KRIMINALISASI. PSHK, LeIP, LBH Jakarta, KontraS, Mappi, YLBHI,KPA, LBH Masy,Walhi. Disusun Oleh: (2015)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KRIMINALISASI. PSHK, LeIP, LBH Jakarta, KontraS, Mappi, YLBHI,KPA, LBH Masy,Walhi. Disusun Oleh: (2015)"

Transkripsi

1 KRIMINALISASI Disusun Oleh: PSHK, LeIP, LBH Jakarta, KontraS, Mappi, YLBHI,KPA, LBH Masy,Walhi (2015)

2 TENTANG KRIMINALISASI Pengantar Istilah kriminalisasi kembali mencuat sejak dua komisioner KPK, Bambang Widjojanto dan Abraham Samad, dijadikan tersangka oleh Bareskrim Polri [Maret, 2015]. Penetapan tersangka tersebut ditetapkan tidak lama setelah Budi Gunawan dijadikan tersangka kasus korupsi oleh KPK. Kasus BW dan AS ini diduga merupakan upaya kriminalisasi terhadap KPK karena telah menetapkan BG sebagai calon pesakitan. Istilah ini memang bukan istilah baru. Istilah ini sendiri pada dasarnya merupakan terminologi ilmu Kriminologi dan ilmu Hukum Pidana yang artinya penentuan suatu perilaku yang sebelumnya tidak dipandang sebagai suatu kejahatan menjadi suatu perbuatan yang dapat dipidana. Dalam pengertian ini, proses kriminalisasi dilakukan melalui langkah legislasi dengan mengatur suatu perilaku atau perbuatan tertentu sebagai tindak pidana dalam undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya yang diperbolehkan mengatur ketentuan pidana. Contoh konkrit kriminalisasi dalam pengertian ini adalah penetapan kejahatan pencucian uang pada tahun Sebelumnya, perbuatan menerima hasil kejahatan bukanlah sebuah kejahatan. Namun istilah kriminalisasi yang populer di masyarakat memiliki makna yang berbeda dengan istilah kriminalisasi yang ada dalam ilmu kriminologi maupun ilmu hukum pidana tersebut. Jika dalam krimonologi dan ilmu hukum pidana terminologi kriminalisasi merupakan istilah biasa, maka kriminalisasi dalam pengertian populer memiliki makna yang negatif. Sayangnya, pengertian kriminalisasi dalam pengertian populer ini sendiri sepertinya belum terlalu konkrit. Pencarian definisi ini penting agar lebih jelas apa sebenarnya yang dimaksud dengan kriminalisasi dalam pengertian populer. Dan bagi perkembangan ilmu Hukum Pidana, kriminalisasi harus dilihat lebih mendalam, apakah ini merupakan permasalahan hukum atau bukan, dan apakah ada solusi terhadap permasalahan ini. Sekalipun istilah ini belum ada pengertian yang jelas, namun setidaknya istilah ini sudah digunakan sekitar awal tahun Istilah ini muncul saat seorang aktivis buruh yang dilaporkan melakukan tindak pidana dan diproses perkaranya. Tindak pidana yang dilaporkan cukup janggal, mencuri sendal jepit. Pelaporan dan pengusutan pencurian sendal jepit tersebut diduga dilakukan sebagai upaya untuk meredam aktivitasnya di serikat buruh yang dipandang menganggu kepentingan pengusaha. Pengusutan perkara pencurian sendal jepit yang nilainya tak seberapa itu kemudian diistilahkan sebagai kriminalisasi kasus perburuhan. Sejak saat itu istilah kriminalisasi sering digunakan.

3 ARTI KRIMINALISASI Tentu tak ada yang membantah bahwa hukum harus ditegakkan. Tiap kejahatan harus diberikan sanksi, tiap terjadi dugaan tindak pidana harus dapat diusut oleh aparat penegak hukum, dan oleh karenanya penegak hukum harus diberikan wewenang yang cukup untuk mampu mengusutnya. Namun, apa yang akan terjadi jika kewenangan yang diberikan kepada penegak hukum disalahgunakan untuk kepentingan lain selain untuk menegakan hukum itu sendiri? Kriminalisasi pada dasarnya adalah istilah yang digunakan oleh masyarakat atas penegakan hukum yang dilakukan bukan untuk tujuan penegakan hukum itu sendiri. Penggunaan kewenangan-kewenangan penegakan hukum yang seolah-olah bertujuan untuk menegakan hukum namun sebenarnya tidak. Ada motif lain dibaliknya, atau ada udang di balik batu, yang semata-mata hanyalah untuk merugikan tersangka atau orang yang dikehendaki untuk menjadi tersangka. Sedemikian terasanya itikad buruk tersebut sehingga penegakan hukum tersebut bukannya mendapatkan dukungan dari masyarakat, namun justru kecaman dan perlawanan. KRIMINALISASI ADALAH: 1. Pengunaan kewenangan penegakan hukum dengan tujuan/itikad buruk 2. Bentuk penyalahgunaan kewenangan penegak hukum, pengkhianatan terhadap kepercayaan masyarakat yang diberikan kepada penegak hukum KARAKTERISTIK KRIMINALISASI: Kriminalisasi memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut: 1. Melibatkan aparat penegak hukum, khususnya penyidik; 2. Menggunakan proses hukum acara pidana oleh aparat penegak hukum 3. Proses hukum acara pidana dilakukan tanpa adanya bukti permulaan yang cukup atau probable cause, atau bukti yang diada-adakan; dan 4. Dilakukan dengan itikad buruk, atau improper motive atau improper purpose.

4 MOTIF KRIMINALISASI Secara garis besar motif Kriminalisasi pada dasarnya adalah untuk merugikan korban secara tidak sah atau tidak patut. Motif ini bisa beragam, mulai dari sekedar merusak reputasi korban, menghalang-halangi korban melakukan aktivitasnya, teror kepada pihak lain, kepentingan politik, hingga motif ekonomi. Pihak yang memiliki motif utama tersebut tidaklah harus aparat penegak hukum, namun bisa saja pihak tersebut adalah pihak lain, seperti pelapor atau orang lain yang menyuruh pihak penegak hukum. Unsur motif merupakan unsur yang paling penting untuk menentukan apakah ini Kriminalisasi atau bukan. Pihak yang mengklaim bahwa kasusnya adalah Kriminalisasi haruslah bisa membuktikan adanya motif yang tidak patut ini dari aparat penegak hukum (penyidik) ini. INDIKATOR UNTUK MEMBUKTIKAN KRIMINALISASI Untuk membuktikan adanya motif kriminalisasi hal yang paling utama untuk diketahui adalah latar belakang perkara, khususnya hubungan antara Korban (pihak yang dilaporkan kepada penegak hukum) dan Pelapor atau pihak lain yang diduga berada dibelakang Pelapor, atau hubungan antara Korban dengan pihak Penegak Hukum itu sendiri. Hal yang perlu ditunjukan dari latar belakang ini adalah: 1. Apakah ada sengketa/konflik sebelumnya antara Korban dengan Pelapor, atau dengan pihak penegak hukum, dan 2. Apakah ada keuntungan yang tidak wajar yang akan diterima oleh pihak Pelapor dan atau penegak hukum tersebut dengan diusutnya pelaporan tersebut. Selain latar belakang, indikator lain yang dapat digunakan untuk menunjukan dugaan terjadinya kriminalisasi antara lain: a. Adanya ketidakwajaran proses penanganan perkara, termasuk adanya diskriminasi dalam penanganan perkara maupun keberpihakan yang berlebihan atau tidak wajar kepada pelapor. b. Penggunaan pasal-pasal pidana yang berlebihan, atau tidak tepat dengan peristiwa yang digambarkan, terutama pasal-pasal yang dapat dikenakan penahanan. c. Penggunaan upaya paksa yang berlebihan, ada kekerasan dalam proses hukum d. Adanya kesengajaan untuk tidak mempercepat penanganan perkara atau undue delay, e. Ketidakwajaran siapa yang menjadi pelapor tindak pidana,

