BAB III PENGAJUAN PERMOHONAN PAILIT PERSONAL GUARANTEE

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB III PENGAJUAN PERMOHONAN PAILIT PERSONAL GUARANTEE"

Transkripsi

1 39 BAB III PENGAJUAN PERMOHONAN PAILIT PERSONAL GUARANTEE 1. Hukum Acara Kepailitan 1.1. Syarat Pengajuan Permohonan Pailit Permohonan kepailitan diajukan ke Pengadilan Niaga melalui Panitera Pengadilan Niaga. Permohonan kepailitan tersebut wajib diajukan melalui advokat kecuali jika pemohonnya adalah Kejaksaan, Bank Indonesia, Bapepam, atau Menteri Keuangan. 52 Syarat kelengkapan administrasi yang harus dipenuihi dalam pengajuan kepailitan sesuai dengan formulir yang disediakan oleh pengadilan niaga adalah antara lain: 53 a. Surat permohonan bermaterai dari advokat yang ditujukankepada Ketua PengadilanNiaga setempat b. Izin / kartu advokat yang dilegalisir pada kepaniteraan Pengadilan Niaga setempat c. Surat kuasa khusus d. Surat tanda bukti diri / KTP suami/ istri yang masih berlaku (bagi Debitor perorangan ), akta pendirian dan tanda daftar perusahaan /TDP yang dilegalisir (bagi Debitor perseroan terbatas), akta pendaftaran yayasan /asosiasi yang dilegalisir (bagi Debitor yayasan/ partner), surat pendaftaran perusahaan/bank/perusahaan efek yang dilegalisir (bagi pemohon kejaksaan/ BI/ Bapepam) e. Surat persetujuan suami /istri (bagi Debitor perorangan), Berita Acara RUPS tentang permohonan pailit (bagi perseroan terbatas /yayasan/ partner) 52 Hadi Subhan, Op.Cit, h Ibid, h

2 40 f. Daftar asset dan kewajiban (bagi Debitor perorangan), neraca keuangan terakhir (bagi perseroan terbatas/yayasan/partner) g. Nama serta alamat Kreditor dan Debitor Jika yang mengajukan Kreditor, maka ditambah dengan beberapa kelengkapan antara lain surat perjanjian utang dan perincian utang yang tak dibayar. Sedangkan syarat substantif yang wajib dipenuhi dan dibuktikan di persidangan yaitu : 54 (1) Adanya Utang Berdasar pada Pasal 1 angka 6 UU no 37 tahun 2004 Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang, baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul dikemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak dipenuhi member hak kepada Kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitor Secara normatif pemaknaan utang sangat luas, utang yang terjadi bukan hanya karena perjanjian piutang tetapi juga kewajiban membayar sejumlah uang yang timbul dari perjanjian lainnya (seperti perjanjian pemborongan, perjanjian sewa menyewa, dan lain sebagainya), perundang-undangan (misalnya pajak yang belum dibayar), maupun putusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap. (2) Utang tersebut telah jatuh tempo dan dapat ditagih; Jatuh tempo dapat terjadi karena beberapa hal yaitu 55 : 54 Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU

3 41 a. Jatuh tempo biasa (maturety date), yakni jatuh tempo sebagaimana yang disepakati bersama anatara Kreditor dan Debitor dalam perjanjian kredit. b. Jatuh tempo yang dipercepat (excleration maturety date) Yakni jatuh tempo yang mendahului jatuh tempo biasa karena Debitor melanggar isi perjanjian, sehingga penagihannya diakselerasi c. Jatuh tempo karena pengenaan sanksi/ denda oleh instansi yang berwenang d. Jatuh tempo karena putusan pengadilan atau putusan arbitrase Pada umumnya dalam perjanjian kredit dimuat secara tegas dan jelas waktu jatuh temponya dalam perjanjian sehingga Debitor dapat dipailitkan namun ada yang tidak dimuat jatuh temponya biasanya menggunakan somasi atau surat teguran sebagai batas jatuh tempo. Tidak semua utang dapat ditagih. Utang yang dapat ditagih adalah utang yang legal yaitu utang yang timbul berdasarkan perjanjian, undang-undang atau putusan pengadilan, bukan utang yang timbul secara illegal yaitu utang yang timbul secara melawan hukum misalnya judi, jual beli narkoba, perdagangan orang (human trafficking) dan lain sebagainya (3) Ada dua atau lebih kreditor; Untuk mengajukan permohonan pailit harus ada dua atau lebih kreditor dan apabila unsur ini tidak dapat dibuktikan maka permohonan pailit ditolak. Mengenai sindikasi kreditor, termasuk atas dua atau lebih Kreditor, hal ini ditegaskan dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU yaitu: bilamana terdapat sindikasi 55 Syamsudin, Op.Cit, h. 91

4 42 kreditor maka masing-masing kreditor adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 yaitu orang yang mempunyai piutang karena perjnajian atau undang-undang yang dapat ditagih melalui pengadilan. (4) Debitor tidak membayar lunas sedikitnya satu utang. Yang disyaratkan oleh Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU adalah debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Dengan demikian, bisa saja debitor mempunyai harta yang jauh lebih besar atau lebih banyak dari pada utangnya sehingga dapat dipailitkan karena tidak mau membayar lunas satu utang. Syarat ini bersifat komulatif yang artinya syarat ini harus terpenuhi semua tanpa terkecuali dan dapat dibuktikan di hadapan majelis hakim apabila salah satu syarat tidak dapat dibuktikan, maka permohonan ditolak dan Debitor tidak jadi pailit Proses Permohon Pailit Dalam hal yang menjadi Debitor adalah guarantor, maka pengajuan permohonan kepailitan, PKPU, maupun permohonan kasasi harus diajukan oleh advokad. 57 Permohonan pailit tersebut diajukan kepada 56 Syamsudin, Op.cit, h Pasal 7 ayat (1) UU no 37 Tahun 2004

5 43 ketua Pengadilan Niaga dalam lingkup peradilan umum. 58 Pada awalnya menurut Pasal 281 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang tentang Kepailitan menjadi Undang-Undang menetukan bahwa Pengadilan Niaga dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Setelah diberlakukannya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 97 Tahun 1999 tentang Pembentukan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Ujung Pandang, Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Negeri Surabaya, dan Pengadilan Negeri Semarang dalam Pasal 1 menyebutkan membentuk Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Ujung Pandang, Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Negeri Surabaya. Pengaturan ini juga ada ditegaskan kemabali dalam Pasal 300 UU Kepailitan dan PKPU, serta dalam Pasal 300 ayat (2) mendelegasikan kewenangan untuk membentuk Pengadilan Niaga berdasarkan Keputusan Presiden. Dalam Pasal 2 Keputusan Presiden Republik Indonesia No 97 Tahun 1999 menyebutkan daerah hukum Pengadilan Niaga meliputi: a. Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Ujung Pandang meliputi Wilayah Propinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, dan Irian Jaya. b. Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Medan meliputi Wilayah Propinsi Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, Bengkulu, Jambi, dan Daerah Istimewa Aceh. 58 Pasal 6 ayat (1)

