PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL. Bab ini menjelaskan tentang definisi perjanjian internasional (PI), fungsi dan jenisjenis

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL. Bab ini menjelaskan tentang definisi perjanjian internasional (PI), fungsi dan jenisjenis"

Transkripsi

1 BAB III PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL Bab ini menjelaskan tentang definisi perjanjian internasional (PI), fungsi dan jenisjenis perjanjian internasional. Dalam bagian pertama dijelaskan mempunyai Konvensi Wina tahun 1969, dengan muatan materi dasar dari perjanjian internasional. Selain itu, dijelaskan tentang ratifikasi internasional dan keterlibatan negara-negara dalam pembentukan perjanjian internasional. Terakhir, bagaimana perjanjian internasional dalam sistem hukum Indonesia. Adapun bab ini dimaksudkan agar mahasiswa memahami secara komprehensif tentang prinsip-prinsip, teori-teori, dan norma-norma hukum perjanjian internasional, baik dalam cakupan internasional maupun perjanjian internasional dalam konteks tingkat nasional di Indonesia. 1. Istilah Perjanjian Internasional dalam Konvensi Wina 1969 Hubungan internasional yang diperankan negara-negara dan organisasi internasional, tidak akan tercipta secara harmonis jika tidak didukung perjanjian internasional. Suatu instrumen hukum internasional, digunakan sebagai peraturan, pedoman utama dan kaidah normatif bagi pihak-pihak dalam menjalankan hubungan internasional secara baik dan damai. Sebagai sumber hukum utama, Pasal 38 ICJ (International Court of Justice) menegaskan adanya Perjanjian Internasional memberikan kepastian hukum yang saling mengikat bagi para pihak dalam melangsungkan praktek hubungan antara satu atau lebih negara dalam berbagai kepentingan. Baik perjanjian internasional bersifat antara kedua negara (bilateral treaties), oleh tiga negara (trilateral treaties), dan juga perjanjian diselenggarakan oleh banyak negara (multilateral) sama-sama memberi daya ikat karena menimbulkan hak dan kewajiban. 52

2 Bilateral Treaties, yaitu suatu perjanjian yang dilakukan secara resmi ataupun tidak resmi dan menyangkut bidang/sektor tertentu yang disepakati bersama diantara dua negara yang melakukan perjanjian. Selain itu, terdapat pula model perjanjian yang melibatkan 3 (tiga) negara peserta dengan disebut Trilateral Treaties. Dalam skala jumlah peserta perjanjian yang lebih banyak dikenal istilah Multilateral Treaties, yaitu suatu perjanjian internasional yang melibatkan lebih dari 2 (dua) atau 3 (tiga) negara peserta. Umumnya, perjanjian multilateral berisi kesepakatan bersama bersifat regional ataupun atas dasar kepentingan yang sama antar negara-negara. Sumber HI lainnya adalah kebiasaan internasional (international costumary rules), keputusan pengadilan (court decission), prinsip-prinsip umum hukum internasional yang diakui negara-negara beradab (general principle of law recognized by civilized countries), dan karya-karya ahli hukum internasional yang memiliki kemasyhuran secara internasional (justice world). Keempat sumber hukum tersebut dapat dijadikan sumber hukum internasional, ketika sumber hukum satu sama lain saling melengkapi. Ketika PI tidak memuat ketentuan hukum tertentu, maka kebiasaan hukum internasional dijadikan sumber berikutnya. Sesungguhnya PI tidak terbatas pada ketiga jenis tersebut di atas, lebih penting dari itu bagaimana suatu PI memiliki kekuatan mengikat yang secara langsung (self-executing) atau tidak langsung (non self-executing) terhadap negara-negara dengan tuntutan prosedur ratifikasi. Self executing treaties adalah suatu perjanjian internasional yang secara langsung dapat mengikat dan diberlakukan dalam suatu negara tanpa memerlukan persetujuan dari parlemen, dengan aklamasi Presiden sudah cukup diberlakukan. Sehingga ratifikasi oleh Parlemen atau Konggres hanya terjadi jika terdapat kasus atau persoalan yang sangat berat. Kondisi seperti ini terjadi di Amerika Serikat, Jerman, dan juga Perancis. Sedangkan non-self executing treaties adalah perjanjian-perjanjian yang hanya akan mengikat jika kesepakatan internasional tersebut telah diratifikasi oleh atau harus mendapatkan persetujuan DPR atau 53

3 Parlemen. Sifat dari non-self executing treaties dalam pemberlakuan di suatu negara sangat berat. Di satu pihak, setiap negara mewajibkan kesepakatan internasional di ratifikasi melalui persetujuan DPR atau Parlemen. Dan di pihak lain, pengadilan-pengadilan nasional tidak akan menggunakannya sebagai sumber hukum jika tidak/belum diratifikasi menjadi bagian hukum nasional. 1 Penerapan PI dalam suatu negara tergantung pada teori-teori penerapan PI yang digunakan negara-negara. Adakalanya negara tersebut menggunakan teori monisme (monism theory) dan juga ada beberapa kelompok negara menggunakan teori dualisme (dualism theory). Namun demikian, penggunaan teori-teori tersebut di atas tidak selalu menjamin suatu negara dapat menerapkan secara seragam. Keabsahan suatu PI memang sangat tergantung selain kepada terpenuhi atau tidak suatu persyaratan menurut ketentuan Komisi Hukum Internasional (International Law Commission), juga penting menjadi pertimbangan bagaimana suatu kesepakatan disetujui oleh banyak pihak. Konsekuensinya, hak-hak dan kewajiban-kewajiabn secara internasional dapat timbul dan mengikat negara-negara secara berangsung-angsur. Negara-negara sebagai peserta dalam suatu PI umumnya memiliki kesamaan status hukum (equality) sebagai negara-negara berdaulat. Status kesamaan hukum (equality before the law) mutlak dalam PI, sebab hanya Negara-negara berdaulat penuhlah yang memiliki hak bicara dan hak suara. Namun, tidaklah mengherankan jika terdapat perbedaan kemampuan atau kapasitas dalam menjalankan berbagai kewajiban internasional. Untuk itu, dalam kondisi-kondisi tertentu suatu negara dapat menanggalkan sebagian ketentuan hukum yang terdapat dalam PI. Suatu pengecualian yang diakui keberadaannya oleh masyarakat internasional mengingat kemampuan negara berbeda-beda. Reservasi adalah metode yang paling sering digunakan negara-negara ketika ketentuan PI tidak berkesesuaian dengan ketentuan hukum nasional, 1 Wisnu Aryo Dewanto, Perjanjian Internasional Self-Executing Dan Non-Self-Executing Di Pengadilan Nasional, Disertasi Program Doktor Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 2011, Hlm:

4 khususnya ketentuan hukum pidana, hukum tata negara, dan juga hukum hak asasi manusia suatu negara. Dalam bagian tulisan ini, perlu dikemukakan tentang bagaimana keberadaan sumber hukum Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian Internasional (Vienna Convention on the Law of Treaty, 1969) yang digunakan dalam hubungan internasional antara negara-negara? Kedua, apakah fungsi dan kegunaan PI dalam hukum hubungan internasional? Ketiga, bagaimana daya ikat perjanjian internasional terhadap negara-negara baik karena putusan yang mengikat secara terbatas (closed agreement) atau daya ikat terhadap negara secara lebih terbuka dan meluas (open agreement)? Keempat, bagaimana kontribusi negara-negara dalam proses pembuatan hukum perjanjian internasional? Kelima, bagaimana praktek dan metode negara-negara dalam memberlakukan hukum perjanjian internasional dalam sisten hukum nasional masing, termasuk dalam praktek di Indonesia? Definisi Perjanjian Internasional dan Fungsinya Definisi perjanjian internasional di kalangan publik, khususnya di Indonesia sangat bervariasi. Secara populer, perjanjian internasional memiliki arti semua bentuk perjanjian yang bersifat lintas batas negara atau transnasional. Di kalangan publik, tidak dibedakan antara perjanjian internasional dan kontrak internasional, karena keduanya dipahami sebagai perjanjian internasional tanpa melihat subjek, karakter hubungan hukum, serta rezim hukum yang menguasainya. 2 Menurut Pasal 2 ayat (1) butir (a) Konvensi Wina 1969, definisi PI adalah: An International Agreement concluded between States (and International Organizations) in written form and governed by International Law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation. Artinya, suatu persetujuan internasional yang diadakan antara negara-negara dalam bentuk yang tertulis 2 Domus Dumoli Agusman, Hukum Perjanjian Internasional, Bandung: Refika Aditama, 2010, hlm

5 dan diatur oleh hukum internasional, baik yang berupa satu instrumen tunggal atau berupa dua atau lebih instrumen yang saling berkaitan tanpa memandang apapun juga namanya. Suatu persetujuan internasional yang diatur oleh hukum internasional dan dirumuskan dalam bentuk tertulis: (i) antara satu atau lebih negara dan satu atau lebih organisasi internasional; atau (ii) sesama organisasi internasional, baik persetujuan itu berupa satu instrumen atau lebih dari satu instrumen yang saling berkaitan dan tanpa memandang apapun juga namanya. Adapun menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, definisi PI adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik. 3 Berdasarkan beberapa definisi PI di atas, maka suatu perjanjian dapat dikategorikan sebagai PI apabila memenuhi beberapa unsur, yaitu: 1. Perjanjian harus memiliki karakter internasional, baik secara formal (pembentukannya) maupun materiil (substansinya). 2. Perjanjian harus dibuat oleh para pihak yang merupakan subjek hukum internasional, yakni negara dan/atau organisasi internasional, sehingga tidak dibenarkan jika perjanjian dibuat oleh pihak yang bukan merupakan subjek hukum internasional. 3. Perjanjian harus dibuat secara tertulis dan memiliki daya ikat yang kuat bagi seluruh pihak yang andil dalam perjanjian. 3 Pasal 1 poin (1) Undang Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. 56