5 PETANI BURUH AKTIVIS KRIMINA LISASI CONTOH KRIMINALISASI 1. Kriminalisasi dalam Sengketa Tanah, Lahan Pertanian, Perkebunan atau Hutan Kriminalisasi diduga kerap terjadi dalam masalah sengketa tanah, baik tanah untuk pertanian atau perkebunan, maupun hutan. Dalam kasus seperti ini umumnya masih terdapat ketidakjelasan tentang siapa yang sebenarnya memiliki hak atas tanah tersebut. Para pihak bukannya menyelesaikan sengketa tersebut secara perdata namun melaporkannya kepada Kepolisian dengan berbagai sangkaan, mulai dari penyerobotan tanah hingga pemalsuan surat. Dalam kasus terkait sengketa tanah ini, Krimininalisasi dapat dianggap terjadi jika pihak kepolisian menetapkan pihak Terlapor sebagai tersangka sementara mengetahui bahwa hak kepemilikan atas tanah/ lahan tersebut pada dasarnya belum jelas dan masih dipersengketakan. 2. Kriminalisasi dalam Sengketa Perdata Kriminalisasi diduga juga kerap terjadi dalam sengketa perjanjian perdata. Dalam kasus seperti ini salah satu pihak yang terlibat dalam perjanjian yang merasa bahwa pihak lawannya melakukan wanprestasi melaporkan ke kepolisian dengan alasan penipuan dan atau penggelapan. Memang tak jarang penipuan dilakukan dengan berkedok pada perjanjian. Kapan suatu penyidikan dalam kasus seperti ini dapat dikatakan sebagai kriminalisasi atau murni penegakan hukum atas dugaan penipuan memang harus dilihat kasus-per kasus. Namun, beberapa indikator dapat digunakan, antara lain: a. Apakah ada informasi-informasi penting dalam perjanjian yang disembunyikan pihak Terlapor kepada Pelapor sebelumnya, yang mana jika informasi tersebut sebelumnya diketahui oleh Pelapor maka Pelapor tidak akan melakukan perjanjian dengan Terlapor. misalnya identitas diri, tujuan perjanjian dll; b. Apakah antara Pelapor dan Terlapor telah mengenal cukup baik sebelumnya, dan telah memiliki riwayat perjanjian sebelumnya; c. Apakah ada ancaman dari pihak penyidik/kepolisian akan menetapkan Terlapor sebagai tersangka, dan atau ancaman akan dilakukan penahanan jika tidak memenuhi tuntutan Pelapor; 3. Kriminalisasi dalam Sengketa Perburuhan Buruh merupakan salah satu kelompok yang rentan mengalami Kriminalisasi. Tujuan Kriminalisasi terhadap buruh bisa beraneka ragam, mulai dari agar ada alasan bagi pihak majikan untuk mem- PHK-an buruh tersebut, hingga untuk melemahkan upaya-upaya perjuangan hak-hak buruh yang sedang dilakukan oleh para buruh.

6 MEREKA YANG DIKRIMINALISASI NGADINAH adalah seorang buruh yang bertransformasi menjadi pendamping hukum buruh. Sejak 1986 ia mulai bekerja sebagai buruh di Tangerang dan melihat berbagai ketidakadilan dan eksploitasi yang membuatnya geram dan marah. Ia melihat dan merasakan secara langsung pemberlakuan jam kerja dan upah murah, pembatasan hak untuk berserikat, beribadah serta cuti haid. Photo: Gepenk Hukum Online, Indonesia Pada September 2000, saat bekerja sebagai buruh dan sekretaris umum Perkumpulan Buruh Pabrik Sepatu PT Panarub, ia memimpin aksi menuntut pelaksanaan aturan tentang penghargaan masa kerja yang tidak dilaksanakan oleh perusahaan yang menyebabkan perusahaan lumpuh. Ia dikriminalisasi atas tindakan pencemaran nama baik, penghasutan dan perbuatan tidak menyenangkan karena wawancaranya di TV swasta. Ia kemudian dimasukkan dalam tahanan LP Wanita Tangerang tanpa melalui proses pengadilan. Saat dihadapkan ke pengadilan, ia mengajukan penangguhan penahanan dan di kabulkan oleh majelis hakim hingga akhirnya ia menjadi tahanan rumah dengan jaminan aktivis HAM, termasuk Munir. Solidaritas sesama buruh dan pembela yang memberikan dukungan membuatnya divonis bebas oleh PN Tangerang. Kemudian ia aktif di berbagai organisasi sambil menyelesaikan sekolah di SMP dan menggapai mimpi hingga menjadi sarjana hukum. Saat ini ia menjabat Ketua Departemen Hukum dan HAM Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI). Perjuangan Ngadinah bertujuan mulia, meminta agar kaum buruh dimanusiakan. Kisah Ngadinah tersebut merupakan salah satu potret bagaimana perjuangan dan perlawanan yang dilakukan kaum buruh dalam menuntut kesejahteraan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Intimidasi, teror dan kriminalisasi kerap diberlakukan kepada buruh dan situasi ini masih terus berlangsung hingga kini. KHOE SENG SENG adalah seorang pedagang di Jakarta yang menulis surat pembaca di koran untuk mengkritik pembelian kios dan dikriminalisasi dengan sangkaan pencemaran nama baik. Ia divonis penjara dan digugat perdata, namun tetap konsisten melakukan berbagai upaya hukum untuk menuntut haknya. Photo: Doc KontraS Jakarta, Indonesia Pada 2003, ia membeli salah satu kios di ITC Mangga Dua, Jakarta. Berdasarkan perjanjian, pengembang mengatakan bahwa para pedagang akan diberikan sertifikat murni hak guna bangunan, namun dalam kenyataannya mereka hanya mendapatkan sertifikan hak guna bangunan di atas pengelolaan lahan. Ia meminta penjelasan kepada pengembang ITC Mangga Dua, namun tidak diindahkan dan justru mendapatkan ancaman. Ia kemudian menulis keluhan di surat pembaca Koran Nasional. Ia dilaporkan oleh pengembang ke Mabes Polri 2006 dengan sangkaan melakukan pencemaran nama baik. Khoe Seng Seng divonis 1 tahun penjara dengan masa percobaan 6 bulan. Ia juga digugat secara perdata dan Mahkamah Agung memutuskan ia harus membayar denda sebesar 1 milyar rupiah. Masyarakat dan konsumen kerap diposisikan sebagai pihak yang lemah. Dalam dunia bisnis, norma hukum dan aturan kerap dimodifikasi sesuai keinginan dan kebutuhan pengusaha,tanpa peduli hal tersebut mengabaikan akal sehat serta nilai nilai HAM. Di sisi lain, kebebasan pers termasuk didalamnya pemanfaatan produk pers - sebagai sarana dalam mengungkap berbagai problem yang terjadi, masih menjadi persoalan. Tidak sedikit warga masyarakat, terutama jurnalis menjadi korban atas karya jurnalistik yang mereka hasilkan bila karya tersebut tersebut dianggap mengganggu kepentingan penguasa dan atau pengusaha.

7 ANWAR SADAT adalah Direktur Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sumatera Selatan yang aktif memperjuangkan isu lingkungan hidup, HAM dan demokrasi sejak awal tahun Ia setia melakukan pendampingan terhadap para petani di Sumatera Selatan untuk menuntut hak-hak mereka. Photo: Doc Walhi Indonesia Saat memperingati Hari Agraria Nasional, September 2012, ia bergabung dengan sekitar 1000 petani yang berasal dari berbagai daerah di Sumatera Selatan untuk menuntut Badan Pertanahan Nasional dan Gubernur menyelesaikan konflik agraria di seluruh Sumatera Selatan. Di tengah massa aksi, ia dikepung, dikeroyok dan dianiaya oleh ajudan Gubernur, Satpol PP, aparat kepolisian dan mengalami luka di bagian kepala. Ia melaporkan penyerangan tersebut ke polisi, namun tidak ditindaklanjuti. Pada Januari 2013, ia kembali melakukan pendampingan kepada para petani Ogan Ilir di depan Markas Polda Sumatera Selatan. Ia dituduh merobohkan pagar Polda, sehingga aparat kepolisian kembali memukul, menginjak dan menyeretnya. Bersama dengan Dede Chaniago dan Kamaludin, ia ditahan serta dituduh melakukan perusakan dan penganiayaan kemudian diproses secara hukum. Ia dikriminalisasi dan dipenjarakan. Sementara pelaku pemukulan terhadap dirinya tak pernah diadili. Peristiwa ini adalah wajah kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian, pamong praja, pejabat publik kepada para aktivis dan masyarakat yang membela lingkungan hidup. Ini terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Ancaman, teror, kriminalisasi hukum bahkan pembunuhan adalah pola kekerasan yang berulang bagi para pembela HAM yang selama ini mendorong pemenuhan lingkungan hidup yang layak dan sehat. PALTI PANJAITAN Photo: Opak Pewarta Foto Indonesia adalah seorang pendeta dan pemimpin jemaat di Gereja Filadelfia, Bekasi. Sekitar tahun 2000, ia aktif memperjuangkan hak konstitusional jemaat Filadelfia untuk beribadah meski mendapatkan teror dan intimidasi dari kelompok-kelompok yang menolak pendirian gereja. Padahal putusan hukum menguatkan hak mereka untuk beribadah. Ia bahkan mengalami ancaman pembunuhan hingga dikriminalisasi dengan tuduhan melakukan penganiayaan kepada orang yang menghadang ibadah mereka. Saat ini, Pendeta Palti Panjaitan tengah menjalani proses hukum atas kriminalisasi yang dituduhkan oleh Polres Bekasi. Peristiwa diskriminasi pembatasan terhadap kebebasan berkeyakinan, beragama dan beribadah semakin meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Sejumlah korban diskriminasi tersebut membangun solidaritas dalam Sahabat Kebebasan Berkeyakinan dan Beragama, yang terdiri dari jamaah Ahmadyah, jemaat Gereja Yasmin, jamaah Syiah Sampang, Sunda Wiwitan dan berbagai kelompok kepercayaan lainnya dan bersama-sama memperjuangkan hak konstitusional mereka untuk berkeyakinan, beribadah dan beragama. Sejak 2011, Jemaah Gereja Filadelfia dan Gereja Yasmin melaksanakan ibadah minggu di depan Istana Negara karena tidak dapat beribadah dengan aman di Bekasi dan Bogor.

8 TAJUL MULUK Photo: Doc Perkumpulan 6211 Indonesia lahir tahun 1971 dengan nama Ali Murtadha adalah seorang pemuka agama beraliran Syiah asal Madura, Indonesia. Pada Desember 2011 pesantren miliknya dibakar oleh demonstran anti-syiah. Bulan Maret 2012, ia dituduh melakukan penistaan agama; bulan berikutnya ia ditahan. Penahanannya membuat Amnesty International menetapkan Tajul Muluk sebagai prisoner of conscience (orang yang ditahan karena keyakinannya). Pada tanggal 29 Desember 2011, pesantren miliknya diserang oleh sekelompok pengunjuk rasa anti-syiah bersenjata. Gedung pesantren dan rumah Tajul Muluk dan abangnya, Iklil, dibakar. Muluk dan anggota aliran lainnya diancam akan dibunuh. Dua bangunan lainnya, satu madrasah dan mushola juga dibakar habis. Iklil, yang saat itu sedang di tempat kejadian, bersaksi melihat dua anggota polisi berdiam saja di tengah kerumunan. Ia lalu menduga bahwa kepolisian sudah diperingatkan soal unjuk rasa yang akan terjadi, tetapi mereka tidak berusaha menghentikannya. Seorang pria bernama Muslika diidentifikasi dan ditahan oleh kepolisian karena ikut merencanakan serangan ini, namun Tajul yakin adiknya, Roisul, adalah pemimpin serangan yang sebenarnya. Pada tanggal 8 Maret 2012, tim advokat Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengkritik penanganan investigasi dan menyebut ancaman yang terus berlanjut terhadap kaum Syiah Sampang sebagai tindakan "diskriminatif". Pasca serangan ini, KontraS juga meminta Tajul dan 22 pengikutnya dilindungi oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Pada 26 Agustus 2012, komunitas Tajul di Sampang kembali diserang oleh kurang lebih 500 orang. Satu orang, Muhammad Hasyim, tewas dan satu orang lainnya dilarikan ke Rumah Sakit BAMBANG WIDJOJANTO Photo: Doc BW ditangkap pada 23 Januari 2015 di Depok, Jawa Barat. Terdapat sejumlah alasan kuat mengapa kasus BW adalah kriminalisasi. Diantaranya: BW dijadikan tersangka lebih dahulu padahal pasal (tindak pidana)nya tidak diketahui secara pasti, penangkapan BW dinilai sebagai reaksi dari ditetapkannya Budi Gunawan sebagai tersangka oleh KPK, BW tiba-tiba saja ditangkap tanpa ada proses pemanggilan, adanya keterlibatan Kombes Viktor yang mana bukanlah penyidik Bareskrim dalam penangkapan BW, Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) baru dikirimkan sore hari setelah BW ditangkap, Sugianto S pihak yang berlawanan dengan Ujang merupakan klien BW pernah melaporkan kasus ini ke polisi, namun baru setelah 5 tahun kasus ini tiba-tiba dibuka kembali. Kepolisian banyak diadukan dengan mayoritas kasus undue delay atau penundaan namun untuk kasus BW Polisi sangat gerak cepat. Polri menolak diadakannya Gelar Perkara Khusus bagi kasus BW, hampir berbarengan dengan BW dan sesudahnya sejumlah orang yang merupakan tokoh anti korupsi dilaporkan ke Bareksrim.

9 NOVEL BASWEDAN Photo: Doc Novel dibawa ke Bareskrim Polri pada 1 Mei 2015 dini hari dan menjalani pemeriksaan pada pagi buta tanpa didampingi kuasa hukum. Selang beberapa jam, Novel diboyong ke Markas Komando Brimob Kelapa Dua untuk melanjutkan pemeriksaan. Sore harinya, tiba-tiba penyidik Polri membawa dirinya ke Bengkulu untuk menjalani rekonstruksi. Namun, saat itu tak ada seorang pun kuasa hukum yang mendampinginya. Padahal rekonstruksi seharusnya didampingi penasehat hukum supaya lebih tepat, namun permintaan Novel untuk didampingi oleh Kuasa Hukumnya terlebih dahulu sebelum menjalani proses rekonstruksi tidak dipenuhi. Polisi tetap menggelar rekonstruksi imajiner yang tak berdasar pada Berita Acara Pemeriksaan dan tidak substansial. Kemudian, Novel diterbangkan kembali ke Jakarta pada keesokan harinya. Novel dijadikan tersangka pada 1 Oktober 2012 oleh Polres Bengkulu atas dugaan penganiayaan seorang pencuri sarang burung walet hingga tewas pada Saat ia menjabat Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Bengkulu.

10 MODUS KRIMINALISASI Seringkali dalam penanganan perkara pidana yang berujung pada kriminalisasi diiringi dengan tidak terpenuhinya hukum acara pidana yang harus dilakukan oleh aparat penegak hukum. Hukum acara pidana yang dilanggar disini merupakan hak-hak dasar dari seorang tersangka atau terdakwa namun kerap kali diabaikan oleh oknum aparat penegak hukum. Ketentuan tersebut adalah sebagai berikut: Bantuan Hukum yang tidak memadai, setiap tersangka atau terdakwa memiliki hak untuk di dampingi oleh penasehat hukum. Namun dalam kasus kriminalisasi, bantuan hukum tersebut seringkali ditunjuk secara sepihak oleh oknum aparat penegak hukum untuk sekedar formalitas, atau ditunda pemberiannya. Bahkan dalam beberapa kasus bantuan hukum sama sekali tidak diberikan oleh aparat penegak hukum. Tidak ada Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP), SPDP merupakan surat perintah yang harus dikirimkan oleh penyidik kepada penuntut umum untuk menandakan dimulainya penyidikan. Tujuan dari pemberian SPDP ini agar Penuntut Umum dapat memantau jalannya perkara yang tengah ditangani oleh penyidik. Dalam kasus kriminalisasi SPDP memang sengaja tidak diberikan oleh penyidik kepada penuntut umum agar perkara yang sedang ditanganinya tidak dapat di pantau oleh penuntut umum. Sehingga, penyidik dapat melakukan semacam negosiasi kepada tersangka terkait tindak pidana yang disangkakan tanpa campur tangan penuntut umum. Jika tenyata tersangka menolak untuk bernegosiasi barulah SPDP tersebut diberikan kepada penuntut umum bersamaan dengan permohonan perpanjangan penahanan. Mengingat untuk perpanjangan penahanan dalam tingkat penyidikan harus dengan persetujuan penuntut umum. Tidak ada/penundaan surat penangkapan dan penahanan, dalam KUHAP memang mengatur bahwa surat perintah penangkapan dan penahanan dapat diberikan kepada tersangka setelah dilakukannya penangkapan dan penahanan. Namun, hal tersebut hanya berlaku terhadap tindak pidana yang dilakukan dalam hal tertangkap tangan. Pada kasus yang dikriminalisasi, surat perintah penangkapan dan penahanan seringkali diberikan belakangan atau tidak sama sekali, padahal tersangka yang mengalami penangkapan atau penahanan tidak dalam keadaan tertangkap tangan. Pelapor tidak jelas, dalam tindak pidana tertentu mensyaratkan adanya laporan dari korban tindak pidana tersebut, misalnya tindak pidana pencemaran nama baik (delik aduan). Laporan tersebut seringkali digunakan oleh oknum penegak hukum untuk mengkriminalisasi seseorang, dan tak jarang pula laporan tersebut tidak diketahui siapa yang melaporkannya. Pasal yang disangkakan tidak jelas/dipaksakan, dalam kasus kriminalisasi pasal yang dikenakan sebagai dasar tindak pidana yang disangkakan kerap kali dipaksakan. Padahal, jika dilihat dalam sudut pandang akademisi hukum pasal yang disangkakan tidak ada hubungannya dengan perbuatan korban kriminalisasi Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tidak diberikan, setiap hak seorang tersangka adalah untuk mendapatkan salinan atas BAP yang dilakukan atasnya. Dengan tidak diberikannya BAP tersebut praktis orang yang dilakukan BAP tidak dapat menguji apakah keterangan yang diberikan benarbenar sama dengan yang tertulis dalam BAP. Hal yang demikian tentu merupakan peluang bagi oknum aparat penegak hukum untuk merekayasa, mengubah, mengurangi, atau menambah-nambah keterangan yang diberikan pada saat BAP dibuat. Rekayasa rekonstruksi kasus, rekonstruksi kasus merupakan satu dari alat bukti yang sering digunakan untuk pembuktian dalam persidangan. Dengan adanya rekonstruksi kasus diharapkan hakim dapat melihat langsung bagaimana sebuah tindak pidana terjadi. Dalam kasus yang dikriminalisasi, seringkali rekonstruksi kasus di rekayasa dengan menambahkan atau menambahkan adegan yang sebenarnya tidak ada dalam kejadian sebenarnya sehingga seolah-olah memang telah terjadi tindak pidana.

11 Pada bagian Alat Bukti, dapat dilihat adanya sejumlah hal dibawah ini sebagai ciri adanya kriminalisasi; Penyiksaan untuk pengakuan, alat bukti yang digunakan untuk pembuktian dalam kasus kriminalisasi adalah menggunakan pengakuan terdakwa. Dan tak jarang pengakuan tersebut didapatkan dengan cara menyiksa terdakwa tersebut dalam pemeriksaan sehingga secara terpaksa mengakui kesalahan yang tidak pernah dilakukannya. Alat bukti dan barang bukti palsu, pemalsuan alat bukti disini termasuk dalam keterangan saksi palsu dan alat bukti surat yang palsu. keterangan saksi palsu didapat dengan memaksa saksi untuk memberikan keterangan yang di rekayasa oleh oknum penegak hukum, sehingga orang yang dikriminalisasi seolah-olah benar melakukan tindak pidana. Hal yang demikian juga terjadi pada barang bukti palsu. Seringkali oknum penegak hukum mengajukan bukti ke persidangan padahal bukti tersebut tidak pernah ada di tempat kejadian perkara. Hanya menggunakan saksi penyidik, untuk membuktikan tindak pidana yang dikriminalisasi oknum penegak hukum biasanya hanya menggunakan saksi dari pihak penyidik. Dengan menggunakan saksi ini tentu akan sangat menguntungkan dalam tahap pembuktian sebab akan dengan mudah mengatur keterangan yang diberikannya dalam tahap persidangan nanti. Terlepas apakah penyidik tersebut benar-benar mengetahui betul bagaimana tindak pidana tersebut terjadi atau tidak. Saksi dari tersangka kasus yang sama, untuk membuktikan tindak pidana yang dikriminalisasi oknum penegak hukum biasanya hanya menggunakan saksi dari tersangka lain yang ditangkap dalam kasus yang sama. Dengan menggunakan saksi ini tentu akan sangat menguntungkan dalam tahap pembuktian sebab akan dengan mudah mengatur keterangan, hasil intimidasi, yang diberikannya dalam tahap persidangan nanti. Bahkan terkadang, tersangka-tersangka yang dijadikan saksi dalam kasus yang sama ini, baru saling mengenal atau mengetahui kesamaan kasusnya di dalam sel saat ditahan. Sementara pada bagian akhir, Vonis, terdapat ciri-ciri kriminalisasi, sebagai berikut; Maksud vonis dalam kriteria ini lebih mengacu kepada putusan pengadilan yang menyatakan seseorang bersalah melakukan sebuah tindak pidana. bagian dari kriteria ini tidak hanya mencakup dari amar putusan, melainkan putusan secara keseluruhan baik itu pertimbangan maupun proses pengambilan keputusan. Kriteria terebut antara lain adalah: Saksi meringankan (a de charge) tidak dipertimbangkan oleh Hakim, Sudah menjadi hak dari terdakwa untuk menghadirkan saksi untuk memberikan keterangan yang meringankan perkaranya. Namun kerap kali dalam kasus yang dikriminalisasi hakim tidak mempertimbangkan saksi yang meringankan ini. Dapat dilihat dari pertimbangan hakim dalam memutus sebuah perkara yang hanya berpatokan pada saksi dan alat bukti yang di hadirkan oleh penuntut umum. Hakim mengabaikan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang dicabut, dalam memutuskan sebuah perkara hakim tidak mempertimbangkan ketidakkonsistenan Tersangka ataupun Saksi yang mencabut BAP yang sebelumnya ditandatangani dan melanjutkan persidangan. Pertimbangan Hakim tidak sinkron dengan bukti yang diterima, dalam memutuskan sebuah perkara hakim seharusnya mengacu kepada bukti-bukti yang dihadirkan ke dalam persidangan, baik itu bukti yang dihadirkan oleh penuntut umum maupun oleh terdakwa. Kesalahan penerapan hukum, dalam memutuskan sebuah perkara hakim di dalam persidangan sudah secara tepat mempertimbangkan setiap kesaksian, bukti-bukti dsb. Akan tetapi, Hakim mengambil vonis yang berbeda atau tidak adil secara kemanusiaan atas pertimbangannya.

12 AKIBAT KRIMINALISASI Kerugian akibat dari kriminalisasi dapat ditinjau dari berbagai sisi, baik itu bagi individu, golongan, kelompok, organisasi, institusi negara, dan kerugian bagi Hukum Pidana itu sendiri. Dalam sudut pandang sebagai individu, kerugian yang ditimbulkan adalah tidak terpenuhinya hak-hak dasar di mata hukum. Jika seseorang dikriminalisasi atas sebuah tindak pidana dengan serta merta hak-nya sebagai warga negara akan hilang sebagian, misalnya hak kebebasan jika dilakukan penahanan, hak untuk mencari pekerjaan, hak untuk menduduki posisi di pemerintahan jika dijadikan tersangka, hak untuk bepergian ke luar negeri jika dikenakan cekal kepadanya, dan yang pasti untuk merasakan kebebasan akan hilang. Bagi individu tertentu, penetapan tersangka dapat berdampak langsung pada jabatan/kedudukan yang dimilikinya. Misalnya, dalam kasus BW, yang menjabat sebagai komisioner KPK yang mensyaratkan bahwa jabatan/kedudukannya dapat dicopot bilamana ditetapkan sebagai tersangka. Dalam berorganisasi dan berkelompok juga memiliki dampak yang serupa. Berkaca pada kasus Hamdani (sendal jepit) dimana kriminalisasi dilakukan untuk meredam aktifitas Hamdani yang seringkali melakukan advokasi kepada perusahaan untuk pemenuhan hak rekan-rekannya sesama buruh. Akibat dikriminalisasinya Hamdani, secara tidak langsung akan memadamkan perjuangan buruh-buruh yang lain untuk menuntut hak-hak mereka. Dalam kasus ini kriminalisasi difungsikan sebagai alat untuk memberikan efek teror kepada sebuah organisasi/kelompok sehingga fungsi dan tujuan dari organisasi/kelompok tersebut tidak dapat berjalan lagi. Tidak sampai disana, institusi negara pun juga dapat menjadi korban dari kriminalisasi. Sebut saja KPK yang merupakan jelas-jelas contoh nyata dari dilakukannya kriminalisasi. Dengan ditetapkannya beberapa komisioner KPK menjadi tersangka, secara tidak langsung melumpuhkan KPK dalam memberantas korupsi di Indonesia. Mengacu kepada hak-hak dasar warga negara nasional, kriminalisasi juga memiliki dampak yang cukup serius. Sebab jika kriminalisasi oleh aparat merajalela, hak warga negara atas kepastian hukum menjadi tidak dapat terpenuhi. Dengan kata lain, setiap orang sewaktu-waktu dapat menjadi tersangka jika berbenturan kepentingan dengan aparat atau orang-orang yang dekat dengan aparat. Untuk memulihkan ketertiban (social order) dan memberikan rasa aman kepada masyarakat, sekaligus untuk menjaga perilaku masyarakat agar tidak melakukan suatu perbuatan jahat yang dapat menimbulkan keresahan dan mengancam ketertiban. Sejatinya, tujuan adanya hukum di masyakarat adalah untuk menciptakan ketertiban sosial dan menciptakan rasa aman dalam kehidupan sehari-hari. Praktik kriminalisasi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum justru akan menciptakan ketidakpercayaan masyarakat yang dapat berujung pada hilangnya rasa aman di masyarakat.

13 MITIGASI TERHADAP UPAYA KRIMINALISASI Selama ini praktik kriminalisasi tidaklah dianggap sebagai suatu permasalahan hukum dan secara pragmatis dianggap dapat diselesaikan di pengadilan ketika kasus tersebut diadili. Namun hari ini, upaya tersebut tidaklah mencukupi terlebih jika sebelum masuk ke pengadilan telah timbul kerugian bagi korban kriminalisasi. Kendati kriminalisasi sangat mengancam hak-hak warga sipil, namun dengan menghapuskan setiap upaya paksa yang dimiliki oleh aparat juga merupakan hal yang sangat berbahaya. Penghapusan kewenangan yang demikian justru akan membuat penegakan hukum menjadi kendur. Oleh karena itu, agar dapat mengakomodir kedua kepentingan tersebut, setiap upaya paksa yang dilakukan oleh aparat harus dibarengi mekanisme kontrol yang optimal. Kontrol yang paling ideal untuk saat ini adalah harus disediakannya mekanisme bagi warga sipil untuk menguji setiap upaya paksa yang dilakukan oleh aparat apakah sudah dilakukan dengan patut dan semata-mata bertujuan untuk penegakan hukum. Dalam KUHAP sudah mengatur mekanisme Pra-Peradilan yang tujuannya untuk menguji upaya paksa oleh aparat. Akan tetapi, upaya paksa tersebut hanya terbatas pada penahanan dan penangkapan yang dilakukan oleh aparat. Padahal, dalam kasus-kasus kriminalisasi upaya paksa yang dilakukan oleh aparat menggunakan pelbagai kewenangan yang melekat didalamnya, termasuk mengenai penetapan tersangka oleh aparat. Terlepas dari perdebatan apakah penetapan tersangka termasuk dalam upaya paksa yang diatur dalam KUHAP, tetapi sebuah keniscayaan bila sebuah penetapan tersangka dapat merugikan warga sipil, sekurang-kurangnya adalah hak untuk merasa tenang. Tempo lalu, Hakim Sarpin melalui putusan pra-peradilan menyatakan bahwa penetapan tersangka merupakan suatu upaya paksa dan termasuk dalam objek perkara dalam praperadilan. Pendapat hakim tersebut diperkuat dengan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 yang juga menyatakan bahwa objek Pra-Peradilan menjadi diperluas dengan dimasukkannya penetapan tersangka sebagai upaya paksa yang dapat dilakukan pemeriksaan.sampai sejauh ini, selain Pra-Peradilan belum ada mekanisme yang bisa digunakan untuk mencegah terjadinya kriminalisasi. Bagaimanapun nanti perkembangan hukum Indonesia kedepannya, sudah seharusnya setiap wewenang yang dimiliki oleh aparat harus memiliki sistem kontrol yang transparan. Sehingga setiap warga negara memiliki akses terhadap sistem kontrol tersebut. *** Kontak: Kantor KontraS Jl. Borobudur No.14 Menteng Jakarta Pusat Tlp: , Fax: KRIMINALISASI

KRIMINALISASI. PSHK, LeIP, LBH Jakarta, Kemitraan, KontraS, Mappi, YLBHI,KPA, LBH Masy,Walhi

KRIMINALISASI. PSHK, LeIP, LBH Jakarta, Kemitraan, KontraS, Mappi, YLBHI,KPA, LBH Masy,Walhi KRIMINALISASI PSHK, LeIP, LBH Jakarta, Kemitraan, KontraS, Mappi, YLBHI,KPA, LBH Masy,Walhi TENTANG KRIMINALISASI Pengantar Istilah kriminalisasi kembali mencuat sejak dua komisioner KPK, Bambang Widjojanto

Lebih terperinci

MENCARI KEBENARAN HUKUM DENGAN TIDAK MELAWAN HUKUM

MENCARI KEBENARAN HUKUM DENGAN TIDAK MELAWAN HUKUM SEMINAR DAN WORKSHOP Proses Penanganan Kasus Perkara dengan Perspektif dan Prinsip Nilai HAM untuk Tenaga Pelatih Akademi Kepolisian Semarang Hotel Santika Premiere Yogyakarta, 7-9 Desember 2016 MAKALAH

Lebih terperinci

JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP. Oleh : LBH Jakarta

JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP. Oleh : LBH Jakarta JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP Oleh : LBH Jakarta 1. PENGANTAR Selama lebih dari tigapuluh tahun, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP diundangkan

Lebih terperinci

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYIDIKAN BAGI PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH PROVINSI BANTEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN,

Lebih terperinci

1. PELAPORAN Proses pertama bisa diawali dengan laporan atau pengaduan ke kepolisian.

1. PELAPORAN Proses pertama bisa diawali dengan laporan atau pengaduan ke kepolisian. KASUS PIDANA UMUM CONTOH-CONTOH KASUS PIDANA: Kekerasan akibat perkelahian atau penganiayaan Pelanggaran (senjata tajam, narkotika, lalu lintas) Pencurian Korupsi Pengerusakan Kekerasan dalam rumah tangga

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.98, 2003 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] BAB II TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG Pasal 2 (1) Setiap orang yang melakukan perekrutan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengajuan permohonan perkara praperadilan tentang tidak sahnya penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam sidang praperadilan sebagaimana

Lebih terperinci

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu ABSTRAK Penahanan sementara merupakan suatu hal yang dipandang

Lebih terperinci

Tulis Surat Pembaca Didenda Rp 1 Miliar

Tulis Surat Pembaca Didenda Rp 1 Miliar Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Commission for The Disappeared and Victims of Violence Saya membuat surat pembaca yang dimuat di harian Kompas pada tanggal 26 September 2006 dengan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 of 24 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam tahap pemeriksaan penyidikan dan atau penuntutan. 1

BAB I PENDAHULUAN. dalam tahap pemeriksaan penyidikan dan atau penuntutan. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Untuk menjamin perlindungan hak azasi manusia dan agar para aparat penegak hukum menjalankan tugasnya secara konsekuen, maka KUHAP membentuk suatu lembaga baru yang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu tonggak penting sebuah sistem demokrasi di Indonesia. Dimana

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu tonggak penting sebuah sistem demokrasi di Indonesia. Dimana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebebasan menyampaikan pendapat dan kebebasan mendapatkan informasi merupakan salah satu tonggak penting sebuah sistem demokrasi di Indonesia. Dimana hak publik untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahirnya Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomer 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan I. PEMOHON Raja Bonaran Situmeang Kuasa Hukum Dr. Teguh Samudera, SH., MH.,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA A. Undang Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Undang - undang ini memberikan pengaturan

Lebih terperinci

SIARAN PERS LEMBAGA BANTUAN HUKUM (LBH) PADANG Nomor : 03/S.Pers/LBH-PDG/II/2017 tentang

SIARAN PERS LEMBAGA BANTUAN HUKUM (LBH) PADANG Nomor : 03/S.Pers/LBH-PDG/II/2017 tentang SIARAN PERS LEMBAGA BANTUAN HUKUM (LBH) PADANG Nomor : 03/S.Pers/LBH-PDG/II/2017 tentang CATATAN AWAL TAHUN FAIR TRIAL TUMPULKAH HUKUM TERHADAP APARAT PELAKU KEKERASAN? Gambar 1 jumlah kasus 2010-2016

Lebih terperinci

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG BANTUAN HUKUM UNTUK MASYARAKAT MISKIN

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG BANTUAN HUKUM UNTUK MASYARAKAT MISKIN SALINAN BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG BANTUAN HUKUM UNTUK MASYARAKAT MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013 LAMPIRAN PASAL-PASAL RUU KUHAP PELUMPUH KPK Pasal 3 Pasal 44 Bagian Kedua Penahanan Pasal 58 (1) Ruang lingkup berlakunya Undang-Undang ini adalah untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam mewujudkan tujuan

Lebih terperinci

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN by DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd PERTEMUAN KE-3

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN by DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd PERTEMUAN KE-3 PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN by DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd PERTEMUAN KE-3 Pelanggaran HAM Menurut Undang-Undang No.39 tahun 1999 pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam BAB V ANALISIS A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam Perkara No. 97/PID.PRAP/PN.JKT.SEL Setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, maka penetapan

Lebih terperinci

LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

Lebih terperinci

Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI

Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI Hakim Cepi Iskandar, pada Jumat 29 Oktober 2017 lalu menjatuhkan putusan yang mengabulkan permohonan Praperadilan yang diajukan oleh Setya Novanto,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Hasil PANJA 12 Juli 2006 Dokumentasi KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI Hasil Tim perumus PANJA, santika 12 Juli

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada tahap interogasi / penyidikan sering terjadi tindakan sewenang-wenang

BAB I PENDAHULUAN. pada tahap interogasi / penyidikan sering terjadi tindakan sewenang-wenang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia merupakan pilar utama dalam setiap negara hukum, jika dalam suatu negara hak manusia terabaikan atau

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id

Lebih terperinci

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing: TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D 101 10 308 Pembimbing: 1. Dr. Abdul Wahid, SH., MH 2. Kamal., SH.,MH ABSTRAK Karya ilmiah ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 mengakui bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara 1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana 2. PRAPERADILAN ADALAH (Ps 1 (10)) wewenang pengadilan

Lebih terperinci

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA MENGENAI BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA MENGENAI BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA MENGENAI BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND AUSTRALIA ON MUTUAL ASSISTANCE IN CRIMINAL MATTERS) PERJANJIAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral bangsa dan merugikan seluruh lapisan masyarakat, sehingga harus dilakukan penyidikan sampai

Lebih terperinci

NOMOR : M.HH-11.HM.03.02.th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG

NOMOR : M.HH-11.HM.03.02.th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG PERATURAN BERSAMA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA KETUA

Lebih terperinci

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana dibuat adalah untuk melaksanakan peradilan bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan Mahkamah Agung dengan mengatur hak serta

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

ALUR PERADILAN PIDANA

ALUR PERADILAN PIDANA ALUR PERADILAN PIDANA Rangkaian penyelesaian peradilan pidana terdiri atas beberapa tahapan. Suatu proses penyelesaian peradilan dimulai dari adanya suatu peristiwa hukum, misalnya seorang wanita yang

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA 16 BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA A. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Lebih terperinci

Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum, tidak berdasarkan. kekuasaan belaka. Penegakan hukum harus sesuai dengan ketentuan yang

Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum, tidak berdasarkan. kekuasaan belaka. Penegakan hukum harus sesuai dengan ketentuan yang Makalah Kasus Pidana Penganiayaan KASUS PIDANA PENGANIAYAAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum, tidak berdasarkan kekuasaan belaka. Penegakan hukum harus

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 40/PUU-XIII/2015

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 40/PUU-XIII/2015 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 40/PUU-XIII/2015 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Lebih terperinci

STANDAR PELAYANAN PENGADILAN (SPP) DALAM LINGKUNGAN PERADILAN MILITER

STANDAR PELAYANAN PENGADILAN (SPP) DALAM LINGKUNGAN PERADILAN MILITER STANDAR PELAYANAN PENGADILAN (SPP) DALAM LINGKUNGAN PERADILAN MILITER I. KETENTUAN UMUM A. Tujuan 1. Meningkatkan kualitas pelayanan pengadilan bagi prajurit TNI dan masyarakat pencari keadilan. 2. Meningkatkan

Lebih terperinci

STANDAR PELAYANAN PENGADILAN (SPP) DALAM LINGKUNGAN PERADILAN MILITER

STANDAR PELAYANAN PENGADILAN (SPP) DALAM LINGKUNGAN PERADILAN MILITER STANDAR PELAYANAN PENGADILAN (SPP) DALAM LINGKUNGAN PERADILAN MILITER I. KETENTUAN UMUM A. Tujuan 1. Meningkatkan kualitas pelayanan pengadilan bagi prajurit TNI dan masyarakat pencari keadilan. 2. Meningkatkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUN PUSTAKA. Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering,

BAB II TINJAUN PUSTAKA. Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering, BAB II TINJAUN PUSTAKA 2.1 Pengertian Hukum Acara Pidana Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering, menurut Simons hukum acara pidana mengatur tentang bagaimana negara melalui

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Korupsi di Indonesia kini sudah kronis dan mengakar dalam setiap sendi kehidupan.

I. PENDAHULUAN. Korupsi di Indonesia kini sudah kronis dan mengakar dalam setiap sendi kehidupan. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Korupsi di Indonesia kini sudah kronis dan mengakar dalam setiap sendi kehidupan. Perkembangannya dari tahun ke tahun semakin meningkat, hal ini dapat dilihat dari sudut

Lebih terperinci

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Tidak pidana korupsi di Indonesia saat ini menjadi kejahatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh berbagai pihak. Penyebabnya beragam, mulai dari menulis di mailing list

BAB I PENDAHULUAN. oleh berbagai pihak. Penyebabnya beragam, mulai dari menulis di mailing list BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Belakangan marak diberitakan tentang tuduhan pencemaran nama baik oleh berbagai pihak. Penyebabnya beragam, mulai dari menulis di mailing list (milis), meneruskan

Lebih terperinci

Siapa di Belakang Ide Praperadilankan KPK?

Siapa di Belakang Ide Praperadilankan KPK? Siapa di Belakang Ide Praperadilankan KPK? OPINI 07 February 2015 11:08 http://politik.kompasiana.com/2015/02/07/siapa-di-belakang-ide-praperadilkan-kpk-700386.html (Harian Kompas, Sabtu, 7 Februari 2015)

Lebih terperinci

JURNAL BRIEF AKSI KOALISI MASYARAKAT SIPIL ANTIKORUPSI INDONESIA FEBRUARI 2015

JURNAL BRIEF AKSI KOALISI MASYARAKAT SIPIL ANTIKORUPSI INDONESIA FEBRUARI 2015 JURNAL BRIEF AKSI KOALISI MASYARAKAT SIPIL ANTIKORUPSI INDONESIA FEBRUARI 2015 Pada tanggal 15 Januari 2015 beberapa kelompok aktifis yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil dan Relawan Salam Dua

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Mekanisme Mediasi Penal Pada Tahap Penyidikan : mediasi penal dikenal dengan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS).

