TINJAUAN PUSTAKA Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TINJAUAN PUSTAKA Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan"

Transkripsi

1 TINJAUAN PUSTAKA Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal Bappenas (2004) mengatakan pembangunan kawasan adalah usaha untuk mengembangkan dan meningkatkan hubungan kesalingtergantungan dan interaksi antara sistem ekonomi (economic system), masyarakat ( social system), dan lingkungan hidup beserta sumberdaya alamnya ( ecosystem). Setiap sistem ini memiliki tujuannya masing-masing. Secara umum, tujuan dari pengembangan kawasan ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Membangun masyarakat pedesaan, beserta sarana dan prasarana yang mendukungnya; 2. Mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan; 3. Mengurangi tingkat kemiskinan melalui peningkatan pendapatan masyarakat; 4. Mendorong pemerataan pertumbuhan dengan mengurangi disparitas antar daerah; 5. Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia dan konservasi sumberdaya alam demi kesinambungan pembangunan daerah. 6. Mendorong pemanfaatan ruang desa yang efisien dan berkelanjutan. Selanjutnya ditambahkan pengembangan kawasan dilaksanakan berdasarkan pada prinsip-prinsip yang sesuai dengan arah kebijakan ekonomi nasional, yaitu: 1. Mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan. 2. Mengembangkan perekonomian yang berorientasi global, sesuai dengan kemajuan teknologi, dengan membangun keunggulan kompetitif berdasarkan kompetensi produk unggulan di setiap daerah. 3. Memberdayakan pengusaha kecil, menengah dan koperasi, agar mampu bekerjasama secara efektif, efisien dan berdaya saing global. 4. Mengembangkan sistem ketahanan pangan yang berbasis pada keragaman sumberdaya bahan pangan dan hortikultura, kelembagaan, dan budaya lokal. 5. Mempercepat pembangunan ekonomi daerah dengan memberdayakan para pelakunya sesuai dengan semangat otonomi daerah.

2 8 6. Mempercepat pembangunan perdesaan dalam rangka pemberdayaan masyarakat daerah, khususnya para petaninya, dengan kepastian dan kejelasan hak dan kewajiban semua pihak. 7. Memaksimalkan peran pemerintah sebagai fasilitator dan pemantau seluruh kegiatan pembangunan di daerah. Kepedulian untuk menjaga kelestarian lingkungan telah sampai pada pemikiran yang berkelanjutan. World Commission on Environment and Development (WECD) pada tahun 1987 mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai suatu proses pembangunan yang dilandasi oleh semangat pemanfaatan sumberdaya, arah investasi, orientasi pembangunan teknologi dan perubahan kelembagaan yang dilakukan secara harmonis dan amat memperhatikan potensi pada saat ini dan dimasa yang akan datang dalam pemenuhan aspirasi masyarakat (Mitchell et al. 2007). Salim dalam Handoyo (2001) mengartikan pembangunan berkelanjutan sebagai suatu proses pembangunan yang mengoptimalkan manfaat sumberdaya alam dan dengan manusia dalam pembangunan. Ide-ide pokok yang mendasari konsep itu adalah: (1) proses pembangunan mesti berlanjut, terus menerus, ditopang oleh sumberdaya alam, kualitas lingkungan dan manusia berkembang secara berlanjut. (2) sumber alam memiliki ambang batas, dimana penggunaannya akan menciutkan kualitas dan kuantitasnya. (3) kualitas lingkungan berkorelasi dengan kualitas hidup. (4) pola pembangunan sumberdaya alam kini seharusnya menutup kemungkinan pilihan lain dimasa depan. (5) pembangunan berkelanjutan mengandalkan solidaritas trangenerasi, dimana pembangunan itu memungkinkan generasi sekarang untuk meningkatkan kesejahteraan tanpa mengurangi kemungkinan bagi generasi yang akan datang untuk meningkatkan kesejahteraannya. Menurut Yoeti et al. (2006), di sektor kepariwisataan, pembangunan maupun pengembangan industri wisata juga harus didasarkan pada konsep pembangunan berkelanjutan. Pengembangan pariwisata diharapkan dapat memberikan keuntungan substansial baik bagi masyarakat luas maupun penduduk setempat, berupa : 1. Memperbaiki infrastruktur, 2. Alih ilmu pengetahuan dan teknologi, 3. Kesempatan kerja dan bisnis, 4. Tambahan pendapatan,

3 9 5. Pasar baru untuk produk-produk lokal (cenderamata, makanan, garmen, kesenian) 6. Kepedulian terhadap pelestarian lingkungan baik alam, sosial, budaya maupun artefak warisan atau peninggalan-peninggalan, 7. Pendidikan dan, 8. Mobilitas serta perubahan sosial. McIntyre (1993) dalam Yoeti et al. (2006) menyatakan bahwa sejak 1993 WTO telah mengisyaratkan perlunya pengembangan pariwisata berkelanjutan yang didasarkan pada konsep pembangunan berkelanjutan yang kini telah diterima secara luas sebagai suatu pendekatan yang esensial untuk semua tipe pembangunan termasuk pariwisata. Pembangunan berkelanjutan menunjuk pada pembangunan tanpa penurunan dan pemusnahan dari sumber-sumber kepariwisataan, karena pengembangan pariwisata tidak dapat dibatasi oleh waktu, geografis, maupun sosial budaya. Pariwisata merupakan sebuah kompleksitas internasional yang membawa berbagai dampak positif maupun negatif terhadap berbagai aspek kehidupan yang saling berkaitan satu sama lain secara simultan dan berkelanjutan. Wall (1997) menyatakan bahwa kontribusi peranan pariwisata dalam pembangunan berkelanjutan tidak dapat dilihat sebagai aspek tunggal, tetapi harus dilihat keterkaitannya dengan aspek-aspek lainnya. jika pariwisata ditujukan untuk kontribusi pada pembangunan berkelanjutan, maka harus meningkatkan secara ekonomi serta bertanggungjawab dalam aspek ekologi dan budaya. Dalam hal ini dipercaya bahwa suatu bentuk wisata yang berkelanjutan adalah ekowisata. Namun perlu diketahui bahwa wisata berkelanjutan dan ekowisata adalah tidak sama. Banyak ekowisata yang mungkin tidak berkelanjutan, jika pengelolaannya tidak benar. Jika ekowisata diharapkan berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan, maka diperlukan perencanaan dan pengelolaan yang hati-hati. Menurut Simonds (1983) lanskap adalah bentang alam yang memilki karakteristik tertentu, dapat dinikmati oleh indera manusia, dimana karakter tersebut menyatu dengan harmonis dan alami antara komponen-komponennya. Pemandangan alam dengan elemen penyususun lanskap alami maupun buatan seperti bentukan alam, vegetasi, kehidupan alam liar, formasi batuan ataupun bangunan mampu membentuk karakter lanskap yang menarik dan dapat menjadi ciri khas bagi suatu kawasan. Karakter lanskap yang unik pada suatu kawasan

4 10 dapat menjadi unsur yang mendukung pengembangan kawasan wisata alam. Selanjutnya berdasarkan Porteus (1996) lanskap adalah bagian dari subset alam, yang selanjutnya dibutuhkan kesenangan dan pendidikan untuk mengapresiasinya. Tipe lanskap berdasarkan apresiasi dibagi menjadi pegunungan (mountains), alam bebas (wildness), pedesaan (the middle landscape/rural), taman-taman (gardens) dan lanskap perkotaan (townscape). Dalam ruang lingkup lanskap, lanskap berkelanjutan umumnya menggambarkan suatu lanskap yang mendukung kualitas lingkungan dan memelihara sumberdaya alami (Rodie dan Streich 2000). Pengertian Wisata Menurut Gunn (1994), wisata adalah suatu pergerakan temporal manusia menuju tempat selain dari tempat biasa mereka tinggal dan bekerja, selama mereka tinggal ditujuan tersebut mereka melakukan kegiatan dan diciptakan fasilitas untuk mengakomodasi kebutuhan mereka. sedangkan menurut Wangpaichitr (1995), wisata adalah kebutuhan manusia yang akan timbul apabila adanya kesiapan dari aspek fisik dan mental. Ditambahkan oleh Yoeti (2004), terdapat empat faktor utama yang berkaitan dengan wisata yaitu perjalanan dilakukan sementara waktu, dilakukan dari satu tempat ke tempat lain, perjalanannya tidak bertujuan untuk bekerja tetapi semata-mata hanya untuk menjadi konsumen dari objek dan daya tarik wisata, berkaitan dengan tamasya atau rekreasi. Terdapat perbedaan antara wisata dengan rekreasi, perbedaan utama diantara keduanya yaitu bahwa rekreasi tidak membutuhkan adanya aktivitas perjalanan yang jauh; jarak perjalanan tidak jauh dari tempat tinggal dan tidak perlu meninggalkan rumah untuk waktu yang lama. Rekreasi dapat dilaksanakan didalam rumah maupun di luar rumah. Sedangkan aktivitas wisata membutuhkan adanya pergerakan orang untuk pergi dari lingkungan tempat tinggal atau rumah dan tinggal sementara pada lokasi yang berbeda untuk bersantai, beristirahat dan pemulihan diri (Mak 2004). Beberapa contoh wisata yang umum diketahui diantaranya yaitu wisata budaya dan wisata alam. Wisata budaya adalah kegiatan wisata dengan atraksi utamanya adalah sumber budaya. Kategori sumberdaya budaya meliputi tapak pra-sejarah; tapak bersejarah; tempat berbagai etnik dan tempat suatu pengetahuan dan pendidikan; lokasi industri, pusat perbelanjaan dan pusat

