JENIS TUMBUHAN PAKAN BEKANTAN (Nasalis larvatus) DI PULAU BAKUT. Lely Salmitha

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "JENIS TUMBUHAN PAKAN BEKANTAN (Nasalis larvatus) DI PULAU BAKUT. Lely Salmitha"

Transkripsi

1 JENIS TUMBUHAN PAKAN BEKANTAN (Nasalis larvatus) DI PULAU BAKUT Lely Salmitha ABSTRAK Bekantan (Nasalis larvatus) merupakan primata yang termasuk subfamily Cilobinae, pada umumnya golongan primata yang dominan memakan daun (folivorous). Di Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan, habitat bekantan terdiri atas hutan mangrove, hutan galam, hutan tepi sungai, hutan rawa serta kebun masyarakat (ditanami karet dan buahbuahan). Salah satu habitat bekantan di Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan adalah Pulau Bakut. Pulau ini merupakan hutan mangrove yang berada di tengah aliran Sungai Barito. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis dan kemelimpahan tumbuhan yang dimakan bekantan yang terdapat pada kawasan Taman Wisata Alam Pulau Bakut. Penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif dengan teknik pengambilan sampel dengan sistem zonasi, yang terdiri atas kawasan yang paling dekat dengan sungai, kawasan yang lebih kearah daratan pulau dengan jarak ± 40 m dari kawasan yang paling dekat dengan sungai, dan kawasan dalam pulau yang berjarak ± 40 m dari kawasan yang lebih kearah daratan pulau, dan tiap kawasan penelitian terdiri atas 12 titik pengambilan sampel. Tumbuhan yang dimakan bekantan pada kawasan Taman Wisata Alam Pulau Bakut ada 10 jenis yaitu Sonneratia caseolaris, Gluta renghas, Nypa fruticans, Ficus microcarpa, Barringtonia asiatica, Melaleuca cajuputi, Hibiscus tiliaceus, Acanhtus illicifolius, Acrosticum aureum dan Crinum asiaticum. Kemelimpahan jenis tumbuhan yang dimakan bekantan pada Kawasan Taman Wisata Alam Pulau Bakut paling tinggi dimiliki oleh untuk tingkat pohon dimiliki oleh Rambai padi (Sonneratia caseolaris), tingkat semak dimiliki oleh Jeruju (Acanthus illicifolius), Piai (Acrostichum aureum), dan tingkat herba dimiliki oleh Bakung (Crinum asiaticum). Sedangkan nilai kemelimpahan terendah dimiliki oleh Galam (Melaleuca cajuputi) Kata kunci: Keanekaragaman, Kemelimpahan, Tumbuhan yang dimakan bekantan, Pulau Bakut Bekantan (Nasalis larvatus) adalah salah satu jenis primata yang terdapat di Indonesia merupakan primata endemik dari pulau Kalimantan yang dilindungi oleh undang-undang (undang-undang No. 5 tahun 1990 dan ordonansi perlindungan binatang-binatang liar No.266 tahun 1931). Bekantan ditetapkan oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan sebagai satwa maskot atau satwa identitas provinsi. Penetapannya berdasarkan SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan

2 Selatan No. 29, tanggal 16 Januari 1990 tentang Penetapan Identitas Daerah Propinsi Tingkat I Kalimantan Selatan serta disetujui DPRD Tingkat I Kalimantan Selatan yang dituangkan di dalam Persetujuan DPRD No. 162/112/DPRD, tanggal 28 Maret 1990 (Anonim, 2010a). Bekantan (Nasalis larvatus) merupakan primata yang termasuk subfamily Cilobinae, pada umumnya golongan primata yang dominan memakan daun (folivorous). Bekantan sangat menyukai daun-daun muda (pucuk). Menurut Payne et. al. (2000) makanan bekantan terdiri dari atas dedaunan, buah-buahan dan pucuk daun. Salter and Aken (1983) menyatakan bahwa daun merupakan makanan utama bekantan. Salah satu makanan utama bekantan adalah pucuk-pucuk daun Sonneratia caseolaris, terutama bagian yang masih berwarna hijau muda (Alikodra et. al., 1991). Selain sebagai sumber pakan, tumbuhan ini juga digunakan sebagai tempat tidur dan istirahat. Dalam satu pohon sering terdapat 2-4 bekantan (Bismark, 1980). Salter et al. (1985) menyebutkan bahwa 3 dari 90 spesies tumbuhan pakan di hutan riparian dan mangrove adalah Bouea sp., Buchanania sp., dan Bruguiera gymnorrhiza. Soendjoto (Anonim, 2010b) menyatakan bahwa di hutan galam, sumber pakan bekantan antara lain pucuk galam (Melaleuca cajuputi, sinonim M.leucadendron), piai (Acrostichum aureum), dan kelakai (Stenochlaena palustris). Di hutan batu gamping primata ini mengkonsumsi buah-buahan dan daun-daun kariwaya (Ficus sp). Sedangkan di hutan karet sumber pakan utama bekantan adalah bunga karet (Hevea brasiliensis), cempedak (Artocarpus integra) dan cempedak banyu (Artocarpus teysmani). Menurut Bismark (1984) makanan yang paling banyak dikonsumsi adalah daun-daunan. Dikatakan lebih lanjut bahwa selain dari pucuk yang masih lembut, bekantan juga memakan daun-daun tua, tangkai daun, paku-pakuan, cendawan, dan umbut Pandanus sp. Salah satu makanan utama bekantan adalah pucuk-pucuk daun Sonneratia caseolaris, terutama bagian yang masih berwarna hijau muda (Alikodra, 1997). Jenis lain yang juga dimakan oleh bekantan adalah rumbai-rumbai darat, laban (Vitex sp), waru laut (Hibiscus tilliaceus), Keladi air, karet (Hibiscus brasiliensis), durian (Durio sp), mersafat, masintan, karamunting laut, lai, kelakai, pakis, buasbuas, rumput peredang dan daun pepaya serta ketela pohon. Selain itu bekantan juga memakan buah kecapi dan karet (biasanya yang masih mentah), serta bunga durian

3 dan lai (Alikodra et al., 1991). Untuk mendapatkan protein hewani, bekantan juga memakan larva insekta dan rayap. Selain itu, untuk mencukupi kebutuhan mineral bekantan juga memakan ujung akar Rhizophora apiculata yang berasa asin dan diduga memakan tanah dan sarang rayap (Alikodra dan mustari, 1993). Berdasarkan hasil penelitian Soendjoto et al (2004) di Hutan Karet Kabupaten Tabalong Kalimantan Selatan, jenis tumbuhan yang menjadi pakan bekantan yaitu Dilenia excelsa, Elaeocarpus stipularis, Hevea brasiliensis, Cratoxylum cochinchinensis, Artocarpus integer, Artocarpus teysmani, Ficus binnendykii, Syzygium stapfiana, S. polyanthum, S. pyrifolium, Syzygium sp, Symplocos cochinchinensis, Vitex pubescens, Arenga piñata, Calamus scipionum, dan Rubus molucana. Menurut hasil peneitian Alikodra (1997) jenis tumbuhan yang menjadi sumber pakan bekantan di Sungai Koala Samboja yaitu Mangifera caesia, Ilex cymosa, Syzygium lineatum, Durio zibethinus, Hevea brasiliensis, Sonneratis caeseolaris, Buchanania arborescens, Hibiscus tilliaceus, Schima sp, Ficus sp, Syzygium sp, Ardisia humilis, Vitex pubescens, Sondaricum koetjapi, Nephelium lappaceum. Woods (1994) menyebutkan bahwa jenis tumbuhan yang dimakan bekantan pada Kawasan Danau Sentarium Kalimantan Barat adalah Gluta reghas, Mallotus sumatranus, Crudia teysmanii, Barringtonia acutangula. Ficus sp., Syzygyum sp., Xanthophyllum affine, Xanthophyllum flavescens, Caralia bracteata dan Ixora mentanggis. Hayati (2000), menyebutkan bahwa jenis tumbuhan yang menjadi pakan alternatif bekantan pasca peranggasan rambai di cagar alam pulau kaget adalah Panggang (Ficus retusa), Piai (Acrostichum aureum), Waru (Hibiscus tiliaceus), dan Jeruju (Acanthus illicifolius). Napier and Napier (Alikodra, 1997) menjelaskan bahwa bekantan memiliki habitat berupa hutan rawa dan hutan mangrove dan mudah ditemukan di dekat sungai, atau pada vegetasi nipa (Nypa fruticans) dan rawa mangrove sepanjang pantai, telukteluk atau daerah pasang surut. Boonratana (2000) juga menyebutkan bahwa habitat bekantan terbatas pada hutan tepian sungai, rawa gambut, dan mangrove. Kecenderungan habitat bekantan yang berkaitan dengan perairan juga terjadi di 10 lokasi hunian bekantan di Kabupaten Tabalong. Di lokasi-lokasi yang pada umumnya merupakan hutan karet itu terdapat perairan terbuka yang berupa sungai

4 atau baruh, yakni hamparan lahan yang permukaannya mencekung atau lebih rendah daripada lahan sekitarnya (Soendjoto et al, 2002). Salter dan Aken (1983) menyebutkan bahwa di Taman Nasional Bako, Serawak, bekantan dijumpai di hutan kerangas-tinggi (Dipterocapaceae), hutan mangrove dan hutan tepian sungai, tetapi jarang dijumpai di vegetasi nipah, padang rumput, semak sekunder dan area yang banyak dikunjungi manusia. Soendjoto et al (2001) menyebutkan bahwa di Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan, habitat bekantan terdiri atas hutan mangrove, hutan galam, hutan tepi sungai, hutan rawa serta kebun masyarakat (ditanami karet dan buah-buahan). Pulau Bakut merupakan hutan mangrove yang terdapat di tengah aliran Sungai Barito, salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi jenis tumbuhan yang terdapat pada kawasan mangrove tersebut adalah faktor tanah. Keterkaitan antara kondisi tanah dengan mangrove sangat kompleks. Kandungan nutrien yang terdapat di dalam substrat dapat dijadikan sebagai petunjuk tentang material yang dominan di sekitar habitat mangrove. Unsur Nitrogen (N) dan Fosfor (P) merupakan 2 unsur utama bagi tumbuhan yang ketersediaanya oleh material organik oleh organisme. Pada komunitas mangrove, ketersediaan Nitrogen ditentukan oleh pengikat N 2 di udara oleh mikroba atau melaui dekomposisi bahan organik dalam tanah (Anonim, 2010c). Pirit merupakan unsur yang khas pada mangrove, pirit terbentuk dari hasil penguraian bahan-bahan organik. Pirit bersifat stabil dalam kondisi anaerob. Terbentuknya pirit dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya karena tingginya kandungan bahan organik dan suasana anaerob (Noor, 2004). Selain itu, Onrizal (2002) juga menyebutkan bahwa faktor utama pemicu terbentuknya pirit adalah terhambatnya aliran air pasang surut. Salah satu habitat bekantan di Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan adalah Pulau Bakut. Pulau ini merupakan hutan mangrove yang berada di tengah aliran Sungai Barito. Berdasarkan penelitian Guntariadi (1998) jenis pohon penyusun Pulau Bakut yaitu Jingah (Heritiera littoralis), Rambai (Sonneratia caseolaris), Ketapang (Terminalia sp.), Beringin (Ficus benyamina), Polantan (Exocaria agolloacha), Putat (Barringtonia sp.), Jambu burung (Eugenia sp), Bungur (Lagerstroemina spiciosa), Buas-buas (Premna foetida), Kelampan (Cerbera odollam), Kedondong (Spondias pinnata), dan Mangga hutan (Garcinia sp.).

