteristik spektroskopi dan efek fotovoltaik ekstrak klorofil daun mengkudu (Morinda citrifolia) [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Mohammad J Produksi dan karakterisasi biopigmen fikosianin dari Spirulina fusiformis serta aplikasinya sebagai pewarna minuman [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Nasruddin, Limantara L Menggagas fotosintesis buatan hibrida berbasis struktur nano porfirin. Jurnal Nanosains dan Nanoteknologi 2(1): Pamungkas E Pengolahan limbah cair PT pupuk kujang dengan Spirulina sp. pada reaktor curah (Batch) [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Panji T, Suharyanto Optimization media from low cost nutrient sources for growing Spirulina platensis and carotenoid production. Menara Perkebunan 69(1): Putra SE, Bahri S Klorofil sebagai darah hijau manusia. [03 Maret 2009]. Sediadi A, Edward Kandungan Klorofil-a Fitoplankton di Perairan Pulau-Pulau Lease Maluku Tengah. Jakarta: Puslitbang Oseanologi. Sudanti S Kajian teoritis untuk menentukan celah energi porfirin terkonjugasi atom perak dan tembaga dengan metode mekanika kuantum semiempiris Zindo/1 [skripsi]. Yogyakarta: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Gadjah Mada. Supriyanto A, Triyana K, Roto, Kusminarto Karakteristik optoelektronik larutan porphyrin hasil isolasi dari mikroalgae

28 spirulina. Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Fotonika E6-1-E6-4. Tjakrawadi IK Sifat Optik dan Listrik Lapisan Tipis CdS Hasil Deposisi CBD (Chemical Bath Deposition). [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Tricker R Optoelectronics and Fiber Optic Technology. Oxfrod: Newnes. Tyagi MS Introduction to Semiconductor Materials and Devices. America: Wiley. Wirahadikusumah M Biokimia. Bandung: Institut Teknologi Bandung. 19

29 LAMPIRAN 20

30 21 Lampiran 1. Diagram alir penelitian Persiapan Bahan Kultivasi Spirulina fusiformis Ya Tidak Berhasil?? Pemanenan dan Pengeringan Ekstraksi: - Maserasi - Evaporasi Karakterisasi Optik: - Absorbansi - Fluoresensi Karakterisasi Elektronik: Uji Fotokonduktivitas Pengolahan dan Analisis Data Pembuatan Laporan Selesai

31 22 Lampiran 2. Komposisi media zarouk untuk pertumbuhan Spirulina fusiformis Unsur makro (dalam 1 liter akuades) - NaHCO 3 : 10,00 g - KNO 3 : 1,00 g - NaCl : 1,00 g - Na 2 EDTA : 0,08 g - K 2 PO 4 : 1,00 g - FeCl 3 : 0,01 g - H 3 PO 4 : 0,25 ml - Trace element A : 1,00 ml - Trace element B : 1,00 ml Unsur mikro (dalam 1 liter akuades) - Trace element A H 3 BO 3 : 2,860 g MnCl 2,4H 2 O : 1,810 g ZnSO 4,7H 2 O : 0,220 g Na 2 MoO 4,2H 2 O : 0,015 g CuSO 4,5H 2 O : 0,079 g - Trace element B COCl 2,6H 2 O : 0,04398 g NH 4 NO 3 : 0,02296 g CaCl 2 : 0,09600 g NiSO 4,7H 2 O : 0,04785 g Na 2 CuO 4,2H 2 O : 0,01794 g Lampiran 3. Data hasil pengamatan Optical Density (OD) kultur Spirulina fusiformis Hari ke- Waktu Optical Density (OD) ln OD Ratarata OD Rata-rata Pengamatan Mei ,250 0,270 0,260-1, Mei ,310 0,320 0,315-1, Mei ,400 0,400 0,400-0, Mei ,530 0,530 0,530-0, Mei ,700 0,700 0,700-0, Mei ,750 0,800 0,775-0, Mei ,900 0,870 0,885-0, Mei ,990 1,000 0,995-0, Mei ,050 1,080 1,065 0, Mei ,300 1,350 1,325 0, Mei ,450 1,400 1,425 0, Mei ,500 1,550 1,525 0, Juni ,625 1,650 1,638 0, Juni ,700 1,725 1,713 0, Juni ,800 1,875 1,838 0, Juni ,075 2,150 2,113 0, Juni ,175 2,200 2,188 0, Juni ,250 2,350 2,300 0, Juni ,400 2,425 2,413 0, Juni ,475 2,550 2,513 0, Juni ,700 2,850 2,775 1, Juni ,900 2,950 2,925 1, Juni ,200 3,350 3,275 1, Juni ,750 3,650 3,700 1, Juni ,250 4,750 4,500 1, Juni ,000 6,250 5,625 1, Juni ,250 6,250 5,750 1, Juni ,950 6,000 5,975 1, Juni ,150 6,050 6,100 1, Juni ,200 6,150 6,175 1,821

32 23 Lanjutan Lampiran Juni ,500 6,250 6,375 1, Juni ,600 7,000 6,800 1, Juni ,000 7,000 7,000 1, Juni ,000 8,500 8,250 2, Juni ,000 7,000 7,000 1, Juni ,500 7,600 7,550 2, Juni ,500 8,500 8,500 2, Juni ,000 7,500 7,250 1, Juni ,400 8,600 8,500 2, Juni ,500 8,500 8,500 2, Juni ,500 8,600 8,550 2, Juni ,000 9,500 9,250 2, Juli ,500 9,800 9,650 2, Juli ,500 9,800 9,650 2, Juli ,400 9,600 9,500 2, Juli ,600 9,700 9,650 2, Juli ,600 9,800 9,700 2, Juli ,700 9,850 9,775 2, Juli ,800 9,800 9,800 2, Juli ,800 10,000 9,900 2, Juli ,000 10,100 10,050 2, Juli ,080 10,100 10,090 2, Juli ,100 10,100 10,100 2, Juli ,100 10,150 10,125 2, Juli ,200 10,100 10,150 2, Juli ,300 10,200 10,250 2, Juli ,190 10,280 10,235 2, Juli ,290 10,310 10,300 2, Juli ,400 10,390 10,395 2, Juli ,395 10,440 10,418 2, Juli ,390 10,490 10,440 2, Juli ,420 10,450 10,435 2, Juli ,500 10,500 10,500 2, Juli ,500 10,490 10,495 2, Juli ,500 10,500 10,500 2, Juli ,500 10,500 10,500 2, Juli ,650 10,600 10,625 2, Juli ,500 10,600 10,550 2, Juli ,600 10,600 10,600 2, Juli ,650 10,500 10,575 2, Juli ,600 10,600 10,600 2, Juli ,600 10,650 10,625 2, Juli ,600 10,600 10,600 2, Agustus ,600 10,600 10,600 2, Agustus ,600 10,600 10,600 2, Agustus ,600 10,650 10,625 2, Agustus ,650 10,600 10,625 2, Agustus ,600 10,650 10,625 2, Agustus ,600 10,600 10,600 2,361