5 11 bisnis; tempat pementasan kesenian, museum dan galeri; tempat hiburan, kesehatan, olah raga dan keagamaan. Bentuk kegiatan wisata yang dapat dikembangkan dari sumberdaya budaya antara lain dengan membuat interpretasi pengunjung dan melakukan kunjungan pada taman prasejarah dan preservasi, pusat kebudayaan, taman bersejarah, festival kebudayaan, festival pendidikan, pusat konvensi, pusat kesehatan, resor kebugaran, museum, tempat keagamaan dan lain sebagainya. Sedangkan wisata alam adalah kegiatan wisata dengan atraksi utamanya adalah sumberdaya alam yang terdiri dari lima bentukan dasar alam yaitu : air, perubahan topografi, flora, fauna, dan iklim Gunn (1994). Menurut Pitana dan Gayatri (2005), pada dasarnya wisata dimotivasi oleh empat kelompok besar yaitu : 1. Motivasi yang bersifat fisik atau fisiologis, antara lain untuk relaksasi, kesehatan, kenyamanan, berpartisipasi dalam kegiatan oleh raga, bersantai dan sebagainya. 2. Motivasi budaya, yaitu keinginan untuk mengetahui budaya, adat istiadat, tradisi, dan kesenian daerah lain, termasuk juga ketertarikan akan berbagai objek peninggalan budaya (monumen bersejarah) 3. Motivasi yang bersifat sosial, seperti mengunjungi kerabat dan teman, melakukan jiarah. 4. Motivasi karena fantasi, yaitu adanya fantasi bahwa didaerah lain seseorang akan dapat lepas dari rutinitas yang menjemukan, dan memberikan kepuasan psikologis. Obyek dan Daya Tarik Wisata merupakan potensi yang menjadi pendorong kehadiran wisatawan ke suatu daerah tujuan wisata (Suwantoro 2004). Selanjutnya menurut Undang-undang nomor 9 tahun 1990 Obyek dan daya tarik wisata terdiri dari atas : 1. obyek dan daya tarik wisata ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yang berwujud keadaan alam, serta flora dan fauna ; 2. obyek dan daya tarik wisata hasil karya manusia yang berwujud museum, peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, seni budaya, wisata agro, wisata tirta, wisata buru, wisata petualangan alam, taman rekreasi dan tempat hiburan. Pada pasal selanjutnya dikatakan bahwa Pemerintah menetapkan obyek dan daya tarik wisata dan mengatur tentang pembangunan obyek dan daya tarik

6 12 wisata dilakukan dengan cara mengusahakan, mengelola dan membuat obyek obyek baru sebagai obyek dan daya tarik wisata dengan memperhatikan : 1. kemampuan untuk mendorong peningkatan perkembangan kehidupan ekonomi dan sosial budaya ; 2. nilai nilai agama, adat istiadat, serta pandangan dan nilai nilai yang hidup dalam masyarakat ; 3. kelestarian budaya dan mutu lingkungan hidup ; 4. kelangsungan usaha pariwisata itu sendiri. Menurut lew (1987) dalam Pitana dan Gayatri (2005), atraksi merupakan komponen penting dalam wisata, atas dasar tersebut maka lew menyarankan agar perhatian diberikan pada aspek pokok dari suatu atraksi, yaitu : 1. Aspek idiographic: mendekripsikan keunikan dari suatu lokasi, yang umumnya berasosiasi dengan wilayah yang kecil. 2. Aspek Organisational : fokusnya adalah wilayah, kapasitas, dan struktur organisasi yang terkait. 3. Aspek Cognitive : unsur informasi dan pelayanan, yang membuat seorang wisatawan benar-benar merasa sebagai wisatawan. Selanjutnya menurut Suwantoro (2004) bahwa dalam kedudukannya yang sangat menentukan, maka daya tarik wisata harus dirancang dan dibangun/ dikelola secara profesional sehingga dapat menarik wisatawan untuk datang. Membangun suatu objek wisata harus dirancang sedemikian rupa berdasarkan kriteria tertentu. Umumnya daya tarik suatu objek wisata berdasarkan pada : 1. adanya sumberdaya yang dapat menimbulkan rasa senang, indah, nyaman dan bersih 2. adanya aksebilitas yang tinggi untuk dapat mengunjunginya 3. adanya ciri khusus / spesifikasi yang bersifat langka 4. adanya sarana / prasarana penunjang untuk melayani para wisatawan yang hadir 5. objek wisata alam mempunyai daya tarik tinggi karena keindahan alam pegunungan, sungai, pantai, pasir, hutan, dan sebagainya. 6. objek wisata budaya mempunyai daya tarik tinggi karena memiliki nilai khusus dalam bentuk atraksi kesenian, upacara-upacara adat, nilai luhur yang terkandung dalam suatu objek buah karya manusia pada masa lampau.

7 13 Atraksi wisata merupakan elemen dasar yang terkait dengan pengalaman yang akan menentukan tingkat kepuasan wisatawan dalam mengunjungi atau melakukan kegiatan pada suatu areal wisata. Daya tarik suatu kawasan wisata sangat beragam dan umumnya merupakan hasil dari pengembangan dan pengelolaan dari keunikan kegiatan dan kawasannya. Jumlah dan distribusi atraksi yang terdapat di suatu tempat merupakan alasan dan faktor pendorong terkuat untuk melakukan suatu perjalanan wisata (Gunn 1994). Suplai atas penawaran adalah daftar yang menunjukkan jumlah dari suatu produk yang akan membuat ketersediaan untuk pembelian bermacam level harga. Suplai wisata adalah fungsi dari suatu kawasan alami dan karakteristik sosial ekonomi dengan sebaik mungkin yang dalam usaha wisata yaitu usaha yang dapat menyokong atraksi dan obyek yang ada dari suatu kawasan budaya dan atau sumberdaya alam dimana bentuk atraksi yang ditampilkan cocok dengan komponen wisata (Jafari 2000). Prasarana wisata adalah sumber daya alam dan sumberdaya buatan manusia yang mutlak dibutuhkan oleh wisatawan dalam perjalanannnya didaerah tujuan wisata, seperti jalan, listrik, air, telekomunikasi, terminal, jembatan dan lain sebagainya. Untuk kesiapan obyek-obyek wisata yang akan dikunjungi oleh wisatawan di daerah tujuan wisata tersebut perlu dibangun dengan disesuaikan dengan lokasi dan kondisi obyek wisata yang bersangkutan. Pembangunan prasarana wisata yang mempertimbangkan kondisi dan lokasi akan meningkatkan aksesibiltas suatu obyek wisata yang pada gilirannya akan dapat meningkatkan daya tarik obyek wisata itu sendiri. Disamping berbagai kebutuhan yang telah disebutkan diatas, kebutuhan wisatawan yang lainnya juga perlu disediakan didaerah tujuan wisata, seperti bank, apotik, rumah sakit, pom bensin, pusat-pusat perbelanjaan dan sebagainya (Suwantoro 2004). Aksesibilitas yang mudah pada produk dan objek wisata merupakan salah satu faktor yang memicu seseorang untuk berwisata. Tidak seperti produk industri yang dapat diangkut ke pasar untuk di jual, jarang produk wisata yang bersifat mobil. Oleh sebab itu harus ada media yang menghubungkan wisatawan dengan produk tersebut, yakni akses yang dalam hal ini berupa infrastruktur transportasi. Aksesibilitas mencakup keseluruhan infrastruktur transportasi yang menghubungkan wisatawan dari, ke dan selama di daerah tujuan wisata, mulai dari darat, laut sampai udara. Akses ini tidak hanya menyangkut aspek kuantitas tetapi juga inklusif mutu, ketepatan waktu, kenyamanan dan keslamatan. Moda

8 14 transportasi layak ditawarkan adalah angkutan penumpang tersebut berangkat ke dan tiba tepat waktu di obyek dan daya tarik wisata (ODTW), tentu saja dengan tingkat kenyamanan dan keselamatan yang standar (Damanik dan Weber 2006). Selanjutnya Suwantoro (2004) menjelaskan juga pentingnya sarana wisata yang merupakan kelengkapan daerah tujuan wisata yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan wisatawan dalam menikmati perjalanan wisatanya. Pembangunan sarana wisata didaerah tujuan wisata maupun di objek wisata tertentu harus disesuaikan dengan kebutuhan wisatawan baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif. Lebih dari itu selera pasarpun dapat menentukan tuntutan sarana yang dimaksud. Berbagai sarana wisata yang harus disediakan didaerah tujuan wisata ialah hotel, biro perjalanan, alat transportasi, restoran dan rumah makan serta sarana pendukung lainnya. Tak semua obyek wisata memerlukan sarana yang sama dan lengkap. Pengadaan sarana wisata tersebut harus disesuaikan dengan kebutuhan wisatawan. Sarana wisata secara kuantitatif menunjuk pada jumlah sarana wisata yang harus di sediakan, dan secara kualitatif menunjuk pada mutu pelayanan yang diberikan dan yang tercermin pada kepuasan wisatawan yang memperoleh pelayanan. Dalam hubungannya dengan jenis dan mutu pelayanan sarana wisata di daerah tujuan wisata telah disusun sesuai standar wisata yang baku, baik secara nasional dan secara internasional, sehingga penyedia sarana wisata tinggal memilih atau menentukan jenis dan kualitas yang akan disediakan. Dalam penyediaan sarana wisata seperti sarana akomodasi penting bagi pelaku wisata indonesia untuk memperhatikan identitas lokal, seperti yang diutarakan oleh Pendit (2006), sesungguhnya tidaklah ada yang akan lebih senang dan puas daripada sang wisatawan sendiri apabila corak dan suasana dekor akomodasi di hotel-hotel di negeri yang di kunjungi adalah benar-benar khas dan menggambarkan situasi kepribadian bangsa Indonesia yang besar, serta arsitektural tradisional yang mempergunakan bahan bangunan setempat dalam wujud seni budaya daerah yang mencerminkan suasana lingkungan yang harmonis. Keunikan lokal ini sangat didambakan oleh setiap wisatawan yang datang berkunjung ke suatu daerah dimanapun tempat itu berada. Keragaman objek dan daya tarik wisata yang besar di Indonesia dapat menjadi salah satu keunggulan komparatif produk pariwisata di pasar internasional. Namun demikian harus diakui bahwa objek dan daya tarik wisata

