BAB II GAMBARAN UMUM Mekanisme Pengiriman Tenaga Kerja ke Luar Negeri

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II GAMBARAN UMUM Mekanisme Pengiriman Tenaga Kerja ke Luar Negeri"

Transkripsi

1 BAB II GAMBARAN UMUM Mekanisme Pengiriman Tenaga Kerja ke Luar Negeri Mekanisme pengiriman tenaga kerja Indonesia ke luar negeri diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 44/Men/1994 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penempatan Tenaga kerja di Dalam dan di Luar Negeri. Proses pengiriman tenaga kerja Indonesia ke luar negeri terdiri dari bbeberapa tahap : 1. Perijinan Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) meleksanakan kegiatan pengerahan tenaga kerja ke luar negeri harus mendapat izin dari Departemen Tenaga kerja, dengan syarat mengajukan permohonan tertulis kepada kepala pusat Antar Kerja Antar Negara, atau kepala kantor wilayah Departemen Tenaga Kerja dengan menyertakan: - Permohonan nyata tenaga kerja dari luar negeri dengan menggunakan bentuk AN- 01 yang diketahui oleh perwakilan RI di negara setempat; - Perjanjian pengerahan antara PJTKI dengan Mitra Usaha di luar negeri diketahui oleh instansi berwenang negara setempat yang disahkan oleh perwakilan RI; - Perjanjian kerja induk sektor informal yang telah disahkan instansi berwenang di negara setempat; - Menyertakan Rencana Pengerahan Tenaga Kerja Indonesia yang disetujui oleh kepala pusat Antar Kerja Antar Negara 2. Perekrutan Setelah izin diperoleh, PJTKI melalui cabangnya di daerah untuk mengadakan perekrutan di wilayah yang di inginkan, dengan persetujuan kepala kantor wilayah Departemen Tenaga Kerja terlebih dahulu. 3. Pendaftaran Calon tenaga kerja yang ingin mendaftar harus melalui Kantor Depnaker setempat atau bursa kerja swasta (PJTKI) dengan persyaratan : - Kartu Tanda Penduduk;

2 10 - Akte Kelahiran atau Surat kenal lahir; - Surat keterangan berkelakuan baik dari kepolisian setempat; - surat nikah bila telah menikah; - surat pernyataan tidak berkeberatan dari istri/suami/orang tua; - surat keterangan kesehatan dari dokter; - surat keterangan keterampilan; - STTB minimal Sekolah Dasar; - pas foto - kartu tanda pendaftaran pencari kerja dari Kantor Depnaker. 4. Seleksi Seleksi untuk calon tenaga kerja antara lain: - seleksi awal : Seleksi awal dilakukan di daerah/wilayah dimana calon TKI tersebut didaftar, yang meliputi seleksi administrasi dan seleksi keterampilan oleh kantor Depnaker setempat. Setelah lulus dalam seleksi awal, Kepala kantor Depnaker setempat membuat berita acara penyerahan Calon TKI kepada PJTKI. dan selanjutnya PJTKI bertanggung jawab untuk mengantar calon TKI ketempat penampungan atau balai latihan kerja dengan membawa surat pengantar dari Depnaker setempat. - seleksi akhir : Seleksi akhir dilakukan oleh kantor pusat Antar Kerja Antar Negara setelah calon TKI dilatih di balai latihan kerja. Seleksi ini meliputi kelengkapan dan keabsahan serta konsistensi dokumen diantaranya daftar identitas diri, sertifikat keahlian serta surat keterangan telah mengikuti program pra pemberangkatan. 5. Pelatihan Setelah lulus seleksi awal, calon TKI harus mengikuti latiha di balai latihan kerja. Latihan ini berupa latihan keterampilan untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan kerjanya. Dan pada akhirnya wajib mengikuti uji keterampilan yang dilakukan oleh tim uji keterampilan dari Depnaker dn diberikan sertifikat kelulusan, sedangkan bagi calon TKI yang tidak lulus uji keterampilan akan dikembalikan ke daerah asal.

3 11 6. Pemberangkatan Setelah lulus seleksi tahap akhir, maka kantor pusat Antar Kerja Antar Negara mengeluarkan rekomendasi untuk pembuatan Surat Perjalanan RI (paspor) kepada Direktorat Jenderal Imigrasi. Dan kemudian PJTKI mengurus dokumen perjalanan berupa tiket, visa surat keterangan asuransi serta rekomendasi bebas fiskal. Sebelum TKI diberangkatkan harus terlebih dahulu menandatangani surat perjanjian kerja di kantor Depnaker.

4 BAB III ASPEK-ASPEK YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERDAGANGAN PEREMPUAN DIBAWAH UMUR III.1. Migrasi Internasional Mencari kehidupan yang lebih baik merupakan sifat manusia oleh karenanya manusia cenderung memusatkan kehidupannya untuk mencari jalan menuju kehidupan yang lebih baik dengan melalui bekerja. Untuk bekerja apapun dilakukan oleh manusia hingga harus melakukan perjalanan dan berpindah tempat jika dirasakan bahwa tempat yang lama sudah tidak dapat lagi memberikan kehidupan yang lebih baik. Mantra (1999) mengambarkan bahwa perpindahan manusia menuju tempat yang mengguntungkan secara ekonomi seperti halnya angin yang berhembus dari tempat yang bertekanan udara tinggi ketempat yang bertekanan udara rendah. bertekanan udara tinggi disini adalah bahwa tempat tersebut sudah dalam kondisi jenuh dimana keadaan tidak dapat berkembang/bergerak lagi sehingga membuat angin bergerak menujuketempat yang bertekanan rendah untuk memudahkan dalam bergerak. Migrasi adalah perpindahan penduduk dengan tujuan untuk menetap dari suatu tempat ketempat lain melampuai batas politik/negara maupun batas administratif/ batas bagian dalam suatu negara. Definisi migran menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa A Migrant is aperson who changes his place of residence from one political or administrative area to another (dari Dasar-dasar Demografi, FE UI, 2004). Pengertian migrant disini yaitu seseorang yang melakukan perpindahan dari suatu daerah (secara administratif maupun secara politik) untuk tujuan tinggal menetap secara permanent, sedangkan perpindahan sendiri adapula yang hanya bersifat sementara. Menurut Skeldon (1991, dari Dasar-dasar Demografi, 2004), mengidentifikasikan bahwa terdapat lima komponen internasional migran di asia yaitu : - migrasi menetap adalah migrasi yang dilakukan seseorang dimana pada tempat tujuan migrasinya terdapat keluarganya atau kerabatnya, sehingga seseorang tersebut melakukan migrasi karena daya tarik dari kerabatnya yang berada di daerah migrasi;

5 13 - migrasi pelajar adalah migrasi yang dilakukan seseorang karena motiv mengikuti atau mecari pendidikan di daerah migrasi yang baru dimana tingkat pendidikannya lebih baik dari negara asalnya; - migrasi pekerja kontrak adalah migrasi yang dilakukan para pekerja kontrak (unskill) dimana mereka mencari pekerjaan karena minimnya tingkat pekerjaan yang tersedia di negara asalnya dengan pendapatan yang lebih tinggi dari pada pekerjaan dinegara asalnya; - migrasi pekerja ahli adalah migrasi yang dilakukan para pekerja terdidik kenegra tujuan karena motivasi ekonomi, pindah tugas dan sebagainya; - perpindahan para pengungsi adalah migrasi yang dilakukan seseorang/sekelompok orang dengan tujuan sebagai penggungsi baik karena ancaman kekerasan, politik, bencana alam dan sebagainya. Pada dasarnya terdapat dua pengelompokan faktor-faktor yang menyebabkan seseorang melakukan migrasi, yaitu faktor pendorong dan faktor penarik :(Mantra, 1999) 1. Faktor Pendorong : - makin berkurangnya sumber-sumber alam, menurunnya permintaan atas barangbarang tertentu yang bahan bakunya makin susah diperoleh; - menyempitnya lapangan pekerjaan di tempat asal dengan masuknya teknologi mesin; - adanya tekanan-tekanan atau diskriminasi politik, agama, suku; - tidak cocok lagi dengan adat/budaya/kepercayaan daerah asal; - alasan pekerjaan atau perkawinan; - bencana alam. 2. Faktor penarik : - adanya rasa superior ditempat yang baru; - kesempatan mendapatkan pendapatan yang lebih baik; - kesempatan mendapatkan pendidikan yan lebih tinggi; - keadaan lingungan yang menyenangkan; - tarikan dari orang lain; - adanya aktivitas di kota besar, tempat-tempat hiburan.

6 14 Faktor-faktor pendorong adalah faktor yang berasal dari daerah adal migran, yaitu adanya kondisi-kondisi dimana seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sehingga mengakibatkan adanya keinginan keluar dari daerah asalnya untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Misalnya antara lain adalah menyempitnya lapangan pekerjaan karena penggunaan teknologi mesin pada area pertanian dimana tenaga manusia sudah tergantikan oleh tenaga mesin-mesin traktor yang membawa dampak kepada pengurangan penggunaan buruh tani untuk pengolahan area pertanian. Faktor-Faktor penarik adalah kondisi daerah tujuan para migran, yaitu adanya kondisi-kondisi yang dapat menarik keinginan seseorang untuk masuk kedaerah tersebut. Misalnya antara lain adalah kesempatan kerja yang besar dengan tingkat pendapatan/gaji yang tinggi mendorong seseorang yang semula berpendapatan rendah bermigrasi kedaerah baru tersebut untuk mencari pendapatan yang lebih tinggi. Selain itu terdapat empat faktor yang menyebabkan orang mengambil keputusan untuk bermigrasi, yaitu : (Everett S. Lee, 1976) - faktor-faktor yang terdapat di daerah asal; - faktor-faktor yang terdapat di daerah tujuan; - rintangan-rintangan yang menghambat; - faktor-faktor pribadi. Faktor-faktor yang terdapat pada daerah asal dan faktor-faktor yang terdapat pada daerah tujuan sama halnya dengan faktor penarik dan faktor pendorong yaitu kondisi daerah asal seorang migran yang membuatnya ingin melakukan migrasi dan kondisi daerah tujuan migrasi yang diharapkan dapat merubah kehidupan seorang migran menjadi lebih baik. Rintangan-rintangan yang menghambat adalah kondisi yang dapat menghalangi/mempersulit seseorang untuk melakukan migrasi sehingga seseorang tetap tinggal di daerahnya tidak bermigrasi kedaerah lain misalnya laut sebagai pemisah suatu daerah berbeda jika perbatasan daerah tersebut merupakan daratan yang dapat dilalui dengan mudah, peraturan imigrasi yang ketat yang mensyaratkan berbagai macam dokumen bagi para calon migran, penjagaan perbatasan yang ketat, dll. Faktor-faktor pribadi adalah keinginan pada seseorang tersebut yang membuatnya menjadi termotivasi untuk melakukan migrasi, meskipun terdapat faktor penarik yang