33 24 Lanjutan Lampiran Agustus ,550 10,550 10,550 2, Agustus ,500 10,550 10,525 2, Agustus ,500 10,550 10,525 2, Agustus ,500 10,500 10,500 2, Agustus ,500 10,450 10,475 2, Agustus ,400 10,500 10,450 2, Agustus ,400 10,400 10,400 2,342 Ket: Yang dicetak merah menandakan waktu pemanenan Hari ke-18 merupakan waktu panen pada fase logaritmik Hari ke-49 merupakan waktu panen pada fase stasioner

34 25 Lampiran 4. Data absorbansi larutan klorofil Fase logaritmik No λ (nm) Absorbansi No λ (nm) Absorbansi No λ (nm) Absorbansi , , , , , , , , , ,974 0,991 1,011 1,030 1,040 1,051 1,059 1,070 1,084 1,112 1,119 1,134 1,151 1,175 1,193 1,211 1,228 1,248 1,258 1,273 1,298 1,313 1,325 1,347 1,371 1,379 1,393 1,389 1,383 1,368 1,346 1, ,135 1,101 1,053 1,006 0,965 0,938 0,903 0,869 0,840 0,823 0,802 0,782 0,765 0, ,719 0,712 0,702 0,693 0,683 0,676 0,667 0,659 0,651 0,647 0,641 0,636 0,633 0,631 0,629 0, ,634 0,636 0,638 0,639 0,639 0,638 0,636 0,633 0,628 0,621 0,613 0,606 0,594 0,581 0,566 0,550 0,539 0,521 0,502 0,483 0,464 0,452 0,433 0,414 0,396 0,384 0,367 0,350 0,334 0,319 0,309 0,295

35 26 Lanjutan Lampiran 4 No λ (nm) Absorbansi No λ (nm) Absorbansi No λ (nm) Absorbansi , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,229

36 27 Lanjutan Lampiran 4 No λ (nm) Absorbansi No λ (nm) Absorbansi No λ (nm) Absorbansi , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,057

37 28 Lanjutan Lampiran 4 No λ (nm) Absorbansi No λ (nm) Absorbansi No λ (nm) Absorbansi , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

38 29 Lanjutan Lampiran 4 Fase stasioner No λ (nm) Absorbansi No λ (nm) Absorbansi No λ (nm) Absorbansi , , , , , , , , , ,605 1,617 1,633 1,646 1,658 1,674 1,697 1,704 1,722 1,737 1,750 1,756 1,769 1,782 1,784 1,792 1,801 1,813 1,822 1,836 1,846 1,858 1,870 1,884 1,889 1,895 1,900 1,908 1,921 1,928 1,937 1, ,990 1,997 2,005 2,012 2,020 2,027 2,033 2,044 2,053 2,062 2,072 2,082 2,095 2,104 2,111 2,121 2,135 2,145 2,152 2,163 2,172 2,179 2,187 2,200 2,207 2,210 2,219 2,225 2,232 2,234 2,240 2, ,215 2,199 2,174 2,154 2,117 2,075 2,027 1,993 1,937 1,878 1,817 1,775 1,711 1,647 1,584 1,522 1,482 1,422 1,364 1,308 1,255 1,221 1,171 1,124 1,079 1,051 1,009 0,970 0,932 0,896 0,873 0,840

39 30 Lanjutan Lampiran 4 No λ (nm) Absorbansi No λ (nm) Absorbansi No λ (nm) Absorbansi , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,345

40 31 Lanjutan Lampiran 4 No λ (nm) Absorbansi No λ (nm) Absorbansi No λ (nm) Absorbansi , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,104

41 32 Lanjutan Lampiran 4 No λ (nm) Absorbansi No λ (nm) Absorbansi No λ (nm) Absorbansi , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

42 33 Lampiran 5. Data I-V klorofil terhadap intensitas cahaya Fase logaritmik No Tegangan (V) Arus (I) 0 W/m 2 0,449 W/m 2 1,047 W/m 2 1,496 W/m 2 2,992 W/m 2 4,488 W/m E E E E E E E Fase stasioner No Tegangan (V) Arus (I) 0 W/m 2 0,449 W/m 2 1,047 W/m 2 1,496 W/m 2 2,992 W/m 2 4,488 W/m E E E E E E E

43 34 Lampiran 6. Data resistansi klorofil terhadap intensitas cahaya Fase logaritmik No Tegangan (V) Resistansi (Ω) 0 W/m 2 0,449 W/m 2 1,047 W/m 2 1,496 W/m 2 2,992 W/m 2 4,488 W/m E E E E E E E Rata-rata Fase stasioner No Tegangan (V) Resistansi (Ω) 0 W/m 2 0,449 W/m 2 1,047 W/m 2 1,496 W/m 2 2,992 W/m 2 4,488 W/m E E E E E E E Rata-rata

44 35 Lampiran 7. Data resistivitas dan konduktivitas klorofil terhadap intensitas cahaya Fase logaritmik Intenitas (W/m 2 ) Resistivitas (Ωm) Konduktivitas (S/m) , , , , , ,00562 Panjang (p) lapisan klorofil di TCO = 1,3 cm = 0,013 m Lebar (l) lapisan klorofil di TCO = 1,1 cm = 0,011 m Luas (A) = p x l = (0,013 x 0,011) m 2 = 1,43 x 10-4 m 2 Tebal (L) lapisan klorofil di TCO = 0,1 mm = 10-4 m Contoh perhitungan resistivitas (ρ) dan konduktivitas (σ) bahan pada intensitas 0 W/m 2 : ρ = R A L = 135,389 Ω 1, m = 135,389 Ω 1,43 m = 193,606 Ωm m σ = 1 ρ = 1 = 0,00517 S/m 193,606 Ωm Fase stasioner Intenitas (W/m 2 ) Resistivitas (Ωm) Konduktivitas (S/m) , , , , , ,00461 Panjang (p) lapisan klorofil di TCO = 1,9 cm = 0,019 m Lebar (l) lapisan klorofil di TCO = 1 cm = 0,01 m Luas (A) = p x l = (0,019 x 0,01) m 2 = 1,9 x 10-4 m 2 Tebal (L) lapisan klorofil di TCO = 0,1 mm = 10-4 m Contoh perhitungan resistivitas (ρ) dan konduktivitas (σ) bahan pada intensitas 0 W/m 2 : ρ = R A L = 127,148 Ω 1, mm 10 4 mm 2 = 127,148 Ω 1,9 = 241,582 Ωm σ = 1 ρ = 1 = 0,00414 S/m 241,582 Ωm

45 36 Lampiran 8. Penentuan kadar klorofil Fase logaritmik ml sampel μg l klorofil = 11,47 A 664 0,4 A 647 ml ekstrak 4000 ml = 11,47 0,903 0,4 0, ml = 10, , ,7 = 10, ,7 = 364,63 μg l total klorofil % klorofil = berat kering 100% 364,63 μg l = μg l 100% = 0,059289% = 0,06% Fase stasioner ml sampel μg l klorofil = 11,47 A 664 0,4 A 647 ml ekstrak 2000 ml = 11,47 0,693 0,4 0, ml = 7, , ,25 = 7, ,25 = 240,93 μg l total klorofil % klorofil = berat kering 100% 240,93 μg l = μg l 100% = 0,018605% = 0,02%