6 Dengan demikian, perjanjian internasional yaitu suatu kesepakatan yang dibuat oleh kedua belah pihak, negara-negara sebagai subyek hukum internasional atau obyek yang jelas, dibuat secara tertulis dan mengikat secara sebagian besar negara-negara. Adapun fungsi PI dalam hubungan internasional, sebagai berikut: Pertama, PI merupakan suatu tanda bagi suatu negara yang telah menempatkan dirinya sebagai negara moderen yang beradab. Menggunakan perundingan dan perjanjian, negara-negara akan berusaha untuk menahan diri dari tindakan penggunaan kekeran di dalam penyelesaian sengketa. Sebab, dalam merumuskan perjanjian internasional, pihak-pihak yang mewakili negara hendaknya menggunakan mekanisme lobi, negosiasi, dan pertimbangan untung dan rugi bagi kepentingan nasional (national interest). Kedua, sebagai pedoman tertulis yang mengandung kepastian hukum bagi kedua negara atau lebih untuk dijadikan rujukan dalam melakukan hubungan internasional dan juga sebagai arah dari pembangunan nasional negara masing-masing. Misalnya, berdirinya badan PBB terkait dengan bantuan program pembangunan (United Nations for Development Program - UNDP), bagi negara-negara yang sedang membangun dan mengembangkan demokrasi. Ketiga, sebagai sertifikat atau bukti bahwa negara-negara tersebut terikat berbagai kesepakatan internasional, sehingga jika dikemudian hari terdapat sengketa maka model penyelesaian sudah jelas ada rujukannya di luar atau di dalam pengadilan. 4 Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional Sebagai suatu instrumen hukum hubungan internasional, perjanjian internasional tidak sedikit istilah yang digunakan untuk memperlihatkan adanya transaksi atau perikatan dalam tatanan internasional. Istilah tersebut antara lain, perjanjian atau perundingan (Treaty), kesepakatan (agreement), perjanjian (Tractaat), piagam (Charter), Deklarasi 4 Dicari dalam J. O Brien dan Malcolm Shaw, International Law, dalam Malcolm D. Evans. 57

7 (Declaration), Anggaran Dasar (Statuta), Kesepakatan (Covenant), Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding), Protokol Tambahan (Protocol), dan lain-lainya. 5 Dasar yang harus diyakinkan kebenarannya adalah bahwa suatu PI menurut Konvensi Wina, harus memiliki lima unsur utama: (1) Adanya pihak-pihak negara-negara sebagai subyek hukum (states as international legal subject), (2) Menyetujui suatu kesepakatan atau obyek tertentu; (3) Diatur oleh hukum internasional didasarkan Komisi Hukum Internasiomal, (governed by International Law Commission); (4) didasarkan pada perjanjian secara tertulis (made in written form); dan (5) memiliki daya ikat yang kuat (enter into binding force). Dengan kata lain, syarat sahnya perjanjian internasional memiliki daya ikat yang efektif, jika syarat-syarat tersebut telah dipenuhi. Dengan kata lain, bahwa Konvensi Wina 1969 hanya mengatur berbagai perjanjian internasional yang diikuti hanya oleh negara-negara sebagai subjek hukum internasional. Suatu negara yang memiliki kedaulatan penuh (full state sovereignity), adalah negara-negara yang memiliki kewenangan penuh, baik untuk urusan dalam negeri (domestic affairs), maupun untuk urusan luar negeri (foreign affairs) tanpa ada campur tangan dari kekuatan negara luar. Sedangkan pengaturan PI yang diterapkan oleh subyek hukum non-negara, dapat disandarkan kepada hukum kebiasaan internaasional, dimana organisasi internasional dan lainnya diakui memiliki status yang sederjat seperti kedudukan negara. Selain terdapat perjanjian yang diikuti oleh subyek hukum negara, organisasi internasional, baik berbentuk organisasi antara negara (inter-governmental organization) atau organisasi swadaya masyarakat (non-governmental organization). Vatikan atau Tahta Suci di Vatikan Roma, Organisasi Gerakan Pembebasan (Liberation Movement Organization), dan juga organisasiorganisasi profesi setingkat dunia lainnya. 6 Dalam Protokol Tambahan Comment [AVK1]: - #tolong di cek, bagaimana organisasi-organisasi noninternasional harus mengikuti prosedur dan mekanisme pembuatan perjanjian internasional. 5 Lihat dalam Pasal berapa istilah-istilah tersebut diatur oleh Konvensi Wina Lihat subyek hukum internasional dalam J. G. Starke, An Introduction To International Law, Sidney: Butterworth,

8 Berlaku dan Mengikatnya Perjanjian Internasional Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 24 (1) Konvensi Wina 1969, suatu perjanjian internasional mulai dapat diberlakukan bergantung pada dua hal, yaitu: Ketentuan perjanjian internasional itu sendiri; atau, apa yang telah disetujui oleh negara peserta. Pada umumnya, pemberlakuan suatu perjanjian dapat dilihat pada bagian klausula formal (klausula final) yang biasanya terletak dalam pasal-pasal terakhir perjanjian atau setelah pasal-pasal substansial (dispositive provision) perjanjian internasional tersebut. Misalnya ketentuan yang menjelaskan pada salah satu pasalnya bahwa perjanjian ini berlaku segera setelah penandatanganan. Sehingga sejak penandatanganan dilakukan oleh negara peserta, maka perjanjian yang ditandatangani secara otomatis berlaku bagi negara yang bersangkutan. Dari praktek-praktek penerapan PI, daya ikatnya tergantung selain pada jumlah negara-negara yang menyetujui dan meratifikasi. Misalnya, Statuta Roma yang disetujui di San Remo tahun 1998, baru kemudian dapat diimplementasikan sejak setelah enam puluh negara meratifikasinya dalam sistem hukum nasionalnya. Adapun mengenai mengikatnya perjanjian, suatu perjanjian internasional baru mulai Comment [AVK2]: #cek kepastiannya pemberlakuan Statuta Roma tahun 2004 atau 2005? dapat mengikat bagi negara peserta perjanjian tersebut bergantung pula pada tahap-tahap pembentukan perjanjian itu sendiri. Jika perjanjian tersebut tidak mensyaratkan adanya ratifikasi, maka negara peserta akan terikat secara hukum sejak penandatanganan perjanjian itu. Jika perjanjian tersebut mensyaratkan ratifikasi, maka negara peserta baru akan terikat secara hukum sejak diratifikasinya perjanjian itu. Sebaliknya, masih saja dilematis pemberlakuan PI, seperti Statuta Roma. Sebab, selain negara-negara ada yang dapat menolak pemberlakuannya, seperti Amerika Serikat, China, Rusia, Juga Israel dan termasuk Indonesia. Di pihak negara-negara yang menolak umumnya, selain dapat berdampak pada sistem hukum pidana nasionalnya. Juga negara-negara penolak umumnya tidak menghendaki pelanggaran-pelanggaran HAM di masa lalu dipersoalkan oleh Komisi HAM Internasional dan juga tentunya Dewan Keamanan PBB. 59

9 Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa suatu PI dapat berakibat timbulnya hukum lain, atau dapat menuntut suatu negara atas pelanggaran terhadap suatu perjanjian internasional ada dua syarat yang harus terpenuhi, yaitu bahwa perjanjian yang dilanggar adalah sah telah berlaku dan perjanjian itu pula telah mengikat secara hukum bagi negara yang melanggar perjanjian tersebut. 7 Kesamaan status negara-negara, sebagai negara pihak atau negara yang sama-sama meratifikasi statuta Konvensi menjadi dasar mutlak kebolehan kedua negara melakukan klaim dan pertanggungjawaban hukum. Jenis-Jenis Perjanjian Internasional Setidaknya ada tiga jenis PI yang selama ini dijadikan pegangan dalam mempelajari kerjasama internasional. Pertama, PI dilakukan oleh dua negara (Bilateral Treaties) untuk mengikatkan diri ke dalam suatu obyek perjanjian bersifat publik (ketertiban, perdamaian, kepentingan politik, militer, pertahanan dan keamanan, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan bidang kebudayaan lainnya), atau juga obyeknya keperdataan, bersifat mengikat tetapi terbatas hanya kepada dua pihak saya (closed agreement). Di satu pihak, negara yang menyelenggarakan PI secara bilateral wajib mematuhi dan menghormatinya (Pacta Sunt Servanda). Karena itu, pihak-pihak yang berada di luar kesepakatan tersebut tidak merasa ada kewajiban untuk mematuhinya. Sebab, praktek perjanjian hanya memihak terbatas pada negara-negara yang menyepakati saja. Namun, tidak berarti negara-negara lain dapat mencampurinya. Kewajiban untuk menghormati dan untuk tidak ikut intervensi, menjadi batasan moralitas/kode etik internasional. Dalam suatu hubungan antara kedua negara, Bilateral treaties tidak mudah dilakukan mengingat kedua sistem hukum mereka berbeda-beda. Di satu pihak, terdapat negaranegara menganut sistem common law, di mana negara-negara terikat dengan sistem hukumnya, dan kebiasaan hukum, putusan-putusan hakim dijadikan dasar dalam 7 Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar, Cet. I, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, April 2010, hlm