9 15 secara faktual belum mampu memenuhi standar produk yang dapat dijual di pasar. Banyak objek dan daya tarik wisata yang hanya menawarkan objek apa adanya, dalam arti hampir tanpa kemasan dan tanpa target pasar yang jelas. Jelasnya keragaman objek dan daya tarik wisata tersebut hanya dapat memberikan keuntungan optimal apabila dikembangkan berdasarkan hasil-hasil perencanaan yang terukur. MacKinnon et al. (1986) menyatakan bahwa faktor-faktor yang membuat suatu kawasan menarik bagi pengunjung dan harus diperhatikan dalam perencanaannya adalah: 1. Letak kawasan dekat, cukup dekat atau jauh terhadap bandara internasional atau pusat wisata 2. Akses ke kawasan wisata tersebut mudah dan nyaman, perlu sedikit usaha 3. Atraksi yang menonjol di kawasan tersebut misalnya satwa liar yang menarik atau khas untuk tempat tertentu 4. Kemudahan dan terjaminnya untuk melihat atraksi atau satwa 5. Keistimewaan/kekhasan dari kawasan 6. Kedekatan dengan lokasi lain yang menarik bagi wisatawan sehingga dapat menjadi bagian kegiatan wisata lain 7. Sekitar kawasan memilki pemandangan sangat indah 8. Tersedianya akomodasi yang memadai Menurut undang-undang Nomor 9 Tahun 1990 Tentang Kepariwisataan, kawasan pariwisata adalah kawasan dengan luas tertentu yang dibangun atau disediakan untuk memenuhi kebutuhan pariwisata. Usaha kawasan pariwisata merupakan usaha yang kegiatannya membangun atau mengelola kawasan dengan luas tertentu untuk memenuhi kebutuhan pariwisata, penetapan suatu kawasan sebagai kawasan pariwisata dilakukan oleh Pemerintah sesuai dengan tata ruang kawasan dan berdasarkan rencana pengembangan kepariwisataan. Suatu kawasan dikembangkan untuk tujuan wisata, karena terdapat atraksi yang merupakan komponen dari suplai (Gunn 1994) Kawasan wisata pada umumnya menempati ruang wilayah yang cukup luas seperti : Nusa Dua di Bali, Pulau Putri di Kepulauan Seribu. Pembangunan suatu kawasan adalah bagian dari tata ruang wilayah didaerah yang bersangkutan. Proporsi luas area kawasan wisata mungkin sekali sangat bermakna bagi daerah bersangkutan, sedemikian luas sehingga sangat menentukan dalam menjaga keseimbangan ekologi lingkungan. Oleh karena itu,

10 16 pembangunan kawasan wisata harus dilakukan sangat berhati-hati dengan pertimbangan dan perhitungan cermat berkaitan dengan kelestarian lingkungan hidup yang berkelanjutan. Suatu kawasan wisata dapat mencakup lebih dari satu wilayah pemerintahan, memiliki sejumlah daya tarik wisata yang menarik, mampu menawarkan beragam kegiatan pariwisata yang unik, memiliki akses yang tinggi dengan kawasan wisata lainnya (Warpani dan Warpani 2007). Suatu kawasan wisata dinyatakan sebagai kawasan wisata yang berhasil bila secara optimal dapat mempertemukan empat aspek (Gunn, 1994) yaitu : 1. Mempertahankan kelestarian lingkungannya 2. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan tersebut 3. Menjamin kepuasan pengunjung 4. Meningkatkan keterpaduan dan unity pembangunan masyarakat di sekitar kawasan dan zona pengembangannya. Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Perencanaan merupakan suatu bentuk alat yang sistematis yang diarahkan untuk mendapatkan tujuan dan maksud tertentu melalui pengaturan, pengarahan atau pengendalian terhadap proses pengembangan dan pembangunan. Perencanaan berorientasi kepada kepentingan masa depan terutama untuk mendapatkan suatu bentuk social good, dan umumnya dikategorikan sebagai pengelolaan (Nurisyah 2000). Perencanaan bukanlah sekedar persiapan akan tetapi merupakan proses kegiatan yang secara terus menerus mewarnai dan mengikuti kegiatan sampai pada pencapaian tujuan. Perencanaan bahkan dapat dijadikan sebagai alat evaluasi yang hasilnya diharapkan dapat digunakan sebagai masukan bagi perencanaan kegiatan selanjutnya (Suyitno 1999). Menurut Knudson (1980) perencanaan adalah mengumpulkan dan menginterpretasikan data, memproyeksikannya ke masa depan, mengidentifikasi masalah, dan memberi pendekatan yang beralasan untuk memecahkan masalah-masalah tersebut. Perencanaan merupakan proses yang rasional untuk mencapai tujuan dan sasaran dimasa mendatang berdasarkan kemampuan sumberdaya alam yang ada serta pemanfaatannya secara efektif dan efisien (Sujarto 1985). Perencanaan lanskap yang baik harus melindungi badan air, dan menjaga air tanah, mengkonservasi hutan, dan sumber mineral, menghindari erosi, menjaga kestabilan iklim, menyediakan tempat yang cukup untuk rekreasi dan

11 17 suaka margasatwa, serta melindungi tapak yang memiliki nilai keindahan dan ekologi. Proses perencanaan lanskap secara umum dapat dibagi menjadi commision, riset, analisis, sintesis, konstruksi dan pelaksanaan. Commission merupakan suatu pertemuan antara perencana dan client untuk memperoleh kesepakatan mengenai tujuan proyek dan rencana yang akan di buat. Riset terdiri dari survei dan pengumpulan data lainnya. Sedangkan analisis dilakukan pada tapak, meninjau peraturan pemerintah, peluang, hambatan, dan program pengembangan. Sintesis yang dilakukan mengacu pada dampak implementasi metoda. Kegiatan pembangunan dan operasional meliputi juga observasi pada hasil perencanaan (Simonds 1983). Menurut Gunn (1994), perencanaan lanskap wisata bertujuan untuk mengembangkan kawasan wisata untuk mengakomodasikan keinginan pengunjung, pemerintah daerah, penduduk atau masyarakat sekitar. ditambahkan bahwa perencanaan wisata yang baik dapat membuat kehidupan masyarakat lebih baik, meningkatkan ekonomi, melindungi dan sensitif terhadap lingkungan, dan dapat diintegrasikan dengan masyarakat dengan dampak negatif minimal. Keberadaan suatu aset sumberdaya alam dan lingkungan memberi suatu wilayah kemampuan atau peluang untuk dikembangkan sebagai daerah wisata. Penentuan kawasan wisata sangat erat dengan wilayah dari lokasi atraksi yang menjadi andalan utama tersebut, sehingga perlu dilakukan suatu cara untuk penetapannya. Perencanaan wisata sangat penting dilakukan karena saat ini dan dimasa depan akan terus terjadi pergeseran pasar wisata. Motif, minat, selera, tuntutan, dan perilaku wisatawan terus-menerus berubah dalam hal ini perlu direspon dengan tepat. Apalagi ketersediaan produk yang berkualitas akan semakin berkurang. Dengan perubahan seperti itu produk yang tidak inovatif jelas tidak akan laku, apalagi persaingan produk dan jasa di pasar wisata cenderung meningkat dengan derajat kualitas yang jauh lebih baik. Oleh sebab itu perencanaan menjadi tindakan yang mutlak dilaksanakan. Perencanaan yang baik berarti menghasilkan suatu strategi peningkatan daya saing produk dan keuntungan ditingkat perusahaan atau pelaku wisata. Dalam perencanaan harus tergambar syarat-syarat apa yang harus dipenuhi dan fungsi-fungsi apa yang perlu dijalankan oleh para pelaku (Damanik dan Weber 2006). Gunn (1979) dalam Kelly (1998) mengatakan bahwa komponen struktural perencanaan wisata adalah permintaan dan suplai. Permintaan merupakan