46 37 Lampiran 9. Transisi energi fluoresensi Fase logaritmik Eeksitasi 1 = v = c λ = 6, Js m/s 429,87 nm = 19, Jm 429, m Eeksitasi 1 = 0, J Eeksitasi 1 = 4, J 1, = 2,892 ev C Eeksitasi 2 = v = c λ = 6, Js m/s 661,89 nm = 19, Jm 661, m Eeksitasi 2 = 0, J Eeksitasi 2 = 3, J 1, = 1,878 ev C Eemisi = v = c λ = 6, Js m/s 675,49 nm = 19, Jm 675, m Eemisi = 0, J Eemisi = 2, J 1, = 1,84 ev C Fase stasioner Eeksitasi 1 = v = c λ = 6, Js m/s 476,79 nm = 19, Jm 476, m Eeksitasi 1 = 0, J Eeksitasi 1 = 4, J 1, = 2,654 ev C Eeksitasi 2 = v = c λ = 6, Js m/s 615,76 nm = 19, Jm 615, m Eeksitasi 2 = 0, J Eeksitasi 2 = 3, J 1, = 1,888 ev C Eemisi = v = c λ = 6, Js m/s 678,02 nm = 19, Jm 678, m Eemisi = 0, J Eemisi = 2, J 1, = 1,83 ev C

47 38 Lampiran 10. Dokumentasi kegiatan dan hasil penelitian a. Kultivasi Spirulina fusiformis Hari ke-1 s/d 2 Hari ke-3 s/d 5 Hari ke-6 s/d 7 Hari ke-8 s/d 9 Hari ke-10 s/d 19 Hari ke-20 s/d 40 Hari ke-50 s/d 59 Hari ke-60 s/d 70 Hari ke-80 b. Pemanenan dan pengeringan Penuangan biomassa Biomassa yang tersaring Larutan kultivasi yang ke kain blacu pada kain blacu tidak tersaring

48 39 Biomassa yang dioleskan Pengeringan biomassa Biomassa yang telah di atas plastik mika kering Pengerukan biomassa Hasil pengeringan c. Ekstraksi Fase logaritmik Fase stasioner Hari ke-1 Hari ke-10 Hari ke-14 Hari ke-1 Hari ke-6 Hari ke-8 d. Fluoresensi

KARAKTERISTIK OPTIK DAN ELEKTRONIK EKSTRAK KLOROFIL Spirulina fusiformis JESSI LINAR TAMBUNAN

KARAKTERISTIK OPTIK DAN ELEKTRONIK EKSTRAK KLOROFIL Spirulina fusiformis JESSI LINAR TAMBUNAN KARAKTERISTIK OPTIK DAN ELEKTRONIK EKSTRAK KLOROFIL Spirulina fusiformis JESSI LINAR TAMBUNAN DEPARTEMEN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 ABSTRAK JESSI

Lebih terperinci

Hari Gambar 17. Kurva pertumbuhan Spirulina fusiformis

Hari Gambar 17. Kurva pertumbuhan Spirulina fusiformis 11 HASIL DAN PEMBAHASAN Kultivasi Spirulina fusiformis Pertumbuhan Spirulina fusiformis berlangsung selama 86 hari. Proses pertumbuhan diketahui dengan mengukur nilai kerapatan optik (Optical Density).

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Spirulina sp.

TINJAUAN PUSTAKA. Spirulina sp. 2 Spirulina sp. TINJAUAN PUSTAKA Spirulina sp. merupakan nama umum dari dua spesies Cyanobacteria (alga biruhijau/blue green algae). Klasifikasi Spirulina sp. dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan menurut

Lebih terperinci

Logo SEMINAR TUGAS AKHIR. Henni Eka Wulandari Pembimbing : Drs. Gontjang Prajitno, M.Si

Logo SEMINAR TUGAS AKHIR. Henni Eka Wulandari Pembimbing : Drs. Gontjang Prajitno, M.Si SEMINAR TUGAS AKHIR Add Your Company Slogan STUDI AWAL FABRIKASI DAN KARAKTERISASI DYE SENSITIZED SOLAR CELL (DSSC) MENGGUNAKAN EKSTRAKSI BUNGA SEPATU SEBAGAI DYE SENSITIZERS DENGAN VARIASI LAMA ABSORPSI

Lebih terperinci

Logo SEMINAR TUGAS AKHIR. Ana Thoyyibatun Nasukhah Pembimbing : Drs. Gontjang Prajitno, M.Si

Logo SEMINAR TUGAS AKHIR. Ana Thoyyibatun Nasukhah Pembimbing : Drs. Gontjang Prajitno, M.Si SEMINAR TUGAS AKHIR Add Your Company Slogan FABRIKASI DAN KARAKTERISASI DYE SENSITIZED SOLAR CELL (DSSC) DENGAN MENGGUNAKAN EKTRAKSI DAGING BUAH NAGA MERAH (HYLOCEREUS POLYRHIZUS) SEBAGAI DYE SENSITIZER

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TIJAUA PUSTAKA A. Terapi Fotodinamik (Photodynamic Therapy, PDT) Proses terapi PDT dapat diilustrasikan secara lengkap pada tahapan berikut. Mula-mula pasien diinjeksi dengan senyawa fotosensitizer

Lebih terperinci

Gravitasi Vol. 15 No. 1 ISSN:

Gravitasi Vol. 15 No. 1 ISSN: STUDI PENGARUH KONSENTRASI LARUTAN DAUN PEPAYA TERHADAP SIFAT OPTIK DAN LISTRIK SEBAGAI BAHAN PEMBUATAN LAPISAN TIPIS Ummu kalsum 1, Iqbal 2 dan Dedy Farhamsa 2 1 Jurusan Fisika Fakultas MIPA, Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian besar sumber energi yang dieksploitasi di Indonesia berasal dari energi fosil berupa

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian besar sumber energi yang dieksploitasi di Indonesia berasal dari energi fosil berupa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Krisis energi merupakan masalah terbesar pada abad ini. Hal ini dikarenakan pesatnya pertumbuhan ekonomi dunia sehingga kebutuhan manusia akan sumber energi pun meningkat.