10 menentukan sikap dan penerima terhadap PI ke dalam hukum nasional. Doktrin Precedent, atau putusan-putusan hakim nasional dan internasional merupakan rujukan utama bagi hakim-hakim di pengadilan. Misalnya, Inggris, dan Amerika Serikat tergolong negara-negara penganut sistem common law yang lebih mengutamakan hukum kebiasaan internasional. Namun, tidak berarti negara-negara tersebut tidak memiliki sumber hukum tertulis, termasuk dalam hal ini Undang-Undang Dasar atau Konstitusi. Amerika sebagai negara yang menempatkan PI sebagai sumber hukum nasional yang statusnya sejajar dengan konstitusi Pasal 6 UUD AS; The international treaties shall be supreme law of the land. Di pihak lain, negara-negara penganut sistem Kontinental adalah negara-negara yang lebih mengutamakan sumber hukum tertulis, atau perundang-undangan (legisme). Hampir kebanyakan negara-negara model kedua ini menempatkan hukum tertulis lebih utama dijadikan sumber hukum oleh para penegak hukumnya. Karena itu, PI dapat digunakan sebagai sumber hukum nasional, bilamana pemerintah negara tersebut telah meratifikasinya ke dalam sistem hukum nasional. Dalam sistem hukum negara-negara kontinental atau civil law, seperti Belanda dan negara-negara sejenisnya seperti Indonesia, umumnya pemberlakuan PI lebih sulit dan bahkan sangat birokratis. Pertama, setiap PI wajib di ratifikasi oleh lembaga Parlemen, Konggres, Senat atau DPR. Kedua, pengadilan-pengadilan tidak akan menempatkan PI sebagai sumber hukum nasional jika PI belum diratifikasi sebagai bagian dari hukum nasional yang berbentuk Undang-Undang. Trilateral Treaties, yaitu ketiga negara meningkatkan diri untuk menyepakati pada suatu obyek tertentu untuk melakukan tindakan atau tidak melakukan tindakan, timbul hak dan kewajiban yang mengikat negara-negara. Misalnya perjanjian ketiga negara yaitu Indonesia, Malaysia, dengan Singapura terhadap keberadaan Selat Malaka sebagai suatu wilayah perairan yang bersentuhan ketiga negara tersebut. Dalam kenyataan Selat Malaka sebagai suatu selat perairan yang sangat sibuk dengan lalu lintas kapal pengangkut barangbarang berbagai negara. 61

11 Tidak mengherankan jika pelanggaran dan kejahatan lintas negara (Transnational Organized Crimes), seperti pembajakan, penyelundupan, transaksi senjata gelap dan perdagangan manusia acapkali dilakukan di Selat Malaka tersebut. Untuk mencegah dan menindak pelaku pelanggaran dan kejahatan tersebut, ketiga negara merasa terpanggil untuk menciptakan rasa aman dan damai bagi pengguna Selat tersebut. Ketiga negara memiliki jurisdiksi masing-masing untuk melakukan tindakan kedaulatan terhadap pelaku kejahatan yang terjadi di selat Malaka, sehingga mereka dapat meminta pertanggung jawaban hukum kepada pelaku kejahatan tersebut yang terjadi di wilayah Selat Malaka, sebagai tempat kejadian (locus delicti). Namun demikian, kedua model PI tersebut di atas, mengisyarakatkan adanya sifat Treaty of Contract. Perjanjian ini tidak secara langsung sebagai sumber hukum internasional. PI dapat digunakan sebagai sumber hukum yang mengikat hanya kepada pihak-pihak yang menandatangani dan juga terbatas hanya pada hukum yang khusus. Karena itu, Treaty of Contract dapat saja menjadi sumber hukum internasional sepanjang mendasarkan pada proses perubahan dari kebiasaan internasional. Sekalipun peristiwa dari perjanjian yang memiliki daya ikat yang sama sebagai akibat dari hukum kebiasaan internasional. Misalnya, setiap perjanjian internasional bersifat bilateral dalam hal tindakan diplomasi negara, hukumhukum negara, putusan-putusan pengadilan dan praktek organisasi internasional hanya akan mengikat lebih luas jika telah mengalami proses yang saling diakui. Di satu pihak, negara-negara yang terlibat dalam suatu perjanjian bilateral maupun trilateral treaties terikat untuk menghormati dan mematuhi asas hukum perjanjian. Misalnya, asas contractual international transaction consensus. Sebaliknya, negara-negara di luar pihak juga wajib menghormatinya sepanjang negara-negara tersebut terlibat dalam pengambilan manfaat dari obyek perjanjian tersebut. Misalnya, perjanjian bilateral antara Inggris dan Amerika Serikat. Negara-negara yang lewat selat tersebut wajib tunduk pada peraturanperaturan perairan yang disepakati oleh kedua negara. 62

12 Ketiga, Multilateral Treaties yaitu suatu perjanjian atau perundingan yang diikuti banyak negara untuk membuat kesepakatan terhadap obyek tertentu, dengan prosesdur dan mekanisme menurut ketentuan Komisi Hukum Internasional, dilakukan secara tertulis dimana setiap utusan negara-negara memiliki hak lobi, negosiasi (berunding) untuk dan atas kepentingan memperjuangkan kepentingan negara-negara di tingkat internasonal. Setiap delegasi negara memiliki hak untuk memohon penjelasan klarifikasi (clarification), dan menentukan tentang kepastian dan keakuratan kata dan kalimat (authenticity), untuk menyetujui (approve), menerima (accept) dan menandatangani (signature) perjanjian tersebut. PI bersifat multilateral dapat mengikat negara-negara sepanjang negara-negara tersebut selain turut menyetujui perundingan, juga memiliki i tikad baik (good faith) untuk menerima dan menjadikan PI tersebut bagian dari hukum nasionalnya masing-masing. 8 Misalnya, pada tahun 1998 negara-negara dan segenap organisasi internasional, bertemu di San Remo, Italia untuk menyetujui lahirnya perjanjian Statuta Roma 1998, tentang Pendirian Mahkamah Pidana Internasional bersifat permanen. Selama ini, dari tahun 1946 telah ada peradilan pidana, namun peradilan tersebut sifatnya sementara atau ad-hoc. Sebagaimana telah digelar dalam Kasus Nuremberg Genocide Convention 1946 terhadap penjahat genosida NAZI di Jerman, yang juga diikuti oleh Konvensi Tokyo 1948 atas kejahatan perang yang dilakukan tentara Jepang. Perbedaan yang mendasar antara Bilateral dan Trilateral Treaties dengan Multilateral adalah bukan sekedar jumlah subyek hukumnya negara-negara yang ikut begitu banyak. Namun, karena multilateral treaties memiliki sifat hukum law making treaties (perjanjian membuat hukum). Suatu perjanjian internasional yang membuat hukum, dimaknai sebagai suatu kesepakatan yang memiliki daya ikat hukum yang terbuka dan luas, dapat dipaksakan baik kepada negara-negara yang ikut menandatangani (third parties) atau sebagai negara pihak, atau negara-negara yang tidak hadir karena memang negara tersebut belum berdiri 8 Diambil dari Starke Eddy Pratomo 63

13 atau belum memiliki kedaulatan penuh atau negara-negara tersebut tidak mau menyetujui. Tetapi bagi negara-negara yang tidak memiliki kedaulatan penuh maka negara-negara tersebut dapat menundukan diri untuk mematuhi perjanjian tersebut (adhesion). Misalnya, Piagam Pendirian PBB di San-Fransisco, 1945 telah mengikat semua negara, sebagai anggota sah dan wajib mematuhi maksud dan tujuan dibentuknya Perserikatan Bangsa-Bangsa. Negara-negara yang tidak ikut PI, selain ikut serta dalam menciptakan perdamaian dunia (world peace), ketertiban dunia (world order), juga wajib berupaya mencegah atau mengendalikan diri untuk tidak menggunakan kekerasan militer dalam suatu penyelesaian persengketaan. 9 Adanya metode negara-negara yang tidak turut penyelesaian sengketa internasional, selain menggunakan model diplomasi, negosiasi, mediasi, rekonsiliasi, dan pencarian fakta, juga cara-cara damai dapat dilakukan melalui peradilan internasional dan arbitrase internasional. # 3.2. Keterlibatan Negara-negara dalam Pembuatan Perjanjian Internasional Comment [AVK3]: tolong ditambahkan materi batalnya, berakhirnya PI. Kebolehan negara mengundurkan diri dan juga penafsiran dalam amandemen PI (dilihat Pasalnya). Hakikat PI dalam konteks perkembangan hukum internasional kontemporer menunjukan perkembangan luar biasa. Bukan sekedar jumlahnya PI hampir puluhan ribu, melainkan juga telah bersinggungan dengan semakin toleransinya negara-negara dalam mengakomodir hukum-hukum kebiasaan internasional untuk disejajarkan dengan status PI. Karena itu, seberapa jauh negara-negara terlibat dalam suatu pembentukan PI tergantung kepada kemampuan negara-negara tersebut dalam mengelola dan merawat hubungan internasional, baik antara sesama negara maupun antara negara sebagai anggota dari organisasi internasional. Comment [AVK4]: #cek tulisan Theodore Coulombis 9 Pasal 3 ayat (2) Piagam PBB. 64