12 18 besarnya permintaan oleh masyarakat untuk melakukan wisata, sedangkan suplai terdiri dari empat komponen yaitu transportasi, atraksi, pelayanan, informasi, dan promosi. Kelly (1998) menyatakan bahwa Elemen dasar yang harus diperhatikan dalam perencanaan adalah masyarakat lokal, pengunjung, dan daerah kunjungan. Masyarakat lokal selain harus dilibatkan sebagai bagian dari atraksi yang akan diberikan, juga harus diperhatikan privasi mereka. Kualitas para pengunjung lebih menjadi tolak ukur kesuksesan dari suatu daerah tujuan wisata dibanding dari kuantitas atau jumlah pengunjung. Daerah kunjungan harus memperhatikan atraksi dan pelayanan yang akan dapat meningkatkan pengalaman dan kepuasan pengunjung. Pengunjung Daerah Tujuan Wisata Masyarakat Lokal Gambar 2. Elemen Dasar dalam Perencanaan Wisata (Mason 2006) Arahan pengembangan wisata saat ini dituntut untuk mampu mewujudkan pengembangan pariwisata yang berkelanjutan. Namun kegiatan wisata dapat menimbulkan masalah ekologis padahal keindahan dan keaslian alam merupakan modal utama. Oleh karena itu, perencanaan wisata hendaknya dilakukan secara menyeluruh, termasuk diantaranya inventarisasi dan penilaian sumberdaya yang cocok untuk wisata, perkiraan tentang berbagai dampak terhadap lingkungan, hubungan sebab dan akibat dari berbagai macam tata guna lahan disertai dengan perincian kegiatan untuk masing-masing tata guna, serta pilihan pemanfaatannya (Dahuri et al. 2004). Perencanaan wisata hendaknya dapat memberikan pengalaman bagi pengunjung yang akan bermanfaat, memuaskan dan menyenangkan pengunjung. Perencanaan bagi aktivitas wisata mengarah pada penyediaan fasilitas yang nyaman, aman dan baik bagi pengunjung, menambah kesenangan para pengunjung, tetapi tidak mengakibatkan dampak pada bagian-bagian yang signifikan atau karakteristik ekologi (ICOMOS, 1999). Ditambahkan oleh Inskeep (1991) perencanaan kontemporer melibatkan masyarakat dalam perencanaan

13 19 maupun dalam pengambilan keputusan. hal ini didasarkan pada konsep bahwa masyarakat yang tinggal di area wisata harus diberikan kesempatan untuk berpartisipasi perencanaan masa depan daerah itu serta untuk mengekpresikan pandangan mereka tentang masyarakat seperti apa yang mereka inginkan di masa yang akan datang, sehingga dapat memberikan keuntungan sosial ekonomi bagi masyarakat atas pengembangan kawasan mereka. Damanik dan Weber (2006), menyarankan pada daerah-daerah agar perlu mengkaji ulang potensi wisata yang ada dan produk yang eksis dan kemudian melakukan perencanaan yang tepat tentang bagaimana potensi tersebut sebaiknya dikembangkan dan bagaimana produk yang telah ada dapat didesain untuk memenuhi kebutuhan pasar. Beberapa hal penting yang perlu dipertimbangkan dalam perencanaan adalah sebagai berikut : 1. Pengembangan produk wisata yang bernilai ekologi tinggi (green product) 2. Seleksi kawasan wisata yang menawarkan keanekaragaman hayati (biodiversity) 3. Pengabaian produk dan jasa yang banyak mengonsumsi energi dan yang menimbulkan limbah (polusi, kongesti dll) 4. Penciptaan standarisasi dan sertifikasi produk wisata berbasis ekologi 5. Pelatihan dan penguatan kesadaran lingkungan dikalangan warga masyarakat 6. Pelibatan penduduk lokal dalam kegiatan penyediaan dan pegelolaan jasa wisata 7. Pengembangan kolaborasi manajemen trans-sektoral dalam pengembangan wisata. Aspek Biofisik dalam Perencanaan Kawasan Aspek lingkungan biofisik merupakan butir yang penting dalam menjaga kualitas suatu kawasan wisata. Kondisi biofisik yang seimbang dan unik memegang peranan penting dalam konservasi dan tata guna lahan. Lingkungan adalah kombinasi antara kondisi fisik yang mencakup keadaan sumber daya alam seperti tanah, air, energi surya, mineral, serta flora dan fauna yang tumbuh di atas tanah maupun di dalam lautan, dengan kelembagaan yang meliputi ciptaan manusia seperti keputusan bagaimana menggunakan lingkungan fisik tersebut (Suparmoko 1989).

14 20 Menurut Brooks (1988) ketika pertimbangan lingkungan di kaji pada awal perencanaan, maka keadaan lingkungan tersebut bukan hanya berguna dalam pengujian tetapi juga menjadi dasar bagi penilaian dan memberikan solusi bagi suatu masalah. Melalui penilaian terhadap kondisi lingkungan maka wilayah perencanaan dapat digambarkan menurut potensi pengembangannya, termasuk kawasan-kawasan yang memiliki potensi terkena bencana. Menurut Sumarwoto (2008), faktor biofisik terkait erat dengan daya dukung, lingkungan biofisik yang mempengaruhi kuat atau rapuhnya suatu ekosistem akan sangat menentukan besar kecilnya daya dukung tempat wisata. Ekosistem yang kuat mempunyai daya dukung yang tinggi, yaitu dapat menerima wisatawan dalam jumlah yang besar, karena tidak mudah rusak dan dapat cepat pulih dari kerusakan (sensitivitas rendah, resiliensi tinggi). Dalam pengembangan suatu kawasan wisata faktor kualitas lingkungan merupakan bagian yang sangat penting, karena kualitas lingkungan merupakan dasar dan pedoman untuk menapai tujuan pengelolaan lingkungan. Agar kita dapat mengelola lingkungan dengan baik, kita tidak saja perlu mengetahui apa saja yang tidak kita kehendaki, melainkan juga apa yang kita kehendaki. Dengan demikian kita dapat mengetahui kearah mana lingkungan itu akan kita kembangkan. Beberapa unsur dari lingkungan biofisik yang penting untuk diperhatikan dalam suatu perencanaan diantaranya, kemiringan lahan, kepekaan tanah, dan penutupan lahan. Topografi merupakan suatu kumpulan dari garis kontur. Topograpfi penting untuk dipahami, setiap perubahan pada kontur atau kemiringan akan mengurangi atau meningkatkan pola runoff air, meningkatkan atau mengurangi erosi dan sedimentasi, dan berpotensi mempengaruhi stabilitas suatu tapak. Kumpulan garis kontur juga menggambarkan karakteristik lain dari suatu lahan yaitu slope (kemiringan) menggambarkan kelerengan suatu lahan dan di nyatakan dalam persen. Suatu kelerengan di ekpresikan sebagai suatu persentase dari perbandingan kenaikan vertikal dan horisontal dalam jarak 100m. Tanah sangat penting karena merupakan tempat dimana diatasnya mahluk hidup tinggal dan struktur berdiri diatasnya, dalam hal ini tanah terkait dengan jenis, sifat dan unsur tanah itu sendiri. Kepekaan tanah menjadi pertimbangan penting dalam pemilihan tapak dan penggunaan tapak yang sesuai bagi suatu rencana pengembangan (Brooks 1988).

15 21 Partisipasi Masyarakat dalam Mendukung Wisata Masyarakat disekitar lokasi wisata berperan penting tidak hanya dalam proses pelaksanaan wisata secara langsung tetapi juga dalam pengelolaan kawasan wisata tersebut nantinya. Peran masyarakat dibutuhkan dalam memberikan layanan yang berkualitas bagi wisatawan dan menjaga kelestarian lingkungan sekitar agar wisata dapat berjalan. Proses dan keterlibatan masyarakat tergantung dari potensi dan kemampuan yang ada, dimana pada masyarakat terdapat tujuh potensi bagi keterlibatannya (Nurisyah et al 2003) yaitu: 1. Konsultasi atau pemikiran 2. Sumbangan (barang uang) 3. Sumbangan kerja dengan menggunakan tenaga setempat 4. Waktu 5. Aksi massa 6. Pembangunan dalam kalangan keluarga atau masyarakat setempat 7. Mendirikan proyek yang di danai dari luar lingkungan masyarakat itu sendiri. Banyak alasan dapat untuk menyertakan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan termasuk didalamnya dalam pengelolaan sumberdaya wisata seperti yang diutarakan oleh Mitchell et al. (2007), melalui konsultasi dengan masyarakat yang tinggal di wilayah yang akan terkena kebijakan, program atau proyek, dimungkinkan untuk (1) merumuskan persoalan dengan lebih efktif, (2) mendapatkan informasi dan pemahaman diluar jangkauan dunia ilmiah,(3) merumuskan alternatif penyelesaian masalah yang secara sosial dapat diterima dan (4) membentuk perasaan memiliki terhadap rencana dan penyelesaian, sehingga memudahkan penerapan. Peran serta masyarakat dapat ditumbuhkan dan digerakan melalui usahausaha penerangan serta pengembangan komunikasi sosial yang sehat, yang dilakukan melalui dialog yang luas dan bersifat terbuka, terarah, jujur, bebas dan bertanggung jawab; baik antara pemerintah dan masyarakat maupun antar golongan-golongan masyarakat itu sendiri. Dialog yang demikian akan melahirkan gagasan serta pandangan yang kuat agar pembangunan tetap memiliki gerak maju kedepan. Sebagai contoh; masyarakat didaerah tujuan wisata sangat mengharapkan terbinanya kelestarian usaha yang terkait dengan objek wisata dan kehidupan alam budaya mereka tidak menjadi rusak. Untuk itu