Lebih terperinci

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Laju Fotosintesis

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Laju Fotosintesis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Laju Fotosintesis (Fisiologi Tumbuhan) Disusun oleh J U W I L D A 06091009027 Kelompok 6 Dosen Pembimbing : Dra. Tasmania Puspita, M.Si. Dra. Rahmi Susanti, M.Si. Ermayanti,

Lebih terperinci

STUDI AWAL FABRIKASI DYE SENSITIZED SOLAR CELL (DSSC) DENGAN EKSTRAKSI DAUN BAYAM SEBAGAI DYE SENSITIZER DENGAN VARIASI JARAK SUMBER CAHAYA PADA DSSC

STUDI AWAL FABRIKASI DYE SENSITIZED SOLAR CELL (DSSC) DENGAN EKSTRAKSI DAUN BAYAM SEBAGAI DYE SENSITIZER DENGAN VARIASI JARAK SUMBER CAHAYA PADA DSSC STUDI AWAL FABRIKASI DYE SENSITIZED SOLAR CELL (DSSC) DENGAN EKSTRAKSI DAUN BAYAM SEBAGAI DYE SENSITIZER DENGAN VARIASI JARAK SUMBER CAHAYA PADA DSSC Surabaya 27 Januari 2012 Perumusan Masalah B Latar

Lebih terperinci

PEMISAHAN ZAT WARNA SECARA KROMATORAFI. A. Tujuan Memisahkan zat-zat warna yang terdapat pada suatu tumbuhan.

PEMISAHAN ZAT WARNA SECARA KROMATORAFI. A. Tujuan Memisahkan zat-zat warna yang terdapat pada suatu tumbuhan. PEMISAHAN ZAT WARNA SECARA KROMATORAFI A. Tujuan Memisahkan zat-zat warna yang terdapat pada suatu tumbuhan. B. Pelaksanaan Kegiatan Praktikum Hari : Senin, 13 April 2009 Waktu : 10.20 12.00 Tempat : Laboratorium

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Sungai Air merupakan salah satu sumber daya alam dan kebutuhan hidup yang penting dan merupakan sadar bagi kehidupan di bumi. Tanpa air, berbagai proses kehidupan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. berflagel. Selnya berbentuk bola berukuran kecil dengan diameter 4-6 µm.

2. TINJAUAN PUSTAKA. berflagel. Selnya berbentuk bola berukuran kecil dengan diameter 4-6 µm. 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Nannochloropsis sp Mikroalga adalah tumbuhan tingkat rendah yang memiliki klorofil, yang dapat digunakan untuk melakukan proses fotosintesis. Mikroalga tidak memiliki

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. kondisi yang sulit dengan struktur uniseluler atau multiseluler sederhana. Contoh

2. TINJAUAN PUSTAKA. kondisi yang sulit dengan struktur uniseluler atau multiseluler sederhana. Contoh 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mikroalga Nannochloropsis sp. Mikroalga merupakan mikroorganisme prokariotik atau eukariotik yang dapat berfotosintesis dan dapat tumbuh dengan cepat serta dapat hidup dalam kondisi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. diperoleh dari perhitungan kepadatan sel dan uji kadar lipid Scenedesmus sp. tiap

BAB III METODE PENELITIAN. diperoleh dari perhitungan kepadatan sel dan uji kadar lipid Scenedesmus sp. tiap BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Jenis penelitian ini adalah eksperimental. Pengambilan data penelitian diperoleh dari perhitungan kepadatan sel dan uji kadar lipid Scenedesmus sp. tiap

Lebih terperinci

3 EKSTRAKSI, MODIFIKASI DAN KARAKTERISASI KLOROFIL

3 EKSTRAKSI, MODIFIKASI DAN KARAKTERISASI KLOROFIL Gambar 8 memperlihatkan bahwa perubahan energi pita meningkat seiring dengan meningkatnya ukuran kristal dan menurun seiring dengan meningkatnya ukuran partikel. Artinya ukuran kristal yang besar memiliki

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan di Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut (BBPBL) Hanura Lampung pada bulan Juli - Agustus 2011. B. Materi Penelitian B.1. Biota Uji Biota

Lebih terperinci

METODELOGI PENELITIAN

METODELOGI PENELITIAN III. METODELOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan Bahan baku yang digunakan adalah kelopak kering bunga rosela (Hibiscus sabdariffa L.) yang berasal dari petani di Dramaga dan kayu secang (Caesalpinia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Energi cahaya matahari dapat dikonversi menjadi energi listrik melalui suatu sistem yang disebut sel surya. Peluang dalam memanfaatkan energi matahari masih

Lebih terperinci

Spektrofotometer UV /VIS

Spektrofotometer UV /VIS Spektrofotometer UV /VIS Spektrofotometer adalah alat untuk mengukur transmitan atau absorban suatu sampel sebagai fungsi panjang gelombang. Spektrofotometer merupakan gabungan dari alat optic dan elektronika

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Spirulina sp.

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Spirulina sp. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Spirulina sp. Spirulina sp. merupakan mikroalga yang menyebar secara luas, dapat ditemukan di berbagai tipe lingkungan, baik di perairan payau, laut dan tawar. Spirulina

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Struktur Karbon Hasil Karbonisasi Hidrotermal (HTC)

HASIL DAN PEMBAHASAN. Struktur Karbon Hasil Karbonisasi Hidrotermal (HTC) 39 HASIL DAN PEMBAHASAN Struktur Karbon Hasil Karbonisasi Hidrotermal (HTC) Hasil karakterisasi dengan Difraksi Sinar-X (XRD) dilakukan untuk mengetahui jenis material yang dihasilkan disamping menentukan

Lebih terperinci

LAJU FOTOSINTESIS PADA BERBAGAI PANJANG GELOMBANG CAHAYA. Tujuan : Mempelajari peranan jenis cahaya dalam proses fotosintesis.

LAJU FOTOSINTESIS PADA BERBAGAI PANJANG GELOMBANG CAHAYA. Tujuan : Mempelajari peranan jenis cahaya dalam proses fotosintesis. LAJU FOTOSINTESIS PADA BERBAGAI PANJANG GELOMBANG CAHAYA Tujuan : Mempelajari peranan jenis cahaya dalam proses fotosintesis. Pendahuluan Fotosintesis merupakan proses pemanfaatan enegi matahari oleh tumbuhan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat Penelitian. Surakarta dan UPT Laboratorium Pusat MIPA UNS. B. Alat dan Bahan

BAB III METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat Penelitian. Surakarta dan UPT Laboratorium Pusat MIPA UNS. B. Alat dan Bahan BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan selama 3 bulan, yaitu bulan September sampai November 2015. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Biologi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Gambar 1 Ilustrasi hukum Lambert Beer (Sabrina 2012) Absorbsi sinar oleh larutan mengikuti hukum lambert Beer, yaitu:

PENDAHULUAN. Gambar 1 Ilustrasi hukum Lambert Beer (Sabrina 2012) Absorbsi sinar oleh larutan mengikuti hukum lambert Beer, yaitu: PENDAHULUAN Spektrofotometer adalah alat untuk mengukur transmitan atau absorbans suatu sampel yang dinyatakan sebagai fungsi panjang gelombang. Absorbsi radiasi oleh suatu sampel diukur pada berbagai

Lebih terperinci

LAPORAN EKSPERIMEN FISIKA 2 FOTOKONDUKTIVITAS. Zudah Sima atul Kubro G DEPARTEMEN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