7 15 kuat dari suatu daerah tetapi dalam diri seseorang tersebut tidak terdapat keinginan untuk melakukan migrasi maka tidak terjadilah suatu proses migrasi. Migran memiliki peran yang sangat dominan dalam model psikologi pengambilan keputusan untuk migrasi (Janis & Man, 1977). Berbagai perhitungan dilakukan seseorang untuk mengambil keputusan dalam bermigrasi antara lain mempertimbangkan cost and benefit, mencari dan memilih alternatif, maupun menimbang tantangan yang akan dihadapi. Di lain pihak ada yang mengambil keputusan secara singkat diantaranya hanya berdasarkan tingkat pendapatan saja karena juga dilatarbelakangi atas kurangnya informasiyang dimiliki tentang kondisi daerah tujuan secara keseluruhan. Sebagian besar ahli migrasi berpendapat bahwa alasan ekonomi merupakan faktor utama seseorang melakukan migrasi,dan teori ini dipengaruhi oleh Todaro (1969) yang berpendapat bahwa pendapatan yang lebih besar merupakan tujuan migrasi secara rasional. Pada kenyataanya sebagian besar seseorang berpindah untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Kehidupan yang lebih baik disini cenderung pada tingkat ekonomi yang membaik dengan tingkat penghasilan/pendapatan yang lebih besar. Anna Marie menyimpulkan tiga hal yang menjelaskan aspek ekonomi yaitu : - kajian ekonomi migrasi terkait dengan isu ketimpangan daerah; - kecenderungan untuk menonjolkan peran individu migran dan memandang bahwa motif migrasi adalah tunggal dan dilakukan individu secara bebas; - kurangnya pengetahuan dan pemahaman tentang daerah asal, terutama aspek nonekonomis seperti kekerabatan dan kemasyarakatan yang berpengaruh terhadap keputusan untuk migrasi. Keputusan untuk migrasi merupakan keputusan individual tetapi tidak tertutup kemungkinan terdapat keterikatan antara individu dengan kelompok sosialnya dalam hal ini keluarga, maupun lingkungan masyarakat (Stark, 1991). Menurut Runciman (dalam Crosby, 1982) migrasi bukan bertujuan menaikkan pendapatan saja tetapi juga untuk menaikkan status seseorang pada daerah asalnya. Sehingga individu yang mengambil keputusan untuk bermigrasi maka mereka mengingginkan adanya perubahan status yang melekat pada dirinya yaitu dari golongan yang tidak/kurang mampu menjadi golongan yang mampu.

8 16 III.2. HAM (Hak Asasi Manusia) Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa hak adalah (1) yang benar; (2) milik, kepunyaan; (3) kewenangan; (4) kekuasaan untuk berbuat sesuatu; (5) kekuasaan yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu; (6) derajat atau martabat; (7) (hukum),wewenang menurut hukum. Hak asasi adalah kebutuhan yang bersifat mendasar dari umat manusia. Hak asasi merupakan hak natural/alam dan merupakan pemberian langsung dari Tuhan. Hak asasi manusia adalah hak-hak yang melekat pada sifat dasar dan tanpanya kita tidak dapat hidup sebagai mahluk hidup. Hakhak tersebut mengijinkan kita untuk berkembang sepenuhnya dan memanfaatkan kualitas kemanusiaan, kata hati dan memenuhi kebutuhan kita. Semuanya ini adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh setiap laki- laki dan perempuan di mana saja di dunia karena dilahirkan sebagai manusia. Prinsip persamaan harkat dan martabat masing-masing dan setiap orang adalah landasan keutuhan hak asasi manusia. HAM sendiri telah diatur secara sistematis dalam perangkat perundang-undangan Indonesia. Adapun perangkat HAM dalam pembukaan Undang-undang Dasar RI merupakan dasar bagi seluruh peraturan perundangan di Indonesia. Pada alinea pertama Hak Asasi Dasar yang diakui oleh pemerintah Indonesia adalah hak kemerdekaan dan kebebasan dalam bentuk penjajahan baik fisik maupun psikis. Selanjutnya dalam UUD 1945 Amandemen pengaturan masalah HAM diperinci dengan adanya BAB X A yang terdiri dari 10 pasal yakni pasal 28 A s/d Pasal 28 J. Penjualan anak merupakan bentuk terburuk dari pelanggaran hak asasi manusia. Penjualan anak jelas akan membahayakan keselamatan dan masa depan anak karena anak-anak rentan untuk dimanfaatkan, diperkerjakan, dan diekploitasi (Fadli, 2002). Anak itu mempunyai hak yang berbeda dengan orang dewasa, yakni hak untuk diasuh, dilindungi pengasuhan dan perwaliannya, sementara orang dewasa punya hak untuk bekerja dan hak untuk memilih dan dipilih. Jadi, anak hanya punya hak memilih dan dipilih hingga mencapai batas umur, (Farid, 2007) Anak- anak yang direkrut untuk diperkejakan pada situasi buruk (hazardous work) seperti di industri pabrik, perkebunan, perikanan, pertanian, jalanan, pembuangan sampah, dan pertambangan dapat dikategorikan sebagai tindak traffiking. Penjualan

9 17 balita maupun organ tubuh baik di dalam negeri maupun di luar negeri juga termasuk ke dalam tindak traffiking. Perdagangan anak untuk tujuan seksual komersial dan pembantu rumah tanggapun dapat dikategorikan sebagai traffiking. Ironisnya, semua tindakan yang dikategorikan traffiking tersebut ditenggarai terjadi di Indonesia dari tahun ketahun tanpa ada rencana penanganan yang jelas. III.3. Perdagangan Perempuan III.3.1. Pengertian Perdagangan Manusia Perdagangan (trafficking) manusia mempunyai arti yang berbeda bagi setiap orang. Perdagangan manusia khususnya perdagangan perempuan dan anak meliputi sederetan masalah dan isu sensitif yang kompleks yang ditafsirkan berbeda oleh setiap orang, tergantung sudut pandang pribadi atau organisasinya. Definisi ini menjadi sangat penting di Indonesia karena banyak dari manifestasi perdagangan merupakan praktik yang diterima dalam masyarakat, sehingga mereka tidak dianggap eksploitatif, apalagi dipandang sebagai tindak perdagangan. Dahulu, perdagangan perempuan hanya dipandang sebagai pemindahan perempuan secara paksa keluar negeri untuk tujuan prostitusi. Namun kemudian perdagangan didefinisikan sebagai perpindahan manusia (khususnya perempuan dan anak), dengan atau tanpa persetujuan orang yang bersangkutan di dalam suatu negara atau ke luar negeri, untuk semua bentuk perburuhan yang eksploitatif, tidak hanya prostitusi dan perbudakan yang berkedok pernikahan (servile marriage), sehingga memperluas definisi itu untuk mencakup lebih banyak isu dan jenis kekerasan (Ruth Rosenberg). Pemerintah Indonesia sejak awal telah mengkriminalisasikan perdagangan orang (Pasal 297 KUHP, Wet boek van Strafrecht yang diubah dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946), namun karena trafficking in persons kini sudah berkembang menjadi kejahatan transnasional yang terorganisir, maka diperlukan adanya pembaharuan komitmen untuk memeranginya (Ruth Rosenberg). Sebagai acuan untuk menentukan batasannya, dalam karya tulis ini perlu dirumuskan definisi dari trafficking in persons especially women and children.

10 18 Trafficking in persons especially women and children secara sederhana dapat diartikan sebagai perdagangan manusia khususnya perempuan dan anak. a. Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons Espescially Women and Children, Supplementing The United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (2000) menyatakan bahwa : Trafficking in persons shall mean the recruitment, transportation, transfer, or receipt of person by means of the threat or use of force or other of power or a position of vulnerability or of the giving or receiving of payments or benefits to achieve the consent of a person having control over another person, for the purpose of exploitation. Exploitation shall include, at a minimum, the exploitation of the prostitution of others or other form of sexual exploitation, forced labor or service, slavery or practices similar to slavery or the removal of organs. Perdagangan manusia adalah perekrutan, transportasi, pemindahan, penyembunyian, atau penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk tekanan lain, penculikan, pemalsuan, penipuan atau pencurangan atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, atau pun penerimaan/pemberian bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang tersebut untuk dieksploitasi, minimalnya dieksploitasi untuk prostitusi atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek yang menyerupai, adopsi ilegal atau pengambilan organ-organ tubuh. b. Optional Protocol of the Convention on the Right of the Child on the Sale of Children and Trafficking, Child Prostitution and Child Pornography, article 2(a), mendefinisikan penjualan anak (sale of children) adalah : Setiap tindakan atau transaksi di mana seorang anak dipindahkan kepada orang lain oleh siapa pun atau kelompok demi keuntungan atau bentuk lain. Dalam konteks penjualan anak-anak seperti didefinisikan pasal 2 meliputi : 1) menawarkan, mengantarkan atau menerima anak dengan berbagai cara untuk tujuan-tujuan : eksploitasi seksual anak, mengambil organ tubuh anak untuk mengambil suatu keuntungan, keterlibatan anak dalam kerja paksa. 2) penculikan anak untuk adopsi. c. International Labour Organization (ILO), mengartikan perdagangan anak (trafficking in children) sebagai : Suatu tindakan yang menyertakan aspek-aspek proses perekrutan dan atau pemindahan tempat terhadap seseorang, seringkali untuk kerja yang