16 22 pembangunan dan pengembangan pariwisata harus melibatkan masyarakat setempat dan sekitarnya secara langsung (Suwantoro 2004). Lebih lanjut Suwantoro (2004) mengungkapkan bahwa peran serta masyarakat dapat berupa peran serta aktif maupun peran serta pasif. Peran serta aktif dilaksanakan secara langsung, secara sadar ikut membantu program pemerintah dengan inisiatif dan kreasi mau melibatkan diri dalam kegiatan pengusahaan pariwisata alam atau melalui pembinaan rasa ikut memiliki dikalangan masyarakat. Peran serta pasif adalah timbulnya kesadaran masyarakat untuk tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat mengganggu atau merusak lingkungan alam. Dalam peran serta pasif itu masyarakat cenderung sekedar melaksanakan perintah dan mendukung terpeliharanya konservasi sumberdaya alam. Upaya peningkatan peran serta pasif dapat dilakukan melalui penyuluhan maupun dialog dengan aparat pemerintah, penyebaran informasi mengenai pentingnya upaya pelestarian sumberdaya disekitar kawasan obyek wisata alam yang juga mempunyai dampak positif terhadap perekonomian. Keikutsertaan masyarakat dalam pariwisata memacu perkembangan pariwisata kearah yang lebih baik. Keikutsertaan masyarakat tersebut dapat berupa keikutsertaan secara sosial budaya dan ekonomi. Keikutsertaan secara sosial budaya tidak hanya menjadi atraksi wisata, akan tetapi kesediaan masyarakat dalam menerima kegiatan wisata yang akan menyatu dalam kehidupannya. Keikutsertaan secara ekonomi ialah keikutsertaan masyarakat dalam perekonomian, baik terkait langsung dalam wisata maupun yang tidak terkait secara langsung dengan wisata. Kegiatan perekonomian wisata menopang perekonomian kawasan wisata dan memiliki posisi penting dalam wisata, sedangkan perekonomian non wisata merupakan kegiatan pendukung perekonomian di kawasan wisata. Salah satu sebab terjadinya gangguan terhadap kawasan objek wisata alam adalah kurangnya kegiatan yang berkaitan dengan peningkatan perekonomian masyarakat sekitar kawasan objek wisata. Oleh karena itu, kegiatan usaha masyarakat diharapkan akan dapat menciptakan suasana ikut memiliki tempat mata pencaharian/tempat usaha yang pada akhirnya akan mendorong masyarakat untuk ikut berperan dalam wisata dan dalam menjaga kelestarian lingkungannya misalnya pengamanan kawasan, ketertiban dan

17 23 kebersihan kawasan, penyediaan sarana dan prasarana, termasuk kebutuhan akomodasi (Suwantoro 2004). Metode Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Berkelanjutan Untuk dapat mengetahui potensi wisata di suatu daerah maka berbagai kemungkinan obyek wisata dan fasilitas-fasilitas penunjangnya di daerah tersebut perlu dievaluasi. Secara umum, penilaian dilakukan dengan memperhatikan adanya obyek-obyek wisata serta adanya atau kemungkinan dibangunnya fasilitas-fasilitas wisata. Penilaian secara kuantitatif sulit dilakukan karena penilaian terhadap hal-hal yang mempengaruhi daya tarik wisata seperti keindahan, menarik atau tidaknya suatu obyek dan lain-lain sangat tergantung dari orang perorang (Hardjowigeno 2001). Salah satu metode yang dapat digunakan dalam perencanaan lanskap kawasan wisata berkelanjutan diantaranya dengan metode penilaian tourism attractiveness index (Smith 1989), yaitu dengan menilai daya tarik suatu kawasan wisata. Tahapan yang dilakukan yaitu dengan menetapkan suatu daftar atribut untuk mengkaji tingkat daya tarik suatu kawasan wisata, mengelompokan kriteria individu kedalam suatu kelompok kecil dari kategori utama misalnya atribut dan kategori : (1) faktor-faktor alam - (a) keindahan alam dan (b) iklim; (2) faktor-faktor sosial - (a) arsitektur, (b) festival,(c) atraksi budaya masyarakat lainnya;(3) faktor-faktor sejarah - (a) peninggalan masa lampau,(b) tempat suci keagamaan, (c) historical importances ;(4) sumberdaya untuk berbelanja dan rekreasi - (a) kesempatan untuk berolah raga, (b) museum,kebun binatang, aquarium, taman, (c) peluang untuk kebugaran dan relaksasi, (d) toko dan pusat perbelanjaan; dan (5) infrastruktur wisata - (a) jalan yang memadai, utility, pelayanan kesehatan dan, (b) fasilitas penginapan dan makan yang memadai. Tahap selanjutnya yaitu memilih pakar yang akan menilai bobot setiap kriteria, para pakar ini dapat dari biro perjalanan, perhotelan, penerbangan, akademisi dan pejabat pemerintah bidang pariwisata, menyampaikan cara penilaian kepada panelis( metode penilaian dikembangkan oleh Churchman, Ackoff, dan Arnoff (1975), dimana bobot penilaian setiap kriteria (W i )berkisar antara 0,00 sampai 1,00. Selanjutnya pakar melakukan penilaian, skor rata-rata setiap kriteria untuk setiap kawasan (S ij ) dimana I adalah kriteria dan j adalah kawasan. Tahap terakhir, menjumlahkan setiap nilai kawasan (A ij S), untuk memperoleh suatu ukuran tunggal dari tingkat daya tarik wisata setiap wilayah ( A j ).

18 24 Model lain yang diutarakan oleh Kiemstedt (1967), diacu dalam Gunn (1994) adalah dengan melakukan pengukuran dan memetakan tiga set faktor untuk menetapkan area terbaik yang sesuai untuk pengembangan rekreasi. Faktor-faktor tersebut meliputi faktor fisik, fasilitas yang tersedia, serta keadaan alam dan budaya dari suatu kawasan. Setiap set faktor di ringkas menjadi sebuah indeks daya tarik (index of attractivity). Prosesnya meliputi mengukur subkomponen yang berkaitan dengan lokasi dimana fungsi atraksi, nilai atraksi dari setiap peubah di hitung. Kemudian dilakukan overlay peta sehingga dapat dilihat area dengan kategori yang tertinggi dari semua komponen maka merupakan yang paling tinggi atraksinya dan selanjutnya ditetapkan untuk dikembangkan. Menurut Gunn (1994), dalam proses perencanaan kawasan wisata, bantuan dari teknologi komputer cukup dapat membantu, dengan program sistem informasi geografis (SIG) akan diperoleh peta yang memperlihatkan sumberdaya yang paling sesuai bagi kegiatan wisata dan yang paling sensitif. Penerapan SIG mempunyai kemampuan luas dalam proses pemetaan dan analisis sehingga teknologi sering dipakai dalam perencanaan lanskap. Pemanfaatan SIG dapat meningkatkan efisiensi waktu dan ketelitian. Salah satu prosedur kerja yang umum dilakukan dalam SIG adalah penumpang-tindihan beberapa peta untuk mencari suatu wilayah tertentu. Dalam pekerjaan perencanaan spasial dimana data-data disajikan dalam bentuk peta, pendekatan ini sangat biasa dilakukan. Tumpang susun bukan hanya menggabungkan garis yang terdapat pada dua atau tiga peta tersebut menjadi gabungan, karena hal ini hanya bagian kegiatan fisiknya, akan tetapi yang lebih penting menggali makna yang diakibatkan oleh kegiatan tersebut ( Barus dan Wiradisastra 2000). Sistem Informasi Geografis Geographic information system (GIS) atau sistem informasi geografis (SIG) menurut Star (1990) adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang mereferensi pada koordinat geografi atau spasial dan juga nonspasial. SIG merupakan sistem basis data dengan kemampuan spesifik untuk data spasial dan nonspasial, dan juga dapat melakukan operasi data. SIG dapat dilakukan secara manual maupun dengan cara otomatik yang menggunakan komputer digital. Lima elemen yang penting dalam SIG adalah cara perolehan

19 25 data, pra-proses, pengelolaan data, pengolahan dan analisis, dan penghasilan produk. Menurut Aronof (1991), SIG merupakan sistem yang berbasiskan komputer yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasi-informasi geografi. Sedangkan Bernhardsen (2001) mendefinisikan SIG sebagai sistem komputer yang digunakan untuk memanipulasi data geografi. Sistem ini diimplementasikan dengan perangkat keras dan perangkat lunak komputer yang berfungsi untuk akusisi dan verifikasi data, kompilasi data, penyimpanan data, perubahan dan pembaharuan data, manajemen dan pertukaran data, manipulasi data, pemanggilan dan presentasi data serta analisis data. Menurut Foote dan Lynch (1996) terdapat tiga hal penting yang berkaitan dengan SIG, yaitu : 1. SIG berhubungan dengan berbagai aplikasi database lainnya dengan menggunakan geo-reference sebagai dasar utama dalam proses penyimpanan dan akses informasi. 2. SIG merupakan sebuah teknologi yang terintegrasi, karena dapat menyatukan berbagai teknologi geografi yang ada seperti penginderaan jauh, Global Positioning System (GPS), Computer Aided Design (CAD) dan lainnya. 3. SIG dapat membantu dalam proses pengambilan keputusan, bukan hanya dilihat sebagai sistem perangkat keras/lunak. SIG tidak hanya berfungsi sebagai tools semata. Walaupun produk SIG paling sering disajikan dalam bentuk peta, kekuatan SIG yang sebenarnya terletak pada kemampuannya melakukan analisis data spasial dan atribut secara bersamaan. Di sinilah SIG menunjukan kemampuannya mengolah data peta, seperti pemetaan yang terotomatisasi dengan menggunakan sistem komputer. kemampuan analisis SIG ini antara lain proses klasifikasi lahan, operasi overlay, operasi neighbourhood, dan fungsi konektifitas. Secara garis besar operasi overlay terdiri atas dua macam, yakni operasi manual overlay dan automated overlay. Operasi manual overlay dilakukan pada peta yang bersifat analog sedangkan automated overlay dilakukan pada peta digital yang di proses secara otomatis oleh komputer. Proses overlay ini dapat dilakukan baik untuk tipe data raster maupun vektor (Demers, 2003) Keandalan SIG yang terkait dengan operasi neighborhood adalah kemampuannya melakukan proses interpolasi terhadap data permukaan bumi