LAPORAN EKSPERIMEN FISIKA 2 FOTOKONDUKTIVITAS. Zudah Sima atul Kubro G DEPARTEMEN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM LAPORAN EKSPERIMEN FISIKA 2 FOTOKONDUKTIVITAS Rekan Kerja : 1. Aah Nuraisah 2. Mutiara Khairunnisa 3. Dedeh Nurhayati Zudah Sima atul Kubro G74120023 Asisten : Pramudya Wardhani (G74110008) Dadi Irawan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Chlorella sp. tiap perlakuan. Data di analisa menggunakan statistik One Way

BAB III METODE PENELITIAN. Chlorella sp. tiap perlakuan. Data di analisa menggunakan statistik One Way BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Pengambilan data penelitian diperoleh dari perhitungan kelimpahan sel Chlorella sp. tiap perlakuan. Data di analisa menggunakan statistik One Way Anova

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2012 sampai Januari 2013 di

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2012 sampai Januari 2013 di 27 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Pelaksanaan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2012 sampai Januari 2013 di Laboratorium Kimia Organik Jurusan Kimia Fakultas MIPA Universitas Lampung.

Lebih terperinci

Karakterisasi XRD. Pengukuran

Karakterisasi XRD. Pengukuran 11 Karakterisasi XRD Pengukuran XRD menggunakan alat XRD7000, kemudian dihubungkan dengan program dikomputer. Puncakpuncak yang didapatkan dari data pengukuran ini kemudian dicocokkan dengan standar difraksi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 25 BAB III METODE PENELITIAN Metode penelitian yang dilakukan adalah metode eksperimen. Penelitian ini dilakukan di laboratorium Fisika Material, Jurusan Pendidikan Fisika, laboratorium Mikrobiologi, Jurusan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 21 III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2010 - Juni 2011 di Laboratorium Biofisika dan Laboratorium Fisika Lanjut, Departemen Fisika IPB.

Lebih terperinci

ENERGI & PROSES FISIOLOGI TUMBUHAN

ENERGI & PROSES FISIOLOGI TUMBUHAN ENERGI & PROSES FISIOLOGI TUMBUHAN ENERGI & PROSES FISIOLOGI TUMBUHAN Contoh: Bahan bakar minyak digunakan sebagai sumber energi untuk kendaraan bermotor. Proses Pertumbuhan Tanaman : Merupakan kumpulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diakibatkan akumulasi emisi karbondioksida (CO 2 ). Kelangkaan bahan bakar fosil

BAB I PENDAHULUAN. diakibatkan akumulasi emisi karbondioksida (CO 2 ). Kelangkaan bahan bakar fosil BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penduduk dunia di masa mendatang akan menghadapi dua permasalahan yang serius, yaitu kelangkaan bahan bakar fosil dan perubahan iklim global yang diakibatkan akumulasi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat Dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Material Prodi Fisika, Laboratorium Elektronika dan Instrumentasi Fisika, dan Laboratorium Terpadu Gedung

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI 01-2891-1992) Sebanyak 1-2 g contoh ditimbang pada sebuah wadah timbang yang sudah diketahui bobotnya. Kemudian dikeringkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB I PENDAHULUAN I.1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Matahari adalah sumber energi yang sangat besar dan tidak akan pernah habis. Energi sinar matahari yang dipancarkan ke bumi dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan

Lebih terperinci

ENERGI & PROSES FISIOLOGI TUMBUHAN

ENERGI & PROSES FISIOLOGI TUMBUHAN ENERGI & PROSES FISIOLOGI TUMBUHAN Contoh: Bahan bakar minyak digunakan sebagai sumber energi untuk kendaraan bermotor. Proses Pertumbuhan Tanaman : Merupakan kumpulan dari berbagai aktivitas mulai dari

Lebih terperinci

PERCOBAAN 1 PENENTUAN PANJANG GELOMBANG MAKSIMUM SENYAWA BAHAN PEWARNA

PERCOBAAN 1 PENENTUAN PANJANG GELOMBANG MAKSIMUM SENYAWA BAHAN PEWARNA PERCOBAAN 1 PENENTUAN PANJANG GELOMBANG MAKSIMUM SENYAWA BAHAN PEWARNA A. TUJUAN 1. Mempersiapkan larutan blanko dan sampel untuk digunakan pengukuran panjang gelombang maksimum larutan sampel. 2. Menggunakan

Lebih terperinci

METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan di Laboratorium Kimia Anorganik-Fisik Universitas

METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan di Laboratorium Kimia Anorganik-Fisik Universitas III. METODELOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini akan dilakukan di Laboratorium Kimia Anorganik-Fisik Universitas Lampung. Analisis XRD di Universitas Islam Negeri Jakarta Syarif

Lebih terperinci

4 FABRIKASI DAN KARAKTERISASI SEL SURYA HIBRID ZnO-KLOROFIL

4 FABRIKASI DAN KARAKTERISASI SEL SURYA HIBRID ZnO-KLOROFIL 4 FABRIKASI DAN KARAKTERISASI SEL SURYA HIBRID ZnO-KLOROFIL 21 Pendahuluan Sel surya hibrid merupakan suatu bentuk sel surya yang memadukan antara semikonduktor anorganik dan organik. Dimana dalam bentuk

Lebih terperinci

Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya 2013

Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya 2013 TUGAS AKHIR SB 091358 PENGARUH KOMBINASI KONSENTRASI MEDIA EKSTRAK TAUGE (MET) DENGAN PUPUK UREA TERHADAP KADAR PROTEIN Spirulina sp. PADA MEDIA DASAR AIR LAUT Dwi Riesya Amanatin (1509100063) Dosen Pembimbing

Lebih terperinci

3 Percobaan. Garis Besar Pengerjaan

3 Percobaan. Garis Besar Pengerjaan 3 Percobaan Garis Besar Pengerjaan Rangkaian proses isolasi pertama-tama dimulai dengan proses pengumpulan sampel. Karena area sampling adalah area yang hanya ditemukan pada musim hujan, sampel alga baru

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Dari pengamatan yang telah dilakukan, diperoleh data mengenai biomassa panen, kepadatan sel, laju pertumbuhan spesifik (LPS), waktu penggandaan (G), kandungan nutrisi,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Subjek penelitian ini adalah ekstrak etanol daun pandan wangi.