6 44 c. Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Surabaya meliputi Wilayah Propinsi Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Timor Timur. d. Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang meliputi Wilayah Propinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Sedangkan daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat hanya meliputi daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Sumatrea Selatan, Lampung dan Kalimantan Barat Proses pembuktian dalam permohonan Pailit Menurut Subekti, membuktikan adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalli yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. 60 pada dasarnya esensi pembuktian adalah untuk menentukan hubungan hukum yang sebenarnya antara para pihak yang berperkara, meliputi kejadian atau peristiwa-peristiwa serta suatu hak yang didalilkan oleh para pihak dan menjadi objek perselisihan Pasal 163 HIR. Untuk membuktikan empat syarat permohonan pailit tidak terlalu sulit dan kompleks. Artinya salam persidangan, fakta atau keadaan yang 59 Pasal 5 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 97 Tahun M.Widhijanto, Penolakan Permohonan Kepailitan Debitor yang Telah Memenuhi Syarat Pailit, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, h.43, Sebagaimana mengutip Subekti, Hukum Acara Perdata, Bina Citra, Bandung, 1989, h.78

7 45 menjadi syarat permohonan pailit telah terpenuhi, maka permohonan pailit harus dikabulkan dan debitor dinyatakan pailit. 61 Sistem pembuktian dalam hukum pailit diatur dalam Pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan dan PKPU: permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah terpenuhi Yang dimaksud dengan fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 ayat (1) adalah adanya fakta dua atau lebih kreditor dan utang yang telah jatuh tempo dan belum dibayar. keadaan tidak mampu atau tidak mau membayar apabila secara sederhana dapat dibuktikan hal tersebut terjadi Pernyataan Pailit Serta Akibatnya UU Kepailitan dan PKPU mengatur didalam Pasal 1 ayat (1) bahwa kepailitan adalah Sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini 61 Syamsudin, op.cit, h. 98

8 46 sedangkan dalam Pasal 21 UU Kepailitan dan PKPU dinyatakan bahwa kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Didalam Pasal 24 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU diatur bahwa Debitor demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaanya yang termasuk dalam harta pailit, sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan. Tentang akibat pernyataan pailit, Fred.B.G.Tumbuan berpendapat bahwa sebagaimana ditetapkan dalam UU Kepailitan dan PKPU, kepailitan meliputi seluruh kekayaan milik debitor pada saat putusan pernyataan pailit ditetapkan dan juga mencakup semua kekayaan yang diperoleh Debitor selama berlangsungnya kepailitan, semisal hibah atau warisan. Kekayaan adalah semua barang dan hak atas benda yang dapat diuangkan. 62 Sekalipun debitor tidak kehilangan kecakapanya untuk melakukan perbuatan hukum, namun perbuatan-perbutannya tidak mempunyai akibat hukum atas kekayaan yang tercakup dalam kepailitan. Kalupun perbuatan debitor melanggar ketentuan tersebut, maka perbuatannya tidak mengikat kekayaan tersebut, kecuali perikatan tersebut mendatangkan keuntungan bagi budel pailit Arwakhudin, Op.Cit, h Ibid, h. 23

9 47 Berdasarkan UU Kepailitan dan PKPU terdapat 12 akibat hukum kepailitan yang dapat diterapkan: Akibat terhadap harta kekayaan Berdasar pada Pasal 21 dimana dinyatakan bahwa kepailitan meliputi semua harta kekayaan debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Yang oleh Pasal 24 ayat (1) ketentuan ini diperinci dimana debitor demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaannya sejak tanggal putusan pailit diucapkan yang dihitung sejak pukul Dari kedua Pasal yang ada tersebut dapat kita simpulkan bahwa yang menjadi obyek permohonan pelunasan utang adalah terhadap harta kekayaan debitor bukan diri debitor. Kepailitan suami atau istri yang kawin dalam suatu persatuan harta, diperlakukan sebagai kepailitan persatuan harta tersebut. Harta pailit harus dan dikuasai kurator untuk kepentingan semua para kreditor dan debitor. Hakim pengawas memimpin dan mengawasi pelaksanaan jalannya kepailitan 2. Akibat Terhadap Trasfer Dana: Berdasar pada Pasal 24 ayat 3 jo penjelasan pasal ini ditegaskan bahwa, Ketika putusan pernyataan pailit diucapkan telah dilaksanakan transfer dana melalui bank atau lembaga selain bank pada tanggal putusan tersebut maka transfer tersebut wajib diteruskan. Untuk transfer dana melalui bank disini perlu dikecualikan untuk menjamin kelancaran dan kepastian sistem transfer melalui bank. Hal ini juga berlaku utuk transaksi efek sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 24 (4) Jo penjelasannya, dimana dalam hal putusan pernyataan pailit diucapkan telah dilaksanakan transaksi efek di bursa efek, maka transaksi tersebut wajib diselesaikan. Untuk penyelesaian transaksi efek di bursa efek dapat dilaksanakan dengan cara penyelesaian pembukuan atau cara lain sesuai dangan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. 3. Akibat terhadap perikatan debitor sesudah ada putusan pailit 64 Ilham Akbar, Kepailitan Pada Perusahaan Join Operation, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 2008, h.43

10 48 Pasal 25 menegaskan bahwa segala akibat dari perikatan yang dilakukan atau dibuat oleh debitor sesudah adanya putusan pailit tidak lagi dapat dibayar dengan harta pailit kecuali apabila perikatan tersebut menguntungkan harta pailit. Perikatan selama kepailitan yang dilakukan Debitor, apabila perikatan tersebut menguntungkan bisa diteruskan, namun apabila perikatan tersebut merugikan, maka kerugian sepenuhnya ditanggung oleh debitor secara pribadi atau perikatan tersebut dapat dimintakan pembatalan. Dalam hukum perdata yakni sebagaimana diatur dalam Pasal 1341 BW jo Pasal 41, segala perbuatan debitor yang dilakukan sebelum dinyatakan pailit, apabila dapat dibuktikan bahwa perbuatan tersebut secara sadar dilakukan debitor untuk merugikan kreditor, maka dapat dibatalkan oleh kurator atau kreditor (action pauliana). 4. Akibat terhadap hukuman kepada debitor : Penghukuman yang diakibatkan dari tuntutan yang diterusakan dari atau oleh kurator sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 26 ayat (1) kepada debitor pailit, penghukuman tersebut tidak mempunyai akibat hukum terhadap harta pailit sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 26 ayat (2) 5. Akibat hukum terhadap tuntutan atas harta pailit : Untuk dapat memperoleh pemenuhan perikatan dari harta pailit yang ditunjukkan oleh debitor pailit, tuntutan hanya dapat diajukan dengan mendaftarkannya untuk dicocokkan selama berlangsungnya kepailitan (Pasal 27) 6. Akibat hukum terhadap eksekusi (pelaksanaan putusan hakim) Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2), putusan pernyataan pailit berakibat bahwa segala penetapan pelaksanan Pengadilan terhadap setiap bagian dari kekayaan debitor yang telah dimulai sebelum kepailitan, harus dihentikan seketika dan sejak itu tidak ada suatu putusan yang dapat dilaksanakan termasuk atau juga dengan menyandera debitor. Semua yang telah dilakukan menjadi hapus dan jika diperlukan hakim pengawas harus memerintahkan pencoretannya. Dari ketentuan tersebut dapat di simpulkan bahwa sesuadah ada pernyataan putusan pailit, sita pelaksanaan (eksekutor beslag), sita jaminan (conservatoir beslag) menjadi hapus, apabila sudah mulai kegiatan tersebut harus segera dihentikan. Yang dihapuskan disini adalah sitaan eksekutor, dan konsenvator, tapi sitaan revindikator dan gadai tidak hapus.