20 26 yang bertipe raster. Interpolasi merupakan suatu proses prediksi nilai-nilai yang tak diketahui menggunakan nilai-nilai yang diketahui pada lokasi tetanga terdekat (Aronoff 1993). Selain itu, SIG juga mampu membentuk garis-garis kontur untuk menggambarkan bentuk-bentuk permukaan seperti sekumpulan garis yang menghubungkan titik-titik nilai yang sama. Dalam peta topografi, garis-garis kontur tersebut menghubungkan titik-titik dengan nilai elevasi yang sama. Penelitian yang terkait wisata dengan menggunakan GIS sebagai alat analisis diantaranya dilakukan oleh Elly (2006) yaitu rencana pengembangan wisata bahari di kawasan perairan Teluk Lada, Banten dengan pendekatan system informasi geografis, dimana dilakukan perancangan database spasial sebagai dasar untuk membuat perencanaan pengembangan wisata bahari, membuat zonasi kegiatan wisata bahari. Analisis dilakukan terhadap aspek fisik oseanografi, sebaran terumbu karang dan jarak pantai. Hasil analisis menunjukan terdapat sejumlah kawasan perairan yang layak untuk kegiatan wisata bahari. Penelitian lainnya yang terkait dengan GIS dan penataan wisata dilakukan oleh Yusiana (2007) yaitu perencanaan lanskap wisata pesisir berkelanjutan di Teluk Konga, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur dengan menilai kualitas lingkungan pesisir, potensi pengembangan kepariwisataan pesisir, serta tingkat akseptibilitas dan pemberdayaan masyarakat pesisir dalam kepariwisataan. Analisis potensi wisata pesisir menghasilkan tiga zona pengembangan wisata yaitu zona pengembangan tinggi, zona pengembangan sedang dan zona pengembangan rendah. Selanjutnya dihasilkan tata ruang wisata, jalur interpretasi wisata, dan program pengelolaan wisata berkelanjutan.

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kabupaten Sintang (Gambar 4). Secara geografis Kabupaten Sintang terletak pada 1 0 05 Lintang Utara 1 0 21 Lintang Selatan dan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan di daerah tropis dengan luas laut dua pertiga dari luas negara secara keseluruhan. Keberadaan Indonesia di antara dua benua dan

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wisata

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wisata 6 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wisata Pariwisata merupakan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain, bersifat sementara, dilakukan perorangan maupun kelompok, sebagai usaha mencari keseimbangan atau keserasian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pariwisata Pariwisata merupakan semua gejala-gejala yang ditimbulkan dari adanya aktivitas perjalanan yang dilakukan oleh seseorang dari tempat tinggalnya dalam waktu sementara,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Danau. merupakan salah satu bentuk ekosistem perairan air tawar, dan

TINJAUAN PUSTAKA. Danau. merupakan salah satu bentuk ekosistem perairan air tawar, dan 5 TINJAUAN PUSTAKA Danau Danau merupakan salah satu bentuk ekosistem perairan air tawar, dan berfungsi sebagai penampung dan menyimpan air yang berasal dari air sungai, mata air maupun air hujan. Sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan sumberdaya alam baik hayati maupun non hayati. Negara ini dikenal sebagai negara megabiodiversitas

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SINTANG

PEMERINTAH KABUPATEN SINTANG 1 PEMERINTAH KABUPATEN SINTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINTANG NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN DAERAH KABUPATEN SINTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SINTANG,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada

TINJAUAN PUSTAKA. Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada TINJAUAN PUSTAKA Ekowisata Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada juga yang menterjemahkan sebagai ekowisata atau wisata-ekologi. Menurut Pendit (1999) ekowisata terdiri

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2010 TENTANG PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI SUAKA MARGASATWA, TAMAN NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2010 TENTANG PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI SUAKA MARGASATWA, TAMAN NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut Menurut UU No. 26 tahun 2007, ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2010 TENTANG PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI SUAKA MARGASATWA, TAMAN NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pergeseran konsep kepariwisataan dunia kepada pariwisata minat khusus atau yang salah satunya dikenal dengan bila diterapkan di alam, merupakan sebuah peluang besar

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan basah merupakan sumber daya alam hayati penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem global. Salah satu tipe lahan basah adalah lahan gambut. Lahan gambut merupakan ekosistem

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sektor pariwisata merupakan salah satu sumber penghasil devisa potensial selain sektor migas. Indonesia sebagai suatu negara kepulauan memiliki potensi alam dan budaya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perencanaan Kawasan Wisata

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perencanaan Kawasan Wisata 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perencanaan Kawasan Wisata Perencanaan merupakan suatu bentuk alat yang sistematis yang diarahkan untuk mendapatkan tujuan dan maksud tertentu melalui pengaturan, pengarahan

Lebih terperinci

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Indonesia adalah negara bahari dan negara kepulauan terbesar di dunia dengan keanekaragaman hayati laut terbesar (mega marine biodiversity) (Polunin, 1983).

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak potensi wisata yang unik, beragam dan tersebar di berbagai daerah. Potensi wisata tersebut banyak yang belum dimanfaatkan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA INDUK PENGEMBANGAN PARIWISATA KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pariwisata merupakan salah satu sektor pembangunan yang saat ini sedang digalakkan oleh pemerintah Indonesia. Berdasarkan Intruksi Presiden nomor 16 tahun 2005 tentang Kebijakan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Statistik Kunjungan Wisatawan ke Indonesia Tahun Tahun

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Statistik Kunjungan Wisatawan ke Indonesia Tahun Tahun I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Hal ini berdasarkan pada pengakuan berbagai organisasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekowisata 2.1.1 Pengertian Ekowisata Ekowisata didefinisikan oleh organisasi The Ecotourism Society (1990) dalam Fennel (1999) sebagai suatu bentuk perjalanan wisata ke area

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sedangkan kegiatan koleksi dan penangkaran satwa liar di daerah diatur dalam PP

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sedangkan kegiatan koleksi dan penangkaran satwa liar di daerah diatur dalam PP I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki banyak potensi objek wisata yang tersebar di seluruh pulau yang ada. Salah satu objek wisata yang berpotensi dikembangkan adalah kawasan konservasi hutan

Lebih terperinci

Gambar 3. Peta Orientasi Lokasi Studi

Gambar 3. Peta Orientasi Lokasi Studi BAB III METODOLOGI. Lokasi dan Waktu Kegiatan studi dilakukan di Dukuh Karangkulon yang terletak di Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan luas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. npembangunan nasional. Hal ini dilakukan karena sektor pariwisata diyakini dapat

BAB I PENDAHULUAN. npembangunan nasional. Hal ini dilakukan karena sektor pariwisata diyakini dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pariwisata merupakan salah satu sektor yang diperhatikan dalam kancah npembangunan nasional. Hal ini dilakukan karena sektor pariwisata diyakini dapat dijadikan

Lebih terperinci

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN 2.1 Tujuan Penataan Ruang Dengan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, khususnya Pasal 3,

Lebih terperinci

KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481)

KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481) KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481) Oleh : GITA ALFA ARSYADHA L2D 097 444 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. andalan untuk memperoleh pendapatan asli daerah adalah sektor pariwisata.

I. PENDAHULUAN. andalan untuk memperoleh pendapatan asli daerah adalah sektor pariwisata. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam rangka percepatan pembangunan daerah, salah satu sektor yang menjadi andalan untuk memperoleh pendapatan asli daerah adalah sektor pariwisata. Pariwisata

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Suprihan (Supriharyono, 2002:1). Setiap kepulauan di Indonesia memiliki

1. PENDAHULUAN. Suprihan (Supriharyono, 2002:1). Setiap kepulauan di Indonesia memiliki 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan (nusantara) yang terdiri dari 17.508 pulau Suprihan (Supriharyono, 2002:1). Setiap kepulauan di Indonesia memiliki karakteristik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor

I. PENDAHULUAN. manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor pariwisata bagi suatu negara

Lebih terperinci

REKLAMASI BENTUK LAIN PADA LAHAN BEKAS TAMBANG

REKLAMASI BENTUK LAIN PADA LAHAN BEKAS TAMBANG REKLAMASI BENTUK LAIN PADA LAHAN BEKAS TAMBANG DISAMPAIKAN PADA BIMBINGAN TEKNIS REKLAMASI DAN PASCATAMBANG DIREKTORAT TEKNIK DAN LINGKUNGAN MINERAL DAN BATUBARA DIREKTORAT JENDERAL MINERAL DAN BATUBARA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negaranya untuk dikembangkan dan dipromosikan ke negara lain.