BAB III METODE PENELITIAN. Subjek penelitian ini adalah ekstrak etanol daun pandan wangi. BAB III METODE PENELITIAN A. Subjek dan Objek Penelitian 1. Subjek Penelitian Subjek penelitian ini adalah ekstrak etanol daun pandan wangi. 2. Objek Penelitian Objek penelitian ini adalah aktivitas antioksidan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu. Kadar Abu (%) = (C A) x 100 % B

Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu. Kadar Abu (%) = (C A) x 100 % B Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu 1. Analisis Kadar Air (Apriyantono et al., 1989) Cawan Alumunium yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya diisi sebanyak 2 g contoh lalu ditimbang

Lebih terperinci

SPEKTROFOTOMETRI SERAPAN UV-VIS

SPEKTROFOTOMETRI SERAPAN UV-VIS SPEKTROFOTOMETRI SERAPAN UV-VIS SPEKTROFOTOMETRI SERAPAN UV-VIS PRINSIP DASAR HUKUM BEER INSTRUMENTASI APLIKASI 1 Pengantar Istilah-Istilah: 1. Spektroskopi : Ilmu yang mempelajari interaksi materi dengan

Lebih terperinci

02. Jika laju fotosintesis (v) digambarkan terhadap suhu (T), maka grafik yang sesuai dengan bacaan di atas adalah (A) (C)

02. Jika laju fotosintesis (v) digambarkan terhadap suhu (T), maka grafik yang sesuai dengan bacaan di atas adalah (A) (C) Pengaruh Kadar Gas Co 2 Pada Fotosintesis Tumbuhan yang mempunyai klorofil dapat mengalami proses fotosintesis yaitu proses pengubahan energi sinar matahari menjadi energi kimia dengan terbentuknya senyawa

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Gambar 3.1 Peta Lokasi Jalur Hijau Jalan Gerilya Kota Purwokerto. bio.unsoed.ac.id

III. METODE PENELITIAN. Gambar 3.1 Peta Lokasi Jalur Hijau Jalan Gerilya Kota Purwokerto. bio.unsoed.ac.id III. METODE PENELITIAN A. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah HCl 0,7 %, NaOH1 N, ZnSO4 5%, Ba(OH)2 0,3 N, Akuades, Pereaksi Cu, Alkohol 70%. Sedangkan alat yang digunakan adalah

Lebih terperinci

2 SINTESIS DAN KARAKTERISASI NANOSTRUKTUR ZnO

2 SINTESIS DAN KARAKTERISASI NANOSTRUKTUR ZnO 2 SINTESIS DAN KARAKTERISASI NANOSTRUKTUR ZnO 3 Pendahuluan ZnO merupakan bahan semikonduktor tipe-n yang memiliki lebar pita energi 3,37 ev pada suhu ruang dan 3,34 ev pada temperatur rendah dengan nilai

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kepadatan Sel Kepadatan sel Spirulina fusiformis yang dikultivasi selama 23 hari dengan berbagai perlakuan cahaya menunjukkan bahwa kepadatan sel tertinggi terdapat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Juni 2012.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Juni 2012. 26 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material Jurusan Pendidikan Kimia, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni - November 2011 :

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni - November 2011 : BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni - November 2011 : a) Proses Fermentasi di Laboratorium Biokimia Jurusan Biologi Fakultas Sains dan

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM REKAYASA PROSES PEMBUATAN KURVA STANDAR DARI LARUTAN - KAROTEN HAIRUNNISA E1F109041

LAPORAN PRAKTIKUM REKAYASA PROSES PEMBUATAN KURVA STANDAR DARI LARUTAN - KAROTEN HAIRUNNISA E1F109041 LAPORAN PRAKTIKUM REKAYASA PROSES PEMBUATAN KURVA STANDAR DARI LARUTAN - KAROTEN HAIRUNNISA E1F109041 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT BANJARBARU

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Volvocales. : Tetraselmis. Tetraselmis sp. merupakan alga bersel tunggal, berbentuk oval elips dan memiliki

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Volvocales. : Tetraselmis. Tetraselmis sp. merupakan alga bersel tunggal, berbentuk oval elips dan memiliki II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tetraselmis sp. Menurut B u t c h e r ( 1 9 5 9 ) klasifikasi Tetraselmis sp. adalah sebagai berikut: Filum : Chlorophyta Kelas : Chlorophyceae Ordo : Volvocales Sub ordo Genus

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENGAMATAN

BAB IV HASIL PENGAMATAN BAB IV HASIL PENGAMATAN 4.1 Absorbansi Panjang Gelombang Maksimal No λ (nm) Absorbansi 1 500 0.634 2 510 0.555 3 520 0.482 4 530 0.457 5 540 0.419 6 550 0.338 7 560 0.293 8 570 0.282 9 580 0.181 10 590

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Laboratorium Riset Kimia, Laboratorium Riset

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Laboratorium Riset Kimia, Laboratorium Riset BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Riset Kimia, Laboratorium Riset Kimia Lingkungan, dan Laboratorium Kimia Analitik Instrumen Jurusan Pendidikan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dimulai pada tanggal 1 April 2016 dan selesai pada tanggal 10 September 2016. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi Departemen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karena tidak akan ada kehidupan di permukaan bumi tanpa energi matahari maka sebenarnya pemanfaatan energi matahari sudah berusia setua kehidupan itu sendiri.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. (Pandanus amaryllifolius Roxb.) 500 gram yang diperoleh dari padukuhan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. (Pandanus amaryllifolius Roxb.) 500 gram yang diperoleh dari padukuhan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Preparasi Sampel Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah pandan wangi (Pandanus amaryllifolius Roxb.) 500 gram yang diperoleh dari padukuhan

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ANORGANIK II PERCOBAAN IV PENENTUAN KOMPOSISI ION KOMPLEKS

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ANORGANIK II PERCOBAAN IV PENENTUAN KOMPOSISI ION KOMPLEKS LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ANORGANIK II PERCOBAAN IV PENENTUAN KOMPOSISI ION KOMPLEKS DISUSUN OLEH : NAMA : FEBRINA SULISTYORINI NIM : 09/281447/PA/12402 KELOMPOK : 3 (TIGA) JURUSAN : KIMIA FAKULTAS/PRODI

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus-Oktober 2009 bertempat di Laboratorium Nutrisi Ikan Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Lebih terperinci

PENENTUAN RUMUS ION KOMPLEKS BESI DENGAN ASAM SALISILAT

PENENTUAN RUMUS ION KOMPLEKS BESI DENGAN ASAM SALISILAT PENENTUAN RUMUS ION KOMPLEKS BESI DENGAN ASAM SALISILAT Desi Eka Martuti, Suci Amalsari, Siti Nurul Handini., Nurul Aini Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Jenderal

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Alat-alat 1. Alat Destilasi 2. Batang Pengaduk 3. Beaker Glass Pyrex 4. Botol Vial 5. Chamber 6. Corong Kaca 7. Corong Pisah 500 ml Pyrex 8. Ekstraktor 5000 ml Schoot/ Duran

Lebih terperinci

BAB VIII PROSES FOTOSINTESIS, RESPIRASI DAN FIKSASI NITROGEN OLEH TANAMAN

BAB VIII PROSES FOTOSINTESIS, RESPIRASI DAN FIKSASI NITROGEN OLEH TANAMAN BAB VIII PROSES FOTOSINTESIS, RESPIRASI DAN FIKSASI NITROGEN OLEH TANAMAN 8.1. Fotosintesis Fotosintesis atau fotosintesa merupakan proses pembuatan makanan yang terjadi pada tumbuhan hijau dengan bantuan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. konsentrasi limbah cair tapioka (10%, 20%, 30%, 40%, 50% dan 0% atau kontrol)