11 49 7. Akibat kepailitan terhadap penyanderaan Penyaderaan adalah tindakan penahanan terhadap debitor agar mau melunasi utangnya. Dengan dasar pemikiran apabila debitor ditahan kemungkinan sanak keluarganya akan berusaha untuk mengeluarkannya dari penyanderaan dengan mengumpulkan uang untuk membayar utang debitor tersebut. Berkaitan dengan ketentuan dalam Pasal 31 ayat (3) menyebutkan bahwa dengan tidak mengurangi berklakunya ketentuan Pasal 93 debitor yang dalam penahanan harus dilepaskan seketika setelah putusan pernyataan pailit diucapkan. Berkaitan dengan sandera, pernah terbit surat edaran MA no 2 tahun 1964 yang menginstruksikan para hakim untuk tidak menggunakan lagi peraturan2 mengenai sandera. Namun oleh undangundang ini dimunculkan kembali. 8. Akibat kepailitan terhadap uang paksa (Dwangsom) Dalam ketentuan Pasal 32 dinyatakan secara tegas bahwa selama kepailitan debitor tidak dikenakan uang paksa. Dimana dalam penjelasan Pasal ini menegaskan bahwa uang paksa disini juga termasuk uang paksa yang dikenakan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan. Sehingga apabila ada uang paksa yang diminta ke debitor maka uang itu haruslah dikembalikan kepada debitor. 9. Akibat kepailitan terhadap perjanjian timbal balik Bahwa aka nada kemungkinan debitor sebelum pernyataan pailit melakukan perjanjian timbal balik dgn pihak lain. Berdasarkan Pasal 36 maka Ketika ada sebuah perjanjian timbal balik yang belum atau baru sebagian dipenuhi pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan, yang melakukan perjanjian dengan debitor pailit dapat meminta kepastian kepada kurator terkait kelanjutan pelaksanaan perjanjian. 10. Akibat kepailitan terhadap perjanjian sewa menyewa Pasal 38 dalam hal debitor telah menyewa suatu benda, maka baik kurator maupun pihak yang menyewakan benda dapat menghentikan perjanjian sewa, dengan syarat pemberitahuan penghentian dilakukan sebelum berakhirnya perjanjian sesuai dengan adat kebiasaan setempat. Namun perjanjian tidak dapat diberhentikan ketika uang sewa telah dibayar dimuka. Sejak tanggal putusan pailit di ucapkan maka upah terutang sebelum maupun sesudah putusan pernyataan pailit diucapkan merupakan utang harta pailit. 11. Akibat kepailitan terhadap perjanjian kerja

12 50 Beradasar pada ketentuan Pasal 39 ayat (2) dimana Sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan upah yang tertuang sebelum maupun sesuadah putusan pernyataan pailit diucapkan merupakan utang harta pailit. Yang dimaksud dengan upah adalah hak pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pemberi kerja kepada pekerja atas suatau pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilakukan, ditetapkan, dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk juga tunjangan bagi pekerja dan keluarga. 12. Akibat kepailitan terhadap harta warisan Untuk harta warisan berdasar pada Pasal 40 yang didapat selama kepailitan oleh kurator tidak boleh diminta kecuali menguntungkan harta pailit dan untuk menerima suatu warisan kurator memerlukan izin dari hakim pengawas. Sedangkan Hibah dapat dibzatalkan sepanjang merugikan harta pailit (boedel pailit). Misalnya penghibahan 40 hari menjelang kepailitan dianggap dibuat untuk merugikan para kreditor. 2. Jenis-jenis Pengajuan Pailit terhadap Pihak Pemberi Personal Guarantee (Guarantor) Menurut Syamsudin jenis pengajuan atau permohonan pailit ada dua jenis yaitu pailit murni dan pailit tidak murni. 65 Debitor yang mengajukan permohonan pailit bagi dirinya disebut permohonan pailit murni, dimana dalam hal ini tidak ada pihak lawan yang ditarik sebagai termohon, yang ada hanya Debitor sebagai pemohon. Biasanya Debitor mengambil tindakan ini dengan alasan dirinya atau kegiatan usahanya tidak lagi mampu melaksanakan kewajiban-kewajiban. Sedangkan permohonan pailit tidak murni adalah ketika permohonan pailit diajukan oleh kreditor sebagai pemohon melawan Debitor 65 Syamsudin, Op.Cit, h. 102

13 51 sebagai termohon. Sehingga disini ada dua pihak yaitu pemohon dan termohon. Apabila melihat kembali hak dan kewajiban guarantor, maka dapat ditarik posisi bahwa dalam perkara pengajuan kepailitan konsep posisi guarantor ada tiga yaitu pertama, debitor ditagih terlebih dahulu kemudian guarantor dapat ditagih ketika harta debitor tidak mencukupi untuk pembayaran. debitor ditagih terlebih dahulu ini adalah sesuatu yang wajib dilakukan sebelum m itkan guarantor, sehingga permohonan pailit diajukan terlebih dahulu kepada debitor lalu ketika harta debitor tidak mencukupi maka kreditor dapat mengajukan pailit lagi kepada guarantor. Pengajuan kepailitannya berbeda namun terhadap utang yang sama. hal ini terjadi apabila si guarantor tetap pada posisi memegang hak istimewa berdasarkan BW Debitor Permohonan pailit Harta debitor tidak cukup Kreditor guarantor permohonana pailit Yang kedua adalah kreditor langsung mengajukan permohonan pailit kepada guarantor tanpa harus mengajukan permohonan pailit terlebih dahulu kepada debitor, hal ini terjadi karena guarantor telah melepaskan hak istimewanya sebagaimana diatur dalam BW yaitu untuk dapat ditagih pelunasan utang setelah debitor di tagih terlebih dahulu. Kreditor Permohonan Pailit guarantor