BAB I PENDAHULUAN. negaranya untuk dikembangkan dan dipromosikan ke negara lain. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pariwisata merupakan salah satu sektor penghasil devisa bagi negara yang cukup efektif untuk dikembangkan. Perkembangan sektor pariwisata ini terbilang cukup

Lebih terperinci

Oleh : ERINA WULANSARI [ ]

Oleh : ERINA WULANSARI [ ] MATA KULIAH TUGAS AKHIR [PW 09-1333] PENELITIAN TUGAS AKHIR Oleh : ERINA WULANSARI [3607100008] PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH

Lebih terperinci

OBJEK DAN DAYA TARIK WISATA

OBJEK DAN DAYA TARIK WISATA OBJEK DAN DAYA TARIK WISATA Objek dan daya tarik wisata adalah suatu bentukan dan fasilitas yang berhubungan, yang dapat menarik minat wisatawan atau pengunjung untuk datang ke suatu daerah atau tempat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013).

BAB I PENDAHULUAN. positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata memiliki peran yang semakin penting dan memiliki dampak positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013). Dengan adanya misi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini membahas mengenai latar belakang permasalahan, rumusan masalah, tujuan penelitian, serta metodologi penyusunan landasan konseptual laporan seminar tugas akhir dengan judul

Lebih terperinci

III METODOLOGI. Gambar 2. Peta lokasi penelitian.

III METODOLOGI. Gambar 2. Peta lokasi penelitian. III METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada kawasan Gunung Kapur Cibadak Ciampea Bogor, Propinsi Jawa Barat. Lokasi penelitian terlihat pada Gambar 2. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Indikator Perkuliahan Menjelaskan kawasan yang dilindungi Menjelaskan klasifikasi kawasan yang dilindungi Menjelaskan pendekatan spesies Menjelaskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan di laut yang saling berinteraksi sehingga

Lebih terperinci

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian Desa Mulo, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta (Sumber: Triple A: Special Province of Yogyakarta)

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian Desa Mulo, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta (Sumber: Triple A: Special Province of Yogyakarta) BAB III METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai lanskap kawasan ekowisata karst ini dilakukan di Lembah Mulo, Desa Mulo, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunungkidul, Propinsi Daerah Istimewa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata selama ini terbukti menghasilkan berbagai keuntungan secara ekonomi. Namun bentuk pariwisata yang menghasilkan wisatawan massal telah menimbulkan berbagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Banyak pakar dan praktisi yang berpendapat bahwa di milenium ketiga, industri jasa akan menjadi tumpuan banyak bangsa. John Naisbitt seorang futurist terkenal memprediksikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mempunyai kekayaan alam dan keragaman yang tinggi dalam

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mempunyai kekayaan alam dan keragaman yang tinggi dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia mempunyai kekayaan alam dan keragaman yang tinggi dalam berbagai bentukan alam, struktur historik, adat budaya, dan sumber daya lain yang terkait dengan wisata.

Lebih terperinci

Ekowisata Di Kawasan Hutan Mangrove Tritih Cilacap

Ekowisata Di Kawasan Hutan Mangrove Tritih Cilacap BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi sumber daya alam hutan serta perairannya berupa flora, fauna dan ekosistem termasuk di dalamnya gejala alam dengan keindahan alam yang dimiliki oleh bangsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan ekosistemnya ini dapat dikembangkan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya

BAB I PENDAHULUAN. dan ekosistemnya ini dapat dikembangkan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan pariwisata terjadi karena adanya gerakan manusia di dalam mencari sesuatu yang belum di ketahuinya, menjelajahi wilayah yang baru, mencari perubahan suasana,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung merupakan salah satu provinsi yang memiliki potensi wisata

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung merupakan salah satu provinsi yang memiliki potensi wisata 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Provinsi Lampung merupakan salah satu provinsi yang memiliki potensi wisata untuk dikembangkan dan diupayakan menjadi daya tarik wisata daerah. Potensi wisata tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kata yaitu pari yang berarti banyak, berkali-kali,berputar-putar, sedangkan wisata

BAB I PENDAHULUAN. kata yaitu pari yang berarti banyak, berkali-kali,berputar-putar, sedangkan wisata BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kata pariwisata berasal dari kata bahasa sangskerta yang terdiri atas dua kata yaitu pari yang berarti banyak, berkali-kali,berputar-putar, sedangkan wisata berarti

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir pulau kecil pada umumnya memiliki panorama yang indah untuk dapat dijadikan sebagai obyek wisata yang menarik dan menguntungkan, seperti pantai pasir putih, ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia Timur. Salah satu obyek wisata yang terkenal sampai mancanegara di

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia Timur. Salah satu obyek wisata yang terkenal sampai mancanegara di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah salah satu provinsi yang terletak di Indonesia Timur. Salah satu obyek wisata yang terkenal sampai mancanegara di provinsi ini adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara. Pembangunan pariwisata mulai digalakkan, potensi potensi wisata yang

BAB I PENDAHULUAN. Negara. Pembangunan pariwisata mulai digalakkan, potensi potensi wisata yang BAB I PENDAHULUAN Pariwisata merupakan salah satu sektor yang diperhatikan dalam kancah pembangunan skala nasional, hal ini dilakukan karena sektor pariwisata diyakini dapat dijadikan sebagai salah satu

Lebih terperinci

KONSEP PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA DANAU

KONSEP PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA DANAU KONSEP PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA DANAU 1. Latar Belakang Sebagai modal dasar untuk mengembangkan kepariwisataannya yaitu alam dan budaya tersebut meliputi alam dengan segala isi dan bentuknya baik berupa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sektor kelautan memiliki peluang yang sangat besar untuk dijadikan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sektor kelautan memiliki peluang yang sangat besar untuk dijadikan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sektor kelautan memiliki peluang yang sangat besar untuk dijadikan sumber pertumbuhan baru bagi bangsa Indonesia untuk keluar dari cengkeraman krisis ekonomi.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan lingkungan telah mendorong kesadaran publik terhadap isu-isu mengenai pentingnya transformasi paradigma

Lebih terperinci

Strategi Pengembangan Pariwisata ( Ekowisata maupun Wisata Bahari) di Kabupaten Cilacap.

Strategi Pengembangan Pariwisata ( Ekowisata maupun Wisata Bahari) di Kabupaten Cilacap. Strategi Pengembangan Pariwisata ( Ekowisata maupun Wisata Bahari) di Kabupaten Cilacap. Bersyukurlah, tanah kelahiran kita Cilacap Bercahaya dianugerahi wilayah dengan alam yang terbentang luas yang kaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pegunungan yang indah, hal itu menjadi daya tarik bagi wisatawan untuk

BAB I PENDAHULUAN. pegunungan yang indah, hal itu menjadi daya tarik bagi wisatawan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang sangat kaya akan keindahan alam dan beraneka ragam budaya. Masyarakat Indonesia dengan segala hasil budayanya dalam kehidupan bermasyarakat,

Lebih terperinci

BENTUK PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP ATRAKSI WISATA PENDAKIAN GUNUNG SLAMET KAWASAN WISATA GUCI TUGAS AKHIR

BENTUK PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP ATRAKSI WISATA PENDAKIAN GUNUNG SLAMET KAWASAN WISATA GUCI TUGAS AKHIR BENTUK PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP ATRAKSI WISATA PENDAKIAN GUNUNG SLAMET KAWASAN WISATA GUCI TUGAS AKHIR Oleh : MUKHAMAD LEO L2D 004 336 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia yang dikenal dengan negara kepulauan memiliki lebih dari 18.000 pulau, memiliki luasan hutan lebih dari 100 juta hektar dan memiliki lebih dari 500 etnik

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN JOMBANG

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN JOMBANG I. UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN JOMBANG Sesuai dengan amanat Pasal 20 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang

Lebih terperinci

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM PERATURAN DIREKTUR JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM NOMOR : P. 11/KSDAE/SET/KSA.0/9/2016

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dan terletak di garis khatulistiwa dengan luas daratan 1.910.931,32 km 2 dan memiliki 17.504 pulau (Badan Pusat Statistik 2012). Hal

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pariwisata, seperti melaksanakan pembinaan kepariwisataan dalam bentuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. pariwisata, seperti melaksanakan pembinaan kepariwisataan dalam bentuk II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengelolaan Pariwisata Pengelolaan merupakan suatu proses yang membantu merumuskan kebijakankebijakan dan pencapaian tujuan. Peran pemerintah dalam pengelolaan pariwisata, seperti

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu bentuk pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan adalah melalui pengembangan kegiatan wisata bahari. Berbicara wisata bahari, berarti kita berbicara tentang

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepariwisataan meliputi berbagai kegiatan yang berhubungan dengan wisata, pengusahaan, objek dan daya tarik wisata serta usaha lainnya yang terkait. Pembangunan kepariwisataan

Lebih terperinci

BAB II URAIAN TEORITIS. yaitu : pari dan wisata. Pari artinya banyak, berkali-kali atau berkeliling.