BAB III METODE PENELITIAN. konsentrasi limbah cair tapioka (10%, 20%, 30%, 40%, 50% dan 0% atau kontrol) 34 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian disusun menggunakan metoda statistika rancangan acak lengkap (RAL) satu faktor, dimana faktor yang diujikan adalah pengaruh konsentrasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Listrik merupakan salah satu kebutuhan pokok untuk mendukung hampir seluruh aktifitas manusia. Seiring dengan perkembangan dunia industri dan pertumbuhan ekonomi di

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Biologi Tetraselmis sp. Tetraselmis sp. merupakan alga bersel tunggal, berbentuk oval elips dan memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif

Lebih terperinci

ANALISIS SPEKTROSKOPI UV-VIS. PENENTUAN KONSENTRASI PERMANGANAT (KMnO 4 )

ANALISIS SPEKTROSKOPI UV-VIS. PENENTUAN KONSENTRASI PERMANGANAT (KMnO 4 ) ANALISIS SPEKTROSKOPI UV-VIS PENENTUAN KONSENTRASI PERMANGANAT (KMnO 4 ) Kusnanto Mukti W, M 0209031 Jurusan Fisika, FMIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta kusnantomukti@yahoo.com ABSTRAK Telah dilakukan

Lebih terperinci

3 POTENSI FIKOSIANIN DARI MIKROALGA Spirulina platensis SEBAGAI SENSITISER PADA DSSC

3 POTENSI FIKOSIANIN DARI MIKROALGA Spirulina platensis SEBAGAI SENSITISER PADA DSSC 12 energi celah semikonduktor TiO 2. Hal ini berkaitan erat dengan perubahan ukuran partikel-partikel TiO 2. Berdasarkan hasil plot kurva (Gambar 7) diketahui bahwa nilai energi celah menurun terhadap

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kondisi geografis Indonesia yang 75% luas wilayahnya merupakan lautan memiliki potensi kekayaan yang tak ternilai. Oleh karenanya diperlukan perhatian serta penanganan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Anorganik, Departemen Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas

BAB III METODE PENELITIAN. Anorganik, Departemen Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Pelaksanaan Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia Fisik dan Kimia Anorganik, Departemen Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Listrik merupakan kebutuhan esensial yang sangat dominan kegunaannya

BAB I PENDAHULUAN. Listrik merupakan kebutuhan esensial yang sangat dominan kegunaannya λ Panjang Gelombang 21 ω Kecepatan Angular 22 ns Indeks Bias Kaca 33 n Indeks Bias Lapisan Tipis 33 d Ketebalan Lapisan Tipis 33 α Koofisien Absorpsi 36 Frekuensi Cahaya 35 υ BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar

Lebih terperinci

ALAT ANALISA. Pendahuluan. Alat Analisa di Bidang Kimia

ALAT ANALISA. Pendahuluan. Alat Analisa di Bidang Kimia Pendahuluan ALAT ANALISA Instrumentasi adalah alat-alat dan piranti (device) yang dipakai untuk pengukuran dan pengendalian dalam suatu sistem yang lebih besar dan lebih kompleks Secara umum instrumentasi

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Kimia dan Gizi Pangan, Departemen Pertanian, Fakultas Peternakan dan

BAB III MATERI DAN METODE. Kimia dan Gizi Pangan, Departemen Pertanian, Fakultas Peternakan dan 13 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2016 di Laboratorium Kimia dan Gizi Pangan, Departemen Pertanian, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Instrumen Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Instrumen Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan 21 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dimulai pada bulan Maret sampai Juni 2012 di Laboratorium Riset Kimia dan Material Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan

Lebih terperinci

Fotografi Cahaya Terhadap Pigmen Warna Tanaman

Fotografi Cahaya Terhadap Pigmen Warna Tanaman Fotografi Cahaya Terhadap Pigmen Warna Tanaman Kasma Rusdi (G11113006) Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin, Makassar, 2014 Abstrak Warna hijau pada daun merupakan salah

Lebih terperinci

LAPORAN EKSPERIMEN FOTO SISTESIS

LAPORAN EKSPERIMEN FOTO SISTESIS LAPORAN KARYA TEKNOLOGI TEPAT GUNA LAPORAN EKSPERIMEN FOTO SISTESIS Oleh: Supratman, S.Pd. SEKOLAH MENENGAH ATAS NEGERI 12 BENGKULU 2009 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fotosintesis berasal dari kata

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN digilib.uns.ac.id BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Optik dan Fotonik, Laboratorium Kimia dan Laboratorium Terpadu FMIPA UNS Jl. Ir. Sutami

Lebih terperinci

ANALISIS DUA KOMPONEN TANPA PEMISAHAN

ANALISIS DUA KOMPONEN TANPA PEMISAHAN LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ANALITIK ANALISIS DUA KOMPONEN TANPA PEMISAHAN Tanggal Praktikum : Jumat, Oktober 010 Tanggal Pengumpulan Laporan : Jumat, 9 Oktober 010 Disusun oleh Nama : Annisa Hijriani Nim

Lebih terperinci

dimana a = bobot sampel awal (g); dan b = bobot abu (g)

dimana a = bobot sampel awal (g); dan b = bobot abu (g) Lampiran 1. Metode analisis proksimat a. Analisis kadar air (SNI 01-2891-1992) Kadar air sampel tapioka dianalisis dengan menggunakan metode gravimetri. Cawan aluminium dikeringkan dengan oven pada suhu

Lebih terperinci

Bab III Bahan dan Metode

Bab III Bahan dan Metode Bab III Bahan dan Metode A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2012 di daerah budidaya rumput laut pada dua lokasi perairan Teluk Kupang yaitu di perairan Tablolong

Lebih terperinci

Laporan Praktikum Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan Acara I PENGARUH FAKTOR LINGKUNGAN TERHADAP LAJU FOTOSINTESIS

Laporan Praktikum Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan Acara I PENGARUH FAKTOR LINGKUNGAN TERHADAP LAJU FOTOSINTESIS Laporan Praktikum Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan Acara I PENGARUH FAKTOR LINGKUNGAN TERHADAP LAJU FOTOSINTESIS Disusun oleh Nama : Muhammad Darussalam Teguh NIM : 12696 Golongan : B4 Asisten Koreksi :

Lebih terperinci

BAB III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dari Bulan Januari sampai dengan bulan Juni 2015

BAB III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dari Bulan Januari sampai dengan bulan Juni 2015 BAB III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari Bulan Januari sampai dengan bulan Juni 2015 yang meliputi kegiatan di lapangan dan di laboratorium. Lokasi pengambilan

Lebih terperinci

I. KEASAMAN ION LOGAM TERHIDRAT

I. KEASAMAN ION LOGAM TERHIDRAT I. KEASAMAN ION LOGAM TERHIDRAT Tujuan Berdasarkan metode ph-metri akan ditunjukkan bahwa ion metalik terhidrat memiliki perilaku seperti suatu mono asam dengan konstanta keasaman yang tergantung pada