14 52 Ketiga adalah permohonan pailit diajukan oleh kreditor terhadap debitor dan guarantor secara bersamaan. Hal ini yang lazim digunakan oleh kreditor dalam pengajuan permohonan pailit. ketika kreditor memohonkan pailit secara bersama maka harus disadari bahwa guarantor telah melepaskan hak istimewanya. Namun apabila hak istimewa ini masih melekat pada guarantor maka prosesnya adalah harta debitor terlebih dahulu disita untuk pelunasan utang, ketika harta debitor tidak cukup baru mengambil harta guarantor, dalam hal ini guarantor dapat dimintai pertanggung jawaban tanpa harus m itkan guarantor kecuali guarantor pula tidak ada itikad baik untuk mau membayar. namun ketika hak istimewa tersebut dilepas oleh guarantor maka guarantor bisa langsunng bertanggung jawab atas kewajiban pembayaranan terhadap utang debitor. Debitor Kreditor Permohonan pailit Melepaskan H. istimewa guarantor Untuk seorang guarantor yang statusnya telah melepaskan hak istimewanya merasa dirinya tidak sanggup untuk melakukan kewajibannya maka dia dapat mengajukan kepailitan untuk dirinya sendiri, dengan syarat

15 53 bahwa dirinya memenuhi syarat mutlak kepailitan yaitu adanya utang yang tak terbayar dan memiliki 2 kreditor atau lebih. Dengan belum adanya pengaturan secara spesifik mengenai kedudukan guarantor, tipe kedua dan ketiga ini yang sering dijadikan permainan oleh para debitor untuk memperoleh keutungan. Dengan membuat guarantor melepaskan hak istimewanya, kreditor akan bekerjasama dengan debitor untuk mengambil keuntungan terhadap guarantor. 3. Praktek di Pengadilan tentang Personal Guarantee 3.1. Kasus Kepailitan Sindu Dharmali melawan PT. Orix Indonesia Finance PT. Palu Raya sebagai debitor melakukan penandatanganan 8 perjanjian sewa guna usaha dengan hak opsi yang berupa perlatan mesin kepada PT. Orix Indonesia finance (kreditor) dengan rentang waktu antara tanggal 09 Juni Mei 2008 dengan total tagihan Rp.12,6 milyar dan menyertakan perjanjian penanggungan atau Personal Guarantee oleh Sindu Dharmali (Direksi Pt. Palu Raya). Sindu Dharmali sebagai personal guarantor dalam perjanjiannya telah melepaskan hak istimewa yang diberikan oleh undang-undang yakni sebgaimana diatur dalam Pasal 1831, 1837, 1430, 1848, 1849, 1850 BW. Sebelum Permohonan ini debitor telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan berdasar Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan

16 54 Negeri Semarang Nomor.05 /PKPU /2010 /PN.Niaga.Smg jo Nomor.15 /pailit /2010 /PN.Niaga /Smg pada tanggal 10 februari 2010, sehingga berdasarkan putusan tersebut terbukti lalainya debitor dalam melakukan pembayaran utang yang kemudian kreditor menagihnya ke guarantor. Kreditor dalam daftar pembagian hasil penjualan harta pailit (9 Maret 2012) tidak masuk dalam daftar sehingga tidak mendapatkan pelunasan piutangnya, alasannya tidak mengikuti voting PKPU tetap dan dalam pembagian harta debitor. Kreditor yang tidak ikut serta dalam verifikasi sebagai kreditor dari debitor pailit dan tidak melakukan pencocokan utang kepada kurator. Kreditor memberikan surat peringatan pembayaran tanggal 27 Februari 2012 namun kepada guarantor namun oleh guarantor tidak ditanggapi. Guarantor pada saat putusan diajukan juga mempunyai utang di PT.Bank CIMB Niaga (kreditor lain). Terhadap kasus tersebut pengadilan niaga dalam putusannya Nomor. 04/PAILIT/2012/PN.Niaga.smg tanggal 13 Juni 2012 menyatakan mengabulkan permohonan pemohon dan menyatakan Sindu Dharmali dalam keadaan pailit. Dasar Pertimbangan Hukumnya adalah bahwa Sindu dahrmali dalam kedudukannya sebagai Guarantor berkewajiban melakukan pembayaran terhadap subjek hukum yang ditanggungnya dan memenuhi syarat kepailitan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 UU Kepailitan dan PKPU.

17 55 Terhadap putusan Pengadilan Niaga Tersebut, sindu Dharmali mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Majelis hakim kasasi dalam putusannya Nomor 570 K/Pdt.Sus/2012 tanggal 24 Oktober 2012 menyatakan menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi adapun pertimbangan hukumnya bahwa Pengadilan Niaga tidak salah menerapkan hukum, walaupun PT. Palu Raya dalam pailit telah melakukan pemberesan tetapi masih kurang, karena itu termohon pailit (Sindu Dharmali) sebagai guarantor harus melunasi sisa utang dari PT.Palu Raya, selain itu, alasan-alasan tersebut mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan. Hal tersebut tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan tingkat kasasi, karena pemeriksaan pada tingkat kasasi hanya berkenaan dengan adanya kesalahan penerapan hokum. Adanya pelanggaran hukum yang berlaku, adanya kelalaian dalam memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan dalam peraturan perundang-undangan, yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan, atau apabila pengadilan tidak berwenang atau melampaui batas wewenangnya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang- Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Analisa Putusan, hukum yang dibangun oleh majelis hakim adalah kreditor dapat langsung meminta permohonan pailit kepada guarantor tanpa ikut dalam permohonan pailit dari debitor yang telah diputuskan

18 56 sebelumnya. Hal ini berdasar bahwa guarantor telah melepaskan hak istimewa yang diberikan oleh undang-undang kepadanya. Dalam hal ini pemikiran penulis sejalan dengan putusan yang diambil oleh majelis hakim karena hakim berpegang pada syarat substantif dari kepailitan yaitu adanya utang yang belum terpenuhi dan Guarantor memiliki 2 kreditor dan dibuktikan secara sederhana. Bahwa melihat keberatan guarantor yang tidak dipertimbangkan oleh hakim dimana kreditor sebelumnya telah mengambil peralatan yang ada di debitor dan menjualnya tanpa sepengatahuan kurator adalah tepat karena alat tersebut tetap merupakan kepemilikan kreditor, kreditor hanya meminjamkannya kepada debitor melalui perjanjian sewa guna usaha dengan hak opsi. Guarantor tidak menunjukkan bukti apapun tentang pengalihan kepemilikan dari alat tersebut sehingga alat tersebut bukan termasuk harta kekayaan debitor. Mengabaikan pula bentuk utang yang dimaksud oleh Guarantor dimana utang menurutnya adalah bentuk utang-piutang padahal utang dalam arti luas sebagaimana diatur dalam Pasal 1234 BW adalah juga termasuk kewajiban memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, tidak berbuat sesuatu. Dalam kasus ini utang termasuk kedalam kategori memberikan sesuatu yaitu sejumlah biaya sewa terhadap alat yang dipinjam debitor. Posisi kreditor pemegang personal guarantee sangat diutungkan dalam posisi kepailitan karena apabila kreditor tidak ikut dalam pemberesan harta