BAB II URAIAN TEORITIS. yaitu : pari dan wisata. Pari artinya banyak, berkali-kali atau berkeliling. BAB II URAIAN TEORITIS 2.1 Pengertian Pariwisata Kata Pariwisata berasal dari bahasa Sansekerta yang terdiri dari dua suku kata yaitu : pari dan wisata. Pari artinya banyak, berkali-kali atau berkeliling.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pariwisata pada saat ini, menjadi harapan bagi banyak negara termasuk

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pariwisata pada saat ini, menjadi harapan bagi banyak negara termasuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata pada saat ini, menjadi harapan bagi banyak negara termasuk Indonesia sebagai sektor yang dapat diandalkan dalam pembangunan ekonomi. Bahkan tidak berlebihan,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Data menunjukkan bahwa sektor pariwisata di Indonesia telah. Olehkarenanya, sektor ini menjadi sangat potensial untuk dikembangkan

TINJAUAN PUSTAKA. Data menunjukkan bahwa sektor pariwisata di Indonesia telah. Olehkarenanya, sektor ini menjadi sangat potensial untuk dikembangkan TINJAUAN PUSTAKA Pariwisata dan Ekowisata Data menunjukkan bahwa sektor pariwisata di Indonesia telah memilikikontribusi ekonomi yang cukup penting bagi kegiatan pembangunan. Olehkarenanya, sektor ini

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lanskap Sejarah dan Budaya Lanskap merupakan suatu bentang alam dengan karakteristik tertentu yang dapat dinikmati oleh seluruh indra manusia. Semakin jelas harmonisasi dan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, pertahanan dan keamanan serta adanya ekosistem

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEM ERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2010 TENTANG PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI SUAKA MARGASATWA, TAMAN NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Wisata dan Pariwisata Pariwisata Berkelanjutan

TINJAUAN PUSTAKA Wisata dan Pariwisata Pariwisata Berkelanjutan 5 TINJAUAN PUSTAKA Wisata dan Pariwisata Menurut UU No. 10 Tahun 2009, pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata dalam beberapa dekade terakhir merupakan suatu sektor yang sangat penting dalam pembangunan ekonomi bangsa-bangsa di dunia. Sektor pariwisata diharapkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pariwisata merupakan sektor penunjang pertumbuhan ekonomi sebagai

I. PENDAHULUAN. Pariwisata merupakan sektor penunjang pertumbuhan ekonomi sebagai I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata merupakan sektor penunjang pertumbuhan ekonomi sebagai sumber penerimaan devisa, membuka lapangan kerja sekaligus kesempatan berusaha. Hal ini didukung dengan

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI. Gambar 14. Peta Orientasi Lokasi Penelitian.

IV. METODOLOGI. Gambar 14. Peta Orientasi Lokasi Penelitian. IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada jalur pendakian Gunung Tambora wilayah Kabupaten Bima dan Dompu, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Penelitian ini dilaksanakan selama

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Obyek wisata adalah salah satu komponen yang penting dalam industri pariwisata

II. TINJAUAN PUSTAKA. Obyek wisata adalah salah satu komponen yang penting dalam industri pariwisata II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Obyek Wisata Obyek wisata adalah salah satu komponen yang penting dalam industri pariwisata dan salah satu alasan pengunjung melakukan perjalanan ( something to see).

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan 1.1. Latar Belakang

Bab I Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Bab I Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Perkembangan kepariwisataan dunia yang terus bergerak dinamis dan kecenderungan wisatawan untuk melakukan perjalanan pariwisata dalam berbagai pola yang berbeda merupakan

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penambangan Batubara

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penambangan Batubara 4 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penambangan Batubara Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009, pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan

Lebih terperinci

I. UMUM. Sejalan...

I. UMUM. Sejalan... PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2010 TENTANG PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI SUAKA MARGASATWA, TAMAN NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA ALAM I. UMUM Kekayaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki lebih dari 17.000 pulau dengan panjang garis pantai mencapai 81.000 km, dan membentang antara garis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. artinya bagi usaha penanganan dan peningkatan kepariwisataan. pariwisata bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi,

BAB I PENDAHULUAN. artinya bagi usaha penanganan dan peningkatan kepariwisataan. pariwisata bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bangsa Indonesia tidak hanya dikaruniai tanah air yang memiliki keindahan alam yang melimpah, tetapi juga keindahan alam yang mempunyai daya tarik sangat mengagumkan.

Lebih terperinci

Penilaian pengelolaan lingkungan pulau wisata, di kawasan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, Jakarta Utara Siregar, Mara Oloan

Penilaian pengelolaan lingkungan pulau wisata, di kawasan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, Jakarta Utara Siregar, Mara Oloan Perpustakaan Universitas Indonesia >> UI - Tesis (Membership) Penilaian pengelolaan lingkungan pulau wisata, di kawasan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, Jakarta Utara Siregar, Mara Oloan Deskripsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Indonesia dikenal sebagai negara yang penuh dengan keberagaman budaya dan pariwisata. Negara yang memiliki banyak kekayaan alam dengan segala potensi didalamnya, baik

Lebih terperinci

Gambar 3.1 : Peta Pulau Nusa Penida Sumber :

Gambar 3.1 : Peta Pulau Nusa Penida Sumber : BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Penulis mengambil lokasi penelitian di Desa Sakti Pulau Nusa Penida Provinsi Bali. Untuk lebih jelas peneliti mencantumkan denah yang bisa peneliti dapatkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taman Nasional Undang-undang No. 5 Tahun 1990 menyatakan bahwa taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pariwisata, wisata dan wisata alam Pariwisata merupakan perjalanan yang dilakukan dari satu tempat ke tempat lain yang bukan tempat tinggalnya dan menetap sementara waktu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang diperkirakan memiliki kurang lebih 17 504 pulau (DKP 2007), dan sebagian besar diantaranya adalah pulau-pulau kecil

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lanskap 2.2 Wisata Terpadu

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lanskap 2.2 Wisata Terpadu II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lanskap Menurut Simond (1983) lanskap merupakan suatu bentang alam dengan karakteristik tertentu yang dapat dinikmati oleh seluruh indera manusia, dengan karakter lanskap tersebut.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini merupakan paparan pendahuluan yang menunjukkan gejala-gejala

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini merupakan paparan pendahuluan yang menunjukkan gejala-gejala 1 BAB I PENDAHULUAN Bab ini merupakan paparan pendahuluan yang menunjukkan gejala-gejala kesenjangan yang terjadi di lapangan dengan teori yang ada, maka dengan demikian perlu dilakukan penelitian ini.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Taman Nasional sebagai Destinasi Wisata Saat ini ekowisata diartikan secara beragam, diantaranya oleh Fennell (2003), mendefinisikan ekowisata sebagai bentuk wisata berbasiskan

Lebih terperinci

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN. Visi pembangunan daerah dalam RPJMD adalah visi Kepala daerah dan

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN. Visi pembangunan daerah dalam RPJMD adalah visi Kepala daerah dan BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN 5.1. Visi Visi pembangunan daerah dalam RPJMD adalah visi Kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih yang disampaikan pada waktu pemilihan kepala daerah (pilkada).

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR

PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR Oleh : TEMMY FATIMASARI L2D 306 024 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pariwisata merupakan suatu kegiatan yang sifatnya kompleks, mencakup

BAB I PENDAHULUAN. Pariwisata merupakan suatu kegiatan yang sifatnya kompleks, mencakup 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pariwisata merupakan suatu kegiatan yang sifatnya kompleks, mencakup hampir seluruh aspek kehidupan manusia. Oleh karena itu pembangunan pariwisata harus ditinjau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Museum Permainan Tradisional di Yogyakarta AM. Titis Rum Kuntari /

BAB I PENDAHULUAN. Museum Permainan Tradisional di Yogyakarta AM. Titis Rum Kuntari / BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG PENGADAAN PROYEK Proyek yang diusulkan dalam penulisan Tugas Akhir ini berjudul Museum Permainan Tradisional di Yogyakarta. Era globalisasi yang begitu cepat berkembang

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA

Lebih terperinci

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR 5.1. Visi dan Misi Pengelolaan Kawasan Konservasi Mengacu pada kecenderungan perubahan global dan kebijakan pembangunan daerah

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. lakukan, maka penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. lakukan, maka penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut: 170 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan hasil analisis yang telah penulis lakukan, maka penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Kawasan Sorake,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan oleh manusia. Sumberdaya hutan yang ada bukan hanya hutan produksi, tetapi juga kawasan konservasi.

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA U M U M Bangsa Indonesia dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa kekayaan berupa

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di Desa Guci Kecamatan Bumijawa Kabupaten

BAB III METODE PENELITIAN. Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di Desa Guci Kecamatan Bumijawa Kabupaten BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di Desa Guci Kecamatan Bumijawa Kabupaten Tegal, yaitu Objek Wisata Alam Pemandian Air Panas. Penelitian ini akan dilakukan

Lebih terperinci

LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR AGROWISATA BELIMBING DAN JAMBU DELIMA KABUPATEN DEMAK

LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR AGROWISATA BELIMBING DAN JAMBU DELIMA KABUPATEN DEMAK LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR AGROWISATA BELIMBING DAN JAMBU DELIMA KABUPATEN DEMAK Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Teknik diajukan

Lebih terperinci