14 Dalam Pasal 7 Konvensi Wina 1969, suatu negara yang akan menghadiri pembuatan PI harus memenuhi syarat sebagai berikut. Pertama, bahwa wakil suatu negara memiliki surat kepercayaan yang ditandatangani oleh kepala negaranya, Presiden atau Perdana Menteri, dengan surat kepercayaan (Letter of Credential), yang memberikan kewenangan penuh kepada delegasi suatu negara (Full Powers). Sebagaimana ditegaskan oleh Konvensi Wina. Di Amerika Serikat, Sekretaris Negara bersama Kementerian Luar Negeri memiliki kewenangan untuk menentukan serta menerbitkan Surat Kepercayaan tersebut. Kedua, yang dapat mewakili negara ke dalam pembuatan PI, antara lain Kepalakepala negara (Heads of State), Kepala pemerintahan (Heads of Government), Menteri Luar Negeri (Minister for Foreign Affairs), Kepala-kepala negara, Menteri suatu negara tidak memerlukan surat kepercayaan (letter of credence). Dengan demikian, letter of credence diwajibkan bagi utusan diplomasi. Kepala perwakilan diplomatik (Heads of diplomatic missions), dan perwakilan-perwakilan yang disahkan pejabat berwenang untuk menjadi delegasi dalam PI, baik yang diselenggarakan negara-negara, maupun organisasi internasional. Ketiga, adalah delegasi melakukan pendaftaran (registration) dan menyerahkan surat kepercayaan tersebut, sebagai peserta dalam PI, dengan kewenangan untuk melakukan perundingan atau adu tawar (negotiation), penjelasan (clarification), kepastian dan kesaksian (authencity), persetujuan (approval), dan penandatanganan (signature). Semestinya, utusanutusan negara-negara menjadi terikat (enter to be bound) sejak penandatanganan. Namun, Comment [AVK5]: #jelaskan menggunakan footnote istilah dalam lighter kuning tersebut ternyata daya ikat perjanjian internasional memerlukan persyaratan atau tahapan pemberlakuan melalui ratifikasi Praktek Ratifikasi di Berbagai Negara Ratifikasi merupakan suatu prosedur dan mekanisme hukum terkait dengan pemberlakukan PI ke dalam hukum nasional, sehingga dapat menjadi sumber hukum untuk dipergunakan oleh hakim-hakim suatu pengadilan negaranya masing-masing. Dalam 65

15 prakteknya, ratifikasi dibedakan ke dalam beberapa tahapan, berdasarkan kepada landasan teoritis dan filosofis suatu negara. Monisme dan dualisme merupakan dua teori yang paling masyhur digunakan untuk melihat seberapa jauh negara-negara berdaulat dapat mematahkan perjanjian internasional, dan diimplementasikan dalam kasus-kasus yang dihadapinya, baik dalam tingkat nasional maupun internasional. Penting untuk dicatat, bahwa perbedaan isu hukum, antara hukum publik dengan hukum ekonomi merupakan dua ranah hukum berdimensi internasional. Dalam konteks hukum ekonomi internasional, negara-negara adidaya dengan mudah menyetujui berbagai transaksi atau perjanjian internasional. Bahkan lebih dari itu, negaranegara adidaya dapat memaksa negara sekutunya untuk menyetujui perjanjian-perjanjian multilateral. Misalnya, berbagai perjanjian multilateral, termasuk APEC, perdagangan bebas dan WTO, tergolong PI multilateral yang mudah disepakati dan diimplementasikan secara global. Sebab kepentingan ekonomi nasional negara-negara peserta tidak luput dari perdagangan internasional, termasuk praktek impor dan ekspor barang, jasa dan teknologi informatika lainnya. Di pihak lain, isu-isu hukum publik, keamanan dan pertahanan, kejahatan internasional, dan juga pelanggaran HAM berat acapkali menjadi persoalan yang sangat sulit mendapatkan dukungan dari negara-negara adikuasa. Kelima negara anggota tetap DK PBB seringkali menjadi contoh paradoks atau tidak konsisten dalam mengimplementasikan perjanjian internasional. Konvensi internasional tentang Terorisme tahun 2003, termasuk PI yang secara kebijakan tergolong sangat cepat didukung untuk diimplementasikan. Negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris dan negara Barat lainnya, merasa terancam oleh gerakan teroris dari negara-negara ketiga, khususnya negara-negara Muslim. Namun, berbeda halnya dengan PI seperti Statuta Roma 1998, negara-negara besar tidak peduli mengingat ancaman besar terhadap kedaulatan negaranya tidak dapat dihindarkan. Kasus Pemerintah Amerika Serikat terhadap Suku Indian, kasus Pemerintah Inggris di Australia terhadap Suku Aborigin, juga China terhadap bangsa Tibet. 66

16 Ratifikasi PI di Negara Penganut Monisme Negara-negara penganut teori monisme tampak jauh lebih sederhana dalam melakukan ratifikasi, sehingga sekali suatu negara telah menyepakati PI, suatu negara dapat memberlakukannya di tingkat nasional. Hal ini terjadi karena negara-negara penganut paham monisme, menempatkan hukum internasional, atau PI dan hukum nasional merupakan kedua sistem hukum yang satu sama lain tidak terpisahkan (inseparable part of law) satu sama lain. Ada tiga alasan mengapa negara-negara penganut monisme lebih sederhana dalam melakukan ratifikasi. Pertama, konstitusi atau hukum dasar negara-negara tersebut menempatkan PI sebagai sumber hukum yang sejajar dengan konstitusinya. Di Amerika Serikat, dengan jelas diatur dalam Pasal 6, bahwa PI menjadi sumber hukum yang tinggi di negerinya, International Treaty... shall be the supreme law of the land. Meskipun Jerman tidak menggunakan sistem Pemerintahan Presidensil, dalam konteks pemberlakuan PI hampir sama dengan AS, yaitu menempatkan PI sebagai sumber hukum nasionalnya yang setara dengan konstitusi. Alasan kedua, negara-negara penganut monisme menempatkan PI dan urusan hubungan luar negeri, sebagai urusan kekuasaan eksekutif (executive affairs). Dalam pembelakuannya PI cukup dengan suatu keputusan Presiden (President Decree) atau Perdana Menteri. Self executing treaties, suatu perjanjian internasional yang dengan sendirinya dapat diberlakukan dengan penguatan atau pengesahan dari Kepala Pemerintahan atau Presiden. Akibatnya, daya ikat PI di tingkat hukum nasional lebih cepat oleh karena model ratifikasi tidak membutuhkan persetujuan dari parlemen (parliament endorcement). Namun, dalam kondisi tertentu, seperti di AS, ada juga suatu PI yang memerlukan suatu persetujuan dari Kongres, apabila berkaitan dengan hal-hal yang penting dan dalam penerapannya akan berdampak pada situasi nasional. Tentu saja, persoalan 67

17 pertahanan dan keamanan (security and defence) dipandang sebagai persoalan sensitif baik ke dalam negaranya maupun dampak keluar negeri. 10 Alasan ketiga, hakim-hakim di negara-negara penganut teori monisme secara teknis dapat dengan mudah menjadikan PI sebagai sumber hukum dalam putusannya, mengingat sejak ratifikasi hanya memerlukan pengesahan dari Presiden. Penganut teori monisme, pemerintah suatu negara sangat jelas menempatkan urusan luar negeri (foreign affairs) sebagai urusan eksekutif, sehingga hampir sebagian besar kebijakan luar negeri dibuat oleh Presiden sebagai Kepala Negara atau Kepala Pemerintahan. Dalam hal suatu PI tersebut kontradiksi dengan kebiasaan internasional, maka hakimhakim dengan sendirinya akan mengutamakan hukum kebiasaan internasional, sebagai pelaksanaan dari asas Jus Cogen. Karena itu, ketika terdapat PI yang bertentangan dengan Jus Cogen, maka dengan sendirinya hakim-hakim dari tingkat pertama hingga Mahkamah Agung akan membatalkan peraturan hukum bersumber PI tersebut. Sebab, Jus Cogen tergolong sumber hukum kebiasaan internasional yang memiliki derajat tertinggi yang tidak dapat dikalahkan oleh hasil kesepakatan PI, termasuk yang bersifat multilateral. 11 Ratifikasi PI di Negara Penganut Teori Dualisme Kondisi ratifikasi di negara-negara penganut teori dualisme memang berbeda mengingat prosedur dan mekanisme agak berbelit-belit. Hakim-hakim di negara-negara tersebut hampir cenderung untuk mengutamakan sumber hukum nasionalnya. Mengapa di negara-negara penganut teori dualisme praktek ratifikasi tidak semudah praktek di negaranegara penganut monisme. Pertama, negara-negara penganut teori dualisme, beranggapan bahwa perjanjian internasional (PI) dengan hukum nasional merupakan dua sistem hukum terpisah. Ajaran kedaulatan hukum negara secara nasional lebih diutamakan untuk dijadikan sumber hukum 10 Op.Cit, Wisnu Aryo Dewantoro. 11 Yudha Bakti, Disertasi 68