19 57 pailit dari debitor maka dia masi tetap punya hak pelunasan kepada Guarantor atau kreditor. 3.2 Kasus kepailitan antara PT. Bank Internasional Indonesia Tbk melawan Hasan Optek Dkk PT. Bank Internasional Indonesia Tbk (kreditor juga sebagai pemohon) telah menandatangani perjanjian Kredit dengan PT Sekawan Bhakti Intiland (debitor) pada 30 Mei 1995 sebesar USD dari total pinjaman USD dari para kreditor sindikasi yaitu Bank of China, PT BDS Buana Tat Lee Bank, PT. Modern Bank, PT. Bank Indonesia Raya, PT Lippo Bank, PT. Bank PDECI, PT. Bank Tamara, PT. Bank Bahari, dan PT. Asia Pasific. Debitor menyertakan Personal Guarantee dalam perjanjian tersebut yaitu dari Hasan Optek, Pek Tek Beng, Soebijono, dan corporate guarantee yaitu PT.Seruni Suarabaya sebagai perjanjian tambahan. dalam perjanjiannya para guarantor telah melepaskan hak istimewanya sebagaimana diberikan oleh undang-undang. Pada tanggal 19 maret 1998 untuk utang USD , 19 September 1998 untuk utang USD , dan 19 Maret 1999 untuk utang USD telah jatuh tempo. Tidak ada pengalihan utang dari PT Bank Internasional Indonesia kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). 66 Padahal PT Bank Internasional Indonesia 66 Pasal 13 Peraturan Pemerintah No.17 Tahun 1999 Tentang Badan Penyehatan Perbankan Nasional.

20 58 termasuk dalam program rekapitulasi bank Umum yang berkewajiban mengalihkan secara hukum seluruh kredit /asset pemohon kepada BPPN dan penyelesaian utang debitor ditangani oleh BPPN. Para Guarantor dan debitor setelah jatuh tempo tidak membayar utangutangnya atau wanprestasi. Dalam putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat nomor 40/ pailit/1999/pn.niaga/jkt.pst menyatakan dalam pertimbangannya bahwa debitor PT Sekawan Bhakti Intiland dan bersama guarantor memiliki utang yang terbukti belum terbayar. Hakim mengartikan bahwa adanya perjanjian kredit sindikasi memenuhi unsur 2 atau lebih kreditor. Sehingga dalam putusannya baik debitor maupun guarantor dinyatakan pailit. Dalam putusan Mahkamah Agung No 25/K/N/1999 menyatakan dalam pertimbangannya bahwa judex facti salah menerapkan hukum tentang peran agen dalam pemberian kredit sindikasi dengan pertimbangan dalam perjanjian kredit tersebut ditegaskan bahwa para kreditor (lender) telah menunjuk agen untuk dan atas nama kreditor. Dan ditentukan pula bahwa agen untuk melakukan tindakan hukum harus mendapat persetujuan mayority lender untuk mencegah terjadinya Tirany Minority yaitu satu anggota melakukan tindakan hukum dan yang lain tidak menyetujuinya. sehingga Mahkamah Agung dalam putusannya menyatakan membatalkan putusan PN dan menolak permohonan pailit.

21 59 Analisis: karena penanggung atau Guarantor telah melepaskan hak istimewanya maka tepat kontruksi yang dibangun oleh hakim dengan menerima permohonan pailit untuk guarantor tanpa adanya permohonan pailit terlebih dahulu kepada debitor. Namun untuk pendapat terkait perjanjian kredit sindikasi penulis tidak sepakat. Perjanjian Kredit sindikasi termasuk kedalam unsur 2 kreditor atau lebih karena dari perjanjian sindikasi tersebut banyak bank yang dilibatkan dan memberikan nominal utang yang terpisah dan berdiri sendiri sehingga setiap kreditor sindikasi berhak untuk melindungi dan melaksanakan sendiri hak-haknya yang lahir dari perjanjian kredit tersebut serta mempunya hak untuk menagih secara langsung kepada debitor dan guarantornya. Hal ini sebagaimana tertuang dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 1 angka 2 UU Kepailitan dan PKPU. Mahkamah Agung keliru memaknai peran agen dalam kasus ini. Agen hanya sebagai penghubung atau perantara antara kreditor anggota sindikasi dengan debitor. Agen bukanlah pihak dalam perjanjian kredit dan tidak berwenang untuk membatasi hak kreditor untuk mengajukan permohonan pailit. 3.3 Kasus BPPN melawan PT. Ilmu intiswadaya PT. Ilmu Intiswadaya (Debitor juga sebagai termohon pailit I) telah mendapatkan fasilitas kredit berjangka sejumlah Rp

22 60 (satu milyar rupiah) dari PT. Bank Danamon Indonesia Tbk, tanggal 28 Mei 1993 sampai dengan 27 Juli Namun karena debitor masih membutuhkan tambahan modal kerja maka perjanjian tersebut diperpanjang hingga dua kali sebelum mengajukan perubahan pembayaran yang semula kredit berjangka menjadi kredit angsuran berjangka dan juga memperpanjang jangka waktu pengembalian sampai dengan 27 Februari Pada tanggal 13 Oktober 1994 dilakukan lagi perubahan perjanjian jenis fasilitas kredit dari kredit angsuran berjangka menjadi kredit berjangka dan merubah jangka waktu pengembaliannya yaitu sampai dengan 12 oktober 1995 Untuk kepastian jaminan guna ketertiban pembayaran lunas utangnya debitor memberikan jaminan antara lain: a. Personal Guarantee dari Linda Januarita Tani sebagaimana termuat dalam akta jaminan Nomor.248 tanggal 28 Mei 1993 b. Corporate Guarantee dari PT. Optimal Teknindo Internasional sebagaimana termuat dalam akta pemberian jaminan borg Nomor.247 tanggal 28 Mei 1993 e. Tanggal 15 April 1999 PT. Bank Danamon membuat perjanjian pengalihan utang dengan Badan Penyehatan Perbankan Nasional /BPPN (Kreditor), yang kemudian oleh BPPN diberikan somasi namun baik debitor maupun guarantor tidak menghiraukan somasi tersebut.