5 Sebagai salah satu habitat satwa endemik bekantan, Pulau Bakut telah ditunjuk sebagai Taman Wisata Alam oleh menteri kehutanan berdasarkan surat keputusan Nomor 140/ Kpts-ii/ 2003 tanggal 21 April 2003 dengan luas ± 18,70 Ha. Penetapan Pulau Bakut sebagai salah satu kawasan konservasi di Kalimantan Selatan merupakan upaya pemerintah dalam pelestarian populasi bekantan yang keberadaannya semakin terancam. Dalam program pelestarian bekantan tersebut diperlukan informasi tentang keanekaragaman jenis tumbuhan pakan bekantan pada kawasan konservasi yang menjadi habitat bekantan tersebut. Sumber pakan primata dalam habitat merupakan salah satu faktor ekologis yang sangat menentukan terhadap kelestarian populasi primata. Kualitas dan kuantitas pakan dapat berpengaruh pada perilaku, organisasi sosial primata dan perilaku pergerakan primata (Jolly, 1972). Karena sumber pakan merupakan faktor ekologis yang sangat menentukan terhadap kelestarian populasi bekantan, maka diperlukan penelitian mengenai keanekaragaman jenis tumbuhan yang dimakan bekantan (Nasalis larvatus) pada kawasan Taman Wisata Alam Pulau Bakut. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai yaitu apa saja jenis-jenis tumbuhan yang dimakan bekantan yang terdapat pada kawasan Taman Wisata Alam Pulau Bakut dan bagaimana kemelimpahan jenis tumbuhan yang dimakan bekantan pada kawasan Taman Wisata Alam Pulau Bakut. METODE Penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif dengan teknik pengambilan sampel dengan sistem zonasi, yang terdiri atas 3 zona. Zona I yaitu daerah yang paling dekat dengan sungai, zona II yaitu kawasan yang lebih kearah daratan pulau dengan jarak ± 40 m dari zona I, zona III yaitu bagian dalam pulau dengan jarak ± 40 m dari zona II. Pada setiap zona terdapat 12 titik pengambilan sampel. Identifikasi jenis tumbuhan pakan bekantan, dilakukan pengamatan langsung dan tidak langsung (wawancara non formal dan studi literatur). Pengamatan langsung dilakukan selama 2 hari, setiap pagi hari pada jam dan sore hari pada jam WITA.

6 HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan di kawasan Taman Wisata Alam Pulau Bakut ditemukan 25 jenis tumbuhan yang tercantum pada Tabel 1. Tabel 1. Jenis dan kemelimpahan tumbuhan yang terdapat pada Kawasan Taman Wisata Alam Pulau Bakut No Nama Jenis INP Zona 1 Zona 2 Zona 3 Tingkat Pohon 1 Sonneratia caseolaris* Gluta renghas* Dysoxylum alliaceum Ficus microcarpa* Nypa fruticans* Barringtonia asiatica* Hibiscus tiliaceus* Excocaria indica Dolichandrone spathacea Fragraea erenulata Aganope heptaphylla (L) Carbera manghas Melaleuca cajuputi* Jumlah Tingkat Semak 14 Acanthus illicifolius* Acrostichum aureum* Caesalpinia crista Sarcolobus sp Scindapsus sp Jumlah Tingkat Herba 19 Crinum asiaticum* Colocasia sp Fimsbrystilis sp Panicum sp Ludwigia hyssopifolia Panicum sp Cyperus sp Jumlah Keterangan: * : Tumbuhan yang dimakan bekantan Jenis Tumbuhan yang Dimakan Bekantan Bekantan (Nasalis larvatus) merupakan primata yang termasuk subfamily Cilobinae, pada umumnya golongan primata yang dominan memakan daun (folivorous). Bekantan sangat menyukai daun-daun muda (pucuk) hal ini terlihat dari

7 pengamatan yang dilakukan dimana terlihat bekantan lebih banyak mengkonsumsi pucuk-pucuk tumbuhan. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan jenis tumbuhan yang dimakan bekantan yang terdapat pada Kawasan Taman Wisata Alam Pulau Bakut yaitu: Rambai padi (Sonneratia caseolaris), Jingah (Gluta renghas), Putat (Baringtonia asiatica), Panggang (Ficus microcarpa), Galam (Melaleuca cajuputi), Waru (Hibiscus tiliaceus), Nipa (Nypa Fruticans), Jeruju (Acantus illicifolius), Piai (Acrosticum aureum), dan Bakung (Crinum asiaticum). Kemelimpahan Tumbuhan yang Dimakan Bekantan Dari 25 jenis tumbuhan yang terdapat di pulau bakut, 10 jenisnya merupakan tumbuhan yang dimakan bekantan. Tumbuhan-tumbuhan tersebut yaitu: Rambai padi (Sonneratia caseolaris) dengan nilai penting sebesar 110,038 (zona 1); Jingah (Gluta renghas) dengan nilai penting sebesar 47,552 (zona 1); 61,957 (zona 2); 47,534 (zona 3); Putat (Barringtonia asiatica) dengan nilai penting 22,202 (zona 1); 46,692 (zona 2); Nipa (Nypa fruticans) dengan nilai penting 16,639 (zona 1); 19,484 (zona 2); 41,933 (zona 3); Waru (Hibiscus tiliaceus) dengan nilai penting sebesar 18,727 (zona 1); 14,529 (zona 2); Panggang (Ficus microcarpa) dengan nilai penting sebesar 21,329 (zona 1); 33,387 (zona 2); 48,872 (zona 3); Galam (Melaleuca cajuputi) dengan nilai penting sebesar 7,610 (zona 3); Jeruju (Acanthus illicifolius) dengan nilai penting sebesar, Piai (Acrostichum aureum) dengan nilai penting sebesar 94,005 (zona 2), 67,358 (zona 3) dan Bakung (Crinum asiaticum) dengan nilai penting sebesar 56,115 (zona 1); 139,564 (zona 2); 230,481 (zona 3) seperti Tabel 1. Berdasarkan hasil di atas diketahui bahwa (Sonneratia caseolaris), Jeruju (Acanthus illicifolius), dan Bakung (Crinum asiaticum) memiliki indeks nilai penting (NP) paling tinggi. Hal ini diduga karena faktor-faktor lingkungan yang tersedia pada daerah tersebut mendukung ke-4 jenis tumbuhan untuk tumbuh, seperti suhu udara yang berkisar antara o C. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hutchings dan Seaneger bahwa mangrove akan tumbuh maksimal pada suhu dengan kisaran o C (Anonim, 2010c). Selain itu berdasarkan pengukuran salinitas air sungai, didapatkan bahwa salinitas air adalah 0 ppm, hal ini menunjukkan bahwa air sungai tersebut tawar. Bengen menyatakan bahwa jika salinitas air rendah maka tumbuhan

8 yang kurang toleran terhadap salinitas tinggi seperti Acanthus akan berkembang dengan baik. Hutchings dan Seaneger juga menyebutkan bahwa pada daerah yang salinitasnya rendah, jenis mangrove yang tumbuh pada daerah tersebut salah satunya adalah Sonneratia ceseolaris (Anonim, 2010c). Pernyataan tersebut sesuai dengan hasil penelitian dimana pada kawasan ini tumbuhan pakan bekantan yang memiliki nilai penting (NP) paling tinggi diantaranya adalah Sonneratia caseolaris dan Acanthus illicifolius. Selain karena adanya faktor lingkungan yang mendukung, adanya kemampuan perkembangbiakan dan adaptasi ketiga jenis tumbuhan yang dimakan bekantan tersebut yang membuat ketiga jenis tumbuhan tersebut memiliki nilai penting (NP) paling tinggi. Sonneratia caseolaris tumbuhan yang memiliki nilai penting (NP) tertinggi untuk tingkat pohon. Pada pengamatan tumbuhan ini hanya terdapat pada zona 1 atau kawasan yang paling dekat dengan sungai. Tingginya nilai penting (NP) tumbuhan ini diduga karena faktor-faktor lingkungan yang mendukung tumbuhan tersebut untuk tumbuh, seperti suhu udara pada zona 1 yang berkisar o C. Seperti yang dikatakan Hutchings dan Seaneger (1987) bahwa mangrove akan tumbuh maksimal pada suhu dengan kisaran o C (Anonim, 2010c). Selain itu tingginya nilai penting Sonneratia caseolaris ini diduga karena Sonneratia caseolaris dapat hidup terhadap kondisi lingkungan yang berlumpur dan tergenang air. Anonim (2011b) menyebutkan bahwa hutan mangrove umumnya didominasi oleh 4 family yang salah satunya adalah family Sonneratiaceae, memiliki kemampuan adaptasi yang khas. Bentuk adaptasi yang dimiliki oleh Sonneratia caseolaris yaitu memiliki perakaran yang berfungsi untuk mengambil oksigen yang disebut pneumatofor. Hal ini yang menyebabkan Sonneratia caseolaris begitu mendominasi zona 1, dimana kondisi lingkungannya berlumpur dan tergenang air. Untuk tingkat semak Acanthus illicifolius merupakan tumbuhan yang memiliki nilai penting (NP) paling tinggi. Tumbuhan ini dapat berkembangbiak secara vegetatif serta membentuk massa yang lebat yang dapat menghambat pertumbuhan spesies lain. Pada daerah yang terbuka tumbuhan ini sangat mendominasi, ini dikarenakan tumbuhan ini sangat suka terhadap cahaya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Anonim (2011c) bahwa tumbuhan ini menyukai areal yang

9 terbuka terang dan disinari matahari. Pada pengukuran intensitas cahaya pada kawasan tersebut diperoleh kisaran sebesar 3,41 6,98 klux, kondisi seperti ini sangat mendukung tumbuhan tersebut untuk tumbuh. Syafei dan Taufikurahman (1994) menyebutkan bahwa tumbuhan heliophyta memiliki nilai kompensasi intensitas cahaya sebesar 4,2 klux. Dan kebutuhan minimum cahaya untuk proses pertumbuhan akan terpenuhi apabila melebihi titik kompensasinya. Acanthus illicifolius, selain berkembang biak secara vegetatif, tumbuhan ini juga memiliki biji yang kecil dan ringan. Tumbuhan ini juga melakukan perbanyakan dengan menggunakan biji (Anonim 2011c). Diduga tingginya nilai penting tumbuhan ini dikarenakan bentuk bijinya yang kecil dan ringan tersebut, sehingga mudah tersebar oleh bantuan angin atau terbawa arus air sungai. Sehingga tumbuhan ini dapat dengan mudah melakukan perbanyakan. Hal ini juga yang diduga menyebabkan tingginya nilai pentingnya tumbuhan tersebut. Pada tingkat herba tumbuhan yang dimakan bekantan adalah Crinum asiaticum. Dibandingkan dengan herba jenis lain yang ada pada Pulau Bakut, tumbuhan ini memliki nilai penting paling tinggi. Tingginya nilai penting tumbuhan ini diduga karena kondisi lingkungan pulau bakut yang mendukung. Pada pengukuran kelembaban udara, diperoleh nilai kelembaban udara sebesar %, ini menunjukkan bahwa daerah tersebut cukup lembab. Anonim (2011d) menyebutkan bahwa Crinum asiaticum hidup pada tempat-tempat yang lembab. Hal inilah yang mendukung tumbuhan ini dapat tumbuh pada daerah tersebut. Selain adanya faktor lingkungan yang mendukung tumbuhan tersebut untuk tumbuh, tingginya nilai penting tumbuhan ini juga diduga karena kemampuan reproduksi yang baik. Anonim (2011d) menyebutkan bahwa reproduksi tumbuhan ini dilakukan melalui umbinya, atau biji yang jatuh. Sedangkan penyebaran tumbuhan ini diduga oleh bantuan air. Biji tuumbuhan yang telah jatuh, dibawa oleh arus air, hingga sampai pada suatu area, dan jika area tersebut mendukung, biji tumbuhan ini dapat dengan mudah tumbuh dan berkembang. Ada 10 jenis tumbuhan yang dimakan bekantan, tumbuhan yang memiliki nilai penting (NP) paling rendah adalah Melaleuca cajuputi. Pada hasil pengukuran kadar nitrogen pada zona dimana tumbuhan Melaleuca cajuputi tumbuh diperoleh nilai ketersedian nitrogen sebesar 0,234%. Lakitan (2001) menyatakan bahwa kadar

10 nitrogen berkecukupan di suatu lingkungan adalah sebesar 1,5%. Sementara pada pengukuran ph tanah diperoleh nilai 5,25-5,61 dan ph air sebesar 5,18-6,17. Rendahnya ph tanah berpengaruh pada ketersediaan nitrogen pada tanah, hal ini dikarenakan proses nitrifikasi terhambat pada ph yang kurang dari 6,0 (Syafei dan Taufikkurahman, 1994). Berdasarkan hasil pengukuran unsur N dan P, diketahui bahwa kandungan unsur-unsur tersebut dibawah dari kisaran kecukupan. Rendahnya kandungan hara pada kawasan tersebut diduga karena kondisi tanah yang berlumpur dan kaya akan bahan organik. Kondisi tersebut merupakan pemicu terbentuknya pirit. Keadaan tersebut menyebabkan kondisi tanah menjadi asam sehingga menyebabkan menurunnya kandungan unsur hara. Tumbuhan Melaleuca cajuputi termasuk tumbuhan yang toleran terhadap kondisi lingkungan yang asam, dan pulau bakut sendiri juga memiliki kondisi lingkungan yang asam. Seharusnya tumbuhan Melaleuca cajuputi dapat tumbuh dengan baik pada daerah tersebut. Anonim (Dharmono, 2007) menyebutkan Melaleuca dari suku Myrtaceae yang mampu hidup pada kondisi tanah yang kurang subur, bersifat asam, rendah oksigen dan tanah tergenang. Namun pada hasil penelitian diperoleh bahwa tumbuhan ini memiliki nilai penting paling rendah. Diduga rendahnya nilai penting tumbuhan ini karena tumbuhan ini bukan tumbuhan asli pulau bakut. Dan tumbuhan ini baru saja tumbuh pada kawasan tersebut dalam jangka waktu yang belum lama, sehingga jumlah tumbuhan tersebut masih sedikit. Anonim (2011a) menyebutkan bahwa tumbuhan ini memiliki buah yang berbentuk seperti lonceng dengan panjang 2,5-3 mm, lebar 3-4 mm, dan bijinya halus, sangat ringan seperti sekam. Diduga hal inilah yang menyebabkan penyebaran tumbuhan ini hingga dapat sampai ke pulau bakut dengan bantuan air atau angin. Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa ketersediaan makanan bekantan pada Kawasan Taman Wisata Alam Pulau Bakut cukup melimpah dan mendukung kawasan tersebut sebagai habitat bekantan. Hal ini terlihat dari kemelimpahan jenis tumbuhan yang dimakan bekantan pada kawasan tersebut. Hampir semua jenis tumbuhan yang dimakan bekantan memiliki kemelimpahan yang tinggi pada kawasan tersebut. Dengan demikian dipastikan ketersediaan sumber makanan bekantan pada kawasan tersebut dapat terpenuhi.

11 SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada Kawasan Taman Wisata Alam Pulau Bakut, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1. Berdasarkan hasil pengamatan langsung dan pengamatan tak langsung (wawancara dan studi literatur), jenis tumbuhan yang dimakan bekantan yang terdapat pada Kawasan Taman Wisata Alam Pulau Bakut yaitu: Rambai padi (Sonneratia caseolaris), Jingah (Gluta renghas), Putat (Barringtonia asiatica), Nipa (Nypa fruticans), Panggang (Ficus microcarpa), Galam (Melaleuca cajuputi), Waru (Hibiscus tiliaceus), Jeruju (Acantus illicifolius), Piai (Acrostichum aureum), dan Bakung (Crinum asiaticum) 2. Kemelimpahan jenis tumbuhan pakan bekantan pada Kawasan Taman Wisata Alam Pulau Bakut paling tinggi untuk tingkat pohon dimiliki oleh (Sonneratia caseolaris), untuk tingkat semak dimiliki oleh Jeruju (Acanthus illicifolius), dan dan untuk tingkat herba dimiliki oleh Bakung (Crinum asiaticum) dan kemelimpahan terendah dimiliki oleh Galam (Melaleuca cajuputi). Berkaitan dengan kesimpulan yang dipaparkan di atas, maka dikemukakan saran-saran sebagai berikut: 1. Perlu dilakukan penelitian tentang bagian tumbuhan yang dimakan bekantan Pada Kawasan Taman Wisata Alam Pulau Bakut. 2. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, tumbuhan Rambai padi (Sonneratia caseolaris) yang memiliki indeks nilai penting (INP) paling tinggi pada zona 1. Namun tumbuhan tersebut tidak dominan ada pada semua sisi pulau, karena masih ada sisi pulau yang tak ditumbuhi tumbuhan ini. Oleh karena itu penulis menyarankan untuk melakukan penanaman tumbuhan Rambai padi (Sonneratia caseolaris) pada sisi pulau yang belum banyak ditumbuhi oleh Rambai padi (Sonneratia caseolaris). Karena tumbuhan ini memiliki pengaruh yang cukup tinggi terhadap keberadaan bekantan, dimana tumbuhan ini selain dimanfaatkan sebagai sumber makanan, juga dijadikan sarang oleh satwa endemik bekantan. DAFTAR RUJUKAN Anonim. 2010a. Diakses Tanggal 22 Agustus 2010.

12 Anonim. 2010b. Diakses Tanggal 22 Agustus Anonim. 2010c. Diakses Tanggal 22 Agustus Anonim. 2011a. Diakses tanggal 15 Januari Anonim. 2011b d07080d04/media/Html/taxon/index_family.htm. Diakses tanggal 15 Januari Anonim. 2011c. Diakses tanggal 15 Januari 2011 Anonim.2011d. Diakses tanggal 15 Januari Alikodra, H. S., S. Yasuma, A. H. Mustari Studi Ekologi dan Konservasi Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb, 1781) di Hutan Lindung Bukit Soeharto, Kalimantan Timur. Tidak Dipublikasikan. Alikodra, H. S. dan A. H. Mustari Studi Ekologi dan Konservasi Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb, 1781) di Delta Sungai Mahakam, Kalimantan Timur : Perilaku dan Fungsi Habitat. Tidak Dipublikasikan. Alikodra, H. S Populasi dan Prilaku Bekantan (Nasalis larvatus) di Samboja Koala, Kalimantan Timur. Media Konservasi 5(2) : Bismark, M Populasi dan Tingkah Laku Bekantan (Nasalis larvatus geoffr) di Suaka Margasatwa Tanjung Putting, Kalimantan Tengah. Laporan LPH No Bismark Biologi dan Konservasi Primata di Indonesia. Bogor : Institut Pertanian Bogor, Fakultas Pascasarjana. [BKSDA] Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kawasan Konservasi Kalimantan Selatan. Banjarbaru: BKSDA, Kantor Wilayah Departemen Kehutanan dan Perkebunan Kalimantan Selatan. Guntariadi Struktur dan Komposisi Pohon Pada Ekosistem Mangrove di Pulau Bakut Kecamatan Anjir Muara Kabupaten Barito Kuala Kalimantan Selatan. Skripsi, tidak diterbitkan. Banjarmasin: FKIP UNLAM BANJARMASIN. Hayati, Saidah Pakan Alternatif Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb) Pascaperanggasan Rambai (Sonneratia caseolaris) di Cagar Alam Pulau Kaget

13 Kalimantan Selatan. Skripsi, tidak dipublikasikan. Banjarbaru: Fakultas Kehutanan UNLAM BANJARMASIN. Jolly, A The Evolution of Primate behavior. Macmillan Publishing Co., Inc. New York. Lakitan, B Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan. Jakarta: Raja Granfindo Persada Loveless, A. R Prinsip-Prinsip Biologi Tumbuhan Untuk Daerah Tropik. Jilid 2. Jakarta: Gramedia. Noor, Muhammad Lahan Rawa. Jakarta: Rajawali Press Payne, J. Francis, C. M. Phillipps, K Panduan Lapangan Mamalia di Kalimantan, Sabah, Serawak dan Brunei Darussalam. Kartikasari SN, Penerjemah. Jakarta : Wildlife Conservation Society and The Sabah Society. Terjemahan dari : A Field Guide of The Mammals of Borneo. Salter, R,E,, N.A. MacKenzie, N. Nightingale, K.M. Aken and P. Chai Habitat uses, ranging behaviour, and food habitats of the proboscis monkey, Nasalis larvatus (van Wurmb), in Sarawak. Primates 26 (4). Syafie, E. S. & Taufikurrahman Pengantar Ekologi Tumbuhan. Bandung: FMIPA ITB BANDUNG. Soendjoto, M. A., M. Akhdiyat, M. Haitami, I. Kusumajaya Persebaran dan Tipe Habitat Bekantan (Nasalis larvatus) di Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan. Media Konservasi 7 (2). Soendjoto, M. A., Djami at, Johansyah, Hairani Bekantan Juga Hidup di Hutan Karet. Warta Konservasi Lahan Basah 10 (4). Soendjoto, M. Arief dkk Jenis dan Komposisi Pakan Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb) di Hutan Karet Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan. Surakarta: Jurusan Biologi FMIPA UNS. Wahyudi, Hendra Studi Populasi dan Pola Tingkah Laku Serta Ketersediaan Makanan Bekantan (Nasalis Larvatus Wurmb) di Muara Podok Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan. Skripsi, tidak dipublikasikan. Banjarmasin: FKIP UNLAM BANJAR- MASIN Woods, Andrea Observation On Dietary Habits of Proboscis Monkeys, Nasalis Larvatus, At Danau Sentarium Wildlife Resrve, Kalimantan Barat. UK- Indonesia Tropical Forest Management Project. Tidak dipublikasikan

14 PEMAHAMAN KONSEP HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN DENGAN MENGGUNAKAN MODEL GALLERY OF LEARNING BERBASIS LINGKUNGAN DI SMPN 9 BANJARBARU Yusifa Arianti Dewi 1 H. Muhammad Zaini 2 ABSTRAK Pembelajaran hama dan penyakit tumbuhan di SMPN 9 Banjarbaru sebelumnya dilakukan dengan siswa diminta membawa tumbuhan yang diperkirakan siswa terkena hama dan penyakit. Tetapi hal ini belum efisien karena siswa belum mengetahui secara pasti tumbuhan itu terserang hama atau penyakit. Akibatnya penguasaan konsep atau hasil belajar biologi siswa tetap rendah dan pembelajaran biologi jadi membosankan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hasil belajar siswa, mengetahui hasil keja kelompok dalam mengerjakan LKS, dan mengetahui kecendrungan perilaku siswa kearah on task atau off task. Penelitian ini merupakan penelitian quasi eksperimen dengan kelas kontrol dan kelas eksperimen adalah sama, dengan materi eksperimen diselingi dengan materi kontrol (materi berkelanjutan). Hasil analisis kovarian menunjukkan perbedaan yang signifikan antara peningkatan hasil belajar siswa eksperimen dan siswa kontrol. Hal ini terlihat dari nilai Pr yaitu 0,02 yaitu lebih kecil dibandingkan nilai taraf signifikansi yang ditetapkan yaitu sebesar 0,05 Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil belajar siswa dan hasil kerja kelompok dalam mengerjakan LKS pada konsep hama dan penyakit tumbuhan dengan menggunakan model gallery of learning berbasis lingkungan di SMPN 9 Banjarbaru menunjukan hasil yang baik dan perilaku siswa cenderung ke arah on task. Kata kunci: Model Gallery of Learning, pemahaman, hama dan penyakit tumbuhan, on task, off task. Setiap guru menginginkan proses pembelajaran yang dilaksanakannya menyenangkan dan berpusat pada siswa. Siswa antusias mengacungkan tangan untuk menjawab pertanyaan atau memberikan pendapat, bersorak merayakan 1 Alumni Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Unlam Banjamasin 2 Dosen Program Studi Magister Pendidikan Biologi PPs Unlam Banjarmasin

15 keberhasilan mereka, bertukar informasi dan saling memberikan semangat.. Keinginan di atas sejalan dengan pembelajaran yang lebih diarahkan pada pengalaman langsung dari pada pengajaran (Depdiknas, 2003). Tujuan akhir dari semua proses itu adalah agar penguasaan konsep dan hasil belajar memuaskan. Pembelajaran pada dasarnya adalah proses interaksi, baik interaksi antara siswa maupun interaksi siswa dan guru, bahkan interaksi antara siswa dengan lingkungan (Sanjaya, 2007). Melalui cara semacam ini, guru akan terbiasa memberi peluang seluas luasnya agar siswa dapat belajar lebih bermakna dengan memberikan respon yang mengaktifkan semua siswa secara positif dan edukatif. Guru yang baik adalah guru yang juga bisa belajar dari muridnya, dengan demikian seorang guru haruslah berempati, menjadi pendengar yang baik, dan bisa menjadi fasilitator bagi anak didik dalam memecahkan problem mereka sendiri (Hidayat dalam Silberman, 2009). Ketika dilaksanakan penelitian dalam rangka seminar biologi di SMPN 9 Banjarbaru, guru mengalami kesulitan menciptakan suasana pembelajaran yang demikian. Siswa kurang memiliki rasa ingin tahu, bahkan cenderung berbuat kegiatan off task seperti mengantuk dan bermain main, bahkan siswa yang bertanya dan siswa yang menjawab adalah siswa yang itu itu juga. Cara pembelajaran seperti ini membuat suasana kelas membosankan, dan pada gilirannya suasana pembelajaran cenderung berpusat pada guru. Dampak buruknya adalah penguasaan konsep tidak mencapai batas ketuntasan yang ditetapkan oleh sekolah. Kondisi yang seperti ini tentunya sangat tidak diharapkan dalam proses belajar mengajar. Sebenarnya guru telah berusaha menciptakan pembelajaran agar siswa lebih aktif, di antaranya melalui pengamatan objek secara langsung dari sumber belajar, melakukan diskusi kelompok mengerjakan LKS, dan menggunakan metode tanya-jawab dalam pembelajaran. Namun hasilnya belum dapat meningkatkan aktivitas pembelajaran secara maksimal. Dengan kata lain, guru belum menemukan cara yang tepat untuk memotivasi siswa dan menemukan model pembelajaran yang berpusat pada siswa. Pembelajaran hama dan penyakit tumbuhan pada tahun-tahun sebelumnya dilakukan dengan siswa disuruh

16 membawa tumbuhan yang diperkirakan siswa terkena hama dan penyakit. Tetapi hal ini belum efisien karena siswa belum mengetahui secara pasti tumbuhan itu terserang hama atau penyakit, sehingga pembelajaran di kelas tidak berjalan sebagaimana yang dikehendaki. Jika kondisi seperti ini tidak dicarikan alternatif pemecahan masalahnya, maka guru tetap sebagai sumber satu satunya di kelas, tidak terjadi tukar informasi antar siswa, siswa baru mau menjawab kalau ditanya guru. Masalah masalah ini tentunya menyebabkan penguasaan konsep atau hasil belajar biologi siswa tetap rendah dan pembelajaran biologi jadi membosankan. Banyak model-model pembelajaran yang ditawarkan untuk menciptakan pembelajaran yang baik kepada siswa, akan tetapi masih banyak guru yang belum menguasai secara teoritis maupun dalam praktik pelaksanaan. Salah satu model pembelajaran yang belum banyak dipahami oleh guru khususnya guru-guru SMP di Kota Banjarbaru adalah model gallery of learning. Model ini pada dasarnya adalah memberdayakan siswa untuk menuangkan apa yang diperolehnya dari pembelajaran yang kemudian dipajang, bilamana diperlukan maka diberikan penjelasan oleh si pembuat. Model gallery of learning dipayungi oleh teori kontruktivisme karena disini murid dilatih untuk menggali pemahamnya sendiri. Penelitian ini bertempat di SMPN 9 Banjarbaru di Jl. Karang Anyar No 1 Loktabat Utara Banjarbaru. Penelitian-penelitian tentang pembelajaran dengan model gallery of learning sudah pernah dilaporkan. Ruriyasti (2010) melaporkan dengan menggunakan model gallery of learning menunjukkan bahwa rata-rata hasil belajar siswa kelas X pada siklus I (aspek kognitif = 30,96). Rata-rata hasil belajar pada siklus II (aspek kognitif = 51,90). Rata-rata hasil belajar pada siklus III (aspek kognitif = 62,30). Dilihat dari hasil nilai rata-rata tiap siklus dapat diketahui bahwa hasil belajar yang dicapai siswa mengalami peningkatan, dari siklus I sampai sampai siklus II yaitu sebesar 35% sedangkan dari siklus I sampai siklus III sebesar 51%. Sehingga berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penerapan metode pembelajaran active learning model gallery of learning pada pokok bahasan keanekaragaman hayati dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas X SMA Al-Islam 3 Surakarta tahun ajaran 2009/2010.

17 Permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan yaitu apakah hasil belajar siswa pada konsep hama dan penyakit tumbuhan dengan menggunakan model gallery of learning berbasis lingkungan di SMPN 9 Banjarbaru lebih baik daripada menggunakan pembelajaran konseptual, apakah hasil selama kerja kelompok dalam mengerjakan LKS pada konsep hama dan penyakit tumbuhan dengan menggunakan model gallery of learning berbasis lingkungan di SMPN 9 Banjarbaru tergolong baik, apakah kecenderungan perilaku siswa pada konsep hama dan penyakit tumbuhan dengan menggunakan model gallery of learning berbasis lingkungan di SMPN 9 Banjarbaru ke arah on task atau off task. Kemudian masalah penelitian ini dibatasi pada lingkungan yang diteliti adalah adalah lingkungan di luar kawasan sekolah yakni perkebunan masyarakat yang dijumpai pada radius 500 meter dari sekolah, Pemahaman konsep hama dan penyakit tumbuhan meliputi adalah hasil belajar dan hasil selama proses pembelajaran (keterampilan proses), Hama dan penyakit tumbuhan dalam penelitian ini hanya hama dan penyakit yang dapat diamati dan bersifat makroskopis (untuk kepentingan identifikasi menggunakan narasumber dari Balittra), perilaku on task dan off task diamati dengan menggunakan format pengamatan metode observasi penelitian kelas (Hopkin s, 1993). Definisi operasional dalam penelitian ini adalah Model gallery of learning adalah suatu pembelajaran kelompok yang memberdayakan siswa untuk menuangkan apa yang diperolehnya dari pembelajaran yang kemudian dipajang, jika diperlukan maka diberikan penjelasan oleh si pembuat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: hasil belajar siswa dengan menggunakan model gallery of learning berbasis lingkungan di SMPN 9 Banjarbaru, hasil kerja kelompok dalam mengerjakan LKS pada konsep hama dan penyakit tumbuhan dengan menggunakan model gallery of learning berbasis lingkungan di SMPN 9 Banjarbaru, kecenderungan perilaku siswa ke arah on task atau off task dalam pembelajaran konsep hama dan penyakit tumbuhan dengan menggunakan model gallery of learning berbasis lingkungan di SMPN 9 Banjarbaru.

18 METODE Penelitian terhadap pemahaman konsep Hama dan Penyakit Tumbuhan dengan menggunakan model gallery of learning berbasis lingkungan di SMP Negeri 9 Banjarbaru dilaksanakan dengan menggunakan rancangan kuasi eksperimen (quasi experiment). Ragam rancangan penelitian dari kuasi eksperimen yang digunakan adalah The Equivalent Materials Design (Campbell & Stanley, 1966) dengan rancangan penelitian seperti pada Tabel 2. Tabel 2. Model Rancangan Penelitian The Equivalent Materials design A M a X 0 O M b X 1 O M c X 0 O M d X 1 O Keterangan : A : Kelas M : Materi yang berkelanjutan 1, 2, 3, 4 : Materi pembelajaran 1,2,3,4 X 1 : Pembelajaran dengan menggunakan model gallery of learning X 0 : Pembelajaran tanpa menggunakan model gallery of learning O : Postes Variabel bebas dalam penelitian ini adalah penggunaan model gallery of learning berbasis lingkungan.variabel terikat adalah hasil belajar siswa pada konsep hama dan penyakit tumbuhan. Penelitian ini dilakukan selama 6 bulan dimulai pada bulan Agustus 2010 dan berakhir pada bulan Januari 2011 di SMP Negeri 9 Banjarbaru yang beralamat di Jl. Karang Anyar No 1 Loktabat Utara Banjarbaru. Dengan tempat pembelajaran untuk siswa kontrol di dalam kelas sedangkan tempat pembelajaran untuk siswa eksperimen di kawasan perkebunan masyarakat. Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini meliputi LKS, alat evaluasi hasil belajar yang berpedoman pada tujuan pembelajaran masingmasing rencana pembelajaran. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII SMP Negeri 9 Banjarbaru yang terdiri dari 4 kelas. Penelitian menggunakan sampel yaitu kelas VIIIC dengan jumlah 35 siswa, dengan jumlah siswa laki-laki 20 orang dan siswa perempuan 15 orang.

19 Teknik pengumpulan dan analisis data dibedakan 1) Hasil penelitian berupa data kuantitatif yang diperoleh dari nilai pretes dan postes waktu pembelajaran dengan menggunakan model gallery of learning berbasis lingkungan dan yang tidak menggunakan model gallery of learning berbasis lingkungan akan dianalisis secara berkombinasi. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis dengan menggunakan teknik analisis kovarian di mana skor rata-rata pretes digunakan sebagai kovariannya kemudian diolah dengan menggunakan fasilitas Statistical Analysis System (Program SAS 604). 2) Data kuantitatif proses pembelajaran yang diperoleh dari LKS di analisis dengan menggunakan kategori yakni baik (76-100%), sedang (56-75%), kurang (40-55%), dan buruk (< 40%) (Arikunto, 1998). 3) Data kualitatif berupa aktivitas siswa yang diperoleh dari pengamatan terhadap perilaku siswa yang diperoleh dari pengamatan terhadap perilaku on task dan off task siswa. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Penelitian pemahaman konsep hama dan penyakit tumbuhan dengan menggunakan model gallery of learning berbasis lingkungan di SMP Negeri 9 Banjarbaru telah memperoleh sejumlah data, kuantitatif dan kualitatif dari kelas eksperimen dan kelas kontrol selama kegiatan pembelajaran. Data hasil belajar siswa eksperimen dan siswa kontrol pada pembelajaran 1, 2, 3 dan 4 dianalisis dengan menggunakan teknik analisis kovarian kemudian diolah dengan menggunakan fasilitas Statistical Analysis Sistem 604 (Program SAS 604). Adapun ringkasannya dapat dilihat pada tabel 1 Tabel 1 Ringkasan Hasil Analisis Data yang Diperoleh dari Semua Pembelajaran Skor Y Std Err Pr > T Pr > T H0: Keterangan LSMEAN LSMEAN H0 : LSMEAN=0 LSMEAN1=LSMEAN2 A ,015 0,0001 0,025 signifikan F ,015 0,0001 Keterangan: R-Square = 0,47 C.V = 5,40 Ringkasan hasil belajar siswa kelas eksperimen selama proses pembelajaran 2 dan 4 berupa tes pengetahuan dan proses yang diperoleh dari

20 kemampuan siswa melaksanakan proses pembelajaran dengan menggunakan LKS dapat di lihat pada Tabel 2. Tabel 2. Ringkasan Hasil Proses Pembelajaran 2 dan 4 Kelas Eksperimen Pembelajaran Jumlah Skor Skor % Kategori Responden Rata-rata Maksimum sedang Baik Keterangan: % = Baik; 56-75% = Sedang; 40-55% = Kurang; <40% = Buruk (Arikunto. 1998) Analisis data hasil penelitian yang tergolong data tubulasi frekuensi dilakukan secara deskriptif, yakni dengan menghitung persentase perilaku off task dan on task siswa selama proses belajar mengajar. Data yang diperoleh dari hasil observasi selama pembelajaran menggunakan lembar observasi yang diadaptasi dari Hopkins (1993) yang meliputi perilaku-perilaku off task dan on task siswa selama proses pembelajaran meliputi data kuantitatif. Ringkasan persentase kemunculan perilaku on task dan off task siswa selama pembelajaran kedua dan keempat seperti Tabel 3 dan Tabel 4. Tabel 3. Persentase Kemunculan Perilaku-Perilaku Off Task Dan On Task pada pembelajaran kedua 5 menit ke Off task On task jumlah % jumlah % 18 orang 52,94 % 16 orang 47,05 % 18 orang 52,94 % 16 orang 47,05 % 16 orang 48,48 % 17 orang 51,51 % 13 orang 39,39 % 20 orang 60,60 % 11 orang 28,20 % 28 orang 71,79 % 8 orang 23,52 % 26 orang 76,47 % 12 orang 35,29 % 22 orang 64,70 % 11 orang 32,35 % 23 orang 67,64 % 17 orang 48,57 % 18 orang 51,42 % 3 orang 9,37 % 29 orang 90,62 % 3 orang 9,09 % 30 orang 90,90 % 3 orang 8,57 % 32 orang 91,42% 5 orang 14,70 % 29 orang 85,29 % 4 orang 11,76 % 30 orang 88,23 % 6 orang 17,64 28 orang 82,35 % 6 orang 17,14 % 29 orang 82,85 % Rata-rata 28,12 % 71,86 %

21 Tabel 18. Persentase Kemunculan Perilaku-Perilaku Off Task Dan On Task pada pembelajaran keempat 5 menit ke Off task On task jumlah % jumlah % 12 orang 35,29 % 22 orang 64,70 % 16 orang 38,09 % 26 orang 61,90 % 15 orang 37,5 % 25 orang 62,5 % 15 orang 39,39 % 23 orang 60,60 % 13 orang 32,5 % 27 orang 67,5 % 7 orang 21,21 % 26 orang 78,78 % 10 orang 32,25 % 21 orang 67,74 % 7 orang 25 % 21 orang 75 % 9 orang 34,61 % 17 orang 65,38 % 3 orang 13,04 % 20 orang 86,95 % 5 orang 15,15 % 28 orang 84,84 % 6 orang 18,75 % 26 orang 81,25% 4 orang 12,5 % 28 orang 87,5 % 5 orang 16,12 % 26 orang 83,87 % 5 orang 15,62% 28 orang 87,5 % 7 orang 22,50 % 24 orang 77,41 % Rata-rata 25,59 % 74,38 % Pembahasan Pengujian data pada penelitian ini didasarkan pada tingkat signifikansi atau probabilititas yang ditetapkan (Pr) yaitu sebesar 0,05. Dari hasil analisis kovarian pada semua pembelajaran menunjukkan nilai Pr sebesar 0,02 yaitu lebih kecil dari 0,05 artinya peningkatan hasil belajar antara siswa eksperimen dan siswa kontrol berbeda secara signifikan, maka dapat dikatakan bahwa pada pembelajaran 2 dan 4 dengan menggunakan model gallery of learning berbasis lingkungan dapat meningkatkan pemahaman siswa pada konsep hama dan penyakit tumbuhan. Dengan demikian secara umum dapat dikatakan penggunaan model gallery learning berbasis lingkungan dapat meningkatkan pemahaman siswa pada konsep hama dan penyakit tumbuhan. Hal ini sejalan dengan penelitian-penelitian sebelumnya yaitu Ruriyasti (2010) dan Swastika (2009) yang melaporkan bahwa penggunaan model gallery of learning dapat meningkatkan hasil belajar pada konsep biologi. Penggunaan model gallery of learning dalam penelitian ini dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada pembelajaran konsep hama dan penyakit tumbuhan hal ini dikarenakan bahwa melalui pembelajaran menggunakan model gallery of learning, guru berperan sebagai motivator dan fasilitas yang membantu

22 agar proses belajar bukan merupakan transfer pengetahuan dari guru ke siswa melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuaannya melalui serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh siswa, serta dituntut untuk bekerja secara kelompok guna menyelesaikan masalah yang diberikan secara sistematis berdasarkan tahap-tahap yang telah ditentukan (Ruriyasti,2010). Model gallery of learning berhubungan dengan strategi pembelajaran inkuiri karena inkuiri adalah suatu proses untuk memperoleh dan mendapatkan informasi dengan melakukan observasi atau eksperimen untuk mencari jawaban atau memecahkan masalah dengan menggunakan kemampuan berpikir kritis dan logis (Ahmadi dan Amri, 2010). Hal ini sejalan dengan Bruner dalam Dahar dan Liliasari (1986) pendekatan inkuiri meningkatkan potensi intelektual siswa, karena siswa diberi kesempatan untuk mencari dan menemukan keteraturanketeraturan dan hal-hal yang berhubungan dengan pengamatan dan pengalaman sendiri. Selain itu belajar melalui inkuri memperpanjang proses ingatan atau dengan kata lain hal-hal yang dipelajari melalui inkuri lebih lama dapat diingat. Kualitas proses pembelajaran siswa dalam memperoleh pengetahuannya melalui lingkungan perkebunan masyarakat dapat diketahui dari hasil pikiran yang mereka tuangkan dalam mengisi lembar kegiatan siswa (LKS), Confucius (Silberman, 2009) menyatakan what I hear, I forget (apa yang saya dengar, saya lupa,), what I see, I remember (Apa yang saya lihat, saya ingat.), What I do, I understand ( apa yang saya lakukan, saya paham). Tiga pernyataan sederhana ini sesuai dengan proses belajar siswa yang mengharapkan siswa memperoleh pengetahuannya sendiri dari data-data yang telah diperoleh dari lingkungan tempat belajarnya yang dalam penelitian ini tempat belajarnya adalah kawasan perkebunan masyarakat, agar mereka melakukan pengamatan sendiri dan paham apa yang mereka kerjakan. Model gallery of learning adalah suatu pembelajaran kelompok yang memberdayakan siswa untuk menuangkan apa yang diperolehnya dari pembelajaran yang kemudian dipajang, jika diperlukan maka diberikan penjelasan oleh si pembuat. Aktivitas ini merupakan cara untuk menilai dan merayakan apa

23 yang telah peserta didik pelajari setelah rangkain pelajaran studi (Silberman, 2009). Jadi pada pembelajaran ini diharapkan siswa menjadi senang dan pembelajaran menjadi bermakna. Menurut Sanjaya (2007) tujuan utama dari strategi inkuiri adalah pengembangan kemampuan berpikir. Dengan demikian, strategi pembelajaran inkuiri selain berorientasi kepada hasil belajar juga berorientasi pada proses belajar. Proses pembelajaran pada dasarnya adalah proses interaksi, baik interaksi antara siswa maupun interaksi dengan guru, bahkan interaksi siswa dengan lingkungan. Untuk mengetahui bermacam-macam perilaku off task dan on task siswa dalam mengikuti pembelajaran dengan menggunakan model gallery of learning. Berdasarkan data yang terlihat pada lembar observasi, dapat diketahui bermacammacam perilaku off task dan on task siswa. Perilaku-perilaku off task siswa yang muncul selama proses belajar mengajar antara lain: 1. Berbicara tidak sesuai materi; Pembelajaran dengan pendekatan kooperatif cenderung memberikan keleluasaan kepada siswa untuk dapat berinteraksi dengan teman kelompoknya. Hal ini menyebabkan siswa melakukan tindakan ini dari keseluruhan perilaku off task. Tingginya persentase tindakan off task ini merupakan salah satu bentuk kelemahan dari pembelajaran kooperatif. 2. Mencoret-coret kertas; Perilaku off task mencoret-coret kertas ini dapat disebabkan karena adanya rasa bosan dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar. Perilaku off task jenis ini terlihat pada siswa yang tidak melakukan kegiatan mengerjakan LKS karena telah dikerjakan oleh kelompoknya, tetapi pada pembelajaran dengan model gallery of learning siswa dalam mengerjakan LKS tidak merasa bosan karena kegiatannya dirancang sedemikian rupa agar siswa menjadi senang. 3. Menghayal; Menghayal pada saat pembelajaran berlangsung merupakan hambatan dalam proses pembelajaran karena siswa tidak dapat memusatkan perhatiannya pada materi yang diberikan maupun tugas kelompok yang harus didiskusikan bersama kelompoknya. 4. Melihat-lihat ke lingkungan sekitar; Di dalam proses pembelajaran, melihatlihat ke lingkungan sekitar juga merupakan salah satu tindakan yag dapat

24 menghambat proses pembelajaran. Hal ini disebabkan karena siswa tidak dapat memusatkan konsentrasinya terhadap materi pelajaran yang sedang diajarkan. 5. Melakukan kontak fisik dengan siswa lain; Melakukan kontak fisik dengan siswa lain dapat berupa menepuk bahu teman, meminjam peralatan tulis menulis dengan kelompok lain. Hal ini juga dapat menghambat proses belajar mengajar. Perilaku-perilaku on task siswa yang muncul selama proses belajar mengajar antara lain: 1. Memperhatikan penjelasan guru; Siswa tampak serius mendengarkan penjelasan dari guru mengenai materi yang diajarkan. Hal ini perlu ditingkatkan dalam proses pembelajaran agar kegiatan belajar mengajar dapat berlangsung dengan baik. 2. Membaca LKS/ buku yang relevan; Dalam proses menerima informasi, siswa tidak hanya bersumber dari informasi yang diberikan oleh pengajar tetapi juga dapat melalui bahan bacaan yang relevan dengan materi yang diajarkan. Hal ini akan menambah pemahaman siswa terhadap materi yang diajarkan. 3. Melakukan pengamatan/percobaan; Melakukan pengamatan atau percobaan langsung merupakan salah satu cara agar materi yang dipelajari dapat semakin dikuasai dan dapat melekat kuat dalam ingatan setiap siswa. 4. Mencatat materi yang diajarkan; Kemampuan mengingat setiap siswa berbeda-beda, maka agar apa yang dipelajari tidak cepat hilang maka salah satu cara untuk mempermudah mengingat pelajaran yaitu dengan mencatat materi yang diajarkan agar sewaktu-waktu dapat dibaca kembali. 5. Berdiskusi dalam kelompok; Dalam pembelajaran kooperatif lebih ditekankan keaktifan siswa dalam kelompok, baik dalam mendiskusikan materi yang dipelajari maupun dalam mengerjakan tugas kelompok yang diberikan. Tingginya persentase berdiskusi dalam kelompok ini menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif pada materi pengenalan mikroskop ini telah baik. 6. Bertanya kepada siswa lain/guru; Ketika siswa tidak memahami sesuatu, maka siswa dapat bertanya kepada gurunya maupun kepada temannya. Hal ini dapat membantu siswa untuk dapat memahami hal-hal yang belum dipahami.

PEMAHAMAN KONSEP HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN DENGAN MENGGUNAKAN MODEL GALLERY OF LEARNING BERBASIS LINGKUNGAN DI SMPN 9 BANJARBARU

PEMAHAMAN KONSEP HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN DENGAN MENGGUNAKAN MODEL GALLERY OF LEARNING BERBASIS LINGKUNGAN DI SMPN 9 BANJARBARU PEMAHAMAN KONSEP HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN DENGAN MENGGUNAKAN MODEL GALLERY OF LEARNING BERBASIS LINGKUNGAN DI SMPN 9 BANJARBARU Yusifa Arianti Dewi 1 H. Muhammad Zaini 2 ABSTRAK Pembelajaran hama dan

Lebih terperinci

SUATU CATATAN BARU HABITAT KERA HIDUNG PANJANG ( Nasalis larvatus) DAN PERMASALAHANNYA DI KALIMANTAN SELATAN INDONESIA. Oleh. M.

SUATU CATATAN BARU HABITAT KERA HIDUNG PANJANG ( Nasalis larvatus) DAN PERMASALAHANNYA DI KALIMANTAN SELATAN INDONESIA. Oleh. M. SUATU CATATAN BARU HABITAT KERA HIDUNG PANJANG ( Nasalis larvatus) DAN PERMASALAHANNYA DI KALIMANTAN SELATAN INDONESIA Oleh. M. Arief Soendjoto Kera Hidung panjang (Nasalis larvatus) berukuran besar, secara

Lebih terperinci

MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP STRUKTUR DAN FUNGSI JARINGAN TUMBUHAN MELALUI INKUIRI TERBIMBING DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA

MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP STRUKTUR DAN FUNGSI JARINGAN TUMBUHAN MELALUI INKUIRI TERBIMBING DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP STRUKTUR DAN FUNGSI JARINGAN TUMBUHAN MELALUI INKUIRI TERBIMBING DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA (Penelitian Tindakan Kelas di SMP Negeri 9 Banjarbaru Tahun Pelajaran 2010/2011)

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Populasi adalah kelompok kolektif spesies yang sama yang menduduki ruang tertentu dan pada saat tertentu. Populasi mempunyai

Lebih terperinci

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang. berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang. berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini II. TINJAIJAN PliSTAKA Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari atas 17.508 pulau, dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Luas laut Indonesia sekitar 3,1

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai II. TINJAUAN PUSTAKA A. Mangrove Mangrove adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup di antara laut dan daratan yang dipengaruhi oleh pasang surut. Habitat mangrove seringkali ditemukan

Lebih terperinci

VI. SIMPULAN DAN SARAN

VI. SIMPULAN DAN SARAN 135 VI. SIMPULAN DAN SARAN A. SIMPULAN Komposisi spesies mangrove di Pulau Kaledupa, Derawa, dan Pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi sebanyak 20 spesies mangrove sejati dan tersebar tidak merata antar pulau.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bantu yang mampu merangsang pembelajaran secara efektif dan efisien.

BAB I PENDAHULUAN. bantu yang mampu merangsang pembelajaran secara efektif dan efisien. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan proses yang kompleks, namun kompleksitasnya selalu seiring dengan perkembangan manusia. Melalui pendidikan pula berbagai aspek kehidupan

Lebih terperinci

SEBARAN DAN STATUS BEKANTAN (Nasalis larvatus) DI KABUPATEN TANAH BUMBU, KALIMANTAN SELATAN

SEBARAN DAN STATUS BEKANTAN (Nasalis larvatus) DI KABUPATEN TANAH BUMBU, KALIMANTAN SELATAN 10-086 SEBARAN DAN STATUS BEKANTAN (Nasalis larvatus) DI KABUPATEN TANAH BUMBU, KALIMANTAN SELATAN Distribution and Status of Proboscis Monkey (Nasalis Larvatus) in Tanah Bumbu Regency, Kalimantan Selatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau dan panjang pantai kurang lebih 81.000 km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat besar,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa ini memberikan tanggung jawab yang besar bagi warga Indonesia untuk

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa ini memberikan tanggung jawab yang besar bagi warga Indonesia untuk BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia dan juga memiliki keragaman hayati yang terbesar serta strukturnya yang paling bervariasi. Mangrove dapat tumbuh

Lebih terperinci

Program Studi Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Mulawarman 2. PT. Pertamina EP Asset 5 Sangasanga 3

Program Studi Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Mulawarman 2. PT. Pertamina EP Asset 5 Sangasanga 3 134 BioWallacea Jurnal Ilmiah Ilmu Biologi September 2015 Vol. 1 No. 3, p 134-139 ISSN: 2442-2622 STUDI PAKAN ALAMI DAN PERILAKU MAKAN BEKANTAN (Nasalis larvatus wurmb.) DI KAWASAN KONSESI PT. PERTAMINA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. Adapun yang membedakannya dengan hutan yang lainnya yaitu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kawasan pesisir yang cukup luas, dan sebagian besar kawasan tersebut ditumbuhi mangrove yang lebarnya dari beberapa

Lebih terperinci

2015 STRUKTUR VEGETASI DAN KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN PANTAI DI HUTAN PANTAI LEUWEUNG SANCANG, KECAMATAN CIBALONG, KABUPATEN GARUT

2015 STRUKTUR VEGETASI DAN KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN PANTAI DI HUTAN PANTAI LEUWEUNG SANCANG, KECAMATAN CIBALONG, KABUPATEN GARUT BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang memiliki sekitar 17.508 pulau dan panjang garis pantai sekitar 80.791,42 km (Soegianto, 1986). Letak Indonesia sangat

Lebih terperinci

KONDISI HABITAT DAN PENYEBARAN BEKANTAN (Nasalis larvatus Wurmb) DI DELTA MAHAKAM, KALIMANTAN TIMUR 1 RINGKASAN

KONDISI HABITAT DAN PENYEBARAN BEKANTAN (Nasalis larvatus Wurmb) DI DELTA MAHAKAM, KALIMANTAN TIMUR 1 RINGKASAN KONDISI HABITAT DAN PENYEBARAN BEKANTAN (Nasalis larvatus Wurmb) DI DELTA MAHAKAM, KALIMANTAN TIMUR 1 Oleh: Tri Atmoko 2, Amir Ma ruf 2, Ismed Syahbani 2 dan Mardi T. Rengku 3 RINGKASAN Delta Mahakam merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Semua lahan basah diperkirakan menutupi lebih dari 20% luas daratan Indonesia

I. PENDAHULUAN. Semua lahan basah diperkirakan menutupi lebih dari 20% luas daratan Indonesia 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai lahan basah paling luas dan paling beragam di Asia Tenggara, meliputi lahan basah alami seperti hutan rawa, danau,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada daerah yang berair payau dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove memiliki ekosistem khas karena

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Keragaman Vegetasi Mangrove Dari hasil pengamatan yang dilakukan pada 20 plot yang masing-masing petak ukur 5x5 m, 10x10 m dan 20x20 m diketahui bahwa vegetasi mangrove

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kestabilan pantai, penyerap polutan, habitat burung (Bismark, 1986). Kemampuan mangrove untuk mengembangkan wilayahnya ke arah laut

TINJAUAN PUSTAKA. kestabilan pantai, penyerap polutan, habitat burung (Bismark, 1986). Kemampuan mangrove untuk mengembangkan wilayahnya ke arah laut 4 TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Umum Hutan Mangrove Hutan mangrove merupakan ekosistem hutan dengan faktor fisik yang ekstrim, seperti habitat tergenang air dengan salinitas tinggi di pantai dan sungai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai wilayah di Nusantara. Kerusakan hutan mangrove ini disebabkan oleh konversi lahan menjadi areal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. Ekosistem mangrove

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

PROPOSAL PENELITIAN PENYIAPAN PENYUSUNAN BAKU KERUSAKAN MANGROVE KEPULAUAN KARIMUNJAWA

PROPOSAL PENELITIAN PENYIAPAN PENYUSUNAN BAKU KERUSAKAN MANGROVE KEPULAUAN KARIMUNJAWA PROPOSAL PENELITIAN PENYIAPAN PENYUSUNAN BAKU KERUSAKAN MANGROVE KEPULAUAN KARIMUNJAWA TAHUN 2017 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia,

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 38 IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak Hutan Mangrove di Tanjung Bara termasuk dalam area kawasan konsesi perusahaan tambang batubara. Letaknya berada di bagian pesisir timur Kecamatan Sangatta

Lebih terperinci

Hasil dan Pembahasan

Hasil dan Pembahasan IV. Hasil dan Pembahasan A. Hasil 1. Keanekaragaman vegetasi mangrove Berdasarkan hasil penelitian Flora Mangrove di pantai Sungai Gamta terdapat 10 jenis mangrove. Kesepuluh jenis mangrove tersebut adalah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi umum daerah Wonorejo Kawasan mangrove di Desa Wonorejo yang tumbuh secara alami dan juga semi buatan telah diputuskan oleh pemerintah Surabaya sebagai tempat ekowisata.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Nasional Way Kambas Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan lindung. Pendirian kawasan pelestarian alam Way Kambas dimulai sejak tahun 1936

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropika yang terdiri dari 17.504 buah pulau (28 pulau besar dan 17.476 pulau kecil) dengan panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

ANALISIS VEGETASI STRATA SEEDLING PADA BERBAGAI TIPE EKOSISTEM DI KAWASAN PT. TANI SWADAYA PERDANA DESA TANJUNG PERANAP BENGKALIS, RIAU

ANALISIS VEGETASI STRATA SEEDLING PADA BERBAGAI TIPE EKOSISTEM DI KAWASAN PT. TANI SWADAYA PERDANA DESA TANJUNG PERANAP BENGKALIS, RIAU ANALISIS VEGETASI STRATA SEEDLING PADA BERBAGAI TIPE EKOSISTEM DI KAWASAN PT. TANI SWADAYA PERDANA DESA TANJUNG PERANAP BENGKALIS, RIAU Khairijon, Mayta NovaIiza Isda, Huryatul Islam. Jurusan Biologi FMIPA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan I. 1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Indonesia adalah salah satu negara yang dikenal memiliki banyak hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan tropis Indonesia adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pantai yang mempunyai arti strategis karena merupakan wilayah terjadinya

I. PENDAHULUAN. pantai yang mempunyai arti strategis karena merupakan wilayah terjadinya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia secara geografis memiliki sebagian besar wilayahnya berupa pesisir dan pantai yang mempunyai arti strategis karena merupakan wilayah terjadinya interaksi/peralihan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam 3 zona berdasarkan perbedaan rona lingkungannya. Zona 1 merupakan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam 3 zona berdasarkan perbedaan rona lingkungannya. Zona 1 merupakan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Deskripsi Lingkungan Penelitian Pada penelitian ini, lokasi hutan mangrove Leuweung Sancang dibagi ke dalam 3 zona berdasarkan perbedaan rona lingkungannya.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (Sujatnika, Joseph, Soehartono, Crosby, dan Mardiastuti, 1995). Kekayaan jenis

I. PENDAHULUAN. (Sujatnika, Joseph, Soehartono, Crosby, dan Mardiastuti, 1995). Kekayaan jenis I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki 1539 spesies burung atau 17 persen dari jumlah seluruh spesies burung dunia, 381 spesies diantaranya merupakan spesies endemik (Sujatnika, Joseph, Soehartono,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebesar jenis flora dan fauna (Rahmawaty, 2004). Keanekaragaman

BAB I PENDAHULUAN. sebesar jenis flora dan fauna (Rahmawaty, 2004). Keanekaragaman 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang mendapat sebutan Mega Biodiversity setelah Brazil dan Madagaskar. Diperkirakan 25% aneka spesies dunia berada di Indonesia,

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Tentang Mangrove 2.1.1. Pengertian mangrove Hutan mangrove secara umum didefinisikan sebagai hutan yang terdapat di daerah-daerah yang selalu atau secara teratur tergenang

Lebih terperinci

JUMLAH INDIVIDU DAN KELOMPOK BEKANTAN (Nasalis larvatus, Wurmb) Di TAMAN NASIONAL DANAU SENTARUM KABUPATEN KAPUAS HULU

JUMLAH INDIVIDU DAN KELOMPOK BEKANTAN (Nasalis larvatus, Wurmb) Di TAMAN NASIONAL DANAU SENTARUM KABUPATEN KAPUAS HULU JUMLAH INDIVIDU DAN KELOMPOK BEKANTAN (Nasalis larvatus, Wurmb) Di TAMAN NASIONAL DANAU SENTARUM KABUPATEN KAPUAS HULU Number of Individual and Groups Proboscis (Nasalis Larvatus, Wurmb) In Sentarum Lake

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Hutan Mangrove Ekosistem hutan mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia dan hidup serta tumbuh berkembang

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Burung Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem maupun bagi kepentingan kehidupan manusia dan membantu penyebaran Tumbuhan yang ada disuatu kawasan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dijadikan sebagai salah satu habitat alami bagi satwa liar. Habitat alami di

I. PENDAHULUAN. dijadikan sebagai salah satu habitat alami bagi satwa liar. Habitat alami di 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahan basah merupakan daerah peralihan antara sistem perairan dan daratan yang dijadikan sebagai salah satu habitat alami bagi satwa liar. Habitat alami di Indonesia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mempunyai panjang garis pantai lebih kurang 114 km yang membentang

BAB 1 PENDAHULUAN. mempunyai panjang garis pantai lebih kurang 114 km yang membentang 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indramayu merupakan salah satu kota di Jawa Barat yang mempunyai potensi perikanan dan kelautan yang cukup tinggi. Wilayah pesisir Indramayu mempunyai panjang

Lebih terperinci

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Penataan Ruang Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Kawasan peruntukan hutan produksi kawasan yang diperuntukan untuk kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil

Lebih terperinci

STRUKTUR POPULASI BEKANTAN (Nasalis larvatus) DI PULAU CURIAK KABUPATEN BARITO KUALA KALIMANTAN SELATAN

STRUKTUR POPULASI BEKANTAN (Nasalis larvatus) DI PULAU CURIAK KABUPATEN BARITO KUALA KALIMANTAN SELATAN STRUKTUR POPULASI BEKANTAN (Nasalis larvatus) DI PULAU CURIAK KABUPATEN BARITO KUALA KALIMANTAN SELATAN Zainudin 1, Amalia Rezeki 2 Pusat Studi dan Konservasi Keaneakaragaman Hayati (Biodiversitas Indonesia)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang BAB I PENDAHULUAN 1.1.LatarBelakang Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang 95.181 km terdiri dari sumber daya alam laut dan pantai yang beragam. Dengan kondisi iklim dan substrat

Lebih terperinci

Jenis dan Komposisi Pakan Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb) di Hutan Karet Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan

Jenis dan Komposisi Pakan Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb) di Hutan Karet Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan B I O D I V E R S I T A S ISSN: 1412-033X Volume 7, Nomor 1 Januari 2006 Halaman: 34-38 Jenis dan Komposisi Pakan Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb) di Hutan Karet Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. merupakan salah satu peran penting mangrove dalam pembentukan lahan baru. Akar mangrove mampu mengikat dan menstabilkan substrat

TINJAUAN PUSTAKA. merupakan salah satu peran penting mangrove dalam pembentukan lahan baru. Akar mangrove mampu mengikat dan menstabilkan substrat TINJAUAN PUSTAKA Hutan mangrove Kemampuan mangrove untuk mengembangkan wilayahnya ke arah laut merupakan salah satu peran penting mangrove dalam pembentukan lahan baru. Akar mangrove mampu mengikat dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung

Lebih terperinci

STUDI JENIS TUMBUHAN PAKAN KELASI (Presbitis rubicunda) PADA KAWASAN HUTAN WISATA BANING KABUPATEN SINTANG

STUDI JENIS TUMBUHAN PAKAN KELASI (Presbitis rubicunda) PADA KAWASAN HUTAN WISATA BANING KABUPATEN SINTANG STUDI JENIS TUMBUHAN PAKAN KELASI (Presbitis rubicunda) PADA KAWASAN HUTAN WISATA BANING KABUPATEN SINTANG Sri Sumarni Fakultas Pertanian Universitas Kapuas Sintang e-mail : sri_nanisumarni@yahoo.co.id

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman

I. PENDAHULUAN. paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman hayati yang terkandung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lovejoy (1980). Pada awalnya istilah ini digunakan untuk menyebutkan jumlah

BAB I PENDAHULUAN. Lovejoy (1980). Pada awalnya istilah ini digunakan untuk menyebutkan jumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu kawasan yang terletak pada daerah tropis adalah habitat bagi kebanyakan hewan dan tumbuhan untuk hidup dan berkembang biak. Indonesia merupakan

Lebih terperinci

Avicenia sp. ( Api-Api ) Rhizophora sp( Bakau ) Nypa sp. ( Nipah ) Bruguiera sp. ( Lacang ) Sonneratia sp. ( Pedada )

Avicenia sp. ( Api-Api ) Rhizophora sp( Bakau ) Nypa sp. ( Nipah ) Bruguiera sp. ( Lacang ) Sonneratia sp. ( Pedada ) Mangal komunitas suatu tumbuhan Hutan Mangrove adalah hutan yang tumbuh di daerah pantai, biasanya terletak didaerah teluk dan muara sungai dengan ciri : tidak dipengaruhi iklim, ada pengaruh pasang surut

Lebih terperinci

1. Pengantar A. Latar Belakang

1. Pengantar A. Latar Belakang 1. Pengantar A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang memiliki sekitar 17.500 pulau dengan panjang sekitar 81.000, sehingga Negara kita memiliki potensi sumber daya wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap salinitas (Kusmana, 2003). Hutan mangrove

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap salinitas (Kusmana, 2003). Hutan mangrove 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, terutama di pantai berlindung, laguna, dan muara sungai yang tergenang pada saat pasang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tumbuhan Herba Herba adalah semua tumbuhan yang tingginya sampai dua meter, kecuali permudaan pohon atau seedling, sapling dan tumbuhan tingkat rendah biasanya banyak ditemukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap makhluk hidup yang berada di suatu lingkungan akan saling berinteraksi, interaksi terjadi antara makhluk hidup dengan makhluk hidup itu sendiri maupun makhluk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terluas di dunia sekitar ha (Ditjen INTAG, 1993). Luas hutan mangrove

BAB I PENDAHULUAN. terluas di dunia sekitar ha (Ditjen INTAG, 1993). Luas hutan mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia sekitar 3.735.250 ha (Ditjen INTAG, 1993). Luas hutan mangrove Indonesia

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan mangrove di DKI Jakarta tersebar di kawasan hutan mangrove Tegal Alur-Angke Kapuk di Pantai Utara DKI Jakarta dan di sekitar Kepulauan Seribu. Berdasarkan SK Menteri

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Satwa burung (avifauna) merupakan salah satu satwa yang mudah. jenis memiliki nilai keindahan tersendiri. Burung memerlukan syarat

TINJAUAN PUSTAKA. Satwa burung (avifauna) merupakan salah satu satwa yang mudah. jenis memiliki nilai keindahan tersendiri. Burung memerlukan syarat 17 TINJAUAN PUSTAKA Bio-ekologi Burung Satwa burung (avifauna) merupakan salah satu satwa yang mudah dijumpai hampir di setiap tempat. Jenisnya sangat beranekaragam dan masingmasing jenis memiliki nilai

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2) PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan hutan di Sumatera Utara memiliki luas sekitar 3.742.120 ha atau sekitar 52,20% dari seluruh luas provinsi, luasan kawasan hutan ini sesuai dengan yang termaktub

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis,

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem yang sangat vital, baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis, ekosistem mangrove memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak di Cagar Alam Leuweung Sancang. Cagar Alam Leuweung Sancang, menjadi satu-satunya cagar

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. secara alami. Pengertian alami disini bukan berarti hutan tumbuh menjadi hutan. besar atau rimba melainkan tidak terlalu diatur.

TINJAUAN PUSTAKA. secara alami. Pengertian alami disini bukan berarti hutan tumbuh menjadi hutan. besar atau rimba melainkan tidak terlalu diatur. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Hutan Kota Hutan dalam Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 32 TAHUN 1990 (32/1990) Tanggal : 25 JULI 1990 (JAKARTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang ± 81.000 km dan luas sekitar 3,1 juta km 2.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove adalah suatu lingkungan yang memiliki ciri khusus yaitu lantai hutannya selalu digenangi air, dimana air tersebut sangat dipengaruhi oleh pasang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi pertukaran materi

Lebih terperinci

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai kekayaan alam yang beranekaragam termasuk lahan gambut berkisar antara 16-27 juta hektar, mempresentasikan 70% areal gambut di Asia Tenggara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan yang mencapai sekitar pulau. Perbedaan karakteristik antar pulau

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan yang mencapai sekitar pulau. Perbedaan karakteristik antar pulau BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan yang mencapai sekitar 17.000 pulau. Perbedaan karakteristik antar pulau menjadikan Indonesia berpotensi memiliki keanekaragaman habitat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya merupakan perairan dan terletak di daerah beriklim tropis. Laut tropis memiliki

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove diduga berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu

TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove diduga berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu 6 TINJAUAN PUSTAKA Pengetian Mangrove Kata mangrove diduga berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu nama yang diberikan kepada mangrove merah (Rhizopora spp.). Nama Mangrove diberikan kepada jenis

Lebih terperinci

KEMAMPUAN BELAJAR KONSEP DAUR BIOGEOKIMIA DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN PROBLEM POSING PADA SISWA KELAS X SMA NEGERI 2 BANJARBARU

KEMAMPUAN BELAJAR KONSEP DAUR BIOGEOKIMIA DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN PROBLEM POSING PADA SISWA KELAS X SMA NEGERI 2 BANJARBARU 1 KEMAMPUAN BELAJAR KONSEP DAUR BIOGEOKIMIA DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN PROBLEM POSING PADA SISWA KELAS X SMA NEGERI 2 BANJARBARU H. Muhammad Zaini 1 Lisa Herlina 2 ABSTRAK Penelitian tindakan kelas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli ` I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli dan dikelola dengan sistem zonasi. Kawasan ini dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu

Lebih terperinci

SILABUS (Kelas Eksperimen)

SILABUS (Kelas Eksperimen) 56 1 SILABUS (Kelas Eksperimen) Satuan Pendidikan Mata Pelajaran Kelas/Semester Standar Kompetensi : SMP Negeri 2 Punggur : IPA (Biologi) : VII A/2 (Genap) : 7. Memahami saling ketergantungan dalam ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehingga laut dan pesisir pantai (coastal zone) merupakan lingkungan fisik yang

BAB I PENDAHULUAN. sehingga laut dan pesisir pantai (coastal zone) merupakan lingkungan fisik yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan wilayah perairan yang memiliki luas sekitar 78%, sehingga laut dan pesisir pantai (coastal zone) merupakan lingkungan fisik yang mendominasi. Menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan yang disebut sumberdaya pesisir. Salah satu sumberdaya pesisir

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan yang disebut sumberdaya pesisir. Salah satu sumberdaya pesisir BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir dan laut di Indonesia memegang peranan penting, karena kawasan ini memiliki nilai strategis berupa potensi sumberdaya alam dan jasajasa lingkungan yang

Lebih terperinci

FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI MEDAN 2010

FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI MEDAN 2010 PENGARUH AKTIVITAS EKONOMI PENDUDUK TERHADAP KERUSAKAN EKOSISTEM HUTAN MANGROVE DI KELURAHAN BAGAN DELI KECAMATAN MEDAN BELAWAN SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyarataan Memperoleh Gelar Sarjana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai tumbuhan, hewan, dan mikrobia yang berinteraksi dengan lingkungan di habitat mangrove (Strategi Nasional

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Lokasi penelitian secara umum berada di Kabupaten Indramayu tepatnya di Desa Brondong Kecamatan Pasekan. Wilayah pesisir di sepanjang pantai

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis PENDAHULUAN Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang memiliki peranan penting dalam pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis kondisi dan keberadaannya. Beberapa

Lebih terperinci

*) Diterima : 25 Januari 2007; Disetujui : 2 September 2008

*) Diterima : 25 Januari 2007; Disetujui : 2 September 2008 Karakteristik Vegetasi Habitat Bekantan (Tri Atmoko dan Kade Sidiyasa) KARAKTERISTIK VEGETASI HABITAT BEKANTAN (Nasalis larvatus Wurmb) DI DELTA MAHAKAM, KALIMANTAN TIMUR (Characteristic of Vegetation

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. batas pasang surut air disebut tumbuhan mangrove.

BAB I PENDAHULUAN. batas pasang surut air disebut tumbuhan mangrove. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kata mangrove dipakai sebagai pengganti istilah kata bakau untuk menghindari salah pengertian dengan hutan yang melulu terdiri atas Rhizophora spp., (Soeroyo.1992:

Lebih terperinci

ABSTRAK. Oleh: Risma Zuraida, Muhammad Zaini, Bunda Halang

ABSTRAK. Oleh: Risma Zuraida, Muhammad Zaini, Bunda Halang ABSTRAK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BELAJAR KONSEP PENCEMARAN LINGKUNGAN PADA SISWA KELAS X SMA NEGERI 2 BANJARBARU MELALUI MODEL PEMBELAJARAN BERDASARKAN MASALAH Oleh: Risma Zuraida, Muhammad Zaini, Bunda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai disetiap tempat dan mempunyai posisi penting sebagai salah satu

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai disetiap tempat dan mempunyai posisi penting sebagai salah satu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Burung merupakan salah satu kekayaan hayati yang dimiliki oleh Indonesia. Keberadaan pakan, tempat bersarang merupakan faktor yang mempengaruhi kekayaan spesies burung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. rawa, hutan rawa, danau, dan sungai, serta berbagai ekosistem pesisir seperti hutan

I. PENDAHULUAN. rawa, hutan rawa, danau, dan sungai, serta berbagai ekosistem pesisir seperti hutan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai lahan basah paling luas dan mungkin paling beragam di Asia Tenggara, meliputi lahan basah alami seperti rawa,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan dapat diberi batasan sesuai dengan sudut pandang masing-masing pakar. Misalnya dari sisi ekologi dan biologi, bahwa hutan adalah komunitas hidup yang terdiri dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak di daerah beriklim tropis dan merupakan negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya perairan. Laut tropis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial.

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial. 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia sebagai suatu negara kepulauan dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial. Salah satu ekosistem

Lebih terperinci

TANGGAPAN TERHADAP VARIASI LINGKUNGAN. 23/03/2009 Retno Peni/Ilmu lingkungan

TANGGAPAN TERHADAP VARIASI LINGKUNGAN. 23/03/2009 Retno Peni/Ilmu lingkungan TANGGAPAN TERHADAP VARIASI LINGKUNGAN Kondisi: faktor lingkungan yang bervariasi yang mendapat tanggapan oleh organisme Sumber daya: Material yang dikonsumsi atau digunakan oleh organisme dalam hidupnya

Lebih terperinci

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi I. Keanekaragaman hayati UU No. 5, 1990 Pasal 21 PP No. 68, 1998 UU No. 41, 1999 Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pengawetan keanekaragaman hayati serta ekosistemnya melalui Cagar Alam

Lebih terperinci

KONDISI UMUM BANJARMASIN

KONDISI UMUM BANJARMASIN KONDISI UMUM BANJARMASIN Fisik Geografis Kota Banjarmasin merupakan salah satu kota dari 11 kota dan kabupaten yang berada dalam wilayah propinsi Kalimantan Selatan. Kota Banjarmasin secara astronomis

Lebih terperinci

SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR

SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR EDI RUDI FMIPA UNIVERSITAS SYIAH KUALA Ekosistem Hutan Mangrove komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu untuk tumbuh

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA U M U M Bangsa Indonesia dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa kekayaan berupa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekayaan jenis flora dan fauna yang sangat tinggi (Mega Biodiversity). Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. kekayaan jenis flora dan fauna yang sangat tinggi (Mega Biodiversity). Hal ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki kekayaan jenis flora dan fauna yang sangat tinggi (Mega Biodiversity). Hal ini disebabkan karena Indonesia

Lebih terperinci