11 19 dieksploitasi, termasuk eksploitasi seksual dengan kekerasan, ancaman, penipuan atau jerat hutang. d. Global Alliance Against Trafficking in Women (GAATW), mendefinisikan perdagangan perempuan (trafficking in women) sebagai: Semua usaha yang berkaitan dengan perekrutan, transportasi dalam atau lintas perbatasan, pembelian, penjualan, transfer, pengiriman atau penerimaan seseorang dengan menggunakan penipuan atau tekanan termasuk penggunaan atau ancaman penggunaan kekerasan atau penyalahgunaan kekerasan atau lilitan hutang dengan tujuan untuk menempatkan atau menahan orang tersebut, baik dibayar maupun tidak, untuk bekerja yang tidak diinginkannya (domestik), seksual atau reproduktifl, dalam kerja paksa atau ikatan keria atau dalam kondisi seperti perbudakan, dalam suatu lingkungan lain dari tempat di mana orang itu tinggal pada waktu penipuan, tekanan atau lilitan hutang pertama kali. e. Tim Khusus tentang Kekerasan terhadap Perempuan, membuat definisi yang telah diterima sepenuhnya oleh Komisi HAM PBB sebagai berikut : Perdagangan manusia (trafficking in persons) adalah perekrutan, pengangkutan, membeli, menjual, memindahkan, membawa atau menerima manusia : 1) dengan ancaman atau penggunaan kekerasan, menculik, menekan, menyekap, menipu atau memaksa (termasuk penyalahgunaan wewenang), atau menjerat melalui hutang dengan berbagai tujuan; 2) menempatkan atau menahan seseorang dengan atau tanpa bayaran, dalam kerja paksa atau praktek-praktek mirip perbudakan, dalam suatu komunitas yang berbeda dengan tempat tinggal orang itu. Di Indonesia sendiri definisi tentang perdagangan manusia diambil berdasarkan Keppres Nomor 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak yang mengadaptasi dari UN Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, especially Women and Children dinyatakan bahwa : Perdagangan orang (trafficking in persons) merupakan segala tindakan pelaku yang mengandung salah satu atau lebih perekrutan, pengangkutan antar daerah dan antar negara, pemindahtanganan, pemberangkatan, penerimaan, dan penampungan sementara atau di tempat tujuan, terhadap perempuan dan anak. Dengan cara ancaman, penggunaan kekerasan verbal dan fisik, penculikan, penipuan, tipu muslihat, memanfaatkan posisi kerentanan misalnya ketika seseorang tidak memiliki pilihan lain, terisolasi,

12 20 ketergantungan obat, jebakan hutang dan lain-lain, memberikan atau menerima pembayaran atau keuntungan di mana perempuan dan anak digunakan untuk tujuan pelacuran dan eksploitasi seksual (termasuk paedofili), buruh migran legal maupun ilegal, adopsi anak, pekerja jermal, pengantin pesanan, pembantu rumah tangga, mengemis, industri pornografi, pengedaran obat terlarang, penjualan organ tubuh, serta bentuk-bentuk eksploitasi lainnya. Berdasarkan tinjauan tersebut di atas, maka yang paling memenuhi persyaratan adalah definisi menurut Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons Especially Women and Children, supplementing the United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (2000). Berdasarkan definisi tersebut di atas, maka suatu kejahatan dapat dikategorikan sebagai perdagangan manusia apabila: a. Memenuhi empat unsur: 1) Pemindahan manusia dari dukungan keluarganya atau sistem dukungan lainnya; 2) Proses Melalui proses, baik merekrut, mengangkut, mentransfer, menyembunyikan, menampung atau menerima perempuan dan anak tersebut. 3) Bentuk dan cara Pemindahan perempuan dan anak ke lingkungan asing dari lingkungan keluarganya, teman, jaringan pendukung melalui cara baik ancaman, kekerasan, paksaan, penculikan, penipuan, kecurangan, pemalsuan, atau penyalahgunaan kekuasaan, menerima atau memberi bayaran atau keuntungan untuk mendapatkan persetujuan dari seseorang untuk menguasai orang lain (atau sekelompok orang lain). 4) Tujuan Dengan tujuan eksploitasi untuk pelacuran, pornografi, kekerasan atau eksploitasi seksual, kerja paksa, dengan gaji tidak adil, perbudakan atau praktek-praktek serupa, adopsi ilegal, atau untuk mengambil organ-organ tubuhnya.

13 21 b. Untuk masing-masing unsur, cukup salah satu sub unsur terpenuhi. III.3.2. Obyek Perdagangan Manusia khususnya Perempuan dan Anak Perempuan dan anak yang menjadi obyek perdagangan umumnya berada dalam kondisi rentan sehingga mudah dirayu oleh pelaku perdagangan untuk dijadikan korban perdagangan perempuan dan anak, diantaranya: a. Perempuan dan anak-anak dari keluarga miskin yang berasal dari pedesaan atau daerah kumuh perkotaan; b. Perempuan dan anak-anak dengan pendidikan terbatas; c. Perempuan dan anak-anak yang menghadapi krisis ekonomi seperti penyakit keras, hilangnya pendapatan suami dan orang tua, atau mereka meninggal dunia; d. Perempuan dan anak-anak yang tinggal dengan masalah ekonomi, sosial dan politik yang serius; e. Anak-anak putus sekolah; f. Korban kekerasan (fisik, psikis, seksual); g. Para pencari kerja; h. Perempuan dan anak jalanan; i. Korban penculikan; j. Janda yang bercerai akibat pernikahan dini; k. Mereka yang mendapat tekanan untuk bekerja dari orang tua atau lingkungannya; l. Pekerja seks yang menganggap bekerja di luar negeri menjanjikan pendapatan lebih. III.3.3. Faktor-faktor Penarik dan Pendorong Perdagangan Perempuan dan Anak a. Faktor Penarik Perdagangan Perempuan dan Anak 1) Industri Seks Keberadaan industri seks di hampir seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia, menjadi faktor penarik utama perdagangan perempuan dan

14 22 anak. Bentuk industri ini telah berkembang dalam berbagai modus operandi, kedok dan skala yang mutakhir dan macam-macam. 2) Industrialisasi Faktor ini dengan efek negatifnya meminta tenaga kerja murah dan menciptakan konsumen seks komersil yang mendorong kejahatan perdagangan manusia. 3) Globalisasi Globalisasi telah menciptakan borderless world atau dunia tanpa batas sehingga menciptakan pelaku lintas negara yang mampu membangun jaringan yang besar dan sulit terjaring oleh hukum. 4) Perbedaan Tingkat Kemajuan Ekonomi Hal ini menyebabkan terdapatnya kelompok negara miskin yang biasanya menjadi country of origin, dan kelompok negara kaya yang biasanya menjadi country of destination. 5) Kemajuan Teknologi Informasi, Komunikasi dan Transportasi Kemajuan Teknologi Informasi dan Transportasi menciptakan adanya pelaku perdagangan perempuan dengan tingkat mobilisasi yang tinggi dan memiliki kemampuan untuk mengakses informasi dan komunikasi secara lintas negara. b. Faktor Pendorong Perdagangan Perempuan dan Anak 1) Faktor Pendorong dari Calon Korban (a) Kemiskinan Penduduk yang miskin mungkin akan lebih rentan terhadap perdagangan, tidak hanya karena lebih sedikitnya pilihan yang tersedia untuk mencari nafkah, tetapi juga karena mereka memegang kekuasaan sosial yang lebih kecil, sehingga mereka tidak mempunyai cukup kesempatan untuk memperoleh bantuan dan pekerjaan. Dengan status sosial mereka yang lebih rendah, penduduk miskin juga mempunyai kekuatan yang lebih sedikit untuk menyuarakan keluhannya, atau untuk memperoleh bantuan dari pihak berwenang.

15 23 (b) Tingkat Pendidikan yang Rendah Tingkat pendidikan yang rendah dan kebutahurufan membuat perempuan menghadapi resiko yang lebih besar untuk mengalami eksploitasi dan perdagangan, karena mereka tidak mampu membaca atau memahami kontrak kerja atau dokumen imigrasi. Hambatan itu juga akan semakin menyulitkan mereka dalam mencari bantuan, karena mereka tidak mengetahui hak-hak mereka atau pun tidak mampu membaca petunjuk. (c) Pengangguran Faktor ini menjadikan calon korban menerima jenis pekerjaan apa pun yang ditawarkan atau dijanjikan kepadanya. (d) Konsumerisme Sebuah pengkajian mengenai kondisi ekonomi di Indonesia juga memperlihatkan bahwa kemiskinan bukan satu-satunya faktor yang mempunyai andil dalam menciptakan kerentanan terhadap perdagangan. Tetapi keinginan untuk menikmati penghasilan yang lebih tinggilah yang mendorong orang menghalalkan segala cara sehingga menghadapi resiko di perdagangkan. (e) Peran Perempuan dalam Keluarga Di Indonesia, peran perempuan dalam keluarga terpusat di rumah. Tugas utama perempuan adalah sebagai istri dan ibu; mengurus keluarga dan rumah. Banyak perempuan yang menjadi pencari nafkah utama dalam rumah tangga mereka. Jika sebuah keiuarga membutuhkan nafkah, seorang perempuan mungkin akan memutuskan untuk meninggalkan keluarganya, untuk bermigrasi guna mencari pekerjaan agar dapat mengirim uang ke kampung sehinngga keluarganya dapat bertahan hidup. Dengan meninggalkan keluarganya untuk bermigrasi mencari pekerjaan, seorang perempuan dapat menjadi rentan terhadap kekerasan, eksploitasi, dan perdagangan dalam proses migrasi.