BAB V PENUTUP. 1. Mekanisme Mediasi Penal Pada Tahap Penyidikan : mediasi penal dikenal dengan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS). 130 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Mekanisme Mediasi Penal Pada Tahap Penyidikan : Berdasarkan penelitian yang Penulis lakukan, terdapat fakta mengenai perbedaan pemahaman penyidik tentang istilah mediasi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN POLTABES LOCUSNYA KOTA BESAR KEJAKSAAN NEGERI KOTA PENGADILAN NEGERI PERISTIWA HUKUM PENGADUAN LAPORAN TERTANGKAP TANGAN PENYELIDIKAN, PEYIDIKAN BAP Berdasarkan

Lebih terperinci

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan apa yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bahwa wewenang penghentian penuntutan ditujukan kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Negara juga menjunjung tinggi

Lebih terperinci

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords:

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords: Abstrak Penelitian hukum ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian alasan terpidana pelaku tindak pidana penipuan dalam mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali dengan dasar adanya suatu kehilafaan hakim

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI 20 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Undang-Undang Dasar 1945 Adapun terkait hal keuangan, diatur di dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi 6 Perbedaan dengan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi? Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi diartikan sebagai penyelenggaraan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain atau suatu korporasi.

Lebih terperinci

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK Materi yang Diatur KUHAP RUU KUHAP Undang TPK Undang KPK Catatan Penyelidikan Pasal 1 angka 5, - Pasal 43 ayat (2), Komisi Dalam RUU KUHAP, Penyelidikan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi I. PEMOHON Dr. Bambang Widjojanto, sebagai Pemohon. KUASA HUKUM Nursyahbani Katjasungkana,

Lebih terperinci

Hal-Hal Penting Terkait Penangkapan Yang Harus Diatur RKUHAP

Hal-Hal Penting Terkait Penangkapan Yang Harus Diatur RKUHAP Hal-Hal Penting Terkait Penangkapan Yang Harus Diatur RKUHAP Oleh : Supriyadi W. Eddyono ICJR Pada prinsipnya, segala bentuk tindakan atau upaya paksa yang mencabut atau membatasi kebebasan merupakan tindakan

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS HAK MEMPEROLEH BANTUAN HUKUM BAGI TERSANGKA DALAM PROSES PENYIDIKAN DIHUBUNGKAN DENGAN PASAL 56 UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981

BAB III ANALISIS HAK MEMPEROLEH BANTUAN HUKUM BAGI TERSANGKA DALAM PROSES PENYIDIKAN DIHUBUNGKAN DENGAN PASAL 56 UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 BAB III ANALISIS HAK MEMPEROLEH BANTUAN HUKUM BAGI TERSANGKA DALAM PROSES PENYIDIKAN DIHUBUNGKAN DENGAN PASAL 56 UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (STUDI KASUS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah Negara Hukum. Di samping itu Pasal 27 Ayat 1 (1) Undang -

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah Negara Hukum. Di samping itu Pasal 27 Ayat 1 (1) Undang - I. PENDAHULUAN Indonesia sebagai negara hukum dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, yakni Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Di samping itu Pasal

Lebih terperinci

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN A. Hal-Hal Yang Menjadi Dasar Penyidik Memerlukan Keterangan Ahli Di Tingkat Penyidikan Terkait dengan bantuan

Lebih terperinci

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah merupakan negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 bukan berdasarkan atas kekuasaan semata. Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. perlu dikemukakan terlebih dahulu identitas responden. : Anggota Pembinaan dan Disiplin Bid Propam Polda Lampung

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. perlu dikemukakan terlebih dahulu identitas responden. : Anggota Pembinaan dan Disiplin Bid Propam Polda Lampung IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden Untuk memperoleh kesahihan penelitian dan gambaran objektif dari responden maka perlu dikemukakan terlebih dahulu identitas responden. 1.

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XVI/2018 Tindakan Advokat Merintangi Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XVI/2018 Tindakan Advokat Merintangi Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XVI/2018 Tindakan Advokat Merintangi Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan I. PEMOHON Barisan Advokat Bersatu (BARADATU) yang didirikan berdasarkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kepolisian dalam mengemban tugasnya sebagai aparat penegak hukum

I. PENDAHULUAN. Kepolisian dalam mengemban tugasnya sebagai aparat penegak hukum I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepolisian dalam mengemban tugasnya sebagai aparat penegak hukum mempunyai berbagai cara dan daya upaya untuk menjaga ketertiban dan keamanan dimasyarakat demi terciptanya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kekuasaan manapun (Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002). Sebagai lembaga

I. PENDAHULUAN. kekuasaan manapun (Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002). Sebagai lembaga I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan suatu lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017 Keterangan Saksi Yang Diberikan di Bawah Sumpah dan Tidak Hadir Dalam Persidangan Disamakan Nilainya dengan Keterangan Saksi Di Bawah Sumpah Yang Diucapkan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2010 TENTANG KOORDINASI, PENGAWASAN DAN PEMBINAAN PENYIDIKAN BAGI PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA

Lebih terperinci

PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI

PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI Oleh : Ruslan Abdul Gani ABSTRAK Keterangan saksi Ahli dalam proses perkara pidana di pengadilan negeri sangat diperlukan sekali untuk

Lebih terperinci

jahat tersebut tentunya berusaha untuk menghindar dari hukuman pidana, yaitu dengan cara

jahat tersebut tentunya berusaha untuk menghindar dari hukuman pidana, yaitu dengan cara A. Pengertian Penahanan Seorang terdakwa akan berusaha untuk menyulitkan pemeriksaan perkara dengan meniadakan kemungkinan akan dilanggar, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Terdakwa yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Banyaknya persoalan anak masih menjadi perhatian kita semua. Kekerasan terhadap anak sudah banyak yang memperhatikan namun masih sedikit perhatian tertuju untuk

Lebih terperinci

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 016/PUU-IV/2006 Perbaikan 11 September 2006

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 016/PUU-IV/2006 Perbaikan 11 September 2006 RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 016/PUU-IV/2006 Perbaikan 11 September 2006 I. PARA PEMOHON Prof. DR. Nazaruddin Sjamsuddin sebagai Ketua KPU PEMOHON I Prof. DR. Ramlan Surbakti, M.A., sebagai Wakil Ketua

Lebih terperinci

Bagian Kedua Penyidikan

Bagian Kedua Penyidikan Bagian Kedua Penyidikan Pasal 106 Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian Pengertian dari membuktikan ialah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Dengan demikian

Lebih terperinci

Perpajakan 2 Pengadilan Pajak

Perpajakan 2 Pengadilan Pajak Perpajakan 2 Pengadilan Pajak 12 April 2017 Benny Januar Tannawi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia 1 Daftar isi 1. Susunan Pengadilan Pajak 2. Kekuasaan Pengadilan Pajak 3. Hukum Acara 2 Susunan Pengadilan

Lebih terperinci