Lebih terperinci

IV METODOLOGI PENELITIAN. Bahan penelitian yang akan digunakan adalah S. platensis, pupuk Azolla pinnata,

IV METODOLOGI PENELITIAN. Bahan penelitian yang akan digunakan adalah S. platensis, pupuk Azolla pinnata, IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2012 di Laboratorium Pendidikan Perikanan, Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas Airlangga.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 7 3. Pengenceran Proses pengenceran dilakukan dengan menambahkan 0,5-1 ml akuades secara terus menerus setiap interval waktu tertentu hingga mencapai nilai transmisi yang stabil (pengenceran hingga penambahan

Lebih terperinci

Gambar 6. Kerangka penelitian

Gambar 6. Kerangka penelitian III. BAHAN DAN METODOLOGI A. Bahan dan Alat Bahan baku yang digunakan adalah kayu secang (Caesalpinia sappan L) yang dibeli dari toko obat tradisional pasar Bogor sebagai sumber pigmen brazilein dan sinapic

Lebih terperinci

Bab III Metodologi III.1 Waktu dan Tempat Penelitian III.2. Alat dan Bahan III.2.1. Alat III.2.2 Bahan

Bab III Metodologi III.1 Waktu dan Tempat Penelitian III.2. Alat dan Bahan III.2.1. Alat III.2.2 Bahan Bab III Metodologi III.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan dari bulan Januari hingga April 2008 di Laboratorium Penelitian Kimia Analitik, Institut Teknologi Bandung. Sedangkan pengukuran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Krisis energi saat ini yang melanda dunia masih dapat dirasakan terutama di

BAB I PENDAHULUAN. Krisis energi saat ini yang melanda dunia masih dapat dirasakan terutama di 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Krisis energi saat ini yang melanda dunia masih dapat dirasakan terutama di Indonesia. Pada tahun 2000 hingga tahun 2004 konsumsi energi primer Indonesia meningkat

Lebih terperinci

PENGARUH CAHAYA TERHADAP SENYAWA ANTIBAKTERI DARI Chaetoceros gracilis

PENGARUH CAHAYA TERHADAP SENYAWA ANTIBAKTERI DARI Chaetoceros gracilis PENGARUH CAHAYA TERHADAP SENYAWA ANTIBAKTERI DARI Chaetoceros gracilis Oleh : Teguh Muhamad Akbar C34102006 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ANORGANIK 1 PEMISAHAN KOMPONEN DARI CAMPURAN 11 NOVEMBER 2014 SEPTIA MARISA ABSTRAK

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ANORGANIK 1 PEMISAHAN KOMPONEN DARI CAMPURAN 11 NOVEMBER 2014 SEPTIA MARISA ABSTRAK LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ANORGANIK 1 PEMISAHAN KOMPONEN DARI CAMPURAN 11 NOVEMBER 2014 SEPTIA MARISA 1113016200027 ABSTRAK Larutan yang terdiri dari dua bahan atau lebih disebut campuran. Pemisahan kimia

Lebih terperinci

METABOLISME 2. Respirasi Sel Fotosintesis

METABOLISME 2. Respirasi Sel Fotosintesis METABOLISME 2 Respirasi Sel Fotosintesis Jalur Respirasi Aerobik dan Anaerobik Rantai respirasi Fotosintesis Fotosintesis merupakan proses sintesis molekul organik dengan menggunakan bantuan energi

Lebih terperinci

SOAL-SOAL SPEKTROFOTOMETRI

SOAL-SOAL SPEKTROFOTOMETRI SOAL-SOAL SPEKTROFOTOMETRI Quiz 1. Jelaskan yang anda ketahui tentang : a. Kolorimetri b. Spektrofotometri 2. Skala pengukuran pada alat spektronic-20, menunjukan nilai transmitan 0-100%. Berapa nilai

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Oktober sampai Februari 2014, dengan

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Oktober sampai Februari 2014, dengan III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Oktober sampai Februari 2014, dengan tahapan kegiatan, yaitu : bahan baku berupa singkong yang dijadikan bubur singkong,

Lebih terperinci

Analisa AAS Pada Bayam. Oleh : IGNATIUS IVAN HARTONO MADHYRA TRI H ANGGA MUHAMMAD K RAHMAT

Analisa AAS Pada Bayam. Oleh : IGNATIUS IVAN HARTONO MADHYRA TRI H ANGGA MUHAMMAD K RAHMAT Analisa AAS Pada Bayam Oleh : IGNATIUS IVAN HARTONO MADHYRA TRI H ANGGA MUHAMMAD K RAHMAT AAS itu apa cih??? AAS / Spektrofotometer Serapan Atom adalah suatu alat yang digunakan pada metode analisis untuk

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian mengenai penggunaan aluminium sebagai sacrificial electrode

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian mengenai penggunaan aluminium sebagai sacrificial electrode BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Deskripsi Penelitian Penelitian mengenai penggunaan aluminium sebagai sacrificial electrode dalam proses elektrokoagulasi larutan yang mengandung pewarna tekstil hitam ini

Lebih terperinci

DETERMINASI PIGMEN DAN PENGUKURAN KANDUNGAN KLOROFIL DAUN 1 Oleh : Drs. Suyitno Al. MS 2

DETERMINASI PIGMEN DAN PENGUKURAN KANDUNGAN KLOROFIL DAUN 1 Oleh : Drs. Suyitno Al. MS 2 DETERMINASI PIGMEN DAN PENGUKURAN KANDUNGAN KLOROFIL DAUN 1 Oleh : Drs. Suyitno Al. MS 2 PENGANTAR Pigmen daun dapat dideterminasi secara kualitatif dan kuantitatif. Secara kualitatif, macam pigmen daun

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. karakterisasi luas permukaan fotokatalis menggunakan SAA (Surface Area

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. karakterisasi luas permukaan fotokatalis menggunakan SAA (Surface Area BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Pada penelitian ini akan dibahas mengenai preparasi ZnO/C dan uji aktivitasnya sebagai fotokatalis untuk mendegradasi senyawa organik dalam limbah, yaitu fenol. Penelitian ini

Lebih terperinci

Bab III Metodologi Penelitian

Bab III Metodologi Penelitian Bab III Metodologi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penelitian Kimia Analitik, Program Studi Kimia FMIPA ITB sejak September 2007 sampai Juni 2008. III.1 Alat dan Bahan Peralatan

Lebih terperinci

abc A abc a = koefisien ekstingsi (absorpsivitas molar) yakni tetap b = lebar kuvet (jarak tempuh optik)

abc A abc a = koefisien ekstingsi (absorpsivitas molar) yakni tetap b = lebar kuvet (jarak tempuh optik) I. NOMOR PERCOBAAN : 6 II. NAMA PERCOBAAN : Penentuan Kadar Protein Secara Biuret III. TUJUAN PERCOBAAN : Menentukan jumlah absorban protein secara biuret dalam spektroskopi IV. LANDASAN TEORI : Protein

Lebih terperinci