23 61 f. Akibat dari wanprestasi dan keadaan berhenti membayar berdasarkan utang pokok dan fasilitas-fasilitas kredit yang diberikan maka jumlah keseluruhan kewajiban per tanggal 31 Agustus 2000 adalah sejumlah Rp ,74 (tiga milyar empat ratus tujuh belas juta tiga ratus dua puluh tiga ribu delapan ratus lima puluh enam rupiah koma tujuh puluh empat sen) g. Debitor juga mempunyai utang lain selain pada PT. Bank Danamon yaitu pada PT. Bank Mandiri, PT. Bank Lippo Bank berdasarkan akta perjanjian kredit investasi nomor 110 tanggal 23 September 1993 Dalam permohonannya kreditor memohon kepada Majelis hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri untuk m itkan debitor, Linda sebagai Personal Guarantee, dan PT. Optimal Teknindo Internasional sebagai Corporate Guarantee. Atas permohonan pailit tersebut Pengadilan Niaga dalam Putusannya Nomor. 79/ Pailit/ 2000/ PN.Niaga/Jkt.Pst. tanggal 18 Desember 2000 memutuskan bahwa debitor yaitu PT. Ilmu Intiswadaya dalam keadaan pailit sedangkan untuk pailitnya Personal Guarantee maupun corporate guarantee tidak dikabulkan karena dengan pertimbangan bahwa personal maupun corporate guarantee tidak memenuhi unsur yang tertuang dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998

24 62 tentang Perubahan Atas Undang-Undang tentang kepailitan menjadi Undang-Undang yaitu adanya minimal dua kreditor tidak terpenuhi. Kreditor (BPPN) kemudian mengajukan permohonan kasasi. Majelis hakim kasasi dalam putusannya Nomor 04K/N/2001 memutuskan mengabulkan permohonan kreditor sebagian yaitu para guarantor dinyatakan pailit dan membatalkan putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 18 Desember 2000 Nomor 79/Pailit/2000/PN.Niaga/Jkt.Pst. dengan pertimbangan Kreditor telah menunjukkan bukti bahwa judex factie telah salah menerapkan fakta-fakta hukum mengenai pembuktian adanya unsur memiliki 2 kreditor atau lebih terhadap para guarantor. Analisis: Putusan majelis hakim Mahkamah Agung menurut penulis telah tepat karena apabila dilihat secara seksama bukti yang diajukan oleh kreditor yaitu akta perjanjian kredit investasi Nomor 110, dengan jelas dan tegas dinyatakan dalam halaman 12 huruf (h) dan (i) bahwa untuk menjamin pembayaran yang tepat waktu kepada kreditor sindikasi maka PT.Ilmu Intiswadaya sebagai Debitor telah memberikan jaminan berupa personal guarantee dari Linda Januarita Tani dan corporate guarantee dari perseroan terbatas PT. Optimal Teknindo Internasional, sehingga para guarantor ini telah memenuhi unsur adanya minimal dua kreditor sehingga mereka pula dapat dimononkan pailit. Sanggahan yang diajukan

25 63 Debitor juga sudah tepat terhadap statusnya dimana dalam perjanjian antara debitor PT.Ilmu Intiswadaya dengan PT. Bank Danamon dalam akta notaris Nomor 248 serta akta Notaris Nomor 247, karena para guarantor telah melepaskan hak istimewa yang diberikan kepadanya antara lain yang termaktub dalam Pasal 1430, 1831, 1837,1843 dan 1847 sampai dengan 1849 BW.

PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang 1 Tahun - Jangka Waktu Hibah - Kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, Debitor dianggap mengetahui atau patut mengetahui bahwa hibah

Lebih terperinci

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. PRESIDEN, bahwa pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Perusahaan adalah badan usaha yang dibentuk untuk menjalankan kegiatan usaha di bidang ekonomi. Sebagai badan yang dibentuk untuk menjalankan usaha maka perusahaan harus

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian dunia yang semakin kompleks mengakibatkan semakin meningkatnya pula kebutuhan ekonomi masyarakat terutama para pelaku usaha. Dalam menjalani kehidupan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa gejolak moneter yang terjadi di

Lebih terperinci

UU 37/2004, KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG *15705 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA (UU) NOMOR 37 TAHUN 2004 (37/2004)

UU 37/2004, KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG *15705 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA (UU) NOMOR 37 TAHUN 2004 (37/2004) Copyright (C) 2000 BPHN UU 37/2004, KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG *15705 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA (UU) NOMOR 37 TAHUN 2004 (37/2004) TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN

Lebih terperinci

Heri Hartanto - FH UNS

Heri Hartanto - FH UNS 1 Kekuasaan Kehakiman Psl 13 UU 14/1970 Jo. UU 4/2004 ttg Kekuasaan Kehakiman : memungkinkan di bentuk peradilan khusus di dalam peradilan Umum. Psl 8 UU 2/1986 Jo. UU 8/2004 ttg Peradilan Umum : Di dlm

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Alasan Permohonan Kasasi atas Putusan Pernyataan Pailit Pengadilan Niaga

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Alasan Permohonan Kasasi atas Putusan Pernyataan Pailit Pengadilan Niaga IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Alasan Permohonan Kasasi atas Putusan Pernyataan Pailit Pengadilan Niaga Putusan pernyataan pailit adalah putusan yang diberikan oleh pengadilan niaga atas permohonan

Lebih terperinci

1 / 25 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Y A Y A S A N Diubah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melahirkan perkembangan usaha yang dapat menunjang perekonomian suatu

I. PENDAHULUAN. melahirkan perkembangan usaha yang dapat menunjang perekonomian suatu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perusahaan merupakan setiap bentuk usaha yang melakukan kegiatan secara tetap dan terus menerus dengan tujuan memperoleh keuntungan atau laba, baik yang diselenggarakan

Lebih terperinci

NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN

NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN Menimbang : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace diubah: UU 28-2004 file PDF: [1] LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 112, 2001 Kehakiman. Keuangan. Yayasan. Bantuan. Hibah. Wasiat. (Penjelasan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan berdasarkan kebiasaan dalam masyarakat,

Lebih terperinci

BAB VIII KEPAILITAN. Latar Belakang Masalah

BAB VIII KEPAILITAN. Latar Belakang Masalah Latar Belakang Masalah BAB VIII KEPAILITAN Dalam undang-undang kepailitan tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan kepailitan tetapi hanya menyebutkan bahwa debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial berkemampuan terbatas yang diciptakan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial berkemampuan terbatas yang diciptakan 1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial berkemampuan terbatas yang diciptakan oleh Allah Subhana Wa Ta ala sehingga saling bergantung satu sama lain. Keterbatasan kemampuan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. sebagai kata sifat. Istilah failliet sendiri berasal dari Perancis yaitu faillite yang

TINJAUAN PUSTAKA. sebagai kata sifat. Istilah failliet sendiri berasal dari Perancis yaitu faillite yang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Kepailitan 1. Pengertian Pailit dan Kepailitan Kepailitan secara etimologi berasal dari kata pailit. Istilah pailit berasal dari kata Belanda yaitu failliet yang mempunyai