16 24 (f) Peran Anak dalam Keluarga Di dalam masyarakat Indonesia, anak tidak hanya diharapkan untuk menghormati dan mematuhi orangtuanya, tetapi juga membantu mereka. Bantuan ini bisa bermacam-macam bentuknya, mulai dari menjaga adik, membantu keluarga di ladang seusai sekolah, sampai bekerja penuh waktu. Karena tradisi budaya ini, banyak bentuk perburuhan anak yang dapat disebut sebagai perdagangan jika dilihat dari standar internasional sedangkan hal tersebut dianggap normal di Indonesia. 2) Faktor Pendorong dari Pelaku Perdagangan Perempuan dan Anak (a) Perdagangan manusia adalah bisnis yang sangat menguntungkan; (b) Untuk mulai menjalankan bisnis ini tidak perlu investasi besar; (c) Pelaku kejahatan tidak memerlukan keahlian khusus, jadi jaringan ini dapat dengan mudah merekrut banyak orang; (d) Walaupun kejahatan ini merupakan ancaman kemanusiaan, selama ini masih sedikit pelaku yang diadili atau dihukum. III.3.4. Bentuk-bentuk Perdagangan Perempuan 1. Buruh Migran Meningkatnya jumlah buruh migran perempuan dan anak Indonesia dapat menimbulkan kekhawatiran, karena dari sifat pekerjaan dan posisi tawar mereka lemah, buruh migran perempuan dan anak rentan terhadap perdagangan. Selain itu, meningkatnya migrasi perempuan dan anak tanpa izin kerja yang sah atau secara tidak resmi juga menyebabkan mereka makin rentan terhadap perdagangan. Ketika buruh dipaksa bermigrasi melalui saluran tidak resmi, mereka sering kali menjadi sasaran pelaku perdagangan, agen dan majikan yang ingin mengeksploitasi mereka. Bahkan bila mereka bermigrasi secara sah,buruh migran masih saja rentan karena mereka sering kali kurang diberi perlindungan di negara lain daripada pekerja lain, terutama bila mereka bekerja di sektor informal. Berikut ini adalah tinjauan terhadap praktek- praktek perdagangan dan eksploitasi

17 25 yang dihadapi buruh migran selama berbagai tahap migrasi:(ruth Rosenberg, 2003) a. Tahap Perekrutan Lembaga yang menjalankan perekrutan tenaga kerja Indonesia selama ini adalah dikenal dengan nama PJTKI (Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia). Lembaga ini dibawah pengawasan dari Departemen Tenaga Kerja Indonesia dan harus memperoleh izin dari departemen tersebut untuk menjalankan usaha yang resmi. Namun selama ini PJTKI yang banyak adalah PJTKI yang tidak resi karena tingginya biaya pengurusan perizinan dari Depnaker. Karena kondisi ini makin sulit dibedakan anatara PJTKI resmi dan tidak resmi. Bahkan jika seorang buruh migran direkrut oleh agen atau PJTKI resmi atau terdaftar buruh migran tersebut dapat menjadi objek eksploitasi dan perdagangan dalam tahap migrasi, dengan cara- cara yaitu pungutan liar, penjeratan utang,pemalsuan dokumen, penipuan tentang jenis atau kondisi kerja dan penyesatan atau tidak diberikan kontrak kerja. b. Tahap Prakeberangkatan Setelah perekrutan, buruh migran umumnya tinggal di penampungan atau pusat pelatihan PJTKI untuk diproses dokumen yang diperlukan untuk bekerja di luar negeri dan diberi keterampilan untuk bekerja di luar negeri. Namun pada prakteknya pelatihan tidak selalu dilaksanakan. Para aktivis buruh migran di Indonesia melaporkan bahwa penjeratan utang akibat calon buruh yang tinggal terlalu lama di penampungan adalah sesuatu yang lazim dijumpai. (Koalisi LSM Indonesia,2002). Yang tidak kalah buruknya, sebagian besar penampungan PJTKI membatasi gerak calon buruh migran. Pembatasan ini menyebabkan seorang calon buruh migran perempuan yang tewas diduga akibat melompat dari lantai tiga sebuah penampungan ketika berusaha melarikan diri karena tidak melunasi utangnya pada tahun Pada tahap ini cara-cara pengekspolitasian dilakukan dengan cara pungutan liar, pengelembungan jasa, penjeratan utang dan pemalsuan dokumen, penyekapan ilegal, kondisi tempat tinggal yang buruk atau tidak

18 26 sehat, pelecehan atau kekerasan seksua,penganiayaan atau kekerasan fisik,dan sarana transportasi yang berbahaya atau terlalu padat. Pada tahap ini pula ada sebuah bukti anekdotal bahwa aparat pemerintah lain, mulai dari oknum pegawai imigrasi dan oknum bea cukai sampai oknum pegawai aparat pemerintahan kota dan oknum pihak militer memiliki andil terlibat langsung dalam perdagangan dan eksploitasi imigran. Keterlibatan tersebut dalam bentuk penerbitan dokumen aspal (asli tapi palsu) dan dokumen palsu seperti KTP dan paspor RI., bekerja sama dngan pelaku perdagangan untuk mengirim korban menerima suap untuk membiarkan perdagangan untuk mengirim korban, menerima suap untuk membiarkan pelanggaran tejadi, mengelola atau menikmati keuntungan dari rumah bordir atau menjual korban untuk tujuan prostitusi. c. Kondisi di negara Tujuan Kondisi atau pekerjaan yang tidak sesuai dengan kontrak dan/atau perjanjian lisan dengan buruh, antara lain ditempatkan dirumah bordir adalah salah satu bentuik dari unsur pedagangan manusia yang didapat dari negara tujuan. Selain itu buruh ditugaskan di majikan baru di negara penerima tanpa persetujuannya, dan dalam beberapa kasus perdaganagn perempuan dilakukan dengan unsur pemaksaan dan kekerasan fisik, antara lain untuk prostitusi. Di negara tujuan para korban perdagangan kerap disekap di tempat penampungan ilegal dengan kekerasan fisik,psikis dan seksual. Mereka juga tidak diperbolehkan keluar dari tempat penampuangan karena diancam akan dibunuh atau ditangkap oleh kepolisian negara setempat karena dokumen keimigrasia yang mereka miliki ditahan. Kondisi lain yang telah meyebabkan para korban perdagangan perempuan semakin tersiksa adalah dengan penjeratan utang oleh para penyalur serta upah kerja mereka yang ditahan atau dipotong. d. Tahap pemulangan dan reintegrasi Pada tahap ini korban perdagangan biasanya dikelabui dan diperas pada saat mereka tiba di Indonesia oleh oknum aparat.

19 27 2. Pembantu Rumah Tangga Banyak perempuan jatuh pada lilitan hutang karena meminjam uang dengan tingkat bunga yang luar biasa tinggi pada agen perekrut dan dipaksa majikan mereka meskipun kondisinya titak dapat ditolelir. Perempuan yang diperdagangkan sebagai pekerja domestik, juga dipaksa untuk bekerja di tempat usaha majikan mereka seperti di restoran atau pabrik. Bentuk-bentuk kekerasan yang berlangsung meliputi penahanan paspor, penyekapan dan pelarangan komunikasi dengan pihak luar, penahanan gaji, jam kerja yang panjang dan penerangan seksual. 3. Pekerja Seks Komersil Banyak perempuan yang bermigrasi, mengetahui bahwa mereka akan bekerja di industri seks. Namun banyak pula diantara mereka yang tidak menyadari kondisi kerja tersebut dan kehilangan kontrol atas kerja dan pendapataan mereka. Perempuan lainnya mendapatkan diri mereka di dalam industri seks diluar kemauan mereka melalui penipuan atau paksaan. Masalah yang mereka hadapi termasuk lilitan hutang, penahanan dokumen perjalanan dan gaji, pemukulan, penyerangan seksual, penyekapan dan kekerasan psikologis. Ketika para pekerja seks berusaha mengajukan tuntutan kepada para pedagang perempuan tersebut, mereka mungkin menghadapi kenyataan bahwa mereka justru ditahandengan tuduhan prostitusi. Beberapa petugas hukum terlibat perdagangan ini, dan bisa saja memberikan dokumen perjalanan dan perlindungan bagi agen dan pedagang perempuan. 4. Penari Penghibur dan Pertukaran Budaya Belakang ini muncul tren untuk memperdagangkan perempuan Indonesia diperdagangkan ke dalam industri seks di Jepang dengan kedok diberangkatkan ke luar negeri sebagai penari tradisional. hingga sekarang informasi mengenai subjek ini masih terbatas. 5. Perkawinan Pedagang perempuan ada yang menempatkan diri sebagai perantara perkawinan, dan menjanjikan para perempuan untuk diperkenalkan pada calon

20 28 suami yang sukses. Beberapa orang asing datang ke desa untuk bertemu dengan para perempuan, menikahi mereka dan menjanjikan mereka untuk pergi keluar negeri. Perempuan-perempuan ini pergi untuk tinggal di lingkungan yang baru tanpa banyak mengetahui tentang budaya dan bahasa, dan menjadi budak dalam arti sesungguhnya. Suami mereka mungkin telah menikah atau mungkin mereka mucikari. Perempuan-perempuan ini kemudian dipaksa untuk kerja seks, buruh tanpa bayar, atau berakhir dalam perkawinan palsu. Beberapa suami berlaku semena-mena. Di banyak negara status tinggal perempuan tergantung pada perkawinannya. Selanjutnya, status kewarganegaraan anak mungkin juga tergantung pada perkawinan sebagaimana halnya dengan hak atas warisan dan harta benda. Penculikan dan penjualan perempuan sebagai iastri di beberapa daerah pedesaan meningkat dalam skala sangat tinggi. Banyak perempuan dipukul dan diperkosa ketika mereka berada dalam tangan penjual budak. Setelah dijual banyak perempuan menderita kekejaman dan tindakan yang tidak manusiawi dari pria yang membeli mereka sebagai istri, dan tindakan kekerasan yang sangat kejam untuk mencegak mereka melarikan diri. Praktek istri pesanan sendiri tidak dianggap sebagai perdagangan perempuan, meskipun operasi ini memberikan banyak peluang kepada para pedagang untuk mengeksploitasi perempuan yang ingin meperbaiki hidup mereka melalui perkawinan. Kerentanan perempuan sebagai istri pesanan meningkat karena staus hukum mereka sebagai imigran dengan ijin tinggal sementara yang tergantung pada kelanjutan hubungannya dengan pasangannya. Keadaan demikian sang istri biasanya tidak berada dalam posisi untuk memperoleh bantuan dari petugas atau meninggalkan suami mereka yang kejam karena takut dideportasi. 6. Kerja paksa Perempuan, laki-laki dan anak-anak mungkin diperdagangkan untuk kerja di pertanian, konstruksi atau industri. Mereka mengharapkan gaji besar, tetapi dalam banyak kasus mereka memperoleh bayaran rendah atau tidak dibayar sama sekali. Mereka juga menderita kekerasan fisik, seksual dan mental pada lingkungan

21 29 kerja. Banyak dari pekerja ini, karena status mereka di negara tujuan adalah ilebal, ragu untuk mencari bantuan dari aparat pemerintah karena takut dituding sebagai imigran gelap. 7. Mengemis Perdagangan perempuan untuk mengemis menjadi fenomena yang terus meningkat di wilayah Mekong. Perempuan tua, orang cacat dan bayi direkrut dari desa terpencil, dan dibawa ke kota besar yang jauh dari tempat asal mereka. Mereka tidak bisa berbicara setempat dan tidak tahu arah, terlalu lemah atau terlalu tua untuk melarikan diri dari cengkraman majikan mereka ditempat mana mereka tidak mengenal seorang pun. Setiap hari mereka dibawa ketempat yang asing. Mereka tidak diijinkan berjalan sendiri dan diawasi oleh agen yang mengumpulkan uang mereka, begitu kaleng mereka penuh. Dipaksa untuk mengemis adalah pengalaman yang memalukan. Banyak yang hidup dalam ketakutan akan ditangkap oleh polisi dan dibuang oleh majikan mereka. 8. Perdagangan Narkoba Internasional Sebuah fenomena terakhir adalah suatu kejahatan yang berkaitan dengan Konvensi tentang Kejahatan Internasional yang Terorganisir. Bentuk tersebut adalah perdagangan perempuan untuk memaksa mereka menyeludupkan atau menjual narkotik dan obat-obatan berbahaya(narkoba). Berdasarkan temuan dari penelitian yang dilakukan oleh Pusat Kajian Wanita dan Jender Universitas Indonesia menemukan beberapa indikasi berbagai jenis metode yang dilakukan oleh pelaku perdagangan, antara lain penggunaan kekerasan dan itimidasi,membius perempuan dan memaksa mereka untuk menelan kapsul yang berisi narkoba lalu memaksa mereka untuk naik ke pesawat, dan menipu para perempuan tersebut sehinga mereka membawa narkoba tanpa sepengetahuan mereka sendiri keluar atau masuk wilayah Indonesia.