18 utama (prima facie). Mereka memandang bahwa PI hanya dapat dijadikan bagian dari sistem hukum nasional manakala telah dilakukan suatu proses ratifikasi yang prosedural oleh parlemen atau hakim-hakim di pengadilan. Dengan kata lain, kompleksitas implementasi PI di dalam negara penganut teori dualisme menunjukan urusan luar negeri tidak sekedar ikhwal kewenangan eksekutif, melainkan juga kewenangan parlemen atau DPR. Sebagai salah satu contoh di negara federal di Australia, ratifikasi PI memerlukan persetujuan dari Parlemen, karena urusan luar negeri termasuk kewenangan pengawasan parlemen. seberapa jauh urusan luar negeri membuktikan kepentingan rakyat sangat tergantung pada wakil-wakil rakyat di Parlemen. Sifat dan daya ikat PI dalam negara-negara penganut dualisme adalah non-self executing treaties, yaitu PI tidak dengan sendirinya dapat diimplementasikan mengingat memerlukan adanya persetujuan dari Parlemen atau DPR. Untuk mengimplementasikan PI di negara-negara tersebut memang agak sulit. 12 Kedua, persoalan PI bukan sekedar urusan Presiden, atau Perdana Menteri melainkan juga urusan dari wakil-wakil rakyat. Setiap upaya untuk memberlakukan PI menuntut adanya suatu pengesahan dari anggota parlemen DPR. Model ratifikasi demikian ini, tentu tidak saja terbatas pada PI bersifat Multilateral saja, akan tetapi berlaku pada PI bersifat bilateral dan Trilateral. Pada tahun 2007, Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Singapura menyepakati perjanjian ekstradisi, yaitu saling tukar-menukar penjahat dari kedua negara. Syarat utamanya adalah pelanggaran atau kejahatan tersebut harus sama tergolong kejahatan yang juga dilarang oleh kedua negara (double criminality). Meskipun demikian, perjanjian ekstradisi batal ditindak lanjuti oleh karena beberapa alasan, salah satunya, perjanjian ekstradisi yang telah disepakati memerlukan pengakuan dari hakim-hakim. 13 Konsekuensi dari PI bukan sekedar eksekutif menuntut adanya suatu dukungan dan pengesahan dari parlemen. Prosedur ratifikasi menjadi birokratif mengingat mekanisme 12 Wisnu, Eddy, atau Maurize 13 Jawahir Thontowi, Penegakan Hukum dan Diplomasi Pemerintahan SBY, Yogyakarta: Leutika, 2009, Hlm:

19 terkadang tidak mudah ditempuh. Hal ini mengingat prosedur dan mekanisme ratifikasi pertama perlu diajukan oleh beberapa kementerian yang terkait. Misalnya, Menteri Luar Negeri (Minister of Foreign Affairs) dan Menteri Kehakiman (Minister of Justice) mempersiapkan untuk mengusut tersebut negara. Meskipun dalam ratifikasi tidak perlu adanya pengesahan setiap pasal-pasal, karena setelah diterjemahkan ke dalam bahasa nasional masing-masing, anggota-anggota DPR hanya menyetujui pemberlakuan PI tersebut secara keseluruhan. Terkecuali, terdapat adanya persyaratan (reservasi), maka beberapa pasal dapat dianulir. Misalnya, ketika Pemerintahan Indonesia melakukan ratifikasi terhadap HAM, maka konsep kejahatan perang (war of crimes), kejahatan kemanusiaan (crime against humanity), dan tindakan agresi (the act of aggression) tidak diberlakukan di Indonesia. Ketiga, dalam praktek ratifikasi PI ke dalam hukum nasional di negara-negara penganut teori dualisme memang tidak mudah. Selain hakim-hakim dalam hal menemukan hukum baru ketika dalam hukum nasional tidak diaturnya, maka hakim sangat tergatung kepada pengesahan dari anggota parlemen. Hal ini juga menjadi lebih rigid ketika hakimhakim di negara-negara sistem kontinental tidak memberlakukan doktrin precedent. Meski putusan-putusan hakim di masa lalu, yang mengandung kebenaran dan keadilan sekalipun, tetap saja hakim tidak mudah untuk menjadi putusan-putusan tersebut sebagai sumber hukum yang patut dipertimbangkan. Karena itu, dalam hal ada tidaknya pertentangan antara PI dengan hukum kebiasaan internasional, maka hakim-hakim di negara-negara tersebut umumnya merujuk pada hukum nasional, dengan menggunakan metode penafsiran hukum yang bertahap, yakni penafsiran kebahasaan (linguistic interpretation), penafsiran sejarah (historical interpretation), penafsiran sosiologis dan antropologis (sociologist and anthropologist interpretation). Perjanjian Internasional di Indonesia Perkembangan dunia yang ditandai dengan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah meningkatkan intensitas hubungan dan interdependensi antar negara. 70

20 Sejalan dengan peningkatan hubungan tersebut, maka makin meningkat pula kerja sama internasional yang dituangkan dalam beragam bentuk perjanjian internasional. Dalam melaksanakan politik luar negeri yang diabdikan kepada kepentingan nasional, Pemerintah Republik Indonesia melakukan berbagai upaya termasuk membuat perjanjian internasional dengan negara lain, organisasi internasional, dan subjek-subyek hukum internasional lain. Dasar hukum pemberlakuan Perjanjian Internasional di Indonesia adalah Pasal 11 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Sejatinya undang-undang tentang Perjanjian Internasional merupakan pelaksanaan dari Pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945 yang memberikan kewenangan kepada Presiden untuk membuat perjanjian internasional dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam praktiknya di Indonesia, bentuk pengesahan suatu Perjanjian Internasional terbagi dalam empat kategori, yaitu: 1. Ratifikasi (ratification) apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian internasional turut menandatangani naskah perjanjian; 2. Aksesi (accesion) apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian internasional tidak turut menandatangani naskah perjanjian; 3. Penerimaan (acceptance); dan 4. Penyetujuan (approval) adalah pernyataan menerima atau menyetujui dari negara-negara pihak pada suatu perjanjian internasional atas perubahan perjanjian internasional tersebut. Pengaturan mengenai pengesahan perjanjian internasional di Indonesia sebelum disahkannya Undang Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, dijabarkan dalam Surat Presiden Nomor 2826/HK/1960 tertanggal 22 Agustus 1960, kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, yang telah menjadi pedoman dalam proses pengesahan perjanjian internasional, yaitu pengesahan melalui undang-undang atau keputusan presiden, bergantung kepada materi yang diaturnya. 71

21 Pengesahan Perjanjian Internasional di Indonesia dapat dilakukan dengan undangundang atau Keputusan Presiden. Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang- undang, apabila berkenaan dengan: masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara; 2. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia; 3. kedaulatan atau hak berdaulat negara; 4. hak asasi manusia dan lingkungan hidup; 5. pembentukan kaidah hukum baru; dan 6. pinjaman dan/atau hibah luar negeri. Adapun pengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk materi sebagaimana dimaksud di atas, dilakukan dengan Keputusan Presiden. Dalam hal pengesahan perjanjian internasional melalui Keputusan Presiden, maka Pemerintah Republik Indonesia menyampaikan salinan setiap keputusan presiden yang mengesahkan suatu perjanjian internasional kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk dievaluasi. 15 A. Istilah-istilah dalam Perjanjian Internasional 1. Agreed minutes, yaitu risalah yang disepakati. 2. Agreement (persetujuan), yaitu istilah yang digunakan untuk transaksi-transaksi yang bersifat sementara. Perikatan tidak seresmi traktat dan konvensi. 3. Charter yaitu istilah yang dapat dipakai dalam perjanjian internasional untuk pendirian badan yang melakukan fungsi administratif Misal Atlantic Charter. 4. Convention (konvensi), yaitu persetujuan formal yang bersifat multilateral dan tidak berurusan dengan kebijaksanaan tingkat tinggi (high policy). 5. Covenant yaitu anggaran dasar LBB (Liga Bangsa Bangsa) 6. Declaration (Deklarasi), yaitu perjanjian internasional yang berbentuk traktat dan dokumen tidak resmi. Deklarasi sebagai traktat bila menerangkan suatu judul dan batang tubuh ketentuan traktat dan sebagai dokumen tidak resmi apabila merupakan 14 Pasal 10 Undang Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. 15 Pasal 11 Undang Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. 72

22 lampiran pada traktat atau konvensi. Deklarasi sebagai persetujuan tidak resmi bila mengatur hal-hal yang kurang penting. 7. Exchange notes (Pertukaran nota), yaitu metode yang tidak resmi tetapi akhir-akhir ini banyak digunakan. Biasanya pertukaran nota dilakukan oleh wakil-wakil militer dan negara serta dapat bersifat multilateral. Akibat pertukaran nota ini timbul kewajiban yang menyangkut mereka. 8. Final act (Ketentuan penutup), yaitu ringkasan hasil konvensi yang menyebutkan negara peserta, nama utusan yang turut diundang serta Inasalah yang disetujui konferensi dan tidak memerlukan ratifikasi. 9. General act (Ketentuan Umum), yaitu traktat yang dapat bersifat resmi dan tidak resmi. Misalnya, LBB (Liga Bangsa Bangsa) menggunakan ketentuan umum mengenai arbritasi untuk menyelesaikan secara damai pertikaian internasional tahun Letter of intens yaitu nota kesepakatan. 11. Modus vivendi, yaitu dokumen untuk mencatat persetujuan internasional yang bersifat sementara sampai berhasil diwujudkan perjumpaan yang lebih permanent, terinci dan sistematis serta tidak memerlukan ratifikasi. 12. Negotiation (perundingan), merupakan perjanjian tahap pertama antara pihak/negara tentang objek tertentu. Dalam melaksanakan negosiasi, suatu negara dapat diwakili oleh pejabat yang dapat menunjukkan surat kuasa penuh (full powers). 13. Proses verbal, yaitu catatan-catatan atau ringkasan-ringkasan atau kesimpulankesimpulan konferensi diplomatic atau catatan-catatan suatu permufakatan. Proses verbal tidak diratifikasi. 14. Protocol (protokol), yaitu persetujuan yang tidak resmi dan pada umumnya tidak dibuat oleh kepala negara, mengatur masalah-masalah tambahan seperti ketentuan tambahan sebuah perjanjian. 15. Ratification (ratifikasi), yaitu persetujuan terhadap rencana perjanjian internasional agar menjadi suatu perjanjian yang berlaku bagi masing-masing negara peserta perjanjian. 16. Signature (penandatanaganan), yaitu penandatanganan hasil perundingan yang dituangkan dalam naskah perundingan yang dilakukan wakil-wakil negara peserta yang 73