Lebih terperinci

kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada

kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam suatu perjanjian kredit, pihak kreditor perlu untuk mengantisipasi kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada kepastian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terbukti secara sederhana bahwa persyaratan permohonan

BAB I PENDAHULUAN. terbukti secara sederhana bahwa persyaratan permohonan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menentukan bahwa permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan jika terdapat fakta atau keadaan yang terbukti

Lebih terperinci

Kompilasi UU No 28 Tahun 2004 dan UU No16 Tahun 2001

Kompilasi UU No 28 Tahun 2004 dan UU No16 Tahun 2001 Kompilasi UU No 28 Tahun 2004 dan UU No16 Tahun 2001 UU Tentang Yayasan BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : 1. Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N YANG DIRUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N YANG DIRUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N YANG DIRUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 4443 (Penjelasan Atas Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 131) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Teks tidak dalam format asli. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 112, 2001 Kehakiman. Keuangan. Yayasan. Bantuan. Hibah. Wasiat. (Penjelasan dalam Tambahan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan

Lebih terperinci

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS DASAR HUKUM tindakan Penagihan Pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan

Lebih terperinci

BAB IV PENERAPAN HUKUM KONTRAK DAN KEWENANGAN MENGGUGAT PAILIT DALAM PERJANJIAN KREDIT SINDIKASI (ANALISIS PUTUSAN KASASI NO.

BAB IV PENERAPAN HUKUM KONTRAK DAN KEWENANGAN MENGGUGAT PAILIT DALAM PERJANJIAN KREDIT SINDIKASI (ANALISIS PUTUSAN KASASI NO. 69 BAB IV PENERAPAN HUKUM KONTRAK DAN KEWENANGAN MENGGUGAT PAILIT DALAM PERJANJIAN KREDIT SINDIKASI (ANALISIS PUTUSAN KASASI NO.022/K/N/2001) 4.1 Posisi Kasus Untuk membantu memahami kewenangan menggugat

Lebih terperinci

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tah

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tah No.1514, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKUMHAM. Kurator. Pengurus. Imbalan. Pedoman. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN HAK DAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mengubah: UU 6-1983 lihat: UU 9-1994::UU 28-2007 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 126, 2000 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. permodalan bagi suatu perusahaan dapat dilakukan dengan menarik dana dari

BAB I PENDAHULUAN. permodalan bagi suatu perusahaan dapat dilakukan dengan menarik dana dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap perusahaan membutuhkan dana investasi sebagai modal untuk membangun dan mengembangkan bisnis perusahaan itu sendiri. Hal tersebut

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN HAK DAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU;

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU; 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Kepailitan 1. Dasar Hukum dan Pengertian Kepailitan Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: 10) adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Keterbatasan finansial atau kesulitan keuangan merupakan hal yang dapat dialami oleh siapa saja, baik orang perorangan maupun badan hukum. Permasalahan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Dasar Hukum Kepailitan Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari bahasa Belanda yaitu Faiyit yang mempunyai arti ganda

Lebih terperinci

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 3 B. Saran... 81 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 4 A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi di Indonesia pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku ekonomi

Lebih terperinci

BAB III PEMBAHASAN. A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan.

BAB III PEMBAHASAN. A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan. BAB III PEMBAHASAN A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan. Semua harta benda dari si pailit untuk kepentingan kreditur secara bersama-sama. Kedudukan

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Penerapan Pengajuan Kepailitan Perusahaan Sekuritas dalam Putusan Nomor: 08/Pdt.Sus.PAILIT/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst Dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

Lebih terperinci

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang TUJUAN KEPAILITAN TUJUAN KEPAILITAN. 22-Nov-17

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang TUJUAN KEPAILITAN TUJUAN KEPAILITAN. 22-Nov-17 Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Ranitya Ganindha, SH. MH. Dosen Hukum Dagang Fakultas Hukum Univ Brawijaya Dalam suatu kegiatan usaha / bisnis berutang merupakan hal yang lazim. Permasalahan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 29 IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 Pasal 144 UU No. 37 Tahun 2004 menentukan, debitor pailit berhak untuk

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam Kitab Undangundang

Lebih terperinci

Per June 2009 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGADILAN NIAGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Per June 2009 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGADILAN NIAGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Per June 2009 XII RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGADILAN NIAGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan hukum

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini

Lebih terperinci

TUGAS DAN WEWENANG HAKIM PENGAWAS DALAM PERKARA KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH: LILIK MULYADI 1

TUGAS DAN WEWENANG HAKIM PENGAWAS DALAM PERKARA KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH: LILIK MULYADI 1 TUGAS DAN WEWENANG HAKIM PENGAWAS DALAM PERKARA KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH: LILIK MULYADI 1 I. TUGAS DAN WEWENANG HAKIM PENGAWAS DALAM PERKARA KEPAILITAN Putusan perkara kepailitan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN REJANG LEBONG

PEMERINTAH KABUPATEN REJANG LEBONG PEMERINTAH KABUPATEN REJANG LEBONG PERATURAN DAERAH KABUPATEN REJANG LEBONG NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI REJANG LEBONG Menimbang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace dicabut: UU 40-2007 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 13, 1995 ( Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3587) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor 18 K/N/2000 =============================== DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH AGUNG

PUTUSAN Nomor 18 K/N/2000 =============================== DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH AGUNG PUTUSAN Nomor 18 K/N/2000 =============================== DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH AGUNG memeriksa perkara niaga dalam tingkat. kasasi telah mengalami putusan sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana

Lebih terperinci

BAB II TANGGUNG JAWAB PERSONAL GUARANTOR DALAM KEPAILITAN

BAB II TANGGUNG JAWAB PERSONAL GUARANTOR DALAM KEPAILITAN 15 BAB II TANGGUNG JAWAB PERSONAL GUARANTOR DALAM KEPAILITAN 1. Guarantor dengan Personal Guarantee : 1.1 Definisi Guarantor is a person or entity that agrees to be responsible for another s debt or a

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2007 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2007 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN HAK DAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA

Lebih terperinci

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Istilah Kepailitan 9/4/2014

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Istilah Kepailitan 9/4/2014 Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Ranitya Ganindha, SH. MH. Dosen Hukum Dagang Fakultas Hukum Univ Brawijaya Dalam suatu kegiatan usaha / bisnis berutang merupakan hal yang lazim. Permasalahan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG Menimbang : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2000 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2000 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 1997 TENTANG PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup memberikan dampak yang negatif terhadap keadaan ekonomi di Indonesia. Krisis ekonomi tersebut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fungsi intermediary yaitu menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya

BAB I PENDAHULUAN. fungsi intermediary yaitu menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang PT Bank Rakyat Indonesia ( Persero ) Tbk atau dikenal dengan nama bank BRI merupakan salah satu BUMN yang bergerak dalam bidang perbankan mempunyai fungsi intermediary