22 30 III.4 Instrumen Hukum Mengenai Perdagangan Perempuan III.4.1. Instrumen Hukum Internasional 1) Konvensi PBB untuk Memberantas Trafiking Manusia dan Ekspolitasi Pelacuran Orang Lain (Convention for the Suppression of the Trafficking in Persons and of the Exploitation of the Prostitution of Other) Tahun 1949 Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 317 (IV), konvensi ini menyatakan bahwa adanya larangan terhadap semua tindakan yang berkaitan dengan trafiking terutama perempuan dan anak dan eksploitasi lainnya seperti untuk tujuan prostitusi. Berdasarkan Pasal 1 dan Pasal 2 yang mewajibkan kepada setiap negara peserta untuk menghukum pelaku yang mendapatkan, membujuk atau membawa pergi orang lai untuk tujuan eksploitasi prostitusi, meskipun dengan persetujuan korban dan bagi pengelola rumah bordir, atau yang mengetahui, membiarkan atau menyewakan tempat-tempat lain untuk melacurkan orang lain. 2) Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) Tahun 1989 Konvensi tentang hak-hak anak yang telah berlaku sejak tahun 1990 dan telah diratifikasi Indonesia (Keppres. Nomor 36 Tahun 1990) telah memberikan perhatian khusus terhadap perlindungan anak dari slavery like practise. Konvensi ini antara lain mewajibkan negara pesertanya untuk melindungi anak-anak dari eksploitasi ekonomi dan dari bentukbentuk pekerjaan yang membahayakan atau dapat membahayakan kesehatan, spiritual, moral, dan perkembangan sosial anak-anak, baik melalui jalur-jalur tindakan legislatif, administratif, sosial dan pendidikan. 3) Konvensi PBB tentang Kejahatan Terorganisasi Antar Negara dan Protokol untuk Mencegah, Menekan dan Menghukum Trafiking Manusia terutama Perempuan dan Anak (United Nations Convention Againts Transnational Organized Crimes and Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Espescially Women and Children) Tahun 2000 Pada tanggal Desember 2000, sidang Umum PBB menghasilkan Konvensi PBB tentang Kejahatan Terorganisasi Antar Negara dilengkapi

23 31 dengan Protokol untuk Mencegah, Menekan dan Menghukum Trafiking Manusia terutama Perempuan dan Anak protokol ini mengatur ketentuan mengenai kriminalisasi terhadap perdagangan manusia terutama perempuan dan anak. III.4.2. Instrumen Hukum Nasional Sampai dengan saat ini belum terdapat undang-undang yang khusus mengatur masalah pemberantasan perdagangan orang, khususnya perempuan dan anak. Hingga saat ini yang ada masih berbentuk rancangan undang-undang yang sudah diajukan oleh pemerintah ke DPR untuk dijadwalkan pembahasannya menjadi undang-undang. Walaupun demikian, ada beberapa ketentuan undang-undang yang dapat dipakai sebagai dasar untuk menjerat pelaku tindak pidana perdagangan orang, khususnya perempuan dan anak. Peraturan perundangundangan tersebut antara lain: 1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana Perbuatan-perbuatan pidana yang sebenarnya adalah unsur-unsur dari tindak pidana perdagangan manusia, perempuan dan anak-anak, sebenarnya telah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), akan tetapi ketentuan tersebut tidak dinyatakan sebagai pasal tentang perdagangan perempuan dan anak-anak (Sila Pulungan, 2004). (a) Eksploitasi Seksual Sekalipun prostitusi bukan merupakan tindak pidana menurut KUHP, namun mendapatkan keuntungan dari memprostitusikan orang lain dinyatakan sebagai tindak kriminal. Beberapa pasal KUHP yang mengkriminalisasikan orang lain dan yanng menjatuhkan hukuman kepada mereka yang melakukan eksploitasi seksual terhadap perempuan dewasa dan anak-anak dapat digunakan untuk membawa kasus kasus perdagangan untuk tujuan eksploitasi seksual ke pengadilan: Pasal 285 KUHP barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

24 32 Pasal ini menempatkan korban perdagangan perempuan sebagai korban pemerkosaan. Beranjak dari filosofi pentingnya perlindungan saksi korban, terutama mereka yang menjadi korban perdagangan perempuan, maka pemerkosaaan harus dipandang sebagai suatu bentuk kekerasan terhadap perempuan. Sekalipun bersetubuh adalah unsur yang penting dalam delik ini, tidaklah berarti bahwa dalam penyidikan, penuntutan dan persidangan, unsur ini yang terutama harus dibuktikan. Hal ini lah yang kembali menyudutkan posisi korban dan menempatkan korban kembali dalam posisi sebagai korban pemerkosaan di tingkat penyidikan, penuntutan maupun ditingkat peradilan. Pasal 287 KUHP barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun, diancam pidana penjara paling lama sembilan tahun. Pasal ini mengkriminalisasi perbuatan berhubungan badan dengan perempuan berusia di bawah 15 tahun, hal ini berarti ketentuan pasal ini tidak berlaku terhadap usia lima belas tahun dan ke atas. Pada pembuktian tentang usia ini maka si pelaku harus dibuktikan bahwa pelaku mengetahui atau sepatutnya menduga bahwa perempuan/korban tersebut belum berusia 15 tahun. Pasal 288 KUHP barangsiapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang wanita yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, apabila perbuatan itu mengakibatkan luka-luka, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun; Pasal ini mengkriminalisasi laki-laki yang dalam ikatan perkawinan berhubungan badan dengan isterinya, perempuan yang belum masanya dikawinkan, yakni jika hubungan seksual tersebut

25 33 mengakibatkan luka fisik. Pasalnya ini khususnya ditujukan bagi korban perdagngan perempuan dengan berkedok perkawinan. Pasal 289 KUHP barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana paling lama sembilan tahun. Pada pasal ini mengkriminalisasi seseorang yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksaan seorang lain melakukan atau membiarkan dilakukan pada dirinya tindakan-tindakan asusila. Pasal 297 KUHP perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum cukup umur, diancam penjara paling lama enam tahun. Pasal ini mendefinisikan kejahatan perdagangan /trafiking dengan sangat luas. Setiap perbuatan membawa (menyerahkan) seorang perempuan atau anak-anak ke dalam situasi pelacuran dan setiap perbuatan mencegah seorang perempuan atau anak-anak berhenti dari praktek pelacuran masuk ke dalam rumusan delik pasal 297 KUHP. Namun dikarenakan trafiking adalah kejahatan kompleks yang terdiri atau mencakup ragam unsur yang bersama-sama membentuk tindak pidana trafiking, maka kerap kali penerapan pasal 297 KUHP hanya mencakup tindakan prostitusi. Hal ini berarti bahwa, trafiking dapat dipandang sebagai satu kesatuan utuh-tindak pidana Pasal 297 KUHP-namun juga dapat dipecah-pecah ke dalam unsur-unsur pembentuknya, khususnya berkenaan dengan cara yang digunakan pelaku dan hasil akhirnya berupa kerja paksa atau praktik serupa perbudakan. Kedua unsur di atas dalam dirinya sendiri sudah merupakan tindak pidana.

26 34 Pasal 506 KUHP barangsiapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai pencarian, diancam dengan kurungan paling lama satu tahun. Ketentuan ini mengkriminalisasi orang yang mengambil keuntungan dari pelacuran perempuan. Keuntungan tersebut adalah segala hal yang dapat dinilai dengan uang. (b) Pekerja Anak Perdagangan anak untuk dijadikan pengemis, KUHP melarang siapapun untuk melibatkan anak-anak dalam pekerjaan mengemis atau pekerjaan-pekerjaan yang berbahaya lainnya: Pasal 301 KUHP barangsiapa memberi atau menyerahkan kepada orang lain seorang anak yang ada dibawah kekuasaannya yang sah dan umurnya kurang dari dua belas tahun, padahal diketahui bahwa anak tersebut akan dipakai untuk melakukan pengemisan atau untuk pekerjaan yang berbahaya, atau yang dapat merusak kesehatan, diancam pidana penjara paling lama empat tahun. Pasal ini khusus bagi perbuatan yang korbannya adalah anak-anak di bawah 12 tahun, dengan pelakunya adalah orang yang mempunyai kuasa yang sah atas anak tersebut,misalnya orangtua atau wali. Apabila dihubungkan dengan pasal 297 KUHP tentang trafiking, maka pasal ini subyeknya terbatas pada oran yang mempunyai kuasa yang sah terhadap anak tersebut, batasan usia korban lebih jelas yaitu dibawah 12 tahun, dan tujuan pemindahan penguasaan anak lebih luas, tidak semata-mata untuk kegiatan prostitusi. (c) Penculikan Pasal-pasal yang relevan dengan kejahatan yang melibatkan penculikan antara lain adalah: Pasal 332 KUHP

27 35 tindak pidana menculik seseorang perempuan diancam dengan pidana penjara : 1. paling lama tujuh tahun, barangsiapa membawa pergi seseorang wanita yang belum cukup umur, tanpa dikehendaki orang tuanya atau walinya tetapi dengan persetujuannya, dengan maksud untuk memastikan penguasaannya terhadap wanita itu, baik di dalam maupun di lur nikah; 2. paling lama sembilan tahun, barangsiapa membawa pergi seorang wanita dengan tipu muslihat, kekerasan atau ancaman kekerasan, dengan maksud untuk memastikan penguasaannya terhadap wanita itu, baik didalam maupun diluar perkawinan. Pasal 330 KUHP (1)barangsiapa dengan sengaja menarik seseorang yang belum cukup umur dari kekuasaan yang menurut UU ditentukan atas dirinya, atau dari pengawasan orang yang berwenang untuk itu, diancam pidana penjara paling lama tujuh tahun. (2) bilamana dalam hal ini dilakukan tipu muslihat, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau bilamana anaknya belum cukup umur dua belas tahun, dijatuhkan pidana penjara paling lama sembilan tahun. Ketentuan dalam pasal ini melindungi kepentingan orang-orang yang memiliki kuasa yang sah (orang tua, wali) atas anak-anak di bawah umur, sehingga mereka dapat menjalankan kewenangannya itu. (d) Penyekapan Ilegal/Penahanan Pasal 331 KUHP barangsiapa dengan sengaja menyembunyikan orang yang belum cukup umur, yang ditarik atau menarik sendiri dari kekuasaan yang menurut undang-undang ditentukan atas dirinya, atau dari pengawasan orang yang berwenang untuk itu, atau dengan sengaja menariknya dari penyidikan pejabat kehakiman atau kepolisian, diancam pidana penjara paling lama empat tahun, atau jika anak itu dibawah dua belas tahun, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

28 36 Ketentuan dalam pasal ini mengkriminalisasi dua perbuatan: a) dengan sengaja menyembunyikan orang yang belum dewasa yang dicabut dari kuasa yang sah atasnya, dan b) menyembunyikan orang yang belum dewasa itu dari penyidikan kepolisian atau kejaksaan. (e) Perbudakan Beberapa pasal dalam KUHP yang berkaitan dengan perbudakan yang terjadi pada awal penjajahan sebelum Indonesia merdeka dari Belanda. Pasal-pasal ini menerapkan hukuman yang cukup berat terhadap pelaku, kaki tanggannya, dan terhadap siapa saja yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam perdagangan budak. Namun perbudakan kini dianggap sudah tidak ada lagi di Indonesia, akibatnya pasal-pasal tentang kejahatan terhadap kemerdekaan manusia ini, dalam praktik tidak lagi digunakan. Pasal V Undang-undang Nomor 1/1946 berbunyi peraturan hukum pidana yang seluruhnya atau sebagian sekarang tidak dapat dijalankan, atau bertentangan dengan kedudukan Republik Indonesia sebagai negara merdeka, atau tidak mempunyai arti lagi, harus dianggap seluruhnya atau sebagian sementara tidak berlaku (Moeljanto, 2001:118). Jika pasal-pasal tersebut masih berlaku, maka pasal yang paling relevan dengan perdagangan adalah: Pasal 324 KUHP barangsiapa dengan biaya sendiri atau biaya orang lain menjalankan perniagaan budak atau melakukan berbuatan perniagaan budak atau dengan sengaja turut serta secara langsung atau tidak langsung dalam salah satu perbuatan tersebut diatas diancam pidana penjara paling lama dua belas tahun. Tujuan dari pasal ini adalah mencegah eksploitasi manusia. Ketentuan tentang perniagaan budak belian ini dapat dipandang ebagai bentuk umum (generalis) dari bentuk-bentuk perdagangan perempuan untuk tujuan-tujuan seksual (Pasal 297 KUHP). Kenyataan bahwa perbudakan telah dihapuskan menurut hukum tidak berarti bahwa praktik perbudakan tidak lagi terjadi. Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Perkembangan globalisasi sekarang ini mengakibatkan kemajuan di segala bidang, bukan saja masalah kehidupan ekonomi, tetapi telah melanda dalam kehidupan politik,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia. Perbudakan adalah kondisi seseorang di bawah kepemilikan orang lain. Praktek serupa perbudakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Dewasa ini dalam pembaharuan hukum, indonesia telah melahirkan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Dewasa ini dalam pembaharuan hukum, indonesia telah melahirkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini dalam pembaharuan hukum, indonesia telah melahirkan beberapa peraturan, khususnya tentang hukum hak asasi manusia dan meratifikasi beberapa konvensi internasional

Lebih terperinci

BAB III DESKRIPSI ASPEK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

BAB III DESKRIPSI ASPEK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG BAB III DESKRIPSI ASPEK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG A. Deskripsi UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang 1. Sejarah Singkat

Lebih terperinci

Perdagangan dan Eksploitasi Manusia di Indonesia

Perdagangan dan Eksploitasi Manusia di Indonesia 0 P a g e 1 Perdagangan dan Eksploitasi Manusia di Indonesia Perdagangan manusia (atau yang biasa disebut dalam udang-undang sebagai perdagangan orang) telah terjadi dalam periode yang lama dan bertumbuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perdagangan Manusia untuk tenaga kerja (Trafficking in persons for labor) merupakan masalah yang sangat besar. Data Perdagangan Manusia di Indonesia sejak 1993-2003

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.984, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK. Pencegahan. Penanganan. Perdagangan Orang. Panduan. PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG. A. Pengaturan Tindak Pidana Perdagangan Orang Menurut KUHP

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG. A. Pengaturan Tindak Pidana Perdagangan Orang Menurut KUHP BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG A. Pengaturan Tindak Pidana Perdagangan Orang Menurut KUHP Di dalam kitab undang-undang pidana (KUHP) sebelum lahirnya undangundang no.21

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki derajat yang sama dengan yang lain. untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran. Dalam Pasal 2 Undang-undang

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki derajat yang sama dengan yang lain. untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran. Dalam Pasal 2 Undang-undang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia merupakan makhluk Tuhan yang paling mulia yang mempunyai harkat dan martabat yang melekat didalam diri setiap manusia yang harus dilindungi dan dijunjung tinggi

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bagian integral dari penghormatan Hak Asasi Manusia (HAM) sesungguhnya sudah diamanatkan oleh Undang-Undang DasarNegara

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bagian integral dari penghormatan Hak Asasi Manusia (HAM) sesungguhnya sudah diamanatkan oleh Undang-Undang DasarNegara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Harkat dan martabat manusia merupakan sesuatu yang harus dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara. Kewajiban negara untuk menghormati, menjunjung tinggi dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Perdagangan perempuan dan anak (trafficking) telah lama terjadi di muka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Perdagangan perempuan dan anak (trafficking) telah lama terjadi di muka BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perdagangan perempuan dan anak (trafficking) telah lama terjadi di muka bumi ini dan merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia, dan telah

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENGATURAN-PENGATURAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA. Oleh: Nurul Hidayati, SH. 1.

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENGATURAN-PENGATURAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA. Oleh: Nurul Hidayati, SH. 1. TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENGATURAN-PENGATURAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA Oleh: Nurul Hidayati, SH. 1 Abstraksi Perdagangan manusia di Indonesia merupakan suatu fenomena yang luar biasa

Lebih terperinci

PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA SEHUBUNGAN DENGAN PERDAGANGAN MANUSIA (ANAK)

PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA SEHUBUNGAN DENGAN PERDAGANGAN MANUSIA (ANAK) NAMA : HARLO PONGMERRANTE BIANTONG NRS : 094 PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA SEHUBUNGAN DENGAN PERDAGANGAN MANUSIA (ANAK) Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. orang/manusia bukan kejahatan biasa (extra ordinary), terorganisir

BAB I PENDAHULUAN. orang/manusia bukan kejahatan biasa (extra ordinary), terorganisir BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perdagangan orang (human trafficking) merupakan bentuk perbudakan secara modern, terjadi baik dalam tingkat nasional dan internasional. Dengan berkembangnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kaum perempuan yang dipelopori oleh RA Kartini. Dengan penekanan pada faktor

BAB I PENDAHULUAN. kaum perempuan yang dipelopori oleh RA Kartini. Dengan penekanan pada faktor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kaum perempuan Indonesia dalam menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia tidaklah kecil. Perjuangan perempuan Indonesia diawali dan pergerakan kaum perempuan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN OPTIONAL PROTOCOL TO THE CONVENTION ON THE RIGHTS OF THE CHILD ON THE SALE OF CHILDREN, CHILD PROSTITUTION AND CHILD PORNOGRAPHY

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA 16 BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA A. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN OPTIONAL PROTOCOL TO THE CONVENTION ON THE RIGHTS OF THE CHILD ON THE SALE OF CHILDREN, CHILD PROSTITUTION AND CHILD PORNOGRAPHY

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang 5 Perbedaan dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Apa perbedaan dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan

Lebih terperinci

Diadaptasi oleh Dewan Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 18 Januari 2002

Diadaptasi oleh Dewan Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 18 Januari 2002 Protokol Konvensi Hak Anak Tentang Perdagangan Anak, Prostitusi Anak dan Pronografi Anak Diadaptasi oleh Dewan Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 18 Januari 2002 Negara-negara peserta tentang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] BAB II TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG Pasal 2 (1) Setiap orang yang melakukan perekrutan,

Lebih terperinci

Prinsip-prinsip dan Hak-hak Mendasar di Tempat kerja. Lusiani Julia Program Officer ILO Jakarta April 2017

Prinsip-prinsip dan Hak-hak Mendasar di Tempat kerja. Lusiani Julia Program Officer ILO Jakarta April 2017 Prinsip-prinsip dan Hak-hak Mendasar di Tempat kerja Lusiani Julia Program Officer ILO Jakarta April 2017 Tujuan Pembelajaran Mengenal ILO dan ILS Memahami prinsip-prinsip dan hak-hak mendasar di tempat

Lebih terperinci

Apa itu migrasi? Apakah Migrasi Tenaga Kerja? Migrasi adalah tindakan berpindah ke tempat lain baik di dalam satu negara maupun ke negara lain.

Apa itu migrasi? Apakah Migrasi Tenaga Kerja? Migrasi adalah tindakan berpindah ke tempat lain baik di dalam satu negara maupun ke negara lain. Apa itu migrasi? Migrasi adalah tindakan berpindah ke tempat lain baik di dalam satu negara maupun ke negara lain. Apakah Migrasi Tenaga Kerja? 1 Manfaat Bekerja ke Luar Negeri Membantu ekonomi keluarga.

Lebih terperinci

PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA SEHUBUNGAN DENGAN PERDAGANGAN MANUSIA (ANAK)

PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA SEHUBUNGAN DENGAN PERDAGANGAN MANUSIA (ANAK) PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA SEHUBUNGAN DENGAN PERDAGANGAN MANUSIA (ANAK) Disusun oleh : NAMA : ELI JOY AMANDOW NRS : 084 MATA KULIAH : HAM PENDIDIKAN KHUSUS KEIMIGRASIAN ANGKATAN II 2013

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU

PEMERINTAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU PEMERINTAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU NOMOR 12 TAHUN 2007 TENTANG PENGHAPUSAN PERDAGANGAN PEREMPUAN DAN ANAK (TRAFIKING) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

JAKARTA 14 FEBRUARI 2018

JAKARTA 14 FEBRUARI 2018 KAJIAN KRITIS DAN REKOMENDASI KOALISI PEREMPUAN INDONESIA TERHADAP RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (R-KUHP) YANG MASIH DISKRIMINATIF TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK SERTA MENGABAIKAN KERENTANAN

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

BUPATI PATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI,

BUPATI PATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, SALINAN BUPATI PATI PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lama. Hanya saja masyarakat belum menyadari sepenuhnya akan kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. lama. Hanya saja masyarakat belum menyadari sepenuhnya akan kejahatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Praktek perdagangan orang di Indonesia, sebenarnya sudah ada sejak lama. Hanya saja masyarakat belum menyadari sepenuhnya akan kejahatan tersebut, serta belum

Lebih terperinci

LATAR BELAKANG. Click to edit Master subtitle style

LATAR BELAKANG. Click to edit Master subtitle style LATAR BELAKANG Perdagangan anak ( trafficking ) kurang lebih dapat diartikan sebagai segala bentuk tindakan dan percobaan tindakan yang melibatkan rekruitmen,transportasi, baik di dalam maupun antar negara,

Lebih terperinci

Bentuk Kekerasan Seksual

Bentuk Kekerasan Seksual Bentuk Kekerasan Seksual Sebuah Pengenalan 1 Desain oleh Thoeng Sabrina Universitas Bina Nusantara untuk Komnas Perempuan 2 Komnas Perempuan mencatat, selama 12 tahun (2001-2012), sedikitnya ada 35 perempuan

Lebih terperinci

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL PENELITIAN 1. Defenisi Human Trafficking Protokol Palermo Tahun 2000 : Perdagangan orang haruslah berarti perekrutan, pengiriman, pemindahan, menyembunyikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. asasi perempuan dan anak diantaranya dengan meratifikasi Konferensi CEDAW (Convention

BAB I PENDAHULUAN. asasi perempuan dan anak diantaranya dengan meratifikasi Konferensi CEDAW (Convention BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latarbelakang masalah Negara mempunyai tugas untuk melindungi segenap warga negaranya, hal itu tercantum pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, ditambah dengan isi Pancasila pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kerja di dalam negeri sangat terbatas sehinga menyebabkan banyak Tenaga Kerja

BAB I PENDAHULUAN. kerja di dalam negeri sangat terbatas sehinga menyebabkan banyak Tenaga Kerja BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 27 ayat 2 menyatakan bahwa Setiap warga Negara Republik Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN PROTOCOL TO PREVENT, SUPPRESS AND PUNISH TRAFFICKING IN PERSONS, ESPECIALLY WOMEN AND CHILDREN, SUPPLEMENTING THE UNITED NATIONS

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENCABULAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK. 1. Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENCABULAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK. 1. Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 32 BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENCABULAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK A. Pengaturan Hukum Tindak Pidana Pencabulan Terhadap Anak 1. Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tindak pidana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perdagangan orang merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari

BAB I PENDAHULUAN. Perdagangan orang merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perdagangan orang merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari pelanggaran harkat dan martabat manusia. Tindak pidana perdagangan orang, khususnya perempuan dan

Lebih terperinci

HAK ANAK DALAM KETENAGAKERJAAN

HAK ANAK DALAM KETENAGAKERJAAN 1 HAK ANAK DALAM KETENAGAKERJAAN Saya akan mengawali bab pertama buku ini dengan mengetengahkan hak pekerja yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap anak-anak dalam dunia ketenagakerjaan. Sebagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sangat mengkhawatirkan. Pada era globalisasi sekarang ini, modern slavery marak

BAB I PENDAHULUAN. sangat mengkhawatirkan. Pada era globalisasi sekarang ini, modern slavery marak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan human trafficking yang terjadi di Indonesia kini kondisinya sangat mengkhawatirkan. Pada era globalisasi sekarang ini, modern slavery marak dalam wujudnya

Lebih terperinci

K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975

K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975 K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975 1 K-143 Konvensi Pekerja Migran (Ketentuan Tambahan), 1975 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perdagangan orang (human trafficking) merupakan fenomena yang. berkembang secara global dan merupakan dampak negatif dari semakin

BAB I PENDAHULUAN. Perdagangan orang (human trafficking) merupakan fenomena yang. berkembang secara global dan merupakan dampak negatif dari semakin BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perdagangan orang (human trafficking) merupakan fenomena yang berkembang secara global dan merupakan dampak negatif dari semakin berkembangnya peradaban masyarakat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemahaman di dalam masyarakat terhadap trafficking masih sangat. atau terendah di dalam merespon isu ini. 2

BAB I PENDAHULUAN. Pemahaman di dalam masyarakat terhadap trafficking masih sangat. atau terendah di dalam merespon isu ini. 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Trafficking atau perdagangan manusia terutama terhadap perempuan dan anak telah lama menjadi masalah nasional dan internasional bagi berbagai bangsa di dunia, termasuk

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertambahan jumlah penduduk dunia meningkat sangat pesat, ditandai dengan

BAB I PENDAHULUAN. Pertambahan jumlah penduduk dunia meningkat sangat pesat, ditandai dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pertambahan jumlah penduduk dunia meningkat sangat pesat, ditandai dengan tingkat kelahiran yang lebih besar dibandingkan dengan tingkat kematian serta penyebaran

Lebih terperinci

Perdagangan anak yang dipahami disini adalah perdagangan orang. Undang-undang Republik Indonesia No.21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Perdagangan anak yang dipahami disini adalah perdagangan orang. Undang-undang Republik Indonesia No.21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan anak yang dipahami disini adalah perdagangan orang. Undang-undang Republik Indonesia No.21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, menyebutkan bahwa : Perdagangan

Lebih terperinci

BAB I PERLINDUNGAN HUKUM BAGI ANAK TERHADAP PRAKTIK PERDAGANGAN ANAK (TRAFFICKING) DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU

BAB I PERLINDUNGAN HUKUM BAGI ANAK TERHADAP PRAKTIK PERDAGANGAN ANAK (TRAFFICKING) DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU 1 BAB I PERLINDUNGAN HUKUM BAGI ANAK TERHADAP PRAKTIK PERDAGANGAN ANAK (TRAFFICKING) DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU A. Latar Belakang Masalah Pelanggaran dan kejahatan kemanusiaan terjadi dalam berbagai bentuk,

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PERDAGANGAN PEREMPUAN DAN ANAK (TRAFFICKING) DI INDONESIA

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PERDAGANGAN PEREMPUAN DAN ANAK (TRAFFICKING) DI INDONESIA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PERDAGANGAN PEREMPUAN DAN ANAK (TRAFFICKING) DI INDONESIA Oleh : ANI PURWANTI 1 I Pendahuluan Kejadian yang berkaitan dengan perdagangan perempuan dan anak perempuan yang dikenal

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Teks tidak dalam format asli. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 95, 2004 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4419)

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KOORDINATOR BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 25/KEP/MENKO/KESRA/IX/2009 TENTANG

PERATURAN MENTERI KOORDINATOR BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 25/KEP/MENKO/KESRA/IX/2009 TENTANG PERATURAN MENTERI KOORDINATOR BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 25/KEP/MENKO/KESRA/IX/2009 TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (PTPPO) DAN EKSPLOITASI

Lebih terperinci

BAB 2 DATA DAN ANALISA. Deskriptif Kualitatif merupakan metode menguraikan menurut kualitas. Teknik pengumpulan data dilakukan dari berbagai sumber:

BAB 2 DATA DAN ANALISA. Deskriptif Kualitatif merupakan metode menguraikan menurut kualitas. Teknik pengumpulan data dilakukan dari berbagai sumber: BAB 2 DATA DAN ANALISA 2.1 Data dan Analisa Dalam memperkuat data-data yang diperlukan sebagai pedoman pembuatan konsep penulis menggunakan metode : 1. Deskriptif Kualitatif. Deskriptif Kualitatif merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ANAK DAN PEREMPUAN

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ANAK DAN PEREMPUAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ANAK DAN PEREMPUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA SELATAN, Menimbang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Kepolisian Negara Republik Indonesia. Negara Republik Indonesia disebutkan bahwa Kepolisian bertujuan untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Kepolisian Negara Republik Indonesia. Negara Republik Indonesia disebutkan bahwa Kepolisian bertujuan untuk II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kepolisian Republik Indonesia 1. Pengertian Kepolisian Negara Republik Indonesia Menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia disebutkan

Lebih terperinci

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang 1 Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang Novelina MS Hutapea Dosen Fakultas Hukum USI Ringkasan Manusia adalah mahluk ciptaan Tuhan yang sangat mulia, berakal budi, berakhal dan bermartabat. Oleh

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 2004 TENTANG PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI [LN 2004/133, TLN 4445]

UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 2004 TENTANG PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI [LN 2004/133, TLN 4445] UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 2004 TENTANG PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI [LN 2004/133, TLN 4445] BAB XIII KETENTUAN PIDANA Pasal 102 (1) Dipidana dengan pidana penjara

Lebih terperinci

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA MENGENAI BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA MENGENAI BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA MENGENAI BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND AUSTRALIA ON MUTUAL ASSISTANCE IN CRIMINAL MATTERS) PERJANJIAN

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG. A. Pengertian Tindak Pidana Perdagangan Anak

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG. A. Pengertian Tindak Pidana Perdagangan Anak BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG A. Pengertian Tindak Pidana Perdagangan Anak Belum ada rumusan yang memadai tentang Human Trafficking, penggunaan yang paling mungkin untuk

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN PROTOCOL AGAINST THE SMUGGLING OF MIGRANTS BY LAND, SEA AND AIR, SUPPLEMENTING THE UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL

Lebih terperinci

Bab XII : Pemalsuan Surat

Bab XII : Pemalsuan Surat Bab XII : Pemalsuan Surat Pasal 263 (1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO, BUPATI SUKOHARJO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 16 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN

Lebih terperinci

UPAYA PENANGGULANGAN PERDAGANGAN TENAGA KERJA (TRAFFICKING IN PERSON FOR LABOR) DI INDONESIA

UPAYA PENANGGULANGAN PERDAGANGAN TENAGA KERJA (TRAFFICKING IN PERSON FOR LABOR) DI INDONESIA UPAYA PENANGGULANGAN PERDAGANGAN TENAGA KERJA (TRAFFICKING IN PERSON FOR LABOR) DI INDONESIA DR. AGUSMIDAH, SH., M.HUM PASCA SARJANA -ILMU HUKUM USU MEDAN Pendahuluan Perdagangan Manusia untuk tenaga kerja

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

PERATURAN WALIKOTA SURAKARTA

PERATURAN WALIKOTA SURAKARTA BERITA DAERAH KOTA SURAKARTA NOMOR 18 TAHUN 2006 PEMERINTAH KOTA SURAKARTA PERATURAN WALIKOTA SURAKARTA NOMOR 14 TAHUN 2006 TENTANG PENYELENGGARAAN REHABILITASI EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIAL WALIKOTA SURAKARTA,

Lebih terperinci

-2- Selanjutnya, peran Pemerintah Daerah dalam memberikan pelindungan kepada Pekerja Migran Indonesia dilakukan mulai dari desa, kabupaten/kota, dan p

-2- Selanjutnya, peran Pemerintah Daerah dalam memberikan pelindungan kepada Pekerja Migran Indonesia dilakukan mulai dari desa, kabupaten/kota, dan p TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I KESRA. Pekerja Migran. Pelindungan. Pencabutan. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 242) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059]

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059] UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059] BAB XV KETENTUAN PIDANA Pasal 111 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan,

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN TENTANG LARANGAN EKSPLOITASI SEKSUAL PADA PERNIKAHAN ANAK USIA DINI

BAB II PENGATURAN TENTANG LARANGAN EKSPLOITASI SEKSUAL PADA PERNIKAHAN ANAK USIA DINI BAB II PENGATURAN TENTANG LARANGAN EKSPLOITASI SEKSUAL PADA PERNIKAHAN ANAK USIA DINI Ekspolitasi seksual dalam pernikahan dini bagaikan fenomena gunung es yang sulit untuk ditangani, karena terus meningkat

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

Kekerasan Seksual. Sebuah Pengenalan. Bentuk

Kekerasan Seksual. Sebuah Pengenalan. Bentuk Kekerasan Seksual Sebuah Pengenalan Bentuk 1 Desain oleh : Thoeng Sabrina Universitas Bina Nusantara untuk Komnas Perempuan 2 Komnas Perempuan mencatat, selama 12 tahun (2001-2012), sedikitnya ada 35 perempuan

Lebih terperinci

Pidana Korupsi di Indonesia Oleh Frans Simangunsong, S.H., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta

Pidana Korupsi di Indonesia Oleh Frans Simangunsong, S.H., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta Pidana Korupsi di Indonesia Oleh Frans Simangunsong, S.H., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta A. Latar Belakang Saat ini, kewenangan untuk merumuskan peraturan perundang undangan, dimiliki

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.68, 2013 HUKUM. Keimigrasian. Administrasi. Pelaksanaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5409) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : a. bahwa perdagangan orang merupakan

Lebih terperinci

BUPATI BULUNGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK TERHADAP TINDAK KEKERASAN

BUPATI BULUNGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK TERHADAP TINDAK KEKERASAN SALINAN BUPATI BULUNGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK TERHADAP TINDAK KEKERASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN, Menimbang

Lebih terperinci

15A. Catatan Sementara NASKAH KONVENSI TENTANG PEKERJAAN YANG LAYAK BAGI PEKERJA RUMAH TANGGA. Konferensi Perburuhan Internasional

15A. Catatan Sementara NASKAH KONVENSI TENTANG PEKERJAAN YANG LAYAK BAGI PEKERJA RUMAH TANGGA. Konferensi Perburuhan Internasional Konferensi Perburuhan Internasional Catatan Sementara 15A Sesi Ke-100, Jenewa, 2011 NASKAH KONVENSI TENTANG PEKERJAAN YANG LAYAK BAGI PEKERJA RUMAH TANGGA 15A/ 1 NASKAH KONVENSI TENTANG PEKERJAAN YANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat : a. bahwa setiap

Lebih terperinci

BAB 8. KEKERASAN DALAM RUMAHTANGGA DAN TRAFFICKING DI INDONESIA. Oleh: Herien Puspitawati Tin Herawati

BAB 8. KEKERASAN DALAM RUMAHTANGGA DAN TRAFFICKING DI INDONESIA. Oleh: Herien Puspitawati Tin Herawati BAB 8. KEKERASAN DALAM RUMAHTANGGA DAN TRAFFICKING DI INDONESIA Oleh: Herien Puspitawati Tin Herawati PERLINDUNGAN ANAK Anak UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak: Seseorang yang belum berusia

Lebih terperinci

K189 Konvensi tentang Pekerjaan Yang Layak bagi Pekerja Rumah Tangga, 2011

K189 Konvensi tentang Pekerjaan Yang Layak bagi Pekerja Rumah Tangga, 2011 K189 Konvensi tentang Pekerjaan Yang Layak bagi Pekerja Rumah Tangga, 2011 2 K-189: Konvensi tentang Pekerjaan Yang Layak bagi Pekerja Rumah Tangga, 2011 K189 Konvensi tentang Pekerjaan Yang Layak bagi

Lebih terperinci

Muchamad Ali Safa at INSTRUMEN NASIONAL HAK ASASI MANUSIA

Muchamad Ali Safa at INSTRUMEN NASIONAL HAK ASASI MANUSIA Muchamad Ali Safa at INSTRUMEN NASIONAL HAK ASASI MANUSIA UUD 1945 Tap MPR Nomor III/1998 UU NO 39 TAHUN 1999 UU NO 26 TAHUN 2000 UU NO 7 TAHUN 1984 (RATIFIKASI CEDAW) UU NO TAHUN 1998 (RATIFIKASI KONVENSI

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN JENEPONTO. Jl. Lanto Dg Pasewang No. 34 Telp. (0411) 21022 Kode Pos 92311 PERATURAN DAERAH KABUPATEN JENEPONTO

PEMERINTAH KABUPATEN JENEPONTO. Jl. Lanto Dg Pasewang No. 34 Telp. (0411) 21022 Kode Pos 92311 PERATURAN DAERAH KABUPATEN JENEPONTO PEMERINTAH KABUPATEN JENEPONTO Jl. Lanto Dg Pasewang No. 34 Telp. (0411) 21022 Kode Pos 92311 PERATURAN DAERAH KABUPATEN JENEPONTO NOMOR : 03 TAHUN 2011 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa keimigrasian merupakan bagian dari perwujudan

Lebih terperinci

Pengertian Anak dan Pentingnya Mendefinisikan Anak Secara Konsisten dalam Sistem Hukum 1 Oleh: Adzkar Ahsinin

Pengertian Anak dan Pentingnya Mendefinisikan Anak Secara Konsisten dalam Sistem Hukum 1 Oleh: Adzkar Ahsinin Bahan Bacaan: Modu 2 Pengertian Anak Pengertian Anak dan Pentingnya Mendefinisikan Anak Secara Konsisten dalam Sistem Hukum 1 Oleh: Adzkar Ahsinin A. Situasi-Situasi yang Mengancam Kehidupan Anak Sedikitnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Usia Pekerja Jumlah Pekerja Tahun Survei Tahun Tahun ±

BAB I PENDAHULUAN. Usia Pekerja Jumlah Pekerja Tahun Survei Tahun Tahun ± BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehidupan seorang anak tidaklah lepas dari permasalahan, baik itu masalah ekonomi, sosial, pendidikan yang semuanya tidak dapat diselesaikan oleh si anak itu sendiri.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tercatat 673 kasus terjadi, naik dari tahun 2011, yakni 480 kasus. 1

BAB I PENDAHULUAN. Tercatat 673 kasus terjadi, naik dari tahun 2011, yakni 480 kasus. 1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini perdagangan terhadap orang di Indonesia dari tahun ke tahun jumlahnya semakin meningkat dan sudah mencapai taraf memprihatinkan. Bertambah maraknya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2004 TENTANG PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2004 TENTANG PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2004 TENTANG PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2004 TENTANG PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2004 TENTANG PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2004 TENTANG PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

Data Perdagangan Orang (DPO) NTT Tahun 2014 & 2015

Data Perdagangan Orang (DPO) NTT Tahun 2014 & 2015 Data Perdagangan Orang (DPO) NTT Tahun 2014 & 2015 Dr. Dominggus Elcid Li and IRGSC Team Disampaikan dalam diskusi awal tahun di IRGSC, 3 Januari 2017 Struktur Presentasi Gambaran awal penelitian (tujuan,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mencari nafkah. Hal ini yang mendorong munculnya paktek perdagangan

BAB I PENDAHULUAN. mencari nafkah. Hal ini yang mendorong munculnya paktek perdagangan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Krisis Ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 berdampak pada kehidupan ekonomi sosial masyarakat teruma negara berkembang termasuk Indonesia. Salah satu dampaknya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA (TKI) DI LUAR NEGERI

PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA (TKI) DI LUAR NEGERI PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA (TKI) DI LUAR NEGERI Latar Belakang Bekerja adalah hak asasi manusia. Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk mendapat pekerjaan yang layak,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

GUBERNUR KEPULAUAN RIAU

GUBERNUR KEPULAUAN RIAU GUBERNUR KEPULAUAN RIAU PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN RIAU NOMOR 16 TAHUN 2007 TENTANG RENCANA AKSI DAERAH PENGHAPUSAN PERDAGANGAN (TRAFIKING) PEREMPUAN DAN ANAK DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU GUBERNUR KEPULAUAN

Lebih terperinci