23 hadir. Dalam perjanjian bilateral, penandatanganan dilakukan oleh kedua wakil negara yang telah melakukan perundingan sehingga penerimaan hasil perundingan secara bulat dan penuh, mutlak sangat diperlukan oleh kedua belah pihak. Sebaliknya, dalam perjanjian multilateral penandatanganan naskah hasil perundingan dapat dilakukan jika disetujui 2/3 dan semua peserta yang hadir dalam perundingan, kecuali jika ditentukan lain. Namun demikian, perjanjian belum dapat diberlakukan oleh masing-masing negara, sebelum diratifikasi oleh masing-masing negaranya. 17. Statute (piagam); yaitu himpunan peraturan yang ditetapkan oleh persetujuan internasional baik mengenai pekerjaan maupun kesatuan-kesatuan tertentu seperti pengawasan internasional yang mencakup tentang minyak atau mengenai lapangan kerja lembaga-lembaga internasional. Piagam itu dapat digunakan sebagai alat tambahan untuk pelaksanaan suatu konvensi seperti piagam kebebasan transit. 18. Summary record, yaitu catatan singkat, ikhtisar. 19. Treaty (traktat), yaitu perjanjian formal yang merupakan persetujuan dua negara atau lebih. Perjanjian ini khusus mencakup bidang politik dan bidang ekonomi. B. Pejabat Berwenang dalam Perjanjian Internasional Sebuah perjanjian internasional tidak dapat membebankan sebuah kewajiban atau memberikan hak kepada pihak ketiga tanpa persetujuan pihak tersebut. Berdasarkan hukum kebiasaan internasional penegrtian pernyataan tersebut terangkum dalam sebuah prinsip pacta tertiis nec nocent nec prosunt. Prinsip tersebut tercantum dalam VCLT 1969 Pasal 34, A treaty does not create either obligations or rights for a third state without its consent. Dalam praktek pernyataan persetujuan keterikatan terhadap aturan sebuah perjanjian internasional tersebut tidak bisa dilakukan secara begitu saja oleh sebuah negara. Untuk mengikatkan diri dalam sebuah perjanjian internasional sebuah negara akan mengirimkan representasinya yang memiliki wewenang untuk bernegosiasi, bernegosiasi dan melakukan ratifikasi. Pada setiap negara,pihak yang berwenang membuat perjanjian internasional ditentukan oleh konstitusi masing-masing. Dilihat dari pembagian wewenang melalui 74

24 amanah konstitusi maka pejabat yang berwenang mewakili negara dalam pembuatan perjanjian internasional dapat dikategorikan dalam 2 hal, yaitu: Kewenangan mutlak eksekutif : perjanjian internasional terpusat pada kepala negara. Kewenangan mutlak legislative : kewenangan pembuat perjanjian internasional pada lembaga legislative. Pasal 7 VCLT menyatakan representatif negara dalam perundingan perjanjian internasional dapat dikategorikan: Kepala Negara, Kepala Pemrintahan dan Menteri Luar Negeri dengan kewenangan mewakili negara dan mengkatkan diri terhadap perjanjian internasional. Kepala Misi Dimplomatik, untuk tujuan mengadopsi teks perjanjian antara negara yang mengakui dan negara yang diakui. Perwakilan negara yang diakreditasi untuk konferensi internasional atau organisasi internasional (atau salah satu instansinya) dengan tujuan untuk mengadopsi teks perjanjian dalam pertemuan tersebut. Di Indonesia sebelum adanya Undang-Undang No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, kewenangan untuk membuat perjanjianinternasional seperti tertuang dalam Pasal 11 Undang Undang Dasar 1945, menyatakan bahwa Presiden mempunyai kewenangan untuk membuat perjanjian internasional dengan persetujuandewan Perwakilan Rakyat. C. Pemberlakuan Perjanjian Internasional di Inggris dan Amerika Serikat Sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa siapa yang memiliki wewenang untuk mewakili negara dalam negosiasi pembentukan perjanjian internasional tergantung dalam perangkat pengaturan konstitusi di masing-masing negara. Di Inggris, hal yang berkaitanm dengan proses negosiasi, penandatanganan dan ratifikasi perjanjian internasional menjadi hak prerogative menteri luar negeri. Sedangkan mengenai siapa yang berhak mewakili negar adalam permbuatan perjanjian internasional di Amerika Serikat, tercantum dalam dalam Pasal II, Ayat 2 konstitusi negara menyatakan bahwa Presiden 75

25 memili kuasa wewenang oleh dan dengan nasehat dan persetujuan dari senat untuk membuat perjanjian internasional, dengan dukungan persetujuan minimal dua pertiga dari jumlah Senator. D. Tahapan Pemberlakuan Perjanjian Internasional Setelah melalui tahapan proses ratifikasi, maka tahapan selanjutnya dalam memberlakukan perjanjian internasional menjadi berbeda-beda di setiap negara. Hal tersebut dipengaruhi oleh teori berlakunya hukum internasional yang di anut oleh negara. Terdapat dua aliran mengenai hukum internasional yang berkembang dan umum dipraktekan negara-negara berdaulat, aliran tersebut adalah mereka yang memberdakan hukum nasional dengan hukum internasional dan mereka yang menganggap hukum internasional dan hukum nasional merupakan satu keasatuan hukum. Aliran dualisme bersumber pada teori bahwa daya ikat hukum internasional bersumber pada kemauan negara, hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem atau perangkat hukum yang terpisah. Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh aliran dualisme untuk menjelaskan hal ini: 1. Sumber hukum, paham ini beranggapan bahwa hukum nasional dan hukum internasional mempunyai sumber hukum yang berbeda, hukum nasional bersumber pada kemauan negara, sedangkan hukum internasional bersumber pada kemauan bersama dari negara-negara sebagai masyarakat hukum internasional; 2. Subjek hukum internasional, subjek hukum nasional adalah orang baik dalam hukum perdata atau hukum publik, sedangkan pada hukum internasional adalah negara; 3. Struktur hukum, lembaga yang diperlukan untuk melaksanakan hukum pada realitasnya ada mahkamah dan organ eksekutif yang hanya terdapat dalam hukum nasional. Hal yang sama tidak terdapat dalam hukum internasional. 4. Kenyataan, pada dasarnya keabsahan dan daya laku hukum nasional tidak dipengaruhi oleh kenyataan seperti hukum nasional bertentangan dengan hukum internasional. Dengan demikian hukum nasional tetap berlaku secara efektif walaupun bertentangan dengan hukum internasional. 76

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL I. UMUM Dalam melaksanakan politik luar negeri yang diabdikan kepada kepentingan nasional, Pemerintah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN

Lebih terperinci

2. Perundingan: Merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional.

2. Perundingan: Merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional. 1. Penjajakan: Merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional. 2. Perundingan: Merupakan tahap kedua untuk membahas substansi

Lebih terperinci

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN Oleh DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd Materi Ke-2 Perjanjian Internasional yang dilakukan Indonesia

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN Oleh DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd Materi Ke-2 Perjanjian Internasional yang dilakukan Indonesia PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN Oleh DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd Materi Ke-2 Perjanjian Internasional yang dilakukan Indonesia Makna Perjanjian Internasional Secara umum perjanjian internasional

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 185, 2000 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4012) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

3. Menurut Psl 38 ayat I Statuta Mahkamah Internasional: Perjanjian internasional adalah sumber utama dari sumber hukum internasional lainnya.

3. Menurut Psl 38 ayat I Statuta Mahkamah Internasional: Perjanjian internasional adalah sumber utama dari sumber hukum internasional lainnya. I. Definisi: 1. Konvensi Wina 1969 pasal 2 : Perjanjian internasional sebagai suatu persetujuan yang dibuat antara negara dalam bentuk tertulis, dan diatur oleh hukum internasional, apakah dalam instrumen

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL PRESIDEN Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencapai tujuan Negara Republik Indonesia sebagaimana tercantum di dalam Pembukaan Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencapai tujuan Negara Republik Indonesia sebagaimana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencapai tujuan Negara

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Permasalahan C. Tujuan

PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Permasalahan C. Tujuan PENDAHULUAN A. Latar Belakang Akselerasi dalam berbagai aspek kehidupan telah mengubah kehidupan yang berjarak menjadi kehidupan yang bersatu. Pengetian kehidupan yang bersatu inilah yang kita kenal sebagai

Lebih terperinci

PERJANJIAN INTERNASIONAL DI ERA GLOBALISASI

PERJANJIAN INTERNASIONAL DI ERA GLOBALISASI PERJANJIAN INTERNASIONAL DI ERA GLOBALISASI DISUSUN OLEH : Sudaryanto, S.H., M.Hum FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS TUJUH BELAS AGUSTUS SEMARANG TAHUN 2011 BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Hukum Perjanjian

Lebih terperinci

Pasal 38 Statuta MI, sumber-sumber HI:

Pasal 38 Statuta MI, sumber-sumber HI: Pasal 38 Statuta MI, sumber-sumber HI: 1. International Conventions 2. International Customs 3. General Principles of Law 4. Judicial Decisions and Teachings of the most Highly Qualified Publicist Pasal

Lebih terperinci

Sarana utama memulai & mengembangkan hubungan internasional. Bentuk semua perbuatan hukum dan transaksi masyarakat internasional

Sarana utama memulai & mengembangkan hubungan internasional. Bentuk semua perbuatan hukum dan transaksi masyarakat internasional Perjanjian Internasional Sarana utama memulai & mengembangkan hubungan internasional Bentuk semua perbuatan hukum dan transaksi masyarakat internasional Sarana menetapkan kewajiban pihak terlibat dalam

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencapai tujuan Negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK DEMOKRATIK TIMOR- LESTE TENTANG AKTIFITAS KERJA SAMA DIBIDANG PERTAHANAN

Lebih terperinci

HUKUM PERJANJIAN. Aspek Hukum dalam Ekonomi Hal. 1

HUKUM PERJANJIAN. Aspek Hukum dalam Ekonomi Hal. 1 HUKUM PERJANJIAN Ditinjau dari Hukum Privat A. Pengertian Perjanjian Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain/lebih (Pasal

Lebih terperinci

MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 6 PERJANJIAN INTERNASIONAL

MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 6 PERJANJIAN INTERNASIONAL MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 6 PERJANJIAN INTERNASIONAL A. PENDAHULUAN Dalam pergaulan dunia internasional saat ini, perjanjian internasional mempunyai peranan yang penting dalam mengatur

Lebih terperinci

URGENSI PENGGANTIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL

URGENSI PENGGANTIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL URGENSI PENGGANTIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima : 29 September 2014; disetujui : 13 Oktober 2014 Indonesia sebagai negara hukum

Lebih terperinci

VIENNA CONVENTION ON THE LAW OF TREATIES 1969

VIENNA CONVENTION ON THE LAW OF TREATIES 1969 VIENNA CONVENTION ON THE LAW OF TREATIES 1969 Konvensi Wina 1969 terdiri dari dua bagian, yaitu bagian Pembukaan/Konsideran (Preambule) dan bagian isi (Dispositive), serta Annex dan dilengkapi dengan dua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hubungan internasional diidentifikasikan sebagai studi tentang interaksi antara beberapa faktor yang berpartisipasi dalam politik internasional, yang meliputi negara-negara,

Lebih terperinci

HUKUM INTERNASIONAL DAN MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL

HUKUM INTERNASIONAL DAN MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL HUKUM INTERNASIONAL DAN MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL Oleh : IKANINGTYAS, SH.LLM Fakultas Hukum Universitas Brawijaya 1 Pengertian Hk. Internasional ialah keseluruhan kaedah dan asas yang

Lebih terperinci

KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004

KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004 KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004 1. Ketentuan UUD 1945: a. Pra Amandemen: Pasal 11: Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi

BAB I PENDAHULUAN. yang ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di berbagai belahan dunia, korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih dibandingkan dengan tindak pidana lainnya. Fenomena ini dapat dimaklumi mengingkat dampak

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIME (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA MENENTANG TINDAK PIDANA TRANSNASIONAL

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIME (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA MENENTANG TINDAK PIDANA TRANSNASIONAL

Lebih terperinci

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 3 SUMBER-SUMBER HUKUM INTERNASIONAL

MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 3 SUMBER-SUMBER HUKUM INTERNASIONAL MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 3 SUMBER-SUMBER HUKUM INTERNASIONAL Sumber hukum menempati kedudukan yang sangat penting dan merupakan faktor yang menentukan dalam penyelesaian sengketa

Lebih terperinci

NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL

NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa dalam rangka mencapai tujuan Negara

Lebih terperinci

Chapter Three. Pembuatan Perjanjian Internasional. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 11 (1)

Chapter Three. Pembuatan Perjanjian Internasional. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 11 (1) Chapter Three Pembuatan Perjanjian Internasional Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 11 (1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian

Lebih terperinci

: Treaties Under Indonesian Law: A Comparative Study Penulis buku : Dr. iur. Damos Dumoli Agusman : PT. Remaja Rosda Karya

: Treaties Under Indonesian Law: A Comparative Study Penulis buku : Dr. iur. Damos Dumoli Agusman : PT. Remaja Rosda Karya REVIEW BUKU Judul : Treaties Under Indonesian Law: A Comparative Study Penulis buku : Dr. iur. Damos Dumoli Agusman Penerbit : PT. Remaja Rosda Karya Bahasa : Inggris Jumlah halaman : 554 Halaman Tahun

Lebih terperinci

BAB III SUMBER HUKUM INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU)

BAB III SUMBER HUKUM INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) BAB III SUMBER HUKUM INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) Pada akhir kuliah mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang sumber-sumber Hukum Internasional. SASARAN BELAJAR (SB) Setelah mempelajari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. internasional, sudah sejak lama dilakukan oleh negara-negara di dunia ini. Perjanjianperjanjian

BAB I PENDAHULUAN. internasional, sudah sejak lama dilakukan oleh negara-negara di dunia ini. Perjanjianperjanjian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perwujudan atau realisasi hubungan-hubungan internasional dalam bentuk perjanjianperjanjian internasional, sudah sejak lama dilakukan oleh negara-negara di

Lebih terperinci

BAB 1 SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL

BAB 1 SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL BAB 1 SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL 1.0 Pendahuluan Hukum internasional, pada dasarnya terbentuk akibat adanya hubungan internasional. Secara spesifik, hukum internasional terdiri dari peraturan-peraturan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

Pada pokoknya Hukum Internasional menghendaki agar sengketa-sengketa antar negara dapat diselesaikan secara damai he Hague Peace

Pada pokoknya Hukum Internasional menghendaki agar sengketa-sengketa antar negara dapat diselesaikan secara damai he Hague Peace Pasal 2 (3) dari Piagam PBB - Semua anggota wajib menyelesaikan perselisihan internasional mereka melalui cara-cara damai sedemikian rupa sehingga perdamaian, keamanan dan keadilan internasional tidak

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka melindungi segenap

Lebih terperinci

SUMBER HUKUM INTERNASIONAL ARIE AFRIANSYAH

SUMBER HUKUM INTERNASIONAL ARIE AFRIANSYAH SUMBER HUKUM INTERNASIONAL ARIE AFRIANSYAH PENGANTAR Pentingnya pemahaman sumber HI Sumber hukum formil dan materil Sumber HI tertulis: Psl 38 (1) Statuta ICJ Kritik terhadap sumber HI Psl. 38 (1) Statuta

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION, 2003 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

ANALISIS TENTANG PEMERINTAH DAERAH SEBAGAI PIHAK DALAM PEMBENTUKAN PERJANJIAN INTERNASIONAL

ANALISIS TENTANG PEMERINTAH DAERAH SEBAGAI PIHAK DALAM PEMBENTUKAN PERJANJIAN INTERNASIONAL ANALISIS TENTANG PEMERINTAH DAERAH SEBAGAI PIHAK DALAM PEMBENTUKAN PERJANJIAN INTERNASIONAL Oleh: Teuku Fachryzal Farhan I Made Tjatrayasa Program Kekhususan Hukum Internasional dan Bisnis Internasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan undang-undang atau keputusan pengadilan. Hukum internasional

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan undang-undang atau keputusan pengadilan. Hukum internasional 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dalam satu negara, kepentingan hukum dapat diadakan dengan berdasarkan kontrak di antara dua orang atau lebih, kesepakatan resmi, atau menurut sistem pemindahtanganan

Lebih terperinci

TEORI / AJARAN TTG HUBUNGAN H.I. DGN. H.N.: TEORI DUALISME, MONISME DAN PRIMAT HI

TEORI / AJARAN TTG HUBUNGAN H.I. DGN. H.N.: TEORI DUALISME, MONISME DAN PRIMAT HI TEORI / AJARAN TTG HUBUNGAN H.I. DGN. H.N.: TEORI DUALISME, MONISME DAN PRIMAT HI I II TEORI DUALISME MENEMPATKAN H.I. SBG. SISTEM HUKUM DARI H.I TEORI MONISME TERPISAH AS, INGGRIS, AUSTRALIA MENEMPATKAN

Lebih terperinci

Chapter One. Pendahuluan. Article 2 (1)(a) Vienna Convention on Treaty

Chapter One. Pendahuluan. Article 2 (1)(a) Vienna Convention on Treaty Chapter One Pendahuluan Article 2 (1)(a) Vienna Convention on Treaty A treaty an international agreement concluded between States in written form and governed by international law, whether embodied in

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol.I/No.3/Jul-Sept/2013

Lex Administratum, Vol.I/No.3/Jul-Sept/2013 PENGUJIAN TERHADAP UNDANG-UNDANG YANG MERATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL 1 Oleh : Marthina Ulina Sangiang Hutajulu 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana mekanisme

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH HONGKONG UNTUK PENYERAHAN PELANGGAR HUKUM YANG MELARIKAN DIRI (AGREEMENT

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA (TREATY ON EXTRADITION BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH HONGKONG UNTUK PENYERAHAN PELANGGAR HUKUM YANG MELARIKAN DIRI (AGREEMENT

Lebih terperinci

Volume 12 Nomor 1 Maret 2015

Volume 12 Nomor 1 Maret 2015 Volume 12 Nomor 1 Maret 2015 ISSN 0216-8537 9 77 0 21 6 8 5 3 7 21 12 1 Hal. 1-86 Tabanan Maret 2015 Kampus : Jl. Wagimin No.8 Kediri - Tabanan - Bali 82171 Telp./Fax. : (0361) 9311605 KEWENANGAN PRESIDEN

Lebih terperinci

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA (TREATY ON EXTRADITION BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN PROTOCOL AGAINST THE SMUGGLING OF MIGRANTS BY LAND, SEA AND AIR, SUPPLEMENTING THE UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL

Lebih terperinci

HUKUM INTERNASIONAL. Oleh : Nynda Fatmawati, S.H.,M.H.

HUKUM INTERNASIONAL. Oleh : Nynda Fatmawati, S.H.,M.H. HUKUM INTERNASIONAL Oleh : Nynda Fatmawati, S.H.,M.H. SUMBER HUKUM INTERNASIONAL Sumber: Starke (1989), Brownlie (1979), Shelton (2006), Riesenfeld (2006) Pengertian: Bahan-bahan aktual yang digunakan

Lebih terperinci

Hubungan Hukum Internasio nal dan Hukum Nasional H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI

Hubungan Hukum Internasio nal dan Hukum Nasional H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI Hubungan Hukum Internasio nal dan Hukum Nasional H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI Lebih dahulu mana, Hukum Nasional atau Hukum Internasional? Lebih tinggi mana, Hukum Nasional atau Hukum Internasional? Pandangan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK INDIA (EXTRADITION TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA

Lebih terperinci

KEGAGALAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT (ICC) DALAM PENYELESAIAN KONFLIK SUDAN RESUME. Disusun oleh : PETRUS CORNELIS DEPA

KEGAGALAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT (ICC) DALAM PENYELESAIAN KONFLIK SUDAN RESUME. Disusun oleh : PETRUS CORNELIS DEPA KEGAGALAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT (ICC) DALAM PENYELESAIAN KONFLIK SUDAN RESUME Disusun oleh : PETRUS CORNELIS DEPA 151060046 JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA Negara-Negara Pihak pada Protokol ini, Didorong oleh dukungan penuh terhadap Konvensi tentang Hak-Hak Anak, yang

Lebih terperinci

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini:

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini: LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA (TREATY ON EXTRADITION BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK INDIA (EXTRADITION TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK SOSIALIS VIET NAM (TREATY ON MUTUAL

Lebih terperinci

Konvensi Munisi Tandan (CCM) tahun 2008

Konvensi Munisi Tandan (CCM) tahun 2008 Konvensi Munisi Tandan (CCM) tahun 2008 Perangkat Ratifikasi International Committee of the Red Cross 19 Avenue de la Paix, 1202 Geneva, Switzerland T +41 22 734 6001 F+41 22 733 2057 www.icrc.org KETAATAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN PROTOCOL AGAINST THE SMUGGLING OF MIGRANTS BY LAND, SEA AND AIR, SUPPLEMENTING THE UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PENDIRIAN DAN PEMBUBARAN ORGANISASI INTERNASIONAL OAI 2013 ILMU ADMINISTRASI NEGARA UTAMI DEWI

PENDIRIAN DAN PEMBUBARAN ORGANISASI INTERNASIONAL OAI 2013 ILMU ADMINISTRASI NEGARA UTAMI DEWI PENDIRIAN DAN PEMBUBARAN ORGANISASI INTERNASIONAL OAI 2013 ILMU ADMINISTRASI NEGARA UTAMI DEWI PENDIRIAN Prasayarat berdirinya organisasi internasional adalah adanya keinginan yang sama yang jelas-jelas

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki hak-hak asasi sesuai dengan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dalam Pasal 17 Statuta Roma

BAB V PENUTUP. 1. Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dalam Pasal 17 Statuta Roma BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dalam Pasal 17 Statuta Roma merupakan wujud dari Prinsip Komplemeter dari badan yudisial tersebut. Pasal tersebut mengatur terhadap

Lebih terperinci

BAB VI PENDIRIAN DAN PEMBUBARAN ORGANISASI INTERNASIONAL

BAB VI PENDIRIAN DAN PEMBUBARAN ORGANISASI INTERNASIONAL BAB VI PENDIRIAN DAN PEMBUBARAN ORGANISASI INTERNASIONAL I. PENDIRIAN Prasyarat berdirinya organisasi internasional adalah adanya keinginan yang sama yang jelas-jelas menguntungkan dan tidak melanggar

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 277, 2015 PENGESAHAN. Perjanjian. Bantuan Timbal Balik. Viet Nam. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5766). UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION, 2003 (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA ANTI KORUPSI, 2003) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

SUMBER HUKUM INTERNASIONAL

SUMBER HUKUM INTERNASIONAL SUMBER HUKUM INTERNASIONAL a. Pengertian Sumber Hukum Internasional Sumber hukum dibedakan menjadi dua yaitu sumber hukum formal dan sumber hukum materiil. Sumber hukum formil adalah sumber hukum yang

Lebih terperinci

H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI

H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI Pasal 2 (3) dari Piagam PBB Semua anggota wajib menyelesaikan perselisihan internasional mereka melalui cara-cara damai sedemikian rupa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN PROTOCOL TO PREVENT, SUPPRESS AND PUNISH TRAFFICKING IN PERSONS, ESPECIALLY WOMEN AND CHILDREN, SUPPLEMENTING THE UNITED

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN PAPUA NUGINI (EXTRADITION TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE INDEPENDENT

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a b c d e f bahwa sebagai Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION, 2003 (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA ANTI KORUPSI, 2003) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban akibat perang seminimal mungkin dapat dikurangi. Namun implementasinya,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK INDIA TENTANG BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN THE

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF ACTS OF NUCLEAR TERRORISM (KONVENSI INTERNASIONAL PENANGGULANGAN TINDAKAN TERORISME

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB I EVOLUSI PEMIKIRAN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA...

DAFTAR ISI. Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB I EVOLUSI PEMIKIRAN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA... Daftar Isi v DAFTAR ISI DAFTAR ISI...v PENGANTAR PENERBIT...xv KATA PENGANTAR Philip Alston...xvii Franz Magnis-Suseno...xix BAGIAN PENGANTAR Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK INDIA TENTANG BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN PAPUA NUGINI (EXTRADITION TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.49, 2015 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PENGESAHAN. Perjanjian. Ekstradisi. Papua Nugini. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5674) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM)

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB III PERSPEKTIF HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL TERHADAP MLA DI INDONESIA. dampak, yaitu yang memaksa unsur-unsur pendukung dalam hubungan

BAB III PERSPEKTIF HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL TERHADAP MLA DI INDONESIA. dampak, yaitu yang memaksa unsur-unsur pendukung dalam hubungan BAB III PERSPEKTIF HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL TERHADAP MLA DI INDONESIA A. Pengertian Perjanjian Internasional Sebagai salah satu sumber hukum Internasional, perjanjian Internasional telah dan nampaknya

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FILIPINA TENTANG KEGIATAN KERJASAMA DI BIDANG PERTAHANAN

Lebih terperinci

- Dibentuk oleh suatu Perjanjian Internasional - Memiliki organ yang terpisah dari negara-negara anggotanya - Diatur oleh hukum internasional publik

- Dibentuk oleh suatu Perjanjian Internasional - Memiliki organ yang terpisah dari negara-negara anggotanya - Diatur oleh hukum internasional publik BAHAN KULIAH HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL Match Day 6 KEPRIBADIAN HUKUM / PERSONALITAS YURIDIK / LEGAL PERSONALITY, TANGGUNG JAWAB, DAN WEWENANG ORGANISASI INTERNASIONAL A. Kepribadian Hukum Suatu OI

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA TENTANG BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA TENTANG BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN THE

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK SOSIALIS VIET NAM (EXTRADITION TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA

Lebih terperinci

Terjemahan Tidak Resmi STATUTA UNIDROIT. Pasal 1

Terjemahan Tidak Resmi STATUTA UNIDROIT. Pasal 1 Terjemahan Tidak Resmi STATUTA UNIDROIT Pasal 1 Maksud dari Lembaga Internasional untuk Unifikasi Hukum Perdata adalah meneliti cara cara untuk melakukan harmonisasi dan koordinasi hukum perdata pada Negara

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF ACTS OF NUCLEAR TERRORISM (KONVENSI INTERNASIONAL PENANGGULANGAN TINDAKAN TERORISME

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. Perkembangan kehidupan bersama bangsa-bangsa dewasa ini semakin tidak mengenal batas

I.PENDAHULUAN. Perkembangan kehidupan bersama bangsa-bangsa dewasa ini semakin tidak mengenal batas I.PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kehidupan bersama bangsa-bangsa dewasa ini semakin tidak mengenal batas negara dan cenderung pada terbentuknya suatu sistem global sehingga mendorong semakin

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK SOSIALIS VIET NAM (EXTRADITION TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF

Lebih terperinci