Lebih terperinci

KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR : KEP 02/BAPMI/ TENTANG PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA

KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR : KEP 02/BAPMI/ TENTANG PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR : KEP 02/BAPMI/11.2009 TENTANG PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG 2.1. Pengertian Utang Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 2 ayat (1) menentukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

KEWENANGAN PENGADILAN NIAGA DALAM MENYELESAIKAN PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. Oleh : Linda Firdawaty * Abstraksi

KEWENANGAN PENGADILAN NIAGA DALAM MENYELESAIKAN PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. Oleh : Linda Firdawaty * Abstraksi A. Pendahuluan KEWENANGAN PENGADILAN NIAGA DALAM MENYELESAIKAN PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG Oleh : Linda Firdawaty * Abstraksi Pengadilan niaga merupakan salah satu alternative penyelesaian

Lebih terperinci

BAB VII PERADILAN PAJAK

BAB VII PERADILAN PAJAK BAB VII PERADILAN PAJAK A. Peradilan Pajak 1. Pengertian Keputusan adalah suatu penetapan tertulis di bidang perpajakan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PENAGIHAN PAJAK DAERAH DENGAN SURAT PAKSA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PENAGIHAN PAJAK DAERAH DENGAN SURAT PAKSA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang: PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PENAGIHAN PAJAK DAERAH DENGAN SURAT PAKSA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN, a. bahwa Pajak

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI PENGATURAN JAKSA PENGACARA NEGARA DALAM PENANGANAN PERKARA KEPAILITAN DI KEJAKSAAN NEGERI BANJARMASIN. Abstrak

IMPLEMENTASI PENGATURAN JAKSA PENGACARA NEGARA DALAM PENANGANAN PERKARA KEPAILITAN DI KEJAKSAAN NEGERI BANJARMASIN. Abstrak IMPLEMENTASI PENGATURAN JAKSA PENGACARA NEGARA DALAM PENANGANAN PERKARA KEPAILITAN DI KEJAKSAAN NEGERI BANJARMASIN Riska Wijayanti 1, Siti Malikhatun Bariyah 2 Abstrak Penelitian ini bertujuan mengkaji

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

P U T U S A N NOMOR: 109/PDT/ 2012/PTR.

P U T U S A N NOMOR: 109/PDT/ 2012/PTR. P U T U S A N NOMOR: 109/PDT/ 2012/PTR. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Pekanbaru, yang memeriksa dan mengadili perkara - perkara perdata dalam Tingkat Banding, dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gejolak ekonomi di Negara Republik Indonesia yang ditandai dengan

BAB I PENDAHULUAN. Gejolak ekonomi di Negara Republik Indonesia yang ditandai dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gejolak ekonomi di Negara Republik Indonesia yang ditandai dengan penurunan nilai rupiah terhadap nilai dolar Amerika yang dimulai sekitar bulan Agustus 1997, telah

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN KASUS. Nomor 81/ Pdt.G/2012/PN.Pbr, yang pada pokoknya sebagai berikut:

BAB II GAMBARAN KASUS. Nomor 81/ Pdt.G/2012/PN.Pbr, yang pada pokoknya sebagai berikut: BAB II GAMBARAN KASUS Pelawan telah mengajukan perlawanannya sesuai dengan Perlawanan Pelawan tertanggal 12 Juli 2012 yang terdaftar pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri Pekanbaru tertanggal 12 Juli 2012,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Ogan Komering Ulu PERATURAN DAERAH KABUPATEN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG BALAI HARTA PENINGGALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG BALAI HARTA PENINGGALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG BALAI HARTA PENINGGALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Balai Harta Peninggalan merupakan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace diubah: UU 9-1994 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 49, 1983 (ADMINISTRASI. FINEK. PAJAK. Ekonomi. Uang. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1995 (1/1995) Tanggal: 7 MARET 1995 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1995 (1/1995) Tanggal: 7 MARET 1995 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 1 TAHUN 1995 (1/1995) Tanggal: 7 MARET 1995 (JAKARTA) Sumber: LN 1995/13; TLN NO. 3587 Tentang: PERSEROAN TERBATAS Indeks: PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH DARI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH DARI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS PENUNJUK UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS 1 tahun ~ keharusan Perseroan menyesuaikan ketentuan Undang-undang ini Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, Perseroan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BALANGAN NOMOR 10 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BALANGAN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK PARKIR

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BALANGAN NOMOR 10 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BALANGAN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK PARKIR LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BALANGAN NOMOR 10 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BALANGAN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK PARKIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BALANGAN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 7 TAHUN 2009 TENTANG RETRIBUSI WAJIB DAFTAR PERUSAHAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 7 TAHUN 2009 TENTANG RETRIBUSI WAJIB DAFTAR PERUSAHAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 7 TAHUN 2009 TENTANG RETRIBUSI WAJIB DAFTAR PERUSAHAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : a. bahwa kemajuan dan peningkatan pembangunan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

B A B II TINJAUAN PUSTAKA. Secara khusus badan usaha Perseroan Terbatas diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007

B A B II TINJAUAN PUSTAKA. Secara khusus badan usaha Perseroan Terbatas diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 B A B II TINJAUAN PUSTAKA A. Perseroan Terbatas 1. Dasar Hukum Perseroan Terbatas Secara khusus badan usaha Perseroan Terbatas diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT),

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 135 TAHUN 2000 TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 135 TAHUN 2000 TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 135 TAHUN 2000 TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa Negara Republik

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk.

BAB IV ANALISIS Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk. BAB IV ANALISIS C. Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk. Salah satu upaya penyelamatan kebangkrutan perusahaan dapat dilakukan dengan cara yuridis

Lebih terperinci

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk memajukan industri

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA BENGKULU NOMOR 08 TAHUN 2012 TENTANG PAJAK PENERANGAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BENGKULU,

PERATURAN DAERAH KOTA BENGKULU NOMOR 08 TAHUN 2012 TENTANG PAJAK PENERANGAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BENGKULU, PERATURAN DAERAH KOTA BENGKULU NOMOR 08 TAHUN 2012 TENTANG PAJAK PENERANGAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BENGKULU, Menimbang : a. bahwa pajak penerangan jalan merupakan salah satu sumber

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA PANGKALPINANG

PERATURAN DAERAH KOTA PANGKALPINANG PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG PERATURAN DAERAH KOTA PANGKALPINANG NOMOR 12 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK PENERANGAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PANGKALPINANG, Menimbang a. bahwa dengan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI BANYUASIN NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI BANYUASIN NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI BANYUASIN NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MUSI BANYUASIN Menimbang : a. bahwa dengan

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN (UU KUP)

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN (UU KUP) SUSUNAN DALAM SATU NASKAH DARI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci